Ceritasilat Novel Online

Pedang Bengis Sutra Merah 2


Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin Bagian 2



Pedang Bengis Sutra Merah Karya dari See Yan Tjin Djin

   

   Bahasanya cukup gagah dan mantap, seseorang yang tidak tahu sifatnya pasti akan menggangap dia sebagai orang hebat, padahal sebenarnya orang ini harus dibunuh 100 kali.

   Berteman adalah ide yang lumayan inilah jalan terbaik untuk mendekati Phei Cen.

   Waktu itu juga dia memasukkan pedangnya ke dalam sarung sambil menekan semua kekesalannya, dia tersenyum berkata.

   "Pendapat yang bagus, tuan benar- benar sosok orang yang mengagumkan."

   Ti Kuang Beng tertawa lagi.

   "Adik berasal di perkumpulan atau dari aliran mana?"

   Tergerak hati Pui Cie.

   "Aku tidak ikut perkumpulan manapun juga tidak mempunyai aliran, aku biasa jalan sendiri."

   "Ow! Kalau begitu pesilat mengembara, hebat! Tapi aku ada sebuah anjuran..."

   "Apa itu?"

   "Melihat kepiawaian adik, kalau bisa bekerja di sebuah tempat akan lebih cepat dikenal orang, itu juga sebuah usaha yang bagus." .

   "O! aku ingin tahu juga!"

   "Kalau adik berminat, nanti aku akan perkenalkan dengan seseorang."

   Perkataannya sudah sangat jelas, cocok dengan keinginan Pui Cie, tetapi demi gengsi dengan asal asalan dia berkata.

   "Aku sudah biasa bebas, mendadak terikat rasanya kurang leluasa."

   Ti Kuang Beng mengangkat alis.

   "Jadi adik menolak?"

   Pui cie berujar.

   "Beri aku waktu untuk berfikir, apa boleh tahu tuan disana berkedudukan sebagai apa?"

   Dengan bangga Ti Kuang Beng berkata.

   "Pengurus Utama Shin Kiam Pang,"

   Tidak meleset dari dugaannya, bahwa kedudukan Sastrawan Iblis di perkumpulan ini amatlah tinggi sebagai Pengurus Utama. Pui Cie menoleh Yipha Yauci, lantas berkata.

   "Nona ini sepertinya juga orang penting di perkumpulan.."

   "Sebagai Penasihat Utama."

   "Pui Cie dengan suara parau berkata.

   "Tidak terduga kalian berdua adalah orang terpenting di perkumpulan paling besar saat ini, senang sekali bisa berjumpa!"

   Perkataan ini entah memuji entah menejek susah ditebak. Ti Kuang Beng dan Yipha Yauci air mukanya berubah. Ti Kuang Beng berkata.

   "Tidak usah sungkan!"

   Saat ini, hari mulai gelap dimana tempat mereka berada cuaca mulai remang- remang. Tiba-tiba dikejauhan muncul sebuah sinar merah meroket ke langit. Ti Kuang Beng memberi isyarat kepada Yipha Yauci lalu berkata pada Pui Cie.

   "Lauwte, sampai jumpa lagi di lain kesempatan, yang dibicarakan tadi harap dipertimbangkan lagi."

   Habis berkata begitu dengan tergesa-gesa dia sudah melejit pergi. Setelah bayangan Ti Kuang Beng lenyap, Yipha Yauci dengan suara rendah berkata.

   "Si Baju Ungu, yang tadi aku bicarakan soal Pui Cie anggap saja aku tak pernah ngomong, lupakanlah saja! Kalau tidak kau akan menyesal."

   Setelah berkata begitu dia juga pergi secepatnya.

   Pui Cie tahu, sinar merah adalah tanda ada urusan penting, sekarang dia sedapat mungkin belajar menahan diri, kalau terburu-buru tentu akan mencurigakan, sepintas seperti tidak ada apa-apa, dia tahu Phei Cen memanggil anak buah untuk berkumpul, tidak berapa lama dia segera mengejar.

   Malam itu di dalam gunung lebih kelam daripada di dataran, Pui Cie dengan kulit berwarna coklat dan baju ungu, badannya bergerak ringan seperti hantu, orang yang melihat juga susah melihatnya.

   Pui Cie seperti asap melayang menuju tempat yang mengeluarkan sinar merah.

   Diantara bebatuan diatas punggung gunung, tiga bayangan orang berkumpul, Yipha Yauci Liu Siang E, Sastrawan Iblis Ti Kuang Beng, yang satu lagi si Tua Jenggot Putih Guan Cen Ce.

   Pui Cie menyembunyikan diri di belakang bebatuan, dengan tidak bersuara dia sudah mendekat ke tempat tiga orang itu berada, kira-kira 10 meter jauhnya, Pui Cie kecewa berat sebab tidak kelihatan Phei Cen muncul.

   Hanya terdengar suara Guan Cen Ce dengan nada rendah berkata.

   "Pesan ketua, besok seputar 30 km carilah dengan teliti, bagaimanapun juga, harus menemukan siluman perempuan Ma Gwe Kiau supaya tidak menjadi masalah dikemudian hari."

   Ti Kuang Beng bertanya.

   "Mana ketua?"

   Guan Cen Ce menyahut.

   "Sudah berangkat, sekarang kira-kira sudah lebih 10 km jauhnya."

   Yipha Yauci dengan suara manja berkata.

   "Pegunungan sebesar ini mau mencari orang yang bersembunyi, seperti mencari jarum didalam lautan."

   Guan Cen Ce bilang.

   "40 orang pengawal tangguh besok akan menysul kesini dalam operasi penyisiran ini."

   Diam-diam dalam hati Pui Cie timbul nafsu membunuhnya, kalau ketiga orang laki laki dan perempuan ini bisa dihabisi sekarang, yang tertinggal hanya Phei Cen seorang, tapi setelah dipikir lagi, terasa kurang bagus, tiga orang yang berada di depan mata ini bukan orang sembarangan kalau sampai lolos saja satu, sama dengan menggoyang rumput mengagetkan ular.

   Sekali bergerak membunuh tiga orang ini, rasanya juga tidak mungkin, dengan menyisakan mereka bertiga pasti Phei Cen akan terpancing keluar, karena mereka sering berhubungan, berfikir sampai kesitu, terpaksa ditekan lagi nafsu untuk membunuhnya.

   Yipha Yauci mendadak memuutar topik pembicaraan.

   "Pengurus utama, apakah anda benar akan memperkenalkan Si Baju Ungu?"

   Guan Cen Ce merasa aneh lalu bertanya.

   "Siapa itu Si Baju Ungu?"

   Yipha yauci menjawab.

   "Seorang ahli pedang yang tidak jelas asal usulnya, dengan tegas berkata mau bertarung dengan Pui Cie."

   "O, begitu!"

   Guan Cen Ce menyahut. Ti Kuang Beng.

   "Menurut pandanganku, Si Baju Ungu adalah seorang ahli pedang yang jarang ada, kalau bisa diajak bergabung akan sangat membantu kita."

   Guan Cen Ce menyambung.

   "Orang yang hebat silatnya, pandangannya juga pasti sangat tinggi. Mungkinkah?"

   "Kita berusaha sedapat mungkin, kalau dia sampai diambil musuh, maka akan menjadi lawan kita yang menakutkan."

   "Si Baju Ungu, belum pernah kudengar nama ini, kalau dia masih berada dalam hutan ini, pasti kita bisa bertemu!"

   "Apakah dia tahu masalah Pui Cie?"

   "Kelihatannya sih belum tahu, kalau tidak kenapa mau bertanding dengannya? Kalau kita bisa menjaga mulut, didunia persilatan takkan ada yang tahu."

   Pui Cie ketawa sendiri dengan kesal. Yipha Yauci bicara dengan nada dingin.

   "Menurutku, Si Baju Ungu asal usulnya mencurigakan, mungkin dia mencari Pui Cie bertarung pedang hanya alasan, mungkin dia orangnya Ma Gwe Kiau. Kesatu, kalau dia jago kenapa belum pernah mendengar namanya, di seluruh Tionggoan tidak pernah ada orang yang menyinggung namanya? Kedua, dia datang ke hutan gunung ini hanya demi bertarung pedang dengan Pui Cie sepertinya tidak masuk diakal."

   Guan Cen Ce berujar.

   "Betul! Mungkin dia musuh kita, harus diselidiki dulu."

   Berhenti sejenak, dia berkata lagi.

   "Apa pendapat Pengurus Utama?"

   Ti Kuang Beng dengan nada seram berkata.

   "Cocok kita pakai, tidak cocok kita bunuh saja!"

   Menurut Yipha Yauci.

   "Menurut pendapatku... Kita tak boleh menyerempet bahaya ini!"

   "Maksud Penasihat Liu ialah..."

   Kata Guan Cen Ce. Yipha Yauci.

   "Hapus pendapat itu!"

   Ti Kuang Beng berkata.

   "Perkumpulan kita sekarang sedang membutuhkan orang-orang yang ahli, kalau dibunuh juga sayang, biar aku mencari tahu asalnya dulu."

   Masih tetap menggunakan istilah itu.

   "Cocok kita pakai, tidak cocok bunuh saja!"

   Yipha Yauci merobah posisi badan memandang empat penjuru.

   "Sekarang kita harus mencari tempat bermalam, aku tetap disini, kalian berdua mencari tempat yang cocok, pantau terus daerah ini."

   Guan Cen Ce menggangguk, lalu pergi bersama dengan Ti Kuang Beng. Pui Cie berfikir.

   "Aku harus ikuti terus Yipha Yauci, lambat atau cepat pasti ketemu Phei Cen."

   Yipha Yauci duduk di atas batu besar, sambil memeluk phipa miring-miring, sesudah duduk sejenak, lalu memetik dengan jarinya, keluarlah suara berdentingan.

   Gunung begitu kosong dan sunyi, alunan phipha begitu syahdu.

   Pui Cie duduk tenang sambil mendengarkan tidak terasa sampai terlena, dalam keadaan bimbang, tiba-tiba pundak ditotok orang, ternyata ketika ingatan belum pulih kembali dia See Yan Tjin Djin sudah terkena lagi dua totokan, dengan mengeluarkan sedikit suara dia langsung terjatuh.

   Yang berdiri di sampingnya ternyata Yipha Yauci, entah sejak kapan sudah tahu tempat persembunyiannya, karena ceroboh dia telah terpikat oleh suara phipha, sekarang menyesal juga sudah terlambat.

   Pui Cie yang tertotok tapi masih bisa bicara.

   "Nona, apa maksudnya ini?"

   Yipha Yauci dengan wajah sadis berkata.

   "Si Baju Ungu, aku harus membunuhmu!"

   Pui Cie marah dan menyesal bercampur aduk, coba kalau tidak banyak pertimbangan banyak kesempatan untuk membunuhnya. Sekarang malah dia yang terjatuh kedalam tangannya, tapi dengan tenang dia berkata.

   "Kau mau membunuhku, kenapa"

   Yipha Yauci menjawab.

   "Sebab kau sudah tahu bahwa Pui Cie mati didalam jurang, aku mau tak mau harus membungkam mulutmu!"

   Sambil mengigit-gigit bibirnya, Pui Cie berkata.

   "Itu kan kau yang membocorkan, Bukan..."

   Yipha Yauci.

   "Memang! Karena aku ceroboh aku jadi kelepasan bicara, sekarang aku terpaksa harus memunuhmu untuk menutup mulut!"

   Dengan keras Pui Cie berkata.

   "Begitu pentingkah rahasia itu sehingga nona harus membunuh orang untuk menutup mulut?"

   Kata Yipha Yauci.

   "Tentu penting, sekarang aku terus terang kepadamu supaya tidak mati penasaran, Pui Cie sangat erat hubungannya dalam dunia persilatan, dibelakangnya ada banyak orang tak boleh terganggu, kalau berita ini sampai bocor, akan mendatangkan banyak keruwetan bagi Shin Kiam Pang, karena dengan tidak sengaja aku telah membocorkannya, kalau ketahuan oleh ketua perkumpulan akibatnya akan fatal, maka dengan terpaksa aku harus membunuhmu."

   Pui Cie merasa geli, lalu berfikir.

   "Apakah aku harus membuka jati diriku yang sebenarnya? Menurutnya, main phipa di pinggir jurang untuk mengenang korbannya, mungkin dia sudah jatuh hati pada dirinya, kalau dia memperlihatkan jati dirinya, semuanya akan berubah tapi apa jadinya kalau seorang penerus Bu Lim Ce Cun mengemis pada seorang siluman wanita?"

   Belum selesai berfikir, Yipha Yauci sudah mengangkat tangan dan dengan lantang dia berkata.

   "Hai Si Baju ungu, terimalah nasibmu!"

   See Yan Tjin Djin Pui Cie tidak berdaya seperti sudah mau mati, tidak bisa melawan sedikitpun, dengan suara gemetar dia berteriak.

   "Tunggu dulu!"

   Tangan halus Yipha Yauci yang sudah terangkat berhenti di tengah jalan, dengan suara nyaring berkata.

   "Masih mau berkata apa lagi?"

   Pui Cie tidak rela dirinya dibunuh dengan tidak jelas, saat dia mau berkata... Mendadak terdengar suara tertawa yang datang dari jauh, kemudian ada suara yang berkata.

   "Liu Siang E, mana boleh tidak ada sebab musabab membunuh orang?"

   Pui Cie tercengang, suara itu tidak asing. Yipha Yauci cepat-cepat menyembunyikan tangannya dan mundur dengan suara gemetar berkata.

   "Siapa kau?"

   Suara itu berkata.

   "Liu Siang E, suaraku saja kau tidak bisa membedakan, ai! begitu sungguh-sungguh burung mencari pasangan, sayang semua minat menjadi sia-sia, mimpi yang bagus dari dulu selalu cepat terbangun."

   Dengan suara yang keras, Yipha Yauci berteriak.

   "Siapa sebenarnya dirimu?"

   Suara itu berucap lagi.

   "Senar sudah putus apa bisa disambung lagi?"

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Yipha Yauci gemas sekali secepat kilat dia memburu ke tempat asalnya suara.

   Siapakah yang berkata itu? Pui Cie bingung juga, apa pacar lama dari siluman perempuan ini? Belum habis pikir sebuah bayangan sudah menghampiri dari samping, tidak berkata-kata dengan cepat Pui Cie dikempitnya dandibawanya dia lari masuk kedalam hutan, gerakannya begitu cepat dalam menembus hutan Pui Cie sampai tidak sempat mengenalinya.

   Sesudah sekian lama, naiklah dia ke sebuah puncak, kemudian Pui Cie diletakkan dengan pelan-pelan.

   Dengan teliti Pui Cie memandang kemudian berseru.

   "Saudara Hu!"

   Dia menjerit kegirangan. Sastrawan Pengecut tersenyum-senyum berkata.

   "Sudah membuat Twako kaget ya!"

   Pui Cie dengan lirih bertanya.

   "Saudara Hu kenal dengan Yipha Yauci?"

   Sastrawan pengecut dengan santai menjawab.

   "Tentara jangan bosan dibohongi, Siaute memang pengecut, tapi masih mampu menggunakan sedikit taktik.

   "

   Pui Cie tiba-tiba merasa aneh, dirinya telah berrobah rupa, robah penampilan, suaranya juga berobah, kenapa dia bisa mengenali dirinya begitu saja sedikitpun tidak merasa janggal.

   Sastrawan Pengecut seperti bisa membaca isi hati orang, dengan santai menjawab.

   "Twako merasa aneh kan, kenapa Siaute bisa mengenali wajah Twako yang sebenarnya?"

   Pui Cie tercengang.

   "Betul! aku sedang bingung."

   Sastrawan Pengecut berkata.

   "Tak perlu dirahasiakan lagi, hanya Siaute dan tidak yang lain yang bisa-memahami teknik merebah rupa, perubahan wajah secara alamiah atau perubahan dengan alat-alat dan obat-obatan, biarpun Twako telah robah rupa, warna dan suara, tapi potongan kondisi tubuh dan kebiasaan sehari-hari tak bisa berubah, sekali lihat saja Siaute sudah bisa menebaknya."

   Pui Cie dengan nada sedih.

   "Kalau begitu... Apa yang aku lakukan percuma saja?"

   Sastrawan Pengecut dengan cepat menggoyangkan tangan.

   "Tidak juga, Twako tidak perlu banyak pikiran, teknik merobah warna dan merobah dengan alat dan obat-obatan aku jauh lebih baik, bukan sombong. Sekarang ini selain Siaute dan guru Siaute tak ada satu orangpun yang bisa mengenali Twako yang telah berobah wajah, tenang saja!"

   Pui Cie dengan tidak terasa berucap.

   "Siapakah gurumu?"

   Sastrawan Pengecut dengan nada tidak enak berkata.

   "Maaf, Siaute tidak bisa beritahu siapa dan apa sebutan guruku."

   Dalam hati Pui Cie penuh pertanyaan, tapi juga tidak enak mendesak karena dia telah menolong dirinya, dengan tersendat-sendat berkata.

   "Terimakasih atas pertolongannya!"

   Dengan tertawa renyah Sastrawan Pengecut berkata.

   "tidak usah disebut lagi, ini hanya kebetulan saja."

   Berhenti sebentar dia berkata lagi.

   "Mendengar kata-kata siluman wanita itu, ada rahasia tentang diri Pui Cie, rahasia apa sebenarnya?"

   Terpaksa Pui Cie menceritakan semuanya. Sastrawan Pengecut menganggukan kepala.

   "Bagus! Twako akan lebih leluasa tampil dengan muka baru Si Baju Ungu, Twako dimana tempat yang terkena totokan? Biar Siaute..."

   Pui Cie memang bawaannya angkuh, cepat-cpat berkata.

   "Biar aku yang mencoba melepaskan sendiri s*aja!"

   Sambil membangunkan badan merobah menjadi posisi duduk, dengan percaya diri mau mencoba membuka totokan, tapi apa boleh dikata pernafasannya ternyata tak bisa naik, beberapa kali dia mencoba tetapi gagal, akhirnya dia mengeluh.

   -- Bayangan mencurigakan Sastrawan Pengecut sekali melihat sudah mengerti Pui Cie tidak mampu membuka sendiri totokannya, dia duduk di dekatnya dan berkata.

   "Biar Siaute mencoba!"

   Pui Cie tak bisa berkata apa-apa, dibiarkan Sastrawan Pengecut meraba semua nadi yang terkena totokan. Sesudah sekian lama Sastrawan Pengecut baru berhenti dan berkata.

   "Aneh sekali cara totokan ini?"

   Sepertinya dia juga tidak sanggup membukanya.

   Hati Pui Cie menciut, dalam keadaan begini tidak ada tempat untuk dimintai tolong lagi, untuk bergerak saja menjadi masalah, dan lagi aliran darah jika ditotok terlalu lama akan mengakibatkan kerusakan urat nadi dan bisa menjadi cacat seumur hidup.

   Masalah yang terjadi sangat diluar dugaan, untuk membuat perhitungan dengan Phei Cen sekarang hanya menjadi sebuah khayalan saja.

   Sastrawan Pengecut berdiri, menggosok tangan menggaruk pipi.

   Tiba-tiba memekik.

   "Hanya jalan ini yang bisa ditempuh!"

   Pui Cie kelihatan bermuram durja, dia berkata.

   "Jalan apa?"

   Sastrawan Pengecut berkata.

   "Kalau keluar gunung minta pertolongan tak mungkin dan terlalu jauh, Siaute tahu ada seorang ajaib di dunia persilatan yang sedang mencari obat-obatan dalam gunung ini, kalau nasib baik, Twakobisa bertemu dengannya masalah totokan akan segera teratasi, Siaute segera akan mencarinya besok tengah hari pasti kembali, kalau tidak menemukan, kita cari jalan lain."

   Pui Cie sempat terharu akan kebaikan Sastrawan Pengecut, menurut adatnya, dia tidak mau menerima kebaikan orang lain, tapi sekarang mau tidak mau mendapat pelajaran pahit bagi orang angkuh, sangat menyakitkan, dia menarik nafas, dengan terputus-putus dia berkata.

   "Kalau begitu... sangat merepotkan saudara Hu!"

   Dengan sungguh-sungguh Sastrawan Pengecut berkata.

   "Jangan begitu, bisa berteman dengan Twako sungguh suatu kebanggaan Siaute seumur hidup, ini hanya sedikit bantuan belum bisa diharapkan, supaya tidak terlambat Siaute segera berangkat, disini tempat agak tersembunyi, sepertinya tidak akan terjadi apa-apa, harap Twako sabarlah menunggu."

   Habis berkata, dia bersoja lalu menghilang.

   Memandang ke langit, Pui Cie menjadi bertambah membenci Yipha Yauci sampai masuk ke tulang sumsum, dia bersumpah akan memenggal kepalanya kalau bertemu lagi.

   Malam panjang sekali, semenit demi semenit dia lalui, sedikitpun dia tidak bisa memejamkan mata.

   Dengan tidak mudah malampun berlalu, langit mulai terang, perasaan Pui Cie seperti sudah berdiam 10 tahun saja, apakah Sastrawan Pengecut akan menemukan orang ajaib yang sedang mencari obat-obatan? Harapannya sangat tipis.

   Matahari mulai terbit, memancarkan sinar yang menyilaukan mata, tapi dalam hati Pui Cie terasa gelap semua.

   Tiba-tiba, satu pemikiran aneh muncul di kepalanya, dia teringat kepada setengah buku ilmu campuran Buku Pusaka yang tidak ada taranya pemberian almarhun Pao Sen Cong, pembantu tua Raja Lima Pegunungan, buku itu berisi bermacam- macam ilmu campuran, siapa tahu di dalamnya ada ilmu mengurai mengenai totokan? Dia merasa sedikit bersemangat, cepat-cepat mengeluarkan setengah buku pusaka itu dari balik bajunya, tiap halaman dia baca dengan teliti, mencari bagian mengenai ilmu totokan, dia girang luar biasa, ternyata di dalamnya terdapat catatan pelajaran menolong diri sendiri sewaktu pernafasan tak bisa berkumpul, huruf per huruf dia baca terus menerus, segera diapun merasakan munculnya keanehan.

   Dia menghafal dengan seksama semua huruf, kata-katanya dia renungkan dan dia coba praktekan.

   Setengah jam kemudian pernafasannya mulai teratur, dia terus mengikuti rumusan ringkas mendobrak semua sumbatan-sumbatan di nadi-nadinya...

   -- Sesosok bayangan biru bergerak naik ke puncak, ternyata Sastrawan Pengecut yang sedang mencari tabib.

   Mengikutinya muncul lagi sebuah bayangan, dia adalah seorang terpelajar setengah baya.

   , Sastrawan Pengecut yang merasakannya dia membalikan badan, begitu melihat mukanya berubah karena kaget, lalu dia bertanya.

   "Apa maksudmu mengikutiku?"

   Orang terpelajar setengah baya yang ternyata adalah Sastrawan Iblis dengan muka kecut menjawab.

   "Gerak gerikmu mencurigakan, terpaksa aku mengikutimu untuk mencari tahu."

   Pui Cie yang menempatkan diri di celah-celah bebatuan, sudah mendengar suara Sastrawan Pengecut dan Sastrawan Iblis, hatinya kaget sekali, menurut pembicaraan Sastrawan Pengecut, dia telah dibuntuti oleh Sastrawan Iblis, sekarang totokannya belum terbuka, dia sedang dalam keadaan yang menentukan, maka dia terpaksa tidak mempedulikan semua itu.

   Sastrawan Pengecut dengan pelan bertanya.

   "Coba anda jelaskan, gerak gerik mana yang mencurigakanmu?"

   Ti Kuang Beng dengan lagak memojokkan orang berkata, 'Sebutkan dulu asal usulmu.' "Aku Sastrwan Pengecut!"

   "Apa? Sastrawan... Pengecut?"

   "Ya. Boleh tahu anda...?"

   "Jangan urus dulu urusan orang lain kau hanya boleh menjawab pertanyaanku, untuk apa kau datang ke gunung ini?"

   "Ini... aku suka gunung dan air juga pemandangan indah, bisa menenangkan pikiran membuat dingin hati."

   "Didepan Budha tidak perlu membakar dupa palsu tidak perlu membuat kebohongan, katakan! Apa maksudmu kesini?"

   "Aku... kan sudah katakan tadi!"

   "Heh! Dikasih arak kehormatan tidak mau, Malah mau arak hukuman, ingat, kesabaran ku terbatas!"

   "Apakah dalam gunung terdapat larangan-larangan?"

   "Betul, ada larangan!"

   "Ini., aku., tidak menemukan tanda-tanda larangan, juga tidak..."

   Sekarang kau tahu juga tidak terlambat, cepat terangkan semuanya, tidak boleh ada yang ketinggalan, kalau tidak., kau menyesalpun sudah terlambat."

   Pui Cie sekuat tenaga menyelesaikan pengobatannya, sekarang tinggal satu nadi lagi yang terakhir yang belum terpecahkan. Sastrawan Pengecut dengan kaget memandang Ti Kuang Beng, agak gentar dia berkata.

   "Karena sedang bernafsu, tidak sadar masuk ke gunung ini untuk bermain, apakah salah?"

   Ti Kuang Beng dengan ketus berkata.

   "Pegunungan ini jauh dan sepi, tidak ada pemandangan yang indah juga tidak ada peninggalan purbakala, tak usah berpura-pura, cepat jelaskan kalau tidak, siap-siaplah mempertahankan nyawamu, aku tidak banyak waktu!"

   "Pertahankan nyawaku, apa kau mau...?"

   ""Iya, aku menginginkan nyawamu."

   "Tapi aku., tidak mau bertarung dengan siapapun."

   "Kalau begitu kau tutup mata dan tunggu mati saja!"

   "Kau.."

   "Lihat pukulan!"

   Dalam pikirannya sebuah pukulan sudah dia lepaskan. Sastrawan Pengecut terhempas jauh, dengan menggoyangkan tangan berkata.

   "Anda tanpa alasan yang jelas bertindak begini jauh padaku, apa tidak ada yang bisa dibicarakan lagi?"

   Cepat sekali ilmu menghindarkan dirinya. Ti Kuang Beng tertawa kecut.

   "Gerakan tubuhmu bagus, tapi kau takkan bisa lolos!"

   Sekali terdengar suara "Chiang!"

   Pedang sudah dicabut, melingkar, memanjang, secara ganas terus menggulung Sastrawan Pengecut.

   Sastrawan Pengecut tubuhnya seperti bayangan hantu, seperti kilat sudah meluncur menjauh, wajahnya seperti yang sangat takut, sudah tentu dia berpura- pura.

   Pui Cie sudah bisa berdiri setelah dia berhasil menembus totokan urat nadinya yang terakhir.

   Ti Kuang Beng marah sekali, lawannya bergerak aneh, tidak mau melawan, seperti takut, dia merasa dipermainkan, dia merubah posisi pedang dan tubuhnya, menyerang lagi sekejap saja dia sudah menusuk sebanyak 18 jurus, tapi Sastrawan Pengecut dengan santai saja menghindar dari kurungan pedang yang bertubi-tubi, baju birunya melambai-lambai gayanya pelan dan luwes benar-benar jarang bandingannya di dunia persilatan.

   Pui Cie melihatnya sampai silau, melihat gayanya, dia merasa kalah, hebat benar orang ini, sesuai dengan gelarnya yang Pengecut terdesak juga tidak melawan, benar-benar orang langka di dunia persilatan.

   Ti Kuang Beng setelah menyerang satu babak tiba-tiba melihat Pui Cie.

   "Eh! Si Baju Ungu!"

   Segera dia menyimpan pedang sambil berseru. Sastrawan Pengecut kaget sekali melihat Pui Cie sudah bisa berdiri dengan mantap, matanya berbinar, tapi dia diam saja, dia menatap Pui Cie dengan penuh pertanyaan. Pui Cie pelan-pelan mendekat.

   "Tuan keterlaluan sekali mendesak orang sampai begini."

   Muka Ti Kuang Beng berobah gelap terang tidak menentu, akhirnya dengan tersenyum berkata.

   "Lauwte dengan Sastrawan Pengecut ini sejalan?"

   Pui Cie menjawab dengan asal.

   "Ya! Kami berteman."

   Ti Kuang Beng melihat keduanya sekali lagi berkata.

   "kalau dia teman lauwte, aku mohon maaf!"

   Habis berkata dia menggenggam kedua tangannya sambil digoyang-goyang. Pui Cie secara dingin berkata.

   "Sudahlah!"

   Ti Kuang Beng mengangkat alisnya, lalu berkata.

   "Masalah yang pernah dibicarakan dengan lauwte apakah sudah dipikirkan?"

   Pui Cie dengan gemas berfikir sebentar dan menjawab.

   "Sudah aku pikirkan, kapan aku akan diperkenalkan?"

   Muka Ti Kuang Beng mendadak berubah menjadi berseri-seri, setelah berfikir sebentar lalu berkata.

   "Kalau begitu aku akan segera mengaturnya, selekasnya Lauwte memberi jawaban, kalau nanti tidak bisa bertemu di pegunungan ini lagi harap Lauwte menuju ke Cao Yang saja!"

   Pui Cie mengangguk.

   "Ya, begitu pun boleh!"

   Sinar gembira terlihat di wajah Ti Kuang Beng.

   Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku akan secepat mungkin memperkenalkan Lauwte kepada rekan yang lain, harap sabar!"

   Habis berkata, matanya melirik Sastrawan Pengecut, lalu berkata.

   "Temanmu juga seorang yang hebat dan langka, kalau bisa nanti juga hadir, majikanku membutuhkan sekali orang-orang yang ahli pasti dia sangat senang menerima kalian berdua!"

   Sekarang aku ada urusan penting, aku permisi dulu!"

   Dia mengangkat kedua belah tangan memberi hormat, lalu memutar badannya pergi. Pui Cie tahu dia cepat-cepat mau pergi berkumpul untuk mengepung Ma Gwe Kiau, kelihatannya dia tidak tahu perbuatan Yipha Yauci tadi malam. Sastrawan Pengecut berkata.

   "Twako, hati-hati terjebak oleh orang yang bermarga Ti itu, dia orang yang sangat keji!"

   Pui Cie menyunggingkan senyuman berkata.

   "Aku tahu!"

   Sastrawan Pengecut berkata.

   "Barusan dia berkata kau mau diperkenalkan, memang ada masalah apa?"

   Pikiran Pui Cie berputar.

   "Ini masalah besar tidak boleh bocor, kalau bocor bisa berbahaya."

   Lalu dengan tidak enak dia berkata.

   "Adik Hu, sebenarnya ini tidak boleh dirahasiakan padamu, tapi karena ini masalah besar yang berhubungan dengan urusan pribadiku, aku takut diluar dinding ada kuping mendengar, nanti saja kalau sudah beres aku akan ceritakan semuanya kepadamu!"

   Sastrawan Pengecut berseri-seri.

   "Tidak apa-apa, aku hanya sambilan saja bertanya, Eh, Twako bagaimana kau bisa membuka totokan itu?"

   Ini juga masalah lain yang sukar dijawab juga, dia agak ragu, akhirnya dengan asal-asalan dia menjawab.

   "Kebetulan suhuku pernah memberi aku pelajaran membuka totokan, tak disangka ternyata sangat manjur."

   Sastrawan Pengecut dengan lantang berkata.

   "Bagus sekali, aku tidak berhasil bertemu tabib ajaib itu, sepanjang perjalanan terus berfikir harus berbuat bagaimana, sekarang hatiku sudah plong jadinya."

   Pui Cie merasa tidak enak hatinya, orang begitu tulus membantu dia sendiri membalasnya dengan cara begini, tapi apa boleh buat, keadaaan memaksa dia harus begitu, sesudah berdiam sejenak dia berkata.

   "Kakak Hu, aku masih ada urusan semoga di kemudian hari ada kesempatan kita minum arak sambil ngobrol, tidak masalah kan?"

   Sastrawan Pengecut dengan lapang dada, tidak berfikir panjang lagi menjawab.

   "Kalau ada urusan silakan jalan duluan, Siaute juga ada urusan, siapa tahu kita masih akan bertemu lagi dalam gunung ini, disana nanti kita bisa ngobrol lagi."

   Akhirnya mereka berdua berpisah juga.

   Pui Cie ingat urusan Phei Cen, sesudah turun gunung dia langsung masuk hutan belukar, dijalan dia banyak menemukan orang-orang Shin Kiam Pang, tentu saja dia tidak mau membuat keributan hanya karena persoalan kecil, tidak terasa, dia sampai ke lembah tempat Bo Yu Sien Ce, anak dan ibu yang sedang bertapa.

   Dipandang dari kejauhan banyak orang sedang bergerak, tertarik hati Pui Cie, dari samping dia memutar mendekat.

   Di mulut lembah depan batu besar yang menjulang, ada Yipha Yauci dan biksu tua Guan Cen Ce, sepertinya ada komandan pasukan pengawal Shin Kiam Pang, tapi tidak terlihat Shn Kiam Pangcu Phei Cen dan Sastrawan Iblis Ti Kuang Beng.

   Sedang apakah mereka? Apakah Phei Cen telah masuk ke dalam lembah? Ti Kuang Beng dari tadi mengapa belum tiba? Masih befikir begitu, kelihatan Guan Cen Ce mengangkat tangan memberi aba- aba, semua yang ada disana menepi masing-masing mencari tempat untuk bersembunyi, dilihat gelagatnya orang-orang Shin Kiam Pang pasti sedang membuat suatu gerakan.

   -- Memperlihatkan Kemampuan Setelah semua orang menyibak kesamping, dengan pelan-pelan Guan Cen Ce mundur juga.

   Kebetulan sekali Yipha Yauci mundur, dan tempat dia mundur pas di tempat persembunyian Pui Cie, begitu dia melihatnya, dia langsung menjerit, karena kaget mukanya menjadi jelek sekali.

   Setelah bertemu dengan musuh yang luar biasa dibencinya, dengan pandangan penuh dendam Pui Cie menyorot muka Yipha Yauci.

   Suara jeritan tadi mengejutkan semua orang, mereka semua segera menuju ketempatnya Pui Cie.

   Guan Cen Ce yang pertama-tama tiba, dia kaget dan memekik.

   "Si Baju Ungu!"

   Yang lain juga ikut mengurung, tapi siapapun juga tidak ada yang kenal dengan Si Baju Ungu. Pui Cie tidak perduli orang lain, dia melototi Yipha Yauci dan dengan suara seram dia berkata.

   "Liu Kouwnio tidak terduga olehmu bukan?"

   Yipha Yauci matanya berputar dengan senyum terpaksa berkata.

   "Si Baju Ungu, apa kau kebetulan kesini?"

   Pedas juga perkataannya, juga kelihatan dia mencurigai Pui Cie, arti katanya mengisyaratkan bahwa Pui Cie muncul disini bukan disengaja. Pui Cie berkata dengan suara sangat dingin.

   "Apakah perlu aku kasih tahu semua orang bagaimana aku bisa berada disini?"

   Muka cantik Yipha Yauci berubah, tiba-tiba seperti orang baru ingat sesuatu dia berkata.

   "O., aku mengerti, ayo kita bicara disana!"

   Habis berkata begitu dia langsung melayang pergi. Pui Cie terbengong-bengong, akhirnya mengikuti juga. Diluar hutan setelah tiga puluh meteran terkejarlah Yipha Yauci, Pui Cie dengan marah sekali berkata.

   "Aku tidak mati dicelakai olehmu, sekarang giliran dirimu bertanggung jawab!"

   Tangan kanannya sudah memegang pegangan pedang. Yipha Yauci masih bisa tertawa cekikikan berkata.

   "Si Baju Ungu, aku kan terpaksa berbuat begitu."

   Dengan mulut tersungging senyuman sinis Pui Cie berkata.

   "Aku sekarang juga terpaksa membunuhmu!"

   "Si Baju Ungu, kau kan masih hidup. Sudahlah..."

   "Sudah? Enak saja kau bicara!"

   "Kita bikin satu perjanjian yang jujur, kau pegang rahasia itu, kita., tidak saling mengancam."

   Pui Cie sudah tidak tahan lagi hatinya penuh dengan nafsu membunuh, Pa Kiamnya segera akan dicabut keluar dari sarungnya, dengan menggigit bibir dia berkata.

   "Siapa yang mau berjanji denganmu? Aku hanya mau menbunuh orang!"

   Yipha Yauci mundur dua langkah berkata.

   "Si Baju Ungu, kau belum tentu bisa membunuhku, andai kau bisa membunuhku kau juga takkan bisa kabur dari sini, percaya tidak?"

   Dengan kecut Pui Cie bilang.

   "Aku tidak percaya!"

   Yipha Yauci gemertakan giginya katanya.

   "Kalau saja Pui Cie tidak mati, aku ingin sekali melihat kau mati roboh di bawah pedangnya!"

   Perkataan ini menyentuh hati Pui Cie, waktu mendesak dirinya jatuh ke jurang dia berlagak bodoh, sekarang dia seperti yang teringat selalu hati seorang wanita seperti jarum dalam lautan, susah diraba. Yipha Yauci memandang ke mulut lembah berkata.

   "Mereka sudah bergerak."

   Pui Cie mendadak teringat dengan masalahnya, orang dalam lembah Bo Yu Sien Ce adalah istri almarhum suhunya, dia menbawa Ku Tien Chan, adalah darah daging suhunya, apakah aku bisa berpangku tangan saja? Sesudah berfikir sejenak dia cepat-cepat bertanya.

   "Mau apa mereka?"

   Yipha Yauci berkata.

   "Membuka paksa pintu gerbang lembah dengan dinamit, kemudian masuk ke dalam menangkap orang."

   Pui Cie tidak berkata apa-apa dia segera membalikkan badannya secepat kilat mengejar kesana.

   Guan Cen Ce sesudah menyulut dinamit, orangnya segera meloncat menjauh.

   Sebaris asap dengan cepat menjalar ke batu besar di mulut lembah.

   Pui Cie melayangkan dirinya tepat di tempat itu.

   Guan Cen Ce dengan keras memekik.

   "Si Baju Ungu, mau apa kau!?" ' Pui Cie pura-pura tidak dengar, dia mendekat kebatu raksasa itu, dengan satu tangan membabat, batu dan tanahpun berhamburan, sumbu dinamit terputus, terlambat beberapa detik saja suasana sudah akan menjadi lain. Dalam suara pekikan, para satria yang tadinya bersembunyi sekarang mencabut pedang mendekat dan mengurung, Yipha Yauci juga sudah tiba di tempat itu. Pui Cie berdiri tegak dengan angkuhnya, bila pihak lawan mulai turun tangan, dia pun akan mulai membunuh. Semua orang yang ada ditempat tidak mengetahui Si Baju Ungu adalah Sastrawan Putih Pui Cie, dianggapnya dia adalah ahli pedang biasa saja maka mereka berlagak angkuh dan galak. Karena Guan Cen Ce adalah peminpin diantara orang orangnya maka dia yang memberi perintah, dia mengangkat tangan menghadang semua orang, lalu memandang Pui Cie dengan keji dengan penuh gejolak berkata.

   "Hai, Si Baju Ungu, kenapa kau merusak rencana kami semua?"

   Pui Cie balik bertanya.

   "Kalian kenapa merusak lembah ini?"

   Dengan tertawa cekakakan Guan Cen Ce berkata.

   "Waktu kau menampakkan diri, aku sudah curiga asal asulmu, sekarang ternyata kau sejalan dengan orang yang berada di dalam lembah ini. Bagus!"

   Pandangannya menggeser pada orang setengah baya berbaju indah dengan suara tinggi dia berteriak.

   "Komandan Siau!"

   Orang setengah baya berbaju indah itu segera menjawab.

   "Aku disini!"

   "Tangkap dia!"

   "Menurut perintah!"

   Pui Cie sedang berfikir, mengapa mereka bermusuhan dengan Bo Yu Sien Ce? Apakah juga ada hubungan dengan suhunya? Komandan bermarga Siau sudah menghunus pedang dan mengancam Pui Cie.

   Pui Cie segera mengeluarkan Pa Kiam( Pedang Bengis) sambil berfikir.

