Ceritasilat Novel Online

Pendekar Panji Sakti 25


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 25




   Dengan giginya yang putih bersih dia menggigit bibirnya yang pucat tanpa rona darah, sekalipun dia sedang menahan penderitaan dan rasa sakit yang amat menyiksa, namun pada akhirnya perempuan itu berhasil bangkit berdiri, akhirnya berhasil mengayunkan langkahnya.

   Siang-tok Thaysu serta manusia berbaju hitam itu masih belum bergerak, siapa pun seakan tidak sadar kalau di samping mereka telah muncul seorang wanita lemah yang mulai melancarkan serangan, melancarkan ancaman maut yang bisa mematikan mereka.

   Seluruh tubuh Un Tay-tay seolah terbakar oleh jilatan api yang membara, jilatan api untuk mempertahankan hidup, jilatan api yang membakar dan memunculkan seluruh kekuatan terpendam yang dimiliki, merubahnya menjadi sebuah kekuatan luar biasa yang sulit dipercaya oleh siapa pun.

   Dengan mengandalkan kekuatan itu dia mencoba menopang tubuhnya, mengarahkan ayunan kakinya melangkah maju ke depan.

   Kini dia sudah maju empat langkah, tinggal selangkah lagi tangan kirinya sudah dapat menggapai iga kiri Siang-tok Thaysu, tangan kanannya dapat menyentuh iga kanan manusia berbaju hitam itu.

   Bila ujung jarinya berhasil menyentuh tubuh mereka berdua, konsentrasi kedua orang jagoan itu pasti akan terganggu, pada saat konsentrasi mereka terganggu itulah....

   Dapat dipastikan racun tanpa wujud milik Siang-tok Thaysu akan segera menyusup masuk ke dalam tubuh manusia berbaju hitam itu, sementara ilmu pembetot sukma milik manusia berbaju hitam itu pasti dapat mengendalikan pula pikiran serta kesadaran Siang-tok Thaysu.

   Bila manusia berbaju hitam itu tewas lantaran keracunan, Siang-tok Thaysu juga akan kehilangan kendali, dengan matinya manusia berbaju hitam maka Siang-tok Thaysu bakal menjadi gila, satu akibat yang jauh lebih menakutkan ketimbang kematian.

   Sayang...

   walau tinggal selangkah, ternyata Un Tay-tay tidak sanggup lagi untuk maju ke depan.

   Kini kekuatan maupun tenaga dalamnya telah digunakan hingga pada titik terakhir, telah mencapai puncaknya, ibarat seseorang yang hanya berkemampuan memikul beban seberat seribu kati, bila ditambah sekati lagi, niscaya tubuhnya akan segera tumbang.

   Langkah terakhir itu bukan saja tidak mampu diselesaikan Un Tay-tay, tiba-tiba tubuhnya malah roboh terjungkal ke atas tanah.

   Dia sudah mempertaruhkan seluruh kemampuannya, dia pun sudah berusaha menahan semua siksaan dan penderitaan yang terberat, padahal kemenangan sudah berada di depan mata, namun sampai pada saat terakhir dia tidak berhasil mencapai cita-citanya, tidak mampu menyelesaikan keinginannya.

   Dalam waktu singkat dia hanya merasakan kesedihan, kegusaran serta rasa kecewa yang luar biasa, perasaan sedih yang tak terlukiskan.

   Mendadak hawa panas terasa bergolak di dadanya dan menerjang naik ke atas kepala, wanita itu jatuh tidak sadarkan diri.

   Menanti sadar kembali dari pingsannya, Un Tay-tay menyaksikan awan putih telah menyelimuti angkasa.

   Sesaat sebelum jatuh tidak sadarkan diri, dia mengira pingsannya bakal berlangsung untuk selamanya, maka dia sedikit tidak percaya ketika dapat mendusin kembali.

   Saat itulah terdengar seseorang berseru dari sisi telinganya.

   "Bagus, ternyata kau adalah orang pertama yang sadar."

   Begitu mendengar suara itu, Un Tay-tay segera mengenalinya sebagai suara Siang-tok Thaysu, kontan jantungnya berdebar keras.

   "Aduh celaka!"

   Pekiknya dalam hati.

   Ternyata Siang-tok Thaysu tidak kehilangan nyawa dalam pertempuran sengit tadi, malahan sekarang dia sudah terjatuh ke dalam cengkeraman pendeta pemakan ular ini.

   Sekalipun tidak sampai mati, tapi apa bedanya dengan kematian? Berpikir sampai di situ, dia merasa kecewa bercampur putus asa, matanya kembali dipejamkan rapat-rapat.

   "Kalau sudah sadar, kenapa tidak bangkit berdiri?"

   Terdengar Siang-tok Thaysu menegur lagi. Sekalipun tidak bicara, namun dalam hati kembali Un Tay-tay berpikir.

   "Aku sudah kau racuni hingga kepayahan, mana mungkin bisa bangkit kembali? Rupanya kau malah berlagak pilon...."

   Mendadak dia merasa pikirannya terang dan segar, pandangan matanya jelas, tanda-tanda mata buram, kehilangan kekuatan seperti apa yang dirasakan sebagai korban keracunan sama sekali hilang tidak berbekas.

   Dengan perasaan girang, cepat dia bangkit dan duduk.

   Rupanya dia sudah dipindahkan ke atas sebuah bukit, sementara Sui Leng-kong, Leng Cing-peng, Gi Beng, Gi Teng dan Leng It-hong masih berbaring di sampingnya, hanya tidak diketahui apakah mereka masih hidup atau sudah mati? Ketika dia melirik kembali ke arah Siang-tok Thaysu, dilihatnya pendeta pemakan ular itu sedang duduk bersila di bawah sebatang pohon, walaupun dipandang pada siang hari dia tidak seseram kemarin malam, namun paras mukanya tetap kelihatan dingin bagaikan salju.

   "Bukankah aku keracunan hebat...."

   Gumam Un Tay-tay terkejut bercampur keheranan.

   "Racun yang Loceng gunakan sudah pasti dapat kupunahkan secara gampang,"

   Jawab Siang-tok Thaysu dingin.

   "Kenapa kau... kau menolong aku?"

   "Kau telah menyelamatkan Loceng, tentu saja Loceng pun menyelamatkan dirimu."

   "Aku... aku telah menolongmu?"

   Un Tay-tay tertegun. Sekulum senyuman aneh tersungging di ujung bibir Siang-tok Thaysu, katanya.

   "Ketika tubuhmu roboh terjungkal tadi, kebetulan jatuh persis di sisi kaki musuh Loceng, begitu dia terperanjat, maka tenaga Sinkangnya pun ikut buyar, kalau tidak, belum tentu semudah ini Loceng mampu mengalahkan dirinya."

   Un Tay-tay terkesiap, saking kagetnya dia duduk tertegun dengan mata terbelalak dan mulut melongo, sampai lama kemudian dia baru tertawa keras, teriaknya.

   "Ternyata aku malah membantumu, membantumu mengusir lawan tangguh...."

   Semakin nyaring suara tawanya, makin deras air mata bercucuran membasahi waj ahnya.

   "Bukan hanya membantu Loceng saja,"

   Ujar Siang-tok Thaysu lebih jauh.

   "kalau bukan dorongan tanganmu, mungkin tubuh Dewa racun milik Loceng pun sudah musnah terhajar lemparan batu cadas."

   "Siapakah manusia berbaju hitam itu?"

   Tanya Un Tay-tay kemudian sambil membesut air mata.

   "Buat apa kau menanyakan soal ini?"

   "Aku ingin menemukan orang itu, berlutut di hadapannya, minta kepadanya untuk mencincang tubuhku hingga hancur berkeping, kalau tidak, selamanya aku tak bakal hidup tenang."

   Siang-tok Thaysu tertawa dingin.

   "Sekalipun kusebut nama orang itupun belum tentu kau akan mengenalinya, apalagi sekalipun kau dapat menemukan dirinya, mungkin yang kau jumpai tidak lebih hanya sesosok mayat."

   Kembali Un Tay-tay tertegun, akhirnya dia tidak sanggup menahan diri lagi, meledaklah isak tangisnya yang amat menyedihkan hati. Selama hidup baru kali ini dia menangis dengan begitu sedihnya. Siang-tokThaysu segera mendengus dingin.

   "Rupanya kau menyesal karena telah menolong Loceng?"

   Tegurnya.

   "Benar, lebih baik bunuhlah aku...."

   Perlahan Siang-tok Thaysu mendongakkan kepala memandang keatas, kemudian katanya lagi.

   "Walaupun Loceng tahu kau memang tidak berniat membantuku, namun sepanjang hidup baru pertama kali ini kuterima pertolongan dari orang lain, bagaimanapun juga hutang budi ini tetap harus ku bayarkan kepadamu."

   Un Tay-tay sama sekali tidak menggubris perkataan itu, dia masih mendekam di tanah sambil menangis tersedu-sedu, sepeminuman teh kemudian isak tangisnya baru mulai mereda, lambat-laun kesadarannya pulih kembali, tiba-tiba dia melompat bangun.

   Jika berganti Gi Beng atau Im Ceng sekalian, begitu tahu tanpa sengaja mereka telah membantu kaum laknat dan manusia jahat, bisa jadi mereka segera akan menumbukkan kepalanya di dinding untuk bunuh diri.

   Tapi Un Tay-tay bukan manusia semacam itu, sekalipun tadi dia menangis sedih karena luapan emosinya, namun kesadaran otaknya jauh mengungguli gejolak emosi, begitu berhasil menguasai diri, teriaknya.

   "Baik, kau bilang mau membayar hutang budi ini? Dengan cara apa kau hendak membayarnya?"

   "Apapun permintaanmu, asal bisa Loceng lakukan, pasti tidak akan kutampik permintaanmu itu."

   "Kau sendiri yang berjanji?"

   "Selama hidup Loceng pantang mengobral janji, tapi kau pun mesti ingat, tadi kau hanya dua kali membantu Loceng, maka mulai sekarang Loceng pun hanya akan menuruti permintaanmu sebanyak dua kali."

   "Paling tidak kau harus menyelamatkan rekan-rekanku terlebih dulu."

   "Baik... tinggal satu permintaan."

   Sekarang Un Tay-tay baru merasa sedikit lega, bagaimanapun juga dia telah menyelamatkan nyawa beberapa orang rekannya, paling tidak pertolongan ini bisa digunakan untuk menebus dosanya hari ini.

   Siapa tahu setelah lewat beberapa saat kemudian Siang-tok Thaysu masih tetap duduk tanpa bergerak.

   Un Tay-tay tidak mampu menahan diri lagi, segera tegurnya.

   "Kenapa kau belum juga turun tangan?"

   Siang-tok Thaysu mendengus dingin.

   "Hmmm, kau belum menunjuk siapa yang harus kutolong, bagaimana mungkin Loceng bisa turun tangan?"

   Tercekat perasaan Un Tay-tay, jeritnya.

   "Menunjuk yang mana? Tentu saja kau harus menolong mereka bertiga."

   Dia memang sengaja hanya menyebut tiga orang, karena perempuan ini tahu Leng Cing-peng sudah tidak punya harapan lagi untuk ditolong. Kembali Siang-tok Thaysu tertawa dingin.

   "Ketiga orang itu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku, kenapa Loceng mesti mengobral tenaga menyelamatkan mereka semua?"

   "Tapi... bukankah kau telah berjanji?"

   "Benar, Loceng memang berjanji akan turun tangan dua kali untuk membayar hutang budi ini, tapi jangan lupa, hanya dua kali, sementara di sini ada tiga orang."

   "Jadi kau... kau hanya bersedia menolong dua orang? Begitu? Benar?"

   Suara Un Tay-tay terdengar sedikit gemetar. Siang-tok Thaysu manggut-manggut, pelan-pelan dia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.

   "Tapi di sini terdapat tiga orang, kau suruh aku tidak memilih yang mana? Kau... kau... kau biarkan seseorang yang tiada dendam sakit hati denganku harus tewas secara mengenaskan di hadapanmu?"

   Sekalipun dia menjerit dengan suara yang mengenaskan, namun paras muka Siang-tok Thaysu tetap kaku bagaikan patung, sama sekali tidak tersentuh perasaannya, bagaimanapun perempuan itu merengek atau memohon, Siang-tok Thaysu tetap berlagak seolah tidak mendengar.

   Akhirnya Un Tay-tay jatuh terduduk ke lantai, gumamnya dengan suara gemetar.

   "Keji... kau sungguh keji, tidak kusangka hatimu jahat, buas dan beracun, walaupun banyak manusia jahat yang pernah kujumpai selama ini, tapi kau adalah orang pertama...."

   Bicara sampai di situ, tiba-tiba satu ingatan kembali melintas dalam benaknya, dengan hati gembira teriaknya.

   "Orang pertama, tadi kau bilang 'kau adalah orang pertama yang sadar', itu berarti masih ada orang kedua, orang ketiga yang bakal sadar, padahal kau sudah menyelamatkan mereka semua, hanya sekarang secara sengaja membohongi aku, menakut-nakuti aku, agar aku merengek kepadamu, memohon kepadamu, agar aku semakin berterima kasih kepadamu, bukan-kah begitu? Katakan, bukankah begitu?"

   Perlahan-lahan Siang-tok Thaysu membuka matanya kembali, menatapnya dengan sorot mata tajam, sampai lama dan lama kemudian, sekulum senyuman aneh dan misterius kembali tersungging di ujung bibirnya.

   Walaupun Un Tay-tay merasa senyuman itu sedikit kalap, sedikit menakutkan, tapi begitu melihat senyuman itu, setitik harapan yang semula masih mengambang, kini terasa makin mantap dan meyakinkan.

   Akhirnya Siang-tok Thaysu berkata.

   "Benar, masih ada orang kedua, orang ketiga yang akan sadar."

   Un Tay-tay segera melompat bangun, serunya kegirangan.

   "Siapakah dia? Siapakah dia?"

   "Orang kedua adalah dia!"

   Kata Siang-tok Thaysu sambil menuding ke arah Leng Cing-peng.

   "Dia? Dia... bukankah dia sudah tiada harapan lagi!"

   Senyuman di ujung bibir Siang-tok Thaysu nampak semakin kentara, sahutnya.

   "Jika orang lain tidak sanggup menyelamatkan jiwanya, memangnya Loceng pun tidak sanggup? Apalagi dia masih terhitung cucu muridku, tentu saja aku harus menyelamatkan dia."

   Kejut bercampur girang mencekam perasaan Un Tay-tay, lewat sesaat dia bertanya lagi.

   "Lalu siapa... siapa orang ketiga?"

   "Dia!"

   Kali ini Siang-tok Thaysu menuding ke arah Leng It-hong.

   "Dia?"

   Jerit Un Tay-tay tercekat.

   "tapi... tapi"

   Siang-tok Thaysu mendongakkan kepalanya tertawa seram.

   "Tubuh Dewa racun segera akan terwujud"

   Teriaknya.

   "sekarang Loceng akan menjadi jagoan tidak terkalahkan di kolong langit, akulah yang akan memegang kekuasaan mati hidup setiap umat persilatan, hahaha...."

   Semakin tertawa dia semakin bangga, makin tertawa semakin kalap.

   Untuk kesekian kalinya Un Tay-tay jatuh terkapar, jatuh untuk tidak mampu berdiri lagi.

   Dalam pada itu paras muka Sui Leng-kong, Gi Beng serta Gi Teng telah berubah jadi hijau keabu-abuan, jelas nyawa mereka sudah berada di tepi jurang kematian.

   Un Tay-tay sadar, hanya dibutuhkan sepatah kata darinya maka dua orang di antara rekannya akan lolos dari bahaya maut, tapi haruskah dia mengorbankan rekannya yang ketiga? Siapa yang harus dikorbankan? Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dia sanggup buka suara? Terdengar Siang-tok Thaysu berkata lagi dengan suara dingin.

   "Ketiga orang itu sudah keracunan hebat, jika kau terlambat mengambil keputusan untuk menolong yang mana, aku kuatir nyawa mereka sudah keburu melayang lebih dahulu."

   Un Tay-tay menarik napas dingin, air mata kembali berlinang membasahi pipinya.

   Selama hidup sudah terlalu sering dia mengambil keputusan penting, tapi keputusan yang harus diambil sekarang justru punya keterkaitan yang besar dengan mati hidup sese-orang, dia merasa terjerumus dalam perangkap yang sangat dalam, belum pernah dia jumpai kesulitan yang demikian besarnya seperti sekarang.

   Siapa yang harus ditolong? Siapa yang tidak seharusnya ditolong? Sambil menggigit bibir dia mencoba memberitahu kepada diri sendiri.

   "Bagaimanapun juga aku harus menyelamatkan nyawa Sui Leng-kong, karena dua orang ini sama sekali tidak kukenal, sudahlah, kalau begitu aku tolong salah satu di antara mereka."

   Dia berpaling ke arah Gi Beng dan Gi Teng, kemudian bertanya lagi kepada diri sendiri.

   "Tapi di antara mereka berdua, siapa yang harus kutolong?"

   Dengan termangu dia mengawasi wajah kedua orang itu, dilihat dari raut mukanya, mereka berdua nampak begitu ramah, begitu baik, walaupun berada dalam ketidak berdayaan, setitik harapan masih tersungging di ujung bibir mereka.

   Terbayang kembali bagaimana dia harus segera mengambil keputusan, memutuskan nyawa mana di antara mereka berdua yang harus segera ditolong, kembali Un Tay-tay merasakan goncang-an jiwa yang luar biasa, tubuhnya sampai menggigil keras.

   Tanggung jawab moral yang terbeban di pundaknya kelewat berat, keputusan yang harus diambil kelewat menyiksa batin.

   Sekali lagi dia bertanya kepada diri sendiri.

   "Terlepas siapa yang bakal hidup, ketika orang tahu kehidupannya diperoleh dari kematian rekannya, dapatkah dia menerima kenyataan itu? Sanggupkah dia melanjutkan hidup?"

   Tanpa sadar sorot matanya kembali dialihkan ke wajah Sui Leng-kong.

   Di bawah cahaya rembulan, wajah Sui Leng-kong nampak begitu tenang, kelihatan begitu cantik dan menawan....

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kecantikan yang luar biasa, ibarat bidadari yang turun dari kahyangan, kecantikan yang tidak seharusnya hidup di alam dunia.

   Un Tay-tay merasa hatinya pedih, pikirnya.

   "Thiat Tiong-tong telah mati, Im Ceng pun telah mati, cepat atau lambat aku juga bakal mati, apa senangnya dia hidup seorang diri? Membiarkan dia tetap hidup hanya akan membuatnya makin sengsara, makin menderita!"

   Sekali lagi dia menengok ke arah Sui Lengkong, terlihat gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat, bulu matanya yang panjang terkatup pada kelopak matanya yang lembut, seluruh kesedihan, semua penderitaan seolah sudah jauh meninggalkan dirinya.

   Un Tay-tay ikut memejamkan matanya.

   "Dia persis seperti aku,"

   Gumamnya.

   "hanya akan memperoleh kedamaian dalam kematian, sementara dua orang yang lain perlu hidup terus untuk saling menunjang. Membiarkan dia hidup terus hanya akan menambah penderitaannya, sedang dua orang yang lain masih punya kebahagiaan dan kegembiraan dalam perjalanan hidup mereka, kebahagiaan dan kegembiraan yang mustahil bisa aku maupun dia rasakan lagi."

   Sementara dia masih termenung, Siang-tok Thaysu kembali bertanya.

   "Sudah kau putuskan?"

   "Sudah, sudah kuputuskan!"

   Jawab Un Tay-tay sambil menarik napas panjang.

   Cahaya kegembiraan yang aneh kembali terbesit di balik sorot mata Siang-tok Thaysu, dia seolah berharap bisa memperoleh sedikit kepuasan yang? sadis dari balik keputusan yang diambil Un Tay-tay.

   Dengan penuh rasa ingin tahu dia ingin segera tahu siapa yang akan dikorbankan Un Tay-tay, rasa ingin tahu kebinatangannya segera menyelimuti seluruh pikiran dan perasaannya.

   Dengan lantang dia berteriak.

   "Siapa? Siapa yang akan kau tolong?"

   Un Tay-tay masih memejamkan mata, namun dia sudah menuding kedua arah....

   Yang ditunjuk adalah Gi Beng serta Gi Teng, dua bersaudara keluarga Gi.

   Setelah Siang-tok Thaysu selesai mencekoki Gi Beng dan Gi Teng dengan obat penawar racun, Un Tay-tay masih duduk kaku tanpa bergerak, dia tetap duduk bagaikan sebuah patung batu, sama sekali tidak bergerak, sama sekali tidak mambuka matanya.

   Sambil bertepuk tangan, kata Siang-tok Thaysu.

   "Tidak seberapa lama lagi mereka berdua akan segera tersadar kembali."

   "Ooh, benarkah?"

   Un Tay-tay mengangguk dengan wajah linglung, menyahut dengan nada hambar. Dengan wajah keheranan dan rasa ingin tahu, Siang-tok Thaysu menatap wajahnya, mendadak ujarnya sambil tertawa.

   "Loceng sama sekali tidak menyangka kau tidak menyelamatkan gadis itu, sebaliknya malah menyelamatkan pria ini, dapatkah kau menjelaskan apa alasanmu memutuskan begitu?"

   Un Tay-tay menggetarkan bibirnya, namun tak ada suara yang muncul, dia hanya menggeleng dengan wajah linglung. Lewat beberapa saat kemudian, akhirnya dia buka suara juga, sahutnya.

   "Masa tidak kau lihat, dia mati dengan begitu tenang dan damai, sementara kedua orang ini justru amat berharap bisa hidup terus...."

   Sebetulnya dia enggan mengucapkan perkataan itu, namun entah mengapa akhirnya diucapkan juga, dia bahkan tidak bisa membedakan sebetulnya perkataan itu tertuju kepada Siang-tok Thaysu atau justru ditujukan kepada diri sendiri.

   Siang-tok Thaysu memandang sekejap Gi Beng serta Gi Teng yang belum sadar, kemudian menengok Sui Leng-kong dan akhirnya memandang wajah Un Tay-tay, tiba-tiba dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.

   Un Tay-tay membuka kembali matanya tapi segera dipejamkan kembali, sekali lagi dia membuka matanya, menengok ke arah Siang-tok Thaysu.

   Akhirnya dia tidak kuasa menahan diri, tegurnya.

   "Apa yang kau tertawakan?"

   "Padahal wajah ketiga orang itu sama satu dengan lainnya, tapi kau bersikeras mengatakan gadis itu meram dengan tenang sedang dua orang yang lain menderita, bukankah alasan itu hanya kau gunakan untuk mengungkap jalan pemikiran-mu sendiri?"

   Perkataan itu bagaikan tusukan jarum tajam, tusukan yang menghujam ke dasar lubuk hati Un Tay-tay. Tiba-tiba sekujur tubuhnya gemetar keras, teriaknya.

   "Kau... kau ngaco-belo!"

   "Hahaha, dulu Loceng pun pernah hidup bergelimpangan dalam keduniawian, rahasia yang ada di dasar hatimu mungkin saja dapat mengelabui orang lain, tapi jangan harap bisa mengelabui diriku."

   "Rahasia... rahasia apa yang ada di dasar hatiku?"

   "Kau pasti pernah menaruh perasaan iri dan cemburu kepadanya,"

   Ujar Siang-tok Thaysu sambil tertawa.

   "oleh sebab itu kau berharap dia bisa mati, mati dengan tenang? Bebas dari segala penderitaan? Itu semua hanya alasan yang kau buat-buat untuk membohongi diri sendiri."

   Gelak tawanya dipenuhi perasaan bangga, sebab dia menganggap berhasil menelanjangi lawannya, lagi-lagi dia memperoleh sebuah kepuasan, kepuasan yang diperoleh secara sadis.

   Gelak tawanya bagaikan sebuah cambuk, cambuk berduri yang menderai di tubuh Un Tay-tay, mencambuk hatinya, mencambuk sukmanya hingga sama sekali tak mampu bergerak.

   "Benarkah aku iri kepadanya?"

   Terdengar dia bergumam.

   "benarkah aku cemburu kepada-nya? Kenapa aku harus iri? Kenapa aku harus cemburu?"

   Tiba-tiba dia tertawa keras, tertawa seperti orang kalap, jeritnya.

   "Aku iri kepadanya? Kenapa aku harus iri kepadanya?"

   Gelak tawanya makin lama makin bertambah seram... semakin tidak bisa dibedakan antara tangis dan suara tertawa... akhirnya dia menubruk tubuh Sui Leng-kong, menangis secara kalap, menangis tersedu-sedu.

   "Di masa lalu kalian berdua pasti pernah mencintai seorang lelaki yang sama,"

   Ujar Siang-tok Thaysu lagi.

   "dan pria itu ternyata hanya mencintai dia seorang, maka kau membencinya, kau iri kepadanya...."

   Walaupun nada suaranya rendah dan berat, namun terdengar begitu tajam, begitu melengking, setiap patah kata bagaikan tusukan jarum yang menghujam hatinya, bila kau berusaha menutupi telingamu dengan tangan, maka dia akan menembus telapak tanganmu dan menyusup masuk ke dalam.

   Terdengar dia berkata lagi.

   "Kemudian... setelah lewat lama sekali, rasa cintamu terhadap pria itu makin memudar, tapi perasaan benci, perasaan irimu tidak pernah ikut memudar, tahukah kau mengapa bisa begitu?"

   "Kau setan...."

   Jerit Un Tay-tay penuh penderitaan.

   "iblis busuk! Tutup mulutmu!"

   Sekali lagi Siang-tok Thaysu tertawa sadis, lanjutnya.

   "Karena iri dan benci merupakan luapan emosi yang paling kuat, khususnya di dalam hati seorang wanita, perasaan itu jauh lebih kuat daripada perasaan cinta. Sebab sedalam apapun cinta seorang wanita, perasaan itu gampang berubah, biarpun kau mencintainya secara khusuk namun tidak akan langgeng, sama seperti cinta seorang lelaki, walaupun dapat berlangsung langgeng, namun tidak akan bisa mencintai secara khusus."

   "Tolong... jangan kau lanjutkan,"

   Pinta Un Tay-tay dengan wajah memelas. Siang-tok Thaysu menyeringai seram, terusnya.

   "Oleh sebab itu seorang pria bisa mencintai banyak wanita pada saat yang bersamaan, namun tidak mungkin bagi seorang wanita, ketika seorang wanita mencintai seorang pria, dia pasti mencintainya hingga tergila-gila, tidak mungkin dia bisa mencintai lelaki kedua. Menanti dia mulai mencintai lelaki kedua, saat itu perasaan cintanya terhadap pria pertama pasti sudah hilang lenyap tidak berbekas."

   "Setelah tertawa seram berulang kali, lanjutnya.

   "Sayang, rasa dengki, rasa iri, rasa cemburu seorang wanita terhadap wanita lain tidak pernah bisa lenyap untuk selamanya, jika seorang wanita membenci wanita yang lain, maka dia akan membencinya sepanjang masa!"

   "Aku tidak mau mendengarkan... tidak mau mendengarkan!"

   Jerit Un Tay-tay sambil berusaha menutupi sepasang telinga dengan tangannya. Siang-tok Thaysu tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, tentu saja kau tidak mau mendengarkan, sebab selain kau tahu bahwa teori ini seratus persen benar, kau pun sadar, rasa iri yang kau anggap sudah terlupakan sesungguhnya sudah berakar di dasar hatimu, maka...."

   Tiba-tiba Un Tay-tay menjerit keras, sambil membopong tubuh Sui Leng-kong, dia kabur secepatnya meninggalkan tempat itu.

   Memandang bayangan punggungnya yang makin menjauh, Siang-tok Thaysu kembali tertawa keras, tertawa seperti orang gila.

   Dia tahu, perbuatannya telah berhasil menghancur lumatkan perasaan perempuan itu.

   Sepanjang hidup, dia baru bisa merasa sangat gembira ketika menyaksikan seorang perempuan hancur lebur hatinya, sebab dahulu, dia pun pernah dibuat hancur lebur hatinya karena ulah seorang wanita....

   BAB 34 Irama Sedih Pelumat Hati Un Tay-tay kabur dengan kalap, kabur seperti seorang gila....

   Mengapa dia harus kabur? Sedang kabur dari siapa? Dia sendiri...

   dia sendiri pun tidak jelas.

   Pikirannya terasa kosong melompong karena dia tidak ingin memikirkan persoalan apapun, dia pun tidak memilih arah perjalanan, yang dituju hanya tempat yang paling sepi, tempat yang paling terpencil, jauh dari keramaian dunia, jauh dari kerumunan manusia.

   Air matanya kini mulai mengering, sepasang kakinya mulai terasa kesemutan dan kaku....

   Medan yang dilalui pun makin lama semakin terjal dan sepi....

   Rawa-rawa, hutan belantara, lembah terjal...

   mendadak sebuah hutan bunga yang sangat indah muncul di hadapannya.

   Aneka bunga yang mekar segar, memancarkan bau harum semerbak yang memikat hati, di bawah cahaya sang surya, hutan itu bagaikan sebuah halaman rumah yang amat luas, tiada halaman rumah lain yang bisa mengalahkan keindahan tempat itu.

   Ternyata hutan bunga yang begitu indah justru tumbuh di tengah lembah yang terjal, di antara rawa-rawa, di antara bukit yang terpencil, seakan-akan keindahan yang luar biasa itu memang sengaja diciptakan di tempat yang paling busuk dan jelek.

   Un Tay-tay tak tahu bagaimana dia bisa lari ke tempat itu, tapi setelah sampai di sana dia pun tidak sanggup mengayunkan langkahnya lagi...

   dia roboh terkapar di tanah.

   Dia sama sekali tidak menyadari kalau di balik pepohonan masih ada sesosok bayangan manusia lain, dia pun tidak mendengar orang itu sedang merintih kesakitan, sedang bergulingan di tanah berlumpur sambil mengerang penuh penderitaan.

   Namun orang itu mengetahui kehadiran-nya.

   Pakaian yang dikenakan orang itu nyaris hancur tidak keruan, tubuhnya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang kotor berlepotan lumpur, wajahnya menyeringai seram karena sedang menahan siksaan dan penderitaan yang luar biasa.

   Dia nampak seperti iblis yang muncul dari balik rawa-rawa, bagaikan binatang buas yang terluka parah.

   Dia berguling di atas tanah berlumpur, dia meronta sambil mengerang, sebab hanya tanah becek berlumpur yang dingin dapat mengurangi siksaan dan penderitaan kobaran api yang sedang membakar dalam tubuhnya.

   Jika Un Tay-tay sempat memandang sekejap ke arahnya, dia akan segera mengetahui kalau orang itu tidak lain adalah manusia berbaju hitam yang telah bertarung sengit melawan Siang-tok Thaysu Hong Lo-su, gembong iblis yang licik, busuk dan berhati binatang itu meski berada dalam keadaan tersiksa dan menderita, namun ketajaman pendengarannya masih lebih sensitif ketimbang telinga binatang serigala, begitu mendengar suara manusia, dia segera berguling ke balik semak belukar.

   Lewat beberapa saat kemudian dia tidak kuasa menahan diri untuk melongok keluar dari balik semak, memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya dia dapat mengenali orang yang secara tiba-tiba menerobos masuk ke balik hutan bunga itu tidak lain adalah Un Tay-tay.

   Sudah dua kali Un Tay-tay menggagalkan rencana besarnya, bagi pandangan orang lain, dendam kesumat ini boleh dibilang sesuatu yang luar biasa, apalagi bagi manusia berpikiran sempit macam Hong Lo-su! Begitu tahu siapa yang muncul, hawa napsu membunuh seketika menyelimuti seluruh Wajahnya, sambil mengertak gigi diam-diam pikirnya.

   "Jalan menuju ke surga tidak kau pilih, jalan menuju ke neraka justru kau lewati, budak busuk, wahai budak busuk, akan kulihat nyawa kecilmu bisa kabur kemana lagi hari ini?"

   Andaikata Un Tay-tay dapat melihat raut muka iblisnya pada saat itu, dapat dipastikan dia akan jatuh semaput saking kagetnya, sekalipun Hong Lo-su ingin membunuh atau mencincang dirinya pun belum tentu dia sanggup melawan.

   Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Hong Lo-su, dia teringat saat itu racun jahat sedang bekerja dalam tubuhnya, andaikata dia muncul saat itu, belum tentu kemampuannya mampu menandingi ilmu silat yang dimiliki Un Tay-tay.

   Seandainya berganti orang lain, mereka pasti tidak sanggup menahan diri apalagi setelah menyaksikan orang yang dibencinya hingga merasuk ke tulang sumsum telah berdiri di depan mata, mereka tentu akan menerjang keluar dan berusaha membunuhnya.

   Tapi Hong Lo-su memang jauh berbeda dibandingkan orang lain, kalau bukan lantaran terdesak hingga sulit dihindari, dia tidak pernah mau melakukan pertarungan yang tidak yakin bisa dimenangkan.

   Setelah memutar otak sejenak, pikirnya.

   "Hong Lo-su, wahai Hong Lo-su, kau harus pandai mengendalikan diri, baru saja lolos dari cengkeraman maut si makhluk beracun, kalau kini harus mati di tangan seorang budak busuk, kau akan mati dengan penasaran. Toh tidak lama kemudian racunmu bakal punah, sedang budak pun tidak akan kabur sementara waktu, cepat atau lambat dia pasti akan mampus di tanganmu."

   Berpikir sampai di situ, dia semakin enggan bergerak, hanya sepasang matanya mengawasi terus gerak-gerik Un Tay-tay, dia hanya berharap perempuan itu jangan pergi dari situ.

   Ternyata Un Tay-tay memang tidak meninggalkan tempat itu, dia hanya memeluk tubuh Sui Leng-kong sambil menangis terisak, sambil menangis pikirnya.

   "Benarkah apa yang dikatakan makhluk tua beracun itu? Benarkah aku iri dan cemburu kepadanya? Benar? Tidak benar? Benar... ? Tidak benar? Pertanyaan itu bagaikan cambuk yang melecut tubuhnya, bagaikan sebuah gilingan batu yang melindas tubuhnya, dia merasa hatinya hancur lebur, tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu? Tidak tahan dia mendongakkan kepala dan menjerit.

   "Un Tay-tay, wahai Un Tay-tay... kau adalah perempuan paling busuk, Sui Leng-kong telah kau celakai, kenapa kau masih tetap hidup? Kenapa kau masih tetap hidup?"

   Terbelalak sepasang mata Hong Lo-su, dia merasa terkejut bercampur girang, pikirnya.

   "Rupanya budak busuk itu menyangka tempat ini tidak ada penghuninya sehingga mengutarakan rahasia hatinya, hahaha, tidak dia sangka Locu justru sudah mendengar setiap patah katanya dengan jelas."

   Andaikata dia mampu bicara waktu itu, sudah pasti akan dikatakan demikian.

   "Tepat, tepat sekali, kau memang tidak pantas hidup, lebih baik mampus saja!"

   Sayang dia tidak berani bersuara, sedang Un Tay-tay pun bukan perempuan lemah yang gampang mencari mati begitu saja.

   Kalau dia harus mati, perempuan itu pasti akan memilih sebuah kematian yang ada nilainya.

   Sambil melelehkan air mata, dia memetik kuntum demi kuntum bunga dari atas pohon, kemudian menatanya kuntum demi kuntum di atas tanah, membentuk sebuah pembaringan yang terbuat dari bunga.

   Akhirnya dia membaringkan tubuh Sui Lengkong di atas pembaringan bunga itu, membaringkan dengan perlahan dan lembut.

   "Adik cilik,"

   Bisiknya dengan air mata berlinang.

   "beristirahatlah dengan tenang, tidak ada lumpur di dunia ini yang bisa mengubur tubuhmu yang bersih, terpaksa aku akan menguburmu di antara bunga yang segar."

   Sembari menaburi tubuh Sui Leng-kong dengan bunga segar, kembali dia bergumam.

   "Kumbang, kupu-kupu, burung walet, datanglah semua kemari... temanilah adikku beristirahat di sini! Ooh, angin, bawalah awan ke tempat ini, agar adikku dapat menunggang awan, terbang jauh ke angkasa, tubuhnya memang tidak layak dijamah tanah berdebu, dia lebih pantas tinggal di nirwana, hidup di antara dewi dan bidadari."

   Ucapannya lebih mirip senandung yang indah... tapi senandung mana di kolong langit yang bisa mengungkapkan perasaan sedih di hati Un Tay-tay? Hong Lo-su yang menyaksikan kejadian itu diam-diam berpikir.

   "Jangan-jangan budak busuk ini sudah gila? Masa dia bersenandung untuk orang yang sudah mati? Hei, budak busuk, kalau ingin menyanyi, bawakan lagu yang gembira, paling tidak bisa menghilangkan rasa jemu di hatiku."

   Di samping mengumpat, dia pun merasa kegirangan setengah mati, kalau dilihat dari wajah sedih budak busuk itu, mustahil dia akan pergi meninggalkan tempat itu dalam waktu singkat, budak busuk, apakah kau sedang menunggu kematian di situ? Dari mana dia tahu kalau saat itu Un Tay-tay sudah mengambil satu keputusan di hati kecilnya.

   Terdengar perempuan itu berbisik lagi.

   "Adikku, berbaringlah dengan tenang di sini, biar burung walet dan bunga segar yang melenyapkan kesepianmu, kau tidak usah kuatir, aku tidak akan membiarkan kau mati dengan sia-sia."

   Mendadak dia bangkit berdiri, kemudian berlari secepatnya menuju ke arah dimana dia datang tadi.

   Hong Lo-su dibuat melongo, dia hanya bisa mengawasi perempuan itu meninggalkan hutan bunga dengan mata terbelalak, dia merasa mendongkol, merasa gelisah, namun tidak ada yang bisa dilakukannya.

   Kini di dalam hutan bunga tinggal dua orang.

   Kedua orang itu, yang satu hidup yang lain sudah mati, yang satu jeleknya setengah mati dan yang lain cantik bak bidadari, kalau yang satu busuk bagai iblis keji, maka yang lain adalah malaikat dari surga.

   Malaikat cantik yang telah mati terjatuh ke dalam cengkeraman iblis jahat yang buruk rupa dan masih hidup, satu kejadian yang amat ironis, amat memedihkan hati dan membuat orang menghela napas....

   Langkah kaki Un Tay-tay makin lama semakin melambat, sepasang alis matanya berkerut kencang, dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jalan pikirannya memang lincah dan penuh akal muslihat, bila dia sudah mengambil satu keputusan, maka biar orang lain menebaknya sampai mati pun jangan harap mampu menebak isi hatinya.

   Kini dia tidak memilih jalanan yang harus ditempuh, langkah kakinya diayunkan menelusuri jalan perbukitan, sorot matanya memandang ke tempat kejauhan, seakan sudah dibuat terpesona oleh jalan pikirannya.

   Lama kemudian, tiba-tiba sekulum senyuman aneh terbesit di ujung bibirnya, dia mengangkat wajah, mencoba memeriksa keadaan sekeliling tempat itu, kemudian dia berbelok ke arah timur dan kembali berjalan cepat.

   Saat itu cahaya sang surya belum mencapai tengah angkasa, dia berjalan menyongsong datangnya cahaya fajar, langkahnya masih diayunkan lambat, kemudian diambilnya sebatang ranting, kemudian mulai membongkar semak belukar yang berada di sisi jalan.

   Di tengah tanah perbukitan yang sepi dan terpencil itu, dia seolah sedang mencari harta karun yang tidak ternilai harganya, mencari dengan teliti, memeriksa dengan seksama....

   Ya, tindak-tanduk nona ini memang sangat aneh, sukar diduga apa maunya.

   Mendadak dia menjumpai beberapa ikat rumput ilalang yang terikat menjadi satu, diikat dengan sebuah serat yang sangat halus dan lembut, andaikata tidak diperhatikan lebih seksama, sulit rasanya untuk menemukan keanehan itu.

   Tali pengikat berwarna hitam, sebuah benda yang sangat umum dan tidak ada yang aneh.

   Tapi bagi Un Tay-tay, dia seolah berhasil menemukan harta karun, wajahnya kontan berseri, sambil membungkukkan tubuh dia mulai melakukan pemeriksaan di seputar tumpukan rumput ilalang itu.

   Benar saja, di antara tumpukan rumput terdapat beberapa macam benda yang berbentuk aneh.

   Tapi...

   danmana dia tahu kalau di balik tumpukan rumput ilalang terdapat benda yang berbentuk aneh? Akhirnya Gi Beng dan Gi Teng mendusin kembali dari pingsannya.

   Yang sadar terlebih dulu adalah Gi Beng, dia mengucek matanya berulang kali sambil mengawasi sekeliling tempat itu, tampak cahaya matahari menyinari seluruh bumi, tempat itu masih sama pemandangannya seperti apa yang terlihat sebelum ia memejamkan matanya tadi.

   Secara lamat-lamat dia mencoba untuk mengingat kembali kejadian semalam, dia masih ingat secara tiba-tiba dirinya tidak bisa mendengar, kemudian tidak bisa melihat, apa yang terjadi bagaikan sebuah impian yang buruk Tapi kemana perginya kawanan iblis jahat yang dijumpai dalam mimpi buruknya itu? Kemana pula perginya kedua orang perempuan yang sedang menangisi Thiat Tiong-tong? Kemana pula perginya Enci Sui? Keringat dingin mulai bercucuran membasahi tubuhnya, masih untung kakaknya masih berada di sisinya, sekuat tenaga dia menggoncang tubuh GiTeng, lalu teriaknya.

   "Ayo, sadar, cepat sadar...."

   Dengan perasaan terperanjat Gi Teng melompat bangun, dia baru menghembuskan napas lega setelah melihat Gi Beng berada di sana, tapi setelah memandang sekejap seputar sana, dengan wajah bingung dan tak habis mengerti, tanyanya.

   "Kenapa aku bisa berada di sini?"

   "Kenapa kau bisa berada di sini?"

   Seru Gi Beng jengkel.

   "masa kau sendiri pun tidak tahu?"

   "Aku... aku tidak ingat jelas...."

   Gi Teng menggeleng.

   "Memangnya kau orang mati?"

   Teriak Gi Beng sambil menghentakkan kakinya.

   "semalam kau...."

   "Semalam... aaah, betul, semalam sepeninggal kau dan Sui Leng-kong, aku menunggu lama sekali, ketika tidak melihat kalian segera kembali, maka aku pun menyusul mencari kalian."

   "Aaaai, seharusnya kau sudah melakukan pencarian sejak awal,"

   Gi Beng menghela napas panjang. Gi Teng mengernyitkan sepasang alis matanya, seakan sedang berusaha mengingat kembali kejadian yang telah dialami, katanya.

   "Aku sudah mencari kalian cukup lama, namun tidak berhasil, pada saat itulah tiba-tiba kudengar ada suara manusia maka segera ku hampiri, ternyata dia adalah seorang manusia berbaju serba hitam yang bercakar hitam, hanya sepasang mata iblisnya yang kelihatan, dia muncul dari balik kegelapan dan menghalangi perjalananku sambil merentangkan tangannya."

   "Aaah, betul, dialah orangnya,"

   Jerit Gi Beng kaget.

   "Jadi kau... kau pun sudah bertemu dengannya?"

   Tanya GiTeng terperanjat.

   "Jangan kau tanya dulu persoalan itu, katakan bagaimana selanjutnya?"

   "Dalam terperanjatnya aku segera menghardik, siapa tahu orang itu hanya menatapku dengan sepasang mata iblisnya, begitu dipandang beberapa saat, entah kenapa mendadak timbul perasaan takut di hatiku, aku ingin kabur, tapi... kakiku seakan sudah kabur dari tubuhku, aku tidak sanggup bergerak, aku ingin menghindar dari tatapan matanya, itupun tidak berhasil, sepasang mataku seolah melekat dengan tatapan matanya, seperti tidak tahan untuk menengok ke arahnya terus."

   "Ke... kemudian?"

   Gi Beng semakin tercekat. Dengan wajah kebingungan, semakin tidak mengerti Gi Teng melanjutkan.

   "Kemudian entah bagaimana ceritanya aku berubah makin kebingungan, seakan menjadi tidak sadar, aku tidak paham apa yang telah kulakukan, aku pun tidak tahu apa yang telah kuucapkan, bahkan aku juga tidak habis mengerti kenapa bisa tiba di sini."

   "Adah... ilmu pembetot sukma!"

   Bisik Gi Teng sambil menarik napas dingin.

   "Betul,"

   Sahut Gi Teng sambil tertawa getir.

   "kelihatannya aku bakal mendapat rezeki, kungfu yang ingin dilihat orang lain pun susahnya setengah mati, ternyata malah sudah kucicipi kehebatannya Setelah memandang sekejap sekitar sana, tiba-tiba dia menjerit kaget.

   "Kemana perginya Sui... Sui Leng-kong?"

   Begitu menyinggung soal Sui Leng-kong, air mata kembali berderai membasahi pipi Gi Beng.

   "Dia... dia...."

   Baru terucap dua kata, dia sudah menubruk Gi Teng sambil menangis tersedu-sedu. Gi Teng makin terperanjat setelah menyaksikan ulah adiknya, bisiknya gemetar.

   "Jangan-jangan dia sudah...."

   Diiringi isak tangis yang amat sedih, Gi Beng menuturkan kembali kisah pengalaman yang dialami mereka selama ini.

   Belum selesai mendengarkan kisah pengalaman itu, tangan dan kaki Gi Teng sudah menjadi dingin bagaikan es, dia merasa seakan tubuhnya dilempar orang ke dalam kubangan salju yang sangat dingin, membuatnya menggigil kedinginan.

   Mereka berdua mencoba untuk menduga, mengapa bisa jatuh tidak sadarkan diri? Mengapa tinggal mereka berdua di situ? Peristiwa apa pula yang telah terjadi sehabis mereka jatuh tidak sadarkan diri.

   Saat itu mereka berdua berada di tengah tanah perbukitan yang terpencil, selain tidak dapat menentukan arah, tubuh mereka pun terasa masih sangat lemas, dua bersaudara yang belum pernah merasa panik dan gelisah itu, kini nyaris dibuat gila saking bingungnya.

   "Bagaimanapun, kita harus segera menemukan dirinya,"

   Bisik GiTeng kemudian.

   "Tapi... ke mana kita harus mencari?"

   Tanya Gi Beng dengan air mata berlinang. Gi Teng berdiri termangu, dia sendiri pun tak tahu apa yang harus diperbuat. Sampai lama kemudian, satu ingatan baru melintas dalam benak Gi Beng, segera serunya.

   "Aaah, ada akal, lebih baik kita temui Seng-toako sekalian, minta mereka membantu kita melakukan pelacakan, dengan jumlah yang lebih banyak, mungkin hasilnya juga beda."

   Usul ini memang usul terbaik di antara usul lainnya, tapi dimanakah posisi mereka sekarang? Kuil Sang-cing-koan di bukit Lau-san berada dimana? Kedua orang itu tidak mengerti.

   Sekarang mereka hanya berharap bisa bertemu seseorang untuk ditanyai arah yang benar.

   Maka dengan langkah lebar mereka pun berjalan meninggalkan tempat itu, namun sudah sekian lama berjalan, belum juga dijumpai seorang manusia pun.

   Gi Beng sudah mulai merasakan matanya berkunang, kakinya lemas tidak bertenaga, kini dia betul-betul merasa sangat kecewa.

   Saat itulah mendadak terdengar suara bentakan nyaring berkumandang dari balik bukit di depan sana, terdengar seseorang mengumpat dengan penuh amarah.

   "Sudah lama aku mencarimu dan kau pun tahu akan hal ini, buat apa masih berlagak pilon?"

   Terdengar seorang yang lain menyahut sambil tertawa.

   "Cayhe sungguh tidak habis mengerti, ada urusan apa Cianpwe mencari aku?"

   Walaupun Gi Beng dan Gi Teng tidak dapat mengenali suara siapa orang yang menjawab belakangan, tapi mereka segera mengenali suara bentakan yang pertama tadi berasal dari Che Toa-ho.

   Tidak terlukiskan rasa girang dua bersaudara ini, tanpa ragu lagi cepat mereka berlari menghampiri sumber suara itu.

   Terdengar Che Toa-ho kembali membentak gusar.

   "Biar kau tidak tahu pun, hari ini aku tetap akan berusaha melenyapkan kau si bangsat cabul dari muka bumi, akan kulihat apakah kau masih berani merusak pagar ayu orang lain lagi."

   Menyusul suara bentakan nyaring, terdengarlah suara bentrokan senjata yang sangat ramai.

   Dengan perasaan girang Gi Beng serta Gi Teng mempercepat langkah kakinya, tidak lama kemudian tibalah mereka di depan sebuah hutan, dari kejauhan sudah terdengar deru angin serangan yang memekakkan telinga Begitu asyiknya pertarungan itu berlangsung, hingga dua bersaudara Gi tiba di sisi arena pun Che Toa-ho masih belum menyadarinya.

   Dengan mengandalkan ilmu pedangnya yang ganas dan telengas, setiap serangan yang dilancarkan saat itu boleh dibilang semuanya merupakan jurus-jurus mematikan, seolah dia mempunyai dendam kesumat sedalam lautan dengan lawannya hingga ingin secepatnya menghabisi nyawa musuh.

   Musuh yang sedang dihadapi adalah seorang pemuda berbaju perlente, seorang pemuda yang tidak dikenal Gi Beng maupun Gi Teng.

   Walaupun kungfu yang dimiliki pemuda itu cukup tangguh, nampak jelas dia masih bukan tandingan salah satu jago pedang pelangi itu, permainan pedangnya makin lama semakin kacau dan tercecar hebat, kini dia hanya mampu bertahan Dua bersaudara Gi merasa kurang leluasa untuk turut campur dalam pertarungan itu, mereka pun tidak berusaha mencegah, karenanya hanya berdiri menonton di sisi arena.

   Kelihatannya kedua orang yang sedang bertarung itu sama sekali tidak sadar akan kehadiran pihak ketiga, mereka masih terlibat dalam pertarungan yang amat seru.

   Khususnya Che Toa-ho, semakin bertarung dia semakin naik pitam, bukan cuma rambutnya berdiri bagai landak, sepasang matanya ikut berubah merah padam.

   Sudah cukup lama Gi Beng dan Gi Teng kenal jagoan ini, mereka pun seringkah menyaksi-kan dia bertarung melawan orang lain, namun selama ini belum pernah menyaksikan dia menyerang dengan begitu buas, kejam dan telengas seperti hari ini.

   Kini dia sudah mengembangkan ilmu pedangnya hingga mencapai puncaknya, setiap serangan yang dilancarkan ibarat pelangi yang membelah angkasa, membuat daun dan ranting berguguran, hawa pedang menyelimuti seluruh angkasa, pemandangan saat itu betul-betul membetot sukma dan menggetarkan hati.

   Mendadak Che Toa-ho membentak nyaring, di tengah getaran cahaya pedang, satu tusukan kilat dilontarkan ke muka.

   Tidak sempat menghindarkan diri, bahu pemuda itu segera tersambar hingga muncul sebuah luka memanjang yang cukup dalam.

   Sambil menjerit kesakitan, kontan pemuda itu mengumpat.

   "Che Toa-ho, apa maksudmu menghalangi perjalananku dan memaksa aku bertarung melawanmu? Kalau beraninya hanya menganiaya kaum muda, terhitung Enghiong macam apa dirimu itu?"

   "Jika hari ini aku tidak mampu melenyapkan bajingan cabul macam kau, nama besarku sebagai jago pedang berkopiah kuning baru terhitung hancur di tangan binatang macam dirimu,"

   Balas CheToa-ho penuh amarah.

   Sementara berbicara, secepat kilat dia melancarkan kembali tujuh tusukan maut.

   Kembali muncul beberapa luka dalam di dada kiri pemuda itu, darah segar segera bercucuran membasahi tubuhnya, darah yang membentuk kuntum bunga merah di atas jubah suteranya yang halus.

   Dengan rasa takut bercampur ngeri, pemuda itu berteriak keras.

   "Suhu! Susiok! Cepat kemari, tolong aku... ! Che Toa-ho kumat edannya, dia ingin membunuhku...."

   "Ayo, berteriaklah!"

   Jengek CheToa-ho sambil tertawa seram.

   "teriak lagi yang keras.... Hmmm, biar kau berteriak sampai serak pun jangan harap Hek Seng-thian serta Suto Siau datang menolongmu."

   Sekarang Gi Teng serta Gi Beng baru tahu kalau pemuda perlente itu ternyata adalah murid Hek Seng-thian serta Suto Siau, mereka saling bertukar pandang sekejap sambil berpikir.

   "Bukankah Sim Sin-pek satu aliran dengan Hek Seng-thian maupun Suto Siau? Kenapa Che Toa-ho begitu membenci pemuda itu seakan punya dendam kesumat sedalam lautan dan bersikeras ingin menghabisi nyawanya?"

   Baru saja ingatan itu melintas, tiba-tiba terdengar seseorang membentak nyaring.

   "Tahan!"

   Tiga sosok bayangan manusia menyusup masuk ke dalam hutan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, di antara cahaya pedang yang berkilauan.

   "Traangg!", tahu-tahu serangan pedang Che Toa-ho sudah ditangkis.

   "Laute, kau sudah edan?"

   Terdengar seseorang membentak keras.

   Suaranya berat dan dalam, dia tidak lain adalah si jago pedang berhati merah Seng Cun-hau.

   Dua orang yang lain menerjang pula ke dalam arena, yang seorang dengan senyum di kulum melindungi tubuh pemuda itu, sementara seorang yang lain, berperawakan kecil mungil, memegangi lengan CheToa-ho dengan wajah gelisah.

   Orang yang tersenyum tidak lain adalah Suto Siau, sementara yang bertubuh kecil mungil adalah Sun Siau-kiau.

   Tidak terlukiskan rasa gusar Che Toa-ho, saking marahnya, paras muka lelaki ini berubah jadi merah padam seperti kepiting rebus, jeritnya.

   "Siau-kiau, cepat lepas tanganmu! Toako, kau tidak usah mencampuri urusan ini, apapun yang terjadi, hari ini aku harus menjagal si cabul busuk ini, dia binatang busuk!"

   "Saudara Che, tolong redakan amarahmu,"

   Kata Suto Siau pula sambil tersenyum.

   "jika Sim Sin-pek memang berbuat salah atau kurang sopan, katakan saja terus terang, biar Siaute yang mengganjar hukuman berat kepadanya, buat apa saudara Che mesti bersusah payah ingin men-cabut nyawanya?"

   Melihat orang itu berbicara sambil tersenyum, Che Toa-ho jadi semakin mendongkol, saking jengkelnya dia sampai tidak mampu berkata. Dalam pada itu Suto Siau sudah berpaling ke arah pemuda itu sambil membentak.

   "Kenapa kau menyalahi paman Che? Ayo, cepat mengaku terus terang."

   Pemuda itu tidak lain adalah Sim Sin-pek, begitu melihat bala bantuan sudah tiba, kontan nyalinya bertambah besar, setelah memutar biji matanya, dengan lagak seperti orang kena fitnah dia berkata.

   "Kapan murid pernah berbuat salah kepada paman Che? Justru pamanlah yang berulang kali mengumpatku sebagai bajingan cabul, padahal murid sendiri juga tidak jelas kenapa bisa dituduh begitu?"

   Dalam pada itu Seng Cun-hau telah menegur pula dengan suara dalam.

   "Laute, sebenarnya apa yang terjadi? Katakan saja."

   Che Toa-ho sama sekali tidak menjawab, hanya tubuhnya kelihatan gemetar keras, dia tak sanggup mengemukakan alasannya. Tiba-tiba Suto Siau menarik wajahnya, sambil tertawa dingin ujarnya.

   "Sim Sin-pek masih muda, dia masih cukup lama hidup mengembara dalam dunia persilatan, masih mending kalau hari ini dia terbunuh di tangan saudara Che, tapi tuduhan sebagai 'bajingan cabul', satu tuduhan yang berat dan susah dipikul siapa pun. Cun-hau, kau sebagai ketua tujuh pedang pelangi mesti menyelesaikan persoalan ini dengan sebaik-baiknya, jika saudara Che tidak menerangkan sejelasnya, aku akan minta pertanggungjawabanmu."

   Baru pertama kali ini dua bersaudara Gi bertemu dengan Suto Siau, menyaksikan sikap maupun caranya bertindak, mereka berdua serentak berteriak dalam hati.

   "Sungguh lihai manusia ini."

   Benar saja, Seng Cun-hau betul-betul dipojokkan oleh ucapan itu, dia dipaksa tidak mampu berbicara, sesudah berdehem berulang kali, akhirnya dia berpaling ke arah Che Toa-ho dan bisiknya tergagap.

   "Laute, kau...."

   Belum selesai dia berbicara, dengan suara keras Che Toa-ho sudah berteriak lebih dulu.

   "Baik! Akan kukatakan terus terang, Suto Siau, dengarkan baik-baik, murid bajinganmu yang tidak tahu malu itu berani berbuat tidak senonoh terhadap biniku, coba katakan, pantas tidak kalau dia dijagai?"

   Seketika itu juga Seng Cun-hau serta Suto Siau berdiri tertegun. Sekarang Gi Beng dan Gi Teng baru mengerti kejadian sebenarnya.

   "Ohh, ternyata urusan beginian, tidak heran sulit bagi Che Toa-ho untuk buka suara."

   Sebetulnya Sun Siau-kiau hanya berdiri bengong di situ, tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu.

   "Sin-pek, benarkah ada kejadian seperti ini?"

   Bentak Suto Siau keras. Sim Sin-pek memutar biji matanya berulang kali, kemudian sahutnya dengan kepala tertunduk.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mana mungkin ada kejadian seperti ini? Sekalipun murid berniat menggaet Che-hujin, tapi Che-hujin kan seorang wanita suci dan berhati bersih, mana mungkin dia mau berbuat tidak senonoh dengan murid?"

   "Kentut! Kau binatang jahanam masih ingin mengelak...."

   Bentak Che Toa-ho penuh amarah.

   Belum selesai dia bicara, pipinya sudah ditampar Sun Siau-kiau keras-keras, dia terkejut bercampur gusar, tapi belum sempat berbuat sesuatu, Sun Siau-kiau sudah berguling di tanah sambil menangis keras.

   Sembari menarik pakaian yang dikenakan dan memukul dada sendiri, perempuan itu menjerit sambil menangis.

   "Aku tidak mau hidup... aku tidak mau hidup... bunuhlah aku... bunuh saja aku! Kalau tidak berani membunuhku, kau memang kura-kura kepala busuk, binatang goblok...."

   Biarpun pada hari biasa Che Toa-ho terhitung seorang Enghiong, namun begitu bininya mulai sewot dan menangis, sama seperti pria kebanyakan, kontan dia jadi kelabakan dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan.

   Dalam waktu singkat tubuhnya sudah termakan tiga bogem mentah ditambah lima tendangan Sun Siau-kiau, begitu keras gebukan itu membuat mukanya semakin merah padam.

   "Ayo, bangun!"

   Teriaknya sambil menghentakkan kaki berulang kali.

   "cepat bangun, ada urusan kita bicarakan baik-baik."

   Sambil memukul dan menangis, Sun Siau-kiau mengumpat tiada hentinya.

   "Apalagi yang bisa dibicarakan, orang lain mengatakan binimu suci bersih sebaliknya kau justru menuduh binimu main serong dan melakukan hal yang tidak senonoh, huuuh... orang lain begitu percaya kepada binimu, sebaliknya kau malah tidak percaya... teman-teman semua, coba lihat, mana ada manusia di kolong langit yang ngotot mengenakan topi hijau untuk diri sendiri?"

   Seng Cun-hau berdiri tersipu-sipu, dia merasa serba salah, mau menarik salah, mau mencegah pun rikuh, untuk sesaat dia malah berdiri kebingungan.

   Suto Siau hanya menggendong tangan sambil memandang langit, tiada hentinya dia tertawa dingin, sementara Sim Sin-pek diam-diam melengos ke arah lain, seolah tidak tahan geli dan ingin tertawa terbahak-bahak.

   Mendadak Sun Siau-kiau melompat bangun, sambil merobek pakaian yang dikenakan Che Toa-ho, makinya.

   "Baik, kau menuduh aku telah menjadikan dirimu seekor kura-kura dungu, kenapa tidak kau bunuh saja diriku? Ayo, cepat turun tangan... kalau memang bernyali, cepat bunuh aku...."

   Paras muka Che Toa-ho merah padam bagaikan kepiting rebus, pakaian yang dikenakan robek hingga compang-camping karena ditarik bininya, dia berusaha mendorong istrinya, namun tidak berhasil, mau menghindar juga gagal, terpaksa jeritnya.

   "Seng-toako, cepat tarik dia!"

   Seng Cun-hau menghentakkan kakinya berulang kali, serunya.

   "Aaaai! Dasar pikun, mana mungkin aku bisa menariknya?"

   Untunglah Gi Beng tidak tahan menyaksikan adegan itu, cepat dia melompat ke muka merangkul pinggang Sun Siau-kiau, lalu sambil menepuk bahunya, dia berseru.

   "Ensoku yang baik, ayo, sudahlah, beristirahatlah dulu!"

   Sambil membalikkan tubuh, Sun Siau-kiau siap menggebuk, tapi begitu tahu orang yang merangkulnya adalah Gi Beng, dia pun mengurungkan niatnya, sambil memeluk tengkuk gadis itu, dia menangis tersedu-sedu.

   "Adikku,"

   Teriaknya.

   "untung kau yang datang, tahukah kau, Ensomu sudah dituduh yang bukan-bukan... oooh, Thian... oooh, Thian... mau ditaruh kemana mukaku selanjutnya?"

   "Ya, Che-toako memang sudah salah bicara, tidak seharusnya dia menuduh yang bukan-bukan,"

   Sahut Gi Beng tergagap. Mendengar perkataan itu, isak tangis Sun Siau-kiau malah semakin menjadi, katanya dengan sedih.

   "Adikku, ternyata hanya kau yang memahami jiwaku.... He, manusia she Che, sudah kau dengar perkataan adik keluarga Gi ini? Dasar lelaki tidak punya liangsim, lelaki dungu, kau memang binatang goblok!"

   Melihat kehadiran Gi Beng, diam-diam Che Toa-ho menghembuskan napas lega, sementara itu dia sudah menyingkir jauh dari arena. Saat itulah Gi Beng mengedipkan mata ke arahnya sambil berkata.

   "Che toako, kau telah sembarangan menuduh Enso, cepat kemari, minta maaf kepadanya."

   Sejujurnya Che Toa-ho ingin sekali maju mendekat dan minta maaf, tapi begitu sorot matanya bertemu pandangan Sim Sin-pek yang nampak berdiri sambil menyengir, kontan dia menghentikan kembali langkahnya.

   Tiba-tiba Suto Siau berdehem berulang kali, kemudian katanya.

   "Kalau toh persoalan ini hanya timbul karena kesalah pahaman, baiklah, kita sudahi sampai di sini saja. Cun-hau, temani rekan-rekanmu berbincang, aku dan Sin-pek akan jalan lebih dulu."

   Padahal dia sendiri pun tahu dengan pasti kalau, Sim Sin-pek memang telah berbuat tidak senonoh dengan Sun Siau-kiau, karena itu kalau bukan kabur sekarang juga, dia mau menunggu sampai kapan? Maka setelah memberi kode kepada Sim Sin-pek, buru-buru dia berlalu dari situ.

   Saat itulah Che Toa-ho baru berjalan mendekat dan menjura berulang kali sambil minta maaf, dia mesti berusaha mati-matian sebelum akhirnya Sun Siau-kiau menghentikan isak tangisnya.

   Sambil menampar wajah lelaki itu, kembali Sun Siau-kiau berseru.

   "Di kemudian hari apakah kau masih berani menuduh aku berbuat tidak senonoh?"

   "Tidak berani, tidak berani,"

   Sahut Che Toa-ho dengan kepala tertunduk lesu. Melihat tampang suaminya, Sun Siau-kiau pun tertawa cekikikan.

   "Dasar kura-kura tolol, memandang wajah adik Gi Beng, kuampuni kesalahanmu kali ini."

   Seng Cun-hau yang menyaksikan dari samping hanya bisa menggelengkan kepala berulang kali sambil menghela napas, dia benar-benar tidak tega menonton lebih lanjut, cepat dia berpaling ke arah lain dan menatap wajah Gi Teng.

   Cepat Gi Teng maju ke depan sambil menjura, katanya.

   "Siaute memang sedang mencari Toako, sayang selama ini tidak kuketahui dimana letak kuil Sang-cing-koan, untunglah kita bersua tanpa sengaja di sini...."

   "Kedatangan kalian pun sungguh kebetulan,"

   Seng Cun-hau menghela napas panjang.

   "kalau tidak, sekalipun berhasil menemukan letak kuil Sang-cing-koan, belum tentu bisa bertemu kami, karena kami sudah meninggalkan tempat itu sejak awal."

   "Meninggalkan tempat itu?"

   Tanya Gi Teng keheranan.

   "mau pergi kemana kalian?"

   "Tempat tinggal kami saat ini boleh dibilang selalu berpindah-pindah, terkadang dalam sehari kami bisa tiga kali berpindah tempat. Masih untung tidak banyak perbekalan yang kami bawa, jadi begitu dia mengajak pergi... aaaai, kami pun segera berangkat."

   Gi Teng semakin keheranan, tak tahan tanyanya.

   "Kenapa begitu?"

   Seng Cun-hau mendongakkan kepala menghela napas panjang, sampai lama sekali dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Sun Siau-kiau segera menimbrung.

   "Lui-pian Lojin betul-betul seorang manusia yang susah dilayani, dia kuatir ada orang lain mengintip rahasianya, maka seringkah dia berpindah tempat tinggal, bahkan saban hari memaksa kami melakukan patroli di sekitar tempat tinggalnya, terkadang sewaktu kami balik lagi ke tempat semula, dia sudah angkat kaki dan berpindah ke tempat lain."

   Sekalipun wajahnya masih dibasahi air mata, namun begitu bercerita, dia pun berbicara panjang lebar dengan santainya. Kontan Gi Teng berkerut kening, ujarnya.

   "Aaaai, tidak nyana manusia ternama dan terhormat macam Lui-pian Lojin pun selalu berpindah tempat macam setan gentayangan... dengan watak anehnya itu, mana mungkin kalian bisa sabar menghadapinya?"

   "Biar tidak tahan pun apa boleh buat, ibu Seng-toako...."

   Mendadak perempuan itu melirik Seng Cun-hau sekejap, akhirnya dia pun urung melanjutkan perkataannya.

   Rasa sedih yang luar biasa seketika menyelimuti wajah Seng Cun-hau, dia mendongakkan kepala memandang angkasa sambil menghela napas panjang, melihat itu Gi Teng pun tidak banyak bicara, dia hanya tertunduk dengan sedih.

   Tiba-tiba Gi Beng bertanya.

   "Jika kita balik ke sana dan ternyata dia sudah berpindah tempat lagi, dengan cara apa kita menemukan jejaknya?"

   "Itu bukan masalah besar,"

   Jawab Sun Siau-kiau tertawa.

   "bukankah Suto Siau punya kode rahasia untuk saling berhubungan? Ketika mencari jejaknya, kami pun memanfaatkan kode rahasia itu untuk saling berhubungan dan menjalin kontak, itulah sebab-nya kemana pun mereka pergi, kami pasti berhasil menemukan kembali, adikku, mari, biar kuajak kau menengok keadaan yang sebenarnya."

   Tanpa membuang waktu dia segera menarik tangan Gi Beng dan diajak pergi dari situ Terpaksa Seng Cun-hau sekalian mengikutnya di belakang.

   Kini Che Toa-ho baru tahu, rupanya rombongan itu bisa menemukan jejaknya karena sudah mengikuti tanda rahasia yang secara diam-diam ditinggalkan Sim Sin-pek, dengan termangu diawasinya bayangan punggung Sun Siau-kiau yang menjauh, untuk sesaat dia tidak bisa mengatakan bagaimana perasaan hatinya kini....

   Sejak itu persekutuan lima keluarga besar dari Suto Siau dengan tujuh pedang pelangi pun sudah tertanam sebutir bibit ketidak beruntungan yang membawa firasat buruk.

   BAB 35 Cinta Kasih Sejati Un Tay-tay menyingkap rerumputan, dari balik rumput yang lebat dilihatnya ada lima butir biji catur berwarna hitam, empat ditumpuk jadi satu pada posisi belakang dengan sebiji catur paling depan, arah yang ditunjuk adalah timur.

   Rupanya itulah tanda rahasia yang ditinggalkan Suto Siau sekalian untuk menunjukkan arah, dulu Un Tay-tay cukup lama bergaul dengan Suto Siau, bahkan hubungan mereka terhitung cukup akrab, tidak heran perempuan ini sangat menguasai kode rahasia itu.

   Sejak tadi sebetulnya dia sudah melihat tanda rahasia itu, hanya saja karena waktu itu pikirannya sedang dilanda kesedihan dan kekalutan sehingga tidak terlalu memperhatikan.

   Tapi sekarang dia sudah mengambil keputusan, apapun yang bakal terjadi, dia harus menemukan jejak Lui-pian Lojin serta Suto Siau sekalian.

   Lama dia mengawasi kode rahasia itu, akhirnya dia ambil biji catur yang terakhir dan menggesernya dari depan menuju ke belakang, dia telah memindahkan dari arah ke timur menjadi arah barat.

   Kemudian sambil bertepuk tangan dia bergerak menuju ke timur, membayangkan bagaimana Suto Siau sekalian bakal dibuat bingung oleh arah yang salah, tanpa terasa sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya.

   Sepanjang perjalanan kembali dia jumpai empat lima buah tanda rahasia, serta merta dia memutar balik arah yang dituju, dengan harapan Suto Siau sekalian semakin kabur dari arah yang sebenarnya.

   Akhirnya tibalah dia di sebuah lembah bukit yang amat gersang, walaupun di depan sana terlihat ada jalan setapak, namun kiri kanannya merupakan tebing setinggi beberapa ratus kaki yang tegak lurus dan curam.

   Sementara arah yang dituju adalah ke sisi kanan.

   Un Tay-tay tertegun, dia mencoba mendongakkan kepala, terlihat dinding tebing itu sangat tinggi hingga menjulang ke angkasa, sekalipun sepanjang dinding terlihat ada rotan yang bisa dipakai untuk merambat, namun ditinjau dari medan yang begitu sulit, rasanya seekor monyet pun tidak mudah untuk melewati tempat itu.

   Dia semakin tercengang bercampur kaget, pikirnya.

   "Jangan-jangan ada orang yang datang lebih awal dari aku dan mengacau arah yang ditinggalkan tanda rahasia itu?"

   Namun dia tahu kode rahasia itu hanya diketahui Suto Siau sekalian yang berjumlah beberapa gelintir, mustahil orang lain mengetahui rahasia itu, tapi kenapa mereka bisa mengacau arah yang ditinggalkan? Un Tay-tay memeras otak berusaha memecahkan persoalan ini, namun sampai lama kemudian dia masih belum berhasil memecahkannya.

   Dengan termangu dia berdiri mematung di situ, angin berhembus kencang mengibarkan ujung bajunya....

   Waktu itu dia berdiri menghadap ke arah dinding tebing, lalu darimana munculnya hembusan angin itu? Mungkinkah angin itu berhembus dari balik dinding? Penemuan tidak terduga ini seketika menggerakkan akalnya, cepat dia berjalan menghampiri dinding tebing dimana angin itu berasal, biarpun dalam keadaan tergopoh, dia tidak lupa mengubah arah yang ditinggalkan tanda rahasia itu, kali ini dia mengubahnya ke arah jurang.

   Benar saja, di antara dinding tebing yang licin terdapat beberapa buah celah, sekalipun celah itu tersembunyi di balik tumbuhan rotan yang cukup lebat, akan tetapi setelah dicari Un Tay-tay secara seksama, akhirnya celah itu berhasil juga ditemukan.

   Dalam keadaan seperti ini dia benar-benar sudah melupakan semua rasa takut dan ngeri, sekalipun di balik celah adalah sarang naga atau gua harimau, dia tidak ambil peduli, begitu berhasil menyingkirkan rotan yang menutupi seputar celah, perempuan ini langsung menerobos masuk ke dalam.

   Di balik celah merupakan sebuah lorong yang sempit dan gelap, ditinjau dari rerumputan yang tumbuh di seputar sana, jelas terlihat tanda-tanda bekas diinjak manusia, untung Un Tay-tay sangat teliti dan seksama, sebab kalau tidak diperiksa secara khusus, pertanda itu memang sulit ditemukan.

   Dengan susah payah dia menerobos lorong sempit itu sejauh puluhan kaki sebelum akhirnya tiba di sebuah tempat yang jauh lebih luas dan terang.

   Tempat itu merupakan sebuah lembah yang sangat luas, sinar matahari menyinari seluruh jagad, angin pun terasa berhembus sepoi menggoyangkan tumbuhan dan rerumputan.

   Mimpipun Un Tay-tay tidak menyangka di balik celah yang sempit ternyata terdapat tanah lembah yang begitu luas dan lebar.

   Untuk sesaat dia seakan terpukau menyaksikan keindahan alam yang sangat cantik dan luas ini, sampai lama sekali dia berdiri termangu, tertegun, tanpa bergerak sedikitpun.

   Di tengah padang rumput yang sangat luas terlihat rerumputan tumbuh setinggi manusia, ketika berjalan di antara rumput nan hijau itu, Un Tay-tay merasa dirinya seolah terombang-ambing di tengah gelombang samudra yang luas, membuat pening kepalanya, membuat kabur pandangan matanya.

   Dia sama sekali tidak dapat melihat pemandangan di sekeliling sana, dia pun tidak bisa menentukan arah mata angin, kalau semula dia menyangka begitu memasuki celah tebing, maka Lui-pian Lojin segera akan ditemukan, kini dia sadar bahwa pendapatnya itu keliru besar.

   Mencari seorang di tengah padang rumput yang begitu luas, ibarat mencari sebatang jarum di tengah samudra, bukan saja teramat sulit, bahkan boleh dibilang mustahil.

   Untuk berteriak atau menjerit pun dia tidak berani, karena dia merasa ngeri untuk berteriak di tengah padang rumput tanpa tepian ini.

   Mungkinkah ada ular beracun atau hewan buas yang mengintai dari balik rerumputan? Mungkinkah ada musuh tangguh yang sedang mengawasinya? Un Tay-tay sama sekali tidak mau memikirkannya, dia berjalan terus menerobos rerumputan dengan langkah lebar.

   Namun rerumputan yang tumbuh di situ benar-benar kelewat tebal, kelewat rimbun, dalam keadaan seperti ini, biar ada orang yang berjalan mendekatinya pun belum tentu dia tahu, bahkan sekalipun dia sudah berjalan dengan langkah cepat pun, dia tidak berhasil bergerak lebih cepat lagi.

   Sudah dua tiga peminuman teh dia berjalan, namun suasana di sekitar sana tetap hening dan sepi, dia belum berhasil juga menemukan sesuatu.

   Yang terdengar hanya angin yang menggoyangkan rerumputan, hanya desingan angin yang menerpa sisi telinganya.

   Meskipun hanya suara angin, Un Tay-tay merasa suara itu lama kelamaan mulai membuatnya gugup, membuatnya panik.

   Akhirnya dia tidak kuasa menahan diri lagi, sambil menghimpun tenaga, tubuhnya melambung ke tengah udara, melampaui rerumputan dan memeriksa seputar sana.

   Namun sejauh mata memandang, hanya gelombang rerumputan yang bergoyang beriring, jangankan seseorang, bahkan bayangannya pun tidak nampak.

   Dia ingin sekali memeriksa dengan lebih seksama, sayang hawa murninya telah buyar sehingga tubuhnya terpaksa meluncur kembali ke bawah.

   Di saat tubuhnya meluncur turun ke bawah itulah mendadak dia merasakan suatu gerakan yang sangat aneh muncul dari padang rumput sebelah kiri, tapi sayang, ketika dia melambung sekali lagi ke tengah udara, tiada sesuatu yang berhasil disaksikan.

   Berjalan di tengah padang rumput yang luas dan lebat, sebenarnya merupakan satu tindakan yang berbahaya, karena di balik rerumputan bisa jadi terdapat berbagai jebakan dan perangkap, bisa pula terdapat penghadangan yang bisa mengancam keselamatan jiwanya.

   Andaikata orang lain, belum tentu mereka berani bertindak secara gegabah dan ngawur dalam situasi seperti ini.

   Namun Un Tay-tay merasa yakin dalam lembah itu hanya terdapat Lui-pian Lojin dan komplotannya, sekalipun sudah muncul jejak manusia di sisi kiri, dia menduga orang itu pastilah salah satu di antara komplotannya.

   Tanpa berpikir panjang lagi, ia langsung menerobos maju ke depan.

   Baru berjalan puluhan kaki, tiba-tiba perempuan itu menghentikan kembali langkahnya, dari arah depan dia seperti mendengar suara desingan angin lirih, seperti suara baju yang bergesek dengan rerumputan.

   "Siapa di situ?"

   Hardik Un Tay-tay.

   Begitu suara bentakan berkumandang, suara desingan angin lirih itu seketika hilang tidak berbekas.

   Dengan kening berkerut, perlahan-lahan Un Tay-tay bergeser maju ke depan.

   Siapa tahu begitu dia mulai bergerak, suara lirih itu kembali bergema, bahkan sedang beringsut mundur dari situ, namun begitu dia menghentikan langkahnya, suara itu seketika ikut berhenti juga.

   Keadaannya ketika itu persis seperti orang sedang bermain petak-umpet, namun beratus kali lipat lebih berbahaya, di tengah keheningan yang mencekam, hanya suara hembusan angin yang terdengar.

   Sekalipun Un Tay-tay sudah tidak memikirkan keselamatan sendiri, tidak urung bergidik juga perasaannya waktu itu.

   Rasa takut yang muncul secara spontan terhitung salah satu titik kelemahan yang dimiliki manusia dan tidak mungkin bisa dihindari.

   Sekali lagi Un Tay-tay menghentikan langkahnya sambil membentak.

   "Siapakah kau?"

   Hanya ada suara angin yang menggoyang rerumputan, suasana di sekeliling situ tetap sepi, hening, tiadajawaban.

   "Kedatanganku tidak bermaksud buruk,"

   Kembali Un Tay-tay berkata.

   "siapa pun dirimu, tolong tampil, mari kita bersua muka."

   Kali ini dia berbicara dengan suara yang lebih keras, tapi suasana tetap hening, tiadajawaban yang terdengar di sekeliling sana.

   Sepanjang perjalanan hidupnya, sudah cukup banyak tempat berbahaya yang dikunjungi, namun betapa berbahayanya tempat itu, ancaman bahaya yang muncul selalu dapat dia lihat dan saksikan secara jelas.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sebaliknya berada di balik padang rumput yang begitu lebat, meski sepintas tempat itu nampak aman tenteram, padahal setiap jengkal tanah yang ada di situ tersimpan ancaman bahaya maut yang menakutkan, mara bahaya yang tidak terlihat dan tidak gampang ditebak itu sesungguhnya jauh lebih berbahaya ketimbang tempat yang paling berbahaya sekalipun.

   Tidak tahan lagi dia mulai bergumam dan memaki.

   "Sialan benar rerumputan di sini, kenapa tumbuh begitu lebat dan tinggi...."

   "Sreeet!", belum selesai dia bergumam, suara desingan lirih kembali bergema dari balik rerumputan. Un Tay-tay terkesiap, tanpa mempedulikan wajahnya tersayat oleh ujung rumput, dengan cepat dia melesat maju ke depan, begitu cepat gerakan tubuhnya membuat rerumputan berdesis nyaring. Suasana tetap hening, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun. Dua mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, namun tubuhnya kembali terkurung di balik rerumputan yang tinggi dan lebat, kinLmau tak mau bergidik juga perasaan Un Tay-tay. Tidak kuasa menahan gejolak perasaannya, kembali dia berteriak.

   "Apakah kau tidak dapat mengenali suaraku? Aku adalah Un Tay-tay! Apakah kau adalah Hek Seng-thian? Pek Seng-bu? Suto Siau? Seng Cun-hau?"

   Secara beruntun dia menyebut beberapa nama, tapi masih tidak ada jawaban. Dengan kening berkerut kembali dia berpikir.

   "Jangan-jangan memang tidak ada manu sia di depan sana? Jangan-jangan aku yang salah mendengar? Tapi bagaimana pun hanya ada jalan maju bagiku, apapun yang bakal terjadi aku harus tetap menerjang maju ke depan."

   Berpikir sampai di situ, sambil mengertak gigi ia menerjang maju ke depan.

   Langit lambat laun bertambah gelap, angin berhembus makin lama semakin kencang.

   Mendadak Un Tay-tay menginjak tempat kosong, rupanya dia sudah terperosok ke dalam perangkap, tidak ampun tubuhnya langsung roboh terjungkal ke bawah.

   Jangan dilihat usianya masih muda, pengalamannya dalam dunia persilatan justru amat luas dan matang, dalam keadaan seperti ini meski hatinya tercekat, namun tidak membuat pikirannya kalut, cepat sepasang lengannya digetarkan ke samping, dia memaksakan diri melambung ke udara dan menjatuhkan diri ke sisi lain.

   Siapa tahu baru saja ujung kakinya menyentuh permukaan tanah, mendadak muncul dua batang ranting pohon yang melejit dari samping rerumputan, ranting pohon yang tajam bagaikan sebilah pedang, dengan membawa desingan tajam langsung melesat ke arah tubuhnya.

   Sambil memutar tangannya melepaskan gempuran, Un Tay-tay merangsek maju ke depan, dengan gerakan Liong heng it sih (gerakan naga sakti) dia menyusup ke muka.

   Siapa tahu kakinya kembali menginjak tempat kosong, tubuhnya jadi lemas dan tidak ampun sekali lagi dia roboh tertelungkup.

   Kali ini dia telah menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki, sulit baginya untuk melambung lagi ke udara.

   Tahu-tahu pandangan matanya jadi gelap, sebuah karung kain hitam sudah ditutupkan ke atas kepalanya hingga ke separoh tubuh, sepasang lengannya ikut terkerudung yang membuatnya tidak mampu berkutik lagi.

   Un Tay-tay benar-benar mati kutu, begitu masuk perangkap, bukan saja dia tidak sempat melakukan perlawanan, bahkan langsung berhasil diringkus lawan.

   Dengan perasaan kaget segera jeritnya.

   "Siapa...."

   Belum sempat kata "kau"

   Diucapkan, sebuah tangan yang besar dan kuat sudah membekap mulutnya, diikuti tubuhnya sudah dicengkeram dan diangkat orang itu.

   Un Tay-tay mencoba meronta sekuat tenaga, sepasang kakinya menendang kian kemari.

   Namun orang itu benar-benar memiliki tenaga yang luar biasa, sepasang tangannya kekar dan kuat bagaikan terbuat dari baja, jangankan melepaskan diri, mau meronta pun susahnya bukan kepalang.

   Tahu-tahu ketiaknya terasa kesemutan, kemudian tubuhnya nyaris tidak mampu bergerak lagi, dia merasa tubuhnya seperti dipanggul orang di atas bahu dan dibawa pergi dari situ dengan langkah lebar.

   "Siapa gerangan orang ini?"

   Pikir Un Tay-tay.

   "Mau diapakan aku olehnya? Jangan-jangan orang ini punya dendam sakit hati denganku sehingga dia berani membokong aku?"

   Menurut arah yang ditinggalkan tanda rahasia, seharusnya lembah ini merupakan tempat persembunyian yang digunakan Suto Siau sekalian, atau dengan perkataan lain Lui-pian Lojin pun berada di sini, lalu siapa pula yang berani bercokol di tempat ini selain mereka? Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Un Tay-tay seperti menyadari akan sesuatu, segera pikirnya.

   "Aaah, benar, sudah pasti Suto Siau masih teringat dendam sakit hatinya di masa lampau maka secara diam-diam membokong aku, dia pasti bermaksud hendak mempermalukan diriku."

   Berpikir begitu, dia malahan merasa jauh lebih lega. Selang berapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara teguran seseorang, suara seorang wanita.

   "Suko, kau benar-benar telah turun tangan?"

   Terdengar perempuan itu bertanya. Walaupun suara seorang wanita, namun nadanya jauh lebih kuat dan tegas ketimbang suara seorang pria. Orang yang menggendong Un Tay-tay tidak menjawab, dia hanya mendengus. Kembali perempuan itu berkata.

   "Bukankah ayah berulang kali sudah berpesan, sebelum mengetahui asal-usul lawan, jangan sekali-kali kita turun tangan, jangan sampai tindakan kita malah "menggebuk rumput mengejutkan ular", gara gara masalah kecil malah merusak rencana besar."

   "Kau tahu siapakah perempuan ini?"

   Terdengar lelaki itu bertanya dengan suara parau.

   "Mana aku tahu, kenal pun tidak."

   Sewaktu mengucapkan perkataan itu, logat suaranya yang semula kecut dan hambar kini berubah jauh lebih lembut, selembut suara seorang gadis muda. Sambil mendengus, kata lelaki itu.

   "Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau."

   Biarpun hanya beberapa patah kata yang sederhana, namun mengandung rasa benci dan dendam yang luar biasa, seakan dia sudah membenci Suto Siau hingga merasuk ke tulang sumsum.

   Terdengar gadis itu berseru tertahan, kemudian tidak berbicara lagi.

   Selanjutnya suasana pun kembali hening, kedua orang itu tidak bercakap-cakap lagi.

   Keheningan yang luar biasa sekali lagi menyelimuti udara, kecuali hembusan angin yang menimbulkan gelombang pada rerumputan, tak terdengar suara lain lagi, keheningan yang menakutkan segera membuat hati Un Tay-tay makin tercekat.

   "Siapa gerangan lelaki perempuan ini? Apakah mereka adalah musuh besar"

   "atau mungkin dia membenciku karena aku datang mencari Suto Siau? Atau takut aku datang mencari balas terhadap Suto Siau maka dia membekuk diriku lebih dulu?"

   Hingga kini Un Tay-tay belum berhasil menebak siapa gerangan muda-mudi itu? Dia pun tak bisa menebak hendak dibawa kemana dirinya? Dan apa pula yang hendak mereka lakukan? Tapi ia bisa merasakan betapa cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu, kalau dilihat dari cara mereka bergerak dengan leluasa, dapat diduga mereka sudah cukup lama tinggal di situ sehingga bukan masalah bagi kedua orang itu untuk menentukan arah meski berada di tengah rimba rerumputan.

   Setelah berjalan beberapa saat, tiba-tiba terdengar gadis itu berseru lirih.

   "Berhenti!"

   Un Tay-tay merasakan tubuhnya tenggelam ke bawah, ternyata pemuda itu sudah berjongkok bahkan sambil menahan napas.

   Tidak lama kemudian dari balik rerumput-an di sebelah kanan terdengar suara langkah manusia diikuti suara gesekan ujung baju dengan rumput.

   Un Tay-tay yang berada dalam punggung pemuda itu dapat merasakan debaran jantungnya yang berdetak kencang.

   "Aneh"

   Pikirnya keheranan.

   "kenapa pemuda ini nampak begitu tegang? Jelas dia kuatir si pendatang mengetahui kehadirannya, atau mungkin yang datang adalah musuh tangguhnya?"

   "Betul-betul satu kejadian yang di luar dugaan, ternyata di tengah padang rumput yang begitu rahasia, terdapat dua aliran kekuatan yang saling bertentangan bagaikan air dan api, tapi selain kelompok Lui-pian Lojin, siapa pula kelompok yang lain? Berarti sepasang muda-mudi ini berasal dari kelompok yang bertentangan dengan Lui-pian Lojin."

   Begitu dicekam rasa ingin tahu, untuk sesaat dia malah melupakan keselamatan sendiri, sekarang dia hanya berharap orang yang berada dalam semak itu segera tampil agar dia tahu manusia macam apa yang telah datang.

   Siapa tahu suara langkah itu tiba-tiba berhenti dan tidak terdengar lagi ketika mereka berada beberapa jengkal dari sumber suara, menyusul kemudian terdengar seorang wanita dengan nada suara tinggi melengking dan aneh berkata.

   "Kalau kita berbicara di sini, sudah pasti tidak akan ada orang lain yang ikut mendengar."

   Nada suara orang ini seperti suara orang muda, tapi seperti juga suara orang yang sudah tua. Begitu mendengar suara itu, kontan jantung Un Tay-tay berdebar keras, pikirnya.

   "Ternyata Seng Toa-nio pun sudah tiba di sini!"

   Suara yang mirip orang muda tapi mirip juga suara orang tua ini memang suara khas Seng Toa-nio, siapa pun orangnya, asal pernah mendengar suaranya satu kali saja, maka selamanya tak bakal melupakannya.

   Walaupun Un Tay-tay tahu Seng Toa-nio pasti berada di balik rerumputan itu, tak urung hatinya tercekat juga mendengar suaranya.

   Terdengar suara yang lain menyahut sambil menghela napas.

   "Tidak nyana Lui-pian Lojin dapat menemukan tempat yang begini rahasia, sungguh menggelikan, sudah begini tersembunyi tempat ini, dia masih berkata di tempat ini pasti ada orang sedang mengintainya."

   Sekali lagi Un Tay-tay merasa terperanjat setelah mendengar suara itu, pikirnya.

   "Ternyata Hek Seng-thian pun sudah muncul di sini."

   Dengan rasa ingin tahu yang makin membara, kembali dia berpikir.

   "Sungguh aneh, kenapa Seng Toa-nio harus mengajak Hek Seng-thian untuk berbicara secara rahasia di sini? Rahasia apa yang hendak mereka bicarakan? Aku harus mendengarkan dengan seksama."

   Di tengah hembusan angin yang menggoyang rerumputan, suara pembicaraan kedua orang itu terdengar semakin lirih. Terdengar Seng Toa-nio berkata sambil tertawa dingin.

   "Menurut pendapatku, belakangan kesadaran si tua bangka itu makin lama semakin tidak jelas, kalau kita harus mengikutinya terus menerus pergi tanpa tujuan, bagaimana mungkin pekerjaan besar dapat dilaksanakan?"

   Hek Seng-thian turut menghela napas panjang.

   "Aaaai... sayang posisi kita sekarang ibarat menunggang di punggung harimau, ingin kabur pun rasanya mustahil."

   "Bagaimana jika umpamanya dia mampus?"

   Kelihatannya Hek Seng-thian sangat terkejut oleh perkataan itu, sampai lama sekali dia baru berkata lagi.

   "Siaute rada tidak paham dengan ucapan Toa-nio."

   "Kau mengerti, kau pasti mengerti, malah sejak tadi aku sudah tahu di antara beberapa orang yang tersisa, hanya kau seorang yang paling pantas disebut lelaki sejati, itulah sebabnya aku hanya mengajakmu seorang."

   Hek Seng-thian terbungkam dalam seribu bahasa. Kembali Seng Toa-nio berkata.

   "Walaupun tua bangka itu banyak curiga, namun sama sekali tidak menaruh rasa was was terhadap kita, asalkan kita campuri arak dalam buli-bulinya dengan obat racun, hehehe...."

   Hek Seng-thian menarik napas dingin, bisiknya tergagap.

   "Tapi... tapi... sekarang kita masih butuh kekuatannya sebagai sandaran, khususnya untuk membalas dendam, jika dia mati... bukankah keadaan ini malah merugikan kita semua?"

   Kontan Seng Toa-nio tertawa dingin.

   "Masa tidak kau lihat kedua

   Jilid kitab yang berada dalam buntalannya? Di situlah dia telah mewariskan semua ilmu silat yang dimilikinya, asal dia mampus, maka kitab itu akan menjadi milik kita berdua."

   Tergerak juga hati Hek Seng-thian sehabis mendengar perkataan itu, bisiknya tergagap.

   "Tapi...."

   "Sekarang si Ratu matahari sudah mengasingkan diri, Ya-te pun hilang jejaknya,"

   Tukas Seng Toa-nio cepat.

   "Asal kita berhasil mempelajari ilmu silat si Pecut geledek, dapat dipastikan kita pun bisa malang melintang dalam dunia persilatan tanpa tandingan, apa lagi yang kau ragukan?"

   Hek Seng-thian menghembuskan napas panjang, katanya.

   "Cuma... putranya itu meski kelihatan agak bloon, dia sangat cerdas, aku kuatir kemampuannya malah jauh di atas kemampuan si tua bangka, aku kuatir sulit menghadapinya."

   "Asal yang tua sudah mampus, masa kita masih takut dengan yang muda? Tidak usah menyebut orang lain, dengan mengandalkan sepasang tangan bajamu ditambah sekantung jarum bidadari langitku, ditambah lagi sebilah pedang dari Hau-ji, rasanya sudah lebih dari cukup untuk mencabut nyawanya!"

   Kembali Hek Seng-thian membungkam tanpa menjawab. Lewat beberapa saat kemudian Seng Toa-nio kembali bertanya.

   "Bagaimana?"

   "Asal Toa-nio mulai bertindak, Siaute pasti akan membantu."

   Seng Toa-nio tertawa ringan, tiba-tiba tanyanya lagi.

   "Menurutmu, bagaimana dengan Suto Siau?"

   Hek Seng-thian nampak tertegun, sahutnya kemudian.

   "Soal ini... Siaute...."

   "Hmm! Orang ini sok pintar, dalam hal apapun dia ingin lebih menonjol dari siapa pun,"

   Kata Seng Toa-nio sengit.

   "bukan saja dia tidak pernah memandang sebelah mata terhadapku, dia pun tidak pernah memandang sebelah mata terhadap kalian semua, lihat saja, sampai muridmu pun direbut olehnya, masa kau tidak acuh terhadap semua ini?"

   Untuk kesekian kalinya Hek Seng-thian menghembuskan napas panjang.

   "Sebetulnya sejak lama Siaute sudah menaruh perasaan tidak suka terhadap orang ini, tapi mengingat kita semua berasal dari satu persekutuan yang sama, maka aku tidak ingin turun tangan terhadapnya."

   "Asal kita sudah pelajari ilmu silat milik Lui-pian, buat apa manusia macam begitu?"

   Hek Seng-thian termenung sejenak, kata-nya kemudian.

   "Biarpun ilmu silat yang dimiliki orang ini tidak tangguh, tapi kelicikannya justru jauh melebihi seekor rase, rasanya tidak gampang menyingkirkan manusia macam begini."

   "Kalau soal itu tidak perlu kuatir, aku sudah mempunyai rencana yang matang."

   "Apa siasat Toa-nio? Bolehkan Siaute tahu?"

   "Siasat ini tergantung pada Che Toa-ho serta Sun Siau-kiau."

   "Sun Siau-kiau?"

   Kelihatannya Hek Seng-thian tidak habis mengerti.

   "Masa kau masih belum tahu manusia macam apakah Sun Siau-kiau itu?"

   "Perempuan ini memang seorang yang amat berbahaya,"

   Hek Seng-thian tertawa.

   "kelihatannya, kecuali suaminya, asal di kolong langit terdapat lelaki yang dianggap tampan, dia pasti akan berusaha untuk mencicipinya."

   "Itulah dia, bukan saja dia telah berbuat tidak senonoh dengan Sim Sin-pek, bahkan berusaha pula menggaet putra Lui-pian, padahal orang yang benar-benar sudah terpikat oleh rayuan mautnya adalah Suto Siau, si rase tua itu."

   "Ooh... benarkah itu?"

   Seru Hek Seng-thian tercengang.

   "Bukan baru satu dua hari mereka melakukan perzinahan, selama ini aku hanya mengawasi terus secara diam-diam, untuk sementara tidak bakal kusinggung rahasia ini, tapi bila kesempatan telah tiba...."

   "Apa yang hendak kau lakukan bila kesempatan telah tiba?"

   "Begitu kesempatan telah tiba, akan kuajak Che Toa-ho menyaksikan permainan busuk mereka, hmmm... hmmm... kalau sudah begitu, mana mungkin dia akan melepaskan Suto Siau begitu saja?"

   "Tapi... tapi... belum tentu Che Toa-ho sanggup menghadapi Suto Siau."

   Kontan Seng Toa-nio tertawa terkekeh.

   "Mungkin saja Che Toa-ho bukan tandingannya, tapi tujuh pendekar pelangi sehidup semati, jika Liong Kian-sik menyaksikan kejadian itu, memangnya dia hanya akan berpeluk tangan?"

   "Betul,"

   Seru Hek Seng-thian sambil tertawa pula.

   "sehebat apapun kepandaian silat yang dimiliki Suto Siau, bila sudah dikerubut dua jago pedang, niscaya dia akan mampus di tangan mereka. Sementara kita cukup berpeluk tangan sambil menonton...."

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tepat sekali, ternyata kau sudah mengerti."

   Hek Seng-thian menghela napas panjang.

   "Aaai... baru hari ini Siaute sadar, ternyata kecerdasan Toanio memang luar biasa, betapapun licik dan busuknya pikiran Suto Siau, kali ini dia bakal kenyang dijejali air bekas cuci kaki Toa-nio."

   "Itulah yang disebut orang, jahe semakin tua semakin pedas, jangan lupa dengan pepatah ini."

   "Siaute berharap Toa-nio bisa sukses besar dengan rencana besar ini, agar Siaute pun ikut kecipratan rezekinya"

   "Begitu berhasil, semua keuntungan dapat kita nikmati bersama. Aaai, Cun-hau si bocah itu kelewat keras kepala, maka dalam hal ini aku pun telah mengelabui dirinya, aku berharap kau jangan membocorkan dulu rahasia ini kepadanya."

   Hek Seng-thian tertawa lebar, katanya.

   "Siaute belum gila, tidak nanti kubocorkan rahasia besar ini."

   "Bagus sekali, kalau begitu kita putuskan kesepakatan ini."

   Bicara punya bicara, dengan membawa senyum kepuasan, berlalulah kedua orang itu dari situ.

   Un Tay-tay sendiri pun ikut menghembuskan napas dingin sehabis mendengar pembicaraan itu, tanpa sadar telapak tangannya telah basah oleh peluh dingin, selain terkejut, dia pun kegirangan, pikirnya.

   "Tampaknya Thian memang sengaja mengatur segalanya agar aku ikut mendengar rencana keji itu, asalkan aku belum mati, asal aku masih dapat berjumpa dengan mereka, berdasarkan apa yang telah kudengar, pasti akan kubuat mereka babak-belur."

   Dalam pada itu suara langkah Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian sudah semakin jauh dari sana sebelum akhirnya lenyap dari pendengaran. Pada saat itulah si anak muda itu baru menghembuskan napas lega sambil berkata.

   "Ternyata perkataan Samsiok memang benar, asal kita bisa bersabar dan menahan diri, suatu saat kawanan tikus dan ular berbisa itu pasti akan saling cakar dan gontok sendiri."

   "Sejak kapan perkataan Samsiok pernah keliru,"

   Sahut si nona dengan suara sedih.

   "hanya saja... hanya saja dia orang tua berkata, Jiko dan Samko itu orang baik, orang baik selalu dilindungi Thian, cepat atau lambat mereka pasti akan kembali, aku ragu... benarkah perkataannya itu... ? Aaaai! Kekuatan yang kita miliki sangat sedikit, bila Jiko dan Samko tidak kembali, aku kuatir... aku kuatir...."

   Apa yang dia kuatirkan? Kelihatannya gadis itu tidak berani melanjutkan kembali kata-katanya.

   Pemuda itupun menghela napas panjang, dia hanya membungkam dalam seribu bahasa.

   Un Tay-tay yang mendengarkan pembicaraan itu tergerak hatinya, cepat dia berpikir.

   "Jiko? Samko? Siapa yang dimaksud?"

   Sementara itu sang pemuda kembali menggotongnya pergi, dalam keadaan begini dia tak sempat lagi berpikir lebih seksama, hanya secara lamat-lamat dia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres dengan persoalan ini.

   Persoalan apa yang tidak beres? Dia sendiri tidak bisa menjawab.

   Kembali mereka menempuh perjalanan selama setanakan nasi lamanya, tiba-tiba Un Tay-tay mengendus bau lembab yang sangat menusuk hidung menembus kain karung dan menyusup ke lubang hidungnya, kalau diendus dari baunya, kelihatan mereka sedang berjalan menelusuri sebuah lorong bawah tanah.

   Dia dapat merasakan permukaan tanah yang sedang dilalui makin lama semakin rendah, bau lembab yang menusuk hidung pun terasa semakin menyengat.

   Mendadak terdengar suara seseorang yang tua tapi penuh bertenaga sedang menegur.

   "Siapa itu?"

   "Ananda yang telah balik,"

   Sahut pemuda itu cepat.

   "Kemana saja kalian telah pergi? Ayo, cepat masuk!"

   Tiba-tiba terdengar lagi orang tua itu berseru tertahan, kemudian hardiknya.

   "Tampaknya lagi-lagi kau sembarangan turun tangan? Siapa yang kau bopong?"

   Sewaktu tidak marah pun suara orang tua itu sudah terdengar keras penuh wibawa, apalagi ketika naik darah, suaranya benar-benar menggidikkan hati.

   Biarpun Un Tay-tay belum sempat bertemu orang itu, tapi dia bisa membayangkan betapa angker dan seramnya wajah orang tua itu.

   Terdengar pemuda itu menyahut.

   "Dia punya hubungan erat dengan Suto Siau "Kalau memang musuh, tidak seharusnya kau turun tangan sembarangan!"

   Tukas kakek itu gusar.

   "Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau dan rombongan, tapi tidak berhasil menemukan mereka, maka ananda pikir ada baiknya membekuk dia, paling tidak jangan sampai mengganggu orang lain."

   "Pikirmu?"

   Ujar kakek itu semakin gusar.

   "kau anggap dalam menghadapi persoalan ini kau boleh berpikir sembarangan? Apakah tidak kau bayangkan bagaimana kondisi dan keadaan yang sedang kita hadapi sekarang? Apakah tidak kau bayangkan aku harus menggigit bibir dan berjuang mati-matian untuk bersabar hingga hari ini? Tahukah kau kenapa aku berbuat begini? Apakah tidak kau bayangkan kenapa paman Sim kalian bisa terjatuh ke tangan musuh? Sekarang... sekarang kau berani berbuat semaunya, kau... kau anak tidak tahu diri, apakah kau benar-benar ingin mengubur semua jerih parah dan darah keringat yang telah kukorbankan selama ini di tanganmu seorang?"

   Makin bicara dia semakin gusar, Un Tay-tay dapat merasakan tubuh anak muda itu mulai gemetar keras, gemetar karena takut. Terdengar suara seseorang segera berkata.

   "Harap Toako jangan marah dulu, mari kita bicarakan setelah memeriksa siapa gerangan perempuan yang dia tangkap."

   Biarpun suara ini rendah, berat dan berwibawa namun nadanya jauh lebih lembut dan halus. Kakek itu segera mendengus dingin.

   "Kenapa masih belum diturunkan!"

   Hardiknya. Dengan nada gemetar pemuda itu mengiakan, kemudian dia menurunkan tubuh Un Tay-tay ke atas tanah. Kembali kakek itu berseru.

   "Kalian berdua berjaga di depan pintu, Samte, kau bebaskan totokan jalan darahnya."

   Belum selesai ia berbicara, sudah ada sebuah tangan menepuk tubuh Un Tay-tay. Begitu tertotok bebas jalan darahnya, Un Tay-tay menghela napas perlahan sambil menggeliat. Terdengar kakek itu kembali membentak gusar.

   "Sudah tiba di sini kau masih berani berbuat latah, memangnya sudah bosan hidup?"

   "Benar, aku memang sudah bosan hidup,"

   Jawab Un Tay-tay pedih. Kelihatannya kakek itu dibuat tertegun, sesaat kemudian kembali bentaknya.

   "Siapa kau?"

   Un Tay-tay tidak langsung menjawab, perlahan dia melepaskan karung goni yang menutupi kepalanya.

   Ternyata tempat dimana ia berada sekarang adalah sebuah gua yang tidak terlalu kecil, sebatang opor yang menancap di atas dinding menerangi seluruh ruangan.

   Di antara kilatan cahaya yang redup, terlihat seorang kakek berwajah penuh wibawa mengenakan jubah dengan warna yang sudah luntur dan berwajah penuh cambang bagaikan malaikat geledek, berdiri tegak persis di hadapannya.

   Di samping kakek itu berdiri pula seorang kakek lain, dia berperawakan tinggi dengan wajah yang lembut dan gagah, bisa dibayangkan semasa mudanya dulu dia pasti seorang pemuda tampan.

   Sementara muda-mudi yang menangkapnya tadi berdiri di sisi ruangan, yang lelaki bertubuh pendek kecil tapi kekar dan nampak gagah, sedangkan yang wanita meski berwajah cantik namun penampilannya tampak keras dan penuh semangat.

   Pakaian yang dikenakan keempat orang itu nampak amat buruk, penampilan wajah mereka pun nampak agak sayu, tapi sinar matanya tetap tajam penuh semangat, mendatangkan perasaan bergidik bagi yang melihatnya.

   Un Tay-tay memandang kakek itu sekejap, setelah menghela napas, ujarnya.

   "Ternyata apa yang kuduga tidak salah."

   "Apa yang kau duga?"

   Hardik kakek itu "Ternyata tampang dan penampilanmu persis seperti apa yang kuduga."

Lembah Nirmala -- Khu Lung Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id Pendekar Cacad Karya Gu Long

Cari Blog Ini