Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 6


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 6


erutama setelah beranak, ibaratnya sebidang tanah subur yang baru ditimpa hujan di musim semi yang segar, ia tampak lebih matang, lebih montok dan merangsang. Melihat wajah perempuan tiu, kontan saja sepasang mata Kanyo dan Suzuko melotot sebesar gundu.

   "Wouww....! Seorang nona cakep yang bahenol.......", Suzuko berteriak memuji.

   "Wouw! Wouw! Ayu betul......!, sambung Kanyo. Sebetulnya perempuan muda itu sedang menggoda si bocah dalam bopongannya, melihat dua orang asing itu, selembar wajahnya yang merah masak seperti buah apel kontan berubah menjadi pucat pasi karena terkejut dan ketakutan. Suzuko telah menyerbu ke depan, baru saja seorang pelayan toko menyambut kedatangannya dengan senyum di kulum, cahaya golok berkelebat lewat, tahu-tahu lengan kirinya sudah terpapas kutung. Anak-anak mulai menangis karena ketakutan, ibu-ibu pada lemas kakinya karena kaget dan ketakutan, suasana kacau balau tak karuan. Sambil masih menggenggam samurainya yang berlepotan darah, Suzuko menyeringai sambil tertawa seram, katanya.

   "Nona cantik, tak usah takut, aku suka nona ayu, aku paling suka nona manis!"

   Ia sudah bersiap-siap menubruk lagi ke depan, kali ini sudah tiada orang yang berani menghalangi perjalanannya lagi, tapi pinggangnya tiba-tiba dicengkeram oleh Kanyo, lalu diangkat ke atas, sikutnya menyodok dan tubuhnya segera terbang meninggalkan tempat itu.

   Kanyo tertawa terbahak-bahak, katanya.

   "Haaahhhhh.....haaaaahhhh......haaaahhhh....nona ayu milikku, nona cantik menjadi bagianku, kau......."

   Kata-kata itu belum sempat diselesaikan ketika Suzuko sudah melambung di udara dan menubruk ke arahnya sambil membacok dengan senjata samurainya.

   Bacokan itu cukup ganas, tepat dan cepat, yang digunakan adalah gerakan Ing-hong-it-to-cian (Sebuah bacokan golok menyambut angin) dari ilmu samurai negeri Matahari Terbit, seakan-akan ia merasa benci sekali sehingga kalau bisa dalam sekali bacokan saja batok kepalanya dipenggal menjadi dua bagian.

   Dua orang ini benar-benar suka membunuh orang dimanapun dan saat apapun, bahkan membunuh siapa saja yang diinginkan.

   Tapi kepandaian Kanyo tidak termasuk cetek, ia berguling di atas tanah dan meloloskan diri dari ujung samurai lawan, lalu sambil memutar badan ia lepaskan tiga buah senjata rahasia yang berbentuk bintang hitam sudut besi, semacam senjata rahasia khas dari negeri Hu-sang (Jepang).

   Gara-gara bini orang lain, ternyata dua orang bersaudara ini telah melibatkan diri dalam suatu pertarungan yang seru dan mati-matian.

   Permainan samurai Suzuko sangat hebat dan ganas, setiap bacokannya selalu tertuju pada bagian-bagian mematikan di tubuh Kanyo.

   Sebaliknya gerakan tubuh Kanyo jauh lebih aneh lagi, dia berguling-guling di atas tanah sambil melepaskan aneka macam senjata rahasia dengan tiada hentinya.

   "Traaaang....!, tiba-tiba terdengar suara dentingan nyaring berkumandang memecahkan keheningan, tiga batang senjata rahasia bintang besi kena terpapas rontok, menyusul kemudian samurai itupun ditahan orang. Seorang imam berjubah biru yang tinggi dan kurus dengan rambut yang disanggul dengan sebuah tusuk konde kayu putih berdiri di hadapan mereka dengan sebilah pedang baja terhunus. Setelah merontokkan senjata rahasia, menangkis samurai, menendang tubuh Kanyo hingga menggelinding sejauh lima kaki serta memerseni tiga buah tempelengan ke wajah Suzuko, dengan dingin ia berkata.

   "Kalau ingin mencari nona cakep, pergi saja ke rumahnya Han toa-nay-nay, perempuan yang sudah punya anak bukan nona yang boleh diajak untuk bermain-main!"

   Dua orang gelandangan dari negeri Hu-sang (Jepang) yang ganas, buas dan kejam ini sama sekali tak berani berkutik setelah berhadapan dengan tosu itu, mereka hanya berdiri dengan kepala tertunduk.

   Jangankan mengucapkan sesuatu, mau kentutpun tak berani dilepaskan.

   Dari antara kerumunan orang banyak tiba-tiba berkumandang suara tertawa dingin, lalu seseorang berkata.

   "Tosu itu pastilah Pek Bok yang kata orang telah diusir dari bukit Bu-tong, sungguh tak disangka pada saat ini dia malah bergaya soknya bukan kepalang"

   Seseorang yang lain segera menanggapi sambil tertawa pula, suaranya lebih-lebih lagi tak sedap didengar.

   "Kalau bukan bergaya sok di hadapan orang sendiri, memangnya kau suruh ia jual tampang kepada siapa?"

   Paras muka Pek Bok sama sekali tidak berubah, hanya saja tahi lalatnya yang tepat berada di sudut alis mata tiba-tiba saja mulai berdenyut tiada hentinya, dengan dingin ia berkata.

   "Tampaknya tempat ini memang benar-benar sangat ramai, sampai dua bersaudara dari keluarga Cu pun ikut tiba pula di sini!"

   Gelak tertawa nyaring segera berkumandang kembali dari balik kerumunan orang banyak.

   "Haaaaahhhh.....haaaahhhh......haahhh....sungguh tak kusangka hidung kerbau tua ini memiliki ketajaman pendengaran yang mengagumkan!"

   Di tengah gelak tertawa itu, dua rentetan cahaya pedang berkelebat lewat seperti pelangi membelah angkasa, satu dari kiri yang lain dari kanan langsung menusuk tiba.

   Pek Bok sama sekali tidak berkutik, Kanyo dan Suzuko segera maju menyongsong datangnya ancaman itu.

   Tapi merekapun tiada kesempatan untuk turun tangan, sebab di belakang bayangan manusia terbungkus dua rentetan cahaya pedang itu masih ada lagi dua sosok bayangan manusia yang menempel terus di belakang mereka seperti bayangan.

   Ketika dua bersaudara Cu meluncur ke depan sambil melancarkan serangan, kedua sosok bayangan manusia di belakangnya ikut pula meluncur ke depan.

   Terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan keheningan, di tengah kilatan cahaya pedang darah segar berhamburan ke empat penjuru, dua sosok bayangan manusia rontok ke atas tanah, punggung mereka masing-masing tertancap sebilah pisau pendek yang tembus tubuhnya hingga tinggal gagangnya.

   Dua orang lainnya berjumpalitan sekali di udara dan melayang turun pula ke atas tanah, mereka berdiri persis di tepi genangan darah.

   Yang seorang berwajah kehijau-hijauan, sedang yang lain masih berwajah mabuk, kedua orang itu tak lain adalah Ting Ji-long dan Cing Coa, si ular hijau.

   Ting Ji-long masih juga menghela napas panjang, sambil memandang dua sosok mayat yang terkapar di tanah, ia bergumam tiada hentinya.

   "Sungguh mengecewakan! Sungguh mengecewakan! Ternyata kepandaian yang dimiliki Cu-kehsiang- kiam (Sepasang pedang dari keluarga Cu) tidak lebih cuma begitu saja, kami selalu menguntil di belakang mereka, tapi bagaikan orang mati saja, sedikitpun tidak merasakan apaapa"

   "Oleh karena itulah sekarang mereka baru menjadi orang mati beneran......", sambung Cing Coa hambar. Sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibir Pek Bok yang dingin dan kaku.

   "Ilmu meringankan tubuh dari Cing Coa selamanya memang bagus sekali, sungguh tak nyana ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ji-long pun memperoleh kemajuan yang pesat"

   "Ya, tentu saja harus mendapatkan kemajuan karena untuk sementara waktu aku masih tak ingin mati!"

   Bagi mereka yang bekerja dalam bidang semacam ini, jika kau masih tak ingin mati, maka setiap waktu setiap saat kau harus baik-baik melatih diri. Pek Bok kembali tersenyum.

   "Bagus, bagus sekali, persoalan ini memang telah diselesaikan secara bagus sekali!", katanya. Ting Ji-long mengerdipkan matanya berulang kali, tiba-tiba ia bertanya lirih.

   "Apakah yang terbaik?"

   "Yang terbaik tentu saja masih pedangku ini", jawab Pek Bok dengan angkuh sambil membelai pedangnya. Pedang itu telah diloloskan dari sarungnya. Tak ada orang yang berani membantah ucapan sombong dari imam tersebut, karena tak ada orang yang bisa menahan permainan pedangnya. Ia sendiripun sangat memahami akan kelebihannya ini, lagi pula setiap saat setiap waktu selalu menyinggungnya kembali untuk memperingatkan orang lain...... Di antara kelompok pembunuh hitam, selamanya ia memang duduk pada kedudukan yang paling tinggi dan terhormat. Mendadak terjadi kegaduhan lagi di antara kerumunan orang banyak, di antara jeritan-jeritan kaget tampak semua orang melarikan diri tercerai-berai ke empat penjuru. Seorang laki-laki yang penuh berlepotan darah berlarian mendekat dengan cepat. Dengan kening berkerut Cing Coa segera berbisik.

   "Entah si Hu Tau telah menerbitkan keonaran apa lagi?"

   Pek Bok tertawa dingin.

   "Heeehhhh......heeeehhh.....heeeeehhh......sekalipun begitu, yang terkena bencana sudah pasti bukan dia!", katanya. Melihat mereka semua, Hu Tau menghentikan larinya dan menampilkan sepercik senyum kegirangan.

   "Waaahhh.....akhirnya aku berhasil juga menyusul kalian semua......!", teriaknya keras.

   "Ada apa?"

   "Lo Cay lagi-lagi minum arak sampai mabuk, sekarang ia sedang bekerja keras melawan serombongan piausu yang datang dari wilayah Hoo-pak....!"

   Pek Bok lagi-lagi tertawa dingin.

   "Hmmm....! Lagi-lagi dia yang menerbitkan keonaran!"

   "Sewaktu aku menjumpainya tadi, ia sudah terkena dua pukulan!", cerita Hu Tau.

   "sungguh tak nyana setelah aku terjun ke gelanggangpun masih tidak tahu, terpaksa aku mesti membuka sebuah jalan berdarah untuk mencari bala bantuan"

   "Hmm.....!", Pek Bok mendengus.

   "Rombongan piausu itu betul-betul luar biasa hebatnya", desak Hu Tau lagi.

   "hayo kita cepat-cepat ke situ, kalau tidak Lo Cay tentu akan mampus di tangan mereka"

   "Kalau begitu biarkan saja dia mampus!", kata Pek Bok semakin ketus. Hu Tau tampak terperanjat.

   "Biarkan dia mampus?", serunya.

   "Ya, kedatangan kita kali ini adalah untuk membunuh orang, bukan untuk menolong orang"

   Ternyata Pek Bok betul-betul telah pergi, tentu saja semua orang harus pergi pula mengikutinya.

   Hu Tau berdiri termangu-mangu setengah harian lamanya di situ, akhirnya diapun menyusul rekan-rekan lainnya.

   Di tengah jalan raya mereka membunuh orang, lalu pergi dengan begitu saja, sekalipun di sekitar situ berkumpul ratusan orang, mereka pun cuma bisa mengiringi kepergian orang-orang itu dengan mata terbelalak lebar-lebar.

   Tak ada orang berani mengganggu mereka, sebab mereka adalah manusia-manusia tak punya muka dan tak ingin hidup.

   Ternyata masih ada juga orang yang lebih tak tahu malu dan tak ingin hidup!.

   Hingga mereka pergi jauh, kembali muncul seorang tauto yang gemuk besar sambil memikul sebuah tongkat baja sebesar telur itik, dengan langkah lebar ia berjalan melewati Sui-tek-siang dan menuju ke rumah makan yang berada di seberang jalan.

   Baru saja nyonya muda itu menghembuskan napas lega dan menurunkan anaknya, sambil duduk menghilangkan rasa kaget, mendadak........"Blaaang!", meja kasir yang kuat dan tebal itu mendadak terhajar hancur oleh toya baja si hwesio yang besar itu.

   Tampaknya bobot toya itu mencapai ribuan kati lebih, bayangkan saja andaikata dipakai untuk memukul orang, kehebatannya tentu saja mengerikan sekali.

   Rumah pemintalan kain yang sudah berdiri tiga ratus tahun lebih itu segera porak poranda dibuatnya.

   Di antara dua belas orang pelayan yang bekerja di situ, ada yang tangannya kutung, ada kakinya kutung, ada yang tak bisa berdiri, ada pula yang sudah putus nyawa.

   Nyonya muda itu tergeletak di tanah dalam keadaan tak sadarkan diri.

   ~Bersambung ke Jilid-10 Jilid-10 Hwesio itu segera menghampirinya, bagaikan mencengkeram anak ayam saja ia tangkap tubuh perempuan itu, mengempitnya di bawah ketiak dan berlalu dari situ dengan langkah lebar.

   Semua orang yang telah menyaksikan keganasan serta tenaga alamnya yang luar biasa, siapakah yang berani menghalangi tingkah-lakunya itu? Meskipun harus mengempit tubuh seseorang, langkah si hwesio masih tetap cepat dan tegap, dalam waktu singkat ia telah menyusul rekan-rekannya, berpaling, menyengir dan melewati Pek Bok sekalian, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap dari pandangan.

   "Jangan-jangan hwesio itu sudah edan?", Cing Coa mengemukakan pendapatnya dengan alis mata berkerut. Dengan dingin Pek Bok menjawab.

   "Pada dasarnya dia memang telah mengidap penyakit edan, setiap dua sampai tiga hari, dia musti menyalurkan hajadnya itu dengan seorang perempuan cantik!"

   "Tapi perempuan yang dibawanya tadi seperti si nona cantik yang kita persoalkan barusan", seru Suzuko. Kanyo tidak mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba dia percepat larinya menyusul ke depan. Tentu saja Suzuko tak sudi ketinggalan, iapun mempercepat langkah kakinya menyusul rekannya itu. Tiba-tiba dari depan lorong sebelah depan sana berkumandang jeritan ngeri yang memilukan hati, tampaknya suara jeritan itu mirip sekali dengan jeritan dari si hwesio. Menanti semua orang menyusul ke situ, tubuh si hwesio yang beratnya mencapai ratusan kati itu sudah digantung orang di atas sebuah pohon besar. Matanya melotot keluar, celananya basah kuyup, air mata, ingus, air liur, air seni dan kotoran manusia sama-sama mengalir keluar dengan derasnya, hal ini menimbulkan bau busuk yang bisa di cium orang dari jarak yang amat jauh. Hwesio itu bukan saja berkekuatan dahsyat, ilmu gwakang yang dimilikinya pun tidak jelek, tapi dalam sekejap mata ia telah mati digantung orang di atas pohon, sementara pembunuhnya sudah tidak nampak lagi batang hidungnya. Pek Bok memutar tangannya menggenggam kencang gagang pedangnya, peluh dingin telah membasahi telapak tangannya, sambil tertawa dingin tiada hentinya ia berseru.

   "Bagus, bagus, suatu gerakan tubuh yang sangat cepat!"

   Cing Coa mengerutkan pula dahinya.

   "Tak pernah kusangka kalau disekitar tempat ini masih terdapat seorang jago selihay ini, caranya turun tangan ternyata lebih buas dan keji daripada kita!"

   Ting Ji-long membungkukkan badannya, seakan-akan ia merasa sangat mual dan tak tahan lagi ingin tumpah. Sementara itu Hu Tau sedang mengerang penuh kegusaran.

   "Hei, kalau kau memang bernyali untuk membunuh orang, kenapa tidak berani untuk unjukkan diri dan berjumpa dengan locu sekalian?"

   Suasana dalam lorong itu tetap sepi, hening dan tak kedengaran suara apa-apa, bahkan sesosok bayangan manusiapun tak tampak. Yang dikuatirkan Suzuko ternyata bukan persoalan tersebut, tiba-tiba ia bertanya.

   "Ke mana perginya si nona cantik itu?"

   Sekarang semua orang baru mengetahui bahwa perempuan yang dikempit oleh si hwesio tadi sekarang telah lenyap tak berbekas, tongkat baja yang tak pernah dilepaskan si hwesio walaupun sedang tidurpun kini telah lenyap tak berbekas.

   Mungkinkah perempuan yang cantik dan bahenol itu sesungguhnya adalah seorang jago lihay yang sengaja menyembunyikan kepandaiannya? ooooOOOOoooo Bab 12.

   Serba Bertentangan Toa-tauke duduk di atas kursi berlapiskan kulit harimau yang secara khusus didatangkan dari kantornya.

   Memandang tujuh jago yang berada dihadapannya, ia mengangguk terus sambil tersenyum, rupa-rupanya kehadiran jago-jago tersebut sangat memuaskan hatinya.

   Tentu saja senyuman ramah menghiasi pula ujung bibir Tiok Yap-cing, asal Toa-tauke gembira, dia pasti gembira pula.

   Namun Pek Bok sekalian tampaknya tak mampu tertawa menyaksikan kematian si hwesio dalam keadaan mengerikan, perasaan semua orang mulai tak enak dan tak nyaman.

   ......Sesungguhnya siapa yang telah membunuhnya? Mungkinkah perempuan itu sengaja menyaru sebagai babi untuk mencaplok harimau? Ataukah di sekitar tempat itu masih terdapat jago-jago lihay lainnya? Tiok Yap-cing tersenyum, katanya.

   "Konon begitu masuk ke dalam kota, kalian lantas melakukan beberapa peristiwa yang menggemparkan seluruh kota? Sungguh bagus sekali!"

   "Sedikitpun tidak bagus!", jawab Pek Bok dengan nada dingin.

   "Tapi sekarang setiap penduduk kota tak seorangpun yang tidak tahu kalau kalian semua betulbetul lihay!"

   Pek Bok tutup mulutnya rapat-rapat, semua rekannya tutup pula mulut mereka rapat-rapat, meskipun setiap orang memiliki seperut penuh air getir, namun tak segumpalpun yang mampu ditumpahkan keluar.

   Sebenarnya mereka semua memang ingin menanamkan sedikit pengaruhnya dengan melakukan beberapa peristiwa yang brutal dan hebat di dalam kota, siapa tahu rekan mereka justru malah mampus secara aneh dan misterius, seandainya peristiwa ini sampai diceritakan ke luar, bukankah tindakan tersebut sama artinya dengan meruntuhkan semangat sendiri dengan mengunggulkan orang lain? Tiba-tiba Hu Tau meraung keras.

   "Sungguh menjengkelkan!"

   "Kenapa saudara Hu Tau marah-marah tanpa sebab?", dengan seramah mungkin Tiok Yap-cing bertanya. Baru saja Hu Tau ingin berbicara, ketika dilihatnya Pek Bok dan Cing Coa semuanya sedang mendelik ke arahnya, cepat-cepat ia berubah ucapannya dengan berseru.

   "Aku suka marah-marah, kalau lagi gembira hatiku, akupun akan marah-marah sendiri!"

   "Ooohhh......itu lebih bagus lagi!", teriak Tiok Yap-cing semakin tertawa lebar.

   "Apanya yang bagus?", dengan geramnya Hu Tau melototkan sepasang matanya lebar-lebar.

   "Dengan mengandalkan tabiat saudara yang suka marah-marah, hal ini sudah cukup untuk memecahkan nyali orang!"

   "Tetapi aku justru tak pernah marah-marah!", sela Ting Ji-long dari samping.

   "Inipun bagus sekali!"

   "Apanya yang bagus?"

   "Di waktu tenang bagaikan seorang perawan, di kala bergerak selincah kelinci, kalau di hari-hari biasa tidak diumbar, sekali diumbar pasti mengejutkan hati orang"

   Ting Ji-long segera tertawa.

   "Tampaknya apapun yang bakal kami katakan, kau selalu mempunyai kemampuan untuk memuji dan mengumpak kami semua. Ehmmm.......rupanya dalam bidang ini kau memang memiliki kepandaian yang bisa diandalkan"

   Tiok Yap-cing ikut tersenyum pula.

   "Aku sih tidak memiliki kepandaian hebat seperti kalian semua, aku tak lebih hanya mengandalkan sedikit kepandaian semacam ini untuk mencari sesuap nasi......."

   Selama ini Toa-tauke hanya mendengarkan pembicaraan mereka dengan senyuman di kulum, tiba-tiba ia bertanya.

   "Apakah kalian telah datang semua?"

   "Sudah!", jawab Pek Bok.

   "Tapi seingatku rasanya orang yang ku undang kali ini seluruhnya berjumlah sembilan orang!"

   "Ehmmm......memang sembilan orang!"

   "Kemana perginya yang dua lainnya?"

   "Sekalipun mereka berdua tidak datang juga sama saja!", ucap Pek Bok dengan suara dingin.

   "Oya?"

   "Asal kami bertujuh telah datang, sekalipun hendak melakukan pekerjaan apapun sudah terlebih dari cukup"

   "Untuk menghadapi A-kit juga lebih dari cukup?"

   "Untuk menghadapi manusia macam apapun, kekuatan kami sekarang sudah lebih dari cukup!"

   Toa-tauke tertawa.

   "Aku tahu belakangan ini ilmu pedang totiang telah peroleh kemajuan yang amat pesat, sedang kepandaian dari beberapa rekan lainnya juga telah mendapat kemajuan yang hebat, cuma ada satu persoalan yang masih juga membuat hatiku tak tenang!"

   "Persoalan apakah itu?"

   Sambil tersenyum Toa-tauke segera memberi tanda, dua orang laki-laki kekar segera muncul dari luar pintu sambil menggotong sebuah toya sian-cang yang terbuat dari baja murni.

   Paras muka Pek Bok berubah hebat.

   Paras muka setiap anggota Hek-sat ikut berubah pula.

   Ujar Toa-tauke.

   "Aku rasa toya sian-cang ini pasti kalian kenali, bukan?"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka tentu saja kenali benda itu, sebab itulah senjata andalan dari Toh- hwesio, dengan mata kepala mereka sendiri pernah disaksikan berpuluh-puluh orang tewas di ujung toya tersebut.

   "Konon toya sian-cang ini selamanya tak pernah berpisah dengan Toh- hwesio barang sejengkalpun, kenapa pada saat ini bisa berada di tangan orang lain?", kata Toa-tauke.

   "Pinto justru ingin bertanya kepadamu, darimana kau dapatkan toya sian-cang tersebut?", seru Pek Bok dengan paras muka berubah.

   "Ada seseorang yang sengaja menghantarnya ke mari, ia minta kepadaku agar mengembalikannya kepada kalian!"

   "Sekarang di manakah orang itu?"

   "Masih berada di sini!"

   "Di mana?"

   "Itu dia, ada di situ!"

   Toa-tauke menuding ke belakang, semua orang segera mengalihkan sinar matanya ke arah mana yang ditunjuk, tampaklah seseorang berdiri di luar pintu.

   Itulah seorang perempuan yang montok, cantik dan bahenol.

   Ternyata dia bukan lain adalah nyonya muda yang pernah ditemui di rumah pemintalan Sui-tek-siang tadi.

   Mungkinkah perempuan ini betul-betul adalah seorang jago lihay yang sengaja menyembunyikan kepandaian silatnya dan sanggup menggantung mati Toa- hwesio di atas pohon dalam waktu singkat? Siapapun tak dapat melihatnya, siapapun tak akan mempercayainya, tapi mau tak mau mereka harus mempercayainya juga.

   Tiba-tiba Kanyo berpekik keras, tubuhnya bergelinding di tanah sambil menubruk ke depan, tiga batang bintang baja disambit ke muka dengan kecepatan luar biasa.

   Tubuh si nyonya muda itu berkelit ke samping dan menyembunyikan diri ke belakang pintu.

   Sekali lagi Kanyo meraung keras, lalu roboh terjengkang ke atas tanah, tiga batang senjata rahasia berbentuk bintang menancap di atas dadanya, itulah senjata rahasia yang ia lepaskan sendiri.

   Paras muka Pek Bok berubah menjadi pucat pias seperti mayat, sekujur tubuh rekan-rekannya telah menjadi dingin pula seperti es.

   Sesosok bayangan manusia muncul kembali pelan-pelan dari balik pintu, dialah si nyonya muda yang baru saja melahirkan anak itu.

   Dengan terkejut Suzuko memandang ke arahnya, lalu bergumam seorang diri dengan suara lirih.

   "Nona cantik ini ternyata betul-betul bukan nona untuk menghibur diri, dia adalah seorang siluman perempuan!"

   Nyonya muda itu berpaling ke arahnya lalu tertawa manis.

   "Sukakah kau dengan siluman perempuan?", tegurnya. Sekalipun suaranya kedengaran agak gemetar, tapi senyumannya itu sungguh manis dan menawan hati. Sepasang mata Suzuko berubah menjadi merah padam seperti api yang menyala, sambil menggenggam kencang gagang samurainya, selangkah demi selangkah ia maju ke depan.

   "Hati-hati!", Pek Bok segera memperingatkan. Sayang peringatan itu datangnya agak terlambat, Suzuko telah merentangkan sepasang tangannya sambil menubruk ke depan, dia hendak memeluk perempuan itu ke dalam rangkulannya. Ternyata ia menubruk tempat kosong. Tubuh nyonya muda itu telah menyurut kembali ke balik pintu. Baru saja ia hendak menyusulnya, tiba-tiba jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang lagi memecahkan kesunyian, selangkah demi selangkah ia mundur ke belakang. Sebelum orang lain sempat menyaksikan raut wajahnya, mereka telah menjumpai sebagian ujung golok menongol di balik punggungnya, darah segar berhamburan memenuhi seluruh lantai. Menunggu ia roboh tertelentang di atas tanah, semua orang baru dapat lihat jelas senjata tersebut. Ternyata senjata itu adalah sebilah samurai yang panjangnya delapan depa, senjata itu menusuk dari dadanya hingga tembus di punggung dan senjata itu bukan lain adalah senjata andalannya sendiri. Sekali lagi si nyonya muda itu munculkan diri di depan pintu, lalu menatap mereka lekat-lekat. Di balik biji matanya yang indah dan jeli, terpancarlah perasaan sedih, marah dan ngerinya. Kali ini tak ada orang yang berani maju untuk melancarkan tubrukan lagi, bahkan paras muka Tiok Yap-cing pun ikut berubah sangat hebat. Hanya Toa-tauke seorang yang tenang dan wajahnya sama sekali tak berubah, ujarnya dengan suara hambar.

   "Manusia macam beginikah yang secara khusus kau undang untuk melindungi keselamatan jiwaku?"

   Pertanyaan tersebut ditujukan kepada Tiok Yap-cing. Tiok Yap-cing menundukkan kepalanya rendah-rendah, ia tak berani buka suara.

   "Dengan mengandalkan kepandaian mereka semua, sanggupkah A-kit dihadapi?"

   Paras muka Tiok Yap-cing telah berubah menjadi pucat pias seperti mayat, kepalanya semakin ditundukkan rendah-rendah. Toa-tauke menghela napas panjang ujarnya.

   "Coba lihatlah, untuk menghadapi seorang perempuan saja mereka tak mampu, mana mungkin........."

   Tiba-tiba Pek Bok menukas pembicaraannya yang belum selesai itu, kedengaran ia membentak keras.

   "Sobat, kalau toh sudah datang kemari, kenapa masih bersembunyi terus di luar pintu? Tidak beranikah kau untuk menampilkan diri?"

   "Siapa yang sedang kau ajak berbicara?", Toa-tauke segera menegur.

   "Sahabat yang berada di luar pintu!"

   "Apakah di luar pintu ada sahabatmu?", tanya Toa-tauke lagi. Pelan-pelan ia menggelengkan kepalanya, lalu menjawab sendiri pertanyaan tersebut.

   "Pasti tidak ada, aku berani menjamin di luar pasti tak ada sahabatmu.....!"

   Suasana di luar pintu memang amat sepi dan tak kedengaran suara jawaban.

   Satu-satunya orang yang berdiri di luar pintu tak lain adalah nyonya muda dari rumah pemintalan kain itu.

   Kalau tadi dia masih sanggup untuk membunuh dua orang dengan mempergunakan senjata andalan mereka sendiri, maka sekarang ia kelihatan ketakutan setengah mati.

   Pek Bok tertawa dingin, ia segera memberi tanda kepada rekan-rekannya untuk bertindak.

   Ting Ji-long dan Cing Coa segera melayang ke tengah udara, satu dari kiri yang lain dari kanan, mereka menerobos ke luar lewat daun jendela, gerakan tubuhnya sangat enteng dan lincah persis seperti seekor burung walet yang sedang terbang.

   Bersamaan waktunya Hu Tau menggerakkan pula kampaknya, sambil meraung keras ia ikut menerkam ke depan.

   Bayangan manusia berkelebat lewat, tiba-tiba saja Hek Kui telah mendahului di depannya.

   Tapi si nyonya muda itu telah lenyap tak berbekas.

   Ke empat orang itu bekerja sama dengan bagus dan ketatnya, kiri kanan depan belakang semuanya melakukan gerakan hampir bersamaan waktunya, baik di belakang pintu ada orang yang bersembunyi atau tidak, perduli siapapun orangnya, dengan kepungan semacam ini rasanya sulit bagi orang itu untuk meloloskan diri.

   Terutama sekali pedang dari Hek Kui, tusukan mautnya yang menembusi tenggorokan belum pernah kehilangan sasarannya.

   Tapi aneh sekali, sudah sekian lama ke empat orang itu keluar dari ruangan, akan tetapi suasana di luar sana tetap tenang dan hening, sama sekali tak kedengaran sedikit suarapun.

   Tanpa sadar Pek Bok meraba gagang pedangnya, peluh dingin telah mengucur ke luar membasahi jidatnya.

   Pada saat itulah........"Blaaaang!", daun jendela sebelah kiri ditumbuk hingga terbuka lebar, sesosok bayangan manusia melayang masuk ke dalam.

   Hampir bersamaan waktunya daun jendela sebelah kananpun terpentang lebar, lagi-lagi sesosok bayangan manusia melayang masuk ke dalam.

   Ke dua orang itu mencapai permukaan tanah hampir bersamaan waktunya........

   "Braaaakkk!", seperti dua buah karung goni yang berat mereka terbanting keras-keras di tanah. Ternyata kedua orang itu bukan lain adalah Cing Coa serta Ting Ji-long yang telah menyusup ke luar selincah burung walet itu. Di saat tubuh mereka roboh terkapar di tanah, Hu Tau dan Hek Kui telah kembali pula, Cuma saja si Hu Tau pulang tanpa kepala dan Hek Kui betul-betul sudah menjadi Kui (setan). Batok kepala Hu Tau dipenggal oleh senjata kampaknya sendiri, sedang pedang Hek Kui sudah tidak berada dalam genggamannya lagi, cuma di atas tenggorokannya kini sudah bertambah dengan sebuah lubang besar yang mengucurkan darah segar. Tangan Pek Bok masih menggenggam gagang pedang, sementara peluh dingin yang membasahi jidatnya mengucur keluar bagaikan curahan hujan deras................. Dengan hambar Toa-tauke berkata.

   "Bukankah semenjak tadi telah kukatakan bahwa di luar pintu tak ada sahabatmu, kau tidak percaya, nah! Sekarang tentunya kau sudah paham bukan bahwa di luar situ paling banter hanya satu dua orang utusan dari neraka yang akan merenggut nyawa kalian semua"

   Otot-otot hijau di tangan Pek Bok yang menggenggam pedang telah menonjol semua seperti ular melingkar, tiba-tiba ia berseru.

   "Bagus, bagus sekali!"

   Suaranya berubah menjadi sangat parau, terusnya.

   "Sungguh tak kusangka 'Dengan gigi membalas gigi, dengan darah membalas darah"

   Telah datang!"

   "Kau keliru besar!", tiba-tiba dari luar pintu berkumandang suara tertawa dingin yang amat singkat.

   "Apakah yang datang adalah Mao-toa-sianseng?"

   "Kali ini tebakanmu benar!"

   Pek Bok segera tertawa dingin tiada hentinya.

   "Bagus, kepandaian bagus, dengan cara yang sama melakukan pembalasan yang sama. Kalian memang tidak malu menjadi keturunan keluarga Buyung di wilayah Kanglam!"

   Ketika menyinggung soal 'keluarga Buyung dari Kanglam', tiba-tiba dari luar pintu berkumandang suara geraman gusar seperti auman binatang buas yang sangat mengerikan.

   Cahaya pedang di balik pintu berkelebat lewat, Pek Bok telah meluncur ke luar dengan kecepatan luar biasa, cahaya pedang bagaikan selapis mega melindungi seluruh tubuhnya.

   Tiok Yap-cing tidak berani ikut keluar, ia berdiri kaku tanpa bergerak barang sedikitpun jua, iapun tidak melihat jelas orang di luar pintu itu, hanya tahu-tahu terdengar suara...."Kreeeek!"

   Serentetan cahaya tajam meluncur datang dan menancap di atas dinding, ternyata cahaya tersebut adalah sebagian ujung pedang yang patah. Menyusul kemudian........."Kreeekk! Kreeeekkk!"

   Kembali ada tiga kutungan pedang melayang masuk dan menancap di atas dinding.

   Kemudian selangkah demi selangkah Pek Bok mundur kembali ke dalam ruangan, mukanya pucat pias seperti mayat, pedang dalam genggamannya kini tinggal gagang pegangannya saja.

   Dengan suatu gerakan yang luar biasa, pedang panjangnya yang terbuat dari baja murni itu tahutahu sudah dikutungi menjadi beberapa bagian.......

   Di luar pintu kedengaran seseorang tertawa dingin, kemudian berkata.

   "Sekalipun tidak mempergunakan ilmu silat keluarga Buyung, aku toh masih tetap dapat membunuhmu!"

   Pek Bok ingin mengucapkan sesuatu, tapi di tahan kembali, mendadak ia muntah darah segar, sewaktu tubuhnya roboh di atas tanah, paras mukanya yang pucat pias itu kini telah berubah menjadi hitam pekat. Toa-tauke tersenyum, pujinya.

   "Kepandaian itu memang bukan kepandaian dari keluarga Buyung, inilah ilmu pukulan Hek-sahciang (Pukulan pasir hitam)!"

   "Sungguh tajam sepasang matamu!", puji orang yang ada di luar pintu.

   "Kali ini aku benar-benar telah merepotkan Mao-toa-sianseng!"

   Dari luar pintu Mao-toa-sianseng menjawab.

   "Kalau hanya untuk membunuh beberapa orang manusia bangsa tikus begini mah, bukan terhitung merepotkan, coba kalau berganti Ciu Ji yang melakukan pekerjaan ini, mungkin orangorang itu akan mampus lebih cepat lagi!"

   "Apakah Ciu Ji sianseng dengan cepat akan sampai pula di sini?", Toa-tauke kembali bertanya.

   "Ya, dia pasti akan datang!"

   Toa-tauke menghembuskan napas panjang, katanya.

   "Ilmu pedang Ciu Ji sianseng memang tiada bandingannya di dunia ini, sudah lama aku mengaguminya!"

   "Meskipun ilmu pedangnya belum tentu sudah tiada tandingannya lagi di dunia ini, namun tidak banyak jumlah orang yang bisa menangkap permainan pedangnya!"

   Toa-tauke tertawa terbahak-bahak. Mendadak ia berpaling ke arah Tiok Yap-cing yang berada di sisinya. Paras muka Tiok Yap-cing telah berubah menjadi pucat ke abu-abuan, ia benar-benar merasa takut sekali.

   "Sudah kau dengar semua pembicaraan itu?", tegur Toa-tauke kemudian.

   "Sudah, sudah kudengar semua!"

   "Dengan bersedianya Mao-toa-sianseng dan Ciu-ji sianseng membantu usaha kita, bukan suatu pekerjaan yang gampang bagi si A-kit untuk merenggut selembar nyawaku!"

   "Ya, benar!", Tiok Yap-cing membenarkan. Toa-tauke mendengus dingin, kembali ujarnya dengan hambar.

   "Bila kau menginginkan pula nyawaku, aku rasa hal inipun tak bisa kau laksanakan dengan gampang"

   "Aku......."

   Tiba-tiba Toa-tauke menarik muka, katanya dingin.

   "Maksud baikmu dapat kupahami, tapi seandainya aku benar-benar mengandalkan perlindungan dari beberapa orang jago silat yang kau undang itu, hari ini selembar jiwaku pasti sudah melayang!"

   Tiok Yap-cing tak berani bersuara.

   Ia berlutut terus tanpa bergerak, berlutut dengan tubuh tegak lurus, berlutut di hadapan Toa-tauke.

   Sekarang ia baru merasa bahwa orang ini ternyata jauh lebih lihay daripada apa yang dibayangkan semula.

   Toa-tauke sama sekali tidak memandang lagi ke arahnya, bahkan sekejappun tidak, sambil ulapkan tangannya ia berseru.

   "Kau telah lelah, lebih baik pergilah tinggalkan tempat ini!"

   Tiok Yap-cing tidak berani melakukannya.

   Di luar pintu telah siap menunggu seorang utusan dari neraka yang akan merenggut nyawa orang, tentu saja ia tak berani ke luar dari situ secara sembarangan.

   Tapi diapun tahu, setiap ucapan yang telah diutarakan oleh Toa-tauke merupakan perintah, jika ia berani membangkang perintah Toa-tauke berarti hanya kematian yang akan diterima olehnya.

   Untunglah pada saat semacam itu, tiba-tiba dari halaman luar kedengaran seseorang berteriak keras.

   "A-kit telah datang"

   Malam itu malam yang dingin sekali.

   Angin dingin berhembus kencang dan menggoyangkan ranting serta daun.

   Pelan-pelan A-kit berjalan menembusi lorong sempit itu.

   Setelah bulan berselang, ketika ia sedang berjalan melewati lorong sempit iyu, masih tidak tahu jalan yang manakah yang bakal ditempuh olehnya.

   Tapi sekarang ia telah mengetahuinya.

   .......Manusia macam apakah dia, harus pula melewati jalan yang macam apa pula.

   .......Sekarang di hadapan matanya hanya ada satu jalan yang bisa dilewati, pada hakekatnya ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali melalui kenyataan tersebut.

   Ketika pintu gerbang di buka lebar, tampaklah sebuah jalan terbentang jauh ke depan, jalan itu penuh berliku-liku dan menembusi semak belukar........

   Seorang pemuda yang tampan, halus dan sopan berdiri serius di tepi pintu, dengan sikap yang sungguh-sungguh dan penuh rasa hormat, ia menegur.

   "Engkau datang untuk mencari siapa?"

   "Mencari Toa-tauke kalian!", jawab A-kit. Pemuda itu mendongakkan kepalanya memandang sekejap wajah orang itu, tapi dengan cepat ia menunduk kembali sambil berbisik.

   "Dan saudara adalah........?"

   "Aku adalah A-kit, A-kit yang tak berguna!"

   Sikap si anak muda itu jauh lebih hormat dan sopan lagi, dengan cepat katanya.

   "Toa-tauke sedang menunggu di ruang kebun, silahkan!"

   A-kit menatapnya tajam-tajam, mendadak ia bertanya.

   "Dahulu, rasanya aku belum pernah berjumpa denganmu!"

   "Ya, belum pernah!"

   "Siapa namamu?"

   "Aku bernama Siau Te!"

   Tiba-tiba ia tertawa dan menambahkan.

   "Akulah yang lebih pantas disebut Siau Te yang tak berguna, sebab aku benar-benar tak berguna!"

   Siau Te berjalan di muka membawa jalan, sedang A-kit pelan-pelan mengikuti di belakangnya.

   Dia tak ingin membiarkan pemuda itu berjalan di belakangnya.

   Ia telah merasakan bahwa Siau Te yang tak berguna mungkin berkali-kali lipat lebih berguna dari pada siapapun juga.

   Selesai menelusuri halaman sempit itu, ia telah menyaksikan hancuran daun jendela, yang berada di sebelah kiri ruangan.

   Di balik daun jendela, seakan-akan ia menyaksikan ada cahaya golok yang berkilauan.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Golok tersebut berada di tangan Tiok Yap-cing.

   Barang siapa berani melanggar perintah To-tauke, dia harus mati! Tiba-tiba Tiok yap-cing mencabut ke luar samurai yang menancap di atas tubuh Suzuko.....sekalipun harus mati, ia merasa lebih baik mati ditangan sendiri.

   Tangannya secepat kilat dibalik dan golok itu dibacokkan ke atas tenggorokan sendiri.

   Mendadak......"Triiiiing!", percikan bunga api berhamburan ke empat penjuru, ternyata golok yang berada di tangannya telah dihajar sampai mencelat dari genggamannya dan ......."Toook!", menancap kembali di atas daun jendela.

   Sebutir batu kecil ikut rontok pula ke tanah mengikuti kejadian tadi.

   Toa-tauke segera tertawa.

   "Suatu kekuatan sambitan yang hebat, tampaknya A-kit benar-benar sudah datang"

   Belum habis perkataan itu, ia telah melihat si A-kit.

   Walaupun sudah tidur seharian penuh, lagi pula tidur dengan pulas sekali, A-kit masih merasa agak lelah.

   Suatu perasaan lelah yang muncul dari dasar hatinya, seakan-akan dalam hati kecilnya telah tumbuh bibit rumput yang sangat beracun.

   Pakaian yang ia kenakan masih merupakan pakaian kasar yang dekil dan penuh tambalan itu, mukanya yang pucat telah dipenuhi cambang hitam, bukan saja ia kelihatan sangat lelah, tua dan lemah lagi, bahkan rambutnya sudah lama tak pernah di cuci.

   Meskipun demikian, sepasang tangannya sangat bersih dan rapi, kukunya di potong pendek, teratur dan rapi.

   Toa-tauke sama sekali tidak memperhatikan sepasang tangannya.

   Kaum lelaki memang jarang sekali memperhatikan tangan pria lainnya.

   Dengan sinar mata yang tajam ia memperhatikan wajah A-kit dari atas sampai ke bawah, ia sudah memperhatikannya berulang kali, tiba-tiba tegurnya.

   "Kau yang bernama A-kit?"

   A-kit berdiri ogah-ogahan di situ, sedikitpun tidak memberikan reaksi apa-apa, pertanyaan yang tak perlu jawaban tak pernah ia menjawabnya. Tentu saja Toa-tauke mengetahui siapakah dia, tapi ada satu hal tidak ia pahami.

   "Mengapa kau menyelamatkan orang ini?"

   Orang yang dimaksud tentu saja Tiok Yap-cing.

   "Yang kuselamatkan bukan dia!", jawab A-kit.

   "Kalau bukan dia lantas siapa?"

   "Si Boneka!"

   Kelopak mata Toa-tauke mulai menyusut kecil, katanya lagi.

   "Oooooh......jadi lantaran si Boneka berada di tangannya, maka kematiannya berarti pula kematian bagi si Boneka?"

   Dengan sinar mata setajam sembilu ditatapnya wajah Tiok Yap-cing lekat-lekat, kemudian ujarnya lagi.

   "Tentu saja kau juga tahu bukan, bahwa ia tak akan membiarkan kau mampus......?"

   Tiok Yap-cing tidak menyangkal.

   Dadu sudah dilempar, angka sudah tertera, sandiwara ini tidak penting dilangsungkan lebih jauh, dan apa yang diperankan pun sudah waktunya untuk berakhir.

   Sekarang, satu-satunya perbuatan yang bisa ia lakukan adalah menunggu lemparan dadu dari Akit, dia ingin tahu angka berapa yang akan diperolehnya.

   Sekarang ia sudah tidak berkeyakinan lagi untuk mempertaruhkan bahwa A-kit pasti akan menangkan pertarungan ini.

   Toa-tauke menghela nafas panjang, katanya.

   "Selama ini aku selalu menganggapmu sebagai orang kepercayaanku, sungguh tak kusangka kalau selama ini kau hanya bersandiwara saja di hadapan mukaku"

   "Ya, peranan yang bagus kita perankan sesungguhnya adalah peranan yang saling bermusuhan!", Tiok yap-cing mengakuinya.

   "Oleh karena itulah sebelum sandiwara ini berakhir, di antara kita berdua harus ada seorang yang mampus lebih dahulu!", ujar Toa-tauke kembali.

   "Seandainya sandiwara ini harus dilangsungkan mengikuti skenario yang telah ku susun, maka yang bakal mampus seharusnya adalah kau!", Tiok yap-cing menyengir.

   "Dan sekarang?"

   Tiok Yap-cing tertawa getir, sahutnya.

   "Sekarang perananku sudah berakhir, yang memegang peranan penting dalam permainan sandiwara sekarang adalah A-kit"

   "Peranan apakah yang ia perankan sekarang?"

   "Peranannya adalah seorang pembunuh, sedang orang yang akan dibunuhnya adalah kau!"

   Toa-tauke segera berpaling ke arah A-kit, lalu tanyanya dengan suara dingin.

   "Apakah kau hendak memerankan perananmu itu lebih jauh?"

   A-kit tidak menjawab.

   Secara tba-tiba saja ia merasakan adalah hawa pembunuhan yang amat hebat, bagaikan jarum yang tajam sedang menusuk punggungnya.

   Hanya pembunuh yang benar-benar ingin membunuh orang serta mempunyai kemampuan yang meyakinkan untuk membunuh orang, baru akan memancarkan hawa pembunuhan semacam ini.

   Tak bisa diragukan lagi saat ini ada manusia semacam ini yang berada di belakang punggungnya, bahkan ia mulai merasakan pula bahwa kulit tubuh bagian tengkuknya secara tiba-tiba mulai mengejang keras dan membeku.

   Tapi ia tidak berpaling.

   Sekarang, walaupun ia hanya berdiri seenaknya dengan gaya yang santai, sesungguhnya semua anggota tubuhnya dan seluruh kulit badannya berada dalam keadaan siap siaga penuh, sedikitpun tiada titik kelemahan.

   Asal ia berpaling, maka posisi semacam itu tak akan bisa dipertahankan lagi, sekalipun hanya keteledoran yang amat sedikit saja, akibatnya akan mempengaruhi juga kelangsungan hidupnya.

   Ia tak boleh memberikan kesempatan semacam ini kepada pihak lawan.

   Pihak lawan jelas sedang menantikan kesempatan semacam itu, hampir setiap orang yang hadir dalam ruangan itu dapat merasakan hawa pembunuhan yang amat mencekam itu, pernapasan semua orang nyaris terhenti, sementara peluh sebesar kacang telah membasahi jidatnya.

   A-kit belum juga berkutik, malah ujung jaripun sama sekali tidak bergerak.

   Bila seseorang yang dengan jelas mengetahui bahwa ada orang hendak membunuhnya, tapi ia masih bisa berdiri tak berkutik, boleh dibilang setiap urat syaraf di tubuh orang ini pasti sudah berhasil dilatihnya hingga lebih tangguh dari kawat baja.

   Sekarang A-kit malahan memejamkan sepasang matanya.

   Orang yang hendak membunuhnya berada di belakang punggung, ia tak usah memperhatikannya dengan mata, sebab dia tak akan melihatnya.

   Yang penting, ia harus memperhatikan kekosongan dan konsentrasi pikirannya.

   Tentu saja orang itupun seorang jago tangguh, hanya seorang jago tangguh yang punya pengalaman ratusan kali pertarungan serta membunuh orang dalam jumlah yang tak terhitung baru akan memiliki kesabaran dan ketenangan seperti ini, sebelum kesempatan yang dinantikan tiba, dia tak akan turun tangan secara gegabah.

   Kini suasana di sekeliling tempat itu menjadi hening dan sepi, bahkan hembusan anginpun seolaholah ikut terhenti.

   Butiran keringat sebesar kacang kedelai mengalir keluar melewati ujung hidungnya dan membasahi seluruh tubuh Toa-tauke.

   Ia biarkan keringat itu mengucur keluar, ia tidak berusaha untuk menyekanya.

   Kini tubuhnya ibarat sebuah anak panah yang sudah berada di atas gendewa, bukan saja tegang dan serius, makan pikiran lagi.

   Ia betul-betul tidak habis mengerti, mengapa kedua orang itu bisa bersikap begitu sabar dan tahan uji.

   Ia mulai tak mampu mengendalikan perasaannya, tiba-tiba tegurnya.

   "Tahukah kau bahwa di belakang punggungmu ada orang yang siap membunuh dirimu?"

   A-kit tidak mendengar, tidak melihat dan tidak bergerak.

   "Tahukah kau siapakah orang itu?", kembali Toa-tauke menegur. A-kit tidak tahu. Dia hanya tahu entah siapapun orang itu, sekarang dia pasti tak akan berani untuk turun tangan.

   "Mengapa kau tidak mencoba untuk berpaling dan memeriksa sendiri, siapa gerangan orang itu?, Toa-tauke mendesak lebih lanjut. A-kit tidak berpaling tapi membuka sepasang matanya lebar-lebar, karena secara tiba-tiba ia merasakan kembali segulung hawa pembunuhan yang amat dahsyat. Kali ini hawa membunuh itu datangnya dari depan. Ketika ia membuka matanya, maka tampaklah seseorang berdiri di depan sana agak jauh dari posisinya, orang itu bertubuh jangkung, memakai dandanan seorang tosu, menggembol pedang, bermuka pucat dan memancarkan keangkuhan yang luar biasa. Sepasang alis matanya yang tebal hampir bersambungan antara yang satu dengan lainnya, wajah semacam ini penuh memancarkan rasa benci dan dendam yang luar biasa. Ketika A-kit membuka matanya, ia segera berhenti bergerak. Ia telah menyaksikan seluruh jiwa, semangat dan tenaga tosu itu telah terhimpun menjadi satu, bila semua kekuatan tersebut di lontarkan keluar maka akibatnya akan sukar dilukiskan dengan kata-kata. Ia sendiripun tak berani sembarangan bergerak, diawasinya sepasang tangan A-kit lekat-lekat, mendadak ia bertanya, mendadak ia bertanya.

   "Mengapa kau tidak membawa serta pedangmu itu?"

   A-kit hanya membungkam, tidak berkata apa-apa. Toa-tauke tidak dapat mengendalikan rasa sabarnya, ia berseru.

   "Apakah kau tahu kalau senjata andalannya adalah sebilah pedang?"

   Tosu itu mengangguk.

   "Ya, dia memiliki sepasang tangan yang bagus sekali!"

   Toa-tauke belum pernah memperhatikan sepasang tangan A-kit, hingga kini ia baru mengetahui bahwa tangannya dengan orangnya betul-betul sangat tidak serasi. Tangannya terlalu bersih, terlalu rapi dan terawat.

   "Inilah kebiasaan kami!", tosu itu menerangkan lagi.

   "Kebiasaan apa?"

   "Kami tidak akan menodai pedang kami sendiri!"

   "Oleh karena itu tangan kalian harus selalu bersih dan terawat rapi?"

   Tosu itu mengangguk.

   "Ya, kuku kamipun harus digunting pendek-pendek!", sahutnya.

   "Kenapa?"

   "Sebab kuku yang terlalu panjang hanya mengganggu kita sewaktu memegang pedang, asal pedang sudah berada di tangan, maka kami tidak akan membiarkan benda apapun mengganggu kita!"

   "Ya, ini memang suatu kebiasaan yang baik!", kata Toa-tauke.

   "Tidak banyak orang yang mempunyai kebiasaan baik seperti ini!", sambung si tosu.

   "Oya?"

   "Bila ia bukan jago pedang yang sudah punya pengalaman menghadapi beratus-ratus kali pertarungan, tak nanti kebiasaan baik semacam ini akan berlangsung lama!"

   "Orang yang bisa dianggap Ciu Ji sianseng sebagai jago pedang, sudah pasti merupakan seorang jago yang lihay dalam menggunakan pedang......!"

   "Ya, sudah pasti!"

   "Tapi berapa banyakkah manusia yang bisa lolos dari ujung pedang Ciu Ji sianseng dalam keadaan hidup?"

   "Tidak banyak!", Ciu Ji sianseng kelihatan amat bangga. Ia sombong tentu saja, karena mempunyai alasan untuk bersikap demikian. Selama setengah abad berkelana dalam dunia persilatan, seluruh wilayah Kanglam telah dijelajahi olehnya, dari sepuluh orang jago pedang terlihay di wilayah Kanglam, ada tujuh orang diantaranya telah ia jumpai, tapi belum pernah ada seorangpun diantara mereka yang bisa menyambut ke tiga puluh jurus serangannya. Ilmu pedangnya bukan saja aneh dan ganas, kecepatan serta reaksinyapun luar biasa sekali, jauh di luar dugaan siapapun. Ke tujuh orang jago pedang yang tewas di ujung pedangnya rata-rata tewas karena sebuah tusukan yang mematikan, terutama sekali Hong-lui-sam-ci (Tiga tusukan kilat angin geledek) dari San-tian-tui-hong-kiam (Pedang kilat pengejar angin) Bwe Cu-gi, betul-betul merupakan kepandaian yang jarang dijumpai dalam dunia persilatan. Ketika ia membunuh Bwe Cu-gi, jurus serangan itulah yang dipergunakan. Ketika Bwe Cu-gi menyerangnya dengan jurus Hong-lui-sam-ci, maka dengan mempergunakan jurus serangan yang sama ia melancarkan serangan balasan. Kalau ilmu pedang seseorang bisa disebut sebagai San-tian-tui-hong-kiam (Pedang Kilat Pengejar Angin), maka kecepatannya bisa dibayangkan betapa hebatnya. Akan tetapi ketika ujung pedang Bwe Cu-gi masih berada tiga inci dari tenggorokannya, pedangnya yang dilancarkan belakangan ternyata telah menembusi tenggorokan Bwe Cu-gi lebih dahulu. Ada seorang anak buah Toa-tauke yang mengikuti jalannya pertarungan itu dengan mata kepala sendir, menurut laporannya.

   "Tusukan pedang yang dilancarkan Ciu Ji sianseng itu ternyata tak seorangpun yang mengetahui bagaimana caranya ia turun tangan sekalipun ada empat puluhan orang jago lihay dunia persilatan yang hadir di situ, semua orang hanya merasakan berkelebatnya cahaya pedang, tahu-tahu darah segar telah membasahi seluruh pakaian Bwe Cu-gi". Oleh sebab itulah Toa-tauke menaruh kepercayaan penuh terhadap orang ini, apalagi sekarang masih ada satu-satunya keturunan dari keluarga Buyung yang bernama Mao It-leng mengadakan kontak dengannya. Sekalipun Mao It-leng tidak akan turun tangan paling tidak ia dapat membuyarkan perhatian A-kit. Pada hakekatnya menang kalahnya pertarungan ini sudah ia tentukan semenjak dulu. Duduk di atas kursi kebesarannya yang berlapiskan kulit harimau, perasaan Toa-tauke tenang dan mantap bagaikan bukit Tay-san, katanya sambil tertawa.

   "Sejak Cia Sam-sauya dari Sin-kiam-san-ceng ditemukan mati, Yan Cap-sa membuang pedangnya ke sungai, jago pedang manakah di dunia ini yang sanggup menandingi Ciu Ji Sianseng? Apabila Ciu Ji Sianseng menginginkan papan nama emas "Thian-he-tit-it-kiam"

   Dari keluarga Cia itu, hakekatnya tak lebih hanya tinggal soal waktu saja"

   Dikala sedang gembira, ia tak pernah lupa memuji orang lain dengan kata-kata yang indah, sayangnya ucapan tersebut tak didengar sama sekali oleh Ciu Ji sianseng.

   Begitu mendengar nama 'Ciu Ji sianseng', tiba-tiba saja kelopak mata A-kit berkerut kencang, seakan-akan ditusuk oleh sebatang jarum secara tiba-tiba, sebatang jarum beracun yang telah berubah menjadi merah karena darah dan dendam sakit hati.

   Ciu Ji sianseng sama sekali tak kenal dengan pemuda rudin yang berwajah layu itu, bahkan berjumpapun tak pernah.

   Ia tidak habis mengerti kenapa orang ini menunjukkan sikap seperti itu? Ia tak menyangka kalau orang ini bisa menunjukkan reaksi seperti itu lantaran mendengar namanya.

   Ia hanya mengetahui satu hal.......

   Kesempatan baik baginya telah datang.....

   Bagaimanapun tenang dan mantapnya seseorang, apabila secara tiba-tiba mengalami rangsangan yang jauh di luar dugaan dari luar, maka reaksinya akan berubah menjadi lambat.

   Sekarang tak bisa disangkal lagi kalau pemuda ini telah mengalami rangsangan tersebut.

   Dendam sakit hati, kadangkala merupakan juga suatu kekuatan, suatu kekuatan yang menakutkan sekali, tapi sekarang mimik wajah yang ditampilkan A-kit bukanlah dendam sakit hati, melainkan suatu penderitaan, suatu kesedihan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Luapan emosi semacam ini hanya bisa membuat orang menjadi lemah dan tak bertenaga saja.

   Ciu Ji sianseng sama sekali tak ingin menunggu sampai A-kit betul-betul roboh tak bertenaga, ia sadar jika kesempatan baik ini hilang, maka selamanya tak akan datang kembali.

   Pedang samurai sepanjang delapan depa milik Suzuko masih memantek di atas daun jendela.

   Tiba-tiba Ciu Ji sianseng mencabutnya secara kilat dan melemparkannya ke arah A-kit.

   Dia masih mempunyai sebuah tangan lain yang menganggur.

   Pedang yang tersoren di punggungnya itu tahu-tahu sudah diloloskan dari sarungnya.

   Berhasilkah A-kit menyambut pedang samurai yang dilemparkan ke arahnya? Ciu Ji sianseng telah mempersiapkan sebuah serangan mematikan yang benar-benar luar biasa.

   Sekarang ia sudah punya keyakinan yang kuat.

   A-kit telah menyambut samurai tersebut.

   Sebenarnya pedang yang ia pergunakan adalah sebilah pedang yang panjangnya dari gagang pedang sampai ke ujung pedangnya hanya tiga depa sembilan inci.

   Gagang samurai ini sendiri panjangnya sudah mencapai satu depa lima inci, biasanya para busu dari negeri Hu-sang (Jepang) memegang samurainya dengan kedua belah tangannya, mereka mempunyai gerakan jurus golok yang jauh berbeda dengan jurus-jurus golok daratan Tionggoan, apalagi dibandingkan dengan ilmu pedang.

   Dengan samurai di tangan, maka keadaannya ibarat tukang besi menempa baja dengan pena, sastrawan melukis dengan palu, daripada ada lebih baik sama sekali tidak ada.

   Tapi ia menyambut juga pedang samurai itu.

   Ternyata ia seakan-akan kehilangan kemampuannya untuk melakukan penilaian, ia tak dapat melakukan penilaian apakah tindakannya ini betul atau salah.

   Pada saat ujung jarinya tangannya menyentuh gagang pedang samurai itu, cahaya pedang telah membelah angkasa dan meluncur datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Pedangnya yang tiga depa tujuh inci itu sudah menguasai seluruh ruang geraknya, itu berarti pedang samurai yang delapan depa panjangnya itu tak mungkin bisa digunakan lagi.

   Cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu ujung pedang itu telah tiba di atas tenggorokan A-kit.

   Tiba-tiba A-kit menggetarkan tangannya,......."

   Kreeeekkk......!", tiba-tiba saja pedang samurai itu patah menjadi dua bagian.

   Ya, pedang samurai itu patah menjadi dua bagian dari tempat di mana terkena sambitan batu itu.

   Batu tersebut tepat menghajar di bagian tengah tubuh pedang samurai itu.

   Ketika ujung samurai yang tiga depa panjangnya itu rontok ke tanah, segera muncul kembali ujung golok yang panjangnya tiga depa.

   Ujung pedang dari Ciu Ji sianseng ibaratnya ular berbisa telah menerobos masuk ke mari, jaraknya dengan tenggorokan tinggal tiga inci saja, hakekatnya tusukan itu memang suatu tusukan yang tepat dan mematikan.

   Sejak dari mencabut golok sampai melontarkannya ke depan, mencabut pedang serta melancarkan serangan, setiap tindakan serta perbuatannya semua dilakukan dengan perhitungan yang masak serta sasaran yang tepat.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sayang sekali ada satu hal yang tidak ia perhitungkan.

   "Triiiing......!", percikan bunga api memancar ke empat penjuru, tahu-tahu kutungan pedang samurai itu telah menyongsong pedangnya.......bukan mata pedang yang di arah melainkan ujung pedangnya. Tak ada orang yang bisa menyongsong datangnya ujung pedang yang sekarang menusuk tiba dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat itu. Tak ada orang yang bisa melepaskan serangan dengan begitu cepat dan begitu tepatnya. ........Mungkin bukannya sama sekali tak ada orang, mungkin saja masih ada satu orang. Tapi mimpipun Ciu Ji sianseng tidak menyangka kalau A-kit lah orangnya...... Begitu ujung pedangnya bergetar, ia segera merasakan ada semacam getaran yang sangat aneh menyusup masuk lewat tubuh pedangnya, menembusi tangan, lengan dan bahunya. Kemudian ia seolah-olah merasa ada segulung angin berhembus lewat. Kutungan pedang samurai di tangan A-kit ternyata berubah menjadi segulung angin yang berhembus lewat pelan-pelan. Ia dapat menyaksikan kilatan pedang samurai itu, dapat merasakan pula hembusan angin itu, tapi ia sama sekali tak tahu bagaimana caranya untuk menghindari dan menangkis datangnya ancaman tersebut. .........Ketika angin berhembus datang, siapakah yang mampu menghindarinya? Siapakah yang tahu angin itu akan berhembus datang dari mana? Tapi ia tidak putus asa, karena dia masih ada seorang teman yang sedang menanti di belakang Akit. Sebagian besar orang persilatan selalu beranggapan bahwa ilmu pedang yang dimiliki Ciu Ji sianseng jauh lebih hebat daripada kepandaian Mao-toa-sianseng, ilmu silatnya jauh lebih menakutkan daripada ilmu silat Mao-toa-sianseng. Hanya dia seorang yang tahu bahwa pandangan semacam ini sesungguhnya suatu pandangan yang bodoh sekali dan menggelikan, dan hanya dia seorang pula yang tahu seandainya Mao-toa- Sianseng menginginkan jiwanya, ia akan memperolehnya cukup dalam satu jurus belaka. Serangannya baru benar-benar merupakan suatu jurus serangan yang mematikan, ilmu pedang yang dimilikinya baru betul-betul merupakan suatu ilmu pedang yang menakutkan sekali, tak seorangpun manusia yang dapat menilai kecepatan dari jurus serangan tersebut, tak ada pula orang yang tahu sampai di manakah kekuatan serta perubahan gerakan yang dimilikinya, sebab pada hakekatnya belum pernah ada orang yang sanggup menyaksikannya. Sudah banyak tahun ia hidup bersama dengan Mao-toa-sianseng, sudah seringkali mereka menentang bahaya maut bersama, hidup gembira bersama, tapi bahkan dia sendiripun hanya sempat melihat satu kali saja. Ia percaya asal Mao-toa-sianseng melancarkan serangan tersebut, kendatipun A-kit masih sanggup menghindarkan diri, tak nanti ia memiliki sisa kekuatan untuk melukai orang. Ia percaya sekarang Mao-toa-sianseng pasti sudah melancarkan serangannya, sebab di saat yang amat kritis itulah ia mendengar seseorang membentak keras.

   "Ampuni selembar jiwanya!"

   Diiringi bentakan tersebut, desingan angin segera terhenti, cahaya golokpun seketika lenyap tak berbekas, pedang yang ada di tangan Mao-toa-sianseng tahu-tahu sudah berada di belakang tengkuk A-kit.

   ooooOOOOoooo Bab 13.

   Nama dari Toa Siocia Hawa pedang serasa dingin menggidikkan, ibaratnya lapisan salju di puncak bukit nun jauh di sana yang sepanjang tahun tak pernah meleleh, kau tak perlu menyentuhnya tapi dapat merasakan hawa dingin dari ujung pedang yang tajam, membuat darah dan tulang belulangmu menjadi kaku dan membeku karena kedinginan.

   Pedang sesungguhnya memang dingin, tapi bila di tangan seorang yang benar-benar jago, baru akan memancarkan hawa pedang yang begini dingin dan menggidikkan hati.

   Sebilah pedang menyambar datang dan tiba-tiba berhenti di tengah jalan, jaraknya dengan nadi besar di belakang leher A-kit tinggal setengah inci lagi.

   Nadi darahnya sedang berdenyut keras, otot-otot hijau di tepi nadi yang mengejang keluarpun ikut berdenyut keras.

   Akan tetapi orangnya sama sekali tidak bergerak.

   Sewaktu bergerak ia lebih cepat dari hembusan angin, tapi sewaktu berdiri tegak lebih kokoh dari bukit karang, tapi ada kalanya bukit karangpun akan longsor dan berguguran.

   Bibirnya telah merekah kekeringan, seperti batu-batu karang di atas puncak bukit yang merekah kena hembusan angin.

   Air mukanya persis seperti batu karang, sedikitpun tanpa pancaran emosi, kaku dan dingin.

   Apakah dia tak tahu kalau pedang itu menusuk satu inci lagi ke depan maka darah segar dalam tubuhnya akan memancar keluar? Apakah ia benar-benar tidak takut mati? Terlepas apakah ia benar-benar tidak takut mati atau tidak, yang pasti kali ini dia pasti akan mampus.

   Ciu Ji Sianseng menghembuskan napas panjang, Toa-tauke menghembuskan pula napasnya panjang-panjang, mereka hanya menunggu tusukan dari Mao-toa-sianseng itu ditusukkan lebih ke depan.

   Sepasang mata Mao-toa-sianseng menatap tajam-tajam urat nadi di belakang tengkuk yang sedang berdenyut keras itu, sinar matanya memancarkan suatu perubahan yang aneh sekali, seakan-akan penuh mengandung rasa benci yang mendalam, seolah-olah juga mengandung penuh penderitaan dan siksaan.

   Kenapa tusukan itu tidak dilanjutkan? Apa yang sedang ia nantikan? Ciu Ji sianseng mulai tak sabar, tiba-tiba ia berteriak.

   "Hayo lanjutkan tusukanmu itu, jangan kau menguatirkan keselamatan jiwaku!"

   Kutungan samurai di tangan A-kit masih berada setengah inci di atas tenggorokannya, tapi dalam genggamannya masih ada sebilah pedang, kembali ia berseru.

   "Aku yakin masih sanggup menghindari tusukannya itu!"

   Mao-toa-sianseng tidak memberikan reaksi apa-apa. Ciu Ji sianseng kembali berseru.

   "Sekalipun aku tak mampu menghindarkan diri, kau harus membinasakannya, selama orang ini belum mati, maka tiada jalan kehidupan lagi untuk kita, kita mau tak mau harus menyerempet bahaya untuk melanjutkan pertarungan ini"

   Toa-tauke segera berteriak pula.

   "Tindakan semacam ini tak bisa dikatakan sebagai menyerempet bahaya lagi, kesempatan yang kalian miliki jauh lebih besar daripada kesempatannya"

   Tiba-tiba Mao-toa-sianseng tertawa tergelak, gelak tertawanya itu sama anehnya seperti pancaran sinar matanya, pada saat ia mulai tertawa itulah pedangnya telah ditusuk ke depan, menusuk ke muka melewati sisi tengkuk A-kit dan menusuk bahu Ciu Ji sianseng.

   "Triiiing....!, pedang yang berada dalam genggaman Ciu Ji Sianseng terjatuh ke tanah, darah kental berhamburan kemana-mana dan memercik di atas wajahnya sendiri. Raut wajahnya itu segera mengejang keras karena rasa kaget dan tercengang yang kelewat batas, tapi yang jelas terpancar adalah rasa gusarnya yang berkobar-kobar. Toa-tauke ikut pula melompat bangun dari tempat duduknya. Siapapun tidak menyangka akan terjadinya perubahan ini, siapapun tidak tahu kenapa Mao Toa sianseng dapat berbuat demikian. Mungkin hanya dia sendiri dan A-kit saja yang tahu. Paras muka A-kit sama sekali tidak menampilkan emosi, rupanya perubahan tersebut sudah jauh berada dalam dugaannya. Tapi sinar matanya justru memancarkan cahaya penderitaan, bahkan penderitaan lebih mendalam daripada yang diderita Mao Toa Sianseng........ Cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu pedang itu sudah dimasukkan kembali ke dalam sarungnya. Tiba-tiba Mao Toa Sianseng menghela napas panjang.

   "Aaaaiiii.....bukankah sudah ada lima tahun kita tak pernah berjumpa muka.......?"

   Perkataan itu ditujukan pada A-kit, tampaknya bukan saja mereka saling mengenal, bahkan merupakan pula sahabat karib selama banyak tahun. Kembali Mao Toa-sianseng berkata.

   "Selama banyak tahun ini apakah penghidupanmu bisa kau lewatkan secara baik-baik? Apakah pernah menderita sakit yang parah?"

   Sahabat yang sudah banyak tahun tak pernah berjumpa, tiba-tiba saja bertemu kembali antara satu dengan lainnya, tentu saja kata-kata pertama yang diucapkan adalah saling menanyakan keadaan, pertanyaan ini merupakan suatu pertanyaan yang amat sederhana dan umum sekali.

   Tapi sewaktu mengucapkan kata-kata itu, tampaklah mimik wajahnya seakan-akan sedang menahan suatu penderitaan yang sangat hebat.

   Sepasang lengan A-kit mengepal kencang, bukan saja ia tidak berbicara, berpalingpun tidak.

   "Kalau toh aku telah berhasil mengenalimu, kenapa kau masih belum mau berpaling juga, agar aku dapat menyaksikan wajahmu?", kembali Mao Toa sianseng berkata.

   "Tiba-tiba A-kit pun menghela napas panjang.

   "Aaaaiiii......kalau toh kau telah mengenali diriku, buat apa lagi memperhatikan wajahku?"

   "Kalau begitu, paling tidak kaupun harus melihat aku telah berubah menjadi seperti apa sekarang ini!"

   Meskipun perkataan itu diucapkan dengan nada yang ringan, justru suaranya amat parau dan seperti orang yang sedang menjerit.

   Akhirnya A-kit telah memalingkan wajahnya, tapi begitu kepalanya berpaling, air mukanya segera berubah hebat.

   Yang sedang berdiri dihadapannya tak lebih hanya seorang kakek berambut putih, sesungguhnya tiada sesuatu yang aneh atau istimewa, atau menyeramkan hati orang.

   Tapi rasa kejut yang memancar keluar dari mimik wajahnya sekarang jauh lebih hebat daripada rasa kagetnya ketika bertemu dengan makhluk aneh yang menyeramkan.

   Mao Toa sianseng kembali tertawa, suara tertawanya kedengaran jauh lebih aneh lagi.

   "Coba lihatlah, bukankah aku sudah banyak berubah?", katanya. A-kit ingin menjawab, tapi tak sepotong suarapun yang keluar dari tenggorokannya.

   "Andaikata kita saling berjumpa di tengah jalan secara tidak sengaja, aku rasa belum tentu kau dapat mengenali diriku", kata Mao Toa sianseng. Tiba-tiba ia berpaling dan bertanya kepada Toa-tauke.

   "Bukankah kau sedang keheranan, karena ia bisa begitu terperanjat ketika bertemu denganku barusan?"

   Terpaksa Toa-tauke hanya mengangguk, ia tidak habis mengerti hubungan apakah yang sesungguhnya terjalin di antara mereka berdua? Mao Toa sianseng kembali bertanya.

   "Coba kau lihatlah dia, berapa kira-kira usianya tahun ini........?"

   Toa-tauke memperhatikan A-kit sekejap, kemudian dengan agak ragu menjawab.

   "Paling tidak baru berusia dua puluh tahunan, belum mencapai tiga puluh tahun!"

   "Dan aku?"

   Toa-tauke memperhatikan pula rambutnya yang telah beruban serta wajahnya yang penuh keriput, meskipun dalam hati kecilnya ingin menyebut beberapa tahun lebih muda, toh tak dapat menyebutnya terlalu sedikit.

   "Bukankah kau melihat usiaku paling tidak sudah mencapai enam puluh tahunan?", kata Mao Toasianseng tiba-tiba.

   "Sekalipun kau sudah berusia enam puluh tahunan, tapi kelihatannya masih berusia sekitar lima puluh tiga-empat tahunan", buru-buru Toa-tauke menambahkan. Mendadak Mao Toa-sianseng tertawa terbahak-bahak, seakan-akan belum pernah mendengar cerita lelucon yang selucu itu, tapi dibalik suara tertawanya itu justru sama sekali tidak membawa nada tertawa, bahkan jauh lebih mirip orang yang sedang menangis. Toa-tauke memperhatikan dirinya sekejap, lalu memperhatikan pula diri A-kit, katanya.

   "Apakah tebakanku keliru besar?"

   Akhirnya A-kit menghembuskan napas panjang, katanya.

   "Aku termasuk shio macan, tahun ini berusia tiga puluh dua tahun!"

   "Dan dia?"

   "Ia lebih tua tiga tahun daripada diriku!"

   Dengan rasa kaget Toa-tauke memperhatikannya, siapapun tak akan percaya kalau orang yang berwajah penuh keriput dan berambut putih itu baru berusia tiga puluh lima tahun.

   "Kenapa secepat itu ia berubah menjadi setua ini?"

   "Karena dendam sakit hati!"

   Dendam sakit hati yang terlalu dalam, seperti juga kesedihan yang kelewat batas, selalu membuat proses ketuaan seseorang berlangsung jauh lebih cepat daripada siapapun. Toa-tauke memahami juga teori tersebut, tapi tak tahan kembali ia bertanya.

   "Siapa yang ia benci?"

   "Akulah yang ia benci!"

   "Kenapa ia sangat membenci dirimu?", tanya Toa tauke sambil menarik napas panjang-panjang untuk melegakan dadanya yang sesak.

   "Karena aku telah melarikan calon istrinya yang bakal dinikahi!"

   Paras muka A-kit kembali berubah menjadi tawar tanpa emosi, dengan hambar ia melanjutkan.

   "Waktu itu sesungguhnya aku berangkat ke rumahnya dengan tujuan untuk menyampaikan selamat kepadanya, tapi justru pada malam kedua setelah mereka tukar cincin, kubawa kabur bakal bininya!"

   "Karena kaupun mencintai perempuan itu?", tanya Toa-tauke. A-kit tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung, tapi berkata lagi dengan suara dingin.

   "Setengah bulan kemudian setelah kubawa kabur bakal bininya itu, akupun kembali meninggalkannya!"

   "Kenapa kau harus melakukan perbuatan semacam ini?"

   "Karena aku senang!"

   "Jadi asal kau senang, maka perbuatan macam apapun akan ku lakukan......?"

   "Benar!"

   Sekali lagi Toa-tauke menghembuskan napas panjang.

   "Aaaaiii....sekarang aku jadi paham sekali!"

   "Apa yang kau pahami?"

   "Barusan ia tidak membunuhmu karena dia tidak ingin kau mati terlalu cepat, dia ingin membuatmu seperti dirinya merasakan penderitaan batin yang hebat dan mati secara pelan-pelan"

   Mendadak Mao Toa-sianseng menghentikan gelak tertawanya, lalu meraung keras.

   "Kentut busuk makmu!"

   Toa-tauke tertegun. Tampaklah Mao Toa-sianseng sedang mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, dengan pandangan mata tak berkedip ditatapnya A-kit tajam-tajam, kemudian sepatah demi sepatah kata dia berkata.

   "Aku harus membuatmu dapat melihat diriku, sebab aku harus membuatmu memahami akan satu persoalan"

   A-kit sedang memperhatikan dengan seksama.

   "Yang kubenci bukan dirimu melainkan diriku sendiri", kata Mao Toa-sianseng.

   "sebab itu aku baru menyiksa diriku sendiri sehingga berubah menjadi begini rupa!"

   A-kit termenung sejenak, akhirnya pelan-pelan dia mengangguk.

   "Ya, aku mengerti!"

   "Kau benar-benar sudah mengerti?"

   "Ya, aku benar-benar sudah mengerti!"

   "Kau dapat memaafkan diriku?"

   "Aku.......aku sudah memaafkan dirimu semenjak dahulu!"

   Mao Toa-sianseng menghembuskan napas panjang seakan-akan ia telah melepaskan suatu beban yang beribu-ribu kati beratnya dari atas bahunya. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut, berlutut di hadapan A-kit sembari bergumam.

   "Terima kasih banyak, terima kasih banyak......."

   Ciu Ji sianseng selama ini hanya memandang ke arahnya dengan wajah terkejut, tapi sekarang ia tak dapat mengendalikan diri lagi, segera bentaknya dengan gusar.

   "Ia telah melarikan binimu, kemudian meninggalkannya pula, tapi sekarang kau malah minta maaf kepadanya, kau malah minta kepadanya untuk memaafkan dirimu, kau.....kau....kenapa kau tidak membiarkan aku untuk membunuhnya?"

   Tadi pedangnya sudah bergerak, ia sudah mempunyai kesempatan untuk turun tangan, ia dapat melihat bahwa perhatian A-kit sudah mulai dipecahkan oleh pembicaraannya, tapi ia tak menyangka kalau sahabatnya malahan turun tangan menyelamatkan A-kit.

   Mao Toa-sianseng menghela napas panjang.

   "Aaai...kau mengira aku betul-betul sedang menolongnya barusan?", ia bertanya.

   "Memangnya bukan?", teriak Ciu Ji sianseng marah. ~Bersambung ke Jilid-11 Jilid-11

   "Sesungguhnya bukan dia yang kutolong, tapi kaulah! Kau harus tahu, seandainya tusukan tadi kau lakukan juga, maka yang tewas bukan dia melainkan dirimu!"

   Setelah tertawa getir ia melanjutkan.

   "Sekalipun aku terhitung seorang yang lupa budi, serangan kita lancarkan bersamapun belum tentu dapat melukai dirinya barang seujung rambutpun!"

   Kini kegusaran yang membakar Ciu Ji Sianseng telah berubah menjadi rasa kaget dan tercengang. Ia tahu sahabatnya ini bukan seseorang yang gemar berbohong, tapi tak tahan ia bertanya juga.

   "Serangan gabungan kita tadi hakekatnya sudah merupakan suatu serangan yang tiada taranya, masa ia sanggup untuk mematahkannya?"

   "Ya, ia bisa!"

   Rasa hormat dan kagum segera menyelimuti wajahnya, ia melanjutkan.

   "Dalam dunia dewasa ini hanya dia seorang yang dapat melakukannya, hanya satu cara yang bisa dipergunakannya!"

   "Kau maksudkan Thian-tee-ki-hun (Langit dan bumi musnah bersama).....?", seru Ciu Ji Sianseng dengan paras muka berubah.

   "Betul, bumi hancur langit goncang, langit dan bumi akan musnah bersama!"

   "Apakah dia adalah orang itu?", jerit Ciu Ji sianseng terkesiap.

   "Dialah orangnya!"

   Dengan sempoyongan Ciu Ji sianseng mundur beberapa langkah, seakan-akan ia sudah tak sanggup untuk berdiri tegak lagi.

   "Selama hidup aku hanya pernah melakukan suatu perbuatan berdosa yang tak terampuni", kata Mao Toa sianseng selanjutnya.

   "andaikata tiada seseorang yang merahasiakan kejadian tersebut, sejak semula aku sudah mati tanpa tempat kubur"

   "Dia pula orangnya!"

   "Benar!"

   Pelan-pelan dia melanjutkan.

   "Peristiwa itu sudah terjadi banyak tahun berselang, selama beberapa tahun ini akupun pernah bertemu dengannya, tapi ia selalu tak memberi kesempatan bagiku untuk berbicara, belum pernah ia mendengarkan sepatah kataku hingga selesai, sekarang..........."

   Sekarang bagaimana? Perkataan inipun tidak berkelanjutan.

   Tiba-tiba sekilas cahaya tajam tanpa menimbulkan suara apapun menyambar datang, tahu-tahu sebatang kutungan pisau sepanjang tiga depa telah menancap pada punggungnya.

   Darah segar berhamburan kemana-mana ketika tubuh Mao Toa sianseng sedang roboh ke tanah.

   Tiok Yap-cing seakan-akan sedang tertawa.

   Tapi bukan dia yang melancarkan serangan itu.

   Orang yang melancarkan serangan sama sekali tidak tertawa, padahal di hari-hari biasa pemuda itu selalu memperlihatkan sekulum senyumannya yang manis dan menawan hati, tapi sekarang ia sama sekali tidak tertawa.

   Menyaksikan ia melancarkan serangannya, Toa-tauke tampak amat terperanjat.

   A-kit ikut terperanjat.

   Ciu Ji Sianseng bukan cuma terkejut bahkan gusar sekali, dengan suara keras ia membentak.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Siapakah orang ini?"

   "Aku bernama Siau Te!", pemuda itu menjawab. Pelan-pelan ia maju ke depan, lalu berkata lebih jauh.

   "Aku tidak lebih hanya seorang bocah cilik yang tidak punya nama dan tak ada gunanya. Tidak seperti kalian jago-jago kenamaan, jago pedang ternama dan orang gagah yang disegani tiap manusia. Tentu saja manusia-manusia ternama macam kalian tak akan membunuh diriku!"

   "Barang siapa membunuh orang, maka terlepas siapakah dia, hukumannya adalah sama saja!", kata Ciu Ji Sianseng dengan gusar. Ia mengambil kembali pedangnya yang tergeletak di tanah. Paras muka Siau Te sama sekali tidak berubah, katanya tiba-tiba.

   "Hanya aku seorang yang berbeda, aku tahu pasti kau tak akan membunuhku!"

   Ciu Ji Sianseng telah menggenggam pedangnya, tapi tak tahan ia bertanya juga.

   "Kenapa?"

   "Sebab begitu kau turun tangan, maka pasti ada orang yang akan mewakiliku untuk membunuhmu!"

   Sambil berkata, tiba-tiba ia memandang ke arah A-kit dengan sinar mata yang sangat aneh.

   "Siapa yang akan mewakilimu untuk membunuhnya?", tak tahan A-kit bertanya.

   "Tentu saja kau!"

   "Kenapa aku musti membantumu untuk membunuhnya?"

   "Sebab walaupun aku tak punya nama dan tak berguna, tapi aku justru mempunyai seorang ibu yang baik sekali, apalagi kaupun kenal sekali dengannya!"

   Paras muka A-kit segera berubah.

   "Apakah ibumu adalah........adalah......."

   Tiba-tiba saja suaranya menjadi parau dan ia tak mampu mengucapkan nama tersebut, nama yang ia selalu berusaha untuk melupakannya tapi tak akan terlupakan untuk selamanya. Siau Te segera membantunya untuk melanjutkan perkataan itu.

   "Ibuku tak lain adalah Toa siocia dari keluarga Buyung di wilayah Kanglam, yaitu Siau sumoay dari Mao Toa sianseng......."

   Dengan senyuman di kulum, Tiok Yap-cing segera melanjutkan pula perkataan itu.

   "Adapun nama besar dari Toa-siocia ini tak lain adalah Buyung Ciu-ti......!"

   Sepasang tangan A-kit telah menjadi dingin dan kaku, demikian dinginnya hingga merasuk ke tulang sumsum. Siau Te memandang sekejap ke arahnya kemudian berkata lagi dengan nada hambar.

   "Berulangkali ibuku telah berpesan, barang siapa berani berbicara sembarangan di tempat luaran sehingga merusak nama baik dari keluarga persilatan Buyung, sekalipun aku tidak membunuhnya, dan kaupun pasti tak akan menyanggupinya, apalagi Mao Toa sianseng ini pada dasarnya adalah anggota perguruan keluarga Buyung, maka aku berbuat demikian sesungguhnya tak lebih hanya membantu ibuku untuk membersihkan perguruan dari anasir-anasir jahat"

   A-kit mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, kemudian bertanya.

   "Sedari kapan ibumu memegang tampuk pimpinan keluarga Buyung?"

   "Oh, masih belum begitu lama!"

   "Kenapa ia tidak menahanmu di sampingnya?"

   Siau Te menghela napas panjang, katanya.

   "Karena aku tak lebih hanya seorang bocah yang malu diketahui orang, pada hakekatnya aku tidak pantas untuk masuk menjadi anggota keluarga Buyung, karenanya aku harus ikut orang lain dan menjadi seorang manusia gelandangan yang tak ada harganya!"

   Paras muka A-kit sekali lagi berubah hebat, sorot matanya penuh memancarkan rasa sedih dan penderitaan. Lewat lama sekali ia baru bertanya pelan.

   "Berapa umurmu tahun ini?"

   "Tahun ini aku baru berusia lima belas tahun!"

   Sekali lagi Toa-tauke merasa terkejut, siapapun tak akan menyangka kalau pemuda yang berada dihadapannya ini sebenarnya tak lebih hanya seorang bocah yang baru berusia lima belas tahun.

   "Aku tahu orang lain pasti tak akan mengira kalau tahun ini aku baru berusia lima belas tahun, seperti juga orang lain tak akan tahu kalau tahun ini Mao Toa sianseng sebenarnya baru berusia tiga puluh lima tahun!", demikian Siau Te berkata. Tiba-tiba ia tertawa, suara tertawanya begitu memedihkan hati, ia melanjutkan.

   "Hal ini mungkin dikarenakan penghidupanku selama ini jauh lebih menderita daripada anak-anak lainnya, karena itu pertumbuhankupun jauh lebih cepat daripada pertumbuhan orang lain!"

   Pengalaman yang penuh penderitaan memang merupakan faktor terpenting bagi kematangan yang lebih awal bagi sementara anak.

   Ciu Ji sianseng memandang sekejap ke arahnya, lalu memandang pula ke arah A-kit, tiba-tiba sambil mendepakkan kakinya berulang kali ke tanah, ia membopong jenazah sahabatnya dan tanpa berpaling lagi pergi meninggalkan tempat itu.

   Toa-tauke tahu bila dia pergi dari situ maka mau tak mau diapun harus ikut angkat kaki dari sana, tak tahan segera teriaknya.

   "Ciu Ji sianseng, harap berhenti dulu!"

   Dengan dingin Siau Te berkata.

   "Ia sadar bahwa dalam kehidupannya kali ini sudah tiada harapan untuk membalas dendam lagi, kalau tidak pergi dari sini, mau apa berdiam terus di tempat ini?"

   Perkataan itu sangat menyinggung perasaan orang, seringkali kaum pria dunia persilatan akan beradu jiwa lantaran perkataan tersebut.

   Tapi sekarang, sekalipun Ciu Ji sianseng mendengarnya dengan jelas, diapun akan berpura-pura tidak mendengar, sebab apa yang diucapkan olehnya memang merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin dibantahnya lagi.

   Oleh sebab itu dia tak mengira kalau Ciu Ji sianseng akan balik kembali ke dalam ruangan itu.

   Baru saja ke luar dari pintu gerbang, ia telah mundur kembali ke dalam ruangan, bahkan mundur dengan selangkah demi selangkah, wajahnya yang pucat membawa suatu perubahan wajah yang aneh, jelas bukan rasa sedih atau marah, melainkan rasa kejut dan takut.

   Ia sudah tak termasuk pemuda yang berdarah panas lagi, diapun bukan seseorang yang tak tahu berat entengnya persoalan.

   Tidak seharusnya ia mundur kembali ke dalam ruangan, kecuali hanya itulah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh olehnya.

   Siau Te segera menghela napas panjang, gumamnya.

   "Sebetulnya aku mengira dia adalah seorang manusia yang pintar, tapi kenapa justeru mencari penyakit buat dirinya sendiri?"

   "Sebab ia sudah tiada jalan lain kecuali berbuat demikian!", seseorang mendadak menyambung dari luar pintu dengan suara dingin. Suara itu sebenarnya masih berada di tempat yang amat jauh, tapi tahu-tahu di luar halaman kedengaran suara detakan nyaring dan suara itu sudah muncul dari luar pintu. Menyusul suara detakan tadi, orang itupun sudah masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang manusia cacat yang aneh sekali, kaki kanannya sudah kutung dan diganti dengan kaki kayu, sebuah codet besar berada di mata sebelah kirinya sehingga tampak tulangnya yang berwarna putih. Biasanya orang cacat semacam ini tampangnya pasti jelek dan menyeramkan, tapi orang ini ternyata di luar kebiasaan tersebut. Bukan saja dandanannya rajin dan perlente, bahkan ia terhitung seorang laki-laki yang mempunyai daya pikat yang amat besar, malahan codet di mata kirinya itu justru memperbesar daya pikat kelaki-lakiannya. Dalam ruangan itu terdapat orang-orang yang masih hidup, ada pula orang-orang yang sudah mati, tapi ia seperti tidak melihatnya sama sekali, begitu masuk ke dalam ruangan segera tegurnya dengan dingin.

   "Siapakah tuan rumah tempat ini?"

   Toa-tauke memandang sekejap ke arah A-kit, lalu memandang ke arah Tiok Yap-cing, akhirnya sambil tertawa paksa menjawab.

   "Sekarang agaknya masih aku!"

   Manusia cacat itu memutar biji matanya lalu berkata dengan angkuh.

   "Ada tamu dari jauh yang berkunjung kemari, kenapa sebuah kursipun tidak tersedia? Apakah kau tidak merasa bahwa tindakanmu sedikit kurang sopan?"

   Ketika Toa-tauke masih ragu-ragu, sambil tertawa paksa Tiok Yap-cing telah mengangkat kusir sambil bertanya.

   "Siapakah nama saudara?"

   Manusia cacat itu sama sekali tidak memperdulikannya, dia hnaya menunjukkan ke empat buah jari tangannya.

   "Oooohhh.... maksud tuan masih ada tiga orang sahabat lagi yang akan datang kemari?", tanya Tiok Yap-cing masih tetap tertawa.

   "Ehmmm!"

   Tiok Yap-cing segera mempersiapkan tiga buah bangku lagi, baru saja ia menjajarkannya menjadi satu, dari tengah udara telah melayang turun kembali dua sosok bayangan manusia.

   Bukan saja gerakan tubuhnya enteng seperti daun kering yang rontok ke tanah, wajahnyapun kurus kering tak berdaging, pinggangnya menyoren sebuah bambu yang panjangnya tiga depa, potongan badannyapun ceking sekali macam sebatang bambu.

   Tapi pakaian yang dikenakan perlente sekali, sikapnyapun sangat angkuh, terhadap manusiamanusia hidup dan mati yang berada dalam ruangan, ia memandangnya bagaikan orang mati semua.

   Seorang yang lain justru merupakan kebalikannya, dia adalah seorang laki-laki gemuk yang selalu tersenyum.

   Pada jari-jari tangannya yang putih dan gemuk mengenakan tiga buah cincin yang berbatu sangat indah, nilainya tak terkirakan.

   Kukunya tajam dan panjang sehingga kelihatannya seperti tangan seorang nyonya kaya.

   Sepasang tangan seperti ini sudah tentu paling tidak cocok untuk menggunakan pedang, manusia semacam inipun tidak mirip seorang ahli dalam ilmu meringankan tubuh.

   Tapi kalau ditinjau dari caranya sewaktu melayang turun dari tengah udara tadi, sudah pasti ilmu meringankan tubuhnya sama sekali tidak lebih lemah daripada kakek ceking macam bambu itu.

   Menyaksikan kehadiran ke tiga orang itu, paras muka Ciu Ji sianseng telah berubah menjadi pucat kelabu.

   Mendadak dari luar pintu kedengaran pula seseorang yang berbatuk tiada hentinya, sambil berbatuk-batuk pelan-pelan orang itu berjalan masuk ke dalam ruangan.

   Dia adalah seorang hweesio tua yang berwajah penyakitan, bajunya compang-camping dan punggungnya bungkuk.

   Menjumpai kehadiran hweesio tua itu, paras muka Ciu Ji sianseng semakin memucat.

   Setelah tertawa sedih, katanya.

   "Bagus, bagus sekali, sungguh tak kusangka kaupun telah datang kemari!"

   Hweesio tua itu menghela napas panjang.

   "Aaaai.....kalau aku tidak datang, siapa yang akan datang? Kalau aku tidak masuk ke neraka, siapa pula yang akan masuk ke neraka?"

   Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut suaranya lemah tak bertenaga, bukan saja seperti orang penyakitan bahkan mirip sekali dengan seseorang yang sudah lama menderita sakit, bahkan sakitnya parah sekali!.

   Akan tetapi siapapun yang ada dalam ruangan itu sekarang, pasti tahu bahwa dia adalah seseorang yang mempunyai asal-usul serta kedudukan yang luar biasa.

   Tentu saja Toa-tauke pun mempunyai pandangan demikian, ia telah mengetahui bahwa hweesio tersebut kemungkinan besar adalah satu-satunya bintang penolong yang bisa diharapkan.

   Bagaimanapun juga seorang pendeta pasti mempunyai hati yang penuh welas asih, dia tak akan membiarkan seseorang menderita tanpa berusaha untuk menolongnya.

   Maka dengan penuh rasa hormat, Toa Tauke segera bangkit berdiri, kemudian sambil tertawa paksa katanya.

   "Untung saja tempat ini bukan neraka, kalau taysu sudah sampai di sini, maka kau tidak akan merasakan pelbagai penderitaan lagi!"

   Hweesio tua itu kembali menghela napas panjang.

   "Aaaai....tempat ini kalau bukan neraka, lantas tempat manakah yang disebut neraka? Kalau aku tidak menderita, siapa pula yang akan menderita......?"

   Sekali lagi Toa-tauke tertawa paksa.

   "Setelah berada di sini, taysu akan menderita apa lagi?", katanya.

   "Menaklukkan iblis juga penderitaan, membunuh orangpun merupakan penderitaan!"

   "Aaaah....taysu juga membunuh orang?"

   "Kalau aku tidak membunuh orang, siapa yang akan membunuh orang? Kalau aku tidak membunuh orang, kenapa bisa masuk neraka?"

   Toa-tauke tak sanggup mengucapkan kata-katanya lagi. Tiba-tiba manusia cacat itu bertanya.

   "Kau tahu siapa aku?"

   Toa tauke menggelengkan kepalanya. Barang siapapun di dunia ini apabila ia sudah menjadi Toa-tauke seperti dia, orang yang dikenal pasti tak akan terlalu banyak. Manusia cacat itu kembali bertanya.

   "Kau harus tahu siapakah aku ini, berapa banyakkah manusia di dunia ini yang mempunyai mata sebuah, tangan sebuah dan kaki sebuah macam aku, tapi bisa mempergunakan sepasang pedang!"

   Ia bukan terlampau menyombongkan diri, sebab manusia semacam dia mungkin tak akan ditemukan keduanya dalam dunia persilatan dewasa ini.

   Satu-satunya orang yang mempunyai ciri semacam dia tak lain adalah jago pedang ketiga dari sepuluh jago pedang wilayah Kanglam yang disebut orang sebagai Yan-cu-siang-hui (Si walet yang terbang bersama) Tam Ci-hui.

   Tentu saja Toa-tauke pun mengetahui tentang orang ini, maka ia segera bertanya.

   "Kau adalah Tam tayhiap?"

   "Betul!", jawab manusia cacat itu dengan angkuh.

   "aku adalah Tam Ci-hui, akupun datang untuk membunuh orang!"

   "Masih ada aku Liu Kok-tiok", kakek ceking itu segera menambahkan dengan cepat. Kok-tiok-kiam termasuk juga salah seorang jago pedang dari wilayah Kanglam. Ia merupakan salah seorang dari sepuluh jago pedang wilayah Kanglam, tujuh orang rekannya telah tewas di ujung pedang Ciu Ji sianseng. Dengan dingin Tam Ci-hui berkata.

   "Siapakah orang yang hendak kami bunuh hari ini, rasanya sekalipun tidak kuucapkan kaupun sudah tahu!"

   Toa tauke segera menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa paksa.

   "Untungnya saja kedatangan kalian kemari bukan untuk membunuh diriku......!"

   "Tentu saja bukan kau!"

   Belum habis perkataannya itu, tubuhnya sudah melompat ke tengah udara, pedangnya diloloskan dari sarung dan diantara kilatan cahaya ia langsung menusuk ke arah Ciu Ji sianseng.

   Ciu Ji sianseng memungut kembali pedangnya dan mengayunkan senjata tersebut untuk menyongsong datangnya ancaman tersebut.

   "Traaaang....!", sepasang pedang saling membentur satu sama lainnya, tiba-tiba cahaya pedang tersebut berubah arah dan meluncur ke arah tubuh Toa-tauke. Belum lenyap senyuman di ujung bibir Toa-tauke, kedua belah pedang itu sudah menembus tenggorokan serta jantungnya. Tak seorangpun yang menduga bakal terjadi perubahan tersebut, juga tak seorangpun yang menghalanginya. Sebab di kala sepasang pedang itu saling membentur satu sama lainnya, Tiok Yap-cing telah dirobohkan oleh hweesio tua itu. Pada saat yang bersamaan pula, Kok-tiok-kiam serta si gemuk berusia setengah umur yang selalu tersenyum itu telah tiba di samping Siau Te. Pedang Kok-tiok-kiam belum sampai diloloskan dari sarungnya, dengan gagang pedangnya ia sudah menumbuk iga kiri Siau Te. Siau Te ingin menyusup ke depan, tapi pedang Ciu Ji Sianseng dan Tam Ci-hui kebetulan sedang meluncur datang dari hadapannya. Terpaksa dia harus berkelit ke samping kanan, sebuah tangan lembut seperti tangan nyonya kaya telah menunggu di sana, tiba-tiba kukunya yang lembut itu meluncur ke depan, sepuluh buah kuku tajam bagaikan sepuluh pedang pendek yang tajam tahu-tahu sudah tiba di tenggorokan serta alis matanya. Sekarang ia sudah tak sanggup untuk menyelamatkan diri lagi, tampaknya ia akan segera tewas di ujung kuku tajam itu. Tapi A-kit tak dapat membiarkan ia mati, yaa, tak dapat!. Baru saja pedang panjang milik Kok-tiok-kiam diloloskan dari sarungnya, mendadak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dari hadapannya, tahu-tahu pedang itu sudah berpindah tangan, kemudian cahaya pedang kembali berkelebat lewat, mata pedang tahu-tahu sudah menempel di tenggorokannya. Mata pedang itu tidak ditusukkan lebih lanjut, sebab kuku dari laki-laki gemuk berusia setengah umur itupun tidak melanjutkan tusukannya. Gerakan dari setiap orang telah terhenti, setiap orang sedang memperhatikan pedang di tangan Akit. Sebaliknya A-kit sedang memperhatikan kesepuluh buah kuku yang lebih tajam dari pedang itu. Waktu yang teramat singkat itu dirasakan seperti setahun lamanya, akhirnya hweesio tua itu menghela napas panjang.

   "Sungguh cepat amat gerakan tangan saudara!", katanya.

   "Akupun bisa membunuh orang!", kata A-kit.

   "Tapi apa hubungannya antara persoalan ini dengan dirimu?"

   "Sama sekali tak ada!"

   "Kalau memang begitu, kenapa mesti mencampuri urusan ini?"

   "Sebab orang itu justru mempunyai sedikit hubungan dengan diriku!"

   Hweesio tua itu memandang sekejap ke arah Siau Te, lalu memandang pula tangan nyonya kaya itu, akhirnya dia menghela napas panjang.

   "Aaaai......seandainya kau bersikeras hendak menolongnya, aku kuatir hal ini akan sulit sekali"

   "Kenapa?"

   "Karena tangan itu!"

   Pelan-pelan ia melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Karena tangan tersebut adalah tangan Siu-hun-jiu (Tangan perenggut nyawa) dari Hok-kui-sinsian (Dewa rejeki dan kemuliaan) yang bisa menutul besi menjadi emas, menutul kehidupan menjadi kematian. Sekalipun kau membunuh Liu Kok-tiok, sicu muda itupun pasti akan mati!"

   "Apakah kalian tidak sayang mempergunakan nyawa dari Liu Kok-tiok untuk ditukar dengan selembar jiwanya?"

   Setiap orang memperhatikan pedang yang berada di tangan A-kit itu.

   "Benar!", ternyata jawaban dari hweesio tua itu cukup singkat tapi jelas. Paras muka A-kit segera berubah.

   "Ia tak lebih hanya seorang bocah, kenapa kalian harus membinasakannya.....!", ia bertanya. Tiba-tiba hweesio tua itu tertawa dingin.

   "Dia hanya seorang bocah?", ejeknya.

   "dia tak lebih hanya seorang bocah? Aku rasa tidak terlalu banyak bocah semacam dia di dunia ini"

   "Tahun ini usianya belum mencapai lima belas tahun!", kembali A-kit berkata.

   "Hmmm....! Kalau begitu kami tak akan membiarkan dia untuk hidup sampai usia enam belas tahun!"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kenapa?"

   Hweesio tua tidak menjawab, sebaliknya malah balik bertanya.

   "Tahukah kau tentang Thian-cun?"

   "Thian-cun?"

   Hweesio tua kembali menghela napas, pelan-pelan ia mengucapkan delapan bait syair.

   "Langit bumi tidak berperasaan. Setan dan malaikat tidak bermata. Segala benda dan makhluk di dunia tak berdaya. Mati dan hidup tidak berbeda. Rejeki dan bencana tidak berpintu. Langit dan bumi, alam semesta dan alam baka, hanyalah aku yang dipertuan."

   "Siapakah yang berkata begini? Sungguh besar amat lagaknya!", seru A-kit sambil berkerut kening.

   "Itulah bait syair yang diucapkan ketika perguruan Thian-cun dibuka secara resmi, bahkan langit dan bumi, setan dan malaikatpun tidak ia pandang sebelah matapun, apalagi hanya manusia. Apa yang mereka perbuat bisa kau bayangkan sendiri"

   "Benar!", sambung Ciu Ji sianseng.

   "daya pengaruh mereka sedemikian luasnya sehingga sama sekali tidak berada di bawah perkumpulan Cing-liong-hwe di masa lalu, sayangnya dalam dunia persilatan justru masih terdapat kami beberapa orang yang masih percaya dengan tahayul dan apa mau dibilang justru kamilah yang selalu diincar"

   "Oleh karena itulah dendam pribadi antara sepuluh jago pedang dari Kanglam dengan Ciu Ji sianseng sudah berubah menjadi tak seberapa lagi", lanjut Tam Ci-hui.

   "asal dapat melenyapkan pengaruh jahat mereka, sekalipun batok kepala sendiripun aku orang she Tam rela berkorban, apalagi hanya sedikit dendam pribadi"

   "Perkumpulan yang mengkoordinir pengaruh jahat di tempat ini tak lain adalah sebagian dari kekuasaan di bawah pimpinan Thian-cun", kata Ciu Ji sianseng.

   "Untuk sementara waktu kami masih belum sanggup untuk melenyapkan mereka ke akar-akarnya karena itu terpaksa harus kami kerjakan dari cabang-cabangnya yang terkecil!", hweesio tua itu menambahkan.

   "Bocah yang hendak kau tolong itu adalah orang yang dikirim dari pihak Thian-cun!"

   "Perintah dari Thian-cun selamanya diturunkan lewat dirinya, ialah yang secara diam-diam mengendalikan semua keadaan di sini, Toa-tauke maupun Tiok Yap-cing tidak lebih hanya boneka-boneka di bawah perintahnya......!"

   Hweesio tua itu berhenti sebentar, kemudian pelan-pelan melanjutkan lebih jauh.

   "Sekarang tentunya kau sudah mengerti bukan, kenapa kami tak dapat melepaskannya dengan begitu saja?"

   Paras muka A-kit pucat pias seperti mayat, dengan nama besar serta kedudukan sepuluh jago pedang dari wilayah Kanglam, sudah barang tentu mereka tak akan mencelakai seseorang bocah tanpa alasan yang kuat, apa yang mereka ucapkan mau tak mau harus dipercaya juga.

   "Sekarang setelah kau mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, apakah kau masih ingin menyelamatkan jiwanya?", hweesio tua itu bertanya lagi.

   "Benar!", jawab A-kit. Paras muka Hweesio tua itu segera berubah hebat. Tidak menunggu ia buka suara, A-kit telah bertanya lagi.

   "Apakah dia adalah pemimpin dari Thian-cun itu?"

   "Tentu saja bukan!"

   "Siapakah pemimpin dari Thian-cun?"

   "Pemimpin dari Thian-cun, tentu saja bernama Thian-cun!"

   "Andaikata ada seseorang ingin mempergunakan selembar nyawanya untuk ditukar dengan nyawa bocah ini, bersediakah kalian menerimanya?"

   "Tentu saja bersedia, cuma sayang sekalipun kami bersedia, barter ini sudah pasti tidak akan bisa berlangsung sebagaimana mestinya......"

   "Kenapa?"

   "Sebab tak ada orang yang bisa membunuh Thian-cun, tak ada orang yang bisa menandinginya!"

   Tiba-tiba suaranya terhenti di tengah jalan, dengan menampilkan suatu mimik wajah yang sangat aneh, ia seperti melayangkan pikirannya ke tempat yang jauh, lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru menambahkan.

   "Mungkin ada seseorang yang sanggup melakukannya!"

   "Siapa?"

   "Sam........"

   Dia hanya mengucapkan sepatah kata, lalu berhenti lagi, setelah menghela napas panjang terusnya.

   "Sayang orang ini sudah tiada lagi di dunia ini, sehingga sekalipun dibicarakan juga tak berguna"

   "Tapi apa salahnya kalau kau katakan kembali?"

   Sorot mata hweesio itu seakan-akan sedang memandang kejauhan lagi, kemudian gumamnya.

   "Di atas langit di bawah bumi hanya ada dia seorang dengan sebilah pedangnya yang tiada keduanya di dunia ini, hanya ilmu pedangnya baru betul-betul terhitung ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini!"

   "Kau maksudkan.........."

   "Yang kumaksudkan adalah Sam sauya!"

   "Sam sauya yang mana?"

   "Sam sauya dari lembah Cui-hui-kok, telaga Liok-sui-oh, perkampungan Sin-kiam-san-ceng, Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong adanya!"

   Tiba-tiba wajah A-kit menunjukkan mimik wajah yang sangat aneh, seakan-akan pikiran dan perasaannya sedang berada pula di tempat yang amat jauh. Lama, lama sekali, sepatah demi sepatah kata ia baru menjawab.

   "Akulah Cia Siau-hong!"

   Di atas langit di bawah bumi hanya ada seorang manusia yang bernama Cia Siau-hong.

   Bukan saja dia adalah seorang jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit, diapun seorang manusia yang berbakat, semenjak dilahirkan, ia telah mendapatkan segala kasih sayang dan segala keberhasilan, tak seorang manusiapun yang dapat menandinginya.

   Ia cerdik lagi tampan, tubuhnya sehat dan badannya tinggi kekar, sekalipun orang yang membenci dirinya, memusuhi dirinya dan mempunyai dendam sakit hati sedalam lautan dengannya, mau tak mau mengagumi juga kehebatannya itu.

   Perduli siapapun orang itu, semuanya tahu bahwa Cia Siau-hong adalah manusia semacam itu, tapi siapa pula yang benar-benar dapat memahami dirinya.

   Siapa pula yang betul-betul bisa menyelami perasaannya dan mengenali kepribadiannya? ooooOOOOoooo Bab 14.

   Sam Sauya Apakah ada orang yang benar-benar memahaminya? Baginya hal itu bukan suatu masalah.

   Karena ada sementara orang yang semenjak dilahirkan memang tidak membutuhkan pengertian dari orang lain, seperti juga malaikat atau dewa atau sebangsanya.

   Justru karena tiada seorang manusiapun yang mem


Peristiwa Bulu Merak -- Gu Long Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini