Dendam Empu Bharada 5
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 5
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
Karena belum kenal, kukira ki bekel hendak merampas gong itu.
Pada hal sejak kedua penjahat itu mengincar rumah bekel Sindung, aku sudah mengawasi gerak-geriknya.
Apabila aku marah karena ki bekel telah mendahului hendak merebut pusaka itu, tentulah ki bekel dapat memaklumi"
Bekel Kuda Saloka juga seorang yang berwatak terbuka dan jujur.
Cepat ia dapat menerima peristiwa itu sebagai suatu kesalahan faham.
Iapun meminta maaf kepada Lembu Peteng "Aku sendiripun juga mengikuti gerak gerik kedua penjahat itu tetapi terus tinggalkan tempat itu dan menunggu mereka di jalan yang sepi.
Karena kita berkelahi mereka sempat melarikan diri membawa pusaka itu.
Ah, sayang.
Tetapi aku tak kecewa, kebalikannya bahkan merasa gembira"
"Mengapa?"
Lembu Peteng terkesiap.
"Bukankah kalau kita tak berkelahi tentu tak saling kenal ? Walaupun kehilangan jejak gong pusaka itu tetapi hanya untuk sementara waktu. Kelak kita pas dapat menemukan kembali. Aku yakin. Yang menggembirakan, aku dapat bersahabat dengan ki Lembu Peteng yang disohorkan orang sebagai gerombolan gunung Kelud yang suka mengganas rakyat, tetapi yang ternyata bukan begitu "
Kata beisel Kuda Saloka. Demikian setelah perkenalan yang dijalin dengan saling meminta maaf karena masing2 telah sama2 melukai, akhirnya Nararya berkata "Ki bekel, bagaimana dengan penjahat yang ki bekel sergap itu?"
Bekel Saloka seper disadarkan "O, benar, dia masih terkapar di jalan"
Ia berbangkit lalu berjalan. Ternyata perutnya masih sakit sehingga ia berjalan dengan mendekap perut dan agak terbungkuk-bungkuk. Orang itu masih menggeletak di tepi jalan. Ketika Nararya bertiga memeriksa, ternyata orang itu sudah mati "Aneh"
Kata bekel Saloka sambil memeriksa perut orang itu "mengapa perutnya ternganga sebuah luka besar ?"
"Rupanya luka akibat tusukan senjata tajam "
Kata Nararya.
"Itulah yang mengherankan"
Gumam bekel Saloka "pada hal jelas kuserangnya dengan nju, bukan dengan senjata tajam. Siapakah yang telah membunuhnya ?"
Tiada yang dapat menjawab. Setelah hening beberapa jenak, Nararya berkata "Menurut dugaanku, tetapi entah benar entah dak, kemungkinan yang membunuh orang ini adalah kawannya sendiri itu"
Lembu Peteng dan bekel Saloka terkesiap "Mengapa? Bukankah mereka bekerja bersama dan layaklah kalau mereka harus tolong menolong, tetapi mengapa bahkan membunuh kawan sendiri?"
Seru Lembu Peteng.
Nararya mengangguk "Benar.
Memang menurut alam pikiran ki Lembu Peteng maupun ki bekel yang jujur, kawan seperjuangan itu harus tolong menolong dalam kesukaran.
Tetapi janganlah kita mengukur kaum penjahat menurut nilai ukuran pikiran kita.
Bagi mereka, kawan itu diwaktu masih sama2 berkepentingan dan sama memerlukan tetapi apabila sudah tak membutuhkan, kawan itu harus disingkirkan, bahkan kalau perlu dibunuh.
Kawan, bagi mereka hanyalah soal kebutuhan, bukan soal orang"
Lembu Peteng dan bekel Saloka mengangguk.
"Mungkin penjahat yang kedua yalah yang disergap kakang Lembu Peteng, dak menderita luka parah. Dia teringat akan kawannya dan karena kakang Lembu masih asyik berkelahi dengan ki bekel, maka sempatlah orang itu mencari kawannya yang seorang. Kemungkinan kawannya itu pingsan atau menderita luka parah dan orang itu merasa suatu beban berat apabila harus membawa kawannya yang pingsan itu. Tentulah timbul pikiran jahat dalam hati orang itu. Daripada kawannya yang terluka itu jatuh ke tangan kakang Lembu atau ki bekel sehingga dapat membuka rahasia diri mereka, lebih baik kawan yang pingsan itu dibunuh sekali agar dapat melenyapkan buk . Dan kedua kali, orang itu dapat membawa gong pusaka kepada pimpinannya. Jasa atau hadiah tentu dapat diterimanya sendiri. Ki bekel dan kakang Lembu, memang dalam kalangan penjahat, sering terjadi ndakan demikian, membunuh kawan yang terluka parah agar jangan sampai dapat memberi keterangan kepada musuh"
Panjang lebar Nararya menguraikan dugaannya. Baik Lembu Peteng maupun Kuda Saloka diam2 memuji kecerdasan pemuda itu.
"Lalu bagaimana tindakan kita, raden ?"
Tanya bekel Kuda Saloka.
"Sayembara itu akan diadakan lusa, kita harus berusaha menyelidiki dan mencari berita bagaimana hasil sayembara itu. Yang penting, adakah Gong Prada itu juga diikut-sertakan dalam sayembara itu atau tidak"
"Jelas tidak, raden"
Tukas Lembu Peteng "bukankah gong pusaka itu sudah dicuri orang ?"
Bekel Salokapun hampir cenderung dengan pendapat Lembu Peteng tetapi Nararya berkata "Memang seharusnya demikian.
Tetapi bagaimana kenyataannya baik kita tunggu saja keadaan bekel Sindung.
Jika dia melakukan gerakan mengirim orang untuk mencari jejak pencuri itu, jelas gong pusaka itu tentu sudah hilang.
Tetapi kalau bekel Sindung tenang2 saja, terpaksa kita harus menunggu sampai terselenggaranya sayembara itu"
Bekel Kuda Saloka dan Lembu Peteng setuju.
Oleh karena sudah menjelang terang tanah, mereka ber gapun kembali ke gapura selatan, setelah mengambil kedua anakbuahnya Lembu Peteng dan Nararya segera ikut bekel Saloka ke gua Selamangleng.
Hari itu Nararya meminta supaya bekel Saloka dan Lembu Peteng beris rahat untuk menyembuhkan lukanya.
Dia_ sendiripun tak keluar melainkan suruh dua orang anakbuah Kuda Saloka untuk menyelidiki keadaan tempat bekel Sindung.
Nararya heran ke ka menerima laporan dari kedua pengalasan Lodoyo itu bahwa keadaan dirumah bekel Sindung tenang2 saja seperti tak terjadi sesuatu "Aneh"
Gumam Nararya ke ka menyampaikan laporan itu kepada bekel Saloka dan Lembu Peteng "adakah kakang dan ki bekel tak salah lihat peris wa pencurian di rumah ki bekel Sindung ?"
Bekel Saloka dan Lembu Peteng dengan tandas mengatakan bahwa mereka menyaksikan sendiri penjahat itu mengangkut sebuah benda yang dilipat dengan kain hitam.
"Tetapi mengapa bekel Sindung tak gempar ? Mengapa dia tenang2 saja?"
Tanya Nararya. Kedua orang itu tak dapat memberi jawaban.
"O, ki bekel belum menceritakan pengalaman yang ki bekel lakukan kemarin"
Ba2 Nararya berkata.
Bekel Saloka mengatakan bahwa ia berkunjung ke rumah seorang kawannya yang kini menjadi prajurit kerajaan Daha.
Dia termasuk prajurit di bawah senopa Sagara Winotan "Karena aku mengatakan kepadanya bahwa kini aku nggal di daerah Balitar sebagai petani maka diapun tak menaruh kecurigaan suatu apa dan dalam percakapan malam itu, dia mengatakan tentang keluhannya"
Kata bekel Saloka "dia mengeluh karena tak mampu memperoleh benda pusaka sehingga tak dapat ikut dalam sayembara"
"Atas pertanyaanku"
Kata bekel Saloka "dia menuturkan tentang sayembara yang diadakan oleh tumenggung Pangelet itu "Sebenarnya aku sudah mempunyai pandangan sebuah benda pusaka yang hebat, tetapi sayang....."
Katanya sambil menghela napas.
"Sayang bagaimana ?"
Tanyaku.
"Eh, kakang Saloka"
Katanya "apakah di daerah kediamanmu tak terjadi suatu peris wa apa-apa ?"
Bekel Saloka terkejut dan diam2 menduga bahwa yang dimaksudkan kawannya itu tentulah tentang peristiwa hilangnya gong Prada. Tetapi dia pura2 tak tahu "Peristiwa apa ? Selama ini alcu tak mendengar peristiwa suatu apa"
"Kakang"
Kata orang itu "akan kuberitakan kepadamu suatu peris wa yang menggemparkan tetapi janganlah kakang menceritakan kepada orang lain. Maukah kakang berjanji ?"
Bekel Saloka memberikan janjinya. Ternyata arang itu menceritakan tentang gong pusaka dari Lodoya yang saat itu telah diangkat oleh empat pengalasan bekel Sindung ke rumah bekel tersebut "Bekel itu akan maju dalam sayembara dengan gong itu"
Katanya.
"Setelah mendapat keterangan, malam itu akupun diam2 hendak menyelidiki rumah bekel Sindung tetapi alangkah kejutku ketika seorang penjahat telah mendahului masuk ke dalam rumah Sindung dan mencuri gong pusaka. Cepat2 kutinggalkan tempat itu untuk mencari tempat yang sunyi. Setelah kedua orang itu tiba, maka kuserangnya. Sayang yang seorang sempat lari. Setelah kubereskan yang seorang lalu kukejar kawannya yang membawa kuda itu. Tetapi alangkah kejutku ketika kulihat ki Lembu menyerang orang itu. Karena mengira ki Lembu hendak merampas gong pusaka dan karena masih belum kenal maka kuseranglah ki Lembu. Waktu kami berkelahi dengan seru, penjahat itu sempat melarikan gong Prada"
Bagaimana kelanjutan cerita itu, Nararya sudah mengetahui.
Hari itu mereka berada di gua, beristirahat merawat luka dan bercakap-cakap sampai malam.
Keesokan harinya atau hari kedua, Nararya minta kedua orang itu tetap nggal di gua, sedang dia sendiri yang akan masuk ke pura untuk mencari berita tetapi Kuda Saloka menolak "Lukaku sudah hampir sembuh.
Aku faham akan keadaan pura Daha.
Akupun mempunyai beberapa kenalan di dalam pura.
Kalau aku yang pergi, tentu tak menimbulkan kecurigaan.
Beda dengan raden yang tentu cepat menarik perhatian orang maka lebih baik aku sajalah yang menyelidiki"
Nararya menganggap kata2 ki bekel Saloka memang beralasan.
Akhirnya ia mengalah.
Pikirnya, nan malam saja dialah yang akan gan masuk ke pura.
Bekel Saloka disertai seorang pengalasan Lodoyo berangkat ke pura.
Bekel Saloka cukup berha -ha .
Ia tak mau mengunjungi sahabatnya yang menjadi prajurit itu lagi melainkan mencari lain sahabatnya yang bernama Sarawita, bekerja sebagai p r a h a s t i atau pawang gajah dari akuwu Jayakatwang.
Sejak raja Kertajaya atau Dandang Gendis dari Daha dikalahkan oleh raja sri Rajasa sang Amurwabhumi atau Ken Arok dari Singasari maka Dahapun menjadi bawahan Singasari.
Baginda Rajasa mengangkat raja Jayasaba sebagai pengganti Dandang Gendis.
Dan berturut- turut terjadilah pergantian raja di Daha oleh kera-jaan Singasari.
Yang terakhir setelah baginda Kertanagara naik tahta maka yang diangkat sebagai raja di Daha adala-h Jayakatwang yang memerintah Daha sampai sekarang.
Sebagai raja bawahan dari Singasari, sesungguhnya kedudukan Jayakatwang tak lain hanya sebagai akuwu.
Tetapi demi menarik perasaan Jayakatwang dan rakyat Daha, baginda Kertanagara menganugerahkan gelar raja kepada akuwu itu.
Baginda Kertanagara memang cerdas dan mempunyai pandangan yang jauh dan cita2 yang tinggi.
Ia hendak meluaskan pengaruh kekuasaannya, mempersatukan nuswantara.
Untuk mencapai gagasan besar itu, yang pertama keadaan dalam negeri harus aman dan tenteram.
Iapun tahu bahwa diantara raja2 dan adipa bawahan Singasari, hanya Dahalah yang harus dijaga dan diperha kan agar jangan sampai berontak.
Oleh karena itu disamping menganugerahkan gelar kepada Jayakatwang dan memberi kelonggaran2 kepada Daha dalam menjalankan pemerintahannya, pun baginda Kertanagara, berniat heridak mengambil menantu putera Jayakatwang yang bernama pangeran Ardaraja, akan dijodohkan dengan salah seorang puteri baginda.
Dengan menimbuni segala kebaikan dan mengikat hubungan keluarga dengan Daha baginda Kertanagara yakin Jayakatwang tentu takkan mempunyai pikiran untuk berontak lagi.
Sarawita menyambut kedatangan bekel Kuda Saloka dengan gembira.
Lama mereka tak berjumpa.
Pun kepada Sarawita, bekel Saloka tetap mengatakan menuntut kehidupan sebagai petani di Balitar.
"Mengapa hari ini kakang berada di rumah?"
Tanya bekel Saloka.
"Sebenarnya hari ini pangeran Ardaraja hendak berburu dengan mengendarai gajah tetapi dibatalkan karena hari ini pangeran menerima seorang tetamu"
Kata Sarawita.
"O"
Desuh bekel Saloka "tentulah seorang tetamu yang pen ng hingga pangeran sedemikian besar menaruh penghargaan"
Sarawita mengangguk "Ya. Tetapi bukan penghargaan melainkan perhatian. Karena setiap tetamu itu datang, tentu pangeran melayani dengan penuh perhatian"
"Siapakah tetamu itu, kakang?"
Tanya Bekel Saloka.
"Pernah sesekali aku bertemu, dia seorang lelaki masih muda, lebih kurang berumur gapuluh tahun, berasal dari Singasari. Eh, kudengar seorang bhayangkara keraton Singasari"
Bekel Saloka terkejut "Prajurit bhayangkara keraton Singasari, siapakah namanya ?"
"Kalau tak salah bernama Kebo Muncar"
"Adakah dia utusan dari raja Singasari?"
Tanya, bekel Saloka. Sarawita mengangkat bahu "Soal itu aku kurang jelas karena se ap kali pangeran tentu mengajak masuk ke dalam ruang tersendiri"
"Untung engkau datang hari ini, kalau besok pagi aku tentu sibuk sekali menjalankan tugas yang telah dititahkan pangeran"
Kata Sarawita pula.
"Berburu ?"
Bekel Saloka coba memancing.
"Bukan"
Kata Sarawita "lebih berat dari itu"
"O "
Desuh bekel Saloka "mungkin pangeran akan berkunjung keluar daerah?"
Sarawita gelengkan kepala "Juga tidak. Hanya didalam pura tetapi cukup melelahkan juga"
Bekel Saloka kerutkan dahi.
