Dendam Empu Bharada 41
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 41
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
Dan patih Aragani telah menjatuhkan keputusan.
Baginda menyaksikan dan mendengar sendiri semua peristiwa itu.
Baginda tentu percaya tuduhan Aragani.
Empu Raganata tegak seper sebuah patung.
Sesaat ia termangu seper sebuah patung tanpa nyawa.
"Aragani,"
Cepat prajurit nggi besar menukas lalu tertawa gelak-gelak "memang sudah lazim kalau maling, penghianat menuduh orang penghianat. Makilah sepuas ha mu selagi engkau masih dapat bicara. Karena sebentar lagi engkau tentu sudah jadi mayat!."
"Siapa engkau !"
Bantah Aragani.
"Nah, sekarang engkau sadar,"
Seru prajurit nggi besar itu "seorang prajurit musuh datang, tak cepat-cepat engkau membunuhnya, kebalikannya engkau ribut menuduh kawan sendiri sebagai penghianat."
Aragani makin pucat wajahnya.
"Empu Raganata bukan seorang penghianat. Yang penghianat itu adalah manusia Aragani ......"
"Keparat engkau, anjing Daha! "
Teriak Aragani kalap.
"Kalau engkau memaki diriku sebagai anjing, kuterima,"
Sahut prajurit nggi besar itu pula "aku memang seorang hamba yang bertuan raja Jayakatwang.
Jika anjing itu disebut sebagai binatang yang setya, masakan aku seorang insan manusia, kalah dengan anjing ? Lain halnya dengan engkau, Aragani, engkau bukan anjing tetapi seorang manusia binatang yang buas.
Singasari memberi makan, pangkat dan harta tetapi engkau bersekutu dengan Demang Lebar Daun dari kerajaan Sriwijaya untuk mencaplok tuanmu sendiri, baginda Kertanagara.
Maka anjing masih lebih baik dari seorang manusia semacam engkau !."
Hampir pingsan Aragani mendengar makian yang dilontarkan orang Daha itu.
"Hai, prajurit Daha, jangan kurang ajar di hadapan baginda kami. Mengapa engkau berani masuk ke balairung sini?,"
Tiba-tiba empu Raganata membentak.
"Prajurit prajurit pengawal keraton di sini sudah tak berdaya mencegah aku masuk ke mari. Tujuanku ada dua. Pertama, hendak mohon kepada baginda Kertanagara supaya berkenan membuat pernyataan menyerah. Kedua, menangkap patih Aragani untuk dihukum cincang !."
"Masih ada sebuah lagi,"
Seru Raganata.
"Apa ?"
Prajurit tinggi besar itu terbeliak.
"Memfitnah Raganata sebagai penghianat !."
Prajurit nggi besar itu tertawa "Benar, karena rakyat Daha sangat mengindahkan diri tuan sebagai seorang mentri yang setya dan bijaksana. Alangkah bahagia negara Daha apabila mempunyai seorang mentri seperti diri tuan."
"Keparat!"
Damprat empu Raganata "siapa engkau? Huh, sampai di manakah kekuasaanmu hendak menangkap kami."
"Aku adalah Suramengala, kadehan dari raden Ardaraja. Aku diutus raden Ardaraja supaya menghadap baginda. Mengingat tali hubungan keluarga maka raden Ardaraja mohon agar baginda Kertanagara menyerahkan tahta secara damai agar jangan sampai terjadi pertumpahan darah yang tak berguna. Raden Ardaraja akan menjamin keselamatan baginda."
"Hm,"
Dengus empu tua Raganata "kalau baginda menolak?."
"Terpaksa aku harus menjalankan tah rajaku dan amanat rakyat Daha untuk menumpas raja Singasari !."
"Hai, prajurit-prajurit bhayangkara, tangkaplah penjahat ini! "
Ba- ba pa h Aragani berteriak nyaring. Enam orang prajurit bersenjata pedang dan tombak, menerobos ke dalam balairung.
"Bunuh penjahat ini!"
Teriak Aragani pula seraya menunjuk ke arah prajurit tinggi perkasa tadi. Tetapi keenam prajurit itu tetap tegak berjajar.
"Hai, kalian dengar dak perintahku ? Tangkap dan cincang penjahat itu !"
Pa h Aragani mengulang teriakannya. Tiba- ba prajurit nggi perkasaku tertawa.
"Kasihan benar engkau, pa h Aragani ! Barangsiapa menggali lubang, akhirnya ia sendiri yang akan terperosok ke dalamnya. Engkau hendak merusak baginda dengan tuak tetapi akhirnya engkau sendiri jualah yang rusak. Lihat, betapa kabur penglihatanmu? Engkau kira siapakah prajurit-prajurit yang muncul ini?."
Patih Aragani nyalangkan mata. Seketika membelalakkan mata ia dicekik keterkejutan yang besar.
"Kalian prajurit-prajurit Daha ...."
Prajurit nggi besar itupun tertawa "Kalau engkau hendak mencari prajurit-prajurit bhayangkara keraton ini, segera akan kususulkan arwahmu ke akhirat!"
Gemetar Aragani mendengar kata kata itu. Cepat ia berbalik tubuh menghadap baginda "Gus , pasukan bhayangkara keraton paduka telah habis dibunuh orang Daha. Mohon paduka memberi titah."
Belum baginda menjawab maka melantanglah empu Raganata dalam keparauan suaranya "Aragani, engkau pengecut!. Musuh sudah di depan mata, engkau masih pura-pura mohon titah. Bunuhlah musuh itu!."
Empu tua itu berjongkok memberi sembah kapada baginda Kertanagara yang sejak tadi hanya duduk terlongong di atas singgasana "Gus junjungan hamba yang mulia.
Untuk yang terakhir kali hamba mempersembahkan hormat hamba sebagai bhak seorang mentri kerajaan Singasari.
Dan hambapun hendak mempersembahkan permohonan ke bawah duli paduka.
Hanya sederhana sekali permohonan hamba yang terakhir itu, gusti."
"Ya,"
Ujar baginda singkat.
"Apapun yang terjadi telah terjadi. Kerajaan paduka, negara Singasari yang hamba cintai, saat ini telah berada di tebing kehancuran. Orang Daha telah menghlana kebaikan paduka. Orang Daha hanya menawarkan dua pilihan kepada paduka. Menyerah atau dibunuh. Bagi hamba peribadi, gusti, akan memilih mati daripada menyerah ......"
"Gusti,"
Tiba-tiba patih Aragani merebut pembicaraan "janganlah paduka mendahar ucapan Raganata itu.
Dia sudah tua renta, esok atau lusa tentu akan mati.
Oleh karena itu, tepatlah kalau dia mengusulkan begitu agar dia memperoleh kawan dalam perjalanan ke akhirat !."
"Pengecut jahanam, engkau Aragani!"
Teriak Raganata.
Namun pa h itu dak menghiraukan dan tetap melanjutkan kata-katanya ke hadapan baginda "Gus , kita harus melihat kenyataan dan berani menghadapi kenyataan, betapapun pahitnya.
Pertahanan pura telah bobol, keraton padukapun telah terkepung.
Prajurit-prajurit itu sudah menyerbu ke dalam balairung membawa pesan akuwu Jayakatwang.
Akuwu Daha itu masih ingat akan budi paduka maka dia masih menawarkan dua pilihan.
Dan hamba percaya, apabila paduka memilih suatu penyerahan, akuwu Jayakatwang tentu masih mengindahkan paduka dan seper yang pernah lakukan terhadap dirinya sebagai akuwu Daha, diapun tentu akan mendudukkan paduka sebagai akuwu Singasari."
Tiba- ba pa h Aragani berpaling kepada prajurit nggi perkasa tadi "Bukankah begitu, ki prajurit?."
"Ya,"
Sahut prajurit nggi perkasa itu.
Selama terjadi percakapan antara kedua mentri Singasari dengan baginda Kertanagara, prajurit itu tak mau ber ndak apa-apa.
Ia memang hendak memberi kesempatan agar kedua mentri itu dapat membujuk baginda menyerah.
Baginda kerutkan dahi.
Rupanya pikiran baginda masih belum terang akibat minum terlalu banyak.
Untuk menenangkan kerisauan dan menghilangkan pemikiran akan serangan pasukan Daha ke Singasari, maka pa h Aragani membujuk agar baginda minum tuak yang keras.
Dan bagindapun setuju sehingga sampai saat prajurit nggi besar menerobos masuk masuk ke balairung, baginda masih merasa kosong pikirannya, ringan bobot tubuhnya.
Masih terhuyung dalam kemabukan.
"Aragani, engkau benar seorang pa h jahanam. Engkau hendak membujuk sang prabu supaya menyerah. Huh, malu, nista sekali pikiranmu!."
"Kalau engkau hendak melawan, silakan melawan sendiri, Raganata,"
Seru Aragani mengejek "tetapi janganlah engkau mencari kawan untuk ma . Dan terutama jangan menjerumuskan baginda kita ke kancah kehancuran."
"Keparat,"
Teriak Raganata "engkau kira aku takut mati seorang diri?."
"Silakan, karena Singasari sudah lama tak membutuhkan tenagamu yang tua renta itu,"
Sahut Aragani "tetapi baginda Kertanagara adalah junjungan seluruh kawula Singasari.
Dan keadaan se ap waktu dapat berobah.
Selama masih bernafas tentu masih ada harapan.
Orang yang bijaksana dan berjiwa besar, dapat melihat kenyataan.
Tetapi hanya si dungu yang keras kepala yang akan mati secara sia-sia!."
"Jahanam Aragani, lengkaplah sudah sifat pembawaanmu. Engkau seorang penghianat yang pintar menggerogo kewibawaan Singasari. Engkau seorang penjilat yang mudah bertukar tuan. Dan engkau manusia mati rasa yang sudah hilang harga dirimu !"
Teriak empu Raganata. Belum pernah sepanjang hidupnya empu itu menumpahkan kemarahan yang sedemikian menyala-nyala dan menghamburkan hamun makian yang sedemikian kasar.
"Gusti,"
Empu Raganata memberi sembah ke pada baginda "haram gusti bagi seorang raja diraja seperti paduka apabila menyerah kepada orang Daha.
Mati seorang penghianat, kawah Candradimuka tempatnya.
Mati seorang ksatrya, Nirwana tempatnya.
Ampun, gusti, hamba tak dapat mengabdi kepada tuan lagi ........."
Serentak berputar tubuh, tiba-tiba empu tua itu menerjang prajurit tinggi besar tadi.
Pada biasanya, empu Raganata selalu tenang ucap maupun gerak tubuhnya.
Bahkan melangkahpun ia pelahan dan ha -ha sekali.
Walaupun kesehatannya masih segar, tetapi usianya yang sudah tua telah melemahkan semangatnya dalam segala hal, kecuali pengabdiannya kepada Singasari.
Sungguh terkejut sekali prajurit nggi perkasa itu ke ka melihat gerak terjangan empu yang sedemikian cepat dan dahsyat.
Ia tak menyangka bahwa seorang empu yang sudah sedemikian tua masih memiliki gerakan yang sedemikian gesit.
Karena rasa kejut, prajurit tinggi besar itupun tertegun.
Ia terkejut ketika kedua tangan empu itu telah meraih lehernya.
Rupanya Raganata hendak mencekik prajurit Daha itu.
Tetapi prajurit nggi besar itu lebih terkejut lagi ke ka belum saja ia sempat bergerak untuk menyelak tangan empu tua itu, ba ba empu tua itu menjerit nyaring dan panjang, menyerupai lolong serigala kelaparan.
"Engkau ....!"
Teriak prajurit tinggi besar itu ketika mengetahui apa yang terjadi.
Ternyata karena melihat prajurit nggi besar itu yang rupanya menjadi pimpinan mereka, hendak cekik oleh empu Raganata yang kalap, salah seorang prajurit Daha cepat loncat ke belakang empu dan terus tusukkan ujung tombaknya ke pinggang empu.
Kedua tangan empu Raganata terkulai, lepaskan cekikannya dan tubuhnyapun serentak menjuntai ke lantai, rebah tak berku k.
Tiba- ba empu itu mengacungkan tangannya "Dhirgahayu ....
jayalah ....
Singasari........."
Habis berseru, melentuklah tubuh empu Raganata. Arwahnya terbang melayang ke Nirwana.
"Beri hormat!"
Tiba-tiba prajurit tinggi perkasa Itu memerintahkan keenam anak buahnya. Keenam prajurit Daha serta prajurit nggi besar itu serempak memberi hormat keprajuritan kepada jenazah empu Raganata.
"Prajurit sekalian, inilah suri tauladan dari seorang mentri utama. Kesetyannya terhadap negara dibawa sampai mati !"
Seru prajurit tinggi besar pula. Setelah memerintahkan anakbuahnya mengangkat jenazah empu Raganata ke samping maka tampillah prajurit tinggi besar Itu ke hadapan baginda Kertanagara.
"Gusti, hamba menunggu keputusan titah paduka,"
Serunya. Sebelum baginda sempat menjawab, pa h Aragani-pun sudah mendahului "Baginda berkenan mendahar ucapanku. Siapkan prajurit kehormatan untuk menyambut baginda."
"Baik, ki pa h,"
Sahut prajurit nggi besar itu dengan nada sarat "tetapi masih ada sebuah syarat lagi."
"Syarat apa? Katakan!"
"Bahwa raja kami hanya bersedia menyambut baginda Kertanagara tetapi dak seorang pa h yang bernama Aragani!."
Kejut Aragani lebih besar daripada disambar petir. Seketika gemetarlah tubuhnya.
"Penyerahan baginda harus lengkap. Tak boleh ada seorang mentripun yang dikecualikan."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serunya setelah memperoleh ketenangan kembali.
"Benar,"
Sahut prajurit tinggi besar "memang harus lengkap dikurangi seorang Aragani saja !."
"Kurang ajar!"
Teriak Aragani "apa engkau kira Aragani sudi menyerah pada Daha ?."
"Sama saja ar nya, menyerah atau dak,"
Sahut prajurit nggi besar itu pula "karena engkau tetap harus mati."
Pucat lesi wajah pa h itu. Sesaat kemudian berobah pula merah padam "Gus ,"
Cepat ia berpaling ke arah baginda "janganlah paduka menyerah kepada orang Daha.
Dirgahayu Seri Lokawja! Gus seorang Jina, seorang yang Berkemenangan.
Tak mungkin paduka tunduk pada Jayakatwang, seorang akuwu sebawahan paduka.
Hamba, pa h paduka, mohon diperkenankan untuk mengunjuk kesetyaan kepada paduka."
Baginda Kertanagara tak menyahut melainkan mengangguk saja.
"Ha, ha, ha,"
Ba ba prajurit nggi besar itu tertawa "engkau hendak bertempur, Aragani, pa h yang termasyhur dari Singasari ?."
Aragani mencabut keris.
"Kalau orang Daha ingin menyaksikan kesak an Aragani, saat inilah,"
Seru pa h itu seraya bersiap.
"Ki bekel Suramenggala,"
Ba- ba seorang prajurit maju ke tempat prajurit nggi besar "idinkanlah aku yang menghadapi patih itu."
Prajurit nggi besar yang ternyata Suramenggala, bekel prajurit Daha yang menjadi tangan kanan raden Ardaraja, memandang sejenak kepada prajurit sebawahannya.
"Baik,"
Sahutnya lalu mendekati prajurit itu dan membisiki beberapa patah perkataan.
Suramenggala telah ditinggal di pura Singasari.
Raden Ardaraja memerintahkan supaya bekel itu bergerak dari dalam pura apabila pasukan Daha datang menyerang.
Apabila kekuatan dalam pura lemah mudahlah pasukan Daha menggempur pertahanan Singasari.
Suramenggala telah melakukan perintah dengan baik sekali.
Ia giat menyelundup ke kalangan para prajurit dan tamtama Singasari.
Membujuk mereka supaya berfihak pada Daha.
Apabila kua r diketahui dan dijatuhi hukuman oleh atasannya karena dianggap berhianat, baiklah mereka pura- pura masih tetap ikut bertempur tetapi jangan bersungguh-sungguh.
Dan apabila ada kesempatan supaya melarikan diri ataupun menyerah.
Ha -ha sekali Suramenggala menusukkan jarum-jarum berbisa ke tubuh para prajurit Singasari.
Jarumnya amat halus tetapi terbuat daripada emas.
Walaupun merasa sakit tetapi karena jarum yang melekat pada tubuh itu jarum emas, prajurit prajurit Singasari itupun menerima saja, bahkan ada yang gembira.
Jarum emas itu tak lain dari uang dan hadiah yang dihamburkan Suramenggala untuk membeli penyerahan prajurit prajurit itu.
Pada waktu pasukan Daha berhasil membobolkan gapura selatan dan menyerang alun-alun, saat itu Suramenggala segera membawa anakbuahnya menyusup ke dalam keraton.
Karena keraton hampir kosong, ia hanya menjumpai beberapa, perlawanan yang tak berar dari beberapa prajurit penjaga.
Maka berhasillah ia masuk ke balairung.
Suramenggalapun telah mendengar janji yang diberikan kepada para prajurit Daha.
Bahwa apabila dapat menangkap hidup atau ma seorang senopa Singasari akan mendapat ganjaran pangkat tumenggung dan rumah.
Dan betapapun besar ganjaran itu apabila dia dapat membunuh atau atau menawan patih Aragani serta baginda Kertanagara nanti! Namun betapapun halnya, ia tetap masih menghormat seorang empu seper Raganata.
Dan itu terbit dari ha nurani yang mengindahkan kepada empu, bukan karena terdorong oleh janji janji hadiah.
Tetapi terhadap pa h Aragani, dia memang benci.
Ia tak dapat memberi ampun lagi kepada pa h itu.
Demikian.
Setelah mendapat bisikan dari Suramenggala maka prajurit Daha itupun segera maju ke hadapan patih Aragani.
"Hai, orang Daha, jangan terlalu menghina pa h Aragani!"
Teriak pa h itu "majulah engkau, jangan suruh seorang prajurit rendah menghadapi aku!."
Prajurit Daha itu tertawa mengejek.
"Jika engkau mampu mengalahkan aku barulah engkau layak berhadapan dengan pimpinan kami itu,"
Serunya.
"Setan, loloslah senjatamu !"
Hardik Aragani.
"Tidak, ki patih,"
Prajurit muda Itu menolak "aku masih muda. Kurang adil kalau pertempuran ini, kita sama sama membawa senjata. Silakan ki patih menggunakan keris, aku tetap akan melayani dengan tangan kosong."
Pa h Aragani diam-diam gembira. Jika pertempuran itu akan berlangsung satu lawan satu, kemungkinan ia mempunyai harapan besar untuk lolos dari maut. Tetapi kalau prajurit Daha itu maju serempak, ia memang kalah.
"Baik,"
Serunya "tetapi karena engkau tak mau memakai senjata, maka kupersilakan supaya maju serempak. Ajaklah kawan-kawanmu semua itu semua mengerubu aku!"
Pa h Aragani tertawa penuh ejek. Ia memang hendak memancing kemarahan lawan agar mau menyatakan kalau takkan melakukan pengeroyokan.
"Ah, sudahlah ki pa h. Kalau ki pa h mampu membunuh Derpana ini, merekapun akan maju satu demi satu !."
"Keenam kawanmu itu semua ?"
Seru Aragani.
"Tidak,"
Sahut Suramenggala "jika engkau mampu mengalahkan prajurit Derpana, engkau bebas."
"Tidak!"
Teriak Aragani "jangan engkau terlalu menghina pa h Singasari. Adakah harga pa h Aragani itu hanya sama dengan seorang prajurit kerucuk dati Daha?."
"Adakah tidak begitu ?"
Balas Suramenggala.
"Aku menghendaki lima prajuritmu !."
"Ho. terlalu banyak, pa h Aragani. Cukup dua sajalah. Kalau engkau mampu mengalahkan dua prajuritku, engkau boleh bebas pergi dari keraton ini. Derpana, hayo, mulailah!."
Gerak Derpana yang hendak menyambar bahu lawan, telah disambut oleh ujung keris yang disongsongkan oleh pa h Aragani. Hampir saja lambung prajurit Daha itu robek. Untunglah Derpana masih dapat berkelit ke samping.
"Ah, hanya bergurat sedikit,"
Karena merasa sakit, Derpana menyingkap baju kutangnya yang pecah karena pagutan ujung keris.
Lambungnyapun berhias sebuah guratan panjang dan berdarah sedikit.
Prajurit Daha itu diam-diam tergetar ha nya.
Ia tak pernah menyangka bahwa pa h Singasari yang berwajah kuyu dan tampak tak mempunyai tenaga itu, ternyata mampu bergerak secepat ular terkejut.
Kini prajurit Daha itu ha -ha mengatur langkah dan melancarkan serangan.
Bekel Suramenggala telah memilih enam orang prajurit pilih tanding.
Di antaranya yang paling menonjol keberanian dan kedigdayaannya yalah prajurit Derpana itu.
Luka guratan panjang pada lambung itu, dianggapnya kecil.
Kini dengan suatu tata gerak kelahi yang teratur Derpana mulai menghujani serangan secara menggebu-gebu kepada pa h Aragani.
Tetapi karena menyadarl bahwa pa h itu memiliki keris pusaka, maka Derpanapun membatasi diri untuk dak terlalu mendesak.
Langkah pertama, ia harus dapat merebut keris itu baru kemudian meringkusnya.
Demikian pertempuran itu dapat berlangsung agak lama.
Tetapi diam-diam bekel Suramenggala yang mengikuti jalannya pertempuran itu dengan seksama, kerutkan dahi.
Ia melihat tampaknya gerakan Derpana itu makin lama makin lamban.
Diperhatikan juga bahwa cahaya wajah prajurit itupun tampak pucat seperti seorang yang sedang menahan derita kesakitan.
"Adakah luka yang dideritanya itu membahayakan jiwanya?"
Diam-diam ia menimang.
Serentak mbullah rasa sesal dalam ha nya karena tadi ia telah memberi perintah kepada prajurit itu supaya menangkap hidup pa h Aragani.
Tentulah Derpana berusaha untuk mentaa perintah itu.
Andai tiada perintah Itu, Derpana tentu dengan cepat dan leluasa dapat merubuhkan lawan.
Sebelum la sempat mengambil langkah, ba- ba terjail suatu perobahan dalam pertempuran itu.
Dengan sebuah gerak langkah yang dak dapat diduga lawan, Derpana berhasil menyelinap ke belakang pa h Aragani dan secepat kilat tangannyapun berhasil mencengkeram kedua bahu pa h Itu.
Langkah selanjutnya, tentulah prajurit itu akan meneliku kedua tangan lawan ke belakang sehingga lawan tak dapat berkutik.
Hampir berhasillah Derpana melaksanakan gerakannya yang terakhir manakala tidak terjadi suatu hal yang tidak diduga-duganya.
Tiba-tiba patih Aragani bergeliat meronta dan tusukkan kerisnya ke belakang mengarah dada Derpana.
Suramenggala terbelalak kaget.
Pada hal ia tahu jelas sampai di mana tenaga kesak an Derpana itu.
Pernah ia sendiri mencoba kekuatan prajurit itu.
Ternyata ia dak mampu melepaskan diri dari tangan Derpana yang mencengkeram kedua lengannya.
Tetapi mengapa patih Aragani yang bertubuh selemah itu mampu meronta? "Hanya ada dua kemungkinan.
Ataukah Aragani itu memang sak ataukah ada sesuatu yang tak wajar pada diri Derpana,"
Pikir Suramenggala.
Pemikiran Itu berlangsung selintas kilas.
Tetapi apa yang terjadi di hadapannya, jauh lebih cepat lagi.
Melihat dadanya terancam ujung keris, secepat kilat Derpana mendorong tubuh pa h itu sekuat- kuatnya.
Ia tak sempat mengetahui lagi dorongan itu akan menyebabkan kepala pa h Aragani terbentur dinding atau pintu ataupun apalagi.
Karena sehabis mendorong, ia rasakan tenaganya lunglai sekali.
Pandang matanyapun berhamburan lenyap dan gelap, kepalanya berat seper dihunjam palu besi.
Dan habis mendorong maka terkulailah ia rubuh ke lantai.....
"Hai, jahanam, jangan melarikan diri! "
Teriak Suramenggala seraya loncat dan lari menerobos ke luar pintu.
Ternyata dorongan tangan Derpana itu menyebabkan patih Aragani terhuyung-huyung ke pintu.
Tetapi secepat itu pula, Aragani lanjutkan gerakannya untuk lari ke luar.
Suramenggala yang memperhatikan gerak gerik patih itu, dapat mengetahui bahwa patih itu hendak melarikan diri.
Suramenggala melihat bahwa Derpana terkulai rubuh.
Cepat ia segera dapat menduga bahwa keris yang dipakai Aragani itu tentu sebuah pusaka yang dilumuri racun warangan.
Betapa geram Aragani ke ka hampir mencapai an yang menurun ke halaman, Suramenggala sudah menghadang di depannya.
"Hm, bedebah Aragani, engkau telah membunuh seorang anakbuahku secara licik sekali,"
Suramenggala menggeram.
"Dia terlalu membanggakan diri kalau dapat mengalahkan aku!"
Sahut Aragani seraya bersiap siap.
"Dia memang mengatakan hal yang sebenarnya. Tak mungkin engkau mampu mengalahkannya."
"Itu katanya dan bicaramu. Tetapi kenyataannya, dia harus menebus dengan nyawanya."
"Karena engkau menggunakan cara yang keji dan licik."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang engkau maksudkan?."
"Kerismu itu,"
Suramenggala menuding keris yang dipegang Aragani "engkau lumuri dengan warangan yang ganas. Tak mungkin Derpana akan kehilangan tenaga apabila tak terkena racun yang hebat."
"Ha, ha,"
Pa h Aragani menyalakan nyalinya dengan tertawa girang.
Ia hendak mengembalikan wibawanya sebagai seorang pa h "dalam perang, orang hanya membunuh atau dibunuh.
Untuk merebut kemenangan, segala cara dan daya, tak dilarang.
Bukan salahku tetapi carilah kesalahan itu kepada prajurit yang jumawa tetapi masih rendah kepandaiannya itu."
"Baik,"
Sahut Suramenggala "sekarang aku hendak mencabut nyawamu untuk menemani prajuritku itu ke alam baka."
"Ho, prajurit Daha, jangan bermulut besar dulu sebelum engkau mampu mengalahkan kerisku ini!"
Kata Aragani dan sekonyong-konyong karena melihat Suramenggala masih belum siap, ia mendahului menerjang dan menusuk dada orang.
"Ih,"
Suramenggala loncat ke samping.
Hampir saja ia akan mengalami nasib serupa dengan Derpana.
Dengan geram ia segera menyerang.
Sebagai bekel yang dipilih Ardaraja sebagai pembantunya, sudah tentu Suramenggala sudah teruji kesak annya.
Seimbang dengan perawakannya yang nggi perkasa, ia memang memiliki tenaga yang amat kuat sekali.
Aragani sudah tua dan lemah.
Kegemarannya minum tuak se ap hari secara berkelebihan, makin merusakkan tubuhnya.
Sesungguhnya semasa muda, dia juga berguru pada seorang sak dan memperoleh ilmu kesak an.
Tetapi kemewahan hidup sebagai seorang pa h, telah menghanyutkan semua kesaktian dan jaya-kawijayan yang tak pernah dilatihnya.
Hanya dalam beberapa gebrak saja, Suramenggala berhasil merubuhkan pa h itu dengan sebuah tendangan.
Dan menyerahlah pa h itu di kala kedua tangannya telah diinjak oleh kaki Suramenggala.
Suramenggala membungkuk untuk menjemput keris pusaka di tangan pa h itu.
Ia hendak mencacah muka patih dengan ujung keris beracun.
"Aragani, jika prajuritku tadi telah menderita sebuah guratan dari ujung kerismu Ini. Sekarang aku hendak memenuhi wajahmu dengan berpuluh guratan ujung kerismu jaga,"
Kata Suramenggala seraya hendak melaksanakan kata-katanya.
"Tunggu dulu, ki lurah,"
Aragani buru-buru berseru "aku hendak mengajukan usul kepadamu."
"Supaya engkau di kubur secara meriah? Ah, jangan mimpi, ki patih. Bumi Singasari maupun Daha, takkan dapat menerima mayatmu."
"Bukan,"
Seru Aragani "aku tak menghendaki hal itu."
"Engkau hendak meninggalkan pesan kepada keluargamu ?."
"Bukan ."
Tiba- ba Suramenggala tertawa "O, kutahu. Eagkau tentu hendak memberi hadiah besar kepadaku apabila aku membebaskan engkau, bukan ?."
"Ya, hampir seperti yang engkau katakan itu."
"Jangan mimpi pa h!"
Suramenggala menghardiknya "jika aku dapat membunuhmu seorang pa h, gus akuwu Jayakatwang akan menghadiahkan pangkat tumenggung kepadaku serta lengkap dengan rumah dan puteri cantik."
"Hadiahku jauh lebih berharga dari itu,"
Seru Aragani.
"Lebih berharga? Ha, ha, ha, apakah engkau hendak menjadikan aku seorang pa h untuk menggan kan kedudukanmu? Seorang tumenggung dari kerajaan Daha jauh lebih berkuasa dari seorang patih akuwu Singasari."
"Kukatakan, jauh lebih berharga dari apa yang dapat engkau bayangkan."
Suramenggala kerutkan dahi.
"Coba katakan,"
Akhirnya ia berkata.
"Tetapi engkaupun harus menetapi janji yang kuajukan kepadamu lebih dulu."
"Apa ?."
"Bebaskan diriku, jangan engkau bunuh aku !."
"Titah gusti akuwu Jayakatwang, patih Aragani harus dibunuh. Daha tak mau menerima penyerahannya"
Kata Suramenggala.
"Ya, akupun tak menginginkan kedudukan dalam kerajaan lagi. Aku sudah tua. Aku ingin mati secara wajar dan tenang. Akan kuberitahu kepadamu sebuah rahasia besar. Tetapi bebaskanlah aku. Aku hendak menyamar sebagai rakyat kecil dan pergi dari bumi Singasari."
Suramenggala kerutkan dahi pula. Tampaknya ia meragu.
"Percayalah, apabila engkau mengetahui rahasia itu, kelak engkau tentu akan mendapat ganjaran yang jauh lebih daripada hanya pangkat tumenggung saja,"
Kembali Aragani membujuk.
"Baik, akan kuper mbangkan adakah hal itu sesuai dengan harga jiwamu,"
Akhirnya Suramenggala menjawab.
"Apabila engkau kembali ke balairung, mungkin kelima prajuritmu itu tentu sudah bergelimpangan rubuh. Entah terluka entah sudah mati."
"Jangan bicara tak keruan!"
Hardik Suramenggala.
"Baginda Kertanagara itu sesungguhnya seorang raja yang sak . Apabila baginda sudah mantek aji, jangankan hanya lima atau sepuluh, bahkan berpuluh-puluh musuh tentu akan hancur di tangannya. Tandanya dia sudah mantek-aji, apabila wajahnya berobah merah padam dan sepasang biji mata membelak. Itulah yang disebut aji Brahala sewu. Beliau akan menyerupai Kreshna yang mantck aji berobah menjadi brahala, seorang raksasa besar. Aji Brahala-sewu, akan menyebabkan baginda Kertanagara memiliki tenaga kekuatan yang maha sak . Pukulannya akan sanggup merobohkan tiang saka balairung. Hati-hatilah dengan aji itu."
Suramenggala tak mau lekas-lekas percaya tetapi pun tak mau cepat-cepat menolak. Ia memang pernah mendengar tentang sebuah aji yang disebut Brahala-sewu. Kesaktiannya amat dahsyat.
"Bagaimana cara melumpuhkan aji itu?"
Akhirnya ia memancing pertanyaan.
"Itulah yang kumaksudkan sebagai rahasia besar yang tak ternilai harganya."
"O, engkau hendak memberitahu tentang rahasia untuk meleburkan aji Brahala-sewu itu?"
Suramenggala mulai agak terangsang.
"Tetapi harus dengan syarat yang kuminta kepadamu tadi!."
Suramenggala termenung diam.
Timbul suatu pergolakan dalam ba nnya.
Jika yang dikatakan pa h Aragani itu benar, betapalah hebatnya apabila ia dapat membunuh raja Singasari itu.
Dan betapalah ganjaran yang akan diterimanya dari akuwu Daha nanti.
Tetapi sekilas ia teringat bahwa Aragani itu seorang pa h hanya akan menyelomo nya apabila dia mudah membebaskannya.
"Coba ki pa h jelaskan maksud dari perjanjian yang ki pa h kehendaki itu,"
Akhirnya ia meminta penjelasan.
"Akan kuberitahu rahasia dari kesaktian baginda bahkan rahasia kenaasannya. Tetapi setelah itu, engkau bebaskan aku. Dan aku segera akan tinggalkan keraton ini."
"Bagaimana kalau rahasia yang ki pa h katakan kepadaku itu ternyata tak terbuk ? Apa jaminannya kalau ki patih benar- benar memberitahu rahasia itu dengan sejujurnya?."
Patih Aragani terkesiap.
"Ah. aku seorang patih, masakan kata kataku tak berharga."
"Aku ingin berusaha untuk mempercayai orang. Tetapi banyak kali pengalaman mengajar lain kepadaku. Lebih-lebih dalam suasana perang seper ini. Aku diharuskan oleh tugasku untuk dak lekas mempercayai keterangan dari musuh."
"Lalu bagaimana maksudmu? "
Tanya Aragani.
"Begini, aku dapat menerima perjanjian ki patih itu. Dan pelaksanaanku begini. Ki patih memberitahukan rahasia kesaktian baginda itu untuk kubukiikan kepada baginda. Apabila sudah benar-benar berbukti nyata, barulah ki patih kulepaskan."
"Jika engkau tak percaya kepadaku, apakah engkau menginginkan aku harus percaya kepada kata-katamu?"
Bantah Aragani.
"Dalam keadaan biasa, memang benarlah ucapan ki pa h itu. Tetapi hendaknya harap ki pa h jangan lupa, bahwa saat ini ki pa h bukan lagi pa h Singasari yang mempunyai kekuasaan dan kewibawaan. Melainkan seorang tawanan yang menyerah."
Patih Aragani menggeram.
"Andai dak kuterima perjanjian itu, bukankah ki pa h sendiri yang akan menderita akibat menyedihkan ?"
Desak Suramenggala pula.
Pa h Aragani yang pada masa-masa lalu selalu diturut nasehatnya oleh raja, selalu ditaku oleh seluruh mentri dan nara praja Singasari, saat itu bagai seekor harimau yang terkurung dalam perangkap.
Aragani menyadari bahwa apabila ia menolak tuntutan prajurit Daha itu, dia tentu akan dibunuh.
Dan kalau menerima perjanjian itu, masih ada sepercik harapan bahwa prajurit itu akan menetapi janji untuk membebaskannya.
"Baiklah,"
Akhirnya ia menyerah "aku bersedia menerima permintaanmu. Lalu bagaimana cara yang hendak engkau tindakkan kepadaku ?."
Suramenggala kerutkan alis sejenak "Terpaksa kuminta ki pa h rela menderita sedikit. Akan kuikat tangan ki pa h pada ang saka pendapa keraton ini. Selekas urusan baginda selesai, segera ki patih kulepaskan."
Kini giliran.
Aragani yang harus mengerutkan dahi.
Diikat cara begitu, besar bahaya.
Andaikata Suramenggala ingkar janji, bukankah dengan mudah ia akan dibunuhnya ? Tetapi kalau ia masih bebas bergerak, kemungkinan ia masih memberi perlawanan apabila Suramenggala hendak berlaku curang.
"Aku akan ikut serta ke balairung !."
"Ki pa h tak takut kalau baginda murka kepada ki pa h?"
Suramenggala terkejut sekali mendengar pernyataan Aragani itu.
"Tahu atau tidak tahu, baginda tentu tetap murka. Karena baginda mengerti bahwa satu- satunya orang yang tahu akan rahasia kelemahan aji kesaktian Brahala sewu dan rahasia kenaasan baginda, hanya aku seorang saja. Dalam keadaan seperti ini, setiap orang harus memikirkan keselamatan jiwanya sendiri."
"Penghianatan hina,"
Diam-diam Suramenggala mendamprat dalam ha . Ia benci kepada seorang yang menghiana rajanya. Walaupun musuh, tetapi ia sangat mengindahkan seorang mentri setya seperti empu Raganata.
"Baik, mari kita kembali ke balairung."
Terhentilah langkah kedua orang itu di muka pintu ketika mendengar kumandang jeritan ngeri menggema dalam balairung. Jeritan ngeri itu disusul pula, oleh bunyi dua buah benda berat jatuh ke lantai.
"Ah, baginda tentu sudah mantek-aji Brahala-sewu,"
Bisik patih Aragani. Suramenggala terkesiap.
"Betapakah kesaktian aji Brahala sewu itu ?"
Tanyanya setengah meragu.
"Aji itu kuasa menghancurkan batu karang,"
Sahut Aragani "apabila engkau ingin membuk kan, boleh coba menghadapi baginda."
Suramenggala seorang bekel prajurit yang digdaya. Sesungguhnya dia sudah dinaikkan pangkat sebagai tumenggung oleh akuwu Jayakatwang. Kenaikan itu diberikan di kala ia mendapat tah supaya mengirimkan raden Ardaraja ke pura Singasari.
"Jangan engkau bergirang karena kenaikan pangkat ini, Suramenggala,"
Ujar akuwu Jayakatwang "sebab hal itu berar beban kewajibanmu bertambah berat. Engkau harus membuk kan bahwa dirimu memang sesuai sebagai seorang tumenggung."
Suramenggala menyadari hal itu. Maka iapun berusaha keras untuk mencari pahala dalam peperangan itu.
"Gus , hamba mohon ampun,"
Katanya kepada akuwu Jayakatwang "sebelum hamba menciptakan jasa dalam peperangan Daha-Singasari ini, hamba mohon supaya pangkat hamba jangan dinaikkan dahulu."
Jayakatwang meluluskan dan memuji sikap Suramenggala yang dianggapnya memiliki sifat dan keperibadian sebagai seorang prajurit.
Janji di hadapan akuwu Daha dan dalam ha nya sendiri, menyebabkan Suramenggala terangsang.
Seketika itu ia hendak masuk ke dalam balairung, menghadapi baginda Kertanagara.
"Ah, dak,"
Ba ba ia batalkan niatnya "baginda Kertanagara memang termasyhur sak mandraguna.
Dalam peperangan di Tegalsari melawan kanuruhan Glagah Arum, baginda dapat menumpas musuh.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiada seorangpun yang mampu menghadapi kesak an baginda.
Jika aku masuk dan menghadapi baginda, kemungkinan aku tentu kalah dan ma .
Apabila aku dan anakbuahku itu mati di tangan baginda, bukankah Aragani mendapat kesempatan untuk melarikan diri ? Ah, jangan sampai aku termakan siasat patih itu."
"Hm, saat ini bukan saatnya untuk coba-coba. Baginda Kertanagara merupakan sasaran utama dari peperangan ini. Apabila baginda sudah dapat ditaklukkan, tentulah seluruh kawula Singasari akan takluk juga. Dan aku datang ke mari hendak menangkapnya bukan hendak mempersembahkan nyawa kepada baginda."
"Engkau amat cerdik,"
Puji Aragani. Diam-diam pa h itu mengutuk supaya Suramenggala mampus.
"Tetapi ki pa h lebih cerdik lagi"
Sambut Suramenggala "dan kupcrcaya, hanya ki pa hlah yang dapat mengetahui rahasia kematian baginda."
"Hm,"
Patih Aragani mendesah "tetapi engkau harus menepati janjimu kepadaku."
"Tentu,"
Jawab Suranenggala "akan kulepaskan ki patih sesaat biginda telah terbunuh ."
"Agar jasa itu mutlak ada padamu ?"
Seru Aragani.
"Ya, memang sudah sewajarnya,"
Sambut Suramenggala "tetapi lain halnya bagi ki patih."
"Apa yang lain ?."
"Jika kubebaskan, ki patih dapat menyingkir ke suatu tempat yang jauh dan tenang. Tetapi kalau kubunuh, ki patih tentu kehilangan nyawa. Kedua hal itu sama artinya. Tiada seorangpun yang akan menyangsikan bahwa akulah yang dapat membunuh baginda Kertanagara."
Aragani tertegun Kata-kata bekel prajurit itu memang benar. Andaikata ia masih hidup dan melaporkan bahwa yang membunuh baginda Kertanagara itu bukan Suramenggala melainkan dirinya, tentu tiada seorangpun yang mau percaya.
"Baiklah, engkau menang,"
Akhirnya ia berkata "lalu bagaimana kehendakmu ?."
"Sederhana saja,"
Kata Suramenggala "aku menghendaki matinya baginda Kertanagara."
"Telah kukatakan tadi, akan kuberitahu kepadamu tentang rahasia kema an baginda, tetapi,"
Patih Aragani menatap wajah Suramenggala "engkau harus melaksanakan janjimu."
"Sudahkah aku ingkar janji ?"
Suramenggala balas bertanya.
"Biasanya janji itu akan teringkar apabila maksud sudah tercapai."
"Buktikanlah sendiri nanti"
Seru Suramenggala.
"Baiklah,"
Cepat Aragani beralih kata "aku mempunyai siasat untuk mempedayakan baginda "ia merapatkan diri pada Suramenggala dan membisikinya beberapa patah kata. Suramenggala mengangguk-angguk "Ya, aku setuju dengan siasat ki patih itu. Mari kita mulai."
Patih Aragani melangkah masuk diiring oleh Suramenggala.
Suramenggala terkejut ketika pandang matanya tertumbuk pada lantai.
Darah berceceran memerah lantai, membentuk sebuah kubangan yang berisikan dua sosok mayat prajurit Daha.
Suramenggala ngeri manakala melihat bagian kepala dari kedua sosok mayat anakbuahnya itu telah hancur sehingga benaknya berhamburan ke luar.
Rasa ngeri serentak lenyap dihembus prahara amarah yang berkecamuk dalam ha Suramenggala.
Bekel itu hampir tak dapat menguasai diri.
Ia hendak langsung menyerang baginda.
Tetapi bara kemarahan itupun serentak pudar manakala pandang matanya tertumbuk pada diri baginda Kertanagara yang duduk di kursi kebesaran.
Wajah baginda merah membara, sepasang gundu matanya menyalang lebar hingga melampaui batas kelopak.
Sepintas pandang, bukan lagi wajah baginda Kertanagara yang dilihatnya beberapa saat tadi.
Melainkan menyerupai raksasa brahala bermuka merah.
Menyeramkan dan berwibawa.
Terpaksa Suramenggala mengendapkan kemarahannya.
Ia harus sampai pada kesempatan yang akan diluangkan oleh patih Aragani.
Setelah memberi isyarat kicupan mata, pa h Araganipun melangkah masuk ke dalam balairung.
Langsung ia menuju ke hadapan baginda lalu berjongkok mencium kaki baginda.
"Siapa engkau !"
Teriak baginda yang saat itu tegak berdiri dalam sikap Abhayamudra.
Telapak tangan kiri terbuka di atas perut.
Telapak tangan kanan di atas lutut dengan jari terbuka ke atas.
Jangan takut bahaya.
Demikian ar yang tersimpul dalam sikap Abhayamudra itu.
Mudranya Sang Dhyani Buddha Asnoghasiddha.
"Hamba patih paduka, Aragani, gusti,"
Sahut Aragani.
"Aragani ?"
Ulang baginda. Dalam keadaan mantek aji itu, rupanya kesadaran pikiran baginda telah terlelap.
"Benar, gusti, hamba Aragani."
"Aragani....Aragani....."
Baginda mengulang-ulang.
"Duh, gusti junjungan hamba,"
Kata Aragani setengah meratap "janganlah paduka berkelanjutan menumpahkan amarah. Karena tiada Insan di seluruh dunia ini mampu menghadapi aji paduka Brahala-sewu. Aji dari batara Kreshna titisan Wisnu ....."
"Adakah mereka sudah menyerah ?."
"Bagaimana mereka berani melawan paduka, gus ,"
Kata Aragani pula yang tahu bagaimana cara untuk meluluhkan hati baginda.
"Apa buktinya ?."
"Bukankah mereka sudah hen kan serangannya ?"
Seru Aragani "kini mereka sudah tunduk bersila menghadap duli paduka."
"O,"
Desuh baginda.
"Gus ,"
Kata Aragani pula "aji Brahala sewu merupakan aji Hyang Wisnu yang jarang digunakan apabila tiada timbul suatu peristiwa yang amat penting sekali."
"Bukankah penyerangan orang Daha ke kerajaan Singasari itu suatu peris wa pen ng yang harus ditanggulangi ?."
"Demikian, gus ,"
Kata Aragani "apabila mereka masih berkeras hendak menyerang. Tetapi kini mereka sudah takluk dan menyerah. Hamba mohon paduka berkenan melimpahkan ampun kepada mereka."
Tampak menyurutlah warna merah bara pada wajah baginda. Kemudian kedua tangan bagindapun bergerak-gerak. Telapak tangan kiri terbuka ke atas perut, telapak tangan kanan terbuka di atas lutut.
