Pendekar Sejati 1
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 1
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
Pendekar Sejati - Halaman yoza collection Pendekar Sejati - Halaman yoza collection Karya .
Liang Ie Shen / Saduran .
Gan KL Penerbit .
Panca Satya Semarang (1977) Sumber Threads .
andu0396 & P2P Scene Edited & Ebook by .
yoza Pendekar Sejati NGIN meniup, awan berarak, di padang ilalang di lembah sungai Hway pada saat itu tampak duapuluh-tigapuluh penunggang kuda mengiringi sebuah kereta keledai sedang dilarikan cepat menuju ke selatan menyusuri padang rumput yang hijau kemerah-merahan.
Itulah suatu rombongan Piau-kiok, perusahaan pengawalan.
Empat orang yang berada di depan adalah "tukang teriak", yaitu pegawai yang bertugas berteriak minta jalan.
Saat itu beberapa tukang teriak sedang berkaok-kaok.
"Harimau meraung di Tiong-ciu! Harimau meraung di Tiong-ciu! Harap kawan Kang-ouw sudi memberi jalan!"
Di tengah padang ilalang itu hanya tampak burung gagak yang terbang terkejut, selain rombongan perusahaan pengawalan itu tiada kelihatan lagi makhluk lain.
Namun tukang-tukang teriak itu tetap memakai peraturan Kang-ouw bagi perusahaan pengawalan, berada di tempat berbahaya yang mungkin ada isinya itu mereka tetap berteriak sekuatnya.
Perusahaan pengawalan mereka itu bernama "Hou-wi Piaukiok" (perusahaan pengawalan harimau sakti) dan berkedudukan di kota Lok-yang yang juga disebut sebagai "Tiong-ciu", sebab itulah tukang-tukang teriak itu menyerukan istilah "Harimau meraung di Tiong-ciu"
Agar diketahui oleh sesama orang Kang-ouw bahwa yang lewat itu adalah kereta pengawalan Hou-wi Piaukiok dari Lok-yang.
Sekali ini pengawalan dilakukan sendiri oleh pemimpin umum mereka yang bernama Beng Ting.
Hou-wi Piaukiok adalah perusahaan turun- temurun.
Duapuluh tahun yang lalu perusahaan itu pernah macet karena wafatnya ayah Beng Ting.
Tapi setelah Beng Ting berkecimpung beberapa tahun di dunia Kang-ouw, ternyata dia mendapatkan nama yang lebih gemilang daripada sang ayah, lalu dia pulang ke Lok-yang dan mendirikan kembali perusahaan semula.
Hou-wi Piaukiok bertambah maju, namanya tambah terkenal pula.
Dari Lok-yang sampai di dataran sekitar lembah sungai Hway yang meliputi beribu lie jauhnya, dengan nama kebesaran Beng Ting serta merek "Hou-wi Piaukiok"
Yang terkenal, biarpun suasana waktu itu dalam keadaan kacau, namun sepanjang jalan ternyata aman tenteram saja. Hanya saja
Jilid 1 A jurusan ini sebelumnya tak pernah dikerjakan oleh Hou-wi Piaukiok, maka mau tak mau Beng Ting berlaku jauh lebih berhati-hati daripada biasanya.
Kereta keledai yang dikawalnya itu adalah kereta mewah terbuat dari kayu Lay yang kuat, di dalam kereta dilengkapi dengan kasur dan bantal sulaman, dinding kereta pakai kerai pula.
Saat itu kerai setengah tergulung, di tengah bergeletaknya suara roda kereta terdengar pula suara nyaring alat tetabuhan.
Kiranya yang duduk di dalam kereta itu adalah seorang Siocia, seorang puteri keluarga hartawan berusia duapuluhan, dipandang melalui kerai yang setengah tersingkap samar-samar kelihatan penumpang puteri yang cantik molek itu.
Rupanya Siocia itu sedang menabuh Pi-peh (sejenis alat petik mirip gitar) dengan lagu yang bersyair gubahan Sin Gi-cit, seorang penyair kenamaan pada zaman itu, syair yang mengenangkan masa kejayaan negara Song serta keruntuhannya.
Sebenarnya syair itu tidaklah cocok dengan suasana di padang ilalang ini, apalagi Siocia ini adalah "bakal pengantin", sepanjang jalan selalu malu- malu kucing dan jarang bicara, sungguh mengherankan bahwa sekarang dia justru timbul minat untuk memetik sanjak gubahan Sin Gi-cit itu.
Ketika suara Pi-peh berhenti, dua kakek kurus yang berjalan mengiringi kereta keledai itu segera menyuruh kusir menghentikan keretanya, lalu seorang maju ke depan dan berkata kepada penumpang puteri itu.
"Siocia, apakah keadaanmu sekarang sudah lebih baik? Kini sudah waktunya makan obat."
Siocia di dalam kereta itu terbatuk beberapa kali, lalu menjawab.
"Sudah lebih baik daripada kemarin, hanya dada masih terasa sesak dan kesal."
Si kakek menuangkan semangkok arak obat dan memberikan beberapa pil untuk diminum bersama arak, katanya kemudian dengan gegetun.
"Siocia, biasanya engkau hidup senang di rumah, sekarang engkau diharuskan menempuh perjalanan jauh di suasana kacau begini untuk menikah di Yang-ciu, sungguh bikin susah saja padamu."
Calon pengantin puteri itu tampak malu-malu dengan pipi yang bersemu merah, ia tidak menjawab, perlahan-lahan kerai kereta dirapatkannya. Melihat itu, Ciok Tiong, seorang Piau-thau (pengawal) bawahan Beng Ting berkata kepada bosnya itu.
"Penyakit nona Han itu tampaknya bertambah berat, air mukanya tambah pucat. Sekarang pun sudah petang, lebih baik mencari suatu tempat buat bermalam saja di sini."
Tapi Beng Ting menggeleng, katanya.
"Di depan sana adalah tempat berbahaya yang terkenal dengan nama Lo-long-ko (sarang serigala), kalau mau mengaso biarlah kita melewati Lo-long-ko dulu. Bagian jalan ini memang kurang rata, tapi rasanya Siocia itu masih sanggup menahan sakit guncangan."
"Dengan nama Cong-piauthau (pengawal kepala), betapa pun gerombolan penjahat di Lo-long-ko itu akan memberi kelonggaran kepada kita,"
Kata Ciok Tiong dengan tertawa.
"Apalagi Thia-tocu yang bercokol di Lo-long-ko itu kabarnya sangat licin, sebelum dia mulai bekerja tentu mencari keterangan sejelas-jelasnya, bila sasaran yang kurang menguntungkan takkan dikerjakan. Dia bukan orang yang suka perempuan, masakah dia penujui calon pengantin perempuan yang sedang sakit ini?"
"Bukan itu saja persoalannya,"
Ujar Beng Ting.
"Kita menerima pekerjaan orang, maka kita harus mengerjakan dengan baik. Jika barang kawalan dirampas, cara bagaimana kita akan mengganti kerugian orang? Sekali pun Thia-tocu itu tak mengganggu kita, tapi kita sendiri harus menjaga segala kemungkinan, maka biarlah kita istirahat nanti sesudah lewat Lo-long- ko."
Ciok Tiong tidak berani banyak omong lagi, rombongan mereka segera melanjutkan perjalanan.
Dengan perasaan kebat-kebit rombongan mereka memasuki daerah Lo- long-ko yang berwujud suatu padang luas berasal dari timbunan pasir dengan kedua samping diapit oleh bukit yang terjal hingga mirip mulut ular raksasa yang menganga dengan tumbuhan rumput yang lebat, sehingga sukar diketahui apakah di balik semak-semak rumput itu bersembunyi kawanan penjahat atau tidak.
Di luar dugaan Beng Ting, ternyata mereka dapat melalui Lo-long-to dengan aman tanpa sesuatu gangguan.
Setiba di sebuah rimba, di situlah rombongan mereka berhenti mengaso.
Mestinya Beng Ting ingin melanjutkan perjalanan lebih jauh, sebab baru belasan lie saja jaraknya dari Lo-long-ko, jadi di situ masih termasuk wilayah pengaruh kawanan penjahat itu.
Tapi pertama, lantaran hari sudah mulai gelap, kedua, mereka pun sudah terlalu lelah setelah menempuh perjalanan jauh sehari suntuk.
Ketiga, jalan ini baru pertama kali dikenal mereka, perjalanan malam di tempat berbahaya begini tentunya terlalu besar resikonya.
Keempat, nona Han yang dikawal itu dalam keadaan sakit dan perlu mengaso.
Karena keempat alasan ini terpaksa Beng Ting menuruti keinginan orang banyak dan mengaso di tengah rimba itu.
"Berkat wibawa Cong-piauthau sehingga kawanan serigala itu ketakutan, tiada seekor serigala pun yang kelihatan,"
Demikianlah Ciok Tiong berkelakar kepada Beng Ting.
"Ya, sungguh sama sekali di luar dugaanku,"
Ujar Beng Ting sambil merenung.
"Semula aku menduga, andaikan mereka tidak mengganggu kita, sedikitnya akan muncul seorang dua untuk menanyakan tujuan kita. Siapa tahu tanpa rintangan apa-apa kita dapat melewati Lo-long-ko ini dengan aman, hatiku menjadi tidak tenteram malah karena kejadian yang luar biasa ini."
"Mungkin Serigala tua she Thia itu mengetahui Cong-piauthau sendiri yang mengawal, yang dikawal juga bukan harta benda yang berharga melainkan cuma seorang bakal pengantin yang berpenyakitan, makanya mereka sungkan untuk merecoki kita,"
Kata Ciok Tiong.
"Kukira bukan begitu soalnya,"
Kata Beng Ting sambil menggeleng.
"Tahun yang lalu gabungan tiga buah Piau-kiok di Tay-toh pernah mengawal suatu barang antaran dan di sini pula mereka dibegal. Kekuatan gabungan ketiga Piau-kiok itu jelas di atas Hou-wi Piaukiok kita, tapi Thia Lo-long (Serigala tua Thia) toh berani mencaplok bulat-bulat kawalan mereka, makanya jangan kau anggap Serigala tua itu takut kepada kita sehingga tidak berani mengganggu barang kawalan kita ini. Meski yang kita kawal ini bukan benda berharga, tapi uang tanggungan yang telah kita terima jauh lebih besar daripada nilai barang kawalan ketiga Piau-kiok yang kukatakan tadi. Nilai daripada sesuatu barang antaran ditentukan oleh uang tanggungan, yaitu honorarium yang kita terima ini. Apalagi sesuatu benda dapat dinilai, sedangkan manusia tak bisa dinilai. Jika terjadi apa-apa, jelas kita tidak sanggup mengganti kerugian barang kawalan kita ini."
"Tapi kita kan sudah lewat Lo-long-ko yang berbahaya itu, rasanya selanjutnya sudah aman bagi kita,"
Ujar Ciok Tiong.
"Ya, semoga begitulah hendaknya,"
Kata Beng Ting.
Dalam pada itu kedua kakek kurus tadi sedang sibuk memasak obat bagi Siocia mereka, rupanya obat itu mereka bawa dari rumah, di tengah jalan tak dapat memasak obat, terpaksa minum pil dengan iringan arak obat pula.
Kini kereta mereka berkemah di sini, dengan leluasa dapatlah kedua kakek itu memasak obat bagi sang majikan.
"Tiga hari lagi dapatlah kita mengantar nona ini sampai di Yang-ciu,"
Kata Beng Ting pula.
"Sepanjang jalan tidak terjadi apa-apa, kita juga mohon Thian memberi berkah agar kesehatan nona ini lekas sembuh. Ai, sesungguhnya sejak aku menjadi pengawal, baru sekali ini hatiku senantiasa berkuatir. Soalnya kita bertanggung jawab secara berganda. Pertama, harus dihindari perampasan orang jahat dalam perjalanan. Kedua, calon pengantin baru ini harus diantar sampai rumah bakal suaminya dengan selamat. Ciok Piau-thau sudah lebih duapuluh tahun kau berkecimpung di perusahaan pengawalan, pengalamanmu lebih luas dariku, tapi mengawal barang antaran seperti sekarang ini mungkin baru pertama kali ini saja?"
"Ya, memang baru pertama kali,"
Sahut Ciok Tiong.
"Cuma barang yang orang lain tidak berani kawal, kitalah yang berani, beginilah baru papan merek Hou-wi Piaukiok kita bisa bertambah gemilang."
Beng Ting termenung-menung dan tidak bersuara pula, saat itu dalam benaknya sedang timbul pula adegan pada waktu dia menerima "piau" (barang kawalan) yang paling aneh ini.
Hari itu mendung dan hujan rintik-rintik, cuaca yang buruk begitu sudah berlangsung beberapa hari berturut-turut, jalan raya yang paling ramai di kota Lok-yang itu juga menjadi sepi, di jalan raya itulah letak Hou-wi Piaukiok yang terkenal itu.
Sudah lebih sebulan Hou-wi Piaukiok tidak menerima order, kalau melihat cuaca buruk seperti hari ini jelas takkan kedatangan tamu pula.
Karena itu para Piau-thau, para tukang kawal, merasa kesal dan mengobrol iseng di belakang.
Ada yang sedang membicarakan situasi negara pada waktu itu, katanya pasukan ekspedisi Mongol yang menyerang ke benua barat akan dialihkan ke selatan untuk menyerang Tiong-goan.
Ada lagi yang bercerita bahwa Lok-lim Beng-cu Hong-lay-mo-li telah mengeluarkan perintah umum kepada segenap kesatria agar bersatu untuk keluar melawan Mongol dan ke dalam melawan Kim, mempertahankan wilayah negara dan menyelamatkan rakyat jelata.
Ada pula yang bicara tentang pergerakan berbagai pasukan pemberontak dimana-mana, tampaknya kekacauan sukar dihindarkan lagi.
Ciok Tiong adalah Piau-thau paling berpengalaman di Hou-wi Piaukiok, dengan menghela napas ia pun berkata.
"Suasana kacau begini betapa pun sukar untuk diatasi, yang lebih celaka adalah Piau-kiok kita ini. Perjalanan tidak aman, perdagangan macet, mana ada orang yang memberi pekerjaan kepada kita. Kalau keadaan tetap konyol begini, lewat beberapa bulan lagi mungkin kita semua harus makan angin melulu."
Selagi mereka menyesali keadaan yang runyam itu, tiba-tiba datang laporan bahwa ada dua orang tamu ayah beranak dengan dua pelayan tua, mereka datang dengan menumpang dua buah tandu.
Sang ayah mengaku she Han bernama Tay-wi, maksud tujuannya hendak minta Hou-wi Piaukiok mengantar anak perempuannya itu ke Yang-ciu untuk menikah di sana.
Beng Ting telah menimbang masak-masak pekerjaan yang disodorkan ini.
Dari Lok-yang ke Yang-ciu ada belasan ribu lie jauhnya, perjalanan sejauh itu siapa yang berani menjamin takkan terjadi sesuatu? Apalagi yang dikawal adalah manusia dan bukan barang.
Kalau barang dirampas oleh kaum penjahat masih ada harapan diminta kembali berdasarkan kekuatan Piau-kiok, andaikan tidak dapat diminta kembali paling-paling juga cuma memberi ganti rugi saja dan urusan menjadi beres.
Tapi kalau calon pengantin perempuan yang harus dikawal ini dirampas atau diculik penjahat, seumpama akhirnya dapat diminta atau diketemukan kembali, apakah pihak pengantin laki-laki masih mau terima? Walaupun Beng Ting telah menolak tawaran pengawalan itu, namun orang tua she Han itu tetap memohon dengan sangat agar pihak Piau-kiok mau menerimanya, sebab dia sendiri jelas tidak sanggup mengantar anak perempuannya ke Yang-ciu dan itu berarti hari depan kehidupan anak perempuannya akan terganggu.
Orang she Han menyatakan bersedia memberi honorarium sebanyak duaribu tahil emas sebagai biaya pengawalan, begitu jadi segera akan diberi persekot seribu tahil emas, nanti kalau semuanya berjalan dengan baik, sisanya seribu tahil akan dibayar seluruhnya.
Pertama Beng Ting tak dapat menghindari permohonan Han Tay-wi itu, kedua, lantaran sudah sekian lamanya tiada order pekerjaan, sesungguhnya pihak Piau-kiok juga sangat memerlukan uang, duaribu tahil emas adalah suatu transaksi terbesar yang belum pernah diterima Hou-wi Piaukiok sejak berdirinya.
Karena itu setelah ditimbang lagi, akhirnya Beng Ting menerima juga.
Begitulah sepanjang jalan pengawalan Beng Ting selalu kebat-kebit, syukurlah sejauh beberapa ribu lie ternyata tiada terjadi sesuatu.
Kini Lo- long-ko yang terkenal berbahaya juga sudah dilalui, asalkan Thia Lo-long, si Serigala tua she Thia itu tidak mencari perkara padanya, di depan sana sudah tiada kawanan penjahat yang ditakuti lagi, tiga hari lagi mereka sudah dapat sampai di Yang-ciu dengan selamat.
Akan tetapi biarpun Lo-long-ko sudah dilalui, namun masih belum keluar dari wilayah pengaruh kawanan bandit ini.
Meski Beng Ting belum pernah bertemu Thia Lo-long, tapi Serigala tua itu terkenal ganas, dia juga mempunyai empat anak laki-laki yang berjuluk Serigala hijau, Serigala hitam, Serigala kuning dan Serigala putih, semuanya terkenal kejam tanpa kenal ampun.
Selagi Beng Ting masih merasa tidak tenteram, tiba-tiba terdengar suara panah mendesing memecah angkasa sunyi.
Cepat si tukang teriak mengibarkan panji Hou-wi Piaukiok sambil berseru.
"Harimau meraung Tiong-ciu! Harap kawan Kang-ouw sudi memberi jalan!"
Panji pengenal Piau-kiok itu bergambarkan seekor harimau loreng dengan sebuah huruf "Beng"
Yang besar.
Setelah panah bersuara tadi, menyusul terdengarlah riuh ramai suara manusia dan ringkik kuda, lalu dari padang ilalang sana muncul segerombolan bandit, ada yang menunggang kuda dan ada yang berjalan kaki.
Yang berjalan kaki terang sudah sejak tadi bersembunyi di semak- semak rumput situ.
Kawanan bandit itu dengan cepat menyebar luas hingga jalan keluar rimba itu terkurung rapat.
Kepala bandit itu berperawakan sangat tinggi, memakai mantel kulit serigala, berkopiah kulit beruang, berkumis panjang yang sudah ubanan, usianya tentu sudah lebih setengah abad.
Tapi mukanya bercahaya, kedua matanya bersinar, sedikit pun tiada tanda-tanda sudah loyo.
Dua tukang teriak dari Piau-kiok yang berpengalaman segera mengenali orang ini tiada lain daripada kepala bandit Lo-long-ko, Serigala tua Thia Piu adanya.
Di belakang Thia Piu ada pula empat lelaki, yang paling muda berusia kurang lebih duapuluhan tahun, wajahnya putih, alisnya hitam tebal, matanya besar, potongannya ganteng.
Pemuda ini adalah Thia Giok, si Serigala putih, anak bungsu Thia Piu.
Anak sulung Thia Piu berumur hampir empatpuluh tahun, bermuka hijau dan bertaring, wajahnya sangat buruk, bedanya seperti langit dan bumi dengan wajah cakap Thia Giok tadi.
Sedangkan anak kedua dan ketiga si Serigala tua berusia di antara tigapuluhan, yang satu bermantel kulit serigala warna kuning, seorang lagi bermantel warna hitam, masing-masing adalah Thia Ting, si Serigala kuning dan Thia Soh, si Serigala hitam.
Serigala tua Thia Piu membawa sebatang pipa cangklong dengan kantong tembakau, pipa cangklong itu panjangnya satu meteran, bulatannya sebesar ibu jari, warnanya hitam mulus, entah bambu, entah kayu atau besi.
Dengan keras Thia Piu menyedot cangklongnya hingga meletikkan beberapa titik lelatu api, lalu berkata dengan bergelak tertawa.
"Harimau lewat di sarang serigala, maaf, kalau Serigala tua ingin coba belajar kenal kepada sang harimau. Yang ini tentu Beng Cong-piauthau adanya? Kabarnya Cong-piauthau dengan panji pengenalnya telah menjelajahi utara dan selatan Sungai Besar (Tiang-kang, Yang-ce-kiang), boleh dikata setiap orang Kang-ouw pasti kenal nama kebesaran Cong-piauthau. Cuma sayang Cayhe tidak punya rezeki, tempatnya jauh pula sehingga selama ini tidak sempat berkenalan dengan Beng Cong-piauthau yang termasyhur. Tidak nyana hari ini dapat berjumpa di tempat terpencil ini, sungguh beruntung sekali bagiku?"
Cepat Beng Ting memberi hormat dan menjawab.
"Ah, Thia-tocu terlalu memuji saja. Berdirinya papan merek Hou-wi Piaukiok adalah berkat dukungan para kawan Kang-ouw. Sekali ini lewat di tempat Thia-tocu, karena terburu-buru sehingga tidak sempat mengirim kartu dan berkunjung, untuk ini mohon Thia-tocu suka memaafkan dan sudi memberi jalan. Nantu kalau kami sudah kembali tentu akan melakukan kunjungan penghormatan kepada Thia-tocu."
"Ah, jangan sungkan-sungkan,"
Kata Thia Piu.
"Beng Cong-piauthau adalah pengusaha turun-temurun, tentunya paham peraturan Kang-ouw bukan?"
"Mohon penjelasan Thia-tocu,"
Sahut Beng Ting.
"Begini,"
Kata Thia Piu dengan terkekeh.
"Para saudara kami yang hidup melarat ingin minta bagian kepada Cong-piauthau agar mereka dapat hidup layak. Kami tidak berani minta banyak, cukup menurut aturan saja, bagilah separoh daripada barang kawalanmu itu."
"Agaknya Thia-tocu salah sangka,"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Beng Ting.
"Terus terang, yang kami kawal itu bukanlah barang, melainkan seorang perempuan. Pengawalan ini tidak lebih hanya bersifat membantu kawan saja. Barang dapat dibagi, kalau manusia tentunya tak dapat dibeset menjadi dua. Maka dari itu harap Thia-tocu suka memaafkan dan memberi jalan."
Tiba-tiba air muka Thia Piu merengut, katanya.
"Kukira tidak perlu omong kosong, marilah bicara blak-blakan. Katanya pengawalan ini bersifat membantu sahabat, jika kau tidak tamak harta pemberian orang she Han itu, masakah kau mau mengantar anak perempuannya ke Yang-ciu? Memang betul, manusia tak dapat dibeset menjadi dua, tapi emas kan dapat dibagi menjadi dua bagian? Maka tinggalkan saja seribu tahil emas di sini dan segera kami melepaskan kalian lewat."
Terkejut dan heran pula Beng Ting, bahwasanya dia menerima honorarium duaribu tahil emas dari orang she Han itu, hal ini boleh dikata suatu rahasia perusahaan, orang luar pantasnya tidak tahu.
Tapi sekarang si Serigala tua ini sekali buka mulut lantas minta bagian seribu tahil emas, tepat separoh daripada jumlah yang dimintanya, bukankah ini jelas menandakan Thia Lo-long sudah mengetahui seluruh rahasianya? Namun keduaribu tahil emas honorarium itu baru diterima seribu tahil oleh Beng Ting sebagai persekot, sisanya seribu tahil lagi baru akan dibayar bila dia sudah melaksanakan tugasnya.
Apalagi seribu tahil yang telah diterima lebih dulu itu ketika rombongan mau berangkat sudah dibagi-bagi kepada para pegawainya untuk keperluan rumah tangga masing-masing.
Sekarang biarpun segala bekal seluruh anggota rombongan dikeluarkan juga tidak mencukupi seribu tahil perak, apalagi emas.
Maka dengan tersenyum getir Beng Ting menjawab.
"Wah, tarip yang dipasang Thia-tocu apakah tidak terlalu besar? Para saudara Piau-kiok kami biasanya juga hidup menderita, maka sekali lagi kuharap Thia-tocu suka....."
"Hm, selamanya orang she Thia kalau bilang satu tidak pernah berubah jadi dua,"
Sela Thia Piu dengan mendengus.
"Di waktu lampau kita belum pernah saling kenal, tapi selama ini tentunya Cong-piauthau juga pernah mendengar tentang kami."
Walaupun dalam hati mendongkol, namun Beng Ting tetap bersabar, ia memperkirakan kekuatan pihaknya masih sanggup melawan Thia-keh-ngo- long (kelima serigala keluarga Thia), yang dia pikirkan adalah akibatnya bila telanjur menggunakan kekerasan, lebih-lebih nona Han yang dikawalnya itu dalam keadaan sakit, kalau benar-benar terjadi pertarungan, mungkin nona yang lemah itu akan mati ketakutan.
Karena itu Beng Ting ambil keputusan untuk merendah diri asalkan selamat, maka kembali ia memberi hormat dan berkata.
"Orang Kang-ouw seperti kita ini masakah tidak ingin mengikat persahabatan, bahwasanya Thia-tocu sampai buka suara terhadap diriku, seharusnya aku akan menurut saja. Sayangnya kantong kami juga seret, tidak ada persediaan kontan, maka diharap Thia-tocu sudi memberi kelonggaran waktu. Nanti kalau kami sudah pulang ke Lok-yang, barulah kami antarkan seribu tahil emas itu ke tempat Thia-tocu."
Jawaban Beng Ting ini boleh dikata sudah menerima syarat yang diajukan Thia Piu tadi, hanya waktu pembayaran saja yang ditunda.
Para Piau-thau sama sekali tidak menyangka Cong-piauthau mereka sedemikian lemah, masakah menyerah begitu saja, semuanya menjadi mendongkol dan penasaran.
Tak terduga si Serigala tua ternyata belum puas dengan syaratnya itu, kembali ia menjengek.
"Hah boleh juga usulmu itu! Cuma, menurut aturan, kita harus tahan dulu piau yang kau kawal ini, nanti kalau seribu tahil emas terakhir sudah kau bayar, segera kami kembalikan kawalanmu. Selain itu panji pengenal perusahaanmu, maaf, aku pun hendak menahannya."
Padahal berkat panji pengenalnya itu selama berpuluh tahun Hou-wi Piaukiok menjelajahi dunia Kang-ouw, selama itu pula belum pernah ada orang yang berani memandang enteng padanya.
Sekarang Thia Lo-long teryata akan menahan panji itu, keruan betapa sabarnya Beng Ting juga tidak tahan lagi.
Dengan alis menegak segera Beng Ting menjawab.
"Thia-tocu, tampaknya kau sengaja hendak menguji diriku! He, he, kau ingin menahan panji pengenal Hou-wi Piaukiok ini, boleh saja asalkan....."
Tampaknya kedua pihak sudah tak bisa kompromi lagi dan segera akan bergebrak, saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kuda.
Waktu Beng Ting memandang ke sana, dilihatnya jauh di tengah-tengah semak rumput yang lebat sana mendadak muncul pula dua penunggang kuda, dalam sekejap saja kedua penunggang kuda itu sudah tiba, ketika sampai di depan Thia Lo-long barulah menahan kuda mereka secara mendadak.
Kedua penunggang kuda itu ternyata sangat menarik, yang satu adalah kakek berusia lanjut, yang lain adalah nona cilik berumur enambelas- tujuhbelas tahun.
Agaknya Thia Lo-long juga terkejut melihat kedatangan kedua orang itu, dengan tertawa ia lantas menyapa.
"Ciu Lo-yacu, telingamu sungguh tajam dan terpentang panjang benar!"
"Yang kau maksudkan apakah tanganku yang menjulur terlalu panjang?"
Sahut orang tua she Ciu itu dengan acuh tak acuh.
"Ah, Ciu Lo-yacu jangan berkelakar,"
Kata Thia Lo-long dengan mengiring tawa.
"Sedikit dagangan ini masakah engkau sudi? Terus terang, jual-beli yang kukerjakan ini paling-paling hanya akan memberi keuntungan seribu tahil emas saja. Bagimu jumlah ini masakah terpandang sebelah mata?"
Orang tua she Ciu itu melotot, katanya.
"O, jadi maksudmu kau tidak suka atas kedatangan kami kakek bercucu ini?"
Tiba-tiba si nona cilik tadi menyela dengan tertawa.
"Sifat serigala paling serakah. Yaya (kakek), Thia Lo-long kuatir kita membagi rezekinya, maka dia sengaja mengumpak engkau, dia hendak menyumbat mulut kita dengan ucapan kita sendiri."
Sungguh aneh, kalau terhadap rombongan Beng Ting tadi Thia Lo-long bersikap garang, sekarang dia hanya menyengir saja meski disindir oleh si nona cilik. Dengan mengulum senyum ia menjawab.
"Ah, mana bisa jadi begitu. Kedatangan Ciu Lo-yacu dan nona Hong justru kusambut dengan gembira?"
"Kau tidak perlu melantur, Thia Lo-long!"
Omel si nona cilik.
"Jangan kau membelokkan urusan pokok dan mengoceh tentang diriku. Kau berani sembarangan omong, apa kau sangka aku tidak berani menempeleng kau?"
"Ha, ha, ha, aku justru bicara hal yang betul dan penting, nona Hong,"
Sahut Thia Lo-long dengan bergelak tertawa.
"Sedikit emas saja tentu tak dipandang sebelah mata oleh kakekmu. Tapi kalian sudah telanjur datang, mau tak mau aku harus memberi sedikit bagian sebagai tanda hormatku. Maksudku bilamana kelak nona Hong kawin, maka akan kusumbang sekadarnya, jumlah banyak sih aku tidak sanggup, lima ratus tahil emas saja harap engkau sudi menerimanya."
Satu kali tawar saja Thia Lo-long lantas berjanji akan menyumbang limaratus tahil emas kepada si nona cilik, hal ini menandakan betapa dia merasa jeri dan enggan terhadap kedua kakek bercucu itu.
Maka Beng Ting ikut terheran-heran juga mendengar itu, pikirnya.
"Orang macam apakah kakek she Ciu ini sehingga begini ditakuti oleh Thia Lo-long?"
Padahal pengalaman dan pergaulan Beng Ting sangat luas, namun dia tidak tahu bagaimana asal-usul kedua kakek bercucu itu. Dalam pada itu terdengar si nona cilik tadi sedang menjengek pula.
"Thia Lo-long, jangan kau bicara seenaknya. Kau bilang menyambut gembira kedatangan kami, tapi mengapa kau minggat dari sarang serigalamu dan melaksanakan pekerjaanmu di sini? Bukankah memang sengaja menghindari kami?"
Thia Lo-long pura-pura bersikap kaget dan menyesal, sahutnya "Ai, kiranya kalian sudah berkunjung lebih dulu ke Lo-long-ko? Maafkan, karena tidak tahu sehingga tidak mengadakan penyambutan.
Sesungguhnya aku kuatir membikin kaget kakekmu, maka sengaja melakukan pekerjaan ini di tempat yang agak jauh, untuk ini hendaklah nona Hong jangan salah paham.
Tapi lantaran kau sudah datang, maka ke-limaratus tahil emas pasti akan kusumbangkan sebagai emas kawinmu."
"Huh, siapa kesudian menerima ke limaratus tahil emasmu?"
Dengus si nona cilik.
"Jika demikian, tolong tanya apa maksud tujuan kedatangan Ciu Lo-yacu dan nona Hong? Betapa pun aku tak dapat membiarkan nona Hong pulang dengan tangan kosong."
"Memang benar, sudah tentu aku tak dapat pulang dengan bertangan kosong. Aku tidak mau emas, tapi ingin orangnya!"
Sahut si nona cilik. Thia Lo-long terkejut, ia menegar.
"Kau ingin orangnya? Orang apa?"
Sampai di sini barulah si kakek she Ciu tadi bicara, katanya.
"Thia-tocu, bicara terus terang, sebenarnya aku tidak ingin datang ke sini, tapi Siau Hong merengek ingin melihat bakal pengantin perempuan, terpaksa aku mengiringi dia ke sini."
"Pengantin perempuan darimana?"
Ujar Thia Lo-long dengan heran.
"Kenapa kau berlagak pilon? Nona Han di dalam kereta itu bukankah bakal pengantin perempuannya?"
Kata si nona cilik.
"Kudengar pengantin perempuannya sangat cantik, maka sengaja datang buat melihatnya."
Kebetulan waktu itu ada angin meniup sehingga kerai kereta tersingkap sedikit, sekilas semua orang dapat melihat pengantin perempuan yang dimaksud duduk tegak di dalam kereta dengan wajah kepucat-pucatan sebagaimana lazimnya orang sakit, tapi tidak nampak sikap kuatir atau kaget.
Tampaknya apa yang sedang terjadi di luar kereta seakan-akan tak dihiraukannya.
Semula Beng Ting kuatir kalau penumpang puteri itu mungkin akan jatuh pingsan ketakutan, maka ia menjadi terheran-heran melihat nona itu ternyata duduk tenang-tenang saja di dalam keretanya.
Diam-diam ia memuji calon pengantin perempuan itu mempunyai hati yang tabah.
Sementara itu terdengar si nona cilik sedang memuji.
"Ck, ck, ck, memang tidak omong kosong, ternyata benar seorang cantik, Ya-ya, aku menjadi suka kepada Taci ini, aku ingin mengundang dia untuk tinggal beberapa hari di rumah kita."
"Untuk itu kau perlu permisi dulu kepada Beng Cong-piauthau ini, orang berkewajiban mengawal dan melindungi calon pengantin ini,"
Ujar si kakek she Ciu. Meski belum tahu asal-usul orang, mendengar ucapan si kakek yang ramah itu, lekas Beng Ting menanggapi.
"Ya, memang benar aku diminta untuk mengantar nona itu untuk menikah di kota Yang-ciu. Sebab itu kukira kurang pantas....."
"Aku dan dia sama-sama wanita, kalau aku yang menemani dia, kurang pantas apalagi?"
Kata si nona cilik dengan tertawa.
"Maksudku hanya mengundang dia buat tinggal beberapa hari saja, tentu takkan mengganggu hari nikahnya. Aku nanti akan mengantar dia ke rumah keluarga Kok di Yang-ciu itu, untuk ini kau tidak perlu kuatir, bahkan akan menguntungkan kau bukan? Sedikitnya kau tidak perlu kuatir calon pengantin baru yang kau kawal ini akan dirampas oleh kawanan serigala itu."
Beng Ting tambah terkejut demi mendengar si nona cilik menyebut nama keluarga bakal suami penumpang puterinya itu, ia heran mengapa si kakek dan si nona cilik seperti tahu semuanya tentang orang yang dikawalnya itu? Jangan-jangan keluarga Han dan keluarga Kok bukan sembarangan orang sehingga berita tentang perkawinan putera-puteri kedua keluarga itu sebelumnya sudah diperhatikan oleh mereka? Sebelum Beng Ting menjawab, agaknya Thia Giok, Serigala putih, sudah tidak sabar lagi, katanya.
"Nona Hong, jika kau penujui dagangan ini, sebenarnya kami juga tak dapat mengabaikan, cuma menurut peraturan Kang-ouw, selayaknya dibedakan pula siapa yang datang lebih dulu dan siapa yang belakangan."
Kiranya Thia Giok menjadi tertarik oleh kecantikan pengantin baru itu.
Seperti juga ayahnya, semula mereka hanya bermaksud mencari harta saja dan tidak ingin merampas orang.
Sekarang timbul pikirannya buat merebut calon pengantin itu untuk dijadikan istri sendiri.
Maka terdengar si nona cilik tadi menanggapi dengan melotot.
"O, jadi kau tidak setuju?"
"Ai, jangan nona Hong bergurau,"
Cepat Thia Lo-long menyela pula.
"Bicara yang benar saja, biarlah engkau lepaskan pengantin perempuan ini, nanti kusumbang limaratus tahil emas sebagai emas kawinmu."
"Huh, siapa ingin pada limaratus tahil emasmu?"
Jengek si nona cilik.
"Aku akan membawa pulang bakal pengantin ini, secara terbalik, biarlah aku yang memberikan limaratus tahil emas padamu dan kau tak perlu ikut campur lagi urusan ini."
"Tidak bisa, tidak bisa!"
Seru Thia Giok.
"Manusia punya muka, pohon punya kulit, kalau dagangan Thia-keh-ceh dicegat orang di tengah jalan, lalu kelak cara bagaimana kami dapat berdiri di dunia Kang-ouw? Ayah, jangan kau terima tawarannya."
Sebenarnya Thia Giok cukup tahu kelihaian si kakek she Ciu, tapi ia menaksir dengan gabungan pihaknya ayah beranak lima orang rasanya masih jauh lebih kuat dibandingkan kakek bercucu pihak lawan.
Selagi kedua pihak saling ngotot, tiba-tiba.
terdengar suara ringkik kuda, kembali muncul pula seorang tamu yang tak diundang.
Orang ini adalah Su- seng (kaum pelajar, sastrawan) bermuka putih, usianya kurang lebih tigapuluhan, tangan memegang kipas lempit, begitu datang lantas bertanya dengan cengar-cengir.
"Dimana calon pengantin perempuannya? Coba kulihat, apa benar cantik sekali?"
Saat ini Siocia dalam kereta itu baru saja menurunkan kembali tirainya, tapi keburu dilirik sekejap oleh Su-seng pendatang ini. Seketika sukma Su- seng itu seakan melayang ke awang-awang saking kesengsemnya. Dengan bergelak tertawa ia mengoceh pula.
"Ha, ha! Hebat sekali! Sudah sangat banyak nona cantik yang kulihat, tapi perempuan ayu seperti ini benar-benar jarang ada. Thia Lo-long"
Biar kupersen kau seribu tahil emas dan si cantik ini kau serahkan padaku saja untuk menjadi pengantin dengan aku."
"Kentut! Memangnya kau anggap diriku ini makelar cabo (pelacur)?"
Jawab Thia Lo-long dengan gusar.
"Kau Rase gasang ini jika memang sudah gatal, silakan cari perempuan lain saja di tempat jauh, dalam lingkungan ratusan lie sekitar Lo-long-ko ini sekali-kali aku orang she Thia tidak mengizinkan kau main gila di sini."
Su-seng itu tertawa latah sambil kebas-kebas kipasnya.
"Thia Lo-long, jangan kau berlagak suci, tidak perlu munafik. Jika kau ingin mendapatkan orang dan harta sekaligus, kukira perhitunganmu pasti meleset. Lebih baik kau ambil emasnya dan aku ambil si cantik, masing-masing mendapatkan bagian, sama-sama senang bukan?"
Sebenarnya Thia Lo-long rada jeri terhadap Su-seng ini, kalau saja si kakek she Ciu tidak hadir di situ, bisa jadi dia akan mengadakan tawar- menawar dengan Su-seng itu.
Tapi di hadapan orang banyak sekarang, ucapan Su-seng itupun terlalu angkuh, jelek-jelek Thia Lo-long adalah pemimpin suatu gerombolan bandit terkenal, mana dia mau dihina? Maka dengan keras ia semburkan asap tembakaunya, lalu berkata.
"Kau Rase gasang ini tahu aturan Hek-to (kalangan hitam, kaum bandit) tidak? Pendek kata, bak-pau hangat ini belum menjadi bagian makananmu, sekali kubilang kau dilarang ikut campur tangan, maka tetap kau dilarang ikut campur."
"Tapi aku justru ingin ikut campur tangan, kau mau apa?"
Sahut Su-seng itu dengan cengar-cengir. Sebelum Thia Lo-long menanggapi lagi, tiba-tiba si nona cilik bernama Siau Hong tadi menyela pula.
"Rase she An, boleh juga jika kau ingin ikut campur tangan, hanya saja kau mesti meninggalkan dulu sejenis barangmu sebagai jaminan!"
Dengan mata yang sengaja disipitkan Su-seng itu menjawab dengan tertawa.
"Barang apa? Jika nona Hong yang minta, sekali pun rembulan di atas langit juga akan kuambilkan buat kau."
"Yang kuhendaki adalah kedua biji matamu itu,"
Jengek si nona cilik.
"Nah, boleh kau mencungkilnya sendiri saja!"
"Wah, kalau biji mata dicungkilkan tidak dapat melihat perempuan cantik lagi,"
Kata Su-seng itu.
"Lalu apa artinya hidup ini jika tak dapat melihat orang cantik? Nona Hong, kelakarmu ini terasa kebangetan sedikit."
"Siapa berkelakar dengan kau?"
Jengek si nona cantik.
"Dengar itu, kakek, dia tak mau mencungkil biji mata sendiri, terpaksa kita yang melakukannya. Kakek yang turun tangan atau aku saja?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti dulu,"
Sahut si kakek.
"dia kan belum ikut campur tangan!"
Di balik ucapan itu si kakek seakan-akan hendak mengatakan, jika Su- seng itu berani turun tangan merampas penumpang kereta, maka biji matanya segera akan dicungkilnya.
Biarpun sejak tadi si Su-seng selalu cengar-cengir dan berlagak acuh tak acuh terhadap lawan-lawannya, tapi di dalam hati sebenarnya juga rada takut, digertak oleh si nona cilik, terpaksa ia tak berani bergerak lebih lanjut.
Mendengar si Su-seng dijuluki "Rase gasang", tiba-tiba Beng Ting teringat kepada seorang penjahat tukang rusak anak perempuan yang terkenal di dunia Kang-ouw, yaitu si Rase liar yang bernama An Tat.
Jika benar Su-seng ini adalah An Tat, maka itu berarti bertambah lagi seorang lawan tangguh baginya.
Maklumlah, Rase liar An Tat itu terkenal dengan ilmu Tiam-hiatnya yang khas, di samping itu Ginkangnya juga sangat bagus.
Begitulah setelah menimbang kekuatan masing-masing pihak, diam-diam Beng Ting membatin.
"Satu sarang serigala ditambah lagi rase saja sudah sangat sulit ditandingi, belum lagi orang tua she Ciu yang tampaknya sangat disegani oleh Thia Lo-long dan Rase gasang ini, tentu ilmu silatnya di atas Thia Lo-long dan yang lain-lain."
Sekali pun Beng Ting sama sekali tiada punya harapan akan menang, tapi nama baik Hou-wi Piaukiok betapa pun tidak boleh hancur di tangannya.
Di depan mata sekarang ketiga kelompok bandit itu saling ribut sendiri, ada yang ingin emas, ada yang mengincar puteri cantik, hakikatnya rombongan Piau-kiok dianggap tidak ada, keruan Beng Ting menjadi gemas, mendadak ia bersuit panjang, lalu berkata.
"Kalian tidak perlu ribut dan banyak omong lagi, yang jelas, siapa di antara kalian ingin ikut campur tangan, maka lebih dulu harus minta izin dulu kepada pedangku ini!"
Suara suitannya itu adalah tanda siap siaga, maka orang-orang Piau-kiok serentak memencarkan diri, keempat Piau-thau menjaga di samping kereta keledai, yang lain-lain segera mengambil posisi yang menguntungkan.
Sedang kusir kereta dan tukang-tukang teriak jalan tadi lari mencari tempat berlindung di kejauhan.
Memang begitulah peraturan di kalangan hitam, kaum bandit yang hendak merampas barang kawalan hanya menghadapi para Piau-thau yang mengadakan perlawanan kepada mereka.
Orang-orang Piaukiok yang lain, asal saja tidak ikut bertempur, menurut etika Kang-ouw biasanya takkan diganggu.
"Nah, itu dia, pemegang lakon sudah tampil ke muka, sekarang kita bagaimana?"
Demikian si kakek she Ciu berkata dengan tertawa. Thia Lo-long ketok-ketok cangklongnya, lalu berkata.
"Harimau yang kesasar takkan galak lagi. Aku Serigala tua ini juga ingin coba-coba menempur si harimau Ciu Lo-yacu, jika aku kena dicaplok harimau, barulah nanti engkau yang maju."
Di balik ucapannya mengandung arti siapa datang lebih dulu dia yang dapat. Si kakek she Ciu menjawab dengan tertawa.
"Ya, boleh juga, dengan demikian takkan mendatangkan cekcok. Dan kau, An-lote, kau juga harus antri di belakangku, bila aku tersedak oleh bak-pau ini, dengan sendirinya akan kuserahkan kepadamu."
Sebenarnya An Tat tidak setuju, tapi setelah dipikir lagi, kalau mereka dibiarkan bertempur dulu dengan orang-orang Piau-kiok, hal ini berarti menguntungkan juga baginya.
Asalkan kedua pihak yang saling genjot itu akhirnya mati atau terluka semua, maka ia sendiri akan menerima hasilnya tanpa susah-susah lagi.
Setelah menimbang sejenak, akhirnya An Tat mengangguk setuju.
"Baik, sekarang kita saksikan dulu apakah serigala lapar mampu berebut pangan dari mulut harimau atau tidak,"
Jengek si nona cilik tadi. Thia Lo-long sangat mendongkol, ia merasa dihina oleh budak cilik itu, segera ia pun menjengek.
"Nona Hong tidak perlu kuatir menang atau kalah bagiku, yang jelas kau pasti akan menghemat limaratus tahil emasmu itu." ~ Habis berkata ia lantas melangkah ke depan dengan menjinjing pipa cangklongnya yang panjang itu. Tapi mendadak Thia Ko, Serigala hijau, mendahului ayahnya maju ke depan sambil berseru.
"Sembelih ayam tidak perlu pakai golok, bunuh anjing tidak perlu gunakan pedang, ayah! Hm, apa yang disebut Cong- piauthau dari Hou-wi Piaukiok dalam pandanganku tidak lebih seekor anjing. Harap ayah serahkan dia padaku saja!"
"Anjing juga bisa menggigit orang, maka kau harus hati-hati,"
Ujar Thia Lo-long dengan tertawa. Tampaknya seperti berpesan pada puteranya agar jangan pandang enteng kepada musuh, tapi sebenarnya menghina Beng Ting. Ciok Tiong, wakil Beng Ting, menjadi g-usar, segera ia pun mendahului maju dan berseru.
"Cong-piauthau, biar aku membeset selembar kulit serigala untukmu, hanya saja kulit serigala ini entah cocok dengan seleramu atau tidak?"
"Kulit serigala yang budukan dan berbau tidak cocok untuk dibikin mantel, tapi dapat digunakan untuk membungkus mayat,"
Ujar Beng Ting dengan tertawa.
"Maka dari itu kulit serigala yang kau beset nanti boleh kau sumbangkan kepada Thia-tocu saja."
Sebagai Cong-piauthau, biasanya Beng Ting sangat ramah kepada setiap orang, soalnya pihak lawan sekarang terlalu kasar, makanya dia balas mengolok-olok.
"Tidak perlu banyak bacot, lihat gada!"
Bentak Thia Ko yang berperawakan tinggi besar, senjata yang dipegangnya adalah sebuah Long- geh-pang, gada bergigi seperti taring serigala.
Hantaman gadanya sungguh luar biasa hebatnya.
Sedangkan senjata Ciok Tiong adalah sebuah golok tebal, cepat ia angkat goloknya sehingga gada Thia Ko tertangkis ke samping.
Terdengar suara nyaring beradunya senjata, tangan kedua orang sama-sama pegal dan sama- sama tergetar mundur dua tindak.
Nyata, sekali gebrak saja telah diketahui tenaga kedua orang sama besarnya.
Ketemu lawan yang sembabat, Thia Ko menjadi murka, sekali menggerung kembali gada bergigi itu menyerampang dari samping.
Diam-diam Ciok Tiong berpikir harus menyimpan tenaga untuk menghadapi lawan-lawan yang lain terutama si Serigala tua yang pasti lebih lihai itu.
Maka sedapat mungkin ia menghindari benturan senjata lagi, cepat ia menggeser ke samping terus menabas.
Dengan perubahan posisi ini, permainan golok Ciok Tiong lantas lebih mantap, ia kurung lawannya di bawah sinar goloknya yang menyambar bagai kilat.
Melihat itu, serentak orang-orang Piau-kiok bersorak memberi pujian.
Thia Ko menjadi kalap, bentaknya.
"Biar aku mengadu jiwa dengan kau!"
Perawakan Thia Ko jauh lebih tinggi daripada Ciok Tong, dengan kemplangan gadanya yang bergigi itu ia yakin pasti bisa membikin kepala lawan hancur lebur biarpun ia sendiri akan terluka oleh golok, tapi golok lawan belum pasti mengenai tempat yang berbahaya, sebaliknya kemplangan gadanya pasti akan membinasakan Ciok Tiong.
Melihat kenekatan Thia Ko, orang-orang Piau-kiok yang tadi bersorak menjadi terkejut dan kuatir.
Di tengah berkelebatnya senjata itu terdengar suara "trang"
Yang keras, Thia Ko melompat ke samping, sedang Ciok Tiong tetap berdiri di tempat dengan tenang sambil mengelus goloknya, katanya dengan tersenyum.
"Terima kasih atas kesudian mengalah Thia Siau-cecu."
Waktu Thia Ko memeriksa gada sendiri, ternyata gigi-gigi tajam di atas gadanya telah rompal beberapa buah.
Padahal gadanya tadi mengemplang dari atas ke bawah, terang Ciok Tiong telah menabaskan goloknya dari bawah ke atas secara miring, gigi di atas gada terpapas beberapa buah, tapi tidak melukai lengannya, maka tabasan golok lawan itu sungguh luar biasa hebatnya.
Melihat itu, orang-orang Piau-kiok baru merasa lega dan serentak bersorak pula.
Pantasnya, setelah kalah satu gebrak mestinya Thia Ko mengaku kalah dan mengundurkan diri.
Tapi dasar sifatnya memang kasar, dia tetap tidak mau mengaku kalah, dengan muka merah-padam kembali ia menubruk mau, Long-geh-pang segera menghantam lagi sambil membentak.
"Orang she Ciok, hari ini kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang mati. Kalau mampu boleh kau tabas kepalaku ini!"
Orang-orang Piau-kiok penasaran melihat sikap Thia Ko itu, beramai- ramai mereka lantas mengolok-olok dan menyindir.
Karena sindiran itu, Thia Ko bertambah kalap, segera ia menerjang serabutan dan menyerang terlebih kencang.
Menghadapi orang kalap begitu, mau tak mau Ciok Tiong mencurahkan perhatian untuk melayani.
Dalam sekejap saja kedua orang sudah bergebrak belasan jurus pula.
Ciok Tiong pikir kalau Thia Ko terbunuh, tentu kawanan serigala itu akan menyerang rombongan Piau-kiok dengan mati-matian.
Sebaliknya kalau tidak dibunuh, tampaknya Serigala hijau itu tidak tahu diri, hal ini menjadi serba susah baginya.
Melihat kekalapan puteranya itu, Serigala tua Thia Piu juga mengerut kening, segera ia pun berseru.
"Jangan main hantam melulu!"
Akan tetapi Thia Ko sudah telanjur kalap, biarpun diberi petunjuk oleh ayahnya masih juga tidak dapat berlaku tenang. Lama-lama Ciok Tiong menjadi gemas juga, pikirnya.
"Manusia tidak mau mencelakai serigala, tentu juga serigala akan gigit manusia. Biarlah, karena keparat ini tidak tahu diri, terpaksa kuberi sedikit hajaran padanya!"
Segera ia mainkan goloknya dengan gaya lain, goloknya berputar dan menyambar dengan cepat, dalam waktu singkat saja Serigala hijau Thia Ko menjadi kerepotan.
Andaikan Ciok Tiong mau membereskan dia, tentu sejak tadi Thia Ko sudah dilukainya.
Thia Piu mengerut kening"
Katanya kepada Serigala putih.
"Anak Giok, kau maju menggantikan Toakomu!"
Di antara keempat putera Thia Piu itu, kepandaian Serigala putih Thia Giok terhitung yang paling tinggi biarpun dia adalah anak bungsu.
Sebab itulah Thia Piu menyuruhnya maju menggantikan kakak sulungnya.
Belum Thio Giok melangkah maju, tiba-tiba terlihat sinar golok berkelebat, Ciok Tiong telah mengeluarkan jurus maut, gada bergigi Thia Ko disampuk ke samping, menyusul ujung golok menjojoh ke depan, tampaknya tubuh Thia Ko segera akan berlubang.
"Celaka!"
Seru Thia Giok sambil berlari maju.
Tapi sebelum tiba di tempat tujuan, terasa angin berkesiur di sampingnya, sesosok bayangan telah melayang lewat lebih dulu ke sana, saat itu ujung golok Ciok Tiong sudah hampir berkenalan dengan tubuh Thia Ko.
Tapi mendadak terdengar suara "trang"
Sekali, golok Ciok Tiong yang tebal itu tahu-tahu ditekan oleh sebatang pipa cangklong sehingga tidak berkutik pula.
Kiranya orang yang melayang lewat di samping Thia Giok itu tak lain tak bukan adalah Thia Piu sendiri, ia keburu tiba tepat pada waktunya sehingga jiwa Thia Ko dapat diselamatkan.
Golok Ciok Tiong yang tebal itu beratnya antara limapuluh-enampuluh kati, tapi kena ditekan sedikit saja oleh pipa cangklong Thia Piu yang kecil itu rasanya seakan-akan ditindih oleh batu yang beribu kati beratnya sehingga tangan terasa kesemutan.
Keruan Ciok Tiong terkejut.
"Ciok Piau-thau, hebat benar pemainan golokmu!"
Seru Thia Piu dengan tertawa.
"Kalau anak kecil membikin marah padamu, harap sudi memberi kelonggaran."
Terkejut dan gusar pula Ciok Tiong, mukanya menjadi merah, ia menarik sekuatnya barulah goloknya dapat ditarik kembali dari tindihan pipa lawan. Lalu menjawab.
"Jika Thia-tocu juga ingin menjajal diriku, masakah aku berani menolak?" ~ Untuk mempertahankan nama baik Hou- wi Piaukiok, walaupun tahu bukan tandingan orang juga dia siap untuk bertempur lagi. Tapi orang-orang Piau-kiok yang lain serentak mengolok-olok pula, ada yang berseru.
"Huh, anaknya kalah, yang tua maju, sungguh tidak tahu malu."
Ada pula yang menyindir.
"Menghadapi seorang Piau-kiok kita saja main giliran. He, he, mereka benar-benar menghargai jago kita!"
Ketika Beng Ting hendak maju sendiri, dilihatnya Thia Lo-long telah buka suara sesudah menyedot dua kali tembakannya dan menyemburkan asap putih, katanya.
"Babak tadi jelas dimenangkan oleh Ciok Piau-thau. Hanya saja aku masih ada seorang anak kecil, dia belum berpengalaman dan tidak kenal tingginya langit atau tebalnya bumi, dia juga ingin belajar kenal dengan kepandaian Ciok Piau-thau yang hebat. Jikalau Ciok Piau-thau anggap cara kami itu main tempur giliran, maka boleh batalkan saja."
Baru sekarang semua orang mengetahui bukan Thia Lo-long yang ingin bertempur sendiri, tapi mewakili putera bungsunya menantang Ciok Tiong. Dengan gusar Ciok Tiong menjawab.
"Masakah aku takut kalian bertempur secara bergiliran segala, kalian bolch maju satu per satu, Serigala tua boleh, serigala cilik juga boleh, hayolah maju."
Tiba-tiba seorang dari rombongan Piau-kiok tampil ke muka dengan menjinjing tombak, serunya.
"Ciok-toako, jangan terkena pancingan musuh. Biar kau saja yang belajar kenal dengan Serigala putih ini!"
Yang maju ini adalah Ji Cu-kah, salah satu dari keempat Piau-thau pembantu Beng Ting, kedudukannya di dalam Hou-wi Piaukiok hanya di bawah Ciok Tiong saja.
Tapi usianya lebih muda dan tenaga lebih kuat, permainan tombaknya hebat, maka orang memberi julukan "Pek-ma-gin- jiang"
Atau si tombak perak berkuda putih.
Bicara tentang kepandaian sejati mungkin lebih tinggi daripada Ciok Tiong.
Dahulu Ji Cu-kah pernah bekerja menyelundupkan garam gelap di sekitar lembah Sungai Hway, maka dia cukup jelas seluk-beluk kelima Serigala keluarga Thia, ia tahu di antara kelima ekor serigala itu, kecuali Serigala tua Thia Piu, maka Thia Giok terhitung paling menonjol di antara keempat saudaranya.
Sedangkan Ciok Tiong sudah bertempur satu babak, tentu tenaga sudah berkurang dan bisa jadi akan kecundang menghadapi Serigala putih lagi, sebab itulah Ji Cu-kah lantas tampil ke muka untuk menggantikannya.
Lebih dulu Thia Giok memberi hormat, lalu berseru.
"Thia Giok masih muda dan belum berpengalaman, sudah lama kagum terhadap nama Piau- kiok kalian yang hebat, maka diharap Piau-thau mana yang sudi memberi pengajaran, untuk itu Cayhe sangat berterima kasih."
Thia Giok bermuka cakap, sikapnya ramah, bicaranya sopan pula, hal ini membikin orang-orang Piau-kiok heran mengapa begitu berbeda dengan kakak-kakaknya.
Hanya Ji Cu-kah saja yang tahu jelas pribadi Serigala putih itu, meski lahirnya sopan dan ramah, tapi sebenarnya culas dan keji, jauh lebih sulit dilayani daripada ketiga kakaknya.
Hanya saja usia Thia Giok baru duapuluhan tahun, Ji Cu-kah yakin tombaknya masih sanggup bertahan andaikan tidak mampu mengalahkannya.
Begitulah Ji Cu-kah lantas membalas hormat dan menjawab.
"Ah, Thia Siau-tocu terlalu sungkan, silakan keluarkan senjata, biar Cayhe yang mengiringi bermain beberapa jurus dengan kau."
"Mana aku berani, kalian adalah tamu, silakan Ji Toa-piauthau saja yang memberi petunjuk lebih dulu,"
Sahut Thia Giok. Tiba-tiba si nona cilik tadi tertawa mengikik dan berkata.
"Kalian apa mau besanan hingga bicara bertele-tele sebanyak itu? Kalian tidak bosan, akulah yang merasa muak!"
Segera Ji Cu-kah berkata.
"Baiklah, aku tidak sungkan-sungkan lagi, silakan Thia Siau-tocu menyambut seranganku ini!"
Habis berkata, tombaknya lantas berputar.
"sret"
Sekali, dengan cepat ia menusuk.
"Bagus!"
Seru Thia Giok sambil mengelak ke samping dan melolos pedangnya, menyusul ia balas menabas kaki lawan.
Ji Cu-kah terkesiap oleh kecepatan lawan, lekas ia berputar, ujung tombaknya balas menusuk iga orang.
Jurus ini memaksa musuh harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu.
Benar juga, terpaksa Thia Giok menarik kembali pedangnya dan mengelakkan diri, habis itu dengan gerakan "Pek-hou-liang-ih" (bangau putih pentang sayap), pedangnya mendadak menabas pundak Ji Cu-kah.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Ji Cu-kah juga tidak gampang kecundang, ia mendek ke bawah sambil menggeser ke samping menyusul tombaknya lantas menusuk pula secara bertubi-tubi, terpaksa Thia Giok juga putar pedangnya menangkis dan menyerang dengan sama cepatnya.
Dan begitulah kedua orang serang menyerang dengan cepat dan sukar ditentukan siapa yang kalah dan menang.
Dalam sekejap saja tigapuluh-empatpuluh jurus sudah berlalu.
Semula Ji Cu-kah mengira usia Thia Giok masih muda, betapa pun tinggi kepandaiannya tentu juga belum cukup masak, bila sudah bertempur lama tentu akan kelihatan lubang kelemahannya.
Tak terduga meski sudah berpuluh jurus, bagaimana pun Ji Cu-kah menyerang ternyata pihak lawan juga tetap dapat melayani dengan sama kuatnya.
Sedangkan di sekitarnya kawanan bandit yang lain masih mengerubung dan tunggu kesempatan, mau tak mau Ji Cu-kah menjadi gelisah.
Diam-diam ia berpikir.
"Jumlah musuh sangat banyak dan pihak sendiri sedikit, sementara hari sudah hampir gelap, hal ini tentu akan lebih menyulitkan. Kalau saja seekor serigala kecil tak dapat kukalahkan, apakah aku takkan membikin patah semangat kawan-kawan Piau-kiok?"
Begitulah lantaran merasa tidak sabar lagi, berturut-turut Ji Cu-kah lantas melancarkan serangan berbahaya dengan tidak menghiraukan keselamatan sendiri.
Di tengah pertarungan sengit itu tiba-tiba kelihatan Thia Giok putar pedangnya untuk menangkis melulu dan seakan-akan lupa untuk menjaga diri sehingga bagian atas tubuhnya tampak ada lubang kesempatan.
Mengira ada kesempatan baik.
"sret", tombak Ji Cu-kah lantas menusuk Thia Giok. Tak terduga mendadak Serigala putih meloncat tinggi ke atas sehingga tombak Ji Cu-kah mengenai tempat kosong. Akan tetapi Ji Cu-kah malah lantas membentak.
"Kena!"
Berbareng itu tombaknya menusuk ke bawah dan gagang tombak membalik ke atas untuk menghantam musuh.
Gerak serangan ini merupakan jurus berbahaya yang baru dikeluarkan bilamana keadaan kepepet.
Saat itu tubuh Thia Giok masih terapung, ia taksir pasti sukar menghindari hantaman gagang tombak.
Tak tersangka Thia Giok sengaja memberi lubang untuk memancing serangan lawan, jadi serangan berbahaya Ji Cu-kah ini sebelumnya sudah dalam perhitungannya.
Di tengah sinar pedang dan sambaran tombak, mendadak Thia Giok melayang lewat di atas Ji Cu-kah pada waktu yang tepat.
Keruan kejadian ini membikin Ji Cu-kah melongo kaget.
Dalam pada itu tahu-tahu Thia Giok sudah berada di belakangnya dan terasa angin tajam menyambar tiba, pedang lawan sedang menusuknya.
Namun Ji Cu-kah juga bukan lawan empuk, pada saat menentukan mati dan hidup itu ia pun menjadi murka, bentaknya.
"Bukan kau yang mampus biarlah aku yang mati saja!"
Tanpa menoleh tombaknya terus menusuk ke belakang melalui bawah ketiak.
Serangan demikian kalau kedua pihak sama-sama diteruskan, maka batok kepala Ji Cu-kah pasti akan tembus oleh ujung pedang Thia Giok yang tajam, sebaliknya dada Thia Giok juga pasti akan berlubang.
Hanya saja Ji Cu-kah pasti akan binasa bilamana kepala kena pedang, sebaliknya dada Thia Giok yang berlubang itu belum pasti merenggut jiwanya.
Sebab itu keadaan Ji Cu-kah boleh dikata lebih berbahaya.
Pada saat demikian itu orang-orang kedua pihak sama-sama menjerit kuatir.
Berbareng itu pula dari pihak Piau-kiok dan rombongan Lo-long-ko sama-sama tampil seorang memburu ke tengah kalangan.
Orang yang tampil dari rombongan Piau-kiok itu adalah Cong-piauthau mereka, Beng Ting.
Selain kuat tenaganya, Ginkang Beng Ting juga tinggi, dengan sekali berkelebat saja tahu-tahu ia sudah menghadang di tengah Thia Giok dan Ji Cu-kah.
Dengan perisai yang dia pegang di tangan kiri ia tangkis serangan Thia Giok.
"trang", pedang Serigala putih menusuk di atas perisai baja itu hingga membikin tangannya kesemutan, pedang pun terlepas dan mencelat. Tidak sampai di situ saja, berbareng Beng Ting juga mengebas lengan bajunya sehingga tombak Ji Cu-kah tergulung olehnya. Thia Giok terkejut tergetar mundur dua-tiga tindak, dengan gusar ia membentak.
"Beng Cong-piauthau....."
"Babak ini jelas dimenangkan kau, Thia Siau-tocu,"
Kata Beng Ting dengan tertawa.
"Hanya sesama kawan Kang-ouw, asal sudah jelas kalah dan menang, buat apa mesti bergebrak mati-matian. Cayhe hanya menirukan ayahmu tadi, tujuanku cuma mendamaikan saja."
Sebagaimana diketahui dalam pertarungan Ciok Tiong dan Serigala hijau Thia Ko tadi, mestinya Ciok Tiong dapat menghabisi jiwa Thia Ko, untuk itu Thia Lo-long telah menyelamatkan putera sulungnya itu.
Karenanya sekarang Beng Ting juga memburu maju untuk menyelamatkan Ji Cu-kah dengan alasan yang tak dapat disangkal, apalagi dia juga telah menggulung tombak Ji Cu-kah dengan lengan bajunya sehingga Thia Giok terhindar dari luka parah, jadi tindakannya itu boleh dikata adil.
Dalam pada itu orang yang memburu maju dari pihak Lo-long-ko tadi adalah Thia Piu sendiri, ia pun merasa lega ketika melihat putera bungsu itu tidak mengalami cidera apa-apa.
Tapi segera ia pun berseru.
"Hari sudah hampir magrib, kita sama-sama mau melanjutkan perjalanan, biarlah urusan lekas kita selesaikan saja. Nah, Cong-piauthau, terpaksa Serigala harus coba- coba kegalakan Harimau!"
Tiba-tiba si nona cilik tadi bersorak, katanya.
"Bagus, memangnya aku pun bosan melihat pertempuran yang tiada artinya tadi. Sekarang pergulatan antara serigala dan harimau tentu akan jauh lebih seru."
Para Piau-thau merasa terkesiap oleh nada si nona cilik itu, masakah pertempuran sengit tadi dianggapnya seperti mainan kanak-kanak yang membosankan, maka dapat dibayangkan bilamana nona cilik ini tidak membual, tentu pula kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada orang-orang yang bertempur tadi.
Sementara itu tampak Rase liar An Tat menguap dan menggeliat kemalas- malasan, katanya.
"Aku sih tidak peduli siapa yang menang dan siapa yang kalah, yang penting lekas bikin beres saja."
Si nona cilik menjengeknya.
"Hm, jangan sembarangan kentut, kau ingin merebut pengantin baru, seumur hidupmu jangan kau harap!"
"Tidak perlu ribut, kita tunggu dan lihat saja nanti!"
Sahut An Tat tak acuh. Dalam pada itu Beng Ting telah menjawab tantangan Thia Piu.
"Baik, marilah kita lihat saja apakah serigala dicaplok harimau atau harimau dikibuli serigala. Nah, Thia-cecu, sambutlah seranganku ini!"
Senjata Beng Ting terdiri dari dua macam, tangan kiri memegang perisai, tangan kanan menggunakan pedang.
Sekali ia memberi peringatan, segera ia pun melancarkan serangan, perisai di tangan kiri mendadak menyodok ke depart.
Tapi Thia Lo-long tidak menjadi gugup, ia tunggu perisai lawan sudah mendekat barulah angkat pipa cangklongnya.
"trang", dengan tepat perisai Beng Ting tertolak ke samping. Padahal perisai Beng Ting itu adalah senjata yang berat, orang-orang Piau-kiok tahu tenaga Cong-piauthau mereka sangat kuat, sodokan perisai tadi sedikitnya membawa kekuatan beratus-ratus kati beratnya, tak terduga kena ditolak oleh pipa tembakau sekecil itu saja lantas tergeser ke samping, keruan hal ini sangat mengejutkan orang-orang Piau- kiok, mereka menjadi kuatir, sekali ini jangan-jangan Hou-wi Piaukiok akan runtuh namanya. Beng Ting sendiri juga terkesiap dan mengakui kelicinan Thia Lo-long yang mahir meminjam tenaga lawan untuk menghantam lawan. Namun ia tidak menjadi gugup, perisai dia tarik kembali, pedang lantas menusuk di bawah aling-aling perisai. Tusukan ini sangat cepat dan sukar diduga, mau tak mau Thia Lo-long terkesiap juga oleh kelihaian lawan. Cepat ia putar pipa cangklong untuk menangkis.
"trang", kembali pedang Beng Ting tersampuk ke samping. Beng Ting mendek ke bawah, sekali putar perisainya menyodok pula ke kaki lawan. Namun Thia Piu sempat menggeser langkah, berbareng cangklongnya balas menutul Koh-cing-hiat di pundak musuh. Jurus serangan ini memaksa lawan harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu. Terpaksa Beng Ting angkat perisainya ke atas untuk membentur cangklong musuh.
"Bagus!"
Seru Thia Piu sambil sedikit menarik pipanya, menyusul ia menggeser maju balas menotok Hiat-to di bagian dengkul Beng Ting.
Tapi dalam hal main kaki, ternyata Beng Ting juga tidak kurang lihainya, sekonyong-konyong ia mendoyong ke belakang dan kaki kanan terus menendang perut Thia Piu.
Kalau saja tendangan ini kena sasarannya, andaikan tidak mati juga pasti akan terluka parah.
Thia Piu sadar akan lihainya tendangan itu, cepat ia melangkah mundur.
Tahu-tahu dengan cepat luar biasa Beng Ting telah menubruk maju, perisainya lantas memotong ke pundak kanan Thia Lo-long.
Untuk menyelamatkan diri, terpaksa Thia Piu mendekam ke bawah, dengan membawa sambaran angin, perisai lawan menyerempet lewat di atas kepalanya.
Walaupun Thia Lo-long tidak sampai terluka, tapi caranya menghindar juga kelihatan kelabakan.
Serentak orang-orang Piau-kiok bersorak melihat Cong-piauthau mereka berada di atas angin.
"Tampaknya serigala benar-benar akan dicaplok harimau!"
Si nona cilik tadi juga ikut mengolok-olok dengan tertawa. Thia Piu menjadi gusar, cangklongnya bergerak pula sambil membentak.
"Terimalah serangan ini!" ~ Berbareng ia totok Hiat-to bagian iga Beng Ting. Lekas Beng Ting menutup serangan itu dengan perisainya, tak terduga serangan Thia Lo-long sekarang telah berubah lain, tampaknya serangan maut, tapi sebelum senjata mencapai sasaran mendadak berubah arah ke tempat lain. Namun Beng Ting juga tidak kalah cekatan, ia pun sempat menggeser langkah dan sedikit putar tubuh dapatlah serangan itu terhindar. Walaupun caranya menghindar tidak sekonyol Thia Piu tadi, namun gerombolan bandit Lo-long-ko juga tidak mau kalah suara, serentak mereka pun bersorak sehingga Beng Ting merasa jengah. Begitulah serang-menyerang lantas terjadi pula dengan cepat, namun sampai sekian lamanya keadaan masih tetap sama kuat dan sukar diduga siapa yang akan menang. Sementara itu hari sudah gelap, rembulan sudah menongol di ujung langit sana. Api obor dipasang dan terang benderang. Semua orang masih mengikuti pertarungan sengit yang sukar dipisah itu. Tiba-tiba Serigala putih Thia Giok memberi aba-aba.
"Rampas!"
Serentak kawanan bandit melolos senjata terus menyerbu ke arah kereta. Keruan Beng Ting terkejut dan gusar pula, bentaknya.
"Thia Lo-long, kau....."
Dengan menyeringai Thia Piu menjawab.
"Hari sudah malam, kalau pertarungan satu lawan satu sukar menentukan kalah atau menang, terpaksa main kerubut saja. Aku kan tidak pernah berjanji apa-apa. Hou-wi Piaukiok mengawal, kami merampas, apakah kalian dapat mempertahankan barang kawalan atau tidak adalah urusan kalian sendiri, tentunya kau tak dapat menuduh kami tidak menghiraukan peraturan Kang-ouw."
Dalam pada itu terdengar Ciok Tiong di sebelah sana juga sedang membentak.
"Bagus! Bolehlah maju kalian! Saudara-saudara kami memangnya juga sudah gatal tangan dan perlu membikin kendur otot yang tegang!"
"Orang she Ciok, tadi kita belum berakhir, marilah kita coba-coba lagi!"
Bentak Thia Ko, si Serigala hijau.
"Huh, tidak tahu malu!"
Jengek Ciok Tiong, goloknya berputar, segera ia sambut serangan Thia Ko.
Sekali ini dia bertempur untuk menyelamatkan barang kawalan, dengan sendirinya tidak kenal ampun lagi.
Maka baru beberapa gebrak saja hampir-hampir Thia Ko terbacok oleh goloknya.
Tiba-tiba terdengar suara angin menderu, dari samping mendadak sebuah bandul besi sebesar semangka menyambit ke arahnya, cepat Ciok Tiong angkat goloknya untuk menyampuk.
"trang", lelatu api menciprat. Waktu Ciok Tiong mengawasi, kiranya yang menyerangnya adalah seorang laki-laki bermantel kulit serigala warna kuning. Inilah putera kedua Thia Piu, si Serigala kuning Thia Ting. Thia Ting menggunakan senjata Lian-cu-tui, yakni dua biji bandul besi berantai. Tadi bantul satunya tersampuk oleh golok Ciok Tiong, maka bandul yang lain segera disambitkan lagi sambil berseru.
"Toako, serahkan saja kambing ini kepadaku."
"Bagus!"
Seru Ciok Tiong dengan gusar.
"Aku tidak peduli apakah kau Serigala hijau atau Serigala kuning, yang pasti aku akan membeset kulit serigala!"
Sementara itu kedua pihak sudah terjadi pertempuran secara terbuka, ada yang main kerubut, ada yang satu berhadapan satu, jadi peraturan Kang-ouw sudah tidak terpakai lagi sekarang.
Kepandaian Serigala kuning Thia Ting juga di bawah Thia Giok, kalau dibanding Thia Ko, dia lebih tinggi setingkat.
Terutama senjatanya yang berbentuk dua bandul besi yang diberi rantai itu menguntungkan untuk menyerang dari jauh, dari jarak dua-tiga meter senjatanya dapat mencapai sasaran dengan jitu, sebaliknya golok Ciok Tiong sukar mencapai.
Jadi dalam hal senjata saja sudah menguntungkan Thia Ting.
Melihat saudaranya cukup kuat menandingi Ciok Tiong, segera Thia Ko mengundurkan diri dan menerjang ke sana untuk menyerang Piau-su yang menjaga kereta.
Waktu itu Serigala putih Thia Giok sudah membobol garis pertahanan pertama pihak Piau-kiok, Ji Cu-kah sedang berusaha merintangi majunya musuh.
"Kau adalah jago yang sudah keok di bawah tanganku tadi, masakah kau berani menantang aku pula?"
Jengek Thia Giok. Tapi sebelum dia melancarkan serangan, tahu-tahu Serigala hitam Thia Soh menyerobot maju dari samping.
"Roboh!"
Bentak Thia Soh sambil menghantam dengan Tin-coa-pang, toya ular rotan.
Toya yang terbuat dari rotan tua yang melintir seperti ular itu keras tercampur lemas, dapat dibuatnya mengemplang sebagai pentung, dapat pula dibuat menyabet seperti ruyung, sungguh semacam senjata yang sukar dilatih, maka orang yang berilmu silat kepalang tanggung pasti tidak berani menggunakan senjata demikian.
Ji Cu-kah adalah jago silat kawakan, begitu melihat toya itu segera ia tahu akan lihainya, sebelum kedua senjata beradu segera ia menarik tombaknya mendahului menusuk perut musuh.
"Bagus!"
Seru Thia Soh sambil putar toyanya.
Dia tahu ketemu lawan tangguh, maka ia pun menghadapi serangan cepat dengan tepat.
Senjata kedua pihak beradu beberapa kali, tapi kedua pihak sama-sama tidak berhasil melukai lawan.
Nyata Thia Soh melawan Ji Cu-kah boleh dikata ketemu tandingan yang sama kuatnya.
Di sebelah sana Thio Giok lantas menerjang ke arah kereta, Piau-thau ketiga dari Hou-wi Piaukiok itu bernama Cin Kan dan bersenjata pentung baja, cepat ia menghadang kedatangan Thia Giok, pentungnya lantas mengemplang.
"Jangan keras-keras ya!"
Ejek Thia Giok dengan tertawa. Dengan gerakan enteng saja pedangnya dapat menyampuk pentung baja yang berat itu ke samping. Cin Kan terkejut, cepat pentungnya berputar dan segera menghantam pula.
"Wah, cepat amat!"
Kembali Thia Giok menggoda, berbareng itu pedangnya bekerja secepat kilat.
"sret-sret-sret"
Beberapa kali, sekaligus ia mengincar tenggorokan, kedua pundak dan kedua dengkul lawan.
Nyata dia jauh lebih cepat daripada gerak serangan Cin Kan.
Ketika serangan keempat dilancarkan, tanpa ampun lagi Cin Kan tertusuk, pundaknya terluka dan mengucurkan darah, untung tulang pundak tidak sampai patah, akan tetapi tak dapat bertempur lagi.
Sesudah mengalahkan Cin Kan, segera Thia Giok menerjang pula ke arah kereta.
Di sebelah sana Serigala hijau Thia Ko juga sudah menerjang ke sana dan sedang bertempur menghadapi Piau-thau keempat yang bernama Sun Hoa dan bersenjatakan sepasang Boan-koan-pit, potlot baja peranti menotok Hiat-to.
Akan tetapi gada bergigi yang digunakan Thia Ko itu jauh lebih panjang, tenaga besar pula, sedangkan Boan-koan-kit hanya cocok untuk bertempur dari jarak dekat, maka di bawah hantaman gada Thia Ko itu, sukarlah bagi Sun Hoa untuk mendekati lawan, tidak sampai tigapuluh jurus, sekali hantam gada Thia Ko membikin Boan-koan-pit Sun Hoa mencelat ke udara.
Begitulah Piau-thau keempat pun keok dan lari ke pinggir.
Melihat keempat pembantunya sudah terkalahkan dua, kini tinggal Ciok Tiong dan Ji Cu-kah saja yang masih bertempur mati-matian, tampaknya sebentar lagi pihaknya pasti akan kalah habis-habisan.
Beng Ting menjadi kuatir, dengan mengertak gigi ia membentak murka.
"Thia Lo-long, biarlah aku mengadu jiwa dengan kau!" ~ Berbareng itu perisainya lantas mengepruk sekuatnya, sedangkan pedang di tangan lain juga menusuk iga lawan, berturut-turut beberapa jurus serangan maut ia lancarkan, biarpun gugur bersama musuh juga rela. Karena itu terpaksa Thia Piu main mundur berulang-ulang.
"He, he, Beng Cong-piauthau ingin mengadu jiwa, wah, terpaksa aku mengalah saja,"
Kata Thia Piu dengan tertawa sambil berkelit.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Beng Ting untuk menerjang ke arah kereta, ia bertekad membela barang kawalannya mati-matian.
Tak terduga Thia Piu tidak membiarkan lawannya itu berbuat sesukanya, segera ia pun mengejar, pipa cangklongnya lantas menghantam dari belakang.
Dengan kepandaian "Ding-hong-pian-gi" (mendengarkan angin membedakan senjata), ketika mendengar sambaran angin dari belakang, segera Beng Ting putar pedangnya ke belakang sehingga cangklong Thia Lo- long tersampuk pergi.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di luar dugaan mendadak Thia Lo-long mengejek.
"Beng Cong-piauthau, kau mengaku kalah saja!"
Sekonyong-konyong lelatu api muncrat dari ujung pipa tembakau Thia Lo-long, bahkan ia pun membuka mulut dan menyemburkan asap tembakau yang tebal.
Ternyata Thia Lo-long memiliki kepandaian yang khas, yakni dapat menyemburkan asap tembakau yang telah disedot ke dalam perut untuk digunakan sebagai senjata.
Lantaran tidak pernah menduga-duga, kontan kedua mata Beng Ting tersembur asap tembakau hingga sukar melek kembali.
"Kena!"
Terdengar Thia Lo-long membentak pula. Berbareng Beng Ting merasakan tulang tangannya sakit pedas, kiranya telah keselomot oleh pipa lawan yang panas.
"Trang", pedangnya terlepas dan jatuh ke tanah. Akan tetapi dalam keadaan mata terpejam, mendadak Beng Ting juga membentak.
"Kena!" ~ Perisainya terus menabas ke depan. Untung Thia Lo- long sempat mengegos, tapi lengan kirinya tidak urung juga keserempet hingga luka lecet.
"Ha, ha, ha! Tampaknya harimau yang kejeblos ke dalam sarang serigala!"
Seru Thia Piu dengan tertawa.
"Tapi aku tidak sudi menghajar harimau yang buta, maaf aku tidak menemani kau lagi!"
Habis berkata, Thia Piu terus berlari menuju kereta keledai.
Kedua mata Beng Ting terasa panas pedas seakan-akan ditawur bubuk merica, air matanya bercucuran, mata sukar dibuka.
Keruan Beng Ting menjadi kuatir kalau-kalau asap tembakau itu berbisa.
Untuk menjaga diri terpaksa ia putar perisai agar tidak diserang kawanan bandit.
Seorang tukang teriak pegawai Piau-kiok bernama Thio Yong berusaha mendekati bosnya itu dan berseru.
"Cong-piauthau, biar kubersihkan matamu!"
Beng Ting kenal suara Thio Yong, maka ia hentikan permainan perisainya.
Segera Thio Yong mengeluarkan handuk kecil dan dibasahi dengan air yang dibawanya, lalu digunakan membasuh muka dan mata Beng Ting.
Perlahan-lahan rasa panas pedas tadi mulai berkurang, legalah hati Beng Ting sebab kedua matanya tak menjadi rusak.
Ketika kemudian ia dapat membuka mata, tiba-tiba dilihatnya Ji Cu-kah sedang menjerit dan jatuh terjungkal oleh sabetan toya rotan Serigala hitam Thia Soh.
"Celaka!"
Teriak Beng Ting kuatir.
Pada saat itu juga dilihatnya Ciok Tiong juga terkena bandul besi Serigala kuning Thia Ting dan roboh tak sadarkan diri.
Kini keempat Piau-thau utama Hou-wi Piaukiok sudah roboh dan terluka semua, sisanya terpaksa lari bersebaran menyelamatkan diri.
Hanya kedua kakek kurus pengiring penumpang puteri itu yang masih tetap berdiri menjaga di samping kereta.
Melihat keadaan itu, Beng Ting menghela napas dan berpikir Hou-wi Piaukiok sekali ini pasti akan runtuh habis-habisan, setelah kegagalan pengawalan ini, kelak pasti tak dapat hidup lagi di dunia Kang-ouw.
Dalam keadaan putus asa, tiba-tiba timbul niatnya untuk membunuh diri saja.
Saat itu Serigala hijau Thia Ko sedang bergelak tertawa dan membentak kedua kakek itu.
"Kalian berdua tua bangka ini mengapa tidak lekas enyah, apakah kalian minta kuhajar pula?"
"Biarpun kau membunuh kami juga kami akan menghadapi kau!"
Sahut kedua budak tua itu.
"Jangan mencelakai jiwa mereka, Toako!"
Seru Thia Giok. Rupanya Serigala putih ini bermaksud merampas penumpang puteri ini untuk dijadikan istri, sebab itulah ia tidak ingin membikin susah pengiring nona cantik itu.
"Baik, akan kuenyahkan mereka saja!"
Sahut Thia Ko dengan tertawa.
Segera ia urungkan hantaman gadanya yang bergigi tadi, dengan mementang sebelah tangan ia terus mencengkeram salah seorang kakek.
Waktu itu Beng Ting baru saja angkat pedang dan bermaksud menggorok leher sendiri, tiba-tiba didengarnya Thio Yong berseru heran.
"He, lihatlah, Cong-piauthau!"
Ketika Beng Ting berpaling ke sana, dilihatnya yang tercengkeram bukan si kakek kurus yang diarah Thia Ko, sebaliknya Serigala hijau Thia Ko sendiri yang kena dipegang terus diangkat ke atas.
Kedua pergelangan kaki Thia Ko terpegang oleh tangan si kakek dan diangkat tinggi ke atas, kedua tangan Thia Ko masih dapat bergerak, ia bermaksud menghantam dengan gada bergigi, tapi si kakek kurus bergelak tertawa sambil memutar kencang tubuh Thia Ko.
Keruan kepala Thia Ko pusing dan mata berkunang-kunang.
Gadanya menghantam kian kemari, tapi tak dapat mencapai sasarannya.
Tubuh Thia Ko yang tinggi besar segede kerbau itu beratnya paling sedikit ada dua ratus kati, dengan memutar tubuh sebesar itu, si kakek kurus itu mirip memegang sejenis senjata berat, siapa yang berani menghadapinya lagi? Keruan kawanan bandit menjadi ketakutan dan berlari mundur.
Begitu pula ketiga Serigala yang lain tidak berani sembarangan mendekat.
Dalam sekejap saja sekeliling kereta itu telah disapu bersih oleh kakek itu hingga berwujud sebuah pelataran yang luas.
Melihat itu, Beng Ting terkejut dan bergirang pula.
Sebagai seorang jago silat, begitu melihat segera ia mengetahui yang dipakai si kakek kurus itu adalah semacam Kim-na-jiu-hoat yang sangat ganas, tenaganya yang besar juga harus dipuji.
Setelah memutar sekian lamanya tubuh Thia Ko yang gede itu, kemudian si kakek berkata.
"Karena tadi kau pun tiada bermaksud membunuh aku, maka sekarang aku pun mengampuni jiwamu!"
Habis itu ia terus melemparkan tubuh Thia Ko yang besar itu hingga belasan meter jauhnya.
Kawanan bandit menjadi ketakutan kalau tertimpa oleh tubuh raksasa itu mereka berteriak ramai sambil berlari menyingkir.
Ketiga Serigala yang lain sejak tadi sudah bersiap-siap, begitu si kakek melemparkan Serigala hijau, serentak ketiga Serigala itu menyerbu maju.
Serigala hitam Thia Soh tiba lebih dulu, kontan toya menyerampang pinggang si kakek kurus.
Kedua kakek itu yang satu kurus dan yang lain lebih gemuk, toya Thia Soh itu menyerang si kurus, tapi mendadak kakek gemuk mendahului melompat ke depan kawannya dan berseru.
"Serahkan dia padaku!"
Berbareng ia pun mendek ke bawah sehingga hantaman toya musuh melayang lewat di atas kepalanya, bahkan sebelah tangannya terus meraup sehingga toya Thia Soh tertangkap.
"Lepas!"
Bentak si kakek gemuk, tahu-tahu toya Thia Soh sudah berpindah ke tangan si kakek, menyusul ia membentak pula.
"Ini, kau pun terima hadiahku!" ~ Toya rampasan itupun segera menyabet sehingga Thia Soh dibuat terjungkal. Menyaksikan itu, diam-diam Beng Ting memuji ketangkasan si kakek yang dapat merebut senjata musuh dengan bertangan kosong itu.
"Tua bangka jangan berIagak!"
Bentak Thia Giok sembari putar pedangnya dan menusuk ia si kakek gemuk. Cepat si kakek gemuk menangkis dengan toya, tapi sedikit putar ke bawah, kembali Thia Giok menusuk Hiat-to di dengkul lawan. Sambil melompat mundur, si kakek gemuk berseru.
"He, Serigala putih ternyata lebih galak daripada serigala yang lain! Baiklah, biar aku menggoda serigala dengan bertangan kosong saja!" ~ Habis itu ia terus buang toya rampasannya tadi. Kiranya kakek gemuk ini mahir Kim-na-jiu-hoat, ilmu memegang dan menangkap dengan bertangan kosong, permainan toya bukan menjadi kepandaiannya, maka senjata itu tidak leluasa baginya malah. Menghadapi Serigala putih yang lebih tangguh, terpaksa si kakek gemuk harus mengeluarkan kepandaian yang diandalkannya. Sementara itu Serigala kuning Thia Ting juga telah mengayun bandulnya dan menimpuk ke arah si kakek kurus.
"Bagus!"
Sambut si kakek kurus sambil mengegos. Sesudah bandul besi lawan menyambar lewat kepalanya barulah mendadak kedua jarinya menjepit rantai yang menggandeng kedua biji bandul besi itu. Menyusul bandul itu diputar balik sambil membentak.
"Kena!"
Bandul besi yang menyambar balik itu membentur bandul yang lain, kedua bandul besi saling bentur dan muncratlah lelatu api.
Karena tidak tahan oleh getaran tenaga lawan, kontan Thia Ting mengerang dan roboh semaput.
Thia Lo-long terkejut dan gusar pula, cepat ia memburu ke sana, lebih dulu ia menyemburkan asap tembakaunya, bentaknya.
"Mati kau!" ~ Sekali tonjok, pipa cangklongnya menutul langsung ke tenggorokan si kakek kurus laksana tusukan pedang. Namun si kakek kurus sempat mengelak, menyusul sebelah tangannya lantas meraup pipa tembakau musuh sambil mendengus.
"Hm, serigala suka menggigit manusia, tapi aku justru suka membeset kulit serigala!" ~ Karena angin pukulan yang terbawa oleh tangannya itu, asap tembakau tadi lantas buyar. Hati Thia Lo-long terkesiap oleh ketangkasan lawan, pantas anak Ko dan anak Ting terjungkal di tangannya, demikian ia berpikir. Sementara itu cengkeraman lawan sudah tiba, Thia Lo-long kenal gerakan itu memakai Tay- lik-eng-jiau-kang (ilmu cakar elang bertenaga raksasa), kalau sampai pipa tembakau kena terpegang, mungkin akan dipatahkan pula. Cepat Thia Piu memutar, dengan gesit ia menggeser ke belakang si kakek kurus, pipa tembakau membalik buat menotok "Ling-tay-hiat"
Di punggung musuh.
Akan tetapi si kakek kurus seperti punya mata di punggung, tanpa menoleh tangannya membalik dan meraup ke belakang.
Tapi gerak perubahan Thia Lo-long juga tidak kalah cepatnya, pipa tembakau sedikit menyendal naik turun, dengan cepat sekali ia menotok ke kanan-kiri iga lawan.
Mau tak mau si kakek kurus terkesiap juga dan diam-diam memuji kelihaian si Serigala tua yang tidak bernama kosong.
Begitulah kedua orang bertarung dengan sama kuatnya dan tak terpisahkan.
Orang-orang Piau-kiok terkesima mengikuti pertarungan sengit itu.
Sedangkan kawanan bandit Lo-long-ko sibuk menolong "keempat Serigala"
Yang roboh dan terluka tadi, maka pertempuran terbuka untuk sejenak menjadi mereda. Ji Cu-kah juga telah membungkus lukanya, lalu mendekati Beng Ting, katanya.
"Cong-piauthau, mungkin kita dapat mempertahankan kawalan kita. Sungguh aneh, kepandaian kedua kakek itu sedemikian tinggi mengapa mereka rela menjadi budak orang? Kita telah berjalan beribu lie bersama mereka, tapi sedikit pun kita tidak tahu akan kepandaian yang mereka miliki, sekali ini kita benar-benar telah salah lihat."
Beng Ting menghela napas gegetun, katanya.
"Biarpun hari ini kita dapat menyelamatkan diri, namun aku tidak punya muka lagi buat membuka Piau- kiok. Katanya saja kita menjadi pengawal orang, tapi kenyataannya orang yang mengawal kita. Cong-piauthau seperti diriku ternyata tak dapat dibandingkan kaum budak orang."
"Cong-piauthau jangan putus asa,"
Ujar Ji Cu-kah.
"Kalah atau menang adalah soal biasa di medan pertempuran, Piau-kiok mana yang tidak pernah mengalami kegagalan dalam pekerjaannya? Engkau sendiri toh juga belum dikalahkan Thia Lo-long."
Sejenak kemudian ia menambahkan pula.
"Cuma kejadian hari ini benar-benar juga di luar dugaan!"
"Memang begitulah,"
Kata Beng Ting.
"Aku tidak habis mengerti, kalau keluarga Han sudah punya kaum budak yang berkepandaian setinggi ini, mengapa dengan biaya yang besar mereka sengaja minta pengawalan kita?"
"Apakah Cong-piauthau dapat melihat asal-usul gaya ilmu silat kedua kakek itu?"
Tanya Ji Cu-kah.
"Mereka benar-benar hebat, yang satu mahir Kim-na-jiu-hoat yang tinggi, yang lain ahli Tay-lik-eng-jiau yang lihai,"
Sahut Beng Ting.
"Tampaknya mereka adalah tokoh terkemuka dari ilmu Gwakang. Tapi setahuku, di antara ahli-ahli Gwakang pada zaman ini toh tiada seorang pun yang dapat dibandingkan dengan mereka. Sungguh memalukan, aku sendiri tidak dapat meraba asal-usul mereka."
Tengah bicara, keadaan di kalangan pertempuran telah terjadi perubahan, Thia Lo-long dan si kakek kurus masih bertempur dengan sama kuatnya, tapi Serigala putih Thia Giok sudah kelihatan kewalahan menghadapi si kakek gemuk.
Tiba-tiba Siocia di dalam kereta itu menyingkap kerai dan menguap kantuk, katanya.
"Tian-taysiok, hari sudah malam, aku ingin mengaso dulu!" ~ Nyata ucapannya itu mengandung maksud mendesak kedua budak tua agar lekas membereskan musuh. Maka si kakek kurus lantas menjawab.
"Baiklah, Siocia, silakan engkau mengaso. Segera hamba akan menghalau kawanan serigala ini!" ~ Sambil bicara serangannya tidak menjadi kendur, Serigala putih Thia Giok tidak mampu bertahan lagi, ia terdesak hingga main mundur melulu.
"Hayo, lepaskan pedangmu!"
Tiba-tiba si kakek kurus membentak.
Waktu Thia Giok menyambut dengan pedangnya, tahu-tahu tangannya kesemutan, si kakek telah mendesak maju, tangan kiri menahan siku tangan Thia Giok, tangan kanan telah memegang pergelangan tangannya pula.
Pancaindera Thia Lo-long cukup tajam, ketika melihat putera kesayangannya terancam bahaya, cepat ia memutar tubuh menghindarkan cengkeraman Kim-na-jiu yang dilontarkan si kakek gemuk, menyusul pipa tembakaunya terus menusuk ke muka si kakek kurus yang hendak mencelakai puteranya itu.
Dalam pada itu dengan cepat sekali si kakek kurus keburu merebut pedang yang dipegang Thia Giok sambil membentak.
"Pergi kau!" ~ Ia dorong Thia Giok ke samping, menyusul pedang rampasan digunakan menangkis totokan pipa tembakau Thia Piu.
"trang", kedua senjata beradu, tapi mata pedang ternyata gumpil oleh benturan itu.
"Pedangmu ini tak berguna, ini, kukembalikan!"
Kata si kakek kurus dengan tertawa sambil menimpukkan pedang itu ke punggung Thia Giok yang didorong pergi tadi.
Saat itu Thia Giok sedang terhuyung-huyung ke sana karena dorongan keras si kakek tadi, dengan sendirinya ia tidak menduga akan ditimpuk pedang dari belakang, terang sukar baginya untuk menangkis atau menghindar.
Tampaknya ujung pedang segera akan menembus tubuh Serigala putih Thia Giok, pada detik yang berbahaya itulah terdengar Thia Lo-long membentak keras.
"Jangan mencelakai anakku!"
Berbareng ia menyambitkan pipanya untuk membentur jatuh pedang yang sedang meluncur itu.
Tapi pada saat yang sama dari belakang cengkeraman si kakek gemuk juga sudah tiba.
Demi untuk menolong puteranya, Thia Lo-long telah mengorbankan senjatanya, sekarang dia juga bertangan kosong sehingga jelas dia bukan tandingan si kakek gemuk lagi.
Namun ia tidak mandah dicengkeram begitu saja, cepat ia pun mencengkeram ke belakang dengan tujuan memegang pergelangan tangan lawan.
Tapi ketika kedua tangan beradu.
"plak", tahu- tahu lengan Thia Lo-long sudah terpegang seperti terjepit tanggam.
"Aku tidak sudi menghantam serigala yang sudah kehilangan cakar, enyahlah kau!"
Bentak si kakek gemuk sambil mengayun tangannya.
Kontan tubuh Thia Lo-long melayang ke atas dan jatuh ke bawah sejauh belasan meter sana.
Waktu ia memeriksa tangan sendiri, tertampak di atas lengan tercetak tanda bekas lima jari seperti cap bakar saja, rasanya masih panas pedas.
Diam-diam Thia Lo-long terkejut, ia pikir kalau tadi pihak lawan menggunakan tenaga lebih keras sedikit, mungkin lengannya itu sudah dipatahkan.
Mau tak mau ia harus mengakui kekalahannya secara total itu, terpaksa ia melarikan diri bersama begundalnya.
Bahwasanya tenaga cengkeramannya tadi tidak membikin roboh Thia Lo- long, hal inipun membikin heran si kakek gemuk, diam-diam ia pun mengakui ketangkasan Serigala tua itu.
Dalam pada itu si nona cilik bernama Siau Hong tadi sedang berkata.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya-ya, sekarang kita boleh pergi mengundang pengantinnya!"
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba si Rase An Tat telah mendahului menyerobot ke sana sambil berseru.
"Pengantin baru adalah bagianku, emas saja kuberikan kepada kalian!"
"Rase gasang, kau kenal peraturan Hek-to atau tidak?"
Bentak si nona cilik dengan gusar. Baru saja nona cilik itu mau memburu ke sana, namun si kakek she Ciu keburu menahannya dan berkata dengan tertawa.
"Biarkan dia maju lebih dulu untuk menghemat tenaga kita. He, he, kukira dia pun takkan sanggup menelan bak-pau yang empuk hangat itu."
Si Rase An Tat memang rada jeri terhadap si kakek she Ciu, sebab itulah dia sengaja mendahului turun tangan, sebab kuatir penumpang puteri itu kena dirampas oleh kakek bercucu itu.
Dengan Ginkangnya yang tinggi An Tat yakin bila Siocia di atas kereta itu kena dibawa lari lebih dulu, maka sukarlah bagi si kakek she Ciu untuk mengejarnya.
Begitulah dalam sekejap saja An Tat sudah mendekati kereta, namun kedua kakek tadi lantas memapaknya sambil membentak.
"Marilah maju!"
Semua orang sudah menyaksikan kelima Serigala yang galak terjungkal semua di tangan kedua kakek itu, sekarang hanya seekor Rase saja masakah mampu melawan mereka.
Akan tetapi An Tat tidak banyak bicara, rupanya ia ingin lekas-lekas menggondol si nona cantik, maka tanpa menjawab ia terus menyerang.
Kipasnya mengacung terus mengetok batok kepala si kakek gemuk.
"Kurang ajar!"
Damprat kakek gemuk dengan gusar, sambil mengegos ia pun balas menonjok muka An Tat. Dengan licin An Tat sempat menggeser ke samping, habis itu kipasnya lantas menotok pula ke "Kik-ti-hiat"
Di lengan kanan si kakek kurus.
Begitulah seterusnya, tiap kali An Tat diserang, segera ia menghindar dan balas menyerang kakek satunya.
Hanya beberapa gebrak saja ia sudah membikin kedua kakek itu kelabakan.
Melihat itu, semua orang melongo kaget oleh kegesitan dan kelihaian Rase liar An Tat.
Berulang-ulang An Tat melancarkan serangan cepat, di tengah pertarungan sengit itu, sekonyong-konyong An Tat pentang kipas terus mengebas ke muka si kakek gemuk.
Tentu saja si kakek sangat gusar, kontan tangannya mencengkeram buat merobek kipas.
Namun An Tat sempat miringkan kipasnya.
"sret", bagaikan pisau tajamnya kipas itu memotong tangan lawan. Si kakek gemuk menjerit sambil melompat mundur. Ternyata lengan bajunya sudah berlumuran darah. Kiranya kipas lempit An Tat terbuat dari pelat baja yang tipis, maka dapat digunakan sebagai senjata yang tajam. Kebasan kipasnya ke muka si kakek gemuk tadi hanya untuk mengaburkan perhatian lawan saja. Karena tidak terduga-duga, si kakek gemuk telah kena diselomoti, lengan kiri tergores luka sepanjang belasan senti, walaupun tidak parah, namun terasa sakit tidak kepalang. Orang-orang Piau-kiok menjerit kaget. Pada saat itulah tiba-tiba terlihat si kakek kurus berhasil mencengkeram kipas An Tat, rupanya si kakek tidak sia-siakan kesempatan baik ketika An Tat menyerang kawannya, dengan Kim-na-jiu-hoat yang lihai segera ia pegang senjata lawan. Melihat itu orang-orang Piau-kiok mengira si kakek kurus akan dapat merebut kemenangan, dari menjerit kuatir tadi kini mereka bersorak gembira. Dengan tertawa Ji Cu-kah juga menyatakan syukurnya. Akan tetapi Beng Ting mempunyai pandangan lain, sekonyong-konyong ia berseru.
"Celaka!"
Benar juga, belum lenyap suaranya, tahu-tahu si kakek kurus terhuyung- huyung, kedua pihak sudah merenggang, An Tat melompat mundur, sedang si kakek kurus tergentak mundur beberapa tindak baru dapat berdiri tegak lagi.
Kiranya pada waktu si kakek kurus mencengkeram kipasnya, segera An Tat mengeluarkan kepandaian "Keh-but-toan-kang" (menyalurkan tenaga dari balik benda), memang tenaga dalam An Tat lebih kuat setingkat daripada si kakek kurus, kontan si kakek merasa tangannya tergetar, pegangannya menjadi kendur, malahan kipas An Tat terus memutar dan mengiris ke bawah sehingga telapak tangan si kakek teriris lagi.
Dengan gemas si kakek gemuk menerjang maju lagi.
"Apakah kau memang tidak sayang pada jiwamu lagi? Enyah kau!"
Bentak An Tat, kipasnya sebentar terpentang dan sebentar terkatup, hanya beberapa gebrak saja si kakek gemuk kena tertotok pula Hiat-to bagian pinggul, kontan kakek itu terjungkal.
Si kakek kurus tidak berani memburu maju lagi, tapi ia siap berjaga di samping kereta.
"Hm, apakah kau masih mau berkelahi lagi? Susul saja kawanmu sana!"
Bentak An Tat.
Meski menyadari bukan tandingan musuh, si kakek kurus pantang menyerang, ia tetap menghadang di depan kereta, satu langkah pun tak mau mundur.
Kipas An Tat yang kecil pendek itu sebentar terpentang dan lain saat terkatup, waktu terpentang dapat digunakan sebagai senjata tajam, di kala terkatup dapat dipakai menotok sebagai Boan-koan-pit, perubahannya sukar diduga, cepatnya luar biasa.
Kipas lempit ini terlebih pendek daripada pipa cangklong Thia Piu tadi, akan tetapi tipu serangannya jauh lebih lihai, caranya An Tat menggunakan kipas buat menotok juga jauh lebih tangkas dan jitu, baru sekarang semua orang Piau-kiok mengetahui kepandaian sejati si Rase.
Setelah beberapa gebrakan pula, kembali si kakek kurus juga terluka, akan tetapi dengan mati-matian ia terus bertahan, ia tetap tidak mau menyingkir dari situ.
Sementara itu rasa sakit kedua mata Beng Ting sudah mereda, dengan pedang terhunus ia memburu maju lagi, ia pikir kalau sampai penumpang puterinya itu kena dibawa lari Rase gasang itu, maka Hou-wi Piaukiok jelas pasti akan bangkrut.
Dalam keadaan kepepet, terpaksa tidak memikirkan kedudukan lagi.
Maksud Beng Ting hendak maju membantu si kakek kurus untuk mengeroyok An Tat, cuma saja dia berkedudukan sebagai Cong-piauthau, dengan dua lawan satu sekali pun menang juga akan merusak namanya, apalagi belum pasti akan menang.
Sebab itulah sambil melangkah maju, perasaannya sangat tertekan dan ragu-ragu.
Tiba-tiba didengarnya penumpang puteri di atas kereta pula.
"Tian- taysiok, kau boleh mundur saja!"
Si kakek kurus mengiakan sambil melancarkan suatu serangan, lalu melompat mundur ke belakang kereta sembari berkata.
"Rase cabul, atas perintah Siocia kami barulah aku mengalah, tapi sekali-kali bukan aku takut padamu."
Begitu si kakek kurus mengundurkan diri dari kalangan pertempuran, orang-orang Piau-kiok menjadi heran dan kuatir, mereka tidak tahu mengapa si kakek mau tunduk kepada perintah sang Siocia.
Sebab dengan demikian bukankah berarti akan menyerahkan Siocia itu kepada pihak penjahat? Saat itu Beng Ting sendiri belum sampai di situ, sedangkan kedua kakek itu yang satu rebah tertotok, yang lain mengundurkan diri ke sana, andaikan Beng Ting memburu tiba juga sukar mengalahkan An Tat bila cuma satu lawan satu.
Diam-diam Beng Ting merasa putus asa, ia pikir sekali ini Piau- kioknya pasti akan bangkrut dan namanya pasti akan runtuh.
Sementara itu An Tat yang tidak mendapatkan rintangan apa-apa sudah terus menerjang maju, segera ia menyingkap kerai kereta sambil berkata dan tertawa.
"Jangan takut, manisku! Aku adalah lelaki yang paling tahu menyayangi wanita, apalagi nona cantik seperti kau." ~ Sembari berkata sebelah tangannya terus saja menggerayang ke dalam kereta. Dalam keadaan begitu, yang paling kuatir rasanya tiada lain daripada Beng Ting, tapi apa daya. Sedangkan si nona cilik bernama Siau Hong tadi juga cuma menyaksikan perbuatan An Tat itu secara tak acuh, bahkan ia tertawa terkikik dan berkata.
"Hi,hi, sebentar pasti ada tontonan yang bagus!"
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara jeritan yang menyayat hati, si Rase An Tat mendadak menarik kembali tangannya terus melompat mundur, kelakuannya itu mengingatkan orang kepada peristiwa orang dipagut ular berbisa, kaget bercampur takut.
"Nah, baru tahu rasa kau sekarang!"
Demikian terdengar si nona cilik mengolok-olok dengan bertepuk tangan.
"Habis, kau punya mata tapi buta melek sih!"
Kejadian yang luar biasa itu benar-benar tak terduga oleh siapa pun.
Ketika Beng Ting memandang ke sana, dilihatnya An Tat menutup mukanya dengan sebelah tangan, mukanya berlumuran darah, terus melarikan diri seperti orang kesetanan, dalam sekejap saja sudah menghilang di kejauhan.
"Cepat amat lari Rase itu,"
Kembali si nona cilik mengolok-olok.
"He, he, mestinya aku hendak membutakan kedua biji matanya, sekarang Han-cici cuma mengorek sebelah matanya, hal ini masih murah baginya."
Dalam pada itu Siocia di atas kereta itu telah membuka pula kerainya dan memanggil si kakek kurus ke hadapannya sambil menyodorkan tusuk kundai kemala, katanya.
"Tusuk kundaiku ini menjadi kotor, aku tidak mau pakai lagi. Ambil saja dan dermakan kepada orang miskin."
Kini jarak Beng Ting dengan kereta itu sudah dekat, maka dengan jelas ia dapat melihat di ujung tusuk kundai itu menancap satu biji bola mata yang berlumuran darah. Beng Ting menjadi malu kepada dirinya sendiri, pikirnya.
"Aku pun punya mata tapi buta, masakah aku tidak tahu diri dan berani menjadi pengawal pengantin perempuan yang memiliki kepandaian tinggi ini."
Akan tetapi timbul juga rasa curiganya.
Bahwasanya Siocia itu dan kedua budak tua itu memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi di atas dirinya, tapi mengapa mereka sudi membuang duaribu tahil emas untuk minta pengawalanku? Dengan kepandaian si pengantin perempuan yang tinggi ini, mengapa sejak tadi dia tidak turun tangan sendiri dan membiarkan kedua kakek itu dilukai oleh si Rase? Begitulah dengan rasa sangsi Beng Ting berdiri mematung di situ.
Didengarnya si kakek kurus sedang bicara dengan menghormat.
"Hamba tidak becus sehingga terpaksa membikin kotor tusuk kundai Siocia, sungguh hamba pantas dihukum mati."
"Kalian sudah berjuang sekuat tenaga mana aku dapat menyalahkan kalian pula?"
Ujar si nona cantik.
"Ini ambil tusuk kundai ini!"
Si kakek kurus mengiakan dan menerima tusuk kundai kemala itu. Lalu si nona berkata pula.
"Apakah kau dapat membuka Hiat-to yang tertotok si Rase tadi?"
"Mohon Siocia memberi petunjuk,"
Sahut si kakek.
"Dengan tusuk kundai ini kau tusuk urat nadi di bawah ketiaknya,"
Kata si nona.
"Si Rase telah menggunakan ilmu Tiam-hiat yang khas."
Mendadak si kakek menggigit bola mata yang tersunduk di ujung tusuk kundai itu terus dikunyah dengan nikmatnya seakan-akan orang makan kacang goreng saja. Katanya dengan gemas.
"Rase liar itu berani kurangajar terhadap Siocia, tapi Siocia cuma mencungkil satu biji matanya, sungguh terlalu murah baginya."
Melihat cara si kakek mengunyah bola mata dan menelannya mentah- mentah, semua orang Piau-kiok merasa ngeri.
Kemudian kakek kurus itu membuka Hiat-to kawannya yang tertotok menurut ajaran Siocia tadi, lalu kedua orang maju pula untuk minta ampun kepada sang Siocia.
"Aku pun merasa menyesal mengakibatkan kalian terluka, bilamana aku tidak sakit, tentu takkan membiarkan si Rase mencelakai kalian,"
Kata puteri cantik itu.
Baru sekarang Beng Ting tahu sebabnya si nona tidak turun tangan sejak tadi adalah mungkin disebabkan gerak-geriknya yang tidak leluasa.
Tapi dalam keadaan sakit, nona itu masih dapat membikin buta mata si Rase hanya dengan sekali gebrak saja, hal ini membikin Beng Ting kagum tak terhingga.
Terdengar si kakek gemuk berkata.
"Sesungguhnya tidaklah pantas kalau Siocia sendiri mesti turun tangan terhadap penjahat keroco begitu, semuanya gara-gara hamba yang tidak becus. Apakah keadaan Siocia sekarang sudah bertambah baik?"
"Aku tidak apa-apa, kalian terluka, lekas pergi membalut luka dan mengaso saja,"
Sahut si nona. Dan baru saja kedua kakek itu mengundurkan diri, nona cilik yang dipanggil Siau Hong tadi lantas berlari maju dan menyapa dengan tertawa.
"Serigala dan rase jahat sudah digebah lari, sekarang akulah yang hendak mengundang Han-cici, entah Cici sudi menerima atau tidak?"
Siocia di atas kereta itu menyingkap kerainya, lalu menjawab dengan tersenyum.
"Sungguh nona cilik yang lincah, kau tinggal dimana? Rasanya aku belum pernah kenal padamu?"
Rangka kayu kereta keledai itu tadi kena ditekan oleh An Tat sehingga badan kereta rada miring dan roda depan ada sebagian ambles ke dalam tanah.
Ketika Siocia itu melongok keluar, agaknya karena miringnya kereta, ia tergeliat seperti orang kepeleset.
"Harap Siocia duduk yang baik dan terimalah hormatku,"
Kata si nona cilik tadi.
"Aku bernama Ciu Hong, tinggal di Pek-hoa-kok di pegunungan Hong-hong-san."
Sambil bicara kedua tangannya memegang rangka kereta dan diangkat perlahan ke atas, seketika kereta keledai yang rada miring dan ambles ke bawah itu kena diangkat ke atas sehingga kembali tegak pada tempat semula.
Keruan orang-orang Piau-kiok terkejut melihat betapa hebat tenaga nona cilik itu.
Lalu nona cilik bernama Ciu Hong itu bicara pula.
"Han-cici tidak kenal padaku, tapi aku sudah sering mendengar dirimu dari Piau-ci (kakak misan perempuan). Maka sekali ini engkau harus menerima undanganku."
Habis berkata, dengan merangkap kedua tangannya ia membungkuk tubuh untuk memberi hormat pula. Siocia tadi telah duduk kembali di atas keretanya, ketika Ciu Hong memberi hormat, dengan tertawa ia pun menjawab.
"Ah, jangan banyak adat!" ~ Berbareng ia pun mengebaskan lengan bajunya yang panjang menutupi tangan itu, dengan lengan itu ia tahan pinggang Ciu Hong sehingga nona cilik itu tidak dapat menyembah ke bawah, akhirnya bahkan tubuh Ciu Hong terangkat lurus kembali. Keruan wajah Ciu Hong menjadi merah.
"Ah, kiranya Hi Giok-kun adalah Piau-cimu? Kau tinggal di rumahnya?"
Demikian si Siocia menegas.
"Ya, justru Piau-ci yang suruh aku ke sini untuk mengundang Han-cici,"
Sahut Ciu Hong.
"Banyak terima kasih atas maksud baik Piau-cimu,"
Ujar si Siocia she Han.
"Tapi lantaran aku sedang sakit, pula harus cepat sampai di Yang-ciu, maka aku tidak ingin mengganggu Piau-cimu."
"Urusan Han-cici sudah diketahui semua oleh Piau-ci,"
Tutur Ciu Hong.
"Piau-ci hanya ingin berkumpul saja dengan engkau, paling-paling hanya makan beberapa hari saja. Orang-orang Piau-kiok ini toh tak berguna, tentu Piau-ci nanti akan mengantar engkau ke Yang-ciu, dengan demikian engkau dapat menghemat seribu tahil emas."
"Wah, mana boleh begitu, masakah aku mesti membikin repot Piau-cimu untuk melayani aku yang sedang sakit ini. Pula aku tidak dapat mengingkari peraturan Kang-ouw umumnya dan peraturan Piau-kiok khususnya."
"Ai, Han-cici tidak sudi memenuhi undanganku, bagimu tidak menjadi soal, tapi bagiku tentu akan diomeli Piau-ci,"
Kata Ciu Hong dengan sikap minta dikasihani.
"Kau boleh sampaikan jawabanku tadi kepada Piau-cimu. Katakan saja nanti kalau aku sudah sehat tentu akan datang sendiri ke Pek-hoa-kok untuk minta maaf kepada Piau-cimu,"
Kata si Siocia. Tapi Ciu Hong masih kelihatan serba susah, tiba-tiba ia berseru kepada si kakek she Ciu.
"Yaya, coba bagaimana ini? Han-cici tidak sudi memenuhi undanganku, engkau juga tidak mau bantu omong sedikit."
Orang tua itu lantas melangkah maju, lebih dulu ia memberi hormat kepada Siocia di atas kereta dengan merangkap kedua tangan dan menjura, katanya.
"Hamba Ciu Tiong-gak menyampaikan sembah hormat kepada nona Han."
Ucapan si kakek membikin orang-orang Piau-kiok terheran-heran.
Padahal cucu perempuan kakek itu berbicara dengan Siocia she Han itu dengan sebutan Ci-ci dan Moay-moay atau kakak dan adik, tapi si kakek ternyata menyebut diri sendiri sebagai "hamba", hal ini kedengaran rada janggal.
Maka terdengar nona di atas kereta sedang menjawab.
"Ah, tak perlu sungkan-sungkan!"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari tempat duduknya ia pun balas membungkuk tubuh sedikit.
Di tengah basa-basi ramah-tamah itu, tiba-tiba kereta keledai itu bergerak mundur ke belakang, sedangkan kakek she Ciu itupun terhuyung-huyung mundur dua-tiga tindak.
Beng Ting terkejut, cepat ia memburu maju untuk memegangi rangka kereta itu.
Sejak kecil Beng Ting berlatih ilmu Gwakang, tenaganya sangat besar.
Tak tersangka masih tidak mampu menahan bergeraknya kereta, bahkan ia sampai terseret beberapa langkah oleh gerak kereta yang menggelinding mundur itu.
Syukur si Siocia telah mengerahkan tenaga kakinya untuk menginjak sekuatnya, dengan gerakan "Jian-kin-tui" (kepandaian menahan ke bawah dan berat tubuh beribu kati).
Seketika Beng Ting merasa pegangannya menjadi enteng, kereta itu telah berhenti di tempatnya.
Dengan tersenyum Siocia itu berkata kepada Beng Ting.
"Terima kasih, Cong-piauthau, silakan mengaso saja ke sana, aku hendak bicara sebentar dengan Ciu Lo-siansing ini."
Wajah Beng Ting menjadi merah jengah, ia tahu kepandaian sendiri selisih jauh dengan mereka, maka dengan malu-malu ia mengundurkan diri ke sana.
"Hebat sekali kepandaian Ciu Lo-siansing!"
Terdengar si Siocia memuji dengan sikap hambar. Namun kakek yang bernama Ciu Tiong-gak waktu itu baru sempat menarik napas karena adu tenaga tadi, mukanya tampak merah, dengan jengah ia menjawab.
"Hamba diperintahkan majikan agar Siocia diharuskan mampir ke rumah. Karena tiada jalan lain, terpaksa hamba melupakan kemampuan sendiri sehingga menjadi buah tertawaan Han Siocia saja."
Bahwasanya tadi Ciu Tiong-gak telah menggunakan tenaga pukulan dari jarak jauh untuk menolak kereta keledai menggelinding ke belakang, kereta itu beroda, maka lebih mudah bergerak.
Sebaliknya si Siocia juga menggunakan tenaga pukulan dari jauh untuk menggetar mundur si kakek, cara ini jauh lebih sulit.
Apalagi nona itu dalam keadaan sakit.
Sebab itulah setelah saling jajal secara diam-diam tadi, mau tak mau Ciu Tiong-gak harus mengaku dirinya bukan tandingan si nona.
Maka Siocia itu berkata pula.
"Boleh kau sampaikan kepada Siocia kalian seperti apa yang kukatakan tadi. Nanti kalau aku sudah sampai di Yang-ciu, paling lambat tiga bulan lagi atau selekasnya dalam waktu sebulan tentu aku akan berkunjung sendiri kepada Siocia kalian di Pek-hoa-kok."
Menyadari bukan tandingan si nona, Ciu Tiong-gak tidak berani main paksa lagi, segera ia menjawab.
"Hamba menurut perintah. Cuma kartu undangan Siocia kami ini harap nona sudi menerimanya."
Habis berkata ia merogoh keluar sehelai kartu besar warna merah, sekali tangan bergerak, kontan kartu merah itu terus melayang ke arah kereta.
Jarak kedua pihak waktu itu ada belasan meter jauhnya, kartu hanya benda tipis enteng, tapi dapat meluncur dengan cepat seperti benda berat, kepandaian ini walaupun tiada artinya bagi si Siocia di dalam kereta, tapi sudah cukup membikin kagum semua orang Piau-kiok.
Dengan tersenyum si nona menangkap kartu merah yang melayang tiba itu, katanya.
"Siocia kalian benar-benar teramat baik hati. Ya, sekarang bolehlah kalian pulang saja."
Ciu Tiong-gak memberi hormat pula, katanya.
"Hamba mohon diri. Nah, Siau Hong, marilah berangkat!" ~ Sekali ini dia memberi hormat dengan sungguh-sungguh dan tidak berani memakai tenaga pukulan lagi. Dengan tertawa Ciu Hong juga berkata.
"Han-cici, engkau tidak sudi memenuhi undanganku, bicara terus terang, aku merasa rada kecewa. Semoga tidak sampai sebulan lamanya kita sudah dapat berjumpa pula."
Mendengar ucapan yang mengandung arti tertentu itu, air muka si Siocia rada berubah, tapi ia lantas menjawab dengan tersenyum.
"O, apakah Piau- cimu begitu terburu-buru ingin berjumpa dengan aku? Baiklah, terpaksa akan kutunggu dia."
ESUDAH Ciu Tiong-gak dan Ciu Hong pergi, di padang sunyi itu hanya tertinggal orang-orang Piau-kiok saja. Dengan perasaan malu Beng Ting mendekati penumpang puterinya dan berkata sambil memberi hormat.
"Maaf, aku punya mata, tapi tak dapat melihat sehingga tidak tahu kalau nona Han memiliki kepandaian tinggi. Berkat nona yang telah membikin ngacir kawanan bandit tadi sehingga panji Hou-wi Piaukiok tidak sampai jatuh, untuk itu terimalah hormatku ini."
Nona itu membalas hormat dan berkata.
"Sepanjang jalan aku pun sudah mendapat perlindunganmu, untuk itu aku malah belum mengucapkan terima kasih padamu."
"Ah, janganlah nona menertawakan diriku,"
Kata Beng Ting dengan wajah merah.
"Kata perlindungan harus diputar balik bagiku, bukan kami yang melindungi nona, tapi nonalah yang telah menyelamatkan kami."
"Cong-piauthau tidak perlu rendah hati,"
Ujar si nona.
"Sepanjang jalan kalau tidak berkat wibawamu, mungkin sudah lama terjadi persoalan."
"Piau-ci si nona cilik she Ciu tadi sebenarnya siapa?"
Tanya Beng Ting tiba-tiba.
"Namanya Hi Giok-kun, seorang kenalanku yang akrab, cuma sudah lama aku berpisah dengan dia,"
Jawab si nona.
"Dia bukan orang Kang-ouw, tentu kalian tidak kenal dia."
Jilid 2 S Beng Ting sudah berpengalaman, ia tahu si nona tidak mau menjelaskan apa yang ditanyakan, maka ia pun tidak mendesak lebih lanjut.
Cuma ia pun yakin kalau kelima serigala keluarga Thia, si Rase An Tat dan kakek she Ciu telah dikalahkan semua oleh si nona Han ini, maka dapat dipastikan orang she Hi itu tentu juga tidak dapat mengapa-apakan nona Han.
Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long