Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 29


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 29



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Beginilah pendapatmu, Ong Ce-cu, tapi entah bagaimana dengan pandangan nona Hi?"

   Sela Sun Cu-kiok dengan tertawa.

   "Ya, apabila dia dapat berpikir panjang, dia toh belum punya anak, sebenarnya tidak perlu menjanda buat selamanya,"

   Kata Ong Ih-ting.

   "Eh, agaknya Ong Ce-cu ada maksud menjadi comblang baginya?"

   Ujar Lau Keng dengan tertawa.

   "Ah, rasanya terlalu cepat membicarakan hal ini walaupun aku memang mempunyai maksud demikian,"

   Jawab Ong Ih-ting dengan tersenyum. Sin Liong-sing cukup cerdik, sudah tentu ia dapat menangkap maksud di balik ucapan Ong Ih-ting itu. Ia merasa geli dan pilu pula, pikirnya.

   "Memangnya aku adalah suaminya, tapi kau hendak menjadikan aku sebagai suaminya pula yang kedua, sungguh lelucon yang maha besar."

   Melihat Sin Liong-sing diam saja dan tampaknya agak letih, Ong Ih-ting tersadar dan cepat berkata.

   "Ya, Liong-heng memang harus istirahat dulu. Setelah penyakitmu sembuh nanti kita bicara lebih banyak lagi."

   Tabib sakti Ong memang tidak bernama kosong sebagai "Say-hoa-to" (Hoa To kedua, Hoa To adalah tabib sakti di zaman Sam-kok yang mengoperasi dan menyembuhkan lengan Kwan Kong yang terluka oleh panah beracun).

   Hanya beberapa hari saja luka luar Sin Liong-sing sudah dapat disembuhkan, luka dalam juga sudah sembuh enam-tujuh bagian.

   Pada hari itu Ong-tayhu berkata kepada Liong-sing.

   "Apakah engkau merasa sudah cukup kuat untuk berlatih lwekang, Liong-heng?"

   "Untuk ini memangnya Wanpwe ingin minta petunjuk kepada Ong- locianpwe,"

   Jawab Liong-sing.

   "Soalnya aku tahu lwekang yang kulatih ini akan merugikan kesehatanku, tapi setelah badan rada sehat, rasanya tidak enak kalau tidak melatihnya. Lantas bagaimana baiknya?"

   "Lwekang yang sudah merasuk tulang seperti candu ini memang tak bisa tidak harus terus melatihnya,"

   Ujar Ong-tayhu.

   "Tetapi aku akan berdaya menolong kau untuk menghilangkan bahayanya, asal kau cukup sabar dan telaten, aku akan mengajarkan pula cara penyembuhan diri menurut ilmu pengobatan ditambah lagi ilmu tusuk jarum, kalau saja kau dapat meyakinkannya dengan baik, maka lwekang ajaran Ki We itu takkan membawa celaka bagimu, sebaliknya malah akan dapat digunakan sesukamu."

   Tentu saja Sin Liong-sing sangat girang, jika benar lwekang ajaran Ki We itu kelak dapat dipergunakan, bukankah kepandaiannya akan terlebih kuat daripada Ubun Tiong? Begitulah Sin Liong-sing lantas tetirah di tempat Ong Ih-ting dengan tenteram.

   Tanpa terasa sebulan sudah berlalu, luka luar dalam kini sudah sembuh.

   Setiap hari Ong-tayhu memberi tusuk jarum tiga kali dan setiap hari pula ia berlatih lwekang menurut petunjuk tabib sakti itu.

   Benar juga, tanpa minum obat pemberian Ki We itu, ketika tiba pada akhir bulan toh tidak terasa menderita sakit lagi.

   Selama masa tetirah itu sedapatnya dia menghindari bertemu dengan Ong Ih-ting agar rahasia dirinya tidak ketahuan.

   Lantaran kesibukan pekerjaannya sebagai pemimpin besar ketujuhpuluh dua gerombolan bajak Thay-ouw, Ong Ih-ting sendiri juga makin jarang menemui Sin Liong-sing.

   Pada suatu hari, selesai Sin Liong-sing berlatih dan terasa semangat jauh lebih segar daripada dahulu, diam-diam ia merasa sudah waktunya untuk mencari alasan buat meninggalkan Thay-ouw.

   Tiba-tiba datang seorang pesuruh menyampaikan undangan Ong Ih-ting, katanya ada tamu ingin bertemu.

   Tentu saja Sin Liong-sing kebat-kebit sebelum mengetahui siapa tamu yang dimaksud.

   Terpaksa ia menuju ke ruang tamu di pendopo.

   Sebelum dia melangkah masuk ruangan besar itu, lebih dulu ia mendengar suara Ong Ih-ting sedang berkata.

   "Sungguh tidak nyana Ubun Tiong muncul lagi di Kang-ouw, apakah kau bertemu dengan dia?"

   Lalu suara seorang yang belum dikenal menjawab.

   "Aku tidak bertemu dia, tapi kawan kita ada yang melihatnya."

   Sin Liong-sing terkejut, ia pikir bukankah yang dimaksud adalah diriku? Waktu ia melangkah masuk ruang tamu, terlihat Ong Ih-ting didampingi Sun Cu-kiok dan Lau Keng sedang bicara dengan seorang tua beruban yang belum dikenalnya.

   Segera Ong Ih-ting memperkenalkan mereka.

   Kiranya kakek itu bernama Han Seng-tik, termasuk salah seorang Ce-cu di bawah Ong Ih-ting, tapi usianya paling tua di antara ketujuhpuluh dua Ce-cu.

   Waktu Sin Liong-sing datang, Han Seng-tik masih berada di Yang-ciu, maka belum saling kenal.

   Dengan tertawa Han Seng-tik lantas berkata.

   "Liong-heng, sebenarnya kita sudah pernah bertemu."

   "Apa betul, tapi aku tidak ingat lagi?"

   Ujar Sin Liong-sing dengan melenggong.

   "Waktu geger di Yang-ciu aku pun berada di sana, lantaran urusan belum selesai, maka aku tinggal lebih lama dan baru pulang sekarang,"

   Kata Han Seng-tik.

   "Kami baru saja membicarakan Ubun Tiong, apakah Liong-heng kenal orang itu?"

   Tanya Ong Ih-ting.

   "Pengalaman Wanpwe terlalu cetek, nama ini belum pernah kudengar,"

   Jawab Sin Liong-sing.

   "Dan bagaimana dengan Ki We? Pernah kau dengar atau kenal?"

   Tanya pula Ong Ih-ting. Perasaan Sin Liong-sing menjadi tidak enak, terpaksa ia menjawab.

   "Mengenai gembong iblis itu aku malah pernah mendengar dari Ong- tayhu."

   "Usia Ubun Tiong belum tua, rasanya tidak lebih dari limapuluh tahun,"

   Tutur Ong Ih-ting pula.

   "Cuma dia satu tingkatan dengan Ki We, dia juga terkenal sebagai gembong iblis yang sangat lihai. Dan Ki We menghilang dari dunia Kang-ouw pada waktu yang hampir sama, pantaslah kalau kau tidak tahu akan dia."

   "Sebenarnya Ubun Tiong tak dapat dipersamakan dengan Ki We,"

   Ujar Han Seng-tik.

   "Meski Ki We juga berbuat jahat, tapi dia bukan antek musuh negara, dia hanya dapat digolongkan tokoh yang berdiri antara baik dan jahat. Sedangkan Ubun Tiong pernah menjabat pembantu utama Gak Liang-cun dan entah sebab apa kemudian meninggalkannya. Kini dia muncul kembali, mungkin dia telah mendapatkan Cukong yang kedudukannya lebih kuat daripada Gak Liang-cun."

   "Ya, tadi kau mengatakan ada kawan kita yang melihat Ubun Tiong?"

   Kata Ong Ih-ting.

   "Benar, mereka ialah Ku Tay-beng yang kini telah menjadi Tosu dengan gelar agama It-beng Tojin, seorang lagi adalah Ting Pek-keng, kini telah menjadi Hwesio dengan nama agama Pek-hwe Taysu,"

   Tutur lan Seng-tik. Baru sekarang Sin Liong-sing mengetahui "kawan kita"

   Yang dikatakan Han Seng-tik tadi adalah Tosu dan Hwesio itu. Diam-diam ia membatin.

   "Tosu itu telah berjanji padaku akan merahasiakan kejadian tempo hari itu, entah dia dapat pegang janji atau tidak?"

   "It-beng dan Pek-hwe bermusuhan dengan Ubun Tiong sejak duapuluh tahun yang lalu berhubung saudara angkat mereka terbunuh olehnya,"

   Tutur Han Seng-tik.

   "Sekali ini Ubun Tiong dapat mereka ketemukan di suatu lembah pegunungan di luar kota Yang-ciu. Dalam pertarungan maut itu hampir saja jiwa Pek-hwe Hwesio melayang, It-beng Tojin juga terluka parah. Waktu aku bertemu mereka keadaan Pek-hwe tampak payah dan berjalan pincang."

   "Aneh juga, setahuku kepandaian mereka tidaklah lemah, seorang lawan seorang saja selisih tidak banyak, masakah mereka berdua malah kecundang di tangan Ubun Tiong?"

   Ujar Ong Ih-ting.

   "Barangkali Ubun Tiong juga ada pembantu?"

   Kata Sun Cu-kiok. Sin Liong-sing menjadi tegang, ia kuatir bisa jadi Pek-hwe Hwesio akan membongkar apa yang terjadi tempo hari itu. Tapi Han Seng-tik telah berkata.

   "Ya, aku pun berpikir demikian, namun menurut cerita It-beng Tojin, katanya kekalahan mereka itu disebabkan mereka terjebak oleh akal licik Ubun Tiong sehingga berakhir dengan kedua pihak sama-sama terluka parah. Tapi menurut pikiranku, rasanya keterangan It-beng Tojin itu harus diragukan. Tadi kukatakan bisa jadi Ubun Tiong telah mendapatkan Cukong yang berkedudukan lebih tinggi daripada Gak Liang-cun, yang dimaksudkan adalah Wan-yan Ho, putera Wanyan Tiang-ci dari kerajaan Kim. Tadinya kukira Ubun Tiong tidak mendapatkan bantuan dari Cukong baru itu ketika menghadapi It-beng berdua. Hanya dari sikap It-beng dan Pek-hwe, aku merasa di balik persoalan mereka itu masih tersembunyi sesuatu rahasia yang tak mereka katakan padaku. Agar persoalan ini bisa menjadi jelas, baiklah kita menunggu kedatangan It-beng dan Pek-hwe yang telah berjanji akan berkunjung ke sini."

   Diam-diam Sin Liong-sing berpikir sudah waktunya harus meninggalkan Thay-ouw, beberapa hari lagi sudah akan genap empatpuluh sembilan hari menurut ketentuan tabib Ong, semoga saja Tosu dan Hwesio itu tidak keburu datang dan dirinya akan segera berangkat lebih dulu.

   Tak terduga, tiba-tiba terdengar suara meraungnya suara terompet tiga kali, terdengar Han Seng-tik berseru.

   "Aha, ada tamu lagi!"

   "Ya, yang datang ini mungkin bukan tamu biasa,"

   Ujar Ong Ih-ting dengan tertawa.

   Kiranya tiga kali suara terompet itu adalah tanda lapor kepada Cong-cecu agar siap menyambut tamu.

   Bahwa Ong Ih-ting harus menyambut tamu sendiri, maka jelas tamu yang datang bukanlah orang biasa.

   Sin Liong-sing menjadi kuatir kalau yang datang adalah It-beng Tojin dan Pek-hwe Hwesio.

   Segera ia berbangkit hendak mohon diri untuk kembali ke kamarnya.

   Tapi Ong Ih-ting telah menahannya dan berkata.

   "Tunggu saja di sini, bilamana aku tidak salah duga, tamu ini mungkin kau pun kenal."

   Tentu saja Sin Liong-sing tambah kaget, tapi tuan rumah berkata demikian, terpaksa ia tak bisa berbuat lain agar tidak menimbulkan curiga orang.

   Di tengah rasa kebat-kebit Sin Liong-sing, tidak lama kemudian tamu telah disongsong datang.

   Kiranya adalah Kok Siau-hong.

   "Nah, kalian sebelumnya sudah kenal bukan?"

   Demikian Ong Ih-ting lantas menghadapkan Kok Siau-hong kepada Sin Liong-sing.

   "Benar, kami pernah bertemu di Yang-ciu,"

   Kata Siau-hong.

   "Liong-heng, tempo hari engkau terluka, kami ikut berkuatir, tentunya sekarang sudah sembuh bukan?"

   Meski Sin Liong-sing merasa sirik kepada Kok Siau-hong, tapi terpaksa ia bersikap gembira dan menjawab.

   "Terima kasih atas perhatianmu. Berkat pengobatan Ong-tayhu, kesehatanku kini sudah hampir pulih seluruhnya. Angin apakah yang meniup Kok-heng ke sini?"

   "O, aku justru diminta oleh nona Hi agar menjenguk engkau di sini,"

   Jawab Siau-hong dengan tertawa. Selagi Sin Liong-sing merasa heran dan tidak tenteram, Ong Ih-ting lantas menjelaskan bahwa dia yang mengirim berita kepada Hi Giok-kun tentang beradanya di Thay-ouw.

   "Nona Hi kini berada di Kim-keh-nia dan sedang membantu melatih laskar wanita di sana, karena itu aku mengusulkan agar menyongsong Liong- heng ke Kim-keh-nia saja,"

   Kata Kok Siau-hong pula.

   "Betulkah nona Hi menghendaki demikian?"

   Ong Ih-ting menegas dengan tersenyum.

   "Ya, Liong-heng telah menyelamatkan jiwa nona Hi, dia sangat berterima kasih dan ingin bisa lekas berjumpa pula dengan Liong-eng""

   Jawab Kok Siau-hong yang mengetahui maksud ucapan tuan rumah itu.

   IRANYA kedua kalinya di Pek-hoa-kok tempo hari, ia sudah mulai curiga.

   Bahwa dia berharap bertemu pula dengan Sin Liong- sing memang menjadi tujuannya, tapi untuk menghindarkan prasangka, dia tidak ingin berangkat bersama Kok Siau-hong.

   Begitulah Ong Ih-ting dan Kok Siau-hong melanjutkan ramah tamahnya bersama Sin Liong-sing.

   Bagi Kok Siau-hong memang dengan tulus hati ingin bersahabat dengan Sin Liong-sing, maka dia sengaja duduk bersanding pemuda itu untuk mengajak omong.

   Setelah bicara sejenak, tiba-tiba ia merasa seperti pernah melihat pemuda bermuka buruk, cuma dimana sudah tak teringat lagi.

   Karena itu ia coba menatap Sin Liong-sing dengan lebih tajam.

   Tentu saja Sin Liong-sing menjadi risih, mau tak mau air mukanya rada berubah.

   "Liong-heng,"

   Tiba-tiba Kok Siau-hong berkata dengan tertawa.

   "engkau rada mirip dengan seorang temanku."

   Liong-sing terkejut, jawabnya dengan menyeringai.

   "Ah, masakah di dunia ini masih ada orang bermuka buruk seperti diriku?"

   "Ha, ha, ha, mendengar ucapanmu aku menjadi teringat juga dan memang terasa agak mirip,"

   Ong Ih-ting menyela dengan gelak tertawa.

   "Tidak melulu wajah saja rada mirip, bahkan perawakan juga sama. Kawan yang Kok-siauhiap maksudkan bukankah Sin Liong-sing, murid Bun- tayhiap, bukan?"

   "Betul, cuma sayang Sin-siauhiap sudah tewas, kalau tidak, bila dipandang dari belakang tentu orang akan menyangka kalian adalah saudara kembar,"

   Ujar Siau-hong.

   "Ai, mana aku dapat dibandingkan dengan Sin-siauhiap yang kalian sebut,"

   Ujar Sin Liong-sing sambil menghela napas.

   "Padahal betapa beruntungnya aku kalau benar dapat menjadi murid Bun-tayhiap."

   Mendadak Ong Ih-ting bicara dengan sungguh-sungguh.

   "Apabila Liong- heng benar mempunyai minat, aku sanggup menjadi perantara. Suami nona Hi yang meninggal ialah murid Bun-tayhiap, sedangkan engkau telah

   Jilid 33 K menyelamatkan jiwa nona Hi, kalau Bun-tayhiap menerima pula engkau sebagai muridnya kan peristiwa yang menarik juga?"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Liong-sing menyeringai kikuk oleh ucapan tuan rumah itu, syukur pada saat itulah tabib Ong melangkah masuk.

   Segera Ong Ih-ting memperkenalkan Kok Siau-hong kepada tabib Ong dan menyatakan pula usahanya mencari Pek-hoa-ciu di rumah Hi Giok-kun tidak berhasil.

   "Jangan kuatir, nona Hi memegang resep obat arak keluarganya itu, biarpun di Kim-keh-nia juga arak itu dapat disuling,"

   Kata Siau-hong.

   "Sebenarnya sepuluh hari lagi pengobatanku taraf pertama sudah dapat berakhir,"

   Tutur tabib Ong.

   "Tapi kalau pengobatan ditambah dengan Pek- hoa-ciu, maka penyakit Liong-heng ini akan dapat dipunahkan sampai ke akar-akarnya. Ya, sekarang sudah tiba saatnya untuk tusuk jarum, harap Liong-heng ikut aku ke kamarmu."

   Tentu saja Sin Liong-sing merasa kebetulan dapat terhindar dari pandangan Kok Siau-hong.

   Segera ia mohon diri dan kembali ke kamarnya untuk mendapatkan pengobatan tabib Ong.

   Malamnya pikiran Sin Liong-sing menjadi kusut, betapa pun dia tak dapat pulas.

   Kalau dia menuruti nasehat tabib Ong untuk tinggal lagi beberapa hari, maka penyakitnya akan dapat disembuhkan sama sekali, bahkan kelak ada harapan akan mencapai tokoh lwekang kelas satu.

   Tapi bila melihat sikap Kok Siau-hong yang telah mulai curiga pada asal-usulnya, apalagi kalau nanti dia mengajaknya pergi ke Kim-keh-nia, kan bisa berabe bila bertemu lagi dengan Hi Giok-kun.

   Selain itu ada kemungkinan pula dalam waktu singkat ini si Hwesio Pek-hwe dan si Tosu It-beng akan datang ke sini.

   Begitulah karena merasa berdosa, maka batinnya selalu tertekan, pikirannya senantiasa tergoda, siang dan malam selalu tidak tenteram.

   Akhirnya dia ambil keputusan akan minggat saja.

   Tengah malam ia meninggalkan sepucuk surat, lalu meninggalkan gunung itu.

   Ia tunggu fajar sudah hampir menyingsing barulah mendatangi tepi danau, ia mendapatkan sebuah perahu, tukang perahu itu adalah anak buah kepercayaan Ong Ih-ting dan kenal Sin Liong-sing sebagai tamu Cong- cecunya.

   Sin Liong-sing berdusta bahwa sakitnya sudah sembuh dan sekarang tergesa-gesa harus pulang seizin Ong Ih-ting.

   Walaupun rada sangsi karena tiada seorang pun mengantar keberangkatan Sin Liong-sing, tapi tukang perahu itu tahu tuan tamu ini adalah pendekar yang terluka ketika terjadi geger Yang-ciu tempo hari, maka ia pun tidak menolak untuk membawa Sin Liong-sing menyeberangi Thay-ouw yang luas itu.

   Angin pagi meniup sejuk, Sin Liong-sing bersandar pada tepian perahu memandang jauh ke permukaan danau sana.

   Tanpa terasa timbul rasa dukanya, dunia seluas ini rasanya tiada tempat berteduh lagi.

   Terbayang dua sosok tubuh nona jelita, Hi Giok-kun dan Ki Ki.

   Hi Giok- kun jelas tak dapat ditemuinya lagi.

   Ki Ki sedemikian cinta padaku, tapi rasanya terpaksa aku harus membuat dia kecewa.

   Untunglah penyakitku sudah tidak membahayakan lagi walaupun belum sembuh sama sekali, biarlah untuk selanjutnya aku akan berkelana sendirian di dunia Kang-ouw.

   Sin Liong-sing terus tenggelam dalam lamunannya sehingga tanpa terasa hari sudah dekat lohor.

   Perahu itu sudah menyeberangi setengah danau raya itu, tepi seberang sudah kelihatan dipandang dari jauh.

   Pada saat itulah dari hulu sana tiba-tiba meluncur tiba sebuah kapal besar.

   Terdengar si tukang perahu bersuara heran dan berkata.

   "He, kapal ini bukanlah kapal Thay-ouw kita."

   Rupanya kapal itu adalah kapal laut, berbeda jauh dengan berbagai kapal dan perahu besar di Thay-ouw yang dikuasai Ong Ih-ting.

   Tiba-tiba si tukang perahu ingat kepada berita tentang kekalahan pertempuran laut di sungai Tiang-kang (Yang-tze), di antara begundalnya itu ada seorang bernama Kiau Sik-kiang yang berasal dari lautan timur sana, jangan-jangan kapal inilah milik mereka dan kabur masuk di Thay-ouw sini? Karena pikiran ini, segera ia membelokkan perahunya.

   "He, hendak menuju kemana?"

   Tanya Sin Liong-sing.

   "Akan kutanyai mereka,"

   Kata si tukang perahu. Dalam pada itu kapal besar tadi sudah meluncur tiba dan bcrpapasan dengan perahu ini. Dengan suara lantang si tukang perahu lantas menegur.

   "He, siapa kalian ini dan datang darimana?"

   Terlihat di haluan kapal muncul tiga lelaki kekar, seorang di antaranya membentak.

   "Dan kau sendiri siapa? Berdasar apa kau berani menanyai kami?"

   "Aku dari Tong-ting-san barat,"

   Jawab si tukang perahu.

   "O, kiranya kau anak buah Ong Ih-ting!"

   Seru lelaki tadi sambil tertawa.

   Ia memberi tanda dan kedua kawannya lantas melangkah maju.

   Ketiga orang itu adalah Thau-bak (hulubalang) anak buah Kiau Sik-kiang, yang bicara tadi berlatih Gwakang, otot tulangnya kuat, tenaganya besar, tapi dalam hal Ginkang kalah mahir daripada kedua kawannya.

   "He, jadi kalian ini anak buah Su Thian-tik dan Kiau Sik-kiang!"

   Si tukang perahu balas membentak dengan gusar. Lelaki tadi bergelak tertawa dan menjawab.

   "Betul! Maka anggap saja kau sendiri yang sial kebentur dengan kami!"

   "Hm, boleh lihat siapa yang bakal sial!"

   Sin Liong-sing menjengek sambil melolos pedangnya. Mendadak kedua lelaki tadi melompat dan berjumpalitan di udara, lalu anjlok di haluan perahu. Namun sebelum kaki mereka menginjak perahu.

   "sret-sret", segera Sin Liong-sing mendahului menusuk dua kali. Lelaki yang sebelah kiri sempat ayun goloknya, dengan gerakan "Eng-kik- tiang-khong" (elang menubruk dari udara), segera goloknya membacok ke bawah. Sedang lelaki sebelah kanan pentang kedua tangannya terus mencengkeram pundak Sin Liong-sing. Meski ilmu silat kedua orang itu tidaklah lemah, tapi mana mampu melawan ilmu pedang Sin Liong-sing yang lihai, dimana sinar pedang berkelebat, kontan jari tangan lelaki sebelah kanan terpapas putus dan terjungkal ke dalam sungai. Ketika pedang Sin Liong-sing membalik, golok musuh yang sedang membacok itu tertangkis, menyusul kaki Sin Liong-sing lantas mendepak, tanpa ampun lelaki sebelah kiri itupun terguling ke dalam sungai. Si tukang perahu merasa lega, cepat ia ambil terompet terus dibunyikan dengan riuh sembari sebelah tangannya mendayung sekuatnya.

   "He, mengapa kau memutar balik ke sana?"

   Seru Liong-sing.

   "Terpaksa harus putar balik untuk memberi kabar, maaf Liong-tayhiap, terpaksa menghalangi waktu keberangkatanmu,"

   Jawab si tukang perahu.

   Tiupan terompetnya itu adalah tanda bahaya, tapi perahu nelayan yang kelihatan hanya sebuah dan berada terlalu jauh, maka si tukang perahu pikir harus lekas putar haluan untuk memberi laporan kepada Ong Ih-ting.

   Kedua orang yang dihantam terjungkal ke dalam sungai tadi menongol lagi di permukaan air dan berseru.

   "Hayo, coba kalian dapat lari ke mana?"

   Dasar bajak laut, air danau bukan halangan bagi mereka, mereka dapat berenang dengan cepat dan mengejar ke arah perahu laksana dua ekor ikan hiu. Mendadak lelaki yang masih berada di haluan kapal tadi juga membentak.

   "Jangan kabur, lihat senjata!"

   Berbareng ia angkat jangkar yang beratnya beberapa ratus kati itu terus dilemparkan ke arah perahu.

   "Blang", kontan atap perahu berlubang, geladak perahu juga retak, perahu itu terguncang keras sehingga kemudi tak dapat dikuasai si tukang perahu. Selagi jangkar besar itu masih berloncatan, cepat Sin Liong-sing gunakan pedangnya untuk mencungkit sehingga jangkar itu terbuang ke sungai, berbareng ia gunakan ilmu memberatkan tubuh untuk menahan olengnya perahu. Akan tetapi pada saat itu juga air sungai sudah merembes masuk, ternyata bawah perahu sudah berlubang, perahu mulai karam ke bawah. Rupanya lubang di dasar perahu itu adalah perbuatan kedua lelaki tadi. Melihat keadaan sudah kepepet, si tukang perahu menjadi kalap, ia pun terjun ke dalam sungai untuk melabrak kedua orang itu. Sin Liong-sing tidak mahir berenang, ia tidak dapat memberi bantuan apa pun, sedangkan air sungai sudah hampir menelan perahunya. Selagi tak berdaya, sekonyong-konyong air danau yang bergolak itu berubah menjadi merah, kedua lelaki tadi kembali menongol dan berseru.

   "Ha, ha, ha, barangkali kau pun ingin menyusul kawanmu untuk bertemu dengan Hay- liong-ong (raja laut)!"

   Warna air yang merah itu jelas adalah darah si tukang perahu, Sin Liong- sing menjadi nekat, daripada perahu karam dan dirinya mati konyol, lebih baik melawan mati-matian saja.

   Dengan nekat ia lantas melompat juga ke dalam sungai.

   Kedua lelaki tadi telah dihajar oleh Sin Liong-sing, kini pemuda itu berani masuk air, tentu saja mereka ingin membalas dendam.

   Segera mereka menubruk maju, yang satu menekan kepala Sin Liong-sin ke dalam air dan yang lain merangkul pahanya supaya tenggelam ke bawah.

   Tentu saja Sin Liong-sing gelagapan dan kenyang minum air, dalam keadaan kepepet dan hampir tak sadar, sekuatnya ia meronta dan berhasil mengempit lelaki yang merangkul pahanya itu, sebelah tangannya meraup lagi ke samping, kembali kepala lelaki itu kena dipitingnya.

   Ketika orang bergumul menjadi satu dan bergulung-gulung tenggelam ke dasar danau.

   Dalam hal lwekang sudah tentu Sin Liong-sing berkali lipat lebih kuat daripada kedua keroco itu, dia dapat menahan napas di dalam air sekian lamanya, sebaliknya kedua lelaki itu walaupun mahir berenang, namun untuk mengadu tahan napas jelas mereka kalah kuat.

   Akhirnya mereka mati kelelap dan tak timbul kembali.

   Setelah melepaskan kedua mayat musuh, Sin Liong-sing sendiri pun sudah payah, dalam keadaan sadar tak sadar ia merasa tubuhnya terlempar naik turun oleh ombak, tidak lama kemudian ia pun tidak sadarkan diri.

   Esoknya ketika Ong-tayhu hendak memberi pengobatan lagi kepada Sin Liong-sing barulah diketahui lenyapnya pemuda itu.

   Ia terkejut dan cepat melaporkannya kepada Ong Ih-ting.

   Tentu saja Ong Ih-ting heran, masakah pemuda itu pergi tanpa pamit, padahal penyakitnya juga belum sembuh.

   Kok Siau-hong juga berpendapat kepergian Sin Liong-sing itu pasti ada sebab lain.

   Mereka lantas mendatangi kamar Sin Liong-sing dan menemukan sepucuk surat ucapan terima kasih kepada tabib Ong dan tuan rumah serta minta maaf akan kepergiannya tanpa pamit itu, katanya dia sudah bertekad akan mengasingkan diri dari dunia Kang-ouw, kini penyakitnya sudah sembuh, maka sengaja pergi tanpa pamit agar tidak membikin sibuk orang lain.

   Kok Siau-hong menjadi heran oleh kelakuan Sin Liong-sing itu, jangan- jangan dia tidak ingin pergi ke Kim-keh-nia, ia menjadi teringat pula pertemuan di Pek-toa-kok tempo hari, ketika itu ia pun lantas pergi setelah bertemu, entah apa alasannya, mungkinkah dia sengaja menghindari Hi Giok-kun? "Tindak tanduk Liong-toako ini sungguh rada aneh,"

   Demikian katanya kemudian.

   "Ya, aku pun merasa begitu, ilmu silatnya juga gabungan dari aliran baik dan jahat, pernah kutanya perguruannya, tapi dia tak mau menerangkan,"

   Kata Ong-tayhu. Ong Ih-ting merenung sejenak, lalu berkata.

   "Apa kau menyangsikan dia murid Ki We?"

   "Pantasnya Ki We tidak mempunyai murid demikian ini karena sudah sejak duapuluh tahun yang lalu dia menghilang dari dunia Kang-ouw,"

   Kata Ong-tayhu.

   "Cuma lwekangnya memang jelas adalah ilmu aliran Ki We. Aku pernah mengobati Ki We, maka tahu."

   "Andaikan betul dia murid Ki We juga tidak menjadi soal,"

   Ujar Ong Ih- ting.

   "Anak murid aliran sesat dapat berbuat kebajikan adalah hal yang baik pula."

   "Seharusnya begitu, cuma mungkin dia masih kuatir kita akan memandang hina padanya,"

   Kata Ong-tayhu.

   Sedang bicara, tiba-tiba datang penjaga memberi lapor bahwa ada petugas patroli danau mohon bertemu Cong-cecu.

   Ong Ih-ting mengira jejak Sin Liong-sing telah diketemukan, cepat ia suruh pelapor itu masuk.

   Tidak lama kemudian, penjaga yang bernama Ciu Eng masuk bersama seorang Thau-bak yang bertugas patroli di danau.

   Sesudah memberi hormat kepada sang Cong-cecu dan ditanya keperluannya, Thau-bak itu lantas melapor.

   "Pagi tadi ketika hamba sedang berpatroli, dari jauh tampak datang sebuah kapal besar, ketika ia dekat dengan perairan Pek-lian-hong dan kepergok oleh sebuah perahu kawan kita. Terdengar perahu kawan kita itu membunyikan terompet sebagai tanda minta bantuan."

   Ong Ih-ting terkejut dan berkata.

   "Selamanya Thay-ouw kita tidak terdapat kapal luar, tentu itulah kapal bajak gerombolan Su Tian-tik dan Kiau Sik-kiang. Siapakah kawan kita yang berada di perahu itu?"

   "Waktu itu jaraknya terlalu jauh sehingga kurang jelas, hanya diketahui ada dua orang di atas perahu itu,"

   Lapor si Thau-bak tadi. Segera Ciu Eng menambahkan.

   "Menurut keterangan, pagi tadi hanya perahu yang dipegang Tio Kan-lu yang meninggalkan tempatnya, dia memang bertugas menyambut dan mengantar tamu. Tapi rasanya tiada saudara kita dari sini menumpang perahunya."

   "Ah, besar kemungkinan orang yang menumpang perahunya itu adalah Liong Sin, tamu kita yang sudah sekian lama tinggal di sini itu,"

   Ujar Ong Ih-ting.

   "Lalu bagaimana?"

   "Mendengar suara terompet itu, kami lantas memburu ke sana, tapi di tengah jalan kawan kita itu sudah mulai bertempur dengan kawanan bajak. Ada dua orang yang melompat dari kapal bajak itu kena dihantam terjungkal ke dalam air,"

   Demikian tutur Thau-bak tadi.

   "Kawan kita itu tampak sangat tangkas, pedangnya sangat lihai, belum kedua bajak itu sempat menginjak perahunya sudah ditusuk dan masuk danau. Habis itu perahu kawan kita itupun ditenggelamkan oleh kedua orang yang tercebur tadi, Tio Kan-lu terjun ke dalam air untuk bertempur dengan mereka, tapi malang baginya, dia telah tewas."

   "Lantas temannya yang berpedang itu?"

   Tanya Ong Ih-ting kuatir.

   "Setelah perahu tenggelam, orang itupun bergumul di dalam air dengan kedua musuh dan akhirnya karam semua,"

   Tutur si Thau-bak.

   "Apakah sudah kau suruh mencari jenazah Tio Kan-lu dan kawannya itu?"

   Cepat Ong Ih-ting bertanya pula.

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara terompet yang ditiup panjang tiga kali dan pendek satu kali, itulah tanda kedatangan musuh.

   Segera Ong Ih-ting menyuruh berkumpul segenap anak buahnya dan siap menghadapi musuh.

   Sementara itu datang pengintai kelompok pertama memberi laporan bahwa berturut-turut terlihat lima buah kapal laut yang menerobos ke Thay-ouw dan kini sedang menuju ke hilir.

   "Bulan yang lalu gerombolan bajak Su Thian-tik dan Kiau Sik-kiang telah diobrak-abrik oleh pasukan kerajaan, bisa jadi sisa gerombolan mereka itu sekarang lari ke Thay-ouw sini untuk mencari tempat sembunyi yang aman,"

   Kata Han Seng-tik, pembantu Ong Ih-ting.

   "Kiau Sik-kiang adalah bajak laut timur, hanya dia yang memiliki kapal laut sebesar itu."

   Menyusul datang pengintai kedua memberi lapor.

   "Di hulu terlihat iringan kapal pasukan kerajaan, jumlahnya ada ratusan."

   Ong Ih-ting menjadi gusar, ia menggebrak meja dan berteriak.

   "Betapa pun Thay-ouw kita tidak boleh dikacaukan oleh kawanan bajak Su Thian-tik dan Kiau Sik-kiang yang sudah diperbudak oleh Tartar Mongol itu."

   Han Seng-tik lebih tua dan lebih bisa berpikir, ia memberi pendapatnya.

   "Ucapan Cong-cecu memang betul. Cuma sejak pihak kerajaan berdamai dengan Kim, Han To-yu sudah membatalkan rencananya bersama laskar rakyat daerah Kang-lam menghadapi musuh dari luar, malahan tampaknya ada maksud menyerbu Thay-ouw kita. Kini angkatan laut kerajaan dikirim ke sini, betapa pun kita harus waspada terhadap tipu kejinya."

   "Benar juga pendapatmu,"

   Ujar Ong Ih-ting.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Cuma urusan harus dibedakan antara yang gawat dan tidak. Kini terpaksa kita harus bergabung dengan pasukan kerajaan untuk menumpas kawanan bajak khianat itu. Sudah tentu kita pun perlu waspada terhadap sergapan pasukan kerajaan."

   Begitulah Ong Ih-ting lantas memberi perintah kilat agar mengumpulkan seratus kapal dan segera melakukan pengejaran terhadap kapal bajak itu.

   Selesai mengatur siasat, sementara itu datang lagi laporan bahwa jenazah Tio Kan-lu telah diketemukan, juga jenazah dua bajak yang mati itu.

   Namun jenazah kawan yang menumpang perahu Tio Kan-lu itu tak diketemukan, bisa jadi terhanyut oleh arus air yang rada deras di tempat kejadian.

   "Semoga Liong-siauhiap berumur panjang dan kebetulan tertolong oleh kapal nelayan yang kebetulan berlayar di sana,"

   Ujar Ong Ih-ting gegetun.

   "Tapi biarpun dia sudah meninggal atau masih hidup, hari ini juga aku bertekad akan membalaskan sakit hatinya."

   Segera ia tampil sendiri untuk memimpin, bersama Kok Siau-hong, Ciu Eng dan Thau-bak tadi mereka menumpang sebuah perahu dan mendahului berangkat.

   Hari ini ombak di Thay-ouw rada besar, perahu Ong Ih-ting meluncur dengan cepat untuk mencari jejak musuh.

   Tidak lama kemudian terlihatlah kelima kapal bajak itu di kejauhan dan menghilang di balik tetumbuhan gelagah.

   Suara tambur pertempuran pasukan kerajaan di hulu sana sayup- sayup juga terdengar.

   Ong Ih-ting menjadi girang, serunya dengan tertawa.

   "Ha, ha, kawanan bajak itu pasti tak bisa lolos lagi, mereka telah memasuki jalan buntu, biarpun kapal mereka kuat dan senjata lengkap juga takkan berguna lagi."

   "Jalan buntu bagaimana?"

   Tanya Kok Siau-hong heran.

   "Tempat yang mereka masuki itu bernama Tim-goh-tiang, pada bagian hulu sungai sangat dalam, tapi bagian hilir airnya cetek, bentuk tempatnya menyerupai botol, pada bagian hilir yang cetek itu bertimbun pasir belaka, kapal besar pasti akan kandas di sana. He, he, mereka tidak paham keadaan setempat dan memilih tempat yang tiada ombaknya, tapi justru mereka telah masuk perangkap sendiri. Nah, lekas kita kejar ke sana dan sumbat jalan keluar satunya lagi agar mereka tidak dapat putar balik."

   "Pasukan kerajaan yang datang dari hulu itu kalau pasukan Harimau terbang pemimpin Kanglam-tayhiap Kheng Ciau, ini berarti akan menguntungkan kita pula,"

   Ujar Ciu Eng. Mendadak Kok Siau-hong teringat sesuatu dan cepat berkata.

   "Ada sesuatu yang kulupa memberitahukan, Ong Cong-cecu, yaitu tentang komandan pasukan Harimau Terbang yang disebut tadi kini sudah ganti orang, bukan dipimpin oleh Kheng-tayhiap lagi."

   Ong Ih-ting terkejut.

   "Sudah ganti siapa? Terjadi apa pula atas diri Kheng- tayhiap?"

   Lalu Kok Siau-hong menceritakan permainan Han To-yu atas diri Kheng Ciau, katanya pula.

   "Kini Kheng-tayhiap sudah mengundurkan diri dari jabatannya, siapa pimpinan pasukan Harimau Terbang itu kini aku pun tidak tahu."

   "Biar siapa pun pimpinan baru pasukan itu, hari ini kita harus berbuat sekuat tenaga, andaikan pasukan kerajaan itu tidak membantu juga kita mampu mengalahkan kawanan bajak,"

   Kata Ong Ih-ting tegas.

   Segera Ong Ih-ting mempercepat laju perahunya sehingga perahu-perahu di belakangnya tertinggal jauh.

   Tidak lama perahu Ong Ih-ting sudah mendekati Tim-goh-tiang.

   Kelima kapal bajak agaknya juga sudah melihat perahu Ong Ih-ting.

   Malahan dua kapal di antaranya sudah memutar haluan dan mengerek bendera pengenal, yaitu panji tengkorak yang biasa digunakan Kiau Sik-kiang waktu malang melintang di lautan.

   Rupanya kapal pertama rombongan Kiau Sik-kiang itu telah mengetahui bagian hilir teramat cetek dan kapal mereka akan kandas, sebab itulah Kiau Sik-kiang lantas putar haluan dan siap bertempur dengan Ong Ih-ting.

   Sambil berdiri di haluan kapalnya yang kedua, dengan bergelak tertawa Kiau Sik-kiang berseru.

   "Ha, ha, ha, kiranya Ong Cong-cecu yang datang sendiri. He, he, aku belum sempat berkunjung kepada Ong Cong-cecu, tapi telah didahului penyambutan tuan rumah, sungguh aku merasa malu."

   "Ya, aku hendak menyambut kau kembali ke surga,"

   Jengek Ong Ih-ting.

   "Eh, mengapa Ong Cong-cecu begini aseran, dengarkan dulu penuturanku,"

   Ujar Kiau Sik-kiang.

   "Aliran tidak sama, dengan sendirinya jalan pun berlainan,"

   Jawab Ong Ih-ting dengan dingin.

   "Rasanya di antara kita tiada sesuatu yang perlu dituturkan."

   "Ucapan Ong Ce-cu ini tidaklah tepat,"

   Kata Kiau Sik-kiang tertawa.

   "Engkau menguasai Thay-ouw, aku menduduki sepanjang Tiang-kang, kita sama-sama berlawanan dengan pihak kerajaan, bukankah kita ini satu haluan dan satu tujuan. Kan lebih baik kalau kita bersatu untuk melawan pasukan raja."

   "Kentutmu busuk!"

   Damprat Ong Ih-ting.

   "Kau adalah pengkhianat bangsa yang bersekongkol dengan Tartar Mongol, aku adalah putera pertiwi Song sejati, siapa sudi bersatu dengan kau?"

   Air muka Kiau Sik-kiang berubah, katanya.

   "Ong Ih-ting, jika kau membantu pihak kerajaan, terpaksa aku tidak sungkan lagi padamu!"

   "Ya, tua bangka ini tidak tahu diri, biar dia rasakan ini!"

   Seru seorang lelaki kekar pada haluan kapal bajak yang pertama. Berbareng ia angkat sebuah jangkar besar, setelah diputar satu kali, jangkar itu terus dilemparkan ke arah Ong Ih-ting. Thau-bak yang bersama Ong Ih-ting berkata.

   "Keparat inilah yang menenggelamkan perahu Tio Kan-lu!"

   Ong Ih-tiong lantas ambil sebuah galah besi, ia papak datangnya jangkar, dengan sekali sampuk dan dorong, segera jangkar itu terlempar ke samping dan jatuh ke danau dengan menerbitkan suara keras.

   "Ini, biar kau pun rasakan kelihaianku!"

   Bentak Ong Ih-ting, berbareng galah besi yang dipegangnya itu terus disambitkan bagai lembing.

   Lelaki kekar tadi sedang tercengang karena jangkarnya yang besar itu dengan mudah saja dapat disampuk jatuh oleh Ong Ih-ting, maka menyambar datangnya galah besi itu tidak sempat terelakkan, tahu-tahu galah besi itu menembus dadanya, ia sempat mengeluarkan jeritan ngeri dan segera roboh binasa.

   Dalam pada itu kapal komando Kiau Sik-kiang sudah meluncur tiba, Kiau Sik-kiang juga memegang sebatang galah besi, serunya.

   "Hebat benar kepandaian Ong Ce-cu, marilah kita coba-coba!"

   Galah besi yang dipegangnya itu panjangnya hampir tiga meter, tapi jarak antara kapal dan perahu lebih dari empat meter, dengan sendirinya sodokan galah Kiau Sik-kiang itu tidak mencapai sasarannya ketika dia menyerang Ong Ih-ting.

   Sebuah perahu menghadapi lima kapal musuh, sebenarnya Ong Ih-ting masih ada kesempatan untuk melarikan diri, tapi sebagai Cong-cecu dari tujuhpuluh dua gerombolan bajak di Thay-ouw, apalagi pihak lawan sudah menantang, mana dia mau unjuk kelemahan, segera ia ambil besi Kiau Sik- kiang tadi.

   Maka terdengarlah suara benturan nyaring disertai lelatu api.

   Kiau Sik-kiang putar galahnya untuk menindih di atas galah Ong Ih-ting, tapi dengan cepat galah besi Ong Ih-ting yang lebih pendek itupun memutar balik seterusnya terjadi beberapa kali tindih menindih senjata, ternyata tenaga kedua orang itu sama kuatnya.

   Kembali di atas kapal bajak itu muncul seorang lelaki kekar, perawakan orang ini jauh lebih tegap daripada lelaki yang ditembus oleh galah besi Ong Ih-ting tadi.

   Mendadak ia memutar senjatanya, Lian-cu-kau, kaitan yang berantai beberapa meter panjangnya, ujung kaitan itu tajam, sekali ia membentak, kaitan berantai itu terus dilemparkan untuk menggantol perahu Ong Ih-ting.

   Kiranya orang ini adalah pembantu utama Kiau Sik-kiang, yaitu Ciong Bu-pa yang bertenaga raksasa.

   Tenaga Kok Siau-hong tidak sehebat Ong Ih-ting, ia tidak mampu menyampuk kaitan berantai itu, ketika pedangnya memotong, lelatu api muncrat, ternyata rantai yang cukup besar itu tidak dapat terpotong putus oleh pedangnya.

   Ketika Ciong Bu-pa menyendal rantainya, pedang Kok Siau-hong terpental balik.

   "kletak", ujung kaitan yang tajam dapat mencangkol pada haluan perahu. Sementara itu Ong Ih-ting dan Kiau Sik-kiang masih berkutat dengan galah besi masing-masing dan sama-sama tak bisa mengalahkan lawan. Ketika Ciong Bu-pa menarik rantai sekuatnya, perahu yang ditumpangi Ong Ih-ting terseret perlahan ke arah kapal bajak, Ciu Eng dan si Thau-bak berusaha mendayung perahunya, tapi kalah kuat daripada tenaga Ciong Bu- pa yang besar itu. Tampaknya antara perahu itu dan kapal bajak pasti akan bertubrukan dan perahu itu pasti akan terbalik. Mendadak Kok Siau-hong mengapung ke atas, ia berjumpalitan satu kali di udara, lalu menubruk ke bawah, ujung pedangnya mengincar dada Ciong Bu-pa, tapi kalau dia terpaksa harus menangkis, maka perahu itu akan sempat lolos dari bahaya maut. Tak terduga orang yang menangkis serangan Kok Siau-hong itu bukanlah Ciong Bu-pa, tapi ialah Kiau Sik-kiang. Dengan tangan kanan memegang galah besi Kiau Sik-kiang sedang menempur Ong Ih-ting, tangan kiri lantas menyelentik.

   "creng", pedang Kok Siau-hong terjentik ke samping. Dalam keadaan masih terapung di udara dan serangannya luput mengenai sasaran, Kok Siau-hong harus menghadapi cengkeraman tangan Kiau Sik-kiang yang sementara itu menyambar pula ke arahnya. Karena tiada jalan lain, Kok Siau-hong tetap menubruk ke bawah, ia cengkeram dulu pergelangan tangan lawan, selagi pedangnya hendak diputar balik untuk menusuk musuh, namun Kiau Sik-kiang sudah mendahului membentak.

   "Pergi!"

   Sekali menggentak, seketika tubuh Kok Siau-hong tertolak ke belakang.

   Dalam keadaan begitu jelas Kok Siau-hong pasti akan tercebur ke dalam danau.

   Keruan Ciu Eng dan Thau-bak itu menjerit kuatir.

   Tapi di sinilah tertampak ketangkasan Kok Siau-hong, selagi tubuhnya terjungkal ke bawah, tangannya sempat meraih rantai besi yang bergandengan dengan kaitan itu, dengan bergantungan pada rantai itu cepat ia meluncur kembali ke perahunya.

   Ketika Kok Siau-hong terancam bahaya, pemusatan perhatian Ong Ih- ting menjadi sedikit terpencar, galah besinya yang rada pendek berbalik tertekan ke bawah oleh galah besi panjang Kiau Sik-kiang.

   "Ha, ha, ha, Ong Ce-cu, kukira kita tidak perlu menentukan kalah menang?"

   Seru Kiau Sik-kiang sambil tertawa.

   "Asal kau berjanji takkan ikut campur urusanku, maka kita pun dapat menyudahi pertarungan ini secara damai."

   Dengan seorang melawan Kok Siau-hong serta Ong Ih-ting dan masih tetap berada di atas angin, tentu saja Kiau Sik-kiang sangat senang dan bangga.

   Di balik ucapannya itu seakan-akan menyuruh Ong Ih-ting menerima tawarannya dan habis itu Ciong Bu-pa akan diperintahkan melepaskan perahu mereka.

   Dalam pada itu iringan kapal angkatan laut kerajaan dari hulu sudah makin mendekat, seratus perahu cepat Ong Ih-ting tadi juga sudah menyusul tiba.

   Panah yang dilepaskan dari kapal kerajaan ada sebagian sudah dapat mencapai kapal bajak.

   Karena itu Ong Ih-ting tidak menggubris tawaran Kiau Sik-kiang tadi, ia hanya mendengus saja, kakinya menancap kencang di atas perahu, galah besinya segera memutar balik di atas galah lawan.

   Karena tancapan kaki Ong Ih-ting yang mengerahkan tenaga dalam itu, geseran perahu itu menjadi tertahan.

   Akan tetapi Ciong Bu-pa masih terus menarik rantainya, walaupun laju perahu bergerak perlahan saja, tapi jaraknya sudah dekat, tampaknya sebelum perahu-perahu bantuan itu tiba, perahu kecil ini akan bertumbukan dengan kapal besar dan pasti akan tenggelam juga.

   Sedang keadaan tambah gawat, tiba-tiba sebuah perahu kecil meluncur dari hulu sana dengan sangat cepat.

   Kok Siau-hong sempat melihat perahu itu bukanlah perahu anak buah Ong Ih-ting dan juga bukan perahu pasukan kerajaan, ia menjadi heran.

   Dalam pada itu dengan cepat sekali perahu kecil itu sudah menerobos melalui ketiga samping kapal yang ditumpangi Kiau Sik-kiang.

   Kiau Sik-kiang meremehkan perahu kecil itu, ia anggap di antara pasukan kerajaan tidak mungkin ada jago kosen, apalagi sebuah perahu kecil bisa berbuat apa? Saat itu anak buahnya di atas kapal juga sudah siap dengan anak panah, ada yang memegang kaitan dan siap menggantol perahu kecil itu.

   Tapi segera terdengar suara suitan panjang, dari perahu kecil itu meloncat keluar satu orang, dengan kecepatan luar biasa orang itu melayang ke atas kapal bajak.

   Beberapa panah tampak menyambar ke tubuhnya, tapi tak kelihatan dia menyampuk dengan sesuatu senjata, tahu-tahu anak panah itu jatuh sendiri.

   Orang itu adalah kakek berbaju hijau, Kiau Sik-kiang terkejut setelah mengenali siapa dia.

   Kiranya si kakek adalah musuh besar Kiau Sik-kiang sendiri, yaitu Beng-sia-tocu Le Kim-liong.

   Setahun yang lalu Kiau Sik-kiang pernah menyatroni Beng-sia-to, dalam pertarungan sengit itu Le Kim-liong terkurung oleh Kiau Sik-kiang dan begundalnya, untung Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun keburu datang melerai karena ia pun mempunyai rencana tertentu sehingga Le Kim-liong terhindar dari kesulitan.

   Maka tidak perlu ditanya lagi bahwa kedatangan Le Kim-liong sekarang justru hendak membalas dendam kejadian dahulu.

   Dalam pada itu cepat sekali Le Kim-liong melompat ke atas kapal, yang pertama menjadi sasarannya adalah Ciong Bu-pa, karena tahu betapa lihainya lawan, Ciong Bu-pa lekas menarik kembali kaitannya untuk menghadapi musuh tangguh ini.

   "Hm, dahulu kau pun ikut mengacau, sekarang hutang itu harus kau tebus,"

   Jengek Le Kim-liong.

   Tapi kepalan Ciong Bu-pa segera mendahului menghantam, tenaga pukulannya sangat dahsyat.

   Namun pandangannya mendadak kabur, Le Kim-liong sudah menghilang dari depan dan segera tangannya terasa kesemutan, tahu-tahu sudah dicengkeram oleh Le Kim-liong dengan cara yang tak terduga sebelumnya.

   "Pergi!"

   Bentak Le Kim-Iiong sambil menarik mengikuti tenaga pukulan lawan, tanpa ampun tubuh Ciong-Bu-pa yang gede itu lantas menyelonong ke depan dan "blung", terceburlah dia ke dalam danau.

   Lekas Kiau Sik-kiang membuang galah besinya untuk menghadapi Le Kim-liong.

   Begitu berhadapan, Le Kim-liong lantas menghantam tiga kali susul menyusul dengan tenaga dahsyat.

   Sekuatnya Kiau Sik-kiang menangkis satu kali dan mengelak satu kali lagi, tapi pukulan ketiga sukar dihindarinya dan tepat mengenai dada, kontan ia memuntahkan darah segar.

   Pada saat itulah anak buah Kiau Sik-kiang juga sudah mengerubut maju semua.

   Tapi setelah melukai Kiau Sik-kiang, Le Kim-liong lantas membentak.

   "Satu kali pukul bayar satu kali, hutang modal sudah kukembalikan, rente boleh kau bayar lain kali saja!"

   Habis itu ia lantas melompat pula ke atas dan kemudian menancapkan kakinya ke perahu yang ditumpangi Ong Ih-ting. Sementara itu seratus perahu cepat laskar Thay-ouw tadi sudah menyusul tiba, dengan tertawa Ong Ih-ting berseru.

   "Ha, ha, ha, sumbat saja jalan keluarnya, sekarang kita dapat main tangkap bulus di dalam guci!"

   Waktu itu angkatan laut kerajaan dari hulu sungai yang sudah datang dan memotong jalan keluar sebelah sana serta menghamburkan anak panah.

   Kelima kapal bajak pimpinan Kiau Sik-kiang terjepit di tengah dan diserang dari muka dan belakang.

   Tiga antara kelima kapalnya tadi belum sempat putar haluan menghadap hilir sungai yang cetek, kalau diteruskan tentu akan kandas, untuk putar haluan kini pun sudah terlambat.

   Segera Kiau Sik-kiang ambil keputusan tegas, serunya kepada anak buahnya.

   "Tinggalkan kapal dan rebut perahu musuh!"

   Kawanan bajak laut itu sudah biasa hidup di tengah samudera raya yang berombak besar, semuanya mahir berenang, serentak mereka berteriak-teriak terus berlompatan dari kapal mereka, beramai mereka terjun ke dalam danau untuk kemudian merebut perahu musuh.

   Yang mereka terjang adalah perahu angkatan laut kerajaan.

   Pasukan kerajaan itu adalah pasukan Harimau Terbang yang pernah dipimpin Kheng Ciau, meski perajuritnya tak setangkas kawanan bajak, tapi juga cukup gagah berani.

   Menghadapi kawanan bajak yang hendak merebut perahu, segera mereka pun siap sedia, begitu nampak ada kepala menongol keluar dari pemukaan air, segera mereka hujani dengan anak panah.

   Ada sebagian bajak yang sempat meraih tepian perahu, tapi sebelum memanjat ke atas mereka sudah kena ditabas oleh senjata lawan.

   Maka dalam sekejap saja air danau sudah banjir darah.

   Ciong Bu-pa juga sempat memanjat ke atas sebuah kapal pasukan kerajaan, ketika dia diserang para perajurit, dengan bentakan keras Ciong Bu-pa menarik sekuatnya, kontan perahu musuh itu kena dijungkirkan terbalik.

   Seketika terjadilah pergulatan antara kawanan bajak dengan perajurit kerajaan di dalam air.

   Ciong Bu-pa memutar balik lagi perahu yang terjungkir itu, perahu angkatan laut kerajaan pertama itu kena dirampasnya.

   Tidak lama Kiau Sik-kiang juga berhasil merampas sebuah perahu.

   Cepat Ong Ih-ting memimpin pasukan perahunya menyusur ke sebelah sana untuk mengejar kedua perahu yang ditumpangi Kiau Sik-kiang dan Ciong Bu-pa.

   Tak terduga mereka pun dipapak hujan panah oleh pasukan kerajaan.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kami adalah laskar rakyat Thay-ouw yang membantu kalian menangkap bajak, kenapa kalian tidak membedakan kawan dan lawan!"

   Teriak Ong Ih- ting mendongkol.

   Tapi komandan angkatan laut itu malah memberi perintah agar menyerang terus, katanya atas perintah Siang-ya (perdana menteri), baik bajak laut maupun bajak Thay-ouw harus ditumpas semua.

   Le Kim-liong menjadi gusar, segera ia tangkap dua panah, dengan tenaga jari ia selentik kembali kedua anak panah itu dan tepat menancap pada panji kebesaran komandan angkatan laut kerajaan itu, bahkan panah itu terus menerobos pula dan menancap di atas meja di samping pembesar itu, keruan pembesar itu menjadi ketakutan dan lekas memberi perintah agar pasukannya mengundurkan diri.

   Dalam pada itu kedua perahu yang dirampas Kiau Sik-kiang dan Ciong Bu-pa tadi sudah sampai di tepi danau, kedua orang itupun sempat melarikan diri.

   Dengan tenaga dalam yang kuat, kemudian Ong Ih-ting berseru lantang.

   "Kheng-tayhiap adalah sahabat baik kami, laskar rakyat Thay-ouw di sini juga pernah bertempur bersama pasukan kerajaan melawan penjajah dari luar. Kini panah kita juga harus diarahkan kepada musuh dan begundalnya, mengapa malah memanah kawan sendiri!"

   Suaranya nyaring berkumandang jauh sehingga dapat didengar oleh semua orang yang sedang bertempur.

   Sejenak kemudian, ratusan perahu yang memenuhi danau itu mendadak berhenti semua dengan sunyi, pasukan kerajaan itu tidak memanah lagi, tidak lama kemudian meledaklah suara gemuruh dari ratusan perahu itu.

   "Ucapan Ong Ce-cu memang tepat, kita tidak menyerang kawan sendiri!"

   Keruan panglima angkatan laut kerajaan tadi menjadi pucat ketakutan, terpaksa ia memberi perintah mengundurkan pasukannya dan meninggalkan Thay-ouw.

   Sementara itu Kiau Sik-kiang dan Ciong Bu-pa sudah mendarat dan kabur, Ong Ih-ting menduga tak bisa mengejar lagi, terpaksa ia pun memberi perintah ratusan perahunya agar kembali ke pangkalan sendiri.

   Meski dalam pertempuran ini tidak berhasil membekuk pimpinan kawanan bajak, tapi selain Kiau Sik-kiang dan Ciong Bu-pa yang dapat lolos, anak buahnya dapat disapu bersih, selain itu lima buah kapal laut dapat disita pula, betapa pun ini terhitung kemenangan besar bagi Ong Ih-ting.

   Setiba kembali di markasnya barulah Ong Ih-ting sempat memperkenalkan Le Kim-liong dan Kok Siau-hong.

   "O, kiranya kau inilah Kok-siauhiap, sudah lama kudengar namamu dari Giok-hoan,"

   Kata Le Kim-liong.

   "Sekali ini Le To-cu telah banyak memberi bantuan,"

   Kata Ong Ih-ting.

   "Entah mengapa mendadak Le To-cu berada di Tiong-goan sini?"

   "Kabarnya anak perempuanku pernah datang ke tempatmu ini, apakah betul? Kedatanganku ini untuk mencari anak perempuanku,"

   Tutur Le Kim- liong.

   "Benar, permulaan musim semi tahun ini puterimu dan Hi Giok-hoan pernah datang ke sini, waktu itu Kok-siauhiap juga hadir,"

   Jawab Ong Ih- tiong.

   "Lalu mereka pergi kemana lagi, apakah Ong Ce-cu dan Kok-siauhiap tahu?"

   Tanya Le Kim-liong.

   "Menurut keterangan, mereka katanya akan berkunjung ke Kim-keh-nia, baru-baru ini masih belum nampak kedatangan mereka,"

   Tutur Kok Siau- hong.

   "Cuma sudah dua bulan aku meninggalkan sana, bisa jadi selama ini mereka sudah berada di sana."

   "Tentang Giok-hoan sedang tetirah di tempatku sana, tentunya kau pun sudah tahu?"

   Kata Le Kim-liong pula.

   "Ya, Hi-toako sangat berterima kasih kepada Le To-cu yang sudi mengobati dia,"

   Jawab Siau-hong.

   "Ha, ha, ha, apakah demikian dia berkata padamu? He, he, rasanya seperti orang luar saja. Padahal anak perempuanku sudah kujodohkan padanya, apakah kalian belum tahu?"

   Ujar Le Kim-liong dengan tertawa.

   "Sebenarnya aku pun sudah menduga begitu, hanya tidak enak menanyakan pada mereka secara terang-terangan,"

   Kata Ong Ih-ting.

   "Apakah lukanya kini sudah sembuh?"

   Tanya Le Kim-liong.

   "Sudah,"

   Jawab Siau-hong.

   "Karena puterimu menyangka Le To-cu belum dapat pulang dalam waktu singkat ini, dia ingin berkunjung dulu ke Kim-keh-nia, tak tersangka engkau sudah datang ke sini malah."

   "Kok-siauhiap, Kong-sun Bok juga kawan baikmu bukan?"

   Tanya Le Kim- liong pula.

   "Benar. Le To-cu juga kenal dia?"

   Jawab Siau-hong.

   "Kabarnya dia sangat akrab dengan puteri Oh-hong-tocu?"

   Kata Le Kim- liong.

   "Memangnya mereka adalah bakal suami-isteri,"

   Tutur Kok Siau-hong dengan tertawa.

   "Soalnya Ong-hong-tocu tidak menyukai Kong-sun Bok dan bermaksud membatalkan perjodohan mereka, puterinya tidak dapat menuruti kehendak sang ayah dan minggat dari Oh-hong-to, beberapa kali Oh-hong-tocu berusaha memecah belah hubungan baik kedua muda-mudi itu sehingga terjadi permusuhan antara mertua dan menantu, antara ayah dan anak juga terjadi ketegangan. Banyak suka duka yang dialami kedua muda-mudi itu, untuk mereka juga puteri Le To-cu telah banyak memberi bantuan."

   "Kiong Kim-hun dan anak perempuanku memang teman baik sejak kecil,"

   Kata Le Kim-liong.

   "Cuma antara diriku dan Oh-hong-tocu inasih ada sedikit persoalan yang belum dapat diselesaikan. Urusan ini kalau dibicarakan sedikit banyak juga ada hubungannya dengan Kong-sun Bok."

   "Masakah pertengkaran antara mertua dan menantu sampai melibatkan Le-locianpwe pula?"

   Tanya Kok Siau-hong.

   "Bukan urusan itu, tapi soal lain,"

   Tutur Le Kim-liong. Lalu ia pun menceritakan kejadian dahulu ketika Oh-hong-tocu membantunya mengusir Kiau Sik-kiang, sebagai balas jasa ia telah berjanji akan merebut kitab pusaka ilmu racun milik keluarga Siang yang berada pada Sebun Bok-ya.

   "Untuk inilah maka aku datang ke Tiong-goan pula,"

   Demikian Le Kim- liong menambahkan.

   "Tak terduga Oh-hong-tocu kini telah terpancing oleh Liong Siang Hoat-ong dan membudak pula kepada pihak Mongol. Liong Siang Hoat-ong berjanji akan mendukung dia menjadi Bu-lim-beng-cu, tampaknya Oh-hong-tocu menjadi lupa daratan dan berkhianat."

   "O, jadi Oh-hong-tocu telah mengekor pada Liong Siang Hoat-ong, untuk ini kita perlu waspada juga,"

   Kata Ong Ih-ting dengan terkejut.

   "Terima kasih atas berita Le To-cu yang berharga ini."

   "Memangnya Sebun Bok-ya adalah begundal Liong Siang Hoat-ong, dengan demikian Oh-hong-tocu dan Sebun Bok-ya menjadi orang sekeluarga pula,"

   Sambung Le Kim-liong pula.

   "Apakah nanti Sebun Bok- ya mau memberikan kitab pusaka ilmu racun itu kepada Oh-hong-tocu, yang jelas janjiku kepada Oh-hong-tocu kan menjadi batal. Bukankah tindakanku ini mempunyai dasar alasan yang kuat?"

   "Tindakan Le To-cu ini memang tepat,"

   Kata Ong Ih-ting.

   "Seorang laki- laki sejati harus dapat membedakan antara baik dan jelek, antara budi dan dendam, kini Oh-hong-tocu telah bekerja bagi musuh, jika kau membantunya lagi kan berarti menambah kejahatan mereka malah?"

   "Benar,"

   Kata Le Kim-liong dengan tertawa.

   "Aku dan Sebun Bok-ya memang juga ada sengketa, andaikan aku berhasil merebut kembali Tok- kang-pit-kip (kitab ilmu racun) itu dari Sebun Bok-ya, rasanya orang yang akan kuberi kitab itu adalah Kong-sun Bok agar barang kembali kandangnya dan bukan kuberikan kepada Oh-hong-tocu. O, bicara sampai di sini ada suatu berita pula yang akan kuberitahukan kepada Kok-siauhiap."

   Dengan tegas ia menyebut berita itu khusus untuk Kok Siau-hong, mau tak mau pemuda itu menjadi tercengang. Cepat Kok Siau-hong bertanya.

   "Berita apa?"

   "Kau tahu iblis perempuan Sin Cap-si-koh tidak?"

   Tanya Le Kim-liong. Sesudah Kok Siau-hong mengiakan, lalu ia menyambung.

   "Waktu mudanya dia dan mertua kau pernah mempunyai hubungan yang mesra, apakah kau tahu kisah ini?"

   Kok Siau-hong tidak ingin bicara urusan pribadi ayah mertuanya, maka ia menjawab.

   "Aku cuma tahu dia adalah musuh mertuaku."

   "Betul, hal ini disebabkan Sin Cap-si-koh tidak berhasil mendapatkan ayah mertuamu, dari cinta dia menjadi benci,"

   Tutur Le Kim-liong.

   "Dia telah meracuni ibu mertuamu, tapi sengaja memfitnah Beng Jit-nio. Hal inipun baru kuketahui belum lama berselang ketika aku bertemu dengan Thio Tay- tian, seorang sahabat baik mertuamu, menurut ceritanya, mertuamu sudah tahu duduknya perkara, malahan sudah membalas sakit hati dengan tangan sendiri."

   Karena orang ternyata tahu sejelas itu apa yang sudah terjadi, maka Kok Siau-hong juga tidak perlu merahasiakan lagi, ia membenarkan kejadian di daerah Miau tempo hari.

   "Katanya ketika mertuamu bertempur dengan Sin Cap-si-koh, pada detik menentukan itu mendadak Oh-hong-tocu muncul di sana?"

   Tanya Le Kim- Iiong.

   "Benar, lantaran munculnya Oh-hong-tocu untuk melerai, maka mertuaku telah mengampuni jiwa Sin Cap-si-koh. Malah Oh-hong-tocu pula yang mengusulkan agar iblis perempuan itu dihukum memunahkan ilmu silatnya sendiri sebagai penebus dosanya."

   "Kemudian bagaimana, apakah kau tahu dimana beradanya iblis perempuan itu?"

   Tanya Le Kim-liong.

   "Entah, aku tidak tahu,"

   Jawab Siau-hong.

   "Justru sebelumnya hal itu telah diatur oleh Oh-hong-tocu, setelah Sin Cap-si-koh memunahkan ilmu silat sendiri, lalu Oh-hong-tocu membawanya turun ke bawah gunung dimana sudah menunggu anak buahnya, maka Sin Cap-si-koh lantas dibawa pulang ke Oh-hong-to oleh orang Oh-hong-tocu."

   "Untuk apa Oh-hong-tocu berbuat demikian?"

   Tanya Siau-hong.

   "Sin Cap-si-koh adalah ahli racun nomor satu di dunia ini, waktu itu Oh- hong-tocu belum menjadi begundal pihak Mongol dan tidak yakin dapat merebut Tok-kang-pit-kip dari Sebun Bok-ya, sebab itu dia ingin mempelajari ilmu racun pada Sin Cap-si-koh. Tapi lantaran waktu itu dia masih ada urusan di Tiong-goan, maka Sin Cap-si-koh diserahkan dulu kepada anak buahnya untuk dibawa pulang ke Oh-hong-to. Tapi ketika baru-baru ini aku singgah di Oh-hong-tocu, ternyata Sin Cap-si-koh sudah kabur dari pulau itu."

   "Hah, bukankah ilmu siIatnya sudah punah, mengapa dia dapat kabur dari Oh-hong-to?"

   Kok Siau-hong menegas dengan terkejut.

   "Rupanya dia berhasil mencuri obat mujarab simpanan Oh-hong-tocu dan telah menyambung tulang pundaknya yang remuk hingga pulih kembali,"

   Tutur Le Kim-liong.

   "Saat itu Oh-hong-tocu tidak berada di rumah, tentu saja tiada seorang pun yang mampu merintangi Sin Cap-si-koh. Hampir semua penghuni Oh-hong-to telah dibinasakan olehnya. Koan-keh (pengurus rumah tangga) yang membawanya ke Oh-hong-to itu juga terluka parah, untung jiwanya tidak sampai melayang."

   Diam-diam Kok Siau-hong merasa kuatir.

   Kalau Sin Cap-si-koh benar kabur dari Oh-hong-to, tentu akan mencari ayah mertuanya untuk menuntut balas.

   Maka berita penting ini harus selekasnya disampaikan kepada sang mertua.

   Sebenarnya Ong Ih-ting bermaksud menahan Le Kim-liong agar tinggal beberapa hari lagi, tapi Le Kim-liong ingin lekas menemukan anak perempuannya, maka tidak dapat tinggal lebih lama di situ.

   "Apakah Le To-cu hendak mencari kabar ke Kim-keh-nia?"

   Tanya Siau- hong.

   "Benar, apakah kau ada sesuatu urusan?"

   Jawab Le Kim-liong.

   "Ya, harap Le To-cu menyampaikan pesanku kepada Hi Giok-kun, adik Giok-hoan yang kini pun berada di sana, katakan bahwa orang yang hendak dia cari itu telah terjadi sesuatu yang tak terduga sehingga jejaknya kini tidak diketahui lagi."

   "O, siapakah yang hendak dicari nona Hi?"

   Tanya Le Kim-liong.

   "Seorang pendekar muda bernama Liong Sin,"

   Tutur Kok Siau-hong, lalu ia menguraikan lebih lanjut mengenai duduk perkara serta ciri wajah "Liong Sin"

   Yang dimaksud. Le Kim-liong berjanji akan menyampaikan pesan Kok Siau-hong itu, lalu mohon diri. Menyusul Kok Siau-hong juga pamit kepada Ong Ih-ting.

   "Setelah kau titip pesan kepada Le To-cu, agaknya sementara engkau takkan kembali ke Kim-keh-nia?"

   Tanya Ong Ih-ting.

   "Ya, aku ingin lekas menyampaikan berita yang kudengar dari Le To-cu tadi kepada mertuaku,"

   Jawab Siau-hong.

   "Memang benar juga, dengan kaburnya iblis perempuan itu dari Oh- hong-to, memang mertuamu harus diberitahu agar waspada menghadapi segala kemungkinan, dalam perjalanan hendaklah kau pun memperhatikan kabar tentang Liong Sin,"

   Kata Ong Ih-ting.

   Kok Siau-hong mengiakan dan lantas mohon diri.

   Setelah mengalami pertempuran besar itu, mayat yang terapung di permukaan Thay-ouw belum seluruhnya dapat diangkat sehingga banyak yang terhanyut ikut arus air.

   Perasaan Kok Siau-hong merasa duka juga dengan menghilangnya Liong Sin yang kemungkinan sudah tenggelam di danau.

   Padahal Liong Sin dianggapnya mirip sekali dengan Sin Liong-sing walaupun wajahnya buruk.

   Sebenarnya dia sangat setimpal dengan Giok-kun, tapi di luar dugaan kini terjadi peristiwa ini.

   Dari Hi Giok-kun kemudian Siau-hong terkenang kepada bakal isterinya sendiri, yaitu Han Pwe-eng.

   Dapat diduga Sin Cap-si-koh tentu akan mencari balas kepada mertuanya, jika di tengah jalan Han Pwe-eng kepergok, urusan bisa runyam tentunya.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi lantas terpikir dunia seluas ini, masakah begitu kebetulan Han Pwe-eng dapat kepergok musuh, yang harus dikuatirkan adalah selama ini Pwe-eng belum pernah datang ke daerah Miau, mungkin tidak dapat menemukan tempat tinggal ayahnya.

   Kiranya sementara ini Han Tay-wi masih istirahat di suatu tempat daerah Miau dengan didampingi oleh teman baiknya, yaitu Thio Tay-tian.

   Sesudah lolos dari pukulan maut Sin Cap-si-koh, lantaran mengalami pertarungan sengit, pula sisa racun dalam tubuhnya belum bersih seluruhnya, maka Han Tay-wi pikir baru akan pulang setelah penyakitnya sembuh.

   Meski sudah ada setahun Kok Siau-hong akur kembali dengan Han Pwe- eng, tapi selama ini mereka lebih banyak berpisah daripada berkumpul, sekarang dia hendak menyampaikan berita penting kepada ayah mertuanya, tentu saja juga berharap dapat berkumpul dengan bakal isterinya dengan rasa mesra, karena itu perjalanan ia lakukan siang dan malam tanpa mengenal lelah.

   Tiada terjadi sesuatu sepanjang perjalanan, suatu hari dia telah memasuki Siam-say barat.

   Daerah itu meliputi tujuhbelas kabupaten, sedangkan daerah Miau yang dituju terletak pada kabupaten ujung barat-laut sana, untuk menuju ke sana harus melalui dua kabupaten, yaitu Peng-tian-koan dan Bu- kang-koan.

   Di Peng-tian-koan berdiam keluarga Ciau, kedua kakak beradik Ciau Siang-hoa dan Ciau Siang-yau pernah juga berkunjung ke Thay-ouw dan kenal Kok Siau-hong, satu sama lain pun merasa cocok.

   Bakal isteri Ciau Siang-hoa, yaitu Nyo Kiat-bwe adalah bekas pelayan Sin Cap-si-koh, yaitu Si Bwe, sejak dulu juga menjadi kawan baik Han Pwe-eng.

   Kini Kok Siau-hong kebetulan berlalu di situ, ia pikir tiada jeleknya menyambangi kenalan lama sekalian mencari kabar tentang keadaan Han Pwe-eng.

   Letak rumah keluarga Ciau dekat dengan kaki gunung, sepanjang jalan jarang orang berlalu-lalang.

   Karena itu juga mudah saja untuk menemukan tempat kediaman keluarga Ciau itu.

   Tapi setiba Kok Siau-hong di depan rumah, ternyata pintu tertutup rapat, malahan penuh sarang laba-laba di sana sini.

   Keruan Siau-hong heran, apakah segenap penghuninya sedang bepergian atau mereka sudah pindah rumah? Ia coba mengetuk pintu, tak terduga segera ada suara orang mengiakan dan membukakan pintu, maka legalah hati Siau-hong.

   Ia lihat yang membukakan pintu adalah seorang gadis Miau, mau tak mau kembali Siau- hong merasa heran.

   Syukur gadis Miau itu fasih berbahasa Han, sekali bicara lantas lenyaplah rasa sangsi Kok Siau-hong.

   "Apakah tuan tamu hendak mencari Lo-ya kami?"

   Tanya si gadis Miau.

   Dengan bertanya begitu jelas dia adalah budak keluarga Ciau.

   Daerah Siam-say barat itu memang berpenduduk campuran antara suku Miau dan Han, keluarga hartawan membeli gadis Miau sebagai budak bukanlah sesuatu yang luar biasa.

   Maka Siau-hong lantas menjawab.

   "Bukan, aku mencari tuan muda kalian, kau....."

   "Aku adalah pelayan Siocia dan mendapatkan nama bangsa Han dengan panggilan Say-hoa,"

   Jawab gadis Miau itu.

   "Siapakah tuan....."

   "O, aku she Kok, kenal dengan tuan muda dan nona kalian,"

   Jawab Siau- hong.

   "Baiklah, silakan masuk,"

   Kata gadis Miau bernama Say-hoa itu. Setelah ikut masuk ke dalam ruang tamu, ternyata tiada seorang pun yang menyambut kedatangannya. Segera Kok Siau-hong bertanya pula.

   "Apakah majikanmu tiada di rumah?"

   "Ya, segenap keluarga sedang berkunjung ke tempat keluarga Bu di Bu- kang-koan,"

   Tutur Say-hoa. Sebagaimana pernah diceritakan, keluarga Bu dan keluarga Ciau adalah sahabat keturunan, maka tidaklah mengherankan jika kedua keluarga saling berkunjung.

   "Wah, jika begitu kunjunganku ini tidak kebetulan,"

   Ujar Siau-hong.

   "Harap kau sampaikan saja kedatanganku ini kepada Siau-ya (tuan muda) kalian. Kalau tiada halangan setengah bulan lagi mungkin akan kujenguk dia lagi ke sini."

   "O, jangan, hendaklah Kok-siauya suka menunggu dan segera kusuruh mengundang Siau-ya dan Siocia serta nona Nyo selekasnya pulang, malam nanti juga mereka dapat sampai di rumah,"

   Demikian gadis Miau itu berkata.

   "Soalnya nona Nyo juga sudah pesan, apabila ada tamu mencari Siau-ya hendaklah sang tamu ditahan untuk menunggunya. Tentunya Kok-siauya juga tahu akan nona Nyo bukan?"

   "Ya, aku tahu,"

   Jawab Siau-hong.

   "Aneh juga, darimana nona Nyo tahu akan kedatangan tamu? Apakah pernah ada seorang nona Han berkunjung ke sini?"

   Gadis Miau itu tampak melengak, lalu menjawab.

   "Nona Han? O, ya, beberapa hari berselang pernah datang seorang tamu wanita yang sangat cantik. Mungkin itulah nona Han yang engkau maksudkan."

   Siau-hong merasa girang mendapatkan berita Han Pwe-eng, maka tanpa pikir lagi ia lantas terima tawaran gadis Miau itu agar menunggu pulangnya tuan rumah.

   Lalu gadis Miau itu masuk ke dalam, waktu keluar lagi ia membawa sebuah nampan dengan poci teh dan penganan kecil.

   Setelah menuangkan satu cangkir teh, gadis Miau itu menyilakan tamunya minum.

   Kok Siau-hong mengucapkan terima kasih dan menyuruh pelayan itu boleh pergi memanggil tuan rumah pulang.

   Lalu ia angkat cangkir teh itu, terendus bau harum yang sedap.

   Tiba-tiba hati Siau-hong tergerak, cangkir teh yang sudah diangkat itu tidak lantas diminumnya.

   "Ah, hampir saja lupa!"

   Tiba-tiba gadis Miau itu berkata.

   ~ Lalu ia ambil sebuah ember air untuk menyirami satu pot bunga.

   Pot bunga itu terletak di atas meja dekat jendela.

   Bahwa keluarga orang mampu menggunakan pot bunga sebagai pajangan adalah jamak, hanya sejenis anggrek hitam yang tumbuh pada pot itu memang lain daripada yang lain.

   Rasa curiga Kok Siau-hong lantas timbul, ia heran pelayan yang disuruh pergi memanggil majikannya itu mengapa memikirkan pekerjaan iseng begitu? Ia dengar pelayan itu berkata.

   "Bunga anggrek hitam ini diperoleh Lo-ya kami dengan susah payah, setiap hari bunga ini harus disiram air, kalau tidak, dengan cepat bunga ini akan layu. Nona Nyo juga sangat suka pada bunga ini, sebelum pergi beliau juga pesan padaku agar menjaganya dengan baik. O, silakan minum, mengapa Kok-siauya tidak minum tehnya?"

   Kemudian sesudah si gadis Miau pergi, Kok Siau-hong menjadi tertawa sendiri akan rasa curiganya yang berlebihan. Kiranya tadi dia tidak lantas minum teh itu adalah disebabkan dia teringat kepada pengalaman "Liong Sin"

   Yang pernah terjebak musuh ketika bermaksud berobat ke klinik tabib Ong di Soh-ciu, sebab sebelumnya tidak diketahui kalau kediaman tabib sakti itu sudah diduduki musuh.

   Meski gadis Miau itu tampaknya bukan orang jahat, tapi tiada jeleknya berhati-hati sedikit, demikian pikir Siau-hong pula.

   Maka ia tetap tidak berani minum teh dan makan penganan yang disuguhkan itu.

   Dasarnya Kok Siau-hong memang orang yang suka bunga, karena iseng, ia lantas mendekati anggrek hitam yang disiram air tadi.

   Dilihatnya bunga itu hanya terdiri dari beberapa kelopak saja, akan tetapi indah sekali dan baunya terasa memabukkan.

   Mau tak mau ia harus memuji akan bunga yang bagus itu, di Pek-hoa-kok meski terdapat aneka macam bunga, tapi belum pernah nampak ada anggrek hitam jenis ini, pantas kalau nona Nyo sangat menyukainya.

   Teringat kepada Nyo Kiat-bwe, ia menjadi memikirkan nasib nona itu yang malang, sudah sejak kecil diculik orang, sesudah besar tertipu pula cintanya oleh Sin Liong-sing, betapa pedih dan getir perasaannya dapat dibayangkan.

   Syukur sekarang dia telah menemukan pemuda yang benar- benar mencintainya, sedikitnya hal ini dapat menghibur hatinya yang lara.

   Terpikir pula oleh Kok Siau-hong bahwa kejadian di dunia ini seringkali sukar diduga.

   Bahwasanya Sin Liong-sing telah mempermainkan Nyo Kiat- bwe, akhirnya pemuda itu mati secara tidak wajar.

   Entah sekarang nona Nyo itu masih benci tidak kepadanya dan apakah berita kematian Sin Liong-sing nanti harus kukatakan padanya? Tapi rasanya urusan yang sudah lalu sebaiknya tidak perlu disinggung pula.

   Begitulah dari bunga anggrek itu Kok Siau-hong teringat kepada Pek-hoa- kok dan terkenang pula kepada Hi Giok-kun, lantas terpikir tentang Sin Liong-sing dan Nyo Kiat-bwe, makin dipikir makin kabur, entah mengapa tiba-tiba terasa samar-samar bayangan Hi Giok-kun, Sin Liong-sing, Nyo Kiat-bwe dana lain-lain seolah-olah berputar terus di dalam benaknya, mendadak ia pun tidak ingat apa-apa lagi.

   Entah sudah lewat berapa lama, dalam keadaan setengah sadar tiba-tiba kepalanya terasa dingin segar seperti tersiram oleh air, segera ia siuman kembali.

   Begitulah ia membuka mata segera terlihat gadis Miau itu berdiri di depannya dengan tersenyum manis, ternyata gadis inilah sedang menciprati air padanya.

   "He, kau? Kenapakah diriku? Mana Ciau-siauya dan nona Nyo?"

   Segera Siau-hong berseru.

   "Orang yang hendak kau cari sudah di sini!"

   Kata gadis Miau itu dengan tertawa. Belum lenyap suaranya, terdengarlah seorang mendengus dengan suara seram.

   "Hm, Kok Siau-hong, betapa pun cerdikmu hari ini kau juga masuk perangkapku!" ~ Ternyata yang muncul ialah Sin Cap-si-koh. Kejut dan gusar pula Kok Siau-hong, tadinya dia kuatir kalau Han Pwe- eng akan kepergok iblis perempuan ini, siapa duga dirinya sendiri yang kebentur malah. Segera ia bermaksud melompat bangun, tapi terasa sekujur badan lemas lunglai tak bertenaga sedikit pun.

   "Berbaring sajalah kau!"

   Kata gadis Miau itu, sedikit mendorong saja Kok Siau-hong lantas rebah pula.

   "Kok Siau-hong,"

   Kata Sin Cap-si-koh dengan tertawa.

   "sungguh besar rezekimu mendapatkan pelayanan dia. Apakah kau tahu siapa dia? Dia ialah Sam-kongcu (puteri ketiga) kepala suku Miau di Siam-say barat sini."

   "Namaku Bong Say-hoa, pernah kulihat kau di Siam-say barat sana, cuma engkau sendiri tidak tahu akan diriku,"

   Kata gadis Miau tadi dengan tertawa.

   Kiranya setelah Sin Cap-si-koh kabur dari Oh-hong-to, lebih dulu ia mendatangi daerah suku Miau di Siam-say barat untuk mencari jejak Han Tay-wi.

   Tongcu pada daerah Miau itu bernama Bong Tek-ci, adalah sahabat lama Sin Cap-si-koh.

   Bong Tek-ci mempunyai tiga orang anak perempuan, yang besar dan kedua sudah menikah, puteri ketiga bernama Bong Say-hoa masih perawan dan menjadi anak pungut Sin Cap-si-koh.

   Ketika membantu Sin Cap-si-koh bermusuhan dengan kaum pendekar bangsa Han tempo hari, Bong tek-ci telah mendapat dampratan dari Cong- tongcu (pemimpin besar) suku Miau, sebab itu kedatangan kembali Sin Cap- si-koh sekali ini hanya dilayani sebagai kawan baik saja, untuk membantunya dia tak berani lagi.

   Hanya Bong Say-hoa ternyata sangat cocok dengan Sin Cap-si-koh.

   Malahan Cap-si-koh telah berjanji akan mengajarkan ilmu silat padanya, pula dia sengaja menguraikan tentang keindahan dan kemewahan di luar daerah Miau, maka akhirnya Bong Say-hoa terbujuk dan minggat bersama Cap-si-koh.

   Kedatangan Sin Cap-si-koh sekali ini ada tiga orang yang hendak dicarinya.

   Pertama ialah Han Tay-wi, kedua adalah Beng Jit-nio dan ketiga ialah bekas pelayannya, yaitu Nyo Kiat-bwe alias Si Bwe.

   Bahwa Han Tay-wi dan Beng Jit-nio hendak dicarinya untuk menuntut balas, namun dalam pandangan Sin Cap-si-koh, kedua orang itu bukanlah musuhnya yang terbesar, sebab musuh yang paling dibenci dan didendamnya ialah Nyo Kiat-bwe.

   Dia dendam karena Kiat-bwe telah berani mengkhianati dia, selain itu ia pun dendam karena Kiat-bwe secara licik telah meracuni keponakannya, yaitu Sin Liong-sing, pula telah diketahui bahwa kitab pusaka Tong-jin-pit- kip yang diincarnya itu ternyata berada pada Ciok Leng, seorang sahabat karib mendiang ayah Nyo Kiat-bwe, sedang Ciok Leng diketahui pula adalah ayah kandung bakal suami Kiat-bwe, yakni Ciau Siang-hoa.

   Lantaran tiga alasan pokok itu, maka orang yang pertama hendak dicarinya untuk menuntut balas ialah Nyo Kiat-bwe adanya.

   Tadinya Kiat-bwe memang tinggal di rumah keluarga Ciau, tapi demi menghindari pencarian musuh, keluarga Ciau sudah lama pindah rumah.

   Sebagaimana pernah diceritakan, musuh besar keluarga Ciau adalah Kiau Sik-kiang dan Sin Cap-si-koh.

   Ketika Sin Cap-si-koh dan Bong Say-hoa sampai di rumah keluarga Ciau, ternyata rumah itu sudah kosong, Nyo Kiat-bwe entah sudah pergi kemana.

   Mereka lantas tinggal untuk sementara di rumah itu untuk menunggu pulangnya musuh.

   Tak terduga orang yang ditunggu belum pulang, malahan Kok Siau-hong tahu-tahu muncul di situ.

   Waktu Kok Siau-hong sampai di situ, kebetulan Sin Cap-si-koh sedang keluar rumah, maka dengan tipu dayanya Bong Say-hoa telah menawan Kok Siau-hong, lalu pergi mencari Sin Cap-si-koh dan melaporkan apa yang sudah terjadi.

   Begitulah Kok Siau-hong merasa tiada tenaga sedikit pun untuk melawan dorongan Bong Say-hoa tadi, terpaksa ia berbaring lagi tanpa bisa berkutik.

   Dengan tertawa Sin Cap-si-koh berkata pula.

   "He, he, kau telah mengisap bau harum Jian-jit-cui (mabuk seribu hari), ilmu silatmu sudah punah, percuma saja kau meronta, maka lebih baik kau turuti saja apa yang kukatakan."

   Kok Siau-hong menyadari andaikan ilmu silatnya tidak punah juga bukan tandingan Sin Cap-si-koh, maka ia cuma menjawab dengan gemas.

   "Aku terjebak oleh tipu muslihatmu, jalan satu-satunya bagiku hanya mati, jika ingin aku menyerah, hm, jangan kau harap."

   "Kau adalah menantu sahabat baikku, mana aku tega membunuh kau?"

   Kata Cap-si-koh dengan tertawa.

   "Cuma bila kau tidak tunduk padaku, terpaksa aku akan membikin kau sekarat, biar kau hidup tidak dan mati pun tidak."

   Habis ini ia berpaling kepada Bong Say-hoa dan berkata pula.

   "Anak yang baik, boleh kau pergi merawat anggrek itu dan tidak perlu lagi meladeni dia."

   "Ya, bisanya Kok-siauya ditahan di sini adalah berkat jasa anggrek hitam itu,"

   Kata Bong Say-hoa dengan tertawa.

   "Hendaklah kau jangan marah, Kok- siauya, suku Miau kami memang suka pada tamu, kalau aku tidak bertindak demikian mana engkau mau tinggal di sini."

   Kiranya anggrek hitam itu adalah sejenis bunga aneh yang khusus tumbuh di daerah Miau, air yang dibuat menyiram bunga itu adalah air mineral yang mengandung belerang dan bunga itu akan berbau aneh, maka diberi nama "anggrek mabuk seribu hari", orang yang mengisap bau harum bunga itu akan mabuk, lalu tak sadarkan diri.

   Begitulah Kok Siau-hong sengaja pejamkan mata dan berbaring dengan menghadap dinding dan tidak menggubris perkataan orang.

   Dengan mendongkol Sin Cap-si-koh membaliki tubuh Kok Siau-hong dan berkata.

   "Kau tidak menjawab pertanyaanku berarti kau mencari susah sendiri!"

   Habis ini ia mengusap perlahan pada kelopak mata pemuda itu. Seketika Siau-hong merasa kedua matanya pegal pedas, air mata pun bercucuran dan tanpa kuasa membuka kedua matanya.

   "Boleh kau bunuh aku saja!"

   Bentak Siau-hong.

   "Tadi sudah kukatakan takkan kubunuh kau, dengan susah payah aku memancing kau ke sini, masakah aku dapat membunuh kau begini saja? Coba kau bicara dengan sebenarnya dan aku akan memberi obat penawar padamu. Sekarang ayah mertuamu berada dimana? Lekas katakan!"

   "Hm, kau kejam seperti ular berbisa, bila melihat kau mertuaku lantas muak, tapi kau sendiri tidak tahu malu dan masih ingin memelet ia!"

   Mata Sin Cap-si-koh sampai mendelik saking gusarnya, tapi ia cuma balas menjengek dengan tertawa seram.

   "Hm, kau sengaja memancing kemarahanku agar aku membunuh kau bukan? Huh, aku justru takkan tertipu olehmu, akan kusiksa kau dengan perlahan agar kau tahu rasa. Jika kau tahu gelagat, nah, lekas jawab pertanyaanku yang kedua. Dimana beradanya perempuan hina Beng Jit-nio?"

   "Kau sendiri perempuan hina!"

   Jawab Siau-hong.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku tidak tahu Beng Jit-nio berada dimana, andaikan tahu juga takkan kukatakan padamu."

   "Si budak busuk Si Bwe berada dimana kukira kau memang tidak tahu, tapi dimana beradanya keponakanku tentunya kau tahu bukan? Nah, aku ingin kau mencari keponakanku itu ke sini."

   "Ya, memang aku mengetahui dimana beradanya keponakanmu, cuma sayang siapa pun tidak mampu lagi menemukan dia!"

   "Sebab apa?"

   Tanya Cap-si-koh.

   "Jika kau ingin mencari dia, boleh kau menyusulnya ke akhirat!"

   "Apa katamu? Liong-sing sudah meninggal? Kau yang membunuh dia?"

   "Sin Liong-sing adalah orang yang kukagumi, aku cuma menyesal tak dapat menolong jiwanya!"

   "Aneh juga ucapanmu ini, masakah kau kagum padanya? Jika begitu katakan saja terus terang, siapa yang membunuh dia? Apakah si budak busuk Si Bwe itu?"

   "Agaknya kau mengukur baju orang dengan badan sendiri, jangan kau menggunakan pikiran pengecut untuk menilai perut jantan sejati!"

   Jengek Siau-hong.

   "Huh, kau mengaku sebagai jantan sejati?"

   Dengus Cap-si-koh. Alis Kok Siau-hong menegak, jawabnya.

   "Biarpun aku tidak sesuai disebut jantan sejati, paling sedikit aku masih bisa membedakan antara yang jahat dan yang baik, dapat membedakan antara yang putih dan yang hitam. Nona Nyo lebih-lebih bukan manusia keji sebagaimana kau sangka. Tapi keponakanmu sendiri yang mula-mula bersalah padanya, kalau nona Nyo ingin membalas dendam, hal ini adalah pikiran wajar setiap manusia, tapi tidak nanti dia tega membunuh jiwanya."

   "Hm, tadi kau bilang kagum kepada keponakanku, tapi sekarang kau mengolok-oloknya,"

   Jengek Cap-si-koh.

   "Yang benar harus dikatakan benar, yang salah harus disalahkan, apa yang kukatakan hanya berdasarkan kenyataan,"

   Ujar Kok Siau-hong.

   "Sudahlah, kau tidak perlu putar lidah, aku cuma ingin tahu siapakah yang membunuh keponakanku itu?"

   Tanya Cap-si-koh pula.

   "Wan-yan Ho yang membinasakan dia, nah, kau bisa berbuat apa?"

   Jawab Siau-hong.

   "Apa? Wan-yan Ho katamu?"

   Cap-si-koh menegas dengan terkejut.

   "Ya, Wan-yan Ho!"

   Jawab Siau-hong.

   "Justru lantaran itulah maka aku merasa kagum padanya. Bicara terus terang, aku pernah benci kepada keponakanmu, tapi ketika melihat kegagah beraniannya melawan musuh dan pantang menyerah, hal ini membuat aku mau tak mau harus kagum padanya. Hm, keponakanmu jauh terlebih baik dari padamu, ya, bahkan kau tidak dapat dibandingkan dengan dia. Huh, kau malah berani bertanya mengenai keadaan keponakanmu, sekarang kau sudah tahu, apa kau berani menuntut balas baginya?"

   Sin Cap-si-koh menjadi sangsi dan ragu, pikirnya.

   "Sifat Liong-sing cukup kukenal. Paling-paling dia adalah jantan gadungan, tidak inungkin dia menjadi kesatria sejati. Aku tidak percaya pada detik berbahaya dia takkan bertekuk lutut kepada musuh. Cuma Wan-yan Ho memang benar seorang yang keji dan licin, jika dia merasa sukar memperalat Liong-sing, bukan mustahil dia lantas membunuhnya. Betul atau tidak persoalan ini biarlah kuselidiki nanti."

   Melihat orang terdiam dan kelihatan berpikir, kembali Kok Siau-hong mengolok.

   "Hm, akal busuk apa yang sedang kau rancang lagi? Jika kau tidak berani membalas sakit hati keponakanmu, buat apa kau bertanya lagi padaku."

   "Membalas sakit hatinya atau tidak adalah urusanku,"

   Jengek Cap-si-koh.

   "Tapi kalau benar dia sudah mati seperti ceritamu, maka kau pun tidak berguna lagi bagiku."

   Sampai di sini mendadak tangannya bergerak, dari celah-celah kuku dia menyelentikan secomot obat bubuk, dalam keadaan tak bisa berkutik tubuh Kok Siau-hong lantas tertabur oleh obat bubuk itu.

   Agaknya sejak tadi Bong Say-hoa masih mencuri dengar di luar, ketika Sin Cap-si-koh menaburkan obatnya, serentak ia menjerit kuatir dan berlari masuk sambil berseru mencegah, akan tetapi obat bubuk itu sudah telanjur memenuhi tubuh Kok Siau-hong.

   Dengan tertawa Sin Cap-si-koh berkata.

   "Anakku yang baik, aku sudah berjanji padamu, mana aku dapat membunuh dia? Tapi dia telah mencaci- maki aku, aku harus memberi sedikit rasa padanya. Jangan kau mintakan ampun baginya, marilah kita keluar saja."

   Tiada jalan lain terpaksa Bong Say-hoa ikut Sin Cap-si-koh keluar dari kamar itu. Cap-si-koh menutup pintu kamar dan berkata.

   "Nah, boleh kau rasakan, Kok Siau-hong!"

   Sebentar saja Kok Siau-hong merasa sekujur badan sangat gatal geli seperti beribu-ribu ekor semut berlari-lari di atas tubuhnya, rasa yang tidak enak itu sungguh sukar dilukiskan.

   Tidak lama kemudian semut yang tidak berwujud itu seakan-akan menyusup ke dalam tulang belulangnya dan ruas tulang serasa menjadi lapuk semua.

   Kalau rasa sakit masih mendingan, tapi rasa gatal-gatal geli itulah jauh lebih payah daripada rasa sakit.

   Saking tak tahan Kok Siau-hong lantas menggaruk dengan tangan, semakin digaruk semakin keras, akhirnya kulit lecet dan daging berdarah, tapi rasa gatal geli itu semakin hebat malah.

   Tidak lama kemudian Kok Siau-hong benar-benar tersiksa hingga kehabisan tenaga, pikirannya menjadi remang-remang.

   Kalau saja dia terus pingsan masih mendingan, celakanya rasa geli yang aneh itu justru seperti timbul dari dalam perut, ingin tidur pun sukar.

   Tapi kini tenaga untuk menggaruk saja sudah tidak ada.

   Entah sudah lewat berapa lama, selagi dia benar-benar tersiksa hingga tak tertahankan lagi, dalam keadaan hampir tak sadar, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang segar, rasa gatal geli tadi pun banyak berkurang, sungguh enak sekali rasanya.

   Setelah pikirannya jernih kembali, waktu ia memandang, kiranya gadis Miau, yaitu Bong Say-hoa sedang mengoles salep apa di atas tubuhnya, bajunya sejak tadi sudah dilepas oleh gadis Miau itu.

   Melihat Siau-hong membuka mata, Bong Say-hoa lantas tanya dengan suara halus.

   "Bagaimana, rada segar bukan rasanya?"

   Siau-hong hanya mendengus saja dan tidak menggubris padanya.

   Meski di dalam hati ia mendongkol karena gadis Miau itu membantu kejahatan Sin Cap-si-koh, tapi berkat salep yang diolesnya itu rasa gatal gelinya sudah hampir lenyap.

   Maka ia tidak memakinya, tapi juga tidak mengucap terima kasih padanya.

   Agaknya Bong Say-hoa dapat meraba isi hati pemuda itu, ia lantas berkata.

   "Kau tentu sangat benci kepadaku bukan? Sesungguhnya aku tidak tahu engkau akan diperlakukan begini olehnya."

   "Hm, iblis itu yang suruh kau mendekati aku bukan?"

   Jengek Siau-hong.

   "Dasar perempuan keji, tidak perlu kalian main sandiwara, sebenarnya apa kehendakmu?"

   Mendadak Bong Say-hoa menangis, katanya.

   "Tanpa memikirkan akan didamprat Suhu sengaja aku datang ke sini untuk mengobati kau, tapi kau menerima maksud baikku dengan tuduhan jelek. Aku sudah mengaku salah padamu, apakah kau tak dapat memaafkan aku?"

   Melihat sikap gadis Miau itu bukan pura-pura, Siau-hong menjadi ragu- ragu, tanyanya kemudian.

   "Jika kalian tidak sengaja main sandiwara, masakah iblis tua itu megizinkan kau masuk ke sini?"

   "Suhu sedang keluar, aku masuk ke sini di luar tahunya,"

   Tutur Say-hoa.

   "Kau tidak takut ketahuan Suhumu dan akan dihukum olehnya?"

   Tanya Siau-hong. Kedua pipi Bong Say-hoa tampak bersemu merah, katanya kemudian.

   "Aku bersalah dan membikin susah padamu. Biarpun aku akan dihukum oleh Suhu juga aku rela."

   "Jika kau bukan orang jahat, mengapa kau mau diperalat oleh iblis perempuan itu?"

   "Suhu telah menyiksa kau, pantas kalau kau mencaci-maki dia dengan demikian. Namun beliau ada budi terhadap kami ayah dan anak. Suatu kali di daerah Miau kami berjangkit penyakit menular, berkat pertolongan Suhu barulah jiwa kami dapat diselamatkan. Sebab itulah aku lantas mengangkat beliau sebagai ibu dan berguru pula padanya. Tentang permusuhanmu dengan ibu angkat sama sekali aku tidak tahu menahu. Apa yang kulakukan hanya menurut kepada perintahnya saja. Aku dipesan bilamana ada orang asing yang datang mencari beliau, maka boleh kubikin tamunya pingsan dengan bau harum bunga anggrek itu. Coba kalau sebelumnya aku mengetahui kau akan disiksa, tentu takkan kulakukan hal ini."

   "Baik jelek pribadi seseorang tidak dapat dinilai dari satu-dua perbuatannya saja,"

   Kata Siau-hong.

   "Syukur sekarang kau sudah menyadari perbuatanmu yang salah dan tahu pula kekejaman orang seperti Sin Cap-si- koh."

   "Soalnya kami ayah dan anak telah berhutang budi padanya, sebab itulah sebelum ini aku selalu menganggap dia adalah orang baik."

   "Apa yang dia lakukan atas diri kalian hanya bermaksud memperalat kalian untuk menghadapi orang baik dari bangsa Han."

   "Dahulu dia suruh kami membantu dia menghadapi seorang kakek she Han, yaitu ayah mertuamu, bukan? Sesudah kejadian itu, Cong-tongcu kami telah mengutus orang she Ciok untuk memberitahukan kepada kami tentang kejahatan ibu angkat. Waktu itu aku tidak mau percaya, tapi sekarang barulah aku percaya."

   "Mengapa sekarang kau baru mau percaya?"

   Tanya Siau-hong.

   "Sebab engkau juga mengatakan kejahatannya,"

   Jawab Say-hoa.

   Siau-hong rada tercengang, ia heran baru saja kenal, mengapa gadis Miau ini mau percaya kepada perkataannya? "Bagaimana permusuhanmu dengan dia? O, ya, tadi dia minta kau membawanya mencari mertuamu, barangkali dia dan mertuamu bermusuhan dan kau pun ikut dibenci olehnya, betul tidak?"

   "Betul, dia yang meracun mati mertuaku,"

   Kata Siau-hong.

   "Sebab apa?"

   Tanya Say-hoa. Ketika melihat Siau-hong enggan menerangkan, lalu ia menyambung dengan tertawa.

   "Ya, kukira disebabkan asmara tentunya. Eh, dimanakah isterimu? Mengapa kau berada sendirian?"

   "Kami belum menikah, tapi kedatanganku justru hendak mencari bakal isteriku, sebab aku kuatir dia akan kepergok ibu angkatmu!"

   "Wah, tampaknya kau orang yang berbudi dan setia. Tentunya nona Han itupun sangat cantik bukan?"

   "Cantik atau tidak seseorang tidak perlu dinilai dari lahiriah. Memang betul juga bakal isteriku itu sangat cantik, tapi rokhaniahnya terlebih terpuji lagi."

   Mendengar ucapan Kok Siau-hong ini, sekonyong-konyong air muka Bong Say-hoa berubah dan kedua tangannya gemetar sehingga botol obat yang dipegangnya terjatuh, untung botol itu terbuat dari kemala yang kuat sehingga tidak hancur.

   "Beruntung sekali nona Han itu mempunyai seorang suami yang sedemikian cinta padanya seperti kau ini,"

   Kata Bong Say-hoa sambil menjemput kembali botolnya. Tampaknya ia hendak mengucapkan sesuatu pula, tapi tiba-tiba terdengar suara tindakan orang mendatangi, Say-hoa terkejut dan berkata.

   "Wah, ibu angkat telah kembali. He, seperti membawa teman pula. Biar aku keluar melihatnya, hendaklah kau pura-pura masih belum sadar dan masih menderita agar tidak diketahui olehnya."

   Begitulah Bong Say-hoa cepat melangkah keluar, tidak lama suara tindakan dua orang pun sudah sampai di depan pintu.

   Kok Siau-hong tahu Sin Cap-si-koh tidak mempunyai teman karib di dunia persilatan, kalau orang ini dibawanya ke rumah keluarga Ciau yang didudukinya dan membiarkan rahasia perbuatannya diketahui, maka hubungan orang ini dengan iblis perempuan ini jelas lain daripada yang lain.

   Lantas siapakah orang ini? Tentang siapakah orang yang datang bersama Sin Cap-si-koh dan bagaimana pengalaman Kok Siau-hong selanjutnya biarlah kita tunda sementara.

   Kini marilah kita mengikuti dahulu nasib yang menimpa Sin Liong-sing.

   Lantaran tidak mahir berenang, setelah mengadu pernapasan dan mengkaramkan kedua bajak di dasar danau, akhirnya Sin Liong-sing sendiri pun kehabisan tenaga dan tidak mampu terapung ke atas air, terdampar oleh gelombang ombak, ia sendiri pun tak sadarkan diri.

   Entah sudah lewat berapa lama, lambat laun pikiran jernihnya mulai pulih, yang pertama dirasakannya adalah tubuhnya masih naik turun mengikuti gelombang.

   Ia coba membuka mata dengan perlahan, ternyata dirinya terbaring di atas sebuah perahu kecil.

   Waktu ia melirik, ternyata di samping duduk dua orang, seorang sedang menatap padanya dengan tersenyum.

   Sungguh kejut Sin Liong-sing tidak kepalang demi mengenali siapa orang itu, seketika pikirannya menjadi jernih seluruhnya.

   Orang ini bukan lain daripada orang yang pernah berkumpul selama lebih sebulan di pegunungan sunyi dahulu, yaitu Ubun Tiong.

   "Kau sudah siuman, Liong-heng,"

   Sapa Ubun Tiong dengan tersenyum.

   "Tentunya kau tidak menyangka aku yang menyelamatkan kau bukan?"

   Diam-diam Sin Liong-sing menggerutu nasibnya yang sial karena untuk kedua kalinya jatuh dalam cengkeraman orang. Tapi terpaksa ia berlagak gembira dan terima kasih kepadanya, jawabnya kemudian.

   "Ubun-heng, terima kasih atas pertolonganmu. He, he, aku benar-benar tidak pernah menyangkanya."

   "Kita adalah sahabat yang pernah sependerita dan sepenanggungan, kau pun pernah membantu kesukaranku, mana aku dapat tinggal diam tanpa menolong kau,"

   Ujar Ubun Tiong dengan tertawa.

   "Darimana engkau mengetahui akan malapetaka yang menimpa diriku ini?"

   Tanya Sin Liong-sing.

   "Hanya secara kebetulan saja,"

   Tutur Ubun Tiong.

   "Aku memang mengetahui kau berada di Thay-ouw, ketika angkatan laut kerajaan memasuki Thay-ouw, perahu ini ikut memasuki perairan sini. Biarlah sekarang kita bicara secara blak-blakan saja, aku kira kau sudah bertemu dengan It-beng Tojin dan Pek-hwe Hwesio di tempat Ong Ih-ting bukan? Dan sekarang kau tentu pula sudah mengetahui asal-usulku bukan?"

   Sebenarnya kedua orang yang disebut itu belum pernah ditemui Sin Liong-sing, cuma tentang asal-usul Ubun Tiong memang sudah diketahuinya. Terpaksa ia menjawab dengan menyeringai.

   "Ah, walaupun aku sudah tahu, tapi sama sekali aku tiada maksud jahat padamu."

   "Tentu, kalau tidak masakah aku mau menyelamatkan kau,"

   Kata Ubun Tiong.

   "Nah, tentu pula sekarang kau mengetahui isteri Gak Liang-cun adalah bibiku, sekali ini panglima angkatan laut yang memasuki Thay-ouw ini justru adalah Bupati Yang-ciu pamanku itu. Maka tidak perlu kau heran jika aku pun dapat masuk perairan sini bersama angkatan laut kerajaan Song kita. Yang dikejar angkatan laut kerajaan adalah sisa kawanan bajak Su Thian-tik dan Kiau Sik-kiang, aku rada kuatir kalau mereka bertempur dengan pihak Ong Ih-ting, yang ku kuatirkan justru adalah keselamatanmu."

   Sin Liong-sing pikir dirinya sudah pernah salah satu kali, yaitu masuk perangkap Wan-yan Ho, kesalahan begitu tidak boleh terulang lagi.

   Tapi dalam keadaan tak berdaya, pula kepandaian sendiri bukan tandingannya, terpaksa ia bersikap mengikuti arah angin saja.

   Ia lantas mengucapkan terima kasih pula.

   Dengan senang Ubun Tiong mengoceh lagi.

   "Kedatanganku sungguh sangat kebetulan, dari jauh aku lantas melihat perahumu kepergok kapal bajak Kiau Sik-kiang dan kebetulan dapat menyelamatkan jiwamu."

   "Apakah pasukan kerajaan berhasil menangkap Kiau Sik-kiang?"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Liong-sing.

   "Entahlah,"

   Jawab Ubun Tiong.

   "Perahuku berada di bagian depan pasukan, begitu berhasil menyelamatkan kau segera kami meninggalkan Thay-ouw. Sekarang sudah hari kedua, jadi kau tidak sadar selama sehari penuh."

   "Sudah berselang satu hari?"

   Liong-sing menegas dengan terkejut.

   "Habis dimanakah kita sekarang, bukan di Thay-ouw?"

   "Jelas bukan Thay-ouw lagi, tadi kita sudah melewati Jay-ciok-ki,"

   Jawab Ubun Tiong.

   "Ah, kalau begitu kita sudah memasuki perairan Tiang-kang (Yang-tze),"

   Kata Liong-sing.

   "Benar. Kukira kau tidak ingin kembali lagi ke tempat Ong Ih-ting bukan? Kunasehati kau agar jangan mengharap pulang kandang lagi. Jelek- jelek kita sudah pernah mengalami kesukaran bersama, sesungguhnya aku pun merasa berat berpisah dengan kau."

   Diam-diam Sin Liong-sing mengeluh, kembali dirinya tercengkeram oleh iblis ini, sekali ini mungkin sukar melepaskan diri dari dia. Terpaksa ia menjawab.

   "Ya, pertemuan kembali sahabat lama, sudah tentu Siau-te juga ingin berkumpul lebih lama dengan engkau. Entah Ubun-toako hendak membawa Siau-te kemana?"

   "Akan kuberitahu sebentar lagi, sekarang kau boleh isi perut dahulu, sudah kusiapkan sedikit bubur,"

   Kata Ubun Tiong. Lantaran tidak tahu apa yang menjadi tujuan Ubun Tiong atas dirinya, semakin orang melayani dia dengan baik, semakin tidak tenteram hati Sin Liong-sing. Setelah makan bubur sekadarnya, kemudian Ubun Tiong berkata pula.

   "Inilah baju yang kau pakai tempo hari, pedangmu dan beberapa potong uang perak serta sebuah botol kemala yang berada di bajumu juga berada di sini, coba kau periksa ada yang hilang atau tidak? Eh, tampaknya botol ini berisi obat. Obat apakah ini?"

   "O, obat kuat pemberian Ong-tayhu,"

   Jawab Liong-sing.

   "Ah, kukira tidaklah benar, kukenal botol ini adalah milik Ki We,"

   Ujar Ubun Tiong.

   "Liong-heng, hubungan kita sudah semakin erat, kukira kau mesti bicara sejujurnya padaku."

   Melihat sikap Ubun Tiong yang kurang senang itu, cepat Sin Liong-sing menambahkan.

   "Ya, ya, benar, botol itu memang pemberian Ki We, dia suruh aku makan obatnya setiap sebulan satu kali, aku pun tidak tahu apa khasiatnya."

   "Apa betul kau tidak tahu, aku malahan tahu,"

   Kata Ubun Tiong.

   "Ini adalah obat penawar yang harus diminum setelah kau meyakinkan lwekang ajarannya. Kalau tidak minum obat ini, kau tentu akan menderita dan semakin mendalam lwekangmu bahkan ada kemungkinan akan Cau-hwe- jip-mo dan mengalami kelumpuhan total."

   "Apa betul? Tapi Ki We tidak menjelaskan hal ini kepadaku, dia hanya suruh aku minum obat ini setiap bulan sekali,"

   Kata Liong-sing.

   "Ki We memberi batas tempo padamu untuk pulang ke sana dalam waktu setengah tahun, kini empat bulan sudah lalu, seharusnya sisa pil ini masih dua biji, mengapa sekarang ada tiga biji?"

   "Soalnya tabib Ong juga memberi obat padaku, selama minum obat pemberiannya dilarang menggunakan obat lain lagi,"

   Demikian terpaksa Sin Liong-sing berbohong. Sudah tentu Ubun Tiong juga tahu akan kebohongannya, tapi ia sengaja tidak membongkarnya, ia merasa masih perlu memperalatnya, maka dengan tertawa ia berkata pula.

   "Baiklah, jika obat ini tidak kau perlukan lagi, boleh berikan saja padaku. Liong-heng, sesungguhnya aku harus berterima kasih padamu, kau telah mengajarkan dasar ilmu lwekang aliran Ki We itu padaku, selama sebulan ini telah kulatih dan ada kemajuan, ini membuktikan lwekang yang kau ajarkan padaku ini memang tulen."

   "Mana aku berani menipu kau, kita kan kawan yang pernah menderita bersama,"

   Kata Liong-sing.

   "Ya, cuma sayang kau lupa memberitahukan padaku akan akibat buruk bagi orang yang meyakinkan Lwekang ini,"

   Kata Ubun Tiong.

   "Untung sedikit banyak aku pun sudah kenal lwekang Ki We sehingga tidak sampai mengalami kesukaran. Sebenarnya aku pun tidak takut akan akibat apa pun, tapi ada hal lain yang paling ku kuatirkan, apakah Liong-heng tahu hal apa?"

   "Begini tinggi kepandaian Ubun-toako, masakah ada sesuatu yang perlu dikuatirkan?"

   Ujar Liong-sing.

   "Gunung satu lebih tinggi daripada gunung yang lain, meski kepandaianku sedikit di atasmu, tapi dibandingkan Ki We aku belum dapat menandinginya,"

   Kata Ubun Tiong.

   "Cuma soalnya bukan aku takut kepada Ki We, yang ku kuatirkan justru kalau keparat she Ki ini keburu mati."

   Sin Liong-sing melengak oleh keterangan itu, katanya.

   "Sungguh aku merasa tidak paham akan maksudmu?"

   "Kan sederhana saja soalnya,"

   Kata Ubun Tiong dengan tertawa.

   "Jika dia keburu mampus, aku menjadi tidak dapat menuntut balas dengan tanganku sendiri. Eh, dia adalah mertuamu, jika aku menuntut balas padanya kau akan membantu pihak mana?"

   BUN-TOAKO, engkau sendiri tahu bahwa sebenarnya aku tidak ingin menjadi menantunya,"

   Jawab Liong-sing.

   "Bagus, jadi kau akan membantu pihakku,"

   Kata Ubun Tiong. Karena kepepet, terpaksa Sin Liong-sing berkata pula.

   "Ubun-toako telah menyelamatkan jiwaku, sudah tentu aku akan membantu engkau."

   "Bagus sekali jika begitu, sekarang aku tidak sabar menunggu lagi berhasilnya lwekang yang kuyakinkan ini, marilah kau ikut aku ke Sun-keng- san untuk mencari Ki We untuk menuntut balas, setiba di sana baru akan kuberitahukan kau cara bagaimana kita akan menyergapnya. Ki We pasti takkan curiga bila melihat kau telah pulang menurut waktu yang

   Jilid 34

   "U ditentukannya. Nah, mulai sekarang kita adalah kawan sehidup semati. Aku tahu isi hatimu, Liong-heng, meski kau suka kepada isteri baru, tapi isteri lama juga sukar terlupakan, betul tidak?"

   Dalam hati Sin Liong-sing memaki, tapi terpaksa ia menjawab.

   "Ah, Ubun-toako suka berkelakar saja! Aku bertunangan dengan nona Ki hanya untuk mencari selamat saja. Sesungguhnya nona Ki juga sangat baik padaku dan tidaklah pantas jika aku berbalik akan mencelakai dia."

   "Jangan kuatir, aku pasti akan memenuhi cita-citamu. Hanya tua bangka she Ki saja yang akan kubinasakan nanti, puterinya akan kuserahkan padamu. Apakah kau tetap setia pada Hi Giok-kun atau ingin isteri baru itu adalah terserah kau. He, he, bagaimana? Cukup baik bukan aku kepadamu?"

   Terpaksa Sin Liong-sing mengucapkan terima kasih pula, tapi dalam hati ia berpikir pada suatu hari kau juga pasti akan merasakan pembalasanku yang setimpal.

   Begitulah kedua orang itu sama-sama mengandung pikiran licik walaupun di mulut bicara sama manisnya.

   Setelah dua hari beristirahat di atas perahu itu, tenaga Sin Liong-sing kini sudah pulih.

   Kedua orang itu lantas mendarat dan segera menuju ke Sun-keng-san untuk mencari Ki We.

   Suatu hari sampailah mereka di suatu kota kecil, Ubun Tiong perlu menambah sedikit perbekalan, Sin Liong-sing juga ingin membeli sedikit barang.

   Kebetulan hari itu adalah hari pasaran di kota kecil itu, kedua orang itu lantas ikut belanja.

   Di tengah pasar yang berjubel itu, tiba-tiba Sin Liong-sing melihat dua orang yang mencurigakan.

   Sin Liong-sing sengaja mendekati mereka, terdengar kedua orang itu sedang bercakap-cakap dalam bahasa rahasia Kang-ouw.

   Sebagai jago Kang-ouw kawakan, Sin Liong-sing dapat menangkap maksud percakapan kedua orang itu, segera timbul niatnya untuk menguntit kedua orang itu.

   Sebenarnya Ubun Tiong tidak setuju mencampuri urusan orang, tapi terpaksa dia mengikuti kehendak Sin Liong-sing itu.

   Lebih dulu Sin Liong- sing masuk sebuah toko kelontong untuk membeli sebuah kipas, ia pinjam alat tulis pula kepada tuan rumah dan melukiskan sebuah tengkorak di atas kipas, habis itu baru menyusul lagi kedua orang itu.

   "Apa artinya tengkorak yang kau lukis itu?"

   Tanya Ubun Tiong heran.

   "Siapakah kedua orang tadi?"

   "Anak buah Kiau Sik-kiang,"

   Jawab Liong-sing.

   "Kawanan bajak Kiau Sik-kiang memakai tanda pengenal panji tengkorak, pantas kau melukis juga tengkorak pada kipasmu. Apa maksudmu hendak menuntut balas?"

   "Mengingat pergaulan Ubun-toako yang luas, tentunya juga kenal Kiau Sik-kiang bukan?"

   "Pernah bertemu satu kali pada belasan tahun yang lalu, malahan pernah bertukar pikiran tentang ilmu silat. Cuma kau jangan kuatir, betapa pun hubunganku dengan kau terlebih erat, aku takkan merintangi kau membereskan kedua anak buahnya tadi."

   "Tapi aku perlu bantuanmu, Ubun-toako,"

   Kata Liong-sing.

   "Kepandaian kedua orang itu jelas sangat terbatas, masakah kau takut tidak mampu melawan mereka?"

   Ujar Ubun Tiong dengan tertawa.

   "Maksudku bukan minta bantuanmu untuk membunuh mereka, tapi harap engkau membantu mendekati mereka sebagai kenalan pemimpin mereka."

   "O, kiranya kau ingin memancing rahasia mereka, habis itu baru membunuhnya. Boleh juga. Apa susahnya?"

   Begitulah mereka lantas mengejar ke arah tadi dengan cepat.

   Dengan Ginkang mereka, dengan sendirinya hanya sebentar saja kedua orang tadi sudah tersusul.

   Melihat dua orang seperti sengaja menyusul mereka, kedua orang tadi rada heran dan sangsi juga, segera mereka siap siaga.

   Tapi sesudah dekat, Sin Liong-sing lantas sengaja pentang kipasnya dan mengebas-ngebas, lalu menyapa.

   "Kedua saudara apakah masih ingat padaku?"

   Gambar tengkorak yang terlukis di atas kipas Sin Liong-sing itu tampaknya rada mengejutkan kedua orang tadi. Seorang di antaranya lantas menjawab.

   "Siapakah saudara ini, rasanya kita belum pernah bertemu?"

   Sin Liong-sing mengebaskan kipasnya perlahan, lalu berkata.

   "Semula aku selalu mendampingi Su To-cu, tapi Kiau To-cu telah penujui diriku dan minta aku pindah mendampingi beliau. Bulan yang lalu barulah aku masuk Pang kita. Apakah kalian tidak ikut serta dalam pertempuran di Thay-ouw tempo hari?"

   Kawanan bajak pimpinan Kiau Sik-kiang dan Su Thian-tik ada dua-tiga ribu jumlahnya, sudah tentu tidak semua anak buah kenal satu sama lain. Maka meski merasa sangsi, terpaksa ia menjawab.

   "Ah, pantas rasanya seperti sudah kenal, kiranya kita pernah bertempur bersama di Thay-ouw."

   "Benar, cuma kita tidak berada dalam kapal yang sama,"

   Ujar Liong-sing.

   "Tapi meski engkau tidak kenal aku, namun aku tetap kenal kau. Kau berada satu kapal dengan Ciong Hu-tocu, betul tidak?"

   Walaupun apa yang dikatakan Sin Liong-sing itu tidak tepat, tapi untuk menunjukkan dirinya juga bukan orang rendahan, orang itu lantas menjawab.

   "Betul, betul! Kini aku pun ingat kau memang berada di kapal Kiau To-cu waktu itu. Untung ketika itu Ciong Hu-tocu berhasil merampas sebuah perahu dan menerjang keluar kepungan musuh di bawah pengawalan aku dan beberapa orang lagi, syukur akhirnya dapat mendarat dengan selamat, tapi beberapa kawan itupun sudah terpencar. Ah, siapakah sahabat ini, apakah dia juga kawan Pang kita?"

   Yang dia maksudkan ialah Ubun Tiong yang sudah mendekati mereka pula.

   "Dia bukan kawan Pang kita, tapi dia adalah sahabat Kiau Pang-cu kita,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Aku bernama Ubun Tiong, barangkali kau belum kenal,"

   Segera Ubun Tiong menyebut namanya sendiri. Orang itu terkejut dan cepat menjawab.

   "Ah, kiranya Ubun-siansing adanya, maaf, maaf!"

   Sorot matanya tampak merasa sangsi, sebab ia tahu Ubun Tiong adalah tokoh Kang-ouw yang terkenal, mengapa bergaul dengan seorang keroco yang baru saja dikenal ini.

   "Belasan tahun yang lalu ketika Kiau To-cu baru menginjak Tiong-goan, dalam suatu pertemuan yang secara mendadak kami telah saling mengukur kepandaian masing-masing dan akhirnya kekuatan kami ternyata setanding,"

   Demikian tutur Ubun Tiong.

   Habis itu ia sengaja mencomot tiga potong batu terus diremas sekenanya, ketika ia membuka tangannya, batu-batu itu telah hancur menjadi bubuk.

   Keruan kedua anak buah Kiau Sik-kiang itu menjadi melongo kesima.

   Ubun Tiong memang sengaja pamer kepandaiannya untuk membuktikan dirinya bukan Ubun Tiong gadungan.

   Habis itu baru ia berkata pula.

   "Sudah lama aku tidak berjumpa dengan Kiau To-cu, kabarnya dia baru saja mengalami kekalahan besar, aku menjadi ikut berkuatir baginya. Sebab itulah ketika bertemu dengan saudara Liong dari Pang kalian ini aku lantas minta keterangan padanya. Setelah bicara kami menjadi seperti kenalan lama saja."

   "Ya, tapi sayang aku pun tidak tahu keadaan Kiau To-cu kini, apakah kalian tahu jejak beliau sekarang?"

   Kata Liong-sing.

   "Kami telah terpencar dengan beliau, kami tidak tahu dimana beliau berada,"

   Jawab orang itu.

   "Saudara ini baru kembali dari lautan timur sana, dengan sendirinya juga tidak tahu."

   "O, bicara tentang lautan timur sana, aku menjadi teringat kepada apa yang dikatakan Kiau To-cu, katanya telah dikirim seorang untuk mencari berita di Oh-hong-to mengenai seorang yang dikurung oleh Oh-hong-tocu di sana, tentunya orang yang dikirim ke sana adalah kau bukan?"

   "Betul, justru aku mendapatkan suatu berita penting, yaitu tentang kaburnya orang tahanan itu, makanya aku cepat kembali ke sini,"

   Jawab orang kedua tadi.

   "Orang yang kau maksudkan tadi adalah nenek yang bernama Sin Cap- si-koh, bukan?"

   Tanya Sin Liong-sing.

   "Benar, tapi kini Sin Cap-si-koh itu sudah kabur,"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab orang itu.

   "Kabarnya dia berhasil mencuri obat mujarab Oh-hong-tocu dan dapat menyambung kembali tulang pundaknya yang remuk. Sebab itulah aku perlu menyampaikan berita penting ini kepada To-cu agar beliau berjaga jaga."

   Mendengar ini barulah Ubun Tiong mengetahui apa sebabnya Sin Liong-sing berkeras ingin menguntit kedua orang ini, rupanya percakapan mereka dalam bahasa rahasia Kang-ouw tadi menyinggung Sin Cap-si-koh, hal inilah yang menarik perhatiannya.

   Sudah tentu Sin Liong-sing merasa girang mendengar berita mengenai bibinya itu, tapi ia bersikap tenang saja, katanya kemudian.

   "Apakah kau tahu dimana iblis perempuan itu bersembunyi kini."

   "Kabarnya dia berdiam di rumah keluarga Ciau di Siam-say barat, bakal menantu perempuan keluarga Ciau itu katanya bekas pelayannya,"

   Tutur orang itu.

   "Untuk apakah engkau menanyakan hal ini?"

   Tiba-tiba kawannya menyela.

   "Eh, apakah engkau betul anggota Pang kita? Rasanya aku pernah melihat kau, agaknya kau tidak berada di atas kapal kita tempo hari."

   Kiranya orang ini memang berada pada kapalnya Ciong Bu-pa tempo hari, dia menyaksikan sendiri waktu perahu Sin Liong-sing terjungkir balik oleh lemparan jangkar Ciong Bu-pa, cuma jaraknya rada jauh, maka wajah Sin Liong-sing tidak begitu jelas sehingga seketika sukar dikenali.

   Merasa maksud tujuannya sudah tercapai, Sin Liong-sing merasa tidak perlu lagi merahasiakan dirinya, dengan tertawa ia robek kipasnya yang bergambar tengkorak itu, lalu berkata.

   "Benar, matamu cukup tajam juga. Aku memang musuh besar To-cu kalian, kiranya kau dapat mengenali aku. He, he, cuma sayang kini urusan sudah terlambat!"

   Baru sekarang kedua orang itupun menyadari telah tertipu oleh Sin Liong-sing, tanpa bicara lagi mereka terus menerjang.

   "Bagus, biar kubereskan kalian!"

   Bentak Sin Liong-sing sambil memapak maju, dengan gerak tipu "Siang-liong-jut-hay" (dua naga keluar dari lautan), kedua telapak tangannya bekerja sekaligus terus memotong ke kuduk kedua orang itu.

   Secara gesit Sin Liong-sing menyelinap di tengah kedua orang itu, walaupun kepalan kedua orang kena menghantam pada tubuhnya, tapi tabasan kedua telapak tangan Sin Liong-sing juga tepat mengenai kuduk kedua lawan itu.

   Menyusul itu tengkuk kedua orang itu terus dicengkeram dan dipuntir.

   Sebenarnya maksud Sin Liong-sing hendak mempermainkan dulu kedua sasarannya itu, tak terduga tenaga yang dia keluarkan sedemikian besarnya, terdengar suara "krak-krek", tulang leher kedua orang itu tahu-tahu terpuntir patah, belum sempat menjerit kedua orang itu sudah roboh terkulai alias binasa.

   Dari samping Ubun Tiong dapat menyaksikan kejadian itu, terkesiap juga hatinya, dengan tersenyum seram ia pun berkata.

   


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung

Cari Blog Ini