"Ah,"
Diam-diam Aragani menghela napas longgar demi melihat perubahan sikap mudra baginda. Itulah yang disebut Waramudra. Mudranya Sang Dhyani Buddha Ratnasambhawa. Ar nya, memberi anugerah dan ampun.
"O, engkau Aragani,"
Seru baginda sesaat kemudian "di mana orang orang Daha yang engkau katakan sudah menyerah itu ?."
Dalam pada itu Aragani masih tetap memeluk kaki baginda. Seolah olah menunjukkan kebak an seorang mentri terhadap raja. Tanpa mengangkat kepala, pa h itu berseru "Yang bersila di hadapan paduka itu."
Sejenak baginda melepaskan pandang ke muka. Tampak seorang bekel prajurit Daha duduk bersila menundukkan kepala. Di belakangnya empat prajurit tengah 'manungkul' atau duduk bersila tundukkan kepala.
"Hai, prajurit Daha !"
Seru baginda "sudahkah kalian takluk kepadaku ? ."
"Duh, gus prabu Kertanagara junjungan rakyat Singasari yang sak ada taranya"
Sembah Suramenggala "mohon gus berkenan melimpahkan ampun atas diri hamba yang telah berdosa besar berami melawan paduka. Hamba hanya melakukan perintah dari pimpinan pasukan Daha, gusti patih Mundarang."
"O, si Mundarang ?"
Baginda Kertanagara tertawa "suruh dia berguru dulu sampai dua gapuluh tahun, apabila hendak melawan aku."
Suramenggala menghaturkan sembah sebagai pernyataan mengiakan kata kata baginda. Namun dalam hati, dia tertawa.
"Apakah engkau benar-benar hendak menyerah, prajurit Daha ?."
"Hamba prajurit Daha hanya ibarat anai anai. Daha paduka, gusti, laksana pelita yang memancarkan api sakti. Bagaimana anai-anai hendak menerjang api yang sakti itu ? Duh, gusti, hamba mohon hidup. Hamba sekalian merasa tertipu oleh akuwu Jayakatwang. Kini baru hamba sadar benar, bahwa maha prabu Kertanagara itu jauh lebih sakti daripada akuwu Daha. Ibarat sinar kunang-kunang, bagaimana mungkin akan menghadapi cahaya surya yang gilang- gemilang ......"
"Ha, ha, ha,"
Baginda tertawa gembira. Amat gembira sekali "kiranya orang Daha pandai juga merangkai tamsil yang indah. Bukankah demikian, Aragani ?."
"Titah paduka, merupakan amanat bagi hamba,"
Kata Aragani "ibarat burung, mereka telah hinggap pada pohon yang salah sehingga tak dapat mengembangkan bakatnya."
Tiba- ba Suramenggala tampak beringsut maju. Jaraknya dengan baginda Kertanagara hanya ga empat langkah. Serta merta bekel prajurit Daha itu menundukkan kepala ke bawah membawa sembah ke bawah duli baginda.
"Prajurit Daha,"
Tah baginda pula "sembah pengabdianmu kuterima. Tetapi apa sembah baktimu kepadaku ?."
"Hamba hendak menghaturkan dua buah benda berharga sebagai sembah bak hamba kepada paduka, gusti,"
Kata Suramenggala.
"Ho, apakah itu ?."
"Dua butir kepala manusia, gusti."
Baginda Kertanagara terbeliak "Dua butir kepala manusia ?"
Baginda mengulang heran.
"Demikian, gus ,"
Sembah Suramenggala "dua bu r kepala dari dua manusia yang paling berharga di Daha dan Singasari. Kedua orang itulah yang akan menenteramkan suasana peperangan ini."
"O, siapakah mereka ?"
Baginda mulai tertarik.
"Pertama, batang kepala gus pa h Kebo Mundarang, pucuk pimpinan angkatan perang Daha yang menyerang Singasari,"
Kata Suramenggala "hamba akan menghadap gus pa h itu dan membunuhnya."
"Hah, engkau berani membunuh patih Mundarang?."
"Sebagai bak kesetyaan kepada paduka, gus , jangankan gus pa h, bahkan gus akuwu Jayakatwangpun, bila paduka titahkan, hamba sanggup untuk membunuhnya."
Baginda Kertanagara mendecak-decak mulut.
"Akuwu Daha akan kuadili sendiri. Karena betapapun dia adalah ayahanda dari putera menantuku Atdaraja,"
Ujar baginda.
"Jika demikian, baiklah hamba haturkan kepala dari pa h Mundarang saja. Karena apabila sudah terbunuh, pasukan Daha tentu kacau dan peperanganpun berhenti, gusti."
"Hm, baiklah,"
Ujar baginda "lalu siapakah kepala dari orang kedua itu ?."
Tiba-tiba Suramenggala mencabut keris di pinggangnya.
"Gusti,"
Serunya "keris ini kata akuwu Daha adalah keris buatan empu Gandring ...."
"Keris yang dimiliki Ken Arok untuk membunuh empu itu ?"
Baginda terkejut.
"Entah, gus ,"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Suramenggala "mungkin yang itu, mungkin keris yang lain tetapi pokoknya buatan dari empu Gandring."
"Ya, tentu bukan,"
Ujar baginda "karena keris pusaka dari Ken Arok Itu oleh ramuhun rahyang ayahanda Wisnuwardhana, entah telah di simpan di mana. Lalu apa maksudmu, prajurit?."
"Dengan keris inilah, gus , akan hamba pergunakan untuk mengambil kepala dari orang kedua yang hamba haturkan tadi."
Baginda terkesiap "Siapakah dia?."
"Dia adalah orang yang telah menyebabkan peperangan ini. Dia adalah manusia yang merusakkan hubungan Daha dengan Singasari. Dia adalah orang yang menyebabkan beribu-ribu jiwa prajuiit dan rakyat hilang akibat peperangan ini. Karena itu, gus , dia harus dilenyapkan. Demi kejayaan kerajaan Singasari kebahagiaan Daha dan kesejahteraan seluruh kawula?."
"Hai,"
Teriak baginda "sedemikian berbahayakah orang itu ? Siapakah gerangan dia ?."
"Dia adalah Aragani, gus ....
"
Suramenggala menutup kata-katanya dengan menghentakkan tubuh melonjak ke muka dan terus menikam Aragani.
Saat itu baginda Kertanagara masih berdiri tegak.
Sedang Aragani masih berjongkok memeluk kedua kaki baginda.
Demi mendengar kata-kata Suramenggala, patih itu serentak memekik "Gusti, tolonglah hamba ......! ."
Sambil berkata, Aragani terus menyeruak ke bawah sela kedua kaki baginda.
Baginda terkejut.
Selintas bermaksud hendak melindungi pa h itu, tanpa disadari baginda telah mengisar kedua kakinya menganga lebar-lebar.
Sesaat tubuh Aragani menerobos kedua kaki baginda, maka keris Suramanggalapun segera bersarang ke pangkal paha kanan baginda.
"Auh .......
"
Baginda memekik kaget dan terhuyung-huyung ke belakang, tepat jatuh terduduk di atas kursi kebesaran.
Darah mengalir deras bagai sebuah anak sungai.
Keris yang masih melekat di pangkal paha baginda itu sagera menghamburkan darah merah yang melumuri celana dan mengubang di lantai.
"Engkau ....... !"
Teriak baginda seraya memandang Suramenggala lalu pejamkan mata.
Telapak tangan baginda diletakkan di atas, telapak tangan kiri diletakkan di pangkuan.
Dhyanamudra, mudranya Sang Dhyani Buddha Amitabha, untuk mengheningkan cipta, menyatukan pikiran.
Suramenggala tertegun ke ka menerima kilatan sinar mata baginda.
Ada suatu sinar gaib yang melintas dan menikam uluha nya.
Ia tak tahu bagaimana perasaan ha nya saat itu.
Hanya dalam pandang matanya, ia seper melihat pangkal paha baginda yang masih tertancap keris itu, memancarkan sinar yang gilang gemilang.
Sedemikian keras sinar itu memancar sehingga matanya silau.
"Auh ....
"
Cepat-cepat Suramenggala mendekap kedua pelapuk matanya untuk menahan cahaya kemilau itu.
Sesaat ia lepaskan tangannya, maka mbullah lain pemandangan.
Pangkal paha baginda itu seolah memancar sinar kuning emas.
Kemudian sinar kuning emas itu membaurkan suatu daya pesona yang hebat dan pada lain saat ada suatu kekuatan gaib yang memikat Suramenggala supaya maju menghampiri.
Seper terkena pesona maka berayunlah langkah Suramenggala maju menghampiri ke tempat baginda.
Dan tanpa disadarinya, iapun ulurkan tangannya untuk mengambil keris yang masih tertancap pada pangkal paha baginda.
Dalam penglihatannya, keris itu seolah sebongkah emas murni yang bersinar gilang gemilang.
Pada saat tangan Suramenggala menjulur ke muka, sekonyoig konyong sinar kuning emas itu terlepas dari pangkal paha baginda dan meluncur deras ke arah Suramenggala.
Suramenggala terkejut.
Tetapi rasa kejut yang dilipu kegirangan ha yang meluap luap.
Pucuk dicinta ulam ba.
Ia hendak mencabut benda kuning emas itu tetapi kini benda itu sudah meluncur kepadanya.
Cepat iapun menyambarnya ....
"Uh,"
Serempak mendengus karena luput menyambar, mulut Suramenggala segera menjerit ngeri "Aduh ......"
Keris yang disangkanya benda kuning emas itu, telah meluncur sepesat anakpanah terlepas diri busurnya dan langsung hinggap di dada Suramenggala. Lurah prajurit Daha itu menjerit dan terhuyung huyung mundur sambil mendekap dadanya.
"Suramenggala ....
"
Sekonyong konyong seorang pemuda dalam pakaian senopa menerobos masuk ke dalam balairung.
Dia sempat menyanggapi tubuh Suramenggala hingga lurah prajurit itu tak sampai rubuh.
Dan serempak dengan hadirnya pemuda itu maka balairungpun penuh dengan prajurit-prajurit Daha yang bersenjata lengkap.
Pemuda itu terkejut sekali ke ka melihat dada Suramenggala telah berhias sebatang keris.
Lebih terkejut pula pemuda itu ke ka melihat bahwa darah yang mengucur dari dada Suramenggala bukan merah warnanya tetapi hitam ....
"Suramenggala, kenapa engkau?"
Tegurnya gegas.
"Duh, raden Ardaraja .... hamba telah tercidera oleh baginda ..... Kertanagara ...
"
Sahut Suramenggala tergagap menahan kesakitan.
"Dicidera rama baginda ?"
Pemuda berpakaian senopa itu memang raden Ardaraja, putera akuwu Jayakatwang yang juga menjadi putera menantu baginda Kertanagara.
Atas perintah raden Ardaraja maka Suramenggalapun menuturkan apa yang telah terjadi dalam balairung "Sungguh tak mungkin bahwa keris pusaka yang sudah terbenam di pangkal paha baginda tiba-tiba dapat meluncur ke dada hamba, raden."
Mendengar bahwa Suramenggala telah membunuh baginda Kertanagara, seke ka pucatlah wajah raden Ardaraja.
"Engkau .... engkau membunuh rama baginda ?"
Serunya menegas dengan nada gemetar.
"Ya,"
Suramenggala terkejut ke ka mendengar nada suara raden itu "mengapa? Bukankah gus akuwu Jayakatwang menitahkan demikian ?."
"Tutup mulutmu !"
Hardik Ardaraja mengguntur "siapa yang menitahkan engkau melakukan tindakan itu ?."
Percakapan itu amat menegangkan urat saraf Suramenggala sehingga sesaat ia lupa akan luka yang dideritanya.
"Bukankah baginda Kertanagara itu musuh gus akuwu Daha, ayahanda raden ?"
Serunya penuh keheranan.
"Tidak perlu engkau katakan hal itu,"
Bentak Ardaraja pula "memang ayahandaku ingin menuntut balas atas hinaan selama berpuluh tahun yang telah diderita rakyat Daha oleh Singasari.
Ayahandaku hanya ingin menumbangkan kekuasaan Singasari tetapi dak menitahkan membunuh baginda Kertanagara!."
"Oh,"
Suramenggala mendesuh "bukankah gus pa h Mundarang telah mengumumkan perintah tentang penghargaan yang akan diberikan oleh se ap prajurit Daha yang berhasil membunuh prajurit, lurah, patih dan senopati Singasari?."
"Adakah dalam perintah itu tercantum juga diri rama baginda Kertanagara?"
Cepat Ardaraja menukas.
"Bukankah hal itu merupakan sasaran utama dalam peperangan ini?."
"Keparat!"
Ba- ba Ardaraja ayunkan tangan menampar muka Suramenggala. Bekel prajurit itupun terpelan ng jatuh "berani benar ergkau ber ndak tanpa mendapat perintahku Suramenggala!."
Semula merekahlah harapan Suramenggala untuk mendapat balas jasa yang besar setelah dapat membunuh baginda Kertanagara.
Tetapi harapan itu pudar, ketika ia menderita suatu paristiwa yang luar biasa.
Yalah keris yang menancap di pangkal paha baginda itu tiba-tiba meluncur dan bersarang di dadanya.
Ia tahu bahwa luka yang dideritanya itu tentu akan membawa jiwanya berpindah ke alam baka.
Dan kini dalam de k-de k terakhir dari sisa hayatnya ia harus menderita suatu perlakuan yang amat menyakitkan ha .
Bukan pujian yang diterimanya dari raden Ardaraja, melainkan hamun makian, bentakan dan tamparan.
Suramenggala benar-benar sakit ha sekali.
Ia menyadari bahwa tak mungkin ia dapat hidup maka timbullah suatu tekad dalam hatinya.
"Ardaraja,"
Teriaknya dengan kalap. Ia marah sekali sehingga tak mau lagi ia menggunakan sebutan raden kepada putera akuwu Daha itu "beginikah imbalan yang engkau berikan kepada seorang yang telah mengabdi kepada kerajaanmu?."
"Tutup mulutmu, Suramenggala!"
Bentak raden Ardaraja.
"Tidak, Ardaraja! Selama masih ada se k nyawa, sedenyut darah dalam hayatku, Suramenggala akan bicara dan bicara. Mendamprat manusia-manusia yang tidak adil ......"
"Jangan!"
Ba- ba Ardaraja berteriak mencegah ke ka salah seorang prajurit Daha hendak menahaskan pedangnya ke tubuh Suramenggala. Rupanya Suramenggala tahu akan hal itu.
"Ho, prajurit gila,"
Serunya mencemoh "adakah engkau kira dengan membunuh aku engkau akan menerima imbalan jasa? Ho, jangan mimpi, prajurit .........
Lihatlah diriku sebagai contoh ....
Aku telah berhasil membunuh baginda Kertanagara, musuh utama dari Daha.
Tetapi ganjaran apa yang kuterima? Ardaraja, putera akuwu Jayakatwang, telah memukul aku ......"
Sesungguhnya saat Itu raden Ardaraja masih merenung dalam-dalam.
Ia tak habis menger mengapa ba- ba keris yang tertancap pada pangkal paha baginda Kertanagara itu, ba- ba meluncur ke dada Suramenggala ? Dan keheranan itu sesungguhnya juga mencengkam ha Suramenggala sendiri.
Namun sebelum ia sempat mengutarakan hal itu, raden Ardaraja telah mambentak dan memukulnya.
Memang peris wa itu amat mengherankan sekali.
Hanya baginda sendiri atau sekurang- kurangnya orang yang dekat dengan baginda seper pa h Aragani, yang tahu akan peris wa ajaib itu.
Sesungguhnya dalam membentuk Dhyanamudra tadi, setelah segenap cipta dan pikiran manunggal dan berpusat pada Cakram Ana Hata atau jantung.
Setelah pikiran hening maka terbentuklah suatu pemusatan tenaga-murni dalam Cakram Manipura atau pusar.
Dan dari sumber Cakram Manipura ini, melancarkan sumber daya kesak an tubuh yang disebut Kanuragan.
Apabila sudah mencapai tataran itu, se ap gerak pukulan atau tamparan akan mampu menghancurkan batu karang yang kokoh.
Dengan daya kesak an yang memancar dari sumber Cakram Manipura itulah baginda Kertanagara mengenyahkan keris dari pangkal pahanya dan melayangkannya ke dada Suramenggala.
Sedemikian dahsyat tenaga-murni yang dilancarkan baginda sehingga kedahsyatan keris itu jauh lebih pesat dari anakpanah terlepas dari busurnya.
Namun kacena terlalu besar baginda menggunakan tenaga sak , maka makin payahlah keadaan baginda.
Saat itu baginda bagaikan pelita yang kehabisan minyak.
Hanya karena kesak an dan kedigdayaan yang luar biasalah maka baginda dapat bertahan sampai beberapa saat.
Se ap ilmu kekebalan dan kedigdayaan, tentu mempunyai kelemahan.
Dan kelemahan baginda terletak pada pangkal paha.
Baginda terkejut ke ka pa h Aragani menyeruak masuk ke selakang kakinya sehingga bagindapun merentang kedua kakinya lebar-lebar untuk memberi jalan.
Di saat itulah, sesuai dengan petunjuk Aragani, maka Suramenggala menikamkan keris ke pangkal paha baginda.
"Suramenggala, jangan engkau banyak mulut!"
Hardik raden Ardaraja "ketahuilah, aku telah mendapat janji dari rama akuwu bahwa rama baginda Kertanagara akan dijamin keselamatan jiwanya. Mengapa engkau lancang mencelakai rama baginda ?."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku seorang lurah prajurit yang harus tunduk perintah!"
Sahut Suramenggala makin beringas. Darah mengalir deras dari dadanya. Dia merasa bahwa hidupnya hanya nggal beberapa de k. Keris itu amat bertuah dan dilumuri warangan atau semacam racun. Maka iapun nekad dan tak mau berbahasa halus kepada Aidaraja.
"Perintah dari siapa ?."
"Pengumuman dari gusti patih Mundarang berlaku bagi seluruh prajurit dan senopati Daha."
"Siapa atasanmu?."
Pertanyaan Ardaraja kali ini serasa membungkam mulut Suramenggala.
"Adakah aku pernah memberi perintah demikian kepadamu?"
Ulang Ardaraja pula.
"Aku seorang prajurit Daha yang berperang melawan Singasari. Se ap prajurit Singasari yang berani melawan tentu kutumpas. Termasuk baginda Kertanagara."
"Tetapi rama Jayakatwang telah memberi janji kepadaku. Janji itu harus ditepa dan ditaa . Engkau telah merusak janji itu."
"Persetan dengan janji akuwu Daha dengan engkau. Itu janji peribadi antara ayah dan puteranya. Gus pa h Mundarang adalah senopa agung yang berkuasa penuh atas pasukan Daha. Seluruh prajurit hanya tunduk pada perintah senopatinya."
"Keparat, berani benar engkau kepada atasanmu. Siapa aku ini, Suramenggala ?"
Seru Ardaraja merah mukanya.
"Setiap kawula Daha tahu bahwa engkau adalah putera akuwu Daha. Setiap kawula Singasaripun tahu bahwa engkau adalah putera menantu baginda Kertanagara. Dan kini seluruh rakyat Daha serta Singasari tahu bahwa seorang putera menantu telah menghianati rama mentuanya ......"
Ardaraja tak kuasa lagi menahan kemarahannya. Serentak mencabut keris, ia terus hendak menusuk Suramenggala.
"Tunggu.....! "
Tiba-tiba berdengar suara orang bcneru lantang.
Ardaraja dan sekalian prajurit Daha terkejut.
Serentak mereka menghambur pandang ke arah suara itu.
Karena Ardaraja dan sekalian prajurit Daha tengah menumpahkan perha an kepada Suramenggala, mereka dak mengetahui sama sekali bahwa saat ini dalam balairung telah bertambah dengan kehadiran dua orang pemuda.
Yang seorang tengah menelungkup jenazah empu Raganata.
Yang seorang tengah tegak memberi sembah kepada baginda Kertanagara yang masih duduk di kursi kebesaran dalam sikap mudra atau bersemedhi.
"Siapa engkau !"
Tegur Ardaraja kepada pemuda yang berada di hadapan baginda.
"Jaka Ludira !"
Sahut pemuda itu dengan nada penuh wibawa.
"Ludira ? Siapa Ludira itu ? Mengapa engkau memberi sembah kepada baginda ?."
"Memberi hormat sembah kepada rajanya, adalah kewajiban setiap kawula Singasari. Bukan milik seorang putera menantu raja saja."
Merah wajah Ardaraja.
"Siapa engkau !"
Hardiknya mulai membengis.
"Engkau tak kenal siapa Jaka Ludira itu?"
Sahut pemuda itu "ah, benar, benar, memang pada waktu engkau diambil menantu oleh baginda Kertanagara, aku sudah tak berada di Singasari lagi."
"Jangan bicara yang tak perlu !"
Tukas Ardaraja "jawablah siapa engkau ini !."
"Jaka Ludira adalah putera dari pangeran Panenggak, saudara lain ibu dengan baginda Kertanagara. Jelas ?."
Ardaraja kerutkan dahi.
"Pangeran Panenggak yang menjadi kanuruhan tanah Glagah Arum itu ?"
Sesaat ia menegas.
"Ya, benar, kanuruhan Glagah Arum itu adalah ramaku."
"Engkau masih putera kemenakan baginda Kertanagara ?"
Ardaraja agak terkejut.
"Ya, tetapi dulu,"
Sahut Jaka Ludira "tetapi sekarang tidak !."
Ardaraja makin terbeliak.
"Apa maksudmu mengatakan sekarang tidak lagi menjadi putera kemenakan baginda itu ?."
"Karena berasal dari satu ayah, eyang prabu Wlsnuwardhana, maka seharusnya aku ini putera kemenakan dari baginda Kertanagara. Tetapi karena ramaku telah lenyap sebab diserang baginda Kertanagara, lenyap pulalah tali hubungan antara saudara, dengan sandara, paman dengan kemenakannya itu !."
"O, lalu apakah hubunganmu dengan baginda?."
"Musuh!"
Sahut pemuda itu tenang-tenang "bukankah engkau juga demikian Ardaraja ? Engkau putera menantu baginda tetapi sekarang ini engkau menjadi musuh."
Ardaraja merah pula wajahnya.
"Hanya bedanya, aku memusuhi baginda secara terang-terangan. Engkau merendahkan derajatmu sebagai seorang pangeran putera raja, ke dalam siasat rendah 'musuh dalam selimut'. Aku menetapi perilaku ksatrya, engkau merendahkan derajatmu sebagai seorang penghianat!."
"Tutup mulutmu!"
Teriak Ardaraja dengan wajah merah padam "apa tujuanmu muncul di sini ?."
"Hendak menuntut balas kepada baginda."
"Terlambat,"
Seru Ardaraja "baginda telah tewas dicidera bekel Suramenggala dari Daha ini."
"Oleh karena itu aku hendak menghukum manusia yang lancang mendahului ndakanku"
Seru Jaka Ludira "itulah sebabnya mengapa kularang engkau membunuh bekel itu. Akulah yang akan membunuhnya."
"Dia orangku dan akupun hendak menghukumnya karena perbuatannya membunuh baginda itu."
"Jangan coba-coba meniru ngkah laku Ken Arok yang membunuh Kebo Hijo karena telah menikam akuwu Tumapel. Pada hal dia sendiri yang menyuruh membunuh lalu dia membunuh orang suruhannya Itu untuk melenyapkan jejak."
Ardaraja terbeliak.
"Ludira, jangan engkau bermulut lancung?"
Akhirnya Ardaraja kehilangan kesabaran "aku hendak membunuh orang sebawahanku itu bukan karena hendak menghilangkan jejak.
Bukan pula karena takut dituduh membunuh baginda Kertanagara.
Tetapi karena dia telah melanggar tata ter b keprajuritan, tanpa mendapat perintahku berani bertindak membunuh baginda."
Pada hal rama akuwu telah memberi jaminan kepadaku bahwa baginda Kertanagara takkan diganggu keselamatan jiwanya. Atas dasar itulah maka aku mau membantu Daha."
"Apapun alasanmu tetapi kenyataan telah terbentang bahwa baginda Kertanagara telah terbunuh. Oleh karena itu, akulah yang wajib menghabisi jiwa pembunuh itu."
"Dia adalah orang sebawahanku, akulah yang wajib membunuhnya !"
Bantah Ardaraja.
"Dia pembunuh rajaku, pamanku pula ...
"
Ardaraja tertawa hina "Engkau masih muda tetapi bicaramu lain ujung dengan pangkalnya.
Engkau mengatakan, ayahmu dibunuh dalam peperangan oleh baginda Kertanagara dan engkau hendak menuntut balas atas kematian ayahmu itu.
Tetapi sekarang engkau hendak menuntut balas untuk baginda ?."
"Kita harus memisahkan kepen ngan peribadi dengan negara. Menuntut balas kepada baginda, adalah kepen ngan peribadiku. Menuntutkan balas untuk baginda adalah kepen ngan negara. Jelaskah engkau?"
"Menghukum orang sebawahanku, berarti menampar muka Ardaraja."
"O, artinya engkau tetap hendak menghalang?"
Ludira menegas.
"Telah kukatakan bahwa akulah yang akan menghukum orang sebawahanku itu. Jika engkau tak percaya, saksikanlah sendiri!"
Ardaraja terus mencabut pedang.
"Telah kukatakan pula, bahwa akulah yang wajib menghukumnya. Jika engkau yang membunuh, sakit hati rakyat Singasari tetap takkan terhimpas, maka aku yang harus menghukum !."
"Ludira, rupanya keras benar hatimu."
"Rawe rawe rantas, malang malang pulung!"
"Baiklah, Ludira,"
Ardarajapun segera mengisar menghadap ke arah pemuda itu "adakah tanganmu juga sekeras hatimu?."
"Cobalah saja!"
Ludira terus mengambil sikap. Pada saat Ludira hendak menerjang Ardaraja, ba ba terdengar suara orang berseru lemah "Ludira, puteraku ......"
Ludira terkejut dan cepat berputar tubuh. Jelas yang berseru itu adalah baginda Kertanagara. Sertamerta Ludira maju dan berlutut di bawah duli baginda.
"Ludira ....
"
Suara baginda tersekat sarat "dendam itu laksana api.
Mudah menyala, sukar dipadamkan ....
Prajurit Daha yang mencidera aku itu, dak salah ....
Dia telah melakukan tugasnya sebagai seorang prajurit ....
Tak perlu engkau membalasnya karena diapun sudah menderita.
Lihatlah .
......"
Ludira mengangkat muka dan berpaling memandang ke arah Suramenggala.
Sejak terjadi cakap dengan Ardaraja tadi, memang Suramenggala lepas dari perha an.
Kini setelah memandang ke arah bekel prajurit itu, terbeliaklah Ludira.
Suramenggala tampak duduk bersila, kedua tangannya membentuk sebuah sembah ke arah baginda.
Sepintas pandang menyerupai seorang hamba yang sedang menghadap rajanya.
Tiada yang tampak sesuatu keanehan kecuali wajahnya yang pucat lesi.
"Suramenggala,"
Tertarik oleh tah baginda, Ardarajapun berpaling ke arah Suramenggala. Cepat ia menegur bekel itu "jika engkau sudah mengaku bersalah, terimalah hukumanmu !."
Ardaraja serentak hendak mengayunkan pedang. Tetapi ada sesuatu yang menarik perha annya. Suramenggala tak menyahut, tak pula berkisar tubuh. Seolah bekel itu tak mengacuhkan junjungannya.
"Suramenggala,"
Seru Ardaraja pula. Namun bekel itu tetap diam saja. Karena heran, Ardaraja ulurkan tangan kiri untuk memegang bahu bekel itu. Tetapi segera putera akuwu Daha itu berseru kejut.
"Sura ........"
Ternyata sentuhan tangan dari Ardaraja itu, walaupun tak berapa keras, namun telah menyebabkan tubuh Suramenggala rubuh ke lantai.
"Ah, engkau sudah ma , Suramenggala,"
Akhirnya Ardaraja menghela napas. Sesaat kemudian iapun duduk berteliku memberi sembah kepada baginda "duh, rama prabu yang hamba muliakan, ampunilah segala kesalahan hamba ......."
"Ardaraja.....
"
Masih baginda dapat menyahut walaupun suaranya makin lemah "se ap tah manusia tak luput dari dosa.
Aku mau mengampuni, Ardaraja, tetapi dapatkah dosamu itu bersih dengan pengampunanku? Ah, kurasa dak, Ardaraja.
Se ap dosa, harus dibersihkan oleh orang yang melakukan itu sendiri.
Selama dia tak mau membersihkan kotoran klesa dalam ba nnya, tak mungkin Hyang Widdhi akan mengampuninya.
Demikian pula engkau, Ardaraja.
Engkau harus berusaha membersihkan kesalahan dan kedosaanmu karena engkau sendirilah yang akan mengenyam akibat dari setiap perbuatanmu ......"
"Puteraku Ludira,"
Berkata pula baginda kepada putera kemenakan beliau "bukankah engkau hendak mencari balas atas kema an ramamu ? Silakan, Ludira, selagi pamanmu ini masih bernapas, tusukkanlah senjatamu itu agar dendam yang membara dalam ba nmu itu segera lenyap."
Ludira terkesiap.
Pikirannya jauh melayang-layang dalam berbagai per mbangan yang ada menentu.
Berpuluh tahun ia.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus hidup menderita.
Boleh dikata menyiksa diri untuk menuntut ilmu jayakawljayan.
Berpuluh tahun ia memendam bara dendam dalam sanubari dan berpuluh tahun ia berjuang untuk mencapai cita citanya itu.
Kini cita-citanya itu telah terbentang di hadapannya.
Kini ia sudah berhadapan dengan baginda Kertanagara, ya pamannya, ya pembunuh ayahnya, ya musuh yang dicarinya itu.
Bukan seorang ksatrya apabila ia harus mengingkari ikrar yang pernah dilepaskan dari lubuk ha nya.
Seke ka menggeloralah semangat Ludira.
Sepasang bola matanya berapi api menghambur sinar pembunuhan ....
Tetapi ke ka pandang matanya tertumbuk akan keadaan baginda yang duduk lunglai dalam keagungan dan kewibawaannya di atas kursi kebesaran, seke ka berhamburan pudarlah sinar pembunuhan itu.
"Ludira, lekaslah engkau hunjamkan senjatamu ke tubuh ini"
Seru baginda sesaat dilihatnya Ludira termangu-mangu.
"Duh, paman prabu,"
Kata Ludira dengan nada haru "paman prabu sudah cukup menderita. Kiranya sudah cukuplah dendam kematian ramaku itu berbalas."
"Ah,"
Baginda mendesuhkan sebuah keluhan sedih "bunuh aku, Ludira, agar terhimpas segala kedosaanku, agar lekaslah jiwaku meninggalkan raga yang berlumuran klesa ini......"
"Tidak, paman prabu, hamba takkan berbuat begitu."
Kembali baginda menghela napas.
"Pucang pu h tulyanikang malangliput. Sebagai mendung pu h layaknya mala itu melipu ba n. Maka gelaplah pemandangan ba n terhadap zat Tuhan. Demikianlah yang terjadi atas diriku, Ludira ......"
Berhenti sejenak untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya, berkata pula baginda Kertanagara.
"Dalam meni ke tataran mencari penerangan zat Tuhan, aku telah terjerumus dalam kesilauan Ajnana atau kebodohan dan Kamohan atau kebingungan serta kemabukan. Melakukan sesuatu dengan dak memper mbangkan kebijaksanaan yang lepas dari akibat memen ngkan diri sendiri. Itulah yang disebut Ajnana. Dan yang disebut Kamohan yalah kebingungan atau kemabukan, ber ndak menurut hawa nafsu yang tak kenal kepuasan. Akibat dari ndakanku itu, adimas Panenggak, ayahandamu, telah binasa dalam peperangan dengan Singasari. Kemudian negara Singasari telah hancur diserang Daha seperti saat ini ........."
"Tetapi paman prabu,"
Ludira cepat menanggapi "pa h Araganilah yang telah mengacau dan menjerumuskan paman prabu !."
"Puteraku Ludira,"
Kata baginda dengan suara yang makin lemah "
Dak baiklah menimpakan kesalahan kepada lain orang.
Aragani memang berusaha untuk merusak jiwaku.
Tetapi yang salah adalah aku.
Mengapa aku mau dan menuru saja segala bujuk rayuannya? Itulah karena pikiran dan batinku telah diselimuti oleh Ajnana dan Kamoban itu."
"Tidak, paman prabu,"
Bantah Ludira "Aragani tetap harus bertanggung jawab atas kerusakan negara Singasari kerajaan paduka ini."
"Ludira,"
Kata baginda "telah kukatakan bahwa manusia itu tak lepas dari lingkaran Sebab dan Akibat. Aragani akan memetik buah yang, ditanamnya, percayalah puteraku ......"
"Ah,"
Ludira diam-diam memuji kebesaran hati baginda. Namun ia tetap penasaran kepada patih itu.
"Ludira,"
Berseru pula baginda "darahku sudah hampir habis mengalir. Aku sudah tak takut menderita siksaan itu. Maukah engkau berjanji untuk melepaskan penderitaan pamanmu ini ?."
Serta merta Ludira memberi sembah dan menyatakan kesediaannya.
"Ludira, atas kesediaanmu itu, akupun hendak memberikan imbalan. Ayahandamu telah meninggal, demikian akupun segera berangkat ke alam kelanggengan. Aku tak mempunyai putera. Engkaulah, Ludira, satu satunya keturunan kami berdua kakak beradik. Kerajaan Singasari kuserahkan kepadamu. Terserah bagaimana engkau hendak berusaha untuk memperjuangkan tanah warisan leluhurmu ......"
"Paman prabu ......"
"Ludira, sekarang laksanakan kesediaanmu. Aku sudah tak kuat menahan derita lebih lama lagi. Aragani tahu akan kelemahanku, tetapi belum keseluruhannya. Aku. takkan mati karena luka pada pangkal paha ini ......."
"Jika demikian,"
Tukas Ludira memercik harapan "kumohon restu paduka untuk menghancurkan orang orang Daha itu !."
"Tidak, Ludira,"
Seru baginda pula "kutahu bahwa garis hidupku sudah selesai.
Keadaan Singasari sudah porak poranda sedemikian rupa.
Aku tak ingin melihat kawulaku banyak yang akan ma lagi.
Dan akupun tak ingin melihat bahwa singgasana Singasari akan diduduki oleh orang Daha.
Lebih baik aku mati daripada melihat peristiwa-peristiwa itu."
"Kita harus berusaha, paman prabu !."
"Ah, aku telah menerima bentara gaib dalam semedi cipta, bahwa memang sudah ba janjinya aku harus mengakhiri hidupku di arcapada ini. Lekas, puteraku, antarkanlah aku ke Iswaraloka. Jina Sri Jenya-nabadrewara takkan ma , kecuali dia sendiri yang rela menyerahkan kema annya. Aku sudah jemu akan kehidupan di alam fana ini."
"Baik, paman prabu,"
Kata Ludira "tetapi bagaimanakah cara hamba melakukan tah paduka itu?."
"Lekaslah sempurnakan jasadku ini, agar atmaku lekas menuju ke Iswaraloka."
Ludira terbeliak. Ia tahu apa yang diartikan oleh baginda.
"Tidak, baginda. Hamba takkan melakukan perbuatan yang sekejam itu. Titahkan apa sajalah kepada hamba, tentu akan hamba lakukan. Tetapi janganlah paduka tahkan hamba membunuh paduka ........."
"O, Ludira, engkau khilaf,"
Seru baginda "engkau tak sampai ha melakukan hal itu karena melihat tubuh yang bersemayam di kursi kebesaran ini adalah Kertanagara, pamanmu. Tetapi engkau tak melihat siapa Aku ini ?."
Berhen sejenak, baginda melanjutkan pula "Raga adalah badan kasar yang akan rapuh, rusak dan binasa.
Tetapi jiwa, akan tetap hidup.
Tidakkah engkau kasihan melibat raga yang sudah begini rusak harus berlangsung rusak dan makin rusak ? Sampaikah ha mu melihat raga yang penuh debu-debu klesa ini menderita siluman? Ketahuilah Ludira, engkau dak membunuh tetapi membebaskan dan menyempurnakan keakhiran daripada perjalanan hidup sesosok tubuh yang kebetulan menjadi pamanmu.
Nah, Ludira, segeralah engkau lakukan."
Ludira termangu.
"Nah, akan kuberi petunjuk dengarkanlah dan kemudian lakukanlah,"
Kata baginda "Pertama ucapkan 'aum' dan kecuplah ubun-ubun kepalaku. Kedua, ucapkan 'ah' dan kecuplah leherku. Terakhir, ucapkan 'hum' dan kecuplah ulu hatiku. Segera aku akan melayang ke Iswaraloka."
Sesungguhnya Ludira tak sampai ha .
Tetapi setelah mendengar uraian dari baginda tentang ar daripada Raga dan Jiwa, iapun mempunyai per mbangan lain.
Dilihatnya keadaan raga baginda sudah parah.
Tentulah baginda amat menderita sekali.
Maka akhirnya ia memutuskan untuk melakukan apa yang dititahkan baginda itu.
Pada saat Ludira mengucap doa Hum dan mengecup dada baginda, maka terkulailah tubuh baginda di atas kursi kebesaran.
Wajahnya setenang orang dur.
Cahayanya masih memancarkan sinar kewibawaan seorang maharaja yang bercita-cita besar.
Suasana balairung sunyi senyap.
Sayup-sayup seper terdengar paduan suara yang merdu.
Balairung membaurkan bau harum dan ba- ba wajah baginda memancar terang dan sekejab kemudian sinar terang itupun redup, paduan suara serta tebaran bau harum pun lenyap.
Baginda Kertanagara telah mangkat diantar oleh detik detik peristiwa ajaib ....
Keheningan suasana itu terpecahkan oleh isak tangis seseorang.
Ludira terkejut dan cepat berpaling.
"Hm, tak perlu menangis, Ardaraja,"
Bentak Ludira "tangismu itu hanya tangis kus buduk mengantarkan kematian sang kucing."
"Aku menyesal bahwa kesemuanya ini telah terjadi. Sesungguhnya bukan beginilah yang kuinginkan."
"Ardaraja, bangun dan siapkan senjatamu,"
Teriak Ludira "Ludira pewaris dari kerajaan Singasari akan mempertahankan haknya. Akan menuntut balas atas kematian pamanku !."
"Ludira ......"
"Jangan banyak cakap ! Lekas bersiap."
"Ludira, aku akan menebus dosa. Jenazah rama prabu akan kurawat dan kusemayamkan dalam sebuah candi yang akan kusuruh mendirikan untuk beliau. Dan engkau Ludira, silakan engkau pergi ke manapun menurut sekehendak hatimu. Orang Daha takkan mengganggumu."
"Haram bagi Ludira, ksatrya Singasari, harus menerima kemurahan dari orang Daha."
"Tetapi aku putera menantu rama prabu Kertanagara, Singasari juga negara yang kuabdi."
"Hm,"
Ludira mendengus muak "masih engkau mempunyai muka untuk mengaku sebagai putera menantu dari seorang raja yang telah engkau hianati!."
"Ludira !"
Teriak Ardaraja "jangan engkau salah mengira bahwa aku takut kepadamu. Adalah karena hendak menghorma rama prabu Kertanagara maka kuperlakukan engkau sebagai seorang yang terhormat."
"Ardaraja, engkau seorang ksatrya dan akupun seorang ksatrya. Marilah kita selesaikan permalan ini. Apabila aku kalah, aku rela menyerahkan Singasari kepada Daha."
Ardaraja merah mukanya. Kesabarannya habis. Serentak ia mencabut keris dan bersiap "Baik, Ludira. kuterima tantanganmu itu!."
Ludirapun segera menjemput keris yang masih berlumuran darah baginda Kertanagara di lantai "keris yang telah berlumuran darah paman prabu ini akan kucuci dengan darahmu, Ardaraja !."
Demikian kedua ksatrya muda dari Singasari dan Daha itu saling berhadapan untuk menyabung nyawa. Prajurit-prajurit pengawal Ardaraja segera berbaris untuk menjaga segala kemungkinan yang menimpa diri junjungan mereka. Namun Ludira tak menghiraukan.
"Ardaraja, sambutlah seranganku !"
Sesaat Ludira hendak ayunkan keris, ba- ba terdengar orang berseru "Kakang, berhen lah dulu!"
Sesosok tubuh loncat ke muka, tegak di sisi Ludira.
"Mandira, engkau !"
Seru Ludira ketika mengetahui siapa yang mencegahnya itu.
"Berikan putera akuwu Daha itu kepadaku, kakang,"
Pinta Lembu Mandira. Ludira kerutkan dahi "Mengapa?."
"Dia telah membunuh ramaku Raganata."
"Tetapi diapun membunuh paman prabu Kertanagara ......"
"Baginda Kertanagara telah membunuh ayahanda kakang. Seharusnya kakang Ludira tak perlu membalaskan kematian baginda. Sedangkan aku telah kehilangan seorang ayah."
"Aku tidak membunuh empu Raganata!"
Tiba-tiba Ardaraja berseru menyangkal.
"Tetapi engkau yang memerintahkan !"
Hardik Mandira.
Ardaraja terbeliak "Tidak! Sama sekali aku dak memerintahkan anakbuahku untuk membunuh baginda maupun empu Raganata.
Bahkan aku marah dan hendak membunuh pada bekel Suramenggala yang telah lancang membunuh baginda di luar perintahku ."
"Hm, Ardaraja,"
Dengus Lembu Mandira dengan berapi-api "siapakah yang tahu engkau memberi perintah pembunuhan itu atau tidak ?."
"Putera empu Raganata, aku ......"
"Prajurit-prajurit manakah yang menyerbu ke dalam balairung ini ? Prajuilt Daha, bukan ? Dan siapakah yang menitahkan mereka menyerbu ke dalam keraton? Engkaulah Ardaraja, putera menantu baginda Kertanagara sendiri !."
"Tetapi aku tak menghendaki baginda terbunuh !."
"Jangan engkau berputar lidah, Ardaraja. Seorang lelaki yang sudah berani berhianat, harus berani pula menghadapi segala akibat. Engkau menyuruh atau dak, tetapi engkaulah yang bertanggung jawab atas pembunuhan keji ini. Aku minta pertanggungan jawabmu ?."
Ardaraja tertegun sejenak lalu berkata "Baik, putera empu Raganata.
Engkau boleh meminta pertanggungan jawab atas kema an ramamu dan raden Ludira itupun boleh menuntut balas atas mangkatnya baginda.
Tetapi sebelum itu, akupun hendak meminta pertanggungan jawab dulu kepada prajurit yang telah melanggar perintah.
Setelah itu baru nan kita selesaikan persoalan kita."
Tanpa menunggu jawaban, Ardaraja lalu berpaling dan berseru kepada rombongan prajurit Daha yang memenuhi ruang balairung.
"Siapakah di antara kalian yang telah membunuh empu Raganata? Seorang prajurit harus tegas dan jujur, tampillah ke muka !"
Serunya. Rombongan prajurit itu tertegun. Tiada seorang-pun yang membuka suara dan bergerak maju.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa ada yang tampil ke muka ? Apakah di antara kalian tak ada yang melakukan pembunuhan itu ?"
Ardaraja mengulang seruannya.
Tetap ada penyahutan dan gerakan.
Ardaraja mendengus, keliarkan pandang meneli se ap prajurit yang berjajar-jajar di sekelilingnya.
Sebelum ia menemukan sesuatu, sekonyong-konyong Lembu Mandira loncat ke arah kerumun prajurit Daha dan sebelum prajurit-prajurit itu tahu apa yang dikehendaki pemuda itu, Lembu Mandira telah menerkam bahu seorang prajurit bertubuh kekar lalu disentakkan ke tengah ruang.
"Pengecut!"
Bentak Lembu Mandira "mengapa engkau tak berani mengakui perbuatanmu ?."
"Aku .... aku tak melakukan pembunuhan itu,"
Sahut prajurit bertubuh kekar agak tersendat.
"Engkau Pitrang!"
Teriak Ardaraja dengan mata membelalak marah.
"Bukan aku, raden."
"Keparat!"
Damprat Lembu Mandira "buk sudah nyata, mengapa engkau masih berani menyangkal? Lihatlah ujung tombakmu itu yang berlumuran darah itu !."
Prajurit itu terkejut dan hendak berusaha menyembunyikan tombaknya ke belakang tubuh.
Mukanya pucat.
Lembu Mandira tertawa hina "Tidak perlu engkau main sembunyi, prajurit Daha.
Dan tak perlu engkau takut mengakui perbuatanmu itu.
Aku memang hendak menuntut balas tetapi bukan dengan cara sepengecut engkau.
Akan kuberi kesempatan kepadamu untuk menghadapi aku.
Kalau engkau menang, bunuhlah aku.
Tetapi kalau kalah, janganlah engkau ma membawa rasa penasaran !."
Lembu Mandira tampil ke hadapan prajurit Itu "Bersiaplah dan gunakan senjatamu !."
Tanpa memberi kesempatan orang bicara, Lembu Mandira terus melancarkan serangan dengan sebuah pukulan yang dihunjamkan ke dada prajurit.
Karena didesak, prajurit itupun menangkis dengan tombaknya.
Bahkan seke ka mpul harapan dalam hatinya untuk memenangkan pertempuran itu.
Setelah menangkis, ia balas menusuk.
Merah muka Ardaraja ke ka sehabis berkelit menghindar ke samping, Lembu Mandira menyelimpatkan sebuah lirikan mata penuh ejek kepada putera akuwu Daha itu.
Ia hendak bergerak menyerang prajurit itu tetapi ba- ba Ludira menghadangnya "Biarkan putera empu Raganata itu menuntut balas, jangan ikut-ikut, simpanlah tenagamu untuk menghadapi aku!."
Dalam pada itu pertempuranpun berlangsung makin seru.
Prajurit itu berjuang ma -ma an untuk mengalahkan Lembu Mandira.
Tetapi walaupun dengan tangan kosong, ternyata putera empu Raganata itu dapat memberi perlawanan yang seru.
Bahkan melakukan serangan balasan yang sering membuat ia pontang-panting.
"Hm, ma engkau sekarang,"
Dengus prajurit Itu dalam ha ke ka melihat lawan berdiri dengan dada tak terlindung.
Sebuah tusukan yang kuat segera dilancarkannya.
Hampir ia meyakinkan diri bahwa tusukannya itu pas akan menembus dada Lembu Mandira dan memang ujung tombak langsung melaju ke muka.
Cres......
Tusukan ujung tombak tepat menembus tubuh Lembu Mahdira.
Tetapi bukan sasaran yang di arahnya melainkan menyusup ke dalam ketiak Lembu Mandira.
Karena yakin tentu berhasil maka prajurit Pitrang Itu menggunakan segenap kekuatannya.
Karena ujung tombak menembus ke dalam ke ak maka tubuh Pitrang-pun ikut menjorok ke muka.
Dan karena menjorok ke muka, ia menyongsong maju rapat ke hadapan Lsmbu Mandira.
Alangkah kejutnya ke ka dilihatnya Lembu Mandira mengangkat tangan kanan hendak dihantamkan ke mukanya.
Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, ia hendak loncat mundur seraya menarik tombaknya.
Tetapi tombak itu laksana terjepit pada pintu baja.
Karena ia memakai kedua tangannya untuk menarik batang tombak maka tubuh bagian bawah tak terlindung.
Sebelum ia berhasil dalam usahanya menarik tombak, sekonyong koayong Lembu Mandira ayunkan kaki, prak ....
"Auh .......
"
Pitrang menjerit ke ka bagian bawah pusarnya termakan tendangan.
Seke ka pandangan matanya terasa pudar, kepala berbinar-binar, tenagapun lunglai.
Dalam keadaan limbung itu, ia merasa kedua kakinya dicekal dan diangkat.
Iapun merasa tubuhnya seper terangkat ke atas lalu berayun ke bawah.
Terakhir ia masih merasa bahwa kepalanya seper membentur benda yang keras.
Kemudian apa yang terjadi selanjutnya, ia tak tahu pula.
Ia merasa dirinya amat ringan sekali, melayang ke udara, membumbung nggi dan makin tinggi ke langit ....
Terdengar jerit dan pekik tertahan menggema dalam balairung ke ka menyaksikan suatu adegan yang mengerikan.
Selekas lepaskan tendangan, secepat kilat Lembu Mandira lepaskan tombak yang dikepit dalam ke aknya lalu loncat menerkam kedua kaki prajurit Pitrang, diangkat ke atas, diputar-putar beberapa jenak lalu dihantamkan ke lantai, prakkkk ....
Kepala prajurit Daha yang telah membunuh empu Raganata itu, hancur lebur, benaknya berhamburan ke luar dalam genangan darah merah.
Lepaskan korbannya, Lembu Mandira tegak berdiri bagaikan gunung perkasa.
Wajahnya merah, sepasang bola matanya membara.
Sepintas pandang, dia bagaikan seekor harimau yang habis mencampakkan korbannya.
Setelah sadar dari rasa kemanguan ngeri, beberapa prajurit Daha serempak maju hendak menyerang Lembu Mandira.
Sekonyong-konyong prajurit yang maju paling depan menjerit ngeri dan rubuh ke lantai dengan dada berhias sebuah cundrik.
Dan sesosok tubuh loncat di muka Lembu Mandira.
"Barang siapa berani maju selangkah, dialah contohnya,"
Seru orang itu yang bukan lain adalah Jaka Ludira. Dialah yang melayangkan cundrik kedada prajurit yang hendak menyerang Lembu Mandira. Kemudian loncat untuk melindungi putera empu Raganata itu.
"Ardaraja, adakah engkau hendak mengerahkan prajuritmu untuk mengeroyok kami berdua ?"
Serunya kepada putera akuwu Daha.
"Mundur!"
Teriak Ardaraja kepada prajurit-prajurit itu.
Mereka serempak menyurut mundur tetapi tetap tak melepaskan sikap kesiapan untuk menyerang.
Dalam pada itu Lembu Mandira sadar pula.
Rasa tegang dari dendam yang meluap-luap telah menghempaskan dia ke dalam kemanguan.
"Ardaraja, sekarang aku hendak meminta pertanggungan jawabmu atas kama an ramaku Raganata,"
Seru Lembu Mandira seraya tampil selangkah ke hadapan Ardaraja.
"Dan bukankah engkau juga akan menuntut balas atas kema an rama baginda Kertanagara, raden Ludira ?"
Ardaraja tak mengacuhkan Lembu Mandira melainkan bertanya kepada Ludira.
"Adakah engkau tak merasa harus membayar jiwa ?"
Ludira balas bertanya.
"Sia-sia aku berkering lidah,"
Sahut Ardaraja.
"aku bersedih mempertanggungjawabkan jiwa baginda dan empu Raganata. Tetapi aku seorang putera raja. Aku menghendaki lawan seorang putera atau keluarga raja."
"Ardaraja, jangan menghina ......"
"Sudahlah, adi Mandira,"
Cepat Ludira mengerat kata-kata yang dilantangkan Lembu Mandira.
"pembunuh empu Raganata telah engkau tumpas. Sekarang kasihlah aku yang menghadapi putera dari akuwu Daha ini."
"Ardaraja,"
Seru Ludira pula "ingin aku mengajukan usul kepadamu."
"O, usul ?"
Seru Ardaraja "silakan."
"Akan kujadikan pertempuran ini sebagai sesuatu yang membawa akibat penting bagi kita berdua. Bagaimana kalau kita pertaruhkan kerajaan ?."
Ardaraja kerutkan dahi "Apa maksudmu ?"
"Kalau aku kalah, aku bersedia melepaskan hak yang telah direstukan paman baginda Kertanagara atas mahkota kerajaan Singasari. Tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah ? Adakah engkau bersedia untuk menyerahkan Daha ?."
Ardaraja terbeliak. Pertanyaan itu terlalu mendadak sekali dan tak pernah terpikirkan olehnya.
"Tidak mungkin, Ludira,"
Sesaat kemudian Ardaraja memberi jawaban "karena yang berkuasa di Daha itu adalah rama akuwu Jayakatwang bukan aku."
"Hm,"
Dengus Ludira "jika demikian, bagaimana kalau kuminta kesediaanmu untuk menarik mundur semua pasukan Daha yang berada di pura Singasari?."
"Ah, itupun sukar,"
Desah Ardaraja "karena yang berkuasa atas seluruh pasukan Daha yang menyerang Singasari itu, adalah paman senopati Kebo Mundarang."
"Lalu apa yang dapat kau janjikan kepadaku?"
Tanya Ludira.
"Nyawaku !."
"Jika demikian, akupun mempertaruhkan nyawaku juga,"
Seru Ludira.
"Tidak !"
Tiba-tiba Ardaraja berseru "ramamu sudah terbunuh dan rama baginda Kertanagarapun sudah terbunuh.
Tak perlu tambah sebuah nyawa lagi yang terbunuh.
Jika engkau kalah, silakan engkau pergi ke mana saja yang engkau kehendaki.
Bebas dan takkan diganggu."
"Hm,"
Desuh Ludira "silakan engkau memberi kebebasan. Tetapi aku malu hidup apabila kalah dengan kau. Daripada hidup bercermia bangkai, lebih baik mati berkalang tanah."
"Seorang ksatrya,"
Ardaraja memuji nah, marilah kita mulai."
Ardarajapun menghunus keris untuk menghadapi Ludira yang juga menggunakan keris.
Suasana tegang regang.
Kawanan prajurit Daha tampak bersiap-siap.
Rupanya walaupun Ardaraja tak memberi perintah tetapi mereka akan ber ndak apabila melihat putera raja Daha itu terancam bahaya.
Ludira bersiap menjajagi kepandaian lawan.
Ia lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Setelah berlangsung beberapa saat, mbullah kesan dalam ha Ludira bahwa Ardaraja tak boleh dipandang ringan.
Ilmunya bermain keris sangat berbahaya.
Penyerangannya cepat, penghindarannya tangkas.
Ardarajapun bukan tak tahu bahwa lawan sedang memasang siasat untuk menyelidiki kepanduannya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk mengaburkan penilaian lawan, sengaja ia bersikap pura-pura tak tahu dan melancarkan serangan yang bertubi-tubi.
Pada hal serangan itu, belumlah menampakkan warna kepandaiannya yang sungguh-sungguh.
Ia hanya mengiringkan serangan serangan itu dengan kecepatan dan kedahsyatan agar lawan terkecoh.
Demikian pertarungan makin Berjalan seru dan cepat.
Walaupun belum mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya namun diam-diam Ardaraja terkejut menyaksikan gerak tubuh dan tata langkah Ludira yang tangkas dan gesit dalam menghindari serangan.
Akhirnya Ludira merasa telah cukup dalam penjajahan itu.
Mulailah ia melancarkan serangan balasan.
Dan sekali melancar, seranganpun tak kunjung henti laksana hujan mencurah.
Kini Ardarajalah yang sibuk untuk menghindar dan menangkis.
Diam-diam diapun mengakui bahwa sekalipun mencurahkan seluruh ilmu kepandaiannya, rasanya tak mudah untuk mengalahkan lawan.
Pada satu saat, pertarungan telah mencapai puncak ketegangannya mendebarkan.
Saat itu dengan sebuah gerak pu, Ludira berhasil mempedayakan lawan dan mengisi kesempatan baik itu dengan menusukkan kerisnya ke dada lawan.
Ardaraja terkejut sekali.
Ia merasa tak sempat lagi menghindar maupun menangkis.
Kali ini ia tentu binasa di ujung keris Ludira.
Dalam de k-de k yang menentukan itu, akhirnya Ardaraja mengambil keputusan yang nekad.
Kalau ia ma , lawanpun harus ma .
Maka secepat kilat, ia balas menusuk perut lawan.
Pada saat kedua keris akan bersarang pada tubuh kedua pemuda itu, sekonyong-konyong sesosok tubuh terlempar di tengah-tengah mereka.
Cret, cret, keris Ludira bersarang di dada orang itu dan keris Ardarajapun terbenam dalam perut orang itu .....
Terdengar pekik yang nyaring, melengking tinggi.
Bermula ngeri, penuh dendam kemarahan.
Kemudian menurun dan makin menurun.
Nadanya berganti tumpahan hati sesal, sedih dan putus asa.
Kemudian makin lemah, hampir menyerupai orang mengerang dan merintih.
Ludira dan Ardaraja terkejut, tertegun dan terbelalak.
Serempak keduanya berseru "Engkau......"
Kedua anakmuda itu bermula merasa ngeri.
Tetapi setelah tahu siapa korban mereka, serentak mbullah rasa dendam kemarahan yang menyala-nyala.
Walaupun beberapa saat yang lalu, kedua pemuda itu saling tusuk menusuk, mengadu jiwa, tetapi menghadapi korban itu, sekalipun tanpa bersepakat, keduanya sama-sama memiliki rasa geram yang dahsyat.
Dan tanpa berunding pula, keduanyapun segera mengambil tindakan yang sama.
Krak ....
krek ....
Ludira dak menarik kerisnya yang bersarang di dada orang melainkan bahkan menyontekkan kerisnya ke atas untuk membelah dada dan muka orang itu.
Dan serempak dalam waktu yang sama, Ardarajapun juga menekankan keris yang berada dalam perut orang itu ke bawah dengan sekuat tenaga.
Karena dari batas dada dibelah sampai ke atas kepala dan dari perut ke bawah dipotongkan ke bawah maka orang itupun terbelah dua.
Yang sebelah jatuh ke belakang, yang sebelah rebah ke muka.
Rupanya Ludira dan Ardaraja masih belum puas melampiaskan kemarahannya terhadap orang itu.
Sebelah tubuh yang masing-masing rubuh ke arah mereka, disambut pula dengan ayunan kaki.
Krak ....
krak ....
tubuh orang itu melayang sampai beberapa tombak dan ke ka terhempas jatuh ke lantai, keadaannya makin mumur lebur.
"Matilah engkau penghianat Aragani !"
Teriak Ludira dengan geram.
"Upah seorang .... pa h durhaka!"
Teriak Ardaraja pula.
Sesungguhnya ia hendak menyebut 'penghianat' tetapi menyadari kedudukan dirinya sendiri, ia beralih dengan menyebut Aragani patih durhaka.
Memang yang menjadi korban tusukan keris kedua pemuda itu adalah pa h Aragani.
Waktu baginda Kertanagara tertusuk keris Suramenggala, dengan licin sekali pa h Aragani segera lari menyelinap.
Ia tak mau percaya akan ucapan Ardaraja.
Lebih baik meloloskan diri pada saat mereka tengah berhadapan dengan baginda.
Dan berhasillah pa h Aragani lolos dari balairung manakala ia tak berpapasan dengan Sedayu.
Pada saat Lembu Mandira menerobos ke dalam balairung dan berhasil membantu Ludira, Sedayu terus lari ke luar balairung, menuju ke ruang muka keraton.
Ia hendak membantu ramanya tumenggung Wirakreti.
Saat itu tumenggung Wirakre sudah roboh karena menderita luka luka berdarah.
Betapapun gagah dan sak nya, namun pasukan Daha yang menyerang keraton terlampau besar jumlahnya.
Mereka menggunakan pula anakpanah.
Banyak prajurit-prajurit penjaga keraton yang ma di bawah hujan panah.
Juga tumenggung Wirakre telah menderita terpanah bahunya.
Luka itu cepat menghapus daya perlawanannya terhadap pasukan Daha.
Setelah mengamuk hingga menewaskan berpuluh prajurit Daha, tumenggung yang gagah berani itu akhirnya roboh kararena kehabisan darah.
Dan pada saat itulah Sedayu lari menghampiri dan memeluknya.
"Rama ....... !"
Dara itu menjerit dan menangis. Tiba-tiba tumenggung Wirakreti menyiak tubuh Sedayu "Pergilah !."
"Aku Sedayu, puteramu rama ......"
"Jika engkau Sedayu puteri tumenggung Wirakre , mengapa engkau menangis ? Tumenggung Wirakre , adalah mentri angabaya dari kerajaan Singasari. Ma di medan perang bagi seorang senopati, merupakan kematian yang luhur. Mengapa engkau tangisi kematian rama ?."
Rara Sedayu cepat menghapus airmatanya, walaupun ha nya seper disayat sayat "Rama, aku tak menangis ......"
"Bagus, puteraku Sedayu,"
Kata tumenggung Wirakre dengan wajah berseri bahagia walaupun nadanya mulai lemah "rama bangga mempunyai puteri seper engkau.
Walaupun engkau hanya seorang anak perempuan tetapi keberanian dan kesetyaanmu kepada Singasari, dak kalah dengan anak laki-laki.
Rama bangga ......"
"Rama,"
Cepat Sedayu menukas karena melihat dada ramanya makin merah karena darah makin mengucur deras "mari kuangkat rama ke dalam keraton."
Tumenggung Wirakre gelengkan kepala "Tidak, Sedayu. Jenazah seorang ksatrya bukan di bawah atap gedung yang mewah atau keraton, tetapi di medan laga ini. Ma seorang ksatrya bukan di atas kasur yaug empuk tetapi di tanah yang ber siram darah."
"Tetapi rama, luka rama amat parah. Harus diobati!."
Tumenggung Wirakreti tersenyum sayu.
"Kutahu Sedayu,"
Katanya "tetapi waktu amat berharga sekali.
Dengarkan pesanku ini.
Lekaslah engkau pulang ke tumenggungan.
Ajaklah ibu dan keluarga kita nggalkan pura Singasari.
Pergilah ke suatu tempat yang dak di bawah kekuasaan Daha.
Dan beritaku kepada adik-adikmu, bahwa keturunan Wirakreti tak boleh menjadi narapraja atau senopati Daha ......"
Hampir tak kuasa pula Sedayu menahan banjir air matanya yang hendak mencurah. Tetapi ia tahu akan perangai ramanya. Ditahannya airmata sekuat kuatnya. Dalam pada itu terdengar jerit pekik yang gegap gempita.
"Sedayu, sebentar lagi. prajurit-prajurit Daha tentu akan menyerbu keraton. Ambil keris rama ini. Keris pusaka itulah yang telah membantu dan mengangkat nama rama menjadi senopa . Gunakanlah, Sedayu, untuk merebut kembali Singasari. Tetapi apabila engkau gagal, simpanlah baik-baik. Kelak engkau berikan kepada keturunan kita yang akan berjuang untuk membela tanah airnya ......"
Setelah mengambil keris pusaka itu, Sedayu serentak hendak bangun "Rama, aku takkan mengidinkan mereka menyentuh tubuh rama ......"
"Apa maksudmu, Sedayu?"
Agak terkejut nada tumenggung Wirakreti.
"Akan kutunjukkan kepada orang-orang Daha bahwa tumenggung Wirakre yang gagah berani itu, masih mempunyai seorang puteri yang akan menuntut balas kepada mereka."
"Engkau hendak mengamuk?"
Makin tinggi nada tumenggung itu.
"Bukankah harimau itu harus beranak harimau juga?."
"Ah, Sedayu......
"
Ba- ba tumenggung Wirakre mendekap dadanya. Rupanya karena ketegangan kejut yang besar, darah dari luka tumenggung itu makin mengucur deras "rama bangga mempunyai puteri seperti engkau Sedayu. Tetapi .....tetapi .....
"
"Tetapi bagaimana, rama ?."
"Maukah engkau mendengarkan kata-kataku, Sedayu ?"
Kata tumenggung itu dengan napas mulai terengah "inilah pesanku yang terakhir . , ....."
Sedayu termangu.
Pada waktu kedudukan ramanya goncang karena diturunkan menjadi angabaya, saat itu Sedayu mohon idin untuk berguru kepada empu Santasmer .
Seorang pandita sak dan pujangga termasyhur dari Singasari yang karena tak senang melihat ndakan baginda Kertanagara memecat empu Raganata sebagai pa h dan.
Wirakre sebagai demung, akhirnya tinggalkan pura Singasari dan hidup bertapa di gunung.
Bahwa sejak berangkat dewasa, Sedayu sudah tak berada di rumah dan tak dapat melakukan kewajibannya sebagai seorang anak perempuan terhadap ayah-bundanya.
Hal itu disadari Sedayu.
Dan gadis itupun menyadari bahwa luka ramanya amat parah sekali.
Dalam beberapa saat lagi tentu tak kuat bertahan hidup.
Sedang musuh tak lama lagi tentu akan menyerbu keraton.
Menyadari hal-hal itu, ia mengharuskan diri untuk memenuhi pesan ramanya sebagai tanda baktinya.
"Rama, pesan rama akan kujunjung di ubun-ubun kepala,"
Sahutnya seraya berjongkok pula.
Tumenggung Wirakre menghela napas "Rama telah mendapat firasat bahwa peris wa seper saat ini, pas akan ba.
Rupanya telah menjadi kodrat yang digariskan Hyang Agung bahwa kerajaan Singasari akan runtuh.
Tetapi akupun mendapat Ilham dan suatu bentara gaib, bahwa Daha pun tak lama akan hancur.
Di bumi sebelah mur, akan mbul sebuah kerajaan baru yang lebih besar, lebih jaya dari Singasari mau pun Daha ......"
"Rama ......"
"Jangan engkau menuru kemarahanmu hendak mengamuk. Itu akan sia-sia saja, anakku,"
Kata tumenggung Wirakre pula "tetapi selamatkanlah kawan-kawan pejuang yang sealiran dengan engkau. Susunlah kekuatan untuk merebut kembali Singasari. Ah, Sedayu .... rama sudah tak kuat .... laksanakanlah pesan rama ......"
"Rama ....... !"
Sedayu menjerit dan menubruk tubuh ayahnya.
Beberapa prajurit Singasari segera duduk bersila memberi hormat.
Hormat kepada seorang senopa yang telah gugur di medan bhakti.
Tiba-tiba Sedayu bangkit "Prajurit prajurit, bawalah jenazah ramaku ke candi Tumpang, serahkan kepada resi Sambhawa! Dan yang lain-lain tanggalkan pakaian keprajuritanmu dan pulanglah ke rumahmu masing-masing !."
"Tidak !"
Gegap gempita prajurit-prajurit yang mempertahankan keraton Singasari bersorak "gus Wirakre akan kami bawa ke candi Tumpang tetapi kami tetap akan berjuang sampai pada k darah yang terakhir untuk menjaga keraton Singasari!."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah,"
Sedayu mendesah baru "andaikata rama tak melarang, aku tentu akan bersama mereka menghadapi prajurit Daha ........."
Diam-diam Sedayu berkata dalam kemanguan "aku harus lekas-lekas masuk ke dalam keraton. Kakang Ludira dan Mandira tentu sedang menghadapi sesuatu ........."
Bersama Lembu Mandira, ia telah berhasil menemukan tempat penahanan Ludira.
Setelah merobohkan beberapa penjaga, akhirnya kedua anak muda ku dapat membebaskan Jaka Ludira.
Jaka Ludira dan Lembu Mandira bergegas menuju ke balairung untuk menyelamatkan baginda.
Sedayu lari ke luar untuk mencari ayahnya.
Tetapi mareka bertiga terlambat.
Jaka Ludira mendapatkan baginda tengah meregang jiwa.
Lembu Mandira hanya nggal memeluk tubuh ayahnya, empu Raganata yang sudah menjadi mayat.
Sedang Sedayu hanya sempat mendengar pesan terakhir dari tumenggung Wirakreti.
Harapan ke ga anakmuda itu ternyata meleset semuanya.
Tetapi hal itu daklah mengendorkan semangat juangnya, sebaliknya bahkan menjadi cambuk dan membakar semangatnya untuk membalas dendam dan melanjutkan perjuangan sebagai ksatrya Singasari untuk membela negaranya.....
~dewi.kz^ismo^mch~ Sambung ke-36
Jilid 36 Tamat Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .
MCH I Pahlawan tak pernah mati.
Dia hanya gugur bagaikan bunga bangsa.
Yang mati adalah mereka yang menderita penyakit, karena usia lanjut atau karena memang kodrat hidupnya.
Tetapi yang gugur, adalah mereka yang merebahi bumi dengan siraman darah dan taburan bunga-bunga dari dirgantara, diiringi gamelan dari lokananta.
Harum semerbak mewangi seluruh alam.
Dia, mereka, adalah pahlawan kusuma bangsa.
Dan berbahagialah tumenggung Wirakreti karena gugur sebagai prajurit utama.
Setelah jenazah tumenggung Wirakreti diangkut oleh beberapa prajurit, Sedayu lari masuk ke keraton.
Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang hamba keraton, tengah tertatih-tatih lari ke luar.
Mukanya diselubungi sehelai kain hitam dan gerak-geriknya mencurigakan "Berhenti,"
Serentak Sedayu lari menghampiri. Orang itupun berhenti, berpaling lalu lari pula bahkan lebih kencang.
"Hai, berhenti,"
Sedayu makin curiga. Sekali loncat ia ancamkan pedang memaksa orang itu berhenti.
"Ih,"
Di luar dugaan Sedayu terkejut.
Tiba-tiba orang itu hendak menusuk pergelangan tangannya dengan sebuah cundrik.
Karena jarak amat dekat dan tak menduga-duga, Sedayu tak dapat menghindar jika ia tak mau melepaskan pedangnya.
Tring ....
Sedayu terpaksa lepaskan pedangnya, kemudian cepat-cepat ia menarik tangannya.
Melihat serangannya berhasil, orang itu menyusuli pula dengan tusukan cundrik ke dada Sedayu.
Tidaklah sia-sia gadis itu berguru kepada empu Santasmreti selama bertahun-tahun.
Dalam menghadapi ancaman maut itu, ia masih dapat menghindar dengan sebuah gerak menggeliatkan tubuh.
Pada saat cundrik meluncur setengah jari di muka dadanya, dengan sebuah gerak cepat pula, ia berhasil menguasai pergelangan tangan orang lalu secepat kilat tangan kanannya mencengkeram siku orang itu.
"Auh .......
"
Orang itu mengaduh seraya berjingkat ketika Sedayu menekuk ke atas. Cundrikpun jatuh dan Sedayu segera memutar lengan orang ke belakang.
"Siapa engkau !"
Hardik gadis itu. Namun orang itu tidak menyahut melainkan berusaha untuk menahan kesakitan.
"Jika engkau tetap membisu, lenganmu akan kupatahkan !"
Sedayu mengancam dan makin memperkeras tenaganya. Tangan kanan orang itu terteliku ke belakang punggung. Karena disorongkan ke atas, sakitnya bukan kepalang. Wajahnya merah, keringat bercucuran deras.
"Bunuhlah aku .... kalau engkau berani,"
Akhirnya orang itu paksakan diri berkata.
"Mengapa tak berani ? Siapa engkau !"
Karena tak sabar menunggu jawaban, tangan Sedayu cepat menyambar kain kerudung kepala orang itu "Aragani .......
"
Seketika ia menjerit kaget "mengapa engkau hendak lolos dari keraton ?"
"Aku diutus baginda."
"Ke mana ?"
"Menemui patih Mundarang, senopati pasukan Sedayu terkesiap "Mengapa !"
"Baginda berkenan damai ....
"
"Tidak !"
Teriak Sedayu seraya tak disadari memperkeras tangannya sehingga patih Aragani menguak kesakitan "kita tak sudi menyerah pada orang Daha ....
"
"Jika engkau mengganggu perjalananku, dua orang kawanmu pasti dibunuh pimpinan prajurit Daha, raden Ardaraja !"
"Hai, apakah Ardaraja mudah masuk ke dalam keraton ?"
"Dialah yang membujuk baginda supaya damai dan menangkap kedua kawanmu itu."
Serentak menggeloralah darah Sedayu "Bohong! Engkau tentu hendak melarikan diri!"
"Terserah engkau mau percaya atau tidak !"
"Jika engkau tak bohong, hayo, tunjukkanlah tempat mereka."
"Di balairung, pergilah engkau sendiri. Aku hendak melakukan titah baginda !"
"Tidak, engkau harus ke sana juga!"
Sedayu tak percaya kepada Aragani yang dikenalnya sebagai penghianat itu.
Dengan paksa ia membawa patih itu kembali ke balairung.
Tepat pada saat masuk ke balairung, Sedayu terkejut karena melihat balairung penuh dengan prajurit-prajurit Daha yang bersenjata lengkap.
Mereka berjajar-jajar mengelilingi ruang.
Dan di tengah lingkaran mereka, tampak dua orang pemuda tengah bertempur dengan keris.
Cepat Sedayu mengenali bahwa yang bertempur itu adalah Ludira lawan Ardaraja.
Sedayu menyiak barisan prajurit musuh lalu menyorongkan tubuh Aragani ke arah kedua pemuda itu.
Tepat pada saat itu, pertempuran akan mencapai babak yang gawat.
Karena tak dapat menghindar dari tusukan keris Ludira, Ardaraja nekad.
Ia tak mau menghindari atau menangkis melainkan balas menutuk.
Ia hendak mengajak lawan berbersama.
Tibanya sesosok tubuh, telah menampung kedua keris Ludira dan Ardaraja.
Keris Ludira tertanam di dada dan keris Ardaraja bersarang di perut Aragani.
Aragani, patih yang bernafsu besar untuk merebut kedudukan dan bahkan hendak menghianati baginda Kertanagara, akhirnya harus mati dengan tubuh terbelah dua.
"Kakang Ludira, kakang Mandira,"
Teriak Sedayu seraya loncat menghampiri kedua pemuda itu.
"bagaimana baginda dan paman Raganata ?"
Lembu Mandira pejamkan mala dan Ludira menghela napas "Baginda telah mangkat dan paman empu Raganatapun telah meninggal. Dan bagaimana dengan ramamu paman tumenggung Wirakreti !"
Tiba-tiba Sedayu memberingas. Serentak ia mencabut keris pusaka pemberian tumenggung Wirakreti.
"Kakang Ludira dan Mandira,"
Serunya nyaring.
"mari kita mengamuk. Basmilah si hianat Ardaraja dan antek antek dari Daha itu ....... ! "
Ludira dan Mandira serentak mencabut senjatanya.
Ardaraja hendak mencegah tetapi terlambat.
Karena melibat pangeran anom dari Daha hendak diserang, maka berpuluh puluh prajurit Daha yang sudah beberapa waktu siap di balairung itu, segera berhamburan menyongsong sepak terjang ketiga anakmuda dari Singasari itu.
Balairung tempat baginda di hadap para mentri narapraja dan nayaka senopati Singasari, saat itu berobah menjadi gelanggang pertempuran berdarah yang mengerikan.
Ludira, Mandira dan Sedayu bergempur bagai banteng ketaton.
Setiap arah yang diterjang selalu diiring dengan jerit kejut dan erang kesakitan dari kawanan prajurit Daha.
Bahkan kadang dimeriahkan dengan hamburan darah merah dan sosok-sosok tubuh prajurit yang rubuh bagai pohon pisang ditebang.
Memang walaupun prajurit-prajurit Daha yang menerobos masuk ke dalam balairung itu terdiri dari pengawal raden Ardaraja dan barisan pelopor, meski-pun sudah bertahun-tahun mereka dipersiapkan dan ditempa dengan latihan-latihan keprajuritan yang berat, namun mereka tetap bukan lawan dari ketiga anakmuda yang memiliki ilmu tata-kelahi dan kedigdayaan tinggi.
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Kuda Putih Karya Sd Liong Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL