Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 16


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 16



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tanya Han Kong-sui.

   "Ong Cong-cecu dan Han Lo-yacu sendiri justru adalah kesatria-kesatria yang ingin kuajak berkawan,"

   Jawab Kiau Sik-kiang.

   "Tentang diri kami hendaklah dikesampingkan saja,"

   Kata Han Kong-sui.

   "Yang ingin kutanyakan kepada Kiau To-cu, jika menurut penilaian Kiau To- cu, orang macam apakah Su Thian-tik itu?"

   Pertanyaan Han Kong-sui yang terang-terangan tanpa tedeng aling-aling ini membikin Kiau Sik-kiang tak dapat mengelak, terpaksa ia menjawab.

   "Sebenarnya aku belum kenal Su Thian-tik, tapi kalau melihat suasana sekarang, betapa pun ia dapat dianggap sebagai pahlawan yang timbul dari suasana kacau ini bukan? Bagaimana kalau menurut pandangan Han Lo- yacu sendiri?"

   Sebelum Han Kong-sui menjawab, tiba-tiba Kok Siau-hong medengus dan berkata.

   "Hm, pahlawan apa? Kukira lebih tepat dikatakan sebagai anjing!"

   Kalau Han Kong-sui tidak mengedipinya, mungkin Kok Siau-hong akan memaki lebih kasar lagi. Kiau Sik-kiang melengak bingung oleh makian Kok Siau-hong itu, lekas dia berganti nada dan berkata.

   "Ya, tokoh yang timbul dari suasana kacau memangnya tak dapat dianggap sebagai pahlawan sejati. Cuma saudara ini memakinya sebagai anjing rasanya....."

   "Kenapa? Apa keterlaluan aku memakinya?"

   Kok Siau-hong menegas. Han Kong-sui tidak ingin bentrok dengan Kiau Sik-kiang, maka cepat dia menengahi dan berkata.

   "Ah, sudahlah, setiap orang tentu mempunyai penilaian sendiri, kalian lebih baik jangan berdebat."

   Kok Siau-hong tersadar bahwa dirinya kembali kena penyakit berangasan.

   Betapa pun jumlah lawan lebih banyak, apalagi berada di kapal mereka, jika terjadi pertempuran tentu sukar untuk menandingi mereka.

   Dalam pada itu Kiau Sik-kiang telah berkata pula.

   "Ya, aku lupa menanyakan nama saudara yang mulia? Maaf jika tadi kami berlaku kasar padamu."

   "Tidak apa-apa, kata pribahasa, tidak berkelahi tidak saling kenal,"

   Ujar Siau-hong.

   "Aku adalah Kok Siau-hong dari Yang-ciu."

   Di kota Yang-ciu terdapat dua keluarga persilatan turun-temurun yang termasyhur, yaitu keluarga Kok dan keluarga Hi.

   Walaupun Kiau Sik-kiang tidak terlalu jelas akan tokoh dunia persilatan Tiong-goan, tapi kedua keluarga persilatan yang terkenal itu sudah lama didengarnya.

   Diam-diam ia membatin.

   "Pantas bocah semuda ini mempunyai kepandaian begitu hebat, kiranya dia anak murid keluarga Kok."

   Untuk mendekati Siau-hong, segera Kiau Sik-kiang mengangkat poci arak dan menuangkan satu cawan bagi pemuda itu. Tergerak hati Siau-hong, pikirnya.

   "Dia tanya diriku, kenapa aku tidak balas bertanya dia?" ~ Maka ia lantas buka suara.

   "Kiau To-cu biasanya tinggal di luar lautan sana, ada seorang Oh-hong-tocu, entah Kiau To-cu kenal dia tidak?"

   Kiau Sik-kiang melengak dan ragu-ragu, ia tidak tahu pemuda she Kok ini dan Oh-hong-tocu pernah kawan atau lawan.

   Kalau mengingat keluarga Kok biasanya menganggap dirinya seperti kaum pendekar, rasanya pasti bukan satu kaum dengan Oh-hong-tocu.

   Maka jawabnya kemudian.

   "Oh- hong-tocu maksudmu, ya, aku memang kenal dia. Entah ada urusan apa saudara menanyakan dia?"

   "Dia adalah ayah seorang temanku,"

   Kata Siau-hong.

   Meski Siau-hong tidak menyebut nama Kiong Kim-hun, tapi Oh-hong- tocu hanya mempunyai seorang anak perempuan, dengan sendirinya Kiau Sik-kiang tahu yang dimaksud Kok Siau-hong pasti Kiong Kim-hun adanya.

   Seketika hati Kiau Sik-kiang tergerak juga, segera ia pun berkata.

   "O, kiranya demikian. Baru-baru ini kudengar suatu berita mengenai diri Oh-hong-tocu, mungkin sekali ada sangkutpautnya dengan temanmu itu."

   "Berita apa?"

   Tanya Siau-hong.

   "Oh-hong-tocu berebut menantu dengan Beng-sia-tocu, akibatnya seorang kesatria muda tewas menjadi korban,"

   Kata Kiau Sik-kiang. Siau-hong terperanjat, cepat ia menegas.

   "Siapakah kesatria muda yang kau maksud?"

   "Konon adalah Siau-kokcu dari Pek-hoa-kok, bernama Hi Giok-hoan,"

   Tutur Sik-kiang.

   Rupanya Kiau Sik-kiang tidak tahu akan diri Kong-sun Bok, tapi dari pertengkaran Oh-hong-tocu dan Beng-sia-tocu di Beng-sia-to tempo hari, sedikit banyak ia telah mengetahui seluk-beluk mengenai diri Hi Giok-hoan yang pernah bergebrak dengan dia.

   Maka sekarang dia sengaja berbohong untuk mengalihkan segala kesalahan kepada Oh-hong-tocu.

   Sebab ia tahu persahabatan antar keluarga Kok dan Hi sangat rapat, kaum pendekar daerah Kang-lam juga mempunyai hubungan baik dengan keluarga Hi, bila berita terbunuhnya Hi Giok-hoan oleh Oh-hong-tocu tersiar, tentu kaum pendekar Tiong-goan takkan tinggal diam dan pasti akan menuntut balas.

   Jika sampai terjadi demikian, maka terkabul maksud tujuannya membalas dendam kepada Oh-hong-tocu yang telah menggagalkan kepungannya terhadap Beng-sia-tocu tempo hari itu.

   Keruan keterangan Kiau Sik-kiang itu membikin Kok Siau-hong terkejut, tanpa terasa ia menegas.

   "Apa betul ceritamu ini?"

   "Apa gunanya aku mendustai kau?"

   Jawab Kiau Sik-kiang.

   "Berita ini kuperoleh dari seorang kawan yang menyaksikan sendiri kejadian itu di Beng-sia-to."

   Siau-hong masih sangsi, pikirnya.

   "Menurut cerita Beng Ting tempo hari, katanya Hi-toako dilukai oleh Oh-hong-tocu, mengapa dia menghendaki pula Hi-toako sebagai menantunya? Apakah mungkin lantaran Hi-toako menolak dipungut menantu olehnya, maka Oh-hong-tocu lalu membinasakan Hi-toako?"

   Walaupun masih ragu-ragu, tapi timbul juga rasa kuatir dalam hati Siau- hong.

   Dalam pada itu perahu yang direparasi sudah selesai, maka Han Kong- sui lantas mohon diri.

   Waktu Kiau Sik-kiang mengantar kedua tamunya turun ke perahu mereka, dengan lagak menyesal ia berkata.

   "Sungguh sayang Han Lo-yacu tidak sempat tinggal lebih lama di sini sehingga aku tidak dapat lebih banyak menerima petuah yang lebih berharga. Kelak bila aku berkunjung ke tempat kalian, di hadapan Ong Cong-cecu diharap Han Lo-yacu suka banyak memberi keterangan akan diriku."

   "Sudah tentu,"

   Jawab Han Kong-sui.

   "Selamat berpisah, sampai berjumpa."

   Setelah perahu mereka meluncur sampai di tengah sungai dan jauh meninggalkan kapal bajak Kiau Sik-kiang, dengan bergelak tertawa Han Kong-sui menyatakan rasa syukurnya telah bebas dari malapetaka.

   "Entah darimana Han Lo-cianpwe mengetahui akan kedatangan Wanpwe hari ini?"

   Tanya Siau-hong.

   "Aku diperintah oleh Cong-cecu agar menyamar sebagai nelayan dan berjaga di tepi sungai untuk menyambut kedatangan kawan-kawan sepaham dari utara,"

   Tutur Kong-sui.

   "Ketika kulihat kau bukan orang biasa, dalam hati aku sudah dapat menerka beberapa bagian dan nyatanya mataku yang sudah tua ini belum lamur, terkaanku tidak sampai meleset."

   Habis itu ia bergelak tertawa pula dan menyambung.

   "Benar-benar ombak Tiang-kang dari belakang mendorong ke muka, patah tumbuh hilang berganti, yang tua mati yang muda timbul lagi. Tadi aku cuma dapat melihat kau memiliki ilmu silat, tapi tidak tahu bahwa engkau adalah Kok-siauhiap yang akhir-akhir ini telah menjadi buah bibir orang Kang-ouw. Ha, ha, ha, di masa usiaku yang sudah lanjut ini dapat bertemu dengan kesatria muda macam kau, sungguh suatu kebahagiaan bagi hidupku."

   "Ah, Lo-cianpwe terlalu memuji akan diriku,"

   Ujar Siau-hong.

   "Tadi kalau tidak mendapat bantuan Lo-cianpwe, mungkin jiwaku sudah melayang di tangan kepala bajak itu."

   "Kau mampu bertempur lebih tigapuluh jurus dengan Kiau Sik-kiang, hal ini boleh dikata luar biasa sudah,"

   Ujar Han Kong-sui. Dalam pada itu perahu mereka sudah menepi, mereka lantas melompat ke daratan, kata Han Kong-sui pula.

   "Kok-laute, kau hendak menuju kemana? Jika tiada tempat tujuan tertentu, bagaimana kalau tinggal sementara saja di tempat kami?"

   "Aku ditugaskan oleh Liu Beng-cu agar menghubungi Bun-tayhiap, bila urusanku sudah selesai tentu akan ku kunjungi kalian,"

   Tutur Siau-hong.

   "O, kiranya begitu, baiklah kuantar kau lagi sebentar,"

   Kata Han Kong- sui.

   "Mungkin kau belum tahu bahwa tempat di sekitar lembah Tiang-kang sini sudah banyak yang diduduki anak buah Su Thian-tik, kalau tiada penunjuk jalan mungkin kau akan menemukan kesulitan."

   Memangnya Kok Siau-hong masih ingin tanya beberapa persoalan kepada Han Kong-sui, maka ia menyatakan terima kasihnya atas maksud baik orang tua itu. Katanya kemudian.

   "Han Lo-cianpwe, Wanpwe ingin tanya seorang padamu, mungkin engkau tahu jejaknya."

   "Coba katakan, tokoh Kang-ouw yang rada ternama di daerah Kang-lam rasanya kukenal semua,"

   Ujar Han Kong-sui.

   "Orang itu bernama Sin Liong-sing, konon dia adalah murid pewaris Kang-lam-tayhiap Bun Yat-hoan,"

   Tutur Siau-hong.

   "Ya, memang betul begitu. Apakah kau juga kenal dia?"

   Tanya Han Kong- sui.

   "Tidak, belum kenal. Cuma bulan yang lalu dia pernah datang ke Kim- keh-nia, Liu-lihiap pernah membicarakan mengenai dia padaku."

   "Sin-siauhiap itu adalah tokoh muda yang hebat dari kaum pendekar daerah Kang-lam, bukan saja ilmu silatnya yang tinggi, orangnya juga cerdik dan cekatan, banyak urusan penting Bun Beng-cu selalu diserahkan kepada murid pewarisnya itu untuk menyelesaikannya. Kau dan dia boleh dikata suatu pasangan pendekar muda di utara dan selatan, bila bertemu kalian pasti akan saling menyukai seperti kawan lama saja."

   "Mana aku dapat dibandingkan Sin-siauhiap. Kabarnya waktu Sin- siauhiap pulang dari utara, ada seorang nona berada bersama dia. Apakah Han Lo-cianpwe mendengar juga kejadian ini?"

   "Ha, ha, ha, kalau kau tidak menyebutnya, aku sendiri malah sudah lupa. Ya, memang betul begitu. Nona itu adalah adik perempuan Hi Siau-kokcu dari Pek-hoa-kok yang disebut oleh Kiau Sik-kiang tadi. Oya, keluarga Kok kalian dan keluarga Hi adalah sahabat turunan, tentunya kau pun kenal baik mereka kakak beradik bukan?"

   Mungkin Han Kong-sui sudah lama tidak meninggalkan daerah Kang- lam, maka peristiwa pembatalan perkawinan Kok Siau-hong itu belum didengarnya.

   Dia hanya tahu keluarga Kok dan keluarga Hi adalah sahabat turunan, tapi tak pernah terduga olehnya bahwa adik perempuan Hi Siau- kokcu dari Pek-hoa-kok itu justru adalah kekasih Kok Siau-hong.

   "Kukenal kakak beradik mereka itu sejak kecil,"

   Tutur Siau-hong.

   "Kakak bernama Giok-hoan dan adik perempuannya bernama Giok-kun. Hi-toako malah pernah berjuang bersama aku, kami terpencar di tengah pertempuran. Dia pernah pesan padaku agar menyelidiki jejak adik perempuannya, tak terduga sekarang dia malah tewas di lautan sana, sungguh aku sangat berduka cita. Kupikir kejadian ini harus diberitahukan kepada adik perempuannya."

   "Tapi apa yang dikatakan Kiau Sik-kiang itu belum pasti benar adanya,"

   Ujar Han Kong-sui.

   "Namun betapa pun kabar yang kau dengar ini pantas juga disampaikan kepada nona Hi."

   "Entah nona Hi kini masih berada di tempat Bun-tayhiap atau tidak?"

   "Kupikir dia pasti masih berada di tempat guru Sin Liong-sing itu,"

   Kata Kong-sui.

   "Masih ada suatu kejadian, mungkin kau sendiri belum mengetahuinya."

   Jantung Kok Siau-hong berdebar keras, tanyanya cepat.

   "Tentang apa?"

   "Suatu kabar baik,"

   Kata Kong-sui.

   "Padahal kabar baik ini tentunya sudah dapat kau terka pula. Bahwasanya Sin-siauhiap dan nona Hi itu kabarnya sudah akan bertunangan."

   "Ah, apa betul?"

   Sahut Siau-hong dengan tertawa yang dipaksakan.

   "Ya, kabar itu sungguh sangat menggembirakan."

   "Kabarnya kedua muda-mudi itu begitu bertemu lantas saling jatuh cinta, sebab itu nona Hi lantas ikut Sin-siauhiap ke Kang-lam. Cuma suasana sekarang sedang kacau, maka pernikahan mereka untuk sementara harus ditangguhkan. Bun-tayhiap menyarankan agar mereka bertunangan dulu, bisa jadi kau masih keburu menghadiri pesta pertunangan mereka."

   "Sungguh tidak terduga, aku sempat menghadiri pesta bahagia Giok-kun itu,"

   Ujar Siau-hong dengan perasaan getir. Han Kong-sui tidak tahu perasaan pemuda itu, ia masih melanjutkan ceritanya.

   "Pihak keluarga perempuan tidak ada sanak famili di daerah Kang- lam, kebetulan kau dan nona Hi itu adalah sahabat turun-temurun, jika kau dapat menghadiri pesta bahagianya akan berarti lebih memeriahkan pesta mereka itu."

   "Ya, semoga aku sempat hadir di sana pada saatnya seperti katamu,"

   Ujar Siau-hong dengan tersenyum kecut.

   "Oya, Han Lo-cianpwe, masih ada suatu urusan lagi aku ingin minta petunjuk kepadamu."

   "Silakan bicara,"

   Jawab Han Kong-sui.

   "Beng-sia-tocu yang disebut Kiau Sik-kiang tadi apakah Han Lo-cianpwe tahu orang macam apakah dia itu?"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Siau-hong.

   "Kabarnya Beng-sia-tocu itu she Le bernama Kim-liong, tinggal di pulau Beng-sia-to di laut Timur sana, dia boleh dikata seorang tokoh yang berdiri di antara yang baik dan yang jahat."

   "Apakah Han Lo-cianpwe sendiri pernah berkunjung ke Beng-sia-to? Jika aku hendak mencari pulau itu, entah cara bagaimana aku harus menuju ke sana?"

   "O, jadi maksudmu hendak pergi mencari tahu bagaimana nasib Hi Siau- kokcu yang sesungguhnya?"

   Tanya Han Kong-sui.

   "Benar. Persahabatanku dengan dia adalah seperti saudara sekandung, kini kudengar berita nasibnya yang malang, betapa pun aku harus menyelidikinya sampai terang."

   "Tapi jangan sekali-kali kau berangkat ke sana sendirian."

   "Apakah ilmu silat Beng-sia-tocu itu sangat tinggi?"

   "Aku tidak pernah bertemu dengan dia,"

   Tutur Han Kong-sui.

   "Tapi di antara ketujuhpuluh dua Ce-cu dari Tong-ting-ouw kami pernah ada yang berkunjung ke Beng-sia-to itu. Untung waktu itu pikiran Beng-sia-tocu sedang gembira, dia hanya mengusir kawan kami yang ke sana itu. Konon kalau dia sedang marah, maka sukarlah bagi orang yang berani menginjak pulaunya itu pergi dengan hidup. Ketika itu ketiga Ce-cu kawan kami yang kesasar ke Beng-sia-to itu tergolong jagoan semua, tapi Beng-sia-tocu hanya memperlihatkan satu jurus pukulan saja sudah cukup membikin kawan kami itu lari. Maka dapatlah dibayangkan sendiri betapa tinggi ilmu silat Beng-sia-tocu itu."

   Diam-diam Kok Siau-hong menaksir ilmu silat Beng-sia-tocu pasti sangat tinggi mengingat dia berani menandingi Oh-hong-tocu.

   Akan tetapi mati hidup Hi Giok-hoan harus diketahui dengan pasti, mana boleh aku tinggal diam tanpa bertindak.

   Agaknya Han Kong-sui tahu akan pikiran pemuda itu, dia berkata pula.

   "Peta pelayaran Beng-sia-tocu dapat kusuruh orang mengantar padamu nanti. Cuma urusan ini kukira lebih baik kau rundingkan dahulu dengan Bun-tayhiap. Bukankah adik perempuan Hi Siau-kokcu itu bakal menantu Bun-tayhiap, masakah dia dapat tinggal diam tidak ikut campur?"

   "Ya, urusan ini seyogyanya kuberitahu kepada Bun-tayhiap dan nona Hi,"

   Kata Siau-hong. Lalu ia pun tanya alamat kediaman Bun Yat-hoan.

   "Bun-tayhiap bertempat tinggal di bawah puncak Ki-liu-hong di pegunungan Thian-tok tengah?"

   Tutur Han Kong-sui.

   "Gunung itu terletak di luar kota Hang-ciu dengan pemandangan yang indah. Bun-tayhiap belum lama pindah ke sana. Hang-ciu kini sudah ganti nama menjadi Lim-an, kau tentu tahu Hang-ciu terkenal dengan danau Se-ouw yang termasyhur itu."

   "Ya, sudah lama kudengar danau yang indah permai itu, cuma sayang belum ada kesempatan berkunjung ke sana,"

   Kata Siau-hong.

   "Dan sekarang kau tentu sempat mengunjungi tempat itu,"

   Ujar Han Kong-sui.

   "Dari tepi selatan Se-ouw ada jalan menuju ke puncak Ki-liu-hong, sampai di sana boleh kau tanya kepada penduduk setempat, tentu kau takkan kesasar."

   Kok Siau-hong mengucapkan terima kasih atas keterangan itu, lalu mereka berpisah.

   Dengan perasaan bimbang Kok Siau-hong menempuh perjalanan sendiri.

   Teringat olehnya ketika dia bersumpah setia dengan Hi Giok-kun dan terkenang masa-masa yang bahagia dahulu, tanpa terasa matanya basah oleh air mata.

   Tapi kemudian bayangan Hi Giok-kun perlahan-lahan mulai menipis dan tiba-tiba timbul bayangan Han Pwe-eng, ia merasa terhibur, pikirnya.

   "Ya, begini juga baik, sedikitnya suatu soal sulit telah kupecahkan sekarang."

   Sepanjang jalan tiada terjadi halangan dan sampailah Siau-hong di kota Hang-ciu atau kini telah ganti nama menjadi Lim-an, ibukota kerajaan Song selatan.

   Menjelang magrib Siau-hong memasuki kota itu, ia mencari suatu rumah penginapan di tepi Se-ouw.

   Ia lihat pemandangan danau itu sungguh menakjubkan.

   Teringat olehnya penyair Soh Tong-po yang melukiskan danau itu sebagai wanita cantik yang sedang bersolek di bawah sinar bulan purnama, timbul juga pikiran Siau-hong buat menikmati pemandangan danau itu malam nanti, besok baru dia akan pergi mencari Bun Yat-hoan.

   Begitulah Siau-hong mengaso sejenak di kamarnya setelah makan malam, dilihatnya sang dewi malam sudah menghiasi cakrawala dengan sinarnya yang keemasan.

   Dengan hati gembira Siau-hong meninggalkan hotelnya dan menuju ke tepi danau.

   Di tepi danau banyak terdapat sampan pesiar, Siau-hong dibesarkan di lembah sungai Tiang-kang, itu mahir mendayung sampan, maka ia telah menyewa sebuah sampan pesiar dengan perjanjian sewa semalam suntuk tanpa si tukang perahu ikut serta.

   Dengan demikian Siau-hong pikir akan lebih bebas menurut kehendak hatinya.

   Agaknya kedatangan Siau-hong terlalu dini, waktu itu belum larut malam, beberapa perahu pesiar tampak hilir mudik dengan penumpangnya yang beraneka ragamnya, terdengar pula suara senda gurau dan suara musik serta nyanyian yang merdu.

   Diam-diam Siau-hong merasa kesal dan menyesali keisengan orang-orang itu, suasana negara terancam hancur, tapi masih ada sementara orang yang sempat berfoya-foya dan cuma memikirkan kesenangan pribadi melulu.

   Karena muak terhadap orang demikian itu, ia mendayung sampannya lebih jauh dan sampailah di permukaan danau yang tenang dan sepi.

   Sementara itu sudah dekat tengah malam.

   Selagi Kok Siau-hong kesengsem akan suasana malam yang indah itu, tahu-tahu sebuah sampan pesiar meluncur tiba-tiba dari sebelah sana.

   Pendayung sampan itu juga seorang pemuda.

   Siau-hong heran bahwa ada orang lain yang mempunyai kesukaan yang sama untuk pesiar di laut malam dengan mendayung sampan seperti dirinya.

   Dalam pada itu sampan si pemuda tadi telah meluncur lewat ke sana.

   Tiba-tiba dari balik semak gelagah sana muncul pula sebuah sampan lain, pendayungnya adalah seorang kakek berbaju putih.

   Begitu kedua sampan itu berhadapan, segera pemuda tadi menepuk tangan dua kali dan dijawab dengan cara yang sama oleh si kakek baju putih.

   Lalu kedua orang bergelak tertawa bersama.

   "Sin-kongcu, engkau benar-benar seorang yang suka menepati janji,"

   Seru si kakek dengan tertawa.

   Timbul pikiran Kok Siau-hong hendak bersahabat dengan mereka itu, segera ia mendayung sampannya ke sana.

   Tapi mendadak suara tertawa kedua orang itu berhenti, si pemuda telah melompat ke atas perahu si kakek, lalu kedua orang ini berbicara dengan suara tertahan.

   Siau-hong membatin.

   "Kiranya mereka mengadakan janji pertemuan di sini, mungkin melihat aku berada di sini, maka mereka pun rada heran dan sangsi."

   Karena tidak tahu asal-usul kedua orang itu, Kok Siau-hong menjadi ragu- ragu mendekati mereka.

   Jika betul mereka sengaja bertemu di situ, orang luar tidaklah enak mengganggu mereka.

   Sebagai orang yang terlatih, telinga Siau-hong jauh lebih tajam daripada orang biasa.

   Kini jarak orang itu sudah tidak jauh lagi, sayup-sayup ia mendengar si pemuda tadi sedang berkata.

   "Kecuali mengusir dia pergi dari sini rasanya tiada jalan lain!"

   "Baiklah, kau yang turun tangan, aku nanti yang membereskan dia,"

   Kata si kakek. Keruan Siau-hong terkejut, baru saja hendak putar haluan sampannya, tiba-tiba si pemuda tadi sudah meloncat ke atas perahunya dengan enteng seperti burung.

   "Siapa kau? Tengah malam kau berani pesiar ke sini? Lekas enyah dari sini!"

   Bentak pemuda itu sambil menotok dada Kok Siau-hong dengan jarinya. Sebenarnya Siau-hong menaruh simpatik terhadap pemuda itu, tapi melihat orang bertindak kasar padanya, mau tak mau ia menjadi gusar juga, balasnya membentak.

   "Kau boleh ke sini, memangnya aku tidak boleh?"

   Cara menotok pemuda itu sangat cepat dan ganas, sebagai seorang ahli silat segera Kok Siau-hong dapat menyadari akan kelihaian serangan orang, maka di tengah suara bentakannya segera tangan yang satu menangkis dan tangan lain balas mencengkeram dengan Kim-na-jiu-hoat yang berbahaya.

   Di atas perahu yang sempit itu sudah tentu kedua orang sama-sama sukar mengelak.

   Pemuda tadi membentak.

   "Bagus!" ~ Sekonyong-konyong totokannya berubah menjadi pukulan telapak tangan untuk mematahkan cengkeraman Kok Siau-hong, habis itu kembali dia menotok pula ke "Ih-gi- hiat"

   Di lambung lawan.

   Satu kali gebrak saja Kok Siau-hong sudah dapat mengukur kekuatan lawan yang sembabat dengan dirinya.

   Tapi dalam hal keganasan ilmu Tiam- hoat jelas dirinya kalah kuat.

   Diam-diam Siau-hong mengambil keputusan menundukkan lawan dulu baru kemudian memberi penjelasan padanya.

   "Ini, biar kau juga belajar kenal dengan ilmu Tiam-hiatku!"

   Mendadak Siau-hong balas menggertak, dengan jari tangan ia mengeluarkan jurus serangan seperti tusukan pedang.

   Biasanya Siau-hong menggunakan Jit-siu-kiam-hoat untuk menusuk Hiat- to lawan, dalam satu jurus sekaligus dapat menusuk tujuh tempat Hiat-to musuh.

   Kini Siau-hong menggunakan jari sebagai pedang dan mengeluarkan ilmu totokan khas itu, seketika pemuda lawannya itu menjadi bingung untuk menangkisnya.

   "Crit", kain baju pemuda itu tertotok robek oleh jari Siau-hong, tapi Kok Siau-hong juga gagal menotok Hiat-to lawan. Keruan pemuda itu rada terkejut akan kelihaian Kok Siau-hong. Pada saat itulah si kakek baju putih tadi mendadak berseru.

   "Sin-kongcu, ringankan seranganmu, jangan mencelakai dia!"

   Tergerak pikiran Kok Siau-hong.

   "Ilmu silat pemuda ini sedemikian tinggi, dia she Sin pula, jangan-jangan dia adalah....."

   Berpikir sampai di sini, segera Siau-hong membentak.

   "Siapa kau?"

   "Hm, kau berani mengintai pertemuan kami, kukira kau pun pernah mendengar namaku,"

   Jengek pemuda itu.

   "Seorang laki-laki sejati tidak perlu gentar namanya dikenal, aku tak lain tak bukan ialah murid pewaris Bu-lim- beng-cu daerah Kang-lam, Sin Liong-sing adanya!"

   Pemuda itu ternyata betul adalah Sin Liong-sing.

   Sama sekali Kok Siau- hong tidak mengira akan dapat bertemu dengan dia dalam keadaan begini, tanpa terasa ia terkejut dan tertegun, belum lagi sempat memperkenalkan diri sendiri, tiba-tiba tangannya sudah terasa kesemutan.

   Dengan cepat luar biasa Sin Liong-sin ternyata sudah sempat menotok "Hun-moa-hiat"

   Di tubuh Kok Siau-hong.

   Tanpa ampun lagi Siau-hong tak sadarkan diri dan terjungkal ke dalam sungai.

   Entah sudah lewat berapa lama, akhirnya Siau-hong siuman.

   Begitu membuka mata ia merasa keadaan gelap-gulita, ia coba meraba sekitarnya, terasa ada dinding yang licin, nyata dirinya terkurung di dalam kamar batu.

   Setelah kembali kesadarannya, Siau-hong ingat dirinya terkena totokan Sin Liong-sing, lalu tercebur ke dalam sungai.

   Tapi ia merasa badannya tidak basah, mungkin ada orang menggantikan pakaiannya.

   Kamar tahanan itu dikelilingi dinding batu yang tebal, hanya atapnya ada sebuah lubang angin yang kecil.

   Ia coba mengamat-amati keadaan kamar batu itu, tertampak pintunya tertutup rapat, kedua sayap pintu batu itu tebalnya diperkirakan ada sepuluh senti lebih, biarpun dicungkil dengan pedang juga sukar membobolnya, apalagi senjatanya sudah dirampas orang.

   Siau-hong menjadi kuatir dan sangsi.

   "Apakah mungkin kakek baju putih itu adalah Bu-lim-beng-cu Bun-tayhiap dan tempat ini adalah rumahnya?" ~ Tapi lantas terpikir pula.

   "Ah, tidak mungkin, Bun-tayhiap adalah guru Sin Liong-sing, dari percakapan mereka di danau sana semalam jelas mereka hanya kenalan saja, bukan guru dan murid. Tapi, apakah pula tempat ini?"

   Belum lenyap pikirannya, tiba-tiba terdengar di luar ada suara orang berkata.

   "Bocah itu entah sudah siuman belum?"

   Siau-hong tersentak kaget, baru sekarang dia tahu di luar ada penjaganya. Lalu terdengar penjaga yang lain sedang menanggapi.

   "Konon bocah ini tertotok oleh Sin Liong-sing, murid pewaris Bun-tayhiap, ilmu Tiam-hiat Bun-tayhiap terkenal tiada bandingannya di dunia ini, Sin Liong-sing tentu pula sudah mendapat ajaran asli sang guru, kukira orang yang tertotok olehnya sedikitnya duabelas jam kemudian baru dapat punah dengan sendirinya."

   "Ah, kau cuma tahu satu tapi tidak tahu yang lain,"

   Ujar penjaga yang pertama tadi.

   "O, apa kau mendengar apa-apa lagi?"

   Tanya penjaga kedua.

   "Kabarnya ilmu silat bocah ini lumayan juga, hampir saja Sin Liong-sing bukan tandingannya. Maka kalau lwekangnya cukup kuat, tidak sampai duabelas jam dia pasti dapat membuka Hiat-to sendiri yang tertotok."

   "Tapi Pek Lo-yacu telah pesan padaku agar membiarkan dia mengaso,"

   Ujar penjaga yang kedua.

   "Maka sebentar lagi baru kita menjenguknya agar tidak membikin kaget tidurnya."

   Siau-hong semakin ragu-ragu mendengar, percakapan kedua penjaga itu, pikirnya.

   "Dari percakapan mereka itu, agaknya kakek she Pek itu tiada bermaksud jahat padaku. Siapakah dia sebenarnya? Baiklah, peduli siapa dia, paling penting aku harus memulihkan dulu tenagaku."

   Segera Siau-hong berduduk semadi untuk mengerahkan tenaga Siau- yang-sin-kang yang dilatihnya sudah mempunyai dasar yang cukup kuat, maka tidak terlalu lama, ketika dia coba menjalankan tenaga murni, di dalam perut sudah timbul perasaan hangat, hal ini menunjukkan kekuatannya sudah hampir pulih seluruhnya.

   Baru saja dia akan melanjutkan pengerahan tenaga lagi, terdengar kedua penjaga di luar sedang bicara pula, bahkan kata- kata salah seorang penjaga itu membikin hati Siau-hong mendebur keras.

   Salah seorang penjaga itu sedang bertanya pada kawannya.

   "Bocah ini dikurung di sini oleh Pek Lo-yacu, entah Han-siangya sendiri mengetahui atau tidak?"

   "Han-siangya" (perdana menteri Han), kata-kata inilah yang membikin kaget Kok Siau-hong. Perlu diketahui bahwa perdana menteri kerajaan Song selatan waktu itu bernama Han To-yu. perdana menteri ini terkenal sangat korup dan suka main kekuasaan, sebaliknya tidak punya kepintaran apa-apa, tentu saja pemerintah Song waktu itu kacau-balau. Begitulah Siau-hong berpikir.

   "Han-siangya yang mereka maksudkan itu jangan-jangan ialah menteri dorna Han To-yu itu? Hm, tadinya kukira kakek she Pek itu adalah orang baik, hanya salah paham saja maka aku ditangkap ke sini. Kini tampaknya dia adalah cakar alap-alap kaum penguasa dorna itu. Tapi masih ada sesuatu yang sukar dimengerti. Sin Liong-sing adalah anak murid tokoh ternama dari kaum pahlawan, jika orang she Pek itu benar kaum budak penguasa, mengapa Sin Liong-sing sudi bergaul dengan dia?"

   Selagi Siau-hong tidak habis paham duduknya perkara, tiba-tiba terdengar seorang yang baru datang menegur dengan suara kasar.

   "Siapakah orang yang terkurung di dalam itu?"

   Agaknya pendatang itu mempunyai kedudukan cukup tinggi di rumah perdana menteri itu, maka terdengar kedua penjaga tadi menjawab dengan sangat hormat.

   "Hamba tidak tahu, kami menjaga di sini atas perintah Pek Lo-yacu."

   Terdengar orang tadi mendengus, lalu berkata pula.

   "Hm, kalian cuma tahu taat kepada perintah Pek Lo-yacu saja dan sama sekali tidak pandang sebelah mata padaku ya?"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mana hamba berani,"

   Jawab kedua penjaga dengan suara takut-takut.

   "Hamba memang benar-benar tidak tahu seluk-beluknya."

   "Baiklah, coba katakan sekarang, kalian tentu tahu siapakah yang ditemui oleh Pek Lo-yacu kalian di Se-ouw semalam?"

   Tanya orang tadi.

   "Su-tayjin, jika kau tidak mengetahuinya, darimana pula hamba bisa mendapat tahu?"

   Ujar kedua penjaga dengan menyeringai.

   "Apakah Han- siangya juga tidak memberitahukan kepadamu, Su-tayjin?"

   Orang yang disebut she Su itu agaknya tambah mendongkol, katanya.

   "Sejak tua bangka she Pek itu datang ke sini, segala urusan Han-siangya selalu berunding dengan dia tanpa menghiraukan diriku lagi. Hm, cuma kalau dia hendak merambat lebih tinggi lagi di atasku rasanya juga tidak begitu gampang."

   Orang she Su itu marah-marah, dengan sendirinya kedua penjaga tidak berani menanggapi. Sesudah uring-uringan, tiba-tiba orang she Su itu berkata.

   "Coba buka pintu kamar tahanan, aku ingin melihatnya!"

   Mungkin kedua penjaga itu merasa serba salah, keduanya menjawab.

   "Tapi ini..... ini....."

   "Ini itu apa?"

   Bentak orang she Su itu.

   "Memangnya kalian memandang enteng kepada aku orang she Su ini? Hayo, lekas buka pintu. Kalau Siang-ya marah biar aku sendiri yang bertanggung-jawab."

   Agaknya kedua penjaga rada takut kepada orang she Su itu, mereka tidak berani membangkang lagi dan terpaksa membukakan pintu kamar tahanan. Kata mereka.

   "Su-tayjin, silakan engkau masuk sendiri saja, Hiat-to bocah itu tertotok, mungkin saat ini belum sadar."

   Orang she Su itu melangkah ke dalam kamar tahanan sambil menggerundel.

   "Hm, aku justru ingin minta keterangan bocah ini, ingin kulihat tua bangka she Pek itu mampu berbuat apa atas diriku?"

   Kok Siau-hong pura-pura tidur pulas, ia menunggu sesudah orang itu mendekat dan memeriksa Hiat-to bagian mana yang tertotok, saat itulah mendadak ia melompat bangun, dengan kecepatan luar biasa ia terus menotok Hiat-to orang.

   Orang itu bersuara tertahan, telapak tangan kanan terangkat terus menghantam.

   Padahal dengan cepat Kok Siau-hong telah kena menotok Hiat-to orang itu, tapi dia masih mampu balas menyerang.

   Pertarungan dari jarak dekat tidak memungkinkan baginya untuk berkelit, maka terdengarlah suara "plak"

   Sekali, pundak Kok Siau-hong dengan telak telah terpukul.

   Siau-hong merasa pundaknya sakit panas seperti terbakar, untung tangan orang itu segera menjadi lemas begitu menyentuh pundaknya, rupanya kekurangan tenaga, dengan begitu tulang pundak Kok Siu-hong tidak sampai terluka.

   Orang itupun sempoyongan untuk kemudian berputar kembali terus menghantam pula sambil berteriak.

   "Lekas, mana itu penjaga, lekas kemari!"

   Tapi Kok Siau-hong sempat menangkis pukulannya yang terasa tidak bertenaga lagi, belum lenyap suara orang itu, segera pula dia roboh sendiri dengan kaku.

   Kiranya orang she Su itu adalah jago ahli lwekang yang lebih kuat daripada Kok Siau-hong, soalnya dia tidak berjaga-jaga sehingga kena disergap oleh Kok Siau-hong, sesudah tertotok dia masih mampu bertahan sementara dan akhirnya roboh sendiri.

   Diam-diam Siau-hong bersyukur akan hasil serangannya, sebelum pintu kamar tahanan tertutup kembali segera ia menerjang keluar.

   Kedua penjaga tadi baru saja memburu tiba, tapi sekali tangan Kok Siau-hong bekerja, kontan kedua penjaga itu tertotok roboh.

   Cepat Siau-hong melintasi pagar tembok, di luar ada sebuah pekarangan sepi dengan semak-semak rumput yang tak terurus, jauh berbeda daripada istana perdana menteri yang megah menurut bayangan Kok Siau-hong, hal ini sungguh di luar dugaannya.

   Sekonyong-konyong dari pintu pojok sana muncul seorang, katanya dengan heran.

   "He, kau dapat meloloskan diri? Bagaimana dengan kedua penjaga itu?"

   Ternyata orang ini adalah si kakek yang dilihat Siau-hong di danau Se- ouw, yaitu "Pek Lo-yacu"

   Yang disebut-sebut oleh kedua penjaga. Rupanya kakek itu mendengar suara tindakan orang, maka dia memburu keluar untuk memeriksanya.

   "Mereka sudah kubunuh!"

   Bentak Siau-hong sambil memukul dan menotok dengan cara dahsyat.

   Ia pikir ilmu silat si kakek pasti sangat lihai, betapa pun menyerang lebih dulu daripada menunggu orang menyerangnya.

   Kembali si kakek bersuara heran, lengan bajunya mengebut untuk menangkis serangan Kok Siau-hong sambil berkata.

   "Kukira tidak betul, tentu kau menotok Hiat-to mereka dan tidak membinasakan mereka."

   Si kakek hanya mendengar suara robohnya kedua penjaga itu sudah lantas tahu mereka cuma tertotok saja oleh Kok Siau-hong dan yakin kedua penjaga itu belum binasa, maka sukar dibayangkan betapa tinggi kepandaian kakek ini, mau tak mau Kok Siau-hong terkesiap dan menjadi gugup, terutama oleh kebutan lengan baju si kakek yang sekaligus telah dapat mematahkan kedua serangannya yang hebat tadi.

   Malahan Kok Siau-hong lantas merasa didorong oleh suatu tenaga yang maha kuat, tapi lunak, tangan sendiri serasa mengenai kapas yang empuk dan tidak dapat menerima tenaga pukulannya.

   Tanpa kuasa Siau-hong terhuyung-huyung ke belakang tergentak oleh tenaga lunak lawan.

   Siau-hong menyadari si kakek menggunakan kepandaian "pinjam tenaga lawan untuk memukul kembali lawan", cepat ia menggeser ke belakang si kakek dan segera menotok pula ke "Hong-hu-hiat"

   Di punggung orang.

   Sekali ini si kakek seakan-akan sengaja hendak menguji kepandaian Siau- hong, ia tidak menghindar dan juga tidak balas menyerang.

   Ketika jari Siau- hong mengenai punggung lawan, lapat-lapat terasa suatu tenaga telah mementalkan kembali jarinya.

   Keruan kejut Siau-hong tak terkatakan.

   Ia sangsi apakah mungkin si kakek sudah berhasil meyakinkan "Hou-deh-sin- kang" (ilmu sakti pelindung tubuh) yang jarang terlihat di dunia persilatan? Padahal setahu Kok Siau-hong, para maha guru ilmu silat pada zaman ini hanya Han Tay-wi saja, yaitu ayah mertua Siau-hong sendiri, yang memiliki ilmu sakti itu, itupun cuma didengarnya dari cerita ayahnya sendiri dan belum pernah menyaksikan Han Tay-wi menggunakan ilmu sakti itu.

   Kini dia ketemukan si kakek she Pek, untuk pertama kalinya dia menyaksikan ilmu sakti yang hebat itu.

   Maka Siau-hong tahu dirinya pasti bukan tandingan orang, segera ia putar tubuh hendak melarikan diri.

   Namun si kakek keburu mencegat jalan larinya, katanya dengan tertawa.

   "Kau sudah datang ke sini, kenapa mesti tergesa-gesa mau pergi lagi? Pedang ini kukembalikan padamu, jika kau masih penasaran boleh coba-coba lagi beberapa jurus dengan aku!"

   Sembari berkata si kakek terus mengeluarkan sebatang pedang dan disodorkan kepada Kok Siau-hong. Dengan muka merah Siau-hong terima kembali pedangnya, bentaknya kemudian.

   "Kepandaianmu jauh di atasku, cuma sayang kau terima menjadi budak kaum dorna, biarpun aku bukan tandinganmu juga tetap akan mengadu jiwa dengan kau!"

   Habis berkata segera ia putar pedangnya, dengan suatu jurus maut dari Jit-siu-kiam-hoat ia terus menusuk.

   "Ya, memang betul Jit-siu-kiam-hoat,"

   Kakek itu manggut-manggut.

   "Kau ini putera Kok Yak-hi dari Yang-ciu, namamu Kok Siau-hong bukan?"

   Berbareng lengan bajunya mengebut lagi sehingga ujung pedang Kok Siau- hong melenceng ke samping, tapi tidak urung lengan bajunya tertusuk tiga lubang kecil oleh ujung pedang.

   "Jika kau sudah tahu nama dan asal-usulku, tentunya pula kau tahu putera keluarga Kok tidak pernah bertekuk lutut kepada siapa pun juga,"

   Kata Siau-hong angkuh.

   "Nah, jika perlu kau bunuh saja diriku, tapi jangan harap kau dapat mempermainkan aku."

   "Kau keliru, Kok-siauhiap!"

   Kata kakek she Pek itu tiba-tiba.

   "Keliru?"

   Siau-hong menegas dengan melengak.

   "Keliru bagaimana?"

   "Memangnya kau sangka diriku ini orang macam apa?"

   Tanya si kakek.

   "Bukankah kau menjadi penjaga dan pengawal Han To-yu?"

   Kakek itu menggeleng, jawabnya.

   "Ya, memang betul tempat ini adalah istana Han To-yu, aku pun menjadi tamunya, tapi bukanlah budak penjaga istananya sebagaimana sangkaanmu."

   "Jika begitu, untuk apa kau tinggal di sini?"

   Tanya Siau-hong dengan sangsi.

   "Ceritanya cukup panjang,"

   Kata kakek itu.

   "Kalau aku hendak mencelakai kau, kiranya tidak perlu susah-susah mengatur perangkap segala. Biar kukatakan terus terang padamu, baru saja aku menerima kabar dari Ong Cong-cecu dari Tong-ting-ouw, katanya kau menyeberang Tiang-kang diantar oleh wakil Cong-cecu Han Kong-sui, mereka minta aku membantu kau bilamana perlu."

   Cerita si kakek ini mau tak mau membikin Kok Siau-hong percaya, sebab kalau si kakek bukan kaum pendekar, tentunya Oh Uh-ting dan Han Kong- sui takkan memberitahukan hal-hal itu kepadanya. Segera Siau-hong menyimpan pedangnya dan berkata.

   "Jika demikian, rupanya telah terjadi salah paham, harap maafkan kecerobohan Wanpwe tadi."

   "Yang harus minta maaf adalah diriku,"

   Ujar si kakek dengan tertawa.

   "Semalam aku tidak sempat mencegah Sin Liong-sing berlaku kasar padamu di Se-ouw, padahal aku sudah melihat ilmu pedang yang kau mainkan adalah Jit-siu-kiam-hoat."

   Muka Kok Siau-hong menjadi merah, tanyanya kemudian.

   "Dan dimanakah Sin-siauhiap itu?"

   "Dia sudah pulang,"

   Tutur si kakek.

   "Dia datang mewakili gurunya untuk memenuhi janji pertemuan dengan aku, dia tidak tahu tentang kau diantar menyeberang Tiang-kang oleh Han Kong-sui, maka dia tak dapat disalahkan."

   "Mana Wanpwe berani menyalahkan dia, Wanpwe cuma menyesalkan kepandaian sendiri yang tidak becus,"

   Kata Siau-hong.

   Betapa pun ia masih penasaran karena terkalahkan oleh Sin Liong-sing di luar sadarnya.

   Si kakek cuma tersenyum saja, rupanya ia tahu watak orang muda yang suka unggul, maka ia tidak bicara lagi dan membawa Siau-hong ke kamarnya.

   Kamar si kakek teratur sederhana sekali, satu tempat tidur, sebuah meja dengan dua kursi, di atas meja ada sebuah Khim (kecapi kuno), selain itu tiada sesuatu benda lain lagi.

   Dari tempat tinggal si kakek yang sederhana itu Kok Siau-hong menarik kesimpulan bahwa Lo-cianpwe itu bukan manusia yang tamak harta dan ingin kedudukan.

   Setelah ambil tempat duduk, Siau-hong memberi hormat dan berkata.

   "Jika tidak keberatan, dapatkah Wanpwe mohon tanya nama Lo-cianpwe yang terhormat?"

   "Aku she Pek bernama Tik, mungkin kau tidak tahu akan diriku,"

   Jawab si kakek.

   "Tapi, dengan ayahmu pernah aku bertemu satu kali."

   Setahu Kok Siau-hong, di antara teman-teman ayahnya tidak terdapat orang seperti Pek Tik ini, maka ia bertanya pula.

   "Kiranya adalah kenalan lama ayah. Ayah sudah lama meninggal dunia, maafkan Siautit telah berlaku sembrono tadi."

   "Pantas juga kalau kau tidak kenal diriku, sebab ayahmu sendiri mungkin selama inipun tidak tahu siapa diriku,"

   Ujar si kakek.

   "Sebenarnya cara bagaimana Pek-locianpwe berkenalan dengan ayah?"

   Tanya Siau-hong dengan bingung.

   "Sesungguhnya tidak dapat dikatakan berkenalan dengan ayahmu,"

   Tutur si kakek.

   "Tigapuluh tahun yang lalu aku pernah bertemu satu kali dengan ayahmu di suatu restoran di kota Yang-ciu. Apakah ayahmu pernah bercerita padamu tentang seorang pemuda baju putih dengan tingkah laku yang aneh?"

   Tiba-tiba Siau-hong teringat sesuatu, katanya.

   "O, kiranya Lo-cianpwe adalah kesatria muda yang hendak dicari oleh ayah sebelum beliau wafat."

   "Ah, usiaku kini sudah enampuluhan, aku sendiri juga menyesal atas tingkah-laku di masa lampau. Sesungguhnya julukan kesatria muda kini harus diserahkan padamu,"

   Kata Pek Tik dengan tertawa.

   Kiranya waktu mudanya Kok Yak-hi juga sama seperti Kok Siau-hong sekarang, ketika namanya baru menonjol di dunia Kang-ouw, di sekitar lembah Tiang-kang hampir setiap orang kenal seorang kesatria muda she Kok itu.

   Suatu hari Kok Yak-hi makan minum di suatu restoran di kota Yang-ciu yang terkenal, kebetulan meja di depannya juga ada seorang pemuda sebaya sedang makan minum sendiri.

   Sebagai kesatria muda yang terkenal, pula penduduk setempat, dengan sendirinya hampir semua tamu di restoran itu kenal Kok Yak-hi, maka kedatangannya mendapat sambutan hangat dari semua tamu yang berada di situ, tegur sapa terdengar dari sini-sana.

   Rupanya hal ini menarik perhatian pemuda baju putih yang duduk sendiri di dekat jendela itu, dia memanggil pelayan dan minta keterangan siapakah diri Kok Yak-hi.

   Si pelayan memberitahu siapa adanya Kok Yak-hi yang terkenal sebagai pendekar muda yang serba pintar di kota Yang-ciu itu.

   Mendadak pemuda baju putih itu mendengus dan mencemooh pendekar apa segala, di dunia Kang-ouw sudah terlalu banyak pendekar gadungan, yang penting bukti nyata atas perbuatannya, demikian katanya dengan suara cukup keras.

   Terang ucapannya itu sengaja ditujukan kepada Kok Yak-hi.

   Di masa mudanya Kok Yak-hi juga masih berdarah panas, ia merasa tersinggung oleh ucapan pemuda baju putih itu.

   Maka terjadilah sindir menyindir, katanya sambil memberi hormat kepada semua hadirin restoran itu.

   "Sesungguhnya aku Kok Yak-hi hanya bernama kosong belaka, atas pujian para kawan aku benar-benar merasa malu untuk menerimanya."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba pemuda baju putih menuang satu cawan arak dan berkata.

   "O, kiranya saudara inilah Kok-siauhiap yang termasyhur itu, maafkan ketidak mengertianku, biarlah kusuguh Kok-siauhiap satu cawan arak!" ~ Mendadak ia angkat cawannya ke atas terus menjentik dengan jari tengah.

   "tring", cawan itu melayang ke arah Kok Yak-hi seperti anak panah cepatnya. Kok Yak-hi terkejut, tapi juga tak dapat menahan gusarnya, sementara itu cawan orang sudah melayang tiba, jarak kedua orang cuma beberapa meter jauhnya, tanpa pikir Kok Yak-hi juga angkat cawan arak sendiri yang isinya sudah terminum separoh, dengan cara yang sama ia pun menyelentik cawan ke arah lawan sambil berkata.

   "Ah, saudara datang dari tempat jauh adalah tamu, sepantasnya akulah yang mesti menyuguh saudara!"

   "Trang", dua cawan berbentur di udara. Cawan Kok Yak-hi rupanya lebih kecil sedikit ukurannya, isi cawan juga tinggal separoh, maka begitu kedua cawan beradu, cawan Kok Yak-hi terbalik di udara, isinya berhamburan mengenai beberapa tamu yang berdekatan sehingga membuat mereka kaget dan cepat menyingkir. Sedangkan cawan si pemuda baju putih juga terbentur miring, isinya juga tercecer sebagian, tapi cawan itu tetap melayang ke depan dan jatuh di atas meja Kok Yak-hi. Dari pertarungan secara tidak langsung ini jelas Kok Yak- hi sudah kalah satu jurus. Tentu saja Kok Yak-hi merasa kikuk, tapi setelah dipikir lagi, kedua orang toh tiada punya permusuhan apa-apa, apa halangannya kalau bersahabat dengan seorang pemuda yang berkepandaian begitu hebat. Selagi Kok Yak-hi hendak mencari jalan untuk mengikat persahabatan dengan orang, tiba-tiba terdengar pemuda baju putih itu bergelak tertawa dan berkata.

   "Ha, ha, ha, kiranya Kok-siauhiap yang termasyhur itu ternyata tidak lebih hanya sekian saja! Setelah mengenal kemahiran Kok-siauhiap, sekarang aku mohon diri saja."

   Keruan muka Kok Siau-hong menjadi merah dan serba kikuk, selagi ragu- ragu tindakan apa yang harus dilakukannya, tahu-tahu pemuda baju putih itu sudah meninggalkan restoran itu.

   Sesudah peristiwa itu, Kok Yak-hi lantas mengadakan penyelidikan, sampai duapuluh tahun lebih masih tetap tidak diketahui siapakah gerangan si pemuda baju putih itu.

   Maka Kok Yak-hi sering menggunakan kejadian itu sebagai contoh untuk mengajar puteranya bahwa "betapa pun pandai tentu masih ada yang lebih pandai."

   Kini Pek Tik membicarakan peristiwa lama itu kepada Kok Siau-hong, maka Kok Siau-hong menjadi sadar, katanya.

   "Kiranya Pek Lo-cianpwe inilah kesatria muda yang pernah dijumpai ayah dahulu itu. Sang ayah sudah lama meninggal dan tidak dapat mengikat persahabatan lagi dengan Lo-cianpwe."

   Dengan rasa sedih Pek Tik berkata.

   "Aku sendiri sangat menyesal akan kejadian di masa lampau itu. Cuma sayang selama itu aku tidak sempat meminta maaf kepada ayahmu. Syukurlah sekarang aku dapat bertemu dengan kau dan dapatlah aku sekadar menebus kesalahanku dahulu."

   "Ah, janganlah Lo-cianpwe terlalu sungkan, Wanpwe yang sepatutnya minta ampun kepadamu atas kecerobohanku tadi,"

   Kata Siau-hong.

   "Tapi Siautit masih ada beberapa persoalan yang perlu minta penjelasan kepada Lo-cianpwe."

   "Hal yang paling membuat kau sangsi tentunya sebab apa aku bisa berada di tempat Han To-yu ini bukan?"

   Ujar Pek Tik.

   "Ya, dan bagaimana pula bisa terjadi Sin-siauhiap itu mengadakan janji pertemuan dengan Lo-cianpwe, entah Siautit boleh mengetahui hal ini atau tidak?"

   "Semua ini akan kuceritakan padamu, cuma diharapkan kau menunggu sebentar lagi,"

   Kata Pek Tik. Lalu ia memanggil masuk seorang pemuda dan berkata.

   "Kau boleh membuka Hiat-to kedua penjaga dan Su Hong, kalau dia menanyakan Kok-siauhiap, katakan padanya bahwa Kok-siauhiap adalah tamuku dan suruh dia jangan ikut campur urusan orang lain."

   Pemuda itu mengiakan dan melangkah pergi. Kemudian Pek Tik menutur.

   "Pemuda ini adalah muridku, orang yang bernama Su Hong itu semula adalah pengawal Han To-yu, sesudah aku datang ke sini, tampaknya Han To-yu lebih menghargai diriku daripada dia, sebab itu dia benci dan iri padaku. Ia tidak tahu bahwa aku cuma mondok sementara saja di tempat perdana menteri ini dan tiada maksud berebut kedudukan dengan dia."

   "Orang kecil macam dia itu tiada harganya untuk diajak bertengkar,"

   Kata Siau-hong.

   "Terus terang, sebenarnya sudah lama aku mengasingkan diri,"

   Tutur Pek Tik.

   "Kedatanganku ke tempat Han To-yu dan merendahkan diri sebagai hambanya, tujuan yang utama adalah demi perlawanan terhadap orang Mongol yang akan menjajah negeri kita ini."

   "O, kiranya demikian,"

   Kata Siau-hong.

   "Cuma dikuatirkan pihak pemerintah sendiri tidak punya tekad melawan musuh itu?"

   Pek Tik menghela napas, katanya.

   "Ya, sebab itulah Bun Beng-cu dan Ong Ce-cu serta kawan-kawan lain minta aku tampil ke muka untuk menyelesaikan tugas ini. Bukan kau tidak tahu bahwa pihak pemerintah tidak melulu takut kepada musuh dari luar, yang dicari adalah menyelamatkan diri sendiri, terhadap kekuatan laskar rakyat yang siap menghadapi musuh dari luar justru akan ditumpas oleh pihak kerajaan malah. Padahal serbuan orang Mongol sekarang jauh lebih berbahaya daripada penyerbuan orang Kim dahulu, dalam keadaan kepepet, betapa pun pihak kerajaan akan terpaksa mengadakan perlawanan. Meski Han To- yu juga menteri dorna yang suka main kekuasaan, tapi kalau dibandingkan dorna Cin Kwe yang terkutuk itu jelas ada perbedaannya. Cin Kwe adalah agen kerajaan Kim yang sengaja diselundupkan untuk bekerja bagi mereka, sedangkan Han To-yu belum sampai berbuat sejauh itu. Di samping itu tentunya masih banyak pula pembesar militer maupun sipil yang berjiwa patriot dan bertekad melawan musuh dari luar. Dalam hal ini aku sudah berunding cukup mendalam dengan Bun Yat-hoan dan Ong Uh-ting, sebab itu aku rela merendahkan diri menjadi kaum hamba Han To-yu, apa tujuannya tentu dapat kau bayangkan sendiri."

   "Tentunya Lo-cianpwe bermaksud menjadi jembatan antara pihak pemerintah dengan pihak laskar rakyat serta membujuk Han To-yu untuk bekerja sama dengan laskar, dengan demikian tenaga pasukan pemerintah tidak akan digunakan menumpas laskar rakyat, tapi bersama-sama menghadapi musuh dari luar, begitu bukan?"

   "Ya, memang begitulah,"

   Jawab Pek Tik.

   "Tapi apakah Han To-yu mau menurut?"

   Ujar Siau-hong.

   "Rintangan selanjutnya masih banyak, cuma melihat gelagatnya sekarang, biarpun Han To-yu tidak dapat menurut seluruhnya, sedikitnya dia akan menerima sebagian syarat yang akan kita ajukan padanya. Untuk ini sekarang sedang diadakan perundingan pendahuluan."

   Tiba-tiba Siau-hong menjadi sadar, katanya.

   "O, jadi kedatangan Sin Liong-sing semalam untuk menemui Lo-cianpwe di Se-ouw, agaknya dia mewakili gurunya untuk ikut berunding?"

   "Betul,"

   Kata Pek Tik.

   "Aku sendiri menjadi utusan rahasia Han To-yu untuk mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh Kang-ouw dan pimpinan laskar rakyat. Cuma Han To-yu hanya tahu bahwa aku kenal orang-orang ini dan tidak mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah agen tokoh-tokoh Kang-ouw itu. Lantaran saatnya belum tiba, Han To-yu sendiri tidak berani membocorkan hal perundingan untuk diketahui pihak kerajaan."

   "Pantas rahasia ini ditutup rapat oleh Han To-yu, sampai pengawal kepercayaannya juga tidak diberitahu,"

   Ujar Siau-hong dengan tertawa.

   "Tidak lama setelah Sin Liong-sing pergi, lalu datanglah utusan dari Ong Uh-ting dan menceritakan hal Han Kong-sui menyeberangkan kau ke selatan Tiang-kang, cuma sayang waktu itu belum dapat dipastikan bahwa orang yang dimaksud adalah dirimu. Karena utusan Ong Uh-ting itu datang dan pergi secara tergesa-gesa sehingga tidak sempat menunggu dan menemui kau setelah sadar kembali."

   Sementara itu hari sudah siang, Siau-hong berkata.

   "Tidak boleh terlalu lama aku tinggal di sini, terus terang kukatakan, aku juga ditugaskan oleh Lok-lim-beng-cu daerah utara untuk mengadakan kontak dengan Bun Beng- cu. Hari sudah siang, aku mohon diri saja."

   "Apa kau tahu tempat tinggal Bun-tayhiap?"

   Tanya Pek Tik.

   "Han-locianpwe sudah memberitahu padaku,"

   Kata Siau-hong.

   "Tempat tinggal Bun-tayhiap terletak tidak jauh dari sini, kira-kira perjalanan setengah hari saja, cuma dia tinggal di tengah pegunungan, agar kau tidak mencarinya dengan sia-sia, bagaimana kalau aku suruh orang mengantar kau ke sana?"

   Lantaran terjadi gebrakan dengan Sin Liong-sing semalam, pula ingin menemui Hi Giok-kun lebih dulu, maka Siau-hong menjawab.

   "Kukira tidak perlulah, setiba di sana aku dapat bertanya penduduk setempat atau pencari kayu, kukira setiap orang di sana pasti tahu kediaman Bun-tayhiap."

   "Jika begitu, ya sudahlah,"

   Kata Pek Tik.

   "Konon dua hari lagi Sin Liong- sing akan bertunangan dengan nona pilihannya, puteri keluarga Hi dari Pek- hoa-kok di Yang-ciu, namanya Hi Giok-kun, kalian adalah sesama keluarga persilatan terkenal dari daerah yang berdekatan, tentunya kau pun tahu nona Hi itu? Kepergianmu ini kebetulan dapat hadir pada pesta pertunangan mereka itu."

   "Benar, aku kenal nona Hi itu, kedatanganku ini memang sangat kebetulan,"

   Jawab Siau-hong dengan perasaan kecut.

   "Setelah kau menghadiri pesta mereka, salah paham kalian tentunya dapat dilenyapkan,"

   Ujar Pek Tik dengan tertawa.

   "Kaum pengembara seperti kita ini memang sukar menghindari salah paham satu sama lain."

   Yang dia maksudkan adalah kejadian semalam, ia tidak tahu bahwa yang terpikir oleh Kok Siau-hong adalah persoalan masa lampau dengan Hi Giok-kun.

   Dalam pada itu murid Pek Tik telah muncul lagi.

   Sesudah berkenalan, diketahui namanya Giam Cong, terhitung murid kedua Pek Tik.

   Muridnya yang pertama bernama Kim Kian dan bertugas di bawah Ong Uh-ting.

   Dengan tertawa Giam Cong berkata.

   "Kok-heng, ilmu totokanmu sungguh lihai, dengan susah payah akhirnya aku baru dapat membuka Hiat- to si Su Hong yang tertotok, walaupun begitu dia masih lemah meski lwekangnya sangat kuat. Orang she Su itu sangat dendam padamu, mungkin dia takkan rela dengan kejadian itu. Kok-heng harus waspada akan kemungkinan balas dendam dari dia."

   "Banyak terima kasih atas perhatian Giam-heng, biar sekarang juga aku mohon diri dan pergi ke tempat Bun-tayhiap saja,"

   Kata Siau-hong.

   Giam Cong menyatakan rasa penyesalannya akan keberangkatan Kok Siau-hong yang tergesa-gesa itu, segera ia mengantar keluar tamunya.

   Melihat Giam Cong mengantar tamu, penjaga di pintu belakang tidak berani tanya, hanya ada seorang Wisu (pengawal) yang bersembunyi di balik gunung-gunungan dan sedang mengintip dari kejauhan.

   Sekilas Kok Siau-hong dapat melihat intaian orang itu, tapi cepat orang itupun menghilang.

   Sekilas pandang itu hati Kok Siau-hong tergetar, orang itu seperti sudah pernah dilihatnya, cuma seketika tak teringat siapakah orang itu.

   Sekeluarnya dari istana perdana menteri dan berpisah dengan Giam Cong, Siau-hong melanjutkan perjalanan sendiri menyusuri tepi danau.

   Pegunungan Thian-tiok yang dituju terletak di barat bukit Leng-un-san, di kaki bukit itu ada sebuah biara terkenal, yaitu Leng-un-si.

   Semalam Kok Siau-hong hanya pesiar di Se-ouw saja dan belum mengelilingi tempat-tempat terkenal di sekitar Se-ouw.

   Kini dia tiada waktu senggang untuk menikmati pemandangan danau terkenal itu, terpaksa harus menunggu kesempatan lain.

   Pemandangan Se-ouw di waktu pagi dan malam tidaklah sama.

   Orang pesiar di waktu pagi sangat sedikit.

   Di tengah danau hanya ada beberapa buah sampan pesiar saja, suasana sunyi.

   Selagi Kok Siau-hong melepaskan pandang ke arah sekeliling danau, tiba- tiba terdengar suara kecapi yang merdu sayup-sayup terbawa oleh angin, suara kecapi yang enak didengar itu mengandung nada rawan.

   Waktu Siau-hong mencarinya, dilihatnya suara kecapi itu datang dari sebuah sampan pesiar, tertampak kerai sampan pesiar itu setengah tergulung, di dalam sampan ada dua wanita muda dengan dandanan sederhana, yang seorang sedang memetik kecapi dan yang lain sedang membakar dupa cendana di sebelahnya.

   "Kedua nona ini juga orang yang suka akan kebebasan,"

   Demikian Siau- hong membatin. Belum lenyap apa yang dipikirkannya, terdengar wanita muda yang berdiri di samping itu berkata.

   "Enci Si Bwe, kepandaianmu memetik kecapi makin lama makin bagus!"

   Mendadak nona yang memetik kecapi itu berhenti, jawabnya.

   "Ah, masih jauh untuk dikatakan bagus, jangankan dibandingkan majikanku, dengan enci Si Khim saja aku masih teramat jauh ketinggalan."

   "Enci Si Khim yang mana?"

   Si nona pertama tadi bertanya.

   "Yaitu nona Hi yang pernah kubicarakan padamu itu,"

   Jawab si nona yang dipanggil Si Bwe.

   "Dia pernah menyaru sebagai budak di tempat kami sana, peristiwa itu sangat menarik bila diceritakan. Nama Si Khim adalah pemberian majikanku pada waktu itu."

   "Ya, semalam ceritamu tentang nona Hi itu hanya setengah-setengah saja sehingga membuat aku kurang puas. Bagaimana kalau sekarang kau menyambung ceritamu itu?"

   "Ceritanya sampai saat ini masih belum ada akhirnya, apalagi di sini juga bukan tempat yang baik untuk kuceritakan padamu."

   "Baiklah, kalau sudah pulang nanti hendaklah kau sambung ceritamu. Cerita yang belum ada akhirnya, aku pun suka mendengar."

   Mendengar percakapan mereka itu, Kok Siau-hong terperanjat.

   Ia sendiri pernah mendengar dari Han Pwe-eng tentang penyamaran Hi Giok-kun sebagai pelayan Sin Cap-si-koh.

   Ia menjadi sangsi apa nona Hi yang dipercakapkan mereka itu bukan Hi Giok-kun adanya? Dugaan Kok Siau-hong memang tidak keliru.

   Si Bwe ini adalah pelayan Sin Cap-si-koh yang diam-diam mencintai Sin Liong-sing, dia pula orang pertama yang menyampaikan kabar kepada Han Pwe-eng tentang pertunangan Sin Liong-sing dengan Hi Giok-kun.

   Hanya saja waktu Han Pwe-eng memberitahukan hal itu kepada Kok Siau-hong tidak disinggung nama Si Bwe, juga tidak diketahui bahwa Hi Giok-kun memakai nama samaran "Si Khim".

   Begitulah pikiran Siau-hong menjadi kacau, ia ingin mengajak bicara dengan kedua nona itu, tapi kuatir pula dianggap pemuda bangor.

   Dalam pada itu terdengar nona yang dipanggil dengan nama Si Bwe itu sedang berkata pula.

   "Nona Liong, maukah kau menyanyikan sebuah lagu bagiku? Suaramu selama ini sangat kukagumi."

   "Ah, jangan kau bergurau,"

   Jawab temannya.

   "Tapi baiklah, asal saja kau mengiringi dengan memetik kecapi."

   Segera Si Bwe menyetem nada kecapinya dan mulailah memetik. Nona yang dipanggil she Liong itu juga mulai tarik suara. Selesai memetik satu lagu, tiba-tiba Si Bwe menghela napas sedih.

   "Tanpa sebab mengapa kau menghela napas?"

   Ujar si nona she Liong.

   "Ah, tidak apa-apa,"

   Jawab Si Bwe.

   "Hi, hi, memangnya kau kira aku tidak tahu pikiranmu? Bukankah kau terkenang kepada Sin-kongcu itu?"

   Rupanya isi hati Si Bwe tertebak dengan tepat, dia pura-pura mengomel.

   "Ngaco-belo, awas kurobek mulutmu!"

   Sekilas si nona she Liong itu melihat Kok Siau-hong yang berdiri di tepi danau, dengan suara tertahan ia berkata.

   "Enci Si Bwe, kita jangan bercanda lagi, di sana ada orang sedang mengawasi kita."

   Si Bwe memandang ke arah Kok Siau-hong dengan mendelik. Kok Siau- hong menjadi rikuh dan cepat berpaling ke jurusan lain. Dengan mendengus Si Bwe berkata.

   "Hm, aku paling benci kepada pemuda bangor begitu? Huh, coba saja, bila dia berani mengganggu kita barulah dia tahu rasa nanti."

   "Enci Si Bwe, buat apa kau marah, marilah kita putar ke sana yang lebih sepi saja,"

   Ujar si nona she Liong.

   Lalu ia suruh si tukang perahu mendayung sampan mereka ke arah yang dimaksud.

   Diam-diam Kok Siau-hong mendongkol karena disangka sebagai pemuda bangor.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mestinya dia dapat menyewa sebuah sampan dan menyusul kedua nona itu, tapi kalau tersusul, lalu cara bagaimana mengajak bicara mereka, jangan-jangan malah akan bertambah salah paham.

   Apalagi dia harus cepat ke tempat Bun Yat-hoan.

   Akhirnya Siau-hong membatalkan maksudnya menyusul Si Bwe berdua untuk mencari keterangan, ia pikir toh sebentar lagi dapat bertemu dengan Giok-kun, dan segala sesuatu tentu akan menjadi jelas.

   Teringat kepada Hi Giok-kun, tanpa tertahan hatinya menjadi pedih.

   Pikirnya.

   "Entah aku harus bertemu dengan dia lagi atau tidak?"

   Pegunungan Thian-tiok membentang sejauh beberapa puluh lie di sekitar Se-ouw, bagian tengah pegunungan itu terlebih indah pemandangan alamnya, tapi sayang Kok Siau-hong tidak ada pikiran buat menikmati lagi pemandangan yang permai itu.

   Sedang melanjutkan perjalanan dengan hati bimbang, tiba-tiba Siau- hong mendengar suara tindakan kaki, dari belakang dua orang sedang mengejarnya.

   Waktu Siau-hong menoleh, dilihatnya yang seorang adalah Su Hong dan yang lain berdandan sebagai Wisu dengan membawa sebuah senjata trisula bergelang baja sehingga terdengar suara gemerincing bilamana trisula itu bergerak.

   "Kok Siau-hong, masih kenal tidak padaku?"

   Dengan cepat Wisu itu memburu maju sambil membentak. Wisu ini adalah orang yang mengintai di balik gunung-gunungan tadi, sesudah berhadapan sekarang dapatlah Kok Siau-hong mengenalnya, setelah melengak, segera Kok Siau-hong berseru.

   "He, kiranya kau, Bong-sian!"

   "Ha, ha, syukur kau masih ingat padaku,"

   Jengek Bong Sian.

   "Dan pertemuan kita boleh dikata memang sudah suratan nasib."

   Bong Sian adalah jago yang pernah ikut mengepung Pek-hoa-kok dahulu itu, dia pernah terluka oleh pedang Kok Siau-hong.

   Peristiwa dahulu itu sudah diselesaikan secara damai.

   Sungguh tidak nyana sekarang Bong Sian justru mengungkit kejadian lama itu dan hendak membikin perhitungan dengan Kok Siau-hong.

   Maka dengan tertawa Siau-hong berkata.

   "Kejadian dahulu itu sudah diselesaikan, apa Tian-toasiok dan Liok Toa-siok tidak menjelaskan kepadamu?"

   Tian It-goan dan Liok Peng adalah kedua budak tua keluarga Han, mereka itu pula yang mengundang Bong Sian dan lain-lain agar ikut mengepung Pek-hoa-kok. Bong Sian menjengek, jawabnya.

   "Aku tidak ambil pusing lagi sandiwara apa yang kau mainkan dengan budak she Han itu, yang jelas luka di tubuhku ini tidak pernah hilang. Jelek-jelek orang she Bong ini juga seorang tokoh Kang-ouw, mana aku rela dilukai begitu saja olehmu? Hm, bila kau pun ingin berdamai dengan aku, boleh juga asal kau bersedia kutusuk satu kali dengan tombakku ini."

   Su Hong lantas menambahkan.

   "Ya, aku pun akur dengan caranya ini. Kok Siau-hong, asal kau berlutut di hadapanku dan memanggil kakek tiga kali padaku, maka aku pun dapat mengampuni kau."

   Tentu saja Siau-hong sangat gusar, tapi segera pula ia menyadari keadaan, ia pikir Bong Sian sekarang berada bersama Su Hong, tentunya dia juga kemaruk kedudukan dan rela menjadi budak menteri dorna, mana aku boleh anggap dia sebagai Bong Sian yang dulu dan anggap dia sebagai pahlawan Kang-ouw?"

   Dasar Kok Siau-hong juga seorang yang rada angkuh, seketika ia naik pitam dan menjawab.

   "Baik, boleh kalian maju saja sekaligus, kita tentukan saja dengan senjata."

   Segera Bong Sian ayun senjatanya dan hendak menubruk maju, tapi Su Hong telah mencegahnya dan berkata.

   "Bong-heng, permusuhanmu dengan bocah ini adalah lama, tapi dendamku padanya adalah baru, bagaimana kalau aku maju lebih dulu? Silakan Bong-heng jadi juri untuk sementara. Betapa pun kita harus menang secara jujur."

   "Huh, apakah kau akan main jujur atau main kotor boleh terserah, mau maju seorang dan dua orang sekaligus, semuanya aku tidak menolak, hayolah, maju saja!"

   Jengek Kok Siau-hong. Su Hong gosok-gosok kedua tangannya.

   "Baik, lolos pedangmu!"

   Katanya.

   "Kalau kau bertangan kosong, kenapa aku mesti memakai pedang untuk mengalahkan kau,"

   Jawab Siau-hong.

   "Tidak perlu banyak cincong, lekas mulai, aku tidak ada tempo buat mengobrol dengan kau!"

   "Hm, jika kau sudah bosan hidup, masa bodohlah. Lihat pukulanku!"

   Bentak Su Hong.

   Sebagai jago pengawal utama istana perdana menteri, dengan sendirinya kepandaian Su Hong sangat lihai, begitu kedua tangannya bergerak, tangan kiri memotong dan tangan kanan mencengkeram, seketika Kok Siau-hong terancam di bawah gerak serangannya yang beraneka ragam itu.

   Kok Siau-hong kenal ketujuhpuluh dua gerakan Kim-na-jiu-hoat musuh itu, ia tidak berani meremehkannya, cepat ia menggeser ke samping, tangan kiri menahan ke siku lawan, tangan kanan segera menyodok ke depan dari bawah untuk memukul muka musuh.

   "Bagus!"

   Seru Su Hong. Mendadak ia pun miring ke samping, tangannya juga menyodok ke depan dengan dahsyat. Dalam sekejap Kim-na-jiu-hoat yang lihai telah berubah menjadi pukulan Toa-sui-pi-jiu yang keras. Maka terbenturlah tangan kedua orang.

   "blang", Kok Siau-hong tergentak mundur dua tindak, sedang Su Hong juga terhuyung mundur tiga langkah, namun mukanya tidak kelihatan merah dan napas juga tidak tersengal. Padahal belum lama dia baru bebas dari totokan Kok Siau-hong tadi, dari hasil gebrakannya ini boleh dikata kekuatannya pasti mampu melawan Kok Siau-hong dengan sama kuat andaikata tidak dapat mengalahkannya. Hati Siau-hong terkesiap juga, pikirnya.

   "Pihak musuh masih ada seorang Bong Sian, aku harus simpan tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan."

   Dalam pada itu Su Hong telah menerjang maju lagi dengan cepat, kedua orang kembali bergebrak lagi.

   Kok Siau-hong juga lantas ganti cara bertempur agar tidak keras lawan keras, ia hanya main mengelak dan terkadang juga balas menyerang.

   Su Hong mengira Siau-hong sudah terdesak, ia tertawa gembira dan menyerang dengan lebih dahsyat dan membadai.

   Beberapa kali Kok Siau-hong mengalami serangan maut, sekonyong- konyong tubuhnya miring mundur ke belakang.

   "Apa mau lari?"

   Bentak Su Hong sambil melompat maju terus memukul dengan kepalan.

   Tak terduga Kok Siau-hong mendadak membalik tubuh, dia tidak mempedulikan serangan lawan, sebaliknya membarengi suatu serangan, tangan kiri setengah mengepal, dengan ruas tulang jari yang menonjol itu ia ketok "Thay-yang-hiat"

   Di pelipis lawan, sedang dua jari tangan kanan tiba- tiba bergerak sebagai pedang untuk menotok "Ih-gi-hiat"

   Di bagian iga musuh. Bong Sian sudah merasakan lihainya ilmu totokan Jit-siu-kiam-hoat kebanggaan Kok Siau-hong itu, cepat ia berseru memperingatkan kawannya.

   "Awas totokan musuh, Su-heng!"

   Akan tetapi gerak serangan Kok Siau-hong terlebih cepat dari seruannya, dengan tepat ujung jarinya kena sasarannya, Su Hong menjerit dan melompat pergi dua-tiga meter jauhnya, kebetulan ia dapat bersandar pada sebatang pohon sehingga tidak sampai jatuh terguling.

   Untung Su Hong memiliki lwekang yang luar biasa, ketika mendengar seruan Bong Sian, selekasnya dia berusaha mengerahkan tenaga murni untuk menutup Hiat-to yang diincar musuh, maka dia tidak sampai roboh pingsan, hanya kecundang sedikit saja.

   Hasil ini juga rada di luar dugaan Kok Siau-hong.

   Nampak kawannya sudah keok, segera Bong Sian angkat senjatanya dan menerjang maju sambil membentak.

   "Jangan temberang, bocah bagus! Ini dia, masih ada diriku!"

   "Hm, sejak tadi sudah kusuruh kalian maju saja berdua, tapi kau berlagak pahlawan dan mau jadi juri segala?"

   Jengek Siau-hong.

   "He, he, he, ha, ha, ha, lebih baik terang-terangan maju saja sekaligus, hayolah lekas!"

   Muka Bong Sian menjadi merah-padam, senjata trisula, tombak yang ujungnya bercabang tiga dan diberi gelang baja beberapa buah itu bergemerincing riuh, kontan dia menusuk dari depan sambil membentak.

   "Bocah bagus, tidak perlu kau putar lidah!"

   "Bagus! Kau ingin lekas dibereskan, ini cocok benar dengan seleraku!"

   Kata Siau-hong sambil tangan kiri bergerak pancingan, sedang tangan kanan cepat melolos pedang, bergerak belakangan, tapi serangannya tiba lebih dulu daripada pihak musuh, dengan jurus "Pek-hong-koan-jit" (pelangi menembus cahaya mentari) disertai jurus pukulan tangan kiri "Kim-liong- hok-hou" (menangkap naga dan menaklukkan harimau), sekaligus tangannya menghantam dan pedangnya menusuk, lihainya tidak kepalang.

   Jelek-jelek Bong Sian juga tokoh Lok-lim terkenal, ilmu silatnya sesungguhnya juga tidak lemah, tapi apa pun juga masih kalah setingkat dibanding Kok Siau-hong, ketika tombaknya menusuk tempat kosong, hatinya sudah gugup lebih dulu, cepat ia berteriak.

   "Su-toako, kau tidak apa- apa bukan?" ~ Sudah tentu, maksudnya ingin bantuan Su Hong bilamana sang kawan tidak terluka. Tapi segera terdengar suara "trang"

   Yang keras disertai meletiknya lelatu api, sebuah di antara ujung cabang tiga tombaknya itu telah tertabas kutung oleh pedang Kok Siau-hong.

   Tampaknya pukulan Kok Siau-hong yang terseling di tengah tusukan pedangnya itu segera akan mengenai tubuh Bong Sian, untung pada saat itu secepat kilat Su Hong keburu melompat maju dan berseru.

   "Jangan kuatir Bong-toako, aku cuma lengah sedikit saja, masakah aku dapat dilukai oleh bocah ingusan ini?"

   Berbareng ia pun melancarkan serangan beberapa kali untuk menahan serangan Kok Siau-hong.

   Terkesiap juga hati Kok Siau-hong, padahal Su Hong sudah tertotok olehnya, tapi tidak roboh, bahkan segera dapat bertempur pula, hal ini benar-benar di luar perhitungannya.

   Diam-diam ia menyadari gelagat kurang menguntungkan, cepat ia putar pedangnya sedemikian kencangnya.

   Jit-siu-kiam-hoat sungguh hebat luar biasa, jurus serangan aneh susul menyusul, cuma sayang, betapa pun satu sukar melawan dua, beberapa serangan maut tidak berhasil merobohkan lawan, lambat-laun tenaga Kok Siau-hong menjadi susut.

   Untung Bong Sian sudah merasakan lihainya Siau-hong tadi, ia menjadi jeri dan tidak berani mendesak terlalu dekat, dengan demikian Kok Siau-hong masih sanggup melayani kedua lawannya.

   Selagi Siau-hong merasa kewalahan dan mulai payah, tiba-tiba dari jalan pegunungan itu muncul seorang perwira.

   Usia perwira itu kira-kira tigapuluh tahun lebih, alisnya tebal dan mata besar, wajahnya kereng.

   Su Hong lebih dulu melihat kedatangan perwira itu, tiba-tiba mukanya menunjukkan rasa kikuk, agaknya dia bermaksud menyapa perwira itu, tapi terasa berat untuk buka suara, terpaksa ia berlagak sedang bertempur dengan segenap perhatiannya dan pura-pura tidak tahu kedatangannya.

   Maklumlah, Su Hong adalah pengawal utama istana perdana menteri, kalau sekarang dia harus melawan Kok Siau-hong dengan bergabung bersama Bong Sian, dengan sendirinya ia malu dilihat perwira kenalannya itu.

   Begitu melihat, segera pula Kok Siau-hong tahu perwira itu memiliki ilmu silat tinggi.

   Namun ia tidak menjadi gentar, ia pikir melawan dua orang saja kewalahan, biarpun tambah lagi satu musuh juga sama saja.

   Setelah mengikuti pertempuran itu sejenak, tiba-tiba perwira itu berkata dengan tertawa.

   "Su-heng, kepandaian bocah ini lumayan juga. Lekas kalian berhenti dulu!"

   Terpaksa Su Hong menjawab.

   "Eh, kiranya Kheng-tayjin! Engkau tidak tahu bahwa bocah ini harus ditangkap atas perintah Siang-ya kita!"

   Karena tidak tahu apa sebabnya perwira she Kheng itu menyuruhnya berhenti bertempur, terpaksa ia berdusta dan menonjolkan "Siang-ya"

   Atau paduka tuan perdana menteri sebagai tameng.

   "Su-toako, agaknya kau salah tangkap maksudku,"

   Ujar perwira she Kheng itu dengan tertawa.

   "Sama sekali aku tidak ingin berebut jasa dengan kau. Aku hanya minta kau serahkan bocah itu padaku, biar kucoba kepandaiannya. Untuk menangkapnya sedikitnya mesti membuat dia tertangkap dengan ikhlas lahir batin, jangan sampai bocah ini menganggap perwira kerajaan kita semuanya orang goblok."

   Dengan muka merah terpaksa Su Hong dan Bong Sian mengundurkan diri. Tapi perwira she Kheng itu pun tidak segera bergerak, ia menatap Kok Siau-hong dengan tajam dan berkata.

   "Kau tentu sudah lelah, boleh kau mengaso saja dulu!"

   Tentu saja Siau-hong sangat murka.

   "sret", kontan ia menusuk. Secara tak acuh perwira itu mengelak dengan enteng sekali, maka tusukan Siau- hong itupun mengenai tempat kosong.

   "Huh, kenapa kau terburu-buru, aku masih harus bicara dulu dengan mereka,"

   Jengek perwira itu.

   Karena lawan tidak bersenjata dan tidak balas menyerang, Siau-hong menjadi tidak enak merendahkan harga diri dan menyerang lagi.

   Segera ia berdiri tegak dan siap siaga untuk menantikan apa yang hendak dilakukan lawan.

   Maka berkatalah perwira itu kepada Su Hong berdua.

   "Kalian boleh kembali saja ke tempatmu, aku tidak perlu ditunggui orang di sini agar bocah ini tidak kebat-kebit kuatir dikerubut."

   "Kheng-tayjin,"

   Kata Su Hong.

   "jika bocah itu sudah kau tangkap, harap kami di....."

   "Jangan kuatir,"

   Kata perwira itu dengan tertawa.

   "sesudah bocah ini tertangkap tentu akan kuserahkan padamu, lekas kalian kembali saja!"

   Su Hong tidak berani membangkang terhadap perintah "Kheng-tayjin"

   Yang dikenalnya berwatak keras dan jujur itu, terpaksa ia mengiakan dan mengundurkan diri bersama Bong Sian. Begitu Su Hong berdua membalik tubuh, tiba-tiba perwira itu mengedipi Kok Siau-hong, lalu berkata.

   "Sekarang kita mulai bertanding dulu Ginkang masing-masing."

   Siau-hong melengak.

   "Cara bagaimana bertandingnya?"

   Tanyanya.

   "Kau baru saja bertempur, sekarang kuberi kesempatan padamu untuk berlari seratus langkah lebih dulu, habis itu barulah aku mulai menyusul,"

   Kata perwira itu.

   Diam-diam Siau-hong heran, ia pikir apa barangkali dia sengaja hendak membiarkan aku melarikan diri? Rupanya Bong Sian juga berpikir begitu, ia cukup kenal kepandaian Kok Siau-hong, maka ia menjadi sangsi dan menghentikan langkah sambil menarik Su Hong, katanya dengan suara tertahan.

   "Ginkang bocah itu tidaklah rendah, tapi Kheng-tayjin sengaja membiarkan dia lari seratus langkah lebih dulu, kukira....."

   "Ssst, jangan sembarangan omong,"

   Desis Su Hong.

   "Kepandaian Kheng-tayjin ini lain daripada yang lain, bocah itu pasti takkan bisa kabur, mungkin beliau sengaja hendak mempermainkan bocah itu."

   Dalam pada itu perwira she Kheng itu telah memberi tanda dan berkata pula.

   "Hayo, kenapa tidak lekas lari? Keluarkan segenap tenagamu yang ada, betapa pun kau toh takkan mampu lolos dari telapak tanganku!"

   Ucapannya ditujukan kepada Kok Siau-hong, padahal sengaja diperdengarkan kepada Su Hong dan Bong Sian. Sudah tentu Kok Siau-hong tidak tahu maksud perwira itu, ia anggap dirinya terhina, dengan gusar ia menjawab.

   "Baik, boleh kita bertanding, tapi aku tidak sudi disuruh lari lebih dulu. Kita boleh lari ke atas puncak gunung yang terjal itu untuk menentukan mati dan hidup!"

   Perwira itu bergelak tertawa dan menyatakan setuju.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Segera Kok Siau-hong mengeluarkan Ginkang yang tinggi, dengan cepat dan gesit luar biasa, dalam sekejap saja ia sudah berlari ratusan langkah, tapi belum terdengar ada orang menyusulnya lari belakang.

   Ia menjadi ragu-ragu apakah benar orang sengaja hendak membiarkannya kabur? Belum lenyap pikirannya, terdengarlah suara perwira itu berkata.

   "Ya, Siau-yang-sin-kangmu ini tampaknya sudah mencapai enam-tujuh bagian sempurna. Tapi untuk bisa lolos dari telapak tanganku sedikitnya kau harus berlatih sepuluh tahun lagi!"

   Padahal jarak mereka ada ratusan langkah jauhnya, namun suara bicara perwira itu terdengar laksana orang bicara di sampingnya saja.

   Dalam pada itu dengan cepat luar biasa tahu-tahu perwira itu sudah menyusul tiba.

   Sungguh kejut Kok Siau-hong tak terhingga, bukan saja dia terkejut oleh lwekang orang yang maha tinggi dalam hal "mengirimkan gelombang suara dari jauh", yang lebih mengejutkannya adalah perwira itu ternyata kenal Siau-yang-sin-kang, bahkan dapat menilai tinggi rendah ilmu yang dilatihnya itu.

   Namun Kok Siau-hong bukan pemuda yang gampang menyerah, betapa pun dia harus melawannya, andaikan kalah juga mesti kalah secara gemilang.

   Maka dengan Siau-yang-sin-kang yang kuat, dia tidak peduli orang telah menyusulnya atau belum, yang pasti dia akan mencapai puncak gunung itu lebih dulu.

   Dalam waktu singkat Kok Siau-hong sudah dapat mencapai puncak gunung itu.

   Baru saja dia menghentikan langkahnya, tahu-tahu perwira itupun melayang lewat di sebelahnya dan berhenti di hadapannya, katanya dengan tertawa.

   "Baiklah, pertandingan Ginkang kita ini boleh dianggap seri, sama kuat."

   Tapi Siau-hong lantas menjawab dengan angkuh.

   "Kau tidak perlu mempermainkan diriku, kutahu kepandaianmu lebih tinggi daripadaku. Seorang laki-laki lebih suka patah daripada bengkok, biarpun bukan tandinganmu juga aku ingin bertempur dengan kau. Nah, katakan saja caranya!"

   "Ha, ha, ha, sungguh seorang pemuda yang angkuh,"

   Ujar perwira itu dengan terbahak.

   "Tapi sekarang aku menjadi tidak ingin bertempur dengan kau."

   "Kenapa?"

   Tanya Siau-hong.

   "Kau putera Kok Yak-hi dari Yang-ciu, namamu Kok Siau-hong bukan?"

   Tanya perwira itu.

   Siau-hong melengak heran, tapi lantas terpikir olehnya bahwa asal- usulnya sudah diketahui oleh Bong Sian, mungkin Bong Sian telah memberitahukan kepada kawan sejawatnya, maka tidak heran kalau perwira inipun tahu siapa dia.

   Dengan tetap angkuh Siau-hong lantas menjawab.

   "Ya, benar, habis kau mau apa?"

   "Keluarga Kok adalah keluarga persilatan turun-temurun, sungguh beruntung dapat bertemu dengan kau, marilah kita berkenalan!"

   Kata perwira itu sambil mengulur tangan kepada Kok Siau-hong.

   Walaupun tahu orang hendak menjajal lwekangnya, meski menyadari bahayanya, namun Kok Siau-hong tidak sudi unjuk kelemahan, segera ia menjabat tangan perwira itu sambil mengerahkan segenap tenaga Siau-yang- sin-kangnya.

   Tak terduga tenaga dalam yang dia keluarkan itu ternyata tidak menemukan perlawanan, bahkan terus menghilang seperti tenggelam di laut tanpa bekas.

   Sebaliknya pihak lawan tampak tenang-tenang saja, sedikit pun tidak bergerak dan juga tidak menggempurnya kembali.

   Mau tak mau Kok Siau-hong menjadi patah semangat dan tercengang pula.

   Patah semangat karena lwekang lawan entah berapa kali lebih tinggi daripada dirinya, sedang tercengang karena pihak lawan ternyata tidak balas menggempurnya, terang lawan tidak bermaksud jahat padanya.

   Dengan menghela napas panjang kemudian Siau-hong berkata.

   "Nyata kepandaianmu teramat jauh di atasku, jika kau hendak menawan diriku boleh silakan saja!"

   Perwira itu tertawa katanya.

   "Aku cuma ingin menguji ketajaman pandanganku dan ingin mengetahui asal-usulmu saja, bukan maksudku hendak menguji kepandaianmu. Kini aku sudah tahu apa yang kuingin tahu itu, buat apa aku membikin susah lagi padamu? Sama sekali aku tidak bermaksud merintangi urusanmu yang penting, kau hendak pergi ke tempat Bun Yat-hoan bukan?"

   Siau-hong bertambah heran, rasa angkuhnya mau tak mau menjadi lenyap, timbul rasa hormatnya kepada perwira itu dan berkata.

   "Siapakah engkau sebenarnya?"

   "Mungkin kau sudah pernah mendengar namaku, Kang-lam Kheng Ciau adalah diriku."

   "Kiranya engkau adalah guru Kong-sun Bok, Kang-lam-tayhiap Kheng Ciau!"

   Siau-hong menegas dengan terkejut.

   "Benar, jadi kau kenal muridku itu?"

   "Ya, kami adalah sahabat yang pernah berjuang bersama, untuk diceritakan cukup panjang....."

   "Apa kau baru datang dari Kim-keh-nia? Hong-lay-mo-li adalah kawan baikku."

   "Aku memang ditugaskan oleh Liu Beng-cu ke Kang-lam sini, tak terduga di sini kebetulan dapat bertemu dengan Kheng-tayhiap."

   "Ini bukan kebetulan, tapi aku sengaja ke sini untuk menyelamatkan kau dari kerubutan musuh."

   Kiranya belasan tahun yang lalu Kheng Ciau pernah ikut pasukan laskar rakyat pimpinan Sin Gi-cit yang mundur ke daerah Kang-lam, laskar itu semula dibentuk oleh paman Kheng Ciau sendiri, kemudian dipimpin oleh Sin Gi-cit.

   Setelah peperangan Jay-ciok-ki yang terkenal antara kerajaan Kim dan Song, lantaran kerajaan Song yang korup dan lemah itu hanya mencari selamat sendiri belaka dan lebih banyak mengekang semangat patriot panglima-panglima yang bertekad perang, akhirnya Kheng Ciau menjadi kesal dan putus asa, lalu meninggalkan pasukannya (Kisah ini dapat diikuti dalam cerita Pendekar Latah).

   Akan tetapi berhubung perubahan zaman, negara kembali terancam oleh serbuan musuh baru dari Mongol, betapa pun patriot tetap patriot, di waktu kerajaan Song memerlukan tenaga, mau tak mau Kheng Ciau menyumbangkan tenaganya pula.

   Segera ia membentuk kembali sisa pasukan bekas pimpinan Sin Gi-cit itu dan meleburkan diri dalam pasukan resmi kerajaan dengan sebutan "Hui-hou-kun" (pasukan harimau terbang).

   Sebagian besar anggota pasukan itu adalah anak perajurit tua pimpinan Sin Gi-cit dahulu, maka pasukan harimau terbang ini boleh dikata adalah pasukan pribadi keluarga Kheng dan Sin.

   Meski jumlahnya cuma sepuluh ribu, tapi di antara pasukan kerajaan Song termasuk pasukan yang paling kuat.

   Kini Sin Gi-cit sudah tua, hanya Kheng Ciau yang masih muda dan kuat, maka kerajaan Song minta dia tampil ke muka menjadi komandan "Hui-hou-kun".

   Sebagai komandan suatu pasukan utama, dengan sendirinya Kheng Ciau sering berkunjung ke tempat Han To-yu untuk berunding.

   Kebetulan siang ini dia datang lagi ke situ pada saat Kok Siau-hong baru meninggalkan istana perdana menteri itu.

   "Untung waktu aku datang kebetulan Han-siangya sedang tidur siang, maka aku lantas pergi menyambangi Pek-locianpwe, dari beliau aku mendapat tahu tentang dirimu,"

   Demikian kata Kheng Ciau kemudian.

   "Pek- locianpwe sendiri serba susah ketika mengetahui Su Hong dan Bong Sian sedang menyusul dirimu, maka dia lantas menyerahkan urusan ini kepadaku."

   "Ya, aku tahu kesukaran Pek-locianpwe, sungguh aku sangat berterima kasih atas bantuannya sehingga aku dapat lolos,"

   Kata Siau-hong.

   "Tapi apakah Kheng-tayhiap tidak kuatir Su Hong akan melapor dan menghasut di hadapan Han To-yu mengenai persoalanku."

   "Kukira dia tidak berani,"

   Kata Kheng Ciau.

   "Dia sendiri berdusta bahwa tindakannya itu atas perintah Han To-yu, kalau aku tidak membongkar kebohongannya itu sudah cukup baik baginya, masakah dia masih berani mengutik diriku di hadapan Han to-yu? Sekembaliku nanti, asal kukatakan tak dapat mengejar kau, biarpun dia curiga juga tak bisa berbuat apa-apa. Oya, tadi kau menyinggung tentang muridku, Kong-sun Bok, bagaimana keadaannya sekarang?"

   ARU sekarang Kok Siau-hong sempat bercerita perkenalannya dengan Kong-sun Bok dahulu, lalu bersama menempur Sebun Bok- ya dan Cu Kiu-bok, kemudian bersama mengawal harta karun bagi Kay-pang, tapi di tengah jalan kena dicegat dan dirampas oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan kedua iblis tua itu.

   Senang sekali Kheng Ciau mendengarkan cerita Siau-hong itu, katanya kemudian.

   "Kedua iblis Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok itu dalam dunia persilatan boleh dikata termasuk di antara sepuluh tokoh tertinggi saat ini, tapi kau dan anak Bok mampu menempur mereka, nyata kepandaian anak Bok telah mengalami kemajuan yang lumayan."

   "Kepandaian Kongsun-toako memang jauh di atasku, ketika bersama menempur kedua iblis itu aku tidak lebih hanya sebagai pembantu saja, hampir delapan bagian Kongsun-toako sendiri yang melayani kedua iblis tua itu,"

   Kata Siau-hong.

   "Ah, kau terlalu rendah hati, Kok-siauhiap,"

   Ujar Kheng Ciau.

   "Anak Bok memang mempunyai pengalaman yang jauh lebih beruntung daripadaku sendiri. Dia pernah mendapat gemblengan dari tiga maha guru silat pada zaman ini, kalau dia tidak menjadi jago silat yang cemerlang adalah mustahil. Kata pribahasa, gelombang ombak Tiang-kang dari belakang mendorong ke muka, di dunia ini orang baru selalu menggantikan orang lama. Kesatria muda dari angkatan baru seperti kalian ini memang seharusnya lebih maju daripada angkatan yang lebih tua seperti kami ini."

   Pada umumnya orang persilatan sangat mementingkan cinta kasih antara guru dan murid, bisa mendapatkan seorang murid baik adalah jauh lebih

   Jilid 18 B berharga daripada hal lain. Maka dapat dibayangkan betapa senangnya hati Kheng Ciau demi mendengar Kong-sun Bok sudah sangat menonjol di dunia Kang-ouw.

   "Kami terpencar di medan pertempuran dan belum berjumpa pula sampai kini,"

   Kata Kok Siau-hong.

   "Cuma kami sudah berjanji untuk bertemu di Kim-keh-nia kelak."

   Kheng Ciau menjadi rada kuatir, katanya.

   "Sudah hampir sebulan kau berada di Kim-keh-nia, kini diutus pula ke Kang-lam sini, sedangkan anak Bok belum nampak ke Kim-keh-nia, jangan-jangan dia mengalami sesuatu di tengah jalan."

   "Kukira takkan terjadi,"

   Ujar Siau-hong.

   "Ilmu silat Kongsun-toako sangat tinggi, nona Kiong yang berada bersama dia itupun puteri keluarga persilatan ternama, kepandaiannya juga tidak lemah."

   "Oya, nona Kiong yang kau katakan itu sebenarnya puteri keluarga siapa?"

   Tanya Kheng Ciau sambil mengerut kening.

   "Konon ayahnya ialah Oh-hong-tocu, seorang tokoh yang berdiri di antara golongan baik dan jahat, cuma....."

   "Wah, celaka!"

   Tiba-tiba Kheng Ciau berseru. Siau-hong tercengang.

   "Celaka bagaimana?"

   Tanyanya.

   "Anak Bok sungguh ceroboh, mana boleh dia menerima perjodohannya yang ditetapkan oleh mendiang ayahnya itu?"

   Kata Kheng Ciau.

   "Ikatan perjodohannya ini tadinya oleh ibunya sengaja dirahasiakan, entah darimana anak Bok mendapat tahu hal ini? Ya, tentu anak perempuan siluman itu yang tidak tahu malu dan sengaja mencari bakal suaminya itu serta memberitahukan padanya secara terang-terangan."

   Tentu saja Kok Siau-hong bingung, ia menegas.

   "Apa? Jadi mereka memang sudah terikat oleh pertunangan yang ditetapkan orang tua mereka?"

   "Ya, seluk-beluk orang tua mereka, kalau dibicarakan, boleh dikata memang karma juga,"

   Ujar Kheng Ciau. Lalu ia pun bercerita secara ringkas kisah tragis ayah-bunda Kong-sun Bok di masa mudanya dan cara bagaimana pula ikatan pertunangan Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun ditetapkan oleh orang tua masing-masing.

   "Tapi kejadian itu kan mengenai diri angkatan tua yang telah almarhum,"

   Ujar Siau-hong dengan tertawa.

   "Maksudmu....."

   "Meski Oh-hong-tocu terkenal sebagai gembong dari Sia-pay, tapi nona Kiong itu cukup baik orangnya,"

   Kata Siau-hong.

   "Kata pribahasa, siapa yang dekat hitam tentu akan menjadi hitam, yang dekat dengan merah akan menjadi merah. Nona Kiong itu berada bersama Kongsun-toako, kuyakin dia pasti akan berubah juga menjadi kaum pendekar yang baik. Maka Kheng- pepek kiranya tidak perlu kuatir bagi mereka."

   "Tapi aku menyangsikan Oh-hong-tocu ada maksud tujuan tertentu,"

   Kheng Ciau sambil menggeleng.

   "Apalagi pertunangan ini juga ditolak tegas- tegas oleh ibunya, sebagai gurunya aku pun tidak setuju."

   Sebenarnya Kheng Ciau bukan orang yang kolot, soalnya dia dan ibu Kong-sun Bok, yaitu Siang Jing-hong pernah terjadi kisah kasih yang sukar diceritakan kepada orang lain, lantaran Siang Jing-hong tidak memperoleh cinta Kheng Ciau, akhirnya barulah kena tertipu oleh Kong-sun Ki, ayah Kong-sun Bok (Kisah inipun dapat dibaca dalam Pendekar Latah).

   Sebagai pemuda yang berpikiran maju, Siau-hong tidak sependapat dengan ucapan Kheng Ciau itu, ia anggap, asal kedua muda mudi itu sama- sama cinta, maka siapa pun tak dapat menghalangi mereka.

   Melihat Siau-hong berdiam, dengan tertawa Kheng Ciau berkata pula.

   "Sudahlah, aku akan lekas kembali ke sana, ada suatu urusan perlu kukatakan pula padamu. Dapatkah kau membawa sesuatu barang antaran."

   "Barang antaran untuk siapa?"

   Tanya Siau-hong.

   "Bukankah kau hendak pergi ke tempat Bun-tayhiap?"

   Tanya Kheng Ciau.

   "Barang antaran yang kukirim ini adalah untuk murid pewaris Bun-tayhiap yaitu Sin Liong-sing. Kabarnya dalam waktu singkat ini dia akan menikah, kebetulan kau akan ke sana, maka kado yang kukirim ini akan kusumbangkan padanya, tapi juga kusumbangkan untukmu."

   Perasaan Siau-hong tersinggung, tapi juga heran. Dengan tersenyum ewa ia menegas.

   "Kado untuk Sin-siauhiap mana boleh aku membagi miliknya itu?"

   "Barang lain tidak boleh, tapi kado ini dapat dibagi,"

   Ujar Kheng Ciau tertawa. Segera ia pun mengeluarkan kado yang dimaksud, kiranya adalah sebuah gambar dengan keterangan lengkap yang berisi delapan macam gaya ilmu silat.

   "Ini yang disebut Tay-heng-pat-sik (delapan gaya maha sakti),"

   Tutur Kheng Ciau.

   "Bagi orang yang tak pernah berlatih lwekang, setelah berlatih menurut petunjuk gambar ini akan dapat dipersamakan dengan kekuatan latihan lwekang selama sepuluh tahun. Orang yang memang sudah mempunyai dasar lwekang, setelah berlatih menurut gambar juga dapat melipat gandakan kekuatannya. Siau-yang-sin-kang yang kau latih adalah lwekang dari golongan asli sehingga sangat baik bila saling bergabung dengan kekuatan Tay-heng-pat-sik ini. Sebab itulah aku sengaja menyumbangkan kado ini kepada kalian berdua, semoga kalian dapat mempelajarinya bersama. Kuyakin kau akan lebih cepat memahami pelajaran ini, maka kau harus lebih banyak membantu Sin Liong-sing."

   Kiranya tindakan Kheng Ciau ini memang mengandung maksud yang dalam.

   Dia pernah mendengar dari Pek Tik, bahwasanya Kok Siau-hong pernah bergebrak dengan Sin Liong-sing, sebab itulah dia sengaja menghadiahkan kado itu kepada mereka berdua agar mereka dapat mempelajari bersama ilmu silat sakti itu, dengan demikian selisih paham kedua orang pun dapat diselesaikan tanpa kelihatan.

   Sudah tentu Kheng Ciau tidak tahu bahwa "sengketa"

   Antara Kok Siau- hong dan Sin Liong-sing tidaklah sederhana seperti sangkaannya.

   "sengketa"

   Mereka itu mungkin selama hidup ini sukar dihapus. Begitulah maka Kok Siau-hong telah menjawab.

   "Kado Lo-cianpwe ini pasti akan kusampaikan, cuma Wanpwe tidak ingin ikut membagi manfaatnya."

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kheng Ciau tampak kurang senang, katanya.

   "Kok-laute, aku adalah orang yang suka terus terang, maafkan kalau aku bertanya padamu, apa kau memandang remeh Tay-heng-pat-sik ini atau kau memang main sungkan padaku lantaran baru kenal?"

   Cepat Siau-hong menjawab.

   "Ah, Kheng-tayhiap jangan salah paham. Tay-heng-pat-sik adalah pusaka yang selalu diimpikan setiap orang persilatan, kalau Kheng-tayhiap sudi menghadiahkannya tentu Wanpwe sangat berterima kasih. Soalnya Wanpwe tidak berbakat dan tidak berani mengharapkan terlalu banyak, terhadap segala sesuatu Wanpwe cukup tahu batasnya sesuai kemampuan sendiri....."

   "Benar juga pendirianmu,"

   Ujar Kheng Ciau.

   "kau bisa mengekang napsu sendiri dan tulus terhadap lawan, sungguh harus dipuji."

   "Apalagi kado Kheng-tayhiap itu adalah untuk Sin-siauhiap, maknanya lain daripada yang lain, maka kukira akan lebih baik jika melulu disumbangkan kepadanya seorang saja,"

   Kata Siau-hong pula.

   "Mengenai saling belajar ilmu silat, bilamana Sin-siauhiap sudi, tentu saja Wanpwe akan menyambutnya dengan segala senang hati."

   "Pikiranmu betul juga,"

   Kata Kheng Ciau.

   "Dengan demikian aku pun tidak memaksa lagi bila kau tidak mau menerima hadiahku. Kalau kau ketemu Bun-tayhiap guru dan murid hendaklah sampaikan salamku kepada mereka. Sekarang aku harus kembali, sampai bertemu pula."

   Setelah berpisah, dengan perasaan limbung Siau-hong melanjutkan perjalanannya.

   Semakin jauh menanjak tanah pegunungan itu, tertampak awan tipis menyelimuti puncak-puncak gunung, rasanya Siau-hong sendiri seakan-akan berenang di lautan mega.

   Akhirnya tertampak sebuah puncak menonjol di depan sana, tanpa terasa ia sudah sampai di puncak Ki-liu-hong yang dituju.

   Pikiran Kok Siau- hong masih kusut dan merasa bingung apa yang harus dibicarakan bilamana bertemu dengan Hi Giok-kun nanti.

   Pada saat yang sama ada seorang lain juga berpikiran kusut seperti halnya Kok Siau-hong, juga merasa bingung apa yang harus dibicarakan bila bertemu dengan Giok-kun.

   Tak usah diterangkan lagi, orang ini bukan lain daripada Sin Liong-sing adanya.

   Sejak dia menemui Pek Tik di danau Se-ouw, sejak itu pikiran Sin Liong- sing lantas tidak tenteram.

   Dia telah menghantam jatuh Kok Siau-hong ke dalam danau, tapi Kok Siau-hong telah menjangkitkan damparan ombak dalam lubuk hatinya.

   Sudah tentu ia belum tahu pemuda yang terpukul jatuh ke danau itu adalah Kok Siau-hong, tapi dia sudah tahu kalau Siau-hong orang keluarga Kok.

   Sebab ketika dia melancarkan serangan maut tiba-tiba Pek Tik berseru padanya agar menahan serangannya.

   Kemudian Pek Tik menolong Siau- hong dari dalam danau, dengan heran dia tanya orang tua itu.

   Maka Pek Tik telah menerangkan bahwa ilmu pedang Siau-hong dikenalnya sebagai Jit-siu- kiam-hoat, padahal ilmu pedang itu adalah ilmu khas keluarga Kok di Yang- ciu, sedangkan anggota keluarga Kok besar kemungkinan bukanlah orang jahat menurut penilaian Pek Tik.

   Lantaran buru-buru hendak pulang untuk lapor sang guru dan tidak sempat menunggu Kok Siau-hong sadar kembali, maka Sin Liong-sing bergegas mohon diri untuk berangkat.

   Tapi sesungguhnya dalam lubuk hati ia pun kuatir kalau-kalau pemuda ini benar-benar Kok Siau-hong adanya.

   Ia tak berani berpikir lagi, tapi toh tak bisa tidak memikirkannya.

   "Jika betul Kok Siau-hong masih hidup di dunia ini, lalu bagaimana tindakanku? Apa kejadian ini mesti kuberitahukan kepada Giok-kun?"

   Perlu diketahui bahwa sudah ditetapkan tiga hari lagi adalah hari nikahnya dengan Hi Giok-kun, kalau saja pada saat itu Kok Siau-hong mendadak muncul, bukankah suasana gembira itu akan berubah menjadi geger? Seumpama tidak sampai terjadi kekacauan, sedikitnya juga akan menimbulkan suasana yang tidak enak.

   Begitulah setiba kembali di rumah sang guru, sementara itu sudah lewat tengah malam.

   Giok-kun juga tinggal di situ, cuma di bagian belakang, saat itu si nona tentu sudah tidur.

   Setelah Liong-sing melaporkan hasil pertemuannya dengan Pek Tik, maka Bun Yat-hoan telah memberi pujian padanya, walaupun pertemuan itu belum memuaskan, namun Bun Yat-hoan anggap perlu kesabaran untuk membujuk manusia seperti Han To-yu agar suka bersatu untuk melawan musuh dari luar.

   "Kukira kau baru akan pulang besok, tak tersangka malam ini juga kau sudah kembali,"

   Kata Bun Yat-hoan kemudian.

   "Apa perlu panggil Giok-kun agar dia ikut bergirang atas kedatanganmu ini."

   "Sudahlah, biar besok pagi saja aku menemui dia,"

   Kata Liong-sing. Soalnya dia sendiri belum tahu apa yang harus dibicarakan dengan Hi Giok- kun.

   "Baiklah, toh tiga hari lagi kalian sudah akan menjadi suami-istri,"

   Ujar Bun Yat-hoan dengan tertawa.

   "Pada hari bahagiamu aku pun hendak mengumumkan di depan para tamu, secara resmi kuangkat kau sebagai ahli warisku."

   "Terima kasih, Suhu,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Silakan Suhu mengaso, biar murid mohon diri saja."

   Bun Yat-hoan rada heran melihat muridnya itu tidak mengunjuk rasa senang, maka ia pun tidak mengajaknya bicara lebih lama.

   "Baiklah, pergilah tidur kau!"

   Katanya. Mana Sin Liong-sing dapat tidur, ia keluar lagi dari kamarnya dan berjalan-jalan di tepi lereng gunung. Tiba-tiba tertampak seorang mendekatinya dan menegur.

   "Sin-siauhiap, bilakah engkau pulang?"

   Sin Liong-sing terkejut, hatinya lantas tergerak pula, pikirnya.

   "Kenapa aku tidak mencari kabar padanya?"

   Kiranya orang ini adalah Tian It-goan, satu di antara kedua budak tua keluarga Han yang dahulu pernah mengantar Han Pwe-eng ke Yang-ciu itu.

   Sesudah peristiwa pengepungan Pek-hoa-kok diselesaikan, Tian It-goan dan kawannya, yaitu Liok Hong lantas menggabungkan diri dengan laskar rakyat setempat, tapi setelah penyerbuan pasukan Mongol, Tan It-goan terpencar dengan induk pasukannya dan sampai di Kang-lam serta mondok di tempat Bun Yat-hoan.

   Sebagai pemimpin dunia persilatan daerah Kang-lam, Bun Yat-hoan banyak mendapat dukungan dari laskar rakyat di berbagai tempat.

   Kini dia sedang melaksanakan dua urusan besar, di suatu pihak dia mewakili laskar rakyat untuk berunding dengan pihak kerajaan mengenai kerja sama melawan musuh dari luar, selain itu dia juga menyalurkan segenap pendirian laskar-laskar rakyat dan sedang bersiap mendirikan sebuah markas pusat laskar-laskar rakyat itu.

   Sebab itu dia perlu bantuan orang banyak, ada berpuluh orang tamu seperti Tian It-goan itu tinggal di tempatnya.

   Begitulah setelah memberi hormat, lalu Tian It-goan berkata pula.

   "Sin- siauhiap baru pulang dari daerah utara, apakah engkau mendengar sesuatu berita tentang Sio-cia kami?"

   "O, kabarnya nona Han sudah berada di Kim-keh-nia,"

   Kata Sin Liong- sing.

   "Cuma ketika aku menemui Liu-lihiap, nona Han belum berada di sana. Tentang nona Han kalian itu, bukankah dia telah dijodohkan dengan keluarga Kok di Yang-ciu?"

   "Ya, Sio-cia kami memang telah dijodohkan dengan Kok Siau-hong, putera Kok Yak-hi di Yang-ciu, tapi aku benar-benar tidak ingin menyebut diri orang itu lagi."

   "Sebab apa?"

   Tanya Liong-sing.

   "Orang itu lupa budi dan ingkar janji, tidak ada harganya untuk disebut. Apalagi kabarnya dia sudah mati."

   "Apa betul? Tapi ada seorang sahabatku pernah melihat seorang yang mirip dia?"

   Tian It-goan melengak.

   "Sungguhkah demikian?"

   Ia menegas. Sin Liong-sing coba melukiskan wajah Siau-hong, lalu berkata.

   "Begitulah orang yang pernah dilihat sahabatku di Se-ouw beberapa hari yang lalu, sahabatku dahulu pernah melihat Kok Siau-hong, tapi tidak kenal betul, maka dia tak berani yakin orang yang dilihatnya itu adalah Kok Siau- hong. Dia memberitahukan padaku tentang hal itu, bila benar Kok Siau- hong berada di sini, sahabatku itu menganjurkan agar kita mengajaknya ikut berjuang dalam laskar rakyat kita."

   Sin Liong-sing sengaja bercerita secara samar-samar dan tidak mengatakan dia sendiri yang bertemu dengan Kok Siau-hong, tapi sebagai orang tua yang sudah berpengalaman, diam-diam Tian It-goan dapat menerka beberapa bagian, katanya kemudian.

   "Manusia banyak yang sama rupa, maka tidak perlu diherankan. Seumpama Kok Siau-hong benar masih hidup di dunia ini, manusia demikian juga tiada harganya untuk bersahabat dengan Sin-siauhiap."

   Sebagai pemuda yang cerdik, dari ucapan Tian It-goan itu segera Sin Liong-sing dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang dipergoki itu memang betul Kok Siau-hong adanya.

   Tadinya ia merasa sangsi, tujuannya sekarang hanya mencari pembuktian saja, dan setelah mengetahui apa yang diduganya memang tidak meleset, hatinya menjadi tambah tertekan, seperti tertahan oleh potongan besi beratnya.

   Akhirnya ia pun bertanya.

   "Kabarnya geger soal pernikahan Kok Siau- hong dahulu itu disebabkan..... disebabkan oleh Giok-kun, apakah urusan ini....."

   "Bocah she Kok itu tidak berbudi, dia telah mengingkari Sio-cia kami, sekali pun dia sudah mati juga aku masih benci padanya,"

   Kata Tian It-goan.

   "Mungkin nona Hi pernah terjebak oleh mulutnya yang manis, tapi hendaklah Sin-siauhiap jangan kuatir, mereka tidak menimbulkan sesuatu yang gawat. Setelah peristiwa Pek-hoa-kok, mereka pun tidak bersama lagi. Kini urusan sudah berubah dan waktu berlalu, kukira Sin-siauhiap juga tidak perlu mengungkit kejadian itu dengan nona Hi."

   Setelah mendapatkan keterangan yang diharapkan serta mengetahui sikap Tian It-goan ternyata berdiri di pihaknya sini, hal ini sungguh hasil yang tak terduga sebelumnya, maka Sin Liong-sing lantas mengucapkan terima kasih dan berpisah dengan Tian It-goan untuk pergi tidur.

   Namun hati Liong-sing tetap risau dan sukar mengambil keputusan, apakah pengalamannya bertemu dengan Kok Siau-hong itu harus diberitahukan kepada Hi Giok-kun atau tidak.

   Sungguh persoalan yang serba sulit baginya.

   Pada saat yang sama, hati Giok-kun ternyata juga sama kusutnya seperti perasaan Sin Liong-sing.

   Waktu pernikahan sudah semakin dekat, selama beberapa malam terakhir ini Giok-kun tidak pernah tidur dengan nyenyak, malam ini kembali dia tak bisa tidur.

   Ia bersandar pada jendela sambil melamun.

   Terkenang masa lalu, ketika saling sumpah setia dan memadu cinta dengan Kok Siau-hong, akan tetapi semuanya itu kini tinggal kenangan belaka.

   "Sungguh tidak nyana bahwa Siau-hong akan meninggalkan aku begini saja, andaikan dia sekarang masih hidup ya, kalau masih hidup....."

   Terpikir sampai di sini, mendadak hati Giok-kun tergetar, teringat olehnya.

   "Ya, bagaimana jikalau benar Siau-hong masih hidup di dunia ini?"

   Berita kematian Kok Siau-hong itu didengarnya dari orang lain, walaupun benar ia sendiri pernah mengunjungi tempat kecelakaan Kok Siau- hong itu, kala itu seorang anggota Kay-pang yang belum menghembuskan napas penghabisan sempat memberitahukan padanya bahwa Kok Siau-hong benar telah mati oleh seorang perwira Mongol, tapi Giok-kun sendiri juga sudah memeriksa dengan teliti mayat-mayat yang bergelimpangan di medan pertempuran, namun tidak ditemukan jenazah Kok Siau-hong.

   Kini mendadak hatinya tergetar, mau tak mau ia menjadi sangsi sendiri kepada kejadian itu.

   "Apakah mungkin anggota Kay-pang itu memberi kabar ngawur? Kiranya tidak bisa!"

   Begitulah ia coba menghibur diri sendiri. Tapi lantas terpikir pula.

   "Ai, bilamana Siau-hong benar masih hidup, lalu bagaimana dengan diriku?"

   Begitulah pikirannya bergolak terus, tanpa terasa fajar sudah menyingsing, semalam suntuk ia tidak tidur, tahu-tahu hari sudah pagi. Tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu perlahan. Giok-kun seperti terjaga dari mimpi, cepat ia bertanya.

   "Siapa itu?"

   "Aku!"

   Terdengar suara jawaban yang sudah sangat dikenalnya.

   Kejut dan girang Giok-kun, dengan rasa kikuk pula ia membuka pintu kamar.

   Terlihatlah Sin Liong-sing berdiri di situ dengan wajah lesu dan rada pucat.

   Nyata semalam Sin Liong-sing juga tidak dapat tidur, maka begitu pagi tiba segera ia datang ke kamar Hi Giok-kun.

   Tak disangkanya bahwa si nona juga semalam tak dapat tidur.

   "Bilakah kau pulang?"

   Tanya Giok-kun dengan mengulum senyum.

   "Eh, air mukamu tidak begitu baik, tentunya kau sangat lelah dalam perjalanan."

   "Pulang semalam,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Lantaran tahu kau sudah tidur, maka aku tidak ingin mengagetkan kau, baru sekarang aku menjenguk kau."

   Senang sekali hati Giok-kun karena Sin Liong-sing pandai mengembannya, dengan tertawa ia bertanya pula.

   "Pagi sekali kau sudah mencari aku, apakah ada urusan penting?"

   "Sehari tidak bertemu kau, hatiku merasa tidak enak, memangnya aku tidak boleh menjenguk kau jika tiada urusan?"

   Ujar Sin Liong-sing dengan tertawa.

   "Ah, bilakah kau pintar bermulut manis seperti ini?"omel Giok-kun dengan tersenyum manis.

   "Tapi bicara sesungguhnya, aku memang ingin menyampaikan suatu berita gembira kepadamu,"

   Sambung Liong-sing pula.

   "O, ada berita gembira? Tentunya tugasmu menghubungi Han To-yu telah berhasil dengan baik bukan?"

   "Bukan soal ini. Yang kumaksudkan adalah urusan pribadi, urusan kita berdua."

   "Sudahlah, jangan jual mahal lagi, ceritakanlah!"

   Kata Giok-kun. Liong-sing pikir persoalan Kok Siau-hong sebaiknya dibicarakan lain kali saja, maka kata-kata yang sudah disiapkan lantas ditelan kembali, katanya.

   "Suhu telah memberitahukan padaku bahwa pada hari bahagia kita nanti, di hadapan para tamu beliau akan mengumumkan pengangkatanku sebagai ahli waris beliau."

   "Wah, selamat, selamat! Jika begitu dengan sendirinya pula kelak kau akan menggantikan gurumu sebagai Beng-cu daerah Kang-lam. Ya, ini memang berita yang menggembirakan. Tapi kan tiada hubungannya dengan diriku?"

   "Mengapa tidak? Jika aku menjadi Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, kau kan juga nyonya Beng-cu jadinya?"

   "Cis, masakah aku punya rezeki sebesar itu?"

   Omel Giok-kun dengan malu-malu.

   "Bicara yang benar saja, jangan kau sembarangan mengoceh."

   Kabar gembira itu benar-benar membuat hati Giok-kun sangat senang, soalnya dia memang tinggi hati dan suka unggul daripada yang lain.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bilamana dia betul dapat menjadi nyonya Beng-cu, maka tidak sia-sia kiranya hidup ini.

   Melihat si nona termenung-menung, segera Sin Liong-sing bertanya.

   "Kenapa kau melamun, memangnya ada sesuatu yang kau pikirkan?"

   "O, tidak,"

   Jawab Giok-kun.

   "Ah, air mukamu tampak lesu, agaknya engkau sendiri yang menanggung sesuatu pikiran?"

   "Ya, memang benar, aku sedang merisaukan sesuatu,"

   Kata Liong-sing.

   "Bilamana kukatakan padamu, hendaklah kau jangan marah padaku."

   Hati Giok-kun tergetar, ia menjadi ragu-ragu entah apa yang akan dikatakan pemuda itu. Dengan suara perlahan kemudian ia menjawab.

   "Kita sudah hampir menjadi suami-istri resmi, ada persoalan apakah yang tidak dapat dibicarakan antara suami dan istri, masakah aku akan marah padamu?"

   "Ya, kita sudah hampir menjadi suami-istri, tinggal dua hari lagi,"

   Kata Sin Liong-sing dengan menghela napas.

   "Tapi aku menjadi rada kuatir."

   Giok-kun mengangkat kepalanya dan menatap Sin Liong-sing dengan rada heran, tanyanya.

   "Apa yang kau kuatirkan?"

   "Ku kuatir terjadi sesuatu halangan apa-apa,"

   Kata Liong-sing.

   "Halangan? Darimana datangnya halangan yang kau maksud?"

   Giok-kun menegas.

   "Maafkan jika aku tanya hal ini padamu secara mendadak,"

   Kata Liong- sing.

   "Misalnya sekarang kau bertemu dengan Kok Siau-hong, apakah kau akan menyesal telah bertunangan dengan aku?"

   Kembali hati Giok-kun tergetar, mukanya menjadi pucat. Sejenak kemudian barulah ia menjawab dengan tertawa ewa.

   "Mana bisa jadi, dia sudah meninggal, memangnya aku dapat melihat dia lagi?"

   "Aku cuma pakai perumpamaan,"

   Ujar Liong-sing.

   "Umpamakan sekarang dia tidak meninggal, dengan begitu kau menjadi dapat berkumpul kembali dengan dia."

   Jantung Giok-kun memukul keras, katanya kemudian.

   "Liong-sing, engkau tidak sakit bukan? Mengapa kau bicara ngawur tak keruan?"

   "Aku bicara betul-betul. Jika bukan perumpamaan belaka, tapi dia benar- benar masih hidup di dunia ini? Coba katakan, kau lebih suka padanya atau tetap suka padaku?"

   Mendadak air mata Giok-kun berlinang-linang, katanya.

   "Liong-sing, janganlah kau mendesak padaku! Kau berkata demikian, apakah karena kau telah..... telah melihat dia?"

   "Aku pun tidak tahu persis apakah dia atau bukan? Tapi aku memang telah melihat satu orang yang mahir memainkan Jit-siu-kiam-hoat,"

   Lalu Sin Liong-sing menceritakan perkelahiannya dengan Kok Siau-hong di Se-ouw itu, kemudian ia menyambung pula.

   "Sudah tentu, aku berharap orang itu bukanlah dia adanya, tapi kalau benar dia, aku pun bergirang bagimu. Asalkan kau dapat bahagia, apa pun aku bersedia melakukannya bagimu. Mempelai lelaki besok lusa boleh juga kuserahkan padanya!"

   Tanpa terasa Giok-kun menjulurkan tangan untuk menutup mulut Sin Liong-sing, serunya dengan suara tertahan dan parau.

   "Jangan..... jangan kau bicara ngawur!"

   "Memangnya kau kira bukan dia?"

   Ujar Liong-sing.

   "Orang yang mahir memainkan Jit-siu-kiam-hoat tidak cuma dia seorang saja, anak murid Yim Thian-ngo juga banyak yang dapat,"

   Ujar Giok-kun.

   Padahal ucapannya ini hanya untuk menghibur diri sendiri saja.

   Lantaran hatinya sudah cemas, maka hakikatnya dia tidak berani lagi menanyakan bagaimana wajah orang itu kepada Sin Liong-sing.

   Maka perasaan Sin Liong-sing yang rada tegang tadi menjadi agak tenang, ia pikir tampaknya aku sudah menggantikan bocah she Kok itu di dalam lubuk hati Giok-kun, sekali pun dia nanti sampai di situ juga tidak perlu kutakuti lagi.

   Maka dengan tertawa ia berkata pula.

   "Tapi aku tetap rada kuatir, jika betul dia adanya, aku menjadi bingung apa yang harus kulakukan. Memang, aku bersedia berkorban bagimu, tapi kalau aku kehilangan kau, maka benar-benar akan menyesal selama hidup. Sekali pun aku diangkat menjadi Beng-cu juga tiada artinya hidup ini bagiku."

   Sekali lagi Giok-kun mendekap mulut Sin Liong-sing, katanya.

   "Jangan kau omong lagi, urusan yang sudah lalu biarlah kita lupakan saja dan tak perlu diungkit pula."

   Tidak kepalang lega hati Sin Liong-sing, katanya.

   "Ya, ya, kita jangan bicara hal-hal yang tidak enak, besok lusa adalah hari bahagia kita, marilah kita bicara hal-hal yang menyenangkan saja."

   


Peristiwa Merah Salju -- Gu Long Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long

Cari Blog Ini