Sebenarnya hal itu tak pen ng tetapi ba2 mbul pikiran untuk mengumpulkan segala macam keterangan yang dapat diperolehnya.
Dalam melakukan penyelidikan, tak boleh mengesampingkan atau sebelumnya sudah menganggap bahwa sesuatu keterangan itu tak pen ng "Aneh juga, kakang ini.
Masakan tugas dalam pura saja kakang menganggap payah"
Terhanyut dalam arus percakapan, Sarawitapun teridap dalam pikiran bebas "Sudah tentu melelahkan.
Cobalah engkau bayangkan, besok aku harus pagi2 sudah mempersiapkan gajah tunggangan pangeran karena hari itu pangeran akan mengadakan upacara peperiksaan pasukan"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"O"
Bekel Saloka terbeliak "melakukan pemeriksaan pasukan? Adakah Daha hendak mempersiapkan pasukan untuk menghadapi musuh?"
"Ah"
Sarawita ba2 menghela napas.
Ia menyadari bahwa telah kelepasan bicara.
Sejenak ia me- nyelimpatkan pandang ke wajah bekel Saloka.
Wajah sahabatnya itu masih seper dahulu, seorang yang jujur dan terbuka.
Jika ada perobahan hanyalah lekuk2 kerut dahi, pertanda dari keusaian usia "Ah, adi Saloka"
Katanya sesaat setelah mendapat kesan baik "masakan engkau lupa ? Bukankah waktu engkau masih berdiam di pura sini, se ap tahun tentu diadakan upacara memeriksa barisan ?"
Bekel Saloka mengiakan.
Memang demikianlah keadaan pura Daha sewaktu dulu ia masih nggal di situ.
Ada suatu sifat yang sering menghinggapi orang, bahwa ia akan merasa senang atau bangga apabila dalam waktu pembicaraan, ia lebih pandai dan lagi lebih banyak pengetahuannya.
Rupanya prahas Sarawitapun dihinggapi sifat itu pula.
Di samping ingin menunjukkan keramahan sebagai tuan rumah, pun dia ingin membanggakan tentang pengalaman dan pengetahuannya yang lebih luas dari tetamu "Walaupun adi sudah tahu tentang upacara peperiksaan pasukan itu, tetapi tahukah engkau apa sesungguhnya yang terkandung dalam upacara itu?"
Bekel Saloka terkesiap. Kemudian mengatakan kalau selama ini dia tak tahu soal itu. Pada anggapannya peris wa itu hanya merupakan suatu peperiksaan umum, mungkin untuk menanam semangat dan jiwa keprajuritan dalam hati anak pasukan.
"Ya, hal itu memang ada"
Kata prahas Sarawita "tetapi disamping itu, pun ditanam juga dalam hati dan jiwa setiap prajurit Daha bahwa hari itu adalah hari duka, hari malapetaka bagi Daha"
"Hari duka ? Hari malapetaka ?"
Ulang bekel Saloka terkejut.
"Ya"
Jawab prahasti Sarawita makin terhanyut dalam sikap ingin dipandang sebagai orang yang lebih tahu "karena hari itu, adalah hari kehancuran dari kerajaan Daha dibawah raja Dandang Gendis dahulu.
Karena hari itu, mulailah Daha dikuasai oleh Singasari.
Karena hari itu lenyaplah kemerdekaan Daha"
"Oh"
Desus bekel Saloka. Diam2 ia mengakui bahwa walaupun bertahun-tahun nggal di Daha, ia tak tahu makna daripada upacara peperiksaan pasukan di Daha.
"Maka pada setiap tahun pada hari itu, setelah diadakan peperiksaan tentang kekuatan pasukan, beberapa senopa dan pangeran Ardaraja berkenan untuk memperingatkan makna daripada upacara itu dan dianjurkan supaya se ap prajurit Daha jangan melupakan malapetaka yang hina itu bagi Daha"
"Apakah dari fihak kerajaan Singasari tiada mengirim utusan untuk menghadiri upacara itu ?"
Prahas Sarawita gelengkan kepala "Tidak. Baginda Kertanagara terlalu percaya dan bermurah ha kepada raja Jayakatwang. Agaknya baginda Kertanagarapun tak menaruh keberatan Daha memperbesar pasukannya"
"Sampai sedemikian jauhkah kepercayaan baginda Kertanagara kepada Daha?"
Bekel Saloka menegas.
Prahas Sarawita tersenyum bangga "Bahkan rupanya baginda.
Kertanagara setuju dan gembira apabila Daha memiliki pasukan yang kuat karena dengan begitu Singasari akan dapat menggunakannya apabila kelak baginda hendak meluaskan pengaruh kekuasaannya ke luar daerah"
"Ah"
Bekel Saloka mengeluh.
"Mengapa, adi ?"
Tegur prahasti Sarawita.
"Kakang Sarawita"
Kata bekel Saloka "kini aku hidup sebagai seorang petani.
Bagiku kerajaan mana yang berdiri dan raja siapa yang memerintah, ada soal.
Pokok, negara aman dan kehidupan rakyat sejahtera.
Tetapi kakang Sarawita, kita omong kosong saja.
Tidakkah sesungguhnya raja Jayakatwang mengandung maksud tertentu dalam usahanya untuk membentuk kekuatan pasukan itu ?"
Karena tahu bahwa dulu sahabatnya itu seorang yang jujur dan tahu pula bahwa kini Kuda Saloka hidup sebagai petani, maka Sarawitapun tak mau merahasiakan sesuatu "Tak mungkin harimau akan mengaum apabila ada sesuatu.
Sesungguhnya, raja Jayakatwang yang sekarang ini, seorang raja yang cerdik dan digdaya.
Baginda tahu akan sejarah keruntuhan Daha dan baginda tak pernah sejenakpun melupakannya.
Eh, Saloka, ada sebuah cerita tentang raja kami.
Tetapi itu hanya kabar2 dari beberapa prajurit saja.
Entah bagaimana kebenarannya"
"Bagaimana ceritanya, kakang ?"
Desak bekel Saloka yang makin tertarik.
"Kabarnya diatas peraduan baginda Jayakatwang itu digantung sebilah tombak pusaka. Tangkai tombak ditalikan pada ang penglari, dan ujung tombak menjulai kebawah tepat menghadap tempat baginda beradu"
"Oh"
Bekel Saloka mendesuh kejut "benarkah itu ? Dan apakah maksud baginda ?"
"Telah kukatakan, kudengar peris wa itu hanya dari beberapa prajurit keraton, tentang kebenarannya entahlah. Aku belum pernah melihat sendiri. Tujuan baginda, inipun menurut cerita orang, tak lain agar baginda jangan melupakan peris wa ke ka dahulu moyang baginda, raja Dandang Gendis telah gugur karena tombak baginda Rajasa dari Singasari"
Bekel Saloka menghela napas "Ah, dengan demikian raja Daha takkan melupakan dendam darah kepada Singasari"
"Nyatanya sampai sudah bergan beberapa aku-wu keturunan raja Dandang Gendis, Daha tetap tak berani dan tunduk pada kekuasaan Singasari "
Kata Sarawita. Beker Saloka bertanya pula "Adakah hal itu hanya dilakukan oleh raja Jayakatwang yang sekarang ini atau sudah berlangsung beberapa keturunan yang lalu ?"
Sarawita kerutkan dahi "Soal itu tak kutanyakan kepada orang yang menceritakan kepadaku.
Tetapi menurut dugaanku, kemungkinan memang sudah sejak beberapa akuwu Daha yang lalu sehingga kebiasaan itu menjadi warisan.
Tetapi sekali lagi kukatakan, soal itu hanya kabar cerita orang, aku sendiri belum pernah melihat maka entah bagaimana kebenarannya"
Bekel Saloka mengangguk-angguk. Hanya dalam ha ia mempunyai beberapa kesan dan penilaian tetapi tak diutarakan kepada tuan rumah.
"Kakang Sarawita"
Beberapa saat kemudian ia bertanya kembali "benarkah di kalangan pasukan Daha akan diselenggarakan suatu sayembara ?"
Prahas Sarawita terkejut "Bagaimana engkau tahu hal itu, adi ? Pada hal itu sangat dirahasiakan sekali"
Kebo Saloka tersenyum dan mengatakan bahwa hal itu ia dengar dari seorang sahabatnya yang menjabat prajurit dari pasukan bawahan senopa Sagara Winotan "Tetapi masakan aku akan menceritakan hal itu pada orang? Telah kukatakan, aku kini hidup sebagai petani.
Asal sawahku menghasilkan panen yang baik, asal anak isteriku dapat makan sehari-hari aku sudah puas.
Bagaimana urusan kerajaan dan pemerintah, ada sangkut pautnya dengan aku.
Itu sudali diurus oleh para gus mentri dan senopa .
Jika ,kakang Sarawita kua r, tak perlulah kakang menceritakan peristiwa sayembara itu."
Rupanya ucapan bekel itu telah mengena pada perasaan Sarawita. Karena sudah terlanjur menceritakan tentang keadaan pura Daha, mengapa ia harus merahasiakan peris wa sayembara itu ? Dan bukankah Saloka sudah mengetahui juga ? "Jangan salah faham adi"
Kata Sarawita "bukan aku tak mau bercerita melainkan aku ingin tahu dari sumber manakah adi telah mendengar cerita itu.
Jika dari seorang prajurit, itu masih tak apa karena sayembara itu hanya berlaku pada lingkungan anak prajurit saja.
Tetapi jika adi mendengar dari orang luar, kumaksudkan dari orang biasa, orang itu harus ditangkap karena membahayakan rahasia yang tak boleh disiarkan"
Bekel Saloka mengangguk.
"Benar, memang setelah selesai upacara peperiksaan pasukan, prajurit2 disuruh masuk ke Balai Prajurit dan disitu akan dilangsungkan pembukaan sayembara. Siapa yang dapat menghaturkan pusaka yang paling tinggi nilainya, dialah yang akan mendapat hadiah dan kenaikan pangkat"
Demikian setelah surya condong ke sebelah barat maka bekel Salokapun segera pamit. Ia bergegas kembali ke gua Selamangleng. Nararya dan Lembu Peteng terkejut mendengar laporan dari bekel Saloka.
"Jika demikian jelas gong pusaka itu masih berada pada bekel Sindung"
Seru Lembu Peteng.
"Bagaimanamungkin ?"
Bantah bekel Saloka "bukankah kita berdua menyaksikan sendiri kedua penjahat itu telah mengangkut benda besar yang di-bungkus kain hitam?"
Lembu Peteng tersenyum "Mengapa tak mungkin? Kurasa bekel Sindung itu tentu sudah bersiap menjaga kemungkinan gong pusaka itu dicuri orang. Sebelumnya dia tentu membuat sebuah gong lain yang bentuknya serupa dengan Gong Prada"
"O"
Desus bekel Saloka "benar juga"
Tetapi Nararya membantah "Jika memperhitungkan waktunya Gong Prada itu dicuri orang Daha, mungkinkah bekel Sindung sempat membuat tiruannya? Kurasa tidak, kakang Lembu"
Lembu Peteng tak dapat menjawab.
"Tetap dapat"
Sekarang bekel Saloka yang membela dugaan Lembu Peteng "kemungkinan bekel itu sudah memiliki gong yang besarnya hampir sama dengan gong pusaka itu. Karena dibungkus dengan kain hitam, tentu orang sukarmelihat gong itu aseli atau tiruan"
Kini Nararya diam dan mengangguk. Ia dapat menerima sanggahan bekel itu.
"Atau begini"
Ba2 Lembu Peteng berseru tegang "memang dugaan raden itu benar.
Waktunya terlalu sempit bagi bekel Sindung untuk membuat gong ruan, kecuali dia memang sudah memiliki sebuah gong yang besarnya sama.
Kemungkinan yang ke ga, penjahat itulah yang membawa gong tiruan kemudian ditukarkan dengan Gong Prada yang disimpan bekel Sindung ...."
"Benar !"
Sambut bekel Saloka dengan tegang "sehingga bekel Sindung tak mengadakan gerakan apa2 karena mengira gong pusaka itu masih berada padanya. Pada hal gong itu sudah ditukar oleh penjahat itu"
Nararya merenung diam.
Ke ga kemungkinan itu memang mungkin.
Pertama, bekel Sindung membuat gong ruan.
Gong Prada disimpan dan gong ruan itu sengaja diletakkan ditempat yang mudah dilihat orang sehingga penjahat itu terperangkap mengambilnya.
Memang jika bekel Sindung itu seorang ;yang cerdik, dia tentu menyadari akan bahaya yang akan muncul akibat Gong Prada berada padanya.
Kedua, bekel itu kebetulan mempunyai gong yang besarnya sama dengan Gong Prada dan gong itulah yang dibuat umpan kepada mereka yang hendak coba mencuri atau merebutnya.
Ke ga, penjahat itu telah membekal gong dan gong itu ditukar dengan Gong Prada sehingga bekel Sindung masih menganggap kalau Gong Prada tetap selamat berada dirumahnya.
"Ke ga kemungkinan itu memang mempunyai nilai kemungkinan yang sama besarnya"
Akhirnya Nararya berkata "maka pen ng sekali kita mencari berita tentang hasil daripada sayembara itu.
Jika dalam sayembara itu terdapat gong yang diajukan bekel Sindung dan pengajuan itu diterima oleh yang berwajib memberi penilaian, jelas penjahat itu telah termakan umpan bekel Sindung karena mengambil gong tiruan"
"Dan jika bekel Sindung tak mengajukan gong, jelas gong itu tentu sudah diambil penjahat sambung Lembu Peteng.
"Demikian pula apabila dalam seyembara itu mbul kegemparan karena diketahui bahwa gong itu ternyata ruan maka jelas kalau Gong Prada telah dilarikan penjahat malam tadi"
Lanjut Nararya. Dalam pada bercakap-cakap memperbincangkan peris wa Gong Prada itu, haripun mulai malam. Nararya mengatakan bahwa ia akan masuk pura untuk melakukan penyelidikan.
"Kemanakah raden hendak menyelidiki?"
Tanya bekel Saloka.
"Yang pen ng ke rumah bekel Sindung untuk mendapat kepas an tentang Gong Prada itu"
Kata Nararya. Ke ga Nararya hendak melangkah ke luar, ba2 Lembu Peteng berseru "Raden, harap tunggu dulu"
"Mengapa kakang?"
Terpaksa Nararya menghampiri pula.
"Menurut keterangan ki bekel Saloka, pangeran Ardaraja telah menerima kedatangan seorang tetamu penting dari Singasari. Tidakkah hal itu patut kita selidiki ?"
Tanya Lembu Peteng. Nararya tertegun. Merenung.
"Ya, memang membangkitkan perhatian kita tentang kunjungan tamu itu dan diri tamu itu juga"
Kata Nararya "sekarang kita bagi tugas saja. Karena ki bekel siang tadi sudah bekerja, malam ini baiklah beristirahat. Sedang aku dan kakang yang bekerja. Kakang hendak menyelidiki yang mana, ke rumah bekel Sindung atau ke keraton ?"
"Aku yang menyelidiki ke keraton"
Seru Lembu Peteng.
"Mengapa ?"
Tanya Nararya.
"Karena dulu aku pernah bekerja sebagai senopa -pendamping pangeran Kanuruhan. Maka akupun mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang keadaan keraton"
Nararya mengangguk.
Memang walaupun ia putera dari Lembu Tal yang masih berdarah keturunan raja, tetapi sejak kecil ia sudah hidup di daerah yang jauh dari pura, kemudian berguru pada resi Sinamaya.
Ia mengakui memang ada pengetahuan dan pengalaman tentang seluk beluk keraton "Baiklah, kakang"' akhirnya ia setuju "tetapi hasil atau dak, sebelum fajar kita harus pulang kemari"
Mereka segera berangkat.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nararya tetap disertai Pamot, sedang Lembu Peteng membawa seorang anak-buahnya juga.
Nararya dan Pamot menyembunyikan diri pada gerumbul pohon tak jauh dari rumah bekel Sindung.
Mereka hendak melihat bagaimana keadaan di kediaman bekel itu.Lewat tengahmalam barumereka Nararya melihat beberapa sosok tayangan mondar-mandir dalam rumah bekel itu.
Rupanya rumah bekel itu dijaga ketat.
Makin mbul dugaan Nararya bahwa gong pusaka itu masih berada pada bekel itu.
Ia menimang-nimang keputusan.
Adakah ia harus menyerbu dengan kekerasan dan merebut gong itu atau harus menunggu kesempatan lagi yang lebih baik.
Tengah Nararya sedang mencari akal, ba2 ia melihat seseorang keluar dari rumah bekal Sindung.
Nararya terkesiap.
Orang itu berpakaian hitam sehingga dalam kegelapan malam, sukar untuk diketahui jelas.
"Mari kita ikuti dia"
Nararya menggamit lengan Pamot.
Keduanya segera mengikuti orang itu yang ternyata menuju ke utara.
Karena malam sunyi, Nararya tak mau bercakap-cakap dengan Pamot karena kuatir suaranya akan terbawa angin dan terdengar oleh orang itu.
Pun ia menjaga jarak cukup jauh di belakang orang itu.
"Mungkin gong pusaka itu disimpan dalam sebuah tempat rahasia dan saat ini bekel Sindung memerintahkan pengalasannya untuk mengambil"
Demikian Nararya menduga-duga. Dengan ha 2 sekali Nararya dan Pamot mengiku jejak orang itu. Tampak orang itu berjalan dengan bergegas-gegas. Hampir sejam menempuh perjalanan, akhirnya balah dia di sebuah lembah dari sebuah gunung.
"Lembah apakah itu ?"
Terpaksa Nararya bertanya bisik2 kepada Pamot.
"Jika tak salah, itulah lembah Trini Panti"
Sahut Pamot dengan suara yang di tekan pelahan.
Makin keras dugaan Nararya bahwa orang itu tentu di perintahkan bekel Sindung untuk mengambil sesuatu yang kemungkinan besar tentulah Gong Prada.
Orahg itu langsung menyusup sebuah gerumbul dan lenyap ke dalam lembah.
Nararya terkejut.
Ke ka berpaling kearah Pamot tampak pengalasan dari Lodoyo itu juga memandang kearahnya dengan pandang bertanya.
Nararya mengangguk dan menggamit pula lengan Pamot lalu menghampiri ke gerumbul.
Disiaknya gerumbul rumput alang2 yang se nggi orang lalu menerobos masuk.
Kini dia berhadapan dengan mulut lembah yang merupakan sebuah jalan kecil.
Sejenak memandang Pamot, Nararya melanjut maju masuk kedalam lembah.
Tak berapa lama berjalan, lembah makin luas, penuh dengan batu2 besar kecil "Kemanakah orang itu?"
Bisiknya pelahan. Malam gelap dan lembah itupun makin gelap. Gun-duk-gunduk batu yang memenuhi lembah, bagaikan bayang2 hitam yang menyeramkan. Sunyi senyap kecuali bunyi cengkerik yang melengking-melengking menambah keseraman suasana.
"Baik kita bersembunyi dibalik batu itu"
Kata Nararya seraya menunjuk segunduk batu besar di sebelah kanan "begitu dia keluar, kita sergap"
Keduanya segera menuju ke batu besar itu.
Tetapi belum lama menempatkan diri, sekonyong- konyong mereka mendengar suara orang tertawa seram.
Kemudian disusul pula dengan suara orang merintih-rintih minta ampun.
Nararya memandang Pamot.
Dahinya mengernyit kencang "Aneh, apakah ...."
Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena terdengar suara orang berkata dengan keras disertai umpat caci yang tajam.
Nararya cepat menarik lengan Pamot diajak keluar.
Dengan langkah yang seringan mungkin, ia menghampiri ketempat suara itu.
Makin lama makin jelas.
"Seta, sekarang lekas engkau bersiap menerima kematianmu"
Seru orang itu dengan bengis.
"Rembang ...."
Terdengar suara orang lain yang bernadp, lemah dan sayu "jangan engkau salah faham. Bukan aku bermaksud hendak membunuh kakangmu Tumbuk ... tetapi ..."
"Jangan banyak mulut!"
Hardik orang yang disebut Rembang "kutahu engkau memang berniat jahat kepada saudaraku agar engkau dapat memiliki gong pusaka itu sendiri"
"Rembang ..."
Terdengar orang yang hendak dibunuh itu berseru. Tetapi nadanya kedengaran amat dipaksakan karena nyata dari napasnya yang terengah-engah "siapa yang memberitahu hal itu"
"Kakang Tumbuk sendiri"
Seru Rembang.
"engkau seorang manusia berha serigala. Baik kakang Tumbuk memperlakukan engkau. Engkau sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri tetapi hm, ternyata engkau sampai ha membunuhnya. Engkau ajak dia ke lembah sunyi agar orang tak tahu jejak kema annya. Tetapi Seta, ketahuilah! Se ap kejahatan tentu berbicara. Dan saat ini, Seta, engkau harus memetik buah yang engkau tanam. Siaplah ..."
Tiba2 terdengar jerit mengaduh dan hardik makian "Keparat engkau ...!"
Ternyata Nararya dan Pamot telah berhasil menemukan tempat suara orang yang hendak melakukan pembunuhan itu.
Selepas melintas segunduk aling batu, Nararya melihat seorang lelaki berpakaian hitam sedang ayunkan pedang kearah seorang lelaki yang duduk bersandar pada kaki batu.
Walaupun orang itu membelakangi sehingga tak tampak wajahnya tetapi Nararya dapat mengenalnya dari pakaian hitam yang dikenakan orang itu.
Jelas dia adalah orang yang keluar dari rumah bekel Sindung tadi.
Nararya terkejut dan gugup.
Serentak ia memungut sebu r batu lalu dilontarkan kearah orang berpakaian hitam.
Lontaran itu tepat mengenai punggung sehingga orang berpakaian hitam itu mengaduh kesakitan lalu berputar tubuh dan memaki.
"Siapa engkau"
Teriak orang berpakaian hitam yang disebut sebagai Rembang.
"Jangan membunuh orang"
Nararya tak menjawab pertanyaan melainkan memberi peringatan "apalagi dia sudah tak berdaya memberi perlaWanan"
"Keparat"
Teriak Rembang seraya maju menyerang "jangan mencampuri urusanku"
Nararya mengisar langkah ke samping, kemudian menebas dengan telapak tangan.
Maksudnya hendak menepis tangan kanan Rembang agar pedangnya terlepas.
Tetapi saat itu Rembang, setelah terjangannya luput, hendak berputar tubuh.
Duk, punggungnya termakan tangan Nararya dan pengalasan dari bekel Sindung itupun terdorong ke muka dengan tubuh terbungkuk-bungkuk hendak jatuh.
Pada saat Nararya masuk ke tempat itu, Pamot tetap mengiring di belakangnya.
Dan dia tetap tegak di belakang.
Dia marah melihat ndakan Rembang yang dianggapnya liar.
Ke ka Rembang terhuyung-huyung menghampiri kearahnya, Pamot mengisar ke samping lalu menendang pantat Rembang.
Waktu ditebas punggungnya oleh Nararya tadi, Rembang sudah kehilangan keseimbangan diri.
Belum ia berhasil berdiri tegak, ia sudah menderita tendangan kaki Pamot.
Pengalasan itu tak dapat menguasai diri lagi ke ka tubuhnya melaju dan membentur gunduk batu, prak ....
ia menggelepar jatuh karena mukanya hancur.
Setelah meregang-regang beberapa saat, akhirnya melayanglah jiwanya.
"Ah, Pamot, mengapa engkau membunuhnya?"
Tegur Nararya.
"Aku tak sengaja dan tak menyangka ia akan membentur batu, raden"
Kata Pamot.
"Sayang"
Kata Nararya "sebenarnya kita dapat menggali keterangan dari dia"
Nararyapun tahu memang Pamot tak bermaksud membunuh orang itu. Karena sudah terlanjur ma , maka iapun tak mau menyesali lagi Ia berpaling kearah Seta, orang yang hendak dibunuh Rembang tadi laluu menghampirinya.
"Terima kasih ... ki sanak"
Orang itu berkata dengan napas terengah-engah.
"Siapa engkau?"
Nararya makin mendekat dan berjongkok "engkau terluka ?"
Serunya ke ka melihat perut orang itu berdarah.
Ia heran.
Darah itu masih segar, tentu baru mengalir dari luka yang baru.
Pada hal ia tahu jelas, Rembang tak sempat mengayunkan pedangnya.
Orang itu mengangguk "Ya.
Aku memang terluka dan ada harapan hidup lagi"
Ia berhen sejenak untuk memulangkan napas yang makin memburu keras "lekas katakan apa kehendakmu ... aku ... aku sudah tak kuat lagi ...."
"Ceritakan siapa dirimu dan mengapa engkau hendak dibunuh orang itu"
Kata Nararya. Orang itu pejamkan mata. Beberapa saat kemudian baru ia berkata "Aku bernama Seta, prajurit yang menjadi bawahan bekel Sindung ... aku dengan ga kawan, diperintah bekel .... untuk mengambil gong Prada ... di Lodoyo ..."
"O"
Nararya mendesuh kejut "dan berhasil ?"
"Ya. Gong itu telah kami serahkan kepada bekel Sindung .... kemarin kami berempat diperintah pula ....untuk mengambil .... keris pusaka di lembah ini ...."
"Bekel Sindung yang memberi perintah ?"
Tanya Nararya.
"Ya. Tetapi ke ka ba di lembah ini .... ba- ba .... ba- ba salah seorang kawanku membacok punggungku .... diapun di kam oleh kawan yang lain .... tetapi kawan yang lain itupun dihantam kepalanya dengan gada oleh kawan yang keempat .... kami ber ga rubuh ... kecuali Tumbuk yang menggada kepala kawan ketiga itu. Dia menghampiri aku hendak ..."
"Menggadamu juga ?"
Tukas Nararya. Seta mengangguk "Ya. Dalam keadaan luka parah aku sempat melontarkan pedang ke dada ... Tumbuk. Dia mati seketika ...."
"Dimana mayat mereka ?"
Tukas Nararya pula. Seta mengeliarkan pandang ke arah utara "Di bagian yang lebih dalam dari sini ...."
"Siapa orang yang hendak membunuhmu tadi?"
Tanya Nararya.
"Rembang, adik dari Tumbuk .... dia hendak menuntut balas kema an kakangnya"
Kata Seta "entah siapa yang memberi tahu .... kepadanya ...."
"Mengapa engkau terluka ?"
Nararya teringat akan darah yang mengalir dari perut Seta "pada hal Rembang belum sempat menabasmu"
Keadaan Seta makin payah. Wajahnya pucat lesi dan napas makin lemah. Namun di paksakannya juga untuk menyahut "Aku seorang prajurit .... hina kalau ma dibunuh orang .... maka tadi .... tadi kutusuk perutku sendiri ...."
Sampai di sini Seta pejamkan mata dan kepalanya melentuk "Seta .... Seta .... apa pesanmu ..."
Nararya menggolek-golekkan kepala prajurit itu. Dengan mata tetap memejam, mulut Seta bergerak-gerak berkata lemah "Beri .... tahu .... adikku .... Wariga ...."
"Seta .... Seta .... di manakah rumah Wariga ...."
Tetapi sampai di ulang beberapa kali, Seta tak dapat menjawab lagi. Jiwanya telah melayang, tubuhpun mulai kaku. Nararya meletakkan di tanah dan berbangkit, menghela napas "Dia mati"
Pamot tak berani mengusik Nararya yang masih tegak termangu-mangu.
Tak tahu ia apa yang sedang direnungkan raden itu.
Ia duga raden itu tentu terharu atas kematian Seta.
Kemudian karena cukup lama Nararya tak tampak bergerak, akhirnya Pamot memberanikan diri "Raden, mari kita tinggalkan lembah ini"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"O, engkau Pamot"
Seru Nararya agak gelagapan "ya, ya, mari"
Ternyata saat itu sudah hampir mendeka terang tanah.
Atas pertanyaan Pamot, Nararya mengatakan lebih baik kembali ke Selamangleng.
Tiba di gua Selamangleng, ternyata Lembu Peteng masih belum kembali.
Diam2 Nararya mulai cemas "Mudah-mudahan tak terjadi sesuatu dengan diri kakang Lembu"
Katanya.
Sambil menunggu, ia menuturkan tentang peris wa yang dialaminya malam itu "Jelas gong Prada itu telah berada pada bekel Sindung.
Dia mengutus empat orang pengalasan untuk mencuri dari candi Simping.
Dan ini sesuai dengan keempat penunggang kuda yang berpapasan dengan aku di jalan itu"
Bekel Saloka mengangguk "Ya.
Kini kita sudah memiliki hasil dari penyelidikan selama ini.
Dan jelas bahwa penjahat yang mencuri benda terbungkus kain hitam itu, tentu juga membawa gong pusaka itu.
Soalnya kini hanya, adakah gong yang di bawa penjahat itu gong pusaka yang asli atau gong tiruan ?"
"Bagaimana pandangan ki bekel tentang ke empat pengalasan yang saling bunuh membunuh di lembah Trini Panti itu ?"tanya Nararya. Bekel Saloka mengerut dahi "Mereka di kuasai oleh nafsu serakah hendak mengambil jasa sendiri maka lalu saling bunuh membunuh."
Nararya gelengkan kepala "Tidak.
Bukan ke empat orang itu yang dikuasai nafsu serakah tetapi adalah bekel Sindung sendiri.
Dialah yang ingin menguasai hasil perplehan yang sangat berharga sehingga mengatur siasat untuk mengadu domba mereka agar saling bunuh membunuh.
Setelah keempat orang itu mati, maka hadiah tentu akan dinikmati bekel itu sendiri"
Bekel Saloka mengangguk "Benar, hal itu memang mungkin terjadi apabila menilik kelicinan cara kerja bekel itu dalam menjaga Gong Prada"
"Maka besok pagi, kita perlu sekali untuk mencari berita tentang hasil sayembara itu"
Kata Nararya. Terdengar kokok ayam hutan bersahut-sahutan. Cahaya fajar mulai menguak kabut malam. Namun belum juga Lembu Peteng kembali. Nararya dan bekel Saloka, mulai cemas.
"Adakah benar2 terjadi sesuatu pada diri kakang Lembu Peteng?"
Berkata Nararya setelah fajar tiba. Bekel Salokapun bingung "Peris wa ini makin lama makin mencengkam perasaan kita. Kita harus menghadapi berlapis- lapis kabut rahasia. Aku merasa bingung, raden"
Nararya mengangguk "Ki bekel, untuk mencari sesuatu dalam air yang keruh, memang sukar. Kita tak melihat apa2, kitapun bingung. Tetapi apabila air itu sudah mengendap bening, barulah kita dapat melihat benda yang hendak kita cari itu."
"Tetapi yang kita cari itu jelas Gong Prada. Kita tak tahu bahwa suasana tempat gong pusaka itu di sembunyikan, ternyata keruh dan berkabut sehingga aku merasa bingung"
Kata bekel Saloka.
"Benar"
Sahut Nararya "tetapi biarlah suasana yang keruh, asal kita jangan ikut terkeruh.
Ibarat berjalan di malam gelap, berbahaya sekali apabila pikiran kita ikut gelap.
Adalah dalam melintas kegelapan itu, kita lebih2 harus tenang hati dan terang pikiran, ki bekel"
Bekel Saloka mencurah pandang bertanya ke arah pemuda itu "Menurut raden, apakah sebenarnya peristiwa yang kita hadapi ini ?"
"Ki bekel"
Kata Nararya "Marilah kita hampakan pikiran agar dapat menyatukan diri dengan peris wa yang kita hadapi.
Pertama sudah jelas bahwa Gong Prada itu di curi oleh bekel Sindung yang hendak merebut hadiah kenaikan pangkat dalam sayembara yang diadakan oleh senopa Pangelet.
Kedua, apakah tujuan senopa Pangelet mengadakan sayembara yang sedemikian ganjil yalah suatu anjuran kepada prajurit2 Daha untuk berlomba-lomba mencari pusaka milik, kerajaan Singasari.
Jawaban soal itu, dapat kita sesuaikan keterangan yang ki bekel peroleh dari prahas Sarawita, bahwa Daha giat berusaha membangun pasukan yang kuat.
Mereka tak pernah melupakan dendam kepada Singasari.
Dalam hubungan itu, kemungkinan Gong Prada itu akan diperuntukkan pembangkit dan menggelorakan semangat perjuangan pasukan Daha ...."
"Tetapi raden, bukankah baginda Kertanagara akan mendapat laporan tentang hilangnya gong pusaka itu dan tentu akan memerintahkan untuk mencarinya? Mungkinkah Daha akan dapat mempertahankan gong' pusaka itu ?"
Tukas bekel Saloka.
"Itulah sebabnya, ki bekel"
Jawab Nararya "bahwa sayembara, itu hanya berlaku di lingkungan anak prajurit Daha dan merupakan suatu rahasia dalam kalangan pasukan yang tak boleh dibocorkan keluar.
Kemungkinan, pimpinan pasukan Daha tentu sudah menekankan hal itu kepada setiap prajurit dengan ancaman pidana yang berat"
"Hem"
Bekel Saloka mendesah.
"Kemudian tentang tetamu dari Singasari yang diterima pangeran Ardaraja itu"
Sambung Nararya pula "ini masih memerlukan penyelidikan sebelum kita dapat merangkai suatu kesimpulan.
Namun memang agak ganjil rasanya bahwa seorang prajurit bhayangkara keraton Singasari akan mengunjungi pangeran Daha itu secara peribadi.
Jelas prajurit itu tentu akan membawa rombongan apabila benar diutus baginda., Hanya ada dua kemungkinan, dia dikirim oleh seorang mentri tertentu dari Singasari atau memang atas kehendaknya sendiri"
Bekel Saloka bertanya "Andaikata dia datang atas kehendaknya sendiri, apakah tujuannya?"
"Sudah tentu mempunyai tujuan tertentu"
Jawab Nararya "kemungkinan besar tujuan itu tentu mengandung sifat yang mencurigakan"
Bekel Saloka mengangguk.
"Ada suatu perasaan dalam hatiku "
Kata Nararya pula"; bahwa dalam dua peristiwa itu seperti mempunyai jalinan satu sama lain.
Tetapi baiklah kita tunggu dulu.
Hari ini kita harus membagi tugas pula, ki bekel.
Ki bekel yang masuk pura, mengikuti upacara peperiksaan pasukan Daha dan mencari berita tentang hasil sayembara itu.
Sedang aku hendak mencari kakang Lembu Peteng"
"Tetapi raden"
Bekel Saloka agak terkejut "ke manakah raden hendak mencari ki Lembu ?"
"Pertama, akan kuselidiki adakah tetamu dari pangeran Ardaraja itu masih berada di Daha. Jika sudah kembali, tentulah kakang Lembu juga mengiku perjalanan orang itu. Karena dia dari Singasari maka akupun hendak menelusur jalan yang menuju ke Singasari"
Demikian setelah mencapai persepakatan, keduanya lalu beris rahat.
Ternyata sampai surya naik sepengga-lah tingginya, Lembu Peteng belum juga kembali.
Waktu berkemas hendak berangkat, berkatalah bekel Saloka "Raden, bagaimanakah usaha raden hendak menyelidiki tentang tetamu dari Singasari itu ?"
Nararya terkesiap.
Memang setelah direnungkan, ia mendapat kesulitan dalam hal itu.
Ia masih asing dengan orang2 Daha.
Jika langsung bertanya kepada portg-gawa keraton, tentu sukar memperoleh keterangan, bahkan kemungkinan akan dicurigai.
Sedangkan bertanya kepada orang biasa, tak mungkin mereka tahu.
"Menurut pendapatku"
Kata bekel Saloka "baiklah kita bersama masuk ke dalam pura.
Raden dapat ikut menyaksikan upacara peperiksaan pasukan itu.
Sementara aku hendak mencari kesempatan untuk mencari kenalan lama, jika terpaksa, aku akan menemui pahasti Sarawita pula.
Karena hanya dialah yang dapat memberi keterangan yang kita perlukan"
Nararya setuju.
Untuk dak menimbulkan kecurigaan, mereka hanya berangkat ber ga.
Bekel Saloka faham akan keadaan tempat dalam pura, tetapi Nararya dak, maka perlu disertai Pamot yang faham akan jalan-jalan di pura itu.
Alun-alun keraton Daha penuh dengan orang yang ingin melihat upacara peperiksaan pasukan.
Mereka ingin tahu betapalah kekuatan pasukan Daha saat itu.
Nararya, bekel Saloka dan Pamot menyusup diantara kerumun rakyat yang memenuhi sepanjang tepi alun-alun.
Terkejut Nararya melihat barisan2 yang dibagi menjadi beberapa pasukan.
Masing2 pasukan membawa pataka dan panji2, mengenakan seragam yang rapi.
Ada pasukan yang membawa tombak, pasukan bersenjata pedang, pasukan pemanah dan pasukan yang terdiri dari prajurit2 muda, bertubuh tegap kekar.
Sebuah kelompok prajurit yang disebut barisan Pininglai atau peniup terompet tanduk, mengiring seorang prajurit yang membawa panji Merah-pu h dengan genderang dan seruling yang meraung-raung membangkitkan semangat juang.
Tak berapa lama balah delapan orang senopa naik kuda yang tegar.
Seluruh anak pasukan serempak tegak memberi hormat.
Kedelapan senopa yang tampak gagah perkasa di atas kuda masing-masing, berjajar di hadapan pasukan.
Tak lama kemudian rakyat bersorak gegap gempita ke ka sebuah iring-iringan terdiri dari pangeran Ardaraja yang naik gajah masuk dengan diiring oleh berpuluh prajurit bhayangkara.
Diatas gajah yang berjalan sambil mengobat-abitkan belalainya itu, tampak pangeran putera mahkota Daha itu makin cakap dan berwibawa.
Seluruh pasukan tegak dengan khidmat ke ka gajah yang membawa pangeran adipa anom itu berjalan, di hadapan mereka.
Tiba2 pangeran itu berhen di muka barisan pemanah "Menggala"
Serunya.
"Hamba,gus "
Seorang pengiring yang bertubuh nggi besar gagah perkasa segera tampil kehadapan pangeran itu.
"Panggil prajurit pemanah yang di belakang itu"
Perintah Ardaraja.
Prajurit nggi besar itu tak lain adalah bekel Suramenggala, pengiring peribadi dari pangeran Ardaraja.
Bekel yang pernah beradu kekuatan lawan Nararya ke ka rombongan pangeran Daha itu berburu.
Tak lama Suramenggala telah membawa prajurit pemanah itu ke hadapan pangeran Ardaraja.
"Barisan pemanah pasukan Daha diperlengkapi dengan gelang pada kedua tangannya. Tetapi mengapa engkau hanya memakai sebuah gelang?"
Tegur pangeran itu. Prajurit yang menyanggul perbekalan busur dan anakpanah, terkejut. Pucat. Lalu memberi hormat "Gelang pada tangan kiri hamba telah putus ketika berbaris tadi, gusti"
"Dimanakah engkau simpan gelang itu?"
Seru Ardaraja meminta buk .
Bergegas prajurit itu mengambilnya dari baju dan dihaturkan.
Gelang itu telah patah dan tak dapat dipakai lagi.
Tiba2 Ardaraja melolos gelang pada tangan kiri dan diserahkan kepada prajurit itu "Pakailah ini.
Ingat, prajurit Daha harus rapi dan lengkap busana serta kelengkapannya"
Prajurit itu terperanjat dan makin pucat. Ardaraja mengulangi "Lekas, terima ini"
Mendengar itu barulah dengan tangan gemetar prajurit itu menerimanya seraya menghaturkan sembah terima kasih.
Ia diperintah kembali ke dalam barisannya.
Sedemikian cara pangeran Daha itu menguasai dan menundukkan ha prajurit2 kerajaan Daha.
Dari senopa sampai menurun ke prajurit biasa, semua menghormat, tunduk dan setya kepada pangeran itu.
Ardaraja merupakan buah ha akuwu Jayakatwang, senopa agung dari pasukan Daha dan tumpu harapan dari para kawula.
Nararya menyaksikan juga semua peristiwa yang terjadi di alun-alun itu.
Diam2 ia memuji akan kecakapan pangeran adipati anom itu.
Bukan saja cakap wajah, pun cakap menanamkan kewibawaannya pada seluruh prajurit dari pasukan Daha.
Iapun mendapat kesan bahwa Daha benar2 memiliki pasukan yang besar, tertib dan bersemangat.
Tertib, merupakan pertanda dari latihan2 keprajuritan yang berhasil.
Semangat, memancarkan jiwa keprajuritan yang siap melaksanakan tugas, membela negara dan rakyat.
Dalam mengiku upacara selanjutnya, Nararya makin terkejut.
Karena perintah2 yang diberikan oleh para senopa itu bernada suatu kesiap siagaan untuk memperkuat Daha, membangun kerajaan Daha yang pernah jaya pula.
Walaupun dak secara tegas tetapi Nararya dapat menarik kesimpulan bahwa memang Daha benar2 mempunyai suatu tujuan besar.
Lewat tengah hari barulah upacara itu selesai, pangeran Ardarajapun meninggalkan lapangan.
Sekonyong-konyong pangeran itu hen kan gajah tunggangannya, memanggil lurah Suramenggala dan mengucapkan beberapa perintah.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suramenggala tak ikut mengiringkan pangeran itu ke keraton.
Barisanpun segera tinggalkan alun2, demikian rakyat yang mengikuti upacara itu.
Saat itu Nararya dan bekel Salokapun sudah berpencar.
Bekel Saloka mengiku barisan prajurit.
Ternyata prajurit2 itu masuk kedalam balai prajurit sehingga bekel Saloka terpaksa melanjutkan perjalanan.
Ia hendak mencari pahasti Sarawita yang diduganya tentu berada di kandang gajah.
Sedang Nararya menuju ke gapura mur.
Menurut dugaannya, tentulah prajurit bhayangkara dari Singasari itu sudah pulang.
Belum berapa jauh ia berjalan ba2 terdengar derap orang berjalan cepat dari arah belakang.
Dan pada lain saat ia mendengar orang berteriak "Hai, ki bagus, berhentilah"
Nararya hentikan langkah berpaling "Ah, ki Suramenggala"
Serunya ketika melihat orang. Orang tinggi besar itu menghampiri "Ya. Ternyata engkau tak lupa kepadaku? Ki bagus, gusti pangeran Ardaraja mengundangmu ke keraton"
Nararya tersengat kejut "Adakah pangeran telah melihat aku?"
"Hm"
Dengus Suramenggala "engkau berada di antara kerumun orang2 yang menonton di sekeliling alun-alun tadi"
Nararya termenung.
Jika ia menolak, sukar untuk memberi alasan yang dapat diterima.
Nyatanya dia terlihat ikut menyaksikan upacara tadi.
Namun jika meluluskan, ia tentu tak dapat mencari Lembu Peteng.
Bahkan mungkin ia akan menghadapi tawaran Ardaraja untuk bekerja pada Daha.
Paling tidak, waktunya tentu terhambat di keraton.
Hampir Nararya menolak panggilan itu atau ba- ba ia teringat bahwa sebaiknya ia dapat memperoleh keterangan tentang tetamu dari Singasari itu baru ia mengambil langkah yang pas untuk mengejar/ ke Singasari.
Akhirnya ia menerima perintah dari pangeran Ardaraja.
Menilik wajah dan nada kata-katanya, Nararya mempunyai kesan bahwa lurah prajurit Suramenggala itu masih mendendam kepadanya.
Mungkin kekalahan waktu berkelahi di hutan tempo hari, tak pernah dilupakan bekel prajurit itu "Ki Sura"
Seru Nararya dengan nada ramah "gagah benar tampaknya andika waktu berbaris tadi"
"Hm, kurasa biasa saja"
Sahut Suramenggala dingin.
"Ah, ki Sura merendah diri"
Kata Nararya pula "prajurit2 Daha rata2 masih muda dan bersemangat dan pasukannya ter b sekali. Pangeran Ardaraja pandai mengatur bala tentara. Rakyat Daha gembira dan bangga mempunyai pasukan yang gagah"
"Hm"
Desus bekel prajurit itu pula, Nararya menghela napas "Sayang, aku tak memiliki selera menjadi prajurit"
Suramenggala berpaling, mencurah pandang kearah wajah Nararya yang saat itu berjalan beriring disampingnya "Aku gemar berkelana dan suka akan kehidupan bebas"
Kata Nararya.
"Ya"
Kata Suramenggala "memang berat menjadi prajurit itu. Sewaktu-waktu diperlukan, harus melakukan perintah"
Diam2 tersenyum Nararya dalam hati. Ia tahu bahwa Suramenggala tidak menyukai kehadirannya sebagai prajurit di Daha. Mungkin dia kuatir akan mendapat saingan "Tetapi ki Sura tentu lain"
Katanya.
"Lain bagaimana?"
Tanya Suramenggala.
"Ki Sura adalah pengawal yang terkasih dan dipercaya pangeran Ardaraja. Beda dengan prajurit2 lain"
Kata Nararya.
"Beda bagaimana ?"
Ulang Suramenggala "lebih-lebih menjadi pengiring pangeran Ardaraja, harus mengabdikan seluruh waktu, tenaga dan pikirannya.
Tak jarang aku harus mengiring pangeran ke daerah2 untuk berburu.
Karena harus menjaga keselamatannya, sering aku kurang tidur.
Demikian pula tak pernah aku mempunyai waktu luang untuk bersenang-senang diri.
Orang mengatakan enak menjadi kepercayaan pangeran, tetapi aku yang merasakan sendiri, merasa setengah mati"
Kembali Nararya tersenyum dalam ha . Makin jelas Suramenggala memasang rintangan untuk menghalangi apabila ia bermaksud hendak menjadi prajurit bhayangkara pangeran Ardaraja "Adakah ki Sura juga diharuskan berjaga apabila pangeran menerima tetamu?"
"Bagaimana dak?"
Sahut Suramenggala "misalnya kemarin, sedang aku layap-layap hendak dur, terpaksa harus bangun dan menjaga pangeran Ardaraja yang menerima seorang tetamu.
Sampai hampir fajar, baru tetamu itu pulang.
Kemudian baru dua ga jam pejamkan mata sudah harus bangun lagi karena bertugas mengiring pangeran yang melakukan peperiksaan barisan di alun-alun pagi ini"
"O"
Nararya mengangguk-angguk kepala. Diam2 ia girang karena sudah memperoleh keterangan tentang tetamu dari Singasari itu.
"Ki bagus masih muda, tampan dan ramah"
Kata Suramenggala memuji "tentu banyak orang2 tua dari gadis, yang menginginkan ki bagus sebagai menantu ...."
"Ah, janganlah ki Sura memuji aku setinggi itu"
"Benar"
Wajah Suramenggala mengerut kemantapan "aku sendiri apabila mempunyai anak gadis tentu ingin mengambil ki bagus sebagai menantu. Tetapi kurasa ki bagus tentu menolak karena masih banyak dara2 anak orang berpangkat yang menginginkan engkau"
Nararya tertawa.
"Andai akupun diberkahi dewata dengan wajah setampan ki bagus, alangkah bahagiaku. Aku tak perlu menjual jiwa sebagai bhayangkara tetapi sudah dapat menikmati kehidupan yang senang"
"Ah"
Kata Nararya "pengabdian ki Sura itu mempunyai nilai yang mulia dan luhur. Sebagai putera Daha, ki Sura telah berbakti kepada kerajaan Daha"
"Adakah ki bagus bukan kawula yang tinggal di telatah Daha?"
Nararya gelengkan kepala "Bukan. Kalau tak salah. tempat kelahiranku itu termasuk telatah Singasari"
"O"
Seru Suramenggala agak cerah "jika begitu ki bagus harus membak kan pengabdian kepada kerajaan Singasari"
Nararya menghela napas "Telah kukatakan, ki Sura. Aku tak mempunyai minat menjadi prajurit. Baktiku kepada negara hanyalah aku akan berusaha untuk menjadi seorang kawula yang baik"
Dalarri bercakap-cakap itu mereka sudah tiba dikeraton.
Nararya dipersilahkan menunggu di pendapa sementara Suramenggala masuk kedalam untuk menghaturkan laporan kepada Ardaraja.
Tak lama kemudian bekel bhayangkara itu keluar pula "Ki bagus, pangeran masih berada di Balai Prajurit"
"O"
Seru Nararya.
"Tetapi pangeran telah meninggalkan perintah, agar ki bagus menunggu di ruang kediaman pangeran. Mari kubawa engkau kedalam"
Kata Suramenggala.
Nararya mengikutinya.
Ardaraja mendiami sebuah bangunan tersendiri.
Letaknya di sisi kanan dari keraton.
Tempat kediaman pangeran itu amat indah dan mewah.
Sebuah taman yang penuh bunga-bunga mekar dan kolam yang ditengahnya dihias dengan arca bidadari sedang bercengkerama mandi dipancuran, makin menyemarakkan gedung kediaman sang pangeran.
"Ki bagus"
Kata Suramenggala setelah berada di serambi "tunggulah disini. Aku hendak menyusul pangeran di Balai Prajurit"
Nararya terpaksa mengangguk.
Dan Suramenggala pun segera nggalkan tempat itu.
Seorang diri berada dalam istana seorang pangeran, timbullah berbagai kesan dalam hati Nararya.
Dalam gedung pangeran itu, suasananya tenang dan menyedapkan.
Sekeliling pandang mata, selalu bersambut dengan hiasan2 yang indah, taman bunga yang asri, arca2 yang seolah hidup buatannya.
Serba indah serta mewah.
Namun ada suatu perasaan lain dalam ha Nararya, disaat teringat akan suasana di pondok pertapaan resi Sinamaya di gunung Kawi.
Suasananya di pertapaan itu tenang juga tetapi tak seindah seper gedung ke diaman pangeran Ardaraja, Namun dalam menghaya ketenangan itu, ada dua macam rasa dalam perasaan Nararya.
Ketenangan dalam gedung kediaman pangeran Daha itu berselumbung keindahan dan kemewahan.
Menimbulkan suatu rangsang nikmat pada sifat2 keduniawian.
Sedang ketenangan dalam pondok pertapaan gurunya, mengandung rasa teduh dan jernih.
Jernih dari rasa keduniawian.
.Air yang mancur dari bokor yang dikempit oleh patung bidadari yang melambangkan air Tirta Amerta, mencuatkan hamburan percik air yang indah teratur atau keindahan yang teratur.
Tidaklah sama dengan air terjun yang berada dipertapaan gunung Kawi.
Air mengalir bebas, menunggal kodrat dengan alam sekelilingnya.
Burung2 di sangkar yang menghias taman sari kediaman pangeran itu, pun sahut menyahut seolah berlomba mera perdengarkan bunyi yang merdu.
Suatu perlombaan untuk memikat ha yang memeliharanya.
Beda dengan burung2 yang berkeliaran bebas di alam pegunungan tempat pertapaan resi Sinumaya.
Mahluk2 yang dikarunia sayap itu dapat menikma karunia dewata, terbang bebas dicelah-celah kerimbunan daun dan buah.
Berkicau riang gembira mendambakan puja syukur kepada Hyang Batara Agung atas kerunia alam yangindah dan subur untuk kehidupan mereka.
Sama2 berkicau, namun beda makna burung2 pemeliharaan keraton Daha yang nggal di sangkar emas, dengan burung2 yang hidup bebas di alam pegunungan.
Saat itu menjelang rembang petang.
Suasana taman kediaman pangeran Ardaraja itupun mulai meremang dan makin sunyi.
Nararya masih duduk disebuah bangku batu yang menghadap ke kolam.
Pikirannya terhanyut dalam keheningan alam, Ikan2 dalam kolam dilihatnya sudah mulai mengendap kebawah batu2, bunga-bungapun mulai menguncup.
Sekonyong-konyong ia terkejut sekali ketika pandang matanya gelap.
Ia tak dapat melihat apa2 lagi.
Dunia ini serasa gelap.
Aneh, pikirnya.
Pada hal jelas baru beberapa kejap yang-lalu ia masih melihat taman dan kolam yang indah.
Masih merasa bahwa hari belum sangat gelap, Tetapi mengapa tiba2 matanya sedemikian gelap.
Adakah tiba2 ia menjadi buta ? Karena beberapa saat tetap belum juga ia dapat melihat apa2, akhirnya ia menggerakkan tangan merabah matanya.
Ah....
kejutnya makin mendebar manakala tangannya menyentuh suatu benda yang halus2 lunak, hangat2 kuku suam.
Belum sempat ia menerka benda apa yang dijamahnya itu, ba2 ia terpagut kejut ke ka mendengar lengking suara yang sedap "Kangmas, engkau membohongi aku, ya ? Serasa berhenti debar jantung Nararya demi mendengar kata2 itu.
Jelas suara itu dari seorang anak perempuan.
Tetapi siapa ? Mengapa berani benar anak parempuan itu mendekap kedua matanya dengan tangannya yang halus.
Ya, kini baru ia menyadari apa sebab tiba2 matanya tak dapat melihat apa2.
Ia heran mengapa ia tak mendengar langkah dara itu menghampirinya.
Ah, segera ia teringat bahwa tadi pikirannya sedang melayang terbawa lamunan dan kenangan.
Sedemikian lelap pikiran dan perhatiannya sehingga ia tak mendengar langkah dara itu.
"Eh, kakangmas, mengapa engkau diam saja? Bukankah engkau menjanjikan kepadaku untuk membawa seekor anak macan mana sekarang?"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Huh, uh ...."
Nararya gelagapan tak tahu bagaimana harus menjawab.
"Eh, kakang mas Arda, mengapa hari ini engkau termenung-menung seper orang yang kehilangan semangat ?"
Kembali dara itu berseru.
"Maaf....."akhirnya Nararya dapat juga memaksa mulutnya meluncur kata.
"Maaf?"
Ulang dara itu agak terkejut "aneh, aneh benar. Mengapa engkau meminta maaf, kakangmas?"
"Tolong .... lepaskan dulu ... eh, mataku..."
"Tidak"
Lengking dara itu pula "jika engkau tak memenuhi janjimu membawakan seekor anak macan untukku, takkan kulepaskan tanganku. Engkau mau memenuhi janji atau tidak?"
Hati Nararya sibuk bukan kepalang.
Bagaimana ia harus memberi jawaban.
Namun apabila tak mau menjawab, kedua matanya tentu masih didekap tangan dara itu.
Pikirnya baiklah ia meluluskan janji agar ia dapat berhadapan dan mengetahui siapa dara itu.
Hampir terluncur kata2 dari mulutnya atau tiba2 ia teringat akan kata2 dara itu yang menyebut dirinya dengan kakangmas Arda.
Bukankah pangeran Ardaraja yang dimaksudkan? Jika demikian bukankah dara itu puteri akuwu Jayakatwang atau adik dari pangeran Ardaraja? Ah, gemetarlah mulutnya sehingga kata2 yang siap dilontarkan itu tersekat dalam kerongkongannya, kemudian terhanyut dengan air liur yang menggelombang masuk kedalam kerongkongan.
"Kakang mas, mengapa engkau diam saja?"
Kata dara itu agak kurang senang.
"Tuan .... puteri ....hamba ...."
"Eh, makin aneh sekali tingkah lakumu, kakangmas. Mengapa engkau memanggil aku tuan puteri dan menyebut dirimu dengan hamba?"
Sesungguhnya sedap rasanya didekap oleh sebuah tangan yang halus seper yang dialami saat itu.
Hidungnya terbaur dengan bau harum yang menyerbak dari tangan itu.
Tetapi ia merasa kurang susila apabila peris wa itu diketahui orang, terutama pangeran Ardaraja yang mungkin akan menjelang pulang "Tuan puteri, hamba bukan pangeran Ardaraja ...."
Akhirnya diberanikan juga hatinya untuk mengucapkan kata-kata.
"Hah ?"
Dara itu berseru kejut seraya lepaskan dekap tangannya "engkau bukan ...."
Nararya cepat berputar tubuh, sehingga dara itu terkerat kata-katanya.
Keduanya terbeliak dan terkesiap.
Di hadapan Nararya, tegak seorang puteri yang can k, tengah memandangnya dengan Iongong kejut dan heran, kemudian wajahnya bertebar merah karena malu "Engkau ....
siapa?"
Sesaat kemudian puteri itu menegurnya.
"Hamba Nararya, gus "
Kata Nararya seraya memberi hormat "hamba mohon maaf karena kekurang susilaan hamba kepada gusti"
Wajah cakap dari Nararya yang memancarkan cahaya keturunan darah priagung, telah menimbulkan kesan yang mempesona ha puteri itu.
Budi bahasa yang halus dalam rangkaian kata2 yang rendah ha dan penuh susila, makin mencengkam perasaan puteri can k itu "Ki sanak, engkau tak bersalah ...."
Puteri itu tersipu-sipu malu.
Tak kurang pula daya pesona yang mengikat ha Nararya ke ka memandang wajah puteri itu.
Seorang puteri yang can k, dalam usia remaja yang sedang mekar, makin memancarkan kecan kan dari wajahnya yang berseri-seri gemilang.
Suatu sifat dari puteri2 keraton dan keturunan priagung.
Namun segera ia tundukkan kepala tak berani beradu pandang mata.
Ia menyadari hal itu kurang susila dan tak layak "Gus , hamba memang bersalah karena hamba telah menyebabkan gus menyangka hamba sebagai pangeran Ardaraja"
"Tidak"
Puteri itu menolak "engkau tak bersalah. Yang bersalah adalah aku sendiri ...."
"Ah, gus "
Nararya tetap merasa bersalah "jika hamba tak berada disini, bukankah gus takkan menyangka hamba sebagai pangeran Ardaraja ? Kesalahan hamba berada disinilah yang menyebabkan hal itu, gusti. Maka hamba tetap merasa bersalah dan mohon ampun"
Puteri itu tak mau berbantah. Ia melihat kekerasan kepala pemuda itu namun ia menyukai kejujurannya.
"Mengapa engkau berada di taman kediaman kakangmas pangeran?"
Kata puteri itu.
"Hamba telah mendapat tah dari pangeran agar menghadap. Tetapi saat ini pangeran masih berada di balai prajurit dan hamba diperintahkan menunggu di sini oleh ki bekel Suramenggala"
"Di manakah kakangmas pangeran berkenalan dengan engkau?"
Tanya puteri itu pula. Dengan singkat Nararya menuturkan tentang perkenalannya dengan pangeran Ardaraja ke ka pangeran itu Sedang berburu di hutan.
"O"
Seru puteri itu "benar, benar. Kakangmas Arda memang pernah bercerita tentang seorang pemuda yang karena salah faham telah berkelahi dengan paman Suramenggala dan paman Suramenggala kalah ..."
Agak lancar mulai bicara puteri. Rupanya sang puteri memang peramah dan periang, masih bersifat kekanak-kanakan.
"Ah, bagaimana mungkin ki lurah Suramenggala kalah dengan diri hamba, gus . Dia mengalah"
Ucap Nararya dengan rendah hati.
"Kakangmas Arda juga mengatakan bahwa dia senang kepadamu dan minta engkau bekerja di keraton ini. Benarkah?"
"Benar, gusti"
"Mengapa engkau menolak?"
Tanya puteri itu. Nararya menghela napas pelahan. Ia mendapat kesan bahwa puteri itu amat ramah. Tentu menyinggung perasaannya apabila ia mengatakan menolak tawaran pangeran Ardaraja itu "Ah, gusti, hamba bukan menolak ..."
Cerah wajah puteri itu ke ka mendengar kata2 Nararya dan cepat ia menukas "Jadi engkau menerima tawaran kakangmas, bukan?"
Dari nadanya, jelas puteri itu merasa gembira apabila dia mau bekerja di keraton Daha. Mengapa? Ah, ia sendiri tak tahu, karena baru saja berkenalan dengan puteri. Itupun karena salah sangka.
"Sungguh tak terperikan terima kasih hamba atas kebaikan pangeran Ardaraja"
Katanya "seharusnya hamba ingin membalas budi kebaikan pangeran.
Tetapi sayang hamba masih sedang melakukan perintah ayah hamba.
