Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 8


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 8



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Tetapi sampai saat ini, belum kuperoleh suatu jejak maupun keterangan yang meyakinkan tentang gong Prada itu.

   Rupanya pimpinan prajurit Daha sangat ketat sekali menjaga rahasia"

   "Maksud ki bekel"

   Kata Nararya "gong pusaka itu masih sukar diketahui bagaimana keadaan yang sebenarnya?"

   "Benar, raden"

   Sahut bekel Saloka "pertama, di manakah gong pusaka itu berada. Kedua, adakah gong yang tersimpan di Daha itu benar2 gong pusaka empu Prada ataukah gong yang palsu"

   Nararya mengangguk.

   "Memang gong Prada itu merupakan suatu pencaharian yang sulit dan pelik. Tetapi entah bagaimana, aku merasa makin tertarik untuk mencarinya. Karena menurut bayang2 yang kurangkai dalam resunganku, dalam menelusur jejak gong pusaka itu kita akan dapat pula menyingkap suatu rahasia lain. Rahasia yang menyangkut kepentingan Singasari"

   Bekel Saloka mengangguk pula"

   Memang tepat kiranya pandangan raden itu. Dalam menghadapi pertanyaan yang paling sederhana saja, mungkin kita harus berhadapan dengan beberapa tafsiran"

   "Pertanyaan bagaimanakah yang ki bekel maksudkan ?"

   "Yalah"

   Kata bekel Saloka "apa tujuan orang hendak mencuri gong Prada itu? Jika yang melakukan itu orang Daha, apakah maksudnya? Untuk kebanggaan, kejayaan dan kebesaran angkatan perang Daha? Adakah hanya itu?"

   Nararya merenung.

   "Jika hanya itu yang menjadi tujuannya, adakah mereka dak kua r bahwa hilangnya gong pusaka itu tentu akan menimbulkan kehebohan kerajaan Singasari? Sepanjang-panjang lorong masih panjang jua kerong-kong. Betapapun ketat Daha akan menjaga rahasia itu, namun akhirnya pas akan bocor dan pas Singasari akan mendengar juga. Dan apabila Singasari mengetahui peris wa itu, dakkah baginda akan mengambil ndakan? Dan apakah ndakan itu takkan meretakkan hubungan Singasari-Daha ? Adakah kebanggaan dari pimpinan prajurit Daha itu layak dengan imbalan yang akan diderita akibat tindakan baginda Singasari?"

   "Ki bekel"

   Kata Nararya "Memang tepat ulasan ki bekel itu.

   Tetapi kenyataan Daha berani menindakkannya.

   Tentulah para pimpinan pasukan Daha termasuk pangeran Ardaraja, sudah memperhitungkan akibat2 itu.

   Dan apabila mereka tetap berani melakukan, tentulah mereka sudah mempunyai rencana untuk menghadapinya"

   Kali ini bekel Saloka harus mengangguk, membenarkan ulasan Nararya.

   "Ki bekel"

   Kata Nararya pula "oleh karena kenyataan yang kita hadapi adalah demikian, maka marilah kita lanjutkan usaha kita untuk mencarf jejak gong pusaka yang hilang itu. Tetapi ki bekel ...."

   Tiba2 Nararya hentikan kata2.

   "Adakah ki bekel sudah mengadakan perundingan dengan ki demang Lodoyo?"

   "Soal apa, raden?"

   "Bahwa ki demang bersedia memberi kelonggaran waktu kepada kita dalam mencari jejak gong itu. Artinya, janganlah ki demang terburu-buru memberi laporan ke Singasari"

   "Ya"

   Kata bekel Saloka "dalam hal itu ki demangpun telah mempertimbangkan langkah yang bijaksana.

   Dia memberi waktu secandra kepadaku.

   Apabila ternyata gagal, terpaksa ia akan memberi laporan ke Singasari.

   Tetapi ia lebih suka apabila kita berhasil menemukan gong itu.

   Melapor ke pura kerajaan, tentu akan mendapat hukuman, paling tidak teguran"

   "Walaupun sudah setengah candra kita mulai melakukan pencarian tanpa berhasil, tetapi waktu secandra itu memang cukup longgar"

   Kata Nararya "ki bekel, menyambung pembicaraanku tadi.

   Kumaksudkan apa yang kualami di lembah Tiini Pan itu.

   Rembang disuruh membunuh Seia.

   Walaupun kami berdua berhasil menghukum Rembang tetapi Setapun tak dapat, ditolong jiwanya.

   Sebelum ma , Seta minta tolong kepada kami supaya menyampaikan peris wa itu kepada seorang adiknya yang bernama Wariga.

   Nah, kepada Wariga inilah kita dapat langkahkan tujuan kita untuk mencari hubungan2 yang diperlukan dalam usaha penyelidikan kita ini"

   Bekel Saloka mengangguk "Ya, benar, raden. Tetapi dimanakah Wariga itu bekerja? Di pura Daha terdapat banyak mentri dan senopati"

   Nararya menghela napas "Itulah ki bekel, soal yang meresahkan pikiranku. Karena ke ka saat itu kuminta keterangan tentang diri Wariga ternyata Seta sudah keburu meninggal akibat luka yang dideritanya"

   Bekel Saloka merenung kemudian berkata "Baiklah raden. Daripada berjalan dalam kegelapan, sepercik sinarpun berguna juga. Akan kuselidiki orang itu"

   Maka hari itu bekel Saloka masuk pula ke pura Daha untuk menemui beberapa kenalan.

   "Aku belum berhasil menemukan keterangan tentang diri Wariga itu, raden"

   Kata bekel Saloka ke ka sore itu ia pulang dan duduk bercakap-cakap dengan Nararya "tetapi aku mendapat sebuah berita yang-penting"

   "O"

   Nararya terkesiap "berita apakah itu, ki bekel?"

   "Di pura Daha akan berlangsung suatu pernikahan agung. Antara puteri tumenggung Sagara Winotan dengan putera dari tumenggung Mahesa Antaka. Saat ini kedua tumenggung itu merupakan senopati2 yang menjadi tiang utama kerajaan Daha"

   "O"

   Desuh Nararya "pernikahan diantara puteri putera mentri, narapraja dan Priagung, merupakan peris wa yang jamak terjadi. Dalam hal apakah maka ki bekel, pernikahan kali ini suatu peristiwa yang penting?"

   "Raden Nararya"

   Kata ki bekel "oleh karena kedua tumenggung itu merupakan tiang andalan dari pemerintah Daha dan menduduki jabatan yang penting dalam pasukan Daha, sudah tentu segenap mentri narapraja Daha akan menghadiri.

   Disitulah raden, kita harus mencari kesempatan untuk mengenal wajah2 mereka.

   Syukur apabila dalam perjamuan itu akan terjadi sesuatu sehingga kita dapat memperoleh keterangan2 penting tentang gong pusaka itu"

   "Benar, ki bekel ..."

   Nararya cepat berseru tetapi cepat pula ia berhenti terlongong.

   "Mengapa raden?"

   "Kenyataan sering tak memenuhi keinginan"

   Kata Nararya "memang rencana ki bekel itu bagus.

   Aku setuju sekali.

   Tetapi dakkah pelaksanaannya sukar? Bagaimana mungkin kita dapat mendengar berita2 itu apabila dak ikut masuk dalam perjamuan ? Tapi bagaimana mungkin kita dapat ikut dalam perjamuan itu?"

   "Raden"

   Bekel Saloka tersenyum "dalam hal ini secara tak kusangka, aku telah memperoleh jalan untuk melaksanakan hal itu.

   Yalah, Pinaka, kenalanku prajurit yang bekerja pada senopa Sagara Winotan, menawarkan suatu pekerjaan padaku sebagai tenaga yang menghidangkan hidangan dan minuman kepada para tetamu.

   Diperkirakan tenaga pelayan tentu tak mencukupi karena tetamu2 yang diundang banyak sekali"

   "Dan ki bekel menerimanya? "Ya"

   Sahut bekel Saloka "bahkan prajurit kenalanku itu pesan supaya aku mencarikan lagi dua atau tiga orang"

   "Bagus, ki bekel"

   Seru Nararya "jika demikian ki bekel dapat mengajak beberapa anakbuah ki bekel untuk menerima pekerjaan itu.

   Aturlah sedemikian rupa, agar ki bekel dan anakbuah ki bekel itu dapat menangkap pembicaraan para priagung di perjamuan itu.

   Bilakah pernikahan itu akan dilangsungkan?"

   Tanya Nararya.

   "Dua hari lagi"

   Kata bekel Saloka.

   Demikian setelah bercakap-cakap maka Nararya menyatakan malam itu akan melakukan penyelidikan kedalam pura "Mungkin dengan adanya pernikahan itu, para tumenggung dan nayaka menghentikan kegiatannya.

   Tetapi daripada disini, lebih baik aku coba berjalan-jalan kedalam pura.

   Mungkin akan menemukan sesuatu"

   Bekel Saloka menyetujui, ia menyertakan Pamot lagi untuk mengiring Nararya sekalian menjadi penunjuk jalan.

   Nararya berjalan dalam kesepian malam.

   Kebanyakan rumah2 dan lorong2 serta jalan2 sudah sepi.

   Tetapi karena tiada tujuan tertentu, Nararyapun tak menghiraukan suasana itu.

   Ia berjalan bersama Pamot menelusuri lorong2 gelap.

   Ia tak mengharap banyak dakrn penyelidikan malam itu.

   Ia hanya minta Pamot supaya membawa ke tempat kediaman para mentri dan senopa yang mempunyai kedudukan pen ng dalam pemerintahan Daha.

   Barangkali saja ia akan melihat sesuatu.

   Malam makin larut dan tibalah Nararya di sebuah bangunan besar yang memiliki halaman luas.

   Letaknya agak diujung pura.

   "Inilah tempat kediaman tumenggung Mahesa Antaka, raden"

   Kata Pamot.

   "O"

   Nararya agak terkejut "yang puteranya akan dinikahkan dengan puteri tumenggung Sagara Winotan itu ?"

   "Ya"

   "Mengapa sepi2 saja?"

   "Entah, raden"

   Kata Pamot "tentulah mereka telah bekerja pada siang hari. Kemungkinan besok malam, hari widodaren, tentu lebih ramai"

   Demikian setelah tengah malam ba, karena merasa takkan mendapat sesuatu, Nararya segera mengajak Pamot pulang.

   Tetapi belum berapa jauh mereka berjalan, ba2 Nararya terkejut mendengar derap orang berjalan.

   Walaupun pelahan sekali kaki orang itu melangkah tetapi karena malam amat sunyi dan pendengaran Nararya memang tajam, iapun segera dapat menangkap derap langkah itu.

   "Pamot, kita menyusup kebalik pohon itu"

   Nararya menarik tangan Pamot untuk diajak menyelinap dibalik sebatang pohon besar yang tumbuh tak berapa jauh dari tepi jalan.

   Pamot heran.

   Ia tak mendengar ataupun melihat, sesuatu yang mencurigakan tetapi mengapa raden itu hendak mengajaknya menyembunyikan diri.

   Namun ia menurut juga.

   Belum berapa lama mereka menempatkan diri dibalik gerumbul pohon, ba2 sesosok tubuh melintas di jalan dan menuju ke dalam pura.

   Langkah kaki orang itu ringan dan cepat.

   Nararya dan Pamot terbeliak kejut ke ka menyaksikan perwujutan orang itu.

   Mengenakan pakaian warna hitam dan mukanyapun memakai topeng.

   "Berjalan di tengah malam, menimbulkan keheranan orang. Apalagi memakai topeng dan pakaian hitam, tentu mencurigakan"

   Diam2 Nararya menimang dalam ha "dan memang, apabila menilik gerak gerik-nya, orang itu tentu mempunyai maksud yang penting"

   "Biasanya, orang yang keluar pada waktu tengah malam sepi dan berdandan begitu, tentulah hanya bangsa penjahat. Garong atau pencuri ataupun ptenjahat yang hendak melakukan pembunuhan atau penganiayaan"

   Pikirnya pula. Ia segera menggamit lengan Pamot"Hati2, kita ikuti orang itu"

   Dengan menjaga jarak yang tertentu jauhnya tetapi yang terhindar dari pendengaran orang yang diikuti, Nararya dan Pamot berindap-indap membayangi orang itu.

   Orang itu ternyata menuju ke gedung kediaman tumenggung Mahesa Antaka.

   Dia mengitar ke bagian belakang gedung.

   Sejenak ia berhen , mengeliarkan pandang ke empat penjuru.

   Tentulah dia hendak memas kan bahwa gerak geriknya aman dari pembayangan orang dan sekeliling tempat itu aman dari orang atau peronda.

   Dibalik gerumbul pohon tempat ia bersembunyi, Nararya dan Pamot dapat melihat apa yang dilakukan orang itu.

   Orang itu mengeluarkan segulung tali.

   Ujung tali diikat dengan seperangkat alat besi, menyerupai ujung trisula tetapi melengkung bengkuk seperti kait.

   Setelah membaling-balingkan tali dan kait, orang itu lalu melontarkannya kepuncak pagar tembok, lalu ditarik-tariknya beberapa-kali.

   Setelah yakin bahwa kait telah menyusup pada lingkupan puncak tembok, barulah orang itu mulai memanjat keatas dengan bantuan tali.

   Dalam beberapa kejab balah ia di puncak pagar tembok, memindahkan kait ke lingkupan puncak tembok bagian luar, kemudian menuruni tali itu ke bawah.

   "Jelas seorang penjahat yang hendak mengganggu keamanan keluarga tumenggung Mahesa Antaka"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bisik Nararya. Pamot mengiakan, kemudian bertanya bagaimana raden itu hendak bertindak.

   "Kita tak boleh tergesa-gesa. Lebih baik nantikan saja bagaimana perkembangannya"

   Hampir sepeminum teh lamanya, ba2 Nararya dan Pamot terkejut mendengar suara hiruk orang berteriak-teriak "Tangkap, penjahat! Tangkap penjahat!"

   Gedung kediaman tumenggung Mahesa Antaka yang semula terlelap dalam kesunyian malam, saat itu mengumandangkan suara yang hiruk dan tegang.

   Bahkan beberapa saat kemudian terdengar r kentung bertalu-talu menjagakan dur penghuni dan kantuk penjaga gedung tumenggungan.

   Secepat itu pula Nararya melihat kemunculan sosok tubuh manusia aneh yang mengenakan topeng tadi dipuncak pagar tembok.

   Rupanya orang itu tak sempat menggulung tali kait alat pemanjat pagar tembok lagi.

   Bahkan tak sempat pula ia menggunakan tali itu.

   Bagaikan seekor kelelawar meluncur dari cerobong daun pisang, orang itu melayang dari ke nggian puncak pagar tembok.

   Selekas tiba di tanah, ia terus lari menyusup kedalam kegelapan.

   "Pamot, kita ikuti dia"

   Nararya segera mendahului menyusul orang itu.

   Tindakan Nararya itu memang tepat.

   Karena selang beberapa saat kemudian, beberapa pengalasan gedung tumenggungan serempak keluar untuk mencari jejak.

   Mereka menyelidiki kesekeliling pagar tembok luar.

   Dalam pada itu memang agak mengalami kesulitan bagi Nararya untuk mengiku jejak orang itu.

   Pertama ia harus tak boleh menonjolkan diri sehingga jejaknya diketahui orang itu.

   la harus menjaga suatu jarak tertentu agar jangan kehilangan bayangan jejak orang itu.

   Kemudian lapun harus memperhatikan Pamot agar jangan ketinggalan terlalu jauh dibelakang.

   "Pamot, pelahan-lahan saja engkau berlari"

   Akhirnya Nararya memberi perintah "aku akan mengimbangi lari orang itu agar jangan sampai kehilangan jejaknya. Apabila aku tak kembali menemui engkau, langsung engkau pulang ke guha dan menunggu aku di-sana"

   Setelah meninggalkan Pamot, agak leluasalah Nararya bergerak.

   Selang beberapa waktu, orang itu ba2 menghilang ke dalam sebuah gerumbul semak.

   Nararya terpaksa menunggu.

   Tengah ia menduga-duga apakah gerangan yang dilakukan orang itu, ba2 muncullah sesosok tubuh dari gerumbul semak.

   Orang itu hanya mengenakan kutang, memakai ikat kepala dan berjalan dengan tenang.

   Nararya terkejut.

   Hampir ia merangkai suatu dugaan lain.

   Tetapi untunglah dalam pengamatannya yang tajam, walaupun jaraknya agak jauh, tetapi ia segera mendapat kesan bahwa nggi dan perawakan orang itu sama dengan orang yang mengenakan pakaian hitam dan bertopeng tadi.

   Cepat iapun dapat menduga bahwa orang bertopeng tadi telah melucu pakaian dan topeng, berganti dengan pakaian biasa.

   Dengan makin ha 2 Nararya mengiku langkah orang itu dari jarak yang cukup jauh.

   Tak lama kemudian orang itu menuju ke sebuah rumah yang luas halamannya.

   Tak lama kemudian lenyap masuk ke dalam.

   Sampai beberapa saat Nararya mengawasi rumah besar dengan halamannya yang luas itu.

   Tiba2 ia terperanjat "Bukankah rumah itu tempat kediaman bekel Sindung?"

   Di mbulkannya pula ingatannya untuk mengingat-ingat lebih tajam. Memang tak salah kiranya kalau ia memas kan bahwa rumah itu memang kediaman bekel Sindung. Pernah sekali ia datang menyelidiki rumah itu pada malam hari.

   "Siapakah gerangan orang itu?"

   Kini mulailah ia bertanya-tanya dalam ha "seorang pengalasan atau mungkin bekel Sindung sendiri ?"

   Timbul sedikit rasa sesal dalam ha nya, karena ia belum fahatn akan wajah serta perawakan bekel Sindung.

   Sukar untuk menemukan ciri2 orang itu dengan bekel Sindung.

   Namun mbul pula pertanyaan lebih lanjut "Mengapa orang itu hendak melakukan kejahatan di gedung kediaman tumenggung Mahesa Antaka ? Hendak mencuri ? Atau mempunyai tujuan lain ?"

   "Ah, bekel Sindung benar2 penuh rahasia. Pencurian gong Prada, dialah yang memerintahkan pengelasannya,. Dan kini diapun menyuruh seorang pengatasan untuk masuk ke dalam tumenggungan. Bahkan mungkin dia sendiri yang masuk ke tumenggungan itu"

   Pikir Nararya.

   Setelah menimang beberapa saat, akhirnya Nararya kembali untuk menemui Pamot yang ter nggal di belakang.

   Ia akan mengajak Pamot untuk memberi keterangan, benarkah rumah besar dengan halaman yang luas itu, tempat kediaman bekel Sindung.

   Hampir ba ditempat ia berpisah dengan Pamot tadi, ia terkejut ke ka mendengar suara orang merin h-rin h kesakitan.

   Nararya berhen dan memandang ke sekeliling penjuru tetapi tak melihat sesuatu apa.

   Ah, mungkin salah mendengar, pikirnya.

   Tetapi ke ka ia hendak lanjutkan langkah, telinganya yang tajam dapat menangkap pula suara orang mengerang dengan lirih, seper takut kalau terdengar orang.

   Namun angin malam yang berhembus, mengantar napas dan erang orang itu ke telinga Nararya.

   Nararya mengeliarkan pandang dan akhirnya melekatkan pandang matanya ke arah sebuah gerumbul lebih kurang tiga tombak jauhnya dari tepi jalan.

   "Ki sanak, siapakah engkau? Mengapa engkau merin h rin h seper kesakitan?"

   Tegurnya seraya menghampiri dan berdiri di depan gerumbul itu.

   "O. raden Nararya .... aku berada di balik gerumbul ini ..."

   Ba2 terdengar suara orang berseru lemah. Cepat Nararya menyelimpat ke belakang gerumbul "Engkau Pamot"

   Serunya ke ka melihat sesosok tubuh terbaring di tanah. Cepat ia menghampiri "mengapa engkau!"

   Bukan kepalang kejut Nararya ketika melihat tubuh Pamot berlumuran darah "Pamot, engkau ...."

   "Aku telah dikeroyok orang2 tumenggungan, raden"

   Pamot menahan kesakitan, memberi keterangan. .

   "Mengapa?"

   Nararya makin terperanjat.

   Tetapi melihat Pamot mengerang kesakitan, Nararya suruh dia tenang dulu.

   Kemudian ia menolongnya, mengurat-urut tubuh pengalasan dari Lodoyo itu.

   Merobek ujung baju dan membalut bahu kiri Pamot yang terluka tusukan senjata tajam.

   Selang beberapa saat kemudian, sakit Pamot agak berkurang, napaspun mulai tenang.

   "Ke ka sedang berjalan, ba2 serombongan pengalasan tumenggungan yang bersenjata, muncul. Karena kua r salah faham, akupun segera bersembunyi dibalik gerumbul. Tak lama kemudian, ba2 dari arah barat muncul seorang lelaki. Langsung orang itu berha-dapan dengan rombongan pengalasan tumenggungan. Orang2 tumenggungan yang terdiri dari peronda, penjaga dan pengalasan, segera berteriak-teriak hendak menangkap orang itu. Orang itu terkejut dan berteriak- teriak "Aku tak salah apa2, mengapa hendak kalian tangkap ?"Tetapi orang2 tumenggungan itu tetap tak menghiraukan dan menganggap orang itu tentulah penjahat yang masuk kedalam gedung tumenggungan tadi. Melihat itu akupun kasihan dan muncul. Kuterangkan kepada pengalasan2 bahwa orang itu baru saja datang dari luar pura. Dia tak tahu apa2 tentang peris wa yang terjadi di tumenggungan"

   Pamot berhen sejenak untuk memulangkan napas, kemudian melanjutkan pula "Ternyata mereka tak percaya bahkan menuduh aku sebagai kawan orang itu.

   Kami berdua terus dihajar.

   Karena mereka berjumlah lebih banyak dan bersenjata tajam, akhirnya aku terkena tusukan dan rubuh pingsan.

   Sebelum pingsan aku masih sempat mendengar orang itu mengatakan mau menyerahkan diri asal mereka jangan mengganggu aku.

   Demikian dia terus dibawa ke tumenggungan dan akupun dibiarkan pingsan ditempat ini"

   "Kenalkah engkau pada orang itu?"

   Tanya Nararya.

   "Tidak raden"

   Kata Pamot "dia masih muda, mungkin lebih tua sedikit dari raden. Bertubuh kekar, dada bidang. Andaikata para pengalasan tumenggungan itu dak membekal senjata, kemungkinan sukar untuk mengalahkan pemnda itu walaupun jumlah mereka jauh lebih banyak"

   "Siapakah namanya ?"

   Nararya mulai tertarik. Pamot tertegun "Ah, sayang dia tak memberitahukan namanya. Dan aku sendiripun karena menderita kesakitan tak sempat bertanya"

   "Dengan begitu dia masih berada di tumenggungan bukan ?"

   Tanya Nararya.

   "Ya, dia diperlukan sebagai tawanan. Kedua tangannya diikat. Pada hal jelas dia bukan penjahat yang masuk ke tumenggungan tadi"

   Nararya menghela napas.

   "Berjalan seorang diri di malam gelap, memang menimbulkan kecurigaan orang. Dan justeru terjadi peris wa penjahat di tumenggungan itu sehingga dengan mudah pengalasan2 tumenggungan menjatuhkan tuduhan bahwa dialah penjahat itu"

   "Benar, raden"

   Kata Pamot "memang sering para pengalasan itu mencari mudah.

   Kua r karena mendapat teguran dari tumenggung karena telah melalaikan tugasnya menjaga keselamatan gedung tumenggungan maka pengalasan itu segera menjadikan orang itu sebagai kambing hitam.

   Sebagai tumpuan kesalahan mereka agar setelah berhasil menangkap penjahat itu, merekapun terlepas dari hukuman atau teguran ki tumenggung"

   Nararya diam sejenak. Rupanya ia tengah memikir sesuatu.

   "Pamot, apakah engkau sudah dapat berjalan?"

   Ba2 ia bertanya.

   Dan ke ka Pamot mengatakan kalau ia sudah dapat berjalan maka Nararyapun mengajaknya pulang.

   Dalam perjalanan itu Pamot serrtpat bertanya bagaimana langkah yang akan diambil Nararya.

   Berkata Nararya "Pamot, sebenarnya aku sangat berkesan akan pemuda yang merelakan diri ditangkap pengalasan tumenggungan itu karena hendak menolong engkau.

   Kita wajib membebaskannya, Pamot"

   "Tetapi raden, tumenggungan tentu dijaga keras. Tidakkah sangat berbahaya apabila raden hendak masuk kesana ?"

   "Pamot"

   Kata Nararya dengan nada tak kenal kecewa "berbicara soal bahaya, disegala tempat dan segala waktu, kita selalu dikelilingi bahaya itu.

   Jika dia seorang yang belum mengenal engkau, berani mengorbankan diri untuk menolongmu, adakah kita tak berani berusaha untuk menolongnya hanya karena takut menghadapi bahaya?"' Pamot terkesiap.

   "Menolong orang, sudah kewajiban kita. Menolong orang yang pernah menolong kita, lebih dari wajib lagi"

   Kata Nararya "soal ini Pamot, aku sudah memper mbangkan.

   Malam ini, tentu belum sempat orang itu diperiksa atau dihukum.

   Demikian sampai besok dan lusa, karena tumenggung Mahesa Antaka masih sibuk dengan peralatan pernikahan puteranya, tentulah belum sempat.

   Orang itu tentu masih ditahan dulu di tumenggungan.

   Dalam kesempatan selama dua hari itulah, Pamot, aku akan berusaha untuk menolongnya"

   "Raden"

   "Engkau masih terluka. Jangan engkau sibukkan pikiranmu hendak ikut serta. Aku seorang diri dapat melakukannya"

   Kata Nararya.

   "Tetapi raden ...."

   "Pamot"

   Kata Nararya dengan nada tegas "aku seorang ksatrya.

   Dan perbuatan orang itu kuanggap laku seorang ksatrya.

   Maka sebagai seorang ksatrya wajiblah aku menghorma dan menolongnya.

   Menurut perasaanku, dia tentu bukan orang sembarangan.

   Aku suka bersahabat dengan pemuda yang berjiwa ksatrya seperti itu"

   Demikian ke ka ba di guha Selamangleng, peris wa itupun dibawa Nararya dalam percakapan dengan bekel Saloka.

   "Jika demikian, bekel Sindung patut kita selidiki, raden"

   Kata bekel Saloka "tetapi sayang, karena aku sudah terlanjur menerima tawaran menjadi pelayanan dalam perjamuan di gedung tumenggung Sagara Winotan, terpaksa hal itu baru dapat kulakukan setelah pernikahan itu selesai"

   "Ki bekel"

   Kata Nararya "menjadi pelayan dalam perjamuan yang dihadiri oleh tetamu2 kalangan pembesar kerajaan Daha, merupakan suatu kesempatan yang pen ng sekali.

   Tugas ki bekel bukan kecil.

   Usahakan sedapat mungkin untuk mencari keterangan sebanyak-banyaknya.

   Juga apabila mungkin, carilah keterangan pada bujang2 dan orang2 gajihan ditumenggungan situ"

   "Dan bagaimana raden akan bertindak selama dua hari ini ?"

   "Tetap melakukan penyelidikan dan terutama akan menolong membebaskan anakmuda yang telah ditangkap oleh pengalasan tumenggung Mahesa Antaka itu. Kurasa tumenggung Antaka dan seluruh penghuni tumenggungan sibuk sekali selama dua hari itu. Dan itu merupakan kesempatan yang baik bagiku untuk masuk ke dalam tumenggungan"

   Bekel Saloka menghela napas.

   "Mengapa ki bekel?"

   Tegur Nararya.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apa yang raden katakan, memang benar"

   Kata bekel itu "dalam mencari jejak hilangnya gong Prada, makin lama kita makin terjun dalam suatu kalangan yang luas. Makin banyak peris wa dan rahasia yang harus kita selidiki"

   "Ya, memang begitu, ki bekel"

   Sahut Nararya "ibarat air, setelah keluar dari sumber terus mengalir ke sungai dan sungaipun mengalir ke laut.

   Apa yang dialami dan dihadapi air itu makin luas dan makin lepas.

   Tetapi ki bekel, aku mendapat kesan, bahwa diantara mentri-mentri, senopati dan tumenggung Daha ini, tampaknya mereka bersatu dan rukun.

   Tetapi benarkah begitu? Mungkin tidak.

   Karena sifat manusia itu temaha, penuh nafsu keinginan.

   Terutama dfkalangan narapraja tentulah keinginan untuk mencapai pangkat dan kedudukan tirggi itu lebih menggelora.

   Dan dimana keinginan berhadapan dengan keinginan, nafsu bertarung dengan nafsu, maka timbullah perasaan iri, dengki, tindakan jegal menjegal saling menjatuhkan"

   Bekel Saloka mengangguk.

   "Benar, raden"

   Katanya "memang sering keinginan diri peribadi itu mengaburkan tujuan pengabdian yang luhur.

   Mereka lupa bahwa bekerja pada pemerintah dan kerajaan itu, suatu pengabdian.

   Pengabdian kepada raja, pemerintah dan lakyat.

   Arti daripada kata mengabdi itu adalah memberi.

   Memberi atau menyerahkan tenaga, pikiran, kepandaian bahkan jiwa raga sebagaimana seorang pejuang, seorang ksatrya yang telah gugur di medan bhakti.

   Pengorbanan mereka itu suatu pengabdian yang tulus dan luhur"

   "Ya"

   Sahut Nararya "memang manusia selalu mengabdi kepada nafsu. Jararg yang mengabdi kepada pengabdian yang wajib diabdi"

   "Apakah pengabdian yang wajib diabdi itu, raden"

   Ingin bekel Saloka menyelami alam pikiran Nararya.

   "Mengabdi pada sumbernya. Kepada yang menciptakan, Hyang Suksma Kawekas. Kepada yang melahirkan, ibu dan ayah. Kepada guru, kepada raja kepada rakyat dan kepada umat manusia"

   Kata Nararya "terakhir kepada diri peribadi kita sendiri"

   Bekel Saloka mengangguk.

   "Hidup itu sesungguhnya suatu pengabdian. Pengabdian kepada asal, arti dan tujuan Hidup"

   "Tetapi raden"

   Kata bekel Saloka "bukankah ada pula orang yang hidup mengasingkan diri ?"

   "Jika mereka itu kaum brahmana, resi ataupun ptrtapa, mereka telah menghayati pengabdian dari Tridharma hidup itu. Merekapun mempunyai tujuan hidup. Bukan hanya mengasingkan diri karena sekedar mengasingkan diri. Tetapi jika mereka yang mengasingkan itu tak atau belum menghayati Tridharma hidup itu, maka mereka hanya menghindarkan diri dari kenyataan hidup, menghindarkan diri dari pertanggungan jawab atas pengabdian mereka. Mereka ibarat orang yang gelap yang melarikan diri ke alam kegelapan"

   Bekel Saloka diam2 memuji akan uraian Nararya.

   Semua itu usianya namun Nararya telah dapat membawa uraiannya ke tingkat yang terang.

   Demikian karena malam sudah, larut, keduanya segera beris rahat.

   Keesokan harinya, bekel Saloka keluar lagi.

   Pada waktu pulang sore harinya, ia membawa beberapa laporan.

   Pertama, perjamuan pernikahan puteri Sagara Winotan dengan putera Antaka itu tentu akan meriah karena pangeran Ardaraja juga berkenan menghadiri.

   Kedua, gedung kediaman tumenggung Mahesa Antaka mulai sibuk mempersiapkan peralatan nikah.

   Tampaknya mereka; tak terpengaruh oleh peris wa semalam.

   Dari seorang pengalasan tumenggungan, bekel Saloka berhasil mendapat keterangan bahwa semalam gedung tumenggungan telah kemasukan penjahat yang hendak membunuh putera ki tumenggung Mahesa Antaka.

   "O"

   Desuh Nararya "dengan demikian penjahat bertopeng semalam itu bukan penjahat biasa tetapi bertujuan hendak membunuh pangeran Ardaraja"

   Siapakah penjahat itu? Pengalasan yang dikirim bekel Sindung atau mungkin bekel itu sendiri? Apa tujuannya hendak membunuh putera tumenggung Antaka? Demikian pertanyaan yang mulai membayang di benak Nararya namun ada terjawab.

   Makin tetaplah keputusannya.

   Nanti malam ia akan menyelundup ke-dalam tumenggungan dan menolong orang yang ditangkap karena dituduh sebagai penjahat yang hendak membunuh putera tumenggung Antaka itu.

   Tentang bekel Sindung, iapun telah menetapkan rencana untuk menyelidiki.

   Setelah malam tiba maka Nararyapun segera bersiap hendak masuk ke dalam pura.

   Bekel Saloka menyatakan hendak ikut "Perjalanan raden kali ini penuh bahaya, idinkanlah aku menyertai raden"

   Kata bekel itu.

   Tetapi Nararya menola k"Ki bekel mempunyai tugas yang pen ng.

   Besok pagi bersama beberapa anakbuah ki bekel, akan menjadi pelayan di gedung tumenggung Sagara Winotan.

   Tugas itu amat pen ng.

   Jika di kediaman tumenggung Antaka terjadi sesuatu, bukankah ki bekel tak dapat menunaikan tugas ?"

   "Lebih baik dak menjadi pelayan dalam perjamuan itu daripada melihat raden terancam bahaya"

   Nararya tertawa "Tetapi ki bekel, aku dapat mawas diri dan berhati-hati. Aku menyadari bahwa perjuangan kita ini menyangkut kepentingan kerajaan Singasari. Aku tak mau bertindak gerusah-gerusuh yang akibatnya hanya akan menggagalkan usaha kita"

   Bekel Saloka mengangguk.

   Tetapi ia tetap mencemaskan Nararya yang jelas akan masuk ke dalam gedung tumenggungan.

   Sebagai salah seorang senopa kerajaan Daha, sudah tentu tempat kediaman tumenggung Antaka itu dijaga oleh pasukan penjaga.

   Apalagi telah terjadi peris wa percobaan membunuh putera tumenggung, tentulah penjagaan semakin diperkuat.

   "Baiklah, raden"

   Kata bekel itu "tetapi betapapun raden harus suka menerima salah seorang anak-buahku sebagai pengiring.

   Andaikata raden menganggap berbahaya, suruh ia tinggal di luar gedung.

   Apabila sampai pagi raden belum keluar dari tumenggungan, berarti raden tentu tertimpa bahaya dan suruh dia lekas pulang kemari untuk memberitahu kepadaku"

   Setelah menimang, akhirnya Nararva mau juga menerima orang itu.

   Dia bernama Reja.

   Keduanya segera berangkat masuk ke dalam pura.

   Seper yang telah diduga, saat itu gedung tumenggungan sangat ramai dan terang benderang.

   Sanak keluarga.

   tetamu2 dan pengalasan2 tumpah ruah berada di pendapa muka.

   Nararyapun mengitar ke belakang pagar tembok.

   Empat tombak nggi tembok itu.

   Suatu ke nggian yang sukar dicapai dengan loncatan "Kakang Reja, terpaksa aku hendak minta tolong kepadamu.

   Agak sakit juga, kakang Reja"

   Nararya memberitahu kepada pengalasan Lodoyo itu supaya bersedia membungkukkan tubuh. Nararya hendak berdiri diatas punggung dan akan loncat mencapai puncak pagar tembok "Jika hanya begitu, silahkan raden"

   Reja terus bersiap diri. Setelah berhasil hinggap di puncak pagar tembok, Nararya berseru "Kakang Reja, engkau tunggu disini. Apabila menjelang pagi aku tak kembali, lekaslah engkau pulang ke Selamangleng"

   Setelah memberi pesan, Nararyapun segera loncat turun kedalam.

   Ia girang karena suasana di bagian belakang gedung itu tampak sunyi.

   Kecuali bagian dapur yang penuh dengan p6rempuan yang tengah mempersiapkan hidangan, lain2 bagian sunyi senyap.

   Nararya berjalan dengan ha 2.

   Ia memandang kian kemari, meni ruang demi ruang dan menjaga kemungkinan diketahui penjaga.

   Akhirnya jerih payahnya berbuah juga.

   Disebuah ruangan yang terpisah dari bangunan gedung, ia melihat sebuah rumah batu yang gelap.

   Dimuka pintu bangunan itu tampak seorang penjaga bersenjata tombak "Ah, tentu di rumah inilah orang itu ditahan"

   Dengan berjingkat-jingkat, kadang harus membungkuk dalam kegelapan, akhirnya ia berhasil menghampiri kebalik gerumbul pohon bunga yang tumbuh dimuka rumah itu "Hanya seorang, harus kukuasai secepatnya"

   Setelah mengambil ancang2, ia segera loncat dan menghantam tengkuk penjaga itu "Uh"

   Penjaga itu mendesuh kesakitan dan terkulai rubuh.

   Nararya cepat mengambil tombak penjaga itu.

   Dilihatnya pada sisi pintu terdapat sebuah jendela terali besi yang agak nggi.

   Tetapi Nararya dapat menggampai "Ki sanak, terimalah tombak ini.

   Bongkarlah pintu, dan lekas lari keluar"

   Tepat pada saat ia melempar tombak ke dalam rumah, sekonyong-konyong seorang penjaga lain datang dam berteriak "Penjahat! Penjahat membongkar rumah tawanan"

   Orang itu segera menyerang Nararya dengan tombak.

   Nararya masih sanggup melayani tetapi yang paling mengejutkan, penjaga itu menyerang sambil berteriak-teriak minta tolong dan memanggil bala bantuan.

   Tak berapa lama, terdengar derap orang berlari.

   Nararya mulai gugup.

   Dilihatnya beberapa belas penjaga bersenjata tengah lari menghampiri "Celaka"

   Ia mengeluh "kalau tak kupikat mereka nggalkan tempat ini, tentulah pemuda dalam rumah itu tak sempat membobol pintu dan meloloskan diri"

   Setelah mengambil keputusan, iapun lari nggalkan penjaga itu.

   Penjaga itu segera lari mengejar seraya berteriak-teriak menyerukan kawan-kawannya supaya mengikutinya.

   Nararya makin gugup.

   Memang ia berhasil melepaskan orang tawanan itu dari perha an para penjaga tumenggungan.

   Tetapi ia sendiri hendak lari kemana? Untuk lolos melalui pagar tembok di belakang, ia kualir tak mampu loncat sedemikian nggi.

   Dan kalau gagal, kedudukannya tentu lebih berbahaya.

   Kawanan penjaga bersenjata itu tentu akan mengepungnya.

   Nararya tak kenal akan seluk beluk keadaan gedung tumenggungan.

   Ia bingung dan gelisah.

   Sedangkan beberapa puluh penjaga dan prajurit tumenggungan sedang mengejarnya.

   Dalam keadaan yang sulit dan terdesak itu, ba2 ia mendapat akal.

   Daripada tertangkap lebih baik ia mencoba untuk masuk kedalam gedung tumenggungan.

   Disitu orang sedang ramai bertandang.

   Dan sebagian besar adalah kaum puteri.

   Tentu takkan sembarangan kawanan penjaga itu hendak mengejarnya ke situ.

   Demikian Nararya segera bergan arah.

   Melintas jalan dan gerumbul pohon bunga, akhirnya ia dapat menyelundup ke dalam sebuah bagian bangunan yang indah dari gedung tumenggungan.

   la tak sempat memperha kan lagi ruang apakah yang berada disitu.

   Yang pokok, ia dapur menyembunyikan diri.

   Selekas suasana reda, mudahlah ia keluar lagi.

   Pikirnya.

   Tiba2 ia melihat sebuah ruang besar yang daun pintunya berukir lukisan bunga yang indah.

   Cepat ia menghampiri dan mendorong pintunya.

   Ah, tak dikunci.

   Cepat ia menyusup masuk, menutup pula pintunya rapat2.

   Dalam keremangan lampu yang redup, ia melihat sebuah pembaringan yang indah.

   Demikian pula perabot kamar itu serba indah dan sedap.

   Serentak ia menghampiri pembaringan indah itu lalu menyusup kebawah kolong.

   Kain alas pembaringan, menjulai sampai ke lantai sehingga dapat menyembunyikan dirinya rapat sekali.

   "Ah"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia menghela napas untuk melonggarkan ketegangan hatinya. Tetapi secepat itu ia hentikan pernapasannya karena saat itu terdengar suara hiruk. Suara itu jelas suara kawanan penjaga yang sedang bertanya jawab dengan beberapa wanita.

   "Ada penjahat masuk ke keputren sini. Aku akan menggeledah se ap ruang"

   Seru salah seorang penjaga yang bernada kasar. Sesaat kemudian Nararya mendengar debur langkah beberapa orang tengah memasuki gedung. Makin lama makin terdengar jelas. Nararya mulai berdebar-debar. (Oo-dwkz^ismoyo-oO)

   Jilid 7 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   Mch I Tiap kesalahan tentu terhukum.

   Tak mungkin terhindar.

   Dan berlaku untuk semua manusia.

   Yang kaya yang miskin, yang kuasa yang lemah.

   Tanpa pandang bulu.

   Jika orang menepuk dada, merasa dapat terhindar dari hukuman dan pidana atas kesalahannya maka dia hanya seper ayam berkokok.

   Ayam berkokok hanya memberi pertanda bahwa dia ayam jantan, bukan be na.

   Tetapi ayam yang berkokok itu, bukan mes jago dalam gelanggang penabungan.

   Orang yang menepuk dada, mengatakan dapat terhindar dari hukuman pidana, hanyalah suatu pertanda atau untuk menandakan bahwa dia itu kuat dan berkuasa.

   Tetapi bukanlah dia itu benar2 terlepas dari hukuman.

   Hukuman yang dapat dihindarinya hanyalah hukuman manusia yang membentuk masyarakat, yang mendirikan negara, yang menciptakan tata peraturan undang2, yang mengatur hukuman untuk pidana kesalahan, yang menciptakan keter ban dari, oleh dan untuk kesejahteraan manusia.

   Tetapi hukum Yang Kuasa, hukum alam, tak mungkin dihindari.

   Hukum Sebab dan Akibat atau karma, tak mungkin juga diingkari.

   Dan lebih pula hukum Hakekat atau hukum yang tercipta dari rasa ba n dan pikiran.

   Rasa dari sumber perasaan.

   Dia akan menderita siksa dari hukum ba n dan pikirannya sendiri.

   Dan siksa itu bagaikan bayangan.

   Disiang hari lenyap, di malam hari muncul.

   Siksa itu akan selalu dirasakan di-mana dan di saat apapun dia berada.

   Demikian pula dengan Nararya saat itu.

   Kolong pembaringan tempat ia bersembunyi itu, bersih dan membias harum.

   Bilik itupun bersih, indah dan asri.

   Namun ia merasa seper berada di dalam sarang harimau.

   Se ap saat harimau itu akan datang, menerkam dan merobek-robek tubuhnya.

   Bahkan mendengar aum ataupun bau anyir yang dihembus angin sebagai pertanda kedatangan binatang itu, cukup akan mengoyak nyalinya sebelum kulit dan tulang belulangnya dirobek-robek binatang itu.

   Derap langkah dan hiruk suara para penjaga yang hendak memasuki ruang keputren tetapi dilarang para dayang, makin mendebarkan jantung Nararya.

   Bagaimana apabila penjaga2 itu diperbolehkan masuk untuk memeriksa se ap ruang? Dan apabila ia merenungkan ruang yang dimasukinya itu, mbullah suatu bayang2 yang menegangkan.

   Tidakkah ia memasuki ruang keputren? Tidakkah ruang yang semewah itu, ruang kediaman salah seorang puteri dari tumenggung Antaka? "Ah ..."

   Ia mendesah berkepanjangan dalam hati.

   Kemudian pejamkan mata, menenangkan pikiran.

   Setelah mendapatkan ketenangan, pikirannyapun jernih.

   Ia membayangkan bahwa semula ia sudah menyadari apabila memasuki gedung tumenggungan itu, penuh bahaya.

   Tetapi ia sudah memutuskan untuk menempuh bahaya apapun karena hendak menolong pemuda yang telah menolong Pamot dengan merelakan dirinya ditangkap prajurit2 tumenggungan.

   Dengan demikian bahaya itu sudah disadaridanditempuhnya.

   Jika demikian halnya, mengapa sekarang ia harus gentar menghadapinya.

   Bukankah ia sudah mempersiapkan penyerahan jiwanya ? Ah, kembali ia mendesah dalam hati.

   Hanya kali ini desah yang longgar, desah yang paserah.

   Kepaserahan yang berlandas suatu pendirian bahwa pengorbanannya itu, pengorbanan yang ksatrya.

   Dengan desah2 yang bernapaskan kejernihan dan kesadaran ha itu, maka mengendaplah pikirannya dalam keheningan.

   Dia dak merasa gentar lagi, dak pula gelisah cemas.

   Karena segala bayang2 ketakutan telah dihanyutkannya dalam kelepasan tekad.

   Tiba2 renungannya tersibak oleh suara lengking seorang wanita muda.

   Dia jelas dapat mendengarkan kata-kata yang dilontarkan suara itu "Hai, kalian berani memasuki keputren hendak melakukan pemeriksaan?"

   "Maaf, rara ayu, kami hendak mencari seorang penjahat yang masuk ke tumenggungan"

   Kata salah seorang penjaga.

   "Penjahat masuk ke tumenggungan dan kalian tak dapat menangkapnya ?"

   "Dia melarikan diri dan menyusup ke dalam kaputren. Kami mohon rara ayu memperkenankan kami untuk memeriksa ruang2 di keputren ini"

   "Tidak"

   Seru suara yang disebut rara ayu itu "tak mungkin penjahat itu masuk ke dalam keputren. Tentu dia melarikan diri ke arah lain atau mungkin sudah lolos dari tumenggungan"

   "Tetapi kami melihat dia benar2 menyelundup kemari"

   Bantah penjaga itu.

   "Adakah kalian sudah memeriksa lain2 tempat?"

   "Sudah"

   "Dan tidak menemukannya?"

   "Tidak, karena dia melarikan diri kemari"

   "Memang mudah kalian hendak menutupi kesalahan tak mampu menangkap penjahat yang hanya seorang itu dengan mengatakan dia masuk ke keputren"

   "Tetapi ..."

   "Jangan banyak bicara!"

   Hardik dara can k itu "jika kalian berani masuk ke dalam keputren ini, aku segera akan melaporkan kepada rama."

   Ke ka mendengar ancaman itu, reduplah nyali kawanan prajurit penjaga itu. Mereka segera memberi hormat dan mengundurkan diri.

   "Bagaimana kakang"

   Kata salah seorang penjaga kepada kawannya "apakah gus tumenggung takkan murka kepada kita?"

   Yang dipanggil kakang itupun menyahut "Kita sudah berusaha tetapi tertumbuk dengan puteri gus menggung, dyah Savitri. Apabila gus menggung memanggil kita, dapatlah kita menghaturkan kesulitan yang kita jumpai di keputren tadi"

   "Tetapi apakah kakang yakin bahwa penjahat itu masuk ke dalam keputren?"

   Tanya orang tadi pula.

   "Jelas"

   Sahut kawannya.

   "Kakang Dambha"

   Ba2 prajurit penjaga tadi memekik "celaka, kakang! Bagaimana kalau penjahat itu sampai mengganggu rara ayu ? Bukankah gus menggung akan melipat gandakan pidana kepada kita?"

   Penjaga yang disebut Dambha itu tertegun. Rupanya dia cemas juga akan kemungkinan terjadi hal itu.

   "Lalu apa daya kita, Barat ?"

   Prajurit Barat juga tak mempunyai pandangan suatu apa.

   Ia memandang Dambha dengan pandang menyerah.

   Akhirnya prajurit Dambhalah yang mengemukakan pendapat "Begini saja, Barat.

   Kita pecah rombongan kita menjadi dua.

   Yang satu, terus melanjutkan penyelidikan.

   Dan yang satu, berjaga jaga di luar keputren.

   Apabila mendengar suara atau gerak gerik yang mencurigakan, kita segera turun tangan"

   Rupanya usul Dambha itu disetujui karena dianggap tiada lain cara lagi yang lebih baik dari itu.

   Sementara para prajurit tumenggungan bersiap-siap maka dalam keputrenpun tenang2 saja suasananya.

   Malam itu sehabis sibuk membantu ibundanya, nyi tumenggung Antaka, menyiapkan hidangan untuk para tetamu, maka dyah Savitri pun kembali ke keputren.

   Ia merasa lelah karena sehari suntuk telah menyingsingkan lengan baju untuk menyiapkan peralatan nikah kakandanya.

   Baik tumenggung Sagara Winotan maupun tumenggung Mahesa Antaka menikah dalam usia muda sehingga putera puteri mereka sudah dewasa pada saat kedua tumenggung itu masih muda.

   Rasa le h hilang seke ka sesaat dyah Savitri mendengar hiruk pikuk dalam keputren.

   Ia marah karena para pengatasan tumenggungan yang bertugas sebagai penjaga keamanan, hendak memasuki keputren.

   Ia menolak dan mengenyahkan mereka.

   "Hm, penjaga2 itu memang hendak cari enak saja"

   Gumamnya ke ka berada dalam bilik peraduannya.

   "masakan hanya menangkap seorang penjahat saja mereka tak mampu. Pun kemarin malam juga terjadi peristiwa semacam saat ini. Kakang Prabhawa hampir dibunuh penjahat"

   Nararya terkejut ke ka mendengar gumam puteri itu.

   Karena ternyata sejak pintu bilik tempat ia bersembunyi didorong dan terdengar derap langkah kaki yang halus disertai dengan bau harum yang membias ke dalam bilik, Nararya mulai didera oleh getar2 kejut.

   Kini ia menyadari bahwa bilik tempat ia bersembunyi itu ternyata bilik kediaman puteri tumenggung.

   Hal itu diketahui ketika terjadi perbantahan antara puteri dengan kawanan penjaga yang hendak masuk ke dalam keputren tadi.

   Kemudian ketika tiba di muka pintu, puteri itu memerintahkan dayang pengiringnya supaya pergi.

   Tiada keraguan yang harus diragukan lagi, bahwa yang melangkah masuk ke dalam bilik itu adalah puteri tumenggung sendiri.

   Langkahnya yang halus gemulai serta bau harum yang menyerbak.

   Karena setelah bercengkerama dalam taman asmara dengan Mayang Ambari dyah Nrang Keswari puteri raja Daha, tahulah kini Nararya akan suatu bau harum yang lain dengan keharuman bunga.

   Bau harum dari tubuh seorang perawan ayu dan puteri cantik, merupakan sesuatu yang tersendiri, baik jenis baunya maupun makna serta daya yang dipancarkannya.

   Serta hidung terbias dengan semilir bau harum yang memancar dari tubuh orang yang masuk ke dalam bilik itu, dengan cepat pula Nararya dapat mengenal jenis bau harum itu.

   Itulah bau harum yang pernah dikenalnya pada masa ia berdampingan dengan Mayang Ambari dan puteri dyah Nrang Keswari.

   Ia heran mengapa tubuh dara ayu dan puteri jelita itu dapat memancarkan bau harum.

   Adakah tubuh mereka memang harum ataukah-keringat mereka yang harum.

   Tetapi saat itu ia tak sempat pula untuk merenungkan hal-hal mengenai bau harum yang mempesona itu.

   Karena kesadaran pikirannya menyadarkan bahwa saat itu ia berada dalam bilik peraduan puteri tumenggung Mahesa Antaka.

   Kesadaran itu segera menimbulkan kegelisahan dan ketakutan.

   Apabila puteri itu tahu lalu berteriak, tentu para penjaga akan berhamburan datang dan membunuhnya.

   Ataupun kalau ia menyerah dan dibawa mereka kehadapan tumenggung Antaka, pun tentu akan diputuskan mati.

   Bahkan betapapun ia menyangkal tetapi tentu tetap dituduh sebagai penjahat yang hendak mengambil jiwa putera tumenggung itu kemarin malam.

   Bau harum itu makin memukat keras ke ka puteri tumenggung itu melepas busana, bergan dengan busana dur lalu merebahkan diri di atas peraduan.

   Dan getar2 yang mendebur jantung Nararyapun makin keras.

   Sedemikian keras jantungnya berdetak sehingga buru-buru ia menahan pernapasan.

   "Ah, apabila detak jantungku sampai terdengar puteri tumenggung itu, bukankah sang puteri akan terkejut dan memeriksa kolong pembaringan ini?"

   Pikirnya.

   "Aku harus mengatur dan menguasai pernapasan"

   Katanya dalam ha "untuk mencegah puteri itu mendengar bunyi debur jantungku"

   Kolong pembaringan tak cukup tinggi untuk ia duduk maka terpaksalah ia rebah di lantai.

   Setelah mengatur pernapasan maka pikirannyapun berangsur tenang.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Malam makin larut.

   Suasana dalam dan diluar keputren makin senyap.

   Ia mulai dapat mendengar hamburan napas puteri dalam kelelapan tidurnya.

   "Tidak, bu, dak, Savitri tak mau menikah. Aku ingin terus berada disamping rama dan ibu agar dapat meladeni dan merawat rama ibu sampai tua ......."

   Bukan kepalang kejut Nararya ke ka ba2 ia mendengar suara orang bicara.

   Jelas nadanya sama dengan nada yang didengarnya ke ka terjadi kehirukan di keputren tadi.

   Dan jelas pula bahwa suara itu amat dekat sekali "Ah, tentu puteri tumenggung ini yang bicara"

   Ia menduga-duga. Ia heran mengapa puteri itu bicara. Pada hal jelas saat itu tengah malam dan ada orang lain lagi dalam bilik peraduan itu.

   "Mengapa Savitri harus menikah? Bukankah ibu dan rama akan lebih bahagia apabila Savitri tetap mendampingi disini ...."

   Terdengar pula puteri itu bicara. Agak keras. Nararya makin terkejut. Tetapi ia mulai menyadari keadaan hal itu. Diberanikan diri untuk menyiak kain pembaringan. Sejenak memandang kian kemari, ia tak melihat barang seorangpun juga. Ia menyurut pula.

   "Ah, tetapi Savitri belum memikirkan soal itu, bu. Aku masih senang seorang diri. Aku masih rindu untuk mengabdikan bhakti kepada rama dan ibu ...

   "

   "Ah, jelas puteri ini sedang mengingau dalam durnya"

   Akhirnya Nararya ba pada kesimpulan demikian "rupanya iaterkesan dalam pembicaraan dengan ibunya"

   Serempak dengan kesimpulan itu mbullah suatu rencana. Bahwa orang yang mengingau itu tentu dur nyenyak sekali.

   "Ya, mengapa aku tak berusaha keluar dan meloloskan diri dari bilik ini?"

   Pikirnya lebih lanjut.

   "Ah, baiklah kutunggu beberapa waktu lagi"

   Ba2 ia teringat akan penjaga2 tumenggungan. Ia kua r penjaga2 itu masih menjaga rapat diluar keputren.

   "Tentu mereka masih ingin menunggu aku keluar dari keputren"

   Demikian setelah menimang-nimang, akhirnya ia memutuskan untuk bersabar beberapa waktu lagi.

   Menjelang pukul ga, baru ia akan keluar.

   Diperhitungkannya bahwa pada saat seper itu para penjaga tentu sudah lelah dan tertidur.

   Waktu dirasakan berjalan amat lambat sekali.

   Namun Nararya berusaha sekuat mungkin untuk menekan keinginannya.

   Malampun merayap-rayap dalam kelarutan.

   Sunyi senyap di bilik itu.

   Yang terdengar hanya hamburan napas puteri yang tidur nyenyak.

   Kadang disela oleh cicak yang mendecak-decak di dinding bilik.

   Ia mulai hilang kecemasannya.

   Disiaknya pula kain alas pembaringan.

   Memandang kesekeliling bilik, segera pandang matanya tertumbuk akan sepasang cicak yang sedang ...."Ah, kurang ajar sekali binatang itu.

   Masakan aku bergelut dengan kecemasan dibawah kolong pembaringan, sepasang cicak itu sedang memadu kasih"

   Memandang akan sepasang cicak yang sedang beradu mulut seolah berciuman, perasaan Nararya terkenang akan pengalamannya yang lampau. Dan seke ka itu terbayang pula hari2 bahagia bersama Mayang Ambari. Ia termenung-menung dalam kenangan yang indah.

   "Malam adalah saat yang syahdu bagi insan manusia atau mahluk yang tahu akan kesyahduan itu. Termasuk sepasang cicak itu"

   Tengah perha an Nararya melekat pada sepasang cicak yang sedang bercumbu-cumbuan itu, ba2 ia menangkap suatu bunyi yang aneh.

   Seper daun gugur di tanah tetapi lebih berat.

   Kucing ? Ah, hampir serupa dengan itu.

   Tetapi setelah menunggu sampai beberapa saat, belum juga ia mendengar kucing itu berbunyi.

   Nararya segera mantek-aji atau mengembangkan daya aji.

   Mengosongkan pikiran, menghampakan ba n dan menyatukan pancaindera dalam suatu kehampaan bulat.

   Samar2 segera ia menangkap suara benda ber-indap-indap menuju ke jendela "Langkah kaki orang!"

   Serentak indera penyerapannya memantulkan suatu kesimpulan. Kesimpulan itu segera menyibak pikiran dan mengguncang ba nnya "Siapakah pendatang ini ?"

   Pikirnya.

   Tengah malam menjelang dinihari, memasuki gedung tumenggungan dan langsung menyelundup ke keputren, menuju ke bilik kediaman puteri tumenggung, jelas tentu tak bermaksud baik.

   Hanya bangsa maling haguna atau pencuri sak mandraguna yang melakukannya.

   Dan dengan tujuan ke bilik peraduan puteri tumenggung, tentulah penjahat itu mempunyai tujuan tertentu.

   Bukan hanya penjahat biasa yang hendak mencuri harta benda dan emas picis rajabrana.

   "Adakah penjahat itu hendak bermaksud buruk terhadap puteri?"

   Seke ka bangkitlah pertanyaan dalam lubuk ha Nararya. Dan serentak itu iapun terkait ingatannya akan peris wa kemarin malam. Bahwa seorang penjahat telah memasuki tumenggungan karena hendak membunuh putera tumenggung Antaka.

   "Jika benar penjahat yang malam ini masuk ke tumenggungan karena hendak bermaksud buruk terhadap puteri tumenggung, jelas tentu mempunyai tujuan tertentu. Adakah hal itu mempunyai kaitan dengan pernikahan putera tumenggung? Ataukah dengan kedudukan tumenggung dalam pemerintahan Daha ? Ataukah ...."

   Tiba2 ia hen kan reka dugaannya karena saat itu terdengar suara berderit-derit. Ia terkejut. Jelas suara itu berasal dari jendela sebelah luar. Dan bunyi itu berasal dari kayu jendela yang tengah diungkit senjata tajam.

   "Ah, jelas penjahat itu hendak membongkar jendela"

   Pikir Nararya. Seke ka mbul ingatan untuk menerobos keluar dari pintu dan menghajar penjahat itu.

   "Ah ....."

   Ba2 selintas pikirannya membantah "apakah hakku untuk melakukan hal itu? Bukankah diriku sendiri juga seorang penjahat dalam anggapan mereka?"

   Sesaat kendorlah semangatnya untuk menghadapi penjahat itu.

   Tetapi pikirannya masih tetap gelisah.

   Dan kegelisahan itu tanpa disadari tertuju pada keselamatan puteri tumenggung.

   Puteri yang belum dikenalnya, bahkan bagaimana wajahnya belum pernah ia melihatnya.

   Sekalipun begitu, darah keksatryaannya tetap menggelora, menuntut suatu dharma bakti.

   Lalu bagaimana ia harus bertindak ? Sesaat timbul hasratnya untuk menjagakan puteri itu agar mengetahui bahwa bilik kediamannya terancam dimasuki penjahat.

   Tetapi bagaimana cara ia menjagakan puteri itu? Tertumbuk pada hal itu, ia bingung.

   Bagaimana apabila puteri itu terjaga tiba2 dan serentak melihat dirinya? Bukankah puteri itu akan terkejut dari menjerit ? Memang dengan cara itu, si penjahat tentu akan lari ketakutan tetapi bagaimana dengan dirinya? Bukankah hal itu sama halnya dengan kata orang 'menjagakan anjing tidur'? Anjing yang sudah baik2 tidur lalu kita bangunkan.

   Akibatnya anjing itu tentu akan menyalak.

   Krakkk .......

   Belum sempat Nararya menemukan akal, tiba-tiba berhamburanlah pikirannya sesaat mendengar daun pintu telah mulai bergerak-gerak.

   Dan sebelum ia dapat memutuskanlangkah,daun jendelapun mulai pelarian-lahan terentang.

   Sebelum debar Nararya mereda, muncullah sebuah wajah hitam.

   Ia terkejut sekali "Setan?"

   Pikirnya. Sesaat kepala hitam itu makin menjulang nggi "Ah"

   Nararya mendesuh dalam ha .

   Bukan setan tetapi manusia biasa karena memiliki bahu dan tubuh.

   Pikirnya.

   Tetapi bukan berar hal itu meredakan ketegangannya bahkan makin meningkatlah rasa tegang yang mencengkam perasaannya.

   Kini dia berhadapan dengan suatu kenyataan akan adanya seorang penjahat yang hendak mengganggu keselamatan puteri tumenggung.

   Pada saat itu hatinya meronta, menuntut dharma keksatryaannya untuk bertindak.

   Tetapi pikirannya menyadarkan bahwa apabila ia bertindak begitu maka ia akan terlepas dari segala perhitungan.

   Perhitungan atas dasar kenyataan bahwa dirinya juga sebagai orang gelap dalam bilik itu.

   Sebelum perbantahan antara ha nurani dengan kesadaran pikiran mencapai keputusan, orang yang berselubung kain hitam pada mukanya itupun sudah mulai merangkak memanjat masuk kedalam jendela dan pada lain saat sudah tegak didalam bilik.

   Saat itu barulah Nararya dapat melihat jelas.

   Penjahat itu mengenakan pakaian hitam, muka dan kepala-nya pun diselubungi kain hitam.

   Hanya pada bagian mata, hidung dan mulut diberi lubang.

   Dapat pula Nararya memperha kan betapa tajam berkilat-kilat sinar yang terpancar dari kedua mata orang itu.

   Begitu pula pedang yang terselip pada pinggangnya, tampak berkilat-kilat tajam.

   Penjahat itu tak lekas ber ndak melainkan berdiri tegak memandang kearah pembaringan puteri tumenggung.

   Dengan indera penglihatannya yang tajam dapatlah Naraya melihat, bibir orang itu bergerak-gerak seper orang berkata-kata tetapi tak terdengar suaranya.

   Kata2 apa yang sedang dilakukannya.

   Hampir Nararya tak dapat menguasai ha nya ke ka dari balik kain alas pembaringan yang menjulur sampai ke lantai, ia dapat melihat penjahat itu mulai ayunkan langkah menghampiri kearah pembaringan.

   Banyak macam dan jenis siksa.

   Siksa badan dan siksa ba n.

   Diantaranya yang paling menyiksa ha adalah seper yang dialami Nararya saat itu.

   Melihat sesuatu perbuatan jahat, tetapi tak dapat berbuat apa2.

   Dan bagi Nararya siksa ba n yang diderita, saat itu lebih mengerikan daripada siksa badan apabila ia tertangkap oleh penjaga2 tumenggungan dan dijatuhi hukuman.

   Sedemikian dekat, hampir didepan hidung, ia melihat seorang penjahat hendak berbuat sesuatu terhadap diri seorang gadis, puteri tumenggung.

   Entah apa yang akan dilakukan penjahat itu tetapi yang jelas tentu tidak baik tujuannya.

   Dan sesaat membayangkan bahwa puteri seorang tumenggung itu tentu gadis yang cantik, terhentaklah darah Nararya seketika.

   Ia dapat merasakan gelora sifat kejantanan seorang lelaki apabila melihat gadis atau wanita cantik.

   Tidakkah demikian tujuan penjahat itu .....

   "Uh ...."

   Nararya mendengus dalam ha penuh rasa geram. Serentak sifat keksatryaannya tak dapat dikuasai lagi "jika penjahat ini sampai melakukan perbuatan terkutuk hendak mencemarkan kehormatan puteri tumenggung, aku harus keluar menghajarnya!"

   Demikian ia membulatkan tekad, menghapus segala kecemasan akan segala akibatnya.

   Karena rebah tengkurap dibawah kolong pembaringan, Nararya hanya dapat melihat kaki si penjahat.

   Ia tak tahu apa yang dilakukan oleh penjahat itu.

   Ia bersiap-siap, apabila kaki penjahat itu naik ke pembaringan, ia akan menerobos keluar dan menghajarnya.

   Tetapi walaupun bergerak- gerak, kaki penjahat itu tetap menginjak lantai.

   "Apakah yang dilakukannya ?"

   Ia menimang-nimang penuh keheranan. Tiba2 ia terbeliak pula "Apakah dia membunuh puteri ?"

   Hampir tak dapat ia menguasai keinginannya untuk segera menerobos keluar.

   Tetapi pada lain kilas, pikirannya menjawab sendiri "Ah, jika dibunuh, paling dak puteri itu tentu mengeluarkan suara rin han dan menggelepar-gelepar.

   Tetapi tak terdengar suara apa2, baik dari mulut puteri maupun dari gerak tubuhnya yang meronta-ronta"

   Lalu apa yang tengah dilakukan penjahat itu ? Demikian ia bertanya dalam hati.

   Sebelum ia menemukan dugaan, tiba2 penjahat itu mengisar kaki ayunkan langkah, membuka pintu.dan terus lenyap keluar.

   Kali ini kejut .Nararya tak terperikan lagi.

   Memandang bayangan punggung penjahat itu, ia melihat penjahat itu memanggul sesosok tubuh.

   Dan kepala orang yang dipanggul dan terkulai dibelakang bahunya itu jelas seorang anak perempuan.

   "Itulah pateri tumenggung"

   Serentak ia memas kan dan terus menerobos keluar.

   Sesaat ia keluar dari kolong pembaringan, penjahat itupun sudah membuka pintu.

   Dan ke ka ia lari memburu ke pintu, ternyata penjahat itu sudah lari ke belakang gedung keputren.

   Iapun memburu.

   Suasana gedung tumenggungan sunyi senyap.

   Melintas sebuah taman di belakang keputren, merupakan bagian belakang dari gedung tumenggungan.

   Banyak pohon2 yang tumbuh.

   Sebagian besar pohon buah-buahan.

   Rupanya halaman luas disitu dijadikan kebun buah-buahan.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cuaca masih gelap.

   Ia tak sempat lagi memikirkan mengapa para penjaga tumenggungan tak tampak sama sekali.

   Ia terus lari ke kebun belakang.

   Berhen sejenak untuk mengeliarkan pandang menembus kegelapan yang menyelubungi suasana kebun itu lerentak pandang matanya tertumbuk akan sesosok benda hitamyangtengahmerangkak naik keatas pagar tembok.

   "Itulah dia !"

   Nararya terbeliak dan serentak ia lari ke tempat itu. Tetapi sebelum ia sempat ba, orang itupun sudah loncat turun ke luar pagar tembok.

   "Hebat"

   Pikir Nararya "dengan memanggul orang, dia masih setangkas itu memanjat pagar tembok. Tentu bukan sembarang penjahat"

   Nararyapun segera memanjat pagar tembok. Sesaat ia loncat turun ke luar, ba2 terdengar suara orang berteriak "Hai, berhenti!"

   Nararya cepat menyadari bahwa yang berteriak dan dilihatnya ketika ia berpaling memandang kearah gerumbul gelap, dua sosok tubuh yang berlari-lari menghampiri kepadanya "Peronda tumenggungan"

   Pikirnya lalu loncat dan terus lari menyusur jalan yang merentang ke barat.

   Jalan itu merupakan satu satunya jalan sehingga ia memastikan bahwa penjahat tadi tentu mengambil jalan itu pula.

   Seke ka ia mendengar bunyi kentung- r mengaum-aum di kesunyian malam.

   "Ah, peronda itu tentu memukul kentung pertandaan bahwa gedung tumenggungan telah dimasuki penjahat. Dan tentu akulah yang mereka anggap penjahatnya itu"

   Pikirnya seraya mengencangkan lari.

   Ketika masih berada di gunung pertapaan gurunya, empu Sinamaya, hampir tiap hari Nararya berlatih lari menuruni dan naik ke puncak gunung.

   Menurut kata empu Sinamaya, latihan itu bermanfaat sekali untuk memperkokoh urat2 tubuh dan pernapasan, tak disangkanya bahwa latihan lari yang dilakukannya di gunung itu ternyata bermanfaat pada saat itu.

   Beberapa saat kemudian ia dapat melihat bayangan penjahat itu pada kejauhan sepelepas anakpanah.

   Dan beberapa waktu kemudian, jaraknya makin pandak.

   Kini hanya tinggal lima tombak.

   Rupanya penjahat itu tahu bahwa dirinya dikejar,lapun sanga erkejut mendapatkan pengejarnya itu memiliki ilmu lari yang sedemikian menakjubkan.

   Dia sempat pula diperha kan bahwa pengejarnya itu hanya seorang saja.

   Betapapun ia hendak mempercepat larinya, ia tentu akan terkejar jua.

   Akhirnya ia mengambil keputusan.

   Melanjutkan lari hanya membuang tenaga dan napas dan akhirnyapun juga terkejar.

   Maka lebih baik ia berhen dan menghadapi pengejar itu.

   "Hai, ki sanak, lepaskan puteri itu"

   Seru Nararya sesaat melihat penjahat itu berhen ditengah jalan.

   "Hm "

   Dengus penjahat berkerudung kain hitam itu.

   "siapa engkau!"

   Nararya hen kan larinya, tegak berhadapan dengan penjahat itu. Ia tak dapat melihat bagaimana perwujutan muka orang itu. Namun sebuah kesan yang menampil dalam pandangannya bahwa orang itu bertubuh tegap.

   "Tentang siapa diriku, ada sangkut paut dengan persoalan yang kita hadapi saat ini"

   Sahut Nararya. la berusaha menghindar dari pertanyaan karena menganggap hal itu kurang perlu.

   "Apa maksudmu mengejar aku ?"

   Orang itu bertanya pula setelah memperdengarkan dengus menggeram.

   "Aku tak mengidinkan engkau membawa puteri tumenggung itu"

   Sahut Nararya.

   "Hm"

   Dengus orang itu pula "agaknya engkau orang tumenggung Antaka"

   "Bukan"

   Orang itu agak meregangkan kepala.

   "Bukan? Lalu mengapa engkau menghalangi aku ? Apa kepentinganmu ?"

   Nararya tertawa.

   "Ki sanak. Melihat sesuatu yang tak senonoh, sesuatu kejahatan, sesuatu yang merugikan kepen ngan kawula banyak, melanggar peri-kemasiaan, ap orang wajib untuk ber ndak memberantasnya. Bahkan bagi ksatrya itu merupakan dharma-wajibnya. Dalam ber ndak itu, daklah harus mempunyai kepen ngan ataupun hubungan orang yang ditolong. Menolong sesama yang menderita bahaya, bukan suatu kepentingan tetapi suatu dharma"

   "Hm"

   Orang itu mendesuh agak berkepanjangan "rupanya engkau menggolongkan dirimu sebagai ksatrya tanpa mau mengetahui sebab musabab dari suatu perbuatan yang engkau anggap bertentangan dengan dharma-wajibmu sebagai seorang ksatrya"

   "Engkau salah, ki sanak"

   Seru Nararya "lepas daripada sebab dan musabab ndakanmu melarikan puteri tumenggung itu tetapi ndakanmu itu tak dibenarkan. Andaipun engkau mempunyai dendam terhadap tumenggung, tetapi bukan cara ksatrya apabila engkau membalas kepada puterinya"

   Orang itu mendesuh geram "Baik.

   Karena engkau tak mau menyebut siapa dirimu, akupun takkan bersedia untuk menjual cerita kepadamu tentang dasar dari ndakanku ini.

   Dan karena engkau menganggap dirimu seorang ksatrya yang akan menunaikan dharma-wajibnya, silahkan.

   Jika engkau mampu membuk kan bahwa dak hanya ucapanmu saja bernada ksatrya tetapipun kegagahanmu layak menjadi ksatrya, aku bersedia menyerahkan anak tumenggung Antaka ini kepadamu"

   "Kutahu"

   Sahut Nararya "bahwa tak mungkin engkau akan rela menyerahkan puteri itu begitu saja.

   Kutahu pula bahwa engkau tentu memiliki ilmu kedigdayaan yang sak .

   Karena hanya seorang diri engkau mampu menerobos dari penjagaan ketat para prajurit2 penjaga tumenggungan.

   Tetapi dharma-wajib menolong sesama, daklah membenarkan aku harus mundur teratur hanya karena melihat kedigdayaanmu itu"

   Pelahan-lahan orang itu menurunkan tubuh puteri Savitri lalu dibaringkan dibawah pohon yang tumbuh di tepi jalan. Kemudian ia menghampiri kehadapan Nararya "Mari kita mulai"

   Orang itu menutup kata katanya dengan suatu gerakan kaki maju selangkah serta tangan kanan berayun ke dada Nararya.

   Nararya agak terkejut setelah memperha kan gerak pukulan orang itu.

   Pukulannya membaurkan angin yang cukup keras.

   Ia menilai orang itu tentu memiliki tenaga yang kuat.

   Untuk serangan lawan yang pertama, Nararya menghindar ke samping kanan lalu menyambar lengan orang itu untuk dikuasainya.

   Tetapi orang itupun cukup tangkas.

   Cepat ia mengendapkan lengan kanannya ke bawah, menghindari terkaman Nararya dan terus langsung disabatkan ke perut Nararya.

   "Baik sekali"

   Desis Nararya seraya mengisar tubuh kesamping.

   Pada saat tangan orang itu menyambar lewat di depan perut maka dengan suatu gerak yang secepat kilat, Nararya mendekap dengan lengan kanan mengepitnya kencang2 lalu dengan gerak yang hampir serempak, tangan kanannyapun mencengkeram siku lengan orang.

   "Auh ...."

   Orang itu terkejut karena tangan kanannya telah terkunci lawan.

   Sebelum sempat ia berusaha untuk meloloskan diri, siku lengannya terasa berjungkat keatas sehingga tulangnya serasa putus.

   Rasa sakit yang menikam sampai ke uluha , menyebabkan ia mengerang kesakitan.

   Lengan kanannya lunglai tiada bertenaga lagi.

   Sudah menjadi naluri alam bahwa se ap mahluk, terutama manusia, akan berusaha kema - ma an apabila terancam maut ataupun derita kesakitan.

   Demikian pula dengan orang itu.

   Rasa sakit yang menyeri sampai ke uluha , menyebabkan ia kalap.

   Tanpa perhitungan lagi, ia terus gerakkan kaki mendupak perut Nararya sekeras- kerasnya.

   Nararya terkejut akan kekalapan orang itu.

   Ia berusaha untuk menghindar ke samping tetapi telah terlambat.

   Pahanya termakan kaki orang sehingga ia terpental ke belakang sampaibeberapa langkah.

   Dan penguncian pada lengan orang itupun terpaksa terlepas.

   Pada saat Nararya dapat berdiri tegak, ternyata orang itupun sudah berputar tubuh dan terus melarikan diri.

   Nararya tak mau mengejar.

   Karena dari percakapan tadi, ia dapat menarik kesimpulan bahwa ada sesuatu yang terjadi antara orang itu dengan fihak tumenggung Antaka.

   Karena belum mengetahui persoalan itu, Nararya pun melepaskan diri dan meluarkan diri dari persoalan mereka.

   Kewajibannya hanyalah menolong puteri tumenggung dan hal itu kini sudah tercapai maka iapun membatasi langkah untuk tidak terlibat dalam perkelahian lebih lanjut dengan orang tadi.

   Kini ia menghampiri puteri Savitri.

   Ditingkah rembulan temaram, ia dapat melihat wajah puteri tumenggung itu.

   Darah mudanya tersirap seketika sesaat memandang wajah gadis itu.

   Sebuah wajah yang ayu berseri dalam warna kulit kuning langsap yang halus, dan bersih.

