Ceritasilat Novel Online

Pendekar Aneh 1


Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 1



Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen

   
Kolektor Ebook PENDEKAR ANEH Judul lain .

   MEMBURU PUTERA RADJA Karya .

   LIANG IE SHEN Penyadur .

   BOE BENG TJOE Penerbit .

   MEKAR DJAJA - DJAKARTA, 1960 Diterbitkan dalam 12 jilid, terdiri atas 632 Halaman, dengan penyajian per- halaman terdiri dari 2 kolom, dengan huruf berukuran 10.

   Pada tahun 1980, buku ini dicetak ulang melalui Penerbit U.P.

   KRESNO JAKARTA, dengan judul "MEMBURU PUTERA RADJA"

   Dan diedarkan terdiri atas 28 jilid.

   Dalam kedua edisi ini tidak dicantumkan judul asli dalam bahasa Hokkian maupun Mandarin-nya, sehingga untuk selanjut-nya penyajian yang akan saya sampaikan tidak mencantumkan judul asli dimaksud (Hokkian/Mandarin).

   Teks .

   Taukenio Kedai Arak Edit .

   Mas Durokhim Soedartoputra Catatan .

   Dari teks aslinya, huruf-huruf per-kata dan kalimat yang amburadul dan acak- acakan.

   Banyak huruf yang salah dan tidak terbaca sama sekali.

   Maka kami usahakan melengkapi kata-kata dari huruf-huruf yang tidak terbaca itu dengan perkiraan kami saja agar cocok dengan kalimatnya.

   Ada dua sampai empat halaman yang hilang, mungkin dari buku aslinya yang sobek/hilang, sehingga ceritanya jadi meloncat.

   Beberapa kata dan kalimat juga kurang sinkron jadi sedapatnya kami memperbaikinya agar lebih enak dibaca....

   -----○○○000○○○----- "KIAM-kok-kay-thian-hiam ! Awas pedang !".

   "Toan-pek-tjiap-tjeng-thian, sungguh luar biasa !".

   "Hoei-niauw-hoei-lan-kwee, bagus ! Bagus tindakan itu !".

   "Tee- tauw-bong-san-kok ! Pek-in-kak-bee-hian ".

   "Ha-ha-ha ! Sambut pedangku !".

   "Hi- hi-hi ! Djagalah ...!". Teriakan2 itu adalah teriakan dua orang kakak-beradik. Sang kakak lelaki bernama Tiangsoen Thay, si-adik perempuan Tiangsoen Pek, Mereka sedang berlatih ilmu silat pedang. Djika kamu berada disitu dan menjaksikan latihan mereka, anda pasti akan ter-heran2 dan menahan napas. Mengapa ? Karena mereka berlatih diatas "Tjan-to"

   Jang terkenal berbahaja diwilajah Siok (propinsi Soetjoan). Orang kata. 'Siok-to-lan, Lan-ie-siang-tjeng-thian' (Djalanan di wilajah Siok sangat sukar, sukarnja bagaikan naik ke langit). Dan "Tjan-to"

   Di-Kiamkok adalah djalanan jang paling sukar dan paling berbahaja. Apa itu "Tjan-to" ? "Tjan-to"

   Adalah djalanan ketjil jang ber-liku2 seperti usus kambing, jang dibuat disepandjang pinggiran gunung jang tjuram.

   Di-tempat2 dimana tak dapat dibuat lagi djalanan biasa, orang lalu memahat batu2 karang jang terdjal dan memasang pagar diatas tihang2 kaju untuk membuat sematjam djembatan jang tergantung ditengah udara.

   Kadang2 djalanan itu merupakan tangga batu dengan ribuan undakan.

   Itulah "Tjan-to", djalanan jang tersohor karena berbahajanja, didaerah Soe-tjoan.

   Dulu, pada djaman perebutan kekuasaan antara negeri Tjouw dan negeri Han, Lauw Pang (pendiri keradjaan Han) telah menggunakan tipunja Han Sin untuk memperbaiki "Tjan-to"

   Dan diam2 menjeberang Tintjhong, Tjouw-pa-ong, jang tidak pertjaja, bahwa "Tjan-to"

   Dapat diperbaiki oleh Lauw Pang, kena diselomot.

   la sama-sekali tidak menduga, bahwa musuhnja sudah menjeberang dari Tintjhong.

   Pada achirnja, Tjouw-pa-ong jang terkenal gagah-perkasa binasa dengan menggorok lehernja sendiri di-Ouwkiang.

   Dan tjontoh ini dapat dilihat, bahwa "Tjan-to"

   Adalah djalanan jang benar2 berbahaja. Kedua saudara itu berlatih diatas "Tjan- to"

   Sambil bersenda gurau.

   Dengan kelintjahan kera, mereka melompat kian-kemarisambil menjerang atau menangkis dengan sendjata mereka.

   Salah setindak sadja, mereka pasti akan tergelintjir dan binasa di djurang jang sangat dalam.

   Latihan pedang serupa itu sungguh djarang terlihat dalam Rimba Persilatan.

   Akan tetapi, didekat mereka terdapat seorang gadis ketjil jang duduk diatas batu besar sambil membatja sed

   Jilid buku sjair.

   la membatja dengan penuh perhatian dan tak pernah menengok ke arah pemuda-pemudi itu jang tengah mengadu pedang.

   Nona itu jang baru berusia kira2 empat-belas atau lima-belas tahun, bertubuh langsing dan berparas tjantik.

   la terus membatja sambil menunduk dan hanja kadang2, kapan kedua kakak-beradik berteriak terlalu keras, barulah ia berhenti dan mengawasinja.

   Sesudah bertanding kurang-lebih lima puluh djurus, sang kakak perlahan berada diatas angin dan si-adik mulai repot melajaninja.

   "Wan Djie !", teriak Tiangsoen Pek.

   "Mengapa kau tak mau membantu ?".

   "Awas !"

   Seru Tiangsoen Thay. Inilah Pek-hong-koan-djit (Bianglala putih menembus matahari).

   "Hati2 ! Kau bisa luka ". Dalam suatu gerakan indah, sambil mengegos si-nona menangkis dengan pukulan Hoei-hong-boe-lioe (Angin meniup pohon lioe).

   "Wan Djie !"

   Teriaknja pula.

   "Kalau kau tidak membantu, hari ini aku roboh ditangan Koko (kakak) ". Si-gadis tjilik hanja tersenjum, ia terus membatja. Tiangsoen Pek tertawa njaring.

   "Setan ketjil ! Tak kena diakali ", katanja. Gadis ketjil itu adalah seorang she Siangkoan bernama Wan Djie. Mendengar perkataan Tiangsoen Pek, ia pun tertawa seraja berkata .

   "Tjietjie, aku sedang mempeladjari sjair. Maaf, hari ini kutak bisa menemani kau ". Ia sudah dapat menebak, bahwa Tiangsoen Pek sengadja berlagak kalah, supaja ia turun tangan. 'Hoei-hong-boe- lioe' jang barusan, digunakannja setjara begitu indah, merupakan bukti, bahwa kepandaian Tiangsoen Pek tidak berada disebelah bawah kakaknja. Beberapa saat kemudian, sambil tertawa kakak-beradik ini menghentikan latihan dan lalu melompat turun dari atas "Tjan-to".

   "Moay-moay, kau sungguh radjin, setiap hari tak henti2-nja mempeladjari sjair ", kata Tiangsoen Pek sambil tertawa.

   "Beberapa tahun lagi. Ong, Yo, Louw, Lok, empat penjair besar, akan menunduk dihadapanmu ". Jang dimaksudkan si-nona adalah 'Ong Poh, Yo Tjiong, Louw Tiauw Lin dan Lok Pin On, jaitu empat penjair tersohor didjaman keradjaan Tong dan mereka didjuluki sebagai "Soe-kiat" (Empat orang gagah). Wan Djie tersenjum.

   "Menurut pendapatku, diantara Soe-kiat, hanja Ong Po seorang jang benar2 pandai. Tiga jang lain tidak seberapa, apa lagi Lok Pin Ong jang sangat rewel. Aku lebih menjukai tadjuk rentjananja daripada sjair atau sadjaknja."

   Tiangsoen Pek tertawa njaring.

   "Aduh, sombongnja !"

   Ia mengedjek.

   "Aku dengar kaisar wanita jang sekarang duduk di tachta, akan mengadakan udjian untuk kaum wanita. Dilihat gelagatnja, gelar Tjong-koan wanita pertama tak akan terlolos dari tanganmu ". Siangkoan Wan Djie tak mendjawab, ia hanja tersenjum.

   "Pek-moay ", menjeletuk Tiangsoen Thay.

   "Kau salah. Dengan berkata begitu, kau se-olah2 memandang rendah Wan Djie ". Si nona kelihatan kaget dan dilain saat, ia kembali tertawa njaring.

   "Benar ", katanja.

   "Dalam dunia ini, siapa jang mempunjai kepandaian tjukup tinggi untuk mendjadi pengudji Wan Djie kita ? Hm ....! jika benar diadakan udjian untuk kaum wanita, paling sedikitnja Wan Djie harus duduk dikursi pengudji ".

   "Benar !".

   "Mana boleh ia menundukkan kepala sebagai seorang jang diudji ?".

   "Menurut pendengaranku, pada waktu Siangkoan Pehbo melahirkanmu, ia mimpi bertemu dengan Thian-sin (Malaikat dari langit) jang menghadiahkannja sebatang penggaris batu giok dan satu timbangan besar ", kata Tiangsoen Thay.

   "Dengan demikian, tangan kirimu mentjekal penggaris dan tangan kanan memegang timbangan. Lihatlah ! Bukankah langit sudah menetapkan, bahwa dikemudian hari, kau bakal djadi pengudji dari para tjerdik pandai dalam dunia !". Paras si nona ketjil lantas sadja berubah.

   "Sudahlah ! Kau djangan mengedjek ", bentaknja.

   "Andai-kata aku mempunjai keinginan untuk mendjadi pengudji para tjerdik pandai !, kutak kesudian mendjadi Ko-khoa (pembesar jang mengepalai udjian) dari Boe Tjek Thian!". Tiangsoen Thay djadi djengah.

   "Benar ", katanja.

   "Hm.....! Boe Tjek Thian mengaku sebagai Tjin-beng Thian-tjoe (Anak Tuhan, atau kaisar, jang memerintah atas firman Tuhan), tapi sebenarnja, ada satu iblis perempuan jang telah merampas tachta keradjaan. Baiklah. Kita djangan me-njebut2 lagi. Wan Djie, bolehkah aku mendengar sjair jang paling belakang digubah olehmu ?". Si nona lalu menaruh bungkusannja diatas batu dan menghafal sebuah sjair dengan suara perlahan .

   "Di telaga Tong-teng daun2 baru rontok ditiup angin, Kuingat ia jang terpisah djauh berlaksa li, Kabut tebal, memakai selimut masih terasa dingin. Bulan dojong, dibelakang sekosol tiada bajangannja lagi.Kuingin menabuh lagu dari Kanglam, Kuingin membatja sjair Hopak utara. Kitab sjair bebas dari maksud lain jang mendalam, Ku hanja bersedih karena sudah lama berpisah ...". Ia menghafal sjair itu dengan suara terharu, karena sjair tersebut adalah sjair pertjintaan jang diliputi kedukaan se-olah2 seseorang sedang memikiri kekasihnja jang berada ditempat djauh. Tiangsoen Thay agak terkedjut.

   "Ketika datang, ia baru berusia tudjuh tahun ", katanja didalam hati.

   "Tahu apa, anak tudjuh tahun? Sekarang ia berusia empat belas tahun, tapi gadis empat belas tahun tak mungkin mempunjai rahasia hati seperti jang barusan diutjapkannja ".

   "Bagus ... ! Sungguh bagus sjair itu ...!", memudji Tiangsoen Pek.

   "Tapi ada satu hal jang kakakmu kurang begitu mengerti dan ingin meminta sedikit pendjelasan ".

   "Apa itu ?"

   Tanja si nona.

   "Ditelaga Tong-teng daun2 baru rontok ditiup angin, kuingat ia jang terpisah djauh berlaksa li ", mengulangi Tiangsoen Pek.

   "Entah pemuda mana jang sudah beruntung sehingga dibuat ingatan oleh adikku jang tjantik manis !". Siangkoan Wan Djie tertawa ter-pingkal2.

   "Tjietjie, lidahmu sungguh tadjam !", katanja sambil ber-djingkrak2.

   "Pandai sungguh kau mengedjek orang. Aku hanja memetik riwajat Siangkoen Siang Hoedjin (njonja Siang) jang diliputi kedukaan karena memikiri Kaisar Soen. Kaisar Soen adalah seorang Kaisar didjaman purba (2255 -2207 sebelum Masehi) jang terkenal arif bidjaksana. Satu waktu ketika membuat perdjalanan kedaerah selatan, ia wafat di Tjhong-go, sebuah gunung jang terletak dalam propinsi Ouw-lam. Wafatnja itu mendukakan sangat seorang selirnja, jaitu Siangkoen Siang Hoedjin jang telah menangis sehingga mengeluarkan air mata darah dan air mata itu telah menodai pohon bambu, jang kemudian diberi nama Siang-hoei-tiok (Bambu Siang-hoei, 'Hoei' berarti selir kaisar). Sebagaimana telah dinjatakannja, Siangkoan Wan Djie menggubah sjairnja berdasarkan sedjarah itu. Akan tetapi, Tiangsoen Thay masih djuga tidak merasa puas.

   "Siapa jang dipikiri Wan Djie ?", tanjanja didalam hati ber-ulang2. Nona Tiangsoen tertawa geli.

   "Ku tak njana sjairmu begitu berbelit, lebih berbelit daripada kiam-hoat (ilmu silat pedang). Sudahlah ...! Otakku tumpul, ku tak berani lagi omong2 tentang sjair denganmu. Mari ! Hari ini kau harus berlatih ". Tiangsoen Thay heran mendengar sjair itu, tapi Siangkoan Wan Djie pun tak kurang herannja karena selalu didesak untuk beladjar silat.

   "Mereka bukan tidak tahu, bahwa aku senang dengan sastra dan tidak suka beladjar silat ", katanja didalam hati.

   "Tapi mengapa mereka selalu mendesak supaja aku beladjar ilmu silat ?". Dengan muntjulnja perasaan heran itu, ia lantas sadja ingat kedjadian selama tudjuh tahun yang lampau dan rasa tjuriganja djadi semakin bertambah. Kakek dan ajah Siangkoan Wan Djie pernah mendjabat pangkat tinggi dalam keradjaan Tong. Pada suatu hari, waktu ia berusia tudjuh tahun, seorang budjang tua jang bernama Ong An dan babu teteknja telah membawanja keluar kotaradja, kerumah keluarga Tiangsoen. Setibanja disitu, baru mereka memberitahukan, bahwa kakek, ajah dan ibu-nja sudah meninggal dunia dan bahwa mulai dari sekarang, ia harus berdiam dirumah Tiangsoen Pehpeh (paman Tiangsoen). Semasa hidup, kakeknja, Siangkoan Gie, mendjabat pangkat Thay-tjoe Thay-po (pembesar agung jang djadi penilik dari putera mahkota), sedang ajahnja, Siangkoan Teng Tjie, seorang pembesar tinggi dalam djawatan kesusastraan. Untuk menunaikan tugas, sang ajah sering menginap didalam keraton dan djarang pulang kerumah. Karena apa mereka meninggal dunia, si nona belum tahu terang. Tapi ia ingat, bahwa pada pagi hari itu, sebelum ia dibawa menjingkir, ibunja masih segar-bugar dan ber-kemas2 untuk menengok ajahnja di keraton. Mengapa, tanpa menunggu pulangnja sang ibu, Ong An sudah membawanja ke lain tempat ? Mengapa ibunja sendiri mendadak mati ? Menurut keterangan Ong An, pada waktu itu, di keraton berdjangkit penjakit menular jang sangat hebat, sehingga kakek dan ajahnja mati sebab ketularan. Ibunja jang masuk ke keraton djuga ketularan dan mati ber-sama2. Untuk menjelamatkannja dari penjakit itu, maka ia sudah dibawa lari ke lain tempat. Demikian keterangan Ong An, seorang budjang tua jang sangat setia dan sudah bekerdja pada keluarga Siangkoan selama puluhan tahun. Waktu itu, karena masih sangat ketjil, ia pertjaja sadja segala keterangan si tua. Tetapi sesudah ia bisa berpikir, dalam hatinja lantas sadja timbul ketjurigaan jang semakin hari djadi semakin bertambah. la ingat, waktu mau membawanja keluar kotaradja, Ong An dan si babu tetek kelihatannja bingung sekali dan sudah berangkat dengan ter-gesa2 tanpa membawa bekal jang semestinja. Andaikata benar berdjangkit penjakit menular, perlu apa begitu ter-gesa2 dengan sikap jang begitu ketakutan ?. Disamping itu, mengapa selama tudjuh tahun, paman Tiangsoen, sahabat karib ajahnja, belumpernah mem-permisikannja pulang kekampung sendiri untuk menengok kuburan kedua orang tuanja ? Banjak sekali pertanjaan muntjul dalam hatinja. Hanja sajang, sekarang Ong An dan si babu tetek sudah meninggal dunia. Disamping Itu semua, masih terdapat lain kedjadian jang memperhebat rasa tjuriganja. Paman Tiangsoen jang bernama Koen Liang adalah seorang boen-boe-tjoan-tjay (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang). Pada djaman Kaisar Lie Sie Bin, ia pernah memangku djabatan Kian-tiam (penilik). Sesudah Kaisar Kho-tjong dan belakangan Boe Tjek Thian menduduki tachta keradjaan, ia segera minta berhenti dan menjembunjikan diri di Kiamkok. Semendjak Wan Djie menumpang dirumah keluarga Tiangsoen, sang paman memperlakukannja dengan penuh tjinta kasih, sedikitpun tak berbeda seperti orang tua sendiri. Ia bergaul dan beladjar ber-sama2 Tiangsoen Thay dan Tiangsoen Pek. Diwaktu siang mereka beladjar ilmu silat, malamnja beladjar ilmu surat. Apa jang agak aneh jalah sang paman luar biasa giat dan teliti dalam mengadjar ilmu silat kepadanja, lebih giat dan lebih teliti daripada mengadjar putera dan puterinja sendiri. Hanja sajang sedari ketjil Siangkoan Wan Djie lebih suka beladjar ilmu surat daripada ilmu silat, sehingga sering2 sang paman djadi djengkel dan memperlihatkan paras seperti orang putus harapan. Wan Djie ingat, pada suatu malam, sesudah menggubah tiga buah sjair, ia memperlihatkannja kepada Koen Liang. Sang paman menepuk medja dan ber-ulang2 memberi pudjian. Tapi mendadak, selagi ter-girang2, paras mukanja berubah sedih dan ia menghela napas pandjang.

   "Djika kau terus mempeladjari sastra, kau bisa mendjadi Tjay-lie (wanita pintar) nomor satu dikolong Iangit ", katanja.

   "Hai ...! Tapi ..., tapi aku sungguh lebih suka otakmu tidak setjerdas sekarang. Bahwa kau dapat menggubah sjair jang begini indah, hatiku girang tertjampur duka ". Si nona djadi bingung bukan main dan ia mengawasi wadjah sang paman dengan perasaan tak mengerti. Berapa saat kemudian, barulah ia bisa berkata dengan suara djengah.

   "Kakak Thay dan Pek mewarisi ilmu silat paman, sedang aku mewarisi ilmu suratmu. Dengan demikian, baik dalam ilmu silat maupun ilmu surat, Pehpeh mempunjai ahli waris jang dapat dilihat orang. Bukankah hal ini hal jang menggirangkan ?". Tiangsoen Koen Liang termenung beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara perlahan .

   "Ketjerdasan otakmu, kepandadan dan peladjaranmu sekarang sudah banjak lebih unggul dari pada aku sendiri. Apa jang kini dimiliki olehmu adalah lebih tinggi daripada ahli warisku. Hanja sajang, bagimu sendiri, sjair dan ilmu surat tak banjak gunanja. Dalam mempeladjari ilmu silat, orang sukar bisa berhasil dalam tempo pendek. Mulai besok, kau djuga harus beladjar menggunakan sendjata rahasia ". Sehabis berkata begitu, ia meninggalkan si nona sambil menghela napas. Lapat2, Wan Djie ingat, bahwa selagi berdjalan pergi, air mata sang Pehpeh ber-linang2 dikedua matanja. Beberapa tahun kembali lewat dan Wan Djie masih djuga belum dapat memetjahkan teka-teki itu jang selalu mengganggu pikirannja. Bahwa sang paman menghendaki supaja ia mendjadi seorang wanita jang 'boen-boe-song-tjoan', adalah suatu kehendak jang sangat mulia. Tapi perlu apa ia begitu berduka ? Untuk menjenangkan hati sang Pehpeh, setiap hari ia mengikut Tiangsoen Thay dan Tiangsoen Pek berlatih silat. Akan tetapi, saban ada kesempatan, ia selalu menjingkirkan diri untuk membatja kitab. Kakak dan adik itu sering2 kewalahan, tapi se-bisa2 mereka berusaha untuk membangkitkan kegembiraan si nona tjilik akan ilmu silat. Sesudah ia sendiri selesai berlatih, Tiangsoen Pek segera mendesak si adik untuk mempeladjari serupa pukulan Kiam- hoat jang dapat mem-binasakan musuh. Tapi Wan Djie meng-geleng2-kan kepalanja.

   "Aku beladjar silat untuk memperkuat badan, bukan untuk djadi djagoan dan membinasakan orang ", katanja sambil tertawa. Si nona tersenjum dan seraja meng- usap2 rambut adiknja, ia berkata .

   "Moay-moay, kau rupanja lupa, bahwa hari ini adalah hari udjian jang biasa dilakukan ajah setahun sekali. Mari ..., mari ...! Paling sedikitnja kau harus mahir dalam ilmu Lian-tjoe Sam-kiam (tiga tikaman berantai) untuk menikam djalan darah musuh ". Wan Djie terkesiap. la ingat bahwa hari itu bukan sadja hari udjian, tapi djuga hari meninggalnja kedua orang tuanja. Mengapa Tiangsoen Pehpeh telah memilih hari ini untuk mengadakan udjian? Apakah dipilihnja hari ini mempunjai maksud jang lebih mendalam?. Tiba2 dari sebelah kedjauhan terbang mendatangi dua ekor elang jang lebar sajapnja hampir setombak. Wan Djie mengawasi dan ternjata mereka sedang mengubar seekor kelintji.

   "Bagus ! Sekarang aku memperoleh bulan2-an untuk melatih sendjata rahasia dan menolong kelintji itu ", katanja sambil tertawa.

   "Timpuk mata kirinja !", teriak Tiangsoen Thay. Sebilah pisau belati melesat dan seekor elang terguling ke bumi. Tiangsoen Pek memburu dan mendjemput bangkai burung itu dan benar sadja, pisau Wan Djie menantjap tepat dimata kirinja.

   "Sungguh mahir kaumenggunakan ilmu Pek-po Tjoan-yang (Menimpuk tepat dalam djarak seratus kaki) ", memudji Tiangsoen Thay sambil me-nepuk2 tangan.

   "Sekarang hadjarlah mata kanan dari elang jang satunja lagi ". Elang itu seperti djuga mengerti sedang menghadapi musuh jang tangguh. la terbang rendah, hampir menempel dengan tanah, dan melindungi diri diantara batu2 karang. ia menjambar dan menerkam kelintji jang sedang di-uber2. Dilain saat, ia mengipas dengan kedua sajapnja untuk terbang turun kedalam lembah. Melihat keganasan burung alas itu, Wan Djie djadi mendongkol dan menimpuk pula dengan pisaunja. Se-konjong2, berbareng dengan suara berkresek, satu bajangan hitam berkelebat dari batu karang dan menangkap pisau si nona. Dengan menggunakan kesempatan itu, si elang lalu kabur kedalam lembah. Wan Djie mengawasi dengan terkedjut dan orang jang berdiri didepannja adalah seorang lelaki jang bertubuh tinggi besar dan berdjenggot tebal. Tjaranja menjambut pisau sudah mengagumkan, tapi apa jang lebih mengherankan jalah kepandaiannja melompat2 diatas "Tjan-to"

   Sambil menggendong seorang tua jang berpakaian indah.

   "Apa Tiangsoen Koen Liang bertempat tinggal disini ?", tanja orang itu dengan suara njaring. Tiangsoen Thay madju setindak dan menanja dengan suara gugup.

   "Apa ... apa ... jang digendong olehmu, adakah The Oen Pehpeh ?". The Oen adalah seorang jang berpangkat Gie-soe Tayhoe dan kawan sedjabat kakek Siangkoan Wan Djie. Wan Djie mengawasi muka orang tua itu jang putjat bagaikan kertas. Lapat2 ia ingat, bahwa waktu ia masih ketjil, orang tua itu sering datang berkundjung kerumahnja untuk ber-omong2 dengan kakeknja sendiri. la segera ingat, bahwa kakek itu benar bernama The Oen. Baru habis Tiangsoen Thay bitjara, dari sebelah kedjauhan se-konjong2 terdengar suara orang.

   "Apa ? The Toako datang berkundjung?". Orangnja belum kelihatan, suaranja sudah terdengar tegas sekali. Si-djenggot buru2 menaruh orang tua itu diatas tanah dan dia sendiri lalu menekuk kedua lututnja.

   "Thong-tjioe Lie Goan memberi hormat kepada Tiangsoen Taydjin ", katanja.

   "Aku memohon Taydjin sudi menolong djiwa The Taydjin ". Ia sebenarnja belum pernah bertemu dengan Tiangsoen Koen Liang, akan tetapi begitu mendengar suara jang dikirim dengan ilmu 'Tjoan-im-djip-bit' (Mengirim suara dari tempat djauh), jaitu serupa ilmu jang harus menggunakan Lweekang jang sangat tinggi, ia sudah bisa menebak, bahwa orang jang bitjara tentulah djuga Tiangsoen Koen Liang adanja. Dilain saat, berbareng dengan berkelebatnja satu bajangan, Tiangsoen Koen Liang sudah berdiri dihadapan mereka. Orang tua itu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan berdjenggot putih, tapi gerakannja masih sangat gesit dan kedua matanja bersinar terang.

   "Bangunlah, Lie-heng ", katanja.

   "The Taydjin adalah sahabatku selama beberapa puluh tahun, mana bisa aku tidak menolongnja ? Tjoba aku periksa lukanja ". Mendadak paras muka Koen Liang berubah. la menjengkeram dada Lie Goan dan lalu menggoresnja dengan dua djeridji.

   "Brettt ...!", badju Lie Goan lantas sadja robek. Semua orang terkedjut, lebih2 Lie Goan sendiri.

   "Aku seorang piauwsoe jang melindungi The Taydjin masuk kewilajah Siok ", katanja.

   "Kuharap Loosianseng tidak salah mengerti ". Orang tua itu menghela napas.

   "Aku bukan mentjurigaimu ", katanja dengan suara perlahan.

   "Aku menjurigai iblis itu ! The Taydjin bekerdja sebagai pembesar negeri dan aku merasa pasti ia tak punja permusuhan dengan iblis itu. Sungguh ku tak mengerti mengapa dia begitu kedjam !". Sehabis berkata begitu, ia menjingkap rambut The Oen dan pada djalan darah Tay-yang-hiat, di kiri-kanan kepala, terlihat luka sebesar djarum.

   "Tjoba lihat dadamu ", katanja sambil berpaling kepada Lie Goan. Lie Goan segera mengawasi dadanja dan ternjata, dibawah kedua teteknja terdapat tanda merah sebesar uang emas. Paras mukanja lantas sadja berubah putjat dan ia roboh diatas tanah. Tiangsoen Thay bersama adiknja dan Wan Djie lantas sadja mengerumuninja. Sesaat kemudian, sambil mengawasi Koen Liang, ia berkata dengan suara gemetar.

   "Apakah kami kena sendjata rahasia Tok-sian-lie (si-Dewi-beratjun) dan Ok-heng- tjia (si-Pendeta-djahat), 'Touw-hiat-sin-tjiam' dan 'Swee-koet-tjhie-piauw' ?". ('Touw-hiat-sin-tjiam' berarti 'Djarum malaikat jang bisa menembus djalan darah', sedang 'Swee-koet-tjhie-piauw' berarti 'Piauw uang emas jang bisa menghantjurkan tulang'). Tiangsoen Koen Liang mengangguk dan mendjawab dengan suara serak.

   "Karena sudah kedjadian begini, Loohoe (aku si tua) terpaksa bitjara terus-terang. The Taydjin kena Touw-hiat-sin-tjiam, sedang Lie-heng sendiri mendjadi korban Swee-koet-tjhie-piauw. Loohoe akan berdaja sedapat mungkin tapi aku sendiri tak tahu, apa aku bisa menolong ". Se-konjong2 Lie Goan melompat bangun dan tertawa getir.

   "Kutahu, ratjun sendjata rahasia kedua iblis itu tak dapat dipunahkan dengan obat apapun djua. Loosianseng tak usah tjoba menghibur hatiku. Aku hanja menjesal, bahwa dalam melindungi The Taydjin masukkedaerah Siok, aku belum menunaikan tugasku dan oleh karenanja, aku mati dengan mata melek. Aku hanja mengharap agar Loosianseng sudi menjelesaikan urusan jang belum selesai ". Sedari belasan tahun jang lalu, dalam dunia Kang-ouw muntjul sepasang iblis lelaki dan perempuan. jang lelaki adalah seorang pendeta. Dia pandai menggunakan Thian-kong To-hoat (ilmu golok Thian kong) dan sendjata rahasia Swee-koet-tjhie-piauw. Diluarnja, sendjata rahasia itu tidak berbeda dengan piauw uang emas biasa. Perbedaannja jalah, piauw tersebut lebih dulu direndam didalam ratjun dan dilepaskan dengan menggunakan lweekang jang sangat tinggi, sehingga siapa sadja jang kena, tulangnja akan hantjur. Jang paling luar biasa, pada waktu baru kena, si korban sama-sekali tidak merasa apa2. Tapi begitu lekas ratjun bekerdja, daging dan urat2 mendjadi "lodoh", sampai achirnja tulang2 hantjur-luluh. Kalau sudah djadi begitu, biarpun obat dewa tak akan dapat menolongnja. Si iblis perempuan lebih lihay lagi. Dia bukan sadja mempunjai ilmu pedang jang sangat tinggi, tapi djuga bisa menimpuk djalan darah orang dengan Bwee-hoa-tjiam (djarum jang menjerupai bunga bwee). Djarum itu pun diolah didalam ratjun, sehingga siapa jang kena, begitu lekas ratjun sudah menjerang djantung, tidak akan bisa ditolong lagi. Karena mereka kedjam luar biasa, maka dalam kalangan Kang-ouw, orang mendjulukinja sebagai Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie. Pada sepuluh tahun jang lalu, berbagai partai Rimba Persilatan telah mengumpulkan beberapa puluh orang jang berkepandaian tinggi untuk mengepung kedua iblis itu, jang achirnja dapat diusir sampai digurun pasir se- belah utara Tiongkok. Selama sepuluh tahun, mereka belum pernah muntjul didaerah Tiong-goan. Diluar dugaan, sekarang mereka menerdjun pula ke dunia Kang-ouw dan melukakan seorang pembesar tinggi serta seorang piauwsoe. Tiangsoen Koen Liang adalah seorang jang pada sepuluh tahun berselang telah turut menghadjar kedua iblis itu. la berdiam lama dengan perasaan heran. Sesudah memeriksa lagi luka Lie Goan, ia berkata .

   "Lie-heng, lukamu lebih enteng dan mungkin masih dapat ditolong. Kedjadian, ini agak mentjurigakan. Bagaimana kalian bisa bertemu dengan kedua iblis itu ?". Djawab Lie Goan .

   "The Taydjin telah menerima perintah untuk menengok Thaytjoe (putera mahkota) di Pa-tjioe ...".

   "Apa ...?", memutus Koen Liang.

   "Thaytjoe di Pa-tjioe ?".

   "Tjiang Hoay Thaytjoe telah dipetjat dan dihukum buang ke Pa-tjioe ", djawabnja.

   "Sudah hampir setengah tahun ".

   "Perempuan tjelaka !", kata Koen Liang dengan suara gusar.

   "Thaytjoe jang dulu mati makan ratjun, Thaytjoe sekarang dibuang ke Pa-tjioe. Orang kata . 'Harimau tak makan anaknja'. Tapi Boe Tjek Thian lebih buas daripada binatang buas ". Harus diketahui, bahwa Thaytjoe almarhum, jang bernama Lie Hong, adalah putera sulung Boe Tjek Thian. Pada suatu hari, ia mendadak meninggal dunia dengan mengeluarkan darah dari mulut, kuping, mata dan lain2-nja. Kebinasaan itu sangat mengenaskan. Dalam keraton lantas sadja tersiar desas-desus, bahwa putera mahkota telah diratjuni oleh ibunja sendiri. Thaytjoe jang menggantikannja bernama Lie Hian. Tapi ia segera dipetjat dari kedudukannja karena menentang tjara pemerintahan Boe Tjek Thian dan pemetjatan ini sudah diumumkan diseluruh negeri. Kedjadian itu tidak diketahui Koen Liang jang hidup terpentjil di Kiamkok jang sepi. Siangkoan Wan Djie bergidik.

   Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tak salah djika Tiangsoen Pehpeh menamakan Boe Tjek Thian sebagai radja iblis ", pikirnja.

   "Dia lebih kedjam daripada Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie ".

   "Aku adalah seorang piauwsoe jang membuka perusahaan piauw di Lok-yang ", menerangkan Lie Goan. Pada waktu jang lampau, setiap kali mendapat tugas keliling, The Taydjin selalu minta bantuanku untuk melindunginja. Oleh karena itu, kita mempunjai hubungan jang sangat baik. Mendengar The Taydjin mendapat tugas untuk pergi ke Pa-tjioe guna menjambangi Thaytjoe dan karena tahu, bahwa didaerah Siok telah muntjul beberapa pendjahat besar, maka aku segera menawarkan diri untuk mengantarkannja. Disepandjang djalan kami tidak bertemu dengan gangguan apapun djuga, sehingga hati kami mendjadi lega. Kemarin kami tiba di daerah pegunungan jang terpisah tiga puluh li lebih dari kota Kiam-boen-kwan. Sebab djalan ber-belit2 dan sangat berbahaja, aku berdjalan lebih dulu.

   "Mendadak aku mendengar siulan diatas gunung dan begitu menengok, aku melihat The Taydjin sudah roboh dari tunggangannja. Aku kaget bukan main, buru2 memutar kuda untuk menolongnja. Pada detik itu, tungganganku tiba2 berbunji keras dan berdjingkrak, sehingga badanku terlempar. Hampir berbareng, dari dalam hutan menjambar dua piauw. Waktu itu tubuhku sedang berada di udara dan keruan sadja, aku tidak bisa berkelit lagi. Dengan mengandalkan ilmu Tiat-po-san (sematjam ilmu weduk), aku menerdjang sendjata rahasia itu. Waktu memeriksa keadaan The Taydjin, ia ternjata sudah pingsan. Kedua kuda kami djuga sudah rebah ditanah tanpa bisa bergerak lagi. Akutahu sedang menghadapi lawan berat dan mesti bertempur mati2-an. Tapi heran sungguh, pendjahat tak muntjul dan aku hanja mendengar suara tertawa menjeramkan jang semakin lama djadi semakin djauh. Tentu sadja aku tak berani menguber. Keadaan The Taydjin sangat mengherankan, sebab badannja tidak terluka, tapi waktu aku memegang nadinja, ketukan nadi mengundjuk tanda2 luka berat. Aku djadi bingung. Kemana harus mentjari obat ? Untung djuga, mendadak aku ingat perkataan The Taydjin, bahwa Tiangsoen Taydjin bertempat di Kiamkok. Karena tiada lain djalan, aku terpaksa datang kesini. Ah ! Siapa njana pendjahat jang melukakan kami adalah Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie. Dan akupun tak pernah menduga, bahwa aku sendiri terluka berat ". Tiangsoen Koen Liang mendengari penuturan itu sambil mengerutkan alis, seperti sedang berpikir keras. Sesaat kemudian, Lie Goan berkata pula .

   "Aku sendiri sudah tak mengharap hidup lagi. Tapi The Taydjin mempunjai suatu tugas jang belum diselesaikan dan aku memohon supaja Taydjin suka membantunja ".

   "Tugas apa ?", tanjanja.

   "Surat Thian-houw (Permaisuri-langit, Boe Tjek Thian) untuk Thaytjoe jang dibawa The Taydjin belum disampaikan ", djawabnja.

   "Menurut katanja The Taydjin, Thian-houw sangat memikiri Thaytjoe jang sudah dipetjat dan bahwa pembuangannja ke Pa-tjioe adalah satu tindakan jang sangat terpaksa. The Taydjin ingin sekali Thaytjoe bisa membatja surat, itu setjepat mungkin, supaja ia terhibur ".

   "Hmmm ...!", Koen Liang mengeluarkan suara dihidung.

   "Kutjing pura2 tangisi tikus ...! Kau tahu, kalau bisa, Boe Tjek Thian kepingin sekali membasmi semua orang she Lie jang masih tersangkut-paut dengan keluarga kaisar. Anak kandungnja sendiri tak terluput ! Sedikitpun aku tidak pertjaja, bahwa didalam hatinja radja iblis itu terdapat rasa tjinta terhadap puteranja ". Lie Goan mengangguk sedikit, ia tak berani mendjawab.

   "Eh, sekarang aku ingin tanja ", katanja lagi tiba2.

   "Apa hal menjambangi Thaytjoe keinginan Boe Tjek Thian sendiri, atau permintaan The Taydjin jang kemudian diluluskan oleh radja iblis itu ?".

   "Tak tahu ", djawabnja Lie Goan.

   "Menurut dugaanku, sepuluh-sembilan The Taydjin sendiri-lah jang mengadjukan permohonan untuk menengok Thaytjoe ", kata Koen Liang. la berdiam sedjenak dan mendadak berteriak .

   "Tak salah ...! Tak bisa salah ...! Dua memedi itu tentu diperintah si radja iblis untuk membunuh The Taydjin !". Lie Goan, Wan Djie dan putera-puterinja merasa heran akan dugaan jang luar biasa itu, tapi mereka tak berani mengadjukan pertanjaan karena melihat paras muka orang tua itu jang menjeramkan. Se-konjong2 muka Koen Liang berubah putjat dan ia berkata dengan suara gemetar .

   "Thay-djie, Pek-djie, Wan Djie, lekas pulang ! Mungkin kedua iblis itu akan segera menjatroni !".

   "Thia-thia (ajah), bagaimana kau tahu ?", tanja puteranja. Sang ajah melirik Lie Goan, seperti mau bitjara apa2, tapi agak berat untuk mengatakannja. Lie Goan tertawa getir.

   "Biarlah aku jang mewakili Loopeh ", katanja.

   "Kedua iblis itu mempunjai kepandaian jang sangat tinggi dan djika mereka mau mengambil djiwa kami, djiwa The Taydjin dan djiwaku sendiri, mereka dapat melakukannja dengan mudah sekali. Mengapa mereka sengadja melepaskan kami ?".

   "Karena ... karena apa ?", tanja Tiangsoen Pek.

   "Karena mereka ingin Lie Toako lari ke rumah kita ", Koen Liang menjambungi.

   "Benar...", kata Lie Goan dengan suara menjesal dan djengah.

   "Hanja sajang, pada waktu terluka, aku tidak memikir sampai disitu. Djika tidak, aku pasti tak akan datang kesini dan me-njeret2 Loopeh. Sekarang baru kutahu, bahwa aku sebenarnja sudah didjadikan sematjam penundjuk djalan ".

   "Lie-heng tak usah menjesal ", kata Koen Liang sambil tersenjum.

   "Aku sendiri sudah lama ingin mendjadjal kepandaian kedua iblis itu. Dilihat gedjalanja, hampir boleh dipastikan, mereka adalah suruhan Boe Tjek Thian ".

   "Mengapa begitu ?", tanja Wan Djie.

   "Boe Tjek Thian merampas tachta keradjaan, kedjadian itu, bahwa seorang perempuan mendjadi kaisar, belum pernah terdjadi semendjak djaman purba ", katanja.

   "Keluarga kaisar dan menteri2 kebanjakan merasa penasaran. Dia djuga tahu, bahwa golongan kami diam2 menentangnja. Maka itu, per-lahan2, dengan menggunakan tjara2 apapun djuga, dia menjingkirkan orang2 jang sekiranja menentang dia. Tjoba pikir, sedangkan puteranja sendiri ia masih tak segan2 untuk membinasakannja, apa lagi orang lain ? Menurut dugaanku, The Taydjin-lah jang lebih dulu mengadjukan permohonan untuk pergi ke Pa-tjioe guna menjambangi Thaytjoe. Dia mengerti, bahwa The Taydjin adalah menteri setia kepada keluarga Lie. Maka itu, dengan menggunakan kesempatan baik, dia turun tangan ".

   "Kalau dia benar2 mau djiwa The Taydjin, perlu apa begitu berabe ?", tanja Wan Djie.

   "Inilah lihaynja si radja iblis ", djawab sang paman.

   "Ia pura2 djadi orang mulia untuk menarik hati menteri2-nja. Aku dulu mendjabat pangkat tinggi, tapi begitu lekas dia merampas tachta, aku mengundurkan diri dan bersembunji ditempat ini. Dia tentumembentjiku. Hmmm....! Itulah sebabnja, aku hampir berani memastikan, bahwa kedua iblis itu adalah orang suruhannja ". Ia berhenti sedjenak dan sambil mengawasi putera-puterinja, ia berkata pula.

   "Thay-djie, Pek-djie, djiwa ajahmu mungkin tak sampai besok pagi. Aku sekarang sudah memberitahukanmu, siapa musuh kita. Baiklah ! Sekarang kau orang pulang dan apapun jang terdjadi, kau orang tak boleh keluar. Wan Djie, kau mengerti ilmu pengobatan. Angkutlah The Taydjin kerumah kita, balut lukanja dengan obat pemunah ratjun dan berilah Giok-louw-wan kepadanja. Lie-heng, kau ...".

   "Sesudah kena ratjun, aku tak bisa hidup lebih dari tiga hari ", Lie Goan memutus perkataan orang tua itu.

   "Dari pada mati tjuma2, biarlah aku berdiam disini untuk menemani Taydjin ". Sementara itu, Tiangsoen Thay bersama adiknja dan Siangkoan Wan Djie, telah pulang dengan membawa The Oen. Baru sadja The Oen diberi pel Giok-louw-wan, Tiangsoen Pek sudah berseru .

   "Datang ...! Dua iblis itu sudah datang ...!". Siangkoan Wan Djie terus mengintip dari tjelah djendela. Tiba2 disebelah kedjauhan terdengar dua kali teriakan aneh jang njaring luar biasa, disusul dengan muntjulnja dua orang di tandjakan gunung, satu lelaki dan satu perempuan, jang lelaki adalah seorang tauw-too (pendeta) rambut pandjang, djembrosnja kaku, sedang mukanja djelek seperti memedi dan jang perempuan memakai ikatan kepala, alisnja pandjang, mukanja tjantik dan gerak-geriknja genit. Tak usah dikatakan lagi, mereka adalah Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie. Begitu berhadapan dengan Tiangsoen Koen Liang, Ok-heng-tjia membentak.

   "Bangsat tua ! Kau belum mampus ? Kami sengadja datang untuk menagih hutang belasan tahun ". Tok-sian-lie tidak sekasar itu.

   "Tiangsoen Sianseng ", katanja dengan suara merdu.

   "Belasan tahun kita tak bertemu, kau ternjata masih sehat seperti biasa. Untung sungguh kau masih hidup, djika tidak, kami akan sangat berduka. Dulu, sebab dikerojok, aku masih helum bisa meminta pengadjaran dari Ngo-bie Kiam-hoatmu. Aku merasa girang, hari ini aku mendapat kesempatan jang seluas2-nja ".

   "Madjulah, djika kau mau ", kata Koen Liang.

   "Tak perlu banjak rewel. Loohoe pun sudah menunggu belasan tahun ". Tok-sian-lie tertawa geli.

   "Aha ...! Sekarang baru kutahu, kau bukan seorang diri ", katanja.

   "Kukira siapa ? Tak tahunja Lie Toa-piauwsoe ! Kau kena Swee- koet-tjhie-piauw dari Soehengku. Apa kau tahu ? Djika kau beristirahat, usiamu dapat diperpandjang sampai hari lusa. Rebahlah dirandjang dan kau akan mati tanpa merasa sakit. Tapi djika kau bergusar dan menggunakan banjak tenaga, maka tulang2-mu akan hantjur dan kau akan mampus dengan banjak penderitaan. lnilah nasehatku jang keluar dari hati tulus ".

   "Iblis djahat ...!", bentak Lie Goan bagaikan kalap.

   "The Taydjin salah apa ? Mengapa kau begitu kedjam ? Hari ini, biar apapun jang akan terdjadi, aku akan mengadu djiwa denganmu ". Tok-sian-lie tertawa njaring.

   "Gagah benar kau !", ia mengedjek.

   "Mengapa aku membunuh The Taydjin ? Karena kebaikan hati Thian-houw dan aku sendiri. Thian-houw mengatakan, bahwa The Taydjin sudah tua dan ia tentu tak kuat menahan kesengsaraan dalam perdjalanan ke daerah Siok. Maka itu, aku menghadiahkannja dua batang Touw-hiat-sin-tjiam ". Mendengar pengakuan si iblis, Siangkoan Wan Djie jang memasang kuping, kaget bukan main. Tapi di lain saat, dalam hatinja timbul ketjurigaan. Apa benar kedua iblis itu diperintah oleh Boe Tjek Thian. Soal membunuh menteri besar, adalah rahasia besar. Tapi mengapa Tok-sian-lie seperti sengadja membuka rahasia itu ?. Tiangsoen Koen Liang berdjingkrak karena gusarnja.

   "Perempuan tjelaka....!", teriaknja.

   "Boe Tjek Thian iblis besar, kau berdua iblis ketjil. Hari ini aku lebih dulu mengadu djiwa dengan iblis ketjil. Madjulah ! Satu2 boleh, dua2 djuga tidak halangan !". Tok-sian-lie kembali tertawa njaring.

   "Dulu aku dikerojok, tapi sekarang, melihat usiamu jang sudah tua, biarlah Soehengku dulu jang main2 dengan kau ", katanja. Sambil membentak, Ok-heng-tjia menerdjang dan membatjok dengan goloknja. Dengan gerakan Poan- liong-yauw-po (Naga-bertindak), Tiangsoen Koen Liang mengegos sambil balas menikam dengan pedangnja. Pukulan itu, jang membela diri dan menjerang dengan berbareng, adalah salah satu pukulan jang paling lihay dari Tiangsoen Koen Liang. Menurut perhitungan, Ok-heng-tjia mesti tertikam. Tapi diluar dugaan, pada detik jang sangat berbahaja, lengan Si djahat berkerotokan dan mulur beberapa dim pandjangnja, sehingga goloknja terus menjambar ke dada Koen Liang. Itulah kedjadian diluar dugaan. Untung djuga, dalam bahaja Koen Liang tak djadi bingung. Tjepat bagaikan kilat, pedangnja berubah arah dan menangkis golok musuh.

   "Trang ...!", lelatu api berhamburan. Koen Liang merasa tangannja sakit, sedangkan Ok-heng-tjia terhujung beberapa tindak. Begitu lekas memperbaiki kedudukannja, si Pendeta-djahat mengaum bagaikan harimau terluka dan lalu menjerang dengan 'Thian-kong To-hoat' dan dalam sekedjap, Koen Liang sudahterkurung dalam sinar golok. Wan Djie jang mengintip dari tjelah pintu lantas sadja mengeluarkan keringat dingin. Tiangsoen Thay dan adiknja djuga mengawasi djalannja pertempuran dengan hati ber-debar2, tapi mereka tidak djadi ketakutan seperti Wan Djie.

   "Ok-heng-tjia belum tahu kelihayan ajah ", bisik Tiangsoen Pek.

   "Kiam-hoat Thia-thia bisa merobohkan keganasan dengan ketenangan, membela diri untuk menunggu lelahnja musuh ". Sementara itu, sambil ber-teriak2, Ok-heng-tjia menjerang semakin hebat. Goloknja ber-kelebat2 dan men-deru2 bagaikan angin dan hudjan. Benar sadja, Koen Liang tetap melajani dengan tenang dan dibawah sinar golok, ia berdiri tegak bagaikan gunung. Tjeng-hong-kiam me-njambar2 se-akan2 seekor naga jang ber-main2 ditengah lautan dan memunahkan setiap serangan musuh. Sesudah pertempuran berlangsung kurang-lebih setengah djam, keadaan masih tetap belum berubah. Se-konjong2 Tiangsoen Koen Liang tertawa njaring, disusul dengan berkredepnja sehelai sinar pedang jang menerobos keluar dari kurungan sinar golok. Dilain saat, terdengar bentakan Ok-heng-tjia dan suara "tjring.....!". Ternjata si djahat sudah menjerang dengan Swee-koet-tjhie-piauw. Bagaikan kilat Koen Liang memutar badan dan dua batang piauw lewat dibawah ketiaknja. Hampir berbareng, ia mengebas dengan pedangnja dan sebatang piauw lain, jang menjambar kedjalan darah thay-yang-hiat, terpukul djatuh. Pada detik jang bersamaan, ia mendjedjak kedua kakinja dan tubuhnja lantas sadja melesat keatas dalam gerakan 'it-ho-tjiong-thian' (Burung-ho-menembus-langit) jang sangat indah dan selagi badannja berada ditengah udara, tiga batang Swee-koet-tjhie-piauw lewat dibawah kakinja.

   "Tiangsoen Sianseng, kau sungguh lihay !", memudji Tok-sian-lie. Koen Liang hanja mengeluarkan suara di hidung, kedua matanja tetap mengintjar lengan Ok-heng-tjia. Benar sadja, sambil membentak keras, si djahat kembali melepaskan tiga batang piauw. Ternjata, pudjian si wanita-beratjun hanja untuk menjimpangkan perhatian, tapi untung djuga, Koen Liang tidak kena diselomoti. Dengan sekali mengegos, ia menjelamatkan diri dari piauw pertama, sedang piauw kedua dipukul djatuh dengan kebasan pedang. Mendadak terdengar suara "tjring ...!", piauw ketiga jang dilepaskan belakangan, membentur piauw pertama. Begitu terbentur, piauw itu berubah arah dan menjambar djalan darah Tiong-tjoe- hiat, dibelakang leher!. Dengan gerakan Hong-hong-tiauw-tauw (Burung-hong- manggut), Koen Liang manggutkan kepalanja dan hampir berbareng, ia merasakan kesiuran angin dingin jang lewat diatasan kepalanja. Tiba2 Tok-sian-lie tertawa mengedjek dan baru ia mendusin, bahwa sebagian rambutnja telah terpapas piauw. Darahnja lantas sadja meluap. Sambil merogo kantong sendjata rahasia, ia membentak .

   "Kundjungan harus dibalas dengan kundjungan !". Sekali mengajun tangan kirinja, tiga pisau belati menjambar dan dengan berbareng, ia menikam dengan pedangnja, sehingga melesatnja pisau dan menjambarnja pedang terdjadi pada detik jang bersamaan. Ok-heng-tjia terkesiap, ia tak duga musuhnja bisa bergerak begitu tjepat. Baru sadja ia memukul djatuh tiga batang pisau dengan pukulan Pat-hong-hong-ie (Delapan-pendjuru-angin-dan-hudjan), udjung pedang musuh sudah menjambar dadanja.

   "Trang ...!", golok Ok-heng-tjia terpukul miring dan udjung pedang dengan beruntun menikam tiga djalan darah. Sambil bergulingan diatas tanah, Ok-heng-tjia mengaum dan kemudian, dengan gerakan Lee-hie-tah-teng (Ikan-gabus-meletik), ia melompat bangun seraja mengajun tangannja ber-ulang2 dan puluhan piauw beratjun segera me-njambar2 bagaikan hudjan gerimis. Harus diketahui, bahwa Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie mempunjai serupa ilmu jang dinamakan Ie-kiong-hoan-hiat (Memidahkan djalan darah), sehingga, biarpun djalan darahnja terluka, luka itu hanja luka diluar dan tidak membinasakan. Melihat sambaran puluhan sendjata rahasia, Koen Liang terkedjut. Masih untung, ia memiliki lweekang, ginkang (ilmu mengentengkan badan) dan kiam-soet jang sangat tinggi, sehingga dengan mengeluarkan se-anter2-nja. Per-lahan2 ia merasa lelah dan napasnja mulai ter-sengal2. Pada saat itulah, mendadak Tok-sian-lie tertawa tjekikikan.

   "Tiangsoen Sianseng ", katanja.

   "Kau sungguh lihay. Sekarang aku ingin meminta pengadjaranmu. Touw-hiat-sin-tjiamku berlainan dengan Swee-koet- tjhie-piauw. Djarumku halus seperti bulu kerbau dan menjambarnja tidak mengeluarkan suara, sehingga sukar sekali dapat ditangkis. Tiangsoen Sianseng, kau harus sangat ber-hati2 !". Mendengar perkataan jang kedjam dan beratjun itu, Siangkoan Wan Djie bangun bulu romanja. Hampir berbareng dengan perkataan.

   "ber- hati2", dengan gerakan Liong-lie-tjoan-tjiam (Liong Lie menusuk djarum), Tok- sian-lie sudah menikam djalan darah Kian-keng-hiat, dipundak Koen Liang. Serangan itu, jang dikirim separuh membokong, adalah ilmu simpanan si dewi- beratjun. Untung djuga, Koen Liang sudah mengenal kelitjikannja, sehingga iaselalu berwaspada dan begitu melihat gerakan lengan musuh ia buru2 mengegos dan pedang itu menikam tempat kosong, hanja kira2 tiga dim dari atasan pundaknja. Dengan geregetan, ia mengirim serangan membalas, bagaikan kilat pedangnja memapas kebawah dalam pukulan jang membinasakan. Tiangsoen Pek jang mengintip di tjelah pintu, djadi girang bukan main.

   "Sekali ini, lengan iblis perempuan itu mesti terbabat putus ", katanja didalam hati. Tapi Tok-sian-lie pun bukan sembarang orang. Baru sadja si nona bergirang, ia sudah mentjelat kesamping dan berhasil menjelamatkan diri dari babatan pedang jang berbahaja itu. Sesudah lewat gebrakan pertama dengan masing2 mengeluarkan pukulan2 istimewa, untuk sedjenak si beratjun berdiri tegak. sambil mentjekel pedangnja. Tok-sian-lie kembali tertawa tjekikikan.

   "Tiangsoen Sianseng, sekarang ini benar2 kau harus ber-hati2

   ", katanja. Koen Liang tak menjahut, kedua matanja mengawasi perempuan beratjun itu dengan sorot berapi. Tiba2, sambil membentak keras, ia melompat dan mengirim dua serangan dengan beruntun, jaitu Kim-kee-tok-siak (Ajam-emas- mematuk-gabah) dan Lo-tjia-loo-hay (Lo Tjia mengatjau dilautan), udjung pedang lebih dulu menikam kedua mata musuh dan kemudian menjambar dada. Tok-sian-lie mengegos dan memutar sendjatanja untuk menangkis dan balas menjerang.

   "Kena !", bentaknja dan diantara sinar pedang, terlihat beberapa batang djarum Touw-hiat- sin-tjiam. Koen Liang memang sudah menduga bakal diserang setjara begitu. Dua serangannja jang barusan, biarpun hebat, mengandung unsur pembelaan. Sehabis menikam, pedangnja membuat lingkaran bagaikan bianglala dan melindungi seluruh tubuhnja. Beberapa suara "tring2", terdengar dan semua djarum kena terpukul balik.

   "Hanja sebegitu sadja lihaynja Touw-hiat-sin-tjiam ?", mengedjek Koen Liang sambil tertawa. Tok-sian-lie djadi gusar tak kepalang.

   "Manusia tak mengenal budi !", bentaknja.

   "Sekarang aku tak mau sungkan2 lagi ...!", ia segera memutar sendjatanja bagaikan titiran dan menjerang dengan dahsjat, sedang diantara sinar pedang, saban2 terlihat menjambarnja djarum2 beratjun jang dilepaskan dengan tangan kirinja. Sambil mengempos semangat dan memasang kuping untuk mendengar sambaran2 sendjata rahasia, Koen Liang melawan dengan sepenuh tenaga. Tapi karena Touw-hiat-sin-tjiam adalah sendjata rahasia jang sangat ketjil dan menjambarnja sering2 tak kedengaran, semakin lama ia djadi semakin bingung. Waktu bertempur melawan Ok-heng-tjia, ia sudah mulai merasa lelah. Sekarang, untuk mendjaga sambaran Touw-hiat-sin-tjiam, djalan satu2-nja jalah mengurung dirinja didalam sinar pedang dan pembelaan diri ini meminta banjak tenaga lweekang. Disamping itu, Tok-sian-lie pun memiliki ilmu pedang jang sangat tinggi dan ia terus mendesak dengan hebatnja. Maka itu, sesudah bertempur kurang-lebih lima puluh djurus, per-lahan2 ia djatuh dibawah angin. la terpaksa berkelahi sambil mundur setindak demi setindak, dengan terus didesak oleh musuhnja.

   "Tua bangka ...!", mengedjek si beratjun.

   "Hari ini tibalah adjalmu !". Sehabis mengedjek, ia tertawa njaring. Selagi mereka bertempur, Ok- heng-tjia duduk mengaso sambil mendjalankan pernapasannja dan mengobati lukanja. Waktu Tok-sian-lie tertawa njaring, jang sebenarnja merupakan satu pertandaan ia sudah siap-sedia untuk turun tangan lagi. Bagaikan kilat, ia melompat ke belakang Koen Liang dan menimpuk dengan tiga batang Swee-koet-tjhie-piauw, disusul dengan batjokan goloknja. Pada saat jang bersamaan, Tok-sian-lie mengajun tangannja dan puluhan Touw-hiat-sin-tjiam menjambar dengan serentak !. Diserang dari depan-belakang, biarpun Koen Liang mempunjai kepandaian jang lebih tinggi lagi, ia tidak berdaja pula. Pada detik jang sangat berbahaja, mendadak terdengar suara tertawa menjeramkan, disusul dengan berkelebatnja bajangan hitam dan teriakan menjajatkan hati. Semua djarum beratjun jang tengah menjambar telah menantjap di bajangan itu, jang dengan sekali menendang, sudah berhasil merobohkan Ok-heng-tjia. Orang jang memberi pertolongan bukan lain daripada Lie Goan. Melihat pengorbanan jang luar biasa itu, kedua iblis djadi kaget bukan main dan paras mereka lantas sadja berubah putjat. Tiangsoen Thay dan adiknja serta Siangkoan Wan Djie mentjelos hatinja. Tanpa menghiraukan lagi pesan sang ajah, Tiangsoen Thay membuka pintu dan melompat keluar. Tapi musuh tidak menjerang lagi. Seraja tertawa njaring, Tok-sian-lie mentjekel tangan Ok-heng- tjia dan mereka lalu melompat naik keatas ,Tjanto' dan dalam sekedjap, mereka tak kelihatan bajangannja lagi. Lie Goan sendiri terus rebah diatas tanah dengan badan penuh djarum, sedang paras muka Koen Liang putjat bagaikan kertas. Koen Liang menggapai dan tiga orang muda itu lantas sadja mendekati.

   "Kuburlah Gie- soe ini ", katanja kepada dua anaknja.

   "Setiap tahun, pada hari ini, kau harus kembali untuk bersembahjang dikuburannja ". Ia berpaling kepada Wan Djie dan berkata pula.

   "Wan Djie, aku ingin bitjara denganmu dirumah ". Dari parasnjajang menjeramkan, dapat diduga, bahwa urusan jang mau dibitjarakan adalah urusan penting. Begitu masuk kedalam rumah, Koen Liang lebih dulu menengok The Oen jang masih rebah dirandjang dan belum tersadar.

   "Sahabat, aku tak dapat merawat kau lebih lama lagi ", katanja dengan suara duka dan lalu menguntji pintu.

   "Wan Djie ", kata orang tua itu.

   "Sebenarnja aku ingin menunggu dua tahun lagi, sesudah kau mendjadi dewasa, baru aku ingin memberitahukan urusan ini kepadamu. Tapi sekarang kutak dapat menunggu lagi ". Djantung si nona memukul keras.

   "Ada apa, pehpeh ...?", tanjanja dengan suara gemetar.

   "Aku sudah kena dua batang Touw-hiat-sin-tjiam, sehingga, biarpun tak sampai mendjadi mati, aku sekarang sudah djadi orang bertjatjad ", menerangkan sang paman.

   "Untuk mendapat kembali ilmu silatku, paling sedikit aku harus menggunakan tempo sepuluh tahun. Djika tidak ditolong oleh Gie-soe Lie Goan, djiwaku tentu sudah melajang. Untuk menjingkirkan diri dari kedua iblis itu, besok aku akan pindah ke lain tempat. Maka itu, hari ini adalah hari berkumpulnja kita jang paling penghabisan ". Air mata Wan Djie lantas sadja mengalir dikedua pipinja.

   "Kemana djuga Pehpeh pergi, aku mau mengikut ", katanja dengan suara parau.

   "Tidak ..., tidak bisa. Bukan aku tidak mau mengadjak, tapi karena kau sendiri mempunjai tugas jang lebih penting, jang harus diurus olehmu ", djawabnja. Djantung si nona me-londjak2. la menduga, bahwa apa jang akan didjelaskan oleh sang paman, adalah soal kematian kakek dan kedua orang tuanja jang sangat luar biasa. Dan dugaan itu ternjata benar.

   "Wan Djie, apa kau tahu, sebab-apa kakek dan kedua orang tuamu meninggal dunia ?", tanja Koen Liang.

   "Menurut katanja Ong An, karena penjakit menular ", djawabnja. Sang paman menghela napas.

   "Benar ..., benar penjakit menular ", katanja.

   "Dan Boe Tjek Thian adalah penjebar penjakit itu. Penjahat itu telah membinasakan banjak anggauta keluarga kaisar,djuga banjak menteri2 setia. Kakek dan kedua orang tuamu telah dibinasakan oleh Boe Tjek Thian !". Kata2 itu bagaikan halilintar ditengah hari bolong. Teka-teki jang selalu menganggu pikiran si nona selama tudjuh tahun, sekarang sudah mendjadi terang. la berdiri dengan mulut ternganga dan mata membelalak, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Sambil meng-usap2 rambut si nona, Koen Liang berkata pula.

   "Pada tudjuh tahun berselang, kakekmu mendjabat pangkat Sie-long, sedang ajahmu mendjadi penasehat Thaytjoe (putera mahkota jang sedang bersekolah). Melihat tjara2 Boe Tjek Thian jang sangat menghina Hoe-hongnja (ajahanda kaisar) dan djuga karena kuatir Boe-houw (ibu permaisuri) itu merampas tachta keradjaan, maka dengan tidak menghiraukan kemungkinan ditjap sebagai anak tidak berbakti, Thaytjoe telah membudjuk ajahnja untuk memetjat sang ibu dari kedudukan Boe-houw. Disamping itu, ia djuga telah mengadakan perdamaian dengan sedjumlah menteri besar untuk menumpas kaki-tangan Boe-houw. Kaisar Kho-tjong kena dibudjuk dan lalu memerintahkan kakekmu membuat rentjana firman pemetjatan peimaisurinja. Tapi apa latjur, karena tidak ber-hati2, rahasia itu telah diketahui Boe Tjek Thian. Ditengah malam buta, kaki-tangan iblis perempuan itu telah menggeledah seluruh keraton dan dihadapan kaisar, mereka telah merampas rentjana firman dari badan kakekmu. Pada keesokan harinja, kakek dan ajahmu telah dibinasakan. Ibumu sendiri telah ditangkap dan dimasukkan kedalam keraton sebagai budak. Kau sendiri pun sebenarnja mau dibekuk, tapi sudah keburu dibawa lari oleh Ong An jang setia ..." (Menurut sedjarah keradjaan Tong, sesudah Siangkoan Gie dan Siangkoan Teng Tjie dibinasakan, Siangkoan Wan Djie telah didjadikan budak keraton. Waktu ia berusia empat belas tahun, setjara kebetulan kepintarannja telah diketahui Boe Tjek Thian jang lalu mengangkatnja sebagai sematjam sekretaris dan belakangan memberikannja tugas2 jang penting. Tapi tjatatan sedjarah ini belakangan banjak disangsikan orang). Mendengar keterangan itu, hati si nona seperti di-iris2. Tiba2 ia berlutut dihadapan Tiangsoen Koen Liang dan berkata dengan suara serak.

   "Pehpeh, aku tahu, bahwa dalam penitisan ini, tak dapat aku membalas budimu jang begitu besar. Aku hanja mengharap, bahwa dengan tangan sendiri aku akan dapat membinasakan iblis perempuan jang telah mentjelakakan begitu banjak manusia ", ia tak bisa meneruskan perkataannja dan air mata mengalir deras dikedua pipinja jang putjat-pias. Sang paman tersenjum duka dan sambil meng-usap2 pundak si nona, ia berkata dengan suara perlahan.

   "Djika kau dapat mewudjudkan tjita2-mu itu, aku dan segenap menteri setia akan merasa berterima kasih tak habis2-nja. Dengan demikian, tjapai-lelahku selama beberapa tahun tidak terbuang dengan tjuma2

   ".

   "Sekarang baru kumengerti maksud Pehpeh jang sangat mulia ", kata si nona.

   "Hanja sungguh menjesal, aku sudah tidak mendengar segala nasehatmu dan sungkan beladjar ilmu silat dengan sungguh2

   ".

   "Untuk mendjalankan tugas jang sangat berat itu, orang tak dapat hanjamengandal kepada ilmu silat ", kata sang paman.

   "Jang paling penting jalah ber- hati2 dan kemampuan untuk bertindak dengan mengimbangi selatan. Kiamsoet Pek- djie dan Thay-djie banjak lebih unggul daripadamu. Akan tetapi, djika mereka diserahkan pekerdjaan jang seberat itu, mereka pasti tak akan mampu mengerdjakannja. Nah, Wan Djie ..., sekarang kau boleh berangkat dan aku berdoa biarlah kau selalu dipajungi Tuhan Jang Maha Kuasa dan semoga tjita2-mu lekas berhasil. Aku tak mempunjai apa2 untuk dihadiahkan kepadamu, tapi ambillah pedang ini jang sudah mengikuti aku dalam tempo lama ". Sehabis berkata begitu, ia meloloskan pedang, Tjeng-hong-kiam dari pinggangnja dan tIba2 seputjuk surat djatuh dari sakunja. Surat itu adalah surat Boe Tjek Thian untuk Thaytjoe Lie Hian jang dibawa oleh The Oen. Sesudah The Oen terluka, surat tersebut diserahkan kepada Tiangsoen Koen Liang oleh piauwsoe Lie Goan. Dengan perasaan mendongkol Koen Liang mendjemput surat itu dan tangannja bergerak untuk merobeknja.

   "Pehpeh, tahan dulu !", kata si nona jang didorong oleh perasaan kepingin tahu.

   "Aku rasa tak halangan djika kita tjoba membatjanja ".

   "Baiklah ", kata sang paman sesudah berpikir sedjenak.

   "Memang ada baiknja, djika kau mengenali tulisan si iblis perempuan. Barangkali sadja ada gunanja dikemudian hari ". Wan Djie segera membeset amplop dan membatja isinja .

   "Dipersembahkan kepada anak Hian. Semendjak ketjil kau adalah seorang jang sangat suka membatja buku dan kesukaan itu sebenarnja harus dipudji. Tapi sajang, kau membatja buku2 kuno bukan untuk mendapatkan apa2 jang baru. Sebaliknja dari itu, kau djadi kukuh kepada segala kekolotan. Kau harus mengetahui, bahwa tjara2 Sian-hong (mendiang kaisar) didjaman lampau, belum tentu tjotjok dengan djaman sekarang. Djika kau mendjadi kaisar, sudah pasti kau akan memerintah setjara kolot dan ketjelakaan jang diderita oleh umat manusia didalam dunia, bakal terlebih hebat daripada djika mereka diperintah oleh seorang kaisar jang sama sekali tidak pernah membatja buku. Inilah suatu hal jang aku ingin minta kau suka merenungkan dengan seksama ...". Membatja sampai disitu, si nona mendjebi dalam hatinja jang sangat mendongkol.

   "Dia sendiri jang menjelakakan manusia dan masih ada muka untuk menggunakan kata2 itu guna menasehati anaknja ", katanja didalam hati. Tapi dilain saat, serupa pikiran lain berkelebat dalam otaknja Wan Djie.

   "Tapi, djika mau berterus-terang, apa jang ditulis olehnja, sebenarnja merupakan suatu pendapat dari seorang jang berpemandangan luas pikirnja ". Ia membatja pula .

   "Sedari baji, kau hidup didalam keraton dengan segala kemewahannja, sehingga kau sama sekali tidak mengenal kesusahan dan penderitaan rakjat djelata. Semendjak ketjil, kau selalu dikurung oleh manusia2 rendah jang mempunjai kebiasaan men- djilat2 dan dalam alam pikiranmu, kau hanja ingat kekuasaan dan kemewahan dunia. Karena tak mempunjai banjak tempo, aku tak sempat menilik dan mengadjar kau. Melihat laga lagumu jang sekarang, dengan sesungguhnja aku merasa sangat malu dan berkuatir. Rakjat Pa-siok (propinsi Soetjoan) radjin dan sederhana. Gunungnja indah dan airnja bening-djernih, sehingga apa jang terdapat di Pa-siok sukar ditjari tandingannja didalam dunia. Maksud mengirim kau ke Pa-siok, jalah supaja kau bisa merawat diri dan memperoleh pikiran sadar. Supaja kau mengenal rakjat, supaja kau mentjutji sifat2-mu jang kolot. Dengan adanja gunung jang indah dan air jang bening-bersih, kau bisa melapangkan dada dan memperluas pemandanganmu jang sempit. Apa jang dikatakanku barusan, kau harus merenungkannja ditengah malam jang sunji, supaja per-lahan2 kau bisa tersadar ..."

   Membatja sampai disitu, Siangkoan Wan Djie terkedjut.

   "Djika apa jang ditulis Boe Tjek Thian keluar dari hati jang, tulus, ia sungguh seorang kaisar jang bidjaksana ", pikirnja.

   "Tidak ..., tidak..., dia seorang djahat jang tjoba menutupi kedjahatannja dengan kata2 indah. Tak dapat aku melupakan sakit hati kedua orang tuaku, dengan hanja membatja seputjuk surat ". Tapi, dilain saat, ia ingat, bahwa waktu menulis itu, Boe Tjek Thian tak pernah mimpi, bahwa suratnja bakal dibatja oleh orang lain. Perlu apa ia ber-pura2 terhadap anaknja jang berada dalam pembuangan ? Sebagai seorang ahli ilmu surat, ia pun dapat melihat, bahwa setiap huruf ditulis dengan penuh perasaan. Wan Djie djadi bingung dan sesudah berdiam sedjenak, ia lalu membatja landjutan surat itu ."Aku sekarang sudah berusia landjut, sedang anak jang tertjinta berada ditempat djauh. Bagaimana hatiku tak mendjadi duka ? Tapi karena ingin kau mendjadi orang, tak dapat tidak aku harus bertindak seperti apa jang diambil. Aku berdoa, supaja kau tjepat2 tersadar dan mendjadi manusia jang mulia, supaja dihari tuaku, aku mempunjai senderan jang boleh dibuat andalan. Seseorang jang menikmati kebahagiaan jang diberikan Tuhan, barulah mendapat kebahagiaan sedjati. Hian-djie, ingatlah nasehatku ini ! Bagaimana dengan matamu jang sering sakit ? Setiap hari kau tidak boleh lalai mentjutji mata. Huruf2 jang terlalu ketjil tidak boleh dibatja olehmu. Ingatlah ! Ingatlah segala perkataan ibumu ...". Siangkoan Wan Djie bengong. Ketjintaan antara ibu dan anak telah tertulis setjara mengharukan hati diatas sehelai kertas itu. Djika ia tak pernah mendengar, bahwa Boe Tjek Thian adalah manusia iblis jang telah meratjuni anaknja sendiri, ia tentu akan memastikan, bahwa si-penulis surat itu adalah seorang ibu jang bidjaksana dan mulia. Tapi, biarpun sudah mendengar itu, untuk beberapa saat ia memegang surat itu seperti orang linglung. ---oo0oo--- TIBA2 The Oen membalik badan dan mengeluarkan rintihan perlahan. Paras muka Tiangsoen Koen Liang kelihatan berduka sangat, karena ia tahu, bahwa bergeraknja orang tua itu adalah se-olah2 api lilin jang mendadak terang sebelum padam sama sekali. Ia berpaling kepada Wan Djie dan memerintahkan si nona untuk membangunkan orang tua itu. Buru2 Wan Djie memasukkan surat Boe Tjek Thian kedalam sakunja dan melakukan apa jang diperintah. Per-lahan2 The Oen membuka kedua matanja.

   "Thian-houw Piehee (panggilan untuk kaisar wanita), hambamu telah me-njia2-kan kepertjajaan jang telah dilimpahkan kepadanja ", katanja dengan suara berbisik.

   "Hmm ...! Tempat apa ini ?".

   "The-heng, aku berada disini, ber- sama2 kau ", kata Tiangsoen Koen Liang. The Oen membuka matanja terlebih lebar dan untuk beberapa lama mengawasi tuan rumah. Tiba2, entah mendapat tenaga darimana, ia mentjekal tangan Koen Liang dan berseru dengan menggunakan sisa tenaganja .

   "Tiangsoen-heng, kita berdua sama2 salah ". Koen Liang terkesiap.

   "Salah apa ?", tanjanja. The Oen melepaskan tjekelannja dan dengan kedua tangannja, ia menekan pinggiran randjang untuk memindjam tenaga.

   "Kita tak pantas menentang Thian-houw !", katanja.

   "Sekarang baru aku tahu, bahwa tugas memerintah negara jang sangat berat, hanja dapat dipikul oleh seorang sebagai Thian-houw !". Koen Liang menatap wadjah sahabatnja dengan mata membelalak. Hampir2 ia tak pertjaja kupingnja sendiri.

   "Tiangsoen-heng ...", kata pula The Oen.

   "Aku tahu, bahwa adjalku sudah hampir tiba. Aku hanja ingin mengadjukan satu permintaan kepadamu ".

   "The-heng, katakan sadja !", djawabnja.

   "Biarpun mesti masuk kedalam lautan api, aku pasti tak akan menolak. Legakanlah hatimu ". The Oen bersenjum, ia kalihatannja puas sekali.

   "Kalau begitu kau sudah meluluskan, bukan ?", tanjanja. Koen Liang mengangguk dengan perasaan terharu.

   "Permintaanku jalah supaja kau suka datang di kotaradja dan memberi bantuan kepada Thian-houw Piehee ", kata The Oen.

   "Thian-houw tak pernah melupakan kau. la mengatakan, bahwa kau adalah seorang pandai, hanja sajang pemandanganmu terlalu sempit. Tapi tak apa. Djika kau sudi berdampingan dengannja, per-lahan2 kau akan tersadar ". Mendadak sadja, Tiangsoen Koen Liang merasa dadanja sesak. Djika The Oen bukan sahabat lama dan kalau dia bukan seorang jang sudah mendekati adjal-nja, ia tentu sudah mentjatji-maki. la mengawasi wadjah sahabat itu jang penuh dengan sorot memohon. la menggigit bibir untuk menahan napsu dan sesaat kemudian berkata dengan suara sabar .

   "Tadinja aku duga kau ingin minta supaja membalas sakit hatimu. Apa kau tahu, siapa jang telah membunuh kau ? Tak lain daripada Thian-houw Pieheemu !".

   "Tidak ... ! tidak...! ", teriak The Oen dengan menggunakan seluruh sisa tenaganja.

   "Walaupun kau membunuh aku, aku tak pertjaja. Tiangsoen-heng, apa benar2 kau masih kukuh dan menolak permintaanku ? Aku ..., aku ... aku akan mati dengan mata melek...!". Napasnja memburu dan ia melepaskan napasnja jang penghabisan dengan kedua mata terbuka lebar. Koen Liang menghela napas. pandjang.

   "The-heng, kau betul2 mati penasaran !", katanja.

   "Kau masih tak tahu, siapa sebenarnja musuhmu ! Pada saat mau berpulang ke alam baka, kau djadi linglung ". Tapi Siangkoan Wan Djie berpendapat lain. la jakin, bahwa pada saatnja jang terachir, otak orang tua itu masih bekerdja baik. Dan sekarang, ia sendirilah jang djadi seperti orang linglung. Barusan sadja, teka-teki jang mengeram dalam otaknja selama tudjuh tahun, telah didjawab, atau sekarang muntjul pula lain teka-teki jang lebih sulit. Siapa Boe Tjek Thian ? Dia orang baik atau manusia djahat ? Mengapa, waktu mau melepaskan napas jang penghabisan, sebaliknja dari memikiri keluarganja sendiri, The Oen malah memikiri kepentingan Boe Tjek Thian? Tjara bagaimana Boe Tjek Thian dapat menaklukkannja sampai begitu rupa ? Biar bagaimanapun djuga, seseorang jang mendapat tjintanja seorang lain sampai begitu besar, mesti memiliki apa2 jang bagus. Tapi, menurut pamannja, Boe Tjek Thian adalah memedi perempuan dan terlebih hebat lagi, dia adalah manusia jang telah membunuh kakek dan ajahnja. Djika Boe Tjek Thian seorang baik, apakah kakek dan ajahnja manusia2 djahat ? Tidak ...!. Ia ingat paras muka jang welas-asih dari kakek dan ajahnja. la ingat pudjian2 jang pernah dilimpahkan kepada kedua orang tua itu. Mengenai paman Tiangsoen, sesudah menumpang tudjuh tahun lamanja, ia jakin se-jakin2nja, bahwa sang paman adalah seorang jang sangat mulia hatinja. Djika ada orang mengatakan, bahwa Tiangsoen Koen Liang manusia djahat, sampai mati, ia tak akan pertjaja. Demikianlah, matjam2 pikiran jang bertentangan satu sama lain ber-kelebat2 dalam otak si nona. Sementara itu, sesudah menghela napas ber-ulang2, Tiangsoen Koen Liang berkata dengan suara menjesal.

   "Memang, memang kalau negeri mau musnah, lebih dulu muntjul segala siluman. Hai ...!. Sesudah bertempur di timur, di barat, di selatan dan di utara, barulah Thaytjong Hongtee dapat membasmi delapan belas radja muda dan mendirikan keradjaan Tong. Tak njanja, keradjaan jang telah didirikan dengan begitu susah-pajah, telah dihantjurkan dengan begitu sadja dalam tangan Boe Tjek Thian. Huh ...huh ...! Aku adalah menteri besar dari Sian- tee (mendiang kaisar), mana boleh aku menekuk lutut dihadapan perempuan siluman ? Aku sungguh menjesal ..., sungguh menjesal untuk sepak-terdjang Thaytjong Hongtee. Diwaktu muda begitu arif bidjaksana, sudah tua dipengaruhi Boe Tjek Thian !".

   "Pehpeh ...", kata Wan Djie.

   "Aku dengar, Boe Tjek Thian pernah mendjadi selirnja Thay-tjong Hongtee. Apa benar ?".

   "Mengapa tak benar ?", kata sang paman.

   
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Waktu baru masuk ke keraton, ia diangkat sebagai Thaydjin. Tak lama kemudian, Thaytjong Hongtee wafat, bersama sedjumlah selir lainnja, ia dikirim ke kuil Kam-in-sie dan didjadikan Niekouw (pendeta wanita). Entah bagaimana, Khotjong Hongtee telah melihatnja dan kemudian mengambilnja dari kuil itu. Sekali lagi ia masuk di keraton dan diangkat sebagai Tjiauw-gie. Khotjong adalah puteranja Thaytjong. Bahwa seorang putera mengambil bekas selir ajahandanja, merupakan salah satu kedjadian busuk dalam keraton. Waktu itu aku masih mendjabat pangkat dan kedjadian itulah jang sudah mendorong aku untuk mengadjukan permintaan berhenti dan pulang kekampung halaman sendiri ". Ia berdiam sedjenak dan kemudian berkata pula .

   "Masih tak apa, djika Khotjong Hongtee memperlakukannja sebagai seorang selir biasa. Tapi latjur sungguh, kaisar telah menjerahkan kekuasaan besar kedalam tangan perempuan itu. Tjhia- kiong Nio-nio (permaisuri kaisar) dipetjat dan dia diangkat sebagai gantinja. Sekarang ini, negara kita se-olah2 sudah mendjadi miliknja orang she Boe ".

   "Diwaktu ketjil, aku pernah mendengar penuturan thia-thia, bahwa Ong Honghouw lah jang lebih dulu tjoba mentjelakakannja ", kata si nona.

   "Benar, sebab Ong Honghouw sudah melihat, bahwa perempuan itu haus akan kekuasaan ", djawabnja.

   "Honghouw berdaja untuk menjingkirkannja, tapi sajang, tjara jang digunakan terlalu tolol. la pertjaja obrolan beberapa boesoe dan tjoba membinasakan lawannja dengan menggunakan guna2. Ia membuat sebuah anak2-an kaju, jang diandaikan sebagai Boe Tjek Thian dan jang kemudian ditempelkan surat djimat serta dibatjakan mantera. Latjur bagi Honghouw, hal itu sudah diketahui Boe Tjek Thian jang belakangan berhasil menangkapnja dengan segala bukti2. Sebagai hasilnja, Khotjong dapat dibudjuk untuk memetjat permaisurinja ". Sesudah berdiam beberapa saat, orang tua itu meneruskan penuturannja.

   "Kekedjaman Boe Tjek Thian tak dapat dipersamakan dengan manusia biasa. Karena menentang dia, dia tega untuk meratjuni anaknja sendiri. Thaytjoe jang mati lantaran ratjun, adalah Lie Hong, puteranja jang sulung. Lie Hian, jang dipetjat dari kedudukan Thaytjoe dan diasingkan di Pa-siok, adalah putera kedua. Putera ketiga, jaitu Lie Tiat hanja beberapa hari mendjadi kaisar sebelum dipetjat dan dibuang ke Louwtjioe sebagai radja muda Louw-leng-ong. Anak jang sekarang masih berdampingan dengan dia, adalah Lie Tan, putera keempat. Menurut pendengaranku, Lie Tan telah dianugerahi gelaran radja muda Ek-ong dan untuk bisa mendjadi ahli waris tachta keradjaan, ia harus menukar she mendjadi she Boe. Sepak-terdjang Boe Tjek Thian benar2 kurang adjar ! Semendjak dia memegang kekuasaan, dia telah membunuh tiga puluh enam menteri besar. Saudara sepupuku, Tiangsoen Boe Kie,kakek dan ajahmu semua dibunuh atas perintah iblis perempuan itu ". Sebagian besar kedjadian2 itu sebenarnja sudah didengar oleh nona Siangkoan. Akan tetapi, waktu pamannja menutur, ia mendengari, dengan hati ber-debar2. Berdasarkan penuturan itu, tak dapat tidak, ia menarik kesimpulan, bahwa Boe Tjek Thian manusia djahat. Bunji surat dan kata2 The Oen tidak tjukup kuat untuk melawan kesimpulan itu. Maka itulah sambil mengawasi muka sang paman, ia lalu berkata dengan suara tetap .

   "Sesudah mendengar keterangan Pahpeh, aku pasti akan membalas sakit hati jang sangat besar itu, dengan tangan sendiri ". Sang paman bersenjum seraja berkata dengan suara terharu.

   "Bagus ... Kau berangkatlah sekarang !". Si nona lalu berlutut empat kali dihadapan orang tua itu dan kemudian, dengan air mata bertjutjuran, ia keluar dari pintu belakang dan terus turun gunung. Beberapa kali ia berhenti dan dengan hati seperti di-iris2, ia memandang rumah pamannja, dimana ia pernah menumpang selama tudjuh tahun. Waktu itu, Tiangsoen Thay bersama adiknja sedang menggali tanah untuk mengubur djenazah Lie Goan. Menurut pantas, ia harus berpamitan dengan kedua saudara itu jang telah membuang banjak budi kepadanja. Akan tetapi, ia mengambil keputusan untuk tidak menemui mereka lagi, karena suatu pertemuan untuk berpisahan pasti akan menimbulkan lebih banjak kesedihan. Dengan menahan rasa dukanja, ia lalu mempertjepat tindakannja meninggalkan Kiamkok. ---oo0oo--- WAKTU itu adalah Sha-gwee (bulan ketiga), kapan seluruh gunung ditutup dengan warna hidjau jang sangat indah. Tudjuh tahun lamanja si nona hidup menjembunjikan diri diatas gunung dan belum pernah ia melihat pemandangan alam jang sedemikian permai. Dengan rasa kagum, ia memandang keadaan diseputarnja dan hatinja jang pepat agak mendjadi lega. la melihat puntjak2 jang mendjulang ke langit, selokan2 jang airnja bening bagaikan katja dan sawah jang ber-tingkat2. Dari sana-sini terdengar suara njanjian nona2 pemetik daun teh. Di-sawah2 jang sedang dikerdjakan, botjah2 nakal pada bermain lumpur, diantara petani jang tengah mematjul atau meluku dengan kerbaunja. Pemandangan itu sungguh memperlihatkan suasana jang tenang-tenteram. Sesudah berdjalan beberapa lama, Wan Djie bertemu dengan sebuah warung teh. Karena haus, ia berhenti dan minta semangkok teh. Si pendjual teh adalah seorang tua jang sudah berambut putih, tapi masih sangat bersemangat.

   "Nona datang dari kampung apa ?", tanjanja seraja bersenjum.

   "Dari Kay-goan ", djawabnja.

   "Aku ingin pergi ke-Pa-tjioe untuk meneagok pamili ".

   "Tak heran aku tidak mengenal nona, tak tahunja orang dari lain tempat ", kata pula si kakek.

   "Dalam dua tahun ini memang sangat aman. Dulu, tak nanti ada seorang wanita jang berani keluar rumah seorang diri ". Hati si nona tergerak. la turut bersenjum dan berkata .

   "Djika aku tidak salah menafsirkan perkataan Loo-tiang, keadaan sekarang sudah banjak lebih baik daripada dulu ".

   "Terlalu baik djuga tidak ", kata orang tua itu.

   "Tapi untuk menangsal perut dengan nasi dingin atau menghilangkan dahaga dengan air teh kasar, orang boleh tak usah kuatir lagi. Hm ...! Aku sudah tua, asal bisa makan sehari dua kali, aku sudah merasa puas. Keadaan sekarang memang banjak lebih baik daripada dulu ". Si nona tertawa.

   "Dengan mengatakan begitu, bukankah Loo- tiang maksudkan, bahwa kaisar wanita jang sekarang ada banjak lebih baik daripada kaisar pria ?", tanjanja. Si kakek turut tertawa.

   "Bukankah memang benar begitu ?", katanja.

   "Dikampung kami ada sedjumlah sastrawan jang mentjatji-maki kaisar sekarang. Tapi para petani siang-malam berdoa supaja Tuhan memperpandjang usia kaisar ".

   "Mengapa begitu ?", tanja Wan Djie.

   "Kami, rakjat djelata, tak menghiraukan siapa jang mendjadi kaisar, lelaki boleh, perempuan pun tak halangan ", menerangkan si tua.

   "Apa jang diharapkan rakjat adalah penghidupan jang lebih baik. Kalau bisa makan lebih kenjang dan bisa berpakaian lebih baik, rakjat sudah merasa puas ". Wan Djie mengangguk sebagai tanda setudju terhadap pendapat kakek itu.

   "Dulu, untuk seratus kati gabah, orang harus membajar tjukai sebanjak tiga gantang ", ia melandjutkan penuturannja.

   "Tapi sekarang, hanja segantang setengah, jang mana berarti kurang separuh. Tapi jang paling menggembirakan adalah didjalankannja peraturan jang melarang si kaja berbuat se-wenang2. Di ini waktu, rakjat jang paling miskin masih bisa mendapat pembagian sawah, sehingga seorang jang berani bekerdja, sudah pasti tak akan kelaparan ". Waktu Tong Thaytjong baru naik diatas tachta, telah diadakan peraturan pembagian sawah. Sebab pada djaman itu tanah sangat luas dan djumlah manusia masih agak sedikit, maka setiap orang lelaki jang berusia diatas delapanbelas tahun, bisa mendapat seratus bauw sawah. Delapan puluh bauw merupakan "milik sementara", sedang jang dua puluh bauw "milik tetap". Sesudah si pemilik meninggal dunia, dua puluh bauw "milik tetap"

   Turun kepada anak tjutjunja, sedang jang delapan puluh diambil pulang oleh negara untuk dibagikan kepada jang lain.

   Tapi sesudah lewat sekian tahun, peraturan itu tidak didjalankan sebagaimana mestinja dan achirnja djadi menjeleweng.

   Belakangan, sebab sawah2 boleh didjual belikan setjara merdeka, maka sawah2

   "milik tetap"

   Dari para petani miskin banjak sekali jang dibeli setjara paksa oleh kaum ber-uang dan berkuasa.

   Begitu lekas memegang tampuk pimpinan negara, Boe Tjek Thian segera bertindak dan melarang djual-beli sawah.

   Disamping peraturan lama, ia menambahkan peraturan baru, jaitu setiap djanda bisa mendapat tiga puluh bauw sawah "milik tetap".

   Maka itulah, dalam seluruh masa keradjaan Tong, djaman Boe Tjek Thian adalah djaman paling makmur bagi kaum petani.

   Sementara itu, mendengar penuturan si kakek, Wan Djie djadi kaget dan duduk bengong tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.

   Si pendjual teh tertawa dan berkata pula .

   "Dengan adanja kaisar wanita, nona2 sekarang boleh merasa girang ".

   "Mengapa begitu ?", tanja Wan Djie.

   "Apakah karena seorang wanita duduk diatas tachta, seantero orang perempuan turut mendapat keuntungan ?".

   "Memang, memang begitu ", kata si tua.

   "Nona, apa kau belum tahu ? Menurut katanja guru2 sekolah dikampung kami, Thian-houw telah mengeluarkan firman, bahwa wanita jang berkepandaian djuga bisa mendjadi pembesar negeri. Orang banjak mengatakan, tak lama lagi bakal diadakan udjian untuk kaum wanita. Gadis2 dusun sekarang sudah pada ribut, ingin bersekolah, supaja dihari kemudian bisa turut dalam udjian negeri. Kaum sastrawan menghela napas pandjang-pendek dan meng-geleng2kan kepala. Dulu, nabi dan pudjangga kita mengatakan, bahwa wanita jang mulia adalah wanita jang bodoh, kata mereka. Tapi sesudah Boe Tjek Thian mendjadi kaisar, langit dan bumi terbalik. la malahan membalikkan udjar nabi dan pudjangga kita. Masih ada lagi. Dulu, suami menggebuk isteri adalah kedjadian jang biasa sadja. Sekarang ? Kaum perempuan timbul sombongnja ! Mereka menganggap, bahwa karena wanita sudah bisa mendjadi kaisar, kedudukan wanita sedikitnja sama tinggi dengan pria dan mereka sungkan dihina lagi oleh kaum lelaki. Maka itu, selama dua tahun jang belakangan ini, dikampungku djarang sekali terdjadi peristiwa suami menghadjar isteri ". Si nona tertawa geli.

   "Kalau begitu, kaum terpeladjar dikampungmu merasa penasaran sekali, bukan ?", tanjanja.

   "Tentu sadja ", djawabnja.

   "Bukan sadja kaum sastrawan, orang2 jang tidak terpeladjar pun merasa tak puas ".

   "Dan bagaimana dengan isterimu sendiri ?", tanja Wan Djie. Si kakek tertawa ter-bahak2.

   "Kawan hidupku sudah tak ada lagi dalam dunia ", katanja. Sehabis berkata begitu, paras mukanja bersorot duka.

   "Disamping itu, selama dia hidup, belum pernah aku berkelahi dengannja ". Si nona mengirup teh dan sesaat kemudian, ia menanja lagi.

   "Loo-tiang, apa ada lain hal jang dibuat bahan tjatjian oleh kaum terpeladjar dikampungmu ?"

   "Banjak, banjak sekali", djawabnja.

   "Tapi jang terhebat adalah dua rupa hal, jang pertama Boe Tjek Thian ditjatji sebagai perempuan tjabul. Menurut istilah kaum terpeladjar, ia katanja "mengotorkan keraton". Tapi menurut bahasa orang kampung, ia 'piara lelaki'. Jang kedua, dia dikutuk sebagai manusia sangat kedjam, jang membunuh sesama manusia setjara membabi-buta ". Paras muka Siangkoan Wan Djie lantas sadja berubah merah. Ia mengangguk, tanpa mengeluarkan sepatah kata.

   "Apa Boe Tjek Thian piara lelaki atau tidak, aku tak tahu ", kata pula si tua.

   "Tapi sekarang kaum petani mempunjai lain bahan perundingan ".

   "Bahan perundingan apa ?", tanja si nona.

   "Dulu, kaisar lelaki mempunjai Sam-kiong Liok-ih (Tjhia-kiong, Tong-kiong, See- kiong dan enam selir) dan sedjumlah besar dajang ", djawabnja.

   "Setiap tiga tahun sekali, diadakan pemilihan Sioe-lie (Sioe-lie berarti wanita tjantik jang harus dikirim ke keraton kaisar). Ha ! Setiap kali pemilihan Sioe-lie, tjelaka orang kampung ! Para orang tua buru2 menikahkan puteri2-nja dan harus merogo saku untuk menjuap pembesar2 rakus. Maka itu, menurut anggapan sebagian orang, keadaan sekarang banjak mendingan daripada dulu. Biar bagaimanapun djuga, Boe Tjek Thian belum pernah mengadakan pemilihan Sioe-lam (lelaki tampan) ". Siangkoan Wan Djie terkedjut. Baru sekarang ia tahu, bahwa djalan pikiran rakjat djelata berbeda djauh dengan djalan pikiran kaum terpeladjar, antaranja paman Tiangsoen dan ia sendiri.

   "Mengenai kekedjamannja dalam membunuh manusia setjara membabi-buta, aku dengar, orang2 jang dibinasakannja jalah anggauta2 keluarga kaisar dan pembesar2 tinggi ", kata pula si kakek.

   "Kedjadian ditempat lain, kutak tahu. Tapi ambillah tjontoh di kota kami. Selama beberapa tahun, di kota ini belum pernah terdjadi perkara2 penasaran, dimana seorang rakjat baik2dibunuh setjara se-wenang2. Hanja pada tiga tahun berselang, seorang pembesar rakus Tjan Po Pie, si tukang beset kulit, telah dihukum mati oleh Thian-houw ". Semakin mendengar tjerita si tua, Wan Djie djadi semakin bingung. Waktu ia keluar dari kedai teh itu, otaknja pusing karena adanja suau pertanjaan jang tidak terdjawab .

   "Apa Boe Tek Thian manusia baik atau manusia djahat ?". Akan tetapi, begitu mengingat sakit-hati kedua orang-tuanja, darahnja lantas sadja me-luap2 dan sambil mengertak gigi, ia meneruskan perdjalanannja. ---oo0oo--- DEMIKIANLAH, diatas djalanan gunung jang menghubungkan Kiam-kok dan Pa-tjioe, diantara pemandangan alam jang sangat indah, nona Siangkoan djalankan keledainja per-lahan2 dengan kepala menunduk dan atjapkali menghela napas. Ia membeli tunggangan itu disebuah kota ketjil dan selama tiga hari, perkataan2 si pendjual teh selalu mengganggu pikirannja. Suatu kenjataan jang tak dapat dibantah lagi, jalah, Boe Tjek Thian jang dianggap sebagai iblis djahat oleh Tiangsoen Pehpeh dan rekan2-nja, dipandang sebagai seorang kaisar arif-bidjaksana oleh rakjat djelata. Hari itu, ia berdjalan disepandjang tepi sungai Kee-leng dan dipinggir djalan terdapat hutan jang mempunjai pemandangan indah. Selagi enak djalan, tiba2 ia mendengar suara, kaki kuda dibelakangnja dan tak lama kemudian, dua penunggang kuda sudah melombai dan melawatinja. Wan Djie melirik dan ternjata, mereka adalah dua orang lelaki jang romannja kasar dan berdjenggot tebal. Ia tidak menghiraukannja dan terus djalankan keledai per-lahan2. Belum djalan berapa djauh, tiba2 kedua penunggang kuda itu kembali dari sebelah depan. Djantung si nona memukul keras dan ia ingat keterangan Tiangsoen Koen Liang mengenai tjaranja kalangan Kang-ouw.

   "Apakah mereka Tjay-phoa-tjoe dari kalangan Liok-lim ?", tanjanja didalam hati. Menurut kebiasaan Liok-lim, atau Rimba Hidjau, jang berarti kalangan pendjahat, setiap kali kawanan perampok ingin "bekerdja", lebih dulu mereka mengirim mata2 untuk menjelidiki. Dalam dunia Kang-ouw, mata2 itu dikenal sebagai Tjay-phoa-tjoe, atau si Tukang-indjak- piring. Sekali ini, Wan Djie lebih memperhatikan kedua orang itu. Selagi berpapasan, se-konjong2 mereka dongak dan terawa ter-bahak2. Si nona mendongkol dan sebenarnja ia mau lantas menegur. Tapi karena ingat, lebih baik djangan tjari setori, se-bisa2 ia menahan sabar. Dilain saat, kedua penunggang kuda itu sudah tak kelihatan bajangannja lagi. Sesudah djalan lagi beberapa lama, se- konjong2 disebelah depan kembali muntjul dua penunggang kuda jang mendatangi dengan tjepat sekali.

   "Djika mereka benar mata2, maka jang mau bekerdja adalah dua rombongan perampok ", kata si nona dalam hatinja. Waktu berpapasan, dan melihat dipinggang kedua orang itu tergantung golok, busur bersama anak panahnja. Tak lama kemudian, ia masuk ke djalanan gunung jang ber-belit2 dan sesudah djalan setengah harian, belum djuga ia bertemu dengan manusia. Si nona heran dan berkata dalam hatinja .

   "Dua penunggang kuda jang pertama kembali dengan tjepat sekali. Djika mereka benar Tjay-phoa-tjoe, didjalanan ini pasti terdapat saudagar hartawan. Tapi mengapa sampai sekarang aku belum djuga bertemu dengan manusia ?". Tiba2 dari sebelah kedjauhah terdengar suara khim jang mengalun dengan nada duka. Mendengar lagu itu, si nona jang memang sedang bersedih, lantas sadja bertambah rasa dukanja. Indap2 ia mendekati dan mendengar njanjian seperti berikut .

   "Didepan tak kelihatan kawan, Dibelakang tak muntjul manusia, Memikiri langit dan bumi dengan kedukaan, Seorang diri ku mengutjurkan air mata ". Hati si nona berdebar keras.

   "Ah ...! Disebelahnja aku, dalam dunia ini ternjata terdapat djuga seorang lain jang sedang berduka ", katanja didalam hati. Ia segera melompat turun dari tunggangannja dan per-lahan2 menudju kesuara khim itu. Tak berapa djauh Ia melihat seorang pemuda peladjar, jang memakai topi sastrawan dan mengenakan badju warna putih, sedang memetik khim sambil menghela napas ber-ulang2. Didekatnja tertambat seekor kuda kurus dan diatas punggung kuda ditaruh sebuah kerandjang rusak jang berisi beberapa d

   Jilid buku tua.

   "Kalau benar kawanan perampok mau bekerdja, mereka tentu tak akan merampok sastrawan miskin ini ", kata si nona dalam hatinja. Terang2 si peladjar melihat kedatangan Wan Djie, tapi ia sedikitpun tidak menghiraukannja dan terus memetik khim jang suaranja semakin lama djadi semakin menjajatkan hati. Karena dipengaruhi dengan lagu jang sangat mendukakan itu, tanpa merasa Wan Djie menjambut dengan dua baris sjair .

   "Musim semi sudah kembali, bunga laksana sulaman, Tapi mengapa tuan masih sadja diliputi kedukaan ?". Tanpa mendjawab, djari2-nja si peladjar mulai memetik lagi tali2 khim, di iringi dengan njanjian.Kali ini ia memperdengarkan sebuah lagu riang-gembira dan suara tabuh2-an itu bagaikan njanjian burung2 dimusim semi, laksana suara djatuhnja mutiara diatas piring batu giok dan se-olah2 suara mengalirnja air kelembah jang rendah. Siangkoan Wan Djie terkedjut bukan main, karena sjair jang dinjanjikannja adalah sjair gubahan Siangkoan Gie, kakeknja sendiri. Sjair itu, jang dikenal sebagai Kiong-sie, atau Sjair-keraton, mempunjai sebuah sedjarah pendek. Dulu, pada waktu kaisar Tong Thaytjong masih hidup, pada suatu hari dimusim semi, ia telah mendjamu menteri2 besarnja. Selagi makan-minum dengan gembira, kaisar itu telah memerintahkan Siangkoan Gie menggubah sebuah sjair jang sesuai dengan perdjamuan itu. Maka itu, sjair tersebut dinamakan sjair "Tjo-tjoen Koei-lim-thian Eng- tjiauw", atau "Sjair musim semi dikeraton Koei-lim-thian". Dalam sjair itu, Siangkoan Gie melukiskan keindahan musim semi ditaman kaisar tersebut. Tong thaytjong djadi sangat girang dan lalu menghadiahkannja serentjeng mutiara. Demikian sedjarah sjair itu. Si nona djadi bimbang.

   "Aku memudji pemandangan musim tjoen (semi) didalam hutan, tapi dia segera njanjikan lagu keindahan musim semi dikeraton kaisar ", katanja didalam hati.

   "Disamping itu, sjair tersebut adalah gubahan kakekku. Apa ia sudah tahu siapa adanja aku ?". Tapi dilain saat, ia mendapat lain pikiran. Kakeknja adalah seorang penjair besar dan pada djaman permulaan keradjaan Tong, gaja sjairnja banjak ditiru oleh kaum sastrawan, sehingga sjair Siangkoan Gie dikenal sebagai "Siangkoan-tee". Maka itu, tidaklah heran djika seorang pemuda peladjar setjara kebetulan menjanjikan sjair kakeknja. Sesudah selesai, si peladjar menabuh tabuhannja diatas tanah dan lalu bangun berdiri sambil tertawa ter-bahak2 dan dalam tertawa itu, terdapat nada kedukaan.

   "Mengapa kau sebentar bersedih dan sebentar bergirang ?", tanja si nona.

   "Djika Kouwnio ingin mendengar lagu gembira, aku tentu akan menurut perintah ", kata pemuda itu. Si nona bersenjum.

   "Kalau begitu, sjair Siangkoan- tee sengadja diperdengarkan untuk kupingku ", katanja.

   "Tapi, maaf, untuk kebaikanmu itu, aku terpaksa harus menegur kau ".

   "Mengapa ?", tanja si peladjar.

   "Tadi, kau pertama memperdengarkan lagu Teng-yoe-tjioe-tay-ko (Lagu Naik di pendopo Yoe-tjioe) gubahan Tan Tjoe Gang ", djawabnja.

   "Suara khim jang menjajat hati sangat mengharukan orang jang mendengarnja. Aku mendapat kenjataan, bahwa manusia dan tabuhan telah mendjadi satu dan dengan semangat serta perasaan jang bersatu, barulah kau bisa mendengarkan lagu jang sangat mendukakan itu. Tapi belakangan kau mendengarkan lagu gembira. Biarpun tak dapat ditjela, tapi untuk berterus-terang, suara khim kedengarannja sangat tak wadjar ". Sastrawan itu mengangkat kepala dan menatap wadjah si nona dengan paras kagum. Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata dengan suara perlahan .

   "Maaf ...! maaf...! Aku tak tahu, bahwa nona adalah seorang jang mempunjai pengetahuan tinggi dalam ilmu sjair dan memetik khim. Aku bukan seorang jang beruntung. Memang ...! Mana kubisa memperdengarkan lagu jang riang gembira ". Sesaat itu, dua pasang mata kebentrok dan djantung si nona memukul keras! Muka pemuda itu seperti djuga tak asing lagi baginja. Tapi dimana ia pernah bertemu dengannja ? Ia tjoba meng-ingat2 semua kawan2 diwaktu masih ketjil, tapi tak seorang pun jang menjerupai pemuda itu. Sementara itu, sambil mengangsurkan khim-nja, si peladjar berkata dengan sikap menghormat.

   "Djika mungkin aku ingin memohon nona memperdengarkan sebuah lagu ". Wan Djie menjambut dan karena dalam hatinja penuh dengan niatan membalas sakit hati, tanpa merasa ia memetik sebuah lagu perang. Paras muka si sastrawan lantas sadja berubah, dari lesu djadi bersemangat. Lagu itu adalah Tjiong-koen-heng (Mars Mengikut tentara), gubahan Yo Tjiong, seorang penjair kenamaan pada djaman itu. Suara khim jang bergelora se-olah2 suara menerdjangnja ribuan tentara berkuda dan suara beradunja berbagai matjam sendjata. Dengan semangat ber-kobar2 si nona lalu menjanjikan lagu itu jang berachir dengan kata2 begini.

   "Lebih baik djadi Pek-hoe-thio (nama pangkat militer), daripada djadi sastrawan ". Tiba2 si sastrawan dongak dan tertawa berkakakan.

   "Benar ...! Benar ...!", teriaknja dengan njaring.

   "Lebih baik djadi Pek-hoe-thio daripada djadi sastrawan. Pada djaman ini, seorang laki2 memang djuga harus mengangkat sendjata dan dengan menunggang kuda, malang-melintang dikolong langit. Perlu apa djadi peladjar jang tidak ada gunanja !".

   "Aku bukan sengadja maksudkan kau ", kata Wan Djie dengan nada memohon maaf. Si pemuda melirik dengan sorot mata bersangsi. Sambil menjambuti khim, ia berkata dengan suara tawar.

   "Jang bitjara tidak sengadja bitjara, jang mendengar memang sengadja mendengar. Aku mempunjai perasaanku sendiri, kau tak usah buat pikiran ". Sehabis berkata begitu, ia melompat keatas punggung kuda kurus dan segera berlalu tanpa pamitan lagi.

   "Orang itu kelihatannja otak2an dan aneh sekali ",pikir Wan Djie.

   "Apa dia seorang jang terluka hatinja ?". Memikir begitu, buru2 ia menunggang keledainja dan menguber.

   "Siangkong (tuan) !", teriaknja.

   "Mau kemana kau ?".

   "Mau ke Pa-tjioe ", djawabnja.

   "Sungguh kebetulan! Aku pun mau ke Pa-tjioe ", seru si nona dengan suara girang. Ia menduga, bahwa sastrawan itu akan segera mengadjaknja berdjalan sama2. Tapi tidak dinjana, ia hanja berkata dengan suara dingin.

   "Oh, begitu ... ?". Tanpa menengok, ia mentjambuk kudanja. Wan Djie djadi mendongkol.

   "Kau tidak meladeni, tapi aku akan terus menguntitmu ", katanja didalam hati. Ia segera menepuk keledainja dan membuntuti dari belakang. Pemuda itu berdjalan terus, se-olah2 tidak merasa dirinja sedang dikuntit orang. Sesudah berdjalan kurang-lebih setengah harian, sepatah pun merekak tak pernah bitjara.

   "Aneh ...! Mengapa begitu lekas aku memetik lagu Tjiong-koen-heng, sikapnja lantas berubah ?", tanja si nona dalam hatinja.

   "Menurut keterangan si kakek pendjual teh, Boe Tjek Thian sangat pandai memakai orang, sehingga sampai gadis2 dusun pada ber-lomba2 beladjar surat. Mengapa dia mengatakan, bahwa seorang sastrawan tiada gunanja! Aku memperdengarkan lagu itu, karena keinginanku untuk membalas sakit hati jang sedang me-luap2. Apakah ia mempunjai dendam jang sama sepertiku ?". la terus meagikuti dan semakin lama, ia semakin merasa, bahwa pemuda itu bukan sembarang orang. Sesudah berdjalan lagi beberapa lama, tiba2 disebelah depan mendatangi dua penunggang kuda, jaitu orang2 lelaki jang beroman kasar.

   "Apa mereka Tjay- phoa-tjoe ?", tanja si-nona dalam hatinja.

   "Dengan jang tadi, sudah muntjul tiga pasang manusia ". Sesaat itu, mereka tengah memasuki sebuah selat diantara dua gunung. Djalanan diselat itu, jang ber-libat2 bagaikan usus kambing, hanja bisa muat dua penunggang kuda jang djalan berendeng. Dilain saat, bagaikan angin pujuh, kedua penunggang kuda itu mendatangi. Mendadak, salah seekor kuda berbenger keras dan berdiri diatas kedua kakinja. Rupa2nja binatang itu mengindjak batu dan terpeleset.

   "Binatang ...!", bentak penunggangnja.

   "Apa kau mau tjari mampus ?". Sambil mentjatji, ia mentjambuk. Entah disengadja atau tidak, se-konjong2 kuda itu melompat kedepan dan tjambuk menjambar badan si sastrawan! Bagaikan kilat, Siangkoan Wan Djie djuga mentjambuk. Kedua tjambuk itu melibat satu sama lain dan mereka lalu membetot dengan berbareng. Si nona kaget, sebab ia merasa lelaki itu bertenaga sangat besar, sehingga hampir2 tjambuknja terlepas. Masih untung, Wan Djie sangat tjerdas. Buru2 ia menggunakan siasat memindjam tenaga. la mengulur tangannja, tapi sebelum sempat membetot, orang itu mendadak berubah sikap dan dengan paras ketakutan, menghaturkan maaf.

   "Maaf ...! maaf ...!. Hampir2 aku mentjambuk nona ", katanja sambil menjodja. Sehabis berkata begitu, bersama kawannja, ia berlalu se-tjepat2-nja. Si sastrawan sendiri putjat mukanja. Sesudah kedua orang itu berlalu, barulah ia bisa berkata .

   "Aduh ! Sungguh berbahaja ".

   "Tak ada bahaja lagi ", kata si nona sambil tertawa.

   "Mari kita djalan terus ".

   "Benar ..,! benar ...! Tak ada bahaja lagi. Mari djalan terus ", kata si pemuda seperti orang linglung seraja mentjambuk kuda kurusnja jang lantas sadja lari tjongklang. Wan Djie djadi geli.

   "Benar2 sastrawan tolol ", pikirnja. Tapi dilain saat, ia ingat suatu kenjataan lain.

   "Terang2an orang itu memukul dia ", katanja didalam hati.

   "Apa dia membawa barang berharga ?". la melirik dan selain beberapa d

   Jilid buku tua dan sebuah khim, sastrawan itu tak punja lain harta-benda.

   Apa pendjahat itu mau merampok khim ? Tapi ia lantas sadja tertawa sendiri, sebab khim tua itu tidak tjukup berharga untuk dirampok.

   ---oo0oo--- WAKTU maghrib, mereka tiba disebuah kota.

   Dengan diikuti oleh Wan Djie, si pemuda masuk disebuah penginapan jang paling besar dalam kota itu.

   "Apa kalian datang ber-sama2 ?", tanja seorang pelajan. Muka si nona lantas sadja berubah merah.

   "Bukan ", djawabnja.

   "Aku mina sebuah kamar lain, djika ada, jang menghadap keselatan ".

   "Ada ..., ada ...,", djawab si pelajan. Ia rupanja seorang jang suka bitjara, sebab, sesudah menjanggupi, ia berkata pula .

   "Untung sekali kalian datang hari ini. Kalau kemarin, sampai istal kuda penuh semuanja ".

   "Mengapa begitu ?", tanja Wan Djie.

   "Kemarin Tjo-kim-gouw Khoe Tay tjiangkoen (djenderal) lewat disini dan mereka semua menginap dalam penginapan kami ", djawabnja.

   "Lihatlah ... Kotoran kuda belum disapu bersih ". Wan Djie menengok dan dipekarangan depan terdapat beberapa orang jang sedang menjapu.

   "Apa Khoe Tjiangkoen itu bernama Khoe Sin Soen ?", tanja si sastrawan.

   "Benar ", djawabnja si pelajan.

   "Apa Siangkong kenal Khoe Tay tjiangkoen ?".

   "Seorang peladjarmiskin bagaimana bisa mengenal seorang djenderal ?", sahutnja. Wan Djie tertawa.

   "Kau tak usah heran ", katanja kepada si pelajan.

   "Tjo-kim-gouw adalah pangkat jang sangat tinggi. Dikolong langit, hanja ada satu Tjo-kim-gouw. Orang kata, seorang sastrawan tidak keluar pintu, tapi ia tahu segala kedjadian di dunia, Maka itu, djangan heran djika Siangkong ini tahu she dan nama Tjo-kim-gouw ". Tapi biarpun mulutnja mengatakan begitu, si nona djadi semakin bertjuriga.

   "Mengapa ia menjebut nama djenderal itu dengan suara dan sikapnja se-olah2 ia berkedudukan lebih tinggi daripada sang djenderal ?", tanjanja didalam hati.

   "Benar, benar ", kata si pelajan sambil mengangguk.

   "Memang orang terpeladjar lebih banjak pengetahuannja daripada kita ". Ia berdiam sedjenak seperti ingin membanggakan pengetahuannja, ia berkata .

   "Aku dengar Khoe Tay tjiangkoen menerima perintah Thian-houw untuk pergi ke Pa-tjioe, guna menengok Thaytjoe ". Si nona agak terkedjut. Boe Tjek Thian baru sadja memerintahkan The Oen pergi menjambangi puteranja dan sekarang ia kembali memerintahkan Khoe Sin Soen. Dilihat begitu, hubungan antara ibu dan anak kelihatannja tjukup erat. Tapi si pemuda kelihatannja tidak merasa ketarik.

   "Oh, begitu ?", katanja sambil bertindak masuk ke kamarnja untuk mengaso. Wan Djie pun segera pergi mengaso dalam kamarnja. Berselang tak lama, selagi ia mau minta makanan, diluar tiba2 terdengar suara berbengernja kuda dan suara banjak orang bitjara.

   "Apa kawanan perampok ?", tanja si nona didalam hati. Ia menjingkap tirai dan melihat kedatangannja tiga penunggang kuda. Dua orang jang djalan belakangan adalah opas, sedang jang djalan duluan seorang lelaki jang pakaiannja tjompang- tjamping. Wan Djie djadi heran bukan main. Djika mau dikatakan, lelaki itu seorang tangkapan, bukan sadja tangannja tidak terborgol, tapi kuda jang ditunggangnja pun lebih besar dan lebih gagah daripada kuda kedua opas itu. Setibanja didepan pintu hotel, mereka segera melompat turun.

   Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Berikan kamar kelas satu kepada Thao Toaya ", kata salah seorang opas.

   "Baik .., baik ...", kata si pelajan jang dengan ter-sipu2 lalu masuk kedalam untuk membereskan kamar. Sesudah si pelajan menjelesaikan tugasnja, Wan Djie lalu memanggilnja dan bertanja dengan suara perlahan .

   "Siapa Thio Toaya itu ?".

   "Dia orang sekampung denganku ", djawabnja sambil tertawa.

   "Ia seorang petani, tapi selama beberapa hari ia dapat menikmati enaknja kedudukan Ngo-pin-khoa (pembesar negeri dari tingkatan kelima) ". Wan Djie djadi semakin heran.

   "Bagaimana sebenarnja ?", dia mendesak.

   "Apa nona tak tahu ?", kata si pelajan.

   "Thian-houw Piehee telah mengeluarkan firman jang menetapkan, bahwa siapapun djuga jang ingin pergi ke kotaradja untuk mengadjukan pengaduan atau melaporkan suatu rahasia, disepandjang djalan harus mendapat perlakuan sebagal seorang Ngo-pin-khoa ".

   "Pengaduan apa ?", tanja pula si nona.

   "Apapun boleh ", djawabnja.

   "Misalnja, mengadukan pembesar rakus, perkara penasaran, persekutuan pemberontakan dan sebagainja. Setiap rakjat mempunjai hak jang sama. Mengenai pengaduan jang ingin disampaikan Thio Loo-sam, aku tahu djuga sedikit ".

   "Tjoba tjeritakan ", kata Wan Djie sambil melemparkan sepotong perak diatas medja. Si pelajan djadi girang bukan main dan dengan paras ber-seri2, ia berkata.

   "Baik ..., baik ... Tapi nona djangan beritahukan kepada orang lain. Thio Loo-sam ingin mengadukan seorang ok- pa (seorang hartawan djahat jang sering berbuat se-wenang2 kepada rakjat). Paman ok-pa itu pernah mendjabat pangkat tinggi, Thio Loo-sam mempunjai seorang tjalon menantu perempuan, jang telah dirampas oleh si djahat. Belakangan, dengan menggunakan pengaruh, dia memaksa ajah wanita itu membatalkan pernikahan. Dengan membawa surat kawin, Thio Loo-sam meminta keadilan dari Tie-hoe, tapi ia dikalahkan. la djadi nekat dan lalu mengadjukan permohonan untuk pergi ke kotaradja guna melaporkan satu rahasia, katanja. Tapi se-benar2-nja ia ingin mengadukan orang djahat itu ".

   "Tapi apa ok-pa itu bisa membiarkannja pergi ke kotaradja ?", tanja pula Wan Djie.

   


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Pisau Terbang Li -- Gu Long Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung

Cari Blog Ini