Ceritasilat Novel Online

Pahlawan Gurun 6


Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen Bagian 6



Pahlawan Gurun Karya dari Liang Ie Shen

   

   Beberapa hari kemudian Nyo Wan mendengar panglima besar Mongol an wakilnya sudah tiba semua, yaitu pangeran Tin-kok dan "LI KI-ho".

   Maka Nyo Wan mulai mengatur rencana pembunuhan terhadap Li Ki-ho palsu alias Sia It-tiong itu.

   Dengan bantuan pimpinan Sia It-tiong yang mahir ilmu kemiliteran, pasukan Mongol mengadakan pengepungan ketat terhadap kedudukan musuh diatas gunung, mereka menduga musuh pasti akan kekurangan makanan dan air dan akhirnya tentu akan menyerah.

   Dari penyelidikan Nyo Wan diketahui kemah kediaman Sia It-tiong serta keadaan penjagaannya.

   Suatui malam, hujan rintik2 dan gelap gulita, sungguh suatu kesempatan bagus buat Nyo Wan menjalankan pekerjaannya.

   Tengah malam, diam2 Nyo wan mendekati kemah Sia It-tiong, didepan kemah ada empat penjaga yang sudah capek dan mengantuk sehingga tidak mengetahui datangnya Nyo Wan.

   Sudah tentu kemah tempat tinggal Sia it-tiong jauh lebih bagus dan luas daripada kemah prajurit biasa.

   Luas tenda itu kira2 belasan meter persegi, atap tenda tersanggah sehingga bagian tengah rada dekuk, tapi pada umumnya sangat rata tiada ubahnya seperti ataop rumah biasa.

   Dengan ginkang yang tinggi, laksana burung saja Nyo Wan melayang keatas atap tenda, dari atas ia mendekat dan mengintip kebawah.

   Para penjaga hanya memperhatikan depan kemah, sama sekali mereka tidak memperhatikan bagian atas, apalagi keempat sudut tenda rada menjengkit, biarpun mereka menengadah juga takkan melihat keadaan diatas.

   Nyo Wan menggunakan belati tajam untuk menyobek kain tenda itu, lalu mengintip kebawah.

   Dilihatnya suasana terang benderang didalam kemah itu.

   Pangeran Tin-kok tampak juga berada disitu dan sedang memeriksa sebuah peta bersama Sia It-tiong.

   Disamping mereka ada dua orang Busu.

   Dalam hati Nyo Wan berdoa semoga arwah Li Hi-ko dan kakaknya memberkati agar usahanya membalas sakit hati terlaksana.

   Habis itu ia terus mengincar dan menyambitkan belatinya.

   Dasar ajal Sia It-tiong belum tiba, kebetulan dia menggeser dan menunduk untuk memeriksa peta terdengar suara "cret", kopiahnya yang tersamber oleh belati Nyo Wan itu, hanya secomot rambutnya ikut terkupas.

   Keruan kaget Sia it-tiong tidk kepalang hingga jatuh terduduk lemas.

   "Ada pembunuh gelap!"

   Teriak pangeran Tin-kok.

   Dalam pada itu dengan cepat sekali Busu tadi sudah lantas mengejar keluar, seorang diantaranya lantas melompat keatas tenda, menyusu tiga buah piau terus disambitkan sekaligus.

   Nyo Wan merasa gegetun karena serangannya terhadap Sia It-tiong mengalami kegagalan.

   Karena jejaknya sudah ketahuan musuh, terpaksa ia melarikan diri.

   Kepandaian kedua Busu itu ternyata tidak lemah, serangan tiga piau meleset, segera mereka mengejar dengan kencang.

   Sementara itu para penjaga didepan kemah juga berteriak ada pembunuh sambil ikut mengejar.

   Untung hujan gerimis dan malam gelap.

   Tiba2 Nyo Wan mendapat akal, iapun ikut ber-teriak2 ada pembunuh gelap, kemudian ia memutar balik sebatang pohon rindang, lalu mencampurkan diri dengan kawanan Busu lain yang waktu itu be-ramai2 mengejar tiba.

   Waktu itu pangeran Tin-kok juga mengejar datang dengan menunggang kuda, rupanya ia mendapat petunjuk dari Sia It-tiong, sebab ia lantas memberi perintah agar para Busu memeriksa sekitar sendiri kalau2 ketemukan orang yang tak dikenal yang bertubuh kecil.

   Perintah itu menyadarkan Busu yang ber-lari2 berdampingan dengan Nyo Wan, mendadak ia mencengkeram bahu Nyo Wan sambil membentak.

   Kau dari regu mana?"

   Busu ini adalah jagoan gulat Mongol, cepat Nyo Wan mendak kebawah, berbareng pedang menusuk.

   Namun tusukannya meleset, sedangkan Busu itu menubruk maju lagi.

   Se-konyong2 Nyo Wan menyusup lewat disebelahnya, berbareng itu iga Busu Mongol itu terasa kesemutan, kontan ia terjungkal dan masih sempat berteriak.

   Pembunuh gelapnya ada disini!"

   Rupanya Nyo Wan dapat menutuk Hiat-to dipinggang lawan, baru saja ia hendak kabur, tahu2 seorang Busu lain sudah menubruk tiba pula.

   Busu ini meyakinkan "Tay-lik-ing-jiau kang", cakaran elang bertenaga raksasa, sekali cengkeram, walupun tidak kena, namun robek juga baju Nyo Wan.

   Sembil menggeser kesamping, berbareng Nyo Wan cabut goloknya.

   "sret-sret-sret", sekaligus ia melancarkan tiga kali tabasan sehingga Busu itu dibuat kelabakan menangkisnya. Busu itu terkejut dan baru mengetahui lawan tidaklah lemah, cepat ia berteriak.

   "Lekas kemari!"

   Mendadak Nyo Wan membentak.

   "Kena!" ~ Dimana sinar golok berkelebat, kontan lengan kiri Busu itu tertabas buntung. Habis itu Nyo Wan lari pula secepat terbang dengan ginkang yang tinggi, karena hujan gerimis, jalanan licin kawanan Busu Mongol sukar mengejarnya. Sementara itu tanda bahaya telah dibunyikan diseluruh perkemahan pasukan Mongol. Nyo Wan tidak berani mencampurkan diri ditengah pasukan musuh, terpaksa lari kejurusan yang sepi, menuju kejalan pegunungan. Tapi kemudian Nyo Wan merasa cemas karena dibawah dikelilingi pasukan Mongol, diatas gunung juga pasukan musuh, yaitu tentara Kim. Ia pikir daripada tertangkap, segera ia menyusup ketengah hutan dilereng gunung, tapi mendadak tertampak pula di tengah hutan juga banyak tenda2. Keruan ia terkejut. Selagi bingung se-konyong2 beberapa orang menubruk tiba dari balik pepohonan sambil membentak.

   "Siapa kau? Jangan bergerak!" ~ Dari suara mereka yang nyaring jelas orang2 itu kaum wanita semua. Melengsk heran juga Nyo Wan. Pada saat itulah sinar ketikan api berkelebat, lalu seorang mendamprat.

   "Kurangajar! Kiranya seorang lelaki busuk! Mau apa kau datang kesini?"

   "Dibawah sedang ribut ada pembunuh gelap, aku mengejar dan kesasar kemari,"

   Jawab Nyo Wan.

   "mengejar musuh masakah masuk kewilayah perkemahan kita yang terlarang bagi kaum lelaki ini? Apakah minta mampus?"

   Bentak prajurit wanita tadi. Dalam pada itu dari bawah ada orang mengejar keatas dan berseru dari jauh. Pembunuh melarikan diri keatas gunung! Awas adik2 dari pasukan srikandi, lindungi bangsal Putri!"

   "jangan2 bocah ini adalah buronan pembunuh itu,"

   Kata prajurit kepala tadi.

   "Ya, paling perlu kita ringkus dia dulu dan urusan belakang,"

   Kata yang lain. Lalu ia mengeluarkan tali dan bermaksud mengikat Nyo wan. Selagi Nyo Wan mengeluh bisa celaka, tiba2 terdengar suara orang yang sudah dikenalnya berkata.

   "Apa yang kalian ributkan disitu?" ~ Ketika Nyo Wan menoleh,kiranya yang muncul adalah Putri Minghui. Segera prajurit wanita tadi melaporkan apa yang terjadi. Nyo Wan juga lantas berseru.

   "Harap tuan Putri maklum, aku Cuma memasuki daerah terlarang ini dan mengejar pembunuh gelap yang dimaksudkan."

   Dengan lentera yang dibawa Minghui mengamat amati Nyo Wan, ia merasa suara orang sudah dikenalnya.

   Baju Nyo Wan terobek oleh jambretan Busu tadi sehingga baju dalam warna jambon tertampak sebagian, Minghui menjadi curiga dan yakin kalau prajurit Mongol sendiri tentu tidak memakai baju bangsa han sedemikian itu.

   Tiba2 ia ingat.

   Jangan2 dia adalah nona yang berada bersama Li Su-lam itu? Tapi mengapa dia berubah begini?"

   Maklumlah, ketika MInghui bertemu Li Su-lam berada bersama Nyo wan dilembah sunyi dahulu, ia pandang Nyo Wan sebagai saingan asmaranya, maka kesannya terhadap Nyo Wan cukup mendalam, biarpun wajahnya kini dalam samaran, namun suaranya masih teringat olehnya.

   Terkejut dan girang juga Minghui, segera ia katakan pada anak buahnya.

   "Aku akan periksa sendiri bocah ini tapi kalian dilarang menyiarkannya."

   Para prajurit wanita itu menjadi sangsi apakah mungkin Tuan Putri mereka telah pinujui anak muda ini? Soalnya mereka cukup mengetahui Minghui tidak menyukai pangeran tin-kok sehingga mustahil ingin memilih calon suami sendir.

   Maka be-ramai2 mereka lantas mengiakan.

   Sementara dua pengawalnya Sia-It-tiong juga menyusul keatas, tapi mereka tidak berani memasuki daerah terlarang, terpaksa berseru dari jauh.

   Apakah kalian melihat seorang buronan yang lari kesini?"

   Tengah malam buta apa yang kalian ributkan? damprat Minghui.

   "Aku tidak tahu buronan apa segala, sebaiknya kalian jangan mengacau disini. Hanyo enyah semuanya!"

   Sama sekali kedua Busu itu tidak menduga akan didamprat oleh sang Putri, keruan mereka ketakutan dan lekas2 minta ampun, lalu ngacir cepat2.

   Minghui membawa Nyo Wan kedalam tendanya, ia menyingkirkan anak buahnya keluar, lalu tanya Nyo Wan dengan suara pelahan.

   "dihadapanku tidak perlu berdusta sebenarnya siapakah kau?"

   "kalau tidak keberatam, aku mohon mncucui muka dahulu,"

   Jawab Nyo Wan.

   Air merupakan benda berharga dalam perkemahan tentara, namun didalam kemah sang Putri air jernih selalau tersedia cukup.

   Sesudah mencuci muka, maka pulihlah Nyo Wan kepada wajahnya yang asli.

   Putri Minghui kejut2 girang, tangan Nyo wan digenggamnya erat2, katanya.

   "

   Betul kau ini? Cara bagaimana kau bisa sampai disini?"

   Kata Nyo Wan.

   "Terus terang aku sedang buron, sekarang aku terjatuh di tangan tuan Putri terserah cara bagaimana kau hendak menghukum aku!"

   Putri Minghui tersenyum, katanya.

   Apa kau masih ingat , bukankah dulu aku pernah mengundang kau datang ke Holin untuk menemani aku, tatkala itu kau tidak sudi.

   Tak terduga malam ini tanpa diundang kau sudah datang sendiri, betapa girang hatiku ini masa aku tega mencelakai kau, legakanlah hatimu!"

   Cepat2 Nyo Wan membungkuk memberi hormat menyatakan terima kasih. Sungguh aku terharu akan kemurahan hati tuan putri, aku rela menjadi budak dan menghamba dibawah perintahmu!"

   "Ah,cici yang baik,"

   Ujar Putri Minghui.

   "jangan kau bicara begitu sungkan. Kita sudah terhitung sebagai anda (saudara angkat, sahabat karib), mana bisa aku membuatmu menderita? Kau tinggal bersama aku anggap saja aku sebagai saudaramu sekandung."

   "Tuan putri laksana gagang emas daun pualam, masa aku bisa sejajar dengan kau!"

   Putri Minghui tertawa getir, ujarnya. Setulus hati ingin aku bersahabat dengan kau, kalau kau tidak sudi itu berarti kau pandang rendah diriku!"

   Memang keadaan Nyo Wan serba sulit dan terdesak oleh keadaan, dihadapan putri Minghui ia terpaksa harus membuka kedok aslinya sebetulnya hatinya sangat was2 dan kuatir, sekarang setelah melihat sikap Minghui yang tulus dan welas asih ini, hilanglah ganjelan hatinya.

   Batinnya.

   "walaupun Akai selalu melindungi dan merawat aku, namun seorang gadis sebatang kara seperti aku keluntang luntung dalam gerombolam laki2 betapa juga rada kikuk." ~ Maka segera Nyo Wan menyahut.

   "Terima kasih akan kebaikan tuan putri, di saat aku menemui jalan buntu ini kau sudi menerimaku sibawah lindunganmu. Betapajuga aku tidak berani terima uluran persahabatan sama derajat sebagai saudara sekandung. Apalagi bila didengar orang lain nanti bakal menjadi buah mulut mereka saja."

   Sejenak putri Minghui berpikir lalu berkata.

   "Kalau begitu terpaksa pura2 kurendahkan derajatmu menjadi pelayan penhiringku saja, di belakang orang lain kita masih sebagai anda. Untuk ini kuharap kau tidak perlu main sungkan lagi." ~ lalu ia maju bersanding di pinggir Nyo Wan serta katanya tertawa.

   "Lihat, potongan badan kita hampir sama, coba kau ganti pakaianku. Masih banyak persoalan yang ingin kutanyakan kepadamu!"

   Setelah berganti pakaian Nyo Wan menyingkap kerai dan beranjak keluar, tampak olehnya putri Minghui sedang mondar mandir. Nyo Wan membatin.

   "Mungkin ia masih tetap rindu kepada engkoh Lam!"

   Betul juga lantas terdengar putri Minghui bertanya.

   "Nyo-cici, bukankah kau bersama Li Su-lam? Kemana pula dia sekarang?"

   "Akupun juga sedang mencarinya!"

   Sahut Nyo Wan. Maka secara ringkas jelas ia bercerita cara bagaimana ia sampai berpisah dengan Li Su-lam serta diceritakan pula pengalamannya selama ini kepada putri Minghui.

   "Kejadian ini sungguh diluar dugaan,"

   Kata putri Minghui dengan rawan.

   "Tapi masih ada setitik harapan yang dapat melegakan hatimu, apa yang kau dengar tentang cerita itu berani kupastikan adalah kabar bohong belaka. Belum lama aku pernah bertemu cepe, hakikatnya ia tidak berhasil menangkap Li Su-lam, maka berita tentang Li Su-lam terpanah dan terluka apa segala boleh dipasytikan hanya kabar angin melulu. Sebetulnya Akai juga pernah berkata kepada Nyo Wan bahwa Li Su-lam tak mungkin tertangkap, namun itu hanya analisa Akai saja menurut situasi yang didengarnya. Sekarang setelah secara langsung mendengar kepastian ucapan putri Minghui yang boleh diandalkan. Betapa girang hati Nyo Wan sukar dilukiskan dengan kata2. Pikirnya.

   "Asal engkoh Lam masih hidup, meski aku harus menderita lebih parah lagi juga tak menjadi soal bagiku."

   Kata putri Minghui. Kau seorang gadis belia seorang diri lagi berani menerobos kibu2 pasukan besar yang sedemikian banyak serta membunuh musuh, keberanianmu ini betul2 harus dipuji. Tapi juga terlalu menempuh bahaya."

   "Sia It-tiong si bajingan tengik itu betul2 maha jahat dan kejam,"

   Kata Nyo Wan.

   "bukan saja ia musuh besar yang mencelakai ayah Li Su-lam, juga durjana yang membunuh engkoh kandungku, Kita merupakan musuh bebuyutan yang tak mungkin berdiri sejajar dalam dunia fana ini. Malam ini waktu aku ambil keputusan hendak menyatroninya aku sudah ambil keputusan tidak menghiraukan keselamatan diri sendiri, aku tak perduli lagi apakah caraku ini terlalu menempuh bahaya."

   "Sekarang apakah kau masih ingin menuntut balas?"

   Nyo Wan menggertak gigi, desisnya. Selama aku masih bernapas, lambat atau cepat aku tetap harus menuntut balas. Putri Minghui tertawa geli, katanya.

   "Tapi aku tidak setuju caramu bekerja dengan mengorbankan jiwa sendiri untung mengutungi kepala musuh. Urusan ini lebih baik kau serahkan kepadaku saja. Paling cepat sepuluh hari, paling lambat setengah bulan, kepala Sia It-tiong pasti akan kuserahkan kepadamu."

   Nyo Wan bimbang dan setengah percaya, katanya.

   Tapi bukankah dia wakil panglima perang?" ~ dalam hati ia membatin, meski putri minghui terhitung seorang majikan, tapi hendak membunuh jendral tinggi dalam pasukan besar, masa ia punya kekuasaan demikian tinggi? "Pangkatnya itu pemberian dari ayahku, bila suka ayah bisa mengangkatnya pada jabatan yang tinggi tapi juga bisamembunuhnya sesuka hati.

   Tak lama lagi ayahku bakal datang, tiba waktunya bila kubongkar kedok Sia It-tiong yang memalsukan ayah Li Su-lam, lihat saja apakah ayah mau mengampuni dosanya itu?"

   Nyo Wan berpikir.

   Minghui adalah putri tunggal yang paling disayang oleh Jengis Khan, kalau dia berkukuh dan merengek minta ayahnya membunuh Sia It-tiong tujuh delapan bagian tentu bakal berhasil, dengan demikian meski tidak secara langsung aku menuntut balas dengan tanganku sendiri, paling tidak juga sudah terbalas sakit hatiku." ~ Maka lekas2 ia berlutut serta berkata.

   Untuk kepentinganku tuan putri sampai ikut susah payah, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus membalas kebaikan dan budi ini?"

   Cepat2 putri Minghui memapahnya bangun, ujarnya tertawa.

   Nah kau ada2 lagi, kita kan sudah sebagai anda urusanmu bukankah juga menjadi urusanku? Apalagi urusan ini belum terlaksana, nanti kalau aku betul2 sudah membawa pulang kepala Sia It-tiong boleh kau nyatakan terima kasih kepadaku!"

   Hari kedua betul juga ada berita kilat yang datang memberi kabar, katanya Jengis Khan sendiri bakal pimpin Sing-hek-eng dari Sehe untuk mengadakan inspeksi, kurang lebih tujuh hari lagi pasti akan tiba.

   Sudah tentu bagi pangeran Tin-kok dan Sia It-tiong yang tidak menemukan pembunuh gelap itu menjadi uring2an dan gusar, namun apa boleh buat.

   Meski mengejar pembunuh itu cukup penting, tapi kedatangan Jengis Khan sendir mengadakan inspeksi kiranya jauh lebih penting, utusan yang dikirim jengis Khan sudah menyampaikan perintahnya secara langsung, beliau mengharap setibanya nanti pasukan Mongol sudah harus dapat memukul pecah gunung Kiok-pan-san.

   Ini berarti dalam jangka tujuh hari ini mereka harus berhasil menduduki Liok-pan-san.

   Terpaksa pangeran Tin-kok dan Sia It-tiong kesampingkan dulu peristiwa pembunuh gelap itu, perhatiannya dicurahkan mengatur rencana untuk menggempur Liok-pan-san.

   
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sudah tentu untuk menjaga segala kemungkinan, penjagaan semakin diperketat dan keras.

   Pasukan Kim yang menduduki puncak Liok-pan-san sudah terkepung beberapa hari lamanya, ransum sudah mulai habis, saluran air juga dibendung, ini merupakan pukulan berat bagi mereka.

   Apalagi dibawah tekanan pasukan Mongol yang menyerang semakin gencar, akhirnya wakil panglima pasukan Kim membunuh Oh Sa-hou yang memegang tampuk pimpinan tertinggi.

   Dalam jangka lima hari akhirnya mereka menyatakan menyerah tanpa syarat.

   Hari kedua setelah pasukan Mongol menduduki Liok-pan-san, putri Minghui dan Nyo Wan tengah ngobrol didalam kemah, tiba2 seorang prajurit wanita masuk memberi laporan bahwa jengis Khan sudah tiba.

   Kedatangan beliau sehari lebih cepat dari dugaan semula.

   "Dimana Kgan besar sekarang berada?"

   Tanya putri Minghui berjingkrak girang.

   "Goanswe (panglima besar) tengah mengiring beliau menginspeksi keatas gunung."

   Sahut prajurit wanita itu. Putri Minghui menghela napas, katanya.

   "Ayah selalu memikirkan urusan perang, tak pernah bercengkerama dengan keluarga."

   Segera ia perintahkan seorang prajurit menyiapkan kudanya, lalu berpaling berkata kepada Nyo Wan. kau tinggal disini saja menunggu kabar baikku. Bila ketemu ayah nanti pasti rahasia kedok licik Sia It-tiong itu kulaporkan kepada ayah."

   

   Jilid 05 bagian kedua Dalam pada itu dengan terburu Jengis Khan telah memburu tiba dari negeri Sehe, mendengar laporan bahwa gunung Liok-pan-san sudah pecah dan diduduki pasukan Mongol sungguh girangnya bukan main.

   Tanpa hiraukan badan sendiri yang capek, dengan tetap menunggang kuda perang serta membawa sebarisan pasukan bendera perang langsung ia adakan pemeriksaan keatas gunung dibawah iringan pangeran Tin-kok, dengan tangannya sendiri ia hendak menancapkan bendera kebesaran bangsa Mongol dipuncak gunung daerah musuh yang diduduki.

   Para perwira dan panglimanya tahu adat keras Jengis Khan yang tengah dimabuk kegirangan akan kemenangan pasukan perangnya, tiada seorangpun yang berani tampil depan mendahului naik ke atas gunung.

   Para perwira tentara Kim yang tertawan hidup sudah digusur kebawah gunung, keadaan markas diatas gunung sudah kosong melompong, ini sangat kebetulan untuk tempat istirahat bagi Jengis Khan.

   Pangeran Tin-kok selalu berada disampingnya, disamping melindungi iapun ingin mengambil hati bakal mertuanya ini, diatas gunung ini tiada seorang musuhpun, maka tak perlu kuatir ada pembunuh gelap.

   Waktu sampai di tengah perjalanan agaknya rasa girang Jengis Khan meluap tak terkendali lagi, ia ter-bahak2 serunya.

   "Oh Sa-hou adalah panglima terbesar nomor satu dari pasukan kerajaan Kim. Tempat strategis Liok-pan-san adalah merupak pintu gerbang kerajaan Kim yang paling berbahaya. Sekarang Oh Sa-hou sudah tewas, pintu gerbangnya juga sudah kita jebol dan kita duduki, tanah itu yang subur dari Tionggoan aganya memang sudah tak harus kucaplok sekalian."

   Untuk menyanjung dan menyemarakan suasan yang riang gembira ini segera pawa perwira dan bawahannya be-ramai2 melagukan nyanyian perah yang gagah perwira.

   Jengis Khan junjungan agung yang terpuja, Thian memberkahi kekuatan dan kecerdikan luat biasa ........

   Pangeran Tin-kok segera keprak kudanya maju mendekat, serunya.

   Bukan saja tanah luas Tionggoan nan subur, dibawah pimpinan Khan agung yang jaya, seluruh dunia ini pasti bakal menjadi ladang gembala bangsa Mongol."

   Jengis Khan ter-bahak2 saking gembiranya, pecutnya terayun terus membedal kudanya lebih jauh.

   Sungguh luar dugaan belum lagi lagu perang selesai dinyanyikan, belum pula suara gelak tawanya lenyap, kaki depan kuda tunggangannya mendadak kesandung batu gunung, kontan Jengis Khan terjungkal roboh dari tunggangannya.

   Beberapa hari ini sering turun hujna, jalanan pegunungan menjadi becek dan licin.

   Betapapun kuat badan Jengis Khan kini usianya sudah mendekati 70 tahun, begitu terjungkal seketika tak mampu bangun malah terus menggelundung kebawah.

   Apa itu kekuatan yang maha besar , apa itu junjungan agung yang seba pintar nyanyian perang menyanjung puji masih bergema mengalun tinggi menembus angkasa, ini kebetulan menjadi tanggapan ironis bagi keadaan Jengis Khan yang payah itu.

   Tatkala itu putri Minghui baru sampai dilamping gunung, dari jauh ia saksikan Jengis Khan terjungkal jatuh dari atas kudanya, keruan kagetnya bukan kepalang! Cepat ia keprak kudanya memburu datang, tak luoa ia perintahkan para perwira mendirikan kubu2 besar di tanah pegunungan, terus memajang ayahnya memasuki kemah itu unutk istirahat.

   Tak lama kemudian tabib negara sudahmemburu datang memeriksa serta menyambung tulang rusuk Jengis Khan yang patah.

   Waktu Jengis Khan membuka mata, pertama yang dilihatnya adalah putri kesayangannya yang menunggu disampingnya, maka Jengis Khan berkata riang sembari berseri tawa.

   "Kau gugup dan ketakutan bukan?"

   "Ayah bagaimana keadaanmu?"

   Tanya putri Minghui.

   "Aku memperoleh firman Tuhan, aku harus menjadi Khan teragung dari seluruh bangsa di dunia. Sebelum seluruh pelosok dunia dapat kutaklukkan mana boleh aku mati?" ~ Habis berkata ia bergelak tawa se-keras2nya, sehingga lukanya pecah dan berdarah, keruan sakitnya bukan kepalang sampai Jengis Khan mengeluh dan merintih, Dengan menahan sakit Jengis Khan akhirnya menghela napas panjang dan mengeluh.

   "Dasar aku memang sudah tua bangka!"

   "Yah,"

   Sela putri Minghui.

   "Kau harus istirahat sebentar?"

   Tatkala itu kemah yang tidak begitu besar penuh berjubel banyak orang, yang berdiri di belakang tak dapat melihat jengis Khan, ber-bisik2 mereka tanyakan keadaan junjungan. Tiba2 Jengis Khan mengerutkan alis.

   "Aku belum lagi mati, apa yang kalian ributkan. Semua menggelinding keluar!"

   Cepat putri Minghui membujuk dengan kata2 manis.

   Khan besar harus istirahat dengan tenang, biarlah aku sendir yang merawatnya sudah cukup, besok saja kalian boleh datang lagi.

   Semua orang beruntun keluar, akhirnya tinggal pangeran Tin-kok dan putri Minghui berdua.

   Putri Minghui segera mendelikkan mata, semprotnya.

   "Kau juga harus keluar!"

   Sejenak pangeran tin-kok melengak, sahutnya.

   "Ah, masa aku juga tidak boleh tinggal disini?"

   "Bukankah ayah sendiri yang memberi perintah, kalian disuruh keluar semua, demikian juga kau!"

   Jengis Khan mengeleng kepala, katanya.

   "Ai, kenapa kalian selalu bertengkar begitu bertemu muka, sungguh bisa membuat aku mati jengkel! Ya, begitulah, Tin-kok kau keluarlah!"

   Semula Jengis Khan ingin menahan pangeran Tin-kok tapi melihat putrinya menjadi murung dan jengkel terpaksa ia biarkan putri sendiri yang merawatnya. Wajah hitam pangeran Tin-kok menjadi merah pada pikirnya.

   "Kau suka atau benci padaku, pada suatu hari akhirnya bakal jadi istriku. Sekarang biar aku mengalah, nanti setelah kau menjadi istriku, akan kulihat apa kau masih berani bertingkah?"

   Jengis Khan pejamkan matanya dan istirahat, tak dirasa di lain saat ia sudah pulas.

   Putri Minghui tak berani mengusiknya lagi, diam2 ia merancang dua persoalan, urusan pertama minta ayahnya untuk membunuh Sia It-tiong, urusan kedua adalah ia tidak sudi menikah dengan pangeran Tin-kok.

   Untuk ini ia harus meinta persetujuan ayahnya.

   Dalam anggapan sanubari putri Minghui, persoalan pertama mungkin takkan menemui kesulitan, justru persoalan kedualah yang memerlukan mulut manisnya untuk merengek.

   Kira2 dua jam kemudian baru Jengis Khan siuman dari tidurnya, begitu membuka mata lantas ia berkata.

   "Alehai, kau masih belum pergi?"

   "Kalau aku pergi siapa yang merawatmu?"

   Sahut putri Minghui, meski anak buahmu banyak tapi aku tahu kau tak senang diwarat mereka."

   Jengis Khan tertawa, ujarnya.

   "Sebenarnyalah hanya kau yang paling prihatin akan kesehatanku. Aku paling suka dan sayang padamu, tapi aku tidak suka kau kelelahan, harisudah hampir petang lekas kau pulang istirahat!"

   Putri Minghui menggeleng kepala, sahutnya.

   "Yah, kau usirpun aku tak mau pulang!"

   Memandangi putrinya Jengis Khan tersenyum manis, katanya.

   "Agaknya ada apa2 yang hendak kau sampaikan kepadaku bukan?"

   Putri Minghui bersorak, bertepuk tangan, serunya.

   "Ayah memang pintar,sekali tebak lantas kena!"

   Jengis Khan tertawa puas dan bangga, ujarnya.

   "Isi hatimu selamanya takkan dapat mengeelabui aku, coba katakan."

   "Nah, sekarang kau salah terka. Persoalan yang ingin kukatakan justru adalah urusanmu."

   Jengis Khan tertegun sebentar, lalu tanyanya.

   "Urusanku? Aku ada urusan apa perlu kau turut ribut?"

   "Apa kau tahu orang macam apakah wakil panglima besarmu itu?"

   "maksudnya Li HI-ko itu?"

   Jengis Khan menegas.

   "Asal meulanya dia seorang tawanan, tapi cukup punya kepandaian, maka kuangkat pada kedudukan yang tinggi. Untuk apa kau tanyakan pribadinya?"

   Putri Minghui geleng2 kepala katanya.

   "Yah, kau kena dikelabui olehnya. Dia bukan Li Hi-ko, nama aslinya adalah Sia It-tiong. Setelah mencelakai Li Hi-ko ia memalsukan namanya untuk mengejar pangkat!" ~ Segera ia ceritakan bagaimana Sia It-tiong mencelakai Li Hi-ko kepada Jengis Khan. Dengan cermat Jengis Khan mendengarkan ceritanya, akhirnya ia berkata.

   "O, Ada kejadian begitu, Sia It-tiong itu termasuk juga orang yang cerdik dan banyak muslihatnya!"

   Putri Minghui tercengang, katanya.

   "Yah, agaknya kau memuji dan mengaguminya malah!"

   "Lalu menurut pandanganmu, bagaimana aku harus bertindak padanya?"

   "Manusia keji yang menjual sahabat demi mengejar pangkat dan kedudukan, mana bisa ayah tempatkan pada jabatan penting yang begitu tinggi ? Seumpama tidak membunuhny, Pling ringan harus diusir keluar!" ~ menurut hemat putri Minghui asal Sia It-tiong terusir keluar dari pasukan besar, tanpa sesuatu sandera yang diandalkan gampang saja umpama Nyo Wan hendak membunuhnya. Daripada pinjam tangan orang lain ada lebih baik Nyo Wan membunuh musuh besarnya dengan tangan sendiri. Bertaut alis Jengis Khan, ujarnya.

   "Ah, itukan pandangan bocah cilik!"

   "Yah,"

   Seru putri Minghui kesal.

   "Aku pikir demi kebaikanmu, apa kau tidak kuatir orang kerdil macam Sia It-tiong yang telengas dan busuk itu selalu berada disampingmu? Selamanya kau paling benci terhadap orang yang tidak jujur dan tidak setia, kenapa kau mandah saja diapusi Sia It-tiong palsu itu?"

   Jengis Khan tertawa lebar, katanya.

   "Ah, pandangan sempit seorang bocah cilik. Kau menganalisa persoalan dari pihak sebelah, masa kau kira aku gampang kena diapusi apakah tidak lucu dan menggelikan?"

   "Dia memalsukan nama dan menggantikan orang, terang gamblang telah menipu kau bukan?"

   Desak putri Minghui.

   "kau tak perlu gelisah,"

   Bujuk Jengis Khan.

   "Duduklah, pelan2 akan kuterangkan."

   "Per-tama2 aku memerlukan seorang yang cerdik pandai bangsa Han yang bisa kuperalat, orang macam ini besar bantuannya terhadap bangsa dan negara Mongol kita, untuk menundukkan negeri tiongkok. Kau sudah jelas belum? Tentang orang itu she Sia atau she Li aku tidak ambil peduli dan tidak penting bagiku!"

   Dingin perasaan putri Minghui seperti kepala diguyur air dingin, debatnya.

   "Yah, tapi dia seorang kerdil yang hina dina dan kejam!"

   "Aku toh bukan handak pilih mantu, peduli amat akan watak dan sepak terjangnya?"

   Demikian ujar Jengis Khan tertawa, apalagi dia seorang bangsa Han, bukan sanak bukan kadang kita. Semakin buruk dan bejat perangainya, aku semakin lega memperbudak dirinya?"

   Mendengar uraian ayahnya in putri Minghui se-akan2 terjungkal masuk kedalam lobang es yang dingin, badannya bergidik dan gemetar, pikirnya.

   "Ternyata begitu cara ayah memperalat orang. Ai, bahwasanya Huma (mantu raja) yang dia pilih untuk jodohku melulu demi kepentingannya sendiri, betapa dia pernah pikirkan kebahagiaanku? Tin-kok manusia jelek itu bukan saja gila pangkat dan kemaruk harta malah hidung belang lagi, watak dan perangainya juga bejat." ~ Kiranya pangeran Tin-kok adalah putra kepala suku Wangku. Suku Wangku merupakan satu bangsa paling besar dan kuat bangsa Mongol. Dengan menjodohkan putri tunggalnya kepada pangeran jelek ini tujuan utama adalah memelet dan meminjam kekuatan militer suku Wangku yang besar itu. Melihat putrinya tunduk terpekur Jengis Khan menyangka ia belum dapat menangkap arti ucapannya, maka segera ia menyambung lagi.

   "Ketahuilah, kita hendak merebut tanah bangsa Han, bicara terus terang, orang Han yang mau kita peralat dan menjual jiwa bagi kepentingan kita sudah tentu orang2 hina dina yang rendah dan kepincut harta dan pangkat, lebih jelas lagi mereka aalah pengkhianat2 bangsanya sendiri. Jikalau seorang ksatria dan pahlawan bangsa, mana mungkin mereka mau membantu kita menghantam bangsa dan negaranya sendiri.

   "tentang dia menipu aku, hal ini harus kita pandang dari segi untung ruginya, apa pula maksud dan tujuannya, kalau bermaksud membangkang dan mengkhianati aku, sudah tentu tidak akan kuberi ampun. Tapi tidak demikian akan Sia It-tiong itu, dia hanya menipu aku demi jabatan dan pangkat saja, demi kepentingan kita yang luhur kenapa aku harus kikir menganugerahinya sekedar pangkat wakil panglima perang? "Kau pernah membaca buku karangan orang Han, dan kau tahu ada sebuah pepatah orang Han yang berbunyi.

   "kalau tidak jahat bukan seorang laki2. Memang cara Sia It-tiong mencelakai jiwa Li Hi- ko cukup kejam dan telengas, tapi ini malah membuktikan akan cerdik pandainya?"

   "Sudah tentu dengan adanya seorang keji berada disamping aku harus selalu waspada. Bicara sejujurnya aku hanay menggunakan dia sebagai anjing pemburu yang paling setia melulu. Orang Han mereka masih ada sebuah pepatah yang berbunyi.

   "Kelinci terpanah mati, anjing tergebak lari. Tanah luas nan subur dari bangsa Han merupakan kelinci buruanku, sekarang kita baru saja menelan sebagian kerajaan Kim, mana bisa aku menggebah lari antek (anjing) macam Sia It-tiong? Kau membujuk aku membunuhnya, kelak aku memang harus membunuhnya. Tapi harus tunggu setelah kita bisa mencaplok kerajaan Kim dan sudah menyebrangi sungai besar menelan kerajaan Song Selatan! "Cukup, sekarang kau sudah paham bukan? Selanjutnya kularang kau menyinggung persoalan membunuh Sia It-tiong lagi, tentang rahasia Sia It-tiong memalsu nama dan menggantikan orang lain juga jangan sampai bocor. Ini menyangkut urusan besar dan sangat penting, kau harus selalu ingat peringatanku ini, jangan sekali2 kau membangkang dn melanggar perintah! Sudah kini kau boleh pulang."

   Luka2 Jengis Khan masih terasa sakit, setelah berkata panjang lebar tenaganya rada terkuras sebagian, napasnya menjadi memburu, setelah habis berkata ia pejamkan mata mulai istirahat.

   Putri Minghui tahu tabiat keras ayahnya, apa yang sudah dikatakan tak pernah ditarik kembali, apalagi ucapannya kali ini begitu tandas dan tegas, betapapun aleman dan disayang dirinya takkan mungkin dapat membujuknya untuk membunuh Sia It-tiong.

   Apa boleh buat akhirnya putri Minghui menghela napas katanya.

   "Yah, kalau kau benar2 hendak memperalat antek busuk ini, aku berjanji takkan membocorkannya. Tapi dalam hati aku benar2 benci askali pada antek hina dina ini. Yah, kau harus istirahat, besok pagi aku datang menengokmu lagi."

   Baru saja putri Minghui hendak pergi, tiba2 Jengis Khan seperti teringat akan suatu hal, mendadak ia membuka mata dan berteriak.

   "Minghui, kau kembali!"

   Putri Minghui menjadi putus asa, dengan lesu ia berpaling sahutnya.

   "Yah, permintaanku kau tak kabulkan, ada persoalan apa lagi yang perlu dibicarakan?"

   Setelah menenggak air kolesom pelan2 Jengis Khan berkata. Urusan rumit ini kau dengar darimana?"

   "Urusan apa?"

   Putri Minghui menegas dengan tertegun.

   "Urusan perihal Sia It-tiong tadi, siapa yang memberi tahu kepadamu?"

   Nadanya tertekan dan serius. Muka putri Minghui menjadi merah, sahutnya "tersekat ini, ini "

   Mendelik mata Jengis Khan, gerungnya. Ini Itu apa katakan! Apakah bocah Li Su-lam itu yang memberi tahu kepadamu?"

   Tahu tak dapat mengelabui lagi, terpaksa putri Minghui menjawab.

   "Benar, Li Su-lam yang beritahu kepadaku!"

   Jengis Khan menjengek dingin. Maka kau hendak menuntut balas baginya bukan?"

   Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jengkel dan gemes pula hati putri Minghui, katanya .

   "Suatu persoalan pasti ada baik buruknya, ayah Li Su-lam sudah dicelakai oleh Sia It-tiong, apakah dia tidak boleh menuntut balas? Memang aku sendiri merasa simpatik akan persoalan ini, tapi ayah sebaliknya kau lindungi manusia jahat, apa yang dapat kuperbuat?"

   "Bukan itu yang kupersoalkan,"

   Jengis Khan menegas.

   "Ya, ingin kutahu kapan bocah Li Su-lam itu memberitahu kepadamu?"

   "Ayah, buat apa kau urus persoalan tetek bengek ini. Lebih penting kau istirahat tak perlu usut urusan sepele ini?"

   "Ini bukan urusan sepele. Aku tahu bocah Li Su-lam itu menggembol se

   Jilid buku pelajaran perang karangan Han Si-tiong, betapun aku harus menangkapnya kembali! Terakhir kapan kau bertemu dengan dia?"

   "Waktu berburu di holin tempo hari aku kan bersama Li Su-lam, bukankah kau sendir yang minta dia menemani aku?"

   "Bukan waktu itu yang kumaksud. Watak Li Su-lam sangat keras, menurut rekaanku waktu berburu di Holin dulu pasti dia masih belum tahu bahw asia It-tiong adalah musuh besar pembunuh ayahnya, kalau tidak, tidak mungkin dia mau bersama Sia It-tiong mengahdap aku? Segala urusan ini tentu belakangan ini dia beritahu kepadamu!"

   "Yah,"

   Putri Minghui merengek.

   Agaknya kau ingin tahu se-akar2nya, baiklah kuberitahu.

   Setelah dia merat dari Holin secara diam2 aku mengejarnya dan kita bertemu disuatu tempat, disanalah ia memberitahu persoalan itu.

   Ini terjadi beberapa bulan yang lalu. "Sekarang dia dimana?"

   "Sudah lama dia pergi,bagaimana aku bisa tahu dimana dia berada?"

   "kaukah yang membantu dia melarikan diri?"

   "Benar, aku memberinya sebuah medali emas! Yah, cara bagaimana kau hendak menghukum aku, aku mandah saja."

   Jengis Khan menghela napas, nadanya tiba2 berubah lemas, katanya halus.

   "kau melepas buruanku ini merupakan kesalahan besar, tapi masa aku tega menghukum padamu. Kau menyukai bocah Li Su-lam itu bukan?"

   Perih rasa hati sepertidisayat sembilu, pikirnya. Umpama aku memang suka dia apa pula yang dapat kuperbuat, kan dia sudah punya calon istri."

   Jengis Khan tertawa, ujarnya.

   "Kau tidak perlu takut, kalau kau memang suka dia boleh kau panggil dia kembali. Asal dia mau menurut dan dengar kataku, aku tidak akan mempersukar dia lagi."

   "Tadi sudah kukatakan, pertemuan kita yang terakhir terjadi beberapa bulan yang lau, bagaimana aku bisa menemulan dia? Ayah, kau tak perlu tanya apakah aku suka atau tidak kepada Li Su-lam, yang terang aku tidak suka pilihan Huma yang kau penyjui itu!"

   "Apakah Li Su-lam betul2 tidak berada disini?"

   Putri Minghui menjadi uring2an, katanya.

   "Yah, masa aku bisa menyembunyikan seorang laki2 segede itu?"

   "Ya, aku tahu kau takkan berani,"

   Seru Jnegis Khan menarik muka.

   "Tapi kau harus tahu bahwa kau sudah ditunangkan dengan orang lain. Huma yang kupilihkan itu peduli suka atau benci kau harus menikah dengandia. Perlu kuberitahu padamu, Li Su-lam adalah bangsa Han, meski kau mencintainya, tak mungkin kau menikah dengan dia. Apa kau sudah paham?"

   Air mata meleleh keluar membasahi kedua pipi Putri Minghui, saking jengkel ia merengek.

   "Siapa sudi aku hendak menikah dengan dia, siapapun aku tidak sudi menikah."

   "Ah, omongan bocah kecil!"

   Hm, nanti setelah luka2ku sembuh segera kupilih hari baik dan kulangsungkan pernikahanmu supaya kau tidak banyak pikiran dan berubah hati. Sudahlah kau boleh pulang. Boleh kau renungkan nanti, jangan kau sia2kan rasa sayangku kepadamu."

   "Mana kau sayang padaku?"

   Demikian batin Putri Minghui.

   "kau menekan aku menikah dengan badut buruk itu terang melemparkan aku ke dalam bara api."

   Karena Jengis Khan sedang merawat luka2nya, Putri Minghui tak enak membuatnya marah, terpaksa ia bungkam saja, dengan mengembeng airmata segera ia tinggal pergi.

   Dengan masqul segera Putri Minghui kembali ke kemahnya, begitu melihat sikap orang yang lesu Nyo Wan lantas mengeluh dalam hati, pikirnya.

   "Seharusnya aku tidak mengandalkan bantuan orang lain untuk menuntur balas!" ~ Oleh karena itu meski rada kecewa seberapa bisa ia berlaku tenang dan membujuk Putri Minghui malah.

   "Tuan putri demi urusanku kau sampai bercapek lelah, berhasil atau tidak sama saja aku sangat berterima kasih kepadamu."

   Kata Putri Minghui dengan gegetun. Ayah tidak memberi ijin aku membunuh Sia It-tiong. Tapi akan datang suatu hari ia bakal terjungkal, cepat atau lambat tentu dia akan terjatuh ditanganku. Aku sudah pasti harus melawannya sampai babak terakhir."

   Meski Putri Minghui bicara secara tegas, hakikatnya ia sendiri tidak punya pegangan apakah usahanya membunuh Sia It-tiong bisa berhasil.

   Apalagi dalam situasi sekarang ini bukan saja dia tidak mungkin membantu Nyo Wan, sedangkan urusan sendiri yang gawatpun seebtulnya memerlukan bantuan orang lain yang tidak mungkin dapat terlaksana.

   Malam itu Putri Minghui gulak gulek ditempat tidur tak bisa pulas.

   Jengis Khan pernah berkata begitu luka2nya sembuh segera hendak melangsungkan pernikahannya dengan pangeran Tin-kok.

   Tahu ia ucapan Jengis Khan selamanya menjadi perintah yang tidak boleh dibangkang, betapapun tak bisa diubah lagi, bagaimanakah baiknya? Hampir pada kentongan kelima baru lapat2 Putri Minghui bisa pulas dalam mimpinya.

   Hari kedua waktu itu ia siuman, matahari sudah naik tinggi segenter.

   Seharusnya ia pergi menengok luka ayahnya tapi takut ayahnya nanti menyinggung persoalan pernikahannya.

   Tengah ia bimbang, seorang pesuruh masuk melapor, baru sekarang Putri Minghui mengetahui.

   Karena fasilitas yang sukar dicapai, terpaksa pangeran Tin-kok memindah tempat istirahat Jengis Khan ke sebuah kota kecil bernama Ko-goan dikaki gunung Liok-pan-san sebelah selatan.

   Menurut rencana militer pasukan besar Mongol semula setelah dapat menjebol pertahanan dan menduduki Liok-pan-san yang strategis itu, serentak terus menyerbu ke Tiong-tok ibu kota kerajaan Kim.

   Namun secara diluar dugaan Jengis Khan terjungkal jatuh dan luka2 maka terpaksa rencana penyerbuan harus ditunda beberapa waktu lagi.

   Untuk memelet dan mengambil hati bakal mertua, pangeran Tin-kok juga tinggal di Ko-goan untuk merawat penyakitnya.

   Segala urusan kemiliteran diserahkan kepada kedua pembantunya, sudah tentu Sia It-tiong semakin terpandang dalam kedudukannya.

   Besar hasrat Putri Minghui pergi ke Ko-goan untuk tilik ayahnya, namun takut ketemu dengan pangeran Tin-kok, pula Jengis Khan tidak mengutus orang memanggilnya, terpaksa Putri Minghui selalu mengeram dalam kemahnya dengan masqul, sambil menunggu panggilan.

   Tak terasa sepuluh hari sudah lewat, selama ini utusan Jengis Khan tidak kunjung datang juga.

   Tapi kabar berita dari Ko-goan setiap hari tak pernah putus, kabar didapat selalu mengatakan bahwa penyakit Jengis Khan sudah berangsur baik.

   Diam2 putri Minghui menjadi lega, batinnya.

   "Mungkin yah masih marah padaku maka tak ingin aku menemui beliau. Tapi asal penyakitnya lekas sembuh tak menjadi soal aku sedikit menderita tekanan batin."

   Dalam rasa girangnya ini terselip juga rasa kuatir, karena bila penyakit Jengis Khan sembuh beliau segera hendak melangsungkan pernikahannya.

   Tersekam didalam kubu ketentaraan yang sempit kurang leluasa lagi, Nyo Wan selalu termenung dan gelisah.

   Semula ia punya dua tujuan tertentu, dengan berada dalam pasukan musuh ia lebih dekat dan gampang untuk membunuh musuh besar, dilain pihak seiring dengan ekspansi pasukan Mongol ke selatan ini sekaligus ia bisa pulang ke kampung halaman yang sudah sangat dirindukan.

   Kenyataan musuh besar berada didepan mata, namun i atak berdaya membunuhnya, sekarang pasukan ini bercokol di Liok-pan-san, entah kapan lagi baru dirinya bisa kembali tiba dikampung halamannya? Orang lain boleh mondar mandir kemana suka, sebaliknya kuatir konangan kedok samarannya, paling banyak ia hanya bisa bergerak di tempat2 terlarang khusus bagi pasukan kaum wanita.

   Hari itu karena iseng Nyo Wan pergi kehutan memetik bunga, mendadak terdengar keliningan kuda yang membedal tiba, dari kejauhan san terleihat perwira muda tengah melarikan kudanya mendatangi, berani benar perwita ini memasuki dareha terlarang ini.

   "Siapaakh itu?"

   Segera Nyo Wan maju membentak.

   "Apa kau tahu inilah kubu pasukan perempuan?"

   "Ya, aku sedang mencari putri Minghui."

   Sahut perwira muda itu.

   "Mencari tuan putri juga tidak boleh sembarangan main terobos,"

   Jengek Nyo Wan.

   "Siapa namamu sekas sebutkan, bihar kulaporkan dulu, kau keluar dari hutan dang tunggu disana."

   Perwira muda itu malah melompat turun dari kudanya, dengan cermat ia mengawasi Nyo Wan sekian lama, katanya tertawa.

   "Dulu agaknya aku belum pernah lihat kau, kapan kau datang kemari, siapa pula namamu?"

   "Kau tahu aturan tidak?"

   Semprot Nyo Wan jangkel.

   "Kusuruh kau keluar kau dengar tidak?"

   Perwira itu tertawa lebar, katanya.

   "Nona seperti kau ternyata begitu galak, aturan apa yang kau maksudkan, coba katakan."

   "Siapapun dilarang menginjak daerah terlarang kubu pasukan wanita, apa kau tidak tahu."

   "Ya, siapapun dilarang masuk kemari, hanya akulah yang dikecualikan, hei, kau belum menjawab pertanyaanku tadi, siapa namau?"

   Timbul rasa curiga dan was2 Nyo Wan, batinnya.

   "Orang ini bernyali begitu besar dan membuat ribut lagi, bukan mustahil sebagai utusan Sia It-tiong yang hendak menyelidiki jejakku? Kalau dugaanku ini salah, terang ia sengaja hendak main gila dengan aku."

   Sudah beberapa hari ini Nyo Wan dirundung kesesapan hati yang belum terlampias, segera ia membentak lebih keras.

   "Tak perduli siapa kau, berani sembarang terobosan ke daerah terlarang maka kau harus kubekuk."

   Perwira muda itu bergelak tertawa.

   "Apa betul? Tapi aku tak percaya nona cantik selemah kau mampu membekuk diriku?"

   "Tak percaya?"

   Jengek Nyo Wan tawar.

   Mendadak secepat kilat ia melompat menerjang sembari rangkap kedua jarinya menutuk ke muka si perwira muda.

   Jurus Ji-liong-jiang-cu (dua naga berebut mutiara) adalah pelajaran ilmu tunggal dari Go-bi-pay, merupakan tipu yang lihai dari kepandaian merebut senjata musuh dengan tangan kosong.

   Sejak kecil Nyo Wan sudah diajari ilmu lihai ini dari engkohnya Nyo To, begitu kedua jarinya bergerak laksana dua japitan besi langsung mencolok kedua biji mata lawan, cara serangan ini memang cukup ganas dan keji.

   Keruan perwira muda itu sangat terkejut.

   "kejam benar!"

   Bentaknya, cepat telapak kirinya dimajukan miring melindungi muka sedang kakinya bergeser berputar setengah lingkaran berbareng pecut di tangan kanan juga terayun, perwira muda ini merupakan jago gulat yang paling kenamaan di Mongol, begitu kedua jari Nyo Wan menyerang tiba asal sekali kena cengkeram pasti patah, disusul ayunan pecut di tangan kiri, pikirnya gerakan serentak ini tentu dapat meringkus Nyo Wan dengan mudah.

   Tak kira serangan Nyo Wan merupakan gertakan belaka dengan bunyi di timur memukul di barat.

   Hakikatnya dia tidak bermusuhan dengan perwira muda ini, mana tega mencukil biji mata orang? Tapi justru serangannya ini merupakan gertakan yang lihai, terpaksa pihak musuh harus membela diri dan melindungi mukanya dengan sepenuh perhatian.

   Tapat pada waktu telapak kiri si perwira muda tegak dimuka wajahnya, mendadak Nyo Wan merubah gerakannya, tiba2 lengan bajunya dikebutkan mengebut pergelangan tangan si perwira muda, kontan pecutnya itu kena terampas olehnya.

   Sebetulnya tenaga dan kekuatan si perwira muda jauh lebih besar dari Nyo Wan, kalau gebrak secara terang2an Nyo Wan pasti tak semudah itu dapat mengambil keuntungan, namun dengan gebrak tipunya yang lihai itu cara berbunyi di timur menggempur di barat kiranya berhasil dengan gemilang.

   Perwira muda itu malah bergelak tertawa, serunya.

   "Kepandaian hebat, tapi untuk apa kau merebut pecutku. Bukankah kau dayang Minghui, apa mau menjadi tukang kudaku?"

   Pecut musuh telah terampas oleh Nyo Wan, terasa olehnya pecut ini bobotnya rada berat dan lebih besar dari pecut umumnya, setelah ditegasi baru diketahui bahwa pecut ini teranyam dari rambut bulu mas hitam yang tumbuh diperbatasan barat, mas hitam yang terdapat di daerah pegunungan Altai bobotnya lebih berat dari mas kuning biasa, sudah tentu pecut yang dipegangnya sekarang juga merupakan benda berharga yang tak ternilai harganya.

   Dari sini dapatlah diduga pemilik dari pecut ini pasti bukan perwira sembarangan.

   Tahu bahwa musuhnya ini bukan orang sembarang, namun ia gemes akan kata somobong dan kurangajar, diam2 ia membatin.

   "Peduli siapa dia, yang terang ia melanggar larangan menerobos tempat penting, betapapun aku harus memberi pelajaran, kukira putri Minghui takkan menyalahkan aku!"

   Belum lagi gelak tertawa si perwira muda lenyap, mendadak Nyo Wan menggertak keras.

   "Rebahlah,"

   Pecut rampasannya itu diayun menyerang dengan jurus Ko-teng-jan-su (rotan kering menggubet pohon), ujung pecut di tangannya bergetar terus menyapu kedua kaki si perwira. Kali ini agaknya siperwira muda sudah siaga, serunya tertawa.

   "Belum tentu!"

   Dimana tubuhnya bergerak dengan tipu "Chiu-hui-bi-ba" (tangan memetik harpa), bukan mudur malah menerjang maju telapak tangannya terjulur hendak menangkap pergelangan tangan orang.

   Namun gerak gerik Nyo Wanternyat cukup gesit pula, di tengah jalan ia merubah gerakan pecutnya melingkar hendak membelit lengan lawan, tapi keburu si perwira memutar tubuh dari emncengkeram telapak, tangannya dirubah menjadi kepalan, dimana jotosannya berkwsiur mengeluarkan deru angin yang deras, kiranya ia telah melancarkan rangsakan kencang yang dahsyat.

   Tapi kepandaian Nyo Wan pun tidak lemah, kakinya bergerak lincah tubuhnya bergoyang selicin belut, pecut di tangannyapun ditarikan begitu indah dan tangkas sekali.

   Terdengar perwira muda itu bergelak tawa lagi.

   Permainan pecutmu ternyata cukup hebat pula, tadi kukira kau nona cilik yang lemah lembut, sungguh aku telah salah lihat!" ~ Belum lenyap gelak tawanya mendadak ia menghardik.

   "

   Lepas tangan!"

   Kelima jarinya bagai cakar garuda sekali cengkeram telak sekali kena pegang pecut yang menyamber tiba.

   Sudah tentu tenaga Nyo Wan bukan tandingan musuhnya, dalam keadaan gawat ini timbul akalnya yang pintar, pergelangan tangannya memuntir dan digentakkan keras, kontan ujung pecut melejit balik laksana kepala ekor yang mematuk "plok"

   Tepat sekali menutuk jalan darah hoan-tiau-hiat didengkul si perwira.

   Saat mana si perwira sudah kerahkan tenaganya membetot dengan sepenuh tenaga, memang ia berhasil merampas balik pecutnya, namun tepat pada saat itu juga ia rasakan dengkulnya mendadak kesemutan, tak kuasa lagi "bluk"

   Ia roboh terjungkal di tanah.

   Karena tarikan yang besar, sehingga Nyo Wan kehilangan keseimbangan badan, hampir saja iapun terseret terjerembab, untung ilmu ringan tubuhnya sangat tinggi, sekali menggoyangkan pundak dengan gaya kek-cu-hoan-sin (burung dara jumpalitan) kakinya menjejakkan tanah tubuhnya lantas melejit berjumpalitan dan hinggap di tanah dengan entengnya.

   Karena mengenakan pakaian perang yang cukup berat bobotnya dalam waktu dekat siperwira tak mampu bangun berdiri.

   Baru saja Nyo Wan memburu maju hendak meringkusnya, tiba2 terdengar seruan kaget dan kuatir orang berteriak.

   
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Uhana, apa yang kau lakukan? Lekas berhenti!" ~ ternyata para prajurit wanita memburu keluar waktu mendengar ribut2 disini.

   "Uhana"

   Adalah nama Nyo Wan dalam bahasa Mongol yang diberikan oleh putri Minghui.

   Karena pakaian perangnya yang serba tebal itu, meski jalan darah dengkulnya kena totok namun tidak begitu berat akibatnya, belum sempat para prajurit wanita itu memapahnya, perwira itu sudah merangkak bangun sendiri.

   Katanya tertawa.

   "Dia begitu setia terhadap Minghui. Akupun tidak terluka apa2, kalian tidak perlu salahkan dia."

   Para prajurit wanita itu barui lega hatinya, kata salah seorang.

   "Uhana, untung kau tidak menimbulkan keributan basar, kau tahu siapa beliau?"

   "Mana aku tahu?"

   Jawab Nyo Wan. Seorang prajurit yang paling baik hubungannya dengan Nyo Wan segera maju memberi keterangan.

   "beliau adalah pangeran keempat kita. Diantara empat bersaudara , putri paling baik dengan dia. Nanti kau harus minta ampun kepad atuan putri."

   Nyo Wan benar2 terkejut, baru sekarang diketahui oelhnya bahwa perwira muda ini tak lain tak bukan adalah putra keempat Jengis Khan yang bernama Dulai.

   Dari penuturan Li Su-lam Nyo Wan pernah dengar perihal Dulai, diketahui olehnya bahwa Dulai dan Minghui adalah dua putra putri Jengis Khan yang paling disayang.

   Sifat Dulai lapang terbuka dan polos, bijaksana terhadap sesama orang, jauh beda dengan ketiga engkohnya.

   Dulu waktu ikut berburu dengan Jengis Khan , Dulai pernah bersahabat dengan Li Su-lam, sejak itu hubungan mereka semakin akrab, malah Dulai pernah memberi kado (berupa sapu tangan), menurut adat istiadat suku Mongol memberi kado dianggap merupakan persahabatan yang kekal, sejak saat itu ia anggap Li Su-lam sebagai Anda (saudara angkat).

   Mendengar ucapan prajurit perempuan itu, Dulai tertawa geli, ujarnya.

   "Jangan kalian salahkan dia, perlu apa minta ampun segala? Sudahlah lekas bawa aku menemui Minghui!"

   Segera Nyo Wan maju nyatakan maaf, terus membawa Dulai masuk kedalam kemah. Minghui tengah termenung dengan murung, tiba2 dilihatnya Dualai datang bertandang sungguh kejut dan girang hatinya, teriaknya.

   "Si kecil bukankah kau tinggal di Holin pegang kekuasaan? Kenapa datang kemari?"

   "Kudengar ayah terluka, beberapa hari yang lalu aku sudah tilik ke Ko-goan,"

   Sahut Dulai "dayangmu ini dulu agaknya aku tak pernah lihat, kapan kau terima dia? Naga2nya dia bukan nona2 kasar dari padang rumput dinegara kita?"

   "Jadi kau datang dari Ko-goan?"

   Kata Minghui.

   "Bagaimana keadaan ayah? Tentang Uhana nanti kita pelan2 kujelaskan kepadamu." ~ Putri Minghui sendir masih belum ambil kepastian apakah dia harus menjelaskan asal usul Nyo Wan, apalagi selama ini sudah kangen benar dengan sang ayah, ingin benar mengetahui berita terakhir, maka ia alihkan pokok pembicaraan. Kata Dulai dengan lesu. Luka panah ayah kumat lagi, penyakitnya semakin parah. Aku justru menerima perintahnya kemari memanggilmu kesana. Agaknya ada sesuatu hal yang tidak disenanginya tentang kau, sudah beberapa hari aku berada di Ko-goan belum pernah ia menyinggung tentang dirimu. Semalam setelah penyakitnya rada baik, ayah sangat kangen kepadamu, semalam suntuk mengigau namamu. Lekas kau siap2 hari ini juga kau ikut aku kesana!"

   Terperanjat putri Minghui,katanya.

   "bagaimana penyakitnya bisa menjadi berat? Saban hari berita yang kudengar disini selalu menggembirakan, malah kukira penyakit ayah sudah sembuh sama sekali."

   Dulai tertawa getir. memang ayah merahasiakan keadaannya yang gawat supaya tidak menggangu ketentraman para prajurit dimedan perang. Kau jauh dari Ko-goan, seluk beluk ini sudah tentu tidak kau paham."

   Putri Minghui menjadi bingung dan gelisah,katanya. Apakah begitu krisis sampai mengganggu jiwanya? Apakah bajingan Tin-kok itu masih berada disamping ayah?"

   Dulai menghela napas, sahutnya.

   Sukar dikatakan.

   Usia ayah sudah menanjak tujuhpuluh.

   Setua ini hidup dalam petualangan diatas kuda, mendirikan pahala besar bagi bangsa dan negara kita, seumpama betul2 menemui ajalnya juga tak perlu dibuat sedih.

   Kaupun tak perlu terlalu merawan hati." ~ sejenak berhenti, lalu sambungnya.

   Aku tahu kau benci pangeran Tin-kok,apalagi keadaan ayah sudah gawat, betapapun pernikahanmu pasti tertunda, maka kaupun tak perlu kuatir menghadapinya.

   Ada aku yang mengiringi kau ke Ko-goan, kutanggung pangeran Tin-kok takkan berani mengusik padamu."

   Kiranya hubungan putri Minghui paling akrab dengan Dulai diantara sekian banyak saudaranya, isi hati putri Minghui selamanya disampaikan kepada Dulai secara bebas terbuka. Dasar watak Dulai polos dan jujur,iapun tidak cocok dengan pangeran Tin-kok.

   "Baik, kau keluar sebentar, aku hendak ganti pakaian,"

   Kata putri Minghui, tolong kau suruh mereka menyiapkan kudaku, suruhlah mereka pilih tiga ekor kuda yang paling jempolan!"

   Mendadak Dulai bertanya. Apakah kau bermaksud membawa pelayanmu itu?"

   Sesaat putri Minghui tertegun, sahutnya.

   "untuk apa kau tanyakan hal ini?"

   Pandangan Dulai beralih kepada Nyo Wan, katanya.

   "Kepandaian Uhana cukup baik, tadi hampir saja aku kena diringkus olehnya. Menurut hematku kepandaiannya jarang didapat diantara kaum putri umumnya, mungkin para busu kita hanya beberapa orang saja yang kuat menandinginya. Baru sekarang putri Minghui paham kemana juntrungan pertanyaan saudaranya itu, dengantersenyumpenuh ia berkata.

   "Jadi maksudmu supaya aku membawanya serta." Dengan ada seorang pelindung yang berkepandaian tinggi seperti Uhana berada disampingmu aku lebih berlega hati. "baiklah,kau keluar dulu, biar kutanya maksudnya."

   Bagitu bayangan Dulai lenyap diluat kemah segera Nyo Wan berkata.

   "Aku tak mau pergi," ~ Menurut pertimbangannya Dulai kelihatan rada curiga terhadap dirinya, mungkin dia sudah mengetahui rahasia diriku sebagai bangsa han. Meskipun dia sahabat baik Li Su-lam, batapapun dia keturunan raja, belum tentu karena atau demi sahabatnya lantas mau begitu saja melepaskan buronan penting. Ada lebih baik asal0usulku tidak diketahui olehnya."

   Putri Minghui berpikir sejenak, katanya.

   "Aku berpikir demi kepentinganmu. Menurut pendapatku lebih baik kau ikut aku pergi. Kenapa? tanya Nyo Wan.

   "Aku tidak tega meninggalkan kau disini." ~ Sebentar ia merandek lalu menyambung lagi.

   "Malam itu mereka sudah curiga bahwa pembunuh gelap itu melarikan diri kemari, tapi mereka takut dan melihat mukaku maka tidak menggerebek kesini. Setelah aku pergi, kalau takut terang terangan mungkin Sia It-tiong bisa kirim begundalnya kemari secara menggelap."

   Sia It-tiong itu memang banyak akal muslihat dan sukar ditebak sepak terjangnya, demikian pikir Nyo Wan, paling tidak Dulai jauyh lebih baik dari pada dia, dari pada aku kena dobokong Sia It- tiong, biarlah aku dicurigai oleh Dulai saja, maka akhirnya ia mengabulkan.

   Letak Ko-goan kira2 seratus li di selatan bukit Liok-pan-san, dengan menunggang kuda cepat malam itu juga mereka sudah tiba di tujuan.

   Dulai dan putri Minghui langsung masuk kedalam kemah menilik penyakit Jengis Khan, sedang Nyo Wan beristirahat di kemah lain yang sudah disediakan khusus bagi para dayang.

   Waktu Dulai an putri Minghui memasuki kemah emas kebetulan mendengar Jengis Khan mengumpat caci.

   Hm, apa itu bijaksana dan cinta kasih, berbuat luhur sedikit membunuh apa segala emangnya kau ini pelajar rudin yang berpandangan sempit? Sebagai seorang ksatria sebagai pahlawan bangsa kalau aku tidak tumpas seluruh musuh sehingga mereka keder dan gemetar, mana aku bisa menguasai seluruh jagat? Hah, aku mendapat firman Thian sebelum seluruh pelosok dunia kusatukan, aku ingin matipun juga takkan gampang binasa! Tak perlu kau obati, pergi kau pergi! Aku tidak percaya, tanpa kau masa aku bisa mampus!" ~ di tengah gema makiannya itu tampak seorang tua yang memanggil peti obat beranjak keluar dari dalam.

   Dulai ter-heran2, tanyanya kepada Busu yang jaga diluar kemah.

   Apakah yang telah terjadi?"

   "Orang itu tabib kenamaan dari bangsa Han yang bernama Liu Goan-cong, dengan susah payah baru mengundangnya kemari untuk memeriksa penyakit Khan besar." Kenapa pula Khan besar mengusirnya keluar malah?"

   Desak Dulai.

   "Katanya dia membujuk Khan besar supaya menyebarkan kebajikan dan berbuat amal, sedikit membunuh, baru batin bisa tentram dan panjang umur. Agaknya Khan besar tidak sepaham dengan pendapatnya ini, maka memaki dang mengusirnya!"

   "Dulai terkejut, katanya. Apakah tabib lihai inipun sudah tak mampu memberikan obatnya?"

   Busu itu manggut2 tanpa menjawab.

   Cepat2 putri Minghui dan Dulai memasuki kemah ter tampak Jengis Khan berbaring dengan napas memburu sedang pejamkan mata, mungkin terlalu bernafsu mengumpat caci tadi sehingga kelelahan.

   Ketiga selir Jengis Khan dan tiga putra lainnya yaitu Cuja, Cahatai dan Ogol sudah mengelilingi di samping pembaringan.

   Salah seorang selir tersayang Jengis Khan membisik pinggir telinganya.

   "Khan besar, Alehai dan Dulai yang paling kau sayang sudah tiba!"

   Dulai segera maju serta berkata lirih. Yah, aku datang bersama adik Minghui. Apakah keadaanmu rada baik?"

   Pelan2 Jengis Khan membuka mata, mendadak ia berteriak keras. Apa, kau takut aku segera modar? Seluruh dunia ini akan kujadikan ladang gembala bangsa Mongol kita, siapa berani melawan perintahku ini? Aku harus tetap hidup!"

   Sungguh kasihan keadaan Jengis Khan yang payah itu justru karena merasa jiwanya bakal tamat sehingga pikirannya menjadi kurang waras. Setelah ber-teriak2 kontan ia jatuh pingsan. Seorang Ongkong (abdi dalam) berkata lirih.

   "Agaknya keadaan Khan besar susah ditolong lagi, marilah kita minta beliau memberikan pesannya terakhir."

   "Apakah Khan besar bisa siuman lagi?"

   Tanya Ogotai. Akulah putra terbesar,"sela Cuja.

   "Sudah seharusnya akulah yang mewarisi kedudukannya ini. "Cis, apa kau layak!"

   Jengek Ogotai. Lapat2 agaknya Jengis Khan ada mendengar orang berdebat, pelan2 ia membuka mata lagi. Dua orang Ongkong yang paling lajut usia seger maju berlutut, sembahnya.

   "Badan masmu laksana sekokoh gunung, kalau ambruk siapakah yang bakal pegang tampuk peimpinan negara besar ini? Kau merupakan tunggak negara kalau roboh spa pula yang kuat menjunjung kewibawaan negara? Siapa pula yang kuasa mengendalikan keempat puteramu? Anak2mu, para saudara dan rakyatmu seta para selir sekalian, harap Khan besar kau berikanlah pesan masmu."

   Jengis Khan menghela napas dengan lesu, mulutnya menggumam.

   Apa aku betul2 hampir mati? Keadaannya sekarang rada jernih, samar2 ia tahu betapapun ia takkan kuasa melawan malaikat kematian yang hendak merengut jiwanya.

   Semua oran yang hadir tiada satupun yang berani bersuara.

   Satu persatu pandangan mata Jengis Khan menatap keempat putranya, setelah menghela napas ia berkata.

   "Apakah kalianmasih ingat pelajaran mematahkan panah yang kuberikan dulu? Kalian harus seperti segebung anak panah yang bergabung menjadi satu, sehingga musuh takkan bisa mematahkan kalian satu persatu. Belum lagi aku mati kalian sudah bertengkar sendiri, matipun aku takkan tentram."

   Keempat putranya mengiakan bersama, namun Ogotai dan Cuja masih saling melotot, jelas rasa permusuhan mereka masih saling menghantui sanubari masing2.

   Ternyata ibunya Cuja dulu pernah menjadi tawanan suku Murkit yang merupakan musuh bebuyutan Jengis Khan.

   Kelahiran Cuja berlangsung di tengah perjalanan waktu ibunya dilepas pulang, maka para saudaranya sering curiga akan asal usulnya yang kurang gamblang, mereka tidak menganggapnya sebagai saudara tertua.

   Terutama Ogotai ini paling benci terhadap engkohnya ini, malah beberapa kali secara langsung ia pernah memakinya sebagai keturunan haram. Tadi waktu Jengis Khan jatuh pingsan, Cuja sebagai putra sulung hendak mengambil kedudukan ayahnya, segera Ogotai memakinya.

   Kebetulan Jengis Khan siuman dari pingsannya, perdebatan itu didengar semua olehnya.

   Jengis Khan berkata dalam hati.

   "Kalau aku angkat Cuja sebagai gantiku tentu ketiga saudaranya tak mau tunduk padanya. Cahatai paling pandai berperang, namun sifatnya kasar dan berangasan, kalau dia diangkat jadi pimpinan mungkin bisa timbul huru hara di dalam negeri sendiri. Ogotai bersifat jujur dan setia serta bijaksana, paling mendapat sanjung puji para bawahannya, namun kurang cerdik dan tumpul otaknya, kalau di yang kuangkat keadaan dalam negeri akan lebih celaka dan mungkin makin berbahaya bagi keselamatannya."

   Harus diketahui meskipun Ogotai mendapat junjungan dari anak buahnya, tapi pasukan besar dalam penyerbuan di Liok-pan-san ini seluruhnya adalah dibawah pimpinan pangeran Tin-kok.

   Justru pangeran Tin-kok berpihak kepada Cahatai, sudah tentu Cahatai takkan sudi memberikan kedudukan tinggi sebagai Khan teragung bangsanya pada adiknya.

   Oleh pertimbangan ini walau Jengis Khan ada maksud hendak angkat Ogotai sebagai pewarisnya, betapapun ia harus pertimbangkan lagi lebih masak, karena situasi sekarang tidak menguntungkan bagi segala pihak.

   Terakhir Jengis Khan teringat akan putranya yang tersayang Dulai, Dulai berotak cerdik dan pandai bekerja, sayang usianya terlalu muda belum punya wibawa, kalau dia membantu Ogotai adalah yang paling cocok.

   Belum lagi selesai pertimbangan Jengis Khan ia ter-batuk2 lagi, setelah menenggak wedang jinsom baru berkata.

   Dunia ini sedemikian besarnya, kalau kalian sudah menundukkan seluruh pelosok jagat, masing2 boleh ambil daerahnya sendir dan bercokol mendirikan negara baru, takperlu kalian saling rebutan dan cakar2an sendiri."

   "Ucapan ayah memang tepat,"

   Kata Cahatai.

   "namun orang Han ada punya pepatah yang berkata. Matahari takkan timbul selama dua hari, rakyat tak boleh punya dua raja. Bukankah kata2 ini merupakan peringatan bagi kita?"

   Bertaut alis jengis Khan, akhirnya tersimpul suatu keputusan oelhnya, katanya.

   Siapapun yang bakal menjadi junjungan dia harus mendapat suara terbanayk dari seluruh rakyat.

   Bukankah pada pertemuan besar disungai kastan dulu aku yang dipilih dan dijunjung oleh para kepala suku untuk menjadi Khan agung.

   Cara baik ini haruis dijadikan tradisi bagi generasi mendatang, angkatlah sebagai per undang2 negara kita."

   Dua abdi dalam tadi sekali lagi menyembah.

   "Harap Khan besar suke memberi petunjuk lebih jelas." ~ Sebab ini merupakan suatu prinsip dlam teori saja belum secara langsung menyentuh persoalan luas yang objektif.

   "Baik, kalian dengarlah!"

   Kata Jengis Khan sambil mengelus dada.

   "Setelah akau wafat, kalian harus membawa pulang jazatku ke Holin, kuberi peluang selama tiga bulan panggillah seluruh kepala suku,abdi dalam serta para panglima besar dari berbagai angkatan,adakan suatu rapat besar yang dinamakan Kuliatai (artinya dalam bahasa Mongol adalah orang2 yang punya kuasa). Rapat Kuliatai inilah yang akan menerima surat pewarisku, saat itulah kalian angkat dan pilih Khan besar yang baru. Sebelum Khan baru terpilih, kuangkat Dulai sebagai pejabat Khan besar, dialah yang pegang kekuasaan negara. Cahatai rada kecewa setelah mendengar pesan jengis Khan ini, hatinya kurang senang karena kedudukan Khan besar belum ada keputusan yang positip, sehingga kekuasaan negarapun tiada bagian untuknya. Tapi justru karena belum ada ketentuan siapa yang bakal terangkat menjadi khan Agung, paling tidak ia masih punya setitik harapan. Bagi orang yang punya ambisi sudah lumrah kalau menilai diri sendiri terlalu tinggi demikianlah keadaan Cahatai, ia berpikir.

   "Dalam peperangan akulah yang paling besar mendirikan pahala, abdi dalam, kepala suku serta panglima siapa yang tidak takut dan keder terhadap aku? Dalam rapat besar Kuliatai nanti asal ada beberapa orang kuat terpercaya mau membantu aku, para kepala suku dan abdi dalam yang lemah itu tentu kan tunduk pula padaku. Kedudukan Khan besar yang teragung betapapun bakal menjadi makanan empuk bagiku."

   Keputusan Jengis Khan tak mungkin diubah, pikiran Cahatai terlalu muluk dan memandang enteng persoalan ini, maka tidak terpikir olehnya untuk angkat senjata menumpas Ogotai dan Dulai.

   Seleuruh hadirin tengah tumplek perhatian mendengarkan pesan terakhir Jengis Khan, mimik wajah mereka saling berlainan sesuai dengan kepetingan masing2, entah girang atau sedih mungkin pula ada yang bersyukur dalam hati.

   Hanya putri Minghui seorang yang tidak masuk hitungan dalampesan terakhir itu, dirinya tidak berkepentingan dalam urusan negara, hatinya dirundung kesedihan hanya keselamatan ayahnya yang menjadi buah pikirannya.

   Di-saat2 menjelang ajal ini pikiran Jengis Khan menjadi jernih dan menyesal sekali, melihat titik air mata dikelopak mata putri Minghui hatinya menjaditidak tega dan terharu pula, pikirnya.

   "Kiranya hanya Alaehai saja yang paling prihatin akan diriku, tak seperti Cahatai dan lain2 belum lagi aku mati mereka sudah saling cakar dan rebutan warisan."

   Sunggu sesal dan pilu perasaan Jengis Khan, katanya lirih.

   "Alehai!"

   "yah, aku ada disini."

   Jengis Khan menggengam dan mengelus tangannya, katanya. Aku menyesal dan mohon maaf tak dapat mengabulkan permintaanmu terakhir, apakah kau masih marah pada ayah?"

   Putri Minghui maklum yang dimaksud adalah persoalan dirinya dengan pangeran Tin-kok, dari nada ucapannya ini dapat dirasakan bahw abeliau benar2 sudah menyesal dan sadar.

   Tak tahu bagaimana ia harus menjawab, hanya air mata saja yang tak kuasa dibendungnya.

   Katanya dengan sesenggukan.

   "Yah, aku pasrah saja kepada pendapatmu."

   "Kau tak perlu bersedih,"

   Bujuk Jengis Khan.

   "Setelah ku wafat, engkohmu Dulai pasti akan merawat kau, serahkan saja persoalanmu kepada dia."

   Kata2 Jengis Khan ini mengandung arti yang dalam, tegasnya ia serahkan persoalan pernikahan putri Minghui kepada Dulai untuk membereskannya kelak.

   Jengis Khan tahu situasi sekarang masih memerlukan kekuatan tentara Tin-kok, maka ucapannya hanya samar2 saja, tapi bila kelak situasi dan kondisi sudah berubah, bantuan Tin-kok sudah tiada artinya, persoalan nikah yang tidak disetujui langsung oleh putri Minghui, sudah tentu Jengis Khan sendiri tidak perlu mengukuhi pendapatnya secara sepihak.

   Namun perubahan situasi kelak betapapun sebagai orang biasa jengis Khan tak bisa meramalkan, maka ia serahkan keputusan terakhir kepada Dulai saja, hakekatnya ucapannya ini juga memberi kisikan kepada Dulai.

   kalau kelak kau masih memerlukan kekuatan pangeran Tin-kok, betapapaun pernikahan adikmu tidak boleh batal.

   Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Putri Minghui dapat emamklumi arti kata ayahnya, jeritnya menangis.

   ayah, kau jangan tinggalkan aku!"

   Jengis Khan menghela napas, ujarnya.

   Sekarang aku sudah paham, akhirnya orang pasti mati! Aku percaya kelak seluruh dunia ini pasti bakal menjadi ladang gembala seluruh bangsa Mongol, hanya sayang hari bahagia itu aku tidak bakal mengalami sendiri." ~ suara kata2nya semakin lirih dan lenyap, seorang junjungan perkasa akhirnya menutup mata untuk selama2nya.

   Putri Minghui men-jerit2.

   "Jangan karena tangismu sampai menggangu pikiran orang lain, sebentar lagi kita mesti berunding."

   Sentak Cahatai.

   Di lain saat, para abdi dalam, selir, serta para panglima yang hadir segera mengadakan pertemuan dalam kemah itu juga, mereka mengadakan perundingan kilat, mencari jalan cara bagaimana untuk mengadakan upacara pemakaman bagi Jengis Khan, serta rencana militer untuk menyerbu kerajaan Kim serta lain2 persoalan penting.

   Sudah tentu karena masing2 mempunyia kepentingan dan jalan pikiran sendiri, tak heran terjadi beberapa kali perdebatan seru.

   Walaupun pangeran Tin-kok tidak paham apa maksud ucapan terakhir Jengis Khan tadi sebelum ajal, namun samar2 ia merasa sesuatu yang tidak menguntungkan bagi dirinya.

   Terang dirinya tidak cocok dengan Dulai, sekarang justru Dulai yang pegang kekuasaan negara, sudah tentu ia sangat merugikan kepentingannya pribadi.

   Di lain pihak dengan kematian Jengis Khan menurut adat istiadat bangsa Mongol meski tidak seperti aturan orang Han harus menunggu tiga tahun lagi, paling tidak pernikahannya dengan putri Minghui harus tunggu setelah pemilihan baru dari Khan besar nanti.

   Sudah tentu iapun maklum bahwa putri Minghui tidak suka padanya, kalau pernikahan itu tertunda terus semakin lama semakin merugikan dirinya.

   Diam2 Cahatai menarik pangeran Tin-kok ke pinggir, katanya.

   "Cepat atau lambat kerajaan Kim pasti bakal kita caplok, menurut pendapatku, lebih baik sekarang kita tarik tentaramu pulang dulu. Kalau aku dapat mewarisi kerajaan besar ini, tatkala itu segala kepentinganmu tentu menjadi perhatianku juga. Jelas sekali ucapan Cahatai ini, seumpama seorang bodohpun mesti bisa menangkap arti kata2 itu. Secara tidak langsung Cahatai mengajukan syarat penggantian, kalau Tin-kok mau membantu dirinya merebut kekuasaan besar menjadi Khan agung, Cahatai akan mengabulkan segala permohonannya, pernikahannya dengan putri Minghui seudah tentu takkan menjadi soal lagi. Kata Tin-kok.

   "Baik, Inspansi ke Selatan kala ini ada dibawah pimpinanku, tidak perduli kalian setuju atau menentang aku sudah pasti harus menarik bala tentaraku pulang negeri."

   "Benar", Cahatai memberi persetujuannya.

   "Kematian Khan besar tentu mempengaruhi hati nurani para prajurit, kalau mereka tiada niat berperang terpaksa harus beri kesempatan pada mereka untuk melayat jenazah Khan besar kembali ke negeri, biarlah mereka berkesempatan berduka cita."

   Begitu keputusan ini diumumkan, para abdi dalam, para menteri sampai Dulai sendiripun, meski ada yang tidak setuju, namun mereka tiada yang berani menentang secara terang2an.

   Saat itu juga Pangeran Tin-kok lantas membawa para busu pengiringnya keluar kemah emas, siap kembali ke front terdepan dikaki gunung Liok-pan-san, untuk menarik mundur seluruh milisinya kembali kenegeri .

   Tatkala itu sudah hari kedua pagi2 benar.

   Dilain pihak, waktu bangun pagi Nyo Wan menjadi kurang tentram, bergegas ia keluar dari kemahnya dan ber-jalan2 di lereng bukit yang terdekat, diam2 ia awasi situasi kemah mas dari kejauhan.

   Sungguh diluar dugaannya yang ditunggu2 putri Minghui justru yang keluar dulu adalah pangeran Tin-kok.

   Urusan penting dan tugas berat tengah melibat diri pangeran Tin-kok, sebetulnya ia tidak memperhatikan Nyo Wan, tapi kedua Busu pengiringnya justru ketarik akan bayangan bentuk tubuh Nyo Wan.

   Kedua Busu itu justru adalah Busu yang pernah bertempur dekat dengan Nyo Wan pada waktu ia hendak membunuh Sia It-tiong malam itu.

   Karen arasa curiga ini segera merek amaju membentak.

   "Siapa kau?"

   Dengan tenang Nyo Wan menyahut. Aku adalah dayang putri Minghui."

   Mnedengar dayang putri Minghui, pangeranTin-kok menjadi tertarik, apalagi melihat dia orang Han timbul rasa sangsinya, katanya.

   "Dayang putri Minghui mana boleh menggunakan orang Han? Kulihat kau inipalsu belaka?"

   "Putri Minghui berada didalam kemah, kalau tidak percaya silahkan pergi tanya beliau!"

   Pangeran Tin-ko memicingkan mata, katanya menyengir.

   "Betina ini cukup menggiurkan."

   Lekas2 kedua Busu itu melapor. Lapor Goanswe, betina ini persis sama dengan pembunuh gelap malam itu."

   Hati Nyo Wan gugup dan kebat-kebit, namun lahirnya ia berlaku tenang2 saja, katanya. Aku betul2 dayang putri Minghui, harap Goanswe tanya kepada tuan putri, tentu akan jelas."

   Pangeran Tin-kok menyeringai dingin, jengeknya.

   kau gunakan nama Minghui untuk menggertak aku? Hm, seumpama kau benar aalah dayangnya lalu mau apa? Kaau sangka aku tidak berani menjatuhkan hukuman kepadamu? Minghui berani menerima dayang orang Han ini terang salah!" ~ Bicara sampai disini tiba2 mukanya membesar beringas, bentaknya.

   "Jangan kuatir, ringkus dia."

   Ternyata karena selalu dihadapi sikap dingin dan cemoohan melulu pangeran Tin-kok menjadi dendam dan gegetun terhadap putri Minghui, apalagi ia sudah kepincut akan kecantikan Nyo Wan, maka terpaksa ia gunakan alasan yang tidak masuk akal untuk membekuknya.

   Sambil mengiakan segera kedua Busu itu lompat turun.

   Busu baju hitam menerjang lebih dahulu langsung ia mencengkeram ketulang pundak Nyo Wan.

   Nyo Wan tahu ilmu gulat orang memang cukup hebat, mana ia mau mandah saja dipegang? Lincah sekali bagai naga melingkar ia berputar sembari kebutkan lengan bajunya menyaplok muka si Busu.

   "Bret", lengan baju Nyo Wan sobek sebagian kena dicengkeram musuh, sebaliknya ujung mata si Busu juga kena kebutan lenga bajunya, seketika air mata meleelh saking pedas dan sakit. Jurus Kim-na-chiu yang cukup hebat dan ganas dari serangan si Busu dengan mudah dapat dipunahkan oleh Nyo Wan. Kalau dikata lambat kenyataan sangat cepat, Busu baju kuning saat manapun sudah merangsak tiba. Terpaksa Nyo Wan harus melolos pedang, gertaknya. Nyalimu cukup besar, berani menghina aku! Lihat pedang."

   "Aku diperintah Goanswe, peduli kau dayang tuan putri!"

   Jengeknya sambil angkat tamengnya menangkis tang"

   Tepat sekali ia tangkis tusukan pedang Nyo Wan, berbareng golok panjang di tangan kanan segera membabat mengarah ke mata kaki Nyo Wan. Terdengar pangeran Tin-kok membentak.

   "Jangan melukainya, aku ingin yang hidup."

   Kedua Busunya mengiakan lagi, tajam goloknya menukik naik terus menusuk pergelangan tangan Nyo Wan bermaksud menyampok katuh pedang Nyo Wan.

   Tak diketahui olehnya bahwa ilmu pedang Nyo Wan justru sangat hebat dan lihai perubahan nya sukar diraba sebelumnya, meski kedua Busu ini mengeroyoknya dengan sekuat tenaga paling banyak kuat bertahan saja takkan mampu merobohkan dirinya.

   Apalagi merek akuatir pula melukai, setiap kali menyerang selalu harus merobah sasaran meski terang serangan itu bakal berhasil? Terdengar Busu itu malah menjerit sendiri terus terhuyung mundur tiga langkah.

   Kiranya lengan kirinya telah tergores ujung pedang, untungnya badannya terlindung pakaian perangnnya sehingga lukannya tidak terlalu parah.

   Tapi tak urung baju luarnya dedel dowel, kaca tembaga dalam tubuhnya juga hancur.

   Keruan kagetnya bukan kepalang.

   Sekali gebrak saja Busu baju hitan itu lantas mengenal car permainan Nyo Wan, teriaknya.

   "Tak salah lagi, betina ini memang pembunuh gelap malam itu!" ~ Setelah meng ucek2 mata diapun mencabut goloknya melengkung terus menerjang maju membantu temannya. Pangeran Tin-kok sudah tahu bahwa kepandaian Nyo Wan cukup tinggi, segera ia memberikan perintahnya lagi.

   "Kuijinkan kalian melukainya, asal tidak sampai menjadi cacat."

   Kedua Busu itu adalah jago pilihan kelas satu dlam pasukan Mongol, kepandaian merekapun tidak lemah.

   Kalau satu lawan satu dengan gampang pasti Nyo Wan dapat merobohkan mereka, namun dengan dua lawan satu, keadaannya menjadi rada terdesak dibawah angin.

   Untung karena dilarang melukai sampai cacat kedua Busu ini menjadi takut melukai dan tidak sepenuh tenaga menempurnya.

   Nyo Wan insaf kalau bertempur lama2 tentu dirinya bakal celaka, dalam gugupnya tk perduli lagi apakah bakal bikin geger para abdi dalam atau pembesar lainnya, segera ia berteriak keras.

   "Tuan putri, tuan putri! Lekas keluar! Ada orang menganiaya aku."

   Tempat dimana Nyo Wan menempur kedua Busu itukira2 berjarak tiga li dari kemah emas tempat tinggal Jengis Khan, namun karena ia berteriak menggunakan Joan-im-jib-bit, dengan dilandasi Lwekang yang kuat suarnay bisa terdengar sampai jauh.

   Putri Minghui sedang duduk didalam kemah, lapat2 ia mendengar teriakan Nyo Wan ini.

   Saat mana segala persoalan yang dirundingkan boleh dikata sudah selesai dan mendapat persesuaian pendapat.

   Begitu mendengar teriakan Nyo Wan, bercekat hati putri Minghui , segera ia berdiri dan berkata kepada Dulai.

   Si ko, agaknya dayangku itutengah memanggil aku, mari kita keluar bersama."

   "Baik, kau keluar dulu, segera aku menyusulmu." ~ sahut Dulai. Karena Ogotai hendak bicara dengannya terpaksa ia harus tinggal lagi beberapa saat, setelah pembicaraannya dengan Ogotai selesai baru ia memburu keluar. Dalam kejap lain putri Minghui sudah memburu datang, jauh2 ia menghardik.

   "Mengandal apa kalian berani menganiaya dayangku?"

   Pangeran tin-kok menyeringai dingin, jengeknya.

   "Dia dicurigai sebagai pembunuh gelap,aku sebagai seorang panglima perang, masa begitu gampang harus melepaskannya?"

   Terperanjat Putri Minghui, batinnya.

   Nyo Wan suah menyamar bagaimana mungkin bisa dikenal oleh mereka?" ~ Tapi putri Minghui tahu mereka tidak punya bukti yang dapat diandalkan apalagi segera Dulai bakal datang membantu maka meskipun hatinya rada keder, namum nadanya tetap garang, bentaknya.

   "Omong kosong. Malam itu dia selalu berada di sampingku, mana mungkin menjadi pembunuh gelap!"

   "Benar atau tidak, betapapun aku harus memeriksanya sendir!"

   Pangeran Tin-kok menegas.

   Dapatkah putri Minghui menolong Nyo Wan? Bagaimana nasib Nyo Wan selanjutnya? Sesudah kematian Jengis Khan siapakah calon penggantinya? Apakah pasukan Mongol akan terus menyerbu ke Tionggoan? Dapatkah Nyo Wan menemukan jejak Li Su-lam? Bagaimana pengalamannya selama ini?

   Jilid 06 bagian pertama Berubah air muka putri Minghui, makinya.

   "Kentut busuk. Ayahku baru saja meninggal , kalian lantas berani menghina aku? Perintahku kalian berani membangkang, apa dalam mata kalian masih ada aku ini tuan putrimu?"

   Putri Minghui menggunakan istilah kalian. Sudah tentu kedua Busu itu menjadi ketakutan, mereka membatin.

   "

   Goanswe dan tuan putri bertengkar, kalau kita sampai terjepit ditengahnya pasti celaka dan konyol.

   Maka tanpa berjanji mereka menyurut mundur kesamping dan mengawasi pangeran Tin-kok mendelong.

   Pangeran Tin-kok berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot, hardiknya marah2.

   "Baik, kalian tak berani turun tangan, biar aku sendiri yang meringkusnya." ~ Saking marahnya hingga sama sekali tak terpikir olehnya bahwa kepandaian silat Nyo Wan jauh lebih tinggi dari pada kemampuannya, maka tanpa banyakpikir lagi ia menerjang sembari ulur tangan mencengkeram ke arah Nyo Wan. Tenang2 saja Nyo Wan memasukkan pedangnya kedalam kerangkanya, sekali berkelebat ia luputkan diri. Pangeran tin-kok tidak tahu bahwa lawannya sengaja mengalah, lagi2 ia menubruk maju lebih ganas, kedua tangannya terpentang terus menyingkap ke depan, bentaknya. Akan kulihat kemana kau akan lari!"

   Putri Minghui tertawa mengejek.

   "Dia berani menghina aku, ada aku disini tak perlu takut, pukul dia se keras2nya!"

   Nyo Wan memang sedang menunggu ucapan Putri Minghui ini maka dalam gebrak selanjutnya ia tidak berlaku sungkan lagi, begitu putar tubuh sebelah telapak tangannya terayun keras "plak!"

   Telak sekali telapak tangannya mampir di pipi pangeran Tin-kok.

   Walaupun ia belum gunakan sepenuh tenaga tak urung pangeran Tin-kok terhuyung sempoyongan, pandangan gelap kepala pusing tujuh keliling.

   Dasar muka pangeran Tin-kok sudah hitamlegam, maka tertampar menjadi bengap lagi mukanya menjadi jelek, panas dan kesakitan.

   Selama hidup ini ia selalu disanjung puji oleh orang, mana pernah mendapat hinaan begitu rupa? Saking murka matanya melotot besar, tanpa hiraukan kedudukan dan nama baiknya segera ia lolos goloknya terus membacok serabutan ke arah Nyo Wan.

   Sebetulnya Nyo Wan bisa melolos pedang dan menusuknya terluka, namun sengaja ia tidak berbuat demikian malah pura2 terdesak, segera ia lari ber-putar2 dan dikejar oleh pangeran tin-kok.

   Kiranya dari kejauhan ia sudah melihat Dulai tengah membedal kudanya mendatangi.

   Kebetulan Tin-kok membelakangi kemah emas maka tidak mengetahui kedatangannya.

   Saat mana pangeran Tin-kok tengah obat-abitkan goloknya mengejar Nyo Wan.

   Keruan Dulai menjadi gusar, kudanya dilarikan semakin cepat.

   Pangeran tin-kok membentak gusar.

   Siapa itu?" ~ Belum lenyap suaranya.

   "ser!"

   Dulai sudah memecut jatuh golok pusaka milik pangeran Tin-kok itu.

   Waktu pangeran Tin-kok berpaling baru ia tahu yang memukul jatuh goloknya kiranya adalah Dulai.

   Sungguh murka pangeran Tin-kok bukan main, namun tak berani mengumbar napsu.

   Dulai mendengus sekali, serunya.

   "Duli (nama asli pangeranTin-kok), sebagai seorang Goanswe, apa tidak malu kau menghina kaumperempuan yang lemah?"

   Pipi pangeran Tin-kok yang ditampar Nyo Wan masih terasa pedas dan panas.

   Sudah tentu Dulai tidak tahu akan hal ini, sebaliknya mengingat kedudukannya, pangeran Tin-kok tak berani sesumbar lagi, betul2 seperti orang bisu yang tak bisa melimpahkan penderitaan.

   Sebagai pihak yang salah, namun Putri Minghui pandai melihat gelagat, segera ia maju dan mengadu lebih dulu.

   "Si-ko, tepat betul kedatanganmu, coba kau memberi keadilan. Dia se-mena2 menuduh dayangku ini sebagai pembunuh gelap, bukankah fitnah yang menggelikan belaka? Dayangku mana bisa menjadi pembunuh? Apalagi waktu peristiwa itu terjadi pelayanku ini sedetikpun tidak pernah terpisah dengan aku!"

   Sambil menahan gusar segera pangeran Tin-kok mendekat.

   "Mereka sendiri yang menyaksikan, mana bisa salah?"

   Putri Minghui memanggil kedua Busu itu mendekat, tanyannya. Pembunuh gelap yang kalian lihat pada malam itu laki atau perempuan?" Seorang pemuda!"

   Sahut kedua Busu itu.

   "Pemuda itu berwajah ganteng atau buruk?"

   Malam itu Nyo Wan masih dalam penyamaran, mukanya dipolesi getah rumput yang membuat kulit mukannya berubah buruk, meski tidak begitu jelek namun cukup menjijikkan. Terpaksa kedua Busu itu menjawab sejujurnya sesuai dengan kenyataan.

   "Pemuda bermuka buruk."

   Putri Minghui menjengek dingin, ejeknya. Nah! Dayangku ini sebaliknya perempuan jelita. Dia bukan siluman yang bisa berubah menjadi pemuda buruk?"

   Kedua Busu itu menjadi tergagap. Katanya.

   "Potongan badannya memang rada cocok, demikian juga kepandaian silatnya sama."

   Potongan badan yang sama tidak sedikit jumlahnya, perempuan yang punya kepandaian tinggi tidak sedikit pula, para prajurit bawahanku itu siapa yang tidak memiliki ilmu silat? Kata Minghui.

   Coba kalian lihat lebih cermat lagi,apakah ada sesuatu yang mencurigakan?"

   Demikian desak Dulai, maksudnya bahwa hanya perawakan badan yang hampir sama tidak dapat dijadikan bukti.

   Kedua Busu itu mengerti bahw Dulai berpihak pada Putri Minghui, maka ia merubah haluan mengikuti angin, cepat sahutnya.

   Malam itu turun hujan rintik2, cuaca gelap sekali, kamipun tidak melihat jelas.

   Mungkin kami yang salah lihat,harap tuan putri memberi maaf!"

   "Duli."

   
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jengek Putri Minghui.

   "apa lagi yang hendak kau katakan?"

   "Apakah pembunuh gelap atau bukan biarlah kita sampingkan dulu. Tapi kau pantas menerima dan membela orang Han, ini terang kurang pantas!"

   Karena kedua Busu itu berani mengukuhi tuduhannya, sikap dan kata2 pangeran Tin-kok sendiri juga menjadi lembek.

   Kata Dulai.

   Dalam hal ini kau terburu napsu menyalahkan Minghui.

   Memang menurut peraturan dulu orang Han tidak boleh menjadi pemgikut atau pelayan pangeran dan tuan putri.

   Tapi sejak Khan agung berkeputusan hendak menelan Tiongkok, undang2 ini sudah diubah.

   Kita harus membuat orang Han secara suka rela mau diperalat oleh kita, maka janganlah bersikap hina terhadap mereka.

   Ini cara gamblang aku dapat menunjukkan buktinya , bukankah Li Hi-ko itu menjabat sebagai wakil panglimamu.

   Wakil panglima yang berkedudukan begitu tinggi boleh dijabat oleh orang Han apalagi hanya pelayan saja?"

   Pangeran Tin-kok menjadi bungkam, akhirnya ia menyahut ter-sekat2. Kau sebagai pengawas negara, kalau kau sendiri bicara begitu apa lagi yang dapat kulakukan?"

   Dulai pun tidak mau membuatnya malu, segera ia membujuk dengan omongan halus.

   "Kau sebagai komando tinggi dalam milisi ini, urusan besar masih banyak yang harus kau kerjakan, urusan sekecil ini tak perlu kau risaukan. Kalau pelayan Han ini betul2 mencurigakan, biarlah aku bantu kau menyelidikinya!"

   Sebelum Khan agung yang baru terpilih, pengawas negara merupakan pejabat pimpinan negara tertinggi di negara Mongol.

   Meskipun Tin-kok pegang kekuasaan besar dalam ketentaraan namun ia tak berani melawan Dulai.

   Maka dalam hati ia berpikir.

   Benar, ucapan Dulai ini masih memberi ingat padaku.

   Biar aku tarik bala terntara kembali dan membantu Cahatai merebut kedudukan Khan agung ini, tatkala itu apa yang tidak dapat kucapai? Karena batinnya ini hatnya menjadi tentram dan tidak buat panjang urusan lagi.

   Setelah pangeran Tin-kok dan kedua Busu itu pergi jauh, berkatalah Putri Minghui.

   "Adik Wan, mimbikin susah padamu saja. Kembalilah ganti pakaian, sebentar lagi aku kembali menyusulmu!"

   Baju Nyo Wan memang sobek ditarik oleh Busu tadi, dlam bertempur kena kotoran lagi, memang harus segera diganti, setelah mengucapkan terima kasih Nyo Wan lantas mengundurkan diri kembali ke kemah yang disediakan untuknya.

   Dulai mengantar punggung Nyo Wan sampai jauh baru ia tertawa, katanya.

   Pelayanmu ini benar2 bernyali besar.

   Kemarin ia hendak menangkap aku, hari ini berani pula melawan pangeran tin-kok.

   Darimana kau cari pelayan orang Han ini? Sekarang kau boleh beritahu kepadaku?"

   "Bukan aku yang cari, justru dia sendiri yang lari kepadaku."

   Sahut Minghui.

   "Ah, aku menjadi tidak mengerti, seorang perempuan bagaimana bisa lari kedalam barisan besar tentara kita? Kapan hal itu terjadi? Kenapa kau terima dan pakai dia?"

   "Pada malam hari dimana terjadi keributan pembunuh gelap itu."

   Kata Minghui pelan.

   "Dia kepepet dan tak dapat lari lagi terpaksa aku tahan dan menolongnya. Sudah kau paham bukan?"

   Dulai terkejut, tanyannya.

   "Apakah dia betul2 pembunuh itu?"

   "Tidak slah,"

   Sahut Minghui.

   "tapi malam itu yang hendak dibunuhnya bukan Tin-kok siburuk rupa itu. Yang hendak dibunuh adalah Sia It-tiong."

   "Siapakah Sia It-tiong itu?"

   "Bangkotan tua pemalsu Li Hi-ko itulah orangnya, terlalu panjang kalai mau diceritakan."

   Dulai ingin benar mengetahui peristiwa yang menyangkut Nyo Wan itu, segera ia menyela.

   "Perihal Sia It-tiong kita bicarakan nanti. Siapakah sebetulnya pelayan Hanini? Kau mau menerima dia tentu siang2 kau sudah kenal dia. Bagaimana pula kau bisa bersahabat dengan dia?"

   Putri Minghui tersenyum, ujarnya.

   "Si-ko, apap kau kepincut olehnya? Kunasehatkan jangan kau membuang2 waktu dan tenagamu. Sebab seumpama sekuntum bungan dia sudah dipetik orang."

   Dulai menjadi malu ter-sipu2, katanya.

   "Jangan kau guyon2, aku hanya ingin tahu asal usulnya saja. Seorang pembunuh menyelundup ke dalam barisan besar ini bukan urusan sepele.

   "baiklah, kalau kau tiada maksud2 tertentu terhadapnya, biar ku ceritakan sejelasnya. Dialah calon istri Li Su-lam yang bernama Nyo Wan."

   Dulai terperanjat, tanyannya menegas. Apa calon istri Li Su-lam?"

   "Benar, kau sudah jelas duduk perkaranya? Bukankah Li Su-lam juga sebagai andamu? Dulai menjadi melongo dan tak habis herannya, katanya.

   "Calon istri Li Su-lam hendak membunuh wakil panglima perang kita? Kau, jelas kau sudah tahu asal usulnya, kenapa pula kau bersikap begitubaik terhadapnya?"

   Walau secra terang Putri Minghui tdak memberitahukan is hatinya kepada Dulai, namun sikap dantidak tanduknya waktu berburu di pegunungan Ken tempo hari, dimana hubungan Li Su-lam dan Minghui begitu akrab dan mesra, betapapun tak dapat mengelabui pandangan Dulai.

   Untuk melindungi dan membela Li Su-lam Minghui tak segan2 bertengkar dengan pangeran Tin-kok, inipun telah disaksikan olehnya.

   Maka sekarang setelah mengetahui hubungan adiknya dengan Nyo Wan begitu akrab seperti adik sekandung layaknya, timbul keraguan dan herannya.

   Putri Minghui menjadi geli, katanya.

   "Lalu menurut pendapatmu bagaimana aku harus bersikap kepadanya?"

   "Aku tidak tahu,"

   Sahut Dulai tergagap.

   "Tapi sekarang kau begitu baik terhadapnya, sungguh aku kagum kepadamu."

   Minghui menghela napas, ujarnya.

   Aku paham akan maksudmu, bicara terus terang aku pernah sirik dan jelus kepada nona Nyo ini, malah pernah timbul niat jahatku hendak memisahkan sepasang kekasih ini.

   Tapi akhirnya aku berpikir dan berpikir kembali, dia seorang Han selama hidup ini tak mungkin kita menjadi suami istri, buat apa aku harus berbuat hal yang tercela dan merugikan orang lain? Apalagi hatinya hanya terpikat oleh Nyo Wan seorang.

   Bahasa kita ada berkata.

   "memetik semangka yang masih muda takkan manis rasanya, seumpama aku bisa berhasil memisah mereka mengandal kekuasaanku, hatinya juga takkan menjadi milikku. Akhirnya aku tersadar dan terbuka pikiranku,aku harus rela berkorban demi kebahagiaan orang yang kucintai! Inilah sebabnya kenapa aku mau menerima Nyo Wan. Bicara terus terang, ini bukan karena dia, justru karena Li Su-lam lah!"

   Dulai menjadi terharu akan sikap agung adiknya ini, katanya.

   "Kau benar Sam-moay, sikapmu sungguh harus dipuji. Kalau Li Su-lam tahu hal ini , tentu dia berterima kasih padamu. "Si-ko kau salah duga, bukan karena ingin dia berterima kasih aku lantas berbuat demikian."

   "Ya, aku tahu. Tapi betapapun dia akan sangat berterima kasih kepadamu. Perbuatanmu ini langsung atau tidak mungkin malah membantu rencanaku kelak!" Rencana apa?"

   Tanya Putri Minghui tak mengerti. Dulai tertawa, katanya.

   "Sekarang terpaksa kita hentikan inspansi ke selatan sementara waktu, akan datang saatnya kita menelan seluruh daratan Tiongkok. Li Su-lam merupakan pahlawan gagah diantara bangsa Han, kalau dia bisa keperalat ..

   "

   Ternyata meski Dulai bersahabat dan angkat saudara dengan Li Su-lam, hakekatnya persahabatan ini mengandung kepentingan pribadi, sedikit banayk ia berniat mennggunakan tenaga Li Su-lam.

   Sudah pasti kelak ia hendak merebut kekuasaan militer pangeran Tin-kok, dan memimpin bala tentaranya menelan kerajaan Song selatan.

   Untuk ambisinya ini dia memerlukan bantuan orang2 Han yang berkepandaian tinggi.

   Putri Minghui geleng2 kepala, katanya.

   "aku tahu watak Li Su-lam yang keras dan kukuh dalam pendirian. Aku kuatir dia takkan bisa dapat kau peralat menurut kemauanmu."

   "itu kan urusan kelak, biarlah dibicarakan kemudian. Sekarang bagaimana kau harus menyelesaikan urusan ini?" Maksudmu bagaimana menyelesaikan persoalan nona Nyo itu?"

   "Betul, dialah pembunuh yang hendak mengambil jiwa wakil panglima perang kita. Meski urusan ini bisa kita atasi hari ini, namu mata umum takkan dapat kita kelabui terus!"

   "Sebetulnya Sia It-tiong itu memang pantas dibunuh!"

   Demikian kata putri Minghui. Secara singkat ia lantas ceritakan bagaimana Sia It-tiong memalsu nama orang lain serta mencelakai kiwa Li Hi- ko. Kata Dulai.

   "Durjana ini kelak tentu akan kubunuh, tapi saat ini tak mungkin terjadi. Maka segala tinadak tanduk kita selanjutnya harus lebih hati2."

   Putri Minghui termenung diam. Dulai tahu orang belum paham akan maksudnya, maka dengan kalem ia menjelaskan.

   "kedudukan Khan agung belum terpilih siapakah calonnya. Dilihat situasi sekarang bakal terjadi perebutan sengit antara Ogotai dan Cahatai. Aku sendiri tiada niat menduduki jabatan tinggi ini, tujuanku hanya ingin pegang tampuk pimpinan terttinggi kemiliteran. Kalau Sam- ko (maksudnya Ogotai) yang menjadi Khan agung masih rada mendingan dan menguntungkan bagi kita, aku justru pasti hendak membantu dia. Tapi pangeran Tin-kok justru menjadi begundal Cahatai, Sia It-tiong pun menjadi wakil komandannya, jikalau kau bawa pulang seseorang pembunuh yang hendak menamatkan jiwa Sia It-tiong ke Holin, mungkin, mungkin rada kurang leluasa, lebih celaka kalau titik kelemahan ini dibuat alasan oleh pihak lawan untuk menuduh dan menyerang kita. Kalau hal ini benar2 terjadi kedudukan Sam-ko dlam perebutan Khan agung juga bisa terpengaruh."

   Putri Minghui menghela napas, ujarnya. Ai, tak terduga bahwa begitu lihai dan hebat pertentangan diantara kalian!"

   Menurut analisamu ini terpaksa aku harus berpisah dengan Nyo Wan."

   "Ya, dia calon istri Li Su-lam, sudahj seharusnya dia kembali mencari suaminya. Betapapun kau takkan bisa menahannya untuk selamanya. Setelah ia kembali kalau orang hendak memeriksa peristiwa itupun takkan dapat sumber penyelidikan."

   "Apakah mereka takkan lebih curiga?" Ah, gampang saja, katakan bahwa dia mati diluar dugaan waktu terjadi peperangan, walaupun orang lain curiga namun tiada bukti2 yang nyata, apa yang mereka bisa perbuat atas dirimu. Apalagi tiga bulan lagi Sam-ko bakal menjabat sebagai Khan agung, tatkala itu kalau situasi sudah tenang, gampang saja aku bunuh Sia It-tiong itu, urusan kecil ini siapa lagi yang berani mengungkap?"

   "Sebelumnya aku berat berpisah dengan dia. Tapi menurut keteranganmu ini demi kepentingan pribadi lebih baik dia kembali. Tapi cara bagaimana aku mengantarnya pulang?"

   "Aku sebagai pejabat pengawas negara, betapa gampangnya melepas seseorang. Suruh dia menyamar sebagai orang laki2, dan keluar menemui aku!"

   Dalam pada itu Nyo Wan suah berganti pakaian dan tengah menunggu didalam kemah, tengah hatinya risau kebetulan Putri Minghui datang, katanya.

   "Nyo-cici, akan kuberi tahu padamu bahwa ayahku sudah meninggal!"

   Nyo Wan sudah tahu bahwa penyakit Jengis Khan sangat berat dan tinggal menanti ajalnya saja, maka ia tidak merasa terkejut mendengar berita ini.

   Tapi dia seorang cerdik dan berotak encer, melihat Putri Minghui begitu serius memberitahu kepada dirinya,lantas terpikir olehnya tentu soal ini bisa menyangkut keadaan dirinya disini.

   Maka dengan lemah lembut ia menghibur hati Putri Minghui serta berkata.

   "jadi untuk selanjutnya apakah tuan putri hendak kembali lagi ke holin?"

   "Justru karena soal inilah yang membuatku sulit, sahut Putri Minghui.

   "semula aku pernah mengabulkan hendak mengantarmu kembali ke selatan, sekarang aku menjadi sangsi entah kapan hal itu bisa terlaksana!"

   "Banyak terima kasih pada tuan putri yan telah menyembunyikan diriku disini, budi besar ini takkan kulupakan selama hidup. Sekarang tuan putri hendak kembali ke Holin, aku kurang leluasa ikut kesana. Harap tuan putri memberi ijin aku kembali saja."

   "Sudah sekian saat kita bersahabat laksana saudara sekandung, bicara dari lubuk hatiku yang dalam aku merasa berat berpisah dengan kau. Tapi tiada perjamuan yang tidak bubar, aku tak enak mengganggu masa remajamu. Ku doakan sekembalimu ini bisa selekasnya berjumpa dengan suamimu!"

   Nyo Wan berpikir.

   "Sebenarnya tuan putri seorang yang sengsara dalam batin, kelihatannya ia masih terkenang kepada engkoh Lam, sayang dalam hal ini aku tak mampu membantunya. Segera ia nyatakan terima kasihnya kepada Putri Minghui serta tanyanya.

   "Kapan tuan putri akan kembali ke Holin?" Hari ini juga aku akan berangkat." Kalau begitu aku "

   "Kau tak perlu kuatir,"

   Kata Minghui tertawa.

   "siang2 aku sudah mengatur segala sesuatu yang kauperlukan. Kemah ini memang khusus untuk keperluan Putri Minghui dan para dayangnya, maka segala keperluan dalam kemah serba lengkap, setengah bulan yang lalu segala keperluan Putri Minghui pakaian umpamanya semua sudah dipindah kemari. Putri Minghui membuka sebuah peti katanya. kau kembali seorang diri, maka perlu berganti pakaian."

   Sebetulnya Nyo Wan punya seperangkat pakaian pemberian Akai, namun baju itu sudah bedah dan butut tidak dibawa serta pula.

   Memang ia sedang kuatir dengan cara berpakaian sebagai dayang tuan putri tentu perjalanan kali ini serba sulit dan menyukarkan.

   Tapi dilihatnya Putri Minghui mengeluarkan seperangkat pakaian laki2, keruan girang hatinya, serunya.

   Tuan Putri, kenapa sudah kau siapkan? Apa kau tahu bahwa hari ini aku hendak pulang?"

   Putri Minghui tersenyum, katanya. Aku sendiri juga sering mengenakan pakaian laik2, hanya kau tidak pernah lihat saja. Inilah pakaianku peranti berburu,coba kau kenakan!"

   Perawakan Putri Minghui tidak berbeda jauh dengan Nyo Wan ternyta sangat cocok dan pas dipakai Nyo Wan. Putri Minghui menanggalkan pedangnya sendiri serta katanya lagi. Aku tahu kau biasa menggunakan pedang, bawalah pedangku ini!"

   Pedang milik Putri Minghui ini adalah sebilah pedang pusaka yang terbuat dari baja murni tajam luar biasa, gagangnya disepuh mas dan bertatahkan berlian, harganya tak ternilai. Keruan Nyo Wan sangat terkejut, katanya.

   "Mana bisa aku menerima hadiah tak ternilai ini dari tuan putri?"

   "Apakah nilai persahabatan kita tidak jauh lebih tinggi dari hadiah ini?"

   Kata Putri Minghui.

   "Kalau kau menolak pemberianku ini terang kau menghina aku!"

   Orang memberi secara tulus ikhlas dan bersungguh hati, terpaksa Nyo Wan menerima dengan perasaan haru.

   "Baiklah,"

   Kata Minghui.

   "Sekarang mari kita menemui Dulai."

   "Harus menemui Dulai dulu?"

   Kata Nyo Wan ragu an gelisah.

   "Pangeran Tin-kok sudah menarik kembali milisinya, mungkin tentara yang bakal kau jumpai ditengah jalan besar berkurang. Tapi betapapun kau harus mempersiapkan diri. Dulai sebagai pejabat pengawas negara dia bisa memberikan segala fasilitas kepadamu. Persoalanmu sudah kusampaikan kepadanya dia menyatakan suka membantu kesulitanmu. Diapun bersahabat kental dengan Li Su-lam kau tak perlu kuatir."

   Waktu mereka keluar dari kemah tampak Dulai sudah menunggu diluar. Segera Dulai mengeluarkan sebatang anak panah katanya.

   "Batang panah ini terukir nama kebesaranku, kalau ada orang tanya katakan bahwa aku mengutusmu keselatan untuk menjadi mata2. Kupercaya takkan ada orang yang mempersukar perjalananmu. Waktu Nyo Wan hendak menyambuti panah itu terdengar Dulai berkata lagi.

   "Sekembalimu bila bertemu dengan Su-lam sampaikan salam hangatku kepadanya. Sekarang meskipun sementara waktu kita hentikan inspansi keselatan betapapun kelak kita tentu bercokol di tionggoan. Aku sudah mengambil keputusan aku sendiri yang akn pimpin penyerbuan kelak. Siapa tahu ada kalanya kita bakal bertemu lagi tak lama ini,"

   Terketuk sanubari Nyo Wan seperti sadar dari lamunannya, ia berpikir.

   "Betapapun Dulai tak sama dibanding Putri Minghui, sebagai pejabat pengawas negara Mongol jikalau kelak ia menyerbu ke Tionggoan, dia menjadi musuh bangsaku nomor satu. Aku mana boleh ceroboh menerima segala budi pekertinya!" ~ Terpikir sampai disini, cepat2 Nyo Wan menarik tangannya yang sudah diulurkan hendak menerima batang panah itu, katanya.

   "harap maaf kalau aku tidak tahu kebaikan,panah kuasa ini silahkan pangeran tarik kembali saja."

   Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dulai merasa diluar dugaan, alisnya berkerut dalam katanya.

   "Kenapa begitu?" Kalau aku menerima budi pangeran yang besar ini, mungkin selama hidup ini aku dan Li Su-lam takkan mampu membalasnya!"

   Dulai bergelak tawa, serunya. Aku dan Li Su-lam sebagai saudara angkat yang pernah bertukar kado, berarti kau sebagai kakak iparku. Bukankah seharusnya aku dapat membantu kesulitanmu, masa aku mengharap balas budi apa segala!"

   "Bicara memang begitu, namun bagi adat istiadat kita bangsa Han, setelah menerima budi kebaikan orang lain berarti kita menunggak hutang yang besar, betapapun hutang itu harus dibayar lunas baru hati ini bisa tentram. Oleh karena itu meski pangeran tidak mengharap balasan, bagi aku bagaimana juga tidak berani menerima kebaikan ini."

   


Sepasang Golok Mustika -- Chin Yung Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung

Cari Blog Ini