Ceritasilat Novel Online

Pendekar Laknat 13


Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong Bagian 13



Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya dari S D Liong

   

   Ti Gong taysu terlongong.

   Memandang kepada Ceng Hi totiang, didapatinya wajah imam tua itu menampil kedukaan tetapi tetap memancar keperibadian yang pantang menyerah.

   Ti Gong taysu menghela napas, tundukkan kepala tak berkata apa2.

   Rombongan tokoh2 persilatan pun berdiam diri.

   Mereka percaya penuh pada Ceng Hi totiang.

   Tiba2 terdengar suara bentakan menggeledek.

   "Panggilan untuk imam tua Ceng Hi supaya segera datang kemari. Apabila masih berayal, tentu akan dihukum mati!"

   Kini tiada lagi Ceng Hi bersangsi.

   Dengan tenang ia segera ayunkan langkah ke puncak Kim-ting.

   Sekalian orang gagah tanpa berkata sepatah pun, tundukkan kepala dan mengikuti dibelakang imam tua itu.

   Pertapa-sakti-mata-satu tetap duduk di tempatnya dan masih tetap tersenyum-senyum bicara dengan si dara Song Ling.

   Liau Hoan siansu pun masih duduk di samping, tak ikut pada rombongan orang gagah.

   Song Ling gelisah resah.

   Terkenang akan ibunya yang menjadi tawanan Iblis-penakluk-dunia, memikirkan Siau-liong yang masuk ke dalam guha.

   Tak henti2nya ia celingukan kian kemari.

   Apa yang dikatakan Pertapa- sakti kepadanya, sama sekali tak dihiraukan.

   Ceng Hi totiang bersama rombangan orang gagah melintasi beberapa gerumbul hutan dan kini disebelah muka tampak sebuah dataran.

   Di ujung dataran itu tampak suatu jajaran sosok tubuh manusia.

   Jumlahnya tak kurang dari seratusan orang.

   Terdiri dari lelaki dan perempuan dengan berbagai corak pakaian.

   Tetapi yang paling menonjol sendiri, ialah jajaran paling depan yang terdiri dan belasan orang baju hitam, Mereka mengenakan kerudung muka sehingga tak dapat melihat roman mukanya.

   Tetapi begitu melihatnya, segeralah Ceng Hi totiang dan rombongannya dapat menduga.

   Barisan baju hitam itu tentulah keempat tokoh pewaris empat jenis ilmu sakti, kedua momok Naga Terkutuk dan Harimau Iblis serta rombongan It Hang totiang.

   Iblis-penakluk-dunia dan Dewi Neraka tegak berdiri ditengah-tengah.

   Di belakangnya dijaga oleh empat lelaki dan empat wanita.

   Demi melihat Ceng Hi muncul dengan kepala menunduk, iblis itu segera tertawa nyaring.

   Secepat hentikan tertawanya, Iblis-penaklak-dunia pun segera membentak keras.

   "Imam tua Ceng Hi, lupakah engkau akan perintahku tempo hari?"

   Mendengar kata2 itu seketika wajah sekalian orang gagah, berobah merah padam.

   Kata2 Iblis-penakluk-dunia itu benar2 suatu hinaan besar.

   Mereka adalah tokoh2 persilatan yang ternama.

   Mereka lebih memberatkan nama daripada jiwa.

   Seketika mereka siap hendak menyerbu.

   Wajah Ceng Hi pun berobah-robah, hijau membesi lalu pucat lesi.

   Suatu pertanda bahwa hatinya lebih tegang dari rombongannya.

   Tetapi pada lain saat ia tersenyum lalu berputar tubuh menghadang ke arah rombongan orang gagah.

   Setelah mengeliarkan pandang mata kesekeliling, ia berkata.

   "Tuan mengatakan bahwa empat hari kemudian akan datang ke puncak Kim-ting. Tetapi hari ini baru hari yang ketiga."

   Dari belakang kedua suami isteri iblis segera terdengar seorang lelaki gagah memaki.

   "Imam-hidung-kerbau, sungguh besar nian nyalimu! Sejak saat ini kita semua ini adalah anak buah kedua pemimpin kita. Mengapa engkau menyebut dengan panggilan begitu? Hayo, lekas memberi hormat haturkan maaf!"

   Ceng Hi totiang seorang tokoh yang namanya amat diindahkan orang.

   Dihadapan rombongan tokoh persilatan dari berbagai aliran, benar2 ia akan kehilangan muka apabila sampai minta maaf kepada Iblis-penakluk-dunia.

   Maka sampai beberapa jenak ia berdiam diri saja.

   Rombongan orang gagah pun merah tegang wajahnya.

   Suasana makin gawat.

   "Hai, apakah engkau tuli?"

   Bentak lelaki gagah itu pula. Ceng Hi totiang menghela napas lalu anggukkan kepala.

   "Ya, aku merasa salah!"

   Walaupun mulut berkata begitu, tetapi dari pelupuk matanya, mengembang air mata.

   Sepanjang hidupnya, baru pertama kali itu ia menderita hinaan sedemikian besar.

   Tetapi demi kepentingan umum, terpaksa ia tahankan perasaannya.

   Iblis-penakluk-dunia tertawa nyaring;

   "Aku sih tak terlalu mengutamakan soal2 peradatan kecil. Asal kelak dapat merobah kesalahan saja, cukuplah sudah...."

   Berhenti sejenak ia berkata pula.

   "Kuanggap diriku ini memiliki kecerdasan jauh lebih tinggi dari orang biasa. Kalau tidak masakan aku dapat berhasil seperti hari. Pepatah mengatakan 'prajurit akan bermanfaat karena dapat bergerak cepat' Jika besok pagi aku baru datang kemari, entah tingkah yang bagaimana macamnya lagi yang hendak kalian unjukkan padaku...."

   Menunjuk ke arah gua tempat tinggal paderi sakti dari Kimting, ia berkata pula.

   "Gerak-gerik kalian selama ini, sudah berada dalam pengawasanku. Sekalipun kalian dapat menyeret keluar paderi dari gua itu, pun tetap tak berguna...."

   Habis berkata ia berpaling ke belakang.

   "Dimana engkau, muridku!"

   Soh Beng Ki-su sambil berkaok-kaok, segera maju kehadapan suhunya.

   "Segala yang dikerjakan, kuserahkan kepadamu untuk memberi perintah. Aku hendak beristirahat sebentar. Dalam waktu tiga jam, apa yang kuserahkan kepadamu harus sudah selesai!"

   Soh Beng Ki-su mengiakan.

   Sambil tertawa meloroh, Iblispenakluk- dunia dan isterinya segera berjalan turun dari puncak.

   Anak buahnya mengikuti.

   Tak lama ia sudah menghilang ke dalam gerumbul hutan.

   Yang masih berada di tanah datar itu tinggal Soh Beng Kisu beserta 10 orang lelaki berpakaian ringkas.

   Diantara ke 10 orang itu, ada 8 orang yang bahunya dihinggapi burung elang besar.

   Yang dua orang lagi, tangannya mencekal pena pit dan tinta bak.

   Keduanya menjinjing selipat kain sutera putih.

   Dengan tertawa mengekeh, Soh Beng Ki-su berkata kepada Ceng Hi.

   "Aku mendapat perintah dari suhu. Apabila dalam ucapanku ada yang kasar, harap totiang jangan sesalkan dihati...."

   Ia menyapukan pandang matanya ke arah Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah, katanya pula.

   "Apa yang dikehendaki suhuku hanya dua hal. Pertama, segera didirikan panggung seluas dua tombak dan setinggi tiga meter. Panggung itu akan diperuntukkan pengangkatan suhuku sebagai Bu-lim bengcu (pemimpin dunia persilatan). Kedua, lekaslah kalian beramai-ramai membuat dan menanda-tangani surat pernyataan mendukung atas pengangkatan beliau itu. Buatlah 64 pucuk undangan yang kalian beramai-ramai menanda-tangani...."

   Menunjuk pada ke 8 ekor burung elang besar yang hinggap dibahu kedelapan lelaki berpakaian ringkas itu, Soh Beng Ki-su berkata pula.

   "Ke 8 ekor burung itu dapat mengedarkan surat Undangan itu kealamat yang dituju. Agar seluruh kaum persilatan tahu dan mentaati."

   Diam-diam Ceng Hi terkejut, pikirnya.

   "Segala permintaannya masih dapat kupaksakan diri untuk menerima. Tetapi surat dukungan yang akan disiarkan ke seluruh penjuru dunia persilatan itu, benar-benar suatu hal yang tak boleh terjadi."

   Maka dengan suara tersendat-sendat, Ceng Hi menyanggah.

   "Ini.... ini...."

   Soh Beng Ki-su mendengus dingin.

   "Tak perlu ini itu lagi. Apa yang diperintahkan suhu, kalian tentu sudah mendengar. Kedua hal itu hanya diberi waktu tiga jam harus sudah selesai. Jika terlambat mengerjakan, kalian tahu sendiri akibatnya."

   Ceng Hi merenung sampai lama baru berkata.

   "Kalau begitu, aku menurut saja!"

   Ia memandang tenang kepada rombongan orang gagah, katanya.

   "Harap saudara2 suka membantu aku membuat panggung itu!"

   Dengan lesu sekalian orang mengiakan.

   Mereka segera mulai membuat sebuah panggung.

   Diam-diam Ceng Hi memberi isyarat rahasia agar mereka bekerja selambat mungkin.

   Soh Beng Ki-su tak mau mendesak.

   Bersama ke 10 orang berpakaian ringkas, ia duduk diujung puncak sambil mengawasi pekerjaan Ceng Hi dan rombongannya.

   Sekarang kita tinggalkan sejenak pembuatan panggung itu untuk menjenguk keadaan dalam gua.

   Setelah berhasil menyelundup masuk, Siau-liong dapatkan gua itu tak begitu gelap.

   Setelah memusataan perhatian, barulah ia dapat melihat jelas.

   Kiranya tempat itu tak mirip dengan sebuah gua melainkan sebuah lorong terowongan yang panjang ke dalam.

   Siau-liong makin tegang.

   Cepat2 ia ayunkan langkah dan tak berapa lama sudah tiba di ujung akhir terowongan itu.

   Di muka ujung terowongan itu terbentang sebuah lapangan kosong yang ditumbuhi pohon2 bunga aneh dan rumput2.

   Walaupun saat itu berada dalam pertengahan musim rontok, tetapi pohon-pohon bunga disitu tetap menghamburkan bunga2 aneka warna.

   Batang2 pohon cemara yang tumbuh lurus disebelah muka, menjulang linggi sampai menyusup ke dinding karang.

   Sayup2 tampak sebuah mulut gua seluas satu tombak ditengah pohon cemara itu.

   Pikir Siau-liong.

   paderi sakti di puncak Kim-ting itu tentu tinggal dalam gua tersebut.

   Segera berjalan menuju ke gua itu.

   Sekonyong-konyong, serangkum angin keras menyambar punggungnya.

   Siau-liong terkejut sekali dan segera miringkan tubuh loncat mundur sampai lima langkah.

   Setelah terhindar, ia cepat memandang ke arah penyerangnya itu.

   Ah, bukan kepalang kejutnya.

   Yang menyerang itu ternyata seekor kera berbulu emas yang besarnya hampir menyerupai orang.

   Pukulan yang dilancarkan kera bulu emas itu bukan kepalang dahsyatnya sehingga ketika luput dan menghantam tanah, pasir dan debu segera muncrat berhamburan dan tanah pun berlubang sampai setengah meter.

   Siau-liong cepat dapat menduga bahwa kera bulu emas itu tentulah binatang piaraan Paderi sakti Kim-ting.

   Maka ia tak mau balas menyerang, Malah ia terus mengangkat tangan memberi salam kepada kera itu.

   Tepat pada saat ia sedang memberi hormat, kepada kera bulu emas itu, tiba-tiba serangkum angin keras menyambar punggungnya lagi.

   Dalam kejutnya, ia cepat apungkan tubuh melayang beberapa meter.

   Ah, kiranya seekor kera bulu emas lagi.

   Bahkan yang ini tampaknya amat galak.

   Sambil menyeringaikan giginya yang runcing, ia memandang Siau-liong dengan buas.

   Belum sempat Siau-liong menenangkan diri, kembali ia diserang oleh dua ekor kera bulu emas lagi.

   Siau-liong benar-benar gelisah dan serba sulit.

   Ia tak mau balas menyerang karena kuatir menimbulkan kemarahan paderi sakti Kim-ting.

   Namun dengan mengalah itu, ia harus banting tulang setengah mati untuk menghindari serangan keempat ekor kera bulu emas yang gencar itu.

   Keempat ekor kera bulu-emas itu memang lihay.

   Serangan mereka serba aneh dan sukar diduga.

   Untunglah dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, dapatlah Siau-liong berlincahan menghindarinya.

   Tetapi betapapun juga, karena tak mau balas menyerang, maka setelah dapat bertahan sampai sepeminum teh lamanya, akhirnya ia mulai tak dapat bertahan lagi.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Keempat ekor kera bulu-emas itu meraung keras.

   Serempak mereka menyerang makin gencar.

   Angin menderuderu, tangan keempat binatang itu berhadapan mengarah bagian tubuh Siau liong beberapa yang berbahaya.

   Siau-liong makin gugup.

   Jika tak mau balas menyerang, ia tentu akan terluka dibawah pukulan kera bulu-emas itu.

   Dengan menggerung keras, ia segera mulai menyerang dengan jurus Angin-awan-berobah-warna.

   Hamburan pukulan yang bersinar emas itu berkelebat kian kemari dan terdengarlah serangkum suitan bernada macam naga meringkik.

   Untunglah Siau-liong masih mengingat pada paderi sakti Kim-ting.

   Ia hanya gunakan sepertiga bagian tenaganya dan tak mau mengarah pada tempat yang berbahaya dari tubuh kera berbulu emas itu.

   Diluar dugaan, begitu Siau-liong memukul kawanan kera bulu emas itu segera hentikan serangannya.

   Mereka memandang wajah Siau-liong sampai sekian lama.

   Kemudian mereka menyeringai dan bercuit-cuit beberapa kali.

   Pelahanlahan mereka mulai menyurut mundur dan masuk ke dalam gerumbul pohon bunga.

   Siau-liong mengusap keringatnya dingin.

   Setelah itu cepat2 ia lanjutkan perjalanan lari ke arah gua.

   Begitu tiba di pintu gua, ia berbenti.

   Dilihatnya di atas sehelai permadani tinggi yang terletak beberapa meter dalam pintu gua, duduklah seorang paderi tua dengan mata memejam.

   Paderi tua itu amat kurus sekali.

   Duduk di atas permadadani tak ubah seperti sesosok tulang kerangka.

   Tetapi wajahnya menampilkan suatu perbawa yang mengundang rasa perindahan orang.

   Tanpa disadari, Siau-liong pun seaera berlutut.

   Rupanya paderi tua kurus itu tak mendengar dan tak mengetahui kedatangan Siau-liong.

   Dia tetap duduk pejamkan mata tak bergerak.

   Diam-diam Siau-liong menimang.

   Walaupun paderi tua itu seorang tuli tetapi masakan tak mendengar suara pertempuran hebat antara ia dengan keempat kera bulu emas tadi.

   Ah, tentulah paderi tua itu hanya berpura-pura saja.

   Siau-liong tak berani mengganggu.

   Terpaksa ia tetap berlutut menunggu sampai paderi itu terjaga.

   Lebih kurang sepenyulut dupa lamanya, barulah paderi tua itu pelahan-lahan membuka mata.

   Sepasang matanya yang berapi-api, menatap Siau-liong sejenak lalu dipejamkan lagi.

   Siau-liong baru hendak membuka mulut atau tiba-tiba paderi itu sudah mengatupkan matanya pula.

   Ia bingung.

   Tetapi terpaksa bersabar menunggu lagi.

   Kira-kira sepeminum teh lamanya, tetap paderi tua itu diam saja.

   Akhirnya Siau-liong tak sabar lagi.

   Segera ia berseru pelahan.

   "Seng-ceng, Seng-ceng . ,.... lo-cianpwe, locianpwe...."

   Rupanya paderi kurus itu memang Seng-ceng atau paderi sakti dari Kim-ting. Ia terkejut mendengar seruan Siau-liong. Cepat ia membuka mata dan membentak.

   "Kedua kacung Hitam Putih itu?"

   Siau-liong tersendat-sendat menyahut.

   "Mereka masih berada diluar gua."

   Seng-ceng itu mendengus, serunya pula.

   "Keempat kera penjaga gua itu?"

   Siau-liong termenung sejenak. Ia duga yang dimakud itu tentu keempat ekor kera bulu emas.

   "Aku tak melukai mereka!"

   Sahutnya. Tiba-tiba paderi sakti dari Kim-ting itu membentak murka.

   "Nyalimu sungguh besar sekali berani menyelundup ke gua sini!"

   Pada saat Siau-liong hendak memberi penjelasan, entah bagaimana caranya bergerak tadi, tahu2 Siau-liong merasa empat buah jalan darah di dadanya tertutuk oleh sambaran jari paderi sakti itu Seketika Siau-liong rasakan tubuhnya lemas lunglai, kaki tangannya pun melentuk.

   "Bluk".... rubuhlah anak muda itu dan terkapar di tanah....! Mata paderi tua itu sejenak memancar lalu pe-lahan2 mengatup lagi. Bukan main gelisah dan bingung Siau-liong. Diam-diam ia memaki paderi itu sebagai seorang yang tak kenal perikemanusiaan. Tidak mau membantu, pun tak apa. Tetapi mengapa menyerang orang dengan cara gelap begitu. Itu bukan tingkah laku seorang padri saleh tetapi seorang penjahat kejam. Karena jalan darahnya tertutuk dan kaki tangannya sakit sekali, tubuh kaku seperti orang mati, sekali pun Siau-liong dapat bicara tetapi tak mampu bergerak. Maka ia hanya deliki mata memandang geram kepada paderi itu. Tampak paderi tua itu membuka mata lagi, tegurnya.

   "Mengapa engkau berani memaki-maki aku?"

   Siau-liong seperti tersengat kala kagetnya.

   "Aku memakinya dalam hati, mengapa dia tahu?"

   Pikirnya. Dipandangnya paderi itu dengan terpesona. Paderi Kim-ting itu tersenyum, ujarnya.

   "Tak usah engkau merasa heran. Dari sinar matamu tahulah aku isi hatimu dan apa yang terkandung dalam pikiranmu!"

   Diam-diam Siau-liong tertawa, pikirnya.

   "Ah, kiranya dia hanya menduga-duga saja dari kerut wajahku."

   Ia segera katupkan mata.

   Saat itu masuklah kedua bocah penjaga gua tadi.

   Bukan kepalang kejut melihat Siau-liong rubuh di tanah dengan jalan darah tertutuk.

   Tetapi yang menggoncangkan hati kedua bocah itu ialah mengapa pemuda itu dapat menyelundup masuk ke dalam gua.

   Dari mana dan kapankah dia masuk.

   Kedua bocah itu saling bertukar pandang lalu serempak berlutut menghadap sipaderi sakti.

   "Kemari!"

   Seru paderi Kim-ting. Kedua bocah itu ter-sipu2 bangun dan menghampiri. Mata mereka menggeram ke arah Siau-liong. Begitu tiba di hadapan paderi sakti, kedua bocah itu terus berseru. '"Murid harus dihukum!"

   Serempak mereka berlutut. Paderi, sakti itu mendengus dingin.

   "Kemanakah kalian tadi?"

   Bocah baju putih memang kawannya baju biru lalu menjawab tersekat.

   "Tak pergi kemana-mana, hanya terus berada di pintu gua...."

   "Kalau menjaga di mulut gua, mengapa tak tahu orang masuk kemari?"

   Bentak paderi sakti. Bocah baju putih tersendat-sendat menjawab;

   "Murid.... murid...."

   Tetapi anak itu tak dapat menemukan alasan yang tepat. Maka sampai beberapa saat ia hanya dapat berkata 'murid.... murid.... ' saja.

   "Apakah kalian pergi cari burung ke bawah karang?"

   Seru paderi sakti pula. Tiba-tiba bocah baju biru menyelutuk.

   "Tadi paman Buta datang kemari membohongi kami dengan sebuah batu berkilau sehingga dia dapat menyelundup kemari!"

   Paderi sakti itu menyebut Omitohud pelahan, ujarnya;

   "Binatang, kalian harus menerima hukuman apa?"

   Tanpa ragu2 lagi sibocah baju putih berseru.

   "Murid rela menghadap tembok selama 10 hari agar dapat sungguh2 bertobat!"

   Paderi sakti Kim-ting mengangguk pelahan, bertanya kepada kacung baju biru;

   "Engkau?"

   "Murid rela tiga hari tak makan!"

   Sahut kacung itu. Paderi sakti Kim-ting tersenyum.

   "Tetapi hari ini aku memberi kelonggaran takkan menghukum kalian!"

   Kedua bocah itu terkejut dan saling berpandangan dengan wajah girang.

   Buru-buru mereka menundukkan kepala sampai ke tanah selaku memberi hormat.

   Setelah itu mereka berdiri dan menghaturkan terima kasih.

   Kemudian paderi sakti Kim-ting menunjuk ke arah Siauliong dan suruh kedua murid supaya menggeledah badan pemuda itu.

   Kedua kacung itu segera melakukan perintah.

   Sekujur badan Siau-liong habis digeledahnya.

   Dari badik yang terselip dipinggang, pedang yang terpanggul dibahu dan bungkusan pakaian yang terisi penyamaran Pendekar Laknat sampai pada bungkusan kecil isi pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan semua digeledah oleh kedua kacung itu.

   Walaupun sedih dan geram, bingung dan marah, tetapi karena jalan darahnya tertutuk, Siau-liong pun tak dapat berbuat suatu apa kecuali hanya deliki mata memandang perbuatan kedua bocah kacung itu.

   Semua benda hasil geledahannya ditaruh dihadapan paderi sakti Kim-ting;

   "Suhu. semua barang yang terdapat pada tubuhnya telah kami ambil semua!"

   Paderi sakti Kim-ting merenung sejenak lalu suruh kedua bocah itu mengangkut Siau-liong kegua Hang Gan-li.

   "Apakah suhu hendak membakarnya?"

   Seru sikacung baju putih terkejut.

   "Jangan banyak tanya!"

   Bentak paderi itu. Bocah itu buru-buru mengiakan. Lalu bersama kawannya sibaju biru mengangkut Siau-liong menyusuri dinding gunung yang membelok kesebelah kanan. Diam-diam Siau-liong mengeluh.

   "Ah, kali ini tentu tamat riwayatku!"

   Ia memandang dengan murka sekali kepada paderi Kimting tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja.

   Siau-liong benci sekali kepada paderi yang pura-pura alim itu.

   Jika ia sampai berhasil lolos, tentu akan diajaknya paderi itu mengadu jiwa.

   Tetapi apa daya.

   Pada saat itu ia tak dapat berkutik kecuali hanya deliki mata penuh dendam dan kebencian kepada paderi itu.

   Cepat sekali kedua kacung itu telah tiba dimuka sebuah mulut gua yang gelap gulita.

   "Kita lemparkan saja ke dalam! Toh dia sudah tak bakal hidup lagi!"

   Seru sikacung baju putih. Kacung baju biru setuju. Setelah menggoncang-goncang tubuh Siau-liong maju mundur beberapa kali, barulab kedua bocah itu lemparkan Siau-liong ke dalam gua.

   "Bum".... Kedua bocah itu tertawa ngikik lalu mendorong sebuah batu karang yang berada di tepi gua, menutup mulut gua. Gua makin gelap pekat sehingga orang tentu tak dapat melihat jari jemarinya sendiri. Tetapi lemparan kedua bocah itu tak sampai melukai tubuh Siau-liong. Walaupun tubuh tak berkutik tetapi kesadaran pikirannya masih hidup. Berkat ilmu tenaga dalamnya yang makin sempurna, tak berapa lama ia sudah biasa akan keadaan gua. Diperhatikannya sekeliling tempat itu. Gua hanya kira-kira dua tombak luasnya. tapi dindingnya terdiri dari batu-batu yang runcing.... Sepintas pandang amat menyeramkan sekali! ' Siau-liong benar-benar kalap. Perasaannya hampir seperti orang gila. Dia bendak berteriak tetapi tak dapat bersuara. Dia bendak menghancurkan gua itu tetapi tak dapat berkutik. Ia hendak lolos dan menghajar paderi Kim-ting itu tetapi mengangkat tangan saja ia tak mampu. Hatinya panas seperti dibakar. Entah berapa lama, nafsu kemarahannya yang menyalanyala didadanya itu makin reda. Sebagai gantinya saat itu ia merasa berduka sekali. Gurunya, Kongsun Sin-tho yang tertawan musuh, ibunya yang berada diseberang laut, Tiau Bok-kun, Mawar Putih.... bayangan mereka satu demi satu mulai melintas kealam pikirannya. Peristiwa2 yang lampau mulai membayang dalam benaknya. Teringat akan pertapa-sakti-mata-satu, yang jelas menjadi suhu dari Randa Bu-san atau pewaris angkatan terdahulu dari ilmu sakti Ya-li-sin-kang yang amat diindahkan orang persilatan, telah memberi bantuan besar kepadanya. Karena pertapa sakti itu memikat perhatian kedua kacung untuk main terka, sehingga ia mendapat kesempatan untuk menyeludup masuk ke dalam gua. Adakah pertapa sakti-mata-satu itu mempunyai maksud sengaja hendak mencelakai dirinya? Lalu ia teringat akan Ceng Hi totiang. Dialah yang merupakan satu2nya tokoh yang tepat memimpin berisan orang persilatan. Ceng Hi begitu menghormat sekali kepada paderi sakti Kim-ting. Adakah Ceng Hi totiang itu benar-benar tak tahu bagaimana pribadi paderi kurus dari puncak Kim-ting yang begitu dingin dan tak kenal perikemanusiaan? Bukankah sia2 belaka usaha Ceng Hi totiang untuk bersusah payah merendah diri meminta bantuan paderi sinting dari Kim-ting itu? Makin merenung, Siau-liong makin gelisah dan tak dapat menemukan pemecahannya. Sekonyong-konyong ia merasa seperti dilanda gelombang hawa panas. Bermula hanya ringan tetapi makin lama makin dahsyat. Ketika memperhatikan keadaan tempat itu, kejutnya bukan kapalang. Ternyata hawa panas itu berasal dari dinding gua yang mulai berbongkah-bongkah mengeluarkan asap putih. Asap itu amat menusuk hidung karena berbau belirang. Hawa panas makin lama makin keras. Keempat dinding gua seakan akan membara. Asap pun makin tebal. Betapapun tajam mata Siau-liong, namun akhirnya ia tak mampu melihat keadaan di sekelilingnya lagi. Kecuali panas, pun asap itu amat menyesakkan napas sehingga ia harus ngangakan mulut lebar-lebar untuk melakukan pernapasan. Siau-liong hampir putus asa. Ia merasa tentu takkan hidup lagi. Tetapi naluri sebagai manusia yang tak menyerah pada ancaman maut, membangkit semangat hidupnya. Cepat ia kerahkan semangat, pusatkan seluruh pikiran. Menekan hawa darahnya yang bergolak. Ia hendak gunakan ilmu bernapas dari Thian-kong-sin-kang untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk. Tetapi sayang tindakannya itu terlambat. Jalan darahnya yang tertutuk itu seolah-olah ditutup oleh empat batang paku besar. Betapa keras tenaga dalam yang dipancarkan dari perutnya, namun tetap tak mampu menjebolkan paku itu. Ia hentikan usahanya. Napasnya terengah-engah, keringat membanjir turun. Saat itu asap mulai menipis. Demikian pula dengan hawa panas, pun mulai berkurang. Akhirnya asap dan hawa itu lenyap dan gua pun kembali seperti sedia kala. Diam-diam ia mengeluh. Sejam lagi asap dan hawa belirang itu berhamburan, ia tentu mati. Pikirannya melayang pada Ceng Hi totiang dan rombongan tokoh2 persilatan. Entah bagaimana keadaan mereka saat itu! Tetapi apabila terjadi pertempuran, akibatnya mudah diduga. Ceng Hi totiang dan rombongannya pasti sudah dihancurkan oleh kedua suami isteri Iblis-penakluk-dunia. Dalam keadaan tak berdaya seperti saat itu, terpaksalah Siau-liong kembali pada keputusannya tadi. Ia harus merenungkan ini pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang lagi. Kitab pusaka itu benar-benar menyerupai laut yang lidak dapat diukur dalamnya. Begitu membenamkan pikiran menjelajah isi kitab Thian-kong-sin-kang, iapun segera lelap dari alam kesunyian yang hampa dari Ke-akuan. Ia berusaha untuk merenungkan arti dan kegunaan dari intisari pelajaran Thian-kong sin-kang antara lain mengenai apa yang disebut Semangat, hati, keinginan, pikiran, gerakan, ketenangan, kehampaan dan isi. Entah berapa lama ia tenggelam dalam laut pencarian rahasia kitab Thian-kong-sin-kang itu, tiba-tiba gua mulai terasa dingin. Bermula masih dapat ditahan tetapi makin lama makin menggigilkan tubuh. Ia rasakan'seperti dibenam dalam sungai es, sehingga darahnya serasa membeku. Tetapi saat itu ia masih bergulat untuk memeras otak memecahkan isi kitab Thian-kong-sin-kang. Betapa hebat hawa dingin itu menyerang, ia masih dapat bertahan. Kira2 sepeminum teh lamanya, hawa dingin itu pun mereda. Tetapi sebagai gantinya, memancar pulalah hawa panas yang tadi. Dari dingin mendadak berganti panas, walau pun orang yang memiliki tubuh baja sekalipun, tentu sukar bertahan. Apalagi seperti Siau-liong yang jalan darahnya masih tertutuk. Dia benar-benar seperti sam-sing atau ayam sesaji sembahyangan. Tetapi dalam penderitaan yang hebat itu, Siau-liong menemukan sesuatu yang belum pernah dimilikinya. Suatu tenaga sekokoh baja yang tak tergoyahkan. Walaupun jasmaniah ia menderita siksaan yang sedemikian hebat, tetapi dalam rohaniah ia telah mendapat suatu rasa kesadaran yang tenang. Ia tetap terlelap dalam lautan ilmu sakti yang sukar dipelajari. Dalam pada itu perobahan hawa dalam gua tetap berlangsung sampai berulang kali. Dingin mendadak berobah panas. Panas tiba-tiba berganti dingin. Keadaan itu telah berlangsung sejam lamanya, Siau-liong seperti digodog dalam kawah gunung berapi lalu dilemparkan ke dalam sungai es.... ---ooo0dw0ooo---

   Jilid 16 Katak berkaki tiga Pada permulaan, rasa dingin panas yang saling bergantian secara mendadak itu, benar-benar menyiksa Siau-liong.

   Tetapi lama kelamaan ia menjadi kebal.

   Dan anehnya, rasa sakit dalam tubuhnya pun lenyap.

   Pelahan-lahan pikirannya pun tenang kembali.

   Ia merasa dalam waktu sejam itu telah mengalami perobahan besar sekali.

   Beberapa bagian dalam kitab pusaka Thian-kong-sinkang yang sukar dimengerti, saat itu sebagian besar sudah dapat difahami artinya.

   Pelajaran yang mengemukakan tentang sifat2 Semangat, Mati, Keinginan dan Pikiran yang tak dapat diselaminya selama ini, saat itu satu demi satu sudah dapat merabah intisarinya.

   Diam-diam Siau-liong terkejut girang.

   Tak tahu ia sampai berapa jauhkah ia dapat mengerti isi kitab pusaka itu.

   Tetapi yang jelas, ia merasa kepandaiannya amat dangkal sekali, sebelum memahami isi kitab pusaka itu.

   Diam-diam ia geli atas tingkah laku paderi tua dari puncak Kim-ting itu.

   Paderi itu hendak menghukumnya mati.

   Tetapi tanpa disadari, hukuman pembakaran api dan membenamkan dalam es itu, telah mendorong pikirannya untuk memecahkan intisari dari bagian2 pelajaran yang sukar dari kitab pusaka Thian-kong-pit-kip.

   Tengah ia terbenam dalam renungan tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi mendesis-desis yang mendatangi ke arah tempatnya.

   Buru-buru ia curahkan perhatian untuk mendengarkan bunyi itu.

   Ia tersirap kaget ketika melihat di atas dinding gua sebelah kanan, tiba-tiba muncul seekor ular besar.

   Kepala ular itu tumbuh jambul merah dan tubuhnya bergariskan kembang2 warna hitam biru.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jelas tentu seekor ular ganas.

   Rupanya ular itu sudah mencium bau tempat beradanya Siau-liong.

   Maka pelahan-lahan ia merayap menghampiri.

   Sudah tentu Siau-liong kaget setengah mati.

   Saat itu jalan darahnya sedang tertutuk, tak dapat berkutik.

   Bukankah ia akan mati digigit ular berbisa itu? Tetapi pada jarak masih terpisah dua meter dari tempat Siau-liong, ular itu pun berhenti.

   Binatang itu gerak-gerakkan kepala dan mengebas-ebas ekor seraya berbunyi mendesisdesis.

   Dalam menghadapi suasana yang seram akan datangnya maut, Siau-liong sudah kehabisan daya.

   Satu-satunya jalan ialah mengerahkan seluruh tenaga dan serentak ia terus berguling-guling ke samping.

   Dua kali ia bergulingan dan telah tiba di bawah dinding gua sebelah kiri.

   Tetapi alangkah kejutnya ketika memandang ke dalam, ternyata ular itu masih merayap mengikutinya.

   Kepalanya yang diangkat sampai setengah meter ke atas, memancarkan sinar mata yang berapi api.

   Karena gugup, Siau-liong menggembor keras dan menyambar kepala ular itu.

   Terus dilontar ke muka.

   "Bluk".... lontaran Siau-liong bukan olah2 kuatnya sehingga kepala ular itu pecah berhamburan. Setelah tenangkan hati, cepat ia berbangkit dan hampir saja ia berteriak kaget. Karena dicengkeram oleh rasa tegang, ia sampai lupa bahwa seharusnya ia tak dapat membunuh ular itu karena jalan darahnya masih tertutuk. Tetapi ternyata ia dapat bergerak bebas. Lalu bilakah jalan darahnya yang tertutuk itu terbuka? Ah, segera ia teringat apa yang terjadi. Tentulah ketika ia kerahkan tenaga dan berguling-guling diri di tanah tadi, jalan darahnya itu terbuka sendiri. Bukan mainlah girangnya saat itu. Cepat2 ia duduk menyalurkan napas. Dirasakannya darah mengalir dengan lancar, tenaga dalam pun mulai bergolak. Hawa panas dalam perut, mengalir keseluruh tubuh. Beberapa saat kemudian iapun bangun. Dipandangnya keadaan dalam gua itu dengan seksama. Tampak pintu gua yang tertutup, terdapat beberapa celah2 yang tidak rata bentuknya. Segera ia kerahkan tenaga dan coba2 untuk mendorong pintu itu. Ah, berat benar. Hampir ia merasa tak kuat lagi mendorongnya. Tetapi karena gugup, ia terpaksa mencobanya lagi. Krek.... ternyata pintu itu mulai bergerak. Siau-liong girang sekali dan segera tambahkan tenaganya untuk mendorong. Krek, krek.... pintu batu itupun terbuka sampai setengah meter lebarnya. Dengan bersuit panjang, ia cepat loncat keluar. Tetapi sebelum sempat melihat keadaan di sekeliling, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa gelak-gelak.

   "

   Omitohud! Dorongan itu paling tidak tentu beribu-ribu kati tenaganya, Rupanya bukannya mati tetapi engkau malah mendapat rejeki besar!"

   Siau-liong mengangkat muka dan melihat paderi Kim-ling tegak berdiri setombak dari gua situ.

   Saat itu barulah Siauliong dapat melihat jelas roman muka paderi itu.

   Seorang paderi tua yang bertubuh tinggi kurus.

   Jubahnya penuh dengan tambalan, sepatu rumput.

   Sepasang matanya besinarsinar tajam sekali.

   Tetapi tak dapat diketahui bagaimana sikapnya saat itu.

   Girangkah atau marah? Siau-liong mendengus dingin.

   serunya.

   "Paderi tua, mungkin engkau tak pernah menyangkanya...."

   Ia tampil dua langkah dan membentak.

   "Aku tak punya dendam permusuhan suatu apa kepadamu. Mengapa engkau terus menerus mendesak hendak membunuh aku?"

   "Menyelundup ke dalam gua dan hendak mengambil katak berkaki tiga. Apakah dosa itu tak layak dihukum mati?"

   Siau-liong tertawa hatinya. Kemarahannyapun reda.

   "Sekali pun belum lama berkelana dalam dunia persilatan, tetapi seumur hidup aku belum pernah mencuri milik orang...."

   Ia berhenti sejenak, berkata pula.

   "Kedatanganku kemari memang benar-benar hendak meminta katak mustika itu. Tentu soal menyelundup ke dalam gua, adalah karena kedua murid lo-siansu tak mau memberitahu kepada lo-siansu!"

   Paderi Kim Ting tertawa.

   "Katak kaki-tiga itu merupakan binatang ajaib penunggu gua. Dengan tindakanmu yang liar dan kasar itu bagaimana engkau hendak memperoleh katak itu?"

   Siau-liong berseru lantang.

   "Kedua suami isteri Iblispenakluk- dunia dan Dewi Neraka telah mengganas dunia persilatan karena ingin menguasainya. Sekalian tokoh-tokoh gagah dalam dunia tiada yang mampu menandingi dan terpaksa menyerah. Mereka kini berkumpul di puncak Kim Ting sini. Saat ini merupakan detik2 yang menentukan mati hidupnya dunia persilatan. Kedatanganku untuk meminta katak mustika itu sama sekali bukan untuk kepentinganku peribadi melainkan untuk menyelamatkan nasib dunia persilatan...."

   Wajah Siau-liong berobah tegang dan nada suaranya pun makin rawan. Sejenak menghela napas ia berkata pula.

   "Apabila kedua suami isteri iblis itu benar-benar dapat menguasai dunia persilatan, mungkin lo-siansu pun tak dapat duduk dengan tenang dalam gua ini!"

   Paderi Kim Ting tertawa.

   "Selama ini aku tak mau ikut campur pergolakan dunia persilatan. Dan kali inipun tak terkecuali."

   "Aku bukan hendak memohon lo-siansu ikut campur urasan dunia persilatan tetapi hanya hendak mohon katak berkakitiga itu...."

   Cepat Siau-liong menukas.

   "Itupun sukar.... ,"

   Paderi Kim Ting berhenti lalu dengan mata berkilat-kilat ia berkata.

   "walaupun hawa dingin panas dalam gua itu tadi dapat membunuhmu tetapi untuk keluar dari gua ini, bukanlah suatu hal yang mudah bagimu. Maka tak perlu engkau hendak minta katak mustika itu!"

   Siau-liong terbeliak kaget.

   Memang apa yang dikatakan paderi itu benar.

   Menilik ilmu tutukan jalan darah dari paderi itu saja, tahulah ia bahwa paderi itu memang sudah mencapai tataran tinggi kepandaiannya.

   Jika paderi itu benar hendak membunuhnya, tentu sukar baginya untuk lolos.

   Dalam keadaan begitu percumalah ia hendak minta katak mustika segala macam....! "Maksud lo-siansu hendak menghukum mati aku?"

   Katanya beberapa jenak kemudian. Paderi kurus itu tersenyum.

   "Hal itu tergantung bagaimana kepandaianmu nanti!"

   Siau-liong marah sekali. Ia benar-benar tak dapat mengendalikan diri dan membentak dingin.

   "Semula kukira engkau seorang paderi luhur. Oleh karena itu aku selalu bersabar untuk mengalah. Hendaknya engkau harus mengetahui. bahwa sekali pun umurku masih begini muda tetapi aku adalah pewaris dari ilmu sakti Thian-kong-sinkang."

   Paderi kurus itu teriawa keras.

   "Ilmuku sakti Ih-kah-sinkang, tiada lawannya di dunia. Satu-satunya yang mampu mengimbangi ilmuku itu hanyalah Thian-kong-sin-kang. Tetapi itu pun harus dilihat sampai dimana tingkat pelajaran orang yang mempunyai Thian-kong-sin-kang itu!"

   Sejenak paderi itu memandang Siau-liong tajam-tajam lalu tiba-tiba membentak.

   "Hayo, bertempur!"

   Siau-liong mendengus dingin terus hendak menghantam tetapi tiba-tiba benaknya terlintas sesuatu dan menurunkan tangannya lagi.

   "Hm, takut kepada paderi tua ini?"

   Ejek paderi Kim Ting Siau-liong tertawa dingin.

   "Seumur hidup aku tak pernah mengenal kata2 takut! Hanya ingin sekali lagi kujelaskan, bahwa maksudku hendak meminta katak mustika itu bukanlah untuk kepentingan diriku peribadi melainkan untuk menolong seluruh tokoh persilatan yang sedang terkurung di puncak Kim Ting. Keempat tokoh pewaris dari empat macam ilmu saktipun telah ditawan oleh Iblis-penakluk-dunia, maka akupun sesungguhnya tak mempunyai selera bertempur dengan engkau!"

   Paderi itu deliki mata dan tertawa.

   "Budak! Kecerdasanmu sebagai seorang setan cilik memang boleh juga" -ia berhenti sejenak lalu.

   "Dengan cara bagaimanakah supaya dapat kubangkitkan seleramu bertempur dengan aku?"

   Mata Siau-liong sejenak berkeliaran lalu berkata.

   "Jika aku sampai kalah, terserah saja bagaimana lo-siansu hendak menghukum diriku. Tetapi bila aku beruntung menang...."

   Paderi Kim Ting cepat tertawa menukas.

   "Asal engkau mampu menangkan aku, katak berkaki-tiga itu pasti akan kuberikan kepadamu!"

   "Apakah lo-siansu takkan menyesal?"

   Siau-liong berdebar-debar menunggu kesempatan itu.

   Memang ia tak mempunyai harapan besar untuk memenangkan pertempuran itu namun iapun tak lekas putus asa untuk menyerah.

   Mudah-mudahan nasib akan membawa perobahan baik kepadanya.

   Paderi itu membentak.

   "Huh, engkau kira aku seorang yang tak dapat dipercaya?"

   Siau-liong terkejut.

   Dilihatnya sepasang mata paderi kurus itu berapi-api.

   Wajahnya tidak menampil kemarahan tetapi kewibawaan yang menonjol, sehingga Siau-liong merasa kecil diri.

   Sekalipun ia tak dapat memastikan dapat mengalahkan paderi itu.

   tetapi karena keadaan sudah mendesak, maka bagaimanapun juga ia harus mencoba dengan sekuat tenaganya.

   Apabila ia beruntung dapat menang, ia akan memperoleh katak mustika yang amat diperlukan untuk pembuatan pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan.

   Pil yang akan menolong para tokoh2 dari kebiusan.

   Dengan tujuan itu, longgarlah hati Siau-liong.

   Sekalipun ia mati dalam pertempuran dengan paderi Kim Ting itu, tak apalah.

   Ia serahkan saja pada nasib.

   Dengan kebulatan tekad yang pasrah itu, ia segera salurkan tenaga dalam bersiap-siap.

   Wajah paderi sakti dari Kim Ting itu tetap tenang sekali.

   Kakinya pun bebas tak mengunjukkan persiapan apa2.

   Tetapi sekali pun begitu, paderi itu memancarkan perbawa yang menggetarkan hati orang.

   Setelah mengempos semangat, berserulah Siau-liong dengan nada serius.

   "Silahkan lo-siansu mulai!"

   Paderi sakti itu tersenyum, ujarnyy.

   "Berkelahi dengan engkau masakan aku masih menginginkan menyerang lebih dulu?"

   Siau-liong menyadari bahwa paderi itu memang sakti sehingga tak memandang mata kepadanya. Diam-diam ia girang karena paderi itu menghendaki supaya diserang lebih dulu.

   "Kalau begitu maafkan aku berlaku kurang hormat!"

   Serunya tertawa lalu balikkan tangan kiri dan pelahan-lahan diarahkan kepada paderi itu.

   Aneh sekali gerakan Siau-liong itu.

   Seperti menghantam tetapi pun seperti menutuk.

   Seperti mencengkeram tetapi pun seperti menampar.

   Suatu gerakan tangan yang memungkinkan seribu akibat.

   "Budak! Gerakanmu itu hanya gertakan kosong, masakan engkau mampu mengelabuhi aku!"

   Seru paderi Kim Ting tertawa.

   Ia tak mau bergerak sama sekali dari tempatnya dan seolah-olah tak mengacuhkan tangan Siau-liong.

   Siau-liong terkejut.

   Ia heran mengapa lawan tahu gerak serangannya itu kosong.

   Tetapi secepat kilat ia terus gerakkan tangan kanan dengan jurus Hun-hoa-hud-liu untuk mencengkeram siku lengan kiri dari paderi itu.

   Namun paderi itu tetap tertawa lepas dan tak mau bergerak dari tempatnya berdiri.

   Diam-diam Siau-liong girang.

   Ia tambahi tenaga dalam pada tangan kanan untuk mencengkeram lengan sipaderi.

   Pikirnya.

   "Karena engkau tak mau menghindar dan menangkis, rupanya Tuhan memang menghendaki aku menang!"

   Tetapi alangkah kejutnya ketika ia merasa tentu dapat mencengkeram tangan orang, tiba-tiba entah bagaimana.

   ia mencengkeram angin kosong.

   Jangankan siku lengan, bahkan ujung baju paderi itupun tak mampu dijamahnya.

   Dan ketika memandang kemuka, dilihatnya paderi kurus itu masih tegak di tempatnya.

   Tampaknya ia tak berkisar sama sekali.

   Kejut Siau-liong bukan kepalang, pikirnya.

   "Adakah paderi ini menggunakan ilmu setan?"

   Tengah ia terlongong, tiba-tiba paderi sakti itu tertawa.

   "Menyerang dengan dahsyat, termasuk ilmu tingkat rendah....!"

   Berhenti sejenak ia berkata pula.

   "Budak, adakah begitu jelek engkau mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang itu?"

   Siau-liong tersipu malu.

   Diam-diam ia makin terkejut dan menyadari bahwa yang dihadapinya itu benar-benar seorang paderi yang berilmu tinggi.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jelas pertempuran itu nanti sia2 belaka.

   Tetapi ucapan paderi itu menyadarkan Siau-liong akan beberapa kenyataan.

   Bahwa selama digodok dalam gua dengan hawa dingin panas.

   ia berhasil memecahkan beberapa pelajaran sulit dalam kitab Thian-kong-pit-kip.

   Walaupun ilmu tersebut kebanyakan tergolong pada ilmu Nafas dan tampaknya tiada hubungannya dengan ilmu pukulan dan tutukan, tetapi otak Siau-liong yang cerdas segera dapat menyadari.

   Thian-kong-sin-kang adalah suatu ilmu ajaran yang mengutamakan Sin (semangat).

   Bahwa selama dalam gua tadi dengan susah payah ia berhasil memahami pelajaran2 tentang Semangat, Hati, Keinginan, Pikiran, Gerakan, Ketenangan, Kosong dan Isi.

   Mengapa saat itu ia tak menggunakan apa yang diketahui itu? Siapa tahu kemungkinan hal itu merupakan inti dari pelajaran Thian-kong-sin-kang.

   Maka tersenyumlah ia berkata.

   "Harap lo-siansu jangan menertawakan, berhati-hatilah!"

   Pada saat itu ia tetap bergerak dalam jurus Hun-hua-hudliu untuk mencengkeram pergelangan tangan kiri paderi Kim Ting. Tiba-tiba paderi Kim Ting tertawa gelak2.

   "Ho-la! Thiankong- sin-kang memang benar-benar bukan ilmu picisan!"

   Siau-liong terkejut sekali.

   Baru pikirannya merencanakan untuk mengembangkan Semangat, Hati, Keinginan, Pikiran dan lain-lain dalam jurus Hun-hua-hud-liu, tahu2 lengan kanan paderi itu telah dapat dicengkeramnya.

   Ia benar-benar tak menyadari bahwa lupa kalau sedang bergerak dalam jurus itu.

   Karena tercengang kejut ia sampai lupa untuk menggunakan tenaga menggenggam lengan orang.

   Paderi Kim Ting tertawa.

   Lengan kirinya tiba-tiba memancar tenaga dalam sehingga separuh tubuh Siau-liong terasa kesemutan dan tangan kanannya terlempar gemetar.

   Tangannya itu serasa diborgol dengan rantai.

   Kiranya paderi King Ting balas mencengkeram pergelangan tangannya.

   "Ho, dari kalah jadi menang!"

   Paderi itu tertawa keras.

   Siau-liong terkejut.

   Cepat ia kerahkan tenaga dalam ke arah pergelangan tangan.

   Tetapi walau pun kelima jari paderi itu amat kurus sekali, namun kuatnya tak kalah dengan baja.

   Karena Siau-liong menggempur dengan tenaga dalam, tenaga dalam itu terhalau balik dan hampir saja menghancurkan isi dadanya sendiri.

   "Habislah riwayatku sekarang!"

   Diam-diam Siau-liong menghela napas. Tiba-tiba paderi itu membentaknya.

   "Goblok! Apakah engkau tak tahu apa yang disebut Menyerang untuk menindas serangan? Adakah ilmu dasar itu tak dapat engkau gunakan?"

   Serentak Siau-liong seperti orang yang dibangunkan dari mimpi.

   Ia mengeluh dalam hati mengapa tak ingat akan cara itu.

   Maka cepat ia rentangkan kelima jari kiri dan menutuk dada lawan.

   Gerakan itu berlangsung serempak dengan Angan-angannya.

   Benar-benar suatu perpaduan antara keinginan dan Gerakan tangan.

   Karena terdesak, paderi Kim Ting terpaksa miringkan tubuh, Tetapi secepat itu kelima jari Siau-liong pun ditarik mundur lalu dirobah untuk memapas pergelangan tangan sipaderi.

   Paderi Kim Ting tertawa gelak2.

   Ia lepaskan tangan kirinya lalu mundur tiga langkah, serunya.

   "Bahan yang boleh dijadikan....!"

   Siau-liong tertegun. Ia merenungkan pertempurannya lawan paderi Kim Ting itu. Begitu bergebrak sudah dikuasai paderi itu. Bila paderi itu tak memberi petunjuk, mungkin ia tentu sudah kalah. Tiba-tiba paderi itu berkata pula.

   "Walaupun tak pernah berkelana di dunia persilatan tetapi kupercaya ilmuku Ih-kasin- kang itu pasti tak ada orang yang mampu bertahan sampai tiga jurus. Menilik usiamu yang masih muda tetapi mampu bertanding seri dengan aku, engkau benar tak mengecewakan dirimu sebagai pewaris Thian-kong-sin-kang Sejenak mengicup mata, paderi itu melanjutkan pula.

   "Karena belum tahu menang atau kalah, kali ini kulanggar peraturan untuk memberi ampun kepadamu. Tetapi jangan harap engkau mampu mendapat katak mustika itu....! lekas keluar dari gua ini!"

   Siau-liong malah maju selangkah lalu berlutut di hadapan paderi itu.

   ""Sungguh mataku tak dapat melihat gunung Thaysan, Bila perbuatanku tadi ada yang kurang ajar, harap losiansu sudi maafkan...."

   Saat itu ia telah menyadari tujuan paderi Kim Ting yang baik. Sambil memaki dirinya yang tolol, ia melanjutkan ucapannya menghaturkan terima kasihnya.

   "Atas petunjuk yang lo-cianpwe berikan, wanpwe.... ,"

   "Engkau keluar sendiri atau harus kuhalaumu? "

   Tukas paderi sakti itu dengan wajah beku. Siau-liong tertegun, sahutnya.

   "

   Biarlah aku pergi sendiri! Tetapi...." ia pelahan-lahan berbangkit, serunya.

   "Barang bekalku yang diambil oleh kedua sian-tong tadi, harap lo cianpwe suka mengembalikan!"

   "Masakan aku sudi mengambil barangmu!"

   Bentak paderi itu dengan marah seraya ayunkan tangannya.

   Saat itu Siau-liong sudah tak punya prasangka jelek kepada paderi Kim Ting.

   Dan pukulan paderi itu sama sekali tak mengeluarkan suara.

   Pada saat Siau-liong terkejut, tubuhnya sudah dilanda oleh gelombang tenaga dahsyat.

   Untunglah tenaga itu amat lunak sehingga tak melukai tubuh Siau-liong.

   sekalipun begitu Siau-liong terpental sampai lima enam tombak jauhnya....

   Ketika ia berdiri tegak barulah menyadari bahwa dirinya sudah berada di luar gua.

   Kedua bocah baju biru dan putih, melesat keluar gua.

   Dengan pandang dingin mereka menatap Siau-liong sejenak lalu menekan tepi pintu gua.

   Terdengar bunyi berderak-derak dan dari kedua tepi, meluncurlah sekeping pintu batu, menutup gua rapat2.

   Siau-liong menghela napas panjang.

   Ia tegak terlongonglongong.

   Tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya lembut.

   "Siau-liong! Siau...."

   Siau-liong terkejut dan berpaling.

   Ketika memandang seksama, kejutnya bukan kepalang.

   Tampak si dara Song Ling tegak di sampingnya sambil menatap dengan pandang bertanya.

   Sedang Kakek Mata-satu masih duduk dua tombak jauhnya dari pintu gua, tersenyum-senyum tak berkata apa2.

   Bertanya Siau-liong gopoh.

   "Nona Song, bagaimana dengan Ceng Hi totiang dan rombongannya. Saat ini...."

   Song Ling menunjuk ke sebelah jauh.

   "Mereka berada disana!"

   Sambil memandang ke arah yang ditunjuk si dara, Siauliong bertanya pula.

   "Apakah mereka tak bertempur lawan kedua suami isteri Iblis-penakluk-dunia?"

   Song Ling gelengkan kepala.

   "Agaknya tidak...." kemudian dara itu bertanya.

   "Bagaimana dengan katak berkaki-tiga? Apakah sudah engkau peroleh?"

   Siau-liong menghela napas.

   "Ah, paderi itu memang berwatak aneh sekali, sukar dirabah hatinya...."

   Dalam pada berkata-kata itu, ia sudah tiba dihadapan si Kakek Mata-satu. Ia lalu menuturkan semua pengalaman yang dialaminya. Song Ling kerutkan batang hidung.

   "Kalau begitu, paderi itu memang tak dapat diajak berunding dengan baik2. Dia tak mau memberikan katak mustika itu sih tak apa. Tetapi mengapa masih menahan barang2 orang dan menyiksa orang begitu rupa....!"

   Kemudian dengan pandang menggeram, dara itu berpaling ke arah kakek gurunya.

   "Bukankah sucou mengatakan sering mengunjungi dan bermain catur dengannya? Mengapa sucou tak menemuinya dan mendampratnya!"

   Siau-liong tertawa.

   "Tetapi paderi sakti itu memang tak kecewa sebagai seorang paderi yang luhur. Walaupun aku disiksa setengah hari dijebluskan dalam gua, tetapi aku memperoleh manfaat yang tak sedikit!"

   "Apakah dia memberi petunjuk ilmu silat kepadamu?"

   Tanya Kakek Mata-satu. Siau-liong mengangguk.

   "Boleh dianggap begitulah."

   "Apakah sekarang ia merasa akan mampu menghadapi keroyokan keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu?"

   "Ini.... ini aku tak berani memastikan. Dan lagi...."

   Siauliong banting kaki menghela napas.

   "Dan lagi, guruku dan lainlain tokoh masih dikuasai kedua suami isteri iblis itu. bahkan obat-obatan dan resep2 berharga pemberian guruku juga turut hilang.Sekalipun aku dapat melawan keempat pewaris ilmu sakti mitu, tetapi apa gunanya? Apakah suruh aku menjadi seorang murid yang mencelakai guru? Habis berkata hidungnyapun lembab, beberapa air mata menitik turun. Song Lingpun dengan cemas memegang ujung baju kakek gurunya.

   "Cousu-ya, harap engkau lekas mencari daya! Apakah engkau benar-benar tak memikirkan nasib ibuku?"

   Kakek Mata-satu itu mengelus-elus bahu si dara seraya menghiburnya.

   "Nak, jangan ributlah...."

   Kemudian memandang ke langit, kakek mata satu itu melanjutkan.

   "Sekarang hari masih pagi. Walaupun kedua iblis itu hendak mengadakan rencana apa saja, tetapi tentu akan menunggu sampai tengah malam. Baiklah kita tunggu saja bagaimana perkembangannya nanti. Kurasa paderi kurus itu tentu tak berhenti sampai disini. Mungkin...." ia mengeluselus jenggotnya yang panjang dan berdiam diri. Sepasang mata dara itu berkaca-kaca dan sandarkan kepalanya pada bahu kakek gurunya. Saat itu matahari sudah condong ke barat Siau-liong mempertajam pendengarannya. Dari atas puncak Kim Ting, terdengar suara batu berdebak-debuk berjatuhan tetapi tak terdengar suara orahg. Beberapa saat kemudian, bertanialah Siau-liong dengan heran.

   "Sedang sibuk apakah Ceng Hi totiang dan rombongannya itu?"

   "Sedang sibuk membuat panggung yang akan dipergunaKan Iblis-penakluk-dunia untuk mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai pemimpin dunia persiatan!"

   Sahut Kakek Mata-satu. Siau-liong terkejut.

   "Apakah Ceng Hi totiang takut mati sehingga rela diperbudak kedua iblis itu?"

   Kakek Mata-satu tertawa.

   "Justeru kebalikannya! Tindakan Ceng Hi totiang itu hanya sebagai siasat untuk menunggu bala bantuan...." kemudian menatap dengan pandang rawan ke arah Siau-liong, Kakek Mata-satu berkata pula.

   "Mereka telah melihat engkau masuk ke dalam gua maka seluruh harapan mereka tertumpah padamu. Yang mereka harapkan sebagai bala bantuan tak lain ialah engkau dapat mengajak paderi Kim Ting itu keluar dari guanya!"

   Siau-liong menghela napas.

   "Kalau begitu yang mereka harapkan, akan sia2 saja harapan mereka! Sedang katak berkaki-tiga saja dia tak mau memberikan apalagi disuruh keluar membantu!"

   Kakek Mata satu tetap tertawa.

   "Walaupun dengan cara menyiksa dirimu itu memang agak keterlaluan tetapi hal itu dapat membuatmu dalam waktu yang singkat, mengetahui pelajaran2 yang sukar dalam kitab Thian-kong-pit-kip. Bukankah itu berarti dia sudah memberi bantuan?"

   Siau liong terbeliak kaget.

   Diam-diam ia mengakui ucapan kakek buta itu memang tepat.

   Dipandangnya kakek itu tanpa berkata apa2.

   Tetapi dalam hati, penuhlah tanda tanya yang beraneka macamnya.

   Tiba-tiba terdengar suara berderak-derak.

   Siau-liong terkejut dan buru-buru memperhatikan ke arah gua.

   Pintu gua yang tadi menutup rapat, tiba-tiba berderak-derak terbuka pelahan-lahan.

   "Kutahu paderi kurus itu bukan manusia yang temaha pada harta orang .... (tak terbaca)...."

   Kakek Mata satu tersenyum Kedua bocah baju biru dan putih membawa beberapa barang dan dengan tersenyum simpul melangkah ke tempat Kakek Mata-satu.

   Bukan kepalang kejut Siau-liong saat itu.

   Yang dibawa kedua bocah itu bukan lain adalah barang2 miliknya ialah alat penyamaran sebagai Pendekar Laknat.

   Jelas kedua bocah itu telah membuka buntalannya dan mengeluarkan topeng berwajah Pendekar Laknat dengan rambut palsu, sepasang alis tebal dan sebuah hidung merah.

   Topeng berwajah Pendekar Laknat yang seram itu dibawa oleh sibocah baju biru.

   Begitu tiba di depan Siau-liong, kedua bocah itu lalu lemparkan benda itu sepotong demi sepotong, serunya.

   "Cobalah cocokkan, apakah ada yang kurang?"

   Sambil membawa topeng Pendekar Laknat, bertanyalah bocah baju biru.

   "Perlu apa engkau membawa benda begini macam? Apakah engkau hendak menyaru jadi setan untuk menakuti orang?"

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Siau-liong cepat merebut topeng itu, jawabnya.

   "Mengapa engkau berani sembarangan memeriksa buntelan bekalku?"

   Bocah baju biru terkesiap, serunya gopoh.

   "Sebuah topeng setan macam itu, siapa sudi mengambilnya!"

   Siau-liong tahu bahwa si dara Song Ling benci setengah mati kepada Pendekar Laknat.

   Apabila topeng itu sampai diketahui Song Ling tentu akan menimbulkan pertanyaan yang runyam.

   Maka cepat2 ia segera membungkusnya lagi.

   Tetapi terlambat.

   Song Ling sudah melihat semua.

   Cepat ia melengking.

   "Apa itu?"

   Siau-liong tertawa meringis.

   "Tidak apa2! Hanya barang permainanku dahulu!"

   "Berikan padaku!"

   Bentak Song Ling, seraya terus merebutnya. Siau-liong tak dapat berbuat apa2 kecuali membiarkan benda itu direbut si dara.

   "Rebutlah sepuas hatimu! Masakan benda macam muka setan begini, hendak kalian rebutkan?"

   Bocah baju biru tertawa mengikik. Sebaliknya bocah baju putih berkata kepada Kakek Matasatu.

   "Suhu tahu kalau engkau tentu sibuk hari ini maka beliau tak mau mengundangmu bermain catur!"

   "Benar,"

   Sahut Kakek Mata-satu.

   "aku harus menemaninya bermain-main sehari penuh. Sampaikan terima kasihku kepadanya!"

   Setelah saling bertukar pandang, kedua bocah itu segera minta diri.

   Karena topeng Pendekar Laknat direbut Song Ling, hati Siau-liong gelisah resah.

   Selekas kedua bocah itu pergi, buruburu ia memeriksa obat2 pemberian gurunya, Kongsun Sintho.

   Ia terkejut melihat bungkusan obat itu menyurut kecil sekali.

   Tentulah sudah dibuka orang.

   Dan lebih terkejut pula ketika ia membuka bungkusan itu.

   Obat2 pemberian gurunya telah lenyap semua.

   Dan pada buntelan itu hanya terisi sebuah ho-lou atau buli2 berwarna kuning emas.

   Dalam buli2 itu berisi 20 butir pil warna hitam.

   Dari kaget, berobahlah hati Siau-liong menjadi rasa girang yang tak terkira.

   Sambil memegang buli2 pil itu, ia berseru tersendat-sendat.

   "Ini.... ini...." - walaupun hatinya dapat menduga tetapi ia tak berani mengatakan dengan pasti. Kakek Mata satu tertawa, serunya.

   "Paderi seorang paderi luhur. Tak mungkin ia sampai hati melihat keadaan ini. Pil itu tentu pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan yang dibuatnya untuk diberikan kepadamu!"

   Sambil memandang ke arah gua yang pintunya sudah tertutup lagi, Siau-liong menyatakan hendak menghaturkan terima kasih kepada paderi itu. Tetapi Kakek Mata-satu menertawakannya.

   "Sejak kecil dia sudah masuk menjadi paderi. Dan saat ini dia sudah tak mau campur tangan urusan duniawi lagi. Perlu apa engkau menggaturkan terima kasih kepadanya?"

   Memandang kepada kakek itu, diam-diam Siau-liong membenarkan. Katanya dalam hati.

   "Ya, benar, paderi Kim Ting itu sudah tak menghiraukan urusan dunia lagi. Percuma menghaturkan terima kasih kepadanya. Lalu bagaimana caraku membalas budi kepadanya?"

   Berkata pula Kakek Mata-satu.

   "Paderi tua itu paling gemar bermain catur. Jika senggang akan kutemani dia bermain catur dan akan kukatakan kepadanya bahwa aku mewakili engkau untuk membalas budinya. Tetapi...." tiba-tiba ia berhenti sejenak lalu tertawa.

   "Aku mempunyai sebuah urusan yang hendak kuminta engkau meluluskan lebih dulu."

   "Apapan juga, harap lo-cianpwe bilang. Asal mampu melakukan, tentu akan kukerjakan sekali pun harus masuk ke dalam lautan api!"

   "Ah, tak begitu serius. Soal itu.... ,"

   Kakek Mata-satu tertawa penuh arti.

   "pokoknya tentu membawa kebaikan kepadamu. Tak perlu harus menerjang lautan api karena cukup aman."

   "Soal apakah itu?"

   Siau-liong makin heran. Kakek itu gelengkan kepala tertawa.

   "Rahasia alam tak boleh dibocorkan. Yang penting engkau mau meluluskan atau tidak?"

   Siau-liong memandang kakek itu makin tak mengerti.

   "Bilakah lo-cianpwe menghendaki aku melakukan hal itu?"

   "Paling cepat pun nanti setelah kedua suami isteri iblis itu sudah terbasmi!"

   Siau-liong mengangguk dan menyatakan persetujuannya. Dengan wajah mengerut serius, Kakek Mata-satu itu berkata.

   "Pernyataan dengan mulut, tiada jaminannya. Harap engkau mengangkat sumpah!"

   Tanpa banyak keraguan lagi Siau-liong terus mengikrarkan sumpah.

   "Apabila aku menyesal atas apa yang kusetujui itu, biarlah aku mati ditumpas Allah!"

   "Bagus!"

   Kakek Mata-satu tertawa.

   "sumpah itu cukup gawat dan dapat dipercaya!"

   Siau-liong tak menghiraukan hal itu.

   Ia percaya Kakek Mata-satu itu tentu bermaksud baik kepadanya Apalagi hal itu baru dilaksanakan setelah Iblis-penakluk-dunia terbasmi.

   Saat itu Siau-liong teringat akan si dara.

   Ketika melirik kesamping, dilihatnya Song Ling masih memandang topeng Pendekar Laknat dengan penuh perhatian dan kegeraman.

   Begitu Siau-liong melirik ke arahnya, cepat dara itu membuang topeng dan melengking.

   "Mengapa engkau memiliki benda ini? Apakah hubunganmu dengan Pendekar Laknat?"

   "Aku...."

   Siau-liong gugup. Song Ling deliki mata dan menuding Siau-liong dengan marah.

   "Apakah engkau muridnya?"

   Siau-liong gelengkan kepala menghela napas.

   "Aku bukan muridnya, dan lagi...."

   Song Ling melonjak dan meraung-raung seperti singa betina yang kehilangan anak.

   "Bagus! Engkau ternyata mengakui, engkau.... engkau.... ah. mataku sungguh buta!"

   Habis menumpahkan kemarahannya, dara itu terus menangis gerung-gerung. Siau-liong gopoh tetapi tak dapat berbuat apa-apa. Setelah dara itu berhenii menangis, barulah ia coba menghibur.

   "Nona, Pendekar Laknat sudah meninggal...."

   Song Ling terbeliak tetapi cepat mendengus dingin.

   "Ngaco! Kapankah dia meninggal?"

   Siau-liong menghela napas.

   "Dia sudah meninggal di dalam Lembah Penasaran di gunung Hongsan. sama sekali dia tak pernah muncul di dunia persilatan lagi." ia berhenti meragu sejenak lalu melanjutkan.

   "Yang muncul sebagai Pendekar Laknat di dunia persilatan itu sesungguhnya adalah aku sendiri...."

   "Kalau begitu yang bertempur dengan aku di lembah Mati dulu itu, juga engkau?"

   Siau-liong mengiakan.

   "Ya, aku terpaksa melakukan hal itu, harap nona maafkan."

   Song Ling duduk lagi seraya bertanya.

   "Apa perlumu engkau melakukan hal itu?"

   "Ah, panjang sekali kalau diceritakan,"

   Siau liong menghela napas.

   "pokoknya, walaupun aku dan dia tak mempunyai ikatan sebagai guru dan murid tetapi dalam kenyataan aku telah menerima pelajarannya. Jika dia tak mengorbankan hawa murninya selama berpuluh tahun untuk memberi penyaluran kepada tubuhku, tentulah aku sudah mati dalam Laut Penasaran itu. Dan jika dia tak menyalurkan tenaga murninya itu kepadaku, tentu belum meninggal...."

   Siau-liong berhenti sejenak lalu melanjutkaa pula.

   "Dan lagi walaupun dia disohorkan orang sebagai manusia laknat yang ganas, tetapi menurut pengamatanku, sebenarnya dia seorang tua yang berbudi luhur, seorang tua yang kesunyian hidupnya!"

   Sambil bercucuran airmata, Song Ling bertanya.

   "Tahukah engkau bahwa dia itu manusia yang membunuh ayahku?"

   Siau-liong menghela napas.

   "Bagaimana beliau mengikat permusuhan dengan nona, aku tak tahu. Tetapi aku selalu membedakan budi dan dendam. Pendekar Laknat telah melepas budi besar kepadaku. Sudah tentu aku wajib membalasnya. Tindakanku menyamar sebagai Pendekar Laknat, tak lain karena hendak memulihkan nama baik beliau dalam dunia persilatan. Agar beliau mendapat perindahan dan penghormatan dari kaum persilatan."

   Tiba tiba Song Ling berbangkit, bentaknya.

   "Engkau hendak membalas budi dan aku hendak membalas dendam! Oleh karena Pendekar Laknat sudah mati, maka perhitungan itu akan kuminta kepadamu!"

   Habis berkata nona itu terus mengangkat tangan hendak memukul. Melihat itu Kakek Mata-satu cepat ulurkan tangan melerai.

   "Ah, perlu apa harus begitu?"

   Sesungguhnya Song Ling tak bermaksud memukul Siauliong.

   Adalah karena menumpahkan kegeramannnya maka ia sampai marah begitu rupa.

   Setelah dicegah Kakek Mata-satu.

   cepat ia menarik pulang tangannya dan menangis tersedusedu.

   Kakek itu menghela napas panjang, ujarnya;

   "Karena Pendekar Laknat sudah mati maka dendam permusuhannya pun sudah habis...."

   Kemudian menunjuk pada Siau-liong, kakek itu melanjutkan pula.

   "Bahwa anak itu hendak membalas budi Pendekar Laknat, sungguh langkah yang patut dipuji...."

   "Apa yang patut dipuji . ,...."

   Dengus Song Ling. Kakek Mata-satu tertawa.

   "Nak, apakah engkau suka kalau dia menjadi seorang manusia yang tak tahu membalas budi!"

   Song Ling balikkan kelopak matanya.

   "Apa sangkut paut diriku denran dia. Mulai saat ini, aku takkan memperdulikannya lagi!"

   Dara itu terus palingkan muka. Kakek Mata-satu hanya geleng2 kepala. Katanya pula.

   "Tentang hubungan ibumu dengan Pendekar Laknat dahulu, mungkin engkau belum jelas. Maukah engkau mendengar ceritaku?"

   Song Ling terdiam sejenak lalu berseru.

   "Ceritakanlah!"

   Dengan permusuhan antara Randa Busan dengan Pendekar Laknat dan bagaimana ayah Song Ling sampai mati ditangan Pendekar Laknat.

   memang ingin sekali diketahui Siau-liong....

   Maka pemuda itu mendengarkan cerita sikakek dengan penuh perhatian.

   Setelah batuk2 sebentar, kakek Mata-satu itu berkata kepada Song Ling.

   "Dahulu ibumu itu seorang anak sebatang kara yang dibuang oleh orangtuanya. saat itu ia baru berumur tiga tahun dan menderita sakit keras seorang diri ditinggalkan dalam hutan.... Song Ling kerutkan alis dan cepat menyelutuk.

   "Kakek, jangan mengibuli aku!"

   Mata sikakek yang tinggal satu itu mendelik.

   "Masakan aku sampai hati membohongi engkau!"

   Song Ling tertegun . lalu tundukkan kepala. Kemudian kakek Mata-satu pun melanjutkan ceritanya lagi.

   "Pada waktu itu kebelulan Pendekar Laknat lewat di hutan situ. Ia tak sampai hati melihat seorang anak perempuan kecil terkapar diantara gunduk batu dalam keadaan menderita sakit parah. Diambilnya arak itu pulang. Keadaan ibumu saat itu benar-benar amat parah sekali. Hidupnya yang menderita kekurangan dan penyakit yang diidapnya begitu parah, lalu dibuang dalam hutan beberapa hari tak makan tak minum, didera hujan dan angin. menyebabkan ibumu tak mungkin ditolong jiwanya lagi.... Kakek itu berhenti menghela napas.

   "Melihat anak itu sudah meregang jiwa tetapi masih bernapas, Pendekar Laknat membawanya ke gunung Kun-lun yang jauh. untuk minta obat kepada Se Hong sanjin, seorang tabib sakti. Tetapi sungguh sial. Tabib itu sedang berkelana keluar, sehingga Pendekar Laknat tak dapat berjumpa. Ibumu benar-benar sudah tiada harapan tertolong lagi. Tetapi sekali pun begini, Pendekar Laknat tetap tak sampai hati untuk membuangnya. Sambil membopongnya, ia mondar mandir menghela napas panjang pendek...."

   Song Ling rentangkan sepasang biji mata dan bertanya.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kakek! Mengapa engkau tahu keadaan ibuku begitu jelas?"

   Kakek Mata-satu itu tersenyum, sahutnya! "Karena pada saat itulah aku berjumpa dengan mereka...."

   Mata sikakek tampak berkilat-kilat seperti mengenangkan peristiwa itu. Lalu ia melanjutkan pula.

   "Walaupun aku tak mengerti ilmu pengobatan, tetapi kebetulan aku masih mempunyai pil Kiu-cwan-koh-wan-tan pemberian si Tabib-sakti Se Hong saniin. Atas permintaan Pendekar Laknat, kuberikan kepadanya sebutir pil itu. Karena belum takdirnya mati, setelah minum pil itu, ibumu pun sembuh. Pendekar Laknat lalu membawanya pulang ke Hongsan. Karena wajahnya yang buruk dan menyeramkan maka Pendekar Laknat mengasingkan diri di gunung dan tak mau bergaul dalam masyarakat ramai. Beberapa tahun kamudian dalam asuhan dan rawatan Pendekar Laknat, anak perempuan itu cepat tumbuh dewasa. Beberapa belas tahun kemudian, anak itu sudah menjadi seorang gadis yang berumur 20-an tahun. Dalam masa yang begitu panjang itu, dari seorang anak perempuan yang tak tahu apa2, ibumu telah menjadi seorang gadis dewasa. Tetapi dia hidup dalam lingkungan alam pegunungan yang berpenghuni pohon dan binatang. Satusatunya manusia yang menjadi teman pergaulannya hanya Pendekar Laknat. Dalam pandangan ibumu, wajah buruk dari Pendekar Laknat itu tidak menyeramkan karena sudah biasa. Sejak kecil ia melayani Pendekar Laknat dan menganggapnya manusia biasa seperti dirinya. Bermula mereka hidup sebagai ayah dan anak. Umur Pendekar Laknat lebih tua 30 tahun. Tetapi ketika ibumu berumur 20 tahun, hubungan merekapun mengalami perobahan...."

   Kakek Mata-satu berhenti sejenak, menghela napas. Lalu melanjutkan ceritanya lagi.

   "Soal itu aku berani mengatakan pasti tentang diri Pendekar Laknat. Sekalipun ibumu merobah pandangannya kepada Pendekar Laknat, dari ikatan ayah dan anak menjadi cinta kasih wanita dan pria, tetapi selama itu Pendekar Laknat tetap tak mau melanggar garis2 terlarang...."

   Kembali kakek Mata-satu itu berhenti dan menghela napas rawan.

   "Mereka hidup dalam kesunyian dan ketenangan. Tetapi mereka merasa bahagia. Tiap hari mereka selalu berburu burung, mencari ikan. Hari2 dilewati dengan penuh kegembiraan. Sampai pada akhirnya, Pencekar Laknat telah melakukan suatu tindakan yang salah...."

   "Tindakan apa?"

   Karena tak sabar lagi, Song Ling cepat bertanya.

   "Tidak seharusnya Pendekar Laknat membawa ibumu melihat-lihat ke kota! Mungkin karena hendak mengambil hati ibumu supaya senang, atau mungkin karena lain sebab, maka Pendekar Laknat membawa ibumu turun ke dunia persilatan. Sebagai seorang gadis yang tak pernah bergaul dengan orang, segala yang dilihat dan dijumpai, selalu membuat ibumu heran, Kemudian ia menyadari bahwa dunia ini ternyata amat luas dan ramai. Sejak itu, pandangan ibumu terhadap Pendekar Laknatpun berobah. Mereka sering cekcok dan bertengkar. Sampai pada suatu hari, ibumu telah mengenal seorang pemuda she Song dan kedua saling intim...."

   Kembali kakek Mata-satu berhenti seraya geleng-gelengkan kepala.

   "Apakah dia.... ayahku...."

   Song Ling berseru gopoh.

   "Benar,"

   Sahut Kakek Mata-satu.

   "pemuda she Song itu adalah ayahmu. Ibumu memutuskan, untuk meninggalkan Pendekar Laknat dan lari bersama pemuda itu. Sekalipun Pendekar Laknat amat berduka atas peristiwa itu, tetapi dia dapat memaafkan ibumu. Dia menyadari bahwa hal itu memang tak dapat dicegah lagi. Maka ia tak mau mengejar dan lalu pulang ke gunung Hong-san. Sejak itu ia hidup dirundung duka. Walaupun ia dapat memaafkan ibumu, tetapi ia teiap tak dapat melupakan kenangan hari2 yang bahagia bersama ibumu. Sejak itu ia menjadi manusia pembenci dunia. Dia benci kepada seluruh manusia di dunia ini. Dua puluh tahun yang lalu, muncullah keempat momok Thian, Te. Liong, Hou atau Iblis-penakluk-dunia, Dewi Neraka, Harimau Iblis dan Naga Terkutuk. Dunia persilatan dilanda banjir darah. Mendengar itu, Pendekar Laknat pun turun gunung dan melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu. Baik tokoh golongan Putih maupun Hitam, dibunuhnya semua. Karena tindakannya yang ganas itu, maka oleh kaum persilatan, mereka dijuluki sebagai Lima Durjana. Sebenarnya, hanya suatu fitnah belaka bahwa Pendekar Laknat itu, membunuh secara membabi buta tanpa pandang bulu. Karena sesungguhnya yang dibunuh itu kebanyakan hanya kaum persilatan yang bejat moralnya. Dan selama itu tak pernah ia bergabung dengan keempat momok itu. Kemudian tampillah Ceng Hi toiang memimpin barisan orang gagah untuk menghalau Iblis-penakluk-dunia dan gerombolannya itu dari Tionggoan. Sejak itu, Pendekar Laknatpun pulang ke gunung Hongsan lagi. Dua tahun kemudian pada pertengahan musim rontok, ibumu dan pemuda Song itu telah menikah. Entah bagaimana, kedua suami isteri itu membawa puterinya yang masih bayi ialah engkau, menjenguk Pendekar Laknat di gunung Hong-san. Sebagai anak yang telah dirawat sejak kecil ibumu memang masih mempunyai ikatan batin kepada Pendekar Laknat sebagai ayah. Walaupun sudah menikah dengan lain orang namun ia masih tetap terkenang akan orang tua yang hidup sepi seorang diri di gunung itu. Maka diajaknyalah sang suami dan puterinya untuk menyambangi orang tua itu. Ia ingin menghibur orang tua yang telah melepas budi besar kepadanya. Tetapi kunjungan yang bermaksud baik itu telah menimbulkan peristiwa yang menyedihkan. Saat itu watak Pendekar Laknat memang sudah berobah. Dari seorang tua yang sabar dan murung dia telah menjadi seorang manusia yang pemarah dan gemar membunuh. Dia menafsirkan kedatangan ibumu bersama suaminya itu sebagai suatu tindakan untuk mengejeknya. Apalagi ayahmu yang masih muda itu memang berhati tinggi dan angkuh. Setitik pun dia tak memandang hormat kepada Pendekar Laknat. Dalam percakapan, timbullah salah faham dan karena sama ngototnya, mereka segera berkelahi...."

   Kakek Mata-satu menghela napas, berdiam Diri.

   "Begitulah Pendekar Laknat lalu membunuh ayahku?"

   Tanya si dara. Kakek Mata-satu mengangguk pelahan.

   "Jika Pendekar Laknat benar-benar sayang pada ibuku, tak seharusnya ia membunuh ayahku!"

   Song Ling menggeram pula. Namun nadanya agak berkurang bencinya kepada Pendekar Laknat. Kakek itu menghela napas.

   "Aku berani mengatakan, bahwa semula pendekar Laknat memang tiada maksud untuk membunuh ayahmu. Hal itu lebih cenderung kalau kesalahan tangan saja. Tetapi ibumu marah sekali dan seketika itu juga ia pergi dan bersumpah akan melakukan pembalasan. Sejak itu berulang kali ia menantang Pendekar Laknat supaya datang kepuncak Hong-san pada hari Tiong jiu (pertengahan musim rontok)'untuk menyelesaikan hutang darah itu. Tetapi Pendekar Laknat tak pernah datang! Dan pada tahun kematian suaminya itu, ibumu datang berguru kepadaku!"

   Selesai mendengar cerita kakek gurunya, Song Ling menutup matanya dengan kedua tangan dan menangis tersedu sedan.

   Siau-liong juga tergerak hatinya.

   Timbul rasa perindahannya kepada Pendekar Laknat.

   Tanpa disadari, ia telah mengenakan topeng Pendekar Laknat itu kemukanya.

   Song Ling tak berkata apa2.

   Tiba-tiba dilihatnya Siau-liong memakai topeng Pendekar Laknat.

   Seketika ia tertawa dan berseru.

   "Huh, seram sekali!"

   Siau-liong hanya tersenyum.

   Saat itu ia telah menyimpan pil pemberian paderi Kim Ting ke dalam bajunya.

   Dapat atau tidaknya ia menolong para tokoh2 yang ditawan Iblispenakluk- dunia itu, nanti malam akan ketahuan hasilnya.

   Saat itu sudah petang hari.

   Suasana dalam hutan pun makin sunyi dan menyeramkan.

   Tiba-tiba kakek Mata satu berkata kepada Siau-liong.

   "Saatnya sudah hampir tiba, Iblispenakluk- dunia dan Dewi Neraka itu...." tiba-tiba kata2nya terhenti oleh suara tertawa nyaring yang bergelombang di udara. Ah, itulah suara tertawa si Iblis-penakluk-dunia. Nyata dia sudah kembali ke puncak Kim Ting lagi.... Siau-liong menjurah di hadapan kakek Mata-satu dan berkata.

   "Musuh sudah menampakkan diri, untuk sementara ini terpaksa wanpwe hendak minta diri."

   Song Ling pun juga berbangkit dan berkala gopoh.

   "Cousuya, mohon cousu-ya suka membantunya menolong ibuku!"

   Kakek Mata-satu menarik tangan Song Ling;

   "Saatnya belum tiba, untuk sementara ini lebih baik kita menunggu saja bagaimana perobahannya." Lalu ia berkata kepada Siauliong.

   "Bertindaklah menurut gelagat. Jangan mengandalkan keberanian semata-mata lalu bertindak menurutkan kehendak kemarahan. Pergilah!"

   Siau-liong mengiakan lalu loncat kemuka dan lari mendaki ke puncak Kim Ting.

   "Apakah dia mampu menolong ibuku dan tokoh2 itu?"

   Tanya Song Ling dikala mengantar kepergian Siau-liong dengan pandang mata harap2 cemas.

   "Dia seorang pemuda yang berani, sakti dan pandai menyesuaikan diri,"

   Sahut kakek Mata-satu.

   "diapun telah menyadari betapa gawatnya peristiwa ini. Rasanya dia tentu dapat bertindak hati2 dan berhasil menunaikan tugasnya."

   "Mengapa kakek tak ikut menyertainya? Bukankah dia akan merasa lebih kuat?"

   Tanya si dara pula.

   "Ah, tampaknya memang begitu. Tetapi sesungguhnya dia akan dapat bertindak lebih leluasa apabila pergi seorang diri. Dengan kusertai, mungkin musuh cepat dapat mengetahui jejak kita."

   "Bagaimana kalau dia gagal?"

   Kata si dara pula dengan resah.

   "Kita hanya dapat berusaha dan tak dapat memastikan kalau berhasil. Namun setiap perbuatan baik, tentu diberkahi Allah. Ah, sudahlah, kita tunggu saja bagaimana perkembangannya!" ---ooo0dw0ooo--- Saat itu Cong Hi totiang dan rombongan yang berada dipuncak Kim Ting, gelisah resah pikirannya.... Walaupun Soh Beng Ki-su berulang kali mendesak supaya cepat2 menyelesaikan pembuatan panggung itu, tetapi Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah itu tetap hendak mengulur waktu. Dengan segan2 mereka mengusung batu2 besar. Maka sampai hari sudah petang, panggung itu belum juga selesai. Serempak dengan suitan yang memecah angkasa itu, kedua suami isteri Iblis penakluk-dunia pun memimpin berpuluh anak buahnya, kembali kepuncak. Melihat hasil pembuatan panggung, Iblis-penakluk-dunia membentak.

   "Lekas panggil Ceng Hi si imam tua itu kemari!"

   Soh Beng Ki-su segera membentak.

   "Imam hidung kerbau, apakah engkau tuli?"

   Ceng Hi totiang terpaksa maju dua langkah tetapi tak berkata apa2. Iblis-penakluk-dunia membentaknya.

   "Oleh karena cita2 untuk memimpin dunia persilatan sudah terlaksana, maka aku selalu bermurah hati kepada orang. Tak mau membunuh orang yang tak bersalah. tetapi mengapa engkau malah menentang perintahku?"

   Saat itu hati Ceng Hi totiang amat gelisah sekali.

   Siau-liong yang sudah berjam-jam masuk ke dalam gua menemui paderi Kim Ting, sampai saat itu belum juga keluar.

   Dan saat itu adalah detik-detik yang menentukan.

   Rasanya kecuali harus berjuang sendiri, tiada lain jalan lagi.

   Setelah mantap dengan keputusan itu, ia segera berpaling ke arah rombongan orang gagah.

   Tampak mereka berdiam diri semua tetapi wajahnya menampil kerut kedukaan dan kemarahan.

   Jelas mereka hanya menunggu komando.

   Begitu ia memberi perintah, segera mereka akan menyerbu.

   Tetapi Ceng Hi totiang cukup jelas akan kekuatan lawan dan fihaknya.

   Memberi komando penyerbuan, berarti menyuruh mereka mengantar jiwa.

   Dengan pertimbangan itu, ia bersangsi sehingga tak dapat menjawab kata2 Iblis-penakluk-dunia.

   Melihat Ceng-Hi diam saja, Iblis-penakluk-dunia membentaknya.

   "Hm, rupanya engkau benar-benar sudah bosan hidup?"

   Ceng Hi totiang menyadari bahwa saat itu ia sudah tak dapat mengulur waktu lagi.

   Dia tak rela membiarkan Iblis penakluk-dunia menguasai dunia persilatan.

   Ia tak mau diperintah oleh gerombolan iblis itu.

   Maka tiada lain pilihan lagi kecuali harus bertempur....

   Lebih baik pecah sebagai ratna dari pada hidup bercermin bangkai! Pada saat ia hendak memberi komando kepada rombongannya, tiba-tiba sesosok tubuh melayang dari udara dan tahu2 meluncur di tengah2 Ceng Hi dengan Iblispenakluk- dunia.

   Ketika melihat siapa yang muncul itu, sekalian orang berteriak kaget.

   Dengan girang Ceng Hi totiang segera maju selangkah dan berseru.

   "Pendekar Laknat, dalam pertempuran di barisan pohon tempo hari, mengapa saudara pergi dengan membawa luka? Telah kusuruh orang untuk mencari kesegenap penjuru tetapi tak berhasil...."

   Tiba-tiba Iblis-penakluk-dunia tertawa nyaring dan berseru.

   "Tong Siau-liong, engkau sungguh pandai bermain sandiwara...."

   Sejenak berhenti, iblis itu mengertek gigi dan berseru pula.

   "Jika kali ini engkau mampu lolos dari tanganku, aku akan tinggalkan Tionggoan selama-lamanya!"

   Sekalian tokoh yang hadir disitu terbeliak kaget.

   Benarbenar mereka tak mengerti mengapa Iblis-penakluk-dunia menyebut Pendekar Laknat sebagai Siau-liong.

   Di antara mereka adalah Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tongpay segera maju menghampiri dan memandang bayangan punggung Siau-liong dengan lekat.

   Siau-liong sendiri pun juga tak kurang kejutnya.

   Ia duga Iblis-penakluk-dunia tentu sudah mengetahui rahasianya.

   Tetapi karena Iblis itu menelanjangi dirinya dimuka sekalian banyak tokoh iapun merasa tak enak juga.

   "Iblis tua!"

   Teriaknya dengan marah.

   "hari akhirmu sudah tiba, jangan...."

   Iblis-penakhak-dunia menukas tawa.

   "Benar, memang hari ini bakal ada orang yang akan habis riwayatnya! Tetapi engkau harus tahu siapakah orang itu...." -sejenak ia keliarkan mata lalu melanjutkan pula.

   "aku menyesal mengapa tempo hari tak membunuhmu. Tetapi sekarang engkau mau bicara apa saja, pokok jangan harap engkau mampu lolos dari tanganku!"

   Siau-liong memancar pandang lalu gunakan ilmu Menyusup-suara berkata.

   "Iblis tua, memang tak salah kalau engkau menyesal bahwa dulu engkau tak membunuh aku. Sekarang menyesal pun tiada gunanya!"

   Iblis-penakluk-dunia tertawa nyaring.

   "Untuk membunuhmu adalah semudah membalikkan telapak tanganku. Kecuali engkau sudah mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang itu dengan sempurna. Tetapi betapapun cerdasmu, paling sedikit engkau harus menggunakan waktu setengah tahun untuk mempelajarinya. Oleh karena itulah maka beberapa kali kusengaja memberimu jalan hidup!"

   Masih dengan ilmu Menyusup suara, Siau-liong menjawab.

   "Aku orang she Tong tak sudi menerima kebaikanmu itu. Bahwa engkau tak mau membunuh aku itu bukan lain karena engkau hendak merencanakan berbagai siasat untuk menipu aku supaya mau memberikan pelajaran ilmu Thian-kong sinkang!"

   Iblis penakluk dunia membentak bengis.

   "Aku dapat menangkapmu hidup2 dan membiusmu supaya hilang kesadaran pikiranmu...."

   Kemudian ia menunjuk ke arah Kongsun Sin-tho dan beberapa tokoh lainnya.

   "Seperti mereka itulah contohnya. Masakan engkau tak mau mengatakan ilmu pelajaran itu?"

   Siau-liong tertawa.

   "Sudah tentu hal itu engkaulah yang paling tahu. Di dunia ini hanya orang yang faham ilmu Thiankong- sin-kang itulah yang akan menundukkan engkau. Segala ilmu iblis yang engkau gunakan tak mampu menyesatkan pikiranku...."

   Berhenti sejenak, Siau-liong berkata pula.

   "Jangan mengira kalau dalam waktu setengah tahun itu engkau mampu menipu aku supaya menerangkan pelajaran itu. Ho, engkau salah hitung dan harus membayar dengan jiwamu!"

   Dengan marah Iblis-penakluk-dunia berteriak nyaring.

   "Semua tokoh2 sakti dalam dunia telah kukuasai. Masakan usaha yang sudah berhasil itu mampu engkau gagalkan?" habis berkata ia terus gerakkan ruyung dan membentak kawanan Baju hitam yang berada dibelakang.

   "Lekas tangkap budak itu. Bunuh saja kalau melawan!"

   Dua orang Baju Hitam pun segera menerjang maju.

   Pakaian keduanya warna hitam dan mukanya pun mengenakan kerudung hitam, hanya bagian mata yang diberi lubang.

   Yang seorang tinggi dan seorang pendek.

   Mereka tak lain adalah Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin! Secepat kilat mereka bergerak menghantam dari kanan dan kiri.

   Siau-liong diam saja.

   Secepat kedua pukulan mereka tiba, barulah ia berteriak keras dan gerakkan kedua tangannya menyongsong.

   "Bum. bum".... terdengar letusan keras disusul dengan hamburan pasir dan pecahan batu. Siau-liong tetap tegak ditempatnya sedang Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin terhuyung-huyung lima enam langkah jauhnya. Sorak-sorai menggemuruh dari mulut rombongan orang gagah! Siau-liong sendiri masih tegak termangu ditempatnya. Kiranya dalam waktu setengah hari, Siau-liong berhasil mengetahui bagian yang paling sukar dari kitab Thian-kongsin- kang. Gerakannya telah mencapai tataran, bersatu dengan angan2nya. Apa yang diangan-angankan, tangannyapun sudah bergerak. Iblis-penakluk-dunia pucat. Berpaling ke arah isterinya, ia lecutkan lagi ruyungnya memberi isyarat. Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san yang berdiri di sampingnya segera loncat menyerbu Siau-liong. Setelah dipukul mundur oleh Siau-liong, Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin termangu. Tetapi pada lain saat mereka menggerung lalu maju menyerang lagi. Bermula Siau-liong tak tahu sampai dimanakah kemajuan ilmunya yang telah dicapai. Tetapi setelah mengetabui bahwa ia mampu memukul mundur Lam-hay Sin ni dan Jong Leng lojin, kepercayaan pada dirinya makin besar. Ia segera menyambut serangan Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin dengan pukulan yang bertubi-tubi hingga mereka terpaksa mundur lagi. Tetapi selekas Kongsun Sin tho dan Randa Bu-san ikut menyerang, situasinya berobah. Siau-liong tersentuh hatinya ketika melihat gurunya. Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san mengenakan pakaian seragam biru dan kepalanya ditutup dengan kerudung hitam. Adalah karena terharu melihat keadaan gurunya dan kuatir nanti melukainya, maka gerakan Siau-liong pun agak lambat dan pukulannya juga terpancang. Kebalikannya Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san menyerangnya dengan kalap. Setiap pukulan selalu menggunakan jurus yang ganas dan mematikan. Tampaknya mereka amat bernapsu untuk membunuh Siau-liong. Demikian pewaris2 dari lima aliran ilmu sakti, saling berbaku hantam dengan seru. Deru angin yang menyambarnyambar, menghamburkan debu dan pasir yang bertebaran menutup sekeliling mereka sehingga sekalian orang sukar melihat bayang2 mereka. Menyaksikan Pendekar Laknat mampu menghadapi keempat tokoh sakti itu dan kepandaiannya jauh lebih maju ketika bertempur dibarisan Pohon Bunga dilembah Semi tempo hari, girang Ceng Hi totiang bukan kepalang. Sekalian orang benar-benar terpesona menyaksikan pertempuran paling dahsyat dalam jaman itu. Mereka terlongong-longong.... Kelima orang itu makin lama makin menggila. Debu dan pasir serta pecahan batu berhamburan mencurah seperti hujan. Angin dan letupan benturan pukulan tak henti2nya berdentang2! Setelah berpuluh jurus menghadapi keempat tokoh sakti itu, Siau-liong makin tenang. Dia makin mengetahui sampai dimana kepandaiannya saat itu. Ternyata bukan saja ia mampu melayani mereka, pun bahkan masih ada sisa untuk balas menyerang. Pula iapun menyadari mengapa Thian kong-sin-kang merupakan ilmu nomor satu dari kelima ilmu sakti itu. Sejak dijebloskan dalam gua oleh paderi Kim Ting, berkat menumpahkan seluruh pikirannya, dapatlah ia mengetahui rahasia dari ilmu Thian kong-sin-kang yang berintikan semangat sebagai pusat penggerak. Bagi yang melihat, serangan keempat tokoh itu tak mungkin dihindari. Tetapi bagi Siau-liong, serangan meieka itu amatlah lambat. Dengan enak sekali ia dapat melihat jelas gerak-serangan setiap lawannya serta tenaga mereka. Dengan demikian mudahlah ia menangkis dan balas menyerang. Maka betapa deras dan dahsyat keempat tokoh itu, namun tak dapat melukainya sama sekali. Tetapi hatinya resah bukan, kepalang. Pertama, karena keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu telah dikuasai oleh Iblis-penakluk-dunia. Dan kepandaian yang dicapainya, pun hanya tiba cukup untuk bertanding serie dengan mereka. Dengan demikian sukarlah kiranya ia hendak meminumkan pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan itu kepada mereka. Kecuali ia dapat menawan hidup keempat tokoh itu, tentu tak mungkin ia dapat mengobati mereka. Tetapi keempat tokoh itu amat sakti, sekali salah gerak, dirinya bisa celaka sendiri. Apabila mereka berempat serempak mengeroyok Betapa dahsyatnya, dapat dibayangkan. Siau liong tak tahu, sampai kapan pertempuran itu akan selesai. Mungkin seribu jurus pun takkan rampung. Iblis-penakluk-dunia tahu jelas keadaan itu Kegelisahannya lebih besar dari Siau-liong. Mereka benar-benar tak mengerti mengapa dalam waktu yang begitu singkat, Siau-liong sudah mencapai kemajuan yang begitu pesat dalam mempelajari ilmu Thian kong-sin-kang. Tetapi kedua suami isteri iblis itu tak sempat memikirkan diri Siau-liong lagi Saat itu mereka harus lekas berdaya untuk menghadapi suasana yang gawat itu. Saat itu masih ada Naga Terkutuk dan Harimau Iblis serta rombongan It Hang totiang yang masih dikuasainya. Mereka merupakan barisan tenaga yang akan menindas Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah. Tetapi Ceng Hi totiang berpendapat, tak mau gegabah turun tangan. Menang atau kalah, hanya tergantung kepada Pendekar Laknat yang menempur keempat tokoh sakti itu. Jika Ceng Hi ikut bergerak, ia kuatirakan mengganggu pikiran Pendekar Laknat. Oleh karena itu Ceng Hi menahan diri dan menunggu perkembangan selanjutnya. Dalam pada itu Siau-liong pun memeras otak untuk mencari jalan. Bukan untuk mengalahkan atau melukai keempat lawannya, melainkan untuk mencari jalan bagaimana dapat meminumkan pil. Hanya dengan begitu dapatlah si tuasi berobah menuju ke arah kemenangan. Tetapi Kongsun Sin-tho dan keempat pewaris ilmu sakti itu menyerang dengan ketat dan hebat sehingga memaksa Siauliong bertempur serie. Dalam beberapa kejab saja mereka telah bertempur sampai 500 jurus. Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah cemas sekali. Jika Siau liong sampai kalah, tentu Iblis-penakluk-dunia akan memperoleh kemenangan besar. Semua orang gagah tentu akan dibasminya. Bagi Ceng Hi totiang, matipun tak soal tetapi bagaimana dengan nasib dunia persilatan nanti? Tiba-tiba Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay menghampiri Ceng Hi totiang dan berbisik.

   "Totiang, menilik keadaannya...."

   "Bukankah saudara Toh menghendaki aku supaya memberi perintah untuk menyerbu?"

   "Meskipun kepandaian Pendekar Laknat maju pesat sekali tetapi menghadapi keempat tokoh sakti itu, mungkin...."

   Baru Toh Hun-ki berkata begitu, tiba-tiba Iblispenaklukdunia gentarkan cambuknya beberapa kali.

   Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Getaran itu menimbulkan bunyi yang amat tajam sehingga Siau-liong yang sedang bertempur pun mendengarnya juga.

   Dan keempat tokoh yang mengeroyok Siau-liong itu, tibatiba tambah menyala semangatnya.

   Cambuk itu merupakan perintah kepada mereka dan menyeranglah mereka dengan jurus2 yang ganas.

   Siau-liong terkejut....

   Sesaat ia menjadi sibuk tak keruan dan pontang panting bertahan diri.

   Tiba-tiba setelah melakukan serentetan serangan maut keempat tokoh itu serempak loncat mundur beberapa tombak, memandang Siauliong tanpa berkata sepatah pun....

   Kemudian mereka mundur ke belakang Iblis-penakluk-dunia dan tegak berdiri seperti patung.

   Iblis-penakluk dunia sengaja memperdengarkan tertawa gelak lalu melangkah ke muka Siau-liong.

   serunya.

   "Budak! Kepandaianmu maju pesat sekali...." lalu dengan mata berkilat-kilat ia berseru pula.

   "Dengan begitu tambah mantaplah keputusanku untuk melenyapkan engkau!"

   Siau-liong menggerung marah.

   "Akupun memutuskan untuk membasmimu juga!"

   Iblis-penakluk-dunia tertawa tak acuh.

   "Lihat saja siapa yang lebih beruntung...." kemudian ia kerutkan wajahnya dan membentak.

   "Sebelum tengah malam nanti, di puncak Giok-li-hong dibawah puncak Kim-ting ini akan kusaksikan engkau masuk ke dalam perangkap. Baik engkau mau datang kesitu atau tidak, apa yang kukatakan ini pasti akan terjadi pada dirimu. Hanya...."

   Matanya mengeliar seram dan melanjutkan lagi.

   "Tidak sampai tengah malam nanti. ya. ketahuilah bagaimana siasatku yang ganas. Takkan memberi ampun sama sekali!"

   "Andaikata aku tak pergi, mau apa engkau!"

   Bentak Siauliong marah.

   "Dalam hal itu engkau harus memikir panjang. Tiau Bokkun, Mawar Putih dan Kongsun Sin-tho, Randa Bu-san dan semua lokoh2 yang telah kutawan, satu demi satu akan kubunuh semua."

   Iblis-penakluk-dunia tertawa ibiis.

   "Tak mungkin engkau berani....!"

   Siau-liong menggembor seraya hantamkan kedua tangannya.

   Saat itu mereka terpisah dua tiga meter.

   Ilmu Thian-kong sin-kang yang dimiliki Siau-liong sudah mencapai apa yang disebut dapat digerakkan menurut kehendak hatinya.

   Tetapi Iblis penakluk dunia sudah siap2.

   Maka ia tak berani maju lebih dekat.

   Namun tetap ia terkejut ketika menyaksikan gerakan Siau-liong yang begitu cepat.

   Buru-buru ia menyurut mundur sambil dorongkan kedua tangannya menangkis.

   Maksud Siau-liong, sekali pukul ia hendak menghancurkan iblis itu.

   Tetapi ia terkejut ketika iblis itu dapat menyurut mundur begitu cepat.

   Pukulan iblis itupun dapat menahan dirinya yang hendak menyerbu maju.

   Mau tak mau ia terlongong heran, pikirnya.

   "Rupanya kepandaian iblis itu maju pesat juga. Aneh...."

   Tiba-tiba Iblis-penakluk-dunia tertawa gelak.

   "Aku telah memiliki keempat ilmu sakti itu. Sekalipun berkelahi satu lawan satu, akupun dapat melayanimu sampai ratusan jurus. Apalagi...." ia menunjuk ke belakang dan berkata pula.

   "Kalau tak sampai lima jurus saja, tak perlu kuperintahkan mereka maju. Sebaliknya dari itu, sekali kuberi perintah, keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu tentu akan mati-matian menyerbumu. Tak mungkin engkau dapat menyerang aku!"

   Siau-liong menyadari bahwa ucapan iblis itu memang tidak bohong. Hatinya makin mengeluh dan terpaksa ia menghela napas panjang. Sambil mengerut jenggotnya yang menjulai kedada, Iblispenakluk- dunia itu tertawa menghina.

   "Telah kukatakan, usahaku untuk menguasai dunia persilatan sudah berhasil. Oleh karenanya aku tak mau menumpahkan darah lebih banyak lagi. Asal sebelum tengah malam nanti engkau mau memenuhi undanganku untuk memberikan ilmu Thian-kongsin- kang itu kepadaku, bukan saja Tiau Bok-kun, Mawar Putih tentu akan kuserahkan kepadamu, bahwa Kongsun sin-tho dan kawanan orang gagah yang menjadi tawananku itu juga akan kubebaskan. Ketahuilah aku bukan manusia yang tak dapat dipercaya. Kalau tidak...."

   Berhenti sejenak, ia berkata pula.

   "Bukan saja engkau tak mau lari dan jaringanku itu, pun Ceng Hi si imam tua dan rombongannya itu, akan kulenyapkan dari muka bumi!"

   Kembali Siau liong dihadapkan sebuah soal yang sulit.

   Sesaat ia tak dapat berkata apa2.

   Pada saat Siau-liong sedang termenung, se-konyong2 Iblispenakluk- dunia maju dua langkah dan secepat kilat menyambar muka Siau-liong.

   Karena sedang termenung dan lengah perhatian, gerakan Iblis-penakluk-dunia yang dilakukan cepat sekali itu tak sempat lagi dihindari Siau-liong.

   Seketika kedok muka Pendekar Laknat yang menutup mukanya itu, terjambret oleh Iblis-penakluk-dunia.

   "Budak!"

   Iblis-penakluk-dunia tertawa keras.

   "kedok permainan anak2 ini memang dapat mengelabuhi orang lain tetapi tak mungkin dapat menipu aku...."

   Ia menutup kata2nya dengan tertawa kumandang yang menggetarkan langit.

   Dalam pada tertawa itu Iblis-penakluk-dunia pun niengisar ke samping Dewi Neraka dan membisiki beberapa patah kata lalu mengajaknya turun dari puncak Kim Ting.

   Keempat pewaris ilmu sakti dan tokoh2 yang merjadi kaki tangan Iblis-penakluk-dunia pun segera berbondong-bondong mengikutinya.

   Siau liong tegak termangu beberapa saat.

   Akhirnya pelahan-lahan ia berputar tubuh lagi.

   Oleh karena kedok mukanya sudah copot, ia merasa malu menghadapi Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah.

   Ceng Hi totiang maju dua langkah dan berseru.

   "Pendekar Lak...." -tiba-tiba ia tersentak melihat wajah Siau-liong dan cepat2 berganti nada.

   "Kongsun siauhiap...."

   Siau liong gelengkan kepala berkata dengan nada menyesal.

   "Ah, aku telah membohongi saudara2 sekalian. Tetapi hal itu...."

   Ceng Hi totiang goyangkan tangan. ujarnya.

   "Tak perlu Kongsun siauhiap menerangkan, akupun samar2 sudah dapat menduga. Walaupun Pendekar Laknat disohorkan sebagai seorang pembunuh yang berdarah dingin tetapi kutahu bahwa sebenarnya dia seorang manusia yang berhati baik...."

   Sikasar Lu Bu-ki pun melangkah maju dan menyelutuk.

   "Kongsun siauhiap, sungguh tak kira kalau Pendekar Laknat itu ternyata engkau sendiri! Aku adalah pengagum Pendekar Laknat, entah apakah dia...."

   Siau-liong menghela napas rawan.

   "Beliau sudah meninggal...."

   Kemudian ia menuturkan tentang peristiwa yang dialammya ketika berjumpa dengan Pendekar Laknat di dalam gua gunung. Sekalian orang yang mendengar cerita itu tak ada yang tak terharu. Toh Hun-ki menghampiri ke samping Siau-liong dan berkata.

   "Kongsun siauhiap, sekalipun pada pertempuran dengan Iblis penakluk-dunia tadi belum selesai, tetapi tentulah nyali iblis itu sudah berantakan. Menurut hematku, saat ini telah terjadi perobahan. Nasib dunia persilatan, hanya tergantung pada Kongsun siauhiap seorang! Kita harus gunakan siasat untuk melenyapkan pengacauan Iblis-penakluk dunia!"

   Saat itu sekalian orang gagah mencurah pandang ke arah Siau-liong dengan perasaan kejut2 girang.

   Diantaranya yang paling girang sendiri adalah To Kiu-kong, ketua partai Kaypang....

   Betapa pun halnya, pewaris ilmu sakti Thian-kong-sinkang itu adalah cousu-ya dari partai Kay-pang.

   Maka tergopohlah ia menyiak para orang gagah dan maju ke muka Siau-liong.

   Serta-merta ia hendak berlutut sembari mengucap.

   "Cousu-ya...."

   Siau-liong buru-buru memapahnya bangun dan tertawa tersipu-sipu.

   "Kiu-kong, jangan berlaku begitu!"

   To Kiu-kong sejenak memandang sekalian orang gagah lalu berdiri di samping Siau-liong.

   Tampaknya ia bangga mempunyai seorang cousu-ya sebagai Siau-liong.

   Selekas Iblis-penakluk-dunia dan gerombolannya terbasmi, tentulah kedudukan partai Kay pang akan terangkat tinggi.

   Siau-liong memandang ke arah ketua Kong-tong-pay, tibatiba ia berseru.

   "Apakah Toh lo-enghiong tahu she dan namaku yang sebenarnya?"

   Tanpa ragu2 lagi, Toh Hun-ki menyahut.

   "Kongsun siauhiap sebenarnya orang she Tong. Hal itu bukannya aku tak tahu."

   Siau-liong tertawa rawan.

   "Bagus, tetapi entah apakah saudara masih ingat akan janji saudara ketika di Lembah Maut itu?"

   Sejenak ketua Kong-tong-pay itu berpaling memandang keempat Su-lo yang berada dibelakangnya lalu menjawab.

   "Janjiku sekokoh gunung. Begitu gerombolan Iblis-penaklukdunia sudah terbasmi, aku bersama keempat suteku segera mengantarkan Kongsun siauhiap kegunung Hong-san. Dihadapan makam Tong Gun-liong, kami akan membunuh diri agar Kongsun siauhiap dapat menunaikan bhakti kepada ayahmu."

   Keempat Su-lo itu tak berkata apa2. Tetapi wajah mereka tampak tenang sekali. Siau-liong menghela napas, lalu beralih kata kepada Ceng Hi totiang.

   "Saat ini malam baru mulai. Kalah atau menang, tergantung nanti tengah malam...."

   Ia berhenti sebentar lalu berkata pula.

   "harap Ceng Hi totiang dan sekalian orang gagah beristirahat disini Aku hendak menemui kakek Matasatu untuk merundingkan siasat menghadapi musuh nanti!"

   Ceng Hi totiang serta-merta mempersilahkan Siau-liong pergi dan ia berjanji akan menunggu disitu.

   Siau-liong segera lari menuju ketempat Kakek Mata-satu dan Song Ling.

   Saat itu rembulan belum muncul.

   Cuaca pun masih gelap.

   Siau-liong hati-hati sekali lari sepanjang jalan.

   menguatirkan kemungkinan Iblis penakluk-dunia memasang jerat untuk menangkapnya.

   Diapun tak tahu adakah Kakek Mata-satu dan si dara Song Ling masih berada ditempatnya semula.

   Tetapi ketika hampir tiba ditempat itu, ia mendengar suara orang bercakap-cakap diseling gelak tertawa.

   Dalam percakapan itu, kecuali suara kakek Mata-satu dan Song Ling, masih terdapat pula seorang lain.

   Dan rasanya ia sudah kenal dengan nada suara orang itu.

   Ketika makin dekat, benar juga ditempat Kakek Mata satu duduk, terdapat lagi seseorang.

   Seorang wanita baju merah.

   Siau-liong berdebar tegang.

   Cepat ia lari menghampiri.

   Ah, memang benar.

   Disamping Kakek Mata-satu dan Song Ling, memang terdapat seorang wanita baju merah.

   Dia bukan lain ialah Poh Ceng-in, pemilik Lembah Semi.

   Siau-liong tertegun dan hentikan larinya.

   Benar-benar ia heran.

   Nona pemilik Lembah Semi itu telah dilepaskannya, mengapa tiba-tiba datang kesitu? Adalah dia dijadikan umpan oleh ayahnya, Iblis-penakluk-dunia? Kakek Mata-satu memandang Siau-liong yang berdiri setombak jauhnya lalu menegur.

   "Apakah dalam pertempuran dipuncak Kim-ting, Iblis-penakluk-dunia sudah dipukul mundur?"

   Dengan masih tetap memandang ke arah Poh Ceng-in, Siau-liong menjawab tawar.

   "Memukul mundur saja, tidak berguna. Harus membasmi gerombolan Iblis-penakluk-dunia itu barulah dunia persilatan akan terbebas dari bahaya selama-lamanya!"

   Karena hatinya dirangsang dendam kemarahan, maka nada Siau-liong pun amat tajam.

   Dan lagi iapun hendak menyelidiki reaksi dari Poh Ceng-in.

   Diluar dugaan Poh Ceng-in diam saja.

   Seolah-olah tak mempunyai sangkut-paut dengan Iblis-penakluk-dunia.

   Dengan sinar mata redup, nona itu memandang Siau-liong lalu tundukkan kepala tak bicara apa2.

   Siau-liong benar-benar bingung.

   Mengapa Song-Ling mau mengenal Poh Ceng-in? Bukankah dara itu tahu bahwa Poh Ceng-in puteri dari Iblis-penakluk-dunia dan dewi Neraka? Mengapa Song-Ling mau duduk bersamanya? Tiba-tiba Siau-liong merasa bahwa sikap Song Ling agak berbeda terhadap dirinya.

   Seharusnya kedatangannya itu tentu disambut si dara dengan berbagai pertanyaan.

   Paling tidak tentu akan menanyakan tentang mamahnya.

   Tetapi mengapa saat itu si dara diam saja? Dilihatnya dara itu kerutkan alis dan duduk ditengah-tengah antara Kakek Mata-satu dengan Poh Ceng-in.

   
Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sama sekali dara itu tak mau memandang kepadanya.

   Siau-liong memperhatikan bahwa sekalipun dara itu tak mengunjuk senyum tetapi pun tidak menampilkan kerut kemarahan.

   Dia duduk berjajar dengan Poh Ceng-in dan bersikap diam seperti umumnya seorang cadis.

   Tengah Siau-liong terheran-heran, Kakek Mata-satupun tertawa.

   "Apakah Kongsun siauhiap sudah mempunyai rencana untuk membasmi Iblis-penakluk-dunia?"

   Siau-liong menghela napas.

   "Membasmi suami isteri iblis itu tidak sukar, tetapi yang sukar...." memandang Poh Ceng-in, ia berhenti berkata. Kakek Mata-satu hanya tersenyum simpul tetapi tak bilang apa2. Tiba-tiba Poh Ceng-in membisiki telinga Song Ling. Setelah saling berpandangan keduanya lalu tertawa mengikik. Siau liong benar-benar bingung. Dipandang dari sudut apapun juga, tak mungkin Song Ling mau bersahabat dengan wanita semacam Poh Ceng-in. Apalagi mereka baru saja berkenalan. Cepat Siau-liong menyadari bahwa nada ketawa kedua wanita itu tidak wajar Walaupun Poh Ceng-in berusaha untuk menutupi getaran hatinya, namun dari nada tertawanya jelas memancarkan rasa kesedihan yang sukar diutarakan. Sedang Song Ling pun lebih hebat cara penyamarannya. Dia seorang dara yang baru saja melangkah kedunia luar. Bahwa dia hendak menutupi isi hatinya dengan tertawa yang dibuat-buat, tentu mudah sekali ketahuan. Setelah merenung beberapa.saat, akhirnya Siau-liong memanggil Song Ling dengan lirih.

   "Nona...."

   Tanpa2 mengangkat kepala, Song Ling pun menjawab pelahan.

   "Mengapa?"

   Melintaslah pandang mata ke arah Poh Ceng-in, Siau-liong berkata pula.

   "Apakah engkau tak tahu bahwa wanita ini adalah puteri dari Iblis-penakluk-dunia?"

   Tiba-tiba Song Ling mengangkat kepala dan menatap pemuda itu.

   "Kalau tahu lalu bagaimana?"

   Siau-liong terkesiap. serunya.

   "Wanita siluman ini berhati ganas dan banyak tipu muslihatnya, Janganlah engkau sampai termakan tipunya. Mungkin dia disuruh orang tuanya untuk menjalankan tipu muslihat!"

   Song Ling tertawa dingin.

   "Tak mungkin aku dapat dipengaruhi orang. Adalah engkau sendiri yang harus berpikir dengan cermat!"

   Poh Ceng-in tersenyum lalu berkata kepada Song Ling.

   "Adik Song, cobalah engkau dengarkan betapa melukai hati katanya itu!"

   Diluar dugaan, Song Ling malah menghibur Poh Ceng in.

   "Memang di dunia ini banyak kaum lelaki yang tak kenal membalas budi. Dari seribu orang, jarang ada seorang yang baik!"

   Kakek Mata-satu tertawa meloroh dan berseru kepada Song Ling.

   "Nak, apakah engkau tak sungkan mengucapkan kata2 semacam itu?"

   Song Ling cepat menyadari kalau ia kelepasan bicara. Wajah dara itu merah padam dan tersipu-sipu tundukkan kepala. Poh Ceng-in tertawa tawar.

   "Adik Song, sekalipun ucapan itu bukan engkau yang seharusnya mengatakan, tetapi hal itu memang suatu kenyataan, sedikitpun tak salah!"

   Habis berkata, Poh Ceng-in memandang Siau-liong dengan bengis lalu palingkan muka. Siau-liong benar-benar seperti orang berjalan dalam kabut tebal. Cepat ia berpaling dan memberi hormat kepada Kakek Mata satu.

   "Lo-cianpwe, bagaimana soal ini sesungguhnya....?"

   Mata kakek yang tinggal satu itu, mengeliar lalu berseru.

   "Soal itu harus bertanya pada dirimu sendiri! Bagaimana aku tahu?"

   Siau-liong banting2 kaki dan menghela napas.

   "Wanita siluman itu amat berbahaya sekali, mengapa lo-cianpwe membiarkan dia disini."

   Tiba-tiba Kakek Mata-satu tertawa, serunya.

   "Kalau dia benar berbahaya mengapa engkau mau mengikat perjanjian sehidup semati dengannya?"

   Siau-liong seperti dipagut ular kejutnya.

   "Soal itu karena amat terpaksa. Ya, karena dia telah memberi minum racun Jong-tok kepadaku...."

   Kakek Mata satu tertawa.

   "Itu pertanda dia amat cinta kepadamu! Buktinya mengapa dia tak memberi minum racun Jong-tok kepadaku?"

   Siau-liong meringis seperti kunyuk membau terasi. Tak tahu ia bagaimana harus menjawab.

   "Bukankah setahun kemudian engkau akan melaksanakan janji sehidup-semati itu dengan dia?"

   Tanya Kakek Mata-satu pula. Sau-liong menghela napas.

   "Asal dia tak mencampuri urusan yang kukerjakan selama setahun ini, aku tentu akan melaksanakan janjiku itu!"

   Kakek Mata-satu mendengus.

   "Hm, tampaknya engkau benci setengah mati kepadanya. Tetapi mengapa engkau mau mati bersamanya? Bukankah itu diluar kemauanmu?"

   Berkata Siau-liong dengan wajah serius.

   "Sekali seorang lelaki sudah mengucap, tak mungkin akan dijilat kembali. Betapapun kubencinya, itu lain soal. Tetapi aku tetap tak mau mengingkari ucapanku!"

   Kakek Mata-satu tertawa.

   "Kalau begitu, Ajaran kuno itu tetap berharga. Menurut pendapatku...." ia berhenti memandang Poh Ceng-in.

   "curahan hati nona Poh terhadap dirimu itu, harus engkau terima dengan hati yang lapang. Artinya kalian lebih baik segera mengikat perjodohan sebagai suami isteri. Perlu apa harus mati berdua?"

   Siau-liong benar-benar tak mengerti mengapa secara tibatiba Kakek Mata-satu itu dapat mengucapkan kata-kata begitu.

   Dilihatnya Song Ling tundukkan kepala tak bicara apa2.

   Sedang Poh Ceng-in pun seperti tak mengacuhkan kata2 Kakek Mata-satu.

   Nona pemilik Lembah Semi itu tak menampilkan reaksi apa2.

   Tidak marah, pun tidak girang.

   Akhirnya dengan geram, Siau-liong menghampiri Poh Cengin dan membentaknya.

   "Telah kubebaskan engkau pergi, mengapa engkau tidak mau pergi malah datang kembali kesini?"

   Poh Ceng-in tertawa dingin, sahutnya.

   "Aku kembali kesini bukan karena hendak mencarimu!"

   Kembali Siau-liong terbentur tembok sehingga ia tak dapat bicara apa2. Memandang Song Ling dan Kakek Mata-satu, tampak keduanya tak menghiraukan dirinya. Karena malu, Siau-liong berseru lagi kepada Poh Ceng-in.

   "Harap engkau jangan lupa bahwa aku sudah mengetahui cara untuk pemunahkan racun itu!"

   Poh Ceng-in menyahut tawar.

   "Asal engkau suka, setiap saat engkau dapat mengusir racun itu dari tubuhmu...."

   "Apakah engkau yakin bahwa aku tentu takkan membunuhmu?"

   Poh Ceng-in tak menyahut melainkan mengambil sebatang badik dari pinggangnya lalu diserahkan kepada Siau-liong.

   Siau-liong ingin sekali membunuh wanita itu.

   Tetapi suara hatinya yang luhur melarangnya bertindak begitu.

   Apalagi di hadapan Song Ling dan Kakek Mata-satu, makin tak dapat ia melakukan hal semacam itu.

   "Engkau wanita siluman!"

   Akhirnya Siau liong hanya dapat menumpahkan kemarahannya dengan mendamprat. Tiba-tiba ia memandangnya. Saat itu Poh Ceng-in sedang duduk bersila. Sudah tentu ia tak dapat menghindar. Dan rupanya ia memang tak bermaksud untuk menghindar.

   


Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini