Ceritasilat Novel Online

Pedang Bengis Sutra Merah 4


Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin Bagian 4



Pedang Bengis Sutra Merah Karya dari See Yan Tjin Djin

   

   "Sahabat!"

   "Ada apa dengannya?"

   "Dia... sedang sakit!"

   "Sakit?... bukan, di badannya ada noda darah..."

   "Oh! Ini... dia terluka."

   "Baiklah kalian istirahatlah, tidak apa-apa, aku harus pergi memasang jala."

   "Terimakasih pak!"

   Nelayan tua itu memutar badannya, lalu membuka tali dan pergi.

   Pui Cie menghela nafas, lalu memandangi Yipha Yauci terlihat kaki dan tangannya bergetar berapa kali, mulutnya buka tutup seperti mau berkata-kata.

   Pui Cie cepat-cepat mendekat dan memanggil.

   "Nona Liu, nona liu..."

   Yipha Yauci mengeluarkan suara seperti mimpi.

   "Aku... apakah aku sudah mati?"

   Suaranya lemah dan kecil seperti suara nyamuk. Pui Cie terduduk dilantai dan berkata.

   "Nona Liu, kau belum mati, aku., sudah menyuruh orang pergi mencari tabib."

   Kulit mata Yipha Yauci bergerak-gerak, lalu membuka, sepasang mata yang lesu berhenti di muka Pui Cie, lama sekali baru mengeluarkan suara.

   "Kau... kau Pui Cie?"

   "Iya!"

   "Phi.. phipa..."

   "Phipa kenapa?"

   "dalam... ada obat.."

   Hati pui cie tergetar. Dengan suara cemas berkata.

   "Didalam phipha ada obat?"

   Dengan suara lemah sekali Yipha Yauci berkata.

   "Ya, ada obat., pil ajaib... perguruanku... yang membuat."

   Tercenganglah Pui Cie, bagaimanapun juga dia tdak berpikir di dalam phipa ada obat yang tersembunyi, sekarang barangnya sudah dibawa Bo Ta Su Seng sebagai barang bukti.

   Orangnya juga sudah berada beberapa puluh mil jauhnya.

   Tak mungkin dikejar kembali, bagaimana? Kalau sampai dia tidak tertolong, siapa yang berdosa? Yipha Yauci seperti merasakan ada yang kurang beres, dengan susah berkata,"Phipanya...

   hilang?"

   Pui Cie dengan muka susah berkata.'aku melihat luka nona sangat parah sudah tidak ada jalan, kebetulan sahabatku datang, maka... aku minta tolong membawa phipa sebagai bukti untuk mencari gurumu menolongmu. Ini..."

   Bibir Yipha Yauci yang pucat terus bergetar, matanya membuka dan menutup berkata.

   "Celaka! Guruku... sudah meninggal..."

   Seperti petir di siang hari bolong seluruh badan Pui Cie gemetaran, suaranya juga bergetar.

   "Gurumu telah meninggal?"

   "Ya!"

   "Ini... bagaimana bagusnya? sahabatku dalam empat hari baru bisa kembali..."

   "Empat... hari?"

   Ya! Sekarang nona merasa bagaimana?"

   "Saya... tak bisa bertahan empat hari. Lukanya terlalu parah, aku., sudahlah, ini mungkin sudah nasib... aku tidak menyalahkanmu, tempat apa ini?"

   "Sebuah gubuk ikan di pinggir sungai Tang."

   Sekian lama Yipha Yauci terdiam, dengan tersendat-sendat dia berkata.

   "Kamu... mau menemaniku... sampai detik-detik terakhir?"

   Pikiran Pui Cie kalut, dia tidak bisa begitu saja membiarkan Yipha Yauci mati, tapi dia tidak punya cara yang lain untuk menolongnya, setengah berteriak berkata.

   "Nona Liu, aku., bagaimana juga ingin kau tetap hidup!"

   Mukanya tampak berkerut dengan sedih melanjutkan.

   "Kau bisa, kau pasti bisa tunggu sampai sahabatku pulang."

   Tidak... aku tahu, aku... tidak bisa bertahan satu hari lagi!"

   "Aku bisa menolongmu dengan tenaga dalam..."

   "Tidak mungkin, aku... tidak bisa menerima tenaga dari luar, jantungku bisa terguncang... bisa putus."

   "Begini... nona Liu, aku akan menyesal seumur hidup."

   "Jangan menyalahkan diri sendiri, ini... nasib!"

   "Kalau bukan demi menolongku, kau takkan menjadi begini."

   "Sudah nasib, waktu itu aku... tidak boleh menotok urat nadimu, kejadiannya terlalu cepat, aku... tidak sempat membuka totokanmu, aku kira kau sudah terkena musibah. Yang salah... seharusnya aku."

   "Nona..."

   "Kau... bisakah kau merubah... panggilan padaku!"

   Mata Ku Cie memerah, digenggamlah sepasang tangan halus itu, dengan amat terharu berkata.

   "Siang E, adik E., aku.."

   Dalam mata yang buram muncul secercah cahaya kegembiraan, juga tersungging senyum kebahagiaan. Di waktu biasa senyum ini sangat menawan, tapi sekarang terlihat amatlah menyedihkan. Yipha Yauci berusaha bersemangat berkata.

   "Kakak Cie, aku., harap... bisa meninggal dalam pelukanmu., aku., tidak penasaran lagi aku marasa puas. Aku... tidak pernah mencintai orang lain, juga tidak pernah benar-benar dicintai seseorang. Sebab., aku Yipha Yauci. Katakanlah bahwa kau juga mencintaiku, agar aku bisa membawa kata-kata ini... masuk ke liang kubur!"

   Pui Cie ingin sekali nangis sekeras-kerasnya.

   Tiba-tiba muncul sebuah bayangan mungil di depan mata.

   Begitu Pui Cie mengangkat kepalanya, hati Pui Cie terhenyak, yang datang ternyata adalah istrinya, Hie Ki Hong.

   Terlihat mukanya serius, sorotan matanya penuh dengan rasa cemburu.

   Kenapa dia bisa datang kemari? Dengan gereget Hie Ki Hong berkata.

   "Pui Cie, tidak disangka kau adalah seorang yang hina dan tidak tahu malu. Kau..."

   Pui Cie melepaskan tangan Yipha Yauci, dia berdiri. Pelan-pelan angkat bicara dengan sangat terpaksa.

   "Ki Hong, kalau bicara jangan keterlaluan!"

   Hie Ki Hong geram sampai geregetan, dengan keras berkata,"Mau bagaimana? Apa aku harus menyanjungmu? menyebutmu jagoan yang romantis? Sebut kau..."

   "Ki Hong..."

   "Aku benci dirimu, benci dirimu!"

   "Teruskan kebenciannya!"

   "Aku akan membunuhmu dulu bani perempuan murahan..."

   "Ki Hong, kau tidak boleh..."

   "Sakit hatimu? Kau tidak rela dia mati?"

   Seraya mengangkat tangan halusnya. Pui Cie cemas dan marah, dengan memekik keras dia berkata.

   "kau tidak boleh mengusiknya!"

   Hie Ki Hong terengah-engah berkata.

   "Bunuhlah aku dulu kalau mau mencegah!"

   Karena terganggu keributan, Yipha Yauci pingsan lagi. Pui Cie menggigit mulut berkata.

   "Dia terluka begini berat adalah demi diriku, dia sudah menolong nyawaku, tentu saja aku harus mengurusnya."

   "Memalas budi dengan dirimu?"

   "Terserah!"

   "Kau mau mengaku aku sebagai istrimu?"

   "Aku tidak pernah menyangkal!"

   "Dimana tanggung jawabmu?"

   "Itu adalah urusan belakangan, sekarang aku mau menolong orang dulu."

   "Aku mau kau jelaskan dulu!"

   "Tidak bisa!"

   "Baik!"

   Tangan yang halus melayang kepada Yipha Yauci yang tidak sadarkan diri. Buat Yipha Yauci, sekarang jangankan terkena pukulan tangan, terkena jari telunjuk saja nyawanya bisa melayang. Tidak sempat untuk berpikir, Pui Cie menghalangi dengan badan.

   "Plak!"

   Tamparan tangan Hie Ki Hong mengenai dada Pui Cie, dia terjungkal hampir menindih badan Yipha Yauci. Dengan sekuat tenaga Pui Cie menahan dirinya, tapi mulutnya sudah mengeluarkan darah. Hie Ki Hong menjerit.

   "Kau tidak menyayangi nyawamu untuk melindungi perempuan yang tak tahu malu ini?"

   Pui Cie menghapus bercak darah di mulutnya dengan mata terbelalak berkata.

   "Jangan terlalu mendesakku!"

   "Bagaimana, apa., kau mau membunuhku?"

   "Aku tidak mengijinkan kau melukainya."

   "Kau mencintai dia begitu dalam?"

   "Ini adalah moril, manusia memiliki prikemanusiaan. aku tidak akan membiarkan dia mati karenaku."

   Tiba-tiba muncul tiga bayangan manusia secara berbarengan, yang satu adalah nelayan tua, yang dua lagi adalah pelayan Hie Ki Hong, hati Pui Cie masih curiga. Siapakah nelayan tua ini? Nelayan tua itu berkata.

   "Majikan muda jangan keliwat emosi. Berkatalah pelan- pelan."

   Mata Hie Ki Hong memerah, berkata.

   "Tetua Han, anda jadi saksi, aku mau orang yang tidak berbudi ini memberi penjelasan."

   Pui Cie terkejut, tidak disangka nelayan tua ini adalah Han Shi Wei.

   Satu di antara 8 tetua San Chai Mui.

   Dia pernah mendengar 8 tetua itu tapi belum pernah melihat orangnya.

   Ternyata gerakan San Chai Mui cukup rahasia.

   Han Shi Wei memandangi Pui Cie dengan sorotan mata yang aneh berkata.

   "Tuan, Tuan berbuat begini., apakah pantas?"

   Pui Cie mendesah lalu berkata.

   "Tetua Han, seorang lelaki harus bisa membedakan budi dan dendam dengan jelas. Jangan terlalu terdesakku."

   Hie Ki Hong marah sekali, berkata.

   "Pui Cie jelaskan padaku, sepatah kata saja sudah cukup."

   Terpancing juga rasa marah dihatinya, Pui Cie dengan suara kecut berkata.

   "Bagaimana jika kau jelaskan masalah Li Se Kian?"

   Hie Ki Hong terhenyak, dengan keras berkata.

   "Kau masih belum bisa melupakan masalah Lie Se Kian?"

   "Tentu tak bisa dilupakan begitu saja, bukankah aku sudah kawin pula dengannya."

   "Kau..."

   "Kamu pulang tanyakan kepada ayahmu, bagaimana meninggalnya ibumu?"

   Hie Ki Hong kaget sekali, dia sampai mundur tiga langkah kebelakang, dengan memekik berkata.

   "Pui Cie, apa artinya perkataanmu ini?"

   Pui Cie dengan wajah dingin berkata.

   "Tanyakan saja kepada ayahmu, beliau pasti akan memberimu jawaban yang memuaskan."

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hie Ki Hong merasa marah sampai berobah mukanya.

   Dia menghentakkan kaki memutar badannya langsung pergi.

   Dua pelayannya mengikuti.

   Nelayan tua yang bermarga Han tetap diam di tempat, mukanya cemberut.

   Pui Cie menggeleng kepala kemudian melihat kepada Yipha Yauci yang tertutup sepasang matanya.

   Di sudut matanya mengambang dua butir air mata.

   Entah masih pingsan entah sudah siuman.

   Pui Cie menarik napas panjang, memanggil dengan suara halus.

   "Siang E!"

   Yipha Yauci pelan-pelan membuka mata, lalu menutup lagi, dengan suara bergumam berkata.

   "Aku... rasannya sudah tidak kuat ber...napas... sudah tidak kuat."

   Hati Pui Cie merasa sedih dan berkata.

   "Siang E, kau harus bertahan, kau jangan.."

   Dia tidak sanggup meneruskan. Saat ini yang ingin dia pikirkan adalah hidup matinya Yipha Yauci yang lain tidak perduli. Han Shi Wei pelan-pelan bertanya.

   "Tuan anda sudah tidak mau Majikan muda?"

   Pui Cie angkat kepala.

   "Tetua Han, pertanyaanmu harus ditanya oleh tetua perguruan."

   Habis bicara pandangannya balik lagi ke Yipha Yauci, hatinya kacau betul. Han Shi Wei berkata lagi.

   "Tuan muda, aturan suami istri termasuk ke lima hukum, harap anda ingat."

   Pui Cie bukan tidak tahu, dia bukan orang tidak berbudi, kebahagiaannya dengan Li Se Kian menjadi hilang karena ketua San Chai Mui telah memakai cara keji menjodohkan perkawinannya.

   Kemarahannya belum bisa hilang sampai sekarang dan tidak bisa dilupakan, dia mengambil sikap begini kalau diurut dari asalnya, Hie Ki Hong tidak salah, dia juga perempuan yang jadi korban.

   Dengan sikap dingin dia berkata.

   "Tetua tahu asal mula masalah ini?"

   Han Shi Wei pelan-pelan berkata.

   "ini., aku..."

   Pui Cie manghembuskan napas dari hidungnya.

   "Kalau begitu aku tidak usah bicara lagi."

   Tiba-tiba Han Shi Wei menunjuk kekejauhan berkata.

   "Ada yang datang, sepertinya orang dunia persilatan!"

   Hati Pui Cie kaget, Cepat dia melihat kearah yang di tunjuk, Terlihatlah beberapa orang sedang menyusur jalan setapak menuju ketempatnya.

   Ada yang dipundaknya memikul barang, ada pula yang punggungnya memanggul barang.

   Seperti tukang jual beli mau ke pasar, dengan sendirinya Pui Cie bertanya.

   "Bagaimana tetua tahu mereka orang persilatan?"

   Han Shi Wei dengan tangan mengusap jenggot putihnya, berkata.

   "Tidak akan salah, dalam radius lima lie semua orang-orang itu berkumpul, mungkin ada maksudnya."

   Hati Pui Cie mengerti, tetua San Chai Mui, Han Shi Wei disini menyamar sebagai nelayan, sudah tentu mereka disini mempunyai cabang perkumpulan yang rahasia.

   Dia pasti sudah dapat berita dari anak buahnya, melihat penanpilan orang yang datang, kemungkinan besar mata-mata Shin kiam Pang yang sedang mencari dirinya dan Yipha Yauci.

   Dia tidak mau terganggu juga tak mau didekati.

   Setelah dia berpikir dan memutuskan, dia memandangi Han Shi Wei bertanya.

   "Apakah tetua bisa tolong menjagakan nona ini?" ' Han Shi Wei mengangguk.

   "Boleh, bagaimana tuan muda?"

   Pui Cie berkata.

   "Kalau pihak lawan datang mencariku pasti banyak jago-jagonya, aku harus melawannya."

   Dia membalik wajahnya melihat Yipha Yauci, berkata.

   "Siang E, kau istirahatlah. Aku pergi sebentar!"

   Menyesal Seumur Hidup Yipha Yauci hanya berputar bola matanya, tapi tidak berkata apa-apa.

   Orang yang datang jaraknya bertambah dekat.

   Pui Cie tidak berani lengah, segera pergi dari sisi gubuk menyusuri sungai yang beralang-alang lebat, berjalan membuat setengah lingkaran, memutar menuju ke ujung jalan kecil dibagian sana, dengan sengaja memekik dengan keras.

   "Pa Kiam ( Pedang Bengis )tidak ada ampun."

   Pekikan keras ini bisa terdengar sampai setengah lie jauhnya, rombongan yang penampilannya seperti pedagang menjadi kalang kabut, beramai-ramai berlari kembali secara terpencar, selanjutnya tanda api roket yang mengudara, terbukti mereka betul mata-mata.

   Pui Cie matanya memeriksa sekelilingnya, dia menemukan sebuah bukit kecil di kejauhan yang menyolok sekali.

   Dia merasa disana jauh dan lebih baik dari gubuk ikan.

   Maka tanpa ragu-ragu lagi dia lari menuju bukit itu.

   Berdiri di ketinggian bukit dengan baju putih yang disorot sinar matahari, sehingga dari jauhpun bisa terlihat.

   Terdengar suara keluar dari balik bukit tempat dimana Pui Cie berdiri.

   "Pui Cie, kau masih mau melawan?"

   Diam-diam Pui Cie kaget sekali, pelan-pelan dia memutar badannya.

   Begitu memandang, hati bergetar keras, di dalam semak-semak pohon dibalik bukit, berdirilah seorang terpelajar setengah baya, ternyata dia adalah Pengurus Utama Shin Kaim Pang Kui Si Chai Ti Kuang Beng.

   Dalam hatinya timbul nafsu membunuh, tapi berhasil ditekan kembali, terpikir olehnya, tadi malam di dalam hutan, di luar kelenteng, Ti Kuang Beng telah membunuh seorang kepala cabang, dan melepas dirinya kabur, teka teki ini masih belum terpecahkan, spontan dia bertanya.

   "Pengurus Utama, aku mau bertanya satu masalah.."

   "Masalah apa?"

   "Semalam di dalam hutan, sewaktu aku terikat..."

   "Jangan menyinggung urusan itu lagi."

   "Kenapa?"

   "Kau tentu bisa berpikir posisiku."

   Perkataan tidak jelas membuat Pui Cie bingung, ketika di pegunungan pinus dia ikut memukul jatuh Pui Cie ke dalam jurang, tapi tadi malam menolong dirinya dengan mengkhianati perkumpulannya musuh atau bukan susah dibedakan.

   Kenapa? Apakan dia yang diam-diam melemparkan batu ke dalam jurang untuk menolong dirinya juga? Ti Kuang Beng berkata lagi.

   "Jago-jago yang mau mengepungmu segera tiba, kau sebaiknya bersiap-siap. Aku tak bisa banyak bicara, oya, bagaimana nasib Yipha Yauci?"

   Pui Cie spontan menjawab.

   "Dia masih hidup."

   "Dimana orangnya?"

   "Maaf, aku tak bisa beritahu."

   "Dengar, kalau kau bisa membunuh penasihat utama si Tangan Mencapai Langit' Mei Ang San, dari badannya kau mendapatkan sebuah pusaka ajaib yang merupakan hadiah pangcu sebagai imbalan dia membantu pekerjaan perkumpulan, setelah berkata begitu dia segera menghilang. Pui Cie terharu sekali, pusaka apa yang berada di badan si tua itu? Tapi dia tidak bisa berpikir lama, karena dalam waktu sekejap saja telah ada seseorang mendekat, yang pertama naik ke bukit itu adalah Thong Tih Ciu, si Tangan Mencapai Langit. Pui Cie berdiri kokoh seperti gunung, dengan mata melotot melihat pihak lawannya.

   "Ha.. Ha.. Ha...! Pui Cie, akhirnya kutemukan juga dirimu!"

   Thong Tih Ciu ketawa sinis. Pui Cie dengan sikap dingin berkata.

   "Orang yang bermarga Mei, kau membantu orang berbuat kejahatan, apa benar-benar tidak takut hukumannya!"

   Seketika pihak lawan yang lain berangsur-angsur tiba, mereka mengurung bukit. Ti Kuang Beng juga datang kembali. Pui Cie memandang semua orang yang mengepung, terutama lama sekali memandangi Ti Kuang beng. Thong Tih Ciu dengan mata berbinar berkata.

   "Pui Cie, perempuan hina yang main phipa itu sudah dikubur?"

   Pui Cie tertawa dengan sikap dingin berkata.

   "Dia baik-baik saja sedang mencari waktu untuk membalasmu! Sayang dia sudah tak ada kesempatan lagi, sebab Pa Kiam ku sudah tidak tahan ingin meminum darahmu, tua bangkai"

   Thong Tih Ciu dengan murka berkata.

   "Jangan terlalu sombong! Hari ini aku akan membawa kepalamu pulang." Pui Cie menyungging bibirnya sambil mencibir.

   "apakah cukup tajam pedangmu?"

   Thong Tih Ciu melotot.

   "Silahkan coba, nanti kau bisa tahu pedangku tajam atau tidak."

   "Chiang!"

   Dengan suara keras kedua belah pihak telah mencabut pedang.

   "Pa Kiam tidak ada ampun!"

   Itulah kebiasaan Pui Cie memekik. Kedua belah pihak mengambil posisi, memasang kuda-kuda. Juga mengeluarkan pedang menunggu kesempatan bagus. Pui Cie berpikir cepat.

   "Orang Tua ini menjabat sebagai Penasihat Utama pasti kungfunya hebat sekali, sudah terbukti sewaktu dia melawan Yipha Yauci di kelenteng. Pertarungan kali ini adalah melawan jago-jago, jangan berlama-lama lebih cepat lebih baik."

   Sesudah berpikir begitu dia memekik.

   Pa Kiamnya dengan segala kecepatan dan keganasannya telah disabetkan.

   Saat Pui Cie mau mennyabetkan pedang, keadaan di lapangan sudah amat menegangkan.

   Dalam suara beradunya besi dengan besi ke dua belah pihak yang sudah menjauh, mendekat lagi.

   Kepandaian pedang Thong Tih Chiu amatlah tinggi, seimbang dengan kemampuan Pui Cie, sudah tiga jurus belum jelas siapa menang atau kalah, Pui Cie melakukan pertarungan kilat supaya cepat selesai.

   Dia memekik lagi dikeluarkanlah jurus-jurus istimewa Pedang bengisnya.

   Dalam suara besi beradu yang begitu kerap, Thong Tih Chiu, sudah mundur tiga langkah besar.

   Pui Cie seperti bayangan mendesak terus, sebuah jurus mematikan dilancarkan.

   Terdengar suara ,"Sssett!"

   Lengan baju Thong Thih Chiu sudah robek besar darah pun bercucuran.

   Bisa menghadapi dua jurus maut Pedang Bengis tanpa cedera pertanda ilmunya cukup hebat.

   Thong Tih Chiu yang menjabat sebagai Penasihat Utama di jurus kelima dia mulai merasa terdesak, karena merasa malu, dengan memekik kuat, dia menyerang dengan sebuah jurus aneh yang amat keras.

   Pui Cie dengan sekuat tenaga melawan serangannya dengan pukulan, dalam hembusan angin yang menderu dan kilauan pedang, dua belah pihak terdorong mundur lagi.

   Ada dua buah pedang panjang mengunakan kesempatan ketika Pui Cie mundur, menyerang dari samping.

   Pui Cie segera membalikan pedangnya kembali menyapu, terdengar suara mengaduh.

   Seorang korban yang membokong roboh.

   Yang satunya lagi pedangnya putus menjadi dua.

   Secepat kilat dia mundur.

   Dengan ada bantuan anak buahnya meskipun hanya sekejap saja.

   Thong Thih Chiu kembali dapat menyerang secara cepat dari depan.

   Dalam suara yang hiruk pikuk jagoan-jagoan yang lain semua terjun kedalam kancah petarungan dengan mengeroyok.

   Pui Cie dengan pedangnya melancarkan kepada Thong Tih Chiu, dia tidak berani lengah sedikitpun.

   Badannya berputar mengikuti arah Pa Kiamnya kembali, ada seorang tua tepat terkena tajamnya pedang, dengan mengeluarkan suara menjerit kepalanya telah melayang.

   Thong Tih Chiu menggunakan kesempatan itu menyerang lagi dengan lebih dahsyat.

   Pui Cie merobah siasat cara lain, badannya cepat berputar tidak pedulikan Thong Tih Chiu, dia menyerang orang yang mengeroyok, mengerikan sekali seorang lagi terjungkal sudah tiga orang pengawal yang mati konyol.

   Karena ada perbedaan tenaga dalam yang besar, kerja sama yang tidak teratur.

   Yang membantu mengeroyok malah menggangu serangan Thong Tih Chiu.

   Pui Cie sengaja mengubah-ubah posisinya.

   Dia bermaksud menghilangkan dulu tekanan-tekanan yang membantu menyerangnya, ini adalah siasat yang paling pintar.

   Darah mengalir lagi.orang yang mengeroyok menjadi gentar.

   Ti Kuang Beng ikut menyerang dari sisi, meskipun ilmunya di bawah Thong Tih Chiu tapi tidak bisa dipandang remeh.

   Pui Cie cepat-cepat menggunakan kesempatan sebelum Thong Tih Chiu tiba, sekuat tenaga dia menyerang Ti Kuang Beng, Pui Cie sebenarnya tidak bermaksud membunuhnya, tapi tetap harus menghadapinya.

   Dalam suara besi yang beradu keras, Ti Kuang Beng mengaduh, dirinya cepat- cepat mundur, dada kanannya telah berdarah.

   Terlihat serangan pedang Thong Tih Chiu menggulung.

   Pui Cie menghadapi dengan sekuat tenaga.

   Sekarang yang bantu mengeroyok tersisa tiga orang, tidak ada kesempatan bagi mereka menyerang karena ilmu mereka yang terbatas.

   Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Siapapun tidak ada yang tahu bahwa Ti Kuang Beng berpura-pura, tapi dia memang mendapat cedera yang tidak ringan, dia terduduk disitu.

   Pa Kiamnya Pui Cie dahsyat sekali, serangannya yang bertubi-tubi membuat Thong Tih Chiu kalang kabut, maut terus mengintainya.

    Tiba-tiba Thong Thih Chiu mengundurkan diri keluar dari lingkaran pedang.

   Pedangnya dimasukkan dalam sarung, sepasang telapak tangan mengibas, rambutnya putih beterbangan mendadak menghempas, timbul angin yang sangat keras bergulung-gulung.

   Pui Cie segera menghindar kesamping.

   Terdengar suara jeritan yang memecahkan keheningan, dua orang pengawal yang berada di belakang Pui Cie, menjadi korban tergulung angin, terbang meninggalkan tanah, terhempas belasan meter jauhnya, mengikuti lereng gunung menggelinding jatuh ke bawah.

   Thong Tih Chiu telah salah membunuh orangnya sendiri.

   Dia menjadi marah besar.

   Pui Cie setelah menjauh sekarang membawa pedangnya masuk lagi ke gelangang.

   Thong Tih Chiu setelah menarik lagi sepasang telapak tangannya, kembali menyerang diri Pui Cie,ternyata ilmu telapak tangannya lebih hebat dari permainan pedangnya.

   Ini adalah bukan pertarungan silat atau mengadu tenaga, tentu saja Pui Cie tidak mau melayani keras lawan keras, badan menepi dan menghindar lagi dari serangan lawan, tapi karena menghindar terus badannya menjadi tidak mantap, terdorong oleh pukulan yang terus-menerus, sampai kepalanya terasa pusing.

   Tenaga telapak tangan Thong Tih Chiu memang dahsyat, tapi tenaga dalam yang terkuras juga tidak sedikit, dia akhirnya berhenti dengan terengah-engah, waktu yang sesaat ini bagi orang ahli seperti Pui Cie merupakan kesempatan untuk menyerang.

   Pedang berkilau di bawah sorotan matahari seperti satu rambang kilau mengurung Thong Thih Chiu.

   Thong Tih Chiu mencoba melayangkan tangannya, sayang tenaganya belum sempat keluar dengan sempurna kilauan pedang sudah tiba, satu suara jeritan terdengar dia sudah terdorong mundur tujuh delapan langkah, baju bagian dadanya sudah sobek, darahpun bercucuran.

   Pui Cie mengayunkan pedang, menyerang lagi...

   Thong Tih Chiu meluncurkan badannya cepat-cepat melarikan diri, lari menuruni bukit.

   Ti Kuang Beng diam-diam juga sudah kabur.

   Pui Cie memekik,"Mau lari kemana?"

   Dia menggerakankan badannya cepat-cepat mengejar Thong Thih Chiu, hanya dua kali loncatan dia sudah menghadang di depannya.

   Pedangnya segera digerakkan lagi.

   Pui Cie memang punya keinginan memusnahkan semua tenaga yang membantu Phei Cen.

   Untung Thong Tih Chiu tersandung batu sehingga terguling sepuluh meteran jauhnya, begitu bangun lagi dan dia cepat-cepat melesat kabur.

   Tiba-tiba Pui Cie melihat di tanah ada sebuah bungkusan barang, dia teringat Ti Kuang Beng pernah berkata di badan Thong Thih Chiu ada sebuah pusaka, cepat-cepat dipungut bungkusan itu, ketika mengangkat kepala lagi, Thong Tih Chi sudah kabur entah kemana.

   Dia menghela nafas, begitu barang itu dia buka, matanya menjadi terbelalak, isinya ternyata adalah sebilah Giok Ju Yi.

   Pui Cie terharu sampai bergetar, Giok Ju Yi tidak salah lagi terjatuh dari badan Thong Tih Chiu.

   Phei Cen tidak sayang memberikan Giok Ju Yi demi mendapatkan bantuannya.

   Ayah Bo Ta Su Seng gara-gara Giok Ju Yi sampai diusir dari perguruannya, pada akhirnya mati di depan lembah pertapaan Bo Yu Sien Ce.

   Dengan hasil yang diluar dugaan ini, telah meringankan banyak pekerjaan, janji pada Bo Yu Sien Ce sudah terlaksana.

   Dimainkannya Giok Ju Yi itu, hatinya riang bukan main.

   Di kejauhan asap hitam mengepul, Pui Cie angkat kepalanya melihat, tempat asap mengepul itu tepat di gubuk tempat Yipha Yauci bersembunyi, dia tersentak, hatinya berdebar-debar, Giok Ju Yi segera disimpannya dia langsung memburu ke gubuk itu.

   Betul saja gubuk ikan itu sudah terbakar.

   Saat ini sudah memjadi gumpalan api yang besar, mata Pui Cie berkunang-kunang, dia mempercepat langkah mendekat.

   Gubuk itu setengahnya sudah roboh ke dalam air.

   Api masih menyala, gubuk terbakar hampir habis sama sekali tidak bisa ditolong, apalagi ini sudah terlambat.

   Pui Cie berdiri terpaku dan gemetaran.

   Tumpukan kayu sudah terbakar habis, sisa kepulan asap tertiup angin sungai.

   Pui Cie seperti bangunan tinggi kehilangan topangan., rohnya terasa melayang- layang.

   Siapa yang membuat kebakaran ini? Bagaimana hidup dan matinya Yipha Yauci dan tetua Han? Tiba-tiba tercium bau tutung daging terbakar, menyengat hidung, badan Pui Cie menjadi seperti yang kedinginan.

   Apakah...

   dia tidak berani memikir lagi.

   Memandangi puing-puing yang tersisa ternyata ada dua bangkai tutung manusia, rambut dan baju tidak tersisa, mukapun sudah tidak bisa dibedakan, entah wanita entah ^laki-laki.

   Saat ini pikiran Pui Cie menjadi kosong, perasaan apapun tidak ada.

   Langit dan bumi seperti berputar, badannya menjadi bergoyang-goyang, dia seperti mau terjungkal.

   Siapa yang berbuat sekeji ini? Han Shi Wei adalah tetua San Chai Mui, apakah tidak bisa menjaga satu orang saja? Yipha Yauci dalam kondisi sekarat tidak bisa berbuat apa-apa.

   Tapi kenapa tetua Han kenapa bisa ikut terbakar? Gubuk hanya sebesar begitu, diluar adalah air sungai, apa tetua Han tidak mampu kabur? Sehingga mereka berdua mati bertumpuk.

   Benar-benar tidak habis pikir.

   Kecuali bertemu musuh yang tangguh dan terluka atau terbunuh lalu dibakar pemikiran ini lebih wajar.

   Siapa musuh yang begitu hebat? Pui Cie terpikir lagi Phei Cen, selain dia siapa lagi yang bisa sekeji itu bunuh orang lalu membakar jasadnya.

   Betul! Phei Cen tidak muncul di bukit, pasti dia disini membuat pekerjaan yang tidak berperikemanusiaan.

   Yipha Yauci telah mengkhinati perkumpulan pasti dia membencinya sampai masuk ke sumsum.

   Dua jasad kering yang bertumpuk bisa saja adalah tetua Han yang tidak mau mengecewakan dirinya atas titipannya jadi mati terbunuh, kalau begitu dirinya menanggung dosa yang besar, tambah dipikir teori ini terasa sangat betul.

   Perahu yang tadinya di kat di tiang gubuk mungkin tali nya putus terbakar, perahunya pergi mengikuti arus.

   Kesal, merasa bersalah, menyesal, Pui Cie hampir menjadi gila, bayangan mungil yang memakai selendang merah bergoyang-goyang di depan matanya, semua yang terjadi hanya dalam waktu setengah jam saja, kejadian yang menyedihkan ini telah terjadi, dia sudah terbebas sekarang, tidak perlu mencari tabib lagi, gubuk ikan itu bertutup alang-alang, rangkanya semua dari kayu, setengahnya terendam air, untuk keperluan menambatan perahu dibuat tiang yang amat kokoh, begitu terbakar pasti apinya sangat besar, bau hangus tercium sampai jauh.

   Pui Cie mengepalan tanganna sambil memekik sekuatnya.

   "Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

   BASMI HABIS Memandangi sisa kebakaran dan jasad kering dalam hati Pui Cie ada semacam keinginan membunuh dan cucuran darah.

   Yipha Yauci dan Tetua Han berduanya terpanggang api sama sekali luar dugaan.

   Akan munculkah Phei Cen? Dia sedang berpikir, utang darah harus dibayar dengan darah, darah orang tidak berdosa harus dibayar darah orang jahat, perguruannya merasa amat sial karena mempunyai seorang pengkhianat seperti Phei Cen.

   Ini juga malapetaka bagi dunia persilatan, berdiri di pihak manapun demi pribadi atau umum Shin Kiam Pang harus dimusnahkan.

   "Bunuh!"

   Dia memekik lagi dengan suara keras.

   Dia memikir kembali, Yipha Yauci demi cinta rela mengkhianati perkumpulan hingga mempersembahkan nyawanya, begitu pendek, begitu tiba-tiba seperti kembang api yang muncul sesaat saja, termasuk kategori cinta apa ini? Dia tahu laki-laki itu beristri tapi tetap tidak perduli, dan secara secara sepihak mencintainya.

   Imbalan apa yang dia dapatkan? -- t Cabut kuku putuskan gigi Berdiri lama tanpa perasaan, Pui Cie akhirnya sadar harus beres-beres, dari gulungan gelombang air sungai, muncul sebuah perahu mengayun melawan arus, yang mendayung ternyata adalah Han Shi Wei, tetua San Chai Mui.

   Pui Cie girang bukan kepalang, ternyata yang terpanggang api bukan tetua Han, dia langsung bertanya.

   "Mana Yipha Yauci?"

   Han Shi Wei tidak menjawab malah memanggil dari atas perahu.

   "Tuan muda, cepatlah naik perahu!"

   Pui Cie segera melompat, tubuhnya enteng seperti kapas, melayang turun di atas perahu, dia langsung melihat Yipha Yauci sedang terbaring di dalam, hatinya yang penuh rasa cemas mulai mereda, perahu kecil itu dibawa Han Shi Wei masuk ke dalam alang-alang.

   "Tuan muda, dia... sudah sangat kritis!"

   Hati Pui Cie menjadi dingin, dia duduk termenung, butir-butir keringat bermunculan di dahinya.

   Dia tidak mati terpanggang, tapi tetap susah mempertahankan hidupnya.

   Bo Ta Su Seng dalam dua hari lagi baru kembali, tapi sekarang nyawanya sudah sangat kritis, bagaimana harus bertindak? Dengan pelan dia mencoba memanggil.

   "Siang E!...Siang E!.."

   Tidak ada reaksi, ketika dipegang nadinya seperti ada seperti tidak, dia betul-betul sudah gawat. Han Shi Wei menghela nafas dan berkata.

   "Api dekat tidak bisa dipadamkan dengan air jauh, mana bisa tertolong? Kalau Mui Cu ada disini, mungkin bisa diminta bantuannya.."

   Tiba-tiba Pui Cie teringat Giok Ju Yi yang didapat dari Thong Tih Chiu, menurut cerita Bo Yu Sien Ce, Giok Ju Yi ini dibuat dari giok yang berumur puluhan ribu tahun, khasiatnya bisa menyembuhkan yang orang yang dalam keadaan kritis.

   Apakah betul begitu? Harus dicoba juga, segera dia mengeluarkan Giok Ju Yi, di tempelkan di dada Yipha Yauci.

   Han Shi Wei merasa aneh bertanya.

   "Untuk apa itu?"

   Pui Cie menceritakan tentang keajaiban giok itu dan kegunaannya. Han Sih Wei mengangguk sambil mengusap jenggot berkata.

   "Mungkin sudah takdir, belum sampai harus mati, mau bagaimana juga tak akan mati!"

   Pui Cie memandang Yipha Yauci lalu bertanya.

   "Tetua Han, waktu gubuk terbakar ada dua jasad terpanggang, bagaimana ceritanya?"

   Han Shi Wei menghela nafas berkata.

   "Ada dua orang pengawal Shin Kiam Pang menemukan nona ini, langsung mau dibawa pergi, aku tak berbuat bisa apa-apa terpaksa menghajarnya, tak disangka dia bawa petasan yang mau dilempar untuk minta bantuan tidak tahu bagaimana, malah menyala didalam, berita tidak terkirim, gubuknya yang terbakar, aku mau tak mau membawanya ke perahu untuk menghindar sementara."

   Pui Cie menghela nafas.

   "O, begitu, aku kira kalian berdua yang terkena musibah."

   Han Si Wei bertanya dengan muka serius.

   "Tuan muda, apakah kau benar menyukai wanita yang bermarga Liu ini?"

   Pui Cie ketawa kecut.

   "Tetua, di dunia persilatan budi dan dendam harus jelas dan harus diutamakan. Ada dendam boleh tidak dibalas tapi kalau ada budi harus dibalas. Nona Liu telah menolong jiwaku, budi ini harus dibayar!"

   Han Shi Wei tak mau mengendur terus bertanya.

   "Kalau begitu maksud tuan muda hanya membalas budi saja? Yang lain tidak?"

   Pui Cie berkata lagi,"Maksudku memang begitu."

   "Kalau dia?"

   "Dia punya pandangan sendiri, aku tidak bisa campur tangan."

   "Menurut pengamatanku, dia sangat mencintai Tuan Muda."

   "Itu., itu urusan dia."

   "Kalau begitu tuan muda tidak akan meninggalkan San Mui Cu?"

   Terkorek lagi luka hati Pui Cie, dengan sikap dingin berkata.

   "Sekarang aku tidak mau membicarakan soal ini!"

   Han Shi Wei dengan rasa sayang berkata.

   "Tuan muda, perkawinan itu amat sakral, aku harap bisa abadi selamanya."

   Sikap Pui Cie hatinya menjadi dingin, berkata.

   "kalau yang jadi korban adalah dirimu , apa kau bisa berkata begitu?"

   Han Shi Wei mengerutkan dahi.

   "siapa yang jadi korban?"

   Pui Cie berkata.

   "Mui Cu hatinya tentu mengerti, .kalau sampai terjadi apa-apa yang salah bukan dipihakku."

   Han Shi Wei seperti tahu urusan ini, maka selesai Pui Cie berkata begitu, dia bungkam terus.

   Pui Cie dengan penuh perhatian memandangi Yipha Yauci, terlihat mukanya mulai memerah, nafasnya terdengar mulai teratur, bahan dari langit, pusaka dari bumi benar-benar barang ajaib, hasil penyembuhan luka oleh giok Ju Yi sudah terlihat.

   Tidak disangsikan lagi nyawa Yipha Yauci sudah terselamatkan.

   Pui Cie tiba-tiba terpikir, kalau Yipha Yauci betul-betul sembuh, rasa cintanya tentu tidak berkurang, dia sendiri sudah berkeluarga, bagaimana menyelesaikannya? Sesudah dipikir berulang-ulang hatinya menjadi tetap, dia berkata.

   "Tetua , bolehkah aku menitipkan sesuatu padamu?"

   "Masalah apa?"

   "Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan, tidak bisa berlama-lama disini, kalau nona Liu sudah sembuh, tolong simpankan Giok Ju Yi nya. Dua hari kemudian bila ada seorang yang pakai baju biru bernama Bo Ta Su Seng datang, dia sahabatku, harap giok Ju Yi ini diserahkan kepadanya."

   "Boleh, tapi..."

   "Tapi apa?"

   "Kalau nona Liu bertanya mengenai dirimu, bagaimana aku menjawabnya?"

   "Ini... katakan saja aku pergi ada urusan penting, tetua tolong sampaikan ucapan terima kasihku padanya."

   "Baik!"

   "Kalau begitu, merepotkan tetua!"

   "Tidak apa-apa, sudah selayaknya aku membantu, terakhir maafkan aku berkata sekali lagi, harap tuan muda mengingat hubungan suami istri, bisa bersatu itu jodoh dari sana."

   Pui Cie mengangguk dengan berat, bersoja dengan kedua belah tangan, lalu melayang ke darat.tujuannya adalah kota Cau Yang, dia tidak percaya Phei Cen tidak mau muncul untuk menghadapi dirinya, kali ini Thong Tih Chiu kembali gagal, pasti dia sakit hati.

   Cara dia meninggalkan Yipha Yauci dalam hati Pui Cie merasa penuh penyesalan tapi sudah tidak ada jalan lain lagi.

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sesudah sembuh bagaimana dia? Pui Cie tidak berani pikir lebih jauh lagi.

   Siapa bilang dicintai itu paling bahagia? Pui Cie sekarang sedang pusing karena dicintai banyak wanita.

   Sinar bulan seperti perak, Pui Cie mondar mandir di jalan raya, dia tidak berani menyatakan dirinya menyayangi Yipha Yauci, tapi Yipha Yauci malah menyukai orang yang sudah beristri, hal itu sama dengan bikin jaring mengikat diri sendiri, demi cintanya sampai mempertaruhkan nyawa sebagai imbalan, itu adalah cinta buta.

   Pui Cie sebagai orang yang menanggung, merasa dipotong tak mau putus, diurus malah tambah kusut.

   Sebuah bayangan dengan sangat cepat melintas di depan sana, di bawah sinar bulan seperti seekor burung abu-abu terbang.

   Hati Pui Cie tersentak, tapi dia tidak mau mencampuri urusan orang lain, dia tetap saja berjalan, berjalan tidak begitu jauh dari hutan dipinggir jalan muncul suara tertawa mengejek, didepan dan dibelakang tak ada orang, tujuannya pasti pada dirinya, mau tak mau harus dilayani, dia menghentikan langkah dengan sikap dingin bertanya.

   "Siapa yang di dalam hutan?"

   Suara tertawa mengejek itu muncul lagi.

   Pui Cie sudah tidak tahan dia melayang masuk ke dalam hutan, dikejauhan terlihat sebuah bayangan masuk ke dalam hutan, Pui Cie tambah cepat mengejar, bayangan itu sebentar tampak sebentar menghilang, selalu tidak jauh jaraknya di depan karena hutan lebat pohonnya padat, jadi sulit mengejarnya, tidak lama kemudian dia sudah keluar hutan, di depannya tampak hamparan ladang terlantar, ditengah ladang ada sebuah rumah tani yang tidak beratap.

   Dindingnya sudah compang camping terkena angin dan hujan, ada berdiri seseorang di lapangan depan dinding, melihat potongan badannya bukan orang yang kejar- kejar tadi.

   Jelas sekali ini adalah sebuah jebakan, pasti ada kawanan lainnya bersembunyi, Pui Cie berdiri di pinggir hutan, sedang menganalisa keadaan bagaimana yang akan muncul.

   Bayangan orang tadi berkata.

   "Pui Cie, aku menunggumu sudah lama."

   Suaranya terasa tidak asing, sinar bulan terang sekali, dengan teliti dia mencoba mengenali.

   Ternyata dia adalah Penasihat Umum Shin Kiam Pang, Thong Tih Chiu Mei Ang San, pembuluh darah Pui Cie seperti mau pecah bagaikan air mengalir, awan melayang dia mengejar sampai beberapa meter lagi, setelah dekat dengan mata melotot dengan sikap dingin sekali dia berkata.

   "Kau masih penasaran?"

   Dengan geram, Thong Tih Chiu berucap.

   "Sebelum membunuhmu hatiku belum puas!"

   "Sama sama!"

   "Apakah barangku dibawa?" ' "Ow, Giok Ju Yi! Maaf, sudah dikembalikan pada pemiliknya."

   "Kau., apa? Kembali kepada pemiliknya?"

   "Tidak usah aku katakan, pokoknya begitu kenyataannya."

   "Kau berani menelan barangku?"

   "Ha..ha., ha..! tidak lucu! Itu mana boleh dihitung barang milikmu! Kau jangan menganggap semua barang yang bisa dirampok bisa menjadi milikmu?"

   Thong Tih Chiu mencabut pedangnya, memekik dengan keras.

   "aku akan membunuhmu!"

   Pui Cie dengan tenang mengeluarkan Pa Kiamnya, pikirnya dalam hati.

   "Kalau sekarang Phei Cen mengintai didalam kegelapan, nanti dia pasti muncul. Inilah yang kutunggu.."

   Sesudah berpikir begitu, dengan sengaja dia berkata keras-keras.

   "Pangcu kalian pintar bersembunyi, seperti kura-kura tidak berani keluar, hanya bisa menjual nyawa kalian, sungguh memalukan."

   Thong Tih Chiu melayangkan pedangnya dengan suara keji berkata.

   "Pangcu sedang menunggu kepalamu!"

   Pui Cie mengangkat pedangnya berkata.

   "Ayo, majulah! masih tunggu apa lagi?"

   Thong Tih Chiu marah, maju sambil memekik.

   Pedang panjangnya langsung menyerang, tenaganya dikeluarkan seluruhnya.

   Terjadi pertempuran yang sengit, seru dan menakutkan, Pui Cie tahu banyak pesilat tangguh mengintai di kegelapan, mereka tidak mau mengulang mengeroyok, mereka memancingnya kesitu pasti sudah siap sedia, bersikap lemah pada musuh akan merugikan dirinya sendiri, sesudah tujuh jurus berlalu, dia mulai mengeluarkan jurus-jurus yang ampuh, Thong Tih Chiu didesak, mundur dan mundur terus, mundur sampai ke dinding.

   Thong Tih Chiu yang merasa terdesak terus menjadi marah sambil memekik dia berseru.

   "Berdebah! Matilah!"

   Bersamaan pekikannya dia mengeluarkan satu jurus ajaib dengan sekuat tenaga, gayanya hebat membuat orang merasa ngeri melihat pertarungan yang mengadu nyawa.

   Pui Cie terdesak mundur satu langkah, Thong Tih Chiu tidak melanjutkan serangannya lagi.

   Tiba-tiba Pui Cie mengempos semua tenaga yang ada membalasnya, sebuah jurus maut Pa kiam seperti gelombang dahsyat menggulung dan memecah.

   Dalam suara gemuruh terdengar suara mengaduh, Thong Tih Chiu sempoyongan tiga empat langkah, dadanya sudah bercucuran darah.

   Pui Cie membawa pedangnya maju lagi...

   Thong Tih Chiu memekik sekuat tenaga.

   "Kenapa masih belum turun tangan?"

   Pui Cie terperanjat, si tua ini menyuruh siapa segera turun tangan? Apa ada orang mencoba membokong? Pikirannya seperti kilat berputar, dia tak boleh menunggu lawan menggunakan siasat.

   Cabut kuku putuskan gigi, ini sebuah resep mujarab, memusnahkan macan atau serigala.

   "Yeah!"

   Dengan suara yang bergetar Pa Kiamnya sudah menyerang lagi dengan jurus yang lebih ganas dan tak pernah dikeluarkan sebelumnya.

   Terdengar lagi suara mengaduh, Thong Tih Chiu segera tersungkur, tapi cepat-cepat berdiri lagi.

   Bahu dan tangan baju sobek dagingnya terbelah, darah segera membuat merah setengah badannya, dia lebih keras lagi memekik.

   "Kau mau pinjam pisau membunuh orang?"

   Hati Pui Cie tergetar lagi, pinjam pisau bunuh orang? Apa maksudnya? Binatang bisa diadu, apalagi ini seorang pesilat tangguh.

   Dalam suara yang memilukan, Thong Tih Chiu menyerang secara bertubi-tubi sama sekali tidak menyisakan jalan mundur untuk diri sendiri rupanya dia sudah nekad, terjadi pergumulan yang mematikan.

   Manusia mempertaruhkan nyawa, keadaannya sangat menakutkan.

   Dengan sendirinya hati Pui Cie juga sedikit ngeri, tapi pedang di tangannya sama sekali tidak mengendur, setelah memecahkan beberapa jurus, tiba-tiba dia mengerahkan semua tenaga yang ada, Pa Kiam seperti geledek menyerang.

   "Wa..!"

   Terdengar jeritan memecah langit.

   Thong Tih Chiu sudah terjungkal, tapi dia mencoba berdiri dengan kondisi bergoyang-goyang, mukanya berubah rupa seperti hantu yang menyeringai, jubahnya sudah basah semua terkena darah, digerakkan lagi pedang di tangannya, tapi semua sudah tidak berupa jurus lagi.

   Terlihat ini adalah tenaga terakhir yang masih tersisa.

   "Trang!"

   Suara terdengar, pedang panjang Thng Tih Chiu sudah terlepas jatuh, dia mundur terus beberapa langkah akhirnya jatuh tersungkur. Pui Cie pelan-pelan mendekat. ' Thong Tih Chiu mulutnya sudah berbusa darah. Setengah hati dia menjerit.

   "Ti Kuang Beng kau ini... benar-benar., kurang ajar..."

   Badannya berkelojotan, lalu terdiam selamanya.

   Hati Pui Cie bergetar keras, dia bingung lihat keadaan Thong Tih Chiu yang bekerja sama dengan Ti Kuang Beng membuat siasat mau menghabisi dirinya, Tapi Ti Kuang Beng ternyata tidak bertindak apa-apa.

   Kenapa? Pertama, Ti Kuang Beng tidak segan-segan membunuh teman sendiri agar dirinya selamat.

   Kedua, dia diam-diam menunjukkan bahwa di badan Thong Tih Chiu ada Giok Ju Yi.

   Sekarang ketiga kalinya.

   Dia membiarkan Thong Tih Chiu terbunuh, sebenarnya ada maksud apa? Satu bayangan seperti roh melayang keluar dari balik dinding yang roboh, tidak salah lagi dialah cendekiawan hantu Ti Kuang Beng, sebagai ketua umum Shin Kiam Pang, mengapa dia berbuat begini? Pui Cie tidak kedip-kedip memandangnya.

   Ti Kuang Beng sepatah katapun tidak bicara.

   Dia memutar badan kesamping, melambaikan tangannya, tampak sebuah barang lonjong model seperti Pui Piau (senjata lempar seperti mata tombak) dilemparkan ke dinding sebanyak tiga buah yang dilemparkan belakangan malah sampai duluan 'phiang! Phiang! Phiang!' terdengar tiga bunyi berturut-turut, batu, tanah dinding berhamburan, munculah tiga lubang besar di dinding akibat ledakan tadi.

   Kecutlah hati Pui Cie, inilah angi yang bisa meledak? Kalau terkena senjata rahasia ini mengenai tubuh manusia pasti orangnya akan hancur berantakan, Ti Kuang Beng tertawa dengan suara serem secepat kilat sudah pergi menghilang.

   Pui Cie terpana di tempatnya berdiri kalau tadi ketika dirinya sedang bertarung dengan Thong Tih Chiu, Ti Kuang Beng menggunakan Angi yang sangat berbahaya ini pasti dirinya sulit untuk lolos.

   Tapi kenapa dia tidak menggunakannya? Teka-teki! Benar-benar teka-teki yang sulit dipecahkan.

   Dengan matinya Thong Tih Chiu sama dengan dicabutnya sebuah kuku tajam Phei Cen.

   Mengapa Phei Cen tidak menampakan diri? Kalau Phei Cen mengetahui Ti Kuang Beng sudah memberontak bagaimana dia akan menghadapinya? Gumpalan awan menutupi terangnya bulan, bumi ini nampak lebih gelap.

   Thong Tih Chiu memang membantu orang berbuat jahat, tapi dia juga pesilat yang tangguh di dunia persilatan.

   Orang sudah mati jangan lagi di ngat kejahatannya.

   Pui Cie dengan aturan persilatan menggali lubang mengubur mayatnya Thong Tih Chiu supaya tidak dilahap srigala, setelah itu dia meninggalkan lokasi itu melalui hutan menuju jalan raya.

   Sesudah berjalan ke depan terlihatlah ada lampu-lampu yang sedang bersinar, jumlahnya banyak tapi agak jarang, sepertinya itu adalah sebuah dusun, Pui Cie berpikir agak lama masuk keperkampungan untuk menginap dan beristirahat."

   Di pinggir jalan berhentilah sebuah pedati yang bertutup, kusirnya duduk di depan sambil hisap pipa rokok yang berkelip kilau. Ketika Pui Cie melewati pedati itu, si kusir mendadak meloncat ke tanah, dengan suara mantap berkata.

   "maukah tuan berhenti sebentar!"

   Pui Cie berhenti, dilihatnya si kusir adalah seorang tua yang masih sehat, berbaju kulit terbalik, kepalanya memakai topi rumput, rumputnya tidak teratur terlihat agak aneh. Dengan sikap acuh tak acuh Pui Cie berkata.

   "Anda memanggil aku ada persoalan apa?"

   Orang tua itu ketawa sambil berkata.

   "Tuan muda, sudah tidak kenal hamba lagi?"

   Pui Cie terkejut, dia melihat lagi dengan teliti, ternyata dia pernah ketemu waktu dia berada di San Chai Mui, dia adalah pengurus umum yang namanya Chin Chen, dia merasa di luar dugaan dan berkata.

   "Ooo... ternyata pengurus umum Chin, senang sekali bisa bertemu!"

   Pengurus umum Chin dengan mata berbinar berkata.

   "

   Silakan Tuan ke hutan belakang pedati, Mui Cu ingin bertemu dengan Tuan!"

   Pui Cie kaget tidak kepalang, tidak terduga San Chai Men Cu sekarang mau bertemu dengan dirinya disini.

   Tentu ini adalah urusan Hie Ki Hong, bagus juga, dua belah pihak bisa berhadapan membicarakan masalahnya supaya jelas.

   Sesudah berpikir sebentar dia berjalan ke belakang pedati.

   Di bawah bayangan pohon berdiri ketua San Chai Mui, Hie Bun Cun, sesuai aturan yang harus dijalankan, Pui Cie maju lagi beberapa langkah, dia bersoja memberi hormat, dengan sopan berkata.

   "Mantu memberi hormat pada bapak mertua!"

   San Chai Men Cu mengangkat tangan, dengan suara dan sikap yang dingin berkata.

   "Pui Cie, apa dimatamu masih ada aku sebagai bapak mertua? Pui cie merasa sesak dadanya, dengan pelan-pelan dia berkata.

   "Bapak mertua silahkan memberi petunjuk?"

   F "Apakah kau sudah bersiap-siap mau memceraikan Hie Ki Hong?"

   "Tidak."

   "Tapi mengapa kau tidak mau meladeni dia."

   "Ini., sebab aku sedang membereskan urusan pribadi."

   "Katanya kau sudah mendapat lagi pacar baru yang bernama Yipha Yauci, Liu Siang E?"

   Pui Cie bernapas dalam-dalam, lalu berkata, 'Nona itu telah menolong jiwaku, jadi aku harus membalas budinya.' Dengan sorot mata seperti aliran listrik San Chai Men Cu langsung memandang muka Pui Cie, kemudian dengan suara rendah bertanya.

   "Sebatas itukah?"

   Pui Cie tidak berpikir lagi langsung menjawab.

   "Ya!"

   San Chai Men Cu mendehem pelan lalu berkata.

   "Itu sudah melebihi batas-batas antara laki-laki dan perempuan."

   Pui Cie terpikir masalah Kim Hong Ni dan Li Se Kian, sepasang ibu dan putrinya, kekesalan yang sudah terpendam menjadi timbul lagi, mukanya berubah lalu berkata.

   "Bapak mertua apakah tidak lelah jauh-jauh kemari hanya untuk menegurku?" -- BAB 17 Khawatir San Chai Men Cu berobah mukanya dengan marah sekali berkata.

   "Kurang ajar!"

   Pui Cie juga bersikap dingin dan mengangkat kepala tidak bicara. San Chai Men Cu dengan suara rendah berkata.

   "apa aku tidak boleh bertanya?"

   "Silahkan."

   "Kalau begitu jawablah, bagaimana kau mengatur Ki Hong?"

   "Tidak ada yang perlu diatur!"

   "Aku hanya punya anak perempuan satu-satunya. Aku mau dia hidup bahagia. Aku tidak mengizinkan siapapun merusak kebahagiannya."

   Pui Cie tertawa dalam hatinya, dengan sikap dingin berkata.

   "Hm, bapak mertua, maafkan kalau aku bicara kurang mengenakkan. Kim Hong Ni karena merasa kesal sampai meninggal. Meninggalkan seorang anak piatu Li Se Kian, kebahagiaan ibu dan putri ini direnggut oleh siapa?"

   Mata San Chai Men Cu membelalak, dia mundur selangkah besar dengan suara gemetar berkata.

   "Apa maksudmu berkata begitu?"

   Pui Cie dengan sikap dingin berkata.

   "Bapak mertua tentu mengerti, apa mantu harus menceritakan kembali?"

   Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   See Yan Tjin Djin San Chai Men Cu dengan gentar berkata.

   "Maksudmu kau mau membatalkan perkawinan ini?"

   Agak sewot Pui Cie berkata.

   "Aku tidak bilang begitu. Ki Hong dan Se Kian adalah saudara kandung seibu. Tapi perkawinanku dengan Se Kian terjadi lebih dulu..."

   Dengan emosinya yang bergelora, dia berkata lagi.

   "Karena diatur oleh orang, saudara sedarah menjadi berpencar, mantu mau numpang tanya, bagaimana mengaturnya?"

   San Chai Men Cu mundur lagi matanya bersinar, sepertinya mau bertindak... Pui cie pura-pura tidak melihat dia berkata lagi.

   "Bapak mertua apa tidak perduli terhadap kesengsaraan Se Kian ibu dan putrinya?"

   San Chai Men Cu menyentak keras.

   "Tutup mulutmu!"

   Pui Cie malah meneruskan.

   "Buktinya sudah nyata, aku tidak bisa berdiam begitu saja."

   Sa Chai Mui Cu berkata.

   "kau mau berbuat bagaimana?"

   Pui Cie tidak mau mengalah, malah balik bertanya.

   "Menurut pendapat bapak mertua harus bagaimana?"

   Pandangan San Chai Men Cu tidak garang lagi, seperti ayam jago yang kalah beradu, tampak lemas. Pui Cie mencecar terus sedikitpun tak mau mengalah.

   "Kalau Ki Hong tahu masalah dirinya, apa yang akan diperbuat? Bapak mertua bagaimana menjelaskannya?"

   San Chai Men Cu menjadi tidak tahan, berkata.

   "Sudah! Jangan bicara lagi!"Dengan bermuram durja berkata lagi.

   "Pui cie, kau sudah tahu semua kejadiannya?"

   Pui Cie berkata.

   "Sangat jelas!"

   San Chai Men Cu bergumam sendiri.

   "Mimpi selalu harus terjaga, kalau itu memang sebuah mimpi yang tidak nyata, begitu terjaga harus tidak berbekas. Bagus juga begitu... sayang, ini bukan mimpi. aku., apa sebenarnya telah kudapatkan?"

   Dia begitu merasa bersalah, terharu atau menyesal.

   Tidak ada orang yang tahu.

   Pui Cie juga tidak tahu.

   Dia mendadak seperti menjadi tua, pikirannya sudah tahan menanggung beban lagi, yang dikorbankan sudah menjadi korban, yang mati sudah terjadi, yang hidup masih harus menanggung segala kesusahan.

   Pui Cie tidak mau menyela, bagaimana pun juga lawan bicaranya adalah orang tua, sakit hatinya memang tidak bisa dihindari.

   Bagi Hie Ki Hong perkawinannya tak bisa dibatalkan.

   Bagi Li Se Kian juga tidak bisa diatur dengan sempurna.

   Kalau diurut dirinya juga korban secara tidak langsung.

   See Yan Tjin Djin Suasana membisu seperti tak ada napas kehidupan.

   Saat ini Pengurus umum Chin yang menyamar sebagai tukang kusir mendekat tergopoh-gopoh berkata.

   "Lapor, Mui Cu, San Min Cu telah pergi."

   Pui Cie menjadi kaget, tak disangka Hie Ki Hong juga berada disini. San Chai Men Cu dengan suara gemetar berkata.

   "Apa? San Min Cu.."

   "Ya! Dia baru saja pergi!"

   "Kapan dia datang?"

   "Sudah agak lama, dia tidak mengizinkan hamba melapor."

   "Dia... tentu sudah mendengarkan pembicaraan aku dengan Tuan muda?"

   "Ya. San Min Cu juga sedih dan menangis."

   "Begitu., kemana dia bakal pergi?"

   "Dia tidak bilang."

   Pui Cie baru mengerti. Hie Ki Hong telah datang sendiri, secara kebetulan mendengar pembicaraan dirinya dengan ayahnya, sepertinya dia sekarang baru tahu rahasia asal usulnya. Apa yang bakal dia lakukan? San Chai Men Cu dengan kesal berkata.

   "Pengurus Chin, seharusnya kau beritahu kehadiran San Min Cu, sekarang.."

   Pengurus umum membungkukan badannya berkata.

   "Ya, bawahan., ceroboh. Harap Mui Cu maafkan."

   Pui Cie dengan dingin memotong.

   "Ayah mertua seharusnya sedari dulu memberitahu dia rahasia ini. Biarpun bersalah, harus menghadapi kenyataan dan menyelesaikannya. Kertas itu tak bisa membungkus api.."

   San Chai Men Cu menghela nafas keras-keras berkata.

   "tidak usah bicara lagi. Pengurus Chin, beritakan ke seluruh cabang awasi gerak gerik San Min Cu, begitu tahu dimana keberadaanya segera lapor!"

   Pengurus umum Chin Chen menyahut.

   "Turut perintah!"

   Segera dia memutar badannya pergi tergesa-gesa. San Chai Men Cu sudah kehilangan ketenangan dan kewibawaan biasanya, kedua alisnya berkerut berkata.

   "Ki Hong pergi begitu tergesa-gesa, aku takut dia bertindak yang bukan-bukan! Ai L.dua puluh tahun berlalu hanya sekejap. Waktu itu... permainan ini sudah berjalan salah. Aku bisa bilang apa?"

   Dengan menggelengkan kepala, dan membelalakkan biji matanya dia berkata lagi.

   "Pui Cie, kalau kau merasa kau adalah suami istri dengan Ki Hong, kau pergilah cari dia."

   Pui Cie pelan-pelan berkata.

   "Ya, memang aku mau memcari dia, tapi.."

   "Tapi apa?"

   "Sesudah menemukannya, terus bagaimana?"

   "Kau mau melepaskannya?"

   "Tidak!"

   "Kalau begitu carilah dia. Lalu katakan... aku menyayanginya selamanya. Tidak perlu memaafkanku, hanya.. mohon., dia jangan dendam padaku. Aku., merasa bersalah padanya. Juga bersalah padamu., terutama bersalah pada., ibu kandungnya."

   Kata-katanya penuh dengan penyesalan dan menyalahkan dirinya. Pui Cie menghela napas dalam-dalam, berkata.

   "Aku tahu kemana mencarinya. Aku pasti menemukannya."

   Kota Siang Yang! Go Li Kio (jembatan lima lie) rumah Li! Pui Cie tiba di depan pintu, ada sedikit rasa takut.

   Dia secara bernafsu mengejar kesini.

   Sekarang baru merasa ada kesulitan.

   Hie Ki Hong benar kesini atau tidak masih dalam dugaan saja.

   Tapi begitu masuk ke dalam sini dan bertemu dengan Li Se Kian dia harus berkata apa? Dulu dia mengira Hie Ki Hong adalah Li Se Kian, dengan diatur oleh Hie Bun Cun dia akhirnya menikahi Hie Ki Hong.

   Sampai Kim Hong Ni memutuskan membunuh diri, semuanya baru menjadi jelas.

   Hie Ki Hong dan Li Se Kian adalah kakak beradik kembar.

   San Chai Men Cu karena cintanya ditolak oleh kakak sepupunya Kim Hong Ni jadi merasa kesal.

   Dengan mengambil kesempatan sewaktu dia melahirkan di perjalanan dan tidak sadarkan diri, Hie Bun Cun berhasil membawa kabur salah satu bayinya, dan memelihara dan memberi nama Ki Hong.

   semua tragedi ini, orang yang paling besar dosanya adalah San Chai Men Cu.

   Mereka berdua adalah saudara sekandung tapi dua-duanya mempunyai hubungan perkawinan dengan dirinya, harus bagaimana dia menyelesaikan masalah besar dan pelik ini? Menantu sejelek apa juga harus menemui ayah ibu mertua.

   Setelah memberanikan diri dia maju mengetuk pintu.

   Begitu pintu depan dibuka oleh seorang pelayan kecil.

   Pui Cie pelan-pelan memanggil.

   "Ing Chun."

   Ing Chun begitu melihat Pui Cie, mukanya menjadi cemberut, dia tidak memberi salam, seperti melihat orang asing saja. Pui Cie langsung merasakan suasana yang tidak mendukung. Dia bertanya lagi.

   "Ing Chun, apakah nona ada?"

   Mata Ing Chun memerah, dengan memonyongkan bibirnya berkata.

   "Nasib nona kami kurang beruntung, masih beruntung Tuan muda masih ingat dia, dan masih mau pulang melihatnya."

   Pui Cie berusaha menahan emosinya, berkata.

   "Sebenarnya keadaan nona bagaimana?"

   "Sedikit lagi akan menyusul ibunya kesana."

   "Apa? Dia.."

   "Bunuh diri tidak berhasil, masih hidup."

   "Ada yang pernah datang?"

   "Ada. Bayangan diri nona."

   "Teng!"

   Hati Pui Cie tersentak. Benar-benar Hie Ki Hong pernah kesini, dengan tergesa-gesa dia bertanya.

   "Sekarang mereka dimana?"

   Ing Chun menggosok-gosok matanya menjawab.

   "Di Ruang belakang, tetapi..."

   Pui Cie sudah berjalan, berhenti lagi.

   "Tapi apa?"

   Ing Chun dengan sikap dingin berkata.

   "Tuan muda, aku adalah pelayan, orang bawah, banyak kata-kata yang tidak boleh diucapkan, tapi tidak tahan ingin dikeluarkan. Nona-nona mungkin tidak mau menemui tuan muda."

   Pui Cie dengan mata terbelalak bertanya.

   "Kenapa bisa begitu?"

   Bibir Ing Chun menyungging lagi berkata.

   "Tuan muda cakep dan ganteng, tersohor di dunia persilatan, tempat yang disinggahi Tuan muda pasti banyak wanita cantik yang mendekati. Nona kami dulu pernah berkata, dia tidak sepadan dengan Tuan."

   Pui Cie merasa sesak nafasnya, dia langsung merasa yang dimaksud pastilah soal Yipha Yauci, Liu Siang E, kabar ini pasti dari Hie Ki Hong.

   Tapi masalah ini tidak perlu dibahas dengan Ing Chun, dengan menggigit bibir dia mengangkat kaki berjalan menuju ke halaman belakang.

   Baru masuk pintu pojok, sudah terdengar suara tangisan yang amat sedih dari ruangan tengah, ciutlah hati Pui Cie, langkahnyapun menjadi perlahan, selangkah demi selangkah mendekat ke pintu ruangan, tak bisa digambarkan bagaimana perasaanya.

   Sampai didepan pintu, keringat didahi sudah bercucuran, entah karena tegang atau terharu, sejauh mata memandang seluruh tubuhnya seperti tersengat listrik dan menjadi kesemutan.

   Dia merasa tak ada keberanian untuk masuk ke dalam pintu.

   Di tengah-tengah ruangan ada meja sembahyangan papan nama almarhum Kim Hong Ni dikiri kanan terbakar dua lilin putih, mengepul asap dari dupa.

   Li Se Kian dan Hie Ki Hong berdua bersama-sama berlutut di depan meja sembahyang dan menangis tersedu-sedu.

   Pengurus rumah tangga Tu Toa Nio dipinggir juga sedang menghapus air matanya.

   Suasana sangat mencekam dan menyedihkan.

   Pui Cie terbengong-bengong berdiri di depan pintu ruangan.

   Tu Toa Nio mengangkat kepala melihat Pui Cie, spontan berkata.

   "Tuan muda tidak disangka Tuan masih mau pulang!"

   Kata-katanya sedikit menusuk kuping.

   Li Se Kian dan Hie Ki Hong sama-sama berdiri, memutar badannya, wajahnya serupa benar.

   Matanya berair juga sama, hanya pakaian yang dipakai saja tidak sama.

   Li Se Kian terlihat lebih pucat dan lesu, dipandang sepintas sulit bisa membedakannya.

   Pui Cie merasa sulit sekali mengangkat kakinya, dengan pelan-pelan dia masuk ke dalam ruangan, dia tidak tahu harus bagaimana memulai pembicaraan.

   Kelihatanya sepasang saudari kembar yang mengalami kemalangan ini sudah saling memahami.

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Li Se Kian bercucuran air mata, pelan-pelan mulai berkata.

   "Kabarnya kau tergila- gila pada seorang wanita persilatan yang genit, apa betul?"

   Pui Cie menghela nafas dalam-dalam berkata.

   "Ini adalah salah paham, aku hanya ingin membalas budi baiknya."

   Hie Ki Hong menghapus air mata, meninggikan alis sambil berkata.

   "Aku melihat sendiri kau bermesraan dengan perempuan itu dan juga penuh perhatian."

   Pui Cie goyang-goyang kepala berkata.

   "kau mau berkata begitu juga aku tidak bisa apa-apa, tapi kalau bukan Yipha Yauci yang menolongku, mungkin aku sudah mati di penjara bawah tanah Shin Kiam Pang, demi aku dia mengkhianati perkumpulannya. Demi aku dia dikejar-kejar mau dibunuh, apa aku yang menerima budinya tidak boleh membalas?" 1 Tu Toa Nio dengan sikap dingin menyambungi.

   "Tuan muda, membalas budi jangan dicampur aduk dengan masalah cinta laki dan perempuan."

   Pui Cie dengan tegas berkata.

   "Tua nio, aku bisa bawa diri, tidak akan menyeleweng."

   Li Se Kian berkata.

   "artinya... tidak ada masalah?"

   Pui Cie dengan tegas berkata.

   "Tidak ada!"

   Mata Li Se Kian berputar.

   "Baiklah, aku percaya. Kau pulang tepat pada waktunya. Sekarang di hadapan papan nama ibu, aku mohon kau untuk menjaga Ki Hong, ibu semasa hidup sudah berharap kalian rukun selamanya."

   Pui Cie membelalakan matanya, lama sekali tidak bisa berkata-kata. Hie Ki Hong mengigit bibir berkata.

   "kakak, aku tidak mau!"

   Li Se Kian dengan susah berkata.

   "Ki Hong, kami sudah sepakat. Kau dan dia sepasang suami istri yang resmi. Nama dan kenyataan sesuai..."

   Tidak, aku tidak bisa.."

   "Tidak bisa apa?"

   "Aku., merasa malu pada ibu yang telah tiada juga merasa utang budi padamu..."

   "Aku pernah bilang, aku sudah tidak tertarik pada dunia ini. Aku mau menjadi murid Budha tua didalam vihara.

   "Aku juga!"

   "Apa kau mau ibu di alam sana menjadi risau?"

   "Pokoknya aku orang yang penuh dosa."

   "Aku tidak mengizinkan kau berbuat begitu semua sudah menjadi nasib, kau tidak bersalah, sandiwara penuh duka ini sudah selesai. Yang sudah mati ya sudah. San Chai Men Cu memang yang paling bersalah. Tapi dia juga ada jasanya membesarkanmu..."

   Hie Ki Hong menjerit.

   "Aku benci dia!"

   Pui Cie merasa merinding, babak kesedihan yang baru sudah dimulai lagi, sangat menyedihkan, mengapa manusia harus berbuat sesuatu yang merugikan orang lain tapi tidak bisa menguntungkan diri sendiri? Ketua San Chai Mui, Hie Bun Cun sebenarnya bukan orang jahat, juga bukan orang bodoh, kenapa bisa terjebak di dalam masalah ini? Li Se Kian memandang Pui Cie bertanya.

   "Bagaimana pendapatmu?"

   Hati Pui Cie bergetar terus bibirnya tidak bisa berkata-kata, dalam hatinya semua terasa kusut. Tu Toa Nio dengan sedih berkata.

   "Se Kian, kau masih mempunyai nenek, dia tidak akan mengijinkan kau bertindak seperti itu? Kau dan Pui Cie atas perintah ibumu telah bersembahyang menjadi suami istri, ada saksi comblangnya. Kalian kakak adik sekandung kenapa tidak..."

   Li Se Kian angkat tangan melarang Tu Toa Nio berkata terus, dengan suara keras dia berkata.

   "Tua Nio, niatku sudah bulat, tidak bisa dirubah lagi, aku sudah menerima nasib."

   Hie Ki Hong menyambung.

   "Aku juga tidak akan merubah pikiran, aku., bernasib buruk, juga bukan anak yang berbakti, aku harus menanggung resiko hari ini. Kakak.."

   Li Se Kian meneteskan air mata.

   "kau mau berbuat bagaimana?"

   Hie Ki Hong melirik papan nama Kim Hong Ni lalu berkata.

   "aku ingin selamanya menemani arwah ibu."

   Li Se Kian berkata.

   "ibu tidak bermaksud begitu."

   "Jangan memaksaku!"

   "Aku tidak memaksamu!"

   "Kalau begitu tak usah bicara apa-apa lagi!"

   "Dia bagaimana?"

   Matanya memandang Pui Cie.

   "Tadinya dia kan kakak ipar!"

   "Kami bukan suami istri betulan..."

   "Sekarang juga belum terlambat."

   Pui Cie sedang gemetar, dia tidak tahu dengan cara apa mereka mengatur dirinya.

   Perkawinan ini dari pertama sudah salah, bibinya Nam Kong Phang Teng tentu menyesal waktu itu membuat keputusan.

   Ing Chun diam-diam masuk berdiri di belakang Li Se Kian, mukanya penuh amarah.

   Air muka Li Se Kian berubah, tiba-tiba dia membalik badan berlutut sambil melepaskan ikatan rambutnya.

   Tangan kirinya memegang rambut sedangkan tangan kanan mengambil gunting yang sudah disiapkan dalam pelukan.

   Hie Ki Hong dan Ing Chun menjerit.

   Paras muka Pui Cie berubah.

   Tu Toa Nio dengan gemetar berkata.

   "Se Kian, kau mau berbuat apa?"

   Hie Ki Hong menjulurkan tangan mau merebut gunting.

   Tapi terlambat setengah langkah.

   Guntng dengan cepat menotong segenggam rambut yang sudah di dalam tangan kiri Li Se Kian.

   Semua orang menjadi bengong.

   Li Se Kian memegang rambutnya yang sudah terputus, lalu bangun dan berdiri, air matanya mengalir.

   Tu Toa Nio dengan suara sedih berkata.

   "Se Kian, kau., kenapa berbuat begitu?"

   F Gunting yang tajam sudah memotong rambut, sudah menyatakan keteguhan hatinya, kenyataan sudah tak bisa ditarik kembali.

   Pui Cie terharu, tak disangka kesudahannya menjadi begini, tragedi perkawinan ini sudah selesai.

   Apa masih ada tragedi yang satunya lagi? Dia seperti sebuah perahu diombang ambing gelombang dahsyat dan ketakutan yang tidak menentu.

   Siapa yang berbuat menjadi begini? Siapa penyebabnya? Apakah semua memang nasib atau perbuatan manusia? Hie Ki Hong dengan sepasang mata melelehkan air mata, menjerit terharu.

   "Kau berbuat begitu apakah mau menbuat aku sengsara seumur hidup. Aku tidak mau menerima budimu. Li Se Kian saat ini malah dengan tenang menjawab.

   "aku tidak suruh kau menerima budi, tapi inilah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Ing Chun sambil menghapus air mata dengan marah-marah berkata,"nona, anda salah. Ibu di dalam sana juga tidak akan merasa tenang."

   Li Se Kian menggelengkan kepala berkata.

   "Ing Chun, kau belum ngerti."

   Ing Chun menjawab.

   "Memang, pelayan tidak mengerti apa-apa."

   Li Se Kian mendekat kepada Hie Ki Hong berkata.

   "Ki Hong, ini adalah rumahmu. Kau dan.. Pui Cie tinggal ah disini, sambil menjaga dupa ayah dan ibu."

   Hie Ki Hong tiba-tiba menjerit.

   "aku tidak punya rumah, di dunia ini aku juga tidak punya famili..."

   Tu Toa Nio terharu berkata keras-keras.

   "Tuan muda, kau harus buka suara."

   Saat itu juga, seorang tua dengan seluruh badannya yang berlumuran darah dengan sempoyongan datang ke depan pintu ruangan lalu terjatuh.

   Semua yang ada di tempat itu menjadi kaget sampai mukanya pucat.

   Tu Toa Nio menjerit lari menghampiri.

   Pui Cie dan Li Se Kian dan lain-lain memburu ke pintu masuk.

   Pesuruh laki perempuan semua datang mendekat.

   Tu Toa Nio terduduk, setengah menggendong orang tua yang terluka, mukanya mengencang.

   Luka orang itu sangat parah, mulutnya mengeluarkan buih darah.

   Nafas terasa sesak.

   Li Se Kian dengan suara gemetar berkata.

   "Ini.. bukankah ini Tu Lau Tie?"

   Tu Lau Tie, apakah dia itu suaminya Tu Toa Nio? Pui Cie merasa seperti kenal dengan nama ini, Dia berpikir terus. Tu Toa Nio bercucuran air mata dengan keras berkata.

   "Siapa yang berbuat sekeji ini?"

   Tu Lau Tie meronta sekuat tenaga hanya bisa mengeluarkan tiga hururf.

   "Kui.. Siu Chai!"

   Kerongkongan mengeluarkan suara berdahak. Tu Toa Nio memekik dengan suara bergetar.

   "Kui Siu Chai?"

   Pui Cie terperanjat. Kui Siu Chai adalah Pengurus Utama Shin Kiam Pang, kenapa dia membunuh orang tua ini? Berpikir begitu spontan dia bilang.

   "Kui Siu Chai!"

   Tu It He matanya mendadak melotot, terputus-putus mulut bersuara.

   "Yang paling keji., hati., perempuan!"

   Kerongkongan berbunyi, kepalanya menjadi miring ke sisi.

   Kemudian meninggal, semua orang yang ada disana hati serasa dipukul keras-keras.

   Tu Toa Nio setelah menjerit menjadi terdiam, mukanya berubah rupa, air matanya bercucuran tapi sudah tidak bersuara, kelihatannya dia keliwat sedih, rupanya menjadi sangat menakutkan.

   Pui Cie mengerutkan dahi sedang berpikir-pikir.

   "Tu It He sepertinya dilukai oleh Ti Kuang Beng, dia terakhir berkata, paling keji hati wanita, apa artinya? Apakah ada kaitannya dengan wanita?"

   Tu Toa Nio menggunakan tangannya menutup mata Tu It He. Mulutnya sambil bergmam.

   "Pak, kau sekarang sudah meninggal. Aku., tidak tidak marah padamu lagi. Sebagai suami istri tapi berjalan masing-masing, akhirnya seperti daun jatuh ke akar juga, kau., tidak mati di sel atau di pinggir jalan, tapi mati di pelukanku, Pak, ada pepatah berkata, tidak ada jodoh tapi ada jodoh. Sayang., terlalu singkat., juga terlalu menyedihkan. Kenapa tidak lebih awal menemuiku? Aku., tidak sungguh-sungguh membencimu! Hanya., tidak mau mengalah saja.."

   Kata-kata yang tulus tapi menyedihkan, dalam pikiran Pui Cie masih terbayang Ti Kuang Beng, perempuan.. Ing Chun maju ke depan berjongkok di samping Tu Toa Nio, dengan suara sedih berkata.

   "Tua Nio, menangislah! menangislah sepuas-puasnya! Tapi Tu Toa Nio tidak menangis, air matapun tidak mengalir lagi, malah Ing Chun yang menangis tersedu-sedu. Hidung Pui Cie merasa panas, dengan murung dia berkata.

   "Tua Nio, aku pernah bertemu dengan Tua Lau Tie sekali. Waktu itu saya ditolong orang bertopeng berbaju abu-abu bersamanya ada Ke Co Ing, ditempat Lau Tie aku dirawat sampai sembuh." "Ke Co Ing adalah adik seperguruannya.!"

   Pui Cie kaget, tak disangka, Tu Lau Tie dan Ke Co Ing adalah saudara seperguruan, pantas saja Shin Kiam Pang mengutus orang membunuhnya.

   Ke Co Ing mati di jurang gunung pinus, saat ajal menjemput dia mengungkap jati diri Shin Kiam Pangcu Phei Cen.

   Ke Co Ing memancing istri Pangcu Ma Gwe Kiaw, pantas dibunuh sesuai dengan dosanya.

   Tapi Tu Lau Tie? Apa karena ada hubungan dengan Ke Co Ing jadi terkena akibat? Sesudah berpikir begitu dengan terharu dia berkata.

   "Tua Nio, aku akan membantu Lau Tie membikin perhitungan terhadap musuhnya!"

   Tu Toa Nio mengangkat kepala, dan membelalakan matanya berkata.

   "Siapa itu Kui Siu Chai?"

   "Pengurus utama Shin Kiam Pang!"

   "Shin Kiam Pang.. kenapa membunuh orang?"

   "Mungkin karena Ke Co Ing ada perselisihan dengan Shin Kiam Pangcu."

   "Utang darah., harus dibayar darah!"

   Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendadak Ing Chun terkejut dan menjerit.

   "Kemana perginya nona?"

   Semua orang kaget, Pui Cie baru tahu Li Se Kian sudah tidak berada di tempat, keadaan begini dia sebagai tuan rumah seharusnya mengurus soal Tu Lau Tie.

   Tak mungkin diam-diam meninggalkan tempat.

   Ing Chun tergopoh-gopoh lari ke kamar di ruangan belakang, kemudian lari lagi ke depan, dengan gemetar dia berkata .

   "Nona sudah pergi."

   Semua orang membelalakan mata. Pui Cie mendekat ke sisi Ing Chun bertanya.

   "Apakah benar nona sudah meninggalkan rumah?"

   Ing Chun mengangkat ke atas tangannya berkata.

   "Nona meninggalkan pesan, rumah ini diserahkan pada nona kedua dan Tuan muda."

   Pui Cie merasa sekujur tubuhnya kesemutan, tiba-tiba dia merasa bumi dan langit berputar. Hie Ki Hong sekonyong-konyong menjerit histeris.

   "Aku tak punya rumah, ini bukan rumahku!"

   Suara belum habis, orang sudah lari pergi. Semua orang di rumah menjadi tercengang. Pui Cie berdiri seperti patung, daging di pipinya sering bergetar. Tu Toa Nio masih memeluk mayat Tu Lau Tie, dengan serak berkata.

   "

   Inilah namanya orang mati, rumah hancur. Ya Tuhan! Keluarga Li kenapa begitu sial, sebelum lahir apa kita pernah berbuat dosa?"

   Ing Chun menutup mukanya menangis, lalu memekik.

   "Semua ini dicelakai oleh sepupu ibu San Chai Men Cu."

   Pui Cie menggerakkan kakinya keluar pintu. Tu Toa Nio berkata dengan suara gemetar.

   "Tuan muda, anda juga mau pergi?"

   Pui Cie murung sekali berkata.

   "Tua Nio, aku., apa masih ada alasan untuk tetap tinggal disini?"

   Tu Toa Nio menjawab.

   "Kenapa tidak? Bukankah Tuan adalah mantu keluarga Li. Coba Tuan katakan di depan papan nama ibu mertua. Dari aturan rumah tangga apa Tuan tidak ingin bertanggungjawab terhadap keluarga ini?"

   Ing Chun tangannya memegang meja sembahyang sambil menangis berkata.

   "Majikan, Tuan..kenapa tidak menjaga keluarga ini? tegakah? Siapa yang akan menjaga dupa Tuan besar nanti? Ohl Waktu itu kau yang yang menentukan perkawinan ini. Kau.."

   Pui Cie hatinya terasa kusut sekali. Seolah-olah mau gila rasanya. Ing Chun berjalan ke pinggir pintu, dengan sedih berkata.

   "Tuan muda, kami., disini semua orang luar. Orang bawahan, kalau Tuan tidak disini, kami harus bagaimana?"

   Pui Cie berpikir keras, entah jodoh entah dosa, nama keluarga sudah disandangnya, dia harus menerima nasib. Tidak ada jalan lain. Dia dengan mantap berkata.

   "Rumah ini harap Tua Nio dan kalian semua bantu mengurusnya. Aku akan pergi mengejar nona kembali."

   Setelah berkata itu tidak memperdulikan apa-apa lagi dia tergesa-gesa pergi.

   Sesudah keluar pintu Pui Cie merasa bingung, hati Li Se Kian sudah teguh tak dapat diubah lagi.

   Sekarang dia hanya bisa mencari istri yang sebenarnya dulu Hie Ki Hong.

   Apakah dia mau kembali mengakui keluarga Li? Tadi dia pergi dan marah, rasanya dia tak mungkin kembali lagi ke San Chai Mui.

   Harus kemana mencari dia? Orang hidup kenapa banyak sekali masalah? Hari sudah sore Pui Cie seperti manusia yang tak berjiwa, berjalan sendiri tak ada tujuan, pandangannya kosong.

   Entah harus bagaimana dan kemana, hati menjadi bimbang otak terasa kosong.

   Tengah dia berjalan, terdengar suara phipa yang begitu merayu.

   Pui Cie seolah- seolah tersadar dari kebimbangannya.

   Dia begitu terkejut dan gembira, sewaktu meninggalkan sungai Tang Yipha Yauci tinggal di perahu dengan tetua San Chai Mui Han Shi Wei sedang melakukan pengobatan menggunakan Giok Ju Yi.

   Dia saat itu sedang tak sadarkan diri.

   Kenapa tiba-tiba bisa muncul disini? Phipanya dibawa pergi Bo Ta Su Seng dari mana dia bisa mendapat phipanya lagi? Didengar dari suara phipanya, pasti dia yang sedang memetiknya.

   Tapi di dalam suara phipa itu membawa hawa membunuh.

   Ini pertanda bahwa dia sedang bertarung dengan musuhnya.

   Dia ingin melupakannya, dia tidak boleh bertemu dengannya lagi.

   -- Belum bisa tenang Demi menghindari tumbuhnya benih cinta lagi, Pui Cie sudah memutuskan dalam hati, mencari jalan lain pergi menjauh.

   Tapi tak berapa lama, dia berhenti lagi, terpikir olehnya.

   "Aku tidak boleh begini, dia sudah berhutang budi kepadanya yang telah menolong jiwanya, sekarang sudah bertemu kalau menghindar bukankah sangat keterlaluan. Masalah Giok Ju Yi, apakah sudah diberikan kepada tetua Han untuk disampaikan pada Bo Ta Su Seng untuk memenuhi janji dengan Bo Yu Sien Ce.."

   Akhirnya dia balik kembali, lari menyusuri suara yang terdengar.

   Tiba-tiba suara phipa berhenti.

   Dia berlari menuju arah sungai Tang mengira-ngira tempat dalam rimba yang gelap.

   Tampak Yipha Yauci berdiri memeluk phipa.

   Yang berhadapan dengannya adalah San Chai Men Cu Hie Bun Cun.

   Mereka berhadapan kira-kira lima meteran.

   Di tanah sudah bergelimpangan beberapa mayat, ada juga tanda Shin Kiam Pang.

   Begitu tiba Pui Cie diam-diam melihat situasi dan cepat-cepat menyembunyikan diri.

   Mengapa San Chai Men mencari Yipha Yauci? Selendang merah membungkus badan yang mungil terlihat kulitnya yang mulus.

   Tidak terasa hati Pui Cie berteriak.

   San Chai Men Cu dengan sikap yang dingin bertanya.

   "Nona Liu, sudah terpikir belum?"

   Yipha Yauci dengan suara nyaring menjawab.

   "Sudah!"

   "Bagaimana?"

   "Suruh aku melepas Pui Cie. Tidak bisa!"

   "Kau benar-benar mau merusak rumah tangga orang?"

   "Apakah Pui Cie mencintaimu?"

   "Aku tidak perduli. Aku hanya tahu aku mencintainya. Tidak mau tahu dia bagaimana terhadapku."

   "Kau.."

   "Kau tak mungkin bisa membereskan persoalan ini."

   Pui Cie menggigil di kegelapan.

   Ternyata San Chai Men Cu demi Hie Ki Hong melarang Yipha Yauci mencintai dirinya, dan tidak disangka Yipha Yauci begitu teguh hatinya.

   Percintaan abnormal ini kalau dibiarkan berkembang akibatnya bisa fatal.

   Orang bukan Tuhan.

   Mana bisa tidak berperasaan.

   Memang susah menahan budi wanita cantik.

   Pui Cie juga dari semula bukan tidak tertarik.

   San Chai Men Cu mukanya berubah lalu berkata.

   "Nona Liu, kata-kata baik sudah habis aku ucapkan. Kalau kau masih tidak mau sadar.."

   "Bagaimana?"

   "Demi kebahagiaan putriku, aku akan bertindak."

   "Mau membunuh?"

   "Mungkin saja!"

   "Silahkan coba."

   Pui Cie menjadi gelisah. Yipha Yauci bagaimanapun juga bukan lawan San Chai Men Cu. Tadi dia telah mendengarkan Yipha Yauci memainkan phipa. San Chai Men Cu matanya bersinar-sinar dengan suara rendah berkata.

   "Nona Liu, pikirkan baik-baik, ini bukan urusan main-main."

   San Chai Men Cu mendehem dan berkata.

   "Dua puluh tahun yang lalu aku pernah mendengar gurumu memainkan Tai Si San Thie, kalau nona merasa merasa kehebatan musiknya melebihi gurumu, boleh coba memainkan, kalau tidak, kau akan menyesal seumur hidup."

   Yipha Yauci mulai berubah wajahnya.. Dia tidak tertawa lagi, dengan keras dia berkata.

   "Siapa sebenarnya dirimu?"

   San Chai Men Cu dengan sikap dingin berkata.

   "Kau tidak perlu tahu."

   Yipha Yauci berpikir sebentar, dengan mengigit bibir dia berkata.

   "Aku tak percaya kau sanggup menahannya!"

   "Baik, silahkan mulailah! Keluarkan semua kepandaianmu, jangan ada yang disisakan."

   "Kalau... aku menang gimana?"

   "Dengan sendirinya aku akan membatalkan pernikahan putriku dengan Pui Cie. Sama sekali tidak akan campur tangan lagi, kalau tenagamu tidak cukup, ilmu silatmu akan kumusnahkan."

   Pui Cie kesal karena Yipha Yauci, San Chai Men Cu adalah pewaris orang aneh masa itu Tien Ji Ce, kehebatan sulit diukur.

   Kalau dia sudah berkata begini pasti ada dia ada kemampuan seratus persen.

   Yipha Yauci kalau tahu San Chai Men Cu yang sebenarnya mungkin takkan berani begitu.

   Yipha Yauci sama sekali tidak perhitungkan untung ruginya lalu menjawab.

   "Baik"

   Dia langsung duduk disitu. Phipa disandarkan miring di bahunya, mukanya tampak serius, jarinya terlihat enteng.. Satu getaran suara terdengar nyaring "Ting Tung!"

   Hati Pui Cie jadi menciut, suara phipa mengalun berangsur meninggi, seperti tidak ada habisnya seperti sungai yang panjang datang bergulung-gulung.

   Kenyataannya suara phipa itu kerasnya tidak seperti yang dibayangkan, Pui Cie tidak mengerti dimana letaknya keistimewaan suara phipa itu? San Chai Men Cu dengan tenang bernafas, tegap berdiri seperti gunung.

   Suara phipa itu sebenarnya khusus ditujukan pada San Chai Men Cu, jadi Pui Cie merasakan tidak ada yang istimewa pada suara phipa itu Yipha Yauci pelan-pelan menutup matanya.

   Jari-jari tangannya beraturan kesana kemari berloncatan di atas senar.

   Suara phipa dari pelan menjadi kencang, tubuhnya juga ikut bergetar.

   Teng!"

   Seperti hujan keras mendadak berhenti. Senarnya sudah putus, putus di tengah, muka Yipha Yauci berubah berdiri sambil melotot, badannya gemetaran, terlihat kemampuan San Chai Men Cu jauh lebih tinggi daripadanya.

   "Ha.. Ha.. Ha..* San Chai Men Cu tertawa.

   "Nona Liu, apa yang ingin kau katakan sekarang?"

   Yipha Yauci dengan gemetar berkata.

   "Silahkan musnahkanlah ilmu silatku!"

   "Aku tidak mau berlebihan, kalau kau menyanggupi meninggalkan Tiong Guan, memutuskan hubunganmu dengan Pui Cie, aku akan memberi dirimu satu jalan kehidupan."

   "Tak mungkin!"

   "Apa? kau.."

   "Kau boleh musnahkan ilmu silatku, tapi untuk aku putuskan hubunganku dengan Pui Cie aku tidak mau!"

   "Rupanya sebelum melihat peti kau tidak bisa mengeluarkan airmata?"

   "Mungkin!"

   "Pikirkan sekali lagi, setelah ilmu silatmu dimusnahkan, kau akan menjadi orang biasa. Bagaimana nanti sikap Pui Cie kepadamu?"

   "Itu u nisanku!"

   "Dapatkah Shin Kiam Pang membebaskan dirimu?"

   Yipha Yauci tidak ragu-ragu berkata.

   "Orang hidup di dunia harus punya cita-cita, berkorban demi cita-cita kenapa harus menyesal?"

   San Chai Men Cu termenung sebentar berkata.

   "apakah cita-citamu adalah menghancurkan rumah tangga orang lain."

   Yipha Yauci tidak gentar menjawab.

   
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"kalau aku sudah cinta, apapun akan kulakukan!"

   San Chai Men Cu dengan suara jadi ketus berkata.

   "kalau begitu jangan salahkan aku berbuat kasar!"

   Yipha Yauci dengan keras berkata.

   "Silahkan."

   "Kau tidak akan menyesal?"

   "Tidak ada yang patut disesalkan."

   "Baiklah, aku sudah cukup bijaksana, semua adalah kau yang cari!"

   Suara hati Pui Cie serasa terbetot tentu dia tidak bisa tinggal diam saja melihat ilmu silat Yipha Yauci dimusnahkan.

   Jangan dikatakan lagi dia berbuat begini karena cinta yang sangat dalam, hatinya yang bersikeras begini karena dimabuk cinta.

   San Chai Men Cu pelan-pelan maju., keadaan di tempat itu sangat menegangkan.

   Yipha Yauci memalangkan phipanya, gemertak gigi sambil menjerit.

   "Aku mau mengadakan perlawanan!"

   San Chai Men Cu secara kejam berkata.

   "Tentu kau boleh melawan, tapi akan percuma saja."

   Jarak antara keduanya tinggal dua meter lagi. Pui Cie gemertakan giginya, dia sudah mau.. Tiba-tiba muncul suara bentakkan.

   "Tunggu dulu!"

   Mulut Pui Cie sudah terbuka hanya belum bersuara.

   Begitu kaget langsung mulutnya dikatubkan lagi, San Chai Men Cu kenal suara yang muncul ini, dia langsung mundur tiga langkah besar, air mukanya berubah tajam.

   Seorang wanita cantik dengan dandanan keraton muncul.

   Ternyata dia Hie Ki Hong.

   Pui Cie terharu luar biasa, benar-benar diluar dugaan, ayah dan putrinya yang bukan sebenarnya ini harus menyelesaikan semua masalah.

   Langit sudah gelap sama sekali, tapi di mata pesilat, dalam kegelapan ini masih bisa membedakan peubahan di wajah seseorang.

   San Chai Men Cu dengan suara gemetar memanggil,"Ki Hong!"

   Yipha Yauci berdiri bengong, dia diam saja melihat perubahan keadaan. Hie Ki Hong memandangi Yipha Yauci dengan pandangan dingin seperti es berkata.

   "kau tahu siapa aku?"

   "Tahu. Kau istrinya Pui Cie!"

   "Kau mencintainya?"

   "Aku tidak menyangkal!"

   "Apakah dia mencintaimu?"

   "Itu urusannya. Aku hanya tahu aku mencintai orang yang aku suka, dia suka atau tidak padaku., aku tidak perduli, semua tidak bisa dipaksakan."

   "Kau pasrah sekali?"

   "Aku tidak ingin berdebat."

   Hati Pui Cie seperti bercampur lima macam botol bumbu. Entah apa rasanya." -- Rintangan tak berujung Hie Ki Hong diam beberapa saat tiba-tiba dengan suara gemetar berkata.

   "Baiklah, cintailah dia, aku tidak akan melarangmu."

   Yipha Yauci bengong oleh perkataan yang diluar dugaan ini, dia menjadi salah tingkah, lalu berkata.

   "Kau., apa artinya ini?"

   Hie Ki Hong tertawa, suaranya amat menyedihkan.

   "Liu Siang E, kata kataku tulus, aku tidak mau meneruskan perkawinan yang menyedihkan ini."

   Yipha Yauci spontan berkata.

   "Kalian berdua... tidak harmonis?"

   Hie Ki Hong tidak berpikir lagi langsung berkata.

   "kau benar, perkawinanku dengan Pui Cie adalah sebuah kekeliruan!"

   San Chai Men Cu dengan suara gemetar memekik.

   "Ki Hong, kau., sembarangan!"

   Hie Ki Hong tidak membantah perkataan San Chai Men Cu, dia terus berkata dengan Yipha Yauci.

   "Kau boleh pergi!"

   San Chai Men Cu marah-marah dan memekik.

   "Tidak boleh, aku harus memusnahkan ilmu silatnya!"

   Hie Ki Hong pura-pura tidak mendengar, sambil mengibaskan tangan berkata.

   "Pergilah!"

   Yipha Yauci dengan tidak percaya memandangi Hie Ki Hong, dia membalikan badannya dan melangkah..

   San Chai Mert Cu seluruh tubuh gemetar, matanya mengeluarkan sinar yang menakutkan badan sudah bergerak..

   Hie Ki Hong secepat kilat menghadang dengan suara gemetar berkata.

   "Biarkan dia pergi!"

   San Chai Men Cu dengan marah berkata.

   "Kau., kau sudah gila.."

   Yipha Yauci mempercepat langkahnya, sebentar saja sudah menghilang, Pui Cie terpaku di kegelapan, berdiri pun sudah tidak mantap, Hie Ki Hong tiba-tiba bersujud marah bercampur sedih berkata.

   "Ayah, putrimu disini mengucapkan terimakasih atas budimu yang telah membesarkan. Ini adalah kali terakhirnya aku memanggilmu ayah..."

   San Chai Men Cu badan sempoyongan, mukanya berdenyut-denyut. Hie Ki Hong meneruskan bicara.

   "Mulai sekarang kita putus hubungan untuk selamanya!"

   San Chai Men Cu memegang jidatnya, dengan kesal berkata.

   "Ki Hong, aku., tahu aku telah berbuat kesalahan besar dan susah untuk menebusnya. Tapi aku., sudah menganggap kau seperti anakku sendiri..."

   Hie Ki Hong menggigit bibir berkata dengan suara tangisan.

   "Karena itu,., aku tak berani berkata benci!"

   Sambil berkata, dia berdiri dan beri hormat lagi. San Chai Men Cu, badannya bergoyang seperti mau roboh. Dengan suara sedih berkata.

   "Ki Hong, kau., benar begitu tega memutuskan tali kasih hampir dua puluh tahun ini... Ki Hong, kau tidak bsia maafkan kesalahan ayah?"

   Hie Ki Hong terus-terusan mengemertak gigi, lama sekali baru berkata.

   "Ibuku., meninggal karena dendam dan menanggung malu, kakakku memotong rambut pergi meninggalkan rumah keluarga Li.. sekarang semua menjadi hancur lebur, aku darah daging keluarga Li. Aku., apa bisa tidak sedih? Apa bisa tidak mendendam? Tapi., aku harus dendam sampai bagaimana?"

   Habis berkata begitu sambil menutup muka dia lari pergi. Pui Cie ingin sekali mengejar, tapi kedua kakinya seperti berakar, tidak bisa diangkat. Tangan San Chai Men Cu sudah diangkat, tapi diturunkan lagi, dia bergumam sendiri.

   "Habis, semua habis seperti mimpi, akhirnya hanya mimpi, apa yang aku dapatkan? Orang yang berbuat salah memang harus menanggung resiko.. Ki Hong, aku tidak menyalahkanmu, juga tidak membencimu. Aku., hanya membenci diri sendiri."

   Habis berkata dia menarik nafas panjang melihat ke langit, lalu dengan sempoyongan pergi.

   Pui Cie juga keluar, jalan ke tempat tadi San Chai Men Cu berdiri, pikirannya merasa risau, semua sudah selesai.

   Tapi belum tamat.

   Hubungan ayah dan putri boleh dibilang sudah putus.

   Bagaimana selanjutnya? Ada semerbak bau wangi masuk ke hidungnya.

   Hati Pui Cie berteriak, satu bayangan manusia berwarna merah sudah berdiri di depan matanya.

   Pui Cie berseru ,"Oh, kau!"

   Ternyata dia adalah Yipha Yauci Liu Siang E yang tadi sudah pergi kembali lagi. Yipha Yauci tertawa renyah, ketika aku pergi aku melihat kau sembunyi di sini, maka aku tidak jadi pergi.

   "Ow!"

   "Kenapa kau tidak mau keluar menemui istrimu?"

   U u See Yan Tjin Djin "Kau tidak suka dia?"

   "Siang E, ini bukan urusanmu!"

   "Baiklah, kita jangan membicarakannya. Kakak Cie, pertama-tama aku mau berterimakasih kepadamu yang telah menolong jiwaku."

   "O, bagaimana dengan Giok Ju Yi nya?"

   "Kau kan meninggalkan pesan diserahkan kepada orang tua itu, kebetulan sahabatmu di tengah jalan balik lagi.."

   "Sudah diserahkan kepadanya?"

   "Aku langsung serahkan padanya. Kalau tidak, dapat dari mana phipa ini?"

   "Bagus! Eh, kau kenapa bisa ada disini?"

   Yipha Yauci dengan gaya merayu dan santai berkata.

   "setelah lukaku sembuh, ternyata kau sudah pergi, aku sangat sedih, aku mencarimu tapi tidak tahu kau pergi ke arah mana, akhirnya aku sembarangan jalan saja. akhirnya menemuimu juga. Tuhan berbaik hati,"

   Dia tersenyum lagi, menyambung lagi berkata,"Kenapa dengan mertuamu?"

   Muka Pui Cie jadi asam.

   "Jangan bicarakan dia!"

   Yipha Yauci tercengang, tak lama kembali dia tersenyum seperti bunga bermekaran, lalu berkata.

   "Baik, kita jangan bicarakan dia."

   Lalu mendekat pada Pui Cie. Saking dekatnya nafasnya sampai terdengar, dia berkata lagi.

   "Kakak Cie, aku mau bertanya, tapi kau harus jujur menjawab.."

   Dengan sendirinya hati Pui Cie melayang, dan menjawab.

   "Apa pertanyaannya?"

   Yipha YauCi mengadahkan mukanya berkata.

   "Apakah kau menyukaiku?"

   Sudah diduga, dia pasti akan mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab.

   Pui Cie tiba-tiba terasa muka panas jantungnya berdebar, bukan terharu karena kecantikannya, tapi terharu oleh tekadnya dan ketulusannya.

   Kalau dia berkata tidak suka itu berarti membohong pada diri sendiri.

   Kalau bilang suka, masalah cinta akan berlarut-larut karena dia sendiri sudah berkeluarga...

   Yipha Yauci berkata lagi.

   "Kakak Cie, jawablah ya atau tidak, jangan dipaksa, keluarkankan isi hatimu!" Pui cie terpaksa dengan pelan berkata ."Siang E, aku., aku memang suka padamu..* Yipha Yauci memegang tangan Pui Cie, dia merasa gembira sekali seperti tidak percaya.

   "Benar?"

   "Benar. Tetapi.."

   "Tetapi apa?"

   "Kaukan tahu aku sudah menikah."

   "Tidak apa-apa, aku tidak membutuhkan status."

   See Yan Tjin Djin "Maksudmu?"

   Yipha Yauci dengan serius pelan-pelan berkata.

   "Aku hanya membutuhkan perkataanmu ini aku sudah puas. Aku.. tahu mencintaimu sama degan mengikat diri sendiri. Tapi aku tidak tahan, aku seumur hidup baru pertama kali mencintai seseorang, aku serahkan hatiku. Kakak Cie, harap kau menyayangi hati adik yang tulus ini untuk selamanya.. ?"

   Hati Pui Cie berbunga-bunga, kalau mau berkata dia betul-betul mencintai wanita, Yipha Yauci yang didepan matanya adalah orang yang pertama, dulu terhadap Li Se Kian, Hie Ki Hong perasaan ini seperti antara ada dan tiada. Spontan dia berkata.

   "Perkenalan kita sudah terlambat rasanya!"

   Yipha Yauci memutar badannya yang mungil, menyandar di depan dada Pui Cie, bergumam seperti mimpi.

   "Tidak terlambat, tidak terlalu terlambat!"

   Badannya mungil sintal, hangat dan wangi. Pui Cie tidak tahan memeluknya dengan tangan gemetaran berkata.

   "Siang E, sudah terlambat, aku tidak punya., sesuatu yang baik untukmu lagi."

   Yipha Yauci berkata.

   


Renjana Pendekar -- Khulung Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Hong Lui Bun -- Khu Lung

Cari Blog Ini