Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 18


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 18



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Baru sekarang Kiat-bwe mengetahui bahwa rumah tangga keluarga Ciau itu ternyata agak ruwet. Tadinya dia mengira paman Ciau itu adalah tokoh persilatan, tak tahunya suka juga bergundik di luar tahu istri kawinnya.

   "Ketika ibu kedua mengetahui aku berasal dari utara dan diculik ke selatan, maka dia lantas berunding dengan ayah agar aku dipalsukan sebagai anak kandung mereka,"

   Demikian tutur Siang-hoa lebih lanjut.

   "O, kiranya begitu. Tapi mengapa adik perempuanmu juga tidak boleh tahu?"

   "Soalnya ibu kedua kuatir ibu tua tidak mau menerimanya, tapi kalau mengaku punya anak laki-laki, kedudukannya di dalam rumah tentu akan lain. Sebab itu dia melarang ayah memberitahukan duduk perkara yang sebenarnya kepada ibu tua. Ayah sendiri juga kuatir harta bendanya jatuh kepada sanak famili karena beliau sendiri tidak punya anak lelaki, sebab itulah setiba di kampung halaman segera aku disembahyangkan di hadapan abu leluhur, aku dianggap sebagai putera kandungnya serta namaku dicatat dengan silsilah keluarga Ciau. Inilah alasannya mengapa dia melarang aku membocorkan rahasia asal-usul diriku kepada orang lain. Lantaran umur Siang-yau masih kecil, ayah kuatir dia sembarangan omong di luar, maka rahasia diriku juga tidak diceritakan kepadanya."

   "Kiranya kau mempunyai kisah hidup yang begini ruwet,"

   Kata Kiat-bwe. Tapi di dalam hati ia anggap tindakan orang rada kurang jujur. Agaknya Siang-hoa dapat menduga pikiran Kiat-bwe itu, dengan menyeringai ia berkata pula.

   "Selama belasan tahun ini ayah teramat sayang kepadaku, pula ayah yang telah menyelamatkan jiwaku. Aku tak dapat membantah maksud kedua orang tua itu, terpaksa aku menurut dan berkomplot dengan mereka. Tapi sekali-kali bukan maksudku hendak mengincar harta warisan keluarga Ciau, jika aku dapat menemukan ayahku yang asli, betapa pun aku akan kembali padanya."

   Sampai di sini Kiat-bwe seperti mendengar sesuatu suara, cepat ia menoleh, tapi tidak nampak seorang pun.

   "Jangan kuatir, takkan ada orang yang datang ke sini,"

   Kata Siang-hoa dengan tertawa.

   "Siang-yau sengaja mengatur kesempatan ini agar aku dapat menemui kau sendirian. Dia sudah kembali ke kamarnya sendiri, sedikitnya setengah jam lagi baru akan datang menjemput kau."

   "Adik perempuanmu itu sangat baik, tapi kau malah mengelabui dia, sebaliknya kau memberitahukan rahasiamu kepadaku, bukankah paman Ciau telah melarang kau membocorkan rahasiamu kepada orang luar?"

   Kata Kiat-bwe.

   "Biarpun aku tidak mengatakan padamu tentu juga kau mengetahui aku bukan putera keluarga Ciau. Apa lagi kita memang senasib, sejak pertemuan kita dahulu itu aku selalu terkenang padamu. Meski kita belum sempat bicara, tapi di dalam lubuk hatiku kau serasa adalah sanak keluargaku sendiri."

   Kiat-bwe sangat terharu, katanya.

   "Aku pun sering teringat kepada pertemuan kita dahulu itu. Oya, apakah selama ini paman Ciau pernah berusaha menyelidiki keadaan rumahmu dahulu itu, apakah asal-usul kawanan bandit itu telah diketahui?"

   "Tidaklah mudah untuk mencari tahu peristiwa yang sudah terjadi sekian lamanya, apalagi tempat itu terletak beribu lie jauhnya. Cuma ayah juga telah berusaha sekuat tenaga, dia pernah mengirim orang kepercayaannya ke kampungku di Tiong-boh-koan dan menurut laporan suruhannya itu, katanya rumahku sudah menjadi puing, para tetangga juga tidak tahu lagi kemana perginya ayah kandungku."

   Diam-diam Kiat-bwe menghela napas, pikirnya.

   "Tadinya kuharap akan mendapatkan sedikit sinar terang tentang peristiwa dahulu, siapa tahu masih tetap tanda tanya belaka. Ai, nasibnya sesungguhnya jauh lebih memelas daripada diriku."

   "Selama beberapa tahun ini apakah kau baik-baik saja tinggal di tempat keluarga Sin?"

   Tanya Siang-hoa.

   "Menurut ayahmu, katanya Sin Cap-si-koh adalah gembong iblis perempuan yang terkenal, cuma terhadap diriku dia cukup baik,"

   Tutur Kiat- bwe.

   "Dan bagaimana dengan Sin-kongcu itu?"

   Mendadak air muka Kiat-bwe berubah.

   "Untuk apa kau menanyakan dia?"

   "Tidak apa-apa,"

   Jawab Siang-hoa dengan kikuk.

   "Aku hanya merasa tindakanmu tempo hari itu rada....."

   "Rada aneh bukan?"

   Kiat-bwe memotong.

   "Memangnya aku cuma seorang budak, tidaklah pantas aku membikin malu tuan muda sendiri, betul tidak?"

   "Tidak, bukan begitu maksudku,"

   Kata Siang-hoa.

   "Sebaliknya aku justru sangat kagum kepadamu."

   "Kagum tentang apa?"

   Tanya Kiat-bwe dengan dingin.

   "Mengagumi kau karena berani berbuat dan berani bertanggung jawab. Aku tidak tahu apa sebabnya kau sengaja membikin malu Sin-kongcu, kau tidak ingin memberitahukan padaku, aku pun tidak akan memaksa kau mengatakannya padaku. Yang jelas dia adalah murid dan pewaris Bu-lim- beng-cu daerah Kang-lam, kau berani membikin malu dia di hadapan orang banyak, jiwa kesatriamu ini saja sudah cukup menarik perhatianku."

   Ucapan Siang-hoa itu menimbulkan rasa senang dalam hati Kiat-bwe, ia merasa mendapatkan seorang teman yang simpatik, katanya kemudian.

   "Sebenarnya juga bukan urusan yang perlu dirahasiakan, baiklah, nanti kalau tiba kesempatan yang tepat tentu akan kuceritakan padamu."

   Sampai di sini barulah tampak Ciau Siang-yau sedang mendatangi dengan tertawa dan menegur.

   "Wah, asyik benar, apakah percakapan kalian sudah cukup?"

   "Setan, katanya pergi sebentar, mengapa..... mengapa begitu lama?"

   Omel Kiat-bwe dengan muka merah.

   "Kakak telah menemani kau, kau tidak berterima kasih, mengapa malah mengomel padaku?"

   Sahut Siang-yau dengan tertawa.

   "Sudahlah, malam sudah larut, kalian pergi tidur saja,"

   Kata Siang-hoa. Sesudah kembali di kamar bersama Siang-yau, dalam hati tetap timbul rasa sangsi Kiat-bwe.

   "Kau merasa kakakku itu bagaimana?"

   Tiba-tiba Siang-yau bertanya dengan tertawa.

   "Bagaimana apa maksudmu?"

   Jawab Kiat-bwe pura-pura tidak paham.

   "Bukankah kalian telah bicara dengan akrab sekali?"

   Kata Siang-yau.

   "Biasanya kakak sangat pendiam, dengan aku saja jarang bicara, tapi tadi dia bicara begitu lama dengan kau, ini menandakan dia memandang kau sebagai teman baiknya meski kalian baru saling kenal. Dan bagaimana dengan dirimu, bagaimana pandanganmu kepadanya?"

   "Semuanya gara-garamu, sekarang kau tanya lagi,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Tapi aku bertanya padamu dengan sungguh hati,"

   Ujar Siang-yau.

   "Enci yang baik, katakanlah padaku."

   "Kalian kakak dan adik sama baiknya kepadaku, begitu pula aku terhadap kalian,"

   Jawab Kiat-bwe.

   "Betapa pun tentu ada bedanya toh?"

   Ujar Siang-hoa dengan menahan tawa.

   "Kalian bicara begitu lama, apa saja yang dipercakapkan, dapatkah aku diberitahu?"

   "Ah, hanya omong iseng saja tentang pemandangan indah di dalam taman, cuma sayang tidak dapat pesiar di malam hari,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Masakah cuma itu saja yang dibicarakan, ah, aku tidak percaya,"

   Kata Siang-yau. Hati Kiat-bwe tergerak, katanya.

   "Habis kau kira apa yang kami bicarakan?"

   "Darimana aku bisa tahu?"

   Kata Siang-yau tertawa.

   "Tapi tentu dibicarakan juga hal-hal yang lebih mesra bukan?"

   Mendadak Kiat-bwe memegang Siang-yau dan bersikap hendak menggelitik iganya dengan mengomel.

   "Setan cilik, lekas mengaku, tadi kau yang bersembunyi dan mendengarkan di semak bunga sana bukan?"

   Siang-yau terkikik-kikik karena geli, terpaksa ia minta ampun dan berkata.

   "Lepaskan aku, lepaskan, aku paling tidak tahan geli, lepaskan! Bukan, bukan aku!"

   "Bukan kau? Habis siapa?"

   Ujar Kiat-bwe.

   "Siapa yang bersembunyi di sana? Kukira tiada orang lagi!"

   Kata Siang- yau.

   "Kulihat di balik semak bunga ada bayangan orang, hanya sekejap mata lantas lenyap, siapa lagi kalau bukan kau?"

   Kata Kiat-bwe. Padahal dia tidak melihat bayangan apa-apa, hanya suara kresekan saja yang menimbulkan rasa curiganya.

   "Aku berada jauh di balik gunung-gunungan palsu sana, apa yang kalian percakapkan sama sekali tak kudengar,"

   Kata Siang-yau.

   "Mana bisa, bayangan orang itu bukan di arah gunung-gunangan palsu sana, tapi di balik semak bunga dekat kolam,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Tapi aku betul-betul tidak bersembunyi di sana. Hanya saja kukira bisa jadi ialah ibu muda."

   "Ibu muda siapa?"

   Tanya Kiat-bwe melengak.

   "Apakah kakak tidak mengatakan padamu? Dia adalah anak yang dilahirkan oleh ibu muda, istri muda ayahku,"

   Tutur Siang-yau.

   Seketika Kiat-bwe tambah curiga, ia heran kalau betul orang itu adalah ibu tiri Siang-yau, buat apa dia main sembunyi-sembunyi mendengarkan pembicaraan anaknya sendiri? "Agaknya ibu muda buru-buru ingin kakak lekas punya istri, saking tak tahannya maka dia sengaja mengintip kalian,"

   Kata Siang-yau. Selama beberapa hari di rumah keluarga Ciau, Kiat-bwe belum pernah bertemu dengan kedua orang istri Ciau Goan-hoa, karena itu dia merasa heran, segera ia berkata.

   "Ya, aku belum menemui kedua bibi. Jika ibu mudamu ingin bertemu aku, mengapa beliau tidak suruh mengundang diriku?"

   "Ibu muda selalu sakit-sakitan saja, dia jarang sekali keluar kamar,"

   Tutur Siang-yau.

   "Pada waktu kau datang ke sini, kebetulan penyakitnya sedang kumat. Cuma dia sudah mengetahui kedatanganmu ini. Mungkin kesehatannya malam ini rada mendingan dan mengetahui kakak akan menemui kau di sini, maka dia datang juga untuk mengintip dirimu."

   Kiat-bwe semakin sangsi, padahal pertemuan malam ini jelas tidak diberitahukan kepada siapa pun oleh Ciau Siang-hoa, darimana ibunya bisa mendapat tahu hal ini.

   Jelas sebelumnya perempuan itu telah menaruh perhatian atas diriku.

   Lalu, apa sebabnya begitu? Demikian pikir Kiat-bwe.

   "Mengenai ibuku sendiri, beberapa hari ini beliau berkunjung ke tempat saudaranya, nanti kalau beliau sudah pulang tentu akan kupertemukan kau dengan beliau,"

   Sambung Siang-yau pula.

   Karena sudah mengetahui asal-usul Ciau Siang-hoa harus dirahasiakan bagi adik perempuannya, sebab itu Kiat-bwe tidak enak untuk tanya padanya meski dalam benaknya penuh tanda tanya.

   Dalam pada itu Siang-yau telah menyambung pula.

   "Apa yang kutanyakan padamu tadi adalah apa yang ingin diketahui oleh ayah, untuk itu aku belum menjawabnya."

   "Ayahmu yang ingin tahu dan kau yang tanya padaku?"

   Kiat-bwe menegas.

   "Ya, jangan Nyo-cici berlagak pilon lagi, masakah engkau belum paham pikiran ayahku? Ayah dan ibu muda suka padamu, maka ingin kau menjadi menantu mereka. Hanya engkau sendiri entah menyukai kakakku yang bodoh itu atau tidak?"

   "Kembali kau bergurau padaku, apa kau minta digelitik lagi,"

   Kata Kiat- bwe.

   "Sudahlah, jika kau malu boleh dijawab lain hari saja, nah, sekarang kita pergi tidur,"

   Ujar Siang-yau.

   Beberapa hari kemudian, sesudah ibu Siang-yau pulang, Kiat-bwe telah ditemuinya, hanya istri muda Ciau Goan-hoa saja yang masih belum bertemu.

   Siang-hoa bertemu beberapa kali lagi dengan Kiat-bwe, tapi selama didampingi Siang-yau, maka Kiat-bwe tidak leluasa untuk bicara tentang pengintipan ibunya malam itu.

   Karena jejak musuh yang hendak dicarinya belum diketemukan, pula timbul rasa curiganya, maka maksud Kiat-bwe hendak pergi mencari Liong Thian-hiang sementara telah ditunda.

   Yang dia harap justru Liong Thian- hiang selekasnya datang mencarinya di rumah keluarga Ciau itu sebagaimana disanggupkan oleh Liong Thian-hiang sendiri, tapi kini belasan hari sudah berlalu dan Thian-hiang masih belum nampak muncul.

   Ia tidak tahu bahwa saat itu Liong Thian-hiang sedang bergembira ria berada di rumah keluarga Bun, ia mengira Kiat-bwe telah bertemu pemuda pilihan dan tentu juga bergembira di rumah keluarga Ciau, maka dia tidak perlu buru-buru pergi mencarinya.

   Suatu hari Thian-hiang dan Bu Hian-kam berpesiar ke atas bukit.

   Saat itu adalah musim semi, cuaca hari itu sangat cerah pula, lereng bukit penuh mekar bunga beraneka macam dan warna, air terjun menuang dari atas celah puncak memancarkan cahaya warna-warni tertimpa oleh sinar matahari.

   Asyik benar pasangan muda-mudi itu bersenda gurau dan memetik bunga di atas bukit itu hingga lupa daratan.

   Sesudah letih, kemudian Thian-hiang mengajak sang kekasih duduk mengaso di tepi sungai kecil, berbagai macam bunga yang dipetiknya itu dirangkai menjadi karangan bunga yang indah.

   "Bagus tidak, untuk kau,"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Thian-hiang sambil membereskan karangan bunga itu.

   "Kuberikan padamu, mengapa kau berikan pula kepadaku?"

   Kata si nona.

   "Menurut adat kebiasaan kampung kami sini, hanya pengantin perempuan saja yang memakai karangan bunga,"

   Kata Hian-kam dengan tertawa.

   "Ah, kau mengaco-belo saja,"

   Thian-hiang.

   "Bukan mengaco-belo, tapi sungguh-sungguh, dengan karangan bunga ini kau benar-benar seperti pengantin perempuan yang amat cantik, entah aku punya rezeki mempersunting bunga secantik ini atau tidak. Sebaiknya tahun depan kita....."

   Karena ayah Thian-hiang baru meninggal tahun yang lalu, masa berkabung tiga tahun masih ada setahun lagi.

   Maka ucapan Bu Hian-kam itu sama saja mengajak berunding tentang waktu pernikahan mereka.

   Dengan muka merah jengah Thian-hiang lantas mengomel Iagi.

   "Cis, kembali kau mengaco lagi!"

   Mulutnya mengomel, tapi hatinya sebenarnya sangat senang.

   "Baiklah, jika kau tidak suka membicarakan dirimu, bolehlah kita bicara tentang pengantin perempuan lain?"

   Kata Hian-kam.

   "Kami juga menerima kartu undangan Bun-tayhiap, tapi lantaran perjalanan terlalu jauh, pula ayah tidak begitu rapat hubungannya dengan dia, maka kami tidak hadir ke sana. Kabarnya pengantin perempuan adalah puteri keluarga Hi yang terkenal di Pek-hoa-kok, cantik atau tidak?"

   "Pengantin perempuan itu terkenal serba pandai, baik ilmu silat maupun ilmu surat,"

   Jawab Thian-hiang.

   "Cuma sayang kau telah didahului oleh Sin Liong-sin, terpaksa kau tidak kebagian."

   "Dalam pandanganku, sekali pun bidadari kahyangan juga tak dapat menandingi kecantikanmu, orang lain justru iri padaku, buat apa aku iri kepada orang lain?"

   Kata Bu Hian-kam. Tiba-tiba Thian-hiang teringat kepada Nyo Kiat-bwe, dengan perlahan ia menghela napas. Bu Hian-kam terkejut, tanyanya cepat.

   "He, tanpa sebab kenapa kau menghela napas? Aku cuma bertanya sekadarnya tentang pengantin perempuan itu, tiada maksud lain."

   "Ah, kau sendiri yang berpikir tak keruan, bukan itu maksudku. Padahal aku tidak ambil pusing apakah kau suka tidak kepada perempuan lain."

   Hati Hian-kam merasa lega.

   "Habis kenapa kau menghela napas, ada soal apa?"

   "Aku teringat kepada enci Kiat-bwe dari keluarga Nyo, nasibnya sungguh harus dikasihani,"

   Kata Thian-hiang. Sebelumnya Hian-kam sudah diceritai mengenai diri Nyo Kiat-bwe, maka ia pun berkata.

   "Ya, nasibnya sungguh menimbulkan simpatik orang. Tapi kau bilang dia sudah mendapatkan pemuda pilihannya."

   "Semoga dia mendapatkan jodoh yang setimpal dan memuaskan,"

   Kata Thian-hiang.

   "Oya, bicara pemuda pilihannya, aku menjadi ingin mencari tahu padamu."

   "Mencari tahu apa?"

   Jawab Hian-kam.

   "Orang macam apakah keluarga Ciau itu? Puteri Ciau Goan-hoa itu apa kau kenal?"

   "Keluarga Ciau terhitung juga keluarga persilatan yang ternama, Ciau Goan-hoa pernah menjabat Cong-peng, beberapa tahun yang lalu dia baru bebas tugas dan pulang kampung halaman. Tapi kami tiada punya hubungan dengan dia."

   "Kalian boleh dikata bertetangga, mengapa tiada hubungan?"

   "Tabiat Ciau Goan-hoa itu rada aneh, dia tidak suka bergaul dengan sobat handai setempat, kalau sanak famili di luar daerah kabarnya malah tidak sedikit. Pada tahun dia pulang kampung itu pernah juga dia mengirim kartu kehormatan kepada ayahku, tapi hanya menurut sopan santun dunia Kang-ouw saja, kartu itu diantar ke sini oleh orang suruhan sebagai tanda tegur sapa sesama kaum persilatan saja, artinya seakan-akan memberitahu bahwa dia telah pulang kampung, tapi tidak mengundang kami agar berkunjung ke tempatnya. Hanya begitu saja, kemudian tidak pernah berhubungan lagi dan tidak kumpul dengan kawan setempat? Untung dia bekas pembesar, kalau tidak, tentu akan dicurigai sebagai gembong penjahat yang membagi rezeki dari anak buah."

   "Jangan kau sembarangan menduga, masing-masing orang mempunyai sifat sendiri,"

   Kata Hian-kam.

   "Anehnya putera-puteri Ciau Goan-hoa itu ternyata suka bergaul, terbukti dengan undangannya kepada Kiat-bwe ke rumahnya, aku menjadi berpikir akan pergi mencarinya ke tempat mereka itu, kau ikut pergi tidak?"

   Sampai di sini tiba-tiba seorang budak cilik datang memanggil mereka, katanya dipanggil Bu Yan-jun untuk menemui tamu.

   Setiba di rumah, Thian-hiang melihat kedua tamu yang dimaksud tidak dikenalnya.

   Tapi Bu Yan-jun telah minta Thian-hiang ikut menemani kedua tamunya itu dan diperkenalkan mereka, ternyata seorang di antaranya she Cio dan yang lain she Ting, keduanya adalah tokoh angkatan tua di daerah utara, katanya mereka ingin mencari keterangan sesuatu kepada Thian- hiang.

   "Ada seorang bernama Nyo Tay-ging, kabarnya bekas tetangga nona Liong, apa betul?"

   Tanya orang she Cio itu.

   "Benar, tapi paman Nyo itu sudah lama meninggal,"

   Jawab Thian-hiang.

   "Ya, kami pun dengar begitu. Terus terang, kami adalah saudara angkatnya. Nyo Tay-ging mempunyai seorang anak perempuan yang diculik orang sejak kecil, kami sangat ingin mendapatkan beritanya. Menurut Bu- cengcu, katanya nona Liong baru-baru ini bertemu dia?"

   Thian-hiang menjadi heran mengapa tidak pernah mendengar tentang saudara angkat paman Nyo, padahal kedua orang ini bicara dengan logat daerah utara.

   Tapi mengingat mereka adalah kenalan baik paman Bu, ia pikir tiada halangannya memberitahukan kepada mereka.

   Maka ia lantas menjawab.

   "Ya, baru-baru ini aku dan Nyo-cici menghadiri pesta kawin murid Bun-tayhiap di Kang-lam."

   "Murid Bun-tayhiap itu tentunya Sin Liong-sing bukan?"

   Orang she Ting menegas.

   "Konon dia adalah keponakan gembong iblis perempuan Sin Cap- si-koh yang sangat terkenal di masa duapuluh tahun yang lampau dan kemudian menghilang tanpa kabar berita itu?"

   "Betul. Sungguh kebetulan juga kalau dipikir, Nyo-cici justru diculik dan dijual kepada Sin Cap-si-koh itu,"

   Tutur Thian-hiang. Kedua orang she Cio dan Ting itu saling pandang sekejap, lalu berkata berbareng.

   "Sungguh kebetulan. Dan berada dimanakah sekarang keponakan perempuan kami she Nyo itu?"

   "Kini dia berada di rumah keluarga Ciau di kota tetangga ini,"

   Kata Thian- hiang.

   "Nama Ciau Goan-hoa tentu pernah kalian dengar, rumah keluarga Ciau cukup terkenal di Ciau-yang-koan sana,"

   Sambung Bu Yan-jun.

   "Ah, kiranya keponakan perempuan Nyo itu berada di rumah Ciau Goan-hoa, hal ini menjadi gampang untuk dicari. Banyak terima kasih atas keteranganmu, nona Liong,"

   Kata orang she Cio itu. Sesudah kedua tamu itu pergi, Thian-hian tanya kepada Bu Yan-jun.

   "Paman Bu, apa kedua orang itu dapat dipercaya? Rasanya aku tidak pernah mendengar bahwa paman Nyo mempunyai saudara angkat segala."

   "Nyo Tay-ging dahulu bekerja dalam perusahaan pengawalan di daerah utara, orang yang bekerja di lapangan begitu paling penting harus mempunyai pergaulan yang luas, maka tidaklah heran jika dia banyak saudara angkat. Tampaknya kedua orang ini cukup simpatik dan selalu ingat kepada yatim tinggalan saudara angkat sendiri."

   "Jika begitu, aku menjadi bersyukur bagi Nyo-cici,"

   Hian-kam ikut bicara.

   Thian-hiang merasa rada lega mendengar keterangan Bu Yan-jun itu, tapi dia masih berkuatir, semalaman ia merasa tidak tenteram.

   Maka esok paginya ia lantas mengutarakan rasa kuatirnya kepada Bu Hian-kam dan mengajaknya agar segera pergi menjenguk Nyo Kiat-bwe di rumah keluarga Ciau.

   Bu Hian-kam membawa Thian-hian berangkat melalui jalanan kecil yang memotong agar dapat mencapai tempat tujuan lebih cepat.

   Sementara itu Kiat-bwe sudah belasan hari tinggal di rumah keluarga Ciau, selama itu belum pernah bertemu dengan istri muda Ciau Goan-hoa.

   Sejak dia mendengar dari Ciau Siang-yau bahwa ada kemungkinan ibu tirinya itu yang mengintip dan mendengarkan percakapannya dengan Ciau Siang-hoa, maka timbul rasa curiga dalam benak Kiat-bwe.

   Suatu hari dia dan Ciau Siang-yau pesiar pula ke suatu tempat berdekatan yang berpemandangan alam indah.

   Setelah lelah mereka mengaso di bawah pepohonan yang rindang.

   "Konon Sin Cap-si-koh pada masa jayanya sangat disegani, ilmu silatnya dengan sendirinya sangat lihai,"

   Demikian Siang-yau mulai berkata.

   "Kau ikut dia beberapa tahun, tentu kau telah banyak belajar ilmu silatnya itu. Bagaimana kalau kau perlihatkan sejurus dua kepadaku untuk menambah pengalamanku."

   "Aku hanya budak yang melayani dia saja, mana bisa mendapatkan pelajaran ilmu silatnya?"

   Jawab Kiat-bwe.

   "Kalau terkadang dia suka memberi petunjuk satu dua jurus kasaran, inipun tidak berharga untuk diperlihatkan kepadamu."

   "Ai, kenapa kau masih bicara seperti ini seakan-akan tidak anggap aku sebagai teman baik,"

   Kata Siang-yau. Terpaksa Kiat-bwe menjawab.

   "Baiklah, tapi sesudah aku, nanti kau pun harus mainkan satu jurus kepandaianmu."

   Begitulah kedua orang itu lalu sama-sama memainkan sejurus ilmu pedang dan ilmu golok, masing-masing saling menyatakan kagum akan kepandaian pihak lain.

   "Apa namanya ilmu golok yang kau mainkan tadi, sungguh luar biasa, begitu cepat sehingga pandanganku kabur,"

   Tanya Kiat-bwe.

   "Ilmu golok ini disebut Pat-kwa-yu-sin-to-hoat (ilmu golok berputar menurut hitungan Pat-kwa), kakak jauh lebih mahir daripadaku dalam permainan ilmu golok ini,"

   Tutur Siang-yau.

   "Ilmu silat yang dia kuasai ada sebagian yang aku sendiri tidak paham."

   "Mana bisa begitu? Masakah ayahmu sendiri pilih kasih?"

   Ujar Kiat-bwe. Ia pikir, andai Ciau Goan-hoa pilih kasih tentunya juga yang diberatkan adalah puteri kandung sendiri dan bukan putera pungutnya.

   "Ayah tidak pilih kasih,"

   Kata Siang-yau.

   "Soalnya sejak kecil Toa-ko lebih sering bersama ayah dan ibu muda, dengan sendirinya ilmu silat keluarga lebih banyak dipelajarinya daripada diriku. Selain itu ibu muda juga mengajarkan ilmu silat padanya, untuk ini terang cuma dia sendiri saja yang belajar."

   "O, kiranya ibumu yang kedua itu juga tokoh persilatan, tapi mengapa suka sakit-sakitan?"

   "Kesehatannya sudah begitu sejak datang di sini, apakah dahulu juga begini, aku sendiri kurang jelas,"

   Kata Siang-yau. Mendengar keterangan ini, mau tak mau Kiat-bwe bertambah sangsi. Katanya kemudian dengan tertawa.

   "Jika demikian, jadi ibumu yang kedua itulah yang pilih kasih. Kalian kakak dan adik sedemikian baik, masakah kau tak minta kakakmu mengajarkan padamu."

   "Dia pernah mau mengajar aku, aku sendiri yang tidak mau belajar,"

   Kata Siang-yau.

   "Lho, aneh, mengapa begitu?"

   Tanya Kiat-bwe heran.

   "Aku tidak suka kepada ibu muda, aku sengaja membikin kheki dia dan sengaja tidak mempelajari ilmu silatnya,"

   Jawab Siang-yau.

   "Tapi aku hanya jemu terhadap ibu muda, dengan kakak senantiasa baik sekali. Apalagi kalau kalau nanti kau sudah jadi....."

   Kiat-bwe tahu apa yang akan diucapkan, maka cepat ia memotong.

   "Sudahlah, jangan kau melantur ke hal-hal lain lagi."

   Dalam hati ia heran entah mengapa Siang-yau yang lincah dan kekanak-kanakan itu tidak menyukai ibu tirinya, macam apakah ibu tirinya itu? Kalau bukan sikapnya kaku dan dingin, tentu mukanya jelek sehingga memuakkan orang yang melihatnya.

   Dalam pada itu terdengar Siang-yau berkata pula dengan tertawa.

   "Kau tidak suka aku menyebut kakak? Apakah kau memang tidak suka atau cuma di mulut saja? Ha, ha, itu dia! Baru dibicarakan sudah datang!"

   Waktu Kiat-bwe berpaling, dilihatnya Ciau Siang-hoa sedang berlari mendatangi dengan tergesa-gesa tampaknya.

   "Eh, Koko, ingin menemui Nyo-cici kan tidak perlu terburu-buru begitu?"

   Demikian Siang-yau menggoda sang kakak.

   "Hari ini ada suatu persoalan yang tak terduga, aku sengaja datang ke sini untuk memberitahukan nona Nyo,"

   Kata Ciau Siang-hoa.

   "Ada persoalan apakah?"

   Tanya Kiat-bwe cepat dan terkejut.

   "Di rumah ada dua tamu, mereka mengaku pernah angkat saudara dengan ayahmu almarhum,"

   Tutur Siang-hoa.

   "Dua tamu?"

   Tanya Kiat-bwe heran.

   "Orang macam apakah mereka itu?"

   "Seorang mengaku she Cio dan yang lain she Ting, semuanya sudah berumur lebih setengah abad, konon terhitung tokoh ternama di daerah utara. Apakah kau kenal kedua orang itu?"

   "Selamanya aku tidak pernah mendengar ayah bercerita tentang kedua orang yang bertampan begitu,"

   Ujar Kiat-bwe.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau sendiri diculik orang sejak kecil, mungkin kau lupa,"

   Ujar Siang- yau. Kiat-bwe mengangguk.

   "Ya, bisa jadi begitu,"

   Katanya ragu-ragu.

   "Aku sendiri pun menyangsikan maksud baik kedua orang itu,"

   Tiba-tiba Siang-hoa berkata.

   Apa yang dibicarakan mereka dengan ayah tadi ada sebagian aku tidak paham karena diucapkan mereka dalam bahasa rahasia Kang-ouw.

   Sikap ayah terhadap mereka cukup segan dan hormat.

   Cuma.....

   cuma waktu ayah menyuruh aku mencari kalian, ada dua kalimat beliau yang menimbulkan pertanyaan, bahkan beliau telah mengedipi aku dan mengatakan bahwa adik Yau dan nona Nyo sedang pesiar ke rumah nenek, mungkin hari ini belum bisa pulang.

   Apakah benar adik Yau menyatakan kepada ayah akan pesiar ke rumah nenek?"

   "Tidak,"

   Jawab Siang-yau.

   "Ya, makanya aku merasa heran dan sangsi,"

   Kata Siang-hoa.

   "Tentunya maksud ayah agar nona Nyo menghindari kedua orang itu. Mungkin kedua orang ini berdusta, tapi entah mereka mempunyai tujuan apa terhadap diri nona Nyo?"

   "Jika begitu, sebaiknya Nyo-cici menghindari mereka saja,"

   Ujar Siang- yau.

   "Tidak, aku justru ingin tahu macam apakah kedua orang itu?"

   Kata Kiat- bwe dengan curiga.

   "Kalau Nyo-cici bertekad akan menghadapinya, begini saja, kita masuk melalui taman, di belakang ruang tamu kami sana ada sebuah gunung- gunungan yang menghadap jendela, kita dapat bersembunyi di balik gunung- gunungan itu untuk mengintip apakah kedua tamu itu dikenal olehmu atau tidak,"

   Demikian usul Siang-yau.

   "Baik sekali, marilah kita pulang,"

   Kata Kiat-bwe.

   Saat itu kedua tamu yang dimaksud sedang bicara dengan tuan rumah, tampaknya sudah tidak sabar lagi, mereka tidak tahu bahwa Nyo Kiat-bwe yang mereka cari sudah bersembunyi di balik jendela ruang tamu dan sedang mengintip mereka.

   Tidak kepalang terkejut Kiat-bwe demi melihat kedua orang itu.

   Orang she Cio yang dikatakan itu tidak dikenalnya, tapi orang she Ting itu samar- samar masih diingatnya bukan lain daripada si penculik itu, hal ini jelas dari logat suaranya.

   Girang dan murka pula perasaan Kiat-bwe, pikirnya.

   Sungguh kebetulan sekali keparat ini berani datang mencari aku lagi, rasanya sudah ditakdirkan aku dapat membalas sakit hati.

   Tapi dari nada Siang-hoa tadi, agaknya kedua orang ini mempunyai hubungan baik dengan ayahnya, untuk menuntut balas sakit hatiku rasanya tak boleh kuberitahukan kepada paman Ciau."

   Begitulah ia kuatir kalau Ciau Goan-hoa akan merintangi balas dendamnya, maka dia ambil keputusan akan melaksanakan niatnya itu secara diam-diam, yaitu dengan cara menyergap.

   Maka mendadak ia terus melompat ke dekat jendela, segenggam jarum berbisa terus ditaburkan ke arah orang she Ting itu.

   Jarum berbisa itu disebut "Kat-cu-ciam" (jarum kalajengking), sejenis senjata rahasia khas buatan keluarga Sin, asal badan terluka sedikit oleh jarum itu, maka sekujur badan akan membusuk dan sukar disembuhkan.

   Dalam persiapan menuntut balas, diam-diam Kiat-bwe telah mencuri senjata rahasia lihai itu dari simpanan Sin Cap-si-koh dan selamanya belum pernah digunakan.

   Waktu itu orang she Ting itu sedang bicara dengan Ciau Goan-hoa dengan duduk membelakangi jendela, taburan jarum berbisa itu menyambar ke arahnya tanpa suara sedikit pun dan dia seperti tidak tahu sama sekali.

   Selagi Kiat-bwe merasa girang karena yakin usaha balas dendam pasti akan terkabul, di luar dugaan sekonyong-konyong Ciau Goan-hoa mengayun sebelah tangannya, sebelum jarum berbisa itu mencapai tubuh orang she Ting, di tengah jalan jarum-jarum itu sudah terpukul jatuh semua ke lantai.

   Tanpa ayal lagi Kiat-bwe terus melolos pedang dan melompat ke dalam melalui daun jendela.

   "Mereka adalah tamuku, nona Nyo, jangan kau....."

   Tapi sebelum seruan Ciau Goan-hoan itu terucapkan semua.

   "sret", lebih dahulu Nyo Kiat-bwe sudah mengirim suatu tusukan ke arah orang she Ting itu sambil berseru.

   "Paman Ciau, orang inilah penculik yang membikin sengsara diriku itu! Paman Ciau, aku tidak ingin bantuanmu, tapi hendaklah engkau pun tidak ikut campur urusan ini!"

   "Bagus, ternyata kau masih kenal padaku!"

   Orang she Ting itupun membentak, berbareng lengan bajunya mengebas.

   "bret", kain bajunya terpapas sepotong, tapi golok juga sudah dilolosnya. Beruntun Nyo Kiat-bwe menusuk tiga kali, tapi seluruhnya kena ditangkis olehnya. Sementara itu Siang-hoa dan Siang-yau juga sudah menyusul ke dalam ruangan, mimpi pun Siang-yau tidak menduga akan terjadi hal begitu, sekejap itu ia menjadi terkesima. Siang-hoa sendiri hanya bertemu sekali dengan orang she Ting itu di kelenteng kuno pada masa lampau, karena kejadian sudah sangat lama, maka tadi dia tidak menaruh perhatian terhadap kedua tamu ayahnya, kini setelah mendengar ucapan Kiat-bwe yang membuka rahasia diri orang itu, setelah diamat-amati pula, benar juga ia merasa masih mengenali penculik dahulu itu. Kepandaian Kiat-bwe sudah mendapatkan tiga-empat bagian dari ilmu pedang Sin Cap-si-koh, meski kepandaian orang she Ting itupun tidak lemah, tidak urung ia terdesak mundur beberapa langkah oleh serangan Kiat- bwe yang gencar. Melihat gelagat jelek, orang she Cio mendadak terkekeh terus melompat maju, kontan tangannya mencengkeram ke kepala Kiat-bwe. Tampaknya kepandaian orang she Cio ini terlebih lihai daripada kawannya, cepat Siang-hoa juga melompat maju, dengan suatu gerakan menangkis, ia patahkan serangan orang. Getaran tenaga kedua tangan yang saling beradu itu membikin tangan Siang-hoa terasa panas seperti dibakar. Agaknya orang she Cio itu tidak berani melancarkan serangan maut terhadap Ciau Siang-hoa mengingat Ciau Goan-hong juga berada di situ, dengan terkekeh ia berkata.

   "Ciau Goan-hoa, ternyata kau dapat meraba asal- usulku, maka sebaiknya kau suruh mundur puteramu dan jangan ikut campur urusan ini!"

   Ciau Goan-hoa menjadi serba salah, ia merasa dirinya sanggup mengenyahkan kedua penyatron itu, tapi tokoh yang menunjang di belakang kedua orang itulah yang sukar dihadapi.

   Karena itu terpaksa ia berseru kepada Siang-hoa agar mengundurkan diri.

   Siapa tahu saat itu kedua mata Ciau Siang-hoa kelihatan merah berapi setelah mendengar suara tawa orang she Cio yang terkekeh itu, mendadak ia melolos pedangnya dan seperti orang gila saja ia terus menerjang maju lagi, tanpa bicara ia melancarkan serangan gencar mematikan ke arah lawan.

   Kiranya Siang-hoa tidak kenal orang she Cio itu, tapi masih ingat benar suara tertawanya yang terkekeh itu.

   Adegan yang menyedihkan ketika rumahnya terbakar dan keluarga lebur pada belasan tahun yang lalu tiba-tiba timbul kembali dalam benaknya mengikuti suara tertawa iblis she Cio itu.

   Dahulu waktu kawanan bandit menyerbu rumahnya, cepat dia dibawa lari melalui pintu belakang oleh seorang budak tua, dia tidak sempat melihat wajah kaum bandit itu, tapi suara tawa gembong bandit yang terkekeh itu dapat didengarnya dengan jelas.

   Suara tawa terkekehkekeh yang tak putus- putusnya itu cukup berkesan dalam hatinya.

   Selama belasan tahun ini entah berapa kali dia bermimpi buruk dan selalu terjaga bangun oleh suara tawa terkekeh yang khas itu, suatu tertawa seram yang takkan terlupakan selama hidup.

   Karena itu Siang-hoa menjadi kalap, hatinya seolah-olah terbakar oleh api balas dendam yang berkobar-kobar, jangankan apa yang diserukan Ciau Goan-hoa tadi tak terdengar lagi olehnya, biarpun terdengar jelas juga pasti takkan diterimanya begitu saja.

   Orang she Cio itu tidak mengira akan diserang oleh Ciau Siang-hoa secara nekat dan kalap, seketika ia menjadi tidak sempat melolos senjata, terpaksa ia menghadapi dengan bertangan kosong.

   "Kau kenapa, anak Hoa?"

   Seru Goan-hoa.

   "Lekas berhenti semua!"

   Tapi Siang-hoa mana mau berhenti.

   Pertempuran antara orang she Ting dan Kiat-bwe juga sedang berlangsung dengan sengit, mereka juga tak mau berhenti.

   Segera Ciau Goan-hoa turun tangan, dari jarak jauh ia memukulkan kedua tangannya, tenaga pukulannya yang lunak-lunak kuat itu mendampar laksana gelombang ombak menyiak Ciau Siang-hoa dan orang she Cio itu ke pinggir.

   Kesempatan itu segera digunakan orang she Cio itu untuk mengeIuarkan senjatanya yang berbentuk "Hou-tau-kau" (gaetan berkepala harimau).

   Setelah tergentak mundur, tanpa pikir Ciau Siang-hoa juga lantas menerjang ke depan pula.

   "Ciau Goan-hoa, kau tidak mampu mengekang anakmu sendiri, terpaksa aku mewakili kau memberi hajaran setimpal padanya,"

   Bentak orang she Cio. Hou-tau-kau adalah senjata yang baik dan khas untuk menghadapi senjata sejenis pedang dan golok. Dengan sepasang gaetannya, seketika orang she Cio itu seperti harimau tumbuh sayap, sekali putar.

   "krek", sebelah gaetannya segera kena mengunci ujung pedang Ciau Siang-hoa. Menyusul gaetan yang kanan segera menyabet ke depan. Tampaknya Siang-hoa pasti sukar menghindarkan diri dari luka parah oleh gaetan lawan. Syukur Ciau Goan-hoa keburu bertindak, ia sambar sebuah cangkir dan disambitkan.

   "trang", gaetan kanan orang she Cio itu terbentur ke samping, cangkir itupun pecah berantakan memenuhi lantai. Bahwa Ciau Goan-hoa mampu membentur gaetannya ke samping dengan sambitan sebuah cangkir saja, hal ini membikin orang she Cio itu terkejut juga. Dalam pada itu Ciau Siang-hoa lantas menarik kembali pedangnya, bahkan berhasil menggores suatu luka panjang di lengan kanan lawan.

   "Bagus, jadi kalian sengaja memusuhi aku,"

   Bentak orang she Cio.

   "Kalau jantan sejati, dalam tiga hari janganlah lari, kami pasti akan datang mencari kalian lagi!"

   Habis berkata ia keluarkan sehelai bendera kecil terus disambitkan dan menancap di atas meja.

   Ternyata gagang bendera kecil itu terbuat dari baja, tampak lukisan tengkorak dengan dua kerat tulang pada kain bendera itu, nyata itulah sebuah panji tengkorak kecil.

   Begitu melihat panji tengkorak itu, seketika air muka Ciau Goan-hoa berubah pucat.

   "Panji pengenal Kiau-toako tentu kau kenal bukan?"

   Jengek orang she Cio tadi.

   "Nah, kuberi waktu tiga hari bagimu untuk dicamkan dengan baik, kalau kau bisa melihat gelagat, kau harus menyerahkan anak dara itu, kalau tidak, kami pun tidak sungkan lagi untuk bertindak."

   Di tengah tawa terkekeh-kekeh seram lalu kedua orang itu berlari pergi.

   Nyata, biarpun di belakang mereka mempunyai deking yang kuat, tidak urung mereka pun takut kalau-kalau Ciau Goan-hoa mengajar mereka tanpa memikirkan resiko.

   Sekonyong-konyong Siang-hoa mengejar keluar sambil berseru.

   "Ayah, dia adalah musuh besarku, betapa pun aku tak dapat membiarkan mereka lari!"

   "Kembali, anak Hoa!"

   Seru Goan-hoa.

   Namun Siang-hoa sudah melintas ke balik pagar tembok sana dan lenyap dari pandangan.

   Bahkan Nyo Kiat-bwe dan Siang-yau juga ikut memburu ke sana.

   Dalam keadaan demikian, mau tak mau Ciau Goan-hoa ikut memburu juga keluar, ia bermaksud menarik kembali anak-anak perempuan itu, andaikan tidak keburu, terpaksa ia akan membantu mereka menghadapi kawanan penyatron itu, betapa pun ia harus membela putera-puterinya sendiri.

   Tapi sebelum dia melangkah lebih jauh, mendadak Siang-yau yang sedang melompat ke atas pagar tembok itu tiba-tiba jatuh terjungkal kembali ke bawah.

   Kemudian dari balik pintu angin ruang tamu sana muncul seorang wanita dengan rambut terurai, kiranya adalah istri mudanya, Ko-si (orang she Ko).

   Dengan cepat Ko-si memburu maju, ia sempat menarik kembali Ciau Goan-hoa yang hendak melompat keluar pagar tembok itu.

   Dengan sekali tarik, ternyata Goan-hoa tidak mampu berkutik melepaskan diri.

   Hal ini sungguh di luar dugaan Goan-hoa.

   Ia tahu istri mudanya itu mahir ilmu silat, tapi tidak tahu kalau begitu hebat, jauh di luar dugaannya.

   Padahal waktu itu dia sedang mengerahkan tenaga buat melompat ke atas, tapi Ko-si mampu menariknya kembali, tenaga sang istri ini dapatlah diperkirakan kalau tidak lebih kuat daripadanya, sedikitnya juga seimbang dengan dia.

   Ada yang membuatnya lebih terkejut adalah Siang-yau ternyata juga kena tersambit oleh sebuah senjata rahasia mata uang oleh sang istri muda ini, makanya anak dara itu jatuh terjungkal.

   "Mengapa dia menyerang Hiat-to anak Yau dan buat apa pula mencegah aku pergi menolong anak Hoa?"

   Demikian penuh tanda tanya di dalam benak Ciau Goan-hoa. Ko-si seperti tahu pikiran sang suami, sebelum ditanya ia sudah membuka suara.

   "Lo-ya (tuanku), jangan kuatir, dalam satu jam Hiat-to anak Yau yang kusambit itu akan terbuka dengan sendirinya."

   Lalu ia panggil seorang pelayan pribadinya dan memberi pesan.

   "Bawa Sio-cia ke dalam kamar, jangan sampai diketahui oleh Toanio (nyonya tua)."

   "Kau sengaja menahan anak Yau menghadapi bahaya, tapi mengapa tidak mencegah pula anak Hoa?"

   Kata Goan-hoa kemudian.

   "Aku tidak ingin dilihat oleh kedua orang itu akan diriku,"

   Jawab Ko-si perlahan.

   "Anak Hoa bertekad akan menuntut balas dendam berdarah keluarganya, apakah kau dapat menahan hasratnya itu? Kalau kau tidak dapat menahannya, maka kau pasti juga akan bergebrak dengan orang itu, aku justru tidak ingin kau bertindak demikian."

   "Sebab apa?"

   Tanya Goan-hoa dengan kejut dan sangsi.

   "Marilah kita bicara di dalam saja,"

   Kata Ko-si, lalu ia seret Goan-hoa kembali ke ruang tamu, katanya kemudian sambil menuding panji kecil bergambar tengkorak tadi.

   "Setelah melihat panji tengkorak ini, masakah kau tidak tahu asal-usul kedua orang itu?"

   "Kau kenal panji tengkorak ini?"

   Goan-hoa menegas dengan terkesiap.

   "Sudah tentu aku kenal,"

   Jawab Ko-si.

   "Ini adalah panji pengenal bajak besar yang malang melintang di lautan timur, Kiau Sik-kiang. Orang she Cio tadi adalah anak buahnya, terhitung jago kelima di antara begundalnya yang lain."

   "Darimana kau mengetahuinya?"

   Tanya Goan-hoan.

   "Masakah kau lupa kepada cara bagaimana kita bertemu dahulu itu?"

   Jawab Ko-si.

   "Waktu itu kau membantu aku menghalau kawanan bandit, mereka adalah anak buah Kiau Sik-kiang. Cuma tatkala itu Kiau Sik-kiang masih menjadi bandit daratan, namanya belum terkenal, panji tengkorak seperti ini juga belum digunakan secara umum oleh anak buahnya, maka waktu itu kau tidak melihatnya."

   Seperti telah diceritakan duapuluhan tahun yang lalu Ciau Goan-hoa adalah komandan militer kota Tin-kang, dalam suatu razia terhadap suatu kawanan bandit, dia berhasil menumpasnya dan menolong seorang perempuan muda yang waktu itu terkepung oleh kawanan bandit.

   Mungkin merasa berhutang budi, nona itu telah rela menjadi istri sang penolong.

   Nona itu bukan lain adalah nyonya Ko-si sekarang ini.

   Ketika itu ayah Ko-si adalah Piausu yang barang kawalannya dirampok kawanan bandit itu, orangnya terbunuh sehingga Ko-si menjadi piatu, maka rela menjadi istri tuan penolongnya.

   Cuma selama itu dia tidak pernah bercerita bahwa dia mengenal asal-usul kawanan bandit yang membikin celaka ayah dan dirinya.

   "Kalau begitu, jadi kedua orang tadi adalah musuhmu, mengapa kau tidak menggunakan kesempatan baik tadi untuk menuntut balas?"

   Tanya Goan-hoa.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tidak, musuhku yang besar adalah Kiau Sik-kiang, tiada gunanya membunuh kedua begundalnya itu,"

   Jawab Ko-si.

   "Sedangkan sekarang belum saatnya aku membikin perhitungan dengan Kiau Sik-kiang."

   "Meski anak Hoa bukan anak kandung kita, tapi sejak kecil kau besarkan hingga kini, kenapa kau membiarkan dia masuk perangkap musuh?"

   Kata Goan-hoa.

   "Soalnya kita harus menimbang mana yang lebih berat dan ke situlah kita menuju,"

   Kata Ko-si.

   "Saat ini semacam ilmu khas yang kulatih belum sempurna, sekali pun kau bergabung dengan aku juga belum dapat melawan Kiau Sik-kiang dan begundalnya, maka aku tidak ingin kau mengikat permusuhan dengan mereka. Selain itu orang she Cio tadi sudah terluka, orang she Ting tidak perlu ditakuti, menurut pandanganku anak Hoa dan nona Nyo itu masih sanggup melayani mereka walaupun sukar untuk mengalahkan mereka."

   "Tapi....."

   Betapa pun Goan-hoa juga sudah berpengalaman, setelah dipikir, ia merasa pandangan Ko-si memang tidak salah. Namun dia masih merasa sangsi, katanya pula.

   "Sesungguhnya, apakah masih ada persoalan lain yang kau rahasiakan dariku?"

   "Sebenarnya harus kuceritakan padamu,"

   Jawab Ko-si.

   "Tapi kini yang lebih penting ialah menghindari musuh, biar kukatakan saja kelak."

   Dalam pada itu Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe yang mengejar musuh, tanpa terasa mereka telah menguber sampai di luar kampung yang sunyi sepi, jarak kedua pihak semakin dekat.

   "Mau lari kemana, keparat!"

   Bentak Siang-hoa, berbareng tiga buah senjata rahasia Piau terus disambitkan, tapi semuanya meleset. Mendadak kedua orang itu berhenti dan membalik, orang she Cio itu mengekeh tawa dan berkata.

   "Agaknya jalan ke surga tidak kalian tuju, tapi neraka yang tertutup sengaja kalian terobos. He, he, memangnya kalian kira kami takut padamu? Ha, ha, sekarang justru kami yang kuatir kalian akan lari!"

   Orang she Ting itupun menambahi.

   "Huh, masakah mereka mampu lolos dari telapak tangan kita!"

   Sementara bicara kedua pihak sudah berhadapan, maka mulailah saling gebrak.

   Dugaan Ko-si ternyata tidak keliru, setelah bertempur sekian lamanya, akhirnya pihak kedua orang itu lebih unggul, cuma lantaran orang she Cio itu sedikit terluka, dalam waktu singkat mereka pun sukar mengalahkan Siang-hoa dan Kiat-bwe.

   Namun begitu Siang-hoa berdua berulang-ulang juga menghadapi serangan berbahaya, keadaan mereka cukup payah.

   Apalagi Kiat-bwe yang terburu napsu ingin membalas gerak-geriknya menjadi rada lengah.

   "Tring", di tengah pertarungan sengit itu tusuk kundai Kiat-bwe tersampuk jatuh oleh gaetan orang she Cio, hampir saja ia terluka.

   "Tahan dan sabar, nona Nyo,"

   Seru Siang-hoa.

   "Sebentar ayah tentu menyusul tiba."

   "Ha, ha, ha, apa gunanya kau mengharapkan kedatangan ayah, minta kedatangan makmu juga percuma,"

   Jengek orang she Cio dengan tertawa.

   "Tampaknya mesra benar kau memanggil ayah kepada Ciau Goan-hoa, cuma sayang dia tidak anggap kau sebagai anak kandungnya."

   "Biarpun dianggap anak kandung juga dia takkan memusuhi Kiau To-cu kita demi membela anaknya,"

   Sambung orang she Ting.

   "Nah, maka kukira kalian lebih baik buang senjata dan menyerah saja, dengan begitu mungkin jiwa kalian dapat kami ampuni."

   Dengan mengertak gigi ia tetap bertempur dengan tenang, dalam sekejap limapuluhan jurus sudah berlalu pula dan sang ayah yang diharapkan datang itu masih belum nampak muncul. Mau tak mau ia menjadi gugup dan rada sedih pula, pikirnya.

   "Ayah telah membesarkan aku, sehari-hari juga sayang dan cinta padaku seperti anak kandung sendiri. Masakah pada saat menghadapi bencana begini ayah malah mundur teratur tanpa peduli mati- hidupku?"

   Ilmu silat orang she Ting tidaklah tinggi, tapi cukup kuat menandingi Kiat-bwe.

   Sebaliknya orang she Cio itu sangat lihai, kedua gaetannya berputar dengan cepat laksana ular, seringkali pedang Ciau Siang-hoa hampir terkait terbang, malahan orang she Cio itu sempat pula memberi bantuan kepada kawannya untuk menggempur Nyo Kiat-bwe.

   Dalam sekejap saja beberapa puluh jurus sudah berlalu pula.

   Kiat-bwe sudah mandi keringat, tapi ia tetap tenang saja memainkan ilmu pedang ajaran Sin Cap-si-koh yang khas sehingga dia masih sanggup bertahan.

   Tapi sebaliknya kedua orang itupun makin lama makin kuatir juga karena tidak mampu mengalahkan Siang-hoa dan Kiat-bwe dengan cepat.

   Orang she Cio itu menjadi tidak sabar, serunya kepada kawannya.

   "Bereskan mereka secepatnya, babat rumput harus sampai akarakarnya!"

   Nyata pikirannya sudah nekat, serangan mereka pun tambah gencar. Selagi Kiat-bwe berdua merasa kewalahan, tiba-tiba dua penunggang kuda mendatangi secepat terbang, penunggangnya adalah seorang pemuda dan seorang pemudi, mendadak pemudinya berseru.

   "He, enci Bwe, kau sedang berkelahi dengan siapa?"

   Ketika mereka melompat turun dari kuda, siapa lagi kalau bukan Liong Thian-hiang dan Hian-kam. Kiat-bwe kegirangan, serunya.

   "Liong-cici, orang inilah musuhku yang menculik diriku dahulu itu! Kawannya juga bandit yang menjadi musuh besar kedua keluarga kami."

   Walaupun rada bingung oleh kata "musuh besar kedua keluarga"

   Yang diucapkan Kiat-bwe itu, tapi setelah tahu kedua orang itu adalah musuh Kiat- bwe, dengan sendirinya Thian-hiang tidak tinggal diam, segera ia melolos pedang dan berkata.

   "Hian-kam, lekas kau hadapi musuh bergaetan itu!"

   Bu Hian-kam masih muda belia, semula orang she Cio itu meremehkan dia, tak terduga sesudah bergebrak barulah ia merasakan ilmu pedang Hian- kam ternyata lebih lihai daripada Ciau Siang-hoa, keruan ia menjadi gugup.

   Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar kawannya, yaitu orang she Ting menjerit, kiranya dia telah tertusuk oleh pedang Liong Thian-hiang.

   Memangnya orang she Cio sudah ingin kabur, melihat kawannya terluka, tanpa pikir lagi ia berseru.

   "Lari!"

   Akan tetapi sebelum ia angkat langkah, cepat sekali pedang Bu Hian-kam telah menyambar tiba, dengan jurus "Tiat-soh-hing-kang" (rantai besi melintang di sungai), sekali tahan dan dipuntir, berbareng dengan terdengarnya suara mendering nyaring, gaetan orang she Cio terlepas dari tangan dan mencelat ke udara.

   Agaknya sesudah bertempur sekian lamanya, kekuatan orang she Cio itu sudah banyak berkurang, apalagi sekarang dia dikerubut dua orang, dengan sendirinya serba susah baginya.

   Tapi ia pun sangat lihai, meski sebelah senjatanya terlepas, cepat dengan tangan kosong ia balas menyerang, gaetan kiri menahan pedang Ciau Siang-hoa, pukulan telapak tangan terus menghantam Bu Hian-kam.

   Sementara itu pedang Hian-kam belum ditarik kembali, terpaksa gunakan tangan kiri untuk memapak pukulan lawan.

   "blang", kedua tangan beradu, tenaga Hian-kam kalah kuat sedikit, kekuatan tangan kiri juga tak bisa melawan tangan kanan, maka ia tergetar mundur beberapa tindak, lowongan itu segera digunakan orang Cio itu untuk kabur. Orang she Ting itupun ingin mengikuti langah kawannya, tapi sudah kasip, pedang Liong Thian-hiang dan Nyo Kiat-bwe telah bekerja bersama, pedang Thian-hiang menghantam jatuh goloknya, sedang pedang Kiat-bwe menembus tulang pundaknya.

   "Cara bagaimana kau menemukan musuhmu, enci Bwe, musuh siapa lagi keparat yang lari itu?"

   Tanya Thian-hiang.

   "Akan kuceritakan nanti, biar kutanyai bangsat ini,"

   Jawab Kiat-bwe.

   "Orang itu adalah musuh keluargaku!"

   Sambung Siang-hoa. Lalu ia ancam leher orang she Ting itu dengan pedangnya sambil membentak.

   "Jika kau ingin hidup, lekas kau mengaku dari manakah kawanan bandit yang memusnahkan rumah kami dahulu itu, apakah ayahku terbunuh oleh mereka?"

   "Ya, lekas mengaku, kau telah menculik diriku sebenarnya atas suruhan siapa?"

   Kiat-bwe ikut membentak.

   "Budak yang keji,"

   Seru orang she Ting itu kesakitan.

   "Kau telah musnahkan ilmu silatku, apa artinya hidup bagiku? Boleh kau bunuh aku saja, dan jangan harap mendapatkan keterangan dariku!"

   Maklumlah, tulang pundaknya telah tertembus oleh pedang Kiat-bwe, hal itu berarti selama hidupnya akan cacat.

   "Apa benar kau begini kepala batu? Huh, aku justru tidak percaya,"

   Jengek Kiat-bwe.

   "Nah, biar kau rasakan lagi kelihaianku."

   Mendadak Kiat-bwe jojoh "Ih-gi-hiat"

   Di bagian iga orang dengan jarum berbisa paling jahat buatan Sin Cap-si-koh, asal Hiat-to tertusuk jarum itu, dalam sekejap saja orang she Ting itu merasakan badannya seperti digigit oleh beratus-ratus ular kecil, rasa sakitnya melebihi siksaan apa pun.

   Keruan orang she Ting itu kelabakan, dengan menahan sakit ia berkata dengan suara terputus-putus.

   "Be..... berikan obat penawar pada..... padaku, akan..... akan kukatakan, akan kukatakan....."

   "Memangnya kau tahan!"

   Jengek Kiat-bwe. Dan baru saja dia akan memberi obat penawar untuk kemudian ditanyai lebih lanjut, tiba-tiba terdengar Bu Hian-kam membentak.

   "Siapa itu?"

   Berbareng Thian-hiang terus menarik Kiat-bwe ke pinggir sana.

   Maka tertampaklah orang she Ting itu telah menggeletak tak berkutik lagi di tanah dengan berlumuran darah.

   Sedang Hian-kam telah melolos pedang dan berlari ke dalam hutan sana untuk mencari musuh.

   Kiat-bwe tergolong ahli pemakai racun, maka sekali pandang saja dia sudah tahu bahwa orang she Ting itu terkena senjata rahasia berbisa, waktu ia mendekati dan memeriksanya, benar saja belakang kepala orang itu tertancap sebatang panah kecil warna hitam.

   Tidak perlu dijelaskan lagi, terang orang she Ting itu dibunuh oleh kawan sekomplotan sendiri agar dia tidak membocorkan rahasia mereka.

   Tentu saja Kiat-bwe sangat gusar dan terkesiap pula oleh kekejian musuh, sebenarnya dia hampir dapat mengorek keterangan dari orang she Ting itu.

   Dalam pada itu Bu Hian-kam telah berlari kembali tanpa berhasil menemukan seorang pun.

   Thian-hiang seperti merenungkan sesuatu, katanya kemudian.

   "Sungguh aneh. Orang she Cio tadi terang tidak memiliki Ginkang setinggi ini, mustahil dia dapat menghilang dalam waktu sekejap."

   "Marilah kita ke rumah keluarga Ciau dahulu, nanti dibicarakan lagi dengan paman Ciau,"

   Kata Hian-kam.

   Tiada jalan lain, terpaksa Kiat-bwe menurut saja.

   Saat itu Ciau Goan-hoa masih berunding dengan istrinya, Ko-si, dan belum dapat mengambil sesuatu keputusan, sedang panji kecil bergambar tengkorak itu sudah disimpannya.

   Goan-hoa merasa girang melihat puteranya pulang dengan selamat, ia pun merasa kikuk karena dia tidak memberi bantuan tadi, ia coba tanya Kiat- bwe.

   "Bagaimana, nona Nyo? Kau tidak apa-apa, anak Hoa?"

   "Untung saudara Bu dan nona Liong ini keburu datang,"

   Ujar Siang-hoa.

   "O, kiranya Bu-siheng, apakah ayahmu baik-baik saja?"

   Sapa Goan-hoa.

   "Terima kasih, beliau baik-baik,"

   Jawab Hian-kam.

   "Ketika paman kampung, ayah tidak sempat berkunjung kemari, maka sekarang wanpwe disuruh menyampaikan salam kepada paman."

   "Ah, seharusnya aku yang berkunjung kepada ayahmu,"

   Kata Goan-hoa.

   "Dan nona Liong ini....."

   "Nona Liong ini adalah puteri paman Liong, Liong Pek-giam, tokoh tersembunyi di daerah selatan,"

   Kata Hian-kam.

   "Kedua keluarga kami adalah sahabat lama, nona Liong sengaja ikut ke sini untuk menghormat kepada paman, selain itu sekalian menjenguk nona Nyo."

   "Wanpwe dan nona Nyo adalah tetangga, sejak kecil bergaul seperti saudara sekandung,"

   Sambung Thian-hiang.

   "Kedua orang jahat tadi kemarin dulu juga telah mendatangi rumah paman Bu dan di sana diperoleh berita tentang diri Nyo-cici. Aku menjadi curiga dan kuatir, maka sengaja menyusul ke sini. Kebetulan kami memergoki mereka di tengah jalan, ternyata kedatangan mereka memang bermaksud jahat."

   "Ayah nona Liong yang sudah lama kukagumi,"

   Kata Goan-hoa.

   "

   Apa yang kau tuturkan ini sudah kuketahui. Seharusnya aku akan ikut kalian berkunjung kepada ayah Bu-siheng, cuma sayang kini bukan saat yang tepat, terpaksa menunggu kesempatan lain."

   "Ya, setelah kejadian tadi terang paman tidak dapat meninggalkan rumah,"

   Ujar Hian-kam.

   "Bagaimana kalau Wanpwe pulang dan memberitahukan ayah agar beliau saja yang berkunjung kemari?"

   "Terima kasih atas maksud baikmu,"

   Kata Goan-hoa.

   "Agaknya kau salah sangka, justru aku tidak ingin tinggal lebih lama lagi di sini dan hendak meninggalkan rumah ini saja."

   Kata-kata ini membikin Ciau Siang-hoa terkesiap juga, katanya.

   "Ayah, mengapa kita mesti lari? Orang she Cio itu adalah musuhku, aku justru mengharap dia akan kembali mencari aku lagi."

   "Ai, agaknya kau tidak tahu bahwa di belakang orang she Cio mempunyai sandaran yang kuat,"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Goan-hoa.

   "Sandaran yang dia andalkan itu adalah Kiau Sik-kiang, pentolan bajak laut yang pernah malang melintang di lautan timur sana."

   Ciau Siang-hoa tidak tahu kelihaian Kiau Sik-kiang, dengan tegas ia berkata.

   "Ayah, aku tidak ingin membikin susah padamu, yang pasti anak tidak akan pergi dari sini."

