Misteri Pulau Neraka 1
Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Bagian 1
Misteri Pulau Neraka ( Ta Xia Hu Pu Qui ) Karya . Gu Long d/h . Pulau Neraka Disadur oleh . Tjan ID Sumber DJVU . Alm. Manise Diteruskan aaa Dimhader Ebook oleh . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/
http.//dewi-kz.info/
http.//cerita-silat.co.cc/
http.//kang-zusi.info Daftar Isi MIS TERI PULAU NERAKA DAFTAR IS I
Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32
Jilid 33
Jilid 34
Jilid 35
Jilid 36
Jilid 37
Jilid 38
Jilid 39
Jilid 40
Jilid 41
Jilid 42 TMT
Jilid 1 DALAM DUNIA PERSILATAN tersiar berita yang mengatakan begini.
Di tengah lautan timur yang luas terdapat pulau kecil yang tak berpenghuni setiap malam bulan purnama, di atas pulau itu akan bermunculan banyak sekali kejadian aneh...
Kentongan ketiga baru saja lewat, ketika suasana amat hening, sepi tak kedengaran sedikit suarapun, ombak laut pelan-pelan surut ke tengah samudra, di atas pulau itu pasti akan terdengar bunyi seruling yang tinggi melengking.
Menyusul suara seruling, maka akan terdengar pula suara petikan harpa yang merdu.
Ditengah keheningan malam, irama seruling itu sedih dan menusuk perasaan, membuat orang merasakan hatinya lara dan duka.
Sebaliknya irama hampa itu ibaratnya beribu-ribu prajuritnya berkuda yang menyerbu ke medan laga, bersemangat dan membuat darah dalam badan mendidih.
Kemudian akan membuat juga suara nyanyian yang lantang membelah keheningan malam, membawakan syair Toa kang-tang-ki yang bernada keras dan membetot sukma....
Bila nyanyian telah selesai, perpaduan irama seruling dan harpa telah sirap, gelak tertawa panjang yang memekikkan telinga akan bergema membumbung tinggi ke angkasa.
Kemudian akan muncul gulungan cahaya merah yang menyambar-nyambar di atas pulau seperti jilatan api yang membara, dalam kegelapan malam, cahaya itu terasa menusuk pandangan mata.
Diantara kobaran api yang membara, akan muncul pula selapis hawa pedang yang menyilaukan mata.
Mungkin di sana terdapat seorang jago pedang yang sedang hidup mengasingkan diri? Akhirnya berkumandang suara pujian kepada sang Buddha yang menggelegar bagaikan guntur membelah bumi.
Kemudian suasana menjadi hening, sepi dan tiada kejadian apapun.
Orang persilatan yang mendengar dengan cepat menyebarkan peristiwa itu ke seluruh dunia persilatan.
Dalam waktu singkat, peristiwa aneh itu menjadi bahan cerita orang banyak, menjadi buah bibir setiap jago-jago persilatan.
Ada diantara mereka yang menduga kalau pulau itu dihuni tokoh sakti, bila mereka berhasil mencapai pulau tersebut, siapa tahu bakal menemukan kitab-kitab pusaka peninggalan mereka?.
Ada diantara mereka yang menduga pulau itu dihuni siluman atau iblis yang hebat, dengan nekat melenyapkan semua kejahatan dari maka bumi mereka berangkat ke pulau itu.
Ada pula yang menduga di pulau itu akan dijumpai senjata mustika peninggalan tokoh sakti di jaman dulu kala, siapa tahu kalau mereka berjodoh dengan senjata itu.
Ada pula yang menganggap di pulau itu berdiam tokoh silat yang sedang diliputi kesedihan, mereka ingin menyambangi dan berkenalan dengannya.
Selain dari pada itu ada pula jago-jago muda dalam dunia persilatan yang ingin menjadi tenar, ada yang ingin menghindari kejaran musuhnya, ada yang ingin mencari guru pandai, tanpa memperdulikan bahaya yang bakal dihadapi, mereka berangkat untuk beradu untung.
Namun hasil yang dijumpai kawanan jago itu setali tiga uang.
Diantara sepuluh bagian, ada sembilan bagian diantaranya sudah mundur teratur ditengah jalan mencapai lima li dari pulau tersebut, Mungkin ada pula diantaranya yang berhasil lolos dan menyusup ke atas pulau dalam kegelapan malam.
Namun mereka yang berhasil mencapai pulau tersebut, tak pernah nampak kembali lagi.
Setahun, setahun, kembali setahun.
Waktu berlalu bagaikan kilat yang menyambar diangkasa ..
Orang yang bertujuan menyerempet bahaya masih berdatangan tiada hentinya, namun kebanyakan menjadi manusia-manusia yang bisa pergi tak pernah kembali.
Akhirnya orang persilatan menghadiahkan nama pulau pergi tak kembali untuk pulau terpencil tersebut, dimana lama- kelamaan akhirnya lebih dikenal orang sebagai.
Pulau Neraka.
Sejak itu, Pulau Neraka menjadi lambang dari suatu tempat yang mendirikan bulu roma orang, tempat untuk mencoba keberanian umat persilatan, juga merupakan perangkap bagi umat persilatan untuk mendapat kematian.
-oOdwOooOdwOoo0dw0oOdwOooOdwOoo- BANYAK tahun sudah lewat Pulau Nerakapun masih tetap seperti sedia kala.
Suara seruling, irama harpa, bayangan pedang, nyanyian lantang, pekikan nyaring, gelak tertawa keras dan pujian Buddha yang menggelegar, setiap bulan purnama pasti akan muncul satu kali.
Hanya saja, bila kau adalah seorang yang teliti, seorang yang seksama, maka kau jumpa banyak sekali perbedaan- perbedaannya.
Suasana suram dan sedih menyelimuti seluruh pulau kecil itu, kegagahan serasa bagaikan tinggal kenangan.
Permainan harpa kini bernada sedih, suara nyanyian menyerupai orang yang sedang menangis...
Walaupun hawa pedang yang membelah angkasa semakin dahsyat kekuatannya, namun tubuh sifat kehidupan dibaliknya, tidak seperti dulu penuh dengan hawa pembunuhan yang mencekam.
Syair lagu Toa Kong Tang Ki, kini telah dirubah menjadi syair So Bo mengangon kambing.
"Si orang tua, mengharapkan anaknya kembali, waktu lewat bagaikan air... Ditengah malam sama-sama tidur, siapa bermimpi siapa... Anak siapakah yang dimaksud? Tak seorangpun yang tahu. Seandainya kau mujur dapat mencapai pulau tersebut beruntung tidak menjadi orang yang bisa pergi tak kembali, maka akan kau jumpai dua hal yang akan membuat kau tak percaya.... Ditengah-tengah pulau itu akan jumpai sebuah tugu yang terbuat dari batu. Di atas batu tadi akan tertera tiga huruf besar yang dibuat dengan menggunakan tujuh macam ilmu silat yang berada, entah pukulan tangan kosong, atau pedang atau golok atau bekas pukulan berapi, dan ketiga huruf itu berbunyi.
"Jit Hu To."
Rupanya Pulau neraka sesungguhnya sudah mempunyai nama aslinya, hanya umat persilatan tak ada yang mengetahuinya belaka.
Selain itu di atas puncak yang bukti yang paling tinggi akan di jumpai sebuah gardu kecil, Di depan wuwungan gardu tersebut tiga huruf besar yang terbuat dari susunan bambu yang berbunyi.
"Wang Ji teng," (Gardu menantikan anak). Tak heran kalau nyanyian yang bergema membawakan syair yang berbunyi.
"Si orang tua, mengharapkan anaknya kembali."
Mungkinkah ke tujuh kakek yang menderita itu sedang mengharapkan anak mereka kembali? Satu teka-teki besar! Tak seorang manusiapun yang bisa menjawab pertanyaan ini.
-oOdwOooOdwOoo0dw0oOdwOooOdwOoo- Siapakah anak yang tidak berbakti itu? Tahukah dia ada tujuh orang kakek yang hidup sengsara sedang merindukan dirinya? Sedang memanggil-manggil dia? Mengharapkan kedatangannya? Dan dia, mungkinkah ia akan kembali ke pulau itu, untuk bertemu kembali dengan ke tujuh orang tuanya? Sayang sekali .
Tiada umat persilatan yang mengetahui tentang kabar ini, tidak seorang manusiapun yang tahu.
-oOdwOooOdwOoo0dw0oOdwOooOdwOoo- PERISTIWA itu sudah berlangsung lama sekali.
Tiga tahun, lima tahun, mungkin lebih lama lagi sepuluh tahun begitulah ! Waktu itu suasana dalam dunia persilatan amat tenang, Semua orang seakan-akan sudah melupakan apa artinya dendam, apa artinya sakit hati.
perguruan-perguruan besar dan jago-jago persilatan hidup berdampingan secara damai, semua orang berkumpul dengan wajah berseri.
Sekalipun menjumpai persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan hati asal kedua belah pihak saling menyodorkan selembar kartu undangan, di depan meja perjamuan yang menghidangkan arak wangi dan sayur lezat dan mengucapkan beberapa kata merendah, persoalan besar akan menjadi kecil, persoalan kecil akan hilang dengan begitu saja.
Siapapun enggan untuk menimbulkan badai serta pertumpahan darah mencekam perasaan.
Betul bayangan hitam dari Pulau Neraka masih menghantui jalan pikiran mereka, namun siapapun merasa enggan untuk menyinggungnya kembali.
Dari sepuluh orang umat persilatan, ada delapan orang yang berpendapat demikian.
Permainan di ujung golok bagaimanapun juga merupakan suatu perbuatan yang berbahaya.
Siapakah yang benar-benar suka mempermainkan nyawa sendiri tanpa menghargainya? Dari sepuluh orang umat persilatan, ada sembilan orang pula yang berkata demikian.
"Kesemuanya ini adalah berkat jasa dari Seng-siu "kakek malaikat dia orang tua !"
Seng siu ! Satu panggilan yang sangat menghormat sangat menawan hati, Dan dia pun dengan kebesaran jiwa serta kebijaksanaannya mengatur dunia persilatan, membuat kawanan jago yang sukar diatur itu tunduk seratus persen dihadapannya, mau menuruti perkataannya.
Tentu saja, ketenangannya yang berhasil menyelimuti dunia persilatan ini membuat setiap umat persilatan tak dapat melupakan seorang tokoh persilatan yang lain, yakni Tian ceng "Pendeta sinting"
Tay-gi Sangjin.
Andaikata tak ada si pendeta sinting ini, maka dunia persilatan akan selamanya dikuasai oleh manusia paling keji dikolong langit, iblis tua itu bernama Pat huan-u-kay, Jian-sin- kui-siu "manusia paling aneh dari Pat-huan, kakek setan berhati cacad"
Siau Lun.
Selama Siau Lun belum dibunuh, dunia persilatan akan selalu berada ditengah badai pembunuhan.
Oleh karena itu, setiap umat persilatan juga mengagumi dan menghormati si Pendeta sinting Tay-gi Sangjin atas tindakannya terhadap Siau Lun.
Belasan tahun telah lewat dengan cepat.
Kini pendeta sinting sudah tak ketahuan lagi ujung rimbanya.
"Sedang si kakek malaikat? ia tinggal dalam gedung Sian- hong-hu di ibu kota untuk menikmati sisa hidupnya... Konon, Kaizar akan menganugerahkan gelar raja muda dunia persilatan kepadanya. Maka badaipun kembali melanda dunia persilatan.... -oOdwOooOdwOoo0dw0oOdwOooOdwOoo- SAAT ini adalah suatu musim gugur belasan tahan setelah dnnia persilatan memperoleh ketenangan. Di depan kuil Pek-siu-an di tebing Si-sin-gay bukit Cing- shia, tiba-tiba bermunculan ketua dari Siau-lim-pay, Hui-sin siansu, ketua Bu-tong-pay Hian-leng totiang, ketua Hoa-san- pay Tui-hong kiam siu (kakek pedang mengejar angin) Bwe- kun-peng, ketua Go bi-pay Cui-sian Sanjin serta Han-sian-hui- kiam "pedang mulia"
Wici Min salah seorang diantara enam Tianglo dari Kay-pang.
Kehadiran mereka disertai dengan seorang murid dari tiap- tiap perguruan dan sepucuk surat undangan.
Surat undangan itu dikeluarkan oleh ketua kuil Pek-siu-an yang selama ini membenci segala macam perbuatan jahat serta bertindak keji terhadap setiap siluman dan iblis yang membuat keonaran dalam dunia persilatan Hu-mo-suthay.
Bahkan di atas kartu undangan itu, tercantum pula nama dari adik seperguruannya, To-liong sinni.
Cing-sia-siang-ni "sepasang rahib dari bukit Cing-shia"
Adalah dua tokoh persilatan yang disegani setiap manusia, undangan ini tentu saja cukup mengejutkan semua orang.
Itulah sebabnya, begitu memperoleh kartu undangan, ke empat orang ketua dari empat partai besar, ditambah seorang jago lihay dari Kay-pang segera berangkat menuju ke tebing Si-sis-pay.
Bahkan merekapun membawa serta anak muridnya untuk datang memohon pengampunan.
Ternyata dalam kartu undangan itu bukan hanya mengundang kedatangan mereka saja di tebing Si-sin gay kuil Pek-sui-an, bahkan mencantumkan pula nama-nama dari anggota perguruan masing-masing yang telah melanggar peraturan dari Pek-sui- am.
Dalam surat undangan itu, ditegaskan pula bahwa pada hari Tiong-yang, masing-masing ketua partai harus sudah menyerahkan muridnya yang melanggar peraturan itu di bukit Cing-sia, kalau tidak, kedua orang rahib itu akan mendatangi perguruan masing-masing untuk menyelesaikan sendiri persoalan itu dengan cara mereka...
Ketua dari empat partai dan ketua dari Kay-pang yakni Lan seng tot-hun-siu (kakek bintang jatuh mengejar sukma).
Kongsun Liang cukup mengetahui akan seriusnya masalah itu, dan mereka sadar ada baiknya untuk jangan mengusik kedua orang tokoh silat ini.
Bukan saja mereka enggan ribut, lagipula siapapun tak mau gara-gara persoalan kecil menyebabkan timbulnya peristiwa berdarah dalam dunia persilatan.
Maka merekapun menepati janji dan berangkat ke tempat yang dijanjikan, sekalipun Kongsun Liang dari Kay-pang tidak datang sendiri, akan tetapi dia telah mengirim wakilnya yang tidak kalah termasyhur dalam dunia persilatan.
Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di atas bukit Si-sin-gay, mereka telah berjumpa muka, masing-masing pihak hanya tertawa getir belaka kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun bersama-sama berangkat ke kuil Pek-siu-an.
-oOdwOooOdwOoo0dw0oOdwOooOdwOoo- Pintu gerbang kuil Pek-siu-an berada dalam keadaan terbuka lebar.
Tiada orang yang menyambut kedatangan mereka, juga orang yang berdiri di depan pintu.
Suasana di situ terasa amat sepi, hening..
sedemikian heningnya sehingga kecuali kicauan burung yang kadangkala berbunyi, tak kedengaran suara apapun.
Kelima tokoh silat dari lima partai itu menjadi tertegun, dengan kening berkerut mereka berpikir hampir bersama.
Besar amat lagak kedua orang nikou tua? Namun sebagai tokoh-tokoh silat yang berkedudukan tinggi, mereka tak ingin mengumbar napsu walau menjumpai keadaan seperti ini, toh setelah bertemu muka nanti urusan bisa diselesaikan demikian jalan pemikiran mereka.
Sayang sekali, kelima orang tokoh silat ini tak pernah bisa menyelesaikan persoalan mereka dengan orang yang bersangkutan.
Kuil Pek-sim-an kini telah berubah menjadi tempat pembantaian yang mengerikan darah kental tampak berceceran dimana-mana.
Sepasang Nikou sakti dari bukit Cing-shia telah menjadi arwah penasaran di alam baka.
Hu mo-su-tay ditemukan tergeletak di ruang tengah kuilnya dengan pinggang terpapas jadi dua.
Sedangkan To liong sinni ditemukan tewas dengan kepala terpisah di atas pembaringannya.
Seluruh kuil Pek siu-an sudah berubah menjadi neraka, tak seorangpun manusia hidup pun yang ditemukan di situ, sembilan orang murid dari sepasang nikou itu ditemukan tewas semua dengan anggota badan yang terpisah-pisah.
Darah telah menodai seluruh permukaan tanah dan membeku menjadi gumpalan-gumpalan yang berwarna merah tua.
Dilihat dari keadaan mayat-mayat itu, paling tidak mereka sudah dibunuh pada tiga hari berselang.
Menghadapi peristiwa berdarah seperti itu kelima orang tokoh persilatan ini hanya berdiri termangu-mangu saking terkejutnya.
Terutama sekali lima orang murid yang sebenarnya sedang menantikan hukuman, mereka menggigil keras karena ketakutan mereka seakan-akan lupa kalau dengan kematian kedua orang nikou tersebut berarti dosa mereka dapat diampuni.
Dalam keadaan demikian, Hui-sin siansu dari Siau-lim-pay hanya bisa memuji keagungan Buddha tiada hentinya, sedangkan Han-sian hui-kiam Wici Miu dari Kay-pang dengan mata melotot bergumam dengan marah.
"Perbuatan siapakah ini ? perbuatan siapakah ini? perbuatan siapakah ini...?"
Tak ada yang tahu, hasil karya siapakah pembunuhan berdarah ini, pembunuhan ini dilakukan sangat bersih, sempurna dan sama sekali tidak meninggalkan gejala apa- apa.
Walaupun ke empat ciangbunjin dan seorang jago lihay dari Kay-pang itu sudah melakukan pemeriksaan yang seksama di seluruh kuil Pek-siu-an tersebut, tiada jejak mencurigakan yang berhasil ditemukan.
Tampaknya cara kerja pembunuh itu benar-benar mengagumkan.
-oOdwOooOdwOoo0dw0oOdwOooOdwOoo- Sesungguhnya kehebatan orang itu tidak sampai di situ saja.
Sebulan kemudian, kelima orang tokoh silat itu kembali bersua muka di puncak bukit Gobi.
Selembar kartu undangan yang dikirim Kim-teng-sin-ih "nenek sakti dari Kim-teng, membuat mereka harus berdatangan ketempat itu.
Alasan yang dicantumkan dalam kartu undangan itu adalah dia berhasil mengetahui pembunuh dari Cing-sia-siang-ni, maka mereka diundang untuk bersama-sama berkumpul di puncak Kim-teng serta merundingkan persoalan ini bersama.
Akhirnya ketika kelima tokoh persilatan itu tiba ditempat tujuan, mereka jumpai si nenek sakti dari Kim-teng yang sudah empat puluh tahun lamanya tak pernah mencampuri urusan keduniawian ini ditemukan tewas menyusul arwah Cing-sia siang-ni ke alam baka.
Untuk kedua kalinya lima orang tokoh persilatan itu menjadi saksi bagi hasil karya perbuatan keji dari iblis pembunuh tersebut.
-oOdwOooOdwOoo0dw0oOdwOooOdwOoo- Dunia persilatan yang tenang damai, kini bergolak kembali.
Darah, telah membuka jalan menuju ke alam kematian Maut kini mulai menyelimuti seluruh dunia persilatan dan mengancam jiwa setiap orang.
Sian-hong-pat-ciang Wan sim seng-siu "Kakek malaikat delapan pukulan angin puyuh"
Yang menghuni dalam gedung Sian-hong hu di ibu kota, Nyoo Thian-wi dibuat gusar oleh kejadian itu.
Kartu undangan berlapis emas segera disebar luaskan dari dalam gedung Sian-hong-hu.
Tampaknya si Kakek malaikat telah di buat marah oleh kejadian itu, dia telah bangkit dan mengajak umat persilatan untuk menanggulangi bersama kejadian peristiwa berdarah ini.
Berbondong-bondong para jago berdatangan Lima orang tokoh persilatan yang dua kali menjadi saksi dari peristiwa berdarah itu, berangkat pula menuju ke ibu kota, sebab segala sesuatunya harus diteliti dari keterangan yang bisa diberikan oleh kelima orang tokoh persilatan itu.
Ketika kelima orang tokoh persilatan itu tiba di gedung Sian-hong-hu, si Kakek malaikat Nyoo Thian wi segera mengadakan perundingan tertutup dengan mereka.
Hasil dari perundingan itu menetapkan bahwa mereka akan menyelenggarakan suatu pertemuan Ciang mo-kun eng tay- hwe (pertemuan para enghiong untuk menaklukkan iblis).
Hanya menunggu tiga hari jago dari pelbagai daerah telah berdatangan untuk turut menghadiri penemuan itu.
Sian hong-hu memang suatu kekuatan dunia persilatan yang hebat, selain mempunyai banyak pengikut hubungan juga amat luas, sudah barang tentu untuk menyelenggarakan suatu pertemuan para enghiong, bukanlah suatu pekerjaan sukar.
Tak menjumpai banyak kesulitan, semua persiapan untuk terselenggaranya pertemuan itu sudah beres.
Malam sebelum diadakannya pertemuan itu, untuk kedua kalinya si Kakek malaikat Kyoo Thian-wi mengundang kelima orang ciangbunjin itu untuk menyelenggarakan perundingan rahasia sekali lagi, perundingan itu baru berakhir pada kentongan ketiga.
Siapa tahu, pada kentongan ke empat, gedung siau-hong- hu telah digemparkan oleh suatu berita besar yang ibaratnya guntur membelah bumi ditengah hari bolong.
Sian-hong-pat-ciang, si "kakek"
Malaikat Nyo Thian-wi ditemukan sudah tewas terbunuh.
Kematiannya sepuluh kali lipat lebih mengerikan daripada kematian yang dialami Cing-sia-siang-ni serta Kim-teng sin-ih, tubuhnya dicincang sedemikian rupa sehingga keadaannya benar-benar mengerikan sekali.
Kematian dari pemimpin mereka itu sangat memukul semangat para jago persilatan, pertemuan Ciang-mo-hwe pun dibatalkan sebelum diselenggarakan.
Awan hitam kini semakin menyelimuti seluruh dunia persilatan.
Kini harapan orang mulai ditujukan pada si pendeta sinting yang tersohor karena kelihayannya itu.
Tapi pendeta termasyhur ini seakan-akan sudah tenggelam ditengah samudra saja, ia lenyap tak berbekas! Bahkan sejak ia berhasil menaklukkan Pai-huang-it-koay.
Jiau sim-tui-siu Siau Lim, tak pernah orang berjumpa lagi dengan dirinya.
Tapi, ada pula yang mulai teringat dengan salah seorang tokoh persilatan yang angkat nama bersama-sama Kakek malaikat, yaitu Tionggoan-it-teng "benggolan sakti dari Tionggoan Leng Hong Bin.
Akan tetapi suami istri yang tinggal di kebun Ci-wi-wan di wilayah Tlong ciu ini hanya menggelengkan diri untuk menolong umat persilatan guna melenyapkan gembong iblis pembunuh tersebut.
Gara-gara penolakannya ini, dalam dunia persilatan segera tersiar berita sensasi.
"Tionggoan-it-teng Leng Hong Bin dan istrinya Lak-jiu-ang- sian (benang merah bertangan keji"
Tu-jit-nio adalah dalang dari tiga kali pembunuhan berdarah itu."
Menanggapi berita sensasi yang tersiar dalam dunia persilatan itu, Leng-hong-bin cuma tersenyum ewa.
Berbeda dengan Lok jiu ang-siang Tu Jit-nio, istri Leng Hong-bin, dia naik darah dan segera menyebar undangan- undangan tersebut hanya terdiri dari lima lembar yang ma- sing-masing ditujukan kepada lima orang tokoh persilatan yang menyaksikan tiga buah peristiwa berdarah ini, mereka diundang untuk melakukan pembicaraan dalam kebun Ci-wi- wan.
Sebagai tokoh persilatan yang memimpin perguruan besar dalam dunia persilatan tentu saja mereka dapat memahami maksud yang sebenarnya dari undangan Leng Hong-bin suami istri tak mungkin melakukan perbuatan terkutuk semacam ini, maka dengan senang hati mereka menyanggupi permintaan dari suami istri ini untuk memberi keterangan kepada umat persilatan.
Bulan sebelas tanggal delapan, lima orang ciangbunjin dari lima partai persilatan perkumpulan untuk keempat kalinya.
Didalam kebun Ci-wi-wan, mereka menjumpai Tionggoan- it-teng Leng-hong-bin, Lak jiu-ang sian Tu-jit-nio dan putra mereka yang baru berusia delapan belas tahun Leng-ki-kong.
Sayang lagi-Iagi kedatangan dari kelima orang ciangbunjin itu terlambat satu langkah.
Mereka sudah tidak memperoleh kesempatan lagi untuk berbincang-bincang dengan Leng Hong-bin suami istri.
Leng Hong-hin hanya ditemukan batok kepalanya dengan sepasang mata yang melotot besar terpantek di atas pohon dalam kebun itu, sedangkan Tu Jit sio ditelanjangi orang hingga tak sehelai benangpun melekat di tubuhnya, kemudian tubuhnya itu dipamerkan dia tas pohon tepat di bawah batok kepala suaminya dengan tujuh batang panah bambu, sedangkan putra mereka Leng Ki-kong dibacok menjadi tiga bagian dan terkapar di bawah pohon.
Benar-benar suatu sistim pembunuhan yang sangat keji.
Betul-betul perbuatan dari seorang iblis berhati keji yang berdarah dingin.
Lagi-lagi kelima orang ketua dari lima partai besar itu disodori dengan sebuah adegan pembunuhan yang bersih dan sempurna.
Untuk beberapa saat lamanya, kelima jago lihay itu hanya bisa saling berpandangan dengan mata terbelalak lebar-lebar.
Sekarang mereka tak usah membersihkan nama Leng Hong-bin suami istri dari segala tuduhan lagi, Leng Hong-bin suami istri telah mempergunakan darah dan kematian mereka untuk membersihkan diri dari segala tuduhan dan fitnahan.
Tapi kematian keluarga Leng ini benar-benar penasaran, suatu kematian yang betu!-betul mengenaskan.
Menghadapi keadaan ini, untuk kesekian kalinya Hui-sin siansu hanya bisa memuji keagungan Buddha.
Hun sian-hui-kiam Wici Min dari Kay-pang juga sudah tidak berteriak gusar lagi, menanyakan pembunuhan ini dilakukan siapa, sebaliknya sambil menghela napas sedih ujarnya kepada empat orang rekannya.
"Setelah ini, tiba giliran siapa untuk dibunuh?"
Ya, siapakah giliran selanjutnya ? Setiap pentolan dunia persilatan, setiap jago yang punya kedudukan dimata umum, sekarang sudah menjadi incaran berikutnya.
Ke empat orang ciangbunjin itu hanya bisa saling berpandangan sekejap dengan mulut membungkam.
Dalam pandangan tersebut, entah terkandung berapa banyak perasaan yang bercampur aduk ? Mungkin pandangan yang sekejap itu akan menentukan saat kehidupan dan kematian mereka.
Mungkin pandangan itu akan menentukan tekad mereka untuk bersama-sama menanggulangi pembunuhan berdarah itu.
Atau mungkin juga Mereka hanya memandang punggung rekannya, apakah sudah basah oleh peluh dingin atau tidak...
Berita tentang terbunuhnya pentolan-pentolan dunia persilatan seperti si kakek malaikat Nyoo Thian wi dan bayangan pedang pengejar nyawa Le Hong bin dengan cepat tersebar luar ke dalam dunia persilatan.
Rasa panik, seram, mengerikan cepat menyelimuti pula perasaan kawanan jago yang selama ini menganggap mereka paling top, paling hebat dan paling jagoan.
Dalam suasana seperti inilah, dari sepuluh orang jago-jago persilatan yang termasuk paling top, ada sembilan orang yang berpindah rumah.
Ternyata semua orang takut menghadapi kematian.
Sekarang, terungkaplah sudah bahwa kegagahan dan kehebatan mereka dihari-hari biasa sebetulnya hanya suatu kepura-puraan belaka, buktinya bila ancaman maut benar- benar tiba, semua orang pada angkat kaki mencari keselamatan sendiri-sendiri.
Tapi bagaimanapun juga, kematian memang bisa mendatangkan perasaan seram....
Maka dalam suasana seperti inilah, dalam dunia persilatan kembali beredar berita yang mengatakan begini.
"lblis siluman pembunuh itu sudah pasti berasal dari Pulau Neraka, sudah pasti iblis kejam dari pulau Neraka yang telah hijrah ke daratan Tionggoan."
Tapi, siapakah yang dapat membuktikannya ? Tak ada ! seorang manusiapun, tak ada. Maka ada seorang mulai berpikir.
"Jika ada orang menggunakan kesempatan untuk bermain gila, sudah pasti acaranya akan bertambah meriah, bahkan sudah bisa dipastikan selama hidup permainan busuknya itu tak bakal terbongkar, jalan pemikiran manusia selamanya bagus, tapi betulkah demikian ? Adakalanya apa yang terjadi dalam dunia persilatan sukar diperhitungkan dengan jalan pemikiran manusia. Di atas bukit Lu-san, tepatnya di tepi telaga Kiu-long-tham, terdapat sebuah gardu bata yang kecil. Waktu itu, di atas batu besar yang berbentuk pembaringan dalam gardu itu tampak ada seorang pemuda berbaju putih yang berusia dua puluh tahunan sedang duduk bertopang dagu sambil memandang awan di angkasa dengan termangu- mangu. Mukanya amat pucat, jelas memperlihatkan sinar keletihan yang sangat tebal. Walaupun ia sedang termangu, namun secara lamat-lamat wajahnya memperlihatkan mimik wajah yang kesepian, ia sangat tampan, matanya jeli seperti bintang timur, hidungnya mancung, bibirnya kecil dan agak menekuk ke bawah pada kedua belah sisinya, ini menunjukkan kecerdasan dan keangkuhan. Di sisinya terletak sebuah bungkusan kecil. Disamping bungkusan kecil itu tergeletak sebilah pedang yang telah berkarat. Pita pedang yang berwarna putih, kini telah berubah menjadi abu-abu, sekeliling sarung pedangnya penuh dengan retakan-retakan, agaknya pedang tersebut sudah amat kuno sekali. Sedang bungkusan tersebut tampak menonjol besar, tampaknya tidak sedikit isi buntalan tersebut. Dari sekian hal, ada satu keistimewaan lagi dijumpai pada pemuda tersebut, yakni wajahnya menunjukkan perasaan tidak puas kesepian bahkan sangat menganggur. Memandang awan yang bergerak diangkasa, tiba-tiba pemuda tersabat bersenandung dengan suara lantang. Kemudian makin lama bersenandung makin keras, tiba-tiba setelah tertawa tergelak serunya.
"Thian-ho-tang... Thian-ho-tang..."
Dia membungkukkan badannya memungut buntalan dan pedang berkaratnya, kemudian siap berlalu dari situ. Belum lagi melangkah pergi, mendadak belakang gardu dari balik semak terdengar seseorang berseru dengan gusar.
"Sialan ! Keparat, siapa yang tak tahu diri dengan berteriak- teriak di sini."
Sebutir kepala yang berambut kusut pelan-pelan muncul dari balik semak, kemudian muncul pula sebuah tangan yang besar dan hitam menggosok-gosok matanya yang ngantuk. Pemuda berbaju patih itu berkerut kening kemudian pikirnya dengan geli.
"Kasar amat orang ini, padahal dia sendiri pun berteriak teriak masa begitu muncul lantas mencaci maki aku...."
Sekarang, ia sudah mengenali orang itu sebagai seorang pengemis tua yang amat dekil.
Melihat itu, pemuda yang berbaju putih tersebut tak tahan mengendalikan rasa gelinya lagi, dia segera tertawa geli.
Pengemis tua itu semakin marah melihat pemuda itu tertawa, mendadak sepasang matanya melotot besar hingga tampak sorot matanya yang menggidikkan hati.
"Tajam amat sepasang mata orang ini..."
Diam-diam pemuda berbau putih itu berpikir dalam hati, sementara dia masih termenung, pengemis tua itu sudah berteriak keras- keras.
"Bocah keparat, kaukah yang berkaok-kaok tadi di sini?"
Pemuda berbaju putih itu manggut-manggut sesungguhnya paling benci kalau dipanggil "bocah keparat", tapi sekarang ia enggan berdebat dengan pengemis itu maka sahutnya.
"Aaah, kebetulan saja hatiku lagi lega, maka kusenandungkan beberapa bait syair...."
"Huh, kentut anjing, kentut anjing !"
Teriak pengemis tua itu sambil tertawa dingin tiada hentinya.
"Kalau orang tak bisa memaafkan seperti ini untuk tidur sebentar, sudah pasti dia adalah seorang manusia tak becus....."
"Tepat sekali, aku memang kebetulan sekali orang yang becus!"
Jawab pemuda berbaju putih itu tiba-tiba sambil tertawa.
Agaknya pengemis tua itu tak menyangka kalau pemuda berbaju putih itu mengakui dirinya tak becus, untuk sesaat dia menjadi tertegun dan berdiri melongo, Tapi, sesaat kemudian dengan gusar ia lantas berteriak.
"Bocah keparat apa kau tak tahu kalau aku si pengemis tua sedang tidur siang di sini?"
Pemuda berbaju putih itu segera tertawa.
"Tempat inikan bukan kamar tidur, darimana aku bisa tabu kalau di sini ada orang sedang tidur?"
Untuk kesekian kalinya pengemis tua itu tertegun dengan jengkel ia tinju batang rumput sampai melengkung kemudian teriaknya keras-keras.
"Dan sekarang?"
"Sekarang, sudah barang tentu aku sudah tahu !"
"Bagus sekali kalau sudah tahu...."
Mendadak pengemis tua itu menghampiri pemuda tersebut. Paras maka pemuda itu agak berubah dengan perasaan terkejut, cepat dia berpikir.
"Hebat amat ilmu Leng-siti lo-han-imi yang dimiliki orang ini..."
Tapi di luar dia berlagak bodoh, katanya tiba-tiba sambil tertawa tergelak.
"Haaahhh... haaahhh... haaahhh... rupanya kau berdiri di belakang semak, haaahhh ... aku malah mengira kau sedang berbaring tadi..."
Ternyata pengemis tua berbadan cebol, sekalipun sedang berdiri, tinggi badannya tak lebih hanya mirip orang biasa duduk, karena itu pemuda berbaju putih tersebut pada mulanya mengira ia sedang duduk dibelakang semak.
Oleh sebab itu ketika pengemis tua itu berjalan mendekat tadi, pemuda berbaju putih itu salah mengira kalau lawannya itu sedang mendemonstrasikan kepandaian melayang datang sambil duduk.
Menanti pengemis tua itu sudah tiba di hadapannya, pemuda tersebut baru tak kuat menahan gelinya lagi.
Makin keras pemuda itu tertawa, pengemis tua itu semakin berang, dengan mata melotot tiba-tiba tegurnya.
"Hei, bocah keparat, kau sedang mentertawakan badanku cebol?"
"Tidak berani, tidak berani!"
"Hmmm, aku sudah tahu kalau kau tidak berani..."
Setelah berhenti sejenak pengemis tua itu mengamati pemuda tersebut sejenak, lalu sambil tertawa tergelak katanya lebih jauh.
"Hei bocah keparat, apa kerjamu? Darimana kau dapat pedang karatan itu? 0Ooh,.. tahu aku sekarang, rupanya kau ingin berlagak seperti seorang jagoan"
Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ccu...cccttt..."
Bukan main, sayang kalau ingin berlagak jadi pendekar, pedangmu seharusnya sebilah pedang yang baru, masa pedang karatan yang begitu tumpul?"
Merah padam selembar wajah pemuda berbaju putih itu karena jengah, buru-buru katanya.
"Aku bukannya ingin berlagak menjadi pendekar, sedang pedang karatan ini adalah hadiah dari angkatan tuaku, maka akupun tak tega untuk membuangnya."
"Kau bukan orang persilatan ?!"
Seru pengemis itu dengan kerutkan keningnya.
"Bukan !"
Sepasang mata pengemis tua itu melotot besar-besar dan mengawasi pemuda itu tanpa berkedip, agaknya dia ingin tahu apakah pemuda itu sedang berbohong atau tidak. Lihat punya lihat, mendadak pengemis tua itu mengayunkan tinjunya ke depan.
"Bluukk....!"
Seketika itu juga, pemuda berbaju putih itu kena dihantam sampai terjengkang dari atas batu besar itu dan untuk sesaat lamanya tak mampu bangun lagi. Setelah pemuda itu jatuh terjengkang, pengemis tua itu baru tertawa terbahak-bahak sambil bersorak.
"Haahh.... haah... naah, bagus, bagus sekali, rupanya kau memang tidak membohongi aku...."
Sampai setengah harian kemudian pemuda berbaju putih itu baru bisa merangkak bangun dari atas tanah, sambil berkerut kening dan menggigit bibir, dia mengambil pedang karat dan buntalannya kemudian dengan bersalah payah, mengikatnya dipinggang.
Setelah itu dia mendongakkan kepalanya memandang si pengemis tua yang masih berdiri di atas batu besar sambil tertawa terbahak-bahak, kemudian sambil gelengkan kepalanya dan mendengus dingin, ia segera berlalu dari situ.
Agaknya pengemis tua itu tak menyangka kalau pemuda berbaju putih itu segera berlalu tanpa mengucapkan sepatah kalapan setelah kena dihantam keras olehnya.
Sambil menggaruk-garuk rambutnya yang kusut, sepasang matanya berkeliaran kesana-kemari sekejap, kemudian sambil berpekik nyaring, dia melompat turun dari atas batu dan mengejar pemuda tadi dengan langkah cepat.
Sebenarnya pemuda berbaju putih itu tahu kalau si pengemis cebol sedang mengikuti di belakangnya, namun dia berlagak seakan-akan tidak tahu, dengan langkah lebar dia langsung berjalan menuju ke sebuah gedung besar di tepi telaga Kiu-long-tham.
"Hei bocah keparat, kau hendak kemana?"
Kembali pengemis tua itu menegur dengan suara keras. Seolah-olah tuli, pemuda berbaju putih itu berlagak tidak mendengar teguran tersebut, bahkan berpalingpun tidak. Dengan cepat pengemis tua itu memburu ke muka, kemudian menghadang jalan perginya.
"Hei bocah keparat, apakah kau hendak pergi ke perkampungan Tang-mo-san-ceng ?"
Pemuda berbaju putih itu hanya tertawa lebar, kemudian sambil miringkan badannya ia melanjutkan perjalanannya maju ke depan.
Lama kelamaan habis sudah kesabaran pengemis tua itu, dengan cepat dia menggetarkan tangannya yang kurus untuk mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan pemuda berbaju putih itu, kemudian bentaknya dengan penuh kegusaran.
"Hei, kau hendak kemana ?"
Pemuda berbaju patih itu menundukkan kepalanya memandang sekejap urat nadi pada pergelangan tangannya yang dicengkeram pengemis tua itu, kemudian sambil menggelengkan kepalanya dan menghela napas sahutnya pelan.
"Aaai, bukankah kau sudah tahu ?"
"Perkampungan Tang mo-san ceng "Pembasmi iblis ?"
