Pendekar Satu Jurus 3
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bagian 3
g membereskan barang2nya dengan kepala tertunduk, tiba2 ia menemukan kedua
Jilid kitab kumal milik Hui giok itu, tanpa memperhatikannya ia lemparkan kitab itu ke depan.
Hui giok anak muda itupun menyisipkan kitab tersebut sekenanya diantara iktan alat senjata.
Tengah malam itu juga mereka melanjutkan perjalanan, ketika fajar baru menyingsing mereka sudah berada di kaki sebuah bukit kecil pepohonan menghijau permai mengelilingi bukit itu.
Tempat ini merupakan jalan lintas antara kota Kang leng dan kota Tin kang karena itulah boleh dikatakan sepanjang tahun orang yang berlalu lintas cukup ramai, maka di kaki bukit ini banyak terdapat warung makan dan gardu minum yang tersebar di seputar tanah perbukitan ini.
Saking banyaknya saingan orang yang membuka usaha disitu, membuat tempat ini seakan2 tumbuh menjadi kota kecil.
Hari masing sangat pagi, tapi warung2 makan itu telah membuka pintu, Sun pin melirik sekejap ke arah Hui Giok yang sudah terengah2 karena kehabisan tenaga, iapun masuk ke sebuah warung ini untuk melepaskan lelahnya.
Empat penjuru warung itu dikelilingi pagar bamboo, mangkuk nasi tersebut dari anyaman kulit bambu halus, meja kursi juga terbuat dari bambu tampaknya nyaman dan tenang lagi bersih, Hui giok berduduk melepaskan lelah dan diam2 senang pula pada tempat ini.
Pelayan menghidangkan makanan berupa mi kuah yang masih panas dan makanan sebangsa bakpau, Hui giok serta Sun kimpeng mendaharnya dengan nikmat hanya Sun pin seorang yang tak bernafsu makan.
Dalam warung kecuali mereka bertiga tiada nampak tamu lain.
Pada saat itulah tiba2 dari jalanan depan sana debu mengepul tebal, munculnya dua ekoar kuda dan mendadak berhenti di depan warung.
Begitu melompat tuurn dari kudanya orang itu lantas berteriak "hei, pemilik warung cepat sajikan beberapa mangkuk mi, selesai tuan2 bersantap akan melanjutkan perjalanan"
Orang yang berbicara itu bertubuh jangkung kurus seperti orang sakit, matanya cekung ke dalam tulang alisnya tinggi menongol selain daripada itu Tay yang hiatnya (pelipis) juga menonjol, jelaslah orang itu seorang jagoan bertenaga dalam tinggi.
Rekannya berperawakan kebalikannya, orang itu gemuk pendek, ketika berjalan masuk ke dalam langkahnya menggetarkan ruangan, pinggangnya bergantung sebuah kantung kulit yang besar ini menunjukkan kalau dia seorang ahli membidik senjata rahasia, tentu saja kedua orang itu adalah orang dunia persilatan.
Setelah msuk ke dalam ruangan, dengan sorot mata yang tajam mereka lantas mengawasi Sun pin cepat Sun pin tundukkan kepalanya dan pura2 asyik makan mi, seperti tidak ingin mencari gara2 dengan orang perjalanan itu.
Kebetulan Hui giok juga berpaling memperhatikan kedua pendatang itu, ketika dirasakan sinar mata mereka bagaikan beraliran listrik, cepat iapun tundukkan kepala dan tak berani memandangnya.
Dalam gugupnya tanpa sengaja sikutnya menyentuh tumpukan senjata yang disandarkan di tepi meja, tumpukan senjata itu roboh dan menimbulkan suara keras.
Sewaktu mengikat senjata tadi, anak muda itu tidak mengikatnya dengan baik, maklum dalam keadaan terburu2 dan panik sekarang ikatan senjata roboh ke tanah seketika isinya berantakan.
Dua
Jilid kitab kumal bersampul hitam itu ikut terlempar ke lantai dengan senjata tersebut.
Sorot mata kedua orang laki itu kebetulan memandang kitab kumal yang jatuh, air muka seperti berubah mendadak, mereka saling pandang sekejap lantas memandang pula ke arah Sun pin yang sedang makan mi sambil tundukkan kepala dan Sun kimpeng yang bangkit dan siap membantu membereskan senjata yang tercerai berai itu, akhirnya sinar mata mereka berganti pada tubuh Hui Giok yang sedang jongkok dan sibuk mengumpulkan senjata itu.
Tentu saja Hui giok tak tahu mata orang yang tajam sedang mengawasinya, selagi ia menyesal kecerobohannya sendiri, tiba2 ada seorang ikut jongkok di sebelahnya dan bantu mengambilkan sebatang tombak yang mencelat agak jauh.
Ia tersenyum dengan rasa terima kasih ketika menengadah dikenalinya orang yang bantu mengambilkan tombak itu tak lain adalah orang yang gemuk yang baru datang tadi.
Dilihatnya senyuman manis menghiasi ujung bibir si gemuk, tubuhnya yang bulat gemuk bagaikan bola itu sedang berjongkok dan waktu itu hendak memungut kedua
Jilid kitab bersampul hitam itu.
Tapi kitab itu lebih dekat dengan Hui giok sebelum laki2 gemuk itu mengambilnya anak muda itu sudah memungutnya lebih dahulu, malahan sambil tersenyum ia tatap wajah lelaki gemuk itu dan merasa simpatik dengan orang ini, maklum tidak banyak manusia di dunia yang bersikap ramah terhadap dirinya.
Dilihatnya daging di pipi si gemuk berkerut sekali, bibirnya bergerak seperti mengucapkan sesuatu, tentu saja Hui Giok tidak mendengar apa yang diucapkan orang itu, tapi Sun kimpeng dapat mendengarnya dengan jelas.
Laki2 gemuki itu berkata "
Engkoh cilik, bolehkah kitab itu kupinjam sebentar ?"
Hui giok tidak mendengar, dengan sendirinya tidak menjawab, dia hanya menatap orang dengan mata terbelalak dan senyum dikulum. Sun kimpeng menanggapi ucapan si gemuk tadi "
Percuma kau bicara dengan dia, dia bisu dan tuli apa yang kau katakan takkan terdengar olehnya!"
"Oo !"
Laki2 gemuk itu berdiri dengan keheranan biji matanya berputar, terkilas senyuman aneh pada wajahnya, kemudian ia menuding kedua
Jilid kitab tadi, katanya kepada Sun kimpeng "
Nona cilik, apakah kedua
Jilid kitab ini dijual atau tidak ?"
"
Tidak, kitab itu tidak dijual!"
Sahut Sun kimpeng dengan kurang senang "
Jika anda ingin membaca, belilah di toko buku ?"
Laki2 gemuk tadi terbahak2 kelihatan sikapnya yang gembira seperti orang yang mendadak menemukan harta karun yang tak ternilai harganya ia melirik sekejap ke arah rekannya si laki yang jangkung yang seja tadi hanya diam saja itu, lalu bertanya lagi "Nona manis, kutahu kau tidak berjualan buku tapi kedua kitab itu sangat menarik, seketika timbul keinginanku untuk membelinya, umpama delapan tahil atau sepuluh tail tidak menjadi persoalan bagiku"
Sekali ini Sun kimpeng menjadi terkejut, maklumlah uang sebesar itu untuk ukuran jaman ini adalah jumlah yang amat besar, beberapa bulan Sun kimpeng dan ayahnya bekerja giat membanting tulang belum pernah mereka dapat mengumpulkan uang sejumlah itu, tentu saja ia tercengang ia hampir tidak percaya ada orang berani menawar kedua
Jilid kitab rongsokan itu dengan sebesar itu.
Dengan hati terkejut dan sangsi ia menatap si gemuk beberapa kejap, demikian Sun lotia yang sedang makan dengan kepala tertunduk lagi merasa heran, ia sendiri dahulu juga seorang tokoh kangouw maka begitu kedua orang jangkung dan gemuk itu muncul segera ia mengenali mereka.
Kiranya laki2 gemuk itu adalah jagoan ternama di dunia persilatan namanya To pi jin him (manusia beruang bertangan banyak) Khu Hway jim, sedangkan laki2 jangkung yang kurus dan bermuka putih dalah Kim bin wi to (Wito bermuka emas) seorang bandit ulung yang selamanya melakukan operasinya seorang diri.
Karena itu, apa yang diherankan Sun lotia bukanlah yang seperti yang diherankan puterinya, ia merasa tidak mengerti mengapa kedua manusia buas yang terkenal di dunia persilatan itu mau membeli kitab kumal dari seorang nona cilik dengan sikap yang begitu sopan dan ramah sekali.
Kitab kumal apakah kedua
Jilid buku kumal tersebut? Maklumlah hakikatnya mereka tidak menaruh perhatian kepada nilai kedua kitab buku itu. Memang siapa sudi memperhatikan kedua
Jilid kitab kumal itu yang dimiliki seorang bocah cacat pencuci kuda? Mereka tidak tahu bahwa kedua kitab kumal itu sebenarnya adalah kitab pusaka yang diidamkan setiap orang persilatan lantaran kitab tersebut dunia persilatan pernah kacau dan dilanda badai pertumpahan darah yang mengerikan lantaran kitab itu pula Jian Jiu Suseng sampai berselisih paham dengan Leng gwat siancu mengakibatkan perempuan yang bernama Ay cing sangat menderita dan nyaris kehilangan jiwanya karena pusaka ini.
Kitab apakah itu? Kitab tersebut tak lain adalah kitab peninggalan Hay Thian ko yan (burung walet tunggal dari ujung langit) yang namanya amat termasyhur di masa yang lalu hampir semua boleh dibilang semua kepandaiannya yang tak terukur dalam kitab itu termuat.
Memang tajam penglihatan To pi jin him dan Kim bin wi to hanya sekilas pandang saja mereka lantas mengenali kitab yang sangat mirip dengan kitab pusaka Hay thian pi kip itu berada ditangan seorang bocah akrobat yang jorok, dalam kagetnya merekapun agak tercengang, dan juga agak curiga.
Sebab itulah To po jin him sengaja berjongkok dan pura2 membantu mengumpulkan senjata yang tercecer ini dia ingin membuktikan dahulu apakah kedua kitab itu benar2 kitab pusaka seperti yang mereka duga.
Kendatipun akhirnya kitab itu gagal ia periksa karena keburu dipungut oleh Hui giok, namun ketika tersebut jatuh ke lantai tadi, halam buku itu sempat tersingkap sedikit, sekilas ia sempat melihat jelas bahwa isi kitab itu memang berupa beberapa lukisan orang yang semedi.
Walaupun begitu si gemuk tidak berani merebutnya, ida sangsi mana mungkin kitab pusaka begitu berada ditangan seorang bocah yang berilmu silat biasa2 saja.
Sekalipun bocah itu berilmu silat biasa, setelah mendapatkan kitab pusaka itu tentu kungfunya tak akan biasa lagi.
Analisanya ini memang masuk diakal, tak heran kalau lelaki gemuk bagaikan babi dan licin bagaikan rase itu tak berani sembarangan bertindak ia coba memancing dengan kata2 mani.
Setelah Sun Kimpeng memberi jawabannya senyum pura2 semula menghiasi bibir wajahnya kini berubah menjadi senyum yang sungguhan.
Ia merogoh sakunya dan keluarkan uang perak sekeping uang perak yang beratnya mencapai sepuluh tail sambl mengiming-iming ia berkata pula dengan tersenyum "
Aku paling gemar mengumpulkan kitab yang bersampul indah, jual saja kitab itu kepadaku dan uang ini akan segera menjadi milikmu."
Sambil berkata ia memberi tanda kepada Hui Giok, anak muda itu menengadah seperti Sun Kimpeng matanya terbelalak besar memandang kepingan uang perak yang tidak sedikit jumlahnya itu.
Senyum yang menghiasi bibir si gemuk makin lebar, ia tahu sebentar lagi kitab yang menjadi idaman umat dunia persilatan akan menjadi miliknya tak sampai tiga tahun lagi nama besar Khu Hway jin akan tambah tersohor di dunia kangouw, pipinya yang gemuk main berbunga, tak terkirakan rasa girangnya saat itu.
Hui giok masih berjongkok, sementara Sun kimpeng telah berpaling ke arah ayahnya.
Maksudnya minta pendapat ayahnya, apakah mereka menjual atau tidak kedua kitab kumal itu kepada laki2 gemuk yang sinting itu? Sun lotia tidak menjawab, dia masih tertunduk sambil termenung, ia sedang putar otak dan berusaha mencari akal untuk mengatasi kejadian luar biasa ini.
Sebagai orang jagoan kawakan yang sudah lama berkelana di dunia persilatan, sedikit banyak ia dapat menduga bahwa kedua kitab milik bocah cacat itu pasti bukan kitab sembarangan tapi sayang lantaran ia harus menghindari kejaran musuh dan sekian tahun harus mengasingkan diri banyak kejadian di dunia persilatan yang tidak diketahui olehnya, tentu saja ia tak menduga kedua kitab kumal yang akan dibeli oleh laki gemuk ini tak lain adalah kitab pusaka Hay thian pi kip.
Sekarang ia yakin kedua kitab itu pasti bukan sembarangan, tentu saja ia tak ingin kitab ini dibeli To pi jin kim dengan harga sepuluh tahil perak, Cuma ia tak tahu cara bagaimana harus menolak tawaran ini.
Sebab ia tahu betapa keji dan jahatnya kedua orang itu, bila marah mereka tidak segan membunuh orang.
Sun lotia menyadari sampai dimanakah taraf kepandaian sendiri, bagaimanapun dia bukan tandingan kedua orang itu.
Sementara otaknya pekerja mencari akal, di pihak lain To pi jin him sedang menatap Sun kimpeng, ia sudah mempunyai pula perhitungan sendiri, ia telah memutuskan bila nona itu mengangguk, maka dengan segala senang hati sepuluh tahil perak itu akan diberikannya tapi kalau nona itu menggeleng tanpa sungkan lagi akan merampas kitab tersebut dengan kekerasan.
Belum lagi Sun kimpeng memberikan keputusan Kim bin wi to Yap ci hui yang sejak tadi hanya membungkam itu mendadak berkata dengan nada dingin "
Nona cilik, kalau kitab itu kau jual kepadaku akan kubayar seratus tail perak.
"air muka To pi ji him seketika berubah hebat, muka yang memang buruk kini tambah buruk. Tapi ia masih tertawa tentu saja tertawa yang dipaksakan atau menyengir ujarnya.
"Yap toako, buat apa kau berbuat begitu? Kau beli atau aku yang beli toh sama saja?"
Tiada kelihatan sesuatu perasaan pada wajah Kim bin wi to hambar ia tertawa dingin dan berkata dengan angkuh "
Kalau kau boleh membelinya, mengapa aku tak boleh? "air muka To pi jin him berubah hebat.
"Bagus, bagus.."
Mendadak ia berpaling dengan mendongkol ia berkata kepada Sun kimpeng "Nona cilik berikan kitab itu kepadaku, kubayar dengan dua ratus tahil perak.
"sambil merogoh keluar setumpuk lembaran kertas, ia lolos satu lembar dan dikebaskannya di hadapan nona itu sambil berkata keras "
Uang kertas ini berasal dari gwan ju, dapat kau tunaikan di manapun juga di seluruh negeri ini."
Pada waktu itu kedua orang yang biasa bekerja sama dalam melakukan kejahatan sekarang sama ngotot ingin memiliki kitab pusaka itu malahan sebelum kitab itu didapatkan mereka sudah ribut sekali.
Tapi justru karena itu, mereka sama2 tak berani merampas kitab tersebut secara gegabah sebab salah2 nyawa mereka yang menjadi taruhannya.
Sun kimpeng tambah bingung oleh kejadian ini si pelayan yang berdiri disamping dengan baki di tangan juga melengong oleh peristiwa ini diam2 ia menyesal coba kalau dia yang memiliki kitab itu, tidak perlu sepuluh tail perak satu tahi saja akan segera dilepaskan.
"Wah dua ratus tail perak? Uang kertas bank Gwan ju? Nona.....nona, lekas kau jual saja kitab kumalmu itu! Serunya tak tahan. Lalu ia berpaling ke arah Sun pin katanya pula dengan rasa kagum "Lotia dua ratus tail perak bukan jumlah yang sedikit?"
Dengan mendongkol Kim bin wi to melototnya pelayan itu jadi ketakutan sehingga kata2 selanjutnya tak berani diucapkan lagi. Akhirnya Sun lotia berdehem pelahan, ia bangkit kemudian bertanya.
"Kedua kitab itu milik bocah itu, kami tak berhak ambil keputusan baginya padahal kalian berduapun tak perlu membuang uang sebanyak itu hanya untuk membeli...."
Tiba To pi jin him bergelak tertawa sambil menuding Sun lotia ia berseru "Ai bukankah kau ini ngo hou toan bun to Sun pin seng? Mungkin mataku sudah lamur, hampir saja aku Khu Hway jin tidak mengenali lagi akan dirimu.
Hahaha sungguh tak disangka.....sungguh tak kusangka."
Kembali ia terbahak2 lalu menyambung "
Karena ada dirimu, urusan menjadi mudah untuk diselesaikan, aku Khu Hway jin jelek2 juga sobat lamamu, selama inipun kita tak ada ganjalan apa2 kalau Sam sat ngo pah (tiga malaikat maut dan lima lalim) dahulu pernah menjadi wasit bagimu, dan sekarang, hahaha, kuharap kau sudi memberi muka padaku."
Air muka Sun lotia berubah hebat, ia tahu asal usulnya telah diketahui orang, tak mungkin lag baginya untuk berlagak pilon, untuk sesaat ia jadi tertegun dan tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Kim bin wi to tak tinggal diam, tiba2 dia maju kedepan katanya dengan dingin.
"Urusan jual beli tidak boleh disangkut pautkan dengan hubungan pribadi. Sobat Sun, tentunya kaupun cukup kenal watakku ini? Sekarang aku menawar lima ratus tail perak untuk membeli kitab itu soal sengketamu dengan Sam sat ngo pah boleh serahkan saja kepadaku, aku Yap ci hui tanggung urusan pasti beres. Nah sekarang lekas jawab kedua kitab itu akan kau jual kepada siapa?"
Panas hati To pi jin him andaikata tak ada ia yakin kitab itu sudah menjadi miliknya, segera tangan kanannya siap merogoh senjata rahasia di dalam karung kulit iapun mengejek "Orang she yap, jelek2 orang she Khu masih memandang kau sebagai sahabat, kenapa kau tak tahu diri dan tak kenal arti persaudaraan? Hehehe, mungkin orang lain jeri kepada ilmu pukulan Kim kong ciang mu tapi orang she Khu tak nanti takut kepadamu !"
Kim bin wito mendelik, ditatapnya Khu Hway jin tanpa berkedip, sahutnya dengan keras "
Bagus kausendiri yang berkata begitu, jangan salahkan aku bertindak keji lebih dulu padamu. Baiklah sekarang apa kehendakmu?"
Ia melirik sekejap ke arah Sun Pin yang lengkapnya bernama Sun pin seng lalu menambah dengan geram "nah, mau jual atau tidak terserah kau, mau kepada siapapun terserah kepadamu, tapi kau harus menjawab secepatnya kalau tidak, hmm, bukan saja uang tak dapat kau terima, nyawapun akan melayang kalau sudah begitu jangan kau salahkan aku kelewat kejam!"
Baru selesai ia berucap, tiba2 bergema suara tertawa dingin seorang, menyusul orang itupun berkata dengan suaranya yang dingin menyeramkan "
Kitab itu tidak dijual kepada siapapun? Lekas kalian enyah dari sini!"
Semua orang terkejut, terutama To pi jin him dan kim bin wi to seketika air muka mereka berubah hebat dengan kecepatan paling tinggi mereka putar badan satu ke kiri dan satu ke kanan serentak mereka melayang pergi sejauh beberapa tombak dari tempat semula.
Habis itu barulah mereka melihat jelas seorang sastrawan kurus setengah umur, berjubah panjang berwarna abu2 keperak2an, senyuman sinis tersungging di ujung bibirnya dan berdiri tepat mereka berada tadi.
Perlu diketahui, jalan di luar warung hanya satu di luar warungpun tanah kosong, selayang pandang orang memandang hingga jauh sekalipun begitu tak seorangun yang tahu sejak kapan pelajar setengah umur berjubah keperak2an itu datang kemari lebih2 tak tahu dari manakah dia muncul, padahal mereka semua adalah jago2 silat kawakan yang berilmu tinggi.
Di antara sekian orang yang hadir di warung itu, Hui giok paling terkejut melihat kemunculan orang itu, sepanjang kejadian itu berlangsung dia hanya berjongkok sambil memegangi kedua
Jilid bukunya tentu saja ia tidak mendengar sama sekali apa yang dibicarakan orang2 itu, tapi ia dapat menebak inti pembicaraan orang2 itu menyangkut kitab yang berada dalam genggamannya ini, kitab yang tak pernah diperhatikannya selama ini.
Berbagai peristiwa yang dialaminya menggerakan pikirannya mau tak mau ia berpikir "
Kedua
Jilid kitab ini kudapatkan di dalam buntalan milik paman Leng adalah ilmu silat paman leng tak terkira lihaynya, sekarang kedua orang itu menaruh perhatian atas kitab ini, jangan2 kitab ini tersimpan sesuatu rahasia? Kenapa sejak dulu tak pernah kubaca kitab ini ?"
Perlu diketahui pada dasarnya Hui Giok ada lah pemuda yang cerdas, sayangnya Hui giok sejak dahulu ia tak dapat memusatkan pikirannya, ia harus berjuang demi kehidupannya, boleh dibilang tak sempat baginya untuk berpikir sampai ke situ, tapi sekarang begitu perasaannya tersentuh, ia dapat berpikir lebih cermat dan ternyata apa yang diduganya itu memang benar.
Selagi jantungnya berdebar karena berhasil menemukan rahasia besar ini, tiba2 dilihatnya sepasang sepatu terbuat dari kain yang tak asing lagi baginya muncul di depan mata, beberapa berselang sepatu ini pernah ditemuinya satu kali.
Kenangan lamapun terlintas dalam benaknya teringat olehnya ketika malam2 ia meringkuk dibelakang pembaringan dalam keadaan tertutuk dirumah penginapan, waktu itu sepatu kain yang indah ini, pernah dilihatnya.
Tanpa terasa ia menengadah dan melirik ke atas, orang itu mengenakan jubah abu2 keperakan jenggot pendek menghiasi janggutnya, bertampang gagah dan angkuh terutama senyum sinisnya itu cukup menggigilkan orang, dia masih ingat orang inilah yang pernah membebaskan dia dari tutukan paman Leng di hotel itu.
Ia coba alihkan pandangan ke sekitar ruangan itu, ia lihat wajah semua orang sama menampilkan rasa kejut dan takut, tanpa terasa otaknya bekerja pula, memikirkan dirinya sendiri.
Sorot mata Sun pin, Sun kimpeng, Kim Bin wito dan To pi jin him semuanya tertuju ke arah pelajar setengah umur berjubah perak itu dengan perasaan jeri tapi orang itu sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa2 sinar matanya malahan memandang langit warung itu dengan dingin.
Kemunculan tiba2 orang ini telah mengejutkan semua orang yang berada disitu, terutama ginkang atau ilmu meringankan tubuhnya yang ajaib, namun jelek2 Kim bin wito serta To pin jin him juga terhitung jago2 persilatan yang punya nama, tentu saja mereka tak mau kabur digertak begitu saja, apalagi daya tarik kedua
Jilid kitab itu seakan bagaikan besi sembrani yang melelehkan hati mereka, seolah2 daging empuk yang telah berada di depan mulut takkan dilepaskan dengan begitu saja, sekalipun beradu jiwa juga akan mereka lakukan.
To pin jin him lantas tertawa, tertawa dengan sangat dipaksakan, lalu menegur "
Sobat dari manakah kau....."
Agaknya sastrawan berbaju perak itu tidak suka bicara, belum habis pertanyaan itu dilontarkan ia telah menyela dengan menghardik "
Kunyuk, mau enyah dari sini atau tidak ?"
"Sobat, jangan temberang kau! "bentak Kim bin wito dengan geram.
"Apa yang kau andalkan sehingga kau berani bicara takabur di depan Kim bin wito. To Pi jin him tak mau unjuk kelemahan di depan orang, dengan mata melotot iapun membentak "
Mereka menjual barang dan kami membelinya kenapa kau ikut campur urusan kami?"
Sastrawan berjubah perak iut tidak berbicara lagi, tiba2 ia menengadah dan tertawa nyaring panjang, suaranya nyaring, tinggi melengking menggema diangkasa.
Demi mendengar, suara tertawa itu, To pi jin him terkesiap ia memang bisa lihat gelagat dari gelak tertawa orang yang begitu nyaring, sadarlah dia betapa tinggi tenaga lwekang orang itu, sudah pasti jauh di atas dirinya.
Diam2 ia berkerut alis, sinar matanya memancarkan nafsu membunuh, tiba2 ia ayunkan kedua tangannya ke depan, berpuluh bintang cahaya tajam menyambar ke depan, sementara tubuhnya yang gemuk itu secepat kilat menerjang ke arah Hui giok yang sedang berjongkok itu.
Sun pin seng dan Sun kimpeng sama berseru kaget, gemerdep sinar mata kim bin wito tiba2 ia menerjang ke arah To pi jin him yang hendak merampas kitab pusaka Hay thian pit kip.
"Blang"
Benturan keras terjadi To pi jin him bersuara tertahan kiranya ia telah beradu pukulan dua kali dengan Kim bin wito tapi nyatanya dia kalah satu tingkat daripada kekuatan lawan, kontan ia tergetar mencelat jauh kebelakang, tenggorokannya terasa anyir, dada sesak dan hampir saja muntah darah, sadarlah si gemuk bahwa isi perutnya telah terluka parah.
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejak To pi jin him melancarkan senjata rahasia sampai kim bin wito membentak dan menyerang, semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, sementara Sun pin masih tercengang, menyaksikan kedua orang itu beradu pukulan, lalu dua sosok bayangan berpisah lagi.
Saat itulah baru dia teringat pada senjata rahasia dilepaskan To pi jin him tadi cepat ia berpaling ke arah sastrawan berjubah perak, apa yang dilihatnya adalah sastrawan setengah baya itu masih berdiri angkuh ditempat semula hujan senjata rahasia yang dilancarkan si gemuk tadi seolah2 lenyap entah kemana.
Sungguh luar biasa dan mengejutkan kedua orang ini.
To pi hin him sempat melirik sekejap ke arah musuh, setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebagai jago kawakan yang berpengalaman, sadarlah ia gelagat tidak menguntungkan.
Memang keadaan ini manusia beruang berlengan banyak ini memang serba sulit, setelah diketahui orang berjubah perak itu lihaynya bukan main sekarang ia berbalik telah bermusuhan dengan kim bin wito tak mungkin rekannya akan membantunya lagi selain itu isi perutnya juga sudah terluka parah.
Dalam gugupnya secepat itu To pi jin him berhasil mendapatkan satu jalan untuk mengatasi kesulitannya jalan tersebut adalah cepat kabur ia tahu jika tetap berada di sini, bukan saja kitab pusaka tak didapat malahan mungkin jiwanya bisa melayang di sini.
Sudah berpuluh tahun ia berkecimpung di dunia persilatan banyak juga musuhnya tapi dia masih hidup sampai sekarang, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa dia memang pintar melihat gelagat dan dapat mengambil keputusan cepat.
Begitu ingatan ini terlintas, tanpa ragu2 lagi ia putar badan terus melayang keluar, dengan kecepatan tinggi dia kabur ke semak belukar di belakang rumah.
Bahkan pada saat mau kabur, bandit yang sudah lama malang melintang di dunia persilatan tak rela kabur begitu saja baru tubuhnya bergerak secepat kilat berpuluh bintik perak dihamburkan.
Sungguh kekejaman dan kelicikan sesuai dengan namanya yang terkenal ganas di dunia persilatan.
Namun sastrawan jubah perak itu tetap tenang saja, sambil tertawa dingin ia bergerak mengitar ke depan bagaikan seekor naga perkasa melingkar di udara tahu2 berpuluh bintik senjata rahasia yang dilancarkan oleh To pi jin him dalam usahanya melarikan diri lenyap tak berbekas.
Sastrawan jubah perak yang berkepandaian tak terkira itu mengebaskan lengan bajunya ia berpekik tertahan, tubuhnya melambung beberapa kaki lagi lebih tinggi, dari atas ia terus hantam kepala Kim bin wito.
Dalam pada itu kim bin wito yang sombong juga ketakutan setengah mati menyaksikan kelihayan sasterawan jubah perak, mukanya pucat dan tubuhnya agak menggigil segera ia hendak meniru To pi jin him dan melarikan diri.
Tapi sempat niatnya terlaksana, suitan nyaring telah berkumandang sesosok bayangan berwarna keperakan dengan membawa tenaga pukulan yang dahsyat telah menghantam dari atas.
Diantara deru angin pukulan yang kuat sama sekali ia tak dapat membedakan ke arah manakah serangan itu tertuju, selain itu pukulan yang maha dahsyat seakan2 menindih tiba dan membuat napasnya jadi sesak.
Orang yang biasanya terkenal sebagai pembunuh keji dan berhati keras ini mulai panik dan ketakutan dia ingin menangkis tapi tak mampu, mau kabur juga tak bisa belum lagi ingatan lain terpikir, tahu2 pandangannya jadi gelap, suatu pukulan yang maha dahsyat telak di dadanya.
Sun pin seng dan anak Cuma berdiri dengan mata terbelalak dan mulut melongo mereka hanya merasakan bayangan keperakan berkelebat diantara hembusan angin, setelah pekik nyaring seorang menjerit kesakitan, lalu bayangan perak itu meluncur ke depan mengejar ke arah To pi jin him melarikan diri.
Ketika mereka berpaling, tertampaklah Kim bin wito yang sombong dan garang itu sudah terkapar di atas tanah, tak perlu diperiksa lagi Sun pin yakin bandit ulung yang sudah lama malang melintang di dunia persilatan itu pasti sudah mati.
Luar biasa kungfu sastrawan berjubah perak itu, kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri mungkin orang tak akan percaya akan kejadian ini.
Ngo hou toan bun to Sun pin seng terhitung seorang piausu yang cekatan, sekalipun kungfunya tak seberapa tinggi, namun pengalamannya boleh dibilang cukup luas, tapi hari ini dia baru merasa matanya benar2 terbuka, ia makin sadar bahwa tokoh kosen tak terhitung jumlahnya di dunia persilatan.
Ia menghela napas panjang dan lama sekali ia termangu2, pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, akan tetapi tidak sesuatu yang dapat disimpulkannya.
Sun kim peng tampak menggigil dengan wajah pucat, apalagi pelayan hampir ia tak percaya pada apa yang terjadi di depan matanya ingin berteriak saja tak keluar suaranya.
Diantara mereka Sun pin seng lebih berpengalaman, ia tahu tak dapat tinggal terlampau lama di situ, di warung minum ini terkapar sesosok mayat, sebentar lagi pasti akan lebih banyak tamu yang akan singgah selain itu iapun teringat kembali Hui giok dan kedua kitab itu yang menyebabkan cekcok kedua perampok itu.
Maka kepada puterinya dia lantas berseru "Peng ji bereskan semua barang cepat berangkat!"
Pada saat itu Hui giok menongol keluar dari kolong meja kedua kitab yang berada di tangannya telah terbuka, mukanya tampak berseri karena kegirangan, ketika Sun pin seng memandang sekejap wajahnya tahulah jago tua ini bahwa anak muda itu telah mengetahui rahasia kitab tersebut.
Rupanya Hui Giok yang bisu dan tuli tidak memperdulikan lagi kejadain yang berlangsung di tempat itu, dia terus menerobos ke kolong meja disitu diperiksanya kitab itu dengan seksama setelah membaca beberapa halaman, tahulah anak itu bahwa isi kitab ini tak lain adalah ajaran ilmu silat yang tinggi.
Sun pin seng berkerut kening, ia tahu harus lekas berangkat, tapi harus kemana? Ia tahu tujuan laki2 berbaju perak itu membunuh kedua perampok itu adalah utnuk mendapatkan kedua kitab pusaka itu ditinjau dari kemampuannya, tidak sulit baginya untuk membunuh To pi jin him dalam sekali gebrakan saja, maka sebentar lagi ia pasti akan kembali lagi kesini untuk merampas kitab itu.
Cepat sun pin seng rampas kedua buku pusaka itu dari Hui giok "Hay thian pit kip"
Tempat huruf ini tertera nyata disampul, jantungnya berdetak keras, nafsu serakahnya seketika timbul.
Ketika masih mengawal barang dulu, Ngo hou toan bun to pernah membinasakan orang kedua dari Sam sat ngo pah suatu gerombolan bandit terkenal di daerah kanglam, sejak kejadian itu ia selalu hidup sembunyi dan kabur kesana kemari untuk menghindari pembalasan dendam musuh.
Ia tak pernah hidup dalam suasana tenteram lagi, mirip tikus yang tak berani melihat cahaya terang dan terpaksa hidup menyusup dan menyelinap ditengah kegelapan tapi sekarang dua
Jilid kitab pusaka itu telah berada di tangannya, dengan benda ini ia dapat mengubah nasibnya asalkan isi kitab berhasil ia kuasai, maka selanjutnya ia tak perlu takut kepada siapapun juga.
Senyuman tersungging di ujung bibirnya, ia tak ragu2 lagi segera ia berkata "
Pengji, cepat berangkat !"
Ia pegang Hui Giok dan lari keluar warung tersebut, cepat mereka naik ke atas kuda milik To pi jin him dan kim bin wito yang tertinggal itu, lebih dulu ia pecut kuda tunggangan kimpeng lalu kuda mereka pun dilarikan dengan cepat.
Tindakan ini sama sekali di luar dugaan Hui Giok, waktu itu ia setengah dikempit dan melintang di depan kuda Sun Pinceng ia menyaksikan Sun lotia telah memasukkan kedua
Jilid kitab pusaka itu ke dalam bajunya.
Dalam keadaan begini, banyak hal yang ia tanyakan tapi ia tak dapat berbicara diam ia gusar dan benci pada diri sendiri, mengapa begitu jelek nasibnya sehingga setiap kali harus menyerah dan dipermainkan tanpa bisa melawan sedikitpun.
Sekalipun dia sudah terbiasa dihina, tapi kesedihan hatinya sekarang benar tak terperikan.
Langit sudah terang, sang surya sudah memancarkan sinarnya, tapi masih sedikit orang yang berlalu lalang di jalan raya, kedua ekor kuda itu kabur dengan kencangnya debu mengepul menciptakan gumpalan awan tebal.
Sun kimpeng pandai menunggang kuda tapi sekarang ia tak dapat mengendalikan binatang.
Kuda itu kabur dengan cepatnya karena kesakitan pukulan ayahnya tai membuat binatang itu agak liar dan tak terkendalikan.
Beberapa kali nona itu berpaling ke belakang sayang lari kudanya terlampau cepat tiada sesuatu apapun yang terlihat malahan nyaris ia terguling dari kudanya.
Kedua ekor kuda itu adalah kuda jempolan jenis pilihan sekalipun telah berlarian sekian lama sama sekali tak nampak kehabisan tenaga, hanya sekejap kemudian sudah jauh meninggalkan tempat tadi.
Kadang2 Ngo hou toan bun to Sun Pin berpaling ke belakang, ketika dilihatnya tak seorang pun yang menyusulnya, diam2 ia merasa girang dua kaki mana bisa lebih cepat daripada empat kaki, demikian pikirnya.
Dirabanya kedua
Jilid kitab Hay Thian pit kip dalam sakunya dengan tangan kiri, lalu melirik Hui Giok yang dikempitnya nafsu serakahnya makin memuncak, tiba2 timbul niatnya.
Hakekatnya ia memelihara Hui Giok bukan tiada maksud tertentu, sekalipun ada juga sedikit rasa kasihannya, tapi yang lebih banyak adalah dia bisa memperoleh seseorang pembantu yang diperas tenaganya tanpa dibayar, jadi bukannya dia menerima anak muda itu dengan maksud baik yang murni.
Maka ketika ingatan jahat terlintas dalam benaknya, ia melirik sekejap ke arah Sun kimpeng yang sedang kabur di depan itu, tangan kanannya terus membuang ke samping.
Sedikit banyak Sun kimpeng pun dapat menerka maksud hati sang ayah, tapi mimpipun tak disangkanya ayah akan bertindak sekeji itu dan tak berperikemanusiaan terhadap pemuda cacat yang hidup sebatangkara.
Diantara derap kaki kuda yang ramai ia mendengar ada benda berat jatuh di belakang, cepat ia berpaling untuk mengetahui apa yang terjadi tapi saat itulah suatu pukulan kembali menghajar pantat kudanya.
Karena pukulan yang cukup keras itu, kuda yang masih kesakitan akibat pukulan pertama tadi itu segera meringkik panjang dan membedal semakin cepat lagi.
Walau begitu Sun kimpeng masih sempat melirik sekejap ke belakang, sekilas ia lihat bayangan Hui Giok telah lenyap dari pangkuan ayahnya.
Bagaimana perasaannya ketika itu sulit dilukiskan.
Kedua ekor kuda itu masih membedal dengan cepatnya, seakan2 tidak merasakan kepedihan hati nona itu, seolah2 tidak kenal kasihan, larinya malah bertambah kencang.
Jalan raya yang lurus ke depan itu agak menikung ujungnya hanya sekejap kedua ekor kuda itu sudah lenyap dibalik tikungan sana.
Matahari seperti hari2 biasa menyinari pepohonan, menyoroti jalan raya dan wajah Hui Giok yang terkapar di tepi jalan.
Setelah didorong dari atas kuda oleh Sun Pin tadi kepalanya menumbuk batu yang berserakan dijalan, ia terguling beberapa kali dan akhirnya semaput di tepi jalan di atas rerumputan.
Sekarang ia telah sadar kembali, cahaya sang surya menyilaukan matanya, ia berkedip dan dikucak matanya dengan tangannya ia merasa lemas ruas tulang empat anggota badannya seperti terlepas semua, sedikit saja bergerak terasa sakit bukan alang kepalang.
Dia menggeser kepalanya dengan menahan rasa sakit, menghindari sinar matahari yang menyilaukan sesaat itu benaknya terasa kosong, apapun tak bisa terpikir olehnya, apapun tak ingin dipikir olehnya.
Sejak ia mulai tahu urusan sampai detik ini, yang dialaminya hampir boleh dibilang hanya kemalangan, tapi semua itu tidak menjadikan dia membenci langit dan bumi, juga tidak benci kepada orang lain, ia hanya benci pada dirinya sendiri.
Ia benci ketidak becusan sendiri, mengapa pekerjaan yang dapat dilakukan orang lain tak dia lakukan? Ia menyesal pada kebodohan sendiri terhadap penghinaan, siksaan dan ketidak-adilan yang dilontarkan orang lain atas dirinya, ia menerima dan merasakannya dengan pasrah nasib, ia hanya berharap pada suatu ketika akan mengalami perubahan, agar orang lain lebih menghargai dirinya.
Dendam? Benci kata semacam itu tak pernah ada dalam kamus dirinya, boleh dibilang ia merasa asing dan tak mengerti apa artinya ia sudah merasa puas bila orang lain jangan menganiaya dirinya lagi, sedang ia sendiri tak pernah berpikir akan merecoki orang lain, apalagi menganiaya dan menghina mereka.
Meskipun penderitaan telah dialaminya cukup lama, sekalipun berulang kali ia mengalami peristiwa yang tragis, iapun mulai kenal kelicikan serta kebusukan hati manusia, namun ia sendiri masih mencintai manusia ia masih berharap orang lain dapat pula menyayangi dirinya.
Tentang peristiwa Sun lotia, Hui Giok bukan orang bodoh, tentu saja ia tahu sebabnya kakek itu tega melemparinya ke tepi jalan hanya dikarenakan kedua
Jilid kita itu, dia bukan anak dungu kini mungkin dia lebih memahami watak manusia daripada orang lain.
Namun Hui Giok tak ingin mengingat peristiwa itu, dia hanya akan mengingat selalu kebaikan orang terhadap dirinya, dia Cuma mau mengingat Sun Lotia bersedia memeliharanya membawa dia pergi mengembara dan mencari pengalaman dan memberi pula kehangatan dan kehormatan hidup terutama sepasang mata yang jeli itu.
Tidak terbatas sampai di situ saja rasa terima kasihnya, dia malah bersyukur kakek itu hanya melemparkan dirinya ke tepi jalan, bukan membinasakannya sekaligus, sebab ia mengerti, andaikata orang itu berniat membunuhnya ini bisa dilakukan dengan gampang, dan mungkin pada saat ia sudah menggeletak tak bernyawa lagi.
Tapi kenyataan berbaring dengan tenangnya di atas rumput di tepi jalan, sekalipun ada beberapa ekor kuda lewat disampingnya ia tak mendengar apa2.
Waktu itu merasakan suatu ketenangan hidup yang luar biasa, ia merasa dirinya seakan2 sudah tidak berada di alam semesta ini, meski langit dan bumi amat luas, ia merasa seperti hidup sendirian tak seorangpun yang menggubrisnya.
Itulah rasa kesepian yang luar biasa, tapi ia masih bersyukur kepada Tuhan dia masih memberi sepasang mata kepadanya agar dia dapat menyaksikan alam semesta yang serba indah ini, karena sampai detik ini, dia masih mencintai nyawanya, dia masih sayang pada kehidupannya.
Bagi seorang manusia yang pemberani dan tawakal dalam kehidupan selamanya memang indah.
Seekor cacing menongolkan kepalanya dari tanah sambil berliuk2 keluarlah seluruh badannya tiba2 seekor cacing merayap ke atas cacing tersebut dan berhenti di situ.
Diam2 Hui Giok tersenyum, ia tahu asal cacing membalikkan badannya, semut itu niscaya akan terlempar jatuh atau akan tertindih di bawahnya.
Menyaksikan adegan itu tanpa terasa anak muda itu bertanya pada diri sendiri.
"Sebenarnya cacing itu tidak mau membalikkan atau tak membalikkan badannya, atau mungkin badannya sudah sedemikian kakunya sehingga sama sekali tak dirasakan adanya semut itu?"
Sebelum pertanyaan itu memperoleh jawaban cacing itu kembali menyurut masuk ke dalam tanah sedang semut tadi tertinggal di atas permukaan tanah, tapi pada saat itulah tiba2 muncul sebuah telapak kaki yang besar menginjak semut itu.
Sepatu itu terbuat dari kain.
Jubah orang itu terbuat berwarna keperakan tanpa berpaling Hui Giok tahu milik siapakah kaki itu.
Walaupun ia sudah tahu siapakah orang itu tapi tetap tak tahan rasa ingin tahunya, dia berpaling memandang ke atas kaki ke badan dan wajahnya.
Orang itu masih berwajah angkuh, dingin dan tampan seperti dulu, saat itu matanya yang tajam sedang menatap Hui Giok juga.
Orang itu bungkukkan badan dan menarik bangun Hui Giok sekalipun Hui Giok kesakitan luar biasa oleh tarikan itu, dan seakan2 badannya mau retak semua tapi Hui Giok tetap menggertak giginya dan bertahan sekuatnya.
Dia tak mau kelihatan lemah, senyuman orang sinis itu menggugah semangat jantannya, ia lebih suka tersiksa daripada harus menerima penghinaan, ia tak mau orang lain menganggapnya sebagai pemuda yang tak berguna.
Ia coba berpaling pula, kali ini tak perlu menengadah lagi karena orang itu persis berdiri di depannya karena iapun sudah berdiri, sekarang biarpun martil menghantam kepalanya, anak muda itu takkan roboh lagi.
Dengan tajam laki2 itu mengamatinya dari atas sampai bawah kaki, Hui Giok membusungkan dada tiada rasa takut sedikitpun sebab ia merasa tiada yang perlu ditakuti lagi.
Sebelum Hui giok berpikir lebih jauh tiba2 sikutnya dipegang orang itu, anak muda itu merasa tubuhnya seolah2 jadi ringan, begitu orang itu putar badan, serta merta iapun ikut berputar.
Ketika orang itu melangkah ke depan dan berjalan di tengah raya, Hui Giok merasa badannya melayang diikutinya ke mana orang itu pergi, seakan2 tubuhnya menempel di tubuh orang itu, ia seperti tak bertenaga lagi dan tak dapat mengendalikan diri.
Dia tak tahu laki2 itu akan membawanya kemana lebih tak tahu apa yang hendak dilakukan orang itu terhadap dirinya, namun ia tak takut meskipun dia cinta kehidupan tapi iapun tidak takut menghadapi kematian.
Dalam keadaan yang bagaimana buruknya, ia hanya merasa terhina merasa malu, tapi belum pernah merasa takut.
Ia tak tahu apakah manusia sebahagia dirinya ini? Satu hal cukup yakin pada dirinya sendiri, ia tak pernah putus asa, baik sewaktu berada di loteng kecil yang sempit dan gelap, sewaktu menghadapi si gemuk sewaktu dikerubut kaum berandalan di kota, ketika menghadapi maut ditangan paman Leng, di kamar penginapan, ia tak pernah putus asa terhadap masa depannya tak pernah mengeluh pada kesengsaraan dan kejelekan nasibnya.
Meskipun pengalamannya itu sangat tragis, tapi tidak membuatnya putus asa dan kecewa malahan mengobarkan keberaniannya untuk hidup.
Demikian pula keadaan sekarang, seperti yang sudah2 ia tetap menerima penderitaannya yang sebentar lagi mungkin akan menimpa dirinya, ia akan meronta dan berjuang dengan segala keberaniannya untuk menghadapi semua itu.
Banyak kereta dan orang yang berlalu lintas di jalan itu, sebab jalan ini memang jalan lintas antar kota perdagangan, ketika orang berjumpa dengan Hui Giok dan laki2 berjubah perak itu, semuanya berpaling dan memperhatikan sekejap.
Memang jarang ada orang yang berjubah keperakan begitu, apalagi raut mukanya yang luar biasa, pantas kalau menarik perhatian orang.
Akhirnya mereka tiba di jalan persimpangan tiga, Hui Giok berbelok ke jalan sebelah kanan mengikuti laki2 itu, ia tak tahu akan sampai dimanakah dengan melalui jalan tersebut.
Baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba2 laki2 itu menghentikan perjalanannya dan kembali ke tempat semula, lalu berhenti tepat di persimpangan tiga tadi.
Hui Giok keheranan sayang ia tak dapat bertanya, hanya sempat melirik sekejap ke bawah orang itu.
Seperti biasa mukanya tetap dingin, kaku dan sinis.
"Mungkinkah dia tak punya perasaan......"
Hui Giok bertanya kepada diri sendiri.
"Ai, betapa senangnya bila ku tiru dia, bila aku tidak memikirkan persoalan apapun, bukankah semua kemurungan dan kekesalan akan lenyap dengan sendirinya."
Betapapun Hui Giok memang masih muda, ia tak tahu, justru semakin dingin air muka seseorang semakin banyak kemurungan serta kekesalan yang terpendam di dalam hati.
Laki2 berbaju perak itu tak pernah memperhatikan Hui Giok, ia berdiri dengan memandang ke angkasa entah apa yang dipikirkan dalam keadaan begini Hui Giok hanya bisa menirukan sikap orang, ikut menengadah dan memandang langit yang biru, awan putih yang bergerak terhembus angin....."
Udara yang cerah dan nyaman...."
Pikiran Hui giok ikut melayang2, melayang pada orang2 yang pernah dikenalnya, pada masa mudanya, masa muda yang seharusnya paling indah tapi Hui Giok.....
"
Liong hu, Wi Yang.......Liong hui......."
Teriakan nyaring berkumandang dari kejauhan.
Itulah suara teriakan pembuka jalan rombongan pengawal barang, bila Hui giok dapat mendengar dia akan segera mengenali suara si peneriak itu, jago persilatan dari golongan hitam maupun putih juga akan segera mengetahui siapa gerangan yang berteriak itu.
Memang benar, sebab rombongan itu sangat tersohor dalam dunia persilatan dewasa ini itulah rombongan pengawal barang dari Hui liong piaukiok.
Sedang sesaat kemudian, debu mengepul dari jalan sebelah kiri, muncul seekor kuda bagus, setiba di persimpangan jalan si penunggang kuda itu menarik tali kudanya, sambil meringkik panjang kuda itu berdiri menegak, lalu putar badan dan kabur kembali ke arah semula.
Setelah peneriak jalan itu, kemudian muncul dua ekor kuda gagah perkasa si penunggang kudanya sekilas pandang orang akan tahu bahwa mereka adalah Piautau pemimpin yang memimpin rombongan tersebut.
Air muka laki2 berbaju perak itu sama sekali tak berubah, ditunggunya sampai kedua ekor kuda itu tiba di depannya baru melangkah ke depan dan menghadang di tengah jalan.
Kiranya tadi dia mendengar suara teriakan itu maka dia sengaja balik ke persimpangan jalan itu dan menunggu tibanya rombongan tersebut, tujuannya tak lain hanya meminjam kuda dari rombongan tersebut.
Hal ini disebabkan ia sedang membawa Hui Giok menunggang kuda akan lebih leluasa daripada berlarian sambil menghimpit tubuh seseorang.
Kemunculan secara mendadak itu sangat mengejutkan kedua orang piausu tadi, air muka mereka berubah hebat, maklumlah, biasanya kecuali kaum perampok atau orang yang sengaja mencari perkara, jarang ada yang berani menghadang jalan lewat rombongan besar tadi.
Sementara kedua orang piausu itu merasa kaget, laki2 berbaju perak itu mengerling mereka dengan sinar mata sedingin es, kemudian menegur "
Tolong pinjamkan kedua ekor kuda itu kepadaku satu bulan kemudian kuda itu pasti akan kukembalikan ke kantor perusahaan kalian, tidak perlu kuatir."
Dengan penuh perhatian kedua orang piausu itu mengamati lawannya, tatkala secara tiba2 dilihatnya Hui Giok berada disitu, kedua orang itu terkesiap.
Hui Giok juga sudah melihat kedua piausu tersebut, diam2 ia mengeluh di hati.
Sejak kabur dari Hui Liong piaukiok ia tak ingin berjumpa lagi dengan orang2 dari perusahaan itu, terutama berada dalam keadaan yang mengenaskan seperti sekarang.
Kedua piausu ini cukup dikenal oleh anak muda itu, sebab ia tak lain adalah orang2 kepercayaan Liong hen pat ciang Tham beng dalam perusahaan Hui liong piaukiok, terutama salah satu diantaranya yang bernama Koay be sin to (Golok sakti kuda cepat) Kiong cing yang dia adalah anak buah Tham beng yang paling disayang mereka dapat keluar masuk dengan bebas dirumah Tham Beng, tentu mereka kenal baik dengan Hui Giok.
Hui Giok minggat dari kompleks perusahaan liong heng pat ciang Tham Beng pernah marah2 karena peristiwa ini kedua itu jadi kaget karena melihat Hui giok di sini karena hal ini mereka tidak memperhatikan perkataan si sastrawan jubah perak tadi.
Koay be sin to Kion cing yang saling pandang sekejap dengan Pat kwa ciang (pukulan pat kwa) Liu Hui, kemudian piausu she Kiong itu melompat dari kudanya, sambil terbahak2 dihampirinya anak muda itu, tegurnya dengan lantang "
"
Hui Lote, kenapa kau muncul di tempat ini? Tahukah kau betapa kesal dan paniknya Tham cong piautau karena kepergianmu? Hui lote leibh baik kaupulang saja, dunia persilatan terlampau bahaya bagimu, kalau sampai tertipu orang jahat, bisa berabe kau!"
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hui Giok tundukkan kepalanya rendah2 andaikata siku kirinya tidak dicengkeram laki23 berbaju perak itu hingga badan sama sekali tak dapat berkutik, mungkin sejak tadi ia sudah mengeluyur pergi sejauh2nya.
Kini dia Cuma tertunduk sambil memandang sepatunya yang telah berlubang, sepatu itu membuat ia merasa malu dan serba salah.
Laki2 berbaju perak itu mengerut dahinya, dia bersama melompat lebih beberapa depa dan menghadang Koay be sin tong.
"Kau dengar tidak apa yang kukatakan!"
Jawab dia dengan tak sabar.
Koay be sintong hanya merasa pandangannya kabur tahu orang telah berada di depan hidungnya.
Ia terkejut namun sebagai jago kawakan perasaan tersebut dikendalikannya ia balas menatap laki2 itu kemudian dengan terbahak2 sahutnya sambil menjura "
Sobat ini tentulah teman Hui Lote kami ini ya? Saudara kami ini masih terlampau muda dan tak tahu urusan, terima kasih banyak atas kesediaanmu utnuk memperhatikannya, bila kejadian ini kami laporkan kepada Tham Cong piautau kami niscaya dia akan bersyukur dan membalas budi kebaikanmu"
Ia lantas berpaling serunya lagi dengan lantang "
Liu heng coba suruh kirim sebuah kereta kemari, kita harus mengirim kembali Hui lote pulang."
Air muka laki2 berbaju perak itu semakin dingin dan menatap Koay be sin to tanpa berkedip. Kiong cing yang merasa sorot mata orang lebih tajam daripada pisau, ia berdehem lalu katanya "
Aku ini Koay be sin to Kiong cing yang, kebetulan barang yang kami kawal ini akan menuju ibukota, bila saudara berminat silahkan ikut bersama kami, bila.....hehehe....."
Dia tertawa menyambung "
Bila engkau merasa kurang leluasa sedikit banyak masih dapat diberi ongkos jalan bagimu anggaplah sebagai balas jasa kami atas kebaikanmu jauh2 mengantar Hui Lote sampai ke sini."
Tiba2 senyum menghiasi wajah laki2 berbaju perak yang dingin itu, makin lama senyuman itu makin lebar, akhirnya dia terbahak2.
Hati Kiong cing yang juga semakin mantap tadinya dia masih sangsi akan maksud kedatangan laki2 berjubah perak itu, tapi sekarang setelah orang tertawa terbahak2 demi mendengar soal pemberian ongkos, hatinya jadi lega, disangkanya orang itu hanya sebangsa manusia yang ingin mencari keuntungan belaka, rasa sangsi semula lantas tersapu bersih.
Dia keluarkan sekeping uang perak seberat sepuluh tahil lebih, sambil disodorkan ke depan laki2 itu ia berkata "
Karena lagi melakukan perjalanan jauh, tidak seberapa yang kubawa sebagai bekal, jumlah sekecil ini harap sobat suka terima sekedar membeli arak!"
Nada ucapannya sekarang tidak seramah dan sesungkan tadi lagi, malahan agak kasar dan mengejek. Laki2 berbaju perak itu berhenti tertawa, sambil alihkan sorot matanya ke tangan orang ia bertanya sambil tersenyum "
Itu buat aku".
"
Ah, jumlah yang kecil, harap sobat jangan sungkan2"
Sahut Kiong cing yang sambil terbahak2
"
Rasanya sudah cukup untuk bersantap sekenyang2nya dirumah makan Cui gwat lau yang ada di Sik keh ceng!"
Lalu ia berpaling ke arah Liu hui yang berada di belakang dan berseru lagi sambil tertawa "
Liu heng santapan malam kita beberapa orang kemarin malam cuma menghabiskan lima tahil perak bukan?"
Sementara itu Hui giok sedang melirik si laki2 berbaju perak, belum pernah ia saksikan senyuman secerah ini menghiasi wajahnya yang dingin, diam2 ia sangat heran. Di lain pihak Koay be sin to sudah tak sabar dirinya berkernyit, diam2 ia menggerutu "
Sialan! Toaya hanya tak ingin menerbitkan gara2 ditengah jalan, kalau tidak, hmm, sekali tendang keluar kuning telurmu!"
Dengan tangan kanan tetap memegang siku Hui giok, laki2 berbaju perak itu ulurkan tangan kirinya ke depan dan berkata "
Kalau ini untukku baiklah akan kuterima!"
Secepat kilat ia mencengkeram tangan Koay be sin to yang memegang uang perak itu, senyum manis masih menghiasi wajahnya tapi seketika jeritan kesakitan yang menyayatkan hati menggema di angkasa tahu2 tangan kanan Koay be sin to sebatas pergelangan tangan sudah terbetot putus oleh gerakan lawan yang cepat dan sama sekali tak terduga itu.
Koay be sin to terhitung jago kawakan tapi setelah darah keluar dengan derasnya dari kutungan pergelangan tangan itu, kontan ia roboh dan tak sadarkan diri.
Menggigil sekujur badan Hui Giok menyaksikan adegan yang mengerikan itu, demikian pula dengan Pat kwa Ciang Liu Hui yang masih duduk di atas kudanya, pucat air mukanya saking ngerinya.
"Sobat, apa yang kau lakukan?"
Bentaknya cepat ia turun dari kudanya dan memburu maju ke samping Kiong cing yang dan memayang tangannya. Setelah itu ia berpaling dan teriaknya lagi "
Awas, siapkan senjata dan lindungi kereta barang!"
Senyuman masih tersungging di ujung bibir laki2 berbaju perak itu, kutungan tangan yang dibetotnya sampai kutung itu masih dipegangnya, darah berketes membasahi permukaan tanah.
"Aku tak ingin melongok pemberianmu yang sangat berharga itu"
Demikian ia berkata "
Maka pemberian itu akan kuterima, mengenai uang perak ini.....hahaha, lebih baik untuk kau sendiri!"
Telapak tangannya bergerak ke depan.
"Sreet"
Setitik cahaya perak meluncur ke sana tahu2 uang perak yang berada ditangan kutung itu menyambar ke depan piausu.
Cepat dan keras sambaran uang perak itu dengan membawa suara desingan tajam.
Pat kwa ciang Liu hu kaget, ia merasa sambaran tajam itu mengarah hidungnya, sebisanya ia berkelit, namun tak keburu lagi padahal hanya disambit dengan gerakan yang sederhana, ternyata tangannya jauh melebihi serangan panah yang dilepaskan dengan busur.
Pecah rasanya nyali Liu hui, sukmanya serasa melayang ke awang2, ia menggigil karena tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan diri.
Siapa tahu waktu cahaya perak itu sampai di depan hidungnya, mendadak benda itu jatuh ke tanah seakan2 ditarik orang ke bawah dan tepat jatuh di tubuh Koay be sin to Kiong cing-yang yang semaput itu.
Titik cahaya perak itu tidak mengenai tubuh Pat kwa ciang Liu hui, akan tetapi peristiwa ini sungguh mengejutkan hatinya, hampir dua puluh tahun dia berkelana di dunia persilatan tak terhitung jago silat yang pernah dijumpainya tapi belum pernah ia ketemu jago yang bisa menyambit senjata rahasia selihay ini, bahkan mendengarnya belum pernah.
Laki2 berbaju perak itu terbahak2 dia mengeluarkan selembar kertas minyak setelah membungkus kutungan lengan itu dengan hati2 lalu disimpannya ke dalam baju.
Menyaksikan perbuatan lawan itu, hati Pat kwa ciang Liu hui tergerak, tiba2 teringat olehnya kan seseorang , seketika tangannya jadi lemas dia tak kuat lagi memayang tubuh rekannya yang semaput itu...Bluk, Kiong cing-yang yang bersandar pada bahunya itu roboh terkapar di tanah.
Sementara itu ada dua tiga anak buah Hui Liong piaukiok yang sudah mendekati tempat kejadian, mereka sudah melompat turun dari kudanya dan menghampiri Liu Hui, laki2 berbaju perak itu hanya memandang mereka dengan senyum dikulum bahkan senyumannya itu makin lama makin lebar.
Melihat itu Pat kwa ciang Liu Hui semakin menggigil ketakutan.
Hal ini membuat Hui Giok yang berdiri disamping jadi keheranan, belum pernah peristiwa ini ditemuinya selama ini, sebab ia tahu bukan saja Liong heng pat ciang Tham Beng terhitung seorang tokoh dunia persilatan, Piausu yang bergabung dalam perusahaan Hui Liong piaukiok juga orang kenamaan di dunia kang ouw.
Tapi sekarang Pat kwa ciang Liu Hui telah unjuk rasa ketakutan, seakan2 takut jiwanya bakal dicabut oleh gerakan tangan laki2 berbaju perak tadi.
Laki2 berbaju perak itu tersenyum, tiba2 katanya "
Setelah kuterima pemberian Kiong toa piautau tadi apakah sekarang kaupun hendak menyajikan sesuatu bagiku!"
Hijau muka Pat Kwa ciang Liu Hui mendadak ia menghela napas panjang dan menyahut "
Aku betul2 punya mata tapi tak bisa melihat, ternyata kehadiran Locianpwe tidak kami ketahui.
Ai, hakikatnya kami tak menyangka kalau secara tiba2 saja locianpwe akan muncul di sini, sekarang setelah Wanpwe mengetahui siapa gerangan locianpwe ini tentu saja Wanpwe tak berani bertindak sembrono lagi, apa yang locianpwe katakan, pasti akan Wanpwe turut tanpa membantah!"
Mendengar perkataan itu tergelaklah laki2 berbaju perak itu, sementara beberapa anak buah Piaukiok yang hadir di situ berdiri melengong belum pernah mereka lihat Liu piautau mereka mengucapkan kata2 yang demikian merendah dan ketakutan.
"Kalau sudah kenal aku, akupun tak akan menyusahkanmu,"
Kata laki2 berbaju perak itu.
"meski begitu, hendak ku pinjam mulutmu untuk menyiarkan kata2ku ini ke seluruh dunia persilatan. Katakan bahwa jumlah seribu tangan yang ku kumpulkan sudah hampir penuh, tapi belum berarti sudah penuh seluruhnya hati2lah bagi sobat dunia persilatan yang tangannya berlepotan darah."
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi "
Sekarang ingin ku pinjam dua ekor kuda kalian untuk sementara waktu! Sekembalinya dari sini beritahu kepada orang she Tham aku telah membawa pergi pemuda She Hui kalau dia ingin mengatakan sesuatu silakan berurusan langsung dengan aku.
Dalam tiga bulan mendatang, aku akan selalu tinggal di perkampungan Cip sian san ceng di kota Peng an jika orang she Tham ingin kembali bocah ini dan kudanya, cari saja aku di perkampungan tersebut!"
Pat kwa ciang mengiakan berulang kali beberapa orang anggota piaukiok itupun termasuk jago kawakan dunia persilatan, setelah mendengar perkataan itu, merekapun tunduk kepala rendah2 sekarang mereka telah mengetahui bahwa orang berbaju perak itu tak lain adalah Jian jiu suseng yang termasyhur, selama ini orang di dunia persilatan tak berani membangkang atau membantah setiap ucapan Jian jiu suseng, mereka hanya merasa heran Jian Jiu suseng yang selamanya sukar diketahui jejaknya ini bersikap luar biasa ia telah memberitahu tempat tinggalnya secara terbuka.
Tentu saja rasa heran itu hanya mereka pendam didalam hati, tak seorangpun berani bertanya, mereka kuatir nyawanya akan ikut melayang karena cerewet.
Pat kwa ciang Liu hui membisikkan sesuatu telinga seorang anak buahnya, orang itu segera berlalu dari situ, selang sejenak orang itu kembali dengan membawa dua ekor kuda dan diserahkan kepada Jian Jiu suseng.
Jian jiu suseng tidak bicara lagi dia raih tali kendali kuda itu, segera Hui giok merasakan tubuhnya seakan2 melayang di awang2 sebelum tahu apa yang terjadi, tahu2 dia sudah duduk di atas pelana kuda.
Sampai kini anak muda itu masih belum tahu siapa gerangan laki2 berbaju perak itu? Apa pula tujuannya membawa dia pergi? Tapi ada satu hal dapat ditebaknya olehnya, laki2 berbaju perak itu pasti mempunyai sangkut paut yang erat dengan kedua kitab pusaka tersebut.
Dari tindak tanduk si laki2 berbaju perak yang dingin, keji dan tak kenal ampun, ia mulai menguatirkan keselamatan Sun kimpeng dan ayahnya diam2 dia berdoa semoga Sun kimpeng dan ayahnya tidak sampai tertangkap dan disiksa oleh orang ini, tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya andaikata kedua orang itu sampai tertangkap.
Dengan pandangan yang dingin Jian jiu suseng menatap sekejap wajah Pat kwa ciang dan anak buahnya entah cara bagaimana, begitu enteng dan cepat gerakan tubuh orang itu, sampai Pat kwa ciang Liu hui juga tak sempat melihat jelas, tahu2 orang itu sudah berada di atas kudanya.
Sesudah bayangan orang itu dan Hui giok lenyap di balik tikungan sana, Pat kwa ciang Liu hui baru menghembuskan napas lega, iapun memayang Kiong cing-yan yang terluka parah dan dimasukannya ke dalam sebuah kereta.
Rombongan itu bergerak maju lagi, hanya sekarang teriakan si pembuka jalan itu tidak selantang dan senyaring tadi lagi.
Menunggang kuda adalah pekerjaan yang menyiksa Hui giok dia memang dibesarkan oleh kaum piaukiok akan tetapi sampai sebesar ini tak sekalipun ia pernah naik kuda.
Dan kini , terpaksa ia mesti duduk diatas pelana kuda sambil menggertak gigi, kedua kakinya mengempit punggung kuda itu erat2 tapi karena kuda itu larinya cepat, ia merasa kakinya pedas dan sakit.
Dimasa lalu setiap kali ia lihat orang lain menunggang kuda dalam hati kecilnya selalu timbul perasaan kagum, tapi sekarang ia merasakan sendiri bahwa hal ini bukanlah suatu pekerjaan yang patut dikagumi, bahkan ia merasa bukan dialah yang menunggang kuda melainkan kuda yang menunggang dia, sebab ia sama sekali tak dapat mengendalikan kuda itu, adalah kuda itulah yang mengendalikan dia.
Sekalipun demikian, semua penderitaan itu hanya dipendamnya didalam hati, sampai sekarang laki2 berbaju perak itu tak pernah mengucapkan sepatah katapun, atau melakukan suatu gerakan tangan bahkan melirik sekejap ke arahnya tidak.
Orang seakan2 telah menentukan nasib dan kehidupannya.
Kembali kedua ekor kuda itu menempuh perjalanan jauh, tiba jalan itu mulai menikung ke kanan Hui Giok merasa jalan itu mulai menikung ke kanan Hui giok merasa jalan itu kian lama kian bertambah lebar, tapi makin sedikit orang yang berlalu lalang.
Setengah seperminuman the kemudian mereka tiba di depan hutan yang lebat, kini masih musim panas, sekujur tubuh Hui giok sudah basah oleh keringat, ia baru dapat menghembuskan napas lega setelah memasuki hutan ini.
Dalam hutan itupun terbentang sebuah jalanan berbatu, baru setengah jalan dilalui, samar2 Hui giok melihat ada bayangan bangunan rumah dibalik pepohonan di sana.
Memang sudah banyak kejadian aneh yang dialami Hui giok semenjak dia kabur dari Hui liong piaukiok tapi diantara semua kejadian itu pengalaman sekarang inilah yang dirasakan paling aneh.
Ia tak dapat menerka apa sebabnya laki2 berbaju perak itu bersikap demikian terhadapnya kalau dikatakan bermaksud jahat, rasanya orang itu tak perlu bersusah payah melakukan semua itu cukup sekali ayun tangannya, habislah riwayatnya.
Tapi kalau dikatakan ia tak bermaksud jahat, tidaklah orang itu berbuat demikian atas dirinya.
Banyak sudah kejadian tragis yang dialami anak muda ini, pada setiap kejadian ia tak berani berpikir pada bagian baiknya, sebab pada hakikatnya kejadian yang dialami serta tindak tanduk laki2 berbaju perak yang disaksikan tidak mengizinkan dirinya membayangkan hal2 yang baik saja.
Sambil duduk di atas kuda, berbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, ia menghela napas lalu berpikir "
Ai, orang ini pastilah bermaksud menanyai kitab pusaka tersebut maka aku dibawa kemari, tapi kedua
Jilid kitab itu sudah berada di tangan Sun lotia, aku sendiri tak tahu kemanakah ia berada saat ini?"
Setelah berada dalam hutan kuda itu berjalan makin pelan dan akhirnya berhenti laki2 berbaju perak itu melintangkan kudanya tepat di hadapan anak muda itu, dengan tatapan yang tajam dia awasi Hui giok sekali lagi, tiba2 ia menjulurkan tangan kanan ke bawah, dari balik baju jubahnya yang longgar segera muncul dua
Jilid kitab. Ketika Jian jiu suseng mengangsurkan kedua kitab itu ke depannya, seketika Hui giok merasa peredaran darah dalam tubuhnya seolah2 berhenti. Kedua
Jilid kitab yang berada ditangan Jian jiu suseng tak lain adalah kedua kitab kumal miliknya yang telah dirampas oleh Sun lotia itu, sampul kitab itu berwarna hitam dan sudah hapal rasanya Hui giok dengan bentuk kitab tersebut, tak perlu mengamatinya lebih teliti ia lantas tahu bahwa kitab itu adalah miliknya.
Kepalanya seketika terasa pening.
Bahwa kedua
Jilid kitab itu tiba2 bisa muncul ditangan laki2 berbaju perak ini dapat ditarik kesimpulan bahwa nasib Sun lotia berdua tentu lebih banyak celakanya daripada selamatnya, orang ini amat keji, tak mungkin Sun lotia dibiarkan pergi dengan begitu saja.
Terbayang olehnya sepasang mata Sun kimpeng yang jeli, sinar mata yang bening dan penuh kehangatan seakan2 muncul dari delapan penjuru dan bersama2 mengalir ke lubuk hatinya, tubuhnya seperti melayang di udara, pikirannya seperti terhenti.
Dalam sekejap itu langit terasa berubah warna.
Sampul kitab pusaka yang berwarna hitam itu seperti penuh berlepotan darah, darah itu berasal dari tubuh mereka yang pernah menyayangi Hui Giok, bedanya mungkin sekarang mereka tidak menyayangi Hui Giok lagi, sedang anak muda itu tetap menyayangi mereka.
Hakikatnya sudah terlampau banyak penderitaan yang dialami anak muda itu, demikian banyaknya hingga cukup mengubah rasa kasih sayangnya menjadi suatu sikap yang dingin, tapi kenyataannya telah disebabkan ia lebih cerdik daripada orang lain atau lebih bodoh, penderitaan yang dialaminya ini bukan saja tidak mengurangi keberaniannya untuk menentang hidup, juga tidak mendinginkan kehangatan jiwanya, sekalipun orang lain bersikap dingin dan kejam padanya, tapi dia tetap menyayangi mereka.
Sekarang ia duduk di atas kuda, dia harus menjaga keseimbangan sendiri agar tidak terlempar jatuh dari kudanya.
Tiba2 angin menghembus, mengibarkan ujung baju Jian jiu suseng dan menyingkap pula halaman kedua kitab yang dipegangnya.
Pandangan Hui giok dari kedua
Jilid kitab yang telah banyak mendatangkan bencana baginya itu beralih ke atas tubuh laki2 baju perak yang angkuh itu, ia lihat wajah Jian jiu suseng yang dingin dan kaku itu kini menampilkan senyuman yang hangat.
"Kehangatan"
Adalah sesuatu yang sangat didambakan oleh Hui giok, cepat ia menengadah dengan beraninya ia menatap wajah laki2 berbaju perak yang kaku itu, ketika sinar mata mereka saling bertemu, Hui giok merasakan bahwa di balik tatapan yang dingin itu ternyata masih mengandung kehangatan serta perasaan sebagai manusia umumnya, Cuma ia tak dapat menerangkan makna apa yang terkandung didalam perasaan itu.
Betapa besar keinginan Hui giok untuk mendengar sesuatu, mengutarakan sesuatu, karena banyak persoalan yang memenuhi benaknya saat ini,k ia sangat berharap akan segera memperoleh jawaban dan penjelasan.
Maka sesudah termenung sebentar, ia menuding kedua
Jilid kitab itu, hanya sayang tak dapat membuat kode tangan untuk melukiskan maksud hatinya itu, ia tak tahu gerakan tangan macam apakah yang harus dilakukan agar orang itu bisa memahami apa kehendaknya.
Selagi anak muda itu kebingungan sendiri saat itulah mendadak segulungan angin tajam menyambit lewat kanan jalanan itu, sret, kedua
Jilid kitab yang berada di tangan Jian jiu suseng itu tiba2 terembus jatuh ke tanah, bukan begitu saja Hui giok yang duduk di atas pelananya ikut berguncang keras, ia tak dapat menguasai diri dan Bluk, iapun terjatuh dari atas kuda.
Bersama dengan robohnya Hui giok, sesosok bayangan manusia dengan cepat menyusup keluar dari hutan sebelah kiri dan melayang ke depan kuda itu, kedua
Jilid kitab yang baru terjatuh ke bawah disambarnya lalu dengan melewati bawah perut kuda bayangan itu menyusup kembali ke dalam hutan sebelah kanan.
Sungguh sukar untuk melukiskan betapa cepat beberapa kejadian itu yang hampir berlangsung bersamaan waktunya, sejak munculnya hembusan angin kencang, jatuhnya kitab, jatuhnya Hui giok serta munculnya bayangan manusia.
Sementara Hui giok merasakan bayangan itu baru berkelebat lantas hilang lagi, tapi hanya tertawa dingin saja Jian Jiu suseng mendadak iapun berkelebat ke muka, secepat anak panah ia menerobos masuk ke dalam hutan.
Mata Hui giok cukup tajam, namun ia tak sempat mengikuti semua kejadian itu sekaligus, dia meronta bangun dan coba memeriksa keadaan di sekeliling tempat itu, namun tiada seorangpun yang kelihatan pepohonan bergoyang terhembus angin bangunan megah dibalik kerimbunan pohon sana masih berdiri dengan angkernya, hanya manusianya yang telah berubah hanya peristiwanya yang, meski sama sekali tidak mempengaruhi alam di sekelilingnya.
Sambil meraba pantatnya yang sakit, pikiran anak muda itu menjadi bimbang, ia tak tahu mengapa timbul peristiwa ini dan untuk apakah kejadian itu, sekalipun berbagai kejadian itu mempengaruhi hidupnya bahkan sangat merugikan dirinya, namun ia hanya bisa menerimanya dengan membungkam sebab kecuali berbuat demikian dia tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Macam2 tanda tanya memenuhi benaknya, seperti tertindih batu besar yang menyesakkan napas.
Dia masih ingat ketika masih kecil ayahnya pernah berkata begini kepadanya "Orang yang pintar takkan mengenang masa lalu, terlalu mengharapkan masa mendatang, tapi melalaikan masa sekarang."
Kini meski ia tak pernah mengenang masa lalu sebab memang tiada kejadian yang pantas dikenang, tak pernah mengharapkan apa2 pada masa mendatang, tapi sekarang bukankah saat inipun keadaannya hampa belaka dan tak punya apa2.
pemuda itu menghela napas ia merangkak naik ke atas kudanya dengan pikiran kosong, ia berjanji pada diri sendiri, asal ada satu tujuan yang ia kejar maka ia akan berjuang dengan segala kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan tersebut.
Sekalipun harus menderita, harus mengalami banyak percobaan dia tak akan mengerutkan dahi.
Membalas dendam bagi ayahnya? Soal ini memang terukir dalam2 di lubuk hatinya, tapi sudah terlampau jauh untuk dipikir lagi sebab ia tahu membunuh ayahnya telah tewas di tang Tiong ciu it kiam sekalipun begitu pengalamannya yang selalu dihina, dicemoohkan dan dianiaya kini telah berubah menjadi suatu beban pikiran yang maha berat.
Terhadap cita2nya sendiri senyuman Tham bun ki serta kerlingan Sun kimpeng semuanya itu menjadi beban yang harus dipikulnya dan terasa semakin berat.
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi semuanya itu rasanya tak bisa diharapkan, memangnya apa yang dapat ia lakukan untuk semuanya itu? Kecuali kepercayaan terhadap nasibnya sendiri, pemuda yang sebatang kara ini tidak memiliki apa2 tidak mempunyai kepandaian apa2.
Kuda itu berjalan perlahan keluar dari hutan ia sendiripun tak tahu kemana akan pergi? Setelah mengikuti jalan itu, akhirnya ia muncul lagi di persimpangan tiga tadi, dengan termangu2 ditatapnya kedua arah jalan yang belum ditempuhnya tadi akhirnya sambil menggigit bibir ia memilih arah jalan yang lurus ke depan.
Tapi kuda itu mendadak tak mau turut perintah kuda tersebut justru bersikeras membelok arah yang lain menghadapi kejadian begini Hui giok jadi gemas, tali kendali kuda ditariknya kencang dipaksanya kuda itu melalui jalan pilihannya.
Akan tetapi kuda itu meringkik panjang kedua kaki depan tiba2 diangkat ke atas sehingga Hui giok jatuh terperosot ke bawah, kemudian kabur sekencang2nya.
Mendongkol hati pemuda itu, ia sambit kuda itu dengan batu, tapi kuda itu sudah kabur jauh batunya hanya berhasil menimpuk gumpalan debu yang mengepul.
Sambil menepuk badannya yang berdebu, pemuda itu putar badan berjalan menuju ke arah pilihannya sendiri, untuk pertama kalinya ia menentukan kehendaknya sendiri sekalipun yang dihadapinya seekor kuda.
Sang surya telah terbenam di balik pegunungan di sebelah barat senjapun tiba.
Ditengah remang2 cuaca Hui giok berjalan seorang diri, lapar dan penat membuat langkahnya sangat berat bagaikan dibebani benda ribuan kati sekalipun demikian ia sama sekali tidak menyesal karena tidak menunggang kuda itu, sama halnya seperti dia tidak pernah menyesal telah minggat dari Hui liong piaukiok yang menjamin makan dan pakaian serba cukup.
Bayangan kota sudah nampak Hui giok percepat langkahnya setiba di pintu kota ia lihat kota tersebut tertulis kota Tin kang, ini dapat diketahui dari papan nama yang tertera di dinding benteng, dengan langkah lebar ia masuk ke dalam kota itu.
Hari mulai gelap, meskipun ia berjalan sambil membusungkan dada, padahal perut yang sangat lapar membuat matanya berkunang2 tiba2 ia lihat sebuah dompet jatuh dari saku seorang laki2 yang berjalan di depannya, cepat ia memburu maju dan memungut dompet itu dan mengejar ke depan serta mengembalikan dompet tersebut kepada pemiliknya.
Bukannya terima kasih tiba2 orang itu melotot, dompet itu dirampas dengan secara kasar, setelah mengomel terus berlalu dengan begitu saja.
Hui giok melongo, ia tak tahu mengapa sekasar itu sikap laki2 tadi sekalipun demikian ia merasa bersyukur dan gembira, bagaimanapun juga ia telah membantu orang lain, dan merasakan kenikmatan bantuan yang dapat diberikan, tentang sikap orang itu terhadap dirinya ia tak perduli.
Begitu jujurnya pemuda itu ia sama sekali tidak berpikir seandainya dompet tadi ia bukan dikembalikan kepada pemiliknya tapi langsung masuk ke saku sendiri, paling sedikit dia takkan kelaparan dan menderita.
Setelah melintasi beberapa jalan, akhirnya pemuda itu duduk meringkuk di suatu sudut jalanan yang gelap, entah terlalu penat atau saking laparnya yang pasti sebentar saja ia sudah tertidur dengan nyenyaknya.
Waktu ia mendusin hari telah terang suara hiruk pikuk berkumandang di sekitar tempat itu, meski ia tak mendengar, tapi ia dapat melihat banyak orang berkerumun di seputar jalan, rupanya malam tadi ia tertidur di dekat sebuah penjual sayur, penjual kain dan aneka macam lainnya berdatangan ke situ dan mendirikan tenda2 mereka untuk berjualan.
Hui giok mengucek2 matanya sambil memperhatikan sekitar tempat itu, mendadak ia lihat seorang pemuda berusia sebaya dengan dirinya dengan memakai baju yang compang camping sedang duduk di suatu tanah lapang kecil di depan sana.
Waktu itu anak muda tersebut sedang mengeluarkan batu bata dari dalam karungnya dengan sangat hati2, batu bata itu ditaruh di atas tanah dengan rapi hingga berbentuk sebuah tungku, hitam pekat batu-batu itu karena terlalu sering dibakar dengan api, sekalipun demikian anak muda itu mengeluarkan dengan seksama dan hati2 seakan2 takut kalau terbentur keras hingga rusak atau pecah.
Hui giok merasa heran, ditatapnya anak muda itu dengan terbelalak kebetulan anak muda itupun berpaling dan memandang padanya, malahan sekulum senyuman menghiasi bibirnya, ketika sinar mata saling bertemu Hui giok segera berkesan bahwa itu amat simpatik, sekalipun bajunya compang camping tapi matanya bersinar terang, memberi kesan kepada siapapun bahwa dia bukan orang licik.
Hui giok merangkak bangun dan duduk ia semakin memperhatikan tindak tanduk orang itu.
Setelah tungku selesai dibuat, orang itu mengeluarkan pula ranting kering dari karung goninya lalu menyulut api ke dalam tungku yang dibuatnya itu.
Selang sesaat kemudian api sudah berkobar dia keluarkan pula sebuah kuali besar dan ditumpangkan di atas tungku itu, lalu mengambil air dan air dituang ke dalam kuali.
Tindak tanduk yang serba aneh ini cepat menarik banyak perhatian orang bukan saja Hui giok dibikin tercengang bahkan nenek, nyonya yang sedang berbelanja serta sekawanan laki2 yang suka mencampuri urusan orang sama ikut berhenti dan mengerubungi tempat itu, semua orang ingin tahu permainan apakah yang hendak dilakukan pemuda itu, sebaliknya pemuda itu sedikitpun tidak menaruh perhatian kepada orang lain, seakan2 di sana hanya dia seorang melulu.
Setelah menghela napas panjang, pelahan dia keluarkan sebuah bungkusan kecil kain biru dari sakunya, Hui giok berbangkit dan menghampiri orang itu, iapun ingin tahu apa yang hendak dilakukan pemuda itu.
Dengan sangat hati2 bungkusan kain biru itu dibukanya selembar demi selembar akhirnya kelihatan bendanya, tersebut adalah sebuah gelang tangan yang terbuat dari tembaga.
Orang mulai berbisik2 semua orang sama menebak perbuatan apakah yang selanjutnya yang akan dilakukan pemuda itu, demikian pula dengan Hui giok saking ingin tahunya dia jadi lupa pada perutnya yang kelaparan, dengan tak berkedip diawasinya gelang tembaga tadi.
Mula2 pemuda itu menyentil beberapa kali gelang tembaganya, setelah di amati beberapa kejap, pelan2 gelang itu dimasukkan ke dalam kuali yang berisi air tadi, selama melakukan tindak tanduknya yang serba aneh ini tak sekejappun anak muda itu memperhatikan orang yang mengerumuninya.
Akhirnya seorang nyonya gemuk yang tak tahan rasa ingin tahunya maju ke depan, tegurnya "
He, anak muda sebenarnya apa yang sedang kau lakukan?"
"
Memasak kuah"
Jawab pemuda itu dengan tak acuh seperti merasa pertanyaan orang agak berlebihan.
"Apa? Memasak kuah?"
Seru nyonya gemuk dengan mata terbelalak, dikucek2nya mata sendiri dengan jari tangan yang gemuk, kemudian mengawasi pula kuali itu beberapa kali, sambungnya nada kaget bercampur keheranan.
"Kau masak kuah dengan menggunakan gelang tembaga itu? "pemuda itu kembali mencibir seakan2 segera untuk memberi jawaban sesudah manggut pelahan matanya dipejamkan rapat2. karena kejadian tersebut orang yang berkerumun semakin heran, siapapun ingin tahu kuah apakah yang akan dihasilkan oleh gelang tembaga tersebut. Hui Giok sendiri, walaupun tak diketahuinya apa yang diucapkan orang itu namun rasa ingin tahunya juga bertambah besar, iapun merasa berat untuk meninggalkan tempat itu dengan begitu saja. Tidak lama kemudian air dalam kuali telah mendidih, pemuda itu membuka matanya ditambah beberapa ranting kayu ke dalam tungku kemudian ia ambil sebuah sendok kuah dari kantungnya, setelah sendok digosokkan dengan bajunya, ia menyendok air kuali tadi dan dicicipinya seteguk kemudian sambil pejamkan mata ia menghela napas.
"Ai, seandainya ada sedikit jahe dan bawang tentu akan lebih lezat rasanya ?"
Ia berguman "tapi ......kalau tak ada juga tak apalah?"
Seorang nona cilik yang rambutnya dikepang dua, dengan tersipu2 maju ke muka dan mengeluarkan segenggam jahe dan bawang, tanpa mengucapkan sepatah katapun bumbu masak itu diletakkan di depan pemuda itu, lalu dengan muka merah jengah ia mundur kembali.
Pemuda itu mengedipkan matanya, sekulum senyuman menghiasi bibirnya, ida ambil bumbu masak dan dimasukan ke dalam kuali.
Nyonya gemuk tadi ikut maju ke muka, dengan agak terbata2 ia berkata "
Aku....aku kira...kuahmu akan lebih enak kalau diberi sayur sedikit?"
Sambil berkata ia mengambil seikat sawi hijau dan diangsurkan kepada pemuda itu, sikapnya takut2 seakan2 pemberiannya akan ditolak.
Maka anak muda itu tidak menunjukkan rasa gembira malah seolah2 kurang senang karena pekerjaannya diganggu orang, sahutnya dengan acuh tak acuh "
Boleh juga!" - pelahan dia terima sawi hijau itu dan dimasukan ke dalam kualinya dengan ogah2an.
Setelah sawi hijau orang yang ingin tahu secara beruntun mendermakan pula bumbu mereka bahkan ada yang memberikan telur ayam, hati babi dan lain sebagainya.
Sedangkan pemuda sendiri tidak minta juga tidak menolak, dengan ogah2an ia masukkan semua barang pemberian itu semua barang itu ke dalam kuali.
Tak lama kemudian, bau sedap mulai mengepul keluar dari dalam kuali tersebut.
Mencium bau sedap itu, orang yang ingin tahu telah terpenuhi rasa ingin tahunya sambil menghela napas kagum.
"Ai, betapa sedap bau ini tahukah kau bau ini berasal dari kuah gelang tembaga?"
Dengan hati yang puas satu persatupun mereka meninggalkan tempat itu.
Hanya Hui giok saja yang masih berada di situ, ia tertawa, sebab itu dia telah memahami sesuatu yaitu .
bilamana kau sengaja memohon sesuatu, belum tentu kau akan memperolehnya sebaliknya bila kau tidak memohonnya malahan menolak, paling sedikit pura2 bersikap begitu maka benda yang sebenarnya kau dambakan itu akan disodorkan ke tanganmu.
Pada dasarnya Hui giok adalah pemuda cerdik, banyak persoalan yang dapat dipecahkannya hanya ia segan untuk memahaminya.
Pemuda tadipun tertawa, mereka saling berpandangan dengan tertawa suatu perasaan simpatik semacam hubungan batin segera saling kontak dimasing2 hati mereka, perasaan semacam itu baru dialami Hui Giok untuk pertama kalinya semenjak dilahirkan di dunia ini.
Pemuda itu menggapai Hui giok lalu berkata sambil tertawa.
"Maukah kau mencicipi kuah gelang tembagaku ini? Tanggung lebih sedap daripada kuah ayam"
Tentu saja Hui giok tidak mendengar apa yang dikatakan orang, dengan perasaan bingung dan menggeleng ditudingnya telinga dan mulut sendiri saat itulah suatu perasaan aneh kembali timbul.
Ia merasa semua rahasia hatinya boleh diutarakan kepada pemuda ini, ia tak perlu mengutarakan dengan perasaan malu, habis itu ia pun tak perlu merasa tak aman.
Pemuda tadi tampak melengong, rupanya ia sedang merasa heran apa sebabnya pemuda yang berada di depannya ini adalah seorang cacat bisu dan tuli ditatapnya Hui giok tajam2 menarik tangannya mendekati kuali yang menyiarkan bau sedap itu, ia menuding mulut sendiri lalu menuding mulut Hui giok akhirnya menuding kuali itu dan tertawa.
Baru pertama kali Hui giok berjumpa dengan pemuda itu, tapi mempunyai kesan yang baik terhadapnya, malahan merasa amat terharu ketika melihat sikap pemuda itu terhadapnya bukan sikap yang memandang rendah, bukan sikap menjadi belas kasihan tapi sikap seseorang yang ingin bersahabat dengan setulus hati maka ia ikut tersenyum dan mengangguk.
Pemuda itu tampak kegirangan, seketika mukanya berseri, dia menarik tangan Hui giok untuk diajaknya duduk disitu.
Tak terduga Hui giok malah menggeleng kepalanya ia tuding orang2 yang berkerumun itu disekitar pasar itu, lalu geleng kepalanya lagi.
Sebagai orang cerdik, pemuda itu segera memahami maksud Hui giok ia tertawa nyaring lalu serunya "
Hahaha, rupanya saudara tak suka suasana ramai disini...."
Baru separoh dia berkata, mendadak teringat olehnya bahwa orang bisu dan tuli serta membungkam kembali sambil menatap Hui giok.
Sekali lagi mata mereka bertemu, Hui Giok dapat menangkap bahwa dibalik sorot mata orang seakan2 terpancar perasaan menyesal, seolah2 takut ucapnya tadi akan menusuk perasaannya seketika darah panas dalam rongga dadanya bergelora, ia pegang tangan pemuda itu kencang2.
selama hidup Hui giok selalu berada dalam penderitaan, apa yang diterimanya selama ini kalau bukan penghinaan tentulah cemoohan sekalipun ada beberapa orang diantaranya baik kepadanya namun sikap mereka itu tak lebih hanya terdorong oleh perasaan kasihan saja.
Tidaklah heran ketika melihat sikap persahabatan yang tulus dari pemuda itu ia jadi sangat terharu, apalagi Hui giok memang pemuda yang perasa, asal orang lain sedikit baik saja kepadanya sekalipun harus membalas dengan kematiannya juga dia tak menyesal.
Begitulah mereka saling berjabat tangan dengan erat, saking terharunya air mata Hui giok bercucuran.
Pemuda terhitung seorang yang berwatak aneh, sejak bertemu Hui giok tadi suatu kesan baik lantas muncul dihatinya sekarang setelah saling pandang dan menggenggam tangan walaupun baru berjumpa untuk pertama kalinya dan tak sepatah katapun diucapkan tapi timbul perasaan gembira seakan2 sahabat lama yang sudah bertahun tak berjumpa dan kini bertemu kembali.
Entah berapa lama kedua orang itu berdiri saling pandang, tiba2 pemuda itu tersenyum, ia lepaskan tangan Hui giok lalu menepuk bahunya kemudian setelah menyimpan kembali semua barangnya ke dalam karung dengan tangan kiri mengangkat karung tangan kanan membawa kuali mereka berlalu dengan langkah lebar.
Istimewa sekali cara pemuda ini membawa kuali berisi kuah itu, ia hanya menjepitnya dengan ibu jari, jari tengah serta jari telunjuk terus meninggalkan pasar malahan beberapa batu batapun itupun tak diambil lagi.
Banyak orang berlalu lalang di sekitar pasar itu, para penjual sayur, buah2an, daging dan lain sebagainya yang sejak tadi memang merasa heran terhadap pemuda berpakaian compang camping itu kini menyaksikan betapa ia menjepit kuali penuh kuah panas itu hanya dengan tiga jari saja semua orang jadi tercengang mereka tak tahu orang macam apakah pemuda itu.
Hui giok juga kaget, meski rendah ilmu silatnya, tapi sudah terbiasa baginya bergaul dengan jago2 persilatan sejak kecil.
Dari kemampuan anak muda itu menjepit kuali hanya dengan jari tangannya, sadarlah Hui giok bahwa rekannya ini berilmu tinggi.
Seringkali ia dengar orang berkata bahwa banyak jago lihay yang hidup bersembunyi di tengah masyarakat biasa, sekarang ia telah membuktikan sendiri, pemuda yang tampaknya masih muda, sebaya dengan usianya, ternyata memiliki kungfu yang hebat.
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa ia teringat akan keadaan sendiri, diam2 ia membenci akan ketidak-becusan dirinya.
Tiba2 dilihatnya pemuda itu menghentikan langkahnya sambil tersenyum sinar matanya penuh rasa persahabatan tanpa terasa ia pun tersenyum lalu mengikut kesana dengan langkah lebar.
Sepanjang jalan banyak orang memandang mereka dengan sorot mata heran, tapi pemuda itu tidak menggubrisnya, ia membawa Hui giok melintasi jalan besar, Hui giok tak tahu kemana akan pergi, tak lama mereka sudah berada di pinggiran kota.
Pemuda itu tidak berhenti kembali kendati sudah jauh meninggalkan kota, hawa panas yang mengepul keluar dari kuali itu kian tipis, tampaknya sebentar lagi akan jadi dingin.
Hidung pemuda itu mencium beberapa kali dengan alis berkerut ia tersenyum ke arah Hui giok lalu berjalan sesaat akhirnya berhenti di atas suatu gundukan tanah, setelah meletakkan kuali dan barangnya, ia rentangkan tangannya sambil berputar dan tertawa terbahak2.
Hui giok memandang sekeliling tempat itu, tidak ditemuinya sesosok bayangan manusiapun diantara pepohonan yang hijau seta naha ladang yang hening iut, iapun tertawa dan lenyaplah bagian besar rasa jengkelnya.
Kuali diletakkan di atas batu, pemuda itu memindahkan pula dua potong batu besar untuk tempat duduknya dan Hui giok sebuah sendok besar dan sebuah sendok kecil dikeluarkan.
Sendok besar diberikannya kepada Hui giok ia menggunakan sendok kecil untuk mengambil kuah dalam kuali dan meminumnya.
Baru dua sendok pemuda itu dahar, tiba2 ditaruh kembali sendoknya, dari dalam karung diambilnya sebuah holo (buli) besar, setelah meneguk dua cegukan, ia serahkan holo itu kepada Hui giok.
Sejak dilahirkan belum pernah Hui giok minum arak meski setetespun, agak tertegun ia menerima holo itu.
Ketika dilihatnya pemuda itu sedang memandangnya dengan tersenyum, tanpa ragu2 lagi holo itu diambil dan meneguknya satu tegukan.
Tidak terasa pedas ketika arak itu mengalir ke dalam kero
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung