Pendekar Aneh 2
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 2
Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen
"Si djahat memang sudah tahu, bahwa Thio Loo- sam pergi keibu kota untuk mengadukan perbuatannja ", djawabnja.
"Tapi Thian- houw telah menetapkan, bahwa siapapun djuga jang mau ke kotaradja untuk melaporkan rahasia, harus dilindungi oleh petugas2 negara. Pembesar negeri tentu sadja tak tahu, apa jang sebenarnja hendak dilaporkan olehnja. Mungkin djuga rahasia jang mengenai keselamatan negara atau rahasia ketentaraan, bukan ? Maka itu, tak ada orang jang berani merintangi perdjalanan Thio Loo-sam. Tapi karena ok-pa itu memegang surat kawin dari ajah si wanita, belum tentu Thio Loo-sam bisa menang perkara. Dalam hal ini terserah kepada kebidjaksanaan Thian-houw ". Wan Djie merasa ketjewa. Semula ia menduga bakal mendengar rahasia besar, tak tahunja hanja satu kedjadian biasa. Tapi karena penuturan itu, ia melihat satu kenjataan lain.
"Dulu, seorang ok-pa merampas wanita adalah perbuatan lumrah dansama-sekali tidak perlu banjak berabe mentjari surat kawin ", katanja didalam hati.
"Dengan mempermisikan rakjat datang di kotaradja untuk melaporkan segala rahasia, Boe Tjek Thian memang membuka kesempatan akan datangnja matjam2 fitnah oleh orang nakal. Tapi biar bagaimanapun djuga, peraturan itu sangat menguntungkan rakjat djelata ". Selama berdiam dirumah Tiangsoen Koen Liang, ia selalu menganggap Boe Tjek Thian sebagai memedi perempuan. Diluar dugaan, dalam perdjalanan itu ia lebih banjak mendengar perbuatan baik daripada perbuatan djahat kaisar wanita itu. Selagi ter-menung2 dengan pikiran tertindih, tiba2 ia mendengar hela napas si sastrawan jang berada dikamar sebelah.
"Mengapa ia menghela napas ?", tanjanja didalam hati. Sesudah ia selesai bersantap, pelajan hotel lalu membereskan perabot makan.
"Nona mengasolah ", katanja sambil menutup pintu.
"Djika ada kedjadian2 menarik, aku tentu segera memberitahukan ". Tapi Wan Djie tak bisa pulas. Gerak-gerik si sastrawan jang aneh selalu mengganggu pikirannja. Suara kentongan mengundjukan tengah malam, tapi kedua matanja masih tetap segar. la djadi uring2-an dan sesudah mengenakan badju luar, ia segera keluar djalan2 dalam pekarangan hotel. la melihat lampu masih menjala terang dikamar sebelah dan dari tirai djendela, terlihat bajangan sastrawan itu. Perlahan2 ia mendekati djendela dan lalu mengintip. Beberapa saat kemudian, pemuda itu kembali menghela napas dan lalu bangun berdiri, sambil membuka kantjing2 thungsanja, sebagai tanda ia mau lantas tidur. Wan Djie segera bergerak untuk menjingkir, tapi mendadak, hatinja melondjak Pemuda itu telah membuka topinja jang ditaruh telentang diatas medja. Apa jang mengedjutkan si nona, jalah didalam topi melekat belasan butir Ya-beng-tjoe (mutiara jang mementjarkan sinar terang ditempat gelap), jang sinarnja melebihi sinar lampu minjak diatas medja.
"Ah ...! Kalau begitu kawanan perampok memang mengintjar dia ", katanja didalam hati. ---oo0oo--- SE-KONJONG2 diluar tembok terdengar suara kresekan jang sangat perlahan. Hati Wan Djie ber-debar2, Dengan sekali menotol tanah dengan udjung kakinja, tubuhnja melesat keatas satu pohon gouw-tong jang tumbuh dalam pekarangan itu. Biarpun ilmu silatnja tidak seberapa tinggi, tapi sebab semendjak ketjil ia biasa berlatih diatas Tjan-to, ilmu mengentengkan badannja sudah madju djauh. Tapi si sastrawan kelihatannja sama-sekali tidak merasa adanja bahaja. Lampu segera dipadamkan dan sinar Ya-beng-tjoe djadi semakin terang.
"Kau enak2 tidur, aku jang djadi tjenteng ", pikir si nona. Tak lama kemudian, berbareng dengan suara kesiuran angin, dua orang hinggap diatas tembok. Wan Djie mengawasi dan mengenali, bahwa mereka itu adalah perampok dari rombongan pertama. Mereka lantas sadja mendekam diatas tembok jang berhadapan dengan kamar si sastrawan. Wan Djie mentjekel pisaunja erat2, siap-sedia untuk lantas menimpuk, djika mereka menerdjang masuk kekamar. Tapi kedua orang itu tidak turun kebawah. Mereka terus mendekam diatas tembok sambil bitjara bisik2. Sebagai seorang jang lama berlatih untuk mendengar sambaran sendjata rahasia, si nona mempunjai kuping jang lebih tadjam dari manusia biasa dan oleh karenanja, ia dapat menangkap sebagian pembitjaraan kedua perampok itu.
"Liong Ngo-ya perintah kita menjambut orang, tapi apa mungkin orang jang mau di sambut adalah manusia tolol2-an itu ?", tanja jang satu.
"Roman orang itu agak luar biasa, tapi gerak- geriknja memang tolol2-an ", sahut jang lain.
"Tapi biar bagaimanapun djuga, kedatangan kita tidak tjuma2
", kata pula jang pertama.
"Aku dengar si orang desa jang mau pergi ke kotaradja untuk melaporkan rahasia besar, malam ini djuga menginap disini ".
"Aku sudah menjelidiki, dia menjewa kamar ketiga disebelah timur ", kata kawannja.
"Urusan apa jang mau dilaporkannja ?".
"Tak perduli ", kata pula orang jang pertama.
"Tak ada salahnja kalau kita kerdjakan dia ". Mereka segera bergerak dan menudju ke kamar Thio-Loo-sam dengan merangkak. Wan Djie djadi sangat bimbang. Semula ia menduga, bahwa kedua orang itu adalah perampok jang ingin merampas harta benda si sastrawan, tapi ternjata taksirannja tidak benar. Apa tak mungkin mereka dikirim oleh si ok-pa untuk membunuh Thio Loo-sam ?. Tapi didengar dari pembitjaraannja, mereka bukan orang suruhan ok-pa itu. Ia sebenarnja sudah hendak melompat turun dari pohon dan kembali ke kamarnja, tapi mendadak lain pikiran berkelebat kedalam otaknja.
"Thio-Loo-sam sudah banjak menderita ", pikirnja.
"Sesudah kutahu urusan ini, mana bisa aku berpeluk tangan ?". Memikir begitu, ia lantas sadja melompat ke atas tembok dan membuntuti kedua orang itu. Tepat selagi kedua orang itu melompat turun, WanDjie menimpuk dengan dua bilah pisau. Sesudah berlatih beberapa tahun, si nona memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu melempar hoei-to (pisau terbang), sehingga djangankan manusia, sedangkan seekor elang masih tak bisa lolos dari timpukannja. Maka itu, ia pertjaja, bahwa kedua pisaunja pasti akan dapat merobohkan kedua pendjahat itu. la terkesiap, karena sedang badan kedua orang itu masih berada ditengah udara, dengan sekali memutar badan, mereka berhasil menangkap kedua hoei-to, se-olah2 punggung mereka mempunjai mata. Kedua pendjahat itu djuga kaget. Seraja mengeluarkan seruan tertahan, mereka melompat naik lagi keatas tembok dan mengawasi ke seputarnja. Sambil menahan napas, si nona memperhatikan gerak-gerik mereka itu. Tiba2 tangan mereka terajun dan kedua hoei-to menjambar ke pohon gouw-tong. Sesaat itu, Wan Djie sedang menjembunjikan diri diantara dua tjabang jang bertjagak, sehingga ia tak bisa berkelit kesamping atau kebelakang. Djalan satu2nja adalah menjambut pisau itu, tapi, mendengar sambarannja jang disertai kesiuran angin dahsjat, ia tak berani menjambutnja. Dilain detik, kedua pisau itu sudah tiba didepannja.
"Tjelaka !", ia mengeluh dengan hati mentjelos. Pada sesaat jang sangat berhahaja, tiba2 sambaran pisau miring kekiri, seperti djuga terpukul dengan serupa benda, dan kemudian menantjap di tjabang pohon, dalam djarak kurang-lebih lima dim dari kupingnja. Sedang semangatnja masih belum kumpul, ia mendengar dua suara "tuk2"
Dan kedua orang itu ambruk dari atas tembok ! Wan Djie kesima, untuk beberapa saat ia berdiri bengong dengan mulut ternganga.
Tiba2 ia mendengar suara bitjaranja pelajan jang keluar karena suara ribut2.
la melongok kebawah dan melihat si sastrawan sedang menjender dipintu kamar dengan mengenakan pakaian tidur.
Begitu si pelajan muntjul, pemuda itu lantas sadja berkata .
"Eh, mengapa dalam penginapanmu terdapat begitu banjak tikus ? Mereka berkelahi, sehingga aku tak bisa pulas ". Si pelajan tertawa.
"Oh ..., kalau begitu Siangkong (tuan) jang menghadjar tikus ?", katanja.
"Benar, sajang tak kena ", djawabnja.
"Tadinja kukira kau digerajangi pendjahat ketjil ", kata lagi si pelajan sambil bersenjum.
"Maaf..., maaflah... !". Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu. Si sastrawan dengan mengawasi langit dan kemudian mengutjapkan dua baris sjair .
"Ditengah malam tikus gerajangan, menjadarkan aku dari dunia impian. Kurang adjar ...! Sungguh kurang adjar ...!". Ia masuk kekamar dan menutup pintu. Wan Djie geli tertjampur mendongkol.
"Tjelaka ...! Aku melindungi kau, tapi kau berbalik mentjatji aku ", katanja didalam hati. Tapi, dilain detik, satu pertanjaan berkelebat dalam otaknja .
"Apa tak mungkin dia jang menolong aku ? Tidak ...! Tak bisa djadi. Dia sedang tidur dalam kamarnja dan djika benar dia jang merobohkan kedua perampok itu, kepandadannja tak bisa diukur bagaimana tingginja ". Memikir bulak-balik, ia tak djuga berhasil memetjahkan teka-teki itu. ---oo0oo--- PADA keesokan paginja, pemuda itu bersikap tenang, seperti djuga tidak terdjadi apa2 jang luar biasa. Waktu bertemu dengan Wan Djie, ia tidak membuka suara dan sesudah membajar uang sewa kamar, ia segera berangkat. Si nona djadi semakin penasaran.
"Biarlah aku membuntuti terus manusia aneh itu ", katanja didalam hati. Buru2 ia menunggang keledainja dan menguntit dari belakang. Seperti kemarin, mereka berdjalan dengan membungkam. Selang satu-dua djam, mereka kembali masuk didjalanan gunung jang penuh bahaja. Sambil menekan topi dikepalanja, si sastrawan berkata seorang diri .
"Di empat pendjuru tak ada manusia dan djalanan begini berbahaja. Kalau disini muntjul perampok, tjelakalah aku !". Baru sadja ia mengutjapkan kata2 itu, didalam hutan pohon siong terdengar suara ribut2 dan beberapa saat kemudian, sedjumlah pendjahat menghadang ditengah djalan. Wan Djie mengenali, bahwa jang mengepalai gerombolan adalah itu dua orang dari rombongan kedua jang ia bertemu kemarin. Ia menahan keledainja dan berkata didalam hati .
"Aku mau lihat dulu bagaimana kau menghadapi kawanan bandit ini. Tapi apa jang terdjadi lagi2 mengedjutkan dan mengherankan. Sesudah mengawasi si sastrawan beberapa lama, se-konjong2 kedua kepala perampok itu menekuk lututnja.
"Kemarin kedua mataku tak bisa melihat besarnja gunung Thay-san dan tak tahu kedatangan Kongtjoe ", kata jang satu dengan suara menghormat.
"Untuk kekurang-adjaran itu, kami memohon Kongtjoe sudi memaafkan ".
"Eh .., eh ...! mengapa kau berlutut ?", tanja si pemuda.
"Didalam dunia, manusia hanja menghormati orang jang beruang. Aku tidak membawa barang berharga, perlu apa kau berlutut ?". Mereka saling mengawasi dan kemudian jangsatu berkata pula .
"Kongtjoe, djangan kau berkata begitu. Kami adalah orang2 dari Im-ma-tjee, Liong Ngo-ya telah memerintahkan kami untuk menjambut Kongtjoe ".
"Dari mana ?", menegas si sastrawan.
"Tjelaka ...! Apa kau perampok ?". Kedua perampok itu saling mengawasi. Mereka tak tahu, apa pemuda itu gujon2 atau sebenarnja ketakutan. Selagi mereka bimbang, tiba2 terdengar pula suara kaki kuda dan dua orang mendatangi dengan tjepat sekali. Wan Djie segera kenali, bahwa mereka itu adalah perampok rombongan ketiga jang ia bertemu kemarin. Begitu tiba, mereka melompat turun dari tunggangan mereka.
"Tjee Sam-ko, Lie Tjit-ko, kau sudah salah kenali orang !", teriak jang satu. Perampok jang dipanggil "Tjee sam-ko"
Dan "Lie Tjit-ko"
Djadi semakin bingung.
"Apa...? Apa dia bukan ...", menegas satu diantaranja.
"Tentu sadja bukan dia ", djawabnja.
"Tjoba kau pikir, kalau dia adalah orang jang harus disambut atas perintah Liong Ngo-ya, tak mungkin dia melukakan kedua Tjeetjoe (kepala kawanan perampok) Liok- tjiang-san dirumah penginapan ". Wan Djie kaget tertjampur girang.
"Apa benar dia jang membantu aku semalam ?", tanjanja didalam hati.
"Apa benar dia berkepandaian begitu tinggi ?". Sementara itu, si sastrawan sendiri berdiri dipinggir djalan dengan sikap atjuh tak atjuh dan mendengari pembitjaraan beberapa perampok itu dengan sikap tenang.
"Mungkin sekali ia tak tahu ", kata orang jang dipanggil "Tjee Sam-ko".
"Tahu atau tak tahu tiada banjak bedanja ", kata perampok jang datang belakangan.