   Wajah Ciau Goan-hoa tampak merah, katanya.

   "Nak, bukan aku mau meninggalkan kau, soalnya aku bukanlah tandingan orang she Kiau itu, kuharap kau jangan sembarangan bertindak menuruti napsu. Kata pepatah, sepuluh tahun pun belum terlambat untuk menuntut balas bagi seorang lelaki."

   "Anak Hoa,"

   Ko-si ikut bicara.

   "hendaklah kau menurut pada kata-kata ayahmu dan berangkatlah bersama kami. Aku berjanji padamu, urusan balas dendammu adalah menjadi tanggung jawabku kelak."

   Sedang Siang-hoa ragu-ragu, Hian-kam berkata pula.

   "Kukira sebaiknya kupulang untuk memberitahukan ayah, sebagai tetangga dekat, adalah pantas kalau kita saling membantu."

   "Benar ayah, kenapa kita tidak terima maksud baik Bu-heng?"

   Ujar Siang- hoa.

   "Soalnya aku tidak ingin membikin susah orang lain,"

   Sahut Goan-hoa. Sebenarnya ia pun merasa berat meninggalkan harta bendanya, tapi ia pun tidak ingin keluarga Bu mengetahui rahasia pribadinya, sebab itulah ia merasa serba salah. Tengah ragu-ragu, terdengar Ko-si berkata.

   "Walaupun ada bantuan juga sukar mengharapkan kemenangan. Daripada membikin susah orang lain, lebih baik angkat kaki saja sejauh mungkin. Maka aku berketetapan akan pergi saja dari sini. Anak Hoa, kalau kau masih ingat pada budiku yang telah membesarkan kau, maka kau mesti ikut pergi bersamaku." ~ Habis ini ia menatap ke arah Ciau Goan-hoa. Mendadak Goan-hoa tersadar, ia pikir memang jalan paling selamat adalah membawa pergi Siang-hoa. Maka dengan tegas ia pun berkata.

   "Ya, urusan ini tidak pantas minta campur tangan orang luar. Anak Hoa, kau harus berangkat bersama kami."

   "Tidak, anak takkan pergi,"

   Jawab Siang-hoa.

   "Aku tidak dapat membiarkan jiwamu melayang percuma, jika kau masih anggap aku sebagai ayah, kau harus menurut kataku,"

   Kata Goan-hoa dengan menarik muka. Siang-hoa tidak berani membantah lagi, dengan air mata bercucuran ia berkata.

   "Jika ayah sudah berkata begini, terpaksa anak menurut. Bu-toako dan nona Liong, silakan kalian pulang saja, banyak terima kasih atas kebaikan kalian."

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara "tok-tok"

   Yang nyaring, suara ketukan ujung tongkat di lantai. Terdengarlah suara seorang wanita tua berkata.

   "Siapa itu yang bilang mau pergi?"

   Maka tertampaklah dari ruangan belakang Ciau Siang-yau memayang datang seorang wanita tua bertongkat, wanita tua ini adalah istri kawin Ciau Goan-hoa, nyonya Lau-si. Melihat sang istri, Goan-hoa menjadi serba kikuk, katanya dengan tergagap.

   "Niocu (istriku), kau..... kau tidak tahu bahwa....."

   "Aku tidak tahu apa?"

   Jengek Lau-si sambil mengetuk tongkatnya ke lantai.

   "Demi untuk keselamatan gundik kesayanganmu, kau hendak meninggalkan kami ibu dan anak bukan?"

   "Kau jangan salah paham, Cici,"

   Kata Ko-si dengan wajah merah dan menahan air mata.

   "Ya, memang salahku sehingga membikin susah kalian. Sesungguhnya pihak musuh memang terlalu lihai, urusan sudah terlanjur, terpaksa menghindarinya. Kalau mesti pergi dari sini, tentu saja kita pergi segenap keluarga, mana bisa kami meninggalkan Cici di sini?"

   "Hm,"dengus Lau-si, lalu katanya kepada sang suami.

   "Goan-hoa, dimana kegagahanmu waktu masih muda? Apa kau benar-benar jeri terhadap musuh atau merasa berat berpisah dengan siluman rase (maksudnya Ko-si) ini dan rela meninggalkan rumahmu? Huh, sudah cukup lama aku tutup mulut, tapi sekarang mau tak mau aku harus bicara. Kau telah memungut anak dari luar, sekarang kau kena dikili-kili siluman rase itu dan rela lari bersama dia. Goan-hoa, kau tidak malu dan tidak takut ditertawai orang, akulah yang merasa malu."

   "Ibu besar, bukanlah aku sengaja merahasiakan asal-usulku, ayahlah yang menghendaki demikian,"

   Kata Siang-hoa.

   "Lebih-lebih aku tiada bermaksud mengangkangi harta benda keluarga kalian, cuma tentang laranganmu agar kami tidak boleh pergi adalah cocok dengan pendirianku. Asal sakit hatiku sudah terbalas, aku sendiri segera meninggalkan tempat ini."

   "Baik, biar aku sendiri yang pergi saja,"

   Kata Ko-si.

   "Kau pun jangan pergi, ibu!"

   Seru Siang-hoa. Siang-yau juga melerai ibu kandungnya, katanya.

   "Ibu, janganlah engkau ribut lagi, kan malu dilihat orang luar. Koko, tak peduli kau sebenarnya she Ciau atau bukan kau tetap kakakku."

   Beberapa kalimat terakhir itu ditujukannya kepada Ciau Siang-hoa. Tanpa terasa kedua kakak dan adik itupun mengucurkan air mata.

   "Bagus, Ji-nio (ibu kedua) telah menotok Hiat-tomu, tapi sekarang kau malah membela mereka ibu dan anak,"

   Demikian Lau-si masih uring-uringan "Mak, keluarga kita selama ini hidup rukun, kini menghadapi musuh besar kita justru harus lebih bersatu-padu,"

   Kata Siang-yau sambil merangkul ibunya.

   "Ji-nio tadi kuatir aku tak dapat melawan kedua penjahat itu, maka dia menotok Hiat-toku, maksudnya kan baik."

   Ucapan Siang-yau itu rada di luar dugaan Siang-hoa, ia kenal adik perempuannya itu biasanya sangat angkuh, terhadap ibu kedua biasanya juga tidak begitu menghormatinya, tak tersangka kini dia cukup bijaksana dan tahu aturan.

   Begitulah Goan-hoa lantas berbangkit dan menghela napas, katanya.

   "Baiklah, jika akhirnya toh keluarga harus berantakan, maka tidak perlu lagi kita pergi dari sini, paling-paling kita mati bersama saja."

   "Anak Hoa,"

   Kata Ko-si dengan sedih.

   "setelah urusan ini selesai, jika beruntung kita tidak mati, apakah kau bersedia meninggalkan keluarga Ciau ini bersama aku?"

   "Ya, anak mau,"

   Jawab Siang-hoa.

   "Cici,"

   Kata Ko-si pada Lau-si.

   "mulai sekarang, segala urusan keluarga Ciau sama sekali aku takkan ikut campur. Aku cuma tinggal lebih lama beberapa hari lagi untuk menyelesaikan persoalan ini. Tentang urusan ini aku pun tidak ingin membikin susah kalian, kalau musuh datang, biar kami ibu dan anak yang menghadapi, kau boleh tinggal diam saja."

   "Hm, orang dari keluarga Ciau selamanya tidak pernah gentar kepada musuh kuat macam apa pun,"

   Jengek Lau-si.

   "Asal kau masih tinggal di sini, maka aku masih tetap anggap kau sebagai anggota keluarga Ciau. Ilmu silatku mungkin tidak dapat menandingi kau, tapi sekali-kali aku takkan surut ke belakang."

   "Terima kasih, Cici,"

   Kata Ko-si dengan suara haru, lalu ia kembali ke kamarnya dengan berlinang air mata.

   Begitulah sengketa rumah tangga yang jamak telah damai kembali.

   Semua orang lantas sibuk pula bersiap menghadapi kedatangan musuh.

   Maka Bu Hian-kam kembali mengemukakan maksudnya hendak pulang minta bantuan ayahnya.

   "Urusan keluarga Ciau tidak perlu orang luar ikut campur,"

   Tiba-tiba Lau- si mendengus sambil mengetukkan tongkatnya. Hian-kam menjadi serba kikuk. Segera Kiat-bwe menanggapi.

   "Tapi kedua orang itupun musuhku, jika mereka datang lagi tentu bukan melulu urusan keluarga Ciau kalian belaka."

   Karena mendongkol, tanpa terasa kata-katanya juga rada kaku. Segera Ciau Goan-hoa berkata.

   "Baiklah, kalian boleh tinggal saja sini, cuma kalian harus berjanji, sebelum musuh datang kalian tidak boleh meninggalkan tempat kami ini." ~ Di balik ucapannya ini terang dia tetap tidak ingin Bu Hian-kam pergi minta bantuan ayahnya. Diam-diam Hian-kam merasa tabiat orang she Ciau ini memang aneh sebagaimana sering dikatakan orang. Terpaksa ia mengangguk setuju. Semalam berlalu dengan aman, besoknya semua orang sama-sama tegang menantikan kedatangan musuh. Goan-hoa memerintahkan pintu gerbang ditutup dengan palang, tanpa izinnya siapa pun dilarang keluar. Untuk mencairkan suasana tegang itu, dengan tertawa Siang-yau berkata.

   "Ayah, untuk pergi minta bala bantuan, kedua penjahat itupun takkan datang lagi dalam waktu singkat, kenapa kita setegang ini?"

   "Kau tahu apa?"

   Ujar ayahnya.

   "Kiau Sik-kiang adalah tokoh hitam yang sangat lihai, gerak-geriknya sukar diraba, jejaknya susah diketahui, siapa tahu dia sudah berada di dekat sini, betapa pun kita harus siap siaga."

   Pada saat itulah tiba-tiba seorang penjaga pintu datang melapor.

   "Di luar ada orang mengetuk pintu, katanya mencari seorang nona bernama Si Bwe."

   "Si Bwe? Di sini mana ada nona yang bernama demikian?"

   Ujar Goan- hoa. Kiat-bwe mendengar laporan penjaga itu, cepat bersama Liong Thian- hiang mereka keluar dan berkata.

   "Si Bwe adalah diriku. Siapakah yang mencari aku?"

   "Hm, siapa lagi, jika kau yang dicari, tentu yang datang adalah Kiau Sik- kiang dan begundalnya. Sungguh cepat amat kedatangan mereka!"

   Kata Ciau Goan-hoa.

   ALAU Ciau Goan-hoa mengira yang datang pasti Kiau Sik-kiang dan begundalnya, ternyata menutur laporan si penjaga yang mengintip keluar, yang datang itu seorang pemuda dan seorang pemudi, semuanya cakap dan tidak mirip penjahat.

   Ciau Goan-hoa menjadi sangsi, sebab ia tahu Kiau Sik-kiang dan kelima pembantu utamanya berusia setengah umur, apakah mungkin pendatang ini bukan komplotan mereka? Nyo Kiat-bwe juga merasa tidak tenteram, ia pikir.

   "Yang tahu aku bernama Si Bwe hanya orang keluarga Sin, sedangkan pendatang ini terdiri seorang pemuda dan seorang pemudi, apa mungkin mereka ialah Sin Liong- sing dan istrinya?"

   Dalam pada itu Ciau Goan-hoa telah berteriak.

   "Baik, bukakan pintu dan biarkan mereka masuk. Aku ingin tahu siapakah mereka itu dan berani mencari penyakit ke tempatku ini?"

   Sejenak kemudian tertampak muncullah seorang pemuda gagah dan tampan bersama seorang pemudi yang cantik dengan rambut terikat dengan pita kupu-kupu. Pemudi itu memandang kian kemari, lalu bertanya.

   "Yang manakah kiranya enci Si Bwe adanya?"

   Sedangkan si pemuda lantas memberi hormat kepada Ciau Goan-hoa sambil berkata.

   "Paman tentunya Ciau Lo-cianpwe adanya, maafkan jika kedatangan kami ini agak mengganggu."

   Semula Kiat-bwe tercengang, sebab merasa kedua muda-mudi ini tak dikenalnya, tapi setelah diperhatikan, samar-samar ia merasa si pemuda sudah pernah dilihatnya, cuma entah dimana. Dalam pada itu Ciau Goan-hoa telah menjawab.

   "Siapakah kalian? Putera-puteri dari kawan persilatan manakah?" ~ Ia menjadi ragu-ragu apakah kedua muda-mudi ini adalah musuh mengingat sikap mereka yang sopan ini

   Jilid 20 K Kiat-bwe juga lantas berkata.

   "Aku inilah Si Bwe adanya, maafkan jika aku sudah pangling, cuma rasanya kita belum pernah berjumpa, entah siapakah saudara-saudara ini?"

   "Cay-he adalah Hi Giok-hoan dari Pek-hoa-kok dari Yang-ciu dan nona ini adalah Le Say-eng dari Beng-sia-to,"

   Kata pemuda itu. Seketika Ciau Goan-hoa terkejut dan bergirang demi mendengar disebutnya Beng-sia-to. Segera ia berbangkit dan berkata kepada si nona.

   "O, jadi ayah nona adalah Beng-sia-tocu Le Kim-liong, Lo-cianpwe?"

   Sebenarnya umur Ciau Goan-hoa sebaya dengan Le Kim-liong, tapi lantaran nama Beng-sia-tocu lebih gemilang di dunia persilatan, dia tidak sayang menurunkan derajat sendiri.

   "Ya, Beng-sia-tocu memang ayahku,"

   Demikian jawab Le Say-eng.

   Sedangkan Nyo Kiat-bwe juga baru menyadari mengapa dirinya merasa sudah pernah melihat pemuda yang mengaku bernama Hi Giok-hoan itu, soalnya dia adalah kakak Hi Giok-kun, air muka kedua kakak beradik memang rada mirip.

   Sebaliknya Ciau Goan-hoa rada heran dan bertanya pula.

   "Nona Le memang sudah lama kudengar nama ayahmu yang termashur, tapi selama ini tidak ada hubungan, entah ada keperluan apakah kalian berkunjung ke tempatku ini?"

   "Kedatangan kami ke sini khusus hendak menyambangi enci Si Bwe ini,"

   Kata Giok-hoan.

   "Darimana kau mendapat tahu bahwa aku tinggal di sini?"

   Tanya Kiat- bwe.

   "Bukankah salah seorang anak buah Kiau Sik-kiang pernah datang dan menimbulkan gara-gara?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Benar,"

   Cepat Siang-hoa menyela.

   "dia melarikan diri setelah dilukai oleh nona Nyo dan kami justru hendak mencari dia. Darimana kiranya Hi- heng dapat tahu peristiwa ini."

   "Sungguh sangat kebetulan bila diceritakan, baru kemarin kami pergoki keparat itu,"

   Ujar Giok-hoan.

   Sebagaimana diketahui Hi Giok-hoan merawat lukanya di Beng-sia-to, sedangkan Beng-sia-tocu Le Kim-liong telah berjanji kepada Kiong Cau-bun akan mintakan kitab pusaka ilmu racun milik keluarga Siang yang berada pada Sebun Bok-ya, maka sebelum luka Giok-hoan sembuh, seorang diri lantas berangkat ke Tiong-goan.

   Setelah lukanya sembuh, Giok-hoan juga rindu kepada kampung halaman dan ingin pulang.

   Le Say-eng sudah bertunangan dengan dia, dengan sendirinya ia pun ikut berangkat bersama Giok-hoan.

   Dari kabar yang diperoleh Giok-hoan, hanya diketahui bahwa Giok-kun telah ikut Sin Liong-sing ke Kang-lam, cuma dia tidak tahu bahwa adik perempuannya telah bertunangan dengan Sin Liong-sing, ia pun tidak tahu guru Sin Liong-sing, yaitu Bun Yat-hoan, bertempat tinggal dimana.

   Sebab itulah setelah tinggal beberapa hari di Pek-hoa-kok, lalu mereka berangkat lagi ke Kang-lam.

   Pada hari itu mereka sampai di daerah Ciau-yang, mereka tertarik kepada pemandangan bukit Tho-hoa-nia yang penuh tumbuh pohon Tho yang sedang berbunga dengan amat indahnya, mereka sedang duduk mengaso di tepi jalan sambil menikmati pemandangan alam sekeliling.

   Tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta kuda lewat di situ, semula mereka tidak menaruh perhatian, tapi kemudian mereka menjadi terkejut oleh suara percakapan dua orang di kereta itu.

   Di dalam kereta itu rupanya berbaring seorang yang terluka, hal ini terbukti suara rintihan yang terdengar.

   Giok-hoan dan Say-eng merasa suara rintihan orang seperti sudah dikenalnya, hati mereka tergerak seketika.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kemudian ketika orang yang merintih itu berbicara, segera mereka ingat siapa orang di dalam kereta itu.

   Kiranya orang yang merintih kesakitan di dalam kereta itu adalah lelaki she Jiau, pembantu keluarga Kiau Sik-kiang yang cukup diandalkan itu.

   Rupanya karena guncangan jalan pegunungan yang tidak rata, hal ini telah menambah rasa sakit pada luka orang she Jiau itu, saking sakitnya ia lantas mencaci-maki.

   "Maknya si budak busuk Si Bwe itu, kalau sampai terjatuh di tanganku, hm, lihatlah saja kalau aku tidak membeset kulitnya dan melolosi ototnya!"

   "Apa kau tidak gentar terhadap Sin Cap-si-koh?"

   Ujar kawannya, yang menjadi kusir itu.

   "Kenapa mesti takut kepada Sin Cap-si-koh segala?"

   Jawab orang she Jiau itu.

   "Memangnya Kiau-toako kita takut kepadanya? Apalagi budak busuk itu kabarnya sudah minggat dari tempat Sin Cap-si-koh, masakah dia berani minta bantuan bekas majikannya itu?"

   "Namun Kiau-toako kita perlu menahan budak busuk itu, untuk membeset kulitnya terang tidak bisa,"

   Kata si kusir.

   "Ya, aku pun tahu budak itu masih berguna bagi Kiau-toako kita, cuma aku benar-benar sangat gemas padanya, betapa pun aku harus mencari akal untuk menyiksa dia,"

   Kata orang she Jiau.

   "Apa susahnya jika mau menyiksa dia?"

   Ujar si kusir dengan "Aku mempunyai banyak cara penyiksaan, jika perlu kau boleh belajar padaku."

   Kedua orang itu bicara sesukanya, mereka tidak menduga di bawah pohon di tepi jalan sana ada orang lain, maka apa yang mereka percakapkan dapat didengar semua oleh Hi Giok-hoan dan Le Say-eng.

   Dahulu ketika Kiau Sik-kiang bersama anak buahnya menyerbu ke Beng- sia-to, orang she Jiau itu pun ikut serta dalam rombongannya, Giok-hoan dan Say-eng pernah bergebrak dengan dia.

   Maka sekarang meski tak nampak mukanya, toh mereka tidak pangling pada suaranya.

   Nama Si Bwe diketahui Giok-hoan dari cerita Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng, katanya ketika berada di tempat Sin Cap-si-koh, adik perempuannya, yaitu Giok-kun, mempunyai hubungan yang akrab dengan pelayan yang bernama Si Bwe.

   Kini mendengar nama Si Bwe disebut oleh orang she Jiau tadi, sudah tentu ia tidak sia-siakan kesempatan menemukan jejak adik perempuannya itu.

   Segera Le Say-eng jemput sepotong batu kecil, dengan tenaga selentikan yang lihai ia sambitkan batu itu ke arah kaki kuda sembari melompat keluar dari balik pohon.

   Karena kaki terkena batu, kuda itu kesakitan sambil berjingkrak, dengan meringkik kuda itu kemudian jatuh terkulai, kereta pun lantas terguling.

   "Kurangajar! Rupanya kalian sudah buta sehingga berani membegal bapakmu ini!"

   Demikian si kusir memaki, ia mengira Giok-hoan dan Say-eng hanya kawanan begal biasa. Tapi Say-eng lantas membentak.

   "Lekas keluar orang she Jiau, bila kau tidak ingin mampus, lekas ikut ke Beng-sia-to menghadap ayahku!"

   Sementara orang she Jiau itupun jatuh terguling keluar kereta dan belum sanggup merangkak bangun, sambil setengah berduduk di tanah ia berpaling, ketika ia mengenali Le Say-eng, segera ia balas mendamprat.

   "Budak busuk, kiranya kau! Meski aku terluka masih cukup kuat membereskan kau!"

   Lelaki yang menjadi kusir tadi terkejut, cepat ia tanya kawannya.

   "Apakah kedua bocah ini orang Beng-sia-to?"

   "Benar, budak busuk ini adalah puteri kesayangan Le Kim-liong,"

   Jawab orang she Jiau.

   "Tapi jangan kuatir, Ku-siko, saat ini Beng-sia-tocu sedang pergi ke utara untuk mencari Sebun Bok-ya, tidak mungkin dia datang ke selatan sini, apa yang kau takuti lagi?"

   Lelaki she Ku itu menjadi tabah, segera ia menjawab.

   "Memangnya siapa yang takut? Hanya dua bocah ingusan saja kenapa mesti ditakuti?"

   "Bagus, jika kau pun ingin mampus bersama dia, nah, boleh majulah semua!"

   Bentak Say-eng.

   "Kenapa tergesa-gesa untuk bergebrak dengan kau, tunggu dulu habis aku mengisap pipa tembakau ini,"

   Kata orang she Ku.

   Sebelah tangannya waktu itu memegang sebatang pipa cangklong yang panjangnya satu meter lebih, warnanya kehitam-hitaman, entah kayu entah besi.

   Pangkal pipa besarnya sama dengan cangkir, dia mulai mengisi tembakau pada pangkal pipa, lalu mengetik api dan mengisapnya dengan tenang.

   "Siapa sudi menunggu dia mengisap tembakau segala, hantam saja dia!"

   Seru Say-eng kepada Giok-hoan. Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong orang she Ku itu menyemburkan asap tembakau ke arah mereka, seketika Giok-hoan merasa kepala rada pusing, cepat ia melompat mundur sambil berseru.

   "Awas, asap berbisa, adik Eng!"

   Tapi Le Say-eng ternyata tenang-tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa.

   "Asap berbisa saja bisa apa terhadap diriku?"

   Katanya dengan tertawa. Cepat pula ia melompat ke samping Giok-hoan dan menjejalkan sebutir pil ke mulutnya sambil berkata, Pia-sia-tan buatan ayahku, jika kau telan tentu takkan terganggu."

   "Hm, tanpa asap berbisa juga aku dapat membekuk kalian!"

   Jengek she Ku itu sambil menubruk maju, pipanya yang panjang itu digunakan sebagai senjata terus menjojoh ke Hiat-to berbahaya di perut Hi Giok-hoan.

   Setelah menelan pil pemberian Le Say-eng tadi, Giok-hoan merasa semangatnya menjadi segar, cuma pandangannya masih kabur oleh pedasnya asap tadi, terpaksa ia memukul sekenanya, angin pukulan membuyarkan asap berbisa, lalu dia melolos pedang dan sempat menangkis serangan pipa musuh.

   Lelaki she Ku itu tidak menyangka Hi Giok-hoan berkepandaian setinggi ini, diam-diam ia mengeluh.

   "Adik Eng, kau bekuk keparat she Jiau itu, keparat ini serahkan saja padaku,"

   Seru Giok-hoan.

   "Baik, cuma kau perlu hati-hati,"

   Seru Say-eng, ia yakin Giok-hoan pasti sanggup melawan lelaki she Ku itu. Lalu dengan pedang terhunus ia mendekati orang she Jiau dan mendampratnya.

   "Aku tidak sudi membunuh orang yang sudah terluka, sebaiknya kau mengaku terus terang saja atas apa yang kutanyakan ini."

   Sekonyong-konyong orang she Jiau itu mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang gaetan, sambil bersandar pada kereta yang ambruk, gaetannya terus menggantol betis Le Say-eng sembari membentak.

   "Budak busuk, biar aku terluka juga tidak gentar padamu."

   Karena tidak terduga-duga, hampir saja Le Say-eng terluka.

   "bret", untung cuma ujung bajunya saja yang terobek.

   "Baik, kau sendiri yang cari mampus, jangan kau salahkan aku!"

   Damprat Say-eng dengan gusar.

   Segera ia putar pedangnya untuk melayani sepasang gaetan lawan yang lihai itu, seketika sukar juga menentukan siapa bakal menang dan kalah.

   Dalam keadaan biasa kepandaian orang she Jiau boleh dikatakan lebih unggul setingkat daripada Le Say-eng, tapi kini dia sudah terluka, dia harus bersandar pada kereta untuk menegakkan tubuh, untuk menggeser langkah pun sukar, hal ini tentu saja tidak menguntungkan dia betapa pun ia menjadi berada di pihak terserang melulu.

   Karena itu setelah tigapuluhan jurus berlalu tertampaklah dia sudah mandi keringat, Le Say-eng sudah mutlak berada di atas angin.

   Di sebelah lain Hi Giok-hoan dan orang she Ku itu ternyata setengah kati sama dengan delapan tahil alias sama kuat, cuma lantaran Le Say-eng sudah kelihatan berada di atas angin, hal ini makin menambah semangat tempur Hi Giok-hoan, sebaliknya lawannya menjadi gugup melihat kawan sendiri rada terdesak, dengan demikian ia menjadi gelisah dan akhirnya terdesak pula oleh Hi Giok-hoan.

   Selagi Giok-hoan mempergencar serangannya dan tampaknya segera akan dapat mengalahkan musuh, tiba-tiba terdengar Le Say-eng menjerit, habis itu si nona lantas tergelincir ke bawah lereng bukit.

   Keruan kejut Giok-hoan tak terkatakan, tanpa menghiraukan musuh lagi, cepat ia tarik kembali senjatanya dan memburu ke sana untuk menolong Say- eng.

   Tapi sebelum dibangunkan Le Say-eng sudah melompat berdiri sendiri sambil berseru.

   "Lekas kau menawannya hidup-hidup! Wah, sayang, mereka keburu lari!"

   Tertampak orang she Ku tadi telah memanggul kawannya yang terluka itu terus dilarikan secepat terbang ke balik bukit sana, untuk mengejar terang tidak keburu lagi.

   "Bagaimana keadaanmu?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Coba kuobati dulu lukamu!"

   "Aku tidak terluka apa-apa,"

   Jawab Say-eng.

   "Habis mengapa kau tergelincir jatuh?"

   Tanya Giok-hoan heran.

   "Ya, aku sendiri pun tidak habis paham,"

   Ujar Say-eng.

   "Keparat she Jiau itu jelas tidak mampu melawan aku, selagi aku hendak menusuk tulang pundaknya, mendadak Yong-coan-hiat di bagian tumit kaki terasa sakit pegal luar biasa seperti kena disengat lebah, begitulah tanpa tahu sebab- musababnya aku lantas tergelincir jatuh ke bawah."

   Giok-hoan merasa kuatir jangan-jangan si nona terserang sesuatu senjata rahasia musuh.

   Tapi ketika Le Say-eng membuka sepatunya, tertampak tumit kaki ada suatu titik merah, namun tidak terasa sakit pegal lagi atau perasaan lain.

   Tapi kejadian itu pasti tidak mungkin begitu kebetulan, masakah di tengah pertempuran sengit tumit kaki bisa disengat lebah.

   Giok-hoan berpikir sejenak, lalu berkata.

   "Kukira kejadian ini rada janggal, bisa jadi ada orang kosen diam-diam membantu keparat itu."

   Le Say-eng adalah nona yang cerdik, apa yang terpikir Giok-hoan tadi juga sudah terpikir olehnya, maka ia pun berkata.

   "Jadi urusan pasti tidak begini kebetulan. Seumpama betul ada orang menyerang aku secara menggelap, tentu pula orang itu jeri terhadap ayahku, makanya tidak berani menampakkan diri."

   "Sayang, kedua keparat tadi sempat kabur,"

   Ujar Giok-hoan.

   "Padahal kuingin mencari tahu jejak adikku melalui mereka."

   "Kalau cuma ingin mencari jejak enci Giok-kun saja kukira tidak perlu menanyai mereka, aku tanggung akan dapat menemukan jalannya,"

   Kata Say- eng dengan tertawa.

   "Kau mempunyai akal baik apa?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Luka orang she Jiau tadi masih mengeluarkan darah, maka dapat dipastikan dia terluka belum lama, orang yang dapat melukai dia tentu berkepandaian luar biasa dan bukan sembarang orang, betul tidak?"

   "Betul. Kalau melulu seorang budak Sin Cap-si-koh saja mungkin tidak mampu melukai orang she Jiau itu."

   "Aku tahu di tempat ini adalah suatu keluarga persilatan she Ciau dengan ilmu goloknya yang terkenal, kepala keluarga itu bernama Ciau Goan-hoa."

   "O, jika begitu besar kemungkinan nona Si Bwe berada di rumah keluarga Ciau itu,"

   Kata Hi Giok-hoan, maka mereka lantas mencari ke tempat yang dimaksud. Setelah Giok-hoan menguraikan apa yang dialaminya itu, Ciau Goan-hoa merasa girang, katanya.

   "Kiranya keparat Kiau Sik-kiang itupun musuh ayah nona Le."

   "Dan mengapa anak buah Kiau Sik-kiang mencari perkara pada kalian?"

   Tanya Say-eng.

   Ciau Goan-hoa tidak ingin menjelaskan duduknya perkara, maka dia memberi alasan bahwa permusuhan timbul dari pertengkaran puteranya dan Kiat-bwe dengan anak buah Kiau Sik-kiang itu.

   Le Say-eng juga tidak bertanya lebih lanjut, katanya kemudian.

   "Kiau Sik- kiang pernah mengacau ke Beng-sia-to kami, jika Ciau Lo-cianpwe tidak menolak, kami bersedia membantu sekadarnya."

   Diam-diam Ciau Goan-hoa merasa tawaran bantuan itu sangat menguntungkannya mengingat nama Beng-sia-tocu dan keluarga Hi di Yang- ciu cukup disegani.

   Tapi terpikir pula olehnya bahwa istri mudanya, Ko-si, tidak ingin asal-usulnya diketahui orang luar, maka ia menjadi ragu-ragu apa mesti menerima maksud baik Le Say-eng atau tidak.

   Saat Ciau Goan-hoa berpikir, terdengar Kiat-bwe bertanya pula.

   "Hi- kongcu, tadi kau bilang sengaja datang ke sini untuk mencari diriku, entah ada urusan apakah?"

   "Kabarnya Giok-kun pernah bertemu dengan nona Nyo, aku baru pulang dari seberang lautan dan belum tahu dimana beradanya adikku, aku cuma tahu dia telah pergi ke Kang-lam,"

   Kata Giok-hoan. Dengan tawar Kiat-bwe menjawab.

   "Kiranya kau ingin mencari berita adik perempuanmu. Tapi aku cuma seorang budak keluarga Sin saja....."

   "Janganlah nona Nyo berkata demikian,"

   Sela Giok-hoan dengan rikuh.

   "dari Pwe-eng kudengar Giok-kun banyak mendapat bantuanmu ketika berada di rumah keluarga Sin, untuk itu aku masih harus berterima kasih padamu."

   "Ah, mana aku berani,"

   Sahut Kiat-bwe.

   "Tentang jejak adik perempuanmu aku memang tahu."

   "Dapatkah nona Nyo memberitahukan padaku?"

   Pinta Giok-hoan dengan girang.

   "Sudah tentu dapat, malahan aku hendak mengucapkan selamat padamu,"

   Kata Kiat-bwe dengan dingin. Giok-hoan menjadi melengak.

   "Selamat? Selamat tentang apa?"

   "Adik perempuanmu kini telah menjadi nyonya murid pewaris Bu-lim- beng-cu daerah Kang-lam, itu berarti bakal nyonya Bu-lim-beng-cu berikutnya, bukankah hal ini pantas diberi ucapan selamat?"

   Untuk sejenak Giok-hoan melenggong.

   "Apakah betul ucapanmu?"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia menegas kemudian.

   "Tentu saja betul, malahan aku pun hadir pada pesta nikah mereka, mana bisa tidak betul!"

   Dengus Kiat-bwe. Ciau Goan-hoa juga rada heran dan ikut bicara.

   "Ya, ketika Bun-tayhiap mengawinkan murid pewarisnya itu aku pun menerima undangannya, mengapa kau sebagai kakak mempelai perempuan malah tidak tahu?"

   Sudah tentu mimpi pun Giok-hoan tidak menyangka bahwa secepat itu adik perempuannya telah kawin dengan Sin Liong-sing, pikirnya.

   "Wah, cara bagaimana nanti aku akan bicara dengan Kok Siau-hong? Adik Kun juga aneh, mengapa begitu gegabah terhadap perjodohannya sendiri? Padahal lantaran perjodohannya dengan Kok Siau-hong tempo hari dunia Kang-ouw telah menjadi geger, siapa tahu sekarang bisa berakhir dengan begini? Tapi, ai, nasi sudah menjadi bubur, apa yang dapat kulakukan?"

   Maka setelah tenangkan diri, lalu ia menjawab pertanyaan Ciau Goan- hoa.

   "Wanpwe baru pulang dari Beng-sia-to, maka belum tahu apa terjadi akhir-akhir ini."

   Melihat sikap Giok-hoan yang tidak tenteram, Ciau Goan-hoa tahu di balik persoalan ini tentu ada sesuatu keganjilan, sebagai orang tua yang berpengalaman, dengan sendirinya ia tidak mau tanya urusan rumah tangga orang lain.

   Maka ia lantas kembali pada persoalan tadi, katanya.

   "Bahwa Hi- heng perlu mencari adik perempuanmu, maka maksud baikmu akan membantu tadi kuterima di dalam hati saja, sekiranya kalian perlu mencari adik perempuan, maka aku pun tidak menahan kalian lebih lama di sini."

   "Tidak, kukira lebih penting menghadapi Kiau Sik-kiang dan begundalnya ini,"

   Kata Giok-hoan.

   "Kini jejak adikku sudah diketahui, juga tidak perlu terburu-buru mencarinya."

   Memangnya Ciau Goan-hoa ada maksud membonceng nama kebesaran Beng-sia-to, maka ia pun lantas mengikuti arah angin, katanya.

   "Jika Hi- siauhiap dan nona Le begini berbudi, terpaksa aku menerimanya dengan malu hati. Silakan kalian tinggal sementara di tempatku ini."

   "Ah, Ciau Lo-cianpwe terlalu rendah hati,"

   Kata Giok-hoan.

   "Wanpwe sendiri pernah setori dengan keparat Kiau Sik-kiang itu, sudah sepantasnya kalau kita bersatu menghadapi musuh yang sama."

   Begitulah Giok-hoan dan Say-eng lantas tinggal di rumah keluarga Ciau.

   Selang dua hari, ternyata Kiau Sik-kiang dan begundalnya masih belum muncul.

   Pergaulan antara anak-anak muda memang cepat menjadi akrab, suatu hari mereka berkumpul di taman belakang untuk berlatih silat, hadir Ciau Siang-hoa, Nyo Kiat-bwe, Bu Hian-kam, Liong Thian-hiang, hanya Ciau Siang-yau saja yang tidak ikut.

   Dalam berlatih itu, Hian-kam mendapatkan pasangan Ciau Siang-hoa, Hian-kam memainkan ilmu pukulan Bian-ciang, pukulan lunak yang kalem tanpa suara, tapi daun dan tangkai pohon di dekatnya berkresek dan rontok, ilmu pukulan hebat ini adalah kebanggaan keluarga Bu.

   Giok-hoan berseru memuji kehebatan ilmu pukulan Bu Hian-kam itu, tapi ia pun merasa ilmu pukulan Ciau Siang-hoa juga belum pernah dilihatnya, entah berasal dari aliran mana.

   Di sebelah sana Le Say-eng juga sedang asyik mengikuti pertandingan itu, tiba-tiba ia bersuara heran.

   Sementara itu Bu Hian-kam dan Ciau Siang-hoa sudah mengakhiri latihan mereka, mereka menjadi bingung mendengar suara Le Say-eng itu.

   Siang-hoa lantas bertanya.

   "Nona Le sudah banyak berpengalaman, apakah barangkali ada bagian latihan kami yang kurang benar?"

   "Tidak, aku justru sangat memuji ilmu pukulan Ciau-toako yang hebat,"

   Kata Le Say-eng.

   "Marilah kucoba beberapa jurus ilmu pukulanmu."

   Habis itu tanpa permisi lagi segera ia menyerang.

   Gerak serangan Le Say- eng itu seketika membikin Ciau Siang-hoa terperanjat.

   Ternyata tipu serangan si nona tiada ubahnya seperti jurus serangan yang baru saja dimainkannya waktu berlatih dengan Bu Hian-kam, padahal ilmu pukulannya itu adalah ajaran ibu angkatnya, yaitu istri muda Ciau Goan- hoa, orang luar hakikatnya tidak ada yang tahu.

   Begitulah Siang-hoa terheran-heran mengapa Le Say-eng juga mahir ilmu pukulan ajaran ibunya itu, padahal menurut cerita ibunya, katanya ilmu pukulan itu adalah silat keluarga sendiri yang berbeda daripada silat aliran lain.

   Lalu dari manakah Le Say-eng dapat belajar ilmu pukulan itu? Mustahil hanya sekali lihat permainanku tadi lantas dia sanggup menirukannya? Demikian pikir Siang-hoa sambil melayani serangan Le Say-eng.

   Selang sejenak kemudian semua orang juga dapat melihat bahwa permainan ilmu pukulan Le Say-eng dan Ciau Siang-hoa ternyata serupa.

   Diam-diam Giok-hoan berkata di dalam hati.

   "Pantas sejak tadi aku tidak kenal asal-usul ilmu silatnya, kiranya dia sealiran dengan mertuaku. Tapi Ciau Goan-hoa dan mertuaku kan bukan seperguruan, mengapa ilmu silat keduanya serupa, sungguh aneh."

   Rupanya selama berkumpul dengan Le Say-eng beberapa bulan, belum pernah Giok-hoan menyaksikan Say-eng memainkan ilmu pukulan sekarang ini.

   Maka sekarang ia mengira ilmu pukulan Say-eng itu memang ilmu silat rahasia Beng-sia-to yang tidak boleh diajarkan kepada orang luar.

   Kalau semua orang asyik mengikuti pertandingan ilmu pukulan hanya Kiat-bwe saja seorang sedang memperhatikan sesuatu kejadian lain.

   Ternyata pada sudut taman sana ada sebuah gedung berloteng cat merah dengan jendelanya teraling-aling oleh pepohonan yang rindang, samar-samar hanya kelihatan di balik jendela itu menongol kepala seorang wanita.

   Lantaran Kiat-bwe pernah mengalami pembicaraan dengan Ciau Siang- hoa diintip orang pada malam itu, maka sekarang ia tambah curiga terutama setelah mengenali wanita yang sekarang sedang mengintip itu Ko-si.

   "Hm, kembali dia!"

   Demikian pikir Kiat-bwe.

   "Wanita ini sungguh aneh, mengapa suka main sembunyi, seakan-akan mempunyai kesukaan mengintip saja."

   Dalam pada itu mendadak Le Say-eng telah berhenti main dan melompat keluar kalangan, katanya.

   "Sudahlah, tampaknya ilmu pukulan kita tidak selisih banyak. Ciau-toako, dapatlah kau memberitahu padaku, belajar dari siapakah ilmu pukulan ini?"

   Siang-hoa menjadi ragu-ragu untuk menjawabnya, sebab menurut pesan ibunya hal itu tidak boleh dikatakan kepada orang luar. Maka ia hanya menjawab samar-samar saja.

   "Ah, hanya beberapa jurus kasaran saja, buat apa nona Le memujinya?"

   "Tapi ilmu pukulanmu serupa dengan permainan nona Le, kau bilang jurus kasaran saja, bukankah itupun berarti menilai rendah kepandaian nona Le?"

   Sela Kiat-bwe.

   Siang-hoa sendiri juga merasa sangsi akan ilmu pukulan Le Say-eng yang sama dengan dirinya itu, cuma dia adalah pemuda yang biasa berpikir, ia merasa tidak enak untuk tanya Le Say-eng.

   Pada saat itulah tiba-tiba muncul Ciau Siang-yau memanggil Siang-hoa, katanya dipanggil Ji-nio (ibu kedua).

   "Ayah juga berada di kamar Ji-nio seperti sedang berunding sesuatu urusan,"

   Demikian si nona menambahkan.

   Memangnya Siang-hoa sedang kikuk oleh pertanyaan Le Say-eng tentang asal-usul ilmu pukulannya, maka kebetulan baginya ada alasan untuk menyingkir pergi.

   Setelah Siang-hoa pergi, sebaliknya Siang-yau yang tinggal di situ.

   Maka dengan tertawa Kiat-bwe berkata padanya.

   "Kami sedang berlatih, hendaklah kau pun ikut."

   "Baik, harap kau memberi petunjuk dulu padaku,"

   Ujar Siang-yau.

   "Aku sudah lelah, boleh kau berlatih dengan Liong-cici saja,"

   Kata Kiat-bwe.

   Maka setelah saling mengucapkan kata-kata ramah, kemudian Siang-yau turun kalangan dengan Liong Thian-hiang.

   Le Say-eng mengikuti latihan mereka dengan tekun, ternyata ilmu pukulan yang dimainkan Ciau Siang-yau itu sama sekali berbeda daripada ilmu pukulan yang dimainkan Siang-hoa tadi.

   "Apa sebabnya bisa begitu?"

   Demikian Le Say-eng tanya Kiat-bwe dengan bisik-bisik.

   "Kabarnya mereka bukan saudara sekandung dari satu ibu, ilmu pukulan Siang-hoa mungkin bukan ajaran ayahnya,"

   Kata Kiat-bwe.

   Karena sifat Kiat-bwe hampir sama dengan Le Say-eng, maka dia merasa simpatik padanya, mestinya ia hendak memberitahukan rahasia pribadi Ciau Siang-hoa itu.

   Tapi untuk sementara ia tidak berani membocorkan seluruh rahasia Siang-hoa, hanya samar-samar diucapkan sedikit saja.

   Maka Le Say-eng menjadi curiga, pikirnya.

   "Jangan-jangan Ciau Siang- yau sengaja menyimpan ilmu pukulannya yang lihai itu. Nanti aku harus mencobanya lagi dan memaksa dia mengeluarkan segenap kemahirannya, kalau dia memang paham ilmu pukulan yang dimainkan Ciau Siang-hoa tadi, tentu dia akan terpaksa menggunakannya untuk melawan dia."

   Tak terduga, sebelum pertandingan Ciau Siang-yau dan Liong Thian- hiang berakhir, sementara itu Ciau Goan-hoa sudah muncul.

   Terpaksa kedua nona itu menghentikan latihan mereka.

   Ciau Goan-hoa tampak rada gelisah, begitu datang ia lantas berkata kepada Hi Giok-hoan dan Le Say-eng dengan sikap sungguh-sungguh.

   "Kalian sudah tinggal beberapa hari di sini, tampaknya keparat Kiau Sik- kiang itu takkan datang. Mengingat kalian sendiri ada urusan dan perlu mencari adik perempuan Hi-kongcu, kukira kalian jangan membuang waktu lebih banyak lagi. Buntalan kalian sudah kusuruh siapkan, silakan kalian lantas berangkat saja, maafkan kalau aku tidak mengantar lebih jauh."

   Benar juga, segera tertampak pelayan kecil membawakan buntalan perjalanan Giok-hoan dan Say-eng berdua.

   Tentu saja yang merasa tidak enak hati adalah Ciau Siang-yau, tapi dia juga tidak berani membantah kehendak sang ayah, sedangkan Le Say-eng juga tidak banyak bicara lagi, begitu pegang buntalannya segera ia ajak Giok- hoan berangkat.

   Terpaksa Siang-yau mewakili ayahnya mengantar tamu dan mengucapkan selamat berpisah dengan perasaan berat.

   Di tengah jalan Giok-hoan mengomel.

   "Ciau Lo-cianpwe itu sungguh aneh perangainya, entah apa sebabnya mendadak kita diusir pergi, jelas alasan yang dia kemukakan tidaklah masuk akal."

   "Kukira bukan Ciau Lo-cianpwe itu yang aneh, mungkin istri mudanya, Ko-si, itulah yang penuh keanehan,"

   Ujar Say-eng.

   "Selama tiga hari kita tinggal di sana belum pernah kita bertemu dengan kedua istri Ciau Goan-hoa, darimana kau mengetahui keanehan Nyonya Ko- si itu?"

   "Menurut bisikan nona Nyo tadi, mungkin sekali ilmu pukulan yang dimainkan Ciau Siang-hoa tadi adalah ajaran Ko-si."

   "Ya, aku pun merasa heran dan ingin tanya padamu mengenai hal ini. Mengapa ilmu pukulan Ciau Siang-hoa itu serupa benar dengan ilmu pukulanmu. Kau sendiri sangsi kepandaian Siang-hoa itu adalah ajaran Ko- si, masakah Ko-si itu ada hubungannya dengan Beng-sia-to kalian?"

   "Mungkin ada sedikit hubungannya,"

   Ujar Le Say-eng.

   "Tapi saat ini aku pun belum dapat memastikan, biarlah kubikin jelas dulu sesuatu urusan, habis itu baru akan kuceritakan padamu."

   "Urusan apa?"

   Tanya Giok-hoan. Tapi Le Say-eng seperti sedang memikirkan apa-apa, pertanyaan Giok- hoan itu seakan-akan tak didengarnya, maka Giok-hoan tidak bertanya lebih lanjut.

   "Engkoh Hoan,"

   Kata Say-eng setelah merenung sejenak.

   "malam nanti kita kembali lagi ke sana.".

   "Kembali kemana?"

   Giok-hoan menegas.

   "Mana lagi, ke rumah keluarga Ciau tentunya,"

   Jawab Say-eng.

   "Jelas mereka tidak menyukai kita, masakah kita kembali lagi ke sana?"

   Ujar Giok-hoan.

   "Sudah tentu kita kembali ke sana secara diam-diam dan di luar tahu mereka,"

   Kata Say-eng.

   "Kukira cara demikian kurang..... kurang baik,"

   Ujar Giok-hoan dengan ragu-ragu.

   "Aku harus membikin jelas suatu hal, terpaksa kita harus main sembunyi-sembunyi seperti pencuri,"

   Kata Say-eng. Giok-hoan tidak membantah lagi, hanya dalam hati ia tetap merasa tidak enak. Menjelang tengah malam, kedua orang itu diam-diam menyusup masuk ke taman belakang keluarga Ciau itu. Syukur mereka tidak kepergok orang.

   "Aku akan menyelidiki kamar perempuan itu, kau menjaga dan pasang mata bagiku di luar sini,"

   Bisik Say-eng kepada Giok-hoan.

   "Perempuan"

   Yang dia maksudkan ialah Ko-si, istri muda Ciau Goan-hoa. Giok-hoan terkejut setelah mengetahui niat si nona, cepat ia pun berbisik.

   "Ssst, ilmu silat Ko-si sukar dijajaki, jangan kau cari penyakit!"

   "Jangan kuatir, aku membawa Keh-bin-ngo-koh-hoan-hun-hiang (dupa pembius dan baru sadar setelah ayam berkokok) buatan khas Beng-sia-to,"

   Kata Say-eng dengan tertawa.

   Namun Giok-hoan tetap merasa tidak tenteram, terpaksa ia ikut di belakang si nona.

   Mereka mengitari bukit-bukit dan menyusuri semak bunga, akhirnya sampai di bawah gedung berloteng merah itu.

   Selagi Le Say-eng bermaksud memanjat ke atas loteng itu, sekonyong- konyong ia merasa di belakangnya seperti ada orang menyentuhnya, waktu ia menoleh dilihatnya cuma Giok-hoan saja yang ikut di belakangnya.

   "Apakah kau yang menyentuh aku?"

   Tanya Say-eng dengan suara tertahan.

   "Tidak,"

   Jawab Giok-hoan dengan heran.

   "Aneh, jelas aku merasa pinggangku linu, kukira kau telah menyentuh Hiat-to bagian pinggangku secara tidak sengaja, siapa kita....."

   Mendadak ia terkejut dan hampir saja menjerit.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ternyata pedang yang tergantung di pinggangnya sudah hilang, yang ada cuma sarungnya saja, pedangnya entah sudah terbang kemana? Segera Giok-hoan juga mengetahui kejadian itu, ia pun ternganga dan tidak mampu bicara.

   Mereka coba memandang sekeliling situ, tiba-tiba pandangan mereka terbeliak, ternyata pedang Le Say-eng yang hilang itu menancap pada sebatang pohon di sebelah sana.

   Tak perlu ditanya lagi, jelas tadi Le Say-eng telah digerayangi orang, bahwa pedang itu bisa lari dan menancap di batang pohon ini terang adalah perbuatan orang yang tak kelihatan itu.

   Setelah tenangkan diri, lalu Giok-hoan berkata.

   "Rasanya orang itu sengaja memperingatkan kedatanganmu ini, lebih baik kita pergi saja dari sini."

   Diam-diam Le Say-eng juga berpikir.

   "Orang itu pergi datang tanpa bekas laksana setan iblis, jelas kepandaiannya jauh di atasku. Tadi kalau dia mau mencelakai diriku boleh dikata semudah membalikkan telapak tangan sendiri. Tampaknya orang itu memang benar hendak memperingatkan aku saja dan tiada punya maksud jahat padaku." ~ kemudian terpikir pula olehnya.

   "Rasanya Ciau Goan-hoa pasti takkan bertindak demikian, sedangkan perempuan she Ko itu jika dugaanku akan asal-usulnya tidak keliru, tentunya dia takkan memiliki Ginkang setinggi ini."

   Selagi dia merasa sangsi dan berniat membatalkan maksudnya semula, baru saja dia mencabut pedang yang menancap di pohon itu dan hendak pergi bersama Hi Giok-hoan, pada saat itulah mendadak terdengar suara gemuruh, pintu gerbang rumah keluarga Ciau itu ternyata telah terpentang didobrak orang.

   Lalu terdengar suara seorang yang sudah dikenalnya membentak.

   "Ciau Goan-hoa, memangnya kau kira dapat menahan aku dengan memalang pintu rumahmu? Hayolah, lekas kau keluar menemui aku!"

   Siapa lagi dia kalau bukan Kiau Sik-kiang adanya.

   Di belakang Kiau Sik-kiang masih berdiri pula lima orang, yaitu pembantu-pembantu kepercayaannya, Ciong Bu-pa, lelaki she Jiau, dan juga orang she Ku yang menjadi kusir itu, sedangkan dua orang lagi tak dikenal namanya, tapi termasuk orang yang pernah bertempur dengan Giok-hoan di Beng-sia-to dahulu.

   Yang muncul dari dalam rumah lebih dulu ternyata ialah Ciau Siang-hoa.

   "Bagus, bangsat she Kiau, memangnya aku hendak mencari kau, kebetulan jika sekarang kau cari mampus sendiri!"

   Bentak pemuda itu.

   "Apakah bocah ini yang kau katakan itu?"

   Tanya Kiau Sik-kiang sambil berpaling kepada lelaki she Jiau.

   "Benar,"

   Kata orang she Jiau.

   "Ada lagi seorang budak, anak perempuan Nyo Tay-ging."

   "Ha, ha, ha, kebetulan sekali jika mereka berada di sini semua, aku dapat banyak menghemat tenaga dan tidak perlu mencari mereka lagi,"

   Seru Kiau Sik-kiang dengan bergelak tawa.

   "Malahan ada lagi yang lebih kebetulan,"

   Ujar orang she Jiau.

   "perempuan she Ko itu justru telah menjadi istri muda Ciau Goan-hoa di sini."

   "Ha, ha, ha, begitu kiranya,"

   Kiau Sik-kiang terbahak-bahak.

   "Nah, Ciau Goan-hoa, lekas kau keluar, apa kau minta aku turun tangan?"

   Saat itu Kiat-bwe mengikut di belakang Ciau Siang-hoa, ia mengisiki pemuda itu agar mundur saja dan biar ayahnya yang tampil ke muka.

   Tapi Ciau Siang-hoa menduga pada saat gawat ini mungkin sang ayah sudah tidak mau menggubris padanya.

   Maka ia lantas menggenggam tangan Kiat-bwe dan menjawab.

   "Enci Bwe, biarlah kita berdua mati atau hidup bersama, marilah kita labrak mereka."

   Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong sesosok bayangan melayang tiba dan mendahului menghadang di depan Ciau Siang-hoa dan Kiat-bwe berdua sambil berseru.

   "Kalian mundur saja, biar aku yang bicara dengan Kiau To-cu."

   Siapa lagi orang ini kalau bukan Ciau Goan-hoa. Betapa pun hati Siang-hoa rada terhibur, ia pikir betapa pun ayah toh masih memperhatikan diriku. Maka ia genggam tangan Kiat-bwe dengan kencang dan membisikinya.

   "Baiklah kita menurut kata ayah."

   Sementara itu Bu Hian-kam dan Liong Thian-hiang juga sudah menyusul keluar, mereka berdiri di samping Siang-hoa dan Kiat-bwe dengan prihatin. Sedang Ciau Goan-hoa menurut peraturan Kang-ouw lantas memberi hormat kepada Kiau Sik-kiang, katanya.

   "Kiau To-cu, maaf jika aku ingin tanya lebih dulu padamu, adakah aku telah berbuat sesuatu kesalahan sehingga engkau mengerahkan pasukan dan datang ke sini minta pertanggung-jawabanku?"

   "Hah, agaknya hidupmu selama ini terlalu adem-ayem sehingga tidak ingat lagi!"

   Jengek Kiau Sik-kiang.

   "Mohon Kiau To-cu memberi penjelasan,"

   Kata Goan-hoa.

   "Bocah ini dapat kau rebut dari Hoan-losam, itu orang Wi-yang-pang, betul tidak?"

   Tanya Kiau Sik-kiang.

   "Betul,"

   Jawab Goan-hoa.

   "Gerombolan Wi-yang-pang banyak melakukan kejahatan yang merugikan rakyat, sering menculik dan menjual kanak-kanak, tatkala itu aku adalah pejabat setempat, tugas melindungi rakyat adalah kewajibanku, aku tidak dapat tinggal diam. Kemudian diketahui bocah ini tak dapat dipulangkan kepada keluarganya, maka aku telah memungut dia sebagai anak."

   "Apakah kau tidak tahu bahwa dia adalah anak keluarga Ciok, seorang musuhku?"

   "Tidak tahu!"

   Jawab Goan-hoa.

   "Jika begitu, tahu sekarang pun belum terlambat,"

   Jengek Kiau Sik-kiang.

   "Apa arti ucapanmu ini?"

   "Ha, ha, ha!"

   Kiau Sik-kiang bergelak tertawa.

   "Ciau Goan-hoa, kau adalah orang pintar, tidak perlu kau berlagak pilon. Biarlah kita bicara secara blak-blakan saja. Dalam urusan ini jika kau mau berdiri di luar garis maka serahkan saja bocah ini kepadaku, betapa pun dia kan bukan anak kandungmu, buat apa kau membelanya mati-matian. Selain itu, budak she Nyo ini juga anak perempuan seorang sahabatku, aku pun hendak membawa pergi dia. Nah, hanya dua urusan ini, kau menerima atau tidak?"

   "Tidak!"

   Jawab Ciau Goan-hoa tegas. Untuk sejenak Kiau Sik-kiang melengak, rupanya jawaban Ciau Goan- hoa ini rada di luar dugaannya, katanya kemudian.

   "Apakah kau tidak memikirkan akibatnya nanti? He, he, jika kau tidak terima baik, mungkin keselamatan dirimu sendiri pun sukar terjamin."

   "Meski bocah ini bukan anak kandung kami, tapi hubungan ayah dan anak sudah mendarah-daging, aku lebih suka mengadu jiwa dengan kau daripada ditertawai kesatria Kang-ouw akan perbuatanku yang tidak berbudi ini,"

   Jawab Goan-hoa pula.

   "Dan bagaimana dengan budak she Nyo ini?"

   Tanya Kiau Sik-kiang.

   "Dia adalah bakal menantu keluarga Ciau kami, dia juga anggota keluarga Ciau, tidak mungkin kami serahkan dia padamu,"

   Kata Goan-hoa.

   Padahal antara Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe sama sekali belum ada perundingan tentang perjodohan mereka, apa yang dikatakan Ciau Goan- hoa ini jelas cuma alasan belaka untuk membela Kiat-bwe.

   Mendengar kata-kata itu, Ciau Siang-hoa dan Kiat-bwe yang masih saling menggenggam tangan itu menjadi merah jengah wajahnya.

   Diam-diam Hi Giok-hoan yang bersembunyi di belakang bukit-bukitan itupun tertawa geli, pikirnya.

   "Tidak terduga paman Ciau inipun dapat meniru akal yang digunakan adik Eng terhadap diriku tempo hari. Ya, semoga mereka pun seperti kami, dari pura-pura menjadi sungguhan."

   Sebagaimana diketahui, ketika Kiau Sik-kiang menyerbu ke Beng-sia-to, untuk menyelamatkan Giok-hoan, Le Say-eng diam-diam mengisiki sang ayah agar membela pemuda yang dikatakan bakal menantunya.

   Maka apa yang terjadi dengan Nyo Kiat-bwe sekarang boleh dikatakan lain peristiwa tapi sama lakonnya.

   Dalam pada itu kedua pihak yang berhadapan itu sama-sama tidak mau mengalah, Giok-hoan menduga pertarungan sengit segera akan terjadi.

   Tak terduga mendadak terdengar Kiau Sik-kiang tertawa terbahak pula dan berkata.

   "Kedua urusan ternyata kau tolak semua, baik, sekarang kutanya pula urusan ketiga, kalau kau dapat memenuhi, maka bolehlah kedua bocah ini kutinggalkan di sini."

   Sesungguhnya dalam hati Goan-hoa rada jeri terhadap Kiau Sik-kiang maka jawabnya.

   "Coba, silakan berkata!"

   "Kabarnya kau mempunyai istri muda she Ko, hendaklah kau panggil dia keluar untuk menemui aku, ada yang hendak kubicarakan dengan dia,"

   Kata Kiau Sik-kiang dengan perlahan. Goan-hoa menjadi gusar.

   "Apa maksudmu ini? Kau sengaja hendak menghina aku bukan?"

   "Sungguh aneh, anak pungut kau merasa berat diserahkan padaku, budak she Nyo itupun kau merasa tidak tega, sekarang seorang isteri muda saja juga keberatan diperlihatkan padaku? Hm, paling-paling juga sudah setengah tua, pula tidak secantik bidadari, kenapa keberatan dilihat orang?"

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak Goan-hoa murka.

   "Baik, mulut boleh tutup, tapi tangan harus bergerak!"

   Jengek Kiau Sik- kiang dan segera dia melancarkan serangan.

   Ciau Goan-hoa kenal kelihaian lawan, maka begitu mulai bergebrak segera ia keluarkan Liong-jiau-jiu (pukulan cakar naga), ilmu pukulan keturunan keluarga Ciau yang mengutamakan menangkap dan mencengkeram, betapa pun hebat pihak lawan, asal kena terpegang tentu tak bisa berkutik jika tidak mau urat keseleo dan tulang terkilir.

   "Ya, kepandaianmu ini memang hebat, tapi untuk melayani aku perlu kau belajar lagi lebih masak,"

   Ejek Kiau Sik-kiang sambil mengelakkan serangan terus balas menyerang dengan pukulan-pukulan keras.

   Setelah bergebrak beberapa puluh jurus, meski Ciau Goan-hoa sudah mengeluarkan segenap kemahirannya, namun dia masih tetap terdesak di bawah angin, dia sudah mulai mandi keringat, sebaliknya Kiau Sik-kiang tetap tenang saja.

   "Engkoh Hoa, marilah kita maju!"

   Ajak Kiat-bwe sambil meraba pedangnya.

   Akan tetapi sebelum mereka bertindak, terdengar suara pukulan yang dahsyat, Ciau Goan-hoa tergetar mundur dua-tiga tindak, menyusul Kiau Sik- kian telah menubruk ke arah Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe dengan mementang kedua tangannya laksana elang hendak menyambar kelinci.

   Bu Hian-kam dan Liong Thian-hiang yang berdiri di sebelahnya tidak tinggal diam, berbareng mereka turun tangan, dua pedang sekaligus menusuk kanan kiri iga Kiau Sik-kiang.

   "Hm, anak ingusan saja berani padaku!"

   Jengek Kiau Sik-kiang.

   "Treng", sekali jarinya menyelentik, kontan pedang Bu Hian-kam terjentik ke samping. Ketika lengan bajunya mengebut, pedang Liong Thian-hiang tergulung dan terlepas dari cekalan. Pada saat itulah baru Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe menerjang maju, segera Kiau Sik-kiang mengebas lengan bajunya pula, pedang yang direbutnya itu menyambar ke depan secepat kilat.

   "Awas!"

   Seru Siang-hoa sambil angkat goloknya untuk menangkis sekuatnya.

   Tenaga Ciau Siang-hoa ternyata selisih jauh dengan Kiau Sik-kiang, begitu golok membentur pedang, seketika tangannya sakit pedas, pedang yang menyambar tiba itupun berganti arah dan menyelonong ke jurusan Nyo Kiat-bwe, untung dia sempat mendek ke bawah sehingga pedangnya menyambar lewat di atas kepalanya.

   "Jangan mencelakai anakku!"

   Bentak Ciau Goan-hoa sambil memburu tiba, segera ia mencengkeram Hiat-to maut di punggung Kiau Sik-kiang.

   Namun Kiau Sik-kiang sempat mengelak ke samping, sedikit berputar kedua tangannya lantas menyodok ke depan dengan tenaga dahsyat.

   Ciau Goan-hoa tidak tahan, lekas ia menarik kembali serangannya dan tergetar mundur beberapa tindak.

   "Ha, ha, ha, sekali pun kau mendatangkan si tua Bu Yan-jun juga aku tidak takut,"

   Seru Kiau Sik-kiang dengan tertawa.

   "Apalagi cuma dua bocah ingusan seperti ini?"

   Ternyata sekali gebrak saja Kiau Sik-kiang sudah dapat menjajaki asal- usul ilmu silat Bu Hian-kam tadi.

   "To-cu tidak perlu mencapaikan diri, biar aku membekuk beberapa bocah ini,"

   Kata Ciong Bu-pa.

   Sebagai pembantu utama Kiau Sik-kiang, dengan sendirinya kepandaian Ciong Bu-pa tidaklah rendah, terutama dia memiliki kekuatan badan yang luar biasa, senjatanya berbentuk boneka tembaga berkaki satu mempunyai bobot lebih limapuluh kati, dahsyatnya tidak kepalang.

   Maka waktu golok dan pedang Siang-hoa dan Kiat-bwe membentur boneka tembaganya, terdengarlah suara mendering disertai muncratnya lelatu api, tangan kedua muda-mudi itupun kesakitan.

   Cepat Liong Thian-hiang jemput kembali pedangnya yang terlepas tadi, bersama Bu Hian-kam mereka berempat mengerubut Ciong Bu-pa, dengan demikian barulah mereka dapat menandinginya.

   Sedangkan Ciau Goan-hoa ternyata kewalahan menghadapi serangan Kiau Sik-kiang, ia terdesak hingga hampir tak dapat bernapas.

   Selagi keadaan memuncak tegang, tiba-tiba terdengar suara tongkat mengetuk lantai, Lau-si, istri tua Ciau Goan-hoa, tampak muncul dengan tongkat berkepala naga.

   "Bu-kongcu dan nona Liong, silakan kalian mundur saja, urusan keluarga Ciau tidak perlu orang luar ikut campur,"

   Kata Lau-si, lalu tongkatnya menuding Kiau Sik-kiang dan berkata pula dengan dingin, Hm, kau berani menghina keluarga Ciau dan meremehkannya?"

   "Kau ini istri tua atau muda?"

   Kiau Sik-kiang berbalik bertanya. Lau-si menjadi gusar.

   "Kurangajar! Lihat serangan!"

   Segera tongkatnya dengan pangkal berbentuk kepala naga itu terus mengemplang kepala lawan.

   


Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen Naga Kemala Putih -- Gu Long

Cari Blog Ini