Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 17


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 17



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Giok-kun menguap kantuk, katanya kemudian.

   "Semalam kau tidak tidur, lebih baik engkau pergi mengaso saja."

   "Ya, kau pun kurang tidur, perlu istirahat,"

   Ujar Liong-sing.

   Setelah Sin Liong-sin pergi, hati Giok-kun menjadi kusut, mana dia dapat mengaso dengan tenang? Ia coba membalik-balik kitab, tapi sedikit pun tak dapat membaca.

   Ia taruh kitabnya dan keluar dari kamar, tanpa tujuan tertentu ia mengelilingi lereng bukit itu dengan pikiran bimbang.

   Banyak kejadian di masa lampau terbayang kembali dalam benaknya.

   Meski dia tidak ingin mengingat kembali hal-hal di waktu lalu, tapi mau tak mau pikirannya tetap menjurus ke sana.

   Ya, betapa pun Kok Siau-hong adalah orang yang pernah bersumpah setia dengan dia.

   "Selamat pagi, nona Hi!"

   Tiba-tiba seorang tua muncul dari balik lereng dan menyapa padanya.

   "Selamat pagi, Tian-toasiok!"

   Jawab Giok-kun ketika mengenali penegur itu adalah Tian It-goan. Tentu saja Hi Giok-kun tidak tahu bahwa Tian It-goan juga tidak enak tidur semalam suntuk. Sejak dia mendengar penuturan Sin Liong-sing"

   Ia menduga Kok Siau-hong pasti akan menyusul ke sini dalam waktu sehari dua hari ini.

   Sebab itu Tian It-goan ambil keputusan akan menunggu kedatangan Kok Siau-hong di ujung jalanan.

   Tak terduga yang dipergoki lebih dulu bukanlah Kok Siau-hong melainkan Hi Giok-kun adanya.

   Maka dengan tertawa Tian It-goan berkata pula.

   "Nona Hi, bahagialah kau! Aku belum mengucapkan selamat padamu."

   Wajah Giok-kun menjadi merah, katanya.

   "Tian-toasiok, bagaimana dengan Sio-cia kalian, apakah sudah didapatkan beritanya?"

   "Kabarnya Sio-cia kami sudah sampai di Keh-kim-nia, berada di tempat Liu-lihiap sana,"

   Kata Tian It-goan.

   "O, begitukah?"

   Kata Giok-kun. Lalu ia menghela napas dan menyambung.

   "Aku dan Sio-ciamu seperti kakak beradik saja, cuma sayang dia tidak berada di sini, entah kapan lagi baru dapat kujumpa lagi dengan dia. Tian-toasiok, apakah kau masih menyesali diriku?"

   "Peristiwa Pek-hoa-kok itu aku pun berbuat terlalu kasar, kalau nona Hi tidak menyesali diriku sudah baik, mana aku berani menyesali nona Hi, yang harus disesalkan justru adalah Kok Siau-hong itu."

   "Padahal dia juga tak dapat disalahkan,"

   Ujar Giok-kun.

   "Waktu itu, ai, mungkin sudah suratan nasib, rasanya aku pun tidak ingin membicarakannya lagi."

   "Ya, konon bocah she Kok itu sudah mati, orang mati, maka aku pun tidak perlu menyesali dia lagi. Nona Hi kiranya juga tidak perlu mengenangkan dia bukan?"

   "Tidak perlu menyebut dia pula,"

   Ujar Giok-kun dengan wajah merah.

   "Ya, ya. Tapi, ai, sayang....."

   "Sayang apa?"

   Giok-kun menegas.

   "Pada hari bahagia nona Hi nanti, sungguh sayang Sio-cia kami tidak dapat ikut hadir memberi selamat padamu!"

   Tiba-tiba hati Giok-kun tergerak, katanya.

   "Tian-toasiok, bicara tentang Sio-cia kalian, aku menjadi ingin minta tolong padamu!"

   "Nona tak perlu sungkan, silakan bicara saja,"

   Jawab Tian It-goan.

   "Bagiku kesempatan bertemu dengan Sio-ciamu rasanya sedikit sekali, karena kau sudah tahu dimana dia sekarang, bila kau nanti menemui dia, sudilah kau menyampaikan sesuatu barang titipanku kepadanya." ~ Habis berkata, Giok-kun lantas mengeluarkan sepotong batu yade (Giok) warna hijau gemilang dan disodorkan kepada Tian It-goan. Setelah menerimanya, Tian It-goan melihat batu Giok itu terukir sangat indah dengan seekor naga dan seekor burung Hong yang seperti hidup. Ia menjadi rada bingung melihat benda sebagus itu, katanya dengan tertawa.

   "Jika Sio-cia kami mengetahui akan hari bahagia nona, seharusnya beliau yang memberi kado padamu, mengapa berbalik engkau kirim kado baginya?"

   "Harap engkau menyampaikan benda ini sampai di tangan Sio-ciamu, ini adalah sedikit tanda mata dariku, dia tentu akan paham maksudku,"

   Kata Giok-kun.

   "Baiklah, sekarang aku akan pulang saja."

   Setelah Giok-kun pergi, Tian It-goan coba mengamat-amati Giok berukir indah itu, ia pikir naga dan Hong yang terukir itu adalah simbol bahagia bagi kedua mempelai, sayang perjodohan Sio-cia telah buyar menjadi kenangan belaka, mungkin beliau tidak punya rezeki untuk menikmati kebahagiaannya.

   Tiba-tiba timbul perasaan curiga dalam benak orang tua itu, apa maksud tujuan Hi Giok-kun memberi kado ini kepada Sio-cia kami? Sebagai orang tua yang sudah berpengalaman, setelah berpikir sejenak, samar-samar dapatlah Tian It-goan menerka maksud tujuan Hi Giok-kun, hanya entah benar atau tidak.

   Selagi termangu-mangu sendirian, tiba-tiba dari balik lereng sana muncul seorang pemuda, siapa lagi kalau bukan Kok Siau-hong yang sedang dinanti- nantikan itu? Sepanjang jalan Kok Siau-hong juga diliputi perasaan bimbang, bolak- balik soal yang timbul dalam benaknya adalah.

   "Apa yang harus kulakukan bila bertemu dengan Giok-kun?" ~ Siapa tahu si nona belum ditemuinya, lebih dulu Tian It-goan sudah kepergok. Melihat orang tua itu, Siau-hong tertegun, tegurnya kemudian.

   "Tian- toasiok, baik-baikkah engkau? Bilakah engkau sampai di sini?"

   "Tidak baik,"

   Jawab Tian It-goan ketus.

   "Keluarga majikanku berantakan, aku sendiri terlunta-lunta tiada tempat tinggal dan cuma minta pertolongan kepada orang, apa yang dapat dikatakan baik."

   Kok Siau-hong menjadi kikuk.

   "Ah, tampaknya Tian-toasiok masih marah padaku?"

   Katanya dengan menyeringai.

   "Mana aku berani marah pada Kok-siauhiap?"

   Jawab Tian It-goan.

   "Numpang tanya, untuk keperluan apa kau datang ke sini?"

   "Aku kemari untuk menjumpai Bun-tayhiap dan Sin-siauhiap,"

   Kata Siau-hong.

   "Kau hendak menemui Sin Liong-sing?"

   Tian It-goan menegas dengan menarik muka.

   "Untuk apa kau hendak menemui dia?"

   "Ada suatu urusan kecil perlu kutemui dia,"

   Jawab Siau-hong. Tian It-goan menjadi gusar, katanya.

   "Kok Siau-hong, kuanjurkan kau, sebaiknya kau jangan cari gara-gara lagi!"

   "Bagaimana bisa dikatakan cari gara-gara? Ah, Tian-toasiok, rupanya engkau salah paham....."

   "Aku tidak salah paham,"

   Potong Tian It-goan.

   "Memangnya kau sangka aku tidak tahu? Hm, bicara terus terang saja kau. Bukankah kedatanganmu ini berhubungan dengan akan menikahnya Hi Giok-kan dan Sin Liong- sing?"

   "Ya, aku pun tahu mereka hampir menikah, cuma....."

   "Cuma apa? Hm, kau telah membikin susah Sio-cia kami, apakah belum cukup dan kini kau hendak membikin celaka Hi-siocia pula?"

   "Tian-toasiok, hendaklah kau dengarkan dulu keteranganku. Kedatanganku ini untuk menemui Bun-tayhiap adalah atas perintah Lok-lim- beng-cu Liu-lihiap."

   "O, jadi kau datang dari Kim-keh-hnia?"

   Tian It-goan menegas dengan tertegun.

   "Ya, Sio-cia kalian saat ini juga berada di sana."

   Air muka Tian It-goan berubah lebih ramah lagi, tanyanya pula.

   "Jadi kalian berada bersama pula?"

   "Kami bersama datang ke Kim-keh-nia, kini Sio-cia kalian sudah memaafkan aku, semoga Tian-toasiok juga jangan menyesali diriku lagi."

   "Orang muda dapat mengoreksi kesalahan sendiri adalah hal yang baik,"

   Ujar Tian It-goan.

   "Tapi sebelum aku bertemu dengan Sio-cia kami, betapa pun aku belum dapat percaya penuh kepada kata-katamu."

   "Soal ini mudah diselidiki, buat apa aku mendustai kau?"

   "Baiklah, jika begitu kau masih akan kembali ke Kim-keh-nia bukan?"

   "Sudah tentu,"

   Jawab Siau-hong dengan bingung.

   "Nah, kalau begitu hendaklah kau membawa sesuatu benda untuk Sio- cia kami bila nanti kau pulang ke sana,"

   Kata Tian It-goan sambil menyodorkan batu Giok titipan Hi Giok-kun itu. Setelah menerima batu yade itu, Kok Siau-hong terkejut, air mukanya berubah hebat, katanya.

   "Tian-toasiok, darimana kau mendapatkan Giok berukir ini?"

   "Bukan kudapatkan dengan mencuri, juga bukan hasil rampasan, pula bukan asal milik majikan,"

   Kata Tian It-goan hambar.

   "Melihat caramu bertanya, agaknya kau sudah kenal asal-usul benda ini?"

   "Ya, aku cukup kenal asal-usul batu Giok ini, tapi aku tidak paham mengapa kau bisa mendapatkannya? Apakah engkau dapat memberi keterangan padaku?"

   "Hi Giok-kun yang memberikannya padaku,"

   Kata Tian It-goan dengan lambat dan jelas.

   "Dia minta aku menyampaikan benda ini kepada Sio-cia kami, sekarang kau datang, maka aku pun titip saja kepadamu."

   Sesungguhnya Kok Siau-hong sudah tak dapat menyembunyikan rasa deritanya, namun dengan tenang dia masih menyimpan baik batu Giok itu, lalu berkata.

   "O, kiranya demikian halnya, pantas aku merasa sudah pernah melihat Giok ini, kiranya adalah milik Giok-kun. Ya, aku pasti akan menyampaikannya kepada Pwe-eng. Boleh kau beritahukan kepada Giok- kun bahwa hal ini pasti akan kukerjakan dengan baik, suruh dia jangan kuatir."

   Kiranya batu Giok berukir itu disebut "Liong-hong-bwe" (perjodohan naga dan Hong), hakikatnya batu permata itu adalah benda pusaka keluarga Kok, dahulu oleh Kok Siau-hong diberikan kepada Hi Giok-kun sebagai tanda mengikat janji.

   Sungguh mimpi pun dia tidak menduga bahwa benda mestika itu sekarang dapat kembali ke tangannya sendiri, atau lebih tepat dikatakan bahwa Hi Giok-kun telah menyerahkan kembali benda tanda mengikat janji itu kepadanya dan minta dia memberikannya kepada Han Pwe-eng.

   Kok Siau-hong bukan orang bodoh, dengan sendirinya ia paham maksud Hi Giok-kun bahwa si nona sudah bertekad diperistri oleh Sin Liong-sing, sudah bertekad memutuskan hubungan dengan dia, di samping itu dengan rasa pedih bertekad pula akan merapatkan kembali hubungan Han Pwe-eng dengan dia seperti masa yang lampau.

   Maka Tian It-goan berkata pula.

   "Jika begitu, apakah kau masih akan menemui Bun-tayhiap?"

   "Ya, demi tugas yang kuterima dari Liu-lihiap, aku harus menemui Bun- tayhiap."

   "Kuharap kau segera berangkat saja setelah menemui Bun-tayhiap, tentunya tidak perlu menemui pula Sin Liong-sing bukan?"

   "Tidak, aku juga harus menemui dia."

   "Untuk apa lagi kau berbuat demikian?"

   "Seperti kataku tadi, seorang teman juga minta aku menyampaikan sesuatu barang untuk dia."

   "Sin Liong-sing adalah murid pewaris Bun-tayhiap, bukankah barang itu dapat diserahkan saja kepada gurunya itu?"

   Kok Siau-hong berpikir sejenak, kemudian berkata.

   "Ya, boleh juga. Nah, silakan kau mengantar aku menemui beliau."

   "Kukira kau boleh tunggu saja di sini, akan kulihat dulu apakah Bun- tayhiap sudah bangun tidur belum, nanti kulaporkan beliau tentang kedatanganmu."

   Nyata Tian It-goan tidak ingin Kok Siau-hong bertemu dengan Sin Liong- sing, jika dia membawanya masuk ke rumah, besar kemungkinan akan dipergoki Sin Liong-sing, maka dia akan mengatur keamanan dulu sebelum membawa Kok Siau-hong menemui Bun Yat-hoan.

   Sudah tentu Kok Siau-hong tak dapat membantah.

   Tapi dalam hati ia tertawa kecut, sebenarnya kedatangannya ini mengemban tugas penting, namun jadinya seperti punya tugas rahasia dan harus main sembunyi- sembunyi.

   Selagi menunggu dengan tidak sabar sambil mondar mandir di situ, tiba- tiba ia dikejutkan oleh suara jengekan orang.

   "Bagus, berani betul kau menyusul ke sini ya?"

   Waktu Siau-hong berpaling, siapa lagi penegur itu kalau bukan Sin Liong-sing? Kiranya pikiran Sin Liong-sing juga kusut, meski semalaman tidak tidur, tetap dia tak bisa tenangkan diri.

   Ia pikir dalam sehari dua ini Kok Siau-hong pasti akan menyusul tiba.

   Dan bagaimana harus menghadapinya bila pemuda itu sudah datang? Walaupun Tian It-goan telah menyanggupi akan menyelesaikan persoalan Kok Siau-hong, tapi dia tetap tidak tenteram, akhirnya dia keluar lagi dari kamarnya, ingin mengintip cara bagaimana Tian It-goan hendak menghadapi kedatangan Kok Siau-hong.

   Kini setelah bertemu Kok Siau-hong, meski hal ini sudah di dalam dugaannya, tapi sesaat itu dia menjadi ragu-ragu dan serba salah, apakah dia harus berpura-pura tidak tahu siapa Kok Siau-hong atau mengakui kesalah pahaman kemarin itu dan mengundangnya dengan hormat sebagaimana layaknya menerima tamu serta mempertemukan dia dengan Hi Giok-kun.

   Begitulah dalam sekejap itu timbul pertentangan batin yang hebat dalam benak Sin Liong-sing, akhirnya kepentingan pribadi ternyata lebih unggul daripada segalanya.

   Betapa pun aku tidak dapat membiarkan dia merusak kebahagiaanku dengan Giok-kun.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian keputusannya.

   Dalam pada itu Kok Siau-hong telah menjawabnya dengan kejut dan girang.

   "O, kiranya Sin-siauhiap, engkau telah salah....."

   Belum selesai ucapannya, mendadak Sin Liong-sing melolos pedangnya.

   "sret", kontan ia menusuk sambil membentak.

   "Kau mata-mata musuh yang lolos dari tempat Pek Lo-cianpwe itu sekarang datang ke sini hendak mengelabui aku bukan? Hm, jangan kau harap aku akan percaya kepada mulutmu yang manis!"

   Dengan tegas ia menuduh Kok Siau-hong sebagai mata-mata musuh dan berlagak tidak tahu siapa dia tanpa mendengarkan penjelasannya, bahkan sekaligus ia melancarkan beberapa kali serangan kilat.

   Ilmu pedang keluarga Sin Liong-sing memang sangat aneh dan lihai, ditambah lagi Keng-sin-pit-hoat ilmu menotok ajaran Bun Yat-hoan yang terkenal sebagai ilmu Tiam-hiat nomor satu, gabungan antara ilmu menotok dan ilmu pedang itu sungguh luar biasa, dalam sekejap saja hampir seluruh bagian urat nadi di tubuh Kok Siau-hong terancam oleh serangan-serangan Sin Liong-sing itu, betapa pun tinggi kepandaian Kok Siau-hong juga terdesak hingga kerepotan melayaninya.

   "Aku takkan membunuh dia, tapi sedikitnya harus kuusir dia agar kapok dan tidak berani datang lagi!"

   Demikian pikir Sin Liong-sing, maka serangannya juga tambah gencar.

   Sudah tentu Kok Siau-hong tidak tahu jalan pikiran Sin Liong-sing itu, disangkanya lawan memang benar-benar belum lagi kenal padanya.

   Tapi lantaran dihujani serangan gencar, mau tak mau ia menjadi naik pitam, pikirnya.

   "Jika aku mengalah lagi tentu dia akan menyangka aku memang takut padanya."

   Karena itu segera ia pun melolos pedangnya buat melayani serangan lawan.

   Jit-siu-kim-hoat keluarga Kok juga tergolong ilmu pedang yang mengkhususkan menusuk Hiat-to, maka pertandingan dua macam ilmu pedang kelas tinggi ini sungguh hebat sekali dan benar-benar ketemukan tandingan yang sama kuat.

   Tempo hari Sin Liong-sing berhasil memukul Kok Siau-hong hingga tercebur ke dalam danau, ia mengira dirinya pasti akan dapat mengalahkan lawannya lagi.

   Tak terduga sekarang Kok Siau-hong melayaninya dengan segenap kemahiran dan perhatiannya, maka setelah beberapa gebrakan berlangsung barulah Sin Liong-sing terkejut, pikirnya.

   "Aneh, kepandaian bocah ini ternyata jauh berbeda daripada tempo hari, jika aku tak dapat mengalahkan dia tentu urusan akan berbalik menjadi runyam."

   Ia menjadi tidak sabar dan ingin lekas menang, berulang Sin Liong-sing lantas melancarkan serangan berbahaya, akan tetapi berbalik ia memberi kesempatan kepada Kok Siau-hong untuk melancarkan serangan balasan, di tengah gempuran sengit, dengan tipu "Yu-liong-hi-hong" (naga meluncur menggoda Hong), pedangnya menusuk ke samping mengincar "Ih-gi-hiat di bagian iga kiri Kok Siau-hong.

   Namun cepat sekali Kok Siau-hong menggeser ke samping, berbareng pedangnya menusuk lurus ke depan.

   Saat itu serangan Sin Liong-sing sudah telanjur dilontarkan, untuk menarik kembali pedangnya buat menangkis sudah tidak keburu lagi, dadanya menjadi tidak terjaga, tampaknya dia pasti akan tertusuk oleh pedang Siau-hong.

   Tapi Kok Siau-hong sudah tentu tidak bermaksud melukai dia, ketika ujung pedang hampir mencapai sasarannya sekonyong-konyong ia tahan dan berkata.

   "Sin-siauhiap sekarang kau tentunya dapat mengerti bahwa aku tiada bermaksud jahat kepadamu?"

   Sebagai murid pewaris Bun Yat-hoan di daerah Kang-lam Sin Liong-sing terkenal sebagai jago muda yang halus budi, tapi di dalam hati sebenarnya rada congkak.

   Di sinilah Kok Siau-hong telah salah menilai orang, dia mengira dengan berbuat murah hati kepada lawannya tentu akan mendapatkan pengertiannya, siapa duga perbuatannya itu justru membuat Sin Liong-sin dari malu menjadi murka.

   Maka pada saat Kok Siau-hong menahan serangannya itulah mendadak Sin Liong-sing memutar pedangnya ke atas, dengan gerak tipu "Pek-hou-tian- ih" (bangau putih pentang sayap), secepat kilat ia balas menusuk.

   "Crit", lengan baju Kok Siau-hong tertembus oleh tusukan itu, untung dia sempat menarik tubuhnya dan melompat ke belakang, dengan demikian dia dapat terhindar dari renggutan maut. Kok Siau-hong menjadi gusar, bentaknya.

   "Aku tidak ingin melukai kau, apa kau benar hendak mengadu jiwa dengan aku?"

   Tapi Sin Liong-sing menyerang lebih gencar lagi tanpa memberi kelonggaran sehingga Kok Siau-hong harus memusatkan perhatian untuk melayaninya.

   Dalam pada itu Hi Giok-kun juga sedang bingung setelah berpisah dengan Tian It-goan, di tengah jalan pulang ke kamarnya dia terus merenungkan gerak-gerik Sin Liong-sing yang tidak seperti biasanya, begitu pula Tian It-goan yang dipergoki pagi-pagi berada di jalanan situ.

   Sebagai nona yang cerdik, sedikit berpikir saja ia sudah dapat menerka kemungkinannya, ia menduga Tian It-goan pasti tahu juga akan kedatangan Kok Siau-hong, maka sengaja hendak menghadangnya.

   Karena itu Hi Giok- kun lantas memutar balik ke tempat tadi.

   Kembalinya itu tepat dapat menyaksikan Kok Siau-hong sedang mengalah satu jurus serangan kepada Sin Liong-sing itu, ia merasa lega dan mengira kedua pemuda itu dapat menyudahi pertarungan mereka, siapa duga pertarungan sengit lantas berlangsung pula, terpaksa ia mendekati mereka sambil berseru.

   "Berhenti! Berhenti!"

   Saat itu keduanya sama-sama sedang melancarkan serangan maut.

   Kok Siau-hong menjadi tertegun melihat munculnya Hi Giok-kun yang dikenangnya siang malam dan ingin ditemuinya itu, tapi juga kuatir bilamana sudah bertemu dengan si nona entah apa yang harus dikatakan.

   Sin Liong-sing sendiri juga tertegun oleh datangnya Hi Giok-kun, tapi serangannya yang sangat lihai itu, entah karena tidak dapat ditarik kembali atau saking gemasnya, tusukannya tetap dilontarkan.

   Cepat Giok-kun berseru pula.

   "Tahan, Liong-sing, dia....."

   Tapi sudah kasip, ujung pedang Sin Liong-sing sudah menyerempet lewat di atas pundak Kok Siau-hong, untung dia sempat mengangkat pedangnya sedikit ke atas sehingga tulang pundak Siau-hong tidak tertembus melainkan kain bajunya saja yang terobek.

   Sin Liong-sing berseru kaget dan berlagak sangat menyesal, katanya.

   "Wah, aku tidak tahu kalian adalah sahabat, maafkan, kau belum terluka bukan? Siapakah saudara ini, Giok-kun?"

   "Untung tidak terluka,"

   Kata Siau-hong dengan menyeringai.

   "Terimalah ucapan selamat dariku, Giok-kun!"

   Muka Giok-kun menjadi merah dan hati berdebar, selang sejenak dia baru dapat tenangkan diri, katanya.

   "Liong-sing, dia adalah Kok-toako yang pernah kukatakan padamu itu. Siau-hong, kukira..... kukira....."

   "Kau kira aku sudah mati bukan?"

   Sela Siau-hong.

   "Ya, memang aku telah hidup kembali dari kematian di Jing-liong-kau, pantas kau mengira begitu atas diriku."

   "Kau ternyata selamat tanpa kurang suatu pun apa, sungguh baik sekali, aku..... aku sangat girang,"

   Kata Giok-kun dengan tergagap. Rasa cemburu Sin Liong-sing bergolak, jengeknya kurang senang.

   "Selamatlah kalian kenalan lama dapat bertemu lagi. Hanya apakah kedatangan Kok-heng ini memang untuk mencari Giok-kun?"

   Padahal pertanyaan inipun menjadi soal yang sangat ingin diketahui oleh Hi Giok-kun.

   Maka hatinya berdebur lebih keras, ia coba menghindari pandangan Kok Siau-hong, tapi tidak urung ia pun melirik ke arahnya untuk menantikan jawabannya.

   Siau-hong meraba batu Giok yang berada dalam sakunya, segera ia ambil keputusan tetap, katanya dengan hambar.

   "Ya, aku memang tahu nona Hi berada di tempatmu ini, tapi kedatanganku ini adalah untuk dua urusan. Sudah tentu aku pun merasa girang dapat bertemu nona Hi di sini."

   Dia menyatakan "girang", tapi sikapnya ternyata dingin-dingin saja, sebutannya kepada Giok-kun juga terasa tawar. Hati Giok-kun menjadi pedih, air mata hampir menetes. Pikirnya.

   "Dia pasti sangat dendam padaku, tapi cara bagaimana aku harus menjelaskan kepadanya?"

   Sin Liong-sing dapat melihat sikap kedua orang itu, diam-diam ia merasa lega, tapi masih belum mantap rasanya, maka ia bertanya pula.

   "Entah Kok- heng ada dua urusan apa, dapatkah diberitahukan padaku?"

   "Memang aku hendak membicarakannya dengan engkau, Sin-siauhiap,"

   Jawab Siau-hong dengan perlahan.

   "Urusan pertama, atas titipan seorang Bu-lim Cianpwe, aku hendak menyampaikan sesuatu kado bagimu."

   "Kado bagiku?"

   Liong-sing menegas dengan tercengang.

   "Cianpwe manakah yang titip kado itu padamu?"

   Kok Siau-hong lantas mengeluarkan gambar "Tay-heng-pat-sik"

   Itu dan disodorkan kepada Sin Liong-sing, katanya.

   "Kang-lam-tayhiap Kheng Ciau, Kheng-locianpwe yang titip kado ini untukmu. Kebetulan aku bertemu dengan beliau kemarin, beliau mengatakan mungkin tidak sempat menghadiri pesta bahagiamu, maka minta aku menyampaikan kado ini padamu. Maaf, aku sendiri terlambat mengetahui berita bahagiamu, maka tidak sempat menyediakan oleh-oleh."

   "Tay-heng-pat-sik"

   Adalah mestika yang diimpikan setiap orang persilatan, sudah tentu Sin Liong-sing kegirangan setelah menerima gambar itu, pikirnya.

   "Tadi kukira dia akan pura-pura tidak tahu Giok-kun adalah tunanganku, sekarang dia sendiri sudah bicara terang-terangan, maka aku pun tidak perlu kuatir lagi."

   Maka ia lantas berkata.

   "Kok-heng, terima kasih atas kebaikanmu. Engkau adalah sobat baik Giok-kun, dengan sendirinya juga sobatku, buat apa sungkan-sungkan lagi. Besok lusa adalah hari nikah kami, hendaklah Kok-heng sudi tinggal satu-dua hari lagi untuk menghadiri upacara nikah kami."

   "Ah, masih ada urusan penting dan aku perlu lekas kembali ke sana, mungkin aku tidak sempat menghadiri pesta kalian,"

   Ujar Siau-hong dengan menyeringai.

   "Wah, sungguh harus disesalkan kalau begitu,"

   Kata Liong-sing.

   "Dan apa lagi tentang urusan kedua yang Kok-heng katakan tadi."

   "Atas perintah Lok-lim-beng-cu daerah utara, aku ditugaskan menemui gurumu,"

   Tutur Siau-hong.

   "O, kiranya begitu, maafkan kecerobohanku kemarin dulu sehingga banyak membikin susah Kok-heng. Guruku berada di dalam, biar kuantar engkau menemui beliau."

   "Sudah kuminta Tian-toasiok menyampaikan maksudku ini,"

   Kata Siau- hong. Mendengar kedatangan Siau-hong ini atas perintah Lok-lim-beng-cu daerah utara, yaitu Liu Jing-yau, tiba-tiba hati Giok-kun tergerak, segera ia bertanya.

   "Kabarnya enci Pwe-eng berada di tempat Liu-lihiap sana, apakah betul?"

   "Ya, betul,"

   Jawab Siau-hong.

   "Giok-kun, ada suatu hal lagi kuingin beritahukan padamu."

   Kembali hati Giok-kun berdebar, sahutnya perlahan.

   "Urusan apa?"

   "Aku dan Pwe-eng merencanakan menikah tahun depan, sekali ini aku menyesal tak sempat menghadiri pesta kalian, tahun depan hendaklah kalian suami-istri sudi hadir pada pernikahan kami,"

   Kata Siau-hong.

   Padahal antara Siau-hong dan Han Pwe-eng sama sekali belum berbicara akan menyambung ikatan jodoh di waktu yang lampau meski keduanya sudah berbaikan kembali.

   Siau-hong sengaja berdusta, tujuannya demi untuk kepentingan Giok-kun agar si nona dapat tenteram meneruskan pernikahannya dengan Sin Liong-sing.

   Begitulah Giok-kun menjadi kejut dan girang, untuk pertama kali wajahnya mengunjuk rasa gembira, katanya.

   "Itulah menjadi harapanku, enci Pwe-eng memang jauh lebih baik daripada diriku, selamatlah padamu!"

   Tanpa terasa ia mengucapkan kandungan lubuk hatinya, setelah berkata barulah ia menyadari salah omong, ia coba melirik Sin Liong-sing, pemuda itu seperti tidak memperhatikan apa yang diucapkannya tadi, tapi malah menanggapi undangan Siau-hong, katanya.

   "Baik, tahun depan bila menerima kartu undanganmu, kami pasti akan hadir!"

   Setelah bergirang tadi, entah mengapa tiba-tiba timbul pula rasa kecut dalam hati Giok-kun, pikirnya.

   "Hatinya ternyata terlebih cepat berubah daripada diriku, semalam aku masih terkenang padanya, tapi dia sendiri ternyata sudah melupakan semua sumpah setianya padaku."

   Pada umumnya manusia memang lebih suka mencela kesalahan orang lain dan lupa menyalahkan diri sendiri, demikianlah Hi Giok-kun sekarang.

   Begitulah ketiga orang sama-sama menanggung pikiran masing-masing, sesaat itu keadaan menjadi serba kikuk, syukur pada waktu itu Tian It-goan telah muncul.

   Ketika melihat ketiga muda-mudi itu berdiri di situ, tanpa terasa Tian It- goan juga terkejut, katanya dengan mengada-ada.

   "O, kiranya Sin-siauhiap dan Kok-siangkong sebelumnya sudah saling kenal?"

   "Benar, kemarin dulu kami baru berkenalan,"

   Sahut Siau-hong dengan tersenyum.

   "Ha, ha, bagus sekali kalau begitu,"

   Kata Tian It-goan.

   "Sudah kulaporkan kepada Bun-tayhiap tentang kedatanganmu, maka silakan Sin-siauhiap suka membawa tamu untuk menemui gurumu."

   Segera Sin Liong-sing mengiakan. Tapi Giok-kun lantas berkata.

   "Tian- toasiok, aku kurang enak badan, dapatkah kau mengiringi aku pulang?"

   "Baiklah,"

   Kata Tian It-goan.

   Dalam hati ia memuji kebijaksanaan Giok- kun yang sengaja hendak menghindari Kok Siau-hong, ia pun memuji Sin Liong-sing yang berjiwa besar dan luhur budi menghadapi persoalan pelik ini.

   Sudah tentu ia tidak tahu bahwa apa yang terjadi sesungguhnya sama sekali berlainan daripada apa yang dibayangkan.

   Ketika Bun Yat-hoan melihat Kok Siau-hong, dia sangat gembira dan berkata.

   "Sudah lama kukagumi nama ayahmu, cuma sayang kami tidak sempat berkenalan. Kini dapat bertemu dengan puteranya, sedikitnya dapat mengurangi kekecewaanku itu. Sudah lama aku pun mendengar nama harum Kok-seheng sebagai jago muda yang baru. Selama beberapa tahun terakhir ini Liong-sing banyak membantu pekerjaanku, para Cianpwe dunia persilatan juga menilai cukup padanya, usia kalian sebaya, selanjutnya kalian harus bergaul lebih rapat."

   "Terima kasih atas pujian Beng-cu, mana Wanpwe dapat dibandingkan muridmu,"

   Jawab Siau-hong. Sedangkan Sin Liong-sing telah mengiakan dengan sangat hormat, katanya.

   "Janganlah Kok-heng berlaku sungkan, selanjutnya sangat diharapkan petunjukmu."

   "Sudahlah, sekarang kita dengarkan saja kabar yang dibawa Kok-seheng dari utara,"

   Kata Bun Yat-hoan dengan tertawa. Lalu Kok Siau-hong menguraikan situasi di daerah utara serta gagasan Liu Jing-yau menghadapi musuh. Setelah merenung sejenak, kemudian Bun Yat-hoan berkata.

   "Menurut pandanganku, serangan Mongol kepada negeri Kim mungkin cuma siasat saja, tapi diam-diam pihak Mongol akan melancarkan serbuan ke selatan. Betapa pun juga kita harus mengutamakan keselamatan negeri Song kita bukan?"

   "Benar, cuma soalnya menyangkut urusan negara, Wanpwe tidak berani sembarangan mengambil keputusan, biarlah akan kusampaikan saja buah pikiran Bun-tayhiap kepada Liu Beng-cu,"

   Kata Siau-hong.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tapi kukira kau dapat tinggal sementara di sini, saat ini di sini terlebih memerlukan tenaga, biarlah kukirim orang untuk menghubungi Liu-lihiap saja,"

   Ujar Bun Yat-hoan dengan tertawa .

   "Banyak terima kasih atas maksud baik Bun-tayhiap, tapi Wanpwe benar- benar tak dapat tinggal lebih lama di sini, Liu Beng-cu menugaskan Wanpwe pula ke Thay-ouw."

   "Ada suatu hal mungkin kau belum tahu,"

   Kata Bun Yat-hoan dengan tertawa.

   "Muridku ini besok lusa akan menikah dengan nona Hi dari keluarga Hi di Pek-hoa-kok, kalau Ong Ce-cu dari Thay-ouw tidak dapat hadir sendiri tentu juga akan mengirim utusan. Betapa pun kau harus tinggal sementara sampai selesainya perjamuan sederhana kami."

   "Ya, mungkin Ong Ce-cu takkan hadir sendiri, padahal Liu Beng-cu mengharuskan aku bicara sendiri dengan Ong Ce-cu,"

   Kata Siau-hong.

   Padahal Hong-lay-mo-li Liu Jing-yau tidak pernah memberi pesan begitu padanya, soalnya dia tiada alasan lain, terpaksa dia berdusta pula.

   Tiba-tiba hati Bun Yat-hoan tergerak, ia merasa pada situasi demikian memang urusan negara jauh lebih penting daripada urusan pribadi.

   Maka ia tidak ngotot lagi, katanya.

   "Baiklah, jika begitu aku pun tidak menahan kau di sini. Setelah tugasmu selesai hendaklah kau suka datang lagi ke tempatku ini. Jika kau tidak datang, tentu aku sendiri akan minta kepada Liu-lihiap."

   "Wanpwe sendiri sangat mengharapkan dapat setiap saat minta petunjuk kepada Bun-tayhiap,"

   Kata Siau-hong sambil mohon diri. Lalu Bun Yat-hoan menyuruh Sin Liong-sing mengantar tamu. Sampai di bawah puncak gunung, Sin Liong-sing berkata.

   "Kok-heng, dari berkelahi kita jadi berkenalan, kedatanganmu ini telah banyak membantu kesukaranku, sungguh aku sangat berterima kasih padamu."

   "Banyak membantu"

   Kata-kata ini bernada ganda, dapat diartikan terima kasih karena Siau-hong telah membawa kado titipan Kheng Ciau itu, dapat pula diartikan membantu dalam urusan lain. Tapi Siau-hong pura-pura tidak paham, sahutnya.

   "Ah, Sin-heng terlalu banyak memuji padaku. Silakan Sin-heng pulang saja, semoga kalian suami- istri hidup bahagia sampai tua."

   Setelah berpisah dengan Sin Liong-sing, dengan perasaan bimbang Kok Siau-hong melanjutkan perjalanan sendirian di lereng pegunungan itu. Tidak lama tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan muda sedang bicara di depan sana.

   "Enci Bwe, lebih baik kita pulang saja dan jangan cari susah sendiri."

   Terdengar suara seorang perempuan lain menjawab.

   "Tapi aku ingin tahu berita ini sungguh-sungguh atau tidak."

   "Sungguh-sungguh bagaimana, kalau tidak, lantas bagaimana pula?"

   Ujar perempuan muda pertama tadi. Perempuan muda kedua itu menghela napas, katanya.

   "Entahlah, aku pun tak tahu, cuma betapa pun aku ingin menemuinya sekali lagi."

   Setelah mendengarkan lebih cermat, akhirnya Kok Siau-hong tahu bahwa kedua perempuan muda yang sedang bicara itu adalah kedua nona yang mendayung perahu di Se-ouw itu, satu di antaranya adalah Si Bwe, pelayan Sin Cap-si-koh.

   Mau tak mau Kok Siau-hong gegetun juga bagi pelayan jelita itu, pikirnya.

   "Menurut cerita Pwe-eng, katanya nona ini meski menjadi pelayan, tapi orangnya sangat pintar dan cerdik, kepandaian silatnya juga lumayan, cuma sayang cintanya telah keliru dicurahkan pada orang."

   Dalam pada itu kedua perempuan muda itu telah muncul dari balik lereng sana, ketika melihat Kok Siau-hong, mereka pun tertegun sejenak. Dengan suara lirih Si Bwe berkata kepada kawannya.

   "Liong-cici, apakah kau masih kenal dia, tampaknya seperti....."

   "Seperti bagaimana, memang betul dia inilah pemuda bangor yang mengintip kita di tepi danau kemarin dulu itu,"

   Jawab gadis she Liong itu dengan tertawa. Memangnya Si Bwe sedang mendongkol dan tak terlampiaskan, maka segera ia papaki Kok Siau-hong serta kontan menamparnya sambil membentak.

   "Mau apa memandangi kami saja, dasar pemuda bajul, kau harus dihajar adat agar tahu rasa sedikit."

   Sudah tentu Kok Siau-hong tidak mudah diserang, sedikit mengegos saja tamparan Si Bwe lantas terhindarkan.

   Namun angin pukulan yang menyambar lewat mukanya itu terasa juga panas pedas seperti tersayat oleh pisau.

   Diam-diam Siau-hong mengakui kepandaian Si Bwe, pantas dahulu Han Pwe-eng pernah memujinya.

   Si Bwe juga terkesiap karena serangannya mengenai tempat kosong, tahulah dia bahwa pihak lawan bukanlah orang sembarangan.

   Baru saja ia hendak melolos pedang untuk menyerang lebih lanjut, tiba-tiba Kok Siau- hong telah menegurnya dengan tertawa.

   "Kau tentunya enci Si Bwe bukan? Aku sedang hendak mencari kau!"

   Tentu saja Si Bwe tercengang, jawabnya.

   "Darimana kau tahu namaku, siapa pula kau ini?"

   "Aku adalah sahabat nona Hi dan nona Han, bukankah kau pernah titip sesuatu barang kepada nona Han untuk disampaikan kepada seseorang?"

   "Nona Hi siapa? Aha, ingatlah aku, kau maksudkan enci Si Khim bukan?"

   "Benar, Si Khim itu adalah puteri keluarga Hi di Pek-hoa-kok, demi untuk menolong nona Han, dia sengaja merendahkan diri menjadi budak di rumah keluarga Sin. Ayah nona Han itu adalah Han Tay-wi, Han Lo- enghiong yang tersohor di Lok-yang, tentunya kau pernah mendengar juga bukan?"

   Mendengar apa yang dikatakan Kok Siau-hong memang benar, segera Si Bwe simpan kembali pedangnya dan berkata.

   "Jika begitu engkau tentunya Kok-siauhiap dari Yang-ciu?"

   "Ya, aku adalah Kok Siau-hong dari Yang-ciu,"

   Jawab Siau-hong. Mendadak air muka Si Bwe berubah merah, katanya.

   "Kiranya nona Han telah memberitahukan padamu tentang barang itu....."

   "Barang titipanmu itu berada padaku sekarang,"

   Tutur Siau-hong.

   "Mestinya nona Han minta perantaraanku untuk menyampaikan kepada yang berhak menerima, tapi lantaran..... lantaran aku..... Ai, aku gagal melaksanakannya, maka biar sekarang kuserahkan kembali saja kepadamu." ~ Lalu ia pun mengeluarkan sebuah dompet kain bersulam sepasang merpati yang indah. Dompet bersulam itu adalah buah tangan Si Bwe dan hendak diberikan kepada Sin Liong-sing, di dalam dompet berisi seikat kecil potongan rambut Si Bwe sendiri. Tempo hari Han Pwe-eng bersama ayahnya datang ke tempat Sin Cap-si-koh, ketika Han Pwe-eng berangkat pergi, Sin Cap-si-koh suruh Si Bwe mengantar si nona. Karena tahu Pwe-eng adalah sahabat baik Hi Giok-kun, pula tahu Sin Liong-sing telah bergaul rapat dengan Hi Giok-kun, maka Si Bwe sengaja titip dompet bersulam itu kepada Han Pwe-eng agar menyerahkannya kepada Sin Liong-sing bilamana bertemu. Begitulah Si Bwe telah menerima dompet itu dengan muka merah, hatinya merasa ragu-ragu juga, katanya kemudian.

   "Kok-siauhiap, bukankah engkau datang dari tempat Bun-tayhiap? Dia..... dia tidak berada di sana?"

   "Dia"

   Yang dimaksud jelas Sin Liong-sing adanya. Maka Siau-hong menjawab.

   "Dia berada di sana, aku juga telah bertemu dia!"

   "Jika kau sudah bertemu dengan Sin Liong-sing, mengapa engkau tidak menyerahkan dompet ini kepadanya?"

   Gadis she Liong tadi menimbrung.

   "Ai, kupikir lebih baik tak diserahkan padanya!"

   Ujar Siau-hong sambil menghela napas. Mendengar ucapan ini, muka Si Bwe yang merah tadi seketika berubah menjadi pucat.

   "Jadi kabar yang tersiar itu memang benar adanya?"

   "Ya, benar, Sin Liong-sing sudah menetapkan besok lusa akan menikah dengan Hi Giok-kun,"

   Kata Siau-hong.

   Gadis she Liong itu mengira Si Bwe pasti akan sangat berduka demi mendengar berita itu, tak terduga sedikit pun Si Bwe tidak sedih.

   Sebaliknya ia terbahak-bahak malah.

   Keruan nona she Liong itu terkejut, cepat ia payang Si Bwe, tanyanya.

   "Bagaimana kau, enci Si Bwe?"

   "Aku sangat gembira, sangat gembira!"

   Jawab Si Bwe.

   "Bukankah tepat sekali waktunya kedatangan kita ini?"

   Melihat keadaan Si Bwe yang tidak normal itu, nona she Liong itu sangat kuatir, katanya pula.

   "Enci Bwe, kukira kita jangan pergi lagi ke sana!"

   "Mengapa tidak?"

   Jawab Si Bwe.

   "Tit-siauya kawin, kaum budak seperti kita ini kan pantas kalau hadir di sana untuk melayaninya?"

   Diam-diam Siau-hong membatin.

   "Nona yang serba cantik dan pandai seperti dia ini boleh dikata sangat malang, rela menjadi budak orang, secara diam-diam mencintai majikan muda, tapi cuma bertepuk sebelah tangan, nasibnya menjadi tambah buruk. Diriku saja sudah punya tunangan, tidak urung merasa berduka ketika mendengar berita akan menikahnya Giok-kun, maka Si Bwe tentunya jauh terlebih berduka daripadaku."

   Begitulah rasa senasib lantas menimbulkan rasa simpatik Kok Siau-hong terhadap Si Bwe, ia lantas menghiburnya.

   "Banyak sekali kekecewaan orang hidup ini, asalkan kita dapat kesampingkan kekesalan itu dan tidak memikirkannya, setelah urusan berlalu, kemudian tentu dapat menghadapinya dengan pikiran lapang. Enci Si Bwe, maafkan aku bicara terlalu banyak, padahal kita baru berkenalan. Menurut pendapatku, memang lebih baik engkau jangan pergi ke sana, janganlah mencari susah sendiri."

   "Darimana kau mengetahui aku akan susah dan kesal,"

   Jawab Si Bwe dengan dingin.

   "Sin Liong-sing kan Tit-siauya kami, aku akan hadir pada pesta nikahnya, justru aku merasa gembira. Kau tahu apa, janganlah kau ikut campur!"

   Karena omelan itu, kata-kata Siau-hong yang lain dengan sendirinya tidak dapat dikatakan pula, terpaksa ia minta maaf dan mohon diri. Sesudah Siau-hong pergi, nona she Liong itu berkata.

   "Pemuda she Kok itu tampaknya sangat simpatik, wataknya juga suka terus terang."

   "Tampaknya kau suka padanya bukan?"

   Kata Si Bwe.

   "Kukira kau harus lebih hati-hati menghadapi lelaki. Kata pribahasa, perempuan yang tulus selalu bertemu lelaki berhati palsu, kenal orangnya, kenal mukanya, tidak kenal hatinya. Apalagi kau juga baru kenal dia."

   "Siapa bilang aku suka padanya?"

   Omel nona she Liong itu.

   "Cuma aku merasa nasehatnya tadi masuk akal juga. Enci Bwe, apa kau benar-benar harus ke sana?"

   "Ya, tidak bisa tidak aku harus ke sana dan menemuinya,"

   Jawab Si Bwe.

   "Jika kau kuatir aku akan membikin onar di sana, maka biar aku ke sana sendirian saja, kau boleh pulang duluan."

   "Mengapa kau berkata demikian, enci Bwe? Dengan susah payah akhirnya kita berjumpa kembali, persaudaraan kita melebihi apa pun juga, hanya demi kebaikanmulah aku mau menasehati kau. Tapi kau tidak setuju, ya, dengan sendirinya aku tetap menemani kau ke sana. Baiklah, biar bagaimana akibatnya nanti aku tetap akan menghadapinya bersama kau."

   Saking terharunya Si Bwe mengucurkan air mata, katanya.

   "Liong-cici, sampai saat ini hanya engkaulah satu-satunya kawanku sejati."

   Diam-diam nona she Liong itu menghela napas dan ikut sedih bagi Si Bwe. Dia dan Kok Siau-hong sama-sama menganggap Si Bwe sok "murah cinta"

   Dan akibatnya cuma bertepuk sebelah tangan, cinta tak terbalas.

   Padahal urusan yang sebenarnya tidaklah demikian.

   Sejak kecil Si Bwe dijual ke rumah keluarga Sin, dia dibesarkan bersama Sin Liong-sing, anak-anak dengan sendirinya belum tahu apa-apa, di waktu bermain bersama tiada yang membedakan budak dan majikan.

   Tapi setelah keduanya meningkat dewasa, tak dapat tidak mereka mengetahui juga akan kedudukan masing-masing.

   Suatu hari Sin Liong-sing pernah memaksa Si Bwe untuk main upacara pengantin, Si Bwe masih ingat benar, waktu itu Sin Liong-sing sudah bocah tanggung berumur empatbelas dan dia sendiri juga nona cilik umur duabelas yang baru mulai kenal kehidupan manusia, ia sudah tahu apa artinya suami- istri, maka dia tak mau main pengantin segala, ia berkata kepada Sin Liong- sing.

   "Engkau adalah tuan muda dan aku cuma kaum budak, kita tidak mungkin melakukan upacara pengantin."

   "Siapa bilang tidak, kalau pulang nanti segera akan kukatakan kepada bibi bahwa aku akan menikahi kau,"

   Kata Sin Liong-sing waktu itu. Keruan Si Bwe menjadi gugup, katanya.

   "Eh, jangan sekali-sekali engkau berbuat demikian, nanti aku dipukuli Cap-si-koh!"

   "Kalau bibi memukuli kau, segera aku minggat bersama kau,"

   Kata Liong- sing.

   "Kita baru pulang kalau kita sudah menikah, coba saja dia dapat berbuat apa terhadap kita?"

   Si Bwe menjadi takut dan senang, katanya.

   "Kau benar-benar ingin menikahi aku?"

   "Demi Thian, kalau aku menipu kau, biar aku aku mati....."

   Cepat Si Bwe mendekap mulut Sin Liong-sing dan berkata.

   "Sudahlah, asal kutahu kau bersungguh hati saja, kau tidak perlu bersumpah segala, kau pun tidak perlu bilang kepada bibimu nanti, pokoknya aku akan tetap menanti padamu."

   Tidak lama sesudah kejadian itu, lalu Sin Liong-sing diperintahkan orang tuanya ke Kang-lam untuk berguru kepada Bun Yat-hoan, sekali pergi untuk sembilan tahun lamanya, selama sembilan tahun Liong-sing hanya pulang dua kali saja, pertama kali pulang dia berumur sembilanbelas tahun dan Si Bwe tujuhbelas tahun.

   Pantasnya kalau apa yang diucapkan Sin Liong-sing dahulu itu benar, mestinya dia akan membicarakannya pula dengan Si Bwe secara diam-diam, tapi nyatanya Sin Liong-sing tidak pernah menyinggung lagi hal lama itu, walaupun dia masih tetap sangat baik kepada Si Bwe.

   Dalam kedudukannya sebagai budak, pula watak Si Bwe juga tinggi hati, tentu saja dia tidak ingin dipandang hina, maka ia pun tidak mau mendahului mengungkit kejadian lama itu meski Sin Liong-sing diam saja.

   Cuma Si Bwe juga tidak melupakan hal itu, ia mengira pelajaran Sin Liong- sing belum tamat, pulangnya itu tergesa-gesa lantas berangkat lagi sehingga tidak sempat membicarakannya dengan dia, walaupun sebenarnya dia juga curiga, ia menaruh curiga "Tit-siauya"

   Yang sudah dewasa itu sudah bukan lagi kakak yang dahulu pernah bermain bersama dia itu, dengan lain perkataan hati sang Tit-siauya kini sudah berubah.

   Namun biar curiga toh hati sang juwita tetap tercurahkan kepada Sin Liong-sing seorang.

   Waktu Sin Liong-sing pulang ke rumahnya untuk kedua kalinya adalah kejadian tahun yang lalu, sekali ini kebetulan berbarengan dengan Hi Giok- kun yang sengaja menyamar sebagai budak ke rumah bibinya itu.

   Tatkala itu Si Bwe tidak tahu asal-usul Giok-kun, tapi Sin Liong-sing lantas tahu siapa Giok-kun begitu mengetahui dia berasal dari keluarga Hi di Yang-ciu.

   Sebagai murid Bun Yat-hoan, dengan sendirinya ia pun mendengar keluarga Hi yang terkenal itu.

   Dan setelah bertemu gadis dari keluarga ternama, mana dia memikirkan lagi seorang budak.

   Setelah peristiwa itu, dengan sendirian Si Bwe sudah putus harapan, tapi meski demikian cintanya belum sirna, ia masih mencintai Sin Liong-sing setulus hati.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di dalam dompet sulam buatannya itu selain tersimpan seikat potongan rambut, juga terdapat sebuah cermin kecil, cermin yang biasanya dipakai kaum wanita, hadiah dari Sin Liong-sing pada esok harinya setelah mereka tidak jadi melakukan mainan pengantinan, menurut Liong-sing, Si Bwe mempunyai rambut indah, sayang sekali jika tidak pakai cermin, sebab pasti tak dapat menyisir rambutnya dengan baik.

   Maka dia sengaja membelikan sebuah cermin baginya.

   Tidak lama kemudian Liong-sing lantas berangkat berguru ke Kang-lam.

   Cermin itu selalu disimpan dengan baik oleh Si Bwe dan jarang digunakan, ia kuatir cermin itu pecah, sampai kini cermin itu sudah disimpan hampir sepuluh tahun lamanya.

   Kini ia hendak menyerahkan ikat rambut dan cermin kecil itu kepada Sin Liong-sing, ia tidak berani berkhayal akan merebut kembali hati pemuda itu, yang dia harap hanyalah mengingatkan kembali kepada Sin Liong-sing bahwa masih ada seorang budak yang mencintai dia dengan setulus hati.

   Namun harapannya itu mungkin sudah ditakdirkan akan buyar.

   "Dia sudah mempunyai calon istri yang cantik molek, masakah dia masih ingat kepada budak macam diriku ini!"

   Demikian pikir Si Bwe. Mendadak api cemburu timbul membakar lubuk hatinya, tiba-tiba ia mendapatkan suatu pikiran, katanya kepada kawannya.

   "Mereka akan menikah besok lusa, kita tidak perlu terburu-buru ke sana, biarlah kita tiba tepat waktunya mereka sedang upacara nikah."

   Nona she Liong itu mengiakan saja meski diam-diam ia menghela napas gegetun.

   Suasana riang gembira, sayup-sayup terdengar alunan tetabuhan yang merdu, di tengah ruangan sudah penuh dengan tamu.

   Hari itu adalah hari pernikahan murid pewaris Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, Bun Yat-hoan.

   Meski suasana negara waktu itu dalam keadaan rusuh, namun yang berhajat kerja adalah Bu-lim-beng-cu, maka kesatria dari berbagai penjuru yang hadir tetap tidak sedikit.

   Setelah Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun selesai menjalankan upacara nikah, di hadapan hadirin Bun Yat-hoan lantas mengumumkan juga secara resmi keputusannya menetapkan Sin Liong-sing sebagai ahli warisnya.

   Sudah bahagia bertambah gembira, serentak para hadirin beramai-ramai mendekati Sin Liong-sing untuk mengucapkan selamat.

   Sin Liong-sing sendiri juga kegirangan, ia merasa kebahagiaan hidupnya tidak lebih daripada sekarang ini.

   Tentu saja ia tidak tahu bahwa di luar sana ada seorang nona yang sedang berduka dan merana.

   Mestinya Si Bwe bermaksud masuk ke situ ketika sepasang mempelai sedang upacara nikah, tapi lantas terpikir olehnya.

   "Biar kuberi kelonggaran sedikit padanya, apalagi aku pun tidak ingin menyaksikan sendiri dia mengadakan upacara nikah dengan orang lain."

   Ketika melihat Si Bwe ragu-ragu dan tidak berani masuk ke dalam rumah, nona she Liong itu mengira Si Bwe sudah berubah pikiran, segera ia memberi nasehat lagi.

   "Urusan sudah begini, buat apa kau mencari susah sendiri? Marilah kita pulang saja!"

   Tapi Si Bwe tetap mengulangi tekadnya bahwa dia tetap ingin menemui Sin Liong-sing, ia menambahkan pula.

   "Aku ingin tahu bagaimana sikapnya terhadapku?"

   Diam-diam nona she Liong itu membatin.

   "Kabarnya tindak-tanduk Sin Cap-si-koh sangat aneh, Si Bwe telah ikut dia belasan tahun, tampaknya dia terpengaruh oleh sifat aneh sang majikan. Entah apa yang hendak dilakukannya. Kalau aku menjadi dia, hanya ada dua pilihan bagiku, akan kubunuh pengantin laki-lakinya atau kuanggap sepi saja persoalan ini dan mencari kekasih lain. Buat apa mencari susah sendiri?"

   Sesungguhnya nona she Liong ini juga bukan sembarang orang, asal- usulnya juga tidak sederhana, jalan pikirannya yang aneh sesungguhnya juga tidak kurang anehnya daripada jalan pikiran Si Bwe.

   Sementara itu setelah menerima ucapan selamat daripada hadirin, pesta lalu dimulai, Sin Liong-sing sibuk menyuguhkan arak kepada para tamu di ruang dalam maupun luar.

   Setelah tiga kali keliling menyuguhkan arak, tiba-tiba datang seorang murid memberi lapor.

   "Ada dua perempuan muda tak dikenal datang memberi selamat, seorang di antaranya mengaku anggota keluarga Suheng."

   Sin Liong-sing terkesiap dan cepat bertanya.

   "Siapa namanya?"

   Sutenya itu berkata.

   "Dia mengaku bernama Si Bwe."

   Bun Yat-hoan merasa nama itu seperti nama kaum budak. Benar saja, segera terdengar Sin Liong-sing bergelak tertawa, katanya.

   "Ha, ha, kiranya budak keluargaku, sungguh berani mati dia mengaku anggota keluargaku. Baiklah, boleh kau sediakan tempat duduk di ruang luar, tidak perlu undang dia ke ruang dalam."

   "Tiada seorang pun sanak familinya yang hadir di pesta ini, syukur sekarang datang seorang, biarpun kaum budak, sedikitnya dia juga orang dari rumahmu, apa halangannya kalau mengundang dia masuk ke ruangan dalam saja. Lalu siapa lagi perempuan yang lain?"

   Kata Bun Yat-hoan.

   Maklumlah Bun Yat-hoan adalah seorang pendekar yang berjiwa besar, biasanya dia tidak pandang penting perbedaan tingkatan, kalau saja Sin Liong-sing tidak sedang menjadi pengantin baru, bukan mustahil murid itu akan dimarahi di depan orang banyak.

   "Satunya mengaku she Liong, katanya dia dan Suhu ada hubungan kekeluargaan,"

   Lapor muridnya tadi.

   "She Liong, apakah dia anak perempuan Liong Pek-giam?"

   Seru Bun Yat- hoan terkejut.

   "Benar, dia bilang ayahnya adalah Liong Pek-giam di Liong-giam-koan, Hok-kian,"

   Tutur murid itu.

   "Wah, lekas undang mereka masuk ke sini, lekas!"

   Seru Bun Yat-hoan.

   Kiranya Liong Pek-giam adalah sahabat lama Bun Yat-hoan yang sudah belasan tahun tidak berjumpa, seorang pendekar terpendam yang sudah lama mengasingkan diri, sedikit saja orang yang tahu akan Liong Pek-giam, tapi anak murid Bun Yat-hoan dengan sendirinya tahu.

   Begitulah sejenak kemudian murid tadi sudah membawa Si Bwe dan nona she Liong itu masuk ke ruang dalam.

   Rupanya mereka sudah dipersilakan duduk menunggu lebih dulu di ruang depan, maka datangnya begitu cepat.

   Sin Liong-sing terkesiap dan kuatir apa yang diucapkan tadi terdengar oleh Si Bwe, tapi segera ia menghibur diri sendiri, terhadap seorang budak saja kenapa mesti takut? Apa yang diucapkan Sin Liong-sing tadi sayup-sayup memang didengar oleh Si Bwe, tentu saja ia bertambah dendam dan lebih sirik, tapi sebagai pelayan pribadi Sin Cap-si-koh, dia benar-benar sudah mewarisi sifat "tenang tapi keji"

   Sang majikan, maka waktu masuk ke situ, sikapnya tetap biasa, sedikit pun tidak mengunjuk rasa marah. Ketika Si Bwe berdua melangkah masuk ke situ, pandangan semua orang menjadi terbeliak, semua orang berpikir.

   "Sungguh tidak nyana seorang budak keluarga Sin saja begitu cantik, sikapnya juga agung dan tenang."

   Dalam pada itu Bun Yat-hoan lantas berbangkit, serunya dengan tertawa.

   "Aha, sudah begini tingginya kau, Thian-hiang keponakanku, hampir saja aku tidak kenal kau lagi, sungguh aku sangat gembira dapat bertemu kau sekarang. Di waktu kecil pernah aku memondong kau, apa kau masih ingat?"

   Liong Thian-hiang memberi hormat dengan lemah lembut, jawabnya.

   "Ayah juga senantiasa terkenang kepada paman, cuma....." ~ Sampai di sini mendadak matanya menjadi memberambang merah. Bun Yat-hoan terkejut, cepat ia menegas.

   "Oya, belum lagi aku tanya keadaan ayahmu, apakah baik-baik saja ayahmu? Dia ikut datang tidak?"

   Dengan menahan air mata Liong Thian-hiang menjawab.

   "Sungguh malang, tahun lampau ayah sudah meninggal dunia, soalnya suasana kacau, pula kami tidak tahu paman tinggal di sini sehingga tidak sempat mengirim berita duka kepada paman, untuk itu harap paman sudi memaafkan. Untunglah aku ketemu Nyo-cici ini, maka diketahuilah hari ini adalah hari bahagia murid paman dan sengaja ikut kemari untuk memberi selamat kepada paman, selain itu juga sekaligus menyampaikan berita duka ayah kepada paman."

   "Memberi selamat"

   Dan "berita duka"

   Dilakukan sekaligus, hal ini sudah tentu tidak cocok dengan keadaan.

   Tapi lantaran Bun Yat-hoan anggap Liong Pek-giam sebagai sahabat baik, mendengar berita kematian sahabat baiknya itu, dengan sendirinya hatinya berduka.

   Selain itu ia pun dapat memaafkan Liong Thian-hiang yang masih muda, ucapan seorang nona kecil tentunya tidak pandang keadaan segala, sebab itulah Bun Yat-hoan tidak menjadi marah, sebaliknya ia malah menghibur.

   "Sudahlah, syukur kau pun sudah besar, ayahmu sudah mencapai usia tua, kau pun tidak perlu terlalu berduka. Hari ini adalah hari pernikahan muridku, marilah kalian berkenalan dulu dengan kedua mempelai. Apakah nona ini....."

   Tapi untuk sopan santun, sepantasnya kalau dia bertanya akan diri Si Bwe. Maka Liong Thian-hiang menjawab.

   "Nona Nyo ini adalah tetangga kami waktu masih kecil, aku dan dia juga mengangkat saudara. Paman Bun, bisa jadi waktu kecilnya kau pun pernah melihatnya."

   Samar-samar Bun Yat-hoan masih ingat juga dahulu Liong Pek-giam memang mempunyai sekeluarga tetangga she Nyo. Maka ia pun berkata.

   "Begitukah? Ah, aku sudah tua sehingga tidak ingat lagi."

   "Hamba cuma seorang budak saja, mana berani bicara perkenalan segala dengan Bun-tayhiap, kedatangan hamba adalah untuk melayani majikan muda,"

   Kata Si Bwe. Bun Yat-hoan menjadi rada kikuk, katanya dengan tertawa.

   "Ah, nona Nyo ini terlalu rendah hati. Kabarnya lama juga kau tinggal di rumah keluarga Sin, kau dan Liong-sing tentunya seperti kakak adik. Mari, mari, lekas kalian angkat gelas dengan kedua pengantin baru!"

   Sebenarnya Sin Liong-sing tidak senang akan kedatangan Si Bwe itu, tapi demi mendengar dia adalah saudara angkat Liong Thian-hiang, mau tak mau ia harus menilainya dengan cara lain. Begitulah Si Bwe lantas mendekatinya dan berkata.

   "Tit-siauya, Hi-siocia, hamba sengaja datang ke sini memberi selamat kepada kalian. Entah Tit- siauya masih sudi dilayani oleh budak macam diriku atau tidak?"

   Cepat Hi Giok-kun berbangkit dan menjawab.

   "Enci Si Bwe, jangan kau bicara demikian, aku mana berani menerimanya."

   "Lain dulu, lain sekarang,"

   Kata Si Bwe.

   "Dahulu Hi-siocia sengaja merendahkan diri dan bersaudaraan dengan aku, hal inilah aku benar-benar tidak berani menerimanya. Tapi kini engkau adalah majikan perempuanku, seharusnya aku melayani engkau."

   "Enci Si Bwe, jangan kau berkelakar lagi, rasanya aku menjadi tidak berani minum arak suguhanmu ini,"

   Kata Giok-kun. Sin Liong-sin juga lantas menambahkan.

   "Perkataan Suhu memang betul, kau cukup lama di rumahku dan seperti adik perempuanku saja, selama ini aku pun memandang kau seperti adik sendiri. Apalagi kau adalah saudara angkat nona Liong, mana aku dapat menganggap kau sebagai budak? Selanjutnya kata-kata budak jangan disebut-sebut lagi."

   Diam-diam Si Bwe menjengek di dalam hati.

   "Hm, dahulu kau malah menyatakan hendak memperistri diriku, tapi sekarang, hm, tentunya kau takut aku mengungkit kejadian dahulu itu, maka nadamu berubah sama sekali. Hm, bila aku tidak datang bersama enci Thian-hiang mungkin kau tidak sudi menganggap aku sebagai adik segala."

   Meski di dalam hati sangat sedih dan mendongkol, tapi lahirnya Si Bwe tetap tenang dan mengunjuk rasa berterima kasih, katanya.

   "Tit-siauya, jika begitu, jadi engkau bersedia memberi kebebasan kepadaku dan aku tidak perlu menebus tubuhku lagi? Sungguh hamba takkan melupakan budi kebaikan Tit-siauya itu selama hidup."

   Sin Liong-sing mengerut kening, jawabnya.

   "Si Bwe, kenapa kau bicara begitu lagi? Lekas duduklah dan silakan minum!"

   Dalam hati Liong-sing diam-diam sangat senang, ia mengira Si Bwe tahu diri dan tidak berani mengharapkan akan menjadi istrinya lagi. Terdengar Liong Thian-hiang berkata.

   "Sin-siauhiap, lama sekali enci Si Bwe bernaung di tempat kalian, biarlah kusuguh kalian suami-istri barang secawan sekadar tanda terima kasihku."

   "Ah, nona Liong terlalu sungkan saja,"

   Ujar Sin Liong-sing dengan tertawa.

   Dia asyik melayani Liong Thian-hiang sehingga tanpa terasa Si Bwe tak terurus.

   Kesempatan itu segera digunakan oleh Si Bwe dengan baik, selagi semua orang tidak memperhatikan dia, perlahan ia menarik lengan baju untuk mengalingi cawan arak, lalu ia angkat poci dan menuang satu cawan penuh.

   Saat itu Sin Liong-sing baru selesai minum bersama Liong Thian-hiang, lalu dia ingat kepada Si Bwe dan berkata.

   "Oya, kini giliran adik Si Bwe mengeringkan isi cawan bersama kami."

   "Banyak terima kasih atas kesudian Tit-siauya, hamba berdoa agar engkau dan nona Hi hidup bahagia sampai hari tua,"

   Kata Si Bwe, lalu ia menyodorkan cawan arak sendiri kepada Sin Liong-sing, sebaliknya cawan arak Liong-sing yang kosong itu diambilnya, katanya pula.

   "Hamba tidak berani disuguh arak oleh Tit-siauya, biar hamba sendiri yang menuangnya saja."

   Segera ia menuangi cawan yang kosong itu terus ditenggak hingga habis. Liong-sing menggeleng kepala, katanya.

   "Ai, mengapa kau masih merendahkan diri begitu, kan sudah kukatakan, selanjutnya jangan kau sebut kata-kata budak lagi."

   "Baiklah, Si Bwe akan menurut, sekarang silakan Toa-koko minum!"

   Kata Si Bwe.

   "Begitulah baru betul!"

   Ujar Sin Liong-sing, segera ia pun angkat cawan arak yang disodorkan Si Bwe tadi dan diminum habis.

   Ketika ia memandang Si Bwe, tertampak mata si nona sedang mengerling padanya dengan rasa penuh hampa.

   Seketika perasaan Liong-sing terguncang, pikirnya.

   "Ternyata dia belum pernah melupakan diriku."

   Dahulu waktu masih sama-sama kecil, di kala tiada orang lain, seringkali Si Bwe memanggilnya dengan sebutan "Toa-koko"

   Atau kakak tercinta. Hi Giok-kun adalah nona yang cermat, sikap Si Bwe itu dapat dilihatnya dengan jelas, tanpa terasa hatinya tergerak. Pikirnya.

   "Mengapa dia menukarkan cawannya dengan cawan Liong-sing, pula tidak menyuguh arak kepadaku?"

   Menurut aturan umum, kalau menyuguh arak kepada mempelai seharusnya menyuguh kepada keduanya sekaligus.

   Karena rasa curiganya itu, segera Giok-kun menuang cawan kosong yang baru habis diminum oleh Sin Liong-sing itu dan diangsurkaan kepada Si Bwe, katanya.

   "Enci Si Bwe, biar aku mewakili Liong-sing balas menyuguh secawan kepadamu."

   Si Bwe sambut suguhan itu sambil menjawab.

   "Ah, mana aku berani!"

   Mendadak tangannya gemetar.

   "trang", cawan itu terjatuh ke lantai dan pecah berantakan. Dengan muka merah Si Bwe berkata.

   "Ah, agaknya aku tidak dapat minum, mungkin aku sudah rada mabuk."

   Rasa curiga Giok-kun makin menjadi, katanya.

   "Enci Si Bwe, kau baru minum dua cawan, masakah sudah mabuk?"

   "Selamanya aku memang tidak biasa minum arak, kalau tidak percaya boleh kau tanya dia,"

   Kata Si Bwe dengan lagak sinting sambil menuding Sin Liong-sing.

   "Liong-sing, apakah kau pun mulai mabuk?"

   Kata Giok-kun sambil meremas tangan Sin Liong-sing, diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam.

   Sebagai orang yang berlatih lwekang, dengan sendirinya Sin Liong-sing memberi reaksi akan gempuran tenaga dalam Hi Giok-kun itu.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan tercengang kemudian ia menjawab.

   "Tidak, aku tidak mabuk. Adik Kun, kau..... kau kenapa?"

   Giok-kun merasa tenaga dalam Sin Liong-sing tetap kuat seperti biasa, maka legalah hatinya, katanya.

   "Kau tidak mabuk, aku sebaliknya merasa rada pusing."

   "Wah, begini dini pengantin perempuan sudah ingin tidur! Ah, tidak, tidak boleh!"

   Demikian goda sanak famili tuan rumah yang hadir di situ. Tapi ada juga tamu yang berhati bijak dan berkata.

   "Sudahlah, kita pun sudah cukup membikin ribut, biarkan mereka pergi mengaso saja!"

   Tiba-tiba Si Bwe membuka suara pula.

   "Toa-koko, aku tidak sempat menyediakan kado bagimu, biarlah kau terima dompet sulaman buatanku sendiri sekadar tanda mata dariku, harap engkau sudi menerimanya."

   Melihat dompet kain bersulam itu, seketika air muka Sin Liong-sing berubah, jawabnya kemudian.

   "Ah, buat apa kau memberi kado segala? Bawa pulang saja!"

   Sekonyong-konyong air muka Si Bwe berubah, dengan kuat ia robek dompet kain itu.

   "prak", cermin di dalam dompet itu jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping, ikatan kecil potongan rambut itupun bertebaran tersebar oleh koyakan Si Bwe itu. Perbuatan Si Bwe yang mendadak itu membikin para tamu merasa bingung, sekejap itu semua orang terbelalak heran dan terkesima. Terdengar Si Bwe mendengus.

   "Memangnya aku cuma budak dan kau adalah majikan, mana aku berani memanjat ke atas. Ya, aku sendirilah yang tidak tahu diri, pantas juga kau tidak sudi menerima kadoku. Baiklah, Liong- cici, mari kita pergi saja daripada terhina di sini!"

   Bun Yat-hoan menjadi bingung, ia coba melerai.

   "Ada persoalan apakah ini?"

   "Aku pun tidak tahu apa persoalannya, mungkin Nyo-cici memang sudah mabuk,"

   Kata Liong Thian-hiang.

   "Biar lain hari aku membawa dia ke sini lagi untuk minta maaf kepada Sin-suheng."

   Mimpi pun Sin Liong-sing tidak menduga bahwa Si Bwe berani memojokkan dia di depan orang banyak, ia menjadi lebih kuatir kalau si nona membongkar semua kejadian dahulu, maka dengan kejut dan gusar ia lantas berseru.

   "Baiklah, biar dia pergi saja! Budak yang tidak tahu kebaikan, buat apa menahan dia di sini, membikin malu saja!"

   "Nah, paman Bun, kau dengar sendiri bukan? Maka lebih baik kami pergi saja dari sini!"

   Kata Liong Thian-hiang kepada Bun Yat-hoan dengan suara tertahan. Sebagai orang tua yang sudah kenyang makan asam garam, melihat gelagatnya, dalam hati Bun Yat-hoan dapat menerka beberapa bagian persoalan yang sebenarnya. Ia pikir.

   "Keburukan keluarga jangan sampai tersiar, aku pun tidak enak menanyai Liong-sing. Nampaknya budak ini masih perawan, asal Liong-sing tidak merusak kesucian orang, bahwasanya orang muda sok nakal dan romantis adalah soal lumrah. Dan kalau aku tidak enak untuk menanyai Liong-sing sekarang, terpaksa aku pura-pura tidak tahu saja."

   Maka dengan bergelak tertawa Bun Yat-hoan lantas berkata.

   "Ya, ya, rupanya semuanya sudah mabuk, aku pun merasa rada pusing. Nah, Thian- hiang keponakanku yang baik, kalau kau dan nona Nyo hendak berangkat, maafkan kalau aku tidak mengantar lebih jauh."

   Begitulah setelah Liong Thian-hiang dan Si Bwe pergi, meski para tamu tidak berani membicarakan kejadian tadi secara terang-terangan, tapi banyak juga di antara mereka yang saling bisik-bisik dan membicarakan peristiwa itu.

   Yang merasa paling tidak senang tentu saja Hi Giok-kun adanya, mukanya tampak merah padam.

   Sin Liong-sing juga belum hilang rasa gusarnya, meski sudah rada lega hatinya, tapi air mukanya juga cemberut.

   Melihat suasana yang kurang menggembirakan itu, para tamu juga cukup tahu gelagat dan beramai-ramai mohon diri Kamar pengantin baru yang terang benderang oleh cahaya lilin itu seharusnya dalam suasana yang riang gembira, hati Hi Giok-kun saat itu justru merasa sakit seperti terbakar oleh api lilin, dengan muka cemberut ia duduk menjublek.

   Setelah mendengarkan dengan cermat dan yakin di luar kamar tiada orang mencuri dengar, dengan suara lirih Sin Liong-sing lantas berkata.

   "Enci Kun, sungguh aku sangat menyesal akan kejadian tadi atas perbuatan budak yang tidak tahu adat itu, hendaklah tidak kau pikirkan lagi."

   "Mengapa dia berani membikin malu kau di depan orang banyak, apakah kau pernah berbuat sesuatu yang tidak pantas kepadanya, sebaiknya jangan kau membohongi aku,"

   Kata Giok-kun dengan dingin. Tentu saja Sin Liong-sing tidak mau mengaku, segera ia membantah dan menyatakan penasarannya, katanya.

   "Coba kau pikir, masakah aku dapat menggauli seorang budak?"

   "Kau benar-benar tiada hubungan rahasia dengan dia?"

   Giok-kun menegas dengan lirikan mata yang tajam laksana hendak menembus hati Sin Liong-sing.

   "Tidak, sungguh tidak,"

   Demikian jawab Liong-sing.

   "Cuma, kau tentu tahu, dia adalah pelayan pribadi bibiku, selamanya aku pun ramah-tamah terhadap kaum hamba, bisa jadi dia salah terima atas diriku dan diam-diam rindu sendirian. Tapi itu kan bukan salahku bukan? Enci Kun, antara suami- istri paling penting adalah saling mempercayai, masakah kau tidak percaya kepadaku dan berbalik percaya kepada seorang budak?"

   Tapi Hi Giok-kun adalah seorang nona yang cerdik dan pandai, sudah tentu dia tetap curiga, cuma dia lantas berpikir pula.

   "Bagaimana pun upacara nikah sudah berlangsung, secara resmi sudah tetap sebagai suami- istri, rasanya juga tiada artinya kalau aku tanya lebih jelas soal ini. Kini Liong- sing mencintai aku dengan setulus hati, hal ini tidak perlu disangsikan lagi, umpama sebelum ini dia pernah berbuat sesuatu yang tidak pantas juga aku tidak perlu memikirkannya lagi."

   Walaupun begitu pikirnya, tapi dalam hati Giok-kun tetap timbul perasaan tidak enak.

   Mendadak terkenang pula olehnya akan diri Siau-hong, dahulu Siau-hong tidak pernah merahasiakan suatu apa pun kepadaku, sebaliknya hubungan Liong-sing dengan budak itu baru sekarang dia memberitahukan padaku.

   Sin Liong-sing lantas duduk di samping Giok-kun dan membujuk dengan suara lembut.

   "Giok-kun, kita tidak perlu marah oleh karena seorang budak bukan? Sudahlah, lekas tidur saja, besok pagi kita masih harus menerima ucapan selamat dari para saudara seperguruan."

   Teringat bahwa Sin Liong-sing adalah bakal pengganti Bu-lim-beng-cu kelak, hati Giok-kun berubah menjadi girang dan terhibur, pikirnya.

   "Ya, dia adalah bakal Beng-cu, aku harus membantu dia sepenuh tenaga, tidak pantas kalau aku ribut dengan dia dan merusak wibawanya."

   Melihat air muka Giok-kun telah berubah berseri-seri, Sin Liong-sing tahu hati sang istri sudah lunak kembali, legalah dia, segera ia menggelendot lebih dekat dan berkata.

   "Giok-kun, kau masih memakai baju pengantin, tidakkah lebih baik ganti pakaian tidur saja?"

   Sembari bicara tangannya mulai pula menggerayang. Wajah Giok-kun menjadi merah, sambil mendorong Liong-sing ia menjawab.

   "Tidak, jangan begini!"

   Di bawah cahaya lilin yang terang, pipi Giok-kun yang kemerah-merahan itu tampaknya menjadi lebih molek, semakin Giok-kun merasa malu-malu hingga semakin menimbulkan rasa cinta Sin Liong-sing, saking tak tahan ia pun merangkul sang istri dan berkata.

   "Kita kan sudah suami-istri, masakah masih perlu mengelak segala? Giok-kun, biarlah kucium kau!"

   Begitulah selagi Sin Liong-sing bercumbu rayu lebih bernafsu, ibarat permainan sepak bola, ketika tembakan dua belas pas akan dilepas, sekonyong-konyong Sin Liong-sing merintih kesakitan, perutnya laksana dipuntir-puntir, isi perut seperti ditusuk-tusuk oleh jarum.

   Keruan Giok-kun kaget dan bertanya.

   "Ada apakah? Kenapa tanganmu menjadi dingin begini?" ~ Tanpa pikir soal malu lagi segera ia merangkul Liong-sing dan mendengarkan denyut jantungnya.

   "Ti..... tidak apa-apa, tidak apa-apa,"

   Kata Liong-sing, namun suaranya jelas sudah parau seperti rintihan orang yang sakit payah. Dari denyut jantung Liong-sing yang semakin keras itu, Giok-kun tahu ada sesuatu yang tidak beres, katanya.

   "Wah, tentu budak itu telah mengerjai kau, di dalam arak suguhannya entah racun apa yang dia taruh di dalam arak."

   Sin Liong-sing merasa tubuhnya sebentar kedinginan dan lain saat kepanasan pula, ia menjadi gugup juga mendengar perkataan Giok-kun itu, pikirnya.

   "Ya, bibiku terkenal ahli racun, budak Si Bwe itu ikut bibi belasan tahun lamanya, kepandaiannya dalam hal menggunakan racun tentu tak dapat dipandang enteng, jangan-jangan aku benar-benar telah dikerjai oleh budak itu?"

   Karena tak dapat menutupi penyakitnya itu, terpaksa ia berkata dengan menahan sakit.

   "Aku aku merasa separoh tubuhku bagian bawah seperti lumpuh....."

   "Boleh kau mengaso sebentar, akan kupanggilkan tabib,"

   Kata Giok-kun.

   "Tapi..... tapi apa takkan menjadi buah tertawaan orang?"

   Kata Liong- sing.

   "Paling penting selamatkan dirimu, menjadi buah tertawaan orang juga tak perlu dipusingkan lagi,"

   Ujar Giok-kun.

   Sungguh aneh bin ajaib, begitu Hi Giok-kun pergi, rasa sakit Sin Liong- sing perlahan-lahan lantas hilang, anggota tubuhnya juga dapat bergerak lagi.

   Di antara tamu undangan Bun Yat-hoan itu ada seorang tabib terkenal, namanya Yap Thian-liu, orang memberi julukan "Say-hoa-to"

   Kepadanya, yaitu untuk melukiskan kemahiran ketabibannya hampir melebihi Hoa To, itu tabib sakti di zaman Sam-kok yang terkenal.

   Maka setelah Giok-kun menemui Bun Yat-hoan, dengan kaget dan kuatir cepat Bun Yat-hoan mengundang Yap Thian-liu.

   Ketika mereka bertiga masuk lagi ke kamar pengantin baru, sementara itu sudah makan waktu hampir setengah jam.

   Setelah Yap Thian-liu melihat Sin Liong-sing, kemudian ia berkata.

   "Aneh, seperti tiada sakit apa-apa!"

   "Ya, memangnya sekarang aku pun merasa sehat-sehat saja,"

   Kata Liong- sing sambil bangkit berduduk.

   "Mungkin tadi terlalu letih dan sekarang sudah sembuh."

   Dengan mesra Giok-kun mendekat untuk memegangi Sin Liong-sing sebagaimana tugas seorang istri tercinta. Siapa duga begitu Giok-kun menempel tubuhnya, serentak Sin Liong-sing menggigil lagi.

   "Say-hoa-to"

   Yap Thian-liu mengunjuk rasa keheran-heranan, katanya kemudian.

   "Nyonya Sin, silakan kau duduk sebelah sana dulu, biar kuperiksa dia."

   Dengan muka merah Giok-kun lantas melepaskan tangannya yang merangkul Sin Liong-sing itu.

   Segera si tabib pegang nadi Sin Liong-sing dengan mata terpejam dan memusatkan pikiran, dengan tiga jari ia pegang nadi pergelangan tangan Sin Liong-sing seperti sedang memikirkan sesuatu soal maha sulit dalam ilmu ketabiban.

   Sampai agak lama dia masih tetap memegangi nadi pasiennya.

   Giok-kun juga kuatir dan heran, pikirnya.

   "Mengapa begini lama memeriksa nadinya? Apakah mungkin dia kena racun yang tidak diketahui, sampai Say-hoa-to juga tak bisa menentukan penyakitnya?"

   Selagi sangsi, tiba-tiba terdengar Yap Thian-liu bersuara heran, lalu lepaskan tangannya dan berkata.

   "Ya, ternyata betul, sungguh tidak terduga benar-benar ada racun demikian ini."

   Perkataan itu membikin Giok-kun ikut terkejut, cepat ia bertanya.

   "Ia kena carun apa? Dapat ditolong tidak?"

   "Racun ini..... racun ini..... Ah, tidak berhalangan. Hanya saja....."

   Demikianlah Yap Thian-liu berkata dengan tergagap seakan-akan ada sesuatu yang sukar dikatakan.

   "Baik sekali jika tidak berhalangan, tapi ada apa lagi menurut pendapatmu?"

   Kata Giok-kun, di waktu bicara tanpa sadar ia mendekati Sin Liong-sing. Maka cepat Yap Thian-liu berkata.

   "Hanya untuk sementara janganlah kau mendekati orang sakit."

   Tentu saja Giok-kun tambah sangsi, terpaksa juga ia menurut dan duduk agak jauh. Sin Liong-sing sendiri sangat heran, katanya.

   "Sungguh aneh, baru saja aku merasa kedinginan, tapi mendadak sekarang sudah baik lagi. Sesungguhnya penyakit apakah ini?"

   "Sin-siauhiap, silakan kau keluar dulu ke halaman luar, biar nanti kuperiksa kau lagi dengan lebih teliti,"

   Kata Yap Thian-liu.

   "Bun-tayhiap, silakan kau pun ikut ke sana."

   Malam itu sinar rembulan hanya remang-remang saja, betapa pun tidak seterang cahaya lilin di dalam kamar.

   Maka Giok-kun menjadi heran atas tindakan Yap Thian-liu itu.

   Ia pikir tabib itu tentu ingin membicarakan apa- apa yang tidak enak diucapkan di depannya, hal ini terbukti ia sendiri tidak ikut diajak keluar.

   Terpaksa ia tinggal di dalam kamar dengan penuh tanda tanya.

   AMPAI di halaman luar, dengan suara lirih Yap Thian-liu lantas berkata kepada Liong-sing.

   "Sin-siauhiap, maafkan pertanyaanku yang sembrono ini, dapatkah kau jelaskan gejala penyakitmu ini, bukankah kau merasa kesakitan bilamana kau mulai bermesraan dengan istrimu?"

   Dalam keadaan demikian Sin Liong-sing tidak dapat memikirkan soal malu lagi, jawabnya.

   "Benar, memang begitulah tadi."

   

   Jilid 19 S "Aku mengetahui hal ini dari denyut nadimu tadi,"

   Kata Yap Thian-liu.

   "ketika istrimu meninggalkan kau keluar tadi, denyut nadimu lantas pulih seperti biasa, tapi begitu istrimu mendekati kau, segera denyut nadimu kacau pula."

   Bun Yat-hoan mengerut kening mendengar penuturan itu.

   "Penyakit aneh apakah itu?"

   Tanyanya.

   "Muridmu ini kena semacam racun yang sangat aneh, orang yang terkena racun ini sekali-kali tidak boleh mendekati perempuan, asal saja tidak dekat perempuan, maka keadaannya tiada ubahnya seperti orang biasa, sedikit pun tidak menjadi soal,"

   Demikian tutur Yap Thian-liu lebih lanjut.

   "Racun aneh itu dapat kubaca dari catatan kuno seorang tabib sakti di masa lalu, hanya saja nama racun itu tidak diketahui."

   Sin Liong-sing terkejut, pikirnya.

   "Wah, celaka! Kalau begitu bukankah aku harus sia-siakan malam pertama pengantin baru ini bahkan akan putus keturunan?"

   "Menurut catatan kuno tabib sakti itu apakah ada cara pengobatannya untuk menyembuhkan,"

   Tanya Bun Yat-hoan.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ada sih ada, cuma obat penawarnya sangat sukar dicari,"

   Kata Yap Thian-liu.

   "Ada penawar apa?"

   Tanya Sin Liong-sing cepat.

   "Ya, asal saja ada obat penawarnya, betapa pun sulit juga masih ada harapan,"

   Ujar Bun Yat-hoan.

   "Racun itu hanya dapat ditawarkan dengan Thian-sim-ciok (batu hati langit) yang terdapat di puncak Sing-siok-hay di pegunungan Kun-lun-san,"

   Tutur Yap Thian-liu.

   "Bentuk Thian-sim-ciok tiada bedanya dengan batu biasa, batu itu dihancurkan menjadi bubuk dan dimakan, sekujur badan akan menjadi panas. Untuk mengetahui Thian-sim-ciok tulen atau bukan hanya dapat ditentukan dengan meminum bubuk batunya. Padahal di puncak Kun-lun-san itu penuh batu, cara bagaimana dapat dicoba satu per satu? Apalagi untuk mendaki puncak Kun-lun-san itupun bukan soal mudah."

   "Jika begitu, tiada jalan lain, terpaksa aku cukur rambut dan menjadi Hwesio,"

   Kata Sin Liong-sing dengan putus asa. Dengan menahan rasa geli Yap Thian-liu berkata.

   "Ah, itupun tidak perlu, asal saja kau tidak dekat-dekat orang perempuan kan tidak menjadi soal."

   "Lalu, apakah mereka suami-istri harus terpisah?"

   Tanya Bun Yat-hoan.

   "Kukira tidak berhalangan untuk bertemu, asal saja tidak timbul napsu begituan,"

   Ujar Yap Thian-liu.

   "Liong-sing,"

   Kata Bun Yat-hoan kemudian.

   "mungkin hal ini adalah karma atas perbuatanmu sendiri. Sekarang kita hanya pasrah nasib saja dan berusaha mendapatkan Thian-sim-ciok. Cuma kini harus menghadapi musuh lebih dulu, kepentingan pribadi terpaksa kita tunda. Mengenai persoalan kalian suami-istri terserahlah kepada kalian sendiri, aku tidak ingin ikut campur lagi."

   Dengan lesu Sin Liong-sing kembali ke kamarnya.

   Setelah didesak oleh Hi Giok-kun, akhirnya dia menuturkan apa yang didengarnya dari tabib sakti Yap Thian-liu itu.

   Keruan Hi Giok-kun menyesali diri sendiri yang sial, tapi apa mau dikata lagi, beras sudah menjadi nasi, selain mengutuk perbuatan Si Bwe yang keji itu toh tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

   Terpaksa ia berkata.

   "Ya, asalkan kau sungguh-sungguh cinta padaku, begitu pula aku mencintai kau, biarpun kita hanya suami istri kosong belaka juga tidak menjadi soal. Kini untuk menjaga keselamatanmu, boleh kau tidur saja di kamar tulis sana."

   Tadinya napsu kejantanan Sin Liong-sing benar-benar berkobar-kobar laksana api, tapi kini mendadak berubah menjadi air dingin. Cuma saja ia pun rada terhibur setelah mendengar ucapan Hi Giok-kun, pikirnya.

   "Betapa pun aku telah mengalahkan Kok Siau-hong!"

   Malam pertama pengantin baru seharusnya menikmati kebahagiaan orang hidup, tapi Hi Giok-kun terpaksa harus tidur sendirian, mau tidak mau terkenanglah olehnya akan diri Kok Siau-hong, mukanya menjadi merah dan akhirnya air mata berlinang-linang membasahi bantal bersulam bila memikirkan nasibnya untuk seterusnya.

   Sementara itu Si Bwe dan Liong Thian-hiang sedang meneruskan perjalanan mereka, setelah meninggalkan pegunungan tempat tinggal keluarga Bun, setiba di tempat yang sepi, mendadak Si Bwe bergelak tertawa.

   "Enci Bwe, dengan tindakanmu tadi, manusia yang tidak berbudi itu benar-benar telah dibuat malu di depan orang banyak, sungguh aku ikut gembira,"

   Kata Thian-hiang.

   "Tapi masih ada hal lain yang kau tidak tahu,"

   Kata Si Bwe.

   "Hal apa?"

   Tanya Thian-hiang.

   "Dia telah membikin celaka diriku, maka aku pun membikin celaka dia. Aku membikin dia selanjutnya tidak mampu....."

   Sampai di sini Si Bwe tidak meneruskan lagi.

   "Kau membikin dia bagaimana? Apa yang telah kau lakukan atas dirinya?"

   Thian-hiang menegas dengan terkejut.

   "Jangan kau kuatir, aku tidak membikin celaka jiwanya, aku cuma..... tapi sudahlah, kau pun tidak perlu tahu,"

   Segera Si Bwe bergelak tertawa lagi. Habis itu mendadak ia menangis pula, tangis yang mengenangkan kisah hidupnya yang memilukan.

   "Enci Bwe, kau sudah berhasil membalas sakit hatimu, tentunya kau tidak perlu berduka lagi,"

   Ujar Thian-siang.

   Si Bwe mengeluarkan sepotong saputangan untuk mengusap air mata, habis itu saputangan itu mendadak dirobek-robek menjadi beberapa potong dan ditebar ke udara.

   Selagi Liong Thian-hiang terkesiap oleh perbuatan kawannya itu, terdengar Si Bwe berseru lantang.

   "Ya, memang si budak Si Bwe sudah mati. Aku bukan lagi budak keluarga Sin lagi, aku telah kembali kepada diriku sendiri, aku ialah Nyo Kiat-bwe!"

   Kiranya saputangan tadi juga tanda mata yang diterimanya dari Sin Liong-sing. Liong Thian-liong merasa lega malah, pikirnya.

   "Jika demikian jalan pikirannya akan menjadi lebih baik. Tadi kusangka dia sakit syaraf."

   "Setelah memberi hukuman setimpal kepada manusia tak berbudi itu, sekarang tinggal satu cita-citaku saja yang belum kuselesaikan,"

   Kata Si Bwe yang kini telah kembali kepada nama aslinya, yakni Nyo Kiat-bwe.

   "Cita-cita apa lagi?"

   Tanya Thian-hiang.

   "Aku harus mencari dan membikin perhitungan dengan orang yang telah mengakibatkan kemalangan nasibku itu,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Yang kau maksudkan apakah penjahat yang menculik dirimu waktu kecil itu?"

   Kata Thian-hiang.

   "Apakah kau masih ingat akan wajahnya?"

   "Meski waktu itu aku masih kecil, tapi kalau bertemu aku tentu masih kenal dia,"

   Ujar Kiat-bwe.

   Hendaklah diketahui bahwa ayah Kiat-bwe yang bernama Nyo Tay-ging sebenarnya juga seorang jago silat terkenal, terhitung kawan baik ayah Liong Thian-hiang, kedua keluarga bertetangga dekat.

   Pada waktu Nyo Kiat-bwe berumur tujuh tahun, bersama Liong Thian-hiang mereka berdua bermain di lereng bukit belakang rumah, di tepi jalan yang sepi itu tiba-tiba mereka kepergok seorang penculik, Kiat-bwe disembur semacam asap oleh penculik itu dan tak sadarkan diri, lalu dibawa lari.

   Liong Thian-hiang berlari pulang dan melaporkan kepada ayahnya, ketika orang tua kedua keluarga menyusul ke tempat kejadian, namun penculik itu sudah kabur tanpa bekas.

   Sudah tentu Thian-hiang masih ingat betul akan kejadian dahulu itu, katanya kemudian.

   "Sakit hatimu itu sudah tentu harus dibalas. Cuma kau tidak tahu penculik itu berada dimana, dunia selebar ini, kemana kau akan mencarinya? Ya, kecuali ditakdirkan penjahat itu akan kepergok olehmu. Kini orang tua kita sudah meninggal dunia semua, pulang juga tiada artinya, bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat yang menarik?"

   "Baiklah, tempat apakah itu?"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Ayahku ada seorang kawan bernama Bun Yan-jun tinggal Bu-kang-koan, propinsi Ouw-lam, pemandangan tempat itu sangat indah, marilah kita pesiar ke sana beberapa hari saja,"

   Kata Thian-hiang.

   Kiranya kekasih Liong Thian-hiang adalah Bu Hian-kam, putera tunggal kesayangan Bu Yan-jun, maka ke sana sesungguhnya ingin bertemu dengan sang kekasih.

   Selain itu ia pun bermaksud memberi kesempatan bagi Nyo Kiat-bwe untuk menemukan jodoh, soalnya keluarga Bu adalah keluarga terkenal di daerah Ouw-lam, pergaulannya luas, maka di antara teman Bu Hian-kam tentu tidak sedikit terdapat yang cakap dan pintar.

   Begitulah Kiat-bwe lantas menjawab.

   "Aku sendiri sekarang tidak punya sanak keluarga lagi, kemana kau akan pergi, aku akan menemani kau pula."

   Mereka lantas melanjutkan perjalanan, suatu hari sampailah mereka di wilayah Ouw-lam, kira-kira tiga hari lagi mereka akan sampai di tempat tujuan.

   Tengah berjalan, tiba-tiba dari belakang ada suara keleningan kuda, dua penunggang kuda mendatangi dengan cepat.

   Kiat-bwe dan Thian-hiang segera menyingkir ke tepi jalan, tak terduga sesudah dekat kedua penunggang kuda itu mendadak melompat turun.

   Mereka terdiri dari seorang lelaki dan seorang perempuan, tampaknya baru berusia duapuluhan.

   Pemuda itu memandangi Kiat-bwe dengan sikap kikuk, seperti ingin bicara, tapi sukar buka mulut tampaknya.

   "Koko, biar aku saja yang bicara,"

   Tiba-tiba si nona yang buka suara.

   "Nona Nyo dan nona Liong, kita sebenarnya sudah pernah bertemu, mungkin kalian tidak kenal kami, tapi kami masih kenal kalian."

   Tentu saja Thian-hiang heran, jawabnya.

   "Kita pernah bertemu dimanakah? Maafkan aku sudah lupa, sungguh aku tidak ingat lagi."

   Si pemuda masih memandangi Kiat-bwe, semula Kiat-bwe merasa mendongkol dan bermaksud meloloti orang, tapi begitu mengadu pandang, tiba-tiba timbul semacam perasaan aneh dalam benaknya, pikirnya.

   "He, aneh, orang ini seperti sudah kukenal entah dimana? Tapi adik perempuannya dapat kupastikan belum pernah kulihat."

   Dalam pada itu terdengar si nona tadi sedang berkata pula.

   "Kami she Ciau dan bertempat tinggal di Ciau-yang-koan, daerah Ouw-lam. Ayahku dan ayah nona Liong juga pernah bertemu satu kali dahulu."

   Tiba-tiba Thian-hiang ingat sesuatu, katanya.

   "Apakah barangkali ayahmu adalah Ciau Lo-cianpwe, Siang-say-tayhiap Ciau Goan-hoa?"

   "Benar,"

   Jawab si nona.

   "Ini kakakku bernama Ciau Siang-hoa dan aku sendiri bernama Ciau Siang-yau."

   "Ayah pernah menyebut juga nama ayahmu, cuma aku sendiri rasanya belum pernah bertemu dengan kalian kakak beradik,"

   Ujar Thian-hiang.

   "Bulan yang lalu, bukankah kedua Cici juga hadir dalam pesta perkawinan murid Bun-tayhiap di daerah Kang-lam sana?"

   Kata Ciau Siang- yau.

   "O, kiranya kalian juga hadir pada waktu itu,"

   Kata Thian-hiang, kini dia baru tahu duduknya perkara, mengapa orang kenal dia.

   Tapi Kiat-bwe tetap heran meski persoalannya telah jelas.

   Soalnya dia sama sekali tidak memperhatikan tamu siapa saja yang hadir di tempat Bun Yat-hoan itu, tapi mengapa pemuda yang bernama Ciau Siang-hoa ini rasanya seperti sudah dikenalnya? Dalam pada itu Thian-hiang sedang berkata pula.

   "O, kiranya begitu. Dan entah ada petunjuk apakah dari kedua saudara?"

   "Sebenarnya kami tidak berani sembarangan bicara tentang persahabatan segala,"

   Kata Ciau Siang-yau kemudian.

   "Cuma setidak- tidaknya ayah kami toh terhitung kenalan ayah nona Liong. Selain itu sikap nona Nyo yang gagah berani tempo hari membuat kami sangat kagum juga. Kini kedua Cici kebetulan berlalu di daerah kampung kami, masakah kami tidak sekadar memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah."

   Liong Thian-hiang sendiri ingin lekas berjumpa dengan kekasihnya, sudah tentu ia enggan mampir lagi ke tempat lain, apalagi kedua saudara she Ciau itupun baru saja dikenalnya.

   Maka ia lantas menolak dengan cara halus, ia berjanji akan berkunjung pada kesempatan lain.

   Kedua saudara Ciau itu tampak kecewa, Ciau Siang-yau berkata pula.

   "Entah kedua Cici sekarang hendak pergi kemana?"

   "Liong-cici hendak pergi ke tempat Bun Yan-jun. Bun Lo-cianpwe di Bu- kang-koan,"

   Demikian Kiat-bwe mendahului menjawab.

   "Katanya pemandangan di sana sangat indah, maka aku diajak pesiar beberapa hari ke sana."

   Mendadak Ciau Siang-yau bergirang, katanya cepat.

   "Bu-kang adalah kota tetangga tempat kami, ayah dan Bun-pepek juga kenal. Jika kedua Cici tidak ada urusan penting, silakan tinggal dulu beberapa hari di tempat kami. Meski Ciau-yang tidak seindah Bu-kang, tapi ada juga beberapa tempat pesiar yang terkenal."

   Thian-hiang menjadi sangsi mengapa mereka mengajak terus menerus, padahal kedua pihak baru saja kenal. Dalam pada itu Kiat-bwe lantas menjawab pula.

   "Maksud baik ajakan Ciau-cici sungguh tidak enak untuk ditolak. Boleh begini saja, Liong-cici, biar kita berpisah dulu untuk beberapa hari, kau berangkat ke Bu-kang dan aku mampir ke tempat di Peng-thian. Kalau engkau sudah puas pesiar di sana bolehlah menyusul aku ke sana."

   "Betul, cara ini memang paling baik,"

   Kata Ciau Siang-yau. Agaknya Ciau Siang-hoa juga kegirangan mendengar ucapan Kiat-bwe itu, segera ia pun menimbrung.

   "Ya, memang cara yang tepat, adik Yau, boleh kau pinjamkan kudamu kepada nona Nyo, kau boleh bersatu tunggangan dengan aku. Nah, silakan, nona Nyo!"

   Segera ia angsurkan cambuk kuda kepada Kiat-bwe seakan-akan kuatir si nona mendadak berubah pikiran lagi. Diam-diam Liong Thian-hiang menahan geli, pikirnya.

   "Melihat gelagatnya, agaknya yang lelaki menaksir, yang perempuan juga tidak menolak."

   Begitulah Liong Thian-hiang mengira sekali pandang Nyo Kiat-bwe telah jatuh cinta kepada Ciau Siang-hoa, padahal yang sesungguhnya tidak demikian halnya, yang menjadi pikiran Nyo Kiat-bwe adalah suatu hal yang lain.

   Ketika Ciau Siang-hoa mengangsurkan cambuk kuda padanya, sekilas Kiat-bwe melihat pada punggung tangan Ciau Siang-hoa ada sebuah tahi lalat, seketika hati Kiat-bwe tergetar, pikirnya.

   "He, di dunia ini benar-benar bisa terjadi hal yang begini kebetulan. Ciau Siang-hoa ternyata adalah anak laki-laki itu."

   Maka adegan di masa lalu mendadak terbayang pula dalam benaknya, walaupun sudah agak samar-samar.

   Waktu Kiat-bwe diculik orang yang tak dikenal itu usianya baru tujuh tahun.

   Jadi peristiwa itu sudah empatbelas tahun yang lampau.

   Kiat-bwe ingat dia dibawa berjalan terus entah kemana, suatu hari penculik itu membawanya sampai di suatu kelenteng yang terletak di suatu bukit sepi.

   Begitu masuk kelenteng itu lantas dilihatnya ada seorang lelaki bermuka codet bersama seorang anak laki-laki berusia sebaya dengan dirinya.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sudah tiga hari kutunggu kau di sini,"

   Kata laki-laki bermuka codet itu kepada si penculik.

   "Anak dara ini tentunya puteri kesayangan Nyo Tay-ging bukan? Ha, ha, selamat kau telah berhasil dengan usahamu!"

   "Ah, sama-sama, bukankah kau pun berhasil dengan usahamu?"

   Jawab si penculik dengan tertawa sambil menuding si anak laki-laki. Orang bermuka codet itu sangat senang, katanya dengan tertawa.

   "Kita menerima pesanan orang, syukurlah segala sesuatu berhasil dengan baik."

   "Yang jelas anak dara itu bukan barang pesanan orang itu, tapi aku dapat menggunakannya sebagai oleh-oleh,"

   Kata si penculik.

   "Oleh-oleh untuk siapa?"

   Tanya orang bercodet.

   "Kabarnya Sin Cap-si-koh sedang mencari seorang budak yang pintar dan cerdik."

   "O, kau kenal iblis perempuan itu?"

   "Mana aku sesuai untuk berkenalan dengan dia? Kabar itupun kudapat dari kawan sekerja saja. Jika kuberikan budak ini kepadanya, bisa jadi dia akan sudi berkenalan dengan aku. Dan bagaimana kau akan menyelesaikan bocah ini?"

   "Sayang Sin Cap-si-koh hanya terima budak perempuan dan tidak mau jongos,"

   Kata orang bercodet itu.

   "Sementara aku belum tahu cara bagaimana akan mengatur bocah ini, tunggu saja nanti, kukira pasti ada orang yang mau terima."

   Mereka tinggal satu hari di kelenteng itu, Kiat-bwe sangat ingin bicara dengan anak laki-laki itu, tapi orang bercodet itu selalu mengawasi mereka.

   Anak laki-laki itupun ingin bicara, tapi baru dia tanya Kiat-bwe she apa, kontan dia ditampar satu kali oleh orang bercodet itu dan membentaknya agar jangan bicara.

   Kiat-bwe semakin takut sehingga tidak berani buka suara sepatah kata pun.

   Kejadian itu sudah belasan tahun, sudah samar-samar dalam ingatannya, yang masih berkesan dan teringat dengan baik ialah tahi lalat yang berada pada punggung tangan anak laki-laki itu.

   Kini Kiat-bwe jadi terbayang pula adegan lama itu, ketika dia mengamat- amati pula Ciau Siang-hoa yang berada di depannya itu, semakin dipandang semakin merasa sudah mengenalnya.

   Sungguh aneh, peristiwa lama yang tak pernah terbayang itu kini demi teringat kembali, seketika apa yang dibicarakan antaran si penculik dan orang bermuka codet dahulu itu serasa masih teringat dengan jelas.

   Jika diselami dari percakapan kedua orang itu, jelas si penculik bukan menculiknya secara kebetulan saja, tapi memang sudah direncanakan, orang yang menyuruh menculik tentulah musuh ayahku.

   Tampaknya pemuda she Ciau ini adalah anak laki-laki dahulu itu.

   Entah dia masih ingat kejadian masa lalu atau tidak? Orang yang menculiknya adalah sekomplotan dengan penculik diriku itu, bukan mustahil aku akan dapat menemukan jalan melalui diri pemuda she Ciau ini.

   Demikian pikir Kiat-bwe.

   Lantaran itulah maka Kiat-bwe sengaja terima ajakan kedua saudara she Ciau itu ke Ciau-yang.

   Liong Thian-hiang tidak tahu jalan pikiran Kiat-bwe, ia menyangka kawannya itu sekali pandang telah jatuh cinta kepada pemuda she Ciau itu.

   Begitulah Liong Thian-hiang lantas mengucapkan selamat berpisah dan berangkat sendiri.

   Kedua kakak beradik Ciau lantas menunggang seekor kuda bersama, kuda Ciau Siang-yau diberikan kepada Kiat-bwe dan berangkatlah mereka.

   Dua hari kemudian sampailah mereka di rumah.

   Ciau Goan-hoa merasa heran melihat putera-puterinya membawa pulang seorang nona yang tak dikenal.

   Dengan tertawa Ciau Siang-yau lantas berkata.

   "Ayah, di tengah pesta Bun-tayhiap sana kami telah ketemu dengan puteri Liong-pepek."

   "O, inikah nona Liong?"

   Tanya Ciau Goan-hoa.

   "Bukan, dia nona Nyo, dahulu adalah tetangga paman Liong,"

   Tutur Siang-yau.

   "Dia juga saudara angkat nona Liong. Nona Liong sendiri tidak ikut ke sini, syukur nona Nyo ini sudi menjadi tamu kita."

   "Secara kebetulan bertemu dan atas undangan puterimu, maka sengaja datang membikin repot paman,"

   Kata Kiat-bwe sambil memberi hormat kepada tuan rumah. Setelah mengamat-amati Kiat-bwe, kemudian Ciau Goan-hoa bergelak tertawa dan berkata.

   "Ha, ha, ayahmu Nyo Tay-ging bukan? Ha, ha, ha, sungguh sangat kebetulan sekali, tak tersangka bahwa antara kalian angkatan muda kini juga telah bersahabat satu sama lain."

   "Ah, kiranya paman Ciau dan ayah juga....."

   Kata Kiat-bwe dengan rada heran.

   "Aku kenal Liong Pek-giam, tapi sesungguhnya pergaulanku dengan ayahmu terlebih akrab,"

   Tutur Ciau Goan-hoa dengan tertawa.

   "Tapi duapuluh tahun yang lalu mendadak dia menghilang dari dunia Kang-ouw, sejak itupun kami tidak pernah bertemu. Aku merasa sayang kehilangan seorang sahabat baik. Syukur sekarang dapat bertemu dengan puteri sahabat lama, mungkin kau dapat menerangkan seluk beluk mengenai diri ayahmu."

   "Sungguh malang, ayah sudah lama wafat,"

   Jawab Kiat-bwe dengan mata berkaca-kaca.

   "Sejak kecil aku diculik orang sehingga tidak dapat menjaga ayah, maka apa yang paman ingin tahu tentang diri ayah tak dapat kuceritakan."

   "Apa? Kau juga diculik orang sejak kecil?"

   Goan-hoa menegas dengan terkejut. Mendengar kata "juga"

   Itu, maka Kiat-bwe semakin yakin akan dugaannya terhadap diri Ciau Siang-hoa pasti tidaklah keliru.

   "Malahan ada yang lebih kebetulan lagi,"

   Sambung Ciau Siang-yau.

   "oleh penculiknya, Nyo-cici justru telah dijual ke rumah Sin Liong-sing, murid ahli waris Bun-tayhiap yang baru menikah itu."

   Ciau Goan-hoa tambah terkejut, katanya.

   "Jika begitu, jadi kau adalah....." ~ Mendadak ia merasa kata "budak"

   Tidak pantas diucapkan, maka ia menjadi kikuk sendiri.

   "Benar, aku adalah budak Sin Cap-si-koh,"

   Sambung Kiat-bwe.

   "Apakah paman Ciau juga kenal bekas majikanku itu?"

   Tapi Ciau Siang-hoa lantas menyela.

   "Hanya sementara saja Nyo-cici mengalami nasib buruk, tapi sudah lama dia bukan lagi budak keluarga Sin. Malahan kudengar Sin-siauhiap itu juga mengaku adik padanya."

   Ciau Goan-hoa juga berkata.

   "O, tidak, aku tidak kenal Sin Cap-si-koh. Cuma dulu namanya sangat terkenal, sebab itu aku tahu siapa dia."

   Timbul rasa curiga Kiat-bwe, katanya pula.

   "Paman Ciau, tadi engkau ingin tahu seluk-beluk ayahku, tentunya paman Ciau sendiri sebelumnya sudah tahu kehidupan ayah, apakah engkau dapat menceritakannya kepadaku?"

   "Ah, aku sendiri pun tidak begitu jelas,"

   Jawab Ciau Goan-hoa dengan ragu-ragu.

   "Aku tahu ayahmu dahulu pernah menjadi Cong-piauthau suatu perusahaan Piaukiok, dalam tugasnya itu dengan sendirinya ada sengketa dengan orang golongan hitam dan bukan mustahil kemudian ayahmu lalu mengasingkan diri untuk menghindari musuh, tapi hal yang lebih jelas aku sendiri kurang tahu."

   Karena orang tidak mau bicara terus terang, dengan sendirinya Kiat-bwe tidak enak untuk bertanya lebih lanjut, terpaksa ia mencari kesempatan lain saja.

   Sejak itulah Kiat-bwe lantas tinggal di rumah keluarga Ciau.

   Hubungannya dengan Ciau Siang-yau sangat baik laksana kakak adik saja, siang hari mereka main bersama, malam hari tidur satu kamar.

   Akan tetapi Kiat-bwe belum ada kesempatan bicara lagi dengan Ciau Siang-hoa.

   Suatu malam ketika sinar bulan terang benderang, Ciau Siang-yau telah mengajak Kiat-bwe berjalan-jalan di taman bunga yang indah.

   Angin meniup sepoi sejuk mengeluarkan bau harum bunga yang memabukkan.

   "Sungguh indah sekali,"

   Puji Kiat-bwe.

   "Hidup kalian benar-benar mengagumkan seperti malaikat dewata saja!"

   "Jika kau suka kepada tempat ini, bolehlah kau menjadi....."

   Sampai di sini Ciau Siang-yau hanya tersenyum dan tidak meneruskan.

   "Menjadi apa?"

   Kiat-bwe menegas. Melihat air muka Kiat-bwe mengunjuk rasa kurang senang, mestinya Siang-yau hendak berkata "menjadi kakak iparku"

   Menjadi urung diucapkan, segera ia ganti haluan dan berkata.

   "Boleh kau menjadi Enciku dan tinggal di sini saja."

   "Terima kasih atas kebaikanmu,"

   Sahut Kiat-bwe.

   "Cuma sayang, aku tidak sesuai menjadi encimu, aku hanya seorang budak."

   "Mengapa kau terkenang lagi kepada masa lalu yang tidak menyenangkan itu?"

   Kata Siang-yau.

   "Padahal derajatmu dan diriku tiada bedanya sedikit pun."

   "Tapi rezekinya berselisih jauh,"

   Ujar Kiat-bwe. Siang-yau berusaha menghiburnya agar melupakan kejadian di masa lampau, kemudian tiba-tiba ia berkata.

   "Nyo-cici, harap kau tunggu sebentar di sini, aku akan ke kamar kecil."

   Habis itu ia lantas tinggal pergi dengan tersipu-sipu.

   Sendirian Kiat-bwe menikmati pemandangan bunga di bawah sinar bulan purnama, selang tak lama, tiba-tiba dilihatnya permukaan air kolam sebelahnya timbul sebuah bayangan orang laki-laki, ia terkejut dan cepat berpaling, ternyata Ciau Siang-hoa sudah berdiri di situ.

   Kiat-bwe bukan nona yang bodoh, segera ia menyadari duduknya perkara, ia tahu Ciau Siang-yau sengaja beralasan untuk menyingkir, tujuannya adalah memberi kesempatan bagi kakaknya untuk menemuinya sendirian.

   Meski Kiat-bwe sendiri tidak jatuh cinta kepada Ciau Siang-hoa, tapi kesempatan baik ini baginya memang sangat diharapkan.

   Begitulah terdengar Ciau Siang-hoa telah menyapa.

   "Nona Nyo, kiranya engkau belum tidur."

   "Enci Yau mengajak aku jalan-jalan ke taman sini, baru saja dia pergi,"

   Kata Kiat-bwe, lalu ia hendak memanggil Siang-yau. Tapi Siang-hoa telah mencegahnya.

   "Tak perlu panggil dia, aku memang ingin bicara dengan kau."

   Hati Kiat-bwe tergerak, ia pikir Siang-hoa tentu telah mengenalinya pula sebagai anak perempuan yang pernah dilihatnya dahulu itu. Benar juga, terdengar Ciau Siang-hoa mulai berkata.

   "Aku merasa kita sudah pernah bertemu pada masa dahulu. Apakah engkau juga mempunyai perasaan demikian?"

   Karena ingin lekas mendapatkan keterangan dari Ciau Siang-hoa, Kiat- bwe langsung menjawab.

   "Benar, aku pun merasa seperti pernah kenal kau. Apakah ini anak laki-laki yang pernah kulihat di kelenteng tua dahulu itu? Waktu itu kau dibawa oleh seorang laki-laki bermuka codet bukan?"

   "Benar, memang begitulah dan ternyata kau adalah anak perempuan itu, syukur kau masih ingat padaku,"

   Kata Siang-hoa girang.

   "Cara bagaimana kau sampai kena diculik oleh orang jahat itu?"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Kalau diceritakan, nasibku mungkin terlebih memelas daripada kau. Rumahku telah hancur dan keluargaku musnah, kemudian aku diculik orang jahat ke daerah Kang-lam sini."

   "Asalnya kau she apa?"

   Tanya Kiat-bwe pula.

   "Sebenarnya aku she Ciok, ayahku adalah guru silat di Tiong-boh-koan,"

   Sampai di sini mendadak Siang-hoa balas bertanya.

   "Ayahmu bernama Nyo Tay-ging, betul tidak?"

   Kiat-bwe melengak, jawabnya.

   "Kenapa kau bertanya lagi? Bukankah ayahmu sudah pernah mengatakan padamu."

   "Memang kudengar ayah menyebut nama ayahmu ketika kau baru datang,"

   Kata Siang-hoa.

   "Tapi sebelum datang di rumah keluarga Ciau ini aku juga pernah mendengar orang menyebut nama ayahmu itu."

   "O, jika begitu hal itu terjadi pada waktu kau masih kecil,"

   Kata Kiat-bwe heran.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa yang pernah menyebut nama ayahku itu? Mengapa kau masih ingat?"

   "Waktu itu adalah waktu naas bagi rumah dan keluargaku yang hancur berantakan, masakah aku dapat melupakannya?"

   Ujar Siang-hoa sambil menghela napas panjang.

   "Janganlah kau berduka, coba ceritakan padaku bagaimana sebenarnya duduknya perkara?"

   Pinta Kiat-bwe.

   "Siang hari itu rumah kami kedatangan seorang tamu, ayah mengundangnya bicara di kamar tulisnya,"

   Demikian Siang-hoa mulai menutur.

   "Beliau memberi pesan kepada semua budak agar jangan masuk ke kamar itu jika tidak dipanggil. Aku sendiri tak ingat lagi ada urusan apa orang itu hendak mencari ayah, singkatnya aku telah mendekati kamar tulis ayah dan kebetulan kudengar si tamu sedang menyebut nama ayahmu, katanya dia sudah menyelidiki dengan betul tempat tinggal ayahmu di Liong- giam-koan di Hok-kian. Lalu terdengar ayahku menyatakan akan berangkat esok paginya bersama tamu itu ke Liong-giam untuk mencari ayahmu."

   Kiat-bwe merasa bingung oleh cerita itu, ia pikir apakah mungkin mereka adalah musuh ayah dan bemaksud jahat kepadanya. Siang-hoa seperti mengerti pikiran Kiat-bwe, katanya segera.

   "Aku sendiri tidak tahu ada hubungan apa antara ayahku dan ayahmu, tapi satu hal dapat kupastikan bahwa di antara mereka pasti tidak bermusuhan."

   "Darimana kau dapat tahu dengan pasti?"

   Ujar Kiat-bwe.

   "Padahal musuh atau bukan adalah urusan orang tua, angkatan muda tentu tidak tersangkut- paut."

   "Bukan maksudku hendak menutupi urusan ayahku, kepastianku tadi kusimpulkan dari peristiwa yang terjadi kemudian,"

   Kata Siang-hoa.

   "Kemudian terjadi peristiwa apa lagi?"

   Tanya Kiat-bwe. Teringat kepada peristiwa yang sudah lampau itu, Siang-hoa tampak sedih dan mengucurkan air mata, katanya.

   "Baiklah, betapa pun akan kuceritakan padamu. Kejadian pada hari itu masih kuingat dengan jelas. Ketika aku sedang mendengarkan di luar kamar ayah, mendadak sebuah senjata rahasia menyambar keluar dan terdengar tamu itu membentak siapa yang mengintip di luar kamar. Senjata rahasia itu menancap di atas tanah di sebelahku, rupanya ayah cukup sebat untuk menyampuk tangan tamunya sehingga arah senjata rahasia itu melenceng.

   "Segera tampak ayah membuka pintu dan melongok keluar, lalu mengomel, `Ternyata benar kau setan cilik ini, untung aku cukup cepat, kalau tidak, kau tentu sudah mampus. Hayo, lekas pergi bermain keluar, untuk apa datang ke sini? Kemudian terdengar tamu itu meminta maaf kepada ayah karena telah salah menyerang puteranya. Ayah dan tamu itu lantas menutup pintu kamar pula dan aku pun lari ketakutan ke kamar ibu."

   "Apa yang dibicarakan mereka selanjutnya tentu kau tidak tahu, darimana pula kau yakin mereka bukan musuh ayahku?"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Pada malam itu juga satu peristiwa yang tak terduga telah terjadi, peristiwa itupun telah mengubah seluruh nasib kehidupanku,"

   Tutur Siang- hoa lebih lanjut.

   "Malamnya rumahku kedatangan satu gerombolan bandit. Ayah dan tamu she Pek itu melawan mereka dengan sengit. Kudengar kawanan bandit itu ada yang berteriak bahwa tamu ayahku itu ternyata orang she Pek dan bukan orang she Nyo yang mereka cari. Tapi ada yang berteriak pula bahwa urusan sudah telanjur, peduli siapa dia bereskan saja semuanya agar tidak membocorkan perbuatan mereka."

   "Jika begitu, kawanan bandit itulah yang benar-benar musuh ayahku,"

   Pikir Kiat-bwe dalam hati.

   "Mereka menyangka ayah bersembunyi di rumah keluarga Ciok, tentunya paman Ciok dan tamu she Pek itu adalah sahabat ayah."

   Dalam pada itu Siang-hoa sedang menyambung pula.

   "Waktu kawanan bandit itu mulai menyerbu ke rumahku, ayah telah menyuruh seorang budak tua membawa kabur diriku melalui pintu belakang. Di belakang rumah kami adalah hutan cemara, budak tua itu membawa aku bersembunyi di suatu tempat yang terlindung, suara bentakan kawanan bandit dan beradunya senjata dapat kami dengar dengan jelas. Tapi waktu itu aku sangat ketakutan, pula masih kecil, maka cuma beberapa patah kata kawanan bandit itu saja yang kuingat. Selanjutnya aku pun tidak pernah bertemu lagi dengan ayah, beliau entah masih hidup atau sudah meninggal. Ai, besar kemungkinan sudah terbunuh oleh kawanan penjahat itu."

   "Habis itu apakah kau pernah pulang ke rumah,"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Sungguh malang, ketika aku dan budak tua itu bersembunyi di tengah hutan, entah darimana datangnya, tahu-tahu budak tua itu juga binasa oleh sebuah anak panah, untung aku bertiarap di tempat yang mendekuk sehingga tidak kepergok. Besoknya aku pulang ke rumah sendirian, kulihat rumahku sudah terbakar menjadi puing, malahan api belum padam sama sekali. Di atas tanah mayat bergelimpangan, entah ayah dan tamu she Pek itu terdapat di antara mayat-mayat itu atau tidak. Agaknya ada orang berusaha memadamkan kebakaran, hal ini terbukti tanah sekitarnya tampak basah. Rumah sudah terbakar menjadi puing, tapi mayat-mayat itu tidak sampai terhangus seluruhnya, kuhitung seluruhnya ada sembilan sosok mayat. Seluruh anggota keluarga kami termasuk ayah dan tamu she Pek itu ada tigabelas orang, kecuali budak tua yang mati terpanah itu, jelas masih ada tiga orang yang berhasil meloloskan diri. Ai, entah di antara ketiga orang yang selamat itu terdapat ayahku tidak."

   Diam-diam Kiat-bwe mengkirik mendengar cerita itu, segera ia pun menghiburnya.

   "Orang baik tentu diberkahi selamat, besar kemungkinan paman masih hidup di dunia ini dan kalian masih ada harapan untuk berkumpul kembali."

   "Ya, semoga begitu hendaknya,"

   Kata Siang-hoa.

   "Cuma seumpama ayah masih hidup, cara bagaimana beliau mengetahui aku kini telah berubah menjadi Ciau Siang-hoa dan bagaimana pula dia menemukan aku? Mungkin harapanku ini hanya akan menjadi impian belaka."

   "Di dunia ini sering terjadi hal-hal yang terduga, kau jangan berduka, bisa jadi akan timbul kemujizatan,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Dan kemudian cara bagaimana kau diculik dan dijual ke sini?"

   "Waktu itu aku sedang menangis sendirian di tengah tumpukan puing, semua tetangga mungkin juga sudah lari ketakutan, maka tiada seorang pun yang menggubris padaku,"

   Tutur Siang-hoa.

   "Sekonyong-konyong pundakku ditepuk perlahan oleh seorang, ketika aku menoleh, ternyata seorang sudah berada di belakangku, entah sejak kapan dia datang."

   "Siapa dia?"

   Tanya Kiat-bwe tak sabar.

   "Ialah laki-laki bermuka codet itu,"

   Kata Siang-hoa. Padahal Kiat-bwe sudah tahu soal penculikan itu, tapi mendengar sampai di sini tidak urung ia berseru terkejut.

   "Orang bermuka codet itu semula sangat baik padaku, dia mengaku she Ciu, aku disuruh panggil dia paman Ciu saja, dia membujuk aku ikut dia ke rumahnya dan dia akan bantu mencari tahu keadaan ayah kelak. Mestinya aku merasa takut melihat mukanya yang bengis itu, tapi lantaran tiada tempat yang dapat kutuju, terpaksa aku menurut dan ikut dia. Setelah meninggalkan kampung halaman, maka mulai kelihatan watak aslinya yang jahat, sedikit- sedikit dia suka memaki dan memukul aku. Seperti kau masih ingat tentunya, ketika di kelenteng itu dia telah memaki dan memukul aku, hanya lantaran aku ingin bicara dengan kau."

   "Ya, aku masih ingat, kau cuma tanya aku she apa,"

   Jawab Kiat-bwe.

   "Dan sesudah itu, lalu dia menjual kau ke sini bukan?"

   "Tidak, ayahku yang sekarang ini telah menyelamatkan diriku dari cengkeraman penjahat itu,"

   Kata Siang-hoa.

   "Wah, tentunya paman Ciau adalah teman ayahmu, apakah penjahat itupun kena dibekuk oleh beliau?"

   Tanya Kiat-bwe. Ia pikir kalau penjahat itu kena dibekuk, tentunya daripadanya dapat dikorek sedikit keterangan mengingat orang bercodet itu adalah satu komplotan dengan penculik dirinya itu. Tapi Ciau Siang-hoa telah menjawab.

   "Tidak, ayahku yang sekarang ini tidak kenal ayahku yang asli."

   "Habis mengapa beliau dapat menyelamatkan kau?"

   Tanya Kiat-bwe heran.

   "Ayahku yang sekarang tatkala itu adalah seorang perwira tentara negeri, termasuk bawahan Go-ciangkun dan naik pangkat hingga menjadi Cong- peng di kota Un-ciu.

   "Penjahat itu membawa aku ke daerah Kang-lam dan memasuki suatu gerombolan bandit. Tapi gerombolan bandit itu tidak hidup dari merampok, pekerjaan mereka adalah berdagang garam gelap sambil dagang manusia, yaitu menjual anak-anak yang dibawa kaum penculik. Agaknya penculik diriku itu pernah angkat saudara dengan pemimpin kawanan bandit itu, hal ini terbukti dari sebutan kakak dan adik yang akrab di antara mereka.

   "Pada suatu hari mereka membawa beberapa anak ke suatu tempat, di tengah jalan mereka mendadak dijaring oleh pasukan tentara, penjahat muka codet dan kepala bandit itu terbunuh oleh pasukan tentara dalam pertempuran, anak buahnya seluruhnya dapat ditangkap. Aku dan beberapa anak itupun diselamatkan oleh pasukan tentara itu.

   "Kemudian dapat kuketahui bahwa beberapa anak itu berasal dari keluarga orang kaya dan berkedudukan di kota Un-ciu, mereka diculik dengan tujuan hendak digunakan sebagai alat pemeras. Sebagai Cong-peng (komandan militer kota) kota Un-ciu, setelah menerima laporan penculikan anak-anak itu, ayahku ini lantas melancarkan razia besar-besaran dan berhasil menumpas kawanan bandit itu. Anak-anak yang ditemukan kembali itu telah dipulangkan kepada orang tua masing-masing, aku sendiri tidak ada yang mengakui, maka ayahku ini lantas membawa diriku ke rumah dan suruh aku menjadi puteranya."

   "Dan kau telah menceritakan asal-usul dirimu kepadanya?"

   Tanya Kiat- bwe.

   "Sudah tentu,"

   Jawab Siang-hoa.

   "Maka ayah berjanji akan bantu menyelidiki peristiwa kejahatan itu. Tapi beliau pesan juga padaku agar jangan membocorkan rahasia asal-usul diriku kepada orang lain. Adik perempuanku inipun tidak tahu bahwa aku sebenarnya bukan kakak kandungnya yang asli."

   "Apa sebab begitu?"

   Tanya Kiat-bwe heran.

   "Ibuku yang ini adalah ibu nomor dua....."

   "O, maksudmu ibumu yang sekarang ini adalah selir paman Ciau?"

   "Ya, selama duapuluhan tahun ayah telah meninggalkan istri kawinnya ke tempat tugas, selama itu ia hanya pulang beberapa kali saja dan mendapatkan adik perempuanku yang sekarang ini. Di tempat tugasnya ayah telah ambil istri kedua, yaitu yang menjadi ibuku sekarang. Sebelum pulang kampung hal istri kedua ini oleh ayah sengaja dirahasiakan di luar tahu ibu tua (maksudnya istri pertama ayahnya)."

   


Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Bara Naga Karya Yin Yong Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung

Cari Blog Ini