Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 6


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 6



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Oleh karena memang baru pertama kali itu turun gunung maka Nararya memang tak faham akan tempat2 yang akan ditujunya.

   Maka ia mengajak Pamot sebagai kawan lagi.

   Pamot, anakbuah dari Lembu Peteng, waktu kecil memang nggal di Singasari, kemudian dia masuk prajurit dan ikut pangeran Kanuruhan pindah ke Glagah Arum.

   Keduanya berkuda, kuda yang disediakan Lembu Peteng untuk Nararya dan ga orang anakbuah gunung Kelud ke ka Lembu Peteng bersama Nararya menyusul bekel Saloka ke Daha.

   Kuda yang dipakai Nararya berbulu pu h, tegar dan pesat larinya.

   Sedangkan kuda yang digunakan Pamot, seekor kuda dawuk yang tegar juga.

   Sekalipun begitu, karena harus menempuh perjalanan yang melintas hutan, menyebrang sungai, menjelajah kaki pegunungan, maka makan waktu beberapa hari juga.

   Agar dak menarik perha an orang Daha maka Nararya dan Pamot mengambil jalan di luar pura.

   Mereka tak mau masuk lagi kedalam pura Daha.

   Saat itu hari sudah rernbang petang, mereka harus menuruni sebuah bukit untuk mencapai sebuah gerumbul yang tampak meriggunduk sepemandang mata jauhnya di sebelah muka.

   Mereka duga gerumbul itu merupakan pohon2 yang menjadi wates- desa.

   Hampir tiba diujung kaki bukit, mereka melintas sebuah hutan kecil "Ah"

   Pamot mendesuh kejut ke ka melihat sesuatu "raden, sebatang pohon rubuh melintang ditengah jalan"

   "Kita periksa"

   Kata Nararya seraya turun dari kuda dan menghampiri batang pohon yang rebah melintang di jalan "Aneh"

   Gumamnya. Tetapi saat itu Pamot sedang menghampiri pangkal pohon "Raden"

   Serunya tegang "pangkal pohon ini seperti ditebang orang"

   "Benar"

   Sahut Nararya "hari ini dan beberapa hari yang lalu tak pernah mbul angin besar. Bagaimana pohon sebesar ini dapat tumbang merebah dijalan?"

   "Hm, mungkin penebangnya sedang mengajak kawan untuk mengangkut pohon ini ke tepi jalan"

   Kata Pamot seraya membungkuk untuk memeriksa pohon itu"

   "Mereka sudah datang"

   Kata Nararya, Pamot terkejut.

   Ia melirik dan dilihatnya Nararya berada tak jauh di sampingnya, juga sedang menghadap dan mengama batang pohon.

   Mengapa ba2 raden itu berkata demikian? Mengapa ia tak mendengar suara langkah kaki berderap-derap menghampiri.

   Ia mengangkat muka memandang ke depan lalu berpaling ke belakang "Mana raden ? Mengapa aku tak melihaj seorangpun juga?"

   "Tentu saja"

   Sahut Nararya "karena mereka memang menyembunyikan diri dibalik pohon dan digerumbul semak ditepi jalan"

   Pamot terkejut dan cepat berpaling kesamping jalan. Tiba2 dari balik gerumbul pohon, muncul beberapa sosok tubuh manusia "Engkau benar, anak muda, memang sudah lama kami menunggu kedatanganmu"

   Seru seorang lelaki berdada bidang, penuh ditumbuhi bulu rambut yang rimbun.

   Kepala besar, wajah sebundar bulan purnama, dihias sepasang mata yang sebesar buah jengkol, sederet gigi besar2 bagai pagar yang menopang jalur tanaman rambat yang lebat.

   Hanya kalau tanaman itu berwarna hijau tetapi yang ditopang pagar gigi orang itu benda berwarna hitam.

   Hitam karena benda itu tak lain adalah sepasang kumis tebal berujung runcing melengkung ke atas.

   Sepintas pandang seperti tanduk kerbau.

   Tiada habis kata-kata untuk melukiskan keadaan orang itu.

   Pada keseluruhannya dia memang seorang lelaki gagah perkasa, seorang lelaki jantan.

   Dengan punggung yang agak membungkuk karena gunduk daging keras yang membenjol pada bahunya, ia berjalan dengan gaya macan lapar.

   Pamot terkejut dan berpaling memandang Nararya, Nararya melontar senyum kepadanya "Di samping kanan jalan, pun juga ada"

   Pamot makin terbeliak. Segera ia berpaling ke kanan "Ah"

   A mendesuh ke ka melihat dari gerumbul pohon di tepi jalan sebelah kanan, muncul beberapa lelaki bertubuh tegap. Merekapun menghampiri ke tempat Nararya dan Pamot "Pamot"

   Isik Nararya bersiaplah menghadapi sesuatu. Kemungkinan mereka hendak membunuh kita"

   Pamot meraba pinggangnya. Pedngnya masih melekat pada sarung kulit yang terselip di pinggang celananya Baik, raden"- bisiknya.

   "Jika terjadi sesuatu, engkau harus meniru apa yang kulakukan"

   Bisik Nararya pula.

   "Ki bagus"

   Seru lelaki gagah perkasa tadi. Rupanya dia pemimpin gerombolan lelaki2 berpakaian serba hitam dan berikat kepala hitam "engkau dari mana dan hendak ke mana ?" ' "Aku dari Daha hendak ke Singasari, ki sanak"

   Sahut Nararya tenang2.

   "Menilik wajahmu, engkau tentu seorang, sinatrya putera orang berpangkat"

   "Salah, ki sanak"

   Nararya gelengkan kepala "aku seorang rakyat biasa. Aku hendak mencari seorang pamanku di Singasari"

   "O, baik sekali laku budimu, ki bagus. Bukankah sudah lama engkau tak bertemu dengan pamanmu itu ?"

   Walaupun tahu bahwa ada sesuatu yang terkandung dalam kata2 lelaki gagah perkasa itu, namun Nararya sengaja menurutkan kemana angin bertiup. Ia mengiakan.

   "Kami takkan menghalangi perjalanan ki bagus ke Singasari. Siiahkan ki bagus melanjutkan perjalanan agar tidak kemalaman di sini"

   Kata lelaki gagah perkasa itu.

   Pamot terkejut.

   Serentak cerahlah wajahnya.

   Ia berpaling maksudnya hendak mengajak Nararya segera naik keatas kuda dan melanjutkan perjalanan pula.

   Tetapi Nararya, walaupun wajahnya tenang, tidaklah secerah yang diduganya.

   "Terima kasih, ki sanak"

   Seru Nararya "tetapi tidaklah ki sanak menghendaki sesuatu dari kami?"

   Lelaki gagah perkasa itu tertawa "Ah, ternyata engkau seorang muda yang tahu peraturan. Tidak seper pengiringmu itu"

   Ia mengerling pandang ke arah Pamot. Dan Pamotpun segera mengerut dahi "Hm, kata-katamu hanya ulasan bibir belaka"

   Desuhnya dalam hati.

   "Katakanlah apa maksudmu"

   Seru Nararya.

   "Kami terlanjur menuntut kehidupan begini. Dan aku harus menanggung hidup belasan anakbuahku maka setiap orang yang lewat didaerah ini, harus memberi dana"

   Dugaan Nararya bahwa gerombolan itu tentu bangsa penyamun, ternyata benar. Kini ia makin jelas siapa yang dihadapinya itu "Ki sanak, kulihat ki sanak seorang yang gagah perkasa. Demikian pula dengan anak-buah ki sanak itu"

   "Terima kasih"

   Jawab lelaki itu.

   "Mengapa ki sanak tidak masuk saja menjadi prajurit di kerajaan tempat kelahiran ki sanak ...."

   "Singasari"

   Tukas orang itu.

   "O"

   Seru Nararya "apalagi kerajaan Singasari yang besar itu. Tentulah membutuhkan sekali tenaga2 seperti ki sanak sekalian ini. Kerajaan Singasari pasti akan menyambut pengabdian ki sanak sebagai prajurit pasukan kerajaan"

   "Benar, ki bagus"

   Seru orang itu "kami memang bekas prajurit Singasari"

   "O"

   Nararya berseru kejut "bekas prajurit? Mengapa ki sanak sekalian keluar dari pasukan kerajaan Singasari?"

   "Baginda Kertanagara seorang raja yang lemah"

   Seru lelaki itu. Nararya makin terkejut "Mengapa ki sanak berkata demikian ? Adakah baginda telah menjatuhkan pidana kepada ki sanak?"

   "Secara langsung, dak"

   Lelaki gagah perkasa itu gelengkan kepala "tetapi secara tak langsung, memang benar. Aku telah menjadi korban kelemahan baginda"

   "O"

   Desuh Nararya makin tertarik "bersediakah ki sanak menceritakan kepadaku tentang soal itu?"

   "Kerajaan Singasari .dibawah perintah baginda Kertanagara memang makin kuat. Tetapi semakin kuat, semakin besar pula jumlah mentri2 dan senopati yang hendak berebut pengaruh kekuasaan. Mereka berlomba-lomba untuk mengambil hati baginda sehingga baginda tenggelam dalam laut sanjung puji dan kenikmatan tuak2 beracun. Dalam perlombaan itu, mentri Aragani rupanya paling berhasil. Patih Raganata yang tua dan setya, dilorot menjadi adhyaksa di Tumapel dan Aragani diangkat sebagai pengganti. Demung Wirakreti dan mentri Wiraraja pun dilorot dan dipindah. Patih Aragani bertindak tak kepalang tanggung. Dia mengadakan pembersihan di kalangan nayaka dan prajurit yang menjadi pengikut bekas ketiga mentri itu"

   "Jika demikian, ki sanak sekalian ini tentulah prajurit yang termasuk pengikut salah seorang dari ke tiga mentri itu, bukan?"

   Tanya Nararya.

   "Tidak"

   Seru lelaki perkasa itu "aku bukan prajurit pengikut ke ga mentri itu tetapi prajurit dari patih Aragani"

   "O"

   Nararya berteriak terkejut "ki sanak prajurit2 bawahan patih Aragani"

   "Heran ?"

   Lelaki perkasa itu mencemoh "habis manis sepah dibuang. Demikian suasana dalam kerajaan Singasari dewasa ini"

   Tanpa disadari, perha an Nararya makin terhanyut dalam pembicaraan dengan lelaki bekas prajurit pa h Aragani itu "Bagaimanakah asal mula maka ki sanak dan anakbuah ki sanak itu keluar dari pasukan Singasari ?"

   "Rupanya engkau ingin tahu akan tingkah laku patih Aragani dan nasibku dengan kawan2 ini ?"

   "Apabila ki sanak tak keberatan"

   "Baiklah"

   Sahut orang itu "mudah-mudahan pengalamanku ini akan menjadi pengetahuan ki bagus tentang suasana kerajaan Singasari"

   Berhen sejenak, orang itu melanjutkan pula "Aku mendapat tugas untuk membersihkan prajurit2 dan pengikut2 dari ke ga mentri itu.

   Semua itu telah kukerjakan dengan berhasil.

   Kemudian aku diberi tugas terakhir.

   Tugas yang paling berat yang pernah kurasakan sepanjang perjalanan hidupku sebagai seorang lurah prajurit.

   Engkau tahu ki bagus, tugas apa yang dilimpahkan kepadaku itu ?"

   Nararya tersenyum sambil gelengkan kepala.

   "Cobalah engkau bayangkan dan terka, ki bagus"? "Ah, bagaimana aku mampu"

   Nararya menolak.

   Kepala gerombolan itu tertawa "Aku dapat memberi kesempatan yang indah kepadamu, ki bagus.

   Cobalah engkau terka.

   Apabila salah, engkau tak menderita kerugian apa2.

   Tetapi apabila tepat, engkau kubebaskan dari segala syarat yang akan kutuntut kepadamu"

   Cuaca makin gelap.

   Malampun mulai menebarkan kepekatan.

   Nararya merasa aneh atas tingkah ulah dan ucapan kepala gerombolan itu.

   Dari kata2 yang terakhir, jelas gerombolan itu tentu akan menuntut sesuatu kepadanya.

   Entah benda entah apa.

   Mungkin nyawa juga.

   Ia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi mereka.

   Tetapi sebagaimana pendirian hidupnya, sesuatu persoalan sedapat mungkin dalam kemungkinan yang paling mungkin, akan diselesaikan dengan cara yang damai dan adil.

   Berpijak pada landasan itu maka apa salahnya kalau ia menuruti permintaan kepala gerombolan itu.

   Mungkin dalam pembicaraan selanjutnya, ia dapat memberi kesan yang baik kepada kepala gerombolan itu hingga hal2 yang tak diharapkan dapat terhindar.

   "Baiklah, ki sanak"

   Setelah merenung dan menimang beberapa jenak, akhirnya ia menerima "akan kucoba menerka, walaupun kemungkinan terkaan itu benar, hanya setipis kulit bawang"

   Kepala gerombolan itu tertawa"Rupanya engkau pandai merangkai kata2 kiasan, ki bagus. Silahkanlah"

   "Ki sanak tentu ditugaskan untuk mengambil jiwa seorang yang menjadi musuh atau duri dalam daging patih Aragani"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seru Nararya.

   "Ada harapan"

   Seru kepala gerombolan itu "memang aku ditugaskan untuk membunuh seseorang.

   Jika hanya ditugaskan untuk membunuh, memang suatu tugas yang biasa dan telah banyak kulakukan untuk ki pa h.

   Tetapi siapakah gerangan yang harus kubunuh itu? Nah, disitulah letak kunci dari jawaban yang kuperlukan"

   "Salah seorang dari ke ga mentri itu"

   Serentak Nararya berseru karena merasa hampir menemukan kunci jawaban itu.

   "Sebutkan namanya yang pasti. Tidak boleh hanya salah seorang dari ketiga mentri"

   Nararya pejamkan mata.

   Merenung dan mereka-reka.

   Diam2 ia gembira karena tanpa disadari, kepala gerombolan itu telah membuka jalan sendiri.

   Jawaban, salah seorang dari ketiga mentri yang telah dilorot kedudukannya itu, diam2 diakui kebenarannya oleh kepala gerombolan itu.

   Kini tinggal menentukan namanya.

   Ia harus menyebutkan namanya.

   Namun pengetahuan tentang keadaan mentri2 kerajaan Singasari sangat sedikit sekali.

   Ia berpaling kearah Pamot.

   Ia ingat Pamot bekas prajurit dari Singasari yang ikut pindah ke Glagah Arum.

   Tetapi secepat itu pula ia mengisar muka memandang ke depan lagi.

   Ia malu untuk mencari bantuan karena kepala gerombolan itu hanya memintanya yang menerka, bukan Pamot.

   "O, boleh"

   Kepala gerombolan itu tertawa seraya mengangguk-angguk "boleh ki bagus berunding dengan kawanmu itu"

   Nararya agak jengah tetapi Pamot tak menghiraukan suatu apa.

   Ia mendeka Nararya dan berbisik "Diantara ke ga mentri itu, adalah pa h Raganata yang amat besar pengaruhnya.

   Seorang wredda mentri yang jujur dan bersih sehingga paling ditakuti oleh mentri2 durna"

   Nararya mengangguk.. Memang ia juga cenderung akan kesimpulan itu.

   "Bagaimana ki bagus? Apakah sudah menemukan jawaban?"

   Ba2 kepala gerombolan itu berseru.

   "Ya"

   Sahut Nararya agak terperangsang oleh rasa geram melihat sikap orang yang sedemikian congkak "mentri yang ki sanak diperintahkan itu membunuh itu adalah gusti patih Raganata"

   "Ha, ha, ha"

   Kepala gerombolan itu tertawa kencang2 sehingga Nararya dan Pamot terlongong dalam kebingungan. Benar atau salahkah terkaannya, itu? "Terkaanmu itu salah"

   Ba2 kepala gerombolan berseru gembira "dan hilanglah kesempatan yang kuberikan kepadamu, ki bagus"

   Nararya dan Pamot terkejut. Ia tak cemas karena kehilangan kesempatan itu tetapi Nararya benar2 ingin mengetahui siapakah yang hendak dibunuh bekas lurah prajurit itu.

   "Baiklah, ki sanak"

   Kata Nararya "kalau memang tak benar, akupun menyerah kalah. Tetapi bolehkah aku mengetahui, siapa dan bagaimanakah jawaban yang benar itu ?"

   "Jawaban yang benar"

   Kata kepala gerombolan itu "baginda Kertanagara sendiri ..."

   "Hai!"

   Nararya melonjak, kejutnya seper disambar pe r "engkau di tahkan untuk membunuh baginda Kertanagara?"

   "Ya"

   "Yang memerintahkan tumenggung Aragani yang sekarang menjadi pa h Singasari itu?"

   Nararya menegas tegang.

   "Ya"

   Merah membara wajah Nararya seke ka namun secepat itu pula segera berangsur-angsur reda, bagai air laut yang pasang kemudian menyurut pula.

   Nararya sangat terkejut dan marah atas ndakan pa h Aragani.

   Betapapun keadaan ayahnya, namun ia merasa bahwa keluarganya itu masih keturunan dari rajakula Singasari dan walaupun hanya pudar tetapi daklah sampai lenyap harapan dari keturunan Mahesa Gampaka atau batara Narasingamur akan tahta kerajaan Singasari.

   Walaupun andaikata baginda Kertanagara benar2 terbunuh, Nararya mempunyai peluang besar untuk menduduki tahta, namun dia bukan manusia yang temaha akan sesuatu yang bukan haknya.

   Atau pun senang melihat seseorang menderita kemalangan.

   Ia akan menyerahkan segala sesuatu jalan kearah tahta kerajaan itu kepada kekuasaan Hyang Jagadnata.

   Dibalik itu pada pokoknya, ia benci kepada manusia yang berhia-nat.

   Ia lebih menghargai seorang musuh yang terang-terangan menyatakan sikapnya daripada seorang kawan yang culas.

   Disaat gempa amarah itu meletus dalam rongga dadanya, ba2 ia teringat akan pesan ramanya dan guru yang dihorma nya, resi Sinamaya "Nararya, betapa besar amarahmupun, tetapi janganlah engkau menyerahkan dirimu secara bulat2 kepada nafsu amarah itu.

   Manusia yang benar2 sak dan kuat, bukanlah mereka yang dapat membunuh lawan-lawannya di medan pertempuran tetapi adalah mereka yang dapat mengalahkan nafsu2, terutama amarah, dalam diri peribadinya"

   "Ah"

   Diam2 ia menghela napas legah karena merasa telah terhindar dari suatu kelemahan.

   Kemudian iapun teringat akan kata-kata yang pernah di-ucapkan oleh Lembu Peteng "Raden, dalam usaha kita mencari gong Prada itu, kemungkinan kita akan menjelajah Daha dari Singasari, akan bertemu dengan segala lapisanmanusia, dari rakyat biasa sampai pada narapraja yang berpangkat nggi.

   Hendaknya, janganlah kita mudah terperosok akan kata-kata orang ataupun lekas mempercayai keterangan dari orang yang belum kita kenal"

   "Dewata, maha adil"

   Ba2 Pamot berseru. Kepala gerombolan itu terkejut dan memandang Pamot "Apa maksudmu?"

   Serunya.

   "Baginda telah ber ndak kejam terhadap saudaranya, pangeran Kanuruhan di Glagah Arum, sehingga pangeran Kanuruhan binasa. Tidakkah adil kalau baginda akhirnya juga dihiana oleh patihnya sendiri ?"

   "Salah"

   Seru kepala gerombolan.

   "Salah? Mengapa salah?"

   Tanya Pamot.

   "Jika benar2 baginda dihiana pa h Aragani., mungkin omonganmu itu benar. Tetapi pa h Aragani hanya mengatur siasat belaka"

   Pamot terkejut. Nararyapun heran "Mengapa ki sanak berkata demikian?"

   Tanya Nararya.

   "Karena pembunuhan itu gagal"

   Kata kepala gerombolan.

   "Hm, memang tak mudah untuk membunuh seorang raja seper baginda Kertanagara". kata Nararya "tetapi bagaimanakah kelanjutan dari perintah itu, ki sanak"

   "Pa h Aragani telah menjanjikan pangkat dan kedudukan nggi kepadaku apabila aku dapat melaksanakan perintah itu dengan berhasil. Tetapi dia minta agar kesemuanya itu atas tanggung jawabku sendiri, jangan sekali-kali menyangkut diri patih itu"

   "Apakah ki sanak menerimanya?"

   Tanya Nararya.

   "Tiada lain pilihan bagiku"

   Kata kepala gerombolan "karena sebagai penutup, pa h Aragani menegaskan kepadaku, bahwa bila aku menolak dan kelak sampai menyangkut namanya, aku akan dibunuh ki patih, demikian pula seluruh keluargaku"

   "Lalu?"

   "Sudah tentu aku terpaksa menerima. Pada malam itu akupun sudah bersiap-siap.. Menjelang tengah malam, aku akan masuk ke dalam istana.Tetapi entah, mungkin karena dewa hendak menghukum perbuatanku, tiba2 saja perutku sakit. Sakit sekali dan berulang-kali harus buang air besar sehingga tenagaku lemas"

   "Aku bingung dan gelisah. Bagaimana dalam keadaan seperti malam itu, aku dapat menunaikan perintah ki patih? Namun perintah patih Aragani, malam itu pembunuhan harus dilaksanakan karena ia hendak mengatur sedemikian rupa sehingga baginda berada dalam ruang peraduannya seorang diri, menikmati tuak. Hanya saat itulah merupakan suatu kesempatan yang takkan didapatkan lagi"

   "Adakah ki sanak tetap melaksanakan perintah itu ?"

   Tanya Nararya.

   "Tidak"

   Jawab kepala gerombolan "dalam keadaan tubuh seper malam itu, tak mungkin aku dapat berhasil membunuh baginda.

   Namun jika tak kulaksanakan, pa h Aragani tentu akan marah.

   Akhirnya aku mendapat akal.

   Kupanggil seorang anakbuahku, Salya namanya, untuk menggan kan tugasku.

   Kuberinya kelengkapan pakaian dan kain kerudung muka hitam, sebilah pedang dan janji akan memberinya sejumlah besar hadiah dan pangkat; Juga seper pa h Aragani, kupesannya, apabila terjadi sesuatu, supaya jangan menyangkut diriku dan harus diakuinya sendiri"

   "Adakah Salya menerima?"

   Tanya Nararya.

   "Ya"

   Jawab kepala gerombolan "pertama, karena takut kepadaku.

   Kedua karena dia milik akan hadiah dan pangkat yang kujanjikan.

   Dia mempunyai perawakan seper aku maka dengari mengenakan kain kerudung muka warna hitam, sukar orang membedakan lagi dengan diriku"

   "Setelah dia pergi, aku segera memerintahkan seorang anakbuahnya yang lain untuk mengiku secara diam-diam. Apabila Salya terancam bahaya, supaya anakbuah itu bantu melindungi keselamatannya. Aku menunggu dengan berdebar-debar. Tepat lewat tengah malam, ba- ba anakbuahku itu bergegas pulang dengan napas tersengal-sengal dan wajah pucat lesi. Atas pertanyaanku dia menerangkan bahwa Salya telah dibunuh oleh pa h Aragani. Hampir aku tak dapat mempercayai keterangannya dan mencekik lehernya. Kukira dia hendak memfitnah tetapi dengan bersumpah ia hendak mengajak aku untuk membuktikan hal itu ke istana ...."

   Nararya terbelalak.

   Iapun serupa keadaannya dengan kepala gerombolan pada saat menerima laporan dari anakbuahnya.

   Tak percaya! "Melihat kesungguhan sikap dan wajah orang itu, akhirnya aku percaya.

   Sekalipun begitu, kupanggil seorang anakbuahku yang lain untuk bersama ariakbu-ahku yang membawa laporan itu, membuk kan kebenarannya ke istana.

   Dan memang benar.

   Salya telah ma di kam keris pa h Aragani.

   Bermula aku bingung memikirkan ndakan pa h itu.

   Tetapi kemudian seiring dengan berkurangnya rasa sakit pada perutku, pikiran-kupun jernih.

   Dengan gamblang aku dapat menilai bahwa ndakan pa h Aragani itu - hanya suatu siasat yang cerdik untuk meraih kedudukan dan kepercayaan baginda.

   Dan untuk kepen ngan itu pa h Aragani hendak mengorbankan diriku"

   Kata kepala gerombolan itu.

   "Sekali dayung dua tepian"

   Seru Pamot yang terbawa perhatiannya dalam arus peristiwa itu.

   "Hm, engkau pintar juga. Sayang terkaanmu tadi meleset"

   Kata kepala gerombolan menertawakannya "ya, memang benar.

   Pa h Aragani memang memiliki rencana untuk membunuh aku karena akulah orang satu-satunya yang menjadi alatnya untuk menyingkirkan beberapa nayaka kerajaan yang menentang pa h Aragani.

   Aragani hendak melenyapkan aku agar rahasia perbuatannya itu tertutup.

   Tetapi dalam rencana hendak membunuh aku itu, dia takkan membunuh begitu saja.

   Dia hendak menjadikan mayatku sebagai tumbal dari tangga kedudukan yang hendak dibangunnya.

   Dia hendak menjadikan darahku sebagai rabuk penyubur kepercayaan baginda kepada dirinya"

   Nararya mengangguk-angguk.

   Diam2 ia bersyikur karena tadi ia tak lekas meluapkan kemarahan sesaat mendengar tentang rencana pa h Aragani hendak membunuh baginda Kertanagara.

   Kiranya dalam peris wa itu memang mengandung suatu siasat yang sukar diduga.

   Dengan demikian rencana itu bukan sesungguhnya hendak membunuh baginda melainkan hendak membunuh si pembunuh.

   "Lalu bagaimana langkah ki sanak setelah mengetahui hal itu?"

   Tanya Nararya.

   "Esok tentu segera ketahuan siapa pembunuh yang ditikam mati patih Aragani itu. Apabila patih mengetahui bahwa yang dibunuh itu bukan aku, dia tentu terkejut dan bingung. Dia tentu akan mengirim orang untuk membunuhku. Oleh karena itu, aku harus mendahului langkahnya. Malam itu juga aku segera meloloskan diri dari Singasari. Beberapa anakbuahku yang setya, mengikuti jejakku. Demikianlah asal mula mengapa aku menuntut kehidupan di daerah hutan ini"

   Lelaki perkasa itu menutup ceritanya dengan sebuah gelak tawa "Aku telah menentukan suatu peraturan.

   Barangsiapa yang lewat ditempat ini harus menyerahkan salah satu miliknya.

   Jiwa atau hartanya.

   Dan karena engkaupun gagal untuk memanfaatkan kesempatan yang kuberikan tadi, maka kalian berduapun harus mentaati peraturan itu"

   Nararya terkejut "Apa yang ki sanak kehendaki dari kami berdua ?"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tinggalkan semua harta milikmu atau nyawamu"

   "Semua?"

   Ulang Pamot.

   "Ya. Kuda, uang dan pakaian kalian berdua"

   "Ah, jangan bergurau engkau! Masakan kami harus melanjutkan perjalanan dengan telanjang?"

   Seru Pamot.

   "Tidak telanjang bulat, engkau masih diperbolehkan mengenakan celanamu"

   Jawab kepala gerombolan itu.

   Merah wajah Nararya.

   Sebelumnya ia sudah menduga bahwa ia akan menghadapi kesulitan dengan gerombolan itu.

   Tetapi tak pernah diduganya bahwa tuntutan mereka sedemikian tak layak.

   Ia hendak menjawab tetapi Pamot sudah mendahului.

   "Ki sanak"

   Serunya "aku setuju menerima peraturanmu itu. Kuda, pakaian dan lain2 yang ada pada diriku, kuserahkan semua"

   "Bagus"

   Seru kepala gerombolan "ternyata engkau seorang yang cerdik dan pandai melihat gelagat. Silahkan engkau menyerahkannya sekarang"

   "Tunggu"

   Seru Pamot "tetapi hanya sebuah benda yang tetap setya mau ikut aku"

   "O"

   Seru kepala gerombolan "apakah itu? nyawamu ?"

   "Bukan. Pengawal nyawaku"

   Kepala gerombalan mengerut dahi "Jangan bergurau, lekas katakan apakah benda itu!"

   Pamot tertawa "Inilah"

   Ia menunjuk pada sarung pedang yang terselip di pinggangnya "dia tak mau ikut engkau !"

   Seke ka merah padamlah wajah kepala gerombolan itu. Ia tahu kemana arah tujuan kata2 Pamot "Setan, engkau berani mengolok aku!"

   Hardiknya bengis lalu loncat menerkam Pamot.

   ' Pamot juga seorang bekas prajurit yang menjadi anakbuah Lembu Peteng.

   Diapun ikut Lembu Peteng.

   menuntut penghidupan sebagai gerombolan di gunung Kelud.

   Ia yang biasa menghardik dan mengancam orang, pantang dihardik gerombolan lain.

   Dalam melancarkan kata2 tadi, ia sudah waspada memperha kan se ap gerak gerik orang.

   Maka pada saat kepala gerombolan itu loncat menerkam, iapun sudah menyerempaki dengan gerakan menghindar ke samping.

   Dan sesaat kepala gerombolan itu menerkam tempat kosong, Pamot dengan kecepatan yang nggi, segera menghantam lambung orang.

   Dukkk.....

   Kepala gerombolan itu mengaduh dan terseok-seok langkah.

   Tubuhnya yang nggi besar hampir rubuh ke-arah Nararya.

   "Ah, ki sanak terlalu diburu nafsu"

   Seru Nararya seraya songsongkan telapak tangan kirinya untuk menyanggah tubuh orang itu sehingga tak sampai jatuh.

   Sesaat kepala gerombolan itu berdiri sambil mengerut geraham, menahan rasa sakit pada lambungnya.

   Dia memang seorang yang gagah perkasa, memiliki daya tahan yang kuat.

   Apabila lain orang, tentulah sudah tak kuat berdiri menerima pukulan keras dari Pamot itu.

   Ia terkejut.

   Bukan karena kerasnya pukulan dari Pamot melainkan atas sikap Nararya.

   Setelah menyanggah dan mendorong tubuhnya supaya tegak, Nararya-pun melepaskan tangannya pula.

   Dan tersenyum tenang.

   "Aneh, mengapa pemuda ini tak mau meringkus diriku, pada hal sudah jelas mudah sekali ia melakukan hal itu jika menghendakinya"

   Diam2 kepala gerombolan itu heran.

   Rasa heran itupun menghinggapi benak Pamot juga.

   Mengapa Nararya tak mau menangkap kepala gerombolan yang sudah kehilangan keseimbangan badannya? Mengapa raden itu melepaskannya lagi? Kepala gerombolan itu memandang lekat2 pada Nararya dengan pandang penuh pertanyaan dan keheranan.

   Namun berkatalah Nararya "Ki sanak, silahkan engkau melanjutkan adu kanuragan dengan kawanku"

   "Mengapa engkau tak menangkap aku ?"

   Akhirnya terluncur juga kata2 dari mulut kepala gerombolan itu.

   "Mencelakai orang yang sedang menderita kecelakaan, suatu perbuatan yang licik. Jika engkau menghendaki, aku bersedia menunjukkan bagaimana tanpa cara yang licik aku dapat menguasai dirimu"

   Seru Nararya.

   Tenang dan tegas.

   Kepala gerombolan terkesiap kemudian merah mukanya, ia benar2 merasa terhina.

   Namun iapun menyadari bahwa pemuda itu memang bersikap ksatrya.

   Hampir ia bersedia untuk menelan hinaan itu atau beberapa anakbuahnya terdengar berteriak-teriak marah "Bunuh!"

   Dan merekapun telah menyerbu Pamot. Pamotpun melawan dan kekacauan itu mengacau pula pikiran kepala gerombolan. Ia harus menyelesaikan tugasnya, menangkap atau membunuh Nararya "Baik, mari, lawanlah aku"

   Serunya seraya menghantam.

   Nararya terkejut karena Pamot telah diserbu oleh lima enam orang.

   Masih ada beberapa anakbuah gerombolan yang mengepung di sekeliling.

   Rupanya mereka takkan memberi kesempatan Pamot lolos.

   Ke ka ia hendak membantu Pamot, kepala gerombolan itupun sudah menyerangnya.

   Sejak berhadapan dengan Suramenggala dan bertempur dengan gerombolan Singa Barong, Nararya sudah memiliki pengalaman dalam pertarungan.

   Memang ia telah mendapat ajaran ilmu kanuragan dari gurunya namun sebelum dilaksanakan dalam pertempuran yang sungguh, tentulah ia masih kurang pengalaman.

   Dan kekurangan pengalaman itu akan menimbulkan kecanggungan dan keraguan dalam menghadapi musuh.

   Kini Nararya sudah memiliki kemantapan dalam gerak2 ilmu kanuragan yang dimilikinya.

   Ia terkejut karena kepala gerombolan itu menyerang secara ba2.

   Sebelum ia sempat menghindar, pukulanpun sudah melayang ba.

   Nararya terpaksa menangkis, krak ...

   ke ka beradu dengan tangan orang, tangannya tersiak, rasanya sakit dan linu.

   Cepat ia menyurut mundur karena kua r lawan akan menyerang dadanya yang terbuka.

   Tetapi ternyata kepala gerombolan itu tertegun dan terlongong.

   Dari kerut wajahnya, menunjukkan kesan bahwa dia terkejut.

   Ke ka tangannya beradu dengan tangan Nararya, terasa suatu aliran macam rasa-kesemutan, mengalir menjalari lengan sampai ke bahu.

   Kerasnya aliran rasa kesemutan itu menyebabkan lengannya lunglai melentuk kebawah.

   Sejenak Nararyapun heran mengapa kepala gerombolan itu tertegun diam.

   Namun ia menyadari bahwa kepala gerombolan itu merupakan kunci yang pen ng untuk menyelesaikan pertempuran.

   Agar dak berlarut-larut dan dak banyak darah tertumpah.

   Nararyapun cepat loncat, menebas bahu dan tangan kiri cepat menyambar pergelangan tangan orang, lalu diputar ke belakang sekuat- kuatnya.

   Loncat, menebas, mencengkeram dan memutar tangan orang kebelakang itu, dilakukan Nararya dengan cepat sekali sehingga walaupun kepala gerombolan itu segera menyadari apa yang akan terjadi, namun sudah terlambat.

   Ia meraung kesakitan ke ka lengan kanannya yang kesemutan tadi terteliku kebalik punggung dan dijulangkan naik keatas hingga sampai ke bahu.

   Penguasaan yang dilakukan Nararya itu sangat menyakitkan sekali.

   Tidak mengakibatkan luka tetapi kepala gerombolan itu rasakan lengannya seper patah.

   Sakitnya sampai menggigit ke uluha .

   Dia seorang lelaki perkasa, memiliki daya tahan pukulan besar sehingga pukulan Pamot tak mampu merobohkannya.

   Tetapi ke ka lengannya diteliku kebelakang punggung, ia benar2 lupa akan kejantanannya.

   Ia meraung keras, pejamkan mata dan mengucurkan keringat.

   Duk "Keparat ...."

   Ba2 ia rasakan tubuhnya dikisarkan kesamping, sebelum ia sempat membuka mata apa yang dilakukan Nararya kepada dirinya, sebuah nju yang keras telah menghunjam dadanya.

   Seke ka pandang matanya pudar dan kepala berbinar-binar karena pukulan itu telah menimbulkan tekanan kuat sehingga pernapasannya serasa berhen .

   Selekas denyut2 kesakitan itu berhamburan lenyap, ia merentang mata dan dengan menghimpun seluruh sisa tenaganya ia berontak sekuat-kuatnya seraya menendang.

   Pandang matanya masih belum terang.

   Ia mengira yang memukul dadanya itu tentulah Pamot, kawan Nararya.

   Maka iapun nekad dan berhasil.

   Orang yang memukulnya dan yang masih tegak termangu-mangu di hadapannya itu segera menjerit dan terlempar ke belakang.

   Tetapi ia masih tak berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Nararya.

   Tangannya masih dilekatkan pada punggungnya.

   Lehernya terasa dingin.

   "Jika engkau bergerak lagi, lehermu tentu putus"

   Terdengar serangkaian bisik2, pelahan tetapi cukup jelas.

   Lengan yang melekat ke punggung, agak menurun ke bawah sehingga mengurangi rasa sakit dan saat itu-pun pandang matanya mulai terang.

   Tetapi hal itu bahkan menimbulkan siksa pada ha nya.

   Pandangan pertama yang menyengat matanya yalah tertelentangnya seorang anakbuahnya yang merin h-rin h kesakitan "O"

   Kepala gerombolan itu mendesis sesaat menyadari bahwa yang ditendang tadi bukanlah Pamot tetapi anakbuahnya sendiri. Dan kejut kedua yalah waktu mendengar bisik2 ngeri dari Nararya itu "Ah"

   Ia mengeluh dalam ha ke ka menyadari bahwa benda dingin yang terasa menyentuh lehernya itu tak lain adalah pedang.

   Dan pedang itu tentulah pedangnya.

   Ia tak asing akan pedangnya, pedang peninggalan ayahnya yang entah terbuat dari bahan apa tetapi yang nyata, pedang itu terasa amat dingin apabila melekat pada daging.

   Dan dugaannya itu makin kuat ke ka ia teringat bahwa Nararya tadi tak tampak membekal pedang.

   "Ki sanak"

   Kembali terdengar Nararya berbisik dibelakang telinga kepala gerombolan itu "harap perintahkan kawan-kawanmu berhenti"

   Kepala gerombolan itu marah sekali karena dirinya diperlakukan sebagai seorang tawanan.

   Seketika itu bangkitlah rasa keangkuhannya.

   Ia harus menebus sifat kelemahannya tadi.

   Ia tak mau kehilangan gengsi terhadap anakbuahnya.

   Jika harus mati, biarlah ia mati "Tidak"

   Serunya getas. Nararya dapat menduga isi ha kepala gerombolan itu. Ia tak mau memaksa. Ia hendak mengambil cara sendiri.

   "Hai, berhen "

   Ba2 Nararya berteriak nyaring. Sedemikian nyaring sehingga kepala gerombolan itu sampai menyeringai karena anak telinganya serasa pecah. Sedangkan anakbuah gerombolan itupun terkejut lalu serempak berhenti menyerang Pamot.

   "Kamu setya kepada pemimpinmu atau dak?"

   Seru Nararya pula "jika kamu memang setya, pemimpinmu ini tentu masih dapat melihat surya esok hari. Tetapi jika kamu memang benci dan merelakan-jiwa-nya, saat ini juga segera akan kupenggal lehernya"

   Beberapa belas anakbuah gerombolan itu terbeliak ke ka melihat leher pemimpin mereka mengucurkan darah "Berhenti"

   Teriak salah seorang dari mereka.

   "Mengapa?"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tegur Nararya "bukankah kalian merelakan aku untuk memenggal lehernya ?"

   "Berhen !"

   Anakbuah itu mengulang teriakannya "kami belum menyatakan apa2 mengapa engkau sudah bertindak sendiri?"

   "O, kukira kalian meluluskan"

   Anakbuah itu menggeram "Katakan, apa kehendakmu ?" ...

   "Tiada yang kukehendaki apa2 dari kalian kecuali hanya mempersilahkan kalian pulang. Jangan mengganggu aku lagi"

   Jawab Nararya. Melihat kepala gerombolan mandi darah, anakbuah itupun segera menurut "Baik, lepaskan pemimpin kami dan kami akan segera pulang"katanya Nararya tertawa "Silahkan kalian berjalan dulu. Setelah kalian ba di ujung kungan sana itu"

   Ia menunjuk kearah tanjakan tanah yang selepas anak panah jauhnya "segera pemimpinmu ini kulepaskan"

   Anakbuah itu tertegun dan berpaling kearah kawan-kawannya. Terdengar mereka berbisik- bisik. Kemudian anakbuah itu berpaling pula "Baik. Tetapi ingat, jika engkau membunuh atau seringan-ringannya melukai kilurah, kami akan mengejarmu ke Singasari"

   Nararya memberikan janjinya dan bergeraklah gerombolan itu menuju kearah bukit.

   Dalam pada itu Nararya segera menyuruh Pamot untuk mengikat kaki dan tangan kepala gerombolan itu.

   Kemudian ia mengajak Pamot mengendarai kuda dan melarikannya, meninggalkan kepala gerombolan yang menghambur hamun makian.

   "Raden, siapakah kiranya gerombolan penyamun itu ? Jika me&ilik pakaian dan orangnya, rasanya mereka seperti bukan orang desa"

   Kata Pamot di tengah perjalanan.

   "Benar"

   Sahut Nararya "mereka lebih dekat menyerupai prajurit2 pura. Entah Daha entah Singasari"

   "Jika menurut keterangan kepala gerombolan itu, mereka memang bekas prajurit2 kerajaan Singasari"

   Kata Pamot pula "benarkah keterangan mereka itu?"

   "Kemungkinan begitu"

   Sahut Nararya "tetapi janganlah kita mudah mempercayai keterangan mereka"

   Masih Pamot berkata "Jika demikian, hanya ada kemungkinan dibalik ndakan mereka mencegat kita ini, raden"

   "Coba katakan"

   "Kemungkinan pertama, mereka memang benar seper yang diceritakan oleh kepala gerombolan itu. Dan kemungkinan kedua, mereka tentu diperintah oleh seseorang untuk melakukan pencegatan kepada kita"

   "Siapa ?"

   Tanya Nararya.

   "Soal itu hanya raden yang tahu. Bagaimanakah suasana waktu raden menghadap pangeran Ardaraja di keraton. Mungkin raden dapat membayangkan sesuatu yang bertalian dengan peris wa gerombolan yang mencegat kita itu"

   "Hm"

   Nararya hanya mendesuh.

   Memang ada sepercik bayang2 ingatannya akan sesuatu yang dialaminya di istana.

   Peris wa ke ka ia berada di ruang keputren tempat kediaman puteri Nrang Keswari.

   Saat itu ia harus mengalami peristiwa yang tak sedap dari Kuda Natpada "Hah, adakah peris wa puteri memberi aku ikat pinggang sutera dewangga itu diketahui juga oleh raden Natpada?"

   Serentak ia terbeliak ke ka teringat akan hal itu. Tetapi ia merasa bahwa saat itu tiada yang mengetahui kecuali Suramenggala.

   "Adakah Suramenggala memberitahu hal itu kepada Kuda Natpada ?"

   Ia bertanya dalam hati "ah, mungkin. Rupanya Suramenggala masih mendendam kepadaku dan kesempatan itu tentu digunakannya untuk mencari muka kepada Kuda Natpada"

   Akhirnya ia memberi jawaban sendiri. Dan serentak iapun teranjak kejut "Adakah Kuda Natpada yang memerintahkan gerombolan itu untuk membunuh aku?"

   Walaupun mempunyai dugaan tetapi mau tak mau ia memberitahukan kepada Pamot.

   Dugaan itu baru merupakan bayang2 kesan dan kesimpulan.

   Mungkin benar, mungkin salah.

   Dan peris wa itu menyangkut diri peribadinya.

   Kurang perlu memberitahu sekarang.

   Pada hari kedua, pura Singasari dengan bangunan2 yang indah, pintu gapura yang kokoh dan puncak mercu istana yang megah, mulai tampak dari.

   kejauhan.

   Nararya dan Pamot mencongklangkan kuda menuju ke pintu gapura.

   Rencana Nararya lebih dulu ia hendak mencari prajurit bhayangkara yangbernama Kaiingga.

   Setelah masuk ke dalam pura maka Pamotpun berkata "Agar dak menimbulkan perha an orang, baiklah kita titipkan dulu kuda kita kepada seorang kenalanku"

   Nararya setuju.

   Dirumah kenalan Pamot, mereka diterima dengan manis budi oleh tuan rumah.

   Seorang pandai besi bernama Gadu.

   Pertemuan Pamot dengan kenalannya itu amat menggembirakan.

   Mereka berkawan sejak kecil, sampai kemudian Pamot masuk prajurit dan Gadu menjadi pandai besi, mereka masih sering berkunjung.

   Demikian setelah meni pkan kuda di rumah pandai besi Gadu, Nararya dan Pamot Segera menuju ke keraton.

   Rupanya Pamot tahu akan tempat2 yang diperlukan.

   Ia mengajak Nararya menuju kesebuah bangunan yang disebut Balai Prajurit.

   Memang disitulah seluruh kegiatan prajurit2 dipusatkan.

   "Ki lurah"

   Kata Pamot setelah berhadapan dengan seorang prajurit yang saat itu kebetulan baru keluar dari bangunan itu "apakah ki Kalingga berada dalam balai itu?"

   Sejenak prajurit itu tertegun, mengamati Pamot "O, ada"

   Katanya.

   "Kami hendak bertemu dengan ki Kalingga. Sungguh amat berterima kasih sekali apabila ki lurah mau menolong kami untuk mengundang ki Kalingga keluar"

   Kata Pamot.

   Rupanya prajurit itu hendak bergegas pulang.

   Namun ia kenal dengan orang yang hendak dicari Pamot itu.

   Tanpa mengucap sepatah kata, ia terus berputar tubuh dan melangkah masuk kedalam balai.

   Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki mengenakan pakaian prajurit bhayangkara bersama dengan prajurit yang tadi.

   Setelah mempertemukan prajurit bhayangkara itu dengan Pamot, prajurit yang pertama tadipun terus pergi.

   "Apakah tuan ini ki Kalingga?"

   Nararya menghampiri dan memberi salam.

   "Lingga?"

   Prajurit itu menegas.

   "Ya, benar"

   Sahut Nararya "adakah tuan ki Lingga?"

   Prajurit itu mengangguk lalu menanyakan keperluan Nararya.

   "Aku mendapat pan surat dari pangeran Ardaraja untuk tuan"

   Kata Nararya seraya mengambil sepucuk surat.

   "Pangeran Ardarajadari Daha itu ?"

   Prajurit yang mengakui dirinya bernama Lingga itu menegas.

   "Ya"

   Nararya menyerahkan surat itu.

   "Surat apakah ini ?"

   Lingga menyambuti seraya mengerut keheranan.

   "Entahlah. Pangeran Ardaraja hanya menitahkan supaya diterimakan kepada tuan dan tuan tentu sudah tahu sendiri"

   Habis berkata Nararya segera pamit.

   Ia segera mengajak Pamot nggalkan tempat itu tanpa menghiraukan lagi bekel bhayangkara yang masih tegak terlongong- longong.

   Tak berapa lama muncul pula seorang prajurit bhayangkara "Hai, kakang Lingga, mengapa engkau tegak mematung disitu ?"

   Serunya seraya menghampiri. Lingga gelagapan. Ia hendak menyimpan surat itu ke dalam baju tetapi kawannya telah melihat surat itu "Hai, kakang Lingga, apakah yang engkau masukkan ke dalam bajumu itu ?"

   "Ah, tidak apa-apa"

   Kata Lingga.

   "Tidak, kakang"

   Seru prajurit itu "jelas sebuah surat, mengapa engkau menyembunyikan kepadaku? Rahasia?"

   Lingga berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan tertawa "Ah, sudah kukatakan bukan sesuatu yang penting. Mengapa engkau masih mendesak saja"

   "Tidak, kakang Lingga"

   Prajurit itu tetap bersitegang "engkau keluar, engkau tegak seperti terpaku dan engkau menyembunyikan sepucuk surat. Tak mungkin kalau surat itu bukan suatu rahasia penting"

   "Ah, Pirang, sudahlah, jangan mempersoalkan hal itu. Hendak kemana engkau sekarang ?"

   Lingga berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.

   Rupanya bhayangkara yang disebut Pirang itu masih tak puas "Kakang Lingga, jika engkau merahasiakan sesuatu kepadaku akupun tak dapat melarang.

   Tetapi aku pun bebas untuk memberitahukan kepada kawan-kawan tentang kelakuanmu yang aneh hari ini"

   "Pirang!"

   Seru Lingga agak keras. Ia menyadari hal itu maka ia lantas mengeliarkanpandang ke sekeliling. Ia menghela napas longgar setelah tak-melihat seseorangpun "Pirang, mari kita mencari tempat lain. Disini tak leluasa untuk berbicara"

   Kedua prajurit bhayangkara itu segera menuju ke-sebuah tempat yang agak sepi "Pirang"

   Kata bekel Lingga setelah mengajak kawannya duduk di bawah sebatang pohon "jangan engkau salah faham. Masakan aku hendak menyembunyikan rahasia kepadamu"

   "Ah, maaf, kakang. Akupun tak bermaksud hendak menyinggung perasaan kakang"

   "Begini, Pirang. Aku memang menghadapi suatu peristiwa aneh"

   Lingga segera menuturkan apa yang terjadi tadi "aneh, aku merasa tak pernah mempunyai hubungan apa2 dengan pangeran Ardaraja. Bahkan kenalpun tidak. Tetapi mengapa pangeran itu mengirim surat kepadaku"

   "Ya, memang aneh"

   Kata Pirang "cobalah kakang periksa mungkin surat itu ditujukan pada seseorang"... Bekel Lingga segera mengeluarkan surat itu dan memeriksanya "Sampul surat ini ada tertulis nama orang yang akan menerimanya"

   Setelah ikut memeriksa, Pirangpun berkata "Jika demikian jelas untuk kakang sendiri"

   Tetapi bekel Lingga mengerut kening. Ia memang lebih berha -ha daripada kawannya "Tetapi tadi orang itu mengatakan bahwa aku tentu tahu sendiri kepada siapa surat ini harus diberikan"

   Lingga merenung sejenak lalu melanjutkan "jika menilik kata-katanya, tentulah surat ini bukan untukku tetapi harus kuserahkan kepada seseorang"

   Pirang terkesiap.

   Ia membenarkan penilaian Lingga.

   Lingga seorang yang jujur kepadanya.

   Jika Lingga mengatakan bahwa ia tak pernah kenal apalagi mengadakan hubungan dengan pangeran Ardaraja, tentulah dapat dipercaya "Lalu bagaimana keputusan kakang ?"

   Tanyanya. Bekel Lingga tak cepat menyahut melainkan masih merenung. Sesaat kemudian baru ia berkata "Rupanya dalam peristiwa ini tentu terjadi kesalahan-fahaman"

   "Apa maksud kakang?"

   "Pengalasan itu tentu keliru menyerahkan surat ini kepadaku. Benar!"

   Tiba2 bekel Lingga beranjak dari tempat duduknya "benar, benar...."

   "Bagaimana, kakang?"

   Prajurit Pirang terkejut melihat ulah kawannya.

   "Kalau tak salah orang itu mengatakan kepadamu apakah aku bernama Kalingga ..."

   "O, Kalingga!"

   Teriak prajurit Pirang menukas.

   "Ya, dia mencari Kalingga tetapi ke ka aku mengatakan namaku bekel Lingga, dia segera menyerahkan surat ini kepadaku"

   "Jika demikian"

   Prajurit Pirang tertawa riang "dia tentu menganggap bahwa Lingga itu kependekan nama dari Kalingga.

   Pada hal ada dua orangnya.

   Kalingga, prajurit bhayangkara-dalam dan Lingga, bekel prajurit bhayangkara-luar.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ya, memang , diantara kita sendiri, sering mengalami kekeliruan dalam kedua nama itu"

   "Sebenarnya dia juga bernama Lingga. Karena sering terjadi kekeliruan maka gus pa h lalu menambah namanya menjadi Kalingga. Dan akulah yang tetap diperkenankan memakai nama Lingga"

   "Kakang Lingga"

   Kata Pirang "setelah kita dapat menemukan letak kesalahan peristiwa ini, adakah kakang bermaksud hendak menyerahkan surat ini kepada bhayangkara Kalingga ?"

   "Bagaimana pendapatmu, pirang"

   Pirang membenahi letak duduknya.

   Setelah itu baru ia berkata "Surat itu dari pangeran Ardaraja, putera raja Jayakatwang dari Daha.

   Mengapa pangeran Ardaraja memberi surat kepada Kalingga.

   Dan apa maksudnya mengatakan bahwa Kalingga tentu tahu sendiri bagaimana menyerahkan surat itu?"

   Bekel Lingga mengangguk "Ya, memang mencurigakan. Tidakkah hal itu memberi kesan bahwa pangeran Ardaraja mempunyai hubungan dengan orang-dalam di keraton Singasari?"

   "Menilik Ardaraja itu seorang putera raja, tentulah, apabila dia benar mengadakan hubungan, dengan mentri atau senopa yang berpangkat nggi. Tak mungkin dia hanya berhubungan dengan seorang prajurit bhayangkara seperti Kalingga saja"

   Pirang menambah.

   "Dan pangeran Ardaraja itu jelas ada kepen ngan apa2 dalam urusan pemerintahan Singasari..."

   "Kecuali dia memang mengadakan hubungan rahasia dengan seorang mentri tertentu untuk mengetahui keadaan dalam pemerintahan Singasari"

   "Benar"

   Seru bekel Lingga "menurut keterangan gus pa h Aragani, memang Singasari tak boleh lengah perha an terhadap Daha. Menurut kabar2, Daha tengah mempersiapkan pembentukan suatu pasukan yang besar"

   "Jika demikian, Kalingga itu tentu bekerja pada pangeran Ardaraja"

   Seru Pirang.

   "Bukan"

   Sambit bekel Lingga "dia hanya suatu alat untuk menjembatani hubungan antara pangeran Ardaraja dengan mentri atau senopati di kerajaan Singasari itu"

   "Kakang Lingga"

   Akhirnya berkatalah Pirang dengan nada sarat "penilaian dan kesimpulan kita hampir sama. Dengan demikian jelas, secara tak sengaja, kakang bakal menerima anugerah besar"

   Bekel Lingga terbeliak "Apa maksudmu?"

   "Jika kakang serahkan surat itu kepada gus pa h, apabila benar isinya mengandung suatu rahasia yang penting, tidakkah kakang akan menerima hadiah dari gusti patih ?"

   Kata Pirang; Bekel Lingga terbeliak "O, benar, Pirang.

   Tetapi aku tak mau menikmati sendiri.

   Marilah kuajak engkau menghadap gusti patih Aragani.

   Apabila mendapat hadiah, kita bagi dua" (Oo-dwkz^ismoyo-oO) II NARARYA dan Pamot kembali ke rumah pandai-besi Gadu.

   Karena hari sudah sore, Gadu minta kedua tetamunya bermalam.

   Pada malam hari, Pamot mengiring Nararya berjalan-jalan melihat kehidupan malam di pura Singasari.

   Lorong2 penuh orang berjalan.

   Gelak tawa dan kecerahan wajah orang2 itu menunjukkan bahwa suasana kehidupan di pura Singasari benar2 aman dan tenteram.

   Juga di candi2 dan rumah2 sudharma, asap sesajian bertebaran mewangi dihembus angin malam.

   Suatu pertanda bahwa agama berkembang luas.

   Tetapi disamping hai2 yang mengesankan itu, tampak pula beberapa hal yang kurang memberi kesan sedap bagi Nararya.

   Ia sering melihat prajurit2, baik berkawan sampai lima enam ataupun hanya seorang dua orang, yang berkeliaran di lorong2.

   Demikian pula di-sementara kalangan rakyat, judi dan tuak menjadi kegemaran yang mendarah daging.

   Adakah kerajaan tak menaruh perhatian untuk memberantas hal2 yang dapat memberi akibat tak baik kepada rakyat itu? Namun kesan itu hanya dikandung dalam ha karena saat itu Nararya lebih mencurahkan perhatian untuk mencari jejak Lembu Peteng.

   Tetapi sampai lorong-lorong mulai sepi, belum juga ia berhasil menemukan suatu apa.

   Baik mendengar percakapan di kedai2 maupun langsung bertanya dengan cara yang agak tersembunyi, kesemuanya telah ditempuh.

   Namun tak berhasil.

   Akhirnya Nararya mengajak Pamot pulang ke rumah pandai-besi Gadu.

   Malam itu mereka dur nyenyak.

   Keesokan harinya ke ka mohon diri dan menghaturkan terima kasih kepada Gadu, pandai besi itupun berkata"Karena sudah ba di pura, sayang apabila kalian tak pesiar melihat-lihat taman Boboci yang indah"

   "Aku sudah pernah ke sana"

   Kata Pamot.

   "Ya, beberapa tahun yang lalu. Tetapi kini atas tah baginda, taman itu diperbaiki, diperluas dan diperindah. Untuk tempat hiburan para kawula"

   Kata pandai besi Gadu.

   "O, baiklah"

   Kata Pamot. Setelah meninggalkan rumah Gadu, bertanyalah Pamot kepada Nararya "Apakah raden pernah pesiar ke taman Boboci itu?"

   Nararya gelengkan kepala dan mengatakan belum pernah. Memang benar. Karena sudah berada di pura Singasari, sayanglah apabila tak pesiar ke taman yang indah itu. Pikir Pamot.

   "Jika demikian, maukah raden kuantar ke taman yang indah itu ?"

   Tanya Pamot.

   Tatkala masih berada di gunung, Nararya pernah mendengar kissah kehidupan dari moyangnya, Ken Arok atau baginda Rajasa sang Amurwabhumi.

   Di taman itulah pertama kali Ken Arok melihat Ken Dedes.

   Suatu pertemuan yang menjadi titik tolak dari berdirinya sebuah kerajaan baru Singasari dibawah raja Sri Rajasa sang Amurwabhumi.

   Apa salahnya kalau ia pesiar ketempat yang termasyhur ifu ? "Baiklah"

   Katanya.

   Dan mereka berdua lalu membilukkan arah menuju ke taman Boboci.

   Mereka menambatkan kuda di luar taman kemudian merekapun masuk.

   Taman Boboci berhiaskan pintu gapura yang indah.

   Dua buah patung berbentuk raksasa, menjaga di kedua samping taman itu.

   Nararya segera merasakan suatu alam suasana yang sedap, teduh dan asri ketika memasuki taman itu.

   Setiap lorong terdapat patung2 yang setinggi manusia, karya dari ahli2 pahat Singasari yang pandai.

   Sepanjang lorong berhias petak2 pohon bunga.

   Pohon2 yang tinggi rindang beiserakan di sana sini.

   Di tengah2 taman, dibangun sebuah, kolam besar.

   Ditengah kolam, sebuah arca bidadari yang tengah menebarkan tangan.

   Dari ujung jarinya mencurah butir2 air yang menimpa ke arah patung2 burung dan meriwis di sekeliling.

   Sepintas pandang, bidadari itu tengah menebarkan makanan kepaia burung2 yang mengelilinginya.

   Permukaan kolam penuh ditumbuhi bunga2 teratai merah dan pu h.

   Berjenis ikan yang indah, berenang-renang dengan bebas dan gembira dalam kolam.

   Burung2 hinggap di dahan2 pohon dan bersiul mendendangkan suaranya yang merdu.

   Taman Boboci memang tak kecewa menjadi kebanggaan kawula Singasari.

   Keindahannya menyerupai suasana taman dalam, keraton.

   Baginda Kertanegara menginginkan agar para kawula dapat meresapi keindahan suatu taman.

   Sumber segala ilham, penampung segala duka.

   Tengah Nararya dan Pamot menikma keindahan kolam itu, ba2 terdengar derap lari kuda yang mengumandangkan suara gemuruh.

   Nararya terkejut.

   Jelas gemuruh lari kuda itu tentu bukan hanya seekor tetapi tentu beberapa ekor kuda, mungkin sebuah kelompok prajurit.

   "Hah ..."

   Ba2 Nararya tergetar ha nya manakala teringat sesuatu.

   Tidakkah gemuruh derap kaki kuda itu berasal dari sekelompok prajurit yang hendak menangkapnya ia mengaitkan bayang2 kecemasan itu dengan peris wa yang dilakukan kemarin, menyerahkan surat pan pangeran Ardaraja kepada prajurit bhayangkara Kalingga.

   Untuk menjaga kemungkinan2 yang tak diinginkan Nararya membisiki Pamot "Mari kita menuju ke balik pohon itu"

   "Mengapa ?"

   Pamot mengerut dahi.

   "Lihat patung lembu itu"

   Kata Nararya seraya melangkah.

   Pamotpun mengikutinya.

   Tak berapa lama gemuruh derap kuda itu berhen di muka gapura.

   Dari balik gerumbul pohon dapatlah Nararya melihat apa yang terjadi.

   Ia berdebar ke ka melihat sebuah kereta bercahaya kuning emas, ditarik oleh delapan ekor kuda tegar, berhen .

   Dibelakang kereta itu mengiring empat prajurit menunggang kuda.

   Mereka gagah dan bersenjata.

   "Ah"

   Diam2 Nararya mengeluh dalam ha "tentulah seorang tumenggung atau senopa bersama pengiringnya. Mungkin hendak menangkap ...."

   Tiba2 kata terakhir yang hendak meluncur dari kerongkongan Nararya itu terhen seke ka sehingga mulutnya ternganga ke ka melihat suatu pemandangan yang hampir2 meragukan pandang matanya.

   Ia merentang dan menyalangkan mata selebar mungkin ....

   Seorang penunggang kuda turun, menghampiri ke samping kereta dan membukakan pintunya.

   Dari busananya yang indah, jelas dia bukan prajurit biasa melainkan seorang perwira.

   Mungkin seorang bekel prajurit.

   Selekas pintu terbuka maka muncullah seorang puteri kemudian disusul pula oleh seorang puteri lagi.

   Terakhir baru dua orang perempuan setengah tua, berpakaian sebagai dayang perwara.

   Bahwa terkaan Nararya tak benar, memang membuat pemuda itu terkejut.

   Tetapi yang lebih mengejutkan adalah ke ka yang turun dari ratha kencana itu dua orang puteri.

   Tetapi yang paling mengejutkan adalah wajah kedua puteri itu.

   Can k, adalah kata sanjungan yang menjadi kebanggaan se ap wanita.

   Tetapi can k, mungkin takkan mengejutkan ha Nararya.

   Banyak wanita can k yang dijumpahinya.

   Tetapi can k yang memancarkan cahaya gilang-gemilang, hanyalah dimiliki oleh para bidadari sebagaimana ia sering mendengar cerita dari ibundanya.

   Dewi Supraba, merupakan ratu can k dari sekalian bidadari di khayangan.

   Demikian cerita itu.

   "Adakah dewi Supraba itu benar2 can k ada taranya?"

   Diam2 ia merenung. Kemudian mbul bantahan"ah, rasanya sukar untuk mencari kecan kan yang lebih can k dari kedua puteri itu ;"ia hampir tak percaya bahwa di dunia terdapat insan yang dikaruniai kecantikan sedemikian mulus.

   "Pamot, siapakah gerangan kedua puteri itu?"

   Ia menggamit tangan Pamot.

   "Puteri Dyah Ayu Tribuana dan Dyah Ayu Gayatri"

   "Puteri baginda Kertanagara ?"

   Bisik Nararya pula.

   "Ratna mutu manikam yang menyemarakkan kewibawaan kerajaan Singasari itu adalah putri kesayangan baginda, raden"

   Kata Pamot.

   "Hm"

   Desuh Nararya dalam ha "wanita can k itu memang besar daya pengaruhnya. Sampai2 seorang seperti Pamot dapat merangkai untaian sanjung puji yang hebat"

   Namun ia tak berkata apa2 lagi.

   Seluruh pandang mata, perha an dan semangatnya tertumpah ruah pada kedua puteri itu.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kedua puteri itupun mulai ayunkan langkah yang lemah gemulai memasuki taman Boboci.

   Dalam pandangan dan perasaan Nararya, sinar surya yang menerangi taman itu serasa kalah cemerlang dengan pancaran sinar wajah kedua puteri itu.

   Suasana taman tampak berobah meriah.

   Angin berhembus silir.

   Bunga-bunga merundukkan kuntum, daun2 pohon diam hening, burung2 berkikau, air mendesir dan ikan2 dalam kolampun serempak muncul ke-permukaan air.

   Bunga2, pohon, burung, ikan .dan seluruh penghuni taman itu seolah-olah menyambut khidmat akan kunjungan sang puteri jeKta.

   Dan Nararya makin menahan napas.

   Keempat prajurit itu mengiring di belakang kedua puteri.

   Mereka bangga, Mungkin lebih bangga daripada pulang dari medan laga dengan membawa kemenangan.

   Terutama wajah dan sikap dari prajurit yang membukakan pintu kereta tadi.

   Matanya memancarkan sinar kebahagiaan yang meluap-luap.

   Baginya merupakan berkah besar dan kebanggaan hidup karena dapat mengiring kedua puteri can k itu.

   Tetapi ada sesuatu yang menimbulkan perha an Nararya.

   Ia memperha kan ulah prajurit yang seorang itu beda dengan ke ga prajurit yang lain.

   Jika ke ga prajurit itu senan asa mengeliarkan pandang kesekeliling sebagaimana layaknya pengiring yang bertugas menjaga keselamatan tuannya.

   Tidaklah demikian dengan prajurit yang seorang tadi.

   Pandang matanya tak henti hentinya diarahkan kepada kedua puteri cantik itu.

   Entah bagaimana tetapi memang benar, bahwa melihat ulah prajurit itu, mbullah rasa tak puas dalam ha Nararya.

   Ia sendiri tak tahu apa yang menjadi dasar dari rasa tak puas itu.

   Entah karena menganggap ngkah prajurit itu tak layak.

   Entah karena ha nya cemburu "Ah"

   Desah Nararya dalam ha ke ka menyadari akan perasaan yang mencengkam ha nya saat itu "apa hakku untuk memiliki rasa cemburu?"

   Ia merasa tak berhak.

   Ia menyadari dirinya tak kenal dengan kedua puteri itu.

   Namun ia tak kuasa untuk menghapus perasaan itu.

   Se ap kilatan pandang mata yang terpancar dari kedua puteri dikala memandang ke sebelah kiri kemudian beralih memandang ke sebelah kanan, pada deretan bunga dan patung, ha Nararya serasa berdebar-debar dan bergetar keras.

   Jelas kedua puteri tak mengetahui dirinya berada di balik gerumbul pohon yang agak jauh, tetapi Nararya tetap memiliki debar2 yang serasa menghentikan detak jantungnya.

   Kedua puteri itu berhen pada patung burung garuda yang terletak tak jauh dari kolam "Burung apakah itu, kakang Rangkah ?"

   Tiba2 puteri yang agak tinggi dari puteri yang seorang, bertanya.

   Prajurit yangmembukakan pintu kereta tadi, segera tampil ke muka "Burung garuda, gus .

   Burung, garuda yang bernama garuda Jathayu, pernah menolong Dewi Shinta ke ka sang dewi dilarikan oleh Rahwana-raja, prabu.

   Dasamuka"

   "O"desis puteri itu.

   "Juga garuda yang dapat berbicara, merupakan burung yang menjadi tunggangan prabu Bomanaraka-sora, puteera prabu Batara Kresna, gus "

   Kata prajurit yang .disebut dengan nama Rangkah itu.

   "O"

   Kembali puteri mendesis.

   "Juga Sanghyang Batara Wisynu mengendarai burung garuda. Demikian pula rahyang ramuhun prabu Airlangga dari kerajaan Panjalu dahulu, mengabadikan burung garuda sebagai lambang kewibawaan baginda"

   Kali ini puteri hanya mengangguk saja.

   "Burung garuda merupakan lambang keperkasaan dan kesak an yang melindungi dirgantara bumi kerajaan paduka, gus . Itulah sebabnya maka baginda junjungan hamba, menurunkan tah supaya di taman ini dibuat pula patung seekor burung garuda"

   "Pamot"

   Kembali Nararya menggamit lengan Pamot "siapa puteri yang bicara dengan prajurit itu?"

   "Jika tak salah pandangan hamba. Puteri itu adalah gusti puteri sang Dyah Ayu Tribuwana, raden. Sedang yang seorang yang agak kecil, adalah gusti puteri sang Dyah-Ayu Gayatri"

   "Siapa prajurit itu?"

   Bisik Nararya.

   "Entahlah. Tetapi kalau menilik busananya, dia tentu seorang lurah prajurit bhayangkara dalam keraton"

   Jawab Pamot.

   Nararya mengangguk.

   Namun diam2 ia mengkal terhadap sikap dari lurah bhayangkara yang dianggapnya berlebih-lebihan itu.

   PuteriTribuwana hanya bertanya sepatah tetap! bekel bhayangkara itu memberi keterangan ada hen hen nya bagai hujan mencurah.

   Rupanya bekel bhayangkara itu mengharap sekali kesempatan untuk berbicara dengan puteri.

   Kedua puteri itupun beralih ke kolam.

   Memandang dengan penuh gairah kepada bunga2 teratai dan ikan2 yang berenang-renang muncul dipermukaan air, seolah hendak mengucapkan selamat datang kepada tuan puteri.

   "Apakah di taman ini dipelihara margasatwa juga?"

   Ba2 puteri Gayatri bertanya tanpa menyebut narna bhayangkara itu.

   "Hanya burung2, gusti"

   Sahut bekel bhayangkara itu.

   "Mengapa ?"

   Tanya puteri Gayatri.

   "Karena binatang2 lain tak dapat dilepaskan berkeliaran, harus ditaruh dalam kandang. Tetapi kalau burung2, dapat dilepas. Kicau burung2 itu dapat menambah semarak taman ini, gusti puteri"

   "Tetapi apabila kembali ke keraton, aku hendak mohon kepada ramanda baginda supaya di taman ini dilepas beberapa ekor kijang"

   Kata puteri Gayatri "kijang tak membahayakan para pengunjung tetapi merupakan binatang2 yang sedap dipandang"

   "Akupun hendak mohon kepada ramanda baginda"

   Puteri Tribuwana ikut bicara "agar di taman ini dibangun sebuah bangunan yang nggi.

   Bagian bawah dapat digunakan untuk tempat beris rahat, bagian atas harus merupakan bangunan semacam pagoda, agar dari tempat itu orang dapat menikmati keseluruh penjuru alam"

   "Ah, sungguh indah pendapat paduka, gus puteri"

   Bekel bhayangkara itu memuji "baginda tentu berkenan mengabulkan"

   Nararya yang dapat menangkap pembicaraan itu, diam2 memuji juga akan pandangan kedua puteri itu untuk menambah kesemarakan taman itu..

   Tiba2 tampak sesuatu yang mengejutkan.

   Sekawan lelaki bertubuh kekar, empat orang jumlahnya, masuk ke dalam taman.

   Wajah dan sikap mereka amat kasar.

   Gelak tawa berhamburan dari mulut mereka ketika melangkah ke dalam taman.

   "Ho, beginilah taman Boboci yang termasyhur itu"

   Seru salah seorang yang berkumis tebal "jika aku seorang pengantin baru, terjjtu kuajak isteriku pesiar kemari"

   "Sayang tiada seorang wanita yang mau menjadi pengantinmu, kawan"

   Seru seorang kawannya.

   "Siapa bilang? Apakah aku kurang gagah?"

   Kata orang berkumis seraya menegakkan tubuh dan memelin r kumisnya "jangankan wanita biasa, puteripun tentu akan jatuh ha apabila melihat aku"

   "Benar"sambut kawan yang lain pula"jika puteri itu seorang puteri can k tak bernyawa seper patung bidadari di tengah kolam itu"

   Terdengar gelak tertawa makin gemuruh dari keempat lelaki pendatang itu.

   "Setan"

   Guman lelaki berkumis itu "apa,engkau tak percaya ?"

   "Apa yang harus menyebabkan aku percaya?"

   Sahut kawannya pula. Mata lelaki berkumis itu berkeliaran memandang kesekeliling taman. Tiba2 matanya terbeliak "Baik, akan kubuktikan kepadamu"

   Lelaki berkumis itu terus melangkah lebar, menghampiri ketempat kedua puteri. Ketiga kawannya mengikuti di belakang.

   "Bagus"

   Teriak lelaki berkumis itu "impian akan menjadi kenyataan. Aku akan mendapat puteri yang hendak kujadikan pengantinku"

   Ke ga lelaki kawannya mencurah pandang kearah puteri Tribuana dan puteri Gayatri. Mereka terbelalak memandang kecantikan kedua puteri itu.

   "Hai, puteri ayu. Siapakah engkau?"

   Teriak lelaki berkumis seraya menghampiri.

   "Keparat engkau !"

   Ba2 bekel Bhayangkara yang disebut Rangkah tadi segera loncat ke muka seraya menghardik marah. Lelaki berkumis itu menyurut mundur selangkah "Kurang ajar! Engkau berani memaki aku?"

   Teriak nya.

   "Berandal dari mana engkau ini? Mengapa engkau berani kurang tata terhadap gus puteri kerajaan Singasari!"

   Bentak bekel Rangkah pula.

   "Dia seorang puteri? Ah, sungguh kebenaran sekali. Memang sudah lama sekali aku merindukan seorang puteri sebagai mempelai ..."

   "Keparat!"

   Belum lelaki berkumis itu menyelesaikan kata-katanya, bekel Rangkah sudah loncat menerjangnya.

   Lelaki berkumis itu tak sempat menghindar.

   Cepat ia menangkis, krak ...

   tubuhnya segera terlempar beberapa langkah ke belakang.

   Untung ke ga kawannya cepat menyanggapi sehingga ia tak sampai terjerembab ke tanah.

   Ke ga lelaki itupun serempak maju "Siapa engkau !"

   Bentak mereka dengan wajah memberingas kemarahan.

   "Aku bekel Mahesa Rangkah dari keraton Singasari. Basar sekali nyalimu berani mengganggu gusti puteri. Apakah nyawamu rangkap tujuh?"

   "Tidak peduli"

   Teriak salah seorang dari ke ga lelaki itu "di dalam keraton, dia puteri raja. Tetapi disini, dia seorang wanita cantik"

   Rupanya bekel Mahesa Rangkah tak dapat menguasai kemarahannya lagi.

   Ia terus menerjang ketiga lelaki berandal itu.

   Segera ia dikerubut oleh empat orang.

   Lelaki berkumis tadipun mencabut pedang dan menyerang Mahesa Rangkah.

   Mahesa Rangkah tak gentar.

   Ia menyambar tombak trisula dari seorang anakbuahnya lalu menghadapi keempat lawannya.

   Pertarungan berlangsung seru.

   Mahesa Rangkah ternyata gagah perkasa.

   Ia dapat mendesak keempat lawan dan dapat menombak lelaki berkumis itu lagi.

   Akhirnya keempat lelaki kasar itu lari pontang panting.

   "Kejar?"

   Perintah bekel Mahesa Rangkah. Dan ke ga prajurit anakbuahnyapun segera mengejar. Tak berapa lama mereka bergegas datang dengan wajah lesi dan gugup "Ki..bekel, berandal2 itu tetap melarikan kuda kita"

   "Mereka berani?"

   Teriak Mahesa Rangkah dengan marah sekali "kejar sampai ketemu ...."

   Ia-pun terus melangkah pergi.

   "Kakang bekel"

   Tiba2 putera Tribuana berseru "hendak kemanakah kakang mengejar mereka?"

   "Kemanapun Saja sampai ketemu"

   Sahut bekel Rangkah dengan penuh semangat.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Puteri Tribuana gelengkan kepala "Tak perlu, kakang bekel.

   Mereka mencuri kuda, tentu sudah lari jauh.

   Bagaimana mungkin kakang bekel hendak mengejar mereka.

   Dan bagaimana dengan keselamatan kami berdua apabila kakang bekel mengejar mereka?"

   Bekel Mahesa Rangkah tertegun "Maaf, gusti, hamba hanya menuruti rangsang kemarahan"

   "Siapakah kiranya kawanan manusia liar itu ?"

   Tanya puteri Tribuana.

   Mahesa Rangkah merenung.

   Sejenak kemudian memberi keterangan "Jika kawula Singasari, tentulah akan tahu siapa kiranya gus puteri berdua.

   Tentu tak berani seliar itu hendak mengganggu.

   Rasanya mereka tentu gerombolan penjahat dari lain daerah yang kebetulan singgah di taman ini"

   "O"

   Desuh puteri Tribuana "peris wa ini benar2 aneh.

   Ditengah hari, di taman Boboci yang menjadi pusat keramaian di pura Singasari, ternyata muncul juga kawanan penjahat yang berani mengganggu kami.

   Tidakkah ini berarti keamanan dalam pura masih belum terjaga dengan baik"

   "Itulah, gus puteri"

   Kata bekel Rangkah "maka baginda yang mulia segera menitahkan penggan an pada beberapa mentri. Tumenggung Wirakre di-lorot sebagai mentri dan ditugaskan untuk menjaga keamanan pura dengan pangkat mentri Angabhaya"

   Mahesa Ranggah menghela napas "Tetapi nyatanya keamanan di pura masih belum terjamin. Titah gus hamba, yang mulia baginda Kertanagara, rupanya telah diabaikan oleh tumenggung Wirakreti"

   "Tetapi kakang bekel"

   Kata puteri Tribuwana "penilaianmu tadi tepat. Kawanan, penjahat itu tentu berasal dari luar daerah yang kebetulan saja singgah di taman ini. Dalam hal itu paman tumenggung Wirakreti tentu tak menduga"

   "Gus puteri"

   Kata Mahesa Rangkah "se ap nayaka yang ditugaskan menjaga keamanan harus mempunyai tanggung jawab yang penuh.

   Misalnya, langkah paduka yang berminat bercengkerama di taman Boboci ini seharusnya mendapat pengawasan dan pengawalan dari yang berwajib menjaga keamanan.

   Dalam hal menjaga keselamatan gus puteri, daklah tepat kalau hanya didasarkan pada dugaan saja.

   Dugaan bahwa tak mungkin kawula atau penjahat dalam pura ini berani mengganggu gusti puteri"

   Puteri Tribuwana mengangguk.

   "Dalam peris wa ini, mau tak mau mbullah kesan hamba terhadap diri tumenggung itu"

   Kata Mahesa Rangkah pula.

   "Kesan bagaimana?"

   Tanya puteri Tribuwana.

   "Atau tumenggung Wirakre itu memang tak cakap, melaksanakan tugasnya. Atau memang sengaja menghapus semangatnya untuk melakukan tugas"

   Puteri Tribuwana kerutkan dahi, ujarnya "Jika tak cakap, itu memang dapat saja kemungkinannya.

   Tetapi apabila paman tumenggung tak bersemangat dan sengaja melalaikan tugas, hal itu kurang dapat kuterima.

   Karena paman Wirakre itu seorang mentri narapraja yang sudah lama dan setya"

   "Gus puteri"

   Kata Mahesa Rangkah "adakah gus memperkenankan hamba untuk memberi ulasan?"

   "Ya"

   "Acapkali terjadi bahwa seseorang yang telah menjabat kedudukan tinggi itu, akan kecewa, malu dan marah dalam hati apabila diturunkan kedudukannya. Demikian kiranya hal yang terjadi pada tumenggung Wirakreti. Beliau dahulu seorang mentri besar kekuasaannya dalam pemerintah, telah dihapus dan dipindah dalam tugas keamanan. Dengan demikian dia tak mempunyai pengaruh kekuasaan lagi dalam pemerintahan. Apabila tumenggung Wirakreti melaksanakan tugas baru dengan setengah hati, tentu mudah dimengerti"

   Puteri Tribuwana tak memberi pernyataan apa2.

   "Tetapi tumenggung terlalu melampaui batas. Entah bagaimana ndakan baginda apabila baginda mendapat laporan tentang peris wa hari ini. Dikua rkan tumenggung akan menerima hukuman yang lebih tegas"

   Bekel Mahesa Rangkah menghela napas.

   "Paman tumenggung sama sekali dak melalaikan tugas"

   Ba2 puteri Gayatri yang sejak tadi diam, membuka suara. Bekel Rangkah terkejut "Mohon gusti puteri berkenan memberi penjelasan kepada hamba"

   "Kepergian ayunda Tribuwana bersama aku ke taman ini sebelumnya ada rencana. Tiba2 saja mbul minat kami untuk pesiar ke taman ini"

   Kata puteri Gayatri "dengan demikian sudah tentu kamipun tak memberitahu kepada kepala keamanan keraton"

   "Benar"

   Puteri Tribuwana ikut memberi suara "kami hanya menitahkan kakang bekel membawa beberapa anakbuah, mengiringkan perjalanan kami ke taman ini"

   "Akulah yang bersalah, bukan paman tumenggung. Karena kepergian kami secara diam2 itu, apabila sampai terjadi hal2 yang tak diinginkan seper tadi, akan mempersulit tugas paman tumenggung"

   Bukan kepalang sibuk ha Mahesa Rangkah.

   Ia berusaha untuk menghitamkan tumenggung Wirakre dihadapan kedua puteri.

   Agar kedua puteri itu akan memberitahu kepada baginda.

   Tetapi di luar dugaan, puteri Gayatri telah menyatakan bahwa tumenggung Wirakre tak bersalah.

   Kedua puteri itu akan bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi dalam taman itu tadi.

   Sampai beberapa saat Mahesa Rangkah tak dapat berkata-kata.

   "Kakang bekel"

   Akhirnya puteri Tribuwana yang luhur budi berkata "betapapun halnya, namun aku dan adinda Gayatri amat berterima kasih kepadamu karena dapat menghindarkan kami berdua dari suatu musibah yang hina"

   "Gus puteri"

   Serta merta bekel Rangkah menghaturkan sembah "apa yang hamba lakukan hanya suatu kewajiban dalam tugas hamba. Mengapa gusti harus berterima kasih?"

   "Benar"

   Ujar puteri Tribuwana "memang kakang bekel hanya melakukan tugas. Tetapi bagaimana apabila kakang bekel gagal dan dikalahkan kawanan penjahat itu? Tidakkah keamanan diri kami juga akan menderita?"

   Bekel Rangkah tak dapat menyahut.

   "Oleh karena itu, ada berkelebihan apabila aku berterima kasih kepadamu. Dan sebagai pernyataan dari rasa terima kasih itu, terimalah pemberianku ini, kakang bekel"

   Puteri Tribuwana melolos cincin yang berada dijari tengah dan diberikan kepada bekek, Rangkah. Bekel itu terkejut "Gus puteri"

   Serunya dengan nada tergetar "bagaimana gus puteri hendak menganugerahkan hamba cincin pusaka gusti puteri"

   "Terimalah"

   Seru puteri Tribuwana.

   "Tetapi gus puteri"

   Masih Mahesa Rangkah gemetar "sudah amat berterima kasih tak terhingga dan girang tak terperikan ha hamba karena gus puteri terhindar dari suatu peris wa yang tak terduga. Bagaimana hamba masih mengharapkan pemberian anugerah gusti puteri ?"

   "Aku telah mengatakan alasanku"

   Kata puteri Tribuwana "dan anugerah ini telah menjadi keputusan-ku. Apakah engkau hendak menolak pemberianku kakang bekel ?"

   Mahesa Rangkah menyadari makna dari pertanyaan puteri Tribuwana.

   Apabila ia berkukuh menolak tentulah puteri akan murka karena menganggap penolakan itu suatu hinaan.

   Maka serta merta Mahesa Rangkahpun segera menerima anugerah itu seraya menghaturkan sembah terima kasih.

   Peristiwa itu disaksikan dengan jelai oleh Nararya dari tempat persembunyiannya.

   Iapun memperhatikan betapa cahaya muka bekel Mahesa Rangkah dikala menerima pemberian cincin dari puteri Tribuwana.

   Lebih bangga dari seorang pahlawan yang berjasa dalam peperangan "Hm"

   Nararya mendesuh dalam hati.

   Ia tak tahu perasaan hatinya saat itu.

   Entah geram entah iri.

   Yang jelas dadanya terasa sesak dihimpit oleh kemuakan yang meluap.

   Ia tak tahu mengapa ia membiarkan dirinya memiliki perasaan begitu.

   Pada hal ia sadar sesadar- sadarnya bahwa ia tak mempunyai hak sama sekali untuk melahirkan penilaian dan membentuk kesimpulan.

   "Aduh ...."

   Nararya terkejut mendengar teriakan mengaduh itu. Ia berpaling ke samping karena ia tahu suara itu berasal dari mulut Pamot "Mengapa Pamot ?"

   Tegurnya. Pamot sibuk merogohkan tangannya ke paha celana "Bedebah ...."

   "Mengapa Pamot?"

   Nararya mengulang.

   "Semut, raden, binatang itu menggigit pangkal pahaku sampai seper kena api rasanya"

   Kata Pamot.

   "Ah"

   Nararya hendak tertawa tetapi dihen kan seke ka manakala ia merasa dihadapannya berdiri sepasang kaki orang.

   Ia terkejut.

   Namun ditenangkan-nya perasaan itu.

   Pandang matanya mulai menelusur merayap keatas pinggang, tubuh dan akhirnya muka orang itu "Ah, bekel Rangkah"

   Desuhnya dalam hati. Pandang mata Nararyapun beradu pandang dengan mata bekel Rangkah. Tampak mata bekel itu berkilat-kilat tajam, memancar hawa kemarahan "Siapa engkau"

   Hardik bekel itu sebelum Nararya sempat bangkit memberi salam.

   "Maaf, ki bekel"

   Serta merta Nararya berbangkit menghaturkan maaf. Demikianpun Pamot.

   "Siapa engkau!"

   Bekel Rangkah mengulang hardikannya. Matanya menjelajah pandang ke sekujur tubuh Nararya.

   "Aku dan kawanku ini juga sedang menikma keindahan taman Boboci. Maaf apabila teriakan kawanku yang digigit semut tadi, mengganggu ki bekel"

   "Aku tak sengaja, ki bekel"

   Kata Pamot pula.

   "Hm, kalian tentu anggauta gerombolan berandal tadi"

   Teriak bekel Rangkah dengan mata berkilat-kilat.

   "Berandal? Ah, dak sama sekali, ki bekel"

   Kata Nararya "kecuali kami berdua, juga terdapat beberapa orang yang tengah menikmati keindahan taman ini"

   "Lekas mengaku terus terang sebelum kesabaranku habis"

   Teriak bekel Rangkah.

   "Harus mengaku bagaimana, ki bekel?"

   "Bahwa kalian ini benar anggauta gerombolan berandal radi"

   Pamot merah mukanya. Ia hendak marah tetapi Nararya memberi isyarat mata supaya dia menahan diri. Kemudian ia berkata "Adakah kami berdua ini serupa dengan golongan berandal?"

   "Berandal tak dapat diukur dengan keadaan tampang orang. Ha orang siapa yang tahu"

   Kata bekel Rangkah "yang jelas, ngkah ulah kalian bersembunyi dibalik gerumbul pohon ini, bukankah karena hendak menggintai kedua gusti puteri kami ?"

   "Ah, ki bekel, harap jangan menduga sehina itu kepada kami"

   Masih Nararya berkata dengan tenang "kami lebih dulu datang ke taman ini sebelum rombongan gusti puteri tiba"

   "Itu bukan halangan"

   Sahut bekel Rangkah "karena kalian hendak mempersiapkan diri lebih dulu di taman ini"

   "Tetapi sama sekali kami tak tahu bahwa gus puteri akan bercengkerama ke taman ini. Kamipun hanya secara kebetulan saja singgah dalam perjalanan kami pulang ke Daha"

   "Hm, engkau prang Daha ?"dengus bekel Rangkah "dan engkau menyelundup ke taman ini untuk menunggu kedatangan gusti puteri"

   "Aku tidak menyelundup"

   Teriak Pamot yang marah melihat sikap bekel itu.

   "Ki bekel"

   Kata Nararya dengan nada tenang "adakah suatu peraturan yang melarang bahwa orang Daha dilarang masuk ke taman Boboci ini ? Jika memang ada, akupun rela menerima pidana menurut peraturan itu"

   "Hm, pandai benar engkau membalas kata2"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cemoh bekel Rangkah "memang taman Boboci ini tak mempunyai peraturan hegitu.

   Tetapi ketahuilah bahwa ada suatu peraturan dalam rangka tugas pengamanan dan melindungi keselamatan gus puteri, pimpinan pengawal diwenangkan untuk mengambil ndakan terhadap seseorang yang dicurigai akan mengganggu keselamatan gus puteri"

   "Adakah ki bekel menganggap bahwa aku dan kawanku ini layak dicurigai?"

   Tanya Nararya.

   "Ya"

   Sahut bekel Rangkah.

   "Apa dasarnya, ki bekel?"

   "Peris wa dari empat orang berandal yang hendak mengganggu gus puteri itu, mengharuskan aku untuk mengusir atau menangkap setiap orang lelaki yang berada di taman ini"

   "Ah, tiada semua pengunjung lelaki tentu sejahat mereka tadi"

   Bantah Nararya.

   "Mereka jelas bukan kawula Singasari. Demikian-pun engkau berdua. Maka kalian harus keluar dari taman ini atau terpaksa kutangkap"

   Bekel Rangkah mengancam.

   Sesungguhnya apabila menuru perintah bekel itu, amanlah Nararya.

   Dia tak perlu menghadapi urusan-urusan lebih lanjut.

   Tetapi entah bagaimana, ada dua buah hal yang menguasai per mbangannya.

   Pertama, ia tak puas akan sikap bekel Rangkah yang congkak.

   Kedua, berat rasa ha nya untuk tak dapat memandang kedua puteri itu.

   Suatu pemikiran yang mustahil diadakan tetapi mustahil pula di adakan.

   Baginya, meniadakan bayangan wajah kedua puteri itu, semustahil hendak meniadakan sinar sang surya.

   Lenyapnya surya, dunia akan gelap.

   Lenyapnya bayangan kedua puteri itu, hatinyapun pekat..

   "Aku bersedia pergi"

   Katanya kepada bekel Rangkah "atas dasar ndakan pengamanan kedua gusti puteri"

   Mahesa Rangkah mengangguk.

   "Tetapi kuminta ki bekel menarik kembali tuduhan ki bekel bahwa kami berdua adalah anggauta dari gerombolan penjahat tadi"

   Bekel Rangkah terkesiap "Engkau menuntut?"

   "Ya"

   Sahut Nararya "kami berdua masuk ke taman ini sebagai orang bersih dan keluarpun harus sebagai orang bersih. Jika kami keluar karena berlumur tuduhan yang ki bekel lontarkan kepada diri kami, kami terpaksa menolak"

   Mahesa Rangkah masih muda.

   Angkuh dan nggi ha .

   Sebenarnya apabila ia mau menarik kembali tuduhannya tadi, Nararya dan Pamot akan keluar dan u rusanpun selesai sampai disitu.

   Tetapi bekel itu sedang dimabuk pujian, temaha akan jasa.

   Dia telah berhasil memikat perha an puteri Tribuwana sehingga puteri itu berkenan menganugerahi cincin atas jasanya menghalau kawanan pengacau tadi.

   Alangkah kagum dan makin meninggi pujian puteri itu apabila ia dapat menuduh Nararya dan Pamot sebagai kawan2 dari pengacau2 tadi lalu kemudian dapat dihajarnya ? Tidakkah puteri itu akan membalas lagi dengan imbalan yang lebih besar dengan melaporkan kegagahan bekel Rangkah ke hadapan ramanda baginda Kertanagara ? Tidakkah baginda Kertanagara akan menganugerahinya pangkat dan kedudukan yang lebih nggi?.

   Tidakkah, kegagahan dan keberaniannya untuk melindungi keselamatan puteri itu akan menimbulkan kesan dalam hati sang puteri ? Bermacam per mbangan itu makin memantapkan keputusannya bahwa ia akan menangkap Nararya dan Pamot sebagai kawan dari gerombolan pengacau tadi.

   "Jangan banyak tingkah! Engkau berani membantah perintahku?"

   Hardik bekel bhayangkara itu.

   "Aku tak bersalah, mengapa ki bekel menuduh aku dengan prasangka seburuk itu?"

   Nararyapun terhanyut dalam rangsang kemengkalan terhadap sikap bekel yang - sewenang-wenang itu.

   "Keparat"

   Bekel Rangkah serentak mengayunkan tinjunya ke dada Nararya.

   Melihat itu Pamotpun segera bergerak hendak menyongsong tetapi diapun sudah diserbu oleh dua orang prajurit pengiring rombongan kedua puteri itu.

   Mendengar hiruk pikuk, teriak hardik dan debu yang berhamburan dari balik gerumbul pohon, puteri Tribuwana dan puteri Gayatri segera menghampiri.

   Alangkah kejut kedua puteri itu demi melihat bekel Rangkah sedang berkelahi dengan seorang pemuda yang cakap wajahnya.

   Sedang dua orang prajurit sedang mengembut seorang lelaki.

   "Berhen "

   Ba2 puteri Tribuwana berseru memberi perintah karena melihat saat itu bekel Rangkah dapat diteliku oleh pemuda itu.

   Mendengar kehadiran kedua puteri, pemuda itupun terkejut.

   Serta mendengar perintah Tribuwana, pemuda itupun segera lepaskan tubuh Rangkah dan menyurut mundur, terlongong- longong memandang kedua puteri.

   Bahwa ke ka dari balik gerumbul pohon melihat kecan kan kedua puteri Singasari itu, Nararya sudah berdebar-debar tak keruan.

   Dan kini setelah hanya terpisah beberapa langkah jaraknya dari puteri itu, semangatnya, serasa terbang.

   Sukar ia membedakan siapakah diantara kedua puteri itu yang lebih can k.

   Dalam pandang matanya, kedua puteri itu seper dua bidadari yang turun ke mayaloka.

   Dalam pandang ha nya, ia seolah berhadapan dengan suatu kegaiban yang berupa sepasang surya atau matahari kembar.

   "Duk ...."

   Sekonyong-konyong Nararya gelagapan ke ka dadanya terhunjam sebuah nju yang keras sehingga ia kehilangan keseimbangan, terhuyung dua ga langkah ke belakang. Ia terus pejamkan mata menahan debar jantungnya yang berdetak keras.

   "Engkau curang, kakang bekel!"

   Teriak puteri Gayatri demi menyaksikan peris wa yang dilakukan oleh bekel Rangkah kepada Nararya.

   "Dia kawan penjahat tadi, gusti"

   Mahesa Rangkah hendak memburu Nararya lagi.

   "Berhen !"

   Teriak sebuah suara yang bernada lembut tetapi mengandung wibawa.

   Itulah puteri Tribuwana yang melengkingkannya.

   Entah bagaimana, Mahesa Rangkah kuncup nyalinya ke ka mendengar suara puteri Tribuwana.

   Kepada puteri Gayatri yang memakinya tadi, ia masih tak tunduk tetapi kepada puteri Tribuwana ia ma langkah "Mengapa gus puteri? Dia adalah kawan dari kawanan berandal tadi? Perkenankanlah hamba untuk menghajarnya"

   "Tidak, kakang bekel"

   Seru puteri Tribuwana dengan nada berkuasa sehingga-bekel Rangkahpun tak berani bergerak "aku hendak bertanya dulu kepadanya. Jika dia benar kawan dari gerombolan penjahat tadi, kakang bekel boleh menangkapnya"

   "Telah hamba tanya, gus puteri"

   Kata bekel berusaha untuk menghalangi puteri berbicara langsung dengan pemuda itu "walaupun dia menyangkal tetapi dia mencurigakan sekali. Kalau tak hamba hajar, dia tentu tak mengaku"

   "Baik, kakang bekel, tunggulah"

   Kata puteri Tribuwana. Puteri baginda Kertanagara yang sulung itu memang lebih sabar dan tak suka melukai perasaan o-rang, walau orang bawahanpun.

   "Ki sanak"

   Puteri Tribuwana berkata kepada Nararya "siapakah.engkau berdua ini? Mengapa berkelahi dengan pengiring kami?"

   Nararya membuka mata lalu memberi hormat "Hamba bernama Nararya dan kawan hamba Pamot. Hamba sedang melihat keindahan taman ini entah apa sebabnya ki bekel, menuduh hamba, sebagai penjahat dan dengan paksa hendak mengusir hamba dari taman ini"

   "O"

   Desuh puteri Tribuwana.

   "Mohon gus puteri memberi ampun atas kesalahan hamba karena berani melawan pengiring paduka"

   Kata Nararya pula.

   Puteri Tribuwana dan puteri Gayatri diam2 terkejut atas pernyataan pemuda itu.

   Se kpun pemuda itu tak menampakkan dendam kemarahannya terhadap bekel Rangkah yang telah memukulnya secara curang.

   Bekel yang sudah ditangkapnya itu karena mendengar perintah puteri Tribuwana, telah dilepas oleh pemuda itu.

   Tetapi bekel Rangkah bahkan malah memukul sesaat pemtida itu tak bersiap.

   Kedua puteri itu memandang Nararya dengan penuh perha an.

   Wajah pemuda itu memancarkan cahaya yang terang, tutur bahasanya rendah ha , sikapnya yang penuh susila, menimbulkan kesan kepada kedua puteri itu bahwa dia tentu bukan pemuda kebanyakan.

   Raut wajah seperti pemuda itu hanya dimiliki oleh putera2 keturunan priagung.

   Rupanya Nararya yang menunduk, merasa dirinya terpancar oleh sesuatu yang menggelisahkan ha nya, lapun mengangkat muka.

   Ah, bagaikan terkena pancaran kilat, darah Nararya serasa bergejolak keras demi pandang matanya beradu pandang dengan kedua puteri itu.

   Pernah ia berhadapan dengan Singa Barong dan gerombolannya, pernah ia melayani Suramenggala dan pernah ia harus menghadapi godaan2 dari indera ciptanya ke ka bertapa di makam candi Wengker.

   Tetapi kesemuanya itu daklah sehebat pancaran sinar mata kedua puteri yang menatap pandang matanya terus tembus ke ha .

   Baru pertama itu dalam hidupnya ia mengalami suatu goncangan hati yang sukar dilukiskan.

   Rupanya hal itu sempat diperha kan pula oleh bekel Rangkah.

   Marahnya bukan kepalang "Jangan kurang tata, bedebah !"

   Bentaknya dengan mata merentang lebar, selebar mungkin untuk menghanguskan tubuh pemuda itu dengan sorot matanya yang memancarkan api kemarahannya.

   Puteri Tribuwana dan puteri Gayatri tersipu-sipu merah mukanya.

   Walaupun kemarahan bekel itu ditujukan pada Nararya, tetapi karena merekalah yang menjadi lawan pandang mata Nararya, kedua puteripun merasa tersinggung pula.

   Sesungguhnya tak layak mereka mengandung perasaan itu.

   Seorang puteri raja, daklah sama dengan seorang gadis biasa.

   Berhak untuk memandang orang2 bawahannya.

   Dalam hal itu tiada menyangkut kesusilaan melainkan kekuasaan.

   Tetapi puteri Tribuwana dan Gayatri mempunyai perasaan lain.

   Berhadapan pandang mata dengan Nararya, mereka merasa bukan seorang puteri melainkan seperti seorang wanita atau gadis.

   Hilang rasa keangkuhannya sebagai puteri raja.

   Mereka benar2 merasakan perasaan hati dan perasaan diri sebagai gadis remaja.

   Remaja yang cerah bergelora bagaikan kuntum mekar di-pagi hari menanti kedatangan kumbang.

   "Ki sanak"

   Akhirnya puteri Tribuwana mendapat kembali keperibadiannya, rasa dan duduk dirinya.

   "bekel yang mengawal kami itu mempunyai tanggung jawab akan keamanan perjalanan kami. Oleh karena itulah maka ki bekel telah mengambil tindakan kepadamu"

   "Hambapun menerima tindakan ki bekel, gusti puteri"

   Kata Nararya.

   "Engkau melihat juga akan peris wa keempat orang yang hendak mengganggu kami tadi?"

   Tanya puteri pula.

   "Ya"

   "Tetapi kupercaya penuh keteranganmu. Engkau bukanlah kawan mereka"

   Kata puteri.

   "Terima kasih, gusti"

   Nararya memberi hormat.

   Bekel Rangkah cemas geram melihat kedua puteri asyik berbicara dengan Nararya.

   Ia sempat pula memperha kan betapa cerah wajah kedua puteri itu dikala bercakap dengan Nararya.

   Bahkan puteri Gayatri yang mahal senyum dan selalu tampak membawa wajah sarat apabila berkata-kata kepadanya, pun tampak mengulum senyum kepada Nararya.

   "Bedebah"

   Makin berkobarlah kemarahan bekel Mahesa Rangkah demi melihat betapa gembira cahaya wajah Nararya, betapa bersinar kedua mata pemuda itu pada saat berhadapan dengan kedua puteri.

   Sebagai sesama jenis lelaki, tahulah ia apa yang terkandung dalam sikap dan cahaya wajah Nararya itu.

   Kemudian ia mendengar ucapan puteri Tribuwana yang tak percaya bahwa Nararya itu anggauta dari kawanan penjahat tadi.

   Ah, berbahaya apabila ia sampai kehilangan muka dihadapan puteri itu.

   Ia tahu bagaimana harus menghadapi puteri Tribuwana.

   Jika ia tetap berkukuh mengatakan Nararya itu seorang anggauta kawanan penjahat, tentulah puteri Tribuwana tak senang ha kepadanya.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia harus menggunakan akal.

   "Ki sanak"

   Ba2 ia berkata kepada Nararya "maa an pukulanku tadi. Demikian pula ucapanku yang kasar kepadamu. Tetapi engkau tentu dapat memaklumi, betapa berat tugas mengawal keselamatan gusti puteri itu"

   Nararya terkejut, cepat ia menyahut "Ah, ki bekel merendah diri. Memang akulah yang bersalah. Ki bekel seorang yang tahu akan kewajiban. Jangankan hanya memukul, membunuh diriku, pun kurasa ki bekel tak bersalah"

   Umpannya berhasil, bekel Rangkah tak mau me-nyia-nyiakan kesempatan yang bagus. Ia harus mengikat Nararya dalam pembicaraan agar kedua puteri itu tak sempat berbicara lagi dengan pemuda itu "Ki sanak kurasa engkau tentu memiliki ilmu yang tinggi"

   "Ah, janganlah ki bekel menyanjung diriku sedemikian tinggi"

   "Memang ki sanak sendiri yang memberitahu kepadaku"

   Kata Mahesa Rangkah.

   "Aku? Ah, ki bekel ...."

   "Sesungguhnya kutahu dan tak percaya bahwa engkau seorang anggauta gerombolan penjahat tadi. Tetapi aku tetap berkeras mengatakan begitu kemudian menyerangmu, tak lain karena hendak menguji sampai-dimana kesak anmu. Ternyata engkau telah lulus dari ujian itu. Peluang yang serigaja kuberikan dapat engkau gunakan sebaik-baiknya untuk meneliku tanganku. Demikian juga hantaman yang kuhunjamkan ke dadamu itu dapat engkau tahan dengan ilmu kepandaianmu yang sakti. Bukankah hal itu kesemuanya engkau sendiri sudah memberi tahu kepadaku?"

   "Ah, ki bekel"

   Nararya menghela napas "betapa rasa terima kasih ha ku atas pelajaran yang tuan berikan kepadaku. Memang, apabila ki bekel tak mengalah, bagaimana mungkin aku mampu mengalahkan ki bekel ?"

   Puteri Tribuwana dan puteri Gayatri mendengar jelas pembicaraan itu.

   Diam2 mereka terkesiap dan mengetahui apa yang terjadi tadi.

   Kedua puteri itu tak menger ilmu kanuragan maka merekapun percaya saja apa yang dikatakan bekel Rangkah.

   Bukankah Nararya sendiri juga mengakui hal itu ? Di situlah letak kepandaian dan kelicinan Mahesa Rangkah.

   Dia tahu kemana angin ber up.

   Diapun tahu pula bahwa lebih baik mengiku arah angin ber up daripada harus bertahan apalagi menyongsong.

   Dengan kata2 itu, cepat ia dapat memulihkan kepercayaan kedua puteri atas kedigdayaan yang dimilikinya.

   "Ki sanak"

   Kata bekel Rangkah pula "

   Dakkah engkau mempunyai cita2 untuk masuk prajurit? Kurasa gusti senopati Anabrang tentu gembira sekali menerimamu"

   Nararya terkejut mendengar pertanyaan itu.

   Ia memang mempunyai cita cita untukmenjadi prajurit Singasari karena hanya dengan jalan itulah dia dapat mengabdikan diri pada negara.

   Tetapi saat ia masih mempunyai beberapa tugas yang belum selesai dikerjakan.

   Maka dengan halus ia menolak tawaran bekel Rangkah.

   Bekel Rangkah sempat memperha kan betapa cerah berseri cahaya kedua puteri ke ka ia menawarkan Nararya supaya masuk sebagai prajurit Singasari.

   Geramnya makin berkokar.

   Hujan setahun terhapus panas sehari.

   Sudah bertahun-tahun ia memiliki suatu angan-angan yang nggi.

   Memang ia merasa betapa nggi a-ngan-angan itu harus digapainya, betapa sukar ia akan berhasil mencapainya bahkan kemungkinan berhasilnya amat pis sekali.

   Tetapi menjadi pendirian Mahesa Rangkah, sama2 berangan-angan atau bercita-cita, sama2 harus berusaha untuk mencapai cita-cita itu, mengapa ia tak bercita-cita menggapai rembulan daripada hanya menggapai bintang.

   Dengan tekun, rajin dan penuh pengabdian, akhirnya ia makin mendekati dengan arah cita- citanya itu.

   Ia telah diangkat sebagai bekel bhayangkara-dalam.

   Ia telah dipercayakan untuk mengawal keselamatan kedua puteri baginda.

   Dengan demikian makin dekatlah ia a-kan cita- citanya itu.

   Tetapi selama mengabdi kepada kedua puteri itu.

   masih belum ada suatu tanda2 yang dirasakan bahwa ia mempunyai harapan untuk mencapai cita- citanya itu.

   Bagaikan rembulan, tampaknya dekat tetapi jauhnya bukan kepalang.

   Jauh tetapi tampak dekat sekali.

   Demikian yang dirasakan dalam hubungannya dengan kedua puteri baginda itu.

   Kini dengan indera penglihatan dan indera perasaan, ia memperha kan bahwa kedua puteri itu cepat sekali sudah mempunyai kesan baik dalam pertemuan pertama dengan Nararya.

   Tidakkah hal itu akan menghapus jerih payahnya untuk mencapai cita-cita yang diangan-angankannya itu? Tidakkah hal itu sama dengan panas sehari yang menghapus hujan setahun itu ? "Jahanam"

   Teriak hati Mahesa Rangkah kepada Nararya "engkau harus mati, ki sanak !"

   Walaupun kemarahan itu mbul dalam ba n, tetapi bekel Rangkah tak kuasa menahan tebaran warna merah yang menyelimu seluruh wajahnya.

   Ia cepat menyadari hal itu karena pangkal telinganya terasa panas.

   Buru2 ia menekan perasaannya dan menenangkan wajahnya pula "O.

   apabila engkau masih belum sempat membak kan dirimu kepada kerajaan Singasari, aku-pun tak mau memaksa, ki sanak"

   "Terima kasih, ki bekel"

   Kata Nararya dengan ha jujur karena ia tak tahu sama sekali bisa yang diselubungi dengan rangkaian kata manis yang bernada ramah dari mulut bekel itu.

   "Namun engkau tetap dapat membak kan dirimu kepada kerajaan Singasari, ki sanak. Asal engkau mau"

   Kata bekel Rangkah.

   "O, apakah itu, ki bekel?"

   "Kawanan berandal yang berani mengganggu kedua gus puteri kemudian melarikan diri dengan melarikan empat ekor kuda kami, harus ditangkap. Apabila engkau dapat melaksanakan hal itu, besar sekali ganjaranmu, ki sanak"

   "Ah, ki bekel ...."

   "Tangkaplah kawanan berandal itu, ma atau hidup, kalau ma laporkanlah kepadaku. Kalau hidup pun bawalah mereka kepadaku. Carilah aku, bekel bhayangkara Mahesa Rangkah, di keraton Singasari. Jasamu pasti akan kuhaturkan kepada gusti senopati"

   "Benar, ki .... ki sanak"

   Ba2 puteri Gayatri ikut bicara "jasamu akan kuhaturkan kepada ramanda baginda"

   Sebenarnya tak tertarik ha Nararya pada anjuran bekel Rangkah. Tetapi demi mendengar puteri Gayatri ikut menganjurkan, seke ka ia menerima "Baik, gus . Hamba akan berusaha untuk menyelidiki jejak mereka dan menangkapnya"

   "Engkau sudah berjanji dihadapan gus puteri, ki sanak"

   Cepat pula bekel Rangkah menambahi "harus engkau tepati"

   Nararya terkejut mendengar kata2 itu.

   Dengan begitu secara tak disadari ia telah melibatkan diri dengan suatu tugas dari puteri Tribuwana dan puteri Gayatri serta dengan bhayangkara penjaga keamanan keraton.

   Namun ke ka matanya yang menunduk ke tanah itu melihat gunduk bayang2 yang rebah merentang di hadapannya, ha nyapun berdebur.

   Bayang2 itu adalah bayang2 tubuh kedua puteri yang terpancar sinar surya.

   Sedemikian dekat bayang2 itu sehingga bagian kepala dari kedua puteri seolah rapat berhadapan.

   Ia sempat memperha kan pula bahwa bibi kedua puteri itu seolah bergerak-gerak, seperti orang membisikkan kata kepadanya ....

   "Ah, bayang2. Bilakah engkau benar2 akan menjelma sebagai pemilikmu sesungguhnya"

   Diam2 bertanyalah Nararya kepada bayang2 itu.

   Pertanyaan dari dalam hati dengan bahasa rasa.

   Rupanya kemenungan Nararya itu diperha kan pula oleh kedua puteri.

   Dan kedua puteri itupun tahu apa yang sedang dipandang Nararya.

   Entah adakah hal itu hanya menurut reka khayal Nararya atau memang sesungguhnya demikian.

   Tetapi Nararya samar2 melihat pula salah seorang puteri telah menganggukkan kepalanya dan yang seorang melambaikan tangan.

   Ah.....

   "Baik, ki bekel"

   Akhirnya ia berkata dengan semangat bergelora "aku akan berusaha untuk memenuhi keinginan ki bekel"

   "Bukan keinginanku yang pen ng, ki sanak"

   Buru2 bekel Rangkah mendesak pula "tetapi janjimu dihadapan gus puteri. Ksatrya harus memenuhi janji dan takkan menghadap apabila belum berhasil memenuhi janji itu"

   Karena sudah terlanjur, ibarat telah didudukkan di atas kuda, maka ada lain jalan bagi Nararya kecuali harus mencongklang maju. Ia mengiakan saja kata2 bekel bhayangkara itu.

   "Jika demikian, sebaiknya ki sanak lekas saja mengejar mereka. Tentulah mereka belum sempat lari jauh"

   Kata bekel Rangkah.

   Sepintas ucapannya itu memang enak di dengar.

   Tetapi sesungguhnya kata2 itu berselubung maksud untuk mengusir Nararya agar lekas pergi dari hadapan kedua puteri.

   Sebenarnya puteri Gayatri terkejut dan tak senang karena bekel itu secara halus mengusir Nararya.

   Tetapi dia malu untuk mencegahnya.

   Ia harus memegang kedudukannya sebagai seorang puteri raja.

   Bukan karena seorang puteri harus angkuh tetapi keangkuhan itu hanya merupakan suatu sikap yang dituntut kewibawaan peribadinya.

   Tetapi diam2, sebagai seorang gadis, puteri itu mengeluh dalam hati.

   Nararya berha jujur dan kurang pengalaman.

   Sejak berada di gunung menuntut ilmu kepada gurunya, dia hanya dekat dengan alam, melihat keindahan alam dan ketenangan suasana pegunungan.

   Hanya mendengar kicau burung yang merdu dan wejangan2 yang bermutu dari resi Sinamaya.

   Ia menganggap dunia ini indah.

   Ia memandang se ap orang dari segi keindahan alam dan kehidupan.

   Demikian pandangannya terhadap bekel Mahesa Rangkah.

   Ia tak menyangka bahwa dibalik kata2 yang ramah bersahabat dari bekel itu mengandung racun yang amat berbisa.

   Demikian setelah menghaturkan sembah kepada kedua puteri dan hormat kepada ki bekel.

   Nararya segera mengajak Pamot keluar dari taman.

   Boboci.

   "Kakang Pamot"

   Nararya menghela napas "sungguh tak kira kalau di taman Boboci, kita dapat berjumpa dengan kedua puteri baginda"

   Pamot geleng2 kepala "Tetapi radenpun telah mengikat diri dengan sebuah tugas lagi"

   "Maksudmu menangkap kawanan berandal yang menganggu gusti puteri itu ?"

   "Ya"

   Sahut Pamot. Demikian percakapan mereka sambil mencongklang-kan kuda menempuh jalur jalan yang merentang panjang.

   "Ya"

   Sahut Nararya "memang demikian hidup manusia itu. Selalu dirundung dengan peris wa dan masalah yang silih berganti"

   "Tetapi raden"

   Ba2 nada Pamot berobah sungguh2

   "

   Dakkah raden memperha kan, sesuatu selama menghadapi peristiwa di taman Boboci tadi?"

   "Apa maksudmu, Pamot?"

   "Tentang diri bekel bhayangkara itu"

   "O, tidak. Mengapa dia ?"

   "Aku mendapat kesan bahwa bekel bhayangkara itu seorang yang licik dan kurang jujur terhadap kita"

   "O"

   Desuh Nararya pula "mengapa engkau memiliki pendapat yang sedemikian ?"

   "Pertama, bagaimana mungkin seper yang dikatakan dihadapan kedua puteri, bahwa dia pura2 mengalah untuk memberi kesempatan kepada raden agar dapat membekuknya? Adakan raden mempunyai perasaan dan kesan begitu ?"

   "Apa yang kurasakan ke ka berkelahi saat itu, bekel itu memang menyerang dengan sungguh2, penuh kemarahan. Sampai pada saat tangannya berhasil kutangkap dan kuteliku, dia masih berusaha sekuat tenaga untuk melepaskannya"

   "Dan dakkah raden sempat memperha kan betapa cahaya muka bekel itu dikala raden terlibat dalam pembicaraan dengan kedua puteri?"

   Nararya gelengkan kepala "Tidak, Pamot. Aku hanya mencurahkan perhatian kepada kedua gusti puteri saja"

   "Akulah yang sempat memperha kan bekel itu, raden"

   Seru Pamot "kulihat wajahnya tampak mem-beringas dan matanya berkilat-kilat merah. Dia mencurah pandang kemarahan kepada raden"

   "Ah, Pamot, janganlah engkau berprasangka terhadap orang"

   Kata Nararya.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tidak raden"

   Bantah Pamot "aku dak berprasangka tetapi memang melihat kenyataannya. Maka tak habis keherananku ke ka secara ba2 bekel itu dapat beralih nada bersahabat dengan raden"

   "Itu tanda bahwa prasangkamu keliru"

   Kata Nararya.

   "Tetapi segera kurangkaikan pula dengan dua buah ndakan bekel itu terhadap raden. Pertama, bekel itu seolah mendesakkan tugas untuk menangkap kawanan berandal itu kepada raden. Tidakkah hal itu menyulitkan beban raden? Kemanakah raden harus mencari jejak mereka? Bukankah mereka tak meninggalkan nama dan tempat sarangnya? Adakah raden harus menjelajah ke seluruh pelosok untuk mencari keempat orang itu ?"

   Nararya tertegun.

   "Dan kedua, bekel itu menandaskan tentang ar janji bagi seorang ksatrya. Dia menganggap raden sudah memberikan janji dihadapan kedua puteri. Dan ditambahkannya pula, bahwa selama raden belum berhasil menangkap kawanan berandal itu, janganlah raden menghadap ke keraton Singasari. Bukankah secara halus, dia hendak mengatakan bahwa raden jangan menginjak lagi pura Singasari apabila belum menangkap kawanan berandal itu?"

   Nararya terbeliak.

   "Apakah maksud yang terkandung dibalik kata2 bekel itu"kata Pamot lebih lanjut"

   Jika kusesuaikan dengan sikap dan pandang matanya yang berapi-api ke ka raden sedang bercakap- cakap dengan kedua puteri, dakkah aku harus memiliki kesan bahwa rupanya bekel itu tak senang apabila raden dapat berhubungan dengan kedua puteri ? Tidakkah kesan2 itu mendorongku untuk mengambil kesimpulan bahwa bekel itu agaknya mempunyai maksud tersembunyi kepada kedua puteri baginda?"

   "Pamot!"

   Teriak Nararya "apa katamu?"

   "Tidakkah bekel itu sebenarnya mengandung maksud tersembunyi terhadap kedua puteri baginda?"

   Nararya pejamkan mata.

   Seolah hendak mengenangkan kembali saat2 ia berbicara dengan kedua puteri serta sikap bekel Mahesa Rangkah waktu itu.

   Sayang ia gagal untuk menghimpun kesan karena pada saatituseluruhperhatiandansemangatnyater- Kini ia menyadari bahwa apa yang dikemukalcan Pamot itu memang mempunyai kemungkinan.

   Namun kesemuanya itu telah terjadi dan terjanji.

   Dapatkah ia menarik kembali janjinya? "Tidak mungkin"

   Bantah ha Nararya "lebih baik aku tak menginjak pura Singasari daripada harus ingkar janji"

   Walaupun perbantahan itu terjadi dalam ba n, namun Pamot dapat memperha kan perobahan cahaya muka Nararya yang berobah-robah "Raden"

   Segera Pamot menyusuli kata2

   "semua telah terjadi dan kupercaya raden tentu tak mau menarik kembali janji raden itu"

   "Hm"

   "Apa yang kukemukan kepada raden"

   Kata Pamot pula "hanya suatu penilaian pada diri bekel bhayangkara itu agar kita dapat tahu apa yang sesungguhnya menimpa diri kita"

   "Pamot"

   Kata Nararya "engkau telah mengungkap awan yang menyelimuti puncak tujuan bekel bhayangkara itu.

   Tetapi kurasa, andaikata kutahu hal itu, pun sukar bagiku untuk menolak permintaannya.

   Karena jelas, bekel itu berlindung dibawah kekuasaan kedua puteri untuk membebankan kewajiban itu kepadaku,"

   "Benar, raden"

   Sahut Pamot "kecuali gusti puteri berkenan mencegah tindakan bekel itu"

   Nararya menghela napas "Kurasa kedua puteri itupun kurang memahami apa yang terkandung dalam ha bekel bhayangkara. Andaikata menger , kupercaya, kedua gus puteri tentu akan bertindak"

   "Mencegah bekel itu ?"

   "Ya"

   Pamot mengangguk-angguk "Lalu bagaimana tindakan raden sekarang ini ?"

   "Kita kembali ke Daha"

   "Adakah kita tak melakukan penyelidikan berita tentang hilangnya gong Prada itu di Singasari?"

   Nararya mengangguk "Sebenarnya apabila kita dapat menyelidiki bekel Kalingga yang menerima surat pangeran Ardaraja itu, kemungkinan kita dapat menyelidiki pula jejak gong pusaka itu.

   Tetapi hal itupun belum pas .

   Karena sekalipun sudah dapat diketahui bahwa bekel Kalingga itu mempunyai hubungan dengan pangeran Ardaraja, tetapi belum pas bahwa surat pangeran Ardaraja itu menyangkut soal gong Prada"

   "Dan sukar pula untuk menyelidiki diri bekel Kalingga itu mengingat dia seorang bekel bhayangkara-dalam"

   Sambut Pamot.

   "Benar"

   Kata Nararya pula "dan masih ada kesukaran lain. Adakah surat pangeran Ardaraja itu memang diberikan kepada bekel Kalingga ataukah bekel Kalingga itu hanya sebagai orang perantara yang akan memberikan surat itu kepada lain orang yang berhak menerima"

   Dalam pada bercakap-cakap itu mereka sudah jauh dari pura Singasari. Tiba2 saja Nararya berseru "Pamot, kita berhenti dan beristirahat dulu di bawah pohon itu"

   "Mengapa raden?"

   Tanya Pamot kepada Nararya yang sementara itu sudah menuju ke sebuah pohon brahmastana yang tumbuh tak jauh dari tepi jajjan.

   "Kita dinginkan dulu kepala kita untuk mencari pikiran"

   Kata Nararya seraya turun dari kuda, melepaskan kuda itu supaya makan rumput di tanah lapang sekeliling tempat itu.

   "Pekerjaan kita bertambah lama bertambah ruwet"

   Kata Nararya sambil membaringkan diri di atas akar brahmastana yang melingkar-lingkar menguasai tanah "belum berhasil menemukan jejak kakang Lembu Peteng, kini harus menghadapi beban untuk mencari kawanan penjahat )ang mengganggu kedua puteri di taman Boboci itu"

   "Benar, raden"

   Kata Pamot "tak kira kalau pencarian gong pusaka itu akan menimbulkan peristiwa2 yang lebih luas sehingga kita makin bingung"

   "Perkembangan lebih cepat dari pemikiran kita, sehingga kita seolah ter mbun oleh perkembangan2 itu"

   Kata Nararya "oleh karena itu apabila kita tak berusaha melepaskan diri dari mbunan2 peris wa itu, tentulah kita akan tenggelam dalam suatu kisaran yang ada pangkal ujungnya"

   Pamot sependapat dengan pernyataan Nararya.

   Ke-duanyapun lalu berdiam diri, tenggelam dalam renungan masing2.

   Sekali lagi untuk yang kesekian kalinya, renungan Nararya membayang pada pengalaman2 sejak ia turun dari gunung menuju ke WengkeK Ia senang dan mewajibkan diri, se ap kali menggali renungan, tentu dimulai sejak ia turun gunung.

   Karena hal itu akan selalu mengingatkan kepadanya akan tujuan yang sedang dilaksanakan.

   Dengan selalu berpegang pada garis2 tujuan itu, ia berharap dapat berpijak pada Iandasan murni dari tujuan itu.

   Karena apabila dak selalu mengingat akan tujuan, banyaknya macam peris wa2 yang dialami selama dalam perjalanan melaksanakan tujuan itu, mungkin akan menyesatkan pikiran dan membilukkan arah tujuan itu.

   Sesaat renungannya tiba pada peristiwa di candi Wengker, ia terkejut.

   Kemudian ketika mencapai pada pengalamannya di Daha, ia terkejut lagi.

   Lalu sesaat membayangkan peristiwa di Boboci, kejutnya makin meregang keras.

   Kejutan demi kejutan, mendebarkan hati, menggelorakan darah dan menggelisahkan pikirannya.

   "Di desa Jenangan, menunggu Mayang Ambari. Di keraton Daha, dianugerahi sabuk pinggang kain sutera dewangga dari puteri Nrang Keswari. Di taman Boboci, bertemu dengan kedua puteri Tribuwana dan Gayatri, ah"

   Ia menghela napas "adakah jalan hidupku ini penuh bertebaran bunga2 yang harum?"

   Pertanyaan itu tak diketahui jawabannya.

   Namun ia merasS, bahwa setiap kali mengalami pertemuan dengan wanita cantik dan puteri2 agung, semangatnya terasa lebih bergairah.

   Kehidupan lebih meriah, langit lebih cerah dan alam lebih indah.

   Suatu perasaan yang tak pernah dimiliki selama ia berguru di gunung.

   Di gunung ia merasakan hidup itu tenang, dunia ini tenteram, alam bersemarak dalam keheningan, semangatnya sentausa.

   Gurunya hanya mengajarkan ilmu kesempurnaan batin dan ilmu kanuragan serta kesaktian.

   Tak pernah guru yang dihormatinya itu menyinggung tentang soal2 wanita.

   Kini setelah mengalami beberapa peristiwa dengan wanita, ia mulai lebih menyelami sifat hidup dan keadaan alam.

   Dulu di gunung ia tak menaruh perhatian akan indahnya bunga2 yang mekar, merdunya burung2 berkicau dan silirnya semilir angin.

   


Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung

Cari Blog Ini