Kepada pangeran, hambapun telah menghaturkan keterangan bahwa setelah hamba selesaikan menunaikan perintah ayah hamba, hamba baru dapat menerima tawaran pangeran"
"O"
Desuh puteri agak kecewa "apakah perintah dari ayahmu?"
Diam2 terkejut Nararya atas pertanyaan puteri itu.
Bukankah kurang layak apabila seorang dara mendesakkan keinginan tahunya akan urusan seorang pemuda? Tidakkah hal itu melampaui batas2 kesusilaan? Hampir saja ia menarik suatu kesimpulan tentang diri puteri itu tetapi pada lain saat ia teringat bahwa yang dihadapinya saat itu bukan seorang dara biasa melainkan seorang puteri keraton Daha.
Seorang puteri dari akuwu Jayakatwang.
Dan tentulah puteri itu menganggap dirinya seorang pemuda dari kalangan rakyat sehingga batas kesusilaan itu terhapus oleh hak yang diwenangkan bagi seorang puteri raja terhadap seorang kawula.
Nararya mengangguk dalam hati.
"Aku adik pangeran Ardaraja. Rama prabu menganugerahkan nama, Dyah Nrang Keswari kepadaku"
Ba2 puteri itu memberi keterangan tentang dirinya.
Rupanya karena melihat sampai beberapa saat Nararya diam saja, ia menduga mungkin pemuda itu masih meragukan siapa dirinya.
Dengan keterangan itu, dapatlah keraguan Nararya terhapus dan menimbulkan suatu kewajiban bagi pemuda itu untuk menghaturkan jawaban.
"Ayah hamba mengutus hamba untuk mencari paman hamba yang nggal di Wengker. Tetapi ternyata paman telah pindah ke Singasari. Terpaksa hamba harus mencarinya ke Singasari, mudah- mudahan dia masih nggal di Singasari dan tak pindah ke lain daerah lagi"
Akhirnya Nararya merangkai suatu keterangan. Wajah putri Dyah Keswari tampak bertebar cerah pula "singasari tak jauh dari Daha. Tentu dalam waktu yang tak lama, urusanmu itu akan selesai"
"Hamba harap mudah-mudahan demikian,gusti"
"Dan engkau tentu akan menetapi janjimu untuk mengabdi sebagai bhayangkara keraton Daha, bukan?"
Nararya menghela napas dalam ha , namun ia menjawab juga "Semoga ada aral melintang pada janji hamba itu, gusti"
Puteri Keswari diam beberapa jenak. Kemudian berkata "Ki sanak, engkau berhutang kepadaku"
"Hutang"
Nararya terkejut tetapi tiba2 ia teringat akan janjinya itu "tentang janji itu, gusti ?"
"Bukan"
Sahut Dyah Nrang Keswari. Nararya mernbeliak mata "Lalu hutang apakah yang gus maksudkan ?"
"Aku telah memberitahukan namaku tetapi engkau belum. Apakah itu bukan hutang ?"
Nararya terpaksa tertawa walaupun harus ditekan nadanya "Jika gus puteri menitahkan demikian .."
"Aku dak meminta atau menitahkan"
Tukas puteri "melainkan mengingatkan engkau akan suatu kesusilaan bahwa kepada orang yang telah memberitahukan namanya harus kita balas dengan memberitahukan nama kita juga"
Diam2 Nararya mempunyai kesan bahwa dara puteri dari akuwu Jayakatwang itu selain cantik juga cerdas dan lincah bicara "Hamba bernama Nararya, gusti. Mungkin tadi hambapun telah memperkenalkan nama hamba. Paduka lupa barangkali"
Dyah Nrang Keswari gelengkan kepala "Tidak, aku tidak lupa hanya kurang jelas."
Nararya tersipu-sipu.
"Ki Nararya"
Ba2 puteri Keswari berkata pala "hari sudah malam, engkau tentu belum makan. Mari ketempat kediamanku dikeputren. Akan kutitahkan menyediakan hidangan"
Nararya terkejut sekali la tak pernah menduga akan menerima perintah sedemikian.
Ingin juga ia menikma hidangan keraton yang tentu lezat rasanya.
A-palagi ia memang lapar.
Tetapi ba2 ia teringat bahwa seorang ksatrya harus dapat menahan lapar "Terima kasih, gus .
Hamba mohon maaf, bukan karena bermaksud menolak kebaikan paduka, tetapi hamba sudah makan"
"Jangan engkau menolak kehendakku ini, ki Nararya"
Kata Dyah Nrang Keswari.
"Tetapi hamba takut kepada pangeran Ardaraja dan sang prabu, gusti"
Dyah Nrang Keswari kerutkan sepasang alisnya yang indah lalu berkata dengan nada sarat "Ki Nararya, aku memerintahkan engkau ke keputren. Ini perintah, bukan tawaran"
"Tetapi gusti ..."
"Murka kakangmas dan rama prabu, aku yang menyelesaikan"
Kata puteri itu lalu ayunkan langkah berjalan mendahului.
Nararya bimbang Ragu.
Apabila ia menolak, puteri Kiswari tentu murka.
Namun apabila ia menurut, banyak bahaya yang harui dihadapi.
Tentu suatu larangan yang terancam pidana berat apabila seorang pria masuk ke keputren keraton.
Namun ia mendengar jelas bahwa puteri itu akan menanggung semua kemurkaan pangeran Ardaraja dan prabu Jayakatwang.
Terpaksa ia beranjak dari tempat duduk dan mengikuti langkah putri Keswari.
Walaupun dalam lingkungan keputren, tetapi putri Keswari juga berdiam disebuah gedung sendiri.
Sudah tentu ruang kediaman sang puteri itu lebih indah dan semarak daripada gedung kediaman pangeran Ardaraja.
Ruang muka merupakan sebuah pendapa tempat peranginan.
Disitulah Nararya dipersilahkan duduk.
Nararya geleng2 kepala dan menghela napas dalam ha .
Ia heran mengapa tak putus-putusnya pengalaman aneh selalu merundung dirinya.
Dan pengalaman2 itu tak hanya harus menghadapi lawan2 yang digdaya dan perkasa, pun juga harus menghadapi wanita2 can k.
Adakah hidup seorang ksatrya itu memang harus demikian? Atau adakah hal itu disebabkan karena ia memiliki wajah yang tampan? Ah, jika memang benar begitu, dakkah ia harus merasa bahwa wajah tampan itu kurang membahagiakan? Bahagia dalam ar kata ketenteraman dan ketenangan ha sehingga dapat melaksanakan se ap tujuan yang dicita-citakan.
"Bahagia dalam segi2 petualangan sebagai seorang ksatrya muda,memang dapat menimbulkan rasa iri pada para muda yang kurang beruntung tak memiliki wajah tampan. Tetapi dakkah segala petualangan itu mengandung suatu bahaya ?"
Nararya tersentak dari lamunan ke ka dua orang dayang ba dengan membawa penampan berisi hidangan yang mengejutkan ha nya.
Ia tak tahu apa nama hidangan yang jangankan pernah memakan, melihatpun belum jua.
Sementara dayang yang seorang menghaturkan minuman tuak brem yang sedap dan harum "Ki bagus, gusti puteri sedang siram dan ganti busana.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki bagus supaya mendahar hidangan ini"
Nararya lagi2 bingung.
Jika ia memakan hidangan itu, mungkin akan menimbulkan kesan kurang tata tak tahu susila.
Paling dak akan dianggap orang yang rakus makan.
Namun jika tak memakan, iapun kua r puteri akan marah lagi.
Bukankah puteri sudah menitahkan kedua dayang supaya mempersilahkan makan ? Akhirnya ia mengambil jalan tengah.
Ia mulai makan tetapi pelahan-lahan agar pada saat puteri hadir, ia masih belum selesai sehingga masih sempat untuk mengucapkan kata2 terima kasih dan menghaturkan tawaran.
Demikian mulailah ia memakannya.
Ketika mencicipi hidangan yang mirip dengan rebung tetapi halus dan lunak sekali, ia merasa lezat sekali "Benarkah rebung hidangan ini?"
Pikirnya seraya mengamati sampai beberapa saat.
Namun tetap ia tak tahu.
Kemudian iapun menuangkan guci berisi tuak brem.
Ah, nikmat dan harum sekali rasanya.
Semangatnya terasa segar, nafsu makanpun bangkit.
Sesaat perha annya tertumpah pada hidangan dan minuman sesuai dengan seleranya itu, sekonyong-konyong ia mendengar derap langkah orang bergegas ba.
Ke ka ia berpaling "Hai, berani benar engkau menyelundup kedalam keputren! Siapa engkau, pemuda liar!"
Seru orang itu.
Nararya terkejut sekali sehingga tuak yang berada dalam mulutnya itu tertumpah keluar.
Yang muncul dan yang mendamprat itu seorang pemuda gagah mengenakan busana indah.
Belum sempat Nararya memberi keterangan, pemuda yang gagah itu loncat menerjang, menghantam dadanya.
Nararya terkejut sekali.
Tak sempat ia menangkis ataupun menghindar.
Dalam keadaan terdesak ia hanya mampu mengisar tubuh, memberikan bahu sebagai perisai daripada dadanya.
Duk pukulan pemuda gagah itu tepat menghantam pada bahu Nararya.
Kemarahan pemuda itu ditumpahkan dalam pukulannya yang amat keras sehingga Nararya terhuyung-huyung ke belakang, membentur tiang.
Pemuda itu masih belum puas.
Rupanya ia ingin menghancurkan kepala Nararya.
Serentak ia mencabut bindi dan loncat menghantam kepala Nararya, brak ...
Walaupun masih dicengkam rasa kejut dan sakit, namun masih sadar juga pikiran Nararya apa yang mengancam dirinya saat itu.
Cepat ia menyelinap ke samping.
"Kakangmas Natpada!"
Tiba2 terdengar lengking suara puteri Keswari berteriak kejut. Pemuda gagah itu terkejut juga dan berpaling memandang puteri Keswari "Yayi Keswari tunggu kubunuh dulu keparat itu!"
Pemuda yang disebut Natpada itu terus hendak menyerang Nararya lagi tetapi saat itu, puteri Keswari memekik marah "Kakangmas Natpada, berhenti!"
Kali ini seper tersambar halilintar kejut pemuda bernama Natpada ke ka mendengar lengking teriak puteri Keswari yang murka. Ia hen kan gerakannya dan berpaling "Bukankah keparat itu hendak mengganggu, yayi ?"
"Tidak!"
Teriak puteri masih bernada murka "dia bukan bermaksud jahat. Aku yang mengundangnya kemari"
"Engkau yayi?"
Natpada terbelalak "mengapa?"
"Aku hendak menjamunya"
Seru puteri. Natpada makin tercengang kemudian pandang matanya mencurah pada hidangan tadi "Engkau memberinya hidangan palapa yang semulia itu kepadanya, yayi?"
Puteri Keswari memberi jawab dengan pandang mata.
"Siapa dia, yayi?"
Seru Natpada.
"Engkau tak perlu tahu. Pokok, dia adalah tetamu yang diundang kakangmas Ardaraja"
Natpada terkejut tetapi cepat ia bertanya pula "Apabila tetamu dari kakangmas pangeran, mengapa berada di keputren sini?"
"Kakangmas Natpada, siapakah yang melarang aku mengundang tetamu ?"
Balas puteri Keswari.
"Tetapi yayi"
Bantah Natpada "aku telah ditugaskan paman prabu untuk mengepalai pasukan bhayangkara penjaga keraton. Keputren termasuk bagian keraton yang menjadi tanggung jawabku. Bila terjadi sesuatu, paman prabu tentu akan menghukum aku"
"Tetapi aku tak merasa terganggu dan nyatanya tak kurang suatu apa. Mengapa engkau menyibukkan dirimu sendiri?"
Natpada yang ternyata menjabat sebagai pasukan Kalanabhaya atau bhayangkara keraton, terkesiap mendengar jawab puteri yang bernada menusuk telinga itu "Yayi, keputren, merupakan bagian keraton Daha yang paling gawat dan terlarang.
Tanpa idin, ada sembarang orang dapat masuk.
Bagaimana apabila paman prabu sampai mendengar peristiwa ini ?"
Puteri Keswari tak mundur atas gertakan halus dari kepala Kalanabhaya itu "Rama prabu belum mendengar, silahkan kakangmas menghadap dan menghaturkan laporan tentang peristiwa ini"
"Tetapi engkau, yayi ?"
"Aku dapat bertanggung jawab atas diriku dan atas peristiwa ini dihadapan rama prabu"
"Ah ...."
Natpada mengeluh. Belum sempat ia bicara, ba- ba muncul lurah Suramenggala. Melihat puteri Keswari dan Natpada, tergopoh memberi hormat.
"Mengapa engkau kemari, Suramenggala?"
Tegur Natpada.
"Hamba diutus pangeran untuk mencari anak muda itu, raden"
Sahut Suramenggala.
"O, apakah dia memang dipanggil kakangmas pangeran?"
Suramenggala mengiakan.
"Dia memang disini, diundang oleh yayi Keswari dan dijamu dengan hidangan is mewa. Palapa, kegemaran kakangmas pangeran itu, dihidangkan juga kepadanya"
"O"
Suramenggala hanya mendesuh karena ke ka pandang matanya beralih kearah puteri, tampak puteri itu masih marah "raden, mohon diperkenankan hamba untuk menghadapkan pemuda itu kepada gusti pangeran"
"Bawalah"
Seru Natpada.
"Ki bagus, mari, gus pangeran sedang menunggumu"
Seru Suramenggala. Dan Nararyapun segera menghampiri.
"Berhen "
Ba2 puteri Keswari berteriak sehingga Suramenggala dan Nararya terhen "hai, Suramenggala, berani benar engkau menghina aku!"
Pucat seke ka wajah Suramenggala ke ka mendengar dampratan itu "Hamba dak merasa menghina paduka, gusti"
Sahutnya gopoh.
"Hm"
Desuh puteri "tahukah engkau siapa yang memiliki ruang keputren ini?"
"Paduka, puteri"
"Mengapa engkau berani membawa seorang yang kuundang kemari tanpa meminta persetujuanku ?"
Suramenggala yang bertubuh nggi besar gagah perkasa, gemetar saat itu "Hamba .... hamba telah memohon perkenan dari raden Natpada"
"Itu hak kakangmas Natpada untuk mengidinkan tetapi akupun berhak untuk melarang. Ruang ini adalah milik kekuasaanku"
Natpada dan Suramenggala tertegun.
Demikian pula Nararya.
Tak pernah diduganya bahwa sampai sejauh itu puteri Dyah Nrang Keswari ber ndak untuk melindungi dirinya.
Diam2 ia girang namun kegirangan itupun cepat mengumandangkan guruh yang menggetarkan ha nya.
Tidakkah mengandung suatu maksud, puteri itu hendak melindungi dirinya ? Sebagai seorang anakmuda yang masih berdarah muda, berperasaan remaja dan berha gelora ia segera membayangkan sesuatu dalam alam pikiran kaum muda remaja.
Bertanyalah Nararya dalam ha nya.
Mengapa ia berani melindungi Mayang Ambari, puteri lurah Jenangan itu? Bukankah ia merasakan suatu ke dak-adilan apabila dara secan k itu harus dipersun ng secara paksa oleh tumenggung ataupun pa h Matahun yang sudah tua? Bukankah perasaan tak adil itu mbul karena seorang dara yang masih remaja dan can k, seharusnya berpasangan dengan seorang pria muda yang cakap, bukan dengan seorang tua yang layaknya menjadi ayah dari dara itu? Kemudian ia menuntut dan menuduh kepada dirinya sendiri bukankah sebenarnya dalam hati kecilnya ia suka juga akan Mayang Ambari itu? "Ah, aku tak dapat membohongi perasaan hatiku sendiri"
Akhirnya ia terpaksa harus mengaku. Jika demikian, tidakkah serupa itu keadaan puteri Keswari terhadap dirinya saat itu? "Ah"
Ia menghela napas dalam hati.
Betapa bahagia dan senang hatinya apabila mendapat jodoh seorang puteri raja yang cantik dan cerdas seperti Dyah Nrang Keswari itu.
Bukankah ia akan bergelimangan dalam kenikmatan hidup.
Ia akan dipuja dan dihormati oleh seluruh kawula Daha.
Ha yang mengulum senyum itu segera tergetar oleh percikan sinar cahaya yang membias pikirannya.
Bukankah tujuannya ke Daha itu hendak membantu orang Lodoyo mencari Gong Prada yang hilang? Bukankah masuknya ke pura Daha pada pagi tadi karena hendak mencari jejak Lembu Peteng yang menghilang itu? Bukankah ia masih mempunyai suatu tujuan, bertapa di makam Kagenengan, yang belum terlaksana? Dan bagaikan halilintar meletus, terbukalah seke ka gerbang ha nya bahwa dia adalah keturunan rajakula kerajaan Singasari.
Dia harus mengabdi kepada kerajaan Singasari.
Mengapa semudah itu terpincut hatinya kepada seorang puteri cantik? "Duh, guru yang hamba horma .
Maa an kelemahan ha hamba"
Diam2 ia mengucap doa penyesalan tertuju kepada resi Sinamaya dipertapaan gunung Kawi.
Selekas terbuka pikirannya, selekas itu pula ia membuka mulut "Gusti puteri, ki Sura hanya melaksanakan titah gusti pangeran Ardaraja.
Yang salah adalah hamba, mengapa dititahkan menunggu di kediaman pangeran tetapi ternyata berada disini.
Hamba mohon gusti berkenan mengidinkan hamba untuk menghadap gusti pangeran agar pangeran tak murka kepada hamba"
Cerah pula wajah dan nada kata2 yang dilantangkan Dyah Nrang Keswari kepada Nararya "Baiklah. Apabila kakangmas Ardaraja marah, katakanlah aku yang mengundangmu kemari. Jika kakangmas tak percaya, aku akan datang kepadanya"
Setelah memberi hormat, Nararya dan Suramenggala. segera melangkah keluar. Dalam perjalanan menuju ke tempat kediaman pangeran Ardaraja, Suramenggala bersungut-sungut "Adalah gara-garamu, maka puteri sampai mendamprat aku"
"Maaf, ki lurah. Sesungguhnya akupun tak mau tetapi, puteri telah memaksa aku makan"
"Hm, enak juga engkau makan hidangan palapa itu"
Kata Suramenggala setengah iri "Engkau tahu hidangan itu hanya didahar oleh baginda, pangeran dan para priagung. Entah bagaimana nanti pangeran Ardaraja apabila mendengar engkau makan hidangan yang menjadi kegemarannya itu"
"Mudah-mudahan pangeran dapat memaklumi keadaanku"
Kata Nararya "namun apabila pangeran menjatuhkan pidana, akupun menerima saja karena memang aku bersalah"
"Apakah raden Natpada tadi tak marah kepadamu?"
Tanya Suramenggala pula.
"Marah sekali bahkan telah memukulku"
"O, tentu saja"
Kata Suramenggala dengan gembira "jika puteri tak cepat datang, mungkin engkau tentu dibunuhnya"
"Ya, benar"
Kata Nararya "siapakah raden itu, ki lurah ?"
"Dia bernama raden Kuda Natpada, seorang kemanakan"
Dari gus ratu, permaisuri sang prabu Jayakatwang. Dia diangkat sebagai kepala Kalanabhaya yang menjaga keamanan keraton oleh sang prabu"
"O"
Desuh Nararya "bukankah ki Sura ini juga seorang lurah bhayangkara keraton?"
Suramenggala mengangguk "Pasukan bhayangkara keraton Daha dibagi dua, luar dan dalam.
Raden Kuda Natpada mengepalai pasukan bhayangkara dalam, sedang aku bhayangkara luar.
Tetapi kemudian aku khusus ditugaskan untuk menjadi pengawal pendamping pangeran Ardaraja"
"O"
Desus Nararya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau tahu apa sebab raden Natpada sangat marah kepadamu?"
Tanya Suramenggala pula.
"Ya"
Sahut Nararya "aku memang bersalah karena berani masuk ke keputren"
"Itu sebab pertama"
Kata Suramenggala "masih kurang pen ng, apalagi engkau diundang oleh gusti puteri"
"Lalu apa ?"
Nararya kerutkan dahi.
"Sebab kedua dan ini yang pokok"
Kata Suramenggala "bahwa raden Kuda Natpada itu memang menaruh ha kepada puteri Keswari. Rupanya gus ratupun merestui hal itu. Maka dapat dimaklumi, apabila raden Natpada hendak membunuhmu"
Nararya berseru kejut "tetapi akupun tak berani mengandung se k perasaan apa2, terhadap gusti puteri"
"Mana raden Natpada tahu ha mu"
Seru Suramenggala "melihat sikap puteri yang jelas memberi ha kepadamu, tentu saja raden Natpada makin marah dan menumpahkan dendamnya kepadamu"
Nararya tertegun. Sesaat kemudian ia mengangguk "Ya, aku memang bersalah. Apabila ada kesempatan bertemu, aku akan memberi penjelasan dan memohon maaf kepada raden Natpada"
Dalam pada bicara itu balah mereka di tempat kediaman pangeran Ardaraja. Pangeran menyambutnya dengan gembira, dan mengajaknya masuk bercakap-cakap.
"Sura, mengapa lama benar engkau menjemput Nararya ini"
Sebelum melangkah masuk, pangeran menegur Suramenggala. Suramenggala segera melaporkan apa yang telah terjadi di keputren "Hampir saja ki bagus ini dibunuh raden Natpada"
Katanya mengakhiri laporan.
"Hm"
Desuh Ardaraja "engkau jaga diserambi. Aku akan bercakap-cakap dengan Nararya"
Katanya seraya melangkah masuk.
"Bagaimana asal mula puteri Keswari memanggilmu ke keputren"
Tanya Ardaraja setelah mereka berdua dalam sebuah ruang. Nararya segera menuturkan apa yang dialaminya selama menunggu pangeran itu tadi "Hm"
Ardaraja geleng2 kepala "puteri itu memang masih kekanak-kanakan. Apabila tak kuberikan apa yang telah kujanjikan kepadanya, dia tentu marah atau menangis seperti anak kecil"
Diam2 Nararya bersyukur bahwa pangeran itu tak mau memperpanjang peris wa di keputren "Nararya"
Katanya beralih nada dan pembicaraan "bagaimana dengan dirimu? Apakah urusanmu sudah selesai?"
"Belum raden"
Sahut Nararya lalu merangkai cerita bahwa orang yang hendak dicarinya itu sudah! tak berada di Wengker.
Menurut keterangan tetangganya, dia sudah pindah ke Singasari, mungkin ke lain daerah.
Mendengar itu berserilah wajah Ardaraja "Dengan begitu engkau tentu harus mencarinya ke Singasari?"
"Hamba terpaksa melaksanakan perintah ayah hamba, raden"
Kata Nararya.
"Dan engkau belum memikirkan permintaanku kepadamu supaya bekerja pada Daha?"
Nararya meminta maaf karena soal itu ia harus meminta idin dari orangtuanya lebih dahulu. Sesungguhnya berat rasa hatinya meninggalkan orangtuanya yang sudah tua.
"Baiklah, Nararya"
Kata Ardaraja "aku senang mengetahui engkau seorang putera yang baik, berbakti kepada orangtua. Nararya, aku ingin bertanya kepadamu. Jawablah dengan sungguh2"
"Baik, raden"
"Andaikata engkau dapat melakukan, maukah engkau mengabdikan tenagamu kepada Daha?"
Terkejut ha Nararya mendapat pertanyaan semacam itu.
Jika ia mengatakan dak, tentulah urusan akan berkelarutan, mungkin banyak kesulitan yang harus dihadapinya selama berada di Daha itu.
Namun jika mengatakan bersedia, tidakkah hal itu bertentangan dengan tujuannya? "Telah hamba haturkan tadi, raden.
Bahwa kesemuanya itu tergantung dari keputusan orangtua hamba"
"Ya. Itu apabila kuminta engkau mengabdi kepada kerajaan Daha, memang engkau harus menunggu persetujuan orangtuamu. Tetapi yang akan kuminta saat ini, hanyalah sekedar bantuan tenagamu. Suatu bantuan yang tentu mampu engkau lakukan asal engkau mau, Nararya"
Nararya tertegun pula. Ia bingung untuk menjawab karena tak dapat menerka apa yang dimaksud putera akuwu Daha itu "Gus pangeran, hamba tak menger apakah yang hendak paduka titahkan"
"Nararya"
Kata pangeran Ardaraja "aku sangat menghargai akan kebak anmu terhadap orangtua dan rasa tanggung jawabmu yang besar terhadap suatu tugas yang engkau pikul.
Oleh karena itu aku pun tak-kan memaksa engkau harus saat ini juga memenuhi permintaanku supaya engkau bekerja di sini"
Diam2 Nararya menghela napas legah dalam ha . Namun kemudian mbul pertanyaan, apakah yang dikehendaki pangeran itu dari dirinya? "Oleh karena ia hendak menuju ke Singasari"
Kata Ardaraja pula "maka akupun hendak meminta bantuanmu untuk melakukan sesuatu yang kuanggap takkan menyulitkan dirimu dan pas dapat engkau lakukan"
"Jika demikian, raden,"
Kata Nararya gopoh "silahkan paduka segera memberi tah kepada hamba"
Ardaraja mengangguk "Baiklah"
Ia segera mengambil sepucuk sampul dari dalam baju "aku hendak minta bantuanmu untuk menyampaikan surat ini kepada seseorang di keraton Singasari"
"O, jika demikian mohon raden limpahkan surat itu agar hamba segera membawanya ke Singasari"
Seru Nararya gopoh. Ardaraja tersenyum "Jangan tergesa-gesa, Nararya. Tahukah engkau kepada siapa surat itu harus diterimakan?"
Nararya terkesiap "Mohon raden memberitahu kepada siapa hamba harus memberikannya"
Katanya a-gak kemalu-maluan.
"Berikanlah surat ini kepada seorang prajurit bhayangkara keraton Singasari yang bernama Kalingga"
Kata Ardaraja.
"Apakah yang harus hamba katakan kepadanya raden ?"
Tanya Nararya.
"Tak perlu mengatakan apa2"
Kata Ardaraja "dia akan tahu sendiri"
Selesai menyerahkan surat, Ardaraja minta supaya Nararya bermalam di Daha tetapi Nararya mengatakan bahwa ia masih ditunggu seorang kawan.
Malam itu juga ia dan kawannya akan melanjutkan perjalanan ke Singasari.
Diam2 Ardaraja gembira karena surat itu akan segera tiba di tangan Kalingga.
Ia memang menginginkan demikian karena isinya penting sekali.
"Baiklah"
Kata pangeran Daha itu "tetapi kuminta janganlah engkau salah menyerahkan surat itu kepada orang yang tak berhak menerimanya. Dan jangan mengatakan apa2 tentang surat itu kepada siapa-pun"
Nararya berjanji akan melaksanakan tah pangeran itu.
Kemudian iapun mohon diri.
Ia diantar bekel Suramenggala keluar dari keraton.
Tiba di pintu keraton dalam, sekonyong-konyong terdengar langkah orang berlari dari arah belakang "Ki bagus, berhentilah dulu"
Nararya dan Suramenggala terkejut.
Serentak mereka berhen dan berpaling.
Seorang dayang remaja berlari-lari menghampiri.
Kedua tangannya menjinjing sebuah penampan berisi sebuah bokor diatasnya.
Selekas ba di hadapan Nararya dayang itu segera memberi hormat "Ki bagus, maa an apabila mengejutkan engkau.
Hamba diutus gus puteri untuk menghaturkan isi bokor kencana ini kepada ki bagus"
Bukan kepalang kejut Nararya mendengar keterangan dayang remaja itu.
Demikian pula Suramenggala.
Namun bekel itu tak berani berbuat apa2 karena takut akan sang puteri.
Sejenak Nararya memaling pandang kearah Suramenggaladan bekel itu hanya diam saja "Maksudmu dari gusti puteri? Gusti puteri siapa?"
Nararya menegas.
"Gusti puteri Dyah kusuma ayu Nrang Keswari, ki bagus"
Sahut dayang pewara itu.
"Dan supaya diberikan kepadaku?"
"Ya"
"Tidak keliru?"
"Tidak"' Sahut dayang itu dengan mantap "gus puteri menitahkan hamba supaya menunggu ki bagus keluar dari keraton kediaman gus pangeran, baru hamba di tahkan menghaturkan bokor ini"
Nararya geleng2 dalam ha .
Adakah memang garis hidupnya se ap kali harus terlibat dalam hubungan dengan wanita? Ia tak berani menolak tetapi takut untuk cepat2 menerima "Ki lurah Suramenggala, bagaimana pendapat ki lurah, adakah pemberian gus puteri ini harus kuterima atau kutolak?"
Suramenggala menggeram dalam ha .
Mengapa Nararya hendak melibatkan dirinya dalam, urusan itu.
Jika ia menganjurkan supaya menolak, dayang itu tentu akan menghaturkan laporan dan puteri Keswari tentu akan murka kepadanya.
Namun jika ia menganjurkan supaya Nararya menerima, dakkah ia juga akan terlumur kesalahan? "Setan engkau"
Gumamnya dalam ha kepada Nararya. Namun ia mendapat akal "Kalau gus puteri yang memberi, terimalah"
Katanya.
Dengan anjuran itu, ia takkan mendapat kemurkaan puteri Keswari, pun nan ia akan memberitahu juga kepada pangeran Ardaraja.
Dengan demikian bebaslah ia dari ancaman, dan kesalahan.
Nararya segera membuka bokor itu.
Ternyata isinya sehelai kain sutera dewangga, bersulam sepasang kijang kencana diatas dasar warna merah.
Indah sekali kain sutera dewangga itu, seindah pula sepasang kijang yang tampak sedang asyik bercumbu-cumbuan itu.
"Ah"
Nararya menghela napas "mengapa gus puteri berkenan menghadiahkan sutera dewangga yang seindah ini? Apakah titah gusti puteri?"
"Gus puteri dyah kusurna ayu berpesan agar sutera dewangga bersulam sepasang kijang, buatan dari gusti puteri sendiri itu, ki bagus peruntukkan sebagai sabuk"
"Ah"
Nararya menghela napas pula.
"Gusti puteri mengatakan bahwa sutera dewangga itu mempunyai khasiat penolak segala bala"
Nararya menghela napas.
Suramenggala mendesuh dalam ha .
Nararya segera melilitkan sabuk sutera dewangga itu ke pinggangnya kemudian berkata kepada dayang "Sampaikan kepada gus puteri, tak dapat Nararya melukiskan haru dan terima kasih dengan-kata2.
Budi kebaikan gus puteri tak kan kulupakan selama-lamanya"
Setelah dayang itu pergi maka Suramenggalapun segera mengantarkan Nararya keluar.
Namun di tempat peristiwa Nararya menerima anugerah sabuk sutera dewangga dari puteri Keswari itu, masih tertinggal sesosok tubuh yang bersembunyi di balik pohon nagasari.
Dengan mata berkilat-kilat memancarkan api dendam kemarahan dan kebencian, dia menyaksikan semua peristiwa itu.
"Hm, pemuda itu harus dilenyapkan agar amanlah perjalanan cita-cita hidupku"
Desisnya. Mulutnya berbuih. Buih dari api dendam kebencian yang menyala-nyala. (Oo^dwkz~ismoyo^oO)
Jilid 5 Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ I DENDAM merupakan bara dan Amarah adalah apinya.
Api dapat menyala keras dan panas tetapi kemudian redup dan padam.
Demikian pula dengan Amarah.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meletus, menumpah dan meranggas tetapi kemudian reda, mengendap dan lenyap.
Tetapi apabila api itu dak sekedar menyala melainkan membakar kayu atau suatu benda, maka benda itupun akan membara.
Mengandung bara api yang a-kan menghangus dan menghancurkan benda itu.
Bara merupakan kelestarian dari api yang telah bersenyawa dalam suatu benda.
Lebih berbahaya.
Demikian yang disebut Dendam.
Karena Dendam merupakan bara dari api Amarah.
Dendam yang meletus dari api Amarah itu, akan meluap dan mengalir ke lembah Kesumat.
Dendam kesumat, dendam permusuhan atau dendam kebencian.
Dimana permusuhan dan kebencian berkuasa, manusia akan kehilangan diri-manusianya, akan menjadi hamba ibiis laknat.
Sanggup melakukan apa saja yang tak mungkin, tak dapat dipercaya dan tak layak dilakukan oleh insan manusia.
Dendam akan memanusiakan manusia sebagai bukan manusia.
Orang yang mengintai dari celah2 ran ng pohon nagasari itu telah menderita kebakaran ha .
Ia menyaksikan apa yang telah terjadi pada diri Nararya.
Ia melihat betapa Nararya telah menerima, hadiah ikat pinggang kain dewangga dari puteri Dyah Ntang Keswari.
la memperha kan betapa berseri wajah Nararya menerima hadiah itu.
Dan kesemuanya itu hanya menambah cepat kehangusan ha nya yang sudah terbakar api kemarahan.
Kehangusan itu membuahkan arang hitam.
Dendam kesumat yang menghitamkan kesadaran pikirannya.
Hitam kelam adalah kerajaan iblis laknat.
Iapun telah menghitamkan dirinya, kerajaan hati dan singgasana akal budinya.
Ibarat orang menyalakan api, sebelum sempat di-bakarkan pada lain benda, lebih dulu orang itu sudah harus menderita panas nyala api itu.
Demikian halnya dengan dendam.
Sebelum dapat melampiaskan kepada orang yang didendamnya, dia sendiri sudah tersiksa oleh rasa dendam yang panas dan menyakitkan.
Mendendam lebih tersiksa dari yang didendam.
Sebagaimana yang dialami oleh orang yang bersembunyi dibalik pohon nagasari itu.
Dia seper dibakar, darah mendidih, urat2 tegang.
Tidak demikian dengan Nararya.
Dengan langkah gontai, ia melangkah keluar dari keraton Daha.
"Bagaimana raden?"
Ba2 sesosok tubuh menguak keluar dari sebuah gerumbul pohon ditepi jalan.
"Engkau,Pamot"
Seru Nararya "mari kita pulang"
Atas pertanyaan Pamot, Nararya mengatakan bahwa selama diterima pangeran Ardaraja dalam keraton ia tak berhasil mendapat keterangan tentang tetamu yang menghadap pangeran ku. Demikian tak sepatahpun pangeran Ardaraja mengusik tentang gong Prada.
"Jika demikian tentulah gong pusaka itu masih berada di Daha, raden"
"Kemungkinan begitu dan mudah-mudahan saja"
"Tetapi bagaimana pendapat raden?"
"Sebelum bertemu dan mendengar hasil penyelidikan ki bekel Saloka, sukar untuk merangkai suatu kesimpulan"
Jawab Nararya. Tak berapa lama merekapun tiba di gua Selamangleng. Bekel Saloka sudah berada disitu.
"Langkah kanan, ki bekel, tetapi arahnya menuju ke hutan"
Kata Nararya atas pertanyaan bekel Saloka.
"Apa maksud, raden?"
"Langkah kanan, langkah yang tepat. Aman dan rata. Pangeran Ardaraja telah menerima aku dengan baik. Tetapi arahnya hanya menuju ke hutan. Karena walaupun langkah sudah aman dan tepat tetapi hanya hutan yang kucapai. Hutan yang berkabut pohon2 dan gerumbui semak lebat sehingga sukar untuk mencari yang kukehendaki. Jelasnya, aku tak berhasil mendapat keterangan apa2 tentang gong pusaka maupun tetamu dari Singasari itu, ki bekel"
"O"
Seru bekel Saloka.
"Dan bagaimana dengan hasil penyelidikan ki bekel ?"
Nararya balas bertanya. Bekel Saloka menceritakan pengalamannya sehari itu.
"Kesal sekali ha ku saat itu karena sampai surya tenggelam belum juga kulihat pahas Sarawita keluar dari keraton"
Bekel Saloka memulai ceritanya"
Saat itu kuputuskan pulang saja karena kurasa kurang leluasa apabila harus mengunjungi rumah pahas Sarawita pada waktu malam. Mudah menimbulkan kecurigaan"
"Ke ka ba di sebuah lorong yang menuju ke pintu gapura selatan, ba2 kulihat dua orang lelaki berpakaian prajurit sedang berjalan menuju ke pintu gapura. Kuduga mereka tentulah prajurit yang akan menggan kan penjagaan pintu gapura. Karena ada lain jalan lagi, akhirnya aku nekad. Kuserang kedua prajurit itu. Mereka berhasil kurubuhkan. Kupaksa mereka untuk memberi keterangan tentang hasil sayembara di balai prajurit sore tadi. Mereka menerangkan bahwa yang paling menonjol p!an mendapat hadiah adalah benda yang dibawa bekel Sindung. Sebuah gong pusaka. Kata kedua prajurit itu. Setelah kuikat mereka pada sebatang pohon, akupun segera bergegas pulang kemari. Nah, begitulah hasil yang kuperoleh raden"
Bekel Saloka mengakhiri penuturannya.
"O, jika begitu, gong Prada itu masih berada di Daha"
Kata Nararya.
"Adakah raden juga memiliki kesimpulan begitu"
Tanya bekel Saloka.
"Aku masih asing akan suasana keraton Daha, tak kenal pula dengan mentri dan narapraja disini, maka sukarlah untuk menarik kesimpulan yang pasti"
"Apakah hubungan hal itu dengan gong pusaka, raden?"
"Kurasa ada, ki bekel"
Jawab Nararya"
Karena untuk menilai sesuatu haruslah kita memiliki batuan2 keterangan yang luas.
Jika dipandang sepintas pandang dari apa yang kualami dalam percakapan dengan pangeran Ardaraja dan keterangan dari kedua prajurit yang kakang paksa itu, kemungkinan besar memang gong pusaka itu masih tetap berada di Daha"
"Masih suatu kemungkinan, raden?"
"Ya"
Jawab Nararya "dengan landasan dari pengetahuan kita tentang keadaan pemerintah Daha sampai saat ini, kita harus membatasi diri kita untuk memas kan kebenaran dari se ap kesimpulan.
Kesimpulan itu lebih layak apabila masih kita selubungi dengan sifat kemungkinan"
Bekel Saloka terkesiap. Ia lebih cenderung untuk memas kan kesimpulannya bahwa gong pusaka itu masih berada di Daha.
"Misalnya"
Sambung Nararya pula "diri lurah Sindung itu.
Dia jelas seorang manusia yang licin, penuh memiliki reka-reka muslihat yang licik.
Peris wa dari keempat prajurit anakbuahnya yang berakhir dengan saling bunuh membunuh itu, memberi gambaran jelas tentang sifat-sifat kelicikan lurah itu.
Oleh karena itu, hendaknya kita dapat membatasi diri antuk dak tergesa menarik suatu kepastian tentang gong pusaka itu"
Bekel Saloka mengiakan dan lalu menanyakan tentang rencana selanjutnya.
"Ki bekel"
Kata Nararya "aku mendapat pan dari pangeran Ardaraja untuk menyerahkan surat kepada seseorang di pura Singasari"
"Kepada siapa, raden?"
"Seorang prajurit bhayangkara keraton Singasari yang bernama Kalingga"
"Aneh"
Bekel Saloka mendesah lalu merenung.
"Mengapa, ki bekel?"
"Aku teringat akan keterangan pahas Sarawita bahwa tetamu dari Singasari yang berkunjung kepada pangeran Ardaraja itu bernama Kebo Muncar, seorang prajurit bhayangkara keraton Singasari. Kukira surat itu tentu ditujukan kepadanya, dengan demikian dapatlah menemukan jalur arah penyelidikan kita. Tetapi ternyata bukan Kebo Muncar melainkan Kalingga"
Tiba2 Nararya tertawa kecil "Disitulah kita harus membatasi diri lagi untuk dak lekas2 memberi kepastian, ki bekel"
"Maksud raden?"
"Juga dalam soal orang itu, kitapun harus menaruh suatu keraguan. Karena seorang prajurit bhayangkara Singasari mengadakan hubungan dengan pangeran dari Daha itu sudah mengandung suatu rahasia, maka dalam soal nama mereka, tentulah tidak bersifat terus terartg"
"Maksud raden, prajurit bhayangkara itu memakai nama palsu?"
"Mungkin palsu tetapi mungkin sesungguhnya"
Sahut Nararya "aku hanya menilai bahwa sesuatu yang tidak terang itu, tentu serba rahasia, serba tak sungguh"
Bekel Saloka terdiam.
"Ki bekel"
Kata Nararya pula "gong pusaka masih belum dapat kita ketemukan.
Oleh karena mendapat pan dari pangeran Ardaraja, aku terpaksa harus ke Singasari, sekalian akupun dapat mencari jejak kakang Lembu Peteng.
Mudah-mudahan di Singasari aku memperoleh kesempatan untuk menyelidiki hubungan antara prajurit bhayangkara itu dengan pangeran Ardaraja"
Bekel Saloka mengangguk. Ia hendak bicara tetapi Nararya sudah melanjutkan pula "Ki bekel tentu masih berada di sini untuk melanjutkan penyelidikan gong pusaka i.tu, bukan ?"
"Ya"
Sahut bekel Saloka "selama gong pusaka itu masih belum kembali ke tangan, kami, aku tentu, akan tetap berusaha untuk mendapatkannya"
"Ya, baik"
Kata Nararya "memang tugas kita untuk mendapatkan kembali gong pusaka itu belum selesai.
Masalah itu tak semudah yang kuduga.
Karena sampai saat ini, jangankan tabu pas di mana gong pusaka itu berada, bahkan apakah gong itu masih berada di Daha atau dak, kita pun belum tahu pasti"
"Ki bekel"
Kata Nararya pula "dalam melakukan penyelidikan dan merebut kembali gong pusaka ini, kita harus ber ndak secara ba 2.
Karena yang kita hadapi bukanlah gerombolan penjahat atau fihak yang lemah, tetapi kita berhadapan dengan pasokan Daha, dengan beberapa nayaka dan pejabat pemerintahan Daha, Bahkan kemungkinan dengan pangeran Ardaraja dan beberapa senopa .
Mereka tentu digdaya dan sak , tambahan pula memiliki kekuatan anakbuah yang besar jumlahnya"
Berhen sejenak, Nararya menyelimpatkan pandang untuk menyelidik kesan pada wajah bekel Saloka.
"Keteranganku ini jauh dari maksud hendak melemahkan semangat ki bekel"
Katanya pula "bahkan justeru untuk memupuk kekuatan diri dengan rencana yang lebih teratur.
Kurasa, usaha untuk merebut kembali gong pusaka itu tentu akan memakan waktu panjang.
Oleh karena itu, ki bekel, heudaknya kita mempunyai rencana yang mantap, agar jangan sampai kita menderita kegagalan, Jemu, putus asa, nekad, merupakan sumber2 kegagalan.
Karena menghadapi kesulitan; besar, kita putus asa.
Karena harus berjuang terlalu lama tanpa suatu ketentuan, kita merasa jemu.
Dan karena didorong rasa geram, kita dapat melakukan perbuatan2 nekad misalnya membunuh mereka yang kita anggap menyimpan gong pusaka itu ataupun menyerbu fihak yang diduga tersangkut dalam pencurian pusaka itu.
Akibatnya kita tentu menemui kegagalan, ibarat anai2 menyerbu api"
Bekel Saloka tertegun mendengar uraian dari Nararya.
Diam2 ia merasa bahwa rencana2 yang telah terkandung dalam hati, ternyata banyak yang salah karena bersifat terburu nafsu.
Ia anggap pandangan raden, itu memang benar.
Ia harus mengadakan rencana menghadapi suatu perjuangan jangka panjang.
"Baik, raden"
Akhirnya bekel Saloka menyambut "akan kuperha kan dan kulaksanakan pesan raden itu.
Akan kusadarkan para anakbuahku akan keadaan yang kita hadapi ini.
Akan kupateri semangat mereka dengan suatu tekad.
Takkan kembali ke Lodoyo sebelum berhasil memboyong gong pusaka itu"
"Baik sekali, ki bekel"
Seru Nararya "Tekad adalah jiwa daripada se ap perjuangan.
Tanpa tekad, perjuangan itu bagai pancaran kilat yang secepat memancar, secepat itu pula padam.
Tetapi tekad tanpa pengarahan, juga berbahaya.
Dapat menjurus pada kenekadan yang membabi buta.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia akan mati tenggelam ibarat harimau lapar yang nekad menyerbu ikan dalam sungai"
Bekel Saloka mengangguk.
"Bagaimana rencana yang ki bekel hendak persiapkan, terserah kepada ki bekel untuk mengaturnya. Oleh karena aku harus ke Singasari, maka besok aku harus segera berangkat. Aku hanya ingin meni pkan kedua pengiringku itu, Noyo dan Doyo, agar untuk sementarawaktu biar tinggal di Lodoyo"
Bekel Saloka akan mengurus kedua pengiring Nararya, kemudian dia berkata juga "Tetapi raden, baiklah raden membawa pengiring, untuk kawan bicara dan penunjuk jalan"
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pendekar Cacad Karya Gu Long Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen