Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 26


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 26



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Lalu terpikir pula.

   "Jika begitu, mengapa engkoh Bok bergaul begitu akrab dengan Yan Ho? Katanya mereka berkenalan di tempat Bun-tayhiap, apakah mungkin Bun-tayhiap yang berpengalaman dan berpengetahuan luas itu juga kena dikelabui oleh seorang Tartar Nuchen? Ya, bisa jadi apa yang dia katakan padaku itu adalah bohong belaka, tapi Keng-sin-ci-hoat yang dia perlihatkan itu jelas ajaran engkoh Bok, hal ini tidak dapat dipalsukan, lalu mengapa bisa terjadi begini?"

   Begitulah Kim-hun tidak habis paham tanda tanya yang berkecamuk dalam benaknya itu, terpaksa ia simpan semua itu di dalam hati dan untuk sementara tidak diberitahukan kepada Yim Hong-siau.

   Ia berharap pada suatu hari akan dapat bertemu pula dengan engkoh Bok dan segala persoalan tentu akan menjadi jelas adanya.

   Tapi darimana engkoh Bok akan mendapat tahu aku terkurung di sini, kini juga tidak diketahui dia berada dimana? Demikianlah Kiong Kim-hun berpikir terus.

   Mimpi pun Kiong Kim-hun tidak menduga bahwa engkoh Bok yang dikenangkannya itu pada saat yang sama justru sedang menuju ke tempat Yim Thian-ngo untuk mencarinya.

   Pada waktu itu Kong-sun Bok dan orang she Han dari Tiau-hau-kan itu sudah dekat dengan Sun-keng-san, pegunungan tempat tinggal Yim Thian-ngo itu.

   Dekat dengan tempat tujuan, hati Han-lotoa itu menjadi kebat-kebit, katanya kepada Kong-sun Bok.

   "Setiba di rumah Yim Thian-ngo nanti, harap Kongsun-siauhiap jangan membikin susah padaku."

   "Jangan kuatir,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "biarpun aku nanti bergebrak dengan Yim Thian-ngo, tentu juga takkan kusangkutkan dirimu bahwa kau yang membawa aku ke sana. Andaikata aku mati terpukul olehnya, malahan dia akan berterima kasih padamu yang telah memancing aku ke sana."

   "Ah, mana aku berani mengharapkan kematian Kongsun-siauhiap, justru aku berharap engkau yang akan menang,"

   Ujar Han-lotoa dengan hati tidak tenteram.

   "Baiklah, lekas,"

   Kata Kong-sun Bok sambil mencambuk kudanya.

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara keleningan kuda, dua penunggang kuda menyusul tiba dari belakang, waktu Kong-sun Bok menoleh dan kesamplok pandang dengan kedua orang itu, tanpa tertahan kedua pihak sama-sama berseru kaget.

   Kiranya kedua penunggang kuda itu terdiri dari seorang lelaki dan seorang perempuan, mereka adalah Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun.

   Kong-sun Bok pernah bertemu dengan Sin Liong-sing di Se-ouw, tapi ketika di Siong-hong-nia dia pernah menolong membuka Hiat-to Sin Liong- sing yang tertotok, sebab itulah di antara mereka meski ada sedikit sengketa, tapi terhitung juga sahabat.

   Hi Giok-kun tahu hubungan baik antara Kong-sun Bok dan Kok Siau- hong, walau rada kikuk, tapi ia pun sangat girang dan cepat menegur.

   "He, Kongsun-toako, kiranya engkau!"

   Sedangkan Sin Liong-sing hanya menyapa secara tawar saja.

   "Setelah berpisah di Siong-hong-nia, beruntung kini dapat berjumpa pula."

   "Bulan yang lalu aku pernah berkunjung ke tempat gurumu,"

   Kata Kong- sun Bok.

   "Wah, sayang aku tak dapat memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah,"

   Ujar Sin Liong-sing. Dalam pada itu Hi Giok-kun telah melompat turun dari kudanya dan berkata.

   "Syukur kita berjumpa di sini, marilah kita mengaso sebentar. Engkau hendak kemana, Kongsun-toako?"

   Dalam hati Sin Liong-sing merasa kurang senang, ia anggap Hi Giok-kun masih tak dapat melupakan Kok Siau-hong, buktinya melihat kawan Kok Siau-hong saja sudah begini senang.

   Tapi lantaran dia pernah menerima pertolongan Kong-sun Bok, mau tak mau ia harus menghadapinya dengan ramah, segera mereka berempat melompat turun dari kuda masing-masing.

   Sin Liong-sing lantas tanya siapa kawan Kong-sun Bok itu.

   "Han-toako ini dari Tiau-hou-kan, aku minta dia membawa aku ke Sun- keng-san,"

   Tutur Kong-sun Bok.

   "Ke Sun-keng-san? Kau mencari siapa di sana?"

   Tanya Giok-kun heran.

   "Yim Thian-ngo, Ku-ku Kok Siau-hong itu tinggal di pegunungan itu, apakah kau tidak tahu?"

   Jawab Kong-sun Bok. Disebutnya Kok Siau-hong membuat Sin Liong-sing tambah kurang senang, katanya.

   "O, kiranya Kok Siau-hong mempunyai paman yang bertempat tinggal di sini, kenapa tidak kau katakan padaku, Giok-kun, mestinya kita dapat membawa oleh-oleh bagi beliau, malahan bisa jadi akan bertemu dengan Siau-hong di sana."

   Dengan menarik muka Giok-kun diam saja, tapi Kong-sun Bok lantas berkata pula sejujurnya.

   "Kok Siau-hong sekali-kali takkan berada di rumah Ku-kunya, kepergianku ke sana juga bukan menyambangi Yim Thian-ngo, tapi mencari satu orang."

   "Siapa yang kau cari?"

   Tanya Giok-kun.

   "Apa kau masih ingat kepada nona Kiong yang dahulu pernah mencuri arak Pek-hoa-ciu itu?"

   Tutur Kong-sun Bok.

   "O, ya, kenapa aku menjadi pikun, seharusnya aku teringat kepadanya ketika kau tanya sendirian saja,"

   Kata Giok-kun dengan tertawa. Mendadak sikap Sin Liong-sing berubah seakan-akan menaruh perhatian penuh, ia bertanya.

   "Apakah nona Kiong yang kalian maksudkan itu anak perempuan Oh-hong-tocu?"

   "Benar,"

   Jawab Giok-kun.

   "Meski ayahnya terkenal sebagai gembong iblis yang ditakuti orang, tapi dia sendiri adalah seorang nona yang baik."

   "Dan bagaimana urusan pencurian Pek-hoa-ciu segala yang kalian katakan tadi?"

   Tanya Liong-sing pula.

   Hati Giok-kun terkesiap, ia pikir kalau peristiwa itu diceritakan terus terang, tentu Sin Liong-sing akan curiga dan cemburu lagi.

   Sebagaimana diketahui, dahulu Giok-kun sengaja mengantar satu guci Pek-hoa-ciu ke Lok- yang untuk mengobati Han Tay-wi, sebabnya dia berbuat demikian adalah dia berharap Han Tay-wi rela membatalkan ikatan pertunangan anak perempuannya dengan Kok Siau-hong.

   Teringat kepada kejadian dahulu itu, tanpa terasa Giok-kun menjadi berduka.

   Dengan tertawa ewa ia pun menjawab.

   "Kiong-cici itu memang orang baik, hanya sedikit nakal. Pek-hoa-ciu adalah arak buatan keluarga kami yang berkhasiat tinggi, waktu itu aku membawa satu guci akan kuberikan pada seorang paman, tapi tengah malam nona Kiong mencuri arak kami itu sehingga kami telah saling gebrak. Tapi dari pertarungan itulah akhirnya kami menjadi saling kenal."

   Sembari berkata ia mengedipi pula Kong-sun Bok di luar tahu sang suami.

   Segera Kong-sun Bok paham maksudnya dan merasa dirinya terlalu ceroboh, orang kini sudah bersuami, kan tidak enak menyebut Kok Siau- hong serta kejadian di masa lalu.

   Giok-kun kenal watak sang suami yang suka cemburu dan curiga, tak terduga sekali ini Sin Liong-sing ternyata tidak banyak bertanya, dengan tertawa ia pun berkata.

   "Kongsun-heng, kau dan aku juga berkenalan setelah berkelahi lebih dulu. Ternyata kejadian yang sama juga terjadi pada istriku dan nona Kiong, sungguh sangat kebetulan. He, he, he, kita empat orang dua pasang boleh dikata sahabat baik semua."

   Sikapnya dari tertawa tadi mendadak berubah menjadi dingin, hal ini membuat Kong-sun Bok merasa canggung dan bingung pula. Dalam pada itu Sin Liong-sing telah bertanya pula.

   "Kongsun-heng, satu hal aku belum tahu, mengapa engkau hendak mencari nona Kiong di rumah Yim Thian-ngo."

   "Lantaran dia tinggal di sana,"

   Jawab Kong-sun Bok. Sin Liong-sing berlagak terkejut dan heran, katanya.

   "O, kiranya Yim- locianpwe yang termashyur berbudi luhur dan kesatria sejati itu kiranya mempunyai hubungan akrab dengan Oh-hong-tocu? Baru sekarang aku tahu."

   "Aku sendiri tidak tahu apakah ada hubungan baik antara kedua keluarga mereka, bicara terus terang, aku sendiri menyangsikan Yim Thian-ngo tidak bermaksud baik,"

   Kata Kong-sun Bok.

   Giok-kun belum mengetahui persekongkolan antara Yim Thian-ngo dengan Mongol, cuma sudah lama ia pun menaruh curiga padanya, Kok Siau-hong pernah mengatakan padanya bahwa pamannya itu adalah manusia busuk, kalau keponakan sendiri tidak percaya kepada sang paman, tentu ada alasan yang meyakinkan.

   Dan sekarang Yim Thian-ngo menahan Kim-hun di rumahnya, hal ini rada meragukan.

   Dalam pada itu Sin Liong-sing lantas berkata.

   "Jadi kau sudah merencanakan bila perlu akan menggunakan kekerasan untuk menolong nona Kiong?"

   Karena menganggap orang adalah murid pewaris Bun Yat-hoan, Kong- sun Bok pikir tiada halangannya berkata terus terang padanya, maka ia pun membenarkan pertanyaannya itu.

   "Giok-kun,"

   Tiba-tiba Sin Liong-sing menegur sang istri.

   "kalau tidak salah, pernah kau katakan bahwa keluarga Yim adalah sahabat keluarga Hi kalian?"

   "Benar,"

   Jawab Giok-kun.

   "mendiang ayahku dahulu sering berhubungan dengan Yim Thian-ngo. Tapi sesudah ayah wafat, dia pun jarang berkunjung ke rumahku."

   Kiranya adik perempuan Yim Thian-ngo dahulu telah dijodohkan pada ayah Giok-kun, tapi kemudian minggat dengan ayah Kok Siau-hong sehingga keluarga Yim dan keluarga Hi tidak jadi besanan.

   Sin Liong-sing berlagak berpikir, selang sejenak baru berkata pula.

   "Kongsun-toako, harap kau jangan marah jika aku bicara terus terang. Aku merasa rada kurang sopan jika engkau langsung mencari nona Kiong ke tempat Yim Thian-ngo itu."

   "Habis bagaimana kalau menurut pendapat Sin-heng?"

   Tanya Kong-sun Bok. Kembali Sin Liong-sing berlagak merenung, lalu menjawab.

   "Menurut pendapatku, sebaiknya kami berkunjung ke tempat Yim Thian-ngo dan menemuinya sebagai orang tua, tentunya dia takkan menaruh curiga kepada kami. Dan kalau nona Kiong benar berada di tempatnya, tentu Giok-kun dapat menemuinya. Lalu kami menanyakan sebab-musababnya mengapa nona Kiong berada di sana, habis itu barulah kita mengatur langkah selanjutnya, umpamanya kami minta Yim Thian-ngo membebaskan nona Kiong, kami pun dapat membantu nona Kiong melarikan diri, bila perlu kita dapat bergabung menghantam Yim Thian-ngo, sudah tentu jalan terakhir ini baru kita gunakan kalau Yim Thian-ngo bermaksud jahat dan telah mengurung nona Kiong."

   "Jalan pikiran Sin-siauhiap sungguh bagus, caramu ini memang paling baik,"

   Tiba-tiba Han-lotoa yang ikut mendengarkan itu berseru memuji. Kong-sun Bok juga merasa ucapan Sin Liong-sing dapat dijalankan, katanya kemudian.

   "Lantas cara bagaimana kita akan mengadakan kontak di sana?"

   "Malam nanti antara tengah malam kau boleh naik ke Sun-keng-san dan aku akan keluar menemui kau,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Tempat pertemuan kita nanti jangan terlalu dekat dengan rumah Yim Thian-ngo, asal kau menyalakan api unggun kecil dan aku akan datang mencari kau. Kukira persoalan nona Kiong sedikit banyak akan dapat kuselidiki setiba kami di sana nanti."

   Sebagai seorang yang jujur dan polos, Kong-sun Bok anggap Sin Liong- sing adalah murid kesayangan Bun Yat-hoan dan tentu lebih dapat dipercaya daripada Han-lotoa, kini Yim Thian-ngo memang terbukti benar berkediaman di Sun-keng-san, maka Han-lotoa juga boleh dibebaskan saja sekarang.

   Karena pikiran itu segera ia pun menyatakan setuju.

   "Baiklah kuterima baik usul Sin-heng ini, terima kasih banyak atas bantuanmu."

   "Kita adalah kawan sehaluan, kenapa kau sungkan-sungkan padaku,"

   Ujar Sin Liong-sing dengan tertawa.

   "Baiklah, sekarang kami berangkat lebih dulu, sampai bertemu malam nanti di atas gunung."

   Setelah Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun berangkat, dengan ragu-ragu Han-lotoa berkata.

   "Kongsun-siauhiap, sekiranya engkau sudah dapat membebaskan..... membebaskan diriku sekarang?"

   "Hm, tampaknya kau ketakutan setengah mati kepada Yim Thian-ngo,"

   Dengus Kong-sun Bok.

   "Baiklah, pergilah kau, bawa pula kuda itu."

   Karena malam nanti dia akan menemui Sin Liong-sing di atas gunung, dengan sendirinya kuda itu tidak diperlukan lagi.

   Tentu saja Han-lotoa kegirangan, ia pikir kalau selekasnya dapat kembali ke Tiau-hou-kan, segera ia akan mengirim berita kepada Kim Jit.

   Kong-sun Bok sama sekali tidak menyangka bahwa orang sudah diampuni masih timbul pikiran jahat.

   Ia menunggu sampai hari sudah gelap barulah mendaki ke atas gunung.

   Sementara itu Hi Giok-kun dan Sin Liong-sing meneruskan perjalanan ke Sun-keng-san, diam-diam Giok-kun heran atas sikap sang suami tadi.

   Tanyanya di tengah jalan.

   "Engkoh Liong, tadinya kulihat sikapmu sangat dingin terhadap Kong-sun Bok, tak tersangka kau akan membantu dia akhirnya."

   "Untuk urusan ini, aku masih harus minta bantuan kerja sama darimu,"

   Kata Sin Liong-sing sambil menyeringai. Giok-kun merinding melihat sikap aneh sang suami, diam-diam ia sudah dapat menerka di balik persoalan ini tentu terselip sesuatu muslihat keji. Benar saja lantas terdengar Sin Liong-sing berkata pula.

   "Adik Kun, kau anggap suami sendiri lebih dekat atau sahabat lebih dekat."

   "Aneh pertanyaanmu ini,"

   Jawab Giok-kun melengak.

   "Masakah perlu dijelaskan lagi, sudah tentu suami lebih utama."

   "Baik, jika begitu biar kukatakan terus terang padamu. Kepergian kita ke tempat Yim Thian-ngo ini bukan untuk kepentingan Kong-sun Bok dengan nona Kiong kekasihnya itu melainkan untuk kepentingan diriku sendiri."

   "Aku tidak paham maksudmu,"

   Kata Giok-kun. Liong-sing memepetkan kudanya ke dekat sang istri dan berkata dengan suara setengah tertahan.

   "Supaya aku mampu menjadi suamimu yang sesuai dengan kenyataan. Nah, paham belum?"

   Giok-kun menjadi malu, mukanya berubah merah. Sebagaimana diketahui, selama ini resminya mereka adalah suami istri, tapi kenyataannya Sin Liong-sing tidak mampu melakukan kewajibannya sebagai seorang suami. Maka dengan jengah Giok-kun bertanya.

   "Apakah Yim Thian-ngo dapat menyembuhkan penyakitmu?"

   "Yim Thian-ngo tidak dapat, Oh-hong-tocu juga tidak, mungkin, bibiku sendiri juga tidak punya obat penawarnya bagiku, tapi bibi adalah ahli racun nomor satu di dunia ini, asal dapat menemukan beliau tentu beliau akan berusaha menyembuhkan aku."

   "Jika begitu kan kita harus mencari bibimu, kenapa malah mencari Yim Thian-ngo?"

   "Ya, Yim Thian-ngo memang tidak ada sangkut-paut dengan bibi, tapi sahabatmu itu kan ada sangkut-pautnya?"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sahabatku siapa? Kau maksudkan Kiong Kim-hun?"

   Giok-kun menegas.

   "Benar, kalau aku ingin menemukan bibi, terpaksa aku harus berusaha melalui diri nona Kiong ini."

   "Aneh, sungguh aku tidak mengerti, kau bicara setengah harian dan aku tetap tidak paham."

   "Baik, biar kuberitahukan terus terang padamu. Bibiku kini berada di Oh-hong-to, dia tertipu ke sana oleh ayah Kiong Kim-hun."

   Giok-kun terkejut, katanya.

   "O, masakah terjadi begitu? Mengapa baru sekarang kau beritahukan padaku?"

   "Sebab aku kuatir kau akan membikin susah bagiku,"

   Jawab Sin Liong- sing. Sudah tentu Giok-kun tahu jawaban sang suami itu hanya alasan kosong belaka, tapi demi untuk kerukunan suami istri, pula masih banyak hal-hal yang ingin diketahuinya, sedapatnya dia bersikap sewajarnya. Segera ia bertanya pula.

   "Bibimu adalah orang yang pintar dan cerdik, kenapa sampai terjebak dan kena ditipu oleh Oh-hong-tocu?"

   "Soalnya Han Tay-wi kena dihasut orang dan menganggap bibi yang meracun mati istrinya, maka waktu Han Tay-wi memergoki bibi di daerah suku Miau, dia telah memunahkan ilmu silat bibi. Rupanya Oh-hong-tocu memang sudah mempunyai rencana tertentu dan menantikan kesempatan baik itu, tatkala kejadian ia pun berada di sana, maka setelah bibi menjadi cacat, segera Oh-hong-tocu membawa bibi pergi dan membujuk bibi, katanya dia mempunyai obat mujarab yang dapat menyembuhkan tulang pundak bibi yang hancur itu dan ilmu silatnya akan dapat dipulihkan dalam waktu singkat. Biarpun bibi merasa sangsi, tapi dalam keadaan tak berdaya, terpaksa ia menurut saja."

   "Darimana engkau mendapatkan keterangan itu?"

   Tanya Giok-kun.

   "Yang menyaksikan kejadian itu masih ada beberapa orang, di antaranya ialah Bu Hian-kam, putera guru silat Bu Yan-jun yang menjadi sahabat baik guruku, dia yang menceritakan peristiwa itu kepada guruku. Mengenai tertipunya bibi oleh Oh-hong-tocu kudengar dari seorang suku Miau yang waktu itu bersembunyi di semak-semak tepi jalan, dia malah menyaksikan sendiri bibi dibawa pergi dengan sebuah kereta, kukira ceritanya cukup dapat dipercaya."

   Baru sekarang Giok-kun paham sebabnya Sin Liong-sing lekas-lekas mengajaknya pulang ke utara, tentu karena urusan bibinya itu. Kemudian Giok-kun bertanya pula.

   "Kalau sudah tahu bibimu berada di Oh-hong-to, mengapa engkau mengajak aku pulang ke utara?"

   "Sesunggulmya aku ingin minta bantuanmu,"

   Tutur Liong-sin.

   "Setiba di rumah, kita lantas menawan bekas kekasih Han Tay-wi, yaitu Beng Jit-nio, dengan sandera itu kita paksa Han Tay-wi tampil ke muka untuk minta kembali bibi kepada Oh-hong-tocu. Setelah bertempur sengit dengan bibi dahulu, kekuatan Beng Jit-nio sudah banyak berkurang. Dia juga cukup baik padamu dan tentu tidak mencurigai kau. Dengan kerja sama kita berdua tentu tidak sukar untuk membekuk dia. Rencana ini sebenarnya baru akan kukatakan padamu setiba di rumah. Tapi sekarang puteri Oh-hong-tocu dapat kita gunakan dan kita pun tidak perlu banyak membuang tenaga lagi."

   Meski sudah kenal kelicikan jiwa sang suami, tapi Giok-kun tetap tidak menduga suaminya akan menggunakan cara rendah begitu. Ia coba tenangkan diri dan bertanya.

   "Lantas apa yang akan kau lakukan?"

   "Masakah perlu ditanya pula?"

   Ujar Sin Liong-sing dengan tertawa.

   "Sudah tentu kita cari yang dekat daripada cari yang jauh. Kita tangkap saja Kiong Kim-hun sebagai sandera dan memaksa ayahnya membebaskan bibi, cara ini tentu lebih berguna daripada menangkap Beng Jit-nio dan memaksa Han Tay-wi bekerja bagi kita."

   "Tapi Yim Thian-ngo bukan kaum lemah, masakah begitu mudah kita akan merampas orang di tempatnya? Kecuali itu Yim Thian-ngo juga mempunyai anak perempuan yang kabarnya berkepandaian lumayan, bukan mustahil setiba di sana aku akan tidur sekamar dengan mereka dan cara bagaimana aku dapat turun tangan?"

   Ujar Giok-kun.

   "Apa susahnya, bila perlu anak perempuan Yim Thian-ngo juga dikerjai sekalian, totok roboh dia, dengan demikian Yim Thian-ngo akan mati kutu pula,"

   Kata Liong-sing.

   "Adik Kun, tindakan kita ini memang harus menyerempet bahaya, tapi demi kepentingan kita, kukira resiko kita ini harus dihadapi."

   "Dan kepada Kong-sun Bok cara bagaimana kau akan memberi pertanggung jawaban?"

   Tanya Giok-kun.

   "Hm, untuk apa bertemu lagi dengan anak dogol itu?"

   Dengus Sin Liong- sing dengan aseran.

   "Kenapa kau menyebut dia? Hm, tampaknya kau enggan membantu aku, ya, aku tahu, tentunya Kok Siau-hong masih selalu terkenang olehmu."

   Hi Giok-kun menjadi malu dan gemas pula, tanpa terasa air matanya bercucuran, katanya sambil mengusap air matanya.

   "Kau..... kau menghina aku, kata-kata begitu juga tega kau ucapkan."

   Kuatir sang istri ngambek benar-benar dan tidak mau membantunya, terpaksa Sin Liong-sing berubah sikap, katanya.

   "Istriku yang baik, aku telah salah omong, harap kau jangan marah. Tentu kau bersedia membantu aku bukan?"

   Giok-kun menjadi dongkol dan kasihan pula, ia pikir akan bertindak menurut keadaan bila sudah berada di tempat tujuan, jawabnya kemudian.

   "Baiklah, betapa pun aku adalah istrimu. Lekaslah jalan, awas percakapan kita didengar orang!"

   Sin Liong-sing mengira Giok-kun telah menyanggupi, maka dengan gembira ia mempercepat langkahnya ke atas gunung.

   Yim Thian-ngo adalah manusia yang licin, ketika melihat kedatangan mereka, segera ia menduga ada sesuatu yang tidak beres.

   Dengan tertawa ia menyambut kedatangan Sin Liong-sing berdua, katanya.

   "Wah, tumben! Angin apakah yang meniup kalian ke sini."

   "Sudah lama kami memang ingin berkunjung kepada Yim-lopek,"

   Kata Sin Liong-sing, lalu ia tarik sang istri untuk menjura kepada tuan rumah. Sudah tentu Giok-kun enggan berbuat demikian dan berlagak hendak berlutut saja. Ternyata Yim Thian-ngo lantas mencegah mereka sambil berkata.

   "Tak usah, jangan banyak adat!"

   Berbareng sebelah tangan mengangkat Sin Liong- sing dan tangan lain mengangkat Hi Giok-kun.

   Seketika Sin Liong-sing merasa suatu tenaga maha kuat mengangkat di bawah ketiaknya dan tanpa kuasa tubuhnya lantas berdiri pula.

   Ia terkejut, diam-diam ia mengakui kehebatan tenaga dalam si tua she Yim itu.

   Ia menjadi sangsi apakah tuan rumah sengaja hendak pamer kekuatan padanya? Dengan tertawa kemudian Yim Thian-ngo berkata pula.

   "Eh, Giok-kun, kau telah mendapatkan pasangan yang baik, kenapa aku tidak diundang pada pesta nikahmu?"

   Muka Giok-kun menjadi merah dan menjawab.

   "Ah, pesta yang sederhana saja mana berani membikin repot kepada paman."

   Sin Liong-sing lantas menambahkan.

   "Soalnya keadaan cukup gawat dan segala sesuatu berlangsung sederhana, mohon Yim-lopek suka memaafkan."

   "Ayah ibu Giok-kun sudah wafat, dia cuma punya seorang kakak, jelek- jelek aku adalah sahabat baik mendiang ayahnya, maka anggaplah rumahku ini seperti rumah sendiri, kalian harus tinggal beberapa hari di sini,"

   Kata Yim Thian-ngo dengan tertawa.

   "Asalkan paman tidak merasa jemu, pada kesempatan ini Siautit justru hendak minta petunjuk kepada paman,"

   Kata Liong-sing. Sesudah beramah-tamah dan ambil tempat duduk di ruang tamu, tiba- tiba Yim Thian-ngo berkata.

   "Kebetulan atas kedatangan kalian ini, aku ingin tanya suatu hal kepada kalian, yaitu mengenai keponakanku si Siau- hong. Dua tahun yang lalu kami terpencar dalam pengawalan suatu partai barang untuk laskar rakyat di Ci-lo-san. Selama dua tahun ini kami tidak pernah bertemu, kabarnya dia berhasil lolos dengan selamat, entah dia pernah berkunjung ke tempat gurumu atau tidak?"

   Rupanya Yim Thian-ngo mencurigai kedatangan Sin Liong-sing ini hendak menyelidiki gerak-geriknya.

   Sebab Kok Siau-hong pernah berhasil menangkap muridnya, yaitu Sia Hoa-liong, dan dikorek keterangannya.

   Sepulangnya sudah tentu Sia Hoa-liong tidak berani melaporkan tentang pengakuannya kepada Kok Siau-hong.

   Tapi dasar orang licin, betapa pun Yim Thian-ngo dapat meraba watak muridnya yang tidak jujur itu.

   Yang paling dikuatirkannya adalah Kok Siau-hong akan memberitahukan rahasia persekongkolannya dengan pihak Mongol kepada Bun Yat-hoan, sebab itulah dia berusaha mencari keterangan dari percakapan Sin Liong-sing ini.

   Begitulah Sin Liong-sing lantas menjawab.

   "Kok-heng belum berkunjung ke tempat guruku, cuma di Siong-hong-nia kami pernah bertemu satu kali dengan dia."

   "O, apakah dia telah membicarakan diriku dengan kalian?"

   Tanya Thian- ngo.

   "Tidak, pertemuan kami tergesa-gesa dan sebentar saja sehingga tidak sempat banyak bicara,"

   Jawab Liong-sing.

   "Yang jelas dia sedang mencari Han Tay-wi, yaitu ayah mertuanya."

   Karena hatinya timbul rasa benci kepada Kok Siau-hong, tanpa rasa terasa perasaan itupun tertampak dari sikap dan tutur katanya.

   Walaupun tanda-tanda kebenciannya kepada Kok Siau-hong itu tidak begitu menyolok, tapi bagi orang licin seperti Yim Thian-ngo, sekilas saja sudah dapat dilihatnya.

   Ia pikir.

   "Tentu bocah ini mengetahui istrinya pernah bermesraan dengan Kok Siau-hong, makanya tidak suka membicarakan dia. Tapi sikapnya padaku jelas cukup hormat, padahal dia adalah murid pewaris Bun Yat-hoan, jika dia sudah mengetahui rahasiaku, rasanya sikapnya takkan begini baik padaku."

   Karena pikiran itu, hati Yim Thian-ngo rada lega. Tapi seketika ia masih belum tahu persis apa maksud kedatangan Sin Liong-sing berdua. Kemudian Giok-kun membuka suara.

   "Sudah lama aku tidak bertemu dengan adik Siau, apakah dia sudah punya mertua?"

   Sebenarnya yang ingin diketahuinya adalah Kiong Kim-hun, tapi dia juga nona yang cukup cerdik dan bisa berpikir, maka secara tak langsung ia sengaja tanya dulu diri Yim Hong-siau agar tidak menimbulkan curiga tuan rumah.

   "O, dia masih bebas, belum ada yang mau,"

   Jawab Thian-ngo.

   "Anak perempuan sudah besar, biar dia pilih sendiri saja dan aku pun tidak perlu ikut kuatir."

   Ternyata Sin Liong-sing tidak dapat menahan perasaannya yang ingin cepat-cepat mendapat keterangan tentang diri Kiong Kim-hun, secara langsung ia terus bertanya.

   "Kabarnya di tempat Yim-lopek ini tinggal seorang nona Kiong?"

   "Apakah kau maksudkan anak perempuan Oh-hong-tocu?"

   Jawab Yim Thian-ngo.

   "Benar, puteri Oh-hong-tocu itu adalah sahabat baik Giok-kun,"

   Kata Liong-sing.

   "Ya, aku sendiri juga kenal Oh-hong-tocu, cuma sudah lama tidak berhubungan,"

   Ujar Yim Thian-ngo.

   "Nona Kiong ternyata jauh lebih baik daripada tingkah laku ayahnya, kebetulan dia berlalu di sini, maka aku lantas suruh dia tinggal sementara. Berita yang kau terima ternyata cepat sekali."

   "Kebetulan kami dengar dari pembicaraan kawan Kang-ouw, semula kami anggap kabar itu sukar dipercaya,"

   Ujar Liong-sing.

   Keterangan Sin Liong-sing seketika terbuka belangnya, sebab Yim Thian- ngo yakin orang-orang yang disuruhnya membegal Kiong Kim-hun tempo hari itu tidak mungkin membocorkan rahasia perbuatan mereka itu kepada orang luar.

   Lantas darimanakah mereka mendapat tahu? Hanya satu hal sudah pasti, kedatangan mereka ini adalah untuk anak perempuan Oh-hong- tocu itu.

   Dengan kesimpulan itu, Yim Thian-ngo lantas berkata pula dengan tertawa.

   "Kalian silakan tunggu sebentar, akan kusuruh panggil Hong-siau dan nona Kiong untuk keluar menemui kalian."

   Bahwa Yim Thian-ngo tidak banyak bertanya lagi tentang darimana didapatkan berita mengenai diri Kiong Kim-hun, hal ini sungguh di luar dugaan Sin Liong-sing.

   Kiong Kim-hun dan Yim Hong-siau juga sama sekali tidak menyangka akan kedatangan Sin Liong-sing dan istrinya.

   Kim-hun tertawa geli bila teringat kepada kejadian dahulu waktu dia menyamar sebagai lelaki dan diam-diam menyukai Han Pwe-eng yang waktu itu juga menyamar sebagai lelaki, ia ceritakan pengalaman yang lucu itu kepada Yim Hong-siau.

   "Hm, mengapa kau geli, aku justru gemas oleh kejadian itu, cinta yang tidak murni masakah pantas dipuji?"

   Ujar Hong-siau.

   "Peristiwa itu tidak dapat menyalahkan Kok Siau-hong,"

   Kata Kim-hun.

   "Memang, makanya aku pun anggap Giok-kun juga salah meski dia adalah teman baikku sejak kecil,"

   Ujar Hong-siau.

   "Dia tidak pantas merebut suami Han Pwe-eng dan kini nyatanya mau menjadi istri Sin Liong-sing. Hm, aku menjadi muak menemui mereka."

   Maklumlah, Yim Hong-siau baru mulai merasakan berseminya cinta pertama, hatinya tercurahkan seluruhnya kepada Wan-yan Ho seorang, pantas kalau dia merasa gemas kepada orang yang tidak setia kepada cinta.

   Tapi Kiong Kim-hun sangat ingin tahu berita keadaan di luaran, maka ia tetap mengajak Hong-siau menemui Sin Liong-sing berdua.

   Giok-kun merasa girang dapat bertemu dengan Kiong Kim-hun, tapi diam-diam ia pun merasa malu bahwa kedatangannya ini sebenarnya hendak mengerjai kawannya ini.

   Mengingat Yim Thian-ngo hadir di situ, cara pembicaraan Giok-kun menjadi sangat hati-hati.

   Yim Hong-siau juga bicara mengenai hal-hal kecil saja sehingga suasana tidak begitu hangat.

   Sebagai nona yang cerdik, melihat keadaan Giok-kun, mau tak mau timbul rasa curiga Kiong Kim-hun, ia merasa Giok-kun seperti menanggung sesuatu persoalan.

   Padahal dia baru saja menikah, menurut kebiasaan umum, anak perempuan yang habis menikah biasanya tampak segar bersemangat, tapi keadaan Giok-kun ternyata lebih lesu dan kurus daripada sebelum nikah, sungguh aneh, apakah dia tidak bahagia? Biarpun begitu, seharusnya dia bergembira dapat bertemu dengan aku dan Hong-siau.

   Tapi sekarang kelihatan dia kurang bersemangat, tertawanya juga sangat dipaksakan, mengapa begini? Apa sebabnya? Begitulah Kim-hun tidak habis mengerti.

   Dalam pada itu terdengar Yim Thian-ngo telah berkata.

   "Teman baik antara kaum muda seperti kalian ini dapat berkumpul untuk mengobrol, sungguh suatu pertemuan yang menggembirakan. Kukira masih ada seorang lagi pantas diundang ke sini. Yan-kongcu adalah tamuku, kukira tiada halangannya Sin-siauhiap berkenalan dengan dia."

   Dari nada ucapan tuan rumah itu, segera Giok-kun dapat menerka hubungan apa antara "Yan-kongcu"

   Itu dengan Yim Hong-siau. Maka cepat ia berkata.

   "Selamat padamu, adik Siau, kau sudah punya pilihan, kenapa tidak kau katakan padaku sejak tadi?"

   Dengan malu-malu Hong-siau menunduk, jawabnya.

   "Ah, aku pun belum lama kenal dia, jangan kau bicara begitu, tidak enak kalau didengar orang."

   Nadanya menyesal, tapi dalam hati sesungguhnya senang, secara tidak langsung ia pun tidak membantah bahwa dia memang sudah menyukai Yan-kongcu itu.

   Tergerak pikiran Giok-kun, segera ia mengajak Kim-hun dan Hong-siau bicara di ruang dalam saja agar bisa lebih bebas dan membiarkan Sin Liong- sing bertemu dengan Yan-kongcu.

   Maksud Kiong Kim-hun juga ingin bicara sendirian dengan Giok-kun, maka dengan tertawa ia berkata.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Enci Kun, bagaimana kalau malam nanti kau menemani aku saja, untuk ini biar kumintakan izin kepada Sin-kongcu agar sudi melepaskan istri kesayangan barang semalam dua malam."

   "Ah, Kiong-siocia suka bergurau saja, kau dan Giok-kun adalah kawan lama, setelah berpisah lama, sudah sepantasnya banyak yang hendak kalian bicarakan, jangankan cuma semalam dua malam, sepuluh malam juga boleh,"

   Kata Liong-sing dengan tertawa, ia merasa permintaan Kiong Kim- hun itu sangat kebetulan baginya.

   "Tapi Yan-kongcu itupun bukan orang luar, boleh kalian saling berkenalan dulu baru nanti masuk ke dalam,"

   Ujar Yim Thian-ngo, ia mengira Hi Giok-kun hendak pegang adat istiadat, anak perempuan yang baru menikah sebisanya menghindari bertemu dengan lelaki yang belum dikenal. Padahal memang bukan begitu maksud Giok-kun, maka ia pun menjawab.

   "Yim-lopek telah salah paham, orang Kang-ouw seperti kita ini mana pakai adat kuno segala."

   "Jika begitu silakan kalian tunggu sebentar,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   Lalu ia masuk ke dalam untuk mengundang Wan-yan Ho.

   Sudah tentu dalam perjalanan diam-diam ia memberitahukan Wan-yan Ho tentang kedatangan Sin Liong-sing yang mencurigakan itu.

   Begitulah dengan berseri-seri Wan-yan Ho lantas diperkenalkan kepada Sin Liong-sing berdua.

   "Sudah lama kudengar nama Sin-siauhiap yang termasyhur di Kang-ouw, sungguh sangat beruntung hari ini dapat berkenalan di sini,"

   Kata Wan-yan Ho. Sin Liong-sing sangat senang oleh sanjung puji itu, jawabnya.

   "Ah, Siau- te baru saja mulai berkecimpung di dunia Kang-ouw, mana aku berani digelari sudah termasyhur segala?"

   "Bukan maksudku sengaja menyanjung Sin-siauhiap,"

   Kata Wan-yan Ho.

   "Mungkin Sin-siauhiap sendiri belum tahu bahwa segenap kawan Kang-ouw sudah lama menganggap kau sebagai Bu-lim-beng-cu yang akan datang pengganti gurumu."

   Sanjung puji yang dinyatakan sebagai bukan sanjungan ini membikin Sin Liong-sing seperti habis dicekoki jamu kuat, sungguh senangnya tidak kepalang.

   Sebaliknya Giok-kun merasa merinding oleh kata-kata Wan-yan Ho itu, ia merasa mulut orang rada tidak beres meskipun orangnya harus diakui tampan.

   Habis memuji Sin Liong-sing, lalu Wan-yan Ho memuji pula Hi Giok- kun, malahan suami-istri itu disanjungnya sebagai pasangan dewa-dewi yang setimpal dan bahagia.

   Giok-kun merasa sebal, segera ia mohon diri untuk masuk ke ruang dalam, cepat Kiong Kim-hun mengikuti jejaknya.

   Hanya Yim Hong-siau yang kurang senang atas tindakan kedua kawannya itu, tapi terpaksa ia pun mengiringi mereka ke dalam.

   Wan-yan Ho tercengang juga melihat sikap Hi Giok-kun itu, tapi segera ia berpikir bahwa antara Hi Giok-kun dan suaminya ternyata benar kurang rukun, melihat gelagatnya, agaknya berita yang didengarnya memang benar adanya.

   Sin Liong-sing ternyata dapat bicara sangat cocok dengan Wan-yan Ho, keduanya sama-sama terpelajar, baik ilmu sastra maupun ilmu silat.

   Setelah makan malam, kedua pemuda itu masih terus mengobrol hingga dekat tengah malam.

   Entah disengaja atau tidak, akhirnya Yim Thian-ngo memberi kesempatan kepada kedua orang itu untuk bicara lebih asyik.

   Malam dengan cahaya bulan yang terang, Wan-yan Ho mengusulkan berjalan-jalan di taman untuk menikmati pemandangan indah itu.

   Sin Liong-sing menyambut dengan baik ajakan itu.

   Menghadapi pemandangan malam yang indah permai itu, pembicaraan kedua orang menjadi bertambah gairah.

   Tiba-tiba Sin Liong-sing teringat kepada Kong-sun Bok, ia pikir bocah itu saat ini tentu sedang menunggu kedatangannya di atas gunung.

   Sementara itu Wan-yan Ho masih terus mengajak mengobrol, akhirnya dia bicara tentang penyair-penyair pujaannya, terutama Soh Tong-po yang terkenal di zaman dinasti Song.

   Tapi ada tanda yang aneh bahwa pembicaraan Wan-yan Ho itu lambat-laun menjurus kepada penyair negeri lain, lalu dia mendeklamasikan sebuah sanjak yang indah dan besemangat.

   Kemudian dia minta Sin Liong-sing menerka siapa penggubah syairnya itu.

   Ketika Sin Liong-sing tidak sanggup menerkanya, kemudian Wan-yan Ho memberitahukan bahwa syair itu gubahan raja Kim yang duapuluh tahun berselang pernah mengalahkan kerajaan Song, yaitu Wan-yan Liang.

   Mau tak mau Sin Liong-sing menjadi heran dan sangsi, ia pikir entah apa maksud kenalan baru ini berbicara tentang syair segala, malahan yang disanjung puji justru adalah sanjak gubahan raja negeri musuh.

   Tidak hanya kesusasteraan saja Wan-yan Ho memuji karya pujangga negeri asing, bahkan mengenai ilmu silat dia juga berpendirian bahwa ilmu silat negeri lain ada juga yang tidak kalah lihainya dengan ilmu silat bangsa Han.

   Karena gurunya adalah Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, dengan sendirinya Sin Liong-sing tidak mau dipandang remeh oleh orang.

   Segera ia menanggapi.

   "Memang benar juga pendapat Yan-heng, misalnya Bu-lim- thian-kiau yang termasyhur itu dikenal sebagai bangsa Kim, namun baik ilmu silat negeri Kim maupun negeri-negeri lain, betapa pun tetap tidak seluas dan setinggi ilmu silat di daerah Tiong-goan sini."

   "Guru Sin-heng adalah Bu-lim-beng-cu, sebagai ahli warisnya tentu Sin- heng sudah mendapatkan segenap kemahiran sang guru,"

   Kata Wan-yan Ho.

   "Ah, meski Suhu sudah mengajarkan segenap kepandaiannya, tapi bakat Siau-te terlalu jelek dan bodoh sehingga hasilnya kurang memadai,"

   Jawab Sin Liong-sing. Walaupun kedengarannya rendah hati, tapi sebenarnya secara tidak langsung mengakui dirinya memang ahli waris sang guru sebagaimana dipuji oleh Wan-yan Ho tadi.

   "Selama ini Siau-te tidak pernah mendapatkan guru ternama, apa yang kupelajari juga sangat ruwet, ilmu silat negeri Kim juga pernah kubelajar sedikit,"

   Kata Wan-yan Ho.

   "Kini kebetulan dapat berkenalan dengan Sin- heng, entah Sin-heng sudi memberi petunjuk beberapa jurus ilmu silat Tiong-goan yang murni dan hebat ini tidak?"

   Diam-diam Sin Liong-sing menganggap kenalan baru ini mulai kelihatan belangnya.

   Setelah berputar-kayun sekian lama, akhirnya ketahuan juga bahwa tujuannya ingin menguji ilmu silatnya.

   Dasar watak Sin Liong-sing juga suka menang, maka ia pun menjawab dengan tertawa.

   "Ah, meski kita baru kenal, tapi sudah seperti kawan lama. Tukar pikiran ilmu silat antara kawan baik adalah soal biasa. Maka kata-kata petunjuk tak berani kuterima."

   "Sudah lama kukagum kepada nama guru Sin-heng dengan gelar Ti-pit- su-seng, di antara berbagai ilmu silatnya paling terkenal ilmu Tiam-hiatnya,"

   Kata Wan-yan Ho.

   "Sesungguhnya aku terlalu sembrono, justru dalam hal ilmu totokan inilah aku ingin mohon belajar kepada Sinheng, untuk ini harap engkau jangan marah."

   Terkesiap hati Sin Liong-sing, padahal orang tahu jelas ilmu andalannya adalah Tiam-hiat, tapi dia justru ingin menguji ilmu totokan ini, tampaknya orang pasti sudah mempunyai perhitungan masak, kalau tidak, mana berani menantangnya.

   Demikian Sin Liong-sing berpikir.

   Belum dia menjawab, mendadak Wan-yan Ho sudah bergerak, dengan cepat jarinya terus menotok ke "Hok-tho-hiat"

   Di dadanya. Sin Liong-sing terkejut.

   "Totokan hebat!"

   Ia memuji sambil mengegos dengan cepat, sambil bergerak, telapak tangan memutar, sedang dua jari tangan kanan lantas menyelentik, habis itu dia ganti gerakan lagi, kini tangan kanan yang berputar dan jari tangan kiri menyelentik.

   "Ha, ha, ha, ilmu menotok Thi-pit-su-seng memang tidak bernama kosong, marilah kita coba-coba lagi, asal kena segera berhenti!"

   Seru Wan- yan Ho sambil bergelak tertawa. Dalam pada itu dia telah ganti serangan lagi, kini sebelah tangannya bersimpuh di depan dada, kelima jari menjentik berturut-turut, gayanya indah seperti orang memetik gitar saja.

   "Ilmu Tiam-hiat macam apakah ini?"

   Demikian Sin Liong-sing merasa heran.

   Padahal gurunya boleh dikata mahir segala macam ilmu Tiam-hiat, gaya ilmu totokan aliran mana pun pernah dibicarakan padanya.

   Tapi yang dimainkan Wan-yan Ho adalah ilmu rahasia yang diperoleh dari gambar Hiat-to-tong-jin, Bun Yat-hoan saja tidak pernah melihat permainan ilmu Tiam-hiat ini jangankan Sin Liong-sing.

   Maka Sin Liong-sing tidak berani temberang lagi, bahkan ia mulai keder.

   Ia coba bertahan dengan rapat dan tidak berani mengharapkan menang lagi.

   Tampaknya Wan-yan Ho memang sengaja hendak merobohkan Sin Liong-sing, setelah bergebrak beberapa lama, sekonyong-konyong Sin Liong- sing merasa Ih-gi-hiat di bagian perutnya rada kesemutan, menyusul Goan- tiau-hiat di bagian dengkul juga linu.

   Meski jari Wan-yan Ho tidak menyentuh tubuhnya, tapi tenaga yang digunakan agaknya mencapai pada sasaran Hiat-to yang diarah.

   Cuma saja tenaga dalam Wan-yan Ho juga belum mencapai tingkatan paling sempurna, sebab itu Hiat-to Sin Liong-sing tidak sampai tertotok dengan telak.

   Walaupun begitu Sin Liong-sing sudah merasa kewalahan untuk bertahan, hendak minta berhenti juga malu untuk mengucapkan.

   Dari malu ia menjadi murka, mendadak ia keluarkan serangan berbahaya.

   Tangan kanan menyampuk, jari tangan kiri lantas menotok ke dada lawan secepat kilat.

   "Bret", baju bagian dada Wan-yan Ho terobek, tapi menyusul lantas terdengar suara "blang"

   Yang keras, tubuh Sin Liong-sing terlempar pergi beberapa meter jauhnya.

   Kiranya pada saat Sin Liong-sing melancarkan serangan tadi, dengan cekatan Wan-yan Ho telah mengeluarkan ilmu totokannya yang hebat, sambil mengelak sekaligus ia berhasil menotok Hiat-to Sin Liong-sing, menyusul sebelah tangannya lantas melempar ke samping, dalam keadaan tak berkutik Sin Liong-sing terlempar pergi dan terbanting.

   Akan tetapi sebelum tubuh Sin Liong-sing terbanting ke tanah, secepat terbang Wan-yan Ho melayang ke sana dengan tertawa, ketika pantat Sin Liong-sing hampir menempel tanah.

   Wan-yan Ho sempat menariknya bangun sambil berkata.

   "Maaf, Sin-heng!"

   Sin Liong-sing coba mengerahkan tenaga dalam untuk membuka Hiat-to yang tertotok, tapi ternyata gagal, akhirnya Wan-yan Ho yang membukakan Hiat-to yang tertotok itu. Tentu saja Sin Liong-sing merasa malu, terpaksa ia berkata.

   "Ilmu Tiam- hiat Yan-heng sungguh hebat dan melebihi kepandaianku, sungguh mengagumkan!"

   Wan-yan Ho tersenyum, katanya.

   "Sin-heng, sebenarnya kau dapat mengalahkan aku, bahwa aku beruntung dapat menotok Hiat-to mu bukan disebabkan kepandaianmu kalah tinggi daripada kepandaianku, sebab- musababnya kukira Sin-heng sendiri pun tahu."

   Sin Liong-sing menjadi melengak, padahal kepandaian menotok orang sesungguhnya memang jauh lebih mahir daripada dirinya, mengapa sekarang orang berkata demikian? Apa cuma untuk basa-basi saja, tapi tampaknya juga berkata dengan sungguh-sungguh? Pada umumnya manusia memang suka pada kata-kata yang muluk, terutama yang memuji pada dirinya.

   Apalagi orang yang suka menang macam Sin Liong-sing? Tentu saja ia sangat senang oleh ucapan Wan-yan Ho tadi, segera ia pun menjawab.

   "Tapi sesungguhnya aku tidak paham, mohon Yan-heng sudi menjelaskan."

   "Ilmu totokanmu cukup hebat, hanya dalam hal tenaga dalam rasanya seperti kurang langgeng, seperti seranganmu yang terakhir tadi, jika tenaga dalam yang kau kerahkan tetap kuat seperti permulaan, mungkin Siau-te sudah kau robohkan lebih dulu,"

   Kata Wan-yan Ho. Kembali Sin Liong-sing tercengang, padahal ia merasa sudah mengerahkan segenap tenaga dalam, mengapa orang berkata demikian? "Semula aku tidak tahu apa sebabnya, tapi kini aku sudah tahu,"

   Sambung Wan-yan Ho pula. Habis itu tiba-tiba ia menghela napas dan berkata pula.

   "Sayang, sungguh sayang!"

   "Sayang apa?"

   Tanya Sin Liong-sing dengan melengak.

   "Meski kita baru kenal, tapi sudah mirip kawan lama, maka sudilah Sin- heng memaafkan. jika aku bicara terus terang,"

   Jawab Wan-yan Ho.

   "Sin- heng, kalau tidak keliru, bukankah kau pernah terjebak seseorang sehingga terkena racun istimewa yang mengakibatkan Sin-heng sukar mendapatkan kebahagiaan keluarga. Malahan, ai, kukira lebih baik tidak kukatakan saja."

   Sin Liong-sing terkejut, cepat ia menanggapi.

   "Benar, Yan-heng, sungguh tepat menyelami keadaanku, memang Siau-te pernah dijebak orang. Tapi bagaimana akibat penyakit ini kelak, mohon Yan-heng suka bicara terus terang."

   "Sin-heng, coba kau mengerahkan tenaga ke dalam perut, apakah ada merasakan sesuatu yang aneh?"

   Kata Wan-yan Ho.

   Segera Sin Liong-sing melakukan anjuran itu, benar juga bagian perut lapat-lapat terasa sakit.

   Keruan ia terperanjat, keringat dingin pun bercucuran.

   Perlu diketahui, apabila tenaga murni sukar terkumpul di bagian perut, maka sukarlah untuk berlatih lwekang hingga mencapai tingkatan paling sempurna.

   "Aneh,"

   Kata Sin Liong-sing kemudian.

   "sebelum ini tak pernah kurasakan gejala seperti ini. Tanda penyakit apakah ini, dapatkan Yan-heng memberitahu?"

   "Ini adalah gejala akan Cau-hwe-jip-mo!"

   Jawab Wan-yan Ho dengan perlahan, sekata demi sekata.

   Bukan main kaget Sin Liong-sing seperti mendengar bunyi guntur di siang hari bolong, seketika ia pun terpaku dengan mulut ternganga.

   Orang yang belajar ilmu silat paling takut pada penyakit "Cau-hwe-jip- mo", yakni karena salah latih dan mengakibatkan kelumpuhan serta cacat selamanya.

   Dalam pada itu Wan-yan Ho sedang menyambung pula.

   "Cuma keadaan penyakit Sin-heng ini sekarang baru mulai kelihatan tanda-tandanya saja, masa bekerjanya penyakit itu dengan sungguh-sungguh masih cukup lama, kira-kira tiga tahun lagi. Maka bagi Sin-heng masih dapat berdaya upaya. Ai, orang yang mencelakai Sin-heng itu entah punya dendam kesumat apa padamu sehingga tega amat dia turun tangan sekeji ini."

   Sin Liong-sing menjadi ketakutan, tiba-tiba pikirannya tergerak, kalau orang tahu sejelas itu sebab-musabab penyakit yang dideritanya, tentu pula juga ahli dalam hal penyembuhannya.

   Sebenarnya dia malu untuk memberitahukan penyakit yang dideritanya itu, maka selama ini dia tutup rapat rahasia pribadinya ini.

   Tapi kini dia tidak sempat memikirkan soal malu atau tidak, segera ia menjawab.

   "Orang yang meracuni aku adalah seorang pelayanku sendiri yang diam-diam cinta sepihak padaku. Selama ini aku mengira penyakitku ini hanya mengakibatkan aku tidak dapat..... tidak dapat melakukan tugas sebagai seorang suami, tak tahunya kalau masih membawa akibat sejauh itu. Jika Yan-heng paham penyakit ini, mohon engkau suka menolong diriku, untuk itu Siau-te akan berterima kasih selamanya dan akan memberi balas budi apa pun."

   "Ah, Sin-heng terlalu rendah hati, kita adalah kawan baik, jika ada jalannya tentu aku akan berusaha sekuat tenaga, Cuma..... cuma....."

   "Cuma apa?"

   Cepat Sin Liong-sing menegas.

   "Apa kau pernah mendengar obat Kim-cin-giok-ek-tay-hoan-tan?"

   "Pengetahuanku teramat cetek, nama obat itu belum pernah kudengar. Apakah obat itu paling mujarab untuk penyakitku ini?"

   "Obat paling mujarab bagi penyakit Sin-heng ini adalah obat yang diracik dengan Thian-sim-ciok keluaran Sing-siok-hay di pegunungan Kun-lun-san, tapi Sing-siok-hay terletak di puncak tertinggi Kun-lun-san, pula batu Thian- sim-ciok itupun sangat sukar dicari. Meski khasiat Kimcin-giok-ek-tay-hoan- tan ini tidak cespleng seperti Thian-sim-ciok, tapi bila diminum secara teratur, tiap hari minum tiga kali dan berturut-turut diminum empatpuluh sembilan kali, akhirnya penyakit Sin-heng inipun dapat disembuhkan. Tegasnya, selain penyakit Cau-hwe-jip-mo dapat terhindar, bahkan kebahagiaan keluarga juga takkan terganggu lagi."

   "Apa betul begitu?"

   Sin Liong-sing menegas dengan girang.

   "Apakah Yan-heng mempunyai..... mempunyai Kim-cin-giok-ek-tay-hoan-tan ini?"

   "Aku sih tidak punya, tapi kalau mau dicari aku mengetahui tempatnya,"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab Wan-yan Ho.

   "Cuma tempat itu entah Sin-heng dapat berangkat ke sana tidak?"

   "Tempat apakah itu?"

   Tanya Liong-sing pula.

   "Ialah ibukota negara Kim, Tay-toh,"

   Jawab Wan-yan Ho.

   "Kim-cin- giok-ek-tay-hoan-tan itu adalah obat mestika kerajaan Kim dan tersimpan di dalam istana."

   Sin Liong-sing terkejut, katanya dengan tergagap.

   "Yan-heng, engkau ini..... engkau ini....."

   Wan-yan Ho bergelak tertawa, katanya kemudian.

   "Terus terang, aku adalah pangeran kerajaan Kim, aku she Wan-yan, putera Wanyan Tiang-ci."

   Air muka Sin Liong-sing berubah hebat.

   "Jadi kau..... kau....."

   Katanya dengan suara gemetar, tapi seketika entah apa yang harus diucapkannya.

   "Sin-heng tidak perlu gugup,"

   Kata Wan-yan Ho dengan tertawa.

   "Meski ayahku menjabat panglima pasukan pengawal kerajaan, tapi aku sendiri biasanya tidak ikut campur urusan pemerintahan. Bergaul dengan kawan yang utama adalah cocok dan tidak, peduli apa soal perbedaan suku bangsa? Bu-lim-thian-kiau kan juga pangeran Kim?"

   Diam-diam Sin Liong-sing pikir Bu-lim-thian-kiau adalah kesatria yang membantu bangsa Han melawan kelaliman pemerintah negerinya sendiri, mana kau dapat dibandingkan dengan pendekar termasyhur itu.

   Sudah tentu buah pikirannya ini tidak berani dikemukakannya.

   Terdengar Wan-yan Ho sedang berkata pula.

   "Di luaran tiada orang lain yang tahu asal-usul diriku kecuali paman Yim saja, tapi kuanggap Sin-heng sebagai kawan karib, maka aku pun memberitahukan rahasia pribadiku."

   "Terima kasih atas penghargaan dirimu padaku,"

   Jawab Sin Liong-sing dengan menyeringai.

   "Tapi engkau adalah pangeran, aku tak berani bergaul dengan kau."

   "Engkau sendiri adalah murid pewaris Bun-tayhiap, pergaulan kita hanya akan menurunkan pamormu malah,"

   Ujar Wan-yan Ho.

   "Begini saja, Sin- heng, sekiranya kau tidak bebas berangkat ke Tay-toh bersama aku, boleh juga engkau datang sendirian. Akan kuberi suatu alamat padamu, tempat itu sangat dirahasiakan, jika kau datang ke sana mencari aku ditanggung takkan diketahui orang."

   "Tapi..... tapi..... aku tak dapat pergi ke Tay-toh, aku sangat berterima kasih atas maksud baik Yan-heng,"

   Kata Sin Liong-sing dengan tergagap.

   "Andaikan benar aku akan Cau-hwe-jip-mo, ya, apa boleh buat, mungkin sudah suratan nasib."

   "Biarpun kau rela mati, kukira juga sia-sia belaka,"

   Kata Wan-yan Ho dengan dingin.

   "Yang jelas percuma saja dan sayangilah hidupmu, kau mempunyai seorang istri secantik bidadari."

   Hati Sin Liong-sing serasa terkilik oleh kata-kata Wan-yan Ho yang terakhir ini. Pikirnya.

   "Ya, aku dan Giok-kun hanya suami-istri nama kosong saja, biar mati pun aku penasaran."

   Nampak Sin Liong-sing diam saja, kembali Wan-yan Ho berkata.

   "Sin- heng, sebenarnya kau dapat meneruskan jabatan Bu-lim-beng-cu, tapi kalau sampai kau Cau-hwe-jip-mo, maka hal ini berarti pula hari depanmu akan musnah seluruhnya, kan sayang jika demikian? Aku tahu bibimu adalah ahli racun nomor satu di dunia ini, cuma sayang sekarang dia terkurung di Oh- hong-to. Apalagi dia juga belum mampu menyembuhkan penyakitmu ini. Baik kukatakan sekalian padamu, ilmu silat bibimu kini telah punah, maka jangan mengharapkan bantuannya akan mencarikan Thian-sam-ciok segala. Sin-heng, dengan maksud baik aku ingin menolong kau, untuk ini boleh kau pikirkan dahulu."

   Pikiran Sin Liong-sing menjadi kusut. Pikirnya.

   "Bagaimana jadinya kelak sementara tak perlu disoalkan, yang pasti sekarang dia telah mengetahui rahasia pribadiku, kalau disiarkannya tentu aku akan malu. Tapi tidak mungkin Wan-yan Ho mau menolong aku tanpa mengharapkan sesuatu. Lalu aku harus menerima tawarannya atau tidak?"

   Demikianlah timbul pertentangan batinnya yang sukar diredakan.

   "Mungkin kau kuatir diketahui orang luar bukan?"

   Kembali Wan-yan Ho berkata dengan tertawa.

   "Tapi urusan ini hanya kau dan aku saja yang tahu, asal aku tidak menyiarkannya tentu tiada orang lain yang tahu."

   Tiba-tiba Sin Liong-sing mengangkat kepala dan berkata dengan suara gemetar.

   "Baik kita bicara secara blak-blakan saja, balas jasa apa yang kau harapkan dariku?"

   Mendengar nada orang sudah mulai lunak, dengan menyebut "balas jasa", sama halnya dengan bersedia untuk berunding mengenai syarat.

   Diam- diam Wan-yan Ho tertawa dan merasa umpannya sudah mulai ditelan ikan yang akan dipancingnya ini.

   Hendaklah diketahui bahwa anak buah Wan-yan Ho yang bernama Sebun Cu-sik itu adalah keponakan Sebun Bok-ya.

   Karena itu urusan mengenai diri Sin Cap-si-koh diketahui Sebun Bok-ya dari Oh-hong-tocu, lalu diceritakan pula kepada keponakannya.

   Adapun mengenai "penyakit dalam"

   Sin Liong-sing itu diketahuinya dari Han Hi-sun.

   Guru Han Hi-sun, yaitu Thio Tay-tian, pernah menawan Sin Liong-sing berdua, maka rahasia hubungan suami-istri yang cuma nama kosong itu telah diketahui olehnya.

   Semula Wan-yan Ho anggap cerita-cerita itu sebagai berita aneh saja, tak tersangka secara kebetulan dia dapat bertemu dengan Sin Liong-sing di rumah Yim Thian-ngo, dasarnya memang cerdik, segera ia pikir kedua berita yang didengarnya itu dapat digunakan sebagai alat pemeras.

   Padahal racun yang diderita Sin Liong-sing hanya mengakibatkan dia tidak mampu "bertugas"

   Sebagai seorang lelaki, terhadap kesehatan badan umumnya tidak berhalangan apa-apa.

   Bahwa perut Sin Liong-sing lapat-lapat terasa sakit adalah akibat totokan Wan-yan Ho belaka, jadi Cau-hwe-jip-mo yang dikatakan Wan-yan Ho itu sesungguhnya cuma omong kosong saja, namun begitu Sin Liong-sing telah kena diingusi.

   Begitulah dengan tertawa Wan-yan Ho lantas berkata.

   "Sin-heng, ucapanmu seakan-akan anggap aku ini bukanlah kawanmu."

   "Lelaki sejati harus tegas membedakan budi dan dendam, kalau Yan- heng tidak mau bicara secara terbuka kepadaku, betapa pun aku tak berani menerima budi kebaikanmu,"

   Kata Sin Liong-sing. Dalam hati Wan-yan Ho menjengek karena Sin Liong-sing berani mengaku sebagai lelaki sejati segala. Namun lahirnya, dia tetap tertawa dan berkata.

   "Ha, ha, Sin-heng benar-benar seorang yang suka bicara terus terang. Baiklah, jika begitu aku pun bicara secara blak-blakan padamu. Sesungguhnya aku tidak ingin balas budimu, cuma bila kau tetap ingin membalas budi, kini aku menjadi teringat kepada sesuatu benda mestika, untuk ini biar kuminta kau suka membantu."

   "Benda mestika apa?"

   Tanya Sin Liong-sing heran. Hatinya terasa lega juga, kalau orang hanya ingin balas jasa sesuatu benda mestika, hal ini berarti dirinya tidak perlu berbuat sesuatu yang mengkhianati guru dan kawan. Maka Wan-yan Ho telah menjawab.

   "Hian-tiat-po-san milik Kong-sun Bok itu!"

   "Hah, engkau menghendaki aku merebut Hian-tiat-po-san milik Kong- sun Bok?"

   Sin Liong-sing menegas dengan terkejut.

   "Tetapi..... tetapi....."

   "Kenapa? Kau tidak mau?"

   Tanya Wan-yan Ho.

   "Bukannya aku tidak mau, soalnya Kong-sun Bok entah berada dimana, sukar bagiku untuk mencarinya, selain itu ilmu silatku juga bukan tandingannya,"

   Jawab Liong-sing.

   "Ha, ha, ha, kukira kau tidak bicara sejujurnya, Sin-heng,"

   Kata Wan-yan Ho dengan tertawa.

   "Bukankah siang tadi kau baru bertemu dengan Kong- sun Bok? Masakah kau tidak tahu dia berada dimana?"

   Kiranya sumber berita pertemuan Sin Liong-sing dengan Kong-sun Bok itu berasal dari Han-lotoa yang dilepaskan Kong-sun Bok itu.

   Sebelum Han- lotoa lari pulang, di tengah jalan ia bertemu seorang anak buah Yim Thian- ngo, maka sekalian ia sampaikan peristiwa yang dialaminya itu kepada Yim Thian-ngo agar kelak bila terjadi apa-apa dia tidak disalahkan.

   Jadi berita pertemuan Sin Liong-sing dengan Kong-sun Bok itu diperoleh Wan-yan Ho dari Yim Thian-ngo.

   Sudah tentu Sin Liong-sing menjadi serba salah karena rahasia dibongkar orang, terpaksa ia menjawab dengan meringis.

   "He, he, berita Yan-heng sungguh cepat amat. Ya, memang aku baru bertemu dengan bocah she Kong- sun itu, tapi....."

   "Tapi apa? Kau segan padanya bukan?"

   Wan-yan Ho menegas.

   "Hendaklah Yan-heng maklum bahwa perguruan Kong-sun Bok ada hubungan erat dengan Siau-te,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Kakeknya Kong-sun In, gurunya Kang-lam-tayhiap Kheng Ciau, ada pula kedua maha guru ilmu silat terkemuka zaman ini....."

   "Sudahlah, aku tahu, tidak perlu dijelaskan lagi,"

   Sela Wan-yan Ho.

   "Tapi kau tidak perlu kuatir, Kong-sun Bok itu cuma sendirian, kalau kita bereskan dia, asal kau tidak menyiarkannya, siapa lagi yang tahu? Memang betul ilmu silat bocah itu terlebih kuat daripada kau dan aku, tapi dia kan pandang kau sebagai teman, tentu dia tidak curiga padamu, maka kau dapat menyergap dia secara mendadak dengan menotok Hiat-to yang penting, pada saat itu pula aku lantas muncul untuk membantu kau membereskan dia, apa susahnya untuk melakukan hal ini? Andaikan kau gagal menyergap dia, dengan gabungan kita berdua juga takkan kalah. Selain itu, jangan lupa, kita kan masih ada bala bantuan yang kuat, yaitu Yim-locianpwe."

   "Apa? Yim-lopek katamu? Dia..... dia juga....."

   "Ya, dia juga kawan sehaluan kita. Segala urusan aku pun membicarakannya dengan dia."

   Seketika Sin Liong-sing mandi keringat dingin. Biarpun jiwanya rendah, betapa pun dia adalah murid Bun Yat-hoan yang telah digembleng sekian lamanya, perbuatan khianat demikian betapa pun meragukan dia.

   "Yan-heng,"

   Katanya kemudian dengan tergagap.

   "apakah tindakan ini tidak tidak terlalu kejam?"

   "Hm, tidak kejam bukanlah lelaki!"

   Jengek Wan-yan Ho.

   "Kong-sun Bok kan juga bukan kawanmu yang karib, memangnya kau lebih suka mengorbankan hari depanmu baginya?"

   Muka Sin Liong-sing menjadi pucat, sekejap itu pikirannya berubah pendirian beberapa kali, akhirnya dia berpikir.

   "Tampaknya dia sudah bersekongkol dengan Yim Thian-ngo, jika aku tidak terima baik ajakannya mungkin sekali sukar lolos dari sini."

   Begitulah di bawah ancaman dan pancingan Wan-yan Ho, akhirnya bagian jahat daripada watak Sin Liong-sing lebih unggul daripada bagian baiknya, dengan suara rendah akhirnya dia berkata.

   "Baik, Yan-heng, aku menurut."

   "Nah, begitulah baru orang pintar!"

   Kata Wan-yan Ho dengan tertawa.

   Ternyata kekejian dan keculasan Wan-yan Ho tidak cuma terbatas sampai di situ saja, bahwa dia menginginkan Hian-tiat-po-san, tapi sesungguhnya tujuannya tidak hanya payung pusaka saja.

   Yang dia kehendaki adalah seluruh negeri Song Raya.

   Sedangkan saka guru terkuat yang mendukung kerajaan Song adalah laskar rakyat, sebab itu dia memerlukan seorang yang dapat membantu menghancurkan laskar rakyat, dan Sin Liong-sing adalah orang pilihan yang paling tepat.

   Wan-yan Ho akan memancing Sin Liong-sing ke Tay-toh, di situ mau tak mau Sin Liong-sing harus tunduk kepada segala apa yang diaturnya.

   Wan- yan Ho dapat mengancam akan membongkar rahasia Sin Liong-sing yang hendak mencelakai Kong-sun Bok apabila Sin Liong-sin tidak mau memberitahukan keadaan pihak laskar rakyat di daerah Kang-lam, malahan Sin Liong-sing dapat diperalat pula sebagai mata-mata dan dikirim kembali ke pihak laskar rakyat di Kang-lam.

   Cuma ada suatu hal yang sama sekali di luar dugaan Wan-yan Ho, kalau dia yakin rahasia pembicaraannya dengan Sin Liong-sing ini sama sekali tak diketahui orang lain, tak tahunya kalau pembicaraan mereka itu justru telah didengar oleh orang ketiga yang sama sekali tak tersangka olehnya.

   Siapakah gerangan orang ketiga itu? Biarlah kita tunda sementara.

   Sementara itu Yim Hong-siau yang menemani Hi Giok-kun ke ruangan dalam, dia telah mengajak Giok-kun suka tidur sekamar dengan dia dan Kiong Kim-hun, dengan demikian mereka bertiga dapat bicara dengan lebih asyik.

   Tapi Hi Giok-kun sebenarnya ingin mencari kesempatan agar dapat bicara berduaan dengan Kiong Kim-hun, kini beradanya Yim Hong-siau di tengah mereka, terpaksa ia berbicara iseng hal-hal umum dan pengalaman di masa kecil segala.

   Suatu waktu, tiba-tiba Giok-kun berkata dengan tertawa.

   "He, mengenai masa kecil kita, aku menjadi ingat pada dupa wangi Liong-yan-hiang, bukankah kau sangat suka pada dupa yang dibakar di pedupaan rumahku itu, aku pernah memberikan satu bungkus padamu, apakah dupa wangi itu kini masih ada?"

   "Ya, kalau kau tidak omong aku pun hampir lupa,"

   Ujar Yim Hong-siau.

   "Dupa itu memang sangat harum, setiap mencium bau harum dupa itu, tanpa terasa aku lantas pulas dengan nyenyak. Dupa itu teramat baik dan mahal, aku merasa sayang membakarnya, maka setiba di rumah bungkusan dupa itu lantas kusimpan. Cuma, ai, sekejap saja sudah belasan tahun, dupa itu entah kusimpan dimana? Coba kuingat-ingat dulu, o, ya, kalau tidak salah kutaruh di belakang almari buku di kamar baca sana, tunggu sebentar, akan kuambilkan."

   Setelah Yim Hong-siau pergi, cepat Hi Giok-kun berbisik kepada Kiong Kim-hun.

   "Kiong-cici, lekas kau totok Moa-hiatnya dengan ilmu Tiam- hiatmu yang khas itu!"

   Tentu saja Kiong Kim-hun kaget dan bingung, ia menegas.

   "Apa katamu? Mengapa kau minta ditotok?"

   "Tak perlu tanya, lekas totok Hiat-to yang kukatakan dan cepat kau melarikan diri saja!"

   Seru Giok-kun pula dengan suara tertahan. Tapi Kiong Kim-hun tetap menggeleng kepala dan bertanya.

   "Mengapa aku harus melarikan diri? Sebelum kau bicara dengan jelas, mana aku dapat menotok kau pula?"

   Karena keadaan sudah mendesak, terpaksa Giok-kun membisiki telinga Kim-hun.

   "Sebab ada orang hendak mencelakai kau!"

   "Siapa yang kau maksud?"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Kim-hun.

   "Jangan tanya dulu, turutilah kataku dan lekas lari, kalau terlambat tentu tidak keburu lagi,"

   Ujar Giok-kun dengan gelisah.

   "Terima kasih atas maksud baikmu, cuma aku takkan pergi dari sini,"

   Kata Kim-hun dengan tersenyum.

   Dalam hati ia pikir kalau yang dimaksud Hi Giok-kun adalah rencana Yim Thian-ngo yang hendak mencelakai dia itu, maka hal ini dia sendiri memang sudah mengetahuinya.

   Melihat sikap Kiong Kim-hun yang tenang-tenang itu, Giok-kun menjadi heran malah, ia pikir mungkin urusan terlalu mendadak timbulnya, pantas kalau orang tidak percaya kata-katanya.

   Mengingat keadaan sudah mendesak, dengan mengertak gigi akhirnya dia berkata dengan suara pedih.

   "Kiong-cici, orang yang bermaksud mencelakai kau ialah ialah Sin Liong-sing! Nah, sekarang kau paham tidak?"

   Setelah berkata, air matanya lantar bercucuran, namun perasaannya terasa rada lega malah.

   Baru sekarang Kiong Kim-hun paham duduknya perkara, kiranya yang dimaksud adalah suaminya, pantas dia minta aku menotoknya.

   Sesudah tercengang sejenak, kemudian ia berkata.

   "Hi-cici, demi menolong diriku kau tidak sayang melawan kehendak suami, sungguh aku sangat berterima kasih padamu. Namun aku tetap takkan pergi dari sini!"

   Giok-kun mengusap air matanya, katanya sambil mengerut kening.

   "Aku telah memberitahukan rahasiaku yang memalukan dan kau masih tetap tidak percaya padaku?"

   Kim-hun menghela napas, jawabnya.

   "Bukannya aku tidak percaya padamu, soalnya aku tidak sanggup keluar dari rumah keluarga Yim ini."

   "Sebab apa?"

   Tanya Giok-kun heran.

   "Di rumah ini penuh terpasang pesawat rahasia, di taman juga banyak perangkapnya, cara bagaimana aku sanggup keluar tanpa ada penunjuk jalan. Ya, kecuali Yim Hong-siau mau menolong kita."

   "Yim Thian-ngo adalah ayahnya, masakah dia mau membantu kau?"

   Ujar Giok-kun.

   "Justru lantaran keraguan itulah, maka aku tidak berani sembarang bertindak, kalau tidak, tentu sudah lama aku minta bantuannya."

   "Kalau begitu dia tak dapat kita harapkan lagi. Biarlah aku lari saja bersama kau. Betapa pun kau tidak dapat tertahan lebih lama di tempat berbahaya ini, biarlah kita menyerempet bahaya sedikit."

   "Tapi aku tak ingin membikin kalian suami-istri menjadi retak. Pula, kau juga tidak paham perangkap yang terpasang rapi di rumah ini, biarpun kita lari bersama juga sia-sia belaka."

   "Tentang suamiku itu, tidak kuinginkan lagi suami begitu,"

   Kata Giok- kun dengan kepala tertunduk. Sebenarnya sudah lama Kiong Kim-hun hendak berkata demikian kepada Giok-kun, kini Giok-kun sendiri yang mengatakannya, maka ia pun menambahkan.

   "Kalau kau sendiri tidak omong aku pun tidak berani menyinggungnya. Ada suatu hal aku merasa tidak paham, bukankah Sin Liong-sing adalah murid pewaris Bun-tayhiap? Mengapa dia bersekongkol dengan Yim Thian-ngo dan berniat mencelakai diriku?"

   "Dia tidak bersekongkol dengan Yim Thian-ngo, dia..... dia mempunyai rencana lain,"

   Kata Giok-kun.

   "Ai, sukar bagiku untuk menerangkan. Hanya saja dia pun tidak bermaksud mencelakai jiwamu, dia hanya ingin menawan kau untuk digunakan menukar bibinya yang kabarnya kini ditahan oleh ayahmu di Oh-hong-to."

   "O, kiranya begitu!"

   Kata Kim-hun, dalam hati ia tetap merasa heran.

   Bahwa ayah mengurung bibinya memang tidaklah layak.

   Tapi Sin Cap-si- koh terkenal sebagai gembong iblis golongan jahat, sekarang Sin Liong-sing hendak menawan aku untuk menukar bibinya itu, perbuatan demikian kan tidak pantas dilakukan oleh anak murid dari golongan Cing-pay? Tapi dari ucapan Hi Giok-kun tadi tampaknya Sin Liong-sing masih punya tujuan lain, tujuan lain apakah itu? Demikian pikirnya.

   Agar tidak terIalu membikin kikuk Giok-kun, Kiong Kim-hun tidak bertanya lebih lanjut, ia berkata pula.

   "Baiklah, jika kita berhasil lolos dari sini, mengingat kebaikanmu, aku pasti akan mohon kepada ayah agar suka membebaskan bibinya."

   "Tapi cara bagaimana kita dapat lolos dari sini?"

   Ujar Giok-kun dengan menyengir.

   "Kita dapat mencobanya,"

   Kata Kim-hun tiba-tiba.

   "Meski tidak pasti, tapi tampaknya Yim Hong-siau berbeda dengan ayahnya. Beberapa hari ini hubunganku dengan dia juga tambah erat, kalau kita bicara terus terang padanya mungkin saja dia mau menolong kita."

   "Tapi kalau dia menolak, tentu urusan akan tambah runyam,"

   Ujar Giok- kun.

   "Mengingat keadaan sudah kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa kita mencobanya."

   Dalam pada itu malam sudah larut, lilin di atas meja makin lama makin mengkerut, tunggu punya tunggu, namun Yim Hong-siau masih belum nampak muncul kembali.

   Kamar baca itu terletak di barat taman bunga, dari kamar tidur Yim Hong-siau menuju ke kamar baca itu harus melingkari dua buah bukit- bukitan dan menyusur sebuah jalanan taman.

   Di bawah sinar bulan yang remang-remang, ketika Yim Hong-siau menyusuri jalanan itu, tiba-tiba didengarnya ada suara orang bicara.

   "Kiranya Yan Ho dan Sin Liong-sing sedang bicara di sini, coba kudengarkan apa yang sedang mereka perbincangkan,"

   Demikian pikir Yim Hong-siau.

   "Sebentar biar kugoda mereka, mendadak aku melompat keluar untuk membikin kaget mereka."

   Saat itu Wan-yan Ho sedang menggunakan tipu akalnya untuk memancing Sin Liong-sing, mimpi pun dia tidak menduga di tengah malam Yim Hong-siau bisa datang ke situ.

   Waktu itu kebetulan dia sedang membeberkan asal-usul dirinya.

   Ketika Yim Hong-siau sampai di belakang bukit-bukitan itu, lebih dulu ia dengar suara tertawa Wan-yan Ho, lalu terdengar dia berkata.

   "Terus terang aku adalah pangeran kerajaan Kim, Wanyan Tiang-ci adalah ayahku."

   Mendengar beberapa kalimat itu, seketika Yim Hong-siau ternganga, hampir ia tidak percaya kepada pendengaran sendiri, akan tetapi jelas itu adalah suara Yan Ho, dia sendiri yang mengaku demikian.

   Hati Hong-siau memukul keras, sedapat mungkin ia menahan perasaannya agar tidak sampai bersuara.

   Tak terduga olehnya bahwa ada hal lain yang membuatnya terlebih kaget, yaitu ketika dia mendengar Wan-yan Ho berkata.

   "Ya, Yim-locianpwe juga kawan sehaluan kita, segala urusanku telah diketahui olehnya."

   Seketika kaki dan tangan Hong-siau menjadi dingin dan hampir jatuh pingsan.

   "Tidak, tidak mungkin, ayah pasti bukan manusia khianat begitu!"

   Demikian hati Hong-siau menjerit.

   Ayah adalah orang yang paling disayang dan dihormatinya, kini orang yang dihormatinya itu mendadak berubah menjadi serendah dan seburuk itu, ia merasakan ketakutan yang belum pernah terjadi selama hidup ini, ia pun tidak mau percaya bahwa apa yang didengarnya itu adalah hal yang sesungguhnya.

   Walaupun dalam hati ia menghibur diri sendiri agar jangan percaya kepada bualan orang, namun dalam lubuk hatinya ia merasa apa yang dikatakan Wan-yan Ho itu tentunya bukan omong kosong.

   Dalam keadaan bimbang itulah tiba-tiba teringat suatu hal olehnya.

   Ada seorang bernama Li Ji-koay, lagaknya tengik, biasanya dia benci pada Li Ji- koay ini, tapi ayahnya justru sering berhubungan dengan orang she Li yang busuk di kalangan Kang-ouw itu.

   Malam tadi ketika Sin Liong-sing sedang bicara dengan Wan-yan Ho di ruang tamu, Li Ji-koay datang pula menemui ayahnya.

   Kebetulan Hong-siau sendiri berlalu di kamar ayahnya dan mendadak pembicaraan kedua orang di dalam kamar terhenti.

   Hanya samar-samar terdengar olehnya mereka menyebut po-san apa, setelah direnungkan, tentu yang dimaksud adalah Hian-tiat-po-san.

   Sebelumnya Hong-siau tidak tahu Hian-tiat-po-san itu barang apa, kini dia sudah tahu payung pusaka itu adalah senjata andalan Kong-sun Bok.

   Jika begitu apa yang dibicarakan ayahnya dan Li Ji-koay kan ada hubungannya dengan Kong-sun Bok? Lalu terpikir pula.

   "Yan Ho adalah tamu, tentang pertemuan Sin Liong- sing dengan Kong-sun Bok di tengah jalan masakah begitu cepat diketahui olehnya, apa bukan Li Ji-koay yang menyampaikan berita itu kepada ayah dan ayah memberitahukan pula kepada Yan Ho?"

   Makin dipikir makin takut Yim Hong-siau, kalau benar ayahnya memang manusia khianat begitu, lantas bagaimana tindakanku? Dalam keadaan pikiran kacau, tiba-tiba teringat olehnya maksud mereka hendak mencelakai Kong-sun Bok, mendadak timbul semangat untuk menolong Kong-sun Bok, maka sekuatnya ia berusaha tenangkan pikirannya.

   Sementara itu Wan-yan Ho sedang berkata dengan tertawa.

   "Baiklah, sekarang kita boleh berangkat. Anak dungu itu mungkin sedang menunggu dengan gelisah. Ada suatu tempat yang paling cocok untuk turun tangan, yaitu....."

   Suara tindakan kedua orang semakin menjauh sehingga suara bicara mereka pun tak terdengar Iagi.

   Tanpa pikir lagi cepat Yim Hong-siau berlari kembali ke kamarnya sendiri.

   Saat itu Kiong Kim-hun dan Hi Giok-kun sedang menantikan kembalinya Yim Hong-siau dengan cemas.

   Tapi demi nampak Hong-siau sudah muncul, mau tak mau mereka terperanjat.

   Soalnya Hong-siau tidak dapat menahan guncangan perasaannya, maka begitu masuk kamar segera air matanya bercucuran.

   Tentu saja Giok-kun terkejut, dengan tertawa ia berkata.

   "Apakah Liong- yan-hiang itu tak bisa ditemukan? Kan soal kecil, tidak ketemu yang sudahlah!"

   "Bukan soal ini,"

   Jawab Hong-siang sambil menggeleng.

   "Habis ada urusan apa sehingga kau begini sedih? Adik yang baik, mengasolah sebentar, tenanglah dan coba katakan apa persoalannya?"

   Kim- hun menghiburnya sambil mengusap air mata di pipi Hong-siau.

   "Tidak, tidak, urusan tak dapat ditunda lagi,"

   Kata Hong-siau.

   "Kiong- cici, lekas engkau pergi dari sini, persoalannya akan kujelaskan kelak."

   Giok-kun dan Kim-hun menjadi girang dan kejut, sebenarnya mereka sedang ragu-ragu cara bagaimana akan membujuk Yim Hong-siau agar mau membantu mereka, siapa tahu begitu datang kembali Hong-siau lantas berkata sebagaimana diharapkan mereka itu.

   Dengan girang Kiong Kim-hun lantas menjawab.

   "Terus terang aku memang bermaksud pergi dari sini, tapi....."

   "Ya, aku tahu, kau tidak perlu kuatir, akan kuantar kau keluar dari sini,"

   Kata Hong-sian.

   "Hi-cici, engkau....."

   "Aku pun berangkat bersama kalian,"

   Jawab Giok-kun tegas.

   "Benar, suamimu itu sudahlah, tidak perlu kukatakan lagi, lekas kita berangkat!"

   Kata Hong-siau. Hati Giok-kun tergetar oleh ucapan Hong-siau itu, pikirnya.

   "Tampaknya dia telah mengetahui seluk-beluk diri Liong-sing?"

   Begitulah mereka bertiga lantas melarikan diri melalui taman bunga, sampai di atas gunung, Kim-hun lantas berkata.

   "Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu, sekarang kau boleh pulang saja!"

   "Tidak, aku takkan pulang,"

   Kata Hong-siau.

   "Tapi bagaimana dengan ayahmu, beliau takkan marah padamu?"

   Ujar Giok-kun.

   "Aku tak peduli dia akan marah atau tidak, yang jelas aku pun tidak ingin bertemu dia lagi,"

   Jawab Hong-siau.

   "Sebab apa?"

   Tanya Kim-hun terkejut.

   "Kong-sun Bok berada di dalam hutan sini, mereka hendak mencelakai dia, maka kita harus cepat menemukan Kongsun-toako,"

   Kata Hong-siau pula. Siapa yang termasuk dalam "mereka"

   Yang dikatakan Yim Hong-siau itu, tanpa dijelaskan Giok-kun dan Kim-hun pun sudah tahu sendiri.

   Dalam pada itu Kong-sun Bok sedang menunggu di dalam hutan, dia telah menyalakan seonggok api unggun.

   Sudah lewat tengah malam, ternyata Sin Liong-sing belum muncul, ia menjadi gelisah.

   Tiba-tiba terdengar suara daun kering berkeresekan, terlihat Sin Liong- sing muncul dan menyapa dengan tertawa.

   "Kongsun-toako, aku membawa kabar gembira bagimu!"

   "Kau telah bertemu dengan nona Kiong? Dapatkah kita menolong dia?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Kita tidak perlu susah-susah lagi, dia sudah keluar!"

   Kata Liong-sing. Kong-sun Bok melonjak bangun dengan gembira, cepat ia menegas.

   "Dia berada dimana sekarang?"

   "Sabar dulu!"

   Kata Liong-sing dengan tertawa.

   "Giok-kun telah berjanji dengan dia akan melarikan diri tengah malam ini, mereka akan menunggu di tepi sebuah sungai di barat hutan sana. Giok-kun suruh aku memberitahukan padamu."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sudah tentu Kong-sun Bok kegirangan sehingga dia tidak banyak pikir mengapa urusan bisa terjadi secara begitu cepat dan lancar. Segera ia berkata pula.

   "Terima kasih atas jerih-payahmu, Sin-heng. Baiklah kita lekas berangkat, harap engkau suka menjadi petunjuk jalan bagiku."

   Diam-diam Sin Liong-sin bersorak senang karena tipu muslihatnya akan berhasil. Katanya kemudian.

   "Lihatlah di sana itu kan ada hutan, di dalam hutan ada sebidang tanah kosong dan mereka sedang menunggu di sana. Marilah kita mengambil jalan memutar melalui sebelah sana!"

   Karena terburu napsu ingin cepat bertemu dengan Kiong Kim-hun, tanpa pikir Kong-sun Bok lantas mendahului jalan di depan.

   Tapi Sin Liong-sing sendiri juga sengaja jalan di belakang orang.

   Tanpa terasa mereka telah sampai di suatu tempat yang berbahaya, yaitu sebuah jalanan kecil di tepi tebing gunung.

   Batu pegunungan berlumut dan licin, di bawah tebing adalah jurang.

   Sesudah dekat dengan tebing yang terjal itu, hati Sing Liong-sing lantas berdebar keras, terngiang di telinganya apa yang dikatakan Wan-yan Ho tadi padanya.

   "Setiba di tepi jurang itu, dari belakang kau mendorong dia ke dalam jurang dan segala urusan menjadi beres."

   Betapa pun Sin Liong-sing telah sekian lama menjadi murid Bun Yat- hoan, jiwa kesatria yang ditanam sang guru padanya belum terlupakan seluruhnya.

   Maka setiba di tempat tujuan sekarang ia menjadi ragu-ragu, ia merasa terlalu keji mencelakai orang dengan cara serendah itu.

   Tapi lantas terpikir, olehnya.

   "Wan-yan Ho dan Yim Thian-ngo sudah berkomplot, andaikan. aku tidak melakukan apa yang dia rencanakan ini, mungkin Yim Thian-ngo juga takkan melepaskan diriku. Ai, kini aku menjadi serba susah, laksana orang sudah telanjur menunggang harimau, terpaksa harus kulakukan!"

   ERASA jalannya telalu cepat, sambil melambatkan langkahnya Kong-sun Bok berkata.

   "Hati-hati, Sin-heng, jalan berlumut dan licin!"

   Selagi dia merandek dengan maksud menunggu Sin Liong-sing, ternyata Sin Liong-sing sudah sampai di belakangnya dan menjawab.

   "Terima kasih atas perhatianmu, jalan pegunungan begini bagiku sudah biasa, tidak perlu Kongsun-heng kuatir." ~ Sambil bicara jari tengah mendadak menotok Hong-hu-hiat di punggung Kong-sun Bok. Hiat-to yang di arah ini adalah satu di antara ketigapuluh enam Hiat-to penting di tubuh manusia, bagi orang yang berilmu silat rendah, sekali kena tertotok bisa binasa seketika. Bagi orang yang berilmu silat tinggi, andaikan tidak mati juga seluruh badan akan kaku dan tak bisa berkutik. Begitulah maka Kong-sun Bok menjadi tergeliat dan sempoyongan, namun tidak sampai terjerumus ke dalam jurang. Karena kejadian yang mendadak ini, seketika dia belum jelas apa yang terjadi, dengan terkejut ia menoleh dan bertanya dengan bingung.

   "Apa yang kau lakukan, Sin- heng?"

   Kiranya pada detik terakhir tadi Sin Liong-sing tidak sampai hati mendorong Kong-sun Bok ke jurang, sebab itu dia hanya menotok Hiat-to maut di punggungnya.

   Ia menduga dengan ilmu silat Kong-sun Bok yang tinggi, totokannya itu tentu takkan membinasakan dia, akan tetapi tidak sukar kiranya untuk merobohkannya, dengan demikian ia pikir biar Wan- yan Ho yang turun tangan sendiri untuk membunuh Kong-sun Bok dan dia pun tidak perlu menanggung dosa terlalu besar.

   Tapi ketika dia menotok tadi, karena hatinya berdebar hebat, jarinya menjadi rada gemetar.

   Dengan tepat dia dapat menotok sasarannya, namun hasilnya tidak sebagaimana diharapkannya.

   Kong-sun Bok hanya sempoyongan saja untuk kemudian dapat berdiri tegak pula.

   Dan dengan bingung Kong-sun Bok, menoleh dan bertanya padanya.

   "Apa yang kau lakukan, Sin-heng!"

   

   Jilid 30 M Pada saat itu pula terdengar seorang menanggapi dengan mendengus.

   "Ya, aku pun ingin tanya begitu padamu, apa yang kau lakukan, Sin Liong- sing? Mengapa kau tidak membinasakan dia?"

   Yang bicara ini bukan lain daripada Wan-yan Ho yang sudah bersembunyi lebih dulu di atas tebing karang situ.

   Segera Wan-yan Ho melompat turun, tangan menghunus pedang terus menusuk ke dada Kong- sun Bok.

   Kong-sun Bok melengak oleh ucapan Wan-yan Ho itu, seketika ia tidak dapat mempercayai kenyataan itu.

   "Masakah Sin Liong-sing hendak membunuh aku?"

   Belum dia dapat berpikir lebih lanjut, tiba-tiba dada terasa dingin dan sakit.

   Kiranya pedang Wan-yan Ho telah merobek bajunya dan menggores suatu luka pada dadanya.

   Sebagai jago silat kelas wahid, bila menghadapi bahaya, secara otomatis timbul gerak kilat untuk mengelak serangan musuh.

   Justru pada saat pedang Wan-yan Ho itu akan menikam lebih dalam di dada Kong-sun Bok, cepat Kong-sun Bok menahan napas, dada mendekuk dan perut mengempis, kaki tidak bergeser, namun tubuh sudah mengerut beberapa senti ke belakang.

   Berbareng ia terus keluarkan ilmu Kim-na-jiu-hoat yang lihai, telapak tangan kiri menampar ke depan, tiga jari tangan kanan segera mencengkeram pergelangan tangan Wan-yan Ho yang memegang pedang itu.

   Tapi Wan-yan Ho juga sangat gesit, sekali menusuk tidak kena, ia menduga pihak lawan pasti akan balas menyerang, segera ujung pedangnya berputar untuk menusuk Ih-gi-hiat di bagian iga Kong-sun Bok.

   Namun pukulan Kong-sun Bok itu sukar dihindari, terpaksa ia gunakan tangan kiri untuk menangkis.

   "Plak", kedua tangan beradu, Kong-sun Bok tergentak mundur tiga tindak dan sempoyongan, sebelah kakinya telah menginjak di luar tebing. Sedangkan Wan-yan Ho juga tergetar mundur dua tindak, tangan kesemutan pula. Wan-yan Ho terkejut dan bergirang pula, yang mengejutkan dia adalah kelihaian Kong-sun Bok, sudah tertotok oleh Sin Liong-sing, tapi masih mempunyai kekuatan begitu hebat. Yang menggirangkan adalah kenyataan tenaga Kong-sun Bok jelas sudah berkurang juga. Segera Wan-yan Ho bersuit dan berseru.

   "Yim-losiansing, lekas kemari!"

   Ia berpaling dan membentak pula.

   "Sin Liong-sing, kenapa tidak lekas maju lagi!"

   Kong-sun Bok pentang payungnya dan kebetulan dapat memapak serangan Wan-yan Ho, pedang mengenai atap payung dan menerbitkan suara nyaring dan memercikkan lelatu api.

   Padahal pedang Wan-yan Ho itu adalah pedang pusaka yang maha tajam, namun payung Kong-sun Bok sedikit pun tidak tercidera, sebaliknya mata pedang malah tergumpil sedikit.

   Dengan memutar payungnya dapatlah Kong-sun Bok menggeser dan menjauhi tepi jurang yang curam itu.

   Dalam pada itu dengan cepat Sin Liong-sing juga telah menubruk maju dengan pedang terhunus.

   Tidak kepalang kaget Kong-sun Bok, teriakanya.

   "Sin Liong-sing, apakah kau tidak tahu siapa dia ini?"

   "Sudah tentu dia tahu!"

   Jengek Wan-yan Ho.

   "Kalau tidak, masakah dia membantu aku mengerubut kau? Hayolah Sin Liong-sing, mengapa tidak maju, seranglah dia!"

   "Kalau kau mengetahui siapa dia sebenarnya, sebagai murid pewaris Bun- tayhiap, mengapa kau bersekongkol dengan pangeran Kim untuk mencelakai aku?"

   Kata Kong-sun Bok. Sin Liong-sing mendahului menusuk satu kali dengan pedangnya, lalu menjawab.

   "Ayah mertuamu menawan dan mengurung bibiku, kau tahu tidak?"

   Dengan alasan ini dia merasa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, namun begitu dia tetap tidak berani menghadapi sinar mata Kong-sun Bok yang tajam.

   "Biarpun betul terjadi begitu, apa sangkut-pautnya dengan diriku tentang terkurungnya bibimu oleh Oh-hong-tocu?"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Kau kan menantunya, mengapa bilang tiada sangkut-pautnya?"

   Kata Sin Liong-sing. Kong-sun Bok jadi gusar, katanya.

   "Persetan! Percuma mengaku sebagai murid pewaris Bun-tayhiap. Bagaimana pun juga kau tidak pantas berusaha mencelakai aku, apalagi bersekongkol dengan musuh?"

   "Ha, ha, ha, darimana kau mendapat tahu kami adalah musuh, sudah lama kami berkawan,"

   Seru Wan-yan Ho dengan tertawa.

   "Tidak perlu banyak bicara, Kong-sun Bok, aku tidak membunuhmu tadi rasanya sudah cukup baik bagimu,"

   Kata Sin Liong-sing.

   Sebagai orang jujur, mau tak mau Kong-sun Bok harus mengaku kebenaran ucapan Sin Liong-sing itu, kalau mau, memang tadi dia dapat mendorongnya masuk ke jurang.

   Walaupun belum jelas mengapa Sin Liong- sing bersekongkol dengan Wan-yan Ho, tapi rasa gemasnya sudah berkurang beberapa bagian.

   Katanya kemudian.

   "Habis apa kehendakmu atas diriku?"

   "Aku ingin menukarkan dirimu dengan bibiku!"

   Kata Sin Liong-sing sambil melancarkan serangan pula, berbareng ia pun berkata dengan Wan- yan Ho.

   "Wanyan-kongcu, menurut pendapatku, biarlah kita tawan dia hidup-hidup saja. Kalau perlu boleh musnahkan ilmu silatnya dan mengurung dia di dalam penjara selamanya."

   Karena Yim Thian-ngo yang diharapkan membantunya masih belum nampak muncul, diam-diam Wan-yan Ho juga rada kuatir, terpaksa ia menjawab.

   "Baik, mengingat permintaanmu tadi, bolehlah dilakukan menurut usulmu. Nah, dengar tidak, Kong-sun Bok! Jiwamu dapat kami ampuni, jika ingin hidup lekaslah menyerah saja!"

   "Jika kalian mampu boleh bunuh saja aku!"

   Bentak Kong-sun Bok murka.

   "Kong-sun Bok adalah laki-laki sejati, mana sudi minta ampun kepada manusia kotor dan rendah macam kalian ini!"

   "Hah, Sin Liong-sing, dengar tidak?"

   Jengek Wan-yan Ho.

   "He, he, manusia kotor dan rendah, jadi termasuk kau, Sin Liong-sing. Nah, apa yang kau sangsikan lagi? Kalau kau tidak membunuh dia, biar kau yang terbunuh olehnya saja!"

   Pikiran Sin Liong-sing menjadi kacau, akhirnya ia menjadi nekat, segera ia menerjang ke arah Kong-sun Bok dengan kalap.

   Karena pengaruh tertotoknya tadi, betapa pun tenaga Kong-sun Bok rada terganggu, sebaliknya kepandaian Wan-yan Ho dan Sin Liong-sing berselisih tidak terlalu banyak dengan dia, dalam keadaan satu lawan dua, bagaimana pun juga Kong-sun Bok menjadi kerepotan, lama-lama dia merasa pasti akan kalah.

   Begitulah setelah belasan jurus lagi, tanpa terasa Kong-sun Bok terdesak mundur sampai di tepi jurang lagi.

   Sekuatnya Kong-sun Bok tancapkan kaki agar tidak terdesak mundur pula dan bertahan mati-matian.

   Pertarungan di tepi jurang sudah tentu jauh lebih berbahaya daripada pertandingan di tempat datar, terutama kedudukan Kong-sun Bok jelas di pihak yang tidak menguntungkan, asal kedua lawannya mendesak lebih kencang, tak usah disangsikan lagi dia pasti akan terjerumus ke dalam jurang dan tubuhnya akan hancur lebur.

   "Kong-sun Bok,"

   Seru Wan-yan Ho.

   "aku sudah terima usul Sin-siauhiap untuk mengampuni jiwamu, buat apa kau mengadu jiwa dan mati sia-sia?"

   Dalam hati Wan-yan Ho heran mengapa Yim Thian-ngo masih belum nampak muncul, kalau sampai Kong-sun Bok mengadu jiwa benar-benar sehingga kedua pihak sama-sama cidera, betapa pun hal ini bukan keinginannya.

   Ucapan Wan-yan Ho itu tidak digubris oleh Kong-sun Bok, ia mengertak gigi dan bertempur terus.

   Tekadnya cuma bertahan sekuatnya dan tidak boleh terbinasa, kalau dirinya mati berarti nona Kiong tak tertolong lagi.

   Karena tekad itulah sekuatnya dia tancapkan kaki di tepi jurang, Hian- tiat-po-san terpentang bagai perisai, seketika Wan-yan Ho dan Sin Liong-sing juga sukar lagi mendesaknya mundur.

   Dalam pada itu Yim Hong-siau sebagai penunjuk jalan diikuti oleh Kiong Kim-hun dan Hi Giok-kun telah kabur meninggalkan rumah keluarga Yim tanpa ketahuan siapa pun.

   Sudah tentu tindakan pertama dan yang paling penting bagi mereka ialah segera pergi menolong Kong-sun Bok.

   "Kudengar pembicaraan mereka, katanya Kongsun-toako telah berjanji dengan Sin Liong-sing untuk bertemu di hutan sini,"

   Kata Yim Hong-siau.

   "Ah, lihatlah, di sana seperti ada cahaya api."

   Mereka memburu ke tempat beradanya Kong-sun Bok itu, tapi Kong-sun Bok ternyata sudah pergi. Kiong Kim-hun menjadi gelisah dan kuatir. Hi Giok-kun coba mendengarkan sejenak, lalu berkata.

   "Ikutlah padaku, di sana seperti ada suara beradunya senjata, mungkin sekali mereka sedang bertempur di sana."

   Setelah menyusur ke sana, benar juga suara beradunya senjata itu semakin jelas. Dengan girang Kiong Kim-hun berkata.

   "Benar, itulah suara senjata biasa membentur pada payung pusaka Kongsun-toako."

   Ketika mereka mendekati ke atas, tiba-tiba seorang menegur.

   "Anak Siau, sudah jauh malam begini untuk apa kau membawa para tamu ke sini?"

   Di bawah cahaya bulan yang remang-remang, di lereng gunung muncul sesosok bayangan orang dan tepat menghadang di depan mereka.

   Orang ini bukan lain daripada Yim Thian-ngo adanya.

   Sekejap itu sungguh sukar dilukiskan kejut mereka.

   Setelah tenangkan diri, Yim Hong-siau lantas berseru.

   "Ayah, apakah engkau tahu kalau mereka hendak mencelakai Kong-sun Bok?"

   "Mereka? Siapa yang kau maksud?"

   Tanya Yim Thian-ngo.

   "Wan-yan Ho dan Sin Liong-sing!"

   Kata Hong-siau dengan mendongkol. Yim Thian-ngo terkejut, tapi ia berlagak belum paham dan bertanya pula.

   "Wan-yan Ho siapa?"

   "Ialah Yan-kongcu, Yan Ho, dia adalah pangeran kerajaan Kim,"

   Kata Hong-siau.

   "Ayah, engkau benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?"

   "Mana bisa jadi begitu?"

   Ujar Yim Thian-ngo dengan gelak tertawa.

   "Ah, jangan kau percaya omongan iseng orang lain."

   "Tapi..... tapi dengan telingaku sendiri kudengar percakapan mereka!"

   Kata Yim Hong-siau pula. Hi Giok-kun merasa ucapan Yim Thian-ngo yang bertele-tele itu agaknya sebagai siasat untuk mengulur waktu saja, maka ia lantas menimbrung.

   "Paman Yim, harap engkau suka memberi jalan, biar kami naik ke atas sana, benar atau tidak urusannya segera pasti akan menjadi jelas."

   "Ya, paman Yim, bukankah di atas sana ada suara orang sedang bertempur?"

   Kiong Kim-hun menambahkan. Kembali Yim Thian-ngo tertawa terkekeh, katanya.

   "Anak Siau, begitu baik Yan-kongcu padamu, masakah kau tidak percaya lagi kepadanya? Nona Hi, engkau juga terlalu, siapa pun boleh kau curigai, masakah suami sendiri juga kau curigai? Nah, hendaklah kalian pulang saja, jangan sampai membikin onar dan ditertawai orang. Apa yang terjadi di atas gunung biarlah aku memeriksanya ke sana."

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sambil berkata dia berbalik melangkah maju ke arah Yim Hong-siau bertiga.

   Air muka Kiong Kim-hun dan Hi Giok-kun berubah hebat, mereka sadar bila tidak menuruti kata-kata Yim Thian-ngo, jelas dia akan merintangi mereka dengan kekerasan.

   Mereka berdua menjadi serba susah, untuk bertempur agaknya tidak mampu mengalahkan Yim Thian-ngo, tapi untuk balik kembali rasanya mereka pun tidak rela.

   Agaknya tiada jalan lain kecuali melawannya mati-matian.

   Belum habis mereka berpikir, tiba-tiba terdengar Yim Thian-ngo berseru kaget.

   "He, anak Siau, apa yang kau lakukan?"

   "Ayah!"

   Yim Hong-siau berteriak.

   "Jika kau merintangi kami, terpaksa aku mati saja di depanmu sekarang juga!"

   Waktu Giok-kun menoleh, dilihatnya Yim Hong-siau memegang sebilah belati sedang mengancam pada leher sendiri.

   "He, Yim-cici, janganlah engkau berbuat demikian!"

   Seru Kim-hun.

   Tapi Giok-kun telah menyentuh tangannya agar dia tidak perlu mencegahnya.

   Tadi Yim Thian-ngo sudah mulai mendesak maju dan sekali cengkeram anak perempuannya hendak dipegang dahulu, tak terduga Hong-siau ternyata mendahului bertindak dengan mengancam jiwa sendiri untuk menggertak sang ayah.

   Yim Thian-ngo cukup kenal watak anak perempuan sendiri yang keras, bila dipaksa bukan mustahil Hong-siau akan membunuh diri sungguh- sungguh.

   Dalam keadaan demikian ia menjadi mati kutu, hendak merebut belati anak perempuannya terang juga tidak mungkin, terpaksa ia menjawab.

   "Baiklah, ada persoalan apa kau dapat bicarakan dengan ayah. Caramu ini kan membikin susah juga kepada Kiong-cici, hayolah lekas buang belatimu!"

   "Ayah dan aku pulang ke rumah, setiba di rumah segera kulempar belatiku ini!"

   Jawab Hong-siau tegas.

   "Baik, jika begitu kalian kembali bersama aku,"

   Kata Thian-ngo.

   "Tidak, hanya aku saja yang ikut pulang, engkau harus melepaskan mereka pergi!"

   Kata Hong-siau. Agar Kiong Kim-hun dapat menolong Kong- sun Bok, Yim Hong-siau sengaja mengemukakan syaratnya itu. Yim Thian-ngo menjadi ragu-ragu, pikirnya.

   "Mereka sudah tahu rahasia Wan-yan Ho, jika mereka dilepaskan, selanjutnya cara bagaimana aku dapat berkecimpung pula di dunia Kang-ouw? Tapi budak ini biasanya suka menuruti wataknya yang keras, kalau aku tidak menerima permintaannya, bukan mustahil dia akan membunuh diri sungguhan. Ai, dasar anak yang telanjur dimanjakan. Baik, biar aku membohongi dia supaya pulang lebih dulu, dengan kepandaian Wan-yan Ho dan Sin Liong-sing berdua rasanya cukup kuat untuk membereskan Kong-sun Bok. Setiba di rumah, setelah budak ini dibujuk hingga menurut, nanti aku dapat keluar lagi."

   Belum habis berpikir, tiba-tiba terdengar Hi Giok-kun dan Kiong Kim- hun menjerit berbareng, Yim Thian-ngo menjadi kaget tidak kepalang, cepat ia berseru.

   "Kupenuhi permintaanmu, anak Siau, jangan bodoh, lekas buang belatimu!"

   Tertampak Yim Hong-siau telah melompat mundur, bajunya yang putih sudah berlepotan darah.

   Rupanya Hong-siau dapat menerka jalan pikiran sang ayah, maka mendadak belatinya menggores di dada sendiri sehingga mengucurkan darah.

   Sebabnya dia melompat mundur ialah supaya Kiong Kim-hun dan Hi Giok-kun tidak sempat merintanginya.

   Sambil menjerit kaget tadi Giok-kun dan Kim-hun juga lantas memburu ke arah Yim Hong-siau, tapi Yim Thian-ngo ternyata lebih cepat daripada mereka, ia melayang ke samping anak perempuannya dan memayangnya, segera pula ia menotok Hiat-to di sekitar luka agar cucuran darah bisa mampet.

   Giok-kun dan Kim-hun saling pandang dengan terharu, sungguh tak tersangka bahwa jika Yim Hong-siau ternyata sekeras itu.

   Dengan air mata berlinang Kim-hun berkata.

   "Yim-cici, tindakanmu yang membela kami ini, sungguh aku sangat berterima kasih padamu!"

   Yim Thian-ngo melotot dan berkata.

   "Sudahlah, lekas enyah dari sini, tidak perlu berlagak kucing menangisi tikus!"

   Bibir Yim Hong-siau tampak bergerak dan mengeluarkan suara lemah.

   "Ya, lekas kalian pergi saja, Kongsun-toako sedang menunggu kalian. Ayah, jangan engkau memaki mereka, anak rela melakukan ini demi mereka, karena mereka sangat baik padaku. Kalau mau marah boleh ayah marah padaku saja."

   Luka Yim Hong-siau kesakitan, tapi hatinya sangat senang.

   Ia tahu sang ayah harus menolongnya, dalam keadaan begitu ayahnya pasti takkan meninggalkan dia untuk ikut membikin susah pada Kong-sun Bok.

   Sementara itu sudah sekian lamanya Kong-sun Bok bertempur sengit melawan Wan-yan Ho dan Sin Liong-sing di tepi jurang itu.

   Berkat payung pusakanya Kong-sun Bok dapat bertahan sekian lama, tapi keadaannya kini sudah payah, tenaga habis dan napas terengah-engah.

   "Ha, ha, Kong-sun Bok, lekas kau menyerah saja dan jiwamu masih dapat kuampuni!"

   Seru Wan-yan Ho dengan tertawa.

   Padahal ia sendiri pun merasa lemas setelah bertempur lama, andaikan Kong-sun Bok nanti dapat dibunuhnya, ia sendiri mungkin juga akan jatuh sakit berat.

   Kong-sun Bok tidak menanggapi olok-olok musuh itu, ia tetap bertempur mati-matian, tapi sedikit meleng saja telah memberi kesempatan kepada Sin Liong-sing untuk menyerangnya.

   Setelah bertempur sekian lama Sin Liong- sing juga sudah kalap, begitu pedangnya menusuk, tak terpikir lagi olehnya jiwa Kong-sun Bok akan melayang atau tidak.

   Tusukan itu ternyata tepat mengenai tangan Kong-sun Bok, malahan Wan-yan Ho terus membarengi serangan lain pula, kipas lempitnya lantas mengetuk pada tangan Kong-sun Bok yang sudah terluka itu.

   "Trang", tanpa kuasa lagi Hian-tiat-po-san terlepas dari tangan Kong-sun Bok. Dengan girang Wan-yan Ho melangkah maju, dengan ujung kaki ia bermaksud mencungkit payung pusaka itu untuk dirampasnya. Tapi Kong- sun Bok terlebih cepat daripada dia, satu kali langkah ia telah menginjak payung dengan kakinya, berbareng kepalan lantas menjotos. Dalam keadaan sudah terluka, ia menjadi murka seperti banteng ketaton, pukulannya itu dahsyat luar biasa. Pertarungan jarak dekat, betapa pun kedua pihak sama-sama tak bisa mengelak, sebisanya Wan-yan Ho mengegos, bahu kanan terkena pukulan, tapi dapat mengurangi sedikit tenaga pukulan lawan walaupun tetap kesakitan. Sedangkan lengan Kong-sun Bok kembali tergores luka oleh pinggiran kipas lempit lawan yang tajam itu, meski bertambah lukanya, tapi sedikit pun tak dirasakannya lagi. Melihat lawannya sudah kalap, Wan-yan Ho menjadi jeri, lekas ia berseru.

   "Sin-toako, lekas bereskan dia!"

   Sin Liong-sing rada tertegun setelah melukai Kong-sun Bok, tapi mendengar suara Wan-yan Ho itu, kembali pedangnya berputar lagi terus menikam ke punggung Kong-sun Bok.

   Saat itu Hi Giok-kun dan Kiong Kim-hun kebetulan memburu tiba dan tepat menyaksikan adegan demikian itu.

   Dengan terkejut Kiong Kim-hun lantas berteriak.

   "Awas, Kongsun-toako, serangan dari belakang!"

   Hi Giok-kun juga menjerit.

   "Jangan begitu, Liong-sing!"

   Munculnya mereka secara mendadak, mau tak mau membuat Kong-sun Bok dan Sin Liong-sing sama-sama tergetar, cuma berbeda perasaan.

   Bahwasanya orang yang paling dipikir dan dikenangkan Kong-sun Bok adalah Kiong Kim-hun, kini si nona muncul mendadak, tentu saja semangatnya terbangkit seketika, segera ia ayun kepalan kanan untuk melayani Wan-yan Ho, menyusul kepalan kiri juga menghantam Sin Liong- sing.

   Sedangkan Sin Liong-sing menjadi bingung dan gugup melihat datangnya sang isteri.

   Dalam keadaan itu tikaman pedangnya tadi menjadi melenceng dan terhindarlah Kong-sun Bok dari renggutan elmaut.

   Walaupun pukulan Kong-sun Bok juga tidak tepat mengenai Sin Liong- sing, tapi tergetar oleh tenaga pukulannya, tanpa kuasa Sin Liong-sing tergentak mundur ke belakang.

   Lantaran sedang bingung, ia tidak mengira kalau tempat berpijaknya itu adalah di tepi jurang, ketika dia melangkah mundur, terasalah menginjak tempat kosong, tanpa ampun lagi ia terjerumus ke dalam jurang.

   Saking kagetnya sampai mulut Hi Giok-kun ternganga, sampai sekian lama dia baru dapat menjerit, cepat ia memburu maju.

   Maklumlah, betapa pun dia dan Sin Liong-sing adalah suami-isteri, dia tidak menghendaki sang suami membunuh Kong-sun Bok, ia pun terlebih tidak tega menyaksikan jiwa suami sendiri tewas begitu saja.

   Sudah tentu Wan-yan Ho juga tidak kepalang terkejutnya, hilangnya pembantu utama itu membikin dia tambah kelabakan, ia tidak berani bertempur lebih lama lagi, segera ia putar tubuh dan angkat langkah seribu alias kabur.

   Karena tangannya terluka dan darah bercucuran sekian lama, kini musuh sudah lari barulah Kong-sun Bok merasakan parahnya luka di tangan, ia merasa lemas dan jatuh terduduk.

   "Engkoh Bok, kita bertemu lagi, giranglah engkau?"

   Seru Kim-hun untuk menghibur sembari berusaha membubuhi obat dan membalut luka di tangan Kong-sun Bok.

   Giok-kun masih berdiri termangu di tepi jurang sambil memandangi jurang yang dalam itu, air mata berlinang-linang, ingin menangis tapi tak dapat mengeluarkan suara, hancur luluh hatinya.

   Melihat betapa berdukanya Hi Giok-kun, Kiong Kim-hun ikut sedih, tapi ia tidak tahu cara bagaimana menghiburnya.

   Sejenak kemudian Kong-sun Bok dapatlah berdiri, ia mendekati Giok- kun dan berkata dengan suara halus.

   "Nona Hi, aku tidak berani mohon pengampunanmu, hanya aku ingin menjelaskan bahwa sama sekali aku tidak sengaja mencelakai suamimu."

   "Aku tahu,"

   Kata Giok-kun.

   "dia bersalah, kematiannya sesuai dengan dosanya. Yang harus mohon diampuni adalah diriku." ~ Habis berkata, tak tahan lagi air matanya bercucuran, kini barulah dia dapat menangis. Diam-diam Kiong Kim-hun membatin buat apa Giok-kun berduka bagi seorang yang tidak ada harganya untuk didukai? Padahal, daripada dikatakan Giok-kun berduka bagi kematian suaminya, adalah lebih tepat dikatakan dia berduka bagi dirinya sendiri. Kalau saja dia tidak punya ambisi ingin menjadi isteri calon Bu-lim-beng-cu tentu takkan tertimpa nasib demikian. Jadi omelannya terhadap sang suami boleh dikata pula dia sedang mengomeli dirinya sendiri. Begitulah Kiong Kim-hun lantas menarik Hi Giok-kun menjauhi tepian jurang itu. Tiba-tiba hatinya tergerak, ia tanya Kong-sun Bok.

   "Ketika Sin- toako terjerumus ke bawah tadi, apakah kau mendengar jeritannya?"

   "Benar!"

   Kong-sun Bok.

   "Marilah kita turun ke sana untuk memeriksanya, tenaga dalam Sin-toako sangat hebat, bukan mustahil dia tidak sampai tewas."

   "Tapi biarpun dia masih hidup aku pun tidak..... tidak....."

   Tidak apa, sukar untuk diucapkan oleh Giok-kun, hanya air mata saja yang masih berlinang.

   "Tidak, keburukan Sin-toako belum sampai yang sukar diperbaiki lagi, tadi dia sebenarnya dapat mendorong aku ke dalam jurang, tapi hal ini tidak dilakukannya,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Kejadian ini hanya salah pikirnya seketika saja. Apabila dia cuma terluka, kita dapat menyembuhkan dia, setelah mengalami peristiwa ini kuyakin dia akan kembali ke jalan yang benar."

   "Kongsun-toako, sungguh di dunia ini jarang terdapat orang yang baik hati seperti engkau,"

   Kata Giok-kun dengan menghela napas.

   "Ai, baiklah, jelek-jelek aku dan dia adalah suami-isteri, andaikan dia sudah mati adalah pantas kalau kubereskan mayatnya."

   Kong-sun Bok sudah mulai pulih tenaganya, dengan bergandengan tangan bersama Kiong Kim-hun mereka lantas turun ke bawah.

   Tapi aneh sekali, meski mereka sudah memeriksa dan mencari seluruh pelosok dasar jurang itu, Sin Liong-sing ternyata tidak dapat diketemukan.

   "Bisa jadi dia cuma terluka ringan dan sudah pergi dari sini,"

   Ujar Kong- sun Bok. Giok-kun menggeleng, katanya.

   "Tidak mungkin, kecuali dia memiliki lwekang sehebat kakekmu, kalau tidak, mustahil dia takkan mati jatuh ke dalam jurang securam itu. Kukira mayatnya mungkin telah dimakan binatang buas. Sekali pun dia masih hidup, di dalam hatiku dia juga sudah mati. Kongsun-toako dan adik Kim-hun, aku hanya ingin mohon sesuatu kepada kalian."

   "Engkau telah banyak membantu kami, untuk ini aku pun belum berterima kasih padamu, mengapa kau pakai memohon apa segala kepadaku, ada urusan apa silakan bicara saja,"

   Ujar Kim-hun. Setelah mengusap air matanya barulah Giok-kun berkata.

   "Dia berdosa, biarpun mati juga pantas. Cuma apa pun juga aku telah menjadi suami-isteri dengan dia, maka mohon kalian mengingat atas diriku sudilah memberi sedikit bantuan, agar setelah dia mati tidak lagi dicemooh dan dicaci-maki orang."

   Kim-hun cukup cerdik, segera ia paham maksud Giok-kun, jawabnya.

   "Jangan kuatir, Hi-cici, kami pasti takkan menyiarkan apa yang terjadi ini."

   "Disiarkannya tidak soal, hanya mohon kalian suka menutupi sebab- sebab kematiannya,"

   Kata Giok-kun.

   "Baiklah, akan kukatakan dia disergap oleh Wan-yan Ho dan meninggal terjatuh di dalam jurang,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Benar, boleh kita katakan demikian,"

   Seru Kim-hun.

   "Jika dia masih hidup, dia akan dihormati pula."

   "Mana mungkin dia masih hidup?"

   Ujar Giok-kun dengan tersenyum getir.

   "Bila dia ada harapan hidup tentu aku tak berani mohon kalian menutupi kesalahannya."

   Untuk sejenak Kiong Kim-hun termenung, ia pikir walaupun cinta Hi Giok-kun tidak teguh, tapi dia adalah isteri yang baik bagi Sin Liong-sing. Perlahan ia pegang tangan Giok-kun yang rada gemetar itu, katanya.

   "Hi-cici, marilah kita pergi saja, engkau hendak kemana?"

   Giok-kun merasa bingung, jawabnya kemudian.

   "Entah, aku pun tidak tahu akan kemana."

   "Hi-cici, apakah engkau mau ikut kami ke Kim-keh-nia saja?"

   Tanya Kim- hun.

   "Benar, aku pun hendak menuju ke Kim-keh-nia untuk melaporkan keadaan,"

   Seru Kong-sun Bok.

   "Jika engkau mau ke sana bersama kami, kukira jalan inilah yang paling baik. Kukira saat ini Han-cici juga berada di sana."

   Lantaran tahu Giok-kun adalah sahabat baik Han Pwe-eng, makanya dia berkata demikian.

   Tak tahunya disebutnya Han Pwe-eng malahan membikin Hi Giok-kun menjadi berduka pula.

   Segera ia teringat kepada Kok Siau- hong, hatinya menjadi pedih seperti disayat, ia merasa malu untuk bertemu dengan mereka.

   Maka dengan menahan perasaannya, kemudian ia menjawab.

   "Terima kasih atas maksud baik kalian. Tapi kupikir akan pulang ke rumah dahulu."

   Kiong Kim-hun dapat meraba perasaan orang, ia pikir orang sedang sedih, tidak enak untuk membicarakan urusan lain. Maka ia pun berkata.

   "Baik juga, engkau boleh istirahat di rumah, setelah kami menyelesaikan urusan segera kami akan menjenguk kau."

   Begitulah mereka lantas meninggalkan pegunungan itu dan berpisah menuju ke arah masing-masing.

   Kong-sun Bok jalan bersama Kiong Kim- hun dan menyaksikan bayangan Hi Giok-kun menghilang di jurusan sana, diam-diam mereka gegetun bagi nasib kawannya yang malang itu.

   Tapi ada satu hal ternyata sama sekali di luar dugaan mereka.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Yaitu tentang mati-hidupnya Sin Liong-sing.

   Terjatuh ke dalam jurang yang begitu curam, tidak hanya Hi Giok-kun mengira Sin Liong-sing pasti sudah mati, bahkan Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun tidak pernah membayangkan kemungkinan selamatnya pemuda tak berbudi itu, hanya mayatnya tidak diketemukan, maka mereka berusaha menghibur Hi Giok-kun saja.

   Tapi di luar dugaan mereka, Sin Liong-sing sesungguhnya memang tidak mati.

   Ketika terjerumus ke dalam jurang, Sin Liong-sing sendiri juga merasa dirinya pasti mati, maka ia telah pejamkan mata untuk menanti ajal.

   Pada saat menghadapi ajalnya, tanpa terasa timbul rasa menyesalnya.

   Pada saat lain, mendadak "krak", kepala dan anggota badan lain merasa kesakitan seperti tertusuk benda tajam.

   Kiranya secara kebetulan sekali dia terjatuh di atas batang pohon cemara yang tumbuh di celah-celah karang tebing dan mencuat keluar, lantaran duri cemara itu cukup tajam sehingga sekujur badannya tertusuk dan berdarah.

   Merasa ada harapan menyelamatkan diri, lekas Sin Liong-sing memegangi dahan pohon, tapi karena tergesa dan terlalu keras menggunakan tenaga.

   "krak", dahan pohon yang dipeganginya mendadak patah, harapannya kembali musnah, tubuhnya terjerumus lagi ke bawah. Sekali ini Sin Liong-sing tidak berani mengharapkan akan hidup lagi, pandangannya menjadi gelap, kedua tangan meraup-raup sekenanya. Pada detik yang gawat itulah, mendadak terasa angin menyambar tiba dari depan, samar-samar Sin Liong-sing melihat sejenis makhluk yang berbulu tebal dengan tubuh menyerupai manusia mendadak menubruk ke arahnya, pada detik lain ia pun tidak sadarkan diri lagi. Entah sudah lewat berapa lamanya, perlahan Sin Liong-sing siuman kembali, sebelum dia membuka mata, sayup-sayup terdengar orang tua berkata di sampingnya.

   "Syukur Tay Wi menubruk maju tepat pada waktunya, pula lwekang orang ini cukup kuat, tampaknya jiwanya tidak perlu dikuatirkan lagi."

   Lalu suara nyaring seorang wanita muda menanggapi.

   "Darimana engkau mengetahui dia memiliki lwekang yang kuat, ayah?"

   Diam-diam Sin Liong-sing membatin.

   "Agaknya ayah dan anak, entah mereka ini orang macam apa, jika begundalnya Yim Thian-ngo tentu aku bisa celaka."

   "Entah mengapa dia terjerumus ke bawah sini, mungkinkah anak buah Yim Thian-ngo yang mencelakai dia? Dari dandanannya yang perlente ini bisa jadi ia adalah putera keluarga hartawan. Kabarnya sebagian anak buah Yim Thian-ngo berasal dari kalangan bandit, bukan mustahil mereka telah merampok dan membunuhnya."

   "Itupun bisa jadi,"

   Kata si orang tua.

   "Meski kita tidak takut kepada Yim Thian-ngo, tapi lebih baik kita tidak usah cekcok dengan dia. Makanya kau harus tutup mulut dan jangan sekali-kali membicarakan kejadian ini dengan orang luar."

   Lalu terdengar si nona itu mengiakan.

   Sin Liong-sing bergirang di dalam hati sebab jelas kedua orang ini bukanlah begundal Yim Thian-ngo, dari nada pembicaraan mereka malahan seperti tokoh angkatan tua dari dunia persilatan dan disegani oleh Yim Thian-ngo.

   Maka legalah hati Sin Liong-sing.

   Tapi habis itu segera teringat pula sesuatu persoalan sulit baginya, kembali hatinya berdebar-debar.

   "Eh, ayah, tampaknya dia sudah siuman!"

   Tiba-tiba terdengar si nona tadi berseru.

   Waktu Sin Liong-sing membuka matanya, ia mendapatkan dirinya berbaring di atas balai-balai dan seorang kakek berjenggot putih berdiri di depannya, di samping si kakek berdiri pula seorang nona berusia enambelas- tujuhbelas tahun dengan dandanan yang sederhana, tapi cantik sekali.

   "Terima kasih banyak atas pertolongan bapak,"

   Kata Sin Liong-sing dan segera bermaksud berbangkit. Tapi si kakek telah menahannya agar berbaring saja, katanya.

   "Lukamu cukup parah, maka jangan banyak bergerak, kelak kalau sudah sembuh masih sempat mengucap terima kasih padaku."

   Waktu hendak berbangkit Sin Liong-sing merasakan seluruh badan memang sangat sakit, tulang seperti retak, tapi aneh juga, hanya sedikit dipegang oleh tangan si kakek, seketika ia merasa suatu arus hawa hangat mengalir ke dalam tubuhnya, rasanya sangat enak, rasa sakit pun banyak berkurang.

   Kejut dan girang Sin Liong-sing, ia yakin lwekang si kakek pasti sangat tinggi, mungkin lebih hebat daripada guruku.

   Demikian pikirnya.

   "Apa sudah lebih segar?"

   Tanya si kakek kemudian.

   "Ya, banyak lebih segar, terima kasih atas pertolonganmu,"

   Jawab Liong- sing. Si nona tadi mengikik tawa, katanya.

   "Kau ini ternyata suka banyak adat, baru siuman sebentar sudah berapa kali mengucap terima kasih kepada ayah."

   "Yang harus kau terima kasihi adalah budakku ini, dia yang menyelamatkan jiwamu,"

   Kata si kakek dengan tertawa.

   "O, terima kasih atas budi pertolonganmu, nona,"

   Cepat Liong-sing berkata. Kembali si nona tertawa, katanya.

   "Terima kasih lagi! Aku tidak biasa bicara lembut, biar aku katakan terus-terang, yang menyelamatkan jiwamu sebenarnya juga bukan aku, tapi ialah Tay Wi."

   "Tay Wi siapa?"

   Liong-sing menegas. Si nona tidak menjawab, tapi ia dekap bibir dan bersuit, segera muncul dua ekor orang hutan yang besar, tingginya hampir menyerupai manusia.

   "Inilah Tay Wi (Wi besar) yang menyelamatkan jiwamu,"

   Si nona menunjuk orang hutan yang agak besaran.

   "Dan yang kecil itu adalah adiknya, Siau Wi (Wi cilik). Agaknya memang belum tiba ajalmu, ketika kau jatuh ke bawah, kebetulan aku dan Tay Wi sedang mencari daun obat-obatan di lereng gunung, untung pohon cemara itu telah menahan jerumusmu sehingga Tay Wi sempat memburu ke sana untuk menolong kau. Siapa namamu, mengapa kau terjatuh dari jurang securam itu?"

   


Bara Naga Karya Yin Yong Bara Naga Karya Yin Yong Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung

Cari Blog Ini