Munculnya Seorang Pendekar 15
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id Bagian 15
Munculnya Seorang Pendekar Karya dari Tjan Id
Tapi siapa tahu, bahwa serangan Siauw Hiong sekali ini adalah serangan yang terakhir, sedangkan tenaganyapun telah dikerahkan dengan sepenuh-penuhnya, maka sekalipun tampaknya tidak bertenaga, tapi dalam kenyataannya sesungguhnya kuat sekali, maka ketika terdengar suara "Buuuuuk"
Yang nyaring sekali, Ciauw Loo menjerit karena amat terkejutnya, sedangkan tubuhnya terpental kebelakang sehingga beberapa tombak jauhnya, sedangkan tulang telapak tangannya dirasakan tergetar dan hampir patah ! Setelah itu, Lie Siauw Hiong sendiripun akhirnya jatuh roboh juga dimuka bumi ...
Yang paling lucu diantara sembilan jago dari Kwan Cong itu, darimana tujuh orang antaranya telah mengurung Lie Siauw Hiong sendiri, tapi akhirnya ada tiga orang yang telah terbinasa, sedangkan selebihnya juga telah menderita luka-luka.
Maka walaupun Lie Siauw Hiong sendiri akhirnya terjatuh kemuka bumi, tapi kesudahannya ini cukup memuaskan bagi pihak pemuda kita.
Hay-thian-siang-sat saling mengawasi dengan sorot mata yang menyala-nyala, dan waktu mereka berdua menempur pemuda kita digunung Kwie San, pada saat itu tenaga- dalam Siauw Hiong sudah cukup hebat, tapi mereka berdua dapat memaksa dia sehingga jatuh kedalam jurang, setelah beberapa bulan tidak berjumpa satu sama lain, siapa sangka tenaga-dalamnya si pemuda telah maju begitu pesat sekali, sehingga mereka menjadi agak sibuk juga melayaninya.
Lie Siauw Hiong yang terjatuh diatas bumi, sesungguhnya perasaannya masih sangat terang sekali, dia hanya merasa begitu lelah, sehingga dia tidak mudah untuk dapat lekas-lekas bangun berdiri, tapi seluruh pembicaraan lawan-lawannya dia dapat mendengarnya dengan jelas, karena telinganya yang menempel ditanah dapat menangkap pembicaraan mereka, kemudian dia mendengar suara tindakan seseorang yang berjalan mendekatinya.
Dia tidak tahu siapakah dia itu, entah Ciauw Hoa entah Ciauw Loo, tapi satu hal yang pasti adalah bahwa semakin lama tindakan tersebut semakin mendekati kepadanya ...
Dia berpikir .
"Jika aku masih ada sisa tenagaku, aku pasti akan berontak dan memukul batok kepalamu, jangan sampai badanku ini terjatuh kedalam tangan kalian ..."
Karena memang sesungguhnyalah, sampai untuk membengkokkan jerijinya saja dia tidak mempunyai tenaga lagi.
"Mati"
Perasaan ini menyelinap dalam pikirannya, dan dia mengetahui, bahwa kematiannya akan segera menjelang sampai.
Dalam keadaan begitu, pelbagai persoalan sekonyong-konyong berbayang satu-persatu dalam pikirannya, yaitu mengenai sakit hati ayah dan ibunya, Bwee Siok-siok dan Hauw Jie Sioknya ...
semuanya akan lenyap bersama-sama dalam beberapa detik ini lagi ...
Paling akhir dia teringat akan Gouw Leng Hong ...
Dia rasakan pemuda she Gouw itu alangkah riangnya hidupnya sehari-harinya, dan bersamaan dengan itu, diapun teringat akan gadis yang cantik jelita Souw Hui Cie ...
Dia berpikir nona she Souw itu disenja hari sambil menyenderkan diri pada jendela, dia sedang menantikan kedatangan mereka kembali ...
tapi sudah tentu yang sangat diharapkan oleh nona she Souw itu, tentulah kedatangannya Gouw Leng Hong sendiri ...
tapi mereka memang pernah berjanji dengannya, bahwa mereka pasti akan datang sekali lagi untuk menjumpainya.
Waktu dia bayangkan bagaimana dengan airmata yang bercucuran dan kemudian jatuh membasahi tanah diluar jendela, si nona berputus asa karena menantikan dengan sia-sia kedatangan kekasihnya yang tak kunjung tiba ...
"Gouw Twako sudah meninggal dunia, bila akupun mati pula, maka seumur hidupnya dia tetap akan menantikan kedatangan kami dengan secara sia-sia saja. Dia pasti akan menunggu 'seumur hidupnya', dan sungguh kasihan sekali nona she Souw yang suci murni itu ..."
Tiba-tiba semacam tenaga dorongan entah dari mana datangnya telah membisiki kalbunya dengan berkata .
"Lie Siauw Hiong, kau tidak. boleh mati, kau tidak boleh mati ! Kau harus berbakti terhadap orang tuamu, berlaku setia kepada para penolongmu, dan berlaku jujur terhadap orang yang mempercayai kepadamu. Oleh karena itu, walau bagaimanapun kau tidak boleh mati, sekali-kali tak boleh mati !"
Suara tindakan kaki orang yang mendatangi semakin dekat itu, kemudian ternyata bukan lain daripada Ciauw Loo adanya ! Sekonyong-konyong ...
Seluruh badan Lie Siauw Hiong bagaikan dilintasi oleh setrum listrik saja rasanya, hingga dengan tiba-tiba saja dia melompat bangun, badannya lantas melesat dan bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, badannya segera terjun kedalam jurang ...
Orang banyak hanya melihat sebuah bayangan hitam ditengah udara yang tampak berputar tiga kali, kemudian badannya lenyap ditelan kegelapan malam ! Orang banyak berdiri terpaku, menyaksikan ilmu meringankan tubuh Lie Siauw Hiong yang begitu luar biasa, karena sama sekali mereka tidak menyangka, bahwa orang yang sudah hendak mati itu masih mempunyai sisa tenaga yang demikian besarnya untuk melakukan pembunuhan diri! Dengan pengalaman ini, mereka hanya dapat mencari satu alasan, yaitu pada sebelum orang mati, orang memang masih bisa mengeluarkan suatu tenaga luar biasa, begitupun dengan halnya Lie Siauw Hiong, yang sudah berguling jatuh kebawah jurang, dimana sudah barang tentu dia akan menemui ajalnya.
Demikianlah pihak lawan si pemuda seolah-olah menghibur dalam hati mereka.
Dengan cepat Hay-thian-siang-sat mengejar dan menyusul Lie Siauw Hiong yang jatuh kebawah jurang itu, tapi dalam hutan yang sedemikian lebatnya, lagi pula karena gelapnya sang malam yang hanya disinari oleh bulan yang tentu saja mereka tidak mudah akan dapat menemui 'bangkai' Lie Siauw Hiong.
Tapi Tian-can Ciauw Loo yang masih penasaran hatinya, lalu membentangkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mencari kian-kemari, tapi akhirnya mereka tetap tidak dapat menemui dimana 'mayat'-nya pemuda ini.
Pada saat itu dari puncak gunung itu sekonyong-konyong saja terdengar suara Tiang-thian-pek Pek Hong yang berseru .
"Loo Toa, dibawah ada orang mendatangi ... Bocah ini sungguh mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi sekali ..."
Ciauw Loo yang mendengar suara teriakan kawannya ini, ia menjadi terkejut sekali, karena dalam hati mereka tengah berpikir, bila sampai orang lain mengetahui, betapa sembilan jago dari Kwan Tiong mengeroyok seorang dan akhirnya mereka sendiri yang lari kucar-kacir, bukankah hal tersebut akan menerbitkan buah tertawaan orang banyak dalam dunia Kang-ouw ? Dan bila sampai kejadian kabar ini tersiar dalam rimba persilatan, janganlah harap bahwa mereka dapat menancapkan kaki mereka lebih lama pula dikalangan Kang-ouw, oleh karena itu, buru-buru dia memberi isyarat dengan tangannya, agar supaya mereka beramai-ramai menuruni gunung itu.
Mereka dari atas puncak gunung telah dapat melihat dengan nyata, bahwa disebelah bawah tampak bayangan seseorang yang demikian pesatnya mengejar naik keatas puncak gunung, dan ilmu Keng-sin-kang orang ini ternyata sudah sedemikian tingginya, sehingga dengan sekali lompat saja ia telah berhasil mencapai setinggi beberapa tombak jauhnya, gerak-geriknya sebat dan tidak dilakukan dengan tergesa-gesa.
Dalam hati Ciauw Loo berkata .
"Kepandaian ilmu meringankan tubuh orang itu sesungguhnya luar biasa sekali. Aku masih merasa asing sekali terhadap orang ini, dan karena pada saat tengah malam buta raya ini ia mengejar naik keatas puncak gunung, maka sudah pasti dia itulah pihak musuh kita ...."
Lalu dia menolehkan kepalanya memandang pada kawan-kawannya yang sudah mati dan pada teman- temannya yang karena luka-lukanya, maka kelihatannya sudah sangat lelah sekali, oleh sebab itu, maka dengan diam-diam dia lalu berkata .
"Kabur !"
Dibawah kaki gunung, melalui semak-semak belukar yang sangat lebat dan batu-batu yang berserakan disana- sini, terdapat sebatang sungai kecil, dikedua tepi kali kecil ini terdapat banyak sekali batu-batu cadas yang menonjol disana-sini.
Dipinggir kali tersebut tumbuh dengan lebatnya pohon-pohon berduri, sedangkan dibalik pohon-pohon berduri ini tumbuh juga dengan suburnya rumput-rumput yang hijau, dan sekalipun pada saat itu adalah musim dingin, tapi rumput-rumput tersebut tinggal tetap tumbuh dengan hijaunya, hal mana menunjukkan bahwa tenaga melawan dari rumput-rumput itu terhadap musim dingin cukup ulet dan hebat.
Dipinggir kali itu terbaring sesosok tubuh manusia, seluruh badannya, terutama pakaiannya compang-camping tidak keruan macam, sedangkan badannya penuh bekas tanda luka-luka, tampaknya luka-lukanya itu tercampur juga dengan goresan duri-duri waktu dia berguling jatuh kesitu.
Tapi orang itu sedikitpun tidak tampak bergerak, ada kemungkinan dia itulah sudah ...
Tidak, dia belum mati, dia adalah Lie Siauw Hiong.
Dengan memiliki tenaga melawan yang melebihi orang kebanyakan, dan semangatnya yang selalu berkobar-kobar, dia dapat membuat dirinya melakukan sesuatu pekerjaan yang orang lain tidak mungkin dapat melaksanakannya.
Dia bernapas empas-empis, karena selain sangat letih, diapun telah kehilangan banyak sekali darah, ditambah lagi dengan luka-luka berat yang diderita didalam tubuhnya.
Maka sekalipun napasnya belum putus berhembus, tapi kenyataannya dia sudah hampir mendekati ajalnya.
Pada saat itu dia mulai dapat mengingat-ingat sesuatu yang telah dialaminya ...
barang kali hal itu telah terjadi karena dia terdiri dari daging dan darah.
Dia tidak memikirkan lagi tentang ibu dan ayahnya, juga tidak memikirkan Bwee Siok-sioknya, apa lagi terhadap dirinya sendiri, dia sudah tidak menghiraukannya lagi.
Dalam otaknya pada saat itu tengah terbayang-bayang peristiwa pertempuran yang amat tegang dan dahsyat yang telah dilangsungkannya tadi dengan musuh-musuhnya itu.
Setiap jurus dan setiap serangan lawan maupun serangan- serangan balasan yang dilancarkannya sendiri, semua itu dia telah dapat mengingatinya dengan sangat jelas dan tepat.
Begitulah sekarang pikirannya sudah kembali normal lagi, malahan mungkin lebih cepat dan tangkas jika dibandingkan dengan dahulu, pada sebelum dia melangsungkan pertempuran mati hidup itu, dengan sembilan jago dari Kwan Tiong, bahkan lebih daripada itu, diapun mengingat juga bagaimana dengan ganasnya musuh-musuhnya itu melancarkan serangan demi serangan, kemudian dengan sekonyong-konyong dia teringat akan jurus-jurus dari Tay-yan-sip-sek yang begitu hebat, hingga hatinya tergerak dan banyak sekali tipu-tipu aneh yang lainnya, yang kini dengan sekonyong-konyong dia dapat mengerti dengan jelas.
Hal mana, mungkin sekali, setelah mengalami pertempuran mati hidup tadi, ditambah pula dengan ingatannya yang jernih itu, barulah dia dapat membuka tabir rahasia yang selama ini menutupi jalan pikirannya terhadap beberapa jurus dari tipu-tipu Tay-yan- sip-sek yang belum berhasil dia dapat pahami seluruhnya, tapi sekarang dia sudah berhasil dapat menyelami, kehebatan-kehebatannya ilmu tersebut.
Dalam keadaan begitu, dia sedikitpun tidak merasa, bahwa dirinya sudah hampir mati, karena dalam rasa senang yang timbul disaat itu, dia sudah berhasil menyelami inti sari daripada ilmu Tay-yan-sip-sek sehingga dia melupakan akan keadaan dirinya sendiri yang sedang diancam bahaya maut.
Entah sudah lewat berapa lama, barulah dia berkata pada dirinya sendiri .
"Bila aku siang-siang dapat menyelami inti sari ilmu ini, hasil pertempuran tadi pasti sekali akan berbeda jauh daripada apa yang semula kuduga ... Ah, tipu Tay-yan-sip-sek ini benar-benar sangat luar biasa dan tak ada tandingannya ..."
Seperginya Hay-thian-siang-sat dan sisa kawan- kawannya, keadaan dipuncak gunung sudah balik asal kembali menjadi sunyi dan lengang.
Sret ! Satu bayangan manusia berlompatan naik keatas, dengan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh lebih hebat daripada apa yang pernah dipunyai oleh Hay- thian-siang-sat.
Disitu ia memandangi dengan terbengong mayat-mayat yang menggeletak diatas tanah, kemudian memperhatikan seutas benang yang berwarna merah pada bangkai seekor burung dara ...
Siapakah gerangan orang muda yang baru datang ini ? Dialah bukan lain daripada orang yang jatuh dari puncak gunung Thay San itu, yakni Gouw Leng Hong adanya! Dengan perasaan tidak mengerti ia lalu duduk dibawah sebatang pohon, sambil memandangi mayat-mayat yang berserakan diatas bumi itu.
Tatkala dia memikirkan kembali tentang nasib yang dialaminya pada beberapa hari yang lalu itu, sungguh dia merasa seperti orang yang sudah mati dan dapat hidup pula dimuka bumi ini.
(Oo=dwkz=oO) Diceritakan pada waktu yang lalu, sewaktu Gouw Leng Hong jatuh kebawah jurang dengan dipeluk oleh Kim Ie, dia mengira bahwa dirinya sendiri pasti akan binasa, tapi sebelum mati, dia harus membunuh Kim Ie terlebih dahulu, barulah dia dapat mati dengan mata meram, oleh karena itu, dengan diam-diam dia kendorkan lengan kanannya, kemudian dengan ganasnya dia hajar batok kepala Kim Ie, tapi siapa tahu, bahwa Kim Ie pun mempunyai perasaan yang sama, juga telah bertindak seperti apa yang dilakukan oleh Leng Hong.
Oleh sebab itu, kedua pukulan segera saling beradu ditengah udara, pukulan mana, kedua-duanya dimaksudkan untuk membinasakan lawan masing-masing.
Dan karena kekuatan masing-masing sama luar biasanya, maka setelah kedua pukulan itu saling beradu.
Gouw Leng Hong merasakan napasnya memburu dan darahnya beredar lebih cepat, tangan kirinya yang memeluk tubuh Kim Ie dengan sendirinya menjadi kendor, sedangkan tangan kanannya dirasakan sakit seperti hendak patah saja.
Begitulah badan kedua orang ini lantas saling terpental, Leng Hong dirasakan tubuhnya jatuh dengan pesat sekali dan diwaktu dia melongok kebawah, disana hanya tampak warna putih seperti kabut melulu, hingga tidak diketahui dasarnya ada berapa meter dalamnya.
Tanpa memperdulikan perasaan sakitnya lagi, sepasang tangannya lalu digunakan untuk mencakar apa saja yang dapat dipegangnya, sampaikan sebarang rumput yang bagaimana kecilpun, dia sembarangan menjambretnya untuk mempertahankan dirinya.
Sekonyong-konyong dia rasakan kakinya menginjak suatu landasan yang teguh, hingga dalam saat antara mati dan hidup buru-buru dia pusatkan seluruh perhatiannya terhadap benda itu, dan diwaktu dia sudah melihat jelas, hatinya menjadi lega, karena benda tersebut tidak lain daripada sebatang pohon yang sebesar mangkok ukuran bundarnya.
Pohon ini tumbuh dengan melalui celah-celah lamping gunung, hingga dia insyaf, bahwa dirinya telah tertolong untuk sementara, dan hatinyapun menjadi lega.
Pada saat itu dia hanya merasakan dadanya menyesak, tenggorokannya dirasakan amis, kemudian tanpa dapat ditahan lagi dia telah memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Dengan ini, diapun insyaf, bahwa tadi waktu saling memukul dengan Kim Ie, mereka masing-masing telah kena tergoncang, sehingga anggota tubuh dibagian dalam telah terluka, oleh sebab itu, dia segera berusaha untuk mengatur jalan napasnya, tapi ternyata tidak berhasil.
Pada waktu jatuh kedalam jurang, Leng Hong sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat hidup, tapi pada saat ini setelah dia ketolongan oleh pohon ini, buru-buru dia hilangkan ingatannya yang bukan-bukan, setelah itu, dengan sepenuh hati dia curahkan perhatiannya untuk mengatur jalan pernapasannya, tapi usahanya itu lagi-lagi menemui kegagalan, karena ketika baru saja ia menarik napas sampai didadanya, helaan napas itu ternyata tidak mau melancar lagi, dan tatkala mencobanya dengan berulang-ulang dan tidak berhasil, ia jadi putus harapan, sedangkan rasa sakit pada lengan kanannya, kini dirasakannya semakin lama semakin menghebat.
(Oo-dwkz-oO)
Jilid 29 Sementara itu kabutpun telah berubah semakin tebal, suatu tanda bahwa hari telah larut malam, kemudian disusul dengan desiran angin yang sangat dingin.
Seketika itu dengan pesat lalu muncul bayangan- bayangan sebuah jembatan kecil dengan dibawahnya tampak mengalir sebatang sungai yang airnya deras sekali.
Dipinggir jalan terdapat sebuah gubuk, sedang disekeliling gubuk tersebut tumbuh rumput-rumputan.
Setiap hari dia sering berada disitu dipagi hari, berbaring diatasnya dengan kepalanya memandangi awan-awan yang tengah berarak- arak, yang semakin lama semakin meninggi saja, kemudian lalu berputar-putar.
Waktu angin berhembus, lantas awan itu buyar seperti juga asap, kemudian pintu gubuk tersebut terkuak terbuka, darimana perlahan-lahan muncul sebuah wajah yang cantik, muka itu kecil laksana buah apel, sepasang pipinya yang merah tampak sunguh indah dipandang mata.
Matanya bagaikan dua butir bintang yang berkedap-kedip indah menerangi angkasa, hingga dia sendiri sambil berlompat-lompatan dan berlari-lari lalu mendekatinya, dan diwaktu berlari-lari itu, kuncirnya tergoyang-goyang kekiri dan kekanan, sedangkan pada mukanya menunjukkan senyuman yang manis sekali.
Setelah datang dekat, buru-buru dia bangkit berdiri dan maju memeluknya, kemudian dengan perlahan-lahan dia lalu dituntunnya dan berjalan masuk lagi kedalam gubuk itu, sedangkan ibunya yang juga berwajah cantik pada masa mudanya, setelah duduk dipinggir meja menghadapi kemulut pintu sambil menunjukkan senyuman pada mereka berdua, sedangkan diatas meja sudah tersedia hidangan yang masih hangat dan mengepul-ngepul asapnya ...
Selama dua bulan ini, dia telah berpisah dengan mereka, karena dia sedang mengembara dikalangan Kang-ouw.
Diluaran entah sudah berapa banyak kali dia dahar hidangan-hidangna yang tersohor, tapi bila dibandingkan dengan masakan ibu kekasihnya, rasanya jauh sekali bedanya bagaikan langit dengan bumi saja ...
Hari sudah larut malam, badannya dirasakan sangat dingin sekali.
Waktu memikirkan tentang dirinya yang tengah menderita luka-luka parah ini, dia sudah merasa putus asa dan mengira bahwa dirinya pasti akan meninggalkan dunia yang fana ini, sekalipun dia masih dapat memikirkan betapa lezatnya hidangan masakannya Twa Nio.
Selagi dia berusaha mengatur jalan pernapasannya, dengan secara sekonyong-konyong dia dapat menghendus bau yang wangi, hingga seketika dadanya dirasakan sangat lega, sedangkan otaknyapun menjadi tenang luar biasa.
Lalu diapun tidak merasakan lagi darahnya yang menaik keatas secara menyesakkan dadanya.
Dia memastikan bahwa kesegaran ini disebabkan karena dia dapat menyedot hawa yang wangi itu.
Buru-buru dia mengatur jalan pernapasannya, setelah seluruh hawa itu mengalir satu kali keseluruh badannya, dia merasakan kesegaran badannya bukan kepalang luar biasanya, sedangkan tangan kanannya yang dirasakan sangat sakit barusan, kini perlahan-lahan sakitnyapun mulai hilang.
Kemudian ia membuka matanya untuk mencari dari mana datangnya sumber hawa wangi itu, dan tatkala dia menolehkan kepalanya keatas, tiba-tiba dia merasa sangat tercengang, karena tanah disebelah atas yang tadinya kelihatan gundul dan tak ada tumbuh-tumbuhan apa-apa, kini sekonyong-konyong muncul dua batang dahan yang berdaun hijau, diantara mana muncul dua buah yang berwarna merah tua, yang ketika angin meniup kearah tempat dia duduk itu, hawanya yang wangi tercium semakin keras dan kuat, sedang buah yang berwarna merah itupun tampaknya semakin masak.
Leng Hong pikir buah inilah tentu buah dewa yang sangat mustajab, oleh karena itu, segera juga dia memaksakan diri merambat naik megapai cabang pohon tersebut, tapi karena kuatir cabang pohon yang terlampau halus itu tak dapat menahan berat tubuhnya, maka ia menuju pada dahan lain yang terpisah kira-kira lima atau enam elo lagi jauhnya dari buah itu, tapi dia tidak berani maju lebih lanjut, kemudian tangan kanannya dikendorkan, sedang tangan kirinya menjambret dan berhasil memetik buah tersebut.
Tapi ketika baru saja dia habis memetik buah itu, dengan lantas dahan pohon tersebut patah dan jatuh, hingga buah yang sudah berada ditangannya itu, setelah selang sejurus tidak membesarkan lagi, sekonyong-konyong pecah dan airnya keluar meleleh, hingga Leng Hong buru-buru menyedotnya dengan mulutnya, dan sesaat kemudian sari buah yang mustajab itu telah habislah disedotnya dan kini sudah tinggal kulitnya saja, tapi sungguhpun demikian, wanginya masih tinggal tetap harum, oleh karena itu, dia tidak mau membuangnya.
Dan diwaktu dia berpikir dimana hendaknya dia menaruh itu, tiba-tiba tangannya dapat meraba peles kecil ditubuhnya, hingga dengan demikian, legalah hatinya.
Dalam pada itu, suatu pikiran melintas dikepalanya, dia terlongong-longong seketika dengan perasaan dingin.
Ia agak putus asa, otaknya dirasakan kosong, tapi sejurus kemudian beribu-ribu pikiran datang mengaduk didalam pikirannya.
Dalam keadaan begitu, diapun tiba-tiba dapat mengingat dengan terang sekali.
Waktu itu adalah dimusim panas, ketika umurnya baru masuk sembilan tahun.
Pada suatu hari yang sangat panas, dia bersama sekelompok anak-anak bermain-main disebuah sungai kecil.
Sedari kecil dia memang sudah berhati sangat tabah, dan tatkala itu dia telah memimpin kawan-kawannya mandi disungai itu.
Mereka semua ternyata sudah pandai berenang, semakin lama mereka berenang semakin jauh ketengah-tengah ditempat yang dalam sekali, tapi karena hatinya masih belum puas, lalu dia menyelundup kedalam sungai, dimana tiba-tiba dia melihat seekor ikan kecil dimukanya tengah berenang kian kemari.
Sambil menahan napas, dia segera ulurkan tangannya untuk menangkap ikan tersebut, tapi siapa tahu ikan kecil yang berwarna merah keemas-emasan yang melewat dari samping tubuhnya, bukan saja tidak lari, malahan menyongsong kedatangannya dan lalu menggigit jarinya.
Dia pikir digigit oleh ikan sekecil itu ada apakah artinya, tapi siapa tahu, setelah ikan itu menggigitnya, Leng Hong merasakan jerijinya kesemutan, hingga ikan yang telah tertangkap itu telah terlepas kembali.
Tapi karena dia berkemauan keras, maka dia tak mau menyerah mentah- mentah, buru-buru dia timbul dipermukaan air untuk mengambil hawa udara segar, tidak kira ketika dia melihat lengan kanannya berubah menjadi hitam dan seluruh tangan kanannya itu menjadi kesemutan, dia segera mengetahui dengan pasti, bahwa dia telah kena diantuk oleh ikan kecil tersebut yang ternyata mengandung racun, maka buru-buru dia naik kedarat kembali sambil memberitahukan kepada kawan-kawannya, kemudian lari pulang kerumahnya.
Tapi ketika baru saja dia berlari-lari setengah jalan, tiba-tiba dirasakannya kepalanya semakin lama semakin berat, maka sambil mencakupkan giginya, dia coba mempertahankan terus dirinya.
Tapi ketika terpisah dari pintu rumahnya kurang lebih lima atau enam langkah jauhnya, dia tersandung pada sebuah batu kecil yang membuat dia berteriak keras dan jatuh pingsan seketika itu juga.
Dia jatuh pingsan selama dua hari, barulah dia siuman kembali.
Dengan badan dirasakan lelah sekali ia telah membuka matanya dan melihat, bahwa Twa Nio dengan Ah Lan sedang tampak terlampau mengantuk karena menggadanginya semalam-malaman.
Selain dari mereka berdua, disitupun tampak guru rumahannya Tong Hong yang turut menjagainya.
"Air", begitulah dia hanya dapat mengeluarkan sepatah perkataan. Seluruh tubuhnya dirasakan amat lemas, tapi pada saat itu wajah mereka bertiga segera tampak tersenyum-senyum. Tapi tidak lama kemudian, Ah Lan yang semulanya tampak bergembira, tiba-tiba jatuh pingsan diatas ranjang. Oleh karena itu, diapun agaknya ketahui, bahwa Ah Lan-pun jatuh sakit juga. Tabib she Cu selang satu hari pasti akan datang menjenguknya dan setiap hari tampak sehabis memeriksa penyakit Ah Lan, wajahnya bertambah suram saja, sedangkan Twa Nio pun setiap hari selalu tampak bersedih hati. Dengan begitu didalam hati diapun menginsyafi, bahwa keadaan penyakit Ah Lan itu tentulah sangat gawat. Oleh karena dia sendiri masih belum dapat bergerak- gerak, maka sering-sering dia menanyakan tentang keadaan penyakit Ah Lan, tapi Twa Nio selalu menghiburinya, memberitahukan kepadanya bahwa keadaan penyakit Ah Lan tidak mengkhawatirkan adanya. Tapi pada suatu hari diwaktu dia tersadar ditengah malam, dia mendengar percakapan yang perlahan sekali tengah berlangsung, antara Twa Nio dengan tabib she Cu itu. Sebenarnya dia ingin tidur kembali, tapi sekonyong-konyong dia mendengar tabib she Cu itu tengah memperbincangkan tentang keadaan penyakit Ah Lan, hingga buru-buru dia pusatkan seluruh perhatiannya untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Aku lihat Ah Lan ini pasti sekali telah terkena racun ular emas, tapi bagaimana dia sampai kena racun tersebut, seorangpun tidak dapat menduganya dengan secara pasti". Begitulah dia mendengar suara tabib itu. Twa Nio lalu menjawab .
"Bila benar dia kena racun ular emas, obat pemunahnya kecuali "Hiat-ko" (buah yang berwarna merah seperti darah), maka tidak ada obat lainnya lagi yang dapat menolongnya !"
Tabib she Cu itu berkata pula .
"Ular ini terhitung sebagai satu antara tiga binatang berbisa yang paling beracun didunia ini, hingga orang yang terkena racunnya, tidak sampai delapan jam, maka seluruh badannya akan merasa sakit dan gatal luar biasa, perasaan tersebut sukar sekali ditahannya, tidak perduli bagaimanapun kuatnya tubuh orang yang keracunan itu, akhirnya pasti tidak dapat menahan siksaan racun tersebut, hingga hanya ada jalan satu-satunya yang terbuka untuk mengakhiri penderitaannya, yakni membunuh diri !"
Dengan suara serak Twa Nio bertanya .
"Coba kau katakan dimana kita bisa dapat buah Hiat-ko itu untuk menolong jiwa Ah Lan ?"
Tabib she Cu dengan menarik napas panjang kedengaran menjawab .
"Tempo hari aku hanya mempunyai setengah peles sari buah tersebut, yang seluruhnya telah kugunakan untuk mengobati Leng Hong. Sebenarnya dengan beberapa tetes saja aku bisa menolong lukanya Leng Hong, tapi karena pada waktu itu aku lihat Ah Lan tampak gugup sekali menyaksikan lukanya Leng Hong, maka aku kira dia telah menghisap darahnya Leng Hong melalui luka dijarinya. Belakangan waktu dia dapatkan dirinya sendiri kena racun, dia tetap membandel dan menahan sendiri. Andai kata tempo hari kita bisa melihat bahwa dia juga telah terkena racun, kita boleh membaginya separuhnya, hingga mungkin sekali kita masih dapat menolongnya. Ai, anak ini ternyata kelewat sayang terhadap Leng Hong, hingga dia rela mengorbankan dirinya sendiri".
"Sekarang aku hanya dapat menggunakan obat untuk menahan kelancaran menjalarnya racun tersebut saja, yaitu untuk mencegah, agar dia tetap tidur, dengan demikian, penderitaan yang dialaminya menjadi agak berkurang. Tunggulah hingga hari esok, pada waktu itu seluruh racun akan terpusatkan pada satu tempat, aku akan menggunakan jarum untuk menusuknya, untuk mengeluarkan racun tersebut. Untung juga racun yang mengeram pada dirinya tidak terlampau banyak, hingga masih mungkin ada berapa bagian yang masih dapat ditolong, hanya ... hanya sepasang matanya yang sukar dipertahankan". Dengan suara yang perlahan kedengaran Twa Nio menangis. Kini peristiwa tersebut sudah sepuluh tahun lampau, percakapan antara Twa Nio dengan tabib she Cu pada malam itu tidak sepatahpun yang dapat dia lupakan. Siang hari membuat dia berpikir terus, sedangkan pada malam hari ketika tidur, menjelma menjadi impian, tidak ada sedetikpun yang pernah dia lupakan untuk mencari buah 'Hiat-ko' itu untuk menolong pada diri Ah Lan, agar supaya dia dapat sembuh pula dan dapat melihat kembali dari butanya. Dan sekarang pohon yang tengah dia duduki ini bukankah sama saja seperti yang diceritakan oleh tabib she Cu itu ? Tapi, buah ini baru tercipta setelah berselang seratus tahun lamanya. Saking malunya, lalu dia sesalkan dirinya sendiri sambil menggerutu .
"Gouw Leng Hong, Gouw Leng Hong, kau terlampau mementingkan dirimu saja, hingga kau telah melupakan pekerjaan besar yang selama sepuluh tahun yang lalu kau ingat-ingat senantiasa. Kau inilah pengecut yang takut mati, seorang yang telah melupakan budi kebaikan orang !"
Begitulah dengan sengitnya dia melontarkan makian yang pedas pada dirinya sendiri.
Oleh karena perasaannya ketika itu sangat pilu, maka tak tertahan lagi ia menangis terisak-isak.
Setelah menangis sejurus lamanya, mulai redalah rasa pilunya dan lalu berpikir .
"Tuhan, mengapakah kamu berlaku tidak adil terhadapku ? Sejak kecil, aku sudah kehilangan ayah dan ibu, dan dengan susah payah barulah aku berjumpa dengan orang yang sangat baik hati seperti Twa Nio ini, tapi dengan tiada disengaja aku telah menyebabkan anak dara tunggalnya kehilangan penglihatannya. Oleh karena itu, siang dan malam aku memeras keringat dan berdaya upaya untuk mencari buah 'hiat-ko', tapi setelah mendapatinya, bukanya aku pergunakan untuk menyembuhkan kebutaan Ah Lan, malahan aku telah menghabiskannya. Apakah sudah takdirku demikian, sehingga orang yang baik dan berdekatan denganku selamanya mengalami bencana saja ?"
Tabib she Cu mengatakan, bahwa ayahku selama hidupnya bersikap simpatik dan welas asih serta gemar menolong orang-orang yang mengalami kesukaran.
Disamping itu, ayahkupun sangat sederhana hidupnya, tapi akhirnya diapun mengalami kematiannya dengan secara mengenaskan, sehingga tulang-belulangnya tidak diketahui dimana adanya.
Apakah hal ini yang biasa disebut .
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kemauan alam tidak menaruh welas asih, sehingga orang yang baik-baik saja yang selalu menemui kematiannya siang-siang ?"
Ibuku adalah orang yang paling dipuji oleh Twa Nio.
Dia mengatakan bahwa ibuku adalah wanita dari Utara yang mahir sekali dalam hal bersyair, menyanyi, main catur, main kim, kesusasteraan, menggambar, dan lain-lain, berhubung dia memang mempunyai bakat yang sangat luar biasa.
Tapi sejak ia melahirkan aku, ibuku segera meninggalkan daku.
Apakah orang-orang didunia ini, semakin pintar semakin pendek juga umurnya ? Tabib she Cu itu setelah aku sembuh dari penyakitku, dia pernah memberitahukan padaku, bahwa tempo hari Twa Nio pernah membohongiku, dengan mengatakan bahwa ayah dan ibuku telah mengasingkan diri dalam sebuah kuil digunung Tay San, yaitu dikuil Kim Kong Sie, untuk melatih diri selama dua puluh tahun lamanya.
Aku mengira bahwa penuturannya itu adalah dengan sesungguhnya.
Pada suatu petang barulah tabib she Cu itu datang dan memberitahukan tentang kematian ayahku, yang telah dibokong oleh musuh-musuhnya, sehingga waktu mendengar penuturan itu aku seperti mendengar geledek disiang hari saja layaknya, karena aku mengharap setelah lewat beberapa tahun lagi, aku ingin menjumpai ayah dan ibuku, tapi harapanku itu ternyata sia-sia belaka.
Maka sekarang mulai saat ini aku menjadi geram dan perasaanku hanya satu, yaitu bertekad bulat untuk membalas sakit hati orang tuaku.
Tabib she Cu itu ternyata adalah Suheng ayahku, dia memberitahukan padaku siapa-siapa nama musuh ayahku, dan dengan sepenuh tenaga dia telah mengajarku ilmu silat yang hebat, tapi karena dia sering merasa bakatnya kurang tebal, maka ia kuatir masa depannya kurang gemilang, dari itu, dia hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu silat yang pokok saja.
Pada suatu malam, dengan secara sekonyong-konyong Twa Nio telah membawa keluar se
Jilid buku, yang lalu diberikan pada Suheng ayahku yaitu si tabib she Cu yang juga merupakan suaminya sendiri, begitu dia melihat buku itu, tampaknya dia merasa tercengang sekali, kemudian dia perintahkan supaya aku sendiri mengikuti petunjuk-petunjuk dalam buku tersebut, sedangkan dia sendir memberi penjelasan dari samping.
Dia mengatakan bahwa itulah pelajaran ayahku, diantara mereka bertiga saudara seperguruanya, ilmu silat yang paling tinggi adalah yang dimiliki oleh ayahku.
Itulah hasil karyanya yang paling gemilang.
Begitulah siang dan malam aku telah berlatih dengan tekunnya, untuk menciptakan dan mempelajari ilmu silat setinggi mungkin.
Aku sampai tidak berani memandang pada Ah Lan, karena matanya yang begitu indah gemilang, sekalipun dia memakai pakaian yang sederhana sekali, tapi kecantikannya tidak menjadi hilang oleh karenanya.
Belakangan apa yang diingatnya menjadi samar-samar, dan aku telah bersumpah, bila aku tidak berhasil menyembuhkan mata Ah Lan sehingga dapat melihat kembali, aku bersedia akan mengorbankan diriku meski dengan jalan apapun juga.
Ah Lan semakin lama memperlakukan diriku semakin baik, dia tidak lagi ingin bertengkar denganku, tapi dengan lemah-lembut dia mengajarkan aku sesuatu, dan dengan bersemangat dia menganjurkan dan memberi dorongan kepadaku, serta menasehatiku untuk jangan terlampau memikirkan sesuatu.
Karena katanya, pada suatu hari pasti aku akan menjumpai obat yang mustajab, yaitu buah 'Hiat- ko' itu.
Pada waktu itu aku hanya mengiakan saja, karena dalam pikiranku harapan itu hanyalah merupakan suatu pengharapan saja yang tidak akan menghasilkan sesuatu yang dapat diharapkan, oleh sebab itu perlahan-lahan hatiku menjadi tetap dan akupun dapat berlatih dengan tekunnya.
Pada hari itu waktu aku pamitan dengan suhu dan Twa Nio, aku lihat matanya Ah Lan mengembang air mata, dengan memaksakan diri sambil tersenyum dia berkata .
"Twako (kakak), kau baru untuk pertama kali ini menerjunkan diri dalam kalangan rimba persilatan, setiap langkah yang kau lakukan, haruslah berlaku hati-hati sekali. Membalas sakit hati orang tua adalah menjadi tugasmu yang utama, maka jika 'Hiat-ko' itu tidak dapat kau peroleh, itu pun tidak mengapa". Untuk pertama kali aku melihatnya dengan penuh perhatian, hingga seketika itu aku tidak dapat mengeluarkan perkataan barang sepatahpun.
"Ah Lan, aku tahu, sekalipun kau tidak dapat melihatku, tapi kau pasti percaya, bahwa Twakomu dengan penuh kasih sayang tengah mencurahkan seluruh perhatiannya kepadamu". Ah Lan lalu menahan kesedihannya dan dengan manisnya dia tertawa sambil berkata .
"Baik ! Twako, silahkan kau berangkat !"
Ketawanya ini seakan-akan beratus-ratus bunga yang tengah mekar, tampaknya indah luar biasa, aku yang melihatnya menjadi tercengang sekali, aku berdiri terpaku saking kesemsem memandangnya.
Ah Lan ! Ah Lan ! Aku merasa bahwa kinilah saat yang tepat untuk seseorang mempertaruhkan jiwanya, hingga jika pada saat itu kau ingin aku mati, apakah aku masih tidak rela untuk mengiringi permintaanmu itu ? Suhu telah memberikan kepadaku sebuah peles kecil sambil memesan dengan berulang-ulang, bahwa kalau aku telah berhasil memperoleh buah 'Hiat-ko', supaya aku segera memasukkannya kedalam peles tersebut.
Karena jika buah itu dibiarkan begitu saja, dia akan segera menjadi cair kembali.
Dengan penuh semangat aku lalu mengembara dikalangan Kang-ouw, sambil menyelipkan pedang dibebokongku dan membawa kantong kecil dipinggangku.
Aku telah melalui jalan yang jauh sekali, melalui gunung- gunung dan sungai-sungai yang terkenal, tapi buah 'Hiat-ko' yang dicarinya itu belum juga diperolehnya, sedangkan sakit hati orang tuanyapun belum juga dapat dibalaskannya.
Dalam perjalanan itu dia berhasil dapat mengikat persaudaraan dengan seorang pemuda yang gagah berani dan berhati tulus, yaitu ..
Lie Siauw Hiong.
Si pemuda she Lie ini selain berhati gagah dan jujur, iapun mempunyai kemauan yang keras sekali.
Dengan susah payah diwaktu diadakan pertemuan dipuncak gunung Thay San, mereka telah melihat lawan- lawan itu, tapi ketika hendak turun tangan sekonyong- konyong muncul seorang angina-anginan yang telah mengacau rencana mereka, yang sudah seharusnya mampus dan sekarang barangkali badannya sudah hancur lebur berkeping-keping dibawah jurang yang curam itu.
Tengah berpikir demikan, tanpa terasa lagi haripun sudah menjelang pagi.
Matahari pagi bagaikan sebuah roda yang berwarna kemerah-merahan, tampak seperti merayap dari celah-celah gunung, dan tatkala sinarnya yang panas mulai terasa, kabut dan embun pun mulai buyarlah, hingga sinar matahari itu dengan langsung menyoroti mukanya Gouw Leng Hong, yang mana telah membuat si pemuda tersadar dari lamunannya.
Akhir-akhirnya Leng Hong telah menarik kesimpulan, bahwa dalam hal menuntut balas sakit hati ayahnya, dia harus mengandal pada tenaga dan dirinya sendiri.
Maka setelah mengambil ketetapan didalam hatinya, dengan mengandalkan kepandaian keng-sin-kangnya ia segera meluncur kebawah gunung.
Setibanya dibawah, lalu ia berjalan melalui hutan bambu, dimana dengan secara sekonyong-konyong saja dia mendengar suara orang yang sedang membaca kitab Lam Hoa Keng dengan sangat nyaring dan lantang.
Leng Hong yang mendengar suara orang itu, tak terasa lagi ia menjadi tercengang dan diam-diam berpikir .
"Orang ini sekalipun waktu mengeluarkan kata-katanya tidak keras, tapi suaranya sangat nyaring sehingga menembusi suara angin yang menderu-deru dan hembusan dihutan bambu ini, sehingga suara itu kedengarannya dekat sekali !"
Dengan perasaan heran dia lalu memasuki hutan bambu tersebut, tapi waktu berada didalamnya, suara itu seakan- akan hilang dengan sekonyong-konyong, kemudian setelah berselang sejurus lamanya, suara itupun kedengaran pula, namun dari tempat yang jauh sekali, sedangkan jalan dimukanya bertambah ruwet serta berliku-liku.
Oleh karena itu, tidak terasa lagi dia merasa heran dan berpikir, apakah tidak boleh jadi bahwa ia telah kesasar ? Atau mungkinkah dia termasuk kedalam jebakan musuh ? Lalu dia pusatkan seluruh perhatiannya memandang keadaan disekeliling, dia mendapatkan setiap pohon tumbuh dengan tentu dalam jarak yang sama, tiap-tiap delapan pohon bambu itu berdiri dalam bentuk delapan persegi yang biasa dinamakan bentuk 'Pat-Kwa', maka didalam hati dia berpikir .
"Inikah yang mungkin disebut guruku barisan Pat Kwa Tin. Barisan ini mula-mula diciptakan oleh Cukat Bu Houw dari jaman Sam Kok dan sudah lenyap sejarahnya, tapi mengapakah sekarang masih ada orang yang mengenali barisan yang sudah sangat kuna ini ?"
Lalu dia balik berpikir .
"Ah barisan ini mungkin juga dibuat oleh pemilik (tuan rumah) disini dalam usahanya untuk mencegah kemasukan lawannya. Dan andaikata pemilik tempat ini menyangka aku yang kesalahan masuk ini sebagai musuhnya, sekarang setelah terkurung dalam barisanya ini, agaknya bagiku merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk menembusi kurunganya ini !"
Setelah dia berpikir sebentar, sekonyong-konyong dia mengambil keputusan dan badanya lalu dibongkokkan, kemudian dengan gerak 'It-ho-ciong-thian' (burung bangau menembusi angkasa), dia melesat keatas dengan maksud untuk menjambret puncak pohon bambu tersebut, yang mana dengan cepatnya diapun sudah sampailah dipuncak pohon bambu yang dituju itu.
Disana dengan cermat dia memandang keadaan disekelilingnya, yang ternyata dalam jarak ratusan tombak jauhnya, seluruhnya tumbuh pohon-pohon bambu yang tinggi dan rendahnya tidak rata.
Diujung hutan bambu ini terdapat sebidang tanah yang luas dan ditumbuhi rumput yang hijau, dan ditengah-tengah padang rumput ini terdapat sebuah batu besar tapi rata bagaikan panggung yang datar.
Batu itu putih bagaikan salju dan mengkilat tak ada bandinganya, diatasnya terletak se
Jilid buku, disamping mana terdapat sebatang seruling dari batu giok. Dalam hati Leng Hong berpikir .
"Orang yang baca buku barusan, terpisah denganku hanya dua tiga puluh tombak saja jauhnya, tapi aku yang telah berjalan berputar-putar didalam hutan bambu ini, entah sudah berjalan berapa puluh lie jauhnya, akhirnya akupun masih tidak berhasil meloloskan diri keluar dari barisan ini. Sungguh lihay sekali. Bila aku melompat dari pohon bambu ini, dalam waktu sekejapan saja akupun sudah berhasil keluar dari kurungan barisan orang aneh ini". Tapi waktu dia perhatikan dengan lebih cermat lagi, diam-diam dia mengeluh, karena ternyata tiap-tiap batang pohon bambu tersebut terpisah tujuh atau delapan tombak jauhnya dari satu pada yang lainya, maka menurut kemampuannya sendiri, dia hanya dapat melompat sejauh empat atau lima tombak saja jauhnya, oleh karena itu, dimanalah dia mungkin berlompat dari pucuk pohon bambu yang satu pada yang lainnya, yang masing-masing berjarak tujuh atau delapan tombak itu ? Tengah dia terbenam dalam pemikirannya ini, sekonyong-kokonyong dari arah belakangnya terdengar suara orang yang lembut sekali berkata kepadanya .
"Bocah yang bodoh, lekas kau turun kebawah, untuk turut denganku !"
Buru-buru Leng Hong balikkan kepalanya menoleh kebelakang, dimana dia melihat dalam jarak satu tombak jauhnya berdiri seorang tua yang tampaknya beroman sabar, dia memakai pakaian sebagai seorang anak sekolahan, maka Leng Hong yang melihatnya, dalam hatinya segera timbul perasaan menghormat dan percaya terhadap orang tua itu, maka tidak perduli apakah dia bermaksud baik atau jahat, lalu dia turuti perkataan orang itu dan segera mengejot badannya berlompat turun.
Sementara orang tua itu yang melihat dia meluncur turun dari tempat yang setinggi lima tombak itu dengan gerakan yang enteng sekali, sedang diwaktu kakinya menyentuh bumi tidak mengeluarkan suara sesuatu, tidak terasa lagi diam-diam dia jadi manggut-manggutkan kepalanya dan dengan roman kegirangan ia lantas berkata .
"Bocah, ternyata kepandaianmu tidak jelek ! Siapakah gurumu ? Dan mengapa kau berlari-lari kesini ?"
Dengan cermat Leng Hong memperhatikan orang tua yang tengah berdiri dihadapannya itu, dan dia dapatkan orang tua ini mempunyai hidung yang mancung sekali, sekalipun janggutnya sudah berwarna putih, tapi kulit mukanya tidak tampak berkisut-kisut, tampaknya kegagahannya seperti orang muda saja layaknya, Leng Hong yang memandangnya tambah lama bertambah hormat saja, dalam hatinya diapun tidak berpikir untuk menipunya, sambil membungkukkan badannya dia menjawab dengan laku sopan sekali .
"Teecu bernama Gouw Leng Hong, murid dari Sin-ie-hiap Cu Kheng Bun". Orang tua itu ketika mendengar perkataan sipemuda, tidak terasa lagi dia menjadi terkejut dan dengan perasaan heran lalu berkata .
"Cu Kheng Bun adalah gurumu ? Bocah itu seumur hidupnya selalu mengutamakan pelajaran ketabiban, kepandaian silatnya tidak seberapa tinggi. Jurus yang kau perlihatkan tadi dan bernama 'Peng-see-lok-gan' (burung belibis turun kepasir yang datar) itu, aku kira sekalipun gurumu tidak mungkin dapat melakukannya sebaik dan sesempurna seperti apa yang kau perlihatkan tadi !"
Dalam hatinya Leng Hong berpikir .
"Umur suhu terpaut dengannya tidak terlampau besar, tapi mengapa dia menyebut suhu dengan sebutan bocah ?"
Waktu dia mendengar bahwa orang tua itu memuji kepadanya, dia merasa agak jengah didalam hatinya, kemudian dengan laku yang hormat sekali diapun menjawablah .
"Teecu mempelajari ilmu silat menurut pelajaran yang diturunkan oleh mendiang ayahku sendiri, dengan suhu dari samping memberi petunjuk-petunjuk kepadaku, tapi teecu belum pernah melihat suhu membentangkan kepandaian silatnya dihadapanku". Orang tua itu setelah berdiam sejurus, lalu berkata dengan perasaan heran .
"Ayahmu bagaimana mengetahui pelajaran silat perguruanku ? Oh ! Kau she Gouw, ayahmu bukankah Gouw Ciauw In ?"
Leng Hong mangutkan kepalanya mengiakan perkataan orang tua itu.
"Dia, dia bagaimana bisa mati ?"
"Ayah teecu berpandangan terlampau jauh, dia terkena tipu kejinya oleh orang-orang yang sangat hina dina dikalangan Kang-ouw, yaitu ahli waris partai Kong Tong Li Gok, ahli waris partai Bu Tong Cek Yang Tojin, Kouw-am- siang-jin dari Go Bie, ahli waris partai Tiam Cong Cia Tiang Kheng, mereka ini telah membinasakan ayah teecu dipuncak gunung Thay San". Tatkala mendengar keterangan demikian, wajah orang tua itu menunjukkan perasaan terharu dan kemarahan serta berkata .
"Bagus, Li Gok sibocah ini, gurunya sebelum meninggal dunia telah memesan kepadaku untuk menilik baik-baik para muridnya ini, si Li Gok, Hmm, aku setelah tiga puluh tahun lebih lamanya tidak muncul dalam rimba persilatan, bocah ini malah begitu berani mati telah membunuh sutitku (kemenakan seperguruanku), maka hutang ini harus dihimpaskan. Hmmmmm, akupun tidak mau lagi memperdulikan segala perasaan serta kebaikan gurunya lagi !"
Leng Hong yang mendengar perkataan orang tua ini, diapun segera mengetahui, bahwa orang tua yang tengah berhadapan denganya ini adalah Loo-cianpwee dari perguruannya, maka pada saat dia mendengar perkataan orang tua ini, dalam hatinya jadi bertambah terharu dan diam-diam dia berpikir .
"Cu Suhu sering mengatakan bahwa diwaktu jamannya suhu dan seangkatannya kecuali yang lebih tua, maka hanya ada suhu dan susiok berdua yang mempunyai kepandaian yang paling tinggi, kepandaian ketabibannyapun sangat luar biasa pula, oleh karena itu, orang tua yang tengah berdiri dihadapanku ini pastilah Tong-gak-si-seng In Peng Jiok !"
Dalam pada itu, sambil membalikkan badannya, lalu dia menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan orang tua itu sambil manggutkan kepalanya dan berkata .
"Hong Jie memberi hormat pada su-siok-couw". Orang tua itu tertawa terbahak-bahak, segera sepasang tangannya dikibaskan, hingga Leng Hong merasakan ada satu tenaga yang luar bias kuatnya telah memaksanya sehingga dia bangun berdiri. Orang tua itu lalu berkata .
"Anak, kau bagaimana dapat mengetahui bahwa aku ini adalah orang yang kau duga semula ?"
Sambil tertawa Leng Hong menjawab .
"Barusan terang- terangan teecu mendengar dalam perkataan su-siok-couw, maka teecu dapat menarik kesimpulan bahwa su-siok-couw adalah seorang leluhur dari perguruan silat kita, apalagi suhu pernah memperbincangkan tentang diri su-siok-couw, yang ternyata memang sangat mirip sekali, hingga teecu berani memastikan dugaanku itu". Orang tua itu tertawa dan lalu memuji kepada sipemuda sambil berkata .
"Anak yang baik, kau sungguh pintar sekali, rupamu ada sedikit berlainan dengan ayahmu !"
Leng Hong sejak dilahirkan adalah ayahnya sendiri yang memeliharanya dengan penuh perhatian, waktu dia berumur tiga tahun dan ayahnya meningal dunia dibinasakan oleh lawan-lawannya, dalam otaknya sama sekali dia tidak pernah ingat wajah ibunya, dia hanya dapat mengingat wajah ayahnya sewaktu bersenyum kepadanya, dan sekarang hidupnya sangat sengsara sekali, karena dia belum lagi mendapat kesempatan untuk membalaskan sakit hati orang tuanya.
Kini orang tua itu tanpa disengaja telah menyinggung tentang ayahnya, tentu saja hatinya menjadi sangat pilu dan tiba-tiba saja romannya berubah, hingga tanpa dikehendaki lagi dia jadi menangis terisak-isak.
Orang tua itu yang menyaksikan wajah anak muda ini telah berubah, diapun insyaf bahwa dia telah menyinggung perasaan Gouw Leng Hong tanpa diinsyafinya, hingga hatinyapun menjadi tidak enak, maka dengan suara yang lembut dia berkata .
"Anak yang baik, janganlah kau bersedih hati, ayahmu telah mempelajarimu kepandaian sejati untuk kau kelak membalaskan sakit hatinya". Selama beberapa hari ini, hati si pemuda entah sudah berapa banyak mengalami kekagetan dalam penghidupan, maka pada saat dia mendengar suara orang tua yang bersifat welas asih ini menghiburinya dengan penuh kasih sayang, diapun tidak dapat menahan lagi dirinya dan segera merangkul orang tua itu sambil menangis didalam pelukan orang tua tersebut. Tong-gak-si-seng In Peng Jiok selama tiga puluh tahun ini setapakpun tidak pernah meninggalkan gunung Thay San, sehari-harian hidup menyendiri dengan hanya angin gunung dan rembulan yang menjadi sahabat-sahabatnya, dan pada saat ini dalam pelukanya terdapat seorang pemuda yang muda belia lagi pula sangat tampan wajahnya, hingga hatinya bertambah gembira dan menyayangnya, tapi mulutnya hanya dapat mengeluarkan perkataan .
"Anak yang baik, janganlah kau menangis, ya- ya akan membalaskan sakit hatimu !" (ya-ya artinya kakek). Leng Hong setelah menangis sebentar, hatinya menjadi lega, lalu dengan mengunakan sepasang lengan bajunya ia menghapus air matanya, kemudian diapun berkata .
"Ya-ya, sekarang cobalah kau tengok, apakah kepandaian Hong Jie sudah terlatih sehingga .. seimbang dengan kepandaian ayahku ?"
Waktu dia berpikir tempo hari dia menyaksikan Lie Siauw Hiong memperlihatkan keungulannya dipuncak gunung Thay San, dalam hatinya dia tengah berpikir, apakah tidak baik untuk ia berlatih sepandai si pemuda she Lie itu ? Tapi buru-buru pikiran yang semacam ini dia telah hilangkan sambil berkata didalam hatinya .
"Ayah pasti tidak mengenal dengan Lie Siauw Hiong !"
Tong-gak-si-seng sesungguhnya terlampau menyayangi Leng Hong, maka dengan tidak banyak pikir-pikir lagi dia lalu melanjutkan perkataanya .
"Tidak jadi soal, tidak jadi soal. Kau bagaimanakah sehingga dapat sampai kesini ?"
Leng Hong lalu menceritakan kejadian-kejadian yang sudah lalu, bagaimana dia turut pertemuan dipuncak gunug Thay San, bagaimana dia terjatuh kedalam jurang, dan bagaimana dia sehingga tertolong, kemudian bagaimana dia telah makan buah mujijat, satu persatu dia ceritakan dengan jelas, sehingga orang tua yang mendengar ceritanya itu jadi merasa sangat tertarik.
Dan waktu dia mendengar si pemuda telah memakan buah mujijat, mukanya tampak sedikit berubah, tapi sebentar kemudian wajahnya sudah tenang kembali.
"Anak", kata orang tua itu.
"Ternyata jodoh maupun hokkiemu (rejekimu) sungguh sangat baik sekali. Buah Hiat-ko ini adalah seorang loo-cianpwee yang telah menanamnya dengan susah payah. Orang itu sangat gemar sekali terhadap tanam-tanaman, dan diapun mengetahui, bahwa seratus tahun sekali buah itu baru berbuah, sedangkan umurnya sendiri adalah sangat terbatas. Dia hanya mengharapkan seseorang yang memang sangat berjodoh dengannya kelak dapat makan hasil buah tanamannya ini.
"Akupun mengetahui pohon tersebut setengah bulan lagi barulah berbuah, pada saat itu aku ingin melindunginya, siapa tahu ternyata dia telah berbuah lebih cepat sepuluh hari dari apa yang kuduga semula. Buah itu agaknya telah masak sebelum waktunya karena terpengaruh oleh rejekimu, yang tidak dapat dikatakan kecil itu".
"Orang yang menanam pohon ini adalah lawan seumur hidup dari partai Thay Khek. Dia yang bersusah payah telah menanamnya, tanpa menduga bahwa jerih payahnya itu hanya sia-sia belaka, karena salah seorang dari cucu murid Thay Khek yang merupakan lawan kerasnya telah memetik hasilnya secara diluar dugaan. Hahaha !"
Tatkala dia menolehkan kepalanya memandang, dan dia menyaksikan wajah Leng Hong seolah-olah mengandung perasaan menyesal, hingga didalam hati orang tua itu jadi berpikir .
"Dia telah mempunyai peruntungan yang baik sekali dapat memakan buah tersebut tanpa disengaja, sedangkan aku yang siang malam selalu mengingini buah itu malah tidak berhasil mendapatkannya. Tapi setelah mendengar keteranganku, dia sendiri yang sudah makan buah tersebut berbalik merasa menyesal. Sungguh seorang anak yang jujur sekali !"
Dia yang sangat menyayangi Leng Hong, setiap saat selalu memikirkan untuk kebaikan pemuda itu, sedangkan didalam hatinya Leng Hong merasa berat sekali serta malu yang dia telah makan buah mustajab yang senantiasa menjadi idam-idaman serta dijaga dengan hati-hati oleh su- siok-couwnya, tapi suatu hal yang dianggapnya paling penting ialah untuk menolong matanya Ah Lan, sedangkan hal yang lain-lainnya boleh dikesampingkan saja.
Orang tua itu lalu tertawa sambil berkata .
"Aku sebenarnya tanpa disengaja telah mengetahui pohon mujijat tersebut, aku tidak pernah menjaga seteliti menurut dugaanmu, dan sekarang buah itu sudah kau makan, maka kaupun tidak usah terlampau banyak memikirkannya ataupun merasa tidak enak hati terhadapku". Hati Leng Hong merasa tidak enak sekali, dia yang tidak pernah berdusta lalu berkata dengan ragu-ragu .
"Hong Jie sesungguhnya sedang memikirkan lain hal, hati tee-cu merasa tidak tenteram dan menyesal sekali". Waktu Leng Hong mengangkat kepalanya memandang, ternyata orang tua itu sedang menatap kepadanya, maka akhirnya dengan perasaan tidak enak dia lalu menceritakan segala sesuatu mengenai diri Ah Lan, dari awal sampai akhir dan mengapa dia sampai kehilangan pandangannya, dan diwaktu mengingat cara bagaimana tanpa disengaja dia telah memakan buah mujijat itu, harapannya telah lenyap, hingga tidak terasa lagi dia jadi mengucurkan air mata. Orang tua tersehut yang mendengarnya merasa sangat terharu sekali, dan setelah berpikir sebentar dia lalu berkata .
"Sebenarnya aku sendiripun tidak mengetahui, apa daya untuk menyembuhkan mata kawanmu itu, karena racun ular mas itu bukanlah semacam racun yang mudah dilenyapkan. Hmmm, kau lihatlah, aku siorang tua betapa bodohnya. Kau yang sudah setengah harian berdiam dalam hutan bambu ini, mari kau turut aku masuk kedalam guhaku". Leng Hong lalu mengikuti orang tua itu. Setelah menerobos kekiri dan menembus kekanan beberapa kali, dengan diam-diam dia perhatikan jalan-jalan tersebut. Kedua orang ini lalu sampai dimuka sebuah batu raksasa, orang tua itu sambil menujuk kebalik batu raksasa tersebut lalu berkata .
"Inilah guha yang sudah kudiami selama tiga puluh tahun lamanya itu". Leng Hong setelah mengitari batu raksasa tersebut yang mencapai besar dua tombak, dia hanya melihat mulut guha tersebut berhentuk bundar, dalam guha tersebut peneranganya sangat suram sekali. Dalam mengikuti orang tua itu memasuki guha tersebut, Leng Hong merasakan tanah disekelilingnya sangat kering dan semuanya terdiri dari batu gunug yang berwarna abu-abu, perlengkapan kamar didalamnya sangat sederhana sekali, yaitu hanya terdapat sebuah ranjang batu dan beherapa buah kursi yang terbuat dari batu pula. Dalam keadaan begitu, Leng Hong jadi berkata pada dirinya sendiri .
"Ditanah pegunugan yang begini sepi dan lengang, dan dalam guha ini dimana penerangannya sangat suram sekali, dia yang telah berdiam selama tiga puluh tahun, mengapa dia tahan ya ?"
Orang tua itu berkata .
"Hong Jie, kau sehari semalam belum beristirahat, pergilah kau tidur sebentar, nanti sesudah kau mendusin dan merasa lapar, kau boleh keluar melalui pintu guha ini dan terus menuju sampai kelamping gunung, disitu terdapat hutan buah-buahan, dimana akupun akan pergi kesitu untuk melatih kepandaianku". Pada saat itu Leng Hong merasa lega hatinya dan buru- buru dia merebahkan dirinya untuk tidur, karena sesungughnya juga dia sudah merasa keliwat capai sekali, oleh karena itu, diapun menurut perintahnya orang tua itu. Begitu Leng Hong mendusin dari tidurnya, waktu itu sudah tengah hari, begitu dia lompat turun dari pembaringan dan lantas keluar dari guha tersebut, dia melihat orang tua itu tengah duduk diatas batu raksasa sambil menengadahkan kepalanya memandang pada awan putih dengan semangatnya tengah dipusatkan agaknya, hingga ketika menampak orang tua itu berhal demikian, diapun tidak berani mengganggunya, hanya diam-diam dia berpikir .
"Mengapa aku tidak pergi kebelakang untuk melihat keadaan disitu ?"
Lalu dia berlari masuk kedalam guha itu, dan waktu dia berjalan kemuka dan melalui satu tikungan, dengan sekonyong-konyong dia menjumpai satu sinar yang terang sekali, karena ternyata dia sudah sampai ditempat yang paling ujung dari guha tersebut, dimana waktu Leng Hong memeriksa keadaan disitu, dia dapatkan bahwa daerah disebelah luarnya letaknya agak miring, dan didalam daerah disitu banyak sekali tumbuh pohon buah-buahan, dimana buah-buahnya sudah pada ranum dan berwarna merah.
Buah- buahan itu ada yang begitu besar sehingga menyamai kepalan, sehingga Leng Hong yang menyaksikannya merasa agak heran, dan setelah mengikuti jalan yang miring ini dan akhirnya dia tidak juga menemukan ujungnya, barulah dia mengetahui, bahwa dirinya belum lagi sampai didasar jurang, karena sesungguhnya tempat dimana dia berada itu masih dalam lingkungan lamping gunung saja, maka sesudahnya dia memetik buah-buahan cukup banyak, barulah dia berjalan pulang kembali kedalam guha.
Sekonyong-konyong saja dia mendengar suara mengalunnya suara seruling, hingga Leng Hong jadi merandek dan lalu memusatkan perhatiannya sambil mendengari irama tiupan seruling mengandung kesedihan itu, seakan-akan orang yang sedang meniupnya tengah menghadapi kesulitan besar diseketika itu juga, Leng Hong yang mendengar begitu, tidak dapat menahan sabar lebih jauh pula dan buru-buru berlari-lari mendekati orang tua itu, yang lalu dipeluknya sambil berkata .
"In Yaya, sudahlah, jangan meniup pula". Pada saat itu karena tangannya memeluk tubuh orang tua itu, maka dengan sendirinya buah buahan yang dipegangnya tadi pada jatuh berserakan diatas tanah. In Yaya jadi tertawa mengakak dan lalu meletakkan serulingnya diatas batu dan berkata dengan suara yang lemah lembut .
"Baik, baik, yaya tidak meniup pula". Leng Hong lalu menjawab .
"Barusan yaya meniup seruling itu dengan suara yang amat sedihnya, hingga teecu yang mendengarnya pun jadi turut merasa pilu, oleh sebab itu, bisakah yaya menceritakan kepadaku, peristiwa apa yang telah membuatmu bersedih hati itu ?"
In Yaya sambil memegang kepalanya lalu menjawab .
"Yaya mempunyai urusan apakah ? Janganlah kau salah tanpa. Mari kita berlatih bersama saja". Leng Hong yang melihat orang tua itu tertawa dengan terpaksa. diapun masih sempat melihat pada sudut kelopak mata orang tua ini masih terdapat bekas airmata, maka karena memikir bahwa dia berdiam disitu dengan hanya menyendiri saja, dalam hatinya jadi timbul rasa simpati dan lalu berkata .
"Yaya, tunggulah, setelah aku dapat menyelesaikan urusanku, aku pasti akan datang kesini untuk menemani kau oranng tua". In Yaya sambil melucu lalu berkata .
"Bagaimana dengan isterimu ?"
Leng Hong dengan likat (cangung) menjawab .
"Dia .. diapun pasti akan datang juga kemari". In Yaya lalu berkata .
"Kalau begitu, disini pasti akan menjadi ramai ! Hahaha". Kemudian orang tua ini lalu berkata dengan laku sungguh-sungguh .
"Kepandaian dari cabang perguruan kita semuanya tergantung atas diri kita masing-masing. Kau yang berotak sangat cerdik dan pintar, pasti sekali akan berhasil dalam pelajaranmu, apa lagi kau telah makan buah dewa yang mujijat itu, maka tenaga-dalammu akan semakin bertambah tinggi saja. Sekarang aku hendak turunkan ilmu kepandaian yang paling hebat kepadamu, tapi aku mau minta supaya kau suka berjanji dahulu, agar supaya dengan kepandaianku ini kau jangan sekali-kali pergunakan untuk membunuh orang". Leng Hong dengan wajah yang sungguh-sungguh lalu menjawab .
"Teecu pasti tidak berani membantah perkataan yaya". In Yayapun berkata pula .
"Tempo hari sewaktu ayahmu turun gunug, suhengku karena mengetahui bahwa tenaga ayahmu belum cukup, maka ia telah berjanji, setelah berselang sepuluh tahun lagi lamanya, barulah dia hendak menurunkan ilmu Thay Khek yang paling tinggi dan disebut 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun', tapi tidak disangka setelah ayahmu pergi lima tahun lamanya, suhengku karena kesalahan telah menyebabkan diapun menjadi binasa. Belakangan akupun mengasingkan diri ditempat ini, oleh karena itu, kepandaian ayahmu belum mencapai dipuncaknya, andaikata tempoh hari dia telah memahami ilmu ini, maka segala cecurut seperti Li Gok pasti tidak dapat main gila dihadapannya. Ai, sekarang baiklah aku turunkan ilmu tersehut kepadamu". Kemudian diapun melanjutkan perkataannya .
"Orang- orang dalam kalangan Kang-ouw berpendapat, bahwa ilmu kepandaian kaum Thay Khek adalah dengan menjaga diri barulah kemudian menyerang lawannya, mereka ini kebanyakan tidak mengetahui kelihayan kita, maka sekarang kau lihatlah biar teliti". Tong-gak-si-seng In Peng Jiok lalu berdiri diatas batu raksasa tersebut sambil mainkan jurus-jurusnya, sedang Leng Hong memandang dari samping dengan penuh perhatian. Dia melihat pukulan-pukulan In Yaya seperti air sungai Tiangkang yang mengalir dengan tidak putus- putusnya, angin pukulan yang keluar dari kepalanya bersuara menderu-deru, sehingga dia yang berdiri dalam jarak lima atau enam meter jauhnya, masih merasakan angin yang keras itu menyambar pada dirinya. Dan diwaktu orang tua itu bersilat sampai jurus kedelapan dia berseru .
"Hong Jie, kau perhatikanlah !"
Hanya tampak pukulannya sekonyong-konyong berubah menjadi perlahan, tangan kirinya ditekuk setengahnya, dengan demikian, dia menjaga diri dengan teguhnya, kemudian tangan kanannya diulurkan kemuka dengan disertai badannya yang maju satu langkah kedepan, tangan kanannya lalu ditarik kembali sehingga sejajar dengan dadanya dalam bentuk separuh lingkaran, sekonyong- konyong dia berseru dengan suara keras sambil menolakkan sepasang tanganya kedepan, dan pada saat itu juga dengan mengeluarkan suara yang amat dahsyat, sebatang pohon sebesar mangkok yang berdiri satu tombak didepanya jatuh runtuh kemuka bumi berikut akar-akarnya sekali tercabut dari dalam tanah ! Leng Hong yang menyaksikan In Yaya membentangkan pukulan 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun' yang amat dahsyat itu, didalam hatinya tidak terasa lagi menjadi sangat terkejut, hingga diam-diam dia berpikir .
'Bila aku menjumpai tiga atau empat orang yang tinggi kepandaiannya mengurungku, aku dengan hanya mengeluarkan tiga jurus yang terakhir saja, sudah cukuplah untuk memecahkan kurungan mereka itu".
Setelah In Yaya menarik kembali pukulannya, lalu ia berkata .
"Pukulan ini sekalipun sangat sederhana sekali, tapi tiga jurus yang terakhir dan masing-masing terdiri dari 'Too-peng-san' (air mengai mengikuti gunung), 'Gie-kong-ie- san' (orang bodoh memindahkan gunung) dan 'Liok-teng- kay-san' (Malaikat Liok Teng membuka gunung) adalah serangan berantai, tenaganya tidak kepalang besarnya, dan bila sampai kedua pukulanmu dipakai menyerang lawan, maka orang yang dapat menyambuti pukulanmu ini kini dalam dunia Kang-ouw sudah tidak ada beberapa orang lagi. Hahaha". Leng Hong yang melihat muka orang tua tersebut seperti merasa sangat puas sekali, sedang ditempat dimana dia berdiri tadi, tampak bekas-bekas dua tapak kakinya, hingga tidak terasa lagi dia merasa sangat terkejut dan segera menginsyafi, bahwa kepandaian In Yaya ini sesungguhnya sangat luar biasa sekali. Oleh karena itu, diapun merasa girang tak kepalang. Kemudian Leng Hong lalu berkata .
"In yaya, Hong Jie akan berlatih sejurus untuk kau perhatikan". (Oo-dwkz-oO)
Jilid 30 Leng Hong yang berkemauan sangat keras, lagi pula jurus-jurus yang dipertunjukkan In Yaya itu sangat sederhana, maka dengan sekali lihat saja dia sudah berhasil dapat mengingatinya sehingga mahir benar.
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka In Yaya yang melihatnya, lalu tertawa karena saking girangnya dan lekas berkata .
"Anak yang baik, aku telah menyebabkan kau bersusah payah, sekarang baiklah aku menyediakan sesuatu untuk kau makan". Dengan cepat Leng Hong menjawab ."Biarlah Hong Jie sendiri yang melakukannya". Tapi In Yaya lalu berkata ;
"Kau baik-baiklah berlatih dengan sungguh-sungguh. Jurus yang hanya berjumlah tiga macam itu mempunyai keanehan-keanehan yang hebat sekali, bila kau banyak berlatih dengan jurus tersebut, maka pastilah kaupun akan memperoleh kebaikan yang tidak sedikit terhadap dirimu sendiri". Dalam hati Leng Hong merasa sangat bersyukur, maka dengan sangat cermatnya dia melatih sepuluh kali lebih, kini semangatnya tambah lama tambah mantap, hingga dalam hati dia berpikir .
"Buah Hiat-ko itu sesunguhnyalah buah mujijat yang hebat sekali yang pernah terdapat didalam dunia ini, karena setelah memakannya, hanya dalam waktu satu hari satu malam saja kekuatanku sudah maju sedemikian pesatnya". In Yaya dengan tangan kirinya memegang kaki menjangan asin, sedangkan tangan kanannya memegang poci arak, dia berjalan keluar dari guhanya dan melihat si pemuda sedang berlatih dengan tekun dan rajinnya, sehingga angin pukulannya terdengar menderu-deru, suatu tanda bahwa selain jurus yang dilancarkannya sangat indah dan jitu, itupun menunjukkan dengan jelas tentang kepandaian si pemuda yang sudah mempunyai kemampuan yang tertinggi. Tapi kemudian diwaktu memperhatikannya lebih lanjut, wajah Leng Hong yang tampan menunjukkan perasaan yang masygul, hingga diam-diam dia berpikir .
"Dia ini adalah seorang yang akan menjadi pemimpin yang terkenal, sedang si Ah Lan itupun pastilah seorang yang luar biasa pula !"
Dia yang sangat menyayangi si pemuda, sudah tentu didalam hatinya menyayangi juga Ah Lan.
In Yaya dengan sekali lompat saja sudah tiba diatas batu raksasa itu, kemana kemudian Leng Hongpun mengikutinya naik keatas.
Mereka berdua duduk disitu sambil makan dan bercakap-cakap, mereka berdua ternyata saling mencocoki pada satu sama lain.
Dengan sekonyong-konyong saja In Yaya berkata .
"Aku yang melihat tubuhmu yang begitu ringan, sungguh cocok sekali untuk khusus berlatih dalam kepandaian mengentengkan tubuh. Tempo hari waktu aku sedang mengembara dikalangan rimha persilatan, pernah sekali aku menolongi seorang pendeta dari See Cong (Tibet), tapi diwaktu aku telah berhasil memukul tiga orang lawan yang mengurungnya, aku mendapat kenyataan bahwa pendeta ini sudah menderita luka parah. Tampaknya dia merasa sangat berterima kasih kepadaku, dan karena dia melihat bahwa aku bukanlah seorang jahat, maka lalu dari dadanya dia menarik keluar se
Jilid buku bahasa Sansekerta yang lalu diserahkannya kepadaku, kemudian dia ceritakan kepadaku tentang ilmu yang terdapat dalam buku itu.
Mula-mula aku tidak menaruh perhatian terhadap isi buku tersebut, belakangan, terutama sekali setelah aku melihat kau meluncur turun dari atas gunung tadi, aku baru insyaf, bahwa didunia ini memang ada orang yang mempunyai kepandaian meringankan tubuh yang sangat luar biasa sekali, maka berbareng dengan itu, sekonyong-konyong saja aku teringat kembali pada kitab asing itu.
Aku tahu bahwa kau memang sangat cerdik, apa lagi kau sudah makan juga buah mujijat itu, sebentar setelah aku serahkan buku tersebut untuk kau periksa, mungkin juga kau bisa mendapatkan hal-hal yang aneh dari buku itu".
Leng Hong lalu berkata .
"Yaya, kau telah memperlakukan aku begitu baik sekali, hingga tak tahulah aku bagaiamna untuk membalas budi kebaikanmu itu". Tapi sambil tertawa In Yaya lalu berkata .
"Membalas budi ? Hal itu tidak usah kau lakukan, asalkan isterimu memasakkan aku dua rupa sayur-sayuran untukku, itu sudah cukuplah". Tampaknya Leng Hong pernah menceritakan serta memuji atas kepandaian Ah Lan dan ibunya dalam hal memasak sayur-sayuran dan hidangan yang lezat-lezat. Begitulah kedua orang itu telah berdiam dalam lembah gunung yang sunyi dan lengang ini sambil mempelajari kepandaian silat yang langka. Dan seperti tersebut dibagian muka, kedua orang ini ternyata sangat cocok sekali, karena seorang yang mempunyai kepandaian yang hebat, sekarang telah berhasil menjumpai seorang murid yang cerdik pula. Begitulah sang guru dengan rajinnya memberi pelajaran- pelajaran pada muridnya. In Yaya mengeluarkan seluruh kepandaian simpanannya untuk diturunkan pada Leng- Hong sedang Leng Hong menerima warisan itu dan mempelajarinya dengan sempurna pula. Pada suatu hari sesudah makan malam, Leng Hong lalu naik pula keatas batu raksasa itu untuk melatih pernapasannya. Pada saat itu perasaan hatinya sedikitpun tidak digoda oleh pikiran-pikiran lain, hingga seluruh perhatiannya dapat dipusatkan dengan sempurna sekali. Kemudian waktu dia mendongakkan kepalanya memandang keatas, dilangit dia melihat bulan yang bundar laksana sebuah roda raksasa, maka didalam hatinya dia jadi berpikir .
"Pertemuan dipuncak gunung Thay San, sampai hari ini sudah hampir satu bulan lamanya. Sungguh cepat sekali sang waktu itu berlalu !"
Dengan angin dingin yang mengusap-usap mukanya yang tampan, kemudian dia bangun berdiri sambil memhetulkan bajunya, dan diwaktu menundukkan kepalanya, dia melihat bahwa dia memakai baju secara anak sekolahan, hingga tidak terasa lagi dia lalu mentertawakan dirinya sendiri, sedang dalam hati dia berpikir .
"Baju pemberian In Yaya ini, dipakainya sungguh pas sekali. Rupanya diwaktu beliau masih muda, diapun pernah memakai juga baju ini". Setelah berpikir begitu, dengan gerak badan yang ringan sekali dia lalu melompat, sehingga bajunya itupun berkibar-kibar karena tergerak oleh gerakannya melompat tadi. Sekonyong-konyong dia mendengar suara tangisan seseorang, suara mana keluar dari hutan bambu disitu. Leng Hong yang pada saat itu sudah mempunyai latihan yang mendalam sekali, sehingga pendengarannyapun sangat tajam luar biasa, hingga setelah dia mendengari dengan lebih cermat, dia segera mengenali bahwa itulah suara tangisan In Yaya, hingga didalam hatinya dia berpikir .
"Sekarang keadaanya sudah jelaslah baginya, karena akupun pada beberapa hari ini melihat In Yaya bermuram durja saja, hanya entahlah apa sebab musababnya, Yaya menyia-nyiakan masa mudanya dengan mengasingkan diri ditempat yang begini sepi dan lengang". Tapi dengan cepat pula dia balik berpikir .
"Selama tiga puluh tahun yang lampau itu, sudah seharusnya segala sesuatu peristiwa menyedihkan yang dialaminya dilupakan dari ingatannya". Bersamaan dengan itu, diapun dapat mendengar suara tangisan In Yayanya yang semakin lama semakin menyayat hati, hingga diwaktu dia berpikir tentang kebaikan dan welas asih In Yayanya ini, yang kini seperti juga kena dipatahkan semangatnya, hidungnya menjadi pedih, sehingga dengan tidak terasa lagi diapun mengucurkan air mata. Kemudian dia berlari-lari masuk kedalam hutan bambu untuk mencari In Yayanya. Pada saat itu dia melihat In Yayanya tengah membenamkan kepalanya pada dadanya, punggungnya sebentar-sebentar bergerak turun naik. Ternyata dia tengah menangis dengan sedih sekali, sehingga dia tidak memperhatikan bila dibelakangnya ada orang yang tengah menghampiri kepadanya. Leng Hong yang tidak dapat menahan sabar lebih lama pula, dengan suara yang tidak lancar lalu bertanya .
"In Yaya, sudahlah, kau orang tua tidak usah bersedih hati lagi, bila kau orang tua mempunyai perasaan hati apa-apa, silahkan ceritakan pada Hong Jie saja, Hong Jie pasti akan berdaya upaya untuk memecahkan persoalan tersebut". In Yaya yang tidak menyangka bahwa dia telah dipergoki oleh si pemuda, buru-buru dia menahan tangisannya sambil menyusut air matanya dengan lengan bajunya. Leng Hong dengan suara yang lembut lalu menghiburnya sambil berkata .
"Yaya, urusan tiga puluh tahun yang sudah lampau masakah kau orang tua masih tidak berhasil melupakannya ?"
In Yaya tidak menyahut, tapi waktu sinar bulan menyinari mukanya, Leng Hong mendapatkan bahwa wajah orang tua itu seakan-akan menjadi banyak lebih tua dengan secara tiba-tiba.
Dan berselang sejurus kemudian, barulah In Yaya berkata dengan perasaan yang terharu .
"Hong Jie, kesengsaraan dan kesedihan yang diderita oleh setiap orang didalam dunia ini, tidaklah dapat dibandingkan dari satu dengan yang lainya. Juga hal itu sukar dilukiskan dengan kata-kata, berhubung pengalaman seseorang hanya dapat dirasakan betapa pedihnya oleh siorang yang mengalaminya sendiri. Ingatlah yang pepatah mengatakan, 'Seberat-beratnya mata memandang, adalah jauh lebih berat bahu yang memikul', betapapun orang lain ikut bersimpati dan turut berduka atas kesengsaraan yang kita alami, tapi kita sendiri yang mengalami kesedihan tersebut tentulah jauh lebih hebat dirasakannya daripada orang yang turut berduka itu, Hong Jie, apakah kau sekarang sudah mengerti ? Kepedihan yang kita rasakan itu, seumur hidup tak mungkin dapat kita lupakan. Kini tugasmu adalah kau harus dengan rajin serta tekun mempelajari apa yang sudah kuajarkan kepadamu, jelaskah apa yang kumaksudkan itu ?"
Sekalipun dalam hatinya Hong Jie masih tidak berhasil menangkap seratus persen apa yang dimaksudkan oleh orang tua itu, tapi dengan melihat muka In Yayanya yang seakan-akan menantikan jawabannya, diapun dengan segera manggutkan kepalanya sambil berkata .
"Hong Jie sudah mengerti jelas". Perasaan In Yaya itu perlahan-lahan menjadi tenang kembali, kemudian berganti dengan perasaan yang menunjukkan rasa welas asih. Dan dalam pada itu dengan sekonyong-konyong dia berkata .
"Hari ini adalah bulan delapan tanggal berapa ?"
Leng Hong yang barusan melihat sinar bulan dari pucuk batang bambu dan memperhatikan keratin-keratan golok yang dilakukan pada batang bambu sebagai gantinya penanggalan, lalu menjawab .
"Peh-gwee cap-sie (bulan delapan tanggal empat belas)". In Yaya lalu berkata .
"Ternyata kedatanganmu disini sudah satu bulan, ya? Segala kepandaian simpananku sudah kuturunkan semuanya kepadamu, kau masih mempunyai banyak urusan yang hendak diselesaikan. Nanti setelah lewat hari raya Tiong Ciu (bulan delapan tanggal lima belas), kau boleh turun gunung. Setelah kau membalaskan sakit hati orang tuamu, kau sekali-kali tidak boleh melupakan untuk mengajak Ah Lan kemari, untuk diperlihatkan padaku siorang tua". Leng Hong yang sekalipun telah tinggal bersama-sama orang tua ia hanya sebulan saja lamanya, tapi kesannya terhadapnya sangat mendalam sekali. Kemudian diwaktu dia memikirkan tentang pekerjaan besar yang hendak dilakukannya itu, dengan tegas dia lalu menjawab .
"Yaya, Hong Jie pasti akan mentaati janji tersebut untuk membawa Ah Lan menemui dikau !"
In Yaya lalu berkata pula .
"Baiklah, haripun sudah tidak siang lagi, kaupun sudah seharusnya, pergi beristirahat". Leng Hong menurutkan perkataan orang tua itu dan masuk kedalam guha untuk beristirahat diatas ranjang batu yang terlebih dahulu sudah diberi beralas dengan daun- daunan, tapi karena pikirannya masih kacau balau, maka seakan-akan dia masih mendengar dikupingnya suara In Yayanya yang terngiang-ngiang dipinggir telinganya .
"Kesedihan yang sesungguhnya, seumur hidup tak mungkin dapat dilupakan, kau harus pelajari dari pengalamanmu sendiri. Andaikata pada suatu hari .. ada satu hari dimana dia akan berpisah dengan Ah Lan untuk selama-lamanya, aku .. aku apakah masih mempunyai keberanian untuk hidup terus ? Apakah aku masih mempunyai kesanggupan untuk menerima pukulan- pukulan kesedihan untuk hidup terus ? Tidak, tidak mungkin, Oh, Tuhan, aku mengetahui bahwa kau pasti tidak akan mengandung pikiran tersebut". Sekalipun dia telah menghibur dirinya sendiri, tapi hatinya sesunguhnya masih merasa kurang enakPada pagi hari ketiganya, sambil menahan perasaan kesedihan yang amat sangat, terpaksa dia minta diri kepada In Yayanya yang amat menyayangi dirinya. Dan sebelum dia pergi, dia masih sempat memberi hiburan dan nasihat, agar supaya In Yayanya tidak lagi memikirkan tentang kesedihan- kesedihan yang sudah lama berlalu, yaitu bila dia merasa bersedih hati ataupun mempunyai perasaan yang murung, dia toh boleh pergi keluar lembah berjalan-jalan untuk meluaskan dan melapangkan dadanya. Maka In Yayanya yang mendengar nasihat tersebut, dia hanya tersenyum saja sambil menggeleng-geleng kepalanya, kemudian orang tua itu malah berbalik memesan Hong Jie agar dia segera membawa Ah Lan kesini, sebegitu lekas dia sudah merampungkan pekerjaannya. Leng Hong sambil menekan perasaan sedihnya lalu meninggalkan tempat tersebut dengan langkah yang pesat sekali. Tapi dalam pada itu dia berlari, dia masih sempat merasakan In Yayanya yang tengah mengejar kepadanya, dengan didalam genggaman tangannya terdapat sebuah peles kecil, hingga sambil menahan langkahnya Leng Hong lalu bertanya .
"Yaya, kau orang tua masih mempunyai pesan apakah ?"
In Yaya segera menjawab .
"Suhumu sekalipun kepandaian ketabibannya sangat luar biasa, tapi dalam hal mengobati Ah Lan dia tak berhasil. Sebab racun yang menyerang dalam tubuh An Lan adalah racun ular mas, sedangkan dia menggunakan bisa kelabang, maka dimanakah bisa cocok ? Aku sedang memikirkan tentang hal ini, dan sekarang matanya Ah Lan sudah menjadi buta, hal ini memang sudah wajar, karena tidak menemui obat yang jitu. Didalam peles ini tersimpan cairan murni yang sudah ribuan tahun lamanya, obat ini adalah pada tahun yang lampau aku telah berhasil menemukan dipegunungan Swat San (gunung Es) khasiatnya adalah bila kulit sudah melodoh, bisa dihidupkan kembali. Dalam peles ini hanya ketinggalan sepuluh tetes saja, maka kau boleh simpan dan pakai seperlunya saja."
Leng Hong lalu menyambuti obat tersebut sambil menghaturkan terima kasihnya, dan setelah meminta diri sekali lagi, barulah dia bentangkan kepandaian Keng-sin- kangnya, dan dengan tidak menolehkan kepalanya lagi lalu dia berlari keluar dari lembah gunung tersebut.
Setelah berlari sepesat demikian, tidak lama kemudian didalam hatinya dia telah memperhitungkan sesuatu sambil berkata .
"Aku dengan Ah Lan sudah saling berjanji setelah berselang satu tahun akan saling berjumpa satu sama lain pula, sekarang masih tinggal setengah tahun lagi, mengapa tidak pergi ke Kong Tong saja, untuk mencari bangsat tua Li Gok, sekalian untuk menjajal kepandaian silat yang sangat tinggi yang baru saja diajarkan oleh In Yaya ?"
Setelah mengambil ketetapan yang pasti, barulah dia masuk kedalam sebuah kota besar, dimana dia menanyakan jalan yang menuju ke Kong Tong San.
Pada hari itu ketika melewat dipropinsi Siamsay utara, haripun sudah gelap, dia melihat perjalanan dimuka semakin lama semakin berbelit-belit dan tidak tampak rumah penduduk, hingga selagi hatinya merasa bingung, sekonyong-konyong tampak seekor burung dara yang terbang melintas diatas kepalanya.
Melihat burung dara yang berwarna putih dan sangat indah itu, sifat kekanak- kanakannyapun lalu timbullah, hingga buru-buru dia mengejarnya sambil memukulkan telapak tangannya kearah burung tersebut, sehingga burung dara yang lagi terbang itu, ketika menerima pukulannya si pemuda, sudah tentu saja lantas jatuh kebumi.
Dan tatkala Leng Hong memeriksanya, ternyata pada kaki burung itu diikatkan benang merah dan terdapat sepucuk surat, hingga diam- diam ia merasa sangat heran dan lalu membukanya bungkusan surat tersebut, yang setelah dibaca tulisannya, wajah Leng Hong segera berubah seketika.
Didalam hatinya dia menggerutu .
"Hmmm, lagi-lagi dua manusia yang harus mampus ! Entah bangsat-bangsat ini hendak berbuat kejahatan apa lagi ? Aku Gouw Leng Hong setelah memergokinya, maka akupun harus turun tangan untuk mengurusnya !"
Ternyata dalam surat tersebut terlukis dua buah gambar tengkorak, dan itulah tanda dari Hay-thian-siang-sat adanya. Dalam hati Leng Hong berkata .
"Kepandaian Hay- thian-siang-sat ini sebenarnya tidak lemah, tapi entahlah mereka telah bentrok dengan siapa, sehingga mereka mengirimkan surat undangan guna memanggil kawan- kawan mereka untuk menghadapi lawan itu". Sekonyong-konyong dia berpikir .
"Hay-thian-siang-sat adalah musuh turunan dari Lie Siauw Hiong, apakah barangkali mereka telah menetapkan untuk saling bertempur dengan saudaraku ini ?"
Dia pikir kepandaian Lie Siauw Hiong memang tinggi sekali, dan dia merasa hal ini memang masuk diakal, dan diapun berpendapat pula, bahwa pemuda itu pasti akan berhasil menghadapi lawan- lawannya dengan cukup tabah, oleh karena itu, diapun tidak terasa begitu kuatir lagi.
Tapi pikirannya itu terus saja berkelana .
"Sekalipun kepandaian Hiong Tee cukup tinggi, tapi bila dia seorang diri saja menghadapi kurungan sembilan jago-jago dari Kwan Tiong ini, keadaannya sangatlah berbahaya sekali, aku harus segera memberi bantuanku secepat mungkin, untuk membunuh para penjahat tersebut. Barusan burung dara itu terbang dari jurusan selatan, mungkin sekali mereka sedang bertempur digunung selatan". Segera juga dia bentangkan tipu 'Pat-pouw-kan-ciam' (dengan delapan tindak mengejar katak puru) menuju kegunung selatan. Pada saat itu hari sudah gelap sekali, dimuka perjalanannya terdapat rumpun duri-duri yang menghalanginya dan tak ada jalan lain untuk dilaluinya. Leng Hong yang membentangkan ilmu Keng-sin-kang-nya dengan sehebat-hebatnya, dengan beberapa kali lompatan saja, dia sudah sampai dikaki gunung selatan. Dan bersamaan dengan itu, kupingnya yang tajam segera mendengar suara senjata tajam yang saling beradu, hingga dalam kegugupannya dia tidak menghiraukan lagi jurusan yang diambilnya, hanya lekas-lekas dia naik keatas gunung untuk menyaksikan siapa yang sedang bertempur disana. Waktu Leng Hong sampai ditengah-tengah gunung, dia mendengar suara beradunya senjata-senjata tajam itu perlahan-lahan jadi semakin tidak jelas kedengarannya, sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Oleh karena itu, maka hati si pemuda menjadi gugup sekali, karena dia cukup maklum, bahwa pertempuran tersebut sudah sampai pada babak yang menentukan, siapa yang lebih unggul dan siapa yang lebih asor, dan karena dilihatnya ada beberapa bayangan orang yang berkelebat-kelebat dari lamping gunung, maka langkahnyapun lalu dipercepat untuk sampai dipuncak gunung selekas mungkin. Setibanya dipuncak gunung, ternyata keadaan disitu sangat kacau balau, karena ditanah menggeletak tiga mayat manusia, sedangkan salah seorang matinya secara aneh sekali, yaitu tenggorokannya terpancang pedang panjang yang menembusi lehernya. Pada waktu Leng Hong memandang lebih cermat, segeralah dikenalinya, bahwa si mati itu adalah salah seorang dari sembilan jago-jago Kwan Tiong yang bernama Sin-kiam-kim-twie Lim Siauw Coan, sedangkan dua orang yang lainnya, diapun mengenalinya juga, yakni Cian-siu-kiam-khek Liok Hong dan Tek-seng-siu Su Kong Cong. Malam. Sunyi, sunyi sekali. Burung-burung gagak yang bertengger dicabang pohon tidak lagi mengeluarkan suaranya, barangkali mereka sudah bermimpi dalam pangkuan sang malam ! Leng Hong lalu jatuhkan dirinya untuk duduk dibawah salah sebatang pohon. Sambil berpikir, diapun dapat membayangkan tentang kejadian barusan, ketika dengan sekonyong-konyong sebuah pikiran melintas dikepalanya, lalu dia berpikir .
"Seorang yang dapat membunuh ketiga orang ini, dikalangan Kang-ouw tiada banyak yang dapat melakukannya, kecuali jika perbuatan ini pastilah dilakukan oleh Lie Siauw Hiong. Tapi begitu pedangnya terlepas dari orangnya, itulah berarti bahwa orang yang memiliki pedang itu sudah bersedia mati bersama-sama dalam pertempuran sengit tersebut, dan jangan-jangan Hiong Tee .. ah, sungguh tak berani aku melanjutkan pemikiranku ini .. pikiran yang belum lagi ada kepastiannya tentang kebenarannya". Semakin berpikir, dia merasa semakin tidak enak didalam hatinya. Buru-buru dia berlompat bangun dan lari menuruni gunung itu kembali. Setibanya dikaki gunung, lalu dia memeriksa keadaan disekelilingnya dengan penuh perhatian. Pada saat itu haripun sudah jauh malam, keadaan disekitarnya sangatlah gelapnya, sinar bulan bersembunyi dibalik awan yang tebal, dan dengan menyusuri kaki gunung tersebut dia mendapatkan banyak sekali pohon-pohon berduri. Leng Hong yang mondar mandir disitu, tidak berhasil menemui sesuatu yang agak mencurigai. Lama-lama diantara pohon berduri terdapat satu bagian yang kacau balau, seakan-akan kena ditindih oleh barang berat, hingga seketika itu juga hatinya jadi tergerak .
"Aku cukup mengetahui sifat Hiong Tee yang keras kepala, asal saja dia masih mempunyai napas, dia pasti tidak sudi terjatuh kedalam tangan musuh. Tampaknya karena jumlah lawannya terlampau banyak, maka dia telah dilukakan oleh musuhnya dan jatuh kebawah gunung ini, sedang bayangan manusia yang berkelebat-kelebat dan kulihat tadi, pastilah lawan- lawannya yang mengejarnya, tapi pada sebelum mereka berhasil menemukannya, aku sudah keburu datang, sehingga mereka meninggalkan mangsanya begitu saja". Oleh sebab itu ia menarik kesimpulan demikian, maka dia berani pastikan, bahwa pada saat itu Lie Siauw Hiong tentu berada ditempat yang berdekatan dengan kaki gunung ini. Begitulah ia segera melanjutkan penyelidikannya dengan cara yang lebih cermat. Dari situ Leng Hong terus maju dengan mengikuti pohon-pohon berduri yang sudah tertindih dan doyong kebawah, dan tatkala berjalan sebentar, dia dapatkan dimuka perjalanannya gerombolan pohon-pohon berduri yang lebat sekali, hingga bagaimanapun dia tidak berhasil menemukan tapak-tapak jejak manusia disitu. Dalam keadaan yang membingungkan itu, sekonyong-konyong dia mendengar suara rintihan yang perlahan sekali dari jurusan kanan dimukanya. Leng Hong tidak ragu-ragu lagi dan lalu menerobos gerombolan pohon-pohon berduri tersebut, untuk mencari dari mana datangnya suara rintihan itu. Tidak berapa jauh dimuka perjalanannya, terdapat sebatang sungai kecil airnya mengalir bersuara gemercik. Dengan menggunakan pedangnya yang panjaang, dia membabat pohon-pohon berduri yang menghalangi dihadapannya, dan diantara rumput-rumput yang bertumbuh begitu suburnya, ternyata benar berbaring sesosok tubuh manusia. Leng Hong buru-buru maju kemuka untuk melihat dengan jelas, kemudian baru ternyata, bahwa itulah memang saudaranya sendiri Lie Siauw Hiong, yang pada saat itu semangatnya tampak jelas sudah tidak sempurna lagi, sekujur badannya terdapat bekas luka-luka, hingga buru-buru dia jatuhkan dirinya untuk memeriksa keadaan luka saudaranya itu, tapi dia mendapat kenyataan bahwa napasnya masih tetap berhembus seperti biasa. Leng Hong yang menyasikan keadaan luka-luka saudaranya ini, tidak terasa lagi hatinya merasa sangat pilu bagaikan disayat-sayat oleh pisau yang sangat tajam, karena keadaannya Siauw Hiong lebih banyak merupakn sudah mati daripada masih hidup. Setelah dia memusatkan perhatiannya, sekonyong-konyong saja dia teringat akan obat tetes yang diberikan oleh In Yayanya dalam peles kecil itu. Buru-buru dia menarik keluar peles itu dari dadanya, sedang dalam hati dia berpikir .
"Sekalipun seluruh badan Hiong Tee terluka, tapi keadaannya tidak terlampau berbahaya dan hanya napasnya saja yang agak lemah. Mungkin sekali dia terluka didalam tubuhnya, berhubung terlampau banyak darah yang keluar dari luka-lukanya". Tanpa banyak berpikir-pikir lagi, lalu dia buka sumbat pelesnya, membuka dengan paksa mulutnya Lie Siauw Hiong yang terkancing dengan rapatnya itu, kemudian dia teteskan tiga tetes obatnya ini. Setelah mengobati Siauw Hiong, Leng Hong lalu membalut luka-luka saudaranya itu, pada sebelum si pemuda itu siuman, agar supaya dia jangan terlampau menderita nantinya. Sinar rembulan yang menerobos dari antara awan-awan yang gelap, justeru terjatuh dimukanya Lie Siauw Hiong yang begitu pucat kebiru-biruan, sehingga tampak menakutkan sekali, berhubung romannya lebih mirip dengan mayat daripada manusia yang masih bernapas. Waktu Leng Hong mengenangkan wajah Lie Siauw Hiong tempo hari yang begitu tampan dan gagah, adalah kini jauh sekali bedanya, hal mana telah membuat hati Leng Hong sangat pilu, sedang didalam hati dia berpikir .
"Aku bersama Hiong Tee berpisah tidak sampai dua bulan, tapi perubahannya ternyata begitu cepat sekali. Apakah nasibku sendiri kecuali mati, tidak ada jalan lainnya lagi untuk terlolos dari kedukaan besar ini ?"
Sang waktu lewat dengan pesatnya, hingga tanpa terasa hari sudah menjelang pagi, Leng Hong yang tidak tidur semalaman, lalu mengucak-ngucak matanya.
Dalam satu malam ini entah sudah berapa kali dia memeriksa pernapasan saudaranya ini, tapi Lie Siauw Hiong sendiri masih tetap tidak menyadarkan diri.
Dia sebenarnya tidak mau mempercayai pancaindranya sendiri, tetapi berada dalam semak-semak belukar yang demikian sepi dan lengangnya ini, dihadapannya terbaring seorang yang lebih mirip sebagai satu mayat saja daripada orang yang hidup, sekonyong-konyong dengan tidak mempercayai pada kekuatannya sendiri Leng Hong lalu berdoa sambil berkata .
"Oh, Tuhan, kembalikanlah seluruh kegagahan serta ketampanan dari saudaraku ini". Kemudian dengan secara tiba-tiba saja tampak Lie Siauw Hiong mengeluarkan suara, sedangkan badannyapun mulai tampak bergerak-gerak dua kali. Leng Hong jadi sangat girang dan lalu membungkukkan badannya sambil berkata .
"Hiong Tee, apakah kau merasa baikan ?"
Mulut Lie Siauw Hiong seakan-akan hendak berbicara, karena tampak bergerak-gerak, tapi tidak jadi dia berkata- kata. Dengan suara yang lemah lembut Leng Hong berkata pula .
"Hiong Tee, kau baik-baik beristirahat, lukamu ini pasti akan sembuh kembali". Lie Siauw Hiong manggutkan kepalanya, tapi tidak lama dia jatuh pingsan pula. Begitulah selama Lie Siauw Hiong sadar kemudian jatuh pingsan pula, Leng Hong menjaga disampingnya tanpa berani meninggalkanya jauh-jauh. Waktu hari mulai malam lagi, secara sekonyong- konyong badannya Lie Siauw Hiong menjadi panas sekali, ingatannya kabur dan mulutnya nyapnyap tidak keruan, dan Leng Hong yang melihat napasnya sudah mulai bertenaga lagi, hatinyapun menjadi lega, hingga dalam hatinya dia berkata .
"In Yaya mengatakan bahwa obat ini adalah obat dewa yang manjur sekali, aku yang telah memakaikan obat ini pada lukanya Hiong Tee, pasti sekali akan memperoleh hasilnya dengan sempurna". Kemudian dia mengambil air dari sungai kecil itu dengan menggunakan cangkir yang selalu dibawa dibadannya. Kedalam cangkir itu dia lalu meneteskan dua tetes obat dewa tersebut, setelah itu dia mengobati dan membalut kembali luka-luka ditubuh saudaranya itu. Dalam keadaan begitu, Lie Siauw Hiong hanya dapat merasakan badanya menjadi nyaman sekali, hingga buru- buru dia membuka matanya memandang dengan lurus pada Gouw Leng Hong. Si pemuda she Gouw yang melihat Siauw Hiong sudah membuka matanya, hatinya menjadi girang sekali, tapi waktu dia melihat Lie Siauw Hiong memandangnya dengan rupa kesima dan seolah-olah tidak mengenali lagi dirinya, buru-buru dia berkata .
"Hiong Tee, aku ini adalah Twakomu. Kau jangan banyak berpikir yang tidak-tidak, silahkan kau beristirahat dengan baik-baik, ya !"
Mulutnya Lie Siauw Hiong tampak berkomat-kamit, tapi entahlah apa yang dikatakannya.
Leng Hong yang menduga bahwa saudaranya ada sesuatu yang hendak dikatakanya, buru-buru dia pusatkan perhatiannya untuk mendengarkan kata-kata saudaranya yang hampir-hampir tak terdengar itu saking perlahannya.
"Bwee .. Leng .. Hauw Due Siok .. Phui Siauw Khun, .. telah mati .. mati". Dengan terkejut sekali Leng Hong lalu bertanya .
"Siapa yang mati ?"
"Laut .. laut .. begitulah matinya dengan jalan menerjunkan diri !"
Sahut Siauw Hiong bagaikan orang yang mengigau. Leng Hong lalu menghiburnya .
"Hiong Tee, janganlah kau memikirkan sesuatu yang bukan-bukan".
"Begitulah .. begitulah mereka telah menerjunkan diri, aku .. aku dengan mata kepala sendiri .. melihat mereka ditelan oleh ombak dan mati tenggelam .."
Leng Hong dengan tidak sabaran sekali lalu bertanya .
"Siapakah yang telah menerjunkan diri kelaut !"
"Phui .. Phui Siauw Khun .. aku .. aku sebenarnya sangat suka kepadannya, suka sekali !"
Leng Hong yang melihat muka saudaranya yang begitu menyedihkan, didalam hatinya sudah lantas mengetahui sebagian besar. Lalu dia melanjutkan perkataannya .
"Phui Siauw Khun adalah seorang nona. Apakah dia telah membunuh diri dengan jalan menerjunkan dirinya kedalam laut ?"
Lie Siauw Hiong setelah berpikir setengah harian, barulah dia manggutkan kepalanya. Kemudian dengan suara yang lemah lembut Leng Hong lalu menghiburinya .
"Nona Phui itu tentu sekali sudah kena ditolong orang". Tapi Lie Siauw Hiong buru-buru menggelengkan kepalanya, sedangkan air matanya jatuh berderai-derai melalui pipinya. Dalam hati Leng Hong berpikir .
"Aku yang melihat penghidupan Hiong Tee sehari-harinya adalah riang gembira, belum pernah aku menyaksikan dia bermuram durja. Tidak disangka hanya disebabkan oleh 'cinta', ia telah menyebabkan banyak menderita. Ai, kejadian dalam dunia ini ternyata lebih banyak kesengsaraannya daripada kesenangannya !"
Waktu dia lihat Lie Siauw Hiong kembali tidur dengan sangat nyenyaknya, hatinya menjadi gembira sekali, terus dia melanjutkan penukaran kain-kain pembalut lukanya, yang sesudah dibersihkan lukanya, lalu dibalut pula dengan kain yang bersih.
Obat yang diberikan oleh Leng Hong ini maksudnya untuk menyembuhkan luka-lukanya selekas mungkin, tidak disangka hanya dengan berapa tetes saja, dia telah berhasil menyembuhkan saudaranya yang tadinya sudah mirip dengan mayat saja.
Hal mana, terbukti karena sangat mujarabnya obat itu, yang mampu membuat daging yang sudah busuk sekalipun dapat segera disegarkan kembali.
Keesokan harinya Lie Siauw Hiong telah siuman dan panasnyapun sudah hilang sama sekali, pada saat itu makanan kering yang dibawa Leng Hong sudah habis dimakan, dan diwaktu dia melihat keadaan lukanya Lie Siauw Hiong tidak mungkin mengalami perubahan lagi, lalu dia memondong pemuda kita untuk pergi kekota didekat situ.
Gouw Leng Hong setelah mencari rumah penginapan, lalu dia menjaga diri si pemuda denan sebaik-baiknyga.
Pada saat itu karena berapa malam beruntun dia kurang tidur, maka sekarang mereka dapat tidur dengan sangat lelapnya.
Entah sudah lewat berapa lama antaranya, Gouw Leng Hong sekonyong-konyong mendusin dengan terkejut, karena dia rasakan kupingnya masuk hawa panas, dan waktu dia lompat bangun, dia lihat Lie Siauw Hiong tengah meniupkan hawa dari mulutnya kedalam telinganya, maka tidak terasa lagi dia menjadi sangat girang dan berkata .
"Hiong Tee, apakah kau sekarang sudah baik ? Hiong Tee, kau ini sunguh nakal sekali. Baru saja baikan, kau sudah membuat aku kelabakan. Hari masih pagi, pergi tidur lagi dah !"
Sambil tertawa berseri-seri Lie Siauw Hiong lalu berkata .
"Masih pagi ? Coba kau lihat sendiri .."
Leng Hong segera melongok melalui jendela, ternyata hari sudah siang, maka tidak terasa lagi dia jadi memaki dirinya sendiri, yang sudah tidur begitu nyenyak bagaikan bangkai saja.
Lie Siauw Hiong mengetahui, bahwa jiwanya telah ditolong oleh Gouw Twakonya, dan diapun mengetahui apa sebabnya saudaranya ini tidur begitu lelap, karena dia sudah menjaga dirinya selama beberapa malam tanpa tidur cukup.
Leng Hong yang melihat pandangan matanya Lie Siauw Hiong sudah wajar kembali, dan semangatnyapun sudah pulih kembali sebagaimana sediakala, kecuali mukanya yang masih agak pucat disebabkan dia sudah kehilangan banyak darah, ternyata dia sudah sembuh seluruhnya, hingga hatinya menjadi girang sekali dan lalu berkata .
"Hiong Tee, kau .."
Disaat itu dia melihat Lie Siauw Hiong sedang menundukkan kepalanya, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, hingga tidak terasa lagi dia menjadi heran dan lalu bertanya .
"Kau tengah memikirkan sesuatu bukan ?"
Lie Siauw Hiong lalu mengangkat mukanya yang pucat, kemudian dengan suara yang rendah dia berkata .
"Twako, kau .. kau memperlakukanku sungguh baik sekali, aku Lie Siauw Hiong tengah memikirkan nasibku yang sangat aneh, yaitu ada orang yang memperlakukan aku dengan baik luar biasa sekali, tapi sebaliknya ada juga orang yang memperlakukan diriku dengan kejam sekali. Oh .. kau lihatlah, bukankah aku ini sudah menjadi bodoh ? Hari itu sewaktu kau bersama-sama manusia yang harus mampus si Kim Ie itu jatuh kedalam jurang, aku kira kau sudah habis, aku sungguh sangat memikirkan kau .."
Sebenarnya dia hendak mengatakan .
"Aku sungguh menangisi kau setengah harian", tapi buru-buru dia tahan perkataan yang hendak dikeluarkannya itu. Leng Hong tidak pernah menaruh perhatian sampai disitu, maka diapun segera menuturkan kejadian aneh yang pernah dijumpainya, dan tatkala bercerita sampai dibagian yang aneh, saking girangnya, Siauw Hiong pun tak terasa lagi jadi tertawa mengakak. Setelah Leng Hong selesai bercerita, Lie Siauw Hiong lalu tertawa sambil berkata .
"Tentunya parasnya In Yaya yang kau ceritakan itu sangat welas asih, bukan ? Dibelakang hari akupun pasti akan menjumpainya". Leng Hongpun segera menyelak sambil berkata .
"Kaupun boleh segera menuturkan mengapa sampai kejalan kau bertempur dengan sembilan jago dari Kwan Tiong itu. Andaikata kau tidak memperoleh obatnya In Yaya, saat ini dikuatirkan .."
Sambil tertawa dingin Lie Siauw Hiong lalu berkata .
"Sembilan jago dari Kwan Tiong itu yang memperoleh julukan tersebut, sesungguhnya tidak memalukan, karena mereka beraninya hanya bertempur dengan mengandalkan jumlah yang banyak saja. Lain waktu bila aku menjumpai mereka kembali, hmm .."
Kemudian diapun menceritakan halnya dia bertempur dengan Kouw-loo-it-koay, sehingga ia telah kehilangan pedang Bwee-hiang-kiamnya dan bertemu dengan sembilan jago dari Kwan Tiong, yang satu persatu lalu dituturkannya dengan secara jelas sekali.
Sambil tertawa Leng Hong berkata .
"Hiong Tee, aku mengucapkan selamat kepadamu, karena kau sudah memperoleh julukan 'Bwee-hiang-sin-kiam' yang tampaknya begitu mentereng sekali !"
Sambil menghela napas Lie Siauw Hiong lalu berkata .
"Tapi sayang sekali pedang Bwee-hiang-kiam telah dicuri orang, tunggulah setelah kesehatanku pulih kembali, aku akan segera merebut digunung Kong Tong, Twako, kaupun boleh ikut sekalian, untuk menebus hutang lamamu". Pada keesokan harinya, kesehatannya Lie Siauw Hiong telah sembuh seluruhnya, dia tengah bersemedi diatas ranjangnya, tatkala Leng Hong menolak daun pintu dan berjalan masuk. Leng Hong melihat mukanya Lie Siauw Hiong sudah sehat dan berwarna merah pula, suatu tanda bahwa darahnya sudah kembali lagi, maka dengan perasaan heran serta terkejut diapun berkata .
"Obatnya In Yaya itu sungguh luar biasa sekali mustajabnya. Hiong Tee yang menderita luka demikian parahnya, lagi pula telah kehilangan banyak sekali darah, hanya dalam waktu dua hari saja, seluruh kesehatanmu sudah pulih kembali seperti sediakala, maka aku sekarang nasihatkan kau untuk beristirahat satu hari lagi saja supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kelak". Begitulah mereka berdiam selama lima hari dalam kota kecil tersebut, kemudian karena Lie Siauw Hiong memaksa untuk pergi saja, maka apa boleh buat Leng Hongpun mengiringi juga permintaannya. Tapi sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong berkata .
"Twako, sementara ini janganlah kita pergi dahulu ke Kong Tong .."
Dengan perasaan heran Leng Hong bertanya .
"Kenapa ?"
Lie Siauw Hiong menyahut .
"Bukankah kita pernah berjanji untuk menemui nona she Souw itu sekali lagi ? Aku pikir bangsat she Li itu sudah terang adalah orang partai Kong Tong, maka sembarang waktu jika kita ingin mencarinya, masakah kita takuti dia, dan sebaliknya diapun masakah tidak berani menonjolkan kepalanya untuk menyambut kedatangan kita ? Oleh karena itu, bukankah lebih baik bila kita terlebih dahulu bertandang ke Shoa Tang untuk menjumpai nona Sauw disana ?"
Leng Hong yang begitu mendengar nama nona Souw disebut Siauw Hiong, dengan segera otaknya terputar dan dihadapannya seakan-akan lantas muncul wajah yang cantik dari seorang dara, dan nona she Souw itu seolah-olah tengah menatapkan matanya.
Nona Sauw mirip seperti matanya Ah Lan saja, tapi Ah Lan sudah kehilangan pandangannya ..
aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri lirikan yang dilancarkan tempo hari oleh nona Souw terhadapku, hal mana, teranglah sudah, bahwa dia menunjukkan perasaan cintanya terhadapku, maka selama beberapa hari belakangan ini, terlebih-lebih dalam saat-saat menghadapi maut, aku lebih banyak terkenang pada Ah Lan saja, sedangkan lain hal seakan-akan sudah aku kesampingkan sama sekali.
Apakah barangkali ..
aku tidak menyukai nona Souw itu ? Ah, matanya yang begitu indah dan sayu waktu memandangku, sunguh membuat aku tidak mudah melupakannya ..
Kedele Maut Karya Khu Lung Perkampungan Hantu -- Khu Lung Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung