Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 10


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 10



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Sampai siang hari ketiga, ketika Han Tay-wi menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba ia membuka matanya dan berkata.

   "Anak Eng, membikin susah kau saja!"

   Nyata dia telah berhasil melancarkan kembali jalan darahnya setengah hari lebih cepat daripada taksiran Sebun Bok-ya.

   Hal ini disebabkan Sebun Bok-ya tidak memperhitungkan tenaga bantuan Han Pwe-eng itu.

   Karena tenaga sang ayah baru saja pulih, agar tidak mengguncangkan pikiran orang tua itu, maka untuk sementara Pwe-eng menunda maksudnya bertanya tentang siapa gerangan yang meracuni ibunya.

   Sebaliknya Han Tay-wi selalu memikirkan pertemuan Pwe-eng dengan Beng Jit-nio, maka begitu dapat membuka mulut segera ia bertanya.

   "Anak Eng, apa yang Beng Jit-nio bicarakan dengan kau?"

   "Ayah, biar kuberitahukan dulu sesuatu kabar gembira padamu,"

   Kata Pwe-eng.

   "Kabar gembira apa? Apakah Beng Jit-nio hendak membebaskan kau?"

   Tanya Tay-wi.

   "Dia menyatakan akan berusaha membebaskan aku. Tapi sekarang kabar gembira yang hendak kukatakan ini adalah urusan lain."

   "Kabar gembira urusan lain apa?"

   Tanya sang ayah dengan tak sabar.

   "Kulihat seorang pelayan Beng Jit-nio yang sangat mirip Hi Giok-kun."

   "Hi Giok-kun?"

   Tay-wi menegas.

   "Mana dia bisa datang ke sini dan menjadi budak orang segala?"

   "Anak juga pikir begitu,"

   Kata Giok-kun.

   "Tapi budak itu benar-benar sangat mirip Hi Giok-kun, bukan saja perawakannya, bahkan gerak-geriknya memberi tanda-tanda bahwa dia adalah samaran Giok-kun. Kemarin aku telah tanya budak pengantar rangsum, katanya budak baru itu sengaja didatangkan dari Kang-lam dan baru beberapa hari berada di sini. Giok-kun memang cerdik, entah dengan cara apa dia berhasil menyelundup ke sini, anak yakin tidak salah mengenali dia."

   "Apa kau kira Giok-kun datang ke sini buat menolong kita?"

   Tanya Tay- wi.

   "Dia mempunyai hubungan baik dengan aku seperti kakak beradik, jika bukan bermaksud menolong kita, buat apa dia menempuh bahaya?"

   Kata Pwe-eng dengan heran mengapa ayahnya bertanya demikian.

   "Anak Eng, apakah kau masih ingat, waktu hari pernikahanmu, nona Hi itu hadir tidak pada perjamuan kalian itu?"

   Tanya Tay-wi pula.

   Kuatir sang ayah berduka, maka Pwe-eng telah berdusta bahwa dia sudah menikah dengan Kok Siau-hong.

   Kini ditanyakan lagi persoalan itu, tanpa terasa ia menjadi malu dan sedih pula.

   Syukur keadaan di dalam kamar tahanan itu remang-remang sehingga sang ayah tidak tahu perubahan air muka Pwe-eng.

   Dengan menahan perasaannya Pwe-eng lantas menjawab.

   "Ayah, agaknya kau lupa ketika aku dikirim ke Yang-ciu untuk menikah kan tidak pernah mengundang siapa pun juga, tanpa diundang cara bagaimana dia dapat hadir?"

   "Pek-hoa-kok berdekatan dengan Yang-ciu, memangnya pihak keluarga laki-laki juga tidak mengundangnya?"

   "Tidak,"

   Jawab Pwe-eng. Ia menjadi heran pula mengapa ayahnya bertanya demikian padanya, apakah mungkin orang tua itu mendengar sesuatu.

   "Jika begitu, jadi nona Hi itu tidak kenal keluarga Kok?"

   Tanya Tay-wi pula.

   "Entahlah,"

   Jawab Pwe-eng dengan hati berdebar.

   "Untuk apakah ayah bertanya hal ini?"

   "Di antara orang tua kedua keluarga itu pernah terjadi sengketa di masa lampau, cuma sebab-musababnya sukar dipahami olehmu. Entah Kok Siau- hong mengetahui tidak peristiwa orang tua mereka itu. Kalau dia tidak bercerita padamu, maka kau pun tidak perlu tanya dia."

   Diam-diam Pwe-eng membatin.

   "Urusan orang tua mereka di masa lampau toh tiada sangkut-pautnya dengan diriku, agaknya Siau-hong dan Giok-kun juga tidak tahu, buktinya mereka berdua bergaul sebaik itu."

   Begitulah Pwe-eng hanya mengiakan saja dan berkata.

   "Ayah, tenagamu belum pulih seluruhnya, janganlah banyak bicara, mengaso saja dulu."

   Tapi Han Tay-wi masih bertanya.

   "Apa saja yang dibicarakan Beng Jit-nio padamu. Ini kan urusan sangat penting, jika kau tidak memberitahukan padaku, mana aku dapat mengaso dengan tenang?"

   Terpaksa Pwe-eng menerangkan.

   "Dia minta aku menjadi pelayannya, aku tidak mau."

   "Apakah dengan jalan demikianlah dia hendak melepaskan kau dari sini?"

   Tanya Tay-wi.

   "Ya, begitulah katanya, tapi anak tak dapat percaya kepada ucapannya."

   "Tidak, justru kata-katanya itu dapat dipercaya. Cuma kau tidak sudi menjadi budaknya juga dapat dimengerti dan aku tidak menyalahkan kau. Selain itu apalagi yang dikatakan?"

   "Dia menyatakan simpatiknya kepada ibu, bahkan mengatakan kasihan kepada ibu. Huh, memangnya aku percaya?"

   Demikian Pwe-eng mendengus.

   "Ayah, sebenarnya siapakah yang meracuni ibu, dia bukan?"

   "Apakah dengan cara begini kau telah bertanya pada dia?"

   Han Tay-wi terkejut.

   "Ya, telah kutanyai dia. Tapi dia tidak mengaku!"

   "Bagaimana jawabnya?"

   Tanya Tay-wi dengan napas menegang.

   "Katanya ada orang lain yang meracuni ibu. Ketika kutanya siapa orangnya, namun dia tidak mau menjelaskan. Sesungguhnya siapakah gerangan pembunuh ibu itu, dapatkah engkau memberitahukan padaku, ayah?"

   Han Tay-wi termenung sejenak, lalu berkata.

   "Tadinya aku mencurigai satu orang. Tapi sesudah kupikirkan lagi secara teliti, ada sesuatu yang meragukan pandanganku sehingga sampai saat ini aku tidak berani memastikannya."

   "Ayah, siapakah yang kau curigai menurut pikiranmu, harap katakan padaku!"

   "Baiklah, cuma kejadian ini cukup panjang untuk diceritakan....."

   Baru saja Han Tay-wi mau menyebut nama orang itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang yang perlahan, menyusul terdengar suara seorang wanita sedang bicara dengan penjaga di luar. Cepat Han Tay-wi mendesis.

   "Ssst, orang suruhan Beng Jit-nio telah datang, budak ini memiliki ilmu silat yang lumayan, tampaknya tidak di bawahmu. Kita harus waspada, biar kuceritakan saja nanti kalau dia sudah pergi."

   Meski dalam keadaan payah, tapi dasar ilmu silatnya memang sudah sempurna, maka dari suara berjalan saja ia dapat menilai tinggi-rendahnya kepandaian orang.

   Kiranya orang yang datang ini adalah Hi Giok-kun.

   Seperti diketahui atas perintah Beng Jit-nio, maka Giok-kun bertugas mengantar rangsum bagi Han Tay-wi dan Pwe-eng, dia dibawakan pula satu poci Pek-hoa-ciu.

   Di tengah jalan, untuk menguji kebenaran arak yang dikatakan Pek-hoa-ciu itu, Giok-kun sengaja mencelupkan tusuk kundai peraknya ke dalam poci.

   Bilamana arak itu beracun, maka tusuk kundai perak itu tentu akan berwarna hitam.

   Namun ketika tusuk kundai itu dikeluarkan, ternyata tetap putih mengkilap, legalah hati Giok-kun.

   Segera ia mengeluarkan satu bungkus obat bubuk pemberian Sin Cap-si-koh dan dituang ke dalam poci.

   Menurut keterangan Sin Cap-si-koh, katanya obat bubuk itu dapat menyembuhkan luka Hoa-hiat-to, kalau dicampur ke dalam Pek-hoa-ciu akan lebih besar pula khasiatnya.

   Karena tindak-tanduk Sin Cap-si-koh kelihatan sangat alim, dengan segala daya upaya ia pun mengirim Giok-kun ke sini untuk menolong Han Tay-wi, maka dalam hati Giok-kun menaruh curiga kepada Beng Jit-nio, sebaliknya sedikit pun tidak sangsi terhadap Sin Cap-si-koh.

   Begitulah, setiba di depan kamar tahanan yang dituju, segera ia dicegat oleh Pok Yang-kian yang berdinas jaga di situ.

   Pok Yang-kian mengenali Giok-kun sebagai budak yang baru datang, maka ia tidak tahu kalau kepandaian Giok-kun jauh lebih lihai daripada Si Bwe.

   Dia menjadi girang melihat Giok-kun datang sendirian, ia pikir budak ini sungguh cantik, mumpung sendirian, biar kugoda dia.

   Maka ia lantas maju merintangi Giok-kun.

   "Enci Pik Ca sedang sibuk, maka Jit-nio menyuruh aku mengirim rangsum ke sini, lekas kau membuka pintu,"

   Kata Giok-kun.

   "Nanti dulu,"

   Jawab Pok Yang-kian dengan mata berkedip-kedip seperti mata copet.

   "Katanya mengirim rangsum, mengapa ada pula satu poci arak?"

   "Arak atau bukan, yang jelas aku cuma diperintah majikan saja, kau mau apa?"

   Damprat Giok-kun. Pok Yang-kian sengaja merintangi, katanya pula.

   "Jangan kau menonjolkan Beng Jit-nio untuk menakuti aku. Untuk masuk kamar tahanan ini harus izinku, tahu? Aku ditugaskan guruku menjaga di sini, maka daharan yang kau antar ini harus kuperiksa dulu. Biasanya tidak pakai arak, sekarang ada satu poci arak, aku melarang kau masuk ke situ."

   Lalu ia membuka tutup poci dan mengendusnya, katanya pula.

   "Ehm, sedap benar baunya. Han Tay-wi dan anak dara itu tidak boleh minum arak, arak ini boleh tinggalkan untuk aku saja!"

   Berbareng itu Pok Yang-kian terus merampas nampan yang dibawa Giok- kun.

   Keruan Giok-kun terkejut, dalam keadaan demikian, terpaksa ia harus keluarkan ilmu silatnya.

   Cepat ia menotok pergelangan tangan lawan, namun sebelah tangan Pok Yang-kian segera menangkis, tangan yang lain lantas melemparkan nampan itu ke sana.

   Jika Giok-kun berusaha merebut kembali nampan itu, tentu tangannya akan terpukul oleh tangan lawan.

   Di sinilah Giok-kun telah memperlihatkan tindakannya yang cepat dan tepat.

   Mendadak ia menggeser ke sana, dengan bajunya lantas mengebas, dengan tepat nampan yang terlempar dan sedang melayang ke sana itu kena dikebut oleh Iengan bajunya, nampan itu berganti arah, melayangnya menjadi lambat untuk kemudian "creng", dengan perlahan jatuh di lantai tanpa menghancurkan isinya.

   Pada detik jatuhnya nampan, saat itu pula Giok-kun sudah menarik kembali tangannya untuk mengadu pukulan dengan Pok Yang-kian.

   Sebenarnya tenaga Pok Yang-kian lebih kuat daripada Giok-kun, untung belum lama Siu-lo-im-sat-kangnya baru dipunahkan oleh Kong-sun Bok sehingga tenaganya belum pulih.

   Maka begitu kedua tangan beradu, tubuh Giok-kun tergeliat, sebaliknya Pok Yang-kian tergentar mundur beberapa tindak.

   Baru sekarang Pok Yang-kian menyadari kepandaian si budak cilik yang luar biasa ini, dia menjerit dan bermaksud menggembor minta bala bantuan, namun Giok-kun tidak memberi kesempatan lagi padanya, menyusul jarinya menotok pula, secepat kilat ia totok Hiat-to Pok Yang-kian, kontan tubuh yang besar itupun roboh.

   Cepat Giok-kun membenarkan dulu poci arak yang ditutupnya terlepas serta membenarkan mangkuk piring di atas nampan.

   Habis itu baru dia mendekati pula Pok Yang-kian ia geledah bajunya dan menemukan kunci kamar tahanan itu, lalu ia seret Pok Yang-kian ke pinggir dan disandarkan di dinding.

   Diam-diam Giok-kun berdoa semoga diberi waktu setengah jam saja, asal tidak diketahui kawan Pok Yang-kian, maka harapan untuk meloloskan diri tentu sangat besar.

   Menurut perhitungannya, dengan lwekang Han Tay-wi yang tinggi, sesudah minum Pek-hoa-ciu yang dapat menyembuhkan racun dingin pukulan Siu-lo-im-sat-kang, sedangkan luka Hoa-hiat-to menurut keterangan Sin Cap-si-koh dengan cepat akan disembuhkan dengan obat bubuk pemberiannya yang dicampurkan di dalam Pek-hoa-ciu tadi.

   Kalau semuanya itu betul dan berjalan menurut rencana, maka dalam waktu setengah jam saja rasanya tenaga Han Tay-wi dapat pulih sebagian besar, ditambah lagi dia sendiri dan Han Pwe-eng, cukuplah untuk menghadapi Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok berdua dan anak muridnya.

   Apalagi sekarang Sebun Bok-ya belum pulang, benar-benar kesempatan yang bagus.

   Ketika Han Tay-wi dan Han Pwe-eng mendengar di luar ada suara orang bergebrak, selagi heran dan ragu-ragu, terdengarlah suara berkeriutnya pintu, dimana pintu terbuka, masuklah Hi Giok-kun.

   Sudah sekian hari Han Pwe-eng tersekap di dalam kamar tahanan itu, matanya sudah biasa dalam kegelapan, samar-samar ia dapat mengenali budak pengantar makanan ini adalah budak baru yang diragukan sebagai Hi Giok-kun itu.

   "Siapa kau?"

   Segera Pwe-eng menegur.

   Ia masih sangsi, kalau benar budak Beng Jit-nio, mengapa bertempur dengan Pok Yang-kian.

   Giok-kun menaruh nampan yang dibawanya itu, ia membuka satu sayap daun jendela sehingga cahaya menembus ke dalam, lalu menghapus riasan mukanya dan berkata.

   "Pwe-eng, masakah kau sudah pangling padaku?"

   "Giok-kun, ternyata benar kau adanya!"

   Seru Pwe-eng terkejut dan bergirang.

   "Cara bagaimana kau datang ke sini?"

   "Terlalu panjang untuk diceritakan, nanti saja kalau kita sudah berada di luar sana,"

   Sahut Giok-kun.

   "Han-pepek, apakah engkau sudah dapat bergerak?"

   "Ya, mengapa?"

   Jawab Han dengan suara berat.

   "Bagus jika begitu,"

   Seru Giok-kun girang.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"lekas engkau minum arak dalam poci ini, dalam waktu singkat tenagamu tentu akan pulih sebagian."

   "Arak apakah itu?"

   Tanya Han Tay-wi.

   "Pek-hoa-ciu buatan kami,"

   Jawab Giok-kun.

   "Ayah tak perlu sangsi, Pek-hoa-ciu ini memang sangat bagus untuk menyembuhkan racun Siu-lo-im-sat-kang, anak sendiri sudah mencobanya, khasiatnya sungguh luar biasa,"

   Demikian Pwe-eng ikut membujuk.

   "Aku tahu Pek-hoa-ciu buatan Pek-hoa-kok memang dapat menyembuhkan luka Siu-lo-im-sat-kang, tapi aku tak dapat meminumnya,"

   Jawab Tay-wi. Pwe-eng menjadi gelisah, cepat ia membujuk pula.

   "Ayah, kutahu engkau tidak suka menerima budi kebaikan orang, tapi kini keadaan mendesak, Hi- cici juga seperti anggota keluarga kita sendiri, hendaklah ayah minum saja arak itu dan jangan menolak lagi. Bukankah ayah sendiri selalu menyatakan setiap kesempatan harus digunakan, apalagi ayah juga harus mengingat akan diri anak, hanya kalau tenaga ayah pulih sebagian barulah anak ada harapan lolos dari sini."

   Diam-diam Han Tay-wi berpikir apa yang dikatakan Pwe-eng itu memang tidak salah.

   Kalau Hi Giok-kun juga telah memberi minum arak itu kepada Pwe-eng, rasanya dia juga takkan bermaksud jahat padaku.

   Demi kebaikan anak Eng, terpaksa aku menerima resiko ini.

   Maka ia lantas berkata.

   "Baiklah, Hi-siocia, aku terima kebaikanmu yang telah sudi menolong aku dengan menempuh bahaya!"

   Segera ia terima cawan arak yang disodorkan Giok-kun terus ditenggak habis.

   Kuatir kurang khasiat arak obat itu, baru saja Giok-kun mau menuangkan cawan kedua, tiba-tiba tertampak air muka Han Tay-wi berubah hebat, kedua matanya melotot merah.

   Keruan Giok-kun terkejut.

   Sekonyong-konyong Han Tay-wi mendengus, tangannya menyambar, tanpa ampun lagi pergelangan tangan Giok-kun kena dipegangnya.

   Biarpun dalam keadaan setengah lumpuh, tapi Han Tay-wi adalah maha guru ilmu silat terkemuka di zaman ini, untuk membekuk Hi Giok-kun baginya tidaklah sukar.

   Kontan saja sekujur badan Giok-kun terasa lemah lunglai karena nadi pergelangan tangan terpencet.

   Segera Han Tay-wi angkat tangan yang lain dan hendak menghantam batok kepala si nona.

   Pwe-eng sendiri merasa kaget dan bingung, cepat ia berseru.

   "Ayah, jangan!"

   "Budak yang keji!"

   Bentak Tay-wi.

   "Lekas mengaku, Beng Jit-nio yang menyuruh kau meracuni aku atau perbuatanmu sendiri?"

   "Apa? Di dalam arak ada racun?"

   Seru Pwe-eng terkejut. Belum lagi Giok-kun menjawab, tiba-tiba tangan Han Tay-wi terasa dingin, pegangannya menjadi kendur.

   "bluk", tubuh Han Tay-wi sendiri roboh terkulai. Giok-kun sendiri merasa bingung dan terkesima, ketika Han Tay-wi roboh barulah dia menyadari bahwa obat bubuk pemberian Sin Cap-si-koh itu kiranya adalah racun. Melihat keadaan sang ayah yang payah itu, Han Pwe-eng menjadi kuatir dan kalap, mendadak ia mendamprat Giok-kun.

   "Bagus sekali, Hi Giok-kun! Kau menginginkan Siau-hong juga telah kuserahkan padamu, mengapa kau masih belum puas dan sekarang mencelakai ayahku pula? Kau benar-benar keji, Hi Giok-kun! Baiklah, bolehlah kau maju sini, bunuh saja sekalian diriku ini!"

   Giok-kun seperti tersadar dari impian buruk, teriaknya mendadak.

   "Tidak, bukan aku yang mencelakai ayahmu!"

   "Bukan kau, habis siapa?"

   Bentak Pwe-eng.

   "Aku tahu siapa orangnya!"

   Tiba-tiba suara seorang menyambung.

   "Trang", poci arak tadi terguling tertimpuk oleh sepotong batu. Dengan cepat kelihatan Beng Jit-nio melangkah masuk ke dalam kamar tahanan itu. Ketika melihat Han Tay-wi sudah roboh di lantai, dengan gegetun Beng Jit-nio berseru.

   "Kedatanganku tetap terlambat sedikit!" ~ Mendadak ia berpaling terus menghantam ke arah Hi Giok-kun sambil mendamprat.

   "Meski kau bukan biang keladinya, sedikitnya kau adalah pelaksananya, kau tak dapat diampuni!"

   "Nanti dulu, siapa biang keladinya harus ditanya dulu!"

   Seru Pwe-eng.

   Menghadapi bahaya maut, bagi orang yang mahir ilmu silat dengan sendirinya memberi reaksi untuk membela diri.

   Walaupun kenal betapa lihainya Beng Jit-nio, menghadapi bahaya, segera Giok-kun mengeluarkan segenap tenaganya untuk menangkis hantaman Beng Jit-nio.

   Menurut perhitungan Beng Jit-nio, biarpun Giok-kun bisa ilmu silat, paling-paling juga terbatas, ia mengira hantamannya pasti dapat membinasakan Giok-kun, maka tenaga yang dikeluarkan tidak sepenuhnya.

   Namun begitu toh Giok-kun tetap tak sanggup menangkisnya walaupun ia telah menggunakan segenap tenaganya, terdengarlah suara keras, Giok-kun terpental jauh, untung tidak sampai terluka.

   Bahwa hantamannya tidak membinasakan lawan, hal ini sungguh di luar dugaan Beng Jit-nio, keruan ia tambah yakin Giok-kun adalah mata-mata yang sengaja dikirim Sin Cap-si-koh, ia tambah gusar terhadap si nona.

   "Tahan dulu, Jit-nio!"

   Seru Pwe-eng.

   "Sudahlah, aku sudah tahu duduknya perkara, tidak perlu ditanya lagi!"

   Kata Beng Jit-nio. Maksudnya Giok-kun tidak perlu dibiarkan hidup untuk dimintai keterangan, jadi dibunuh saja. Saat itu Giok-kun baru saja bangun, tiba-tiba Beng Jit-nio menubruk maju pula terus menotok "Ih-gi-hiat"

   Di bagian iganya.

   Hiat-to itu adalah salah satu tempat mematikan di tubuh manusia, totokan Beng Jit-nio itu cepat dan tepat, untuk mengelak jelas tidak sempat lagi.

   Dalam keadaan demikian perasaan Giok-kun menjadi dingin, ia hanya pejamkan mata menanti ajal saja.

   Kalau Giok-kun mengira jiwanya pasti akan melayang, tapi kejadian justru di luar dugaannya.

   Tiba-tiba ia merasa iga sedikit kesemutan dan rada sakit seperti digigit semut, rasanya tidak terluka, dengan sendirinya juga tak membayangkan jiwanya bakal melayang.

   Kiranya di dalam baju Giok-kun itu tersimpan cincin pemberian Sin Liong-sing itu, ujung jari Beng Jit-nio kebetulan menyentuh cincin itu, hal ini menimbulkan rasa heran Beng Jit-nio, jarinya mendadak membengkok terus menggaet keluar cincin di dalam saku Hi Giok-kun itu.

   Ketika melihat cincin itu, Beng Jit-nio melengak dan bersuara heran, katanya.

   "Kiranya kau sudah mengikat janji dengan Sin Liong-sing? Baiklah, mengingat Liong-sing bolehlah kuampuni jiwamu, lekas kau enyah saja dari sini, selanjutnya jangan sekali-kali kepergok lagi padaku. Aku hanya dapat mengampuni kau satu kali saja!"

   Habis berkata, ia pegang punggung Giok- kun terus dilempar keluar.

   Agaknya Beng Jit-nio sangat sayang kepada Sin Liong-sing walaupun ia sendiri tidak akur dengan Sin Cap-si-koh.

   Sejak kecil Sin Liong-sing lebih sering tinggal di rumah Beng Jit-nio daripada berkumpul dengan Sin Cap-si- koh.

   Cincin itu berasal dari pemberian Beng Jit-nio sebagai bekal tanda mata bagi tunangan Sin Liong-sing.

   Karena itulah Beng Jit-nio menyangka Giok- kun adalah bakal istri Sin Liong-sing.

   Waktu dilempar keluar, Giok-kun merasa seperti ditolak oleh suatu tenaga besar untuk kemudian ditaruh lagi ke bawah dengan perlahan.

   Begitu kaki menyentuh tanah, pikirannya menjadi bingung pula.

   Nyata salah paham telah bertambah salah paham pula, seumpama hendak memberi penjelasan tentu juga takkan diterima oleh Beng Jit-nio.

   Tampaknya Han Tay-wi sukar diselamatkan lagi, bahkan ia sendirilah yang memberi minum arak beracun itu, dalam keadaan berduka masakah Han Pwe-eng mau terima penjelasannya? Tengah Giok-kun diliputi rasa bingung dan bimbang, tiba-tiba telinganya seperti mendengar suara orang berkata dengan lirih.

   "Lekas lari, lekas! Kalau ayal tentu tak keburu lagi!"

   Giok-kun terkejut, ia coba memandang sekelilingnya, hanya Pok Yang- kian saja yang masih meringkuk di pinggir dinding sana, lalu suara siapakah gerangannya? Belum lenyap herannya, tiba-tiba terdengar suara orang bergelak tertawa, seorang kakek bermuka merah dan berbadan tinggi besar sudah muncul dari pojok sana, siapa lagi dia kalau bukan Sebun Bok-ya.

   Di tengah suara gelak tertawa Sebun Bok-ya itu, kembali Giok-kun mendengar suara orang tadi membisikinya.

   "Lekas lari! Menuju ke timur!" ~ Nyata ucapan itu khusus ditujukan kepada Giok-kun saja, buktinya Sebun Bok-ya juga tidak tahu ada orang lain lagi di situ. Agaknya yang digunakan orang tak kelihatan itu adalah sejenis ilmu "mengirimkan gelombang suara". Maka Giok-kun lantas menyadari bahwa dirinya sedang dilindungi orang kosen secara diam-diam. Orang itu tidak mau tampil ke muka, mungkin kepandaiannya tak dapat menandingi Sebun Bok-ya, tapi pasti jauh di atas Giok-kun sendiri. Dengan perasaan menanggung penasaran karena tuduhan orang yang keliru, sebenarnya Giok-kun masih ragu-ragu apakah mesti pergi dari situ atau tidak. Kini Sebun Bok-ya sudah muncul, orang tak kelihatan itu makin mendesaknya agar lari, dalam keadaan demikian Giok-kun tak sempat berpikir lagi, segera ia angkat kaki.

   "Mau lari kemana!"

   Bentak Sebun Bok-ya, berbareng ia menyambitkan dua buah Kim-ci-piau, sebuah mengarah "Hong-hu-hiat"

   Di punggung Giok- kun, sebuah lagi menyambar ke arah muridnya sendiri, yaitu Pok Yang-kian.

   Saat itu Giok-kun sedang melompat ke atas atap rumah, dalam keadaan masih terapung di udara tidak sempat lagi baginya untuk menghindar ketika mendengar suara mendesingnya senjata rahasia.

   Sebaliknya mendadak terdengar Pok Yang-kian menjerit satu kali terus melompat bangun dan berseru.

   "Suhu, jangan lepaskan budak busuk itu!"

   Kiranya kedua buah mata uang yang disambitkan Sebun Bok-ya itu mempunyai sasaran berbeda dan tujuan berbeda pula, mata uang yang menyambit Pok Yang-kian itu adalah untuk membuka Hiat-to yang tertotok.

   Tampaknya mata uang yang menyambar ke arah Hi Giok-kun itu segera akan mengenai sasarannya, syukurlah pada saat itu juga sebuah cawan arak mendadak menyambar keluar dari kamar tahanan sehingga mata uang itu terbentur jatuh.

   Cawan arak itu terbuat dari tembaga dan jauh lebih berat daripada mata uang maka cawan arak itu masih terus melayang ke depan setelah membentur jatuh, mata uang dan tepat mengenai batok kepala Pok Yang-kian yang saat itu berlari-lari maju hendak menguber Hi Giok-kun.

   Keruan batok kepalanya kontan bocor dan keluar kecapnya.

   Menyusul Beng Jit-nio lantas keluar dari kamar tahanan itu dan berkata.

   "Sebun-siansing, memangnya kau tidak tahu bahwa Si Khim pelayanku?"

   Maklumlah Beng Jit-nio adalah wanita yang tinggi hati dan tidak gampang mengalah, tingkah-laku Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok yang sewenang-wenang di rumahnya sudah lama tak dapat dibiarkan, kini perpecahan kerja sama mereka jelas sukar terhindar lagi, maka Beng Jit-nio terpaksa tampil ke muka.

   Melihat Beng Jit-nio muncul di situ, Sebun Bok-ya melengak, tapi lantas bergelak tertawa pula dan berkata.

   "Sungguh tidak nyana Jit-nio sudi mendatangi kamar penjara yang kotor ini. Memang betul, gebuk anjing perlu ingat pemiliknya. Tapi aku kan belum memukul budakmu, sebaliknya kalian sudah membikin susah muridku. Apa kesalahan muridku, coba Jit-nio suka memberi penjelasan?"

   "Bagus, jadi kau hendak membela muridmu bukan?"

   Jawab Jit-nio dengan gusar.

   "Urusan kecil begitu mana aku berani merecoki Jit-nio,"

   Jawab Sebun Bok-ya.

   "Aku hanya ingin mengusut perkara yang lebih penting."

   "Perkara penting apa yang kau maksudkan?"

   Jengek Beng Jit-nio dengan alis menegak.

   "Numpang tanya dulu, untuk apa Jit-nio datang ke sini?"

   Balas Sebun Bok-ya.

   "Aneh,"

   Jengek Jit-nio.

   "ini adalah rumahku, kemana pun aku suka, memangnya kau berhak mengurus diriku?"

   "Seorang laki-laki sejati harus bisa pegang janji, kau telah menyatakan Han Tay-wi diserahkan dalam pengawasanku, kenapa sekarang kau ikut campur lagi?"

   "Ha, ha, Sebun-siansing mengaku diri sebagai laki-laki sejati, apa tidak takut ditertawai orang sejagat? Aku sendiri mana berani mengaku sebagai laki-laki sejati, aku memang seorang wanita yang berjiwa sempit. Tapi aku benci kepada sepak terjang kalian yang sewenang-wenang, aku justru ingin ikut campur, kau mau apa?"

   "Aku tidak berani apa-apa,"

   Jawab Sebun Bok-ya dengan nada seram.

   "tapi kalau Jit-nio berkeras mau ikut campur, terpaksa silakan Jit-nio memperlihatkan sejurus dua lebih dulu kepada kami."

   "O, maksudmu hendak menjajal diriku bukan?"

   Kata Jit-nio. Sebun Bok-ya bersuit panjang, jawabnya dengan angkuh.

   "Ya, begitulah!"

   Selagi Beng Jit-nio dan Sebun Bok-ya berhadapan hendak bertempur, pada saat itu Hi Giok-kun sudah melompat ke atas atap rumah dan tidak ambil pusing lagi siapa yang akan mampus antara kedua orang itu.

   Sebenarnya dia tidak hapal keadaan taman bangunan kuno itu, yang teringat olehnya adalah anjuran suara orang tadi yang menyuruhnya lari ke arah timur, maka tanpa pikir lagi ia terus menuju ke arah yang disebut itu.

   Ternyata jurusan yang diambil itu tidaklah keliru, baru saja ia melompat keluar pagar tembok, saat itu pula Cu Kiu-bok memburu tiba dari sebelah barat.

   Cu Kiu-bok mendengar suara suitan Sebun Bok-ya tadi, maka dia memburu datang buat memberi bantuan sehingga tidak sempat mencegat larinya Giok-kun ke arah timur.

   Hanya saja, ia tidak rela membiarkan si nona lolos begitu saja, segera ia ambil satu tumpukan genting terus disambitkan ke arah Giok-kun.

   Terdengarlah suara gemuruh hancurnya genting-genting itu, entah darimana datangnya tahu-tahu sepotong batu menyambar tiba sehingga tumpukan genting-genting itu tertimpuk hancur.

   Diam-diam Cu Kiu-bok terkesiap dan menyangka Beng Jit-nio menyembunyikan bala bantuan kuat di situ.

   Segera ia berteriak memanggil anak buahnya.

   "Lekas cegat larinya budak itu!"

   Baru saja Giok-kun melompat masuk taman sebelah sana, tertampaklah dua orang lelaki berlari memapaknya, menyusul dari arah lain muncul pula beberapa orang, semuanya berteriak-teriak agar mengepung dan menangkap Giok-kun.

   Dari cerita Pik Ki dan Pik Po, Giok-kun mengenali seorang di antaranya murid kedua Sebun Bok-ya, namanya The Yu-po.

   Ada seorang lagi yang tak dikenalnya, tampaknya sangat gesit, jelas kepandaiannya terlebih tinggi daripada yang lain.

   Kalau satu melawan satu atau melawan dua, Giok-kun yakin takkan kalah, tapi kini menghadapi lawan belasan orang, betapa pun Giok-kun merasa bukan tandingan mereka.

   Jalan paling baik adalah mencari jalan meloloskan diri saja.

   Sementara itu pengejar-pengejar itu sudah makin dekat, kawan The Yu- po yang gesit dengan senjata golok bergigi tampaknya sudah menyusul sampai di belakang Giok-kun.

   Selagi Giok-kun bingung ke arah mana larinya, tiba-tiba terdengar suara "plok"

   Satu kali, sepotong batu jatuh kira-kira beberapa meter di sebelah kiri Giok-kun. Pengejar-pengejar itu mengira kawan sendiri yang melempar batu. Tapi hati Giok-kun mendadak tergerak, pikirnya.

   "Jangan-jangan perbuatan orang yang bersuara tadi yang sengaja memberi petunjuk arah padaku?"

   Tanpa pikir ia terus lari ke arah jatuhnya batu itu. Tiba-tiba dilihatnya sebuah gunung-gunungan setinggi beberapa meter menghadang di depan, kembali suara yang dikenalnya tadi mendengung pula di telinganya.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Menyusup ke dalam gunung-gunungan itu!"

   Menghadapi jalan buntu, sedangkan para pengejar sudah dekat, kalau menyusup ke dalam gua gunung-gunungan itu berarti masuk jaring sendiri.

   Namun Giok-kun percaya suara orang itu pasti tidak menipunya, tanpa pikir ia terus menyusup ke dalam gua.

   Baru saja ia memasuki gua, terdengarlah suara gemuruh, sepotong batu besar tahu-tahu menggelundung dari atas dan tepat menutupi mulut gua.

   Gunung-gunungan itu adalah buatan manusia yang ditumpuk dengan potongan batu-batu besar, kalau sepotong batu bagian atas jatuh tergetar tentunya bukan sesuatu yang aneh.

   Dengan sendirinya The Yu-po dan kawan-kawannya tidak menyangka ada orang sengaja mengacau, tapi bagi Giok-kun sebaliknya adalah kejadian luar biasa.

   Sesudah memasuki gua itu, Giok-kun merasa gua itu menghubungkan sebuah lorong yang panjang, ia coba meraba-raba dan maju terus ke dalam.

   Akhirnya sampailah di ujung gua itu, ternyata di situ juga ditutup dengan sepotong batu besar.

   Ia coba mendorong sekuatnya, batu itu berhasil disingkirkan, waktu ia melangkah keluar, ternyata sudah berada di luar taman.

   Waktu itu anak murid Sebun Bok-ya masih ribut di depan gunung- gunungan itu, ada yang berusaha menyingkirkan batu penyumbat gua, ada yang berteriak mengusulkan menggunakan asap untuk memaksa Giok-kun keluar dari tempat sembunyinya.

   Orang yang kelihatan tangkas dan berdampingan dengan The Yu-po tadi bernama Ciok Tay-yu, keluarga Ciok terkenal di dunia persilatan karena senjata golok bergigi yang turun-temurun bekerja membuka perusahaan pengawalan.

   Tapi akhir-akhir ini Ciok Tay-yu telah berhasil diseret Sebun Bok-ya ke dalam komplotannya.

   Ciok Tay-yu lebih cerdik dan berpengalaman daripada yang lain, ia menjadi curiga melihat Giok-kun menyusup ke dalam gua dan mendadak sepotong batu jatuh dari atas.

   Ia pikir jangan-jangan gua ini ada pesawat rahasianya, mungkin budak ini menyembunyikan pula bala bantuan di sini.

   Segera ia berkata kepada The Yu-po.

   "Coba kalian berusaha menyingkirkan batu ini, aku dan seorang lagi memeriksa keluar taman sana, bisa jadi budak itu sudah keluar!"

   Taksiran Ciok Tay-yu ternyata tidak salah, saat itu Giok-kun sudah menerobos keluar gua itu dan berada di tengah hutan di luar taman.

   Dengan perasaan lega Giok-kun sedang heran siapakah orang yang menolongnya secara diam-diam itu? Mengapa orang itu tidak mau memperlihatkan diri? Dia sangat hapal keadaan tempat ini, tentunya bukan orang luar.

   Tiba-tiba teringat seorang olehnya.

   "Ya, pasti dia adanya!" ~ Teringat kepada orang itu, tanpa terasa mukanya menjadi merah. Orang yang teringat olehnya itu tak lain daripada Sin Liong-sing. Pemuda itupun terhitung keponakan misan Beng Jit-nio, tidaklah mengherankan jika dia hapal keadaan bangunan kuno yang luas ini. Tanpa terasa ia periksa cincin pemberian Sin Liong-sing itu. Cincin itu tadinya kena digaet oleh Beng Jit-nio, tapi telah dikembalikan ke jarinya ketika Beng Jit-nio melemparkan dia keluar kamar penjara. Cincin itulah yang telah menyelamatkan jiwanya, tapi menjadi serba susah pula memandangi cincin itu kini. Pikirnya pula.

   "Apa artinya Sin Liong-sing memberikan cincin ini padaku? Jangan-jangan memang begitulah maksudnya terhadap diriku sebagaimana disangka oleh Beng Jit-nio?"

   Tiba-tiba terdengar ada suara tindakan orang ke arahnya, disangkanya Sin Liong-sing yang datang, ia ambil keputusan akan mengembalikan cincin itu dan akan memberi penjelasan bahwa dirinya sudah punya tunangan dan agar pemuda itu tidak memikirkan dia lagi.

   Giok-kun lantas menanggalkan cincin itu dan siap dikembalikan kepada Sin Liong-sing.

   Tapi mendadak terdengar orang membentaknya.

   "Budak busuk, mau lari kemana kau sekarang!" ~ Menyusul dari samping sana muncul dua orang, kiranya Ciok Tay-yu dan kawannya telah memburu tiba. Cepat Giok-kun menyimpan cincin itu dan siap menghadapi musuh. Kawan Ciok Tay-yu itu bersenjatakan sepasang pedang, ia anggap enteng nona muda seperti Giok-kun, segera ia menerjang maju lebih dulu.

   "Awas, Gian-heng!"

   Cepat Tay-yu memperingatkan kawannya.

   Namun sudah terlambat, gerak Giok-kun teramat cepat, sebelum lawan mendekat ia sudah melayang maju, dengan suatu gerakan pancingan, ketika lawan menusuk dengan pedangnya, cepat Giok-kun menggeser ke samping, sekali pegang, kontan pedang lawan kena dirampasnya.

   "Jangan temberang, budak cilik!"

   Bentak Ciok Tay-yu terus ikut menerjang maju untuk mengerubut. Menghadapi dua lawan, mau tak mau Giok-kun merasa kewalahan. Lambat-laun si nona terdesak sampai di bawah sebatang pohon cemara tua, untuk mundur lagi sudah buntu.

   "He, he, nona cilik, lebih baik kau menyerah saja, nona manis seperti kau mana aku tega melukai?"

   Seru Ciok Tay-yu dengan tertawa.

   Tak terduga, belum lenyap suara tertawanya, sekonyong-konyong sebelah kakinya terserimpet, hampir saja dia jatuh terjungkal.

   Kiranya pada saat itu kebetulan ada satu biji cemara menggelinding ke bawah kakinya sehingga injakannya kurang mantap dan terpeleset, langkahnya menjadi sempoyongan.

   Giok-kun tidak sia-siakan kesempatan itu, secepat kilat pedangnya menusuk, kontan bahu Ciok Tay-yu tertusuk dan memancurkan darah.

   Untung kawannya segera melancarkan serangan sehingga Giok-kun tidak sempat menambahi tabasan pedangnya atas diri Ciok Tay-yu.

   Pada saat itu pula sekonyong-konyong dari atas jatuh satu biji cemara dan tepat mengenai batok kepala kawan Ciok Tay-yu yang bernama Gian Peng-kin itu.

   Seketika orang she Gian itu merasa kepalanya seperti ditabok, sakitnya tidak kepalang, hampir saja ia kelengar.

   Segera pedang Giok-kun menabas pula sehingga dua-tiga jari Gian Peng- kin terkutung, orangnya juga terjungkal.

   Baru Giok-kun hendak melancarkan serangan lain untuk membereskan Ciok Tay-yu, tiba-tiba terdengar seorang membentak.

   "Budak busuk, berani kau mempermainkan aku, sebentar pasti akan kubeset kulitmu!"

   Berbareng itu dari jauh orang itu lantas memukul, angin pukulannya membawa bau amis yang memuakkan.

   ANG DATAN ini adalah The Yu-po, pukulan Hoa-hiat-to orang she The ini lebih hebat daripada Suhengnya, yaitu Pok Yang-kian.

   Karena merasa diingusi Hi Giok-kun setelah dia menyingkirkan batu penyumbat gua tadi, ia menjadi murka dan memburu tiba pula untuk membekuk si nona.

   Menandingi dua orang saja kewalahan, apalagi mengendus bau amis pukulan Hoa-hiat-to yang memuakkan itu, seketika Giok-kun merasa kepala pusing, permainan pedangnya menjadi kacau.

   Dalam pada itu Gian Peng-kin sudah merangkak bangun dan merasa bingung atas kejadian tadi, serunya.

   "The-Toa-ko, budak setan ini rada-rada aneh, kau harus hati-hati!"

   "Ha, ha, ha! Budak cilik begini masakah dapat lolos dari cengkeramanku? Sebentar lagi akan kubekuk dia dan uuh, aduuuh!"

   Mendadak suara tertawa The Yu-po berubah menjadi jerit kesakitan.

   Jilid 11 Y Kiranya satu biji cemara mendadak jatuh pula dari atas dan tepat mengenai dahinya sehingga benjol besar.

   Hanya saja dia tidak sampai jatuh kelengar seperti Gian Peng-kin tadi.

   Namun benjut di dahinya itu sudah cukup membuatnya meringis kesakitan.

   Berulang-ulang ada biji cemara jatuh dari atas, padahal tiada angin dan tiada sebab.

   Seketika Gian Peng-kin sadar, bentaknya segera.

   "Main serang secara sembunyi-sembunyi, terhitung orang gagah macam apa? Kalau berani hayolah perlihatkan diri!"

   Tiba-tiba terdengar suara bergelak tertawa, seorang melompat turun dari atas pohon itu.

   Orang yang melompat turun dari atas pohon ternyata benar Sin Liong- sing adanya sebagaimana diduga Hi Giok-kun, walaupun begitu si nona toh terkejut dan bergirang.

   The Yu-po bertiga juga terkejut melihat orang yang melompat turun dari atas pohon itu adalah seorang pemuda belia, tapi berkepandaian sehebat ini.

   "Sejak tadi aku sudah berada di sini, memangnya baru sekarang kalian mengetahuinya?"

   Dengan tertawa Sin Liong-sing berolok-olok.

   "Huh, kalian sendiri yang buta, mengapa menyalahkan aku main serang secara menggelap segala? Kalian bertiga mengerubut seorang nona, lalu kalian terhitung orang gagah macam apa?"

   "Tidak perlu banyak bacot, lihat pukulan!"

   Bentak The Yu-po sambil melancarkan pukulan Hoa-hiat-to yang berbisa.

   "Memangnya kau ingin coba-coba dengan diriku?"

   Kata Sin Liong-sing dengan tertawa sambil mengacungkan jari telunjuknya ke "Lo-kiong-hiat"

   Di tengah telapak tangan lawan.

   Lo-kiong-hiat adalah Hiat-to yang menjadi pantangan bagi mereka yang meyakinkan Hoa-hiat-to, bila tempat itu tertotok, maka tenaga murninya akan bocor dan sedikitnya akan memunahkan tenaga latihannya selama tiga tahun.

   Apalagi ia telah mengetahui kepandaian Sin Liong-sing, hanya satu biji cemara yang kecil saja dapat membuat batok kepalanya benjut, apalagi tenaga jarinya, bukan mustahil telapak tangannya akan tembus bila tertotok dengan tepat.

   Dengan sendirinya The Yu-po tidak berani ambil resiko itu, cepat ia menarik kembali pukulannya sambil melompat mundur.

   "He, katanya kau mengajak berkelahi, mengapa cuma pamer telapak tangan saja dan main mundur melulu?"

   Ejek Sin Liong-sing. Dengan mendongkol The Yu-po menyerang lagi dari samping. Namun Sin Liong-sing tetap melayani dengan tenang, ia hanya melirik hina pada lawannya, ketika musuh sudah mendekat, mendadak jarinya mengincar "Koh-cing-hiat"

   Di pundak orang.

   Bilamana tempat yang diarah itu kena dengan jitu, maka tulang pundak tentu patah dan ilmu silatnya akan punah pula.

   Karena itu terpaksa The Yu-po melancarkan serangan dan selalu dipaksa mundur oleh totokan Sin Liong-sing yang mengincar Hiat-to mematikan.

   Sungguh girang dan terkejut Hi Giok-kun menyaksikan ilmu Tiam-hiat ahli waris Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam yang termasyhur itu, nyatanya memang bukan nama kosong belaka.

   Sekonyong-konyong terdengar The Yu-po memberi aba-aba kepada kawan-kawannya, lalu ia putar tubuh dan kabur lebih dulu.

   Ciok Tay-yu dan Gian Peng-kin memangnya sudah bersiap-siap hendak lari ketika melihat The Yu-po terdesak, kini mendengar seruan kawannya itu, tanpa pikir mereka terus angkat langkah seribu.

   "Ya, semuanya enyah saja dari sini!"

   Bentak Sin Liong-sing sambil melontarkan pukulan dari jauh, dia sengaja hendak pamer tenaga dalamnya kepada Hi Giok-kun.

   Maka terdengarlah suara keras, Gian Peng-kin yang berlari paling belakang tergetar roboh oleh tenaga pukulan Sin Liong-sing itu dan terguling-guling ke bawah lereng sana.

   Untung The Yu-po dan Ciok Tay-yu keburu menariknya bangun pula untuk segera bertiga lantas melarikan diri pula.

   Sin Liong-sing terbahak-bahak dan tidak mengejar, ia berpaling dan memberi hormat kepada Hi Giok-kun, katanya.

   "Maaf, aku datang terlambat sehingga membikin nona terkejut."

   Terpaksa Giok-kun membalas hormat dan snenjawab.

   "Banyak terima kasih atas pertolonganmu berulang-ulang ini."

   Menyusul ia pun mengeluarkan cincin itu dan diserahkan kembali kepada Sin Liong-sing, katanya pula.

   "Maafkan jika aku tidak punya rezeki untuk menerima cincinmu ini. Bukankah cincin ini adalah pemberian Beng Jit-nio? Kau harus menyimpannya untuk kelak diberikan kepada nona yang terlebih baik daripadaku."

   Wajah Sin Liong-sing menjadi merah, ia tahu tentu Beng Jit-nio telah menjelaskan asal-usul cincin itu kepada Giok-kun, katanya kemudian dengan mengiring tawa.

   "Harap nona Hi jangan marah, soalnya aku kuatir Beng Jit-nio akan membikin susah padamu, kupikir hanya cincin ini saja yang dapat..... dapat....."

   "Ya, aku paham, hanya cincin inilah dapat menyelamatkan jiwaku,"

   Sela Giok-kun.

   "Dan dia benar-benar telah menyelamatkan jiwaku. Sungguh aku harus berterima kasih atas maksud baik Sin-kongcu. Namun cincin ini sekarang sudah tidak berguna pula bagiku. Aku pun tidak cocok untuk menerima pemberianmu yang berharga ini, maka diharap Sin-kongcu suka menerimanya kembali."

   Dengan kikuk terpaksa Sin Liong-sing menerima kembali cincin itu dengan rasa malu dan kecewa pula. Namun sedapat mungkin ia bersikap sewajarnya, katanya dengan tersenyum.

   "Baiklah jika nona Hi dapat memahami maksudku dan tidak marah padaku. Tempat ini bukan tempat yang aman, marilah kita lekas berangkat saja."

   Karena Sin Liong-sing telah menolongnya dua kali, pula Giok-kun memang ada sedikit persoalan yang perlu ditanyakan padanya, maka ia pun tidak menolak untuk melanjutkan perjalanan bersama.

   "Terlepas daripada Han Tay-wi akan dibinasakan oleh Beng Jit-nio atau tidak, yang pasti Han Tay-wi sudah keracunan,"

   Ujar Giok-kun.

   "Bibi dan Piau-koh adalah ahli obat-obatan, jika Piau-koh yang memberi racun, tentu pula bibi sanggup memunahkannya asalkan Piau-koh tidak merintanginya,"

   Kata Liong-sing. Sin Liong-sing seperti mengetahui pikiran Giok-kun, katanya kemudian.

   "Apa yang terjadi barusan ini tentunya terasa aneh bagimu bukan?"

   "Ya,"

   Jawab Giok-kun.

   "Mestinya aku hendak menyelamatkan jiwa Han Tay-wi, tak tersangka malah mencelakai dia."

   "Hal ini sudah dalam dugaanku,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Watak Han Tay- wi sangat kepala batu dan tidak mau menyerah kepada Beng Jit-nio, maka aku percaya Piau-koh akhirnya akan membinasakan dia."

   "Beng Jit-nio tidak membunuh dia,"

   Kata Giok-kun.

   "Dia telah minum Pek-hoa-ciu yang kuberikan, tak terduga di dalam arak telah diberi racun."

   "O, maksudmu Han Tay-wi hanya keracunan dan tidak binasa?"

   Sin Liong-sin menegas.

   "Agaknya Piau-koh masih ingin menyiksa dia, tapi pada suatu ketika jiwanya tetap akan melayang di tangan Piau-koh (bibi misan, maksudnya Beng Jit-nio)."

   "Tidak, bukan Beng Jit-nio yang meracuni dia, tapi orang lain lagi,"

   Ujar Giok-kun.

   "Bukankah dia yang menyuruh kau mengantar Pek-hoa-ciu kepada Han Tay-wi? Jika bukan dia, lalu siapa menurut kau?"

   "Waktu berangkat, bibimu menyerahkan sebungkus obat bubuk kepadaku, katanya dapat memunahkan racun Hoa-hiat-to dan agar dicampur di dalam Pek-hoa-ciu untuk menolong Han Tay-wi."

   "Kiranya begitu, jadi kau menyangsikan bibiku yang meracuni Han Tay- wi?"

   "Sebenarnya tidak pantas aku mencurigai bibimu, tapi jelas cuma satu di antara dua, kalau bukan Beng Jit-nio tentulah bibimu. Apakah kau anggap ucapan ini terlalu terang-terangan, Sin-kongcu?"

   Sin Liong-sing kelihatan bimbang, agaknya dia pun mulai curiga kepada bibinya, yaitu Sin Cap-si-koh. Selang sejenak baru dia berkata.

   "Kalau memang begitu, tidaklah salah jika kau menaruh curiga. Cuma sering aku mendengar bibi menyatakan Han Tay-wi adalah sahabat yang paling dihormati dan dikaguminya, bisa jadi obat bubuk yang dia berikan padamu itu bukanlah racun, tapi Beng Jit-nio sendiri yang telah menaruh racun di dalam arak di luar tahumu."

   "Urusan ini sebenarnya memang sukar dipahami,"

   Ujar Giok-kun.

   "Namun Han Tay-wi sudah jelas tak bisa hidup lagi, maka tidak perlu diusut pula siapakah pembunuhnya."

   "Masakah Han Tay-wi pasti binasa dan takkan tertolong pula?"

   Ujar Sin Liong-sing dengan ragu-ragu.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Waktu aku menerjang keluar, saat itu Sebun Bok-ya sudah mulai bergebrak dengan Beng Jit-nio, kelihatan pula Cu Kiu-bok sedang memburu ke sana, menghadapi dua lawan tangguh itu, masakah Beng Jit-nio mampu menyelamatkan jiwa Han Tay-wi?"

   Di balik kata-kata ini Hi Giok-kun jelas menganggap Beng Jit-nio telah melindungi Han Tay-wi, maka orang yang meracuninya tiada lain kecuali Sin Cap-si-koh. Tapi dengan tertawa Sin Liong-sing lantas berkata.

   "Agaknya kau cuma tahu yang satu dan tidak tahu yang lain. Biarpun kedua iblis tua itu sangat lihai, namun kepandaian bibiku juga tidak rendah. Saat ini mereka berdua saudara misan (maksudnya Sin Cap-si-koh dan Beng Jit-nio) mungkin sudah bertemu, dengan tenaga gabungan bibi dan Piau-koh rasanya kedua iblis tua itu takkan dapat berbuat banyak."

   "Hah, jadi bibimu juga sudah datang ke sini?"

   Giok-kun menegas dengan terkejut.

   "Benar, lantaran dia sudah datang, maka aku tidak berani menonjolkan diriku,"

   Jawab Sin Liong-sing.

   "Sebab apa?"

   Tanya Giok-kun.

   "Sudah kukatakan kepada bibi bahwa aku takkan berkunjung kepada Piau-koh, maka aku tidak ingin bibi melihat kedatanganku ke sini,"

   Tutur Liong-sing, alasan ini jelas kurang kuat, agaknya ada sesuatu yang sukar dikatakannya. Giok-kun tidak ingin mencari tahu rahasia pribadi orang, segera ia berkata pula.

   "Kalau saja Han Tay-wi dan anak perempuannya dapat diselamatkan, maka cukuplah bagiku. Entah bibimu membantu Beng Jit-nio tidak?"

   "Bibi adalah sahabat karib Han Tay-wi, tak mungkin beliau berpeluk tangan menolongnya, hanya saja Piau-koh akan melepaskan dia atau tidak jika sudah diselamatkan,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Mengapa kau tetap mencurigai Beng Jit-nio yang meracuni Han Tay-wi?"

   Tanya Giok-kun.

   "Hal ini menyangkut kisah asmara mereka berdua,"

   Tutur Liong-sing.

   "Piau-koh dan Han Tay-wi sebenarnya adalah sepasang kekasih, entah mengapa akhirnya Han Tay-wi mengambil istri orang lain. Dari cinta Piau- koh menjadi dendam dan bersumpah akan menuntut balas kepada Han Tay- wi, istri Han Tay-wi justru mati diracun olehnya."

   Kisah ini sudah pernah didengar Hi Giok-kun dari Sin Cap-si-koh, tapi mengenai Beng Jit-nio yang meracuni istri Han Tay-wi baru sekarang didengarnya.

   "Apakah bibimu yang memberitahukan hal-hal ini kepadamu?"

   Tanya Giok-kun.

   "Ya, aku percaya beliau takkan mendustai aku,"

   Jawab Liong-sing.

   Tiba-tiba Giok-kun merasa seram, ia pikir kalau Sin Cap-si-koh juga berdusta kepada keponakan sendiri dan membuat sang keponakan sedemikian percaya padanya, maka manusia licin demikian sungguh sangat menakutkan.

   Padahal dalam hati Sin Liong-sing sebenarnya juga rada sangsi meski di mulut dia menyatakan percaya kepada cerita bibinya.

   Tiba-tiba teringat suatu kejadian olehnya, yaitu ketika secara diam-diam ia mengantar keberangkatan Hi Giok-kun, sepulangnya di rumah dia mengira sang bibi pasti akan tanya pada dia, di luar dugaan bibinya ternyata diam saja, berturut-turut dua hari wajah sang bibi tampak cemberut.

   Sebagai orang yang mengantar Giok-kun ke tempat Beng Jit-nio, sebelumnya juga sudah dipesan agar hal itu dirahasiakan, karena itu biarpun majikannya tidak mengomeli dia, Si Bwe sendiri merasa tidak tenteram.

   Kebetulan pada malamnya tanpa sengaja Si Bwe menjatuhkan sebuah cangkir kemala hijau yang sangat berharga sehingga retak sedikit pada tepinya.

   Keruan Si Bwe ketakutan.

   Syukur Sin Liong-sing telah ikut bicara.

   "Untung tidak pecah, hanya retak sedikit saja masih dapat diperbaiki oleh tukang yang mahir."

   Mendadak Sin Cap-si-koh mengambil cangkir kemala itu terus dibanting hingga remuk. Keruan Si Bwe ketakutan, cepat ia berlutut dan minta ampun.

   "Aku sendiri yang membantingnya, bukan salahmu!"

   Kata Cap-si-koh dengan nada dingin. Sin Liong-sing juga terkesirap dan bingung, tanyanya.

   "Bibi, cangkir itu kan masih dapat digunakan, mengapa mesti dihancurkan?"

   Sin Cap-si-koh seperti telah melampiaskan rasa khekinya. Katanya dengan menjengek.

   "He, he, barang yang sudah retak, untuk apa memiliki? Ha, ha, tabiatku ini rasanya sama dengan Piau-kohmu."

   "Barang yang sudah retak tak dikehendakinya lagi! Tabiatnya sama dengan Piau-koh", kata-kata ini kembali terkilas dalam benak Sin Liong-sing. Ia menjadi heran mengapa bibinya merahasiakan kepergian Giok-kun ke tempat Beng Jit-nio? Terpikir pula kecantikan dan kepandaian sang bibi yang serba komplit, mengapa dia juga tidak menikah selamanya? Jangan-jangan dia juga seperti Piau-koh karena cintanya kepada Han Tay-wi bertepuk sebelah tangan belaka. Hanya saja Piau-koh berani mengutarakan perasaannya kepada Han Tay-wi, sebaliknya sang bibi tidak berani dan merahasiakan perasaannya itu. Jika demikian, bahwasanya kecurigaan Hi Giok-kun akan kemungkinan sang bibi yang menaruh racun dalam arak bukanlah sesuatu yang mustahil. Berpikir sampai di sini, tanpa terasa Sin Liong-sing bergidik sendiri. Hi Giok-kun sendiri juga sedang berpikir urusannya sendiri, ia merasa tak berdaya lagi menolong Han Tay-wi, sedangkan kakak sendiri saat itupun berada dalam bahaya yang perlu lekas ditolong.

   "Nona Hi, engkau hendak kemana?"

   Tanya Liong-sing kemudian.

   "Aku justru hendak tanya kau apakah akan kembali ke markas cabang Kay-pang di Lok-yang?"

   Jawab Giok-kun.

   "Kabarnya Kay-pang bermaksud mengangkut suatu partai harta pusaka untuk disumbangkan kepada pihak Gi-kun?"

   "Benar, Liok Pang-cu pernah membicarakan hal ini dengan aku. Partai harta pusaka itu sudah berangkat pada malam sebelum pertemuanku dengan Liok Pang-cu. Orang yang ditugaskan mengawalnya adalah pendekar yang termasyhur, yaitu Yim Thian-ngo. Kukira takkan terjadi apa-apa di tengah jalan."

   "Wah, celaka!"

   Seru Giok-kun.

   "Justru karena dikawal oleh Yim Thian- ngo, maka pasti akan terjadi sesuatu."

   "Kepandaian Yim Thian-ngo dapat diandalkan. Jit-siu-kiam-hoatnya juga terkenal hebat di dunia persilatan,"

   Ujar Liong-sing.

   "Kepandaian Yim Thian-ngo memang hebat, tapi dia adalah agen rahasia pihak Mongol,"

   Kata Giok-kun.

   "Apa betul?"

   Sin Liong-sing menegas dengan terkejut.

   "Siang tadi Yim Thian-ngo mengirim muridnya yang bernama Ih Hoa- liong untuk mencari Sebun Bok-ya, tapi hanya Cu Kiu-bok yang dapat ditemuinya, apa yang mereka bicarakan telah kudengar semua."

   Sin Liong-sing tambah terkejut, tanyanya pula.

   "Ternyata begitu adanya, apa saja yang mereka bicarakan?"

   Giok-kun lantas menguraikan apa yang didengarnya itu kepada Sin Liong-sing, katanya.

   "Coba pikir, begitu keji rencana mereka. Kedua iblis tua itu akan membegalnya di tengah jalan, sedang Yim Thian-ngo akan pura- pura terluka dan lari, dengan demikian orang takkan mencurigai dia dan bahkan akan anggap dia sebagai pahlawan. Coba, masakah kau menganggapnya sebagai pendekar segala."

   "Sungguh tidak nyana Yim Thian-ngo adalah manusia rendah begitu,"

   Kata Liong-sing.

   "Di antara jago yang mengawal harta pusaka itu ada pula dua Hiang-cu dari Kay-pang, jika sampai terlaksana rencana keji mereka, tentu orang-orang Kay-pang akan menjadi korban."

   "Benar, menurut rencana mereka justru orang-orang Kay-pang harus dibinasakan seluruhnya dan cuma Yim Thian-ngo saja yang boleh lolos,"

   Tutur Giok-kun.

   "Malahan di antara pengawal-pengawal itu terdapat pula kakakku. Sebab itulah dalam urusan ini mau tak mau aku mesti ikut campur. Apakah kau dapat menolong aku agar membawa aku menemui Liok Pang- cu untuk memberitahukan berita ini kepadanya?"

   Sin Liong-sing berpikir sejenak, jawabnya kemudian.

   "Kini Lok-yang sudah terkepung pasukan Mongol, untuk menemui Liok Pang-cu tidaklah gampang, seumpama berhasil menemukan beliau juga akan makan tempo cukup banyak. Urusan sudah mendesak, biarlah kita segera menyusul barisan pengawal harta pusaka itu saja dan berdaya sebisanya. Untung kedua iblis tua ini sedang menghadapi Beng Jit-nio dan bibiku di sini, kita pasti dapat mendahului mereka."

   "Baik sekali kalau begitu, cuma urusanmu sendiri apakah tidak terbengkalai?"

   Ujar Giok-kun.

   "Urusanku sudah beres, mestinya aku hendak kembali ke Kang-lam untuk melapor kepada guruku, tapi demi urusanmu, maka aku sengaja tinggal beberapa hari lebih lama di rumah. Syukur kini engkau sudah terhindar dari bahaya, aku pun tidak perlu buru-buru lagi pulang ke Kang- lam. Nona Hi, janganlah kau salah paham, kau suka padaku atau tidak adalah lain soal, asalkan aku dapat berkumpul lebih lama beberapa hari dengan engkau, maka puaslah aku."

   Kembali Sin Liong-sing mengutarakan isi hatinya, tanpa terasa wajah Giok-kun menjadi merah.

   Meski hati Giok-kun sudah tercuri oleh pemuda lain, tapi terharu juga oleh kasmaran Liong-sing yang tergila-gila padanya itu.

   Mengingat dia perlu bantuan pemuda itu, pula Sin Liong-sing adalah murid dari cabang persilatan terkenal, jika berjalan bersama rasanya bukan sesuatu yang luar biasa.

   Karena itu ia pun tidak menolak untuk berangkat bersama meski rada kikuk rasanya.

   Sementara ini kita kembali kepada nasib Han Tay-wi dan puterinya.

   Saat itu Beng Jit-nio sedang bertempur sengit melawan Sebun Bok-ya.

   Begitu menyerang segera Sebun Bok-ya mengeluarkan ilmu yang diandalkannya, yaitu Hoa-hiat-to tingkat kedelapan.

   Di tengah sambaran angin pukulannya itu membawa bau anyir yang memuakkan.

   Namun Beng Jit-nio menghadapinya dengan tenang, ia mengerahkan segenap tenaga murni untuk mengebas dengan lengan bajunya, serangan Sebun Bok-ya itu dapat dipatahkan olehnya.

   Diam-diam Sebun Bok-ya terkesiap melihat lawannya tenang-tenang saja, sedikit pun tiada tanda-tanda keracunan oleh pukulannya yang berbisa itu, ia menjadi kuatir jangan-jangan akan terjungkal di tangan seorang perempuan dan bila dilihat Cu Kiu-bok tentu akan ditertawai olehnya.

   Padahal Beng Jit-nio sendiri juga mengeluh, dia harus mengerahkan tenaga murni untuk melindungi tubuhnya dari serangan hawa berbisa, di samping itu ia pun kuatir kalau Cu Kiu-bok keburu datang dan dirinya pasti akan kalah bilamana kedua iblis tua itu bergabung mengeroyoknya.

   Begitulah setelah belasan jurus lagi, lambat-laun Beng Jit-nio mulai terdesak di bawah angin, tiba-tiba terdengar suara "bret"

   Satu kali, lengan baju Beng Jit-nio terobek sebagian oleh jari Sebun Bok-ya.

   "Ha, ha, ha! Beng Jit-nio, buat apa kau menempur aku mati-matian untuk membela Han Tay-wi?"

   Seru Sebun Bok-ya dengan bergelak tertawa. Karena ucapan Sebun Bok-ya itu, seketika terdengar suara tertawa riuh rendah di sekeliling situ. Kiranya sebagian begundalnya telah menyusul tiba. Segera macam-macam olok-olok terdengar di sana sini.

   "He, he, perempuan ini selalu memikirkan kekasihnya saja, cuma sayang Han Tay-wi sudah menjadi orang cacat dan tidak punya rezeki buat mengenyam perempuan cantik!"

   Demikian kata seorang. Lalu seorang lagi menanggapi.

   "Ah, usia perempuan ini sedikitnya sudah lebih setengah abad, masakah masih disebut cantik segala?"

   "Tapi, eh, masih lumayan juga biarpun sudah setengah tua!"

   Ejek lagi yang lain.

   "He, he, kukira banyak nona cantik yang muda-muda juga kalah dibandingkan dia."

   "Ha, ha, ha, kalau Han Tay-wi tidak dapat mengenyam kecantikannya, kenapa Sebun-siansing tidak mengambil-alih saja?"

   Seru pula seorang. Pada saat itulah mendadak Sebun Bok-ya berseru.

   "Awas! Lekas menghindar!"

   Sekonyong-konyong suara tertawa dan ejekan tadi berubah menjadi jeritan ngeri.

   "Nah, apakah kalian sudah cukup tertawa? Siapa lagi yang ingin tertawa sepuasnya boleh silakan lagi!"

   Ejek Beng Jit-nio.

   Ternyata orang-orang yang mengolok-olok tadi sekaligus telah roboh empat orang dengan mengalirkan darah dari hidung, mata dan telinga, semuanya sudah tak bernyawa pula.

   Kiranya pada ubun-ubun setiap orang itu telah tertancap sebatang Bwe-hoa-ciam, jarum yang amat lembut, senjata rahasia Beng Jit-nio yang berbisa dan amat lihai.

   Untung cuma empat orang itu saja yang diincar Beng Jit-nio, selain itu Bwe-hoa-ciam yang dihamburkan Beng Jit-nio tidaklah mengincar tempat yang mematikan, pula Sebun Bok-ya juga ikut menahan sebagian jarum- jarum itu, kalau tidak, tentu korban yang jatuh akan lebih dari empat orang.

   Keruan orang-orang yang usil mulut itu ketakutan setengah mati demi nampak empat orang kawan mereka terbunuh, serentak mereka berlari menyingkir dan tidak berani buka mulut lagi.

   "Baiklah, biar kita saja yang menentukan kalah dan menang!"

   Seru Sebun Bok-ya.

   ~ Segera ia melontarkan pukulan Hoa-hiat-to dengan sepenuh tenaga, sebenarnya ilmu pukulan Beng Jit-nio tidak kalah bagus daripada lawannya, tapi dia kewalahan melayani tenaga pukulan lawan yang berbisa itu.

   Begundal Sebun Bok-ya yang menyingkir jauh itu yakin senjata rahasia Beng Jit-nio tidak dapat mencapai tempat mereka lagi, maka mereka menjadi berani pula, ada beberapa orang kembali mengoceh tak keruan.

   "Minggir!"

   Tiba-tiba dua budak cilik menerobos masuk sambil mendorong orang-orang yang berkerumun itu.

   Budak yang besaran berusia antara delapanbelas-sembilanbelas tahun, yang kecilan cuma empatbelas- limabelas tahun saja.

   Pok Yang-kian juga berada di antara begundal Sebun Bok-ya, ia kenal kedua budak ini adalah Pik Ki dan Pik Po, dia sudah pernah merasakan kelihaian kedua budak cilik itu, dengan sendirinya ia tidak berani cari penyakit.

   Tapi ada seorang kawannya yang anggap kedua gadis cilik ini terlalu kurangajar, segera ia pentang kedua tangannya sambil membentak.

   "Anak kecil juga main bentak? Jika ingin aku memberi jalan, kalian harus memperlihatkan kepandaianmu dulu!"

   Menyusul sebelah tangannya terus meraih ke depan. Tak terduga sebatang tongkat mendadak menyabet dari samping, menyusul terdengar suara "plak"

   Yang keras, dengan tepat lelaki itu telah kena ditempeleng oleh Pik Po.

   "Kau ingin lihat, nah, telah kuperlihatkan barusan ini!"

   Ejek si Pik Po cilik.

   Kiranya orang yang menyabet si lelaki dengan tongkat adalah Pik Ki, berbareng itu Pik Po lantas memberi tempelengan kepada lelaki itu ketika orang sedang mengelak serangan tongkat.

   Betapa cepatnya gerak serangan si budak cilik ini cukup mengejutkan orang-orang yang menyaksikannya.

   Pik Ki adalah budak yang dididik langsung oleh Beng Jit-nio, dia datang ketika berusia tujuh tahun, jadi sudah belasan tahun belajar ilmu silat.

   Tinggi ilmu silatnya tidak di bawah budak Sin Cap-si-koh seperti Si Bwe dan kawan- kawan, kalau cuma jago Kang-ouw kelas tengahan saja terang bukan tandingannya.

   Tongkat yang digunakan Pik Ki adalah senjata yang dahulu pernah digunakan Beng Jit-nio, tongkat hitam mengkilap, tampaknya seperti kayu, tapi sebenarnya terbuat dari baja yang terpilih, bobotnya ada limapuluh enam kati.

   Begitulah karena menghindari sabetan tongkat, tak terduga lelaki itu kena ditempeleng Pik Po, keruan ia berjingkrak murka, tanpa pikir ia terus menubruk maju pula dan bermaksud merebut tongkat lawan.

   "Hm, kau sendiri yang cari mampus, jangan salahkan aku!"

   Jengek Pik Ki sambil menghantam dari atas dengan tongkatnya.

   Lelaki itu memapak ke atas dengan telapak tangannya yang lebar, dia menduga tenaga Pik Ki pasti terbatas, biarpun terhantam oleh tongkatnya, asalkan senjata lawan dapat direbut, tentu budak cilik itu akan gampang dibereskan.

   Maka terdengarlah suara "blang"

   Yang keras, tangan lelaki itu patah sebatas pergelangan, saking kesakitan ia terguling-guling di tanah sambil menjerit seperti babi disembelih. Dua orang kawannya terkejut, cepat mereka melolos pedang dan memburu maju untuk menolong.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Enci Pik Ki, kedua orang ini serahkan padaku saja!"

   Seru Pik Po dengan tertawa sambil memapak maju.

   Kedua orang itu sama sekali tidak tahu Pik Po menggunakan ilmu apa, tahu-tahu budak cilik itu sudah mendekat dan pedang mereka pun sudah terampas.

   Dengan pedang-pedang rampasan itu Pik Po terus menerobos ke tengah orang-orang itu bersama Pik Ki, hanya dalam sekejap saja Hiat-to beberapa orang sudah tertusuk dan roboh tak bisa berkutik, hanya suara rintihan mereka yang lebih mengerikan daripada orang yang sekarat.

   Sisanya lantas lari terpencar dan tidak berani merintangi mereka lagi.

   Pik Ki lantas berlari ke depan dan berseru kepada Beng Jit-nio.

   "Cujin (majikan), gunakan tongkat ini untuk menghajar bangsat tua itu!" ~ Berbareng ia terus melemparkan tongkat yang dibawanya itu. Tongkat itu meluncur ke depan seperti anak panah, Sebun Bok-ya bermaksud merebutnya. Tak terduga cara melempar dan menerima tongkat Beng Jit-nio dan pelayannya itu ada cara yang istimewa, arah yang diincar Sebun Bok-ya tampaknya tepat, tapi tongkat itu mendadak membelok sehingga tangan Sebun Bok-ya meraih tempat kosong, tahu-tahu tongkat itupun sudah berada di tangan Beng Jit-nio. Dengan senjata di tangan, semangat Beng Jit-nio lantas terbangkit, segera ia putar tongkatnya dan kontan menghantam ke arah Sebun Bok-ya. Gerak tongkat itu seperti menyabet dan seperti mengemplang, ujungnya seakan- akan menyodok dan seperti mau menotok, biarpun Sebun Bok-ya sudah berpengalaman luas juga tidak kenal permainan ilmu tongkat Beng Jit-nio ini. Sebun Bok-ya percaya kekuatannya sanggup menahan serangan tongkat lawan, segera ia main keras lawan keras, telapak tangannya terus memotong ujung tongkat. Maka terdengarlah suara "trang"

   Yang keras, darah bergolak dalam rongga dada Sebun Bok-ya, tulang pergelangan tangan seakan-akan retak.

   Sebaliknya Beng Jit-nio juga tergetar mundur dua-tiga tindak, badan pun bergeliat.

   Tapi kalau diukur toh kerugian Sebun Bok-ya lebih berat.

   Baru sekarang Sebun Bok-ya terkejut dan mengakui betapa lihainya Beng Jit-nio.

   Segera ia ganti cara bertempur, ia tetap menggunakan pukulan Hoa-hiat-to yang berbisa, di waktu terpaksa barulah dia tangkis tongkat lawannya.

   "Pik Ki dan Pik Po, kalian jaga pintu kamar penjara, siapa pun dilarang masuk!"

   Seru Beng Jit-nio.

   Kedua budak itu mengiakan bersama.

   Segera Pik Po menjaga di pintu kamar tahanan itu dengan menghunus pedang, Pik Ki sendiri berjaga di bagian dalam untuk melindungi Han Tay-wi dan Pwe-eng.

   Kuatir sang guru kecundang, cepat Pok Yang-kian berseru kepada kawannya agar pergi mengundang Cu Kiu-bok dan Khong-tong-sam-eng (tiga kesatria Khong-tong-pay).

   Tahu di pihak lawan ada bala bantuan yang kuat, Beng Jit-nio pikir pertarungan itu harus diselesaikan secepat mungkin.

   Segera ia mempergencar tongkatnya, ia desak Sebun Bok-ya hingga terpaksa mundur berulang-ulang.

   Tiba-tiba terdengar Pok Yang-kian berseru gembira, kiranya Cu Kiu-bok telah tiba.

   "Ha, ha, ha, jangan kuatir, Sebun-heng, aku akan membantu kau!"

   Seru Cu Kiu-bok dengan tertawa.

   "Hm, biarpun perempuan busuk ini cukup lihai juga belum tentu dapat mengalahkan aku! Lebih baik kau coba periksa keadaan Han Tay-wi saja di dalam!"

   Jengek Sebun Bok-ya.

   Beng Jit-nio menjadi kuatir.

   Keadaan Han Tay-wi sudah payah, jika iblis she Cu itu masuk ke dalam, terang sangat berbahaya bagi Han Tay-wi dan puterinya, sebab Pik Ki dan Pik Po betapa pun tidak mampu menahan Cu Kiu-bok yang lihai itu.

   Dari kuatir Beng Jit-nio menjadi nekat, sekonyong-konyong tongkatnya berganti arah, segera ia menyabet kepada Cu Kiu-bok.

   "Sebun-heng,"

   Seru Cu Kiu-bok.

   "Han Tay-wi kan sudah tertotok olehmu, betapa pun dia takkan lolos. Biarlah kita bereskan dulu perempuan busuk ini!"

   Habis itu segera ia balas melancarkan serangan kepada Beng Jit- nio.

   Siu-lo-im-sat-kang yang diyakinkan Cu Kiu-bok sudah mencapai tingkatan kedelapan, begitu pukulannya bergerak, serentak berjangkit hawa dingin yang menggigilkan orang.

   Biarpun tenaga dalam Beng Jit-nio cukup kuat, tidak urung ia pun merasa dingin.

   Apalagi kini muka belakang dia harus menghadapi dua lawan tangguh, maka hanya beberapa jurus saja kembali Beng Jit-nio terdesak dan kerepotan.

   "Beng Jit-nio,"

   Seru Cu Kiu-bok.

   "Sebenarnya kita adalah sekutu, kau yang minta kami membantu menghadapi Han Tay-wi, kini kau ganti haluan demi membela Han Tay-wi malah, kau yang memaksa kami bergebrak dengan kau, maka jangan kau salahkan kami."

   "Ya, memang aku yang buta, memasukkan serigala ke dalam rumah, kini menyesal pun tak berguna,"

   Jawab Beng Jit-nio dengan gusar.

   "Tapi aku pun tak dapat membiarkan kalian malang melintang sesukanya, paling-paling jiwaku ini kuserahkan sekalian kepadamu."

   Begitulah Beng Jit-nio mainkan tongkatnya secara ganas, ia sudah nekat untuk mati bersama musuh. Dalam keadaan demikian Sebun Bok-ya mau tak mau harus hati-hati meski kemenangan sudah pasti di pihak mereka.

   "Itu dia Khong-tong-sam-eng sudah datang!"

   Kembali terdengar orang bersorak.

   Ketiga jago Khong-tong-pay ini adalah anak murid Khong-tong-pay angkatan ketiga, mereka tiga bersaudara, kakak tertua bernama Ce Tay, kedua bernama Ce Thay dan ketiga bernama Ce Gak.

   Guru mereka adalah Khong-tong-ji-ki (dua orang kosen Khong-tong-pay), yaitu tokoh terkenal Bong Thian-pi dan Lo Thian-ho.

   Kepandaian Ce bertiga hanya di bawah Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok dan di atas begundal mereka yang lain.

   Dahulu Bong Thian-pi dan Lo Thian-ho pernah dikalahkan oleh Hong- lay-mo-li dan Siau-go-kan-kun (bacalah "Pendekar Latah"), maka harapan mereka untuk menuntut balas terletak pada anak didik mereka, yakni ketiga saudara she Ce yang terkenal sebagai Khong-tong-sam-eng ini.

   Tak terduga pada suatu hari Khong-tong-sam-eng kebentrok dengan dua orang anak buah Hong-lay-mo-li, yaitu Tiong Siau-hu dan istrinya Siangkoan Po-cu, kesudahannya Khong-tong-sam-eng mengalami kekalahan, maka sadarlah mereka sukar menuntut balas kepada Hong-lay-mo-li jika anak buahnya saja tak dapat menandinginya.

   Tak lama kemudian Khong-tong-sam-eng bertemu dengan Sebun Bok-ya, ketika mengetahui mereka bermaksud menuntut balas bagi sang guru, Sebun Bok-ya lantas mengikat sahabat dengan mereka.

   Karena kagum kepada kepandaian Sebun Bok-ya, pula ingin mendapatkan bantuannya, maka Khong-tong-sam-eng rela diperalat dan mengekor kepada Sebun Bok-ya.

   Sudah tentu orang macam Khong-tong-sam-eng tidak ditakuti oleh Beng Jit-nio, tapi yang menjadi pikirannya adalah Han Tay-wi bilamana ketiga orang itu menjadikannya sebagai sasaran.

   Benar juga, ketika melihat Beng Jit-nio sudah kewalahan menghadapi Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok, atas seruan Pok Yang-kian, segera Khong- tong-sam-eng hendak menerobos ke dalam kamar tahanan, namun mereka lantas dihadang oleh Pik Ki dan Pik Po.

   Untuk menjaga gengsi, Khong-tong- sam-eng tidak sudi maju sekaligus, hanya Ce Gak saja sendirian hendak menjajal kepandaian kedua anak dara itu.

   Kepandaian Khong-tong-sam-eng belum termasuk kelas satu, tapi di atas jago kelas dua, jadi lebih lihai daripada Pik Ki dan Pik Po.

   Kedua budak cilik itupun menyadari kelihaian musuh.

   "sret", segera Pik Po mendahului menusuk dengan pedangnya. Ce Gak menggunakan senjata sepasang gelang baja, sekali kedua gelang itu mencakup.

   "trang", seketika pedang Pik Po terjepit patah. Usia Pik Ki lebih tua, kepandaiannya juga lebih tinggi daripada Pik Po. Namun permainan gelang Ce Gak itu merupakan kepandaian khas Khong- tong-pay, bila senjata lawan terjepit, kalau tidak patah tentu terlepas dari cekalan. Karena itu biarpun Pik Ki telah mengeluarkan segenap kepandaiannya, walau pedangnya tidak sampai terjepit patah atau terlepas, tapi berulang-ulang ia pun menghadapi bahaya. Tampaknya kedua budak cilik itu pasti akan dicelakai Ce Gak, pada saat genting itulah tiba-tiba terdengar orang menyindir.

   "Huh, beraninya cuma dengan kaum budak, tidak tahu malu! Begitu saja berani memakai julukan kesatria segala!"

   Tiba-tiba pula Ce Gak merasa angin menyambar dari belakang, ia menjadi terkejut, sebelum dia melihat jelas siapa penyerangnya, tahu-tahu pundaknya terasa kesakitan, tulang pundaknya telah kena dicengkeram orang, lalu terangkat seperti anak ayam saja terus dihempaskan.

   Kiranya pendatang ini adalah Sin Cap-si-koh.

   Keruan Ce Tay terkejut, cepat ia membentak untuk menolong adiknya.

   "Perempuan siluman darimana, berani kau mencelakai saudaraku? Berbareng sepasang senjata gelangnya terus menghantam.

   "Aku saja tidak kau kenal, kenapa kau berani main gila di sini?"

   Jengek Cap-si-koh.

   Mendadak ia menubruk maju malah di bawah hantaman gelang lawan, dengan bertangan kosong ia menempur lawan yang bersenjata.

   Kepandaian Ce Tay jauh lebih tinggi daripada adiknya, Sin Cap-si-koh tidak berhasil mencengkeramnya, sebaliknya Ce Tay lantas memutar ke samping, sebuah gelangnya lantas menghantam tulang pundak Sin Cap-si- koh.

   Tapi lantas terdengar suara "creng"

   Yang nyaring, gelang itu kena diselentik Sin Cap-si-koh dan tergetar balik.

   Hampir Ce Tay tidak dapat memegangnya, gelang itu hampir terlepas dari cekalannya.

   Cepat ia mundur beberapa tindak sehingga batok kepala tidak sampai terbentur gelang sendiri.

   "Kau mampu menahan seranganku, boleh juga kepandaianmu, lekas enyah saja!"

   Kata Sin Cap-si-koh. Tapi Ce Tay ternyata tidak kapok, dengan gusar ia balas membentak.

   "Perempuan keparat, biar aku mengadu jiwa dengan kau!"

   Dalam pada itu Ce Thay juga sudah menerjang tiba, dua bersaudara lantas mengerubut Sin Cap-si-koh dari kanan dan kiri, empat gelang mereka menghantam sekaligus.

   "Aku sengaja mengampuni jiwamu, tapi kalian justru mencari mampus!"

   Jengek Sin Cap-si-koh.

   Tahu-tahu sinar hijau berkelebat menembus bayangan gelang lawan.

   Kiranya Sin Cap-si-koh telah keluarkan senjatanya, yaitu pedang bambu hijau.

   Pedang buatan dari bambu sama saja dengan barang mainan anak kecil, sebaliknya senjata Khong-tong-sam-eng adalah senjata istimewa, pedang atau golok buatan baja saja patah bila terjepit oleh gelang mereka, apalagi pedang bambu.

   Tapi sungguh aneh, kerubutan kedua bersaudara dengan dua pasang gelang itu ternyata tidak mampu menjepit pedang bambu Sin Cap-si-koh, sebaliknya mereka malah terserang hingga kelabakan.

   Terdengar suara mendering berulang-ulang, sekonyong-konyong Sin Cap-si-koh membentak.

   "Kena!" ~ Pedang bambu menotok ke depan dan menyabet ke belakang, Ce Tay dan Ce Thay terkena pedang bersama. Ce Tay merasa iganya kesemutan, cepat ia melompat mundur beberapa meter jauhnya dengan sempoyongan Ce Thay lebih celaka lagi, bajunya terobek oleh pedang bambu sehingga kulit dagingnya kelihatan, untung hanya terkena sayatan pedang bambu, kalau pedang tajam mungkin tulang pun sudah tembus.

   "Nah, katanya kalian hendak mengadu jiwa? Apakah perlu mengaso dulu untuk nanti coba-coba lagi?"

   Jengek Sin Cap-si-koh.

   Ia pun rada heran melihat Ce Tay tidak sampai roboh meski Hiat-to tertusuk oleh pedangnya.

   Lalu ia tidak menghiraukan Khong-tong-sam-eng lagi, tapi terus masuk ke dalam penjara.

   Dengan girang-girang kejut Pik Ki dan Pik Po menyambut kedatangan Sin Cap-si-koh.

   "Bagaimana keadaan Han Tay-wi?"

   Tanya Cap-si-koh.

   "Dia seperti keracunan, kini masih belum sadar,"

   Tutur Pik Ki.

   Sebagai pelayan kesayangan Beng Jit-nio, sedikit banyak Pik Ki juga paham ilmu menggunakan racun, maka keadaan Han Tay-wi itu dapat diketahuinya sebagai terkena racun, cuma dia tidak tahu bahwa orang yang meracuni Han Tay-wi justru adalah Sin Cap-si-koh.

   "Baiklah, coba kuperiksa dia,"

   Kata Cap-si-koh.

   "Cap-si-koh,"

   Kata Pik Po.

   "harap engkau suka membantu majikan kami membereskan dulu kedua iblis itu."

   Akan tetapi sejak kemunculan Sin Cap-si-koh di situ, Beng Jit-nio anggap seperti tidak melihat dan tidak mendengar saja. Kini barulah dia menjengek.

   "Wah, Piau-ci yang baik, kukira kau tidak perlu repot!"

   "O, Piau-moay yang baik, ucapanmu itu seakan-akan anggap aku sebagai orang luar saja,"

   Jawab Sin Cap-si-koh dengan tertawa.

   "He, he, biarpun kau rada sirik padaku, tapi aku tak dapat tinggal diam, betapa pun kita kan masih saudara misan?"

   Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok juga sudah bersiap-siap ketika melihat Khong-tong-sam-eng dikalahkan oleh Sin Cap-si-koh.

   Tapi betapa cepat cara Sin Cap-si-koh menyerang tetap di luar dugaan mereka.

   Ketika masih bicara, sekonyong-konyong pedang bambu Cap-si-koh berkelebat, tahu-tahu sudah menyambar ke muka Sebun Bok-ya.

   Lekas Sebun Bok mendongak sambil menggeser ke samping, sebelah tangannya lantas memotong pergelangan tangan lawan.

   Tapi dengan cepat luar biasa Sin Cap-si-koh sudah berganti tempat, pedang bambunya menusuk pula ke punggung Cu Kiu-bok.

   Mata Sebun Bok-ya hampir saja buta tertusuk pedang bambu lawan, keruan ia terperanjat.

   Sebaliknya Cap-si-koh juga terkejut ketika merasa muak oleh bau anyir berbisa pukulan Hoa-hiat-to.

   Dalam pada itu Cu Kiu-bok lantas menghantam ke belakang ketika merasa angin menyambar ke punggungnya.

   Hawa dingin Siu-lo-im-sat-kang membikin Cap-si-koh menggigil, tapi pedangnya tetap menyambar ke depan, terdengar suara "bret", kain baju Cu Kiu-bok terkupas sebagian, sedangkan Sin Cap-si-koh juga lantas melompat mundur dan kembali ke ambang pintu kamar penjara.

   Dua kali gebrakan cepat itu cukup bagi Sin Cap-si-koh untuk mengukur ilmu Hoa-hiat-to dan Siu-lo-im-sat-kang lawan yang memang luar biasa, untung mengalahkan kedua iblis itu, biarpun bergabung dengan Beng Jit- nio juga diperlukan lebih daripada seratus jurus.

   Sin Cap-si-koh ingin lekas menemui Han Tay-wi, maka ia berkata dengan tertawa kepada Beng Jit-nio.

   "Piau-moay, boleh kau melayani mereka ini, sementara kukira mereka tak dapat mengapa-apakan kau, sebentar aku akan datang membantu kau lagi."

   Rupanya akibat dua kali serangan kilat Sin Cap-si-koh tadi sehingga Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok harus sibuk melayaninya, maka keadaan Beng Jit-nio yang terdesak tadi untuk sementara dapat diamankan, bahkan sempat melancarkan serangan balasan pula.

   Dan di tengah tertawanya Sin Cap-si- koh lantas masuk ke kamar penjara itu untuk menjenguk Han Tay-wi.

   Waktu itu tubuh Han Tay-wi sudah mulai kaku dan dingin, Pwe-eng memeluk erat-erat sang ayah seakan-akan kuatir ditinggalkan ayahnya bilamana pelukannya kendur.

   Hati Pwe-eng juga cemas dan dingin, suara ribut pertempuran di luar sudah tak diperhatikan lagi.

   Tiba-tiba terasa seorang membelai rambutnya serta membisikinya dengan suara halus.

   "Nona Han, jangan kuatir, biar kuperiksa ayahmu!"

   Han Pwe-eng seperti tersadar dari impian buruk, ia mendongak dan melihat yang berdiri di hadapannya adalah seorang wanita setengah umur, berwajah welas-asih dan berpakaian sederhana, walaupun sudah punya umur, tapi tidak menutupi kecantikannya.

   Maka dapat dibayangkan di waktu mudanya tentu seorang nona yang amat cantik molek.

   Untuk sejenak Pwe-eng tercengang karena merasa pernah kenal wanita setengah umur ini, tanyanya dengan bingung.

   "Siapakah engkau?"

   "Sin Cap-si-koh adalah Piau-ci majikan kami,"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Pik Ki.

   "Beliau datang, maka urusan menjadi mudah diselesaikan dan dapat menolong ayahmu pula."

   Sin Cap-si-koh memindahkan Han Tay-wi dari pangkuan Pwe-eng, katanya dengan gegetun kepada Pik Ki.

   "Ai, majikanmu juga terlalu kejam, menyiksanya sampai begini!"

   Bahwasanya Beng Jit-nio pernah menyiksa Han Tay-wi memang tidak keliru.

   Sebab itulah Pik Ki dan Pik Po tidak dapat bicara apa-apa meski merasa tidak enak oleh ucapan Cap-si-koh itu.

   Lalu Sin Cap-si-koh mengeluarkan sebuah jarum emas dan mendadak menusuk ke Thay-yang-hiat di pelipis Han Tay-wi.

   "Apa yang kau lakukan?"

   Teriak Pwe-eng terkejut.

   "Jangan kuatir, aku menggunakan cara penyembuhan tusuk jarum untuk melenyapkan racun dalam tubuh ayahmu,"

   Tutur Cap-si-koh dengan tersenyum. Benar juga, hanya sebentar saja terdengar Han Tay-wi bersuara perlahan, lalu membuka matanya perlahan-lahan.

   "Kau sudah siuman ayah!"

   Seru Pwe-eng kegirangan. Tapi sesudah membuka matanya, sorot muka Han Tay-wi lantas memancarkan sinar yang penuh rasa kejut dan gugup, dengan suara terputus-putus ia berkata.

   "Cap..... Cap-si-koh, engkau..... engkau yang....."

   "Ayah, Cap-si-koh inilah yang menolong kau,"

   Sela Pwe-eng.

   Dalam hati ia pun heran bahwa antara ayahnya dan Sin Cap-si-koh kiranya sudah kenal, mengapa ayah tidak pernah bercerita tentang wanita ini padaku.

   Tiba-tiba Pwe-eng teringat kepada suatu kejadian di masa kecilnya, yaitu pada tahun dia dipertunangkan dengan Kok Siau-hong.

   Sesudah Kok Siau- hong pergi, hari ketiga datanglah seorang tamu perempuan yang hendak menemui ayahnya, tapi ayahnya tidak keluar melainkan ibunya yang melayani sang tamu.

   Waktu itu Pwe-eng baru berumur lima tahun, mendengar ada tamu perempuan yang cantik, ia lantas ikut keluar dan mendekati tamu dengan mesranya.

   Tapi ibunya seperti tidak senang dia mendekati tetamunya.

   Sebaliknya sang tamu amat suka kepadanya, malah waktu tamu pergi Pwe- eng diberi mainan burung jamrud yang sangat indah.

   Dalam ingatan Pwe-eng, ibunya adalah seorang yang halus budi dan ramah-tamah, tak terduga sesudah tamunya pergi, mendadak mainan burung jamrud itu terus direbut oleh ibunya dan dibanting hancur disertai omelan.

   "Anak kecil, tidak tahu aturan. Barang perempuan itu tidak boleh diterima."

   Selama beberapa hari berturut-turut wajah sang ibu selalu cemberut, Pwe- eng sendiri juga bingung dan takut. Suatu malam ibunya telah merangkulnya erat-erat dan menciumnya.

   "Ibu jangan marah lagi, lain kali aku takkan menerima barang pemberian orang, tapi ibu tidak pernah mengatakan hal demikian sebelum ini,"

   Kata Pwe-eng dengan manja.

   "Ya, ibu yang salah, bukan ibu marah padamu, yang dimarahi ibu adalah perempuan itu,"

   Kata ibunya. Pwe-eng menjadi heran dan ingin tahu, ia coba bertanya.

   "Bukankah perempuan itu kelihatan sangat ramah, mengapa ibu benci padanya?"

   "Kau masih kecil, kuceritakan juga kau tak paham. Kelak bila kau sudah besar tentu ibu akan bercerita padamu,"

   Demikian jawab sang ibu.

   Akan tetapi sebelum Pwe-eng besar, pada tahun berikutnya ibunya lantas meninggal dunia dan tidak sempat bercerita apa-apa lagi padanya.

   Teringat kepada kejadian lampau itu, Pwe-eng mengamat-amati Sin Cap- si-koh di hadapannya ini, pada tubuh wanita itu samar-samar diketemukan bayangan wanita cantik di masa lalu itu, makin dipandang makin mirip rasanya.

   "Ya, tentu dia inilah wanita yang membikin ibu murung itu. Apakah dia wanita jahat? Tapi dia sekarang adalah penolong ayah. Dan mengapa ayah seperti rada-rada takut padanya?"

   Demikian pikir Pwe-eng dengan bingung. Ketika mendadak nampak Sin Cap-si-koh, Han Tay-wi juga bingung, sejenak kemudian baru berkata.

   "Engkau..... engkau yang menyelamatkan jiwaku?"

   "Tay-wi,"

   Jawab Cap-si-koh dengan menghela napas.

   "aku tahu kau masih menyangsikan kejadian itu, kau mengira aku yang melakukannya bukan? Kini kau sendiri mengalami lagi, tentu kau sudah paham siapakah sebenarnya yang berbuat bukan?"

   "Kau maksudkan Piau-moaymu yang menaruh racunnya?"

   Han Tay-wi menegas. Ucapan ini membikin Pik Ki, Pik Po dan Han Pwe-eng terkejut, lebih- lebih Pwe-eng yang pernah mendengar dari ayahnya bahwa ibunya meninggal karena diracun orang.

   "Beng Jit-nio yang menaruh racun, siapakah yang diracun, apakah dia itulah pembunuh ibuku?"

   Demikian pikirnya. Benar juga lantas terdengar Sin Cap-si-koh berkata.

   "Aku pun tidak berani menuduh dia dengan pasti. Kupikir orang yang meracuni kau sekarang ini besar kemungkinan adalah orang yang meracuni istrimu dahulu itu."

   Nyata yang dia tuduh bukan lain daripada Beng Jit-nio.

   Semula Han Pwe-eng juga mencurigai Beng Jit-nio sebagai pembunuh ibunya dengan racun itu, tapi kemudian setelah dia berhubungan dan bicara langsung dengan Beng Jit-nio, ia merasa wanita cantik itu sangat simpatik dan selalu membela ayahnya, maka rasa curiganya menjadi goyah pula.

   Tapi kini setelah mendengar ucapan Sin Cap-si-koh, tanpa terasa ia menjadi curiga lagi.

   Pwe-eng tidak tahu bahwa Sin Cap-si-koh telah mengatur tipu muslihatnya secara licin, dengan cara halus Sin Cap-si-koh justru ingin membikin Han Tay-wi dan Han Pwe-eng berpikir bahwa Beng Jit-nio yang menaruh racun dalam arak dan kemudian menyuruh Hi Giok-kun mengantar arak kepadanya.

   Menurut jalan pikiran Sin Cap-si-koh, tentu Beng Jit-nio akan membunuh Hi Giok-kun setelah mengetahui Han Tay-wi keracunan, sebab Giok-kun pasti akan dituduh sebagai pelayan yang sengaja diselundupkan ke tempatnya oleh Sin Cap-si-koh.

   Di luar dugaan Giok-kun telah diselamatkan oleh sebentuk cincin pemberian Sin Liong-sing.

   Begitulah pikiran Han Tay-wi menjadi kusut, katanya kemudian.

   "Aku menjadi bingung mengenai persoalan ini. Ai, semoga kejadian ini akhirnya akan menjadi terang duduknya perkara, tapi sekarang aku tidak sanggup mengusutnya lebih jauh."

   "Hm, kutahu hatimu masih tetap condong kepada Piau-moayku,"

   Jengek Cap-si-koh.

   "Tapi menghadapi musuh tangguh sekarang memang juga betul kalau kau tidak dapat banyak berpikir. Bolehlah kau mengaso sebentar, bisa jadi nanti diperlukan bantuanmu. Bagaimana pun Beng Jit-nio adalah Piau- moayku, aku harus keluar sana buat membantu dia."

   Tengah Sin Cap-si-koh bicara dengan Han Tay-wi di dalam kamar tahanan itu, di luar sana Beng Jit-nio sedang bertempur mati-matian melawan pengerubutnya.

   Beng Jit-nio cukup kenal watak Cap-si-koh yang culas dan keji, sejak Sin Cap-si-koh masuk ke dalam kamar penjara, hati Beng Jit-nio menjadi tidak tenteram karena tidak tahu dengan cara apa saingannya itu akan mengerjai Han Tay-wi dan puterinya.

   Dengan satu lawan dua, memangnya Beng Jit-nio sudah terdesak di bawah angin, kini pikirannya terpencar pula, tentu saja dia lebih payah menghadapi serangan musuh.

   Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok juga rada kuatir melihat kedatangan Sin Cap-si-koh, mereka hanya tahu Cap-si-koh adalah Piau-ci atau kakak misan Beng Jit-nio, tapi tidak mengetahui bahwa di antara kedua saudara misan itu mempunyai sengketa.

   Kalau dua lawan dua jelas mereka tidak sanggup menang.

   Karena itu mereka harus mengalahkan Beng Jit-nio sebelum Sin Cap-si-koh keluar lagi, andaikan tak dapat membinasakan Beng Jit-nio juga mesti merobohkannya dengan luka parah.

   Karena itu mereka lantas menyerang semakin gencar, wajah Beng Jit-nio juga mulai pucat, tiba-tika ia muntahkan darah segar.

   "Perempuan busuk ini sudah terluka dalam!"

   Seru Cu Kiu-bok girang.

   Tanpa ampun ia terus melancarkan pukulan Siu-lo-im-sat-kang yang hebat, pikirnya sekaligus membinasakan lawannya.

   Tak terduga pukulannya ini tidak saja tak mengenai sasarannya, bahkan tongkat Beng Jit-nio juga tak dapat dibikin terpental, terdengarlah suara "blang"

   Yang keras, tangan Cu Kiu-bok beradu dengan tongkat Beng Jit-nio.

   Tangan Cu Kiu-bok berdarah dan tergetar mundur tiga tindak, ia merasa tenaga tongkat lawan itu luar biasa dahsyatnya, jauh lebih kuat daripada gebrakan mula-mula tadi.

   Dalam keadaan terdesak rupanya Beng Jit-nio menjadi nekat, ia telah mengeluarkan sejenis lwekang dari golongan Sia-pay yang aneh, yaitu "Thian-mo-kay-teh-kang".

   Suatu ilmu yang merusak tubuh sendiri untuk menimbulkan tenaga yang berlipat ganda, cuma saja tenaga yang timbul ini tak bisa tahan lama, bahkan sesudah itu ia sendiri akan mengalami cidera yang berat.

   Menurut jalan pikiran Beng Jit-nio, daripada dilukai oleh musuh dan akhirnya kalah, lebih baik menggunakan ilmu dahsyat ini untuk mengalahkan musuh atau hancur bersama musuh, dengan begitu ia pun tidak perlu dibantu lagi oleh Sin Cap-si-koh.

   Tak terduga hasilnya tidaklah seperti yang diharapkan Beng Jit-nio, kedua iblis itu mula-mula memang sangat terkejut dan terdesak mundur oleh serangan Beng Jit-nio yang hebat itu, tapi hanya sebentar saja kembali mereka berada di atas angin pula.

   Maklumlah, kekuatan kedua iblis itu masing-masing cukup menandingi Beng Jit-nio, biarpun tenaga dalam Beng Jit-nio mendadak bertambah berlipat, hal ini toh baru sama kuat saja dengan tenaga kedua lawannya.

   Apalagi tenaga yang timbul mendadak itu tak bisa tahan lama, setiap kali main hantam, setiap kali pula tenaganya akan surut satu bagian.

   Begitulah Beng Jit-nio menjadi tambah payah, selagi dia merasa menyesal atas tindakannya yang semborno itu, tiba-tiba terdengar suara Sin Cap-si-koh berkata dengan tertawa.

   "Piau-moay, kau kan tahu aku tidak mungkin berpeluk tangan, kenapa kau mesti menyiksa diri begitu? Syukur kedatanganku tidaklah terlalu terlambat!"

   Habis berkata, tahu-tahu orangnya juga sudah menerjang tiba, pedang bambu hijau berkelebat, kontan ia menusuk Sebun Bok-ya.

   Sebun Bok-ya sudah merasa lihainya pedang bambu itu, kini dia sudah siap, cepat sebelah tangannya meraih, menyusul lantas menghantam dengan pukulan Hoa-hiat-to.

   Namun gerak pedang Cap-si-koh sudah menyambar ke arah Cu Kiu-bok.

   Sebelumnya Cu Kiu-bok juga sudah siaga, cepat tubuhnya mendek ke bawah, kedua telapak tangannya terus menyodok ke depan, kekuatan Siu-lo- im-sat-kang dikerahkan seluruhnya, seketika hawa dingin berjangkit menggigilkan orang.

   Terdengarlah suara "bret"

   Yang perlahan, ikat pinggang Cu Kiu-bok tertabas putus oleh pedang bambu Sin Cap-si-koh, tapi Sin Cap- si-koh juga tidak berani meneruskan serangannya, secepat kilat ia pun mengelak ke samping dan ganti arah untuk menyerang Sebun Bok-ya.

   Rupanya Cap-si-koh cukup kenal kelihaian ilmu berbisa kedua iblis tua itu, ia tidak berani mengorbankan tenaga murni sendiri untuk mengadu kekuatan dengan pukulan berbisa lawan, maka sedikit mendapat keuntungan segera ia menarik diri.

   Tapi Beng Jit-nio yang telah merusak kekuatan sendiri dengan ilmu "Thian-mo-kay-teh-kang"

   Tadi, keadaannya sudah rada payah, ia tidak sanggup menahan serangan hawa dingin yang meresap tulang itu, tanpa terasa ia menggigil dan bersin.

   Cuma saja tenaga yang timbul dari Thian-mo- kay-teh-kang itu belum lenyap seluruhnya.

   Maka ia lantas mulai menyerang pula.

   Dengan kekuatan dua lawan dua, betapa pun mereka lebih unggul daripada kedua iblis itu.

   Sin Cap-si-koh terus main serang dengan menggeser ke sana dan meluncur ke sini, pedang bambu sebentar menabas ke kanan dan lain saat menusuk ke kiri, sekali bergerak segera berpindah tempat lagi, baru maju mendadak mundur pula.

   Hanya sekejap saja sudah belasan kali Cap-si-koh melancarkan serangan kepada kedua lawannya.

   Ginkang Cu Kiu-bok lebih rendah daripada Sebun Bok-ya, maka beberapa kali dia hampir "termakan"

   Oleh pedang bambu Sin Cap-si-koh. Tampaknya Sin Cap-si-koh dan Beng Jit-nio dalam waktu singkat akan dapat mengalahkan lawan-lawannya, tiba-tiba Khong-tong-sam-eng beramai- ramai menerjang maju. Dengan mendengus Ce Tay berkata.

   "Perempuan busuk, tadi kami kena diselomoti olehmu, memangnya kau kira kami jeri padamu? Ini, rasakan pula gelang kami!"

   Ketiga saudara she Ce itu sebenarnya meyakinkan permainan gelang baja secara gabungan, tenaga mereka bertiga cukup menandingi tokoh kelas satu.

   Tapi secara sendiri-sendiri tadi mereka telah dihajar oleh Sin Cap-si-koh, tentu saja mereka sangat penasaran, maka sekarang mereka serentak maju bersama untuk menuntut balas.

   Sudah tentu Cap-si-koh tidak tahu akan keistimewaan mereka yang main kerubut itu, segera ia balas mendamprat dan mengejek.

   Ce Thay menjadi gusar, kedua gelangnya bergerak, ia mendahului menubruk maju, gelang baja terus menjerat pedang bambu lawan.

   Tanpa menghiraukan gerakan senjata musuh, Sin Cap-si-koh tetap menusuk dengan pedangnya sambil membentak.

   "Besi tua macam begini bisa berbuat apa padaku?"

   Belum lenyap suaranya, serentak dua pasang gelang baja Ce Tay dan Ce Gak ikut menghantam dari kanan dan kiri.

   Gabungan tiga pasang gelang baja memang lain daripada yang lain, apalagi gelang mereka khusus digunakan untuk menjerat dan menggaet senjata lawan.

   Kini sekaligus enam buah gelang berputar melulu di depan Sin Cap-si-koh sehingga berwujud suatu jaringan pertahanan yang kuat, tak peduli kemana arah menyambarnya pedang bambu Cap-si-koh, selalu dia menghadapi jeratan gelang lawan dan beberapa kali hampir terebut dan terlepas dari cekalan.

   Menghadapi pertahanan ketiga lawannya yang rapat itu, betapa pun Sin Cap-si-koh rada terkesiap juga.

   Ia tidak berani memandang enteng lawan- lawannya lagi, ia terus main putar saja kian kemari dengan kegesitan dan kecepatan Ginkangnya.

   Dengan cara bertempur Sin Cap-si-koh itu, berulang-ulang Khong-tong- sam-eng menghadapi serangan bahaya, diam-diam mereka menggerutu dan jeri.

   Namun begitu Sin Cap-si-koh juga tidak sanggup membobol pertahanan mereka yang rapat itu, dengan sendirinya pula dia tidak sempat membantu Beng Jit-nio.

   Maka keadaan sekarang berubah menjadi Beng Jit-nio sendiri menghadapi kedua iblis, sedangkan "Thian-mo-kay-teh-kang"

   Yang dia keluarkan tadi sudah mulai lenyap kekuatannya, lambat-laun dia mulai payah.

   Untungnya Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok terkadang harus memberi bantuan pula kepada Khong-tong-sam-eng bilamana melihat mereka terdesak, dengan demikian barulah Beng Jit-nio ada kesempatan untuk bernapas.

   Tapi keadaan Beng Jit-nio yang payah juga sudah dilihat oleh kedua iblis tua itu, mereka tahu bilamana Beng Jit-nio dapat dirobohkan, maka selanjutnya dengan mereka berlima melawan Sin Cap-si-koh tentu akan mudah mencapai kemenangan total.

   Beng Jit-nio masih terus bertahan sekuatnya meski air darah tampak mengalir keluar dari mulutnya, namun Jit-nio sudah tidak pikirkan lagi mati- hidupnya sehingga keadaan payahnya itu tak terasakan olehnya.

   Sebaliknya Sin Cap-si-koh menjadi terkejut melihat keadaan sang Piau-moay, diam-diam ia menyesal tidak memberi bantuan sejak tadi-tadi.

   Rupanya Sin Cap-si-koh sengaja tinggal lebih lama di dalam kamar penjara dan tidak lantas memberi bantuan kepada Beng Jit-nio dengan tujuan memaksa sang Piau-moay mengeluarkan Thian-mo-kay-teh-kang untuk melawan musuh-musuh tangguh itu.

   Apabila tenaga murni Beng Jit- nio sudah banyak terkuras lantaran menggunakan Thian-mo-kay-teh-kang, maka selanjutnya tentu akan sukar berlomba dengan dia.

   Di luar perhitungannya, kini kekuatan Thian-mo-kay-teh-kang yang dikeluarkan lieng Jit-nio sudah mulai surut, tampaknya akan segera dirobohkan oleh kedua iblis tua itu, sedangkan dia sendiri belum mampu mengalahkan Khong-tong-sam-eng, jadi mau untung berbalik menjadi buntung.

   Kini harapan Sin Cap-si-koh terpaksa hanya dipercayakan kepada Han Tay-wi, pikirnya.

   "Dengan lwekang Han Tay-wi yang tinggi, kini tenaganya sudah dapat pulih beberapa bagian. Hanya saja dikuatirkan ia tidak tahan lama kecuali dalam sekali dua gebrakan dapat mengalahkan salah seorang musuh kuat ini, kalau tidak, mungkin hari ini sukar terhindar dari malapetaka." ~ Kiranya caranya dia menusuk Han Tay-wi dengan jarum untuk memunahkan racun sebenarnya juga tersembunyi suatu cara yang keji bagi kepentingannya. Saat itu Han Tay-wi sedang duduk bersila untuk mengumpulkan tenaga, ia merasa hawa murni di dalam tubuh dapat dikerahkan dan mengalir merata di seluruh tubuhnya, ia tahu tenaganya sudah pulih tujuh-delapan bagian, maka dalam hati ia sangat girang dan percaya Sin Cap-si-koh benar- benar menolongnya dengan maksud baik. Mendadak ia melompat bangun dan berkata kepada Pwe-eng.

   "Anak Eng, marilah kita pergi!"

   "Nona Han, pedangku ini boleh kau gunakan,"

   Pik Ki menambahkan.

   Segera Pwe-eng terima pedang pemberian itu dan mengikut di belakang ayahnya keluar kamar tahanan itu.

   Melihat Han Tay-wi berjalan keluar dengan gagah, Cu Kiu-bok terperanjat, cepat ia menggantikan Khong-tong-sam-eng menghadapi Sin Cap-si-koh, katanya.

   "Kalian lekas mencegat dan membekuk si tua she Han itu!"

   Agaknya musuh yang paling dipantang olehnya adalah Han Tay-wi dan bukan Sin Cap-si-koh.

   Ia tidak tahu kekuatan Han Tay-wi sudah pulih seluruhnya atau belum, maka menyuruh Khong-tong-sam-eng yang menjajaki lebih dulu.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebaliknya Khong-tong-sam-eng juga merasa syukur ada kawan mau menggantikan mereka dalam keadaan terdesak oleh Sin Cap-si-koh.

   Mereka mengira gampang menghadapi Han Tay-wi yang baru saja terluka parah, maka seruan Cu Kiu-bok itu dianggap mereka sebagai bermaksud baik.

   Han Tay-wi terkurung sekian lamanya dan baru sekarang dapat melihat langit pula, di dalam hati sudah tentu terpendam rasa gemas vang belum terlampiaskan.

   Kini melihat Khong-tong-sam-eng menerjang ke arahnya, dengan gusar segera ia membentak.

   "Kawanan tikus juga berani padaku!" ~ Berbareng ia terus menghantam. Bentakan menggeledek itu membikin anak telinga semua orang seakan- akan pekak, Ce Tay yang pertama-tama berhadapan dengan Han Tay-wi, dia menjadi terkejut dan tergentak mundur. Namun dengan cepat luar biasa hantaman Han Tay-wi tadi sudah tiba. Lekas Ce Tay angkat gelangnya untuk menangkis.

   "trang", tangan Ce Thay sendiri kesakitan, gelang terlepas dari cekalan. Menyusul Han Tay-wi lantas memutar ke samping, kini Ce Thay yang dihadapi dan tepat sepasang gelang lawan kena dipegangnya terus dibenturkan. Keadaan Ce Thay terlebih parah daripada kakaknya, untuk menahan getaran kedua gelangnya yang mungkin balik membentur batok kepalanya, maka sekuatnya ia pegang senjatanya itu, tapi di sinilah celakanya.

   "krak-krak", tulang, kedua pergelangan tangannya seketika patah, kedua gelangnya juga kena direbut oleh Han Tay-wi yang terus disambitkan ke arah Sebun Bok-ya. Dengan sedikit mengegos, sebelah tangan Sebun Bok-ya lantas memotong ke tepian gelang pertama yang menyambar tiba itu.

   "serrr", gelang itu menyerempet lewat dan berputar miring balik, dengan tepat gelang kedua yang menyusul tiba itu terbentur jatuh. Tenaga yang digunakan Sebun Bok-ya sangat tepat dan kuat, tapi tidak urung tangan terasa sakit juga. Nyata ia tidak mampu mematahkan seluruh kekuatan Han Tay-wi itu, diam-diam ia terkejut. Padahal dia telah menotok Han Tay-wi dengan ilmu Tiam-hiat yang khas, belum tiba waktunya ternyata Han Tay-wi sudah mampu melepaskan diri. Dari tenaga sambitan gelang tadi, tampaknya tidak saja luka dalamnya sudah sembuh, bahkan kekuatannya juga sudah pulih. Sementara itu tenaga yang timbul dari Thian-mo-kay-teh-kang yang dikeluarkan oleh Beng Jit-nio sudah lemah, dia sedang payah didesak oleh Sebun Bok-ya, untunglah Han Tay-wi telah menyambitkan kedua gelang tadi sehingga Sebun Bok-ya terpaksa harus menangkisnya. Kesempatan itu tentu saja sangat meringankan Beng Jit-nio, serunya dengan girang.

   "Kau sudah baik, Tay-wi? Bagus sekali!"

   "Hm, bagus, ya, memang bagus! Sekarang terkabul bukan keinginanmu. Piau-moayku yang baik? Jika sebelumnya mengetahui kau sayang kepada Tay- wi, rasanya aku pun tidak perlu datang lagi ke sini!"

   Demikian Sin Cap-si- koh menjengek.

   "Apa arti ucapanmu ini?"

   Seru Beng Jit-nio gusar.

   "Tidak berarti apa-apa, kalau kau tidak sayang padanya masakah kau berseru bagus segala?"

   Ujar Cap-si-koh.

   Dalam pada itu Sebun Bok-ya telah ambil keputusan harus menangkap Beng Jit-nio untuk dijadikan sandera bilamana pihaknya tidak mau mati konyol.

   Segera ia melancarkan serangan pula kepada Beng Jit-nio.

   Karena itu Beng Jit-nio tidak sempat bertengkar lagi dengan sang Piau-ci dan terpaksa melayani serangan Sebun Bok-ya dengan segenap tenaga.

   Kata-kata Sin Cap-si-koh yang mempunyai arti terbalik itu seketika tak dapat ditangkap oleh Beng Jit-nio, tapi bagi Han Tay-wi sudah tentu dipahaminya.

   Maksud Cap-si-koh adalah menuduh Beng Jit-nio berpura- pura cinta kepada Han Tay-wi, tapi justru sengaja meracuninya dan kini bersikap seakan-akan tidak tahu hal itu.

   Akan tetapi Han Tay-wi sendiri dapat melihat dengan jelas bahwa sambutan Beng Jit-nio yang spontan dengan rasa kejut-kejut girang itu sekali- kali tak bisa dibuat-buat.

   Bagi Han Tay-wi sukar untuk percaya Beng Jit-nio yang meracuninya, hanya saja Hi Giok-kun yang mengantar arak itu memang suruhan Beng Jit-nio, sedangkan yang menolongnya menawarkan racun juga betul adalah Sin Cap-si-koh, lalu cara bagaimana dia harus menarik kesimpulan? Lapat-lapat Han Tay-wi merasa ada sesuatu yang tidak betul, cuma sukar untuk dikatakannya.

   Karena itu pikirannya jadi bimbang.

   Waktu Han Tay-wi mengalahkan Ce Tay dan Ce Thay tadi, di sebelah sana Han Pwe-eng juga sudah mencari tanding kepada Ce Gak.

   Kepandaian Han Pwe-eng tidak lebih lemah daripada Ce Gak, apalagi melihat kedua kakaknya sudah kecundang, keruan Ce Gak menjadi gugup sehingga kena ditusuk oleh pedang Pwe-eng, untung serangan Han Pwe-eng itu, bukan tipu mematikan, namun begitu pundaknya juga sudah terluka dan darah bercucuran, cepat ia melompat mundur.

   Maka berserulah Ce Tay.

   "Sebun-siansing, kepandaian kami bertiga saudara tidak becus dan tidak mampu membantu apa-apa padamu, kami tidak punya muka buat menancapkan kaki lagi di sini, kami mohon diri saja!"

   Habis berkata, bersama Ce Gak mereka memayang bangun Ce Thay yang terluka paling parah, lalu melangkah pergi tanpa menoleh pula. Pwe-eng lantas mendekati ayahnya dan bertanya.

   "Engkau tidak apa-apa, ayah? Marilah kita juga pergi saja!"

   "Tak apa, sebentar lagi,"

   Kata Han Tay-wi sambil maju ke sana, lalu berkata pula.

   "Cu Kiu-bok, pukulan harus dibayar pukulan, hari ini aku ingin minta kembali modal padamu, rentenya akan kutagih lain hari."

   "Baik, kalian boleh main bergiliran atau mau maju sekaligus juga boleh,"

   Ejek Cu Kiu-bok.

   "Kau membual apa?"

   Bentak Sin Cap-si-koh dengan gusar, kontan pedangnya terus menusuk.

   "Silakan mundur saja, Cap-si-koh, anak Eng juga tidak perlu maju, biar aku saja yang membikin perhitungan dengan dia,"

   Seru Han Tay-wi, sebelah tangannya lantas bergerak setengah lingkaran, tangan yang lain segera menghantam.

   Cu Kiu-bok dan Han Tay-wi sudah pernah bertempur beberapa kali dan sama-sama pernah kecundang, maka kedua pihak cukup kenal betapa hebat kepandaian masing-masing.

   Bicara tentang tenaga dalam adalah Han Tay-wi lebih kuat, tapi ilmu berbisa yang diyakinkan Cu Kiu-bok juga tidak dapat dipunahkan oleh Han Tay-wi.

   Maka dalam pertempuran sekarang ini kedua pihak tetap berbuat seperti kejadian lampau, sama-sama menggunakan kemahiran sendiri untuk menggempur kelemahan lawan.

   Mestinya Cu Kiu-bok tidak berani mengadu tenaga pukulan dengan Han Tay-wi, tapi kini melihat keadaan Han Tay-wi yang pucat kurus, ia menduga biarpun tenaganya sudah pulih, tentu juga jauh berkurang daripada masa sebelum terluka parah.

   Maka ia lantas menggunakan tenaga Siu-lo-im-sat- kang untuk menyambut pukulan Kim-kong-ciang lawan.

   "Blang", kedua telapak tangan beradu dan mengeluarkan suara gemuruh, tubuh Han Tay-wi tergeliat, air mukanya bersemu hijau sekilas. Sebaliknya Cu Kiu-bok tidak sanggup menguasai dirinya dan tergetar mundur enam atau tujuh tindak dan memuntahkan darah segar. Tenaga Han Tay-wi memang belum pulih seluruhnya, tapi sedikitnya sudah ada tujuh atau delapan bagian yang pulih, sedangkan Cu Kiu-bok habis bertempur dengan Sin Cap-si-koh dan Beng Jit-nio, tenaganya sudah banyak berkurang, hawa murninya telah terganggu, kekuatan Siu-lo-im-sat- kang tentu saja tidak dapat dikerahkan sepenuhnya. Apalagi Han Tay-wi sudah pernah merasakan pukulan Siu-lo-im-sat-kang dan menderita keracunan selama bertahun-tahun, kini dalam tubuhnya dengan sendirinya timbul daya tahan yang kuat. Dengan demikian maka Cu Kiu-bok menjadi lebih banyak ruginya. Melihat ayahnya dapat menggempur mundur lawannya, tapi air mukanya menjadi pucat luar biasa, Pwe-eng menjadi girang dan kuatir, serunya.

   "Ayah, musuh yang kalah tidak perlu dikejar lagi, marilah pergi saja!"

   "Tapi musuh yang belum kalah masih ada satu lagi di sini!"

   Ujar Han Tay-wi sambil menggeser ke samping Beng Jit-nio, terus menghantam ke arah Sebun Bok-ya.

   "Tadi kalian berdua mengerubut aku sendirian, kini aku pun tidak mau bicara peraturan lagi dengan kau,"

   Kata Beng Jit-nio sambil angkat tongkatnya menghantam, sekaligus ia incar enam tempat Hiat-to di tubuh Sebun Bok-ya.

   Sebun Bok-ya cukup kenal kelihaian Han Tay-wi, maka ia tutup bagian Hiat-to yang diincar dan tidak menghiraukan serangan tongkat Beng Jit-nio, melainkan mencurahkan segenap tenaganya untuk melayani Han Tay-wi.

   Tak terduga mendadak Beng Jit-nio mengubah totokan tongkatnya menjadi hantaman, Liong-thau-koay-theng (tongkat bergaran kepala naga) terus menghantam sekuatnya.

   Tenaga Sebun Bok-ya memang lebih kuat daripada Cu Kiu-bok, tapi mana sanggup menahan serangan dua jago kelas satu sekaligus, terdengarlah suara "krak", tulang iga Sebun Bok-ya patah dua potong oleh hantaman tongkat Beng Jit-nio, menyusul tubuhnya terpukul oleh tenaga sakti Han Tay- wi, kontan Sebun Bok-ya terlempar ke atas.

   Hebat juga iblis tua itu, sekali berjumpalitan di udara, dalam keadaan terluka parah Sebun Bok-ya ternyata masih sanggup menggunakan Ginkangnya untuk melintasi pagar tembok dan melarikan diri.

   Beng Jit-nio dapat menyelamatkan diri dari ancaman kedua musuh tangguh, pula melihat Han Tay-wi juga sudah selamat, bahkan ilmu silatnya sudah pulih, saking girang dan terharunya napasnya menjadi terengah- engah, katanya kemudian.

   "Tay-wi, syukurlah kita masih dapat berjumpa pula, aku..... aku masih ingin bicara dengan kau."

   "Benar, kau harus memberi penjelasan padanya, aku tidak ingin merintangi kalian, baik aku pergi saja,"

   Kata Sin Cap-si-koh.

   Beng Jit-nio memang bermaksud menjelaskan duduknya perkara kepada Han Tay-wi agar dirinya terhindar dari tuduhan meracuni.

   Tapi kena didahului ucapan Cap-si-koh itu sehingga berbalik dia seperti orang yang bersalah dan perlu menjelaskan.

   Keruan Beng Jit-nio naik darah, bentaknya.

   "Sin Yu-ih, tunggu dulu, tidak boleh kau pergi-datang sesukamu!"

   Yu-ih adalah nama kecil Sin Cap- si-koh.

   "Aku toh tidak ingin menjelaskan apa-apa kepada dia, kenapa aku tidak boleh pergi?"

   Sahut Cap-si-koh dengan tertawa dingin. Entah mengapa, menghadapi kedua wanita itu tiba-tiba timbul rasa seram dalam hati Han Pwe-eng, segera ia pun berkata.

   "Ayah, lebih baik kita saja yang pergi dari sini!"

   Serentak Han Tay-wi tersadar juga, ia pikir kejadian di masa lalu adalah seperti impian belaka, buat apa dikenangkan kembali dan buat apa mesti mencari penyakit lagi dengan kedua perempuan ini, rasanya juga berdosa terhadap ibu Pwe-eng.

   Karena pikiran ini, dengan tegas Han Tay-wi berkata.

   "Jit-nio, aku pun merasa tiada sesuatu yang perlu dibicarakan. Terima kasih atas segala pelayananmu." ~ Habis berkata, tanpa menoleh ia terus melangkah pergi bersama puterinya. Sungguh menyesal dan mendongkol pula Beng Jit-nio. Dia menyesal karena kejadian ini memang dirinya yang bersalah, yakni dengan bersekongkol bersama Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok sehingga Han Tay-wi tertawan dan dikurung sekian lamanya, maka tidak dapat menyalahkan Han Tay-wi bilamana dia benci padanya. Sedangkan yang membuatnya mendongkol adalah karena olok-olok Sin Cap-si-koh tadi sehingga Han Tay- wi sama sekali tidak mau mendengar penjelasannya dan tinggal pergi begitu saja. Dalam pada itu terdengar Sin Cap-si-koh berkata pula dengan tertawa.

   "Piau-moayku yang baik, sekarang aku boleh pergi bukan?"

   Saking gusarnya sampai Beng Jit-nio hampir kelengar. Lekas Pik Ki dan Pik Po memburu maju untuk memegangi sang majikan.

   "Cap-si-koh,"

   Kata Pik Ki dengan penasaran.

   "atas bantuanmu tadi kami harus berterima kasih padamu, tapi tidaklah pantas kau membikin marah majikan kami sedemikian rupa."

   "Baiklah, lantas kalian majikan dan kaum budaknya mau apa, hendak menahan aku di sini?"

   Jengek Cap-si-koh. Wajah Beng Jit-nio putih menghijau saking gusarnya, teriakanya.

   "Sin Yu-ih, kejam amat kau! Hutang ini pasti akan kuperhitungkan dengan kau!"

   "Piau-moayku yang baik, hendaklah kau menghemat sedikit tenagamu,"

   Jawab Cap-si-koh dengan tertawa.

   "Untuk membikin perhitungan dengan aku sedikitnya kau perlu tunggu tiga tahun lagi. Baik atau jelek toh aku adalah Piau-cimu, aku tidak ingin memusuhi kau."

   Sesudah Beng Jit-nio merusak tubuh sendiri dengan Thian-mo-kay-teh- kang, memang benar seperti ucapan Sin Cap-si-koh itu, untuk bisa memulihkan tenaganya paling sedikit diperlukan tiga tahun, atau dengan lain perkataan, dalam tiga tahun ini Beng Jit-nio pasti bukan tandingan Sin Cap-si-koh.

   Begitulah Sin Cap-si-koh lantas melangkah pergi, yang tertinggal hanya suara tertawanya saja.

   Sambil bersandar pada Pik Po, Beng Jit-nio mengantar menghilangnya bayangan Sin Cap-si-koh di kejauhan dengan pikiran bimbang dan kusut, entah suka entah duka? Entah senang entah dendam? Orang yang dicintainya sudah pergi, yang dia benci juga sudah pergi.

   Dia bergirang bagi kehidupan kembali Han Tay-wi, tapi orang yang dia sukai ternyata meninggalkan dia dalam keadaan tidak mau mengerti akan perasaannya.

   Sesudah meninggalkan rumah Beng Jit-nio itu, pikiran Han Tay-wi sendiri juga bimbang dan hampa.

   Tak tersangka olehnya bahwa kejadian itu akan berakhir dengan demikian dan meninggalkan tidak sedikit tanda tanya dalam benaknya.

   Dia tidak ingin mengusut lagi siapakah gerangan yang meracuninya, tapi kini dia menghadapi keluarga hancur dan rumah musnah, selain anak perempuannya sudah tiada punya sanak keluarga lain lagi, lalu dia akan pergi kemana dan bernaung dimana? Sungguh tidak nyana nama baiknya selama ini menjelang hari tua ternyata mengalami pukulan seberat ini, mau tak mau timbul perasaan hampa dan menyesal Han Tay-wi.

   "Ayah, air mukamu tampaknya kurang sehat, bagaimana keadaanmu?"

   Tanya Pwe-eng dengan kuatir.

   "Tidak apa-apa, kau jangan kuatir. Mungkin karena kita berhasil menyelamatkan diri dan aku terlalu girang,"

   


Sang Ratu Tawon -- Khulung Tiga Maha Besar -- Khu Lung Lembah Nirmala -- Khu Lung

Cari Blog Ini