Pendekar Riang 11
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id Bagian 11
"Kali ini kami bersedia memberikan obat penawar itu kepadamu karena kami masih menganggap dirimu sebagai teman. Setelah mendapatkannya, lebih baik cepat-cepat kau tinggalkan tempat ini."
Paras muka Ong Tiong masih kaku tanpa emosi.
Apapun yang dikatakan perempuan itu, tak sepatah katapun yang dipercayai olehnya.
Dia tahu, tak mungkin obat penawar tersebut akan diserahkan kepadanya dengan begitu gampang.
Tapi dia toh maju pula ke depan.
Bagaimanapun juga, apapun yang bakal terjadi, dia harus mendapatkan obat penawar tersebut.
Seandainya obat penawar itu berada didalam air keras, dia akan terjun ke dalam air keras, seandainya obat penawar itu berada di tengah kobaran api, dia akan terjun ke dalam kobaran api.
Lapisan salju terasa dingin tapi lembut.
Ong Tiong hanya cukup maju enam-tujuh langkah saja dengan cepat akan berhasil meraih obat penawar itu.
Dia sudah mengulurkan tangannya.
Botol itu sangat dingin, dingin seperti tangannya mayat.
Dia telah mengambil botol tersebut, tangannya jauh lebih dingin daripada botol porselen tersebut.
Sebab pada saat itulah dia sudah merasakan hawa kematian yang sangat tebal menyelimuti sekeliling tempat itu.
Mendadak dari dalam kuburan itu muncul sepasang tangan yang segera menotok jalan darah Huan-tiam-hiat di atas lututnya.
Sementara itu sepasang tangan yang lainpun pada saat yang bersamaan muncul dari bawah lapisan salju dan secepat kilat melepaskan dua titik bintang yang langsung menyerang kakinya.
Dia segera terjatuh dan berlutut di atas tanah, berlutut di depan kuburan itu..
Kemudian dia baru menyaksikan, di bawah kuburan itu muncul sebuah liang gua.
Ternyata kuburan itu hanya sebuah kuburan palsu, didalamnya kosong melompong.
Suara tertawa Ang Nio-cu yang merdu merayu kembali berkumandang datang, katanya sambil tersenyum manis.
"Sekarang, kau benar-benar tak usah pergi ke mana-mana lagi...."
Ong Tiong berlutut di depan kuburan, wajahnya masih tanpa emosi, tapi muka itu pucat pasi dan nampak menakutkan sekali.
Dia sangat memahami orang-orang itu, sangat memahami cara kerja dan kekejian orang ini.
Dia sedang menunggu, menunggu mereka lakukan tindakan yang lebih keji lagi.
Akhirnya dari dalam kuburan itu berkumandang suara keras.
"Kau kalah !"
Dia tahu, itulah suara Cui-mia-hu. Dimana pun juga, suara pembicaraan dari Cui-mia-hu selalu dingin seakan-akan ucapan yang keluar dari dalam kuburan.
"Yaa aku kalah !"
Terpaksa dia harus mengakui kenyataan.
"Kali ini kau tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meraih kembali modalmu !"
Kembali Cuimia- hu berkata.
"Yaa memang aku tak punya."
"Tahukah kau, apa yang telah kau kalahkan dalam pertaruhkan?"
"Aku hanya mempunyai selembar nyawa yang kalah dipertaruhkan."
"Kau masih memiliki yang lain."
"Apa pula yang kau inginkan ?"
"Kau seharusnya tahu, apa yang bakal di minta sebuah tangan yang dijulurkan dari peti mati ?"
"Minta uang ?"
"Betul, minta uang !"
"Bila kau minta uang, maka kau telah salah sasaran."
"Aku tak pernah salah mencari orang."
"Yang membutuhkan uang seharusnya aku, dalam harta kekayaan yang kita miliki aku berhak satu bagian, tapi tidak seharusnya kalau kau telan empat bagian yang lainnya sekaligus"
Ong Tiong tidak berbicara, tiba-tiba saja mimik wajahnya berubah menjadi aneh sekali.
"Penghasilan yang kita peroleh beberapa tahun itu lumayan sekali"
Kata Cui-mia-hu.
"Yaa, memang lumayan."
"Apakah cuma kita berlima yang tahu, berapa besar penghasilan kita semua...?"
"Benar !"
"Apakah hanya kita berlima juga yang tahu sebenarnya berapa banyak penghasilan yang kita simpan dan disembunyikan dimana?"
"Benar !"
"Adakah orang ke enam yang mengetahuinya."
"Tidak ada !"
"Entah siapapun orangnya, bila uang tersebut berhasil diambilnya, sudah cukup baginya untuk menikmati penghidupan yang cukup dan berlebihan ?"
"Sekalipun seorang yang pemborospun masih lebih dari cukup."
"Tapi ketika kau telah pergi kami baru tahu, rupanya hanya kau seorang yang dapat menikmati uang tersebut!"
"Kau mengira aku telah melarikan uang tersebut ?"
Seru Ong Tiong.
"Harta tersebut sudah ludas hingga sepeser uangpun tak ada yang tersisa, kau mengira siapa yang telah membawanya lari?"
Ong Tiong menghembuskan napas panjang, katanya.
"Sekarang aku baru tahu, karena apakah kalian datang kemari."
Cui-mia-hu juga tertawa dingin.
"Semenjak dulu aku sudah tahu karena apakah kau pergi, harta kekayaan itu sudah cukup membuat siapa saja mengkhianati temannya."
Tiba-tiba Ong Tiong tertawa. Kembali Cui-mia-hu, berkata.
"Kau menganggap kami menggelikan. Mengira kami adalah telur busuk yang bodoh?"
"Aku baru seorang telur busuk yang bodoh, seandainya aku memiliki sejumlah uang seperti yang kalian maksudkan, tak akan kulewati penghidupan semacam ini, kecuali kalau dia itu seorang tolol."
"Penghidupan macam apakah yang kau maksudkan?"
"Penghidupan yang miskin !"
Tiba-tiba Ang Nio-cu melayang ke depan dan tertawa merdu seperti bunyi keliningan.
"Berapa besar kemiskinanmu itu ?"
"Miskin sekali !"
Ang Nio-cu segera mengedipkan matanya berulang kali, katanya.
"Konon ada seseorang yang dalam semalaman saja telah kalah beberapa puluh laksa tahil perak dalam rumah makan Gui-goan-koan di kata Sian-sia, siapakah orang itu ?"
"Aku !"
"Konon, ada seseorang membeli arak sebanyak beberapa ratus tahil perak selama satu bulan di toko Yan-biau-gwan di bawah gunung sana. Siapa pula orang itu ?"
"Aku !"
"Ada pula satu keluarga yang belakangan ini baru saja mengganti semua perabot rumahnya, bukankah kursi yang ada di ruang kecil di halaman belakangpun, terbuat dari kayu jati, yang harganya paling tidak tujuh tahil perak sebuahnya. Siapa pula orang itu ?"
"Aku !"
Ang Nio-cu segera tertawa, katanya sambil tersenyum.
"Bila seseorang dapat melakukan penghidupan semacam ini, dapatkah orang itu dianggap miskin ?"
"Tidak dapat !"
"Kami sudah mencari kabar, meski tempat ini bernama Hok-kui-san-ceng, namun sejak generasi yang pertama kecuali namanya saja, tidak dijumpai segala sesuatu yang berbau kaya atau mewah."
"Betul !"
"Selama beberapa tahun ini, kau juga tak pernah keluar rumah untuk berdagang ?"
"Bila seseorang bisa hidup bahagia di dalam rumah, mengapa harus keluar rumah untuk bersusah payah ?"
"Memangnya uang bisa terbang datang dari atas langit?"
"Tapi bisa digali dari dalam tanah !"
Sekali lagi Ang-Nio-cu tertawa.
"Tak kusangka begitu cepat kau telah mengakuinya !"
"Tidak mengaku pun tak bisa !"
"Yaa, memang tak bisa !"
"Kalau toh tidak bisa, mengapa aku tidak mengakuinya saja ?"
Setelah tertawa, tertawa yang sangat dipaksakan, dia berkata lebih lanjut.
"Bila kalian hendak menyelidiki asal-usul seseorang sejelasnya, tulang belakang dari kakek moyang tiga generasi pun akan digali keluar. Bila kau menginginkan seseorang berbicara sejujurnya, bahkan si bisu pun mau tak mau harus buka suara, hal ini aku mengetahui jauh lebih jelas lagi daripada orang lain."
"Oleh sebab itu kau tidak seharusnya pergi."
Sambung Cui-mia-hu dengan dingin.
"Aaai.... sayang, ada banyak orang yang seringkali dapat melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dia lakukan", gumam Ong Tiong sambil menghela napas.
"Baik, sekarang kita berangkat."
"Berangkat ? Ke mana?"
"Pergi mengambil kembali tiga bagian yang menjadi hak kami".
"Baik, kalian boleh pergi mengambilnya!"
"Mengambilnya di mana?"
"Kalau kau tidak berbicara, dari mana kami bisa tahu uang tersebut disembunyikan di mana ?"
"Kenapa aku harus berbicara ? Aku tidak berbicara apa-apa."
"Kau masih belum mau mengaku?"
Bentak Cui-mia-hu dengan suara keras bagaikan geledek.
"Sekalipun uang itu aku yang mengambil, tapi mengaku mengambil uang adalah satu urusan, menyanggupi untuk mengambil uang adalah urusan lain."
"Kau menginginkan uang? Atau menginginkan nyawa?"
Ancam Cui-mia-hu sambil tertawa dingin...
"Bila masih hidup, tentu saja menginginkan nyawa, bila sudah tak bisa hidup terus terpaksa minta uang."
"Kau menginginkan yang bagaimana baru bersedia meluluskan permintaan kami ?"
"Jikalau kalian bersedia mengembalikan nyawaku, akupun bersedia pula mengembalikan uang kalian."
Cui-mia-hu termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba dia berkata keras.
"Baik, kembalikan nyawamu."
"Selembar nyawa dengan sebagian uang."
"Kau mempunyai beberapa lembar nyawa?"
"Aku mempunyai selembar, Kwik Tay-lok selembar, Lim Tay-peng selembar, Yan Jit selembar, total jendral empat lembar nyawa dengan empat bagian harta."
"Selembar nyawa dengan empat bagian harta !"
"Tidak bisa."
"Tidak bisa juga harus bisa, kau ini hidup sedang uang itu mati, kalau toh kami bisa menemukan dirimu, memang tak bisa menemukan uang itu...?"
Ong Tiong juga termenung sampai lama sekali pelan-pelan dia baru menjawab.
"Baiklah, kembali dulu nyawanya"
"Nyawa siapa ?"
"Kau mengharapkan siapa yang akan mengembalikan uang kepadamu ?"
Ang Nio-cu kembali tertawa, sambil cekikikan katanya.
"Sudah sejak lama aku tahu kalau dia masih terhitung seseorang yang pintar, akhirnya dia tahu juga nyawa siapa pun masih berharga nyawa sendiri."
"Bebaskan dulu racun yang mengeram dalam tubuhku, kemudian bebaskan jalan darah di tubuhku kemudian aku akan mengajak kalian pergi mengambil uang."
"Racun boleh kupunahkan, tapi jalan darah tak bisa kubebaskan"
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ucap Cui-mia-hu.
"Bila jalan darahku tidak dibebaskan, setiap saat kalian masih bisa merenggut nyawaku."
"Aku toh sudah bersedia untuk mengampuni selembar nyawamu."
"Kecuali nyawa?"
"Asal masih punya nyawa, seharusnya kau sudah merasa puas sekali."
Ang Nio-cu tertawa dan menambahkan pula.
"Betul daripada mati kan lebih baik hidup kau masih bisa memikirkan nyawa bukan ?"
Ong Tiong kembali termenung beberapa saat lamanya kemudian dia pun menghela napas panjang.
"Aaaai... tampaknya aku sudah tiada jalan lain lagi."
"Semenjak kau membawa kabur harta kekayaan tersebut, sesungguhnya kau telah melangkah ke sebuah jalan buntu"
Sambung Cui-mia-hu dengan nada menyeramkan.
"Bila jalan darah Huan tiau hiat di tubuh seseorang tertotok, mau ke manapun dia pasti tak bisa berjalan sendiri,"
Ucap Ong Tiong. Ang Nio-cu segera tertawa genit.
"Kau tak bisa jalan, biar aku saja yang menggendongmu. Jangan lupa dulu kau sering kali menunggangi tubuhku."
"Kau mengikuti aku saja!"
Tukas Cui mia hu dengan dingin.
"Lantas siapa yang akan membopongnya?"
"Aku!"
Tiba-tiba dari atas lapisan salju muncul seseorang bagaikan seekor alas...
Ong Tiong pun berada di atas punggung si ular bergaris merah.
Tubuh si ular bergaris merah lembut, empuk, basah dan dingin.
Kabut telah buyar.
Tapi udara masih mendung dan berawan tebal, tiada sinar cahaya matahari, tiada sinar keemas-emasan.
Tiba-tiba si ular bergaris merah berkata.
"Jalan ini menuju ke rumahmu"
"Aku hanya berharap jalan ini bukan menuju ke rumah nenek moyangku!"
Sambung Ong Tiong.
"Kau sembunyikan uang itu di dalam rumahmu ?"
"Seandainya berganti kau, uang itu akan kau sembunyikan dimana ?"
"Tentu saja di suatu tempat yang setiap saat bisa kucomot. Uang itu bagaikan perempuan, lebih baik disimpan pada tempat yang setiap saat bisa diraba."
"Tak kusangka kau pun mengerti soal perempuan."
Ujar Ong Tiong sambil tertawa.
"Justru karena aku mengerti, maka aku baru menghendaki."
"Kau hanya menginginkan uang ?"
"Uang lebih baik daripada perempuan, uang tak dapat menipu dirimu, di dunia ini tiada benda lain yang lebih jujur daripada uang"
"Oleh karena itu, uang bisa disimpan dalam ruang tamu, tapi perempuan tak dapat."
"Uang itu berada di ruang tamu ?"
Seru si ular bergaris merah.
"Dalam sebuah rumah, masih ada tempat mana lagi yang jauh lebih luas dan menyolok daripada ruang tamu ?"
Si ular bergaris merah segera manggut- manggut.
"Benar, semakin menyolok tempat itu, semakin tak akan diperhatikan oleh orang lain."
Cui-mia-hu selamanya enggan berjalan di depan siapa saja..
Di dunia ini ternyata terdapat juga manusia seperti itu, sebab sudah tak terhitung jumlahnya ketika dia menyergap dan membunuh orang dari arah belakang pula.
Oleh karena itu, selamanya dia enggan berjalan di belakang orang lain....
Dengan ketat dia mengikuti di belakang Ang Nio-cu, seakan-akan selembar bayangan tubuh si perempuan itu.
Bahkan Ang Nio-cu masih sempat merasakan pula dengusan napasnya yang dingin, dengusan napas yang membawa hawa mayat.
Paras mukanya waktu itu sudah berubah menjadi amat tak sedap dipandang.....
Cui-mia-hu tak dapat menyaksikan paras mukanya, dia hanya dapat melihat tengkuknya.
Dia sedang memperhatikan tengkuknva dengan wajah penuh kenikmatan, sebab di atas kulit tengkuknya yang putih halus itu, bulu kuduknya pada berdiri semua karena terkena dengusan napasnya.
Ang Nio-cu sebaliknya sedang memperhatikan Ong Tiong yang berada di hadapannya tiba-tiba ia berkata.
"Kau mengira dia benar-benar akan membawa kita untuk pergi mengambil uang tersebut?"
"Dia sudah tiada pilihan lain"
Jawab Cui-mia-hu.
"Aku selalu merasakan gelagat kurang benar !"
"Bagian mana yang tidak benar ?"
"Dia bukan seorang manusia yang gampang dihadapi, diapun tidak semestinya begini takut mati."
Cui-mia-hu segera tertawa dingin, katanya.
"Perduli dia itu manusia macam apa, sekarang sudah tidak menjadi soal lagi."
"Kenapa ?"
"Sebab sekarang dia sudah merupakan seseorang yang telah mati."
"Orang mati ?"
"Kau mengira aku sungguh-sungguh akan mengampuni selembar jiwanya....."
Ang Nio-cu tersenyum.
"Tentu saja aku tahu kalau kau tak akan berbuat demikian, tapi sekarang dia toh belum mati!"
"Walaupun belum mati seluruhnya, tapi sudah mati separuh bagian."
"Dia masih mempunyai teman."
"Seorang adalah teman yang sudah hampir mati, sedang dua orang lainnya tak ubahnya seperti menanti saat kematiannya saja. Kami bertiga, entah siapa saja sudah cukup untuk menghadapi mereka, apa pula yang kau kuatirkan?"
Tiba-tiba Ang Nio cu tertawa, katanya.
"Aku bukan merasa kuatir, tapi cuma merasa agak sayang."
"Apanya yang sayang!"
Ang Nio-cu tertawa cekikikan.
"Sayang aku belum sempat tidur bersama ketiga orang bocah itu."
Mendadak Cui-mia-hu menggigit tengkuknya.
Seakan-akan seekor anjing gila yang tiba-tiba berhasil menggigit seekor anjing betina.
Langit masih gelap, oleh sebab itu suasana di ruang tamu pun masih amat gelap.
Daun jendela terbuka lebar, dari luar lamat-lamat masih kelihatan ada dua sosok bayangan manusia.
"Siapa yang berada di dalam?"
Si ular bergaris merah segera menegur.
"Sungguh tak kusangka matamu makin lama semakin melamur"
Kata Ong Tiong hambar.
Sesungguhnya mata si ular bergaris merah memang tidak begitu bagus.
Andaikata seseorang hidupnya sepanjang tahun hanya bergelimpangan diantara obat-obatan beracun, ketajaman matanya pasti akan berkurang.
Tapi sekalipun seseorang yang ketajaman matanya lebih cetekpun, asal memandang beberapa kejap saja sudah pasti dapat melihat bahwa kedua sosok bayangan itu tak lebih cuma dua buah orang-orangan dari rumput kering.
Dua buah orang-orangan yang baju belaco.
Tiba-tiba Ong Tiong tertawa, katanya.
"Bila kau masih belum melihat jelas, tak ada halangannya kuberitahukan kepadamu, bila aku sudah mati, mereka adalah orang yang akan menjadi anak baktiku, jika kau mati, mungkin kaupun terpaksa harus mempergunakan mereka menjadi anak baktimu."
"Anak bakti semacam ini paling tidak jauh lebih baik daripada sama sekali tak ada."
"Oleh karena itu kau lebih suka tak punya anak tak punya cucu ?"
"Lebih baik lagi kalau temanpun tak punya."
Mendadak Ang Nio-cu memburu ke depan, lalu serunya.
"Kemana perginya teman-temanmu ?"
Yang ditanyanya adalah Ong Thong, sebab diantara beberapa orang itu hanya Ong Tiong yang mempunyai teman.
"Mereka menunggu aku di bawah bukit"
Jawab Ong Tiong.
"Mengapa harus menunggu di bawah bukit?"
"Seandainya kau menjadi mereka, dalam keadaan seperti ini kalian akan menantiku dimana ?"
"Dia tak nanti akan menunggumu !"
Sela si ular garis merah. Ang Nio-cu segera mengerdipkan matanya berulang kali, katanya.
"Selama ini aku selalu merasa kaulah orang yang paling kupahami, tahukah kau apa sebabnya ?"
"Hmm!"
"Karena cuma perempuan yang bisa memahami perempuan, teori ini diketahui oleh siapapun."
"Dia adalah perempuan?"
Tanya Ong Tiong.
"Memangnya kau mengira dia itu lelaki?"
"Tampaknya sih seperti lelaki."
"Sekalipun dia memang berwujud lelaki, tapi setelah merendam diri selama puluhan tahun di dalam obat beracun, sudah sedari dulu ia telah berubah menjadi perempuan"
Paras muka si ular bergaris merah berubah menjadi kaku, seakan-akan seekor ular yang kena dicekal bagian mematikannya. Ang Nio-cu tertawa cekikikan kembali ujarnya.
"Kesemuanya ini sebenarnya adalah rahasianya yang terbesar, sebenarnya tidak seharusnya kuucapkan, untung saja kaupun bukan orang luar, oleh karena itu...."
Sengaja dia merendahkan suaranya, kemudian berbisik.
"Aku dapat memberitahukan lagi suatu rahasia besar kepadamu."
"Rahasia apa?"
"Coba tebak, setelah si kelabang besar mati, siapakah yang merasa paling sedih?"
"Aku tahu dia adalah sahabat yang paling akrab dengan si kelabang besar itu."
"Kau keliru besar"
Seru Ang Nio-cu sambil tertawa.
"mereka bukan cuma berteman saja, mereka sudah...."
Si ular bergaris merah melototkan matanya bulat-bulat sambil mengawasi perempuan itu tak berkedip, sepasang matanya yang dingin telah berubah menjadi kehijau-hijauan, tiba-tiba saja ia mengarah wajahnya dan meniup satu kali.
Dia tak lebih cuma meniup pelan, tapi Ang Nio-cu harus berkelit dengan tergopoh-gopoh bagaikan sedang menghindari senjata rahasia paling beracun di dunia ini, belum sempat ucapannya di selesaikan, tubuhnya sudah melompat dan berjumpalitan di udara lalu menyusup ke balik rumah.
Cui-mia-hu yang berada di belakangnya sudah turut lenyap tak berbekas.
Tiba-tiba Ong Tiong berseru.
"Apa yang dia katakan, tak sepatah katapun yang kupercayai."
"Kau memang sesungguhnya tidak bodoh"
Jawab si ular bergaris merah cepat.
"Tapi kali ini aku telah mempercayainya".
"Kenapa ?"
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebab bila apa yang dia katakan bukan ucapan yang sesungguhnya, mengapa pula kau hendak merenggut nyawanya?"
Kata Ong Tiong sambil tertawa lebar.
"Apakah kau juga menghendaki agar kurenggut pula jiwamu ?"
Kata si ular bergaris merah dingin.
"Selembar nyawaku ini sudah tidak she Ong lagi, siapa yang menghendaki toh tiada bedanya, tapi kau ?"
"Kenapa dengan aku ?"
"Bila kau mati, siapa yang akan paling sedih ?"
"Tiada orang yang akan sedih."
"Adakah orang yang merasa gembira?"
"Ada."
"Kau juga tahu kalau dia ( perempuan ) membencimu ?"
"Hmmm !"
Si ular mendengus.
"Mengapa, dia selalu tidak merenggut nyawamu"
"Sebab dia tahu, aku lebih berguna selagi masih hidup daripada setelah mati."
"Selanjutnya ?"
"Yaa, selanjutnya dikala hendak membagi uang tersebut ?"
Mendadak paras muka si ular bergaris merah itu berubah menjadi kaku seperti mayat. Ong Tiong segera berkata lebih lanjut.
"Si kelabang besar telah mati, apakah mereka pun merasa amat sedih sekali ?"
"Hmm !"
Kembali si ular bergaris merah mendengus.
"Mengapa, mereka tidak merasa sedih ?"
"Karena lebih enak uang itu dibagi tiga orang dari pada dibagi untuk empat orang."
"Seandainya uang itu hanya dibagi untuk dua orang ?"
Si ular bergaris merah segera berpaling dan menatapnya lekat-lekat, kemudian sepatah demi sepatah katanya.
"Sebenarnya kau ingin berbicara apa ?"
"Apa yang ingin kukatakan, tentunya kau sudah memahaminya sedari tadi...."
Sepasang mata si ular bergaris merah yang hijau menyeramkan itu mendadak berubah menjadi keabu-abuan, wajahnya dingin kaku tanpa emosi. Ong Tiong berkata lebih jauh.
"Jika sebiji bakpao dimakan dua orang, tentu lebih enak daripada dimakan bertiga, teori semacam ini dipahami oleh siapapun. Persoalannya sekarang adalah kedua orang itu dapatkah merasakan bakpao tersebut?"
"Menurut pendapatmu?"
"Aku cukup mengetahui sampai dimanakah kehebatan ilmu silatmu, tentu saja kau tak akan takut terhadap Ang Nio-cu?"
"Hmmm ....."
"Tapi apakah hubungannya dengan Cui lotoa? Dan apa pula hubunganmu dengan Cui lotoa? Dapatkah kau menandingi dirinya?"
Si ular bergaris merah tertawa dingin.
Bila seseorang hanya tertawa dingin belaka dalam suatu keadaan, itu berarti dia sudah tak mampu berbicara lagi, ini menandakan kalau perasaan hatinya sudah mulai tidak tenang.
Bagi seseorang yang sama sekali yakin terhadap setiap persoalan yang sedang dihadapinya, dia akan jarang sekali memperdengarkan suara tertawa dingin semacam itu.
Maka Ong Tiong segera berkata lebih lanjut.
"Oleh karena itu, jika kaupun ingin merasakan bakpao itu, lebih baik cepatlah mencari akal lain."
Si ular bergaris merah memikir sejenak, akhirnya tak tahan diapun bertanya.
"Apa caranya ?"
"Mencari orang yang lain untuk membantu kau merampas kembali bakpao tersebut."
"Siapa yang harus kucari ?"
Sekali lagi si ular bergaris merah itu tertawa dingin.
"Pertama orang itu jangan terlalu serakah"
"Adakah manusia semacam itu dalam dunia?"
"Aku adalah seseorang yang tidak terlalu serakah"
"Dulu mungkin aku manusia macam begitu, tapi sekarang aku sudah mengerti, lebih baik bakpao itu dimakan berdua daripada sama sekali tidak merasakannya"
"Kedua ?"
Si ular bergaris merah itu kembali menatap tajam-tajam.
"Kedua, Orang itu harus tidak melebihi dirimu."
"Kenapa, harus tidak melebihi diriku ?"
"Sebab bila dia tidak melebihi dirimu, dia tak akan berani bermain gila di hadapanmu."
"Kau tidak melebihi diriku ?"
Ong Tiong tertawa.
"Seandainya aku lebih tangguh daripada dirimu, mengapa aku harus minta kau gendong sekarang ?"
Dari balik mata si ular bergaris merah yang berwarna kelabu, mendadak terpancar setitik sinar terang.
"Kau benar-benar akan berdiri dipihakku?"
Dia bertanya.
"Mau tak mau aku harus berdiri dipihakmu."
"Kenapa !"
"Sebab dipihak mereka sana sudah terlampau sesak."
Sorot mata si ular bergaris merah kembali memancarkan sinar tajam, katanya kemudian.
"Apa saja yang bisa kau lakukan buatku?"
"Aku masih punya tangan."
"Tanganmu itu bisa melakukan apa?"
"Paling tidak masih bisa menahan seseorang yang lain."
Si ular bergaris merah tidak tertawa dingin lagi. Sebab lambat laun dia mulai merasa mantap dan rencana itupun semakin diyakininya.
"Sekarang tinggal satu persoalan saja yang harus diselesaikan,"
Kata Ong Tiong lagi.
"Katakanlah !"
"Sanggupkah kau menghadapi Cui lotoa?"
"Menurut pandanganmu?"
"Bila sungguh sampai bertarung, aku tak tahu. Tapi jika dilakukan secara mendadak di luar dugaan, maka..."
Mendadak dia menutup mulutnya rapat-rapat.
Si ular bergaris merah juga menutup mulutnya rapat-rapat, setelah itu pelan-pelan dia baru masuk ke dalam rumah.
Cui-mia-hu serta Ang Nio cu sudah menunggu didalam ruangan.
Suasana didalam ruangan itu terang benderang.
Di bawah sorotan cahaya lampu, paras muka Cui-mia-hu kelihatan pucat seperti selembar kertas putih.
Selembar kertas putih yang kering dan berkeriput.
Ada sementara orang yang tampaknya sepanjang masa tak dapat terkena sinar, jelas dia adalah manusia semacam itu.
Si ular bergaris merah telah meletakkan Ong Tiong di atas bangku, kemudian ujarnya.
"Sudah kalian periksa ?"
"Setiap bagian dan setiap sudut tempat ini sudah kami periksa."
Sahut Cui-mia-hu.
"Bahkan kakus pun sudah kami periksa,"
Sambung Ang Nio-cu sambil tersenyum.
"heran, ternyata tempat itu tidak berbau busuk."
Dia mengerling sekejap ke arah Ong Tiong kemudian katanya lagi.
"Oleh sebab itu aku tahu teman-temanmu itu sudah pasti adalah orang yang suka dengan kebersihan."
"Apa pula yang kau ketahui ?"
Dengus Ong Tiong ketus. Ang Nio-cu tertawa.
"Aku masih tau kalau orang itu sudah pasti bukan kau."
"Ke mana perginya teman-temannya itu?"
Tanya si ular bergaris merah tiba-tiba.
"Sudah pergi semua !"
Sahut Cui-mia-hu. Sekali lagi Ang Nio-cu mengerling sekejap ke arah Ong Tiong, kemudian sambil tertawa genit katanya.
"Tampaknya teman-teman yang kau dapatkan belakangan ini bukanlah teman-teman yang baik."
"Di dunia ini memang tiada teman yang benar-benar bersedia menemani sampai mati"
Kata Ong Tiong hambar. Ang Nio-cu tersenyum.
"Suami istri macam begini saja sudah tak ada, apalagi cuma sahabat...."
Kali ini biji matanya mengerling ke arah si ular bergaris merah. Tapi si ular bergaris merah seakan-akan tidak mendengar perkataan itu, diapun tidak memandang ke arahnya, cuma ujarnya.
"Apakah didalam rumah ini sudah tiada orang lain?"
"Cuma ada dua buah orang-orangan !"
Sahut Cui-mia-hu.
"Orang-orangan bukan termasuk orang !"
Kata Ong Tiong. Mendadak Cui-mia-hu tertawa seram.
"Heeehhh... heeehhh... heeehhh.... jangan lupa, ada kalanya orang-oranganpun dapat membunuh orang."
Paras muka Ong Tiong yang baru saja membaik tiba-tiba sedikit agak berubah.
Cui-mia-hu mengawasi terus raut wajahnya pada saat paras mukanya agak berubah itulah, Cui-mia-hu telah turun tangan.
Jarang sekali ada yang tahu benda apakah yang dipergunakan Cui-mia-hu untuk membunuh orang.
Karena sewaktu membunuh orang dia selalu membunuh sungguhan, sekali turun tangan, pihak lawan tak pernah diberi kesempatan untuk hidup lebih jauh.
Kalau tidak ada keyakinan tersebut, dia tak akan turun tangan.
Hanya orang yang tak pernah menyaksikan dia membunuh orang saja yang tahu senjata apakah yang digunakan untuk membunuh orang.
Hanya empat orang yang pernah menyaksikan dia membunuh orang.
Ong Tiong juga pernah menyaksikan.
Senjata yang dipergunakan olehnya untuk membunuh orang adalah dua batang duri.
Dua batang duri yang bertali serat baja, selain dapat merenggut nyawamu, dapat pula membelenggu senjatamu dan mencekik tengkukmu kemudian sekaligus menusuk ke dalam jantungmu.
Itulah sepasang duri pembetot sukmanya yang tiada taranya di kolong langit.
Dalam dunia persilatan terdapat banyak orang yang menjadi tenar karena mengandalkan senjata tunggalnya.
(Bersambung ke
Jilid 19)
Jilid 19 KARENA bila kau mempergunakan senjata khusus yang aneh, seringkali kali akan berhasil meraih banyak keuntungan dari musuhmu.
Suatu keberuntungan yang seringkali di luar dugaan.
Oleh sebab itu, bila kau dapat menciptakan semacam senjata khusus yang bisa membuat orang lain di luar dugaan, kau pasti dapat mencari nama yang tenar dalam dunia persilatan....
menggunakan darah orang lain untuk mencetak namamu.
Walaupun di kemudian hari kaupun bisa jadi mati pula di ujung senjata khusus lain yang sama sekali di luar dugaanmu.
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tubuh orang-orangan itu kelihatan terlalu gemuk.
Jauh lebih gemuk daripada sewaktu dipakai untuk menaikkan layang-layang.
Dalam, soal ini mungkin orang lain tak dapat melihatnya, tapi Cui-mia-hu sudah pasti dapat melihatnya, sebab orang- orangan itu adalah hasil karyanya.
Walaupun dia memiliki selembar wajah yang bodoh, namun memiliki sepasang tangan yang cekatan...
orang yang benar-benar pintar, tak akan selalu menunjukkan kepintaran-nya di atas wajah.
Orang-orangan itu tidak makan daging, juga tidak minum arak, mengapa dalam semalaman saja bisa berubah menjadi begitu gemuk? Mungkinkah ada orang yang bersembunyi dibalik orang-orangan itu serta bersiap sedia melancarkan sergapan?....
Mungkinkah hal ini merupakan pukulan terakhir yang telah dipersiapkan oleh Ong Tiong dan Yan Jit sekalian ? Paras muka Ong Tiong berubah hebat.
Karena pada saat itulah sepasang duri pencabut nyawa dari Cui-mia-hu telah menusuk ulu hati orang-orangan itu dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Senjata itu menusuk sangat dalam, dalam sekali.
Di dunia ini memang jarang terdapat seorang teman yang benar-benar mau sehidup semati denganmu.
Bahkan suami isteri saja amat jarang, apa lagi cuma teman.
Tapi teman semacam ini, bukannya sama sekali tak ada.
Paling tidak Kwik Tay-lok sekalian adalah teman-teman semacam itu.
Mereka tahu nyawa Ong Tiong sudah berada di ujung tanduk, siapakah yang merasa tega untuk membiarkan dia pergi menempuh mara bahaya seorang diri ? Mana mungkin mereka akan pergi ? Orang-orangan itu memang gemuk, biasanya orang yang gemuk tentu mempunyai darah yang banyak.
Sepasang duri pencabut nyawa dari Cui-mia-hu telah menembusi ulu hatinya.
Tapi tak ada darah yang keluar, setetespun tak ada.
Kali ini paras muka yang berubah bukan muka Ong Tiong, melainkan Cui-mia-hu.
Pada saat paras muka Cui-mia-hu berubah itulah, mencorong sinar tajam dari mata si ular bergaris merah.
Dan pada saat yang bersamaan pula, Ong Tiong menarik tangan Ang Nio-cu.
Sengatan lebah beracun.
Sengatan dari Cui-mia-hu lebih beracun.
Jika lebah sudah menyengat orang, maka dia akan mati dan tak beracun lagi.
Tapi sekarang sengatan dari Cui-mia-hu telah menancap di atas jantung orang-orangan itu.
Kesempatan sebaik ini tentu saja tak akan disia-siakan oleh si ular bergaris merah.
Tiba-tiba dia mengarah wajah Cui-mia-hu, kemudian meniupnya dengan sekuat tenaga.
Cahaya yang menyorot masuk lewat jendela dapat menerangi hawa hijau yang terhembus keluar dari tiupannya itu.
Cui-mia-hu seakan akan sedang tertegun, tapi pada saat hembusan itu menyambar datang inilah, ujung baju Cui-mia-hu mendadak berubah menjadi tali penyeret yang segera menyeret tengkuk Si ular bergaris merah kencang-kencang.
Diapun menahan napasnya dengan sepenuh tenaga.
Si Ular bergaris merah segera menjerit ngeri dengan suaranya yang memilukan hati.
Dengusan napasnya makin tajam, dan makin pendek.
Cui-mia-hu telah melompat naik ke atas rumah, tangannya memegang wuwungan rumah dan bergelantungan sambil mengawasi lawannya.
Sepasang mata si ular bergaris marah seakan-akan sudah menjadi buta, apapun tidak terlihat olehnya, bagaikan seekor anjing buta yang menerkam ke depan dengan sempoyongan.
Dia menerjang maju selangkah, dua langkah, tiga langkah.....
Wajahnya segera berubah menjadi hijau kebiru-biruan.
Dia baru maju dua langkah, tubuhnya sudah roboh terjengkang ke atas tanah.
Barang siapa terkena racun dari Si ular bergaris merah, tak akan bisa maju sampai tujuh langkah.
Bahkan si ular bergaris merah sendiripun tidak terkecuali.
Ong Tiong telah melepaskan tangan Ang Nio-cu.
Wajah masih sama sekali tidak menunjukkan perubahan, tapi kelopak matanya sudah mulai bergerak.
Lambat laun dia sudah memahami apa gerangan yang telah terjadi, peristiwa semacam ini sedikitpun tidak menarik.
Tapi Ang Nio-cu seakan-akan merasa kejadian ini menarik sekali, dia sudah tertawa terpingkalpingkal tiada hentinya.
Suara tertawanya masih kedengaran merdu seperti bunyi keleningan.
Sejak pertama kali berjumpa dengannya dulu, Ong Tiong sudah terpikat oleh suara tertawanya itu.
Hingga dia sudah bertemu beberapa ratus kali dengannya, ia masih menganggap suara tertawanya begitu menarik.
begitu merdu, seakan-akan di dunia ini tiada keduanya lagi.
Tapi sekarang, dia mulai merasa muak, mulai merasa seakan-akan hendak tumpah.
Bagaimanapun juga si ular bergaris merah adalah temannya yang sudah hidup bersama selama banyak tahun.
Barang siapa dapat tertawa terpingkal-pingkal disamping jenasah rekannya, maka kejadian tersebut pasti akan memuakkan orang lain.
Ang Nio-cu memutar sepasang matanya yang jeli, kemudian ujarnya dengan lembut.
"Apakah kau sedang keheranan, mengapa aku harus tertawa terpingkal-pingkal ?"
"Sedikitpun tidak heran !"
"Kenapa ?"
"Sebab kau sama sekali bukan manusia."
Itulah kesimpulan dari Ong Tiong.
Cui mia-hu masih mengawasi mayat si ular bergaris merah dengan terpesona, seakan-akan dia takut kalau itu belum mati secara sungguhan....
Padahal si ular bergaris merah benar-benar sudah mati secara seratus persen.
Padahal selama dia masih hidup, apa yang tak lebih hanyalah mempersembahkan kehidupannya untuk obat-obatan racun.
Dia tidak mempunyai teman lain, bahkan boleh dibilang dia tidak mempunyai apa-apa.
Obat beracun adalah seluruh hidupnya.
Lewat lama kemudian, Cui-mia-hu baru pelan-pelan membalikkan badannya seraya berkata.
"Inilah seorang yang jujur dan setia!"
"Kau maksudkan dia jujur dan setia ?"
Tanya Ang Nio-cu. Cui-mia-hu mengangguk.
"Paling tidak terhadap perbuatan yang hendak dilakukannya dia amat setia, obat beracunnya memang tak pernah meleset walau hanya satu kali saja."
Sekali lagi Ang Nio-cu tertawa terkekeh-kekeh.
"Oleh sebab itu kau harus lebih-lebih berterima kasih kepadaku, seandainya tiada aku, yang mati sekarang adalah kau."
"Aku memang sama sekali tidak menyangka kalau diapun bakal menghianati diriku."
Ang Nio-cu tertawa.
"Seandainya kau tak pernah menyangka, mengapa bisa mempersiapkan cara yang begitu baik untuk menghadapinya?"
"Karena akupun seseorang yang jujur."
"Kau jujur terhadap siapa?"
"Terhadap diriku sendiri."
Ang Nio-cu segera menghela napas panjang.
"Mengapa kau tak pernah mengatakan kalau akupun sangat jujur ?"
Keluhnya.
"Karena kau terhadap dirimu sendiri saja tidak jujur, apalagi terhadap orang lain"
Kata Cui-miahu dengan ketus.
"kau sering kali menghianati diri sendiri, kau sendiri menjual dirimu sendiri."
"Tapi aku belum pernah menghianati dirimu, akupun tak pernah membohongi kau."
"Karena kau tahu tiada orang yang bisa membohongi diriku"
Suara Cui-mia-hu masih tetap sedingin es. Tiba-tiba dia berpaling ke arah Ong Tiong, kemudian melanjutkan.
"Oleh karena itu aku selama berada di hadapanku pun seseorang yang amat jujur."
Ong Tiong tidak menunjukkan reaksi apa-apa..
"Kau bilang teman-temanmu sudah pergi semua, ternyata mereka memang tidak berada di sini"
Ujar Cui-mia-hu. Ong Tiong masih belum menunjukkan reaksi apa-apa.
"Sekarang aku hanya ingin tahu, kau lebih setia kepada uang ataukah terhadap diriku?"
Kata Cui-mia-hu lebih jauh.
"Itu mah tergantung keadaan."
"Tergantung bagaimana ?"
"Biasa aku selalu setia kepada uang, tapi sekarang terhadap dirimu...."
Kata Ong Tiong hambar.
"Bagus sekali, bawa kemari."
"Apanya yang bawa kemari ?"
"Apa yang kau miliki ?"
Ong Tiong ragu-ragu sejenak, akhirnya dia bulatkan tekad, katanya.
"Di bawah meja sana terdapat beberapa lembar ubin batu yang bisa di geser, di bawah lapisan batu itu terdapat sebuah gudang di bawah tanah...
"Kau mengira aku tak dapat melihatnya?"
Seru Cui-mia-hu sambil tertawa dingin.
"Kalau kau sudah melihatnya, mengapa tidak pergi mengambilnya ? Barang itu berada di situ."
"Biar aku yang mengambilnya."
Seru Ang Nio-cu cepat.
"Tidak, biar aku saja!"
Seru Cui-mia-hu.
Badannya berkelebat lewat dan mendahului Ang Nio-cu.
Inilah untuk pertama kalinya dia berjalan di depan orang lain...
merupakan terakhir kalinya.
Serentetan cahaya perak pelan-pelan meluncur keluar dari balik ujung baju Ang Niocu dan tepat menghajar jalan darah Giok-seng hiat di atas benaknya.
Serangan mematikan ini bukan saja tidak cepat, bahkan sangat lamban, tapi dia justru tak sanggup menghindarkan diri.
Dia segera roboh terkapar ke atas tanah.
Tidak melawan, juga tidak merasakan penderitaan apa-apa.
Bahkan tiada suara apapun yang terpancar keluar, seorang yang hidup tiba-tiba saja berubah menjadi sesosok mayat.
Siapapun tak akan menyangka kalau dia akan mati dengan begitu gampangnya.
Tentu saja dia sendiripun lebih-lebih tak menyangka, orang yang membunuh dirinya ternyata tak lain adalah Ang Nio cu.
Suara tertawa merdu bagaikan suara keleningan kembali berkumandang memecahkan keheningan.
Ang Nio cu tertawa, ujarnya.
"Kali ini tentunya kau mengerti bukan, mengapa aku tertawa tergelak-gelak ?"
"Tidak mengerti."
"Tahukah kau apa yang kugunakan untuk membinasakan dirimu ?"
Ong Tiong tidak menjawab. Ang Nio-cu segera tertawa, kembali ujarnya.
"Tentunya kau tahu, darimanakah kupelajari ilmu melepaskan duri pencabut nyawa itu?"
Sesudah tertawa cekikikan, kembali sambungnya.
"Barusan, dia telah mempergunakan racunnya si ular bergaris merah untuk membunuh si ular bergaris merah, maka sekarang akupun menggunakan duri pencabut nyawa untuk menusuk dia sampai mati, menghadapi kejadian yang begini menariknya ini, masa aku tak boleh tertawa senang?"
"Aku hanya merasa heran, mengapa dia mengajarkan kepandaiannya itu kepadamu?"
"Karena dia sama sekali tidak mewariskannya semua rahasia kepandaiannya kepadaku, dia tahu selamanya aku tak akan bisa mempergunakannya secara baik."
"Kau memang tak bisa melebihi kecepatannya."
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yaa, selisihnya memang jauh sekali, oleh sebab itu walaupun aku mempelajarinya tapi tetap tak ada gunanya, hakekatnya tak mungkin bisa dipergunakan untuk menghadapi orang lain. Duri pengejar nyawa masih tetap merupakan senjata khasnya."
"Kalau toh tak berguna, mengapa kau mempelajarinya ?"
"Bukannya sama sekali tak ada gunanya, cuma ada semacam kegunaan yang sebenarnya amat fatal, yakni apabila kugunakan untuk menghadapi seseorang."
"Siapa ?"
"Dia sendiri !"
"Kau tak bisa menggunakannya untuk menghadapi orang lain, tapi bisa dipakai untuk menghadapi dirinya?"
Tanya Ong Tiong dengan wajah keheranan. Ang Nio cu tertawa.
"Di dunia ini memang banyak terdapat kejadian yang begitu anehnya...."
"Aku tidak mengerti !"
Ang Nio-cu segera tertawa terkekeh-kekeh.
"Hal-hal yang tidak kau pahami masih banyak sekali !"
"O, ya ?"
"Aku sengaja membiarkan kau berada bersama si ular bergaris merah, tujuannya tak lain adalah untuk kesempatan kepada kalian untuk berbincang-bincang."
"Mula-mula kuucapkan dulu kata-kata yang dia paling tak senang diketahui orang lain kemudian baru menyingkir pergi, dalam keadaan yang gusarnya setengah mati itu, sudah pasti kau tak akan melepaskan kesempatan tersebut dengan begitu saja."
"Kau telah menduga kalau aku bakal menggunakan akal untuk menggerakkan hatinya dan menyuruh dia menghianati diri kalian ?"
"Bukan berarti kau yang menggerakkan hatinya, adalah dia sendiri yang mempunyai maksud begitu, Cuma saja selama ini belum ada kesempatan baik untuk melakukannya."
"Ooooh.... jadi kau sengaja memberi kesempatan kepadanya, kemudian baru memberi tahukan kepada Cui lotoa untuk bersiap-siap?"
"Aku juga tahu kalau Cui lotoa telah menemukan cara yang baik untuk menghadapi dirinya, asal dia berani turun tangan, maka sudah pasti dia akan mampus!"
"Tepat sekali perhitunganmu itu."
"Dalam hal ini, aku rasanya tak usah terlampau membanggakan diri"
Kata Ang Nio cu sambil tersenyum. Ong Tiong menghela napas panjang.
"Aaai, akhirnya aku memahami juga persoalan ini, masih ada yang lain ?"
Ang Nio-cu mengerdipkan matanya berulang kali, lalu katanya.
"Tahukah kau rahasia paling besar apakah yang dimiliki Cui lotoa....?"
"Telinganya tidak begitu tajam, hakekatnya tak jauh berbeda dengan orang tuli."
"Tapi nada ucapanku sewaktu bercakap-cakap dengan tidak terlalu besar, dia toh bisa mendengarnya dengan jelas ?"
"Itulah dikarenakan dia memperhatikan gerakan bibirmu, dengan melihat gerakan bibir tersebut, dia dapat mengetahui apa yang sedang kau ucapkan."
"Aaaai... hal ini benar-benar merupakan suatu rahasia yang sangat besar,"
Kata Ong Tiong sambil menghela napas.
"Kecuali aku seorang, tiada orang lain yang mengetahui rahasianya tersebut. Oleh karena telinganya tidak tajam, maka dia selamanya enggan berjalan di depan orang lain, dia kuatir orang lain akan menyergapnya dari belakang."
Setelah tertawa, kembali ujarnya.
"Hal ini bukan disebabkan karena dia lebih berhati-hati daripada orang lain, tapi disebabkan lantaran ia tak bisa mendengar suara desingan senjata rahasia, seandainya ada orang yang menyergapnya dari belakang, maka ia sama sekali tak mampu untuk menghindarkan diri."
"Andaikata desingan angin serangan itu sangat tajam, tentu saja dia masih dapat mendengarnya, tapi bila ada orang yang menyerangnya secara pelan-pelan, maka dia sudah pasti akan mampus."
Ang Nio-cu segera tertawa.
"Yaa, sedikitpun tak salah,"
Katanya.
"itulah sebabnya serangan yang kugunakan adalah dari pengejar nyawa ajarannya yang tak pernah bisa kupelajari secara sempurna itu, dan kepandaian itu justru merupakan suatu kepandaian yang tiada keduanya di dunia ini."
"Apakah kaupun sudah memperhitungkan, begitu ia mendengar benda itu berada dimana, maka dia tak akan tahan untuk memburu ke sana dan menengoknya lebih dulu ?"
"Yaa, seandainya berada di depan orang lain, mungkin dia masih dapat menahan diri atau mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, tapi bila sedang berada bersamaku, dia selalu akan lebih teledor daripada biasanya..."
"Kenapa ?"
"Sebab dia selalu mengira bahwa aku sedang menggantungkan diri kepadanya, dia selalu menganggap bila dia sampai mati, maka akupun tak bisa hidup lagi."
Ong Tiong menghela napas.
"Diapun menganggap tak ada orang yang bisa membohongi dirinya....."
"Yaa, memang tiada orang yang bisa membohonginya, yang ada hanya dirinya membohongi diri sendiri."
"Kau bilang dia pernah membohongi diri sendiri ?"
Ang Nio cu tertawa genit.
"Berapa orang lelakikah di dunia ini yang tidak gampang membanggakan diri sendiri ? Seandainya lelaki tidak terlalu gampang menjadi mabuk diri, perempuan manakah yang bisa menyusupkan diri dalam lingkungannya ?"
Ong Tiong termenung, sampai beberapa saat lamanya, kemudian ujarnya dengan hambar.
"Kau selalu memperhitungkan dengan tepat, juga melihatnya secara tepat."
"Tapi aku telah salah menilai dirimu."
"O ya ?"
"Aku mengira kau tak akan pernah bicara bohong"
Kata Ang Nio cu sambil tertawa.
"tak disangka kau telah berbohong, bahkan pada hakekatnya bisa membohongi orang sampai mati tanpa mengganti nyawa !"
"Kapan aku pernah berbohong ?"
"Kau bilang barang itu berada di bawah kolong meja, bukankah kau sedang berbohong?"
"Yaa, benar !"
Ang Nio cu tertawa, kembali ujarnya.
"Tapi cuma aku seorang yang tahu kalau kau sedang berbohong, sebab di dunia ini hanya aku seorang yang tahu dengan persis sesungguhnya benda tersebut disimpan dimana."
"Yaa, kau memang seharusnya tahu !"
Ang Nio cu mengerling sekejap ke arahnya dengan genit, lalu katanya lagi.
"Berbicara terus terang saja, tadi sebetulnya sudah kau duga atau tidak kalau barang itu sesungguhnya akulah yang mengambil pergi ?"
"Aku tidak menyangka !"
Setelah termenung beberapa saat lamanya, kembali dia berkata.
"Aku sama sekali tidak menyangka, akupun tidak tahu apa-apa, aku hanya mengetahui satu hal."
"Soal apa ?"
"Menjadi orang tidak seharusnya terlampau gegabah, barang siapa menganggap tiada orang yang bisa membohongi dirinya, maka hal itu sama artinya dengan dirinya membohongi diri sendiri."
Senyuman manis dari Ang Nio-cu seperti agak berubah, tak tahan dia lantas berseru.
"Apa maksudmu ?"
"Maksudnya, jika kau dapat mempersiapkan sebuah jerat untuk menjerat orang lain, maka orang lainpun dapat mempersiapkan sebuah jerat untuk menjerat dirimu sendiri."
Inipun merupakan suatu kesimpulan.
Biasanya kesimpulan jarang sekali keliru.
Yang keliru biasanya bukan suatu kesimpulan.
Hari sudah terang benderang.
Perempuan tampak selalu lebih tua, lebih berkisut di tengah hari yang terang benderang.
Dalam keadaan begini, Ang Nio-cu tak dapat tertawa lagi.
Jika seorang perempuan yang biasa tertawa mendadak tidak tertawa, seringkali diapun tampak lebih tua dan berkeriput.
Oleh sebab itu, paras muka Ang Nio-cu pada saat itu hampir boleh dibilang sudah mendekati taraf "si nenek berbaju merah".
Di bawah kolong meja tiada harta karun, satu peser uangpun tidak ada.
Tapi di situ ada orangnya, dua orang manusia.
Sekalipun Ong Tiong tak dapat bergerak, namun kedua orang itu dapat bergerak.
Yang seorang bisa bergerak cepat, yang seorang lagi agak lamban.
Yang cepat adalah Yan Jit, yang lamban adalah Kwik Tay-lok.
Manusia semacam Kwik Tay-lok tak nanti akan pergi jika temannya sedang menghadapi mara bahaya, sekalipun kau mengusirnya dengan cambukan, atau memalangkan golok di atas tengkuknya, dia juga tak akan angkat kaki..
Hingga sekarang, Ang Nio-cu baru menyadari bahwa dirinya benar-benar sudah masuk perangkap.
Tapi bagaimana mungkin ia bisa terjatuh dalam perangkap.
? Dia sama sekali tidak tahu, bahkan perangkap macam apakah itu, dia sendiripun tidak sempat melihatnya.
Di dalam ruangan rumah, selalu ada salah satu sudut yang remang-remang, di sudut semacam ini biasanya selalu tersedia kursi.
Pelan-pelan Ang Nio cu berjalan ke sana dan pelan-pelan duduk di atas kursi.
Tiada orang yang menghalangi kepergiannya, sebab hal ini tak ada perlunya.
Lewat beberapa saat kemudian, tiba-tiba Ang Nio-cu berkata.
"Ong Tiong, aku tahu kau selalu merupakan seseorang yang amat adil dan bijaksana."
"Dia memang selalu begitu !"
Sela Kwik-Tay-lok. Bila Kwik Tay-lok hadir dalam suatu pertemuan, maka kesempatan berbicara bagi Ong Tiong tak pernah banyak.
"Oleh karena itu, terhadap diriku pun dia harus bertindak amat bijaksana."
"Bagaimana baru dianggap bijaksana ?"
"Barusan, aku telah membeberkan semua perangkap yang kupersiapkan, sekarang kau harus membeberkannya pula !"
Sasaran pembicaraannya masih tetap Ong Tiong, kecuali Ong Tiong, dia tak pernah memandang ke arah orang lain.
Sepasang mata Yan Jit sedang melotot, Kwik Tay-lok pun terpaksa harus membungkam dalam seribu bahasa.
Lewat lama sekali, Ong Tiong baru berkata.
"Tadi, kau berbicara mulai dari mana ?"
"Dari aku memberi kesempatan kepadamu untuk berbincang-bincang dengan si ular bergaris merah."
"Tahukah kau mengapa aku mengajaknya memperbin-cangkan persoalan semacam itu?"
"Aku tidak tahu !"
"Tapi paling tidak seharusnya kau tahu akan satu hal, barang itu toh bukan aku yang mengambil."
"Aku tahu !"
"Oleh karena itu aku harus mencari tahu, siapakah diantara kalian bertiga yang telah mengambil barang-barang tersebut ?"
Kata Ong Tiong.
"Oooh.... jadi kau mengucapkan beberapa patah kata itu kepada si ular bergaris merah tujuannya tak lain adalah untuk menyelidiki dirinya...?"
"Benar, andaikata dia yang mengambil barang-barang itu, maka dia tak akan berbuat demikian"
"Dari mana kau bisa tahu kalau orang itu bukan si kelabang besar ?"
"Seandainya dia yang mengambil, tak nanti si kelabang besar itu akan menyerempet bahaya... orang yang memiliki harta sebesar beberapa ribu laksa tahil perak, biasanya takut mati sekali, bahkan atap rumah yang terjatuhpun kuatir kalau bakal menimpa atas kepala sendiri"
Ang Nio-cu tertawa paksa, lalu berkata.
"Kenapa tidak kau katakan saja dengan kata yang lebih sederhana? Harta lebih berharga dari emas ? Aku pasti mengerti jika kau bilang begitu."
"Orang yang mengetahui tempat penyimpanan harta karun itu hanya lima orang, bila tiga orang lainnya tak tahu, itu berarti tinggal kau dan Cui lotoa."
"Tapi, kau toh belum bisa memastikan di antara aku dan Cui lotoa, sebenarnya siapakah yang sebenarnya telah melarikan harta kekayaan tersebut ?"
"Waktu itu aku masih belum berani memastikan, tapi aku sudah mempunyai pegangan, cepat atau lambat orang itu sudah pasti akan dapat kutemukan."
"Kau benar-benar memiliki keyakinan tersebut ?"
"Yaa, pertama, aku tahu si ular bergaris merah bukan tandingan dari Cui lotoa, andaikata dia berani melakukan suatu tindakan, maka orang itu akan mampus."
"Ternyata penglihatanmu memang tepat sekali !"
"Kedua, aku tahu diantara kau dan Cui-lotoa, sudah pasti ada satu orang diantaranya yang bakal mati."
"Kenapa ?"
"Sebab entah siapa pun yang telah mengambil barang-barang tersebut, sudah pasti dia tak akan membiarkan orang yang lain tetap hidup segar bugar."
"Kenapa ?"
"Karena seandainya diantara kami berlima masih ada seorang saja yang masih hidup, maka pasti dia tak akan bisa menikmati harta kekayaan yang besar jumlahnya itu dengan tenang, sekarang dari lima orang berarti tinggal satu orang, inilah suatu kesempatan yang sangat baik sekali baginya."
Ang Nio-cu menghela papas panjang, gumamnya.
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yaa, kesempatan semacam itu memang terlampau baik."
"Dia sudah menunggu sangat lama, dengan susah payah baru dijumpainya kesempatan seperti ini, tentu saja dia tak akan melepaskannya begitu saja."
"Seandainya berganti dengan kau, sama juga kesempatan baik itupun tak akan kau lepaskan."
"Yaa, apalagi dulu dia telah melimpahkan semua tanggung jawab tersebut di atas tubuhku, sekarang setelah menemukan diriku kembali, cepat atau lambat rahasianya itu tentu akan terbongkar juga, sekalipun dia tak ingin membunuh orang lain, orang lain juga pasti akan membunuhnya."
"Sebenarnya aku memang tak ingin menyaksikan mereka berhasil menemukan dirimu, tapi...."
Dia tertawa, suara tertawanya kedengaran amat memedihkan hati, kemudian melanjutkan.
"Tapi dalam hati kecilku, akupun berharap sekali bahwa mereka bisa menemukan kau, agar akupun bisa melihat selama beberapa tahun ini, kau telah berubah menjadi seperti apa? Baikkah penghidupanmu selama ini?"
Akhirnya Kwik Tay-lok tidak tahan juga, mendadak ia menimbrung.
"Penghidupannya selama ini sangat bagus, sekalipun agak miskin, namun penghidupannya masih tetap riang gembira."
Pelan-pelan Ang Nio-cu mengangguk, gumamnya.
"Kalian semua memang sahabat karibnya, kalian memang sahabat-sahabat yang lebih sejati kalau dibandingkan dengan sahabat-sahabatnya dulu."
Setelah termenung sampai lama sekali, dia baru melanjutkan.
"Kalau hitung pulang pergi, tampaknya sejak tadi kau sudah menghitung bahwa pada akhirnya pasti tinggal satu orang saja, juga telah menghitung dengan tepat kalau dia sudah pasti orang yang telah mengambil harta kekayaan tersebut."
"Tentu saja, sebab perhitungan semacam ini pada hakekatnya sama sederhananya dengan hitungan satu tambah satu sama dengan dua."
"Apakah kau sudah memperhitungkan sampai di situ ketika akan datang memenuhi janji?"
"Kalau tidak begitu, mana mungkin kami melepaskannya pergi dengan perasaan lega?"
Sela Kwik Tay-lok. Ang Nio-cu menghela napas panjang.
"Aaaai.... seharusnya akupun bisa berpikir sampai ke situ! Seharusnya aku bisa melihat kalau kalian bukanlah semacam teman yang diam-diam ngeloyor pergi ketika melihat sahabatnya terancam bahaya."
"Mereka memang bukan!"
Ong Tiong mengangguk.
"Tapi ada beberapa hal yang tidak kupahami."
"Kau boleh bertanya!"
"Kau masuk perangkap dan tertawan, apakah tindakan inipun merupakan suatu kesengajaan?"
"Aku cuma tahu kalau di tempat itu tak mungkin akan muncul sebuah kuburan secara tibatiba."
"Jadi kau sengaja membiarkan dirimu tertawan? Apakah kau tidak kuatir bila kami bunuh dirimu pada saat itu juga?"
"Takutnya sih tetap rada takut."
"Tapi, mengapa kau tetap melakukannya?"
"Sebab telah kuduga, kalian tak nanti akan membunuhku dengan begitu saja, kalian sudah pasti mempunyai tujuan lain."
"Sudah dapat kau tebak apakah tujuannya?"
"Sekalipun belum begitu pasti, tapi aku tahu asal kalian punya tujuan maka aku tak akan dibunuh pada detik itu juga."
"Karena itu pula kau menyuruh mereka menantimu di sini ?"
"Benar !"
"Kau mempunyai keyakinan untuk memancing kami datang kemari ?"
"Hanya ada sedikit, tidak terlampau banyak."
"Tapi kau tetap melakukannya juga ?"
"Bila seseorang hanya mau melakukan pekerjaan yang meyakinkan saja, maka tak sepotong pekerjaanpun yang berhasil dia lakukan."
"Sebab di dunia ini memang tiada pekerjaan yang meyakinkan."
"Kau menyuruh mereka menyembunyikan diri di sini, apakah tidak kuatir kalau belum apa-apa jejak mereka sudah kami ketahui?"
"Kesempatan semacam itu tipis sekali."
"Kenapa ?"
"Hal ini harus dibagikan dalam beberapa macam keadaan."
"Katakan!"
"Keadaan yang pertama adalah tiga orang berada bersama ditempat ini...."
"Ehmm ......!"
"Waktu itu dari tiga orang tersebut, paling tidak ada dua orang diantaranya yang mengira harta karun itu kusembunyikan dikolong meja, tentu saja mereka tak akan membiarkan orang lain turun tangan mendahuluinya. Sekalipun ada orang hendak menengoknya, sudah pasti ada orang yang lainnya mencegah perbuatannya itu. Maka dalam keadaan seperti ini, mereka sudah pasti akan sangat aman."
"Bagaimana pula keadaan ke dua ?"
"Waktu itu sudah tinggal dua orang, misalnya saja kau dan Cui lotoa."
"Tak usah dimisalkan lagi, kenyataan memang tinggal kami berdua."
"Waktu itu, sudah pasti kau tak akan membiarkan Cui lotoa hidup terus. Sekalipun dia ingin pergi memeriksanya, kau pasti akan turun tangan lebih dahulu, maka dalam keadaan beginipun mereka juga aman dan tidak terancam."
"Kemungkinan ketiga sudah tentu ketika tinggal aku seorang bukan ?"
"Benar !"
"Jalan darahmu yang tertotok itu masih tertotok bukan?"
"Betul !"
"Seandainya kutemukan kalau mereka bersembunyi di situ, bukankah akupun masih sanggup untuk menyumbat mati mereka didalam sana ?"
"Tapi kau toh sudah tahu kalau harta karun itu tidak disembunyikan di situ, mana mungkin tempat tersebut akan kau periksa ? Pada hakekatnya kau menaruh perhatian saja tidak, maka dalam keadaan begini, merekapun sangat aman."
"Benarkah segala sesuatunya telah kau perhitungkan dengan begitu cermat dan tepat?"
"Tidak !"
Setelah tertawa, lanjutnya.
"Manusia punya kemauan Thian punya kuasa, siapa pun tak akan dapat memperhitungkan segala sesuatunya tanpa meleset barang sedikitpun jua...."
"Tapi kau toh tetap menyerempet bahaya itu ?"
"Ya, sebab itulah satu-satunya jalan yang kumiliki, satu-satunya serangan terakhir yang bisa kulakukan."
Ang Nio-cu menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir.
"Nyali kalian benar-benar terlampau besar"
"Nyali kami tidak terlalu besar, rencana kami juga tidak seteliti dan secermat kalian, bahkan tenaga yang kami milikipun sangat lemah."
"Kalau dibandingkan dengan kalian, dalam pertarungan ini seharusnya kami berada dipihak yang kalah."
"Tapi dalam kenyataannya kalian menang".
"Hal ini disebabkan karena kami memiliki semacam benda yang tidak kalian miliki."
"Kalian punya apa ?"
"Hubungan persahabatan yang sejati !"
"Walaupun wujudnya tak bisa dilihat, tak bisa diraba, tapi kekuatan besar yang dimilikinya tak akan pernah kalian bayangkan selamanya...."
Ang Nio-cu sedang mendengarkan. Dia tak bisa tidak harus mendengarkan, sebab ucapan semacam itu belum pernah dia dengar sebelumnya.
"Kami beradu jiwa, berani menyerempet bahaya, karena kami tahu bahwa diri sendiri bukanlah berdiri seorang diri."
Sorot matanya dialihkan ke wajah Yan Jit dan Kwik Tay-lok, kemudian melanjutkan.
"Bila seseorang walau berada dalam keadaan seperti apapun, bila dia tahu kalau disampingnya berdiri sahabat yang sejati, yang bersedia hidup bersama, mati bersama dengan dirinya, maka dengan segera dia akan berubah menjadi lebih berani dan lebih percaya pada diri sendiri."
Ang Nio-cu menundukkan kepalanya, dia seakan-akan berubah menjadi jauh lebih tua.
"Sebenarnya akupun menginginkan kepergian mereka"
Kata Ong Tiong kembali.
"tapi mereka cuma mengucapkan sepatah kata, maka akupun mengurungkan niatku itu !"
"Apa yang mereka katakan?"
Tak tahan Ang Nio-cu segera bertanya.
"Mereka hanya memberitahukan kepadaku. bila kami ingin hidup, kami harus hidup bersama dengan riang gembira, bila ingin mati, maka kami harus mati bersama dengan riang gembira, entah mati entah hidup, sesungguhnya bukan sesuatu yang luar biasa !"
Ucapan semacam itupun belum pernah di dengar oleh Ang Nio-cu.
Hampir saja dia tak mau mempercayainya.
Tapi sekarang mau tak mau dia harus mempercayainya juga.
Dia telah menjumpai tiga orang yang berada di hadapannya....
Seorang manusia yang penuh luka di tubuhnya, sampai untuk berdiripun sudah payah.
Seorang manusia yang kurus kecil dan lemah yang kelaparan juga keletihan.
Sekalipun Ong Tiong sendiripun sama saja.
Kalau dibilang cuma mengandalkan ketiga orang itu saja, maka si ular bergaris merah, Cuimia- hu dan Ang Nio-cu bisa dibikin mati, peristiwa tersebut pada hakekatnya tak bisa di terima dengan akal sehat.
Tapi kejadian yang tak bisa diterima dengan akal sehat itu justru telah berubah menjadi suatu kenyataan sekarang.
Apa yang sebenarnya mereka andalkan ? Ang Nio-cu mendadak dia merasakan darah di dalam dadanya mendidih, hampir saja air matanya jatuh bercucuran.
Entah sudah berapa lama dia tak pernah melelehkan air mata, hampir saja lupa bagaimanakah rasanya melelehkan air mata.
Yan Jit mengawasi terus wajahnya tanpa berkedip, lambat laun sorot matanya menunjukkan perasaan simpatik, tiba-tiba dia bertanya.
"Apakah kau belum pernah punya teman?"
Ang Nio-cu menggeleng.
"Sudah pasti bukan karena sahabat tidak menghendaki dirimu, adalah kau sendiri yang tidak menghendaki teman."
Yan Jit menambahkan.
"Tapi aku...."
"Jika kau menginginkan orang lain bersungguh hati kepadamu, hanya ada satu hal yang bisa kau gantikan kepadanya."
"Meng.... menggantikannya dengan apa?"
"Dengan ketulusan hati serta kesungguhan hatimu sendiri."
Kwik Tay lok tidak tahan segera menimbrung pula.
"Diantara kalian bertiga, asal ada sedikit saja ketulusan serta kesungguhan hati, maka hari ini kalian masih bisa hidup senang dengan riang gembira."
Sesat tak akan menangkan kelurusan.
Keadilan pasti dapat merontokkan kekerasan.
Kekuatan yang terjalin karena persahabatan dan kesetiaan, sudah pasti dapat menangkan pula kekuatan buas yang terhimpun karena persekongkolan dan kedengkian.
Keadilan dan persahabatan sudah pasti akan selalu tertanam didalam hati manusia, tinggal manusia itu sendiri, dapatkah dia menggali serta memanfaatkannya.
Kesemuanya itu bukan suatu perlambang atau suatu ibarat, semuanya bukan.
Jika kalian sudah mendengarkan kisah dari Kwik Tay-lok dan Ong Tiong, segera akan kalian ketahui bahwa kata-kata bukan suatu ibarat atau perlambang saja.
Sekalipun kalian tidak mendengarkan juga tak menjadi soal.
Sebab di dunia yang luas ini setiap saat di setiap tempat akan dijumpai manusia-manusia seperti Kwik Tay-lok dan Ong Tiong.
Asal kau bersedia untuk mencarinya dengan hati yang tulus serta kemauan yang jujur, maka sudah pasti kau akan temukan juga teman semacam mereka itu.
Musim semi telah tiba, fajarpun belum lama menyingsing.
Lim Tay-peng berbaring di bawah jendela, jendela itu terbuka lebar, ketika ada angin berhembus lewat maka lama-lama terendus bau harum semerbak yang dibawa datang dari kejauhan sana.
Di tengah memegang se
Jilid buku, tapi matanya sedang mengamati daun-daun hijau yang mulai bersemi kembali di atas dahan pohon.
Sudah cukup lama dia berbaring di situ.
Luka yang dia derita tidak separah Kwik Tay-lok, racun yang mengeram di tubuhnya juga tidak sedalam Kwik Tay-lok.
Tapi Kwik Tay-lok sudah dapat membeli arak di kota, sedang dia masih harus berbaring di atas ranjang.
Karena obat penawar datangnya terlalu lambat...
Racun sudah menyerang sampai di dalam isi perutnya, merusak kondisi badannya.
"Yaa, memang begitulah penghidupan manusia, adakalanya beruntung ada kalanya pula tidak beruntung. Tapi dia tidak menggerutu. Dia telah memahami apa arti dari keberuntungan serta ketidak beruntungan tersebut. Walaupun dia sedang sakit namun justru karena itu dia dapat merasakan pula suasana yang santai dan sepi dari sakitnya itu. Apalagi masih ada perawatan dan perhatian dari teman-temannya..... Ia menghela napas dan memejamkan mata. Pintu pelan-pelan dibuka orang, seseorang muncul dengan langkah yang amat pelan. Dia adalah seorang perempuan yang berpakaian sederhana, tidak berbedak atau bergincu dan kelihatan bersih sekali. Di tangannya ia membawa sebuah baki, di atas baki tampak semangkuk bubur serta dua macam sayur. Tampaknya Lim Tay-peng sudah tertidur, la pelan-pelan masuk ke dalam, meletakkan baki itu dengan berhati-hati di meja, seperti kuatir kalau membangunkan Lim Tay-peng, kemudian pelanpelan pula mengundurkan diri dari situ. Tapi setelah berpikir sebentar, dia masuk kembali dan mengangkat baki itu kembali, karena dia takut bubur yang dingin tak baik untuk orang yang sedang sakit. Siapakah perempuan itu? Cara kerjanya sungguh amat teliti dan sangat berhati-hati. Lapisan salju mencair, sinar matahari yang menyoroti seantero jagad terasa makin hangat dan kering... Di tengah halaman depan tampak tiga lembar kursi rotan dan seperangkat alat bermain catur. Ong Tiong dan Yan Jit sedang bermain. Kwik Tay-lok duduk disampingnya sambil menonton, sebentar-sebentar ia nampak beranjak sambil berjalan bolak-balik tanpa tujuan, sebentar pula melongok keluar dinding pagar dan mengawasi pegunungan nun jauh di depan sana. Pokoknya dia tak pernah bisa duduk tenang. Bila menginginkan dia duduk tenang di situ, sambil bermain catur, kecuali kalau kakinya dipenggal sampai kutung, bila suruh dia duduk dengan tenang menyaksikan orang lain bermain catur, maka hakekatnya seperti menggorok lehernya. Sekarang biji catur Ong Tiong yang berwarna putih itu menyumbat mati jalan keluar biji catur hitam, Yan Jit sambil menimang-nimang biji caturnya sedang merasa pusing kepala, dia tak tahu bagaimana harus bertindak untuk menolong permainannya. Ketika dilihatnya Kwik Tay-lok hanya berjalan hilir mudik tiada hentinya, dengan mata melotot Yan Jit segera menegur.
"Hei, dapatkah kau duduk sebentar dengan tenang ?"
"Tidak dapat !"
"Kau ribut melulu di tempat ini, bikin pikiran orang merasa kacau saja, bagaimana mungkin aku bisa bermain catur dengan tenang ?"
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keluh Yan Jit dengan gemas.
"Sepotong katapun tidak kuucapkan, kapan sih aku bikin ribut ?"
"Memangnya caramu sekarang bukan lagi bikin ribut ?"
"Sekalipun cara ini bikin ribut, mengapa Ong lotoa tidak menegur diriku ?"
"Karena aku yang hampir menangkan permainan catur ini."
Ucap Ong Tiong hambar.
"Sekarang permainan belum selesai, siapa menang siapa kalah masih belum pasti."
Seru Yan Jit.
"Sudah pasti!"
Kwik Tay-lok menimbrung. Kontan saja Yan Jit melotot.
"Aaaah, kau ini tahu apa ?"
Kwik Tay-lok tertawa.
"Sekalipun aku tidak mengerti soal bermain catur, tapi aku cukup mengerti orang yang kalah bermain selalu mempunyai penyakit yang kelewat banyak."
"Penyakit siapa yang banyak ?"
"Kau ! Maka orang yang bakal kalah bermain catur nanti juga kau...."
"Tepat sekali !"
Sahut Ong Tong sambil tertawa.
Senyuman yang baru saja menghiasi ujung bibirnya itu mendadak berubah menjadi kaku.
Seorang perempuan sedang berjalan menelusuri sebuah jalan kecil yang berlapiskan batu, di tangannya membawa sebuah baki yang berisikan tiga mangkuk teh panas.
Ong Tiong segera melengos ke arah lain dan tak sudi memperhatikan dirinya.
Mangkuk teh pertama disodorkan perempuan berbaju hijau itu kepadanya, dengan lembut dia berkata.
"Inilah air teh Hiang-pian yang paling kau sukai baru saja dibikin...."
Ong Tiong berlagak tidak mendengar.
"Bila kau ingin minum air teh Liong-cing akan kugantikan sepoci untukmu"
Ucap perempuan berbaju hijau itu lagi. Ong Tiong masih juga tidak menggubris. Maka perempuan berbaju hijau itupun meletakkan cawan teh tadi di hadapannya kemudian bertanya lagi.
"Tengah hari nanti kau ingin makan apa ?"
Tiba-tiba Ong Tong bangkit berdiri lalu berjalan menjauhi dirinya....
Memperhatikan bayangan punggungnya yang menjauh, perempuan berbaju hijau itu termangu-mangu, dia seperti merasa amat murung dan sedih sekali.
Kwik Tay-lok tidak tega, dia lantas berseru.
"Bikin pangsit paling enak, cuma terlalu repot !"
Saat itulah si perempuan berbaju hijau itu baru berpaling dan ketawa paksa.
"Aaah..... tidak repot, tidak repot, sedikitpun tidak repot."
Setelah meletakkan mangkuk air teh, pelan-pelan dia membalikkan badan dan pelan-pelan beranjak pergi, baru dua langkah dia sudah tak tahan untuk berpaling dan memperhatikan lagi diri Ong Tiong.
Ong Tiong tetap berdiri di tempat kejauhan, seakan-akan dia tidak merasakan kehadiran perempuan itu.
Perempuan berbaju hijau itu menundukkan kepalanya dan pergi, meski dia merasa amat sedih, namun sama sekali tidak menunjukkan wajah menggerutu.
Bagaimanapun sikap Ong Tiong terhadap dirinya, dia tetap halus, lembut dan pasrah.
Apa pula yang sebenarnya sedang dia rencanakan.
Kwik Tay-lok memperhatikan bayangan punggungnya sampai lenyap dibalik rumah, kemudian ia baru menghela napas panjang seraya bergumam.
"Cepat benar perubahan dari orang ini!"
"Ehmm !"
Yan Jit mendesis.
"Orang lain bilang, alam dunia bisa dirubah, watak manusia sukar dirubah, aku lihat ucapan tersebut kurang begitu cocok. Bukankah orang itu sama sekali telah terjadi perubahan besar ?"
"Karena dia adalah seorang perempuan!"
"Perempuan juga orang, bukankah perkataan tersebut seringkali kau katakan ?"
Yan Jit menghela napas panjang.
"Bagaimana juga, perempuan selamanya berbeda dengan kaum lelaki...."
Katanya.
"Oooooh.....?"
"Demi seorang lelaki yang disukainya, seorang perempuan bisa merubah sama sekali dirinya. Sedangkan lelaki bila mencintai seorang perempuan, sekalipun bisa terjadi perubahan, perubahan tersebut paling-paling hanya terjadi diluarannya saja."
Kwik Tay-lok berpikir sebenar, lalu ujarnya.
"Ucapan itu kedengarannya sedikit masuk diakal."
"Tentu saja masuk akal.... apa yang kukatakan memang selalu masuk di akal."
Kwik Tay-lok segera tertawa. Yan Jit segera melotot besar, serunya.
"Apakah yang kau tertawakan ? Kau tidak mengaku ?"
"Aku mengaku, apapun yang kau katakan, aku tak pernah mengatakan tidak setuju."
Inilah yang dinamakan benda yang satu lebih tinggi daripada benda yang lain, tahu hanya pantas mendampingi sayur.
Kwik Tay-lok, lelaki yang tidak takut langit tidak takut bumi, tapi begitu melihat Yan Jit, dia benar-benar kehabisan akal.
Saat itulah Ong Tiong telah berjalan balik dan duduk.
Mukanya masih hijau membesi.
Kwik Tay-lok segera berseru.
"Orang lain toh bermaksud baik untuk memberi air teh untukmu, dapatkah kau bersikap lebih baik sedikit kepadanya ?"
"Tidak dapat !"
"Apakah kau benar-benar marah setiap kali bertemu dengannya ?"
"Hmm!"
"Kenapa ?"
"Hmm !"
"Sekalipun dulu Ang Nio-cu tidak baik, tapi sekarang dia sudah bukan merupakan Ang Nio-cu lagi, apakah tidak kau lihat bahwa dia sama sekali telah berubah ?"
"Benar!"
Sambung Yan Jit.
"sekarang orang yang bertemu dengannya, siapa pula yang bisa menduga dia adalah Ang Nio-cu yang suka menolong orang dalam kesusahan ?"
Yaa, memang tak akan ada yang menyangka.
Dia begitu berhati-hati, begitu cermat, lembut dan penuh kasih sayang, siapa yang akan menyangka kalau perempuan baju hijau yang begitu sederhana tersebut tak lain adalah Ang Niocu ? "Bila ada yang bisa menduganya, aku rela merangkak satu lingkaran di atas tanah."
Seru Kwik Tay-lok.
"Aku juga bersedia merangkak !"
Yan Jit menambahkan. Ong Tiong masih menarik muka dan berwajah kecut, ujarnya dingin.
"Bila kalian ingin merangkak di tanah, urusan tersebut adalah urusan pribadimu sendiri, aku tak mau tahu."
"Tapi kau..."
Seru Yan Jit.
"Hai, kau sudah mengaku kalah belum dalam permainan catur ini ?"
Tukas Ong Tiong.
"Tentu saja tidak mengaku !"
"Baik, kalau begitu tak usah banyak berbicara lagi, hayo cepat lanjutkan."
Kwik Tay-lok menghela napas panjang, gumamnya.
"Kulihat orang ini berpenyakit lebih besar daripada Yan Jit, kalau dia tidak kalah dalam permainan catur itu, urusan baru dibilang aneh sekali."
Ternyata dalam permainan tersebut memang Ong Tiong yang menderita kekalahan.
Sebenarnya dia sudah menutup buntu semua jalan lewat biji catur Yan Jit, tapi entah mengapa, ternyata dia telah dikalahkan secara tragis.
Menyaksikan catur di hadapannya, Ong Tiong tertegun untuk beberapa saat lamanya, tiba-tiba dia berseru.
"Mari kita bermain satu babak lagi !"
"Aaah..... tidak !"
"Kau harus main, aku tidak puas kenapa aku kalah dalam permainan babak ini ?"
"Sekalian bermain sepuluh kali lagi, kau tetap yang kalah."
"Siapa yang bilang ?"
"Aku yang bilang."
Sahut Kwik Tay-lok cepat.
"karena bukan saja kau punya penyakit, bahkan penyakit itu tidak kecil."
Ong Tiong segera beranjak dan siap pergi. Kwik Tay-lok segera menarik tangannya sambil berteriak.
"Setiap kali kami menyinggung soal ini, mengapa kau selalu berusaha untuk melarikan diri ?"
"Kenapa aku harus kabur ?"
"Itu harap ditanyakan kepadamu sendiri"
"Benar!"
Sambung Yan Jit.
"bila seseorang tak pernah melakukan kesalahan, entah apapun yang diucapkan orang lain, dia tak perlu untuk melarikan diri !"
Ong Tiong melotot sekejap ke arahnya, tiba-tiba ia menjatuhkan diri keras-keras, serunya.
"Baik, kalian kalau ingin berbicara, mari kita bicarakan sejelas-jelasnya, lihat saja nanti perbuatan salah apakah yang telah kulakukan..."
"Aku ingin bertanya lebih dulu kepadamu, siapa yang menahan dia di sini...?"
"Aku tidak perduli siapakah orang itu, pokoknya bukan aku."
"Tentu saja bukan kau, juga bukan aku, bukan juga Yan Jit."
Tiada orang yang menahan Ang Nio-cu, adalah dia sendiri yang rela untuk tinggal di situ.
Sebenarnya dia bisa saja pergi meninggalkan tempat itu.
Seandainya berganti dengan orang lain, berada dalam keadaan seperti ini mungkin dia akan memaksanya untuk mengatakan dimana harta karun itu disimpan, kemudian besar kemungkinannya dia akan dibunuh.
Tapi Kwik Tay-lok sekalian bukan manusia semacam itu.
Mereka tak sudi membunuh seseorang yang sudah tidak memiliki kemampuan untuk memberikan perlawanan, mereka lebih-lebih tak ingin membunuh seorang perempuan.
Terutama sekali membunuh seorang perempuan yang bukan saja tidak memiliki kemampuan untuk melawan, diapun sudah menyesali perbuatan-perbuatannya dimasa lalu.
Setiap orang dapat melihat bahwa Ang Nio cu sudah tersentuh hatinya, tersentuh oleh perasaan persahabatan mereka yang tulus dan bersungguh-sungguh.
Diapun mengerti peristiwa paling tragis dan paling menyiksa yang ada di dunia ini bukan tak punya uang, melainkan tak punya teman.
Mendadak dia merasakan bahwa apa yang telah dilakukannya selama ini tak lebih hanya mendatangkan kesepian dan kesendirian yang tiada taranya....
Karena sekarang, dia sudah merupakan seorang perempuan yang telah berusia tiga puluh tahunan.
Ia sudah dapat meresapi betapa tersiksa dan menakutkannya hidup seorang diri dan hidup kesepian.
Diapun mengerti segenap harta kekayaan yang ada di dunia ini, tak nanti bisa memenuhi kekosongan pikiran dan perasaan dari seseorang.
Teori semacam itu mungkin tak bisa dipahami oleh seorang gadis yang baru berusia delapansembilan belas tahunan, tapi cukup jelas bagi seorang perempuan macam dia.
Itulah sebabnya Ang Nio-cu tidak pergi.
"Kau pernah bilang, penghasilan yang berhasil kalian peroleh selama banyak tahun itu tak sedikit jumlahnya."
Demikian Kwik Tay-lok berkata.
"Ehmmm!"
Ong Tiong mendehem.
"Kalian juga pernah bilang, barang siapa memiliki kekayaan sebanyak itu, maka dia dapat merasakan suatu kehidupan yang mewah dan menyenangkan bagaikan penghidupan dalam istana kaisar."
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmmm....."
"Tapi dia lebih suka meninggalkan penghidupan yang serba mewah bagaikan kehidupan seorang kaisar, untuk tetap tinggal di sini melayani dirimu. Gilakah dia?"
"Tentu saja dia belum gila, apalagi sekalipun gila, juga tak bisa melakukan perbuatan semacam ini."
Sambung Yan Jit.
"Oleh sebab itu sekalipun seorang yang bodoh juga seharusnya memahami maksud hatinya, seharusnya bersikap lebih baik kepadanya."
Ang Nio-cu bukannya tak pernah pergi dari rumah itu.
Dia pernah pergi selama lima-enam hari lamanya.
Ketika balik kembali ke sana, dia hanya membawa sebuah bungkusan kecil.
Didalam bungkusan tersebut hanya ada beberapa stel pakaian berwarna hijau dan beberapa macam benda lainnya.
Itulah satu-satunya harta kekayaan yang masih tersisa.
Bagaimana dengan lainnya? Ternyata harta karun yang berhasil diperolehnya dengan pertaruhan nyawa itu telah didermakan untuk menolong para rakyat di sepanjang tepi sungai Huang-ho yang sedang tertimpa bencana alam.
Tindakan yang diambilnya itu benar-benar di luar dugaan dan sukar dipercaya oleh siapapun...
Paras muka Ong Tiong masih berwarna membesi.
Kembali Kwik Tay-lok berkata.
"Apakah sekarang kau masih belum mau mempercayai dirinya?"
"Bahkan secara khusus kami telah pergi menceritakan kabar tentang dirinya, apakah kau mengira kami sedang membantunya untuk, membohongi dirimu !"
Seru Yan Jit pula.
"Apakah sekarang kau belum melihat apa sebabnya dia sampai berbuat kesemuanya itu?"
"Yaa, tentu saja dia sedang menebus dosa, Tapi yang paling penting lagi adalah karena dia ingin membuatmu terharu, agar kau mau berpaling kembali kepadanya"
"Seandainya ada orang bersikap demikian kepadaku, bagaimanapun besarnya kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu, aku pasti akan memaafkan dirinya."
Ong Tiong hanya membungkam, selama ini dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Lewat lama kemudian, dia baru mendongakkan kepalanya seraya mendesis.
"Sudah selesaikah pembicaraan kalian ?"
"Semua yang harus diucapkan telah selesai kami katakan !"
Kwik Tay-lok mengangguk.
"Bahkan perkataan yang tidak seharusnya kami katakanpun sudah kami katakan, sekarang tergantung pada dirimu sendiri, apa yang hendak kau lakukan."
"Kalian menyuruh aku berbuat apa? Berlutut dan memohon kepadanya agar mau kawin dengan diriku.?"
"Itu mah tak perlu, cuma saja.... cuma saja...."
"Cuma saja sikapmu kepadanya tolong sedikitlah lebih baikan."
Lanjut Yan Jit. Ong Tiong memandang sekejap ke arah Kwik Tay-lok, kemudian memandang pula kearah Yan Jit, tiba-tiba dia menghela napas panjang sembari bergumam.
"Kalian sangat baik, sangat baik..."
Belum selesai ucapan tersebut diutarakan, dia sudah bangkit berdiri dan berjalan pergi. Kali ini dia pergi dengan sangat lambat, tapi Kwik Tay-lok malahan tidak mencegahnya, sebab Ong Tiong jarang sekali menghela napas panjang.... (Bersambung
Jilid 20)
Jilid 20 SANG SURYA lambat laun makin meninggi dan meninggalkan bayangan tubuh yang memanjang di atas tanah.
Punggungnya tampak sedikit membungkuk, seolah-olah di atas pundaknya telah diberi beban yang berat sekali.
Kwik Tay-lok serta Yan Jit belum pernah menyaksikan keadaannya semacam itu, mendadak merekapun merasakan hati sendiri turut menjadi berat dan gundah.
Entah berapa lama sudah lewat, mendadak mereka mendengar suara langkah kaki yang sangat ringan berkumandang datang ketika mendongakkan kepala, tampak Ang Nio-cu sudah berdiri tepat di hadapan mereka.
Sambil tertawa paksa Kwik Tay-lok segera berkata.
"Duduk, duduk, silahkan duduk!"
Ang Nio-cu segera duduk, diangkatnya cawan teh yang diberikan kepada Ong Tiong tadi dan meneguknya setegukan, kemudian pelan-pelan meletakkannya kembali ke meja, setelah itu, ujarnya.
"Apa yang barusan kalian bicarakan, telah kudengar semua dengan sejelas-jelasnya."
"Oooh......"
Kecuali berkata "Oooh"
Kwik Tay-lok tak tahu apa yang harus dibicarakan lagi.... Dengan suara pelan kembali Ang Nio cu.
"Aku merasa berterima kasih sekali atas kebaikan kalian terhadap diriku, akan tetapi...."
Kwik Tay lok dan Yan Jit sedang menunggu dia berkata lebih lanjut. Lewat lama sekali, Ang Nio-cu baru melanjutkan.
"Tapi hubunganku dengannya, tak nanti akan kalian pahami."
Baik Kwik Tay-lok maupun Yan Jit, kedua-duanya tidak menunjukkan pendapat apa-apa.
Tentu saja mereka tak bisa mengatakan kalau dirinya mengetahui jelas urusan orang lain, siapapun tak akan berkata demikian.
Ang Nio-cu menundukkan kepalanya, kemudian meneruskan.
"Dulu, sebenarnya.... sebenarnya kami sangat baik sekali, yaa sangat baik sekali..."
Suaranya kedengaran agak sesenggukan, setelah menghembuskan napas panjang, lanjutnya.
"Kali ini aku tetap tinggal di sini, seperti juga apa yang kalian katakan, aku berharap dia bisa berubah pikiran dan melangsungkan penghidupan seperti dulu lagi."
"Benarkah kau sangat merindukan kembalinya penghidupan seperti sedia kala?"
Tak tahan Kwik Tay lok bertanya. Ang Nio cu mengangguk, jawabnya dengan sedih.
"Tapi sekarang aku baru tahu, kejadian yang sudah lewat telah lewat, seperti masa remaja seseorang, setelah pergi dia tak akan kembali lagi untuk selamanya."
Berbicara sampai di situ, tak tahan air matanya seperti hendak meleleh keluar.
Tiba-tiba Kwik Tay-lokpun merasakan hatinya menjadi kecut bercampur sedih, dia seperti hendak berbicara tak tahu apa yang musti diucapkan.
Ditatapnya wajah Yan Jit, ia saksikan mata Yan Jit pun sudah berubah menjadi merah.
Dulu, walaupun Ang Nio-cu pernah mencelakai mereka, menyergap mereka, tapi sekarang mereka telah melupakannya, mereka hanya tahu bahwa Ang Nio-cu adalah seorang perempuan bernasib malang yang selalu ingin berjalan kembali ke jalan yang benar.
Dalam hati mereka hanya ada perasaan simpatik, tiada perasaan dendam ataupun sakit hati.
Tiada orang lain yang begitu gampang melupakan dendam sakit hati orang lain seperti Kwik Tay-lok sekalian.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Ang Nio-cu berhasil juga menahan lelehan air matanya, dengan suara pelan dia berkata.
"Tapi seandainya kalian menganggap dia berhati keras seperti baja, maka anggapan kalian itu keliru besar. Semakin kasar dia bersikap begitu kepadaku, hal ini berarti pula dia tak bisa melupakan perasaan kita dimasa lalu."
Tiba-tiba Yan Jit mengangguk.
"Aku mengerti !"
Katanya.
Dia benar-benar mengerti.
Hubungan antara manusia dengan manusia kadangkala memang begitu sensitip.
Semakin mendalam umat manusia saling mencelakai, kadang kala cinta kasih yang tertanam dihati mereka justru makin mendalam.
Dengan suara lembut Ang Nio-cu berkata lebih lanjut.
"Bila dia bersikap baik, bersikap sungkan kepadaku justru hatiku malah merasa sedih sekali."
"Aku mengerti !"
Kata Yan Jit dengan lembut.
"Justru karena dahulu ia terlalu baik kepadaku, terlalu bersungguh hati, maka dia baru merasa amat sakit hati karena menganggap aku sudah membuatnya sangat menderita, itulah sebabnya dia merasa begitu mendendamnya kepadaku."
"Mana mungkin dia bisa membencimu ?"
Ang Nio-cu tertawa sedih, ujarnya.
"Semakin besar bencinya kepadaku, aku malahan semakin gembira, sebab andaikata dulu ia tidak sungguh-sungguh baik kepadaku ?"
Akhirnya Kwik Tay-lok manggut-manggut.
"Aku mengerti"
Katanya.
"Seperti misalnya kau mengorek muka seseorang dengan pisau, semakin dalam kau menggoresnya muka codet yang membekas di atas wajah pasti semakin dalam pula bahkan mungkin tak akan pulih kembali seperti sedia kala."
Setelah berhenti sebentar dengan sedih dia melanjutkan.
"Bekas pisau yang berada dihati seseorang pun sama saja, oleh karena itu aku tahu bahwa hubungan kami selamanya tak bisa pulih kembali seperti sedia kala, semakin secara dipaksakan kami dapat berkumpul kembali, dalam hati masing-masing pasti terdapat selapis penyekat yang memisahkan kami berdua."
"Tapi.... paling tidak kalian toh masih bisa menjadi teman."
"Teman...?"
Suara tertawanya makin mengenaskan, lanjutnya.
"Siapapun itu orangnya, asal terdiri dari dua orang maka mereka kemungkinan besar dapat berteman, tapi bila dulunya mereka pernah saling mencinta, maka jangan harap mereka dapat menjadi teman lagi. Bukankah begitu?"
Terpaksa Kwik Tay-lok hanya mengakuinya. Mendadak Ang Nio-cu bangkit berdiri, lalu katanya lagi.
"Tapi bagaimanapun juga, kalian adalah teman-temanku, selama hidup aku tak akan melupakan kalian."
Sekarang Kwik Tay-lok baru melihat kalau di tangannya menenteng sebuah bungkusan kecil, dengan wajah berubah serunya.
"Kau hendak pergi ?"
"Bila kupaksakan diri untuk tinggal di sini, bukan saja dia akan merasa sedih sekali, akupun akan sangat menderita, maka setelah kupikirkan kembali, maka kuputuskan lebih baik pergi saja."
"Tapi, apakah kau.... kau sudah mempunyai rencana pergi ke mana ?"
"Aku belum mempunyai rencana."
Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara, dengan cepatnya dia menyambung lebih lanjut.
"Tapi kau tak usah kuatir, bagi orang semacam diriku ini masih banyak tempat yang bisa kukunjungi, oleh sebab itu demi aku, juga demi dia, lebih baik jangan menghalangi kepergianku."
Kwik Tay-lok memandang ke arah Yan Jit. Sedang Yan Jit sedang berdiri termangu-mangu... Ang Nio-cu memandang sekejap ke arah mereka, sinar matanya penuh memancarkan rasa kagum, ujarnya dengan lembut.
"Seandainya kalian benar-benar menganggap diriku sebagai teman, kuharap kalian bersedia untuk mengingat-ingat perkataan ini."
"Katakanlah !"
Ang Nio-cu memandang ke tempat kejauhan, kemudian pelan-pelan berkata.
"Yang paling sulit di dunia ini bukan soal nama juga bukan soal harta kekayaan, tapi hubungan perasaan antara manusia dengan manusia. Bila kau berhasil mendapatkannya, maka harus kau sayangi hubungan tersebut dengan sebaik-baiknya, jangan sampai merugikan orang lain, jangan pula merugikan diri sendiri..."
Suaranya makin lama semakin rendah, semakin lirih lanjutnya.
"Sebab hanya seseorang yang pernah merasakan kehilangan rasa cinta yang akan memahami betapa berharganya rasa cinta tersebut, dia baru bisa memahami kesepian serta penderitaan seseorang yang kehilangan rasa cinta.... Sepasang mata Yan Jit berubah menjadi merah, tiba-tiba dia berkata.
"Bagaimana dengan kau? Dulu, apakah kaupun melayaninya dengan cinta kasih yang setia ?"
Ang Nio-cu termenung sampai lama sekali, kemudian baru ujarnya.
"Aku sendiripun tak bisa mengatakannya secara jelas."
"Dan sekarang ?"
"Aku hanya tahu, sejak dia meninggalkan aku, setiap saat aku selalu teringat akan dirinya, aku.... sudah mencari banyak orang, tapi tak seorangpun yang bisa menggantikan kedudukannya dalam hatiku."
Belum habis perkataan itu diucapkan, mendadak ia menutupi wajahnya dengan tangan sendiri lalu lari meninggalkan tempat itu. Kwik Tay-lok ingin maju ke depan untuk menghalanginya. Tapi Yan Jit segera mencegahnya, dia berkata dengan sedih.
"Biarkan saja dia pergi !"
"Biarkan dia pergi dengan begitu saja ?"
"Yaa, kalau dibiarkan pergi mungkin keadaan lebih baik, jika tidak pergi mungkin kedua belah pihak malah akan merasa lebih menderita dan tersiksa."
"Aku kuatir dia bisa.... bisa..."
"Jangan kuatir, dia tak akan melakukan sesuatu perbuatan yang mengambil keputusan pendek."
"Darimana kau bisa tahu ?"
"Sebab dia sudah tahu sekarang bahwa Ong lotoa menaruh perasaan serius kepadanya, hal ini sudah lebih dari cukup...."
"Sudah lebih dari cukup?"
"Paling tidak sudah cukup buat seorang perempuan untuk melanjutkan hidupnya."
Sepasang matanya telah berkaca-kaca, dengan pelan katanya lebih lanjut.
"Dalam kehidupan seorang perempuan, asal ada seorang lelaki yang benar-benar mencintainya, maka penghidupannya di dunia ini boleh dianggap sebagai suatu penghidupan yang tidak sia-sia."
Kwik Tay-lok menatapnya lekat-lekat, lama, lama kemudian dia baru berkata.
"Tampaknya kau cukup banyak memahami perasaan perempuan !"
Yan Jit segera melengos ke arah lain dan mengalihkan sorot matanya memandang jauh ke depan sana.
Langit biru, sang surya memancarkan cahaya keemas-emasannya ke seluruh permukaan tanah.
Di bawah cahaya sang surya yang indah, mendadak tampak serentetan cahaya api berwarna merah tua meluncur ke tengah udara dan memancar ke empat penjuru...
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan kening berkerut Yan Jit segera bergumam.
"Heran, dalam keadaan seperti ini, mengapa ada yang bermain kembang api?"
Ketika Yan Jit berpaling, maka terlihatlah Ong Tiong sedang berdiri di bawah wuwungan rumah sambil memperhatikan kembang api itu. Ketika angin berhembus lewat, kembang api yang berwarna merah darah itupun segera menyebar ke empat penjuru.
"Pokoknya kalau orang lagi gembira, setiap saat dia bisa melepaskan kembang api, sedikitpun tak ada yang perlu diherankan."
Ucap Kwik Tay-lok cepat. Yan Jit seperti lagi termenung, kemudian gumamnya pula.
"Apakah seperti juga seseorang yang setiap saat setiap waktu dapat menaikkan layang-layang ?"
Kwik Tay-lok tidak mendengar dengan jelas, baru saja dia bermaksud hendak bertanya apa yang dia katakan.... Mendadak Ong Tiong telah menyerbu ke hadapan mereka sambil berseru.
"Dimana dia ?"
Yang dimaksudkan "dia"
Sudah barang tentu Ang Nio cu.
"Dia sudah pergi."
Jawab Kwik Tay-lok.
"Karena dia merasa bahwa kau..."
"Kapan perginya ?"
Tukas Ong Tiong.
"Barusan...."
Baru mendengar kata itu, Ong Tiong sudah melompat ke udara dan sekali berkelebat melewati dinding pekarangan. Melihat itu, Kwik Tay-lok segera tertawa.
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen Seruling Perak Sepasang Walet -- Khu Lung Pisau Terbang Li -- Gu Long