Pendekar Sejati 7
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 7
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
"Han Tay-wi menjawab, Tidak apa-apa. Tapi kalian boleh kumpul saja di sini, aku ingin bicara dengan kalian! Waktu itu aku terpendam di tanah, mataku tak dapat melihat, namun telingaku dapat mendengar. Tidak lama kemudian, peristiwa yang lebih mengejutkan terjadi pula. Kudengar suara jeritan ngeri berjangkit berulang-ulang, menyusul suara orang jatuh dan merangkak di atas tanah disertai suara rintihan perlahan. Tidak perlu ditanya lagi, terang Han Tay-wi telah membunuh semua budaknya. Tapi kemalangan orang-orang itu membawa kemujuran bagiku, suara jeritan dan rintihan mereka telah mengatasi suara gangsiran tanah yang kulakukan. Aku menggali dengan lebih cepat sehingga menyusup makin mendalam ke bawah, mulutku mengulum sebatang pipa kecil panjang, itu adalah perkakas yang selalu kubawa, gunanya untuk bernapas. Ujung pipa menjulur ke atas permukaan tanah, lalu aku mengurukkan tanah yang gembur yang kugali itu sehingga aku benar-benar mengubur diriku sendiri."
"Rupanya aku telah salah duga,"
Ujar Liok Kun-lun dengan tertawa.
"Semula aku mengira Han Tay-wi yang mengubur kau dan merasa heran cara bagaimana kau sanggup menahan napas selama itu di dalam tanah."
"Ah, caraku itupun cuma untuk bertahan sementara saja,"
Sambung Pau Ling.
"Jika Han Tay-wi bersabar mencari jejakku, akhirnya aku pasti akan ditemukan olehnya. Akan tetapi kediaman Han Tay-wi itu sangat luas, andaikan menemukan aku juga diperlukan waktu cukup lama, bisa jadi sampai dua-tiga hari. Aku sendiri memang sudah telanjur masuk liang kubur, terpaksa aku bertaruh terhadap nasibnya sendiri. Entah berapa lama aku mendekam di dalam tanah, Han Tay-wi entah sudah pergi belum, untuk keluar aku pun tidak berani. Sedangkan mata tidak dapat melihat apa-apa, perut kelaparan pula. Aku menjadi cemas dan takut pula diketemukan Han Tay-wi. Ai, rasanya waktu itu sungguh sukar kulukiskan."
"Kau maling sakti ini selamanya tidak pernah gagal dalam pekerjaanmu, sekali ini kau pun pantas disiksa,"
Ujar Liok Kun-lun dengan tertawa.
"Dalam keadaan kelaparan dan setengah sadar, entah sudah lewat berapa lama lagi, akhirnya aku mendengar suara percakapan seorang lelaki dan seorang perempuan, tampaknya mereka sedang mencari orang-orang yang masih hidup, maka aku baru berani bersuara minta tolong,"
Sampai di sini Pau Ling memberi hormat kepada Kok Siau-hong. Kemudian ia melanjutkan pula.
"Banyak terima kasih atas pertolonganmu, kalau tidak, mungkin aku sudah mampus sekarang. Terus terang, meski keadaanku yang kempas-kempis itu adalah buatan saja, tapi untuk menerobos keluar dari bawah tanah sesungguhnya waktu itu aku tidak sanggup lagi."
"Sesudah Han Tay-wi membunuh budak-budaknya, lalu apa yang terjadi selanjutnya kau tidak mendengar sama sekali!"
Tanya Siau-hong.
"Aku mendekam di bawah tanah dan kelaparan, dalam keadaan hampir tak sadar aku tidak tahu lagi kejadian selanjutnya,"
Jawab Pau Ling.
"Baiklah, sekarang kau boleh mengaso dan tidur sepuasnya, bila perlu nanti akan kutanya kau lagi,"
Kata Liok Kun-lun, lalu seorang anggota Kay- pang disuruh membawa Pau Ling ke suatu kamar tamu untuk tidur.
"Kok-hiantit,"
Kata Liok Kun-lun sesudah Pau Ling pergi.
"barangkali kau merasa sangsi terhadap keterangan Pau Sam itu? Menurut pandanganku, keadaannya yang payah dan ketakutan itu bukanlah pura-pura. Apalagi di hadapanku rasanya dia pun tak berani berdusta."
"Ada suatu hal lain yang mengherankan aku,"
Kata Siau-hong.
"Hal apa?"
Tanya Liok Kun-lun.
"Tentang surat Siangkoan Hok itu,"
Jawab Siau-hong.
"Surat itu sangat penting, mengapa Han Tay-wi tidak mengambil pula robekan surat itu setelah dia membinasakan budaknya itu. Malahan sesudah tidak menemukan Pau Ling, dia kan masih sempat mengambil robekan surat itu dari tangan si budak tua."
Liok Kun-lun termenung sejenak, katanya kemudian.
"Benar, memang rada aneh. Cuma urusan di dunia ini terkadang memang sukar diduga, bisa jadi Han Tay-wi ketemukan urusan penting lain sehingga dia terpaksa meninggalkan robekan surat itu."
Tengah bicara, tertampak Lau Kan-loh sudah pulang, begitu masuk ke kamar rahasia itu segera ia pun tertawa gembira.
"Ada apa, senang sekali tampaknya kau, apakah mendapat rezeki besar?"
Kata Liok Kun-lun ikut tertawa, diam-diam ia sudah tahu apa yang membuat hati Lau Kan-loh kegirangan.
"Susiok, coba engkau menerka betapa besar harta kekayaan Han Tay-wi?"
Kata Lau Kan-loh.
"Aku justru ingin tanya padamu,"
Jawab Liok Kun-lun.
"Melihat rasa girangmu, agaknya jauh melampaui perkiraanmu bukan?"
"Aku sendiri tidak tahu persis berapa jumlahnya,"
Kata Lau Kan-loh.
"Tapi Pau Sam mengatakan dia kaya-raya memang tidak salah. Begitu banyak harta bendanya sehingga diperlukan empat gerobak besar baru dapat muat. Keempat gerobak itu sekarang berada di luar, apakah Susiok hendak memeriksanya?"
"Sudahlah, kau jangan terlalu girang, dilihat Kok-hiantit nanti dikira kaum pengemis ini mata duitan,"
Ujar Liok Kun-lun dengan tertawa.
"Sekarang harta benda itu boleh kau suruh masukkan gudang saja."
Lau Kan-loh mengiakan, lalu berkata pula.
"Lusa harta benda itu dapat kita berangkatkan ke pangkalan kita, untuk itu mohon Susiok suka mengawalnya sendiri. Besok akan kuminta pula bantuan Yang-ciu dari Hou- wi Paukiok. Jika Kok-hiantit tiada urusan lain boleh silakan memberi bantuan pula. Tambah orang tentu tambah kekuatan."
"Karena sudah berjanji, aku mesti kembali dulu ke rumah keluarga Han, lusa aku pasti akan datang pula menurut waktunya,"
Jawab Kok Siau-hong. Dalam hati ia pun terheran-heran darimanakah harta benda milik Han Tay- wi yang berjumlah sekian besarnya itu. Dalam pada itu Lau Kan-loh sedang berkata pula.
"Ya, nona Han itu kini tentu sangat berduka, kau perlu pergi menghiburnya. Ai, nona sebaik itu entah betapa akan lebih berduka bilamana mengetahui kelakuan ayahnya yang rendah itu."
"Baiklah, sekarang aku ingin tanya kau urusan penting yang lain,"
Kata Liok Kun-lun kepada Lau Kan-loh.
"Surat bertuliskan Mongol itu sudah kau suruh salin belum?"
"Sudah,"
Kata Lau Kan-loh sambil mengeluarkan robekan surat.
"Bagaimana maksud surat itu?"
Tanya Siau-hong.
"Bagian surat ini secara ringkas tertulis menurut maksudnya. Semuanya beres, wilayah Kwan-tiong seluruhnya menjadi milik saudara. Mau menjadi raja atau kepala daerah boleh terserah pilihanmu sendiri."
"Ternyata tidak keliru dugaan kita,"
Seru Liok Kun-lun sambil menggebrak meja.
"melulu bagian isi surat ini saja sudah cukup membuktikan persengkongkolan Han Tay-wi dengan pihak Mongol."
Kok Siau-hong termangu-mangu dengan pikiran kusut. Isi surat yang ringkas itu memang jelas sekali. Yang dimaksudkan "semuanya beres"
Tentu mengenai pencaplokan negeri Kim dan penyerbuan negeri Song oleh pihak Mongol, surat Siangkoan Hok itu jelas pula mewakilkan pihak Mongol menjanjikan kepada Han Tay-wi untuk menjadi raja di wilayah Kwan-tiong.
"Dari isi surat ini, maka perkiraan kita terhadap peristiwa keluarga Han sekarang ini rasanya juga tidak meleset,"
Kata Liok Kun-lun.
"Rumah terbakar dan orangnya terbunuh tentu juga dilakukan oleh dia sendiri. Dia sengaja berbuat demikian untuk mengelabui kita agar dia bebas berkomplot lebih rapat dengan musuh."
"Jika begitu, jadi Han Tay-wi masih hidup maksud Pang-cu?"
Kok Siau- hong menegas.
"Tampaknya kau masih belum yakin bahwa calon mertuamu itu adalah seorang busuk,"
Kata Lau Kan-loh dengan tertawa.
"Sudah tentu dia tidak mati, bahkan pasti masih berada di Lok-yang sini."
"Kupikir ini menjadi suatu soal sulit,"
Kata Liok Kun-lun kemudian.
"Jika kita harus memberangkatkan harta benda ini, bukankah Han Tay-wi akan lebih bebas bersekongkol dengan pihak musuh, siapa lagi yang akan menggagalkan intriknya nanti!"
"Ya, mungkin hal ini adalah perangkap belaka, kukira Han Tay-wi pasti akan berusaha merebut kembali harta bendanya dan takkan membiarkan kita mengangkutnya pergi,"
Sambung Lau Kan-loh.
"Soal penting sekarang harus mencari dulu dimana beradanya Han Tay- wi,"
Kata Liok Kun-lun.
"Kok-hiantit, untuk urusan ini kukira perlu bantuanmu. Kupikir anak perempuannya sudah pulang di rumah, betapa pun Han Tay-wi pasti akan muncul untuk menemuinya, sudah tentu dia akan mengarang alasan yang tepat agar kelicikannya tidak diketahui anaknya. Tapi sebelum urusan menjadi terang, kau pun tidak perlu banyak bicara hal ini dengan Han-siocia agar dia tidak terlalu berduka."
Kok Siau-hong menerima dengan baik saran itu dan berjanji akan segera memberi laporan bila mendapatkan sesuatu berita.
Segera ia mohon diri dan kembali ke tempat Han Pwe-eng.
Akan tetapi di tengah jalan pikirannya lantas bergolak, makin dipikir makin tidak cocok urusan satu dengan yang lain.
Ia heran mengapa harta benda sebesar itu tidak disingkirkan lebih dulu oleh Han Tay-wi? Meski Lau Kan-loh menduga hal itu adalah suatu perangkap, tapi Kok Siau-hong merasa tidak tepat dugaan jago Kay-pang itu.
Dengan susah payah Han Tay-wi telah mengumpulkan harta benda itu, mana dia mau meninggalkannya begitu saja? Masa ada perangkap yang begitu bodoh caranya? Demikian pikirnya.
Selain itu, mengenai isi surat robekan itu Kok Siau-hong juga pernah mengemukakan rasa sangsinya dan penjelasan Liok Kun-lun cuma menduga Han Tay-wi mendadak ketemukan sesuatu urusan hingga tidak sempat merampas pula robekan surat di tangan budaknya itu.
Meski di dunia ini terkadang terjadi hal-hal yang sukar diduga, tapi rekaan Liok Kun-lun itu rasanya kurang masuk akal.
Suatu hal yang lebih penting ialah Kok Siau-hong lebih percaya kepada ayahnya sendiri, karena itu ia tidak yakin bahwa Han Tay-wi adalah manusia busuk sebagaimana dilukiskan oleh Liok Kun-lun dan Lau Kan-loh.
Padahal paman Han adalah kawan karib ayah selama berpuluh tahun, jika paman Han seorang jahat, tidak mungkin ayah mau berbesanan dengan dia.
Siau-hong masih ingat dahulu ayahnya suka memuji kejujuran dan baik budi paman Han itu, sebabnya kedua orang mengikat besan adalah karena mereka berdua sangat cocok satu sama lain, jadi bukan pengaruh lain misalnya kekayaan paman Han.
Tentang keluarga Han sangat kaya raya, anehnya mendiang ayahnya tidak pernah membicarakannya, menyinggung pun tidak pernah, maka ayahnya pasti juga tidak tahu tentang kekayaan paman Han itu, andaikata tahu, mungkin ayah sungkan berbesanan dengan dia.
Lantas mengapa paman Han menutupi kekayaannya itu terhadap ayah? Jangan-jangan masih adalah urusan lain lagi yang dirahasiakannya terhadap ayah? Begitulah Kok Siau-hong terus berpikir dan tetap tidak habis paham, dia meragukan kebusukan Han Tay-wi sebagaimana dilukiskan Liok Kun-lun dan Lau Kan-loh, tapi ia pun tidak berani yakin Han Tay wi adalah orang baik.
Namun dalam hati kecilnya samar-samar terasa ada sesuatu yang tidak beres, mendadak teringat sesuatu olehnya.
"Hah, mengapa aku melupakan bukti yang maha penting ini?"
Sebagaimana diketahui, dia pernah mengambil segumpal kecil darah beku pada luka si budak tua yang terbunuh itu, sedianya darah beku itu akan diperiksa dan diadakan percobaan di tempat Kay-pang, lantaran banyak bicara dengan Liok Kun-lun sehingga hal itu terlupakan.
Sekarang cahaya rembulan cukup terang, waktu hal itu teringat olehnya kebetulan dia berada di tepi sebuah parit yang berair jernih, tertampak ada ikan berenang di dalam air.
Siau-hong pikir sekarang boleh kucoba bukti darah beku ini.
Segera ia membendung kedua ujung parit itu sehingga terbentuk sebuah kolam kecil, lalu ia remas darah beku yang dibungkusnya dengan saputangan itu hingga hancur dan ditaburkan ke dalam air.
Selang tidak lama, tertampaklah ikan-ikan yang berada di dalam kolam bendungan itu semuanya terbalik dengan perut di atas dan mengambang di permukaan air.
Nyata ikan-ikan itu telah mati keracunan oleh bubuk darah beku tadi.
Biarpun sejak semula Kok Siau-hong sudah menduga darah beku itu pasti beracun, sekarang melihat betapa jahat racunnya, tidak urung ia terkejut juga.
Tapi sehabis terkejut segera menyusul pula rasa girang, tanpa terasa ia berseru.
"Pembunuhnya bukan Han-pepek, pembunuhnya bukan Han-pepek!"
Sudah tentu rasa girang Kok Siau-hong ini ada dasarnya.
Maklumlah, yang dilatih Han Tay-wi adalah lwekang dari aliran Cing, aliran baik, yang tidak mungkin merangkap meyakinkan pula pukulan berbisa, sebab hal ini akan berani meracuni diri sendiri di kala mengerahkan tenaga.
Maka kesimpulan Kok Siau-hong pembunuhnya itu pasti ada orang lain, ia pikir Cu Kiu-bok mungkin tidak memiliki pukulan berbisa sejahat itu.
Tampaknya paman Han benar-benar ketemukan musuh yang amat lihai dan musuh ini jelas bukan Cu Kiu-bok.
Aku harus menyampaikan penemuanku ini kepada Liok Pang-cu dengan segera.
Baru dia bermaksud putar balik ke cabang Kay-pang, tiba-tiba teringat pula olehnya bila orang itu sudah membunuh segenap keluarga Han, jika diketahui pula bahwa Han-siocia sudah pulang, tentu orang itu takkan mengampuni nona itu.
Padahal sekarang nona Han berada di rumah sendirian, keadaannya sungguh berbahaya.
Laporan kepada Liok Pang-cu dapat ditunda sementara, tapi keselamatan Han-siocia tidak dapat dibiarkan terancam setiap saat.
Aku harus segera ke sana.
Belum lenyap pikirannya, tiba-tiba di dalam hutan sana ada suara orang tertawa dingin.
Keruan Kok Siau-hong terkejut, cepat ia membentak.
"Siapa?"
Tapi tiada jawaban. Cepat Siau-hong memburu ke arah datangnya suara, namun di dalam hutan itu keadaan sunyi senyap tiada bayangan seorang pun. Ia menjadi ragu-ragu apakah salah dengar? Segera ia bersuara pula.
"Kawan, apakah barangkali kau mengetahui apa yang terjadi sebenarnya di keluarga Han dan menertawai aku sembarangan menduga, jika begitu aku ingin mohon petunjuk padamu!"
Suara Kok Siau-hong itu dilontarkan dengan lwekang yang kuat, gelombang suaranya dapat mencapai jauh, bila di hutan itu ada orang tentu akan mendengar suaranya itu.
Akan tetapi sampai sekian lama ternyata tiada jawaban.
Tiada jalan lain, terpaksa ia kembali ke tempat tadi dan menguruk kolam air beracun tadi dengan tanah dan batu agar tidak menimbulkan korban orang tak berdosa.
Habis itu barulah ia meninggalkan tempat itu menuju ke rumah keluarga Han.
Saat itu Han Pwe-eng sedang termenung-menung di rumahnya yang sebagian sudah menjadi puing, pikirannya melayang jauh dan bingung, rasanya seperti baru mimpi buruk saja.
Terbayang olehnya masa lalu, masa kanak-kanak dan masa remajanya yang manis dan bahagia, semuanya itu kini telah buyar bagai impian belaka.
Teringat olehnya pada malam itu, waktu itu ayahnya mengantar keberangkatannya ke Yang-ciu dengan dikawal Tian It-goan dan Liok Hong di bawah iringan Beng Cong-piauthau dari Hou-wi Paukiok, betapa berat rasa perpisahan waktu itu.
Sungguh tidak terduga hanya dalam waktu tiga bulan saja telah terjadi perubahan sebesar ini, rumahnya sekarang hancur dan terbakar, pelayan-pelayannya terbunuh orang, ayahnya juga tak diketahui jejaknya, harapan dan impiannya yang indah telah ikut musnah seluruhnya.
Hanya tiga bulan saja telah mengubah seluruh kehidupannya, cuma tiga bulan saja dia sudah mengalami macam-macam kemalangan dan menelan tidak sedikit kedukaan.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menghadapi reruntuhan puing itu, hendak menangis juga tidak keluar air mata.
Api itu tidak saja menghancurkan rumahnya, tapi juga memusnahkan kebahagiaannya, melenyapkan perasaannya.
Sebelum ini di dalam lubuk hatinya hanya terisi dua orang, dia dibesarkan oleh sang ayah.
Tapi satu-satunya orang yang paling dicintainya di dunia ini kini tak diketahui jejaknya dan entah bagaimana keselamatannya.
Seorang lagi yang pernah tersimpan dalam-dalam di hatinya, orang yang pernah mendapatkan berbagai khayalan bahagia baginya, dia adalah Kok Siau-hong.
Memang, di antara Kok Siau-hong dan dia hakikatnya tak bisa dikatakan ada perasaan cinta apa-apa, tapi sejak dia mulai paham kehihdupan manusia, dia pun mengetahui Kok Siau-hong adalah bakal suaminya.
Dia tahu pemuda itu putera keluarga tokoh silat kenamaan, pemuda yang ganteng dan terkenal sebagai pendekar muda.
Ikatan suami- istri sudah pasti jadi, biarpun Kok Siau-hong begitu asing baginya toh dia tetap menaruh harapan penuh atas diri bakal suami itu.
Dalam lubuk hati gadis itu tidak pernah terisi oleh lelaki lain, tak pernah terpikir olehnya akan membantah perjodohannya, lebih tak pernah terbayang olehnya bahwa perjodohannya itu akan terjadi perubahan begini hebat.
Kedua orang yang pernah dia cintai itu, meski kwalitas perasaannya berbeda terhadap mereka, yang satu adalah cinta anak terhadap ayah, seorang lagi adalah cinta remang-remang terhadap bakal suami saja, tapi di masa lalu baginya kedua orang itu adalah dua orang terdekat yang sukar terpisah di dalam lubuk hatinya.
Tapi sekarang kedua orang itu sudah hilang seluruhnya, ayah mungkin dapat diketemukan pula, namun Kok Siau-hong sudah pergi dari lubuk hatinya dan takkan kembali lagi.
Begitulah Han Pwe-eng menjadi risau membayangkan nasibnya sendiri.
Sementara itu sudah lewat tengah malam, dia sudah mengubur mayat-mayat pelayannya, rumah yang sudah hancur itu tiada yang berat untuk ditinggalkan.
Dan Kok Siau-hong belum nampak kembali.
Beberapa kali ia bermaksud tinggal pergi, tapi lalu menuruti pula kata hatinya agar menunggu lagi sebentar, bukankah pemuda itu menyatakan akan kembali? Tiba-tiba Pwe-eng terkesiap dan terkilas sesuatu pikiran yang sukar dipahami.
Ia heran sendiri.
"Mengapa aku begini percaya padanya? Mengapa aku mengharapkan dia kembali ke sini?"
Padahal peristiwa pembatalan pernikahan sekali ini betapa menimbulkan rasa sakit hati bagi Han Pwe-eng biarpun tidak sampai sedemikian bencinya kepada Kok Siau-hong.
Peristiwa ini membikin dia malu dan merasa terhina.
Dia dapat memaafkan percintaan Kok Siau-hong terhadap Hi Giok-kun, tapi dia tak dapat memaafkan Kok Siau-hong yang telah melukai harga dirinya sebagai seorang gadis.
Akan tetapi di luar dugaannya dia telah bertemu dengan Kok Siau-hong di rumahnya sendiri, tiba-tiba ia merasa pemuda itu tidak menghinanya sebagaimana disangkanya sendiri, sebaliknya pemuda itu malah menaruh hormat padanya, ini dapat dirasakan dari setiap gerak-gerik dan tutur-kata pemuda itu.
Ia tahu itu bukan tanda "cinta", namun begitu tak dapat disangkal bahwa Kok Siau-hong adalah orang berbudi.
Sudah tentu ia pun tahu kedatangan Kok Siau-hong ke rumahnya ini bermaksud membatalkan perjodohannya secara resmi kepada ayahnya, biarpun hal ini sangat menyinggung perasaannya, akan tetapi tindakan Kok Siau-hong yang jantan ini harus dipuji, dia berani menghadapi segala kemungkinan terhadap ayahnya.
Teringat semua itu, tanpa terasa pandangannya terhadap Kok Siau-hong telah berubah.
Entah mengapa mendadak ia merasa pemuda itu seperti juga ayahnya, dapat menjadi saudaranya, sebab itulah dia sangat mengharapkan kembalinya pemuda itu.
Tengah pikiran Pwe-eng semakin kusut dan menantikan datangnya Kok Siau-hong dengan gelisah, tiba-tiba ia mendengar sesuatu suara, waktu ia mendongak, tertampak sesosok bayangan melompat masuk melalui bagian pagar tembok yang ambruk sana.
Baru Pwe-eng hendak menyapa, sebab disangkanya yang datang itu adalah Kok Siau-hong, tapi urung ia bersuara ketika dilihatnya pendatang adalah seorang yang tak dikenalnya berusia antara empatpuluhan dengan wajah pucat mirip orang sakit-sakitan.
"Siapa kau?"
Tanya Pwe-eng dengan terkejut.
"Jangan takut, nona cilik!"
Kata orang itu.
"Ikutlah padaku jika kau ingin bertemu dengan ayahmu."
Mendengar suara orang yang halus dan tiada mengandung maksud jahat itu, Pwe-eng terkejut dan bergirang pula, cepat ia menegas.
"Ayahku? Beliau beliau tidak meninggal? Beliau berada dimana?"
"Sudah tentu tidak meninggal, kalau tidak, masakah aku dapat membawa kau pergi menemui dia?"
Jawab orang itu.
"Sudahlah, jangan banyak bertanya, lekas ikut!"
Sudah tentu Han Pwe-eng bukan anak kecil, mana dia mau percaya begitu saja. Ia coba menegas pula.
"Sesungguhnya kau siapa? Aku tidak kenal kau!"
Orang itu seperti malas bicara, dia membuka sebelah tangannya sehingga terlihat sebentuk cincin hitam bermata batu merah. Sesudah Pwe-eng melihat jelas cincin itu, lalu ia berkata.
"Kau tidak kenal aku, namun cincin ini tentu kau kenal bukan?"
Sekejap itu Pwe-eng benar-benar cemas dan girang bercampur aduk, dia percaya sekarang bahwa orang ini memang benar suruhan ayahnya, sebab cincin hitam yang diperlihatkan itu memang tidak salah lagi adalah salah satu benda mestika milik Han Tay-wi yang senantiasa terpakai di jarinya.
Pwe-eng masih ingat cincin itu adalah pemberian seorang kawan baik ayahnya.
Sesudah kawan baik itu pergi, ayahnya pernah menceritakan asal- usul cincin itu, sebab itulah kesannya cukup mendalam terhadap kejadian itu.
Tatkala itu Han Tay-wi belum lama terluka oleh Siu-lo-im-sat-kangnya Cu Kiu-bok, bekerjanya racun dingin pukulan itu mengakibatkan ayahnya terpaksa berbaring saja di atas ranjang.
Suatu hari datanglah seorang yang bernama Siangkoan Hok, sebelumnya Pwe-eng tidak kenal tamu itu, tapi ayahnya seperti kedatangan kawan lama dan melayaninya dengan sangat akrab.
Siangkoan Hok menginap semalam di rumahnya dan cincin ayahnya itu adalah pemberian Siangkoan Hok.
Menurut cerita ayahnya, cincin itu terbuat dari emas hitam, meski emas hitam sangat berharga, tapi yang lebih berharga adalah batu permata pada cincin itu.
Batu itu berwarna merah hati, namanya "Thian sim-ciok" (batu hulu hati bumi) dan hanya terdapat di puncak tertinggi Kun-lun-san yang disebut Sing-siok-hay.
Di puncak Sing-siok-hay ada macam-macam jenis batu merah demikian, hanya orang yang tahu saja yang dapat membedakan mana Thian-sim-ciok.
Kata ayahnya, nilai Thian-sim-ciok itu tidak cuma karena dia adalah batu permata yang sukar ditemukan, yang hebat adalah batu wasiat itu dapat digunakan sebagai obat.
Thian-sim-ciok berkadar obat maha panas sehingga sangat bagus untuk digunakan memunahkan hawa dingin berbisa, jika Thian-sim-ciok digosok-gosokkan di sekujur badan, terutama bagian- bagian ruas tulang, khasiatnya sangat bagus untuk menyembuhkan kelumpuhan akibat racun dingin.
Meski tak dapat menyembuhkan sama sekali luka serangan Siu-lo-im-sat-kang, tapi dapat mengurangi siksaan racun dingin itu bila kumat.
Cincin milik Han Tay-wi yang selalu dipakai di jarinya itu kini ternyata berada di tangan orang ini, mau tak mau Han Pwe-eng harus percaya padanya dan lantas ikut di belakang orang itu menuju ke atas bukit di belakang rumahnya.
Orang itu tampaknya kurus seperti orang sakit-sakitan, tapi jalannya ternyata cepat dan gesit.
Dengan segenap kemahiran ginkang Han Pwe-eng barulah dapat menguntit di belakangnya.
Diam-diam Pwe-eng heran apakah ayahnya sembunyi di atas bukit itu, padahal dia cukup kenal keadaan tempat itu, selamanya tiada terdapat orang tinggal di situ.
Segera ia mempercepat langkah untuk lebih mendekati orang itu, lalu bertanya.
"Bagaimana keadaan ayahku? Apakah dia terluka? Sekarang berada dimana?"
"Ikut saja, sebentar kau akan tahu sendiri, buat apa banyak bertanya?"
Jawab orang itu secara tak acuh.
Mendongkol juga Pwe-eng, tapi lantas terpikir olehnya bahwa sebentar memang benar akan mengetahui duduknya perkara, maka dengan segenap tenaga dan pikiran segera ia mengintil lebih rapat di belakang orang itu.
Bukit itu tidak terlalu tinggi, tapi cukup terjal dan curam, tidak lama sampailah di suatu puncak yang mencuat tinggi ke atas, di depan sudah buntu.
Puncak ini dipandang dari sisi timur laksana sebuah loteng, dipandang dari selatan mirip dinding benteng, di sebelah barat ada sebuah air terjun, air yang tertuang ke bawah menerbitkan suara gemuruh dan menyerupai sebuah tirai air yang indah.
Selagi Pwe-eng heran mengapa orang itu membawanya ke situ, tiba-tiba orang itu melompat ke depan menembus tirai air, habis itu lantas menghilang.
Nyata di balik air terjun itu ada jalan tembus.
Cepat Pwe-eng mengikuti jejak orang itu dan menerobos ke balik air terjun, benar juga di situ terdapat sebuah gua.
Baju Pwe-eng tersiram air terjun tadi, tapi basahnya mirip orang lari di tengah hujan sehingga tidak sampai basah kuyup.
Setelah menerobos gua itu, tiba-tiba pandangannya terbeliak, ternyata di balik gua itu adalah sebuah lembah yang datar.
Di kejauhan kelihatan ada sebuah rumah batu berbentuk benteng kuno.
Pwe-eng sama sekali tak menduga bahwa di balik air terjun itu ternyata ada dunia lain.
Anehnya dia tidak pernah mendengar dari ayahnya atau budak tua yang lain bahwa di situ terdapat tempat demikian.
Padahal sejak kecil dia sering main-main di bukit di belakang rumahnya ini.
Tentu saja dia tidak habis herannya.
Tapi rumah batu itu sudah di depan mata, segera akan tiba di sana, ia tidak sempat bertanya lagi.
Orang itu membawa Pwe-eng ke depan rumah batu itu dan mengetok pintu tiga kali.
Lalu terdengarlah suara berkeriutan, dua sayap daun pintu itu perlahan-lahan terpentang selebar belasan senti, seorang laki-laki setengah umur berkepala lancip dan bermata kecil melongok keluar dan melirik sekejap kepada Han Pwe-eng, lalu berkata dengan tertawa.
"O, kiranya Ji- suko telah membawa anak dara ini ke sini. Cantik amat anak dara ini!"
"Jangan sembarangan omong, lekas buka pintu!"
Omel yang membawa datang Han Pwe-eng tadi.
Melihat corak laki-laki yang membuka pintu itu rasanya sudah muak, apalagi mendengar kata-katanya yang kurang sopan itu, Pwe-eng bertambah dongkol.
Tapi ia ingin bertemu dengan ayahnya, tidak enak buat bertengkar dengan orang.
Maka ia tidak bersuara dan ikut orang tadi memasuki rumah kuno itu.
Keadaan di dalam benteng kuno itu ternyata sunyi senyap, seram rasanya.
Hati Pwe-eng tergerak, pikirannya.
"Tidak benar ini. Jika ayah berada di sini, seharusnya penghuni rumah ini adalah kawan-kawannya, mengapa penjaga pintu tadi bersikap kurangajar kepadaku?"
Begitulah tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang tidak beres, jangan-jangan ini adalah perangkap musuh belaka.
Tapi darimana orang itu mendapatkan cincin hitam ayah? Jangan-jangan ayah sudah teraniaya dan celaka.
Namun begitu, darimana pula mereka mengetahui harga cincin ini sehingga dapat dipakai sebagai bukti untuk menipu aku? Belum habis berpikir, laki-laki penyakitan tadi telah membawanya ke suatu serambi panjang, pada ujung serambi itu ada sebuah rumah, di atas pintu tergantung sebuah lampu kerudung sehingga suasana menjadi remang- remang seram.
"Nona Han, di dalam rumah inilah ayahmu sedang istirahat,"
Kata laki- laki itu. Pwe-eng sudah ambil keputusan akan menjajaki segalanya karena sudah telanjur berada di situ, maka segera ia pun berseru memanggil.
"Ayah!"
"Jangan keras-keras, mungkin ayahmu sedang tidur,"
Kata orang itu. Mendadak dari pojok rumah sana berdiri seorang bertopi, karena sebelumnya tidak tahu di situ masih ada orang, Pwe-eng menjadi kaget.
"Toa-suko, harap buka pintunya biar mereka ayah beranak bertemu,"
Kata laki-laki penyakitan tadi kepada orang baru itu.
Kembali Pwe-eng terkesiap, jika ayahnya sedang merawat lukanya di situ, mengapa pintu rumah ini digembok dari luar sehingga ayahnya lebih mirip tahanan belaka.
Belum lenyap pikirannya, pintu rumah itu sudah dibuka, orang bertopi itu menoleh dan berkata.
"Silakan!"
Di bawah cahaya lampu yang remang-remang itu sekarang dapatlah Pwe- eng melihat jelas wajah orang itu.
Seketika kejut Pwe-eng tak terkatakan.
Kiranya orang ini bukan lain daripada Pok Yang-kian yang pernah dijumpainya bersama Kiong Kim-hun tempo hari itu.
Waktu itu Pok Yang- kian telah melukai beberapa pentolan Pang-hwe dari lembah Hong-ho, bahkan Pwe-eng sendiri dan Kiong Kim-hun pernah bergebrak dengan dia.
Dalam kagetnya segera Pwe-eng membentak.
"Bangsat, kau berani menipu aku!"
Berbareng terus menghantam.
Namun Pok Yang-kian segera mengelak dan memutar tangannya untuk menangkap pergelangan tangan Han Pwe-eng, sedangkan laki-laki penyakitan yang berdiri di belakangnya itu terus ikut mendorong pula sehingga Pwe-eng digusur ke dalam rumah tahanan itu.
Dengan terhuyung-huyung Pwe-eng tertolak ke dalam kamar penjara itu, keadaan di dalam sangat gelap sehingga hampir-hampir dia menginjak sesosok tubuh manusia, syukur keburu diketahuinya walaupun dengan terkejut, cepat ia memegang dinding dan dapat berdiri tegak.
"Krek", terdengar pintu penjara itu digembok pula dari luar disertai caci- maki Pok Yang-kian. Kiranya waktu dia hendak mencengkeram Han Pwe- eng tadi, Hiat-to di bagian dadanya juga kena totokan Pwe-eng sehingga kesakitan, untung Sutenya yang bermuka penyakitan itu segera menolongnya. Han Pwe-eng tidak sempat menggubris caci-maki Pok Yang-kian itu, tapi segera ia berjongkok untuk memeriksa orang yang tersandung kakinya tadi. Sejenak kemudian lambat-laun pandangannya di tempat gelap sudah menjadi biasa, samar-samar orang itu dapat dilihatnya. Sesaat hati Pwe-eng tergetar hebat, hampir saja ia jatuh kelengar. Kiranya orang yang menggeletak di situ tak lain adalah ayahnya.
"Ayah!"
Serunya segera sambil menjulurkan tangannya yang gemetar dan terasa lemas. Han Tay-wi lantas memegangi tangan anak perempuannya itu, perlahan- lahan ia berbangkit dan berkata dengan suara lemah namun cukup jelas.
"Apakah anak Eng?"
Mendengar itu barulah hati Pwe-eng rada lega, agaknya keadaan sang ayah tidak seburuk bayangannya tadi, suaranya cukup jelas dan dapat berdiri.
Segera Pwe-eng merangkul sang ayah dengan rasa girang tercampur sedih.
Ia merasa seperti bertemu dengan sang ayah dialam impian saja, seketika ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya melainkan mengucurkan air mata belaka.
Terdengar orang yang membawanya ke situ itu berkata di luar dengan gelak tertawa.
"Nah, nona Han, aku mengatakan kau dapat bertemu dengan ayahmu, sekarang terbukti tidak, aku tidak dusta padamu bukan? Kau jangan kuatir, kami takkan membikin susah kepada kalian. Kalian jangan menangis dan harus bergembira karena ayah beranak dapat berjumpa dan berkumpul lagi."
Habis itu dia berkata juga kepada Pok Yang-kian.
"Menurut pesan Suhu, hendaklah budak ini diperlakukan baik-baik. Aku akan lapor dulu kepada Suhu, Toa-suko!"
"Aku tahu, memangnya kau anggap aku orang tolol? Pergilah kau!"
Jengek Pok Yang-kian dengan kurang senang.
"Aku cuma kuatir Toa-suko tidak tahan dan bertindak tanpa pikir, asal Toa-suko sudah paham, maka baiklah aku akan pergi saja,"
Ujar orang itu dengan menyengir. Dalam pada itu Han Tay-wi telah mendahului menghibur Pwe-eng agar jangan kuatir, orang tua itu membisiki anak perempuannya.
"Anak Eng, di hadapan musuh janganlah kau menangis!"
Pwe-eng mengiakan dan segera mengusap air matanya dan tidak menangis lagi.
"Apakah kau terluka, anak Eng?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Han Tay-wi.
"Tidak,"
Jawab Pwe-eng.
"Tapi ayah sendiri, bagai bagaimana keadaanmu?"
"Ah, kau sudah berada di sini, aku takkan mati tentu,"
Kata Han Tay-wi dengan tersenyum getir.
Maksud pertanyaan Pwe-eng adalah keadaan luka sang ayah, tapi jawaban ayahnya ternyata menyimpang dari pertanyaan, ia menjadi heran mengapa ayahnya tidak mengatakan keadaan lukanya, sebaliknya menyatakan takkan mati sesudah aku datang di sini, apa artinya ini? Dalam pada itu Han Tay-wi telah bertanya.
"Anak Eng, apakah kau sudah pulang ke rumah?"
"Ya, anak baru kemarin pulang,"
Jawab Pwe-eng.
"Dan begitu tiba di rumah lantas kepergok iblis tua Cu Kiu-bok."
"Hah, kau pulang sendirian? Bagaimana Siau-hong?"
Tanya Han Tay-wi dengan terkejut dan kuatir.
"Siau-hong telah membantu anak mengusir Cu Kiu-bok, sekarang dia pergi ke markas cabang Kay-pang di Lok-yang,"
Tutur Pwe-eng.
"Sesudah itu anak telah dipancing ke sini oleh orang tadi dengan membawa cincin hitam milik ayah."
Han Tay-wi menghela napas lega, katanya pula.
"Siau-hong benar-benar lelaki yang setia dan berbudi, tidak sia-sia aku mempercayakan hidupmu kepadanya. Dalam suasana kacau begini dia bersedia mengiringi kau pulang menjenguk orang tua meski kalian baru saja menikah. Ai, sebenarnya maksudku mengirim kau ke Yang-ciu untuk menikah justru hendak menyingkirkan kau dari bahaya peperangan, siapa tahu kalian malah pulang menjenguk diriku. Namun aku pun tak dapat menyalahkan maksud baik kalian."
Nyata Han Tay-wi menyangka Pwe-eng pulang bersama suaminya, ia tidak tahu bahwa Kok Siau-hong sama sekali belum menikah dengan anak perempuannya, datangnya ke Lok-yang juga tidak bersama Pwe-eng, bahkan maksudnya hendak menemuinya untuk membatalkan pertunangan dengan anak perempuannya itu.
Pwe-eng menjadi merah mukanya, hatinya merasa tersinggung dan terasa berduka pula.
Syukur di dalam kamar penjara itu keadaan gelap-gulita sehingga Han Tay-wi tidak dapat melihat wajah Pwe-eng yang muram.
Kuatir ayahnya ikut berduka dan akan menambah parah penyakitnya, maka Pwe-eng sedapat mungkin menahan perasaannya dan tidak berani mengutarakan rasa dukanya.
Sebaliknya ia lantas bertanya pula.
"Ayah, siapakah orang yang melukai engkau itu? Bagaimana keadaanmu?"
"Aku terluka oleh Hoa-hiat-to iblis tua itu,"
Jawab Han Tay-wi.
"Hm, jika aku dapat bergerak dengan bebas, biarpun Hoa-hiat-to itu lebih lihai lagi juga takkan mampu melukai aku."
"Hoa-hiat-to?"
Pwe-eng menegas dengan terkejut.
"Wah, terluka oleh Hoa-hiat-to tidak boleh dipandang sepele."
"Kau jangan kuatir,"
Ujar Han Tay-wi.
"Memang betul Hoa-hiat-to sangat lihai, tapi kecuali aku sudah bosan hidup, jika tidak, kalau cuma Hoa-hiat-to saja belum dapat membinasakan aku."
Tiba-tiba ia merasa heran dan segera bertanya.
"Anak Eng, darimana kau mengetahui ilmu Hoa-hiat-to segala."
"Ayah, iblis yang melukai engkau dengan Hoa-hiat-to itu bukankah bernama Sebun Bok-ya?"
Pwe-eng balas bertanya. Han Tay-wi bertambah heran, katanya.
"Benar, darimana kau pun mengetahui iblis tua itu?"
"Orang yang berjaga di luar itu bernama Pok Yang-kian, dia adalah murid Sebun Bok-ya,"
Tutur Pwe-eng.
"Waktu anak pulang, di tengah jalan pernah menyaksikan dia melukai beberapa pemimpin Pang-hwe dari lembah Hong- ho."
Mereka bicara di dalam kamar penjara yang berdinding tembok tebal itu dengan suara perlahan, suara mereka tentunya sukar tembus keluar.
Tapi entah Pok Yang-kian mendengar tidak percakapan mereka, tiba-tiba terdengar dia bicara di luar dengan suara keras.
"Sementara ini takkan kuganggu kau si budak busuk ini, tapi suatu ketika kau tentu takkan lolos dari tanganku. Begitu pula si bocah Kong-sun Bok itu, kelak pasti juga akan kubekuk dan kubereskan."
Mendadak Han Tay-wi membentak dengan suara bengis.
"Kau berani kurangajar kepada anak perempuanku, begitu aku keluar segera kubunuh kau lebih dulu!" ~ Habis berkata, sekali ia menjentik dinding tembok, seketika Pok Yang-kian yang sedang mencuri dengar di luar itu tergetar hingga mendengung anak telinganya. Keruan Pok Yang-kian terkejut dan tak berani bersuara pula, pikirnya.
"Tua bangka itu sudah dilukai guruku dengan Hoa-hiat-to, tapi masih memiliki lwekang sekuat itu, sedangkan Suhu akan membebaskan dia atau bagaimana belum lagi diketahui, sebaliknya jangan aku membikin marah padanya."
Dalam pada itu Han Tay-wi sedang bertanya pula kepada anak perempuannya dengan suara perlahan.
"Siapakah Kong-sun Bok yang kau sebut tadi?"
"Seorang pemuda yang anak ketemukan di kota Uh-seng, kabarnya dia adalah putera Kong-sun Ki. Keparat Pok Yang-kian itu pernah dihajar olehnya."
"Kong-sun Ki adalah seorang gembong iblis yang terkenal ganas di dunia persilatan pada duapuluhan tahun yang lalu,"
Kata Han Tay-wi.
"Hati manusia sukar diduga, jika dia adalah putera Kong-sun Ki, lebih baik kalian suami-istri jangan berhubungan dengan dia." ~ Nyata dia menyangka anak perempuannya ketemu dengan Kong-sun Bok ketika pulang bersama Kok Siau-hong. Lantaran tidak ingin menceritakan persoalannya kepada sang ayah, maka Pwe-eng hanya mengiakan secara samar-samar saja. Tapi dalam hati ia pun sedang berpikir.
"Nona Kiong itu entah bagaimana sekarang, entah dia sudah bertemu dengan Kong-sun Bok atau belum. Kong-sun Bok memiliki ilmu pemunah Hoa-hiat-to, jika dia datang ke sini, bisa jadi dia akan dapat menandingi iblis Sebun Bok-ya itu."
"Apakah Kong-sun Bok itu yang memberitahukan padamu tentang asal- usul Sebun Bok-ya?"
Tanya Han Tay-wi.
"Benar,"
Jawab Pwe-eng.
"Makanya anak merasa rada heran."
"Heran tentang apa?"
Tanya Tay-wi.
"Konon iblis Sebun Bok-ya itu tinggal di Kwan-gwa, ketika di kota Uh- seng, sesudah Pok Yang-kian menaklukkan para Pang-hwe di lembah Hong- ho, dia pernah mengeluarkan suara bahwa dia sengaja mewakili gurunya mencari nama ke daerah Tiong-goan. Menurut kata-katanya waktu itu jelas gurunya tatkala itu juga masih berada di Kwan-gwa, entah mengapa mendadak sudah berada di sini sekarang? Tempat apakah ini? Tampaknya benteng kuno ini sudah berusia tua, tapi kita sama sekali tidak mengetahui. Apakah tempat ini kediaman Sebun Bok-ya atau pemiliknya yang berada di sini berkomplot dengan dia?"
"Ya, benteng kuno ini memang sudah berusia tua, sudah lama aku pun tahu akan tempat ini, cuma aku melarang mereka memberitahukan padamu,"
Kata Tay-wi.
"Kenapa ayah?"
Tanya Pwe-eng heran.
"Panjang sekali kalau kuceritakan, untuk sementara lebih baik kau tidak mengetahuinya,"
Ujar Tay-wi.
"Tapi Sebun Bok-ya kenal dengan pemilik rumah ini, hal inipun sama sekali di luar dugaanku."
Han Pwe-eng bertambah heran dan tidak paham mengapa ayahnya sengaja merahasiakan tempat ini.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar sesuatu suara, waktu Pwe-eng mendongak, dilihatnya dari lubang yang terbuka di atap rumah itu dikerek turun sebuah keranjang yang penuh berisi makanan dan tepat tertaruh di atas meja batu di dalam kamar penjara itu.
Segera Pwe-eng mengeluarkan makanan itu dari keranjang, katanya.
"Wah, ada arak dan daging segala, entah ditaruh racun tidak?"
"Jika iblis tua itu mau membunuh kita kan tidak perlu menggunakan racun segala,"
Ujar Han Tay-wi.
"Anak Eng, perutmu tentu sudah lapar, boleh kau makan saja, tidak perlu kuatir."
Pwe-eng lantas membetot sepotong paha ayam, katanya.
"Dan ayah mengapa tidak makan?"
Tiba-tiba ada berkelebatnya cahaya, waktu Pwe-eng menoleh, tertampak satu sayap jendela terbuka dan sebuah wajah dengan mata melotot sedang menatap padanya. Wajah itu kaku dingin tanpa emosi, Pwe-eng sampai berseru terkejut.
"Jangan takut, nona cilik,"
Kata orang itu.
"Tidak salah ucapan ayahmu, aku takkan meracuni kalian, maka hendaklah kau membujuk ayahmu supaya makan sedikit."
Mendengar itu barulah Pwe-eng tahu bahwa orang inilah kiranya Sebun Bok-ya adanya. Dengan gusar Han Tay-wi lantas mendamprat.
"Kau iblis tua ini sebenarya ingin apa sengaja memancing anak perempuanku ke sini? Memangnya dengan begitu kau menyangka aku akan menyerah padamu?"
"Han Tay-wi,"
Dengan tertawa Sebun Bok-ya menjawab.
"Aku mengundang puterimu ke sini agar dapat berkumpul dengan kau, masakah kau tidak berterima kasih padaku? He, he, jika sudah bersanding dengan puterimu tentunya kau tidak tega mati bukan? Maka silakan makan saja yang kenyang. Malahan seorang sobatmu kini juga sudah berada di sini, sesudah kau kenyang nanti kita semua barulah berunding."
Wajah Sebun Bok-ya lalu lenyap dari balik jendela, menyusul wajah Cu Kiu-bok ganti menongol di situ.
"Hm, paling-paling mati saja, biarpun kalian bergabung juga aku tidak takut?"
Jengek Tay-wi.
"Han Tay-wi,"
Kata Cu Kiu-bok dengan nada menyindir.
"Sebenarnya aku hendak mencari kau untuk membikin perhitungan kita yang lama, siapa tahu kau tak becus begini, belum apa-apa sudah terkena Hoa-hiat-to Sebun- heng. Lantaran Sebun-heng tidak ingin melihat kematianmu, atas permintaannya, maka hutangmu padaku boleh juga kuhapus saja, tinggal kau tahu diri atau tidak."
"Baik, banyak terima kasih atas suguhan kalian ini,"
Kata Han Tay-wi, segera ia menenggak arak dan makan dengan lahap. Lalu katanya pula.
"Nah, suguhanmu sudah kumakan, namun di balik suguhan ini jika kalian ada main, hm, jangan kira orang she Han gampang ditaklukkan."
"Buat apa aku mesti main-main segala?"
Terdengar Sebun Bok-ya menjengek.
"Biar kau tahu saja, meski sekarang aku membebaskan kau, sekali pun orang dari golongan Cing-pay juga takkan mengampuni kau."
Habis berkata ia terus tertawa terkekeh-kekeh, tertawa yang mengejek hingga membikin mengkiriknya bulu kuduk. Kemudian kedua wajah iblis itupun lantas lenyap dari situ.
"O, kiranya selama ini ayah tidak pernah makan barang mereka?"
Tanya Pwe-eng.
"Aku terlalu berduka lantaran kena dijebak musuh, aku merasa lebih baik mati saja daripada hidup. Tidak tersangka kau pun tertipu ke sini sehingga aku tidak dapat mencari mati lagi,"
Kata Tay-wi. Baru sekarang Pwe-eng paham apa yang diucapkan ayahnya ketika dia baru datang ke situ, kiranya demikianlah maksudnya.
"Ya, selama gunung masih menghijau, masakah kuatir tiada kayu bakar,"
Katanya kemudian.
"Ayah, dengan ilmu silatmu yang tiada bandingannya, asalkan engkau tidak putus asa, bukan mustahil ada kesempatan untuk mencari jalan hidup."
Han Tay-wi tidak menanggapi ucapan anak perempuannya itu, ia menenggak habis sisa arak dalam botol, lalu menghela napas panjang. Pwe-eng menjadi heran, tanyanya.
"Sebun Bok-ya berniat menjagoi dunia persilatan, kalau dia anggap ayah sebagai lawan utamanya tidaklah perlu diherankan. Tapi buat apa ayah mesti sedemikian berduka hanya karena terjebak olehnya secara licik?"
"Yang kusesalkan bukan disebabkan iblis itu,"
Kata Tay-wi. Hati Pwe-eng tergerak, segera ia menegas.
"Apakah tadinya ayah adalah sahabat baik pemilik tempat ini?"
Air muka Han Tay-wi rada berubah, ia manggut-manggut, katanya kemudian.
"Ya, lama dan lama sekali aku pernah bersahabat dengan dia."
"Dan kemudian kalian cekcok?"
Tanya Pwe-eng.
Han Tay-wi diam saja tanpa menjawab.
Pwe-eng cukup kenal sifat ayahnya yang sangat mengutamakan persahabatan, ia pikir jika ayahnya putus persahabatan dengan pemilik rumah kuno ini, soalnya tentu menyangkut sesuatu urusan yang amat menyedihkan dan karena itu ayahnya tidak suka mengungkitnya lagi.
"Yang kusedihkan adalah karena kau ikut terseret dalam urusan ini,"
Kata Han Tay-wi kemudian.
"Penyakitku akibat serangan Siu-lo-im-sat-kang dahulu belum sembuh dan kini terluka pula oleh Hoa-hiat-to, maka terasa amat sukar jika ingin menyelamatkan kau keluar dari sini. Cuma saja ucapanmu juga tidak salah, sebelum menghadapi jalan buntu betapa pun kita harus berusaha hidup terus, bisa jadi nanti ada kesempatan menemukan jalan hidup."
"Jika ayah dapat berpikir demikian, maka legalah hati anak,"
Kata Pwe- eng.
"Anak Eng, tadi kau mengatakan Siau-hong pergi ke cabang Kay-pang, apakah dia sendiri yang pergi ke sana atau diundang Lau Kan-loh ketika dia berkunjung ke rumah kita?"
"Dugaan ayah memang tidak salah, Lau To-cu yang mengajak dia ke sana,"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Pwe-eng.
"Bukan melulu Lau To-cu saja yang datang ke rumah kita, bahkan Liok Pang-cu juga datang."
"O, si tua Liok Kun-lun itupun datang. Hm, agaknya mereka mau menghargai diriku juga,"
Jengek Han Tay-wi dengan nada penasaran. Sudah tentu Han Pwe-eng menjadi heran, tampaknya sang ayah seperti kurang suka dikunjungi tokoh-tokoh Kay-pang itu.
"Ayah, perlu kuberitahukan suatu urusan, dalam urusan ini mungkin anak telah berbuat salah, untuk ini mohon ayah suka memberi ampun,"
Kata Pwe-eng kemudian.
"Urusan apa? Katakan saja, aku takkan marah!"
"Anak telah menyerahkan seluruh harta pusaka simpanan ayah kepada Liok Pang-cu dan mohon dia menyampaikannya kepada pihak Gi-kun (pasukan pergerakan/perlawanan)."
Han Tay-wi tampak mengerut kening, katanya.
"Kau menyumbangkannya dengan atas namaku?"
"Apakah harta pusaka itu bukan milik kita?"
Tanya Pwe-eng heran dan ragu-ragu. Ternyata keraguan Pwe-eng itu tidaklah keliru, terdengar ayahnya menjawab.
"Anak Eng, kau memang salah. Harta benda di rumah kita itu hampir seluruhnya adalah titipan orang."
"Wah, celakalah kalau begitu,"
Seru Pwe-eng terkejut.
"Cara bagaimana kita sanggup menggantinya dan entah siapakah gerangan orang yang titip harta pusaka sebanyak itu kepada kita?"
"Dia adalah seorang sahabatku yang karib,"
Kata Tay-wi.
"Harta pusaka yang dia titipkan padaku itu sebenarnya juga bukan miliknya, maksud tujuannya hendak menggunakan harta itu untuk melakukan sesuatu urusan maha penting."
Selagi Han Tay-wi menimang-nimang apakah mesti memberitahukan nama sahabatnya itu kepada anak perempuan sendiri atau tidak, tiba-tiba ia terkesiap, cepat ia mendesis.
"Ssst, dengarkan, anak Eng, di luar seperti ada orang datang lagi?"
Pwe-eng coba menempelkan telinganya ke dinding buat mendengarkan dengan cermat, benar juga ada suara tindakan orang yang mendekat, tapi cuma sebentar saja orang itu lantas pergi.
"Seperti ada orang mencuri dengar,"
Ujar Pwe-eng.
"Ayah jika sekiranya rahasiamu tak dapat didengar orang luar, lebih baik jangan kau bicarakan dulu. Ginkang orang di luar agaknya sangat tinggi, bisa jadi Sebun Bok-ya kalau bukan Cu Kiu-bok."
Mendadak Han Tay-wi bergelak tertawa dan berkata dengan suara keras.
"Anak Eng, tepat sekali tindakanmu. Harta pusaka itu meski bukan milik kita, tapi kau telah menyerahkannya kepada pihak Gi-kun sehingga mereka mempunyai cukup perbekalan untuk menghantam Tartar Mongol, tindakanmu ini justru sangat sesuai dengan maksud tujuan Tay-in-kong (tuan penolong) kita itu."
Pwe-eng tahu ucapan sang ayah sengaja didengarkan kepada Sebun Bok- ya, ia menduga iblis tua itu tentu sangat murka bila mendengarnya.
Dan bagus sekali jika betul apa yang diucapkan ayahnya itu.
Mendengar suara tindakan Sebun Bok-ya sudah pergi jauh barulah Han Tay-wi berkata pula dengan suara tertahan.
"Anak Eng, kau pun jangan menyesal, apa yang kukatakan itu bukan cuma untuk membikin senang hatimu saja."
"Jadi maksud tujuan pemilik harta pusaka itu memang begitu?"
Pwe-eng menegas dengan girang.
"Sebenarnya maksudnya hendak diberikan kepada suatu golongan lain, cuma mempunyai cita-cita perjuangan yang sama, sebab itu kupikir dia takkan menyalahkan kita."
Dengan demikian, jelas Han Tay-wi menyatakan maksud tujuan harta pusaka itupun memang akan digunakan untuk bekal perlawanan kepada Mongol.
Walaupun kuatir rahasia ayahnya didengar orang di luar, namun Pwe- eng sukar menahan perasaannya yang ingin tahu, maka dia gunakan jari mencorat-coret beberapa huruf di tangan ayahnya untuk bertanya.
"Siapakah sahabat ayah itu?"
Han Tay-wi juga mencorat-coret tiga huruf di telapak tangan Pwe-eng yang bunyinya.
"Siangkoan Hok."
"O, kiranya dia,"
Ujar Pwe-eng.
"Ayah, mengapa dia begitu baik padamu?"
"Sebab hanya aku saja yang kenal pribadinya,"
Jawab Han Tay-wi sambil menghela napas.
"Anak Eng, jika kau dapat lolos dari sini, di luar janganlah kau katakan kepada orang lain bahwa dia adalah sahabatku."
Cepat Pwe-eng mengiakan.
Dalam hati ia mengira sang ayah tidak ingin membocorkan rahasia harta pusaka itu.
Bicara tentang Siangkoan Hok, mau tak mau Han Pwe-eng menjadi teringat kepada cincin emas hitam yang diberikan Siangkoan Hok kepada ayahnya itu.
Segera ia bertanya pula.
"Ayah, darimana mereka mengetahui asal-usul cincin itu?"
"Tidak, mereka tidak tahu cincin pemberian siapa,"
Jawab Han Tay-wi.
"Cuma Sebun Bok-ya tahu khasiat daripada batu merah yang terbingkai pada cincin itu."
"Dengan kehilangan cincin itu, apakah ayah menjadi rada payah?"
Tanya Pwe-eng.
"Kelumpuhanku sudah sembuh tujuh-delapan bagian, cincin itupun tak dapat menyembuhkan sama sekali racun dingin dalam tubuhku, maka tidak menjadi soal kehilangan cincin itu,"
Kata Tay-wi. Pwe-eng teringat sesuatu, segera ia bertanya pula.
"Ayah, sesudah Sebun Bok-ya membunuh kaum pelayan kita, mengapa dia tidak ambil pula harta pusaka itu?"
"Masakah ayahmu begitu gampang dilukai olehnya?"
Sahut Tay-wi dengan tertawa.
"Ketika dia melukai aku dengan Hoa-hiat-to, berbareng dia juga terkena pukulanku."
"O, jadi dia juga terluka parah?"
Pwe-eng menegas.
"Tapi waktu itu terdapat pula seorang lain yang hadir di situ, meski orang itu mengharapkan aku ditawan oleh Sebun Bok-ya, namun sedikit-banyak dia juga melindungi aku. Tujuan orang itu tidak terletak pada harta pusaka, sebab itulah setelah aku terluka, orang itu lantas mendesak Sebun Bok-ya membawa aku ke sini. Sebun Bok-ya terluka dalam, mungkin dia juga kuatir kedatangan orang-orang Kay-pang, maka tidak berani tinggal lebih lama di rumah kita, apalagi didesak oleh orang itu, terpaksa ia kesampingkan maksud mencari harta pusaka dan menurut kepada perintah orang itu."
Pwe-eng menduga orang yang dimaksudkan ayahnya itu tentulah pemilik rumah kuno ini.
Jika orang ini dapat memaksa Sebun Bok-ya tunduk kepada perintahnya, maka dapat dibayangkan ilmu silatnya pasti sangat tinggi.
Ai, harapanku sekarang hanya semoga Kiong Kim-hun dan Kong-sun Bok akan mencari diriku ke sini."
Sudah tentu Pwe-eng tidak tahu bahwa saat itu Kiong Kim-hun dan Kong- sun Bok sudah berada di rumahnya.
Malam itu, sesudah Kiong Kim-hun berhasil menggondol lari guci arak Pek-hoa-ciu milik Hi Giok-kun, segera dia dan Kong-sun Bok meneruskan pejalanan ke Lok-yang dengan cepat agar bisa lekas berjumpa dengan "Han- toako"
Yang dirindukannya itu. Hakikatnya ia tidak tahu bahwa "Han-toako"
Yang cakap itu sesungguhnya adalah kaum wanita seperti dia sendiri.
Sebenarnya Kong-sun Bok tidak suka terhadap tingkah-laku Kiong Kim- hun yang suka mencuri barang orang lain itu.
Tapi kemudian sesudah Kim- hun memberitahukan tentang khasiat Pek-hoa-ciu itu, ia pikir menyelamatkan jiwa orang memang lebih penting dari soal mencuri seguci arak, maka ia pun mau jalan bersama Kiong Kim-hun.
Dari gurunya, yaitu Kheng Ciau, pernah Kong-sun Bok mendengar tentang diri Han Tay-wi yang berilmu silat sangat tinggi dan kini telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, cuma dia tidak tahu bahwa Han Tay-wi hanya mempunyai seorang anak perempuan, sama halnya Kiong Kim-hun, ia pun mengira Han Pwe-eng cukup baik dan anggap dia mempunyai jiwa kesatria.
Sebab itulah setelah mengetahui Cu Kiu-bok hendak mencari perkara kepada Han Pwe-eng, seketika timbul hasratnya untuk pergi memberi bantuan.
Begitulah mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Lok-yang, rasa cinta Kiong Kim-hun masih tetap melengket pada diri Han Pwe-eng, ia merasa Kong-sun Bok jauh lebih kaku dan kurang luwes dibandingkan "Han-toako"
Yang cakap dan romantis itu.
Tapi di samping itu lambat laun ia pun tertarik oleh sifat Kong-sun Bok yang polos dan sederhana, ia merasa pemuda itu toh tidak terlalu menjemukan.
Hari itu sampailah mereka di kampung keluarga Han, diam-diam Kiong Kim-hun merasa kikuk sendiri, katanya kepada Kong-sun Bok.
"Kongsun- toako, ada suatu urusan yang tidak kukatakan padamu, sungguh aku merasa malu."
"Urusan apa?"
Tanya Kong-sun Bok dengan melengak. Wajah Kim-hun menjadi merah, jawabnya.
"Aku harus berterima kasih padamu atas kesudianmu mengiringi aku ke sini, sepantasnya aku bicara sejujurnya padamu, tapi urusan ini..... ai, aku tidak tahu cara bagaimana harus kukatakan....."
Kong-sun Bok menjadi bingung dan heran mengapa "saudara"
Kiong ini tiba-tiba berubah kikuk-kikuk seperti anak perempuan saja? Dengan tergagap Kiong Kim-hun berkata pula.
"Maksud kuajak engkau ke sini hanya karena aku ingin mendapatkan perlindunganmu sepanjang jalan. Sesungguhnya aku sangat menyukai Han-toako....."
"O, kiranya begitu?"
Sela Kong-sun Bok dengan tertawa.
"Aku sendiri juga sangat suka kepada Han-toako. Dia adalah kawanmu dan berarti juga kawanku. Andaikata kau tidak mengajak, juga aku akan datang ke sini."
Kiong Kim-hun rikuh untuk bicara lebih lanjut, ia pikir biar sesudah bertemu dengan Han-toako baru nanti kujelaskan lagi padanya.
Ai, tentu dia tidak pernah menduga bahwa sebenarnya aku adalah bakal istrinya, tapi sekarang telah menyukai orang lain.
Tak terduga, setiba di rumah keluarga Han, yang mereka lihat hanyalah reruntuhan puing belaka.
Keruan Kiong Kim-hun terkejut dan kuatir kalau- kalau "Han-toako"
Telah dicelakai oleh iblis tua she Cu itu. Segera mereka berdua berteriak-teriak memanggil.
"Han-toako! Han- toako!"
"Kalian mencari siapa?"
Tiba-tiba suara seorang menegur mereka.
Waktu Kim-hun menoleh, dilihatnya seorang nenek sudah berdiri di situ.
Nenek itu memakai baju sutera putih, wajahnya tersenyum simpul, sikapnya agung.
Tapi suaranya yang dingin-dingin basah itu rada membikin orang mengkirik seram.
Kong-sun Bok terkejut juga oleh munculnya nenek itu secara mendadak tanpa diketahuinya, maka dapat dibayangkan kepandaiannya pasti tidak rendah.
Dalam pada itu Kiong Kim-hun lantas menjawab.
"Aku mencari Han Eng, Han-toako. Apakah engkau adalah Han-pekbo (bibi)?"
"Hm,"
Nenek itu menjengek.
"isteri Han Tay-wi sudah lama mati, darimana datangnya Han-pekbo segala?"
"O, maaf, Wanpwe tidak tahu sehingga sembarangan memanggil,"
Kata Kim-hun.
"Jika demikian, tolong tanya ada hubungan apakah nenek dengan keluarga Han?"
"Kau sendiri pernah apa dengan keluarga Han?"
"Aku adalah saudara angkat Han Eng,"
Jawab Kim-hun.
"Han Eng siapa? Di antara kaum hamba keluarga Han Tay-wi tidak terdapat orang bernama Han Eng,"
Kata nenek itu.
"Han Eng adalah putera Han-pepek dan bukan budaknya,"
Cepat Kim- hun menerangkan.
Diam-diam ia heran mengapa nenek ini tidak kenal nama Han-toako, padahal nenek ini tampaknya sangat hapal mengenai keluarga Han.
Nenek itu kelihatan melengong sejenak, tapi segera paham duduknya perkara, diam-diam ia membatin.
"Agaknya yang dia maksudkan adalah si anak dara Han Pwe-eng itu, barangkali anak dara itu menyamar sebagai pemuda di luaran dan kedua bocah ini telah kena dikelabui olehnya."
Walaupun berpikir demikian, namun ia pun tidak menjelaskan, sebaiknya berkata.
"O, agaknya yang kau maksudkan adalah majikan muda dari keluarga Han ini? Untuk urusan apa kau mencari dia?"
"Karena aku mengetahui Han-toako akan didatangi oleh seorang musuh, maka aku datang ke sini buat membantunya,"
Jawab Kim-hun.
"Darimana kau mengetahui dia mempunyai musuh apa segala?"
"Ya, aku tahu musuhya itu bernama Cu Kiu-bok. Wanpwe justru ingin bertanya pada nenek, apakah rumah Han-toako ini dibakar oleh iblis tua itu?"
"Coba kau katakan lebih dulu, apa isi guci yang kau bawa itu?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya si nenek.
"Arak,"
Jawab Kim-hun.
"Arak?"
Nenek itu mengulangi.
"Untuk apa jauh-jauh kau membawa guci arak ke sini? Apakah arak ternama atau arak berharga?"
ESTINYA Kong-sun Bok hendak mencegah Kiong Kim-hun agar tidak membocorkan rahasia arak yang dibawanya itu, namun si nona sudah telanjur menerangkan nama arak Pek-hoa- ciu serta khasiatnya.
Maklumlah, dia mengira si nenek adalah sanak keluarga Han, maka secara jujur dia menjawabnya.
Maka berkata pula si nenek.
"O, kiranya arak itu hendak kau berikan kepada Han-toakomu? Jika begitu tak perlu lagi kau mencarinya, serahkan saja padaku." ~ Di tengah suara tertawanya, tahu-tahu dia sudah mendekati Kiong Kim-hun, baru saja si nona terkejut, tahu-tahu guci arak yang dipegangnya itu sudah direbut oleh si nenek. Sudah tentu Kiong Kim-hun tidak menyerah begitu saja, segera sebelah tangannya mencengkeram.
"bret", lengan baju si nenek terobek sebagian, sebaliknya Kiong Kim-hun juga tergentak mundur beberapa tindak oleh kebasan lengan baju lawan.
"Hm, kiranya kau adalah puteri Kiong To-cu dari Oh-hong-to,"
Jengek si nenek.
"Sayang kau punya Jit-sat-ciang belum terlatih sempurna."
Pandangan si nenek ternyata amat tajam, ketika dia menubruk maju untuk merebut guci arak, sekilas saja ia sudah dapat mengetahui asal-usul silat Kiong Kim-hun, bahkan dapat melihat penyamaran si nona.
Sekejap itu Kong-sun Bok juga tercengang.
Nyata selama dalam perjalanan bersama Kiong Kim-hun sama sekali tak diketahuinya bahwa teman jalan itu adalah seorang perempuan.
Pikirnya dalam hati.
"Asal-usul Kiong-hiante memang tepat dikatakan oleh si nenek itu, tapi benarkah Kiong-hiante adalah samaran anak perempuan?"
Yang lebih membikin tercengang Kong-sun Bok adalah cara si nenek merebut guci arak yang cepat luar biasa itu, padahal dia berada di samping Kiong Kim-hun, namun sama sekali tidak sanggup menolong kawannya itu.
Keruan dia terperanjat dan diam-diam menaksir kepandaian si nenek, tampaknya tidaklah di bawah si iblis Cu Kiu-bok.
Jilid 8 M Sebenarnya Kong-sun Bok dapat segera balas merebut kembali guci arak itu ketika si nenek mulai bergebrak dengan Kiong Kim-hun, tapi dia adalah orang yang dapat berpikir panjang, dia merasa ragu-ragu atas ucapan si nenek tadi, selain itu ia pun ingin tahu lebih jelas seluk-beluk diri si nenek, maka untuk sementara dia cuma menunggu dan melihat saja.
Dalam pada itu wajah Kiong Kim-hun lantas berubah merah, ia tidak sempat memikirkan lagi tentang rahasia penyamarannya telah dibongkar oleh si nenek, cepat ia berseru.
"Kongsun-toako, mengapa kau tidak lekas bantu merebut kembali guci itu?"
Terpaksa Kong-sun Bok bertindak, serunya.
"Eh, tunggu dulu Locianpwe ini, hendaklah kita bicara dulu sejelasnya!"
"Untuk apa aku bicara dengan kau?"
Dengus si nenek sambil melintas pagar tembok sana sembari menggondol guci arak rampasannya itu.
Kong-sun Bok sudah siap sebelumnya, segera ia pun melayang ke sana dan tepat mendahului menghadang di depan si nenek, katanya sambil merangkap kedua tangannya seperti memberi hormat.
"Harap Locianpwe berhenti dahulu, segala persoalan harus pakai peraturan, ada urusan marilah kita bicara baik-baik."
Gaya yang digunakan Kong-sun Bok adalah ilmu "Tay-yan-pat-sik", semacam tenaga pukulan yang dahsyat ajaran Kheng Ciau yang terkenal amat lihai.
"Tay-yan-pat-sik"
Ini adalah ciptaan tokoh silat Siang Kian-thian dan sama-sama terkenal sebagaimana kedua jenis ilmu racun keluarga Siang itu.
Menghadapi pemuda desa macam Kong-sun Bok, sudah tentu si nenek memandang remeh padanya.
Tak terduga mendadak suatu arus tenaga maha kuat menyentak ke arahnya, meski si nenek tidak sampai terluka, tapi seketika dada serasa ditumbuk oleh benda keras, napasnya terasa sesak, mau tak mau ia harus menghentikan langkahnya.
"He, siapakah kau?"
Tanya si nenek penuh heran. Diam-diam ia mengakui kehebatan bocah yang kekampung-kampungan ini.
"Kami adalah sahabat Han-toako dan bermaksud menemuinya,"
Jawab Kong-sun Bok.
"Bukan maksud kami tidak percaya kepada nenek, tapi rasanya adalah lebih hormat jika guci arak ini kami serahkan langsung kepada Han-toako sendiri. Jika sekiranya nenek mengetahui dimana beradanya Han-toako, maka sudilah engkau memberitahu kepada kami saja."
Ucapan Kong-sun Bok ini cukup ramah, tak terduga si nenek lantas menjawab dengan ketus.
"Mengapa mesti kuberitahu padamu? Hm, biarpun hebat kepandaianmu, jika ingin merintangi aku rasanya kau pun tidak mampu."
Sementara itu Kiong Kim-hun juga sudah memburu tiba dan ikut berseru.
"Siapakah engkau, hendaklah kau terangkan kepada kami!"
Ketika si nenek bicara sampai kata-kata.
"tidak mampu"
Tadi ia pun segera menubruk ke arah Kong-sun Bok. Namun kembali Kong-sun Bok menggunakan cara tadi, dengan rangkap kedua tangan di depan dada ia berseru pula.
"Berhenti dulu Locianpwe!"
Pada saat Kong-sun Bok menggunakan tenaga pukulan Tay-yan-pat-sik itulah Kiong Kim-hun juga sudah melolos pedangnya.
"sret", kontan ia menusuk punggung si nenek sambil membentak.
"Kami menghormati kau sebagai orang tua, tapi kau tidak mau tahu, terpaksa aku pun tidak sungkan- sungkan lagi!"
Di bawah gencetan dua orang dari muka dan belakang, tampaknya si nenek sukar menghindarkan diri lagi.
Tak terduga kedua tangan si nenek mendadak memukul sekaligus, tangan yang satu memukul ke depan dan tangan lain menghantam ke belakang.
Sekonyong-konyong Kong-sun Bok merasa menyambarnya angin dahsyat yang berpusar sehingga tanpa kuasa badan ikut berputar.
Pada saat itulah dengan cepat luar biasa si nenek sempat melayang lewat di sampingnya.
Tusukan pedang Kiong Kim-hun hampir-hampir mengenai tubuh Kong- sun Bok, syukur dia keburu menarik kembali senjatanya dan berseru.
"Lekas kejar, Kongsun-toako!"
Mereka lantas mengudak ke arah si nenek, di jalan pegunungan si nenek yang membawa guci arak ternyata dapat berlari dengan cepat laksana terbang, mau tak mau Kong-sun Bok mengakui kelihaian orang, ia pikir jika di tanah lapang tentu sukar mengejarnya.
Melihat kedua pengejarnya makin mendekat, si nenek menjengek.
"Hm, bocah yang ingin mampus!"
Mendadak ia putar tubuh, seperti cara tadi kembali ia menghantam dengan kedua tangan.
Akan tetapi sekali ini Kong-sun Bok sudah siap sedia, ia gunakan Si-mi- ciang-hoat ajaran Bing-bing Taysu yang bertenaga lunak itu untuk mematahkan kekuatan tenaga pukulan si nenek.
Mereka hanya terhalang sekejap saja oleh adu tenaga pukulan itu, lalu mereka mengejar pula dengan cepat.
Diam-diam si nenek berpikir.
"Bocah ini sukar sekali dilayani, dengan bergabung bersama anak perempuan Kiong Cau-bun, meski sukar mengalahkan aku, tapi sukar bagiku untuk mempertahankan guci arak Pek- hoa-ciu ini."
Jarak mereka kini tinggal belasan langkah saja, lantaran terlalu bernapsu ingin menyusul si nenek, Kiong Kim-hun mendahului lari di depan hingga Kong-sun Bok malah tertinggal sedikit di belakang.
Tiba-tiba si nenek mendapat akal, mendadak ia melompat balik, jarinya lantas menuding, dengan tepat Ih-gi-hiat di bawah iga Kiong Kim-hun tertotok.
Kontan si nona menjerit dan roboh terguling.
Gerak cepat si nenek sungguh sukar dilukiskan, habis menotok roboh Kiong Kim-hun, kembali dia melompat lagi ke depan, betapa hebat ginkangnya itu sungguh harus dipuji.
Keruan Kong-sun Bok terkejut, lekas ia membangunkan Kiong Kim-hun.
Ia tahu Hiat-to si nona tertotok, maka ia pun berusaha mencari Hiat-to mana yang perlu ditolong.
Lantaran rahasia penyamarannya telah terbongkar, Kiong Kim-hun menjadi merah jengah berada dalam pangkuan Kong-sun Bok, dengan suara lirih segera ia memberitahu Hiat-to mana yang tertotok.
Maka segera Kong- sun Bok melancarkan kembali Hiat-to yang bersangkutan dan bertanya apakah si nona terluka, ia kuatir si nenek menggunakan cara jahat untuk mencelakai Kiong Kim-hun.
Rupanya nenek itupun segan terhadap ayah Kiong Kim-hun, maka dia tidak berani melukainya.
Dengan muka merah Kim-hun lantas berkata.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa, lekas kau mengejar nenek itu, sedikitnya kita harus mengetahui kemana dia pergi."
"Tapi..... tapi engkau di sini sendirian....."
Kata Kong-sun Bok dengan ragu-ragu, rupanya ia kuatir meninggalkan si nona di situ.
"Kutunggu kau di rumah Han-toako, aku tidak apa-apa dan sanggup menjaga diri,"
Kata Kim- hun.
"Baiklah, segera aku akan kembali,"
Kata Kong-sun Bok.
Diam-diam Kiong Kim-hun berterima kasih atas perhatian Kong-sun Bok.
Setiba kembali di rumah keluarga Han, hatinya menjadi sedih pula ketika melihat beberapa gundukan tanah di tengah timbunan puing itu, ia pikir yang terkubur di situ entah siapa, semoga tiada terdapat Han-toako hendaknya.
Kemudian terpikir pula oleh Kim-hun.
"Kini Kongsun-toako sudah mengetahui diriku adalah perempuan, apakah aku perlu menceritakan padanya duduk perkara yang sebenarnya. Tapi urusan yang membikin kikuk ini cara bagaimana aku harus berbicara?"
Dengan perasaan risau dan badan masih lemas karena jalan darahnya belum lancar kembali seluruhnya, perlahan-lahan Kiong Kim-hun menyusuri serambi rumah dan masuk ke halaman belakang, tujuannya hendak mencari suatu tempat istirahat untuk memulihkan tenaganya.
Tiba-tiba dilihatnya ada sebuah kamar yang indah dengan tirai jendela setengah tertutup, dari dalam kamar mengepul keluar bau harum dupa yang semerbak.
Kim-hun terkejut, ia tahu bau harum itu adalah asap dupa cendana, apakah mungkin di dalam kamar itu ada orang? Ia coba mendekati kamar itu dengan mendaki undak-undakan batu, pintu kamar itu tampak berukir bunga-bungaan, waktu pintu kamar didorong, ternyata di dalam kamar juga dihias dengan amat indah.
Pada kedua sisi ada dua rak yang penuh kitab, pada dinding-dinding tergantung lukisan-lukisan.
Bagian dalam sana ada sebuah tempat tidur besar dengan kelambu setengah tersingkap, di atas tempat tidur dilengkapi dengan selimut dan kasur bantal sulaman.
Di atas meja rias di depan tempat tidur benar juga ada sebuah ang-lo kecil yang sedang mengepulkan asap dupa cendana wangi.
Sebuah cermin perunggu yang tergosok mengkilap tergeletak di atas meja rias itu.
Tapi tiada terdapat seorang pun.
Melihat keadaan kamar itu, jelas adalah kamar tidur kaum wanita.
Kim- hun menjadi ragu-ragu pula apakah kamar ini adalah kamar saudara perempuan Han-toako, tapi tak pernah didengarnya bahwa Han-toako mempunyai saudara.
Yang penting sekarang kamar ini dapat digunakan istirahat, peduli siapa penghuni kamar ini.
Begitulah Kim-hun lantas berkemas hendak berbaring di tempat tidur itu.
Tiba-tiba dilihatnya di dinding tengah kamar itu tergantung sebuah hiasan seni tulis bersanjak.
Sanjak itu gubahan seorang pujangga yang tidak terlalu dipahami Kiong Kim-hun, tapi dua baris huruf kecil yang tertulis di samping hiasan itulah yang membuatnya terkejut dan sangsi.
Kedua baris tulisan itu ditulis oleh seorang ayah kepada anak perempuannya bernama "Eng".
Hal inilah yang menimbulkan rasa sangsi Kiong Kim-hun, mengapa nama anak perempuan keluarga Han sama dengan nama Han-toako yang dikenalnya.
Sekilas Kiong Kim-hun menemukan pula sebuah lukisan yang tercecer di lantai, melihat keadaannya agaknya lukisan itu sudah tersimpan lama, malahan lukisan itu sudah terlipat-lipat dan ada bekas terinjak kaki.
Dengan heran Kiong Kim-hun menjemput lukisan itu dan dibentang, ternyata lukisan itu adalah gambar seorang lelaki cakap dengan pedang tergantung di pinggang, tampaknya lelaki itupun seorang tokoh persilatan.
Diam-diam Kim-hun tertawa, pikirnya.
"Ya, tentunya Han-siocia ini mencintai lelaki cakap dalam lukisan ini, tapi lelaki ini tidak membalas cintanya sehingga nona Han berubah benci padanya, lalu lukisan ini dibuang dan diinjak pula."
Sudah tentu Kiong Kim-hun tidak tahu bahwa kamar ini justru adalah kamar tidur Han Pwe-eng.
Setelah menyerahkan harta pusaka simpanan ayahnya kepada Lau Kan- loh, karena Kok Siau-hong belum pulang, lalu Han Pwe-eng kembali ke kamarnya sendiri, perasaannya menjadi terkenang kepada masa lampau.
Lukisan itu sebenarnya adalah potret Kok Yak-hi di waktu muda, yaitu ayah Kok Siau-hong, yang diberikan kepada Han Tay-wi sebagai tanda kenang-kenangan.
Lantaran wajah Kok Siau-hong mirip ayahnya, maka Han Tay-wi memberikan pula lukisan itu kepada anak perempuannya.
Setibanya kembali di kamarnya, melihat lukisan itu segera Han Pwe-eng bermaksud merobeknya.
Tapi dalam lubuk hatinya selain gemas kepada Kok Siau-hong sebenarnya juga ada perasaan suka, sebab itulah dia tidak jadi merobek lukisan itu, melainkan dibuang saja di lantai.
Dupa cendana yang masih mengepul itupun dibakar oleh Han Pwe-eng.
Cukup lama dia menunggu kembalinya Kok Siau-hong yang tidak kunjung tiba, sebab itulah dia membakar dupa cendana wangi untuk menghibur hati yang kesal.
Dengan sendirinya dia tidak pernah menduga akan kejadian- kejadian selanjutnya seperti dia dipancing oleh anak murid Sebun Bok-ya untuk menemui ayahnya dan ikut terkurung di penjara musuh.
Sedangkan Kiong Kim-hun yang menanggung perasaan rindu kepadanya sekarang berada di dalam kamarnya.
Begitulah hati Kiong Kim-hun menjadi tidak tenteram demi nampak keadaan kamar yang morat-marit mencurigakan itu, pikirannya sekarang mirip benar dengan Han Pwe-eng tadi.
Sambil menghadapi hiasan seni tulis bersanjak yang tergantung di dinding, dia tidak habis pikir siapakah Han- siocia yang memakai nama "Eng"
Itu, apakah saudara perempuan Han- toako? Siapa pula gerangan lelaki dalam lukisan itu? Selagi dia tenggelam dalam lamunannya sambil menantikan kembalinya Kong-sun Bok, dalam kesunyian tiba-tiba didengarnya suara tindakan orang yang perlahan, suara tindakan ini seketika membikin buyar lamunannya.
Mula-mula ia bergirang mendengar suara tindakan orang itu karena mengira Kong-sun Bok yang datang, tapi segera ia terkejut ketika mengetahui sangkaannya itu keliru.
Sebab suara tindakan itu mendadak berhenti, menyusul ia lantas mendengar suara orang membongkar benda-benda sebangsa peti dan keranjang seperti sedang mencari apa-apa.
Tidak lama suara tindakan itu berbunyi lagi, bahkan menuju ke arah kamar ini, makin lama makin mendekat.
Tiba-tiba terdengar suara seorang menggumam sendiri.
"Aneh, dimanakah harta pusaka Han Tay-wi itu? Masakah berita yang kudengar itu tidak benar?"
Dari suaranya yang rada-rada serak agaknya orang ini sudah berusia lanjut.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tergetar hati Kiong Kim-hun, ia pikir kalau kedatangan orang ini adalah untuk mencari harta pusaka keluarga Han, maka besar kemungkinan tidak bermaksud baik, andaikan bukan musuh keluarga Han.
Sementara itu suara tindakan sudah makin mendekat, karena sudah kepepet, cepat Kim-hun menyusup ke kolong ranjang.
Di atas tempat tidur besar itu setengah tertutup oleh kelambu, sedang kain sprei juga menjulur ke bawah sehingga kolong ranjang tertutup, jika kain sprei tak disingkap niscaya takkan tahu di kolong ranjang ada orang bersembunyi.
Baru saja Kiong Kim-hun bersembunyi di kolong ranjang, terdengarlah suara pintu terkuak, pintu kamar telah ditolak orang itu dan terpentang, orang itupun melangkah ke dalam kamar, terdengarlah dia menjengek.
"Hm, indah benar kamar ini, tentunya kamar tidur si budak Han Pwe-eng itu."
Baru sekarang Kim-hun mengetahui bahwa nama Han-siocia itu adalah Pwe-eng.
Ia coba mengintip melalui kolong ranjang, dilihatnya langkah kaki orang itu bergeser ke meja rias dan sedang menjemput lempitan lukisan tadi.
Orang itu membentang lukisan dan terdengar dia mendengus dan menggumam.
"Hm, budak ini benar-benar tidak tahu malu. Orang tidak sudi padanya, tapi dia menyimpan gambar orang di kamarnya, sungguh muka tebal! Untung dia urung menjadi menantu keponakanku." ~ "Bruk", orang itu melemparkan lukisan ke lantai. Kiranya orang ini bukan lain daripada Yim Thian-ngo, paman Kok Siau- hong. Mendengar gumaman Yim Thian-ngo itu, diam-diam Kiong Kim-hun merasa penasaran bagi Han-siocia yang diolok-olok itu di samping merasa heran mengapa orang yang bermaksud mencari harta pusaka keluarga Han ini mencaci-maki pula anak gadisnya? Agaknya tua bangka inipun bukan manusia baik-baik. Demikian pikir Kim-hun. Dalam pada itu Yim Thian-ngo mulai mengorak-arik isi kamar tidur Han Pwe-eng itu, kecuali rak buku di kanan-kiri kamar, ada pula dua buah peti besar terbuat dari kayu yang diberi gembok pula. Tiba-tiba Kim-hun mendengar suara "krak-krak"
Dua kali, menyusul berhamburanlah kitab- kitab dan lukisan-lukisan memenuhi lantai. Agaknya secara paksa Yim Thian-ngo telah menghantam hancur kedua peti kayu itu. Terdengar Yim Thian-ngo menggerutu pula.
"Persetan, hanya kitab-kitab melulu, kemana harta pusakanya?"
Menyusul terdengar suara kain kelambu dijambret Yim Thian-ngo, lalu selimut kasur juga disingkap.
Kiong Kim-hun menjadi serba susah, tampaknya kaki Yim Thian-ngo berdiri di depan hidungnya, jika sebentar orang itu melongok ranjang, maka dirinya pasti akan tertangkap konyol.
Daripada didahului kan lebih baik mendahului.
Baru saja Kiong Kim-hun hendak bertindak dengan menggunakan senjata rahasia untuk menyerang Hiat-to bagian dengkul orang, pada saat itulah tiba-tiba terdengar pula suara seorang sedang memanggil-manggil.
"Han-siocia! Han-siocia!"
Agaknya Yim Thian-ngo juga terkejut dan cepat melepaskan kelambu, baru saja dia hendak keluar, ternyata orang itu sudah tiba, memangnya pintu kamar itu terpentang lebar, maka orang itupun terkejut ketika melihat Yim Thian-ngo berada di situ.
"He, Ku-ku, engkau juga berada di sini?"
Seru orang itu. Kiranya yang datang ini adalah Kok Siau-hong, lantaran tidak melihat Han Pwe-eng, maka ia terus mencarinya ke belakang rumah.
"O, aku kuatirkan kau mengalami apa-apa di sini,"
Demikian jawab Yim Thian-ngo.
"Banyak terima kasih atas perhatian Ku-ku,"
Ujar Siau-hong.
"Han-pepek hakikatnya belum kujumpai, agaknya paman Han mengalami malapetaka karena kedatangan musuh. Ku-ku, apa yang kau ketemukan di situ?"
Dia menjadi heran mengapa sang Ku-ku berada di kamar Han Pwe-eng, sedang keadaan kamar itupun morat-marit.
"Han Tay-wi sudah lama berhubungan dengan Siangkoan Hok, mereka tentu mempunyai rencana keji, maka aku ingin mencari bukti persekongkolannya dengan pihak Mongol,"
Kata Yim Thian-ngo.
"O, jadi Ku-ku bermaksud mencari sesuatu bukti sebagai pegangan untuk mengadili Han-pepek di hadapan kawan-kawan Bu-lim?"
Siau-hong menegas.
"Ya, begitulah,"
Kata Yim Thian-ngo. Sejenak ia pun menambahkan pula.
"Siau-hong, apa kau tidak percaya kepada omonganku, mengapa kau masih memanggili Han-pepek padanya?"
"Apakah Ku-ku sudah menemukan sesuatu bukti?"
Tanya Siau-hong.
"Belum,"
Kata Thian-ngo.
"Boleh kau bantu aku menggeledah lagi, mungkin terselip di antara kitab-kitab ini."
"Kukira tidak perlu cari lagi, bukti nyata sudah kutemukan malah,"
Tiba- tiba Kok Siau-hong berkata dengan hambar.
"Hah, apa betul? Bagaimana bunyi bukti itu, coba kulihat,"seru Yim Thian-ngo kegirangan.
"Bukti itu berwujud setengah helai kertas surat yang tertulis dengan huruf Mongol, tapi sekarang tiada berada padaku,"
Kata Siau-hong.
"Berada pada siapa dokumen itu?"
Yim Thian-ngo menegas.
"Sebenarnya kalau Ku-ku menemukan sesuatu dokumen, lalu bagaimana tindakan Ku-ku? Padahal Han Tay-wi sekarang tidak diketahui mati- hidupnya, rumahnya juga sudah berantakan, besar kemungkinan dia sudah celaka,"
Kata Siau-hong.
"Jangan kau tertipu oleh Han Tay-wi yang licin itu, mungkin sekali dia sengaja mengatur semua ini agar kalian percaya dia kedatangan musuh,"
Ujar Thian-ngo.
"Agaknya Ku-ku juga sependapat dengan Liok Pang-cu dari Kay-pang,"
Kata Siau-hong.
"O, Liok Kun-lun juga sudah datang ke sini?"
"Ya, dan dokumen rahasia yang kutemukan itupun sudah kuserahkan kepada beliau."
Diam-diam Yim Thian-ngo bergirang, katanya pula.
"Jika sudah ada bukti nyata begitu, lalu apalagi yang kau sangsikan? Dari nada kata-katamu agaknya jalan pikiranmu tidak sama dengan aku?"
"Memang begitulah, sesungguhnya aku tidak dapat menerima jalan pikiranmu,"
Kata Siau-hong. Seketika air muka Yim Thian-ngo berubah, jengeknya kemudian.
"O, jika begitu coba katakan, bagaimana menurut jalan pikiranmu?"
"Sesungguhnya aku tidak punya jalan pikiran apa-apa, hanya saja aku telah menemukan bukti baru,"
Kata Siau-hong.
"Bukti baru apa?"
Tanya Yim Thian-ngo.
"Orang-orang keluarga Han terbinasa oleh pukulan berbisa,"
Kata Siau- hong.
"Setahuku, Han-pepek tidak pernah meyakinkan pukulan berbisa."
Yim Thian-ngo melengak, katanya kemudian.
"Apakah tidak mungkin Han Tay-wi bersekongkol dengan orang yang mahir pukulan berbisa untuk mengelabui kita, tampaknya cintamu kepada budak keluarga Han belum pudar?"
"Ku-ku,"
Jawab Siau-hong dengan hambar.
"kukira engkau sendiri yang terlalu menaruh syak terhadap keluarga Han."
Kembali air muka Yim Thian-ngo berubah, katanya.
"Lalu surat rahasia dalam bahasa Mongol itu cara bagaimana akan kau jelaskan persoalannya?"
"Justru surat itulah kukira sengaja dibuat oleh orang lain untuk memfitnah Han-pepek."
"Hm, jika demikian cara berpikirmu, mestinya kau boleh menikah saja dengan Han-siocia, mengapa mesti membatalkan perkawinanmu dengan dia?"
"Aku yakin Han-pepek pasti bukan mata-mata musuh, tentang aku hendak membatalkan perkawinanku dengan puteri beliau, ini merupakan dua soal yang berdiri sendiri. Apalagi ini adalah urusan pribadiku, harap Ku- ku tidak perlu pikirkan diriku. Dalam hal ini aku ingin memberitahukan lagi sesuatu kepada Ku-ku."
"Urusan apa?"
Tanya Yim Thian-ngo.
"Bahwa kami telah menemukan suatu partai harta pusaka yang sukar dinilai, tapi Han-siocia telah menyumbangkan seluruh harta pusaka itu untuk dana pergerakan pihak Gi-kun,"
Tutur Siau-hong "Dimanakah Han-siocia sekarang?"
Tanya Yim Thian-ngo dengan kecewa.
"Entahlah, seharusnya dia menantikan kedatanganku di sini,"
Kata Siau- hong.
"Kini Liok Pang-cu berada di markas cabang Kay-pang di kota ini, beliau sedang membutuhkan tambahan tenaga untuk mengawal harta pusaka itu. Ku-ku sendiri kenal Liok Pang-cu, segala sesuatu boleh Ku-ku tanyakan kepada beliau."
"Baiklah, aku akan pergi mencari Liok Kun-lun, apakah kau juga akan ke sana?"
"Maaf, aku tak dapat mengiringi Ku-ku."
"Baiklah, boleh kau tinggal di sini untuk mencari Han-siociamu,"
Kata Yim Thian-ngo dengan dingin.
Seperginya Yim Thian-ngo, tanpa terasa Kok Siau-hong mencemooh pamannya itu, pantas ibu tidak cocok dengan dia, nyatanya dia memang terlalu teguh kepada pendiriannya sendiri.
Ketika melihat banyak kitab dan lukisan yang berserakan di lantai, Kok Siau-hong menjadi terperanjat waktu dilihatnya pula di antara lukisan- lukisan itu terdapat sebuah lukisan yang menggambarkan dirinya.
Ia menjadi terheran-heran mengapa Han-siocia menyimpan potretnya? Waktu Kok Siau-hong berjongkok menjemput lukisan itu, Kiong Kim- hun yang bersembunyi di kolong ranjang juga dapat melihat wajahnya, nona itupun berpikir rupanya orang inilah yang terlukis dalam lukisan tadi.
Sebenarnya Kiong Kim-hun sudah merasa pegal karena bersembunyi sekian lamanya di kolong ranjang, ia bermaksud keluar untuk memberitahukan duduk perkaranya kepada Kok Siau-hong, tapi lantas teringat kepada dirinya dalam penyamaran sebagai lelaki, cara bagaimana akan menjawab jika Kok Siau-hong menegurnya mengapa bersembunyi di kamar tidur Han-siocia? Sementara itu Kok Siau-hong agaknya telah meneliti gambar dalam lukisan itu bukanlah dia melainkan ayahnya, maka ia menjadi tertawa sendiri dan menggumam.
"Pantas ibu mengatakan wajahku sangat mirip ayah, kiranya di waktu mudanya ayah memang serupa benar dengan diriku. Lukisan ini tentunya tanda mata ayah untuk paman Han. Kini jejak paman Han tak diketahui, potret ayah ini tak boleh kubiarkan tercecer di sini dan jatuh di tangan orang lain."
Begitulah ia lantas menggulung lukisan itu dan dimasukkan ke dalam rangselnya. Tatkala itu sudah dekat magrib, Kok Siau-hong menjadi gelisah karena Han Pwe-eng tetap tidak kelihatan, tanpa terasa ia menggumam pula.
"Apakah barangkali Pwe-eng tidak sudi menemui aku lagi dan telah pergi sendiri? Habis, hari sudah petang, mengapa dia belum pulang? Giok-kun kakak beradik dengan membawa Pek-hoa-ciu sebentar lagi tentunya akan tiba juga, biarlah aku menunggu lagi untuk sementara."
Kiong Kim-hun sedang ragu-ragu apakah perlu keluar untuk menemui Kok Siau-hong atau tidak, ketika mendengar gumamannya itu, hatinya menjadi terkesiap, pikirnya.
"Kiranya kedua kakak beradik itupun teman baiknya, aku telah mencuri arak mereka, jika mereka datang tentu aku akan kepergok."
Tadi ketika Yim Thian-ngo masuk ke kamar itu, lantaran dia sendiri pun was-was dan bertujuan buruk, maka dia tidak memperhatikan suara napas Kiong Kim-hun di kolong ranjang itu.
Ketika Kok Siau-hong bicara dengan Yim Thian-ngo juga belum mengetahui ada orang ketiga bersembunyi di kolong ranjang.
Tapi kini tertinggal Kok Siau-hong sendiri, suara napas Kiong Kim-hun yang perlahan itu telah didengarnya.
Dia sengaja pura-pura tidak tahu, namun diam-diam ia mengincar ke bawah tempat tidur itu, sebentar kemudian, benar juga dilihatnya kain sprei yang menjulur di depan ranjang itu bergerak sedikit seperti terhembus angin.
Sebagai seorang laki-laki sejati, Kok Siau-hong tidak sudi main licik, tapi ia pun tidak mau sembarangan menyingkap sprei ranjang itu sehingga kena disergap orang malah.
Hanya dalam hati ia berpikir.
"Entah siapa yang bersembunyi di kolong ranjang ini? Biarlah aku mempermainkan dia sedikit, lalu ia sengaja menggumam pula.
"Kamar ini kenapa morat-marit begini, sebaiknya dicuci bersih saja."
Sembari berkata ia terus angkat baskom yang berisi air cuci muka yang telah digunakan Han Pwe-eng tadi dan mendadak diguyurkan ke kolong ranjang.
Karena tak tersangka-sangka, keruan kepala Kiong Kim-hun kena diguyur air cuci muka itu, ia menjerit kaget, dengan mendongkol dan gusar ia terus merangkak keluar dari tempat sembunyinya.
Melihat seorang pemuda muncul dari kolong ranjang, Kok Siau-hong terkejut juga, segera ia membentak.
"Siapa kau? Untuk apa kau bersembunyi di situ?"
"Kurangajar!"
Dengan marah Kiong Kim-hun lantas menggampar muka Kok Siau-hong.
Maklumlah, sejak kecil Kiong Kim-hun sangat dimanjakan oleh ayahnya, kini tanpa sebab disiram air, keruan ia sangat gusar.
Sudah tentu Kok Siau-hong tidak mudah dihantam, sekali tangkis, berbareng ia balas mencengkeram tangan orang.
Kiong Kim-hun terkejut oleh kelihaian lawan, cepat ia melompat mundur dan tanpat terasa sudah mepet tempat tidur.
Kok Siau-hong juga terheran-heran oleh gerak serangan Kiong Kim-hun yang aneh itu, ia yakin orang pasti bukan kaum pencuri biasa, mungkin sekali adalah anak murid tokoh persilatan ternama.
Dalam pada itu tubuh Kiong Kim-hun yang basah kuyup seketika kelihatan potongan tubuhnya yang montok.
Hal ini segera menimbulkan curiga Kok Siau-hong, segera ia membentak pula.
"Siapa kau? Lekas katakan jika tidak ingin kuperlalukan dengan kasar."
Berbareng ia lantas memukul.
Cepat Kiong Kim-hun mendek ke bawah sambil menggunakan kedua tangannya untuk mematahkan serangan lawan.
Tapi tangannya kalah kuat daripada Kok Siau-hong, di tempat yang sempit juga sukar berkelit.
Ketika Kok Siau-hong mengerahkan tenaga dalam, tangan Kiong Kim-hun disampuk ke samping, berbareng tangannya lantas meraba ke atas sehingga ikat kepala Kiong Kim-hun tertarik lepas, seketika tertampaklah rambutnya yang hitam panjang.
Ketika merasakan jari lawan menyambar ke atas kepalanya, Kiong Kim- hun menjadi kaget dan mengira dirinya pasti akan celaka, tanpa pikir ia terus menjatuhkan diri ke atas ranjang.
Tapi tak terduga Kok Siau-hong hanya menarik lepas ikat kepalanya saja, lalu menarik kembali tangannya, hal ini benar-benar di luar dugaan Kiong Kim-hun.
Agaknya tujuan Kok Siau-hong cuma hendak membongkar penyamarannya saja dan tidak berniat mencelakai dia.
Kiong Kim-hun menjadi malu dan gusar, sambil menutupi mukanya ia berteriak.
"Kau kau menghina diriku, kau tidak tahu malu!"
Untuk sejenak Kok Siau-hong melenggong, segera ia memberi hormat dan berkata.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maaf, aku tidak tahu engkau adalah seorang perempuan. Di dalam almari tentu ada pakaian Han-siocia, silakan salin pakaian dahulu."
Habis berkata ia terus melangkah keluar, bahkan merapatkan pintu kamar sekalian.
Rasa gusar Kiong Kim-hun rada berkurang, ia pikir biarpun orang ini mengingkari Han-siocia, tapi terhitung juga seorang lelaki sopan.
Segera ia membuka almari dan memilih satu setel pakaian yang cocok baginya untuk mengganti bajunya yang sudah basah itu.
Lalu ia merias di depan toilet serta menyisir rambutnya.
Habis itu barulah ia berkata.
"Sekarang bolehlah kau masuk!"
Waktu Kok Siau-hong mendorong pintu kamar, seketika pandangannya terbalik terang.
Bocah yang kotor tadi ini ternyata sudah berubah menjadi seorang nona cantik.
Siau-hong menjadi ragu-ragu dan tersipu-sipu, lekas ia menunduk kepala dan minta maaf pula atas kelancangannya tadi.
Kemudian ia pun bertanya.
"Entah untuk urusan apakah nona bersembunyi di sini?"
"Aku hendak mencari Han Eng, Han-toako,"
Jawab Kim-hun.
"Engkau adalah menantu keluarga Han, tentu kau mengetahui dimana dia berada sekarang?"
"Cara bagaimana kau berkenalan dengan dia?"
Tanya Siau-hong heran.
"Kami berkenalan dalam perjalanan,"
Tutur Kim-hun.
"Dia sangat baik kepadaku, meski baru bertemu kami sudah seperti saudara saja." ~ Lalu ia pun menceritakan kisah perkenalannya dengan Han Pwe-eng di restoran "Gi-ciau-lau"
Tempo hari itu. Kini Siau-hong sudah paham duduknya perkara, dengan tertawa ia berkata.
"Tapi di rumah Han ini tiada terdapat pemuda yang bernama Han Eng, yang ada cuma Han-siocia yang bernama Han Pwe-eng."
"Bukankah di sini adalah rumah Han Tay-wi?"
Kiong Kim-hun menegas dengan tercengang.
"Benar,"
Jawab Siau-hong.
"Tapi Han Tay-wi cuma mempunyai seorang anak perempuan dan tidak punya anak lelaki."
Untuk sejenak Kiong Kim-hun melenggong, katanya kemudian dengan bingung.
"Jika demikian, jangan-jangan Han-toako itu adalah Han-siocia ini. Dia...... dia mengapa mendustai aku?"
"Maaf, bolehkah kutanya nama nona yang terhormat?"
Kata Siau-hong. Dengan lesu Kiong Kim-hun menyebut namanya. Lalu Kok Siau-hong berkata pula dengan tertawa.
"Kiong-siocia, bukankah engkau sendiri juga menyamar sebagai lelaki? Di zaman kacau seperti sekarang ini memang tidaklah cocok bagi kaum wanita keluar rumah, maka bila menyamar rasanya juga tidak perlu diherankan."
Perlahan-lahan perasaan Kiong Kim-hun mulai tenang kembali, meski rada kecewa, tapi juga tidak begitu berduka, rasanya malah "bleng", seperti sesuatu persoalan sulit yang mendadak dapat dipecahkan dengan baik.
Tapi ia pun merasa geli sendiri, biasanya dia suka menggoda orang lain, sekarang kena batunya dan tergoda malah.
Tanpa terasa ia tertawa dan berkata.
"Aku benar-benar salah lihat, ternyata dia sejenis dengan diriku. Tapi kalau betul Han-toako adalah Han- siocia, maka aku menjadi merasa tidak adil bagi Han-cici ini, meski aku cuma berkumpul dua hari dengan dia, namun aku sudah kenal baik pribadinya yang serba baik dan pintar, engkau adalah bakal suaminya, mengapa kau tidak kenal kebaikannya, sebaliknya kau hendak meninggalkan dia?"
Kok Siau-hong tidak menduga cara bicara Kiong Kim-hun yang suka blak- blakan itu, keruan ia menjadi serba kikuk, jawabnya kemudian.
"Aku sendiri juga sangat kagum kepada Han-siocia, cuma..... cuma, ai, urusan lelaki dan perempuan memang sukar dijelaskan."
"Barangkali kau kena hasutan Ku-kumu tadi itu?"
Ujar Kim-hun.
"Hm, biar kukatakan padamu, Ku-kumu itu bukanlah manusia baik-baik."
Tergerak hati Kok Siau-hong, cepat ia bertanya.
"Darimana kau tahu baik- buruknya pamanku itu?"
Dalam hati ia menduga mungkin ada sesuatu tindakan sang paman yang tidak baik telah dilihat oleh si nona yang bersembunyi di situ sejak tadi. Benar juga, segera terdengar Kiong Kim-hun mendengus, katanya.
"Hm, Ku-kumu secara terang-terangan telah berbohong padamu. Biar kujelaskan padamu apa maksud tujuan kedatangannya ke sini, yang dia cari adalah harta pusaka simpanan Han Tay-wi."
Siau-hong terkejut, sama sekali tak diduganya bahwa Ku-kunya kiranya seorang manusia rendah begitu, padahal biasanya sang ibu suka memuji pribadi paman itu meski hubungan kakak beradik tidak begitu baik.
Kiong- siocia ini tiada punya permusuhan apa-apa dengan Ku-ku, tentunya tidak perlu memfitnahnya.
Jika demikian sikap palsu Ku-ku sungguh amat lihai, sampai-sampai ibu sebagai adiknya juga tidak tahu jelas wataknya yang asli.
Dalam pada itu Kiong Kim-hun sedang berkata pula.
"Aku tidak mengerti apa sebabnya Ku-kumu begitu benci kepada ayah dan anak keluarga Han, jika kau terpengaruh oleh Ku-kumu dan sengaja membatalkan ikatan perjodohanmu, maka salah besar sekali kau ini."
"Urusan perjodohan adalah urusan maha penting pribadi seseorang, mana boleh dipengaruhi orang lain?"
Jawab Siau-hong dengan tersenyum kecut.
"Persoalanku dengan Han-siocia sukar dijelaskan secara singkat, tapi sekali-kali bukan dipengaruhi oleh Ku-ku. Sebaiknya kita jangan bicara persoalan ini, marilah kita bicara urusan lain saja, nona Kiong."
"Sesungguhnya apa kejelekan Han-cici sehingga kau tidak suka padanya?"
Ternyata Kiong Kim-hun masih penasaran. Keruan Kok Siau-hong serba runyam, terpaksa menjawab.
"Aku tidak pernah mengatakan Han-siocia tidak baik. Bicara sesungguhnya aku pun sangat mengagumi dia. Cuma saja di antara kami agaknya tidak terdapat jodoh, maka terpaksa aku menanggung rasa menyesal selama hidup kepadanya."
Kiong Kim-hun tertegun sejenak, agaknya dia mulai paham maksud ucapan Kok Siau-hong, tanyanya kemudian.
"Apakah kau sudah punya pacar lain?"
Kok Siau-hong tidak menjawab, melainkan cuma menggangguk saja. Tiba-tiba hati Kim-hun tergerak, ia menegas.
"Apakah Hi Giok-kun?"
"Darimana kau tahu?"
Tanya Siau-hong heran.
"Tadi engkau menggumam sendiri dan menyebut namanya bukan?"
Sahut Kim-hun dengan tertawa. Wajah Siau-hong menjadi merah, katanya.
"Ya, justru aku sedang menunggu dia dan kakaknya di sini. Dia juga sobat baik Han-siocia."
Kim-hun menjadi teringat kepada arak yang direbutnya dari Hi Giok-kun itu, sekarang arak itu digondol lari si nenek tadi, lalu cara bagaimana akan bicara dengan Hi Giok-kun bila nanti kepergok di sini.
Ia pikir lebih baik menghindar saja.
Tanpa terasa ia menjadi teringat pula kepada Kong-sun Bok, diam-diam ia mengakui kebenaran "jodoh"
Sebagaimana dikatakan Kok Siau-hong tadi.
"Jodoh"
Memang tak dapat dipaksakan, seperti diriku, aku penujui "Han- toako", tak terduga "Han-toako"
Adalah wanita.
Apakah mungkin jodohku terletak pada......
berpikir sampai di sini, tanpa terasa air mukanya berubah merah.
Apakah jodohnya terletak pada diri Kong-sun Bok? Dia tidak berani memikirkan lebih lanjut.
Tanpa terasa ia menjadi terkenang kepada pemuda itu, mengapa masih belum nampak kembali? Baru dia hendak mencari alasan untuk menyingkir, terdengar Kok Siau- hong berkata pula kepadanya.
"Nona Kiong, tadi kau minta keterangan padaku, sekarang aku pun ingin tanya padamu. Setiba di sini tadi apakah engkau melihat siapa-siapa yang berada di sini?"
"Ya, ada seorang wanita jahat tadi datang ke sini, dia membohongi kami, katanya dia tahu dimana adanya Han-toako dan membawa lari sesuatu barang kami, kawanku telah mengejar dia, sampai kini sudah sekian lamanya." ~ Lantaran ingin cepat pergi dari situ, maka dia hanya menceritakan kejadian tadi secara ringkas. Tampak Kok Siau-hong merasa terheran-heran oleh cerita Kiong Kim- hun, tanyanya pula.
"Apakah wanita yang kau katakan jahat itu adalah seorang wanita cantik setengah umur dan berwibawa?"
"Dandanan wanita itu memang agung dan berwibawa, cuma mukanya sudah mulai keriput, agaknya di waktu mudanya dia memang cantik,"
Kata Kim-hun.
"Tapi Han-cici kan jauh lebih cantik, mengapa kau....."
Mestinya dia hendak mengucapkan kata-kata kelakar untuk menggoda Kok Siau-hong, tapi tiba-tiba terlihat pemuda itu sedang termenung-menung, ia menjadi heran dan bertanya.
"Kenapa kau? Apakah kau kenal wanita itu?"
Kok Siau-hong memang sedang terkenang kepada sesuatu kejadian di masa lampau ketika untuk pertama kalinya dia datang ke rumah Han Pwe- eng.
Waktu itu dia ikut ayahnya bertamu ke rumah keluarga Han, tatkala itu dia baru berumur sembilan.
Han Pwe-eng terlebih kecil Iagi, baru berumur empat dan masih ingusan.
Selisih lima tahun di antara orang-orang dewasa tidaklah menjadi soal, tapi selisih lima tahun di antara kanak-kanak adalah halangan besar untuk menjadi teman bermain, apalagi anak lelaki dan anak perempuan.
Karena itu Kok Siau-hong menjadi terlalu iseng di rumah keluarga Han, akhirnya dia bergaul dengan anak-anak kampung, setiap hari bermain melulu, entah mendaki bukit, entah mengail ikan, menangkap burung, memetik bunga, main gundu dan entah apa lagi.
Suatu hari dia dan dua-tiga anak kecil bermain-main lagi ke atas bukit di belakang rumah, tiba-tiba melihat sejenis burung yang berbulu indah, burung itu hinggap pada sebatang pohon yang tumbuh di tebing karang, di bawah karang itu adalah sebuah sungai kecil yang berarus cukup deras.
Kok Siau-hong amat tertarik akan burung bagus itu dan bermaksud menangkapnya, dia menyatakan hasratnya itu kepada kawan-kawan kecilnya dan berjanji jika tertangkap dan sudah bosan, burung tangkapan itu nanti akan diberikan kepada kawan-kawannya.
"Mana kau mampu menangkapnya, burung bisa terbang, tidak gampang menangkapnya,"
Kata sobat ciliknya.
"Di atas pohon ada sarangnya, bisa jadi di dalam sarang ada burung kecil yang baru menetas, akan kutangkap burung kecil itu,"
Kata Siau-hong.
"He, jangan, pohon setinggi itu mana kau dapat memanjat ke atas sana, jika jatuh kau bisa mampus!"
Kawannya menakut-nakuti. Dasar watak Kok Siau-hong memang tidak gampang menyerah, dia mengamat-amati keadaan sekitar situ, lalu berkata.
"Aku ada akal, tentu dapat memanjat ke atas!"
Kiranya pada ketinggian tebing itu ada sepotong batu besar yang menonjol, tingginya kira-kira belasan meter.
Tanpa menghiraukan cegahan kawan-kawannya, segera Siau-hong merambat ke atas batu itu untuk kemudian melompat ke atas pohon yang tumbuh di sisi lain.
Meski usianya masih muda, namun dasar ginkangnya sudah terlatih baik, maka dengan enteng saja dia berhasil mencapai batu karang itu untuk kemudian memegang sepotong ranting pohon, maksudnya hendak merambat ke atas pohon itu.
Tak terduga ranting pohon itu tidak kuat menahan berat badannya.
"krek", mendadak ranting pohon patah, Kok Siau-hong terjerumus ke dalam sungai dan terhanyut oleh arus air yang deras, tanpa kuasa tubuhnya meluncur ke bawah dan tergulung ke dalam pusaran air. Melihat terjadi kecelakaan, kawan-kawan ciliknya menjadi ketakutan, tanpa pikir terus melarikan diri, tiada satu pun yang berpikir dan berusaha menolong Kok Siau-hong. Maklumlah, anak kecil. Syukurlah Kok Siau-hong dibesarkan di Yang-ciu yang berdekatan dengan sungai Tiang-kang, sedikit banyak dia mahir berenang, di tengah gelombang air itu ia berusaha menyelamatkan diri sehingga tidak sampai mati tenggelam. Namun tenaga anak kecil toh terbatas, lebar sungai itupun ada beberapa meter, arusnya keras pula, meski dia meronta sekuatnya tetap tak dapat mencapai tepian sungai. Sudah beberapa tegukan air sungai masuk kerongkongan Kok Siau-hong, dia mulai gugup, untunglah mendadak ada orang berseru padanya.
"Pegang ini!"
Waktu ia mendongak, di tepian sana terlihat berdiri seorang wanita dan sedang melemparkan seutas ikat pinggang kepadanya.
Tanpa pikir tangan Siau-hong lantas menangkap ujung ikat pinggang itu.
Sekonyong-konyong Siau-hong merasakan tubuhnya enteng laksana terbang, tahu-tahu dia sudah meninggalkan permukaan air.
Ternyata wanita itu bukan menyeretnya ke tepian, tapi mengereknya ke atas.
Meski masih bocah, namun bobot tubuh Siau-hong sedikitnya ada tigapuluhan kilo, hanya dengan seutas ikat pinggang saja wanita itu ternyata sanggup mengereknya ke atas, maka dapat dibayangkan betapa kuat tenaganya.
Tentu saja Kok Siau-hong sangat kagum.
Sesudah menyelamatkan Siau-hong, wanita itu berkata padanya.
"Tangkas benar kau meski masih kecil, apakah Han Tay-wi adalah ayahmu?"
"Bukan,"
Jawab Siau-hong.
"Ayahku bernama Kok Yak-hi. Engkau kenal paman Han?"
Wanita itu menghela napas, kemudian berkata pula.
"Sudah beberapa tahun aku tidak pernah berjumpa dengan Han Tay-wi, dia mempunyai putera-puteri tidak?"
"Putera tidak punya, tapi punya seorang puteri, namanya Pwe-eng?"
Tutur Siau-hong.
"O, namanya Pwe-eng?"
Wanita itu mengulangi, lalu menunduk seperti merenungkan sesuatu.
"Rumah paman Han berada di situ, tidak jauh, jika engkau kenal beliau, marilah kita ke sana,"
Ujar Siau-hong. Tapi wanita itu menjawab.
"Tidak, aku tidak ingin menemui dia. Sepulang ke sana kau juga jangan sekali-kali mengatakan bertemu dengan aku."
"Memangnya kenapa?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Siau-hong heran.
"Ah, anak kecil jangan banyak tanya,"
Sahut wanita itu sambil membubuhi sedikit obat luka pada tangan Siau-hong yang lecet. Lalu katanya pula dengan tertawa.
"Untuk kebaikanmu ini, hendaklah kau jangan menceritakan kejadian sekarang ini kepada ayahmu dan paman Han, kalau tidak, mungkin sekali kau akan dihajar lantaran kenakalanmu."
Seperginya wanita itu, cepat Kok Siau-hong pulang ke rumah karena hari sudah dekat magrib.
Ia kuatir tubuhnya yang basah kotor itu dilihat orang, maka diam-diam ia melompat masuk melalui pagar belakang, sesudah mandi dan ganti pakaian baru menemui ayahnya.
Kamar mereka ayah beranak terletak pada bagian dalam, untuk masuk ke sana harus melalui kamar tuan rumah, yaitu kamar Han Tay-wi.
Ketika dia berjalan merunduk lewat di bawah jendela kamar tuan rumah itu, kebetulan Han Tay-wi sedang berkata.
"Kulihat Siau-hong si bocah itu masih boleh juga, aku ingin menjodohkan anak Eng kepadanya, bagaimana pikiranmu?"
"Kukuatir bocah ini rada-rada bengal dan tidak cocok dengan watak anak Eng,"
Ujar nyonya Han.
"Anak lelaki, tentunya lebih nakal daripada anak perempuan,"
Ujar Han Tay-wi dengan tertawa.
"Apa lagi nakal di waktu kecil, sesudah besar tidak tentu akan tetap nakal."
"Ya, kalau engkau sudah penujui, tentu pula aku akur,"
Kata nyonya Han.
"Engkau sendiri tahu, selamanya aku menuruti maksudmu."
"Watakku tidak baik, selama ini tentu banyak membikin susah padamu,"
Kata Tay-wi.
"Cukup asal aku tahu kau tetap suka padaku,"
Jawab sang istri.
"Aku pun senantiasa mengharapkan engkau hidup bahagia,"
Kata Tay- wi.
"Tapi selama beberapa hari ini tampaknya engkau menanggung sesuatu pikiran apa-apa, bukan?"
"Ya, kemarin dulu ketika Si Kiam memetik bunga di luar, dia melihat seorang wanita bersembunyi di hutan sana, seperti bayangan setan saja, baru kelihatan segera menghilang pula dalam sekejap,"
Tutur nyonya Han dengan perasaan kuatir.
"Apakah engkau sangsi akan dia?"
Tanya Tay-wi.
"Ya, kukuatir dia sedang mengincar kita."
"Jika kau jemu padanya, nanti aku berusaha meng..... mengusir dia pergi dari sini."
"Tidak, tidak!"
Tiba-tiba nyonya Han menjerit.
"Jangan mengusik dia. Aku takut, aku kuatir!"
Tanpa sengaja Kok Siau-hong mendengar percakapan suami istri itu, ia menjadi kikuk dan terkesiap pula.
Yang membuatnya kikuk adalah maksud paman Han hendak menjodohkan puterinya kepadanya itu.
Padahal si Pwe- eng kecil dikenalnya masih ingusan, setiap hari dari lubang hidungnya menjulur dua untir ingus, buat apa punya bini begitu? Demikian pikir Siau- hong.
Dan yang membuatnya terkesiap adalah wanita yang dimaksudkan Han Tay-wi dan istrinya itu, dari nada mereka rasanya pasti wanita setengah umur yang telah menolong jiwanya tadi.
Masakah wanita budiman itu dikatakan jahat? Pantas wanita itu tidak suka jejaknya diketahui oleh paman Han.
Tapi dia telah menolong jiwaku, sekali pun dia orang jahat juga aku mesti memenuhi janjiku untuk tidak memberitahukan jejaknya kepada orang lain.
Begitulah buru-buru Kok Siau-hong kembali ke kamarnya.
Begitu masuk ternyata ayahnya sudah berduduk di situ, keruan Siau-hong menjadi gugup.
Atas pertanyaan sang ayah, terpaksa Siau-hong menutur.
"Ayah, kepadamu saja akan kuberitahu, tapi jangan engkau katakan pula kepada paman Han. Anak sudah berjanji kepada orang untuk pegang rahasia."
Berhubung tidak pernah berdusta, sebab itulah akhirnya dia bicara terus terang juga kepada sang ayah. Sesudah mendengar cerita anaknya, Kok Yak-hi menghela napas, katanya.
"Kiranya kau bertemu wanita itu. Baiklah, aku berjanji takkan memberitahukan kepada paman Han. Lekas kau ganti pakaian."
"Siapakah wanita itu, ayah? Apakah dia jahat?"
Tanya Siau-hong.
"Sudahlah, anak kecil tidak perlu tanya urusan orang lain,"
Omel sang ayah. Lalu ditambahkannya.
"Aku sudah mengikat pertunanganmu dengan puteri paman Han. Hendaklah kau menjaga kehormatanku, janganlah nakal melulu."
Dengan begitulah Kok Siau-hong mengikat pertunangan dengan Han Pwe-eng.
Tahun berikutnya nyonya Han lantas meninggal dunia.
Selang enam tahun pula, ketika Siau-hong berumur enambelas, ayahnya juga meninggal.
Dan siapakah gerangan waita yang pernah menyelamatkan jiwanya itu selama itu tak pernah diketemukannya lagi.
Kejadian di masa kanak-kanak itu lambat-laun juga terlupakan olehnya.
Kini Kok Siau-hong menjadi teringat kepada pengalamannya di masa lampau itu, diam-diam ia membatin.
"Nenek yang dijumpai nona Kiong tadi tentunya wanita setengah umur yang pernah kujumpai di masa dahulu itu. Dalam sekejap belasan tahun sudah berlalu, sudah tentu wanita cantik setengah umur telah berubah menjadi nenek-nenek yang keriput."
Begitulah maka Kiong Kim-hun bertanya pula dengan heran.
"He, apa yang kau pikirkan? Siapakah nenek itu, tentu kau tahu bukan?"
"Aku pun tidak tahu siapakah dia, cuma dia mengatakan tahu dimana beradanya ayah beranak Han, hal ini kukira tidak dusta,"
Kata Siau-hong. Kini tenaga Kiong Kim-hun benar-benar sudah pulih seluruhnya, berhubung dia ingin menghindari bertemu dengan Hi Giok-kun, pula menguatirkan diri Kong-sun Bok, maka ia lantas berkata.
"Jika begitu marilah kita menyusul dia, aku tahu kemana dia pergi."
Segera mereka berdua menuju ke atas bukit, sepanjang jalan tidak menemukan Kong-sun Bok, tanpa terasa sampailah mereka di tempat air terjun itu. Diam-diam Kok Siau-hong berpikir.
"Pantas arus sungai sangat deras, kiranya di sini ada sebuah air terjun yang merupakan sumbernya." ~ Lalu terpikir pula.
"Menurut nona Kiong, katanya nenek itu sangat jelas terhadap seluk-beluk keluarga Han, rasanya dia pasti bertempat tinggal di sekitar sini. Tapi di atas gunung ini tiada sesuatu rumah, jalannya juga sudah buntu, lalu dia tinggal di mana?"
Setiba di bawah air terjun itu, menghadapi jalan buntu, Kiong Kim-hun menjadi bingung kemana perginya Kong-sun Bok. Ia coba berteriak-teriak memanggil.
"Kongsun-toako! Kongsun-toako!"
Tapi yang terdengar hanya gemuruh suara air dan tiada suara jawaban manusia.
"Marilah kita kembali ke tempat paman Han untuk menunggunya,"
Ajak Siau-hong.
"Bila temanmu itu tidak menemukan si nenek, tentu dia akan pulang ke sana."
Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa saat itu Kong-sun Bok justru berada di balik air terjun, di dalam gua sebelah sana dia sedang menghadapi seorang lawan paling tangguh yang belum pernah dijumpainya.
Waktu Kong-sun Bok menyusul ke arah si nenek, setiba di tepi kolam air terjun itu, ternyata si nenek sudah menghilang.
Mula-mula Kong-sun Bok juga bingung, jelas dilihatnya nenek itu menuju ke sini, mengapa mendadak lenyap.
Apakah mungkin dia bersembunyi di balik air tejun.
Dasar watak Kong-sun Bok tidak gampang menyerah, segala sesuatu harus diselidikinya hingga jelas, dia juga mahir berenang, maka air terjun itu bukan halangan baginya.
Ia pikir jangan-jangan di balik air terjun itu ada dunia lain, jika nenek itu berani menyusup ke sana, mengapa aku tidak? Begitulah tanpa pikir ia terus menerobos ke balik tirai air terjun itu dengan gaya "Yan-cu-coan-liam" (burung seriti menerobos tirai), tiba-tiba ia menemukan gua di balik air terjun itu.
Sesudah menerobos gua itu, pandangannya menjadi terbeliak, ternyata di balik sana benar-benar ada dunia lain.
Waktu Kong-sun Bok memandang ke depan, dilihatnya rumah batu kuno bentuk benteng itu, ia menjadi girang sekali.
"Kiranya si nenek tinggal di sini,"
Demikian pikirnya. Baru dia memikirkan cara bagaimana akan mohon bertemu dengan orang, tiba-tiba terdengar suara seorang berkata.
Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Peristiwa Merah Salju -- Gu Long Kedele Maut Karya Khu Lung