   "Kalau kejadian sudah begini sebaiknya menbunuh mereka seluruhnya! Masa Phei Cen tidak mau mengunjukkan dirinya?"

   Pa Kiamnya dia angkat miring-miring saja. Suasana di lapangan menjadi tegang.

   "Yeah!"

   Dalam suara yang riuh komandan Siau sudah mulai menyerang duluan.

   Pa Kiam yang berkilauan segera disabetkan hebat luar biasa, Pui Cie berfikir membunuh satu berkurang satu yang melawan, dengan sepenuh tenaga dia gunakan tenaganya, kekuatannya menakutkan, suara besi beradu memekakkan telinga dibarengi suara mengaduh, dada sebelah kiri komandan Siau sudah tertusuk berdarah seperti sekuntum bunga merah.

   Komandan Siau sebagai pemimpin pasukan pengawal berseragam indah ini sebenarnya ilmu silatnya amat tinggi.

   Tapi kali ini baru sekali bergebrak sudah terluka, berarti Si Baju Ungu yang tidak pernah dikenal orang ini ilmunya hebat sekali, yang berada disana semuanya terkesima.

   Guan Cen Ce jengkel sampai alisnya berdiri, dia maju sambil membawa pedang dengan memekik dengan keras.

   "Si Baju Ungu, akan kubunuh dirimu! Mampuslah!"

   Pedang dan suaranya berbareng menyerang, kondisinya seperti naga yang kaget.

   Pui Cie teringat akan peristiwa yang paling mengenaskan, ketika dia terjatuh ke dalam jurang karena dikeroyok oleh tiga pedang bergabung oleh pihak lawan, nafsu membunuhnya bertambah membara, tangannya segera di gerakan dengan jurus mematikan menggenpur tempat yang lemah.

   Di dalam suara besi beradu yang bertubi-tubi Guan Cen Ce sudah terdesak mundur jauh, beberapa orang pengawal yang berseragam indah di belakang mencoba membantu menyerang sambil menjerit.

   Pui Cie memutarkan badan sambil mainkan pedang seperti roda bersinar menggelinding tapi begitu cepat.

   Dua orang pengawal terjungkal sambil meraung-raung.

   Satu orang pedang panjangnya terlepas.

   Yang satu lagi tunggang langgang.

   Semua orang terpana di tempatnya, tidak ada yang berani berbuat macam- macam lagi.

   Yipha Yauci yang berdiri jauh juga tidak berani bertindak, mukanya terasa berat seperti lempengan besi.

   Pui Cie melangkah kearah Guan Cen Ce..

   Guan Cen Ce tahu dia tak kuat menahan serangannya, tapi dengan kedudukannya sekarang mau tidak mau mesti menghadapinya, tak bisa mundur lagi.

   Saat ini tiba-tiba terdengar suara.

   "Berhenti!"

   Sebuah pekikan yang menggelegar bersuara dan orangnya muncul bersamaan, yang datang ternyata adalah Sastrawan Iblis Ti Kuang Beng.

   Kedua belah pihak menghentikan gerakan untuk menyerang.

   Ti Kuang Beng menyapu semua orang yang ada di lapangan dengan mata memelototi Pui Cie katanya.

   "Lauwte, kau ternyata berada di pihak yang berlawanan dengan perkumpulan kami?"

   Pui Cie menjawab dengan dingin.

   "Menjadi berlawanan juga disebabkan oleh perbuatan perkumpulan kalian."

   "Apa artinya?"

   "Kenapa mau meledakkan lembah ini?"

   "Lauwte mau mencegah?"

   "Ya!"

   Berubahlah air muka Ti Kuang Beng, dengan sadis dia bilang.

   "Ternyata kau adalah anak buah Ma Gwe Kiau?"

   Pui Cie bingung, tidak terasa dia bertanya.

   "Apa itu Ma Gwe Kiau?"

   Guan Cen Ce melotot.

   "Sudah tahu masih bertanya, memang ada berapa orang Chang Hua Ma Gwe Kiau?"

   Pui Cie mengerutkan alis bertanya.

   "Kenapa Ma Gwe Kiau bisa bergabung dengan orang dalam lembah?"

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Guan Cen Ce dengan kecut menjawab.

   "Disini adalah sarang Ma Gwe Kiau, aku melihat sendiri dua orang Biauw masuk kedalam lembah, tak mungkin salah."

   Pui Cie menggelengkan kepala.

   "Tidak mungkin!"

   Ti Kuang Beng merasa aneh bertanya.

   "Kenapa tidak mungkin?"

   Pui Cie tiba-tiba sadar, mereka mau menggeledah dan membunuh Ma Gwe Kiau, dikiranya dia adalah anak buah Ma Gwe Kiau, tapi Guan Cen Ce melihat sendiri dua orang Biauw masuk ke dalam lebah, apa mungkin Bo Yu Sien Ce mau menanggung si permpuan sadis itu? Setelah dipikir dengan suara rendah.

   "Orang yang berada di dalam lembah itu adalah seorang Cianpweku, sudah dua puluh tahunan dia bertapa, tidak mungkin menampung orang luar!"

   "Ou.."

   Ti Kuang Beng aneh.

   "Siapa Cianpwe mu itu?"

   Pui Cie celetuk tanpa pikir lagi.

   "Maaf, aku tak bisa memberi tahu."

   Guan Cen Ce dengan kecut bertanya.

   "Aku lihat sendiri dua orang Biauw masuk ke dalam lembah, bagaimana kau menjelaskannya"

   Pui Cie langsung nyeletuk.

   "Aku akan masuk ke lembah memeriksanya."

   Sebenarnya dia bilang begitu hatinya masih ragu, batu besar menutup mulut lembah itu, dia sedikitpun tidak mengerti formasinya.

   Apakah Bo Yu Sien Ce mengizinkan dia untuk bertemu? Semua ini merupakan sebuah masalah yang belum bisa diketahui, tapi dia sendiri punya keinginan masuk, dia mau melihat kondisi di dalam, sebab kesatu, Ma Gwe Kiau adalah orang yang mau dia bunuh juga, kedua, dia mau cari tahu penyebab kematian ayah Sastrawan Pengecut.

   Bola mata Ti Kuang Beng berputar-putar bilang.

   "Baik! merepotkan lauwte masuk ke dalam untuk memeriksa, kami di luar akan menunggu satu jam, kalau dalam waktu itu kau tidak keluar, kami tetap akan menjalankan rencana semula."

   Pui Cie mengerti maksud perkataan mereka, kalau dalam satu jam dirinya tidak keluar, berarti dirinya sejalan dengan Ma Gwe Kiau. Sesudah berfikir, dengan enteng dia berkata.

   "Baik! satu jam sudah cukup."

   Guan Cen Ce dengan suara takut berkata.

   "Mau melepaskan macan kembali kesarangnya?"

   Ti Kuang Beng dengan suara mantap bilang.

   "Komandan tak usah kuatir, aku tidak akan melakukan apa-apa yang tidak yakin."

   Komandan, ternyata Guan Cen Ce telah diangkat oleh Shin Kiam Pangcu menjadi komandan gerakannya, Pui Cie memandang sinis padanya. Ti Kuang beng mengulapkan tangan.

   "Lauwte, silakan!"

   Ingin sekali Pui Cie bertanya keberadaan Phei Cen, tapi setelah dipikir-pikir kalau terburu-buru malah tidak akan kesampaian maksudnya, maka tidak boleh tergesa-gesa, barusan Ti Kuang Beng bilang tidak akan melakukan apapun kalau tidak yakin.

   Ini patut dipelajari, akhirnya, dia melangkah ke depan sampai di sisi batu besar tiba-tiba dirinya ingat telah berobah rupa Bo Yu Sien Ce pasti tidak mengenalinya, kalau sembarangan menerobos pasti akan terjadi salah paham.

   Tapi banyak orang di belakangnya menunggunya tak mungkin dia menyatakan jati diri yang sebenarnya masalahnya yang pelik, setelah berpikir lama lalu dia mengumpulkan tenaga dalamnya, dengan cara menyampaikan suara jarak jauh ke dalam lembah yang tidak bisa didengar oleh orang lain.

   "Wanpwe ada urusan penting ingin ketemu Sien Ce Cianpwe. dia tidak berani menyebutkan namanya, takut Ma Gwe Kiau benar ada di dalam, habis bicara, dengan langkah mantap dia mulai maju. Semula hanya terlihat pohon-pohon pendek dan batu-batu cadas, sesudah maju beberapa puluh meter, berobahlah pemandangan di depan mata, pohon besar menutup langit, puncak kecil malang melintang, sulit untuk menentukan arah, dia kaget bercampur kagum akan formasi yang menakjubkan ini. Pui Cie berdiri di tempat, tidak mau bergerak, sekali lagi menyampaikan suara jarak jauhnya.

   "Mohon bisa bertemu dengan Cianpwe!" ' Tiba-tiba sebuah barang yang lancip menotok nadi kematiannya, Pui cie merasa seluruh tubuh kesemutan, dia masih bisa bicara dan bilang.

   "Apakah Cianpwe, Twako apakah tahu cayhe?"

   Kata-katanya ternyata berpengaruh besar, terdengar suara Bo Yu Sien Ce menghardik.

   "Siapa kau?"

   Dengn gembira Pui Cie bilang.

   "Wanpwe Pui Cie terpaksa merobah wajah."

   Sebuah bayangan bergoyang, Bo Yu Sien Ce sudah di depan mata, tekanan di punggung Pui Cie mengendur, Ku Tien Chan tangannya yang memegang belati sudah memutar ke depan. Pui Cie masing-masing memberi hormat, dengan sopan berkata.

   "Wanpwe terpaksa begini merepotkan Cianpwe dan Twako."

   Ku Tien Chan berkata dengan tutur kata tidak jelas tapi masih dapat didengar, dengan suara Kua Kua Kua lalu melihat ke sekujur tubuh Pui Cie menganggukan kepala, menyatakan dia sudah terasa ini Pui Cie asli bukan tiruan.

   Bo Yu Sien Ce pesan pada Ku Tien Chan.

   "Anak, kau awasi terus mulut lembah!"

   Ku Tien Chan pergi menurut perintah. Bo Yu melangkah dan bilang.

   "Ikut aku, kita duduk disana untuk berbicara." -- Di mulut lembah Shin Kiam Pangcu sudah hadir, dia mengumpulkan Guan Cen Ce, Ti Kuang Beng, Yipha Yauci, dan komandan pengawal berunding masalah penting. Ti Kuang Beng berujar dengan suara rendah.

   "Si Baju Ungu jagoan yang jarang ada, kalau bisa mendapatkannya perkumpulan kita akan bertambah jaya."

   Dengan suara curiga Shin Kiam Pangcu berkata, 'Asal usulnya mencurigakan, beberapa tahun ini yang menonjol hanya Pui Cie, belum pernah mendengar nama yang satu ini, siapa orang yang sanggup mengajar orang sehebat begini?..."

   Guan Cen Ce menyahut.

   "Aku rasa kita harus kompromi lebih lanjut tentang masalah ini, orang yang hebat biasanya angkuh, kalau tidak kebetulan bukannya mendapatkan keuntungan malah sebaliknya."

   Kata Shin Kiam Pangcu.

   "Betul sekali pendapat pimpinan."

   Yipha Yauci dengan halus berkata.

   "Sekarang jati dirinya belum jelas, akan berbahaya sekali kalau dia sejalan dengan Ma Gwe Kiau."

   Shin Kiam Pangcu dengan mata berbinar berkata.

   "Kalau tidak bisa tahu asal usulnya, lebih baik dimusnahkan saja, perkumpulan kita seperti pohon besar banyak tertimpa angin, musuh juga tidak sedikit, kalau dia tidak bisa dipergunakan oleh kita, juga jangan sampai dipakai oleh orang lain."

   Ti Kuang Beng dengan pelan berkata.

   "Apa ketua bisa memberi kuasa padaku untuk mengurusnya?"

   Shin Kiam Pangcu terdiam sejenak, lalu mengangguk.

   "Boleh! Semua kuserahkan kau yang urus."

   Ti Kuang Beng membungkukkan badan menjawab.

   "Aku menerima perintah."

   Shin Kiam Pangcu menoleh.

   "Penasihat Liu!"

   Yipha Yauci membungkuk.

   "Aku disini!"

   Kau bantu Ti pengurus utama khusus masalah si Baju Ungu.

   "Ya!"

   "Peraturan tidak berubah, kalau tidak dapat digunakan oleh kita, sedapat mungkin dimusnahkan saja."

   "Ya!"

   Setelah itu mata Shin Kiam Pangcu memandang semua orang yang ada disitu, dengan suara keras dia berkata.

   "Rencana semula tidak berubah, gerakan ini tetap dipimpin oleh Komandan Guan."

   Habis berpesan begitu seperti terbang sekejap dia langsung menghilang. -- Pui Cie duduk di hutan bebatuan dalam formasi bersama Bo Yu menanti perkataannya. Bo Yu dengan gemas berkata.

   "Shin Kiam Pangcu apakah betul Phei Cen?"

   "Ya!"

   "Bagaimana kau akan menghadapinya?"

   "Wanpwe berencana masuk ke perkumpulannya, menanti kesempatan menangkap hidup-hidup Phei Cen, menghukum berat sesuai dengan peraturan perguruan."

   "Kenapa tidak sekarang pancing dia masuk ke dalam lembah?"

   "Dia sangat licik dan banyak curiga, ini... susah memancing dia, Wanpwe sejak terjatuh ke dalam jurang sampai sekarang belum melihat dia kembali."

   Sebenarnya Pui Cie ingin sendirian menyelesaikan perintah perguruan, tidak mau dibantu oleh siapapun sebab dia adalah penerus ketua perguruan.

    Ku Tien Chan datang kedepan mereka berdua, bicara dengan gaya kaki dan tangan, mulutnya mengeluarkan suara ,"Wu..

   a., i., ya...!"

   Tetapi Pui Cie tidak paham. Bo Yu Sien Ce berkata.

   "Katanya ada seorang berbaju indah bertopeng muncul lalu pergi lagi."

   Pui Cie menggigit bibir.

   "Itulah Phei Cen!"

   Bo yu Sien Ce mendadak berdiri.

   "Aku punya akal bisa menangkap dia."

   Ku Tien Cen sudah pergi lagi melihat keadaan di mulut lembah. Sepasang mata Pui Cie bersinar. Dia berkata.

   "Cian pwe, punya akal apa untuk menangkap Phei Cen?"

   Kata Bo Yu Sien Ce.

   "Dua orang Biauw mencoba masuk dan telah terkurung dalam formasi. Tadinya aku mau melepaskannya, kau sebagai utusan katakan bahwa Ma Gwe Kiau berada didalam lembah ini dan dia mau berunding dengan Phei Cen mengatasi segala persoalan. Aku nanti buka formasi dan membiar dia masuk setelah itu kita robah formasinya dan menangkapnya. Bagaimana?"

   Pui Cie pikir seksama, lalu dia berkata.

   "Menurut adatnya, dia tidak akan mudah mau mengambil resiko. Kalau siasat ini ketahuan olehnya, apa-apa yang telah aku rencanakan akan jadi sia-sia. Lebih baik lepaskan dua orang Biauw itu dulu sebagai tangga masuk ke perkumpulan mereka. Baru nanti cari kesempatan untuk membalas, sepertinya lebih aman."

   Bo Yu berpikir lagi sejenak, lalu bilang.

   "Baiklah! Terserah padamu. Aku sudah tidak bernafsu terhadap masalah dunia persilatan. Aku hanya ingin menghabiskan masa tuaku disini. Anak dan ibu bertapa disini. Tidak mau tahu lagi masalah dunia luar."

   Bicaranya begitu tapi matanya jadi merah. Pui Cie sangat terharu. Ini adalah masalah cinta generasi terdahulu. Dia tidak mau pikir siapa betul siapa salah. Ini akan terlupakan seiring waktu yang berlalu. Dia berpikir-pikir lalu bilang.

   "Wanpwe, mau tanya sesuatu."

   "Masalah apa?"

   "Masalah Hu Leng Hun.."

   "Masalah ini kau jangan ikut campur!"

   "Aku berhutang budi pada anaknya, Hu Sing Yi. Dia telah menolongku dari malapetaka. Dan aku pernah mengiyakan mau mencari tahu masalah ini. Bukan mau ikut campur."

   Wajah Bo Yu berubah-ubah. Terakhir dia menghela nafas dan berkata.

   "Baiklah aku akan memberitahumu. Tapi kau harus jaga mulutmu tidak boleh bocor keluar."

   Pui Cie dengan sendirinya agak tegang. Dia mengangguk dan berkata.

   "Aku pasti bisa menjaga mulutku."

   Bo Yu dengan berat hati berkata.

   "Hu Leng Hun adik seperguruanku..."

   Pui Cie sangat kaget, diluar dugaannya, matanya sampai membelalak besar. Boyu meneruskan.

   "Dia adalah satu-satunya murid pewaris yang diterima oleh almarhum ayahku. Ah! Ini sudah masalah puluhan tahun yang lalu. Tapi kejadian masih seperti di depan mata. Waktu itu dia belum dua puluh tahun. Silatnya sudah memandang tinggi. Umur muda sudah berhasil. Mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi dia jadi sombong. Kelakuannya di dunia persilatan tidak terkontrol dan memalukan perguruan. Karena dia menyukai seorang wanita yang jelek tabiatnya. Dia telah mencuri sebuah barang yang sangat dipusakakan oleh almarhum ayah. Ayah perintah aku untuk mencarinya..."

   "Belakangan bagaimana?"

   "Setelah bertemu, dia pura-pura menyesal dan mau berubah, dia menangis dan mengaku salah, aku kira dia sungguh-sungguh..."

   Dalam mata Bo Yu terlihat kesal, sepertinya sangat dendam. Dia bercerita lagi.

   "Sewaktu aku lengah, dia mendadak menyerangku..."

   "Ah!"

   "Waktu itu aku terluka parah. Hidup dan mati hanya dalam hitungan nafas, beruntung ditemukan oleh gurumu. Hu Leng Hun merasa takut dan melarikan diri. aku ditolong dengan susah payah oleh gurumu. Baru bisa mempertahankan nyawa ini. Untuk menyembuhkan lukaku, kami sering bersentuhan tubuh, maka..."

   Pui Cie menjadi mengerti, ternyata kejadian yang sebenarnya dengan gurunya adalah begitu. Rupanya Bo Yu sedih sekali, lama sekali dia baru bicara.

   "Aku memaksa gurumu. Belakangan... belakangan lahirlah Tien Chan. aku tahu suhumu telah berkeluarga, maka aku meninggalkannya. Aku mohon dalam setahun kami bertemu sekali. Dua puluh tahun sudah berlalu, dia mendadak tidak datang lagi. Saya sangat dendam. Tidak disangka dia terkena malapetaka dan cerita selanjutnya kau sudah tahu semua..."

   "Ya!"

   "Sampai delapan tahun yang lalu, Hu Leng Hun benar-benar insyaf. Dia tahu sendiri dosanya tak dapat diampuni. Dia datang kesini minta aku mengampuninya, dan minta diterima kembali ke perguruan dengan menghukum diri di depan altar. Tapi aku tidak mengizinkannya. Dia... menunggu disini sampai mati. Inilah kejadiannya."

   "Bagaimana dengan pusaka yang dicuri HuLeng Hun?"

   "Sudah hilang. Dia tidak bisa mengembalikan pusaka itu makanya aku tetap tidak mengizinkan dia kembali ke perguruan."

   "Pusaka apakah itu?"

   "Sebilah Giok Ju Yi (belati terbuat dari giok)"

   "Giok Ju Yi?"

   "Betul, belati itu terbuat dari batu giok yang berumur ribuan tahun. Luka yang bagaimanapun beratnya kalau golok itu ditempelkannya dalam waktu sekian lama dibadan maka luka itupun akan segera sembuh. Itu adalah pusaka yang jarang ada di dunia persilatan"

   Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Saat itu Pui Cie terharu sekali.

   Dia teringat masalah 'pedang raja' yang asli dan palsu.

   Menurut penuturan Thu Sing Sien yang dia dengarkan, Shin Kiam Pang telah menyuruh orang mencuri Giok Ju Yi dari keraton, dan menyuruh 'San Yen Pi Hu Kui' mengawal pulang.

   Tapi malah dibawa kabur oleh Oey Thao yang juga terbunuh waktu itu.

   Belakangan Shin Kiam Pangcu memakai pedang palsu yang disebut 'Pedang Raja', untuk memancing pedang asli keluar.

   Pedang Raja akhirnya telah didapatkan oleh Tan Yang Ce Ayah ibuku meninggal karena kasus Pedang Raja'.

   Kebetulan diriku bisa mendapat rahasia pedang itu, dan berhasil mendapatkan jurus maut Pa Kiam(pedang bengis).

   Sewaktu berfikir begitu, dia langsung berkata.

   "Belati Giok itu sudah jatuh ke tangan Phei Cen."

   Bo Yu kaget setengah mati, dengan suara gemetar bertanya.

   "Bagaimana kau bisa tahu?"

   Pui Cie menceritakan kembali persoalan "Pedang Raja' itu. Bo Yu dengan suara gemetar bilang "Ini., dengan cara apapun Belati Giok itu harus didapatkan kembali."

   Bo Yu berfikir cukup lama, lalu dia berkata.

   "Aku sudah bersumpah tidak akan terjun lagi ke dunia persilatan. Masalah ini... kau harus membantuku menyelesaikannya. Kalau sudah mendapatkan belati itu suruh anak Hu Leng Un yang mengembalikan, selanjutnya akan kumohonkan ampun dari Couwsunya atas dosa-dosa Hu Leng Hun."

   Pui Cie mengangguk-angguk.

   "Wanpwe pasti akan melaksanakannya."

   Sudut mata Bo Yu kelihatan seperti berair dia menghela nafas dan berkata.

   "Anak, apakah kau tetap akan menjalankan rencana ini menurut pemikiranmu?"

   Sepatah kata 'anak' ini menyentuh sekali hati Pui Cie. Dia merasa hangat hatinya. Dengan nada pasti dia berkata.

   "Ya, Phei Cen tidak saja mendapatkan Giok Ju Yi juga telah membunuh delapan orang anak buah Khang Khang Mui, mencuri setengah buku rahasia ilmu silat. Urusan ini mereka menuduh aku yang melakukannya maka Khang Khang Mui mau buat perhitungan denganku. Ini semua sekalian akan kuurus."

   Bo Yu dengan suara 'oh' dia berkata.

   "Baiklah, kau boleh bawa kedua orang biauw itu keluar. Kau jalankan saja semua rencanamu itu."

   Lalu dia membawa Pui Cie berputar-putar beberapa posisi dan menunjukan.

   "Orang yang terkurung didalam barisan."

   Dua Orang Biauw yang terperangkap dalam formasi itu sudah tidak berkutik.

   Mungkin sudah terlalu lama terkurung tenaganya menjadi habis.

   Sekarang mereka berdua bergelimpangan disitu.

   Melihat Pui Cie dan Bo Yu muncul, dengan perasaan takut mereka menggeliat mau bangun.

   Pui Cie membalikan dirinya dan berlutut pada Bo Yu berkata.

   "Wanpwe mau permisi!"

   Setelah berkata begitu dia berdiri dan mencabut Pa Kiamnya menunjuk.

   "Jalan!"

   Dua orang Biauw itu menjadi pucat pasi. Karena biasanya mereka bersikap angkuh, tangan masing-masing memegang pisau .. Pui Cie berkata dengan suara dingin.

   "Kalau tidak ingin mati, hayilah keluar!"

   Salah seorang suku Biauw dengan suara keras bertanya.

   "Siapa kau?"

   "Si Baju Ungu!"

   "Kau mau apa?"

   "Sesudah keluar lembah kau akan tahu. Ayo jalan!"

   Ujung pedangnya sudah menempel di tubuh mereka.

   Dua orang itu saling berpandangan, mereka mulai melangkah.

   Di bawah petunjuk Bo Yu mereka keluar dari barisan ajaib ini.

   Baru saja menampakan diri di sisi batu raksasa, ahli-ahli silat dari Shin kiam Pang sudah mengurung dua orang Biauw tadi.

   Melihat orang Shin Kiam Pang, mereka berdua takut setengah mati.

   Meraka berusaha menjauhkan diri mau...

   Jari Pui Cie segera bergerak menotok secepat kilat.

   Keduanya langsung roboh ditotoknya.

   Ti Kuang Beng dan kawan-kawannya semua terkaget-kaget memandang Pui Cie.

   Ti Kuang Beng ke depan dan berkata.

   "Adik, bagaimana sebenarnya masalahnya?"

   Dengan santai Pui Cie menjawab.

   "Kedua orang ini karena dikejar ketakutan, sembarangan menerobos masuk ke lembah, dan terperangkap disana, aku membawa keduanya keluar, setelah mendapat persetujuan Cianpwe yang ada di dalam. Masalah keberadaan Ma Gwe Kiau kau tanya saja sendiri!"

   Ti Kuang beng tertawa terbahak-bahak sambil berkata.

   "Bagus, sudah kuduga perkataan dan perbuatan anda sejalan."

   Guan Cen Ce memandang Pui Cie dan berkata.

   "Tadi aku semua curiga Siauhiap sealiran dengan Ma Gwe Kiau. Maafkan kelancanganku!"

   Sambil membungkukkan badan sikapnya menjadi berubah sekali. Pui Cie mngangkat kedua belah tangan.

   "Tidak apa-apa!"

   Dalam hati dia berkata.

   "Kalau saatnya telah tiba kalian satu persatu akan mati di bawah Pa Kiam ku!"

   Orang berbaju indah setengah baya mendekat ke depan dua orang Biauw itu, setelah melihat sebentar, berkata.

   "Mohon petunjuk Komandan, bagaimana mengatur mereka."

   Guan Cen Ce mengibaskan lengan jubahnya sambil berkata.

   "Bawalah dulu, nanti aku yang mengatur!"

   Orang baju indah setengah baya itu mengangkat tangannya, segera ada dua orang pengawal maju membawa kedua orang Biauw itu pergi. Ti Kuang Beng menunjuk orang baju indah setengah baya pada Pui Cie berkata.

   "Inilah Komandan pengawal Xiao Ta Chi. Kalian harus saling berkenalan."

   Xiao Ta Chi membalikan badan, belum lama ini dia terluka oleh Pa Kiamnya Pui Cie.

   Air mukanya masih ragu-ragu, dengan terpaksa mengangkat kedua belah tangan memberi hormat.

   Pui Cie juga menggenggam kedua belah tangan memberi hormat.

   Pui Cie juga mengangkat kedua belah tangannya membalas.

   Ti kuang Beng berkata.

   "Adik, mari kita pindah tempat untuk mengobrol."

   Pui Cie sudah menangkap apa maksud yang mau dibicarakan itu, dia mengangguk dan berkata.

   "Baik, silahkan!"

   Ti Kuang Beng mengangkat tangan, dan melirik Yipha Yauci dan berkata.

   "Penasihat Liu apakah juga mau ikut?"

   Yipha Yauci juga mengangguk, dua laki-laki satu perempuan melangkah pergi.

   Di sisi lain, Guan Cen Ce bersama para pengawal membawa kedua Biauw sudah pergi jauh.

   Pui Cie, Ti Kuang Beng, dan Yipha Yauci bertiga sampai di sebuah bukit kecil.

   Mereka mencari tempat untuk duduk.

   Ti Kuang Beng tersenyum-senyum baru bicara dengan suara rendah dan pelan.

   "Adik, ketua kami sangat puas dengan kepiawaianmu. Mari kita bekerja sama menjayakan dunia persilatan. Tetapi..."

   Pui Cie asal bicara.

   "Tetapi apa?"

   Dengan muka tegas Ti Kuang Beng bicara.

   "Menurut peraturan dunia persilatan adik harus menerangkan dulu asal-usulmu."

   Pui Cie berpikir-pikir lalu berkata.

   "Guruku telah meninggal, tidak perlu lagi disebut-sebut."

   Ti Kuang Beng terdiam saja. Yipha Yauci menyambung.

   "Si Baju Ungu, air ada sumbernya Pohon berakar tidak bisa asal jadi saja. Hal yang lain jangan dibicarakan dulu, kau nama dan marga saja belum pernah menyebutkan..."

   Setelah berpikir sebentar, Pui Cie berkata.

   "Aku Ong Giok!"

   Ong Giok dua huruf, pecah dua dari huruf Cie.

   "Ong Giok!"

   "Kau jarang berkelana di dunia persilatan?"

   "Baru selesai menuntut ilmu."

   "Ooo!"

   "Apa artinya o ini? Aku tidak mengerti."

   Ti Kuang Beng berdiri dan berkata.

   "Aku pergi sebentar anda berdua silahkan ngobrol dulu!"

   Habis bicara sekelebat badannya sudah menghilang. Yipha Yauci menunggu bayangan Ti kuang Beng menghilang. Dengan dingin bertanya.

   "Benarkah namamu Ong Giok?"

   Pui Cie menyungging mulut berkata.

   "Lucu, apa nama dan marga bisa dipalsukan?"

   Yipha Yauci sedikit tersenyum.

   "Masalahnya bukan aku puas atau tidak. Mesti dilihat kepuasannya ketua. Kau sudah pastikan dirimu mau bergabung dengan perkumpulan kami?"

   Pui Cie berfikir, pura-pura mundur, tetapi kemudian maju berkata.

   "Tergantung, itu harus lihat syarat perkumpulan kalian. Aku sudah biasa hidup tidak dikekang. Sekarang harus diperintah orang... sepertinya susah juga beradaptasi."

   Berhenti sebentar dia mencoba memancing.

   "Kenapa tidak terlihat ketua perkumpulanmu?"

   Yipha Yauci dengan malas menjawab.

   "Kalau dia ada keperluan, dia akan datang menemuimu!"

   Bergejolaklah perasaan Pui Cie, jika dia sudah bertemu dengan Phei Cen akan langsung bertindak atau pelan-pelan tunggu waktu sampai saat paling menguntungkan? Sekarang orang-orang didalam gunung, semua merupakan musuh yang tangguh.

   Kalau mereka bergabung lagi menyerang dirinya akibatnya sulit dibayangkan.

   o-o-o 1 Di tempat yang lain, dua orang Biauw sudah di kat di sebuah pohon.

   Komandan pengawal Xiao Ta Chi yang melaksanakan, dan Komandan Guan Cen Ce yang akan menghakimi.

   Dua orang Biauw itu sudah terluka sekujur tubuhnya, bajunya sudah compang camping, kulitnya terbuka, dagingnya kelihatan, tampaknya seperti menjadi dua manusia darah, pemandangan yang sangat memilukan.

   Guan Cen Ce dengan bengis menggertak.

   "Hayo katakan, dimana Ma Gwe Kiau bersembunyi?"

   Dua orang Biaw itu melotot dengan gemas sambil menggigit bibirnya.

   Sedikitpun tak mau mengeluh.

   Seorang pengawal membawa ranting-ranting kering ditumpuk dibawah kaki kedua orang ini.

   Komandan Xiao Ta Chi dengan satu tangan menjambak rambut satu Biauw.

   Ditarik ke belakang.

   Secara sadis berkata.

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tidak mau bicara? Sekarang pandang dulu temanmu untuk contoh kau lihat."

   Lalu ia mengangkat tangan dan memekik.

   "Bakar!"

   Seorang pengawal mengeluarkan pematik api. Diketikan sambil digerak-gerakan. Sebentar kemudian keluar asap, api langsung menyala di tumpukan sebelah kiri. Saat itu tiba-tiba seorang pengawal lari ke depan, melemparkan sebungkus barang ke dalam api.

   "Pheng!"

   Dengan suara keras. Asap hitam pun membumbung. Komandan Xiao Ta Chi memekik.

   "Apa yang telah kaulakukan?"

   Tapi pengawal itu sudah lari lagi memasuki hutan. Guan Cen Ce juga memekik.

   "Cepat kejar! Dia mata-mata!"

   Hampir bersamaan waktunya, bergulung-gulung asap keluar dengan tiupan angin yang kencang.

   Bunga api berterbangan.

   Asap menjalar kemana-mana.

   Asapnya membawa wewangian.

   Komandan Xiao Ta Chi sudah mengejar masuk ke hutan.

   Guan Cen Ce memekik dengan suara bergetar.

   "Cepat mundur! Asap beracun!"

   Semua terjadi begitu cepat dan begitu mendadak.

   Beberapa puluh pengawal yang belum keburu bertindak sudah rubuh.

   Guan Cen Ce meloncat sampai 20 meter lebih.

   Setelah sempoyongan dia langsung terduduk.

   Dari tempat itu, suara jeritan yang mengerikan datang.

   Komandan Xiao Ta Chi lari terbirit-birit dari dalam hutan sambil menyeruduk kepada Guan Cen Ce, tapi sekitar lima meter dia sudah kehabisan tenaga dan terjatuh.

   Dia masih mencoba berkata.

   "Komandan... Mata-matanya ialah..."

   Perkataannya belum habis, nafas sudah putus.

   Pengawal yang menaruh racun ke dalam bara api itu muncul lagi dan langsung memutuskan tali-tali yang mengikat 2 Biauw itu.

   Kedua tangannya menarik 2 orang itu menyembunyikan diri dalam hutan.

   Gerak geriknya begitu cepat dan tangkas.

   Kemudian muncul satu lagi bayangan orang seperti kilat menyemprot semacam cairan ke depan Guan Cen Ce.

   Guan Cen Ce menjerit-jerit.

   "Ternyata kau..."

   "Phing!"

   Bersamaan dengan itu terdengar jeritan Guan Cen Ce yang kepalanya pecah, kening robek dan mati seketika.

   Bayangan orang itu segera menghilang, suasana tenang kembali.

   Terlihat mayat- mayat bergelimpangan Kira-kira setengah jam kemudian Pui Cie dan Yipha Yauci sampai ditempat itu.

   Mata meraka memandang seluruh lokasi.

   Dia menjerit.

   Dengan gemetar berkata.

   "Perbuatan siapa ini?"

   Pui Cie memeriksa beberapa orang pengawal terdekat dengan keras dia berkata.

   "Mati keracunan, ini pasti perbuatan Ma Gwe Kiau."

   Yipha Yauci memutar badan ke samping memandang Pui Cie dengan gemas.

   "Si Baju Ungu, kau harus menjelaskan!"

   Pui Cie melotot aneh.

   "Kita kan datang bersama, apa yang harus dijelaskan?" -- BAB Masalah bermunculan Yipha Yauci melihat sekali lagi mayat-mayat yang bergelimpangan terkena racun itu. Lalu dengan dingin berkata.

   "Si Baju ungu, dari sini ke lembah tidak jauh jaraknya. Kau bilang didalam lembah tidak ada Ma Gwe Kiau, kau tidak mendapat bukti-bukti yang nyata..."

   "Aku telah mengeluarkan 2 orang Biauw itu!"

   "Sekarang mana orangnya? Sudah ditolong kembali, apa pertanggungan njawabmu?"

   "Aku tidak perlu memberi penjelasan, kau mau apa?"

   "Aku tidak mau apa-apa, nanti akan ada orang yang membuat perhitungan denganmu!"

   "Hah!"

   F Sebuah bayangan orang tiba dengan cepatnya. Dia adalah pengurus utama Ti Kuang Beng. Dengan sangat mendongkol dia berkata,"

   Kelakuan Ma Gwe Kiau sangat kejam. Sekali gerak telah membunuh beberapa jagoan perkumpulan kita"

   Yipha Yauci memandang sambil berkata.

   "Bapak pengurus, tadi anda kemana?"

   "Menemui ketua minta petunjuk mengenai urusan adik Ong yang ingin masuk perkumpulan."

   "Apa kata pangcu?"

   "Tidak ketemu. Pangcu telah membawa pengawal pergi mengurus masalah yang lebih penting."

   "Ow! Apakah Bapak pengurus sudah tahu apa yang terjadi disini?"

   "Aku mendengar suara teriakan, kemudian mengejar kesini. Selanjutnya pergi mengejar musuh."

   "Ada yang tertangkap?"

   "Lolos semua!"

   "Siapa?"

   "Mengapa Liu penasihat menanyakannya? sudah pasti ini adalah perbuatan Ma Gwe Kiau."

   "Kemana arah pihak lawan?"

   "Kabur ke sebelah Barat."

   "Pengurus utama bukankah sudah mempunyai cara yang sempurna untuk mengatasi Ma Gwe Kiau? Mengapa sampai dia bisa...?"

   "Dia membawa empat jagoan yang belum jelas dari mana. Aku..."

   Waktu bicara mengangkat lengan terlihat bajunya yang robek, lengan atas kena tiga goresan pedang yang masih bercucuran darah.

   Pui Cie tergerak hatinya, rupanya Ma Gwe Kiau bermaksud melawan Phei Cen.

   Yipha yauci berpikir-pikir lalu memandang Pui Cie, dia berkata.

   "Menurutku, lembah misteri yang diblokir formasi aneh itu yang paling bermasalah."

   Ti Kuang Beng menurunkan lengannya. Dengan suara rendah dia berkata.

   "Aku yakin urusan ini tidak ada hubungannya dengan orang yang berada didalam lembah."

   "Berdasarkan apa bapak pengurus berkata begitu?"

   "Mata-mata perkumpulan kita disana sama sekali tidak melihat gerakan apa-apa."

   "Susah dikatakan!"

   "Kita harus segera menemui pangcu biar dia yang memutuskan."

   "Yang ini..."

   "Sekalian ikut!"

   Pui Cie girang sekali.

   Ma Gwe Kiau sekali bikin keributan 2 orang musuh tangguh sudah terbasmi.

   Sekarang agak ringan tekanannya untuk melawan Phei Cen.

   Kalau ada kesempatan bisa menyingkirkan laki dan perempuan didepan mata ini, sudah tidak usah kuatir dengan pengawal elit yang tersisa.

   Hatinya berfikir begitu, mukanya sedikitpun tidak menunjukan apa-apa.

   Yipha Yauci mengerutkan dahi.

   "Bagaimana membereskan tempat ini?"

   Ti Kuang Beng berfikir sejenak.

   "Nanti suruh yang lain kesini mengurusinya. Kita lebih penting bertemu pangcu untuk melaporkan kejadian ini semua."

   Yipha Yauci menghela nafas berkata.

   "Kalau begitu mari kita berangkat saja!"

   Ketiganya langsung menuju arah jalan keluar pegunungan.

   Yipha Yauci berjalan didepan kedua orang itu.

   Selendang sutra merahnya melambai-lambai tertiup angin.

   Gaya jalannya luwes seperti dewi turun dari khayangan.

   Sambil memeluk phipha, daya pikatnya sungguh luar biasa, penuh pesona.

   Pui Cie tidak ada hati menikmati ini semua.

   Dia sedang memperhitungkan apa langkah yang harus ditempuh setelah bertemu Phei Cen.

   Saat maghrib ketiganya segera naik ke atas puncak tunggal sewaktu Pui Cie didesak masuk kedalam jurang itu.

   Dia mendadak merasa terharu dengan tempat ini.

   Dalam hatinya timbul hasrat membunuh untuk membalas sakit hatinya.

   Kenapa datang ke tempat ini lagi? Kenapa tidak terlihat sosok Phei Cen dan para pengikutnya?"

   Yipha Yauci pelan-pelan jalan menuju bibir jurang. Diam bengong disana. Ti Kuang Beng dengan suara keras meledeknya.

   "Penasihat Liu, aku tahu kau sedang memikirkan apa."

   Yipha Yauci tidak menoleh. Pelan sekali dia menjawab.

   "Pikirkan apa?"

   Ti Kuang Beng berucap.

   "Kau sedang melamun Pui Cie..."

   "Teng"

   Hati Pui Cie bergetar, dia semula sudah merasa perasaannya.

   Tapi dia tak mau menghiraukan.

   Karena waktu dia jatuh ke dalam jurang justru Yipha Yauci yang membuat umpannya, sekarang Ti kuang Beng membuka rahasia, dia juga tak tahu bagaimana perasaan hatinya.

