Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 3


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 3


eng keluarga Han.

   Han-keh-lo atau loteng keluarga Han adalah sebuah rumah pelacuran yang paling termashur.

   Ketika untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Han-toa-nay-nay, kejadian ini berlangsung di atas sebuah pembaringan yang dingin, lembab dan kotor.

   Di atas papan pembaringan yang dingin dan atos itu penuh dengan noda bekas muntahan yang tercecer kemana-mana.

   Bukan saja kotor, bau lagi.

   Keadaannya pada waktu itu tidak jauh lebih baik daripada pembaringan tersebut.

   Ia sudah lima hari mabuk berat, sewaktu sadar tenggorokannya terasa kering dan pecah-pecah, kepalanya pusing seperti mau meledak.

   Han toa-nay-nay sedang bertolak pinggang dan berdiri di depan pembaringan sambil mengawasinya.

   Perempuan itu mempunyai perawakan setinggi tujuh depa, pinggangnya sangat lebar dan kasar seperti sebuah gentong, diantara jari-jari tangannya yang gemuk, pendek dan kasar itu penuh dihiasi cincin-cincin zamrud dan berlian yang mahal harganya.

   Kulit wajahnya yang gemuk dan kencang itu membuat orang sukar menilai usianya yang sesungguhnya, sebab ia kelihatan jauh lebih muda, bahkan di kala hatinya sedang senang, kadangkala sekulum senyuman nakal yang seringkali bisa dijumpai dalam pancaran mata anakanak, akan dijumpai pula dari balik namanya.

   Tapi, sekarang tatapan matanya itu tiada senyuman, apalagi senyuman nakal dari seorang anakanak.

   Dengan sekuat tenaga A-kit menggosok-gosok matanya dan berusaha dipentangkan selebar mungkin.

   Dia ingin melihat dengan lebih jelas lagi, apakah orang yang berdiri dihadapannya seorang pria ataukah seorang perempuan..............

   Perempuan dengan perawakan semacam ini memang tidak sering dijumpai dalam masyarakat, apalagi dengan ukurannya yang serba istimewa itu.

   A-kit meronta dan ingin bangun duduk, tapi persendian tulangnya bagaikan ditusuk-tusuk oleh beribu-ribu batang jarum tajam, akibatnya sakitnya bukan kepalang.

   Ia menghela napas panjang dan bergumam.

   "Aaaai....selama dua hari ini aku pasti sudah mabuk, seperti seekor kucing mabuk!"

   "Bukan mirip kucing mabuk, kau lebih mendekati seperti anjing yang mampus!", kata Han toa-naynay. Lalu setelah menatapnya dengan pandangan dingin, ia menambahkan.

   "Kau sudah mabuk selama lima hari!"

   Sekuat tenaga A-kit menekan batok kepalanya, ia berusaha keras mengingat kembali dai benaknya, perbuatan apa saja yang telah dilakukan selama hari ini? Tapi dengan cepat ia melepaskan niat tersebut.

   Ingatannya sekarang hanya kosong melompong, sebuah nol besar, bahkan lebih mirip dengan selembar kertas yang putih bersih, tiada sesuatu apapun yang tersisa.

   "Kau datang dari luar daerah?", tanya Han toa-nay-nay kemudian. A-kit mengangguk. Benar, ia datang dari luar daerah, suatu daerah yang jauh sekali letaknya, demikian jauhnya tempat itu, sehingga hampir saja tidak teringat lagi olehnya.

   "Kau punya uang?", kembali Han toa-nay-nay bertanya. Kali ini A-kit menggelengkan kepalanya. Tentang hal ini dia masih teringat jelas, sekeping uang perak terakhir yang dimilikinya telah ia gunakan untuk membeli arak. Tapi dimanakah ia minum sampai mabuk? Jawaban tersebut sudah dilupakan sama sekali.

   "Akupun tahu kalau kau tidak punya", kata Han toa-nay-nay.

   "sebab kami telah menggeledah sekujur badanmu, kau hakekatnya lebih rudin daripada seekor anjing mampus"

   A-kit memejamkan matanya, dia masih ingin tidur. Pengaruh alkohol yang telah menyusup ke dalam tulang belakangnya membuat segenap tenaga dan kekuatannya punah, dia hanya ingin tahu.

   "Masih adakah persoalan yang hendak kau tanyakan kepadaku?"

   "Hanya ada sepatah kata", jawab Han toa-nay-nay dengan cepat.

   "Katakan dengan cepat, aku sedang mendengarkan!"

   "Buat seseorang yang tak mempunyai uang, dengan apakah ia hendak membayar rekeningnya?"

   "Membayar rekening?"

   "Ya, selama lima hari belakangan ini, kau sudah berhutang tujuh puluh sembilan tahil perak rekening arak!"

   A-kit menarik napas panjang.

   "Bukan suatu jumlah yang terlalu besar!", katanya.

   "Ya, memang tidak terlalu besar, cuma sekarang setahil perakpun tidak kau miliki"

   Kemudian dengan suara yang dingin ia melanjutkan.

   "Bagi orang yang menunggak rekening, seringkali ada dua cara yang bisa kami lakukan?"

   A-kit tidak member komentar, dia hanya mendengarkan dengan seksama..... Han toa-nay-nay berkata lebih lanjut.

   "Kau ingin dipatahkan sebuah pahamu? Ataukah dipatahkan tiga biji tulang igamu?"

   "Terserah!"

   "Kau tidak ambil perduli?"

   "Aku cuma ingin cepat-cepat dipukul, kemudian seusainya aku hendak segera tinggalkan tempat ini!"

   Han toa-nay-nay melongo, sinar matanya dipenuhi dengan perasaan ingin tahu.

   Pemuda yang dihadapinya ini memang aneh sekali, siapakah orang ini sesungguhnya? Kenapa ia bisa bersikap begitu acuh, begitu masa bodoh terhadap keadaan? Mungkinkah dalam hatinya terdapat sebuah simpul mati yang tak dapat dilepaskan? Atau mungkinkah ia mempunyai kisah sedih yang tak terlupakan? Tak tahan lagi Han toa-nay-nay berkata.

   "Kau begitu terburu-buru hendak pergi, kemana kau hendak pergi?"

   "Aku tidak tahu!"

   "Aaaah....masa kau tidak tahu ke mana hendak pergi?"

   "Kemana aku sampai, disanalah yang aku tuju!"

   Sekal lagi Han toa-nay-nay perhatikan wajahnya lama sekali, tiba-tiba katanya.

   "Kau masih muda, dan lagi punya tenaga, kenapa tak mau bekerja untuk membayar hutang?"

   Sorot matanya jauh lebih lembut dan halus, katanya lebih jauh.

   "Kebetulan di tempat kami masih ada sebuah lowongan pekerjaan, setengah tahil perak sehari, apakah kau bersedia untuk melakukannya?"

   "Terserah!"

   "Apakah tidak kau tanyakan tempat apakah ini? Dan pekerjaan apa yang harus kau lakukan?"

   "Aku tak ambil perduli, pokoknya ada pekerjaan kulakukan!"

   Han toa-nay-nay tertawa terkekeh-kekeh, ditepuknya bahu anak muda itu keras-keras lalu katanya.

   "Sekarang pergilah dulu ke dapur untuk mencari air panas dan bersihkan seluruh badanmu, keadaanmu kini mirip sekali dengan seekor anjing mampus, baunya lebih busuk daripada seekor ikan mampus"

   Secercah senyuman tampak memancar dari balik sinar matanya.

   "Barang siapa yang ingin bekerja di sini, sekalipun dia bukan manusia, paling sedikit harus berdandan mirip dengan manusia!", demikian katanya. Dalam dapur penuh diliputi bau harum nasi dan kuah daging, ketika angin dingin berhembus lewat dari sana, terasalah angin tersebut jauh lebih hangat dan nyaman. Petugas yang bekerja di dapur adalah sepasang suami-isteri. Yang laki-laki adalah seorang manusia tinggi besar yang bisu, sebaliknya yang perempuan kurus kecil, tapi galaknya seperti sebuah gurdi tajam. Kecuali suami-isteri berdua, di dalam dapur masih terdapat lima orang manusia. Ke lima orang itu adalah perempuan-perempuan berbaju kusut dengan rambut yang kacau balau tak tersisir, selain bedak dan gincu yang masih tertinggal di wajahnya, yang tampak hanya suatu keletihan yang memuakkan. Usia mereka rata-rata di antara dua puluh sampai tiga puluh tahunan. Perempuan yang paling tua mempunyai sepasang payudara yang besar, montok dan menongol keluar. Tentu saja disamping sepasang mata yang jalang dan penuh nafsu birahi. Akhirnya A-kit baru tahu bahwa perempuan itu adalah 'toa-ci'nya nona-nona sekalian, para tamu lebih suka memanggilnya sebagai 'toa-siu' atau si gajah bengkak. Sedang nona yang berusia paling muda masih kelihatan seperti seorang kanak-kanak, pinggangnya amat ramping dengan dada yang datar, tapi dia pula yang paling laris dagangannya. Entahlah, mungkin para lelaki memang memiliki watak buas dan liar dari seekor binatang, waktu suka daun muda, atau birahi untuk melalap gadis yang masih tampak seperti kanak-kanak? Ketika mereka saksikan A-kit berjalan masuk, dengan sinar mata tercengang, heran dan kaget, nona-nona itu alihkan perhatian mereka semua, untung Han toa-nay-nay segera menyusul masuk. Dengan suara lantang, Han toa-nay-nay segera berkata.

   "Ada banyak pekerjaan yang hanya bisa dikerjakan oleh kaum pria, padahal pria-pria di sini kalau bukan seperti balok kayu, dia tentulah pelayan penerima tamu, untunglah sekarang aku berhasil menemukan seseorang yang lebih mirip dengan manusia"

   Ditepuknya bahu pemuda itu keras-keras kemudian terusnya.

   "Beritahu kepada anjing-anjing betina ini, siapa namamu?"

   "Aku bernama A-kit!"

   "Kau tak punya nama marga?"

   "Aku bernama A-kit!"

   Han toa-nay-nay mengetuk kepalanya keras-keras lalu tertawa tergelak.

   "Haaaaahhhh.....haaahhhhh.....haaaaahhhhh......meskipun bocah ini mempunyai nama marga, tapi dia mempunyai suatu kebaikan......."

   Perempuan itu tertawa riang.

   "Ia tidak terlalu banyak mulut!"

   Mulut adalah anggota tubuh yang digunakan untuk makan, minum dan bukan untuk dipakai banyak berbicara.

   Selamanya A-kit tidak banyak berbicara.

   Dengan mulut membungkam seribu bahasa ia menuang air panas, lantas berjongkok dan membersihkan wajahnya.

   Tiba-tiba muncul sebuah kaki yang menginjak embernya, sehingga airnya tertumpah semua.

   Kaki itu gemuk sekali dan mengenakan sebuah sepatu bersulamkan bunga merah yang sangat indah.

   A-kit bangkit berdiri dan memperhatikan wajah bulat gemuk dari perempuan itu.

   Ia mendengar suara tertawa cekikikan dari para nona sekalian, tapi suara tersebut seakan-akan berasal dari tempat yang sangat jauh.

   Diapun mendengar si gajah bengkak sedang berteriak keras.

   "Kau telah membasuhkan kakiku, hayo cepat diseka sampai kering!"

   Sepatah-katapun tidak diucapkan A-kit"

   Dengan mulut membungkam, ia segera berjongkok dan menyeka kaki yang gemuk itu sampai kering. Si gajah bengkak segera tertawa terbahak-bahak.

   "Haaaaahhh...haaahhhh...haahhhh....kau memang seorang anak yang baik, entar malam jika di kamarku tak ada tamu, kau boleh diam-diam menyelinap ke sana, jangan kuatir........gratis untukmu!"

   "Aku tidak berani!", kata A-kit.

   "Masa nyali sekecil inipun tidak kau miliki?"

   "Aku seorang lelaki yang tak berguna, aku membutuhkan pekerjaan ini untuk mencari uang dan membayar hutang!"

   Maka semenjak itulah A-kit telah mendapat sebuah julukan baru, semua orang memanggilnya 'Akit yang tak berguna', tapi ia sendiri tidak memperdulikannya.

   Setiap senja menjelang tiba, para gadispun sibuk bertukar pakaian yang paling indah dan mendandani diri sendiri secantik dan semenarik mungkin.

   "A-kit yang tak berguna, ambilkan air teh untuk tamu!"

   "A-kit yang tak berguna, pergilah ke jalanan dan belikan beberapa kati arak!"

   Bila tengah malam sudah lewat, ia baru bisa bersembunyi di pojok dapur untuk melepaskan lelahnya.

   Dalam keadaan demikian, si bisu tentu akan menyodorkan semangkuk besar nasi putih dengan daging Ang-sio-bak yang besar, lalu menyaksikan ia bersantap dan memperhatikannya dengan pandangan simpati bercampur kasihan.......

   Tapi A-kit tak pernah memperdulikannya.

   Ada sementara orang selamanya tak suka menerima pandangan kasihan atau simpati dari orang lain dan A-kit adalah manusia macam begini.

   Sebab bukan saja ia tidak bernyali, diapun tak berguna.

   Hingga pada suatu hari, ketika ada dua orang laki-laki bersenjata yang ingin makan-minum secara gratis, semua orang baru mengetahui bahwa dia sesungguhnya mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.

   Ia tidak takut sakit.

   Ketika laki-laki bersenjata itu ingin pergi tanpa membayar setelah makan minum, tiba-tiba jalan pergi mereka telah dihadang oleh A-kit yang tak berguna.

   Tentu saja laki-laki itu tertawa dingin sambil mengejek.

   "Hmm, rupanya kau ingin mampus?"

   "Aku tidak ingin mampus, akupun tak ingin mati kelaparan. Bila kalian pergi sebelum membayar, sama pula artinya dengan memecahkan mangkuk nasiku.....", demikian A-kit berkata. Baru saja beberapa patah kata itu selesai diucapkan, dua buah bacokan telah bersarang di tubuhnya. Tapi ia sama sekali tak bergerak, berkerut keningpun tidak. Ia cuma berdiri tegap sambil menerima tujuh - delapan buah bacokan golok tersebut. Menyaksikan hal tersebut, laki-laki itu memandangnya dengan terkejut, lalu tanpa mengucap sepatah katapun merogoh sakunya dan melunasi rekeningnya. Ketika semua orang memandang ke arahnya dengan terkejut dan berusaha untuk membimbingnya, tanpa mengucap sepatah-katapun ia berlalu, kembali ke kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan yang dingin dan keras itu, sambil membiarkan peluh dingin membasahi tubuhnya dan menahan rasa sakit di tubuhnya. Ia tidak ingin orang lain menganggapnya sebagai pahlawan, diapun tak ingin membiarkan orang lain menyaksikan penderitaannya. Tapi pintu kamarnya tiba-tiba didorong orang, menyusul kemudian sesosok bayangan manusia menyelinap masuk ke dalam, setelah menutup pintu kembali, dengan sinar mata kasihan dan sayang ditatapnya pemuda itu lekat-lekat. Ia mempunyai sepasang mata yang besar, di samping sepasang tangan yang ramping, panjang dan halus. Ia bernama Siau-li, para langganannya lebih suka menyebut 'siluman kecil' kepadanya. Ketika itu ia sedang menyeka keringat di tubuhnya dengan tangannya yang kecil.

   "Mengapa kau harus berbuat demikian", bisik Siau-li dengan nada penuh perhatian.

   "Sebab pekerjaan ini sudah seharusnya kulakukan, aku membutuhkan pekerjaan semacam ini", jawabnya singkat.

   "Tapi kau masih terlalu muda, banyak pekerjaan lain yang dapat kau lakukan", jelas perempuan itu amat simpatik dan sangat menaruh perhatian atas keselamatannya. Tapi tak sekejap matapun A-kit memperhatikan wajahnya, dengan dingin ia berkata.

   "Kaupun mempunyai pekerjaan yang harus kau lakukan, kenapa tidak segera kau lakukan?"

   Siau-li tidak menyerah sampai di situ saja, ia mendesak lebih lanjut.

   "Aku tahu, dalam hati kecilmu tentu terdapat banyak persoalan yang menyedihkan hatimu"

   "Tidak!. Aku tidak punya"

   "Dahulu pasti ada seorang perempuan yang pernah melukai hatimu, bukankah begitu?"

   "Rupanya kau sedang bertemu dengan setan di siang hari bolong!"

   "Jika tiada sesuatu yang kau sedihkan, mengapa saat ini kau dapat berubah menjadi begini?"

   "Sebab aku malas, dan lagi seorang setan arak!"

   "Apakah kaupun seorang laki-laki yang gemar bermain perempuan?", tanya Siau-li. A-kit tidak menyangkal atau mengaku. Ia enggan memberi jawaban untuk perempuan tersebut. Kembali Siau-li berkata.

   "Aku tahu sudah lama, lama sekali kau tak pernah menyentuh tubuh perempuan, aku tahu......"

   Tiba-tiba suaranya berubah menjadi begitu lembut, begitu halus dan aneh sekali kedengarannya.

   Tiba-tiba ia menarik tangan pemuda itu dan dirabakan ke bawah perut di antara belahan pahanya.......

   Ternyata di balik selembar kain bajunya yang tipis, perempuan itu tidak mengenakan apa-apa lagi.

   A-kit dapat merasakan pancaran hawa panas yang dihasilkan dari selangkangannya......

   Memandang goresan luka golok yang masih berlepotan darah, tiba-tiba sorot mata perempuan itu bertambah tajam dan bercahaya.

   "Aku tahu luka yang kau derita tidak enteng, tapi asal kau bersedia melayani kebutuhan birahiku....aku jamin rasa sakit yang kau rasakan sekarang segera akan tersapu lenyap tak berbekas"

   Sambil berkata, perempuan itu menarik tangan A-kit dan dibawanya menelusuri seluruh bagian tubuhnya yang telanjang.

   Di atas dadanya yang datar, ternyata ia memiliki sepasang payudara yang kecil tapi keras dan kenyal.

   Payudara itu amat nyaman sewaktu diraba, apalagi untuk meremasnya.....andaikata A-kit seorang pria yang normal, rangsangan tersebut pasti akan berakibat fatal bagi sang nona.

   Mustahil seorang laki-laki tidak melalap mangsa yang berada dihadapannya dalam posisi siap bertempur.

   ***************** Hal 51-52 hilang ***************** A-kit tidak menjawab, ia pejamkan matanya rapat-rapat.

   Tiba-tiba ia merasakan bahwa perempuan gemuk yang setengah tua ini menunjukkan pula luapan birahi seperti apa yang baru saja dijumpai di wajah Siau-li.

   Ia tak tega memandangnya lebih jauh.

   "Mari, minumlah secawan, aku tahu ulat arakmu pasti sudah mengkilik-kilik tenggorokanmu, sehingga menimbulkan rasa gatal yang sukar ditahan lagi."

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sambil tertawa terkekeh ia membuka penutup guci arak dan menyodorkan ke depan mulutnya.

   "Hari ini kau telah bantu aku melakukan pekerjaan, aku harus baik-baik memerseni dirimu"

   A-kit tidak bergerak, diapun tidak memberikan reaksi apa-apa. Han toa-nay-nay segera mengerutkan dahinya.

   "Apakah kau benar-benar adalah seorang lelaki yang tak berguna?", demikian ia menegur.

   "Ya, aku memang laki-laki yang tak berguna". Ketika A-kit membuka kembali matanya, Han toa-nay-nay sudah pergi, sebelum meninggalkan tempat itu, ia sempat meninggalkan sekeping uang perak di atas pembaringannya.

   "Uang ini sepantasnya kau dapatkan, barang siapa bersedia menerima tujuh-delapan buah bacokan, ia tak boleh menerimanya dengan sia-sia belaka"

   Bagaimanapun juga, dia sudah bukan seorang nona cilik lagi.

   "Apa yang barusan kau alami, tentunya tak akan kau ingat selalu bukan......?", demikian katanya. Ketika A-kit mendengar suara langkah kakinya sudah berada di luar pintu, ia mulai muntahmuntah. Peristiwa semacam ini tak akan terlupakan untuk selamanya. Ketika ia berhenti muntah, dengan tertatih-tatih ia bangkit berdiri dan keluar dari kamarnya. Uang perak yang diperoleh dari Han toa-nay-nay itu diletakkan dalam kuali nasi milik si bisu. Meskipun angin dingin berhembus kencang, ia tinggalkan lorong keluarga Han. Ia tahu tak mungkin baginya untuk berdiam lebih lanjut di tempat semacam itu. Fajar telah menyingsing. Warung teh sudah penuh oleh tamu-tamu yang hendak sarapan. Mereka terdiri dari pelbagai masyarakat yang berdiam di sekitar tempat itu. A-kit sedang memegang cawan air teh panas-panas dengan kedua belah tangan, sebentarsebentar diteguknya teh itu dengan penuh kenikmatan. Di warung itu selain menjual air teh, dijual pula bakpao dan kueh cah-kwe, tapi ia hanya bisa minum air teh. Dia hanya memiliki dua puluh tiga biji mata uang tembaga. Ia berharap bisa memperoleh pekerjaan tetap. Ia ingin melanjutkan hidupnya. Belakangan ini ia baru tahu, bahwa untuk melanjutkan hidup bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. Penderitaan dalam berjuang untuk hidup tak pernah dibayangkan olehnya sebelum ia lakukan sendiri sekarang. Kini ia mulai sadar bahwa untuk menjual kejujuran dan tenaganya, seseorang harus mempunyai jalan. Tapi, ia tidak mempunyai jalan. Tukang batu mempunyai grupnya sendiri, tukang kayu mempunyai perkumpulannya sendiri, bahkan tukang pikul dan kuli kasarpun mempunyai organisasi. Bila seseorang bukan termasuk di dalam perkumpulannya, maka jangan harap dia bisa memperoleh pekerjaan. Sudah dua hari ia menderita kelaparan. Pada hari yang ketiga, uang sebesar tujuh biji mata uang tembaga untuk minum air tehpun sudah tidak dimiliki lagi. Dia hanya bisa berdiri di luar warung sambil makan angin. Ia sudah hampir roboh ketika seseorang menepuk bahunya sambil bertanya.

   "Pekerjaan memikul kotoran manusia sanggup kau lakukan tidak? Sehari dengan upah lima pence?"

   A-kit cuma bisa memandang orang itu dengan terbelalak, ia tak mampu berbicara lagi, karena tenggorokannya terasa seperti di sumbat dengan suatu benda.

   Ia hanya bisa mengangguk, mengangguk tiada hentinya.

   Hingga lama, lama sekali, ia baru dapat mengutarakan rasa terima kasih yang dialaminya ketika itu.

   Rasa terima kasihnya waktu itu adalah luapan perasaan yang murni dan bersungguh-sungguh.

   Sebab yang diberikan orang itu kepadanya bukan hanya tugas untuk memikul kotoran manusia melainkan suatu kesempatan untuk melanjutkan hidup.

   Akhirnya ia dapat juga melanjutkan hidupnya.

   Dan orang yang telah memberi kesempatan kepadanya itu bernama Lo Biau-cu.

   Lo Biau-cu benar-benar berasal dari wilayah Biau.

   Ia mempunyai perawakan tubuh yang tinggi besar, kekar, bertampang jelek tapi bertubuh kekar penuh berotot.

   Sewaktu tertawa terlihat dua baris giginya yang putih dan kuat.

   Telinga kirinya kelewat panjang, diatasnya malah terlihat bekas yang menunjukkan bahwa dulunya ia memakai giwang.

   Ia sedang memperhatikan A-kit dengan seksama.

   Ketika waktu istirahat tengah hari, tiba-tiba ia bertanya.

   "Sudah berapa hari kau menderita kelaparan?"

   "Apakah kau mengetahui bahwa aku sedang kelaparan?", A-kit balik bertanya.

   "Hari ini hampir saja kau jatuh tak sadarkan diri sebanyak tiga kali.....!"

   A-kit menundukkan kepalanya, memandang kaki sendiri yang masih berlepotan kotoran manusia.

   "Pekerjaan semacam ini adalah pekerjaan yang sangat berat, aku kuatir kau tak sanggup bertahan lebih jauh"

   "Lantas mengapa kau datang mencari diriku?"

   "Sebab keadaanku waktu pertama kali datang kemari tak jauh berbeda dengan keadaanmu tadi. Jangankan pekerjaan lain, pekerjaan untuk memikul kotoranpun tidak berhasil kudapatkan"

   Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas, Dari dalam bungkusan itu dikeluarkan dua buah kueh dan sebatang asinan wortel.

   Ia membagi separuh dari bekalnya itu untuk A-kit.

   A-kit menerima pemberian itu tanpa sungkan-sungkan dan segera melahapnya, bahkan kata 'terima kasih' pun lupa diucapkan.

   Lo Biau-cu hanya memandang ke arah pemuda itu dengan sekulum senyuman menghiasi bibirnya, tiba-tiba ia bertanya.

   "Malam ini kau hendak tidur di mana?"

   "Aku tidak tahu"

   "Aku mempunyai rumah, rumahku besar sekali, kenapa kau tidak tidur di rumahku saja?"

   "Kalau kau suruh aku ke sana, aku akan ikut ke sana!"

   Rumah besar dari Lo Biau-cu memang tidak terhitung kecil, atau paling sedikit lebih besar sedikit daripada sangkar burung dara. Ketika mereka pulang ke rumah, seorang nyonya tua yang rambutnya telah beruban, sedang menanak nasi di dapur.

   "Dia adalah ibuku, ahli sekali dalam memasak hidangan-hidangan yang lezat", kata Lo Biau-cu memperkenalkan. A-kit melirik sekejap ke arah batang sayur dan bubur kasar yang berada dalam kuali, kemudian katanya.

   "Ehmmmm..... sudah ku cium bau harumnya semenjak tadi"

   Tertawalah nenek itu, ia mengambilkan semangkuk besar bubur baginya. Tanpa sungkan-sungkan A-kit menerimanya dan langsung dimakan. Diapun tidak mengucapkan kata 'terima kasih'. Paras muka Lo Biau-cu menunjukkan perasaan puas, katanya kemudian.

   "Dia bernama A-kit. Dia adalah seorang pemuda yang baik!"

   "Jika tidak kuketahui akan hal itu, memangnya kubiarkan ia bersantap di sini?", jawab nenek itu sambil mengetuk mangkuk putranya.

   "Malam ini bolehkah ia tidur bersama-sama dengan kita?", Lo Biau-cu kembali bertanya. Sambil memicingkan matanya, nenek itu melirik sekejap ke arah A-kit, lalu katanya.

   "Bersediakah kau untuk tidur seranjang dengan putraku? Apakah kau tidak takut merasa bau badannya?"

   "Dia tidak bau!"

   "Kau adalah bangsa Han, bangsa Han seringkali menganggap kami orang-orang Biau adalah manusia yang paling bau!"

   "Aku adalah bangsa Han, aku lebih bau daripadanya!", A-kit berbantah. Nenek itu segera tertawa tergelak, diketuknya kepala pemuda itu dengan sendok kayu, seperti pula sedang mengetuk kepala putranya. Setelah tergelak sekian lama, ia berkata lebih jauh.

   "Cepat makan, mumpung masih panas! Setelah kenyang, cepat naik ke pembaringan untuk beristirahat, dengan demikian besok baru punya tenaga untuk bekerja lagi"

   A-kit sedang bersantap, bahkan bersantap dengan gerakan paling cepat. Kembali nenek itu berkata.

   "Cuma, sebelum naik ke pembaringan nanti, kau mesti melakukan suatu pekerjaan lebih dulu!"

   "Apa yang harus kulakukan?", tanya A-kit.

   "Cuci bersih dulu kakimu sebelum naik ke pembaringan, kalau tidak si Boneka pasti marah!"

   "Siapa si Boneka itu?"

   "Dia adalah putriku, adik perempuannya!"

   "Tapi seharusnya ia adalah seorang tuan putri, sebab sejak dilahirkan ia lebih pantas menjadi seorang tuan putri"

   Di ruang belakang berjajar tiga buah pembaringan, diantaranya yang paling bersih dan empuk tentu saja milik si tuan putri.

   A-kit ingin sekali menjumpai tuan putri itu.

   Tapi ia merasa terlalu lelah, setelah menghabiskan bubur sayur, sepasang kelopak matanya terasa berat sekali bagaikan diberi beban sebesar beribu-ribu kati.

   Sekalipun tidur berdesakan dengan seorang laki-laki semacam Lo Biau-cu bukan sesuatu yang menyenangkan, tapi dengan cepatnya ia sudah tertidur lelap.

   Di tengah malam ia pernah terbangun satu kali, dalam remang-remangnya cuaca ia seakan-akan menyaksikan seorang gadis yang berambut panjang sedang duduk termangu di muka jendela.

   Akan tetapi ketika diperhatikan untuk kedua kalinya, ia sudah menyembunyikan tubuhnya di balik selimut.

   Keesokan harinya ketika mereka makan berangkat bekerja, gadis itu masih tidur, bahkan separuh badannya bersembunyi di balik selimut, seolah-olah ia sedang menghindari suatu malapetaka yang menakutkan.

   A-kit hanya menyaksikan rambutnya yang panjang dan hitam terurai di atas bantal.

   Fajar belum menyingsing, kabut tebal masih menyelimuti permukaan tanah.

   Mereka berjalan melawan hembusan angin yang serasa menusuk tulang.

   Tiba-tiba Lo Biau-cu bertanya.

   "Kau telah berjumpa dengan si Boneka?"

   A-kit gelengkan kepalanya. Dia hanya menyaksikan rambutnya yang hitam dan panjang.

   "Ia bekerja di rumah gedung seorang hartawan kaya, sebelum larut malam tak mungkin bisa pulang", Lo Biau-cu menerangkan. Lalu sambil tersenyum katanya lagi.

   "Ya, maklumlah! Orang kaya biasanya memang tidur sampai larut malam......"

   "Aku mengerti!"

   "Cepat atau lambat kau harus berjumpa dengannya", kata Lo Biau-cu lebih jauh. Dengan pancaran sinar bangga dan kagum, ia meneruskan.

   "Asal kalian telah bertemu, kau pasti menyukainya, sebab kami selalu bangga atas prestasinya"

   A-kit dapat merasakan kebanggaan orang, ia percaya gadis itu pastilah seorang tuan putri yang patut disayangi.

   ~Bersambung ke jilid-5 Jilid-5 Di waktu beristirahat tengah hari, di kala ia sedang menikmati bakpao pemberian si nenek, tibatiba muncul tiga orang laki-laki menghampirinya.

   Walaupun baju mereka compang-camping, topinya dikenakan miring ke bawah sehingga menutupi sebagian wajahnya, sebilah pisau kecil terselip di pinggang mereka.

   Waktu itu mulut luka bekas bacokan di tubuhnya belum merapat, bahkan kadangkala masih terasa sakit.

   Salah seorang di antara ketiga orang itu, seorang laki-laki dengan sepasang matanya yang berbentuk segi tiga, memperhatikan wajahnya dengan seksama, kemudian sambil mengulurkan tangannya ia berseru.

   "Bawa kemari!"

   "Apanya yang bawa kemari?", tanya A-kit keheranan.

   "Meskipun kau baru datang, seharusnya kau memahami peraturan di tempat ini!"

   "Peraturan apa?", tanya A-kit tidak habis mengerti.

   "Upah kerja yang kau dapatkan harus dibagi menjadi tiga bagian, dan sekarang akan kutarik untuk sebulan lebih dulu"

   "Aku cuma mempunyai tiga biji mata uang tembaga!"

   Laki-laki bermata segi tiga itu segera tertawa dingin.

   "Heeehhh...heeehh....heeeehhh....cuma tiga biji mata uang tembaga?. Nyatanya kau bisa menikmati bakpao putih!"

   Sebuah pukulan yang keras dan telak menjatuhkan bakpao dalam genggaman A-kit.

   Bakpao tersebut menggelinding di tanah dan terjatuh di atas kotoran.

   Dengan mulut membungkam, A-kit memungutnya kembali dan mengelupas kulit bagian luarnya.

   Dia harus makan bakpao tersebut, sebab dengan perut kosong tak mungkin punya tenaga untuk bekerja.

   Menyaksikan perbuatan A-kit, laki-laki bermata segi tiga itu segera tertawa tergelak.

   "Haaahhhh....haaahhh...haaaahhh...bakpao berselai kotoran, entah bagaimana rasanya?"

   A-kit tidak menjawab.

   "Huuuuh......makanan semacam itupun kau lahap, sesungguhnya kau ini manusia atau anjing!", damprat laki-laki bermata segitiga.

   "Terserah kepadamu, apa yang kau katakan itulah aku"

   Kemudian sambil mengigit bakpaonya, A-kit berkata lebih lanjut.

   "Aku hanya mempunyai tiga biji mata uang tembaga, kalau kau menghendaki, nah ambillah!"

   "Kau tahu siapakah aku?", bentak laki-laki itu. A-kit gelengkan kepalanya.

   "Kau pernah dengar nama si kusir kereta?", kembali laki-laki itu membentak. Sekali lagi A-kit gelengkan kepalanya. Orang itu berkata lebih jauh.

   "Si kusir kereta adalah anak buah Thi tau toako kami. Thi tau toako adalah saudara cilik dari toa tauke!"

   Kemudian sambil menunjuk ke hidung sendiri katanya lagi.

   "Dan aku adalah saudara kecil dari si kusir kereta. Kau anggap aku sudi menerima tiga biji mata uang tembagamu yang bau itu?"

   "Kalau kau tidak sudi, biarlah untukku saja", ujar A-kit. Laki-laki bermata segitiga itu tertawa tergelak, tiba-tiba ia menendang ke selangkangan pemuda tersebut. A-kit menjerit kesakitan, saking mulasnya dia sampai terbungkuk-bungkuk......

   "Hmm.......! Kalau bajingan ini tidak diberi sedikit pelajaran, dia tentu tak akan tahu tebalnya bumi dan tingginya langit!", omel laki-laki itu dengan geramnya. Ketiga orang itu sudah bersiap sedia turun tangan. Tiba-tiba muncul seseorang yang segera menghadang di hadapan mereka. Orang itu mempunyai perawakan yang satu kali lipat lebih besar daripada tubuh mereka. Laki-laki bermata segi tiga itu mundur setengah langkah, lalu teriaknya dengan lantang.

   "Lo Biau-cu, lebih baik kau tak usah turut campur dalam urusan kami!"

   "Dalam hal ini bukan terhitung campur tangan urusan orang lain lagi", teriak Lo Biau-cu. Sambil menarik tangan A-kit, ia menambahkan.

   "Sebab orang ini adalah saudaraku!"

   Laki-laki bermata segi tiga itu melirik sekejap ke arah tangannya yang kasar dan besar itu, kemudian sambil tertawa katanya.

   "Kalau dia memang saudaramu, apakah dapat kau jamin bahwa upah kerjanya akan disetor tiga bagian kepada kami?"

   "Dia pasti akan melunasinya!", Lo Biau-cu berjanji. Senja itu ketika mereka membawa tubuh yang penat lagi bau pulang ke rumah, A-kit masih basah oleh keringat dingin, tendangan itu tidak enteng baginya. Lo Biau-cu memperhatikan sekejap wajahnya, kemudian tiba-tiba bertanya.

   "Jika orang lain memukul dirimu, apakah kau selalu tidak membalas pukulan tersebut?"

   A-kit termenung agak lama, lama sekali dia baru berkata.

   "Sebelum sampai di sini, aku pernah bekerja di suatu rumah pelacuran, orang-orang di sana telah menghadiahkan sebuah julukan untukku"

   "Apakah julukan itu?"

   "Mereka selalu memanggilku sebagai A-kit yang tak berguna"

   Suasana dalam dapur kering dan hangat. Ketika mereka baru sampai di pintu depan, suara teriakan gembira dari si nenek sudah kedengaran.

   "Hari ini tuan putri kita akan makan di rumah, kita semua bakal ada daging untuk bersantap!"

   Seperti seorang anak kecil, sambil tertawa katanya lebih lanjut.

   "Setiap orang akan mendapat sepotong daging secara adil, sepotong daging yang besar lagi lezat!"

   Suara tertawa dari si nenek selalu mendatangkan rasa hangat dan gembira di dalam hati kecil Akit, tapi terkecuali untuk hari ini, sebab akhirnya ia telah berjumpa dengan si Tuan Putri.

   Dapur yang sempit telah ditaruh kursi yang banyak, sewaktu bersantap mereka harus duduk berdesak-desakan, tapi ada sebuah kursi yang masih dalam keadaan kosong.

   Kursi itu khusus disediakan untuk tuan putri mereka, dan sekarang ia sudah duduk di kursi itu, tepat berhadapan muka dengan A-kit.

   Dia mempunyai sepasang mata yang besar dan jeli, sepasang tangan yang ramping dan putih halus, rambutnya yang hitam dan panjang disanggul di atas kepala, dengan sikapnya yang agung tapi lembut, ia memang tampak seperti seorang tuan putri sungguhan.

   Seandainya baru pertama kali ini A-kit berjumpa dengannya, seperti juga orang-orang lain, dia pasti akan menghormatinya bahkan menyayangi dirinya pula.

   Sayang perjumpaannya sekarang bukanlah perjumpaan yang pertama kalinya.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pertama kali ia bertemu dengan nona ini di dapurnya Han toa-nay-nay, yakni di sisi si gajah bengkak.

   Waktu itu dia duduk sambil mengangkat tinggi-tinggi sepasang kakinya, sehingga sepasang kakinya yang kecil mungil terlihat jelas.

   Waktu itu A-kit tidak memperhatikannya walau sekejap, tapi secara diam-diam ia selalu memperhatikan dirinya.

   Kemudian ia baru tahu bahwa nona itu adalah orang termuda dan teramai dagangannya di antara anak buah Han toa-nay-nay lainnya.

   Di sana ia bernama 'Siau-li', tapi orang lain lebih suka menyebutnya sebagai siluman kecil.

   Untuk kedua kalinya mereka berjumpa di dalam kamar di kala ia terkena tujuh-delapan bacokan golok.

   Sampai kini ia belum melupakan liukan tubuhnya yang telanjang di balik selembar kain tipis yang mengerudungi badannya.

   Waktu itu dia harus menggunakan tenaga dan pikiran yang paling besar untuk mengendalikan diri, bahkan sewaktu mengutarakan kata.

   "Enyah!"

   Sesungguhnya dia mengira pertemuan di antara mereka sudah berakhir pada malam itu, sungguh tak disangka kini mereka harus berjumpa kembali................

   Cuma saja, siluman kecil yang jalang dan genit itu kini sudah berubah menjadi si boneka yang agung bagaikan tuan putri, bahkan merupakan satu-satunya tumpuan harapan dari mereka sekeluarga.

   Mereka semua adalah sahabat-sahabatnya.

   Ia diberi makan, diberi tempat tinggal bahkan menganggap dirinya sebagai saudara sendiri.

   A-kit menundukkan kepalanya.

   Sungguh amat sakit hatinya saat ini, sedemikian sakitnya sehingga bagaikan disayat-sayat dengan pisau tajam.

   Sementara itu si nenek telah menarik tangannya sambil berkata dengan wajah berseri.

   "Hayo cepat kemarilah dan jumpai tuan putri kita!"

   Terpaksa A-kit beranjak dan menghampiri nona itu, kemudian agak gelagapan katanya.

   "Baik-baikkah kau?"

   Nona itu memandang sekejap ke arahnya, wajahnya tanpa emosi, seakan-akan belum pernah dijumpainya manusia yang bernama A-kit itu, dia hanya berkata dengan tawar.

   "Duduklah, mari kita makan daging!"

   A-kit kembali duduk di tempatnya, seakan-akan ia mendengar suaranya sedang berkata.

   "Terima kasih tuan putri!"

   Lo Biau-cu yang mendengar perkataan itu segera tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahhh.....haaahhh...haahhh....kau tak usah memanggil tuan putri kepadanya, seperti juga kami semua, harus memanggilnya sebagai si boneka!"

   Ia memilihkan sepotong daging asin yang paling besar dan paling tebal untuk A-kit, kemudian katanya.

   "Hayo cepat, makan daging, setelah kenyang kita harus tidur sebaik-baiknya!"

   Malam itu A-kit tak dapat tidur.

   Malam sudah semakin larut.

   Lo Biau-cu yang tidur di sisinya sudah mendengkur.

   Si Boneka yang berada di ranjang lain rupanya juga sudah tertidur nyenyak.

   Tapi A-kit harus berbaring dengan mata terpentang lebar, peluh dingin mengucur ke luar tiada hentinya.

   Hal ini bukan saja dikarenakan hatinya secara lamat-lamat terasa sakit, luka-luka bekas bacokan di tubuhnyapun ikut terasa sakit, bahkan sakitnya bukan kepalang.

   Memikul kotoran manusia bukan suatu pekerjaan yang ringan, dan selama ini mulut luka bekas bacokan golok itu tak pernah merapat.

   Akan tetapi ia tak pernah memperhatikannya.

   Ia seakan-akan acuh terhadap luka-luka di tubuhnya.

   Kadangkala sewaktu dia harus memikul kotoran manusia yang berat, seringkali mulut luka di bahunya terasa merekah dan pecah, tapi ia selalu busungkan dadanya sambil mengertak gigi rapat-rapat.

   Ia tak ambil perduli terhadap siksaan badaniah yang dideritanya.

   Sayang bagaimanapun jua, tubuhnya bukan terdiri tulang besi otot kawat.

   Sore tadi ia telah menemukan bahwa beberapa buah mulut lukanya mulai membusuk dan menyiarkan bau yang memuakkan.

   Setelah berbaring di atas pembaringan, ia mulai merasakan sekujur badannya menggigil kedinginan, peluh dingin mengucur keluar tiada hentinya, kemudian secara tiba-tiba badannya menjadi panas bagaikan digarang di atas api.

   Dari setiap mulut lukanya seolah-olah muncul bara api yang membakar dengan hebatnya.

   Ia masih berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengendalikan diri, berusaha menahan penderitaan, akan tetapi sekujur tubuhnya sudah mulai mengejang keras, ia merasa tubuhnya seakan-akan terjatuh ke bawah, terjatuh ke dalam jurang yang gelap dan tidak nampak dasarnya.

   Di antara sadar tak sadar, ia seakan-akan mendengar jeritan kaget dari sahabatnya, tapi ia sudah tidak mendengar lagi.

   Dari kejauhan diapun seakan-akan mendengar orang sedang memanggil namanya, suara itu begitu lembut dan halus, tapi berasal dari tempat yang amat jauh.........

   Akan tetapi ia dapat mendengarnya dengan jelas.

   ooooOOOOoooo Bab 6.

   Pantang Menyerah Seorang pemuda yang tiada masa depan, seorang gelandangan yang air matanya telah mengering, ibarat selembar daun yang terhembus angin, seperti pula ganggang di air, tiada tumpuan harapan, tiada pula masa depan....................

   Dalam keadaan demikian, mungkinkah ada orang dikejauhan yang rindu kepadanya, memperhatikan keadaannya? Kalau ia memang mendengar panggilan orang itu, mengapa ia masih belum juga kembali, kembali ke sisi orang itu? Sesungguhnya kesedihan dan penderitaan apakah yang terkandung dalam hatinya, sehingga rahasia tersebut enggan diutarakan kepada orang lain? Sang surya telah memancarkan sinar keemas-emasan ke empat penjuru.

   Hari ini udara cerah.

   A-kit tidak selalu berada dalam keadaan pingsan, ia sudah sadar beberapa kali, setiap kali tersadar kembali, ia selalu merasa seakan-akan ada seseorang sedang duduk di sisinya sambil menyeka keringat yang membasahi jidatnya.

   Ia tak pernah melihat jelas wajah orang itu, sebab sesaat kemudian ia kembali jatuh tak sadarkan diri.

   Menanti ia dapat melihat jelas raut wajah orang itu, sinar matahari kebetulan sedang mencorong masuk lewat daun jendela dan menyinari rambutnya yang hitam dan mulus.

   Ia mempunyai sepasang mata yang sayu, sorot mata penuh perasaan sedih dan kuatir.

   A-kit memejamkan kembali sepasang matanya.

   Tapi pada saat itulah ia mendengar nona itu berkata.

   "Aku tahu kau tidak memandang harga diriku. Kau memandang hina aku si perempuan rendah, tapi aku tak akan menyalahkan dirimu"

   Ucapan tersebut diucapkan dengan tenang dan mantap, sebab nona itupun sedang berusaha untuk mengendalikan perasaannya.

   "Akupun tahu, dalam hatimu pasti terdapat banyak penderitaan dan kedukaan yang tak dapat diutarakan keluar, akan tetapi kau tak perlu menyiksa diri secara begini kejam"

   Suasana dalam ruangan itu hening, tidak terdengar suara orang lain, tentu saja Lo Biau-cu sudah berangkat bekerja.

   Tak mungkin bagi rekannya itu untuk meninggalkan pekerjaan apapun yang tersedia, sebab ia tahu hanya dengan bekerja baru ada nasi untuk makan.

   Tiba-tiba A-kit mementangkan matanya lebar-lebar dan mendelik ke arahnya, kemudian dengan ketus katanya.

   "Seharusnya kaupun tahu, bahwa aku tak mungkin mampus!"

   "Seandainya kau ingin mampus, sekarang kau pasti sudah mampus beberapa kali!", sahut si boneka.

   "Lantas mengapa kau tidak pergi untuk melakukan pekerjaanmu?"

   "Aku sudah tak akan pergi lagi!"

   Suaranya begitu tenang, begitu datar, sedikitpun tanpa emosi. Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya dengan hambar.

   "Sejak kini, aku tak akan kembali lagi ke tempat seperti itu!"

   "Kenapa?", tanya A-kit tak tahan. Tiba-tiba si Boneka tertawa dingin.

   "Apakah kau mengira sejak lahir aku sudah menyukai pekerjaan semacam itu?"

   A-kit menatap tajam wajahnya, seolah-olah berusaha menembusi hatinya, lalu tanyanya lagi.

   "Sejak kapan kau memutuskan untuk tidak ke sana lagi?"

   "Hari ini!"

   A-kit menutup mulutnya, ia merasa hatinya mulai sakit lagi.

   ......Tiada seorang manusiapun yang semenjak dilahirkan sudah menyukai pekerjaan semacam itu, tapi setiap orang harus hidup, setiap orang harus bersantap.

   ......Dia adalah satu-satunya tumpuan harapan dari ibu dan kakaknya, ia harus mencarikan daging untuk ibu dan kakaknya.

   ......Ia tak boleh membuat kecewa ibu dan kakaknya.

   ......Mungkinkah kejalangan dan kecabulannya disebabkan suatu penderitaan dalam hati yang tak terlampiaskan keluar? Maka dengan sekuat tenaga ia berusaha menyiksa diri, merendahkan derajat sendiri? ......Tapi sekarang ia telah bertekat untuk tidak melanjutkan pekerjaannya, sebab ia tak ingin dipandang hina oleh orang lain.

   Andaikata A-kit masih mempunyai air mata, mungkin pada saat ini telah bercucuran, sayang ia tak lebih hanya seorang gelandangan.

   Gelandangan itu tanpa perasaan, diapun tak punya air mata.

   Oleh sebab itu dia harus pergi meninggalkan tempat itu, sekalipun harus merangkak, dia harus merangkak ke luar dari situ.

   Sebab ia sudah mengetahui perasaan nona itu, ia tak dapat menerimanya tapi diapun tak ingin melukai perasaannya.

   Bukan saja orang telah memberi kesempatan hidup kepadanya, merekapun telah memberi kasih sayang dan kehangatan yang belum pernah di alaminya selama ini.

   Ia tak dapat menyedihkan hati mereka.

   Si Boneka menatap tajam wajahnya, seakan-akan ia telah menebak suara hatinya.

   Tiba-tiba katanya.

   "Bukankah kau ingin pergi lagi?"

   A-kit tidak menjawab, ia meronta dan berusaha bangun, kemudian dengan sekuat tenaga melangkah keluar dari ruangan itu.

   Si Boneka tidak menghalanginya.

   Dia tahu meskipun tubuh orang itu bukan terdiri dari tulang besi otot kawat, tapi ia memiliki jiwa dan tekad yang lebih keras dari baja.

   Jangankan menghalangi, berdiripun tidak, cuma air mata tampak membasahi pipinya.

   A-kit sama sekali tidak berpaling.

   Kekuatan tubuhnya tak mungkin bisa membawanya pergi jauh, mulut luka di tubuhnya lamat-lamat mulai terasa sakit.

   Tapi bagaimanapun juga ia harus pergi, sekalipun selangkah kemudian ia bakal terjerumus ke dalam selokan, sekalipun dia bakal mampus dan membusuk seperti tikus, ia tak ambil perduli.

   Siapa tahu, belum sempat dia berjalan keluar dari pintu, si nenek sambil membawa keranjang sayur telah pulang ke rumah, sorot matanya yang penuh kasih sayang itu dengan sinar mata yang membawa nada menegur menatapnya tajam-tajam, kemudian tegurnya.

   "Kau tidak boleh bangun, aku telah belikan sedikit kuah daging yang akan membantu menyehatkan tubuhmu dengan cepat. Setelah minum kuah daging badanmu baru akan bertenaga kembali. Hayo, cepat kembali ke dalam rumah dan berbaring!"

   A-kit memejamkan matanya rapat-rapat.

   ......Betulkah gelandangan tiada perasaan? ......Benarkah gelandangan tiada air mata? Tiba-tiba ia menggunakan segenap sisa tenaga yang dimilikinya untuk menerjang lewat dari sisi si nenek dan menyerbu keluar pintu.

   Banyak persoalan sulit rasanya untuk dijelaskan, lantas apa gunanya mesti dijelaskan? Lorong sempit itu gelap, lembab dan kotor.

   Sinar matahari tak dapat menyorot masuk ke situ.

   Sambil mengertak gigi menahan sakit yang kian menjadi, ia menerobos maju ke depan.

   Tiba-tiba dari lorong sana ia saksikan seseorang sedang menerjang masuk pula ke dalam lorong dengan langkah sempoyongan.

   Sekujur badan orang itu berlepotan darah, pakaian yang koyak-koyak telah berubah pula menjadi merah karena noda darah, bahkan tulang wajahnya kelihatan seperti remuk.

   "Lo Biau-cu!"

   A-kit menjerit kaget dan menerjang maju ke muka. Lo Biau-cu menerjang pula ke mari, kedua orang itu saling berpelukan.

   "Lukamu belum sembuh, mau apa ke luar rumah?", tegur Lo Biau-cu dengan segera. Meskipun luka yang di deritanya sangat parah, tapi ia tak ambil perduli, ia lebih menguatirkan keadaan dari sahabatnya.

   "Aku........aku.......", A-kit tak dapat melanjutkan kembali kata-katanya. Ia harus mengertak gigi menahan golakan emosinya.

   "Apakah kau ingin meninggalkan tempat ini?", tanya Lo Biau-cu. Sekuat tenaga dipeluknya tubuh sahabatnya itu lalu menjawab.

   "Aku tak akan pergi sekalipun dibunuh, aku tak akan pergi!"

   Dengan lima buah bacokan golok dan empat biji tulang iga terhajar patah, andaikata bukan seorang laki-laki sejati, siapakah yang mampu mempertahankan diri? Si nenek memperhatikan keadaan putranya yang mengenaskan itu dengan air mata bercucuran.

   Lo Biau-cu masih juga tertawa, malah katanya dengan suara keras.

   "Apa artinya luka-luka sekecil ini? Paling banter besok pagipun akan sembuh dengan sendirinya!"

   "Mengapa kau bisa terluka separah ini?", tanya si nenek dengan penuh rasa kuatir.

   "Aku terpeleset, karena tergesa-gesa dan kurang berhati-hati, aku terjatuh dari atas loteng!"

   Sekalipun seorang nenek yang tak akan mengenali huruf sebesar gajahpun tak akan percaya kalau luka macam begitu adalah luka-luka akibat terpeleset dan terjatuh dari loteng.

   Sekalipun memang benar terjatuh dari loteng yang tingginya mencapai tujuh delapan kaki, tak nanti luka yang dideritanya bakal separah sekarang ini.

   Tapi, si nenek ini jauh berbeda dengan nenek lainnya.

   Iapun mengetahui bahwa luka tersebut bukan luka akibat terjatuh dari loteng, diapun jauh lebih menguatirkan keselamatan putranya daripada orang lain.

   Akan tetapi ia tidak mendesak lebih jauh, hanya pesannya dengan air mata bercucuran.

   "Jika akan menuruni anak tangga, lain kali kau harus lebih berhati-hati, jangan sampai terpeleset lagi!"

   Kemudian dengan wajah penuh kesedihan ia berlalu dari sana, masuk ke dapur untuk memasak kuah dagingnya.

   Ya, itulah pekerjaan yang harus dilakukan kaum wanita.

   Ia cukup memahami bahwa kaum pria selamanya paling benci kalau pekerjaan yang dilakukan dicampuri pula oleh kaum wanita.

   Sekalipun perempuan itu adalah ibu kandungnya sendiri.

   Dengan termangu A-kit mengawasi bayangan punggungnya yang tinggi besar, meskipun tiada air mata lagi yang bercucuran, paling sedikit sepasang matanya masih memerah.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
......Betapa agungnya seorang ibu, betapa agungnya perempuan itu, sebab justru karena di dunia ini masih terdapat perempuan semacam ini, maka umat manusia masih bisa melanjutkan hidupnya.

   Menunggu sampai perempuan itu sudah masuk ke dalam dapur, A-kit baru berpaling dan menatap tajam wajah Lo Biau-cu.

   "Siapa yang melukai dirimu?"

   "Siapa yang melukai diriku?", Lo Biau-cu ikut tertawa.

   "siapa yang berani melukaiku?"

   "Aku tahu kalau kau tidak bersedia memberitahukan kepadaku, apakah kau ingin menyaksikan aku pergi menanyai mereka sendiri?"

   Senyuman yang menghiasi wajah Lo Biau-cu segera membeku, dengan wajah serius katanya.

   "Sekalipun aku telah dilukai orang, tapi soal ini adalah urusan pribadiku sendiri, tak perlu kau mencampurinya"

   "Ya, sebab dia takut kau pergi menerima gebuk lagi dari mereka", sambung si Boneka yang selama ini hanya berdiri di bawah jendela jauh di dalam ruangan sana.

   "Aku...........", A-kit tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Kembali si Boneka tertawa dingin sambil menukas.

   "Heeeehhh........heeeehh.......heeeehhh........padahal diapun tak usah merisaukan soal ini, sekalipun dia harus menerima gebuk lantaran dirimu, kaupun tak nanti akan membantunya untuk melampiaskan rasa mengkal ini"

   Setelah berhenti sejenak, tambahnya lagi dengan suara dingin.

   "Karena saudara A-kit yang tak berguna ini selamanya paling tak suka berkelahi"

   Terjelos rasanya perasaan A-kit, ia menundukkan kepalanya rendah-rendah.

   Sekarang tentu saja ia telah paham mengapa rekannya digebuk orang hingga menjadi begitu rupa, ia belum lupa dengan manusia-manusia bengis bermata segi tiga itu.

   Diapun bukannya tidak tahu, meskipun ucapan dari si boneka bernada tajam bagaikan jarum, namun air mata telah mengembang dalam kelopak matanya........

   Akan tetapi ia tak dapat melampiaskan rasa mendongkol itu buat sahabatnya, ia tak dapat pergi berkelahi, diapun tidak berani.

   Ia membenci diri sendiri, bencinya setengah mati.

   Pada saat itulah, tiba-tiba ia mendengar seseorang berkata dengan dingin.

   "Dia bukannya tak suka berkelahi, dia takut digebuk!"

   Itulah suara dari si manusia bermata segi tiga.

   Yang datang bukan cuma dia seorang, dua pemuda yang menyelinapkan sebilah pisau di pinggangnya menemani kedatangan orang itu.

   Yang seorang berwajah panjang dengan kaki yang panjang pula, sambil bertolak pinggang ia berdiri di belakang mereka berdua, pakaiannya amat bagus dan perlente.

   Sambil mengacungkan jempolnya, laki-laki bermata segi tiga itu menuding orang di belakangnya itu sambil memperkenalkan.

   "Dia adalah lo-toa kami yang bernama 'si kusir kereta' sekalipun nama itu digadaikan ke rumah pegadaian juga laku beberapa ratus tahil perak"

   Seluruh kulit tubuh Lo Biau-cu mengejang keras, teriaknya dengan suara parau.

   "Mau apa kalian datang kemari?"

   "Jangan kuatir!", jawab laki-laki bermata segi tiga itu sambil tertawa seram.

   "setelah puas menggebuk, kami tak akan datang untuk mencari gara-gara lagi denganmu"

   Ia berjalan menghampiri A-kit kemudian menepuk-nepuk bahunya sambil mengejek.

   "Bocah keparat inipun bukan manusia sembarangan, rasanya toaya sekalian juga enggan untuk mencari gara-gara dengannya"

   "Lantas siapa yang kalian cari?", teriak Lo Biau-cu.

   "Heeehhh....heeehhh.....heeehhh...siapa lagi? Tentu saja mencari adik perempuanmu!"

   Tiba-tiba ia memutar tubuhnya dan menatap si Boneka tajam-tajam, sinar buas memancar keluar dari sepasang mata segitiganya yang menyeramkan itu.

   "Hayo kita berangkat, siau-moay-cu!"

   Paras muka si Boneka berubah hebat.

   "Kaa.......kalian.......kalian hendak membawaku pergi kemana?", bisiknya dengan suara gemetar. Laki-laki bermata segitiga itu tertawa dingin.

   "Heeeeehhh.....heeeehh....heeeeehh......kemana kita harus pergi, kesitulah kita pergi. Lebih baik kau tak usah berlagak pilon di hadapan kami........mengerti!"

   Si Boneka mundur terus selangkah demi selangkah dengan ketakutan.

   "Apakah beristirahat seharipun tak boleh?", keluhnya.

   "Kau adalah orang yang paling laris di antara orang-orangnya Han toa-nay-nay, sehari tidak bekerja, berapa tahil perak kita bakal rugi? Kalau tak ada uang untuk kita, dengan apa kita musti makan?"

   "Tapi Han toa-nay-nay telah mengabulkan permintaanku, dia................."

   "Anggap saja apa yang telah ia katakan sebagai kentut anjing yang paling bau, andaikata tak ada kami bersaudara, sampai hari inipun dia tak lebih cuma seorang pelacur, pelacur tua yang sehari menjadi pelacur, sehari pula harus menjajakan tubuhnya.................."

   Si boneka tak ingin laki-laki itu melanjutkan kata-kata kotornya, dengan suara keras ia menukas.

   "Kumohon kepada kalian lepaskanlah diriku selama dua hari ini, mereka semua telah terluka, tidak enteng luka yang mereka derita.........kumohon kepada kalian, bermurahlah hati, lepaskanlah aku selama dua hari ini............."

   "Mereka? Siapakah mereka?", jengek laki-laki bermata segi tiga itu.

   "sekalipun yang seorang adalah kakakmu, yang seorang lagi itu manusia macam apa?"

   Dua orang laki-laki yang membawa pisau belati itu segera maju bersama sambil berkata pula.

   "Kami kenal dengan bajingan cilik ini. Ia pernah bekerja sebagai pelayan di gedungnya Han toanay- nay, sudah pasti dia punya hubungan gelap dengan pelacur kecil itu"

   "Bagus, bagus sekali!", kata laki-laki bermata segi tiga itu. Tiba-tiba sambil memutar tubuhnya, ia menampar wajah A-kit keras-keras, kemudian makinya.

   "Sungguh tak kusangka kau pelacur kecil masih mempunyai simpanan gendak macam bajingan cilik ini.................Hmmm, bila kau tak mau ikut kami pergi, pertama-tama dialah yang akan kami bereskan dulu"

   Sambil mengancam, ia menggerakkan kakinya lagi untuk menendang selangkangan A-kit. Tapi si Boneka sudah keburu menubruk ke muka, menubruk ke atas tubuh A-kit, teriaknya setengah menjerit.

   "Sampai matipun aku tak akan pergi bersama kalian, lebih baik kalian bunuhlah aku lebih dulu"

   "Pelacur busuk, kau benar-benar pingin mampus?", hardik laki-laki bermata segi tiga itu. Kali ini sebelumnya ia sempat mengangkat kakinya, Lo Biau-cu telah menarik bahunya sambil membentak.

   "Kau mengatakan dia sebagai apa?"

   "Pelacur busuk, tahu dengan Pelacur busuk?"

   Apapun tidak diucapkan lagi oleh Lo Biau-cu, kepalannya yang lebih besar dari mangkuk itu langsung ditonjokkan ke wajah laki-laki bermata segi tiga itu.

   Sekalipun laki-laki itu kena dijotos keras-keras, akan tetapi dia sendiripun harus menerima dua buah tendangan keras dari dua orang di sampingnya, begitu keras tendangan itu membuatnya kesakitan dan berguling di atas tanah dengan keringat dingin bercucuran.

   Pada saat itulah si nenek menerjang keluar dari dapur dengan membawa sebilah pisau dapur, jeritnya.

   "Kalian kawanan bajingan, aku lo-tay-po akan beradu jiwa dengan kalian semua!"

   Pisau itu langsung dibacokkan ke atas tengkuk dari laki-laki bermata segi tiga itu.

   Tentu saja bacokan tersebut tidak mengenai sasarannya.

   Tahu-tahu pisau dapur itu sudah dirampas oleh laki-laki bermata segi tiga, kemudian sekali mengayunkan tangannya, dengan gaya bantingan yang manis, ia banting tubuh nenek itu keraskeras ke atas tanah.

   Si Boneka segera menerjang ke depan ibunya dan memeluk erat-erat nenek itu sambil menangis tersedu-sedu.

   Nenek reyot yang sepanjang hidupnya harus menderita dan sengsara hidupnya ini mana sanggup menerima bantingan yang sangat keras itu........

   "Hmmm, dia sendiri yang kepingin mampus....", kata laki-laki itu. Kata 'mampus' baru saja diucapkan keluar, sambil berpekik keras, bagaikan harimau terluka dengan sempoyongan Lo Biau-cu menerkam ke depan. Sekalipun sekujur badannya telah babak belur penuh dengan luka, bahkan tenaga untuk berdiripun tak ada, akan tetapi ia masih nekad untuk beradu jiwa. Ia memang bersiap-siap untuk beradu jiwa dengan kawanan bajingan itu.

   "Kau juga kepingin mampus?", bentak laki-laki bermata segi tiga itu dengan suara mengerikan. Dalam genggamannya masih memegang pisau dapur yang baru saja berhasil dirampasnya itu, asal ada pisau maka ia dapat membunuh orang. Manusia semacam laki-laki itu tak pernah takut untuk membunuh orang, pisaunya langsung diayunkan ke depan untuk menusuk dada Lo Biau-cu. Sepasang mata Lo Biau-cu telah memerah darah, hakekatnya ia tak ingin menghindari tusukan tersebut, iapun tak dapat menghindarinya, akan tetapi tusukan itu justru mengenai sasaran yang kosong. Baru saja ujung pisau itu akan menusuk ke dadanya, Lo Biau-cu telah terdorong pergi dari situ. A-kitlah yang mendorongnya. Padahal A-kit sendiri tak sanggup berdiri tegap, akan tetapi ternyata ia berdiri juga, malah tepat berdiri di hadapan laki-laki bermata segi tiga itu.

   "Kaa.....kalian terlalu menyiksa orang, kalian terlalu menyiksa orang......", katanya kepada laki-laki itu. Suaranya amat parau, mungkin lantaran terpengaruh oleh emosi, ia tak sanggup melanjutkan kembali kata-katanya. Laki-laki bermata segi tiga itu tertawa dingin.

   "Heeehhhh....heeeehhhh...heehhh...apa yang kau inginkan? O, atau mungkin ingin membalas dendam kepada kami?"

   "Aku....aku....."

   "Pokoknya kalau mau memang jantan dan bernyali, ambillah pisau dapur ini dan gunakanlah untuk membunuh aku", tantang laki-laki bermata segi tiga itu. Ternyata ia benar-benar mengangsurkan pisau dapur itu ke hadapannya, malah katanya kembali.

   "Asal kau punya keberanian untuk membunuh orang, aku akan takluk kepadamu! Aku akan menganggapmu sebagai seorang laki-laki sejati"

   A-kit tidak menyambut pisau dapur itu.

   Tangannya masih gemetar keras, sekujur tubuhnya ikut gemetar, bahkan gemetar tiada hentinya.

   Laki-laki bermata segi tiga itu tertawa tergelak, ia cengkeram rambut si Boneka lalu menyeret perempuan itu, bentaknya.

   "Hayo jalan!"

   Si Boneka tidak ikut pergi.

   Tiba-tiba tangannya dicekal oleh sebuah tangan lain, sebuah tangan yang kuat dan bertenaga.

   Ia merasa tulang belakangnya hampir saja tergenggam remuk.

   Ternyata tangan yang menggenggam tangannya itu adalah tangan dari A-kit, A-kit yang tak berguna.

   Laki-laki bermata segi tiga itu mendongakkan kepalanya, lalu dengan terkejut menatapnya lekatlekat.

   "Kau....kau berani melawan aku?", teriaknya.

   "Aku tidak berani, aku adalah manusia tak becus, aku tak berani membunuh orang, akupun tak ingin membunuh orang"

   Pelan-pelan ia mengendorkan genggamannya.

   "Kalau begitu akulah yang akan membunuhmu!", teriak laki-laki bermata segi tiga itu dengan segera. Dengan mempergunakan pisau dapur itu, ia tusuk tenggorokan A-kit dengan kecepatan bagai kilat. A-kit sama sekali tak bergerak, diapun tidak bermaksud untuk menghindarkan diri, cuma lengannya dikebaskan pelan ke depan, lalu kepalannya menyodok ke muka. Sebetulnya laki-laki bermata segi tiga itu turun tangan lebih dahulu, akan tetapi sebelum tusukan tersebut berhasil menembusi tenggorokan lawan, kepalan A-kit telah bersarang lebih dulu di atas dagunya. Tiba-tiba saja seluruh tubuhnya terangkat dan melayang ke udara.

   "Blaaang....!"

   Punggungnya menghancurkan daun jendela dan mencelat ke luar dari ruangan kemudian..."Duuukkk!"

   Setelah menumbuk lagi di atas dinding rendah, tubuhnya baru terhenti.

   Sekujur tubuhnya telah berubah menjadi lemas bagaikan segumpal lumpur yang tiba-tiba tercerai berai, selamanya ia tak sanggup untuk bangkit kembali.

   Setiap orang tertegun, setiap orang memandang ke arah A-kit dengan sinar mata terkejut.

   A-kit sama sekali tidak memandang ke arah mereka, sepasang matanya terasa kosong melompong sama sekali tanpa perasaan, sama sekali tanpa emosi, seakan-akan perbuatannya itu justru menambah penderitaan dan siksaan dalam batinnya.

   Si kusir kereta yng selama ini hanya bertolak pinggang di muka rumah, tiba-tiba melompat ke atas sambil membentak.

   "Bereskan dia!"

   Kata-kata itu merupakan kata sandi dari para berandal kota yang artinya lawan mereka harus dibunuh sampai mati.

   Dua orang berandal muda yang membawa pisau belati itu ragu-ragu sejenak, akhirnya mereka cabut ke luar pisau belatinya.

   Kedua bilah pisau belati itu pernah menusuk tujuh-delapan kali di tubuh A-kit, dan sekarang pada saat yang bersamaan digunakan untuk menusuk bagian mematikan di bawah ketiak lawan.

   Sayang, tusukan mereka kali ini mengenai sasaran kosong.

   Tanpa diketahui sebab musababnya, tiba-tiba saja kedua orang berandal muda yang kekar dan berotot itu roboh ke atas tanah dan tertelungkup dengan keadaan yang lemas bagaikan segumpal tanah berlumpur.

   Sebab ketika A-kit merentangkan sepasang tangannya, tenggorokan mereka berdua telah terbabat telak.

   Ketika mereka roboh ke tanah, kesempatan menjeritpun tak ada.

   Paras muka si kusir kereta berubah hebat, selangkah demi selangkah ia mundur terus ke belakang.

   A-kit sama sekali tidak memandang ke arahnya walau cuma sekejap matapun, hanya katanya dengan hambar.

   "Berhenti!"

   Kali ini si kusir kereta sangat penurut, ia seakan-akan berubah menjadi seorang anak yang penurut, ketika di minta untuk berhenti, ia betul-betul berhenti.

   "Sesungguhnya aku sudah tak ingin membunuh orang lagi, mengapa kalian memaksaku untuk berbuat lagi?", kata A-kit dengan suara mengeluh. Kemudian ia menundukkan kepalanya dan memandang sepasang tangannya dengan wajah sedih dan penuh penderitaan. Ya, ia sangat sedih dan menderita, sebab sepasang tangannya kembali telah berlepotan darah, darah manusia!. Tiba-tiba si kusir kereta membusungkan dadanya lalu berteriak dengan suara lantang.

   "Sekalipun kau membunuh pula diriku, jangan harap kau sendiri dapat meloloskan diri!"

   "Aku tak akan pergi!", jawab A-kit Kemudian dengan mimik wajah lebih sedih dan menderita, sepatah demi sepatah ia melanjutkan.

   "Sebab aku sudah tiada jalan lain untuk pergi!"

   Ketika kusir kereta itu menyaksikan musuhnya menundukkan kepala dan lengah, ia segera bertindak cepat.

   Kesempatan sebaik ini tak akan disia-siakan dengan begitu saja.

   Tiba-tiba ia turun tangan, sebilah pisau terbang disambitkan ke arah dada A-kit.

   Tapi pisau terbang itu secara tiba-tiba terbang kembali lagi, bahkan menancap di atas bahu kanannya, tepat menembusi tulang persendian dan memotong urat syarafnya.

   Dengan begitu, maka tangan itupun praktis menjadi lumpuh untuk selamanya, tak mungkin lagi dipakai untuk membunuh orang.

   "Aku tak akan membunuhmu, karena aku berharap kau bisa pulang dalam keadaan hidup", kata Akit pelan.

   "beritahu kepada Thi-tau toako kalian, beritahu juga kepada toa-tauke kalian, akulah pembunuhnya. Bila mereka ingin membalas dendam, datang saja mencariku. Jangan menyeret mereka yang tak berdosa dan tak tahu urusan"

   Peluh dingin telah membasahi seluruh tubuh si kusir kereta, sambil mengertak gigi menahan sakit, katanya.

   "Bajingan cilik, anggap saja kau memang hebat!"

   Setelah melompat keluar dari pintu ruangan, tiba-tiba ia berpaling sambil teriaknya kembali.

   "Jika kau memang betul-betul hebat, sebutkan namamu!"

   "Aku bernama A-kit, A-kit yang tak berguna!"

   Malam sudah semakin larut, cahaya lampu yang redup menyinari ruangan sempit di balik lorong yang apek.

   Sinar redup yang kemerah-merahan itu menyinari mayat si nenek di atas pembaringan, menyinari pula wajah si Boneka dan Lo Biau-cu yang pucat pias bagaikan mayat.

   Inilah ibu mereka, ibu kandung yang dengan susah payah memelihara mereka serta membesarkan mereka hingga menjadi dewasa, tapi apakah balasan mereka? A-kit berdiri jauh di sudut ruangan, di tempat yang remang-remang sambil menundukkan kepalanya, ia seakan-akan tidak berani berhadapan muka dengan mereka.

   Sebab, sebetulnya nenek itu tak perlu mati konyol, asal ia berani menghadapi kenyataan, maka perempuan tua yang baik hati itu tak akan mati secara mengenaskan.

   Tiba-tiba Lo Biau-cu berpaling ke arahnya, kemudian katanya.

   "Pergilah kau!"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kulit wajahnya telah mengejang lantaran sedih dan tersiksa, kembali katanya.

   "Kau telah membalaskan dendam buat ibu kami, sebetulnya kami berterima kasih kepadamu, tetapi.......tetapi saat ini kamipun tak sanggup untuk menahan dirimu lagi"

   A-kit tidak bergerak, diapun tidak berkata apa-apa. Ia dapat memahami maksud hati Lo Biau-cu. Ia diminta pergi karena mereka tak ingin menyulitkan dirinya lagi. Tapi, bagaimanapun juga ia tak akan pergi. Tiba-tiba Lo Biau-cu berteriak keras.

   "Sekalipun kami pernah melepaskan budi kepadamu, budi itu telah kau balas. Sekarang mengapa kau tidak juga pergi meninggalkan tempat ini?"

   "Benarkah kau mengharap kepergianku? Baiklah, hanya ada satu cara untuk memaksaku pergi dari sini"

   "Bagaimana caranya?"

   "Bunuhlah aku, kemudian gotong mayatku meninggalkan tempat ini!"

   Lo Biau-cu menatapnya tajam-tajam, tiba-tiba airmatanya jatuh bercucuran membasahi pipinya, dengan suara keras ia berseru.

   "Aku tahu kau mempunyai ilmu silat yang tinggi, kau anggap masih mampu untuk menghadapi mereka, tapi tahukah engkau manusia-manusia macam apakah mereka itu?"

   "Aku tidak tahu!"

   "Bukan saja mereka punya uang, merekapun mempunyai kekuasaan, tukang pukul yang dipelihara toa tauke nya paling sedikit mencapai tiga sampai lima ratus orang, diantaranya yang paling lihay adalah manusia yang bernama Thi-tau (si kepala baja), Thi-jiu (si tangan baja) dan Thi-hau (si harimau baja). Konon mereka semua dulunya adalah perompak-perompak ulung yang membunuh orang tak berkedip di samudra bebas, kemudian karena dicari terus oleh petugas negara, akhirnya mereka berganti nama dan menyembunyikan diri di sini"

   Setelah berhenti sejenak, kembali teriaknya.

   "Sekalipun ilmu silat yang kau miliki terhitung lumayan juga, akan tetapi setelah kau jumpai ketiga orang itu, maka hanya kematian yang bakal kau temui!"

   "Pada hakekatnya aku memang tiada jalan lain kecuali tetap berdiam di sini!"

   Ia menundukkan kepalanya rendah-rendah, bayangan hitam tampak menyelimuti seluruh wajahnya.

   Sekalipun Lo Biau-cu tidak menyaksikan sendiri perubahan mimik wajahnya, akan tetapi ia dapat mendengar kepedihan serta kebulatan tekadnya dari ucapan tersebut.

   Kepedihan terhitung pula sejenis kekuatan, semacam kekuatan yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan banyak perbuatan yang tak berani ia lakukan diwaktu-waktu biasa.

   Akhirnya Lo Biau-cu menghela napas panjang.

   "Baiklah, jika kau memang ingin mampus, marilah kita mampus bersama-sama...", katanya.

   "Bagus, bagus sekali!", terdengar seseorang menanggapi dari luar pintu dengan suara dingin dan mengerikan.

   "Blaaang......!"

   Pintu dapur yang begitu tebal dan kuat itu mendadak di hantam sehingga muncul sebuah lubang yang besar. Sebuah kepalan tangan menjulur masuk ke dalam pintu, tapi dengan cepatnya di tarik kembali. Menyusul kemudian......."Blaaaaang...."

   Di atas dinding rumah yang berada di sisi pintu muncul pula sebuah lubang besar.

   Keras dan dahsyat memang pukulan kepalan orang itu!.

   Pelan-pelan A-kit berjalan ke luar dari tempat kegelapan dan maju ke muka untuk membuka pintu.

   Di luar pintu berdiri sekelompok manusia, seorang laki-laki berperawakan tinggi besar dan berpakaian perlente sedang menggosok-gosok kepalan tangan kanannya dengan tangan kiri.

   Ketika A-kit muncul membukakan pintu, dengan sinar mata tajam ditatapnya orang itu lekat-lekat, kemudian tegurnya.

   "Engkaukah yang bernama A-kit yang tak berguna?"

   "Ya, akulah orangnya!"

   "Aku bernama Thi-kun (kepalan baja) A-yong!"

   "Terserah apapun namamu, bagiku adalah sama saja"

   "Hmm! Sekalipun nama itu sama, namun kepalanku tidak sama!", jengek Kepalan Baja A-yong dengan ketus.

   "Oooh....benarkah begitu?"

   "Hmm! Konon orang bilang kau lelaki yang hebat, jika berani kau sambut sebuah kepalanku, maka akupun akan menganggapmu sebagai laki-laki yang hebat pula"

   "Silahkan!"

   Paras muka Lo Biau-cu berubah hebat.

   Si Boneka menggenggam tangannya erat-erat.

   Tangan mereka berdua telah berubah menjadi sedingin es.

   Mereka semua telah melihat bahwa A-kit tak ingin hidup lagi, kalau tidak mengapa ia begitu berani untuk menyambut pukulan baja yang sanggup menjebolkan dinding rumah itu? Akan tetapi, bagaimanapun jua hanya sebuah jalan kematian yang mereka miliki, mati sekarang juga boleh, mati belakang juga sama saja, apa pula bedanya suatu kematian? Tiba-tiba Lo Biau-cu menerjang ke depan kemudian teriaknya setengah menjerit.

   "Kalau kau berani, hayo pukul aku lebih dulu!"

   "Kenapa tidak berani?", ejek A-yong, si Kepalan Baja itu sambil tertawa sinis. Begitu ia berkata akan memukul, kepalannya langsung disodok ke muka menghantam raut wajah Lo Biau-cu. Setiap orang dapat mendengar suara remuknya tulang belulang, cuma yang remuk bukan tulang wajah Lo Biau-cu. Yang remuk adalah tulang kepalan dari si Kepalan Baja A-yong. A-kit turun tangan secara tiba-tiba, kepalan tersebut tepat menghajar di atas kepalan lawan, setelah itu sambil putar tubuhnya, sebuah kepalan lain mampir pula di atas perutnya. Si Kepalan Baja A-yong kesakitan setengah mati bagaikan udang yang dimasukkan ke dalam air mendidih, tubuhnya langsung melingkar dan bergulingan di atas tanah. Pelan-pelan A-kit mengalihkan kembali perhatiannya ke arah kawanan manusia di belakangnya. Manusia-manusia itu datang dengan membawa senjata lengkap, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani berkutik.

   "Beritahu kepada toa-tauke kalian, apabila ingin merenggut nyawaku, lebih baik carilah pembantupembantu yang lumayan, sebab manusia-manusia semacam itu masih belum pantas untuk dihadapkan kepadaku!", kata A-kit. Daun-daun di kebun belakang telah memerah, bunga sakura mekar bagaikan emas yang berkilauan. Sambil bergendong tangan, toa-tauke sedang menikmati bunga sakura sambil gumamnya.

   "Menunggu kepiting-kepiting besar dari telaga Yang-teng-ou di kirim sampai kemari, siapa tahu waktunya bersamaan dengan mekarnya bunga-bunga sakura ini"

   Ia menghembuskan napas panjang, lalu gumamnya lagi.

   "Oooh.......betapa indahnya waktu itu, betapa indahnya saat seperti itu....."

   Sekelompok manusia berdiri di belakangnya, seorang laki-laki setengah umur yang mengenakan baju berwarna hijau dengan potongan seperti seorang siucay yang gagal dalam ujian berdiri sangat dekat dengannya, sementara Kepalan Baja A-yong dengan tangan yang dibalut dengan kain berdiri paling jauh........

   Baik mereka yang berdiri sangat dekat, maupun mereka yang berdiri paling jauh, di saat toa-tauke sedang menikmati bunga, tak seorang manusiapun berani membuka suara.

   Toa-tauke membungkukkan badannya seperti mau mencium harumnya bunga, tiba-tiba tangannya berkelebat dan menjepit seekor ulat terbang dengan kedua jari tangannya, setelah itu pelan-pelan tanyanya.

   "Menurut kalian, siapa nama orang itu?"

   Manusia berbaju hijau itu memandang ke arah Kepalan Baja A-yong. Serta merta Kepalan Baja A-yong menjawab.

   "Ia bernama A-kit, A-kit yang tak berguna!"

   "A-kit? A-kit yang tak berguna?"

   Dengan mempergunakan kedua buah jari tangannya ia menjepit ulat terbang itu sampai mati kemudian sambil memutar badannya, ia menatap A-yong tajam-tajam, katanya lagi dengan suara dingin.

   "Ia bernama A-kit yang tak berguna dan kau bernama Kepalan Baja A-yong.....?"

   "Benar!"

   "Kepalanmu yang lebih keras atau kepalannya yang lebih keras?", tanya toa-tauke lagi. Kepalan Baja A-yong menundukkan kepalanya memandang kepalan sendiri yang dibalut kain, terpaksa ia harus mengakuinya.

   "Kepalannya lebih keras daripada kepalanku!"

   "Kau yang lebih berani? Atau dia?"

   "Dia lebih pemberani!"

   "Kau yang tak berguna atau dia?"

   "Aku yang tak berguna!"

   Toa-tauke menghela napas panjang.

   "Aaaai....jadi kalau begitu, aku rasa semestinya namamu tidak cocok memakai nama sekarang"

   "Benar!"

   "Kalau memang begitu, mengapa tidak kau rubah namamu menjadi Si Sampah yang Tak Berguna A-kau (si anjing)?"

   Paras muka Kepalan Baja A-yong yang pucat pias seperti mayat, kini mulai mengejang keras. Manusia berbaju hijau yang selama ini hanya berdiri membungkam di sisi gelanggang, tiba-tiba maju sambil memberi hormat, lalu katanya.

   "Ia telah berusaha dengan sepenuh tenaga"

   Sekali lagi toa-tauke menghela napas panjang, sambil mengulapkan tangannya ia berkata.

   "Lebih baik suruh dia enyah saja dari sini!"

   "Baik!"

   "Beri juga sedikit uang untuk merawat lukanya, setelah luka itu sembuh baru datang menjumpai diriku lagi"

   Dengan suara lantang manusia berbaju hijau itu segera berteriak.

   "Toa tauke suruh kau mengambil seribu tahil perak di kasir, kenapa tidak cepat-cepat kau ucapkan terima kasih?"

   Kepalan Baja A-yong segera maju dan menyembah berulang kali. Toa-tauke kembali menghela napas panjang, sambil memandang ke arah manusia berbaju hijau itu dengan senyuman getir di kulum, katanya.

   "Begitu membuka suara lantas mengeluarkan seribu tahil perak, kau benar-benar seorang yang royal!"

   "Sayang seribu kali sayang, yang kuroyalkan bukan harta milikku sendiri.....", sambung manusia berbaju hijau itu sambil tertawa. Toa-tauke tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahhh.......haaaahhhh.......haaahhhhh......ada suatu kebaikan paling besar yang kau miliki, yakni kau suka berbicara terus terang!"

   Menunggu gelak tertawanya telah berhenti, manusia berbaju hijau itu baru berbisik.

   "Aku masih ada beberapa perkataan jujur hendak kusampaikan kepadamu........"

   Toa-tauke segera mengulapkan tangannya seraya berseru.

   "Kalian mundur semua!"

   Dengan cepat semua orang mengundurkan diri dari situ.

   Suasana dalam halaman belakang kembali menjadi hening.

   Matahari sore telah terbenam dan meninggalkan bayangan tubuh toa-tauke yang amat panjang di permukaan tanah.

   Ia sedang menikmati bayangan tubuh sendiri.

   Sungguhpun tubuhnya gemuk lagi pendek, akan tetapi ia lebih suka menikmati bayangan tubuhnya yang kurus dan jangkung itu.

   Sebaliknya manusia berbaju hijau itu kurus lagi jangkung, tapi ketika ia membungkukkan badannya, toa-tauke tak usah lagi memandangnya sambil mendongakkan kepalanya.

   Sekalipun ia sudah membungkukkan badannya, namun suara bisikannya masih tetap amat rendah.

   "A-kit yang tak berguna itu sesungguhnya bukan seorang manusia yang tak berguna"

   Toa-tauke hanya mendengarkan dengan seksama. Setiap kali orang ini sedang berbicara, toa-tauke selalu akan mendengarkannya dengan seksama.

   "Kepalan Baja A-yong berasal dari perguruan Khong-tong, meskipun belakangan ini pihak Khongtong kekurangan manusia berbakat, tapi ilmu silat mereka yang tunggal tetap merupakan kepandaian yang hebat"

   "Ehmmm........ilmu silat aliran Khong-tong memang tidak termasuk kepandaian jelek"

   "Di antara murid-murid partai Khong-tong, A-yong selalu merupakan jagoan yang paling keras. Sebelum diusir dari perguruannya ia pernah membereskan empat orang hwesio dari partai Siaulim dan dua jago pedang dari partai Bu-tong"

   "Tentang kejadian-kejadian tersebut aku sudah tahu, kalau tidak mengapa aku musti membuang uang sebesar delapan ratus tahil perak sebulan untuk menggajinya?"

   "Akan tetapi A-kit yang tak berguna dapat memusnahkan dirinya dalam sekali gebrakan. Dari sini dapat diketahui bahwa A-kit sesungguhnya bukan seorang manusia sembarangan!"

   Toa-tauke tertawa dingin tiada hentinya.

   "Yang lebih mengherankan lagi, ternyata tak seorang manusiapun yang mengetahui asal usulnya walaupun sudah dilakukan penyelidikan terhadap wilayah seluas beberapa ratus li di sekitar sini"

   "Jadi kau telah mengadakan penyelidikan yang seksama?"

   "Aku telah mengirimkan enam puluh tiga orang untuk melakukan penyelidikan. Mereka semua merupakan manusia-manusia yang paling tajam pendengarannya di tempat ini. Kini sudah tiga puluh satu orang yang telah kembali, namun mereka tidak berhasil mendapatkan berita apa-apa"

   Sebetulnya toa-tauke sedang berjalan ke muka dengan langkah yang pelan, tiba-tiba ia berpaling sambil berhenti, lalu tegurnya.

   "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?"

   "Selama orang ini berada di sini, cepat atau lambat dia pasti akan merupakan bibit bencana buat kita"

   "Kalau begitu kau cepat-cepat kirim orang untuk membekuk manusia tersebut!"

   "Tapi, siapa yang akan kita utus?"

   "Thi-tau.........! Si Kepala Baja"

   "Ilmu Yau-tau-kuan-teng (minyak kepala menggapai puncak) dari Toa Kang memang jarang ada orang yang bisa menandinginya"

   "Ya, dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan ia menumbuk sebatang pohon hingga tumbang", kata Toa-tauke.

   "Sayang sekali A-kit bukan sebatang pohon!"

   "Kepandaian gwakangnya juga termasuk hebat sekali!"

   "Tapi jika dibandingkan ilmu kepalan baja dari A-yong, paling banter cuma lebih lihay sedikit"

   "Jadi menurut pendapatmu, diapun tak akan mampu menghadapi A-kit yang tak berguna itu?"

   "Bukannya tak mampu, cuma aku tidak terlampau yakin akan kemenangannya", jawab manusia berbaju hijau itu. Kemudian setelah berhenti sejenak, pelan-pelan sambungnya.

   "Aku masih ingat pesan dari toa-tauke, apabila tidak merasa yakin akan suatu pekerjaan, lebih baik janganlah kau lakukan!"

   Sambil tersenyum toa-tauke manggut-manggut, agaknya ia merasa puas sekali dengan ucapan tersebut. Ia senang kalau orang lain mengingat selalu perkataannya, lebih baik lagi kalau setiap patah katanya dapat teringat dengan jelas.

   "Setelah kupikir pulang pergi, akhirnya aku berkesimpulan bahwa hanya satu orang dari pihak kami yang sanggup menghadapinya", kata manusia berbaju hijau itu kemudian.

   "Kau maksudkan Thi-hau, si Macan Baja?"

   Manusia berbaju hijau itu manggut-manggut.

   "Tentu saja toa-tauke juga mengetahui asal-usulnya, orang ini cerdik dan cekatan, dalam pertarungan-pertarungan biasa jarang sekali ia perlihatkan ilmu silatnya yang sebetulnya, padahal ilmu silat yang dimilikinya beberapa kali lipat lebih tinggi dari kepandaian Toa Kang maupun Ayong.......!"

   "Sampai kapan dia baru akan tiba kembali di sini?"

   "Tugas yang ia laksanakan kali ini tidak terlampau sulit. Menurut pendapatku, paling cepat harus menunggu belasan hari lagi"

   Paras muka Toa-tauke segera berubah membesi, katanya.

   "Apakah sekarang kita sudah tak punya aksi lain untuk menghadapi A-kit yang tak berguna ini?"

   "Tentu saja ada!"

   Setelah tersenyum, laki-laki berbaju hijau itu menambahkan.

   "Hanya ada satu cara yang bisa kita lakukan untuk menghadapi dirinya"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Cara yang bagaimanakah itu?"

   "Mengulur waktu!"

   Kemudian tambahnya lebih jauh.

   "Kita mempunyai ilmu silat, kitapun mempunyai uang, sebaliknya bagi mereka soal makanpun masih merupakan persoalan, apalagi setiap saat mereka harus waspada menghadapi kita. Di waktu malam mereka tentu tak dapat tidur nyenyak, maka jika kita mengulur waktu tiga sampai lima hari lagi, tanpa kita turun tanganpun, mereka bakal konyol dengan sendirinya"

   Toa-tauke tertawa tergelak, ditepuknya bahu orang itu keras-keras, kemudian pujinya.

   "Bocah muda, kau betul-betul hebat, tak heran kalau orang lain memanggilmu sebagai Tiok-yapcing"

   Tiok-yap-cing juga merupakan nama dari sejenis arak keras, jarang sekali ada orang yang bisa minum arak tersebut tanpa jatuh mabuk.

   Tiok-yap-cing juga merupakan nama dari sejenis ular beracun, racunnya jahat sekali dan tiada tandingannya di kolong langit.

   Tiba-tiba Toa-tauke bertanya.

   "Sekalipun kita tidak pergi mencarinya, bagaimana seandainya dia yang datang mencari kita?"

   "Bila seseorang hendak mencari orang lain untuk beradu jiwa, mungkinkah dia akan membawa seorang laki-laki dungu yang sedang terluka parah serta seorang lonte busuk yang hanya bisa menjajakan tubuhnya?"

   "Tidak mungkin"

   "Maka dari itu, apabila dia akan keluar untuk mencari kita, berarti orang Biau itu pasti akan ditinggalkan dengan begitu saja"

   "Tapi dia toh bisa menyembunyikan mereka?"

   "Semua orang dalam kota adalah orang-orang kita, lagi pula aku telah memasang mata-mata di sekitar rumahnya, dapatkah ia membawa mereka pergi menyembunyikan diri?"

   "Heeeehh.....heeehhhh......heeehhhhh......kecuali mereka dapat seperti cacing-cacing yang bisa menerobos masuk ke dalam tanah", kata Toa-tauke sambil tertawa dingin.

   "Kali ini A-kit bersedia mengadu jiwa lantaran dia memikirkan nasib kedua orang bersaudara itu, andaikata mereka berdua sampai terjatuh di tangan kita, bukankah A-kit secara otomatis akan berada pula dalam cengkeraman toa-tauke?"

   Mendengar perkataan itu, toa-tauke segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahakbahak.

   "Haaaahhhh...........haaaahhhh.....haaahhhhh......bagus, bagus sekali, kalau begitu mari kita minum arak menikmati bunga di sini sambil menunggu mereka datang menghantar kematiannya"

   Tiok-yap-cing tersenyum.

   "Aku jamin tak sampai tiga hari, mereka pasti sudah tiba di sini"

   Senja telah menjelang tiba.

   Baru saja si Boneka mengambil semangkuk kuah daging, air matanya setitik demi setitik telah jatuh berlinang.

   Kuah daging tak akan membuat orang mengucurkan air mata, yang membuat air matanya berlinang adalah orang yang membeli daging itu serta memasak kuah tersebut.

   Kini kuah dagingnya masih utuh, tapi orangnya sudah dikubur dalam tanah.

   Siapakah yang akan tega makan kuah daging tersebut? Tetapi dia harus menyuruh mereka makan kuah daging itu, sebab mereka membutuhkan tenaga, orang yang lapar tak mungkin punya tenaga.

   Setelah membesut air matanya, ia membawa dua mangkuk kuah daging dan dua biji bakpao kering itu keluar dari dalam dapur.

   A-kit masih tetap duduk di sudut ruangan, di tempat yang remang-remang.

   Ia menghampirinya dan meletakkan semangkuk kuah daging dan sebiji bakpao di atas meja tepat dihadapannya.

   A-kit belum juga berkutik, iapun tidak berkata apa-apa.

   Kemudian si Boneka dengan membawa sisa semangkuk kuah daging dan sebiji bakpao itu meletakkan di hadapan kakaknya.

   "Mumpung kuah daging ini masih panas, cepatlah kalian makan!", katanya lirih.

   "Bagaimana dengan kau?", tanya Lo Biau-cu.

   "Aku........aku tidak lapar!"

   Benarkah ia tidak lapar? ~Bersambung ke Jilid-6 Jilid-6 Bila seseorang sudah dua hari semalam tidak makan apa-apa, mungkinkah ia tidak merasa lapar? Ia tidak lapar karena itulah sisa makanan terakhir yang mereka miliki, justru karena mereka lebih membutuhkan kekuatan daripada dirinya sendiri.

   Lo Biau-cu mendongakkan kepalanya memandang gadis itu, kemudian sambil menahan linangan air matanya, ia berbisik.

   "Perutku agak kurang beres, tak akan muat untuk makan sebanyak ini, mari kita makan seorang setengah"

   "Apakah tak boleh kalau aku tidak makan?", tanya si Boneka sambil menahan linangan air matanya.

   "Tidak! Tidak boleh!"

   Baru saja Lo Biau-cu akan membagi bakpao itu menjadi dua bagian, tiba-tiba A-kit bangkit berdiri lalu berkata.

   "Kuah daging ini untuk si Boneka!"

   "Tidak boleh, itu bagianmu!", teriak Lo Biau-cu segera dengan suara lantang. Tapi A-kit tidak ambil perduli, ia berlalu dari ruangan itu dengan langkah lebar. Si Boneka segera maju sambil menarik tangannya.

   "Heeey....kau hendak pergi ke mana?"

   "Keluar rumah untuk makan!", jawab A-kit.

   "Di rumah masih ada makanan, mengapa kau harus makan di tempat luar.......?"

   "Ya, karena aku tak ingin makan bakpao!"

   Boneka menatapnya tajam-tajam.

   "Kalau tak ingin makan bakpao, lantas ingin makan apa? Bukankah ingin makan kepalan baja?"

   A-kit membungkam dalam seribu bahasa. Akhirnya air mata si Boneka jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya, dengan lembut ia berkata.

   "Aku dapat memahami maksud hatimu, bila waktu terus menerus di ulur seperti ini, maka akhirnya kita akan lebih menderita. Aku saja tidak tahan apalagi kau, akan tetapi...........!"

   Seperti hujan gerimis air matanya jatuh bercucuran, dengan pedih katanya lagi.

   "Akan tetapi kau harus tahu, semua orang di kota ini adalah orang mereka, buat apa kau musti pergi menghantar kematianmu?"

   "Sekalipun harus menghantar kematian, hal itu jauh lebih baik daripada menunggu kematian di sini!"

   OoooOOOOoooo Bab 7.

   Orang Yang Nekad Malam itu amat terang.

   Betapapun indahnya suasana malam, dalam pandangan orang yang sedang suram, keadaan tersebut tetap terasa menyuramkan.

   Angin musim gugur menghembus kencang, seorang nyonya penjual gula-gula dengan kepala dibungkus kain hijau dan baju menutupi tengkuknya sedang menjajakan dagangannya di lorong itu.

   Di mulut lorong sana terdapat pula seorang peminta-minta buta yang sedang duduk di sudut tembok sambil menggigil kedinginan.

   A-kit berjalan menghampiri perempuan itu, lalu sambil berhenti tegurnya.

   "Apa yang kau jajakan?"

   "Gula-gula kacang kaperi, gula-gula kaperi yang manis lagi wangi, dua puluh lima rence uang tembaga untuk satu katinya", jawab perempuan itu.

   "Ehmmm, tidak mahal!"

   "Kau ingin membeli berapa kati?"

   "Seratus kati!"

   "Tapi aku hanya membawa paling banyak belasan kati!"

   "Kalau ditambah kau, maka jumlahnya akan mencapai seratus kati, akan ku beli gula-gula itu berikut kau juga!"

   Dengan ketakutan perempuan itu menyusut mundur ke belakang, kemudian sambil tertawa paksa katanya.

   "Aku hanya menjual gula-gula kacang kaperi, orangnya tidak ikut dijual!"

   "Tapi aku bersikeras akan membelinya"

   Sambil berkata tiba-tiba ia turun tangan mencengkeram orang itu sambil menyingkap gaunnya.

   "Tolong.....tolong......ada penyamun, ada orang hendak menggagahi diriku......", jerit perempuan itu dengan panik. Tapi teriakan tersebut tidak dibiarkan berlangsung lebih lanjut, sebab dagunya tahu-tahu sudah dijepit orang sekeras-kerasnya.

   "Hmmmmm.......! Kalau kau seorang perempuan kenapa bisa tumbuh jenggot.....?", tegur A-kit dengan ketus. Betul juga perkataan itu, meski dagunya bersih tapi masih ada bekas-bekas jenggot yang tidak merata.

   "Aku lihat kau pasti adalah seorang gila, semua orang gila sudah sepantasnya kalau digebuk sampai mampus", kata A-kit lebih jauh. Sekuat tenaga orang itu menggelengkan kepalanya, lalu berkata dengan suara tergagap.

   "Aku....aku bukan orang gila....aku tidak gila!"

   "Kalau kau tidak gila, kenapa menjajakan gula-gula kacang kaperi di tempat semacam ini, daerah disekitar lorong ini hanya ada manusia-manusia miskin yang untuk makanpun susah, siapa yang akan membeli gula-gula mahal seperti itu?"

   Mula-mula orang itu tertegun, kemudian dari balik matanya memancarkan sinar ngeri dan ketakutan.

   "Seandainya kau tidak ingin ku gebuk sampai mampus, lebih baik mengaku saja secara terus terang, siapa yang suruh kau datang kemari?"

   Belum sempat orang itu buka suaranya, peminta-minta buta yang semula berjongkok di ujung tembok sambil menggigil kedinginan itu mendadak melompat bangun lalu kabur mengambil langkah seribu dari situ.

   .....Orang-orang miskin disekitar lorong itupun saking miskinnya tak mampu mengisi perut sendiri, kalau bukan tiada penyakit, tak nanti ada peminta-minta yang mendatangi tempat itu.

   A-kit segera tertawa dingin, kembali tanyanya.

   "Kini rekanmu telah melarikan diri, kalau kau masih juga tak mau mengaku secara terus terang, bila sampai digebuk mampus di tempat ini seperti seekor anjing liar, mungkin orang yang membereskan jenazahmu pun tak ada........."

   Akhirnya orang itu tak berani untuk tidak berbicara terus terang, jawabnya ketakutan.

   "Aku....aku diutus oleh Tiok-yap-cing!"

   "Siapakah Tiok-yap-cing itu?"

   "Dia adalah kunsu dari toa-tauke, salah seorang diantara dua orang paling tenar di hadapan toa tauke"

   "Yang seorang lagi siapa?"

   "Dia adalah Thi-hau. Ilmu silatnya jauh lebih hebat berkali-kali lipat daripada Thi-tau si kepala baja, bersama Tiok-yap-cing merupakan sepasang pembantu yang paling utama dari toa-tauke, siapapun tak ada yang berani mengusik mereka"

   "Tahukah kau, kini dia berada di mana?"

   "Konon ia sedang menjalankan tugas di luar kota, mungkin setengah bulan lagi baru akan kembali ke sini"

   "Bagaimana dengan si Kepala Baja?"

   "Dia mempunyai tiga orang gundik, gundiknya yang nomor tiga paling disayang olehnya, lagi pula ia selalu suka berjudi bersamanya, maka seringkali mereka berada di tempat tersebut"

   "Di mana rumahmu?", tanya A-kit lagi. Mendengar pertanyaan tersebut, orang itu menjadi sangat terkejut segera tanyanya.

   "Toaya, kenapa kau menanyakan alamat rumahku? Mau apa kau?"

   "Apa yang kutanyakan kepadamu lebih baik jawab sejujurnya, sebab hanya orang mati yang tak punya alamat rumah!"

   Dengan muka masam terpaksa ia mengakui.

   "Hamba tinggal di gang Ci-ma-kang"

   "Siapa saja yang berada di rumahmu?"

   "Ada biniku, anakku termasuk pelayan semuanya berjumlah enam orang!"

   "Kalau begitu mulai sekarang akan berubah menjadi delapan orang!"

   "Kenapa?", tanya orang itu tidak mengerti.

   "Sebab aku akan mengundangkan dua orang tamu untuk berdiam selama dua hari di rumahmu, bila kau berani membocorkan rahasia tersebut, maka aku jamin anggota keluargamu pada waktu itu akan berubah menjadi tinggal seorang"

   Setelah berhenti sejenak, tambahnya dengan dingin.

   "Hanya tinggal pelayanmu itu!"

   Malam telah menjelang tiba.

   Cahaya lampu menyinari batok kepala Thi-tau (kepala baja) Toa-kang yang gundul.

   Sedemikian mengkilapnya kepala itu seakan-akan sebuah bola yang baru diangkat dari gentong minyak.

   Semakin mengkilap batok kepalanya, menandakan semakin gembira hatinya pada waktu itu.

   Tamu yang berdatangan pada malam ini luar biasa banyaknya, orang yang ikut berjudipun luar biasa melimpah ruahnya, kecuali sang bandar tidak terhitung, maka ia bersama gundiknya nomor tiga ini paling sedikit berhasil menggaet keuntungan sebesar seribu tahil perak lebih.

   Kartu yang berada di tangannya sekarang adalah 'dua empat' berarti berjumlah enam, sekalipun tidak terlalu bagus juga tidak terlalu jelek, kartu yang lain berada dalam genggaman gundiknya yang nomor tiga.

   Sam-ih-thay (gundik ke tiga) telah melepaskan kerah bajunya, sehingga kelihatan kulit lehernya yang putih mulus, dengan sepasang tangannya yang halus dan lentik, ia memegang selembar kartunya, kemudian sambil mengerling sekejap ke arahnya, ia bertanya.

   "Bagaimana?"

   "Apa yang kau butuhkan?", tanya si kepala baja Toa-kang.

   "Emas enam perak lima si bangku kecil!"

   Kontan saja si kepala baja Toa-kang merasakan semangatnya berkobar, ia segera membentak keras.

   "Emas enam perak lima si bangku kecil yang amat bagus!"

   "Ploook.........!, lembaran kartu 'empat enam' nya telah dibanting keras-keras ke atas meja. Berserilah wajah Sam-ih-thay, sambil tertawa cekikikan, katanya.

   "Memang itulah yang kebutuhan, monyet jantan!"

   Ternyata kartu yang berada di tangannya adalah 'kosong tiga'.

   "Haaah...... haaaaahhhh...... haaahhhhhh........ yang kuinginkan juga kau si monyet betina", sambung si kepala baja sambil tertawa tergelak.

   "kita memang sepasang sejoli yang ideal!" 'Kosong tiga' dijodohkan 'empat enam' berarti sepasang raja monyet, berarti pula Ci-cun-po, angka paling tinggi.

   "Ci-cun-po, makan semua!", teriak si kepala baja Toa-kang dengan suara lantang. Sepasang lengannya segera di rentangkan siap menyapu seluruh uang yang berada di atas meja.

   "Tunggu sebentar!", tiba-tiba seseorang berseru dengan suara ketus. Rumah perjudian milik Sam-ih-thay selalu terbuka untuk umum, barang siapa merasa memiliki uang untuk dipertaruhkan, dia dipersilahkan ikut masuk ke gedung tersebut, maka manusia dari pelbagai lapisan masyarakat dapat di temui di sana. Thi-tau si kepala baja Toa-kang bukan seorang manusia yang takut urusan, selamanya belum pernah pula ada orang yang berani menerbitkan keonaran di situ. Akan tetapi orang yang mengucapkan kata-kata tersebut bukan saja tampak asing sekali, diapun bukan mirip seorang yang datang untuk berjudi, sebab pakaiannya terlalu kotor dan penuh tambalan, siapapun tak ada yang tahu secara bagaimana ia bisa masuk ke situ. Kontan saja Thi-tau si kepala baja Toa-kang melototkan sepasang matanya bulat-bulat, kemudian menegur.

   "Barusan, apakah kau yang sedang melepaskan kentut?"

   Walaupun tampang muka orang itu sederhana saja, namun sikapnya amat dingin dan tenang. Jawabnya dengan suara hambar.

   "Aku tidak melepaskan kentut, aku sedang mengucapkan kata-kata yang adil dan Kong-too!"

   "Kau bilang aku tak boleh makan uang itu? Dengan dasar apa aku tak boleh memakannya?"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dengan dasar apa pula kau hendak makan semua uang tersebut?"

   "Dengan dasar sepasang raja monyet ini!"

   "Sayang sekali setelah kartu cadangan itu berada di tanganmu, sebutannya bukan si raja monyet lagi"

   "Lalu disebut apa?", tanya si kepala baja Toa-kang sambil menahan hawa amarahnya.

   "Namanya Ti-pat-kay, si raja babi yang sudah dicukur kelimis batok kepalanya, hayo bayar ganti rugi!"

   Paras muka si kepala baja Toa-kang kontan saja berubah hebat.

   Paras muka setiap orang juga ikut berubah, semua orang dapat melihat bahwa tujuan dari kedatangan orang itu adalah mencari gara-gara.

   Siapakah yang mempunyai nyali sebesar ini? Siapakah yang begitu berani mencari gara-gara dengan Thi-tau Toako? Serentak semua begundalnya melompat bangun sambil membentak dengan penuh kegusaran.

   "Kau bajingan cilik, telur busuk kecil, siapa namamu? Datang dari mana......?"

   "Aku bernama A-kit, A-kit yang tak berguna!"

   Seketika itu juga semua suara yang memenuhi ruangan berhenti serentak, tentu saja saudarasaudara yang berada di kota pernah mendengar nama dari 'A-kit'. Tiba-tiba Thi-tau Toa-kang tertawa dingin, lalu ejeknya.

   "Heehhh.... heeehhhh.... heeehhhh.... bagus, bagus sekali, tak kusangka kau si bajingan cilik betul-betul bernyali dan berani mengantarkan diri sendiri!"

   "Aku hanya ingin menyaksikan saja"

   "Menyaksikan apa?"

   "Menyaksikan apakah betul kalau kepalamu lebih keras daripada baja murni!"

   Si kepala baja Toa-kang segera tertawa terbahak-bahak.

   "Haahhh..... haaahh.... haaahhhh bagus, akan kusuruh sepasang matamu menjadi melek lebar!", katanya. Selembar batu marmer besar yang digunakan sebagai alas meja segera disodorkan ke hadapannya, ternyata meja yang beratnya paling sedikit ada tujuh-delapan puluh kati itu seakanakan selembar kertas tipis saja dalam genggamannya. Batu itu ada banyak macam jenisnya, batu marmer bukan saja merupakan jenis batu yang termahal, marmer merupakan juga batu yang paling keras, akan tetapi ia menumbuk batu marmer itu dengan batok kepalanya.....

   "Praaaak.....!". Batu marmer yang tebalnya melebihi kue keranjang itu ternyata hancur menjadi berkeping-keping setelah kena di terjang batok kepalanya itu. Seolah sebuah bola yang baru diambil dari genangan minyak tanah, batok kepala itu kelihatan begitu licin dan mengkilap.

   "Bagus.....!", semua begundal dan anak buahnya bertepuk tangan sambil bersorak sorai. Menanti suara sorak-sorai itu sudah mulai mereda, pelan-pelan A-kit baru berkata.

   "Bagus....bagus....bagus macam Ti-pat-kay si siluman babi!"

   Waktu itu si kepala baja Toa-kang sedang berbangga hati karena di sorak dan dipuji oleh segenap orang yang berada dalam ruangan itu. Betapa geramnya dia setelah mendengar kata-kata hinaan itu, paras mukanya kontan berubah hebat.

   "Kau bilang apa?", jeritnya dengan geram.

   "Aku bilang kau persis seperti Ti-pat-kay, sebab kecuali babi, siapapun tak akan berbuat sebodoh kau, menggunakan batok kepala sendiri untuk diadu dengan batu keras"

   "Lalu apa yang musti ku tumbuk? Menumbuk dirimu?", teriak Thi-tau Toa-kang sambil tertawa seram.

   "Tepat sekali!"

   Baru saja A-k


Misteri Kapal Layar Pancawarna -- Gu Long Pisau Terbang Li -- Gu Long Gelang Perasa -- Gu Long

Cari Blog Ini