Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 21


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 21



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Si pengemis tua dapat meraba maksud di balik ucapan An Tong itu, katanya kemudian.

   "Ya, sudah tentu aku pun ingin murid sendiri mendapatkan bini cantik, tapi aku tidak suka dia main gila. Boleh kau beritahu padanya bahwa aku sudah menemukan seorang nona yang sesuai untuk dia, bila urusan Sin Cap-si-koh telah selesai, tentu akan kubereskan pula urusan ini baginya."

   Nona siapakah yang dimaksud pengemis tua ini? Demikianlah hati Giok- kun menjadi berdebar-debar dan sangsi. Kemudian setelah An Tong pergi, lalu pengemis tua itu memanggilnya.

   "Nona Hi, silakan keluar!"

   Dengan muka bersungut Giok-kun melangkah keluar dan nenjawab.

   "Lo-cianpwe ada urusan apa? "Menurut pandanganku, mungkin penyakit suamimu tak dapat disembuhkan,"

   Kata si pengemis tua dengan tertawa.

   "Padahal kau masih muda belia, masakah kau rela menjadi janda hidup selamanya?"

   Alis Giok-kun menegak, jawabnya.

   "Kau anggap aku ini manusia macam apa? Sudahlah, hendaklah Lo-cianpwe jangan bicara hal demikian lagi."

   "Maksudku adalah demi kebaikanmu, apa halangannya kalau kubicarakan? Soalnya aku mempunyai seorang murid, dia adalah putera kedua perdana menteri yang berkuasa sekarang....."

   Mendadak Giok-kun memotong dengan suara keras.

   "Locianpwe, aku berada dalam cengkeramanmu, apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku, jelas aku tidak mampu melawan. Tapi kalau aku mau cari mati, mungkin juga kau tidak dapat merintangi aku. Paling tidak aku sanggup memutus urat nadi sendiri hingga meninggal."

   Pengemis tua itu melengak, katanya.

   "Eh, tidak nyana kau adalah seorang perempuan setia. Baik, baik, aku berjanji lagi takkan membikin susah padamu, kalau kau tidak mau, ya sudahlah. Cuma hendaklah jangan kau anggap aku cerewet, suamimu yang bernama kosong ini sesungguhnya tidak setimpal bagimu, meski tampang muridku itu tidak cakap, tapi juga tidak kalah daripada dia. Baik ilmu silat maupun keluarganya jauh di atasnya pula. Nanti kalau pikiranmu sudah tenang, cobalah kau pikirkan dan timbang lagi maksudku tadi."

   Tanpa menjawab Giok-kun terus meninggalkan pengemis tua itu dan kembali ke kamarnya. Tertampak Sin Liong-sing sedang berduduk di atas onggokan kayu bakar dan sedang memandangnya dengan tersenyum ejek. Giok-kun menjadi heran dan menyapa.

   "Eh, kenapa kau bangun, apakah hari ini sudah lebih baikan?"

   Kiranya sesudah minum arak si pengemis tua tempo hari itu, meski Sin Liong-sing terhindar dari sakit keras, namun semangatnya masih sangat lesu, maka selama beberapa hari dia hanya berbaring saja.

   Terhadap teguran Giok-kun itu ternyata Sin Liong-sing anggap tidak mendengar saja, sebaliknya ia berkata dengan dingin.

   "Hm, tertimpa rembulan dari langit, mengapa rezeki kau tolak?"

   Seketika Giok-kun menjadi naik darah, katanya.

   "Dalam pandanganmu apakah diriku ini seorang yang kemaruk kemewahan? Kenapa kau selalu curiga padaku, kalau begini, cara bagaimana suami istri dapat hidup berdampingan. Sekarang kau dalam kesulitan dan aku tidak dapat meninggalkan kau. Kelak bila kau sudah bebas dan selamat, tanpa diusir juga aku akan pergi saja."

   Melihat Giok-kun marah sungguhan, cepat Sin Liong-sing berkata pula dengan tertawa.

   "Sesungguhnya bukan aku suka curiga, soalnya aku merasa rendah diri, pikiranku kesal, tanpa terasa omonganku lantas kasar. Orang itu adalah putera perdana menteri, baik ilmu silat maupun pribadinya jelas lebih baik daripadaku. Aku sendiri pun merasa suami hampa seperti diriku ini tidak sesuai bagimu."

   "Ini kan pengemis tua itu yang omong dan bukan kataku,"

   Sahut Giok- kun.

   "Kalau kau pun ikut mendengarkan, seharusnya kau pun mendengar cara bagaimana aku menjawab dan memaki dia tadi. Hm, biarpun hatimu kesal, tidak pantas juga kau sembarangan omong."

   "Ya, ya, aku salah omong dan sudah minta maaf padamu, kau jangan marah lagi,"

   Kata Sin Liong-sing dengan mengiring tawa.

   "Kita bicara urusan yang betul saja. Tadi pengemis tua itu mengatakan hendak mengundang bibiku ke sini bukan?"

   "Benar,"

   Jawab Giok-kun.

   "Cuma dari nada ucapannya, agaknya dia dan bibimu juga ada persengketaan."

   "Asalkan bibi datang ke sini, betapa pun kita tidak perlu takut lagi,"

   Ujar Sin Liong-sing.

   "Tapi ilmu silat pengemis tua ini lain daripada yang lain, aku menjadi rada kuatir kalau bibimu juga bukan tandingannya,"

   Kata Giok-kun.

   "Kukira tidak,"

   Kata Liong-sing.

   "Ilmu pedang bibi luar biasa lihainya, dia juga mahir menggunakan racun yang tiada bandingannya di dunia ini. Jika beliau sudah datang, sedikitnya kita akan bertambah harapan untuk melarikan diri asal saja tenagaku bisa lekas pulih kembali."

   "Tapi ilmu Tiam-hiat si pengemis tua terlalu lihai, kau sudah mencoba hendak mengerahkan tenaga untuk membuka Hiat-to yang tertotok, tapi tidak berhasil bukan?"

   Kata Giok-kun.

   "Aku masih punya semacam ilmu yang dapat kucoba, hanya ada suatu kesulitanku yang belum dapat diatasi, apakah engkau mau membantu aku, adik Kun?"

   Tanya Liong-sing.

   "Sudah tentu aku suka membantu kau, cuma lwekang yang kita yakinkan sama sekali berlainan, mungkin aku tak dapat membantu apa-apa padamu,"

   Ujar Giok-kun.

   "Mungkin kau masih ingat, sehari sebelum kita menikah, Kok Siau-hong datang menemui guruku,"

   Tutur Sin Liong-sing.

   "Tadinya kukira dia datang hendak membikin rusuh, tapi dugaanku ternyata meleset, kalau kuceritakan sungguh lucu, waktu itu dia justru memberikan sebuah kado bagiku."

   "O, dia memberi kado, macam apakah kado itu?"

   Tanya Giok-kun.

   "Ah, aku keliru omong, yang benar adalah orang lain minta dia menyampaikan semacam kado kepadaku,"

   Jawab Sin Liong-sing.

   "Orang itu adalah Kang-lam-tayhiap Kheng Ciau, kado yang dia berikan padaku adalah kitab pusaka Tay-heng-pat-sik, yaitu ilmu yang diimpikan setiap orang persilatan. Rupanya waktu Kok Siau-hong menuju ke tempat kita, di tengah jalan dia bertemu dengan Kheng Ciau, karena Kheng Ciau sendiri tidak sempat hadir pada pesta pernikahan kita, maka dia minta perantara Kok Siau-hong agar menyampaikan kado itu."

   "Ya, sungguh bukan main kado itu,"

   Kata Giok-kun dengan terkejut.

   "Dan mengapa kau tidak....."

   "Kau hendak mengatakan aku tidak memberitahukan padamu bukan?"

   Tukas Liong-sing.

   "Ai, kalau kukatakan terus terang, lebih dulu aku mohon pengertianmu, sebab aku memang rada kuatir kalau-kalau kau menjadi teringat kepadanya."

   "Jadi ilmu yang kau katakan dapat dicoba tadi, yang kau maksud ialah Tay-heng-pat-sik ini?"

   Giok-kun menegas.

   "Benar, cuma sayang sesudah menikah pikiranku selalu kacau, maka belum sempat meyakinkan Tay-heng-pat-sik itu dengan baik. Meski Tay- heng-pat-sik itu cuma meliputi delapan gerakan, tampaknya sangat sederhana, tapi sesungguhnya mengandung perubahan yang sangat mujizat."

   "Tentu saja, kalau tidak, mana dapat disebut kitab pusaka dunia persilatan yang diimpikan setiap orang,"

   Kata Giok-kun.

   "Untuk berlatih Tay-heng-pat-sik itu, kunci utama terletak pada cara mengerahkan tenaga dalam. Padahal kau tahu, lwekangku adalah ajaran bibi dan bukan ajaran dari Suhu. Pernah juga aku minta petunjuk kepada Suhu akan kesulitan yang kualami dalam pelajaran Tay-hengpat-sik itu, tapi beberapa bagian di antaranya masih tetap tidak jelas, hal ini baru kuketahui kemudian."

   "Habis, cara bagaimana aku dapat membantu kau?"

   Ujar Giok-kun. Diam-diam Sin Liong-sing pikir tiada jalan lain dan terpaksa harus bicara terus terang, maka ia lantas menjawab.

   "Apakah kau tahu apa sebabnya Kheng Ciau minta perantara Kok Siau-hong membawakan kado itu? Kiranya maksud tujuan Kheng Ciau yang sebenarnya ialah ingin Kok Siau-hong dan aku bersama-sama mempelajari Tay-heng-pat-sik itu, rupanya Kok Siau-hong tidak suka belajar bersama, maka kado ini lantas di....."

   "Lantas diberikan padamu seluruhnya karena dia tidak menginginkannya?"

   Giok-kun menegas.

   "Benar,"

   Jawab Sin Liong-sing dengan muka merah.

   "Cuma Kheng Ciau dengan tegas menyatakan kado itu disumbangkan kepadaku, hanya saja dijanjikan pula bahwa Kok Siau-hong boleh pinjam lihat dan ikut mempelajarinya."

   "Baiklah, yang penting sekarang kita bicara soal pokok saja,"

   Ujar Giok- kun.

   "Coba katakan, cara bagaimana supaya aku dapat membantu kesukaranmu."

   "Kabarnya kau yang menyembuhkan luka dalam Han Pwe-eng akibat racun pukulan Siu-lo-im-sat-kang yang dilakukan Cu Kiu-bok?"

   Kata Liong- sing dengan ragu-ragu. Segera Giok-kun dapat meraba beberapa bagian ke arah mana ucapan Sin Liong-sing itu hendak menuju, segera ia menjawab.

   "Benar, aku telah menyembuhkan dia dengan Pek-hoa-ciu buatan keluarga Hi kami yang khas."

   "Kecuali arak itu, mungkin masih diperlukan lagi kekuatan lain baru dapat menyembuhkan racun pukulan Siu-lo-im-sat-kang itu?"

   Demikian Sin Liong-sing menegas.

   "Ya, aku memang paham sedikit Siau-yang-sin-kang yang kupelajari dari Kok Siau-hong, waktu itu demi untuk menyembuhkan Han Pwe-eng,"

   Jawab Giok-kun dengan dingin.

   "Harap kau jangan salah paham, aku tidak cemburu tentang kejadian itu,"

   Kata Liong-sing.

   "Soalnya baru kuketahui kemudian bahwa maksud Kheng Ciau agar aku meyakinkan Tay-heng-pat-sik bersama Kok Siau-hong adalah karena Siau-yan-sin-kang yang dimiliki Kok Siau-hong itu tergolong lwekang dari aliran baik dan murni, sedangkan untuk berlatih Tay-heng-pat- sik justru diperlukan kunci dasar lwekang aliran yang baik. Meski lwekang ajaran perguruanku juga dapat digunakan, tapi tidak sebaik Siau-yang-sin- kang."

   "Jadi maksudmu ingin aku mengajarkan kunci dasar Siau-yang-sin-kang padamu, kenapa tidak langsung kau katakan saja sejak tadi,"

   Kata Giok-kun.

   "Baiklah, akan kuuraikan semua yang kuketahui padamu, kuatirnya pengetahuanku sendiri juga tidak begitu jelas dan mendalam."

   Begitulah sambil mengajarkan kunci cara berlatih Siau-yang-sin-kang, diam-diam Giok-kun merasa menyesal, hanya dari kejadian kecil saja sudah kentara sekali perbedaan pribadi antara Sin Liong-sing dan Kok Siau-hong.

   Tapi sebelum mencela orang lain kiranya perlu mencela diri sendiri lebih dulu, kalau saja aku tidak kemaruk menjadi istri bakal Beng-cu yang akan datang, masakah aku mau menjadi istrinya? Demikianlah ketika mendadak Giok-kun mengetahui kekurangan pada pribadi sendiri, tanpa terasa ia menjadi malu dalam lubuk hatinya, berbareng tanpa terasa ia menjadi teringat lagi kepada macam-macam kebaikan Siau- hong dahulu, hatinya bertambah gundah dan bimbang.

   Sesudah mendapatkan ajaran Siau-yang-sin-kang, selama beberapa hari berturut-turut Sin Liong-sing lantas mulai berlatih Tay-heng-pat-sik secara sembunyi-sembunyi di dalam kamar tahanannya itu.

   Ternyata tenaga dalamnya benar-benar mulai pulih sedikit demi sedikit, namun dia juga pandai berlagak sehingga si gagu yang sering mengantarkan segala keperluannya tidak menaruh curiga.

   Begitulah dengan giat Sin Liong-sing terus berlatih lwekang dengan harapan semoga sang bibi lekas datang.

   Dan harapannya itu pada suatu hari ternyata terkabul.

   Waktu itu Liong-sing sedang duduk bersemadi, ketika tiba-tiba terdengar suara suitan panjang, menyusul suara seorang yang sudah dikenalnya berseru.

   "Tay-tian, kau mengundang aku ke sini, sekarang aku sudah memenuhi undanganmu, mengapa kau sendiri tidak keluar menemui aku!"

   Seketika Sin liong-sing melonjak bangun kegirangan sambil berseru.

   "Bibi sudah datang!"

   Segera tertampak murid pengemis tua, yaitu si gagu, membuka pintu dan memberi isyarat dengan tudingan tangan sambil bersuara lucu beberapa kali. Maka Giok-kun cepat membisiki Liong-sing.

   "Janganlah kau kegirangan hingga lupa daratan, kini belum tiba kesempatan yang paling baik. Si gagu itu melarang kau agar jangan sembarang bergerak."

   Terpaksa Sin Liong-sing menurut dan berbaring pura-pura belum sehat, tapi ia terus pasang telinga untuk mengikuti kejadian di luar. Maka terdengarlah suara si pengemis tua sedang menjawab dengan tertawa.

   "Ha, ha, ha, sudah lama sekali kita tidak bertemu, Sin Cap-si-koh! Marilah masuk saja ke sini, biar kupenuhi sekadar kewajiban sebagai tuan rumah."

   Rupanya kuatir di dalam rumah si pengemis tua dipasang perangkap, maka Sin Cap-si-koh berkata pula dengan dingin.

   "Tak perlu sungkan- sungkan lagi kenalan lama seperti kita ini, lebih baik kita terus selesaikan urusan pokok saja!"

   "Urusan pokok apa?"

   Tanya si pengemis tua.

   "Memangnya kau masih berlagak pilon?"

   Jengek Sin Cap-si-koh.

   "Mana itu gambar ikhtisar Hiat-to-tong-jin, masakah kau ingin mencaploknya mentah-mentah sendirian?"

   "O, kiranya yang kau maksud urusan ini,"

   Kata si pengemis tua.

   "Sekali ini kau tentu tak bisa ingkar lagi, Keng-sin-ci-hoat yang dimainkan muridmu si Han Hi-sun itu memangnya bukan ilmu berasal dari gambar pusaka itu?"

   "Sedikit pun tidak salah, ilmu itu memang ajaranku langsung. He, he, Sin Cap-si-koh, betapa pun aku sangat kagum akan sumber beritamu yang tajam, ternyata dapat diketahui olehmu bahwa Han Hi-sun adalah muridku."

   "Makanya kau jangan meremehkan diriku,"

   Ujar Sin Cap-si-koh dengan berseri-seri.

   "Nah, sekarang kembali pada urusan pokok, lekas kau serahkan gambar pusaka itu. Sudah lebih duapuluh tahun kau mengangkangi benda mestika itu, sekarang sepantasnya menjadi giliranku untuk memilikinya. Sekian lama kau memegangnya, tentu isinya sudah kau pahami di luar kepala dan tidak memerlukannya lagi."

   "Ha, ha, ha, sabar dulu, Sin Cap-si-koh, rasanya aku masih ingin omong beberapa kata iseng dengan kau,"

   Kata si pengernis tua dengan tertawa.

   "Mau omong apa lekas omong, mau kentut lekas kentut, aku tidak ada waktu untuk mengobrol iseng dengan kau,"

   Jawab Sin Cap-si-koh dengan menarik muka. ESKI Sin Cap-si-koh mulai aseran, tapi si pengemis tua tetap tertawa, katanya.

   "Apakah kau tahu mengapa aku mengundang kau masuk saja di dalam rumah? Sebab di dalam rumah ada satu orang, bisa jadi kau ingin menemui dia?"

   Cap-si-koh tercengang, tanyanya kemudian.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa dia?"

   "Kau punya keponakan kesayangan, inginkah kau menemuinya?"

   "Ngaco-belo!"

   Seru Cap-si-koh terkejut.

   "Mana bisa keponakanku berlari ke tempatmu ini?"

   "Betul atau tidak bisa dibuktikan dengan segera, buat apa pengemis tua mendustai kau?"

   Ujar si pengemis tua dengan tertawa.

   "Baik, jika kau tidak percaya, biar kau melihatnya sendiri. Hou-ji, silakan Sin-kongcu keluar!"

   Si gagu lantas masuk ke gudang kayu dan menyeret keluar Sin Liong-sing.

   Dalam hati Sin Liong-sing merasa belum waktunya untuk turun tangan, maka dia pura-pura lemah seakan-akan tenaganya belum pulih, ia menurut saja diseret oleh si gagu.

   Giok-kun ikut di belakang juga keluar.

   Sambil mencengkeram tangan Sin Liong-sing, si gagu hanya berhenti di ambang pintu saja.

   Segera Sin Liong-sing berseru.

   "Tolong, bibi!"

   "Nah, kau sudah lihat, menantu keponakanmu juga berada di tempatku ini,"

   Kata si pengemis tua.

   "Baiklah, gusur mereka kembali, Hou-ji!"

   

   Jilid 23 M Mendadak Sin Cap-si-koh membentak.

   "Tay-tian, kau terhitung orang yang punya harga diri, mengapa kau tidak tahu malu dan menganiaya kaum muda?"

   "Kau sendiri mendesak dan mencari tahu jejakku kepada muridku, kalau aku ganti mengundang keponakanmu sebagai tamuku ke sini kan bukan perbuatan yang rendah?"

   Kata pengemis tua dengan tertawa.

   Mendadak Sin Cap-si-koh mendengus sambil menubruk maju secepat kilat.

   Tapi si pengemis tua sempat menghadang di depan pintu, segera pula ia sambut orang dengan suatu pukulan dahsyat.

   Sedangkan si gagu sudah lantas menggusur Sin Liong-sing ke dalam kamar tahanan lagi.

   Tergetar oleh tenaga pukulan si pengemis tua, Sin Cap-si-koh merasa dada seperti tertindih oleh batu raksasa, napas terasa sesak, cepat ia berjumpalitan ke belakang, habis itu ia lantas menyerang pula dari samping.

   Melihat lawan dapat maju dan mundur dengan cekatan, serangannya juga cepat luar biasa, mau tak mau si pengemis tua juga merasa kagum.

   Segera ia menambahi tenaga dan beruntun menghantam pula tiga kali agar Sin Cap-si-koh tidak mampu mendekat, habis itu dia berkata pula dengan dingin.

   "Katanya kau hendak bicara urusan pokok dengan aku? Bagaimana kalau kita berunding mulut dulu daripada bertanding tenaga?"

   "Hm, berkat bantuanku sehingga kau berhasil merebut gambar pusaka itu, sekarang habis lewat jembatan kau lantas hendak memotong papan jembatan, sungguh terlalu,"

   Jengek Cap-si-koh.

   "Apa boleh buat, betapa pun harus pilih satu di antara dua, jika kau menginginkan keponakanmu dan istrinya, maka kau tidak boleh menghendaki pula gambar pusaka itu. Nah, boleh kau pilih, mana suka?"

   Pada waktu orang sedang bicara, mendadak Sin Cap-si-koh melemparkan sebuah "Tok-bu-kim-ciam-cu-boh-tan" (granat berisi jarum dan kabut berbisa), segera terdengar suara letusan granat itu dengan semburan kabut berbisa dan menyambarnya jarum halus berkilau keemasan.

   Cepat si pengemis tua menghantamkan kedua tangannya, angin pukulan yang dahsyat berhasil membuyarkan kabut berbisa tadi, hamburan jarum itupun dengan sendirinya tidak dapat mencapai tubuhnya.

   "Sin Cap-si-koh,"

   Kata si pengemis tua dengan tertawa.

   "aku tahu ilmu racunmu sangat lihai, maka sebelumnya aku sudah siap sedia. Terus terang, sebelumnya aku sudah minum Pik-leng-tan buatan teratai salju pegunungan Thian-san. Seumpama aku punya Hou-deh-sin-kang (ilmu sakti pelindung tubuh, ilmu kekebalan) belum berhasil kuyakinkan juga aku tidak gentar padamu. Maka aku anjurkan kau jangan berusaha membokong aku dengan senjatamu yang keji, kalau mau berkelahi, marilah kita bertanding secara terang-terangan."

   Di balik kata-katanya seolah-olah dia punya Hou-deh-sin- kang sudah berhasil diyakinkan. Dari malu Sin Cap-si-koh menjadi murka, bentaknya pula.

   "Bagus, marilah kita bertanding untuk menentukan unggul dan asor, memangnya kau kira aku gentar padamu?"

   Mendadak bayangan hijau berkelebat, segera Sin Cap-si-koh menerjang maju, tongkat bambu hijau berputar laksana ular, dalam sekejap saja tujuh tempat Hiat-to si pengemis tua beruntun diserang.

   "Ha, ha, ha, di hadapanku kau hendak pamer ilmu Tiam-hiat, kukira kau rada tidak tahu diri,"

   Seru si pengemis tua dengan bergelak tertawa.

   "Kau menganiaya keponakanku dan istrinya, mana aku dapat tinggal diam?"

   Jawab Cap-si-koh dengan gusar.

   "Tidak sulit juga jika kau ingin membawa pulang mereka,"

   Kata pengemis tua.

   "Ya, asal saja kau mau bersumpah bahwa seterusnya kau takkan menyinggung lagi mengenai urusan gambar Hiat-to-tong-jin."

   "Hm, boleh kau keluarkan Keng-sin-ci-hoat kebanggaanmu,"

   Balas jengek Sin Cap-si-koh.

   "Pendek kata, hari ini kita boleh mengukur siapa yang lebih unggul, tiada gunanya cuma membual belaka!"

   Kerugian si pengemis tua adalah dia bertangan kosong dan harus melawan Cap-si-koh yang bertongkat, tangan lebih pendek daripada tongkat, sukar bagi si pengemis tua untuk mendekati lawan untuk menotoknya, maka sia-sia saja, biarpun ilmu Tiam-hiatnya jauh lebih mahir daripada Cap-si-koh juga tiada gunanya.

   Sebaliknya karena terdesak oleh tenaga pukulan lawan, Cap-si-koh juga sukar mendekati si pengemis tua.

   Dalam keadaan demikian baru dia ingat kepada Han Tay-wi, coba kalau ada bantuan Han Tay-wi, betapa pun si pengemis tua tentu akan bertemu tandingan yang kuat.

   Jadi bicara tentang tenaga dalam adalah pengemis tua itu lebih kuat, tapi gerak tubuh Sin Cap-si-koh sangat lincah dan gesit, dalam hal ginkang jelas dia lebih unggul daripada si pengemis tua.

   Sebagai ahli silat kelas wahid, si pengemis tua dapat melihat tujuan Sin Cap-si-koh yang melawannya dengan main putar dan geser itu, diam-diam ia pikir lama kelamaan mungkin akan memberi kesempatan kepada lawan untuk menerobos ke dalam rumah buat merampas tawanan.

   Maka mendadak kedua tangannya memukul (lengan jurus "Lui-tian-kau-hong" (guntur berbunyi dan kilat menyambar), bagai gugur gunung dahsyatnya tenaga pukulan yang hebat itu terus memburu ke arah lawan.

   Tapi Sin Cap-si-koh dapat ikut bergerak kian kemari mengikuti damparan tenaga pukulan itu sehingga melayang ke samping beberapa meter jauhnya, jengeknya kemudian.

   "Tay-tian, meski ilmu pukulanmu Hok-mo- ciang-hoat jauh lebih kuat daripada dahulu, tapi kau bisa berbuat apa terhadap diriku?"

   "Ha, ha, ha, sekarang boleh coba kau berkenalan dengan ilmu Tiam- hiatku, maaf, terpaksa aku harus menggunakan Pak-kau-pang (pentung penggebuk anjing),"

   Seru si pengemis tua dengan tertawa.

   "He, he, nama senjataku ini kurang sedap didengar, jangan kau marah ya!" ~ Habis itu terus mengeluarkan sepotong pentung kayu sepanjang satu meteran.

   "Hm, peduli kau akan mengeluarkan kepandaian apa saja, ini, lihat serangan!"

   Jawab Sin Cap-si-koh dengan gusar.

   Tapi sebelum dia melontarkan serangan, tahu-tahu pentung si pengemis tua sudah mendahului menotok tiba.

   Meski si pengemis tua bukan orang Kay-pang, tapi permainan Pak-kau- pang-hoat (ilmu pentung penggebuk anjing) ternyata jauh lebih lihai daripada jago kelas satu dari Kay-pang.

   Bahwasanya Sin Cap-si-koh menggunakan tongkat bambu hijau untuk memainkan gaya ilmu pedang yang aneh dan lihai, dapat dikata tergolong suatu kepandaian khas di dunia persilatan, ternyata ilmu pengemis tua dengan menggunakan pentung sebagai alat penotok dengan Keng-sin-ci- hoatnya juga tidak kalah lihainya, bahkan boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini.

   Ketika tongkat bambu Sin Cap-si-koh terbentur oleh pentung orang dan terpuntir hampir terlepas dari cekalan, dengan terkejut cepat Cap-si-koh mengganti tipu serangan lain.

   Tapi dengan terlebih cepat mendadak pentung si pengemis tua menjojoh tiba lagi, tampaknya seperti mengarah kiri, tahu-tahu sudah sampai di sebelah kanan dan lain saat menotok dari bagian tengah, sekaligus sembilan tempat Hiat-to di tubuh Sin Cap-si-koh terancam.

   Dengan susah payah Sin Cap-si-koh menggunakan kelincahannya untuk berkelit ke sana dan ke sini, berturut-turut ia mundur sembilan langkah, dengan demikian barulah dia dapat menghindarkan totokan musuh.

   Diam- diam ia membatin.

   "Ilmu Tiam-hiat dari gambar Hiat-totong-jin itu benar- benar tidak bernama kosong. Permainan pentungnya saja sudah sangat lihai, ditambah lagi ilmu Tiam-hiatnya yang luar biasa ini, mungkin sukar bagiku untuk melawan dia."

   Dengan Ginkangnya sebenarnya tidak sukar bagi Sin Cap-si-koh untuk meloloskan diri, tapi tujuannya merebut gambar pusaka akan berarti gagal, sedangkan keponakan dan menantu keponakan masih berada dalam cengkeraman lawan, bila tinggal lari begitu saja rasanya tidak rela pula.

   Terpaksa ia bertempur terus dengan sengit.

   Dalam pada itu Sin Liong-sing juga dapat mengikuti suara pertarungan sengit di luar kamar tahanan, ia pikir sudah tiba saatnya untuk bertindak, maka ia lantas pura-pura berlagak kesakitan dan merintih.

   "Kakak gagu, tolong tuangkan secangkir teh untuk suamiku,"

   Seru Giok- kun.

   Tampaknya si gagu cukup simpatik orangnya, tanpa sangsi dia membawakan secangkir teh yang diminta.

   Pada waktu si gagu meleng, mendadak Sin Liong-sing menotok Hiat-to yang membuatnya kaku kesemutan.

   Anak bisu itu bersuara tertahan satu kali sehingga cangkir teh itu terlempar dan isinya membasahi muka Sin Liong-sing, malahan dia sempat mengayun tangannya ke dada Liong-sing.

   Keruan Giok-kun terkejut, cepat ia tambahkan satu kali totokan di pinggang si gagu dan membuatnya roboh tak berkutik.

   "Sungguh lihai, hampir saja!"

   Kata Liong-sing dengan napas terengah dan mulut mengeluarkan darah.

   "Untung lebih dulu aku menotok dia dan kau menambahkan satu kali totokan lagi sehingga tenaganya sukar dikeluarkan, kalau tidak, mungkin aku akan terluka dalam yang parah."

   "Dapatkah kau lari?"

   Tanya Giok-kun.

   "Lari sih bisa, cuma....."

   Kata Liong-sing ragu-ragu. Giok-kun paham maksudnya, segera ia berkata pula.

   "Entah bibimu dapat mengalahkan si pengemis tua atau tidak? Namun kepandaianku juga terbatas, mungkin tidak dapat memberi bantuan kepadanya."

   "Apa boleh buat, terpaksa kita menyelamatkan diri sendiri, marilah pergi!"

   Kata Liong-sing menghela napas.

   "Tapi Ginkang bibi teramat hebat, andaikan tidak dapat mengalahkan si pengemis tentu beliau sanggup meloloskan diri."

   Giok-kun kini sudah kenal watak Sin Liong-sing yang palsu, tapi iapun tidak banyak omong dan menuruti saja kehendak sang suami, segera mereka kabur melalui pintu belakang.

   Pancaindera si pengemis tua sungguh sangat tajam, ia mendengar suara tindakan orang di belakang rumah, ia menjadi terkejut dan berseru.

   "Hou- ji!"

   Tapi murid gagu itu ternyata tidak nampak keluar, segera ia tahu apa yang terjadi, ia menjadi gusar dan membentak.

   "Bagus, Hi Giok-kun, aku mempercayai kau, tapi kau malah mencelakai muridku dan melarikan diri!"

   Sin Cap-si-koh bergelak tertawa senang, serunya.

   "Bagus, nona Hi, kau benar-benar menantu keponakanku yang baik. Lekas, larilah sejauh- jauhnya!"

   Sebenarnya dia sedang terdesak oleh serangan si pengemis tua, tapi sekarang ia justru melancarkan serangan balasan dengan gencar, dengan bergerak lincah dan sukar diraba kemana arah serangannya sehingga si pengemis tua dibikin kerepotan dan tidak sempat mengejar Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun.

   Meski ilmu silat si pengemis tua terlebih kuat daripada Cap-si-koh, tapi dalam hal kelincahan dan kegesitan dia berbalik tidak unggulan, dalam sekejap itu ia tidak mampu melepaskan diri dari serangan Cap-si-koh sehingga Sin Liong-sing berdua sempat kabur.

   Keruan pengemis tua menjadi murka, teriakanya.

   "Baik, yang muda bisa kabur, yang tua harus tinggal di sini!"

   Mendadak timbul hasratnya untuk membinasakan Sin Cap-si-koh, ia pikir kalau tidak membunuhnya kelak tentu masih akan timbul kesulitan lain.

   Maka ia lantas melancarkan serangan pula, di antara totokan pentungnya terseling pula pukulan, totokan pentung selalu mengarah Hiat-to mematikan di tubuh Cap-si-koh, sedang pukulannya juga makin dahsyat.

   Menghadapi serangan membadai si pengemis tua itu, mau tak mau Sin Cap-si-koh menjadi kuatir dan mengeluh, terpaksa dia bertahan sekuatnya.

   Bagaimana akhirnya pertarungan sengit antara si pengemis tua dan Sin Cap-si-koh ini biarlah kita ceritakan nanti.

   Dalam pada itu Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun telah kabur keluar selat gunung, mereka baru merasa lega setelah mengetahui tidak dikejar.

   "Akhirnya kita berhasil lolos dengan selamat, semuanya berkat bantuanmu, adik Kun!"

   Kata Liong-sing dengan tertawa. Tapi belum Giok-kun memberi jawaban, tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda, dua penunggang kuda sedang memasuki selat pegunungan itu dengan cepat. Giok-kun terkejut, katanya.

   "Orang di belakang itu adalah orang perdana menteri yang datang ke sini tempo hari itu."

   Dalam sekejap saja kedua penunggang kuda itu sudah sampai di depan mereka. Tiba-tiba orang yang dimaksud Giok-kun itu, yakni An Tong, berseru.

   "Ji-kongcu, nyonya manis yang kukatakan itu adalah orang ini! He, kenapa mereka berhasil lolos?"

   Ji-kongcu yang disebut itu melirik sekejap ke arah Sin Liong-sing, lalu pindah ke tubuh Hi Giok-kun dan ditatapnya tajam-tajam, kemudian berkata dengan tertawa.

   "Memang tidak salah keteranganmu, cewek ini memang terlebih cantik daripada puteri Beng-sia-tocu itu."

   Sembari bicara orang itupun melompat turun dari kudanya.

   Kiranya dia bukan lain daripada Han Hi-sun, murid si pengemis tua.

   Tidak kepalang gusar Sin Liong-sing mendengar ocehan Han Hi-sun yang rendah itu, tanpa pikir dia terus menubruk maju sambil membentak.

   "Bagus, tentunya kau ini murid jembel tua itu bukan? Hm, kau bertemu aku, agaknya ajalmu sudah tiba!"

   Walaupun Sin Liong-sing sudah tahu siapa Han Hi-sun, tapi dia mengira pemuda yang hidup mewah dan royal itu, biarpun mendapatkan guru baik juga terbatas kepandaian yang diperolehnya.

   Karena itu dia meremehkan lawan, begitu menubruk maju segera ia gunakan Kim-na-jiu-hoat untuk mencengkeram, pikirnya lawan hendak dibekuk untuk kemudian dipermak semaunya.

   Tak terduga Han Hi-sun bukanlah jago silat gadungan, dia benar-benar belajar dan menguasai kepandaiannya dengan baik, walaupun belum mendapatkan seluruh kemahiran si pengemis tua, tapi sedikitnya sudah memperoleh empat-lima bagian kepandaian sang guru.

   Sesungguhnya biarpun Sin Liong-sing dalam keadaan sehat kondisi badannya juga belum tentu mampu menandingi Han Hi-sun, apalagi dia baru saja terluka.

   Begitulah terdengar Han Hi-sun mendengus, berbareng itu secepat kilat kipasnya lantas menotok, tanpa ampun Hiat-to Sin Liong-sing tertotok, dia cuma sempat bersuara tertahan, terus roboh terguling dan tak berkutik lagi.

   "Coba saja ajal siapa yang sudah tiba!"

   Han Hi-sun mengolok-olok pula, segera sebelah kakinya menendang ke tubuh Sin Liong-sing yang menggeletak di tanah itu, tujuannya hendak menendang pemuda itu ke dalam jurang.

   "Jangan temberang!"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bentak Giok-kun dengan terkejut dan kuatir, secepat terbang ia memburu maju.

   "sret, pedangnya lantas menyabet ke kaki Han Hi-sun. Serangan Giok-kun ini tepat pada waktunya sehingga Han Hi-sun terpaksa harus menarik kembali kakinya sambil melompat mundur.

   "He, he, bocah ini adalah suamimu bukan? Ha, tampaknya kepandaianmu lebih bagus daripada lakimu!"

   Kata Han Hi-sun dengan tertawa. Waktu Han Hi-sun melompat mundur, kebetulan kacungnya yang bernama An Tong itu baru melompat turun dari kudanya sambil berseru.

   "Jangan main kasar, nona Hi, beliau ini adalah Ji-kongcu perdana menteri kami. Ketahuilah bahwa kau sedang tertimpa rezeki, Ji-kongcu kami telah penujui..... Aduuuh!"

   Sebelum selesai ucapannya, mendadak Giok-kun menusuk secepat kilat, tanpa ampun lagi tenggorokan An Tong tertembus pedang dan terguling.

   Semula Giok-kun mengira kepandaian An Tong tentu juga tidak lemah mengingat kepandaian Han Hi-sun yang hebat itu, siapa duga dengan begitu mudah dia dapat membinasakannya, setelah itu ia menjadi terkesiap sendiri malah.

   Ia lihat Han Hi-sun sedang melotot padanya, segera ia siap siaga kalau pemuda bangsawan itu mendadak menerjang maju.

   Tapi Han Hi-sun lantas bergelak tertawa pula, katanya.

   "Ha, ha, ha, sungguh tidak nyana orang secantik kau ternyata berhati begini kejam. Tapi aku menjadi tertarik olch si cantik yang ganas seperti kau ini."

   "Ngaco-belo! Lihat pedangku!"

   Bentak Giok-kun sambil menusuk dengan pedangnya. Cepat Han Hih-sun pentang kipasnya dan menyampuk perlahan, dengan enteng pedang Giok-kun dapat disampuk ke samping.

   "Eh, nona manis, sudah kau pikirkan belum?"

   Dengan menyengir Han Hi-sun menggoda pula.

   Tapi Giok-kun menjawabnya dengan tiga serangan sekaligus, yang diarah adalah Hiat-to mematikan.

   Tapi sebagai ahli Tiam-hiat, sudah tentu Han Hi- sun tidak mudah dicelakai oleh tusukan si nona yang juga cukup lihai itu.

   Malahan segera Han Hi-sun lempit kipasnya dan balas menyerang dengan tipu "Jit-sing-boan-goat" (tujuh bintang mengelilingi bulan), sekaligus ia mengincar tujuh tempat Hiat-to di tubuh Hi Giok-kun.

   Kenal akan lihainya serangan itu, beruntun Giok-kun terpaksa menghindar sambil mundur tujuh langkah.

   "He, kutanya padamu lagi,"

   Demikian Han Hi-sun berolok-olok pula.

   "sudah kau pikirkan belum bahwa jiwa suamimu sudah tergenggam dalam tanganku. Dia telah kena totokanku yang khas, untuk memunahkan totokanku itu kecuali guruku, di dunia ini tiada orang lain lagi yang mampu melakukannya. Kau telah membunuh kacungku, sekarang jiwa suamimu juga tergenggam di tanganku, apakah kau mau menukar jiwa suamimu dengan jiwa kacungku tadi?"

   Giok-kun terkejut, ia tidak tahu ucapan Han Hi-sun itu betul atau cuma gertak sambal belaka.

   Tapi dilihatnya Sin Liong-sing memang menggeletak tak berkutik dengan mata mendelik, keadaannya memang tertampak payah.

   Mau tak mau Giok-kun menjadi cemas dan kuatir, pikirnya.

   "Tampaknya aku juga bukan tandingannya, andaikan aku bisa menang, tapi aku tidak paham cara membuka Hiat-to yang dia totok, betapa pun juga sukar menolong Liong-sing."

   Lantaran hatinya berkuatir, terpaksa ia bersabar dan menahan rasa dongkolnya, tanyanya kemudian.

   "Baik, coba katakan apa kehendakmu?"

   Han Hi-sun terbahak-bahak, jawabnya.

   "Kau telah membunuh kacung kesayanganku, sebenarnya aku hendak menuntut balas dengan jiwa suamimu. Cuma, kalau kau mau minta ampun baginya, rasanya aku masih dapat mengampuni dia. He, he, kabarnya kau dan dia hanya suami istri nama kosong saja, jika kau menyelamatkan jiwanya, betapa pun kau sudah memenuhi kewajiban kesetiaanmu sebagai istrinya. Dan selanjutnya, ha, ha, ha, kukira tidak perlu kujelaskan lagi tentunya kau juga paham sendiri. Agaknya guruku mungkin juga sudah pernah mengutarakannya kepadamu."

   Sungguh dada Sin Liong-sing hampir meledak demi mendengar ocehan Han Hi-sun yang menggoda istrinya itu, celakanya dia menggeletak tak bisa berkutik dan tak bisa bicara, hanya tenggorokan saja yang mengeluarkan suara krak-krok seperti orang ngorok.

   Dengan gusar Giok-kun lantas mendamprat Han Hi-sun.

   "Hm, mulut anjing masakah ada gadingnya! Sekali pun kami suami-istri harus mati di tanganmu juga aku tidak sudi dihina olehmu!"

   Diam-diam hati Sin Liong-sing terhibur melihat Giok-kun telah membela kehormatannya dengan mati-matian, betapa pun ia harus mengakui kesetiaan Giok-kun, tapi ia sendiri malah pernah menyakiti hati Giok-kun.

   Dalam pada itu tanpa menghiraukan keselamatan sendiri Giok-kun telah mengeluarkan Pek-hoa-kiam-hoat keluarga Hi untuk melancarkan serangan, setiap tipu serangan selalu mengincar tempat mematikan di tubuh Han Hi- sun.

   Bicara tentang kepandaian sejati sebenarnya Giok-kun tidak lebih tinggi daripada Sin Liong-sing, tapi lantaran Han Hi-sun tidak ingin melukainya, betapa pun ia menjadi rada repot menghadapi serangan Giok-kun yang nekat itu.

   "Ha, ha, tidak nyana kau ini ternyata istri yang setia dan berbudi,"

   Demikian Han Hi-sun berolok-olok lagi.

   "Apa sih kebaikan bocah ini sehingga ada harganya kau mengadu jiwa baginya? Ai, agaknya memang sudah suratan nasib dan jodoh masing-masing, aku cuma bisa kagum dan iri atas rezeki bocah ini saja."

   Sembari berolok-olok, kipas Han Hi-sun tidak pernah berhenti menyerang dengan macam-macam cara dan gaya, menurut rekaannya, asal tenaga si nona sudah diporot, akhirnya pasti akan ditotok roboh.

   Sudah tentu Hi Giok-kun juga tidak bodoh, dari cara bertempur lawan saja ia lantas tahu maksud tujuannya.

   Namun biarpun dia sendiri dapat melarikan diri, mana dia tega meninggalkan Sin Liong-sing begitu saja? Maka meski menyadari pertarungan itu kalau berlangsung lebih lama akhirnya- dirinya sendiri pasti celaka, tapi apa daya, tiada jalan lain baginya untuk tetap bertempur sekuatnya.

   Hanya saja Giok-kun sudah ambil suatu keputusan nekat, asal dirinya tak dapat melawan lagi dan akan tertawan, sebelumnya dia akan memutus urat nadi sendiri untuk membunuh diri, daripada nanti disiksa dan dihina oleh musuh.

   Begitulah makin lama tenaga Giok-kun makin terporot, sebaliknya Han Hi-sun terus mencari kesempatan untuk membekuk Giok-kun, keadaan semakin bertambah gawat Kembali mengenai Kong-sun Bok, Le Say-eng dan Hi Giok-hoan bertiga, dengan diantar oleh Ta Ek dari Kay-pang, akhirnya mereka sampai di Siong- hong-nia.

   Baru saja mereka memasuki selat pegunungan itu, dari jauh mereka lantar mendengar suara nyaring benturan senjata.

   Ta Ek menjadi heran, katanya.

   "Siapakah gerangan yang berani datang ke sini untuk bertempur dengan pengemis tua itu?"

   Segera mereka mempercepat langkah menuju ke atas gunung, setelah dipandang barulah mereka mengetahui yang sedang bertempur dengan si pengemis tua kiranya Sin Cap-si-koh adanya.

   Padahal belum lama berselang Giok-hoan dan Say-eng pernah bertempur dengan Sin Cap-si-koh di tempat keluarga Ciau, kini diketahui iblis perempuan itu sedang perang tanding menghadapi si pengemis tua, tanpa terasa mereka menjadi heran dan terkejut.

   Saat itu Sin Cap-si-koh sedang terdesak di bawah angin, ketika mendadak nampak munculnya Kong-sun Bok bertiga, ia menjadi terkejut juga.

   Ia pikir melulu kepandaian Kong-sun Bok saja sudah hampir dapat menandingi dirinya, kalau mereka membantu si pengemis tua, tentu akan lebih runyam baginya.

   Tapi di bawah kurungan angin pukulan pengemis tua itu, hendak kabur kuatir juga akan terluka.

   "Kita bantu pihak mana?"

   Tanya Say-eng kepada kawannya.

   "Sudah tentu menghadapi si pengemis tua lebih dulu,"

   Ujar Giok-hoan.

   "Baik, biar aku membantu iblis perempuan itu,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Hi- heng, kalian boleh menerjang ke dalam rumah untuk menolong adik perempuanmu."

   Dalam pada itu Sin Cap-si-koh sebenarnya bermaksud melarikan diri betapa pun akibatnya, tapi mendadak Kong-sun Bok ikut menerjang ke tengah kalangan pertempuran untuk membantunya. Si pengemis tua terkejut, ia mendengus dan membentak.

   "Hm, anak dungu dari mana, berani kau ikut campur urusanku!"

   Dia tidak tahu bahwa payung yang dipegang Kong-sun Bok itu adalah benda mestika, ketika pentungnya menghantam, terdengarlah suara keras dan meletiknya lelatu api, tangan si pengemis tua tergetar kesakitan.

   Semula pengemis tua itu tidak pandang sebelah mata kepada Kong-sun Bok, tapi kini ia menjadi terperanjat.

   "Darimanakah munculnya bocah ini?"

   Demikian pikirnya.

   Betapa pun gesit gerak tubuh Sin Cap-si-koh, kesempatan baik itu segera digunakan olehnya untuk mengubah keadaan bertahan menjadi pihak penyerang.

   Tongkatnya berkelebat laksana ular memburu, dalam sekejap saja tongkatnya menotok secepat kilat empatbelas tempat Hiat-to penting tubuh si pengemis tua.

   Karena dikeroyok, dengan agak kerepotan si pengemis tua putar pentungnya dan diselingi dengan pukulan dahsyat, beruntun ia terdesak mundur beberapa tindak, tapi serangan maut Sin Cap-si-koh tadi pun dapatlah dielakkan.

   Ia menjadi murka, jengeknya.

   "Sudah diberi harus membalas, ini, biar kalian juga berkenalan dengan ilmu Tiam-hiatku!"

   Ia sudah kenal kehebatan Ginkang Sin Cap-si-koh, tadi ia telah keluarkan Keng-sin-ci-hoat yang dipelajarinya dari gambar Hiat-to-tong-jin, tapi tidak dapat menjatuhkan iblis perempuan itu, maka sekarang serangannya lantas dipusatkan kepada Kong-sun Bok, hanya dengan selingan pukulan dahsyat ia berjaga akan serangan balasan Sin Cap-si-koh.

   Untung Kong-sun Bok juga paham ilmu Tiam-hiat yang berasal dari gambar Hiat-to-tong-jin, ilmu ajaran Bu-lim-thian-kiau itu hampir mirip dengan gerak tipu si pengemis tua.

   Maka dengan tidak terlalu sulit Kong-sun Bok dapat menghindari setiap totokan pengemis tua yang amat lihai itu.

   Pula lantaran senjata yang digunakan Kong-sun Bok adalah payung pusaka, si pengemis tua sudah merasakan lihainya tadi, betapa pun ia menjadi was-was.

   Si pengemis tua juga semakin heran setelah diketahui bahwa Kong-sun Bok juga mahir Keng-sin-ci-hoat.

   Tiba-tiba Sin Cap-si-koh berolok-olok.

   "Hm, kulihat ilmu Tiam-hiatmu belum terlatih sempurna, seorang anak muda saja tak bisa kau kalahkan, tapi, he, he, kau malah membual tentang kehebatan ilmu Tiam-hiatmu segala!"

   Pengemis tua itu cuma mendengus saja, mendadak pentungnya berputar terus menyerang Sin Cap-si-koh secara membadai.

   Bahwasanya si pengemis tua mendadak ganti sasaran serangannya, keruan Sin Cap-si-koh terkejut dan cepat melompat mundur.

   Lekas Kong- sun Bok juga menjojoh punggung si pengemis tua dengan ujung payungnya untuk menolong Cap-si-koh.

   Tapi si pengemis tua membaliki sebelah tangannya, tenaga pukulan yang kuat telah mengguncang pergi ujung payung lawan.

   Karena jojohan payungnya meleset, malahan Kong-sun Bok lantas merasakan tenaga pukulan membanjir tiba laksana gugur gunung dahsyatnya, tanpa tertahan ia tergentak mundur beberapa tindak.

   Diam-diam ia mengakui kelihaian si pengemis tua, pantas kalau Sin Cap-si-koh juga tak mampu menandinginya.

   Dalam pada itu si pengemis tua sedang bergelak tertawa dan berkata.

   "Ya, ilmu Tiam-hiatku memang tak dapat mengalahkan anak muda ini dalam waktu singkat, tapi kau sendiri yang suka anggap berkepandaian luar biasa mengapa juga perlu bantuan seorang muda, kau tahu malu tidak?"

   Dasar watak Sin Cap-si-koh memang tinggi hati, mana dia dapat menerima olok-olok itu. Pikirnya.

   "Bocah ini memangnya ada permusuhan dengan aku, jika aku mesti mendapat bantuannya untuk mengalahkan si pengemis tua, kemenangan ini juga tidak gemilang bagiku. Apalagi Hi Giok- hoan dan puteri Beng-sia-tocu sebentar juga akan keluar, bukan mustahil ketiga anak muda ini masih akan mencari perkara kepadaku."

   Berpikir sampai di sini, pada kesempatan si pengemis tua harus menghadapi payung pusaka Kong-sun Bok, cepat Cap-si-koh melayang jauh ke sana.

   "Bagus, kau mau kabur bukan?"

   Teriak si pengemis tua.

   "Selama hidupku aku tidak pernah main kerubut, kini kubiarkan kau melayani anak muda itu, kau sendiri mendapat keuntungan malah berani mengoceh tak keruan,"

   Kata Sin Cap-si-koh.

   "Cuma kau harus ingat, perhitungan kita masih belum selesai, kelak masih harus dibereskan lagi."

   "Baik, akan kutunggu kau untuk membikin perhitungan terakhir,"

   Ujar si pengemis tua.

   "Hari ini boleh dikata enak bagimu, biarlah kau boleh pergi saja, tidak perlu banyak omong."

   Padahal dalam hati dia memang sangat berharap agar Sin Cap-si-koh lekas melarikan diri saja, makin jauh makin baik baginya. Sendirian Kong-sun Bok menghadapi si pengemis tua, beberapa kali dia harus mengalami serangan maut lawannya.

   "He, kau ini bocah yang pernah berkelahi dengan muridku itu bukan?"

   Tiba-tiba si pengemis tua menegur Kong-sun Bok.

   "Memangnya, ada apa?"

   Jawab Kong-sun Bok.

   "Siapa yang mengajarkan ilmu Tiam-hiat kepadamu?"

   "Dan ilmu Tiam-hiatmu sendiri diperoleh darimana? Coba katakan terus terang, kalau perlu kita dapat bertukar pikiran!"

   Si pengemis tua menjengek, mendadak ia tertawa dan berkata.

   "Ha, ha, ha, bagus! Kau bocah ingusan ini malah berbalik menanyai aku. Barangkali kau juga mengincar gambar pusaka itu bukan? Hm, betapa banyak orang yang mengincar gambar pusaka ini, tapi anak kemarin seperti kau ini tidak sesuai untuk ikut mengincarnya!"

   Sembari bicara, serangannya sama sekali tidak menjadi kendur. Selagi Kong-sun Bok terdesak kewalahan, saat itulah Giok-hoan dan Say- eng keluar dari rumah batu itu.

   "He, kemana perginya iblis perempuan itu?"

   Seru Giok-hoan heran.

   Berbareng itu Kong-sun Bok juga menanyai dia apakah Giok-kun ditemukan tidak? Sebenarnya kepandaian Hi Giok-hoan dan Le Say-eng juga mempunyai gaya yang khas meski tidak sehebat kepandaian Kong-sun Bok.

   Maka setelah ketiga anak muda itu bergabung, betapa pun lihainya si pengemis tua itu juga kerepotan.

   Diam-diam ia sangat heran mengapa akhir-akhir ini di dunia Kang-ouw muncul tokoh muda sebanyak ini.

   Tapi dari ucapan ketiga orang ini yang menyebut Sin Cap-si-koh sebagai iblis perempuan, jelas mereka toh bukan satu haluan, apalagi bocah itu tampaknya juga seperti tahu rahasia gambar pusaka Hiat-to-tong-jin, apa mungkin Sin Cap-si-koh yang memberitahu dia? Dalam pada itu setelah mengetahui Sin Cap-si-koh sudah kabur sendirian, Giok-hoan menjadi cemas akan nasib adik perempuannya, dengan nekat ia terus melancarkan serangan kepada pengemis tua sambil membentak.

   "Tua bangka, kembalikan adik perempuanku!"

   Tapi dengan kebutan lengan bajunya dapatlah si pengemis tua mengguncang pergi pedang Hi Giok-hoan, berbareng pentungnya menangkis serangan payung Kong-sun Bok, habis itu baru dia menjawab.

   "Adik perempuanmu dan si bocah she Sin sudah melarikan diri sejak tadi!"

   "Siapa percaya kepada ocehanmu kecuali kalau aku melihat mereka,"

   Bentak Giok-hoan.

   "Kurangajar, memangnya siapa minta kepercayaan padamu? Kau yang harus minta ampun padaku!"

   Bentak si pengemis tua murka.

   Pengemis tua itu memang tokoh yang mengambang antara baik dan jahat, sekali dia sudah murka, cara menyerangnya sudah tidak kenal ampun lagi, tenaga pukulannya yang dahsyat membanjir laksana air bah.

   Meski sejak kecil Kong-sun Bok telah berlatih tenaga dalam, tidak urung dada terasa sesak juga, Giok-hoan juga masih mampu bertahan sekuatnya, hanya Le Say- eng yang lebih lemah terasa sukar menahan daya tekanan musuh.

   Kong-sun Bok membentak, suaranya menggelegar, ia keluarkan satu jurus serangan "Hok-hou-han-liong" (menundukkan harimau menaklukkan naga) dari Tay-heng-pat-sik yang hebat, tenaga pukulan kedua pihak saling bentur dan menerbitkan suara gemuruh tertahan seperti suara guntur menggelegar, Kong-sun Bok tergetar mundur tiga tindak, si pengemis tua juga tergeliat.

   Tay-heng-pat-sik adalah ilmu khas keluarga Siang, ibu Kong-sun Bok, Siang Pek-hong, ialah puteri Siang Kian-thian, sejak kecil Kong-sun Bok sudah mendapat ajaran sang ibu.

   Sedangkan Kheng Ciau, guru Kong-sun Bok, pernah menerima ajaran dari Siang Jing-hong, yaitu adik perempuan ibunya, jadi soal Tay-heng-pat-sik ini kemahiran Kong-sun Bok boleh dikata lebih kuat daripada sang guru, yaitu Kheng Ciau.

   Begitulah, dengan tenaga Tay-heng-pat-sik yang hebat dapatlah Kong-sun Bok menandingi si pengemis tua untuk sementara, dengan demikian daya tekanan musuh terhadap Le Say-eng menjadi lebih longgar, segera Say-eng melancarkan serangan dari samping, dengan gerak tubuh yang gesit dan lincah ia berusaha membantu Kong-sun Bok.

   Dengan satu lawan tiga sukar juga bagi si pengemis tua untuk menang, diam-diam ia gelisah, pikirnya.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau berlangsung lama, bukan mustahil aku akan terjungkal sendiri di tangan mereka. Entah darimana munculnya tiga bocah ini, ternyata yang satu lebih lihai daripada yang lain?"

   Kalau di sini si pengemis tua sedang mengeluh, di balik gunung sana, muridnya, yakni Han Hi-sun, yang sedang bertempur dengan Hi Giok-kun, dia justru sedang gembira lantaran dia berada di atas angin.

   "Nona Hi,"

   Demikian Han Hi-sun berolok-olok pula.

   "apa gunanya kau mengadu jiwa dengan aku? Bicara terus terang, sesungguhnya aku suka padamu. Apakah kau mau terima nasehatku?"

   Tapi dengan mengertak gigi Giok-kun terus menjawabnya dengan suatu tusukan kilat.

   Serangan maut ini sangat lihai, bila perlu dia berani gugur bersama musuh.

   Cuma sayang tenaganya berkurang, ketika Han Hi-sun menyampuk perlahan dengan kipasnya, dengan gampang saja pedang Giok- kun itu tersampuk ke samping.

   "Nah, apa kataku, nona Hi?"

   Kata Han Hi-sun pula dengan tertawa.

   "Daripada kau mengadu jiwa dan sia-sia belaka, tidaklah lebih baik kita berkawan saja, dengan demikian jiwamu dapat diselamatkan, begitu pula jiwa suamimu yang cuma nama kosong itu dapat diselamatkan."

   "Tutup bacotmu!"

   Bentak Giok-kun dengan murka, dia menjadi nekat, ia pikir kalau keadaan memaksa, betapa pun akan bunuh diri saja daripada dianiaya musuh. Selagi keadaan bertambah gawat, sekonyong-konyong muncul seorang penolong.

   "Aha, ternyata benar kau yang sedang bertempur di sini, Giok-kun!"

   Seru orang itu.

   Ternyata Kok Siau-hong adanya.

   Sebagaimana diketahui, ketika Ta Ek itu tokoh Kay-pang menyampaikan berita ke Thay-ouw, kebetulan saat itu Kok Siau-hong tidak berada di tempat.

   Maka Hi Giok-hoan telah berangkat bersama Kong-sun Bok dan Le Say-eng.

   Tapi malamnya ketika Kok Siau-hong pulang, Ong Ih-ting lantas memberitahukan hal itu kepada Siau-hong.

   Tentu saja Siau-hong terkejut.

   Walaupun menyadari bilamana dirinya nanti bertemu dengan Giok-kun dan suaminya, tentu suasana akan tidak enak dan sama kikuknya.

   Tapi betapa pun ia tidak dapat tinggal diam, maka ia lantas tanya jalan kepada Ong Ih-ting, malam itu juga ia lantas menyusul ke arah Siong-hong-nia.

   Karena dia belum hapal jalannya meski akhirnya dia dapat mencapai tempat kediaman si pengemis tua, tapi dia telah telanjur berputar lebih jauh, arah yang ditempuhnya juga berlainan dengan Kong-sun Bok bertiga, Siau- hong justru datang dari belakang gunung.

   Tak tersangka belum Giok-hoan dan Kong-sun Bok bertiga ditemukan, lebih dulu Giok-kun yang ditemuinya, malahan Giok-kun kelihatan sedang bertempur melawan seorang pemuda bangsawan, tentu saja kejut Siau-hong tak terkatakan.

   "Aneh, mengapa cuma dia sendiri, mana suaminya?"

   Demikian pikirnya dengan heran.

   Sin Liong-sing sudah tertotok oleh Han Hi-sun dan menggeletak tak bisa berkutik di semak-semak di tepi jalan, karena itu Kok Siau-hong tidak melihatnya.

   Pada saat gawat itu, sungguh mimpi pun Giok-kun tidak menyangka akan dapat bertemu dengan Kok Siau-hong secara mendadak, maka terkejutnya jauh melebihi Siau-hong, sekejap itu hatinya menjadi kacau, entah girang entah sedih.

   Ingin bicara, tapi tenggorokan serasa tersumbat dan sukar bersuara.

   Melihat Giok-kun rada meleng, kesempatan iht tidak disia-siakan oleh Han Hi-sun, segera ia menubruk maju sambil membentak.

   "Nyonya manis, robohlah kau!"

   "Awas adik Kun,"

   Cepat Siau-hong berseru sambil memburu maju secepat terbang.

   "Bret", baju Giok-kun terobek sepotong oleh jeruji kipas yang terbuat dari baja tajam. Cepat Giok-kun melompat mundur, ternyata baju bagian dada sudah terobek sehingga tampak kulit dadanya yang putih mulus. Walaupun yang terobek itu hanya sedikit saja, tapi sudah cukup membuat Giok-kun serba kikuk, namun di balik itupun terasakan senang juga oleh seruan "adik Kun"

   Yang diucapkan Kok Siau-hong tadi.

   Panggilan seperti itu di masa lampau sudah tidak asing lagi baginya, sudah tentu tidak menimbulkan sesuatu perasaan baginya, tapi kini suasana sudah berubah, keadaan telah berganti.

   Tapi kembali ia dengar panggilan Kok Siau-hong itu, betapa pun timbul juga kenangan bahagia di masa lalu, seketika pikirannya menjadi gundah.

   Sekilas dilihatnya sang suami masih menggeletak di semak-semak sana, walau tidak dapat bergerak, tapi sedang memandangnya dengan sorot mata yang dingin, sorot mata yang mendongkol dan tidak menaruh kepercayaan kepadanya.

   Air muka Giok-kun menjadi pucat dan berubah merah pula, cepat ia betulkan bajunya yang terobek tadi dan baru hendak menjenguk keadaan sang suami, tiba-tiba terdengar suara "trang"

   Satu kali, terlihat Kok Siau-hong sedang melompat ke atas, Han Hi-sun terus menerjang ke depan, sebelum Kok Siau-hong dapat menancap kaki ke bawah, dengan cepat kipas Han Hi- sun terus menotok punggungnya.

   Sekonyong-konyong Giok-kun tersadar, ia pikir menghadapi keadaan gawat sekarang betapa pun harus menghalau musuh lebih dulu, apa boleh buat andaikan nanti Liong-sing bercuriga kepadaku.

   Karena pikiran itu, tanpa menghiraukan Sin Liong-sing lagi, segera ia putar pedang dan menerjang maju, bersama Kok Siau-hong mereka lantas mengerubut Han Hi-sun.

   "Nona Hi, kau boleh mengaso dulu, bocah ini serahkan padaku saja!"

   Kata Siau-hong.

   Pada saat itulah sayup-sayup Giok-kun seperti mendengar pula suara dengus Sin Liong-sing, Giok-kun tertegun, dilihatnya Kok Siau-hong memang cukup kuat untuk menandingi Han Hi-sun, maka ia lantas mundur ke samping.

   Walaupun tak dapat bersuara, tapi tenggorokan Sin Liong-sing bersuara seperti orang ngorok, soalnya Siau-hong sedang menghadapi Han Hi-sun dengan penuh perhatian, maka suara Sin Liong-sing yang lemah itu tak didengarnya.

   Mestinya Giok-kun hendak menilik keadaan Liong-sing, tapi entah mengapa, tiba-tiba timbul rasa antipatinya terhadap sang suami, maka dia hanya mundur saja dan tidak mendekati Sin Liong-sing.

   Dalam pada itu Kok Siau-hong sedang putar pedangnya secepat kilat, dalam suatu gerakan, seketika sinar pedangnya berkembang menjadi tujuh kuntum bunga pedang, sekaligus ia mengincar tujuh tempat Hiat-to di tubuh Han Hi-sun.

   "Ha, ha, ha, kau juga berani pa....."

   Belum sampai kata "pamer"

   Diucapkan Han Hi-sun, tahu-tahu pedang Kok Siau-hong menyambar lewat di depan hidungnya, untung dia keburu berkelit, kalau tidak, kepalanya pasti tertabas separo.

   Keruan Han Hi-sun terkejut, rasa meremehkan musuh seketika lenyap.

   Sebenarnya kalau bicara ilmu Tiam-hiat melulu, sudah tentu Han Hi-sun lebih unggul daripada Kok Siau-hong.

   Tapi kalau berbanding tenaga keuletan, Han Hi-sun berbalik kalah kuat, apalagi dia habis bertempur dengan Hi Giok-kun, betapa pun tenaganya sudah banyak terkuras.

   Jit-siu-kiam-hoat yang menjadi kepandaian utama Kok Siau-hong terkenal sebagai ilmu pedang yang jitu dan ganas, untung Han Hi-sun meyakinkan ilmu Tiam-hiat dari gambar pusaka Hiat-to-tong-jin, hampir segala macam ilmu Tiam-hiat di dunia ini dapat dipatahkan olehnya, dengan demikian maka dia masih sanggup melayani serangan Kok Siau-hong.

   Walaupun begitu serangan yang hampir membikin kepalanya terbelah tadi telah mengejutkan dia juga hingga berkeringat dingin.

   Di lain pihak Kok Siau-hong juga terkesiap oleh kepandaian Tiam-hiat lawan yang lihai, baru sekarang dia mengerti mengapa Giok-kun tidak mampu menandinginya.

   Segera Siau-hong mengerahkan tenaga dan menghimpun semangat, pedangnya menyerang lebih gencar dan selalu mengincar tempat mematikan di tubuh musuh.

   Lantaran Han Hi-sun kalah tenaga, ketika Siau-hong melancarkan suatu tusukan lagi, Han Hi-sun bermaksud menyampuknya dengan kipas, akan tetapi kipasnya ternyata tidak mampu menahan ketajaman ujung pedang lawan.

   "cret", kipasnya berlubang, ujung pedang bahkan menyelonong hendak menabas tangannya, untuk menyelamatkan diri, terpaksa Han Hi- sun membuang kipasnya dan melompat mundur. Sungguh tidak kepalang kejut Han Hi-sun, tanpa pikir lagi ia angkat langkah seribu alias ngacir.

   "Hm, untung bagimu!"

   Jengek Kok Siau-hong.

   Karena ingin menanyakan sedikit keterangan kepada Hi Giok-kun, maka ia pun tidak mengejar musuh lagi.

   Setelah kedua orang berhadapan, tiba-tiba keduanya sama tertegun dan tidak tahu cara bagaimana harus membuka mulut.

   Akhirnya setelah Kok Siau-hong dapat menenangkan diri, lalu ia berkata.

   "Nona Hi, kakakmu sudah menyusul datang, apakah kalian telah bertemu?"

   "O, kakak sudah datang? Ah, kami belum bertemu,"

   Jawab Giok-kun kejut dan girang.

   "Habis cara bagaimana kau berhasil meloloskan diri?"

   Tanya Siau-hong.

   "Marilah kita lekas menyusul kakakmu, dia tentu mencari kau ke tempat si pengemis tua itu."

   "Tapi di sana aku hanya melihat Sin Cap-si-koh saja, waktu kami melarikan diri dia sedang bertempur dengan pengemis tua itu,"

   Tutur Giok- kun.

   "Jika begitu, lekas kita ke sana,"

   Ajak Siau-hong.

   "Ti..... tidak, saat ini aku tidak dapat pergi, sebab dia..... dia....."

   Tiba-tiba Siau-hong tersadar, cepat ia bertanya.

   "Oya, aku heran mengapa kau hanya sendirian saja, dimanakah Sin-kongcu?"

   "Dia..... dia tertotok roboh oleh bangsat she Han itu,"

   Jawab Giok-kun dengan suara lemah.

   Waktu Siau-hong memandang ke arah yang ditunjuk Giok-kun, baru sekarang dilihatnya Sin Liong-sing menggeletak di sana, ia terkejut dan cepat memburu ke sana untuk membangunkan Liong-sing.

   Rasanya tiada sesuatu yang terlebih kikuk daripada kehilangan muka di depan musuh asmara.

   Mimpi pun Sin Liong-sing tidak menduga bahwa dirinya akan bertemu dengan Kok Siau-hong pada saat dia sedang mengalami nasib sial.

   Keruan tidak kepalang rasa malunya.

   Tapi apa daya, sama sekali dia tak bisa berkutik.

   "Siau-hong,"

   Kata Giok-kun kemudian.

   "dapatkah kau memberi bantuan, aku tidak sanggup membuka Hiat-to yang tertotok bangsat she Han itu. Beberapa hari yang lalu Liong-sing baru mulai mempelajari Siau-yang-sin- kang."

   Sebagai ahli silat, dengan sendirinya Kok Siau-hong dapat menangkap apa maksud tujuan ucapan Giok-kun itu.

   "Baiklah, akan kucoba,"

   Katanya kemudian.

   Segera ia mengerahkan tenaga dalam sendiri dan disalurkan ke tubuh Sin Liong-sing untuk melancarkan Hiat-to yang tertotok.

   Selang agak lama, tertampak Kok Siau-hong bermandi keringat, sedangkan Hiat-to Sin Liong-sing masih tetap belum terbuka.

   Giok-kun merasa gelisah, tiba-tiba terdengar suara batuk, Sin Liong-sing memuntahkan sekumur riak kental berdarah.

   "Syukurlah engkau sudah dapat bergerak, Liong-sing!"

   Seru Giok-kun kuatir dan girang.

   "Bagaimana perasaanmu sekarang?"

   Dengan terhuyung-huyung Sin Liong-sing berdiri terus mendamprat.

   "Aku tidak perlu bantuanmu, aku lebih suka....."

   Sampai di sini.

   "bruk", kembali ia jatuh terkulai. Rupanya saking terguncang perasaannya sehingga Sin Liong-sin tak dapat memusatkan tenaga dalam untuk menyambut bantuan lwekang Kok Siau- hong tadi, akibatnya cuma Hiat-to suaranya saja yang lancar kembali dan dapat bicara, namun Hiat-to yang membuatnya kaku itu belum dapat dipunahkan, tapi dia memaksakan diri buat berdiri, akhirnya dia jatuh roboh lagi. Tentu saja Giok-kun merasa serba salah, dengan pedih dan kuatir ia membangunkan pula sang suami dan berkata.

   "Liong-sing, orang sangat baik padamu, mengapa kau bicara demikian dan tidak mau menerima bantuan kawan. Bukankah bangsat she Han itu pernah mengatakan bahwa Hiat-to yang tertotok ini jika dalam tiga hari tidak dicairkan, maka jiwamu mungkin sukar diselamatkan. Hayolah, lekas kau minta maaf kepada Kok-toako."

   Sin Liong-sing terbanting jatuh dengan kesakitan, semula ia mengira Hiat-to yang tertotok itu sudah lancar kembali seluruhnya, tak terduga ketika ia coba mengerahkan tenaga, ternyata rasa sakitnya terlebih hebat daripada sebelumnya.

   Betapa pun menyelamatkan jiwa memang terlebih penting, maka Sin Liong-sing terpaksa menahan perasaannya dan minta maaf kepada Kok Siau- hong sebagaimana dianjurkan Giok-kun tadi.

   "Tidak apalah,"

   Ujar Siau-hong.

   "Sesungguhnya aku pun sudah berusaha sepenuh tenaga, tapi tetap tidak sanggup melancarkan Hiat-to yang tertotok."

   Merasa permintaan maafnya tadi seakan tiada gunanya, kembali Sin Liong-sing naik darah dan hampir saja mendamprat pula. Untung sebelum ia umbar amarahnya, tiba-tiba terdengar Kok Siau-hong berseru.

   "Aha, ada, ada!"

   "Ada apa?"

   Tanya Giok-kun cepat.

   "Ada akal lain,"

   Jawab Siau-hong.

   "Bukankah ilmu Tiam-hiat yang aneh bangsat she Han ini adalah ajaran pengemis tua yang dimaksud itu?"

   "Benar, ada apa lagi?"

   Kata Giok-kun.

   "Marilah kita cepat mencari kakakmu,"

   Sahut Siau-hong.

   "Apa gunanya? Koko juga tidak sanggup membuka Hiat-to yang tertotok ini,"

   Ujar Giok-kun.

   "Kakakmu berada bersama Kong-sun Bok,"

   Tutur Siau-hong.

   "Dan Kong- sun Bok dapat memunahkan Hiat-to yang tertotok ini."

   Kiranya Kok Siau-hong telah mendengar urusan gambar Hiat-to-tong-jin dari Ong Ih-ting sebagaimana diceritakan oleh Le Say-eng.

   Kalau saja si pengemis tua adalah guru Han Hi-sun, maka ilmu Tiam-hiatnya pasti ilmu berasal dari gambar Hiat-to-tong-jin.

   Kok Siau-hong sendiri juga sudah mengetahui kalau Kong-sun Bok mahir ilmu Tiam-hiat serupa itu.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Begitulah Kok Siau-hong lantas mengajak mereka lekas menyusul ke tempat si pengemis tua, mereka memayang Sin Liong-sing, yang seorang menyanggah bahu kanan dan yang lain bahu kiri, segera mereka berlari dengan Ginkang yang tinggi.

   Sudah tentu bagi Sin Liong-sing kejadian ini dianggap sebagai penghinaan besar, tapi apa daya, jiwa selamat lebih penting, terpaksa ia membiarkan dirinya diperlakukan sesukanya.

   Setiba di selat pegunungan Siong-hong-nia, sayup-sayup terdengar suara benturan senjata, dengan girang Giok-kun berseru.

   "Dugaanmu tidak salah, Kok-toako, mereka memang sedang bertempur melawan si pengemis tua."

   Saat itu Kong-sun Bok bertiga sedang mengerubut si pengemis tua dengan sengit, tiba-tiba mereka mendengar seruan Kok Siau-hong.

   "Hi- toako, Giok-kun sudah lolos dengan selamat!"

   Begitulah dari jauh Kok Siau- hong menggunakan ilmu gelombang suara untuk mengirim kabar kepada Giok-hoan. Hampir Giok-hoan tidak percaya akan telinga sendiri, cepat ia menjawab.

   "Kiranya kau, Siau-hong! Kalian berada dimana? Lekas ke sini!"

   Segera Siau-hong menaruh Sin Liong-sing ke tanah dan membiarkan Giok-kun yang menjaganya, ia sendiri terus memburu ke sana secepat terbang.

   Saat itu si pengemis tua sedang melancarkan serangan dengan pukulan dahsyat, Kong-sun Bok berusaha menahan sebagian besar tenaga pukulannya, tapi lantaran perhatian Giok-hoan terganggu, betapa pun membawa pengaruh juga pertahanan mereka.

   Syukur secepat terbang Kok Siau-hong memburu tiba.

   "sret", tanpa bicara lagi pedang lantas menusuk si pengemis tua. Namun pentung si pengemis tua segera berputar dan sempat menangkis terus dipuntir. Siau-hong merasakan tangannya panas pedas, untung pedang tidak sampai terlepas dari cekalan, malahan ia terus menekan pedang ke bawah dan ditolak ke depan pula, dengan demikian tenaga puntiran lawan dapat dipatahkan, bahkan lantas balas menyerang. Terpaksa si pengemis tua terdesak mundur satu langkah. Baru sekarang pengemis tua itu terkejut, pikirnya.

   "Sungguh luar biasa, anak-anak muda ini ternyata yang satu lebih lihai daripada yang lain. Kalau berlangsung lebih lama, bukan mustahil pengemis tua sendiri akan celaka!"

   Sebenarnya bukanlah Kok Siau-hong terlebih lihai daripada Kong-sun Bok umpamanya, soalnya lantaran si pengemis tua sudah bertempur sekian lamanya, tenaganya sudah banyak susut.

   "Hi-heng, silakan kau mundur dulu dan menjaga mereka, biar aku menggantikan kau,"

   Seru Siau-hong.

   "Mereka berada dimana?"

   Tanya Giok-hoan.

   "Lihatlah, bukankah mereka sudah datang!"

   Kata Siau-hong Ternyata Giok-kun sambil memayang Sin Liong-sing kini pun sudah nampak muncul dari balik lereng sana. Segera Giok-hoan memapak mereka dan saling menanyai keadaan masing-masing.

   "Hm, apa sekarang kau hendak minta adik perempuanmu lagi padaku?"

   Jengek si pengemis tua sambil melancarkan suatu pukulan keras, cepat Kong- sun Bok berkelit ke samping.

   Lowongan itu segera digunakan oleh si pengemis tua untuk menerjang pergi.

   Mestinya Kong-sun Bok hendak mengejar, tapi Giok-kun telah berseru padanya.

   "Musuh yang sudah kalah tidak perlu dikejar lagi! Pengemis tua itupun tidak terlalu jahat, biarkan dia pergi saja!"

   "Sin-kongcu ini tertotok oleh pengemis tua tadi, Kongsun-toako, harap kau suka membuka Hiat-to yang tertotok ini,"

   Pinta Siau-hong kemudian.

   Dalam pada itu mendadak terdengar suara pintu didobrak orang, dari dalam rumah batu itu berlari keluar satu orang, kiranya si gagu murid pengemis tua.

   Agaknya lwekang si gagu juga cukup hebat, setelah sekian lamanya dia berhasil mengerahkan tenaga dan membuka Hiat-to sendiri yang tertotok Giok-kun tadi.

   Dengan mata melotot si gagu menatap Giok-kun dengan gusar.

   "Jangan kau marah padaku, untuk melarikan diri terpaksa aku menotok kau,"

   Kata Giok-kun dengan tertawa.

   "Suhumu sudah pergi, lekas kau menyusul dia saja!" ~ Lalu ia menuding-nuding ke arah kaburnya si pengemis tua. Air muka si bisu tampak berubah lebih ramah, ia menuruti petunjuk Giok-kun dan berlari menyusul sang guru. Dalam pada itu Kong-sun Bok sudah melancarkan Hiat-to Sin Liong-sing yang tertotok. Dengan rasa malu terpaksa Liong-sing mengucapkan terima kasih kepada Kong-sun Bok.

   "Kita adalah kawan semua, tidak perlu sungkan,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Koko, darimana kalian mengetahui aku datang ke sini?"

   Tanya Giok-kun.

   "Saputanganmu yang bertulisan itu kebetulan ditemukan oleh Ta Hiang- cu dari Kay-pang, dia menyampaikan berita itu kepada Ong Ce-cu di Thay- ouw,"

   Jawab Giok-hoan.

   "O, kiranya kalian berada di tempat Ong Ce-cu sana,"

   Kata Giok-kun dengan girang.

   "Aku dan Liong-sing juga ditugaskan oleh gurunya ke tempat Ong Ce-cu itu."

   "Tapi, Hi-toako, terpaksa aku tidak dapat berangkat ke sana lagi,"

   Tiba- tiba Sin Liong-sing menambahkan.

   "Aku..... aku mengalami luka dalam rasanya aku perlu lekas pulang untuk minta pertolongan kepada Suhu."

   Sebagai nona yang cerdik, melihat sang suami itu segera Giok-kun dapat meraba jalan pikirannya. Pikirnya dalam hati.

   "Jika aku membujuk dia, mungkin aku akan dicurigai pula. Begini sempit jiwanya, cara bagaimana aku dapat hidup berdampingan dengan dia selama hidup!" ~ Tetapi untuk menghindari prasangka, terpaksa ia pun berkata.

   "Baiklah, marilah kuantar kau pulang saja!"

   "Kau terluka, aku dan nona Le juga akan mengantar kau,"

   Kata Giok- hoan. Walaupun Sin Liong-sing tidak menimbulkan kesan baik baginya, tapi apa pun juga ipar sendiri, disangkanya Sin Liong-sing benar-benar terluka dalam, maka ia pun ikut kuatir. Lalu ia menambahkan pula.

   "Dan ada persoalan apa yang perlu kalian rundingkan dengan Ong Ce-cu, kiranya boleh minta Kok-toako suka menyampaikan kepada beliau."

   Terpaksa Liong-sing mengiakan, tapi ia lantas berpaling dan berkata kepada Giok-kun.

   "Kau saja yang memberitahukan dia, aku merasa kurang enak badan, mungkin bicaraku kurang jelas."

   Sudah tentu Giok-kun merasa risih atas sikap kaku sang suami itu, namun lahirnya dia berusaha bersikap sewajarnya.

   Lalu ia pun memberitahukan Kok Siau-hong mengenai persoalan apa yang perlu dibicarakan dengan Ong Ih-ting.

   Setelah Kok Siau-hong berjanji akan menyampaikan persoalannya, kemudian mereka pun berpisah.

   Hi Giok-hoan, Le Say-eng mengiringi Giok- kun dan Liong-sing pulang ke Hang-ciu, sedangkan Kong-sun Bok bersama Kok Siau-hong kembali ke Thay-ouw.

   Ta Ek sendiri sudah menyelesaikan tugasnya, ia pun perlu kembali ke markas Kay-pang untuk melapor.

   Pertemuannya dengan Hi Giok-kun sekali ini telah menimbulkan perasaan tidak enak bagi Kok Siau-hong, maka sepanjang jalan ia tampak masgul.

   "Kok-heng, kau seperti mengandung sesuatu pikiran apa?"

   Tanya Kong- sun Bok di tengah perjalanan.

   "Ah, tidak ada apa-apa, jangan kau sembarang menduga,"

   Ujar Siau- hong.

   "Masakah kau dapat mendustai aku,"

   Kata Kong-sun Bok dengan tertawa.

   "Biasanya kau banyak omong dan suka bergurau, tapi seharian ini kau cuma bicara beberapa patah kata saja. Aku menerka kau sedang memikirkan nona Han, betul tidak?"

   Diam-diam Siau-hong merasa malu diri, baru sekarang dia ingat kepada titipan Han Pwe-eng, tapi setelah berhadapan dengan Giok-kun, ternyata urusan itu telah dilupakannya. Dalam pada itu Kong-sun Bok telah berkata pula dengan tertawa.

   "Kalian telah banyak mengalami ujian hidup dan akhirnya keduanya dapat akur kembali, adalah pantas kalau masing-masing saling mengenangkan pihak lain. Waktu kuberangkat ke sini nona Han juga titip pesan padaku agar mencari berita tentang dirimu."

   Terasa bahagia rasa hati Kok Siau-hong, jawabnya kemudian dengan tersenyum.

   "Kongsun-toako, di antara kawan-kawan kau terhitung paling lugu, tak tersangka sekarang kau pun bisa bergurau."

   "Jadi kau sudah mengaku sedang mengenangkan nona Han?"

   Kong-sun Bok menegas.

   "Terkaanmu cuma kena separoh saja,"

   Ujar Siau-hong.

   "Yang kupikirkan adalah soal ayah nona Han."

   "Oya, kudengar paman Han sedang dirawat di rumah Sin Cap-si-koh, tapi nyana Sin Cap-si-koh berada di Kang-lam sini, lalu paman Han diboyong lagi kemana sekarang?"

   "Justru lantaran itulah maka Pwe-eng jadi kuatir,"

   Kata Siau-hong.

   "Giok- kun mengatakan Sin Cap-si-koh tadi berada di tempat si pengemis tua, tapi sayang aku tidak memergoki dia."

   "Tadi aku pun melihat dia,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Cuma biarpun kita bertemu dia lagi dan menanyai dia, tentu dia takkan mengaku terus terang."

   "Asal bertemu, biarpun dia tak mau mengaku, betapa pun bisa memperoleh sedikit kabar,"

   Ujar Siau-hong.

   "Tapi tidak diketahui dia lari kemana,"

   Kata Kong-sun Bok. Saat ini mereka belum keluar dari selat gunung yang panjang itu, tiba-tiba terdengar di kaki gunung sana ada suara nyaring benturan senjata.

   "Aneh, siapa yang sedang bertempur di sana?"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Jangan-jangan si pengemis tua telah kembali lagi ke sini? Tapi rombongan Giok-hoan menuju ke arah lain, rasanya bukan mereka yang sedang menempur si pengemis tua."

   Segera mereka mempercepat langkah dan memburu ke arah datangnya suara.

   "He, seperti Sin Cap-si-koh!"

   Seru Kong-sun Bok.

   Sesudah dekat, ternyata pandangan Kong-sun Bok memang tidak meleset, yang sedang bertempur itu betul Sin Cap-si-koh adanya, tapi lawannya bukanlah si pengemis tua melainkan Beng Jit-nio.

   Beng Jit-nio juga sengaja datang ke Kang-lam sini untuk mencari Sin Cap- si-koh dan Han Tay-wi, setelah mengikuti jejak mereka sepanjang jalan, akhirnya kepergok di sini.

   Dalam pada itu terdengar Sin Cap-si-koh sedang berkata dengan tertawa.

   "Beng Jit-nio, selama berpuluh tahun kita bersaudara misan, buat apa sekarang kita bercekcok untuk seorang Han Tay-wi. Dan lagi kita bertiga kini juga sudah ubanan, memangnya Han Tay-wi masih mau mengawini kau?" ~ Sembari bicara, serangannya ternyata tidak menjadi kendur, tongkat bambu hijau bekerja laksana pedang, dengan cepat sekaligus ia melancarkan tujuh kali serangan.

   "Hm, ngaco-belo, memangnya kau kira aku sedang berebut lelaki dengan kau?"

   Jengek Beng Jit-nio dengan gusar.

   "Tujuanku justru hendak membikin perhitungan dengan kau, tahu?"

   "Ai, sungguh aku tidak mengerti, membikin perhitungan apakah maksudmu?"

   Jawab Sin Cap-si-koh dengan hambar.

   "Istri Han Tay-wi mati diracun siapa? Kau yang membunuh, tapi aku yang difitnah."

   "Mana bisa jadi begitu? Istri Han Tay-wi mati sakit dan tiada sangkut- pautnya dengan aku. Padahal Han Tay-wi juga tidak menuduh kau sebagai pembunuhnya. Mengapa kau bilang difitnah segala?"

   "Kau masih menyangkal?"

   Bentak Beng Jit-nio dengan murka.

   "Caramu menaruh racun memang hebat, orang yang mati kau racun sedikit pun tidak tampak bekasnya. Namun sudah lama Han Tay-wi menaruh curiga, dia yakin pembunuhnya kalau bukan kau tentulah aku. Memang, di hadapanku dia tak berani mengutarakan pikirannya itu, tapi anak perempuannya tegas-tegas menganggap aku sebagai musuhnya. Maka urusan ini harus kubereskan sejelas-jelasnya dengan kau!"

   Sebenarnya Kok Siau-hong bermaksud tampil ke muka, tapi demi mendengar percakapan kedua wanita itu, tanpa terasa ia terkesima.

   Pikirnya,"Pantas ibu Pwe-eng meninggal secara tidak jelas, kiranya dia mati diracun Sin Cap-si-koh.

   Betapa keji iblis perempuan ini benar-benar jauh di luar dugaanku."

   Sementara itu Sin Cap-si-koh telah balas menjengek.

   "Hm, kau berkeras menuduh aku yang membunuhnya, baiklah, terserah kepadamu. Cuma kau hendak membikin perhitungan dengan aku, selama hidupmu ini kukira jangan kau harapkan. He, he, jangan kau menyalahkan aku, kau sendiri yang memaksa aku membunuh kau."

   Bicara sampai kata "bunuh", sekonyong-konyong tongkatnya bekerja cepat, secara membadai ia memburu Beng Jit-nio dengan serangan maut, segenap penjuru melulu bayangan tongkat belaka. Beng Jit-nio tampak kewalahan dan berulang-ulang terdesak mundur.

   "He, he, cepat juga pulihnya tenagamu,"

   Kata Sin Cap-si-koh.

   "cuma sayang, dibandingkan aku tenagamu masih selisih jauh. Kukira lebih baik kau membunuh diri saja daripada tersiksa nanti!"

   Antara kedua saudara misan ini sebenarnya sama kuatnya, tapi lantaran tempo hari Beng Jit-nio kena dibokong oleh Sin Cap-si-koh ketika dia sedang bertempur sengit melawan Cu Kiu-bok dan Sebun Bok-ya, dia terluka dalam dan sampai kini belum sembuh seluruhnya, tenaganya paling cuma tujuh bagian daripada kekuatan semula.

   Beng Jit-nio kenal kekejian Sin Cap-si-koh, kalau sampai tertawan, sukar menghindarkan siksaan badan yang kejam.

   Tapi ia sudah nekat, biarpun mati juga takkan membiarkan lawannya hidup senang.

   Begitulah selagi Beng Jit-nio hendak menggunakan "Thian-mo-kay-teh- tay-hoat", semacam ilmu yang menyakiti badan sendiri, tapi serentak akan menimbulkan kekuatan berlipat, dengan demikian ia hendak menyerang Sin Cap-si-koh dan bila perlu biar gugur bersama, pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang membentak, dua orang muncul dengan cepat ke arah mereka.

   Kedua orang ini tak perlu dijelaskan lagi tentu Kok Siau-hong dan Kong-sun Bok adanya.

   "Bagus, kau perempuan racun ini kembali hendak membikin susah orang di sini. Sungguh aku menyesal telah menyelamatkan kau tempo hari,"

   Bentak Kok Siau-hong. Pada saat itu pula mendadak terdengar suara jeritan, Beng Jit-nio melompat mundur beberapa meter jauhnya dengan muntah darah, berdirinya juga tidak tegap lagi dan akhirnya jatuh terkulai. Penggunaan "Thian-mo-kay-teh-tay-hoat"

   Memang sangat banyak minta pengorbanan tenaga murni, lantaran sudah tiada jalan lain, Beng Jit-nio bertekad menggunakan ilmu kalangan hitam itu untuk gugur bersama lawan.

   Tak terduga baru saja dia mulai mengerahkan tenaga, mendadak Kong-sun Bok berdua muncul dan sangat mengganggu pemusatan perhatian dan tenaganya.

   Dalam pikiran kacau, tenaga yang dikerahkan menjadi tak terkendali dan melukai diri sendiri.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ditambah lagi Sin Cap-si-koh amat cekatan, tongkatnya tepat menyabet lawan.

   Maka muntah darah Beng Jit-nio itu di samping akibat pukulan tongkat Sin Cap-si-koh, sebagian juga disebabkan gangguan pengerahan ilmu Kay-teh-tay-hoat sendiri.

   Dalam pada itu dengan cepat pedang Kok Siau-hong telah menyambar Hong-hu-hiat di punggung Sin Cap-si-koh.

   "Hm, kau bocah ini juga berani memusuhi aku!"

   Jengek Cap-si-koh, berbareng tongkatnya memutar ke belakang, terdengarlah suara mendering berulang.

   Kiranya serangan Kok Siau-hong itu terdiri dari suatu serangan meliputi tujuh gerakan, maka dalam sekejap itu pedangnya saling bentur tujuh kali dengan tongkat bambu Sin Cap-si-koh.

   Walaupun lwekang Kok Siau-hong juga sudah cukup kuat, tapi dibandingkan Sin Cap-si-koh terang masih kalah setingkat, ia merasa tenaga dalam lawan mendampar tiba laksana ombak samudera yang bergulung, gelombang satu lebih dahsyat daripada gelombang berikutnya, seketika tangan Siau-hong terasa kesemutan, pedang hampir terlepas dari tangannya.

   Lekas Kong-sun Bok pentang payung pusakanya untuk menahan serangan tongkat Cap-si-koh.

   "trang", lelatu api meletik, tongkat bambu lawan tergetar balik. Sin Cap-si-koh terkejut, dia baru tahu payung anak muda itu adalah benda mestika, ia tidak berani menyentuh lagi payung itu, segera ia menggeser ke samping dengan langkah yang gesit dan lincah, berbareng tongkatnya digunakan sebagai pedang untuk menusuk lambung Kong-sun Bok. Di sebelah lain Kok Siau-hong menguatirkan luka Beng Jit-nio, segera ia pun berseru.

   "Beng-kokoh (bibi Beng), bagaimanakah keadaanmu?"

   Beng Jit-nio tersenyum puas karena panggilan "bibi"

   Itu, jawabnya.

   "Aku tidak apa-apa, jangan urus diriku, paling perlu kalahkan perempuan keji itu!"

   Siau-hong pikir anjuran itu memang beralasan, cepat ia curahkan perhatian sepenuhnya untuk menghadapi Sin Cap-si-koh, dengan Jit-siu- kiam-hoat ia mengerubut musuh pula bersama Kong-sun Bok.

   Ia tidak tahu bahwa luka Beng Jit-nio sebenarnya sangat parah, soalnya Beng Jit-nio tidak ingin kedua anak muda itu menjadi kuatir, maka ia berlagak seperti tidak apa-apa.

   Sambil bersandar di batang pohon, napas Beng Jit-nio mulai terengah-engah, ia coba mengikuti pertarungan sengit di tengah kalangan, ternyata Sin Cap-si-koh terlebih banyak menyerang daripada diserang sekali pun dia harus menghadapi dua lawan yang lebih muda.

   Walaupun begitu, diam-diam Sin Cap-si-koh juga gelisah, ia pikir ilmu silat kedua anak muda itu tidak dapat dipandang enteng, kalau saja dalam waktu singkat tak dapat mengalahkan mereka, akhirnya dirinya sendiri pasti akan celaka.

   Sebaliknya Kong-sun Bok dan Kok Siau-hong juga terkejut karena diserang dengan gencar, kalau saja mereka kalah, tentu Beng Jit-nio akan ikut celaka.

   Selagi mereka terdesak mundur, tiba-tiba Beng Jit-nio berseru.

   "Kok- siauhiap, geser ke sudut Kian dan ambil tempat Kim!"

   Lalu lanjutnya.

   "Kongsun-siauhiap, lekas menggunakan jurus Tiat-soh- heng-kang!"

   Cepat kedua anak muda itu menuruti petunjuk itu dan benar saja Kok Siau-hong dengan tepat dapat menghindarkan serangan Sin Cap-si-koh, berbareng terdengar suara "trang", payung pusaka Kong-sun Bok juga sempat mengguncang pergi tongkat Sin Cap-si-koh.

   Meski dalam keadaan payah, namun pengetahuan ilmu silat Beng Jit-nio tidak lebih rendah daripada Sin Cap-si-koh.

   Apalagi mereka adalah saudara misan, terhadap ilmu silat masing-masing semuanya sudah hapal, maka begitu dia memberi petunjuk, seketika Kong-sun Bok berdua seperti bertambah seorang pembantu, kedudukan mereka yang terdesak tadi segera berubah lebih kuat.

   "Hm, kematianmu sudah di depan mata, kau masih berani mengoceh!"

   Damprat Cap-si-koh dengan gusar.

   Namun Beng Jit-nio tidak ambil pusing, ia masih terus memberi komando kepada Kong-sun Bok dan Kok Siau-hong.

   Tidak terlalu lama, dari terserang kedua anak muda itu kini berubah menjadi pihak penyerang malah, kedudukan mereka sudah di atas angin.

   "Hm, tempo hari kami menyelamatkan kau, maka sekarang kami pun tidak bermaksud mencelakai kau, hanya saja kau harus mengakui terus terang pertanyaan kami, kalau tidak, hm, jangan kau kira dapat lolos lagi dengan mudah!"

   Demikian bentak Kong-sun Bok. Kok Siau-hong juga ikut membentak.

   "Lekas katakan, dimana kau menyembunyikan Han Lo-enghiong?"

   "Ha, ha, kiranya kedatanganmu ini adalah untuk mencari bapak mertuamu!"

   Cap-si-koh berolok-olok dengan tertawa.

   "Padahal kau pun tahu bagaimana hubunganku dengan Han Tay-wi, memangnya aku tega memperlakukan dia dengan buruk? Kukira kau tidak perlu kuatir baginya."

   "Tidak perlu omong kosong!"

   Bentak Siau-hong pula.

   "Pendek kata, kalau kau tidak menyerahkan Han Lo-cianpwe, hm, tidak nanti kami lepaskan kau!"

   Sementara ini Sin Cap-si-koh sudah berada dalam kurungan sinar pedang dan bayangan payung, seperti burung terkurung di dalam sangkar, bersayap pun sukar kabur baginya.

   Tak terduga mendadak Sin Cap-si-koh menyemburkan darah segar, lalu berseru nyaring.

   "Hah, hanya dua anak ingusan seperti kalian ini mampu merintangi aku? Jangan mimpi!"

   Aneh juga, jelas dia muntah darah, tapi tenaga serangannya ternyata bertambah kuat daripada sebelumnya.

   Beruntun tongkatnya menyabet tiga kali sehingga payung Kong-sun Bok terguncang ke samping, menyusul ujung tongkat terus menusuk ke dada Kok Siau-hong.

   Kong-sun Bok terkejut, cepat ia pentang payung dan menghadang di depan Kok Siau-hong.

   Sin Cap-si-koh tidak meneruskan serangannya, mendadak ia mendengus.

   "Hm, kalian pernah membantu aku satu kali, maka sekarang aku pun mengampuni kalian. He, he, Beng Jit-nio, bila kau tidak mampus, biarlah kita bertemu lagi kelak!"

   Habis itu ia terus kabur dengan cepat.

   "Sayang!"

   Kata Beng Jit-nio sesudah Sin Cap-si-koh pergi.

   Ia tahu, setelah menggunakan Thian-mo-kay-teh-tay-hoat, walaupun mendadak tenaga dalamnya bertambah satu kali lipat, tapi tenaga itu cuma bertahan untuk sementara saja, maka kalau Kong-sun Bok dan Kok Siau-hong mau mengejarnya, pasti Sin Cap-si-koh tidak mampu lolos.

   Begitulah Kok Siau- hong lantas bertanya.

   "Beng-kokoh, asal engkau tidak apa-apa, maka legalah hati kami, tentang iblis perempuan itu biarlah kelak kita membikin perhitungan lagi dengan dia."

   Tiba-tiba Beng Jit-nio tersenyum getir, katanya,"Aku mungkin tidak tahan lagi!"

   Mendadak mulutnya merembeskan liur berdarah, lalu roboh dengan lemas, mukanya tampak merah membara. Keruan Kok Siau-hong terkejut dan berseru.

   "He, kenapakah kau Beng- kokoh?"

   Namun mulut Beng Jit-nio tampak terkatup dan tidak mendengar lagi perkataannya.

   Kiranya sejak tadi Beng Jit-nio bertahan sekuatnya dengan sisa tenaga yang masih ada, setelah musuh kabur, pikirannya merasa lega, tapi tenaganya pun buyar dan tidak tahan pula.

   Kong-sun Bok cukup paham ilmu dari aliran Cing (baik) dan Sia (jahat), maka sekali pandang saja ia lantas tahu keadaan Beng Jit-nio itu adalah akibat Thian-mo-kay-teh-tay-hoat yang membakar dirinya sendiri.

   "Beng Lo-cianpwe mungkin mengalami Cau-hwe-jip-mo!"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Untung baru saja mulai, mungkin kita masih dapat menolongnya. Marilah kita menggunakan hawa murni untuk menyembuhkan dia."

   Cau-hwe-jip-mo artinya kemacetan sesuatu ilmu yang diyakinkannya, akhirnya dapat melumpuhkan tubuh dan cacat untuk selamanya.

   Ayah Kong-sun Bok, yaitu Kong-sun Ki juga mati akibat Cau-hwe-jip-mo (baca cerita Pendekar Latah), maka Kong-sun Bok kenal betapa lihainya penyakit itu.

   Begitulah mereka berdua lantas menggunakan sebelah tangan masing- masing untuk menahan telapak tangan Beng Jit-nio, dengan saluran tenaga murni kedua anak muda itu, selang tak lama air muka Beng Jit-nio tampak mulai bersemu merah dan mulai dapat mengerahkan tenaga dalam sendiri untuk menyambut saluran tenaga dari luar sehingga jalan darahnya bertambah cepat lancarnya.

   "Cukuplah, terima kasih banyak atas bantuan kalian!"

   Kata Beng Jit-nio sejenak kemudian. Lalu kedua anak muda itu melepaskan tangan mereka. Kekuatan Kok Siau-hong lebih lemah, maka napasnya tampak rada tersengal.

   "Siau-hong, kukira kau pun dendam padaku, mengapa kau malah menolong aku?"

   Kata Beng Jit-nio sambil menghela napas.

   "Beng-kokoh, bukankah waktu aku masih kecil pernah juga kau menyelamatkan jiwaku?"

   Jawab Kok Siau-hong.

   "Ketika itu aku tergelincir ke sungai yang berarus deras, syukur engkau telah menyeret aku ke atas, aku masih ingat benar waktu itu aku baru berumur sepuluh."

   "Anak baik, kejadian lama itu ternyata kau masih ingat,"

   Ujar Beng Jit- nio dengan tersenyum puas.

   "Sebab itu pula ketika Pwe-eng bicara tentang kematian ibunya yang mencurigakan dan menyangka kemungkinan engkau adalah pembunuhnya, maka aku telah membantah akan pendapatnya itu, sebab aku tahu betul engkau adalah orang baik,"

   Kata Siau-hong.

   "Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,"

   Kata Beng Jit-nio.

   "Padahal aku tidak sebaik sebagaimana kau sangka, aku pun banyak berbuat kesalahan. Aku pernah berkomplot dengan Cu Kiu-bok serta Sebun Bok-ya dan membikin celaka Han-pepekmu sehingga keluarganya juga berantakan, hal ini sampai kini masih sangat kusesalkan."

   "Urusan sudah lalu tidak perlu disebut lagi, Han-pepek kan masih hidup di dunia ini dan Pwe-eng juga sudah selamat,"

   Ujar Siau-hong.

   "Namun aku masih harus menceritakan duduknya perkara kepadamu,"

   Sampai di sini napas Beng Jit-nio tampak tersengal-sengal.

   "Beng-kokoh, engkau perlu istirahat dulu, bicaralah lain hari saja,"

   Kata Siau-hong.

   "Tidak, selama hal ini belum kuceritakan, selama itu pula hatiku tidak bisa tenteram,"

   Kata Beng Jit-nio dengan lemah.

   "Waktu mudanya, Han Tay- wi adalah kawanku dan Sin Yu-ih (nama Sin Cap-si-koh), kami berdua sama- sama menyukai Tay-wi, Yu-ih cemburu padaku, aku pun cemburu padanya. Aku mengira Tay-wi lebih menyukai Yu-ih, sebaliknya Yu-ih mengira Tay-wi lebih suka padaku. Tapi akhirnya kami berdua sama-sama kecewa, sebab Han Tay-wi ternyata menikahi seorang nona lain yang tak pernah kami duga, padahal baik ilmu silat maupun kecantikan nona itu sama sekali tak dapat menandingi aku dan Yu-ih."

   "Tapi kehalusan budi pekerti ibu Pwe-eng jelas terlebih baik daripada kalian berdua,"

   Demikian Siau-hong membatin. Dalam pada itu Beng Jit-nio telah menyambung.

   "Pada bukit di belakang rumah Han Tay-wi itu terdapat sebuah lembah sunyi yang sukar ditemukan orang, sebab untuk mencapai tempat itu perlu menerobos ke gua yang terletak di balik air terjun, tanpa sengaja aku menemukan tempat rahasia itu, maka aku lantas pindah tempat tinggal di sana. Tujuanku tidak lebih hanya ingin berdekatan saja dengan Tay-wi, sebaliknya Sin Yu-ih ternyata bertujuan lain, hatinya teramat keji, dia pura-pura memperhatikan keadaan Han Tay- wi, tapi diam-diam mencari kesempatan untuk mencelakai istrinya. Bahkan dia mengatur sedemikian rupa agar Tay-wi mencurigai aku. Apa yang terjadi selanjutnya sudah kau ketahui, maka tidak perlu kuceritakan lagi."

   "Han-pepek adalah orang bijaksana, akhirnya beliau pasti akan tahu duduknya perkara,"

   Ujar Siau-hong.

   "Ya, semoga begitulah hendaknya. O ya, bagaimana dengan Pwe-eng? Kabarnya terjadi persoalan antara kalian? Pwe-eng adalah nona yang baik, janganlah kau berbuat salah padanya."

   "Mereka sudah hampir menikah,"

   Sela Kong-sun Bok dengan tertawa.

   "Begitukah?"

   Kata Beng Jit-nio dengan girang.

   "Bagus sekali jika betul."

   "Yang dikuatirkan Pwe-eng sekarang adalah keselamatan ayahnya, maka aku diminta mencarinya ke daerah Kang-lam sini."

   "Ya, aku sendiri pun kuatir selama Tay-wi berada dalam cengkeraman perempuan racun itu,"

   Kata Beng Jit-nio sambil menunduk seperti sedang memikirkan sesuatu.

   "Sayang perempuan racun itu sempat kabur, kini harapan kita untuk mencari jejaknya menjadi buyar,"

   Ujar Siau-hong. Tiba-tiba Beng Jit-nio angkat kepalanya dan berkata.

   "Aku teringat kepada sesuatu tempat, bisa jadi Han Tay-wi berada di sana. Cuma tempat itu jauh terletak di barat propinsi Ouw-lam, untuk mencarinya aku harus ikut ke sana bersama kalian."

   "Tapi kesehatanmu....."

   "Tidak berhalangan, karena bantuan kalian tadi, untuk berjalan saja aku masih sanggup,"

   Kata Jit-nio.

   "Apalagi tempat itu tak dapat didatangi kalian kecuali aku mendampingi kalian ke sana."

   "Namun kami perlu kembali ke Thay-ouw dulu untuk melapor kepada Ong Ce-cu, apakah Beng-Lo-cianpwe dapat ikut mampir dulu ke sana?"

   Sela Kong-sun Bok.

   "Tidak, aku tidak ingin menemui Ong Ih-ting,"

   Kata Beng Jit-nio.

   "Mengenai tempat itu, kalau mau, kita harus berangkat sekarang juga."

   Karena tiada jalan lain, terpaksa Kok Siau-hong berkata.

   "Baik begini saja, biar aku dan Beng-Lo-cianpwe berangkat lebih dulu, setelah Kongsun- toako menemui Ong Ce-cu, dapat engkau menyusul lagi ke sana, di tengah jalan nanti akan kutinggalkan kode bagimu untuk memudahkan pencarianmu."

   Kong-sun Bok juga tidak mempunyai gagasan lain, terpaksa ia setuju saja.

   Segera Kong-sun Bok kembali ke Thay-ouw, Kok Siau-hong dan Beng Jit-nio lantas menuju ke barat.

   Lantaran ingin buru-buru menyusul Kok Siau-hong, maka Kong-sun Bok mempercepat perjalanannya, petang hari besoknya dia sudah sampai di Thay-ouw.

   Waktu berangkat mereka berombongan, pulangnya kini hanya seorang diri, berada di atas sampan dan menyeberangi Thay-ouw sendirian, tanpa terasa timbul perasaan hampa dalam hati Kong-sun Bok.

   Pikirnya.

   "Siau- hong dan nona Han sudah rujuk kembali, semoga kepergiannya ini dapat menemukan ayah mertuanya dan berkumpul dengan bahagia. Giok-hoan dan nona Le juga sudah bertunangan, kini melulu nona Kiong saja yang belum diketahui berada dimana?"

   Teringat kepada pengorbanan Kiong Kim-hun yang cekcok dengan ayahnya demi untuk membelanya, teringat pula Kiong Kim-hun sebenarnya juga kawan baik Le Say-eng, kini Le Say-eng telah berpasangan dengan Hi Giok-hoan dalam perjalanan, hanya dirinya sendiri dan Kiong Kim-hun yang sedang saling cari mencari, entah kapan baru dapat berjumpa lagi.

   Berpikir sampai di sini hatinya menjadi kesal.

   Setiba kembali di Tong-ting-san barat di markas Ong Ih-ting, sementara itu sudah lewat tengah malam.

   Mestinya Kong-sun Bok tidak ingin mengejutkan tuan rumah itu, tak terduga belum dia sempat mengaso, Ong Ih-ting sudah muncul mengunjungi dia.

   "Tidak nyana kau pulang begini cepat, sesungguhnya aku pun berharap agar kau bisa lekas pulang,"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Ong Ih-ting dengan tertawa.

   "Apakah ada sesuatu urusan?"

   Tanya Kong-sun Bok heran.

   "Ya, ada dua sahabat datang ke sini mencari Hi Giok-hoan dan nona Le, mereka masih tinggal. di sini. Selain itu kemarin juga datang seorang hendak mencari kau, karena tidak bertemu, orang itu sudah pergi,"

   Tutur Ong Ih- ting.

   "Oya, mengapa cuma kau sendiri saja yang pulang ke sini?"

   Kong-sun Bok lantas bercerita mengenai pengalamannya, lalu bertanya.

   "Siapakah kedua kawan yang mencari Hi-heng itu? Apakah aku pun mengenal mereka?"

   "Seorang di antaranya bernama Ciau Siang-hoa, putera tokoh Bu-lim daerah Ouw-lam Ciau Goan-hoa, seorang lagi adalah tunangannya, bernama Nyo Kiat-bwe,"

   Tutur Ong Ih-ting. Karena Kong-sun Bok sudah pernah mendengar tentang diri Ciau Siang- hoa dan Nyo Kiat-bwe dari cerita Giok-hoan, maka ia menjadi heran dan girang, katanya.

   "Nona itu pernah menjadi pelayan Sin Cap-si-koh, kisah hidupnya yang menyedihkan patut dikasihani, ayahnya sebenarnya juga seorang terkenal di dunia persilatan. Cuma kudengar mereka hendak pergi ke Kim-keh-nia, entah mengapa mereka datang ke sini? Dan siapa lagi orang yang mencari diriku itu?"

   "Apakah kau mempunyai hubungan baik dengan Hong-ho-ngo-pa (lima gerombolan lembah Hong-ho)?"

   Tiba-tiba Ong Ih-ting bertanya. Kong-sun Bok tercengang, jawabnya kemudian.

   "Tidak!"

   "Tapi yang mencari kau ialah salah seorang pimpinan dari kelima gerombolan Hong-ho itu! Namanya Coh Tay-peng, Pang-cu Hay-soa-pang!"

   "O, kiranya Coh Tay-peng,"

   Ujar Kong-sun Bok manggut-manggut.

   "Barangkali dia datang untuk minta aku lekas berangkat dari sini."

   "Mungkin begitulah. Katanya dia ingin minta kau jangan melupakan janji, sebab batas waktu setahun katanya sudah dekat. Sebenarnya urusan apakah ini?"

   Maka Kong-sun Bok bercerita pula kisah dimana dahulu ketika Hong-ho- ngo-pa terkena racun pukulan Hoa-hiat-to Pok Yang-kian, itu murid tertua Sebun Bok-ya, entah bagaimana mereka telah mohon tolong padaku agar menyembuhkan mereka.

   Menurut keterangan Hong-lay-mo-li, katanya Hong-ho-ngo-pa masih dapat digunakan tenaganya meski namanya tidak begitu terhormat.

   Karena itu atas usul Kiong Kim-hun, Hong-ho-ngo-pa harus menggabungkan diri dan mencurahkan tenaga bagi perjuangan laskar rakyat, sebagai imbalannya penyakit mereka akan ditolong, tapi untuk masa pembuktian pengabdian mereka kepada rakyat diberi batas waktu satu tahun.

   Dan kini waktunya sudah hampir tiba, maka Coh Tay-peng datang mendesaknya.

   "Jika begitu, betapa pun kau harus menepati janji,"

   Ujar Ong Ih-ting.

   "Benar, seharusnya aku memenuhi janji kepada mereka, tapi kebetulan sekarang aku sedang menghadapi suatu persoalan sulit!"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Apa urusan Kok Siau-hong?"

   Tanya Ong Ih-ting.

   "Ya, aku telah menyanggupi akan menyusul dia ke Ouw-lam barat,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Dari ucapan Beng Jit-nio tempo hari, agaknya Han Lo- cianpwe dikurung oleh Sin Cap-si-koh di suatu tempat yang dirahasiakan dan tentu pula dijaga oleh orang kepercayaannya. Dasar watak Beng Jit-nio juga aneh dan tidak ingin orang luar ikut campur, terpaksa aku harus menyusul ke sana sendiri."

   "Lalu bagaimana janjimu kepada Coh Tay-peng, masih ada waktu berapa lama?"

   Tanya Ong Ih-ting.

   "Setengah bulan,"

   Jawab Kong-sun Bok setelah menghitung-hitung. Ong Ih-ting mengerut kening dan merasa ragu oleh singkatnya waktu itu. Dalam pada itu Ciau Siang-hoa dan Nyo Kiat-bwe telah diantar datang oleh pelayan. Segera tuan rumah memperkenalkan mereka.

   "Mungkin Kongsun-siauhiap tidak tahu bahwa sebenarnya kita sudah pernah bertemu,"

   Kata Kiat-bwe dengan tertawa. Kong-sun Bok tercengang, jawabnya heran.

   "Apa betul? Dimanakah? Rasanya aku sudah lupa!"

   "Bukankah engkau pernah bertarung dengan Sebun Bok-ya di depan air terjun di Yu-hong-li, tempat kediaman Beng Jit-nio,"

   Tutur Kiat-bwe.

   "Waktu itu tentu engkau tidak menaruh perhatian bahwa di balik batu sana ada seorang budak cilik sedang mengintip pertempuran kalian. Budak itu adalah diriku."

   "O, kiranya kalian sudah saling kenal, baik sekali jika begitu,"

   Ujar Ong Ih-ting.

   "Aku sendiri tidak pernah bertemu dengan Kongsun-siauhiap, tapi sering mendengar cerita dari Hi-toako, maka boleh dikata nama Kongsun-toako telah lama kukagumi,"

   Kata Siang-hoa.

   Begitulah mereka bertiga meski baru bertemu, tapi sudah bicara seperti kenalan lama.

   Kong-sun Bok menceritakan dulu pengalamannya sendiri, lalu bertanya cara bagaimana Kiat-bwe berdua bisa mencari Hi Giok-hoan ke Thay-ouw sini? Mendadak air muka Kiat-bwe berubah murung, sejenak kemudian baru menerangkan.

   "Kami telah bertemu dengan enci Giok-kun dan suaminya dalam perjalanan."

   "Ah, kalian telah bertemu, bukankah Hi-toako dan nona Le juga berada bersama mereka?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Mereka hanya suami-istri, malahan enci Giok-kun sendiri yang suruh kami ke sini untuk mencari kalian,"

   Tutur Kiat-bwe pula.

   Kiranya di tengah perjalanan mereka telah bertemu dengan Sin Liong- sing dan Hi Giok-kun.

   Bagi Sin Liong-sing tentu saja dendam kepada Kiat- bwe, kalau bisa si nona tentu akan dibunuhnya.

   Celakanya dia sendiri dalam keadaan terluka dan tak berdaya.

   Betapa pun Giok-kun juga benci kepada Kiat-bwe mengingat ketidak mampuan suaminya melaksanakan kewajiban sebagai suami gara-gara perbuatan Kiat-bwe.

   Cuma dia juga kecewa terhadap pribadi Sin Liong-sing, apalagi kisah hidup Kiat-bwe juga pantas dikasihani, andaikan dia membunuhnya juga tiada faedahnya, sebab obat penawar racun untuk sang suami juga tiada dimiliki Kiat-bwe.

   Karena itu ia berusaha melupakan permusuhan itu dan mengajak pergi sang suami.

   Malahan ia beritahukan pula alamat Ong Ih-ting di Thay-ouw.

   "Wah, urusan menjadi semakin runyam,"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "belum terpecahkan persoalanku yang sulit, kini Hi-toako dan nona Le entah pergi lagi kemana?"

   "Mungkin ada urusan penting lain sehingga mereka pergi ke tempat lain, mengingat kepandaian mereka kukira tidak perlu dikuatirkan,"

   Kata Ong Ih- ting.

   "Justru urusanmu kukira harus dicarikan jalan pemecahan yang baik."

   "Ada urusan sulit apakah, dapatkah Kongsun-toako menerangkan kepada kami?"

   Tanya Ciau Siang-hoa.

   Kong-sun Bok lantas menguraikan janjinya kepada Hong-ho-ngo-pa, di samping itu ia pun berjanji akan menyusul Kok Siau-hong ke Ouw-lam barat, sudah tentu dua persoalan tak dapat diselesaikan berbareng sekaligus.

   Tiba-tiba Kiat-bwe tertawa dan berkata.

   "Kongsun-siauhiap jangan kuatir, biar kuwakilkan engkau berangkat ke Ouw-lam. Terus terang aku sendiri pun sangat ingin bertemu dengan Beng Jit-nio."

   "Usulmu memang baik,"

   Ujar Kong-sun Bok setelah merenung sejenak.

   "Cuma watak Beng-Lo-cianpwe itu sangat aneh, ia sendiri pesan padaku agar urusan ini tidak boleh diberitakan kepada orang lain. Kalau kau pergi ke sana....."

   "Kau jangan kuatir,"

   Sela Kiat-bwe tertawa.

   "masakah kau lupa bahwa aku pernah menjadi budak selama belasan tahun di tempat Sin Cap-si-koh dan bertetangga dengan Beng Jit-nio? Waktu itu persaudaraan mereka masih berlangsung dengan baik walaupun di dalam hati satu sama lain sebenarnya tidak suka. Kalau ada urusan, hampir selalu Sin Cap-si-koh menyuruh aku pergi ke tempat Beng Jit-nio. Entah mengapa terhadap diriku rasanya Beng Jit-nio cukup sayang."

   "Tapi apakah kau tidak kuatir kepergok Sin Cap-si-koh di sana?"

   Kata Kong-sun Bok. Mendadak Kiat-bwe menarik muka dan berkata dengan tegas.

   "Kami justru hendak mencari dia untuk membuat perhitungan."

   Rupanya sejak Kiat-bwe mendengar cerita kisah hidup Ko-si, istri muda Ciau Goan-hoa itu, barulah diketahui bahwa diculiknya sampai menjadi budak di rumah Sin Cap-si-koh itu bukanlah kejadian secara kebetulan saja, tapi kemalangan yang menimpa dirinya dan Siang-hoa sedikit banyak ada hubungannya dengan perbuatan Sin Cap-si-koh, andaikan tiada sangkut- paut sama sekali, sedikitnya Sin Cap-si-koh mengetahui duduknya perkara.

   Begitulah atas usul Kiat-bwe itu, setelah ditimbang, Kong-sun Bok merasa ilmu silat Kiat-bwe ditambah Ciau Siang-hoa, rasanya kedua orang sudah cukup mengimbangi kepandaian diriku.

   Karena pikiran ini, maka ia pun setuju akan keberangkatan Kiat-bwe berdua menggantikan dia.

   Besok paginya mereka bertiga lantas berangkat bersama, Ong Ih-ting menyuruh seorang Thau-bak mengantar mereka menyeberangi Thay-ouw dengan sebuah perahu.

   Setiba di tengah danau yang luas itu, tiba-tiba tertampak dari depan meluncur tiba sebuah sampan, penumpangnya adalah sepasang muda-mudi yang asyik menikmati pemandangan alam sekitar danau.

   Sekonyong-konyong Kiat-bwe berseri.

   "He, Liong-cici, mengapa engkau juga datang ke sini?"

   "Eh, Bu-heng, kiranya kau!"

   Demikian Siang-hoa juga menyapa.

   Kiranya kedua muda-mudi penumpang sampan itu ialah Liong Thian- hiang dan Bu Hian-kam.

   IRANG sekali Liong Thian-hiang melihat Kiat-bwe, kiranya kedatangannya ini memang bermaksud mencari Kiat-bwe dan Ciau Siang-hoa.

   Segera mereka bersepakat untuk omong-omong di daratan.

   Setelah mendarat barulah diketahui bahwa Liong Thian-hiang dan Bu Hian-kam telah mencari mereka di rumah Siang-hoa, tapi di sana ternyata sudah banyak berubah, menurut tetangga, katanya keluarga Ciau sudah pindah entah kemana.

   Keruan Siang-hoa tercengang, katanya.

   "Aneh, mengapa ayah sama sekali tidak memberitahu kepadaku sebelumnya mengenai pindah rumah?"

   "Mungkin mendadak ayahmu ingin menghindari gangguan Sin Cap-si- koh dan Kiau Sik-kiang,"

   Ujar Kiat-bwe.

   "Tapi kemana pindahnya kan seharusnya aku diberitahu,"

   Kata Siang- hoa dengan masgul. Teringat budi kebaikan Ciau Goan-hoa yang telah membesarkannya selama ini, betapa pun hatinya menjadi sedih.

   "Mungkin mereka hanya menghindar untuk sementara saja, kelak kalian pasti akan bertemu kembali,"

   Demikian Kiat-bwe berusaha menghiburnya.

   Jilid 24 G "Sekarang kita ingin tahu cerita Liong-cici mengapa dapat mencari kita di sini."

   "Semula kami mengira kalian pergi ke Kim-keh-nia, maka kami bermaksud menyusul ke sana, Hian-kam dan aku....."

   Sampai di sini mendadak air mukanya berubah merah.

   "Kami sudah bertunangan,"

   Sambung Hian-kam dengan tertawa. Dengan gembira Kiat-bwe dan Siang-hoa mengucapkan selamat kepada mereka.

   "Sesungguhnya kalian juga harus lekas mengikat janji,"

   Ujar Liong Thian- hiang dengan tertawa.

   "Liong-cici, janganlah kau berkelakar, bicaralah urusan yang penting saja,"

   Kata Kiat-bwe dengan kikuk.

   "Itu kan juga urusan penting?"

   Ujar Thian-hiang tertawa.

   "Tapi baiklah, biar kuceritakan dulu pengalaman kami. Berita mengenai kalian sesungguhnya kami peroleh secara tidak terduga. Suatu hari ketika kami berhenti minum di suatu kedai di tepi jalan, kami bertemu seorang kenalan lama. Yaitu Tian It-goan, budak tua keluarga Han."

   "O, kiranya Tian It-goan,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Dari Siau-hong kudengar dia berada di tempat Bun-tayhiap sana."

   "Benar, justru dia ditugaskan Bun-tayhiap ke Kim-keh-nia untuk menghubungi Liu Beng-cu,"

   Tutur Hian-kam.

   "Waktu kami bertemu, dia baru kembali dari Kim-keh-nia. Tapi menurut keterangannya, diketahuilah bahwa kalian tidak berada di Kim-keh-nia walaupun kami telah menguraikan wajah dan nama kalian. Sesudah kami meninggalkan kedai minum itu, suatu kejadian tak terduga lantas timbul."

   "Kejadian tak terduga apa?"

   Tanya Kiat-bwe heran.

   "Ya, kejadian yang tak terduga dan orang yang tak terduga pula,"

   Tutur Hian-kam.

   "Tiba-tiba seorang tabib gelandangan berbaju compang-camping dengan memegang sebuah keleningan bertangkai panjang mendekati kami, tanpa bicara tabib gelandangan itu lantas menyeringai dan minta uang kepada kami."

   "Kenapa heran, tabib gelandangan begitu memang tiada ubahnya seperti kaum pengemis saja,"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ujar Kiat-bwe dengan tertawa.

   "Tapi biasanya tabib gelandangan begitu suka menjual obat palsu untuk mendapatkan uang, namun tabib jembel itu ternyata tidak memperlihatkan obatnya lantas minta uang kepada kami,"

   Sambung Hian-kam.

   "Waktu itu aku sedang kesal, maka aku lantas berkelakar dengan dia dan sengaja tanya dia mempunyai obat mujarab apa? Siapa tahu jawabannya telah membikin aku terkejut."

   "Apa yang dia katakan?"

   Kiat-bwe menegas.

   "Dia bilang obatnya hanya dijual kepada orang lain, tapi kepadaku dia hanya mau menjual berita. Waktu kutanya berita apa, dia mengatakan bahwa waktu dia mengaso di tepi jalan dan sedang cari kutu, dia telah mendengar percakapan kami, maka dia ingin tanya lebih jelas apakah muda-mudi yang hendak kami cari itu bukankah yang lelaki namanya pakai Hoa dan yang perempuan disebut nona Nyo?"

   "Hah, yang dia maksudkan jelas kami adanya,"

   Kata Siang-hoa dan Kiat- bwe berbareng dengan heran.

   "Aneh, padahal kami tidak pernah kenal tabib gelandangan segala."

   "Apakah tabib berdandan jembel itu memanggul sebuah buli-buli merah besar?"

   Tanya Kong-sun Bok cepat, ia sangsi tabib yang dimaksud itu apa bukan si pengemis tua di Siong-hong-nia itu.

   "Tidak terlihat dia membawa buli-buli segala,"

   Jawab Hian-kam. Lalu ia pun melukiskan wajah tabib gelandangan itu dan ternyata bukan si pengemis tua sebagaimana diduga Kong-sun Bok.

   "Betapa pun aku menjadi girang karena bisa mendapatkan berita mengenai diri kalian,"

   Sambung Hian-kam pula.

   "Malahan tabib itu menyatakan telah melihat kalian, katanya kalian dilihatnya waktu minum di kedai itulah."

   "Persetan!"

   Omel Kiat-bwe heran.

   "Hakikatnya kami tidak pernah melihat tabib begituan. Dimanakah letak kedai minum itu?"

   "Di suatu jalan kecil dekat Hek-ho-wan (teluk sungai hitam),"

   Kata Hian- kam.

   "Hakikatnya bukan jalan itulah yang kami lalui, sepanjang jalan kami pun tidak pernah berhenti minum di kedai segala,"

   Ujar Siang-hoa.

   "Tapi uraiannya begitu jelas dan beralasan, sedikit pun tiada tanda berdusta,"

   Kata Hian-kam dengan heran.

   "Malahan dia dapat melukiskan wajahmu dengan tepat. Dia bilang sudah tiga hari berselang bertemu dengan kalian, waktu itu kalian sedang minum di kedai itu dan dia juga sedang berjemur sambil cari kutu di luar kedai, dia mendengar kedua muda-mudi itu saling membahasakan kakak Hoa dan nona Nyo, dia merasa tertarik ketika kalian menyinggung Ong Ce-cu dari Thay-ouw, ia pun heran bahwa kalian yang masih bocah ini ternyata kenal Ong Ce-cu. Maklumlah, tabib jembel itu berusia sekitar limapuluh-enampuluhan, tidaklah heran jika dia memandang kalian sebagai anak-anak saja."

   "Sungguh aneh, meski dia membual, tapi mengapa dia tahu persis jejak kami?"

   Kata Siang-hoa dengan ragu.

   "Ya, waktu itu aku pun meragukan kebohongannya itu,"

   Kata Hian-kam.

   "Tapi mengingat ayahku juga mempunyai hubungan baik dengan Ong Ce- cu, tiada jeleknya bagiku menyambangi beliau. Siapa tahu begitu sampai di Thay-ouw segera bertemu dengan kalian."

   "Menurut pendapatmu, tabib gelandangan itu tokoh persilatan atau orang kosen dunia Kang-ouw atau bukan?"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Sukar untuk dikatakan orang kosen, bisa juga dia mempunyai kepandaian tertentu, cuma melihat cara jalannya yang terpincang-pincang itu tampaknya tidak mahir ilmu silat,"

   Jawab Hian-kam.

   "Jika begitu sukarlah memecahkan teka-teki ini,"

   Kata Kiat-bwe.

   "Sudahlah, kita melanjutkan perjalanan saja."

   "Ya, sudah waktuya kita harus berpisah sekarang,"

   Kata Kong-sun Bok. Segera ia memberitahu kode rahasia yang telah disepakatinya dengan Kok Siau-hong, katanya pula.

   "Kalian terus mengambil jalan besar ke Ouw-lam barat, dalam jarak lima lie pada setiap tempat yang menyolok, baik di atas batu atau pada batang pohon tentu Kok Siau-hong meninggalkan tanda panah ke arah tertentu. Asal kalian terus mengikuti arah panah, kalian pasti takkan salah jalan."

   "Jika begitu, bukankah kalian akan pulang kampung lagi? Entah dimana letak tempat yang dimaksud, kalau berdekatan dengan rumah kalian kan baik sekali malah?"

   Ujar Kiat-bwe dengan tertawa.

   Sebagaimana diketahui, rumah Ciau Siang-hoa dan Bu Hian-kam berada di wilayah Ouw-lam barat, cuma daerah itu meliputi belasan kabupaten, maka belum diketahui berada dimana tempat yang akan mereka cari itu.

   Begitulah setelah berpisah dengan Kong-sun Bok, Kiat-bwe berempat lantas menuju ke arah rumah Ciau Siang-hoa.

   Dua hari pertama mereka selalu menemukan tanda panah yang ditinggalkan Kok Siau-hong dalam jarak tiap lima lie.

   Tapi pada hari ketiga, meski sudah duapuluh-tigapuluh lie jauhnya mereka tidak menemukan suatu tanda apa pun juga.

   Kiat-bwe menjadi kuatir.

   "Jangan-jangan terjadi apa-apa atas diri mereka?"

   Katanya.

   "Bisa jadi kita yang lengah dan tidak melihat tanda yang ditinggalkannya,"

   Ujar Hian-kam.

   "Menurut Kong-sun Bok, kode yang ditinggalkan Kok Siau-hong berada di tempat menyolok, sejauh duapuluh-tigapuluh lie seharusnya ada empat atau lima tanda, mengapa satu pun tidak kita temukan?"

   


Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id Kedele Maut Karya Khu Lung Kedele Maut Karya Khu Lung

Cari Blog Ini