   Dalam keadaan tertidur pingsan, dapatlah Nararya menikmati lekuk dan gurat bahkan kerut2 yang paling halus dari wajah dyah Savitri itu.

   Nararya berjiwa halus dan pemuja keindahan.

   Sejak berhubungan dengan Mayang Ambari, berkenalan dengan dyah Nrang Keswari, bertambah luas pula keindahan-keindahan yang dipujanya.

   Dalam diri wanita ia menemukan keindahan2 tersendiri.

   Kecan kan mereka beda dengan kecan kan bunga2 dan alam, terutama alam sekeliling gunung Kawi yang indah.

   Wanita memiliki keindahan yang agung dalam kecan kan, luhur dalam budi peker dan yang dak pernah didapa nya dalam keindahan benda2 alam lainnya, adalah keindahan yang memancarkan sumber hidup.

   Sumber semangat sumber ilham, sumber gelora hidup, sumber keberanian kegagahan dan kejantanan.

   Dalam menemukan pemujaan kearah keindahan yangbaru itu, bukanlah berartibahwa iamemanjakan diri dalam rangsang kegemaran terhadap wanita.

   Tidak.

   Dia hanya memuja akan keindahan dan dalam diri wanita itu ia mendadapatkan suatu keindahan.

   Pemujaan terhadap, sifat keindahan insan yang wanita itu, menyentuh perasaan halusnya, bukan merangsang.

   Puas menyusurkan pandang mata ke wajah puteri tumenggung itu, kini timbullah pikiran Nararya untuk menolongnya.

   Segera ia menghampiri dan hendak menjagakan gadis itu.

   "Rara ayu"

   Serunya pelahan.

   Diulangnya pula seruan itu agak keras dan makin keras.

   Karena dyah Savitri tetap diam, akhirnya ia memberanikan diri hendak menjamah tangan gadis itu.

   Tetapi baru tangannya menyentuh lengan Savitri, tiba2 gadis itu membuka mulut "Ya, aku mendengar ..."

   Seper terpagut ular, Nararya pun cepat menarik kembali tangannya "Rara ayu ..... apakah tuan menderita luka?"

   "Hm..... tidak"

   Sahut Saraswati bermalas suara sedang matanya masih terpejam. Nararya kerutkan dahi. Rupanya ia heran "Apabila rara tak terluka, mengapa rara ..... tak bangun"

   "Hm ..."

   Sahut Savitri pelahan.

   "Mengapa rara tak bangun ?"

   Nararya mengulang pertanyaannya.

   "Aku ngantuk sekali, ingin tidur..."

   "O"

   Desuh Nararya.

   Cepat ia merangkai dugaan bahwa puteri tumenggung itu tentu terkena aji Penyirepan.

   Suatu ilmu mantra yang sering digunakan kaum penjahat untuk melelap orang supaya dur.

   Ia gugup, la tak menger aji penawar Penyirepan itu.

   Tak tahu bagaimana harus menolong gadis itu.

   Tiba2 ia membayangkan akal.

   Mungkin dengan membasuhkan air ke muka gadis itu, tentulah dapat menghilangkan rasa kantuknya.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ah, tetapi kemanakah laharus mencariair ? Nararya bingung lagi.Setelah merenung beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk memanggul puteri tumenggung itu pulang ke tumenggungan.

   Syukur apabila di tengah jalan ia bertemu dengan saluran air sehingga dapatlah ia membangunkan puteri itu agar dapat berjalan sendiri.

   Tetapi apabila tidak, terpaksa ia harus memanggulnya sampai ke tumenggungan.

   "Tetapi dakkah para prajurit tumenggungan itu akan menyangkanya sebagai penjahat yang melarikan puteri itu?"

   Ba2 mbul kecemasan dalam ha nya.

   Dan ia-pun meragu.

   Setelah beberapa saat menimang dan memper mbangkan akhirnya ia mengambil keputusan.

   Melihat gadis ayu puteri tumenggung itu rebah dibawah pohon, ia mengua rkan kesehatannya.

   Maklum, seorang gadis, puteri tumenggung, tentulah tak biasa dur diatas kerumun akar pohon di alam terbuka, apalagi tengah malam.

   Dan ia mengetahui sendiri betapa indah dan asri bilik kediaman puteri itu.

   "Baiklah, akan kupanggulnya ke tumenggungan"

   Ia membulatkan keputusannya "andaikata karena menolongnya aku harus menderita akibat yang tak kuinginkan, akupun harus berani menghadapinya"

   Dengan kemantepan itu, segera ia mengangkat tubuh dyah Savitri seraya berkata "Maaf, rara ayu, hamba akan mengantarkan rara pulang ke tumenggungan"

   "Hm, terima kasih ...."

   Bisik Savitri. Sejenak termangu-mangu Nararya ke ka ia meletakkan tubuh dyah Savitri ke bahunya. Bau harum dari tubuh gadis itu amat menyengat hidungnya, menggelorakan darah mendebur jantung dan membangkit sesuatu pada perasaannya.

   "Nararya, tetapi laku keutamaanmu sebagai seorang ksatrya. Hadapkanlah pikiranmu, ba nmu kearah kesucian. Hindarkanlah ba nmu dari goda rangsang darah muda dan nafsu keinginan .......", tiba2 terngiang pula kata yang pernah diwejangkan empu Sinamaya ketika di pertapaan. Bagai kilat merekah di cakrawala, seke ka terpancarlah ha Nararya akan percik2 kata wejangan itu. Ia seorang ksatrya, mengapa dalam menolong seorang gadis can k, ha nya membin k noda2 keinginan.Nista! Seketika teranglah pikiran hatinya bagaikan rembulan lepas dari saput awan. Kini dengan perasaan longgar ia segera ayunkan langkah sambil memanggul tubuh dyah Savitri. Bau harum yang masih mendekap hidung hanya menimbulkan kesegaran semangat sebagaimana ia membau keharuman bunga. Dan setelah memiliki perasaan itu timbullah pula lain perasaan. Perasaan dari seorang ksatrya yang memikul tanggung jawab untuk melindungi orang yang ditolongnya. Entah adakah orang itu seorang pria atau wanita, kakek atau pemuda, nenek atau gadis ayu. Menyusur jalan yang sepi menjelang dinihari, sayup2 ia mendengar kokok ayam hutan mulai memberi tanda akan kehadiran pagi. Dan angin semilir pun menaburkan sepoi2 basah dari embun halus, memberi sentuhan segar pada wajah Nararya yang hampir semalam tak tidur. Beberapa waktu kemudian ke ka hampir memasuki gerumbul pohon yang menjadi batas tanah tumenggungan, ba2 muncul berpuluh sosok tubuh yang berderap-derap menyongsong arah. Makin dekat makin dapat Nararya melihat jelas bahwa sosok2 tubuh itu adalah berpuluh lelaki yang membawa senjata. Belum sempat ia merangkai ciri2 mereka, orang2 itupun sudah makin dekat, hanya sepuluhan tombak jaraknya.

   "Hai, itu penjahatnya!"

   Ba2 terdengar sebuah suara nyaring dan pada lain saat berhamburan berpuluh lelaki bersenjata itu lari menghampiri Nararya. Cepat sekali mereka sudah ba dan mengepung Nararya.

   "Berhen , jahanam!"

   Mereka berteriak hiruk pikuk, saling berlomba untuk menunjukkan suara yang paling keras dan paling garang.

   Nararya berhen , masih memanggul Savitri.

   Ia memandang orang2 itu dengan tajam.

   Mereka adalah prajurit2, pengalasan dan para penjaga tumenggungan.

   "Jahanam, lepaskan puteri tumenggung itu dan lekas engkau menyerah"

   Teriak seorang prajurit yang tegap. Rupanya dia lurah dari prajurit tumenggungan.

   "Siapa kalian !"

   Seru Nararya.

   "Kami adalah rombongan penjaga tumenggungan yang hendak mengejarmu"

   "Aku ? Mengapa engkau mengejar aku ?"

   Nararya tanpa menyadari bahwa apa yang diutarakan lurah penjaga tumenggungan itu memang beralasan. Penjahat masuk ke dalam tumenggungan dan membawa lari puteri tumenggung. Kini yang memanggul puteri tumenggung itu adalah dia.

   "Engkau penjahat yang hendak menculik rara ayu!"

   Nararya terpaksa tertawa "O, engkau salah duga, ki sanak. Aku bukan penjahat yang melarikan puteri tumenggung ini. Kebalikannya akulah yang menolong puteri dari tangan penjahat"

   Lurah penjaga itu terkesiap.

   Ia memandang tajam pada Nararya.

   Ia memang mendapat kesan bahwa seorang pemuda yang secakap dan seagung wajah Nararya memang tak layak menjadi penjahat.

   Tetapi kenyataannya ? Tiada lain orang lagi kecuali Nararya yang membawa puteri tumenggung.

   "Jangan jual petai kosong, keparat !"

   Tiba2 seorang lelaki yang tidak mengenakan pakaian prajurit berseru "engkau mau menyerah atau pilih kami hajar sampai mati !"

   Bahkan beberapa prajurit segera bergerak maju.

   "Tak perlu banyak cakap dengan manusia keparat ini. Hayo kita ringkus dia !"

   "Jangan bergerak !"

   Teriak Nararya nyaring sekali sehingga beberapa penjaga itu tertegun hentikan langkah mereka.

   "Kalian mau ber ndak bagaimana?"

   Tegur Nayarya pula "jika menghendaki puteri tumenggung ini, aku memang hendak menghadap tumenggung untuk menghaturkannya."

   Beberapa prajurit dan pengalasan tumenggungan tertegun mendengar keterangan itu. Tetapi seorang pengalasan kepercayaan tumenggung Antaka yang bernama Watu Wungkuk, tampil kemuka.

   "Bukan hanya rara ayu, pun engkau harus serahkan dirimu untuk kita ikat dan hadapkan kepada gusti menggung"

   Serunya dengan lantang.

   "Engkau tetap menuduh aku sebagai penjahatnya?"

   Tegur Nararya.

   "Aku hanya mengatakan apa yang kulihat saat ini. Soal engkau penjahat atau penolong dari rara ayu, gusti menggung yang akan memberi keputusan"

   Seru Watu Wungkuk. Kemudian ia berpaling dan berseru memberi perintah.

   "Kawan2, tangkap penjahat ini!"

   Baik prajurit, penjaga dan pengalasan tumenggungan tahu dan kenal siapa Watu Wungkuk itu. Seorang yang licin tetapi cerdas. Agak cacat bungkuk punggung tetapi digdaya. Paling dipercaya tumenggung Antaka.

   "Berhen !"

   Bentak Nararya untuk yang kedua kalinya "ki sanak sekalian, dengarkan dan percayalah kepada keteranganku. Aku bukan penjahat yang melarikan rara ayu ini tetapi akulah yang menolongnya dari tangan penjahat itu"

   "Mana penjahat yang engkau maksudkan?"

   Seru Watu Wungkuk dengan nada mengejek.

   "Dia terluka dan melarikan diri"

   Watu Wungkuk tertawa "Hanya anak kecil yang mau percaya pada keteranganmu semacam itu.

   Tetapi aku dan kawan-kawanku ini orang2 tua yang tahu berpikir.

   Engkau mengatakan penjahat tetapi dak mampu membuk kan penjahat itu.

   Engkau mengatakan penjahat itu terluka dan melarikan diri, apa buktinya? Hm, memang sudah umum apabila maling itu berteriak maling"

   Nararya memandang lekat pada pengalasan itu.

   Ia mendapat kesan bahwa orang itu bermata julik, pertanda kurang lurus ha nya.

   Kesan itu segera membangkitkan penilaiannya terhadap sikap orang itu.

   Mengapa dia begitu mendesak dan bernafsu sekali hendak menangkap dirinya ? Bukankah sudah jelas ia mengatakan bahwa ia hendak mengantarkan puteri itu kepada tumenggung Antaka? "Ah"

   Ba2 ia tersentak sesaat suatu kesimpulan menyelinap dalam benaknya "apa yang dipesan baik oleh rama maupun guru, memang benar.

   Dunia ini kotor dan manusia itu dikuasai oleh nafsu2.

   Banyak yang berha culas.

   Seper pengalasan ini.

   Tak mungkin dia tak dapat menger maksudku melainkan dia memang sengaja hendak menolak.

   Jika aku yang mengantar puteri tumenggung ini ke tumenggungan, tentulah aku yang mendapat ganjaran.

   Dia dan kawan- kawannya, bukan saja tak menerima apa2 tetapi kemungkinan akan mendapat marah tumenggung Antaka.

   Maka dia memutuskan hendak menangkap aku dengan per mbangan, akulah yang akan dijadikan kambing hitam sebagai penjahat.

   Dia dan kawan-kawannya akan mendapat ganjaran karena dapat menangkap penjahat dan menyelamatkan puteri tumenggung ...."

   Hanya beberapa kejab Nararya terbenam dalam renungan menilai sikap dan ndakan Watu Wungkuk yang sedemikian ngotot hendak menangkapnya "Ki sanak, jangan engkau mengua rkan diriku.

   Aku hanya menolong puteri tumenggung ini dan sekali-kali dak mengharap ganjaran dari gusti menggung.

   Apabila gusti menggung hendak memberi ganjaran, biarlah kuberikan kepadamu"

   "Tutup mulutmu !"

   Bentak Watu Wungkuk dengan marah.

   Ia merasa isi hatinya telah ditelanjangi Nararya.

   Karena malu, ia marah sekali "aku adalah orang kepercayaan tumenggung Antaka.

   Banyak sudah berapa banyak ganjaran dan kepercayaan yang dilimpahkan tumenggung kepadaku.

   Engkau harus kutangkap bukan karena kua r tak mendapat ganjaran dari gus menggung melainkan karena engkau memang penjahat yang hendak menculik rara ayu dan karena tertangkap, ,aka engkau mengaku sebagai pahlawan yang menolong rara ayu dari tangan penjahat.

   Penjahat menurut khayalanmu sendiri"

   Betapa pandai Watu Wungkuk berbantah dapat dirasakan dalam suasana itu.

   Ke ka Nararya mengemukakan pernyataan hendak mengantarkan Savitri ke tumenggungan, sebagian besar prajurit dan pengalasan tumenggungan menyetujui.

   Bahkan ke ka Nararya menelanjangi isi ha Watu Wungkuk, segenap rombongan orang2 tumenggungan itu dalam ha membenarkan Nararya.

   Tetapi pada waktu Watu Wungkuk memberi jawaban yang terakhir, berobahlah penilaian anakbuah rombongan tumenggungan itu.

   Mereka menganggap kata2 Watu Wungkuk tepat dan benar.

   "Tangkap! Hajar penjahat itu!"

   Serentak mereka berteriak- teriak seraya menyerang Nararya.

   Menyadari bahwa suasana tak mungkin dapat dihindarkan lagi dari pertarungan maka Nararya pun bersiap.

   Sambil masih memanggul tubuh Savitri, ia bergerak maju mundur, ke kanan kiri, mengisar langkah berputar tubuh, menghindar dan memukul, menendang dan mengait kaki lawan.

   Walaupun memanggul tubuh Savitri tetapi dak mengurangi kelincahan dan ketangkasan gerak Nararya.

   Karena pada waktu ia berada di pertapaan, dalam mela h ilmu kanuragan dan kedigdayaan, gurunya menyuruhnya ap pagi naik turun gunung sambil membawa batu.

   Dan batu itu makin lama makin bertambah yang berat bobotnya.

   La han2 yang keras itu telah menciptakan dasar pembentukan tubuh yang kuat pada diri Nararya.

   Beberapa orang telah rubuh akibat gerakan kaki Nararya, entah tertendang atau terkait.

   Rombongan orang tumenggungan itu makin marah.

   Mereka serempak mencabut senjata dan hendak menyerang.

   "Berhenti!"

   Tiba2 Nararya memekik se-keras2nya sehingga telinga orang2 itu serasa pekak.

   Mereka tertegun "bukan aku takut tetapi kalian harus ingat akan keselamatan gustimu puteri ini? Bukankah pedang dan parang itu tidak bermata? Bagaimana kalau kalian salah tangan sehingga mengakibatkan luka pada diri puteri?"

   Sekalian orang tumenggungan itu terkesiap. Mereka mengakui kebenaran kata2 Nararya "Ah, jangan diberi arnpun, bunuh saja penjahat itu!"

   Ba2 Watu Wungkuk berteriak seraya maju menyerang dengan pedang.

   Ia menusuk perut Nararya.

   Karena mendengar peringatan Nararya dan karena melihat Watu Wungkuk sudah menyerang dengan senjata maka sekalian orang tumenggungan itu tak mau ikut menyerang Mereka hanya melihat pertarungan itu dengan penuh perha an dan ber-siap2 mengepung sekeliling tempat agar Nararya jangan sampai lolos.

   Nararya tetap tak mau melepaskan tubuh Savitri tetapi diapun tak mau menggunakan tubuh gadis itu sebagai perisai, Ia tahu bahwa Watu Wungkuk itulah agaknya yang berpengaruh terhadap anakbuah rombongan itu.

   Apabila Watu Wungkuk sudah dapat dikuasai, kemungkinan orang2 itu mudah diajak berunding.

   Nararya mengisar tubuh kesamping lalu dengan gerak yang cepat sekali, ia menyapukan kakinya ke kaki orang, bluk ....

   Watu Wungkuk terpelanting dan terbanting ke tanah.

   Sebelum ia sempat menggeliat punggungnya telah dipijak Nararya sekeras kerasnya "Uhhhhh"

   Watu Wungkuk menjerit. Ia rubuh tengkurap dan karena dadanya diinjak maka hampir ia tak dapat bernapas . Melihat pemukanya rubuh diinjak Nararya, rombongan orang tumenggungan itu hiruk pikuk dan terus hendak menyerbu.

   "Berhenti kamu semua!"

   Sekonyong-konyong terdengar suara melengking marah.

   "O, rara engkau ....."

   Secepat mengetahui bahwa yang berteriak itu dyah Savitri, gopohlah Nararya menurunkan tubuh gadis itu.

   Setelah dibawa Nararya berloncatan menghindar diri dari terjangan orang2 tumenggungan itu, setelah pula beberapa kali Nararya mengeluarkan pekik yang nyaring maka rasa kantuk yang menyerang perasaan Savitri makin berkurang dan akhirnya hilang.

   Tepat pada saat ia terbangun dan sadar benar2, saat itu Nararya sedang menginjak punggung Watu Wungkuk dan kemudian setelah rombongan pengalasan dari tumenggung itu hendak menyerang dengan senjata, Savitri segera menjerit menghentikan tindakan mereka.

   Pada saat Nararya menurunkan tubuh Savitri ke tanah, iapun lepaskan injakannya pada punggung Watu Wungkuk.

   Watu Wungkuk melen ng bangun, menyambar pedang dan terus membacok Nararya.

   "Watu Wungkuk, engkau berani membangkang perintahku ?"

   Bentak Savitri marah. Namun pedang Watu Wungkuk sudah terlanjur melayang. Untung Nararya dapat menghindar mundur.

   "Rara, dia penjahat ...."

   "Tutup mulutmu, setan bungkuk!"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena marah perintahnya tak diindahkan, Savitripun memaki pengalasan itu. Kemudian ia memberi perintah kepada beberapa prajurit "Tangkap manusia kurang ajar ini!"

   Karena takut akan puteri tumenggung Antaka, beberapa prajurit segera maju dan mencekal kedua tangan Watu Wungkuk, merampas senjatanya.

   "Rara, mengapa rara marah kepadaku karena hendak kubunuh penjahat itu"

   Masih Watu Wungkuk berani buka suara.

   "Siapa bilang dia penjahatnya!"

   Bentak Savitri.

   "Tetapi rara, dia jelas memanggul rara hendak dibawa lari"

   Sanggah Watu Wungkuk.

   "Aku lebih tahu dari engkau!"

   Hardik Savitri pula "dia hendak mengantarkan aku ke tumenggungan"

   Kemudian gadis itu berpaling kearah Nararya.

   Ia terkesiap ketika beradu pandang.

   Dalam cengkeraman rasa kantuk yang tak dapat ditahan, masih dapatlah walaupun samar2, Savitri menangkap semua pembicaraan yang berlangsung antara Nararya dan penjahat bertopeng.

   Iapun mendengar juga pertempuran antara kedua orang itu dan derap si penjahat melarikan diri.

   Ia hendak membuka mata ke ka Nararya mengatakan hendak mengangkat tubuhnya tetapi ia rasakan tubuhnya lunglai dan kelopak matanya seper terjahit rapat dan ingatannyapun lebih.

   Maka ia tahu jelas siapa Nararya itu.

   Dalam kelemahan tubuh dan pikiran, ia hanya sayup2 mendengar kata2 Nirarya.

   Kini setelah rasa kantuk itu hilang dan berhadapan dengan penolongnya iapun tertegun.

   Tak pernah disangkanya bahwa pemuda yang menolongnya itu seorang pemuda yang tampan dan bersinar wajahnya.

   Tentulah keturunan priagung atau orang berpangkat.

   Demikian pula Nararya.

   Baru saat itu ia dapat memandang wajah Savitri.

   Sepasang bola mata Savitri yang bening dan berpagar bulu mata yang rimbun, menghidupkan kecan kannya.

   Bagaikan bunga layu yang menyeruak kesegaran berseri.

   Demikian keadaan Savitri di-kala pejamkan mata tadi dengan saat ia terbangun.

   Ibarat alam dengan matahari, demikian wajah dengan mata.

   "Maa an hamba, rara"

   Sesaat Nararya menyadari bahwa kurang layak, memandang sedemikian lekat pada seorang gadis, apalagi puteri tumenggung.

   "Ah, mengapa raden berkata begitu?"

   Nararya menyurut mundur "Maaf, rara ayu, hamba hanya seorang pemuda desa, janganlah rara menyebut hamba raden"

   "Benar?"

   Savitri kerutkan alisnya yang indah.

   "Benar, rara"

   Sahut Nararya.

   "Baiklah. Tetapi kakangpun jangan menyebut-nyebut soal maaf. Kakang tak bersalah apa2, bahkan akulah yang harus berterima kasih atas pertolongan kakang"

   "Ah, hanya secara kebetulan saja hamba melihat penjahat itu membawa rara maka hambapun memberanikan diri untuk menghalanginya. Dia ketakutan dan melarikan diri"

   Savitri mengangguk "Ya, kupercaya. Eh, siapakah nama kakang ?"

   Nararya agak meragu. Haruskah ia mengatakan terus terang atau berbohong. Akhirnya ia memutuskan untuk memberitahu nama yang sebenarnya.

   "Kakang Nararya, bukankah engkau hendak mengantar aku pulang ke tumenggungan?"

   Ba2 Savitri bertanya.

   "Benar, rara"

   Kata Nararya "memang semula hamba hendak mengantar rara pulang ketumenggungan. Tetapi kini hamba rasa, kewajiban hamba telah selesai"

   "Apa maksud kakang"

   Savitri kerutkan alis.

   "Sekarang rara sudah tersadar dari rasa kantuk dan para pengalasan tumenggungan pun sudah menyongsong rara. Maka hamba mohon maaf, apabila hanya sampai disini saja hamba dapat mengantarkan rara ..."

   "Hendak kemanakah engkau, kakang ?"

   Cepat Savitri menukas seolah ia masih belum puas dan tak rela kalau pemuda yang dikenalnya itu akan pergi.

   "Hamba, hendak melanjutkan perjalanan lelana-brata, rara. Untuk menambah pengalaman hidup hamba"

   "Lelana-brata?"

   Ulang Savitri "ya, tetapi kakang harus meluluskan kuajak menghadap rama tumenggung agar aku dapat melaporkan pertolongan kakang"

   Nararya terkejut "Ah, dak demikian tujuan hamba menolongrara. Hamba telah mendapat pesan dari guru hamba bahwa menolong sesama yang sedang menderita, itu suatu dharma kewajiban. Hamba pun tak dibenarkan untuk menerima balas imbalan apapun juga"

   Agak tersipu tampaknya Savitri. Ia menyadari telah salah menilai orang "Ya, benar. Aku salah omong, kakang. Maksudku, bukan supaya rama memberi ganjaran kepadamu tetapi supaya rama dapat mengetahui orang yang telah menolong puterinya dari bahaya"

   Nararya termangu-mangu.

   "Aku berjanji kepadamu, kakang Nararya. Bahwa akan kuhaturkan kata kepada rama agar rama jangan memberi ganjaran apa2 kepadamu karena hal itu tak engkau kehendaki. Rama dan ibu pas akan gembira bertemu engkau, kakang,"

   Kata Savitri dengan sikap dan nada yang masih kekanak- kanakan. Memang dia baru seorang dara yang menjelang dewasa. Nararya makin mengeluh dalam hati.

   "Kakang, mari kita berangkat. Kalau engkau menolak, engkau benar2 menyinggung perasaanku"

   "Tetapi rara, hamba masih mempunyai lain urusan pen ng yang harus hamba lakukan"

   Cepat Nararya memberi alasan.

   "Ah, apabila singgah dan nggal sehari dua hari di tumenggungan, masakan akan mengganggu lelana-brata yang engkau jalankan. Hayolah, kakang"

   Nararya masih terlongong ke ka tangannya dicekal Savitri lalu ditariknya, diajak berjalan.

   Ia bagaikan manusia patung atau manusia yang hampa sadar, hilang faham.

   Demikian berjalanlah Savitri bersama Nararya diiring oleh berpuluh pengalasan, prajurit dan para penjaga tumenggungan.

   Dalam keremangan kabut pagi yang mulai menguak, kedua insan itu bagaikan sepasang pangeran dan puteri yang sedang pulang berburu, diiring oleh barisan prajurit.

   Bagai tersadar dari mimpi indah, Savitri terkejut ke ka di pintu gapura tumenggungan.

   Pintu dihias dengan daun waringin dan daun kelapa.

   Serentak ia teringat bahwa hari itu, adalah hari pernikahan dari kakandanya, raden Prabhawa.

   Tentulah rama dan ibunya amat sibuk sekali.

   Mungkin tak sempat bertanya kepada Nararya.

   Tetapi ke ka ba di muka pintu gapura, penjaga pintu segera tergopoh-gopoh menyambut "Ah, syukurlah.

   Puji bagi Batara Agung yang melindungi keselamatan rara ayu"

   "Kenapa?"

   Tegur Savitri.

   "Gus menggung amat mencemaskan keselamatan rara ke ka menerima laporan tentang peristiwa semalam bahwa rara telah dibawa lari penjahat"

   "O, rama sudah mengetahui hal itu?"

   "Ya"

   Sahut penjaga "silahkan rara menghadap gusti menggung"

   Savitri terus masuk ke dalam pendapa dan langsung menghadap rama ibunya. Nyi tumenggung mendekap puteri dan menghujaninya dengan kecupan yang mesra "O, Savitri, ibu hampir ma terkejut ketika menerima laporan dari para penjaga"

   "Savitri"

   Ba2 tumenggung Antaka berkata "karena peris wa dirimu, hampir peralatan nikah kakangmu hari ini akan kuundurkan"

   "Maaf rama, dan ibu. Savitri pun tak menginginkan hal itu terjadi pada diri hamba. Tetapi penjahat itu memang jahat sekali"

   "Siapakah yang membawamu lari?"

   "Entah, rama. Hamba seper terkena sirep sehingga hamba lunglai dan tak dapat membuka mata"

   "O, dia tentu maling haguna yang memiliki aji Penyirapan"

   Kata tumenggung Antaka "lalu siapakah yang menolongmu? Bukankah para pengalasan dapat berhasil menangkap penjahat itu ?"

   "Bukan rama. Bukan para pengalasan dan prajurit tumenggungan yang menolong hamba tetapi kakang Nararya"

   Sahut Savitri.

   "Kakang Nararya? Siapa kakang Nararya itu?"

   Tumenggung Antaka terbeliak. Savitri terkejut. Ia merasa telah kelepasan kata maka tersipu-sipulah wajahnya.

   "Penolong hamba itu bernama Nararya seorang pemuda desa yang tengah berkelana lelana-brata. Dengan gagah berani kakang Nararya itu dapat mengalahkan penjahat yang membawa hamba itu, kemudian mengantarkan hamba pulang ke tumenggungan"

   "O, dimana dia sekarang ?"

   Seru tumenggung gopoh "panggillah dia menghadap kemari"

   Sebenarnya yang diperintah tumenggung Antaka itu penjaga di pendapa tetapi ba2 Savitri berbangkit dan terus lari keluar sehingga tumenggung dan nyi tumenggung terkesiap.

   Tak berapa lama masuklah Savitri bersama seorang pemuda.

   Baik tumenggung maupun nyi tumenggung terkesiap menyaksikan pemandangan saat itu.

   Berjalan beriring dengan seorang pemuda, Savitri tampak bagaikan sepasang putera puteri raja.

   Keduanya merupakan sejoli yang amat serasi sekali.

   Yang puteri, cantik berseri.

   Yang putera, tampan cemerlang.

   Masih dicengkam kemanguan kiranya tumenggung Antaka ke ka Savitri dan Nararya bersimpuh dihadapannya.

   "Rama, inilah kakang Nararya yang hamba katakan itu"

   Mendengar itu baru tumenggung Antaka agak gelagapan dan sadar dari kemanguan.

   "O, baiklah"

   Kata tumenggung Antaka "benarkah engkau yang menolong puteri dyah Savitri dari tangan seorang penjahat?"

   "Benar, gusti menggung"

   Nararya memberi sembah hormat kepada tumenggung itu "tetapi hanya secara kebetulan saja hamba lalu ditempat itu dan melihat seorang bertutup kain hitam pada wajahnya tengah memanggul rara ayu"

   "O, engkau berani dan digdaya"

   Seru tumenggung Antaka sambil menatapkan perha an pada pemuda itu. Diam2 ia mendapat kesan bahwa wajah pemuda itu memang bersinar. Tampan dan berwibawa. Tetapi tak menunjukkan tanda2 dari seorang pemuda yang bertenaga kuat dan perkasa.

   "Ah, hanya secara kebetulan saja hamba dapat memukulnya"

   Nararya merendah "mungkin karena dia sedang membawa tubuh puteri paduka sehingga gerakannya agak berat"

   "Besar sekali jasamu, Nararya....."

   "Rama"

   Cepat Savitri berseru "dalam menolong hamba, kakang Nararya dak mengharap suatu balas jasa apapun.

   Kakang Nararya mengatakan bahwa menolong sesama yang sedang menderita kesukaran, adalah dharma-wajib yang harus dilakukan selama dalam berkelana lelana brata"

   "O, itulah laku seorang ksatrya"

   Seru tumenggung Antaka pula "engkau tentu putera ...."

   "Bukan rama"

   Kembali sidara Savitri menukas "kakang Nararya berasal dari desa di gunung Kawi. Putera seorang rakyat desa"

   Diam2 nyi tumenggung memperha kan betapa bersemangat dan penuh perha an Savitri terhadap Nararya itu.

   Sebagai seorang ibu, nyi tumenggung mempunyai naluri yang tajam tentang sikap dan gerak gerik puterinya itu.

   Diam2 iapun mempunyai kesan baik terhadap Nararya.

   Tetapi karena hal itu menyangkut suatu persoalan yang pen ng dan besar bagi kehidupan Savitri, maka perlulah lebih dahulu ia mempunyai waktu yang cukup untuk menyelidiki lebih lanjut tentang diri Nararya.

   "Kakang menggung"

   Segera nyi tumenggung berkata kepada suaminya.

   "saat ini kita sedang sibuk menghadapi peralatan nikah putera kita. Tentang Nararya, baiklah kita persilahkan dia nggal di tumenggungan dulu barang beberapa hari sampai peralatan ini selesai. Nan kita akan bercakap- cakap lebih lanjut lagi dengannya"

   Nararya terkejut.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi sebelum ia sempat memberi pernyataan, Savitri sudah mendahului "Rama ibu, kakang Nararya tak tergesa-gesa melanjutkan lelana-brata maka akan mematuhi keinginan ibu tadi untuk nggal di tumenggungan sampai peralatan nikah kakang Prabhawa selesai"

   "Ya, benarlah, bawalah dia ke bilik di sebelah mur dekat para penjaga"

   Tumenggung Antakapun segera berseru kepada Savitri.

   Savitri memberi hormat lalu mengajak Nararya.

   Pemuda itu seper seekor kerbau yang tercocok hidung.

   Keputusan dalam percakapan berlangsung sedemikian cepat sehingga ia tak sempat untuk menyatakan apa2.

   Dan Savitri pun terus menariknya dari hadapan rama dan ibunya.

   "Aneh, mengapa Savitri begitu bergairah sekali kepada anak laki itu"

   Kata tumenggung Antaka kepada nyi tumenggung. Nyi tumenggung tersenyum "Anak kita sudah menjelang dewasa. Kita harus memaklumi perobahan-perobahan dalam alam kedewasaannya".

   "Maksudmu?"

   Tumenggung Antaka terkesiap.

   "Ah, mengapa kakang menggung masih bertanya. Bukankah kakang menggung pernah muda ?"

   "Tetapi dia seorang anak perempuan, nyai"

   Kata tumenggung "harus lebih halus pekertinya"

   "Dia memang manja, kakang menggung. Maklum karena kita hanya mempunyai puteri seorang saja"

   Pada saat tumenggung Antaka dan nyi tumenggung tengah mempercakapkan ngkah laku Savitri terhadap Nararya, adalah dara itu sedang membawa Nararya menuju ke sebuah tempat tak jauh dari keputren.

   "Hm, mengapa rama hendak menempatkan kakang Nararya di bagian luar"

   Ia tak setuju dengan perintah tumenggung dan membawa pemuda itu sebuah bangunan yang termasuk lingkungan dalam.

   "Kakang, beris rahatlah disini. Aku terpaksa harus membantu peralatan nikah kakangku"

   Kata dara itu.

   Berada seorang diri dalam sebuah bilik yang bersih dan asri, melayanglah pikiran Nararya.

   Ia teringat akan Reja yang mengiringnya itu.

   Tentulah karena malam itu tak keluar dari tumenggungan, Reja sudah kembali ke gua Selamangleng untuk memberi laporan kepada kawan2.

   "Ah, mereka tentu mengira aku tertangkap"

   Pikirnya lebih lanjut "dan kemungkinan mereka akan berusaha membebaskan aku"

   Tetapi ba2 ia teringat bahwa saat itu bekel Saloka tentu dengan beberapa kawan sedang berada di gedung kediaman tumenggung Sagara Winotan sebagai pelayan.

   Dan mungkin karena memperhitungkan bahwa saat ini tumenggung Antaka sedang sibuk mempersiapkan peralatan nikah puteranya, tentulah tumenggung itu tak lekas ber ndak untuk menjatuhkan pidana.

   Dengan demikian kawan2 di gua Selamangleng itupun takkan tergesa-gesa bertindak.

   Lepas dari suatu kecemasan, mbullah pula lain keresahan dalam ha Nararya.

   Kini dia mulai memikirkan keadaan dirinya "Apakah aku harus taat perintah tumenggung untuk berdiam disini selama empat lima hari lagi ?"

   "Ah, terlalu lama"

   Akhirnya ia menjawab sendiri "dalam empat lima hari itu tentu akan terjadi banyak perobahan suasana. Dan ...."

   Ba2 terhenyak dalam renungannya "ya, memang runyam sekali apabila diriku akan terjerat dalam hal itu pula"

   Benaknya mulai membayangkan wajah Savitri yang cantik dan sikap serta gerak-gerik dara itu terhadap dirinya.

   Juga sempat dibayangkan pula akan sikap tumenggung dan nyi tumenggung ketika menerimanya.

   Ia mendapat kesan bahwa tumenggung dan nyi tumenggung itu amat memanjakan Savitri "Ah, apabila mereka menuruti sikap puterinya kepadaku, bukankah aku harus menghadapi persoalan seperti di desa Jenangan pula ?"

   Keringat dingin segera mengucur dari dahinya.

   Bukan karena ia tak setuju dengan dyah Savitri.

   Dara itu anak tumenggung, can k dan pintar.

   Tetapi ia harus mengeluh mengapa se ap kali ia harus berhadapan dengan wanita can k.

   Mengapa bahkan dalam saat ia berjuang untuk suatu tujuan, harus dikelilingi dengan wanita2 cantik.

   Mayang Ambari, dyah Nrang Kesari....

   Teringat akan dyah Kesari, puteri raja Jayakatwang yang dipertuan dari Daha, tersentaklah semangat Nararya "Tidakkah puteri akuwu Daha itu akan murka sekali apabila mendengar aku diambil menantu tumenggung Antaka ? Mayang Ambari puteri seorang lurah desa, mungkin takut terhadap puteri2 pembesar.

   Tetapi tentu tidak demikian dengan puteri Kesari ...."

   Membayangkan hal itu keringat makin mengucur deras. Makin dingin pula.

   "Memang tak setiap lelaki mempunyai rejeki seperti aku. Selalu dekat dan selalu dibayangi puteri2 cantik, gadis2 jelita. Tetapi hidupku bukan hanya untuk soal wanita. Melalui sasmita gaib yang diperoleh guru dalam pengheningan ciptarasanya, guru telah mengisyaratkan aku supaya turun gunung untuk mencari Wahyu Agung yang akan diturunkan dewata. Wahyu yang akan melimpahkan kekuasaan untuk membawa kebesaran pada negara dan kesejahteraan pada para kawula. Haruskah pikiran dan tujuanku berbiluk karena tergoda oleh wanita2 cantik itu?"

   "Tidak!"

   Pikirannya meronta dan menolak.

   Tetapi endapan ha nya yang tersibak oleh gejolak pikirannya segera menampakkan sinar bercahaya, mencuat dan menerangi seluruh bilik ha nya.

   Pu h bersih.

   Tetapi selekas percik2 yang bertebaran tadi mengendap pula maka penuhlah dasar hatinya itu dengan berbagai warna.

   Ia sadar.

   "Ah, kesemuanya itu memang kehendak Hyang-Batara Agung. Kita manusia hanya sekedar menerima apa yang ditentukan dewata"

   Tiba pada pemikiran itu, ringanlah perasaan Nararya.

   Apapun yang harus dihadapi, akan dihadapinya.

   Bahwa saat itu ia berada di tumenggungan, haruslah ia dapat memanfaatkan kesempatan itu.

   Saat itu seluruh penghuni tumenggungan sedang terlibat dalam kesibukan2 melangsungkan upacara peralatan nikah.

   Andai Nararya mau meloloskan diri, amatlah mudah.

   Tetapi ia masih menahan diri.

   Ia ingin menyelidiki keadaan tumenggung Antaka pada beberapa penjaga yang dapat memberi keterangan.

   Setelah menentukan rencana, Nararya pun rebahkan diri di pembaringan.

   Ia le h dan ngantuk karena hampir semalam suntuk tak memejamkan mata.

   Ke ka tengah hari ia bangun, ia terkejut karena pintu didebur orang.

   Segera ia membukanya.

   "Ah"

   Ia terkejut ke ka yang berdiri dihadapan-nya itu Savitri sambil membawa sebuah penampan "engkau rara ..."

   "Engkau sudah bangun, kakang Nararya"

   Kata dara itu sambil tersenyum dan melangkah masuk "engkau dapat tidur nyenyak, bukan ?"

   Nararya mengiakan kemudian bertanya "Apakah yang engkau bawa itu, rara?"

   Ia melihat gadis itu meletakkan penampan diatas meja.

   "Hidangan pagi, kakang. Silahkan kakang mandi dulu, aku akan menunggu disini"

   Nararya menghela napas dalam ha .

   Ia tak tahu mengapa dara itu begitu memperha kan sekali kepadanya.

   Namun ia melakukan juga perintah puteri tumenggung itu.

   Ke ka menghadapi meja, Nararya terkejut melihat hidangan yang dibawa dara itu "Rara, mengapa begini banyak macamnya ?"

   Savitri tertawa "Telah kupesan kepada juru dapur agar menyediakan senampan apa saja yang akan dihidangkan dalam perjamuan nanti. Kakang Nararya adalah tamu kehormatan disini"

   "Ah, terlalu banyak, rara"

   "Aku akan menemani engkau makan, kakang"

   Kata dara itu. Nararya terkesiap. Ia mendapatkan lain jenis sifat kewanitaan dalam diri Savitri. Mayang Ambari pemalu dan penurut. Dyah Nrang Kesari, periang dan ramah. Savitri tangkas dan kemanja-manjaan.

   "Rara, apakah gusti menggung takkan marah?"

   "Kakang"

   Seru Savitri "jangan sebut aku rara, panggil saja Savitri. Murka rama dan ibu, akulah yang menghadapi, Tak perlu kakang cemas hati"

   Demikian keduanya makan bersama dan bercakap-cakap makin mesra.

   Wajah Savitri tampak berseri-seri gembira.

   Setelah Savitri meninggalkan tempat itu, Nararya pun mulai mencari daya bagaimana dapat menghubungi pengalasan yang berada di sekeliling tempat itu.

   Akhirnya ia berhasil memanggil seorang pengalasan, Walaupun tak banyak yang diperolehnya dari pengalasan itu, namun Nararya dapat juga mengetahui tentang keadaan keluarga tumenggung Antaka.

   Dari beberapa penjaga dan orang gajihan di tumenggungan, ia mendapat sedikit sekali keterangan tentang kegiatan tumenggung Antaka dalam hubungannya dengan gong Prada.

   Ia mendapat kesan bahwa tumenggung Antaka tak terlibat dalam peristiwa gong pusaka itu.

   Malam hari Savitri berkunjung pula dengan membawa hidangan.

   Kedua makan bersama pula.

   Savitri mengatakan bahwa upacara pernikahan akan berlangsung malam itu.

   Ia tentu sibuk dan meminta agar Nararya beristirahat saja di tempat kediamannya.

   Malam itu Nararya ingin keluar untuk melihat keramaian perjamuan di tumenggungan.

   Tetapi ia merasa kurang perlu.

   Lebih baik beristirahat.

   Pada saat ia rebah di pembaringan sambil masih merenung-renung, ba- ba ia mendengar pintu di debur pelahan.Serentak ia loncat turun dan membuka pintu.

   "Ah"

   Ia terkejut, menyurut mundur seraya bersiap-siap.

   "Apakah raden lupa kepadaku ?"

   Seorang lelaki bertubuh kekar yang tegak di muka pintu, bertanya dengan nada bersahabat.

   "O, engkau?"

   Setelah memandang seksama, barulah Nararya tahu bahwa tetamu itu bukan lain adalah lelaki yang dibebaskannya dari tumenggungan kemarin malam "mengapa engkau datang lagi?"

   "Raden, bolehkah aku masuk?"

   Karena menganggap berbahaya kalau para penjaga sampai tahu akan kedatangan orang itu, maka iapun mempersilahkannya masuk, kemudian menutup pintu lagi rapat2.

   "Maaf, raden, akulah orang yang raden tolong kemarin malam. Namaku Gajah Pagon dari daerah Tuban"

   Melihat kejujuran orang, mbullah kesan baik dalam ha Nararya "Terima kasih, kakang Pagon. Aku Nararya"

   "Ya, aku sudah tahu"

   "Tahu ?"

   Nararya agak terkejut "dari mana ...."

   "Reja, pengiring raden itu yang memberitahu kepadaku. Dia kuantar pulang ke Selamangleng"

   Nararya terkejut pula. Reja terlalu gegabah memberitahu markas Selamangleng kepada orang. Tetapi kemengkalan terhadap Reja itu agak menyurut ke ka kesannya terhadap Gajah Pagon membaik.

   "Lalu apa maksud kedatangan kakang Pagon?"

   "Raden telah menolong diriku. Wajib akupun harus menolong raden. Demikian pendirian hidupku. Setiap budi tentu kubalas, setiap dendam tentu kuhimpaskan"

   "Tetapi aku wajib menolong kakang Pagon karena kakang telah menolong pengiringku"

   "Akupun wajib menolong raden karena raden menolongku"

   Jawab Gajah Pagon. Nararya menghela napas.

   "Ya. Kupercaya akan hatimu"

   Kata Nararya "tetapi berbahaya sekali engkau masuk kesini"

   "Tidak, raden"

   Kata Gajah Pagon "mereka sedang sibuk mengadakan peralatan nikah. Penjagaan agak berkurang maka aku dapat masuk dengan lancar"

   "Lalu apa maksudmu?"

   "Mari kita tinggalkan tumenggungan ini, raden"

   Nararya tak lekas menjawab.

   Ia termenung.

   Ia tahu bahwa gedung tumenggungan bukan tempat yang tenang baginya.

   Gedung itu akan menimbulkan banyak kericuhan padanya.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi betapapun ia agak berat meninggalkannya.

   Lepas dari segala persoalan, Savitri telah bersikap, baik sekali kepadanya.

   Bagaimana ia akan meninggalkannya tanpa pamit? "Bagaimana, raden ?"

   Karena sampai beberapa saat Nararya diam saja maka Gajah Pagon mengulang pertanyaannya.

   Didahului oleh sebuah helaan napas, Nararya menjawab "Memang seharusnya kita lekas2 nggalkan tempat ini.

   Tetapi tumenggung mengatakan supaya aku berdiam disini sampai selesai peralatan nikah puteranya.

   Dia hendak bicara dengan aku"

   "Soal apa, raden?"

   Nararya gelengkan kepala "Entahlah. Dan puteri tumenggung pun baik sekali kepadaku. Apabila pergi tanpa pamit, mereka tentu akan kecewa"

   Gajah Pagon menatap wajah Nararya.

   Diam2 ia mengangguk dalam hati.

   Kemudian berkata "Setiap perpisahan tentu akan meninggalkan bekas kekecewaan.

   Dan setiap pertemuan akan menimbulkan kegembiraan.

   Itu sudah jelas kita ketahui.

   Kalau kita sudah tahu akan hal itu, mengapa kita harus kecewa apabila berpisah, mengapa pula kita harus tertawa kalau kita berjumpa?"

   


Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini