Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 23


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 23



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Persiapan yang kumaksudkan itu tak lain adalah keheningan indriya ke arah penyatuan cipta dengan keinginan.

   Timbulnya daya mantra yang disambut dengan persiapan itu, pas akan melahirkan suatu hasil yang hebat "

   Teringat akan pesan gurunya, Wijayapun segera berkemas melakukan persiapan.

   Ia membebaskan diri dari lingkungan dan keadaan saat itu, mencampakkan getar2 perasaan atas hasil Kuti yang mengejutkan dan melelapkan segenap indriya dalam endap keheningan.

   Dan tatkala merentang busur, iapun segera pejamkan mata mengucap mantra aji Danurwenda.

   Dan ia mengakhiri puji mantra itu dengan memanjatkan doa, memohon restu kepada dewata.

   Ke ka anakpanah dilepaskan, Wijaya pejamkan mata pula, mengungkung daya cipta agar masih terhimpun dalam kemanunggalannya.

   Serasa gunung roboh, bumi bergetar manakala pecah ledakan sorak sorai yang dahsyat "Hebat! Hebat sekali ....

   ! "

   Hamburan pekik teriakan yang memecah telinga sedahsyat pasukan yang menyerbu musuh di medan laga. Wijayapun membuka mata.

   "Benar2 luar biasa!"

   Seru sekelompok penonton.

   "Anakpanahnya tepat mengenai tenggorokan sasaran "

   "Huh, dak hanya begitu, pun anakpanah yang pertama hinggap di tenggorokan, ikut terpanah pecah "

   "Ya, anakpanah itu membelah anakpanah orang lalu menembus tenggorokan sasarannya ....

   "

   "Luar biasa .....! "

   Demikian hingar bingar puji dan teriakan yang menggempa di alun-alun saat itu.

   Bahkan beberapa penonton yang sudah terlanjur tertawan ha nya kepada Wijaya, melonjak-lonjak seper anak kecil.

   Ada pula yang menyerbu kedalam gelanggang dan menari-nari.

   Para prajurit penjaga sukar mengatasi bahkan mereka seolah membiarkannya saja karena menganggap lomba panah itu sudah selesai.

   Memang lomba panah telah usai dan acara yang ke ga segera akan dimulai.

   Saat itu surya sudah sepenggalah ngginya.

   Panas bagaikan kala yang menyengat-nyengat tubuh.

   Namun tampaknya rakyat tetap pantang menyerah.

   Mereka menganggap, bahwa peris wa semacam itu, setaraf dengan penobatan raja bobotnya.

   Peris wa yang jarang bahkan hampir tak pernah diselenggarakan selama berpuluh tahun.

   Karena tak memerlukan tempat yang luas maka acara yang ke ga itu dilangsungkan di atas sebuah panggung.

   Hal itu dimaksudkan agar rakyat yang menyaksikan dapat melihat dengan jelas.

   Panggung itu telah dipersiapkan tepat dimuka bangsal agung.

   Terbuat dari papan kayu, ber ang setombak tingginya Para ksatrya pengikut lomba, diberi tempat di samping panggung itu.

   Mereka akan dipanggil satu demi satu ke atas panggung.

   Perobahan persiapan tempat itu menimbulkan kegaduhan kecil dimana rakyat yang semula berdiri disepanjang tepi alun-alun, beralih mengelilingi panggung itu.

   Terjadi desak mendesak untuk mencari tempat yang paling depan dan lapang.

   Beberapa saat kemudian bendepun dicanangkan.

   Suara berisik dan hingar bingar, serentak tertelan dalam kesunyian yang senyap.

   Dan tak lama naiklah demang Widura untuk mengumumkan bahwa acara ketiga dari lomba sayembara akan dimulai.

   Kemudian ditutup dengan suatu pengumuman, bahwa mengingat hari sudah amat siang, maka lomba hari pertama yang terdiri dari tiga buah acara itu, akan ditutup.

   Dilanjutkan besok pagi sampai selesai.

   Tampaknya rakyat sudah kepanasan.

   Mereka segan memberi sambutan tepuk sorak atas pengumuman itu.

   Yang diharapkan, agar acara lomba itu segera dimulai saja.

   Terdengar sangkakala meraung-raung, mengalunkan nada panggilan perang.

   Bendepun bertalu- talu membangkitkan semangat.

   Suasana meluap meriah.

   Jantung se ap penonton serasa berdetak- detak terdebur irama kesiapan prajurit2 mengayun langkah menuju ke medan perang.

   Apakah yang terjadi dan akan berlangsung? Mengapa terdengar bunyi sangkakala dan benda serta genderang perang yang sedemikian menggelorakan semangat? Tiada seorangpun yang tahu menjawab.

   Mereka hanya menduga-duga dan dugaan baru memperoleh jawaban ke ka serombongan prajurit mengiring sebuah usungan tandu yang bertutup kain hitam berpatam benang emas.

   Se ba di bawah panggung, usungan diturunkan dan seorang bekel prajurit memberi sembah ke arah usungan lalu menyingkap kain penutup tandu itu.

   Kemudian dia memondong sebatang gendewa atau busur yang besar dan berwarna kehitam- hitaman..

   Rakyat yang berada disekeliling panggung itu desak mendesak untuk melihat apa gerangan yang diusung oleh bekel prajurit itu.

   Namun mereka baru berhasil menyaksikan jelas ke ka busur itu telah diangkat keatas panggung.

   Terdengar desus napas2 yang tertahan ke ka busur itu ditegakkan di tengah panggung dan dipegang oleh bekel prajurit itu.

   Busur itu berbentuk is mewa.

   Bagian tengah atau tempat penaruh ujung panah, berbentuk seper kepala burung garuda, kedua samping atau batang busur berukiran sisik burung sehingga keseluruhannya merupakan seekor garuda yang tengah merentang kedua sayapnya.

   Lebih jelas pula bentuk burung garuda yang tengah merentang sayap dan terbang melayang, apabila nan busur itu telah direntang.

   Bende bertalu dan tampillah demang Widura untuk memberi pengumuman "Acara ke ga dari sayembara ini yalah mementang gendewa pusaka kerajaan Singasari kyahi Kagapa atau Garuda ngelayang.

   Kyahi Kagapa merupakan pusaka kerajaan yang amat bertuah.

   Se ap mbul peperangan, seri baginda yang mulia akan memohon berkah dan petunjuk kepada kyahi Kagapa .

   Apabila kyahi Kagapa mau dipentang, berar akan unggul dalam peperangan.

   Namun apabila kyahi Kagapati tak berkenan dipentang, tandanya akan kalah "

   Suasana seluruh alun-alun sunyi senyap. Rakyat menumpahkan perha an dengan, penuh ketaatan akan uraian demang Widura.

   "Atas kemurahan restu seri baginda maharaja junjungan seluruh kawula Singasari yang mulia, maka diperkenankanlah kyahi Kagapa untuk menunjukkan siapa diantara para ksatrya dalam sayembara ini yang layak menjadi senopati kerajaan Singasari ...."

   "Amanat yang maha mulia seri baginda menitahkan bahwa barang siapa yang dapat merentang gendewa pusaka kerajaan Singasari. kyahi Kagapa ini, dialah yang mendapat restu dewa. untuk memangku jabatan sebagai senopati kerajaan Singasari "

   Pungumuman demang Widura telah disambut dengan sorak sorai yang bergemuruh. Kepercayaan rakyat bahwa senopa terpilih nan benar2 seorang ksatrya yang memenuhi syarat dan harapan seluruh kawula kerajaan Singasari, makin tumbuh.

   "Kiranya senopa yang terpilih nan , tentu dapat mengatasi tanggung jawab dan memenuhi harapan kerajaan dan kawula Singasari"

   Demikian kesimpulan, dari kasak kusuk, bisik2 dan perbincangan yang mengemelut di tengah-tengah ribuan rakyat Singasari saat itu.

   Bende bertalu.

   Nyaring dan berkumandang.

   Bekel prajurit segera mempersilakan seorang ksatrya pengikut sayembara untuk naik ke panggung.

   Seorang lelaki muda yang gagah perkasa, nggi besar menghampiri ke tempat kyahi Kagapa , menerima gendewa itu dari tangan bekel prajurit.

   Dengan lengannya yang berhias otot2 besar dari melingkar-lingkar, dia mengangkat gendewa itu dengan tangan kiri, kemudian memutar tubuh berkeliling, seolah hendak memamerkan keperkasaan pada segenap penjuru lapisan rakyat yang berada; di sekeliling panggung itu.

   Tampak ksatrya gagah perkasa itu mengulum senyum.

   Wajahnya menampilkan suatu kepercayaan atas kekuatan dirinya.

   Rakyat tiada memberi sambutan apa2 kecuali menumpati pandang mata dan menahan napas;

   "Boga dari tanah Keling, mohon restu kepada saudara2 seluruh kawula Singasari, agar dapat merentang gendewa pusaka ini. Apabila aku terpilih menjadi senopa , akan kubangun pasukan yang besar dan kuat untuk melindungi kerajaan Singasari dan seluruh kawula"

   Teriaknya dengan suara yang menggeledek.

   Namun ada bersambut jawaban dari para rakyat.

   Mereka hanya mencurahkan pandang mata pada ksatrya gagah perkasa yang menyebut diri sebagai Boga dari bumi Keling.

   Maka bersiaplah Boga.

   Setelah memancangkan kedua kaki sekokoh-kokohnya diapun mulai menjemput tali gendewa.

   Sejenak menghimpun tenaga, maka mulailah dipentangnya gendewa itu.

   Seluruh, rakyat yang berada disekeliling penjuru panggung ikut terbawa dalam ketegangan yang mendebar-debar ke ka mengiku dan terhanyut pada penampilan muka Boga.

   Urat2 dahinya meregang, membentuk gelembung besar yang melingkar-lingkar seper akar.

   Cahaya mukanya merah seper batu merah terbakar, sepasang biji matanya melotot hampir meluncur keluar dari kelopak, mulut menyeringai sebuas harimau mengoyak daging korbannya.

   Bahkan terdengar giginya bergemerutuk seper orang sakit demam.

   Keringatpun mulai bercucuran membasahi muka dan berketes-ketes ke dada ....

   "Sudah, sudah, jangan memaksa diri! "

   "Sudahlah, mundur saja! "

   "Hayo, turun! "

   Mulailah terdengar sorak teriakan dari para penonton yang menyaksikan keadaan lelaki nggi perkasa yang bernama Boga itu.

   Ternyata Boga tak mampu merentang tali gendewa pusaka itu, betapapun dia mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya.

   Namun dia malu dan masih dicobanya dan dicobanya lagi.

   "Uh"

   Ba2 ia terhuyung-huyung ke belakang. Bekel prajurit yang masih berada di atas panggung cepat menyongsongnya "Sudahlah, ki sanak, jangan memaksa diri. Masih ada lain kesempatan engkau dapat menunjukkan kedigdayaanmu"

   Kata bekel itu.

   "Hm"

   Boga lepaskan busur, menyalang mata ke arah bekel itu lalu melangkah turun panggung.

   Dia makin marah ketika rakyat berteriak-teriak mencemohkannya.

   Ksatrya kedua yang naik panggung bertubuh kekar padat.

   Rupanya dia menarik pelajaran dari Boga dan tak mau melakukan suatu gaya dan pernyataan apa2.

   Langsung ia menerima gendewa pusaka itu.

   Setelah sejenak menimang- nimang maka mulailah ia merentangnya.

   Diapun gagal.

   Dan cepat2 pula dia menyerahkan gendewa itu kepada bekel prajurit lalu turun dari panggung.

   Walaupun rakyat menyambut dengan sorak, tetapi nadanya daklah setajam saper yang disong- songkan kepada Boga tadi.

   Demikian satu demi satu calon2 peserta itu dipersilakan naik ke panggung.

   Tetapi silih bergan mereka harus turun dengan menundukkan kepala.

   Dan sorak sorai rakyatpun makin lesu.

   Mungkin mulut sudah lelah, mungkin jemu.

   Suasana tampak meriah pula ketika saat itu seorang ksatrya yang dandanannya seperti dari mancana-gara, tampil ke atas panggung.

   Tiba2 diapun membuka suara untuk memperkenalkan diri.

   Tetapi nadanya agak merendah.

   Dia menyebut diri sebagai Munding Larang, seorang kelana dari bumi Galuh disebelah barat.

   Dia memang sengaja datang dari jauh ke Singasari karena ingin mengabdi kepada kerajaan Singasari.

   Sebagian besar dari rakyat yang berada disekeliling panggung itu tak kenal akan nama bumi Galuh di belah barat.

   Mereka hanya terkesiap ke ka mendengar Munding Larang hendak mengabdi kepada kerajaan Singasari.

   Tak ada sambutan apa2 terhadap pernyataan ksatrya itu.

   Munding Larangpun segera mengadakan persiapan, Setelah sejenak merentang-rentang tali gendewa maka diacungkannya gendewa itu dan jari pun mulai memijat tali lalu pelahan-lahan merentangnya.

   Hampir sekalian penonton bersorak ke ka tali busur kyahi Kagapa itu mulai melengkung tetapi ke ka mencapai setengah lengkung, ba2 macet.

   Sorak yang hampir meluncur tetapi tertahan itu menggemakan suatu suara yang aneh, lebih cenderung dengan suara mengguguk "

   Auh ....

   "

   Wajah Munding Larang yang berseri-seripun makin berobah pucat dan makin lesi.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bibirnya mulai gemetar, demikian pula bahunya.

   Tampaknya ksatrya dari bumi Galuh itu berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan hasil yang telah dicapai.

   Bahkan ingin sekali ia mencapai lebih dari itu.

   Tetapi seolah ada suatu kekuatan gaib yang menentang kehendaknya dan menantang adu kekuatan dengan lengannya.

   Makin lama makin menelungkuplah tali itu pada gendewanya.

   "Ah ...."

   Terdengar desah yang gemuruh dari empat penjuru ke ka menyaksikan, ksatrya Munding Larang harus menyerah.

   Dia pejamkan mata untuk menenangkan gejolak darah yang berhamburan dahsyat pada urat2 lengan yang dikerahkan sekuat-kuatnya tadi.

   Beberapa saat kemudian setelah cahaya mukanya tampak merah pula, barulah dia membuka mata, menyerahkan gendewa pusaka itu kepada bekel prajurit yang berkewajiban.

   Geram, malu, kecewa bertebaran pada penampilan muka Munding Larang.

   Tetapi siapa yang salah dan harus dipersalahkan ? Beruntung rakyat dak menyorakinya.

   Merekapun seolah ikut menyayangkan kegagalan Munding Larang yang diawali dengan harapan yang menyala-nyala itu.

   Namun diantara sekian banyak yang gagal, dia termasuk satu-satunya ksatrya yang hampir berhasil.

   Setelah beberapa calon pengikut tampil keatas panggung dengan membawa kegagalan, maka perha an rakyat mulai tertarik akan penampilan seorang ksatrya yang bertubuh gagah perkasa, berkumis tebal, berjampang simbar dada.

   "Seper ksatrya Bratasena"

   Terdengar beberapa suara diantara para penonton.

   Memang pada masa itu cerita2 Ramayana, Mahabharata dan lain2 sudah dikenal dan tersebar luas di kalangan rakyat, sesuai dengan perkembangan agama Hindu yang berkembang pesat diseluruh telatah kerajaan Singasari.

   Tetapi ada pula yang karena sudah putus asa untuk mengharap ksatrya yang mampu merentang gendewa pusaka kerajaan Singasari itu, sempat pula melontarkan suara2 bernada sumbang "Lucu kalau Bratasena ikut sayembara mementang gendewa.

   Pantasnya ikut sayembara mengangkat gada "

   Setiap pertunjukan tentu tak lepas dari suara2 penonton yang memuji maupun mengejek.

   Oleh karena pendapat setiap orang itu berbeda, maka bermacam-macamlah penilaian yang dilontarkan.

   Memang pada umumnya penonton hanya menghendaki melihat yang baik, yang menang.

   Kadang ejekan mereka terlampau tajam, walaupun pengikut lomba itu sudah berusaha sekuat kemampuannya.

   Pada umumnya penonton lupa bahwa dirinya juga tak mampu melakukan, bahkan jauh lebih buruk dari orang yang dicemohkannya itu.

   Ksatrya tinggi besar dan gagah perkasa yang ditokohkan sebagai ksatrya Bratasena itu, membusungkan dada dan melangkah lebar ke tempat bekel yang bertugas merawat gendewa itu.

   Ia menyambar gendewa dari tangan bekel, lalu tampil ke tengah panggung.

   Tiba2 ia membolang balingkan gendewa dan mengayun-ayunkan sederas-derasnya, sehingga menimbul suara angin yang menderu-deru.

   "Ah, apa maksudnya? "

   "Bratasena ngamuk "

   "Mengapa mengamuk? Gila barangkali!"

   Demikian terdengar bermacam-macam ocehan dari beberapa penjuru penonton.

   Beberapa saat kemudian, ksatrya gagah perkasa itu hen kan gerakannya "Orang2 Singasari, ketahuilah.

   Aku bernama Sengguruh dari tanah Bahu warna.

   Aku datang ke Singasari untuk ikut dalam sayembara senopa .

   Aku dak mengamuk.

   Akupun dak gila! Aku hanya akan mencoba kesaktian dari gendewa pusaka kyahi Kagapati ini "

   Gemuruhlah sorak dan gelak seluruh rakyat mendengar pernyataan orang nggi besar itu. Beberapa penonton segera menyambu "Kalau engkau memang digdaya, lekaslah pentang gendewa itu "

   "Itu gendewa pusaka, untuk memanah bukan untuk dimain-mainkan"

   "Jangan salah lihat, itu bukan gada "

   "Ha, ha, ha, ha, ....

   "

   Disana sini terdengar pekik teriakan dan suara sambutan gelak tawa yang riuh rendah.

   Suasana yang jenuh tadipun mulai meriah pula dengan kesegaran.

   Dalam ga acara lomba baru pertama kali ini seorang calon pengikut langsung menanggapi teriakan penonton.

   "Jangan menertawakan dulu. Lihat saja nanti"

   Sahut Sengguruh pula.

   Melihat sikap, tingkah dan nada pembicaraannya yang wajar dan lugu, timbullah kesan yang menyenangkan pada penonton.

   Mereka tahu bahwa orang tinggi besar itu tentu bertenaga kuat.

   Tetapi merekapun cepat dapat menilai bahwa Sengguruh itu jujur, lugu tetapi agak tolol.

   Sekalipun begitu mereka menyenanginya juga.

   Bekel dan prajurit yang berada diatas panggung, ikut tertawa.

   Memang tiada suatu ketentuan bahwa seorang calon pengikut dilarang berbicara menanggapi teriakan penonton! Tetapi pada umumnya tiada seorang pengikut yang bertingkah seperti Sengguruh.

   Dibawah kemeriahan gelak dan suara berisik, Sengguruh mulai bersiap-siap.

   Dia tegak menggagah, tangan kiri mencekal busur dan tangan kanan menjemput tali lalu sekonyong-konyong dia menarik sekuat-kuatnya.

   "Hai ...."

   Meletus teriak para penonton ke ka melihat busur melengkung. Tetapi teriak merekapun tertahan setengah jalan sesaat melihat busur itu hanya melengkung sejari lalu berhenti.

   "Huh .... huh .... hekkkkk"

   Terdengar suara mulut Sengguruh mendesuh-desuh seperti orang ketulangan.

   Dia tengah mengerahkan segenap kekuatannya untuk melanjutkan rentang tali gendewa itu.

   Mukanya merah membara, keringat bercucuran deras membasahi kepala dan tubuh.

   Terhadap orang nggi besar itu, rakyat dak memiliki kesan benci bahkan suka akan keluguannya.

   Di luar kesadaran, penonton ikut membantu menahan napas dan menegangkan tangan masing2.

   Ada pula yang menggerenyutkan geraham.

   Bahkan karena terbawa dalam ketegangan untuk membantu Sengguruh, ada penonton yang mencengkeramkan kedua tangannya ke bahu penonton yang berada di depannya lalu diremas sekuat-kuatnya "Aduh ...."

   Orang yang dicengkeram sekeras-kerasnya itupun menjerit kesakitan, meronta-ronta dan mendekap kedua bahunya. Tiba2 ia ayunkan kaki menendang orang yang mencengkeramnya itu "Bedebah, rasakanlah ini "

   "Aduh"

   Orang yang mencengkeram itu karena tak menduga, perutnya termakan kaki. Dia terbungkuk-bungkuk mendekap perut. Seke ka suasana di tempat itu agak ricuh. Beberapa orang segera melerai mereka.

   "Dia mencengkeram bahuku "

   "Dia menendang perutku"

   Sahut orang itu.

   "Ah, sudahlah. Kita disini untuk melihat lomba sayembara. Kalau mau berkelahi, carilah tempat lain yang sepi "

   Kerumun orang yang berada di sekeliling tempat perkelahian itu, diam2 menyadari bahwa perbuatan mereka ikut bersitegang urat dan perasaan, hanya suatu ndakan yang bodoh menggelikan.

   Betapapun mereka ikut bertegang-regang, namun takkan dapat membantu ksatrya tinggi besar itu.

   Memang saat itu Sengguruh sudah melepaskan usahanya untuk merentang gendewa pusaka.

   Wajahnya tetap tenang bahkan berseri gembira ke ka menyerahkan gendewa kepada bekel prajurit.

   Sebelum meninggalkan panggung, ia sempat tegak dan memberi ketegangan kepada seluruh penonton "Maaf, rakyat Singasari, pusaka kerajaan Singasari memang ampuh sekali.

   Sengguruh harus bertapa ke puncak gunung lagi untuk memohon kesaktian kepada dewa "

   Sikap dan bicara orang nggi besar itu lugu dan wajar. Menimbulkan rasa suka dikalangan penonton. Diantaranya ada yang berteriak "Mengapa bertapa ke puncak gunung, lebih baik terjun ke laut mencari sarang angin! "

   "Benar, barangkali bertemu seekor ular naga yang mau menjadi isterimu! "

   "Minta pusaka dan kesak an pada Dewa Ruci"

   Demikian terdengar teriak para penonton yang bernada seloroh tetapi bukan mencemoh.

   Suasana yang riang gembira itu, dilanjutkan pula oleh penampilan Ku yang tak asing lagi bagi rakyat.

   Mereka menahan napas tercemar debar yang mendenyut ha .

   Kesan tak suka kepada Ku dalam lomba bertempur naik kuda tadi, hampir terhapus oleh rasa kagum pada lomba kedua di mana Ku telah berhasil memanah tenggorokan dari sasarannya.

   Mereka harus mengakui bahwa Kuti itu seorang ksatrya yang sakti mandraguna.

   Penampilan Ku membangkitkan gairah semangat para rakyat yang menginginkan seorang pengikut sayembara itu mampu merentang gendewa pusaka kyahi Kagapa .

   Namun terbe k suatu rasa enggan dalam ha sebagian rakyat untuk dak memberikan tepuk sorak penyambutan yang meriah kepada Ku .

   Entah apa sebabnya, mereka masih belum sreg dalam ha terhadap peribadi Kuti apabila kelak menjadi senopati kerajaan Singasari.

   Berpuluh ribu mata mengiku langkah Ku ke ka menghampiri bekel perawat gendewa.

   Ke ka bekel itu menerimakan gendewa, Ku dak langsung menyambu , melainkan menghaturkan sembah ke arah pusaka itu.

   "Kyahi Kagapa , hamba Ku , mohon restu dan perkenan paduka untuk merentang tubuh paduka. Apabila kelak hamba menjadi senopa , hamba berjanji akan mengagungkan paduka dengan sesaji suci....."

   Setelah itu ia baru menyambuti gendewa pusaka lalu tegak bersiap di tengah panggung.

   Rakyat tak mendengar apa yang diucapkan Kuti dihadapan kyahi Kagapati, begitu pula apa yang diucapkan Kuti waktu hendak merentang tali gendewa.

   Mereka hanya memperhatikan mulut Kuti bergerak-gerak mengucap sesuatu.

   Tentulah aji mantra, pikir mereka.

   Dan makin tumbuhlah keyakinan mereka, bahwa Kuti akan mampu melakukan tugasnya.

   Kutipun tengah memilin-milin tali gendewa.

   Beberapa saat kemudian dia mengacungkan busur dan bersiap untuk menarik tali.

   Dan diikuti oleh beribu mata para penonton, mulailah dia merentang tali gendewa, krek, krek, krek ....

   Beribu mata rakyat ikut dibawa merentang oleh tali gendewa itu.

   Makin tali merentang, makin mata para penonton ikut merentang lebar.

   Napas2 pun mulai berhenti.

   Gendewa melengkung tertarik tali dan pada saat mencapai sekilan lebarnya, tiba2 terjadi suatu kegaiban.

   Tali yang merentang keras itu tak kuasa lagi melengkungkan gendewa.

   Kuti berjuang sekuat tenaga untuk menarik gendewa itu.

   Seluruh penontonpun terhayut, dalam ketegangan yang memuncak- muncak.

   Lebih tegang daripada ketika mengikuti Sengguruh tadi.

   Ku merasakan sesuatu yang aneh.

   Sesuatu yang berupa sebuah gunung dahsyat, menantang tenaganya.

   Mampukah ia merobohkan gunung? Dan seke ka dia menyadari akan kekuatan gaib yang menghuni dalam gendewa pusaka itu.

   Ampuh benar.

   Sebagai seorang ksatrya yang sudah berani tampil di panggung sayembara, dia, pantang mundur.

   Lebih baik bahuku sempal daripada aku melepaskan gendewa ini.

   Demikian dia membajakan tekadnya.

   Sayup2 Ku teringat akan wangsit yang diterimanya ke ka ia bertapa di puncak gunung Bromo.

   Sebagai akibat, menderita kekalahan dari Nararya, dia malu dan hendak menemui gurunya sang begawan Brahmacarya di gunung Bromo.

   Tetapi sang begawan sudah meninggal.

   Dia lalu mendaki ke puncak Bromo dan bertapa untuk memohon dawuh dewata.

   Dia berhasil ditemui oleh seorang tua yang menyandang raga sebagai gurunya.

   "Kutahu Ku , apa yang engkau pinta. Akupun menghargai tekadmu yang sekokoh baja itu. Namun ketahuilah Ku , bahwa dewata telah menggariskan kodrat hidup pada se ap insan. Kodrat prakitri tak mungkin dirobah ....

   "

   "Hamba mohon petunjuk guru yang mulia. Bagaimanakah jalan hidup yang akan hamba tempuh nanti? "

   "Ah, Kuti, mengapa engkau memaksakan hal itu? Apakah gunanya kepadamu, anakku? "

   "Duh guru yang hamba horma . Ibarat berjalan, hamba umpamakan kehidupan itu bagaikan dunia yang gelap, serba penuh kemungkinan. Oleh karena itu hamba mohon peturjuk paduka agar dapat hamba jadikan sebagai pelita dalam perjalanan hidup hamba."

   "Ku "

   Kata begawan itu "dunia dak gelap.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dunia mempunyai surya, rembulan dan bintang2 yang silih bergan menerangi.

   Yang gelap adalah pikiran manusia sendiri.

   Gelap karena tercemar nafsu2 keinginan yang tak kunjung habis.

   Bahkan ke ka badan wadagnya sudah usang dan menjadi abu, jiwa itu masih melanjutkan keinginannya.

   Itulah sebabnya terjadi berulang kali peni san sampai nanti nafsu keinginannya itu sudah menemui jalan kesadaran, kemokshaan yang abadi "

   "Bapa guru, hamba hanya seorang tah yang masih harus menjalankan dharma hidup hamba di arca-pada ini. Betapakah jalan yang benar bagi hamba, guru? "

   "Jalan yang benar itu sesungguhnya terdapat dalam lapisan endapan ha mu. Asal engkau sudah dapat melenyapkan endapan2 lumpur klesa, kekotoran. Iri, dengki, penuh pemilikan dan lain2 keangkara ke-a-kuanmu, maka cahaya itu akan memancar, menerangi jalan benar yang hendak engkau tuju itu "

   "Hamba akan berusaha untuk melakukan titah paduka, bapa guru."

   "Lalu apa lagi yang engkau kehendaki, Kuti? "

   "Hamba hendak mohon dawuh paduka, adakah yang harus hamba lakukan, bapa guru."

   "Hm, baiklah. Tetapi ingat kodrat prakitri itu tak mungkin dapat dirobah. Kelak engkau akan menjadi seorang manusia besar, berkuasa, ternama dan mulia ..."

   "

   Oh"

   Kuti mendesuh kejut.

   "Tetapi kesemuanya itu akan terjadi menurut sekehendak ha mu. Ar nya, segala kenikmatan, kemewahan dan kemuliaan hidup itu akan engkau kenyam sampai pada akhir hayatmu, asal engkau tak tergoda oleh nafsu2 keinginan yang tamak "

   "Terima kasih, bapa guru. Tetapi bagaimanakah jalan yang harus hamba tempuh kearah kodrat hamba itu? "

   "Engkau harus mengabdi kepada kerajaan. Disitulah engkau akan menemui kejayaan "

   "Bapa guru, hamba mohon petunjuk. Adakah garis hidup hamba itu sedemikian besar sehingga menanyai kekuasaan untuk memerintah negara "

   "Bukan negara tetapi praja "

   "Apa beda negara dengan praja, bapa guru? "

   "Negara adalah keseluruhan bumi kerajaan dan daerah yang dikuasainya. Praja adalah pemerintahannya "

   "Hamba mohon keterangan yang lebih jelas "

   "Jangan memaksa rahasia kodrat. Engkau akan kena kutuk dewata, Kuti. Cukup kukatakan, bahwa kelak engkau akan menjadi bintang yang cemerlang berkilau-kilauan cahayanya. Tetapi ingat Kuti. Yang menerangi angkasa bawana itu adalah surya dan rembulan. Cukup kiranya penjelasanku ini. Apa pula yang engkau kehendaki, Kuti? "

   "Hamba mohon paduka kurniai dengan kesaktian yang tiada lawannya, bapa guru.

   "

   "Kuti, ketahuilah. Bahwa kekuasaan itu terbatas. Akan kuberi apa yang engkau minta itu. Tetapi janganlah engkau mengharap bahwa kesaktianmu itu tiada tandingnya. Terutama apabila engkau berhadapan dengan hal2 yang gaib sebagai penentu kodrat prakitri, janganlah engkau memaksa diri. Akibatnya, engkau pasti akan mengalami kehancuran. Ingat Kuti. Jagad mempunyai surya dan rembulan. Insan di arcapada pun akan memiliki mustikaning janma atau manusia yang linuwih dan linuhung yang oleh dewata telah direstui menjadi surya yang menerangi praja dan bawana. Jangan engkau bersitegang membentur surya itu, engkau pasti hancur "

   "Baik, bapa guru "

   "Nah, jadilah apa yang engkau kehendaki. Engkau akan memiliki kesak an dan kekuatan yang hebat ....

   "

   Demikian cepat sekali benak Ku melintas pengalamannya ke ka bertapa di puncak gunung Bromo dahulu.

   Dan lintasan itu cepat pula bersambut dengan suatu perenungan.

   Adakah memang saat itu dia harus berhadapan dengan suatu hal gaib yang akan menentang kehendaknya? Adakah hal gaib itu yang akan menjadi sarana untuk meluruskan garis prakitri hidupnya? "Ku , jangan engkau bersikeras untuk memaksa sesuatu yang sudah digariskan dewata"

   Terngiang pula telinga Ku akan pesan perwujutan dari kakek tua yang menyandang raga sebagai gurunya ketika ia bertapa itu.

   "Ah"

   Ia menghela napas dalam ha "aku tak boleh berkeras memaksa keadaan. Tetapi rasanya kedudukan senopa bukan suatu kedudukan yang memegang kekuasaan nggi dalam praja. Adakah dewata menunjukkan, bahwa jalan yang kutempuh itu tidak tepat ? "

   Kemudian setelah melalui menung dan renung yang cukup panjang, akhirnya Ku pun menyerah.

   Ia masih menghibur diri bahwa masih ada dua kesempatan lagi untuk menanda nasibnya.

   Adakah memang dewata tak membenarkan langkahnya mencapai kedudukan senopa ataukah karena suatu sebab yang belum dihayatinya.

   Namun Kuti seorang muda yang berdarah panas.

   Walaupun kenyataan memaksa dia harus menyerahi namun dalam hati dia masih penasaran juga.

   Untuk menumpahkan kemengkalan hatinya, saat itu diapun mengunjukkan suatu kesaktian yang menakjubkan.

   Krek, krek ....

   Sekalian penonton berteriak gempar ke ka menyaksikan panggung bergoncang dan pada ujung panggung sebelah utarapun melesek ke bawah.

   Seke ka gemparlah suasana disekeliling panggung itu.

   Beberapa prajurit cepat menghampiri ujung panggung disebelah barat itu.

   Dalam kehirukan itupun Kuti menyerahkan gendewa pusaka kepada bekel yang bertugas.

   Ternyata keributan itu berkisar pada suatu peristiwa yang mengejutkan.

   Dua batang tonggak penyanggah panggung telah putus sehingga ujung panggung itupun melesek.

   Prajurit2 yang bertugas menjaga keamanan, segera bekerja cepat.

   Mereka mengganti tonggak itu dengan yang baru pula.

   "Aneh, mengapa tiang tonggak patah? "

   "Ah, mungkin ksatrya itu mengunjuk kesaktiannya "

   "Kesaktian ? Apakah nama ilmu kesaktian semacam itu? "

   "Aji Pengantepan "

   "O, mungkin. Mungkin juga "

   Demikian perbincangan ramai terdengar dari kelompok demi kelompok para rakyat yang memenuhi sekeliling panggung itu.

   Sebagian besar menganggap bahwa patahnya ang tonggak itu karena disebabkan Ka mengeluarkan ilmu kesak an.

   Dia tentu penasaran; karena gagal mementang gendewa pusaka.

   Ke ka suasana tenang kembali dan ang tonggak sudah selesai dipasang, ternyata Ku sudah tak berada di atas panggung.

   Saat itu yang naik ke panggung seorang ksatrya Bali.

   Rakyat cepat dapat mengenali dandanan dan ikat kepala orang itu.

   Dengan gaya yang khusuk, ksatrya Bali itu merentang gendewa pusaka kerajaan Singasari.

   Tetapi dia gagal dan terus mengundurkan diri.

   Sebagai gantinya tampillah pemuda yang menilik dandanannya sebagai seorang desa.

   Dia tak mengenakan baju.

   Rakyat mengenalinya sebagai lawan dari Kuti ketika bertanding di atas kuda dalam lomba pertama tadi.

   Pemuda itupun tak banyak ulah.

   Bahkan setelah menerima gendewa dan memeriksa beberapa jenak, dia terus mengembalikan lagi kepada bekel yang bertugas menjaga gendewa pusaka itu.

   Kemudian dia terus turun panggung.

   "O, dia ketakutan! "

   "Dia malu karena merasa tak mampu "

   "Ah, belum dicoba mengapa sudah tinggal gelanggang ! "

   Demikian suara2 yang terdengar ramai dikalangan rakyat penonton.

   Sebagian besar merasa heran akan sikap ksatrya itu.

   Ada pula yang mengejek.

   Hanya sebagian kecil yang menerima sikap itu sebagai sikap yang jujur.

   Setelah penampilan seorang calon pengikut yang seper calon2 terdahulu, mengalami kegagalan maka suasanapun mulai mengembang kemeriahan pula manakala rakyat melihat tampilnya ksatrya Wijaya ke atas-panggung.

   Ksatrya berkuda hitam, ksatrya yang mampu memanah tenggorokan orang-orangan dan sekaligus membelah anakpanah yang sebelumnya menancap di tenggorokan orang-orangan itu.

   kini tampil di atas panggung untuk merentang gendewa pusaka kyahi Kagapa .

   Gendewa pusaka kerajaan Singasari yang ampuh dan bertuah.

   Yang selama dibawa ke atas panggung, belum pernah ada seorang calon pengikut sayembara yang mampu merentang selebar- lebarnya.

   Tidakkah layak rakyat untuk membelalakkan semangat, menyongsong harapan, memanjatkan doa agar ksatrya berkuda hitam yang menjadi kesayangan mereka itu kali ini-dapat pula menyelesaikan karya, merentang gendewa kyahi Kagapa yang termasyhur itu? Tidakkah wajar apabila seluruh rakyat penonton memeriahkan suasana dengan tepuk sorak untuk mendorong semangat ksatrya bsrkuda hitam itu ? Demikian luap kegairahan rakyat, meletus dalam tampik sorak yang riuh gemuruh atas penampilan Wijaya yang terkenal sebagai ksatrya berkuda hitam itu.

   Seluruh rakyat bahkan sampai pada para nayaka, senopa dari berbagai ngkat yang hadir di bangsal agung, tampak terpikat oleh penampilan Wijaya dengan keperibadiannya yang tenang berseri itu.

   Bahkan pada kursi kebesaran yang diduduki kedua puteri baginda yani sang dyah ayu puteri Teribuana dan sang dyah-ayu puteri Gayatri, tampak suatu perobahan cahaya wajahnya.

   Kedua puteri itu saling berbisik-bisik.

   Sementara pangeran Ardarajapun menampilkan sikap cahaya yang lain pada wajahnya.

   Entah bagaimana tanggapan para putera puteri agung itu, ada seorangpun yang dapat mengetahui.

   Diantara sekian banyak muka yang cerah mengulum kegembiraan, hanya beberapa orang yang tampak lesu bahkan ada yang pucat.

   Diantaranya terdapat, pa h Aragani, raden Kuda Panglulut dan beberapa nayaka.

   Tetapi yang paling masam wajahnya adalah Kuti.

   Ku masih berada di tempat yang disediakan untuk para pengikut sayembara.

   Ia sempat melontarkan pandang kearah bangsal agung.

   Ada sesuatu yang menggeli k ha nya untuk mengetahui sikap dan cahaya muka dari seorang yang ditujunya.

   Ia hendak meyakinkan diri atas penglihatannya ketika ia turun dari panggung tadi.

   Masih tegas membayang dalam kesannya, pada saat ia turun panggung karena gagal merentang gendewa pusaka tadi, diam2 ia melontarkan pandang kearah deretan kursi ter nggi dalam bangsal agung.

   Pencurian pandang itu telah berhasil menemukan yang dicarinya.

   Tetapi alangkah sakit ha nya ke ka melihat sikap yang ditunjukkan sang dyah ayu puteri Teribuana.

   Puteri agung itu memalingkan muka dalam sikap yang dingin.

   Dan serentak pada saat itu, pandang matanyapun tertumbuk pada puteri yang duduk di sisi puteri Teribuana, yani sang dyah ayu puteri Gayatri.

   Serentak terasa suatu kilatan pe r yang menyambar ha nya.

   Wajah sang dyah ayu Gayatri, gilang- gemilang laksana san Dewi Ra h menjelma di arcapada.

   Dalam pandang mata Ku , suram seke ka kecan kan sang dyah ayu Teribuana tersilau oleh kemilau wajah puteri Gayatri yang bermandikan sinar keagungan yang anggun gemilang.

   Dan hampir Ku hen kan langkah sesaat pandang matanya tertumbuk akan pandang puteri Gayatri yang mengarah kepadanya dengan pandang ikut perihatin atas kegagalannya.

   Hanya sekejab, karena saat itu puteri Gayatri pun menundukkan kepala dan Ku segera sadar serta melanjutkan langkah turun ke panggung.

   Namun kejab itu merupakan kejab yang sangat berar dan berharga sekali kepadanya.

   Seolah dia merasa menerima curahan semangat pula pada saat ia hampir tenggelam dalam kekecewaan dan keputusan asa.

   Semangatnya bangkit kembali dan harapanpun menyala, keperwiraannya sebagai seorang ksatryapun berkobar pula.

   Dia akan memenangkan sayembara itu dan harus memenangkannya! Maka pucatlah wajah Ku ke ka memperha kan betapa cerah dan meriah wajah kedua puteri baginda itu sesaat Wijaya tampil keatas panggung.

   Ia membayangkan pula betapa suasana nan apabila Wijaya berhasil merentang gendewa pusaka itu.

   Ah, betapa gempar ledakan kegembiraan yang akan terjadi di alun-alun situ.

   Ia tak menghiraukan apabila rakyat akan berteriak-teriak sampai pecah tenggorokannya.

   Iapun takkan kecewa apabila Wijaya akan berhasil dalam tugasnya nanti; Tetapi satu hal yang tak dapat diterima dalam ha nya, yang bahkan akan meremuk-redamkan sanubarinya, yalah apabila puteri Gayatri akan terpikat oleh keberhasilan Wijaya merentang gendewa pusaka dan ketampanan wajah ksatrya itu.

   "Uh"

   Diam2 ia mendesuh dan beringsutlah ia dari tempat duduknya, seolah tempat duduk itu tiba2 tumbuh jarum2 yang menusuk pahanya.

   Namun ingsut dan kisar tubuh pada tempat duduk itu tetap tak dapat menenangkan ha nya yang sedang diamuk gejolak perasaan iri, dengki dan cemburu.

   Tiba2 ia berbangkit dan terus melangkah nggalkan tempat itu.

   Ia tak ingin menderita kehancuran ba n dan kemusnaan semangat.

   Ia tak ingin melihat dan mendengar peris wa yang akan menusuk mata dan menikam uluhatinya.

   Perha an seluruh rakyat tertumpah ruah pada Wijaya yang berada di atas panggung.

   Mereka tak memperhatikan dan tak mengacuhkan tindakan Kuti meninggalkan gelanggang.

   Wijayapun bersiap-siap diri.

   ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~

   Jilid 20 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I Carilah 'tapake kuntul nglayang' atau jejak telapak burung kuntul terbang.

   Demikian tempat yang paling sesuai untuk bersemedhi mengheningkan cipta.

   Mengasingkan diri di tempat yang sunyi senyap, merendam atau menghanyutkan diri dalam sungai bengawan, menyepikan diri di tepi pantai samudera.

   Demikian jika hendak bertapa.

   Pernah hal itu diuraikan oleh resi Sinumaya kepada Wijaya yang waktu itu masih bernama Nararya "Namun kesemuanya itu hanya suatu syarat "

   Kata sang resi menambahkan "dan syarat itu tidaklah mengikat"

   "Lalu bagaimanakah tempat yang sesuai untuk, bersemedhi itu, bapa guru? "

   Tanya Nararya.

   "Telah kukatakan kepadamu, angger"

   Kata resi Sinumaya "bahwa ada ga pokok ajaran yang perlu engkau turut dalam berla h ilmu semedhi itu. Pertama tata, kedua dan kemudian tenteram"

   "Tata berar tetap, harus dilagukan dengan teratur secara tetap. Jangan memaksa diri hendak buru2 mencapai tujuan. Karena kesemuanya itu akan datang sendiri tanpa diketahui dan tanpa disadari. Dari Ti adalah memusatkan pikiran kepada hal yang dituju. Tak boleh bercabang ha , bersilang pikiran, nyeleweng dari tujuan. Karena kesemuanya itu akan menghambat mbulnya Keheningan"

   Kata resi Sinumaya pula "Tenteram, berar pelepasan dari seluruh gerak indriya dan batin, bebas dari rasa kuatir dan takut, cemas dan bimbang serta lain2 tekanan batin dan jiwa"

   "Setelah ke ga hal pokok itu dapat engkau laksanakan sungguh2, engkau akan dapat membebaskan diri dari segala syarat tempat, waktu dan suasana"

   Ajaran bapa gurunya itu telah dilaksanakan oleh Wijaya.

   Bahkan setelah mencapai tataran yang meningkat, dia sengaja melakukan semedhi itu di tempat dan suasana yang berisik ramai "Jika aku tetap memilih tempat2 yang tertentu, bukankah aku akan tak terbiasa di tempat dan suasana yang lain ? Aku menghendaki di tempat manapun, waktu dan suasana apapun, dapat melaksanakan cipta semedhi itu"

   Pikirnya.

   Maka dalam menerima busur pusaka kyai Kagapati, diapun mengheningkan cipta, memaserahkan panjatan doa kehadiran Hyang Widdhi Agung "Duh, Hyang Widdhi Agung, hamba menyadari bahwa segala sesuatu yang menjelma, telah paduka tentukan.

   Tiada seorangpun yang mampu merubahnya kecuali paduka.

   Hamba hanya titah paduka.

   Hamba akan memaserahkan jiwa dan raga hamba dalam perjalanan hidup yang telah paduka kenankan.

   Apabila memang paduka tak berkenan, maka pusaka kyai Kagapati inipun tak mungkin akan hamba rentang.

   Dan hambapun dengan segala kepatuhan dan keikhlasan akan melepaskan cita2 hamba untuk berhamba kepada kerajaan Singasari.

   Namun apabila paduka kenankan, o, Hyang Widdhi Agung, limpahkan kekuatan yang tak terhingga kepada diri hamba agar hamba dapat melaksanakan apapun yang akan paduka titahkan kepada diri hamba ...."

   Ada suatu rasa cemas yang mencengkam ha Wijaya pada saat menerima gendewa pusaka kyai Kagapa .

   Demang Widura yang ber ndak sebagai paujar atau pengacara, hanya menyebutkan bahwa gendewa kyai Kagapa itu adalah pusaka kerajaan Singasarl yang amat bertuah.

   Tidak disebut lebih terperinci kerajaan Singasari dari jeman raja yang mana.

   Karena Singasari sejak Ken Arok dinobatkan sebagai raja pertama dengan rajabhiseka Sri Rajasa sang Amurwabhumi, kemudian Anusapati, Tohjaya, Wisnuwardhana dan terakhir baginda Kertanagara yang sekarang ini.

   Namun Wijaya harus melepaskan pemikirannya tentang asal usul gendewa pusaka itu, karena saat itu dia harus menghadapinya.

   Bukan bertugas untuk meneli sejarah gendewa pusaka itu, melainkan dituntut oleh sayembara supaya merentangnya.

   Mampukah aku melakukan hal itu dimana sekian banyak ksatrya2 dari segala penjuru telah melakukan dan gagal ? Mengembanglah pertanyaan itu dalam ba n Wijaya.

   Selekas pertanyaan berkembang maka tumbuhlah benih2 kecemasan, kebimbangan dan ketakutan.

   Wijayapun segera pejamkan mata, mengheningkan cipta.

   Ini selalu dilakukannya se ap kali dia menghadapi kegoncangan ha dan kebimbangan pikiran, sesuai apa yang dipesankan oleh gurunya.

   Sehening pikirannya maka teringatlah indriya pendengaran akan pesan gurunya yang sudah berulang kali diresapkan pada se ap habis memberi pelajaran ilmu kesak an "Ingat, Nararya, didalam menghadapi tugas maupun lawan, jangan sekali-kali engkau bimbang, gentar dan was-was.

   Camkan wejangan Sri Kresna kepada Arjuna ke ka ksatrya itu ragu2 dan bimbang bahkan bersedih karena menghadapi barisan Korawa yang tak lain adalah saudara dan guru, paman eyangnya sendiri "

   Percik2 sinar segera berhamburan dalam hati Wijaya, merekah dan membiaskan cahaya yang menghalau gelembung2 hitam yang mengabut hatinya.

   Terang dan makin terang.

   Jernih dan makin jernih.

   Mengapa harus bimbang? Mengapa harus cemas? Bukankah saat itu sudah menghadapi saat2 yang menentukan? Demikian pertanyaan yang mulai meluap dari dasar hatinya, menggelembung dan akhirnya pecah bertebaran memenuhi ruang hatinya "Gagal atau berhasil, aku belum tahu dan tak perlu memikirkan.

   Yang penting aku harus melakukannya dengan sekuat tenaga kemampuanku.

   Segala-galanya terserah kepada Hyang Widdhi"

   Dan dengan kebulatan ha itu maka ia segera memanjatkan doa ke hadapan Hyang Widdhi, menyerahkan segala sesuatu kepada keputusan Hyang Purbawisesa.

   Setelah itu mulai ia memasang anakpanah ke tali gendewa "Duh kyai Kagapa .

   hamba mohon idin untuk merentang kyai.

   Apabila kyai berkenan meluluskan hamba menjadi senopa kerajaan Singasari, semoga kyai meluluskan permohonan hamba"

   Pelahan-lahan mulailah dia menghimpun segenap tenaga, menyalurkan ke tangan kiri yang mencekal gendewa dan tangan kanan yang siap merentang tali gendewa.

   Pelahan-lahan namun dengan tenaga yang meluap penuh, talipun mulai ditarik.

   Wijaya tak tahu apakah kekuatannya yang memang besar ataukah ada sesuatu yang tak diketahuinya.

   Sesuatu yang memuat kegaiban, entah permohonannya kepada Hyang Widdhi, entah kepada kyai Kagapati itu.

   Ketegangan yang mencengkam seluruh jiwa, membangkit semangatnya bagai gelombang samudera mendampar ke pantai sebagaimana yang pernah di saksikan ketika ia berada dipesisir Laut Kidul yang lalu.

   Tak dapat ditahan, tak mungkin ditentang lagi gelombang laut itu berhamburan, berkejar-kejaran menuju pantai.

   Demikian keadaan Wijaya saat itu.

   Tangannya yang merentang tali gendewa makin merentang ke belakang, makin lebar.

   Kedua ujung gendewa itupun makin cekung dan makin menelungkup ke belakang.

   Wijaya tak tahu apa yang terjadi saat itu.

   Adakah saat itu dia dapat merentang gendewa, adakah rakyat sedang menumpah seluruh perhatian kepadanya, adakah para mentrinayaka yang duduk di bangsal tengah merentang mata kepadanya.

   Adakah kedua puteri baginda sedang terpukau dalam pesona pandang, adakah suasana di sekeliling gelanggang itu seperti lahar gunung yang meluap mencapai mulut kepundan.

   Dia tak tahu karena tak merasa.

   Dia tak merasa karena telah mematikan rasa.

   Pati rasa dan pati raga, memanunggal dengan daya kekuatan yang terserap oleh suatu daya gaib yang memancar dari gendewa pusaka itu.

   Ada suatu perasaan yang aneh dalam rasa ha Wijaya saat itu.

   Dia bukan lagi dia melainkan telah berobah menjadi suatu bentuk lain.

   Bentuk suatu mahluk yang bersayap.

   Kemudian sebagai mahluk bersayap ia ingin merentang sayap, ingin terbang ke angkasa ....

   Ketegangan itu mencapai pada puncaknya ke ka terdengar ledakan sorak sorai yang menggetarkan gelanggang.

   Rumbia yang menaungi bangsal agung seolah berderak-derak digempa gema bahana sorak yang meledak saat itu.

   "Hidup senopati baru !"

   "Dirgahayu senopati Singasari yang jaya !"

   "Selamat datang senopati pinunjul !"

   "Dirgahayu seri baginda Kertanagara!"

   Beraneka pekik sorak, teriak jerit dari rakyat manakala menyaksikan Wijaya berhasil merentang tali gendewa kyai Kagapa .

   Wijaya terkejut dan pulanglah semangat dan jiwa ke dalam badan wadagnya.

   Dan sesaat, ia mendapat kesadaran kembali ba2 ia kendorkan tangan dan tring ....

   gendewa itupun jatuh disusul pula dengan tubuh Wijaya yang terhuyung-huyung ke belakang dan rubuh pula.

   Gempar pula sorak teriakan seluruh rakyat bahkan para tetamu agung yang berada di bangsal kehormatan.

   Mereka terkejut atas peris wa yang tak terduga-duga itu.

   Rakyat berada dideretan muka, serentak hendak maju untuk menolong Wijaya tetapi para prajurit penjaga cepat ber ndak.

   Mereka segera menghadang rakyat dan menghalau mereka kembali keluar gelanggang.

   Sementara demang Widura pun cepat menghampiri ke tempat Wjaya lalu mengangkat tubuh anakmuda itu untuk dibawa turun panggung.

   Tak berapa lama terdengar bende bertalu dan demang Widurapun naik ke panggung pula untuk mengumumkan bahwa pertandingan sayembara hari itu ditutup dan akan dilanjutkan besok pagi.

   Rakyat pulang dengan membawa berbagai perasaan.

   Mereka kagum dan puas akan apa yang dilihatnya dalam sayembara itu.

   Tetapi merekapun masih bertanya-tanya bagaimana dengan nasib Wijaya yang rubuh tak kabarkan diri itu "Tewaskah ksatrya itu ?"

   Demikian pertanyaan yang menghuni dalam dada se ap rakyat Singasari.

   Penampilan Wijaya dalam ga acara pertandingan itu, telah memikat ha sekalian rakyat.

   Dan sesuatu yang memikat itu tentu akan menimbulkan perha an.

   Dimana perha an mbul maka lahirlah suatu buah yang disebut buah ha .

   Entah adakah Wijaya akan mampu mengatasi acara lomba sayembara yang masih dua lagi itu, tetapi rakyat sudah menjadikannya sebagai buah ha .

   Puji dan harapan mereka tertumpah ke dalam rasa keinginan, semoga anakmuda itulah yang kelak menjadi senopati Singasari.

   Sebelum memenangkan sayembara, Wijaya sudah memperoleh kemenangan.

   Kemenangan merebut ha rakyat Singasari.

   Namun ia tak menyadari hal itu dan tak menyadari keberhasilannya merentang gendewa pusaka.

   Bahkan tak menyadari keadaan dirinya.

   Ia pingsan sehingga oleh demang Widura lalu di bawa ke asrama prajurit untuk diberi pertolongan seperlunya.

   Beberapa waktu kemudian Wijaya sadar.

   Tetapi ia rasakan badannya lunglai sekali, tenaga merana, bayu sungsum serasa lolos.

   "Engkau terlalu le h, ki sanak"

   Kata demang Widura yang menjenguk "baiklah engkau bermalam di asrama ini"

   "Terima kasih, ki demang "

   Kata Wijaya.

   "namun hamba rasa, lebih baik hamba pulang"

   Demang Widura terkejut "jangan, ki sanak. Engkau masih lemah, baik engkau nggal di sini. Akan kusuruh prajurit untuk menjaga dan menyediakan segalanya."

   "Ah, lebih berat rasa ha hamba menerima kebaikan ki demang, tetapi hal itu hamba rasa kurang layak. Lebih baik hamba pulang"

   "Mengapa kurang layak ?"

   "Bila hamba nggal di asrama prajurit sini, tentulah para ksatrya yang ikut serta dalam sayembara itu, akan mendapat kesan bahwa seolah-olah hamba memang calon yang diajukan oleh pimpinan prajurit kerajaan."

   Demang Widura terkesiap. Tetapi hanya sejenak dan kemudian tertawa "Ya, memang benar pandanganmu itu, ki muda. Tetapi benar dalam satu hal. Sedang pada hal2 kelanjutannya, daklah bertemu lagi dengan yang disebut benar itu"

   "O "

   Wijaya tertegun "bagaimana kehendak ki demang?"

   "Orang yang mempunyai anggapan seper engkau, tentu akan membenarkan penilaianmu itu. Maka kukatakan bahwa pandanganmu itu benar "kata demang Widura "tetapi untuk kelanjutan, anggapan itu akan terbentur dalam kelarutan, pandangan lain. Jelasnya begini. Kami sebagai nayaka yang mendapat tah seri baginda untuk menyelenggarakan sayembara ini, berhak dan wajib melindungi se ap ksatrya yang ikut dalam sayembara itu, apabila ksatrya itu mendapat kecelakaan atau lain-lain kesukaran. Jadi ndakan kami ini, dak semata tertuju pada dirimu pun pada se ap ksatrya jang ikut sayembara yang mendapat halangan. Bahwa engkau jatuh pingsan karena kehabisan tenaga lalu kami tolong dan rawat, bukan suatu hal yang berlebih-lebihan karena hal itu sudah menjadi tanggung jawab kami"

   "Kedua"

   Demang Widura melanjut pula "engkau dibayang ketakutan apabila dituduh sebagai calon yang diajukan oleh fihak prajurit.

   Itu memang hak mereka untuk menilai dan menuduh.

   Karena menuduh itu semudah orang menggerakkan lidah.

   Lidah tak bertulang serupa dengan menuduh tanpa bertanggung jawab dapat membuk kannya.

   Dan andaikata memang benar engkau menjadi calon dari golongan prajurit, adakah hal itu melanggar peraturan sayembara ? Bukankah se ap kawula, se ap narapraja, se ap mentri dan golongan apa saja, berhak untuk mengajukan calon yang dijagokan dalam sayembara itu.

   Lepas dari cemar rasa pamrih dan kepen ngan peribadi yang tersembunyi dibalik pengajuan calon itu, tetapi ndakan mengajukan calon itu sesungguhnya dalam ar yang luas, turut serta memikirkan kepen ngan negara.

   Bukankah kerajaan membutuhkan seorang senopa ? Dan bukankah merekapun ikut periha n untuk memilih calon2 yang sekira dapat mengisi kebutuhan kerajaan itu? Nah, cobalah engkau jawab, ki muda.

   Adakah pernyataan ini kurang layak?"

   Wijaya terkesiap. Diam2 ia mengakui bahwa sanggahan demang itu memang mempunyai landasan kebenaran. Akhirnya ia mengangguk dan menyatakan dapat menerima pernyataan demang itu.

   "Dan permintaanku kepadamu, ki muda"

   Kata demang Widura lebih lanjut "lepas dari segala rasa pamrih dan kepen ngan suatu apa.

   Kecuali hanya melakukan tugas dan kewajiban kami.

   Ingat ki muda, engkau masih lemah dan hasil yang engkau capai dalam sayembara siang tadi, cukup menyilau mata lain2 calon sehingga cukup memberi rangsang kepada mereka untuk melenyapkan hal yang menusuk pandang mata mereka.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jelasnya, kemenanganmu dalam sayembara itu tentu akan mengundang rasa iri, dengki dan marah dari lain2 peserta"

   Wijaya mengangguk.

   "Dan mereka bukan ksatrya2 dari Singasari semuanya, sebagian besar berasal dari lain daerah. Mereka muka2 baru yang belum dikenal ha perangainya. Tidakkah layak apabila aku mengua rkan keselamatan dirimu, ki muda? Jika engkau sehat dan dalam keadaan biasa, kuserahkan saja bagaimana engkau hendak menjaga dirimu. Tetapi dalam keadaan seper saat ini dimana tenagamu masih lemah, dakkah kuanggap bukan suatu hal yang berlebih-lebihan bila aku mencemaskan dirimu ? Itulah alasan yang mendorong tindakanku untuk melindungi engkau dengan meminta malam ini engkau tinggal di asrama sini"

   Wijaya mengangguk angguk. Diam2 ia dapat menerima jalan pikiran demang Widura "Terima kasih ki demang, atas perha an tuan kepada diri hamba. Hamba menurut saja apa yang tuan perintahkan"

   Demang Widura mempunyai kesan baik ke ka menyaksikan ulah Wijaya dalam lomba pertandingan siang tadi.

   Dan kini setelah berhadapan, bertukar kata dengan pemuda itu, ia mendapat kesan pula bahwa pemuda itu memang seorang yang rendah kata, luhur budi dan penuh penger an.

   Kesannya yang baik itu makin meningkat, tumbuh menjadi rasa suka.

   Ia segera memerintahkan dua orang prajurit untuk menjaga dan melayani keperluan Wijaya.

   Setelah itu baru dia tinggalkan asrama itu.

   Menjelang petang datang dua orang pengalasan ke asrama "Kami diutus gus pa h untuk mengundang ksatrya yang dirawat di sini, kakang"

   Kata kedua pengalasan itu ke ka berhadapan dengan kedua prajurit yang menjaga lempat Wijaya. Kedua prajurit itu heran "Tetapi ki demang Widura memesan kami supaya menjaganya"

   "Hm"

   Desus pengalasan yang bertubuh nggi besar "apakah engkau hendak menolak tah gus patih Aragani"

   "Gusti patih Aragani?"

   Kedua prajurit itu membelalak mata.

   Dia terkejut dan gentar.

   Mereka tahu siapa dan betapa kekuasaan patih Aragani.

   Namun mereka terkejut dan heran mengapa patih Aragani hendak memanggil ksatrya yang keselamatannya telah dipertanggung jawabkan kepada mereka oleh demang Widura.

   "Bagaimana ? Apakah kalian menolak ? Jika demikian, aku segera melapor kepada gus pa h"

   Kata pengalasan itu dengan kata2 yang tandas tetapi mengandung ancaman. Kedua prajurit itu saling bertukar pandang, kemudian salah seorang kerkata "Tetapi bagaimana kalau ki demang marah ?"

   "Ya, adakah ki sanak yang bertanggung jawab?"

   Kata prajurit kawannya.

   "Tentu "sahut pengalasan "katakan bahwa gus pa h Aragani yang menitahkan. Jika ki demang marah, persilakan saja supaya ke kepatihan"

   Memang besar nian kekuasan dan pengaruh pa h Aragani dikalangan keraton. Dengan hanya menyebut namanya, kedua prajurit yang telah dipaserahi tugas, menjaga Wijaya, telah gugur nyalinya dan menyerah.

   "Baik "

   Kata prajurit "harap tunggu akan kukatakan kepada orang muda itu "

   Ia terus masuk dan tak lama kemudian muncul pula mengiring Wijaya.

   Terkesiap kedua pengalasan ke ka berhadapan dengan Wijaya.

   Wajah anakmuda itu benar2 mengundang rasa patuh dan mengindahkan "Raden, maa an kami "kata pengalasan dengan ramah.

   Pada hal tadi ketika menggertak prajurit, dia bersikap congkak dan bengis.

   "O, kenapa kalian ki sanak? "tanya Wijaya.

   "Hamba pengalasan dari kepa han yang diutus gus pa h untuk mengundang raden supaya menghadap gusti patih "

   "Gusti patih ...."

   "Gusti patih Aragani, raden"

   Cepat pengalasan itu mendahului."

   "O "desuh Wijaya "mengapa gusti patih hendak memanggil aku ?"

   "Soal ini aku tak tahu. Gus pa h hanya menitahkan kami berdua supaya mengantarkan raden ke gedung kepatihan."

   Wijaya tertegun.

   Diam2 ia berpikir.

   Apa sebab pa h Aragani ba2 mengundangnya ? Iapun teringat akan keterangan2 dari tumenggung Bandupoyo, dari Sora dan Nambi mengenai Kuda Panglulut putera menantu pa h Aragani dan pa h itu sendiri.

   Bukankah pengunduran diri dari beberapa mentri wredda pa h sepuh Raganata demung Wiraraja dan tumenggung Wirakre dari pucuk pemerintahan pura Singasari, adalah karena ulah patih Aragani ? "Mengapa pa h itu menitahkan aku menghadap?"

   Masih Wijaya belum mampu memecahkan persoalan itu. Aneh benar. Pikirnya "mungkin berkaitan dengan peris wa sayembara siang tadi. Tetapi Apa kepentingannya dengan diriku?"

   "Raden"

   Ba2 pengalasan yang bertubuh nggi besar itu berseru pula "gus pa h menitahkan hamba agar segera mengantar raden ke kepa han dan karena gus pa h sudah siap menunggu. Hamba takut apabila terlalu lama, gusti patih akan murka"

   "Baik"

   Karena badannya masih lemah, Wijaya rasakan pikirannyapun masih belum terang.

   Betapapun hendak memutar otak, namun tetap dia tak dapat menyingkap selubung yang menyelimu maksud panggilan pa h Aragani itu.

   Ia memutuskan untuk memenuhi panggilan itu.

   Bagaimana langkah selanjutnya baru akan ia per mbangkan setelah menghadap dan mengetahui maksud patih Aragani nanti.

   Demikian Wijaya segera nggalkan asrama itu untuk menuju ke gedung kepa han yang terletak di luar keraton.

   "Bagaimana kakang, apabila kita mendapat teguran ki demang?"

   Prajurit yang menjaga Wijaya bertanya kepada kawannya.

   Prajurit yang seorang mengangkat bahu "Lalu apa daya kita? "kemudian dia menghela napas "begini nasib orang bawahan.

   Kita hanya menjadi permainan perintah atasan saja.

   Mereka yang berebut kekuasaan, mengadu pengaruh, kita orang bawahan yang menjadi korban"

   "Lalu bagaimana sikap kita sekarang?"

   Tanya pula prajurit yang pertama.

   "Tiada lain jalan"

   Kata kawannya "kecuali hanya menghaturkan keterangan apa adanya manakala ki demang datang kemari"

   "Mudah-mudahan ki demang tak datang lagi"

   "Ya ...

   "

   Tiba2 prajurit yang seorang itu merentang mata, memandang ke arah muka.

   "Mengapa, kakang ?"

   "Lihatlah, siapa yarg datang kemari itu"

   Kata kawannya dengan masih melekatkan pandang mata ke muka.

   Prajurit yang pertama segera mengiku arah yang dipandang kawannya.

   Ia terkejut ke ka melibat dua orang lelaki, seorang bertubuh nggi besar dan seorang agak pendek tetapi kekar, tengah berjalan mendatangi.

   Kedua prajurit itu gemetar ha nya.

   Mereka menyangka bahwa kedua pendatang itu pengalasan dari demang Widura.

   "Prajurit"

   Kata kedua pendatang itu setelah ba dihadapan kedua prajurit "kami diutus pangeran Ardaraja untuk memanggil raden Nararya supaya menghadap ke keraton"

   Kedua prajurit iu menghela napas longgar karena jelas bahwa kedua pendatang itu bukan pengalasan demang Widura.

   Tetapi hanya sekejab kesesakan napas itu berhembus keluar, jantung merekapun sudah berdenyut keras ke ka mendengar keterangan kedua pendatang itu "Siapa yang ki sanak maksudkan dengan raden Nararya itu ?"

   "Apa ? Engkau tak tahu raden Nararya ?"

   Seru lelaki nggi besar itu.

   Sebenarnya dia hanya berkata biasa tetapi bagi telinga kedua prajurit, nada orang itu sekeras orang menggembor.

   Rupanya salah seorang prajurit yang bernama Gana, mbul pemikiran.

   Ia telah mengalami peris wa yang pertama yani kedatangan pengalasan dari pa h Aragani.

   Ia telah menyerahkan orang yang harus dijaganya, begitu saja.

   Diam2 ia menyesal karena terlampau mudah untuk mempercayai keterangan pengalasan itu.

   Maka menghadapi kedua orang yang mengaku sebagai pengalasan pangeran Ardaraja, timbullah keraguan dalam hatinya.

   "Kami memang tak tahu siapa raden Nararya yang ki sanak katakan itu"

   Katanya.

   "Ksatrya yang dalam perlombaan sayembara siang tadi berhasil merentang gendewa pusaka kerajaan Singasari"

   "O "

   Desus prajurit Gana "kami baru tahu sekarang. Kami hanya ditugaskan untuk menjaga ksatrya itu tanpa diberitahu mamanya"

   "Hm "

   Desuh orang nggi besar itu "lekas engkau undang raden itu keluar. Pangeran sudah menunggunya"

   "Tetapi siapakah ki sanak ?"

   "Aku pengalasan gusti pangeran"

   "Ya, tadi engkau sudah mengatakan hal itu. Tetapi siapakah nama ki sanak?"

   "Lurah Suramenggala, pengawal pendamping gusti pangeran putera menantu baginda"

   "Benar"

   Sahut prajurit Gana "asal ki sanak dapat meyakinkan kami tentang hal itu"

   "Meyakinkan ? Apa maksudmu ?"

   "Kami prajurit yang mendapat tugas dari ki demang Widura untuk menjaga keselamatan ksatrya yang ki sanak katakan bernama raden Nararya itu. Untuk se ap orang yang hendak bertemu dengan raden itu, kami harus mendapat buk . Maaf, ini tugas dan karena kami belum kenal ki sanak"

   "Hm, apa bukti yang engkau kehendaki?"

   "Apa saja yang dapat meyakinkan kepercayaan kami bahwa ki sanak benar2 utusan gus pangeran"

   Mendengar perkataan itu, lelaki nggi besar menggeram "Siapa yang tak kenal dengan lurah Suramenggala, pengawal gusti pangeran Ardaraja. Seluruh keraton Singasari tentu tahu"

   "Kecuali kami berdua "

   Sahut prajurit Gana "karena kami prajurit kerucuk yang tak tahu suatu apa kecuali menjalankan tugas"

   Suramenggala mulai menyalangkan mata "Apa engkau tak percaya kepadaku, lurah prajurit Suramenggala?"

   "Ki lurah"

   Sahut prajurit Gana tak gentar "kami mohon penger an ki lurah Sebagai seorang lurah prajurit, tuan tentu lebih maklum akan tata ter b keprajuritan. Kami prajurit yang menjalankan tugas dan menjaga ketertiban tugas itu. Harap ki lurah jangan marah"

   "Apa engkau benar2 tak percaya kepada Suramenggala?"

   Wajah Suramenggala mulai memberingas.

   "Aku percaya bahwa tuan adalah ki lurah Suramenggala tetapi kami terpaksa harus meminta buk akan perintah gus pangeran itu oleh karena kami harus bertanggung jawab kepada ki demang Widura"

   "Demang Widura? Huh, suruh dia menghadap gusti pangeran!"

   "Ki lurah"

   Prajurit Ganapun mulai tak senang.

   "peraturan dalam kalangan prajurit Singasari memang demikian. Entah kalau di Daha. Tetapi hendaknya ki lurah maklum bahwa di sini adalah keraton Singasari, bukan Daha. Jangan tuan menghina ki demang. Ki demang memberi perintah, sesuai dengan tata peraturan keprajuritan di Singasari. Dan kamipun menjalankan tugas itu sesuai dengan tata tertib keprajuritan Singasari"

   "Setan"

   Ba2 Suramenggala yang tak dapat menahan kemarahannya. Serentak dia terus menerkam lengan prajurit Gana lalu diputar ke belakang sehingga prajurit Gana terteliku "jika engkau berani membantah perintah pangeran, kupatahkan tulang lenganmu"

   Prajurit Gana tak menyangka bahwa Suramenggala akan ber ndak sedemikian terhadap dirinya.

   Jarak mereka amat dekat dan gerakan Suramenggala itu dilakukan secara cepat dan tak terduga- duga.

   Sebelum prajurit Gana sempat bergerak, dia sudah dikuasai Suramenggala.

   Prajurit yang seorang, Domapun telah dikuasai oleh kawan Suramenggala yang telah melekatkan ujung pedang ke dada Doma.

   "Mau apa engkau, ki sanak "seru Doma. Kawan Suramenggala itu bernama Kidung. Dia menjawab "Jangan banyak ngkah! Berani bergerak, dadamu akan kutembus dengan ujung pedang ini"

   "Ki sanak "

   Seru Doma "kalau engkau mau membunuh aku, silakan ! ".

   "Kecuali engkau menolak perintah kakang lurah Sura, engkau tentu kubunuh."

   "Lekas bawa raden itu keluar "hardik Kidung.

   "Apa yang harus kubawa keluar ?"

   "Raden Nararya! "

   Bentak Kidung. Prajurit Doma gelengkan kepala "Maaf, tak dapat!"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hai, engkau benar2 hendak membangkang ?"

   Kembali prajurit Doma gelengkan kepala "Bukan hendak membangkang tetapi karena raden itu sudah tak berada di sini"

   "Gila!"

   Teriak Kidung seraya ajukan ujung pedangnya sehingga dada prajurit Doma terasa perih dan basah. Ia menunduk dan melihat darah bercucuran dari dadanya"

   "Engkau boleh berbuat apa saja. Bahkan boleh pula membunuh aku, tetapi raden itu memang benar2 sudah tak berada di sini! "Kenapa?"

   "Dia sudah diambil oleh pangalasan gusti patih"

   "Hai! "

   Kidung terkejut "gusti patih siapa ?"

   "Gusti patih Aragani "

   "Bohong !"

   Prajurit Doma tertawa mencemoh "Jika tak percaya, silakan masuk mencarinya"

   Suramenggala terkejut dan tanpa disadari ia lepaskan lengan prajurit Gana lalu loncat kehadapan prajurit Doma "Jika engkau berani membohongi aku, kupenggal lehermu !"

   "Silakan periksa ke dalam ruang ini "

   Melihat sikap dan ucapan prajurit Doma sedemikian mantap, Suramenggala meragu "lalu kemanakah raden itu?"

   "Telah kukatakan, dia telah dibawa oleh pengalasan dari gusti patih Aragani"

   "Bilamana peristiwa itu terjadi ?"

   "Baru beberapa kejab saja. Sesaat mereka pergi, kalian datang"

   "Kidung, periksa ke dalam ruangan "

   Seru Suramenggala. Dan Kidungpun terus masuk. Tak berapa lama dia keluar lagi "Benar, raden itu memang tak berada di dalam"

   "Benarkah raden telah dibawa pengalasan dari gusti patih? "

   Suramenggala menegas pula.

   "Ya"

   Sahut prajurit Doma.

   "Jika engkau berani berbohong, aku akan kembali untuk mengambil kepalamu "

   Suramenggala menarik Kidung diajak lari menyusul "cepat kita kejar mereka!"

   Kedua pengalasan itupun lari sekencang angin berhembus.

   Dan langkah merekapun beruntung mendapat hasil.

   Di penghujung lorong yang membelah ke mur, mereka melihat sosok2 hitam yang tengah berjalan menyusur jalan.

   Dan cepat pula mereka dapat melihat jelas bahwa sosok2 bayangan itu terdiri dari ga orang lelaki "Itulah mereka "

   Suramenggala berseru dan kencangkan lari. Kira2 masih sepuluhan tombak jauhnya, dia sudah berteriak "Hai, kalian berhenti dulu"

   Rupanya ke ga orang yang dikejar itupun sudah dapat menangkap derap lari Suramenggala dan Kidung.

   Tepat pada saat mereka berpaling maka terdengarlah Suramenggala berteriak dan ba di belakang mereka.

   Ke ga orang itu tak lain adalah kedua pengalasan pa h Aragani yang mengiring Wijaya.

   Pengalasan yang bertubuh, nggi besar bernama Pradongga dan yang bertubuh kekar bernama Roban.

   Merekapun berhenti dan bersiap-siap.

   "Raden Nararya"

   Serentak berhenti maka Suramenggala pun berseru memanggil Wijaya.

   "O, engkau ki lurah Suramenggala "

   Balas Wijaya.

   "Benar raden "

   Kata Suramenggala "aku diutus gus pangeran untuk mengundang raden. Kemanakah sekarang raden hendak pergi ?"

   Wijaya terkejut. Bahwa pangeran Ardaraja tentu ikut menyaksikan lomba sayembara siang tadi, dia dapat menduga. Tetapi bahwasanya pangeran itu hendak memanggilnya, dia tak menyangka sama sekali.

   "O, pangeran hendak memanggil aku?"

   "Ya"

   "Mengapa ki lurah?"

   "Entahlah, raden,"

   Kata Suramenggala "aku hanya diutus saja. Mari raden, pangeran sedang menunggu "

   Dia terus menghampiri ke tempat Wijaya. Melihat dirinya tak dihiraukan seolah tak dianggap sama sekali, marahlah pengalasan dari pa h Aragani itu "Jangan mengganggu raden ini! "

   Bentak Pradongga. Suramenggala menyalang mata "Huh, siapa engkau !"

   Ia terus mendorong Pradongga. Melihat Suramenggala sedemikian kasar, bicara mulut bergerak tangan, Pradongga pun makin marah. Ia songsongkan tangannya untuk mendorong tangan Suramenggala.

   "Huh, huh ..."

   Terdengar dua buah suara mulut, mendesuh kejut dan kedua pengalasan nggi besar itu masing2 tersurut mundur selangkah. Keduanya tegak, saling beerdiri menggagah, mata membelalak lebar.

   "Aku pengalasan dari gus pa h Aragani untuk mengundang raden ini ke kepa han "

   Seru Pradongga.

   "Tidak"

   Teriak Suramenggala "gus pangeran menitahkan supaya raden Nararya dibawa menghadap ke dalam keraton gusti pangeran"

   Pradongga terkejut dalam ha .

   Mengapa pangeran Ardaraja juga menginginkan ksatrya itu menghadap kepadanya ? Ia menimang bahwa pa h Aragani memang berkuasa penuh dan berpengaruh besar terhadap para mentri senopa kerajaan.

   Tetapi yang dihadapinya sekarang bukanlah mentri atau senopa melainkan pangeran Ardaraja, menantu baginda.

   Mungkinkah pa h Aragani akan lebih berkuasa dari putera menantu baginda?"

   "Eyah!"

   Ba2 Suramenggala dengan kasar menyiak tubuh Pradongga. Pradongga terkejut dari lamunan. Ia menyurut mundur selangkah sehingga tangan Suramenggala tak mengenai tubuhnya.

   "Ki sanak, jangan sekasar itu ulahmu"

   Seru Pradongga "engkau utusan akupun utusan. Engkau melakukan tugas, demikianpun aku."

   "Tetapi aku utusan gusti pangeran."

   "Se ap orang dapat mengaku utusan pangeran bahkan dapat juga mengaku sebagai utusan baginda. Tetapi dapatkah engkau membuktikan bahwa dirimu itu benar utusan dari pangeran?"

   "Gila !"

   Teriak Suramenggala "siapa yang tak kenal Suramenggala itu pengawal pangeran Ardaraja? Coba engkau tanya kepada raden Nararya"

   "Aku bertanya kepadamu, bukan kepada lain orang. Yang kupercaya adalah keteranganmu"

   "Hayo engkau ikut menghadap pangeran Ardaraja. Jika aku bohong, bunuhlah. Tetapi jika engkau sudah mendapat bukti bahwa aku benar utusan pangeran, engkau kubunuh"

   Pradongga tertawa dingin "Bunuh membunuh harus memandang waktu dan tempat yang tepat.

   Andaikata engkau hendak memaksakan suatu kepercayaan kepada, bahwa engkau ini ki lurah Suramenggala, prajurit pengawai gus pangeran Ardaraja, akupun dengan terpaksa akan menerima keterangan itu"

   "Jika begitu engkau seorang berpikiran sadar dan kuminta segeralah engkau serahkan raden Nararya kepadaku. Jangan sampai gusti pangeran marah karena kesal menunggu terlalu lama"

   "Tunggu ki lurah"

   Seru Pradongga "masih ada sebuah hal yang kumintakan penyelesaian kepadamu"

   "Mau apa lagi engkau ?"

   "Bahwa engkau ki lurah Suramenggala, aku dapat menerima. Bahwa engkau lurah prajurit yang menjadi pimpinan rombongan pengawal gus pangeran Ardaraja, akupun terpaksa dapat menerima. Tetapi bahwa engkau benar2 diutus gus pangeran untuk membawa raden itu ke dalam keraton, aku tak dapat memaksa diriku untuk menerima, kecuali ...."

   "Kecuali bagaimana ?"

   "Engkau membawa surat atau lain buk yang menyatakan bahwa engkau benar2 diutus oleh gusti pangeran, barulah kuserahkan raden ini kepadamu"

   "Setan"

   Teriak Suramenggala seraya terus hendak menerjang tetapi Kidung cepat mencegahnya.

   "Jangan, kakang"

   "Mengapa ? Engkau takut ? "

   Suramenggala nyalangkan mata.

   "Tunggu dulu setelah kuajukan sebuah pertanyaan kepadanya. Setelah itu terserah bagaimana kakang hendak-ber ndak"

   Kata Kidung. Kemudian dia maju kehadapan Pradongga "Ki sanak, memang pertanyaan itu benar. Adakah hal itu menjadi tata peraturan dikalangan prajurit Singasari?"

   "Ya, memang demikian,"

   Sahut Pradongga yang diam2 berbesar ha karena berhadapan dengan orang yang tahu peraturan.

   "Di Daha dak demikian"

   Kata Kidung "se ap perintah hanya diberikan secara lisan. Kami saling menaruh kepercayaan karena orang Daha tak ada yang bohong"

   "Hm"

   Desuh Pradongga "sayang di sini Singasari, bukan Daha."

   "Ya, kutahu"

   Jawab Kidung "sekarang akupun hendak tanya kepadamu. Adakah engkau juga membawa surat atau buk lain yang menyatakan bahwa engkau mendapat perintah dari gus patih untuk membawa raden Nararya ke kepatihan?"

   Pradongga terbelalak.

   Merah wajahnya karena bingung untuk menjawab.

   Melihat itu Roban segera maju "Gus pa h tak pernah memberi surat dan memang tak mau memberi surat pembuk an apa2 apabila menitahkan kami.

   Seluruh prajurit Singasari dan segenap nayaka abdi keraton tahu semua"

   "Ki sanak"

   Seru Kidung dengan keras "adakah peraturan itu khusus untuk gus pa h ataukah memang peraturan yang berlaku di keraton ini"

   "Hanya khusus gusti patih"

   "Apa bedanya dengan pangeran Ardaraja ? Bukankah pangeran itu putera menantu baginda? Adakah pangeran lebih rendah tingkatnya dari gusti patih ?"

   Kidung tergugu tak dapat menjawab.

   Jika ia mengatakan bahwa gus pa h Aragani lebih berkuasa, tentu akan dilaporkan Suramenggala dan akibatnya tentu berbahaya.

   Namun jika dia tak mengatakan begitu berar mengakui bahwa pangeran Ardaraja lebih berkuasa, paling dak harus diperlakukan sama dengan patih Aragani.

   Itulah yang menyebabkan dia terbungkam.

   "Hai, ki sanak"

   Ba2 Suramenggala berseru pula "jelas kita sama2 melanggar peraturan keprajuritan karena tak membawa surat perintah. Namun sama2 pula mendapat tugas untuk menjemput raden Nararya. Sekarang bagaimana keputusan kalian?"

   "Kami yang datang lebih dulu dan lebih dulu pula yang membawa raden. Maka kamilah yang layak mengiringkannya ke gedung kepatihan"

   "Tidak "seru Suramenggala "soal engkau lebih dulu datang ke asrama prajurit, itu hanya soal waktu yang jaraknya hanya beberapa kejab mata. Mengapa engkau mengatakan lebih berhak?"

   "Bukankah itu berarti bahwa perintah gusti patih lebih dulu dilaksanakan kepada raden ?"

   "Ki sanak dimanakah saat ini kita berada ?"

   Teriak Suramenggala.

   "Mengapa harus bertanya ? Bukankah saat ini kita berada di lorong yang menuju ke gedung kepatihan"

   "Tepat"

   Seru Suramenggala pula "dengan begitu perintah membawa raden Nararya itu baru sedang berjalan dan belum selesai dilaksanakan.

   Apabila raden sudah ba di gedung kepa han, itu memang engkau dapat mengatakan bahwa perintah gus pa h itu lebih dulu dari perintah gus pangeran.

   Tetapi karena kalian sedang dalam perjalanan maka dak ada lagi siapa yang lebih dahulu menjemput raden.

   Yang jelas, kita sama2 mendapat tugas untuk mengundang raden Nararya dan kita sama2 tak membawa surat tugas atau buk perintah dari junjungan kita masing2.

   Terserah bagaimana engkau hendak menyelesaikan persoalan ini.

   Cuma perlu diperingatkan, ada dua hal yang harus engkau per mbangkan.

   Kesatu, diantara junjunganmu dengan junjunganku, jelas junjunganku lebih unggul kedudukannya.

   Apabila pangeran sampai murka dan melaporkan hal ini kehadapan baginda, gustimu tentu akan mendapat teguran keras dari baginda...."

   "Aku tak menger bagaimana hubungan gus mu dengan baginda. Tetapi kurasa gus mu paling2 hanya menerima dampratan dan teguran "kata Suramenggala pula "tetapi engkau tentu akan mendapat pidana. Dihukum ma , paling dak tentu dipecat. Dan gus mu tentu tak dapat melindungi dirimu"

   Pradongga mengerut dahi.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia hendak membuka mulut tetapi Suramenggala sudah mendahului lagi "Dan yang kedua, apabila engkau mengabaikan peringatanku pertama tadi, seharusnya engkau menyadari peringatan yang kedua ini.

   Andaikata engkau tetap tak menghiraukan segala apa dan tetap hendak mempertahankan pendirianmu, tentu terpaksa kita akan adu kekerasan.

   Dalam hal itu jelas kalian pasti akan menderita akibat yang lebih ngeri.

   Nah, cukup panjang kiranya kata-kataku ini, sekarang kuserahkan kepada pertimbanganmu"

   Meluap darah Pradongga mendengar kata2 Suramenggala yang terakhir.

   Jelas itu suatu hinaan halus bahwa apabila bertempur, Pradongga tentu kalah.

   Tetapi ke ka teringat akan kata2 Suramenggala yang pertama, diapun mau juga memper mbangkan.

   Diam2 dia mengakui bahwa kedudukan Ardaraja sebagai putera menantu, memang lebih nggi dari Aragani yang menjadi pa h, sekalipun pa h yang mendapat kepercayaan.

   Baginda pas akan cenderung kepada Ardaraja, bukan saja karena pangeran itu putera menantunya pun juga harus memperhitungkan fihak Daha.

   Secepat melepaskan perhitungan itu, diapun segera memperoleh pikiran.

   "Ki lurah, dalam mempertahankan tugas kewajiban, kami prajurit Singasari tak gentar menghadapi bahaya apapun. Harga dari kewajiban itu adalah jiwa kami. Tugas adalah jiwa kami. Selama jiwa masih, tugas tetap kami lakukan"

   "Hm"

   Desuh Suramenggala "jadi engkau ..."

   "Lebih baik kita serahkan persoalan ini kepada raden"

   Cepat Pradongga mendahului "adakah raden akan memenuhi undangan gusti patih Aragani atau gusti pangeran Ardarja"

   Suramenggala terkesiap.

   Semula dia hendak menolak tetapi ia merasa dirinya dipandang oleh Kidung.

   Selintas mengerling, ia melihat Kidung memberi isyarat kicupan mata "Ya, benar, tentulah raden Nararya akan memilih aku karena bersahabat baik dengan pangeran "

   Pikirnya.

   "Baik "

   Lalu ia memberi jawaban.

   "Tetapi ingat, ki lurah "

   Seru Pradongga "kepada fihak siapapun raden akan memilih, fihak yang tak terpilih harus rela menerima dan tak boleh mengganggu. Jika melanggar janji, akan terjadi pertumpahan darah yang berkelanjutan"

   "Hm, baik"

   Suramenggala mendesuh.

   Pradongga segera berpaling menghadap Wijaya "Raden, sesungguhnya gus pa h Aragani benar2 sangat mengharap kedatangan raden.

   Tentulah hendak membicarakan suatu persoalan pen ng dengan raden.

   Dan tadi radenpun sudah setuju.

   Tetapi entah bagaimana ki lurah ini mengatakan kalau di tahkan gus pangeran untuk mengundang raden.

   Terserah bagaimana keputusan raden"

   Sejak kedatangan Suramenggala dan perbantahannya dengan pengalasan Pradongga, Wijaya mengikutinya semua.

   Ia tak tahu mengapa pangeran Ardaraja hendak memanggilnya, lebih tak tahu pula mengapa pa h Aragani juga mengundangnya.

   Apakah kepen ngan kedua orang itu dengan dirinya ? Adakah mempunyai hubungan dengan sayembara siang tadi? Ia teringat akan perkenalannya dengan putera raja Daha tempo hari.

   Betapa pangeran itu menginginkan agar ia mau bekerja kepadanya.

   Kemungkinan besar, pangeran Ardaraja tentulah akan mengulang permintaannya itu atau sekurang-kurangnya tentu akan membicarakan masalah yang mempunyai kaitan dengan keinginannya itu.

   Tetapi mengapa pa h Aragani juga memanggilnya? Adakah pa h itu juga memiliki keinginan seper pangeran Ardaraja? Ah, entahlah.

   Tetapi dalam hati kecilnya terpercik suatu rasa enggan untuk bekerja kepada kedua orang itu.

   Saat itu Wijaya masih merasa tubuhnya lemah, tenaga lunglai.

   Untuk menolak permintaan mereka, ia kua r akan mbul hal2 yang tak diinginkan.

   Dalam keadaan seper saat itu, ia merasa belum siap untuk menghadapi segala kenungkinan.

   Diam2 mbul pikiran untuk menggagalkan kedua orang itu.

   "Ki sanak "

   Katanya "apakah engkau menganggap bahwa aku masih mempunyai kebebasan untuk menolak perintah priagung, seperti gustimu rakryan patih Aragani dan pangeran Ardaraja ?"

   Pradongga terkesiap.

   Sederhana kedengarannya kata2 itu tetapi sukar baginya untuk menjawab.

   Mengiakan pertanyaan itu, berar ia menghilangkan kekuasaan pa h Aragani.

   Namun jika ia mengatakan tidak, maka berarti ia harus menarik pertanyaan yang diajukan kepada raden itu.

   Kidung yang dalam se ap persoalan lebih dapat berpikir dengan terang, diam2 bersorak dalam ha .

   Tidak demikian dengan Suramenggala.

   Ia menganggap Wijaya telah memberi angin kepadanya karena mempersulit Pradongga.

   Ia menganggap kesempatan itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya "Raden, pangeran benar2 mengharap kehadiran raden.

   Mari kuantar raden menghadap pangeran"

   "Celaka "

   Kidung mengeluh dalam ha . Dengan pernyataan itu Suramenggala telah menolong kesulitan Pradongga.

   "Hm "

   Desuh Wijaya dalam ha namun ia menjawab juga "Terserah kalian, kemana aku harus menghadap. Aku menurut saja"

   "Baik, raden "

   Suramenggala terus hendak maju tetapi secepat itu Pradonggapun sudah tampil menghadang "ki lurah, jangan main memaksa"

   "Bukankah raden menyatakan hendak ikut kepadaku? "

   Suramenggala membelalakkan mata.

   "Tidak "sahut Pradongga "raden mengatakan terserah kepada kita. Dengan begitu kita yang harus memutuskan."

   "Jika demikian engkaulah yang harus menyingkir "

   Seru Suramenggala.

   "Tidak "

   Sahut Pradongga "akupun harus menetapi kewajiban tugas yang diberikan gusti patih"

   "Maksudmu engkau tetap akan membawa raden itu?"

   "Ya"

   "O, baik sekali "

   Teriak Suramenggala "aku mau mengalah tetapi aku takut kawanku marah"

   "Siapa kawanmu ? Ki sanak yang itu ? "

   Pradongga melirik ke arah Kidung.

   "Bukan "

   Suramenggala gelengkan kepala.

   "Lalu yang mana ?"

   "Ini "

   Tiba2 Suramenggala acungkan tinjunya dan langsung dihantamkan ke dada Pradongga.

   Duk, plak ....

   Terdengar dua buah suara yang bernada lain tetapi yang hampir serempak meletupnya dan serempak pula disusul dengan dua tubuh yang terhuyung ke belakang.

   Karena amat dekat dan secara ba2, Pradongga tak sempat menghindari nju Suramenggala yang menghunjam ke dadanya.

   Namun dia masih sempat mengayunkan kaki untuk menendang perut lawan.

   Tinju dan kaki itu serempak waktunya mengenai sasarannya.

   Pradongga terhuyung- huyung mau rubuh, Suramenggala terseok-seok mendekap perut.

   Jika pandang mata Pradongga nanar, mata Suramenggalapun serasa kabur.

   Kepala mereka serasa berputar-putar karena kesakitan yang dideritanya.

   Pradongga sesak napasnya, Suramenggala mulas perutnya.

   Kedua orang itu sama2 memiliki tubuh yang nggi besar dan tenaga yang kuat.

   Dada Pradongga serasa pecah, perut Suramenggala serasa meledak.

   Pada saat kedua lawan itu pejamkan mata untuk memulangkan tenaga, maka Roban.

   kawan Pradongga, menggunakan kesempatan itu untuk loncat menerjang Suramenggala.

   Tetapi baru ba di tengah jalan dia sudah disambut Kidung dengan pukulan yang dahsyat.

   Keduanyapun segera berhantam.

   Pradongga dan Roban merupakan pengalasan pa h Aragani yang dipercayakan untuk menjaga keselamatan diri pa h itu dan gedung kepa han.

   Sudah barang tentu mereka merupakan, prajurit2 pilihan.

   Demikian pula Suramenggala dan Kidung.

   Keduanya dipilih Ardaraja untuk menjadi pengiringnya ke Singasari, juga sudah melalui pilihan yang ketat.

   Apabila Pradongga dan Suramenggala sama2 memiliki tenaga besar, Roban dan Kidung sama2 memiliki ketangkasan yang nggi.

   Keduanya seimbang sehingga pertempuran berjalan seru dan lama.

   Berulang kali Roban menderita pukulan dari lawannya tetapi Kidungpun harus beberapa kali menahan kesakitan dari nju lawannya.

   Dalam sebuah kesempatan, Kidung berhasil memancing lawan untuk menerobos bagian dadanya yang tak terlindung.

   "Tetapi ke ka Roban benar mendesak maju dan menghantam dada Kidung, ba2 Kidung dapat menguncinya. Tangan kiri mencengkeram pergelangan tangan orang dan tangan kanan menyambar siku lengannya lalu serempak digentakkan ke bawah sekuat-kuatnya "Aduh ... aduh ...."

   Kembali peris wa Pradongga dan Suramenggala terulang lagi.

   Pada saat Roban menyadari bahwa tangannya telah dikunci kemudian tentu akan dipatahkan, diapun nekad.

   Serempak, pada saat dugaannya menjadi kenyataan yalah Kidung benar2 telah menggentakkan tangannya untuk mematahkan tulang lengannya, Roban sekonyong-konyong, tusukkan jari tangan kiri ke mata lawan dan berhasil.

   Tulang tangan kanan Roban patah tetapi mata Kidungpun berdarah.

   Walaupun tak sampai biji matanya pecah tetapi luka yang mengeluarkan darah itupun cukup sakit.

   Keduanya sama2 mengaduh dan sama2 pula terhuyung-huyung mundur dan rubuh ke tanah.

   Mendengar teriakan kedua orang itu, Pradongga dan Suramenggala terkejut dan serempak membuka mata.

   Alangkah kejut mereka ketika melihat kawan mereka sama2 menderita luka.

   Merekapun bergerak hendak menolong kawannya sendiri.

   Tetapi suatu peristiwa lain telah mengejutkan mata mereka sehingga mereka menjerit sekeras kerasnya "Hai kemanakah dia .

   ..

   !"

   Apakah yang telah terjadi ? Kiranya peris wa yang membuat kedua pengalasan itu serasa terbang semangatnya tak lain adalah Wijaya. Pemuda itu ternyata sudah tak berada di tempat itu.

   "Bukankah dia masih di sini ?"

   Teriak Suramenggala "hm, jangan engkau main gila, ki sanak"

   Pradongga juga tak kalah kejutnya. lamaran menmendengar kata2 Suramenggala "Apa katamu?"

   "Engkau tentu menyuruh kawanmu yang lain untuk membawa raden itu !"

   "Engkau gila! "teriak Pradongga "bukankah engkau melihat sendiri bahwa aku hanya membawa seorang kawan dan diapun sudah berhantam dengan kawanmu ? Huh, engkau hendak menghilangkan jejak"

   "Apa maksudmu? "seru Suramenggala.

   "Engkau menuduh aku menyuruh seorang kawan lain untuk membawa raden, tetapi yang pas engkau sendiri yang melakukan kecurangan itu. Engkau tentu sudah mengatur persiapan. Begitu kita bertempur, kawanmu terus membawa raden."

   "Setan engkau !"

   Suramenggala terus hendak maju menyerang tetapi Pradonggapun cepat mencabut pedang "Ki lurah, jika engkau tetap hendak ber ndak dengan kekerasan, akupun terpaksa harus menggunakan wewenang yang diberikan gus pa h.

   Siapa yang berani mengganggu perintah gusti patih, jika perlu, boleh dibunuh!"

   "Engkau harus bertanggung jawab atas kata-katamu yang menuduh aku menyuruh orangku untuk membawa raden itu"

   "Baik "jawab Pradongga "tetapi akupun minta pertanggungan jawab atas tuduhanmu tadi"

   "Hm "desuh Suramenggala.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ki lurah "kata Pradongga "kuminta engkau bersikap jujur. Jelas aku dan engkau sedang pejamkan mata memulangkan tenaga. Dan kedua kawan kita-pun sedang bertempur. Aku percaya bahwa engkau tentu tak membawa kawan lain untuk membawa raden itu. Tetapi akupun minta engkau harus percaya aku tak melakukan tindakan semacam itu"

   "Hm, memang mataku percaya tetapi perasaanku tak percaya"

   "Baik "sahut Pradongga agak gemas melihat sikap yang begitu kukuh dari Suramenggala "sekarang kuajukan dua buah pilihan. Pertama, kita masing2 mencari ke tempat yang kita curigai. Engkau mencari ke gedung kepa han dan aku menyelidiki ke dalam keraton tempat kediaman gus pangeran"

   "Yang kedua ?"

   "Kita sama2 pulang melapor kepada junjungan kita"

   "Aku memilih kedua-duanya "seru Suramenggala.

   "Bagaimana kehendakmu ?"

   "Aku akan kembali ke keraton untuk melapor kepada pangeran. Apabila tak bertemu raden Nararya berada disitu aku hendak mohon idin kepada pangeran untuk mencari ke kepatihan"

   "'O "desuh Pradongga "baik, akupun juga demikian. Jika di kepa han tak bersua dengan raden, akupun akan menyelidiki ke dalam keraton"

   Suramenggala tak menjawab melainkan terus berputar tubuh, menghampiri Kidung dan mengajaknya pergi.

   Kemanakah gerangan Wijaya? Ternyata pada saat Pradongga dan Suramenggala sama2 menderita kesakitan dan sedang duduk pejamkan mata, kemudian Roban sedang bertempur dengan Kidung, maka datanglah prajurit Gana dan Doma ketempat itu.

   Ternyata kedua prajurit itu menyadari bahwa ndakan mereka untuk memberikan Wijaya kepada pengalasan pa h Aragani, dak benar.

   Apabila demang Widura tahu, mereka tentu akan mendapat pidana hukum keprajuritan yang berat.

   Tindakan itu berarti melalaikan tugas.

   "Celaka, kakang Gana "

   Kata Doma "perbuatan kita memberikan raden itu kepada utusan gus patih pasti akan menimbulkan akibat yang berat bagi kita"

   "Hah? "

   Gana gelagapan.

   "Se ap waktu demang Widura datang dan mengetahui hal itu, kita pas akan menerima pidana berat"

   "Ya, benar "

   Teriak Gana terkejut "habis bagaimana langkah kita? Bukankah mereka sudah membawa raden itu ke kepatihan?"

   "Rasanya sekarang masih belum terlambat apabila kita susul mereka"

   Keduanya segera lari menuju ke tempat kediaman pa h Aragani. Sampai di tempat pertempuran mereka terkejut "Pelahan kakang Gana "Doma segara mencegah lari Gana "rupanya merekalah rombongan raden tadi"

   Dengan ha 2 keduanya segera menghampiri ke tempat itu.

   Mereka melihat Pradongga dan Suramenggala tengah duduk pejamkan mata sedangkan Roban tengah bertempur dengan Kidung "Kakang, mari kita menghampiri ke tempat raden itu "bisik Doma.

   Dengan pelahan-lahan dan hati2 agar jangan sampai menimbulkan bunyi yang menarik perhatian orang2 itu, keduanya berhasil mendeka ke tempat Wijaya "Raden"

   Bisik Gana "tolonglah kami, raden"

   Wijaya terkejut ke ka mendengar suara dari belakang. Ia berpaling dan dilihatnya kedua prajurit itu bersembunyi dibalik semak "Kenapa kakang prajurit?"

   "Kami telah melakukan kesalahan besar karena mengidinkan raden dibawa oleh utusan gus pa h"

   Bisik Gana pula "apabila hal itu diketahui ki demang, kami berdua tentu akan mendapat hukuman. Maka tolonglah kami berdua, raden. Hanya raden yang dapat menolong kami"

   "Bagaimana maksudmu, kakang ?"

   "Kami mohon raden suka kembali ke asrama lagi"

   "Bagaimana kalau mereka akan mengejarmu?"

   "Kami akan mempersiapkan kawan2 prajurit untuk menghadapi mereka. Tolonglah raden, agar kami tak mendapat marah ki demang"

   "Kakang sudah menyadari kewajiban kakang?"

   "Benar, raden. Kami merasa bersalah melalaikan kewajiban"

   Wijaya menimang.

   Prajurit itu telah menyadari kesalahannya.

   Seorang yang sudah sadar akan kesalahan, layak mendapat bantuan dukungan.

   Ia mengiakan dan mereka bertiga lalu diam2 menyelinap tinggalkan tempat itu.

   Demikianlah mengapa Pradongga dan Suramenggala tak mendapatkan Wijaya berada ditempat itu lagi.

   Tepat pada saat ba di asrama, ternyata demang Widura sudah menunggu.

   Kedua prajurit itu pucat wajahnya.

   "Hai, kemana saja kalian ? "

   Tegur demang Widura "Kami .... kami ...."

   "Kedua kakang ini mengantarkan aku berjalan-jalan di sekeliling asrama ini, ki demang"

   Cepat Wijaya memberi keterangan. Ia kasihan melihat kedua prajurit itu pucat dan tersendat kata-kata.

   "O"

   Desuh ki demang "ki muda, tumenggung Bandupoyo menitahkan engkau menghadap"

   "O"

   Wijaya agak terkejut namun cepat ia menyatakan kesediaannya. Demang Widura segera mengiring Wijaya ke dalam keraton. Dan kedua prajurit itu segera menghela napas longgar "Ah, mulia benar hati raden itu"

   Mulut mereka menggumam rasa syukur. Selama masuk ke dalam keraton, demang Widura tak berkata apa2. Baru setelah ba di pendapa agung, ia berkata "Ah, tumenggung Bandupoyo sudah menunggu kita"

   "Ah, anakmuda, ada suatu berita jang menggirangkan untukmu "seru tumenggung Bandupoyo menyambut kedatangan Wijaya. Wijaya memberi hormat "Apakah yang tuan maksudkan kepada diri hamba, gusti"

   "Ah"

   Bandupoyo mengeluh dalam ha karena Wijaya menyebutnya gus "aku sengaja menggunakan sebutan anakmuda kepadamu agar demang Widura tak mengetahui hubungan kita. Tetapi janganlah engkau terus memakai sebutan gusti kepadaku"

   "Seri baginda yang mulia sang prabu Kertanagara berkenan menitahkan engkau menghadap ke balairung "

   Kata Bandupoyo.

   "O"

   Wijaya terkejut adakah seri paduka yang mulia hendak menjatuhkan, pidana kepada diri hamba?"

   "Entahlah "kata Bandupoyo kemudian tertawa "apakah engkau merasa mempunyai kesalahan terhadap kerajaan?"

   Wijaya kerutkan dahi. Sesaat kemudian ia menjawab "Menurut perasaan hamba, tak pernah kiranya hamba melakukan sesuatu yang melanggar undang2 kerajaan. Tetapi mungkin ...."

   "Apa maksudmu ? "tukas tumenggung Bandupoyo.

   "Hamba maksudkan tentang peris wa sayembara siang tadi, ki tumenggung "kata Wijaya "mungkin baginda murka karena hamba telah merentang gendewa pusaka kerajaan Singasari"

   "Ha, ha, ha"

   Tumenggung Bandupoyo tertawa "bagaimana mungkin hal itu terjadi ? Gendewa pusaka kyai Kagapa adalah atas perkenan baginda untuk dilombakan dalam sayembara itu, mengapa baginda harus murka ? Tidak; ki sanak, kurasa baginda takkan murka karena peris wa itu.

   Yang pen ng, engkau merasa mempunyai kesalahan atau dak.

   Apabila dak, mengapa engkau harus takut pada bayanganmu sendiri?"

   "Terima kasih, ki tumenggung"

   "Ki demang"

   Kata Bandupoyo "silakan ki demang melanjutkan apa tugas ki demang. Aku akan mengantar anakmuda itu ke hadapan baginda"

   Setelah demang Widura pergi maka tumenggung Bandupoyopun berkata "Raden, mengapa engkau panggil paman dengan sebutan gusti ?"

   "Ah, agar ki demang tak mengetahui bahwa aku sudah mengenal paman"

   "Ya, benar, tetapi janganlah menyebut gus . Aku tak enak dalam ha sendiri "tumenggung Bandupoyo tertawa.

   "Paman "kata Wijaya "apakah sesungguhnya maksud baginda menitahkan aku menghadap?"

   "Entahlah "kata tumenggung Bandupoyo "mungkin memang mengenai peris wa engkau mampu merentang gendewa kyai Kagapa itu. Setelah aku melaporkan tentang peris wa2 yang terjadi di dalam sayembara tadi, tampak baginda terkejut mendengar engkau mampu merentang gendewa pusaka itu. Dan bagindapun segera menurunkan titah supaya engkau menghadap baginda"

   Bandupayo segera mengajak Wijaya masuk ke dalam balairung. Dalam pada itu Bandupoyo sempat bertanya tentang keadaan Wijaya "Sampai saat ini aku masih merasa lunglai, paman tumenggung "kata Wijaya.

   "Ah "tumenggung Bandupoyo terkejut "pada hal besok engkau harus menghadapi acara sayembara yang berat sekali, adu keunggulan kanuragan. Apabila tenagamu masih lemah, bagaimana mungkin engkau dapat menghadapi ksatrya2 itu. Terutama ...."

   "Terutama siapa, paman ?"

   "Ku "kata tumenggung Bandupoyo "dia sak mandraguna. Dalam keadaan sehat, masih sukar untuk memas kan bahwa engkau akan dapat mengalahkannya. Apalagi kalau engkau masih lemah tenagamu "

   Nada tumenggung itu memancarkan kecemasan.

   "Mudah-mudahan besok tenagaku sudah pulih kembali"

   "Hm"

   Gumam Bandupoyo "sayembara besok pagi itu merupakan suatu kenyataan yang harus dihadapi dengan sungguh2. Jangan menggantung harapan dengan suatu 'mudah-mudahan', raden Wijaya"

   "Ya, benar paman"

   Jawab Wijaya "akupun tentu akan berusaha pada malam ini untuk memulangkan tenagaku. Tetapi apabila tak dapat, akupun tak dapat berbuat suatu apa kecuali memaserahkan saja kepada kehendak Hyang Widdhi"

   "Wajib manusia itu berdaya, raden. Jangan lekas berputus asa untuk memaserahkan diri kepada Hyang Widdhi. Karena Hyang Widdhi hanya merestui kepada insan yang mau berusaha"

   "Terima kasih, paman "

   Kata Wijaya "tetapi apa dayaku?"

   Sejenak berdiam, tumenggung Bandupoyo menyatakan bahwa dia akan memikirkan persoalan itu.

   Dia akan berusaha untuk membantu memulihkan tenaga Wijaya.

   Dalam pada itu balah mereka di balairung.

   Sebenarnya selama berjalan memasuki keraton itu mata Wijaya tak hen -hen nya tertumbuk akan pemandangan yang indah2 dan serba menakjubkan.

   Tiang2 soko yang besar dan berukir padma, hiasan2 dinding yang serba cemerlang dan semarak, menempatkan perasaan Wijaya pada sebuah alam dunia lain.

   Tetapi karena selama berjalan itu dia terus melayani percakapan dengan tumenggung Bandupoyo maka segala yang dilihatnya itu hanya singgah di mata tetapi tak masuk dalam ha .

   Perha annya tertumpah pada pembicaraan dengan tumenggung itu.

   Menginjak balairung barulah pikiran Wijaya terhenyak.

   Apa yang berada di hadapannya, benar2 mengagumkan sekali..

   Teringat ia ke ka dahulu masuk ke keraton Daha.

   Ia mempunyai kesan bahwa kemegahan keraton Singasari jauh lebih hebat dari keraton Daha.

   Dan ke ka kaki melangkah mengiku di belakang tumenggung Bandupoyo, iapun terperanjat ke ka melibat seorang pria yang duduk di sebuah kursi kebesaran dari gading bersalut emas.

   Sepanjang jalan dari kursi keemasan itu hingga ke bawah, tertutup oleh permadani warna hijau yang gemilang.

   "Tumenggung Bandupoyo menghaturkan sembah bak kehadapan yang mulia seri baginda Kertanagara sang Lokajaya, junjungan seluruh kawula Singasari"

   Seru Bandupoyo seraya duduk bersimpuh menghaturkan sembah. Melihat itu Wijayapun ikut duduk dan menghaturkan sembah kepada pria yang duduk di singgasana itu.

   "O, tumenggung Bandupoyo"

   Seru baginda "mana orang yang ikut dalam sayembara itu?"

   Terkejut sekali Wijaya mendengar nada suara baginda yang lantang mengumandang laksana petir berbunyi di musim kemarau. Suara yang berwibawa sekali.

   "Hamba telah membawanya menghadap ke hadapan paduka, gusti "

   Seru Bandupoyo.

   "O, suruh dia tampil ke hadapanku"

   Bandupoyo segera berkata pelahan "raden, harap maju ke hadapan seri baginda"

   Wijaya dengan laku yang hormat segera beringsut maju ke hadapan seri baginda, menghaturkan sembah.

   Baginda memandang Wijaya sampai beberapa saat kemudian beliau tampak mengangguk-angguk "Engkaukah ksatrya muda yang mampu merentang gendewa kyai Kagapati itu ?"

   "Hamba gusti "

   Wijaya memberi sembah.

   "Siapa namamu?"

   "Hamba Wijaya, gusti"

   "O, Wijaya ? "

   Seru baginda "suatu nama yang bagus. Dan rasanya, nama itu bukan nama yang lazim dipakai oleh rakyat jelata"

   Diam2 Wijaya terkejut. Jika baginda mengajukan pertanyaan untuk menelusuri keturunannya, bukankah ia akan menghadapi kesulitan ? Namun dia diam saja.

   "Dari mana tempat asalmu?"

   "Hamba dari lereng gunung Kawi, gus "

   Diam2 Wijaya menghembus napas longgar karena baginda tak bertanya lebih lanjut tentang keturunannya.

   "Wijaya, engkau masih muda tetapi ternyata engkau digdaya sekali, mampu merentang gendewa kyai Kagapati. Siapakah gurumu?"

   "Mohon diampunkan segala kesalahan hamba"

   Wijaya berdatang sembah pula "guru hamba seorang pertapa yang nggal di puncak gunung Kawi, bergelar begawan Sinumaya, gus .

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sesungguhnya hamba tak pernah percaya pada diri hamba bahwa hamba akan mampu merentang gendewa pusaka kerajaan paduka, gus .

   Kesemuanya itu hamba percaya hanyalah atas restu kemurahan baginda yang mulia"

   Sebenarnya Wijaya hendak mengucapkan kata2 merendah diri, tetapi baginda ternyata amat sedap sekali mendengar rangkaian kata2 yang menyanjung dirinya.

   "Wijaya"

   Titah baginda pula "apakah tujuanmu ikut serta dalam sayembara itu?"

   "Mohon diperkenankan kiranya hamba mengunjuk kata ke hadapan paduka yang mulia"

   "Ya, katakanlah"

   "Mohon pula dilimpahkan ampun yang besar kepada diri hamba apabila hatur sembah kata hamba ini tak berkenan di hati paduka gusti"

   "Ya"

   "Hamba merasa sebagai seorang kawula Singasari, kerajaan paduka yang besar, wajib mempersembahkan bhak pengabdian hamba. Karena berkat kekuasaan dan pengayoman paduka yang bijaksana maka hamba yang dilahirkan di bumi Singasari ini dapat mengenyam kehidupan yang tenteram sejahtera. Hamba lahir, hidup dan ma di bumi Singasari maka hamba wajib berbakti kepada bumi Singasari"

   "Itukah yang menjadi tujuanmu?"

   "Demikian kiranya, gusti"

   "Tidakkah engkau bercita-cita mencapai kedudukan dan pangkat yang nggi, menikma hidup yang mewah dan terhormat?"

   Wijaya menghatur sembah "Pendirian hidup hamba adalah mengabdi kepada negara.

   Apapun yang kerajaan akan menempatkan diri hamba, menjadi prajurit atau tamtama atau senopa , bagi hamba adalah sama.

   Karena menurut hemat hamba, suatu pengabdian itu merupakan suatu penyerahan jiwa raga yang berlandaskan cita2 luhur, bebas dari rasa pamrih akan pangkat dan kedudukan"

   Baginda terperanjat.

   Kemudian mengangguk "Bagus, Wijaya.

   Memang demikian laku dari seorang ksatrya utama, demikian pula dharma seorang manusia perwira.

   Hanya sayang "demikian baginda menghela napas "bahwa tidak sedikit yang lancung dalam ujian.

   Artinya, bermula dalam memasuki bidang pengabdian, baik sebagai prajurit maupun narapraja, mereka membekal segunung cita2 dan pendirian yang indah dan muluk, menyatakan ingin mengabdi kepada negara dengan tulus ihktas tanpa pamrih.

   Tetapi setelah mencapai kedudukan dan pangkat tinggi, lupalah mereka akan asal mulanya, lupa akan bekal cita-citanya.

   Bahkan hampir lupa segala-galanya, karena mencurahkah segenap perhatian dan hidupnya untuk mencari kekuasaan dan menumpuk kekayaan peribadi."

   Merah wajah Wijaya karena tersipu-sipu. Diam2 dia mengakui memang hal itu suatu kenyataan. Walaupun dak semua orang sedemikian tetapi dak sedikit jumlah narapraja dan mentri maupun nayaka senopati yang terjerumus dalam nafsu2 peribadi.

   "Ha, ha, ha"

   Ba2 terdengar gelak tawa baginda yang mengerontang lantang, memenuhi kesunyian balairung "jangan engkau tersinggung karena berhadapan dengan kenyataan semacam itu, Wijaya.

   Bahkan dengan, mengetahui kenyataan2 itu hendaknya, engkau dapat mawas diri dan selalu ingat pada janji hatimu dan pada sumpah kedudukanmu sebagai narapraja atau senopati"

   "Hamba mengunjukkan terima kasih yang tak terhingga kebawah duli paduka gusti. Titah yang paduka amanatkan kepada hamba, akan hamba ukir selalu dalam kalbu sanubari hamba."

   Wijaya menyongsong sembah. Dalam percakapan yang amat singkat itu, baginda merasa senang dan mempunyai kesan baik terhadap Wijaya.

   "Wijaya"

   Ba2 baginda ber tah pula "kudengar engkau pingsan tatkala habis merentang gendewa kyai Kagapati "' "Demikianlah, gusti"

   "Bagaimana perasaanmu saat itu?"

   Dengan terus terang Wijaya lalu menghaturkan keterangan bahwa saat itu ia seper kehilangan diri.

   Perasaannya seper tak sadar dan ia seolah-olah seper menjadi seekor burung garuda yang tengah berusaha untuk merentang sayap.

   Kemudian setelah berhasil merentang sayap, iapun ingin hendak terbang tetapi suatu keajaiban terjadi manakala ia rasakan tenaganya hilang dan eritah bagaimana, ia terus rubuh tak kabarkan diri.

   Mendengar itu bagindapun mengangguk-angguk.

   "Ya, engkau benar, Wijaya"

   Ujar baginda "memang gendewa kyai Kagapa sebuah pusaka yang amat bertuah"

   Kemudian secara ba2 baginda beralih pandang ke arah Bandupoyo "Bandu, entah bagaimana saat ini hatiku merasa riang. Ambilkan tuak pada dayang dalam puri"

   Bandupoyo terkejut namun ia melakukan juga tah baginda. Tak berapa lama tumenggung itu keluar dengan membawa penampan emas dan ga buah guci tembikar yang indah. Dengan laku yang amat hormat, ia menghaturkan penampan itu ke hadapan baginda.

   "Bandu"

   Tah baginda "aku berkenan untuk menganugerahi secawan arak kehormatan kepada anakmuda yang telah berhasil manunggal dengan kyai Kagapati"

   Bandupoyo makin terkejut namun ia tak berani membantah tah baginda.

   Atas tah sang nata, Bandupoyo memberi semangkuk tuak kepada Wijaya "Ksatrya muda, lekaslah engkau haturkan sembah syukur ke hadapan baginda yang berkenan menganugerahimu tuak kehormatan"

   Wijaya terkejut.

   Selama ini tak pernah ia menyentuh tuak apalagi meminumnya.

   Namun ia takut untuk menolak karena jelas tuak itu suatu anugerah baginda kepadanya.

   Terpaksa ia menyambu dan menghaturkan sembah terima kasih ke hadapan baginda.

   Bermula ia masih meragu tetapi karena baginda menitahkan meminumnya, terpaksa iapun meminumnya.

   Tuak itu harum baunya mengundang selera.

   Dan waktu lidah menyentuh, terasa manis2 sedap.

   Makin tambah besar selera dan diteguknya tuak semangkuk penuh itu sampai habis.

   "Bagaimana rasanya, anakmuda?"

   Tiba2 baginda berujar.

   "Harum dan sedap sekali, gusti "sembah Wijaya.

   "Ha, ha, ha"

   Baginda tertawa gembira "tuak itu bukan sembarang tuak. Tuak persembahan dari raja Bedulu Bali. Terbuat daripada brem dan sudah diperam sampai puluhan tahun"

   Kemudian baginda menuang pula kesebuah mangkuk dan diberikan kepada Bandupoyo, menitahkan tumenggung itu "Sesekali engkau harus minum juga Bandu, agar semangat dan tenagamu selalu terpelihara kesegarannya"

   Setelah menghaturkan sembah, Bandupoyo menyambu mangkuk lalu meneguknya sampai kering.

   "Bagaimana Bandupoyo? "tegur baginda.

   "Sungguh luar biasa nikmat tuak anugerah paduka itu, gusti"

   "Ha. ha, ha "

   Baginda tertawa gembira lalu meneguk guci tuak itu sampai beberapa saat sehingga habis seluruh isinya.

   Diam2 tumenggung Bandupoyo menyesal dan menyumpahi dirinya sendiri "Hm, aku tak setuju setiap melihat baginda bersenang-senang minum dengan patih Aragani.

   Akupun muak mendengar patih Aragani merangkai kata2 penyanjung yang indah2 untuk membuai baginda.

   Sekarang, ya, pada saat ini, kesemuanya itu telah terjadi pada diriku.

   Aku menjadi Aragani yang memuakkan hatiku itu ...

   ."

   "Orang muda"

   Sesaat kemudian terdengar baginda berujar "malam ini aku merasa gembira sekali.

   Dan demi merayakan peristiwa timbulnya seorang calon senopati Singasari yang telah mendapat restu dari kyai Kagapati, aku berkenan hendak menceritakan sejarah kyai pusaka itu"

   Tumenggung Bandupoyo benar2 terkejut. Tak pernah ia menyangka bahwa sedemikian besar minat sang nata yang tercurah kepada raden Wijaya. Iapun segera menghaturkan lembah. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Wijaya sudah mendahului.

   "Duh, gus sang nata binatara sesembahan hamba. Rasanya ada kata2 yang sanggup hamba persembahkan kebawah duli paduka, untuk menyatakan betapa besar rasa rendah ha yang menyeruak dada hamba atas anugerah yang paduka limpahkan kepada diri hamba yang hina dina ini "seru Wijaya.

   "Wahai, anakmuda"

   Seru baginda "kiranya pandai juga dikau merangkai kata menghias bahasa.

   Rupanya engkaupun mendalami ilmu sastera pula di-samping ilmu kedigdayaan.

   Akupun gemar juga akan ilmu kesusasteraan dan kitab2 veda.

   Rasanya masih kalah juga patih Aragani dalam ilmu merangkai kata dengan dikau, anakmuda"

   "Mohon paduka berkenan melimpahkan ampun sebesar-besarnya atas diri hamba yang lancung mulut, lancang ucap. Hamba yang hina dina itu bagaimana mungkin akan menyamai keahlian yang mulia gusti patih Aragani. Bagaikan sinar kunang2 membentur cahaya rembulan belaka"

   Baginda tertawa gembira dan berulang kali memuji anakmuda itu. Kemudian bagindapun mengatakan "bahwa beliau segera akan menuturkan riwayat gendewa pusaka kyai Kagapati.

   "Pada masa eyang buyut Sri Rajasa sang Amurwabumi masih muda dan bernama Ken Arok, maka sangat nakallah ngkah lakunya. Gemar berjudi, menyabung ayam, gemar pula bersenang-senang dengan wanita dan berminum-minuman. Pendek kata, sejarah kehidupan masa muda dari eyang buyut itu penuh dengan peristiwa petualangan yang aneh dan beraneka ragam"

   "Demikian menurut cerita ayahanda rahyang ramuhun Wisnuwardhana kepadaku, maka suatu hari eyang buyut Ken Arok karena keputusan uang, telah melakukan pencurian di desa Pamalantenan. Begitulah puncak dari kenakalan eyang buyut. Memang perbuatan itu dak baik, tetapi maklumlah karena pergaulan dengan orang2 yang berkelakuan buruk, maka eyang buyutpun terhanyut dalam kehidupan yang dak baik. Bagaimana Wijaya, pendapatmu tentang seorang pencuri itu ?"

   Tiba2 baginda hentikan ceritanya dan berujar kepada Wijaya.

   "Menurut hemat hamba, gus , pencuri itu suatu perbuatan yang tercela karena menginginkan secara tak halal, barang2 milik orang lain"

   "Benar"

   Tah baginda "tetapi apa yang engkau dapat menemukan diantara debu2 kotoran perbuatan buruk seorang pencuri itu ?"

   Wijaya terkesiap. Sampai beberapa saat dia tak mampu menghaturkan jawaban.

   


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Dendam Asmara -- Okt

Cari Blog Ini