"Andaikata benar ia tak tahu, bahwa mereka adalah Tjoa Tjeetjoe dan Ho Tjeetjoe dari Liok-tjiang-san, tapi ia pasti tahu, bahwa jang mau dibunuh adalah si lelaki jang mau melaporkan rahasia ke kotaradja. Diam2 ia sudah menolong lelaki itu. Dengan demikian, ia berdiri dipihak kaisar dan tak bisa djadi ia termasuk dalam kalangan kawan kita ". Wan Djie djadi bingung. Siapa sebenarnja pemuda Itu ? la girang karena pertanjaan jang dikandung dalam hatinja, sudah lantas diadjukan oleh "Lie Tjit-ko".
"Lauw Sie-ko, siapa sebenarnja setan miskin itu ? ", tanjanja.
"Lauw Sie-ko"
Adalah orang jang kemarin mentjambuk muka si nona. la tertawa ter-bahak2 seraja berkata .
"Tjit-ko, lagi2 kau salah mata ! Siapa orang itu, akupun tak tahu. Tapi apa jang kutahu, dia bukan setan miskin. Didalam badannja terdapat harta jang paling sedikit berharga sepuluh laksa tahil perak ". Paras muka "Tjee Sam-ko"
Dan "Lie Tjit-ko"
Berubah dengan mendadak. Diam2 Wan Djie memudji "Lauw Sie-ko"
Jang kenal barang.
"Dalam topi pemuda itu terdapat sembilan belas butir Ya-beng-tjoe dan setiap butir paling sedikit berharga selaksa tahil perak ", katanja didalam hati. Dilain saat, sambil tertawa berkakakan dan menuding dengan tjambuknja.
"Lauw Sie-ko"
Berkata dengan suara dingin.
"Djika kau kenal bahaja, keluarkanlah ...! Djangan tunggu sampai tuan besarmu turun tangan sendiri ". Hampir berbareng, kawannja melompat dan mendekati pemuda itu. Tjee Sam dan Lie Tjit saling mengawasi. Tjee Sam kelihatannja masih bersangsi, tapi Lie Tjit lantas madju setindak dan berkata .
"Biarpun kami salah melihat orang, tapi menurut peraturan, kami harus mendapat bagian ". Apa jang dikatakannja memang tak salah. Menurut kebiasaan dalam Rimba Hidjau (kalangan perampok), semua orang jang turut tjampur tangan dalam setiap perampokan, harus mendapat bagian. Tapi heran sungguh, si sastrawan kelihatannja tenang2 sadja. Sebaliknja dari ketakutan, ia dongak dan tertawa ter-bahak2.
"Aku tak punja apa2
", katanja.
"Beberapa d
Jilid buku tua ini tak bisa dibatja olehmu dan khim kuno ini tak bisa dimainkan oleh mu. Apa kau maui topiku jang butut ?". Wan Djie terkedjut karena pemuda itu seperti djuga sengadja menondjolkan topinja jang berisi harta besar.
"Kalau dia bukan seorang jang punja kepandaian tinggi, tentulah dia seorang otak miring ", katanja didalam hati. Si nona jang masih belum tahu apa pemuda itu benar berkepandaian tinggi atau tidak, djadi kaget bukan main. Dalam kagetnja, tanpa memikir lagi, ia menghunus pedang dan melompat dari punggung keledai seraja membentak .
"Bangsat ...! Besar benar njalimu ! Ditengah hari bolong mau merampok ". Dengan beberapa suara kerontrangan, golok dan toja terpapas somplak dan hanja Lauw Sie jang dapat menjelamatkan tjambuknja.
"Perempuan kurang adjar ! Lagi2 kau ...!", teriak Lauw Sie sambil menghantam Wan Djie dengan tjambuknja. la menengok kepada kawannja dan berkata.
"Perempuan itu hanja lihay pedangnja, ilmu silatnja tidak seberapa. Djangan takut !". Sesudah sabetannja jang pertama tidak berhasil, ia segera mengirim serangan berantai dengan pukulan2 Lian-hoan-sam-pian (Tiga-tjambukan-berantai) dan Hoei-hong-sauw-lioe (Angin pujuh-menjapu-pohon-lioe). Hampir berbareng, Lie Tjit pun segera menerdjang pula dengan goloknja, sedang jang lain, jang bersendjata toja, menjabet lutut si nona. Meskipun dalam ilmu silat Siangkoan Wan Djie tidak begitu lihay, tapi ilmu mengentengkan badannja sudah tjukup tinggi. la memutarbadan dengan mengikuti gerakan tjambuk dan kemudian, dengan sekali menotol tanah dengan udjung kakinja, tubuhnja melesat keatas dalam gerakan Yan-tjoe-tjoan-in (Anak-walet-menembus-awan). Selagi badannja melajang kebawah, pedangnja menjabet bagaikan kilat dan mengenakan djitu di pundak Lie Tjit jang tidak keburu berkelit atau menangkis lagi. Begitu hinggap dibumi, satu kakinja menendang dan kena tepat dilutut pendjahat jang bersendjata toja. Biarpun tenaganja tidak tjukup berat, tendangan itu tjukup keras untuk membuat si perampok ber-teriak2 kesakitan. Si sastrawan tertawa ter-bahak2 sambil me-nepuk2 tangan.
"Bagus ...! Bagus ...!", serunja.
"Gesit bagaikan naga, hebat seperti gelombang. Bagus ...! Sungguh bagus ...!". Dalam repotnja si nona melirik pemuda itu jang tetap berdiri dengan sikap adem, diawasi oleh "Tjee Sam-ko"
Jang mentjekel sendjata Long-gee-pang (Toja-gigi-serigala).
Si orang she Tjee adalah seorang kepala pendjahat jang sudah kawakan dalam dunia Kang-ouw.
Sebelum tahu djelas asal-usul sastrawan itu, ia masih belum berani turun tangan.
Kawanan pendjahat jang berada disitu adalah orang2 dari Im-ma-tjee dan melihat pemimpinnja tidak bergerak, mereka pun tidak menjerang dan hanja mengurung pemuda itu dari empat pendjuru.
Antara dua perampok dalam rombongan jang lain, Lauw Sie lah jang berkepandaian paling tinggi.
Melihat kawannja dilukakan oleh si nona, ia djadi gusar bukan main.
"Hai ! Gila betul ...!", teriaknja.
"Masakah kau tidak bisa bereskan satu perempuan tjilik ? Kalau begini, kita tak bisa tjari makan didjalanan ini lagi. Djangan perdulikan dia me-lompat2 ! Djaga sadja pedangnja ...! Ikuti gerakan tjambukku dan serang bagian jang kosong ". Sehabis mengomel, ia segera menjabet pinggang si nona dengan pukulan Sin-liong-djip-hay (Naga-malaikat-masuk-kelaut). Wan Djie buru2 melompat kekiri, tapi dengan sekali mengedut, tjambuknja sudah turut menjambar kekiri. Sementara itu, hampir berbareng, pendjahat jang bersendjata golok dan toja lalu menerdjang kesebelah kanan, kebagian jang kosong. Si nona djadi bingung dan hanja dengan kegesitannja barulah ia bisa menjelamatkan djiwanja. Dengan melompat kian-kemari, ia meloloskan diri dari beberapa serangan hebat. Wan Djie djadi kuatir bertjampur mendongkol.
"Kurang adjar dia !", gerutunja.
"Aku berkelahi mati2-an karena gara2-nja, tapi dia sendiri enak2-an ". Sesaat itu golok Lie Tjit menjambar dan karena perhatiannja terpetjah, hampir2 ia terbatjok. Sesudah lewat beberapa djurus lagi, dengan mengandalkan kegesitannja, si nona masih tetap bisa mempertahankan diri. Ketiga pendjahat itu djadi semakin mendongkol. Sesudah mengirim dua serangan dengan beruntun, sehingga Wan Djie terpaksa melompat mundur beberapa tindak, Lauw Sie tertawa dingin seraja berkata .
"Dalam Liok-lim, orang paling mengutamakan Gie- khie (rasa persahabatan). Untuk persahabatan, orang rela mengorbankan djiwa. Sungguh sajang, sifat jang mulia itu sekarang sudah berubah ...!". Perkataan itu terang2-an ditudjukan kepada si perampok jang dipanggil "Tjee Sam-ko", jang tetap mengawasi si sastrawan tanpa bergerak. Lie Tjit adalah pembantunja. Sesudah kena tikaman pedang Wan Djie, si orang she Lie tentu sadja merasa sangat tidak puas dengan sikap kawannja. Maka itu, ia lantas sadja menjambungi.
"Benar. Seorang laki2 selalu bekerdja tak kepalang tanggung. Kalau dia kata berani, dia berani sungguhan. Tidak seperti tjaranja nenek pengetjut, mulut berani, kaki lari ". Mendengar edjekan kawan sendiri, paras muka Tjee Sam lantas sadja berubah merah. Tapi ia tetap sungkan membentur si sastrawan. Sambil membentak, ia mengangkat sendjatanja dan menerdjang Siangkoan Wan Djie. Ilmu silat Tjee Sam tidak berada disebelah bawah Lauw Sie dan disamping itu, tojanja jang sangat kasar dan berat (beratnja empat puluh dua kati), tak takuti pedang. Maka itulah, begitu ia menerdjun kedalam gelanggang, Siangkoan Wan Djie lantas sadja berada dalam bahaja. Sekali lagi ia melirik si sastrawan dan hatinja djadi semakin mendongkol.
"Kalangan Liok-lim masih memperhatikan Gie-kie ", teriaknja.
"Hai ! Orang terpeladjar ketinggalan djauh dari kawanan ketju ". Pada detik perhatiannja terpetjah karena mengomel, pedangnja terpukul miring dengan toja Tjee Sam dan dengan berbareng, tjambuk Lauw Sie menjabet pinggang-nja. la tak dapat menangkis atau berkelit lagi ! Pada sesaat jang sangat genting, tiba2 sadja si;sastrawan membentak.
"Pendjahat tak tahu malu ...! Empat lelaki mengerojok satu perempuan ...! Betul2 aku tak bisa melihatnja ". Sedang mulutnja bitjara, tangannja bekerdja. Dengan sekali bergerak, ia sudah merebut toja Long-gee-pang dan sekali mengebas, golok Lie Tjit terbang ke udara. Lauw Sie kaget tak kepalang. Sambil melompat, ia menjabet dengan pukulan Ka-tin-liok-liong (Menunggang-enam-naga).
"Kau paling menjebalkan ...!", bentak si sastrawan dan tangannja menjambar. Sambaran itu tjepat bagaikan kilat dan tahu2 pendjahat itu terpental tiga tombak djauhnja. Dilain saat,seraja memutar badan, ia mengirim satu tendangan dan perampok jang bersendjata toja djatuh ngusruk. Kawanan pendjahat terkedjut, tapi sesudah kagetnja hilang, mereka lantas sadja meluruk dan mengepung si sastrawan itu. Melihat dirinja mau dikerojok, ia tertawa njaring dan mentjatji.
"Bangsat ...! Tjara2-mu sungguh2 memalukan orang2 gagah dalam Rimba Hidjau. Lepaskan sendjatamu !". Ia melompat tinggi dan kaki-tangannja menjambari bagaikan angin pujuh. Suara berkerontrangannja sendjata terdengar tak henti2-nja. Begitu tersentuh tangan atau kakinja, sendjata apapun djuga terpental atau terbang ketengah udara. Beberapa saat kemudian, diatas tanah sudah penuh dengan golok, tombak, pedang dan sebagainja. Kawanan pendjahat lantas sadja lari tunggang-langgang dan dalam sekedjap mereka sudah tak kelihatan bajangannja lagi.Siangkoan Wan Djie berdiri terpaku bahna kaget dan girang-nja. la mengawasi pemuda itu dengan mata membelalak, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Sementara itu si sastrawan sendiri tertawa berkakakan, tapi, sesaat kemudian, ia menangis ter-sedu2 . Lagi2 si nona terkesiap. Kedjadian itu benar2 aneh. Sebentar tertawa, sebentar menangis. Apa pemuda itu gila?. Sesudah tangisan mereda dan hatinja agak tenteram, Wan Djie mendekati dan menanja dengan suara halus.
"Hari ini kau telah mendapat kemenangan besar dan seorang diri, kau telah memukul mundur kawanan pendjahat jang berdjumlah besar. Tapi mengapa, sehabis tertawa, kau menangis ?".
"Karena kawanan ketju itu terlalu tolol ", djawabnja. Ia berhenti sedjenak dan kemudian berkata pula sambil menghela napas .
"Hai ...! Apa jang dilakukan Hok Tjoe Beng dan Tjoe-hie-houw tak bisa terulang lagi dalam dunia. Aku merasa sedih karena tak tega melihat keradjaan djatuh kedalam tangan lain keluarga ". Hok Tjoe Beng adalah seorang djenderal ternama pada permulaan keradjaan Han. Dengan kesetiaannja, ia telah memimpin kaisar jang muda naik ke tachta dan dengan segenap tenaga, melindungi keradjaan Han. Tjoe-hie-houw adalah gelaran radja muda jang diberikan kepada Lauw Tjiang, seorang turunan dari kaisar Han. Sesudah mangkatnja kaisar Han Ko-tjouw, Lauw Pang, Lu-houw merampas kekuasaan dan membinasakan banjak sekali anggauta keluarga kaisar. Adalah Lauw Tjiang jang telah bangkit dan bergulat, sehingga achirnja ia bisa memulihkan kekuasaan kaisar kedalam tangannja keluarga Lauw lagi. Mendengar perkataan pemuda itu, untuk sekian kalinja Wan Djie terkedjut dan ia dongak mengawasi muka orang. Sesaat itu, si pemuda pun sedang menatap wadjahnja sendiri, sehingga tanpa tertjegah lagi, dua pasang mata lantas bentrok. Buru2 si nona menunduk dengan paras muka ke-merah2-an.
"Kemari kau !", tiba2 si sastrawan berkata sambil menggapai. Hampir berbareng, ia madju setindak, mentjekel tangan si nona dengan tangan kirinja, sedang tangan kanannja lalu menjingkap rambut jang menutup sudut dahi. Perbuatan jang kurang adjar itu tentu sadja menggusarkan sangat hati si nona. Tapi sebelum ia memberi teguran keras, pemuda itu sudah tertawa njaring.
"Benar sadja tak salah ", katanja.
"Kau Wan Djie, bukan ?". Si nona lagi2 terkedjut. Sesaat kemudian, satu ingatan berkelebat didalam otaknja.
"Aduh ! Sie-tjoe !", teriaknja (Sie-tjoe berarti pangeran). Si sastrawan melepaskan tjekelannja dan berkata seraja tertawa.
"Tak heran, begitu bertemu, aku merasa seperti djuga berhadapan dengan seorang jang sudah kukenal lama. Hanja ku tak ingat lagi dimana kita pernah bertemu. Kalau bukan melihat bekas luka didahimu, aku pasti tak akan berani menjebutkan namamu ". Hati si nona me-luap2 dengan rasa girang.
"Sie-tjoe ", katanja.
"Mengapa kau tidak berdiam di kotaradja ? Mengapa kau berkelana dalam dunia Kang-ouw dengan menjamar seperti ini ?". Pangeran itu tertawa.
"Negara sudah djatuh kedalam tangan orang she Boe, mengapa kau masih djuga menggunakan istilah 'Sie-tjoe'? Aku dan kau tiada bedanja, sama ter-lunta2. Aku panggil kau Wan Djie dan kau pun panggil sadja namaku, Lie It ...". Siapa sebenarnja pemuda itu ? ---oo0oo--- IA adalah turunan kaisar keradjaan Tong. Kakeknja, Lie Kian Seng, adalah kakak Tong thay-tjong Lie Sie Bin dan putera2 Boe Tjek Thian adalah saudara sepupunja. Lie Sie Bin mendapat kedudukan kaisar dari tangan Lie Kian Seng dan oleh karenanja, turunan Lie Kian Seng mendapat perlakuan baik sekali. Semendjak ketjil, Lie It tinggal di keraton dan ia sering bertemu dengan Siangkoan Wan Djie jang sering mengikut kakek dan ajahnja datang ke keraton. Lie It berusia tudjuh tahun lebih tua daripada Wan Djie dan diwaktu ketjil, ia paling suka ber- main2 dengan si nona. Pada suatu hari mereka main petak dan dengan menutup kedua matanja dengan saputangan, si nona tjoba menangkap Lie It. Apa mau dikata, iadjatuh. Sudut dahinja terluka dan luka itu meninggalkan bekas jang tak bisa hilang. Demikianlah asal-usul persahabatan antara kedua orang muda itu. Sesudah berselang beberapa saat, si nona menghela napas seraja berkata.
"Urusan kakek dan ajahku mungkin sudah diketahui olehmu ...". Lie It mengangguk.
"Aku kabur dari keraton djusteru sesudah terdjadinja peristiwa menjedihkan itu ", katanja.
"Untung sekali aku bisa lihat selatan terlebih siang. Kalau tidak buru2 menjingkirkan diri, djiwaku tentu sudah melajang. Hai ...! Mungkin kau masih belum tahu, bahwa selama tudjuh tahun, iblis perempuan itu telah membinasakan tiga puluh orang anggauta keluarga kaisar dan menteri2 besar. Disamping itu, masih banjak orang2 lain jang tidak begitu penting. Tjelaka sungguh ...! Perempuan kedjam itu malahan tak bisa mengampuni anaknja sendiri. Kalau ingat itu, bulu romaku bangun semua ".
"Aku sudah dengar kedjadian2 itu dari Tiangsoen Pehpeh ", kata si nona.
"Sedikitpun aku tak pernah menduga, bahwa kau djuga terpaksa mesti menjingkirkan diri ". Mereka lantas sadja saling menuturkan pengalaman mereka selama tudjuh tahun jang lampau. Ternjata, pengalaman Lie It banjak miripnja dengan apa jang dialami Wan Djie. la telah kabur ketempat seorang bekas menteri besar jang seluruhnja pernah membuat banjak pahala didjaman kaisar almarhum. Menteri besar itu jalah Oet-tie Tjiong, turunan Oet- tie Kiong jang telah bantu membangun keradjaan Tong. Ilmu silat Oet-tie Tjiong tidak berada disebelah bawah Tiangsoen Koen Liang, sedang pergaulannja malahan lebih luas daripada Koen Liang. Maka itu, selama tudjuh tahun, bukan sadja Lie It mewarisi semua ilmu silatnja Oet-tie Tjiong, tapi djuga memperoleh berbagai ilmu dari sahabat2-nja Oet-tie Tjiong. Mendengar Wan Djie ingin membunuh Boe Tjek Thian, Lie It bengong sedjenak.
"Keraton didjaga keras luar biasa dan tak gampang orang bisa turun tangan ", katanja dengan suara perlahan. Disamping itu, sajap si iblis sudah terpentang kuat. Dengan hanja membunuh dia seorang, tak banjak gunanja ".
"Bagaimana pendapatmu ?", tanja si nona. Lie It dongak dan mendjawab dengan suara gemetar.
"Aku ingin mengumpulkan tentara suka-rela diseluruh negeri untuk membasmi kawanan siluman !".
"Kau mau perang ?", menegas si nona dengan rasa terkedjut. Sesaat itu, ia ingat keadaan jang tenteram- sentosa di sepandjang djalan dan omongan2 rakjat djelata.
"Kalau keluarga Lie berebut tachta, jang tjelaka adalah rakjat ", katanja didalam hati. Sekali lagi Lie It menghela napas.
"Aku djuga tahu, bahwa banjak orang menjokong iblis perempuan itu ", katanja.
"Tapi semendjak dulu, perempuan tak pernah mendjadi kaisar. Djangankan aku memang mendendam sakit hati besar terhadap memedi itu, sedangkan tak punja sakit hati sekalipun, aku masih sungkan mengakui dia sebagai djundjungan ".
"Djalan pikiran ini tiada beda dengan djalan pikiran Tiangsoen Pehpeh ", kata si nona dalam hatinja. Mengingat perkataan sikakek pendjual teh, ia tertawa dalam hatinja.
"Kau tak puas seorang perempuan mendjadi kaisar, tapi rakjat berpendapat lain ", pikirnja. Dilain saat, ia merasa, bahwa soal ini bukan soal lutju dan paras mukanja lantas sadja berubah suram. Sesaat kemudian, ia menengok kepada Lie It dan berkata.
"Tadi dengan menjebut nama Hok Tjoe Beng dan Tjoe-hie-houw, kau membandingkan Boe Tjek Thian seperti Lu-houw. Tapi menurut pendapatku, perbandingan itu adalah kurang tepat ".
"Benar, kau memang benar ...", kata pangeran ltu.
"Tapi, kau tahu satu, tak tahu dua ...".
"Mengapa begitu?", tanja si nona.
"Lu-houw tidak berkepandaian tinggi dan pemandangannja tidak luas ", menerangkan Lie It.
"Dalam hal ini, ia memang tak bisa dibandingkan dengan Boe Tjek Thian. Boe Tjek Thian adalah manusia jang pandai sekali memilih dan memakai orang2, jang mempunjai ketjerdasan, kepintaran serta angan2 jang sangat besar. Menurut penglihatanku ia malahan tak kalah dari Thay- tjong Hong-tee. Dalam hal ini, musuh2-nja, terhitung djuga aku sendiri, sungguh merasa kagum. Tapi biar bagaimana djuga, djika memedi itu tidak siang2 disingkirkan dari dunia, keradjaan Tong tak bisa berdiri lagi ". Ia berhenti sedjenak dan kemudian berkata pula.
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Boe Tjek Thian tentu sadja banjak lebih lihay daripada Lu-houw. Tapi ada suatu hal jang bersamaan dengan Lu-houw. Apa itu? Kekuasaannja tidak kokoh-teguh ". Sesudah mendengar dan melihat kedjadian di sepandjang djalan, Wan Djie menjangsikan kebenaran pernjataan Lie It, tapi ia tidak membuka suara.
"Apa kau tidak pertjaja ?", tanja pemuda itu.
"Tjoba kau pikir ... Betapa pun lihay-nja Boe Tjek Thian, dia tak nanti bisa menaklukkan atau membasmi seantero menteri setia dalam keradjaan. Ada banjak menteri jang memegang kekuasaan besar, tidak takluk terhadapnja. Aku datang dari Yang-tjioe. Pembesar jang berkuasa di kota itu, Gouw-kok-kong Tjie Keng, sudah membuat rentjana untuk menggerakkan tentara sesudah lewatnja musim rontok. Waktu mau berangkat, aku malahan dengar, bahwa Gouw-kok-kong sedang berusaha mentjari LokPin Ong untuk minta ia menjusun sebuah surat selebaran guna menghukum Boe Tjek Thian ". Mendengar keterangan itu, si nona ter-menung2. Ia sendiri adalah musuh Boe Tjek Thian. Ia sendiri ingin membunuh kaisar wanita itu. Tapi, apakah suatu pemberontakan bersendjata, jang pada hakekatnja akan mentjelakakan rakjat, dapat dibenarkan ?.
"Karena kuatir tenaganja tidak mentjukupi, maka Gouw-kok-kong sudah minta bantuanku ", kata pula Lie It. Mendengar itu, Wan Djie jang berotak sangat tjerdas, lantas sadja bisa menebak sebagian sepak-tedjangnja pemuda itu. la tersenjum seraja berkata .
"Kalau begitu, kedatanganmu ke-Pa-siok tentulah djuga bertudjuan untuk mengumpulkan orang2 gagah guna membantu usahamu jang besar. Bukankah begitu? Kawanan perampok itu rupanja sudah mendengar desas-desus dan mereka ingin tampil kemuka untuk membantu kau, supaja dikemudian hari mereka bisa djadi menteri2 pendiri keradjaan. Hanja sajang, mereka terlalu tjeroboh ".
"Itulah jang sangat mengetjewakan hatiku ", kata Lie It.
"
Andaikata aku bisa menggunakan tenaga kawanan Liok-lim itu, pekerdjaan besar apakah jang kubisa lakukan ?".
"Kawanan pendjahat itu sebenarnja datang untuk mengabdi kepada kau ", kata si nona sambil bersenjum.
"Menurut dugaanku, mereka tjoba membunuh Thio Loo-sam karena dengar orang tua itu mau ke kotaradja untuk melaporkan satu rahasia. Mereka tak tahu apa jang mau dilaporkannja dan kuatir, kalau2 laporan itu bersangkut-paut dengan dirimu. Mereka tentu tak pernah mimpi, bahwa pada achirnja, kaulah jang sudah menolong djiwa Thio Loo-sam ".
"Thio Loo-sam seorang miskin jang banjak menderita dan aku tentu tak akan mengawasi kebinasaan dengan berpeluk tangan ", kata Lie It.
"Tidak dinjana, tindakanku itu sudah mengakibatkan dugaan, bahwa aku kaki-tangannja kaisar ".
"Kalau begitu bukankah itu berarti, bahwa tidak semua perbuatan Boe Tjek Thian bisa dikatakan salah ?", kata si nona. Lie It kelihatan kaget. la bengong dan beberapa saat kemudian, barulah mendjawab .
"Djika ia tidak bisa menarik hatinja rakjat, bagaimana dia bisa merebut keradjaan Tong ?".
"Apa maksud kundjunganmu ke Pa-tjioe ?", tanja Wan Djie.
"Apakah untuk menengok saudara sepupumu, bekas Thaytjoe Lie Hian ?".
"Memang, aku memang mempunjai niatan begitu ", djawabnja.
"Sajang, sifat Lie Hian adalah sifat kutu buku jang tolol. Meskipun didalam hati ia mempunjai keinginan untuk menentang Boe-houw, ia tidak punja keberanian ". Mendadak ia menghela napas dan berkata .
"Sudahlah ! Djangan kita bitjarakan lagi hal2 jang mendjengkelkan hati. Wan Djie, apakah selama beberapa tahun ini kau tak pernah ingat diriku ?".
"Beberapa hari berselang aku telah menggubah sebuah sjair ", djawabnja.
"Tjoba kau dengar ...". Sjair itu adalah sjair jang telah digubahnja di Kiam-kok dan dihafalnja waktu Tiangsoen Thay dan Tiangsoen Pek berlatih ilmu pedang. Sehabis berkata begitu, sambil tersenjum si-nona lalu mulai menghafal lagi sjairnja .
"Di telaga Tong-teng daun2 baru rontok ditiup angin, kuingat ia jang terpisah djauh berlaksa li ...". Lie It memotong .
"Penghidupan manusia sungguh sukar ditaksir, terpisah berlaksa li, tapi belakangan, djalan ber-sama2 ...". Wan Djie tersenjum dan lalu meneruskan sjairnja .
"Kabut tebal, memakai selimut masih terasa dingin, Bulan dojong, kebelakang sekosol, tiada bajangannja lagi. Kuingin menabuh lagu dari Kang-lam, Kuingin membatja sjair Ho-pak Utara, Kitab sjair bebas dari maksud lain jang dalam, Ku hanja bersedih karena sudah lama berpisah ...". Mendengar itu, kedua matanja Lie It lantas sadja berubah merah dan air mata mengalir turun dikedua pipinja. Siangkoan Wan Djie djuga tidak kurang terharunja, tapi ia memaksakan untuk tertawa.
"Sudahlah ", katanja.
"Kita djangan ingat2 lagi kedjadian jang menjedihkan ". Demikianlah, kedua orang muda itu lalu menudju ke Pa-tjioe ber-sama2 dengan menunggang tunggangan mereka masing2, jalah Wan Djie menunggang keledai dan Lie It menunggang kuda. Disepandjang djalan, pangeran itu kelihatannja gembira, tapi sering2, diantara kegembiraan, paras mukanja mendadak berubah sedih dan ia menghela napas ber- ulang2. Beberapa orang jang kebetulan melihat perubahan mendadak itu, djadi merasa heran. Hanja Wan Djie seorang, jang tahu isi-hatinja, dapat mengerti keanehan itu. ---oo0oo--- SESUDAH berdjalan dua hari, mereka tiba disatu tempat jang jauhnja hanja seratus li lebih dari kota Pa-tjioe. Karena sudah mendekati kota, djalanan lebih rata daripada apa jang sudah dilewati.
"Lebih baik kita ambil djalanan ketjil ", kataLie It.
"Mulai dari sini, sebaiknja kita djangan terlalu berdekatan, supaja orang tidak menduga, bahwa. kita djalan ber-sama2
". Wan Djie jang berotak sangat tjerdas, lantas sadja dapat menebak maksud kawannja.
"Benar ", katanja sambil tertawa.
"Djika kita mengambil djalan raja, kita mungkin bertemu dengan tentara Khoe Sin Soen. Kau adalah seorang anggauta keluarga kaisar dan memang paling baik menjingkirkan diri ". Lie It mentjambuk kudanja dan si kurus lantas sadja lari tjongklang. Si nona tertawa dan berkata .
"Tungganganmu kurus dan sangat djelek rupanja, tapi larinja benar2 tjepat ". Lie It mengebas tangannja, sebagai isjarat supaja Wan Djie djangan mengukuti terus. Si nona lantas sadja menahan les dan sesudah terpisah puluhan tombak, barulah ia mengeprak keledai jang lalu mengikuti dari belakang. Sesudah berdjalan beberapa lama, didepan menghadang sebuah gunung ketjil. Djalan raja terletak disebelah selatan, sedang djalanan ketjil disebelah utara gunung. Selagi Wan Djie memutari gunung itu, disebelah kedjauhan tiba2 ia dengar suara berbengernja ratusan kuda dari satu pasukan tentara.
"Dia tak mau berdekatan dengan aku karena rupanja dia tidak ingin me-rembet2 aku ", kata si nona dalam hatinja.
"Aku adalah seorang jang mendendam sakit hati besar dan aku berniat untuk membinasakan musuh dengan tangan sendiri. Masakah aku takut ke-rembet2 ?". Kira2 tengah hari, Lie It dan Wan Djie sudah melewati gunung ketjil itu. Si nona menengok dan melihat ber- kibar2-nja ribuan bendera, diiringi dengan suara gemuruh. Ternjata pasukan tentara itu mengikuti dibelakang dalam djarak beberapa li.
"Untung djuga kami sudah mendahului didepan ", pikirnja.
"Kalau tidak, biarpun tidak terdjadi apa2, perdjalanan akan terhambat ". Se-konjong2 terdengar suara terompet dan seorang perwira, jang diikuti oleh dua orang serdadu, membedal tunggangan mereka dan mengedjar dari belakang.
"Tahan ! Orang jang didepan, tahan ...!", teriak perwira itu.
"Aku salah apa ?", Wan Djie balas berteriak.
"Perempuan kurang adjar ... !", tjatji si perwira seraja melepaskan sebatang anak panah.
"Mendengar tjerita orang, tak sama seperti mengalami sendiri ", pikir si nona dengan mendongkol.
"Kalau begitu, kaki-tangan Boe Tjek Thian hanja tukang menghina rakjat ". Ia mengajun tangan dan sebilah pisau melesat kearah anak panah itu.
"Tjring ...!", pisau Wan Djie terpental, tapi anak panah itu pun mentjong djalannja dan djatuh disamping keledai. Si nona kagum bukan-main. Ia tak duga, perwira itu mempunjai tenaga jang begitu besar. Buru2 ia mentjambuk tunggangannja. Tapi keledai itu, jang rupanja sudah djadi kaget, kabur kesawah dipinggir djalan. Perwira itu mengudak terus.
"Berhenti ...!", bentaknja dengan suara menggeledek. Busur mendjepret dan sebatang anak panah kembali menjambar. Baru sadja Wan Djie mau menghunus pedang untuk menangkis anak panah itu, se- konjong2 dari tengah2 sawah melompat seorang petani.
"Thian-houw telah mengeluarkan firman supaja kaum petani dilindungi setjara pantas ", katanja dengan suara gusar.
"Mengapa kau meng-indjak2 sawahku ? Mentang2 memakai kulit matjan ...! Apa kau rasa boleh menghina rakjat sembarangan ?". Seraja mengomel, ia mendjemput dua butir batu jang lalu dilontarkan. Kedua batu itu menjambar seperti kilat, jang satu mengenai djitu anak panah jang sedang menjambar, sedang jang lain menghantam kepala kuda si perwira. Kuda itu berdjingkrak, berbunji keras dan berlutut ditanah, sehingga perwira itu lantas terpelanting kebawah. Mimpi pun tidak, si nona belum pernah mimpi bahwa seorang petani mempunjai kepandaian jang begitu tinggi. Belum hilang kagetnja, dua penunggang kuda jang mengikuti dari belakang, sudah tiba disitu.
"Bagus ...!", teriak si petani.
"Selama beberapa tahun, belum pernah aku bertemu dengan pasukan tentara jang begini tak mengenal aturan. Aku mau pergi kepada Tjoeswee-mu (Tjoeswee - djenderal jang mimpin angkatan perang) untuk bitjara !". Seraja berkata begitu, ia melondjorkan kedua lengannja untuk menahan kedua tunggangan jang sedang kabur keras. Tenaga menerdjang kedua ekor binatang itu, mungkin tak kurang dari seribu kati. Tapi dengan sekali menolak, kedua binatang itu terdorong mundur dan kemudian roboh diatas tanah, berikut penunggangnja. Dengan gusar perwira jang barusan djatuh melompat bangun sambil menghunus golok untuk menjerang. Mendadak terdengar suara terompet dan waktu mereka menengok, seorang Gee-tjiang (nama pangkat militer) meng-gojang2-kan satu bendera besar, sebagai isjarat bahwa mereka harus lantas balik kembali. Paras muka perwira itu lantas sadja berubah putjat. Buru2 ia membangunkan kudanja jang lalu ditunggangi dan dilarikan balik ke pasukannja. Kedua pengikutnja merogoh saku dan melemparkan beberapa potong perak hantjur di atas tanah.
"Sudahlah kau djangan ribut ", kata satu diantaranja dengan suara membudjuk.
"Kamilah jang salah. Uang itu untuk mengganti kerugianmu ".
"Hmmm ....! Apa dengan uang sebegitu kau ingin menutupmulutku ?", tanja si-petani dengan suara mendongkol. Ketika itu, Wan Djie berada di tempat jang djauhnja kira2 sepanahan dari si petani. Apa jang sudah terdjadi telah didengar dan dilihat olehnja. Sebenarnja ia ingin kembali untuk menghaturkan terima kasih kepada petani itu, tapi ia mengurungkan niatannja karena Lie It menggojangkan tangan sambil mentjambuk kudanja jang lantas sadja kabur. Wan Djie djuga merasa, bahwa sesudah lolos dari bahaja, tak perlu ia balik kembali untuk tjari2 urusan. Oleh karena begitu, meskipun tahu, bahwa si petani bukan sembarang orang dan ia sebenarnja kepingin sekali berkenalan, ia lalu mentjambuk keledainja jang lantas sadja lari mengikuti kuda si pemuda. ---oo0oo--- DIWAKTU maghrib, mereka tiba dikota Pa-tjioe. Lie It dan Wan Djie berlagak tak kenal satu sama lain. Sesudah Lie It masuk kesatu rumah penginapan, si nona masih djalan2 tanpa djuntrungan. Kota itu ramai bukan main dan disemua sudut djalanan terdapat pendjagaan tentara jang keras. Si nona mengerti, bahwa itu semua merupakan persiapan untuk menjambut tentara Khoe Sin Soen. la tak berani djalan sembarangan dan lalu pergi ke rumah penginapan jang tadi untuk minta kamar. Ia tak tahu dimana kamar Lie It dan sebagai seorang gadis, ia merasa tak pantas untuk menanjakan ke pelajan. Sesudah makan malam, baru sadja ia mau keluar dari kamarnja untuk menjelidiki dimana kamar Lie It, tiba2 didepan djendela berkelebat bajangan manusia jang melemparkan sebutir batu kedalam kamarnja. la melompat, membuka djendela dan melongok keluar. Dari djauh, ia lihat Lie It sedang berdjalan keluar dengan tindakan tjepat. la mendjemput batu ketjil itu jang ternjata dibungkus dengan sepotong kertas jang ada tulisannja. Buru2 ia membuka lembaran kertas itu dan membatja bunjinja.
"Aku pergi untuk satu urusan penting, malam ini belum tentu kembali. Malam ini, sebelum tengah malam, kau harus menemui Thay-tjoe dan minta ia berlaku hati2. la tidak boleh bertemu dengan Khoe Sin Soen ". Wan Djie djadi bingung.
"Khoe Sin Soen datang kesini atas perintah Boe Tjek Thian, mana bisa Thay-tjoe tidak menemuinja ", pikirnja.
"Apa benar Boe Tjek Thian mau mentjelakakan puteranja sendiri ?". Dibawah kertas itu terdapat djuga sebuab peta jang mengundjuk tempat tinggalnja bekas Thay-tjoe Lie Hian. Mendjelang tengah malam, Siangkoan Wan Djie sagera menukar pakaian djalan malam dan bagalkan seekor kutjing, ia melompat keluar dari rumah penginapan itu. ---oo0oo--- MALAM itu malam tak berbintang, langit ditutup awan gelap dan bumi disiram hudjan gerimis. Djalanan sunji-senjap dan gerak-gerik si nona tidak diketahui oleh siapapun djuga. Tapi sebab gelap, beberapa kali ia njasar dan sesudah membuang banjak tempo, barulah ia tiba djuga digedung bekas Thay-tjoe. Sebagal hukuman untuk bekas putera mahkota itu, Boe Tjek Thian perintah orang membuat Tjiang-hoay Ong-hoe (gedung radja muda Tjiang-hoay), tempat tinggal putera tersebut, setjara sederhana sekali. Gedung itu hanja mempunjai tudjuh-delapan kamar, sebuah taman ketjil dan tinggi tembok luarnja hanja satu tombak lima kaki, sehingga djika dibandingkan, gedung itu masih kalah bagus dari tempat tinggalnja seorang Tiehoe. Begitu melompat masuk kedalam taman, Wan Djie lihat sinar lampu diatas sebuah ranggon ketjil disebelah timur taman.
"Thay-tjoe gemar sekali membatja buku dan mungkin ia sendiri jang berada diatas ranggon itu ", katanja didalam hati. Memikir begitu, ia lantas melompat naik keatas ranggon. Dengan mengintip dari djendela, ia lihat didalam ruangan itu duduk seorang pemuda kurus jang dikawani oleh seorang Thay-kam (orang kebiri) tua, sedang diatas medja terbuka sed
Jilid kitab Sie-kie (Kitab Sedjarah). Diwaktu masih ketjil, si nona pernah bertemu dengan Lie Hian dan sampai sekarang samar2 ia masih mengenalinja. Baru sadja ia mau masuk keruangan itu, tiba2 terdengar suara Lie Hian.
"Ong Kong-kong ", katanja.
"Selama dua hari ini hatiku selalu merasa tidak enak. Tentara Khoe Sin Soen sudah tiba diluar kota dan besok pagi, ia pasti akan menemui aku. Apa tak baik kita mabur malam ini djuga ?". Thay-kam tua itu kelihatannja sangat heran.
"Thian-hee (panggilan untuk seorang putera kaisar) ", katanja "Aku djusteru menganggap, bahwa kedatangan Khoe Tay- tjiangkoen, jang datang kesini atas perintah Thian-houw untuk menengok kau, adalah kedjadian jang sangat menggirangkan. Bukan tak bisa djadi dalam tempo tjepat Thian-houw akan panggil kau pulang ke kotaradja. Mengapa Thian-hee maumelarikan diri ?".
"Aku ..., aku takut ....", djawabnja Lie Hian ter-putus2."
"Boe-houw telah mengatakan, bahwa ia mau perintah The Oen datang kemari. Djika di-hitung2, The Oen sudah harus berada disini pada sepuluh hari berselang. Tapi sekarang, sebaliknja dari The Oen, jang dikirim kemari adalah Khoe Sin Soen. The Oen seorang pembesar sipil dan aku tidak menaruh ketjurigaan apapun djuga. Tapi Khoe Sin Soen seorang djenderal perang dan ia djuga membawa satu pasukan tentara. Apakah ...! apakah ...!".
"Apakah Thian-hee takut Khoe Sin Soen berbuat apa2 jang tidak baik terhadapmu ?", tanja si thay-kam. Lie Hian tidak mendjawab tapi dilihat dari paras mukanja, pertanjaan thay-kam itu mengenakan djitu pada hatinja. Orang tua itu menghela napas pandjang. Tiba2 ia berlutut dan berkata dengan suara perlahan .
"Hambamu ingin mengeluarkan perkataan jang bisa mendapat hukuman mati. Sebelum Thian-hee memberi ampun, tak berani hamba bitjara ". Lie Hian buru2 membangunkannja.
"Ong Kong-kong, kau adalah seorang jang pernah melajani Hoe-hong (ajahanda kaisar) dan aku selalu memandang kau sebagai orang sendiri ", katanja dengan suara halus.
"Ada perkataan apakah jang kau tak boleh mengatakannja ?".
"Kalau begitu, barulah hamba berani membuka isi hati hamba ", katanja.
"Bagaimanakah perlakuan Thian-houw terhadap Thian-hee ?".
"Bagaimana pendapatmu ?". Lie Hian balas tanja.
"Menurut penglihatan hamba, walaupun Thian- houw sangat repot mengurus urusan2 pemerintahan dan tak bisa sering2 bertemu dengan Thian-hee, tapi ia sangat mentjintai Thian-hee ", djawabnja.
"Memang ..., memang djika dibandingkan dengan perlakuannja terhadap kakakku, Boe-houw lebih menjajangi aku ", kata bekas putera mahkota itu.
"Kalau begitu, hamba, lagi2 mengambil keberanian untuk mengadjukan sebuah pertanjaan jang sangat tak lajak ", kata pula si thay-kam.
"Bolehkah hamba mendapat tahu, mengapa Thian-hee merasa tjuriga terhadap Thian-houw ?". Paras muka Lie Hian lantas sadja berubah putjat.
"Ong Kong-kong ", katanja dengan suara gemetar.
"Aku minta kau suka berterus terang. Apakah benar2 aku putera Thian-houw, putera tulen ? Djawablah pertanjaanku tanpa tedeng aling2
".
"Apa ?", menegas si tua.
"Hamba tak mengerti perkataan Thian-hee ".
"Dalam keraton sudah lama tersiar desas-desus, bahwa aku bukan dilahirkan oleh Boe-houw sendiri !", djawabnja.
"Hmm ... ! Ada desas-desus itu ?", katanja. Didengar dari suaranja, thay-kam itu rupanja sudah mendengar desas-desus tersebut. Lie Hian menatap wadjah si thay-kam dan kemudian berkata pula dengan suara parau .
"Mereka mengatakan, bahwa ibu kandungku adalah Han-kok Hoedjin, kakak Thian-houw. Belakangan, ibuku binasa karena diratjun Thian-houw. Kakakku, jaitu mendiang Thay-tjoe Lie Hong, djuga bukan anak kandung Thian-houw dan ia pun binasa diratjuni Thian-houw di keraton Hap-pek-kiong !". Mendengar perkataan itu, bukan main kagetnja Wan Djie. Sesudah berdiam sedjenak, bekas Thay-tjoe itu berkata pula .
"Sedari mendengar desas-desus itu, selama beberapa tahun, pikiranku selalu terganggu. Aku selalu berkuatir kalau2 Thian-houw pun turunkan tangan djahat terhadap diriku. Maka itu, maka itu Ong Kong-kong, biarlah aku membuka semua rahasia hatiku kepadamu. Apakah kau tahu, sebab apa aku dibuang ke Pa-tjioe ?".
"Thian-houw ingin Thian-hee beladjar hidup melarat diantara rakjat djelata, supaja dikemudian hari kau bisa memerintah negeri dan rakjat setjara bidjaksana ", djawabnja.
"Bukan ...! Bukan begitu ...!", kata Lie Hian dengan suara keras.
"Sebabnja adalah begini .
"Karena kuatir Thian-houw turunkan tangan djahat setjara menggelap, maka aku sudah menjembunjikan sedjumlah tentara pilihan dikeraton Tong-kiong. Aku menganggap, daripada dibinasakan, lebih baik aku turun tangan lebih dulu dan merampas kembali kekuasaan keluarga Lie. Tapi tak dinjana, rahasia itu botjor ...".
"Thian-hee, tjara bagaimana kau bisa melakukan perbuatan itu ?", kata si thay-kam dengan suara menjesal.
"Dengan demikian telah terbukti, bahwa Thian-houw sangat mentjintai kau dan memperlakukan kau luar biasa baik ".
"Kau djuga mengambil pihaknja ?", tanja Lie Hian dengan paras muka berduka. Ia berdiam sedjenak dan kemudian berkata pula dengan suara gemetar .
"Karena ia memperlakukan aku luar biasa baik, maka tempo2 aku menjangsikan tentang kebenarannja desas-desus dalam keraton. Pernah kedjadian, waktu mendapat sakit berat dan tersadar ditengah malam, aku lihat ia duduk disampingku dan mengawasiku dengan air mata ber- linang2, seperti djuga seorang ibu jang paling menjintai anaknja. Pada detik itu, aku ingin sekali meminta-ampun kepadanja dan ingin menjingkirkan semua ketjurigaan dari dalam hatiku ".
"Tapi mengapa Thian-hee tidak mewudjudkan keinginan itu ?", tanja si thay-kam.
"Aku kuatir ia hanja ber-pura2
", djawabnja.
"Ah ...! Pikiranku sangat kalut ! Sangat kalut. Aku tak dapat membedakan lagi apa jang benar apa jang salah. Otakku se-akan2 diliputi kabut jang tebal ". Thay-kam tua itu menghela napas pandjang.
"Dalam keraton memangbanjak sekali desas-desus ", katanja dengan suara perlahan.
"Sungguh untung, malam ini Thian-hee telah bitjara terus-terang kepada hamba, jang tahu djelas hal-ihwal segala persoalan itu ".
"Ong Kong-kong, lekaslah tjeritakan apa jang sebenarnja ", kata Lie Hian dengan ter-gesa2.
"Apakah Thian-houw benar2 ibu kandungku ?".
"Baik Thian-hee maupun kakak Thian- hee ke-dua2-nja adalah anak kandung dari Thian-houw sendiri !", djawabnja dengan suara tetap.
"Akan tetapi desas-desus dalam keraton djuga bukan tiada alasannja. Sebenarnja, hamba tidak berani mentjeritakan urusan ini, tapi sebab Thian-hee mempunjai sjak wasangka terhadap Thian-houw, maka dengan terpaksa hamba mesti membuka djuga rahasia ini. Kakakmu, mendiang Thay-tjoe Lie Hong terlahir pada bulan Tjhia-gwee (Bulan Pertama) Tahun Eng-hoei ketiga dari mendiang kaisar, sedang Thian-hee sendiri terlahir pada Tjap-djie-gwee, (Bulan Dua belas). Pada waktu itu, Thian-how masih djadi Niekouw (pandeta wanita) dalam kuil Kiam-in-sie ". Paras muka Lie Hian lantas sadja berubah merah. la djuga tahu, bahwa Boe-houw pernah mendjadi selir kakeknja, jaitu Thay-tjong Hong-tee Lie Sie Bin. Sesudah Lie Sie Bin meninggal dunia, Boe Tjek Thian telah "dianugerahi"
Kesempatan untuk mendjadi pendeta.
Dengan keterangannja itu, terang2 thay-kam tersebut mengundjuk, bahwa waktu masih djadi pendeta, ibunja sudah mengadakan hubungan rahasia dengan ajahnja.
Maka itulah, biarpun ia sekarang mendapat kepastian, bahwa Boe Tjek Thian adalah ibu kandungnja, ia djuga merasa sangat djengah dan malu.
"Pada waktu itu, Sian-tee (mendiang kaisar) belum menjambut Thian-houw pulang ke keraton dan oleh karena kuatir tersiarnja omongan2 kurang baik, maka Sian-tee telah menjerahkan kalian berdua kepada Han-kok Hoedjin untuk dipelihara ". Thay-kam itu melandjutkan keterangannja.
"Inilah sumber dari segala desas- desus didalam keraton ".
"Dan bagaimana kakakku sampai mendjadi mati ?", tanja pula Lie Hian.
"Hal ini pun mempunjai latar belakang jang tidak banjak diketahui orang ", menerangkan si thay-kam tua.
"Pada belasan tahun berselang, seorang asing telah membuat sematjam obat jang katanja mempunjai khasiat untuk memungkinkan hidup abadi, untuk Sian-tee, Thian-houw mentjegah Sian-tee makan obat itu dengan mengatakan, bahwa dalam dunia tak mungkin ada obat jang seperti itu. Sian-tee menurut nasehat itu dan obat tersebut lalu disimpan didalam keraton Hap-pek-kiong. Diluar dugaan, kakakmu telah mentjuri obat itu. Kau sendiri tahu, bahwa kakakmu bertubuh lemah dan sesudah makan obat itu, ia binasa dalam keraton tersebut dengan mengeluarkan banjak darah dari mulut, mata dan kupingnja. Kedjadian ini telah disaksikan oleh hambamu dengan mata kepala sendiri dan manusia2 jang telah memfitnah Thian-houw, benar2 berdosa besar ". Mendengar keterangan itu, bukan main kagetnja Lie Hian. la tak bisa mengeluarkan sepatah kata dan hanja mengawasi thay-kam tua itu dengan mata membelalak. Selang beberapa saat, sesudah menghela napas pandjang, orang tua itu berkata pula .
"Tentang meninggalnja Han-kok Hoedjin, lebih2 tiada sangkut-pautnja dengan Thian-houw. Oleh karena Thian-hee bertjuriga, mau tak mau, aku harus mentjeritakan segala apa jang tidak boleh ditjeritakan. Dalam hal ini, jang salah adalah Sian-tee sendiri. Dalam mewakili Sian-tee mengurus negeri, siang- malam Thian-houw selalu repot. Waktu itu, Han-kok Hoedjin sering2 berada dalam keraton. Dan Sian-tee, aih ...! Sian-tee ...! Ia telah melakukan perbuatan jang ia harus merasa malu terhadap Thian-houw. Apa mau , perbuatan itu diketahui Thian-houw. Karena tak tahan malu, Han-kok Hoedjin achirnja membunuh diri sendiri dengan makan ratjun ".
"Kalau begitu, apakah semua tjerita jang tersiar hanjalah tjerita bohong?", tanja Lie Hian. Orang tua itu kembali menghela napas pandjang.
"Dengan mengangkat diri sendiri mendjadi kaisar, Thian-houw telah digusari oleh banjak sekali orang ", katanja.
"Tapi sebab ia memerintah setjara bidjaksana, orang2 itu tak dapat menjerang kebidjaksanaannja dalam mengendalikan pemerintahan, maka djalan satu2-nja adalah menjiarkan tjerita2 jang tidak2 mengenai penghidupan pribadi Thian-houw ". Paras muka Lie Hian sebentar merah, sebentar putjat, sedang didalam hati, ia merasa malu bukan main.
"Sedang sebagai anak, aku sendiri masih membentji Boe- houw, bagaimana orang lain ?", katanja didalam hati. Sesudah berdiam sedjenak, thay-kam itu berkata pula .
"Pada sebelum berangkat dari kotaradja untuk mengikuti Thian-hee, Thian-houw telah memesan wanti2, supaja hamba merawat Thian-hee se-baik2-nja, sebab Thian-hee tidak bisa menjajang diri. Hamba dipesan, bahwa Thian-hee harus makan dalam tempo jang tentu dan tidak boleh bekerdja terlalu berat. Thian-houw malahan menjesali diri sendiri, bahwa karenarepotnja, ia tak mempunjai tempo lagi untuk merawat dan mendidik anak2. Waktu memesan begitu, Thian-houw kelihatannja berduka sangat dan hamba pun sampai teturutan merasa pilu. Tapi, dalam seantero pembitjaraan, tak sepatahpun Thian- houw menjebutkan perbuatan Thian-hee jang sudah menjembunjikan tentara didalam keraton Tong-kiong ". Sehabis berkata begitu, air mata mengalir turun di kedua pipi thay-kam tua itu. Bukan main rasa malu dan dukanja Lie Hian. Kalau tidak ingat kedudukannja, ia tentu sudah memeluk thay-kam tua itu dan menangis keras. Tapi biar bagaimana pun djuga, ia tak dapat menahan rasa sedihnja dan lalu menangis dengan perlahan. Sesudah membuka isi hatinja, si thay-kam merasa tak enak dan mendengar tangisan itu, ia terkedjut dan menanja .
"Hamba benar2 berdosa besar, Thian-hee, mengapa kau ?". Mendadak Lie Hian mengambil pit dan selembar kertas.
"Ong Kong-kong, kau tidak berdosa ", katanja dengan suara parau.
"Jang berdosa besar adalah aku sendiri. Guna kepentinganku, siang-malam Boe-houw bekerdja untuk mengurus negeri, tapi aku sendiri sedikitpun tidak mengerti pengorbanan jang sangat besar itu. Tjie Keng mempunjai niatan untuk memberontak dan pada bulan jang lalu, ia telah mengirim utusan rahasia untuk menemui aku. Aku malahan sudah bersekutu dengannja dan ingin menggerakkan tentara ber-sama2 ia untuk melawan ibu sendiri. Aih ...! Dari dulu sampai sekarang, mana ada anak jang begitu poet-hauw (tidak berbakti) ?. Hmm ...! Biar bagaimana pun djuga, aku pernah membatja buku dan mengenal aturan. Maka itu, aku sekarang ingin memohon ampun kepada Boe-houw dan aku ingin adukan Tjie Keng. Aku djuga mau minta supaja Boe-houw djatuhkan hukuman atas diriku ...!".
"Gouw-kok-kong Tjie Keng mau memberontak ?", menegas thay-kam itu dengan rasa kaget dan heran. Lie Hian sudah mulai menulis surat dan sambil menulis terus ia berkata .
"Kau heran ? Beberapa hari berselang, malahan aku sendiri ingin berontak. Baiklah, besok aku akan menemui Khoe Sin Soen dan menjerahkan surat ini kepadanja, supaja ia dapat mempersembahkan kepada Boe-houw ...". Sementara itu, Siangkoan Wan Djie jang setjara kebetulan telah mendengar rahasia itu, djadi bingung bukan main. Dengan menulis surat untuk membuka segala rahasia kepada ibunja, bukankah Lie Hian merusak segala rentjana Lie It. Tapi dilain pihak, ia ingat, bahwa inilah untuk pertama kali dalam hati bekas Thay- tjoe itu timbul rasa tjinta jang sungguh2 terhadap ibu kandungnja. Biarpun Boe Tjek Thian musuh besarnja, bagaimana ia tega untuk merusakkannja?. ---oo0oo--- SELAGI ia bersangsi, dibawah ranggon mendadak terdengar seruan orang .
"Utusan Khoe Tay tjiang-koen mohon bertemu dengan Thian-hee !". Seruan itu disusul dengan muntjulnja dua perwira jang terus naik keatas ranggon. Djantung si nona memukul keras, karena ia ingat pesanan Lie It supaja mentjegah pertemuan antara Lie Hian dan Khoe Sin Soen. Kedatangan utusan Khoe Sin Soen djusteru terdjadi tepat pada tengah malam. Pada sesaat jang sangat pendek itu, dalam otak Wan Djie berkelebat beberapa ingatan. Ingatan jang pertama jalah, sesuai dengan pesanan Lie It, ia harus mentjegah Lie Hian menemui orang itu. Tapi segera djuga ia membantah pikirannja sendiri. Mengapa ia mesti bertindak begitu ? Apakah bisa djadi Khoe Sin Soen mengirim orang untuk melakukan pembunuhan ? Khoe Sin Soen adalah seorang djenderal besar dan ketjuali diperintah oleh Boe Tjek Thian sendiri, tak mungkin ia mentjelakakan bekas Thay-tjoe itu. Sesudah mendengar keterangan si thay-kam tua, djangankan Lie Hian, sedangkan ia sendiri sekalipun tidak pertjaja bahwa Boe Tjek Thian akan membunuh puteranja sendiri. Sementara itu, ia pun ingat, bahwa kedatangan Lie It di Pa-tjioe adalah untuk berserikat dengan Lie Hian guna menggerakkan tentara. Dengan adanja perubahan jang mendadak, dimana bekas Thay-tjoe itu sekarang berdiri dipihak ibunja dan mungkin akan segera menjerahkan surat pengaduannja kepada utusan Khoe Sin Soen, maka dalam surat itu ia pasti akan menjebutkan djuga rentjana Lie It. Dengan demikian, dengan terbukanja rahasia pemberontakan itu, banjak sekali menteri setia dari keradjaan Tong bakal binasa. Tapi hampir berbareng, lain pikiran masuk kedalam otaknja. Djika Tjie Keng memberontak, rakjat djelata jang sukar dihitung berapa djumlahnja, akan mendjadi korban peperangan. Ketjelakaan jang menimpa rakjat adalah ribuan kali lipat lebih hebat dari pada ketjelakaan jang menimpa menteri2 setia. Ia pun ingat, bahwa biarpun Boe Tjek Thian bukan seorang kaisar jang mulia, tapi dimata rakjat, dia sedikitnja bukan kaisar jang djahat. Dalam bingungnja, Wan Djie tak tahu harus berbuat apa. Mendadak, ia merasakan berkesiurnja angin dibelakangnja. Dengan kaget ia menengok dan melihat satubajangan hitam baru sadja hinggap diatas tembok. Orang itu segera menuding ruangan dimana Lie Hian berada dan kemudian menundjuk dadanja sendiri. la tentu bermaksud untuk memberitahukan, supaja si nona memperhatikan apa jang terdjadi dalam ruangan itu dan memberi isjarat, bahwa ia adalah seorang kawan. Siapa orang itu ? Tapi Wan Djie tak sempat memikir pandjang2, sebab suara kaki kedua perwira itu sudah kedengaran masuk kedalam ruangan dimana Lie Hian berada. Sesudah melihat tegas, si nona lantas sadja mengenali, bahwa salah seorang adalah perwira jang telah melepaskan anak panah kepadanja ditengah djalan. Lie Hian segera bangun berdiri untuk menjambut tetamunja. Tiba2, perwira jang mendjadi kepala membentak .
"Lie Hian, apa kau tahu dosamu?".
"Thia Tjiangkoen, aku berdosa apa ?", tanja bekas Thay-tjoe itu.
"Anak melawan ibu, menteri melawan kaisar ", djawabnja.
"Thian-houw telah memerintahkan untuk segera mendjalankan hukuman mati terhadapmu !".
"Dusta ...!", teriak si thay-kam tua.
"Tak mungkin ! Tak mungkin Thian-houw memberi perintah begitu !". Lie Hian terkedjut sedjenak, tapi sesaat kemudian, ia berkata dengan suara perlahan .
"Keluarkan firman ...! Djika benar Boe-houw sendiri jang menghendaki kebinasaanku, aku rela menerima hukuman karena aku memang berdosa sangat besar dan pantas dapat hukuman mati !". Paras muka si thay-kam djadi putjat bagaikan majat dan ia berteriak dengan suara gemetar .
"Thian-hee ! Djangan pertjaja segala omongan gila ! Meskipun ada firman, firman itu ...". Belum habis perkataannja, sudah terdengar teriakan menjajat hati dan thay-kam itu sudah dibatjok mati oleh perwira jang satunja lagi. Kedjadian itu terdjadi dengan mendadak, sehingga Wan Djie tidak keburu berbuat apapun djuga. Sesudah thay-kam itu roboh, ia mengajunkan tangan dan dua pisau terbang masuk dengan melewati djendela. Tapi pada saat itu, terdengar teriakan Thay-tjoe, jang mungkin telah dibinasakan oleh panglima she Thia itu. Kedua perwira itu ternjata bukan sembarang orang. Dengan sekali melompat, mereka berhasil meloloskan diri dari sambaran pisau terbang dan hampir berbareng, mereka menerdjang keluar seraja mengajun golok. Apa mau, pada detik jang bersamaan, Wan Djie djuga sedang melompat masuk, sehingga tiga sendjata lantas sadja beradu dengan mengeluarkan suara keras, disusul dengan robohnja seorang kebawah ranggon. Orang jang roboh adalah Siangkoan Wan Djie sendiri. Ilmu pedang si nona sebenarnja tidak terlalu lemah, tapi lweekangnja masih kalah djauh dari kedua lawannja itu. Maka itu, dalam bentrokan sendjata, ia telah terpukul djatuh. Untung djuga, udjung kakinja masih keburu mentotolkan dan dengan memindjam tenaga, ia memutar badan sehingga djatuhnja djadi banjak lebih enteng. Begitu djatuh, dengan gerakan Lee-hie-tah- teng (Ikan-gabus-meletik), ia lantas melompat bangun kembali. Dalam bentrokan sendjata jang barusan, karena si nona menggunakan pedang mustika, maka golok perwira jang satu kena terbabat putus. Dilain saat, ia mendengar suara beradunja sendjata dan melihat seorang lelaki bertopeng, jang menjekel sendjata warna hitam, sedang bertempur hebat melawan kedua periwira itu. Melihat begitu, sambil memutar pedang, ia melompat untuk memberi bantuan.
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa kau mau tjari mati ?", bentak si lelaki bertopeng.
"Lekas lari ...!". Wan Djie terkedjut, karena suara itu seperti djuga sudah pernah didengar olehnja, entah dimana. Sekarang ia mendapat kenjataan, bahwa sendjata orang itu adalah sebatang hoentjwee (pipa pandjang), jang terbuat daripada badja. Si perwira she Thia jang ilmu silatnja tinggi dan tadi berhasil menjelamatkan goloknja dari papasan pedang si nona, dalam sekedjap sudah terdesak dan mata goloknja tumpul dibeberapa bagian, karena kebentrok dengan hoentjwee itu, jang kepalanja sangat besar dan tembakaunja masih menjala, sehingga saban2 mengeluarkan peletikan api dan asap. Si orang bertopeng lihay sekali. Hoentjwee jang menjambar kian kemari bagaikan hudjan- angin digunakan sebagai tombak pendek jang menikam musuh dan sebagai Poan-koan- pit jang saban2 tjoba menotok djalan darah orang. Beberapa saat kemudian, kedua perwira itu sudah ter-sengal2 dan hampir tidak dapat mempertahankan diri lagi. Melihat begitu, Wan Djie merasa heran.
"Ia sudah berada diatas angin dan djika aku membantu, kedua musuh itu bisa lantas dirobohkan ", pikirnja.
"Tapi mengapa ia menjuruh aku melarikan diri ?". Sementara itu, orang2 dalam Ong-hoe sudah tersadar dan suara teriakan terdengar ramai sekali. Se-konjong2 disebelah kedjauhan terdengar suara tertawa jang merdu, tapi menjeramkan. Suara itu tidak terlalu keras, tapi heran sungguh, telah menindih semua teriakan jang ramai, Mendadak, seraja membentak keras, si orang bertopeng mengempos semangat dan menjerang dengan hebat. Dengan saling susul, kedua perwira itu roboh terguling sambil berteriak kesakitan. Pada saat itulah, suara tertawa jang menjeramkan tiba didepan pintu. Bukan main kagetnja si nona, karena ia segera mengenali,bahwa suara itu bukan lain daripada tertawanja Tok-sian-lie !. Sekarang baru ia tahu, mengapa si orang bertopeng menjuruh ia melarikan diri. Bagaikan kilat, si orang bertopeng melompat kearah Wan Djie seraja berbisik .
"Kau dan aku harus kabur dengan mengambil djalan terpisah ". Baru sadja Wan Djie melompat keluar dari tembok belakang, ia mendengar suara Tok-sian-lie .
"Thia Tjiang-koen, mengapa kau sudah turun tangan sebelum aku datang ? Apa kau takut aku merebut pahalamu? Tjelaka ...! Kau ...". Rupanja pada saat itu, baru ia tahu, bahwa si orang she Thia telah dirobohkan dan lalu memberi pertolongan. Tanpa berani menengok, si nona terus kabur. ---oo0oo--- SESUDAH melewati beberapa djalan raja, se-konjong2 ia dengar suara gembrengan dan ribut2. Segera djuga ia mendapat kenjataan, bahwa satu pasukan tentara sedang mengurung rumah penginapan dimana ia dan Lie It bermalam.
"Baik djuga Lie It tidak berada dalam penginapan itu ", katanja didalam hati. Se-konjong2 disebelah kedjauhan terdengar suara terompet, disusul dengan terlihatnja obor2 dalam rerotan pandjang dan kemudian, terdengar teriakan2 rakjat. Tak bisa salah lagi, pikir si nona, tentara jang masuk kedalam kota dan menggeledah rumah2 rakjat, adalah tentara Khoe Sin Soen. Buru2 ia masuk kedalam sebuah lorong ketjil untuk menjembunjikan diri. Malam itu malam tidak berbintang dan seluruh kota diliputi kegelapan, dengan saban2 turun hudjan gerimis. Dalam suasana jang sedemikian, hati Wan Djie pun ditindih kedukaan dan rupa2 pertanjaan berkelebat dalam otaknja. Manusia bagaimana Boe Tjek Thian itu ? Sebelum turun gunung, ia menganggap kaisar wanita itu sebagai iblis perempuan. Sesudah turun gunung, berdasarkan tjerita2 jang didengarnja, Boe Tjek Thian agaknja tidak terlalu djahat. Tapi sekarang, ia kembali menghadapi sebuah teka-teki jang sangat sulit. Apakah Boe Tjek Thian jang memerintahkan pembunuhan atas diri Lie Hian ? Kalau bukan diperintah oleh kaisar itu sendiri, bisa djadi orang2-nja Khoe Sin Soen mempunjai njali jang begitu besar ?. Mendadak sadja, ia berduka bukan main. Ia berduka, karena dalam, hati ketjilnja ia mengagumi Boe Tjek Thian, tapi sekarang sesudah menjaksikan peristiwa hebat itu dengan mata kepala sendiri, ia berbalik membentji kaisar wanita itu. Tanpa merasa ia meraba gagang pedang dan sekali lagi ia bersumpah untuk membunuh musuh besar itu. Dari djalan raja, tentara jang melakukan penggeledahan mulai masuk ke-djalan2 ketjil. Wan Djie ingin melarikan diri, tapi ia bersangsi sebab tidak mengenal djalanan. Djika keluar dari lorong itu, ia kuatir bertemu dengan tentara negeri. Selagi bersangsi, tiba2 berkelebat satu bajangan manusia jang berkata dengan suara per-lahan2 .
"Ikut aku ...!". Dengan bantuan sinar obor jang masuk dari djalan raja, ia lihat, bahwa orang itu, seorang lelaki jang bertubuh kekar, mengenakan pakaian djalan malam jang berwarna hitam dan ia segera mengenali, bahwa dia bukan lain daripada si petani jang ia bertemu pada siang tadi. la girang tertjampur kaget. Ternjata si orang bertopeng jang telah menolong djiwanja, adalah petani jang gagah itu. Si badju hitam paham akan djalanan dan lorong2 dalam kota Pa-tjioe. Dengan mengambil djalanan2 ketjil, mereka berhasil meloloskan diri dari razia dan achirnja tiba dipintu kota sebelah utara. Ketika itu, tentara negeri jang masuk dari pintu kota sebelah selatan belum sampai dipintu kota itu, jang hanja didjaga oleh beberapa serdadu. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, mereka keluar dari tembok kota. Sesudah keluar kota, Wan Djie sangat ingin menanjakan she dan nama orang itu, tapi ia tidak mendapat kesempatan karena si badju hitam terus lari se-tjepat2nja, sehingga mau tak mau, ia terpaksa mengikuti dari belakang. Selang dua djam lebih, mereka sudah melalui kurang-lebih tiga puluh li, tapi orang itu masih tetap belum menghentikan tindakannja.
"Hei ...! Berhentilah dulu, kita mengaso ", seru si nona dengan napas ter-sengal2.
"Tak bisa ...!", djawabnja dengan pendek dan lari terus, malah lebih tjepat lagi daripada tadi.
"Apa dia mau adu ilmu mengentengkan badan denganku ?", pikir si nona dengan mendongkol. Baru sadja ia berpikir begitu, dibelakangnja sudah terdengar suara tertawa menjeramkan, jang disusul dengan bentakan njaring seperti genta .
"Botjah ...! Disini bukan Kiam-kok. Apa kau rasa masih bisa melarikan diri ?". Hati si nona mentjelos. Mereka bukan sadja menghadapi Tok-sian-lie, tapi djuga Ok-heng-tjia ! Ia menengok kebelakang, tapi tak terlihat bajangan satu manusia pun. Mungkin sekali kedua musuh itu masih terpisah beberapa li, tapi suaranja sudah terdengar begitu tegas. Wan Djie tahu, bahwa hal itu hanja bisa terdjadi karena kedua musuh itu mempunjai Lweekang jang sangat tinggi, sehingga merekadapat mengirimkan gelombang suara dari tempat jang djauh. Biarpun kepandaian si nona masih belum seberapa tinggi, tapi sebagai muridnja seorang ahli silat kelas utama, dia sudah mengenal seluk beluk itu.
"Tak heran kalau Tiangsoen Pehpeh kalah dalam tangan mereka ", katanja didalam hati. Beberapa saat kemudian, lapat2 sudah terdengar suara tindakan musuh.
"Apakah sahabat jang berada didepan bukan Ma Goan Thong jang menjembunjikan diri di Pa-san ?", tanja Tok-sian-lie seraja tertawa.
"Dulu, pada waktu djago2 Tionggoan mengepung kami, kau djuga turut serta. Waktu itu, bukan main kegagahanmu ! Tapi mengapa sekarang kau lari lintang-pukang seperti andjing buduk jang takut penggebuk ? Huh ...! Ma Goan Thong ! Hari ini adalah hari terachir dari penghidupanmu !". Siangkoan Wan Djie sudah lelah sekali, tenaganja sudah hampir habis. Ma Goan Thong tertawa dingin .
"Djangan kau buka suara besar ", katanja.
"Saat kau menjandak kami adalah saat kematianmu !". Sehabis berkata begitu, ia lari semakin tjepat.
"Ha ha ha ...!", Tok-sian-lie tertawa pula.
"Pada djaman ini, dimana ada djago2 lagi jang bisa mengerubuti kami ? Andaikata kau menjembunjikan kawan ditengah djalan, sedikitpun kami tak takut ". Si nona tidak berani menengok. Ia lari seperti diuber setan dan sembari lari, diam2 ia merasa heran, karena dalam ketakutan hebat, tenaganja bertambah beberapa kali lipat. Dalam sekedjap mereka sudah melalui lagi belasan lie. Mendadak awan2 hitam membujar dan langit berubah terang, sehingga dusun2 dengan rumah2 penduduknja jang tengah dilewati mereka, memberi pemandangan jang menjegarkan pada fadjar jang sedjuk itu. Tapi di- tengah2 alam jang indah terdapat hawa pembunuhan jang menjeramkan. Tindakan kedua musuh terdengar semakin njata. Tiba2 sambil tertawa berkakakan, Ok-heng- tjia melepaskan sebatang Swee-koet-tjhie-piauw. Siangkoan Wan Djie melompat kesamping, sedang Ma Goan Thong mengebas dengan hoentjweenja dan tepat sekali, piauw beratjun itu masuk kemulut kepala hoentjwee.
"Bagus ...!", teriak Ok-heng- tjia seraja melepaskan lagi dua batang piauw. Sehabis menangkis dengan hoentjweenja, Ma Goan Thong mengeluarkan teriakan gusar. Ternjata, dua batang piauw jang masuk kemulut kepala hoentjwee, telah meretakkan gagang pipa pandjang itu. Ketika itu, Ma Goan Thong dan Wan Djie sudah lari ke lereng gunung, dimana terdapat hutan pohon tho jang kembangnja sedang mekar. Se-konjong2 Ma Goan Thong tertawa berkakakan.
"Kalau kamu mengedjar terus, hutan pohon tho ini akan mendjadi kuburanmu ...!", teriaknja. Ok-heng-tjia gusar bukan main. Dengan berbareng ia mengajun kedua tangan dan melepaskan puluhan piauw beratjun dengan ilmu Boan-thian-hoa-ie (Hudjan-bunga-dilangit). Selagi puluhan piauw itu menjambar bagaikan kilat, tiba2 turun angin, bunga2 tho rontok melajang kebawah dan sungguh mengherankan, begitu tersentuh bunga2, begitu piauw2 itu djatuh berarakan diatas tanah. Meskipun masih berusia muda, Wan Djie sudah sering menjaksikan kedjadian luar biasa. Tapi apa jang dilihatnja sekarang, benar2 puntjaknja keanehan. Menurut pantasnja, tiupan angin itu, jang tidak begitu besar, paling banjak hanja bisa merontokkan daun2 bunga. Tapi kenjataannja, jang rontok adalah seluruh bunga, sekuntum demi sekuntum, dan sesudah terbentur dengan Swee-koet-tjhie-piauw, barulah daun2 bunga itu hantjur berantakan. Apa jang lebih aneh lagi, bunga2 itu dapat memukul djatuh sendjata rahasianja Ok- heng-tjia, jang dilepaskan dengan menggunakan lweekang jang sangat tinggi, sehingga tenaga menjambarnja tidak kalah daripada anak panah. Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie djuga kaget bukan main dan menghentikan tindakan mereka didepan hutan itu. Se-konjong2 dari antara pohon2 terdengar suara tertawa jang merdu njaring, seperti bunji kelenengan perak dan dilain saat, dari dalam hutan muntjul seorang wanita muda jang baru berusia kira2 delapan belas tahun. Nona itu, jang berparas sangat tjantik-aju, mengenakan pakaian warna biru, sedang pada rambutnja jang hitam djengat tertantjap sebatang tusuk konde burung Hong. Dengan tindakan lemah-melambai, ia mendekati kedua memedi itu. Tok-sian-lie adalah seorang jang biasanja sombongkan ketjantikannja sendiri, tapi melihat si nona, ia mengakui kekalahannja. Ke-ajuan gadis itu jang mengandung keangkeran, telah membuat kedua memedi itu tidak bisa tertawa atau mentjatji.
"Ma Goan Thong ", kata si nona sambil mengerutkan alisnja jang ketjil-bengkok seperti bulan sisir.
"Lagi2 kau tjari pekerdjaan untukku ".
"Kedua manusia itu mempunjai asal- usul jang tidak ketjil ", kata Ma Goan Thong.
"Harap Kouwnio suka menolong djiwaku ".
"Siapa mereka ?", tanja si nona.
"Jang perempuan adalah Tok-sian-lie jang dalam kalangan Kang-ouw dikenal sebagai si tukang mentjabut roh ", djawabnja.
"Jang lelaki, si-pembetot njawa, adalah Ok-heng-tjia ". Nona itu tertawa geli.
"Oh begitu ?", katanja seraja menuding dengan ranting tho jang ditjekel dalam tangannja.
"Djangan kau me-nakut2-i aku. Belum tentu mereka bisamentjabut roh atau membetot njawa. Sudahlah ...! Biarlah aku men-djadjal2, apa mereka ada harganja untuk aku turun tangan sendiri ". Ia tersenjum dan lalu membentak dengan suara keras .
"Hei ...! Kau menjerang dengan puluhan Tjhie- piauw, sekarang aku membalas budi dengan sebatang Tho-tjian (anak-panah dari kaju tho) ". Hampir berbareng dengan bentakannja, ranting tho itu melesat seperti anak panah baru terlepas dari busurnja. Mendengar kesiuran angin jang sangat hebat, Ok-heng-tjia tidak berani menjambuti dengan tangannja dan buru2 ia menghunus golok, jang lalu digunakan untuk menjabet ranting itu. Tapi batjokannja meleset dan batang pohon itu, sesudah membentur badan golok jang djadi ber-gojang2, terus menjambar kearah Tok-sian-lie.
"Sungguh lihay timpukan Tjek-yap-hoei-hoa itu ...", memudji si memedi perempuan. 'Tjek-yap-hoei-hoa' adalah ilmu melepaskan sendjata rahasia jang sudah mentjapai taraf kesempurnaan. Dengan menggunakan lweekang jang sangat tinggi, seseorang bisa menggunakan daun atau bunga sebagai sendjata rahasia jang dapat membinasakan musuh. Begitu lekas ranting tho itu datang tjukup dekat, Tok-sian-lie menjentil dengan djeridjinja, sehingga batang pohon tersebut patah djadi dua potong. Tapi, biarpun sudah patah, tenaga menjambar batang pohon itu tidak berkurang. Baru sadja, si memedi ter-girang2, satu patahan menjambar lehernja. Bukan main kagetnja Tok-sian-lie jang dengan tjepat manggutkan kepalanja dalam gerakan Hong-tiam-tauw (Burung Hong manggutkan kepala), tapi tak urung pantek kondenja kena kesambar djuga dan djatuh ditanah.
"Tenaga dalam Tauw-to muka djelek itu masih tjetek ", kata si nona seraja tertawa.
"Karena sedang senggang, biarlah aku melajani kamu berdua untuk sementara waktu ". Selama malang-melintang dalam dunia Kang-ouw, belum pernah Ok-heng-tjia dipandang begitu rendah. Darahnja lantas sadja meluap dan sambil memutar badan, ia melepaskan sebatang Swee-koet-tjhie-piauw ke djalan darah In- tay-hiat, didada si-nona. Timpukan itu, jang dinamakan Hoan-pie-im-piauw (Timpukan piauw-sambil-membalik-lengan), hebat luar biasa, karena dilepaskan dengan menggunakan seluruh tenaga lweekang jang dipusatkan di lengan. Timpukan Boan-thian-hoa-ie jang digunakannja lebih dulu, sudah tjukup lihay, tapi sebab djumlah piauw terlalu banjak, maka tenaga menjambarnja sangat berkurang dan mudah dipukul djatuh. Kali ia adalah lain. Piauw itu bukan sadja melesat dengan tenaga lweekang jang sangat dahsjat, tapi djaraknja pun dekat sekali, sehingga Siangkoan Wan Djie terkesiap dan Ok-heng-tjia kegirangan. Tapi nona itu tetap tenang. la tersenjum tawar seraja berkata .
"Hm ...! Mutiara sebesar beras djuga ingin memperlihatkan tjahajanja !". Piauw menjambar terus, tapi ia tidak berkelit atau mengangkat tangan untuk menangkap atau menangkisnja dan selama ia bitjara, sendjata rahasia itu sudah hampir menjentuh dadanja. Semua orang mengawasi sambil menahan napas. Pada detik jang sangat berbahaja, tiba2 sadja, diluar taksiran semua orang, sendjata rahasia itu berubah arahnja dan "tak !", menantjap di dahan pohon tho jang berdekatan. Wan Djie mengawasi dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Hampir2 ia tak pertjaja matanja sendiri.
"Tjietjie ini tjantik bagaikan dewi ", katanja di dalam hati.
"Apa ia seorang dewi jang baru turun dari kajangan ? Manusia biasa mana mampu menangkis piauw itu tanpa bergerak ?". Sebenarnja, si djelita bukan tidak bergerak, hanja gerakannja tidak dilihat Wan Djie. Apa jang diperbuat nona itu telah mengedjutkan sangat hatinja Tok-sian-lie dan Ok-heng-tjia, jaitu orang jang mempunjai kepandaian sangat tinggi dan sudah kawakan dalam dunia Kang-ouw. Apa jang sebenarnja terdjadi adalah, piauw itu berubah arahnja karena ditiup!. Lweekang sematjam itu, lebih hebat daripada lweekang Tjek-yap-hoei-hoa, sukar diukur bagaimana tingginja. Tapi tjara bagaimana seorang gadis jang masih berusia begitu muda, bisa memiliki tenaga dalam jang begitu hebat ?. Inilah pertanjaan jang hampir tak dapat didjawab. Tapi, meskipun sudah menjaksikan kelihayan sang lawan, kedua memedi itu tentu sadja sungkan menjerah mentah2.
"Siauw-moay-tjoe (adik) benar2 lihay ", kata Tok-sian-lie sembari tertawa.
"Sekarang biarlah aku jang meminta peladjaran ". Ia madju beberapa tindak dan waktu sudah berada sangat dekat dengan si nona, tiba2 ia mengangkat tangan dan "serrr !", djarum2 jang sangat halus menjambar dari berbagai pendjuru. Djarum2 itu jang besar djumlahnja sudah pasti tak bisa ditangkis dengan sekali tiup dan sebatang sadja, kalau menantjap dibadan si nona, sudah tjukup untuk mengambil djiwanja. Bahwa Tok-sian-lie ditakuti dalam kalangan Kang-ouw, sebagian besar adalah karena djarum Touw-hiat-sin-tjiam itu.
"Siauw-moay-tjoe, awas ...!", serunja sambil tertawa njaring dan madju lagi dua tindak seraja mengebas tangannja untuk memberi dorongan lebih keras kepada djarum2-nja.Pada detik jang sangat genting, mata si memedi mendadak ber-kunang2 karena berkelebatnja sehelai sinar merah. Dilain saat, ia lihat tangan lawannja sudah mentjekal selendang sutera jang berwarna merah, sedang semua Touw-hiat-sin-tjiam menantjap di sutera itu !.
"Soeheng !, lari ...!", teriak Tok-sian-lie dengan suara parau. Hampir berbareng gadis itu menjentak selendangnja dan djarum2 beratjun berbalik menjambar kepada kedua memedi itu. Dengan hati mentjelos, Tok- sian-lie melompat tiga tombak tingginja dan semua djarum lewat dibawah kakinja, tapi Ok-heng-tjia jang ilmu mengentengkan badannja belum mentjapai taraf jang tinggi, sudah tjoba menolong diri dengan memutar goloknja bagaikan titiran. Ia berhasil memukul djatuh hampir semua djarum itu, tapi sehatang Touw-hiat-sin- tjiam tidak keburu ditangkis dan menantjap di djalan darah Kiok-djie-hiat, di lengannja. Sementara itu selagi badannja melajang turun kebawah, Tok-sian-lie sudah menghunus pedang dan menjabet lawannja. Sinar merah berkelebat, si memedi bersiul njaring dan pedang lewat diatasan kepala si nona. Wan Djie mengawasi dengan hati ber-debar2. Ternjata, dalam tempo jang sangat pendek itu, kedua lawan sudah bertempur beberapa gebrakan. Dimata Wan Djie, pedang Tok-sian-lie seperti djuga hampir berhasil memapas konde si nona, tapi se-benar2-nja adalah pergelangan tangan memedi itu jang hampir2 digulung selendang. Diambil keseluruhannja, dalam gebrakan2 itu, si nona-lah jang berada diatas angin. Ok- heng-tjia tahu, bahwa pihaknja berada dalam bahaja. Buru2 ia mengerahkan ilmu Ie-kiong-hoan-hiat untuk menahan djalannja djarum Touw-hiat-sin-tjiam jang sedang naik keatas dari djalan darah Kiok-djie-hiat. Walaupun sangat hebat, selama satu-dua djam ratjun djarum itu belum mengamuk, sehingga menurut pikiran Ok-heng-tjia, sesudah merobohkan si nona dengan djalan mengerubuti, ia masih keburu minta obat pemunah. Demikianlah, sambil membentak keras, ia segera menerdjang dan membatjok dengan goloknja.
"Bagus ...!", seru si djelita.
"Hari ini aku memegang peranan Hok-mo Tjoen-tjia untuk menakluki Sian-lie dan Heng- tjia ". Hampir berbareng selendangnja berkelebat untuk menangkis sambaran pedang Tok-sian-lie. Melihat terbukanja lowongan, Ok-heng-tjia melompat dan menjabet dengan goloknja. Mendadak sadja berkelebat sinar dingin, sehingga Ok-heng-tjia terkesiap dan setjepat mungkin menarik pulang goloknja.
"Trang ...!", lelatu api muntjrat, lengannja kesemutan, sedang goloknja somplak !. Ternjata, dengan ketjepatan luar biasa, si nona telah menghunus pedangnja dan memapaki batjokan golok. Untung djuga, pada waktu gadis itu mengirim tikaman susulan, Tok-sian-lie keburu melompat dan menangkis, sehingga dia terlolos dari kebinasaan. Ok-heng- tjia djadi kalap bahna gusarnja.
"Hari ini, kita mesti mampuskan perempuan siluman ini ...!", teriaknja sambil menjerang setjara nekat2-an. Ilmu silat Gwa- kee (ilmu silat luar) dari Ok-heng-tjia dapat di katakan sudah mentjapai puntjak kesempurnaan, sehingga watu ia menjerang sambil mengempos semangat, goloknja mengeluarkan suara men-deru2. Sementara itu, Tok-sian-lie menjerang dengan menggunakan tenaga Im-djioe (tenaga lembek) dan dalam sekedjap, sinar golok dan pedang ber-kelebat2 bagaikan kilat diseputar tubuh si nona. Siangkoan Wan Djie menonton pertempuran itu sambil menahan napas. Si nona djelita lantas sadja mengempos semangat, satu tangan memutar pedang jang turun-naik bagaikan selulup- timbulnja seekor naga ditengah lautan, sedang satu tangan lagi memutar selendang jang ber-putar2 ditengah udara se-akan2 berterbangnja burung Hong. Di serang dengan dua rupa sendjata jang me-njambar2 dengan lweekang jang dahsjat, kedua iblis itu tidak berani datang terlalu dekat. Apa jang lebih luar biasa lagi jalah, si nona djuga menggunakan dua rupa tenaga, jaitu tenaga "keras"
Dan tenaga "lembek", jang dengan bersatu-padu sudah berhasil menahan madjunja kedua iblis itu jang sangat disegani dalam dunia Kang ouw.
Sesudah bertempur beberapa lama, sambil tersenjum si nona mengempos semangat dan kedua sendjatanja lantas sadja me-njambar2 semakin hebat.
Beberapa saat kemudian, napas Ok-heng-tjia mulai ter-sengal2 sedang mukanja berubah putjat, suatu tanda bahwa ratjun djarum sudah mulai bekerdja.
Dalam keadaan begitu, gerakannja djadi terlebih perlahan dan waktu selendang menjambar, ia tidak keburu menarik pulang sendjatanja sehingga kena dibetot dan dilontarkan ketengah udara.
Bukan main kagetnja Tok- sian-lie.
Dengan nekat ia mengirim serentetan serangan hebat dan tiba2 ia menepuk punggung Ok-heng-tjia jang bagaikan lajangan putus, terpental beberapa tombak djauhnja.
Siangkoan Wan Djie terkedjut, karena ia tidak mengerti, mengapa si iblis perempuan menghantam soehengnja.
Dilain detik, Tok-sian-lie melompat dan lari ter-birit2, sesudah lebih dulu melepaskan sedjumlah Touw-hiat-sin- tjiam.
Sekarang barulah Wan Djie mengerti, bahwa si iblis perempuan melemparkan soehengnja supaja Ok-heng-tjia bisa lari lebih dulu dan djarum2 beratjun ituadalah untuk melindungi larinja mereka.
Dengan sekali mengebas, semua Touw-hiat- sin-tjiam sudah menantjap di selendang merah dan sesudah memasukkan pedangnja kedalam sarung, si nona dongak dan tertawa njaring.
Hati Wan Djie meluap dengan kegirangan dan buru2 ia melompat keluar dari belakang pohon tho.
"Tjietjie ...!", serunja.
"Dalam dunia ini masih terdapat satu radja iblis jang laksaan kali lipat lebih djahat daripada kedua iblis tadi. Mengapa Tjietjie tak mau membunuh radja iblis itu jang mentjelakakan dunia ?". Paras muka nona itu mendadak berubah.
"Siauw-moay-tjoe ", katanja dengan suara kaku.
"Apakah kau mau suruh aku mendjadi pembunuh gelap ?". Ia berdiam sedjenak dan kemudian berkata pula .
"Goan Thong, kemari kau ". Ma Goan Thong segera mendekati.
"Kouwnio, semalam bekas Thay-tjoe Lie Hian dibunuh orang !", katanja. Tubuh gadis itu kelihatan bergemetar.
"Apa benar ?", menegasnja.
"Tjoba tjeritakan se-terang2- nja ...". Tanpa menghiraukan Wan Djie, nona itu lalu djalan berendeng dengan Ma Goan Thong, sehingga dengan hati tak enak, nona Siangkoan terpaksa mengikuti dari belakang. Dengan penuh perhatian si djelita mendengari keterangan Ma Goan Thong jang mentjeritakan segala kedjadian se-terang2nja, mulai dari waktu ia bertemu dengan Wan Djie dan Lie It ditengah djalan sampai diubar Tok-sian-lie dan Ok-heng-tjia. Tanpa merasa, mereka sudah berdjalan keluar dari hutan pohon tho. Siangkoan Wan Djie djadi semakin bingung. la tak tahu, siapa adanja gadis itu dan mengapa paras mukanja berubah ketika ia menjebutkan soal membunuh Boe Tjek Thian. Tiba2 ia kaget karena ingat sesuatu.
"Ah ...! Tiangsoen Pehpeh telah memesan, bahwa dalam dunia Kang-ouw jang banjak bahajanja, orang harus ber-hati2 dengan perkataannja ", pikirnja.
"Tapi barusan, sebelum tahu dia siapa, aku sudah mengandjurkan supaja dia membunuh Boe Tjek Thian. Aih ...! Aku terlalu sembrono ". Tapi dilain saat, hatinja terhibur, karena mengingat, bahwa sesudah menolong djiwanja, nona itu pasti bukan orang djahat dan tidak mempunjai maksud jang kurang baik. Diluar hutan tho itu berdiri sebuah gedung indah jang diputari dengan tembok merah dan didalam pekarangannja jang luas, ditanami banjak pohon bunga. Sampai disitu, barulah nona itu menengok dan berkata sambil tertawa .
"Sesudah kau turut datang, ajolah masuk ". Dengan perlahan nona itu mendorong pintu dan begitu pintu terbuka, ia di sambut oleh seorang budak perempuan ketjil jang menanja sambil tertawa .
"Apakah Siotjia tidak bawa pulang kembang ?".
"Djangan sebut2 lagi ", djawabnja seraja tersenjum.
"Aku diganggu oleh manusia jang bernama Tok-sian-lie dan Ok-heng-tjia. Kembang2 pada rontok. Apa Djie Ie belum pulang ?".
"Mungkin tak lama lagi ", djawabnja. Alis si nona berkerut.
"Benar tolol ...!", katanja.
"Semalaman suntuk belum tjukup untuk ia mengurus pekerdjaan jang begitu ketjil ". Sehabis mengomel, ia mengadjak kedua tamunja masuk keruangan tamu dengan kursi-medja jang terbuat dari kaju garu jang sangat mahal harganja. Disatu sudut ruangan itu terdapat beberapa pot bunga anggrek, sedang ditembok tergantung sebuah lukisan indah jang memperlihatkan seorang dewi tjantik dengan pakaian dan ikatan pinggang ber-kibar2 karena ditiup angin. Dalam kesederhanaannja, ruangan itu jang diperlengkapi dengan perabotan dan hiasan mahal, kelihatannja meresapkan sekali.
"Pemilik rumah ini bukan sembarang orang ", memudji Wan Djie dalam hatinja. Sesudah masing2 mengambil tempat duduk, gadis itu berkata kepada Ma Goan Thong .
"Kau membawa Siauw-moay-tjoe datang kemari, tapi apa kau tahu siapa adanja dia ?". Ma Goan Thong dan Siangkoan Wan Djie saling mengawasi, tanpa mendjawab. Nona itu bersenjum.
"Kakek dan gurunja adalah orang2 jang ternama besar ", katanja.
"Kakeknja bukan lain daripada penjair Siangkoan Gie jang kesohor, sedang gurunja adalah Tiangsoen Koen Liang jang pernah mendjadi Kian-tiam pada djaman Thay-tjong Hong-tee ". Wan Djie terkesiap, bagaimana gadis itu bisa tahu asal-usulnja setjara begitu djelas ?. Ma Goan Thong pun tidak kurang kagetnja.
"Ah ...!", dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Aku tak tahu ", suaranja agak gemetar. Sambil mengawasi Wan Djie, nona itu tertawa dan berkata lagi .
"Sekarang ini, nama Siauw-moay-tjoe belum terkenal. Tapi dihari kemudian, ia pasti bakal mempunjai nama jang lebih besar daripada gurunja. Menurut pendapatku, pada djaman ini, ia merupakan Tjay-lie (wanita pintar) nomor satu jang tiada tandingannja. Ma Goan Thong, hari ini kau telah melakukan pekerdjaan jang sangat bagus."
Siangkoan Wan Djie paling senang djika ilmu suratnja dipudji orang. Maka itu, hatinja bungah dan lantas sadja menganggap si nona sebagai sahabatnja. Dilain pihak, Ma Goan Thong pun merasa lega.
"Wan Djie ", kata pula gadis itu.
"Keluargamu adalah keluarga jang termasjhur, sedang kau sendiri pun tjerdas luar biasa. Aku merasa pasti kau paham dengan Khim-kie-Mei-hwa (main khim, main tio-kie, bersjair dan melukis) ".
"Aku hanja mengenal kulitnja peladjaran itu ", djawab Wan Djie denganmerendahkan diri.
"Bagus ", kata si nona.
"Aku ingin sekali minta kau melukis sebuah gambar ". Wan Djie heran.
"Tjietjie, gambar apa jang harus dilukis ?", tanjanja.
"Aku ingin kau lukiskan gambarnja dua perwira jang telah membunuh bekas Thaytjoe Lie Hian ", djawabnja. Wan Djie sebenarnja merasa kurang senang, tapi ia meluluskan djuga permintaan orang. Sesudah mengawasi gambar itu beberapa saat, si nona lalu menjerahkan kepada Ma Goan Thong.
"Aku tak mengerti seni menggambar, tapi kedua bangsat itu dilukiskan setjara mirip sekali ", kata Ma Goan Thong. Se-konjong2 diluar terdengar suara tindakan kaki.
"Djie Ie Tjietjie sudah pulang ", kata si budak ketjil sambil tersenjum.
"Ia membawa enam orang ". Dari gurunja, Siangkoan Wan Djie pernah beladjar ilmu Hok-tee-teng-seng (Sambil mendekam dibumi mendengari suara). Tapi kalau diganggu dengan lain suara, ia masih belum mampu membedakan djumlah orang jang mendatangi, dengan mendengari suara tindakannja. Diam2 ia merasa malu, karena kepandaiannja ternjata masih kalah dari seorang budak.
"Suruh Djie Ie sadja jang masuk kemari ", memerintah si nona. Beberapa saat kemudian, dari luar berdjalan masuk seorang nona muda jang baru berusia kira2 tudjuh belas tahun dengan menggendong buntalan di punggungnja dan menjoren golok dipinggangnja, sedang pada koen-nja jang berwarna ungu, terdapat noda darah. Dari tjara memberi hormat dan sikapnja, ia ternjata seorang budak dari si djelita.
"Apa kau membunuh orang ?", tanja sang madjikan.
"Tidak ", djawabnja.
"Aku teIah menjateroni tiga Shoa-tjee (sarang perampok) dan melukakan empat puluh delapan orang, tapi luka itu semua luka enteng. Enam orang, kepala dan wakil kepala dari ketiga Shoa-tjee itu, telah ditakluki olehku dengan mempergunakan Tiam-hiat-hoat (ilmu menotok djalan darah). Sekarang mereka sudah djinak dan mengikut aku datang kemari "
"Hmmm ...! Untuk pekerdjaan jang begitu ketjil, kau sudah menggunakan tempo begitu lama ", mengomel si nona. Si budak tersenjum dengan sikap ke-malu2an dan kemudian berkata pula .
"Aku pun telah menjelidiki didalam kota. Pria dan wanita jang harus diselidiki tidak berada dalam penginapan. Barang2 lelaki itu tidak kedapatan dan aku lalu membawa pulang buntalan si wanita. Ini dia ...!". Bukan main kagetnja Wan Djie karena ia segera mengenali, bahwa buntalan itu adalah miliknja sendiri. Sesudah menjambuti buntalan itu dari tangan budaknja, si nona lalu menjerahkannja kepada Wan Djie.
"Siauw-moay-tjoe, tjoba periksa, kalau2 ada jang hilang ", katanja.
"Hmmm ....! kau sudah perlu menukar pakaian ". Wan Djie tahu, enam kepala pendjahat itu akan segera dipanggil masuk.
"Apa ia sengadja mau menjingkirkan aku, supaja bisa bitjara dengan leluasa ?", tanjanja didalam hati.
"Siauw-moay-tjoe, kau boleh menukar pakaian dalam kamar tidurku ", kata pula nona itu seraja menuding sebuah pintu.
"Disitu ada sisir dan lain2 alat berhias jang boleh digunakan olehmu ". Wan Djie tidak berlaku sungkan2 lagi, karena pakaiannja, memang sudah kotor sekali. ---oo0oo--- "TERIMA kasih ", katanja seraja masuk kekamar itu sambil menenteng buntalannja. Sesudah menguntji pintu, lapat2 ia dengar si nona bitjara dengan budaknja, disusul dengan suara tertawa. Sambil membuka buntalan, Wan Djie memikiri sikap nona itu jang sangat aneh, sebentar dingin, sebentar sangat ramah-tamah. Ia mengambil seperangkat pakaian warna ungu dan selagi menukar pakaian, tiba2 ia dengar suara orang berkata .
"Kami tak tahu sudah berbuat kedosaan apa terhadap Lie-hiap. Harap Lie-hiap sudi memberitahukan, supaja kami bisa menghaturkan maaf ". Ia kaget sebab suara orang itu kedengarannja tidak asing lagi. Diam2 ia mengintip dari tjelah pintu dan begitu melihat, ia terkedjut karena enam orang itu jang sedang berlutut dalam dua baris, adalah tiga rombongan pendjahat jang pernah bertemu dengannja ditengah djaIan.
"Kau orang tidak berdosa terhadapku ", kata si nona dengan suara dingin.
"Tapi aku mau tanja, bendera apa jang dikibarkan olehmu ?". Salah seorang tertawa djengah.
"Ah ... ! Itu hanjalah kata2 jang biasa digunakan dalam kalangan Liok-lim (Rimba-hidjau, kalangan pendjahat) ", djawabnja. Wan Djie kenali, bahwa orang itu adalah Lauw Sie jang pernah mentjambuk mukanja ditengah djalan.
"Kata2 apa ...?", bentak si nona.
"Ajo bitjara !". Paras muka Lauw Sie lantas sadja berubah putjat.
"Mewakili ... langit. Mendjalankan ... mendjalankan perbuatan mulia ", djawabnja. Si nona tertawa njaring. Sesaat kemudian, ia berkata pula dengan suara tadjam .
"Menindas jang djahat, mengangkat jang lemah, menolong sesama manusia jang perlu ditolong, perbuatan2 itulah jang termasuk sebagai perbuatan mulia. Tapi kamu ? Kamu mentjelakakan orang baik2, merampok rakjat, membudak pada kaum hartawandjahat dan melakukan lain2 perbuatan terkutuk. Apa itu jang dinamakan mewakili langit ?". Keenam pendjahat itu saling mengawasi dengan badan bergemetaran. Beberapa saat kemudian, si nona itu berpaling kepada budaknja seraja berkata .
"Djie Ie, musnahkan ilmu silat mereka, supaja mereka tidak bisa mentjelakakan orang lagi ". Diantara kawan2-nja, Lauw Sie lah jang bernjali paling besar. Mendengar perkataan nona itu, ia lantas sadja berteriak .
"Lie-hiap, aku ingin bitjara dulu ".
"Djie Ie, tunggu dulu ", kata si nona.
"Aku mau dengar apa jang dikatakan olehnja ".
"Teguran Lie-hiap memang tepat sekali ", kata pendjahat itu.
"Tapi kami pun mempunjai kesengsaraan jang tak diketahui orang ".
"Apa itu ?", tanja si nona.
"Untuk bitjara terus-terang, kami adalah orang2 jang bersetia kepada Tjian-tiauw. Biarpun badan kami berada dalam kalangan Liok-lim, hati kami tetapi bersetia kepada keradjaan jang dulu. Untuk membangunkan kembali keradjaan Tong, kami terpaksa mendjadi perampok guna mengumpulkan sendjata dan ransum. Kaum hartawan atau pembesar negeri jang mempunjai hubungan dengan kami, djuga ingin mengundjuk kesetiaannja kepada Tjian-tiauw " (Tjian-tiauw berarti Keradjaan jang dulu, jaitu Keradjaan Tong jang berada dalam tangan orang she Lie. Waktu itu, banjak orang menganggap Tiongkok sudah dirampas oleh keluarga Boe, Boe Tjek Thian). Sehabis berkata begitu, diam2 Lauw Sie memperhatikan paras muka si nona. Pada djaman itu, pembesar2 negeri dan rakjat Tiongkok terbagi djadi dua golongan, jang satu menjokong Boe Tjek Thian, jang lain hendak merobohkannja. Dengan berkata begitu, Lauw Sie se-olah2 seorang pendjudi jang telah melempar dadu dan dalam hatinja ia berdoa, agar si nona berada pada pihaknja.
"Mana buktinja ?", tanja nona itu dengan paras tidak berubah.
"Bukti kami tak punja, tapi pada beberapa hari jang lalu, seorang sanak kaisar telah datang disini dan kami telah menjambutnja ", djawab Lauw Sie.
"Ia telah berdjandji, bahwa pada satu hari akan menggerakkan tentara, ia akan mengangkat kami mendjadi Liong-kie-touw-wie. Lain bulan, pada malam Bulan Bundar (Tjap-go, tanggal lima belas penanggalan Imlek), Lie-hiap boleh pergi kepuntjak Ngo-bie- san untuk menjaksikan sendiri ".
"Menjaksikan apa ?", tanja si nona.
Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung