Ceritasilat Novel Online

Pendekar Satu Jurus 15


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bagian 15


api mau tak-mau juga harus mempercayainya.

   Liong-heng pat ciang Tham Beng duduk di kudanya sekukuh batu karang siapapun tak menyangka orang tua ini sudah sehari semalam duduk di atas kudanya tanpa beristirahat.

   Wajahnya masih tetap tenang, tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya.

   Di tengah kegelapan hanya suara derap kuda yang terdengar memecah kesunyian, tiba-tiba dan depan debu beterbangan ke udara.

   Melihat itu, Liong heng-pat-ciang tertawa dingin, dengusnya.

   "Hm, ini dia, Sin Jiu Cian Hui ada main lagi!"

   Nadanya penuh rasa percaya pada diri sendiri dan juga angkuh.

   "Ah, permainan apapun yang akan dia lakukan juga tak akan mampu dikembangkan dihadapan Congpiautau!"

   Umpak pat-kwat-ciang Lui Hui sambil tersenyum.

   Liong heng pat-ciang Tham Beng tertawa "Sejak dulu kan sudah kukatakan kepadamu bahwa di dunia ini sama sekali tak ada urusan yang tak bisa diselesaikan? aku jadi teringat pada belasan tahun yang lalu pernah berjumpa seorang kusir kereta kuda yang bernama Ko put ki,"

   Sementara pembicaraan berlangsung dan depan muncul seekor kuda yang makin mendekat dengan cepatnya. Ketika si penunggang kuda itu mendengar ucapan terakhir Liong heng-pat-ciang yang terakhir.

   "Tahu apa?"

   Bentak Liong-heng-pat-ciang sambil menarik muka. Karena jawaban ini, si penunggang kuda tampak tertegun, bukan saja kelihatan gugup, sekujur badannya juga basah kuyup oleh keringat.

   "Ko put-ki "

   Ucapnya dengan tergagap.

   "Ko-put-ki. Ko-put ki apa?"

   Bentak Liong heng-pat ciang Tham Beng lagi dengan dahi berkerut "Ong Liat kenapa kian lama kelakuanmu kian mirip orang sinting, mana berbicara pun tidak jelas!"

   Ong Liat yang gugup dan mandi keringat ia semakin ketakutan ia tak berani menengadah cepat-cepat dicteritakannya semua kejadian yang berlangsung di Hok-gu-sau itu kepada majikannya.

   Berbicara sampai pada perbuatan Tok-jiu-ciang-wi yang pura-pura mati dengan tujuan membunuh Hui Giok.

   Liong heng-pat-ciang tampak tersenyum.

   "Sejak dulu sudah kutahu bahwa Kang hiante bukan seorang yang tolol ternyata dia memang mempunyai tujuan tertentu dengan perbuatannya itu. Ya dia memang seorang tangguh yang sukar dicari tandingannya."

   Walaupun senyuman juga menghiasi wajah Pat-kwa-ciang Lui Hui, tapi diam-diam ia merasa iri.

   Tapi Ong Liat lantas bercerita tentang Hui Giok mendadak melompat bangun dan Kang Tay-lik menelan kapsul racunnya untuk bunuh diri, air muka Liong-heng-pat ciang berubah hebat, ia menghela napas berulang kali, sedang Pat-kwa-ciang Liu Hui juga menunjukkan wajah menyesal meski dalam hati ia bersorak kegirangan karena Kang Tay-sik gagal berjasa.

   Tapi ketika Ong Liat melaporkan ada orang yang berniat akan membeberkan asal usul Tok ciang Kang Tay-sik, dengan murka Liong-heng-pat-ciang lantas berteriak.

   "Ke mana kaburnya orang itu? Apakah dia dibunuh Cian Hui?"

   "Tidak, tak dibunuh Cian Hui,"

   Ong Liat menggeleng kepala "tapi dia takkan lolos dari cengkeraman kita, sebab ketika hamba bersama Tio Kian dan Thio Seng berhasil kabur dari sana mereka berdua kuperintahkan untuk menguntitnya sendiri datang kemari untuk memberi laporan."

   Mendengar itu Liong-heng pat-ciang Tham Beng tertawa dingin.

   "Hehehe, Cian Hui tahu tak nanti kuampuni penghianat itu, maka ia pura-pura bermurah hati!"

   "Liu-hiante, jika Cian Hui tidak segera dilenyapkan dari muka bumi ini selamanya kita tak bisa hidup tenang."

   Meskipun air mukanya berubah hebat, tapi sikapnya tak kelihatan gugup.

   Tapi ketika Ong Liat melaporkan perbuatan Ko-put ki yang telah membongkar rahasianya tokoh yang gagah perkasa ini baru kelihatan gugup, tangannya yang mengelus jenggotpun gemetar.

   Setelah termenung sejenak, kemudian ia berkata dengan suara tertahan.

   "Masa semua orang percaya obrolan seorang kusir yang tak terkenal?"

   Ong Liat tak berani menjawab, dia hanya mengangguk saja.

   Dalam pada itu air muka Lo Gi, Pian Sau-yan serta Pat-kwa-ciang Liu Hui sama berubah juga, betapapun rahasia yang menyelimuti peristiwa yang pernah menggetarkan dunia Kangouw itu tak pernah diketahui oleh siapapun, bahkan Pat-kwa-ciang Liu Hui sendiri baru pertama kali ini mendengarnya.

   Sambil mengelus jenggotnya Liong heng pat-ciaag duduk tepekur di atas kudanya, kecuali rambut dan jenggot yang berkibar terhembus angin sekujur badan sama seakan tak bergerak, seolah- olah seorang pertapa yang sedang bersemedi.

   "Congpiautau "

   Bisik Pat kwa-ciang Liu Hiu dengan agak tergagap.

   Liong heng pat ciang mengulapkan tangannya memotong ucapan orang, ia jalankan kudanya perlahan ke depan, tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba ia putar kudanya dan tanpa mengucapkan sepatah katapun melarikan kudanya menuju ke arah yang lain.

   Lo Gi, Pian Sau-yan dan Pat kwa-ciang Liu Hui segera menyingkir memberi jalan, sesudah Congpiautau lewat, mereka bertiga saling pandang sekejap, akhirnya mereka menyusul ke sana.

   Liong-heng-pat-ciang melarikan kudanya ke sana dengan cepat, rambutnya yang telah beruban berkibar tertiup angin, begitulah hampir selama setengah jam ia membedal kudanya dengan cepat, walaupun Pat kwa ciang bertiga tak dapat melihat perubahan air mukanya, tapi mereka dapat menebak betapa kalut perasaannya waktu itu.

   Maka mereka pun tak berani bersuara, sedang mereka melarikan kuda masing-masing, mendadak Tham Beng menahan kudanya sehingga kuda mengangkat kaki depan ke atas, sementara kuda-kuda yang mengikut di belakangnya juga buru2 terhenti.

   Ringkikan kuda berkumandang, serentak rombongan menghentikan perjalanannya.

   Tiba-tiba Liong-heng-pat ciang berpaling dan bertanya dingin suara tertahan.

   "Liu hiante berapa banyak orang yang dapat dipakai di kantor pusat ibukota?"

   Pat-kwa-dang Liu Hin berpikir sebentar, lalu sahutnya.

   "Kurang lebih empat puluh orang."

   Pelahan Liong heng-pat ciang mengangguk "Dalam tiga hari, bisa kau kumpulkan berapa banyak jago2 tangguh dari seluruh kantor cabang kita?"

   Berdebar jantung Pat kwa-ciang Liu Hui, ia tahu majikannya telah siap untuk beradu kekuatan dengan Sin jiu Cian Hui. Lo Gi dan Piao Siau-yan yang mendengar pertanyaan itu ikut merasa tegang juga. Setelah termenung sebentar, kembali Liu Hui menjawab.

   "Bila kita kirim perintah dengan pos merpati dalam tiga hari kita bisa mengumpulkan dua puluh sembilan orang Piausu dan kurang lebih seratus orang anak buah, selebihnya..."

   "Cukup"

   Tukas Lioug-heng-pat ciang "Sau yan, sekarang juga berangkat ke Sik-ki-tin, kirim surat perintah ke seluruh kantor cabang dengan burung merpati, dan perintahkan kepada mereka yang mampu bertarung agar segera berangkat ke Kang-lam, yang sedang mengawal barang tetap mengawal barang, yang tak ada pekerjaan, isi kereta masing-masing dengan batu dan pura2 sedang mengawal barang, perintahkan kepada mereka untuk berkumpul di sepanjang penyeberangan di Buhan"

   "Terima perintah."

   Sahut Pian Sau-yan dengan semangat berkobar. Sambil berkerut kening Liong-heng-pat-ciang Tham Beng berkata pula dengan suara dalam.

   "Baik ada barang kawalan atau tidak, isi kereta masing-masing dengan batu!"

   Pian Sau-yan memberi hormat di atas kudanya kemudian mencambuk kuda tunggangannya dan berlalu dengan cepat. Setajam sembilu Liong heng-pat-ciang Tham Beng menyapu pandang anak buahnya, kembali ia berkata.

   "To hiante, sekarang juga berangkat ke Lam-yang dan mengadang Si Beng, Siang Hu, Kongsun Tay liok di sana, ajak mereka segera berangkat ke dermaga penyeberangan dan langsung menuju selatan, setibanya di Kanglam kumpulkan kembali ke-20 saudara kita yang bertugas di Ci-bun dan langsung berangkat ke Long bong-san-ceng, kecuali perempuan tua dan kanak-kanak, semua laki-laki yang tampak sehat ringkus seluruhnya, lebih baik diringkus dalam keadaan hidup-hidup, bila terpaksa boleh dibunuh, sesudah itu bakar Long-bong-san-ceng hingga rata dengan tanah."

   Walaupun merasa terkejut Lo Gi menyahut juga dengan nyaring.

   "Terima perintah!"

   Dengan mata membara terpengaruh hawa napsu membunuh, Liong-heng-pat-ciang melanjutkan kata katanya.

   "Bila tugas ini tak berhasil kau laksanakan, tak usah datang menjumpai diriku lagi, bila tugas itu dapat kau selesaikan, kalian boleh beristirahat sehari di Hu-liang, tunggu perintahku selanjutnya dengan berita burung merpati."

   Lo Gi tak berani banyak bicara lagi, ia segera mencemplak kudanya dan berangkat. Tanpa berhenti, Liong-heng-pat-ciang Tham Beng menurunkan perintahnya lebih jauh.

   "Ong Liat, sekarang juga balik ke Hok gu-san, gerak-gerik apapun yang dilakukan Sin-jiu Cian Hui, harus usahakan untuk melapor kepadaku, bila terlolos sebuah berita saja, kaupun tak usah bertemu denganku lagi"

   "Terima perintah"

   Sahut Ong Liat sambil melompat ka atas kudanya, diam-diam ia menyeka peluh dingin yang membasahi jidatnya.

   "Bila bertemu dengan Thio Khi dan Thio Seng, jika mereka telah berhasil menangkap pengkhianat tersebut, perintahkan kepada mereka agar pengkhianat itu langsung dibawa ke ibukota!"

   Ong Liat mengiakan lagi, tapi sebelum ia berlalu dari situ, dengan dahi berkerut kembali Tham Beng berkata.

   "Jika mereka berdua tak berhasil menangkap pengkhianat tersebut, bunuh saja kedua orang itu, Hui-liong-piaukiok kita tidak membutuhkan manusia tak becus seperti mereka."

   Ong Liat terkesiap, ia makin tak berani banyak bicara, cepat kudanya diputar dan berlalu. Sampai di situ, Liong~heng~pat-ciang baru dapat mengembus napas. ujarnya kemudian dengan lembut.

   "Liu-hiante, ikutlah aku pulang ke ibukota, akhir-akhir ini tentunya kau amat lelah bukan?"

   "Bila Congpiautau ada perintah lain, katakan saja kepadaku,"

   Buru-buru Pat-kwa-ciang Liu Hui berseru.

   "aku ..."

   "Di sepanjang jalan, hanya ada satu tugas yang harus kita laksanakan. ."

   Tukas Tham Beng sambil tersenyum. Setelah berhenti sebentar, lanjutnya.

   "yakni kita harus menyiarkan ke seluruh dunia bahwa Bun-ki telah bertunangan dengan Tonghong Ceng, salah satu dari Tiat-kiam-cengkang- ouw Tonghong bersaudara dari Kang-soh!"

   "Ber... bertunangan?"

   Desis Pat-kwa ciang Liu Hui dengan bingung.

   "Ya, bertunangan!"

   Sambil tertawa Tham Beng menambahkan.

   "Setengah tahun yang lalu, Tonghong Tiat telah memberi bisikan kepadamu bahwa ia ingin melamar Bun ki untuk Samtenya, ketika itu aku masih agak sangsi, pertama kuatir Bun-ki menolak, kedua akupun tak ingin mengecewakan Hui Giok, maka waktu itu aku cuma main ulur waktu dan tidak menyanggupinya. Pat kwa-ciang Liu Hui tertegun, ujarnya kemudian sesudah termenung sejenak "Lantas sekarang mungkinkah. ."

   Tiba-tiba Liong heng-pat-ciang tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha Liu Hiante, bagaimanapun kau memang kurang cekatan, bila berita itu tersiar maka dunia persilatan pasti akan gempar, Tonghong-hengte yang mendengar kabar inipun pasti akan kaget bercampur curiga, sekalipun mereka tak akan datang untuk melamar, sedikit banyak pasti akan mencari diriku untuk menanyakan duduknya persoalan, Nah, waktu itu asal ku ungkap kembali kejadian lama, niscaya pertunangan itu akan beres dengan sendirinya."

   Pat-kwa ciang Liu Hui berpikir sebentar, akhirnya iapun dapat memahami maksud sang majikan.

   "Congpiautau!"

   Demikian ia memuji.

   "kau memang hebat, ketepatanmu menyusun siasat rasanya tidak di bawah Khong Beng, dengan begitu..."

   "Hahaha... dengan begitu, bukan saja keluarga Tonghong akan menjadi pembantuku, perguruan Tonghong ngo-hengte pun akan menjadi tulang punggungku, setelah kekuatanku di tunjang oleh kekuatan sebesar ini, apa lagi yang mesti kutakuti, sekalipun penuturan kusir kereta itu akan mempengaruhi orang-orang dungu, mungkinkah cerita tersebut dipercayai juga oleh orang keluarga Tonghong Bu-tong-pay, Kun-lun pay dan beberapa perguruan kenamaan itu? Hah-ha, waktu belasan tahun kan tidak pendek, kukira sudah cukup untuk mengurangi rasa dendam serta kenangan orang banyak atas peristiwa lama tersebut Hahaha"

   Cian Hui wahai Cian Hui. bagaimanapun juga kau telah salah mencari musuh tandinganmu"

   Pat kwa-ciang Liu Hui ikut tertawa ter-bahak2, sejenak kemudian tiba2 tanyanya.

   "Cuma, bila ini benar2 terjadi, bukankah kita akan tidak leluasa untuk berbuat apa2 terhadap Hui Giok."

   Semakin keras gelak tertawa Liong-heng-pat-ciang Tham Beng.

   "Hahaha, setelah kupunya pendukung setangguh itu, sekalipun ada sepuluh bocah ingusan macam Hui Giok yang memusuhi diriku juga tak mampu berbuat apa2 terhadap diriku."

   Gelak tertawanya semakin bangga, suaranya pun semakin keras, hanya sayang tokoh persilatan yang selalu dianggap sebagai seorang budiman ini kembali menilai terlalu rendah kemampuan Hui Giok sehingga terciptalah suatu kekeliruan lagi.

   Dan kekeliruan tersebut seperti apa yang dikatakannya sendiri akan mendatangkan penyesalan baginya di kemudian hari.

   -oo- Dataran rendah Bu-hau yang luas kembali dilapisi oleh bunga salju akibat hujan yang lebat.

   Bekas roda kereta di atas permukaan salju, bekas kaki kuda yang tampak nyata tumpang menumpang.

   Di tengah hujan salju yang keras, bayangan orang dan suara cambuk dapat ditemui di mana2, gelak tertawa dan nyanyian keras pun terdengar di mana2, bahkan terlihat juga sinar pedang sering menambah seram dan dinginnya cuaca.

   Semua itu membuat ketiga kota Bu-han yang sudah ramai tambah semarak lagi, membuat dunia persilatan yang sudah kalut semakin kisruh lagi.

   Ketenangan dunia persilatan selama belasan tahun telah berlalu, orang persilatan sama kasak-kusuk, tahun lama sudah berakhir, tahun baru hampir tiba, barang siapa ingin pamer kepandaian dan jual nama kini saatnya sudah tiba, tunjukkanlah kegagahanmu...

   tunjukkanlah kepandaianmu dan berusahalah merebut kedudukan yang tinggi dalam dunia persilatan.

   Kereta pengiriman barang telah berkumpul sepanjang pantai sungai Tiang-kang, setiap saat mereka akan menyeberang ke wilayah Kanglam.

   Bendera perusahaan yang berwarna menyolok berkibar dengan menterengnya terembus angin utara yang dingin.

   Delapan ekor naga terbang yang tersulam di bendera seakan-akan terbang menembus awan melayang pergi.

   Di jalan-jalan besar sepanjang sungai, sering bermunculan Busu bersenjata dari perusahaan Hui liong-piaukiok, mereka membuat kelompuk sendiri dan mondar mandir kesana kemari.

   Pada wajah mereka yang serius itu seringkah menunjukkan ketegangan yang mencekam, sinar mata yang mencorong ibaratnya anjing pemburu yang sedang mencari mangsanya, tangan mereka yang kekar selalu meraba senjata masing-masing, seakan-akan setiap saat mereka siap menghunus senjata untuk melangsungkan pertarungan mati-matian.

   Sepatu kulit mereka yang kuat berderap di permukaan salju yang keras, sarung senjata mereka yang mengkilap bergesek dengan pelana yang berwarna hitam gelap.

   Dalam dunia persilatan, Liong-heng-pat-ciang yang mempunyai kedudukan ibarat seorang Bengcu dalam perusahaan ekspedisi Hui-liong-piaukiok ini adalah pimpinan tertinggi kedudukan selama sepuluh tahunan ini selalu mantap dan kuat bagaikan batu karang, kini telah mulai goyah.

   Alasan yang terpenting adalah karena kejujuran, kemuliaan serta kebijaksanaan Liong-hengpat- ciang dalam pandangan orang sudah mulai goyah.

   Suatu tuduhan sebagai pembunuh keji yang licik, kejam dan berhati busuk yang berlangsung pada sepuluh tahun yang lalu, kini mulai dibongkar dan tuduhan itu ternyata jatuh atas diri tokoh besar tersebut.

   Jago-jago persilatan yang suka mencari keramaian berbondong-bondong datang ke Bu-han dari berbagai penjuru negeri, sorot mata semua orang sama tertuju pada kereta barang yang berhimpun di sepanjang sungai, sebaliknya para Busu Hui-liong-piaukiok yang gagah perkasa, selalu pula memperhatikan setiap gerak-gerik di pantai selatan sana.

   Ada sementara orang yang diam-diam merasa kecewa dan menyesal, andaikata Koay-sim Hoa Giok belum mati, maka perasaan para jago yang berkumpul di kota Bu han tentu tak akan sekesal ini.

   Dengan demikian tentu pula di jalan raya dan rumah makan serta gang2 tempat ber-foya-foya dalam kota Bu han tak akan terjadi begitu banyak percekcokan perkelahian serta pembunuhan.

   -oOo -o- -oOo- Fajar baru menyingsing, meski waktu seperti ini adalah waktu yang paling tenang setiap hari, Tapi kota Bu-han yang dingin karena hujan salju ternyata tidak tenang dan sepi seperti tempat lain pada waktu yang sama, di bawah atap rumah yang penuh dengan salju yang membeku berkumpul kelompok-kelompok jago persilatan yang sedang ber-bisik-bisik membicarakan sesuatu rumah makan dan warung minum yang baru buka pintu telah diserbu orang hingga tak ada tempat yang kosong.

   Tiba-tiba dari kejauhan muncul empat ekor kuda yang dilarikan kencang-kencang, bunga salju beterbangan di belakang kuda dan menciprat ke empat penjuru penunggang kuda mengenakan mantel yang tebal dengan topi lebar, begitu masak ke kota, seorang lantas berteriak.

   "sebelum tengah hari nanti, Hui-taysianseng akan tiba di sini!"

   Berita itu dengan cepatnya tersiar saling menyambung hingga dalam sekejap saja seluruh kota Bu-ban telah merata dengan berita itu, sedemikian menggemparkan berita ini sehingga air sungai yang telah membeku se-akan2 beriak kembali.

   Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, Sin jiu Cian Hui dua tokoh utama yang sangat menarik perhatian orang itu belum muncul, tapi Hui-taysianseng ternyata sudah datang.

   kabar ini benar2 menggemparkan.

   Maka kelompok2 manusia lantas berkumpul di dermaga Tiang kang ada yang membawa payung ada yang memakai topi lebar, mereka berdiri di tepi sungai sambil memperhatikan perahu yang pelahan sedang merapat ke sini.

   "Siapa? Siapa yang datang?"

   Demikian mereka sama bertanya.

   Siapa pun yang datang, asal dia datang dari wilayah Kanglam (selatan sungai), maka kemunculannya itu pasti akan menimbulkan kegemparan di antara jago2 persilatan yang berkumpul di situ.

   Meskipun air sungai yang kuning berlumpur telah banyak mengalangi berita tapi tak mampu mengalangi pertarungan yang bakal berlangsung suatu pertarungan yang belum pernah terjadi selama berpuluh tahun terakhir ini.

   Perahu itu pelahan mendekat dan makin merapat.

   
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi di dalam kota sana tiba-tiba terjadi kegemparan lagi.

   Di bawah hujan salju yang bertaburan seorang pemuda tampan berbaju hijau sambil memegang tali kendali kudanya, menyelusuri jalan raya yang panjang dan lurus.

   Di sisinya mengikuti dua ekor kuda hitam di atas kuda dua orang berbaju abu-abu dan bermuka dingin.

   mereka bukan lain adalah Leng-kok siang bok yang tersohor dalam dunia persilatan itu.

   Di belakang mereka adalah lapisan suara manusia, lapisan ringkik kuda, entah berapa banyak penunggang kuda yang mengikut di belakang itu.

   Sejauh pandangan ke belakang terlihat kepala belaka, demikian banyaknya orang itu hingga sekilas pandang mirip gulungan ombak yang sedang mendorong pemuda yang berada di depan itu, walau sebenarnya pemuda itulah yang datang membawa gelombang ombak tersebut.

   "Hui-taysianseng!", sorak sorai gegap gempita berkumandang dan empat penjuru. Suara yang keluar dan mulut orang-orang itu mestinya tidak keras, tapi seruan yang diucapkan hampir bersamaan waktunya oleh sekian banyak orang kedengarannya menjadi seperti gemuruh guntur. Hui Giok tetap kalem dan tenang, senyuman selalu terkulum di ujung bibirnya meskipun begitu, di antara sinar matanya seolah-olah tersembunyi rasa sedih dan kesal yang tak terhingga. Para Busu "Hui liong"

   Yang tadi masih berjalan dengan langkah lebar dan sikap yang angkuh, kini keangkuhan mereka menjadi sirap.

   Langkah sepatu kulit mereka yang semula berat, kini sudah enteng, tangan yang semula meraba gagang senjata, kinipun terjulur lemas.

   Hui Gok memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian melompat turun dari kudanya, ia tak mau melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda di antara kerumunan sekian banyak jago persilatan, karena ia tak ingin menonjolkan diri dihadapan orang banyak, dia lebih suka menjadi seorang yang sederhana.

   Tapi nasib telah menciptakan dia menjadi seorang Enghiong, seorang pahlawan, keadaan yang telah menciptakannya menjadi seorang gagah dan lain daripada yang lain.

   Pada saat yang bersamaan, di sudut kota sebelah lain, perahu tadi sudah merapat di dermaga.

   Papan loncatan telah dipasang di antara perahu dengan daratan.

   Kabin perahu yang semula tertutup pelahan terbuka dan muncul lima orang pemuda tampan berbaju perlente, mereka membawa pedang, ujung baju yang berkibar terembus angin membuat mereka tampak lebih gagah, lebih kereng dan menakjubkan.

   "Tonghong-ngo kiam!"

   Pekikan nyaring meledak dan mulut orang-orang yang berkerumun di tepi sungai.

   Kerumunan manusia di dermaga dengan cepatnya mundur ke belakang memberi jalan lewat, sambil tersenyum Tonghong Tiat menjura ke sana ke mari memberi hormat kepada penyambutnya, lalu dengan membawa keempat saudaranya yang disegani itu turun dari perahu mereka, orang-orang disepanjang jalan serentak gempar.

   Tonghong-ngo-kiam menyusuri sebuah jalan raya yang lurus dan panjang, walaupun terjadi kegemparan, namun jalan raya yang lebar itu tak seorangpun yang berlalu lalang, hanya di bawah emper rumah dan di rumah makan orang makin berjubel.

   Tonghong-ngo-hengte saling pandang sekejap, alis mata mereka bekernyit, timbul rasa heran dan curiga mereka.

   "Mengapa begini?"

   Tapi akhirnya mereka melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan raya, pada ujung jalan lain, langkah Hui Giok masih tetap lambat dan tenang, matanya memandang ke bawah, ia tak mau melirik kawanan jago itu batang sekejap pun.

   Suasana di bawah emper rumah dan dalam warung makan mendadak berubah jadi hening, ketika itu dunia persilatan telah digemparkan oleh suatu berita besar, semua orang tahu bahwa keluarga Tonghong dari Kanglam telah berbesanan dengan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng.

   Puteri kesayangan Liong-heng-pat-ciang yaitu "Liong-li" (puteri naga) Tham Bun-ki telah dijodohkan dengan Tonghong Ceng, saudara ketiga dari Tonghong-ngo kiam.

   Pada saat yang sama, suatu berita lain yang meski lebih rahasia sifatnya, tapi tersiar pula dalam dunia persilatan secara luas.

   Berita itu entah siapa yang menyiarkan, tapi setelah disiarkan oleh orang pertama, dengan cepatnya berita itu tersiar dan mulut ke mulut, meski hanya berupa bisikan-bisikan belaka, tapi kecepatan penyiaran berita itu ternyata lebih cepat daripada pengumuman resmi.

   Kini, hampir setiap orang persilatan mengetahui hal ini! Berita apakah itu? Yakni bahwa Liong-li Tham Bun-ki itu puteri kesayangan Liong-heng-patciang Tham Beng, sebenarnya adalah kekasih Hui-tay-sianseng sejak kecil.

   Bahkan ada pula yang secara diam-diam berkata begini, sebenarnya Hui-taysianseng dan Liong-li Tham Bun-ki diam-diam telah mengikat janji dalam perkawinan, tapi lantaran Liong-hengpat- ciang sendiri yang mengacau, karena dia ingin menggaet keluarga Tonghong agar berpihak kepadanya agar dapat dipakai untuk menghadapi Perserikatan orang orang Kanglam, maka ia lantas menjodohkan puteri kesayangannya kepada Tong-hong Ceng.

   Walaupun sebagian besar orang tak tahu darimana datangnya sumber berita itu, namun ada kelompok manusia yang diam-diam menebak bahwa berita tersebut mungkin berasal dari pihak Sin-jiu Cian Hui.

   Tapi peduli darimanakah sumber berita itu, yang pasti semua orang hampir mempercayai kebenaran berita tersebut.

   Sekarang, Tonghong-ngo-kiam dan Hui-taysian seng akan berjumpa di tengah jalan, sudah tentu peristiwa tersebut merupakan suatu peristiwa yang lebih dahsyat dan menggemparkan daripada kejadian apapun.

   Kawanan jago persilatan yang mengikut di belakang Hui Giok semuanya telah turun dan kuda masing-masing, beratus pasang sepatu berjalan di atas lapisan salju dan menimbulkan suara yang sama.

   Serentetan suara langkah kaki lain berkumandang pula dari arah utara menuju ke selatan.

   Walaupun senyuman masih menghiasi wajah Tonghong-ngo-kiam, rasa heran dan curiga menyelimuti perasaan mereka, Di tengah keheningan mereka pun mendengar langkah kaki lain yang makin lama makin mendekat.

   Ketika mereka berpaling, tertampaklah kelompok manusia di tepi jalan sama menunjukkan sikap yang semakin tegang.

   Hampir bersamaan waktunya kelima Tonghong bersaudara itu meraba gagang pedang masing2, sinar mata mereka yang tajam menatap tak berkedip ke arah depan sana.

   Saat itulah di bawah emper rumah ada puluhan orang laki2 berbaju hitam sedang menyebarkan diri secara diam2, mereka mencari tempat2 yang sepi dan terlindung dari pandangan orang.

   Tentu saja tak seorangpun yang menaruh perhatian kepada mereka dan juga tak ada yang tahu anak buah siapakah mereka? Langkah Hui Giok belum berhenti.

   Langkah Tonghong-ngo-kiam juga tidak berhenti.

   "Apa yang akan terjadi setelah mereka kepergok? Bagaimana sikap mereka? pertanyaan dan pertanyaan timbul dalam hati setiap orang, tapi tak seorang pun yang menemukan jawabannya Akhirnya Hui Giok menengadah sinar matanya menyapu pandang sekejap, dilihatnya lima pemuda berpakaian perlente pelahan sedang menghampiri ke arahnya. Derap langkah mereka teratur, pakaian dan dandanan mereka mirip satu dengan yang lain. Berdebar jantung Hui Giok setelah mengenali orang2 itu sebagai lima saudara Tonghong, namun air mukanya tetap tenang, seolah-olah tak pernah terjadi apapun. Tonghong-ngo-kiam juga saling pandang sekejap, lalu Tonghong Kang berbisik.

   "Dia inikah Hui Giok!"

   Keempat saudaranya hanya mengangguk, sebenarnya antara mereka berlima dengan Hui Giok tidak ada permusuhan apapun, tapi dalam keadaan dan situasi semacam ini, tiba2 saja mereka merasa antara mereka dengan Hui Giok ada sesuatu yang mengganjal, meski air muka mereka tak berubah, namun hati mereka merasa serba susah juga, Leng-kok siang-bok saling pandang sekejap lalu berdehem, Dalam pada itu Tonghong-ngo hengte sudah mendekat dengan langkah lebar.

   "Selamat berjumpa selamat berjumpa!"

   Sapa Hui Giok dengan tersenyum.

   "Selamat berjumpa, selamat berjumpa!"

   Tong hong~ngo-hengte membalas hormat.

   Di antara kelima bersaudara itu, kendatipun Tonghong Ceng merasa paling kikuk, namun senyuman tetap menghiasi bibirnya, hal ini membuat semua orang yang menonton di bawah emper rumah saling pandang dengan rasa kecewa.

   Agaknya setelah saling tegur sapa dengan sopan, kedua rombongan itu lantas berpapasan dan lewat dengan begitu saja, tanpa ketegangan, tanpa rangsangan dan tanpa kejutan, se-olah2 kenalan biasa yang bertemu di tengah jalan saja.

   Kembali Leng-kok-siang-bok saling pandang sekejap.

   Tiba-tiba dari ujung jalan depan sana berkumandang suara teriakan yang nyaring.

   "Wahai Hui-taysianseng, masa hatimu sedih kekasihmu dirampas orang lain? Masa kau tidak marah? Tidak penasaran"

   Hui Giok, Leng-kok-siang-bok maupun Tonghong-ngo kiam serentak berhenti dan saling pandang dengan melenggong.

   "Siapa?"

   Hardik Tonghong Ceng mendadak dengan kening berkerut.

   Jilid ke- 17 Baru saja ia membentak, dari ujung jalan sana terdengar pula orang berteriak.

   "Wahai Tonghong Ceng, meskipun Tham Bun ki akan kawin dengan kau, pada hakikatnya dia masih mencintai Hui Taysianseng, bahagiakah kawin tanpa dilandasi oleh cinta?"

   Suasana di sekeliling tempat itu menjadi gaduh, air muka Tonghong-hengte berubah hebat, lebih-lebih Tonghong Ceng, mukanya tampak pucat seperti mayat.

   Dalam pada itu, rombongan orang yang jauh ngintil di belakang Hui Giok tadi telah berkerumun ke muka, lalu mengurung mereka di tengah arena.

   tentu saja sukar untuk mencari biangkeladi si berteriak dari sekian banyak orang ibaratnya mencari jarum di dasar lautan.

   Tongbong Ceng menyengir "Hui-heng, baik-baikkkah kau selama ini?"

   Tegurnya kemudian dengan nyaring "Konon ilmu silat Hui-heng telah mendapat kemajuan yang amat pesat untuk itu Siaute ikut bergembira."

   Perkataan ini sengaja diucapkan dengan suara lantang, pertama untuk menunjukkan dia tidak mempunyai tujuan pribadi, kedua iapun ingin mengalihkan pembicaran ke soal lain, di sinilah terlihat kebijaksanaannya sebagai seorang ksatria muda.

   Siapa tahu baru saja selesai katanya, kembali ada orang menyeletuk "Apa yang kau girangkan? Memang kau anggap Hui-taysianseng tidak setangguh kalian berlima? sungguh harus disesalkan perbuatan Tham Beng itu, demi persekongkolannya dengan keluargamu ia telah menjadikan puterinya sebagai hadiah, ia telah mengorbankan kebahagiaan hidup puterinya.

   Tonghong Ceng, wahai Tonghong Ceng, katakanlah terus terang, bukankah memang demikian kejadiannya?"

   Wajah Tooghng Ceng yang pucat kini menghijau, tangannya yang memegang gagang pedang tampak tegang hingga otot hijau pada menongol keluar, padahal kawanan manusia yang berada di sekelilingnya selapis demi selapis mengurung mereka di tengah, dalam keadaan demikian mau pergi pun tak bisa, tidak pergi rasanya tak enak, mau marah enggan, tidak marah hati terasa panas ia benar-benar serba salah dan tak tahu apa yang harus dilakukannya.

   Sinar mata Leng-kok-siang-bok berkilat, sebagai manusia yang berpengalaman mereka segera sadar bahwa teriakan orang tadi pasti merupakan serangkaian rencana keji yang sengaja diatur oleh Sin-jiu Cian Hui, yaitu agar Hui Giok dan Tonghong-ngo-kiam saling bentrok, bahkan terlibat dalam suatu pertarungan sengit sedang dia sendiri yang akan menarik keuntungannya.

   Walaupun Tonghong-ngo-kiam sendiri juga bukan orang bodoh, tapi sayang mereka pun tak tahu cara bagaimana mengatasi situasi yang serba salah ini.

   Untunglah diantara lima bersaudara itu, Tonghong Tiat terhitung paling tenang dan pandai menguasai keadaan, meski situasi tidak menyenangkan, pikirannya tak sampai kalut.

   "Sobat!"

   Bentaknya setelah merenung sebentar.

   "Kalau ingin bicara, tampil ke depan dan bicaralah yang jelas, caramu itu..."

   "Kalian lima bersaudara mempunyai nama yang baik, mempunyai juga guru yang baik"

   Suara teriakan tadi kembali berkumandang.

   "sekalipun aku merasa mendongkol dan kheki, tak berani kuganggu diri kalian."

   "Betul"

   Segera seorang menyambung pula, sampai-sampai Liong-heng-pat-ciang perlu menjilat pantat kalian, apalagi kami sungguh kasihan, Hui taysianseng yang berpribadi halus, berilmu silat tinggi dan berpendidikan baik, oleh karena tak mempunyai tulang punggung yang mendukungnya.

   dia harus berpisah dengan kekasihnya secara paksa."

   Suara tertawa dingin segera menggema pula dan sudut lain.

   "Hehehe, selama ini tindakan Huileng- po selalu mencerminkan perbuatan seorang pendekar tak nyana kali ini sudi melakukan perbuatan seperti ini."

   Mencorong sinar mata Tonghong-ngo kiam, lenyap pula senyuman yang menghiasi bibir Hui Giok.

   Tiba2 Tonghong Kang dan Tonghong Ouw, kedua saudara kembar yang paling muda tapi juga paling berangasan melompat ke depan dan menghampiri Hui Giok sambil tertawa dingin Tonghong Ouw membentak.

   "Manusia rendah yang tak tahu malu, engkau inikah yang mengatur segala sesuatunya ini?"

   "Ngo-te!"

   Tonghong Tiat cepat menbentak. Tapi terlambat, sebab air muka Hui Giok lelah berubah hebat.

   "Saudara apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti demikian serunya dengan nada berat."

   Tonghong Ouw tertawa dingin, mendadak ia lolos pedangnya.

   "Hari ini aku Tonghong Ouw tidak akan mengandalkan nama perguruan tidak menonjolkan nama orang tua atau saudara, dengan seorang diri ingin kujajal kepandaian Hui-taysianseng, ingin kulihat sampai di manakah tarap kepandaianmu!"

   Tonghong Tiat berkerut kening, bisiknya sambil menghela napas "Ngo-te, kau kau...."

   Perkataan itu belum berlanjut ketika dari empat penjuru menggema suara teriakan yang gegap gempita "Hajar saja"

   Ganyang saja! Hajar bajingan cilik itu sampai mampus, kita lihat apa yang bakal dilakukan gurunya, ayahnya serta saudara saudaranya?"

   Tonghong Tiat berpaling, ia lihat Hui Giok berdiri kaku di tempat semula, tidak menjawab juga tidak memberi penjelasan, hal ini segera menimbulkan kecurigaan serta rasa mendongkolnya. Saudara Hui,"

   Tegurnya kemudian sambil tertawa dingin.

   "sebenarnya apa yang terjadi? Harap memberi penjelasan kepada kami"

   Tiba-tiba Hui Giok tersenyum "Engkau minta penjelasanku, lantas aku minta penjelasan kepada siapa?"

   Tonghong Ouw menggetarkan tangannya, cahaya pedang berkilau, sekali berkelebat hampir saja muka Hui Giok terluka. Berubah air muka Hui Giok.

   "Aku tak ingin bertengkar dengan kalian, pertama aku tak ada permusuhan dengan kalian, kedua akupun tak ingin diadu domba oleh orang-orang yang tak dikenal. Sebab itu kuminta kaupun jangan bersikap kelewat batas, paling sedikit sebelum duduk perkara dibikin jelas."

   Tonghong Tiat segera menarik mundur adiknya, seraya berkata.

   "Adapun kedatangan kami tak lain hanya ingin membikin terang duduknya perkara, kami sama sekali tidak bermaksud berbesanan dengan keluarga Tham, tapi saudara..."

   Mendadak Hui Giok tertawa dingin dan menukas.

   "Apakah kalian mau berbesanan dengan keluarga Tham atau tidak, apa sangkut pautnya dengan diriku?"

   "Benarkah tak ada sangkut-pautnya?"

   Tonghong Ouw mengejek.

   Kontan hati Hui Giok menjadi panas, betapa perkataan pemuda berangasan ini telah menyinggung perasaannya.

   Leng Han-tiok yang berada di samping buru-buru menegur dengan mata mengkilap "Apakah kau suka orang jahat bergembira karena siasatnya berhasil?"

   Hui Giok terkesiap, dada yang membusung seketika melengkung lagi.

   Dan kerumunan orang banyak segera terdengar suara teriakan keras "Wahai Hui-taysianseng selemah itukah dirimu? Senangkah kau dipendam kan orang tanpa membalas? Atau kau memang jeri terhadap mereka?"

   Tonghong Ouw mendengus "Hm, begitu banyak kawanan tikus yang memberi semangat kepadamu, apa lagi yang kau takuti"

   Hui Giok menghela napas, ia berpaling sekejap ke arah Leng-kok-siang-bok, melangkah ke sana, tampaknya akan menuju ka tengah kerumunan orang. Toa-kongcu, Ji-kongcu!"

   Tiba-tiba terdengar gertakan.

   "orang inilah yang berkaok-kaok cepat. Tapi sebelum lanjut seruan, mendadak terdengar jeritan ngeri.

   "Koan ji!"

   Seru Tonghong Tiat dengan air muka berubah.

   Tonghong Ouw memutar pedangnya sambil melayang lewat di atas kepala orang banyak.

   Dia adalah pemuda asal keluarga persilatan lagi pula mendapat didikan guru yang pandai, kungfunya memang jarang ada di dunia ini.

   Hui Giok membatalkan maksudnya melangkah ke sana, Tonghong Ceng bermaksud menyusul saudaranya, tapi Tonghong Tiat segera mencegahnya.

   "Sudah ada Ngo-te seorang, rasanya sudah cukup."

   "Jika orang itu berhasil ditangkap, ingin ku lihat dia itu manusia macam apa?"

   Seru Tonghong Kang dengan marah.

   Suasana kembali jadi gaduh, suara langkah terang bergemuruh dan empat penjuru.

   Tiba-tiba di antara kerumunan orang terbuka satu jalan, dengan wajah dingin Tonghong Ouw muncul dengan langkah tegap, pedangnya tergantung di pinggang, tapi tangannya memondong sesosok mayat.

   "Koan-ji? Benar Koan ji itu?"

   Tonghong Kiam berseru kaget. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Tong-hong Ouw membaringkan jenazah itu di tanah, pada dada mayat itu tertancap sebilah belati.

   "Ai, dia benar-benar Koan-ji,"

   Keluh Tonghong Tiat sambil menghela napas.

   "dia tentu menemukan si peneriak itu, tak tersangka dia akan mati terbunuh sekeji itu."

   "Di mana pembunuhnya?"

   Teriak Tonghong Kang sambil memburu maju.

   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dalam keadaan seperti ini, sekalipun ada seribu orang pembunuh juga dapat bersembunyi di antara kerumunan orang banyak,"

   Sahut Tong hong Ceng ketus.

   Selama ini Tonghong Ouw terus menerus mengawasi belati itu, tiba2 ia membentak, tangan diayun ke depan, serentak cahaya perak dengan desing angin tajam langsung mengancam dada Hui Giok.

   Bekernyit alis Hui Giok, tapi ia tak bergerak dengan jari tangan dan jari telunjuknya tahu2 belati itu sudah terjepit di tangannya.

   "Hei, apa-apaan kau ini?"

   Bentaknya Dengan mata melotot gusar Tonghong Ouw berteriak.

   "Lihat sendiri tulisan di atas pisau itu coba periksa! Bukankah anggota perserikatan Kanglam kalian yang melakukan perbuatan ini?"

   Tonghong Kang juga membentak, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia melolos pedangnya, dengan menciptakan selapis cahaya tajam, ia tabas bahu Hui Giok, Dengan enteng Hui Giok berkelit ke samping, belati yang terjepit di tangan kanannya menyampuk perlahan.

   "trang"

   Tabasan lawan berhasil di tangkis "Bagus"

   Seru Tonghong Kang.

   "sambutlah seranganku ini"

   "Sret!"

   Dia membacok lagi dengan kuat "Jangan gegabah kau ingin ditertawakan orang?"

   Seru Tonghong Tiat sambil memegang pergelangan tangan adiknya. Pedang yang sudah disarungkan kembali dilolos oleh Tonghong Ouw, ia menjengek.

   "Hehe, apa nya yang akan ditertawakan?"

   Cahaya pedang berkilau.

   "sret! Sret! ia membacok ke kiri dan menabas ke kanan secara beruntun mengarah bahu kiri serta kanan leher Hui Giok. Dasar wataknya memang berangasan, tidak heran kalau serangannya juga ganas dan mengerikan. Jeritan kaget menggema, barisan orang yang beraa paling depan serentak menyurut mundur tapi rombongan yang di belakang dengan cepat mendesak maju. Hui Giok melompat dan berkelit ke samping. tapi baru saja kedua serangan terhindar, tahutahu Tonghong Ouw sudah putar pedang dan menusuk hulu hatinya. Dengan tenang Hui Giok bergeser ke belakang.

   "Ayo balas! Masakan tidak berani membalas?"

   Teriak Tonghong 0uw.

   Sambil berseru kembali ia lancarkan tiga kali serangan berantai, menusuk jalan darah Huan-su Tiong-ha&t serta Oang-tay, tiga jalan darah penting Hui Giok tertawa dingin, ia mengegos kesamping lalu menerjang ke muka, sementara itu Tonghong Tiat berseru dengan gegetun.

   "Masa bodoh, terserah kemauan kalian. Dia melepaskan tangan Tonghong Ouw, lalu menyingkir jauh ke belakang. Leng-kok siang-bok juga bertindak cepat, sambil mengebaskan ujung bajunya mereka mengadang di depan Hui Giok.

   "Minggir!"

   Bentak Tonghong Kang serta Tonghong Kiam sambil menyilangkan pedangnya Di tengah ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin dari kerumunan orang banyak.

   "Hehehe, budak dungu !"

   Meskipun suara itu tidak keras, namun dapat didengar jelas oleh telinga Tonghong-ngo-hengte.

   Sebagai keturunan keluarga persilatan tentu saja kelima orang itu tahu bahwa perkataan tadi diucapkan oleh seorang tokoh persilatan yang mempunyai tenaga dalam yang sempurna mereka jadi ragu.

   Tonghong Kang dan Tonghong Ouw menarik kembali senjatanya dan mundur dua langkah, tiba dari arah kerumunan orang banyak melayang datang segulung bayangan hitam, gerak bayangan itu sangat cepat.

   Suara kaget kembali menggema di sekeliling tempat itu, tanpa terasa Tonghong-hengte mundur lagi tiga langkah.

   "Buk"

   Bayangan itu jatuh ke tanah, ternyata seorang laki-laki berbaju hitam yang tertutuk jalan darahnya.

   Rupanya laki-laki berbaju hitam itu dilemparkan orang dari kejauhan, namun tidak membikin terluka waktu terbanting di tanah, ketepatan tenaga lemparan yang demonstrasikan orang itu sungguh luar biasa.

   "Tonghong-heogte lebih terperanjat lagi, Hui Giok dan Leng-kok-siang-hok juga melenggong, maklumlah tidak banyak orang yang memiliki tenaga dalam sesempurna itu di dunia ini.

   "Siapa?"

   Bentak Tonghong Kiam. Karena tiada jawaban, dengan dahi berkerut Tonghang Tiat berseru sambil menjura.

   "Locianpwe dari mana yang berkunjung kemari? Silakan..."

   Belum habis seruannya, ucapan yang halus nyaring dan kuat itu kembali berkumandang, kah ini diucapkan sekata demi sekata.

   "Peduli siapapun, tanpa menyelidiki keadaan yang sesungguhnya adalah tindakan dungu, akan ku bekuk mereka yang berkaok-kaok itu agar kalian tahu sebenarnya mereka itu anak buah siapa?"

   Perkataan ini jauh lebih nyaring dibandingkan dengan pertama kali tadi, suasana kembali menjadi riuh, mereka yang ikut berteriak di tempat persembunyian mulai berdebar setelah mendengar perkataan itu, tanpa sadar mereka mengambil langkah seribu dan lari terbirit-birit.

   Tapi, baru saja mereka kabur, dari bawah emper rumah sana melayang keluar dua sosok bayangan, demikian cepatnya gerakan mereka sehingga beratus pasang mata yang hadir di situ tak seorangpun yang dapat melihat wajah mereka.

   Di mana bayangan tersebut menyambar lewat, seorang segera menjerit kaget, menyusul sesosok bayangan lantas terlempar ke udara dan terjatuh di tengah lapang di antara kerumunan orang banyak.

   Belum habis rasa kaget Hui Giok, Leng-kok-siang-bok serta Tonghong-ngo-kiam yang berada di antara kerumunan orang itu puluhan bayangan hitam sudah beterbangan dari berbagai penjuru.

   "Blangl Bluk"

   Meski bayangan-bayangan hitam itu datang dari arah yang berbeda, namun mencapai tanah pada saat yang hampir sama.

   Tonghong Kang dan Tonghong Ouw melompat ke sana tapi hanya terlihat dua sosok bayangan abu-abu berkelebat di udara dan lenyap di kejauhan.

   Ilmu meringankan tubuh yang demikian hebatnya ini benar-benar tak pernah dilihat oleh kawanan jago yang berada di situ, malahan Tonghong hengte yang berasal dari keluarga persilatan mempunyai guru dan ayah yang merupakan tokoh silat kelas satu, juga terperanjat setelah menyaksikan kelihayan Ginkang kedua orang itu.

   Mencorong sinar mata Hui Giok, dari gerakan tubuh kedua orang itu, satu ingatan melintas dalam benaknya, tiba-tiba ia teringat akan dua orang, tanpa terasa senyuman menghiasi bibirnya.

   Tonghong Tiat segera mencengkeram baju seorang laki-laki berbaju hitam, jalan darah orang itu Ditepuknya.

   Laki-laki itu sangat ketakutan mukanya pucat dan matanya celingukan ke sana kemari seperti maling tertangkap basah, dengan gemetar ia memohon.

   "Ampun! ampunilah hamba... hamba tidak... tidak berkata apa-apa!"

   Tonghong Ouw tertawa dingin, batang pedangnya menabok tulang bahunya dan menyebabkan laki-laki itu kesakitan, ia menjerit seperti babi mau disembelih, peluh dingin membasahi badannya. Dengan gusar Tonghong Kang membentak.

   "Ayo mengaku, kau anak buah siapa? Diperintah oleh siapa untuk berbuat begini? sebelum hitungan ketiga kau harus mengaku terus terang, kalau tidak Hm, kedua tulang pundakmu akan kutembusi pedang, lalu matamu akan kubuatkan."

   Ujung pedang yang bergetar menempel di bawah alis laki-laki itu, dalam keadaan begini, asal dia menggerakkan tangannya, niscaya mata laki-laki akan terkorek keluar.

   Hm G ok menghela napas, ia seperti teringat akan sesuatu dan ingin bicara tapi akhirna tidak.

   sementara itu Tonghong Kang sudah mulai menghitung.

   "Satu! . ."

   Laki-laki berbaju hitam itu ketakutan hingga badan gemetar, sedikitpun tak berani bergerak.

   "Hamba tidak ..tidak. ."

   Tonghong Ouw tak memandangnya, ia menghitung lebih lanjut.

   "Dua!..."

   Air muka laki-laki itu makin pucat tiba-tiba ia berteriak "Aku mengaku... mengaku . ., .

   "

   Tonghong Kang tertawa dingin, ia tarik kembali pedangnya, Dengan lemas laki-laki berbaju hitam itu terduduk di tanah, ia menyeka peluh yang membasahi jidatnya dengan tangan yang gemetar.

   "Hamba ..hamba adalah anak buah Na-ceng cu dari Jit-giau San ceng."

   Katanya kemudian dengan pelahan. Begitu pengakuan diberikan baik Hui Giok dan Leng-kok-siang-bok maupun Tonghong ngo kiam sama-sama melengak.

   "O, mereka ini anak buah Jit giau-tui-hun?"

   Kegaduhan berkumandang dan empat penjuru, suasana jadi gempar, semula mereka mengira perbuatan ini pasti merupakan suatu rangkaian siasat mmeecah-belah dari Sin jiu Cian Hui, tak tersangka siasat ini adalah tipu berantai dari Jit-giau-tui-hun Na Hui hong yang ingin "sekali timpuk empat ekor burung".

   Seandainya Hui Giok sampai bentrok dengan Tonghong-ngo-kiam, akibatnya kedua pihak tentu akan sama-sama cedera.

   Bila begini, Liong-heng pat ciang akan paling menderita dia pasti mengira tindakan mi merupakan siasat dari Sin-jiu Cian Hui, orang persilatanpun tentu akan mengutik kekejian si Tangan Sakti ini.

   Dengan alis berkerut Leng Han-tiok juga mendesis.

   "Hm, sekali timpuk empat ekor burung, hehehe, siasat berantai yang busuk rencana jahat yang keji!"

   Sementara itu Tonghong hengte termangu sejenak, lalu mengerling sekejap ke arah Hui Giok, kemudian mereka sama melengos dan tak berani memandang pemuda itu lagi.

   Hui Giok tersenyum, tiba-tiba ia menepuk tiga kali di tubuh orang-orang berbaju hitam yang menggeletak di tanah itu.

   "Hei apa yang kau lakukan?"

   Tegur Tonghong Ouw Tersenyum Hui Giok "Orang-orang ini tak lebih hanya kaki-tangan yang diperintah kedudukan mereka tidak bebas kita tak dapat menyalahkan mereka Bagaimanapun juga kita sudah tahu siapa dalang di belakang mereka, asal kita sama2 tidak rugi, apa salahnya mereka dilepaskan saja?"

   Merah wajah Tonghong Kang, ia tidak bicara lagi.

   "Nah, pergilah"

   Kata Hui Giok kemudian sambil ulapkan tangannya.

   Bagaikan mendapat pengampunan besar, semua laki-laki berbaju hitam itu melompat bangun lalu memberi hormat kepada Hui Giok, kemudian lari terbirit-birit ke tengah kerumunan orang banyak.

   Kalau orang lain di sekitar tempat itu sama kalut maka Toughong-ngo-kiam serta Hui Giok hanya berdiri diam saja tanpa bicara.

   Dalam suasana seperti inilah di tengah kerumunan orang banyak itu ada seorang anak perempuan dengan matanya yang besar sedang memperhatikan gerak-gerik Hui Giok, kebetulan Hui Giok juga berpaling ke sana, melihat mata jeli itu.

   tergerak hati Hui Giok, ia menjura kepada Tonghong-ngo kiam sambil berkata.

   "Selamat bertemu! Selamat tinggal!"

   Tonghong-ngo-kiam melengak tapi cepat merekapun menjura.

   "Selamat, sampai berjumpa pula."

   Seperti tiba-tiba menemukan sesuatu, Hui Giok lantas menyelinap ke tengah kerumunan orang banyak sana.

   Tonghong-ngo-kiam saling pandang sekejap dan pancaran sinar mata mereka terlihat rasa heran, curiga dan kecewa, sesudah memberi hormat kepada Leng-kok-siang-bok.

   kelima bersaudara itu pun menuju ke kerumunan orang sana.

   "Siapa yang ditemukan Giok-ji?"

   Bisik Leng Han-tiok dengan dahi berkerut.

   Leng Ko-bok menggeleng kepala, tanpa bicara mereka ikut di belakang Hui Giok, menyelinap ke tengah kerumunan manusia.

   Tanpa harus dorong mendorong otomatis semua orang memberikan jalan lewat bagi Hui Giok tapi waktu itu si anak perempuan yang bermata besar itu telah pergi, hanya terlihat kuncirnya yang panjang hitam menggapai di tengah kerumunan orang.

   Hui Giok makin tercengang, langkahnya dipercepat untuk menyusul ke sana.

   Apakah Hui Giok berada di sini? Hui Giok, berada di mana?"

   Mendadak dan belakang berkumandang suara teriakan.

   Dengan ragu Hui Giok hentikan langkahnya.

   Terdengar suara dentingan benda logam semakin mendekat, tiba-tiba dari kerumunan manusia muncul seorang laki-laki bertongkat baja dengan wajah penuh rasa gusar.

   Orang ini tak asing lagi bagi semua orang, dia bukan lain adalah pemimpin Kim keh-pang, si ayam Emas Siang It-ti.

   Tonghong-ngo-kiam baru saja pergi dan kini Siang It-ti telah datangi bahkan muncul dengan sikap seolah-olah ingin mencari perkara, para jago yang siap bubaran itu serentak berkerumun kembali di sekeliling tempat itu.

   Sementara itu Hui Giok sedang menghela napas, sambil berpikir "Ai, apakah dia yang telah datang! Mengapa dia menemui diriku?"

   Segera iapun menjura dan berkata kepada Siang It-ti.

   "Baik-baikkah selama ini Siang pangcu? Ada urusan apakah?"

   Kim-keh Siang It ti mendengus, setelah melotot sekejap ia membentak.

   "Hm, kau masih kenal padaku?"

   Hui Giok melongo dan tak tahu bagaimana harus menjawab.

   Sementara itu Siang It-ti telah berkata pula "Masih ingatkah bagaimana caramu menduduki singgasana Bengcu Perserikatan orang-orang Kang-lam? Tak kusangka setelah kedudukanmu kuat, lalu kau berlagak tuan besar dan main kuasa!?"

   Hui Giok mengernyitkan dahinya.

   "Siang pangcu, silakan bicara sesukamu, maaf, aku tak dapat melayani kau lebih lama"

   Habis mi segera ia hendak melangkah pergi. Tapi sebelum ia sempat bergerak, diiringi suara dentingan sesosok bayangan mengadang di depannya.

   "Mau pergi,"

   Jengek Siang It-ti. Hui Giok mengerling sekejap.

   "Aku tak boleh pergi?"

   Baik sikap maupun waktu bicara sikap Hui Giok tetap tenang, begitu berwibawa dan demikian yakin pada diri sendiri.

   hal ini membuat Kim-keh Siang It-ti jadi tertegun.

   Dja tak menyangka pemuda lemah lembut yang berpisah dalatn beberapa tahun saja sekarang sudah demikian gagah dan kerengnya.

   "Mau pergi? Tentu boleh saja."

   Katanya kemudian setelah merenung sebentar.

   "cuma aku ingin tanya dulu kepadamu. kesalahan apakah yang di perbuat anak buahku si jengger ayam Pau Siau-thian sehingga kau menjatuhken hukuman mati kepadanya."

   Hui Giok melongo setelah mendengar tuduhan "Pau Siau-thian telah mati?"

   Desisnya dengan tergagap.

   "Ya, dia mati terbunuh di lereng bukit Hok lan san"

   Sahut Siang It-ti dengan gusar.

   "seandainya tidak cepat kutemukan, mungkin jenazahnya sudah habis diganyang binatang buas . ."

   Hui Giok terkesiap.

   "Apakah di sampingnya juga terdapat mayat Sin-lu tui-hong?"

   
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tukasnya.

   "Hehehe, nyata kau sudah tahu, bila sekarang tidak memberi penjelasan yang memuaskan, hm hari ini kau harus ganti nyawanya,"

   Seru Kim-keh Siang It-ti sambil tertawa dingin.

   Dengan kening berkerut tongkatnya mengetuk tanah sehingga salju muncrat berhamburan menodai baju Hui Giok yang berwarna hijau itu.

   Hui Giok menghela napas, seakan-akan tidak melihat akan perbuatan orang ia berkata dengan nada berat.

   "Sungguh tak nyana Sin jiu Cian Hui membinasakan juga mereka berdua"

   "Hehehe, kau hendak melimpahkan kesalahan ini kepada Cian Hui?"

   Siang It-ti tertawa dingin.

   "Kau kira aku jeri terhadap Cian Hui? Hari ini akan kujagal dulu dirimu, kemudian baru kubikin perhitungan dengan Cian Hui!"

   Belum selesai perkataannya, tongkat langsung diayun ke depan, dengan deru angin keras ia hantam batok kepala Hui Giok.

   Suasana jadi gempar lagi, jeritan kaget menggema di sana sini, kawanan jago sama tertegun mereka tak mengerti mengapa Kim-keh Siang It-ti yang tergabung dalam Perserikatan orangorang Kanglam berani menyerang Bengcunya.

   Hui Giok mengegos lalu menyelinap di belakang lawan.

   "Kau sudah gila?"

   Hardiknya.

   "Jangan urus aku gila atau tidak, hari ini kau harus bayar dulu nyawa Pau Siau-thian"

   Jawab Siang It-ti seperti orang kalap.

   Di antara deru angin serangan yang dahsyat secara beruntun dia lancarkan tiga kali serangan mengincar kepala, pinggang dan kaki.

   Begitu hebat serangan tersebut, tampaknya dia benar-benar bernapsu membinasakan Hui Giok.

   Seringan daun Hui Giok melayang kian kemari, meski hebat ketiga serangan itu toh semuanya dapat dihindarkannya dengan manis.

   Tak kusangka Kim-keh Siang Tt ti adalah seorang laki-laki berdarah panas.

   demikian pikir Hui Giok.

   "untuk membalaskan kematian seorang anak buahnya ia berani bertarung dengan nekat!"

   Setelah ingatan tersebut terlintas, timbul rasa simpatinya kepada orang itu maka iapun enggan membalas serangan lawan, dengan lincah dia mengegos ke sana kemari, pemuda itu berharap lawan akan tahu diri dan mundur teratur.

   Siapa sangka Kim-keh Siang It-ti seperti tidak paham maksud baik lawannya, bukan menghentikan serangannya dia malah mencecar lebih gencar.

   Suasana semakin gempar, malah ada di antara kawanan jago itu mulai mencaci-maki.

   "Tak tersangka si Ayam Emas adalah orang gila? Hanya seorang anak buahnya dia berani menyerang Bengcunya sendiri?"

   Watak manusia umumnya banyak yang lebih suka menjaga diri dan tidak mencampuri urusan orang, demikian pula dengan kawanan jago persilatan, walau ada di antara mereka berteriak, tapi jumlahnya kecil sekali, lebih banyak yang diam dan menjadi penonton belaka.

   Apalagi semua orang juga melihat sejak tadi Hui taysianseng hanya bersikap mengalah, seandainya sungguh2 berkelahi tak nanti Kim-keh Siang it-ti mampu bertahan dalam sepuluh gebrakan.

   Di mana deru angin serangan menyambar bunga salju berhamburan ke mana2 tapi saat itu jangankan tongkatnya, percikan bunga salju pun tak mampu menempel baju Hui Giok dengan gerakan yang indah dan tenang pemuda itu bergerak kian kemari di antara bavangan tongkat.

   Seandainya ia tidak menjabat Bengcu, umpama ia tidak di hadapan kawanan jago yang begitu banyak, sungguh pemuda itu ingin pergi saja dari situ ingin menghindari tindakan nekat si Ayam Emas yang mirip orang gila itu.

   Selama pertarungan berlangsung, Leng kok mg-bok hanya berpeluk tangan menonton jalan nya pertempuran tapi akhirnya Leng Han liok berbisik juga.

   "Lebih baik kita yang mewakili anak Giok menyelesaikan pertarungan ini!"

   "Jangan!"

   Leng Ko bok menggeleng.

   "biar ia taklukkan sendiri orang ini, agar di kemudian hari dapat dijadikan tangan kanannya."

   Sementara mereka ber-bisik2, Kim-keh Siang It-ti telah melancarkan lagi tiga kali serangan berantai, agaknya ia sudah menyadari kemampuan sendiri, ia tahu kungfunya tak mampu menundukkan lawan, sekilas rasa cemas dan gelisah melintas di wajahnya, matanya celingukan ke sana kemari seperti sedang menantikan sesuatu, jangan2 ia telah siapkan bala bantuan, hanya tak tahu siapa yang diundangnya itu.

   Kegaduhan tiba2 terjadi di bagian luar kerumunan sana, menyusul bagaikan gulungan ombak mereka sama menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan lewat.

   "Aneh, kenapa Na Hui-hong juga datang?"

   Bisikan segera ramai tersiar di sekitar arena.

   Begitu terpisah, gelombang manusia itu segera merapat kembali, Jit-giau tui-hun Na Hui hong benar-benar telah muncul di situ, dia mengenakan pakaian ketat, sebuah kantung kulit tergantung di pinggangnya, isi kantung itu jelas adalah senjata rahasia andalannya.

   Melihat dandanannya itu, hati semua orang tergerak mereka tahu kedatangan orang she Na ini jelas siap untuk bertempur melawan seseorang.

   Melihat kehadiran si jago itu, Leng Han-tiok berkerut dahi, bisiknya.

   "Jika orang ini berniat turun tangan..."

   "Memangnya kubiarkan dia berbuat sesukanya?"

   Sambung Leng Ko-bok dengan cepat Betul juga, Kim-keh Siang It-ti memang sedang menunggu bala bantuan, terbukti wajahnya lantas berseri begitu Na Hui-hong muncul di situ, setelah melancarkan tiga kali serangan berantai, teriaknya.

   "Na-toako, kau sudah datang? Bagus, bagus sekali! Coba lihat, bajingan cilik yang buas ini, masa pantas kita jadikan Bengcu, orang-orang Kanglam? Ayo kita basmi saja kunyuk kecil ini dari muka bumi"

   Diam-diam Hui Giok menghela napas, pikirnya "Aku mengira dia adalah seorang lakilaki sejati yang berjiwa panas, demi anak buahnya yang mati terbunuh ia jadi kalap, Ai, tak tahunya dia hanya menggunakan peristiwa itu sebagai alasan saja, kenapa manusia ini mempunyai jiwa yang sempit dan tabiatnya yang rendah?"

   Sedingin es air muka Jit-giau-tui hun Na Hui-hong mendengus dan pelahan masuk ka tengah arena.

   "Jit-giau tui-hun memang benar bala bantuan yang diundangnya,"

   Bisik Leng Han-tiok. Leng Ko-bok hanya mengawasi Na Hui-hoag, tidak berkata juga tidak bergerak. Pada saat itu, Kim-keh Siang It-ti tiba-tiba merasakan pancaran tenaga pukulan kuat dari telapak tangan lawan, ia terkesiap dan segera berseru.

   "Na toako..."

   "Bukankah kau tidak setuju Hui-taysianseng menjadi Bengcu Perserikatan orang-orang Kanglam?"

   Tanya Jit-giau tui-hun Na Hui-hong dengan dingin "Benar, ia tak pantas,"

   Jawab si Ayam Emas sambil menahan serangan Hui Giok.

   "Hehehe, bagus sekali, bagus sekali"

   Sahut Jit giau-tui-hun sambit tertawa dingin. Mendadak tangannya diayun ke depan, segumpal cahaya perak segera terpancar "Awas! Senjata rahasia"

   Seru Leng Ko-bok cepat baru saja ia hendak menerjang maju, tiba2 terdengar jeritan ngeri menggema di angkasa bayangan manusia lantas terpencar.

   Para jago terkejut Leng-kok-siang-bok juga terkesiap.

   Tampak Kim-keh Siang It-ti maupun Hui Giok masih berdiri berhadapan, keduanya sama-sama tak bergerak.

   Akhirnya senyuman menyeringai yang memedihkan hati menghiasi bibir Kim-keh Siang It-ti.

   dengan tangan gemetar ia menuding Na Hui hong, lalu berseru dengan tcrputus-putus.

   "Kau... kau sungguh keji..."

   "Trang", belum habis perkataannya tongkat bajanya terjatuh ke tanah, menyusul tubuhnya bergontai ke sana kemari seakan-akan hendak menabrak ke arah Jit-giau tui-hun. Na Hui-hong tertawa dingin bentaknya "Hm kau tidak taat pada peraturan dan berani mengkhianati Bengcu dosamu tak terampunkan, apa lagi yang kau pikirkan di sini"

   Suatu pukulan dahsyat mendadak dilontarkan Kim-keh Siang It-ti yang sedang melangkah maju terhajar telak, tubuhnya tergelepar di tanah diiringi jeritan kesakitan setelah bergulingan ke samping lalu tak bergerak lagi.

   Perubahan ini jauh di luar dugaan siapapun, saking kagetnya kawanan jago itu berdiri terkesima, tak seorangpun mengeluarkan suara.

   Lebih7 Hui Giok, ia ^termangu dengan mata terbelalak dan mulut melongo Selesai membereskan rekannya, Jit-giau-tm hun bertepuk tangan, lalu menyepak satu kali mayat Siang It ti, setelah itu, sambil tersenyum dia menyapa.

   "Bengcu, apakah engkau kaget?"

   "Kau...kau..."

   "Mengkhianati persekutuan sama dosanya seperti menghianati perguruanku"

   Ujar Jit-giau-Tui hun Na Hui-hong dengan suara berat.

   "manusia berdosa macam begini wajib dibunuh oleh siapa pun di dunia persilatan ini, Bengcu, walaupun engkau berhati mulia dan bajik, tapi tidak sepantasnya kau ampuni manusia bejat yang dosanya tak terkirakan besarnya ini."

   Hui Giok tertegun, ia tak mampu menjawab. sambil menghela napas, bisiknya.

   "Tapi tidak per kau bertindak seganas itu"

   Jit-giau-tui-hun tidak berbicara lagi, ia berpaling sambil menggapai dan kerumunan orang lantas muncul dua lelaki kekar yang segera menggotong pergi jenazah Kim-keh Siang It-ti.

   Seorang jago persilatan yang selama hidupnya berwatak angkuh, suka mencari nama akhirnya harus tewas dalam keadaan yang mengenaskan diam2 semua orang ikut gegetun, tapi tentu saja tiada seorangpun yang berani buka suara, karena siapa saja yang berani mengucapkan sepatah kata yang membantu si Ayam Einas berarti pula memusuhi Perserrkatan orang-orang Kanglam yang berpengaruh itu.

   Pihak Hui liong-piaukiok serta konco-konconya sudah tentu merasa gembira dengan terjadinya peristiwa ini, sebab bila antara sesama anggota Perserikatan orang-orang Kanglam sampai terjadi saling membunuh, yang bakal menarik keuntungan adalah pihak Hui liong-piaukiok.

   Leng-kok siang-bok kembali saling pandang muka, masih sangsi dan curiga, mereka tahu Jit giau tui hun masih mempunyai rencana lainnya, hanya saja kedua orang itu merasa kurang leluasa untuk ikut campur urusan rumah tangga"

   Perserikatan orang orang Kanglam.

   Diiringi senyuman Jit-giau-tui-hun mengawasi anak buahnya menggotong pergi jenazah Siang It ti sementara itu kerumunan manusia mulai bubar, tiba-tiba sebilah pedang tanpa menimbulkan suara menusuk ke bahu orang she Na itu.

   Dengan terkejut Na Hui-hong berputar badan sambil membentak.

   "Siapa?"

   Apa yang dilihatnya adalah Tonghong Kang dan Tonghong Ouw dengan pedang terhunus dan tersenyum dingin berdiri berjajar di belakangnya. Melihat itu, Hui Giok menghela napas, ia tahu urusan belum selesai, terpaksa ia batalkan niatnya untuk pergi.

   "Hehehe, kukira siapa? Rupanya Tonghong saauhiap berdua?"

   Seru Jit-giau tui-hun sambil terisi dingin.

   "sejak kapan kalian belajar melukai orang dengan cara menyergap dari belakang? Kepandaianmu ini sungguh sangat mengagumkan."

   Nadanya keras, ucapannya tajam. memang tak malu dia disebut seorang kawakan Kangouw. Sedingin salju air muka Tonghong-hengte mereka tidak terpengaruh oleh sindiran itu.

   "Hm, masih terhitung sungkan caraku menghadapi manusia yang suka main licik, kalau tidak apa kaukira ada kesempatan bagimu untuk bercakap-cakap dengan kami berdua?"

   Kata Tonghong Kang ketus.

   "Hahaha, kalau begitu, aku harus berterima kasih atas kemurahan hati kalian!"

   Jit-giau-tui hun Na Hui liong tertawa lantang.

   "Kurangi sikap tengikmu itu di hadapan kami tak perlu bersilat lidah,"

   Kata Tonghong 0uw.

   "coba terangkan apa maksudmu memerintahkan anak buahmu menyebarkan kata-kata busuk? jika tidak kau terangkan, hm, boleh kau rasakan ujung pedangku, aku tak akan bersikap sungkansungkan lagi seperti tadi."

   Jit-giau-tui-hun Na Hiu-hong seolah-olah bingung dan menunjukkan wajah tidak mengerti.

   "Hei, persoalan apa yang kau maksudkan"

   Serunya.

   "aku tidak mengerti akan perkataanmu itu."

   Tonghong Kang tertawa dingin "Hehehe, di depan anak buahmu kau telah mengaku terus terang sekarang kau mau mungkir lagi? Ayo jawab, bukan kah mereka yang mencaci maki kami dari tempat persembunyiannya adalah anak-buahmu?"

   Jit giau-tuj-hun Na Hui-hong menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, tiba-tiba ia mengangguk.

   "Benar, mereka adalah anak buahku dan akulah yang memerintahkan mereka berbuat demikian!"

   Pengakuan yang terus terang ini malah membuat semua orang melengak, siapapun tidak menyangka dia akan bersikap demikian. Tonghong-hengte saling pandang sekejap kemudian Tonghong Kang menggetarkan pedangku dan berseru dengan marah.

   "Bagus, kalau memang engkau yang menjadi dalangnya, ada dua cara boleh kau pilih, Pertama, berlutut di depan kami dan minta maaf, kedua, cabut senjatamu dan berduel dengan kami!"

   Air muka Jit-giati-tui-hun sama sekali tidak berubah, dia malah bertanya.

   "Ke mana perginya orang-orang itu? Sudah mati semua di ujung pedang kalian?"

   "Mereka kan cuma menjalankan perintahmu, tentu saja kami tak bisa menyalahkan mereka"

   Kata Tonghong Kang.

   "Tapi aku juga hanya menjalankan perintah orang, apakah kau akan menyalahkan diriku?"

   Mencorong sinar mata Tonghong Kang, hardiknya "Perintah siapa? siapa yang memberi perintah padamu? Apakah Sin-jiu Cian Hui, atau..."

   Tiba-tiba ia membungkam seperti tak sengaja mengerling sekejap ke arah Hui Giok. Jit-giau tui hun Na Hui-hong menengadah dan terbahak-babak "Yang memberi perintah kepadaku bukan orang lain, ialah ayahmu sendiri, Tonghong-pocu!"

   Mula-mula Tonghong hengte tertegun menyusul sambil menggetarkan pedang mereka membentak gusar "Keparat, kau berani mempermainkan kami! Cabut pedangmu dan bersiaplah menerima kematianmu."

   Jit giau tui-hun kembali menengadah sambil tertawa tergelak "Hahaha! kalau kalian percaya pada perkataan orang lain, kenapa tidak percaya pada perkataanku Aneh benar!"

   Setelah berhenti tertawa, lalu katanya lagi "Nah masa kalian boleh percaya setiap perkataan tanpa bukti? Memangnya aku Na Hui-hong adalah manusia macam begitu?"

   Dengan tertegun kedua saudara Tonghong kemudian saling pandang sekejap, pelahan pedang mereka diturunkan. Leng Han-tiok tertawa dingin.

   "Tajam benar mulut orang ini!"

   "Ya, manusia begini memang tak bisa melakukan pekerjaan baik, justeru pekerjaan busuk tak habisnya dilakukan, memang paling sulit melayani orang seperti ini,"

   Sambung Leng Ko bok.

   Meskipun perkataan itu diucapkan dengan suara nyaring, tapi Jit-giau-tui-hun pura-pura tidak mendengar, sementara itu kedua saudara Tonghong sudah menyimpan kembali pedangnya dengan tersipu-sipu setelah melirik sekejap ke sekeliling tempat itu, tanpa mengucapkan sepatah katapun mereka berlalu dan situ.

   Na Hui-hong terbahak-bahak, kesempatan itu di gunakan mengejek lagi "Tonghong-siauhiap, lain kali bila hendak menuduh orang, jangan lupa memberi kabar dulu kepadaku."

   Tonghong Ouw putar badan dengan marah tapi cepat ditarik pergi Tonghong Kang, Bagaimanapun mereka berdua memang anak murid golongan putih, cuma sayang pengalamannya masih cetek.

   Seperginya kedua orang itu, Na Hui-hong juga berhenti tertawa, katanya seraya berpaling "Bengcu akan berdiam di sini ataukah akan melanjutkan perjalanan?"

   "Aku bermaksud mencari rumah penginapan"

   Jawab Hui Giok setelah berpikir sebentar. Na Hui-hong tersenyum, katanya..

   "Jangan harap Bengcu akan mendapatkan rumah penginapan, bukan saja semua hotel di kota Han ko sudah penuh, penginapan di kota Han yang pun tak ada kamar kosong"

   "Lantas.."

   Dengan dahi berkerut Hui Giok melirik sekejap ke arah kedua Leng bersaudara.

   Na Hui-hong tersenyum "Di luar kota sana ada sebuah rumah kosong apakah Bengcu bersedia menginap di sana? Bagaimanapun jua dalam beberapa hari semua urusan tentu akan beres."

   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagus, Cuma..."

   Sebelum selesai ucapan Hui Giok, mendadak nampak empat ekor kuda berlari datang, semua orang yang berkerumun di jalan raya segera menyingkir ke samping.

   Keempat penunggang kuda itu adalah laki-laki kekar berwajah kereng, terutama laki-laki yang berada paling depan, pada tangan kanannya memegang sebuah panji besar berhuruf kuning dengan dasar hitam panji itu berkibar terembus angin.

   Hui Giok mundur beberapa langkah, ia lihat panji itu bersulamkan delapan ekor naga emas yang saling bergumul, di tengahnya tertera sebuah huruf "Tham"

   Yang besar.

   "Pantas semua jago persilatan memberi jalan"

   Batinnya.

   "rupanya orang kepercayaan Liongheng put-ciang yang datang."

   Begitu merapat ekor kuda itu berada di tengah jalan raya, penunggang yang berada paling depan itu lantas berseru dengan lantang.

   "Tham-congpiau-tau ada perintah, semua saudara yang tergabung di bawah komando Hui liong-ki harap segera bebenah setiap saat siap menanti perintah untuk berangkat. Kegaduhan kembali terjadi ada yang dari jalan raya segera lari masuk ke rumah, ada pula yang dari dalam rumah lari ke jalan, banyak suara berkumandang di sana-sini. Perintah diteruskan ujung jalan yang lain, k lainnya lagi hingga d^"

   Garan seruan itu "BemgcuP fcatn ngan mata berki1 kt muna?" *********************** Hal 39 robek sebagian *********************** dunia persilatan, katanya Bengcu mempunyai sakit hati yang amat besar pada Tham Beng, entah bagaimana rencana Bengcu selanjutnya? Apakah membutuhkan bantuan Siaute?" *********************** Hal 40 robek sebagian *********************** Ia tertawa parau.

   "Bagaimana pun perkenankanlah Siaute membawa Bengcu ke tempat peristirahatan"

   Baru selesai ia berkata. sudah ada belasan laki-laki yang berkerumun dan empat penjuru, mereka menjura seraya berkata.

   "Hamba pun anggota Perserikatan orang orang Kanglam, karena kedudukan yang rendah selama ini tak berani berbicara dengan Bengcu. kalau Bengcu bermaksud menginap disini, hamba rela memberikan kamar kami untuk Bencu."

   Sikap orang2 itu bukan saja sangat menghormat, bicaranya juga gugup dan takut, seperti seorang murid yang berbicara dengan gurunya yang kereng.

   Kembali sinar mata Jit-giau tui-hun berkilat, tampaknya ia heran mengapa orang2 itu begitu hormat terhadap Hui Giok.

   "Tidak perlu, aku telah menyiapkan tempat penginapan untuk Bengcu toako!"

   Katanya dengan tersenyum. Belasan orang itu menghela napas panjang, seolah-olah merasa kecewa karena tak dapat menyumbang baktinya bagi Hui-taysianseng. Hui Giok sangat terharu, dengan rasa terima kasih yang meluap dia berkata.

   "Terima kasih banyak atas perhatian saudara sekalian, terima... terima kasih."

   Sekalipun hanya dua patah kata yang sederhana, tapi lantaran diutarakan oleh seorang Bengcu seperti Hui Giok, kata-katanya itu menimbulkan perasaan puas dalam hati orang-orang itu.

   Diam-diam Leng kok siang bok menghela napas.

   mereka merasa bangga dan gembira.

   Selama hidup kedua orang ini tak pernah menikah, apalagi punya anak, juga tak punya murid dan tak punya teman, tapi sekarang mereka telah menganggap Hui Giok sebagai putranya, muridnya, sanaknya dan kawannya.

   Tentu saja mereka ikut gembira menyaksikan orang lain bersikap menghormat kepada Hui Giok, tapi teringat keadaan sendiri yang sengsara dan selama hidup belum pernah mengalami keadaan seperti itu timbul juga rasa sedihnya.

   Habis Hui Giok bicara, belasan orang itu serentak memberi hormat, sampai lama sekali mereka masih berdiri di situ "Menyingkir!"

   Tiba-tiba Leug Han-tiok membentak berbareng itu terdengar desingan angin tajam mendesir-desir, puluhan anak panah bagaikan hujan menyambar tiba, ada yang mengarah Hui Giok ada yang mengincar Na Hui-hong, malah ada pula yang mengarah belasan orang yang sedang memberi hormat itu.

   Hui Giok terkesiap, ia berpekik nyaring, bukan menghindar dia malah menerjang ke arah datangnya hujan anak panah itu.

   Baginya bukan saja sulit untuk menghindari serangan anak panah ini, tapi kawanan laki-laki itu pasti akan terluka oleh serangan anak panah sekarang ia menyongsong datangnya serangan itu, sudah tentu tindakan ini sangat membahayakan jiwanya sendiri.

   Begitulah, dalam sekejap mata puluhan batang anak panah yang meluncur tiba itu mengancam sekujur badannya Tanpa pikir panjang Leng-kok-siang-bok ikut menerjarg ke muka, sementara kawanan laki-laki itu ada yang berguling ke samping untuk menyelamatkan diri ada pula yang ikut menerjang maju untuk menyelamatkan Hui Giok dengan mengumpankan diri di depan pemuda tersebut.

   Pekikan Hui Giok terasa menggema diangkasa, secepat kilat ia lepaskan pakaiannya, di antara deru angin yang menyambar-nyambar, sebagian besar anak panah itu berhasil disapu rontok, sedang sisanya karena terpengaruh oleh daya tolak bajunya dengan mudah bisa dihindari.

   Perubahan ini terjadi tanpa pertanda sebelumnya dan berakhir dalam sekejap, saat itulah jeritan kaget baru terdengar di sana sini.

   Sekilas perasan terima kasih terlintas pada wajah jit-giau-tui-hun, sementara itu dari atap rumah tampak ada puluhan orang laki-laki bertengger di sana, di antaranya ada dua orang berbaju hijau, sedang lainnya memakai baju berwarna kuning tangan masing-masing memegang busur, tapi entah bagaimana tak seorang pun membidikan panah lagi, semuanya hanya memandang ke arah Hui Giok dengan tercengang.

   Keadaan Hui Giok kini cukup mengenaskan bukan saja jubah panjangnya koyak-koyak karena digunakan untuk menghalau anak panah, malah baju yang menempel di tubuhnya juga robek karena terburu-buru membuka baju tadi.

   Ujung baju yang robek berkibar terembus angin, meski rasa kaget masih nampak menghiasi wajahnya, tapi dalam pandangan semua orang, tiada orang seagung dia pada saat itu.

   Na Hui-hong membentak dan segera hendak melompat ke atap rumah, tapi sebelum berbuat demikian laki-laki yang berada di atas atap rumah telah melompat turun dan semuanya berlutut.

   Perlahan Hui Giok menghela napas.

   "Ai, mengapa kalian berbuat demikian? sekalipun merasa dendam kepadaku, buat apa melukai orang lain yang tak berdosa?"

   Na Hui liong memburu maju, serunya dengan lantang "Mereka semua adalah anak buah Kim keh-pang, dua orang yang berbaju hijau adalah Pembantu Siang It-ti, Keh-gan (mata ayam) Put keh-hengte (Pui bersaudara)."

   Seperti memahami sesuatu, Hui Giok manggut-manggut dan menghela napas.

   "Rupanya kalian ingin balas dendam bagi Pangcumu Ya, aku tidak menyalahkan kalian, meski usahamu gagal tapi, Ai pergilah kalian, lain kali toh masih ada kesempatan untuk mewujudkan keinginan kalian ini."

   Tak seorang pun di antara anggota Kim keh-pang itu berani menengadah, wajah mereka ratarata memancarkan penyesalannya yang tak terhingga, bahkan ada di antaranya mereka meneteskan air mata saking terharunya, mereka menyembah dan minta maaf.

   Pui It-ji, salah seorang dari dua Pui bersaudara yang termasuk dalam kelompok Keh-gan (muta ayam) berkata dengan kepala tertunduk.

   "Hamba sekalian tak tahu Hui-taysianseng ternyata begini mulia, begini bijaksana, hingga kami berani melakukan perbuatan semacam ini. Kami tahu salah dan bersedia menerima hukuman dan Bengcu."

   Pui It-oh, saudaranya, juga berkata.

   "Bengcu begini bijaksana, hamba sekalian tak berani berkhianat lagi, setelah menjalani hukuman, sekalipun Bengcu tak sudi, hamba tetap siap mengabdi dan berbakti bagi Bengcu."

   Hui Giok menghela napas panjang.

   "Ai, kalau memang begitu, cepat kalian bangun, salju amat dingin, jangan sampai merusak kesehatan kalian". Angin memang dingin dan berembus kencang baju Hiu Giok yang compang-camping tertiup berkibaran bagaikan bunga2 salju, seorang laki-laki itu cepat melepaskan jubah panjangnya dan diangsurkan ke hadapan Hui Giok. Tak seorang pun di antara mereka yang bersuara, sebab rasa terharu yang bergolak dalam hal mereka tak terkatakan dalam keadaan begtu jangankan cuma melepaskan jubah luar, sekalipun kepala mereka dipenggal pun tak akan ada yang menolak. Dengan termangu Hui Giok mengawasi laki2 di hadapannya serta anggota Kim-keh-pang lainnya yang masih berlutut di tanah, serunya dengan terharu.

   "Kalian... kalian.."

   Tenggorokannya seperti tersumbat dan tak sanggup berucap pula, semua orang menyaksikan adegan ini dan menghela napas terharu, hanya Jit giau tui-hun yang diam2 tundukkan kepalanya entah merasa sedih atau timbul rasa menyesalnya? o o-o Hujan salju sebentar turun dengan derasnya |dan sebentar berhenti, lapisan salju yang menyelimuti permukaan tanah sudah menumpuk sangat tebal.

   Lapisan salju di luar kota jauh lebih tebal daripada di dalam kota empat penjuru yang terlihat hanya warna putih belaka.

   Bila senja tiba, dunia yang berwarna putih keperak-perakan lantas berubah menjadi putih kelabu kalau tengah malam, yang tertampak bahkan hanya kelabu yang suram, dalam keadaan begini sukar untuk membedakan manakah tanah ladang, manakah pepohonan dan manakah perumahan.

   Keheningan menyelimuti seluruh penjuru dunia, di depan sebuah kuil yang kecil berdiri seorang anak perempuan berusia empat-lima belas tahunan yang bertubuh ramping.

   Dalam keheningan malam yang dingin ia tampak begitu kesepian dan sebatangkara.

   Dalam ruangan kuil tergantung sebuah lentera kecil yang tak pernah padam, cahaya lentera menyinari tubuhnya dan mencetak bayangannya di atas permukaan salju, namun bayangan itu mana dapat membebaskan dia dari kelaparan, kedinginan serta kesepian? Hanya sepasang matanya yang besar dan jeli ibaratnya bintang di cakrawala yang memancarkan sinarnya yang berkelip-kelip.

   Tapi, sinar mata itu memperlihatkan pula kegelisahan penantian.

   Apakah yang dinantikannya? Tanpa berkedip dia mengawasi sederetan bangunan ramah nun jauh di sana, mendengarkan suara manusia di balik bangunan itu yang makin lama makin sunyi, melihat sinar lampu yang terang benderang yang makin lama makin suram.

   Segulung angin dingin berembus lewat, ia bergidik dan bersin, akhirnya seperti tak tahan, ia menggigit bibir dan menjura ke dalam seraya berkata dengan lembut "Toh-te-kong (Toapekong) terima kasih banyak!"

   Kemudian dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan ia berjalan menuju ke deretan bangun itu.

   Gerak tubuhnya tidak gesit, juga tidak cepat, jelas dia tak pernah berlatih kepandaian apapun, tapi di balik sinar matanya yang jeli dan lembut terpancar keteguhan hati serta kebulatan tekad yang tebal.

   Dia menuju ke kaki dinding bangunan, menengok dinding yang tingginya hampir dua tombak, melompat sekuatnya ke atas, tangannya meraih tembok, sayang tidak berhasil dan merosot ke bawah.

   Tapi dia tak putus asa, gagal yang pertama dicoba untuk kedua kalinya, merosot lagi-diulang untuk ketiga kalinya.

   Dengan susah payah akhirnya dia berhasil setelah demi selangkah bocah itu merambat ke atas.

   Ketika berhasil sampai di atas dinding, dia menghembus napas lega, matanya yang jeli memandang ke halaman rumah yang hening dan diliputi kegelapan itu.

   Ia menghela napas dan bergumam.

   "Oh, Toa koko, engkau berada di mana?" -00000-- -OOXO0- -O0O0ODi halaman rumah yang penuh salju Hui Giok sedang berdiri termangu di bawah pohon Yang yang telah layu. Udara berwarna kelabu, tiada bintang, tiada rembulan memandangi tumpukan salju yang tersebar di empat penjuru, pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, seperti juga embusan angin puyuh yang melanda tanah ladang, sukarlah ia mengendalikan perasaannya yang bergolak. Pada malam yang sama seperti ini, dia pernah berdiri di bawah pohon Yang dalam perumahan Hui-liong piaukiok sambil menyesali kebodohan sendiri, membenci kebebalannya yang tak mampu mempelajari pelbagai ilmu silat pelbagai kepandaian. Ketika itu, ia pernah mengucurkan air mata karena sedih, mengenang kehidupannya yang sengsara, pengalamannya yang pahit lalu beralih ke halaman rumah yang lain, iapun mengagumi kebaikan halaman yang berada di sana, mengenang bayangan Tham Bun-ki yang ramping, kerlingan matanya yang menakjubkan. Dalam keadaan mengelamun demikiant sering kali muncul sebuah tangan kecil yang halus, yang menyekakan air matanya, kemudian dengan perasaan terhibur diajaknya masuk ke dalam rumah. Tapi di manakah tangan yang lembut itu sekarang? Masihkah menderita dalam perumahan Hui-liong-piaukiok? Merasakan kesepian dan penghinaan? Dengan penuh kepedihan ia menghela napas, bersumpah akan menyeka air mata yang meleleh dari mata yang besar itu dengan tangannya. Tiba tiba ia teringat kembali mata jeli yang muncul di antara kerumunan manusia itu. tapi dengan segera pula anak muda itu menghela napas "Tak mungkin dia. Kalau dia, mengapa ia tinggalkan aku?"

   Demikian gumamnya.

   Juga di tengah malam dingin yang sama, ia pernah berbaring di bawah emper rumah yang asing hanya dengan badan penat dan kecapaian setelah seharian penuh bekerja berat, ketika itu dia harus menahan rasa dingin, lapar dan rasa sedih serta kecewa yang mencekam perasaannya dan perasaan yang sukar ditahan, rasa rindu yang kuat dapat dilupakan.

   Rasa rindu yang masih terdalam hatinya.

   Tapi perasaan itu harus ditambah dengan penderitaan yang menyayat hati, sebab sasaran yang dirindukannya telah dipisahkan oleh selapis baja yang sukar ditembusnya, dia hanya dapat menyesali takdir yang mempermainkan dirinya kenapa ia mencintai gadis yang mestinya tidak boleh dicintainya.

   Dalam pergolakan perasaan itu, tiba-tiba ia teringat kembali pada suatu kejadian lama, itupun terjadi di tengah malam yang sangat dingin seperti sekarang ini, ketika ia terjaga bangun dan suatu impian buruk dan tak bisa tidur lagi, didengarnya kabar tentang kematian ayah serta pamannya.

   Rasa sedih dan penderitaan yang dialaminya ketika itu kini seakan-akan berkumpul lagi dalam lubuk hatinya.

   Segala sesuatunya meski sudah terpisah amat jauh pada saat ini, namun semuanya seolah-olah muncul kembali di depan matanya, meskipun malam yang dingin di manapun adalah sama tumpukan salju pun berwarna sama, tapi...

   Perubahan yang terjadi dalam dunia ini teramat ajaib, teramat besar, pemuda yang lemah, yang hidup sebatangkara dan penuh penderitaan serta siksaan itu, benarkah adalah diriku sekarang? ia tidak percaya, ia tak akan mempercayainya, tapi bagaimanapun jua ia tak dapat tidak mempercayainya.

   Kebahagiaan dan kebanggaan bagaikan kelebatan sinar kilat di udara.

   tiba-tiba menjadi terang di depan mata, datang mendadak dengan begitu cepatnya.

   Tapi, ada pula yang terasa sayang baginya merasa sayang karena semua itu datangnya terlambat.

   Tiba-tiba ia merasa mukanya jadi dingin.

   kiranya entah sejak kapan dia telah melelehkan airmata ia tidak melihat seorang sedang berjalan pelan menghampirinya di tengah kegelapan halaman orang itu sebentar berjalan.

   lalu berhenti bernapas, berhenti lagi.

   Dan akbimya, tiba-tiba dia di samping pemuda.

   Tiba-tiba ia merasakannya dan berpaling, sebuah tangan kecil halus sedang diulurkan kemuka dengan gemetar, seperti juga kejadian dahulu di tengah malam yang dingin dalam kenangan yang tak terlupakan itu.

   Rasa kejut dan gembira yang muncul secara tiba-tiba membuat anak muda itu tertegun membuatnya termangu dan tak tahu apa yang harus dilakukan.

   Tangan yang kecil dan mungil itu gemetar makin keras..

   Dari kelopak matanya yang jeli meleleh butiran air mata rasa sedih dan gembira, butiran air mata meleleh melalui pipinya yang halus dan menetes di permukaan salju yang beku.

   Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Hui Giok berseru.

   "Tin-tin?, kau... kau..."

   Toakoko... Toakoko...

   "

   Suara anak perempuan itu pun tersendat. Entah berapa kali ia memanggil "Toakoko."

   Akhirnya ia menubruk ke dalam pelukan "Toakoko"

   Nya dan menangis tersedu-sedu Di tengah kegelapan kembali muncul dua sosok bayangan manusia, mereka adalah Leng-kok siang bok yang menginap bersama Hui Giok di halaman belakang itu.

   Dengan termangu mereka memandang adegan tersebut beberapa saat lamanya, kemudian menghela napas dan pelahan kembali lagi ke kamarnya.

   "Mungkin anak perempuan itu adalah Wan Li tin yang sering disinggung anak Giok,"

   Bisik Leng Han tiok kemudian tak tahan.

   "Sungguh tak tersangka, dia .."

   "Ssst, biarkan mereka bergembira, biarkan mereka mengucurkan air mata bagi pertemuan itu"

   Bisik Leng Ko-bok "Anak Giok.... ai dia meman harus dihibur, dia memang pantas dihibur, bukankah begitu?"

   Hui Giok memeluk Wan Li-tin erat-erat, entah berapa lama sudah lewat baru melepaskan pelukannya agar ia dapat memandangnya dan supaya si dia memandang padany.

   "Kau... kau telah dewasa,"

   Bisiknya sambil tertawa pedih. Nona itu tertunduk, bulu matanya yang panjang menutup kelopak matanya "Pagi tadi kulihat kau"

   Katanya "Tak kusangka kau telah menjadi seorang pahlawan besar, seperti apa yang pernah kita impikan waktu masih berkhayal bersama, tapi aku tak berani munculkan diri?, begitu banyak orang-orang Hui-liong-piaukiok di jalanan, aku takut ditangkap, aku takut mereka laporkan hal ini kepada....

   kepada paman Tham."

   Walaupun agak keberatan dia mengucapkan, tapi kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun mungkinkah diubah dalam sekejap? Hui Giok betul-betul tertawa meski tertawa dengan air mata yang meleleh, katanya "Mulai sekarang, kau tidak perlu takut lagi, apapun yang akan terjadi aku akan selalu melindungimu."

   Wan Li-tin menengadah, memandangnya seperti seorang gadis yang memandangi pangeran dalam khayalannya, begitu kagum dia.

   Ia menanyakan penghidupannya selama dua tahun ini, dan anak dara itu bercerita dengan air mata bercucuran disamping senyum gembira, bahwa penghidupannya adalah penghidupan yang sederhana, penghidupan yang penuh penderitaan, penghidupan yang kesepian tapi sekarang semua itu sudah berlalu.

   Maka pemuda itupun memberitahukan kepadanya pengalamannya yang penuh keanehan selama itu, pengalamannya yang juga penuh penderitaan serta kesedihan.

   Dengan terbelalak anak dara itu mendengarkan penuturan itu Tiba-tiba dari balik matanya yang jeli terpancar rasa marah, rasa dendam yang membara, ia mengepal tangannya, sambil menengadah katanya.

   "Diam-diam kudengarkan orang bicara di jalanan, di Piaukiok, bahkan di manapun aku selalu dengar, benarkah ayah kita dibunuh... dibunuh orang itu?"

   Sambil menggigit bibir Hui Giok mengangguk dengan berat, begitu keras ia menggigit bibirnya hingga darah merembes keluar. Wan Lu-tin kembali menangis, sambil mendekap dalam pelukan Hui Giok dia mengeluh.

   "O Toakoko, kau... kau harus membalaskan dendam ayah kita"

   Hui Giok menepuk bahunya dan bergumam.

   "Membalas dendam, membalas dendam!"

   Tiba-tiba gadis itu berhenti menangis ia menengadah, sinar matanya yang bening itu memancarkan rasa iba, simpati, kasihan dan sedih.

   "Ai, kasihan... yang paling kasihan adalah enci Tham! Tahukah kau... demi engkau, dia begitu menderita, seorang diri bersembunyi dalam kamarnya, sebentar tertawa, sebentar menangis sebentar mengatakan kau berbuat salah kepadanya sebentar lagi bilang dia yang bersalah padamu seringkali dia mengajak aku ke kamarnya untuk bercakap-cakap tapi kecuali kau, soal apapun tak pernah dibicarakan sambil berbicara ia menangis habis menangis bicara lagi!"

   Setelah menghela napas sedih Lu-tin menundukkan kepalanya, seketika itu juga Hui Giok merasa darah menggelora dalam dadanya, ia terkesima dan tak tahu apa yang mesti dilakukannya.

   Lama sekali, Lu-tin berkata lagi "Kemudian ketika mengetahui ayahnya hendak menjodohkan dia dengan Tonghong hengte, ia melarikan diri dari rumah, tapi segera dapat ditangkap kembali oleh ayahnya, perasaan


Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Pendekar Setia Karya Gan KL

Cari Blog Ini