Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 20


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 20



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Sekalipun engkau ber ndak mencelakai kami ber ga, tetapi karena engkau pingsan maka kamipun berusaha untuk menolongmu.

   Kuurut-urut punggung dan kakimu kemudian hendak memberimu minum air sejuk agar engkau sadar ...."

   "Keparat! "tiba2 Munding Larang marah.

   "mengapa engkau berani menjamah tubuhku?"

   "Tetapi engkau pingsan ...."

   "Matipun takkan kurelakan engkau menjamah tubuhku"

   Medang Dangdi terkejut.

   Hampir meluapkan kemarahannya terhadap pemuda yang angkuh itu.

   Tetapi masih ia dapat mengendalikan diri "Jika engkau marah karena kuurut tubuhmu, itu hakmu.

   Tetapi sebagai seorang Singasari yang menjunjung peri-kemanusiaan, aku telah menunaikan kewajiban untuk memberi pertolongan kepada orang yang perlu ditolong"

   "Jangan banyak mulut!"

   Hardik Munding Larang "pokok aku tak merelakan tubuhku dijamah orang Singasari"

   Kemudian dia berpaling ke arah Jangkung "hai orang nggi, betapapun engkau harus mencarikan kudamu hitam itu dan serahkan kepadaku"

   Serasa meledak dada Jangkung mendengar perintah orang yang sedemikian congkak "Setan, aku bukan hamba sahayamu. Aku bebas memberikan kuda itu kepada siapapun juga ...."

   "Dan kuda itu telah dijinakkan oleh kakangku. Dialah yang berhak memilikinya "Podang ikut berteriak.."Kalian berani menolak perintahku?"

   Munding Larang manggeram. Jangkung dan Podang serempak maju dan menantang "Apa hakmu memberi perintah? Siapa engkau?"

   "Sabar kakang"

   Cepat Medang Dangdi maju mencegah, kemudian berkata kepada Munding Larang.

   "ksatrya dari Pajajaran, kuda hitam itu dak disini, mengapa engkau harus memaksa orang? Kunasehatkan agar ki sanak melanjutkan perjalanan ki sanak dan jangan mempersoalkan kuda yang tak ada disini"

   Munding Larang sempat memperha kan diri Medang Dangdi.

   Pemuda yang dihadapinya itu beda dengan kedua orang tadi.

   Perawakannya yang gagah dan tegap, wajahnya yang garang terutama sepasang matanya yang bersinar tajam.

   Tentulah bukan pemuda desa.

   Ia pun merasa bahwa tubuhnya masih terasa memar akibat hajaran kedua orang tadi.

   Jika dia paksakan diri untuk berkelahi, mampukah dia menghadapi ke ga orang itu? Namun untuk mundur dengan begitu saja, rasanya ia malu.

   Medang Dangdi sempat memperhatikan wajah Munding Layang yang bertebaran warna merah.

   Ia dapat menduga isi hati pemuda itu yang berwatak angkuh itu.

   "Kakang Jangkung dan engkau adi, mari kita nggalkan tempat ini"

   Ia segera memimpin kedua orang itu dan ayunkan langkah.

   Terdengar napas Munding Layang memburu keras tetapi dia tak melakukan tindakan apa2 untuk menghalangi ketiga orang itu.

   Setelah jauh dari tempat itu, bertanyalah Jangkung "Ki Medang, kemanakah tuan hendak membawa aku?"

   "Kita lihat2 pura Singasari"

   "Tidak ki Medang"

   Seru Jangkung "aku hendak pulang ke desaku"

   "Dimana desa kediaman kakang?"

   "Walandit"

   "Lalu bagaimana dengan kuda kakang itu?"

   "Apa yang harus dipersoalkan lagi. Sesuai dengan janjiku, aku harus menyerahkan kuda hitam itu kepada pemuda yang mampu menaikinya"

   "Benar kakang"

   Seru Podang pula "akupun hendak mencari kakangku itu"

   "Tak perlu dicari"

   Kata Medang Dangdi.

   "Hah? Mengapa?"

   "Dia tentu akan kembali ke pura sini mencarimu, adi"

   "Lalu aku harus kemana sekarang?"

   "Kakang Jangkung dan adi Podang"

   Kata Medang Dangdi "mari kita berkeliling melihat-lihat keadaan pura kerajaan Singasari. Kabarnya beberapa hari lagi akan diadakan sayembara"

   "Ya, benar. Apakah kakang juga berminat hendak memasuki sayembara itu?"

   "Akan kulihat dulu bagaimana keadaannya. Memang aku berhasrat demikian"

   "O, kakangku juga"

   Medang Dangdi terkejut "Siapakah sesungguhnya kakangmu itu, adi?"

   Podang agak bersangsi. Haruskah dia memberitahu siapa sebenarnya diri Wijaya itu? Ia baru kenal dengan Medang Dangdi dan Jangkung. Ia belum tahu siapa mereka dan bagaimana pendirian mereka.

   "O, rahasia agaknya? Jika adi sukar untuk memberi keterangan, tak apalah. Tak perlu adi menjawabnya"

   Kata Medang Dangdi.

   "Begini kakang"

   Kata Podang "bukan aku tak mau tetapi aku harus meminta perkenan dulu kepadanya.

   Maka untuk saat ini aku belum dapat memberi keterangan apa2.

   Tetapi aku berjanji apabila bertemu dengan kakangku, pasti akan kukatakan hal ini kepadanya.

   Dia tentu meluluskan"

   Medang Dangdi kerutkan dahi.

   "Aneh"

   Gumamnya "mengapa harus meminta idin kepadanya. Bukankah dia kakangmu sendiri? Bukankah asal usulnya sama dengan engkau sendiri ?"

   "Tidak"

   Podang gelengkan kepala. Tetapi secepat itu ia menyadari kalau kelepasan bicara "pokoknya, begini. Dia bukan kakangku yang sekandung tetapi kakang dari lain ayah dan lain ibu"

   "Ha, ha, ha"

   Medang Dangdi tertawa "kakang yang bukan seayah dan seibu, berar bukan saudaramu. Jika begitu dia tentu mempunyai asal usul yang hebat."

   "Apa yang dapat kuberikan hanyalah begitu"

   Kata Podang "lain2 keterangan lebih jelas, tunggulah nanti apabila bertemu dengan dia"

   Medang Dangdi mengangguk "Baiklah. Dan tentulah kalian berdua setuju dengan permintaanku untuk melihat-lihat keadaan pura kerajaan ini, bukan?"

   Kedua orang itu masih ragu2. Jangkung menyatakan hendak lekas2 kembali ke desa dan Podang hendak mencari kakangnya. Tetapi hari sudah hampir petang"

   Kata Medang . Dangdi "baiklah malam ini kita bermalam di pura, besok pagi baru kita berangkat mencari kakangmu"

   Podang terkesiap "Kita?"

   "Ya"

   Medang Dangdi mengangguk "akupun bersedia untuk menemani engkau mencari kakangmu itu"

   Jangkung tercengang "Kalau begitu, akupun ikut. Aku juga masih mempunyai urusan dengan kakangmu"

   "Soal kuda hitam itu? "tanya Podang. Jangkung mengiakan "Ya. Hanya sekedar mendapat kepas an apakah kuda hitam itu masih berada padanya dan setelah itu akan kuserahkan kepadanya"

   Hari itu masih sore.

   Surya masih belum menyilam ke balik gunung walaupun sudah menggelayut ke arah barat.

   Pura Singasari di sore hari, ramai juga keadaannya.

   Terutama dengan akan diselenggarakan sayembara pilih senopa , suasana pura kerajaan makin ramai.

   Di-sana sini tampak beberapa orang muda yang berasal dari lain daerah.

   "Malam nanti kita akan tidur di mana?"

   Tanya Jangkung.

   "Mudah, eh ....tidak"

   Seru Podang yang dihentikannya sendiri.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Medang Dangdi "mengapa engkau tarik kembali kata-katamu ?"

   Terpaksa Podang menceritakan bahwa dia dan Wijaya pernah bekerja sebagai orang upahan demang Srubung "Kita tentu diterima untuk bermalam disana"

   Katanya "tetapi kurasa kurang leluasa"

   "Hm, tak apa"

   Sahut Medang Dangdi "kita dapat bermalam di candi"

   Demikian mereka melanjutkan perjalanan, menikmati suasana pura Singasari yang ramai.

   Diam-diam Medang Dangdi menarik kesan bahwa suasana dalam kerajaan Singasari itu tenteram dan sejahtera.

   Dan apabila membayang kesan itu, timbullah keraguan akan ucapan gurunya "Tidakkah kerajaan Aman dan damai? Mengapa guru berkeras menitahkan aku turun gunung? Adakah guru ...."

   Belum selesai ia melanjutkan cengkerama lamunannya, tiba2 terdengar orang2 dijalan hiruk pikuk menyingkir ke tepi.

   Medang Dangdi ber ga tak sempat bertanya karena saat itu dari arah muka muncul lima penunggang kuda.

   Yang dimuka naik kuda pu h, seorang pemuda cakap, mengenakan busana kebesaran prajurit.

   Tentu seorang yang berpangkat dalam keprajuritan.

   Sedang keempat penunggang kuda dibelakangnya, terdiri dari lelaki2 yang gagah dan garang, membekal senjata tombak dan menyelip pedang.

   Salah seorang dari keempat penunggang kuda dibelakang itu, serentak lontarkan kuda ke muka dan membentak "Hai, apa engkau tak bermata"

   Medang Dangdi, Jangkung dan Podang saat itu sebenarnya bersiap hendak menyingkir ke tepi jalan.

   Tetapi kalah cepat dengan penunggang kuda itu.

   Mereka terkejut ke ka dibentak sehingga langkah mereka terhenti.

   Tar ....

   tar.

   ...

   Tiba2 penunggang kuda itu ayunkan cambuk, menghajar-ke ga orang itu.

   Medang Dangdi terkejut melihat keliaran penunggang kuda itu.

   Cepat ia loncat menubruk Podang dan Jangkung sehingga mereka jatuh terguling ke tanah.

   Tindakan Medang Dangdi itu berhasil menyelamatkan kedua kawannya dari dari hajaran cambuk tetapi tetap Podang tersabat pada bahunya dan Jangkung pada kepalanya sehingga kain kepalanya melayang jatuh.

   "Hm, cacing2 jalan yang tak tahu aturan!"

   Penunggang kuda itu mendamprat.

   Secepat terguling di tanah, tanpa menghiraukan bagaimana keadaan kedua kawannya, Medang Dangdi pun cepat melen ng bangun dan loncat kehadapan kuda orang itu "Hai, apa salah kami? Mengapa engkau mendera kami dengan cambuk?"

   Serunya marah.

   Baru pertama sepanjang hidupnya, ia menderita perlakuan sedemikian.

   Dipertapaan, para brahmana, murid-murid dan cantrik selalu bersikap susila dan bertutur kata baik.

   Dia merasa tak bersalah berjalan di jalan, mengapa penunggang kuda yang tak dikenal itu ber ndak sedemikian kasar.

   Adakah karena dia seorang prajurit? Benarkah prajurit itu berhak ber ndak sewenang- wenang terhadap rakyat jelata? Adakah prajurit wajib ber ndak begitu? Namun apapun yang terjadi, sebagai seorang anakmuda sudah tentu dia panas mendapat perlakuan begitu.

   Penunggang kuda itu merentang mata lebar2 dan menghardik "Keparat, engkau berani melawan prajurit kerajaan?"

   Ia terus ayunkan cambuk menghajar Medang Dangdi. Medang Dangdi loncat menghindar. Ia agak terkejut mendengar kata2 prajurit kerajaan "Aku hendak bertanya, apakah salahku?"

   Prajurit itu terkejut juga ke ka cambuknya menerpa angin. Ia malu dengan kawan-kawannya. Apalagi pimpinannya, yalah pemuda berkuda bulu pu h berada disitu. Serta menarik cambuk, ia menghajarkan lagi, tar ....

   "Uh "serentak cambuk berbunyi meggeletar, terdengarlah suara orang mengaduh kaget. Orang2 mengira tentulah Medang Dangdi yang menderita kesakitan tetapi diluar persangkaan, ternyata cambuk prajurit itu telah terlepas jatuh ke tanah dan Medang Dangdi tengah mencengkeram tangan prajurit itu "Jika engkau tetap main cambuk, akan kutarik engkau ke bawah"

   Bentak Medang Dangdi. Ke ga prajurit lainnya, terkejut menyaksikan kawan mereka dikuasai seorang pemuda tak dikenal. Tanpa menunggu perintah dari pimpinannya, mereka serempak menerjangkan kuda ke arah Medang Dangdi.

   "Awas kakang"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Teriak Podang yang saat itu sudah bangun.

   Orang-orang yang berada disekeliling tempat itu makin ketakutan dan kacau.

   Medang Dangdi menyadari bahwa keadaan sudah makin gawat.

   Dia tak tahu siapa kelima penunggang kuda itu.

   Ia hanya mendengar prajurit itu.

   mengatakan dirinya prajurit kerajaan.

   Tentulah pimpinannya seorang putera priagung atau mentri yang berpangkat tinggi dalam kerajaan.

   Namun ia tak sempat menimang lebih lanjut.

   Ketiga prajurit sudah menerjang dengan menghunus senjata.

   Dan dia pun sudah terlanjur melawan.

   Jika menyerah, tentu akan menderita siksaan yang hebat, mungkin dibunuh.

   Jika melawan, juga sama akibatnya.

   Bahkan mungkin lebih berat.

   Apabila ia harus mati karena peristiwa itu, ia akan memilih mati sebagai seorang ksatrya.

   Dan ia harus berani menentang kelaliman dan kesewenang-wenang dari prajurit2 itu.

   Secepat menentukan pilihan, Medang Dangdipun menarik kaki prajurit itu.

   Selekas prajurit itu meluncur jatuh dari kudanya dengan cepat Medang Dangdi mencengkeram tengkuknya lalu diangkatnya tubuh prajurit itu dan berputar- putar untuk menyongsong serangan ke ga prajurit berkuda.

   Menyaksikan keperkasaan pemuda yang dapat menguasai seorang prajurit dan menggunakannya sebagai senjata untuk melawan serangan tiga orang prajurit, gemparlah suasana tempat itu.

   Ketiga prajurit berkuda itupun cepat hentikan kudanya dan menariknya mundur.

   Mereka tak berani melanjutkan serangannya.

   Dan sesaat mereka hentikan terjangan, pemuda itupun hentikan gerakan memutar tubuh prajurit yang dikuasainya.

   Ketiga prajurit itu saling bertukar pandang, kemudian mereka serempak mencurah pandang kearah pemuda cakap yang perada dipunggung kuda putih.

   Rupanya pemuda tampan itu tahu apa yang dikehendaki ketiga prajurit itu.

   "Masakan tiga orang tak mampu mengalahkan seorang pemuda desa"

   Tenang2 ia berkata.

   Ke ga.

   prajurit itu mengangguk dan serempak turun dari kuda.

   Sejenak mereka berbisik- bisik lalu berpencar pada ga arah, di muka.

   samping dari belakang Medang Dangdi.

   Yang dimuka bersenjata tombak, disamping menggunakan pedang dan yang dibelakang dengan cambuk.

   "Apakah kalian benar2 hendak membunuh aku ?"

   Seru Medang Dangdi dengan wajah memberingas.

   "Engkau pengacau, berani melawan rombongan raden Kuda Panglulut, menantu gus pa h Aragani"

   Seru prajurit yang berada di muka.

   Medang Dangdi terkejut.

   Kiranya pemuda yang naik kuda pu h itu putera menantu dari pa h kerajaan Singasari "Bagaimana aku berani melawan? Sama sekali aku tak melawan, aku hendak menyingkir ke tepi jalan ke ka rombongan ki prajurit hendak lalu.

   Tetapi belum sempat kami melangkah, ki prajurit yang ini telah mencambuk kami"

   "Apa engkau tak tahu peraturan?"

   "Peraturan bagaimana, sukalah ki prajurit memberi tahu"

   "Se ap kali rombongan raden Kuda Panglulut yang menjadi wakil dari gus pa h Kebo Anengah menjalankan tugas berkeliling kota untuk mengamat keamanan, orang harus menyingkir jauh"

   "O, maaf, aku memang tak tahu peraturan itu"

   "Tidak cukup untuk hanya menghaturkan maaf. Engkau harus menerima pidana"

   Medang Dangdi terkejut. Ia heran mengapa semudah itu prajurit2 yang berkuasa menjatuhkan pidana terhadap kawula.

   "Lekas lepaskan prajurit itu dan berjongkoklah"

   Teriak prajurit disebelah muka ke ka melihat Medang Dangdi masih meragu.

   "Mengapa aku harus berjongkok?"

   "Terima pidana"

   "Apakah pidana yang harus kuterima?"

   "Limapuluh kali dihukum cambuk!"

   Medang Dangdi terperanjat. Namun pada lain saat wajahnya tampak tenang "Tidak, ki prajurit. Aku merasa tidak bersalah"

   "Hajar"

   Teriak prajurit yang disebelah muka. Dia terus bergerak maju. Demikian pula kedua kawannya. Sekonyong dua orang lelaki menyerbu prajurit yang berada di samping dan di belakang Medang Dangdi.

   "Kakang Jangkung, Podang, jangan"

   Medang Dangdi terkejut dan berseru keras ke ka melihat Jangkung dan Podang menyerbu kedua prajurit.

   Tetapi terlambat.

   Podang disambut dengan hajaran cambuk oleh prajurit yang diserbunya.

   Podang nekad membuang tubuh berguling-guling ke tanah, menghampiri ketempat prajurit dan cepat sekali ia sudah menerkam kaki prajurit itu hingga jatuh.

   Keduapun lalu bergumul.

   Sementara Jangkungpun disambut dengan tabasan pedang oleh prajurit yang disergapnya.

   Namun Jangkung mampu menghindar lalu menerkam lawan.

   Keduanya juga terlibat dalam pergulatan yang seru.

   Melihat itu Medang Dangdi lepaskan prajurit yang dikuasainya lalu menyongsong prajurit bersenjata tombak yang menyerang dari muka.

   Walaupun dia tak memakai senjata tetapi dia dapat menghadapi serangan tombak prajurit itu.

   Dan beberapa saat kemudian dia-pun berhasil menebas jatuh tombak lawan.

   Suasana di jalan itu kacau balau.

   Orang berteriak-teriak ketakutan, debu mengepul bertebaran.

   Sekonyong-konyong terdengar derap rombongan kuda yang riuh.

   Dan cepat sekali sebuah rombongan penunggang kuda yang terdiri dari sepuluh orang dan dipimpin oleh seorang pemuda, mencongklang tiba.

   "Hii, berhen "

   Teriak pemuda itu seraya maju mendeka perkelahian.

   Entah bagaimana, prajurit- prajurit yang bertempur dengan Medang Dangdi ber ga, serempak loncat mundur dan menghaturkan hormat kepada pemuda itu.

   Juga pemuda yang berkuda pu h ajukan, kuda lalu turun dan memberi hormat "Hamba Panglulut, menghaturkan hormat kehadapan gusti pangeran Ardaraja"

   "O, engkau adi Panglulut"

   Seru pemuda yang tak lain adalah pangeran Ardaraja, putera mahkota Daha dan putera menantu baginda Kertanagara "apa yang terjadi ditempat ini?"

   "Perkelahian, gus "

   Kata Kuda Panglulut "

   Ga pemuda membangkang untuk menyingkir ke ka rombongan kami berjalan"

   "O, mana pemuda itu?"

   Pangeran Ardaraja mengalih pandang kearah Medang Dangdi, Jangkung dan Podang. Kemudian memberi tah kepada seorang pengawal yang bertubuh nggi besar "Sura, tangkap mereka"

   Suramenggala yang bertubuh tinggi besar serentak memberi isyarat kepada rombongannya untuk mengepung ketiga pemuda itu "Hai, kamu bertiga, serahkan dirimu"

   Medang Dangdi terkejut. Diapun mendengar bahwa pangeran Ardaraja dari Daha itu telah dipungut menantu baginda Kertanagara. Jika ia melawan tentu akan terjadi pertumpahan darah yang hebat.

   "Ki lurah"

   Serunya kepada Suramenggala "tetapi hamba tak bersalah. Hamba hendak menyingkir ketika salah seorang prajurit menghajar kami dengan cambuk"

   "Engkau berani melawan prajurit kerajaan?"

   "Tidak, ki lurah. Hamba seorang kawula jelata, tak berani melawan kepada kerajaan"

   "Bohong!"

   Bentak Suramenggala "

   Dakkah perkelahian itu terjadi karena kalian membangkang dan melawan?"

   "Tetapi hamba ...."

   "Tangkap!"

   Teriak Suramenggala. Dan rombongan anakbuah yang terdiri dari sepuluh prajurit berkuda segera hendak menerjang.

   "Tunggu dulu, ki lurah"

   Sekonyong-konyong terdengar seseorang berteriak keras dan sesaat muncul dua orang anak muda dihadapan pangeran Ardaraja. Keduanya menghaturkan sembah.

   "Siapa kalian ?"

   Pangeran Ardaraja agak terkejut.

   "Hamba Nambi"

   "Hamba Lembu Sora"

   Pangeran Ardaraja memandang tajam kepada kedua pemuda itu.

   Nambi bertubuh kecil, agak kurus, memiliki sepasang mata yang tajam, dahi agak mengeriput pertanda seorang yang gemar berpikir.

   Sedangkan Lembu Sora bertubuh kekar, wajah bundar, alis lebat.

   Seraut wajah dari orang yang lugu atau jujur.

   "Dari mana kalian? Dan apa tujuan kalian?"

   "Hamba dari pertapaan gunung Lejar, gus "

   Jawab Nambi "dan hamba mendengar wara-wara bahwa di pura Singasari akan diadakan sayembara"

   "Dan engkau juga?"

   Pangeran Ardaraja alihkan pandang kepada Sora.

   "Demikian gusti"

   Sahut Sora. Sejenak merenung pangeran Ardaraja berkata "Mengapa kalian hen kan ndakan prajuritku yang hendak menangkap ketiga pemuda itu?"

   "Mohon gus melimpahkan ampun atas kelancangan hamba"

   Kata Nambi yang tampaknya lebih pandai bicara "bukan sekali-kali hamba bermaksud hendak mencegah prajurit2 paduka menindak ke ga anakmuda itu.

   Melainkan hamba hendak menghaturkan kesaksian hamba atas peris wa perkelahian mereka.

   Apabila paduka memper mbangkan bahwa mereka ber ga memang bersalah, hamba akan mengindahkan segala keputusan paduka"

   "Baik "pangeran Ardaraja berkesan atas rangkaian kata yang diucapkan pemuda itu "cobalah engkau katakan"

   Sejenak Nambi berpaling kepada Sora yang berada disampingnya, telah Sora memberi kicupan mata persetujuan, Nambipun membuka mulut "Hamba berdua melihat bahwa ke ga pemuda itu memang sedang berusaha untuk menyingkir ke tepi jalan.

   Tetapi prajurit itu sudah mendahului mencambuknya sehingga mereka jatuh terguling-guling.

   Pemuda yang satu, menanyakan apa kesalahannya dan jawaban yang diterimanya tak lain kecuali dari hajaran cambuk lagi.

   Pemuda itu marah dan menebas cambuk ki prajurit sehingga terlepas.

   Ke ga prajurit yang lain lalu menyerbunya.

   Untuk menjaga diri, pemuda itu menangkap prajurit yang bercambuk tadi untuk digunakan sebagai perisai.

   Para prajurit hen kan serangannya dan pemuda itupun berhen juga.

   Pemuda itu diperintahkan menyerah tetapi tetap akan dihukum cambuk.

   Dengan demikian dia pun terpaksa menolak"

   Dalam mendengarkan penuturan2 Nambi, diam2 pangeran Ardaraja menyelimpat pandang ke arah Kuda Panglulut.

   Tampak putera menantu pa h Aragani itu merah wajahnya dan memandang penuh dendam ke arah Nambi.

   Diam2 pangeran Ardaraja mendapat kesan bahwa rombongan Kuda Panglulut telah ber ndak sewenang-wenang sehingga menimbulkan peris wa perkelahian di tengah jalan.

   Kemudian pangeran itupun menilai diri Medang Dangdi ber ga.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jika pemuda itu mampu menguasai seorang prajurit dan menggunakannya sebagai perisai, tentulah pemuda itu bukan pemuda sembarangan.

   Ia menduga kemungkinan mereka juga akan ikut dalam sayembara.

   "Baik"

   Kata pangeran Ardaraja kemudian memandang kepada Medang Dangdi "hai, siapa namamu?"

   "Hamba Medang Dangdi gus , dari Tumapel. Dan kedua kawan hamba bernama Jangkung dan Podang"

   "O, engkau bukan kawula pura Singasari? Apakah engkau tak tahu akan tata peraturan di pura kerajaan sini?"

   "Hamba anak desa, baru pertama kali ini melangkahkan kaki ke pura kerajaan. Hamba memang tak tahu akan peraturan di pura kerajaan sini"

   "Hm, apa tujuanmu ke pura ini?"

   "Hamba dengar di pura kerajaan akan diselenggarakan sayembara"

   "Apakah engkau hendak ikut?"

   "Hamba akan melihat suasananya dahulu"

   "Medang Dangdi"

   Ba2 pangeran Ardaraja beralih nada keras "engkau bersalah berani melawan prajurit kerajaan sehingga menimbulkan kekacauan di jalan. Engkau mengakui?"

   "Hamba mengakui"

   Pangeran Ardaraja berpaling kearah Kuda Panglulut "Adi, silakan adi melanjutkan tugas. Serahkan ketiga pemuda ini kepadaku"

   Kuda Panglulut terkesiap.

   Ia merasa kalah kedudukan dengan pangeran Ardaraja.

   Sebenarnya soal keamanan, menjadi tanggung jawabnya.

   Mengapa pangeran itu harus ikut campur? Hampir meluap perasaan hati Kuda Panglulut karena merasa tersinggung.

   Tetapi sesaat kemudian, terlintas pula lain pertimbangan.

   Ketiga pemuda itu jelas berani melawan.dan agaknya mereka pemuda2 yang berani dan memiliki ilmu kepandaian.

   Dan diam2 diapun mengakui bahwa prajurit pengiringnya memang terlalu bengis.

   Rakyat yang berada di sekeliling tempat itu tampak ngeri dan ketakutan.

   Kalau terjadi pertumpahan darah, kemungkinan merekapun tak mau berbuat apa2.

   "Ya, pangeran Ardaraja tetap mempersalahkan pemuda2 itu dan diapun telah meminta persetujuanku ke ka hendak membawa pemuda2 itu. Diapun memberi jalan keluar supaya aku melanjutkan perjalanan agar jangan terlibat dalam peris wa yang tak diinginkan. Baiklah kali ini aku menurut"

   Akhirnya ia mengambil keputusan dan menerima permintaan pangeran Ardaraja.

   Setelah Kuda Panglulut dan rombongannya melanjutkan perjalanan, maka pangeran Ardarajapun berujar kepada Medang Dangdi "Kalian bertiga ikut aku ke keraton.

   Dan juga engkau berdua"

   Katanya kepada Nambi dan Lembu Sora.

   Pangeran Ardaraja dan pengiringnya baru datang dari Daha.

   Sejak menikah dengan puteri baginda, baginda menitahkan supaya dia nggal di keraton Singasari.

   Untuk pelepas rindu kepada ayahandanya, pangeran itu sering2 berkunjung ke Daha.

   Sudah sepekan dia nggal di Daha dan hari itu dia kembali ke Singasari.

   Se ba di keraton, dia menitahkan kepada Sura-menggala agar kelima pemuda itu dibawa ke asrama prajurit2 pengiring pangeran Ardaraja.

   Sementara pangeranpun menuju ke gedung kediamannya.

   Hari itu sudah malam.

   Setelah bersantap bersama isterinya maka puteripun lalu menuturkan apa yang telah terjadi di keraton selama pangeran Ardaraja berada di Daha.

   Kejut pangeran itu bukan alang kepalang ke ka mendengar tentang pencuri yang masuk ke puri keputren dan mencuri kaca wasiat puteri Tribuana.

   "Bagaimana tindakan rama baginda?"

   Tanyanya.

   "Kudengar rama baginda hendak memanggil beberapa resi dan nujum untuk mencari pencuri itu"

   Pangeran Ardaraja lama terbenam dalam menung. Tak habis herannya mengapa keraton yang dijaga begitu ketat telah kebobolan. Jelas pencurinya itu seorang maling haguna yang sak - mandraguna.

   "Atau mungkin terjadi komplotan dalam keraton"

   Ia membayangkan rangkaian kemungkinan lain.

   Dan mulailah pikirannya mengembara, meneliti setiap mentri, senopati dan para bhayangkara, bahkan sampai kepada sentana abdi-dalam dan dayang sahaya.

   Namun sejauh itu ia meni dalam pengembaraan penilaian, masih ia belum menemukan kecenderungan terhadap seseorang.

   Iapun lalu menceritakan pfris wa perkelahian dijalan antara rombongan prajurit Kuda Panglulut dengan tiga orang pemuda.

   "O, Kuda Panglulut putera menantu dari paman patih Aragani itu?"

   Tanya puteri.

   "Ya "sahut pangeran Ardaraja "menurut berita2 laporan, Kuda Panglulut memang sering menghajar rakyat hanya karena mereka tak mau memberi hormat kepadanya"

   "Lalu bagaimana dengan ketiga pemuda itu ?"

   "Sekarang kubawa dia ke keraton dan berada di asrama prajurit"

   "Mengapa kakangmas membawanya ke asrama?"

   "Akan kutanya lebih jelas, siapakah sesungguhnya mereka itu. Sekarang ini banyak sekali ksatrya dan para muda dari berbagai daerah yang datang ke pura. Tentulah mereka hendak ikut dalam sayembara nanti "

   "Bukankah tujuan seyembara itu untuk memilih, senopa dari menerima prajurit2 baru ?"

   Tanya puteri.

   "Benar"

   Kata Ardaraja "maksudku bukan soal pemilihan senopa itu. Tetapi aku amat periha n atas peristiwa penjahat yang berani memasuki puri keputren itu"

   "Apa sangkut pautnya penjahat itu dengan sayembara, kakang?"

   "Itulah yang sedang kuselidiki"

   Jawab pangeran Ardaraja "jelas bahwa penjahat itu bukan sembarang penjahat melainkan seoiang penjahat yang sak mandraguna. Dan bukankah ksatrya2 serta para muda yang hendak memasuki sayembara itu juga tentu memiliki ilmu yang tinggi?"

   "Ih"

   Puteri mendesis "kakang maksudkan ..."

   "Se ap kemungkinan yang layak mengundang kecurigaan, layak diselidiki. Itulah sebabnya maka kusuruh Suramenggala untuk membawa mereka. Dan sekarang akupun hendak menitahkan Sura untuk membawa mereka menghadap kemari"

   Pangeran Ardaraja melangkah keluar menuju ke asrama, mencari Suramenggala "Sura, bawalah pemuda-pemuda tadi ke kediamanku"

   Dengan diantar bekel Suramenggala pengiring, pangeran Ardaraja sejak di Daha, maka Medang Dangdi Podang, Jangkung, Nambi dan Sorapun dibawa menghadap pangeran Ardaraja.

   "Apa tujuan kalian hendak ikut serta dalam sayembara pilih senopa itu?"

   Ujar pangeran Ardaraja. Kembali. Nambi yang menjadi jurubicara "Gus , hamba para anak2 muda ini medang mengandung cita2 untuk mengabdi kepada kerajaan Singasari"

   "Hm"

   Desuh pangeran Ardaraja "tahukah kalian akan tugas kewajiban prajurit Singasari ? Tidak mudah, kawan, untuk menjadi prajurit Singasari.

   Ketahuilah, bahwa saat ini Singasari sedang merencanakan untuk mengembangkan kekuasaan ke seluruh nuswantara.

   Lihat, beberapa waktu yang lalu, baginda telah mengirim pasukan besar ke Malayu., Mungkin rencana itu akan disusul pula dengan pengiriman pasukan2 ke berbagai negara"

   Nambi dan kawan-kawan hanya diam saja. Mereka masih belum jelas kemana arah tujuan kata2 sang pangeran itu.

   "Mengapa kalian dak mencari pengabdian yang tenang? Mengapa kalian memilih menjadi prajurit Singasari?"

   Nambi terkejut dalam ha . Namun karena pangeran itu putera menantu dari baginda Kertanagara, ia lebih cenderung untuk menduga bahwa pangeran itu memang tengah menguji kemantapan hati mereka.

   "Gus pangeran"

   Kata Nambi "merasa dilahirkan di bumi telatah Singasari. Oleh karena itu wajiblah kami mencurahkan bhakti kami mengabdi kepada negara Singasari"

   Sahut Nambi. Ardaraja hendak mengucap sesuatu tetapi entah bagaimana rupanya ia menelan kembali kata- katanya dan hanya mendesuh "Hm, baik sekali. Tetapi adakah kalian percaya akan dapat memenangkan sayembara itu?"

   "Tidak gus "kata Nambi "hamba tak berani memas kan kepercayaan itu tetapi hamba sekalian tetap mengandung kepercayaan itu"

   Diam2 Ardaraja terkesiap. Ia menilai Nambi pandai mengatur kata2 yang bersembunyi "Apa maksudmu?"

   Tegurnya.

   "Hamba sekalian mengandung kepercayaan agar dapat memperoleh hasil dalam sayembara itu. Karena tanpa suatu kepercayaan itu hamba tentu tak berani ikut serta dalam sayembara itu. Namun hamba sekalian tak berani memastikan tentu menang. Sekalipun demikian hamba sekalian akan berusaha sekuat kemampuan untuk mencapai hasil sebaik mungkin"

   "Hm, baiklah"

   Kata Ardaraja "kurasa apabila kalian gagal dalam sayembara ini, masih ada lain jalan yang dapat kalian tempuh"

   Nambi terkesiap. Segera ia meminta keterangan apa yang dimaksudkan pangeran itu.

   "Pertama, akan kuterima kalian sebagai prajurit pengawalku ...."

   "Gusti ...."

   "Memang benar"

   Pangeran Ardaraja menegas "ketahuilah, rombongan prajurit pengiringku, kubawa dari Daha. Padahal Daha juga sedang giat membangun pasukan. Maka kupikir, hendak mencari pengganti dan aku suka dengan kalian ini"

   "Terima kasih, gusti"

   Sahut Nambi "lalu apakah petunjuk gusti yang lain?"

   "Jika kalian gagal di Singasari"

   Kata Ardaraja "kalian boleh masuk menjadi prajurit Daha, pas akan diterima. Akan kukatakan kepada rakryan patih Kebo Mundarang"

   "Terima kasih, gus "

   Kata Nambi pula "atas penghargaan yang sedemikian besar gus limpahkan terhadap diri hamba dan kawan-kawan. Bagi hamba sendiri, soal itu nan akan hamba pikirkan apabila hamba gagal dalam sayembara"

   Lalu pangeran Ardaraja bertanya kepada Lembu Sora dan jawab Sora hampir sama "Dari desa, tujuan hamba adalah ke Singasari.

   Menurut pesan mendiang guru hamba, seorang ksatrya tak boleh ingkar janji.

   Hambapun telah berjanji kepada hati hamba, hendak memasuki sayembara di pura kerajaan.

   Apabila hamba berganti arah dan tujuan, berarti hamba ingkar pada diri hamba sendiri"

   Pangeran Ardaraja mengangguk-angguk.

   Dia senang dengan pernyataan Lembu Sora yang menunjukkan tentang kesetyaan ha seorang ksatrya.

   Diam2 pula mbul keinginannya untuk mendapatkan pemuda itu sebagai pengawalnya.

   Kemudian diapun mengajukan pertanyaan kepada Medang Dangdi, Jangkung dan Podang.

   Tetapi entah bagaimana perha annya hanya tertarik pada Lembu Sora.

   Tiba2 pangeran Ardaraja teringat akan peris wa penjahat di keputren.

   Dan cepat iapun dapat merangkai suatu rencana "Baiklah, kiranya kalian tentu sudah jelas akan maksudku.

   Sekarang kita berbicara tentang lain soal.

   Baru2 ini keraton telah dimasuki penjahat yang berhasil mencuri kaca wasiat dari gusti puteri Tribuana"

   Nambi dan keempat kawannya terkejut. Mereka tak pernah mendengar berita itu. Kemudian mereka pun merasa heran, mengapa pangeran mempersoalkan peristiwa itu kepada mereka.

   "Peris wa itu memang dirahasiakan, agar penjahatnya jangan ketakutan dan kabur"

   Kata pangeran pula "tetapi kerajaan telah berusaha keras untuk menangkap penjahat itu. Namun sampai sekarang masih belum berhasil"

   Kembali pangeran Ardaraja berhen sejenak untuk memperha kan tanggapan wajah mereka "Nah, akan kuberi kalian kesempatan yang bagus.

   Kalian kubebaskan dari urusan peris wa perkelahian dijalan.

   Bahkan akan kuserahi tugas untuk menyelidiki jejak pencuri sak itu.

   Sanggupkah kalian melaksanakan tugas itu?"

   Nambi berpaling kearah Lembu Sora. Mereka berbicara melalui pandang mata masing2. Kemudian Lembu Sora yang menjawab "Tetapi gusti, tidakkah waktunya akan bertepatan dengan penyelenggaraan sayembara nanti?"

   "Benar"

   Sahut pangeran Ardaraja "tetapi ketahuilah.

   Bahwa apabila kalian berhasil meringkus penjahat itu, jasa kalian tak kepalang besarnya.

   Tanpa melalui sayembara, kalian akan diterima menjadi nayaka kerajaan Singasari.

   Dalam hal ini akulah yang akan menghadap rama baginda untuk menghaturkan jasa kalian"

   "Dengan begitu, baik kalian ikut dalam sayembara atau tidak, kalian pasti tetap akan diterima."

   Nambi termenung beberapa saat "Gusti, adakah paduka menitahkan kami berlima ini semua ?"

   "Kurasa cukup kalian berdua atau ber ga"

   Kata Ardaraja "sedang yang lain biarlah nggal di asrama sini"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tetapi ..."

   "Suramenggala, berikan tempat pada mereka dan layanilah sebaik-baiknya"

   Kata pangeran Ardaraja seraya berbangkit. Dengan demikian titahnya itu sudah tak dapat dibantah lagi.

   "Gusti pangeran"

   Seru Lembu Sora "bilakah hamba dapat memulai penyelidikan itu ?"

   "Malam ini juga"

   Nambi dan kawan2 hanya memandang longong ke ka pangeran Ardaraja mengayun langkah tinggalkan pendapa peringgitan untuk masuk kedalam.

   Suramenggala segera membawa kelima orang muda itu kembali ke asrama.

   Mereka ditempatkan dibagian dalam.

   Dalam kesempatan berkumpul berlima maka teringatlah masing2 bahwa mereka belum seluruhnya saling mengenal.

   Setelah saling memperkenalkan diri, merekapun saling menuturkan tentang perjalanannya hingga ba di pura Singasari.

   Cepat sekali mereka berlima menjadi akrab.

   Ke ka Podang menuturkan tentang kakangnya yang bernama Wijaya dan Jangkung pun memberi tambahan tentang kuda hitam yang melarikan pemuda cakap, ba2 Lembu Sora dan Nambi terbeliak.

   "Bagaimana wajah dan perawakan pemuda itu?"

   Tanya Lembu Sora.

   "Tampan, berkulit kuning, wajah berseri terang, mirip dengan putera priagung"

   Kata Jangkung.

   "Podang, katakan terus terang, apakah dia benar-benar kakangmu yang sungguh?"

   Podang gelagapan.

   Sebenarnya dia hendak berusaha untuk mempertahankan rahasia diri Wijaya yang sebenarnya tetapi menilik betapa kesungguhan ha keempat kawannya itu dan sifat2 mereka yang perwira, Podang tak dapat berbohong lagi "Bukan, dia sebenarnya bernama raden Wijaya ...."

   "Aneh"gumam Lembu Sofa.

   "Mengapa ? "tegur Nambi.

   "Perawakan raden itu seperti raden Nararya, tetapi mengapa namanya Wijaya"

   "O, raden Nararya?"

   Seru Nambi "kenalkah engkau dengannya?"

   "Ya"

   Kata Lembu Sora. Ia menuturkan perkenalan dengan Nararya itu terjadi waktu di Matahun, di desa Jenangan "dan apakah kakang juga mengenalnya?"

   "Ya"

   Nambi menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Nararya di gunung Lejar.

   "Lalu kemanakah raden Nararya ?"

   "Waktu berpisah, raden mengatakan bahwa kelak dia pas akan berjumpa lagi dengan aku di pura kerajaan ini"

   Lembu Sora kerutkan dahi "Aku agak curiga dengan kakang dari Podang yang bernama raden Wijaya itu. Adakah dia sama dengan raden Nararya atau seorang lain?"

   "Kemungkinan tentu orang lain karena banyaklah pemuda cakap ditelatah Singasari ini. Tetapi kemungkinan dan mudah-mudahan saja, memang raden Nararya"

   Kata Nambi.

   Selama Nambi dan Sora bercakap-cakap, Medang Dangdi hanya diam mendengarkan.

   Kemudian setelah pembicaraan mengenai raden Wijaya dan kuda hitam selesai, barulah dia membuka suara "Kakang sekalian, bagaimana langkah kita menghadapi titah pangeran?"

   Lembu Sora tertegun, memandang Nambi. Nambi pun hanya kerutkan dahi "Bagaimana menurut pendapat adi sendiri?"

   "Dalam soal itu"

   Jawab Medang Dangdi "'sebelumnya, perkenankanlah kuajak kakang untuk meninjau beberapa hal mengenai sang pangeran"

   "Maksudmu tentang tujuan pangeran itu?"

   "Demikianlah kakang"

   Kata Medang Dangdi "mudah-mudahan dengan peninjauan ini, kita dapat memiliki gambaran tentang apa tujuan pangeran menahan dan membebani kita dengan tugas itu"

   Nambi mengangguk "Ya, engkau benar. Memang perlu kita teliti hal itu. Silahkan adi memulai"

   "Jika menilik ucapannya, rupanya pangeran tak menyetujui kita ikut serta dalam sayembara. Mengaga? Adakah karena dia tak ingin Singasari memperoleh senopa dan nayaka2 baru yang dapat membangun kekosongan pasukan Singasari ? Ataukah dia menginginkan agar kami berlima ini menjadi prajurit pengawalnya, seperti yang dikatakan pangeran"

   Keduanya mempunyai kemungkinan"

   Kata Lembu Sora "pertama, walaupun sudah menjadi putera menantu baginda Kertanagara, tetapi pangeran tetap putera mahkota Daha.

   Dan walaupun Daha hanya sebuah akuwu yang diperintah Singasari tetapi sejarah menyatakan, tak pernah kedua kerajaan itu damai dan rukun.

   Dan menilik pengamatanku waktu berkelana di daerah Daha, maka kulihat suatu gerakan dari akuwu Daha untuk membangun pasukan yang kuat"

   "O, maksud kakang hendak mengatakan bahwa pangeran itu masih lebih cenderung gembira melihat pasukan Daha bertambah kuat daripada pasukan Singasari"

   Tanya Medang Dangdi.

   "Berdasarkan bahwa seorang putera itu tentu lebih erat ikatan-ba n dengan ayahandanya daripada ayah mentua. Terutama karena merasa bahwa kerajaan ayahanda pangeran itu diperintah oleh ayah mentuanya"

   "Lalu kemungkinan yang kedua?"

   "Walaupun berkedudukan sebagai putera menantu baginda, tetapi pangeran merasa masih belum dapat menyatukan diri dan memberi kepercayaan kepada para mentri dan senopa Singasari. Oleh karena itu, dia ingin memiliki pasukan pengawal yang terpercaya kesetyaannya"

   "Tinjauan adi memang baik sekali"

   Seru Nambi pangeran itu tentu masih belum tenteram karena merasakan gejala2 pertentangan tersembunyi dari beberapa golongan yang duduk dipucuk pimpinan kerajaan Singasari.

   Sejak baginda memindahkan pa h mpu Raganata ke Tumapel, demung Wirakre dan tumenggung Banyak Wide ke Madura, maka pemerintahan Singasari hampir dikuasai patih Aragani"

   "Adakah kemungkinan bahwa antara pangeran dan pa h Aragani tak terdapat persesuaian kerja- sama?"

   Tanya Medang Dangdi.

   "Kemungkinan itu tentu ada"

   Jawab Nambi "karena pa h Aragani tentu cemas apabila baginda melimpahkan kepercayaan dan kekuasaan pada putera menantunya"

   "Baiklah, kakang"

   Kata Medang Dangdi "setelah mengetahui latar belakang kedudukan pangeran di pura kerajaan, maka akan kucoba untuk menarik kesimpulan.

   Bahwa tujuan pangeran untuk menahan dan membebani kita dengan tugas mencari penjahat itu, tak lain karena pangeran menghendaki kita menjadi prajurit pengawalnya"

   "Bagaimana engkau cepat menarik kesimpulan begitu ?"

   Tiba2 Jangkung ikut bicara.

   "Jika para prajurit bhayangkari keraton tak mampu berjaga terhadap pencuri itu jika fihak kerajaan gagal untuk menangkap penjihat itu walaupun secara diam2 telah memerintahkan segenap tenaga para senopa nayaka. jelas penjahat itu tentu bukan seorang penjahat biasa. Dalam hal itu, mungkinkah kita mampu menangkapnya?"

   "Kita coba saja"

   Sahut Jangkung.

   "Memang begitulah yang dapat kita usahakan. Tetapi rasanya untuk berhasil sangat pis kemungkinannya. Dan hal itu tentu sudah diketahui pangeran. Namun jika dia tetap membebankan tugas itu kepada kita, jelas dia tentu mangandung tujuan tartentu"

   Nambi mengangguk "Memang aku cenderung untuk membenarkan penilaianmu itu, adi. Tetapi betapapun kita harus melakukan penyelidikan itu, kecuali... ."

   "Kecuali bagaimana, kakang?"

   Tanya Medang Dangdi.

   "Kita minggat dari sini! "Tepat, adi Sora"

   Seru Nambi "engkau dapat mengetahui isi hatiku"

   "Setuju"

   Serentak Jangkung menyambut "tak perlu aku ikut dalam sayembara. Lebih baik aku pulang dan hidup tenang di desa"

   "Lalu bagaimana dengan soal kuda hitam itu, kakang Jangkung? "tanya Podang.

   "Jangan kua r Podang"

   Seru Jangkung "aku tetap akan mengantarkan engkau mencari kakangmu dulu, baru setelah itu aku pulang desa"

   Medang Dangdi menghela napas "Ah, tak kira kalau peris wa perkelahian di jalan itu sampai melibatkan kakang berdua"

   Katanya kepada Nambi dan Lembu Sora "harap kakang suka memaafkan kami."

   Lembu Sora tertawa "Apa yang harus kumaaf-kan? Sudah wajar apabila melihat sesuatu yang dak adil kita harus menolong.

   Putera menantu pa h Aragani itu memang congkak sekali.

   Ingin rasanya aku memberi hajaran kepadanya apabila mendapat kesempatan yang tepat.

   Mengapa dia begitu berkuasa sehingga bersikap begitu congkak?"

   "Siapa lagi, adi, kalau bukan karena pengaruh ayah mentuanya, pa h Aragani itu"

   Kata Nambi "itu salah satu ndakan pa h Aragani untuk merebut kekuasaan dengan menempatkan putera menantu dan orang-orangnya pada kedudukan yang penting"

   "Rasanya pangeran tak senang kepada putera menantu pa h Aragani itu, bukan ?"

   Tanya Medang Dangdi.

   "Ya, agaknya"

   Sahut Nambi "dan mudah-mudahan begitu"

   Medang Dangdi dan Lembu Sora terkesiap.

   "Kedua orang itu cenderung untuk disangsikan kesetyaannya terhadap baginda. Biarlah mereka saling bertentangan sendiri"

   Beberapa saat kemudian Medang Dangdi mengajukan pertanyaan bilakah mereka akan mulai melakukan penyelidikan "Besok pagi"

   Jawab Nambi.

   Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam.

   ~o~dewi.kz^ismoyo^mch~o~ II Hasil nujum dari para resi dan pandita yang di tahkan datang ke keraton oleh baginda Kertanagara ternyata tak memadai keinginan baginda.

   Mereka hanya mengatakan bahwa benda pusaka milik sang puteri dyah Tribuana, masih memancarkan sinar temaram, bagai bulan bersalut awan.

   Jelas benda itu masih berada dilingkungan pura Singasari tetapi tak ketahuan dimana beradanya.

   "Durjana itu memiliki mantra yang sak , gus "

   Kata seorang resi tua "sehingga dia dapat menyelubungi benda itu dari penerawangan indera cipta"

   Amat murka baginda terhadap hasil itu.

   Namun baginda masih penuh kesadaran akan kedudukannya sebagai seorang Jina yang harus mengayomi para ulama agama.

   Baginda memang murka atas kehilangan itu tetapi janganlah sampai kemurkaan itu akan melahirkan akibat baru berupa cela dari para brahmana dan pandita terhadap sikap baginda yang sewenang-wenang atas golongan mereka itu.

   Prabu Dandang Gendis atau Kertajaya dari Daha pun jatuh karena sikapnya yang sewenang- wenang dan menindas kaum pandita.

   Setelah membubarkan sidang, baginda masuk ke dalam mahligai dan duduk termenung-menung.

   Adakah di pura kerajaan telah muncul seorang yang sak mandraguna sehingga dapat mengabut penerawangan gaib dari para nujum ? Jika benar, betapa besar ancaman yang akan diderita pura Singasari! Alangkah berbahaya orang itu apabila dia bersikap memusuhi Singasari! Tersentak baginda dari pengembaraan menung.

   Kini baginda mulai meniti-niti.

   Apa tujuan penjahat itu? Mengapa dia hanya mengambil benda milik puteri Tribuana? Adakah dia meminatkan puteri? Ataukah hanya ingin menunjukkan kesaktiannya agar keraton geger karena peristiwa itu? "Titahkan Bandupoyo menghadap"

   Tah baginda kepada seorang dayang. Dayang itu gopoh menghaturkan sembah lalu bergegas keluar. Tak lama pa h Kebo Arema masuk menghadap baginda dan menghaturkan sembah.

   "O, engkau ki patih?"

   Tegur baginda.

   "Demikian titah paduka, gusti"

   "Mana Bandupoyo?"

   "Ki Bandupoyo telah mohon idin kepada hamba untuk mohon diri barang sehari dua dari tugasnya, gusti"

   "O, kenapa?"

   "Dia memberi keterangan kepada hamba bahwa dia hendak mencari seorang pemuda yang sangat berkenan dalam hatinya"

   "Untuk apa pemuda itu?"

   "Ki Bandupoyo amat perihatin sekali atas hasil sayembara nanti, gusti. Karena sayembara pilih senopati itu mempunyai kaitan penting sekali akan keadaan pasukan Singasari. Dia menghendaki agar senopati itu benar2 terpilih dari orang yang memiliki kedigdayaan, kewibawaan dan kesetyaan terhadap paduka, gusti"

   "Ah"

   Baginda mendesah. Membayangkan, pada peris wa penjahat yang menggegerkan keraton, baginda segera ber tah "baiklah, ki pa h. Karena dia tak ada, maka perintahkan supaya penjagaan di keraton terutama di puri keputren, diperketat sekuat-kuatnya"

   "Baik, gusti"

   Setelah pa h Kebo Arema keluar, baginda pun hendak masuk ke peraduan. Tetapi ba2 pa h itu masuk menghadap pula "Hai, ada soal apa, patih?"

   Tegur baginda.

   Setelah memohon maaf atas kelancangan menghadap baginda pa h Kebo Arema menghaturkan kata "Hamba menerima kedatangan seorang pengalasan dari mpu Santasmre , gus .

   Pengalasan itu membawa surat dari mpu Santasmreti, yang mohon dipersembahkan kebawah duli paduka"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dimanakah ki pujangga itu sekarang?"

   Ujar baginda.

   "Menurut laporan pengalasan itu, ki pujangga Santasmre nggal dalam sebuah hutan di lereng gunung Penanggungan"

   "Baik, haturkanlah surat itu kemari"

   Patih Kebo Arema lalu menghaturkan surat dari pujangga mpu Santasmreti kehadapan baginda.

   Mpu Santasmreti merupakan pujangga dari keraton Singasari.

   Tetapi sejak terjadi pemecatan patih mpu Raganata, demung Wirakreti dan tumenggung Banyak Wide, entah bagaimana mpu Santasmretipun mengajukan permohonan untuk berhenti.

   Alasannya, dia sudah tua dan hendak sesuci diri di hutan.

   Tampak perobahan cahaya pada wajah seri baginda Kertanagara ketika selesai membaca surat itu "Baiklah, ki patih.

   Beritakan kepada pengalasan itu bahwa surat mpu Santasmreti telah kami terima"

   Patih Kebo Aremapun segera keluar.

   "Baik, Santasmre , akan kutunggu, benarkah menurut wawasanmu, kaca wasiat itu tentu akan kembali lagi dalam waktu empatpuluh hari ini"

   Ujar baginda seorang diri.

   Kemudian baginda masuk ke peraduan.

   Sementara itu pa h Aragani pun telah mendengar tentang hasil daripada para resi, pandita dan ahli-nujum yang di tahkan baginda menghadap di keraton.

   Diam2 pa h itu terkejut dalam ha "Ah, benar2 hebat si Ku itu.

   Dia dapat mengabut tempat penyimpanan kaca wasiat itu dari pengawasan para resi pandita yang sidik"

   Saat itu ia sedang menimang apakah yang akan di ndakkan terhadap Ku .

   Walaupun dia agak mengkal terhadap ndakan Ku tetapi diam2 iapun mengakui bahwa Ku memang merupakan tenaga yang berharga.

   Suatu keuntungan besar apabila dia berhasil mendapatkan pemuda itu sebagai orang kepercayaannya.

   Akhirnya ia menitahkan seorang pengalasan untuk memanggil Kuti.

   "Ku ", ujar pa h Aragani setelah Ku menghadap "engkau benar2 sak karena mampu mengaburkan pengawasan para ahli nujum yang dititahkan baginda"

   "Terima kasih gusti"

   "Lalu bagaimana rencanamu?"

   "Gus "

   Kata Ku "apa yang hamba lakukan hanyalah melaksanakan tah paduka. Maka bagaimana ndakan selanjutnya, hamba serahkan kepada paduka. Apapun yang paduka tahkan pasti akan hamba lakukan"

   Girang hati patih Aragani mendengar pernyataan itu "Baiklah.

   Karena perbuatan itu sesungguhnya hanya suatu cara yang kuambil untuk menguji kesaktianmu maka setelah engkau membuktikan diri akan ilmu kesaktianmu, rasanya cukup berhenti sampai disitu saja.

   Artinya, kaca wasiat itu harus engkau kembalikan lagi kepada puteri Teribuana"

   Kuti termenung diam.

   "Berbahaya apabila hal itu tak lekas diselesaikan"

   Ujar patih Aragani pula "bagaimanapun kerajaan tentu berusaha untuk menyelidiki dan mendapatkannya kembali. Mungkin akan dilakukan tindakan-tindakan yang lebih keras lagi"

   "Benar, gusti"

   "Maka baiklah kita bertindak mendahului tindakan mereka"

   "Hamba serahkan pada keputusan gus "

   Kata Ku "lalu bagaimanakah perintah gus kepada hamba untuk menyerahkan benda itu. Adakah hamba serahkan benda itu kehadapan paduka?"

   "Bukan"

   Pa h Aragani gelengkan kepala "jika engkau mengatakan bahwa engkau menyembunyikan benda itu karena kua r nan akan melibatkan diriku, mengapa sekarang aku harus meminta engkau menyerahkan benda itu?"

   "Maaf, gus "

   Kata Ku "maksud hamba tak lain hanya ingin mengunjukkan apa yang terkandung dalam ha hamba. Bahwa jauh dari maksud hamba untuk menghaki benda itu. Apapun yang gus titahkan, hamba hanya menurut saja"

   Pa h Aragani tertegun.

   Ternyata dak semudah itu untuk menyerahkan daripada mengambil.

   Harus dirangkai suatu cara yang tepat untuk menyerahkan kembali benda itu kepada keraton.

   Jika semata-mata memerintahkan Ku menyerahkan begitu saja kepada baginda, tentulah baginda akan curiga dan melimpahkan pertanyaan.

   Salah ucap dalam memberi jawaban atas pertanyaan baginda, akan menimbulkan bahaya pada Kuti untuk dituduh sebagai yang mencuri kaca itu.

   "Ya, memang sulit juga"

   Gumam patih Aragani "menurut pendapatmu, bagaimana cara yang layak ditempuh untuk melaksanakan hal itu?"

   Sejenak merenung Kuti menghaturkan jawaban.

   "Hamba akan menghadap paduka, menyatakan sebagai orang yang tahu tentang tempat beradanya kaca wasiat itu. Kemudian paduka menghaturkan hamba kehadapan seri baginda"

   "Atas dasar apa engkau menyatakan tahu tentang tempat disembunyikan barang itu?"

   "Atas, dasar dari wangsit yang hamba terima, gus "kata Ku "apabila hamba langsung menghadap ke keraton, seper yang gus kua rkan tadi, kemungkinan di ha seri baginda memang akan mbul kecurigaan. Tetapi apabila paduka yang membawa hamba kehadapan seri baginda tentulah baginda tak akan menaruh kecurigaan"

   Patih Aragani mengangguk.

   "Dan bukan melainkan hamba yang akan menerima ganjaran, pun gus pa h juga tentu akan menerima pujian dari seri baginda karena telah menemukan orang yang dapat mengatasi peris wa itu"

   "Benar"

   Teriak pa h Aragani "engkau benar2 cerdik, Ku "

   Ia memuji tetapi secepat itu pula dia terkejut dalam ha atas kelincahan Ku berpikir mencari akal "Berbahaya"

   Gumamnya dalam ha "apabila orang ini menjadi fihak yang memusuhi kedudukanku. Dia harus menjadi orangku"

   "Lalu apa yang akan engkau tindakan dihadapan baginda ?"

   Tanyanya.

   "Sebagaimana telah hamba haturkan tadi"

   Jawab Ku "hamba akan mengatakan bahwa hamba menerima suatu wangsit gaib untuk menyingkap tabir kegelapan dari peris wa yang telah menimpa keraton Singasari"

   "Adakah dengan pernyataan itu seri baginda berkenan melimpahkan kepercayaan kepadamu ?"

   "Mungkin belum sepenuhnya, gus . Walaupun kepercayaan itu mulai tumbuh karena memandang diri paduka"

   Kata Ku "tetapi hamba telah bertekad untuk meraih kepercayaan baginda"

   "Dengan cara?"

   "Jika hamba tak berhasil mendapatkan kaca itu, hamba bersedia menerima pidana mati"

   "O, bagus"

   Seru pa h Aragani "bagus sekali jika engkau menebus kepercayaan raja dengan jiwamu"

   "Apa yang mampu hamba lakukan itu tak lain hanya berkat restu yang paduka limpahkan kepada diri hamba, gusti patih"

   Patih Aragani gembira.

   Demikian perangai patih itu.

   Dia pandai merangkai kata-kata indah untuk menyanjung puji kehadapan seri baginda sehingga baginda senang dan menaruh kepercayaan.

   Walaupun ia tahu bahwa ucapan Kuti itu hanya suatu sanjung pujian namun dia senang juga.

   Memang sanjung pujian itu sedap didengar, nyaman dihati.

   Memang pula demikian sifat orang' yang suka menyanjung, tentu senang disanjung.

   Sanjung puji, dalam ar yang bersih, memang merupakan daya pesona.

   Orang akan merasa gembira dan besar ha untuk hal atau pekerjaan yang telah dilakukan dengan baik.

   Sanjung puji yang diwujudkan dalam bentuk tanda jasa ataupun kenaikan pangkat dan lain-lain, akan lebih mengesan dalam ha orang yang menerimanya.

   Tetapi dengan ucapan kata2, pun dapat menimbulkan nilai indah dalam ha orang.

   Semisal wanita yang dipuji can k, murid yang dipuji guru, orang bawahan yang diberi pujian atasannya.

   Perasaan ha mereka akan tersentuh oleh getar2 kebahagiaan.

   Tetapi sanjung puji yang terselubung maksud tertentu, tak ubah seperti tuak yang sedap rasanya, harum baunya tetapi memabukkan orang, melelapkan pikiran dan kesadaran.

   Demikian setelah berbincang- bincang berapa saat lagi, pa h Aragani memperkenankan Ku untuk pulang.

   Malam itu sudah sepi.

   Bulan bersinar pucat.

   Bintangpun masih lesu.

   Ku berjalan menyusur lorong yang menuju ke tempat kediaman Banyak.

   Benaknya penuh dengan rencana yang akan dilakukan besok pagi apabila menghadap seri baginda.

   Diakhir renungan, ia menghela napas "Ah, tak kusangka, tujuanku ke pura Singasari ini untuk ikut dalam sayembara, ternyata aku terdampar dalam arus perobahan keadaan yang tak pernah kuimpikan"

   Ia pejamkan mata untuk mengabadikan renungan indah yang mengesandalam sanubarinya saat itu.

   "Hm"

   Gumamnya dalam ha "hidup seorang lelaki harus penuh ar . Jika tak berani menerjang bahaya, bagaimana mungkin dapat mencapai kebahagiaan? Kesempatan ini harus kupergunakan sebaik-baiknya"

   Ke ka membuka mata, ia terkejut karena dari arah sebelah muka samar2 seper tampak dua sosok bayangan manusia yang tengah berjalan kearahnya.

   Ku tak terkejut karena sudah biasalah orang bersua orang pada malam hari.

   Tetapi ke ka bayangan itu makin dekat.

   Barulah ia sempat memperha kan bahwa kedua orang itu adalah pemuda2 yang hampir sebaya dengan dia.

   Dan entah bagaimana .saat itu mbullah rasa curiga terhadap mereka.

   Makin dekat makin jelas bagaimana wajah dan perawakan kedua pemuda itu.

   Rupanya ada getar2 yang menyentuh perasaan kedua anakmuda itu.

   Pada saat Ku miringkan muka melirik kearah mereka, merekapun juga berbuat serupa sehingga pandang mata mereka beradu.

   Setelah bersimpang dan beradu pandang mata kedua anakmuda itupun melanjutkan langkah.

   Beberapa saat kemudian salah seorang terdengar berkata pelahan kepada kawannya "Kakang Nambi, pemuda itu agak mencurigakan? Pandang matanya amat tajam ketika melirik kepada kita?"

   Kedua pemuda itu tak lain adalah Lembu Sora dan Nambi. Mereka mulai melakukan penyelidikan untuk melacak jejak orang yang dicurigai sebagai pencuri sakti itu.

   "Ya"

   Sahut Nambi "tetapi dia masih muda hampir seper kita. Mampukah dia melakukan perbuatan yang sedemikian menakjubkan ?"

   "Hm"

   Desuh Lembu Sora "sukar untuk mengatakan ilmu kepandaian seseorang jika hanya di lik dari umurnya, kakang"

   "Lalu bagaimana maksudmu?"

   "Bagaimana kalau kita mengiku perjalanannya. Mudah-mudahan kita memperoleh apa yang kita harapkan"

   Nambi mengangguk. Pelahan-lahan ia mengisar tubuh melirik ke belakang. Ternyata pemuda yang bersimpang jalan tadi masih melanjutkan perjalanan dan sudah jauh disebelah muka. Tiba2 Nambi berputar tubuh dan menarik tangan Sora "Kita ikuti dia"

   Demikian kedua anakmuda itu segera ayunkan langkah, menahan napas agar langkah yang didaratkan di tanah dapat mengambang dak menimbulkan debur suara.

   Tetapi alangkah kejut mereka ke ka ba di kung jalan yang berkeluk teraling gerumbul pohon, pemuda yang diiku itu tak tampak lagi bayangannya.

   "Aneh "gumam mereka dalam ha masing2. Dan sesaat mereka saling berpandangan "Kemana?"

   Desuh Lembu Sora pelahan.

   Nambi juga terkesiap.

   Jalan yang terbentang di sebelah muka menjulur lurus.

   Betapa cepat langkah pemuda itu, tak mungkin dapat, lolos dari pandang mereka.

   Nambi tak menyahut melainkan terus lanjutkan langkah, mengeliarkan mata kian kemari untuk menangkap setiap bayang2 atau suara yang cenderung diduga menjadi tempat, persembunyian pemuda itu.

   Tetapi sampai hampir di penghujung jalan, tetap mereka tak menemukan sesuatu.

   "Aneh sekali"

   Kata Lembu Sora "kemanakah orang itu ?"

   "Ya, memang mengherankan "sambut Nambi "ah, mungkin ...."

   "Bagaimana kakang Nambi"

   Seru Lembu Sora.

   Tetapi Nambi tak menjawab melainkan berputar tubuh dan bergegas kembali ke arah semula lagi.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia menuju kesebuah pohon brahmastana yang besar.

   Tetapi belum ba di tempat itu, mereka melihat sesosok tubuh tegak di tengah jalan, bercekak pinggang "Itu dia"

   Seru Sora.

   "Ya"

   Sahut Nambi "memang aku curiga apabila dia bersembunyi dalam liang tanah dibawah lingkar akar pohon itu"

   "Ki sanak, mengapa engkau menghadang di tengah jalan "tegur Nambi ke ka ia ba dan berhen lebih kurang beberapa langkah dihadapan orang itu.

   "Hm"

   Desuh orang itu "engkau tak berhak bertanya tetapi hanya berhak menjawab"

   "Apa maksudmu?"

   "Yang berhak bertanya adalah aku, bukan engkau"

   "Apa yang hendak engkau tanyakan?"

   "Seperti yang engkau tanyakan tadi?"

   "Aku tidak menghadang jalan"

   "Tetapi mengiku perjalananku. Apa maksudmu ?"

   Tegur orang itu ialah Ku , dengan nada mulai keras.

   "Aku mengikuti engkau?"

   Ulang Nambi.

   "Engkau kembali lagi ke sini, memandang kian kemari, tidakkah karena hendak mencari aku?"

   "Ya, memang"

   Tiba2 Sora yang tiba, segera menyahut.

   "Ho"

   Kuti menggeram "mengapa engkau mengikuti aku?"

   "Karena heran, siapa engkau dan mengapa pada saat seper malam ini engkau berjalan seorang diri"

   "Hm "geram Ku pula "sebelum kujawab pertanyaanmu, aku akan bertanya kepadamu. Siapakah engkau dan kawanmu itu?"

   "Aku hendak pulang"

   "Engkau bukan prajurit atau bukan petugas keamanan?"

   Mendengar itu Nambi cepat mendahului. Ia kua r Sora akan menjawab sejujurnya bahwa mereka diperintah pangeran Ardaraja "Bukan, kami hanya rakyat biasa"

   "Ho, hanya rakyat biasa? "seru Ku dengan nada mengejek "lalu engkau mempunyai hak apa untuk bertanya semacam itu kepadaku?"

   "Walaupun bukan prajurit atau petugas keamanan tetapi sa ap orang berhak untuk bertanya kepada sesuatu yang dianggap mencurigakan"

   "Apakah engkau anggap aku mencurigakan?"

   "Ya""sahut Sora.

   "Paling tidak menimbulkan keheranan"

   Nambi menambahi.

   "Setan"

   Kuti menyumpah "dalam hal apa aku kalian curigai?"

   "Sudahlah jangan banyak cakap!"

   Berantas Sora yang tak sabar beradu lidah "aku sebagai kawula Singasari, harus membantu untuk menjaga keamanan pura. Engkau harus memberitahu siapa dirimu dan apa tujuanmu berjalan pada saat semalam ini?"

   "Ho, apa hakmu bertanya? Karena engkau merasa sebagai kawula Singasari yang harus membantu keamanan negara? Huh, kentut busuk! Akupun dapat mengatakan begitu, demikian pula orang lain"

   Seru Kuti "yang jelas kalian tentu bermaksud lain"

   "Maksud lain bagaimana?"

   "Kalian adalah kaum penjahat yang berkeliaran tengah malam. Karena melihat aku seorang diri maka kalian segera bertindak"

   "Keparat"

   Sora mendamprat seraya hendak melangkah maju tetapi dicegah Nambi "Ki sanak, jangan engkau menghambur fitnah sebusuk itu.

   Engkau boleh mengejek tetapi pendirian kami tetap tak berobah bahwa sebagai kawula Singasari kami wajib membantu keamanan negara.

   Kami berdua dalam perjalanan pulang dan engkau ?"

   "Engkau berhak bertanya tetapi untuk membalas atau tidak, itu hakku"

   "Engkau tetap tak mau mengatakan siapa dirimu dan apa tujuanmu malam ini?"

   "Kalian dak berhak bertanya begitu. Adakah aku melanggar keamanan berjalan pada malam hari ini? Adakah undang2 kerajaan melarang orang berjalan pada malam hari ?"

   "Kakang, tak perlu berkering ludah terhadap orang semacam dia"

   Seru Sora "hai, engkau, kalau engkau berkeras tak mau memberi keterangan, tentu akan kutangkap dan kuserahkan kepada petugas keamanan"

   Rupanya Ku pun tak sabar menghadapi kedua Garang itu. Sambil membusungkan dada ia menantang "Kalau aku tak mau menjawab, kalian mau bertindak bagaimana? Menangkap? Silakan"

   Lembu Sora memang tudah tak sabar.

   Mendengar tantangan Ku;i, diapun terus loncat menerjang, tangan kanan menepis leher, tangan kiri menangkap lengan.

   Kedua gerak tangan itu dilakukan hampir serempak dalam kecepatan dan kedahsyatan namun daklah sampai membahayakan jiwa orang.

   Dia bermaksud hendak menangkapnya.

   Ku terkejut menerima serangan itu.

   Tak mungkin orang biasa mampu mengunjukkan gerak serangan yang begitu rapi dan bagus.

   Makin kuat dugaannya bahwa kedua orangmuda itu tentu golongan pemuda yang berilmu.

   Mungkin dari paia ksatrya yarg berdatangan herdak mengiku sayembara, mungkin memang prajurit kerajaan atau mungkin golongan penjahat yang berkeliaran pada malam hari.

   Tetapi apa dan siapa mereka, bahaya harus dihadapi.

   Ia menyurut mundur, berputar kesamping dan balas menerjang.

   Tetapi sebelum ba pada Sora, Nambipun sudah menerkam bahunya.

   Ku gerakkan tangan kiri menghantam sementara gerak terjangan ke arah Sorapun tetap dilanjutkan.

   Nambi tertolak dan berhenti.

   Diam2 ia terkejut akan kekuatan tangan Kuti.

   Sementara Sora mendapat kesempatan untuk mengisar langkah, menghadapi Kuti dan menyongsongkan pukulan.

   Krak.....dua kerat tulang saling peradu keras.

   Dan keduanyapun terhenti.

   Sora merasakan tangannya nyeri, Kuti tangannya gemetar.

   Keduanya menyurut mundur, tertegun atas tenaga lawan.

   Demikian mereka melanjutkan lagi serang menyerang dengan cepat, deras dan dahsyat.

   Memang pertempuran itu berjalan seru dan berimbang.

   Tetapi menurut penilaian, Ku lebih unggul karena dia seorarg diri menghadapi dua orang lawan.

   Sora dan Nambi makin terkejut.

   Keduanya makin bernafsu untuk menangkap dan menyelidiki siapa pemuda lawannya yang begitu hebat.

   Serangan makin dipergencar dan diperketat namun tetap dak berhasil.

   Ku memang digdaya dan tangkas.

   Tetapi Ku sendiri sesungguhnya juga cemas dalam ha .

   Selama ini, belum pernah dia berjumpa dengan lawan yang dapat memberi perlawanan segigih dan sehebat itu.

   Sejak ia menderita kekalahan dari Nararya dahulu, ia telah memaksa diri untuk berla h ilmu kanuragan yang lebih nggi.

   Jika saat itu berhadapan dengan ga lawan saja tak mampu mengalahkan, bagaimana mungkin dia akan dapat menundukkan Nararya? Kuti memang benar tetapi dalam kebenaran yang salah.

   Karena dia tak mengetahui jelas siapa sesungguhnya ketiga pemuda yang menjadi lawan pada saat itu.

   Jika dia tahu siapa Nambi, siapa Lembu Sora, tentulah dia takkan kecewa.

   Bahkan mungkin akan terkejut bangga.

   Nambi, murid dari pertapa di gunung Lejar dan Sora, dengan buk 2 akan kedigdayaan dan kekuatannya yang hebat, barulah dapat diangkat sebagai bekel prajurit dari Matahun.

   Dia masih saudara sepupu dengan demung Wiraraja atau Banyak Wide yang dicopot oleh baginda Kertanagara dan dipindah ke Sumenep.

   Nararya atau raden Wijaya sendiri belum tentu sanggup menghadapi kedua pemuda itu.

   Bahwa Ku mampu menghadapi Nimbi dan Sora bahkan ditambah pula dengan Podang, sebenarnya suatu pengakuan yang dapat membuk kan betapa hebat ilmu yang telah dicapainya.

   Tetapi dia tak mengetahui hal itu.

   Dan merasa cemas sehingga pikirannya kurang tenang, mengganggu kepercayaan atas dirinya.

   Ketegangan yang dimulai dengan rasa kejut kemudian merayap-rayap menjadi rasa cemas, mulai mengelompok dalam rasa bingung dan akhirnya meletus dalam rasa gugup yang hebat ke ka mendengar derap langkah orang muncul di penghujung jalan.

   Walaupun tengah berkelahi menghadapi ga orang lawan, tetapi Ku masih sempat mengembangkan daya pendengarannya yang tajam sehingga dapatlah ia menangkap langkah kaki manusia yang tengah berjalan mendatangi.

   Siapakah mereka? Semi atau Banyakkah? Ah, kedua kawan itu mungkin dak, karena waktu pergi menghadap pa h Aragani tadi, ia telah meminta agar kedua kawan itu tetap nggal di rumah.

   Hanya apabila keesokan harinya ia tak pulang, barulah Semi dan Banyak boleh ber ndak, menyelidiki ke gedung kepatihan.

   Lalu siapakah mereka? Musuh ...."

   "Bagus, kawan-kawan kita datang. Hayo, cepat kawan . , .."

   Seru Podang dengan tiba2.

   Ku terkejut sekali dalam ha .

   Apabila kawan2 mereka datang, sukarlah baginya untuk meloloskan diri.

   Jika dia sampai tertangkap, dakkah karya besar yang telah dilakukan itu, yani mencuri dan menyembunyikan kaca wasiat puteri Tribuana, akan berantakan? "Aku harus lolos "akhirnya mbul suatu keputusan.

   Ia tak tahu siapa sebenarnya Nambi, Sora dan Podang itu.

   Namun ia menduga tentulah ke ga orang itu petugas2 keamanan, mungkin anggauta peronda malam ataupun prajurit yang sedang melakukan ronda keamanan malam itu.

   Pada saat yang sama, Sora dan Nambipun terkejut mendengar teriak Podang.

   Secara tak disadari, keduanya serempak berpaling.

   Walaupun hanya sekejab tetapi gerak serangan merekapun terganggu kelancarannya.

   Hal itu terjadi pada saat Ku memutuskan untuk lolos.

   Maka bertemunya maksud dengan kesempatan segera dimanfaatkan sebaik-baiknya.

   Sebuah pukulan yang dilancarkan kekanan, berhasil menepis lengan Sora dan tebasan dengan sisi telapak tangan kiri berhasil membuat Podang meliuk.

   Masih Ku dapat pula mengayun kaki ke arah perut Nambi sehingga memaksa Nambi harus loncat ke belakang.

   Ke ga buah serangan yang berhasil itu, dilanjutkan dengan menginjakkan kaki ke tanah lalu digentakkan sekuat- kuatnya mengantar tubuh melayang ke belakang, berputar diri dan disambung ga empat loncatan, dia sudah berada ga tombak jauhnya kemudian lari menyusup lenyap dibalik gerumbul gelap.

   "Hai, jangan"

   Cepat Sora menangkap bahu Podang ke ka anak itu hendak lari mengejar "bagaimana perutmu?"

   "Mual tetapi sudah tak apa2"

   Kata Podang masih memandang ke arah lari Ku "mengapa kakang melarang aku mengejarnya?"

   "Berbahaya untuk mengejar lawan yang berada di tempat gelap"

   Jawab Sora "andaikata dia sudah bersembunyi dan siap menunggu lalu menyambut kedaa tanganmu dengan tabasan senjata atau melontarkan batu, apakah engkau mampu menyelamatkan diri?"

   "Tetapi aku malu, kakang"

   "Malu? Apa yang membuatmu malu?"

   "Dia seorang, kita bertiga ...."

   "Tak dapat menangkapnya?"

   Tukas Lembu Sora.

   "Dia mampu menyodok perutku dan lolos"

   "Salah siapa ?"

   Podang terkesiap mendengar ucapan Sora. Ia memandangnya dengan tatapan bertanya "Apakah kita bersalah?"

   "Ya "

   Jawab Sora mantab "karena tak mampu menangkapnya. Jika dia berhasil lolos, bukan salahnya tetapi salah kita karena kita tak mampu. Karena ilmu kita kalah tinggi. Dalam hal itu siapakah yang bersalah ?"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Podang tertegun.

   "Bukankah kita yang harus berani mengakui kesalahan karena tak mampu mengalahkannya? Bukankah kita harus tak malu mengakui bahwa kesalahan itu tak lain karena kita kurang penuh mencurahkan tenaga, pikiran dan keuletan untuk menuntut dan melatih ilmu kedigdayaan?"

   Podang mengangguk-angguk "Benar"

   "Benar?"

   Tiba2 Sora merikam pertanyaan.

   "Eh, bukankah kakang mengatakan begitu? "

   Podang mulai bingung.

   "Dan engkau menganggap benar?"

   "Ya"

   "Tidak benar"

   Kata Sora "sepintas memang benar, tetapi tidak seluruhnya benar"

   Podang terbelalak. Makin heran pandang matanya menumpah kepada Sora "Aku benar2 tak mengerti apa yang kakang ucapkan"

   "Aku mengatakan bahwa kesalahan kita tak dapat menangkap orang itu adalah kita tak memiliki ilmu kepandaian yang memadai. Karena kita kurang giat dan tekun menuntut ilmu kanuragan. Bukankah begitu?"

   Podang hanya mengangguk agak ragu karena dia kua r apabila menyahut dengan ucapan, akan tergelincir lagi.

   "Tetapi marilah kita njau dari lain sudut"

   Kata Sora "sudut ilmu kanuragan.

   Bahwa dalam menuntut ilmu kanuragan, kecuali harus menguasai segala tata-gerak tangan dan kaki, pun harus menumpahkan segenap perha annya pada lawan.

   Nah, kekalahan kita pertama-tama disebabkan karena kita tak menumpahkan perhatian penuh"

   "Hah "Podang terbelalak "bagaimana kakang mengatakan begitu? Telah kucurahkan seluruh perhatianku untuk merubuhkannya"

   "Demikian pula aku dan kakang Nambi"

   Sambut Sora "tetapi perha an kami berdua telah pecah berhamburan karena ulahmu"

   "Aku?"

   Podang tercengang.

   "Ya"

   "Mengapa aku, kakang?"

   "Engkau menjerit meneriakkan kata2, memanggil kawan-kawan supaya cepat datang"

   "O, ya, memang begitu. Tetapi maksudku untuk mengacaukan pikiran orang itu"

   "Dan pikiranku serta kakang Nambi juga sehingga kami berpaling ke arahmu. Akibatnya, dia dapat memanfaatkan kelengahan itu untuk mendesak kita dan meloloskan diri"

   Sebelum Podang berkata, empat prajurit yang muncul di penghujung jalan tadipun sudah tiba.

   "Eh, mengapa engkau di sini? "tegur salah seorang dari kelompok yang terdiri dari empat orang prajurit bersenjata lengkap. Untuk menjaga jawaban yang memungkinkan timbulnya kecurigaan dan hal yang berlarut- larut, maka Nambi segera memberi keterangan bahwa dia dan kedua kawannya sedang dalam perjalanan pulang. Keempat prajurit itu mengamati Nambi bertiga dengan tatap pandang yang tajam "Pulang? "seru prajurit yang menegur tadi. Seorang prajurit yang bertubuh kekar dan berkumis lebat.

   "Ya "

   Sahut Nambi.

   "Mengapa kalian berhenti dan bercakap-cakap di sini ?"

   "Kami sedang mempersoalkan peristiwa yang baru saja kami alami"

   "Peristiwa apa?"

   Nambi menceritakan tentang peris wa yang baru dialaminya dengan seorang lelaki yang mencurigakan "Kami berusaha menangkapnya tetapi dia dapat melarikan diri"

   Rupanya prajurit berkumis itu dak secepat itu dapat menerima keterangan Nambi "Rombonganku ini, prajurit2 yang malam ini bertugas untuk meronda keamanan.

   Jika orang itu mencurigakan, mengapa tak engkau laporkan kepadaku? Mengapa harus engkau sendiri yang bertindak menangkapnya?"

   Nambi terkesiap. Ia dapat menyelami arti yang terkandung dalam kata2 prajurit itu. Jelas prajurit itu setengahnya tidak percaya bahkan mencurigai.

   "Ki prajurit"

   Sahutnya "saat itu sebenarnya kami belum mempunyai maksud untuk menangkapnya.

   Kami hanya menegur tetapi dia mengeluarkan kata2 yang tajam menantang.

   Terpaksa kami bertindak.

   Andaikata ki prajurit sekalian berada di sini, tentu akan kami laporkan.

   Tetapi pada saat itu, tempat ini sunyi senyap maka terpaksa bertindak sendiri"

   "Hm"

   Desuh prajurit itu "benarkah keteranganmu itu?"

   "Benar"

   "Tidakkah layak kecurigaanmu terhadap orang itu, kurasakan juga terhadap diri kalian bertiga?"

   "Apa maksudmu?"

   Tiba2 Sora menyeletuk.

   "Dalam malam segelap dan tempat sesunyi ini, aku sebagai prajurit peronda harus merasa curiga terhadap tiga orang yang tengah bercakap-cakap ditengah jalan"

   "Apa yang diterangkan kakangku tadi memang benar"

   Sahut Sora "karena kami sebagai kawula harus merasa ikut membantu keamanan dalam pura ini"

   "Itu alasanmu"

   Kata prajurit berkumis "tetapi apa dasar2 penompang keberanianmu untuk menangkap orang yang engkau sangka mencurigakan itu?"

   Nambi mulai beranjak tetapi Sora sudah menyahut.

   "Kewajiban sebapai kawula Singasari"

   Prajurit itu gelengkan kepala "Se ap orang dapat memberi alasan demikian tetapi dak se ap orang berani ber ndak demikian. Bahwa kalian berani ber ndak tentulah kalian memiliki bekal ilmu kepandaian. Bukankah begitu?"

   "Tidak"

   Cepat2 Nambi yang mencium gelagat kurang baik cepat menjawab "dasarnya hanya karena kami berjumlah tiga dan orang itu hanya seorang. Maka timbullah keberanian kami"

   Prajurit itu gelengkan kepala "Tidak"

   Katanya.

   "menilik perawakan kalian dan apabila keteranganmu tadi benar, maka kalian tentu memiliki ilmu"

   Sebal rasanya telinga Sora mendengar kata2 itu.

   "Adakah suatu kesalahan untuk memiliki ilmu ? Mengapa ki prajurit mendesak dengan pertanyaan begitu ?"

   "Itu kewajiban kami sebagai peronda keamanan"

   Jawab prajurit berkumis "jawablah, bukankah begitu? Bukankah kalian memang pemuda yang berilmu?"

   "Ya. Kami memang pernah belajar ilmu untuk membela diri. Apa hubungannya hal itu dengan kewajiban ki prajurit?"

   Seru Sora pula.

   "Erat sekali "jawab prajurit itu "karena hal itu makin mengharuskan aku untuk membawa kalian ke markas"

   "Hendak menangkap kami ?"

   "Tergantung dari hasil pemeriksaan nanti"

   "Bukankah ki prajurit sudah memeriksa keterangan kami?"

   "Meragukan"

   Ujar prajurit itu "akan kami serahkan kepada atasan kami. Takutkah engkau?"

   "Tidak"

   Jawab Sora "tetapi kami telah memberi keterangan sejujurnya. Masihkan ki prajurit hendak membawa kami?"

   "Wajib prajurit peronda keamanan adalah untuk menangkap se ap orang yang dianggap mencurigakan. Tiga orang pada tengah malam berada di tengah jalan yang sunyi senyap, menimbulkan kecurigaan dan harus diperiksa"

   "Tetapi kami telah memberi keterangan"

   Suara Sora mulai keras.

   "Keterangan dapat dirangkai, cerita dapat dikarang. Tetapi apabila se ap keterangan begitu saja dipercaya oleh petugas keamanan, dakkah keamanan akan dak aman? Jika kalian memang orang baik2, mengapa kalian merasa takut menghadapi pemeriksaan di markas kami?"

   "Bukan takut "sambut Sora "tetapi kami benar2 kecewa. Mengapa kami yang berusaha untuk membantu keamanan justeru hendak ditangkap karena dicurigai sebagai pengacau keamanan?"

   "Engkau harus mampu menyelami tugas kewajiban. Katamu, sebagai kawula kamu wajib membantu menjaga keamanan sehingga orang itu hendak engkau tangkap. Maka kataku, rombonganku sebagai petugas keamanan, wajib menjaga keamanan maka kami harus membawa kalian ke markas"

   "Ah, ki prajurit"

   Nambi menyelutuk "kami bersumpah, bahwa apa yang kami tuturkan tadi memang benar2 terjadi, bukan karangan kami sendiri"

   Prajurit berkumis itu menjawab dengan pertanyaan "Benarkah kalian hendak membatu keamanan ?"

   "Ya"

   "Jika demikian tak pada tempatnya kalian menolak perintah kami. Karena dengan menurut perintah itu kalian berarti membantu petugas keamanan dan keamanan itu sendiri"

   "Tidak"

   Seru Sora. Ia seorang jujur maka ia merasa karena apa yang diceritakan Nambi tadi memang keadaan yang sebenarnya maka ia merasa ndakan prajurit itu menyinggung perasaan "kami hendak pulang, terpaksa kami tak dapat mentaati perintah ki prajurit"

   "Kakang ...."

   Podang berteriak.

   Maksudnya hendak memperingatkan kepada Sora dan Nambi mengapa tak mengatakan saja bahwa mereka ber ga sedang menjalankan tah dari pangeran Ardaraja untuk menyelidiki jejak penjahat yang memasuki keraton itu.

   Tetapi sebelum ia sempat melanjutkan kata-katanya, Sora sudah membentak "Jangan ikut bicara!"

   Nambi menggamit lengan Podang, mengisyaratkan supaya anakmuda itu diam.

   Nambi cepat dapat menangkap mengapa Sora membentak bengis kepada Podang.

   Tentulah Sora kuatir Podang akan mengatakan tentang perintah pangeran Ardaraja itu.

   Maksud Podang memang baik agar urusan segera selesai.

   Tetapi Sora beranggapan lain.

   Belum tentu rombongan prajurit peronda itu mau menerima jawaban sedemikian.

   Sora teringat bahwa tugas keamanan pura, telah diserahkan kepada pasukan yang dibawahi Kuda Panglulut, putera menantu patih Aragani.

   Ia masih belum melupakan peristiwa perkelahian antara Medang Dangdi, Jangkung dan Podang dengan prajurit pengiring Kuda Panglulut.

   Ia mendapat kesan bahwa Kuda Panglulut tak puas atas tindakan pangeran Ardaraja yang membubarkan tindakan Kuda Panglulut terhadap Medang Dangdi bertiga.

   Itulah sebabnya ia membentak Podang agar jangan anak itu mengatakan apa-apa.

   Demikian penilaian Nambi terhadap Sora.

   Ia tahu tetapi Podang makin bingung.

   Ia hendak berusaha menyelesaikan urusan dengan kelompok prajurit peronda, mengapa Sora menghardik dan Nambi pun ikut mencegahnya? Benar2 ia tak mengerti.

   "Ki prajurit, aku dapat menger dan menghargai pendirianmu, walaupun kami harus bersumpah demi apa saja engkaupun tentu tetap tak mau mendengarkan. Tetapi kamipun mempunyai alasan sendiri mengapa tak dapat menerima perintahmu, walaupun engkau memberi alasan apapun juga sebagai dasar perintah penangkapanmu itu"

   "Hm, engkau hendak membangkang perintah prajurit yang mempunyai wewenang dalam melaksanakan tugasnya?"

   "Terserah bagaimana engkau hendak mengatakannya namun aku dan kawan kawanku memang saat ini terpaksa belum dapat memenuhi perintahmu"

   Sahut Sora.

   "Jika begitu terpaksa aku harus bertindak keras"

   Seru prajurit berkumis itu.

   "Aku, tak melarang ki prajurit hendak mengambil ndakan apa saja terhadap kami, kecuali soal perintah penangkapan itu. Dan akupun bebas pula untuk mempertahankan kebebasan diri"

   "Tangkap!"

   Teriak prajurit itu yang terus mempelopori nuju menyergap.

   Karena sudah menentukan putusan, Sora harus melaksanakan dengan sungguh2.

   Dia tak mau terlibat pertempuran yang lama dan menjemukan.

   Selekas menyingkir ke samping, selekas itu pula ia menepis tengkuk prajurit itu dengan tepian telapak tangan, krek ...

   prajurit itupun menjerit lalu terkulai ke tanah.

   Sehabis itu Sora hendak menyelesaikan ke ga prajurit yang lain.

   Pada saat itu ke ga prajurit sedang bergerak untuk mengiku ndakan kawannya prajurit yang berkumis.

   Mereka terkesiap ke ka melihat kawannya sedemikian mudah dan cepat, dapat ditepis rubuh oleh Sora.

   Namun mereka sudah terlanjur maju maka tak sempat pula mereka untuk menarik diri.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Krak, terjadi benturan keras antara dua kerat tulang tangan Sora dan salah seorang prajurit.

   Prajurit itu menjerit, terbungkuk-bungkuk memegang tangannya menyurut ke belakang.

   Melihat itu pecahlah nyali kedua prajurit yang lain.

   Mereka segera lari untuk meminta bantuan.

   Podang hendak mengejar tetapi disambar Sora "Jangan mengejar.

   Kita tak bermusuhan dengan mereka"

   "Hm, mereka tentu kawanan prajurit dari raden Kuda Panglulut"

   Gumam Podang "aku hendak membalas cambukan yang telah mereka berikan kepadaku tiga hari yang lalu itu"

   "Mereka tidak bersalah"

   "Hah?"

   Podang membelalak "aneh, mengapa kakang selalu membawa sikap yang tak dapat kumengerti"

   "Tidak ada yang aneh dalam ucapanku"

   Kata Sora "keanehan itu engkau rasakan karena engkau berada dalam pandangan yang berlawanan atau hanya pada sebelah sisi saja.

   Mereka sesungguhnya prajurit yang tahu akan tugas kewajibannya.

   Andai kata engkau menjadi salah seorang dari mereka tentulah engkau juga tak semudah itu percaya akan keteranganku dan kakang Nambi.

   Tentulah engkau curiga dan menangkap kita.

   Coba lepaskan dirimu dari sisi yang sebelah itu dan berdirilah di tengah2.

   Tidakkah engkau dapat membenarkan tindakan mereka?"

   Podang termangu.

   "Walaupun pada saat ini secara kebetulan kita berada pada fihak yang berlawanan dengan pendirian mereka, tetapi sebagai seorang yang jujur, kita wajib memuji akan kebenaran ndakan mereka"

   "Jika mereka benar, berarti kita yang salah? "tanya Podang.

   "Aku tak mengatakan kita bersalah walaupun kukatakan mereka benar. Mereka melakukan kewajiban dalam tugasnya, itu yang kukatakan benar. Dan kitapun karena mempunyai kesulitan dalam menjalankan suatu tugas, pun harus merasa benar telah menolak perintah mereka"

   "Kalau mereka benar dari kitapun benar, lalu siapa yang salah?"

   Rupanya Podang masih belum puas.

   "Keadaan, tempat dan waktu yang salah"

   Sahut Sora "setelah tugas kita selesai dan aku bertemu pula dengan mereka dalam keadaan seperti saat ini, aku tentu mau menurut perintah mereka. Disini yang diartikan benar, hanya dalam batas lingkup kepenting-keamanan negara"

   "Adi berdua"

   Ba2 Nambi menyela "baiklah kita lekas2 nggalkan tempat ini. Apabila prajurit2 itu datang pula dengan membawa bala bantuan yang berjumlah besar, dakkah kita akan mengalami kesulitan yang lebih besar lagi?"

   Sora dan Podang mengiakan. Diam2 Podang menaruh rasa senang dan kagum akan kebijaksanaan ucapan Sora "Kakang Sora"

   Katanya "dalam menguraikan masalah ilmu bjertempur tadi, engkau belum selesai. Apakah hal kedua yang belum engkau katakan itu?"

   Sambil melanjutkan langkah, Sorapun memberi keterangan "Hal yang kedua yalah tentang ilmu yang terdapat dalam saat2 melakukan pertempuran.

   Podang, segala ilmu kanuragan dan jaya-kawijayan itu ataupun ilmu apa saja, hanya merupakan petunjuk dan penyuluh.

   Ilmu itu merupakan bekal kita dalam menempuh kehidupan yang kita kehendaki.

   Dan ilmu itu akan benar2 membuahkan kenyataan yang berguna apabila kita mampu memancar dan menggunakannya dengan tepat.

   Dalam cara menggunakan ilmu, yang pokok yalah kecerdasan pikiran kita.

   Kecerdasan yang dilambari kewaspadaan yang tajam, akan mampu melahirkan suatu tindakan yang tepat untuk menguasai lawan.

   Kemenangan dalam suatu pertempuran, kebanyakan ditentukan pada detik2 sekejab, dimana dengan kecerdasan dan kewaspadaan kita cepat dapat mengambil keputusan, gerak apa yang harus kita berikan kepada lawan agar dia mati langkah" ~*~o*dewikz*ismoyo*mch*~*~ Baginda Kertanagara tersentak dari kemenungan ke ka seorang sentana dhalem meghadap dan menghaturkan laporan bahwa pa h Aragani mohon menghadap.

   Bagindapun segera menitahkan patih menghadap.

   Atas tegur baginda, pa h Aragani menghaturkan sembah "Kedatangan hamba ke hadapan duli tuanku saat ini tak lain karena hamba hendak meghaturkan sebuah berita penting, gusti"

   "Hm"

   Rupanya baginda masih segan berujar bahkan nadanya memancarkan percik2 ke dak- senangan atas kehadiran patih itu.

   "Berita tentang kaca wasiat dari gusti puteri sang ayu dyah Tribuana, gusti"

   "O "baginda terhenyak bagai induk ayam melihat burung wulung "apa katamu?"

   "Hamba mohon tuanku perkenankan untuk menghaturkan berita tentang kaca wasiat yang hilang itu"

   Serentak baginda menegakkan tubuh yang lunglai dan ber tah agar pa h Aragani segera menghaturkan laporan "Adakah sudah terdapat hasil tentang benda itu?"

   Ujar baginda.

   "Hampir gus , tetapi rasanya pas akan berhasil"

   Kemudian Aragani menghaturkan keterangan tentang seorang pemuda digdaya yang sanggup menemukan kaca itu. Merah wajah baginda mendengar keterangan itu.

   "Tidak! Aku tak mau mendengar lagi segala kata2 yang tak berbuk . Tidakkah sudah beberapa resi, pandita yang sidik yang ku tahkan datang tetapi mereka tak ada yang mampu menemukan tempat beradanya kaca itu? Hm, Aragani, jangan engkau bermain-main dihadapanku!"

   Serta merta patih Aragani menghatur sembah.

   "Ampun beribu ampun, duli tuanku. Memang hambapun cukup mengetahui akan segala hasil yang diberikan para nujum itu. Hambapun menolak untuk menerima kesanggupan anakmuda itu tetapi dia mendesak bahkan berani menghaturkan pernyataan yang tegas di hadapan hamba, sehingga hambapun memerlukan menghadap paduka, gusti"

   Baginda hanya diam.

   "Dia menyatakan kepada hamba, bahwa, apabila dia tak mampu mendapatkan kaca wasiat tuan puteri, dia bersedia untuk dipenggal lehernya"

   "Hah?"

   Baginda terperangah "dia berani menghaturkan janji sedemikian?"

   "Benar gusti"

   "Hm"

   Kembali baginda mendesuh dan berdiam diri. Selang beberapa saat kemudian baru baginda bertitah.

   "jika memang demikian, titahkan dia masuk menghadap kemari"

   Pa h Aragani segera mengundurkan diri dan tak lama kemudian menghadap pula dengan diiringi seorang pemuda yang bertubuh tegap. Pemuda itupun menghamenghaturkan sembah kehadapan baginda.

   "Apakah engkau yang menyatakan sanggup untuk menemukan kaca milik tuan puteri ?"

   Tah baginda.

   "Demikian, gusti junjungan hamba yang mulia"

   "Siapa namamu?"

   "Hamba Kuti, berasal dari lereng gunung Bromo, gusti"

   "Apa tujuanmu datang ke pura Singasari?"

   "Hamba ingin ikut dalam sayembara"

   "Hm, rupanya engkau tentu mempunyai ilmu yang tinggi."

   "Tidak, gusti. Apa yang hamba miliki hanyalah sekedar ilmu yang banyak dimiliki para anakmuda di desa hamba. Memang hamba layak menerima pidana paduka karena berani ikut serta dalam sayembara itu. Bekal hamba tak lain hanyalah suatu tekad untuk mengabdi kepada kerajaan paduka"

   Diam2 baginda berkenan dalam ha mendengar kata2 Ku . Bagindapun tahu bahwa kata-kata itu hanya bersifat merendah belaka dan tentulah Kuti memiliki ilmu kedigdayaan yang hebat.

   "Baiklah"

   Tah baginda "memang demikianlah tujuan sayembara itu, menghimpun para muda agar masuk kedalam keprajuritan. Lain dari itu, benarkah engkau dihadapan pa h Aragani menyatakan mampu menemukan kaca wasiat gusti puteri yang hilang itu?"

   "Benar, gusti"

   "Dan engkaupun menyatakan bahwa apabila engkau tak berhasil menemukan kaca itu engkau bersedia menerima hukuman pancung?"

   "Demikian gusti"

   Sembah Kuti.

   "Anakmuda"

   Ujar baginda "engkau tahu bahwa pernyataanmu itu engkau haturkan dihadapan sang nata?"

   "Hamba tahu, gusti"

   "Bahwa aku pernah menitahkan beberapa resi pandita untuk menujumkan benda itu tetapi gagal?"

   "Hambapun mendengar, gusti"

   "Bahwa jika beberapa resi pandita yang sidik telah gagal, menunjukkan betapa gawat beban itu ?"

   "Hamba menyadari, gusti"

   "Bahwa janjimu itu harus engkau tepati apabila engkau juga gagal?"

   "Hamba maklum, gus . Bagi seorang anak desa seper diri hamba ada kehormatan yang dapat hamba songsongkan kecuali batang kepala hamba"

   "Baik, engkau berjiwa ksatrya"

   Seru baginda "dan jangan engkau berkecil ha . Akupun akan memberi imbalan kepada batang lehermu itu. Apabila engkau benar2 mampu menemukan benda itu maka engkau akan kuberi kelungguhan sebagai tumenggung dan isteri yang cantik"

   Serentak Ku mencium kaki sang nata "Duh, junjungan yang hamba muliakan. Betapa besar ganjaran yang paduka limpahkan atas jasa hamba yang sekecil itu. Ampun gus , namun bukan itu yang hamba cita-citakan"

   "Engkau tak ingin menjadi tumenggung? Lalu apa yang engkau kehendaki ? "

   "Hamba hanya seorang anak desa yang ingin menyumbangkan tenaga hamba kebawah duli paduka"

   "Hanya itu?"

   "Demikianlah gusti"

   "Bagus, persembahanmu kuterima tetapi engkau pun harus membuk kan apa yang engkau janjikan"

   "Hamba tentu akan melaksanakan tah paduka"

   Tampak baginda mengerut dahi sejenak lalu ber tah "Tetapi dak, Ku .

   Aku seorang nata, tak boleh ingkar akan ucapanku.

   Walaupun belum kuucapkan tetapi dalam ha aku sudah berjanji, barangsiapa yang dapat menemukan kaca wasiat itu, dia akan kuganjar.

   Karena engkau tak menghendaki pangkat, lalu katakanlah, apa yang engkau kehendaki ?"

   "Ah, hamba tak menghendaki suatu apa"

   "Tidak, Ku "

   Ujar baginda agak keras sehingga pa h Aragani dan Ku tergetar "jika engkau menolak ganjaran yang akan kuberikan menurut permohonanmu, berar engkau menyinggung keluhuranku sebagai raja!"

   Gemetar Ku mendengar tah baginda itu.

   Serentak dia menyembah "Mohon kiranya paduka melimpahkan ampun kepada diri hamba yang hina dina.

   Se kpun hamba tak berani memiliki rasa sedemikian terhadap paduka, junjungan yang mulia dari seluruh kawula Singasari.

   Sebagai seorang kawula paduka, hamba ingin melaksanakan cita2 hamba untuk mengabdi kepada kerajaan paduka.

   Bagaimana mungkin hamba akan menyinggung keluhuran paduka yang hendak hamba junjung dalam pengabdian hamba itu"

   "Cita2 dan ndakanmu itu menandakan bahwa engkau berjwa ksatrya. Tetapi apabila engkau menolak keputusanku untuk memberi ganjaran berar engkau menyinggung keluhuran dari seorang raja yang harus menetapi sabda"

   "Ampun gusti"

   Sembah Kuti "jika paduka menitahkan demikian, hambapun akan mentaati. Tetapi gusti, adakah paduka takkan murka atas permohonan hamba ini ?"

   "Tidak"

   Ku menghela napas, sejenak mengerling ke arah pa h Aragari yang termenung-menung mendengarkan percakapan tadi, kemudian berkata "Gus Junjungan para kawula Singasari yang mulia, kiranya permohonan hamba tak lain hanya ....

   hanya mohon diperkenankan menghadap gusti hamba sang dyah ayu puteri Teribuana"

   Patih Aragani terbelalak dan mencurah pandang ke arah Kuti.

   "Apa sebab engkau mengajukan permohonan begitu?"

   Tegur baginda.

   "Ampun gus "

   Sembah Ku "bukan hamba bermaksud menyinggung keluhuran paduka, tetapi hamba hanya mohon diperkenankan untuk meletakkan persoalan itu pada saluran yang layak.

   Bahwa kaca wasiat itu telah paduka perkenankan kepada gus puteri maka gus puteri Teribuanalah yang menjadi pemilik yang sah.

   Hamba dengan segala kegembiraan dan terima kasih yang tak tertara akan menerima ganjaran apapun dari gus puteri.

   Hanya demikian permohonan hamba, gusti"

   Pa h Aragani terkejut.

   Hampir ia tak percaya akan pendengarannya.

   Bagaimana Ku mengajukan permohonan seper itu ! Bagaimana mungkin seri baginda akan mengabulkannya! Serentak mbul ingatan pa h Aragani untuk memberantas permohonan Ku dengan kata2 yang tajam agar apabila baginda mutka kepada Ku , baginda takkan menimpakan kemurkaan kepadanya pula.

   Tetapi pada saat dia hendak mengangakan mulut ....

   "Ya "

   Ba2 baginda ber tah "karena aku sudah mengatakan akan meluluskan apapun permohonanmu karena permohonanmu itu cukup beralasan maka akan ku tahkan prajurit untuk membawa engkau menghadap puteri"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pa h Aragani terlongong-longong.

   Ku terkejut lalu gopoh menghaturkan sembah terima kasih..Baginda pun menitahkan prajurit u uk mengawal Ku ke keputren menghadap puteri Teribuana.

   Sepanjang perjalanan melalui lorong dan taman yang indah asri, semangat Ku melayang-layang di Inderaloka.

   Betapa indah, tenang dan asri meresaplah ha segala bangunan, peralatan, taman, kolam bahkan pohon2 bunga yang berada dalam keraton Singasari.

   Semangat Ku yang seolah melayang-layang di alam seribu-impian itu, ba2 tersentak buyar ketika prajurit berseru "Sudah sampai di keputren"

   "O "

   Kuti gelagapan.

   "Tunggu disini, aku akan melapor"

   Prajurit terus masuk ke dalam gedung keputren.

   Ku menunggu dengan ha berdebar-debar.

   Bagaimana nan apabila berhadapan dengan puteri? Adakah puteri berkenan meluluskan permohonannya ? "Ah "ia mendesuh dan mendesah dalam usahanya untuk melepaskan diri dari libatan kabut yarg tebal.

   Kabut lamunan yang menyekap seluruh indera dan perasaannya ke alam kekaburan.

   "Ku , apa ar hidup seorang lelaki apabila tak berani menempuh bahaya dalam mencapai cita2 idamannya ....."

   Terngiang kata-kata yang mendebur-debur bagai ombak dalam ha nya yang sedang diamuk prahara.

   "Mari masuk"

   Ba2 terdengar suara prajurit berseru. Ku terkejut. Ia tak tahu bilakah prajurit itu datang dihadapannya. Bergegas ia mengikuti langkah prajurit kedalam puri keputren.

   "Kita tunggu di ruang ini"

   Tiba2 pula prajurit itu berhenti di sebuah ruang pendapa.

   Kuti pun mengikuti tindakan prajurit yang duduk bersila di lantai.

   Selanjutnya dia tak mau menyerahkan diri dihanyut lamunan melainkan membenahi perasaannya untuk menghadapinya sang dyah ayu.

   Saat itu yang dihadapinya suatu kenyataan, bukan impian pula.

   Kenyataan yang akan membuka segala kemungkinan dari seribu impian.

   Haruskah dia menyurut mundur ketika sudah berada di ambang gerbang seribu kemungkinan itu? Tidak! Walaupun ia sudah mengemasi diri, lahir dan ba n, namun ia tetap tergetar perasaannya ke ka sang dyah ayu puteri Teribuana muncul di ruang itu, Can k dan anggun bagaikan surya bersinar di pagi hari.

   Prajurit segera menghaturkan sembah.

   Kuti pun gopoh mengikuti.

   Kemudian dia menunduk.

   "Prajurit, inikah yang engkau haturkan sebagai pemuda yang diterima menghadap oleh ramanda baginda itu?"

   Terdengar puteri Teribuana berujar.

   "Demikian titah seri baginda yang mulia, gusti"

   Sembah prajurit.

   "Baiklah"

   Ujar sang puteri pula "Ki anom, benarkah engkau telah menghadap ramanda baginda untuk menghaturkan kesanggupanmu mencari kaca wasiat itu?"

   Perasaan Kuti seperti melayang-layang di alam lain. Entah apa namanya karena dia belum pernah mengalaminya. Inderaloka? Ah, dia belum pernah tahu, bagaimana ia berani meyakinkan diri tentang alam loka itu ? Ia bingung menamakan tetapi merasakannya.

   "Hai, gusti puteri bertanya kepadamu"

   Prajurit mengusiknya sehingga Kuti gelagapan.

   "Demikian diluhurkan tah paduka, gus "

   Akhirnya setelah berusaha untuk menenangkan diri, dapat juga Kuti merangkai kata2 jawaban.

   "Benarkah engkau dapat menemukannya?"

   "Dihadapan yang mulia seri nata junjungan seluruh kawula Singasari, hamba telah mempertaruhkan kepala hamba untuk menebus kegagalan dari kesanggupan hamba, gusti"

   "Baik"

   Kata puteri "lalu mengapa engkau menolak ganjaran ramanda baginda apabila engkau berhasil melaksanakan janjimu ?"

   "Hamba bukan menolak, gus . Melainkan hamba mohon agar hamba diperkenankan hanya menerima ganjaran dari gusti sebagai pemilik kaca wasiat itu"

   Puteri Teribuana kernyitkan dahi "O, engkau menghendaki supaya aku yang memberi ganjaran kepadamu?"

   "Sesungguhnya hamba tak menginginkan ganjaran apa2, karena hamba anggap apa yang hamba akan lakukan itu, hanyalah suatu kewajiban dari seorang kawula. Namun karena seri baginda tetap menitahkan hamba agar menyebutkan ganjaran apa yang hamba kehendaki, terpaksa hambapun mentaati titah baginda"

   "Ganjaran apa yang engkau kehendaki ?"

   Berdebar keras hati Kuti ketika mendengar ucapan sang puteri.

   Saat2 seperti itulah yang dinantikannya sejak ia melihat wajah sang puteri.

   Hampir sang mulut tak kuat menahan luap hatinya tetapi untunglah pikirannya masih sadar.

   Bahwa setiap tindakan yang gegabah tentu akan meruntuhkan semua rencana.

   Dia harus mau melihat kenyataan bahwa yang dihadapinya itu adalah puteri Teribuana, puteri baginda Kertanagara yang memerintahkan kerajaan Singasari yang besar.

   Salah ucap badan pasti binasa.

   "Gus , hamba hanya seorang kawula yang hina, sudah suatu rahmat yang besar bagi diri hamba apabila paduka berkenan memberi ganjaran. Bagaimana hamba berani memohon sesuatu kehadapan paduka ?"

   "Aku merasakan sesuatu yang menyedihkan ha ku atas hilangnya kaca wasiat itu. Memang akupun telah berjanji dalam ha . Barangsiapa yang dapat menemukah benda itu pas akan kuganjar"

   Hampir meledak dada Ku mendengar ucapan puteri, namun ia berusaha untuk menekannya "Ah, bahwa gus memperkenankan hamba untuk mencari kaca wasiat itu, sudah hamba anggap sebagai suatu ganjaran besar.

   Bagaimana mungkin hamba masih mengharap ganjaran yang lain lagi.

   Dan memang hamba tak mengharapkan suatu apa, gusti"

   "Jika begitu"

   Ujar puteri "akupun menolak kesanggupanmu"

   "Gus "

   Ku seper disambar pe r kejutnya. Ia tak mengira bahwa puteri lebih tegas keputusannya daripada baginda "hamba .... hamba mohon ampun, gusti"

   "Engkau tak bersalah"

   Kata puteri Teribuana "asal engkau sudah menyadari bahwa engkau wajib menghormati pendirianku. Dengan demikian barulah aku dapat menghargai bantuanmu"

   Ku tercengung. Ia ingat akan sikap dan ucapan seri baginda tadi. Dibalik rasa kagum atas peribadi sang puteri, diam2 Kutipun girang karena maksud hatinya mendekati kenyataan.

   "Baiklah, gusti, mana2 titah paduka pasti akan hamba junjung "katanya kemudian.

   "Katakan, ganjaran apa yang engkau kehendaki? Bukankah ramanda baginda bersedia mengganjarmu pangkat tumenggung dan harta benda tetapi engkau menolak?"

   "Demikian, gusti"

   "Lalu apa yang engkau kehendaki?"

   Ku menghela napas dan mengeliarkan pandang ke sekeliling. Dua dayang duduk bersila di kedua sisi puteri. Dan prajurit yang membawanya tadi pun masih duduk disebelahnya.

   "Gus "

   Ku menghaturkan sembah "jika gus memperkenankan, hamba mohon agar apa yang hamba hendak haturkan kehadapan gusti ini, tiada orang yang mendengarkan"

   Terkejut puteri mendengar persembahan kata itu.

   Namun karena tuntutan keinginannya untuk segera mendapatkan kembali kaca wasiat, puteripun meniadakan segala perasaan dan mengabulkan permintaan Kuti.

   Puteri lalu, menitahkan kedua dayang supaya keluar, demikian pula prajurit yang mengantar Kuti itupun disuruh menunggu diluar.

   "Sekarang katakanlah apa permintaanmu itu"

   Titah puteri. Sebelum berkata Ku kembali menghaturkan sembah "Gus , sebelum mempersembahkan permohonan, lebih dahulu hamba mohon paduka berkenan melimpahkan ampun apabila dalam kata2 permohonan hamba itu tak berkenan di hati paduka"

   "Telah kukatakan"

   Jawab puteri "bahwa aku akan meluluskan ganjaran apapun menurut yang engkau mohon"

   "Gusti, dapatkah hamba menghibur hati hamba akan kepastian titah paduka?"

   "Ki anom"

   Ujar puteri "aku adalah puteri raja. Sabda pandita ratu pun menjadi keutamaan yang yang wajib kulaksanakan"

   "Duh gusti ampunilah kesalahan hamba"

   "Cukup"

   Seru puteri "sekarang katakanlah permohonanmu itu"

   Ku pun mengemas ha dan pikirannya dalam kebulatan tekad bahwa saat itu dia harus melaksanakan apa yang menjadi tuntutan ha nya "Gus , bukan pangkat, bukan harta, bukan pula kemewahan hidup yang hamba inginkan apabila paduka berkenan hendak memberi ganjaran kepada hamba.

   Tetapi hanya sepatah kata dari paduka"

   Puteri Teribuana terkesiap "Sepatah kata dari aku ? Apa maksudmu ?"

   "Benar, gus , sepatah kata paduka. Maksud hamba semoga ucapan paduka itu dapat hamba junjung sebagai penyuluh yang akan menerangi perjalanan hidup hamba"

   Puteri. Teribuana makin heran "Aku benar2 tak menger maksudmu, ki sanak. Cobalah engkau katakan yang jelas"

   "Gus "

   Dengan sekuat ha Ku benar2 telah membulatkan tekad "tak lain hamba hanya mohon gus berkenan melimpahkan sabda, bagaimanakah kiranya priagung yang kelak gus kenankan menjadi sisihan paduka"

   Merah wajah sang puteri mendengar pertanyaan itu. Hampir ia murka dan mendamprat kelancangan Kuti. Tetapi karena puteri sebelumnya sudah berjanji takkan murka dan meluluskan permohonan Kuti, terpaksa puteri menekan perasaannya.

   "Duh, gus junjungan hamba yang mulia"

   Serta merta Ku pun menghatur sembah "ampunilah diri hamba yang telah berucap kurang tata, berani mengajukan pertanyaan itu. Sekira paduka tak berkenan, hamba mohon pidana"

   Sebagai seorang puteri yang sudah menjelang dewasa, tersentuhlah perasaan puteri Teribuana.

   Nalurinya sebagai seorang puteri, cepat dapat menangkap apa sesungguhnya yang terkandung dalam ha Ku .

   Namun sebagai puteri utama yang tetap menjunjung keutamaan, puteripun tetap pada janjinya "itukah yang engkau kehendaki?"

   "Demikian gusti"

   "Apa guna engkau mengetahui hal itu?"

   "Bagi hamba hal itu lebih penting dari surya dan rembulan. Surya hanya menerangi pada siang hari dan rembulan pada malam hari. Tetapi hal itu akan selalu menerangi hati hamba siang dan malam"

   Makin tersentuh ha puteri, makin jelas puteri mengetahui maksud ha Ku . Namun ia tetap tak murka.

   "Baiklah, aku akan menetapi janjiku kepadamu"

   Ujar -puteri "sebagai seorang puteri raja aku harus dipersunting oleh ksatrya linuwih dan luhur"

   "Terima kasih gus "

   Ku menghaturkan sembah "kiranya tah paduka akan menjadi pelita yang akan menerangi hati hamba dalam mengarungi tujuan hidup hamba"

   "Ki anom"

   Tah puteri "jangan engkau menyiksa diri untuk meraih rembulan. Paserahkan suratan hidupmu kepada Hyang Batara Agung dan terimalah dengan segala puji syukur apapun yang dilimpahkan-NYA"

   "Terima kasih gusti"

   Sembah Kuti "sekalipun ketentuan terserah kepada Hyang Widdhi, tetapi Hyang Widdhi memperkenankan manusia untuk mengharap, bercita-cita dan berusaha. Oleh karena itu hamba akan melaksanakan kemurahan berkah Hyang Widdhi itu selayaknya"

   Puteri Teribuana tak menanggapi lebih lanjut. Setelah memperingatkan Ku akan kesanggupannya, puteripun segera masuk kedalam keputren. Kuti keluar dengan hati menggunduk gunung harapan. Ia merasa hidupnya berisi sesuatu. ~~o-dewk-ismoyo-mch-~~

   Jilid 18 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I Ku menghaturkan permohonan kehadapan baginda Kertanagara, demi mengamankan usahanya untuk mendapatkan kaca wasiat, supaya diperkenankan memohon bantuan sekelompok pasukan prajurit pilihan untuk melindungi dirinya.

   Rasa heran terselip dalam tah baginda Kertanagara yang bertanya "Keamanan ? Apakah engkau tak merasa aman dalam pura kerajaan Singasari? Dimana-kah engkau hendak mencari kaca itu ?"

   "Mohon paduka berkenan melimpahkan ampun atas diri hamba yang hina dina ini, gus "

   Sembah Ku "saat ini menjelang akan diselenggarakannya sayembara pemilihan senopa sebagaimana yang paduka tahkan, banyaklah ksatrya2 dari berbagai penjuru telatah kerajaan paduka yang berbondong-bondong datang ke pura kerajaan.

   Hamba tak mencurigai orang atau golongan tertentu tetapi demi mengamankan benda mus ka yang menjadi buah kesayangan gus hamba sang dyah ayu gus puteri Teribuana, hamba merasa amat berdosa sekali apabila benda itu sampai ter mpa sesuatu yang tak hamba inginkan.

   Lebih baik menjaga daripada harus menderita sesuatu yang tak terduga-duga"

   Baginda menyetujui tetapi baginda pun menegaskan tentang janji Ku apabila tak dapat menemukan kaca wasiat itu.

   "Hamba akan mempersembahkan leher hamba ke bawah duli paduka, gusti"

   Baginda mengangguk dan menitahkan pa h Kebo Anengah supaya mempersiapkan prajurit untuk melindungi keamanan Kuti.

   Demikian setelah mengundurkan diri dari hadapan baginda Ku pun diperintah pa h Kebo Anengah supaya menunggu di Balai Witana.

   Malam itu Ku segera bekerja, untuk melindungi keamanannya, patih Kebo Anengah memerintahkan dia berada di asrama prajurit.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam kesempatan berjalan seiring dengan pa h Kebo Anengah, pa h Aragani mengemukakan tentang ketidak-puasannya terhadap sikap Kuti yang seolah tak mempercayai keamanan pura.

   "Tetapi bukankah engkau juga menyetujui? Dan bukankah kau yang membawanya ke hadapan baginda?"

   "Benar"

   Sahut Aragani "tetapi aku tak senang dengan permohonannya tadi. Tetapi karena sudah terlanjur aku yang membawanya menghadap baginda maka terpaksa aku pun harus ikut bertanggung jawab. Itulah yang hendak kuperbincangkan dengan kakang patih"

   "Soal keamanan Kuti?"

   "Ya. Kakang tentu menilik penjagaan keraton karena tumenggung Bandupoyo sedang pergi"

   Dengan lidahnya yang licin dapatlah Aragani menggelincirkan pembicaraan ke arah yang lain.

   "Lurah Kadru dapat kupercayakan tugas untuk melindungi keamanan Ku "

   Kata pa h Kebo Anengah "dan menantu adi, Kuda Panglulut, sebagai pimpinan ronda keamanan pura, tentu dapat memberi bantuan"

   Itulah yang diharap pa h Aragani. Diam2 ia gembira "O, bagus, kakang pa h. Rencana kakang itu amat melegakaan hatiku"

   Katanya. Demikian keduanya segera berpisah. Se ba di kepa han, pa h Aragani melihat Kuda Panglulut, putera menantunya, sudah menunggu. Pemuda itu ingin sekali mendengarkan keputusan baginda tentang diri Kuti.

   "Baginda menerimanya"

   Kata Aragani lalu menuturkan apa yang telah berlangsung di balairung keraton.

   "Hm, Ku semakin tamak. Mengapa rama menerima orang semacam itu?"

   Kuda Panglulut setengah menyesali rama mentuanya.

   "Kulihat Kuti itu cerdas dan sakti. Sebenarnya aku ingin mendapatkannya sebagai orang bawahanku."

   "Tetapi ternyata dia memiliki cita2 besar untuk meraih kedudukan tinggi, rama"

   "Bagaimana engkau mempunyai kesan demikian?"

   "Pertama, dia tak mau memberitahukan tempat penyimpanan kaca wasiat itu kepada rama. Karena apa? Bukankah karena dia tak ingin rama yang mendapat jasa?"

   "Ya"

   Aragani mengangguk.

   "Kedua, dia sendiri mohon bantuan rama agar dapat berhadapan langsung dengan baginda. Tidakkah kalau dia berhasil mendapatkan kembali kaca itu baginda tentu akan mengganjarnya pangkat yang tinggi"

   "Hm"

   Aragani mendesuh.

   "Dengan sikap yang ditunjukkan itu jelas dia tak ingin menjadi kadehan rama"

   "Bedebah!"

   Teriak Aragani "ya, engkau benar Panglulut. Bagaimana pendapatmu?"

   "Adakah rama mengidinkan hamba untuk menghaturkan pendapat hamba?"

   "Ya "

   "Lebih baik menjaga daripada mengoba . Lebih baik mencabut sebelum pohon itu berakar. Demikianlah pendapat hamba, rama"

   "Bagus, puteraku"

   Seru Aragani "memang pendapatmu itu sesuai dengan angan-anganku. Tetapi apakah tenaga seperti Kuti itu tak sayang kalau kita buang begitu saja?"

   "Dia terlalu pintar dan cerdik sehingga sukar untuk mengharap kesetyaannya. Masih banyak, rama, tenaga2 yang tak kalah ilmunya dengan Kuti dan yang bersedia bekerja kepada kita"

   "Benar, angger "sahut Aragani "dalam sayembara nan tentulah kita akan dapat memilih jago2 yang sakti. Lalu bagaimana rencanamu terhadap Kuti?"

   Kuda Panglulut tak cepat menyahut. Setelah berdiam diri beberapa saat, barulah dia berkata "Ah, tetapi jalan itu amat berat dan berbahaya, rama"

   "Hm"

   Desuh Aragani "tak apa, Panglulut, cobalah engkau haturkan kepada rama"

   "Ini hanya suatu rencana, rama. Terserah kepada tah rama. Kalau tak setuju, hambapun bersedia melaksanakannya"

   "Hm"

   "Dalam taraf seper sekarang, ada lain jalan kecuali harus menempuhnya dengan kekerasan. Yang pen ng dapat merebut kaca itu namun apabila perlu, pun terpaksa harus mengorbankan jiwa Kuti"

   Aragani tak terkejut mendengar rencana itu, karena diapun sudah menduga akan rencana semacam itu.

   Namun ia masih bingung memikirkan bagaimana melaksanakan rencana itu "Ya, memang tiada lain jalan kecuali dengan cara itu.

   Tetapi tidakkah amat berbahaya? Dan siapakah yang harus melakukan rencana itu? Ingat, Panglulut, jangan sampai peristiwa itu melibatkan diri rama dan engkau"

   


Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Pedang Inti Es Karya Okt Pedang Inti Es Karya Okt

Cari Blog Ini