Pendekar Sejati 40
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 40
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
"Ha, ha, bagus, kau sendiri yang menantang begitu!"
Seru Liong Siang dengan tertawa.
"Baiklah, biar aku dan Sin-toako mengawasi kau, silakan adik Eng mengurusi keadaan pamanku dulu,"
Kata Siau-hong. Dengan mendongkol Sin Liong-sing mendengus.
"Hm, ternyata jago nomor satu di seluruh jagat juga gentar terhadap beberapa anak muda. Kongsun-siauhiap yang berjanji akan menempur kau satu lawan satu, untuk itu aku takkan ikut campur, tapi itu tidak berarti urusan kita selesai sampai di sini."
"Ha, ha, persetan apakah kalian akan maju sekaligus atau mau secara bergiliran, memangnya aku gentar padamu?"
Jengek Liong Siang.
Ia menyadari dirinya sudah terjeblos di tempat berbahaya, apalagi dengan kaburnya Wan-yan Ho, maka sambil bicara ia pun mengumpulkan tenaga, begitu berhadapan dengan Kong-sun Bok, seketika ia pun melontarkan pukulan Liong-siang-kang tingkat paling tinggi.
"Bagus!"
Bentak Kong-sun Bok sambil angkat Hian-tiat-po-san untuk memapak.
Maka terdengarlah suara keras, tangan Liong Siang beradu dengan payung pusaka, begitu hebat tenaga benturan itu hingga menerbitkan suara gemuruh disertai debu pasir yang berhamburan.
Kong- sun Bok tergetar mundur dua tindak, tanpa terasa tubuh Liong Siang Hoat- ong juga tergeliat.
Tangan Kong-sun Bok terasa kesemutan, diam-diam ia terkejut dan mengakui Liong-siang-kang lawan sungguh maha sakti dan ternyata sanggup menahan payung pusakanya.
Kong-sun Bok tidak tahu bahwa kejut Liong Siang Hoat-ong jauh melebihi dia.
Sama sekali tak terduga oleh Liong Siang bahwa semuda usia Kong-sun Bok itu ternyata sanggup menahan Liong-siang-kang tingkat kesembilan, tingkat yang paling kuat, hal ini membuatnya kaget dan jeri, ia pikir sekali ini bisa jadi "kapal akan terbalik di parit".
Kuatir akan datang lagi musuh lain dari Kim-keh-nia, cepat Liong Siang memutar jubahnya, sekejap saja Kong-sun Bok sudah terbungkus di tengah gumpalan awan merah.
Tapi Kong-sun Bok lantas putar juga payung pusakanya, dalam sekejap itu pula jubah musuh sudah bertambah lubang kecil yang tak terhitung banyaknya.
Namun jubah lawan masih terus menari kian kemari dengan entengnya, sebaliknya payung yang berat itu tidak sanggup menghancurkannya.
Begitulah Liong Siang Hoat-ong menggunakan gaya lunak dari lwekangnya yang tinggi yang disalurkan ke jubahnya, selang tak lama, daya serangan payung Kong-sun Bok menjadi terkekang dan kurang leluasa lagi.
Mendadak Kong-sun Bok bersuit, ia pentang payungnya terus diputar laksana kitiran, berbareng itu sebelah tangan menggunakan ilmu "Tay-heng- pat-sik"
Ajaran Kheng Ciau untuk menahan tenaga sakti Liong-siang-kang musuh.
Dalam keadaan demikian walaupun tetap di bawah angin, tapi untuk mengalahkan dia juga tidak mudah lagi bagi Liong Siang Hoat-ong.
Dalam pada itu Han Pwe-eng telah memayang bangun Yim Thian-ngo dan membubuhi obat pada lukanya.
"Terima kasih, nona Han, harap saja engkau suka memanggilkan anak perempuanku,"
Kata Yim Thian-ngo dengan menyeringai, mukanya pucat dan suaranya lemah.
Pwe-eng merasa ragu, kalau dia pergi mencari Yim Hong-siau, jangan- jangan Kong-sun Bok tak dapat melawan Liong Siang Hoat-ong dan Kok Siau-hong nanti memerlukan tenaganya untuk menghadapi musuh.
Sebaliknya kalau permintaan Yim Thian-ngo tak dipenuhi, terasa kasihan pula bila sampai ajalnya tidak sempat bertemu dengan anak perempuan yang disayanginya itu.
Tak terduga, pada saat itu juga mendadak terdengar Ki Ki berseru kegirangan.
"He, ayah, lekas kemari, ada orang jahat hendak menganiaya anakmu ini!"
"Huh, siapakah dia berani membikin susah anakku, sebentar biar kubeset kulitnya!"
Demikian terdengar seruan seorang. Menyusul suara seorang juga berkata.
"He, Siau-hong dan Pwe-eng, kalian juga berada di sini!"
Hanya sekejap saja dua sosok bayangan orang tampak melayang tiba. Setelah jelas mengetahui siapa kedua pendatang itu, tanpa terasa Siau-hong dan Pwe-eng berteriak bersama.
"Ayah! Kebetulan sekali kedatanganmu ini!"
Kiranya kedua pendatang itu adalah Ki We dan Han Tay-wi.
Waktu Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng menggiring Soa Yan-liu ke Siau- lim-si, kebetulan waktu itu Han Tay-wi dan Ki We sudah meninggalkan kuil itu dan sedang pesiar ke tempat lain.
Tiga hari sesudah Siau-hong berdua meninggalkan Siau-lim-si barulah kedua orang tua itu pulang.
Segera mereka menyusul ke Kim-keh-nia sini setelah ketua Siau-lim-si menyampaikan berita yang dibawa Siau-hong berdua.
Tak terduga baru saja sampai di lereng bukit mereka sudah memergoki puterinya masing-masing.
Tentu saja kejut Liong Siang Hoat-ong tak terkatakan, tapi ia masih pantang mundur dan membentak.
"Baik, kalian boleh maju semuanya! Betapa pun kalian ini terhitung maha guru dunia persilatan, jika aku mati di tangan kalian juga lebih berharga daripada mati konyol."
"Hm, kukira siapa, tak tahunya kau si keledai gundul ini,"
Jengek Ki We.
"duapuluh tahun yang lalu aku telah mengukur kepandaian dengan To Pek- seng, aku menyesal telah menguras sebagian tenaganya sehingga dia kena dibinasakan olehmu. Walaupun bukan aku yang membunuh dia, tapi dia mati disebabkan perbuatanku, hutangmu itu perlu kuselesaikan dengan kau sekarang."
Liong Siang Hoat-ong menyadari gawatnya keadaan, umpama ingin lari juga sulit baginya, terpaksa ia menjawab.
"Hm, jiwaku cuma satu, jika mampu bolehkah kalian ambil saja. Nah, kau dan Han Tay-wi akan maju bergiliran atau maju sekaligus?" ~ Ia yakin dalam kedudukan sebagai tokoh silat angkatan tua, tidak nanti mereka mau main kerubut. Benar juga, segera kelihatan Ki We melangkah maju dan berseru.
"Kau mundur saja, Kong-sun Bok!"
Kong-sun Bok menurut dan mengundurkan diri. Dengan dingin Ki We berkata pula.
"Nah, Liong Siang gundul, boleh kau istirahat sejenak, betapa pun orang she Ki takkan menarik keuntungan darimu."
Liong Siang yakin dengan kedudukan Han Tay-wi dan Ki We tidak mungkin melakukan serangan padanya.
Karena itu tanpa pikir ia terus duduk bersila di tanah dan melancarkan tenaga dalamnya untuk mengumpulkan tenaga dan mengatur napas.
Hanya sebentar saja tertampak ubun-ubun kepalanya mengeluarkan uap tipis, air mukanya dari pucat berubah merah, waktu ia membuka matanya, terpancarlah sorot matanya yang tajam.
Setelah mengalami pertarungan sengit secara berantai tadi, sebenarnya banyak juga tenaga Liong Siang yang terbuang, cuma tenaga Kok Siau-hong, Sin Liong-sing dan Pwe-eng berempat boleh dikata selisih jauh dibandingkan dia, hanya kekuatan Kong-sun Bok saja yang hampir mendekatinya, sebab itulah tenaga murni yang terbuang itu tidak teramat banyak.
Walaupun begitu semua orang juga heran dan kagum melihat betapa cepat pulihnya tenaga dalamnya.
Sejenak pula, Liong Siang tahu jika lebih lama lagi bukan mustahil orang Kim-keh-nia akan menyusul tiba dan itu berarti lebih celaka baginya, apalagi kini tenaganya terasa sudah pulih tujuh atau delapan bagian, segera ia melompat bangun dan berseru.
"Baiklah, orang she Ki, sekarang katakan bagaimana cara kita bertanding."
"Begini, akan kuberi kesempatan padamu untuk menyerang tiga kali tanpa kubalas, jika mampu boleh kau binasakan diriku sesukamu,"
Kata Ki We.
"Setelah tiga kali seranganmu segera kita bergebrak lagi tiga jurus, jika kau mampu bertahan, maka aku takkan mempersulit kau lagi."
"Tapi orang lain bagaimana?"
Jengek Liong Siang Hoat-ong.
"Orang lain adalah urusan orang lain, mereka juga ingin membikin perhitungan denganmu dan aku tidak dapat ikut campur,"
Ujar Ki We. Liong Siang pikir syarat lawan ini terlalu menguntungkan dirinya, maka tanpa banyak pikir segera ia menjawab.
"Baik, sekarang silakan rasakan pukulanku!" ~ Berbareng jubahnya mengebut lebih dulu ke depan, tapi cepat sekali tangan kanan terus memotong pula sekuatnya. Pukulannya ini belum menggunakan tenaga sakti Liong-siang-kang, tapi sudah cukup ganas dan kuat. Ketika hampir dekat sasarannya, mendadak pukulan berubah menjadi cengkeraman, apa lagi tangan lain juga menyerang dengan jubah, maka serangan pertama ini boleh dikatakan satu serangan tiga gerakan. Terdengar "bret"
Sekali, lengan baju Ki We terobek oleh cengkeraman Liong Siang, Ki We cuma kelihatan bergeliat sedikit, lalu berdiri tegak kembali sambil berkata.
"Serangan pertama!"
Diam-diam Ki Ki merasa kuatir melihat ayahnya berjanji tidak balas menyerang dalam tiga jurus.
Tapi tokoh seperti Han Tay-wi, Kong-sun Bok, Kok Siau-hong, Sin Liong-sing dan lainnya serentak bersorak memuji menyaksikan gerakan Ki We tadi.
Melihat itu barulah Ki Ki merasa lega.
Hati Liong Siang tergetar melihat kehebatan gerak langkah lawan yang cepat dan gesit itu, apalagi dari getaran tenaga yang membalik telah membuat dadanya terasa sesak pula.
"Ini serangan kedua!"
Bentak Liong Siang pula dengan gusar, mendadak ia melompat ke atas, seketika jubahnya beterbangan, segenap penjuru seakan-akan bayangannya melulu. Walaupun cuma satu jurus, tapi perubahannya sukar diduga, sungguh lihai daya serangannya ini.
"Bagus!"
Terdengar Ki We memuji.
"Tapi juga tak dapat mengapakan diriku!"
Hanya sekejap saja, terlihat Ki We sudah melepaskan diri dari kurungan bayangan pukulan musuh yang bergelombang itu.
Semua orang tak dapat mengikuti bagaimana cara Ki We meloloskan diri dari serangan musuh itu kecuali Han Tay-wi dan Ki Ki.
Dengan suara perlahan Ki Ki membisiki Sin Liong-sing.
"Ayah menggunakan langkah ajaib Thian-lo-poh-hoat, untuk menghadapi musuh tangguh, jika terdesak sedikitnya masih dapat melepaskan diri. Ayah pernah mengajarkan ilmu itu padaku, cuma sayang aku belum mahir. Ternyata ilmu langkah itu memang begini hebat."
Liong Siang adalah tokoh yang kenal berbagai ilmu, ia terkejut akan kelihaian langkah orang, diam-diam ia merasa sukar untuk mengalahkan lawan.
Untunglah lawan tadi telah berjanji akan mengalah tiga kali serangan, asalkan nanti dirinya mampu bertahan lagi tiga jurus, maka bebaslah dirinya dari kesukaran menghadapi lawan kuat ini.
"Nah, masih ada satu jurus, lekas keluarkan kepandaian andalanmu!"
Bentak Ki We.
Dengan murka Liong Siang Hoat-ong menggerung keras laksana bunyi geledek, berbareng ia terus melompat pula dan menghantam dari atas.
Seluruh tubuh Ki We terkurung pula di bawah gumpalan awan merah yang diterbitkan oleh jubah yang diputarnya dengan cepat itu.
Inilah serangan maut Liong Siang Hoat-ong dengan tenaga sakti Liong- siang-kang tingkat kesembilan, tingkat tertinggi dari ilmu sakti andalannya itu.
Malahan sebelum melontarkan tenaga pukulan itu didahului dengan suara "Say-cu-ho"
Atau raungan singa, sejenis ilmu tenaga dalam kaum Lhama dari Tibet, tujuannya untuk mengacaukan perhatian musuh, lalu disusul pukulan mautnya itu.
Meski tampaknya cuma satu jurus serangan, tapi sebenarnya menggunakan dua cara.
Di tengah rasa kebat-kebit para penonton, tahu-tahu Ki We sudah lolos pula dari serangan musuh, bahkan terdengar dia membentak.
"Aku sudah mengalah tiga jurus, sekarang giliranmu untuk menyambut tiga kali seranganku!"
Habis itu, hanya sekejap saja kelihatan kupu-kupu merah berhamburan memenuhi tanah, ternyata jubah Liong Siang Hoat-ong tadi telah hancur berkeping-keping. Liong Siang sendiri bersandar pada sebatang pohon dengan napas terengah dan dahi berkeringat.
"Ha, ha, keledai gundul itu kalah!"
Seru Ki Ki dengan tertawa. Dengan tertawa Ki We berkata.
"Juga belum dapat dikatakan kalah total, betapa pun dia sudah mampu menyambut tiga jurus seranganku."
Cara bagaimana Ki We melancarkan tiga jurus serangannya tak jelas bagi orang lain, hanya Liong Siang sendiri yang merasakannya, cuma untung juga baginya tidak sampai terluka walaupun tenaga dalamnya terbuang.
Dengan tenang lalu Han Tay-wi tampil ke muka dan berkata.
"Liong Siang Hoat-ong, kau berjuluk tokoh nomor satu di jagat ini, kini giliranku untuk berkenalan dengan Liong-siang-kangmu."
"Silakan saja turun tangan, Han-losiansing, apa pun juga akan kulayani kau,"
Jawab Liong Siang dengan nada mengejek.
"Hm, memangnya kau sangka orang she Han ini orang macam apa dan ingin menarik keuntungan dari keadaanmu?"
Ujar Han Tay-wi. Lalu ia mengeluarkan sebuah botol porselen kecil, ia menuang satu biji lalu berkata pula.
"Ketua Siau-lim-si memberikan sepuluh biji Siau-hoan-tan padaku, kini kuhadiahkan satu biji padamu. Sesudah minum pil mujarab ini barulah kau bertanding dengan aku."
Sungguh tiada seorang pun menduga Han Tay-wi akan memberikan obat mujarab itu kepada lawannya, padahal Siau-hoan-tan adalah obat buatan Siau-lim-si yang terkenal dan sukar diperoleh. Karena itu cepat Han Pwe-eng berkata.
"Ayah, apakah tidak sayang obat mujarab itu diberikan kepada keledai gundul itu?"
"Aku ingin dia kalah lahir batin,"
Ujar Han Tay-wi tegas.
Habis itu ia terus melemparkan Siau-hoan-tan itu ke arah Liong Siang Hoat-ong.
Liong Siang tangkap obat itu, ia pikir dengan kedudukan Han Tay-wi rasanya tidak mungkin meracuninya dengan obat berbisa, karena itu tanpa pikir ia terus telan obat itu.
"Tenagamu telah hilang sebagian dalam pertarungan melawan Ki-toako tadi, setelah minum Siau-hoan-tan, dalam waktu singkat tenagamu akan pulih sebagian pula meskipun tidak seluruhnya. Tapi pertandingan kita ini cukup ditentukan saja dengan satu kali pukulan saja."
"Lalu bagaimana setelah kalah menang ditentukan nanti?"
Tanya Liong Siang.
"Jika kau menang, maka kau boleh pergi atas tanggung-jawabku,"
Kata Han Tay-wi.
"Tapi kalau kau kalah, aku pun takkan membikin susah kau lagi. Cuma bagaimana pendirian orang lain terpaksa aku tidak dapat menjamin lagi."
Diam-diam Liong Siang Hoat-ong bergirang, hanya berjanji akan bertanding satu kali pukulan saja, tentunya hal ini tidak perlu ditakuti.
Begitulah sejenak kemudian setelah minum Siau-hoan-tan, terasakan tenaganya sudah terkumpul, segera Liong Siang berkata.
"Baik, seorang lelaki sejati harus bisa pegang janji."
"Memangnya siapa yang ingin ingkar janji?"
Bentak Han Tay-wi.
"Hayolah serang saja!"
"Baik!"
Jawab Liong Siang sambil melangkah ke kanan tiga langkah dan melangkah balik pula ke kiri tiga langkah, seperti ayam aduan saja, kedua matanya menatap tajam ke arah Han Tay-wi, tapi pukulannya tidak lantas dilancarkan.
Sebaliknya Han Tay-wi sama sekali tidak bergerak melainkan pandangannya menatap pihak lawan dengan penuh waspada.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekonyong-konyong kedua orang sama-sama menggertak dan melompat berbareng ke atas.
Sambil pentang kaki Liong Siang Hoat-ong terus memotong dengan telapak tangannya.
Sedangkan gaya Han Tay-wi yang terapung di udara laksana bangau pentang sayap, kedua telapak tangannya menyambar cepat ke depan, ia pun menghantam dari atas.
Begitu keras suara gertakan kedua orang yang sama hebatnya itu hingga anak telinga semua orang serasa hendak pecah, terutama Ki Ki, hampir saja ia jatuh pingsan kalau saja sang ayah tidak cepat menutupkan kupingnya.
Gebrakan cepat itu dalam sekejap saja sudah berlangsung, terlihat Han Tay-wi melompat mundur beberapa meter jauhnya dan bersandar pada sebatang pohon dengan air muka sebentar merah sebentar pucat.
Keruan Pwe-eng terkejut kuatir, cepat ia memburu maju dan bertanya.
"Bagaimana keadaanmu, ayah?"
"Untunglah tidak sampai kalah,"
Jawab Tay-wi dengan tersenyum, sementara itu air mukanya telah berubah merah lagi.
Maka legalah hati Pwe- eng.
Sebaliknya Liong Siang Hoat-ong kelihatan tergetar mundur dengan lebih wajar, ketika dia tancapkan kaki kembali ke atas tanah, tampaknya kakinya seperti diganduli sepotong batu, langkahnya berat, perlahan ia mundur satu tindak, lalu satu tindak pula hingga berturut tiga tindak, menyusul mendadak darah segar tertumpah dari mulutnya.
"Nah, katakan saja sendiri, kau yang kalah atau aku yang kalah?"
Bentak Tay-wi. Liong Siang Hoat-ong kelihatan loyo seperti ayam jago yang sudah keok, dengan lesu ia menjawab.
"Ya, aku yang kalah. Tapi kau sudah berjanji kita hanya bertanding satu gebrakan saja, kalah atau menang kau takkan membikin susah lagi padaku."
"Benar,"
Kata Tay-wi dengan tertawa.
"Tapi aku pun menyatakan aku tak dapat menjamin tindakan orang lain padamu."
Seketika timbul setitik sinar harapan bagi Liong Siang Hoat-ong, ia pikir asalkan Ki We dan Han Tay-wi tidak ikut turun tangan, sisanya biarpun mengerubutnya sekaligus juga tidak perlu ditakuti, paling tidak untuk meloloskan diri tentu bukan soal lagi.
Dengan tertawa ia lantas berkata pula.
"Bagus! Jika begitu selamat tinggal dan sampai bertemu!"
Belum lagi ia sempat melangkah pergi, tiba-tiba terdengar bentakan suara orang perempuan.
"Kau berani datang ke Kim-keh-nia, sekarang kau hendak pergi begitu saja?"
Suaranya nyaring tajam, kedengarannya berkumandang dari jauh, tapi tahu-tahu orangnya sudah muncul di situ, kiranya dia adalah Hong-lay-mo- li.
Di belakangnya ikut pula empat orang, mereka adalah Tio It-heng, Hi Giok-kun, Yim Hong-siau serta Lui Biau.
Sekilas Yim Hong-siau melihat Yim Thian-ngo menggeletak di samping sana, sungguh mimpi pun dia tidak menyangka akan berjumpa dengan ayahnya di sini.
Keruan kejutnya tak terkatakan, seketika ia sampai melenggong.
"Itulah paman Yim, dia sudah menyadari akan kesalahannya di masa lampau, lekas Yim-cici menemui ayahmu!"
Seru Pwe-eng kepada Hong-siau. Seketika semangat Yim Thian-ngo juga terbangkit dan mendadak bangun berduduk dan berseru.
"Anak Siau, benarkah kau? Aku tidak mimpi bukan?"
Setelah terkesima sejenak barulah Hong-siau dapat berseru.
"Ya, ayah, memang anak berada di sini. Ayah mau kembali ke jalan yang baik, sungguh anak sangat girang. He, bagaimana keadaanmu, ayah?"
Segera ia memburu maju dan merangkul sang ayah. Sementara itu Hong-lay-mo-li sudah berhadapan dengan Liong Siang Hoat-ong, kebutnya menuding dan berkata.
"Nah, kau berani menginjak tempatku ini, katakan saja sendiri, cara bagaimana akan kita selesaikan sekarang?"
"Aku sudah bertempur melawan dua tokoh terbesar dunia persilatan, kalau ditambah lagi menempur kau juga bukan soal,"
Ujar Liong Siang.
"He, he, sekaligus aku dapat menghadapi tiga tokoh terbesar pada zaman ini, biarpun mati juga cukup berharga diriku."
"Hm, jangan kau memancing dengan ucapanmu itu,"
Jengek Hong-lay- mo-li.
"Kau bukan orang Kang-ouw biasa, kau adalah Kok-su kerajaan Mongol, andaikan kuampuni kau juga anak buahku takkan tinggal diam. Cuma mengingat kau sudah bertempur dua babak tadi, aku pun takkan menarik keuntungan darimu, akan kubikin kau mati pun tidak penasaran. Begini saja, asal kau mampu menyambut tiga kali seranganku segera kubiarkan kau pergi. Tampaknya kekuatanmu tersisa separoh saja, maka akan kulayani kau dengan kebutku ini."
Girang dan kejut Liong Siang Hoat-ong, ia bergirang karena Hong-lay- mo-li hanya menempurnya dengan senjata kebut saja, apalagi cuma tiga jurus, itu berarti besar harapannya akan dapat meloloskan diri.
Yang dia kejutkan adalah ketajaman pandangan Hong-lay-mo-li akan kekuatan dirinya yang tersisa itu.
Segera ia menarik napas panjang-panjang, ia mengumpulkan tenaga dan pasang kuda-kuda dengan kuat, lalu berkata.
"Baiklah, kuterima tantanganmu. Sebagai seorang tokoh tertinggi dunia persilatan daerah utara sini, jangan kau menjilat kembali ucapanmu tadi."
"Huh, memangnya kau anggap aku ini orang apa?"
Jengek Hong-lay-mo- li.
"Nah, mati atau hidupmu bergantung pada kepandaianmu sendiri. Sekarang awas, inilah serangan pertama!"
Mendadak kebut Hong-lay-mo-li bergetar, ujung kebut terbuka terus menyambar ke depan.
Tapi Liong Siang Hoat-ong sudah siap, ia tanggalkan baju kutangnya untuk menahan kebut musuh.
Baju kutang Liong Siang itu lebih ringkas daripada jubahnya yang telah hancur itu, dengan mengerahkan lwekangnya, baju kutang itu laksana sebuah perisai dan dapat dimainkan dengan lebih gesit.
Kedua sosok bayangan tampak mendekat untuk kemudian dengan cepat memencar lagi.
Terdengar serentetan suara "crit-crit", Liong Siang melangkah mundur dua-tiga tindak, waktu ia periksa baju kutangnya, ternyata sudah berlubang kecil tak terhitung banyaknya tertusuk oleh ujung kebut.
Nyata ujung kebut yang lemas itu ketika dipencarkan oleh tenaga dalam Hong-lay-mo-li hingga mekar laksana jarum tajamnya.
Kejut sekali Liong-siang dan diam-diam mengakui kelihaian Hong-lay- mo-li.
Baju kutang yang berlubang-lubang itu sudah tak dapat digunakan lagi.
Dengan nekat Liong Siang mendahului menyerang sebelum serangan kedua musuh dilancarkan lebih dulu.
Ia muntahkan darah, menyusul terus menghantam sekuatnya.
Liong Siang telah menggunakan "Kay-teh-tay-hoat"
Dari golongan hitam, dengan memuntahkan darah tenaganya dapat dilipatkan. Maka Liong-siang- kang yang dikeluarkan tetap dapat mencapai tingkatan paling tinggi, tingkat kesembilan.
"Bagus!"
Sambut Hong-lay-mo-li sambil angkat kebutnya, kini kebutnya tidak dimekarkan, tapi dikuncupkan menjadi satu hingga ujungnya lancip terus ditusukkan ke depan. Maka terdengarlah suara "crat"
Sekali, ujung kebut tepat membentur telapak tangan Liong Siang Hoat-ong.
Terdengar Liong Siang mengerang keras sambil berjumpalitan ke belakang, kiranya Liong-siang-kangnya telah dihancurkan oleh Hong-lay-mo- li, ujung kebut Hong-lay-mo-li berhasil menembus "Lo-kiong-hiat"
Pada telapak tangannya.
"Masih ada satu jurus belum kau terima, apa kau ingin kabur?"
Bentak Hong-lay-mo-li sambil melayang maju laksana burung terbang melampaui atas kepala Liong Siang Hoat-ong, ketika kebutnya menuding lagi, terdengarlah Liong Siang menjerit, matanya berdarah dan tubuhnya terhuyung-huyung.
"Tiga jurus sudah habis, kau tak boleh mempersukar lagi diriku!"
Seru Liong Siang. Hong-lay-mo-li menudingkan kebutnya dari jarak yang cukup jauh, ujung kebut tidak sampai menyentuh tubuh lawan, maka semua orang menjadi heran bagaimana Liong Siang Hoat-ong dapat dilukainya. Terdengar Ki We memuji.
"Senjata rahasia Liu-lihiap yang khas sungguh semacam ilmu yang hebat dalam dunia persilatan, biarpun keledai gundul itu dapat kabur juga tetap akan menjadi orang cacat selamanya."
Kiranya waktu Hong-lay-mo-li menudingkan kebutnya tadi, dua utas bulu kebut telah melayang ke depan laksana jarum dan berhasil menusuk buta kedua mata Liong Siang.
Begitulah Hong-lay-mo-li lantas membiarkan Liong Siang Hoat-ong berlari pergi sesuai janjinya tadi.
Tapi mendadak terdengar suara tertawa ngakak seorang, begitu keras suara tertawa itu hingga membuat semua orang tergetar.
"Hong-lay-mo-li, kata-katamu dapat dipercaya tidak?"
Terdengar Hoat- Siang-hoat-ong berseru dari jauh.
"Kok-ham, jangan merintangi dia, biarkan dia pergi!"
Cepat Hong-lay-mo- li berseru.
Maka tertampaklah seorang lelaki setengah umur berdandan sebagai sastrawan muncul dari bawah bukit sana, siapa lagi dia kalau bukan suami Hong-lay-mo-li, yaitu "Siau-go-kan-kun" (Pendekar Latah) Hoa Kok-ham.
Terlihat Liong Siang Hoat-ong berlari beberapa langkah, mendadak tubuhnya sempoyongan, lalu jatuh terjungkal dan binasa dengan darah mengucur dari mulut, mata, telinga dan lubang hidung.
"Ha, ha, ha! Dia sendiri yang mati ketakutan, bukan salahku!"
Seru Siau- go-kan-kun dengan tertawa.
Kiranya Liong Siang Hoat-ong sudah terluka parah, ketika mendadak mendengar suara Siau-go-kan-kun, saking kuatirnya sisa sedikit tenaga dalamnya menjadi buyar dan denyut jantungnya lantas berhenti, matilah dia seketika.
"Wanyan Tiang-ci sudah kami tamatkan riwayatnya, apakah kalian tahu?"
Kata Siau-go-kan-kun setelah berhadapan.
"Ya, sudah kudengar dari adik Bok, nanti boleh kau ceritakan lagi, sekarang marilah kita memeriksa keadaan Yim-losiansing,"
Kata Hong-lay- mo-li.
"Benar, sekali ini Yim-losiansing tidak membantu mereka, sebaliknya dia malah mengirim berita rahasia kepada kita, maka kita harus memaafkan kesalahannya di masa lampau,"
Ujar Siau-go-kan-kun.
Sementara itu keadaan Yim Thian-ngo sudah sangat lemah, napasnya kelihatan kempas-kempis.
Ketika semua orang mengerumuni dia, terlihat sebelah tangannya memegang kencang tangan Yim Hong-siau dan tangan lain menggenggam tangan Li Tiong-cu.
Dengan tersenyum sekuatnya ia berkata dengan suara perlahan.
"Inilah saat paling menyenangkan selama hidupku. Kalian sudi memaafkan dosaku, mati..... mati pun aku dapat tenang. Satu-satunya hal yang kusesalkan adalah aku tak dapat menyaksikan pernikahan kalian!"
"Ayah..... ayah!"
Seru Yim Hong-siau dengan menangis. Namun ayahnya tak bergerak lagi, sudah mangkat.
"Hong-siau,"
Kata Hong-lay-mo-li.
"janganlah kau berduka, ayahmu meninggal secara baik, kau harus menurut pesannya dan bersyukur baginya."
Begitulah semua orang lantas saling berjabat tangan. Dengan tersenyum Hong-lay-mo-li berkata kepada Han Pwe-eng.
"Tentunya kau belum kenal Tio-toako ini, dia adalah bakal suami Giok-kun."
Tentu saja Pwe-eng sangat girang, cepat ia memberi salam kepada Hi Giok-kun.
"Hari ini adalah hari raya Cap-go-meh, hari yang baik dengan suasana yang indah, kalian para mudi-mudi juga berpasang-pasangan bahagia sebulat rembulan di atas langit!"
Demikian Lui Biau mengucapkan doa restu kepada para pendekar sejati yang pada akhirnya dapat berkumpul kembali setelah mengalami suka duka dan gemblengan roda kehidupan. Important Note. - Original source .
"Pendekar Sejati", Karya . Liang Ie Shen Penerbit . Panca Satya Semarang (1977) - Original Threads source . andu0396 (Indozone.net
on 24-Juli-2015) & P2P Scene - Plain text converted, Edited & Ebook (PDF Format) .
yoza Special Thanks.
1.
Para Pengarang/Penyadur Cersil 2.
All Tirai Kasih Website Crews 3.
andu0396 3.
Para Pemerhati dan Semua Pihak yang turut mendukung upaya Pelestarian Cersil sebagai Perbendaharan Nasional, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
TAMAT Pendekar Sejati - Halaman yoza collection Pendekar Sejati - Halaman yoza collection
Rahasia Bukit Iblis -- Kauw Tan Seng Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Kereta Berdarah -- Khu Lung /Tjan Id