Pemuda berbaju putih itu tertawa dan segera manggut- manggut, kemudian sambil menguruti nadinya yang bekas dicengkeram dia melanjutkan perjalanannya ke depan. Mendadak pengemis tua itu tertawa terbahak-bahak, kemudian menyusui lagi ke depan.
"Hei bocah keparat kau kenal dengan pemilik dari perkampungan Tang-mo-san-ceng tersebut ?"
"Tidak kenal !"
Sahut pemuda tanpa berpaling. Pengemis tua itu tertegun, diamatinya pedang karat dipinggang pemuda itu sekejap kemudian setelah berpikir sebentar, katanya lagi.
"Bocah keparat, apakah kau miskin?".
"Aku hidup sebatang kara dan mengembara kemana-mana, rumahku ada di semua tempat, makananku tersedia di segala penjuru dunia, jika kau menganggap aku miskin, aku justru merasa diriku kaya raya."
Sahut pemuda itu sambil tertawa.
"Kau kaya raya ?"
"Bayangkan saja, rumahku ada di dunia, kebunku ada di tanah perbukitan, bintang dan bulan adalah lenteraku, ikan dan cengkerik adalah temanku, mengapa kau anggap aku ini rudin ?"
Agaknya pengemis tua itu tidak menyangka kalau pemuda yang masih ingusan tersebut sudah mempelajari falsafah hidup sedemikian dalamnya, untuk sesaat dia menjadi tertegun dan berdiri melongo.
Setelah hening hampir setengah li perjalanan pengemis tua itu baru berkata lagi sambil tertawa tergelak.
"Bocah keparat, hampir saja aku kena kau gertak !"
"Aku tidak berniat untuk menggertak orang, aku berbicara sejujurnya dan apa adanya."
"Hmmm, aku tahu kau memang tak bakal bisa menggertak aku,"
Dengus pengemis sok itu.
Padahal ia sudah termakan oleh gertakan tersebut hingga untuk beberapa saat lamanya tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Tak lama kemudian, sikap sok dari pengemis tua itu kembali menyelimuti dirinya, sambil terbawa dia lantas berkata lagi.
"Bocah keparat, jangan-jangan kau sudah edan lantaran miskin?"
"Hei, mengapa kau selalu menuduh aku miskin?"
Tegur pemuda berbaju putih itu setelah tertegun sebentar. Pengemis tua itu segera tertawa.
"Cukup kulihat dari tampangmu yang rudin serta dari dandananmu sekarang, bisa ku ketahui kalau kedatanganmu ke perkampungan Tang-mo sanceng hanya menginginkan berupa tahil perak, benar bukan? Nah tak salah bukan kalau aku mengatakan kau sudah edan lantaran miskin. Kali ini, pemuda berbaju putih tidak menjawab apa, dia hanya tertawa hambar. Melihat pemuda itu membungkam, si pengemis tua tersebut semakin bangga, godanya lagi sambil tertawa gelak.
"Coba lihat, tebakanku amat lihay bukan? Hey bocah keparat, mengapa wajahmu tidak berubah menjadi merah?"
Pemuda itu tidak menggubris, dia maju beberapa langkah lagi ke depan, kemudian secara tiba-tiba ia menegur sambil berpaling.
"Kau sendiri hendak kemana?"
"Mencari sesuap nasi !"
Jawab pengemis tua itu sambil menepuk perut sendiri, pemuda berbaju putih itu segera tertawa, pikirnya.
"Kalau dugaannya tepat, masa tak dapat menduga perut sendiri memang lapar? Aaaai, pengemis tua ini benar-benar kebangetan sekali orangnya...."
Berpikir demikian, diapun lantas bertanya.
"Juga akan ke perkampungan Tang-mo san-ceng?"
"Hahhh...haaaaaahhh... lohu mah tak akan sama seperti kau..."
"Tepat sekali,"
Pikir pemuda itu cepat.
"tentu saja kau tak sama denganku, kau hanya demi perutmu yang lapar saja."
Dengan menahan rasa geli didalam hati, ia menyahut berulang kali.
"OOdwOoOoh, tentu saja! Tentu saja! Aku kan cuma pergi kesana untuk melihat-lihat saja."
Tampaknya pengemis tua itu tidak menangkap sindiran dibalik perkataan pemuda itu dengan bangga kembali dia berkata sambil tertawa.
"Dengan para jago dalam perkampungan itu, hampir semuanya kukenal sangat akrab."
Sedang mengibul? Agaknya tidak. Diam-diam pemuda itu merasa geli didalam hati, tapi diluaran segera katanya.
"Apakah kau orang tua bersedia mengajak ku kesana ?". Sejak berbicara sedari tadi, agaknya perkataan inilah yang paling sedap didengar diri pengemis tua itu. Dengan hati gembira dia menepuk-nepuk dada sendiri, kemudian katanya dengan lantang.
"Mengangkat kaum muda agar ternama merupakan cita- cita lohu selama ini, bocah muda, mari ikut aku, tanggung penyakit rudinmu itu akan disembuhkan."
"Waaah, sungguh beruntung aku bisa berkenalan dengan kau orang tua, entah diantara pemuda-pemuda yang kau tolong itu, adakah seseorang diantaranya yang kemudian jadi tersohor ?"
Sepasang mata pengemis tua itu segera melotot besar.
"Masa kau tidak dengar perkataanku tadi? Aku kan bilang baru kali isi kulakukan pekerjaan semacam ini ! Soal bisa tersohor atau tidak, hal ini musti ditinjau dulu apakah kau ada kesempatan untuk maju ataukah tidak"
Pengemis tua itu masih mengibul terus kesana kemari, seakan-akan orang yang bisa berjumpa dengannya bakal beruntung sepanjang masa. Hampir meledak perut anak muda itu saking gelinya.
"Betul-betul seorang pengemis yang pandai mengibul.."
Pikirnya dalam hati. Tapi dia tidak tertawa, malah sambil berlagak hormat, ia berkata lagi.
"Asal kan orang bersedia mengatrol diriku, sudah pasti kau akan berusaha dengan sepenuh tenaga."
"Haaaaahhhhh... haaaaahhhhhh.... bagus sekali,"
Pengemis tua itu tertawa tergelak "
Bocah keparat, tampaknya makin lama lohu semakin suka kepadamu."
Sambil berkata dia lantas menunjukkan lagak seperti seorang angkatan tua yang kenamaan, sambil menggoyangkan kepalanya yang kecil, selangkah demi selangkah berjalan lebih dulu ke muka.
Sesungguhnya pemuda berbaju putih itu ingin sekali tertawa terbahak-bahak, tapi sekarang dia malah berusaha untuk mengindahkan perasaan tersebut, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia mengikuti di belakang pengemis tua itu.
Jangan dilihat pengemis tua itu mempunyai kaki yang pendek, ternyata langkahnya cepat sekali.
Dalam waktu singkat mereka sudah tiba di depan sebuah gedung sebuah bangunan yang amat megah, gedung itu kokoh dan tinggi besar, benar-benar merupakan suatu bangunan yang luar biasa sekali.
"lnilah perkampungan Tong mo-sau-ceng,"
Dengan nada yang sombong dia berkata. -oOdwOooOdwOoo0dwoOdwOooOdwOooo- Tiba-tiba pengemis tua itu seperti teringat akan sesuatu urusan penting, dengan cepat serunya.
"Hei, tahukah kau siapakah lohu?"
"Sudah pasti kau orang adalah seorang jago kenamaan dalam dunia persilatan!"
Jawab itu dengan hormat. Mendengar umpakan tersebut, pengemis tua itu merasa amat gembira, sambil membusungkan dada dan mendongakkan kepala nya dia menjawab.
"Tepat sekali jawabanmu itu, lohu she Lok bernama Jin-ki, aku adalah salah seorang dari enam Tianglo perkumpulan Kay-pang, orang menyebutku si Pikun, Ooh, bukan... bukan, Orang persilatan menyebutku si pengemis sakti yang cerdik, ingat baik-baik kataku!"
Pemuda berbaju putih itu tertawa, kemudian sahutnya dengan nada yang menghormat.
"Aku telah mengingat amat jelas, kau Pi-kun, ooh, bukan, Pengemis sakti yang cerdik Lok Jin-ki locianpwe, seorang pendekar besar yang suka membawa anak muda menuju ke anjang kepopuleran!"
Pengemis tua itu mengerutkan keningnya sebentar, kemudian manggut-manggut.
"Lain kali kalau bicara jangan ditambah dengan kata si pikun, tahu? Kau anggap siapa.... siapa yang pikun? Hei, bocah keparat, jangan-jangan kau sendiri yang sudah pikun lantaran lapar?"
Pemuda berbaju putih itu ingin tertawa tapi tak berani, mukanya menjadi merah lantaran harus menahan geli hingga orang tak tahu mengira dia jengah lantaran dinasehati pengemis tua itu.
"Aku tidak berani, aku tidak berani..."
Ucapnya kemudian. Mendadak dengan mata melotot pengemis tua itu berkata lagi.
"Bocah keparat, hampir saja lohu telah melupakan suatu masalah besar lagi!"
"Masalah besar apa."
"Pengemis tua itu tertawa rikuh, kemudian katanya.
"Bocah keparat, cepat beritahukan kepadaku namamu dan tinggal dimana, kalau tidak sebentar kalau Hoa cengcu menanyakan soal ini kepadaku dan lohu bilang tak tahu, bukan kah orang akan mengatakan lohu semakin pi..."
Kata "Pikun"
Belum sempat diucapkan buru-buru dia sudah membungkam lebih dahulu. Mendengar perkataan itu, anak muda itu segera tertawa hambar.
"Apakah persoalan inipun merupakan suatu persoalan besar ?"
Katanya. Dengan wajah agak jengah pengemis tua itu segera mengangguk. Sambil tertawa lantas pemuda itu berkata.
"Aku tinggal di bukit In tang san tebing Cing-peng-gay..."
"Suatu tempat yang indah..."
Puji pengemis tua itu sambil tertawa.
"Ooh, apakah kau pernah ke situ ?"
Cepat-cepat pengemis tua itu menggeleng.
"Seantero jagad sudah pernah lohu jelajahi, tapi... tapi hanya bukit In-tang-san dekat lautan timur yang tak berani kudekati, sebab... sebab lohu memang tak berani berpesiar ke situ !"
Mendadak ia teringat kalau Pulau Neraka letaknya tak jauh dari bukit In tang-san, kontan saja paras mukanya berubah hebat. Sebaliknya pemuda berbaju putih itu malahan tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh... haaahh... haaahh kalau memang kau orang tua pernah menjelajahi semua tempat kenamaan dalam dunia ini, mengapa tidak berpesiar pula ke bukit In-tang san ?"
"Hei bocah muda, mengapa kau suka mencampuri urusanku...?"
Teriak pengemis tua itu tiba-tiba dengan mata melotot. Pemuda itu menjadi tertegun, kemudian serunya.
"Kalau memang begitu, dari mana kau bisa tahu kalau tebing Cing-peng gay adalah suatu tempat yang indah ?"
"Bocah keparat, lantaran nama itu kedengarannya indah, aku yakin tempatnya pasti indah juga."
"Tampaknya kau orang tua memang betul-betul pandai menduga secara tepat ! Benar tebing Cing-peng-gay memang suatu tempat yang sangat indah pemandangannya...."
"Nah, coba lihat, dugaanku tepat bukan?"
Seru pengemis tua itu sambil tertawa bangga "aku memang pengemis sakti yang cerdik. Hei anak muda, siapakah namamu? Apakah namamu juga indah? "Aku rasa tidak seindah bukit Cing-peng-gay!"
"Lantas siapa namamu ?"
"Oh Put kui !" -oOdwOooOdwOoo0dw0oOdwOooOdwOoo- "Oh Put-kui, Oh tidak kembali?"
Seru pengemis tua itu dengan mata melotot besar "Benar, tentunya lebih tidak sedap didengar bukan ?"
Kata si pemuda berbaju putih sambil tertawa. Tiba-tiba pengemis tua itu melompat ke udara sambil berseru.
"Tidak! Tidak Dibandingkan dengan nama Cing peng-gay, nama itu lebih sedap didengar!"
"Ooh, terima kasih atas pujianmu."
Pengemis tua itu tertawa aneh, lalu katanya lagi.
"Bocah keparat, kalau kulihat dari dandananmu yang rudin, sudah jelas kau tidak mirip seorang anak kaya yang cukup sandang pangan di desa kelahiranmu, apalagi kau sedang mengembara sekarang, nama Oh Put-kui memang paling tepat bagimu "
"Yaaa, yaaa, tepat sekali perkataan kau orang tua, tampaknya kan memang amat cerdas, sampai jalan pikiranku pun bisa kau pahami."
"Jangan lupa bocah muda, ako toh si pengemis sakti yang cerdik, sudah barang tentu aku bisa menduga segala sesuatunya dengan tepat, kalau cuma jalanan pemikiranmu itu saja masa lohu tak bisa menduganya secara jitu?"
Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya Oh Put-kui atau penanda berbaju putih itu tak dapat menahan rasa gelinya lagi, dia segera tertawa terbahak- bahak. Pengemis itu tertegun, kemudian tegurnya.
"Hei bocah keparat, apa yang kau tertawakan?"
"Ooh, tidak apa-apa,"
Oh Put-kui menggelengkan kepalanya.
Pengemis tua itu seperti tidak percaya, tapi karena mereka berdua sudah tiba di perkampungan Tang-mo-san-ceng yang megah, maki diapun tidak bertanya lebih jauh.
Lok-jin-ki sipengemis cebol itu melotot sebentar biji matanya, kemudian katanya.
"Hai bocah keparat, bila kau tidak percaya kalau lohu adalah seorang yang ternama dalam dunia persilatan, segera akan lohu buktikan kepadamu kalau aku tidak bohong."
"Bagus sekali, aku memang ingin membuktikannya.
"
Pikir Oh Put-kui geli.
Sementara itu, pengemis tua tadi telah berjalan menghampiri sebuah dinding tembok yang amat besar sekali.
Di atas dinding tersebut penuh ditempeli dengan nama-nama manusia.
Begitu sampai di situ, pengemis tersebut segera merobek selembar kertas putih kemudian melangkah masuk ke dalam pintu gerbang perkampungan Tang-mo-san-ceng dengan langkah lebar.
Oh Put-kui segera mendekati pula dinding besar tersebut setelah membaca ratusan nama yang tertera di situ, pikirnya kemudian.
"Tampaknya dinding berisi nama orang inilah yang disebut Papan pengumuman pembasmi iblis !"
Rupaoya diatas dinding tersebut penuh ditempeli dengan secarik kertas berwarna putih tadi tercantumlah nama dari seorang gembong iblis atau manusia paling tinggi di kalangan hek-to.
Sudah barang tentu nama-nama yang tercantum di sana adalah kawanan iblis atau penjahat yang sudah banyak melakukan kejahatan sehingga mereka semua pantas untuk dibunuh.
Di bawah papan nama tadi, terdapat pula sekotak tempat yang berisi pula nama-nama manusia.
Hanya saja nama yang dilampirkan di bawah adalah nama dari pendekar atau jagoan yang berhasil membunuh gembong iblis atau penjahat yang namanya tercantum diatasnya.
Asal kau sanggup membunuh seorang penjahat yang namanya dicantumkan diatas papan nama itu, dijumpainya pada deretan nama yang berada dibagian bawah akan tertera pula namamu.
Oh Put-kui melirik sekejap ke atas papan nama itu, dijumpainya pada deretan nama yang ada dibagian bawah papan pengumuman tersebut hanya tercantum belasan nama manusia saja, sedangkan gembong iblis atau penjahat yang berhasil dibunuh juga hanya manusia-manusia kelas dua atau kelas tiga saja dalam kalangan hitam.
Sekulum senyuman aneh segera menghiasi bibirnya, tanpa terasa dia meraba pedang berkaratnya sambil mencorongkan sinar terang dari balik matanya yang jeli.
Baru saja ia hendak meraba buntalannya, mendadak terdengar pengemis tua tadi berteriak keras.
"Hei, bocah keparat, jangan tertegun saja di situ, hayo cepat masuk kemari!"
Oh Put-kui segera mendengus dingin, kemudian sambil membalikkan badannya ia berjalan masuk ke dalam perkampungan.
Ketika membalikkan badannya tadi, dengan suatu gerakan tangan yang begitu cepat hingga sukar diikuti dengan pandangan mata ia merobek empat lembar nama manusia yang tertempel pada papan pengumuman pembasmi iblis itu dan dimasukkan ke dalam sakunya.
Ketika tiba didalam suatu perkampungan tampak olehnya pengemis tua itu sedang mengibul dengan seorang lelaki kekar bercambang, bermuka hitam yang perawakan tubuhnya setinggi beberapa kaki.
Lelaki kekar itu mempunyai ketinggian badan dua kali lipat bila dibandingkan pengemis tua itu, tapi sekarang justru sedang membungkukkan badannya memberi hormat sambil mendengarkan obrolan si pengemis, malah mulutnya tiada hentinya memuji.
"Lok locianpwe memang hebat, kau memang lihay sekali."
Sambil melangkah masuk ke dalam perkampungan Oh Put- kui segera mendehem berulang kali, Pengemis tua itu segera berpaling dan tertawa keras, serunya.
"Hei bocah keparat, mari kita masuk ke dalam. ..
"
Tanpa memperdulikan lelaki yang tinggi kekar itu lagi dia segera membalikkan badan masuk ke dalam perkampungan.
Oh Put-kui segera tertawa lebar kepada lelaki kekar itu, kemudian turut pula berjalan masuk ke dalam perkampungan Dalam pada itu, dari dalam ruangan telah muncul tiga orang yang menyongsong kedatangan mereka.
Pengemis tua itu segera berpaling ke arah Oh Put-kui sambil tertawa bangga, seakan-akan sedang maksudkan.
"Bagaimana ? Lohu kenal dengan setiap orang yang berada di dalam perkampungan ini bukan ?"
Tapi Oh Put-kui segera melengos ke arah lain, berlagak seolah-olah tidak mengerti.
Melihat pemuda itu malah melengos, pengemis itu menjadi amat mendongkol sehingga mendepak-depakkan kakinya ke tanah, dengan langkah lebar dia segera menyongsong kedatangan ketiga orang itu.
Dari kejauhan Oh Put-kui mengamati pula ketiga orang itu, mereka adalah seorang pendeta, seorang tosu dan seorang preman.
Pendeta itu berusia enam puluh tahunan memakai jubah berwarna abu-abu dan berperawakan tinggi besar, wajahnya keren dan sembilan buah taio membekas di atas ubun- ubunnya, jelas dia adalah seorang hwesio yang terikat oleh peraturan yang ketat.
Si tosu itu berusia lima puluh tahunan, berkopiah emas, berjubah kuning dan bermata setajam sembilu, jenggotnya bercabang dua dan banyak yang telah beruban, sepintas lalu dandanannya seperti dewa.
Sebaliknya yang preman justru kelihatan paling menonjol diantara ketiga orang itu.
Rambutnya yang panjang digelung pada bagian belakang kepala, umurnya baru pertengahan, dia memakai baju panjang dengan sebuah ruyung emas melilit pinggangnya, mimik wajahnya serius dan seolah-olah tiada urusan di dunia ini yang dipandang sebelah matanya olehnya.
Belum habis Oh Put-kui mengamati ketiga orang itu, pendeta yang tinggi besar itu telah menegur sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaaahhh... hahhhhhhh... Sicu cebol, aku rasa dari kedatanganmu kali ini tentu saja dengan membawa serta batok kepala dari gembong iblis itu bukan."
"Sungguh memalukan.... sungguh memalukan..."
Seru pengemis itu sambil mendehem, mendadak ia teringat kalau Oh Put-kui yang telah dikibuli berada di belakang tubuhnya tentu saja dia enggan untuk kehilangan pamor di depan orang, maka sambil mendongakkan kepalanya dan tertawa aneh sahutnya.
"Tepat sekali, tepat...."
Pendeta yang tinggi besar itu segera berseru memuji keagungan sang Buddha, kemudian ia menyingkir dan mempersilahkan tamunya masuk. Sebaliknya sastrawan berusia pertengahan itu segera menegur pula dengan suara dingin.
"Saudara Lok, gembong iblis manakah yang telah tewas di tanganmu?"
Pengemis tua itu kontan saja melotot, sambil masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar sahutnya tertawa.
"Sediakan arak dulu, mana araknya? Huuh, kalau cuma urusan kecil itu mah lebih baik di bicarakan nanti saja..." @oodwoo@
Jilid 2 PERLU DIKETAHUI, perkampungan Tang-mo-san-ceng ini mempunyai pamor yang tidak lebih rendah dari pada nama besar Sian-hong-hu ataupun Ci-wi-wan, kepala kampungnya Ki lok-sian-tong bocah 'dewa kegembiraan' hoa Tay-siu dan istrinya Yauti-giok li' gadis suci dari nirwana' Lan Ting adalah jago-jago yang termasyhur dalam duniz persilatan.
Dibandingkan dengan si kakek malaikat Nyoo Thian-wi atau si bayangan pedang pengejar nyawa leng Hong-bin, mereka jauh lebih supel dan memperhatikan keselamatan umat persilatan, apalagi dia adalah kakak seperguruan dari Leng Hong-bin sendiri.
Semenjak Nyoo thin-wie dan leng hong bin menemui ajalnya, tanpa terasa perkampungan Tang mo-san-ceng telah berubah menjadi tempat suci terakhir dimana umat persilatan menggantungkan harapannya.
Ternyata Ki-lok-sian-tong Tay-siu tidak membuat orang kecewa setelah Leug Hong bin binasa, dia bersama -sama mendirikan sebuah papan pengumuman pembasmi iblis dalam perkampungan Tang mo-san-ceng.
Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus nama gembong iblis dan pejabat yang sudah banyak melakukan kejahatan mereka tempelkan di atas papan pengumuman tersebut dengan catatan barang siapa dapat membunuh seorang diantaranya akan memperoleh jasa dan pahala.
Didalam keputus-asaan mereka karena gagal untuk mengetahui siapakah pembunuh keji yang telah membunuh Cing sia siang ni Kim teng sin ihm wan sim seng siu dan Kiam in tui hun, terpaksa ditempuhnya cara ini.
Menurut anggapan mereka, seandainya gembong- gembong iblis itu berhasil dibasmi semua, bukankah pembunuh keji itupun pasti berada diantara orang-orang yang terbunuh.
Tapi kenyataannya, selama tujuh bulan ini kecil sekali hasil yang berhasil mereka peroleh.
Mereka yang datang merobek nama penjahat di atas papan pengumuman itu, paling banter hanya bisa membunuh beberapa orang penjahat dari kelas dua, tiga saja.
Oleh karena itu, Hoa Tay siu maupun jago-jago yang lainnya itu yang bergabung dalam perkampungan itu menjadi gelisah sekali.
Celakanya justru mereka tidak berhasil menemukan cara lain yang jauh lebih baik.
Arak sudah kenyang diminum, akan tetapi pengemis itu belum juga menyinggung tentang gembong iblis yang dibunuh, lama kelamaan habis sudah kesabaran sastrawan berusia pertengahan itu, setelah mendengus dingin, tegurnya.
"Saudara Lok, apakah ulat-ulat arakmu sudah dibunuh semua?"
"Ehm......eehhmm.....sudah habis dibunuh semua!"
Jawab si pengemis dengan mulut masih penuh dengan makanan.
"Hari ini, kau membawa berita kematian dari siapa?"
Mendadak pengemis tua itu mendongakkan kepalanya, lalu berteriak keras .
"Wan lote jangan buru-buru membicarakan orang mati, bikin napsu makan orang hilang saja, mari, mari, mari, mari kuperkenalkan dulu kalian dengan bocah keparat ini!"
Kemudian sambil berpaling ke arah Oh Put Kui katanya .
"Hei bocah keparat, mari lohu perkenalkan dirimu dengan tiga orang tokoh sakti!"
Sambil menuding ke arah pendeta bertubuh tinggi besar itu serunya .
"Dia adalah tianglo dari siau lim pay, Hui leng taysu!"
Oh Put kui segera menjura dan katanya sambil tertawa.
"Pemimpin dari ruang Lo han tong memang betul-betul seorang tokoh sakti yang termasyhur!"
Pengemis tua itu segera terkejut bisiknya.
"Hei bocah keparat, tampaknya kau luar bisa sekali!"
Kemudian sambil menuding ke arah tosu itu katanya.
"Dia adalah Hian pek Cinjin dari Bu tong pay! "Salah seorang dari Bu tong siang kiam, sudah lama ku kagumi nama besarnya!"
Puji Oh Put kui sambil tertawa. Pengemis tua itu segera melotot gusar ke arahnya, kemudian baru menuding ke arah sastrawan berusia pertengahan itu sambil melanjutkan .
"Dan dia adalah Hoa san tianglo, Kim ci bu tek 'jari emas tiada tandingannya' wan Ciu beng!"
"Kim ci bu tek dari salah seorang Hoa san sam lo memang sangat memahami jago-jago persilatan yang berada di hadapannya untuk sesaat dia menjadi tertegun dan berdiri termangu-mangu, sampai lama sekali lupa berbicara. Dalam pada itu Kim ci bu tek Wan ciu beng dapat melihat bahwa pemuda asing ini meski berbicara secara sungkan, namun mimik wajahnya tidak menunjukkan perasaan hormat kepada meraka, hal ini segera menimbulkan perasaan tak senang dihatinya. Dengan sinar mata memancarkan cahaya tajam, dia tertawa dingin, kemudian kepada pengemis itu hardiknya .
"Pengemis Lok, siapakah pemuda yang angkuh ini?"
"Bocah keparat ini bernama Oh Put kui!"
"Oh Put kui?"
"Benar"
Sahut Oh Put kui sambil tertawa hambar, 'aku datang dari bukit In tang san tebing Cing peng gay"
Begitu selesai berkata, dia lantas mengambil tempat duduk sendiri. Dengan mata melotot buru-buru pengemis tua itu berseru .
"Kau benar-benar tak tahu sopan santun, hei bocah keparat, mereka bertiga adalah cianpwe!"
Oh Put kui segera tersenyum "Semangat bukan milik orang tua saja, kalau ingin mencari seorang cianpwe dia harus memiliki kemampuan yang melebihi siapapun......"
Belum habis dia berkata, Hian pek Cinjin telah menukas .
"Anak muda, kau jangan tekebur, sewaktu pinto sekalian berkelana dalam dunia persilatan, mungkin sicu belum lahir di dunia ini dari mana kau tahu kalau pinto sekalian punya kelebihan?"
Oh Put kui segera tertawa. Kalau memang cianpwe sekalian memiliki kelebihan mengapa pula harus mendirikan papan pengumuman pembasmi iblis? Tolong tanya beberapa orangkah diantara gembong-gembong iblis yang sebenarnya yang telah berhasil dibunuh?"
Hian Pek Cinjin menjadi tertegun "Soal ini......."
"Omitohud!"
Hui leng taysu segera tertawa.
"Siau sicu, darimana kau bisa tahu kalau tak seorang pun gembong iblis yang benar-benar kena dibunuh? Hari ini sipengemis sakti yang pikun telah datang kemari, siapa tahu kalau dia membawa hasil seperti yang kita harapkan? "Ooh, rupanya kau bersama pengemis sakti yang pikun, tak heran kalau kau mengaku dirimu pintar", pikir Oh Put kui segera. Sementara itu panas muka sipengemis tua itu pun telah berubah menjadi merah padam karena jengah, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dia berseru.
"Hei, hwesio, aku si pengemis tua sudah merubah namaku menjadi Pengemis sakti yang pintar!"
Kim ci bu tek Wan ciu beng segera tertawa dingin.
"Heeehhh..... heeehhh..... heeehhh.... jika kau cukup pintar, tak nanti akan kau ajak seorang bocah dungu macam begitu masuk ke dalam perkampungan kita!"
"Tapi .....apa salahnya ku ajak dia kemari?"
Si Pengemis sakti yang pikun tertegun.
"Hmmmm, bikin hati orang mangkel saja"
Wan Ciu beng tertawa dingin, Pengemis pikun ini segera tertawa terkekeh- kekeh "Waaah, kalau itu mah urusan sendiri, kenapa aku si pengemis mesti mangkel kepadanya?"
"Yaa, lantaran tiada orang yang pikun macam dirimu itu!"
Wan ciu beng semakin berang. Mendengar dirinya berulang kali dimaki pikun, lama- kelamaan si pengemis mendongkol juga, dengan mata melotot segera berteriaknya.
"Kau sendiri yang pikun! Sudah hidup setua ini mataku masih bisa melihat lebih jelas, telingaku masih bisa mendengar lebih tajam dari pada dirimu, memangnya aku bisa lebih pikun dari padamu? Sialan......."
Menyaksikan kedua orang itu cekcok sendiri, Hian pek Cinjin menjadi amat gelisah dia tahu Wan ciu beng adalah seorang manusia yang tinggi hati, selamanya tak pernah tunduk kepada orang lain, sebaliknya si pengemis pikun Lok Jin kui justru seratus persen 'pikun' bila sampai cekcok sudah pasti perselisihan diakhiri dengan suatu pertarungan.
Oleh karena itu belum sempat pengemis pikun memberondong dengan serangkaian kata-kata makian yang lebih 'sedap' didengar, buru-buru dia melerai sambil tertawa tergelak.
"Sudah, sudahlah, mengapa kalian berdua mesti cekcok sendiri? Yaa, seperti yang dikatakan Hui leng tosu tadi, kedatangan pengemis Lok kali ini sudah pasti telah berhasil membantai gembong iblis kenamaan dalam dunia persilatan"
"Aaaah, Cuma suatu hasil yang kecil saja, yang berhasil kutangkap tak lebih Cuma seekor ular kecil!"
"Tepat sekali, ucapan itu memang sangat tepat,"
Kembali Kim ci bu tek Wan cui beng menyindir sambil tertawa dingin.
"Pengemis memang kerjanya menangkap ular, tepat sekali pekerjaan tersebut bagimu ...."
Hian pek Cinjin kuatir pengemis pikun itu menanggapi sendirian tersebut buru-buru tukasnya.
"Saudara Lok sebenarnya ular macam apakah yang berhasil kau tangkap dari sarannya?"
"Pernahkah kalian bertiga mendengar kalau di wilayah Biau terdapat seorang raja yang bernama Jian tok coa sin dewa ular selaksa racun' Ih bun Lam?"
Begitu mendengar nama itu disebut, hui leng taysu segera melompat bangun seraya berseru. Lok sicu, apakah kau telah membunuh gembong iblis itu?"
Hia pek Cinjin juga segera menanggapi.
"Pinto benar-benar tidak menyangka kalau saudara Lok begitu hebat kemampuannya .....? Bahkan Kim ci bu tek Wan Ciu beng yang sejak tadi hanya menyindir-nyindirpun kini berubah pula paras mukanya. Pengemis pikun Lok Jiu ki segera tertawa bangga.
"Ilmu silat yang dimiliki Ih bun Lam benar-benar luar biasa sekali ....."
Demikian ia berkata. Mendadak Wan Ciu beng turut menimbrung.
"Ilmu pukulan Cou heng cap jit ciang (tujuh belas pukulan ular berjalan) dari Ih bun Lam terhitung ilmu pukulan yang dahsyat dalam dunia persilatan, beracun juga sangat berbahaya kelihatan kungfunya jauh diluar dugaan siapapun". Maksud dari ucapan itu jelas sekali, yakni memberitahukan kepada penemis pikun agar tak usah meminjam kelihayan ilmu silat dari Jian tok coa si ih bun Lam untuk mengangkat nama sendiri. Bagi pengemis pikun yang berpikiran sederhana, tentu saja dia tidak berpikir sejauh itu, sahutnya sambil tertawa. .Benar! Apa yang diucapkan Wan lote memang benar!"
"Saudara Lok,"
Kata Hian pek cinjin kemudian sambil mengangkat cawan araknya"
Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pinto harus menghormati secawan arak padamu sebagai tanda ucapan selamat bagi keberhasilanmu!"
Sekali teguk dia habiskan isi cawannya pengemis pikun buru-buru mengangkat cawangnya pula sambil meneguk isi cawannya sampai tiga kali beruntun.
Oh Put kui yang menyaksikan semua peristiwa itu diam- diam harus menahan gelinya.
Diam-diam dia mengeluarkan selembar kertas berisi nama yang baru saja diambilnya dari papan pengumuman tadi, kemudian dilihat isi tulisannya.
"Ih bun Lam,"
Bergelar Jian tok coa sin mengangkat dirinya sebagai raja di wilayah Biau, pernah mencelakai umat persilatan baik dari golongan putih maupun golongan hitam sebanyak tujuh ratus orang, barang siapa dapat membunuh orang ini, mendapat selaksa tahil emas murni! Sambil tertawa dan menggelengkan kepalanya berulang kali, dia melipat kertas itu menjadi tiga bagian, kemudian menggunakan dikala ke empat orang itu sedang meneguk arak, diam-diam ia susupkan kertas tadi ke saku si pengemis pikun.
Selesai melakukan perbuatan tersebut, Oh Put kui baru mengangkat cawannya dan berkata sambil tertawa.
"Tampaknya aku telah salah berbicara lagi.....aku bersedia menghukum diriku dengan sepuluh guci arak!"
Setelah meneguk arak beberapa cawan, dia berkata lebih jauh.
"Lok lo kau dapat membunuh Ih bun Lam yang tersohor sebagai raja di wilayah Biayu betul-betul suatu karya gemilang dari seorang ciapwe! Cctt......cctt......cctt....anggaplah secawan arak ini sebagai rasa kagum dan permintaan maafku kepadamu."
Pengemis pikun Lok jin ki segera tertawa terbahak- bahak.
"Haaahhhh..... hhaaahhh... haaaahhh.... cukup, cukup bocah muda, kau sudah menghabiskan sepuluh cawan arak, lohu pun telah menerima maksud baikmu itu, secawan arak ini sudah tak perlu kau minum lagi, orang muda tak boleh minum arak kelewat banyak"
"Kalau kau orang tua memang berkata demikian, aku akan menurut"
Kata Oh Put kui kemudian serius.
"Haaahhh..... Haaahhh..... Haaahhh.....begitulah perbuatan seorang anak yang penurut."
Omintohud!"
Hui leng tay su menyela tiba-tiba "Lok Siku apalah kau sudah merobek kartu nama dari atas papan pengumuman ?"
Sambil memicingkan matanya si pengemis pikun mengagumkan kepalanya berulang kali. Sambil tertawa Hui leng taysu segera berkata.
"Harap Lok sicu suka menyerahkan robekan kertas itu kepada pinceng, agar bisa ditukarkan kepada kasir dengan uang sebesar selaksa tahil emas murni......"
Begitu mendengar emas murni selaksa tahil si pengemis pikun segera hilang sifat pikunnya.
Mendadak teringat olehnya kalau kertas yang dirobeknya dari papan pengumuman tadi hanya bernilai tiga ratus uang perak saja, dari mana datangnya selaksa tahil emas murni? Jangan-jangan .....
Jangan-jangan .....dengan cepat ia tersadar kembali dari lamunannya.
Kapankah dia telah membantai Ih bun Lam? Teringat olehnya andaikata ia tidak menguasai ilmu Ciang liong 'penaklukkan naga' dari kay pang yang justru merupakan tandingan dari ilmu Coa heng cap jit ciang serta kepandaiannya menangkap ular, delapan bagian saat itu sudah menjadi mangsanya si dewa ular selaksa racun Ih bun lam .......
lantas, darimana bisa munculnya cerita kalau dia telah berhasil membunuh Ih bun lam? Dengan wajah agak sangsi dan tersipu sipu dia masukkan tangannya ke dalam saku .....
Diam-diam ia menyumpah didalam hati 'benar-benar memalukan, padahal aku hanya berhasil membunuh seorang muridnya Ih bun lam yang bernama Cing coa sin tong bocah sakti ular hijau, Li put kiat, mengapa aku bisa mengibul telah membunuh Ih bun lam.......? Aaaaai, semuanya ini gara-gara si tosu dan si hwesio yang telah mencelakai orang, tidak menunggu aku si pengemis tua menerangkan duduk persoalan mereka sudah keburu menyanjung lebih dulu...."
Oleh karena keraguan tersebut, membuat tangannya yang sudah merogoh ke dalam saku, sampai setengah harian lamanya belum juga ditarik keluar......
Dalam pada itu sorot mat empat orang bersama-sama sedang dialihkan ke wajahnya.
Rasa panik tiba-tiba menyerang hatinya, membuat para muka pengemis tua itu berubah menjadi merah padam.
Untung saja sudah minum arak cukup banyak, sehingga tiada orang yang memperhatikan warna merah di atas wajahnya.
Kalau dibilang diantara ke empat orang itu ada yang memperhatikan lebih seksama.
Maka orang itu tak lain adalah Oh Put kui.
Tangan si pengemis pikun yang merogoh ke dalam sakunya belum juga ditarik keluar, namun sorot matanya telah melotot sekejap ke arah Oh put kui dengan gemas, diam-diam sumpahnya didalam hati.
'Semua ini gara- gara bocah keparat ini, coba kalau dia tidak menyindir orang dengan mengatakan pembunuh gembong iblis kenamaan, tak mungkin aku si orang tua bakal dibikin malu seperti ini.......sialan betul bocah keparat itu......"
Akhirnya tangan itu ditarik keluar dari dalam sakunya. Dengan wajah merah padam karena malu, dia tertawa jengah, lalu ujarnya.
"Rasanya aku si pengemis tua bakal membuat kalian kecewa lagi....."
Akan tetapi dikala sorot matanya telah membaca tulisan yang tertera diatas kertas-kertas itu, mendadak bagaikan orang-orangan yang ditiup angin, dengan cepat dia membusungkan kembali dadanya.
"Haaahhhh...... Haaahhhh...... Haaahhhh......ambil lah!"
Dia berseru sambil tertawa tergelak.
"Sungguh tak kusangka si ular kecil ini bernilai ribuan tahil emas....."
Oh Put kui yang menjumpai kejadian itu, hampir menyembur keluar semua isi mulutnya lantaran geli.
Tampaknya si pengemis pikun ini benar-benar sudah pikun! "Hmmm, sekarang masih bisa berbangga hati, akan kulihat sebentar kau akan pergunakan bukti apa untuk menunjukkan kalau Ih bun Lam memang mampus di tanganmu....."
Demikian pemuda berpikir...... Setelah menerima kertas berisi nama gembong iblis itu. Hui leng taysu memeriksa sebentar, kemudian sambil menggape ke arah dua orang lelaki berpakaian ringkas yang berdiri di luar ruangan, bentaknya keras-keras.
"Bawa tanda bukti ini untuk menerima uang sebesar selaksa tahil emas murni. Beritahu kepada kasir, Ih bun Lam telah tewas ditangan pengemis sakti Lok Jin ki!"
Dua orang lelaki itu segera mengiakan dengan membawa kertas tadi dengan cepat meraka berlalu dari sana, Tiba-tiba Kim ci bu tek tertawa dingin kemudian ujarnya "saudara Lok dapat membunuh gembong iblis yang telah melakukan kejahatan ini sungguh membuat siaute kagum,......Cuma saja, sebelum Lok bisa menerima di atas papan pengumuman pembasmi iblis, perlu kau tunjukkan lebih dulu barang buktinya......"
"Barang bakti? Barang bukti apa?"
Arak yang baru saja diteguk pengemis pikun itu segera menyembur keluar kembali. Kembali Kim ci bu tek tertawa dingin "Tanda bukti kalau Ih bun Lam benar-benar sudah mampus!"
"Benda apa yang bisa membuktikan kalau Ih bun Lam benar-benar sudah mampus?"
Haaahhh...... Haaahhh......Haaahhh.... kau anggap Cuma lantaran uang emas selaksa tahil, aku si pengemis tua sudi membopong mayat orang sambil melakukan perjalanannya?"
"Sekalipun tak ada mayatnya, batok kepalapun boleh juga!"
Dengan cepat si pengemis pikun menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kau suruh aku membawa batok kepala manusia sambil menempuh perjalanan jauh? Huuuh, memangnya kau anggap aku tahan dengan bau busuknya?"
Tiba-tiba Kim ci bu tek tertawa tergelak.
"Sandara Lok, pernahkah kau berjumpa Ih bun Lam? Pertanyaan ini kontan saja membuat pengemis pikun naik pitam. Aku sipengemis tua harus banyak bergerak sebanyak seribu jurus lebih sebelum secara beruntung.... Sebenarnya dia hendak mengatakan "Sebelum secara beruntung lohu lolos dari ancaman maut Ih bun Lam....' untung saja perkataan itu belum sempat diutarakan keluar coba kalau tidak.... sudah pasti semua rahasianya bakal terbongkar. Setelah berhenti sebentar, dengan wajah serba salah dan menghela nafas panjang dia melanjutkan.
"Aaaai ..... kemenangan yang kuperoleh benar-benar tidak gampang.....
"Betul"
Sambung Oh Put kui tiba-tiba tertawa, kemenangan itu memang diperoleh dengan susah payah, coba kalau perubahan jurus Ci gan lik yaa 'menusuk mata mencabut gigi' dari ilmu Ciang liong ciang hoat mu itu tidak bergerak sangat cepat, mungkin akibatnya benar-benar sukar dibayangi dengan kata-kata ......"
Bagaikan disengat ular beracun, mendadak pengemis pikun itu melompat bangun sambil berteriak.
"Bocah keparat, kau.... kau.... kau.... telah menyaksikan semuanya...?"
"Haaaahhhh.... Haaaahhhh.... Haaaahhhh.... benar....."
Seperti bola yang kehabisan udara, tahun-tahu pengemis pikun itu tergeletak lemas di atas kursinya seperti orang yang kehilangan semangat. Melihat kejadian itu. Hian pek Cinjin menjadi tertegun, dia segera menegur .
"Oh sauhiap, sebenarnya apa yang telah terjadi ......?"
Oh put kui segera berpaling ke arah pengemis pikun, namun ia ta berkata apa-apa, sementara itu si pengemis tahu sedang menutupi wajahnya dengan kedua belah tangan sementara mulut berguman terus tiada hentinya .
"Kau bocah keparat bukan manusia....kau bocah keparat hanya khusus ingin mempermainkan aku ....uuuh.....uuuh.....uuuh... kali ini aku si pengemis tua benar-benar akan kehilangan muka!"
Oh put kui tak kuasa mengendalikan rasa gelinya lagi, dia tertawa tergelak kemudian kepada Hian pek Cinjin katanya!"
"Aku telah menyaksikan sendiri bahwa Lok lo telah membunuh Ih bin Lam gembong iblis tersebut"
"Ooh.....kiranya begitu.....ternyata peristiwa ini memang benar-benar terjadi......"
Sebaliknya Kim ci bu tek Wan ciu beng segera tertawa dingin. Katanya dengan cepat .
"Ucapan seorang anak muda mana boleh dipercaya. Apa lagi sewaktu ciangbun jin dari lima partai serta Tang mo cengcu mendirikan papan pengumuman Tang mo pang telah diputuskan peraturan yang mengatakan bila tiada bukti yang bersangkutan benar-benar terbunuh, uang hadiah tak dapat diserahkan"
"Ucapan Wan sicu memang benar!"
Hui leng taysu segera menanggapi manggut-manggut. Hian pek cinjin segera mengalihkan kembali sorot matanya ke wajah anak muda itu kemudian katanya .
"Oh sauhiap, kalau toh kau telah menyaksikan Ih bun lam tewas ditangan pengemis Lok, mengapa kau tidak menyuruh pengemis Lok memenggal batok kepala Ih bun Lam ?"
Tiba-tiba Oh Put kui tertawa aneh, katanya .
"Pengemis Lok hanya berniat untuk bergurau kalian, masa kalian bertiga tak dapat melihatnya?"
"Aaah, jadi apa yang dikatakan selama ini hanya gurauan belaka?"
Seru Hian pek Cinjin tertegun. Sedangkan Kim ci bu tek paling gusar di antara mereka, segera bentaknya keras-keras.
"Pengemis Lok, besar amat nyalimu....."
Sambil berkelebat ke depan, dia bersiap-siap menerjang tubuh si pengemis pikun. Dengan cepat Hui Leng taysu mengulurkan tangannya mencegah Wan Ciu beng maju ke depan, cegahnya.
"Sicu, jangan bertindak gegabah....."
Kemudian Oh Put kui katanya sambil tertawa .
"Siau sicu, apa yang kau maksudkan sebagai gurauan tersebut? Apakah Lok sicu belum berhasil membunuh Ih bun Lam si gembong iblis tersebut....."
Oh Put kui tidak menjawab, sebaliknya malah tersenyum belaka dengan mulut membungkam. Pada saat itulah mendadak si pengemis tua melompat bangun, kemudian teriaknya keras-keras.
"Bocah keparat, semuanya ini adalah gara-garamu...."
"Plaaak...!"
Sebuah pukulan dengan telak menghajar tubuh Oh Put kui membuat badannya tergetar mundur sejauh lima langkah lebih.
Serangan ini dilancarkan si pengemis tua dalam keadaan gusar, tentu saja hasilnya luas biasa sekali.
Darah kental segera muncrat keluar dari mulut Oh Put kui.
Mendorong sinar tajam balik mata Hian Pek Cinjiu, segera tegurnya dengan gusar.
"Saudara Lok, dengan sikapmu terhadap seorang boanpwee, apakah kau tidak kuatir perbuatanmu ini hanya akan merosotkan pamormu sebagai tianglo perkumpulan Kay pang?"
Sepasang mat pengemis pikun melotot besar sekali karena gusar, terdengar ia membentak lagi.
"Bodah keparat ini ....dia.....dia telah mengacaru diriku terus .....betul menggemaskan ....betul-betul menggemaskan ......"
Oh Put Kui sedikitpun tidak mendendam kepada pengemis pikun, kendatipun ia sudah kena dihajar, setelah membesut darah yang menodai bibirnya, seakan-akan tak pernah terjadi peristiwa apapun, ujarnya kepada Hian pek Cinjin.
"Totiang tak usah menegur pengemis Lok dalam persoalan ini memang akulah yang telah bersalah!"
Dengan sorot mata memancarkan rasa kagum, Hui leng taysu berkata sambil tertawa.
"Kebesaran jiwa siau sicu, betul- betul telah membuat lolap merasa amat kagum!"
Oh Put kui segera tertawa hambar "Sudah banyak waktu aku mengembara dalam dunia persilatan, penderitaan dan siksaan yang pernah ku alami bahkan seratus kali lipat lebih hebat dari pada apa yang ku alami sekarang, pujian dari taysu itu benar-benar tak berani kuterima."
Hian pek cinjin seperti merasa menyayangkan sesuatu, dia hanya menggelengkan kepalanya berulang kali.
Sedangkan Kim ci bu tek Wan Ciu beng tertawa dingin tiada hentinya dengan nada sinis.
Oh Put kui seakan-akan tidak melihat kesemuanya itu sambil tertawa katanya kemudian kepada pengemis itu.
"Pengemis Lok, serangan yang kau lancarkan itu betul- betul cukup mematikan!"
Hawa amarah yang berkobar dalam dada pengemis pikun itu belum mereda, dengan penuh rasa mendongkol serunya lagi .
"Bocah keparat, saking gemasnya aku si pengemis tua betul-betul ingin merenggut selembar nyawamu!"
"Pengemis Lok, rasa bencimu kepada aku sungguh membuat aku merasa amat terkejut...."
Kata Oh put kui sambil menggelengkan kepalanya dan tertawa.
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah batok kepala yang telah mengering, sambil di angsurkan ke hadapan Kim ci butek wan ciu beng, ujarnya sambil tertawa dingin.
"Inilah batok kepala dari Ih bun Lam, tak ada salahnya jika kau periksa dengan seksama! Setelah pengemis Lok berhasil membunuh iblis ini, meski dia lupa untuk memenggal batok kepalanya. Namun aku cukup mengetahui kalau manusia di dunia ini kebanyakan hanya mau percaya kepada diri sendiri dan enggan mempercayai kemampuan orang lain, oleh sebab itu aku telah mewakili pengemis Lok untuk memenggal batok kepala dari iblis itu, aku rasa kalian bertiga pasti tak akan menaruh curiga kepada pengemis Lok sebagai manusia yang suka membohong bukan......"
Berbicara sampai dia berhenti sebentar kemudian setelah menghela nafas panjang lanjutnya.
"Aaaai .....tak kusangka pendekar kenamaan dari dunia persilatan rupanya tak bisa melepaskan diri pula dari perebutan soal nama ....."
Ucapan diri Oh Put kui itu jelas bertujuan untuk menyindir dan mencemooh Kim ci but tek Wan ciu beng.
Hal ini membuat jagoan dari Hoa san itu menjadi amat mendendam sekali, hanya saja rasa bencinya itu tak dapat diumbar dengan begitu saja.
Sambil memegang batok kepala manusia yang sudah mengering itu dia berlagak seakan-akan tidak mendengar perkataan dari Oh Put kui, di bolak-baliknya kepala itu sampai sepuluh kali lebih.
Akhirnya setelah tertawa dingin, Wan ciu beng baru berkata .
"Benar, batok kepala ini memang batok kepalanya Ih bun Lam! Setelah mendengar perkataan itu, Hui leng taysu dan Hian pek Cin jin tersenyum. Sedangkan si pengemis pikun segera merasakan sekujur badannya gemetar keras. Pengemis tua itu kin benar-benar sudah dibuat pikun oleh keadaan yang dihadapinya. Dengan termangu- mangu dia mengawasi sekejap pemuda berbaju putih itu, berbagai ingatan telah berkecamuk dalam benaknya, tapi dia tidak habis mengerti mengapa batok kepala Raja wilayah Biau, dewa ular selaksa racun Ih bun Lam yang berilmu tinggi dan berhati keji itu bisa berubah menjadi Batok kepala kering yang tersimpan dalam bungkusan tersebut. Sementara itu, si jari emas tanpa tandingan Wan cing beng telah membawa batok kepala Jin tok coa sin Ih bun Lam yang mengering itu menuju ke ruang belakang. Sedang Hui leng taysu sambil merangkap tangannya di depan dada berkata lantang.
"Lok sicu, membunuh iblis ini merupakan pahala yang luar biasa besarnya bagi umat persilatan, moga-moga kau dilindungi umat Buddha dan diberkahi usia panjang."
"Benar"
Sambung Hiau pek Cinjin sambil tertawa,"
Pinto bersedia menyampaikan berita girang ini kepada Hoa loko suami isteri serta para jago dari Go bi pay, Pay kau dan Kay pang yang berada di sini."
Mendengar sanjungan demi sanjungan yang ditunjukkan kepadanya, itu si pengemis pikun tertawa tergelak tiada hentinya, nampak jelas dia merasa bangga sekali.
Tapi setelah puas tertawa, tiba-tiba air matanya jatuh bercucuran membasahi pipinya, kemudian diapun menangis tersedu-sedu.
Sebenarnya Pian pek Cinjin sudah bersiap-siap meninggalkan tempat itu, tapi setelah menyaksikan kejadian itu, dia menjadi kaget bercampur keheranan kemudian membatalkan niatnya untuk pergi.
"Taysu, mengapa dia menangis?"
Bisiknya kemudian kepada Hui leng taysu dwngan kening berkerut. Dengan cepat pendeta itu menggelengkan kepalanya berulangkali.
"Lohu sendiri pun sampai turut pikun..... mungkin lok sicu kelewat gembira!"
"Aaah, tidak mungkin, tidak mungkin! Suatu persoalan yang amat memedihkan hatinya."
"Yaa, betul agaknya Lok sicu sedang menangis dengan sedih sekali."
Sahut Hui leng serius. Setelah berhenti sebentar, kepada Oh Put kui segera tanyakan .
Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siau sicu, tahukah kau apa sebabnya?"
Tentu saja musababnya, tapi ia merasa kurang leluasa untuk mengutarakan keluar, maka dengan cepat dia menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Aku rasa mendapat taysu tadi memang sangat beralasan.....mungkin saja pengemis Lok....."
Belum habis dia, berkata, pengemis, pikun sudah meraung gusar.
"Alasan kentut busukmu ....Ooh, aku si pengemis tua sungguh merasa sedih sekali uuuh.... uuuh.... uuuh...."
Seperti anak kecil saja, pengemis tua itu menangis sambil mencak-mencak, serunya lagi .
"Bacah keparat, kau telah membohong aku ....ternyata kau telah membohongi aku selama hidup lohu paling takut kalau tertipu, takut masuk perangkap orang, tak tahunya kau si bocah keparat telah, menjebakku uuuh.... uuuh.... uuuh....percuma saja aku hidup selama ini kalau akhirnya terjebak juga oleh perangkapmu.... Ooh. aku si pengemis tua sungguh merasa sedih sekali.....hei Hwesio gede, hidung kerbau, aku pengemis tua sedih sekali....selama hidup aku selalu menderita kerugian, sampai orang lainpun memberi julukan "Pikun"
Kepadaku....lihatlah betapa penasarannya aku uuuh.... uuuh.... sekarang. Si bocah ingusan inipun berani mempermainkan aku, apa gunanya aku hidup terus aku ....aku ....ingin mati, aku ingin mati saja,......"
Isak tangis yang disertai dengan teriakan-teriakan ini benar- benar bikin pendeta dan tosu itu menjadi kelabakan setengah mati.
Mereka hanya bisa memandang ke arah pengemis tua itu, lalu memandang pula ke arah Oh put kui dan akhirnya terpaksa harus menghela napas panjang .
Sikap Oh Put kui tenang sekali, sambil bergendong tenang dia hanya menguasai tingkah laku pengemis itu sambil tersenyum.
Sebenarnya pengemis tua itu sudah makin mereda isak tangiasnya, siapa tahu ketika dia mendongakkan kepala dan melihat Oh Put kui sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum tangisannya yang merendah itu tiba-tiba bertambah keras volumenya.
Bahkan kali ini disertai dengan teriakan-teriakan dan menarik-nari rambut sendiri.
Hebat sekali isak tangis dari pengemis pikun, sampai-sampai seluruh isi perkampungan ikut menjadi kaget dan berdatangan.
Dalam waktu singkat ki lok sian tong hoa tay siu siansu dari Gobi pay, kun liong kui ciang sembilan toya pengurung naga Ho khi hui, tianglo dari kay pang dan jago pay kan sam siang cuancu pemilik perahu dari sam siang, Hee jin beng telah bermunculan di ruang depan.
Tapi begitu menyaksikan apa yang sedang berlangsung di situ, ke empat orang jago lihay itu menjadi tertegun.
"Hei, bukan dia adalah Lok pikun?"
Seru Ho khu hui dengan perasaan terkejut. Kebetulan Kim cibu tek wan ciu beng sedang melangkah keluar pula dari ruang belakang setelah mendengar pula dari ruang belakang setelah mendengar isak tangis tadi, maka sambil mendengus dingin sindirnya.
"Kalau bukan adik seperguruan kesayangan Hoa heng, siapa lagi yang tak tahu malu seperti dia?"
Ho khi hui melirik sekejap ke arah Wan Ciu beng dengan pandangan dingin, lalu katanya.
"Suteku ini memang sudah termasyhur karena pikunnya apakah Wan lote tidak merasa kalau sindiranmu itu sedikit kelewatan ?"
Wan ciu beng segera tertawa dingin, dengan nada menghina dia tuding ke arah si pengemis pikun, lalu katanya.
Ho heng, mengapa tidak kau lihat tampak dari sutemu itu? Apakah manusia macam beginipun dianggap seorang cianpwe dalam dunia persilatan ? Hmmm....apa yang dilakukan benar-benar telah menjual semua muka orang Kay pang, tak kusangka kalau dalam kay pang pang terdapat manusia macam begini!"
Pada hakekatnya perkataan dari Wan cin beng ini telah menodai nama baik seluruh anggota Kay pang. Kontan saja paras muka si sembilan tongkat pengurung naga Ho Khi hui berubah hebat, saking gusarnya semua rambutnya yang berubah pada berdiri semua.
"Hei orang she wan, kalau berbicara hati-hati sedikit!"
Peringatnya. Sikap Wan ciu beng semakin sinis, sambil mendongakkan kepalanya memandang langit-langit ruangan, ejeknya sambil tertawa dingin.
"Heeehhhh.... Heeehhhh.... Heeehhhh.... aku tak pernah membuat-buat keadaan, apa yang ku ucapkan selamanya merupakan kenyataan, memangnya aku telah salah berbicara?"
Ho khi hui membentak gusar, kepalanya segera diayunkan ke muka siap melancarkan serangan.
Dengan cepat Ci sin siansu merentangkan tangannya untuk menarik kembali lengan kanan Ho khi hui.
Pada saat itulah si bocah dewa kebahagiaan Hoa Tay siu tertawa terbahak-bahak sambil berkata .
"Sudahlah, kalian berdua tak usah cekcok sendiri, kesulitan yang kita hadapi sudah cukup memusingkan kepala"
Selesai berkata dia lantas menarik tangan Ho Khi hui dan diajak menghampiri si pengemis pikun.
Hui leng taysu dan Hian pek Cinjin cepat maju ke depan memberi hormat kepada Hoa Tay siu.
Cepat Hoa Tay siu membalas hormat sambil tertawa, kemudian sorot matanya dialihkan ke wajah Oh Put kui.
Walaupun Oh Put kui tidak kenal dengan Hao Tay siu, kepala kampung perkampungan ini, namun dari julukannya sebagai bocah dewa kebahagiaan, bisa diduga siapa gerangan orang ini.
Wajah Hoa Tay siu memang sepintas lalu mirip sekali dengan wajah seorang bocah berusia belasan tahun.
Selain bibirnya berwarna merah dengan dua baris gigi yang putih, wajahnya yang bersih dan tampan, namun rambutnya telah berubah dan bajunya berwarna merah tua ditambah lagi sepatunya yang terbuat dari kain dan ikat pinggang berwarna putih, membuat gerak-geriknya mirip sekali dengan dewa.
"Kalau orang ini disebut sebagai bocah dewa kebahagiaan, maka julukan tersebut memang tepat sekali."
Pikir Oh Put kui.
Waktu Hoa tay siu sedang minta keterangan dari Hui leng taysu dan Hian pek Cinjin Si pengemis pikun yang sedang menangis sedih, ketika melihat Hoa tay siu dan kakak seperguruannya si sembilan tongkat pengurung naga Ho khi hui telah berdatangan dengan cepat diapun berhenti menangis.
Setelah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya untuk sesaat Ho Lay siu pun tak tahu apa yang mesti dikatakan, Sebaliknya si kakek berambut merah yang tinggi besar Hoa Khi hui sedang mengawasi Oh Put Kui dan si pengemis pikun dengan kening berkerut, kemudian ujarnya pelan .
"Lok Sute kau memang gemar sekali membuat keributan......"
Pengemis pikun dengan melompat bangun, sambil menuding ke arah Oh put kui teriaknya .
"Bocah keparat ini pandai sekali membohongi orang...."
Kemudian sambil memandang kerah Hoa Tay siu, dia berteriak keras-keras.
"Hoa siu lo ko engkoh tua kecil. Coba kau lihat, bocah keparat itu telah membunuh si raja bisa ular sakti selaksa racun Ih bun lam, tapi dia tak mau mengakuinya, sebaliknya melimpahkan hal ini, kepadaku coba kau katakan, perbuatan ini kurang ajar tidak ? Hmmm, justru karena dia tak becus maka saking mangkelnya aku sampai kepingin mangkelnya aku sampai kepingin mati seketika saja...."
Beberapa patah kata yang kedengarannya amat santai itu, dengan cepat mengejutkan beberapa orang jago persilatan yang hadir ditempat itu.....
Pemuda ingusan semacam itupun dapat membunuh raja dari wilayah biau? Siapa yang percaya ? Tapi mau tak mau merekapun harus mempercayainya.
Walaupun setiap orang tahu kalau pengemis pikun adalah orang yang blo on, namun mereka yakin seandainya gembong iblis itu mati di tangannya, tak mungkin dia tak akan mengakuinya.
Oleh karena itu, beberapa orang jago persilatan itu menjadi tertegun untuk beberapa saat lamanya.
Sambil tersenyum Oh Put Kui segera berseru .
"Pengemis Lok, bukankah kan tahu kalau aku bukan seorang jagoan dari dunia persilatan ........... Belum habis perkataan itu diutarakan si pengemis pikun telah menukas sambil berteriak keras .
"Bocah keparat, aku si pengemis tua benar-benar sudah kau tipu habis habisan, permainan sandiwaramu memang mirip sekali. Andaikata pukulan yang kulancarkan tadi bersarang dibutuh orang lain, paling tidak pasti akan melukai ototnya atau mematahkan tulangnya. Tapi kau ......mana lukamu ? apa artinya darah yang keluar dari mulut itu?"
"Tapi kau orang tua harus tahu, sepanjang tahun aku berkelana kemana-mana siapa tahu kalau tubuhku lebih kekar dan kuat dari pada tubuhmu?"
"Kentut anjingmu, hanya setan yang percaya obrolan sintingmu itu......"
Teriak pengemis pikun sambil mencak- mencak. Kemudian kepada Ho Tay siu serunya "Engkoh tua kecil, coba kau lihat mirip kah dia sebagai seorang manusia yang tak mengerti ilmu silat?"
Sambil tertawa Hoa Tay siu menggeleng.
"Siaute kurang begitu percaya!"
Setelah berhenti sebentar dia menghampiri Oh Put kui dengan langkah lebar, kemudian tegurnya.
"Lote siapa namamu? Berasal dari mana? Dari mana perguruanmu? Apakah kau dapat menerangkan? Kemudian setelah tertawa, tambahnya.
"Lohu adalah pemilik perkampungan ini, tentunya lote sudah mengetahui dari julukan diriku bukan?"
Oh put kui segera menjura, katanya .
"Nama besar Hoa cengcu benar -benar bukan nama kosong belaka, sudah lama aku mengaguminya."
"Aku tak lebih hanya seorang anak dusun dari bukit In tang san tebing Cing Peng gay orang menyebutku Oh Put Kui!"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Hoa Tay siu, katanya kemudian sambil tertawa.
"Perguruan lote adalah .........
"Asah, aku tak lebih hanya orang gelandangan dari udik, tak punya perguruan tak punya aliran parta!"
Diam-diam Hoa Tay siu segera berkerut kening, namun diapun tidak mendesak lebih jauh, hanya ujarnya sambil tersenyum .
"Apakah Ih bun Lam benar-benar mati ditangan lote?"
Dengan cepat Oh Put kui tertawa hambar "Orangnya toh sudah mati , dan kejahatannya telah berakhir buat cengcu mesti persoalkan lagi dia mati ditangan siapa?"
Meskipun perkataannya amat santai dan enteng, namun sayang dikatakan memang tak salah, kalau toh mereka tak ada maksud untuk membalas dendam bagi kematian Ih bun Lam, apa gunanya untuk mencari gembong iblis itu mati ditangan siapa? Hoa Tay siu mengamati Oh Put kui dalam-dalam mendadak katanya sambil tersenyum "Silahkan duduk!"
Semua orang segera mengambil tempat duduk masing- masing, Hoa Tay siu baru berkata kepada Oh Put kui sambil tertawa.
"oh lote, mari lohu perkenalkan beberapa orang sobat lamaku ini kepadamu."
Sambil menuding si kakek berambut merah yang berperawakan tinggi besar itu katanya.
"dia adalah tianglo dari kay pang, orang menyebutnya sebagai sembilan tongkat pengurung naga ho khi hui!"
Sambil tertawa oh put kui segera menjurai Hoa Tay siu segera menuding ke arah pendeta kurus kecil berambut putih yang berada di sisinya dan menerangkan.
"Dia adalah ketua Go bi pay, Ci sin taysu Sebelum berhenti sebentar, sambil menuding seorang lelaki berwajah bersih berdandan sebagai juragan perahu dan berusia antara empat puluh tahunan, katanya. Dan dia adalah jago lihay dari pay kau si juragan perahu dari sam siang Hee jin beng.
"Selamat berjumpa!"
Kata Oh put kui hambar sikapnya kali ini sama sekali berbeda dengan sikap sebelumnya seakan- akan beberapa orang jago ini tidak menarik perhatiannya, sehingga tidak menimbulkan pula perasaan hormat yang seharusnya diperlihatkan.
Tampaknya Hoa tay siu sama sekali tidak menyangka kalau pemuda itu begitu angkuh tapi sebagai tuan rumah, paras mukanya sama sekali tidak berubah, sambil mengangkat cawan katanya kemudian sambil tertawa.
"Apa yang dikatakan Oh lote tadi memang benar setelah Ih bun Lam mati, berarti dunia persilatan aman dari gangguan seorang iblis, entah siapa yang berhasil membunuh memang bukan suatu masalah besar, meski demikian, bukankah pantas kalau kita rayakan bersama peristiwa yang maha besar ini..... Sekali teguk dia menghabiskan isi cawannya, kemudian setelah tertawa terbahak- bahak terusannya lagi.
"Saudara Lok, sekalipun kau tidak berhasil membunuh Ih bun Lam, kedatanganmu hari ini untuk mengantar batok kepala siapa? Sementara itu si pengemis pikun sudah makan minum dengan lahapnya, mendengar pert
Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung Kuda Putih Karya Okt Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen