Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 15


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 15



Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong

   

   Shin Ci-koh menarik napas.

   "Dalam hidupku hanya kenal kekerasan membunuh orang. Hari ini baru aku tahu betul kemuliaan hiag-gi (kaum persilatan yang menjalankan kebaikan). Nona Sip, kau bukan saja penolongku, pun juga guruku yang baik dan sahabatku yang mulia!"

   "Ah, kata-kata lo-cianpwe ini memukul diriku. Aku hanya melakukan dharma yang seharusnya dilakukan manusia hidup. Mana aku pantas disejajarkan dengan kaum hiap-gi?"

   In-nio mengucapkan kata-kata merendah.

   "Sute-mu itu juga baik orangnya, jauh lebih baik dari Se-kiat. Hm, kaupun lebih menang ratusan kali dari muridku itu,"

   Kata Shin Ci-koh. Belum In-nio membuka mulut tiba-tiba terdengar derap kaki orang mendatangi. Shin Ci-koh tersirap kaget, buru-buru ia membisiki In-nio.

   "Mungkin Ceng-bing-cu yang datang. Lekas sembunyikan dirimu."

   Cepat sekali tindakan orang itu. Baru In-nio hendak melongok keluar, pintu sudah terpental ditendangnya. Dan begitu melangkah masuk biara, orang itu sudah berteriak.

   "Siapa yang berada di dalam?"

   Suaranya amat menusuk telinga.

   In-nio terkejut.

   Ketika mengawasi, ternyata yang datang itu adalah Ceng-ceng-ji.

   Karena dikejar suhengnya (Gong-gong-ji), Ceng-ceng-ji keputusan jalan.

   Dalam putus asa, ia terpaksa hendak menggabung saja pada Su Tiau-gi.

   Ia sudah mendengar berita tentang persekutuan Tiau-gi dengan Se-kiat.

   Se-kiat seorang pemimpin loklim dan mempunyai backing pulau Hu-songto.

   Kalau ia (Ceng-ceng-ji) berhamba padanya, tentu akan terlindung.

   Ia memang tak punya hubungan dengan Se-kiat.

   Tapi dengan mengandalkan pengaruh Tiau-gi, ia percaya Se-kiat tentu sungkan menolaknya.

   Sama sekali ia tak tahu bahwa kini Tiau-gi dan Se-kiat itu sudah pecah.

   Merasa wajahnya yang aneh seperti kunyuk itu mudah dikenal orang persilatan, maka Cengceng- ji melakukan perjalanan pada waktu malam.

   Dengan begitu ia dapat menghindar mata orang yang tentu akan melapor pada suhengnya.

   Dan yang dipilihnya ialah jalanan gunung dan hutan yang sepi-sepi.

   Demi melihat di luar biara terdapat dua ekor kuda dan di bagian dapur ada asap mengepul (karena In-nio memanggang burung), Ceng-ceng-ji singgah.

   Tanpa disangka-sangka ia berjumpa dengan In-nio dan Shin Ci-koh.

   Ceng-ceng-ji lebih sukar dihadapi daripada Ceng-beng-cu.

   Kalau In-nio terperanjat adalah Shin Ci-koh sudah berteriak.

   "Bagus, kukira siapa, ternyata kaulah kunyuk! Kau masih hutang padaku sebuah tamparan. Kebetulan sekali kau datang, ayo kemari membayar hutangmu itu!"

   Melihat siapa yang berada disitu, kejut Ceng-ceng-ji lebih besar dari Shin Ci-koh.

   Mengetahui kelihayan wanita yang pernah menempeleng mukanya tempo hari, Ceng-ceng-ji cepat angkat kaki seribu.

   Memang hebat ilmu ginkangnya, sekali melesat sudah lenyap dari pemandangan.

   "Bibi, bagus, kau menggebah Ceng-ceng-ji sampai lari terkencing-kencing!"

   In-nio tertawa geli dan bertepuk tangan. Wajah Shin Ci-koh pucat. Pada lain saat ia muntahkan segumpal darah segar.

   "Bibi, bagaimana keadaanmu?"

   Tanya In-nio dengan cemas. Kini ia memanggil dengan sebutan 'bibi' kepada Shin Ci-koh. Shin Ci-koh menghembus napasnya dan berkata.

   "Itu hanya dapat menggertaknya sementara waktu. Ceng-ceng-ji seorang ahli silat jempol. Setelah kagetnya reda, ia tentu dapat mengaetahui keadaan diriku. Sebelum ia datang,lekaslah kau lari!"

   Ternyata karena kuatir Ceng-ceng-ji mengetahui keadaan dirinya, Shin ci-koh mengempo sisa tenaganya untuk menggertak. Ini menggoyangkan perkakas dalamnya. Maka habis berteriak, iapun lantas menyembur darah. In-nio tetap tak mau pergi. Pikirnya.

   "Belum tentu Ceng-ceng-ji itu akan kembali. Andaikata kembali, akupun sanggup menghadapinya."

   Keputusan In-nio itu semata-mata terdorong oleh rasa hiap-gi.

   Ia sadar kalau bukan tandingan Ceng-ceng-ji, tapi biar bagaimanapun juga, tetap ia tak mau tinggalkan Shin Ci-koh seorang diri dalam keadaan terluka.

   Apa yang diduga Shin Ci-koh itu ternyata tepat.

   Setelah lari agak jauh dan kejutnya reda, Cengceng- ji curiga.

   Batinnya.

   "Shin Ci-koh berlumuran darah. Benar noda darah itu mungkin berasal dari korban yang dibunuhnya, tetapi jika tak terluka, ia tentu sudah mengejar aku. Mengapa sekarang tidak? Pula, nada suaranya tadipun agak gemetar. Ha, jika ia benar-benar terluka, inilah kesempatan sebaik-baiknya bagiku untuk membalasnya."

   Pada saat Shin Ci-koh menganjurkan In-nio supaya lari, tiba-tiba pintu mendebur keras, sebua kerikil jatuh ke lantai.

   Ternyata Ceng-ceng-ji kembali lagi.

   Namun karena masih kuatir, ia timpukkan sebuah kerikil untuk menyelidiki keadaan.

   Itulah cara orang persilatan bertanya jalan untuk mencari tahu keadaan.

   Jika ada reaksi, ia tak mau turun tangan.

   Bedanya, Ceng-ceng-ji hendak mencari tahu apakah Shin Ci-koh terluka atau tidak.

   Jika ShinCi-koh mengejar, iapaun segera akan lari sekencang-kencangnya.

   Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak, serunya.

   "Kunyuk kecil, tak perlu kau timpuk batu. Masuklah, Suhengmu menunggu di sini. Dia barusan mengambilkan air untukku, sebentar tentu datang."

   Ceng-ceng-ji terperanjat. Buru-buru ia loncat bersembunyi di atas pohon. Dari situ ia meninjau keadaan sekelilingnya. Dalam pada itu Shin Ci-koh mendorong In-nio dan mendesaknya supaya melarikan diri. Tetapi sebaliknya, In-nio malah menyahut.

   "Baik, kita bersama-sama lari."

   Dalam anggapan In-nio, meskipun Shin Ci-koh parah lukanya, tetapi tentu masih kuat bertahan naik kuda.

   Sekalipun dengan begitu lukanya makin bertambah berat, namun masih jauh lebih baik daripada jatuh di tangan si kunyuk Ceng-ceng-ji.

   Di luar dugaan karena kelewat bernafsu mendorong, Shin Ci-koh memaksa gunakan tenaga.

   Bukan In-nio yang kena didorong, sebaliknya ia sendiri yang jatuh terjungkal.

   In-nio cepat-cepat hendak mengangkatnya tetapi pada saat itu Ceng-ceng-jipun suda masuk dengan tertawa terbahakbahak.

   Rupanya Ceng-ceng-ji sudah tahu kalau ditipu Shin Ci-koh.

   Seperti kucing menerkam tikus, dengan tergelak-gelak Ceng-ceng-ji berseru.

   'Kau adalah bakal susoh-ku.

   Suheng tidak ada, kaupun serupa.

   Baiklah, karena memandang muka suhengku, akupun takmau membikin susah padamu.

   Tetapi hutan tetap hutang, harus dibayar.

   Akupun tak mau meminta bunganya, cukup membayar sebuah tamparan atas hutangmu menampar aku."

   Dengan bergaya sepeti hendak menampar, selangkah demi selangkah Ceng-ceng-ji maju menghampiri Shin Ci-koh.

   Ia hendak balas menghinanya.

   Sret.

   In-nio segera mencabut pedangnya dan dengan jurus Giok-li-tho-soh ia menabas Cengceng- ji.

   Yang diserang hanya ganda tertawa saja, serunya.

   "Oho, bukankah kau ini anak perempuan Sip Hong? Bagus, ayahmu memimpin pasukan hendak menyerang Bo Se-kiat, tentunya Bo Se-kiat sudah tak mau padamu lagi. Biar kuhaturkan kau kepadanya selaku hadiah. Nah, rebah dulu di pinggir sana!"

   Dengan kebutan lengan saja, Ceng-ceng-ji menyingkirkan ujung pedang In-nio, kemudian maju merapat menutuk jalan darah si nona.

   Memang siang-siang ia sudah mendengar berita tentang perkawinan Se-Kiat dengan Tiau-ing.

   Iapun tahu juga bahwa In-nio itu adalah bekas kekasih Sekiat.

   Kuatir kalau Se-kiat masih tak dapat melupakan In-nio, Ceng-ceng-jipun tak berani melukainya sungguh-sungguh.

   Ia hanya hendak menutuk jalan darah supaya si nona lemas dan rubuh saja.

   Setelah Shin Ci-koh diselesaikan, ia segera akan membawa In-nio pergi.

   Siapa tahu dalam beberapa hari ini, selama bersama-sama Bik-hu, In-nio banyak mendapat pelajaran ilmu pedang.

   In-nio cepat menarik pedang dan membabat tangan Ceng-ceng-ji.

   Cengceng- ji memang kelewat memandang rendah.

   Jalan darah tidakkena ditutuk, sebaliknya hampir saja jari tangannya terpapas kutung.

   Untung ia lekas-lekas tarik kembali tangannya.

   "Budak hina yang tak tahu mati. Betapa tinggi kepandaianmu, berani melawan aku? Jika sampai membuat marahku, mukamu tentu akan kucakar, biar seumur hidup kau tak laku kawin!"

   Bentaknya dengan marah.

   "Hebat benar kau, menghina seorang anak perempuan!"

   Shin Ci-koh menyindirnya. Ceng-ceng-ji putar tubuh menghadap ke tempat Shin Ci-koh.

   "Baik, karena kau mengatakan begitu, biarlah kutamparmu dulu baru nanti memberesi budak perempuanitu. Kau seorang tokoh yang terkenal lama, tentu tak dapat mengatakan aku menghinamu!"

   In-nio tetap berlaku tenang sekali.

   Dihina lawan, ia tak marah.

   Ia tahu kepandaian Ceng-cengji itu jauh lebih atas, orangnyapun kejam sekali.

   In-nio telah bertekad bulat untuk mengadu jiwa dan untuk itu ia harus bersikap tenang.

   Ia tetap mainkan pedangnya untuk melibat jangan sampai Ceng-ceng-ji lolos.

   Jika di tempat pertempuran yang agak lebar, tentu Ceng-ceng-ji sudah dari tadi dapat lolos.

   Tetapi ruangan biara itu sempit sekali.

   Waktu Ceng-ceng-ji hendak menyelinap dari samping Innio, In-nio cepat gunakan ilmu pedang Hui-hoa-ciu-tiap (bungan terbang mengejar kupu-kupu).

   Ilmu pedang itu hasil ciptaan suhunya, Biau Hui sin-ni.

   Mengutamakan kelincahan dan ketangkasan, paling cocok untuk kaum wanita.

   Karena memandang rendah lawan, sejak mulai bertempur Ceng-ceng-ji hanya gunakan tangan kosong saja.

   Dan selangjutnya pun ia tak sempat lagi mencabut pedang.

   Ia menjadi keripuhan juga.

   Tak lagi ia mampu lolos.

   Hanya saja Ceng-ceng-ji kini sudah berhati-hati.

   Kalau In-nio mengharap dapat menusuknya, itulah seperti orang mendaki langit sukarnya.

   Enam kali enam jurus atau sama dengan tiga puluh enam serangan telah dilancarkan,namun ujung baju Ceng-ceng-ji saja In-nio tak mampu menyentuhnya.

   Pada saat In-nio menyelesaikan ke-36 jurusnya dan hendak berganti permainan baru, Cengceng- ji sudah sempat mencabut pedangnya dan membentak.

   "Jika kau tak tahu selatan, jangan salahkan aku berlaku ganas!" -- Dan pedangnya dikiblatkan dalam setengah lingkaran, ujgung menusuk dada, batangnya memapas pedang si nona dan tangkainya disodokkan ke lambung. Sekaligus tiga serangan telah membuat In-nio kelabakan sekali. Shin Ci-koh diam-diam telah mengambil keputusan. Asal tubuhnya tersentu jari Ceng-ceng-ji, iapun hendak bunuh diri dengan jalan memutus urat nadi. Waktu melihat In-nio berjuang matimatian utnuk melindunginya, diam-diam ia berterima kasih sekali dan terharu. Dua titik ari mata mengalir di celah pipi. Ia bergelar Bu-ceng-kiam atau Pedang Tak Kenal Kasihan. Sekalipun gelaran itu hanya gelaran kosong karena pada kenyataannya ia sekali-kali bukan manusia yang tak punya perasaan kasihan, namun sejak dewasa sekalipun dalam keadaan yang bagaimana sedihnya, ia tak pernah mengucurkan air mata. Sejak keluar ke dunia persilatan, baru pertama kali itu ia menghamburkan air mata. In-nio kewalahan menangkis ketiga serangan Ceng-ceng-ji. Pada saat ia akan termakan pedang lawan, tiba-tiba Shin Ci-koh berteriak memberi petunjuk.

   "Jalan ke Hun-wi, kemudian Li-hong, gunakan jurus hian-niau-hoa-sat!"

   Hun-wi dan Li-hong adalah nama posisi kaki.

   Saat itu Ceng-ceng-ji tengah menuju ke posisi Hun-wi untuk menyerang.

   Jika In-nio menuju ke Hun-wi juga, berarti akan mengantar jiwa.

   Tetapi ia sudah tak berdaya.

   Begitu mendengar petunjuk Shin Ci-koh, iapun laksanakan tanpa reserve.

   Keduanya bergerak dengan cepat.

   Baru Ceng-ceng-ji tinggalkan Hun-wi menuju ke Kian-wi, posisinya tepat berada di sisi In-nio.

   In-nio cepat gunakan jurus Hian-niau-hoa-sat dan ternyata hasilnya mengagumkan sekali.

   Tusukan Ceng-ceng-ji luput, sebaliknya ujung pedang In-nio dapat membabat lengan lawan.

   Ceng-ceng-ji kaget dan buru-buru geliatkan pinggangnya dan maju selangkah.

   Tetapi belum lagi kakinya berdiri tegak, ujung pedang In-nio sudah menyambut ke dadanya.

   Kiranya sesuai dengan petunjuk Shin Ci-koh, dari posisi Hun-wi In-nio mengisar ke Lihong.

   Dan ini justeru tempat di mana Ceng-ceng-ji hendak beralih.

   Ceng-ceng-ji kempiskan dada dan terlolos dari lubang jarum.

   Sekalipun begitu tak urung ujung bajunya kena terpapas.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sayang, sayang!"

   Shin Ci-koh menghela napas.

   Ia adalah tokoh ilmu pedang utama pada jaman itu.

   Kepandaiannya ilmu pedang sejajar dengan Mo Kia lojin dan Biau Hui sin-ni.

   Pernah ia menguji kepandaian dengan Gong-gong-ji, maka ia cukup paham akan ilmu pedang "Wan-kongkiam- hwat"

   Gong-gong-ji.

   Dengan begitu ia sudah dapat menduga lebih dulu tentang gerakan Ceng-ceng-ji tadi.

   Sayang tenanga In-nio tak mencukupi syarat.

   Walaupun sudah mendapat petunjuk Shin Ci-koh, namun paling banyak ia hanya dapat membabat ujung baju Ceng-ceng-ji saja tapi tak dapat melukainya.

   Sekalipun begitu, inisiatif kini dipegang oleh In-nio.

   Setiap gerakan Ceng-ceng-ji selalu dipatahkan oleh In-nio yang menerima petunjuk dari Shin Ci-koh.

   Lama kelamaan marah juga Ceng-ceng-ji, teriaknya.

   "Shin Ci-koh, kau keluarlah!"

   Shin Ci-koh tak ambil pusing dan tetap memberi petunjuk pada In-nio. In-nio tertawa mengejek.

   "Terhadap aku saja kau tak mampu mengalahkan, mana berharga bertanding dengan Shin lo-cianpwe?"

   Dalam pertempuran, jangan sekali-kali marah.

   Justeru In-nio hendak membuat supaya Cengceng- ji marah.

   Sambil mengejek pedang in-nio digelincirkan ke lambung orang.

   Jika Ceng-ceng-ji tak cepat menghindar, tulang iganya tentu remuk.

   Ceng-ceng-ji tahu juga akan siasat In-nio.

   Ia tindas kemarahannya dan menghadapi In-nio dengan hati-hati.

   Tiba-tiba ia mendapat siasat.

   Bahunya tampak digerakkan.

   "Jalan ke Kian-hong dan gunakan jurus Kim-ciam-lo-kiap!"

   Cepat Shin Ci-koh sudah lantas meneriaki.

   Di luar dugaan, Ceng-ceng-ji berdiam diri sehingga In-nio menusuk angin.

   Shin Ci-koh hendak memberi petunjuk lagi tapi sudah terlambat.

   Trang.

   Ceng-ceng-ji sudah berhasil mementahkan pedang In-nio dan cret, menyusul tangannyapun sudah mencengkeram bahu si nona.

   Asal jari Ceng-ceng-ji sedikit ditekankan lagi, tulang pi-peh-kut bahu In-nio tentu remuk.

   Dan In-nio pasti akan menjadi invalid selama-lamanya.

   Dalam detik-detik yang berbahaya itu dimana In-nio sendiri sudah tak berdaya, sekonyongkonyong Ceng-ceng-ji tarik pulang tangannya dan memaki.

   "Kurang ajar, siapa yang membokong dari belakang itu?"

   In-nio gelagapan mendongak ke muka dan berserulah ia dengan girang.

   "Khik-sia, kau datang!"

   "Cici In, aku juga datang!"

   Tiba-tiba terdengar juga sebuah suara melengking nyaring.

   Menyusul masuklah Yak-bwe.

   Khik-sia dan Yak-bwe memang datang hendak mencari In-nio.

   Karena sudah seperti saudara kandung, sejak berpisah dengan In-nio, Yak-bwe selalu memikirkan saja.

   Kebetulan Thiat-mo-lek bermaksud hendak mengirim surat kepada Se-kiat.

   Surat yang berisi nasihat terakhir supaya Se-kiat kembali ke jalan yang benar.

   Untuk itu Thiat-mo-lek memerlukan seorang untuk membawa suratnya.

   Tahu akan isi hati Yak-bwe, Khik-sia sengaja tawarkan diri kepada Thiat sukonya untuk mengirim surat itu.

   Demikianlah dengan membawa Yak-bwe, Khik-sia segera berangkat ke Yu-ciu.

   Mereka tak menduga sama sekali bahwa In-nio sudah menyelundup masuk ke Tho-ko-poh untuk menemui Se-kiat.

   Mereka hanya menduga tentu akan berjumpa dengan In-nio di Yu-ciu karena nona itu ikut pada ayahnya yang memimpin tentara untuk menindas pemberontakan di Yu ciu.

   Sebenarnya Thiat-mo-lek tak setuju Khik-sia pergi.

   Ia tahu bagaimana perangai sutenya itu.

   Mungkin di Yu-ciu nanti akan bentrok dengan Se-kiat.

   Tapi Thiat-mo-lek tiada lain pilihan lagi karena selain Khik-sia siapa yang mampu melakukan tugas sebagai kurir begitu.

   Setelah Khik-sia berangkat, Thiat-mo-lek ajak Toh Peh-ing, Shin Thian-hiong dan kawan-kawan menuju ke gunung Hok-gu-san.

   Di sana ia hendak membereskan segala perpecahan di kalangan loklim akibat tindakan Se-kiat.

   Dengan naik kuda pemberian Cin Siang yang dapat naik gunung melintasi sungai seperti di tanah datar, Khik-sia dan Yak-bwe dapat menempuh perjalanan dengan lancar.

   Hari itu mereka tiba hanya kurang 30-an li dari Tho-ko-poh.

   Pertama-tama yang mereka jumpai ialah tentara-tentara yang kalah perang dan meloloskan diri dari Tho-ko-poh.

   Khik-sia tahu peperangan sudah dimulai, maka ia tak mau mengambil jalan besar, melainkan memilih jalan kecil di pegunungan.

   Ketika melalui biara rusak, didengarnya suara senjata beradu.

   Dan yang membuat mereka terkejut ialah dua ekor kuda yang tertambat di muka biara.

   Teranga itulah kuda In-nio dan Bik-hu yang diterima dari Cin Siang tempo hari.

   Bergegas-gegas Khik-sia dan Yak-bwe loncat turun dan masuk ke dalam biara.

   Ilmu ginkang Khik-sia itu hanya di sebelah bawah suhengnya (Gong-gong-ji).

   Tetapi lebih unggul dari Ceng-ceng-ji.

   Ceng-ceng-ji yang tumpahkan perhatian menghadapi In-nio sudah tak mengetahui akan kedatangan Khik-sia.

   Baru setlah Khik-sia turun tangan, Ceng-ceng-ji tahu kalau ada pendatang baru.

   Tapi iapun tak meyangka kalau yang datang itu Khik-sia.

   Ia hanya menyangka orang itu tentu lihay.

   Ini dapat dilihat dari kebutan lengan baju yang meneribit angin keras.

   Seorang persilatan yang tengah bertempur, paling takut kalau ada orang membokong dari belakang.

   Demikian juga Ceng-ceng-ji.

   Belum tangannya menekan tulang pundak In-nio, lebih dulu ia berpaling ke belakang untuk melihat siapa penyerangnya tadi dan astaga ....

   "Siapa yang membokongmu? Hm, kau hendak menghina seorang wanita yang terluka, sungguh nista sekali. Dengan perbuatanmu itu kau amsih berani menyingung-nyinggung tentang Eng-hiong dan Ho-han?"

   Khik-sia tertawa sinis. Yak-bwe maju merangkul In-nio dan saat itu barulah In-nio tersadar serta merasa ngeri teringat pertempuran tadi.

   "Khik-sia, kau pelintir tulang pundak si kunyuk tua itu, untuk memuaskan penasaran cici In,"

   Teriak Yak-bwe. Ceng-ceng-ji merah padam mukanya. Teriaknya dengan gusar.

   "Khik-sia, kau benar-benar tak memandang mata pada orang tua. Biar bagaimana aku ini suhengmu, mengapa kau berani menghina aku di depan umum?!"

   Shin Ci-koh menertawakan.

   "Bagus, sungguh bagus sekali Ceng-ceng-ji, kau tak berjumpa dengan suheng, bertemu dengan sute pun serupa juga!"

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak Khik-sia kepada Ceng-ceng-ji.

   "beberapa kali kau hendak mengambil jiwaku, mengapa masih berani mengaku suheng?"

   "Kurang ajar!"

   Ceng-ceng-ji balas membentak.

   "Aku adalah suhengmu. Aku berhak mengajarmu, masakan aku hendak mengambil jiwamu sungguh-sungguh? Mengingat kau masih muda kurang pengalaman, akupun tak mau mengimbangi kekurangajaranmu. Baik, jika kau masih tidak terima, silahkan mengadu pada toa-suheng, sekarang biar kucari toa-suheng supaya datang kemari."

   Ceng-ceng-ji main gertak dengan suara keras tapi sebenarnya hatinya jeri terhadap sutenya itu.

   Ia merasa tak menang jika berkelahi dengan Khik-sia.

   Apalagi ada Yak-bwe dan In-nio di situ.

   Maka sengaja ia gunakan lidah untuk mencari alasan buat angkat kaki.

   "Tak usah kau capekan diri mencari toa-suhengmu. Gong-gong-ji memang justeru hendak mencarimu. Dia sudah berjanji padaku, beberapa hari lagi akan datang kemari. Kau temani saja sutemu tinggal di sini beberapa hari ini,"

   Shin Ci-koh tertawa mengejek. Makin mengingat perbuatan Ceng-ceng-ji, makin meluap kemarahan Khik-sia. Ia cabut pedangnya dan membentaknya.

   "Ceng-ceng-ji, kau masih ada muka menyebut dirimu sebagai murid perguruan kami? Kau mengkhianati ajaran perguruan, menceburkan diri dalam kalangan jahat, bertindak salah dan mengumbar kejahatan. Sunio telah memberi perintah kepada toa-suheng supaya memengal kepalamu. Karena masih mengingat persaudaraan, beberapa kali toa-suheng bermurah hati tak tega membunuhmu. Hal ini, jangan kira aku tak tahu. Mengapa kau masih berani gunakan nama toa-suheng untuk menggertak aku? Baik, karena memandang muka toasuheng, aku pun takkan mengambil jiwamu. Kau bikin cacd dirimu sendiri sajalah!"

   Dunia persilatan mengenal sebuah peraturan.

   Murid yang melanggar peraturan perguruannya diberi kebebasan dari hukuman mati tapi diharuskan membikin cacad dirinya sendiri agar seluruh kepandaiannya hilang.

   Itulah sebabnya maka Khik-sia meminta cara itu.

   Saking malunya Ceng-ceng-ji menjadi marah.

   Ia memaki keras-keras.

   "Kau mengandalkan perlindungan sunio untuk jual kesombongan? Hm, sekalipun aku dianggap melanggar peraturan perguruan pun bukan kau yang berhak menghukum!"

   Pedang ceng-kim-kiam bergerak seolah-olah hendak menyerang Khik-sia, tapi sekonyongkonyong Ceng-ceng-ji balikkan tangannya untuk menangkap Yak-bwe.

   Licik benar Ceng-ceng-ji.

   Tahu kalau tak bakal menang melawan Khik-sia, maka ia gunakan siasat licik, selagi orang tak bersiaga ia hendak meringkus Yak-bwe sebagai brang tanggungan untuk menekan Khik-sia.

   Karena mempunyai rencana begitu, siang-siang Ceng-ceng-ji sudah memperhitungkan jarah Yak-bwe.

   Maka meskipun hanya dengan balikkan tangan ke belakang dengan tanpa melihat, sebenarnya ia tentu akan berhasil menangkap Yak-bwe.

   Tapi di luar perhitungannya, ternyata Shin Ci-koh sejak tadi selalu mengikuti gerak-gerik Ceng-ceng-ji saja.

   Begitu Ceng-ceng-ji mengangkat pedang pura-pura hendak menyerang Khik-sia, Shin Ci-koh sudah mengetahui siasatnya.

   Dan cepat-cepat ia meneriaki Yak-bwe.

   "Nona Su, lekas menyingkir!"

   Bret, baju Yak-bwe kena dijambret robek oleh Ceng-ceng-ji.

   Untung Yak-bwe sudah keburu menyingkir hingga tak kena dicengkeram.

   Ceng-ceng-ji hendak mengejar dengan lain cengkeraman tapi Khik-sia sudah mendahului loncat membacok.

   Tadi karena kurang pengalaman, ia kena diingusi sehingga Yak-bwe hampir saja jadi korban.

   Serangan yang dilancarkan Khik-sia dengan kemarahan itu disebut jrusu Liong-bun-song-long.

   Di dalam gerak mengandung lain gerak.

   Tebaran sinar pedang benar-benar seperti gelombang ombak laut yang mendampar bertubi-tubi.

   Getaran ujung pedangnya menerbitkan angin menderuderu.

   "Baru sebulan tak ketmu, mengapa kepandaian anak itu sedemikian pesatnya?"

   Diam-diam Ceng-ceng-ji mengeluh dalam hati.

   Keduanya bergerak secara cepat.

   Ceng-ceng-ji menang pengalaman, tapi Khik-sia menang kepandaian.

   Pada saat ujung pedang Khik-sia hampri mengenai, Ceng-ceng-ji baru balikkan tangannya menangkis dengan jurus Kim-tiau-tian-ki (burung alap-alap pentang sayang).

   Trang, begitu kedua pedang saling beradu, Ceng-ceng-ji tekankan pedangnya dan dengan meminjam tenaga Khik-sia, ia buang tubuhnya ke belakang sampai satu tombak lebih.

   Maksudnya hendak melarikan diri.

   "Hai, hendak lari kemana kau?"

   Teriak Khik-sia sambil loncat menusuk ulu punggung Cengceng- ji.

   Meskipun berhasil mematahkan serangan Khik-sia tadi, tapi tak urung tangan Ceng-ceng-ji terasa sakit juga.

   Kali ini ia tak berani adu kekerasan lagi.

   Ia mengisar ke samping dan dengan gerak tipuan, ia dapat menghindari serangan.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun saat itu Khik-sia sudah menjaga di ambang pintu.

   "Karena mengingat seperguruan, kau tak sampai hati turun tangan. Apa kau kira aku sungguh takut padamu?"

   Seru Ceng-ceng-ji. Khik-sia tertawa dingin.

   "Mengapa tempo hari tak tampak kau mengingat saudara seperguruan?"

   Justeru itulah yang dinanti-nantikan Ceng-ceng-ji.

   Ia memang hendak memancaing supaya Khik-sia bicara.

   Sekonyong-konyong ia menusuk dan menutuk tujuh bagian jalan darah di tubuh Khik-sia.

   Tadi Khik-sia sudah termakan tipunya.

   Kali ini mana ia dapat diingusi lagi? Walaupun mulutnya bicara tapi matanya tetap memperhatikan tangan Ceng-ceng-ji.

   Begitu lawan bergerak, iapun lantas bergerak.

   Dan yang digunakan juga jurus permainan menusuk jalan darah.

   Tetapi yang digunakan Khik-sia itu bukan tusukan tujuh jaland arah, melainkan tutukan sembilan jalan darah.

   Dibanding dengan ilmu tutukan Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat.

   Ilmu menusuk jalan darah dari ilmu pedang Wan-kong-kiam-hwat memang istimewa sekali.

   Bagian yang paling sempurna dari ilmu pedang tersebut ialah menusuk sembilan jalan darah.

   Dulu hanya Gong-gong-ji seorang yang dapat memainkan.

   Sudah tentu Ceng-ceng-ji terbeliak kaget.

   Ia tak menyangka sama sekali kalau Khik-sia pun bisa.

   Tring, tring, tring, ia dapat menangkis yang tujuh, tapi yang dua dengan susah payah baru ia dapat meloloskan diri.

   Kedua saudara seperguruan itu karena tahu akan kepandaian masing-masing, untuk beberapa saat masih belum ada yang menang atau kalah.

   Tapi yang nyata, baik dalam ilmu lwekang dan ilmu pedang, Khik-sia lebih unggul setingkat dari Ceng-ceng-ji.

   Dalam pertempuran itu, Ceng-ceng-ji selalu di pihak bertahan.

   Melihat Khik-sia lebih unggul, barulah Yak-bwe lega dan perhatiannya kini dicurahkan pada Shin Ci-koh.

   Tahu bahwa Shin Ci-koh itu suhu Tiau-ing, sebenarnya Yak-bwe tak punya kesan baik.

   Tapi karena tadi Shin Ci-koh telah memberi peringatan sehingga ia dapat terlepas dari sergapan Ceng-ceng-ji, Yak-bwe pun menghaturkan terima kasih kepada wanita itu.

   "Muridku berbuat curang kepadamu, walaupun kau tak memaki aku, tapi aku sudah merasa malu sendiri,"

   Shin Ci-koh menghela napas. Sesaat Yak-bwe heran, pikirnya.

   "Wanita ini biasanya ganas dan sombong, mengapa sekarang mendadak sontak berubah perangainya?"

   Baru In-nio hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar derap kaki orang datang.

   Ternyata yang datangitu dua orang thau-to (imam).

   Yang seorang tua dan yang satu muda.

   Wajah mereka mengunjukkan sebagai orang suku Oh.

   Thau-to yang muda itu tinggi kurus perawakannya, mengenakan jubah warna hijau, matanya berkilat-kilat tajam sekali.

   In-nio segera mengenali thauto itu sebagai Ceng-bing-cu murid ahli waris dari partai Leng-ciu-pay yang telah memimpin anak buahnya mengepung Shin Ci-koh.

   Thau-to tua itu tak dikenalnya.

   Tetapi dari wajahnya yang merah kemilau dan sepasang matanya yang berapi-api serta perawakannya yang luar biasa tingginya, tentulah juga seorang kosen yang tinggi lwekangnya.

   kemunginan lebih sakti dari Cengbing- cu.

   Wajah Shin Ci-koh berubah seketika.

   Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak.

   "Oh, kiranya Leng Ciu siangjin datang, maaf, aku lalai menyambut. Aku merasa beruntung karena hari ini dapat bertemu dengan dua angkatan dari partaimu!"

   Munculnya Ceng-bing-cu saja cukup membuat In-nio terkejut apalagi mendengar bahwa thau-to tua itu ternyata Leng Ciu siangjin, suhu dari Ceng-bing-cu.

   Diam-diam ia mengeluh dalam hati.

   Baru pihaknya tambah dua tenaga (Khik-sia dan Yak-bwe), kini pihak lawan datang juga dua tokoh kuat.

   Sebaliknya kini giliran Ceng-ceng-ji yang girang setengah mati, serunya tergopoh-gopoh.

   "Ceng-bing toheng, sebenarnya aku sudah akan menangkap wanita siluman itu untuk kuserahkan padamu, tetapi sute-ku yang kurang ajar ini selalu merintangi aku. Ah, aku merasa malu!"

   Ceng-ceng-ji belum kenal leng Ciu siangjin.

   Tetapi dengan Ceng-bing-cu ia sudah bersahabat karib ialah ketika sama-sama membantu Su Tiau-gi tempo hari.

   Iapun mengetahui juga tentang permusuhan antara Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh.

   Sebaliknya, Ceng-bing-cu tidak tahu kalau Ceng-ceng-ji pun mendendam pada Shin Ci-koh.

   Ia kira Ceng-ceng-ji itu benar-benar hendak membantunya menangkap Shin Ci-koh.

   Sudah tentu ia berterima kasih.

   Khik-sia tak menghiraukan sama sekali akan kedatangan kedua tokoh Leng-ciu-pay itu.

   Memang Khik-sia itu bagaikan anak kambing yang tak takut pada harimau.

   Melihat kesempatan dimana Ceng-ceng-ji terpencar pikirannya karena bicara tadi, Khik-sia perhebat serangannya.

   Bunuh dulu Ceng-ceng-ji baru nanti menggempur benggolan Leng-ciu-pau, demikian pikirnya.

   Cret, Ceng-ceng-ji termakan sebuah tusukan.

   Tetapi tusukan Khik-sia itu bukan dimaksud untuk mengambil jiwa, melainkan untuk menusuk jalan darah saja.

   Ceng-ceng-ji sudah banyak pengalaman.

   Waktu merasa hawa pedang menyusup ke dalam urat, buru-buru ia empos semangat dan kempiskan dadanya.

   Tusukan Khik-sia tidak tepat mengenai jalan drahnya melainkan di sebelah jalan darah Yang-koh-hiat lambung kiri.

   Hanya sedikit kulitnya yang terluka.

   Berbareng saat itu Ceng-bing-cu berkata.

   "Memberi buah tho akan dibalas dengan buah li. Terima kasih atas bantuanmu. Akupun akan membantumu membersihkan pengacamu!"

   Khik-sia baru berganti gerak hendak menusuk jalan darah Ceng-ceng-ji, tahu-tahu Ceng-bing-cu sudah berada di belakang dan menampar punggungnya dengan Toa-chiu-in, sebuah pukulan beracun.

   Apabila kena urat punggung Khik-sia pasti terluka kena racun.

   Tampaknya Khik-sia seperti tak berjaga-jaga, tetapi sebenarnya ia selalu memperhatikan keadaan di sekeliling situ.

   Waktu tangan Ceng-bing-cu sudah akan 'in' (mencap) punggungnya, tanpa menoleh Khik-sia sabatkan pedangnya ke belakang.

   Ceng-bing-cu terkejut bukan kepalang.

   Ia mengira tadi tentu berhasil mencuri kesempatan karena terang Khik-sia sedang gerakkan pedangnya menusuk Ceng-ceng-ji.

   Siapa tahu ternyata permainan Khik-sia mencapai tingkat sedemikian rupa, hingga dapat merubah gerakan tangannya pada setiap waktu dan keadaan yang bagaimanapun jua.

   "Tahan!"

   Pada saat dimana tangan Ceng-bingcu pasti kutung, tiba-tiba Leng Ciu siangjin berteriak sembari kebutkan lengan bajunya.

   Sedemikian hebat kebutan ketua Leng-ciu-pay, sehingga pedang Khik-sia yang tajamnya luar biasa tak mampu menusuk lengan baju thau-to tua itu, bahkan orangnya (Khik-sia) sendiri tersurut tiga langkah.

   Setelah berputar-putar tubuh, baru ia dapat berdiri tegak.

   Bukan main kejut Khik-sia.

   Ilmu lwekang bagian 'sia' (hapus atau memindah), Khik-sia dapat juga menggunakan.

   Tetapi apa yang dipertunjukkan Leng Ciu siangjin tadi hebatnya bukan tertara.

   Khik-sia belum pernah mendengar dan menyaksikan.

   Jika tidak mengalami sendiri, tentu ia tak percaya hal itu.

   Di lain pihak, Leng Ciu siangjin sendiri juga tak kurang kagetnya.

   Kebutannya hanya dapat mengundurkan si anak muda sampai tiga langkah, sungguh di luar dugaan.

   Pikirnya.

   "Bocah ini paling banyak baru 20-an tahun umurnya, mengapa begitu lihay? Jika tadi ia menusuk tiga kali berturut-turut, aku tentu tak mampu gunakan lwekang 'sia', terpaksa aku harus melawannya."

   "Urusanku dengan partaimu, tiada sangkut pautnya dengan lain orang,"

   Kedengaran Shin Ci-koh mendengus dingin.

   "muridmu kesatu Ceng-bing-cu telah tak mengindahkan aku kemudian kuberinya hajaran. Setelah itu dua kali anak muridmua menyerang aku. Ada dua puluh tiga orang yang meninggal. Mereka semua akulah yang membunuhnya. Jika kau hendak menuntut balas, harap pada aku saja!"

   Leng Ciu siangjin mendengus, ia tertawa dingin.

   "Shin Ci-koh, kau juga tak memandang mata padaku. Kau anggap aku ini orang bagaimana?"

   "Benar, siangjin memang golongan cianpwe persilatan, mana mau mencelakai orang yang sedang terluka?"

   Buru-buru In-nio mengumpaknya.

   Menyaksikan kepandaian Leng Ciu siangjin tadi, In-nio insyaf bahwa sekalipun ia bertiga dengan Khik-sia dan Yak-bwe maju berbareng, pun takkan menang.

   Maka cepat ia gunakan ucapan Leng Ciu siangjin untuk memukulnya.

   Shin Ci-koh tetap masih duduk bersila.

   Sedikitpun tiada perubahan pada seri mukanya.

   Ia menyeletuk.

   "Leng Ciu siangjin, kunasehatikan jika hendak membikin permbalasan, lebih baik sekarang juga. Inilah saat yang paling tepat untuk melakukan permbalasan. Kalau selewatnya hari ini, dikuatirkan tak mudah kau hendak mengalahkan aku!"

   Seru Ceng-bing-cu.

   "Wanita siluman itu sudah terluka. Suhu, jika kau enggan turun tangan, biarlah aku saja yang menindaknya!"

   "Ngaco, mundur!"

   Bentak Leng Ciu siangjin. Sekonyong-konyong ia tertawa gelak-gelak. Terpaksa Ceng-bing-cu mundur sambil meringis.

   "Shin Ci-koh, apakah kau kira aku tak tahu isi hatimu? Kau paling takut kalah di tanganku dan ditertawai orang. Maka kau sengaja mendesak aku supaya bertindak sekarang. Sekarang kau sedang luka parah, jika kubunuhmu tentu orang tak menyohorkan kepandaianku!"

   Habis berkata ia merogoh keluar dua buah pil, ditaruhkan di telapak tangan lalu dihembusnya dengan mulut. Dua butir pil itu 'terbang' ke pangkuan Shin Ci-koh.

   "Dua butir pil itu, satu untuk memunahkan racun, satunya untuk mengobati luka. Setelah kau sembuh betul, baru aku bertanding padamu agar kau mati tidak penasaran!"

   Seru Leng Ciu siangjin dingin.

   "Kau kira aku tak sanggup mengobati lukaku sendiri? Aku tak sudi menerima budimu!"

   Sahut Shin Ci-koh. Kembali Leng Ciu tertawa keras.

   "Gelranmu Bu-ceng-kiam, akupun tak mau melepas budi padamu! Karena lukamu masih belum sembuh, aku enggan membunuhmu maka kuberimu obat. Itu sekali-kali bukan suatu kebaikan melainkan supaya lekas-lekas dapat kuambil jiwamu. Memang kutahu kau dapat mengobati sendiri, tapi palging tidak harus makan waktu sampai 7-8 hari. Mana aku mempunyai tempo menunggumu? Setelah makan pilku itu, paling lambat besok pagi siang, kau tentu sudah sembuh. Besok malam pada waktu begini, kita bertemu lagi di sini. Kita keluarkan kepandaian masing-masing untuk menentukan kejantanan. Hm, hm, pada waktu itu, sekali bertanding jangan harap aku suka mengampunimu! Bagaimana, apa kau tetap tak mau minum pil itu? Atau apakah kau sudah tahu dan merasa kepandaianmu tak menang dari aku? Begitu lukamu sembuh, kau tentu mati di tanganku. Kalah tetap kalah, mati tetap mati. Tak perlu cari alasan apaapalagi!"

   Saking marahnya Shin Ci-koh terus sekali telan kedua pil itu. Serunya.

   "Besok malam aku tentu menunggumu di sini. Surat undangan dari Raja Akhirat, entah akan diberikan kepada siapa nanti?"

   Leng Ciu siangjin tertawa keras.

   "Waktumu hanya sehari saja, harap kau bereskan semua pesanmu, maaf aku tak dapat mengawani lebih lama." -- Ketua Leng-ciu-pay itu lantas memimpin Ceng-bing-cu pergi. Ceng-ceng-ji pun gunakan kesempatan itu untuk ngintil mereka. Perubahan yang datangnya secara mendadak itu, sungguh di luar dugaan. Pikir Khik-sia.

   "Leng Ciu siangjin sungguh seorang benggolan yang sakti, meskipun jahat, dia tak mau mencelakai orang yang terluka. Sungguh tak mengecewakan gengsinya sebagai ketua sebuah partai persilatan."

   Tiba-tiba wajah Shin Ci-koh berubah gelap dan mendekap perut merintih-rintih. Yak-bwe terkejut sekali, serunya.

   "Jangan-jangan siluman tua itu menipumu dengan obat racun? Ai, Shin locianpwe, kau kelewat percaya padanya!"

   Tiba-tiba Shin Ci-koh muntahkan segumpal darah kental. Katanya dengan wajah bersungguh.

   "Leng Ciu lo-koay tidak bohong, obat pilnya itu manjur sekali. Darah kental yang kusemburkan ini, adalah racun yang berada di tubuhku. Rupanya tak usah sampai besok pagi, aku sudah sembuh sama sekali!"

   "Shin lo-cianpwe, apakah kau yakin dapat menangkan dia?"

   In-nio merasa cemas. Dengan angkuh Shin Ci-koh menyahut.

   "Siluman tua itu juga belum tentu dapat menangkan aku!"

   Namun sekali mulutnya mengatakan begitu, tapi terang kata-katanya itu bernada kurang yakin untuk menangkan pertempuran besok malam. Memandang kepada Khik-sia, berkatalah ia.

   "Besok kalau aku bertempur melawan Leng Ciu lokoay, dia membunuh aku atau aku membunuhnya, bukanlah suatu hal yang mustahil. Jika aku yang tak beruntung, harap kau sampaikan pada toasuhengmu."

   "Aku telah membunuh dua puluh tiga murid Leng-ciu-pay. Sekalipun aku nanti mati di tangan Leng Ciu siangjin, tetap aku masih untung. Gong-gong-ji tentu membalaskan sakit hatiku. Khiksia, tolong kau wakili aku menasihati dia, jangan sampai dia menuntut balas! Dia harus menurut nasihatku. Nasihat yang merupakan permintaanku kepadanya yangterakhir,"

   Kata Shin Ci-koh pula.

   Heran In-nio mendengarnya.

   Pertama ia berjumpa denganShin Ci-koh, iamasih merupakan seorang wanita yang ganas tak kenal kasihan, bermulut tajam dan minta padanya (In-nio) menyampaikan surat kepada gong-gong-ji supaya Gong-gong-ji membunuh habis semua orang Leng-ciu-pay.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Apa yang didengarnya kini, jauh sekali bedanya.

   Shin Ci-koh minta Khik-sia supaya menasihati Gong-gong-ji jangan menuntut balas.

   Hanya terpaut satu jam saja, ternyata wanita itu telah mengalami perubahan batin yang luar biasa besarnya.

   Shin Ci-koh kini alihkan pandangannya kepada In-nio dan berkata dengan lembut.

   "Nona Sip, aku terkena pengaruhmu. Aku pernah mencelakai kau, kebalikannya kau berkorban untuk menolong aku. Sungguh aku mersa malu sendiri. Dahulu aku selalu membalas setiap sakit hati, menumpas setiap penghinaan. Tetapi balas membalas itu, ternyata tiada baik akibatnya. Sesaktisaktinya kepandaian seseorang, toh pada suatu hari ia akan jatuh juga. Diriku ini menjadi sebuah contoh. Aku tak ingin Gong-gong-ji terjerumus dalam perjalanan hidupku yang lampau. Memang aku pernah menginginkan supaya Gong-gong-ji membalaskan sakit hatiku, tetapi itu keluar dari pikiranku yang terlalu mementingkan diriku sendiri."

   Diam-diam hati In-nio girang, pikirnya.

   "Terhadap siapa harus membalas, terhadapa siapa harus tak menuntut balas. Sebenarnya tak boleh dicampur-adukkan. Tak nyana Shin Ci-koh dapat mengeluarkan kta-kata yang begitu berharga. Rupanya ia sudah memperoleh kesadaran batin."

   Lalu Ci-koh berplaing dan berkata kepada Khik-sia.

   "Suhengmu itu berwatak berandalan, tidak suka dikekang. Jauh lebih jelek dari aku. Aku sungguh tak tega. Kasih tahu padanya, dalam hatiku hanya da dia seorang .... tetapi akupun tak menghendaki karena diriku dia lantas tak kawin seumur hidup. Dia terlalu tak pedulikan dirinya sendiri. Harus ada seorang isteri bijaksana yang membantunya."

   Mendengar uraian kata-kata Shin Ci-koh yang penuh mengandung petuah itu, ketiga anak muda itu sama menghela napas terharu. Mereka tak kira bahwa seorang wanita yang terkenal ganas, ternyata penuh dengan budi kehalusan seorang wanita.

   "Harap cianpwe jangan kuatir. Belum tentu kau kalah dengan Leng Ciu lokoay. Dan kitapun tak mau tinggal diam melihati saja,"

   Kata Khik-sia. Shin Ci-koh tertawa rawan. Baru ia mau bicara, Yak-bwe sudah mendahului.

   "Shin lo-cianpwe, bukankah sekarang kau sudah sembuh, mengapa tak tinggalkan tempat ini saja? Kupersembahkan kudaku untukmu. Kuda yang sehari dapat menempuh seribu li. Tak nanti Leng Ciu lokoay mampu mengejarmu. Setelah mendapatkan Gong-gong-ji, siapa yang berani mengganggumu?"

   Alis Shin Ci-koh menjengkit, ujarnya.

   "Walaupun aku tak ingin mengikat permusuhan dengan Leng Ciu lokoay, namun akuun tak mau unjuk kelemahan. Aku sudah berjanji padanya, mana dapat mengingkari? Dia memberi obat padaku, berarti dia mempercayai aku. Jika aku tak pegang kepercayaan, mana aku masih punya muka hidup di dunia persilatan lagi? Melarikan diri, tak usah dikemukakan lagi! Bukan saja begitu, pun besok malam dalam pertempuran itu, kalian sekali-kali tak boleh memberi bantuan!"

   Yak-bwe menjadi malu sendiri. Namun diam-diam ia mengagumi Shin Ci-koh, pikirnya.

   "Sungguh tak kecewa ia menjadi tokoh ternama. Dalam keadaan yang berbahaya sekalipun, ia tetap tak berubah pendiriannya."

   "Terima kasih atas perhatianmu semua. Tetapi kuharap tak usah meresahkan diriku. Maaf, sekarang aku masih perlu bersemedhi sebentar. Silahkan kalian bercakap-cakap dengan kawan lama."

   Khik-sia tundukkan kepala merenung.

   Yak-bwe menarik In-nio ke samping dan menanyakan tentang diri Bik-hu.

   Selama sibuk merawati Shin Ci-koh, In-nio memang tak sempat lagi memikirkan diri sutenya itu.

   Mendengar pertanyaan Yak-bwe, ia mendongak ke langit.

   Dilihatnya rembulan sudah tinggi.

   Sudah tengah malam.

   "Akupun justeru sedang menunggu!"

   Kata In-nio.

   "Dia berada di mana? Mengapa kau seorang diri ke Yu-ciu? Dan bagaimana kau bisa berjumpa dengan Shin lo-cianpwe? Apakah kau berjanji dengan Pui suheng untuk bertemu di sini?"

   Demikian Yak-bwe berturut-turut mengajukan pertanyaan. Ia mengira Bik-hu masih dalam ketentaraan. In-nio menghela napas.

   "Ceritanya amat panjang. Tapi lebih dulu aku hendak bertanya, bagaimana kalian berdua bisa datang kemari?"

   "Pertama, hendak mencarimu. Kedua, karena Khik-sia disuruh Thiat-mo-lek mengantarkan surat kepada Se-kiat."

   "Apakah di tengah jalan tadi kamu berjumpa tentara-tentara yang kalah?"

   Tanya In-nio.

   "Karena ada dua pihak, yang bermusuhan saling bertempur. Kami tak mau terlibat dalam urusan mereka, maka menghindari dan memilih jalan kecil saja. Mengapa mereka itu?"

   Yak-bwe balas bertanya.

   "Su Tiau-gi dan adiknya bertempur sendiri. Raja Ki mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, maka terjadi perang tanding yang gempar. Bik-hu dan aku tercerai berai,"

   In-nio menerangkan singkat.

   "Oh, kiranya kau datang bersama Pui suheng? Aku tak tahu bilakah Beng Kong sudah menyambut Liang Hong?"

   Yak-bwe berseru girang. Beng Kong dan Liang Hong adalah sepasang suami isteri yang terkenal dalam sejarah. Mereka sependirian dan seperjuangan. Merahlah muka In-nio, dampratnya.

   "Aku berkata tentang urusan serius, sebaliknya kau menggoda semaunya."

   Yak-bwe membisiki ke dekat telinga In-nio.

   "Jejaka kawin perawan menikah, adalah urusan serius nomor satu di dunia. Emas seribu kati mudah didapat, tetapi kawan yang sehati sukar ditemukan. Dengan sudah mendapatkan kawan sehati, apakah kau tak layak bergirang? Bagus, bagus, ah, supaya kau tidak menjadi marah, silahkan kau katakan urusanmu yang serius itu. Aku tak mau menanyakan urusanmu pribadi."

   "Berbicara tentang urusan serius itu, artinya sia-sia saja Khik-sia memberikan surat Thiat-molek itu kepada Se-kiat,"

   Kata In-nio.

   "Lho, mengapa? Apakah aku boleh turut mendengarkan?"

   Khik-sia menghampiri.

   "Justeru memang hendak kudengarkan padamu,"

   Sahut In-nio yang lalu memulai keterangannya.

   "Akulah yang lebih dulu datang ke Yu-ciu, kemudian Bik-hu baru menyusul. Benar memang aku sudah berjumpa dengan Se-kiat tetapi dalam statusku sebagai tawanan Tiauing."

   "Hai, kau menjadi tawanan Su Tiau-ing?"

   Khik-sia berseru kaget. Yak-bwe meliriknya dan mendengus.

   "Huh, herankah? Apa yang tak dilakukan wanita siluman itu?"

   In-nio menuturkan semua yang dialaminya. Waktu mendengar sampai pada hal Se-kiat hendak membujuk In-nio tapi kemudian ditolak tegas-tegas sehingga sampai bertempur, Khik-sia tak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Tak nyana Se-kiat berubah menjadi manusia begitu!"

   "Eh, kau jadi menemuinya, tidak?"

   Tegur Yak-bwe.

   "Mengingat persahabatan yang dulu, Thiat piauko hendak menasihatinya lagi untuk yang penghabisan kali. Karena piauko sudah mempercayakan surat itu kepadaku, berhasil atau tidak aku harus tetap menyampaikan surat ini kepadanya,"

   Sahut Khik-sia. In-nio mengangguk.

   "Benar, tiada jeleknya mencoba sekali lagi. Ah, diharap setelah tentaranya mengalami kekalahan, ia mau mendengar nasihat Thiat cecu."

   Yak-bwe paling mengetahui pribadi In-nio.

   Waktu In-nio menceritakan bagaimana Bik-hu menempuh bahaya menolong dirinya tadi, samar-samar Yak-bwe sudah dapat melihat adanya setitik kasih dalam hati In-nio kepada pemuda itu.

   Maka iapun tak begitu curiga akan kata-kata In-nio yang terakhir mengenai diri Se-kiat.

   Tapi ia berkata kepada diri sendiri, andaikata dirinya yang diperlakukan begitu oleh Se-kiat, tentu ia tak sudi lagi mengenalnya.

   "Khik-sia, pergi pun baik. Menyerahkan surat itu nomor dua, yang penting kau harus menyirapi di mana Bik-hu itu dan ajaklah kemari! Karena tak melihat cici In, dia tentu gelisah juga,"

   Katanya. Sengaja ia kemukakan diri Bik-hu pada saat In-nio membicarakan Se-kiat. Untuk mencegah supaya In-nio jangan melantur lebih jauh. Siapa tahu In-nio pun justeru mempunyai maksud begitu. Namun ia masih meragu, ujarnya.

   "Walaupun memang baik juga Khik-sia pergi itu, tetapi bagaimana Shin lo-cianpwe ...."

   Tiba-tiba Shin Ci-koh kedengaran tertawa.

   "Nona Sip, kau berpisah dengan sutemu dalam pertempuran itu, akupun turut memikiri juga. Kalian tak perlu meresahkan diriku. Leng Ciu lokoay mengatakan besok malam baru datang tentu besok malam. Tak nanti dia mencelakai aku sebelum lukaku sembuh. Tentang Ceng-ceng-ji, tanpa beserta Leng Ciu lokoay, tak nanti ia berani datang kemari! Kini tenagaku sudah pulih lima puluh persen, taruh kata ia (Ceng-ceng-ji) datang, akupun dapat mengatasinya. Pasukan Se-kiat kemarin malam baru menerobos keluar dari kepungan. Sute nona Sip itu mungkin berada di muka pasukan. Karena tak melihat nona Sip, ia tentu masih mencarinya, tentu belum pergi jauh. Urusan tak boleh ayal-ayalan. Toan siauhiap, jika hendak mencari mereka, sekarang juga kau harus berangkat."

   "Baik, berhasil menemukan mereka atau tidak, besok malam aku tentu balik kemari. Malam hari tak leluasa naik kuda, kutinggalkan untuk Shin lo-cianpwe, siapa tahu lo-cianpwe memerlukannya,"

   Kata Khik-sia. Karena tahu gin-kang Khik-sia itu tak kalah cepat dengan lari kuda, Shin Ci-kohpun membiarkan saja. Katanya.

   "Terima kasih atas kebaikanmu. Kau tak keburu balik kemari pun tak mengapa. Toh aku tetap akan bertempur seorang diri dengan lokoay itu."

   Waktu In-nio dan Yak-bwe mengantar Khik-sia sampai keluar pintu, Yak-bwe tiba-tiba tertawa.

   "Dalam memberikan surat kepada Se-kiat nanti, siapa tahu kau akan berkesempatan menjumpai nona Su-mu itu. Sayang sekarang ia sudah menjadi pengantin Se-kiat."

   "Bah, siapa yang masih mengenangkan nona siluman itu?"

   Khik-sia mendengus.

   Sekalipun mulut mengatakan begitu tapi tak urung dalam perjalanan, Khik-sia juga teringat akan Tiau-ing.

   Teringat selama berjalan ribuan li bersama nona itu.

   Ini bukan karena ia masih ada 'apa-apa' dengan nona itu, melainkan karena Tiau-ing dengan gaya yang lincah merangsang itu, meninggalkan banyak kesan padanya.

   "Keris dan kerangka, adalah dwitunggal yang tak dapat dipisahkan. Tiau-ing dan Se-kiat itu benar-benar sejoli yang paling tepat!"

   Pikirnya. Terkenang akan kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan Tiau-ing tempo hari, diam-diam Khik-sia mendongkol tapi pun geli.

   "Sekarang kalau bertemu aku tak kuatir dirayu lagi. Tapi ah, lebih baik jangan berjumpa saja."

   Tiba di kaki gunung dan masuk ke dalam sebuah lembah, hari pun sudah menejelang terang tanah.

   Melalui tepi sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang berisik.

   Khik-sia menghampiri dan tampak tiga lelaki beralis tebal serta berpakaian opsir kerajaan Wi-yan (Su Tiaugi) tengah bertengkar.

   Karena kepingin tahu, Khik-sia diam-diam mencuri dengar.

   Dengan ginkangnya yang lihay, gerakannya tak mengeluarkan suara sama sekali hingga ketiga opsir itu tak mengetahui.

   Salah seorang berkata.

   "Ia musuh dari cukong (junjungan) kita. Jika kita serahkan kepada cukong, tentu kita mendapat hadiah besar."

   Kata yang seorang.

   "Keadaan cukong dalam bahaya, mana kau masih mengharap hadiah dari dia? Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan pada Bo Se-kiat saja. Bo Se-kiat baik terhadap orang."

   Orang yang kesatu berkata pula.

   "Hm, Bo Se-kiat gentleman palsu. Mana memperlakukan orang dengan baik? Apakah bukan pura-pura saja? Kau jangan percaya pada mulut siluma kecil itu. Karena jatuh ke tangan kita, sudah tentu ia menurut apa saja. Begitu kita antarkan ia pulang, ia tentu berbalik muka kepadamu. Saat itu jangan lagi harta atau pangkat, sekalipun mangkuk nasi saja mungkin kau sekar mendapat."

   Khik-sia terkejut. Dari pembicaraan, terang mereka itu telah menawan orang. Mereka sedang berunding, hendak menyerahkan pada Su Tiau-gi atau pada Bo Se-kiat.

   "Mereka menyebut-nyebut 'siluman kecil', apakah bukan seorang wanita? Ha, apakah bukan ...."

   Baru Khik-sia berpikir begitu, tiba-tiba kedengaran orang yang ketiga tertawa gelak-gelak. Yang dua bertanya.

   "Toako, apa yang kau tertawakan?"

   Opsir ketiga itu menyahut.

   "Aku menertawakan kalian yang begitu tolol. Bakpao sudah berada di mulut masakan diberikan orang lagi. Benar-benar kalian bernyali tikus!"

   "Kalau menurut pendapatmu, bagaimana?"

   Tanya kedua orang tadi.

   "Su Tiau-gi, Bo Se-kiat, kedua-duaya tak boleh dipercaya. Memang Su Tiau-gi kini seperti 'patung Po-sat menyeberangi sungai' (berbahaya), Bo Se-kiat yang dienyahkan raja Ki, pun menjadi seperti 'anjing orang yang kematian keluarganya' (ngenas). Perlu apa kita berhamba pada mereka? Turut pendapatku, lebih baik kita pergi jauh dan mendirikan 'usaha' sendiri. Wanita kecil itu, kita jadikan isteri cecu (pemimping begal)."

   "Bagus, tetapi jadi isteri siapa? Kita bertiga sudah seperti saudara, jangan sampai hubungan kita retak hanya karena siluman kecil itu,"

   Kata kedua orang kawannya. Kata opsir tadi.

   "Aku ada sebuah cara. Kita adakan undian, siapa yang baik peruntungannya. Samte, coba kau patahkan ranting kayu ini menjadi tiga. Yang satu panjang, yang dua pendek. Yang mendapat kutungan panjang, akan memperisterikannya. Baik, jite, kau ambil dululah."

   Begitulah opsir yang dua orang itu segera mengambil masing-masing sebatang kutungan ranting. Sekonyong-konyong opsir yang dipanggil toako tadi turun tangan. Secepat kilat dia membacok kedua kawannya tadi.

   "Ha, ha, akulah yang menjadi toako. Kalian berani berebut isteri dengan aku, terpaksa aku bertindak!"

   Selagi opsir itu tertawa kegirangan karena sudah memberesi kedua saingannya, tiba-tiba sesosok tubuh melesat ke hadapannya dan membentaknya.

   "Siapa yang hendak kau ambil isteri itu? Wanita itukah?"

   Ternyata bayangan itu bukan lain Khik-sia adanya. Dan saat itu juga seorang wanita kedengaran berteriak.

   "Khik-sia, tolonglah aku!"

   Itulah Su Tiau-ing! Khik-sia berpaling dan dapatkan Tiau-ing tegak bersandar pada sebatang pohon siong.

   Mata mereka saling beradu.

   Tadi Khik-sia sudah membayangkan tentang perjumpaannya dengan Tiau-ing.

   Bahwa ternyata ia bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu, membuat Khik-sia terlongong-longong.

   Si opsir menggunakan kesempatan itu untuk membacok Khik-sia.

   Khik-sia gelagapan ketika tubuhnya tersentuh dengan logam dingin.

   Bagi seorang ahli silat, dalam saat-saat yang berbahaya, tentu akan mengadakan reaksi cepat untuk menghindar.

   Begitupun dalam saat yang fatal itu.

   Khik-sia turunkan bahunya dan condong ke sebelah kiri.

   Brat, bajunya terpapas rompal, jaraknya hanya terpisah seujung rambut dari lengannya.

   Ternyata tenaga hantaman golok si opsir itu telah dihapus oleh kekuatan lwekang Khik-sia.

   Memang cepat sekali gerakan golok itu, tapi setelah mengenai baju, daya tenaganyapun sudah habis.

   Opsit itu adalah salah seorang dari empat jagoan yang mengawal Su Tiau-gi.

   Ilmu kepandaiannya tinggi juga.

   Bacokannya luput, ia maju dua langkah untuk mengjaga keseimbangan badannya yang condong ke muka.

   Dan menyusul ia lantas membacok Khik-sia lagi.

   Bahkan sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Semuanya mengarah jalan darah maut dari tubuh Khiksia.

   Itulah yang disebut jurus Liong-bun-song-long dari ilmu permainan golok Toan-bun-to.

   Indahnya bukan buatan.

   Tetapi saat itu Khik-sia sudah berjaga-jaga.

   Dan marahlah demi melihat keganasan orang itu.

   Bentaknya.

   "Pemberianmu kukembalikan, rasakanlah sendiri golokmu ini!"

   Menghindari ujung golok, ia mendekap gigir golok dengan kedua jari dan sekali dorong, ia pinjam tenaga untuk memukul.

   Golok itu secepat kilat terputar dan berbalik menghantam kepala si opsir.

   Cret, bluk .....

   kepala opsir itu terbelah menjadi dua dan tubuhnyapun seperti batang pisang rubuh ke tanah.

   Berbareng dengan itu kedengaran lengking jeritan wanita.

   Ternyata Tiau-ing yang menjerit dan terus rubuh ke tanah.

   Khik-sia agak bersangsi, tapi akhirnya mau juga ia mengangkat nona itu.

   "Aku hampir mati terkejut. Khik-sia, apakah kau tak terluka?"

   Tegur Tiau-ing.

   "Aku tak kena apa-apa. Hai, lukamu, lukamu ...."

   Khik-sia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Tiau-ing sudah menelungkupi dadanya.

   Ternyata Tiau-ing berlumuran darah hingga pakaian Khik-siapun kelumuran juga.

   Bermula Tiau-ing pimpin pasukan wanita mengejar engkohnya.

   Tomulun pun memimpin pasukan suku Ki untuk mengejarnya (Tiau-ing).

   Tiau-gi balas menyerang dan terjadilah pertempuran di malam hari yang dahsyat.

   Tiau-ing terkena dua batang leng-cian (panah pendek) dan kuda tunggangannyapun terkena sebatang pisau.

   Kuda itu binal dan lari sekuatnya.

   Dalam pertempuran malam gelap yang kacau balau itu, setiap orang tak mengenal mana lawan mana kawan lagi.

   Tiau-ing terluka, pun anak buahnya tak tahu.

   Begitu ia dilarikan kudanya, juga tiada anak buahnya yang mengawalnya.

   Kuda Tiau-ing mencongklang ke sebuah lembah buntu dan tak terduga-duga berjumpa dengan ketiga opsir bawahan Su Tiau-gi tadi.

   Ketiga opsir itu juga loloskan diri dari pertempuran yang kacau itu.

   Mereka hendak bersembunyi di lembah situ, setelah pertempuran selesai, mereka akan melihat gelagat dulu untuk menentukan pilihannya.

   Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Su Tiau-gi, sudah tentu kenal sekali dengan Tiau-ing.

   Sesaat mereka tak dapat mengambil putusan.

   Lebih dulu meringkus si nona, baru nanti berunding lagi.

   Demikian keputusan mereka.

   Opsir yang menyerang Khik-sia itu, memang tinggi ilmu silatnya.

   Tapi ia jahat dan licin.

   Ingin ia memonopoli Tiau-ign sendiri, maka dibunuhnya kedua kawannya secara licik.

   Tapi ternyata ia pun mati sendiri di tangan Khik-sia.

   Sebenarnya Khik-sia jemu dengan Tiau-ing.

   Tapi mengingat nona itu terluka berlumuran darah, tak sampai hati Khik-sia untuk mendorongnya.

   "Khik-sia, tolong laukan sebuah kebaikan untukku. Tusuklah aku supaya segera mati! Dari sorot matamu, kutahu kau benci padaku. Perlu apa aku merintih minta kasihanmu? Kalau sudah membunuh aku, tentu kemarahanmu reda dan akupun tak banyak menderita kesakitan lagi!"

   "Jika hatiku seperti kau, tentu tadi-tadi aku sudah tak mempedulikanmu lagi!"

   Khik-sia mendengus dingin. Wajah Tiau-ing mengerut tawa dan berubahlah nada cakapnya.

   "Khik-sia, aku merasa salah kepadamu. Tetapi akupun pernah berbuat baik juga. Khik-sia, janganlah hanya mengingat kejahatanku saja, pun seharusnya kau memikir mengapa aku berbuat tak baik kepadamu itu. Sebenarnya aku selalu hendak bersama kau, bersama kau ...."

   "Tutup mulut! Jika kau masih mengatakan hal-hal yang berguna itu, aku terpaksa melemparkan kau di sini!"

   Bentak Khik-sia. Tiau-ing menyeringai.

   "Baik, aku takkan mengomong lagi. Hanya mendengar bicaramu, menurut putusanmu!"

   "Kau pernah menolong jiwaku. Akupun pernah menolong jiwamu juga. Jika kali ini aku menolongmu lagi, kaulah yang lebih untung. Ganjalan hati dan budi pada wakut yang lampu, baik jangan diungkat lagi. Kini kau menjadi isteri Se-kiat, mari kuantarkan pulang kepada suamimu,"

   Kata Khik-sia.

   Rasa girang dan mendongkol tercampur dalam hati Tiau-ing.

   Girang karena mendapat pertolongan, mendongkol karena Khik-sia begitu getas tak berkecintaan.

   Meskipun menolong, tapi ia merasa dihina juga.

   Khik-sia tak memperdulikan anggapan Tiau-ing.

   Yang penting ia hendak menolong.

   Maka segera ditutuknya jalan darah Tiau-ing supaya berhenti mengalirkan darah, lalu dilumuri obat.

   Tiau-ing mendapat itga buah luka.

   Lengan, perut dan punggungnya.

   Untuk melumurkan obat, Khik-sia harus membuka pakaian nona itu.

   Sudah tentu ia bersangsi.

   Tapi pada lain saat tampillah kesatriannya.

   "Seorang ksatria selalu bertindak dengan terang dan jujur. Karena aku sudah meluluskan menolongnya, mengapa ragu-ragu?"

   Sekalipun begitu tak mau ia membuka pakaian, melainkan merobeknya di bagian yang terluka dan melumurinya obat.

   Karena pakaiannya ada empat lima bagian yang robek, malu juga Tiau-ing.

   Obat Khik-sia manjur sekali.

   Begitu dilumurkan, darahpun berhenti.

   Khik-sia segera membuka jalan darahnya.

   Ujarnya.

   "Kau tidurlah dulu, biar kucari kereta."

   Kata Tiau-ing.

   "Penduduk desa di sekeliling tempat ini sudah pindah semua. Untuk mendapatkan kereta, kecuali merampas ke dalam kubu tentara, sekalipun kepandaianmu tinggi jangan harap bisa mendapatkan di lain tempat. Jika kau tinggalkan aku di sini, bagaimana nanti apabila ada musuh datang?"

   Khik-sia anggap pernyataan Tiau-ing itu betul juga. Apa boleh buat, terpaksa ia membawa juga nona itu. Pikirnya.

   "Aku hendak menyampaikan surat kepada Bo Se-kiat. Jika sekalian mengantar isterinya, berarti sekali tepuk dua lalat. Dengan mengolong isterinya itu, mau tak mau ia tentu berterima kasih kepadaku. Siapa tahu ia suka mendengar nasihatku."

   Segera ia memanggul nona itu dan dengan gunakan gi-kang ia lari sepanjang jalan besar.

   Tak berapa lama, ia berpapasan dengan sebuah pasukan berkuda, yakni gabungan anak buah Tomulun dan pasukan wanita dari Kay Thian-sian.

   Sebagai kongcu (puteri) dari raja Wi Yan, sudah tentu setiap orang kenal pada Tiau-ing.

   Melihat sang puteri dipanggul seorang lelaki, gemparlah sekalian anak tentara.

   Pertempuran di daerah Thoko- poh kali ini, boleh dikatakan Tiau-ing lah yang menjadi biang keladinya.

   Karena bentrok dengan engkohnya, mereka telah menjadikan daerah kediaman suku Ki itu sebuah medan peperangan.

   Tentara suku Ki tak senang pada Tiau-ing.

   Saat itu mereka menertawakan dan mendampratnya.

   "Ho, apakah itu bukan memperlainya Bo Se-kiat? Baru kemarin ia menikah, sekarang sudah lari ikut lain lelaki."

   "Eh, rupanya tidak begitu. Jangan-jangan bocah laki itu yang menyerobotnya,"

   Kata seorang lain. Ada sementara tentara Ki yang kenal pada Khik-sia, berseru.

   "Ai, apa bocah lai itu bukannya yang tempo hari sudah melarikannya? Rupanya mereka berdua sudah sekongkolan, mana dituduh menyerobot? Lihatlah, siluman perempuan itu memeluknya kencang-kencang. Ai, mesra sekali!"

   Ada pula yang menyelutuk.

   "Tak peduli perempuan itu diserobot atau suka rela melarikan diri dengan lain lekaki, tapi yang nyata Se-kiat telah menerima pembalasan yang setimpal. Se-kiat bermaksud hendak merampas daerah kita, kini isterinya diserobot orang lebih dulu. Ha ha, ini namanya 'siapa menanam tentu memetik hasilnya'."

   Anak buah pasukan wanita Kay Thian-sian, hampir semua benci pada Tiau-ing.

   Mereka sama mendekap mulut tertawa mengejek.

   Walaupun tak leluasa mendamprat tapi cemooh tertawa mereka itu lebih menyakitkan telinga.

   Khik-sia berdada lapang.

   Ia hanya memikirkan menolong orang, lain tidak.

   Ia tak menyangka kalau perbuatannya itu dicemoohkan orang.

   Bermula panas juga ia mendengar cemooh ejekan mereka itu.

   Tapi pada lain saat, rasa ksatrianya lebih tampil.

   Ia tak mau meladeni mulut mereka yang iseng itu dan terus cepatkan larinya.

   Iapun siapkan pedang, menjaga kemungkinan apabila anak tentara hendak mengganggunya.

   Benar juga nona 'manis' Thian-sian keprak kudanya ke muka dan tertawa gelak-gelak.

   "Hai, bocah laki, apa kau dirayu lupa daratan oleh perempuan siluman itu? Tidakkah kau melihat bentuk pakaiannya? Dia kan masih memakai pakaian pengantin! Hm, ternyata di dunia masih terdapat seorang perempuan yang begitu tak tahu malu dan seorang lelaki tolol yang begitu tak kenal selatan!"

   Tiau-ing membisiki telinga Khik-sia.

   "Khik-sia, bunuh perempuan jelek itu dan rampas kudanya!"

   Thian-sian tak kenal Khik-sia.

   Sebaliknya Khik-sia pernah mendengar In-nio bercerita tentang diri Thian-sian.

   Begitu melihat wajahnya yang jelek, ia segera mengenalinya sebagai panglima wanita berwajah jelek tapi berhati baik.

   Tak mau ia menempurnya.

   Begitu Thian-sian menerjang, Khik-sia segera melesat dari samping kuda si nona.

   Karena serangannya luput, Thian-sian tak keburu menarik pulang tangannya.

   Orang dan kudanya menerjang ke muka.

   "Tinggalkan perempuan siluma itu dankau nanti bebas! Jika tidak, kita tentu bertempur lagi!"

   Bentak Tomulun seraya putar tombaknya.

   Tempo hari Tomulun pernah kalah dengan Khik-sia.

   Anak raja itu mengagumi kepandaian Khik-sia, itulah maka ia suka melepaskannya.

   Tapi demi dilihatnya Khik-sia masih bersikap seperti yang sudah-sudah, yakni mati-matian melindungi Tiau-ing, timbullah kecurigaan Tomulun bahwa Khik-sia tentu mempunyai hubungan tak layak dengan Tiau-ing.

   Thian-sian putar kudanya dan berseru.

   "Ging-kang bocah itu hebat sekali, hati-hati, jangan lepaskan dia!"

   Tomulun ajukan kudanya dan dengan mainkan tombak ia membentak.

   "Jika tak menyerahkan orang, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata. Aku bukan bermaksud hendak mencelakai kau, tetapi perempuan siluman itu harus kutangkap!"

   Khik-sia tetap tak mau berhenti, bahkan ia putar pedangnya dengan seru.

   Tring, tring, tring, tanah penuh dengan kutungan golok, tombak dan pedang tetapi tiada satupun dari anak buah Tomulun yang terluka.

   Khik-sia hanya memapas senjata tak mau melukai orang.

   Tomulun mengejar, teriaknya.

   "Apakah kau betul-betul sayang pada perempuan siluman itu?"

   "Budak itu sudah lupa daratan. Rela mati asal mendapat paras cantik. Yang penting, tangkap saja perempuan siluman itu. Tak usah banyak bicara dengan budak itu,"

   Seru Thian-sian. Rupanya Thian-sian tahu kalau Tomulun itu segan bertempur dengan Khiks-ia. Maka iapun lantas mendesaknya. Ia paling benci Tiau-ing. Sudah tentu tak mau lepaskan kesempatan yang baik itu. Tomulun kertek gigi dan membentak.

   "Lihat tombak!" - Ia kaburkan kudanya dan menombak Khik-sia. Tombak yang panjangnya setombak lebih itu, menimbulkan angin keras. Khik-sia putar diri untuk menghadapi Tomulun supaya Tiau-ing lebih aman. Begitu ujung tombak hampir tiba di dadanya, ia lantas tempelkan pedangnya pelahan-lahan. Tombak Tomulun menurun ke bawah. Tomulun kerahkan tenaganya untuk mengangkat tekanan pedang Khik-sia. Inilah yang ditunggu Khik-sia. Ia biarkan pedangnya dijungkirkan ke atas, lalu dengan meminjam tenaga congkelan itu, ia enjot tubuhnya melambung ke udara dan melayang sampai beberapa tombak jauhnya. Sambil dengan sebelah tangan menddekap tubuh Tiau-ing supaya jangan sampai jatuh, Khik-sia berjumpalitan dengan jurus Kek-cu-hoan-sim (burung merpati membalik tubuh). Dalam posisi kaki di atas kepala di bawah, ia menukik turun seperti burung garuda meyambar. Jatuhnya tept ke arah seorang tentara berkuda. Ia congkel tentara itu sampai terguling ke tanah, kemudian ia hinggap di atas punggung kuda dan mengepraknya lari. Baik anak buah Tomulun maupun pasukan wanita Kay Thian-sian sama melongo. Belum pernah mereka menyaksikan kepandaian yang begitu luar biasa. Setelah Khik-sia mencapai setengah li, barulah kawanan tentara itu gelagapan. Mereka berteriak-teriak sembari lepaskan anak panah. Tetapi mana dapat mengenai? Memang ada beberapa batang panah yang hendak menyusup ke punggung Khik-sia tapi semua kena ditangkis jatuh oleh si anak muda. Tomulun menghela napas.

   "Ah, perempuan siluman itu benar-benar lihay. Meskipun sudah menjadi isteri Bo Se-kiat, ia masih dapat membuat seorang anak muda gagah menjual jiwa untuknya. Terang tadi anak muda itu tak mau melukai anak buah kita. Baiklah, biarkan dia pergi tak usah dikejar."

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memang karena ditusuk pantatnya, kuda Khik-sia lari pesat. Tapi setelah lari beberapa saat, kuda itupun letih, mulutnya berbuih. Maklum bukan kuda sakti semacam kuda pemberian Cin Siang.

   "Tiau-ing, apa kau sudah agak baik? Akan kurampaskan seekor kuda untukmu,"

   Kata Khik-sia.

   Tiau-ing paksakan membuka mata dan dengan terengah-engah ia minta Khik-sia memeluknya kencang-kencang karena ia tak kuat duduk.

   Sebenarnya Khik-sia mengharap, setelah darahnya berhenti keluar, semangat Tiau-ing lebih kuat dan dapat naik kuda sendiri.

   Tetapi karena nona itu bertingkah sedemikian rupa, Khik-sia pun mengira lukanya tentu makin berat.

   Terpaksa ia dudukkan nona itu di muka.

   Dengan sebelah tangan memegang kendali dan sebelah tangan memeluk pinggang Tiau-ing, Khik-sia larikan kudanya.

   Meskipun hati Khik-sia bersih tak mempunyai pikiran apa-apa namun karena duduk merapat di belakang seorang wanita cantik yang harum baunya, mau takmau berdebar juga hatinya, mukanya merah padam.

   Tapi ada lain macam bau yang membuat Khik-sia muak.

   Ialah walaupun darah pada luka Tiau-ing itu sudah tak keluar lagi, tapi dari luka-luka itu masih tetap mengalir air darah.

   Bau wangi tercampur bau amis, menjadi semacam bebauan aneh yang amat menusuk hidung.

   Khik-sia muak tapi kasihan juga.

   "Ah, hari ini ia cukup menderita. Menolong orang harus sampai selesai. Aku sudah berjanji menolongnya. Sebelum bertemu Se-kiat aku harus menjaganya hati-hati."

   Diam-diam Khik-sia mendamprat dirinya sendiri yang mempunyai rasa muak.

   Meskipun dengan naik kuda secara boncengan itu tak sedap dipandang umum, namun daripada menyuruh nona itu naik kuda sendiri dengan resiko mungkin akan jatuh, lebih baik ia memakai cara boncengan saja.

   "Jalanlah di sebelah kiri jalanan ini, ai, mengapa kuda ini seperti tak bisa lari?"

   Kata Tiau-ing dengan suara masih tersengal-sengal.

   Jalan di bagian tengah akan menjurus ke kota Lu-liong, yakni lini (garis) yang akan ditempuh Sip Hong dalam penyerangannya nanti.

   Jalanan bagian kiri, menuju ke kota Leng-bu.

   Merupakan lini yang akan dibuat jalan oleh Li Kong-pik dengan tentaranya nanti.

   Itulah maka Tiau-ing dapat menentukan bahwa Se-kiat tentu mengambil jalan yang membelok ke kiri itu.

   Khik-sia buru-buru hendak mengejar jalan, tapi kudanya sudah letih apalagi dinaiki dua orang.

   Makin lama makin lambat jalannya.

   Selama dalam perjalanan itu, Khik-sia berpapasan dengan bermacam anak pasukan.

   Mereka adalah tentara-tentara yang kalah perang.

   Ada yang termasuk anak buah Su Tiau-gi.

   Ada juga anak buah Se-kiat yang kececer di belakang dengan rombongannya.

   Di samping itu terdapat juga laskar rakyat suku Ki yang berbondong-bondong menuju ke kota Tho-ko-poh karena didengarnya terjadi pertempuran.

   Khik-sia tak menghiraukan orang-orang itu.

   Ia merampas kuda tentara pelarian itu untuk berganti tunggangan.

   Selama itu ia harus beberapa kali berganti kuda.

   Tak kurang dari belasan ekor kuda yang ia rampas.

   Ketika mencapai 70-an li lebih, haripun sudah lohor (lewat tengah hari).

   Khik-sia gelisah.

   Ia teringat akan pertempuran Shin Ci-koh dengan Leng Ciu siangjin malam nanti.

   Ia sudah berjanji pada Shin Ci-koh, akan balik.

   "Kalau sampai tak berhasil mengejar Se-kiat, bagaimana ini? Aku tak dapat menelantarkan Tiau-ing begini saja, tetapi aku tentu ingkar janji terhadap Shin lo-cianpwe. Yak-bwe dan cici In tentu gelisah memikirkan diriku,"

   Pikirnya.

   Teringat pada Yak-bwe, bercekatlah hati Khik-sia.

   Kalau Yak-bwe tahu perbuatannya saat itu, tentu akan marah-marah.

   Paling tidak sepuluh hari atau setengah bulan tentu tak mau biara padanya (Khik-sia).

   Tapi ia tak berani membohongi tunangannya itu.

   Nantipun ia akan menceritakan terus terang.

   Tengah pikiran Khik-sia gelisah, tiba-tiba di sebelah muka tampak segulung debu mengepul.

   Jauh di padang rumput sana tampak suatu pasukan besar sedang bergerak.

   Khik-sia girang dan cepat keprak kudanya.

   "Apakah di sebelah muka terdapat Bo Se-kiat?"

   Teriaknya.

   Ia gunakan lwekang suara Coan-imjip- bi.

   Di tempat lapangan, suaranya dapat disampaikan 5-6 li jauhnya.

   Ia tak mau memanggil 'Bo toako' lagi.

   Pun tak suka menyebut 'Bo bengcu'.

   Langsung saja ia memanggil nama Bo Se-kiat.

   Ia harap Se-kiat akan lekas-lekas keluar.

   Setelah menyerahkan surat dan meminta balasan, terus ia kembali ke biara rusak.

   Kalau ia dapat berjumpa dengan Se-kiat sendiri, itu lebih cepat selesainya.

   Tak usah melalui liku-liku peraturan ketentaraan di mana orang harus mendaftarkan diri dulu bila hendak bertemu pada seorang pembesar.

   Ia larikan kudanya terus.

   Kira-kira satu li jauhnya dari pasukan besar itu, barulah ia melihat Bo Se-kiat diiring beberapa pengawal, berkuda menyongsong datang.

   Buru-buru Khik-sia turunkan Tiau-ing.

   Berbareng itu Se-kiatpun sudah tiba dan loncat turun dari kudanya.

   Demi melihat pakaian Tiau-ing compang-camping dan tubuh berlumuran darah, wajah Se-kiat mengerut gelap.

   Khik-sia tercengang.

   Pikirnya.

   "Se-kiat tampak kurang senang, ai, apakah, apakah .... kurang ajar, apakah dia curiga padaku?"

   Belum lagi ia sempat membuka mulut memberi keterangan, Tiau-ing sudah melengking dan lari kepada Se-kiat.

   "Ing-moay, ini, ini, bagaimana?"

   Tanya Se-kiat dengan getar. Tiau-ing menelengkupi dada Se-kiat dan menangis tersedu-sedu.

   "Dia, dia, dia menghina aku!"

   Karena berkata dengan isak tangis, suara Tiau-ing pun takjelas. Namun Khik-sia dapat mendengarnya dengan terang, seterang melihat burung merpati putih terbang di siang hari. Kejutnya bukan kepalang sehingga ternganga mulutnya.

   "Nona Su, aku, kau kata apa?"

   Tergopoh-gopoh ia menegur.

   Mata Tiau-ing membalik seperti orang hendak menumpahkan kemarahan, dan sesaat pingsanlah ia dalam pelukan Se-kiat.

   Ternyata nona itu marah sekali atas sikap yang begitu dingin dari Khiksia.

   Ia tak dapat melihat seorang pemuda yang pernah 'diincar' bersikap begitu dingin kepadanya.

   Ia anggap itu suatu penghinaan.

   Tadi sewaktu di hutan ditolong Khik-sia, timbullah seketika bekasbekas cinta lama yang mengeram dalam hatinya kepada anak muda itu.

   Ia hendak 'menghangatkan' api asmara itu, tetapi disemprot Khik-sia.

   Khik-sia menganggap ia harus berlaku tegas dan jujur terhadap seorang wanita yang sudah bersuami.

   Siapa tahu hal itu telah menyinggung perasaan Tiau-ing.

   Akibatnya, budi dibalas dengan badi.

   Budi pertolongan Khik-sia, bukan saja tak diterimakasihi bahkan dibalasnya dengn kebencian yang menyala-nyala.

   Ia memutar balik urusan dan mengadu pada suaminya.

   Pingsannya Tiau-ing itu memang bukan pura-pura.

   Selama dalam perjalanan naik kuda dengan mengandung luka-luka itu, memang napasnya sudah terhimpit.

   Ditambah pula dengan kemarahan dan kebenciannya terhadap sikap Khik-sia.

   Dan sakit hati itu dirasakan lebih hebat dari sakit luka di tubuhnya.

   Maka setelah mengucapkan beberapa patah kata kepada Se-kiat, iapun tak kuat lagi.

   Wajah Se-kiat makin gelap.

   Tiau-ing diserahkan pada salah seorang tentara wanita dan ia lantas mencabut pedang.

   Bentaknya.

   "Khik-sia, kau bangsat kecil yang kelewat menghina aku!" - Sang kaki mengisar maju, pedang cepat menusuk Khik-sia. Cengang Khik-sia masih belum tenang. Begitu pedang melayang tiba, baru ai gelagapan dan menghindar. Bret, leher bajunya tertusuk bolong namun ia dapat menghindar juga. Khik-sia tak nyana sama sekali bahwa pertolongannya bakal mendapat balasan yang sedemikian keji. Sesaat tak tahulah ia bagaimana harus bertindak. Sebaliknya Se-kiat, sekali turun tangan terus menyerang berturut-turut. Setiap serangannya selalu menggunakan jurus berbahaya. Bahwa orang yang belajar silat, pokoh utama ialah untuk membela diri. Maka karena didesak begitu rupa, mau tak mau Khik-sia curahkan perhatian untuk menghindar. Konsentrasi pikirannyapun mulai pulih. Tahu ia apa yang dihadapinya itu. Setelah menghindar, berserulah ia.

   "Bo Se-kiat, dengarlah. Isterimu itu terluka. Aku bertemu di tengah jalan. Dengan baik-baik kuantarkan kemari!"

   Se-kiat kertek gigi dan mendampratnya.

   "Untung ia belum mati dan masih dapat bicara membuka kebohonganmu!"

   Cret, kembali ia sambarkan pedangnya dengan ganas.

   Sekali tabas hendak mengambil jiwa orang.

   Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar melilit kaki, demikian Khik-sia bergerak seraya mencabut pedang.

   Saat itu pedang Se-kiat sudah hampir mencium punggungnya.

   Dengan sebat Khik-sia menyabat ke belakang dan tepat sekali dapat menangkisnya.

   Terlambat sedikit saja, walaupun gin-kangnya lihay, tapi tentu akan kena juga.

   Marahlah Khik-sia.

   "Kau hanya mendengar omongan isterimu saja tapi tak mempedulikan keteranganku!"

   Se-kiat tertawa mengejek.

   "Siapa percaya obrolanmu? Apakah isteriku sudi merayumu?"

   Dalam tukar bicara itu, Khik-sia sudah menghindari tiga buah serangan. Serunya.

   "Bo Se-kiat, kau betul-betul gelap pikiran. Jika aku menggoda isterimu, masakan aku berani mencari kau kemari? Karena ia terluka, siapa yang menolong kalau bukan aku?"

   Se-kiat terkesiap namun pedangnya tetap menyerang, bentaknya.

   "Bangsat, jangan ngoceh tak keruan. Jika tak kubasmi nyawamu tentu tak dapat mencuci bersih hinaanmu!"

   Se-kiat seorang yang cerdas.

   Mana ia tak dapat menimbang penjelasan Khik-sia tadi? Tapi justeru makin menimbang, makin besar rasa terhina dan cemburunya! Ia anggap keterangan Khiksia yang mengatakan bahwa Tiau-ing lah yang merayu, menandakan bahwa isterinya itu masih belum dapat melupakan Khik-sia.

   Dan karena maksudnya tak tercapai maka Tiau-ing telah berbalik mendakwa Khik-sia.

   Se-kiat tahu juga hal itu.

   Namun karena ia tak dapat meninggalkan Tiau-ing, untuk menjaga kehormatanya, ia harus melenyapkan Khik-sia.

   Karena Se-kiat tetap menutup telinga dan menyerang ganas, akhirnya marah juga Khik-sia.

   Serunya.

   "Thiat toako akan menyerahkan surat padamu. Lihat dulu surat itu, baru kita bicara lagi! Jika kau tak mau insyaf dan tetap akan bersama dengan perempuan siluman itu, terserah padamu kalau mau berkelahi. Akupun sedia melayani!"

   Khik-sia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, untuk buang tubuhnya sampai tiga tombak ke belakang.

   Ia keluarkan surat dan dorongkan tangan kiri dalam pukulan biat-gong-ciang, surat itu melayang kepada Se-kiat.

   Tetapi tanpa melihatnya, Se-kiat bolang-balingkan pedangnya dalam jurus Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru) dan surat itupun hancur berkeping-keping bertebaran dibawa angin.

   "Heh, apa kata Thiat-mo-lek kalau bukan mengulangi lagu lama yang menjemukan itu. Aku tak memerlukannya. Toan Khik-sia, mengingat sekelumit persahabatan kita yang lalu, silahkan kau bunuh diri sendiri. Agar aku tak perlu mencincang tubuhmu!"

   Se-kiat tertawa dingin. Saking marahnya mulut Khik-sia sampai berbuih, bentaknya.

   "Se-kiat, kau tahu malu atau tidak? Yang harus bunuh diri adalah kau sendiri!"

   "Apa kau masih akan bertanding lawan aku? Baik, terimalah kematianmu!"

   Khik-sia tak dapat mengendalikan diri lagi dan menusuk.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi sekali tangkis, Se-kiat dapat membuat Khik-sia terhuyung-huyung.

   Hampir saja ia termakan tusukan Se-kiat.

   Khik-sia terkejut.

   Cepat ia tenangkan diri.

   Tapi secepat itu, Se-kiatpun sudah menusuk dada Khik-sia.

   Tring, Khik-sia gunakan jurus Heng-hun-toan-hong untuk menangkis dan pedang Se-kiat pun gempil sedikit.

   Keduanya sama-sama tergetar tubuhnya.

   Se-kiat terkejut, pikirnya.

   "Kepandaiannya maju pesat sekali." - Dahulu ketika diadakan pertandingan memilih lok-lim-beng-cu di gunung Kim-ke-nia, kedua anak muda itu pernah bertempur. Memang kala itu Khik-sia lebih kalah setingkat. Tetapi dia sedang dalam masa pertumbuhan, maka tenaganyapun lebih cepat bertambah kuat dari Se-kiat. Dalam pertempuran kali ini, tenaga mereka pun sudah berimbang. Bahkan Khik-sia menang set karena memakai pedang pusaka. Tengah pertempuran berlangsung seru, kawanan thau-bak bawahan Se-kiat yang berjumlah belasana orang dan kawanan baju kuning pun tiba. Para thau-bak itu sudah kenal pada Khik-sia. Mereka kaget dan heran melihat Se-kiat bertempur lawan Khik-sia. Seorang thau-bak yang sudah agak tua, maju memberi nasihat.

   "Harap bengcu jangan umbar kemarahan. Kita harus bertindak menurut pertimbangan. Walaupun kita berbeda tujuan dengan Thiat cecu dari Kim-ke-nia, tetapi kita sama-sama satu sumber."

   Dan ada juga yang menasihati Khik-sia.

   "Toan hengte, harap kau minta maaf pada bengcu. Entah kesalahan apa yang kau lakukan terhadap bengcu. Tetapi saling bunuh itu kurang baik. Setelah kau minta maaf, kamipun dapat membantu menyelesaikan urusan."

   Rupanya mereka tadi telah melihat Tiau-ing dipayang dua orang tentara wanita.

   Sedikit banyak mereka dapat menerka apa yang terjadi.

   Di dunia persilatan, mempermainkan isteri orang merupakan pantangan yang paling besar.

   Apalagi isteri dari Lok-lim-beng-cu.

   Tetapi orang-orang itu cukup mengenal Khik-sia sebagai pemuda yang lurus.

   Walaupun menilik keadaan Tiau-ing tadi, Khik-sia patut dicurigai, tetapi mereka tetap masih sangsi.

   Sebagian yang tahu akan mentalitet Tiau-ing, tak menyangsikan lagi kejujuran Khik-sia.

   Dengan pertimbangan bahwa Khik-sia itu seorang pemuda gagah yang lurus hati dan menjadi sute dari seorang tokoh loklim (Thiat-mo-lek) yang sangat diindahi, mereka segera berusaha untuk melerai.

   Tetapi mana Khik-sia mau disuruh minta maaf? Ujarnya.

   "Se-kiat yang salah! Perempuan siluman itu menyembur fitnah, dan dia tak mau menerima keteranganku terus mau membunuh aku saja. Jika disuruh minta maaf, seharusnya Se-kiat yang melakukan lebih dulu."

   Khik-sia masih muda umurnya. Sekali marah, ia tak ingat tempat lagi. Tiau-ing dicacinya sebagai 'perempuan siluman'. Suatu hinaan yang hanya sesuai untuk seorang wanita yang cabul. Sudah tentu Se-kiat marah sekali.

   "Ini adalah urusanku dengan bangsat itu. Tak usah kamu turut campur. Barisan pengawal dari Hu-song-to tetap tinggal di sini, yang lain boleh pulang. Beritahukan pada sekalian saudara, tak boleh keluar kemah tanpa ijin,"

   Se-kiat mengenyahkan kawanan thau-bak itu.

   Diam-diam ia sudah merencanakan, pada suatu kesempatan ia tentu harus melenyapkan beberapa thau-bak yang pro Khik-sia itu.

   Kawanan thau-bak itu saling berpandangan satu sama lain.

   Mereka tak sadar kalau menyalahi perasaan Se-kiat dan menimbulkan kebencian bengcu itu.

   Dan karena melihat Khik-sia tetap membangkang, mereka anggap percuma saja melerai.

   Maka merekapun segera tinggalkan tempat itu.

   Kini yang tinggal hanya delapan orang baju kuning (pengawal Se-kiat dari Hu-song-to).

   Mereka memencar diri di delapan penjuru tetapi tak mau menyerang Khik-sia.

   Sekonyong-konyong permainan pedang Se-kiat berubah.

   Ia berganti dengan ilmu pedang Loanbi- hong-kiam-hwat (ilmu pedang angin lesus).

   Ujung pedang selalu mengarah jalan darah berbahaya dari tiga bagian tubuh Khik-sia.

   Kiranya Se-kiat mencemaskan gin-kang Khik-sia yang tinggi, maka yang terutama ia hendak melukai kaki anak muda itu supaya jangan sampai bisa melarikan diri.

   Khik-sia unggul dalam senjatanya.

   Se-kiat lebih menang sedikit dalam tenaga kepandaian.

   Jika ko-chiu bertempur, baik tidaknya senjata yang mereka gunakan itu memegang peranan besar.

   Yang bersenjata pedang pusaka, sudah tentu lebih enak.

   Tetapi sekali-sekali bukan yang menentukan kemenangan.

   Ilmu pedang yang dimainkan Se-kiat itu, adalah ilmu pusaka dari Hu-song-to yang tak pernah diajarkan pada orang luar.

   Sekali dikeluarkan, Se-kiat segera menang angin.

   Khik-sia mengandalkan ilmu gin-kangnya untuk berlincahan mengikuti srangan lawan.

   Dalam beberapa kejap, ia sudah menghindari tiga puluh enam jurus serangan Se-kait.

   Seklaipun Se-kiat tak mampu menusuknya, namun Khik-sia pun tak mampu keluar dari lingkaran pedang lawan.

   Melihat Se-kiat tumpahkan permainannya agar Khik-sia jangan sampai lolos, diam-diam marahlah Khik-sia.

   Ia mengambil putusan untuk mengadu jiwa.

   Namun keduanya sama-sama mempunyai keistimewaan sendiri.

   Tanpa terasa, mereka telah bertempur sampai 100-an jurus dengan tetap belum ada yang kalah atau menang.

   Khik-sia mendongak dan dapatkan matahari sudah condong ke barat.

   Ia terkejut, pikirnya.

   "Menilik naga-naganya, pertempuran ini tentu akan berlangsung sampai seribu jurus. Dengan begitu bukankah akan menelantarkan janji pada Shin lo-cianpwe?"

   Pikirnya lebih lanjut.

   "Se-kiat rupanya hendak mengurung aku, tapi aku justeru hendak pergi dari sini dulu baru nanti kupertimbangkan lagi. Apalagi di sini daerah kekuasaannya. Sekalipun mungkin ia sungkan suruh anak buahnya membantu, tetapi kalau pertempuran berjalan kelewat lama, akulah yang menderita kerugian. Kalau hari ini aku sukar mendapat kemenangn, perlu apa aku melibatkan diri dalam pertempuran."

   Tetapi Khik-sia sudah terkurung dalam lingkaran pedang.

   Mau lolospun tak mudah.

   Khik-sia tenangkan dirinya.

   Terhadap ilmu pedang Se-kiat, sedikit banyak ia sudah dapat mengetahui.

   Sekonyong-konyong ia rubah permainannya.

   Pedang diputar melingkar seperti orang main golok.

   Dengan jurus Lui-tian-kiau-hong ia bacok kepala Se-kiat kemudian membabat dua kali.

   Sekali gerak dua serangan.

   Dahsyatnya bukan kepalang.

   Se-kiat terkejut dan terdesak mundur sampai dua langkah.

   Ternyata permainan yang digunakan Khik-sia itu, bukan asli ilmu pelajaran dari perguruannya, melainkan ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek yang dinamakan Hok-mo-kiam (ilmu pedang iblis mengeram).

   Pada waktu Thiat-mo-lek bertempur dengan Se-kiat dalam perebutan lok-lim-beng-cu tempo hari, Thiat-mo-lek sengaja mengalah.

   Padahal ilmu pedang ciptaannya itu adalah justeru penunduk dari ilmu pedang Se-kiat.

   Sebenarnya ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu bukan lebih lihay dari ilmu pedang perguruan Khik-sia.

   Melainkan karena ilmu pedang Thiat-mo-lek itu mengambil kelihayan (keistimewaan) dari permainan golok dan pedang.

   Tetapi pun ada syaratnya ialah harus dimainkan oleh orang yang memiliki lwekang tinggi.

   Jika lwekangnya kalah dengan lawan, tentu sukar untuk mengalahkan lawan.

   Dalam pertempuran yang berlangsung lama itu, tiba-tiba Khik-sia teringat akan ilmu pedang yang dimainkan Thiat-mo-lek tempo dulu.

   Sekalipun ia tahu kalau tenaganya masih kalah dengan Se-kiat, namun ia dapat menutup kekurangan itu dengan pedang pusakanya.

   Akhirnya ia ambil putusan untuk mencobanya juga.

   Pedang pusakan memang bukan faktor yang menentukan kemenangan.

   Tetapipun membahayakan juga.

   Se-kiat segera mengenali permainan Khik-sia itu adalah ilmu pedang yang pernah dimainkan Thiat-mo-lek dahulu.

   Kuatir pedangnya akan terpapas kutung oleh pokiam Khiksia pula karena teringat bahwa tempo dulu pernah dikalahkan Thiat-mo-lek dengan ilmu permainan itu, tergetarlah hati Se-kiat.

   Dan karena hatinya jeri, iapun kena didesak mundur sampai dua langkah.

   Sebenarnya Khik-sia bisa ilmu itu hanya karena melihat saja, Thiat-mo-lek tidak mengajarkan padanya.

   Karena itu permainannyapun kurang sempurna.

   Jika saja Se-kiat tidak kuncup nyalinya, belum tentu Khik-sia dapat menang.

   Setelah berhasil mengundurkan Se-kiat, Khik-sia segera enjot tubuhnya lolos dari lingkaran pedang Se-kait.

   Tetapi sebelum kakinya menginjak bumi, dua orang baju kuning sudah menghadangnya.

   "Bangsat kecil, hendak lari kemana kau?" - Secepat kilat pedang merekapun sudah lantas menusuk. Tetapi Khik-sia tangkas sekali. Mendengar sambaran pedang, tumitnya menginjak tanah dan dengan jurus heng-hun-toan-ma atau awan melintang memotong puncak, ia balikkan tangan menghantam. Tapi ia tak bermaksud melukai orang maka yang dipapas hanya pedang mereka saja. Setelah dapat memapas kutung, Khik-sia terus hendak menerobos keluar. Kedua orang baju kuning itupun tidak lemah. Berbareng pada saat itu, ujung pedang dari salah seorang membentur pedang Khik-sia, sementara baju kuning satunya menyerang maju dalam jurus Hi-si-hun-kim. Ujung pedang menusuk lutut Khik-sia. Jurus ini adalah serangan untuk menolong diri dari bahaya. Khik-sia menyambut mereka dengan tak kurang istimewanya. Untuk pedang yang coba menekan pedangnya, ia babat kutung lagi. Sedang untuk si penyerang yang menusuk lututnya, ia tendang lututnya. Kedua orang baju kuning itu terpaksa mundur dua langkah. Tapi pada saat itu Se-kiatpun sudah selesai tiba.

   "Se-kiat, hari ini aku benar-benar menyaksikan kegaranganmu sebagai lok-lim-beng-cu. Masih ada berapa lagi orangmu? Mengapa tak suruh mereka maju semua?"

   Khik-sia tertawa mengejek. Se-kiat balas mengejek tertawa.

   "Bukankah kau mengatakan hendak bertempur mati-matian padaku? Mengapa belum ketahuan kalah menangnya, kau sudah mau lari terbirit-birit? Mereka hanya kutugaskan menahan tetamu saja, sekali-kali takkan mengeroyokmu. Mari, mari, kita bertempur sampai tiga ratus jurus lagi. Asal kau tak lari, mereka pun takkan turun tangan."

   Kedua baju kunging itupun tak bergerak lagi. Mereka berdiri bahu membahu dengan saling silangkan pedangnya. Memberi hormat kepada Khik-sia, berkatalah mereka.

   "Harap Toan siauhiap suka tinggal!"

   Marah Khik-sia tak terkira. Ia ingin menggasak Se-kiat. Tetapi demi teringat akan janjinya kepada Shin Ci-koh dan Yak-bwe, In-nio yang menunggu kedatangannya, amarahnyapun reda.

   "Ya, ya. Thiat toako berulang kali memperingatkan aku, tidak boleh marah kalau berhadapan dengan musuh. Huh, jangan samapi aku termakan tipu Se-kiat!"

   Pikirnya. Selagi Se-kiat belum dekat, secepat kilat Khik-sia berputar tubuh dan lari ke jurusan lain, serunya.

   "Jika mau bertanding sampai ada yang kalah, mari ikut aku ke gunung sana!"

   "Apakah di sini tidak sama saja, perlu apa ke lain tempat?"

   Se-kiat menertawakan. Dan berbareng itu kedengaran dua orang baju kuning sudah menyerang Khik-sia.

   "Harap tinggal di sini saja!"

   Kedelapan Ui-ih-jin (baju kuning) itu menduduki delapan jurusan. Setiap akali Khik-sia hendak menerobos di sela-sela mereka, dengan spontan mereka tentu akan menutup. Khik-sia tak berdaya menerobos keluar walaupun gin-kangnya tinggi.

   "Hm, kukuatir kalian tak mampu menahan aku!"

   Khik-sia mengejek serta menabas.

   Kedua orang baju kuning acungkan pedangnya.

   Begitu pedang saling melekat, Khik-sia menggembor keras dan maju dua langkah.

   Namun kedua orang itu meskipun mundur, pedangnya tetap bertahan mati-matian.

   Kiranya Khik-sia telah adu lwekang dengan kedua Ui-ih-jin itu.

   Jika lwekang Khik-sia tak mampu menindih lawan, sekalipun mempunyai pokiam juga tak berguna karena tak dapat mengutungkan pedang orang.

   Kedelapan orang baju kuning itu adalah pengawal dari pemimpin pulau Hu-song-to.

   Mereka sudah mendapat gemblengan ilmu lwekang dari Bo Jong-long.

   Meskipun tidak selihay lwekang Bo Se-kiat dan Khik-sia, namun karena dua orang maju berbareng, maka untuk beberapa saat Khiksiapun sukar mengalahkan.

   Khik-sia kerahkan lwekang Hian-kang untuk mematahkan pedang kedua lawannya.

   Tiba-tiba kedua orang itu tertawa mengejek.

   'Toan siauhiap lihay sekali! Tetapi dengan menggunakan ilmu lwekang Hu-song-to untuk membunuh kami, entah bagaimana bila kelak siauhiap bertemu muka dengan To-cu kami?"

   Memang Khik-sia pernah mendapat bimbingan dari ketua Hu-song-to (Bo Jong-long) tentang ilmu lwekang mereka.

   Ia tahu juga tentang inti rahasia ilmu itu.

   Karena terburu-buru hendak meloloskan diri, Khik-siapun lantas gunakan Siau-bu-siang-sin-kang, sebuah tenaga lwekang yang paling mudah untuk memecahkan lwekang lawan.

   Dan Sian-bu-siang-sin-kang itu justeru merupakan lwekang yang paling istimewa dari kaum Hu-song-to.

   Khik-sia terkejut sendiri dan kemerah-merahan mukanya.

   Lwekang Siau-bu-siang-sin-kang itu ternyata merajai sekali.

   Kalau menggunakan tenaga penuh, bukan melainkan pedang lawan saja yang akan putus, pun orangnya juga akan menderita luka dalam yang parah.

   Khik-sia hanya membenci Se-kiat seorang.

   Sekalipun begitu ia masih tak sampai hati untuk membunuhnya.

   Adalah karena Se-kiat mendesaknya begitu rupa, terpaksa Khik-sia mengadu jiwa juga.

   Kawanan baju kuning itu hanya urusan dari Hu-song-to, mereka hanya mendengar perintah Se-kiat saja.

   Sudah tentu Khik-sia lebih-lebih takmau melukai mereka.

   Buru-buru Khik-sia menarik kembali pedangnya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena lwekang sudah mencapai tingkat sedemikian rupa, dapat disalurkan-ditarik menurut sekehendak hati.

   Tidak demikian dengan kedua baju kuning itu.

   Mereka tak mampu menguasai gerak lwekangnya seperti Khik-sia.

   Karena lwekang mereka masih tetap menyalur, Khik-sia menderita kerugian.

   Ia terhuyung-huyung beberapa tindak dan hampirhampir rubuh.

   Sret, Se-kiat datangn dengan menusuk.

   'Oho, tak nanti kau mampu lolos.

   Lebih baik bertempur lagi.

   Apa yang kau bisa, keluarkanlah semua.

   Sekalipun kau gunakan ilmu dari pamanku (Bo Jong-long), akupun takkan mengejekmu."

   "Ilmu dari perguruanku tak nanti lebih rendah dari kaummu!"

   Khik-sia berseru marah.

   Sekali putar pedang, ia menyerang sembilan jalan darah di tubuh Se-kiat.

   Se-kiat lintangkan pedang untuk melindungi diri.

   Ia bersikap bertahan tak mau menyerang.

   Pedang keduanya dalam beberapa kejap saja sudah saling berbentur sembilan kali.

   Tapi karena cepatnya gerakan mereka, benturan itupun hanya ringan saja dan karenanya pedang Se-kiatpun tak sampai putus.

   "Ilmu menusuk jalan darah dari Wan-kong-kiam-hwat benar-benar lihay! Sayang kau berhadapan dengan aku, tak mudah mencapai maksudmu!"

   Kembali Se-kiat tertawa mengejek.

   Khik-sia terubur-buru dan marah.

   Pula tadi ia sudah menderita sedikit ketika adu lwekang dengan kedua baju kuning.

   Sebenarnya memang lwekang Khik-sia lebih rendah sedikit dari Sekiat.

   Ia menyerang dengan kalap dan ini lebih menghamburkan tenaga lwekangnya.

   Tiba-tiba Se-kiat membentak.

   "Kau tak dapat melukai aku, maaf, aku yang akan melukai kau!"

   Cret, pedang Se-kiat menyambar dengan dahsyat.

   Khik-sia yang sudah kehabisan tenaga, tak kuat menangkis.

   Ia cepat menghindar tapi tak urung ujung bajunya tertusuk berlubang, lengannya tergurat luka sepanjang tiga dim.

   Se-kiat hendak melanjutkan keganasannya tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang memaki dengan melengking.

   "Kurang ajar! Bo Se-kiat, kau berani mengganggu sute-ku!"

   Se-kiat terperanjat.

   Tampak segulung asap putih meluncur cepat sekali.

   Walaupun belum melihat jelas orangnya, tapi manusia yang dapat berlari secepat angin pada jaman itu, siapa lagi kalau bukan Gong-gong-ji.

   Karena bar pertama kali itu datang di Tiong-goan, kedelapan pengawal baju kuning dari pulau Hu-song-to, tak kenal akan kelihayan Gong-gong-ji.

   Gong-gong-ji menerobos dari jurusan baratlaut, ialah justeru jurusan yang hendak diterobos Khik-sia tadi.

   Penjaganya juga kedua baju kuning yang adu lwekang dengan Khik-sia itu.

   Begitu ada angin menyambar, merekapun cepat menutup jalan.

   Jurus yang digunakanpun serupa seperti yang mereka lakukan terhadap Khik-sia.

   Gong-gong-ji bersuit dan tring, tring, pedang kedua baju kuning itupun kutung menjadi dua.

   Itu bukan karena lwekang Gong-gong-ji jauh lebih tinggi dari Khik-sia.

   Tapi soalnya, Gong-gong-ji bergerak lebih cepat.

   Sebelum pedang kedua baju kuning itu merapat dan lwekangnyapun belum menyalur, sudah didahului oleh Gong-gong-ji.

   "Jelas tidak? Ini sekali-kali bukan ilmu kepandaian dari Hu-song-to!"

   Gong-gong-ji menertawakan.

   Tetapi kedua jagoan Hu-song-to itu sudah lari terbirit-birit.

   Tiba-tiba mereka rasakan kepalanya silir sekali.

   Dikiranya kalau Gong-gong-ji mengejar.

   Mereka berpaling dan legalah hati mereka karena Gong-gong-ji ternyata tidak mengejar.

   Saat itu baru mereka berani meraba kepala ....

   astaga, kepala mereka sudah gundul kelimis! Mereka terkejut dan Gong-gong-ji tertawa terbahak-bahak.

   Puas tertawa, Gong-gong-ji melesat ke muka Se-kait dan membentaknya.

   "Kau berani mengejek ilmu pedang kaumku?" - Wut-wut, wut, pedang berhamburan mengarah ke sembilan jalan darah Sekiat. Jurusnya serupa dengan yang dimainkan Khik-sia, tetapi perbawanya jauh lebih hebat, seperti petir menyambar-nyambar. Se-kiat menutup tubuhnya dengan lingkaran pedang. Memang ilmu pedang Hu-song-to mempunyai keistimewaan tersendiri. Pedangnya seolah-olah merupakan segulung sabuk kumala. Sedemikian rapatnya hingga air hujan pun tak dapat menembus. Tring, tring, tring, suara benda tajam berdering-dering dan dalam sekejap itu kedua pedang mereka sudah berbentur sampai sembilan kali. Se-kiat tangannya kesemutan, tapi Gong-gong-ji pun tak mampu menusuk jalan darah lawannya. Kalau Se-kiat sudah menahan napas sedemikian rupa, ternyata serangan Gong-gong-ji itu hanya merupakan serangan kosong yang demonstratif. Dan gerak permainannyapun masih berlangsung. Membarengi kaki Se-kiat agak miring karena serangan bertubi-tubi tadi, Gong-gong-ji tiba-tiba menampar dengan sebelah tangannya.

   "Bo Se-kiat, kau berani menghina sute-ku, terimalah sebuah tamparanku!"

   Khik-sia geli dalam hati.

   "Shin Ci-koh paling suka menampar orang. Sekarang toa-suheng juga ketularan." - Karena Gong-gong-ji sudah turun tangan, iapun lantas menyimpan pedang dan minggir ke samping. Sebenarnya Se-kiat tak pernah tinggalkan kewaspadaan. Tapi dikarenakan gerakan Gong-gongji terlampau cepatnya, iapun tak sempat lagi menghindar. Untung kebetulan saat itu Khik-sia menyisih ke samping. Sekali meleset ia lantas loncat melampaui tempat yang dipakai Khik-sia tadi. Berbareng itu, kedua orang baju kuning tadipun sudah menusuk punggung Gong-gong-ji. Bret, sekalipun Se-kiat dapat menghindar cepat, namun tak urung bajunya kena terjamah tangan Gong-gong-ji sehingga robek dowak-dowak. Bahkan kulitnyapun kena tercakar, sakitnya bukan kepalang. Untungnya Se-kiat tak usah menerima malu dipersen tamparan. Hoa-poh-hwe-sim atau menggelincir balikkan tubuh, adalah gerakan Gong-gong-ji ketika ujung pedang kedua orang baju kuning hnaya kurang setengah dim dari punggungnya. Secepat kilat Gong-gong-ji kiblatkan pedangnya ke belakang, kedua pedang jagoan Hu-song-to itu terpental. Dengan gusar Se-kiat bersuit keras. Kedelapan jagoan Hu-song-to itupun mundur ke tempatnya masing-masing tapi lebih mempersempit lingkarannya. Mereka hendak mengepung Gong-gong-ji rapat-rapat. Gong-gong-ji melirik dan dapatkan baju Khik-sia terlumur sedikit darah. Menandakan kalau Khik-sia terluka. Gong-gong-ji sudah banyak pengalaman bertempur. Meskipun dalam kemarahan, pikirannya masih terang. Pikirnya.

   "Toan sute terluka. Di sini tempat kekuasaan Se-kiat, tak leluasa untuk bertempur. Kedelapan jago baju kuning itupun bukan lemah. Jika mereka sampai sempat menyusun barisan, tentu sukar untuk lolos."

   Memang kedelapan orang berbaju kuning dari Hu-song-to itu sedang bergerak dalam barisan Pat-tin-tho.

   Sebuah barisan dalam formasi delapan pintu yang diciptakan oleh Khong Beng, ahli strategi militer yang termasyhur pada jaman Sam Kok.

   Jika barisan itu sudah selesai disusun, betapa lihay Gong-gong-ji sekalipun, tak urung tentu kedua pihak akan terluka.

   Gong-gong-ji memang tak tahu ilmu barisan.

   Tapi ia kaya pengalaman dan cerdas sekali.

   Segera ia meneriaki Khik-sia.

   "Sute, ikutlah aku!" - Ia melesat memburu Se-kiat. Karena masih belum hilang kejutnya, Se-kiat tak berani menangkis. Buru-buru ia menyusup ke dalam Seng-bun (pintu hidup). Tapi baru ia hendak menggerakkan barisan, Gong-gong-ji sudah menyerbu. Se-kiat berputar masuk ke Gui-bun dan Siang-bun, Si-bun (pintu buka, pintu luka dan pintu mati). Kedua orang baju kuning tadi menyerang dari dua samping, maksudnya supaya Gonggong- ji masuk ke dalam barisan. Tetapi Gong-gong-ji tak mau diakali. Sekali gerakkan pedang ia tabas kutung senjata penjaga Seng-bun, terus menerjang keluar. Khik-sia pun segera mengikuti suhengnya. Suheng dan sute itu gunakan gin-kang istimewa. Hanya dalam waktu senyulut dupa saja, mereka sudah jauh tinggalkan pasukan Se-kiat. Setelah berlari kurang lebih sejam, mataharipun sudah terbenam di ufuk barat. Saat itu barulah Gong-gong-ji hentikan larinya. Ia menanyakan luka Khik-sia. Luka di lengan Khik-sia itu hanya luka luar. Sekalipun banyak mengeluarkan darah tapi tak membahayakan. Setelah melumuri obat, Khik-sia menerangkan kalau lukanya tak berarti.

   "Baik, nanti setelah malam gelap, kita menyelundup ke dalam kemah dan mengambil batang kepala Bo Se-kiat,"

   Kata Gong-gong-ji.

   "Hutan Se-kiat itu besok kita perhitungkan lagi. Sekarang masih ada urusan teramat penting yang memerlukan tenaga suheng,"

   Sahut Khik-sia. Gong-gong-ji kerutkan alis.

   "Urusan apakah yang lebih penting dari mengambil kepala Bo Sekiat?"

   "Shin lo-cianpwe tengah menunggu kedatanganmu."

   "Oh, Shin Ci-koh?"

   Tiba-tiba Gong-gong-ji berseru tawa.

   "Ya, aku telah bertunangan dengan Cikoh. Kau boleh memanggilnya susoh. Terus terang saja, adalah karena aku berjanji akan bertemu dengan ia di Tho-ko-poh maka saat ini aku berada di sini. Kau tentu sudah berjumpa padanya kalau tidak masa tahu ia menunggu aku? Ya, kutahu ia menunggu kedatanganku, tapi toh aku sudah berada di sini, lambat atau cepat tentu akan menemuinya juga. Sekarang biarkan ia menunggu sedikit lama, biar kuambilkan dulu batang kepala Bo Se-kiat supaya hatimu lega."

   Dalam umur 40-an tahun lebih, Gong-gong-ji baru bertunangan.

   Khik-sia adalah orang pertama yang mendengar berita girang itu.

   Pada waktu memberitahukan hal itu, Gong-gong-ji girang tapipun malu dalam hati.

   Ia tak mau dianggap lebih mementingkan isteri dari sute.

   Maka ia berkeras hendak membunuh Se-kiat dulu baru nanti menemui tunangannya.

   Tergopoh-gopoh Khik-sia berkata.

   "Suheng, kau belum menjelaskan semua. Shin .... susoh saat ini sedang berada dalam kesulitan. Ia menunggu kedatanganmu bukan untuk bertemu biasa, tetapi untuk menolongnya!"

   Gong-gong-ji belalakkan matanya dan berseru.

   "Ia mendapatkan kesulitan apa? Siapa yang berani mengganggunya? Apakah ia tak dapat mengatasi sendiri?"

   "Leng Ciu siangjin! Mereka sudah berjanji akan bertempur malam ini di halaman biara rusak yang terletak di gunung itu,"

   Sahut Khik-sia.

   "Oho, kiranya siluman tua itu! Sudah 20-an tahun lokoay itu tak pernah turun dari gunungnya. Mengapa Ci-koh bisa bentrok dengan dia?"

   OooooOOOOOooooo Selama berkecimpung di dunia persilatan, Shin Ci-koh sudah banyak membunuh orang.

   Tentang terlibatnya permusuhan dengan anak murid Leng-ciu-pay, ia tak pernah menceritakan kepada Gong-gong-ji.

   Ini disebabkan karena ia berhati tinggi berwatak sombong.

   Ia akan menghadapi sendiri musuh-musuhnya itu.

   Tak mau ia mengandalkan pengaruh Gong-gong-ji.

   Ini dapat ditertawakan orang.

   "Aku sendiri juga tak jelas. Mungkin karena gara-gara Ceng-bing-cu. In-nio melihat Cengbing- cu memimpin anak buahnya (sute-sutenya) muncul di Tho-ko-poh dan mengepung Shin lo ... susoh,"

   Kata Khik-sia. Gong-gong-ji yang cukup kenal akan pribadi Ceng-bing-cu, marah seketika.

   "Ya, kutahu. Ceng-bing-cu itu mempunyai biji mata tapi tak dapat melihat gunung Thay-san. Ia berani kurang ajar terhadap susohmu!"

   Mendongak ke langit, Khik-sia dapatkan rembulan sudah mulai muncul.

   "Celaka, kukuatir saat ini mereka sudah mulai bertempur!"

   Serunya kaget. Gong-gong-ji segera ajak sutenya segera berangkat. Sembari berjalan, Gong-gong-ji menanyakan kejadian di Tho-ko-poh, tentang Se-kiat yang tinggalkan Tho-ko-poh dan berkelahi dengan Khik-sia.

   "Sute, jangan gelisah. Benar Shin Ci-koh tak dapat menangkan Leng Ciu lokoay, tapi paling tidak ia tentu dapat melayani sampai 300-an jurus!"

   Walaupun berlari sambil beromong-omong, tapi karena gin-kang kedua saudara seperguruan itu sudah tinggi, sedikitpun tak mengurangkan kecepatan lari mereka.

   Waktu mendengar penuturan Khik-sia bahwa Ceng-ceng-ji pernah membantu Ceng-bing-cu, marahlah Gong-gong-ji.

   "Kali ini aku tak mau memberi ampun lagi, tentu kubeset urat nadinya dan kukuliti kulitnya!"

   Dan waktu Khik-sia menceritakan tentang Leng Ciu siangjin memberi pil kepada Shin Ci-koh, Gong-gong-ji menghela napas dan mengeluh.

   "Celaka! Celaka!"

   Khik-sia terkesiap dan menanyakan apa sebabnya. Sahut Gong-gong-ji.

   "Bagaimana keras kepala Ci-koh itu, aku sudah cukup paham. Sekalipun tak menerima pil dari Leng Ciu lokoay, ia pun tentu tak mau menerima bantuanku. Lebih-lebih setelah menerima obat itu. Menurut peraturan kaum persilatan, aku tak berhak untuk membantu lagi."

   "Peduli apa dengan peraturan persilatan begitu!"

   Bantah Khik-sia. Gong-gong-ji berdiam diri. Beberapa saat kemudian baru ia mengatakan.

   "Ya, kita bicarakan lagi kalau sudah tiba di sana."

   Memang menilik kedudukan Gong-gong-ji dalam dunia persilatan, dia tentu tak mau dicemoohkan orang. Khik-sia boleh melanggar peraturan persilatan, tetapi tidak Gong-gong-ji. Tiba di kaki gunung, rembulan sudah banyak hampir di tengah.

   "Apakah pertempuran mereka sudah dimulai?"

   Tanya Gong-gong-ji. Khik-sia mengatakan bahwa menurut apa yang dikatakan Leng Ciu siangjin, dia akan datang pada jam 10 malam. Gong-gong-ji menghela napas longgar.

   "Ah, kalau begitu, pertempuran baru berjalan satu jam. Ci-koh tentu belum sampai kalah."

   Gong-gong-ji sudah mengambil keputusan.

   Apabila tiba saatnya, ia tentu berusaha menolong.

   Ya, meskipun ia tak mau turut mengeroyok, tapi ia percaya tentu dapat menyelamatkan tunangannya.

   Baru mereka bercakap begitu, tiba-tiba di puncak gunung terdengar orang tertawa keras dan berseru.

   "Bagus, orang yang mengantar jiwa sudah datang!"

   Seketika terdengar suara gemuruh dari batu-batu gunung yang bergelundungan ke bawah. Tampak berpuluh-puluh orang berseliweran sibuk menggelundungkan batu dan menimpukkan batubatu kecil. Mereka ternyata barisan pendam yang akan memegat Gong-gong-ji.

   "Bagus, apakah dengan cara licik itu mereka mampu menghalangi aku?"

   Gong-gong-ji marah sekali.

   Dengan gunakan gin-kang yang istimewa, ia lari mendaki.

   Memang tiada sebuah batupun yang dapat mengenai tubuhnya tapi karena harus berlincahan menghindar kian kemari, temponya pun jadi panjang.

   Khik-sia karena mendapat luka tusukan, gerakannya loncat agak terpengaruh.

   Beberapa kali hampir saja terkena batu, untung lwekangnya masih penuh.

   Batu yang tak mungkin dielakkan, dihantamnya saja dengan tinju.

   Mendaki sampai setengah gunung, Gong-gong-ji menjemput beberapa batu dan berteriak.

   "Datang tidak diberi sambutan, itu kurang sopan. Kalian juga harus menerima sambutanku ini!"

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di tangannya, batu-batu itu berubah menjadi suatu senjata rahasia yang hebat.

   Dari atas puncak segera terdengar suara jeritan mengaduh dari beberapa orang yang kena timpukan.

   Dan yang tak kena, pun segera lari menyingkir.

   Bayang-bayang orang yang berkumpul di puncak tadi, pun bubar, Karena tiada rintangan lagi, Gong-gong-ji dan Khik-sia dapat lebih cepat larinya.

   Dalam beberapa kejap, ketawa Gong-gong-ji sudah terdengar di atas puncak.

   Diantara kawanan penyerang yang serabutan melarikan diri itu, tiba-tiba Khik-sia menunjuk pada seorang yang agak bongkok punggungnya.

   "Bangsat itu adalah Ceng-bing-cu!"

   Kiranya kawanan orang yang menggelundung batu-batu itu adalah anak murid Leng-ciu-pay yang dipimpin Ceng-bing-cu.

   Waktu Leng Ciu siangjin bertempur dengan Shin Ci-koh, anak murid Leng-ciu-pay tahu kalau tak boleh membantu.

   Ceng-bing-cu cerdik tapi licik orangnya.

   Meskipun tak berani masuk ke dalam biara, tetap ia mengatur penjagaan kuat di sekitar tempat situ.

   Dari seorang anak buahnya, Ceng-bing-cu mendapat keterangan tentang kepergian Khik-sia pada pagi itu.

   Ia segera mengadakan analisa.

   Hanya ada dua kemungkinan.

   Pertama, Khik-sia jeri terhadap Leng Ciu siangjin maka tak mau turut campur dalam urusan itu.

   Tetapi dari keterangan Ceng-ceng-ji, Ceng-bing-cu tahu bahwa Khik-sia itu tunangan Yak-bwe.

   Kalau si nona tetap tinggal di biara, Khik-sia tentu bukan melarikan diri.

   Dan dari mulut Ceng-ceng-ji didapat keterangan bahwa Khik-sia itu tak jeri terhadap suhu mereka (Leng Ciu siangjin).

   Jika begitu, tinggal kemungkinan yang kedua.

   Ialah, Khik-sia turun gunung karena hendak mencari bala bantuan.

   Dengan kesimpulan itu, Ceng-bing-cu segera siapkan sute-sutenya untuk menunggu.

   Begitu Khik-sia masuk ke mulut lembah, apakah ia membawa tenaga bantuan atau tidak, tetap harus dibunuh mati.

   Rencana itu sebenarnya berasal dari Ceng-ceng-ji.

   Dan bermula Ceng-ceng-jiupun hendak membantu usaha Ceng-bing-cu menghancurkan Khik-sia.

   Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia merubah niatannya dan tak ikut serta.

   Dan karena sudah banyak jumlahnya, Ceng-bing-cupun tak mempedulikan Ceng-ceng-ji jadi turut atau tidak.

   Dia tetap langsungkan rencana itu.

   Rencana jahat itu sama sekali tak diketahui suhunya, Leng Ciu siangjin.

   Dengan barisan penggempur yang disiapkan itu Ceng-bing-cu mengira tentu dapat membinasakan Khik-sia.

   Siapa tahu, ia justeru kesampokan dengan seorang tokoh yang lihay ginkangnya seperti Gong-gong-ji.

   


Neraka Hitam -- Khu Lung Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam -- Khu Lung Golok Halilintar Karya Khu Lung

Cari Blog Ini