Pendekar Sejati 13
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 13
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
"Apa artinya ucapanmu ini!"
Tanya Pwe-eng. Melihat wajah si nona dingin-dingin saja, Siau-hong menjadi pedih dan tidak berani sembarangan omong pula, katanya dengan tergagap.
"O, maksudku hanya ingin menemani kau ke Kim-keh-nia, jalan berduaan tentunya akan lebih baik daripada sendirian bukan?"
"Di Kim-keh-nia terdapat Lui Yam, Ong Kun-ngo dan lain-lain, apakah kau tidak rikuh bertemu dengan mereka?"
Tanya Pwe-eng.
Ong Kun-ngo dan lain-lain yang disebut Han Pwe-eng itu adalah jago- jago yang ikut menyerang Pek-hoa-kok tempo hari dan pernah bertempur melawan Kok Siau-hong.
Orang-orang itu kini memang berada di Kim-keh- nia.
Sudah tentu Kok Siau-hong merasa rikuh bila bertemu dengan orang- orang itu, tapi demi merebut hati si nona, ia pun tak memikirkan lagi rasa malu sendiri.
Jawabnya dengan tertawa.
"Tempo hari Lui Lo-enghiong membela kau dan melabrak diriku, soalnya dia anggap aku bersalah padamu. Tapi bila nanti dia melihat kita tiba bersama dan mengetahui kita telah berbaikan kembali, tentu dia akan ikut senang, mana mungkin akan membikin susah lagi padaku?"
"Huh, siapa berbaikan kembali dengan kau?"
Dengus Pwe-eng. Kembali Siau-hong membungkuk tubuh dalam-dalam, katanya.
"Pwe- eng, aku sudah minta maaf padamu, masakah kau tetap tidak dapat memaafkan kesalahanku? Pwe-eng, tidaklah kita dapat mulai dengan yang baru?"
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak anggap kau berbuat salah, maka kau pun tidak perlu minta maaf padaku. Bahwa kau hendak melanjutkan perjalanan bersamaku sudah tentu boleh saja, cuma perlu kutegaskan, di antara kau dan aku kini sudah tiada terikat oleh sesuatu apa pun."
"Pwe-eng, ikatkan perjodohan kita di masa lalu berdasarkan saksi perantara dan disetujui orang tua, maka sekarang aku sendiri hendak mel....."
Belum selesai dia menyatakan "melamar"
Sudah keburu dipotong oleh Han Pwe-eng, kata si nona dengan tegas.
"Siau-hong, aku bukanlah perempuan yang boleh dipanggil dan dienyahkan begitu saja, tentang perjodohan kita selanjutnya jangan kau singgung-singgung pula."
Padahal di dalam hati Han Pwe-eng sebenarnya suka, menjaga martabat seorang gadis, mana dia mau menerima lamaran Kok Siau-hong lagi sesudah pemuda itu mengumumkan pembatalan perjodohan mereka, walaupun pembatalan nikah secara sepihak itu oleh Siau-hong belum dikemukakan secara resmi kepada ayah Pwe-eng.
Selain itu, alasan yang mendorong Kok Siau-hong meminang Pwe-eng lagi adalah sesudah diketahui Hi Giok-kun telah ikut Sin Liong-sin ke Kang-lam, mau tak mau tentu Han Pwe-eng merasa diremehkan, sesudah Hi Giok-kun direbut orang barulah pemuda itu berpaling pula kepadanya.
Jika sekarang dia terima begitu saja permintaan Kok Siau-hong kan berarti merendahkan harga dirinya sebagai seorang gadis terhormat? Setelah bergaul beberapa hari dengan Han Pwe-eng, sedikit banyak Kok Siau-hong sudah kenal jiwa Han Pwe-eng, ia pikir dirinya yang salah, pantas kalau si nona menolak usulnya untuk rujuk kembali itu.
Maka ia pun tidak memaksakan, katanya.
"Pwe-eng, sesungguhnya engkau pantas kuhargai dan hormati. Apa yang kau katakan akan kuturuti saja, cuma kedua keluarga kita adalah sahabat lama, seumpama orang-orang tua kita dahulu tidak berbesanan, hubungan beliau-beliau itu juga akrab sekali laksana saudara sendiri. Kukira kau setuju dengan kata-kataku ini bukan?"
"Ya, lantas mau apa?"
Kata Pwe-eng.
"Jika begitu, biarpun di antara kita tiada apa-apa lagi, bukankah kita juga boleh mengikat persaudaraan?"
Melihat orang bicara dengan tulus hati, Pwe-eng lantas menjawab.
"Kok- toako, selama dua bulan ini kau telah banyak membantu aku, maka aku pun sangat berterima kasih padamu. Kita kesampingkan saja persoalan pribadi kita, sesungguhnya aku pun sangat kagum kepada jiwa kesatriamu. Aku pun ingin mempunyai seorang kakak seperti kau."
Girang sekali Siau-hong atas jawaban itu, segera mereka berdua mengucapkan sumpah setia untuk menjadi saudara, lalu melanjutkan perjalanan.
Pasukan induk Mongol saat itu sudah menuju ke barat, Lok-yang hanya dijaga oleh sebagian kecil pasukan berkuda dan jarang patroli keluar kota.
Maka Siau-hong dan Pwe-eng berdua lantas menyamar sebagai suami-istri petani untuk menyeberangi Hong-ho dan meninggalkan daerah pendudukan, syukur sepanjang jalan tidak mengalami sesuatu gangguan apa pun.
Beberapa hari permulaan kedua muda-mudi itu merasa rada kikuk, tapi lambat-laun segala kesalah pahaman di masa lampau lantas lenyap semua.
Kedua orang saling hormat menghormati dan saling membantu, sepanjang jalan bersenda-gurau sebagaimana kakak beradik umumnya.
Suatu hari mereka sampai di perbatasan antara Ho-lam dan Soa-tang, wilayah yang termasuk kekuasaan negeri Kim.
Menjelang lohor, terlihat di tepi jalan ada sebuah kedai minum, segera Siau-hong mengajak Pwe-eng mengaso lebih dulu untuk minum, barangkali kedai itupun menjual daharan apa-apa.
Pada umumnya kedai di tepi jalan di daerah utara menyambi jual arak dan makanan pula.
Ketika mereka memasuki kedai itu, ternyata di dalam situ sudah ada dua orang tamu dan masing-masing menyandingi sebuah meja sendiri.
Seorang di antaranya adalah lelaki setengah umur, seorang lagi adalah Hwesio yang sebaya, tubuhnya kekar, di tepi meja tertaruh sebatang tongkat baja.
Kok Siau-hong tidak kenal si Hwesio, tapi kenal lelaki setengah umur itu.
Sebab lelaki itu tak lain tak bukan adalah Ih Hoa-liong, murid tertua pamannya, Yim Thian-ngo.
Tentu saja Siau-hong terkejut dan girang pula melihat Ih Hoa-liong berada di situ.
Sebaliknya Ih Hoa-liong juga terperanjat melihat Kok Siau- hong mendadak muncul.
Ketika itu dia bermaksud bicara dengan si Hwesio, tapi munculnya Kok Siau-hong membuat dia melenggong.
Dalam pada itu dengan cepat Kok Siau-hong lantas mendekati Ih Hoa- liong, sedang Han Pwe-eng menjaga di ambang pintu agar musuh tak dapat kabur.
Pemilik kedai itu bergegas keluar untuk menawarkan makan minum kepada kedua tamunya yang baru itu, tapi Kok Siau-hong menyatakan tunggu sebentar dan ingin bicara dulu dengan tamu yang datang duluan itu.
Melihat gelagat kurang baik, sebagai orang yang berpengalaman, pemilik kedai itu cepat mengiakan, katanya.
"Baiklah, ada apa-apa hendaklah kalian berunding secara baik-baik, janganlah kedai kami yang kecil ini ikut menjadi susah."
"Kau jangan kuatir, bila merugikan kedaimu tentu akan kuganti sepenuhnya,"
Kata Siau-hong. Lalu dengan sikap tuan besar ia duduk berhadapan dengan Ih Hoa-liong. Lalu katanya kepada orang she Ih itu dengan menjengek.
"Hm, Ih Hoa-liong, kau tentu tidak menyangka akan begini kebetulan bukan? Ini namanya orang hidup dapat berjumpa dimana pun."
Dengan hati kebat-kebit Ih Hoa-liong sedang berpikir.
"Entah Hwesio ini apakah betul paderi pelarian dari Siau-lim-si sebagaimana dikatakan Pau Ling atau bukan? Jika betul dia ini, maka aku pun tidak perlu takut lagi kepada Kok Siau-hong."
Waktu ia melirik ke sana, dilihatnya si Hwesio sedang makan minum seenaknya sendiri seakan-akan tidak melihat dan tidak mendengar terhadap urusan mereka.
Lantaran tidak tahu pasti apakah Hwesio ini paderi yang dimaksud Pau Ling atau bukan, mau tak mau hati Ih Hoa-liong menjadi jeri, terpaksa ia menjawab Kok Siau-hong dengan mengiring tawa yang dibikin-bikin, katanya.
"Ya, memang tidak tersangka kita akan bertemu di sini. Entah Kok- siauhiap sudah mendapatkan kabar Ku-kumu atau belum? Aku pun hendak mencari guruku itu."
"Tentu saja kau tidak menyangka kedatanganku, bukankah kau mengatakan aku berada di tengah pasukan Mongol sana? Siapa tahu kau sendiri yang kutemukan di tengah pasukan Mongol malah. Tempo hari secara kebetulan kau dapat meloloskan diri, tapi sekarang kau kepergok lagi olehku."
"Kok-siauhiap, agaknya kau salah mengerti,"
Kata Ih Hoa-liong.
"Saat itu aku sendiri adalah tawanan pasukan Mongol?"
"Tawanan? Ha, ha, dengan mata hidungku sendiri kusaksikan kau duduk bersama kedua iblis tua itu, tampaknya mesra benar ya?"
"Wah, celaka benar, pantas kau salah paham,"
Seru Ih Hoa-liong dengan lagak penasaran.
"Lantaran kedua iblis tua itu tahu aku adalah murid Ku- kumu, saat itu dia sedang menanyai aku, tujuan mereka hendak mengorek keteranganku, tentu saja mereka bersikap ramah padaku. Untuk ini hendaklah Kok-siauhiap jangan salah paham lagi."
Kok Siau-hong menjadi gusar, mendadak ia menggebrak meja dan membentak.
"Ih Hoa-liong, jangan kau mengoceh sesukamu! Jika kau tidak bicara terus terang, hm, jangan kau salahkan aku bila terpaksa aku ambil tindakan."
"Kau ingin aku bicara terus terang apa?"
Jawab lh Hoa-tiong dengan wajah muram yang dibuat-buat.
"Coba jawab, mengapa kau sengaja memfitnah diriku?"
Tanya Siau-hong.
"Aku..... aku pun mendengar desar-desus itu dari orang lain, mohon Kok-siauhiap sudi memaafkan."
"Desas-desus? Siapa yang menyebarkan berita bohong itu?"
"Ini..... ini..... oya, kudengar dari seorang anggota Kay-pang yang tak kukenal."
GACO-BELO! Yang menyiarkan fitnahan itu terang adalah kau sendiri.
Sudahlah, jangan kau main gila lagi, sebaiknya bicara terus terang saja.
Pertama, untuk apa kau menyebar fitnah atas diriku dan kedua, kau bersekongkol dengan pihak Mongol, apakah hal ini diketahui oleh Ku-ku?"
"Umpama kau tidak percaya padaku sedikitnya kau pun mesti percaya kepada Ku-kumu sendiri. Ku-kumu Yim Thian-ngo adalah tokoh kalangan Kang-ouw yang terhormat dan disegani, mengapa sebagai keponakan kau malah tidak mempercayai beliau?"
Ih Hoa-liong sengaja menyebut nama Yim Thian-ngo untuk diperdengarkan kepada si Hwesio yang duduk di sebelah sana itu. Benar juga, demi mendengar nama Yim Thian-ngo, tiba-tiba Hwesio itu menyebut.
"Omitohud (Sang-yang Adibuddhaya)! Segala urusan hendaklah diselesaikan secara damai, aku tidak suka melihat orang bertengkar dan berkelahi."
"Taysu,"
Kata Siau-hong.
"orang ini adalah pengkhianat bangsa, urusan kecil boleh dimaafkan, tapi urusan besar begini sekali-kali aku tak dapat memberi ampun padanya."
"O, jadi kau tidak mau menurut nasehatku?"
Kata Hwesio itu.
"Ya, masa bodoh, jika begitu boleh kalian ribut saja sesukamu sendiri."
Ih Hoa-liong sangat kecewa mendengar ucapan si Hwesio, ia menjadi sangsi jangan-jangan Hwesio itu bukan paderi Siau-lim-si yang dikatakan Pau Ling.
"Nah, Ih Hoa-liong, apa katamu sekarang? Lekas mengaku terus terang saja kau!"
Seru Siau-hong pula.
Melihat gelagat jelek, terpaksa Ih Hoa-liong bertindak.
Mendadak ia menjungkirkan meja, pedang segera dilolos terus hendak melompat keluar.
Kok Siau-hong sudah pernah bergebrak dengan Ih Hoa-liong, ia cukup yakin dapat mengatasi orang.
Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Ih Hoa- hong berani mati melakukan tindakan nekad itu.
Karena tidak berjaga-jaga, meski tidak tertindih oleh meja, tapi tubuhnya telah tersiram oleh air teh
Jilid 14
"N yang berhamburan. Dengan gusar ia tolak meja itu ke samping sambil membentak.
"Hendak lari kemana?"
Han Pwe-eng yang berjaga di ambang pintu sudah tentu tidak tinggal diam, ketika melihat Ih Hoa-liong menerjang tiba, segera ia melolos pedang dan menusuknya sambil membentak juga.
"Mau lari ke mana?"
Meja yang dijungkirkan Kok Siau-hong tadi terguling ke samping Hwesio itu sehingga air teh muncrat membasahi jubahnya. Mendadak Hwesio itu berteriak gusar.
"Kurangajar! Kalian berkelahi, kenapa aku ikut diserang!" ~ Berbareng sebelah tangannya menghantam sehingga meja itu hancur. Diam-diam Kok Siau-hong menduga si Hwesio pasti begundal Ih Hoa- liong, tapi merasa bersalah, terpaksa Siau-hong memberi hormat dan minta ampun. Dalam pada itu Ih Hoa-liong telah menerjang mati-matian menghadapi rintangan Han Pwe-eng. Akhirnya dia dapat menerobos keluar, tapi tidak urung lengan bajunya terpapas robek, sebelah lengannya hampir saja berpisah dengan tubuhnya. Lantaran terhalang oleh Hwesio tadi, maka Kok Siau-hong tidak keburu mencegat jalan lari Ih Hoa-liong. Ia tidak pedulikan Hwesio itu lagi, segera ia mengudak keluar. Karena Ginkangnya jauh di atas Ih Hoa-liong, maka dalam sekejap saja sudah dapat disusulnya. Setelah mendengar ucapan si Hwesio tadi, kini Ih Hoa-liong makin yakin tidak keliru lagi dugaannya, semangatnya berbangkit, ketika Kok Siau-hong sudah dekat, sekonyong-konyong pedangnya membalik terus menusuk dengan jurus "Jit-sing-cip-hwe" (tujuh bintang berhimpun), disertai dengan bentakan.
"Kok Siau-hong, jangan kau temberang!"
"Hm, ilmu pedangmu perlu dilatih sepuluh tahun lagi!"
Jengek Kok Siau- hong, pedangnya bergerak, kontan iapun menyambut dengan jurus "Jit-sing- cip-hwe"
Yang sama.
Seketika sinar pedang bertebaran menyilaukan mata, Ih Hoa-liong merasa hawa dingin menyayat, lekas ia melompat mundur.
Waktu ia periksa baju sendiri, ternyata di bagian dada telah berlubang tujuh lubang kecil-kecil, tak perlu dijelaskan lagi tentunya tertembus oleh pedang Kok Siau-hong.
Ih Hoa-liong diam-diam merasa ngeri oleh ilmu pedang lawan yang lihai itu, rasanya gurunya sendiri pun tidak sehebat itu, kalau dia hendak menamatkan jiwaku, tentu kini tubuhku sudah bertambah dengan tujuh lubang.
Demikian pikirnya.
Dalam pada itu Kok Siau-hong telah menubruk maju pula sambil membentak dengan tusukan pedang.
"Ih Hoa-liong, kau mau mengaku terus terang tidak?"
Melihat serangan lihai yang sukar dihindarkan iiu, Ih Hoa-liong menjadi kelabakan dan berteriak kuatir.
"Aku..... Aku....."
Ketika ujung pedang Kok Siau-hong sudah mendekati sasarannya, tiba- tiba sesosok bayangan merah berkelebat, tahu-tahu Hwesio itu telah melepas jubahnya yang merah dan menyelinap ke tengah-tengah mereka yang sedang bertempur.
Terdengar suara "crit-crit"
Berulang-ulang, ujung pedang Kok Siau-hong terasa menusuk di atas jubah, seperti membentur dinding yang lunak, jubah Hwesio itu kontan juga tertusuk tujuh lubang kecil, namun si Hwesio sendiri tidak tercidera sesuatu pun.
"Hm, betapa pun hebat kau punya Jit-siu-kiam-hoat juga tak dapat mengapakan diriku, marilah kita belajar kenal lebih lanjut!"
Jengek si Hwesio. Melihat si Hwesio sudah turun tangan, maka senanglah hati Ih Hoa-liong karena jelas dugaannya memang tidak keliru atas diri Hwesio itu. Segera ia membonceng ucapan si Hwesio tadi.
"Benar, Taysu berilah hajaran setimpal terhadap bocah itu!"
"Kau tidak perlu banyak omong, lekas kau menyingkir ke pinggir saja!"
Dengus Hwesio itu.
Kiranya si Hwesio aslinya bernama Soa Yan-liu, tadinya adalah murid Siau-lim-si dari kalangan swasta, dasar moralnya memang bejat, pada duapuluhan tahun yang lalu ia telah bergaul dengan Kong-sun Ki, gembong iblis paling terkenal di masa itu, maka tidak sedikit kejahatan yang telah diperbuatnya dan menimbulkan keonaran besar di dunia persilatan.
Tapi pada suatu pertempuran sengit akhirnya Soa Yan-liu kena dibekuk oleh paman gurunya dan dibawa kembali ke Siau-lim-si, dia dihukum kurung selama sepuluh tahun.
Dalam sepuluh tahun itu Soa Yan-liu giat belajar sehingga ilmu silatnya maju pesat.
Selama itu dia pura-pura alim, bahkan secara sukarela minta rambutnya dicukur dan menjadi Hwesio (kisah ini dapat diikuti dalam cerita Pendekar Latah).
Karena mengira Soa Yan-liu sudah insyaf benar-benar, maka selang belasan tahun ini pengawasan terhadapnya menjadi kendur.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siapa tahu dasar wataknya memang bejat, kira-kira setengah tahun yang lalu Soa Yan- liu telah melarikan diri dari Siau-lim-si, orang pertama yang dicarinya adalah bekas begundalnya di masa lalu, yaitu si maling sakti Pau Ling.
Atas bujukan dan hasutan Pau Ling, pula kuatir dibekuk kembali lagi ke Siau-lim-si, untuk mencari perlindungan, tiada jalan lain bagi Soa Yan-liu untuk menerima ajakan Pau Ling bernaung di bawah Kok-su Mongol, yaitu Cun-sing Hoat- ong, untuk maksud itu Pau Ling berjanji akan bertemu dengan Soa Yan-liu di rumah Han Tay-wi.
Tapi ketika malam itu Pau Ling dan Yim Thian-ngo bersembunyi di rumah Han Tay-wi dan kepergok Han Pwe-eng, agar tidak terbongkar tindak tanduk mereka, Yim Thian-ngo menyuruh Pau Ling memancing Han Pwe- eng keluar rumah, habis kabur Pau Ling pun tidak berani kembali lagi ke tempat semula.
Di tengah jalan itulah Pau Ling bertemu dengan Ih Hoa-liong serta memberitahukan janjinya bertemu dengan Soa Yan-liu.
Antara Soa Yan-liu dan Yim Thian-ngo juga sudah lama saling kenal, soal persekongkolan Yim Thian-ngo dengan pihak Mongol oleh Pau Ling juga telah diceritakan kepada Soa Yan-liu, sebab itulah dia tidak dapat tinggal diam setelah mengetahui Ih Hoa-liong adalah murid Yim Thian-ngo.
Begitulah Kok Siau-hong menjadi gusar juga melihat si Hwesio ikut cari gara-gara.
Tapi ia masih menghadapinya dengan sopan, katanya.
"Taysu, sebenarnya apa kehendakmu, sebaiknya engkau jangan ikut campur!"
"Tidak ikut campur urusanmu juga boleh asalkan kau mampu mengalahkan tongkatku ini!"
Jawab Soa Yan-liu. Siau-hong menjadi aseran, serunya kepada Han Pwe-eng.
"Pwe-eng, kau bereskan Ih Hoa-liong, biar aku belajar kenal dengan Taysu ini!"
"Dilarang mengganggu dia!"
Bentak Soa Yan-liu, berbareng tongkatnya lantas menyabet ke arah Kok Siau-hong, menyusul tongkatnya ditarik, gagang tongkat terus menyodok pula ke arah Han Pwe-eng.
Cepat Han Pwe-eng melompat ke atas sehingga tongkat musuh mengenai tempat kosong, dalam pada itu Kok Siau-hong juga tidak tinggal diam, kembali dengan jurus "Jit-sing-cip-hwe", tujuh tempat Hiat-to di tubuh Soa Yan-liu sekaligus terancam oleh ujung pedangnya.
Soa Yan-liu tidak berani lagi memandang enteng lawannya, ia pun mengeluarkan jurus serangan yang lihai, namanya "Tok-coa-sun-hiat" (ular berbisa mencari liang), meski jurus serangan ini tidak sekaligus mengancam beberapa tempat Hiat-to, tapi ujung tongkatnya tampak bergetar, beberapa tempat mematikan bagian atas tubuh Kok Siau-hong juga terancam.
Kedua pihak sama-sama melancarkan serangan untuk menghadapi serangan, siapa yang lebih kuat dia yang menang.
Kok Siau-hong cukup menyadari kekuatan sendiri dan tahu kekuatan lawan, ia tahu tak dapat menggunakan keras lawan keras, maka cepat ia ganti serangan, dengan lincah pedangnya berputar dan menusuk dari samping.
Namun Soa Yan-liu juga sempat memutar tongkatnya.
"trang", pedang Kok Siau-hong tersampuk pergi, seketika Kok Siau-hong merasa tangannya kesemutan. Menyusul Soa Yan-liu ganti serangan pula dengan jurus yang lebih lihai. Saat itu sebenarnya Han Pwe-eng hendak melabrak Ih Hoa-liong, tapi demi nampak Kok Siau-hong dalam bahaya, cepat ia memburu balik, mendadak ia melompat ke atas, dengan jurus "Eng-kik-tiang-kong (elang menyambar dari udara), pedangnya terus menikam ke atas kepala Soa Yan- liu. Serangan Han Pwe-eng ini memaksa musuh harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu, tapi juga suatu jurus serangan yang berbahaya dan beresiko. Soa Yan-liu mendengus menghadapi serangan maut itu, tiba-tiba tongkatnya menegak, ia keluarkan jurus "Ki-hwe-liu-thian" (angkat obor menerangi langit), jurus maut dari Hok-mo-tiang-hoat (ilmu permainan tongkat penakluk iblis) yang lihai dari Siau-lim-pay, ujung tongkatnya menyodok perut Han Pwe-eng yang sedang terapung di udara. Kok Siau-hong menjadi kuatir melihat keadaan Han Pwe-eng yang kepepet itu. Syukurlah Han Pwe-eng tidak menjadi gugup, pada detik yang berbahaya itu ujung pedangnya sempat menutul perlahan pada ujung tongkat lawan, dengan meminjam tenaga sodokan lawan itulah Han Pwe- eng terpental naik ke atas, lalu dengan sekali berjumpalitan dia turun ke bawah beberapa meter di sebelah sana. Ketika Soa Yan-liu hendak menyusuli serangan lain lagi, namun Kok Siau-hong lantas ganti menyerang, terpaksa Soa Yan-liu harus melayani serangan itu. Kesempatan itu segera digunakan oleh Han Pwe-eng untuk ganti napas, lalu ikut mengerubut pula. Dengan kekuatan latihan selama sepuluh tahun terakhir di Siau-lim-si, tenaga Soa Yan-liu memang jauh lebih kuat daripada Kok Siau-hong berdua, sesudah bertempur sekian lamanya, Kok Siau-hong masih sanggup bertahan, sedangkan Han Pwe-eng sudah mulai payah. Melihat kemenangan sudah pasti akan diperolehnya dalam waktu singkat, Soa Yan-liu sangat girang segera ia mempergencar lagi serangannya sehingga Han Pwe-eng tambah payah dan Kok Siau-hong terpaksa melawan mati-matian. Pada saat yang gawat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang tua yang tidak dikenal berkata.
"Hebat sekali, sungguh ilmu pedang yang bagus! Sudah belasan tahun aku tidak muncul, ternyata orang kosen sebanyak ini."
Waktu Soa Yan-liu berpaling, dilihatnya seorang tua berjubah hijau sudah berdiri di depan sana dalam jarak dua-tiga meter jauhnya dengan sikap yang adem-ayem laksana orang yang sedang menonton sesuatu permainan yang amat menarik.
Sungguh kejut Soa Yan-liu tak terkatakan, coba bayangkan, betapa tinggi kepandaiannya, tapi si orang tua berjubah hijau tahu-tahu sudah berdiri di depannya tanpa diketahui sebelumnya, keruan dia terkejut.
Cuma dari nada ucapan orang tua itu agaknya dia tidak bermaksud membela salah satu pihak, maka rada legalah hati Soa Yan-liu.
Karena harus mencurahkan segenap perhatiannya untuk menghadapi musuh, maka Kok Siau-hong terpaksa anggap tidak tahu akan kedatangan orang tua berjubah hijau itu.
Setelah mengikuti pula sejenak pertarungan ketiga orang itu, tiba-tiba terdengar si orang tua menggumam sendiri.
"Begitu dahsyat Hok-mo-tiang- hoat yang dimainkannya, tampaknya Ih-kin-keng yang dilatih si Hwesio sedikitnya sudah ada sepuluhan tahun!"
Kembali Soa Yan-liu terkejut mendengar ucapan orang tua itu.
Bahwasanya selama sepuluh tahun dan dihukum kurung di Siau-lim-si, selama itu yang dilatihnya memang betul adalah lwekang tertinggi dari Ih- kin-keng yang merupakan ilmu khas Siau-lim-pay yang dirahasiakan, tapi sekali pandang saja si orang tua jubah hijau ini sudah dapat mengenal ilmu yang dilatihnya itu.
Setelah melihat sejenak, kemudian orang tua itu berkata pula.
"Ehm, ilmu pedang kedua bocah itupun tidak jelek. O, ilmu pedang anak dara itu tampaknya adalah Keng-sim-kiam-hoat, tapi ilmu pedang apakah yang dimainkan bocah lelaki itu? Rasanya belum pernah kulihat ilmu pedangnya ini. Hei, anak muda, kutanya padamu, apa namanya ilmu pedang yang kau mainkan itu, dapatkah kau beritahukan padaku?"
Padahal waktu itu Kok Siau-hong sedang mencurahkan segenap perhatiannya untuk melayani musuh sehingga apa yang terjadi di sekitarnya laksana tak didengar dan tak dilihat, mana pula dia dapat menjawab pertanyaan si orang tua itu.
Si orang tua menjadi kurang senang, katanya.
"Sungguh aneh, di dunia ini ternyata ada orang yang tidak menggubris padaku!" ~ Sekonyong- konyong ia melangkah maju, lalu ia menggumam pula.
"O, tahulah aku, kiranya kau terdesak oleh Hwesio besar ini sehingga tak bisa ganti napas bukan? Baiklah, akan kugantikan kau, kau boleh mengaso sebentar dan nanti menjawab pertanyaanku."
Serentak Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng merasa terdorong oleh suatu arus tenaga yang dahsyat, cuma tenaga yang kuat itu rasanya lunak, tubuh sedikit pun tidak merasa sakit oleh benturan tenaga tidak kelihatan itu.
Bahkan Kok Siau-hong berdua sama sekali tidak mampu bertahan, mereka tergentak mundur dua-tiga meter jauhnya tanpa mengalami cidera apa-apa.
Dengan terkesiap Soa Yan-liu lantas bertanya.
"Siapakah bapak ini? Selamanya kita tidak kenal, mengapa engkau ikut campur persoalan kami ini?"
"Apa yang kulakukan selamanya berdasarkan keinginanku saja, peduli apa persoalan kalian ini?"
Jengek orang tua itu.
"Hm, kau tidak tahu siapa diriku, untuk ini kau harus merasakan sekali pukulanku!"
Karena yakin akan kekuatan tenaga latihannya selama sepuluh tahun, meski rada jeri juga terhadap si orang tua jubah hijau, tapi Soa Yan-liu menjadi gusar juga demi mendengar jawaban orang yang kasar itu. Segera ia membentak.
"Bagus, selamanya belum pernah kulihat orang tak kenal aturan macam kau ini. Nah, boleh coba saja apakah pukulanmu lebih lihai atau tongkatku ini yang lebih lihai!"
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu bayangan hijau berkelebat, orang tua itu sudah menubruk tiba terus menghantam dengan sebelah tangannya.
Tongkat Soa Yan-liu itu besar manfaatnya untuk menyerang dari jarak jauh, tapi kurang berguna bila bertempur dari jarak dekat.
Cepat ia menggeser ke samping, namun sudah rada kasip, terdengar suara "bret", jubahnya telah terobek sepotong oleh tangan si orang tua.
Soa Yan-liu tambah murka mengalami kerugian itu, segera ia pun mengeluarkan serangan maut, tongkatnya lantas berputar balik, dengan jurus "Oh-liong-pah-hwe" (naga hitam putar ekor) segera ia menyodok.
Saat itu si orang tua masih terus menerjang ke depan, tampaknya betapa pun dia tak dapat menghindarkan sodokan tongkat lawan, tapi entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu dia dapat menghindarkan diri, bahkan mendadak ia pegang ujung tongkat lawan, tangan yang lain terus memotong ke batang tongkat.
Sungguh mimpi pun Soa Yan-liu tidak menduga bahwa si orang tua berani menggunakan telapak tangan untuk menghantam tongkatnya yang terbuat dari baja, padahal Hok-mo-tiang-hoat terkenal sebagai ilmu tongkat maha dahsyat dari Siau-lim-pay, jangankan terkena serangannya, tersampuk tenaga sodokan itu saja sudah cukup membuat binasa sasarannya.
Maka terdengarlah suara "trang"
Yang nyaring, telapak tangan tepat menghantam di atas batang tongkat. Tangan Soa Yan-liu yang memegang tongkat terasa sakit pedas, lekas ia melompat mundur. Sebaliknya si orang tua hanya tergeliat sedikit saja, katanya sambil mendengus.
"Hm, sekarang coba katakan lagi, tanganku lebih kuat atau tongkatmu lebih lihai?"
Kini Soa Yan-liu sudah menyadari kekuatan si orang tua jauh di atasnya, malahan ada yang lebih mengejutkan dia, yakni sesudah tangannya terasa panas pedas, tiba-tiba ia merasa telapak tangannya ada rasa gatal-gatal pegal.
Sebagai seorang jago silat pilihan, segera Soa Yan-liu tahu apa artinya itu, hatinya tergetar, pikirnya.
"Apakah ini yang disebut Keh-but-toan-kang (menyalurkan tenaga melalui benda lain), tua bangka ini meyakinkan pukulan berbisa dan sengaja memukul batang tongkatku, secara tidak langsung dia menyerang aku dengan pukulannya yang berbisa itu?"
Soa Yan-liu adalah bekas begundal Kong-sun Ki di masa duapuluhan tahun yang lalu, maka dia tahu "Keh-but-toan-kang"
Adalah ilmu khas kemahiran Kong-sun Ki. Kini melihat si orang tua jubah hijau mengeluarkan ilmu demikian, tentu saja dia terkejut dan heran pula.
"Nah, kalau masih tidak mau menyerah?"
Jengek si orang tua.
"Jika begitu boleh kau rasakan pukulanku sekali lagi!"
Berbareng tangannya lantas bergerak ke atas dan siap menghantam pula. Soa Yan-liu mengendus bau amis yang busuk, waktu ia pandang ke depan, dilihatnya telapak tangan si orang tua berwarna hitam, cepat ia berseru.
"Nanti dulu! Nanti dulu! Jangan menyerang lagi, kita adalah kawan sendiri!"
"Hm, siapa kau, kau pun mengaku kawan dengan diriku?"
Dengus si orang tua.
"Namaku Soa Yan-liu, duapuluhan tahun yang lalu aku adalah sahabat baik Kong-sun Ki,"
Seru Soa Yan-liu, melihat ilmu kepandaian si orang tua, ia yakin orang tua itu pasti ada hubungan erat dengan Kong-sun Ki. Tertampak si orang tua tercengang, katanya.
"Soa Yan-liu? Ya, nama itu seperti pernah kudengar dahulu. Tapi orang she Soa itu agaknya bukan Hwesio."
"Benar, tadinya aku memang murid Siau-lim-si dari kalangan swasta, lantaran tersangkut dalam urusan Kong-sun Ki dahulu, aku telah ditangkap paman guruku dan dikurung selama sepuluh tahun, pada waktu itulah terpaksa aku menjadi Hwesio."
"O, jadi selama sepuluh tahun ini kau bersembunyi di Siau-lim-si?"
Si orang tua menegas.
"Benar!"
Jawab Soa Yan-liu.
"Kalau begitu, kejadian di Siang-keh-po mengenai diri Kong-sun Ki kemudian tak diketahui olehmu?"
Tanya pula si orang tua.
"Ya aku baru saja lari keluar dari Siau-lim-si, kejadian di luaran selama belasan tahun ini sama sekali aku tidak tahu,"
Kata Soa Yan-liu.
"Jika kau tidak tahu apa-apa, berdasarkan apa pula kau mengaku sebagai kawan sendiri dengan aku?"
Tiba-tiba si orang tua menjengek dan menambahkan.
"Lekas kau enyah dari sini!"
Soa Yan-liu menjadi bingung, baru saja bicara dengan ramah, mendadak si orang tua berubah marah pula. Ketika dia hendak tanya, terlihat si orang tua telah mengebaskan lengan bajunya dan membentak.
"Lekas enyah, mengingat kau bekas orang Siang-keh-po, makanya kulepaskan kau pergi. Jika kau masih tidak tahu gelagat, hm, jangan kau salahkan aku ambil tindakan tegas padamu!"
Kebutan orang tua itu menggunakan tenaga lunak, tujuannya tidak untuk melukai orang, namun kekuatannya luar biasa, tenaga lunak inilah yang digunakannya untuk mendorong Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng tadi.
Sudah tentu kekuatan Soa Yan-liu jauh lebih hebat daripada Kok Siau-hong berdua, tapi juga tidak tahan oleh tenaga kebutan itu, dia tergetar mundur beberapa tindak, keruan ia menjadi ketakutan dan lekas angkat langkah seribu alias kabur.
Ih Hoa-liong ikut kelabakan juga melihat kaburnya Soa Yan-liu.
Semula ia merasa girang ketika mendengar Soa Yan-liu mengaku orang sendiri dengan si orang tua, tak terduga pembicaraan mereka makin runyam.
Tiba- tiba Ih Hoa-liong ingat kepada seorang tokoh angkatan tua yang pernah didengarnya dari sang guru, kini melihat ilmu silat dan watak si orang tua baju hijau ternyata serupa benar dengan tokoh yang dimaksud itu, keruan ia menjadi ketakutan setengah mati, ketika Soa Yan-liu tergetar mundur oleh tenaga kebasan si orang tua tadi, tanpa pamit Ih Hoa-liong lantas kabur lebih dulu.
Sudah tentu Kok Siau-hong tidak tinggal diam, segera ia mengudak.
Namun si orang tua yang telah mengenyahkan Soa Yan-liu itu lantas berpaling kepadanya dan berkata.
"Jangan hiraukan dia, aku ingin tanya sesuatu padamu!"
Sembari bicara.
"cring", mendadak ia menyelentikkan sebuah mata uang. Dengan tepat sekali Hong-hu-hiat di bagian punggung Ih Hoa-liong tertimpuk oleh mata uang itu, terdengar suara mengaduh satu kali, tanpa ampun lagi Ih Hoa-liong roboh terguling. Padahal waktu itu jaraknya sudah hampir ratusan langkah dari si orang tua, namun dia tetap tak dapat menghindarkan diri. Maka dapat dibayangkan betapa hebat tenaga jari si orang tua serta betapa jitu caranya mengincar Hiat-to sasarannya. Kok Siau-hong urung mengejar musuh, sebenarnya ia rada mendongkol mendengar si orang tua baju hijau menyuruhnya berhenti untuk bertanya apa-apa padanya, tapi karena Ih Hoa-liong sudah dirobohkan oleh si orang tua, mau tak mau ia menantikan pertanyaan yang dikehendaki orang.
"Ayah nona ini tentunya Han Tay-wi dari Lok-yang bukan?"
Demikian terdengar orang tua baju hijau itu berkata. Han Pwe-eng tahu orang mengenal asal-usulnya melalui ilmu pedang yang dimainkannya, ia pikir orang tua ini mungkin sekali adalah sahabat ayah, maka sambil mengangguk ia pun menjawab.
"Ya, beliau adalah ayahku. Apakah Lo-cianpwe kenalan ayah?"
Dengan hambar si orang tua berkata.
"Nama ayahmu memang sudah lama kukagumi, terus terang karena mendengar ayahmu memiliki kepandaian khas ilmu pedang dan ilmu pukulan yang tersohor, maka aku sangat ingin belajar kenal dengan dia. Cuma sayang, ketika sampai di Lok- yang aku tidak dapat menemukan ayahmu lagi. Namun kini menyaksikan pedang nona, rasanya aku tidak perlu lagi belajar kenal dengan ayahmu. Keng-sin-kiam-hoat memang benar hebat sekali dan membikin mataku lebih terbuka. Mungkin aku tak dapat dikalahkan ayahmu, tapi untuk menang rasanya aku pun tidak yakin."
Mendengar ucapan orang tua itu, Han Pwe-eng sangat heran dan terkejut, diam-diam ia membatin.
"Kiranya dia bukan sahabat ayah, dari nada ucapannya agaknya dia juga bukan musuh ayah. Barangkali dia cuma iri kepada nama ayah yang tersohor di dunia persilatan, maka dia ingin berebut dengan ayah. Yang jelas dia adalah orang tua, kalau aku menghormati dia sebagai seorang Lo-cianpwe tentu takkan salah."
Begitulah kemudian orang tua itu bertanya pula kepada Kok Siau-hong.
"Dan kau? Anak siapa pula kau ini? Apakah ilmu pedangmu juga kepandaian keluarga sendiri?"
"Mendiang ayahku adalah Kok Yak-hi dari Yang-ciu, sedangkan ilmu pedangku adalah ajaran kakek luar,"
Jawab Kok Siau-hong.
"Ah, ingatlah aku,"
Seru orang tua itu.
"Lebih duapuluh tahun yang lampau aku pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, waktu itu dia baru menikah, aku ingat dia adalah menantu keluarga Yim, jadi ilmu pedang yang kau mainkan tadi adalah Jit-siu-kiam-hoat keluarga Yim bukan?"
"Benar,"
Jawab Siau-hong.
"Cuma kepandaianku masih sangat cetek, belum ada harganya untuk diperlihatkan kepada orang luar."
"Tidak, tidak, Jit-siu-kiam-hoatmu sungguh sangat hebat, bicara sejujurnya, ilmu pedangmu jauh di luar dugaanku. Bicara sampai di sini aku menjadi ingin tanya sesuatu padamu. Setahuku Jit-siu-kiam-hoat keluarga Yim adalah ilmu keluarga yang dirahasiakan dan tidak sembarangan dipertunjukkan kepada orang luar. Pada suatu tahun aku bertemu dengan seorang anggota keluarga Yim, namanya Yim Thian-ngo, orang ini tentunya pamanmu bukan? Ketika itu aku paksa dia bertanding dengan aku, aku sengaja paksa dia mengeluarkan ilmu pedang dan ternyata berbeda dengan ilmu pedangmu, jauh lebih buruk daripada permainanmu tadi, apakah dia telah menipu aku dengan ilmu pedang palsu atau dia memang tidak mahir ilmu pedang keluarganya sendiri? Waktu itu dia terdesak oleh seranganku yang gencar dan seharusnya dia mesti mengeluarkan ilmu pedang andalannya, tapi nyatanya dia tidak berbuat apa-apa. Mungkinkah ilmu pedang khas keluarga Yim tidak diturunkan kepada anaknya sendiri, sebaliknya diajarkan kepada menantu?"
Kenyataannya memang begitu.
Soalnya kakek luar Kok Siau-hong diam- diam sudah melihat kebejatan moral puteranya sendiri, maka Jit-siu-kiam- hoat milik keluarga yang dirahasiakan itu diberikan kepada anak perempuan sebagai emas kawin.
Karena belum kenal asal-usul si orang tua baju hijau, dengan sendirinya Kok Siau-hong tidak ingin memberitahukan rahasia keluarga sendiri kepada orang luar, maka ia hanya menjawab.
"Aku sendiri pun tidak tahu mengapa bisa begitu. Aku dilahirkan terlambat, waktu aku lahir, sudah lama kakek luar wafat."
Si orang tua baju hijau seperti rada kecewa, tapi segera ia berkata pula dengan tertawa.
"Dasar aku ini orang yang keranjingan ilmu silat, yang kubicarakan dengan kau hanya ilmu silat melulu sehingga urusan yang penting hampir-hampir terlupa. Begini, ada suatu urusan, aku ingin tanya kepada kalian."
"Numpang tanya dulu siapakah nama Lo-cianpwe yang terhormat?"
"Nona Han,"
Jawab orang tua itu.
"bukankah kau ada seorang kawan yang bernama Kiong Kim-hun?"
Han Pwe-eng menjawab.
"Benar. Entah ada....."
"Kiong Kim-hun adalah anak perempuanku,"
Tukas orang tua.
"Aku adalah Kiong Cau-bun dari Oh-hong-to."
Keruan Han Pwe-eng terperanjat, baru sekarang diketahui bahwa orang tua di hadapannya ini kiranya adalah Oh-hong-tocu yang sangat ditakuti di dunia Kang-ouw itu.
"Bulan yang lalu aku bertemu dengan Ang Pang-cu dari Hong-ho, katanya kau dan anak perempuanku pernah berkelahi dengan murid Sebun Bok-ya yang bernama Pok Yang-kian, apakah betul terjadi begitu?" ~ Rupanya berdasarkan keterangan itulah maka Kiong Cau-bun sengaja datang ke sini buat mencari Han Pwe-eng.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, syukur waktu itu anak perempuanmu telah membela diriku,"
Jawab Pwe-eng.
"Kim-hun benar-benar sangat nakal, dia telah minggat dari rumah di luar tahuku, kini aku sedang mencari dia untuk membawanya pulang,"
Tutur Kiong Cau-bun.
"Nona Han, apakah kau mengetahui dimana dia berada sekarang?"
"Setelah meninggalkan kota Uh-seng, tidak lama aku lantas berpisah dengan anak perempuanmu dan sampai sekarang belum pernah bertemu pula dengan dia,"
Kata Pwe-eng.
"Namun begitu, tentang jejak puterimu boleh tanya saja kepada Kok-toako ini, dia malah mengetahuinya."
Kiong Cau-bun melirik sekejap kepada Kok Siau-hong, melihat pemuda yang ganteng dan tampan itu, diam-diam ia membatin.
"Apakah mungkin anak perempuanku penujui dia? Jika betul demikian, untuk baiknya aku perlu membunuh saja anak perempuan Han Tay-wi ini. Maka ia lantas tanya Kok Siau-hong.
"Kok-heng, cara bagaimana engkau mengetahui jejak anak perempuanku?"
"Aku telah bekerja bagi Kay-pang bersama-sama dengan puterimu,"
Tutur Siau-hong.
"Cuma sayang, di tengah jalan kami bertemu dengan pasukan Mongol sehingga kami terpencar dalam pertempuran. Menurut dugaanku, besar kemungkinan puterimu akan pergi ke Kim-keh-nia. Dan sekarang kami justru akan pergi ke sana."
Sekonyong-konyong air muka Kiong Cau-bun berubah, ia menegas.
"Kim-keh-nia katamu? Kim-keh-nia kan tempat kediaman Hong-lay-mo-li?"
"Benar, memang di sanalah terletak tempat kediaman Liu Beng-cu,"
Jawab Siau-hong.
"Apakah puteriku sendiri menyatakan ingin pergi menemui Hong-lay- mo-li?"
Tanya Kiong Cau-bun.
"Aku sendirilah yang menduga-duga,"
Kata Siau-hong.
"Sebab masih ada pula seorang teman lain yang berada bersama puterimu dan teman itu justru hendak pergi ke Kim-keh-nia."
"O, masih ada seorang teman lagi? Siapakah dia?"
Kiong Cau-bun menegas pula.
"Namanya Kong-sun Bok,"
Jawab Siau-hong. Terkejut dan bergirang pula hati Kiong Cau-bun.
"Kong-sun Bok katamu?"
Ia menegas dengan mata terbelalak.
"Ya, ya, sejak tadi-tadi seharusnya aku teringat kepada dia. Dari Ang Kin memang kudengar bahwa ketika berkelahi dengan Pok Yang-kian, kecuali nona Han dan puteriku masih ada pula seorang pemuda lain, yang mengalahkan Pok Yang-kian justru adalah pemuda itu katanya, tentunya pemuda yang dimaksud itu Kong-sun Bok bukan?"
"Memang benar,"
Sahut Pwe-eng girang.
"Kiranya Lo-cianpwe kenal juga kepada Kongsun-toako."
"Waktu kecilnya aku sering membopong dia,"
Ujar Cau-bun.
"Kalau begitu apakah Kiong Lo-cianpwe akan pergi ke Kim-keh-nia juga bersama kami?"
Tanya Pwe-eng dengan girang.
Ia pikir Kiong Kim-hun dan Kong-sun Bok memang suatu pasangan yang setimpal, apalagi kedua keluarga sudah bersahabat turun-temurun, sungguh perjodohan yang sangat cocok, aku pasti akan menjadi comblang bagi mereka.
Pwe-eng tidak tahu bahwa Kiong Kim-hun memangnya adalah bakal istri Kong-sun Bok yang dipertunangkan oleh orang tua masing-masing selagi masih di dalam kandungan.
Sebaliknya Hong-lay-mo-li justru adalah musuh ayah Kiong Kim-hun ini.
Begitulah maka Kiong Cau-bun telah menjawab.
"Untuk apa aku pergi ke Kim-keh-nia?"
Han Pwe-eng melengak, katanya.
"Bukankah Kiong Lo-cianpwe hendak mencari puterimu? Besar kemungkinan puterimu bersama Kong-sun Bok berada di sana, kalau Kiong Lo-cianpwe ikut kami ke sana kan dapat bertemu dengan mereka?"
Dengan wajah kurang senang Kiong Cau-bun menjawab.
"Puteriku pasti takkan pergi ke Kim-keh-nia, Kong-sun Bok juga tidak perlu ke sana, kecuali..... kecuali hm....."
"Kecuali apa?"
Tanya Pwe-eng. Mendadak Kiong Cau-bun ingat bahwa Han Pwe-eng belum tahu asal- usulnya dan rasanya tidak perlu menjelaskan pertanyaan itu, maka dengan hambar saja ia berkata.
"Sudahlah nona Han, kau terlalu banyak bertanya!"
Han Pwe-eng menjadi kikuk dan mendongkol, begitu pula Kok Siau- hong, segera ia berkata.
"Baiklah, jika Kiong Lo-cianpwe tidak suka ke Kim- keh-nia, maka boleh kita mohon diri saja sampai di sini."
Seketika timbul gagasan dalam benak Kiong Cau-bun akan pergi mencegah kepergian Kiong Kim-hun dan Kong-sun Bok ke Kim-keh-nia, padahal Kim-hun sudah tahu kalau aku sangat benci kepada Hong-lay-mo-li.
Kini jejakku tidak boleh diketahui oleh Hong-lay-mo-li, untuk ini apakah aku harus membunuh kedua muda-mudi ini? Begitulah timbul pertentangan pikiran dalam benak Kiong Cau-bun, akhirnya dia ambil keputusan takkan membunuh Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng mengingat mereka adalah teman baik Kiong Kim-hun, jika membunuh mereka tentu puterinya akan marah, untuk menggagalkan kepergian mereka ke Kim-keh-nia, biarlah kubikin bocah she Kok ini jatuh sakit saja.
Maka dia lantas mengulurkan tangan kepada Kok Siau-hong sebagai tanda berpisah.
Bahwasanya orang tua mengulur tangan lebih dulu kepadanya, sudah tentu Kok Siau-hong menjabat tangannya tanpa curiga.
Setelah berjabat tangan, dengan hambar Kiong Cau-bun berkata pula.
"Kok-laute, air mukamu tampaknya knrang baik, hendaklah kau menjaga kesehatanmu dengan baik."
Ucapan yang tak keruan juntrungannya itu membuat Kok Siau-hong tercengang, dalam pada itu Kiong Cau-bun sudah melangkah pergi dengan cepat.
"Kau tidak apa-apa bukan, Siau-hong?"
Tanya Pwe-eng dengan sangsi.
"Aku kan baik-baik saja, kukira orang tua seperti dia takkan menyusahkan diriku mengingat kepandaianku berselisih jauh dengan dia,"
Ujar Siau-hong. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya dia sudah dikerjai oleh Kiong Cau-bun. Karena "Jit-sat-ciang"
Yang menjadi kebanggaan Kiong Cau-bun itu sudah terlatih sampai tingkatan tertinggi, maka dia sanggup mengerjai lawannya sedemikian rupa tanpa disadari oleh korbannya dan sehari kemudian barulah akan bekerja racun pukulannya itu.
Begitulah mereka lantas menyeret Ih Hoa-liong dari tempat robohnya tadi, setelah dicoba beberapa kali barulah Hiat-to yang tertimpuk mata uang tadi dapat dibuka.
Dengan gegetun Kok Siau-hong menyatakan kekagumannya akan kehebatan Kiong Cau-bun yang dapat mengincar Hiat- to dari jarak jauh secara jitu itu.
Sebentar kemudian setelah air muka Ih Hoa-ling sudah kelihatan pulih kembali dengan baik, barulah Kok Siau-hong membentaknya.
"Ih Hoa- liong, jangan kau main gila lagi padaku, lekas mengaku terus terang saja!"
"Apa yang kau ingin tahu?"
Tanya Ih Hoa-liong.
"Masakah kau sudah lupa? Baiklah akan kukatakan sekali lagi. Pertama, sebab apa kau menyebarkan kebohongan tentang diriku? Kedua, pamanku tahu tidak akan persekongkolanmu dengan pihak Mongol? Nah, jawab dulu kedua pertanyaanku ini!"
Merasa sudah tiada harapan buat lolos lagi, akhirnya Ih Hoa-liong membuka mulut.
"Baiklah kukatakan padamu. Kedua pertanyaanmu hakikatnya cuma suatu soal saja."
"Suatu soal bagaimana?"
Desak Kok Siau-hong.
"Semuanya adalah perintah Ku-kumu,"
Jawab Ih Hoa-liong dengan perlahan.
Walaupun sebelumnya Kok Siau-hong sudah menaruh curiga terhadap paman sendiri, tidak urung dia terkejut juga mendengar pengakuan Ih Hoa- liong itu, hampir-hampir ia tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Sejenak kemudian barulah dia dapat berkata.
"Apakah betul ucapanmu tadi?"
"Hm, sudah tentu betul, sedikit pun tidak bohong,"
Jengek Ih Hoa-liong.
"Malahan Ku-kumu pula yang bersekongkol dengan kedua iblis tua itu untuk bersama-sama membegal harta karun Han Tay-wi itu. Aku sendiri cuma anak buah yang terima perintah belaka."
"Tapi...... tapi waktu itu Ku-ku juga terluka parah, aku sendiri melihat kejadian itu,"
Kata Siau-hong dengan ragu-ragu.
"Apakah kau sendiri pun memeriksa lukanya? Hm, ketahuilah bahwa terlukanya itu hanya pura-pura saja!"
"Kau tidak berada di sana waktu itu, darimana kau mengetahuinya?"
Ujar Siau-hong.
"Semua itu sudah kami rencanakan sebelumnya,"
Tutur Ih Hoa-liong.
"Baiklah, biar kuceritakan seluruhnya padamu. Ku-kumu sengaja pura-pura terluka agar ada alasan untuk tetap tinggal di sana dan menunggu kedatanganku untuk membagi rezeki dengan dia."
"Kalian berjanji membagi rezeki dimana?"
Tanya Pwe-eng.
"Di rumahmu,"
Jawab Ih Hoa-liong. Tapi lantaran waktu itu kebetulan Siangkoan Hok dan kalian berdua juga muncul, maka Ku-kumu cepat-cepat kabur ketakutan."
"Jadi kau pun sudah bertemu dengan Pau Ling di sana?"
Tanya Pwe-eng.
"Betul, justru Pau Ling sendiri sekarang juga hendak mencari Ku-kumu,"
Kata Ih Hoa-liong.
"Pau Ling memang sekomplotannya."
Kok Siau-hong sampai terkesima setelah mengetahui duduknya perkara, hati manusia benar-benar sukar diukur.
Orang sopan dan jujur seperti Ku- kunya itu siapa pun tidak mengira dia adalah agen rahasia pihak Mongol.
Kini yang dipikir Ih Hoa-liong hanya meringankan dosanya sendiri, maka dia tidak segan-segannya untuk mengaku segala apa yang diketahuinya, segera ia bicara lebih lanjut.
"Sebenarnya Ku-kumu bermaksud membabat rumput sampai akar-akarnya, kau pun akan dibunuh dengan meminjam tenaga kedua iblis tua itu. Untung nasibmu mujur dan tidak sampai binasa, tapi kalau kau ingin mengusut siapa biang keladinya, maka kau harus mencari dan membikin perhitungan dengan Ku-kumu sendiri. Aku menyebarkan kabar bohong tentang dirimu memang tidak pantas, tapi aku cuma melaksanakan tugas menurut perintah guru saja. Kini telah kuceritakan segala apa yang kuketahui, harap kau bermurah hati dan mengampuni aku!"
"Mengingat kau cuma seorang pengekor saja, baiklah jiwamu kuampuni, tapi dosamu tak menghindarkan kau dari hukuman yang setimpal,"
Kata Kok Siau-hong, habis itu sebelah tangannya terus meremas hancur tulang pundak Ih Hoa-liong, lalu berkata pula.
"Aku sengaja memusnahkan ilmu silatmu agar kau tidak dapat berbuat kejahatan lagi, bukan mustahil cara demikian malah akan berguna bagimu malah!"
Karena tulang pundak remuk, Ih Hoa-liong menjerit kesakitan dan jatuh pingsan.
"Tentang ketidak cocokan Ku-kumu dan ayahku, dahulu kukira masing- masing ingin menang sendiri, siapa tahu Ku-kumu memang orang jahat yang mengkhianati bangsa sendiri,"
Kata Han Pwe-eng.
"Ya, aku merasa malu mempunyai Ku-ku semacam dia,"
Ujar Siau-hong.
"Jalan paling baik sekarang marilah kita lekas pergi ke Kim-keh-nia untuk menemui Liu Beng-cu dan membongkar kepalsuan pamanku itu agar para kesatria Kang-ouw tidak tertipu olehnya."
Namun apa yang terjadi seringkali berlawanan dengan keinginan, kalau mereka bergegas-gegas ingin lekas sampai di Kim-keh-nia, tak terduga pada hari kedua Kok Siau-hong lantas jatuh sakit.
Semula Kok Siau-hong tiada merasakan sesuatu kelainan, tengah berjalan tiba-tiba ia merasa dada mulai sakit.
Melihat langkah Siau-hong rada limbung dan dahi penuh keringat, Han Pwe-eng terkejut dan cepat bertanya.
"Kok-toako, air mukamu rada pucat, marilah kita mengaso sebentar."
Tapi Siau-hong menyatakan tak berhalangan dan berkeras melanjutkan perjalanan.
Tak tahunya makin lama makin payah, sebentar dia mulai merasa demam dan lain saat menggigil kedinginan.
Ia mengira sakit malaria, ia coba mengerahkan tenaga, tapi sekali menggunakan tenaga sekujur badan menjadi kesakitan seperti ditusuk-tusuk jarum.
Sampai di sini ia tidak berani kepala batu lagi, terpaksa ia berkata.
"Ya, tampaknya aku benar-benar sakit, cuma datangnya penyakit ini sungguh sangat aneh!"
Pwe-eng menjadi kuatir.
"Jangan-jangan kau keracunan?"
Katanya.
"Tidak ada tanda-tanda keracunan, kau jangan kuatir,"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ujar Siau-hong.
Ia tahu si nona menyangsikan dia terkena racun Oh-hong-tocu, sesungguhnya sekarang ia sendiri pun ragu-ragu.
Cuma tanda-tanda keracunan memang tidak ada, pula ia pun tidak ingin Pwe-eng merasa kuatir, maka dia sengaja menjawab begitu.
Orang sakit sudah tentu tidak baik bermalam di tempat terbuka, terpaksa Han Pwe-eng memayang Kok Siau-hong untuk mencari rumah pondokan.
Tempat mereka berada sekarang adalah tepi selatan Hong-ho, tepi utara sungai telah diduduki pasukan Mongol, maka hampir seluruh penduduk lembah sungai itu telah mengungsi ke tempat lain, rumah-rumah juga telah dibumi hanguskan.
Akhirnya mereka mendapatkan sebuah rumah petani dengan penghuninya seorang kakek, celakanya kakek itu ternyata bisu dan tuli.
Terpaksa Pwe-eng bicara dengan si kakek dengan memakai gerakan tangan dan sampai lama sekali baru si kakek paham maksudnya.
Kakek itu ternyata sangat baik hati, dia mau terima mereka mondok di situ, dia menyediakan sebuah kamar untuk mereka.
Malahan si kakek membantu mencarikan sedikit obat-obatan kampung dan diseduh untuk diminumkan kepada Kok Siau-hong.
Khasiat obat kampungan itu ternyata lumayan, selang beberapa hari penyakit Kok Siau-hong sudah kelihatan ringan walaupun rasa demam masih tetap berjangkit setiap hari.
Selama beberapa hari Han Pwe-eng selalu melayani Kok Siau-hong tanpa mengenal lelah, tentu saja Kok Siau-hong sangat berterima kasih dan merasa malu diri pula, pada suatu hari ia memegang tangan Han Pwe-eng dan berkata.
"Aku berbuat salah padamu, sebaliknya kau sedemikian baik padaku."
"Ah, kenapa kau lupa lagi, bukankah kita sudah berjanji untuk tidak menyinggung urusan kita yang lampau?"
Tanya Pwe-eng.
"Engkau adalah kakakku, kan pantas jika aku melayani kau."
Di antara rasa terhibur Kok Siau-hong merasa rada kecewa pula, si nona ternyata mengaku kakak padanya, itu berarti jangan harap untuk menjadi suami-istri.
Tapi kalau bisa mempunyai adik perempuan sebaik ini, apa pula yang diharapkan? Kemudian Kok Siau-hong berkata.
"Rasanya sekarang aku sudah dapat mengerahkan tenaga, hanya tenaga murni masih sukar dihimpun, apakah kau dapat membantu aku?"
"Baik sekali jika kau sudah sanggup mengerahkan tenaga,"
Seru Pwe-eng girang.
"Entah cara bagaimana aku dapat membantu kau?"
"Aku akan menguraikan kunci cara mengerahkan tenaga Siau-yang-sin- kang kepadamu, habis itu harap kau menurutkan cara ajaranku itu untuk membantu aku melancarkan jalan darahku serta menghimpun tenaga murni,"
Kata Siau-hong.
Rupanya dengan alasan ini Kok Siau-hong sengaja hendak mengajarkan Siau-yang-sin-kang kepada Han Pwe-eng.
Menurut kebiasaan dunia persilatan, ilmu dari golongan sendiri tidak boleh sembarangan diajarkan kepada orang luar, sebaliknya orang yang mempunyai harga diri juga tidak sudi mencuri belajar ilmu dari golongan lain.
Walaupun Kok Siau-hong memakai alasan demikian, tetapi sesungguhnya kalau dia ingin lekas memulihkan tenaga murni sendiri memang perlu seorang yang mahir menggunakan Siau-yang-sin-kang untuk membantunya, kalau dibantu dengan ilmu golongan lain, tentu hasilnya bukan baik sebaliknya malah bisa celaka.
Begitulah diam-diam Han Pwe-eng juga membatin sendiri.
"Siau-hong mengetahui aku pernah terluka oleh Siu-lo-im-sat-kang, sedangkan Siau-yang- sin-kang justru adalah ilmu anti Siu-lo-im-sat-kang, meski aku sudah minum Pek-hoa-ciu dan hawa berbisa di dalam tubuhku sudah punah, tapi bukan mustahil masih ada sisa-sisa racun yang akan membawa akibat buruk bagiku. Mungkin Siau-hong kuatir aku tidak mau terima ajarannya, maka sengaja memakai cara ini untuk menurunkan Siau-yang-sin-kang padaku sehingga aku tiada alasan buat menolaknya."
Berpikir demikian, diam-diam ia pun sangat berterima kasih atas maksud baik Kok Siau-hong.
Karena mereka perlu lekas pergi ke Kim-keh-nia untuk membongkar kepalsuan Yim Thian-ngo, untuk itu Pwe-eng mengharapkan Siau-hong lekas sehat kembali, maka ia pun tidak bicara terus terang dan diam-diam menerima usul pemuda itu.
Cara penyembuhan dengan menggunakan lwekang sebenarnya adalah suatu cara yang berbahaya, sebab harus dilakukan dengan sepenuh tenaga dan tidak boleh terputus di tengah jalan, maka kalau kebetulan ada musuh menyerang jelas mereka tak dapat melawan.
Begitulah tanpa terasa telah lewat tengah malam, pada saat penyembuhan Kok Siau-hong itu sedang memuncak, tiba terdengar suara kuda meringkik dan suara roda kereta, makin lama makin mendekat dan akhirnya berhenti di depan rumah petani tua bisu-tuli ini.
Menyusul terdengar suara gedoran pintu, sampai lama sekali baru si kakek bisu tuli itu keluar membukakan pintu itu.
Terdengar pendatang sedang bicara dengan si kakek, ternyata pendatang itu membawa seorang teman yang sakit dan mohon mondok untuk semalam saja.
Mestinya perhatian Han Pwe-eng tidak boleh terpencar, tapi mendengar suara pendatang itu mau tak mau dia terkejut.
Pikirnya.
"Suara orang ini sudah kukenal rasanya, siapakah dia? Dia juga membawa teman yang sakit, sungguh sangat kebetulan sekali."
Mungkin tidak tahu kalau tuan rumah bisu dan tuli, maka terdengar pendatang itu mengulangi pula permohonannya.
Sekali ini Han Pwe-eng dapat mendengar dengan cermat, maka teringatlah olehnya bahwa pembicara itu tak lain tak bukan adalah Beng Ting, itu Cong-piauthau dari Hou-wi Piaukiok yang pernah mengawalnya ke Yang-ciu dahulu itu.
Sungguh aneh dan lucu bahwa sekali ini jago pengawal itu kembali mengawal seorang sakit, entah siapakah gerangan yang dikawalnya sekali ini.
Demikian pikir Pwe-eng.
Bisa jadi si kakek telah memberi gerakan-gerakan tangan untuk menyatakan rumahnya sudah tidak ada tempat kosong lagi, maka terdengarlah Beng Ting berkata pula.
"O, maksudmu sudah ada tamu lain dan juga ada tamu yang sakit. Baiklah, jika begitu terpaksa kami tidak mengganggu kau lagi." ~ Sampai di sini agaknya dia lantas membuka tirai kereta dan melongok orang yang sakit, terdengar dia bertanya.
"Hi- siangkong, apakah kau merasa agak lebih baik? Kita meneruskan perjalanan saja!" ~ Terdengar orang sakit itu mengeluarkan suara lemah setengah merintih, tapi tidak jelas apa yang diucapkan. Mendengar orang sakit itu she "Hi", hati Pw-eng tergetar dan gelisah, ia bermaksud mohon si kakek agar mengabulkan permohonan Beng Ting dan membiarkan mereka bermalam di situ, tapi dia sedang mengerahkan tenaga dan mendekati detik yang gawat, betapa pun dia tidak boleh membuka mulut. Pada saat Beng Ting akan melanjutkan perjalanan itulah, tiba-tiba dari jauh ada suara derapan kuda yang ramai. Suara kaki kuda itupun didengar oleh Han Pwe-eng. Agaknya Beng Ting menjadi kelabakan mendengar suara itu, tanpa menghiraukan tuan rumah lagi, ia pondong orang yang sakit terus berlari ke dalam halaman rumah. Di sudut halaman rumah ada suatu tumpukan jerami yang tinggi, kata Beng Ting kepada si kakek.
"Temanku ini perlu pinjam tempatmu ini untuk bersembunyi, harap kau suka membantu, janganlah membocorkan tempat sembunyinya ini." ~ Sudah menjadi kebiasaannya bekerja dengan penuh tanggung jawab, maka sudah tahu si kakek itu bisu tuli, tetap dia mengutarakan isi hatinya untuk minta bantuannya. Mendengar Beng Ting sudah membawa orang sakit ke dalam halaman, betapa pun Han Pwe-eng ingin tahu siapakah orang sakit itu, maka ia lantas berpaling dan mengintip keluar melalui celah-celah dinding. Malam itu bulan cukup terang, dengan mengintip melalui celah-celah dinding, meski tidak dapat melihat dengan jelas, namun sudah cukup bagi Han Pwe-eng untuk mengenali orang sakit yang dikawal Beng Ting itu. Kiranya bukan lain daripada kakak Hi Giok-kun, yaitu Hi Giok-hoan adanya. Sungguh kejut Pwe-eng tak terhingga, hampir dia berteriak. Tapi mendadak terasa telapak tangan Kok Siau-hong menjadi dingin, denyut nadi juga menjadi kacau, terpaksa Pwe-eng tenangkan pikiran pula dan tidak berani bersuara. Sungguh kejadian yang tak pernah terduga, secara kebetulan sekali Hi Giok-hoan ternyata juga tiba di rumah petani tua ini. Dalam pada itu Beng Ting telah menyembunyikan Hi Giok-hoan ke dalam tumpukan jerami, lalu dia berkata pula kepada si kakek.
"Engkau tidak perlu takut, tutup pintu saja seperti tidak terjadi apa-apa."
Agaknya si kakek paham maksud gerakan tangan Beng Ting, setelah Beng Ting keluar, pintu segera ditutupnya kembali.
Semenjak meninggalkan Pek-hoa-kok, Han Pwe-eng tidak pernah lagi bertemu Hi Giok-hoan.
Waktu tinggal di Pek-hoa-kok sikap Hi Giok-hoan sangat baik padanya, ia pun tahu Hi Giok-kun ada maksud membantu kakaknya untuk diperjodohkan kepadanya.
Pwe-eng sendiri juga punya rasa "suka"
Kepada Hi Giok-hoan, tapi cuma terbatas sampai di situ saja.
"suka"
Tidak berarti dia cinta kepada Hi Giok- hoan, lebih-lebih tak pernah terpikir olehnya mengenai perjodohan mereka.
Namun Hi Giok-hoan betapa pun juga adalah kakak sahabat baiknya, kini Giok-hoan terluka dan bersembunyi di luar, di tempat yang cuma terpisah oleh selapis dinding kayu saja, sudah tentu ia tak dapat tidak memikirkan keselamatan pemuda itu.
Melihat kegugupan Beng Ting tadi, tak perlu disangsikan lagi yang akan datang itu pasti musuh yang sangat lihai.
Saat itu Kok Siau-hong sedang menghadapi detik yang gawat, seharusnya dia mesti "tidak perlu melihat dan tidak perlu mendengar"
Apa yang terjadi di sekitarnya, namun dia belum mempunyai cukup kesabaran, ketika mengetahui orang sakit yang dibawa Beng Ting itu adalah Hi Giok-hoan, kejutnya ternyata melebihi Han Pwe-eng, hatinya juga tergetar hebat, keruan hawa murni yang mestinya sudah mulai mengumpul lantas buyar kembali, cepat Han Pwe-eng menggenggam kencang tangannya dan memberi tanda agar pemuda itu tenang.
Kok Siau-hong dapat memahami maksud baik Han Pwe-eng itu, sedapat mungkin dia menahan perasaannya dan menghimpun kembali tenaga murni yang buyar itu.
Walaupun begitu terpaksa usaha mereka mengerahkan tenaga menjadi rada terganggu karena perhatian mereka mau tak mau mesti terpencar untuk mendengarkan gerak-gerik di luar.
Suara derapan kuda yang ramai tadi semakin dekat dan akhirnya berhenti secara mendadak di luar rumah si kakek.
Terdengar suara seorang berkata dengan nada mengolok-olok.
"Eh, Beng Toa-piauthau, kembali kita bersua, tentunya tak tersangka olehmu bukan? He, he, akhir-akhir ini kau ngobyek dimana?"
Mendengar suara orang yang baru datang ini, kembali Han Pwe-eng terkejut. Jelas orang ini adalah "Si Rase liar"
An Tat yang sebelah matanya ditusuknya buta dahulu ketika An Tat bermaksud mengganggunya bersama keluarga "Serigala"
She Thia itu.
Diam-diam Pwe-eng merasa gemas, ternyata An Tat yang terkenal sebagai penjahat cabul itu sampai sekarang masih tetap jahat meski sebelah matanya sudah buta, sayang diriku tak dapat keluar untuk membereskan dia.
Demikian pikirnya.
Mengingat kepandaian An Tat tidaklah rendah, mau tak mau Pwe-eng berkuatir juga bagi Beng Ting, apalagi dari suara derapan kuda tadi jelas yang datang ada empat orang, diam-diam ia berharap kesehatan Kok Siau-hong dapat lekas disembuhkan, kalau tidak, nasib Beng Ting mungkin sukar diramalkan.
Agaknya Beng Ting juga menyadari keadaan yang runyam itu, tapi dia cukup berpengalaman, sedikit pun dia tidak memperlihatkan rasa gugup, dengan tenang ia menjawab ucapan An Tat tadi dengan tertawa.
"Ah, perusahaanku sudah tutup pintu, mana aku dapat ngobyek lagi?"
"Aha"
Masakah betul begitu?"
Ujar An Tat dengan terbahak.
"Aku justru mendengar kabar, katanya Beng Toa-piauthau telah menerima order dari seorang hartawan kaya-raya!"
"Ai, An To-cu benar-benar sukar bergurau,"
Jawab Beng Ting.
"papan merek Hou-wi Piaukiok kami sejak dirusak oleh kau dan Thia-lolong beserta putera-puteranya itu, lalu siapa lagi yang mau berkunjung pada Piaukiok yang sudah bangkrut dan rusak namanya? Sebab itu sudah lama kututup perusahaan kami, hal ini bukan rahasia lagi, bila perlu kau boleh coba periksa ke Lok-yang, kukira kalian adalah orang-orang berpancaindera tajam, tidak perlu kukatakan tentu juga sudah tahu sebelumnya."
"Ya, aku tahu, lantaran datangnya pasukan Mongol, maka perusahaan kalian telah ditutup. Hal ini kukira bukan salah An-toako bukan?"
Kata seorang yang datang bersama An Tat.
"Biarpun perusahaannya sudah tutup, dengan nama Beng Toa-piauthau yang terkenal masakah kuatir tidak ada pekerjaan besar?"
Sambung seorang lagi.
"Keretaku yang bobrok berada di sini, jika kalian tidak percaya boleh silakan periksa sendiri,"
Kata Beng Ting.
"Sudahlah, urusan ini kita tunda dulu, sebelum kita bicara urusan pokok, biarlah kukenalkan lebih dulu kawan-kawanku ini kepada Beng Toa- piauthau, yang ini adalah Kim To-cu dari Kim-say-kok....."
"Dan yang itu tentunya Lo To-cu dari Im-ma-jwan bukan?"
Sambung Beng Ting sebelum An Tat melanjutkan.
"Meski aku belum pernah bertemu dengan kedua To-cu, tapi Piausu-piausu perusahaan kami rasanya sudah pernah menyampaikan kartu namaku serta mengadakan hubungan dengan kalian."
Kim To-cu dari Kim-say-kok yang disebut itu lengkapnya bernama Kim Hoat, sedang To-cu (kepala, pemimpin begal) Im-ma-jwan bernama Lo Jin- cun, pegunungan yang menjadi pangkalan mereka itu berjarak tidak terlalu jauh dan saling berhubungan dengan rapat, maka begitu Beng Ting mendengar seorang di antaranya adalah Kim To-cu dari Kim-say-kok, segera pula ia tahu satunya lagi pasti Lo Jin-cun, maka ia menanggapi dengan bergelak tertawa.
"Ha, ha, ha, kalau Beng Toa-piauthau tidak bilang, hampir- hampir aku lupa."
"Ya, justru mengingat kita pernah saling berhubungan, makanya aku mengajak kau berunding secara baik-baik dengan An-toako untuk menghindari pertengkaran,"
Kata Kim Hoat. Teman An Tat yang keempat adalah seorang laki-laki berusia limapuluhan, menyusul ia pun ikut bicara dengan tertawa.
"Pergaulan Beng Toa-piauthau benar-benar sangat luas, tapi apakah kau pun tahu siapa diriku?"
Beng Ting coba mengamat-amati orang itu, dilihatnya pada ujung baju orang itu tersulam seekor ikan dalam bentuk yang aneh, hatinya tergerak, segera ia menjawab.
"Apakah saudara ini bukan Coh Pang-cu dari Tiang- keng-pang?"
Ternyata tebakan Beng Ting ini tidaklah keliru, orang itu memang betul Coh Tay-peng dari Tiang-keng-pang, satu di antara Hong-ho-ngo-pa, lima gembong sungai Hong-ho. Diam-diam Han Pwe-eng membatin.
"Kiranya Coh Tay-peng juga ikut datang, entah bagaimana kepandaian Kim To-cu dan Lo To-cu yang disebut tadi, yang jelas Coh Tay-peng pasti tidak lebih rendah daripada An Tat."
Seperti diketahui, Coh Tay-peng adalah orang yang bertemu dengan Han Pwe-eng di restoran Gi-siau-lo di kota Uh-seng, dimana dia telah salah sangka Han Pwe-eng sebagai anak perempuan Oh-hong-tocu. Maka tertawalah Coh Tay-peng, katanya.
"Pandangan Beng Toa-piauthau sungguh tajam, kagum, kagum!"
"Baiklah, sekarang kita sudah saling kenal semua, marilah kita bicara urusan pokok,"
Seru An Tat dengan lantang.
"Beng Toa-piauthau, pekerjaanmu adalah mengawal, sedangkan pekerjaan kami adalah usaha tanpa modal, maka terkadang kita mesti kebentrok, tapi bentrokan demikian disebabkan kepentingan masing-masing dan bukan sesuatu permusuhan, betul tidak katamu?"
"Benar,"
Jawab Beng Ting.
"An To-cu ada petunjuk apa boleh silakan bicara terus terang saja!"
"Baiklah, kita bicara secara blak-blakan saja,"
Kata An Tat.
"Soalnya kami hendak mengadakan suatu perdagangan dengan kau. Hi Giok-hoan dari Pek- hoa-kok bukankah minta kau mengawalnya?"
"Ah, An-toako ini suka berkelakar saja,"
Ujar Beng Ting.
"Hi Siau-kokcu adalah jago ilmu pedang, kepandaiannya jauh di atasku, mana dia perlu pengawalanku?"
"Bukankah kau pun pernah menjadi pengawal anak perempuan Han Tay-wi?"
Kata An Tat dengan dingin.
"Padahal kepandaian budak busuk itupun jauh lebih mahir daripadamu. He, he, bicara terus terang saja, setahu kami, lantaran Hi Giok-hoan dalam keadaan terluka parah, maka dia minta kau mengawalnya pulang ke Pek-hoa-kok, untuk itu berapa biaya yang dia janjikan padamu?"
"An To-cu, apakah aku disuruh mengawal atau tidak, soal ini kita kesampingkan dahulu, urusan sekarang aku justru ingin menasehatkan kau, dahulu kau telah menelan pil pahit ketika mengganggu puteri Han Tay-wi, sekarang kau juga akan merecoki Hi Siau-kokcu dari Pek-hoa-kok, apakah kau tidak tahu bahwa keluarga Hi dari Pek-hoa-kok tidak lebih lemah daripada keluarga Han di Lok-yang? Kukira maksudmu ini sebaiknya dibatalkan saja,"
Demikian Beng Ting menjawab.
"Hm, memangnya kau menggertak aku dengan nama keluarga Hi?"
Jengek An Tat dengan menahan gusar.
"Tapi itu adalah urusan kami, kau tidak perlu ikut pikir."
"Baik, jika begitu apa yang kau kehendaki, katakan saja,"
Kata Beng Ting.
"Sekali ini kami tidak bermaksud membagi rezekimu, justru sebaliknya, kami malah hendak memberi rezeki padamu asalkan kau menyerahkan Hi Giok-hoan kepada kami,"
Kata An Tat. Beng Ting menjadi heran, jawabnya.
"Untuk apa kalian menghendaki Hi Giok-hoan, dapatkah aku diberitahu!"
"Agar jual-beli kita terjadi boleh juga kukatakan padamu,"
Tutur Beng Ting.
"Bukan kami yang menghendaki Hi Giok-hoan, tapi panglima perang Mongol yang menginginkan dia. Asal kau menyerahkan dia, maka apa yang kau minta tentu terkabul, mau pangkat tersedia, mau harta tinggal terima pula. Kalau kau ingin membuka perusahaanmu di Lok-yang juga akan diberi bantuan secukupnya. Jual beli yang menguntungkan kau dan sukar dicari ini akan kau lakukan atau tidak?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beng Ting menjadi gusar jengeknya.
"O, jadi kalian ini kini sudah ganti haluan dan bekerja bagi orang Mongol, maaf, maaf jika aku tidak memberi hormat. Tapi, ya apa mau dikata lagi, orang macam diriku ini pertama, tidak menginginkan pangkat, kedua, juga tidak pernah mimpi menjadi kaya, lebih- lebih aku tidak sudi mengemis kepada orang Mongol, selama Lok-yang diduduki orang Mongol, selama itu pula papan merek Hou-wi Piaukiok takkan kupasang. Jangankan aku memang tidak tahu Hi Giok-hoan berada dimana, andaikan tahu juga aku tidak sudi melakukan perbuatan hina ini dengan kalian."
Air muka An Tat berubah seketika.
"O, jadi kau tidak mau diperlakukan secara halus dan minta dihadapi dengan kekerasan?"
Bentaknya gusar. Dengan lagak orang baik hati Coh Tay-peng membujuk.
"Beng Toa- piauthau, kata pribahasa, orang yang dapat melihat gelagat adalah pahlawan. Sekarang pasukan Mongol sudah mencapai kemenangan besar dimana- mana, tertumpasnya negeri Kim dan kerajaan Song hanya soal waktu belaka. Kini panglima Mongol bersedia memberi kebaikan sebanyak itu kepadamu, masakah kau menolaknya? Apalagi kalau kau tidak mau, sebenarnya kami toh dapat turun tangan sendiri buat menangkap orang yang dikehendaki. Dan, kalau terjadi dengan kekerasan tentu takkan bicara pula tentang hubungan baik di masa lampau."
Kiranya panglima Mongol yang menduduki kota Lok-yang mengetahui Beng Ting adalah orang yang cukup terkenal di kota itu, maka ingin merangkulnya pulang ke sana agar pemerintahan Mongol dapat berjalan lancar.
"Hm, kukira tidak perlu banyak bicara lagi,"
Jengek An Tat.
"Pendek kata, kalau kau mau menurut, maka kau akan hidup senang dan dapat pangkat, bila tidak, maka berarti kau cari mampus sendiri. Nah, Beng Toa- piauthau, kau pilih yang mana?"
"Seorang lelaki sejati kenapa mesti takut mati asalkan matinya cukup berharga,"
Seru Beng Ting tak gentar. An Tat menjadi gusar, senjatanya yang khas dipentang, yaitu kipas lempit yang ruji-rujinya terbuat dari baja, segera ia bermaksud melabrak Beng Ting. Tapi Coh Tay-peng lantas berkata.
"Kita ketemukan Hi Giok-hoan dulu baru nanti ambil tindakan lebih lanjut, rasanya Beng Toa-piauthau inipun tidak mampu merat."
"Baik,"
Kata An Tat.
"Beng Ting, kuperingatkan lebih dulu padamu bahwa kami sudah cukup bersabar padamu, bilamana kau tidak tahu diri, jangan menyalahkan kami tidak sungkan-sungkan padamu lagi."
Dalam pada itu Kim Hoat dan Lo Jin-cun sudah mulai menggeledah kereta Beng Ting itu, tapi yang dicari ternyata tidak ada.
"Aneh, benar-benar tidak ada orangnya!"
Kata mereka.
"Tidak perlu aneh, tentu disembunyikan di dalam rumah, coba kita mencarinya,"
Kata An Tat.
"Aku benar-benar tidak mengawal siapa-siapa, kenapa kalian tidak percaya dan sengaja membikin susah penduduk yang tidak bersalah,"
Seru Beng Ting kuatir.
Namun gerombolan An Tat itu sudah tidak ambil pusing, beramai-ramai mereka terus menyerbu ke dalam rumah dengan mendobrak pintu.
Mau tak mau Beng Ting ikut masuk ke sana untuk menanti segala kemungkinan yang akan terjadi.
Si kakek bisu tuli tampak ketakutan, ketika ditanya An Tat, berulang- ulang kakek itu menggoyang tangannya dan tergagap-gagap.
"Dia adalah orang tua yang tuli bisu, jangan kalian menakuti dia,"
Kata Beng Ting.
Dalam pada itu Han Pwe-eng yang berada di dalam kamar jauh lebih kuatir daripada Beng Ting yang berhadapan dengan lawan-lawan yang tidak kenal ampun itu.
Saat itu denyut nadi Kok Siau-hong sudah mulai teratur, hanya bagian-bagian urat nadi penting yang belum berjalan dengan lancar, jadi sangat gawat belum terlalui.
Diam-diam Pwe-eng merasa kuatir kalau- kalau An Tat dan begundalnya menerjang ke dalam kamar, hal ini berarti runyam bagi keadaan Kok Siau-hong.
Si kakek bisu tuli semula berkaok-kaok entah apa yang dikatakan, tapi dari sikapnya yang geram agaknya dia sudah paham juga bahwa yang datang itu adalah kawanan orang jahat, maka dengan bertolak pinggang dia berdiri di tengah halaman rumah, namun sikapnya kini tenang-tenang saja, tidak gugup lagi seperti tadi.
"Coba periksa timbunan jerami itu!"
Seru An Tat ketika melihat onggokan jerami di pojok halaman rumah itu.
Kim Hoat mengiakan dan segera mendekati tempat yang dimaksud.
Sekonyong-konyong Beng Ting menggerung, kontan ia menghantam Kim Hoat.
Namun Coh Tay-peng yang berada di sampingnya tidak kalah cepatnya, begitu Beng Ting bergerak, segera Coh Tay-peng mencengkeram tulang pundaknya dengan Kim-na-jiu-hoat yang lihai sambil membentak.
"Beng Toa-piauthau, sebaiknya kau jangan sembarangan bergerak!"
Sebagai pemimpin perusahaan pengawalan yang terkenal, sudah tentu Beng Ting bukan lawan yang empuk, serangan Coh Tay-peng itu segera disambut dengan baik.
"plak", kedua tangan beradu, Coh Tay-peng tergeliat ke samping, Beng Ting sendiri tergentak mundur dua-tiga tindak, tangan terasa sakit pedas, namun serangan Coh Tay-peng tadi juga gagal mencapai sasarannya. Segera An Tat juga menghadang di depan Beng Ting sambil membentak.
"Beng-piauthau, hendaklah tahu diri sedikit agar kami tidak terpaksa membikin susah padamu!"
Selagi Beng Ting bermaksud mengadu jiwa dengan mereka, siapa tahu sesuatu yang tak terduga-duga telah terjadi.
Saat itu Kim Hoat sedang berjongkok hendak membongkar tumpukan jerami, tiba-tiba ia merasa pinggangnya kesemutan, kakinya menjadi lemas dan mendadak jatuh telentang.
Kiranya dia jatuh terdorong oleh si kakek bisu tuli.
Meski Kim Hoat bukan jago silat kelas satu, tapi di dunia Kang-ouw juga terhitung jago yang tidak lemah, walaupun tidak berjaga-jaga sebelumnya, tapi sekali didorong seorang kakek bisu tuli lantas roboh, betapa pun kejadian ini membikin An Tat dan lain-lain sangat terperanjat.
Gerakan An Tat sangat cepat, sekali lompat segera ia mendekati si kakek, ia tuding orang tua itu dengan kipasnya sambil membentak.
"Siapa kau?"
Beng Ting sangat girang, ia pun tidak menduga bahwa si kakek bisu tuli ternyata jago silat terpendam, dengan bantuannya bisa jadi pihaknya masih sanggup menghadapi An Tat berempat. Karena pikiran itu, segera ia menanggapi ucapan An Tat tadi.
"Dia orang tua yang cacat, apa gunanya kau menggertak dia? Marilah aku saja yang melayani kau!"
Lo Jin-cun membangunkan Kim Hoat, lalu ia pun mendekati si kakek dan mengamati-amati dia, mendadak ia berseru.
"Hei, bukankah kau Siong- lian? Hah, sudah sekian tahun aku mencari kau, kiranya kau bersembunyi di sini. Di hadapan kenalan lama apakah kau masih perlu berlagak tuli dan pura-pura bisu?"
Sekonyong-konyong si kakek "bisu tuli"
Mengeluarkan suara tertawa panjang, lalu membuka suara.
"Maksudku bukanlah untuk bersembunyi menghindari kau, tapi kalau sudah kepergok, apa boleh buat, bolehlah kita membikin perhitungan sekalian semua hutang lama!"
Belum lenyap suaranya, serentak Lo Jin-cun dan Kim Hoat menubruk maju.
Kiau Siong-lian menyambar sebuah garpu yang biasa dipakai petani untuk menggaruk jerami, dengan senjata itu dia sambut serangan kedua lawannya, sekali sampuk pedang Lo Jin-cun ditangkis ke samping, berbareng ujung garpu terus menusuk ke leher Kim Hoat.
Senjata Kim Hoat adalah golok besar, beratnya lebih tigapuluh kati, cepat ia angkat goloknya untuk melindungi leher sendiri, maka garpu dan golok kebentur dengan keras, golok yang berat itu tergetar ke samping, tangan Kim Hoat juga kesakitan.
Kiranya garpu Kiau Siong-lian itu bukan alat petani biasa, tapi terbuat dari baja, beratnya tidak lebih ringan daripada golok Kim Hoat.
Dalam pada itu Lo Jim-cun telah menggeser ke sebelah samping, cepat sekali pedangnya menusuk pula sambil membentak.
"Hari ini aku bersumpah membalas sakit hati satu kali pukulanmu itu!"
Kiranya pada sepuluh tahun yang lampau Lo Jin-cun pernah bentrok dengan Kiau Siong-lian, waktu itu Lo Jin-cun sedang membegal suatu rombongan saudagar, kebetulan Kiau Siong-lian lewat di situ dan memberi pertolongan kepada kaum saudagar itu.
Dalam pertarungan itu Lo Jin-cun kena dipukul satu kali sehingga dua gigi depannya rontok.
Selama sepuluh tahun ini Lo Jin-cun giat berlatih ilmu pedang yang diberi nama Pat-sian- kiam-hoat (ilmu pedang delapan dewa) demi untuk membalas dendam pukulan itu.
Melihat ilmu pedang lawan yang tidak buruk, diam-diam Kiau Siong-lian mengakui kekuatan musuh yang sudah banyak maju itu.
Ia tidak berani meremehkan lawannya lagi, segera ia balas menusuk dengan garpunya yang berbenttuk "trisula", yakni ujungnya cabang tiga, yang diarah adalah Hiat-to di tubuh lawan.
Padahal garpu jerami itu cukup antap, tapi Kiau Siong-lian dapat menggunakannya untuk menusuk Hiat-to dengan tidak kalah gesitnya, keruan Lo Jin-cun lekas menarik kembali pedangnya serta menggeser tempat pula.
Setelah mendesak mundur Lo Jin-cun, mendadak Kiau Siong-lian putar arah garpunya ke atas dan digunakan sebagai toya untuk mengemplang kepala musuh.
"Trang", golok Kim Hoat tidak sanggup menangkisnya, dia tergetar mundur beberapa tindak dan berseru.
"An-toako, tua bangka ini sukar dilawan!"
Dalam pada itu Beng Ting juga telah melolos goloknya dan sedang bertempur sengit melawan An Tat dan Coh Tay-peng.
Jika satu lawan satu mungkin Beng Ting dapat melayani lawannya dengan sama kuat, kini dia harus satu lawan dua, mau tak mau dia terdesak di bawah angin.
Dahulu An Tat telah tertusuk buta sebelah matanya, meski kejadian itu adalah perbuatan Han Pwe-eng, tapi timbulnya peristiwa itu gara-gara An Tat hendak merampas barang kawalan Beng Ting, maka An Tat menganggap Beng Ting juga ikut bertanggung jawab, apalagi sekarang Beng Ting dianggapnya tidak tahu diri, maka sekali berada di atas angin segera ia menyerang dengan lebih gencar tanpa kenal ampun.
Maksud Coh Tay-peng justru ingin menawan Beng Ting hidup-hidup, maka waktu mendengar seruan Kim Hoat tadi, segera ia berkata.
"An-heng, boleh kau membantu mereka, aku sendiri rasanya masih sanggup melayani Beng Toa-piauthau ini."
Kim Hoat dan Lo Jin-cun adalah orang undangan An Tat, sudah tentu ia tidak dapat tinggal diam melihat kedua orang itu terdesak, segera ia memutar ke sana untuk membantu mereka.
Dengan kepandaiannya, Coh Tay-peng yakin mampu mengalahkan Beng Ting, tak terduga Beng Ting ternyata bukan lawan yang empuk.
Setelah bergebrak pula beberapa jurus, mendadak Coh Tay-peng menubruk maju, dengan Kim-na-jiu-hoat yang lihai segera ia hendak merebut golok Beng Ting.
Saat itu Beng Ting sudah telanjur melancarkan serangan golok, tidak sempat ditarik kembali, dalam keadaan demikian kalau itu tidak dilepaskan berarti pergelangan tangan sendiri dipuntir patah oleh tangan musuh.
Di sinilah Beng Ting memperlihatkan ketangkasannya, pada detik yang berbahaya itu sekonyong-konyong ia menjatuhkan diri ke belakang terus menggelinding ke samping beberapa meter jauhnya.
Ketika Coh Tay-peng menubruk maju pula, mendadak Beng Ting membentak.
"Awas golok!" ~ Tahu-tahu golok besar di tangannya menyambar ke depan. Sebenarnya Coh Tay-peng bermaksud merampas golok lawan, kini golok itu menyambar tiba dengan sangat kuat, Coh Tay-peng menjadi keder untuk menangkapnya. Ketika dia mengegos untuk menghindar, saat lain Beng Ting sudah merangkak bangun, kedua tangannya sudah bertambah dengan dua bentuk senjata lain, tangan kiri memegang perisai dan tangan kanan memegang pedang. Golok yang disambitkan Beng Ting itu menyambar lewat di atas kepala Coh Tay-peng, cepat An Tat angkat kipasnya untuk menyampuk ketika golok itu melayang ke arahnya, golok itu berganti arah dan "trang", akhirnya jatuh ke tanah.
"Awas, Coh-toako!"
Seru An Tat. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa Beng Ting telah memutar perisai dan pedangnya terus menerjang maju untuk melabrak Coh Tay-peng pula.
"He, he, masakah Beng Toa-piauthau masih belum mau mengaku kalah?"
Jengek Coh Tay-peng.
"Baiklah, akan kulihat berapa banyak lagi senjata yang kau bawa!"
Coh Tay-peng tidak tahu bahwa Beng Ting mahir menggunakan macam- macam senjata, ilmu goloknya cukup lihai, permainan perisai dan pedang justru adalah kepandaiannya yang menjadi kebanggaannya.
Waktu Coh Tay-peng menubruk tiba, sedikit miring ke samping, pedang Beng Ting lantas menabas lutut lawan.
Cepat Coh tay-peng meloncat ke atas, menyusul ia balas mendepak.
"Bagus!"
Bentak Beng Ting, perisainya terus menghantam kaki musuh.
Ternyata kepandaian memainkan kaki Coh Tay-peng cukup lihai, kedua kakinya dapat menendang secara beruntun dengan cepat, ketika perisai lawan menghantam tiba, sebelah kakinya ditarik, menyusul kaki yang lain lantas mendepak pula.
Maka terdengar suara "trang"
Satu kali, depakan Coh Tay-peng itu tepat mengenai perisai, tubuhnya tertolak ke belakang.
Waktu ia periksa baju sendiri, bagian bawah sudah terpapas satu potong, kiranya kena ditabas oleh pedang Beng Ting.
Baru sekarang Coh Tay-peng tahu akan kelihaian lawan, segera ia curahkan perhatian dan melayani dengan lebih hati-hati.
Kedua orang bertarung dengan sengit, kelihatan Beng Ting berada sedikit di atas angin.
Di sebelah sana setelah An Tat membantu Lo Jin-cun dan Kim Hoat mengerubut Kiau Siong-lian, setelah bergebrak beberapa kali barulah dia mengetahui lawan memang tangguh.
Tapi dengan tenaga gabungan mereka bertiga, betapa pun posisi mereka menjadi lebih baik, dengan keuletan Kiau Siong-lian, mula-mula ia masih dapat menyerang dan bertahan, tapi setelah beberapa puluh jurus, lambat-laun ia mulai lemas hingga cuma sanggup menangkis saja dan sukar balas menyerang.
Di dalam kamar Han Pwe-eng dapat mengikuti suara pertempuran yang ramai itu dengan hati berdebar-debar.
Tiba-tiba dilihatnya dahi Kok Siau- hong penuh butiran keringat, napasnya juga mulai memburu dan berat.
Inilah tanda keadaan pemuda itu sedang memuncak gawat dan mendekati saat urat nadinya akan berjalan dengan lancar, asal rintangan paling berbahaya ini dapat dilalui, maka tenaganya akan segera pulih.
Menyadari keadaan genting itu, Han Pwe-eng menyumbat telinganya dengan kain, sedapat mungkin ia pusatkan pikiran sendiri dan mengerahkan tenaga untuk membantu melancarkan jalan darah Kok Siau-hong itu.
Pancaindera An Tat juga cukup tajam, kini ia pun dapat mendengar suara napas Kok Siau-hong di dalam rumah, waktu ia memperhatikan, melalui celah-celah dinding kamar itu samar-samar kelihatan ada dua sosok bayangan orang.
Disangkanya Hi Giok-hoan yang terluka itu bersembunyi di dalam, lantaran dia tidak tahu bagaimana keadaan luka pemuda itu, maka ia membatin.
"Kiranya bocah itu dijaga oleh kawannya yang sedang membalut lukanya, mumpung dia sedang dalam keadaan payah, biar kubereskan dia dulu."
Setelah ambil keputusan itu, segera ia menyerang tiga kali untuk mendesak mundur Kiau Siong-lian, lalu katanya kepada kawan-kawannya "Lo-heng dan Kim-heng, sementara kalian layani tua bangka ini, sebentar lagi segera aku kembali ke sini!"
Ia yakin kedua kawannya tentu sanggup melayani Kiau Siong-lian yang sudah tua itu, andaikan tidak dapat menang juga dapat bertahan untuk sementara.
Begitulah An Tat terus menuju pintu kamar, sekali depak ia bikin daun pintu terpentang, habis itu ia terus menerjang ke dalam.
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan menyambutnya.
"Aha, Rase liar yang sudah buta sebelah, apakah masih belum kapok?"
Kejut An Tat sungguh tak terkatakan, mimpi pun tak terpikir olehnya bahwa orang yang berada di dalam kamar itu ternyata bukan Hi Giok-hoan melainkan Han Pwe-eng yang pernah membutakan sebelah matanya.
Keruan An Tat menjadi gugup, tanpa terasa ia lantas melangkah mundur.
Tapi setelah tenangkan diri sedikit, dilihatnya Han Pwe-eng dan Kok Siau-hong ternyata duduk bersila di atas dipan dan sedang mengerahkan tenaga.
Sebagai seorang jago silat An Tat tahu apa artinya itu.
Ia menjadi girang, pikirnya.
"Kiranya budak ini sedang membantu kekasihnya memulihkan tenaga. Ha, ha, bukankah ini suatu kesempatan paling bagus bagiku untuk membalas sakit hati!"
Begitulah ia lantas melangkah maju pula dengan tertawa, serunya.
"Nona Han, aku sih tidak ingin membutakan matamu, aku cuma ingin kau menjadi biniku!"
Lalu ia angkat kipasnya dan menotok Hiat-to di punggung Han Pwe- eng.
Walaupun hati sangat gusar, tapi Han Pwe-eng sedapat mungkin menahan perasaannya agar tidak mengganggu perhatian Kok Siau-hong yang sedang mengerahkan tenaga itu.
Ketika kipas An Tat menotok tiba, segera Pwe-eng melolos pedang dan menyampuk ke belakang.
Kepandaian Han Pwe-eng sebenarnya dapat mengalahkan An Tat, tapi sekarang dia hanya dapat melayani musuh itu dengan sebelah tangan saja, tangan yang lain diperlukan membantu mengerahkan tenaga bagi Kok Siau- hong, pula dia tak dapat berdiri, dalam keadaan duduk bersila sudah tentu rada repot melayani serangan musuh.
Lantaran dahulu pernah kecundang di tangan Han Pwe-eng, maka An Tat rada jeri melancarkan serangan-serangan mesti keadaan sekarang sebenarnya sangat menguntungkan dia.
Hal ini dengan sendirinya memberi kesempatan kepada Han Pwe-eng untuk bernapas.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sembari mengerahkan tenaga dengan sebelah tangan, tangan Han Pwe-eng yang lain memutar pedang untuk melayani An Tat tanpa menoleh, dia cuma berdasarkan suara angin serangan kipas musuh, tapi pedangnya di samping menangkis juga balas menyerang.
Namun An Tat yang cukup licin dan berpengalaman itu lama-lama menyadari kebodohannya, ia pikir si nona sedang mengerahkan tenaga untuk membantu kekasihnya, mana nona itu sanggup menghadapinya dengan sepenuh tenaga, kenapa mesti ditakuti? Setelah rasa gentarnya lenyap, segera An Tat melancarkan serangan sepenuh tenaga, beberapa jurus kemudian terdapatlah suatu kesempatan, ketika itu pedang Han Pwe-eng sedang menabas, tanpa buang-buang waktu lagi kipas An Tat lantas menahan ke atas batang pedang.
Tujuannya adalah untuk mengadu tenaga dalam, ia pikir si nona pasti tak dapat mengeluarkan seluruh tenaganya karena sebagian tenaga digunakan membantu Kok Siau- hong dan dalam keadaan demikian akan dapat dirobohkan dengan mudah.
Sebenarnya Han Pwe-eng cukup kuat mengatasi An Tat, tapi kini dia cuma dapat menggunakan sebagian tenaganya untuk melayani An Tat, jika dia menggunakan tenaga lebih banyak melawan An Tat, ia kuatir akan mengganggu pemusatan perhatian Kok Siau-hong, bahkan bisa mencelakakan pemuda itu.
Tertampak pedangnya makin lama makin ke bawah tertekan oleh kipas musuh, jelas dalam waktu tidak lama Han Pwe-eng pasti akan celaka.
Pada saat berbahaya itulah, tiba-tiba Han Pwe-eng merasa ada suatu arus hawa hangat menyalur ke dalam tubuhnya melalui telapak tangan yang menempel tubuh Kok Siau-hong itu, serentak semangat si nona terbangkit "trang", sekali bergerak pedangnya memapas patah kipas lawan, bahkan ujung pedang terus menyambar ke depan dan tepat menancap ke dalam kelopak mata An Tat sehingga sebelah matanya yang sehat itu terbuta pula.
An Tat menjerit ngeri, dengan darah bercucuran cepat dia melarikan diri sambil menutupi mukanya.
Dalam pada itu Kok Siau-hong sudah berdiri, katanya dengan tertawa.
"Banyak terima kasih atas bantuanmu, adik Eng!"
Kiranya pada detik yang menentukan itulah sekonyong-konyong semua jalan darah Kok Siau-hong telah lancar kembali, tenaganya telah dapat dipulihkan dan segera ia menyalurkan tenaga murni sendiri kepada Han Pwe-eng untuk membantu si nona mengalahkan musuh.
"Marilah kita juga harus berterima kasih kepada tuan rumah ini,"
Kata Kok Siau-hong pula.
Sementara itu Beng Ting dan Coh Tay-peng masih bertempur dengan sengit dan belum dapat ditentukan kalah dan menang, sedangkan Kiau Siong-lian sendirian melawan dua orang sudah mulai di atas angin dan segera dapat mengalahkan musuh-musuhnya.
Semula Lo Jin-cun mengira dapat membalas sakit hati kepada Kiau Siong- lian, siapa tahu dengan main kerubut bersama Kim Hoat ternyata tetap bukan tandingan Kiau Siong-lian yang sudah tua itu, seringkali mereka terdesak mundur dan tidak berani mengadu senjata dengan garpu jerami lawan yang berat itu.
Diam-diam Lo Jin-cun menjadi gelisah, dia berharap An Tat lekas keluar lagi untuk membantu mereka.
Tapi di dalam kamar juga terdengar suara nyaring benturan senjata, agaknya An Tat juga sedang menghadapi lawan tangguh.
Tidak lama kemudian, sekonyong-konyong terlihat An Tat berlari keluar dengan muka berlumuran darah.
Dengan terkejut Kim Hoat berteriak.
"Celaka, kedua mata An-toako terbuta semua!"
Ginkang An Tat memang hebat, meski kedua matanya buta, tapi dia masih dapat menggunakan telinganya yang tajam untuk mendengarkan suara angin, dia menghindari kalangan pertempuran terus berlari ke pagar tembok, dari situ ia harus melompat keluar dan kabur.
Keruan Lo Jin-cun dan Kim Hoat ketakutan, perlawanan mereka menjadi kacau.
"Tinggalkan senjata kalian dan lekas enyah!"
Tiba-tiba Kiau Siong-lian membentak. Sekali garpunya bekerja.
"trang-trang"
Dua kali, pedang dan golok kedua lawannya tersampuk jatuh semua.
Menyusul ia lantas menubruk maju, tangan kiri mencengkeram Lo Jin-cun dan tangan kanan memegang Kim Hoat laksana membekuk dua ekor anak ayam saja, sedikit diayun terus dilemparkan, kontan kedua sosok tubuh itu terlempar keluar pagar tembok rumah.
Ketika Lo Jin-cun berdua jatuh terguling ke tanah, rasa mereka ternyata tidak terlalu sakit.
Rupanya Kiau Siong-lian tidak bermaksud mengikat permusuhan terlalu dalam dengan mereka, maka dia sengaja memperlakukan kedua lawannya dengan ringan.
Keruan kedua orang itu merasa girang, cepat mereka merangkak bangun dan lari terbirit-birit.
Coh Tay-peng juga bermaksud lari, namun nasibnya tidak sebaik kawan- kawannya.
Ketika dia melancarkan tiga kali serangan untuk mendesak mundur Beng Ting, baru saja dia lari sampai di ambang pintu, tahu-tahu sesosok bayangan orang sudah mendahului melompat keluar pagar tembok dan telah memapaki dia di depan pintu.
Penghadang ini ternyata Kok Siau-hong adanya.
Hanya beberapa gebrak saja Coh Tay-peng sudah tertotok roboh, sekali tendang Kok Siau-hong menggusurnya ke dalam halaman rumah.
"Kita tidak sempat tanya dia, biar kita tolong dulu Hi-toako,"
Kata Pwe- eng. Dengan tertawa Beng Ting menyapa.
"Nona Han, tak tersangka sekali ini kembali kau yang menyelamatkan pula barang kawalanku. Kok-siauhiap, kiranya engkau juga berada di sini. Sekarang biar kita menukar tempat mereka."
Habis berkata ia lantas pondong keluar Hi Giok-hoan dari bawah onggokan jerami, sebaliknya Coh Tay-peng terus digusur ke dalam tumpukan jerami itu.
Kedua mata Hi Giok-hoan tampak terpejam, mukanya pucat pasi, rupanya sudah sekian lamanya disembunyikan di dalam tumpukan jerami, napasnya kurang leluasa, lalu pingsan.
Kiau Siong-lian rada paham ilmu pertabiban, dia periksa nadi Hi Giok- hoan, lalu mengatakan keadaan pemuda itu tidak berbahaya, hanya pingsan biasa saja, maka dia minta Kok Siau-hong bantu memijatnya agar Giok-hoan lekas siuman.
Pikiran Kok Siau-hong menjadi bimbang, Hi Giok-hoan kini berada di sini, tapi dimanakah Hi Giok-kun saat itu? Apakah benar pergi ke Kang-lam bersama pemuda she Sin itu? Demikian pikirnya.
Meski Kok Siau-hong mengalami pukulan batin ketika mendengar kabar Hi Giok-kun bertunangan dengan Sin Liong-sing, maka kedudukan Giok- kun di dalam lubuk hatinya lambat-laun telah digantikan oleh Han Pwe-eng, tapi betapa pun mereka pernah cinta mencintai sekian lamanya, bagaimana pun juga dia tak dapat melupakan Giok-kun.
Begitulah setelah Kok Siau-hong mengurut tubuh Hi Giok-hoan, tidak lama kemudian pemuda itupun siuman.
Begitu membuka mata, pertama yang dilihatnya adalah Kok Siau-hong, lalu melihat Han Pwe-eng yang berdiri di sisi Siau-hong, seketika Giok-hoan terkejut dan heran pula, seperti juga Kok Siau-hong tadi, pikirannya menjadi bimbang.
"Nah, sudah baik sekarang,"
Seru Beng Ting girang melihat Hi Giok- hoan sudah siuman kembali.
"Hi-kongcu, apakah engkau sudah dapat mendengar ucapanku? Kok-siauhiap yang telah menyelamatkan kau."
Giok-hoan mengangguk, katanya.
"Banyak terima kasih, Siau-hong. Nona Han, akhirnya kalian telah dapat bertemu, aku ikut bergirang. Tapi apakah kalian tahu Giok-kun berada dimana?"
Melihat suara Hi Giok-hoan sangat lemah, segera Siau-hong berkata.
"Hi- toako, engkau perlu istirahat dulu, nanti saja kita bicarakan pula."
"Sekarang giliranku yang harus bekerja,"
Kata Kiau Siong-lian, perlahan- lahan ia lantas memijat bahu Hi Giok-hoan, hanya sebentar saja pemuda itupun tertidur.
Rupanya Kiau Siong-lian mempunyai kepandaian memijat untuk membuat orang terpulas.
Kemudian Kiau Siong-lian memondong Giok-hoan ke dalam kamar yang ditempati Kok Siau-hong tadi, katanya setelah meletakkan Giok-hoan di atas dipan.
"Sedikitnya dia mesti tidur tiga jam baru dapat mendusin. Aku masih menyimpan sepotong Jin-som, nanti kalau dia sudah mendusin akan kuseduh untuk diminumkan padanya."
Setelah itu, semua orang lantas keluar, mereka bicara di halaman rumah. Lebih dulu Kok Siau-hong mengucapkan terima kasih kepada Kiau Siong- lian, katanya.
"Kami benar-benar sudah lamur, sama sekali kami tidak tahu bahwa Kiau-lopek adalah tokoh angkatan tua dunia persilatan. Selama beberapa hari kami telah banyak mendapatkan perlindungan engkau."
"Ya, dengan kepandaian Kiau-lopek yang hebat, entah mengapa perlu berlagak bisu dan tuli serta mengasingkan diri di pedusunan sunyi ini?"
Tanya Pwe-eng. Kiau Siong-lian menghela napas, katanya.
"Aku telah bersetori dengan anak buah seorang gembong iblis, aku insyaf bukan tandingan iblis itu, terpaksa berlagak bisu tuli untuk cari selamat. Tapi dengan kejadian malam ini, mungkin sukar lagi bagiku untuk menghindarinya."
"Entah, siapakah gembong iblis yang kau maksudkan itu?"
Tanya Siau- hong.
"Iblis itu jarang muncul di daerah Tiong-goan, meski kukatakan juga kalian tidak kenal, maka tak perlu kukatakan saja,"
Ujar Kiau Siong-lian. Hati Han Pwe-eng tergerak, tiba-tiba ia menyela.
"Iblis yang dimaksud Kiau-lopek itu mungkin sekarang sudah datang di Tiong-goan, bahkan sudah pernah muncul di sekitar sini."
"O, kiranya nona Han sudah tahu siapa iblis yang kumaksud,"
Kata Kiau Siong-lian dengan terkejut.
"Kau bilang iblis itu pernah muncul di sekitar sini, apakah engkau pernah memergoki dia?"
"Eh, darimana kau mengetahui, Pwe-eng? Sebenarnya siapakah iblis yang kalian maksud?"
Tanya Siau-hong heran.
"Tadi kulihat telapak tangan Hi-kongcu bersemu hitam, aku justru ingin tanya Kiau-lopek, entah luka apakah yang dideritanya?"
Kata Pwe-eng. Seketika Kok Siau-hong paham apa yang dimaksud Han Pwe-eng, katanya.
"Ah, apakah Hi-toako terluka oleh pukulan Jit-sat-ciang dan gembong iblis yang kalian maksud ialah Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun?"
Kok Siau-hong sendiri pernah dicelakai Kiong Cau-bun, maka dari tanda- tanda luka yang diderita Hi Giok-hoan dapatkah dia meraba siapa iblis yang dimaksud itu. Maka Kiau Siong-lian lantas menjawab.
"Jika kalian sudah tahu, rasanya aku pun tidak perlu tutup rahasia. Soalnya aku pernah memergoki orang Oh- hong-to sedang berbuat sewenang-wenang, aku telah melabraknya dan melukainya, kemudian baru aku mendapat tahu dia adalah anak buah Oh- hong-tocu yang ganas itu. Oh-hong-tocu terkenal suka membela anak buah sendiri tak peduli benar atau salah, siapa yang berbuat tentu akan mendatangkan bencana baginya."
"Kiau Lo-cianpwe jangan kuatir, aku dapat berdaya untuk meredakan kesulitanmu ini,"
Kata Pwe-eng. Ia pikir Oh-hong-tocu adalah ayah Kiong Kim-hun, jika nona itu diminta jasa baiknya tentu urusan akan beres.
"Beng Toa-piauthau, engkau sendiri bertemu Hi-toako dimana sehingga menjadi pengawalnya?"
Tanya Siau-ong.
"Kemarin aku ketemukan dia berada bersama seorang nona,"
Tutur Beng Ting.
"Saat itu dia sudah terluka dan tak dapat berjalan, tapi dia masih kenal padaku, maka nona itu lantas minta aku mengantar Hi-siauhiap ke Pek-hoa- kok."
"Siapakah nona itu? Apakah kau diberitahu?"
Tanya Siau-hong. Ia menduga pasti bukan Hi Giok-kun adanya.
"Dia tidak memberitahukan padaku,"
Jawab Beng Ting dengan tersenyum getir.
"Nona itu sungguh galak sekali."
"Galak bagaimana?"
Tanya Siau-hong.
"Sesudah nona itu minta aku mengantar pulang Hi-siauhiap, lalu dia mengeluarkan satu renceng mutiara dan suruh aku menilainya,"
Tutur Beng Ting.
"Sudah tentu aku merasa bingung, kukatakan dalam keadaan kacau begitu kemana akan menjual benda berharga itu? Tapi nona itu lantas menjelaskan bahwa maksudnya bukan hendak menjual, tapi mutiaranya itu dimaksudkan sebagai panjar bagiku untuk pengawalan Hi-kongcu, asalkan Hi-kongcu sampai di rumah dengan selamat, maka kalung mutiara itu akan menjadi milikku. Tapi nona itupun menyatakan dengan tegas, bilamana terjadi apa-apa atas diri Hi Giok-hoan, maka aku pun akan dibunuh olehnya sebagai ganti jiwa Hi-kongcu. Dan tanpa menunggu jawabanku segera ia lemparkan kalung mutiara itu kepadaku dan tepat terpasang pada leherku."
Pwe-eng tahu kepandaian Beng Ting tidak rendah, jika nona yang dikatakan itu mampu melemparkan kalung mutiara itu dan tepat mengalung di leher Beng Ting, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian menggunakan senjata rahasia si nona, pantas dia berani mengancam Beng Ting bilamana jago pengawal itu tak dapat menunaikan tugas.
Kini lapat- lapat Pwe-eng sudah dapat menduga siapa nona itu, diam-diam ia pun merasa geli bila membayangkan keadaan Beng Ting yang runyam ketika itu.
Dengan menyengir kemudian Beng Ting berkata pula.
"Sesungguhnya aku pun kenalan Hi-kongcu, tanpa biaya juga aku wajib mengawalnya pulang. Tapi nona itu tidak mau mendengar ucapanku, setelah melempar kalung mutiara itu ia lantas pergi. Malahan dari jauh nona itu berseru pula kepadaku, Aku tahu kau pernah mengawal nona Han dengan biaya seribu tahil emas, aku pun tidak mau minta kemurahanmu, bila nilai kalung mutiara tadi kurang dari seribu tahil emas, kekurangannya nanti akan kupenuhi pula. Tapi kalau di tengah jalan terjadi apa-apa, maka aku tak dapat mengampuni kau seperti keluarga Han, aku akan minta kembali biaya yang kuberikan padamu, bahkan kepalamu yang akan kupenggal! Coba bayangkan, galak tidak nona itu?"
Diam-diam Kok Siau-hong merasa nona itu pasti bukan Hi Giok-kun, sebab ia tahu sifat galak begitu bukanlah sifat Hi Giok-kun.
"Wajah nona itu bukankah berbentuk bulat telur dan usianya kira-kira satu-dua tahun lebih muda dariku?"
Tanya Pwe-eng. Tanpa ragu-ragu Beng Ting mengiakan sambil mengangguk. Serentak Kok Siau-hong tahu siapa yang dimaksud, serunya.
"Ya benar, pasti Kiong Kim-hun adanya! Aku benar-benar ceroboh, masakah tak terpikir olehku akan dia."
Sebenarnya bukan Kok Siau-hong tak terpikir akan diri Kiong Kim-hun, soalnya Kiong Kim-hun diketahuinya berada bersama Kong-sun Bok.
Tapi ia pun merasa heran pula, kalau orang yang melukai Hi Giok-hoan itu ialah Kiong Cau-bun dan saat itu Kiong Kim-hun juga hadir di situ, kenapa nona itu membiarkan Giok-hoan dilukai sang ayah tanpa mencegahnya? "Benar, memang begitulah sifat Kiong Kim-hun,"
Kata Pwe-eng dengan tertawa.
"Cuma peristiwa itupun membingungkan aku."
"Syukur teka-teki ini dalam waktu singkat akan terjawab, rasanya kita pun tidak perlu terburu-buru mencari jawabannya,"
Ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Betul,"
Pwe-eng mengangguk.
"Sesudah Hi-toako siuman nanti tentu kita dapat tanya dia sejelas-jelasnya."
Hi Giok-hoan tertidur oleh kepandaian pijat Kiau Siong-lian, sudah hampir dua jam dia terpulas, ditaksir selang satu jam lagi pemuda itu pasti akan mendusin.
"Kesempatan ini dapat kita gunakan untuk memeriksa tua bangka she Coh itu,"
Ujar Pwe-eng kemudian. Segera Kok Siau-hong menyeret keluar Coh Tay-peng dari bawah onggokan jerami dan membuka Hiat-to yang tertotok.
"Nona Han,"
Kata Coh Tay-peng dengan wajah memelas.
"harap mengampuni diriku mengingat persahabatan kita tempo hari itu."
Kok Siau-hong menjadi heran bilakah Han Pwe-eng bersahabat dengan gembong bandit. Maka Han Pwe-eng lantas menjelaskan kejadian di kota Uh-seng dahulu, dimana Hong-ho-ngo-pa telah salah menyangkanya sebagai Kim-hun.
"Ya, lantaran kejadian tempo hari itulah, maka akibatnya aku pun tersesat,"
Kata Coh Tay-peng dengan takut-takut.
"Apakah yang kau maksud?"
Tanya Han Pwe-eng.
"Waktu itu Pok Yang-kian telah melukai Ang Pang-cu dengan Hoa-hiat- to, syukur teman nona yang bernama Kong-sun Bok itu memunahkan racun Ang Pang-cu itu sehingga jiwanya tertolong,"
Tutur Coh Tay-peng.
"Tapi pemimpin-pemimpin Hong-ho-ngo-pa yang lain juga terluka semua oleh Hoa-hiat-to, tatkala itu mereka tidak hadir di situ sehingga belum menerima pertolongan Kongsun-kongcu. Kami lantas mencari beliau, tapi yang diketemukan cuma nona Kiong Kim-hun, nona Kiong menyanggupi akan minta bantuan Kongsun-siauhiap, tapi entah bertemu atau tidak, selama ini Kongsun-siauhiap tidak pernah datang kepada kami. Padahal racun Hoa- hiat-to akan bekerja sesudah setahun dan sukar diobati pula kecuali kami rela diperbudak oleh Sebun Bok-ya dan Pok Yang-kian berdua, kalau tidak, tentu mereka tak mau menolong kami. Sementara itu jarak waktu setahun sudah tiba, tentu saja kami kelabakan setengah mati. Sungguh celaka pula, tiba-tiba ayah nona Kiong, yaitu Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun datang mencari kami pula, katanya wajib menemukan anak perempuannya, kalau tidak, nyawa kami akan dibinasakan. Dalam keadaan terpaksa, tiada jalan lain....."
Sampai di sini Han Pwe-eng sudah paham duduknya perkara, katanya.
"Terpaksa kalian mencari Sebun Bok-ya dan rela diperalat olehnya bukan?"
"Ya, soalnya kami..... kami terpaksa,"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Coh Tay-peng dengan muka merah dan tergagap.
"Sebab hanya Sebun Bok-ya saja yang mampu memunahkan racun yang mengeram di tubuh saudara-saudara kami itu. Hanya dia pula yang tidak gentar kepada Oh-hong-tocu dan berani membela kami."
"Hm, Sebun Bok-ya adalah budak kaum Tartar Mongol, kau mengekor kepadanya, itu berarti kau rela menjadi budaknya budak,"
Jengek Kok Siau- hong.
"Seorang lelaki sejati lebih baik mati sebagai kusuma bangsa daripada menjual diri sebagai pengkhianat, apalagi kau rela menjadi budaknya budak?"
Coh Tay-peng menjadi ketakutan, berulang-ulang ia minta ampun.
"Ya, ya, petuah Kok-siauhiap memang benar, aku cuma salah pikir seketika itu."
Walaupun begitu ucapannya, namun dalam hati ia tidak dapat menerima dampratan Kok Siau-hong itu.
Diam-diam Han Pwe-eng anggap harapan Kok Siau-hong terhadap manusia-manusia macam Coh Tay-peng ini terlalu muluk-muluk, orang macam Coh Tay-peng mana dapat disamakan dengan jiwa kaum kesatria sejati.
Tapi Pwe-eng juga berpikir bila Hong-ho-ngo-pa sampai diperalat oleh Sebun Bok-ya, akibatnya tentu juga sukar dibayangkan, jalan paling baik adalah mencari akal untuk menolong mereka.
Maka setelah berpikir, lalu Pwe-eng berkata.
"Kau tidak tega saudara- saudara serikatmu itu binasa, sedikit banyak kau juga punya rasa setia kawan. Cuma kau menempuh arah menjual bangsa dan negara, jalanmu ini terang tidak betul. Padahal orang yang dapat memunahkan racun Hoa-hiat-to juga tidak melulu Sebun Bok-ya saja."
Mendengar nada Han Pwe-eng itu jauh lebih lunak, cepat Coh Tay-peng berkata.
"Mohon nona memberi petunjuk, asalkan ada jalan, masakah kami rela diperbudak oleh musuh?"
"Jarak waktu daripada setahun kini masih ada sebulan lebih bukan?"
Tanya Pwe-eng.
"Ya,"
Sahut Coh Tay-peng sambil mengangguk.
"Entah siapakah gerangan yang dapat memunahkan racun Hoa-hiat-to selain Sebun Bok-ya?"
"Siapa lagi kalau bukan Kong-sun Bok yang pernah kau cari itu,"
Kata Pwe-eng.
"Kini dia sudah pergi ke Kim-keh-nia, kau boleh ke sana untuk mencarinya, kukira masih cukup waktu bagimu."
Setelah tenangkan diri, Kok Siau-hong lantas paham juga maksud tujuan Han Pwe-eng, segera ia pun menyambung.
"Kami juga sedang mau pergi ke Kim-keh-nia, kau boleh berangkat bersama kami. Asalkan selanjutnya kelima Pang dari Hong-ho kalian berjanji akan tunduk di bawah perintah Liok-lim- Beng-cu Liu-lihiap, maka aku akan menjamin Kong-sun Bok pasti akan menolong kalian."
Coh Tay-peng sangat girang, tentu saja ia menyanggupi berulang-ulang. Selesai membereskan urusan Coh Tay-peng, lalu Kok Siau-hong berkata.
"Hi-toako sudah hampir mendusin, marilah kita menjenguk dia."
Segera ia bersama Han Pwe-eng dan Beng Ting masuk ke dalam, Kiau Siong-lian yang ditinggalkan untuk menemani Coh Tay-peng.
Saat itu Hi Giok-hoan memang baru mendusin, segera Pwe-eng memberi minum wedang Jin-som yang dimasak Kiau Siong-lian tadi.
Sehabis minum, Hi Giok-hoan memandang Han Pwe-eng sekejap dan memandang pula Kok Siau-hong yang berada di samping si nona, seketika macam-macam perasaan berkecamuk mencekam hatinya.
Agar tak menimbulkan rasa duka pemuda itu, dengan tersenyum Han Pwe-eng lantas menyapa.
"Hi-toako, tidak tersangka kita akan bertemu di sini. Mengenai diriku biar kubicarakan nanti, silakan kau bercerita dulu mengenai pengalamanmu. Siapakah yang melukai kau?"
"Seorang tua berjubah hijau,"
Tutur Hi Giok-hoan. Dugaan Han Pwe-eng ternyata tidak meleset, yang melukai Hi Giok-hoan memang betul Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun adanya.
"Mengapa dia melukai kau?"
Tanya Pwe-eng. Kok Siau-hong juga heran, ia pun bertanya.
"Bukankah kau berada bersama Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun?"
Mereka heran mengapa Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun tidak menolong Hi Giok-hoan.
Maka berceritalah Hi Giok-hoan mengenai pengalamannya.
Sesudah lolos dari pertempuran Jing-liong-kau, Hi Giok-hoan tetap meneruskan perjalanan bersama Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun menuju ke Kim-keh-nia.
Suatu hari mereka bermalam di suatu kota kecil Ko-ho.
Lantaran serbuan pasukan Mongol, hampir setiap tempat yang mereka lalui sudah ditinggalkan oleh penduduk, maka sudah beberapa hari mereka dalam perjalanan dan baru pertama kali ini menemukan suatu kota kecil yang rada ramai.
Suka bersolek adalah sifat pembawaan anak perempuan, begitu pula dengan Kiong Kim-hun, dia sudah lama tidak berdandan secara wajar, maka setiba di kota kecil itu dan mendapatkan hotel, yang pertama-tama dikerjakan adalah berbelanja.
Begitu pula Kong-sun Bok dan Hi Giok-hoan juga perlu membeli beberapa potong baju.
Dalam perjalanan Hi Giok-hoan sudah dapat melihat kemesraan Kiong Kim-hun terhadap Kong-sun Bok, maka ia sendiri minta tinggal di hotel saja dan membiarkan Kong-sun Bok mengiringi Kiong Kim-hun pergi belanja.
Perawakan Giok-hoan hampir sama dengan Kong-sun Bok, maka barang keperluannya dapat dititipkan kepada Kong-sun Bok untuk membelinya.
Cuaca hari ini cukup cerah, Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun pergi berbelanja, dengan sendirinya tidak leluasa baginya untuk membawa senjatanya yang khas, yaitu payung pusaka besi murni yang berat itu, maka payung itupun ditinggalkan di hotel.
Perkampungan Hantu -- Khu Lung Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long Gelang Perasa -- Gu Long