Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 20


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 20



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Hm, kiranya kalian berdua inilah! Kejadian dahulu bolehlah dianggap salah paham, tapi kini kalian terima menjadi budak kaum berkuasa, maka aku pun tidak mau sungkan- sungkan lagi kepada kalian."

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak Bong Sian.

   "Kau bangsat cilik ini agaknya sudah ditakdirkan harus jatuh di tanganku hari ini, ini namanya jalan ke surga tidak mau pergi, neraka tak berpintu kau justru menerobos datang! Hm, kau masih berani bermulut besar, lihat saja kucabut nyawamu!"

   Tanpa bicara lagi Giok-hoan lantas putar pedangnya, sekali menyampuk tombak lawan ke samping, berbareng ujung pedang terus menusuk perut musuh, kembalinya gagang pedang digunakan pula untuk menotok Hiat-to di bagian iga Ting Kian.

   Satu gerakan dua serangan, mau tak mau Bong Sian dan Ting Kian rada kerepotan dan terdesak mundur.

   "Hm, kalau tempo hari aku tidak mengingat keluarga Han, tentu jiwa kalian sudah melayang di bawah pedangku!"

   Jegek Giok-hoan pula.

   "Keparat!"

   Bentak Ting Kian dengan murka.

   "Secara kebetulan saja kau menangkan satu jurus dariku, lalu kau berani membual segala. Sekarang ingin kulihat kau mampu lolos tidak dari tanganku!"

   "Buat apa adu mulut dengan dia,"

   Ujar Bong Sian.

   "Binasakan dia saja."

   Kalau satu lawan satu, tiada seorang pun di antara mereka dapat menandingi Hi Giok-hoan.

   Tapi kini dua lawan satu, meski Giok-hoan tidak sampai kalah, untuk menang dalam waktu singkat juga sukar rasanya.

   Begitulah kalau di sebelah sini Hi Giok-hoan lebih unggul daripada lawannya, adalah di sebelah sana Le Say-eng tampak mulai kewalahan menghadapi Su Hong.

   Sebagai kepala pengawal istana perdana menteri, sudah tentu kepandaian Su Hong lain daripada yang lain, terutama Kim-na-jiu-hoatnya sungguh lihai luar biasa.

   Dengan ilmu pedang keluarganya yang aneh dan sukar diduga, sebenarnya Le Say-eng cukup kuat untuk menandingi Su Hong, yang menjadi kelemahan Say-eng adalah hal tenaga, kalau pertempuran berlangsung lama, akhirnya dia tentu payah sendiri.

   Su Hong juga mulai tidak sabar, ia menyerang dengan dahsyat, angin pukulannya mendampar laksana ombak samudera, sia-sia saja Le Say-eng bersenjata pedang, dia ternyata tidak berdaya menghadapi damparan angin pukulan musuh.

   Syukur Ginkang Le Say-eng cukup hebat, dengan gesit ia berputar kian kemari, meski pedangnya tidak dapat menusuk musuh, tapi Su Hong juga tidak mampu meraih ujung bajunya sekali pun.

   Pancaindera Hi Giok-hoan cukup tajam, meski dia sendiri sedang bertempur, tapi sekilas pandang ia dapat melihat kedudukan Le Say-eng yang menguatirkan, ia pun menduga kalau berlangsung lama tentu si nona tidak sanggup bertahan.

   Padahal ia sendiri dikerubut Ting Kian dan Bong Sian, untuk melepaskan diri juga sukar.

   Dari gelisah ia menjadi nekat, mendadak ia membentak.

   "Matilah yang berani merintangi aku!"

   Berbareng pedangnya berputar secepat kilat, dengan mati-matian ia menerjang ke depan. Segera Bong Sian putar tombaknya hendak merintangi, tapi Giok-hoan mendadak menerobos maju.

   "sret", pedang terus menusuk tenggorokan Bong Sian. Nampak bahaya mengancam kawannya, cepat Ting Kian menubruk maju untuk menolong.

   "trang", kedua pedang beradu dan meletikkan lelatu api, namun Ting Kian juga tergetar ke samping oleh tenaga dalam Giok- hoan, ia masih menyelenong ke depan.

   "cret", ujung pedang masih sempat melukai dahi Bong Sian yang beruci-uci itu. Untung Ting Kian telah menangkiskan serangan Giok-hoan itu, kalau tidak, pasti tenggorokannya sudah tertembus pedang. Di sebelah sana Su Hong merasa kehilangan muka setelah beberapa puluh jurus masih belum mampu mengalahkan Le Say-eng. Segera ia mempergencar serangannya. Tapi lantaran terburu napsu, ia berbalik memberi kesempatan bagi Le Say-eng. Dalam pertarungan sengit itu Su Hong melancarkan pukulan susul menyusul dengan kedua tangan dan terus mendesak maju, tapi dengan gesit Le Say-eng mendadak menggeser ke samping belakang lawan, pedang pun menusuk dengan cepat. Tanpa menoleh Su Hong meraih ke belakang, kontan terdengar suara "bret", lengan baju Le Say-eng terobek sebagian oleh jambretan Su Hong, tapi lengan Su Hong juga tergores luka oleh pedang Le Say-eng.

   "Kurangajar! Aku tidak mau membikin susah kau, sebaliknya kau malah melukai aku,"

   Teriak Su Hong dengan murka. Selagi Su Hong merasa kalap dan seakan-akan hendak mengertak Le Say- eng, tiba-tiba tertampak sang Kong-cuya mendekatinya sambil mengebaskan kipasnya.

   "Su-suhu,"

   Kata Kong-cuya yang bernama Han Hi-sun itu dengan tertawa.

   "janganlah kau mengamuk, anak dara ini boleh serahkan saja padaku. Lebih baik kau membantu Bong Sian berdua untuk membekuk bocah itu." ~ Sambil bicara Kong-cuya itupun menyelinap ke tengah kalangan pertempuran. Hati Say-eng bergirang, pikirnya.

   "Tangkap penjahat harus tangkap dulu pentolannya. Sungguh kebetulan kedatanganmu ini!"

   Tanpa bicara segera pedangnya bergerak.

   "sret", kontan ia menusuk ke "Tan-tiong-hiat"

   Di tubuh Han Hi-sun.

   Tan-tiong-hiat adalah satu di antara ketigapuluh enam Hiat-to besar di tubuh manusia, asal kena tertusuk perlahan saja oleh ujung pedang, seketika Han Hi-sun akan terluka dalam dan tak bisa berkutik.

   Saat itu Su Hong sudah teraling oleh datangnya sang Kong-cuya, tampaknya ujung pedang Le Say-eng yang mengkilat itu segera akan mengenai tubuh sasarannya, sekali pun Su Hong hendak menolongnya juga tidak keburu lagi.

   Keruan terkejutnya tidak kepalang.

   Pada saat Le Say-eng merasa senang karena serangannya segera akan berhasil dan Su Hong merasa kuatir, pada detik itu pula terdengar Han Hi- sun sendiri bergelak tertawa malah, serunya.

   "Kiam-hoat bagus!" ~ Berbareng kipasnya menyampuk perlahan. Aneh juga, ujung pedang Le Say- eng yang tajam itu ternyata tidak mampu menembus kipasnya yang terbuat dari kertas, bahkan kena tersampuk ke samping. Su Hong tahu kalau sang Kong-cuya juga mahir ilmu silat, cuma mimpi pun tak diduganya bahwa kepandaian sang majikan itu bisa setinggi itu, keruan ia ternganga heran dan diam-diam merasa malu.

   "Siapakah yang mengajarkan ilmu silat sehebat ini kepadanya?"

   Demikian ia bertanya kepada diri sendiri. Dalam pada itu Han Hi-sun mendesaknya pula.

   "Lekas ke sana, Bong Sian berdua tak unggulan lagi melawan bocah itu!"

   Karena sudah tahu kepandaian sang Kong-cuya jauh di atasnya, Su Hong tidak perlu menguatirkan keselamatannya, maka ia lantas mengiakan dan berlari ke sana.

   Say-eng terkejut setelah merasakan kelihaian Han Hi-sun, ia pikir kepandaian orang mungkin lebih tinggi daripada Giok-hoan, rasanya dirinya pasti akan celaka nanti.

   Sementara itu Han Hi-sun kembali kebas-kebas kipasnya, katanya dengan tersenyum.

   "Kaum budak bicara kurang sopan, harap nona jangan marah. Aku berhasrat mengikat persahabatan dengan kau, engkau suka menerima tidak?"

   Dalam hati Le Say-eng sebenarnya sangat gemas, tapi ia sengaja berlagak tertawa dan menjawab.

   "Ah, gadis kampung macamku mana berani bersahabat dengan Kong-cuya?"

   Habis itu mendadak pedangnya menusuk pula.

   Tusukan itu dilakukan dengan cepat dan di luar dugaan, yaitu ketika Han Hi-sun baru saja melempit kipasnya dan sedang memandangnya dengan mata yang disipitkan, tampaknya pemuda bangsawan cabul itu kesengsem oleh jawaban Say-eng yang menggiurkan, baru saja dia mau menjawab dengan kata-kata membujuk lagi, sekonyong-konyong sinar pedang sudah menyambar, tusukan pedang Le Say-eng sudah tiba.

   Untung ilmu silat Han Hi-sun memang luar biasa, pada detik berbahaya itu dia sempat menekuk pinggang dan membungkuk, berbareng kipasnya lantas menangkis.

   "trang", pedang Le Say-eng tertangkis ke samping, namun baju bagian perutnya ternyata sudah tertusuk suatu lubang kecil. Meski tidak sampai terluka, tidak urung Han Hi-sun terkejut hingga berkeringat dingin, tapi dia tidak menjadi gusar, sebaliknya ia malah tertawa dan berkata.

   "Eh, licik benar kau, nona! Tapi bagaimana kau hendak main licik padaku tetap kau takkan lolos dari telapak tanganku!"

   Habis itu kipasnya bergerak pula, sekaligus ia melancarkan serangan sampai beberapa kali kepada Le Say-eng.

   Si nona sudah tahu kepandaian orang jauh lebih tinggi, maka ia tidak berani tersentuh oleh kipas lawan, segera ia unjuk kelincahannya dengan berlari ke sana dan menggeser ke sini.

   Dengan demikian Han Hi-sun juga sukar untuk menangkapnya dalam waktu singkat, malahan lama-lama ia pun merasa kekurangan tenaga.

   Sesudah belasan jurus, Han Hi-sun mulai tidak sabar, mendadak ia membentak.

   "Roboh!" ~ Kipasnya melempit dan digunakan sebagai alat menotok, dengan gerakan yang aneh dan lihai, sekaligus ia mengincar tujuh tempat Hiat-to di tubuh Le Say-eng. Sementara itu Su Hong yang memburu ke sana untuk membantu Bong Sian berdua ternyata tiba tepat pada saatnya, waktu itu Giok-hoan baru saja melukai Bong Sian dan hendak menerobos lewat untuk menolong Le Say- eng, tapi dia lantas dipapaki Su Hong dengan bentakan menggeledek.

   "Jangan temberang anak muda!" ~ Berbareng kedua tangan menghantam sekuatnya, sekali pun lwekang Giok-hoan cukup hebat juga tergetar mundur. Karena tidak dapat menerjang lewat, Giok-hoan menjadi gelisah, padahal tampaknya Le Say-eng sedang terdesak oleh Kong-cuya itu. Tiba-tiba ia mendapat akal, dia tidak menerjang ke depan lagi, tapi malahan mundur ke belakang. Tentu saja Su Hong melengak heran, tapi cepat ia membentak pula.

   "Mau lari kemana!" ~ Segera ia memburu maju. Ting Kian dan Bong Sian juga mengepung dari samping. Mereka tidak tahu bahwa mereka justru telah terjebak oleh akal Hi Giok- hoan dengan tujuan menolong Le Say-eng. Pada waktu Su Hong bertiga mulai memburu maju dan sebelum mengepung, dengan cepat Giok-hoan merogoh segenggam senjata rahasia mata uang dihamburkan ke arah Han Hi-sun. Mata uang itu berjumlah tujuh buah dan juga mengarah tujuh tempat Hiat-to di tubuh Han Hi-sun. Saat itu totokan Han Hi-sun sudah hampir mengenai sasarannya, ketika mendadak ia mendengar suara mendesingnya senjata rahasia, sebagai seorang jagoan, ia tahu lihainya senjata rahasia yang menyambar tiba itu, tidak sempat lagi meneruskan totokannya, terpaksa ia pentang kipasnya dan menyambuk ke belakang, sekaligus ketujuh buah mata uang itu tersampuk jatuh.

   "Keparat, biar aku mengadu jiwa dengan kalian!"

   Bentak Giok-hoan, terus ia putar pedangnya melabrak musuh.

   Melihat pemuda itu sudah nekat, mau tak mau Su Hong bertiga rada jeri.

   Tapi mendadak Ting Kian tersadar, kalau lawan menggunakan senjata rahasia, mengapa senjata rahasia tidak kugunakan juga? Menghadapi kerubutan mereka saja sudah repot, apalagi kini Ting Kian menyerang pula dengan senjata rahasia, keruan Giok-hoan tambah kewalahan.

   Dalam pada itu Le Say-eng juga sedang terdesak oleh serangan Han Hi- sun, malahan berulang-ulang Han Hi-sun mengolok-olok dan menggoda dengan kata-kata bangor, keruan Say-eng bertambah murka.

   Namun serangan Han Hi-sun tidak menjadi kendur, totokannya yang lihai susul- menyusul, baru saja Le Say-eng berhasil mengegos suatu totokan maut.

   "tring", mendadak totokan kipas Han Hi-sun menyambar lewat di atas kepalanya dan menjatuhkan tusuk kundainya. Tampaknya serangan Han Hi-sun berikutnya pasti akan membikin Le Say-eng terlebih kelabakan lagi. Selagi Hi Giok-hoan dan Le Say-eng menghadapi saat gawat dan tegang, di tanah pegunungan itu tiba-tiba muncul seorang penolong. Orang itu adalah pemuda berusia duapuluh lebih, di punggungnya menggemblok sebuah payung, pakaiannya terbuat dari kain kasar, memakai sepatu anyaman serat rami, potongannya mirip sekali dengan pemuda petani ketolol-tololan. Padahal hari itu terang benderang, tapi pemuda itu justru membawa payung, tentu saja hal ini rada mengherankan orang. Malahan waktu itu Ting Kian sedang menghujani Giok-hoan dengan senjata rahasia, tapi pemuda itu justru datang dari arah sana menyongsong hujan senjata rahasia. Diam-diam Su Hong heran dan mengira pemuda itu orang gila, ia coba membentak agar pemuda itu menyingkir jika tidak ingin mampus. Tapi pemuda itu seperti tidak mendengar dan tidak tahu apa yang bakal terjadi, mendadak ia pegang payungnya dan dipentang, lalu berjalan ke depan dengan langkah lebar. Kalau Su Hong dan begundalnya tidak kenal "pemuda tani"

   Itu, sebaliknya Giok-hoan dan Say-eng menjadi kegirangan.

   Kiraya pemuda itu bukan lain daripada kawan baik Giok-hoan yang dirindukannya, yaitu Kong-sun Bok adanya.

   Tinggi ilmu silat Kong-sun Bok cukup dijajarkan dengan beberapa tokoh angkatan tua yang kosen pada zaman ini, hal ini diketahui dengan jelas oleh Giok-hoan, keruan ia sangat girang melihat munculnya pemuda itu.

   Di samping girang Le Say-eng juga diam-diam menertawai kebodohan Su Hong dan begundalnya, ia yakin sebentar mereka pasti akan tahu rasa.

   Dalam pada itu Kong-sun Bok melangkah ke depan sambil pentang payungnya, terdengar ia menggumam sendiri.

   "Aneh, terang benderang begini mengapa hujan mendadak? Eh, kiranya bukan hujan air, tapi hujan apa ini, mengkilap seperti jarum jahit si janda cantik she Be tetangga kita itu!"

   Rupanya pada saat itu Ting Kian sedang menghamburkan segenggam Bwe-hoa-ciam, senjata rahasia bentuk jarum. Dengan terkejut Ting Kian lantas membentak.

   "Anak keparat, kau memang tolol atau pura-pura bodoh?!"

   Terdengar suara mendesing nyaring ramai, Kong-sun Bok memutar payungnya, hujan Bwe-hoa-ciam itu tiada satu pun yang mengenai dia, tapi jarum itu menancap semua di atas payung.

   Ketika Kong-sun Bok menggentak perlahan payungnya, kontan jarum-jarum itu rontok jatuh.

   Kejut dan gusar Ting Kian, bentaknya.

   "Bagus, kiranya kau pura-pura tolol, apa kau ingin ikut berkecimpung dalam air keruh ini?"

   "Air keruh apa? Kan tidak hujan, mana ada air keruh segala? Kalau telur busuk kukira ada beberapa gelincir di sini!"

   Jawab Kong-sun Bok.

   Dengan mendongkol Ting Kian menyambitkan pula dua potong Hui- hong-ciok (senjata rahasia batu), bobot batu lebih berat daripada jarum, ia kira payung orang pasti tidak mampu menahannya.

   Siapa tahu payung Kong-sun Bok itu bukanlah biasa, tapi adalah Hian- tiat-po-san (payung wasiat terbuat dari sari besi), jangankan cuma heberapa potong batu, biarpun dibacok dengan golok juga takkan merusak payung itu.

   Terdengar Kong-sun Bok sengaja berteriak.

   "Haya, celaka! Habis hujan jarum sekarang hujan batu lagi!"

   Berbareng ia putar payungnya pula.

   "trang- tring", kontan kedua potong batu itu menyambar balik ke arah Ting Kian. Keruan Ting Kian terkejut, dengan kelabakan ia berkelit, batu pertama berhasil dihindarkan, tapi batu kedua tepat mengenai mukanya, benar-benar senjata makan tuan, seketika hidungnya pecah dan bibir sumbing, darah bercucuran pula. Masih untung baginya Kong-sun Bok tidak ingin membikin cacat dia, kalau tidak, kedua matanya bisa pula buta. Di sebelah sana Giok-hoan sudah tidak tahan rasa girangnya, segera ia berseru.

   "Kongsun-toako, kebetulan sekali kedatanganmu. Harap engkau suka membantu nona Le!"

   Kong-sun Bok mengangguk dan melangkah ke sebelah sana, lalu berkata kepada Say-eng.

   "Nona Le, tempo hari kau telah membantu aku, untuk itu belum aku mengucap terima kasih padamu. Biar bajingan tengik ini serahkan padaku saja!"

   Le Say-eng memang sedang terdesak, maka ia pun tidak sungkan dan cepat melompat mundur, jawabnya.

   "Baiklah, harap engkau mewakilkan aku memberi hajaran setimpal padanya. Cuma engkau perlu hati-hati, kepandaian buaya ini lumayan juga!"

   "Aku justru hendak belajar kenal dengan ilmu Tiam-hiatnya,"

   Kata Kong- sun Bok dengan tertawa, segera payungnya bergerak, ia papaki kipas Han Hi- sun.

   Sebagai putera perdana menteri, biasanya Han Hi-sun suka anggap dirinya pemuda yang romantis dan serba pintar.

   Siapa duga sekarang dia dianggap bajingan tengik oleh Kong-sun Bok, Le Say-eng juga memaki dia sebagai buaya, tentu saja rasa gusarnya tak terkatakan.

   Untuk menjaga harga diri sebagai putera bangsawan.

   Han Hi-sun merasa tidak pantas balas memaki Kong-sun Bok, maka dia cuma mengeluarkan serangan ganas, dengan totokan keras ia serang Hiat-to Kong-sun Bok.

   Tanpa pikir Kong-sun Bok sambut dengan payungnya.

   "tring", kipas mengetuk gagang payung. Padahal gagang payung Kong-sun Bok itu terbuat dari sari besi yang bobotnya berpuluh kali lipat lebih antap daripada besi biasa. Seketika tangan Han Hi-sun tergetar kesakitan, hampir saja kipas terlepas dari cekalan. Baru sekarang Han Hi-sun terkejut.

   "Senjata macam apa ini?"

   Bentaknya.

   Kong-sun Bok juga terkesiap, pantas nona Le tak mampu menandingi dia, nyatanya dia memang mempunyai kepandaian lumayan.

   Cara menotok Hiat-to dengan kipasnya itu tampaknya perubahan dari Keng-sin-ci-hoat, biar aku mencobanya lagi.

   Maka Kong-sun Bok berkata pula dengan tertawa.

   "Jika kau jeri kepada pusakaku ini, biarlah aku tidak menggunakannya." ~ Habis itu ia lipat payungnya dan tetap digendong di belakang punggung, lalu dengan bertangan kosong ia hendak merebut kipas Han Hi-sun. Kiranya dia sengaja hendak memancing Han Hi-sun agar mengeluarkan seluruh kepandaiannya menotok Hiat-to dengan kipas, kalau dia melawannya dengan payung pusaka, mungkin sekali kipas lawan akan terpukul patah dan maksud tujuannya akan tak tercapai. Begitulah Han Hi-sun menjadi murka karena merasa terhina, dengan bentakan kalap segera ia menyerang dengan jurus "Pak-tau-jit-sing" (tujuh bintang di langit barat), sekaligus ia menotok tujuh tempat Hiat-to musuh. Cepat Kong-sun Bok mengegos, tapi dia sengaja membiarkan sebuah tempat Hiat-to tertotok oleh Han Hi-sun. Dengan girang Han Hi-sun membentak.

   "Roboh!"

   Tak terduga Kong-sun Bok hanya menggeliat perlahan saja dan menjawab dengan mendengus.

   "Hm, kalau terima harus membalas! Ini, biar kau pun berkenalan dengan ilmu Tiam-hiatku!" ~ Berbareng jarinya sekuat pisau terus menjojoh ke depan. Kiranya Kong-sun Bok mahir "Tian-to-hiat-to", yaitu ilmu memutar balik Hiat-to yang menjadi sasaran totokan musuh, semacam ilmu ajaran kakeknya, karena itu meski ilmu Tiam-hiat khas Han Hi-sun itu sangat lihai, tapi dia belum menguasainya dengan sempurna sehingga belum mampu merobohkan Kong-sun Bok. Tapi cara menotok Han Hi-sun yang hebat itu telah menimbulkan curiga Kong-sun Bok, pikirnya dalam hati.

   "Kepandaian menotok dengan kipas orang ini seperti perubahan dari Keng-sin-ci-hoat, padahal Keng-sin-ci-hoat hanya dikuasai oleh Tam-sioksiok dan Wanyan Tiang-ci dari negeri Kim. Wanyan Tiang-ci adalah paman raja Kim, selamanya tidak menerima murid, lebih-lebih tidak mungkin menurunkan kepandaiannya itu kepada orang Han. Lalu darimanakah orang itu mendapatkan ajaran ilmu Tiam-hiat ini? Malahan gerak perubahan tipu serangannya yang hebat tadi tampaknya terlebih bagus daripada paman Tam."

   Tam-sioksiok atau paman Tam yang dimaksud Kong-sun Bok ialah Bu- lim-thiau-kiau Tam Ih-tiong.

   Asalnya Tam Ih-tiong adalah putera pangeran kerajaan Kim, tapi lantaran menentang kelaliman raja Kim, sudah lama dia menjadi buronan.

   Dia adalah sahabat baik Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham.

   Sedangkan istri Hoa Kok-ham, yaitu Hong-lay-mo-li, dirawat dan dibesarkan oleh kakek Kong-sun Bok, seperti murid dan juga seperti puteri pungut, sebab itulah Kong-sun Bok memanggil Hong-lay-mo-li sebagai Kokoh (bibi).

   Hoa Kok-ham dan istrinya serta Bu-lim-thian-kiau pernah mengajarkan ilmu silat kepada Kong-sun Bok (kisahnya dapat diikuti dalam Pendekar Latah).

   Begitulah kalau Kong-sun Bok merasa sangsi, ternyata Han Hi-sun terlebih bingung daripada dia, sebab ia melihat serangan balasan Kong-sun Bok itu ternyata serupa benar dengan ilmu totokan yang dia lakukan dengan kipasnya tadi, yaitu sama dalam sejurus mengarah tujuh tempat Hiat-to.

   Dengan susah payah dapatlah Han Hi-sun menghindarkan serangan balasan Kong-sun Bok itu sambil pikirnya.

   "Aneh, mengapa pemuda desa inipun mahir memainkan Keng-sin-ci-hoat? Padahal ilmu Tiam-hiat yang tiada bandingannya di dunia ini menurut cerita Suhu hanya beliau saja yang paham dan tiada orang lain lagi yang menguasai ilmu ini. Tapi ilmu Tiam- hiat pemuda udik ini tampaknya malah terlebih hebat daripadaku?"

   Padahal kalau bicara tentang kebagusan menotok sebenarnya Kong-sun Bok masih kalah setingkat.

   Cuma lantaran bagusnya permainan Kong-sun Bok dan gayanya yang indah, maka jago setingkat Han Hi-sun ternyata tidak dapat mengukurnya.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam pada itu Le Say-eng sempat melepaskan diri dari serangan Han Hi-sun, segera ia memburu ke sana untuk membantu Hi Giok-hoan.

   Waktu itu Ting Kian masih menghamburkan senjata rahasia ke arah Giok-hoan, tapi dengan gesit luar biasa Le Say-eng dapat menerobos ke tengah kalangan pertempuran, dalam sekejap saja ia sudah menerjang ke depan Ting Kian, pedangnya terus menusuk.

   Sebenarnya ilmu pedang dan kepandaian menggunakan senjata rahasia Ting Kian cukup terkenal lihai di kalangan hitam, tapi kalau dibandingkan ilmu pedang Beng-sia-to yang dimainkan Le Say-eng itu jelas bukan tandingannya.

   Hanya belasan jurus saja Ting Kian sudah kewalahan dan terdesak mundur untuk kemudian bergabung lagi dengan kedua kawannya, yaitu Su Hong dan Bong Sian.

   Dengan kekuatan tiga orang barulah mereka dapat melawan Say-eng dan Giok-hoan berdua.

   Di sebelah sana Han Hi-sun terlebih payah lagi, dia telah mengeluarkan segenap kemahirannya melawan Kong-sun Bok, tapi tetap tidak dapat mengubah keadaan, sebaliknya malah tambah gawat.

   Selagi Han Hi-sun mengeluh, tiba-tiba terlihat seorang kakek berlari tiba, terdengar kakek itu bersuara heran dan berkata.

   "Eh, Ji-kongcu, mengapa engkau berkelahi dengan mereka?"

   Girang sekali Han Hi-sun melihat datangnya si kakek. Kiranya orang tua ini adalah jago undangan istana perdana menteri, yaitu Pek Tik. Cepat ia pun berseru.

   "Pek-losu, lekas bantu aku!"

   Pada saat itu juga terdengar Kong-sun Bok mendengus, kelima jarinya sekuat kaitan baja telah mencengkeram tulang pundaknya.

   Sebagai tamu istana perdana menteri, sudah tentu Pek Tik tidak dapat tinggal diam, terpaksa ia menghadang ke tengah dan mewakilkan Han Hi- sun menangkis serangan Kong-sun Bok.

   Melihat gerakan orang tua ini segera Kong-sun Bok tahu orang adalah jago silat kelas wahid.

   Dari mencengkeram segera berubah menjadi memotong, telapak tangannya membelah miring ke depan.

   Maka terbenturlah tangannya dengan tangan Pek Tik, seketika Kong-sun Bok merasa tangan menyentuh segumpal kapas yang lunak, tenaga pukulannya yang dahsyat itu laksana batu kecemplung di lautan, menghilang tanpa bekas.

   Tubuh lawan bergeliat sedikit pun tidak, tapi juga tiada tenaga pentalan membalik, jelas orang tua itupun tiada maksud balas menyerangnya.

   Sungguh tidak kepalang kejut Kong-sun Bok menghadapi orang kosen yang sukar dijajaki ini.

   Sebaliknya Han Hi-sun tampak sangat senang, jengeknya kepada Kongsun Bok.

   "Hm, dengan kedatangan Pek-losu, coba saja kalian mampu lari atau tidak? He, Pek-losu, mengapa engkau tidak turun tangan?"

   Tapi Pek Tik lantas menjawab.

   "Nanti dulu, Kong-cu!"

   Lalu ia berpaling ke sana dan berseru pula.

   "Berhenti dulu, Su-suhu!"

   Meski resminya Su Hong menjabat kepala penjaga istana perdana menteri, tapi Pek Tik adalah tamu kehormatan sang majikan, terpaksa Su Hong mentaati seruan itu dan melompat keluar kalangan pertempuran dengan diikuti oleh Bong Sian dan Ting Kian.

   "He, Pek-losu, kenapakah kau? Kan mereka adalah kawanan penjahat yang menyusup ke kota Lim-an ini?"

   Kata Han Hi-sun dengan melenggong. Tapi Pek Tik tidak menggubrisnya, dia melompat ke dekat Hi Giok-hoan dan bertanya.

   "Numpang tanya, Hi Bok dari Pek-hoa-kok di Yang-ciu pernah apamu?"

   Karena pertanyaan orang yang cukup ramah, dengan hormat Giok-hoan juga menjawab.

   "O, beliau adalah ayahku."

   "Ha, ha, pantas ilmu pedang Pek-hoa-kiam-hoat begitu bagus kau mainkan, kiranya adalah putera kenalan lama,"

   Dengan tertawa Pek Tik berkata.

   "Lebih duapuluh tahun yang lalu aku dan ayahmu dimulai dengan berkelahi dan kemudian menjadi kenalan. Aku she Pek bernama Tik, mungkin ayahmu pernah bercerita padamu."

   "Ai, kiranya Pek-sioksiok adanya,"

   Seru Giok-hoan.

   "Ayah memang sering menyebut namamu, cuma sayang selama duapuluhan tahun ini beliau tidak dapat bertemu dengan engkau. Sungguh malang, kini ayah sudah wafat."

   "Aku tahu,"

   Kata Pek Tik.

   "Tidak lama berselang aku pun bertemu dengan sahabatmu Kok Siau-hong."

   "Ah, aku memang sedang mencari dia,"

   Seru Giok-hoan dengan girang.

   "Kabarnya dia pergi ke....."

   Tapi sebelum ucapan Giok-hoan dilanjutkan, tertampak Pek Tik mengedipinya dan menyela.

   "Ya, dia memang pergi ke tempat seorang sahabat. Apakah kau hendak pergi ke tempat Bun-tayhiap, jika begitu aku pun tidak merintangi kau."

   Giok-hoan tersadar akan maksud Pek Tik, kalau saja dia menyebut nama Ong Ce-cu dari Thay-ouw, bukan mustahil si Kong-cuya ini akan menuduhnya sebagai komplotan kaum bajak.

   Jika sampai terjadi demikian tentu akan membikin serba susah kepada Pek Tik.

   Tapi diam-diam Giok- hoan juga heran dan sangsi, sebab Pek Tik diketahuinya adalah orang kosen yang telah lama mengasingkan diri, mengapa sekarang berada di tempat seorang perdana menteri dorna? Ternyata Le Say-eng dapat menahan perasaannya, ia mendahului berkata.

   "Tapi Kong-cuya kalian ini apa mau melepaskan kami?"

   Pek Tik bergelak tertawa sambil berpaling kepada Han Hi-sun dan berkata.

   "Anak muda she Hi ini adalah putera seorang sahabatku, mereka tinggal di Yang-ciu, sekali-kali bukanlah kawanan penjahat, kukira Su Hong dan kawan-kawannya yang salah sangka. Untuk itu kumohon Ji-kongcu suka memberi muka kepadaku dan tidak mempersulit mereka lagi. Han Hi-sun tidak dapat mengalahkan Kong-sun Bok, sekarang Pek Tik mengaku punya hubungan baik dengan Giok-hoan, meski dalam hati merasa dongkol, terpaksa ia menahan perasaannya dan bersikap kesatria, katanya sambil tertawa.

   "Ha, ha, soalnya keamanan akhir-akhir ini rada terganggu, ayah adalah pejabat pemerintah, mau tidak mau kami harus ikut waspada kalau ada penyusupan kaum penjahat ke dalam kota. Karena itu harap Hi-heng suka memaafkan atas kesalah pahaman kita. Dari berkelahi barulah kita berkenalan, bagaimana kalau Hi-heng tinggal barang beberapa hari di sini agar Cay-he dapat sekadar memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah."

   Baru sekarang Pek Tik menjelaskan siapa Han Hi-sun, katanya.

   "

   Han- kongcu adalah putera Perdana Menteri yang berkuasa sekarang."

   Tapi dengan sikap dingin Giok-hoan lantas menjawab.

   "Ah, kami hanya rakyat kecil, mana berani bergaul dengan Kong-cuya. Kalau Han-kongcu sudi melepaskan, kami sudah berterima kasih banyak."

   Semula mereka memang ingin tinggal sehari dua di Lim-an untuk pesiar pula di Se-ouw, tapi setelah peristiwa tadi hasrat mereka pun lenyap sekarang, maka mereka lantas langsung menuju ke Thian-tiok-san untuk mencari Bun Yat-hoan.

   Di tengah jalan Le Say-eng bertanya kepada Kong-sun Bok mengapa kebetulan juga datang ke situ dan dimanakah Kiong Kim-hun sekarang? "Aku justru ke daerah Kang-lam sini untuk mencari dia,"

   Kata Kongsun Bok. Tentu saja Le Say-eng heran, tanyanya pula.

   "Apa kalian tempo hari tidak jadi bertemu?"

   "Kami memang sudah berjanji akan bertemu di tengah perjalanan ke Kim-keh-nia,"

   Tutur Kong-sun Bok.

   "Tapi kami tidak jadi bertemu. Di Kim- keh-nia kami pun tidak bertemu. Kupikir mungkin terjadi sesuatu sehingga Kim-hun tidak jadi ke Kim-keh-nia. Biasanya dia suka pesiar ke tempat- tempat indah, bisa jadi dia sedang menikmati keindahan alam daerah Kang- lam di musim semi ini, sebab itulah aku pun datang ke sini."

   "Enci Kim-hun memang suka pesiar seperti aku,"

   Ujar Say-eng.

   "Tapi kalian sudah ada janji sebelumnya, andaikan terjadi sesuatu seharusnya dia memberi kabar padamu."

   "Ya, sebab itulah aku pun rada kuatir,"

   Kata Kong-sun Bok sambil mengerut kening.

   Nyata Kong-sun Bok dan Le Say-eng sama-sama tidak tahu bahwa ayah Kiong Kim-hun, yaitu Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun ada pemusuhan dengan Hong-lay-mo-li, lantaran takut maka Kiong Cau-bun lari ke Oh-hong-to, pulau yang terpencil itu.

   Setelah Kiong Kim-hun berkenalan dengan Kong- sun Bok, walaupun tidak percaya lagi pada apa yang diceritakan oleh ayahnya, tapi nona itu pun merasa berdosa karena tanpa pamit telah minggat dari rumah, kalau sekarang menggabungkan diri pula dengan musuh sang ayah, hal ini bisa membikin ayahnya bertambah kalap.

   Karena itu tempo hari ketika diketahui ayahnya sedang mengikuti jejak Kong-sun Bok, Kim-hun lantas mengatur tipu untuk memancing sang ayah mengejar padanya.

   Dengan kudanya yang cepat, akhirnya dia pun tidak berhasil bertemu dengan Kong-sun Bok.

   Sebenarnya dia bermaksud mengirim kabar kepada Kong-sun Bok, tapi pertama, kuatir kepergok sang ayah, maka tidak berani menuju lagi ke Kim-keh-nia.

   Kedua, dia mengalami lagi sesuatu peristiwa yang tak terduga sehingga terpaksa tak dapat melaksanakan rencana semula.

   Mengenai apa peristiwa yang dialaminya biarlah kita ceritakan kelak.

   Begitulah ketika Le Say-eng melihat Kong-sun Bok mengerut kening, meski sangsi, terpaksa ia pun menghiburnya.

   "Enci Kim-hun sangat cerdik dan pintar, ilmu silatnya tinggi pula. Tentu seperti dugaanmu, kini dia pasti sedang pesiar di daerah Kang-lam sini."

   "Ya, semoga begitulah hendaknya,"

   Kata Kong-sun Bok dengan tersenyum getir. Untuk menghilangkan rasa masgul kawannya, segera Giok-hoan mengalihkan pokok pembicaraan, katanya dengan tertawa.

   "Untung tadi bertemu kau, kalau tidak, aku dan Say-eng mungkin tak bisa lolos. Han- kongcu putera perdana menteri itu ternyata memiliki ilmu silat selihai itu, sungguh di luar dugaanku sama sekali."

   Kong-sun Bok seperti sedang merenungkan sesuatu, sejenak kemudian barulah menjawab.

   "Ya, aku pun sangat heran."

   "Kenapa mesti heran?"

   Ujar Say-eng dengan tertawa.

   "Pek Tik adalah tokoh kosen terkemuka di antara angkatan tua dunia persilatan, dia adalah murid Pek Tik, pantas juga kalau dia memiliki ilmu silat tinggi."

   "Tidak, dia bukan murid Pek Tik,"

   Tiba-tiba Kong-sun Bok menggeleng kepala.

   "Darimana kau tahu?"

   Tanya Say-eng heran.

   "Dari ilmu silat mereka,"

   Jawab Kong-sun Bok.

   "Yang diyakinkan Pek Tik adalah lwekang aliran baik yang sama sekali berbeda dengan pemuda she Han itu. Sedangkan keahlian orang she Han itu adalah ilmu Tiam-hiat. Setahuku, hakikatnya Pek Tik bukanlah ahli Tiam-hiat."

   Hati Le Say-eng tergerak, cepat ia bertanya.

   "Apakah kau bersangsi tentang siapakah gurunya?"

   "Ya, aku menjadi teringat kepada sesuatu, cuma belum berani memastikannya,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Kang-lam-tayhiap Bun-tayhiap Bun Yat-hoan berpengalaman luas dan berpengetahuan banyak, biarlah kita tanya beliau kalau sudah bertemu."

   Sebenarnya Le Say-eng berwatak tidak sabaran, tapi kini mereka sudah dekat dengan tempat tujuan, rumah kediaman Bun Yat-hoan sudah kelihatan dari jauh, terpaksa Le Say-eng menahan perasaannya.

   Setiba di depan rumah Bun Yat-hoan, segera mereka memberitahukan nama mereka kepada penjaga pintu dan mohon bertemu dengan tuan rumah.

   Ketika pintu dibuka, seorang lelaki berbaju Hjau dan berusia limapuluhan tampak keluar menyambut mereka.

   "He, Tian-sioksiok, engkau juga berada di sini?"

   Seru Giok-hoan terkejut demi mengenali orang itu.

   Kiranya lelaki itu adalah Tian It-goan, salah seorang budak tua keluarga Han.

   Dahulu dia dan seorang budak tua lain, Liok Hong, yang mengantar Han Pwe-eng ke Yang-ciu untuk menikah dan terjadi pengepungan Pek-hoa- kok yang menggegerkan dunia Kang-ouw itu.

   Lantaran kejadian dulu itulah, maka kedua orang merasa kikuk.

   Untuk sejenak Tian It-goan melengak, tapi ia lantas tertawa dan menjawab.

   "Hi-kongcu, aku memang sudah menduga engkau pasti akan datang ke sini. Kejadian yang sudah lalu biarlah sudah, kini iparmu adalah tuan rumah muda di sini, maka kejadian di masa lampau kukira tidak perlu diingat-ingat lagi."

   "Aku memang datang ke sini untuk mencari adik perempuanku,"

   Kata Giok-hoan.

   "Apa betul dia telah menikah dengan Sin-siauhiap?"

   "Masakah urusan begitu bisa pura-pura?"

   Ujar Tian It-goan dengan tertawa.

   "Tempo hari hampir semua tokoh Bu-lim daerah Kang-lam ikut hadir dalam pesta pernikahannya. Sayang, kakak mempelai perempuan seperti engkau ini justru tidak hadir."

   Untuk sejenak Hi Giok-hoan termangu bingung, katanya kemudian.

   "Tian-toasiok, dapatkah engkau tolong mempertemukan diriku dengan Giok-kun?"

   "Kedatanganmu tidak kebetulan, saat ini Sin-siauhiap dan adik perempuanmu tiada di rumah semua,"

   Jawab Tian It-goan.

   "Kemanakah mereka?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Kabarnya mereka ditugaskan menyelesaikan suatu urusan oleh Bun- tayhiap,"

   Jawab Tian It-goan.

   "Toh sebentar kalian akan bertemu dengan Bun-tayhiap, silakan kau tanya beliau sendiri saja."

   Sambil bicara mereka pun dibawa masuk ke ruang tamu. Bun Yat-hoan sudah mendapat laporan, maka dia sudah menunggu di ruang tamu itu. Kong-sun Bok yang pertama maju memberi hormat.

   "Ah, janganlah kau sungkan-sungkan padaku, aku pun pernah mendapat petunjuk dari kakekmu, meski tidak jadi diterima sebagai murid, tapi boleh dikata murid tidak resmi,"

   Kata Bun Yat-hoan dengan tertawa sambil membangunkan Kong-sun Bok yang hendak menyembah padanya. Dalam hati Bun Yat-hoan sangat gembira, pikirnya.

   "Konon dia mendapatkan didikan langsung dari tiga guru besar ilmu silat zaman ini yang tinggal di Kong-bing-si, nyata tenaganya memang lain daripada yang lain. Di antara angkatan muda sekarang mungkin dia terhitung jago nomor satu. Kong-sun Ki banyak berbuat kejahatan, tapi mempunyai putera sebaik ini. Kong-sun In Lo-cianpwe kematian seorang putera murtad, namun mendapatkan seorang cucu baik, betapa pun beliau terhiburlah pada usia lanjut."

   Kiranya tadi ketika membangunkan Kong-sun Bok, diam-diam ia telah menjajal kekuatan Kong-sun Bok. Menyusul Giok-hoan juga memberi sembah hormat, Bun Yat-hoan tambah gembira lagi. Katanya.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Adik perempuanmu telah menjadi istri muridku, kita boleh dikata anggota keluarga, maka kita pun tidak perlu sungkan-sungkan lagi. Cuma sayang, kau datang terlambat satu hari, kemarin mereka baru berangkat. Karena Ong Ce-cu di Thay-ouw ada urusan perlu berunding dengan aku, maka aku suruh Liong-sing mewakili aku ke sana. Sebagai pengantin baru, dengan sendirinya adik perempuanmu ikut berangkat pula."

   "O, kalau begitu sangat kebetulan juga, kami pun hendak pergi ke Tay- ouw,"

   Kata Giok-hoan.

   "Jangan terburu-buru dulu, jauh-jauh kalian datang ke sini, betapa pun harus tinggal dulu dua-tiga hari lagi,"

   Kata Bun Yat-hoan. Lalu Le Say-eng juga memberi hormat.

   "Nona Le ini adalah puteri kesayangan Beng-sia-tocu,"

   Kata Giok-hoan.

   "Ah, kenapa Hi-heng malu di hadapan Bun-locianpwe, katakan aja terus terang,"

   Ujar Kong-sun Bok dengan tertawa. Lalu ia menyambung.

   "Hi-heng dan nona Le sudah bertunangan, tapi karena Beng-sia-tocu sedang menyelesaikan urusan di Tiong-goan, maka mereka belum dinikahkan secara resmi."

   OH, kiranya Hi-seheng adalah menantu kesayangan Beng-sia- tocu, selamat dan bahagialah kuucapkan,"

   Kata Bun Yat-hoan dengan tertawa. Tapi dalam hati ia pun terkesiap dan heran.

   "Beng-sia-tocu Le Kim-liong adalah gembong iblis yang berdiri di antara baik dan jahat, entah mengapa Hi Giok-hoan dapat mengikat jodoh dengan anak perempuannya?"

   Setelah mengambil tempat duduk masing-masing, kemudian Kongsun Bok membuka suara.

   "Bun-pepek, ada suatu persoalan Siautit ingin mohon petunjuk."

   "Silakan bicara,"

   Jawab Bun Yat-hoan.

   "Pagi tadi di luar kota kuketemukan seorang Lo-cianpwe, yaitu Pek- losiansing, katanya dia sekarang tinggal di istana perdana menteri Han To- yu,"

   Tutur Kong-sun Bok.

   "O, yang kau maksudkan tentulah Pek Tik,"

   Kata Bun Yat-hoan.

   "Ya, dia diminta oleh Ong Ce-cu dari Thay-ouw agar mau menjadi tamu kehormatan Han To-yu, apakah kau merasa heran dan sangsi mengenai hal ini?"

   "Sudah lama kudengar Pek-locianpwe adalah seorang tokoh kesatria yang baik hati, masakah aku menyangsikan pribadinya?"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Yang kuingin tahu ialah tentang putera Han To-yu yang bernama Han Hi- sun, apakah anak perdana menteri itu murid Pek-locianpwe?"

   

   Jilid 22

   "O "Entah, aku pun tidak tahu,"

   Sahut Bun Yat-hoan.

   "Pek Tik baru dua bulan berada di sana, kukira dia takkan menerima murid segala. Ada apa, pernahkah kau bergebrak dengan putera perdana menteri itu?"

   "Benar,"

   Jawab Kong-sun Bok. Lalu ia pun bercerita apa yang telah dialaminya. Katanya kemudian.

   "Gaya ilmu silat Han Hi-sun itu berbeda daripada ilmu silat Pek-locianpwe, aku memang meragukan dia adalah murid Pek-locianpwe, kini dibuktikan pula oleh keterangan Bun-tayhiap, tentu aku tidak perlu sangsi lagi. Cuma entah siapakah gurunya?"

   "Di dalam istana perdana menteri tidak sedikit orang kosen, kalau menurut ceritamu, agaknya kepandaian Han-kongcu itu terlebih tinggi daripada jago-jagonya. Siapakah gurunya aku sendiri tidak tahu. Tapi mengapa kau terburu-buru ingin mencari tahu persoalan ini?"

   "Sebab kepandaian Han Hi-sun yang khas, yaitu ilmu Tiam-hiat, membikin aku curiga dan ingin tahu siapa yang mengajarnya,"

   Tutur Kong- sun Bok.

   "Ahli Tiam-hiat di dunia ini masakah ada lagi yang lebih lihai daripada Bun-lim-thian-kiau? Kudengar waktu Bu-lim-thian-kiau berada di Kong-bing- si, pernah juga dia mengajarkan ilmu Tiam-hiat padamu. Lantas sekarang masakah kepandaianmu tidak dapat menandingi Han Hi-sun itu? Bahwasanya kau sampai terkejut dan menyangsikan asal-usul kepandaiannya, hal ini rada aneh."

   "Hanya kekuatannya saja yang belum sempurna,"

   Tutur Kong-sun Bok pula.

   "Kalau melulu gerakan ilmu Tiam-hiat, bukan saja dia lebih hebat daripada diriku, bahkan juga lebih bagus daripada Tam-sioksiok."

   "He, bisa terjadi demikian?"

   Seru Bun Yan-hoat.

   "Yang lebih mengherankan adalah ilmu Tiam-hiatnya ternyata hampir serupa dengan kepandaian yang kudapat dari Tam-sioksiok, malahan gerak perubahannya terlebih indah dan bagus."

   "Jika begitu, jadi dia mahir Keng-sin-ci-hoat?"

   Bun Yat-hoan menegas.

   "Ya, makanya aku merasa heran,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Kalau memang begitu, ya, memang sangat mengherankan,"

   Kata Bun Yat-hoan sambil mengerut kening.

   "Apa sih yang mengherankan kalian, coba jelaskan, sampai sekarang aku belum paham persoalannya,"

   Kata Le Say-eng.

   "Nona Le, mungkin kau belum tahu bahwa ilmu Tiam-hiat yang diyakinkan Bu-lim-thian-kiau Tam Ih-tiong itu berasal dari Hiat-to-tong-jin,"

   Tutur Bun Yat-hoan.

   "Patung tembaga yang penuh dilukis dengan titik-titik Hiat-to di tubuh manusia, asalnya adalah benda pusaka kerajaan Song. Waktu kotaraja diduduki pasukan Kim, benda mestika itu telah ikut dirampas musuh. Malahan raja Kim khusus mengumpulkan semua tokoh persilatan seluruh negeri dan mendirikan suatu Lembaga Penyidik yang dikepalai paman raja, yaitu Wanyan Tiang-ci, untuk menyelami ilmu yang tertera di atas patung tembaga itu, hasilnya lahirlah sebuah lukisan ikhtisar Hiat-to-tong-jin. Bu-lim-thian-kiau aslinya adalah putera pangeran kerajaan Kim, dia punya Kong-sin-ci-hoat diperoleh dari hasil menyelami gambar ikhtisar itulah."

   Sampai di sini, tanpa terasa mendadak Le Say-eng melonjak bangun, serunya dengan sikap seakan-akan baru menyadari sesuatu.

   "Aha, pahamlah aku sekarang!"

   "Kau paham apa?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Sekarang tahulah aku siapakah orang berkedok yang merampas gambar pusaka itu,"

   Seru Say-eng.

   "Dia bukan lain daripada guru Han Hi-sun."

   "Orang berkedok apa maksudmu?"

   Tanya Bun Yat-hoan. Maka berceritalah Le Say-eng mengenai kisah gambar ikhtisar Hiat-to- tong-jin sebagaimana didengarnya dari cerita Ko-si itu.

   "O, kiranya begitu,"

   Tukas Bun Yat-hoan.

   "Jika begitu, agaknya gambar ikhtisar Hiat-to-tong-jin itu seluruhnya ada dua lembar. Lembar yang satu berasal dari istana kerajaan Song, lembar yang lain adalah hasil penyelidikan lembaga yang dibentuk oleh kerajaan Kim itu."

   "Benar,"

   Kata Say-eng.

   "Barangkali gambar asli kerajaan Song itu terlebih bagus sedikit, sebab itulah Kongsun-toako merasa ilmu Tiam-hiat yang dikuasai Han Hi-sun itu terlebih hebat. Pada peristiwa dicurinya gambar pusaka itu, ketika orang berkedok itu memasuki kamar hotel dan melukai Ko Kiat serta menotok Hiat-to Nyo Tay-ging dan Ciok Leng, kemudian Nyo dan Ciok berdua mencurigai Ko Kiat yang bersekongkol dengan orang berkedok, sedangkan Ko Kiat mencurigai Suhengnya, yaitu Kiau Sik-kiang, tapi akhirnya dia mencurigai pula ayahku. Aku sendiri mencurigai orang berkedok itu sebagai Oh-hong-tocu, padahal salah semuanya, yang benar orang berkedok itu ialah guru yang mengajar Han Hi-sun itu."

   "Ya, kita telah mendapatkan setitik sinar terang, cuma sayang kita masih belum tahu siapakah gerangan guru anak perdana menteri itu?"

   Ujar Giok- hoan dengan tertawa.

   "Dalam hal Keng-sin-ci-hoat, Tam-sioksiok masih ada beberapa bagian belum berhasil disempurnakan, ia pun tahu ada sebuah gambar lain yang berasal dari kerajaan Song, cuma tidak diketahui berada dimana,"

   Demikian tutur Kong-sun Bok lebih jauh.

   "Tapi kalau guru Han Hi-sun dapat diketahui, tentunya akan bermanfaat bagi Tam-sioksiok, mereka berdua tentu dapat saling tukar pikiran."

   "Ada murid begitu tentu juga ada guru yang serupa,"

   Kata Say-eng.

   "Han Hi-sun berkelakuan tidak baik, orang yang mau menerima murid begini tentu pula bukan manusia baik-baik."

   "Benar, aku pun kuatir bilamana gambar pusaka itu berada di tangan orang jahat, kelak tentu akan membahayakan dunia persilatan umumnya,"

   Ujar Bun Yat-hoan.

   "Baik begini saja, aku akan membantu mencari tahu siapakah guru Han Hi-sun itu. Jika tidak berhasil, terpaksa aku minta bantuan Liok Pang-cu dari Kay-pang untuk mencari tahu hal ini. Sumber berita Kay-pang sangat luas dan cepat, mungkin akan berhasil."

   Kong-sun Bok lantas mengucapkan terima kasih dan bermaksud mohon diri.

   Tapi Bun Yat-hoan telah menahannya agar suka bermalam dulu.

   Esok paginya Kong-sun Bok, Le Say-eng dan Hi Giok-hoan lantas meninggalkan tempat kediaman Bun Yat-hoan.

   Sesudah turun dari pegunungan Tian-tiok-san, tiba-tiba Le Say-eng berkata.

   "Bagaimana kalau malam ini kita coba menyelidiki keadaan istana Han To-yu?"

   "Kenapa kau menjadi terburu-buru, bukankah Bun-tayhiap sudah menyanggupi akan membantu mencari beritanya,"

   Ujar Giok-hoan tertawa.

   "Suci mati lantaran gambar pusaka itu, tentu saja aku menjadi ingin lekas- lekas mendapatkan jawaban yang pasti,"

   Kata Say-eng.

   "Pula seumpama nanti Bun-tayhiap berhasil mendapat tahu siapa gerangan guru Han Hi-sun, lalu apa yang dapat kita lakukan terhadap orang itu? Tidakkah lebih baik sekarang kita menyusup ke sana dan membekuk keparat Han Hi-sun itu untuk ditanyai secara langsung saja?"

   "Cara ini kukira kurang baik,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Kukira lebih baik kita mencari Pek-locianpwe saja dan minta keterangan padanya."

   "Jangan, begitu sampai di sana mungkin kita segera akan direcoki keparat Han Hi-sun itu, maka lebih baik bertindak secara diam-diam,"

   Kata Say-eng.

   Karena tidak enak buat menolak, terpaksa Kong-sun Bok menuruti keinginan si nona.

   Mereka sengaja mengitar di luar kota Lim-an untuk membuang tempo, menjelang magrib barulah mereka masuk kota.

   Mereka tangsal perut dulu di suatu rumah makan kecil, berbareng mereka tanya letak istana perdana menteri.

   Menurut keterangan pemilik rumah makan, ternyata tempat kediaman perdana menteri dorna itu terletak di lereng Koh-san, suatu bukit di tepi Se-ouw yang indah.

   Sudah tentu mereka tidak berminat menikmati keindahan alam yang termasyhur itu, mereka menyusuri tepi danau, tanpa terasa sudah dekat tengah malam, mereka lantas mendaki bukit.

   Istana perdana menteri itu dibangun membelakangi bukit, mereka dapat mengintai taman belakang istana dari suatu ketinggian tebing yang terjal.

   Tebing itu banyak tumbuh akar pohon tua yang melingkar ke bawah laksana ular.

   Ada beberapa akar panjang yang menjulur sampai di dekat pagar tembok taman.

   Karena itu tanpa banyak kesukaran mereka bertiga lantas mengayunkan diri ke dalam taman dengan bergelantungan akar pohon, dengan Ginkang mereka yang tinggi, perbuatan mereka itu sama sekali tak diketahui orang meski di taman bunga itu ada beberapa Wisu (jago pengawal) yang sedang ronda.

   Dengan merunduk mereka terus menyusur ke depan, beberapa Wisu itu meronda seperti biasa, mimpi pun mereka tidak menduga bahwa saat itu ada tiga orang bersembunyi di dekat mereka.

   Setelah para Wisu itu lewat, Giok-hoan coba memandang sekelilingnya, tertampak pepohonan dan bunga tumbuh menghijau permai, bukit-bukitan, kolam teratai dan ujung bangunan megah samar-samar mengintip di kejauhan sehingga terbentuk suatu gambaran pemandangan yang indah.

   "Begini luas taman ini, entah dimana letak kamar keparat Han Hi-sun itu?"

   Kata Giok-hoan dengan suara tertahan.

   "Sabar dulu, ini dia kesempatan baik telah datang!"

   Bisik Say-eng.

   Waktu Giok-hoan mengintip ke depan sana, dilihatnya seorang budak cilik dengan menjinjing sebuah kotak makanan sedang menuju ke arah mereka ini.

   Sesudah dekat, secepat kilat Le Say-eng melompat keluar.

   Selagi budak cilik itu kaget dan belum sempat berteriak, tahu-tahu mulutnya sudah didekap oleh Say-eng terus diseret ke balik bukit-bukitan itu.

   "Jangan takut,"

   Demikian Say-eng membisiki budak cilik itu.

   "aku hanya ingin tanya kau, asalkan kau menjawab dengan jujur, tentu kau takkan kuganggu. Tapi kalau kau berdusta, ini, coba lihat!"

   Lalu telapak tangannya memotong sepotong batu di sampingnya sehingga batu itu hancur.

   Semula budak cilik itu rada lega melihat Le Say-eng seorang wanita, tapi ia menjadi terperanjat pula melihat kepandaian Say-eng yang hebat itu.

   Dengan suara gugup ia menjawab.

   "Ap..... apa yang nona ingin tanyakan, aku harus mengantar kuah kolesom ini untuk Ji-kongcu."

   "Aku justru ingin tahu Ji-kongcumu itu tinggal dimana?"

   Kata Say-eng tertawa.

   "Kalian hendak mencari Ji-kongcu?"

   Budak cilik itu menegas dengan mata terbelalak.

   "Ya, jangan banyak tanya lagi, lekas katakan,"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Desak Say-eng. Budak cilik itu tahu watak Ji-kongcu yang suka bergaul dengan orang kosen Kang-ouw, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lantas menjawab.

   "Ji-kongcu tinggal di rumah bersusun bercat merah di tepi kolam teratai pojok sana, dari sini lurus ke selatan setelah melintasi dua bukit-bukitan. Cuma kalian jangan bilang aku yang memberitahukan kepada kalian."

   "Jangan kuatir, malam ini Ji-kongcumu pasti takkan tanya soal kuah Kolesom segala, kau boleh mengaso dulu, satu jam lagi baru kau kembali ke kamarmu untuk tidur,"

   Kata Say-eng. ~ Lalu ia totok Hiat-to budak cilik itu dengan cara yang khas, selewatnya satu jam, Hiat-to yang tertotok itu akan punah sendiri dan budak cilik itu dapat bergerak lagi.

   "Ha, ha, kuah kolesom ini kalau dibuang sayang, biar kuminum saja,"

   Kata Say-eng sambil menenggak kuah yang dibawa budak cilik tadi.

   "Wah, rasanya sedap juga, maukah kau mencicipi?"

   "Habiskan saja,"

   Kata Giok-hoan dengan tertawa.

   Kemudian mereka menuju ke arah yang ditunjuk si budak cilik tadi.

   Setiba di tepi kolam teratai, mereka bersembunyi di balik bukit-bukitan, tertampak loteng bangunan cat merah itu masih terang benderang, kelihatan sesosok bayangan orang di balik jendela sana, jelas bayangan tubuh Han Hi- sun.

   "He, apa yang sedang dilakukannya?"

   Kata Say-eng dengan heran Kiranya Han Hi-sun sedang duduk bersila di dalam kamar, cara duduknya sangat aneh, kedua tangan mendekap kepala sendiri, kedua kaki bersimpuh dengan ujung kaki menjungkit ke atas.

   Malahan tampak kepalanya mengepulkan uap putih.

   "Agaknya dia sedang berlatih semacam lwekang dari aliran Sia-pay,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Wah, kurang baik kalau begitu."

   "Kurang baik bagaimana?"

   Tanya Say-eng.

   "Kalau dia sedang tekun berlatih, bila sampai detik yang gawat, terhadap apa yang terjadi di sekitarnya harus membudek dan membuta, bukankah ini justru kesempatan baik buat kita menangkapnya."

   "Aku justru tidak suka menyerang orang pada saat dia ada kesukaran,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Kalau mau, kita harus mengalahkan dia dan menculiknya secara terang-terangan."

   "Buat apa bicara tentang peraturan Kang-ouw segala dengan pemuda jahat begitu?"

   Ujar Say-eng.

   Selagi Kong-sun Bok masih ragu-ragu, tiba-tiba tertampak berkelebatnya cahaya lampu, waktu mereka memandang lagi, ternyata di dalam kamar Han Hi-sun itu sudah bertambah lagi satu orang.

   Seorang wanita baju hijau dengan memegang tongkat bambu hijau.

   Serentak Hi Giok-hoan dan Le Say-eng terkejut, kiranya wanita baju hijau ini bukan lain daripada Sin Cap-si-koh yang pernah bergebrak dengan mereka itu.

   "Aneh, untuk apa dia datang ke sini? Entah kawan atau lawan antara dia dan keparat she Han itu?"

   Demikian Say-eng membatin.

   Belum lenyap pikirannya, sekonyong-konyong tampak Sin Cap-si-koh angkat kepalan tangannya terus menggablok batok kepala Han Hi-sun.

   Sudah tentu tindakan Sin Cap-si-koh ini membikin Kong-sun Bok bertiga yang sedang mengintip itu sangat terkejut, mereka menyangka Sin Cap-si-koh hendak membinasakan Han Hi-sun.

   Tapi dugaan mereka ternyata meleset sama sekali, batok kepala mestinya adalah tempat mematikan di tubuh manusia, jelas tabokan Sin Cap-si-koh tadi tepat mengenai sasarannya, tapi Han Hi-sun tidak roboh, sebaliknya malah terus menjerit dan berbangkit.

   Kiranya Lwekang aliran jahat yang dilatih Han Hi-sun itu sangat berbahaya, bila mendadak mengalami keterkejutan bisa lumpuh dan mungkin pula binasa.

   Jalan yang baik adalah menabok kepalanya agar dia sadar kembali, dengan demikian akan terhindar dari kemungkinan kecelakaan itu.

   Rupanya Sin Cap-si-koh adalah ahli aliran ilmu hitam itu, maka dia telah menggunakan cara yang tepat dan ringan untuk menyadarkan Han Hi-sun.

   Semula Han Hi-sun juga terperanjat, setelah itu melonjak bangun, cuma terkejutnya tidak sehebat Kong-sun Bok bertiga.

   Agaknya kedatangan Sin Cap-si-koh itu memang sudah dalam dugaannya.

   Hal ini terbukti Han Hi- sun lantas bertanya tanpa gugup.

   "O, kiranya engkau sudah datang, maafkan jika Wanpwe tidak mengadakan penyambutan."

   "Mana gurumu?"

   Tanya Sin Cap-si-koh.

   "Suhu memang sudah menduga engkau orang tua bakal datang, cuma tak tersangka akan tiba secepat ini,"

   Kata Han Hi-sun.

   "Suhu akan tiba di sini dua-tiga hari terlambat, apakah engkau sudi menunggunya di sini untuk beberapa hari?"

   "Tadi kukira dia bersembunyi ditaman ini, jika demikian ternyata adalah orang lain,"

   Kata Cap-si-koh.

   "O, engkau menemukan siapa?"

   Tanya Han Hi-sun terkejut.

   "Hm, kalau aku tidak muncul tepat waktunya, mungkin sejak tadi kau sudah disergap orang,"

   Jengek Cap-si-koh.

   "Saat ini aku belum tahu siapa....." ~ Sampai di sini mendadak ia ayun tangannya sambil membentak.

   "Itu bocah yang bersembunyi di balik bukit-bukitan lekas menggelinding keluar!"

   Waktu Sin Cap-si-koh pasang omong dengan Han Hi-sun, memangnya Le Say-eng sudah tahu gelagat tidak menguntungkan, dia telah meremas tangan Giok-hoan dan membisiki Kong-sun Bok untuk mengajaknya pergi saja dari itu.

   Tapi belum mereka melangkah pergi, tiba-tiba terdengar suara mendesing, rupanya Sin Cap-si-koh telah menyambitkan beberapa buah senjata rahasia berbentuk cincin ke arah mereka.

   Cara menyambit senjata rahasia Sin Cap-si-koh itu sungguh aneh dan lihai luar biasa, beberapa buah cincin itu melayang lewat bukit-bukitan, setelah berputar kembali menyambar balik.

   Dengan begini, biarpun Kong- sun Bok bertiga bersembunyi di belakang bukit-bukitan juga ada kemungkinan terkena oleh senjata rahasia itu.

   Syukur kepandaian Kong-sun Bok juga tidak lemah, beberapa buah cincin itu telah kena diselentik jatuh oleh tenaga jarinya yang hebat.

   Dalam pada itu dengan cepat sekali Sin Cap-si-koh sudah lantas menerobos keluar melalui jendela terus menubruk ke tempat sembunyi mereka.

   "He, he, kukira siapa, rupanya adalah bocah ingusan kalian ini!"

   Jengek Cap-si-koh. Sebelum ini Kong-sun Bok belum pernah bertempur dengan Cap-si-koh, maka dia belum kenal kelihaian iblis perempuan itu, segera ia berseru kepada Giok-hoan dan Say-eng.

   "Lekas kalian pergi dulu, biar aku menahan dia beberapa jurus!"

   "Hm, pergi kemana? Jangan harap!"

   Dengus Cap-si-koh sambil angkat tongkat bambunya terus mengemplang kepala Kong-sun Bok. Tanpa pikir Kong-sun Bok angkat payung wasiatnya untuk menangkis.

   "Trang", lelatu api bercipratan, tangan Kong-sun Bok terasa pegal dan kesemutan. Sungguh kejut Kong-sun Bok tak terhingga. Harus diketahui bahwa payung wasiatnya itu mempunyai bobot sepuluh kali lebih berat daripada besi biasa, kalau senjata biasa saja pasti akan patah sendiri bilamana beradu dengan payungnya. Tapi sekarang Sin Cap-si-koh hanya menggunakan tongkat bambu dan ternyata tidak patah, malahan tangan Kong-sun Bok sendiri yang terasa pegal. Tak diketahuinya bahwa Sin Cap-si-koh juga tidak kurang kagetnya. Ia menjadi teringat kepada cerita Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok ketika mereka berada di tempat Beng Jit-nio pernah bentrok dengan seorang pemuda kampungan yang membawa payung bernama Kong-sun Bok, dengan kepandaian dua gembong iblis itu ternyata tidak mampu mengalahkan pemuda kampung itu. Agaknya pemuda yang dimaksud adalah pemuda inilah. Dalam pada itu Han Hi-sun juga sudah menyusul tiba, segera ia menjengek.

   "Hm, kukira siapa, kiranya kalian bertiga lagi. Kemarin aku mengundang kalian dan kalian tak mau datang, mengapa malam ini kalian malah datang sendiri secara sembunyi-sembunyi? He, he, kalau kalian sudah mau datang, maka sebaiknya jangan pergi lagi!"

   Antara tiga orang itu, yang paling disiriki Han Hi-sun adalah Kong-sun Bok, maka ia merasa lega demi nampak pemuda itu sudah bergebrak dengan Sin Cap-si-koh, segera ia pun menerjang ke arah Hi Giok-hoan dan Le Say- eng.

   "Hm, kemarin lantaran ada Pek Tik, maka sengaja kuampuni kau, kali ini aku harus menghajar adat padamu,"

   Damprat Say-eng.

   "Ha, ha, kau hendak menghajar adat padaku? He, he, aku justru kasih sayang padamu,"

   Jawab Han Hi-sun dengan bergelak tertawa. Alis Say-eng menegak, dengan gemas pedangnya lantas menusuk dada lawan.

   "Eh, nona manis, ilmu Tiam-hiatmu perlu berlatih lagi sepuluh tahun!"

   Ejek Han Hi-sun, cepat ia pentang kipasnya untuk menyampuk pedang Say- eng.

   "Sret", cepat pula kipasnya terlempit dan dengan cara yang sama ia balas menotok dada Le Say-eng yang menggiurkan itu. Tempat yang diarah sama, tapi caranya yang berbeda.

   "Jangan temberang!"

   Bentak Giok-hoan.

   Segera pedangnya memburu ke arah musuh dengan tipu serangan "Sam-goan-tho-goan" (tiga gelang menjerat bulan), sekali bergerak sinar pedangnya memancarkan bunga pedang susun tiga, yang diincar adalah Hiat-to berbahaya di tubuh musuh.

   Jurus ini adalah salah satu tipu serangan lihai dari Pek-hoa-kiam-hoat keluarga Hi.

   Han Hi-sun sudah pernah bergebrak dengan Giok-hoan, ia menyadari hanya ilmu Tiam-hiat saja tak dapat mengalahkan lawan, maka terhadap ilmu pedang lawan yang lihai itu dia tidak berani memandang enteng.

   Terpaksa ia tarik kembali kipasnya, lebih dulu ia tangkis serangan pedang Giok-hoan, lalu balas menusuk pula dengan kipasnya, sekaligus ia mengincar tujuh Hiat-to di tubuh Giok-hoan.

   Kekuatan Le Say-eng tidak sehebat Hi Giok-hoan, tapi ilmu pedang khas Beng-sia-to juga tidak kurang lihainya, pedangnya menabas ke timur dan menusuk ke barat, menuding ke selatan dan menyabet ke utara.

   "bret", tahu- tahu lengan baju Han Hi-sun tertabas robek. Kalau saja satu lawan satu Han Hi-sun memang cukup kuat untuk mengalahkan Hi Giok-hoan, tapi kini Giok-hoan mengerubutnya bersama Le Say-eng, betapa pun Han Hi-sun menjadi kerepotan dan hanya mampu bertahan saja. Di sebelah sana, kepandaian Sin Cap-si-koh sudah tentu terlebih tinggi daripada Kong-sun Bok, tapi untuk mengalahkannya dalam waktu singkat juga tidak mudah. Kong-sun Bok menggunakan payung wasiat, dia bertempur dengan cara bertahan saja dan tidak menyerang. Dengan demikian betapa pun tongkat bambu Sin Cap-si-koh melancarkan serangan, selalu kena ditangkis oleh payung pusaka pemuda itu. Sementara itu para penjaga istana telah mendengar suara pertempuran di dalam taman, kini mereka sedang memburu datang beramai-ramai. Dengan tangan kanan memegang payung dan diputar satu lingkaran, telapak tangan kiri mendadak menghantam pula ke arah Han Hi-sun. Sejak kecil Kong-sun Bok telah digembleng oleh tiga tokoh silat terkemuka di zaman ini, maka tenaga dalamnya sudah terpupuk sangat kuat, pukulan jarak jauh yang dilontarkan itu tidak kepalang dahsyatnya, mendadak Han Hi-sun merasa disampuk oleh angin keras, dada seperti kena digodam, tanpa terasa ia terkejut dan tergentak mundur beberapa tindak. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Le Say-eng, secepat kilat pedangnya lantas menusuk bahu Han Hi-sun sambil membentak.

   "Ini, biar kau rasakan pedangku!"

   Tak terduga, dia cepat, namun masih ada orang lain yang terlebih cepat, tahu-tahu bayangan tongkat hijau berkelebat, mendadak Sin Cap-si-koh telah menggeser tiba dan menghadang di depan Han Hi-sun, tongkatnya menuding ke kanan dan menotok ke kiri, sekaligus ia pun menyerang Hi Giok-hoan dan Le Say-eng.

   Satu serangan dua gerakan yang lihai ini justru memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu, karena itu terpaksa Le Say-eng menarik kembali tusukan pedangnya tadi dan melompat mundur bersama Hi Giok- hoan.

   Dalam pada itu Kong-sun Bok juga sudah menubruk tiba, namun Sin Cap-si-koh sempat menarik mundur Han Hi-sun.

   Untung juga tujuan Cap- si-koh hanya untuk menolong Han Hi-sun saja, kalau tidak, andaikan Hi Giok-hoan takkan terganggu, sedikitnya Le Say-eng pasti akan terluka oleh tongkatnya.

   Cuma meski Cap-si-koh berhasil menyelamatkan Han Hi-sun, namun akal Kong-sun Bok yang sengaja menyerang Han Hi-sun tapi sebenarnya mencari jalan keluar juga berhasil dengan baik.

   Dengan mundurnya Han Hi-sun dan Cap-si-koh, peluang itu segera digunakan mereka untuk menerjang keluar.

   Han Hi-sun merasa bahunya panas pedas, waktu ia periksa, terlihat bajunya tertusuk robek, untung tidak terluka.

   Diam-diam ia terkesiap, pikirnya.

   "Keji amat perempuan siluman itu, untung Sin Cap-si-koh keburu menolong diriku, kalau tidak, mungkin tulang pundakku sudah tembus oleh tusukannya."

   Dengan murka segera Han Hi-sun berteriak memberi perintah kepada para pengawal.

   "Hayo, kalian lekas memburu, satu pun tidak boleh lolos!"

   Dia lupa bahwa kawanan pengawalnya itu mana mampu merintangi tokoh macam Kong-sun Bok dan Hi Giok-hoan.

   Dengan ilmu pedangnya yang lihai, dalam sekejap saja Giok-hoan sudah melukai tujuh atau delapan pengawal, dengan ilmu Tiam-hiatnya Kong-sun Bok juga menotok roboh beberapa orang.

   "Panggil si tua she Pek itu, biar dia menyaksikan betapa bagus perbuatan kenalannya ini....."

   Teriak Su Hong, tapi belum selesai ucapannya, mendadak payung Kong-sun Bok telah mengancamnya.

   Dengan Kim-na-jiu-hoat yang biasanya sangat dibanggakan Su Hong, ia mengira tidak sukar buat merebut senjata lawan.

   Tak tahunya senjata Kong- sun Bok itu adalah payung pusaka.

   Ketika Su Hong mencengkeram batang payung.

   "krak", mendadak tulang siku kanan Su Hong sendiri malah keseleo. Ini saja karena Kong-sun Bok bermurah hati, kalau tidak, mungkin tulang tangannya sudah terketok remuk oleh payungnya. Begitulah secepat terbang Kong-sun Bok bertiga lantas melintasi pagar tembok taman, ketika mereka dihujani anak panah, segera Kong-sun Bok pentang payungnya dan diputar, seketika anak panah yang berhamburan itu terpental balik semua. Diam-diam Sin Cap-si-koh berpikir, andaikan mengejar toh belum tentu mampu mengalahkan ketiga anak muda itu, apalagi kabarnya Kong-sun Bok adalah anak didik tiga tokoh guru besar ilmu silat zaman ini, bisa runyam jika nanti dianggap memusuhi Bing-bing Taysu bertiga yang mendidik Kong- sun Bok. Karena itulah dia membiarkan Kong-sun Bok bertiga melarikan diri, tanyanya kemudian kepada Han Hi-sun.

   "Ji-kongcu, apakah engkau terluka? Biarlah lain kali saja aku membikin perhitungan dengan ketiga bocah itu."

   Karena tenaga pukulan jarak jauh Kong-sun Bok tadi, Han Hi-sun merasa dadanya sesak, entah terluka dalam tidak, terpaksa ia pun tidak menyuruh orang mengejar ketiga penyatron itu.

   Dalam pada itu Kong-sun Bok bertiga sudah jauh meninggalkan istana perdana menteri, mereka merasa lega setelah mengetahui musuh tidak mengejarnya.

   "Lihai benar iblis perempuan itu, hampir saja aku kecundang,"

   Kata Say- eng.

   "Hm, kalau ayah sudah kutemui, tentu akan kucari dia lagi untuk bikin perhitungan."

   "Aku menjadi berkuatir bagi Pek-locianpwe, setelah peristiwa tadi, entah dia akan mendapat susah atau tidak?"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Kukira tidak berhalangan,"

   Kata Giok-hoan.

   "Pek Tik adalah penghubung antara Han To-yu dengan para tokoh persilatan daerah Kang- lam, pada saat pihak Mongol diketahui akan menyerbu ke selatan, betapa pun Han To-yu masih memerlukan tenaga Pek Tik. Maka kita lekas pergi ke Thay-ouw saja untuk mencari Kok Siau-hong."

   "Betul,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Ong Ce-cu di Thay-ouw ada hubungan rapat dengan bibi Liu (maksudnya kita dapat minta bantuan Ong Ce-cu agar mengirim berita kepada bibi Liu) tentang munculnya iblis perempuan ini di istana perdana menteri dan bibi Liu pasti juga akan memberitahukannya kepada Tam-sioksiok. Dengan begitu tidak perlu menunggu sampai bertemu dengan ayahmu rasanya sudah cukup untuk membereskan iblis perempuan itu."

   "Memang, dari nada ucapan iblis perempuan itu, terang dia kenal guru Han Hi-sun. Dan gurunya itu pastilah orang berkedok yang merampas gambar Hiat-to-tong-jin, kalau Bu-lim-thian-kiau mendapat tahu, tentu dia akan mencari mereka."

   Begitulah sambil bicara, mereka menjadi tidak merasa kesepian.

   Suatu hari sampailah mereka di Thay-ouw yang luas dengan pemandangan yang indah.

   Tiba-tiba terdengar suara suitan panjang, dari semak alang-alang sana muncul sebuah perahu kecil, si tukang perahu lantas menyapa dengan tertawa.

   "Apakah Hi-kongcu dari Pek-hoa-kok yang datang?"

   Hi Giok-hoan menjadi heran, jawabnya.

   "Darimana kau mendapat tahu? Rasanya kita pun belum pernah bertemu!"

   "Kedatangan kalian sebelumnya Ong Ce-cu sudah menerima kabar, maka atas perintah Ong Cong-cecu, aku sengaja menunggu kedatangan di sini."

   Maka tanpa ragu-ragu lagi Hi Giok-hoan bertiga lantas naik ke perahu itu.

   Giok-hoan coba mencari keterangan kepada si tukang perahu tentang Kok Siau-hong serta Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi tukang perahu itu hanya dapat menerangkan tentang Kok Siau-hong yang memang berada di Thay-ouw, sedangkan Sin Liong-sing dan istrinya tidak diketahuinya.

   Sebagai Ong Ce-cu atau pemimpin besar dari ketujuhpuluh dua kelompok bajak di Thay-ouw, Ong Ih-ting bermarkas besar di Tong-ting-ouw barat.

   Maka ke sanalah perahu itu didayung.

   Setiba di tepi seberang sana, mereka lantas meninggalkan perahu dan mendaki bukit.

   Ternyata Ong Ih- ting dan Kok Siau-hong sudah menantikan kedatangan mereka di tengah bukit.

   Pertemuan antara sahabat baik sudah tentu sangat menggembirakan, cuma di antara rasa gembira itu mau tak mau Giok-hoan rada kikuk juga bila ingat peristiwa kericuhan perkawinan Kok Siau-hong dan keonaran yang ditimbulkan adik perempuannya, yaitu Hi Giok-kun, dahulu itu.

   Ong It-ting tidak tahu persoalannya, segera ia menyapa.

   "Hi-siauhiap, kalian datang dari tempat Bun-tayhiap bukan? Sungguh menyesal aku tidak sempat hadir pada pernikahan adik perempuanmu dengan murid pewaris Bun-tayhiap."

   "Apakah adik perempuanku belum sampai di sini?"

   Tanya Giok-hoan dengan terkejut.

   "Padahal menurut Bun-tayhiap, dia berangkat ke sini bersama Liong-sing, mengapa belum tiba?"

   Ong Ih-ting menjadi heran juga, katanya.

   "Apa betul? Jika begitu mungkin mereka bertemu sesuatu urusan di tengah jalan. Tapi kau pun jangan kuatir, setiap tokoh persilatan daerah Kang-lam siapa yang tidak kenal murid pewaris Bun Beng-cu? Andaikan ada persoalan tentu juga takkan terjadi apa-apa yang tak terduga, kalian boleh tinggal saja di sini, nanti kukirim orang untuk mencari berita tentang mereka."

   Karena sudah datang, mau tak mau Giok-hoan bertiga menerima baik tawaran tuan rumah itu.

   Malamnya Giok-hoan tidur bersama Kok Siau-hong, mereka bercakap hingga jauh malam saling menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah, keduanya sama-sama merasa terharu.

   Kemudian Giok-hoan menambahkan.

   "Beberapa hari yang lalu di istana perdana menteri Han To-yu di Lim-an aku telah bertemu satu orang, kau tentu tidak pernah menyangkanya."

   "Siapakah dia?"

   Tanya Kok Siau-hong.

   "Sin Cap-si-koh,"

   Jawab Giok-hoan. Benar juga Kok Siau-hong sangat heran, katanya.

   "Mengapa dia bisa muncul di tempat perdana menteri dorna itu?"

   Giok-hoan lantas menceritakan pengalamannya, Kok Siau-hong sangat heran dan melenggong, katanya kemudian.

   "Terus terang aku juga sedang mencari Sin Cap-si-koh."

   "Kau hendak mencari dia? Untuk apa?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Ayah Pwe-eng terluka dan dirawat di rumah Sin Cap-si-koh, tapi dia malah menghilang, tentu saja Pwe-eng sangat kuatir, untuk menemukan ayah Pwe-eng bukankah mesti mencari dia dulu?"

   Giok-hoan menghela napas, katanya.

   "Syukur waktu itu kau tidak menemukan Han Lo-enghiong."

   Siau-hong paham maksudnya, kalau saja waktu itu dirinya bertemu dengan Han Tay-wi pastilah akan dikemukakan persoalan pembatalan perjodohannya dengan Han Pwe-eng, siapa duga perubahan selama setahun ternyata besar sekali, mau tak mau Siau-hong tersenyum kuatir.

   Perubahan sesuatu urusan terkadang memang jauh di luar dugaan orang, begitulah apa yang dialami Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun.

   Mereka suami-istri diperintahkan oleh Bun Yat-hoan untuk mengadakan kontak dengan Ong Ih-ting di Thay-ouw.

   Suatu hari sampailah mereka di daerah pegunungan di Ciat-kang barat, untuk memburu waktu, mereka mengambil jalanan kecil di lereng pegunungan.

   Di tengah jalan tiba-tiba Sin Liong-sing teringat pada sesuatu, katanya.

   "Adik Kun, setiba di Thay-ouw mungkin sekali kau akan bertemu dengan seorang yang tak tersangka olehmu."

   Melihat sikap Sin Liong-sing yang rada aneh, lapat-lapat dalam hati Hi Giok-kun sudah dapat menduga siapa yang dimaksud, omelnya kemudian.

   "Sebenarnya siapa yang kau maksud?"

   "Kok Siau-hong,"

   Jawab Liong-sing dengan dingin.

   "Tempo hari kudengar dia bilang pada Suhu bahwa dia akan berkunjung ke Tay-ouw."

   Perasaan Giok-kun sangat pedih, tapi ia sengaja berkata.

   "Biarpun bertemu dengan dia memangnya kenapa lagi? Ai, Liong-sing, kita kan sudah menjadi suami-istri, masakah kau masih tidak percaya padaku?"

   "Kau tidak mencela diriku, sungguh aku sangat berterima kasih padamu,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Cuma sejak aku dipedayai oleh budak keparat itu, aku dan kau hanya resminya saja menjadi suami-istri, tapi kenyataannya tidak. Sungguh aku aku merasa tidak enak sekali terhadap kau. Ai, entah kini Kok Siau-hong sudah kawin belum? Jika....."

   "Jangan kau teruskan lagi,"

   Sela Giok-kun dengan wajah merah.

   "yang utama bagi suami-istri adalah kerukunan dan saling mencintai, masakah yang dipikir hanya kenikmatan dan kesenangan belaka? Pendeknya, mengenai hal ini selanjutnya jangan kau sebut-sebut lagi."

   Walaupun begitu ucapannya, tapi perasaan Giok-kun sebenarnya tidak enak. Tanpa terasa terkenanglah kebaikan Kok Siau-hong di masa lampau.

   "Apakah benar aku suka kepada Liong-sing? Atau aku tamak akan menjadi nyonya Bu-lim-beng-cu yang akan datang, maka aku kawin dengan dia?" ~ Begitulah tanpa sengaja dia membongkar rahasia isi hatinya sendiri, diam- diam Giok-kun menjadi malu sendiri. Cuaca hari itu lembab, udara mendung, perasaan mereka berdua juga seperti diliputi selapis bayangan gelap. Sin Liong-sing tidak berani memancing lagi jalan pikiran istrinya itu, Giok-kun juga tidak berhasrat buat mengobrol lagi. Kedua orang berjalan dengan bungkam. Ketika sampai di suatu lintasan jalan yang curam di lereng gunung, tiba- tiba terlihat seorang pengemis tua berbaring melintang di tengah jalan. Jalanan itu adalah jalan pegunungan yang bertepikan jurang dan di sebelahnya adalah tebing gunung yang terjal. Tempat yang ditiduri pengemis tua itu adalah tempat yang sangat berbahaya, pengemis itu hanya berbantalkan sepotong batu saja, bila dia sedikit membalik tubuh pasti akan tergelincir ke dalam jurang. Diam-diam Sin Liong-sing mendongkol terutama karena pikirannya sedang kesal, tanpa pikir ia lantas memaki.

   "Pengemis busuk, dari manakah ini, kau ingin mampus bukanlah urusanku, yang jelas kau telah merintangi jalan lewat kami."

   "Sabarlah, kasihan dia, bangunkan dia saja,"

   Ujar Giok-kun.

   "Kau jaga di sebelahnya agar dia tidak tergelincir ke bawah."

   "Hah, masakah kau suruh aku meladeni pengemis busuk begini, ai, kau teramat baik hati,"

   Kata Liong-sing.

   "Cara tidurnya itu sangat berbahaya, kata Buddha, menolong jiwa seorang melebihi membangun tujuh tingkat budur (candi), kita kan juga tidak terburu-buru dalam perjalanan,"

   Kata Giok-kun.

   "Baik, kuturut kehendakmu,"

   Sahut Liong-sing dengan tertawa.

   Tapi dalam hati sebenarnya ia anggap sang istri terlalu suka cari urusan.

   Begitulah Giok-kun lantas mendekati pengemis tua itu dan memanggilnya beberapa kali, tapi bukannya mendusin, sebaliknya pengemis tua itu mengorok terlebih keras.

   "Nah, apa kataku, tidurnya saja seperti orang mampus, buat apa mengurus dia?"

   Ujar Liong-sing.

   "Hayolah kita melompat ke sana saja kan beres!"

   Belum selesai ucapannya, sekonyong-konyong pengemis tua itu membalik tubuh dan bangkit berduduk sehingga Giok-kun terkejut. Pengemis tua itu kucek-kucek matanya yang sepat, kemudian mengomel.

   "Huh, orang sedang enak tidur, kalian justru datang mengganggu, sungguh tidak tahu aturan!"

   Dengan gusar Liong-sing menjawab.

   "Persetan, kami bermaksud baik hendak menolong jiwamu, tapi kau malah memaki kami. Benar benar ditolong malah kena dipentung!"

   "Hm, tadi kau yang mengutuk aku sebagai orang mampus bukan?"

   Damprat pula si pengemis tua.

   "Kukira kau yang mampus dan aku tetap hidup, siapa sudi ditolong olehmu?"

   Keruan Sin Liong-sing naik pitam, baru saja dia hendak melabrak si pengemis tua, cepat Giok-kun melerainya.

   "Sudahlah, buat apa kau melayani dia, kalau dia tidak mau terima maksud baik kita, biarlah kita tinggalkan saja."

   Sambil membuka tutup sebuah Hio-lo (buli-buli terbuat dari sejenis labu yang dikeringkan) sehingga terendus bau arak yang sedap, lalu pengemis tua itu berkata pula.

   "Anak dara ini rada baik hati, marilah sini, kusuguh kau minum arak!"

   "Hm, siapa ingin minum arakmu, lekas kau minggir!"

   Jengek Sin Liong- sing. Pengemis tua itu balas mendengus.

   "Hm, orang lain ingin minum saja belum tentu kuberi. Kau bocah busuk ini tahu urusan apa? Kalau tidak mau, lekas kau enyah dari sini!"

   "Liong-sing, sudahlah, jangan ribut dengan dia,"

   Cepat Giok-kun melerai pula.

   "Marilah kita berangkat saja!"

   "Memangnya siapa sudi ribut dengan kaum pengemis!"

   Omel Sin Liong- sing sambil melangkah ke depan, sayup-sayup terdengar si pengemis tua masih mendengus dan mengomel. Di tengah jalan Sin Liong-sing menggerundel dengan penasaran.

   "Adik Kun, sudah kusuruh kau jangan pedulikan pengemis busuk itu, coba bagaimana jadinya, bukannya dia berterima kasih malahan kita yang diolok- olok."

   "Liong-sing, kukira pengemis tua itu adalah orang kosen kalangan Kang- ouw. Kalau pengemis biasa mana berani tidur di tempat berbahaya seperti tempat tadi, apa dia sengaja bergurau dengan nyawa sendiri? Selain itu, ucapannya yang terakhir tadi rasanya juga mencurigakan."

   Yang dimaksud Giok-kun adalah tawaran arak si pengemis tua tadi.

   Sebagai pemuda yang cerdik, segera Sin Liong-sing juga lantas paham apa yang dimaksud istrinya.

   Ia menjadi rada menyesal akan kecerobohan sendiri tadi dan bertengkar dengan pengemis itu.

   Tapi bila teringat dirinya sendiri adalah murid pewaris Bun-lim-beng-cu daerah Kang-lam, biarpun pengemis tua itu adalah orang kosen Kang-ouw juga takkan menjadi soal, karena itu dia tidak mau mengaku salah di depan Giok-kun, dengan tertawa yang dibuat-buat ia malah menjawab.

   "Ah, dari mana datangnya orang kosen sebanyak itu? Janganlah kau sembarangan menduga."

   Siapa tahu, tidak jauh mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar pula berjangkitnya suara orang mengorok. Waktu Giok-kun memandang ke depan, serentak ia melonjak kaget dan berseru.

   "Lihat, Liong-sing!"

   Ternyata pada lintasan jalan di depan sana, kembali terlihat pengemis tua itu berbaring dengan berbantalan sepotong batu dan sedang tidur nyenyak, malah mulutnya tampak mengilerkan liur arak.

   Setidaknya mereka sudah melanjutkan perjalanan beberapa lie jauhnya, meski mereka tidak menggunakan Ginkang, tapi jalannya juga jauh lebih cepat daripada orang biasa.

   Apalagi jalan pegunungan itu hanya ada sebuah saja, untuk bisa melampaui mereka paling tidak pengemis tua itu harus melintasi lereng gunung lain.

   Kini pengemis tua itu ternyata dalam waktu singkat sudah berbaring dan tertidur di lintas jalan bagian depan mereka, keruan Giok-kun terperanjat.

   "Jangan gugup,"

   Dengan suara tertahan Liong-sing membisiki istrinya.

   "Setiap tokoh persilatan di daerah Kang-lam pasti dikenal guruku. Memang betul tadi aku telah memaki dia, tapi mengingat kedudukan Suhu betapa pun dia takkan marah padaku."

   Maka Giok-kun lantas berseru kepada si pengemis tua.

   "Harap Lo- cianpwe memaafkan kepicikan kami yang tidak kenal orang kosen."

   Pengemis tua itu membuka mata sambil mengulet kemalas-malasan, lalu mendengus.

   "Hm, kembali kalian lagi, mengapa kalian selalu mengganggu orang tidur?"

   "Sebab apakah Lo-cianpwe menggoda kami?"

   Tanya Liong-sing.

   "Huh, siapa iseng untuk menggoda kalian segala?"

   Jengek pengemis tua.

   "Coba jawab pertanyaanku, Bun Yat-hoan pernah apamu?"

   "Guruku,"

   Jawab Liong-sing.

   "Ya, memang sudah kuduga sejak tadi, jadi kau ini murid pewarisnya yang bernama Sin Liong-sing bukan?"

   Pengemis tua itu manggut-manggut. Lalu menambahkan pula.

   "Dan Sin Cap-si-koh adalah bibimu bukan?"

   Dengan girang Sin Liong-sing menjawab.

   "Betul. Kiranya Lo-cianpwe juga kenal pada bibi, sungguh bagus sekali."

   "Pantas, kau mempunyai guru yang menjabat Bu-lim-beng-cu, pula mempunyai bibi yang disegani, dengan dukungan kedua tokoh itu, makanya kau semakin congkak,"

   Demikian jengek si pengemis tua. Sin Liong-sing terkejut, cepat berkata.

   "Mana Wanpwe berani, mohon....."

   Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong pengemis tua itu menghirup araknya dan mendadak disemburkan ke arah Sin Liong-sing.

   Arak bercampur dengan ludah, keruan Sin Liong-sing basah kuyup seluruh kepala dan mukanya.

   Biasanya dimana-mana Sing Liong-sing selalu dihormati orang, mana dia pernah dihina orang sedemikian rupa.

   Tentu saja ia menjadi kalap walaupun tahu si pengemis tua pasti orang kosen.

   Tanpa pikir ia terus melolos pedang dan menusuk sambil membentak.

   "Peduli siapa kau, biar Siau-ya mengadu jiwa padamu!"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ilmu pedang Sing Liong-sing adalah pembauran dari ilmu silat dua sumber yaitu dengan dasar ilmu pedang ajaran Sin Cap-si-koh yang aneh dan lihai ditambah dengan ilmu Tiam-hiat yang terkenal dari gurunya, yaitu Thi-pit-su-sing Bun Yat-hoan.

   Pedang digunakan sebagai Boankoan-pit, sekaligus ia menotok tujuh tempat Hiat-to si pengemis tua.

   Tapi pengemis tua itu hanya terbahak-bahak saja, katanya.

   "Sekali pun potlot baja Bun Yat-hoan juga kuanggap sepele, tapi kau berani pamer kepandaian di hadapanku. He, he, ini namanya main kapal di depan tukang kayu!"

   Belum lenyap suaranya.

   "creng", tahu-tahu pedang Sin Liong-sing telah kena diselentik ke samping. Cepat Sin Liong-sing bermaksud ganti serangan lain, tapi terasa tubuhnya kesemutan, tahu-tahu Hiat-to sudah tertotok oleh si pengemis tua sehingga tak bisa berkutik. Cara bagaimana pengemis tua itu menotoknya saja tidak diketahuinya dengan jelas. Saat itu Hi Giok-kun baru saja akan melolos pedang buat membantu sang suami, tapi demi nampak Liong-sing sudah terkalahkan, seketika pikirannya berubah dengan cepat, ia tahu pasti bukan tandingan si pengemis tua, lebih baik kalau mohon kemurahan hatinya saja daripada melawannya dengan kekerasan, bukan mustahil pengemis tua itu cuma gusar lantaran ketidak sopanan Liong-sing dan hanya memberi hajaran sekadarnya agar tahu rasa saja. Belum Giok-kun bertindak apa-apa, tiba-tiba pengemis tua itu bergelak tertawa dan berkata.

   "Kau ini istrinya bukan? Kulihat hatimu jauh lebih baik daripada dia."

   "Mohon kemurahan hati Lo-cianpwe dan sudi melihat muka gurunya, Bun-tayhiap, sukalah memaafkan kesalahannya tadi,"

   Segera Giok-kun memohon.

   "Aku tidak dapat digertak dengan nama Bun Yat-hoan, aku pun tidak perlu memberi muka kepadanya,"

   Jawab pengemis tua itu.

   "Tapi, he, he, karena kau yang minta, boleh juga kuterima."

   "Jika begitu mohon Lo-cianpwe meluluskan permohonanku dan aku pun mintakan maaf baginya....."

   "Ha, ha, ha!"

   Kembali pengemis tua itu tertawa.

   "Kudengar murid pewaris Bun Yat-hoan telah menikah, tapi tampaknya kini agaknya kalian belum pernah tidur sekamar, bukan? Kelihatannya kau cukup setia padanya, apakah kau benar-benar suka padanya?"

   Rupanya pengemis tua itu telah dapat melihat keadaan Hi Giok-kun yang masih suci bersih, masih perawan tulen dan belum dijamah oleh Sin Liong- sing selaku suaminya. Keruan muka Giok-kun menjadi merah jengah, katanya.

   "Kawin dengan babi tentu ikut babi, kawin dengan ayam ikut ayam, baik atau jelek dia adalah suamiku, maka mohon Locianpwe janganlah mencemooh diriku."

   Mendadak si pengemis tua berkata pula dengan air muka serius.

   "Baik, kalau begitu aku akan bicara hal yang bukan mencemoohkan dan kau harus menjawab dengan terus terang dan sejujurnya!"

   "Silakan Locianpwe bertanya, asalkan Wanpwe tahu tentu akan kuberitahu,"

   Jawab Giok-kun. Dengan sinar mata tajam pengemis tua itu menatap Giok-kun, lalu bertanya.

   "Tentang rahasia Hiat-to-tong-jin, sampai berapa banyak yang kau ketahui? Aku tidak mempercayai suamimu, makanya aku tanya padamu."

   Giok-kun tercengang, jawabnya kemudian.

   "Rahasia Hiat-to-tong-jin apa maksudmu? Dengar saja belum pernah aku."

   "Masakah selama ini Sin Cap-si-koh tak pernah bicara hal ini dengan kau?"

   Pengemis tua itu menegas.

   "Tidak pernah, sejak kami menikah belum pernah ku bertemu dengan bibinya,"

   Kata Giok-kun.

   "Sebelumnya?"si pengemis tua menegas pula.

   "Sebelumnya aku juga tinggal semalam saja di rumahnya, waktu itu aku baru kenal bibinya, andaikan dia mempunyai rahasia sesuatu juga takkan diberitahukan padaku,"

   Kata Giok-kun.

   "Dan itu istri muda Ciau Goan-hoa yang bernama Ko Siau-hong, apakah kalian pernah bertemu dengan dia?"

   Tanya si pengemis tua.

   "Nama Ciau Goan-hoa memang pernah kudengar, tapi selamanya tak pernah bertemu dengan dia, lebih-lebih mengenai istrinya yang tua atau yang muda segala,"

   Kata Giok-kun. Pengemis tua itu seperti merenungkan sesuatu, sejenak baru berkata pula.

   "Baik, sementara kuanggap ucapanmu memang benar. Tapi terpaksa kalian harus menjadi sandera dulu bagiku."

   "Hah, jadi engkau hendak menahan kami? Kami masih ada urusan penting yang harus diselesaikan!"

   Seru Giok-kun kaget.

   "Aku sudah cukup baik kepadamu, siapa mau peduli lagi tentang urusanmu segala,"

   Jengek pengemis tua itu.

   "Baiklah, jika kau tidak mau ikut suamimu, kau sendiri boleh pergi saja."

   "Tidak, jika suamiku kau tahan di sini, betapa pun aku harus mengiringinya, cuma engkau harus menjelaskan apa alasannya kau menahan kami?"

   Tanya Giok-kun.

   "Baik, biar kukatakan terus terang. Bahwasanya kalau cuma seorang Sin Cap-si-koh saja aku tidak gentar, soalnya dia masih mempunyai seorang sahabat baik bernama Han Tay-wi, kalau mereka berdua bergabung mencari setori kepadaku, kukira pengemis tua bukanlah tandingan mereka. Tapi kalau keponakannya tergenggam di tanganku, mau tak mau dia harus berpikir dua kali sebelum bertindak."

   "Entah Lo-cianpwe ada persengketaan apa dengan bibinya?"

   Tanya Giok- kun pula.

   "Hm, kukira kau sudah terlalu banyak bertanya,"

   Jengek pengemis tua.

   "Pendek kata, aku tidak akan memaksa kau tinggal atau pergi, jika kau ingin ikut suamimu, ya tinggal saja di sini dan ikutlah!" ~ Habis itu si pengemis tua lantas menyeret pergi Sin Liong-sing. Cepat Giok-kun berlari menyusulnya dan berkata.

   "Tolong tanya, siapakah nama Lo-cianpwe yang mulia?"

   "Kau anak dara ini benar-benar cerewet!"

   Bentak si pengemis tua dengan gusar.

   "Jika mau panggil, boleh panggil pengemis tua, begitu saja kan beres."

   Giok-kun tidak berani tanya lagi, ia pikir kepandaian pengemis tua ini begini lihai, tentulah tokoh tertinggi dari Kay-pang.

   Dengan menyeret satu orang, cara berjalan pengemis tua itu ternyata tetap cepat dan kuat, jalan pegunungan yang tidak rata itu dianggapnya bagai jalan datar saja.

   Meski Giok-kun sudah keluarkan segenap Ginkangnya toh masih tetap ketinggalan di belakang.

   Agaknya pengemis tua itupun tahu sampai dimana kepandaian Giok- kun, dia tidak pernah menoleh ke belakang, tapi jarak keduanya selalu dipertahankan belasan meter jauhnya, sehingga Giok-kun tidak ketinggalan terlalu jauh.

   Tiba-tiba Giok-kun mendapat suatu akal.

   Sebagai nona yang sayang akan kecantikan sendiri, setiap kali keluar rumah selalu Giok-kun membawa satu kotak kecil pupur dan gincu.

   Melihat si pengemis tua berada di depan tidak pernah menoleh, maka dengan tabah Giok-kun membuka kotak pupur, ia mencolek sedikit gincu dengan kuku, lalu dibuat menulis di atas saputangan yang berbunyi.

   "Kami ditawan seorang pengemis tua, barang siapa menemukan saputangan ini harap mengantarkannya kepada Ong Ce-cu di Thay-ouw, sebagai upah tersedia tusuk kundai emas ini. Tertanda Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun."

   Dia menulis secara terburu-buru dan sambil berjalan, karena itu tulisannya tidak keruan macamnya, namun cukup jelas untuk dibaca.

   Selesai menulis, ia cabut tusuk kundai emas yang dipakainya, saputangan bertulisan itu dilipat dan disundukkan dengan tusuk kundai, lalu ditancapkan pada sebatang pohon di tepi jalan.

   Pengemis tua itu berjalan jauh di depan, sehingga tidak tahu perbuatannya itu.

   Harapan ditemukannya tusuk kundai dan saputangan itu oleh orang yang lewat di situ sudah tentu sangat tipis, tapi sedikitnya masih ada setitik harapan daripada tidak ada sama sekali.

   Mengenai sebab apa Giok-kun minta penemu saputangan ini mengirim kabar kepada Ong Ce-cu di Thay- ouw dan bukan kepada Bun Yat-hoan, guru Sin Liong-sing, yakni ada dua alasan.

   Pertama, jarak tempat ini dengan Thay-ouw hanya perjalanan dua hari saja, sedangkan jarak dengan tempat kediaman Bun Yat-hoan memakan waktu perjalanan tujuh hari.

   Karena ingin lebih cepat tertolong, dengan sendirinya ia merasa lebih baik minta bala bantuan kepada Ong Ih-ting.

   Kedua, tempat ini termasuk wilayah kekuasaan Ong Ih-ting, rakyat sekitar Thay-ouw menyukai kepemimpinan Ong Ih-tiong, antara rakyat jelata dengan laskar ada hubungan baik, kalau saja saputangan itu ditemukan tukang cari kayu atau pemburu, besar harapan akan disampaikannya kepada Ong Ih-ting.

   Begitulah Giok-kun terus mengikuti si pengemis tua yang menyeret lari Sin Liong-sing, tanpa terasa mereka mendaki sebuah puncak gunung, setiba di atas puncak, tertampak di situ ada sebuah rumah batu.

   Tiba-tiba terdengar suara orang berseru.

   "Ah-uh, ah-uh!" ~ Dari hutan sana tertampak berlari keluar seorang bocah tanggung berusia enambelas atau tujuhbelas dengan mengenakan baju kulit binatang, meski usianya masih muda, tapi perawakan bocah itu sangat kekar, tingginya hampir sama dengan si pengemis tua. Malahan bocah tanggung itu memanggul seekor harimau kumbang yang sangat besar, begitu besar sehingga kedua kaki harimau itu terseret di tanah meski tubuh bocah itupun cukup tinggi.

   "Hou-ji, kusuruh kau menjaga rumah, kenapa kau tidak menurut dan pergi memburu harimau lagi,"

   Omel si pengemis tua. Bocah tanggung itu entah mendengar tidak omelan itu, dia hanya tertawa dungu sambil memandangi Giok-kun.

   "Muridku ini bisu dan dibesarkan di pegunungan, jarang sekali bertemu orang luar,"

   Tutur si pengemis tua.

   "Cuma dia tiada bermaksud jahat kepadamu, kau jangan takut."

   Maka dengan tertawa pengemis tua mengomel lagi kepada bocah bisu itu.

   "Dia adalah istri orang, kenapa kau menatap orang saja?"

   Muka bocah yang kehitam-hitaman itu mendadak bersemu merah, tenggorokannya mengeluarkan suara "ou-ou"

   Yang tak jelas. Tapi si pengemis tua lantas menjelaskan.

   "Nona Hi, dia bilang kau cantik."

   Diam-diam Giok-kun membatin, kalau bocah tanggung itu mampu membinasakan seekor harimau kumbang dengan bertangan kosong, maka tidak perlu dijaga si pengemis tua, cukup bocah tanggung itu saja yang mengawasi mungkin kami pun sukar melarikan diri.

   Setelah masuk ke rumah batu itu, si pengemis tua menggusur Sin Liong- sing ke dalam gudang kayu, katanya dengan tertawa.

   "Maaf, calon Bu-lim- beng-cu yang gagah, silakan kau menderita beberapa hari di kamar apek ini, kalau bibimu sudah datang, asal dia mau mohon padaku tentu segera kubebaskan kau." ~ Habis berkata, perlahan ia menepuk bahu Sin Liong- sing, seketika Hiat-to yang tertotok tadi terbuka. Boleh dikata tidak pernah mendapat penghinaan begitu rupa, keruan Sin Liong-sing menjadi gusar, apalagi dari nada si pengemis tua tadi agaknya dia juga rada miring terhadap sang bibi. Maka ia lantas balas mendengus.

   "Hm, kalau berani boleh kau bunuh aku saja! Huh, o, aduh, aduuuh!"

   Demikian mendadak ia menjerit kesakitan karena seluruh badan serasa dibakar, rasanya sukar dilukiskan. Mestinya dia hendak memaki lagi, tapi sudah tidak sanggup.

   "Hm, buat apa kubunuh kau? Kan lebih baik biar kau tahu rasa lebih banyak?"

   Demikian jengek si pengemis tua.

   "Hm, jika mulutmu masih keras, segera akan kuberi rasa yang lebih lihai bagimu!"

   Giok-kun menjadi kuatir, lekas dia minta ampun bagi sang suami. Karena itu si pengemis tua baru tertawa dan berkata.

   "Baik, mengingat dirimu, boleh kuampuni dia satu kali."

   Habis itu dia sengaja membanting buli-buli araknya ke lantai, lalu berkata pula.

   "Ilmu Tiam-hiatku yang khas ini, barang siapa sudah kutotok dan meski kupunahkan totokanku, namun dia masih harus menderita lagi selama tiga hari, hanya kalau sudah minum arak ini barulah terbebas dari siksaan itu. Nah, kau mau minum arak ini tidak? Cuma arak ini sudah tercampur ludahku!"

   Saking tidak tahan rasa badan yang seperti dibakar, terpaksa Cin Liong- sing pegang buli-buli itu terus ditenggak beberapa teguk sembari menahan napas. Tapi si pengemis tua lantas merampas kembali buli-buli itu, katanya dengan tertawa.

   "Huh, jangan kau berlagak sebagai tuan besar? Mungkin kau anggap ludah si pengemis tua kotor dan bau, tapi pengemis bau justru merasa sayang arak ini terlalu banyak kau minum."

   Setelah minum arak itu, benar juga Liong-sing merasa seluruh badan cepat menjadi segar, hanya tubuh masih lemas, sukar mengeluarkan tenaga.

   Sungguh tidak kepalang kejutnya terhadap ilmu Tiam-hiat si pengemis tua itu, maka dia tidak berani lagi sembarangan buka mulut.

   "Eh, nona Hi,"

   Si pengemis tua berkata.

   "karena kau rela tinggal di sini untuk melayani suamimu, maka aku boleh memberi kebebasan padamu untuk bergerak dengan sesukamu. Kapan kau mau pergi dari sini aku pun takkan merintangi, asal saja kau tidak membawa serta dia."

   Kemudian dia menoleh kepada bocah bisu tadi dan berkata pula.

   "Apa yang kubicarakan dengan mereka sudah jelas tidak bagimu?"

   Bocah bisu itu manggut-manggut. Lalu si pengemis tua menambahkan.

   "Bilamana aku tidak di rumah dan orang ini berusaha lari, maka kau boleh hantam remuk kedua kakinya, jika nona ini mau pergi, maka tak perlu kau merintangi."

   Kembali bocah itu mengangguk sebagai tanda mengerti. Sesudah si pengemis tua pergi, dengan muka merah Sin Liong-sing berkata kepada Giok-kun.

   "Adik Kun, biarpun kau ingin memenuhi kewajiban sebagai istri, tapi sebenarnya kita hanya suami-istri nama kosong belaka, kalau perlu, tidak usah kau ikut menderita bersamaku."

   Kini Giok-kun sudah kenal watak Liong-sing yang berjiwa sempit, bahwasanya dirinya rela ikut menderita, tapi malah dicemohkan, tanpa terasa matanya menjadi merah, katanya kemudian.

   "Kita sudah menjadi suami-istri secara resmi dan sah, mengapa kau masih berkata demikian? Ai, kita sekarang berada di dalam cengkeraman orang, kukira lebih baik kau bersabar sementara saja."

   Mau tak mau Sin Liong-sing juga merasakan ucapannya tadi rasa kelewatan, diam-diam ia pun merasa menyesal, katanya kemudian.

   "Adik Kun, kau terlalu baik padaku, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana berterima kasih padamu."

   "Antara suami-istri masakah perlu kata-kata rendah hati begitu?"

   Ujar Giok-kun dengan tersenyum, walaupun begitu, dalam hati Giok-kun lantas teringat kepada Kok Siau-hong yang sangat ramah dan mesra padanya, mau tak mau ia menjadi murung.

   Kembali mengenai Hi Giok-hoan.

   Sudah beberapa hari dia berada di tempat Ong Ih-ting di Thay-ouw, tapi masih belum nampak datangnya adik perempuan dan Sin Liong-siong, juga berita mereka tidak diperoleh, maka ia menjadi gelisah.

   Suatu hari datanglah seorang pengemis setengah tua, seorang murid Kay- pang berkantong delapan, namanya Ta Ek.

   Setelah Ong lh-ting memperkenalkan Hi Giok-hoan dan Kong-sun Bok kepada Ta Ek, mendadak Ta Ek bergelak tertawa dan berseru.

   "Wah, sungguh kebetulan sekali."

   "Kebetulan apa?"

   Tanya Ong Ih-ting melenggong. Ta Ek memandang Giok-hoan sekejap, lalu bertanya.

   "Hi-siauhiap, adik perempuanmu bernama Giok-kun bukan?"

   Giok-hoan terkejut dan bergirang, cepat ia menjawab.

   "Benar, apakah Ta Hiang-cu ada berita tentang adik perempuanku itu?"

   "Ya, untuk itulah aku datang ke sini,"

   Kata Ta Ek.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Coba silakan melihat ini dulu."

   Lalu Ta Ek mengeluarkan sebuah tusuk kundai emas dan sehelai saputangan. Giok-hoan terkejut dan berseru.

   "Tusuk kundai itu adalah milik adik perempuanku, darimanakah Ta Hiang-cu memperolehnya?"

   "Begini duduknya perkara,"

   Tutur Ta Ek.

   "Akhir-akhir ini di Siong-hong- nia muncul seorang pengemis tua yang mencurigakan, selama beberapa hari orang itu selalu bertiduran di tempat berbahaya di sekitar lereng bukit itu. Anak muridku menemukan jejaknya, semula disangkanya Tiang-lo (kaum tua) Kay-pang kami, maka aku telah diberi laporan. Ketika aku datang ke sana dan mengintainya secara diam-diam, kutahu dia bukan orang Kay-pang kami. Aku menjadi curiga dan lantas bersembunyi di bukit Siong-hong-nia untuk mencari tahu apa maksud tujuan pengemis tua itu. Pada esok paginya kulihat adik perempuanmu dan suaminya berlalu di bukit itu dan terjadilah urusannya!"

   Perlu diketahui bahwa Ta Ek adalah pimpinan Kay-pang wilayah Siong- hong-nia dan sekitarnya.

   Dalam pada itu Ong Ih-ting telah membentang saputangan yang disodorkan Ta Ek tadi, lalu mulai membaca tulisan di atas saputangan yang ditulis oleh Hi Giok-kun itu.

   Giok-hoan terkejut setelah membaca, serunya.

   "Kiranya mereka tertawan oleh pengemis tua itu. Siapakah gerangan si pengemis tua? Begitu tinggi kepandaiannya, masakah dia tidak tahu kalau Sin Liong-sing adalah murid pewaris Bu-lim-beng-cu Bun-tayhiap?"

   "Justru lantaran kepandaian pengemis tua itu teramat tinggi, aku merasa bukan tandingannya, maka waktu itu aku tidak berani bertindak apa-apa,"

   Tutur Ta Ek pula.

   "Adik perempuanmu juga salah sangka dia adalah anggota Kay-pang, maka urusan ini mau tak mau Kay-pang kami harus ikut campur. Mestinya aku hendak mengirim kabar kepada Pang-cu kami, namun Pang- cu jauh berada di utara, maka kupikir lebih baik melaksanakan pesan adikmu saja dan kusampaikan berita ini kepada Ong Cong-cecu."

   "Ya, betapa pun kita harus bertindak,"

   Kata Ong Ih-ting.

   "Cuma jika terlalu banyak orang yang pergi ke sana mungkin akan mengejutkan musuh. Sebaliknya kepandaian pengemis tua itu teramat tinggi, kita harus mencari beberapa tokoh pilihan untuk menghadapi dia."

   Giok-hoan tahu dalam situasi yang gawat itu Ong Ih-ting tak dapat meninggalkan tugasnya di Thay-ouw, maka ia lantas berkata.

   "Kami bertiga saja yang pergi, kukira sudah cukup kuat untuk menempur pengemis tua itu. Harap saja Ta Hiang-cu suka menunjuk jalan kami, Ong Ce-cu diharap jangan kuatir."

   Ong Ih-ting sudah menyaksikan kepandaian mereka, ia pikir dengan kekuatan tiga jago muda itu rasanya memang sudah cukup kuat untuk menghadapi musuh.

   Maka ia pun tidak keberatan dan menyatakan setuju.

   Namun Giok-hoan masih merasa kuatir, di tengah jalan ia coba tanya Ta Ek.

   "Dari sini ke Siong-hong-nia kira-kira makan waktu berapa lama?"

   "Dengan cara berjalan kita, asal cepat sedikit kukira dalam dua hari akan dapat sampai,"

   Jawab Ta Ek. Giok-hoan tampak kuatir, katanya.

   "Dan pulang pergi berarti makan waktu empat-lima hari, entah pengemis itu masih di sana tidak?"

   "Hal ini tidak perlu dirisaukan,"

   Ujar Ta Ek.

   "Setahuku, pengemis tua itu mempunyai sarang rahasia di Siong-hong-nia, orang luar sukar menemukannya, tapi aku sudah tahu tempatnya."

   "Kau pernah menyelidiki sarang rahasianya?"

   Tegas Giok-hoan.

   "Aku sendiri tidak, tapi seorang anak muridku yang menemukan sarangnya itu, hampir saja dia dipukuli murid si pengemis tua yang bisu,"

   Tutur Ta Ek.

   "O, jadi pengemis tua itu mempunyai murid pula?"

   Tanya Le Say-eng.

   "Ya, kepandaian anak muda bisu itu entah berapa tingginya, yang jelas tenaganya luar biasa besar,"

   Tutur pula Ta Ek.

   "Hari itu muridku pergi mencari daun obat-obatan, tanpa sengaja ia memasuki selat yang diapit oleh dua puncak bukit, dari jauh dilihatnya di sana ada sebuah rumah batu. Pada saat itulah mendadak terdengar suara gerungan harimau, suara harimau yang terluka. Kiranya seorang anak laki-laki tanggung dengan telanjang setengah badan sedang berkelahi dengan seekor harimau kumbang. Ketika muridku itu bermaksud memburu ke sana untuk membantunya, tapi setiba di sana harimau itu sudah dipukul mati oleh anak tanggung itu.

   "Melihat muridku, segera anak muda itu berteriak ah-uh-ah-uh tidak keruan, mendadak kepalannya menghantam sepotong batu besar sehingga hancur, lalu tangan memberi tanda agar lekas muridku pergi dari situ, maksudnya kalau muridku tidak lekas enyah segera kepalanya akan dihantam remuk seperti batu itu. Tapi muridku itu rada cerdik, ia keluarkan sepotong pia (penganan) dan memberi isyarat bahwa dia ingin berkawan dengan si gagu. Tampaknya anak muda bisu itu menjadi senang setelah makan pia itu. Tapi tetap berkeras mengusir muridku dengan memberi isyarat tangan, akhirnya muridku dapat memahami maksudnya, rupanya anak itu hendak mengatakan bahwa dia mempunyai guru yang sangat bengis dan serupa dengan muridku, yakni seorang pengemis, gurunya itu melarang orang asing mendatangi tempat itu, kalau sampai kepergok tentu bisa celaka. Coba pikir, gurunya yang dia maksudkan bukanlah pengemis tua itu?"

   Giok-hoan merasa lega, katanya kemudian.

   "Jika pengemis tua itu membuat sarang di atas bukit, mungkin sekali dia mengurung adik perempuanku di sana, cuma aku tidak mengerti, mengapa dia membikin susah Giok-kun, seingatku kami belum pernah melihat seorang pengemis tua macam begitu."

   "Bisa juga dia adalah musuh iparmu, Sin-siauhiap,"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Sudahlah, toh dua hari lagi kita akan sampai di sana dan segala sesuatu tentu akan menjadi jelas,"

   Ujar Le Say-eng dengan tertawa.

   Semula Hi Giok-kun juga heran mengapa si pengemis tua sengaja membikin susah suaminya, yaitu Sin Liong-sing.

   Pertanyaan itu mengeram selama tiga hari di dalam benaknya dan akhirnya terjawablah.

   Kiranya sebabnya ialah lantaran Sin Liong-sing itu keponakan Sin Cap-si-koh.

   Pengemis tua itu ternyata bisa pegang janji, dia sudah menyanggupi untuk memberi kebebasan kepada Hi Giok-kun, mau pergi atau mau tinggal boleh pilih sesukanya, sebab itu Giok-kun boleh bergerak dengan merdeka meski dia tidak mau meninggalkan sang suami.

   Malahan kalau si gagu sedang menanak nasi, terkadang Giok-kun suka keluar membantunya dan juga pergi mencarikan kayu bakar.

   Pada hari itu kembali Giok-kun pergi mencari kayu bakar, tiba-tiba didengarnya suara kuda meringkik, waktu ia menengadah, dilihatnya seorang lelaki berbaju hijau dengan topi belah semangka sedang melarikan kudanya ke lembah bukit itu.

   Giok-kun menjadi heran mengapa tempat sunyi itu ada orang lewat dengan berkuda, apakah mungkin dia adalah tamu si pengemis tua? Dalam pada itu orang berbaju hijau itupun sudah melihat Giok-kun, mendadak ia menggumam sendiri.

   "Alangkah cantiknya anak dara ini! Ha, ha, tampaknya malah lebih molek daripada anak perempuan Beng-sia-tocu itu."

   Kalau menuruti watak Hi Giok-kun, bila ada orang berani bersikap bangor begitu, tentu akan dilabrak olehnya.

   Tapi saat ini mereka suami-istri menjadi tawanan si pengemis tua, sedangkan orang ini mungkin sekali adalah tamunya, terpaksa ia anggap tidak mendengar gumaman orang itu, ia kumpulkan kayu bakar dan cepat-cepat pulang.

   Hanya dalam hati kini menjadi bertambah satu tanda tanya.

   "Orang tadi mengatakan anak perempuan Beng-sia-tocu, entah yang dimaksud itu nona Le yang pergi ke Kang-lam bersama kakakku itu atau bukan? Mengapa orang tadi mengenalnya?"

   Sejak Giok-kun berada di Kang-lam belum pernah dia kabar tentang kakaknya, yaitu Hi Giok-hoan.

   Tapi berita tentang keberangkatan Giok-hoan dan Le Say-eng ke Kang-lam telah diterimanya dari seorang budak tua dari rumahnya.

   Begitulah setiba kembali Giok-kun di kamar tahanan, benar juga lantas terdengar suara derapan kaki kuda yang berhenti di luar, lalu orang itu masuk ke dalam rumah, si pengemis tua lantas bergelak tertawa dan berkata.

   "Aku memang sudah menduga Ji-siauya tentu akan suruh kau ke sini, bukankah iblis perempuan itu sudah datang di istana perdana menteri dan Ji-siauyamu mengalami kesulitan?"

   Giok-kun menjadi bingung dan heran apa artinya Ji-siauya dari istana perdana menteri segala, mengapa orang berpangkat begitu mempunyai hubungan dengan kaum jembel seperti pengemis tua ini? Dalam pada itu terdengar lelaki baju hijau tadi menjawab dengan sangat hormat.

   "Ya, justru Ji-siauya yang menyuruhku melapor kepada engkau orang tua bahwa iblis perempuan itu telah menyusup ke istana perdana menteri dan sudah bertemu dengan Ji-siauya, katanya iblis perempuan itu akan menunggu engkau di sana saja."

   "Kau pulang saja dan suruh dia ke sini untuk menemui aku,"

   Kata pengemis-tua. Lelaki baju hijau itu tampak bersikap heran, katanya kemudian.

   "Tempat ini....."

   "Ya, tempatku ini dahulu sengaja kurahasiakan baginya, tapi sekarang tidak perlu lagi,"

   Ujar si pengemis tua dengan tertawa.

   "Hari ini juga kau boleh pulang, suruh Ji-siauya memberitahu iblis perempuan bahwa aku tidak ada tempo menemuinya di sana, kalau dia ingin menemui aku suruh ke sini saja."

   Orang itu mengiakan, lalu mohon diri.

   "Kukira kau juga tidak perlu terburu-buru, boleh duduk lagi sebentar, masih ada suatu urusan perlu kuberitahu padamu,"

   Kata pengemis tua.

   "O ya, sebenarnya aku pun ingin tanya engkau orang tua, apakah engkau baru saja menerima murid perempuan?"

   Kata orang itu.

   "Tidak,"

   Jawab si pengemis tua. Lalu ia pun tertawa dan menambahkan.

   "Ya, mungkin tadi kau telah melihat nyonya muda she Hi itu."

   "Siapakah....."

   Tanya lelaki itu.

   "Ialah menantu keponakan iblis perempuan she Sin itu,"

   Sela si pengemis tua dengan tertawa. Serentak Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun yang sedang pasang telinga itu terkejut, mereka baru tahu bahwa "iblis perempuan"

   Yang dibicarakan mereka itu kiranya adalah Sin Cap-si-koh.

   "O, kiranya begitu, cantik benar nyonya cilik itu,"

   Kata orang itu dengan tertawa. Dalam hati ia pun baru paham sebabnya si pengemis tua berani menyuruh iblis perempuan itu saja yang datang menemuinya, kiranya dia mempunyai sandera. Kemudian terdengar si pengemis tua berkata pula.

   "Kau biasa mengiringi Ji-siauya sekolah dan belajar silat, sekolahnya bagaimana aku tidak urus, aku cuma ingin tahu bagaimana latihan ilmu silatnya akhir-akhir ini?"

   "Belum lama Ji-siauya telah berkelahi dengan seorang anak muda yang tak diketahui asal-usulnya, dalam hal ilmu Tiam-hiat agaknya Ji-siauya kalah mahir daripada bocah itu,"

   Tutur lelaki itu.

   "Mungkin latihan Keng-sin-ci- hoat Ji-siauya masih belum sempurna, mestinya beliau hendak datang ke sini untuk minta petunjuk kepada engkau orang tua, tapi lantaran datangnya iblis perempuan itu, Ji-siauya menjadi tak bisa meninggalkan rumah."

   Kiranya pengemis tua ini adalah guru Han Hi-sun.

   Sedangkan lelaki baju hijau ini adalah kacung yang melayani Han Hi-sun sejak kecil, namanya An Tong.

   Dia sangat mendapat kepercayaan majikan muda itu, lantaran itu pula ia pun mahir ilmu silat.

   Keruan si pengemis tua terkesiap oleh keterangan tadi, katanya.

   "Apa katamu? Ilmu Tiam-hiatnya dikalahkan orang? Siapakah yang mampu menangkan Ji-siauyamu? Namanya siapa, sudahkah diselidiki?"

   "Ya, kemudian diketahui bahwa bocah itu adalah angkatan muda kenalan Pek-losuhu, namanya Kong-sun Bok,"

   Tutur An Tong. Si pengemis tua termenung sejenak, katanya kemudian.

   "Kong-sun Bok namanya? Apa mungkin dia adalah keturunan Kong-sun Ki yang pernah malang melintang di dunia Kang-ouw pada dua-tigapuluh tahun yang lalu. Kong-sun Ki pernah kukenal, dua macam ilmu racun yang dikuasainya memang sangat lihai, tapi bicara tentang ilmu Tiam-hiat dia toh tidak betapa hebat."

   "Ada lagi sesuatu hal aneh,"

   Tutur An Tong lebih lanjut.

   "Menurut Ji- siauya, katanya gaya Tiam-hiat bocah ini tampaknya mirip benar dengan ajaran engkau orang tua."

   "O, masakah begitu?"

   Si pengemis tua heran.

   "Wah, jika demikian perlu waspada, cobalah selidiki darimana asal-usul bocah bernama Kong-sun Bok itu. Eh, apa ada soal lain lagi yang hendak kau katakan?"

   "Masih ada dua muda-mudi yang datang bersama bocah Kong-sun Bok tempo hari itu,"

   Sambung lagi An Tong.

   "Siapa pula mereka itu?"

   Tanya pengemis tua.

   "Pemuda itu diketahui she Hi dari Pek-hoa-kok dan yang pemudi adalah anak perempuan Beng-sia-tocu,"

   Kata An Tong.

   Penuturan An Tong itu sebenarnya telah dilakukan dengan suara lirih, tapi sejak kecil Giok-kun telah berlatih ilmu senjata rahasia, dalam hal mendengarkan suara boleh dikata sangat tajam, maka apa yang dikatakan An Tong tadi dapat didengarnya dengan jelas, ia menjadi terkejut dan bergirang.

   Katanya dalam hati.

   "Hah, yang dia maksudkan bukankah kakakku?"

   Sementara itu terdengar An Tong sedang berkata pula.

   "Anak perempuan Beng-sia-tocu itu sangat cantik, cuma sayang perangainya sangat buruk."

   "Aha, pahamlah aku sekarang,"

   Tiba-tiba si pengemis tua bergelak tertawa.

   "Tentu si bocah Hi-sun penujui bini orang, makanya kena dihajar adat orang bukan?"

   "Jangan menyalahkan Ji-siauya, semua gara-gara Bong Sian, Ting Kian dan lain-lain yang suka menjilat, maksudnya hendak membikin senang Ji- siauya, tapi malah mendatangkan kesukaran. Padahal kecantikan puteri Beng-sia-tocu itu kalau dibandingkan nyonya cilik yang kulihat tadi boleh dikata masih kalah jauh."

   


Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong Si Pedang Kilat -- Gan K L

Cari Blog Ini