   Yipha Yauci menoleh dan berkata.

   "Pengururs Utama, apa artinya perkataanmu itu?"

   Ti Kuang Beng bilang.

   "Apa yang ada dalam hatimu akan terpancar dari luar. Itu tak bisa disembunyikan dari pandangan orang lain. Orang selalu tidak merasa telah membocorkan rahasia isi hatinya, terlebih gadis yang penuh khayalan..."

   Yipha Yauci jalan lagi. Mata berbinar dan bilang.

   "Aneh, kau kenapa punya pemikiran seperti itu?"

   "He.. he.. he..", Ti Kuang Beng tertawa-tawa seenaknya terus berkata.

   "Sayang dia sudah mati, kalau dia didalam sana tahu, hatinya juga tentu akan tentram!"

   Alis mata Yipha Yauci ternangkat.

   "Kau cemburu?"

   Sikap dan gayanya yang begitu ceriwis, Pui Cie merasa muak.

   "Ha., ha., ha..", Ti Kuang Beng tertawa lagi, berkata.

   "Aku tidak akan cemburu terhadap orang yang telah mati. Sudahlah Penasihat Liu, jangan sampai ditertawakan oleh adik ini, Mari kita bicarakan pada persoalan yang serius saja. Kenapa Pangcu dan orang-orangnya semua belum kelihatan?"

   Saat itu juga seorang pengawal elit muncul dari kegelapan, dengan satu kaki melutut, menggenggam kedua tangannya sambil memberi hormat.

   Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hamba Peng Wei, menemui pengurus utama dan penasihat!"

   Ti Kuang beng mengangkat tangan.

   "Kepala bagian Peng. Bangunlah!"

   Peng Wei bangun lalu berdiri dengan sikap hormat.

   "Hamba mendapat perintah dari Pangcu, bahwa urusan dalam gunung ini harap ditangani oleh pengurus utama dan komandan, sedangkan Penasihat Liu harap segera pulang ke markas."

   Ti Kuang Beng mengerutkan kening.

   "Mana Pangcu?"

   Peng Wei menjawab.

   "Sudah kembali ke markas."

   Pui Cie menjadi lesu, tidak disangka Phei Cen sudah kembali kemarkasnya, sekarang untuk mencari dia kembali menjadi bertambah sulit, sangat mengecewakan.

   Kenapa dia mendadak tidak mau mengejar dan membunuh Ma Gwe Kiau lagi? Sepertinya dia belum tahu bahwa komandan Guan Cen Ce dan komandan pengawal elit Xiao Ta Chi sudah terbunuh.

   Ti Kuang Beng menghela nafas bertanya.

   "Apakah Pangcu masih ada pesan yang lain?"

   Peng Wei melirik-lirik Pui Cie, dengan tersendat-sendat dia bilang.

   "Ada yang berhubungan..."

   "Apa?"

   "Silakan, bisakah kita bicara disana."

   "Hm!"

   Ti Kuang Beng dan kepala bagian Peng itu bergeser menjauh, lebih 10 meteran jauhnya. Setelah berbisik-bisik sebentar kemudian berbalik lagi ke tempat semula. Ti Kuang Beng tersenyum-senyum pada Pui Cie dan berkata.

   "Adik, terpaksa pertemuanmu dengan pangcu harus ditunda. Setelah sepuluh hari kita bertemu lagi di Cao Yang dan kita berunding lagi disana. Bagaimana?"

   Pui Cie jadi curiga dalam hati berpikir. Apakah pihak lawan telah menemukan sesuatu yang tidak beres? Dengan asal asalan dia menjawab.

   "Bagaimana nanti saja!"

   Ti Kuang Beng memandangi Yipha Yauci dan berkata.

   "Penasihat Liu, harap laporkan pada pangcu apa yang telah terjadi sore tadi. Sekarang aku mau cari orang-orang untuk membereskan ini semua. Kita harus menunggu pangcu memberi perintah lebih lanjut."

   Yipha Yauci mengangguk.

   "Ya, nanti aku akan minta petunjuk pangcu!"

   Ti kaung Beng membalikkan kepalanya, berkata.

   "kepala bagian Peng!"

   "Hamba disini!"

   "Dalam gunung masih ada berapa saudara-saudara kita?"

   "Dua belas orang!"

   "Bagus! Cepat kumpulkan semua dan tunggu perintah!"

   "Ya!"

   Kepala bagian bermarga Peng itu kemudian berlalu setelah memberi hormat. Pikiran Pui Cie terus berputar.

   "Saat ini adalah kesempatan yang paling baik untuk membasmi sepasang laki perempuan ini. Tapi... kalau dibunuh sekarang jalan untuk mendekati Phei Cen menjadi terputus... Ah,' lebih baik sabar dulu!"

   Yipha Yauci berjalan dengan langkah gemulai. Kemudian berkata.

   "Kalau begitu, aku berangkat dulu!"

   Ti Kuang Beng mengangguk sambil berkata.

   "Silakan penasihat Liu, sepuluh hari kemudian kita bertemu lagi di pusat perkumpulan!"

   Yipha Yauci memandang Pui Cie dan berkata.

   "Sampai ketemu lagi!"

   Selendang sutra merahnya melambai-lambai, dia sudah jalan pergi dikeremangan malam. Sekarang tinggal Ti Kuang Beng dan Pui Cie berdua di atas bukit tunggal itu. untuk membunuhnya menjadi sangat mudah. Ti Kuang Beng seperti bergumam.

   "Benar-benar tidak terduga!"

   Pui Cie dengan tidak mengerti bertanya.

   "Apa yang tidak terduga?"

   Ti Kuang Beng merendahkan suaranya berkata.

   "Sebenarnya aku tidak boleh berkata apa-apa tapi sekarang karena tinggal dirimu dan aku, pasti kau tidak bisa membayangkan, bahwa ternyata Pui Cie tidak mati!"

   Hati Pui Cie terguncang keras, sengaja bersuara kaget,"

   Apa... Pui Cie tidak mati?"

   "Ya!"

   "Bagaimana ceritanya?"

   Ti Kuang Beng tercengang, dia seperti tidak sengaja kelepasan bicara mengenai rahasia ini. Tentu saja mimpipun dia tak akan menyangka siapa orang didepannya ini. Karena dia sangat percaya diri, sangat cepat berpikir dengan suara berbisik dia berkata.

   "Sebenarnya rahasia ini tidak boleh bocor. Tapi aku percaya padamu, tidak mau membohongimu. Disinilah tempat Pui Cie terdesak jatuh kejurang..."

   Pui Cie mundur satu langkah besar, membelalakan sepasang matanya dan berkata.

   "Siapa yang berkemampuan begitu besar, bisa mendesaknya jatuh kejurang?"

   "Pangcu turun tangan sendiri."

   "Ow.. kemudian bagaimana dia bisa tahu tidak mati?"

   "Satu jam yang lalu, Pangcu menyuruh orang turun ke jurang untuk memeriksa, dan ternyata tidak menemukan mayatnya!"

   "Terjerumus ke dalam jurang tidak mati? Ajaib sekali!"

   "Benar-benar tidak bisa dipikirkan dengan akal!"

   "Kalau begitu., apakah perkumpulanmu dan Pui Cie ada persoalan?"

   "Em!"

   "Seperti apa persoalannya?"

   "Itu persoalan lama, aku orang baru, tidak tahu detail-detailnya. Kabarnya... Dia banyak membunuh jagoan-jagoan perkumpulan kami, boleh dibilang air dan arang tidak bisa disatu tempat."

   Pui Cie merasa geli, dia memancing dan bertanya lagi.

   "Boleh tahu siapa nama pangcu anda?"

   Ti Kuang Beng tertawa dan dengan kikuk berkata.

   "Maaf, ini., lain kali aku kasih tahu."

   Berhenti sejenak, lalu memutar pokok pembicaraan.

   "Menurut berita, mata-mata kami pernah melihat jejak Pui Cie di luar gunung, maka pangcu kami cepat-cepat pulang ke markas mencari akal untuk mengatasi ini semua. -- BAB Dari Tamu Menjadi Tuan Rumah Pui Cie sengaja tertawa terbahak-bahak, dia berkata.

   "Kalau Pui Cie tidak mati, berarti keinginanku cepat lambat pasti bisa terlaksana!"

   "Kau tetap akan bertarung dengan Pui Cie?"

   "Ya!"

   Mulutnya berkata ya tapi dalam hatinya bergejolak terus, diluar gunung ini bisa menemukan jejak Pui Cie, siapa yang telah menyamar sebagai dirinya? Teringat akan anak buah Khang Khang Mui Ying Ce Jen' dan yang lain-lainbya, lima orang tua tiga anak muda semua yang sudah mati terbunuh, dan pembunuhnya telah membawa kabur setengah buku pusaka yang tak terhingga nilainya, apakah semua perbuatan si penyamar? Tadinya dia mencurigai perbuatan Phei Cen, tapi ternyata perkiraannya ternyata salah.

   Ti Kuang beng berkata lagi.

   "Adik, sepuluh hari kemudian kita bertemu di Cao Yang!"

   Pui Cie segera mengangguk, Phei Cen sudah pergi dia tak perlu berlama-lama lagi di dalam gunung ini, sekarang lebih penting adalah mencari orang yang menyamar dirinya.

   Kasus berdarah terbunuhnya Ying Ce Jen' dan anak buahnya, dia yang harus menanggung akibatnya, siapa tahu si penyamar ini akan melakukan sesuatu lagi?"

   Ti Kuang beng menggenggam kedua tangannya berkata.

   "Adik jaga diri baik-baik, aku mau pergi untuk berjaga-jaga."

   Pui Cie juga membalas hormat kembali.

   "Silahkan!"

   Ti Kuang Beng sedikit menggerakan tubuhnya, orangnya sudah melayang pergi. Pui Cie memandangi bayangan punggung Ti Kuang beng yang menghilang, diam-diam dia berfikir dalam hatinya.

   "Sebenarnya kepandaian Ti Kuang Beng tidak lebih unggul dari Guan Cen Ce. Juga dengan komandan pengawal elit Xiao Ta Chi. Ma Gwe Kiau dan anak buahnya bisa dengan mudah membunuh mereka, kenapa tidak mampu menghadapi Ti Kuang Beng dan beberapa orang pengawalnya? Mereka bertahan di gunung ini apa yang diandalkan?..."

   Dalam kegelapan malam, Pui Cie bergerak menuju mulut gunung. Setengah jam kemudian kira-kira sudah menempuh sepuluh lie, tiba-tiba terdengar suara phipa yang begitu merdu. Hati Pui Cie tersentak dan terpaku di tempat/Dia berfikir.

   "Yauci sudah mendapat perintah pulang ke Cao Yang, ke pusat Shin Kiam Pang, kenapa sekarang di tengah jalan malah memetik phipa? Suara phipa begitu sendu penuh kedamaian, sepertinya bukan sedang menghadapi musuh."

   Sesosok bayangan berselendang merah telah muncul di alam pikirannya, Pui Cie mencoba tak mau pedulikan, tapi ternyata dia tak bisa mengabaikan perasaan aneh itu dalam hatinya.

   Dia mengamati arah datangnya suara phipa sepertinya datang dari tempat yang tidak begitu jauh, tidak terasa dia berjalan menuju kesana lagi.

   Sebuah aliran sungai kecil, turun dari bebatuan di atas lembah, samar-samar bisa terlihat pantulan sinar dari riak gelombang yang terpancar.

   Di atas batu sungai, Yipha Yauci duduk sambil memetik phipa, nada-nada yang merdu keluar dari jari jemarinya, mengalun di kegelapan malam siapapun yang mendengarnya akan merasa begitu tenang dan nyaman.

   Sebelum sampai dipinggir sungai, dia berhenti dan melamun sejenak, bola mata berputar, tiba-tiba dia melihat bayangan Yipha Yauci kira-kira sepuluh meteran di atas batu, dibelakangnya berdiri juga sebuah bayangan menusia yang berbaju putih bertutup muka, di pinggangnya terselip sebuah pedang panjang mirip sekali dengan dirinya sendiri, darahnya mendadak mendidih, dalam hatinya menjerit.

   "Itulah orang yang menyamar diriku!"

   Kebetulan sekali, tak usah bersusah payah lagi mencarinya!"

   Rasa ingin membunuh, mengalir kencang bersama dengan aliran darahnya.

   Suara phipa tiba-tiba berhenti mendadak, Yipha Yauci seperti merasa ada yang mengawasinya, pelan-pelan membalikkan badan menghadap orang berbaju putih, dan berkata dengan suara manja.

   "Pendekar muda Pui, apakah kau masih tidak mau memaafkan aku?"

   Orang berbaju putih dengan pelan berkata.

   "Jangan bicara soal maaf, aku orang yahg sudah berkeluarga, aku tidak bisa memenuhi keinginan nona."

   Dia terang-terangan mengaku dirinya sebagai Pui Cie.

   Suaranya juga mirip, juga berani berkata bahwa dia sudah berkeluarga.

   Pui Cie yang sebenarnya menjadi marah, emosinya tak tertahankan badannya sampai gemetaran, susah membendung rasa ingin membunuhnya! Yipha Yauci tertawa renyah lalu berkata.

   "Aku tak peduli kau sudah beristri atau belum, aku hanya ingin menjadi sahabatmu."

   Orang berbaju putih berkata lagi.

   "Kita sekarang kan sudah berteman. Di dunia persilatan kalau bukan musuh pasti teman."

   Yipha Yauci sudah tidak merasa malu lagi berkata.

   "Tidak! Yang aku maksud, teman yang lebih. Bukan teman yang seperti biasa!"

   "Apa maksudmu...?"

   "Teman yang bisa berbicara lebih dekat, bisa bicara dari hati ke hati."

   "Nona Liu, jangan lupa perkumpulanmu denganku seperti api dan air, tidak bisa hidup bersama!"

   "Aku bisa meninggalkan Shin Kiam Pang!"

   "Kenapa harus begitu?"

   "Sebab... aku ingin berteman denganmu.."

   "Patut atau tidak itu hanya pendapat orang saja. Urusan dtinia ini kadang-kadang juga susah diberi kepastian!"

   Pui Cie sudah tidak tahan, sekali bergerak tubuhnya melayang turun diantara keduanya. Yipha Yauci segera turun dari atas batu tidak terasa memekik.

   "Si Baju Ungu!"

   Pui Cie memandangi terus si penyamar itu. Si baju putih tertawa renyah dan berkata.

   "Sobat, katanya kau mau bertarung denganku?"

   Pui Cie merasa geli juga mendongkol, dia bertanya.

   "Kau apakah benar Pui Cie?"

   Si baju putih tertawa.

   "Ha., ha., ha., lucu benar, apa artinya semua ini?"

   Pui Cie dengan kecut berkata.

   "Dalam hatimu kau sudah mengerti itu semua."

   "Aku tidak mengerti."

   Sambil berkata badannya sudah melayang turun dari batu. Kata Pui Cie.

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Buka topengmu! Pui Cie selamanya tidak pernah memakai topeng."

   Si Baju Putih secara sadis berkata,"sobat, maksudmu mencariku adalah untuk bertarung pedang, urusan yang lain tidak perlu dibicarakan. Pertama, sebutkan dirimu dari mana, dan apa sebabnya mau bertarung pedang denganku?"

   Bertarung pedang, itu alasan yang dikarangnya setelah dia berobah rupa, tidak disangka sekarang benar-benar bertemu dengan orang yang menyamar sebagai dirinya sendiri, penyamarannya terpaksa sekarang harus dipertahankan dengan benar-benar.

   Karena pihak lawan sudah mengaku sebagai Pui Cie, jadi apa boleh buat biarkan saja kesalahan ini berlangsung terus, yang penting selidiki dulu kasus berdarah Khang Khang Mui, nanti baru menentukan tindakannya.

   Sekarang karena sudah ada orang yang menyamar menggantikannya, semua malah bisa mengalihkan sasaran Shin Kiam Pang, tidak jelek malah ada baiknya untuk diri sendiri.? Sambil berfikir begitu dia sengaja dengan suara serak berkata,"Pui Cie, kita main- main dulu, urusan lain nanti dibicarakankan lagi."

   Si Baju Putih berkata.

   "Aku selalu tidak suka ribut dengan orang lain, apalagi terhadap masalah yang bukan-bukan, orang pintar tidak mau mencari banyak masalah!"

   "Enak kedengarannya, kau tidak berani?"

   "Tidak berani? Ha., ha., ha..!"

   "Cabutlah pedangmu!"

   "Sobat, kau ingin menjadi terkenal atau ada maksud lain?"

   "Anggaplah ingin terkenal. Hayo cabut pedangmu!"

   "Aku sudah bilang, tidak sembarangan menggunakan pedang."

   "Aku menantangmu!"

   "Aku tidak mau menerima tawaran yang tidak berguna!"

   Pui Cie bermaksud mendesaknya "Chiang!"

   Pedang sudah dicabut, dengan asal- asalan pedangnya digoyangkan.

   "Tidak bertarung juga boleh, asal buang pedangmu dan mengaku kalah. Dari sekarang hapus namamu, aku tidak akan bikin perhitungan lagi!"

   Yipha Yauci dengan sinis berkata.

   "Si Baju Ungu, aku tidak percaya berapa besar kemampuanmu? Sombongnya sampai begitu. Sadarlah! Nyawa sangat berharga, jangan membodohi diri sendiri!"

   Pui Cie melihat dia sebentar, bertanya.

   "Nona Liu, kenapa? Apakah kau merasa sebal?"

   "Seperti nya."

   "Kalau begitu jangan turut campur!"

   "Kau berani benar ngomong begitu padaku!"

   "Aku sudah baik sekali kepadamu!"

   "Apa betul?"

   "Terus terang, sekarang kau tidak punya kesempatan bermain curang padaku."

   "Bagus! Sekarang mari kita bertarung.."

   Dengan berjalan kehadapannya, phiphanya dipegang terbalik. Gayanya sangat aneh. Lantas dia bilang,"ayo silahkan menyerang dulu!"

   Dalam hati Pui Cie berkata.

   "Aku tidak membunuhmu karena takut menggangu urusan yang lebih penting. Kalau tidak kau sudah mati beberapa kali, aku akan menghancurkan phipa jelekmu, aku mau lihat kau akan seperti Sun Go Kong kehilangan pentungan emas, apa masih bisa bertingkah? Berfikir begitu, Pa Kiamnya tiba-tiba tidak terasa sudah diangkat, sorotan mata penuh kejengkelan. Saat itu juga mendadak datang beberapa bayangan orang. Pui Cie begitu menengok hatinya terguncang, nafaspun menjadi cepat. Orang- orang yang mendadak datang ternyata adalah Hie Ki Hong, yang telah resmi menjadi istrinya. Dia sekarang sudah tidak memakai baju putih, tapi diganti dengan dandanan kain tenunan keraton, yang datang bersama dengannya adalah ibu tetua Nenek Iblis Cakar Hantu, Kui Jauw Mo Pho. Dan dua orang dayang berbaju hijau. Mereka muncul pada saat ini adalah diluar dugaan Pui Cie. Sudah tentu setelah dia menyamar dan mengganti penampilan, saat ini dia adalah si Baju Ungu siapapun tidak akan mengenal dia. Kedatangan keempat orang ini juga diluar dugaan Yipha Yauci, dengan tidak terasa dia mengundurkan diri ke pinggir. Rombongan Hie Ki Hong langsung mendesak ke depan si Baju Putih. Kui Jauw Mo Pho membuka suara.

   "Pui Cie untuk menemukan dirimu ternyata sulit sekali, sekarang ayo pulang bersama kami. Kau tidak boleh begitu saja pergi!"

   Si Baju Putih segera dengan kalem berkata.

   "Aku masih ada urusan penting yang harus diselesaikan!"

   Dia masih tetap berpura-pura sebagai Pui Cie. Hati Pui Cie yang asli terasa mau meledak. Bagaimanapun juga, Hie Ki Hong istrinya, dia tidak rela kalau istrinya ditipu oleh si penyamar. Yipha Yauci secara kaku bertanya.

   "Apa hubungan kalian dengannya?"

   Hie Ki Hong membalikan badannya menatap beberapa kali kepada Yipha Yauci dan dengan dingin bertanya.

   "Kau siapanya dia?"

   Yipha Yauci dengan acuh saja berkata.

   "Sahabat yang baru kenal. Bagaimana?"

   Hie Ki Hong gemas sampai badannya bergetar, balik memelototi si Baju Putih. Kui Cau Mo Pho mendehem berkata dengan marah.

   "Hai, perempuan serigala, tinggalkan dia jauh-jauh. Kalau tidak kau akan menyesal."

   Yipha Yauci berkata.

   "Jangan asal buka suara menyakiti orang, kau nenek-nenek berdasarkan apa berani memerintahku?"

   Kui Jauw Mo Pho menjawab.

   "Tidak berdasarkan apa-apa, hanya kau tidak boleh menggaet laki-laki yang sudah beristri!"

   "Laki-laki beristri?" ' "Em!"

   "Ah! aku sudah mengerti, ternyata..."

   Pui Cie sudah tidak tahan lagi, sekali melangkah sudah sampai di depan si Baju Putih, dengan garang berucap.

   "Kalau kau masih tidak tahu diri, aku bisa buat mayatmu langsung terkapar disini."

   Si Baju Putih dengan sendirinya mundur dua lankah besar. Hie Ki Hong dengan marah memandang Pui Cie, menyentak keras.

   "Siapa kau?"

   Sakit betul hati Pui Cie, ini istrinya atau musuhnya? Ayahnya adalah ketua perkumpulan San Chai Men, Hie Bun-Cun menggunakan siasat telah menyelenggarakan perkawinan yang tidak wajar, membuat Kim Hong Ni kesal dan membunuh diri.

   Secara tidak langsung korban lainnya adalah adik kandungnya, Lie Se Kian.

   Karena Li Se Kian terlebih dulu diakui sebagai istrinya yang resmi, drama keluarga tragis begini entah bagaimana nantinya? Kui Jauw Mo Pho menyentak bertanya.

   "Siapa kau?"

   Yipha Yauci menjawabkan.

   "Dia namanya si Baju Ungu. Ahli pedang yang merasa dirinya paling hebat. Mau bertarung dengan Pui Cie."

   Kui Jauw Mo Pho dengan sinis berkata.

   "Cari mati!"

   Pui Cie marah pada si Baju Putih.

   "Buka tutup mukamu, kalau tidak aku akan menyerang dirimu!"

   Kui Cai Mo Pho menyentak.

   "Kau benar-benar mau cari mati?"

   Keadaan jadi kalut, hanya si Baju Putih yang keadaan sebenarnya jelas bagi Pui Cie.

   Hati Pui Cie kusut sekali, kalau dia menyerang si Baju Putih, Kui Jauw Mo Pho pasti membelanya, akibatnya bisa fatal, yang paling susah yaitu bongkar rahasia si Baju Putih.

   Berfikir begitu, dia langsung bicara secara keras.

   "Apakah kau sudah yakin dia Pui Cie?"

   Kui Cai Mo Pho tercengang bertanya.

   "Apa artinya?"

   Pui Cie berkata.

   "Kenapa tidak suruh dia membuka penutup mukanya?"

   Hie Ki Hong sedikit curiga bertanya.

   "Apelkah.. Dia..

   "

   Kui Cai Mo Pho langsung memotong.

   "Jangan dengarkan dia! aku kenal suaranya."

   Pui Cie mendongkol sampai keubun-ubunnya, pedang di tangannya langsung diangkat.

   "Aku lawan dirimu!"

   Kui Jauw Mo Pho menghardik.

   "Berani kau!"

   Sepasang jari tangan seperti kaitan halilintar langsung mencakar.

   Hie Ki Hong memakai pukulan tangan.

   Pui Cie tidak berani menggunakan pedang terhadap mereka berdua.

   Hanya secepat kilat dia menghindar.

   Badannya tidak berhenti di udara membuat gerakan setengah lingkaran.

   Pedang dalam genggaman cepat sekali menggulung ke si Baju Putih.

   Si Baju Putih ternyata gerakannya sangat menakjubkan dengan enteng saja dia sudah bisa keluar dari lingkaran pedang Pui Cie.

   Bersamaan itu, Kui Cai Mo Pho dan Hie Ki Hong memukulkan telapaknya masing- masing, kerasnya pukulan seperti angin puyuh menggulung, Pui Cie terkena getarannya sampai terhuyung-huyung.

   Yipha Yauci yang tepat berada di tempat mundurnya Pui Cie.

   Dia mengangkat phipha mencoba menghantam punggung Pui Cie.

   "StopPterdengar suara pekikan, segumpal angin keras melanda Yipha Yauci hingga terdorong mundur tiga langkah. Yang melakukan ternyata adalah si Baju Putih. Kata si Baju Putih.

   "Menyerang orang dalam keadaan tidak siap adalah tidak pantas!"

   Pui Cie kaget, tidak terpikirkan bahwa si Baju Putih dalam keadaan terdesak malah membantunya. Yipha Yauci dengan pipi menggembung mengomel.

   "Orang baik hati membantumu, malah disebut menggunakan kesempatan orang dalam bahaya.."

   Si Baju Putih tiba-tiba dengan suara keras berkata.

   "Si Baju Ungu, mari aku terima tantanganmu!"

   Pui Cie menarik nafas dalam-dalam.

   "Bagus!"

   "Tapi jangan disini!"

   "Pindah tempat?"

   "Betul, aku tidak suka ada orang ketiga yang turut campur!"

   Perkataan ini cocok dengan keinginan Pui Cie sehingga dia langsung menjawab.

   "Baik! dimana?"

   Kata si Baju Putih.

   "Ikutlah!"

   Kui Jauw Mo Pho memalingkan badannya berkata.

   "Tidak boleh pergi!"

   Si Baju Putih bertanya.

   "Kenapa?"

   "Selesaikan dulu semua persoalannya!"

   "Persoalan apa?"

   "Kau mau bagaimana mengatur dia?"

   Yang dimaksud dia adalah Hie Ki Hong.

   "Bagaimana kalau nanti aja!"

   "Tidak ada nanti! Harus sekarang!"

   "Maaf, aku mau menentukan dulu siapa yang lebih jago dengan si Baju Ungu!"

   Habis bicara bayangan putih melesat sudah seperti hantu saja menghilang di kegelapan malam.

   Cepatnya tidak dapat dibayangkan.

   Yang ada di lapangan semua kaget.

   Pui Cie pun terkagum-kagum.

   Hie Ki Hong berkata dengan suara gemetar,"Lau-lau..Kita..

   harus bagaimana?"

   "Tunggu dia di dalam gunung!"

   "Kita keluar gunung saja!"

   Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kenapa?"

   "Dia., tidak mau denganku lagi!"

   


Pisau Kekasih Karya Gu Long Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Elang Pemburu -- Gu Long /Tjan Id

Cari Blog Ini