Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 21


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 21



Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong

   

   Cepat dan ganas sekali, melebihi dari serangan puteranya tadi.

   Terpaksa Yak-bwe kerahkan seluruh kepandaiannya.

   Ilmu pedangnya Coan-hoa-kiam termasuk jenis permainan lunak.

   Hanya dua kali menangkis ia sudah tak tahan lagi.

   Cret, pedang nyonya itu berkelebat menusuk lengan baju Yak-bwe.

   Untung Yakbwe cepat menghindar.

   Terlambat sedikit perutnya tentu pecah.

   Kini Yak-bwe keluarkan ilmu pedang Hui-hong-kiam (naga terbang) ajaran Khik-sia.

   Permainan ini termasuk jenis keras.

   Trang, ketika saling berbentur, Yak-bwe rasakan tangannya sakit sekali.

   Namun serangan yang amat ganas dari wanita itu dapat ditangkisnya.

   Mulut wanita itu menggumam, wajahnya mengerut heran dan permainan pedangnya tiba-tiba lambat.

   Pada kesempatan itu dengan terengah-engah Yak-bwe berseru.

   "Aku Su Yak-bwe, entah membuat kesalahan apa kepada cianpwe, tolong dijelaskan!"

   Wanita itu tertegun, serunya.

   "Kau ini Su Yak-bwe? Bukan Su Tiau-ing?"

   "Memang mereka berdua she Su, tetapi yang satu hendak mencelakai Khik-sia, yang ini adalah tunangan Khik-sia,"

   In-nio menyelutuk tertawa.

   "Astaga...."

   Tiba-tiba anak tadi menjerit.

   "Apa? Kau tunangan dari engkohku Khik-sia?"

   Merah selembar wajah Yak-bwe, sahutnya.

   "Engkoh kecil, engkau memanggil engkoh pada Khik-sia, apakah kau...."

   Wanita cantik itu menyimpan pedangnya, berkata.

   "Kiranya kau ini tunangannya Khik-sia, makanya kau dapat memainkan ilmu pedang keluarga Toan. Akulah yang merawat Khik-sia sampai dewasa."

   Girang dan kejut Yak-bwe tak terhingga, serunya.

   "Oh, jadi kau Bibi Lam!"

   Wanita cantik itu mengiakan. Serta merta Yak-bwe berlutut memberi hormat. Wanita itu mengangkat Yak-bwe, ujarnya.

   "Nanti dulu, perlihatkan tusuk kundai kumala di kepalamu itu!"

   Yak-bwe segera memberikan benda itu. Berlinang-linanglah air mata wanita itu setelah memeriksa tusuk kundai burung Hong dari keluarga Toan.

   "Kau benar menantu keponakanku" - dan Yak-bwe segera dipeluknya dengan mesra. Wanita pertengahan umur itu adalah He Leng-soang, isteri dari Lam Ce-hun. Lam Ce-hun adalah saudara angkat dari Toan Kui-ciang (ayah Khik-sia). Sewaktu muda mereka bedua berkelana dalam dunia persilatan dan digelari sepasang pendekar budiman. Kemudian ikut bertempur melawan pemberontak An Lok-san dan gugur. Waktu berumur 10 tahun, Khik-sia sudah kehilangan ayah-bundanya. Yang merawatnya adalah He Leng-soang sampai dewasa. Ketika umur 16 tahun, barulah He Leng-soang memberitahukan tentang soal pertunangannya dengan Yak-bwe. Sesuai dengan pesan mendiang ayah-bundanya, Khik-sia disuruh turun gunung mencari tunangannya itu. Tusuk kundai Liong yang menjadi tanda pengikat pertunangan Khik-sia dan Yak-bwe masih disimpan bibi He Leng-soang yang baik budi itu. Waktu Khik-sia turun gunung, barulah diberikan kepadanya.

   "Liong Hong Po Cha"

   Sepasang tusuk kundai Naga dan burung Hong, merupakan sepasang pusaka yang serasi dan serupa satu sama lain.

   Bentuknya sama hanya lukisan ukir-ukirannya yang berbeda.

   Maka dengan cepat He Lengsong segera mengenali tusuk kundai burung Hong dari Yak-bwe itu.

   "Bibi, engkoh Khik-sia telah menerima budi bibi sedalam lautan, tapi entah kelak dia dapat membalas budi itu atau tidak. Dia sekarang diculik perempuan siluman itu, mungkin...."

   "Hal itu sudah kuketahui semua. Justeru sekarang aku hendak mencarinya. Bagaimana? Apa sampai sekarang kau belum mengetahui jejaknya?"

   Sahut He Leng-soang.

   He Leng-soang sayang Khik-sia seperti puteranya sendiri.

   Pun ia sudah kangen pada Thiat-molek suami isteri yang sudah 10-an tahun tak bertemu.

   Sayang karena puteranya masih kecil jadi sampai sekarang ia baru melaksanakan niatnya itu.

   He Leng-soang mempunyai tiga orang anak laki dan seorang anak perempuan.

   Puteranya yang sulung sekarang sudah berumur 15 tahun.

   Untuk mengenangkan Lui Ban-jun, sute Lam Ce-hun yang gugur bersama-sama dalam membela negara, maka He Leng-soang memakaikan she Lui untuk nama anak-anaknya.

   Puteranya yang kesatu diberi nama Lam He-lui.

   Yang kedua Lam Junlui, yang ketiga (perempuan) Lam Jiu-lui dan yang keempat Lam Tong-lui.

   Kata-kata Lui itu dari she Lui (Lui Ban-jun).

   Lam Tong-lui, puteranya yang keempat itu, ditinggalkan ayahnya sewaktu masih dalam kandungan.

   Sekarang anak itu sudah berumur 10 tahun.

   Dalam umur 15 tahun, Lam He-lui sudah dapat menyakinkan seluruh ilmu silat keluarga Lam.

   Maka He Leng-soang segera mengajaknya keluar untuk cari pengalaman.

   Lam Jun-lui yang berumur 14 tahun, Lam Jiu-lui yang berumur 12 tahun, meskipun kepandaian silatnya belum sempurna tapi dapat mengalahkan 20-an orang biasa yang berani mengeroyoknya.

   Oleh karena itu He Leng-soang berani tinggalkan mereka di rumah untuk menjaga adiknya Tong-lui yang baru berumur 10 tahun itu.

   He Leng-soang dalam perjumpaannya dengan Thiat-mo-lek, diberitahukan tentang peristiwa Khik-sia diculik Tiau-ing.

   Ia segera ajak puteranya pergi lagi untuk mencari jejak Khik-sia.

   "Sungguh kebetulan sekali kedatanganmu ini, Bibi Lam. Kini kami sudah mengetahui jejak Khik-sia. Dia ditawan siluman perempuan itu di biara Ogemi. Kira-kira 100-an li dari sini. Paderipaderi dari biara itu berilmu tinggi. Kami justeru gelisah menghadapi mereka. Bibi Lam, dengan adanya bibi, nyali kami menjadi besar,"

   Kata In-nio.

   "Sayang, sayang! Tempo hari aku berjumpa dengan Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh yang juga mencari Khik-sia. Kalau begini, suruh Gong-gong-ji mencuri Khik-sia saja, tak perlu membikin kaget kawanan paderi Ogemi. Ah, sudahlah. Tak perlu tunggu Gong-gong-ji, kita sekarang berangkat ke biara itu,"

   Demikian He Leng-soang.

   Badai saljupun sudah berhenti.

   Mereka berlima segera menuju ke biara Ogemi.

   Mendapat bantuan He Leng-soang, harapan Yak-bwe untuk mendapatkan Khik-sia menjadi besar sekali.

   Sekarang mari kita tengok keadaan Khik-sia di biara Ogemi.

   Tanpa terasa sudah hampir tujuh bulan ia ditahan di situ.

   Selama itu ia bergaul baik dengan Hoan Gong hwatsu.

   Setelah Ceng-ceng-ji kabur, Khik-sia kuatir kalau Tiau-ing akan merayunya.

   Tapi ternyata walaupun peraturan tak terlalu bengis, biara Ogemi itu merupakan pusat penyebaran agama Buddha di daerah Se-gak.

   Paderi-paderinya pun bukan golongan jahat.

   Sebagai murid angkat dari Hoan Gong, Tiau-ing bebas mengutarakan kesukarannya.

   Ia pun memberi sejumlah besar uang guna memperbaiki biara itu.

   Karena dua alasan itu maka barulah Tiau-ing diterima tinggal di biara situ.

   Dalam pergaulan pria wanita, rakyat Se-gak lebih bebas dari rakyat Tiong-tho.

   Tiau-ing diberi sebuah kamar dan seorang bujang wanita.

   Tapi tidak bercampur dengan Khik-sia.

   Pemuda itu diserahkan di bawah pengawasan Hoan Gong.

   Hoan Gong mencukur rambut Khik-sia untuk dijadikan seorang paderi muda.

   Karena terkena obat Soh-kut-san, tenaga Khik-sia hilang lenyap.

   Maka Hoan Gong memberi keleluasaan padanya untuk berjalan-jalan di dalam biara.

   Ia tak takut anak muda itu dapat kabur.

   .....(tulisan kabur) bergaul dan sama-sama suka ilmu silat.

   Meskipun tenaganya lunglai tapi Khik-sia dapat juga membicarakan ilmu silat dengan Hoan Gong.

   Keduanya sama memperoleh manfaat.

   Setiap hari lahir Buddha, di biara Ogemi diadakan perayaan besar-besaran.

   Segenap paderi harus melakukan sembahyangan di tiga ruangan.

   Pada hari itu kembali diadakan perayaan sembahyangan besar untuk menghormat hari lahir sang Buddha.

   Khik-sia senang dengan keramaian.

   Ia minta diperbolehkan untuk hadir.

   Karena dia sudah memakai pakaian paderi, Hoan Gongpun mengijinkan.

   Selama tujuh bulan itu, Khik-sia belum pernah menginjak ruangan besar.

   Dia memang tak berminat menyembah Hud.

   Dia hanya berkeliaran melihat-lihat ukir-ukiran lukisan di tembok.

   Waktu Hoan Gong hendak menegurnya, tiba-tiba Ti-khek-ceng 9paderi yang menyambut tetamu) masuk melaporkan bahwa murid dari Kong Tik hwat-ong, kepala biara Putala telah datang hendak turut dalam upacara sembahyangan.

   Istana Putala adalah sebuah biara agung di daerah Tibet.

   Biara itu didirikan oleh puteri Bun Song, anak perempuan baginda Li Si-bin yang diambil permaisuri oleh Raja Tibet.

   Walaupun kemudian hari pengaruh kerajaan Tong makin lemah, tapi berdasarkan sejarahnya, Istana Putala itu tetap menduduki tempat yang teratas di kalangan biara-biara daerah Se-gak.

   Kepala biara bergelar Hwat-ong, lebih tinggi dan mulia dari semua kepala-kepala di biara lain.

   Sebenarnya biara Ogemi itu tiada hubungan dengan Potala.

   Tapi demi mendengar biara agung itu mengirim rombongan anak muridnya untuk turut hadir dalam upacara sembahyangan, Hoan Biat hwatsu, hong-tiang (pemimpin) dari biara Ogemi, tersipu-sipu menyuruh Ti-khek-ceng mempersilahkan rombongan tetamu itu masuk.

   Tetapi Hoan Siok hwatsu, sute dari Hoan Biat hwatsu, seorang yang cermat.

   Ia sedikit menaruh kecurigaan, ujarnya.

   "Mengapa mendadak sontak Istana Potala mengirim utusan kemari? Suheng, kau harus menanyakan yang jelas!"

   "Siapa sih yang berani memalsu sebagai utusan dari Potala? Biara kita ini biara terbesar di negeri Tho-ko-hun. Kalau Kong Tik hwatsu mengirim utusan untuk mengadakan hubungan baik, itulah sudah sepantasnya,"

   Sahut Hoan Biat.

   "Tetapi aku tetap curiga. Tho-ko-hun sedang bentrok dengan Hwe-ki, kedua belah pihak sedang bersiap-siap perang. Mengapa mendadak pihak Potala mengirim utusan kemari? Apakah hal itu tidak mencurigakan?"

   Bantah Hoan Siok.

   "Lalu lintas amat jauh, hubungan beritapun terhambat. Mungkin pemerintah Hwe-ki belum mengetahui tentang istana Potala mengirim utusan. Betapapun ganasnya pemerintah Hwe-ki itu, mereka tentu tak berani mengganggu urusan anak murid dari Potala. Sudah sute, jangan banyak curiga. Terhadap gengsi Potala yang sedemikian agungnya, kita harus menaruh kepercayaan penuh. Jika kita mengajukan pertanyaan dan dijawab memang mereka itu betul rombongan anak murid yang diutus dari Potala, bukankah kita akan malu?"

   Karena suhengnya berkeras begitu rupa, Hoan Siok pun tak berani banyak omong lagi.

   Tak berapa lama, paderi Ti-khek-ceng datang dengan rombongan utusan istana Potala.

   Semua hanya berjumlah 4 orang.

   Salah seorang dari tetamu itu, kepalanya lancip, bentuknya lucu.

   Begitu masuk ke ruangan besar, matanya jelalatan kian kemari.

   Khik-sia terkejut.

   Ia seperti sudah kenal dengan tetamu itu.

   Dan setelah merenung, ia teringat akan seseorang.

   Namun ia masih belum berani memastikan.

   Hoan Biat hwatsu menghaturkan selamat datang pada rombongan utusan itu dan minta maaf atas penyambutannya yang kurang memuaskan.

   "Ah, hong-tiang kelewat merendah. Kita toh sama-sama anak murid Buddha, tak perlu sungkan-sungkan. Aku membawa sebuah hwat-ci (amanat agama) dari Kong Tik hwat-ong, harap hong-tiang terima,"

   Kata pemimpin paderi Lama dari Potala itu.

   Hoan Biat terkesiap.

   Walaupun kedudukan Biara Potala itu yang tertinggi sendiri, tapi biara Ogemi tidak dibawahinya.

   Mengapa Kong Tik hwat-ong mengirim Hwat-ci? Dan lebih curiga lagi Hoan Biat ketika mendengar ucapan tetamunya itu tidak seperti paderi yang taat.

   Kalau Biat melayani kepala rombongan Lama Potala, Hoan Gong, hoan Siok dan beberapa paderi yang berkedudukan tinggi dari Ogemi, sama menyambut ketiga utusan yang lainnya itu.

   Justeru yang disambut oleh Hoan Gong itu ialah paderi kepala lancip yang tak sedap dipandang itu.

   Walaupun tak senang, namun Hoan Gong tetap menyambutnya dengan hormat.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba terdengar orang berteraiak melengking.

   "Itulah Ceng-ceng-ji. Awas, jangan kena ditipunya!"

   Yang melucuti kedok Ceng-ceng-ji itu bukan lain ialah Khik-sia.

   Memang selain bentuk wajahnya, pun tingkah laku Ceng-ceng-ji itu mirip dengan kunyuk.

   Sebagai sutenya yang sudah bertahun-tahun bergaul, sudah tentu Khik-sia paham benar dengan diri suhengnya itu.

   Ia menaruh curiga dan makin curiga, tapi ia merasa aneh juga mengapa wajah bekas suhengnya itu berubah megitu macam? Ceng-ceng-ji turun tangan secara kilat, saat itu tulang bahu Hoan Gong hendak dicengkeramnya.

   Tapi untung Khik-sia berteriak memperingatkan.

   Dalam gusarnya Hoan Gong gunakan gerak Tho-poh-ciat-ka, turunkan kedua pundaknya dan berputar tubuh dengan gerakan tumit kaki.

   Dengan tepat ia dapat menghindari.

   Ceng-ceng-ji mengusap wajahnya dan mengunjukkan roman mukanya yang asli.

   Kemudian tertawa gelak-gelak.

   "Bagus, budak, matamu celi benar dapat mengenali suhengmu. Ayo, ikutlah aku, jangan lari, ya?"

   Kiranya Ceng-ceng-ji mengenakan topeng kulit.

   Dalam pada berkata-kata itu, tubuhnya sudah melesat ke tempat Khik-sia.

   Tetapi rombongan paderi Ogemi banyak jumlahnya, untuk beberapa saat Ceng-ceng-ji tak berhasil menangkap Khik-sia.

   Ceng-ceng-ji mengamuk.

   Setiap paderi yang menghalang tentu dipukul atau ditutuk jalan darahnya.

   Dalam beberapa kejap saja, sudah belasan paderi yang rubuh.

   Melihat itu Hoan Gong marah.

   Ia menyambar sebatang tongkat terus dihantamkan ke punggung Ceng-ceng-ji.

   Karena ruangan itu penuh dengan orang, Ceng-ceng-ji tak leluasa mengeluarkan ginkang.

   Terpaksa ia cabut pedang untuk menangkis.

   Diam-diam ia heran kemana gerangan Khik-sia bersembunyi.

   Bukankah tadi terang kalau bersuara? Tiba-tiba rombongan paderi berteriak kaget.

   Waktu Hoan Gong berpaling, darahnyapun terkesiap.

   Paderi yang mengepalai Kay-le-tong (bagian menjatuhkan hukuman biara) dan Hoan Biat hwatsu, kena diringkus lawan.

   Ketiga kawan Ceng-ceng-ji yang menyaru jadi paderi lhama dari Potala itu adalah jago-jago pilihan dari Hwe-ki.

   Yang dua orang memang juga kaum paderi.

   Tetapi yang seorang, hanya secara darurat mencukur rambut dan menyaru jadi paderi.

   Kedua paderi itu termasuk golongan partai agama Bi-cong dari Tibet.

   Namanya Bu Ong dan Bu Ci.

   Mereka berhambat pada Hwe-ki tapi tak punya hubungan apa-apa dengan Biara Agung Potala.

   Rencana itu Ceng-ceng-ji dan panglima Hwe-ki Topace yang mengatur.

   Pada upacara sembahyangan hari lahir sang Buddha, biara Ogemi tentu menerima tetamu.

   Saat itulah mereka akan meyelundup masuk dan meringkus kepala biara untuk menyerahkan Khik-sia.

   Rencana itu mempunyai dua pertimbangan.

   Pertama, karena paderi-paderi biara Ogemi itu pandai ilmu silat.

   Tho-ko-hun sedang bentrok dengan Hwe-ki.

   Kalau terjadi perang, dikuatirkan paderi-paderi Ogemi itu akan digunakan oleh pemerintah Tho-ko-hun.

   Kedua, karena Topace memerlukan tenaga Cengceng- ji maka ia turuti saja keinginan orang untuk menculik Khik-sia.

   Dalam melaksanakan rencana itu, Ceng-ceng-ji minta bantuan dari seorang jago Hwe-ki.

   Dan demi suksenya rencana itu, mereka berdua rela menuckur rambut menjadi paderi gadungan.

   Yang disambut Hoan Biat hwatsu adalah si jago Hwe-ki yang menyaru jadi paderi lhama.

   Namanya Chili, bu-su (senopati) nomor satu dari negeri Hwe-ki.

   Kepandaiannya tak kalah dengan Ceng-ceng-ji.

   Sebenarnya Hoan Biat juga tinggi ilmu silatnya.

   Tetapi karena mengira benar-benar berhadapan dengan utusan dari Potala, maka ia tak bersiap-siap.

   Tutukan jalan darah yang dilancarkan secara kilat oleh Chili, menyebabkan Hoan Biat hwatsu tak berdaya.

   Pun tertangkapnya paderi kepala Ka-le-tong itu juga karena tak bersiap-siap.

   Hanya sekali gerak, dia sudah dibikin tak berdaya oleh Bu Ong.

   Di kalangan empat paderi kepala dari biara Ogemi, hanya Hoan Siok hwatsu yang sudah menaruh kecurigaan.

   Karena itu ia sudah bersiap-siap dan tak sampai kena diringkus.

   Kini ia bertempur seru dengan paderi Tibet si Bu Ci.

   Chili mengangkat tubuh Hoan Biat tinggi ke atas dan tertawa gelak-gelak.

   "Jiwa hong-tiang kalian berada di tanganku. Siapa yang berani bergerak?"

   Kawanan paderi yang sedianya hendak bergerak menyerang, terpaksa berhenti. Ceng-ceng-ji tertawa bangga, serunya.

   "Hai, dengarlah sekalian paderi Ogemi. Hal yang pertama harus kalian lakukan, serahkanlah budak Khik-sia itu padaku!"

   Khik-sia tak enak karena telah membikin susah hong-tiang Ogemi.

   Baru ia hendak tampil ke muka, tiba-tiba Chili berteriak keras dan lemparkan tubuh Hoan Biat sampai beberapa tombak jauhnya.

   Kiranya Hoan Biat diam-diam kerahkan lwekang untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk.

   Karena dicengkeram, tangannya tak dapat bergerak, tapi ia dapat tekuk lututnya untuk membentur ubun-ubun kepala orang.

   Chili adalah jago nomor satu dari Hwe-ki, kepandaiannya pun luar biasa.

   Jika lain orang, tentu sudah pecah kepalanya dengan gerakan Hoan Biat yang tak terduga-duga itu.

   Tapi dia dapat menghindar dengan sebat.

   Cepat-cepat ia mendak sambil menarik tubuh orang.

   Lutut Hoan Biat luput mengenai kepala tapi kena pundak Chili.

   Sakitnya bukan kepalang.

   Dalam marahnya ia lemparkan tubuh Hoan Biat sekuat-kuatnya.

   Dua orang paderi coba hendak menyambuti tubuh pemimpinnya.

   Tapi akibatnya menggenaskan.

   Mereka tak kuat menyambuti tenaga lontaran yang begitu hebat sehingga terhantam jatuh di tanah bergelundungan.

   Mulut menjeri ngeri, tubuh berkelojotan dan nyawa melayang.....

   Untung karena ditahan oleh kedua paderi tadi, daya bantingan Chili berkurang tenaganya.

   Begitu tiba di tanah, Hoan Biat dapat berjumpalitan bangun.

   Dia tak sampai terluka berat.

   Namun karena hebatnya kegoncangan yang dideritanya, ia pun muntahkan segumpal darah.

   Gelombang yang satu belum reda, gelombang lain timbul.

   Ci-hwat-ceng (paderi yang menguasai peraturan biara) yang diringkus Bu Kiu siangjin, pada saat itupun menjerit ngeri.

   Kiranya ia tak sudi dijadikan barang tanggungan untuk menekan kawan-kawannya.

   Tahu bahwa kepandaiannya kalah dengan lawan, ia putuskan urat nadinya sendiri dan binasa....

   Hoan Biat hwatsu murka.

   Menyambuti sebuah senjata Hong-ciang-jan dari seorang muridnya, ia berseru dengan bengis.

   "Delapan murid dari tingkat lwe-sam-wan supaya tetap tinggal di ruangan, yang lain-lain supaya keluar semua. Biara Ogemi tak dapat menerima hinaan sebesar ini!"

   Mengetahui bahwa musuh yang datang pada saat itu termasuk jago-jago kelas satu, maka Hoan Biat segera meminta kedelapan murid kepala Lwe-sam-wan tinggal.

   Yang lain-lain karena dianggap masih belum cukup kepandaiannya, disuruh keluar agar jangan sampai jatuh korban banyak.

   Hoan Biat bertiga saudara (Hoan Gong dan Hoan Siok) dengan kedelapan murid kepala itu akan bertempur mati-matian dengan pengacau-pengacau itu.

   "Jangan lagi hanya delapan murid kepala, sekalipun semua paderi-paderimu disuruh maju, aku tak takut!"

   Chili tertawa mengejek.

   Ia cabut golok pusakanya dan menyambut serangan Hoan Biat.

   Trang....

   setelah terluka parah tenga Hoan Biat berkurang, ta tak kuat menahan gempuran golok.

   Senjatanya rompal dan dia sendiri tersurut mundur sampai tiga langkah! Hoan Gong dan Hoan Siok yang mempimpin sayap kanan dan kiri dari barisan paderi, segera maju menahan serangan Chili dan Bu Ong.

   Barisan bergerak memencar dan merapat kembali.

   Hoan Biat mundur ke dalam barisan.

   Ceng-ceng-ji beberapa kali hendak menerobos tapi tak berhasil.

   Tapi sayang Hoan Biat yang paling tinggi kepandaiannya telah menderita luka dan di antara delapan murid kepala itu sudah ada dua orang yang terluka ringan.

   Di bawah tekanan dari empat jago kelas satu, rupanya barisan paderi itu mulai tak kuat bertahan.

   Diam-diam Khik-sia menyesali dirinya karena sudah tak punya tenaga lagi.

   Coba tidak, tentu ia dapat melayani Ceng-ceng-ji.

   Tiba-tiba ia teringat bahwa Ceng-ceng-ji itu bukan melainkan hendak menangkap dirinya saja, pun termasuk Tiau-ing juga.

   Jika pihak Ogemi sampai kalah, Tiau-ing tentu takkan lolos.

   "Ah, mengapa aku tak coba-coba membujuknya supaya memberi obat penawar?"

   Tanyanya sendiri.

   Buru-buru ia keluar dari ruangan pertempuran.

   Pada waktu Hoan Gong menerima kedatangan Tiau-ing dan Khik-sia, hanya beberapa paderi yang berkedudukan tinggi, tahu urusan itu.

   Yang lain-lainnya hanya mengira Khik-sia itu sebagai calon paderi baru.

   Apalagi kala itu sedang dalam kekacauan maka tak ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya (Khik-sia) sama sekali.

   Tetapi ia tak tahu di mana ruangan yang ditempati Tiau-ing.

   Yang didengarnya dari Hoan Gong ialah bahwa hong-tiang telah menyediakan sebuah kamar istimewa untuk Tiau-ing dan melarangnya keluar.

   Ah, kemana ia hendak mencari kamar itu? Ia coba-coba pergi ke taman belakang.

   Di dalam taman itu terdapat belasan pondokan untuk paderi-paderi.

   Ketika ia hendak mencari keterangan, tiba-tiba seorang wanita muncul berlari-larian sampai hampir menubruknya.

   Wanita itu seorang perempuan tani.

   Karena sudah tak punya kekuatan, Khik-sia terpelanting jatuh terlanggar.

   Wanita itu berhenti, menolongnya dan mengucapkan beberapa patah bahasa daerah yang tak dimengerti Khik-sia.

   "Apa kau yang melayani nona Su?"

   Tanya Khik-sia.

   Namun perempuan itu juga tak mengerti bahasanya Khik-sia.

   Setelah menatap Khik-sia dari ujung kaki sampai ke kepala, ia mengunjuk wajah girang lalu mengeluarkan sebuah lukisan.

   Kini giliran Khik-sia yang terheran-heran.

   Tapi yang nyata, lukisan itu merupakan seorang pemuda yang bukan lain Khik-sia sendiri.

   Perempuan itu mulutnya nyerocos sambil menggerak-gerakkan tangan.

   Akhirnya Khik-sia dapat menangkap juga artinya.

   Lukisan itu Su Tiau-ing yang membuat.

   Ia suruh wanita itu mencari Khik-sia.

   Khik-sia menunjuk diri, lalu menuding perempuan itu, ujarnya.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah nona Su memanggil aku?"

   Rupanya perempuan itu juga mengerti bahasa isyarat Khik-sia.

   Ia angguk-anggukan kepalanya, lalu menarik Khik-sia diajak lari.

   Taman itu dibuat di muka gunung.

   Tiba di tepi gunung, jalananpun putus.

   Wanita itu melintasi sebuah gua.

   Di luar gua terdapat lagi sebuah perumahan.

   Puncak gunung itu merupakan sebuah pintu yang memisah taman menjadi dua bagian.

   Diam-diam Khik-sia bersyukur dapat bertemu dengan wanita itu.

   Tiba di sebuah ruang, terdengar Tiau-ing merintih-rintih dan memanggil-manggil namanya (Khik-sia).

   Khik-sia terkejut.

   Dengan lari terhuyung-huyung ia masuk dan mendorong daun pintu.

   Tampak Tiau-ing rebah di pembaringan, wajahnya pucat kekuning-kuningan.

   Melihat Khik-sia, Tiau-ing tersentak kaget tapi cepat mengusirnya.

   "Keluar!"

   "Tapi bukankah kau sendiri yang memanggil aku?"

   Khik-sia tercengang.

   Tiau-ing tak menghiraukannya lagi, rintihannya makin hebat.

   Perempuan desa tadi segera mendorong Khik-sia keluar.

   Setelah memberi isyarat dengan menepuk-nepuk perutnya sendiri, pintu terus ditutupnya lagi.

   Merahlah wajah Khik-sia.

   Kini ia baru mengerti bahwa Tiau-ing akan melahirkan anak.

   Khiksia makin bingung.

   Ia hendak minta obat penawar, siapa tahu Tiau-ing sedang akan melahirkan....

   Saat itu kawanan paderi Ogemi sedang menghadapi pertempuran.......

   (tulisan kabur, tak terbaca) Ceng-ceng-ji putar pedangnya seperti angin puyuh dan berhasil membobolkan pertahanan tuan rumah.

   Dua orang murid kepala Ogemi terbunuh olehnya.

   Satu-satunya yang masih dapat memberikan perlawanan berarti hanyalah Hoan Biat seorang.

   Tapi demi melihat pihaknya menderita kekalahan, Hoan Biat menghela napas dalam.

   Dia tak sudi menerima hinaan dan terus hendak bunuh diri saja.

   Tapi tiba-tiba ada serombongan orang menerobos masuk ke ruangan situ.

   Mereka adalah He Leng-soang dan puteranya serta Bik-hu dan kawan-kawan.

   He Leng-soang kesima dengan pemandangan yang dijumpainya ruangan besar itu.

   Adalah Innio yang dapat mengambil putusan cepat.

   "Bantu pihak Ogemi basmi kawanan durjana itu!"

   "Benar!"

   Sahut He Leng-soang yang segera melesat memasukkan pedangnya ke punggung Ceng-ceng-ji. Pedang Ceng-ceng-ji tak mampu mengutungkan pedang nyonya itu, sebaliknya malah hampir terlepas jatuh.

   "Huh, entah di mana wanita ini bersembunyi tahu-tahu kepandaiannya begini hebat,"

   Diam-diam Ceng-ceng-ji terkejut.

   Buru-buru ia cabut pedangnya dan memainkannya dalam ilmu pedang Wan-kong-kiam.

   Dulu Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat dari He Leng-soang.

   Tapi karena dalam sepuluh tahun ini dia umbar kesenangan saja, kepandaiannya pun tak mendapat kemajuan yang berarti.

   Kini berbalik He Leng-soang yang lebih unggul setingkat.

   Ilmu pedang nyonya itu dapat digunakan untuk bertahan dan menyerang dengan dahysat.

   Biar Ceng-ceng-ji mati-matian memainkan pedangnya, tetap tak dapat menemukan lubang kelemahan lawan.

   Tapi sayangnya hanya He Leng-soang saja yang unggul.

   Anak-anak muda dalam rombongannya itu payah-payah keadaannya.

   Yak-bwe mendapat lawan Chili.

   Bermula jago Hweki ini memandang rendah, pikirnya hendak menangkap Yak-bwe hidup-hidup.

   Tapi ia segera dikejutkan oleh serangan kilat dari pedang Yak-bwe.

   Untung ia cepat turunkan tubuh, coba tidak tentu tulang pe-peh-kutnya tertusuk.

   Ia pun bersyukur hanya bajunya yang berlubang.

   "Bagus, budak perempuan. Ternyata kau punya kepandaian yang berarti juga,"

   Chili tertawa mengejek sambil putar senjatanya Gwat-yu-wan-to (golok yang bengkok seperti bulan sabit). Trang, pedang Yak-bwe hampir saja kena terhantam jatuh. Berbareng itu Chili ulurkan tangan kirinya untuk menangkap si nona.

   "Budak anjing, jangan kurang ajar!"

   In-nio melesat menyabat tangan Chili.

   Kepandaian nona itu lebih tinggi dari Yak-bwe.

   Ilmu pedangnya pun lebih lihay.

   Chili tergetar juga hatinya.

   Ia terpaksa menarik pulang tangannya tadi.

   Tetapi bagaimanapun juga Chili itu tetap lebih unggul dari kedua nona.

   Ia tak mau menangkap hidup-hidup lagi dan mainkan goloknya dengan keras.

   Anginnya sampai menderu-deru.

   Untung karena seperguruan, ilmu pedang Yak-bwe dan In-nio itu dapat dimainkan bersama.

   Dan Yak-bwe sudah mendapat ajaran ginkang dari Khik-sia.

   Dengan lincahnya, kedua nona itu berputar-putar menyerang Chili.

   Meskipun harapan menang tipis, tapi sekurang-kurangnya dapat bertahan diri.

   Waktu Bik-hu hendak membantu, dia dihadang oleh si paderi Tibet, Bu Ong.

   Ilmu Toa-chiu-in (lekatkan tangan besar) dari Bu Ong siangjin merupakan ilmu pukulan lwekang istimewa dari aliran Se-gak.

   Kedahsyatannya dapat dibandingkan dengan pukulan Kim-kong-ciang dari partai Siu-limpay.

   Dalam sepuluh jurus, Bik-hu sudah terengah-engah dan mandi keringat.

   Untung ia memiliki kepandaian dari Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin.

   Bagaimanapun juga Bu Ong siangjin jeri juga menghadapi pedang pemuda itu.

   Situasi Bik-hu memang sulit tapi belum sampai menghadapi kekalahan.

   Di dalam pihak tuan rumah, Hoan Biat dan ketiga sutenya yang paling menggenaskan.

   Hoan Biat terluka berat, ketiga sutenya itupun terluka juga.

   Dia tak mau berpeluk tangan melihat lain orang mati-matian membelanya.

   Maka ia pimpin anak muridnya untuk mengganyang si paderi Tibet Bu Ci yang belum dapat tandingan.

   He Leng-soang yang selalu pasang mata memperhatikan situasi pertempuran, menjadi resah juga hatinya.

   Benar ia menang angin, tapi untuk tinggalkan libatan Ceng-ceng-ji dan membantu rombongannya, juga tak mudah.

   Pada saat situasi tegang-meregang tiba-tiba terdengar suara suitan panjang.

   Bermula dari kejauhan, tapi dalam sekejab saja sudah mengiang di telinga sekalian orang.

   Ceng-ceng-ji terperanjat, setelah merangsang lawan, tiba-tiba ia loncat terus melarikan diri.

   "Hai, Gong-gong-ji, kau datang?"

   Teriak He Leng-soang dengan girang sekali. Memang yang datang itu Gong-gong-ji. Ceng-ceng-ji cepat meloloskan diri, tapi Gong-gong-ji lebih cepat lagi datangnya. Baru kaki Ceng-ceng-ji melangkah pintu, ia sudah kesampokan dengan Gong-gong-ji.

   "Binatang, masih mau lari?"

   Bentak Gong-gong-ji yang sekaligus merebut pedang Ceng-ceng-ji dan meringkusnya.

   Sebenarnya kepandaian Ceng-ceng-ji masih mampu melayani sang suheng sampai dua-tiga puluh jurus.

   Tapi dikarenakan ia paling takut kepada Gong-gong-ji, maka begitu melihat sang suheng, pecahlah semangatnya.

   "Suheng, sukalah mengingat hubungan persaudaraan, mengampuni...."

   Shin Ci-koh cepat menukas rintihan Ceng-ceng-ji itu dengan tertawa dingin.

   "Sekalipun suhengmu mengampuni, tetapi aku tidak bisa!" - Plak, ia menampar muka Ceng-ceng-ji. Separuh mukanya begap biru, sebuah giginya rontok.

   "Dia berhutang sebuah tamparan padaku, aku sudah menagihnya. Sekarang terserah padamu, dia itu sutemu,"

   Katanya kepada Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menghela napas.

   "Ceng-ceng-ji, adalah perbuatanmu sendiri yang tak memperbolehkan kau hidup di dunia! Akan kuserahkan kepada Sunio, mati atau hidup tergantung nasibmu." - Sekali menutuk dengan ciong-chiu-hwat, tubuh Ceng-ceng-ji yang terkulai itu segera dilemparkan ke sudut ruangan.

   "Kawanan kepala gundul itu hendak merampas Khik-sia. Kita bantu dulu pihak Ogemi,"

   Katanya kepada Shin Ci-koh. Sekali kedua calon suami-isteri itu turun tangan, dalam beberapa kejab saja, Chili, Bu Ci dan Bu Ong sudah dirubuhkan.

   "Mereka diutus oleh pemerintah Hwee-ki. Harap Gong-gong sicu ijinkan kubawa mereka ke kota raja, biar raja kami yang menghukumnya,"

   Kata Hoan Biat hwatsu.

   "Ceng-ceng-ji itu suteku. Kecuali dia yang lain-lain terserah hong-tiang,"

   Jawab Gong-gong-ji. Karena lwekangnya yang tinggi, Hoan Biat yang terluka berat masih dapat menghampiri Gonggong- ji untuk menghaturkan terima kasih.

   "Aku tak meminta terima kasih, tetapi akan meminta suteku Toan Khik-sia. Dia berada di sini, bukan?"

   Sahut Gong-gong-ji.

   Hoan Biat mengiakan.

   Ia segera suruh beberapa muridnya yang kenal Khik-sia supaya memanggilnya keluar.

   Lewat beberapa saat kemudian, murid-murid itu datang dengan laporan bahwa Khik-sia tak dapat diketemukan.

   P E N U T U P Memang saat itu Khik-sia tengah mondar-mandir di muka kamar Tiau-ing.

   Tiba-tiba ia mendengar tangis orok melengking....

   "Oh, kiranya ia sudah melahirkan. Mengapa aku menunggu di sini?"

   Khik-sia merasa malu dan hendak kembali keluar.

   Tapi ia bersangsi.

   Selama tenaganya masih punah bagaimana ia dapat membantu pertempuran itu.

   Selagi ia maju mundur, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan muncullah si perempuan desa tadi.

   Ia memberi isyarat supaya Khik-sia masuk.

   Khik-sia merah mukanya dan membantah dengan terbata bata.

   Tapi perempuan itu tak mengerti omongannya.

   Ia memberi isyarat lagi bahwa kamar itu sudah dibersihkan.

   Malah setelah itu, Khik-sia diseretnya masuk.

   Khik-sia meronta-ronta.

   "Khik-sia, masuklah. Aku hendak bicara padamu. Tak usah kau malu-malu. Maukah kau masuk kemari? Akan kutolongmu!"

   Tiba-tiba Tiau-ing berseru dengan nada lemah dan gemetar.

   Iba juga hati Khik-sia.

   Tak lagi ia meronta dan biarkan dirinya ditarik masuk oleh si perempuan tani.

   Tampak dengan wajah masih pucat kuning, Tiau-ing duduk setengah tidur di ranjang.

   Kepalanya disandarkan pada dinding ranjang.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di atas ranjang terdapat seorang orok yang dibungkus dengan selimut merah.

   Sebuah perapian memancarkan bau ratus wangi.

   Lantai ruangan bersih mengkilap.

   "Kuucapkan selamat padamu ibu dan anak, Nyonya Bo. Kau, kau hendak bilang apa padaku?"

   Kata Khik-sia. Tiau-ing tak menyahuti ucapan itu, sebaliknya menunjuk pada orok di sebelahnya.

   "Pondonglah dia, biar kulihatnya."

   Khik-sia menurut. Bayi dipondongnya ke muka Tiau-ing.

   "Montok benar, ya? Bagaimana, mungil tidak? Miripkan dengan aku,"

   Kata Tiau-ing.

   "Mungil sekali, sangat mirip dengan kau,"

   Sahut Khik-sia.

   Padahal bayi itu lebih mirip dengan Se-kiat.

   Sebenarnya Khik-sia gelisah sekali hatinya.

   Ia ingin Tiau-ing lekas-lekas selesai berkata, agar ia dapat mengatakan maksudnya.

   Maka sembarangan saja ia menyahut menuruti apa yang dikehendaki Tiau-ing.

   Wajah Tiau-ing yang pucat mengerut cahaya riang, ujarnya.

   "Benarkah mirip aku? Kau suka dengan anak itu atau tidak?"

   "Suka, suka!"

   Tersipu-sipu Khik-sia mengiakan.

   Baru pertama dalam hidupnya ia memondong seorang bayi.

   Dia berdebar-debar takut kalau-kalau jatuh atau terlalu kencang pondongannya.

   Ngeeekk ...

   tiba-tiba orok itu menangis, tangannya yang kecil mencakar muka Khik-sia.

   "Segala apa bisa dikerjakan orang lelaki, kecuali hanya dalam soal merawat bayi,"

   Kata Tiau-ing yang lantas suruh perempuan tani tadi menyambuti si orok.

   Setalah diminumi susu kambing bayi itupun berhenti menangis.

   Setelah terlepas dari beban yang menghimpit perasaannya, Khik-sia terus hendak membuka mulut.

   Tetapi didahului Tiau-ing.

   "Khik-sia, kaupun harus lekas menikah. Ai, entah apakah kekasihmu nona Su itu masih membenci aku?"

   "Sudah tentu ia telah membencimu karena kau menculik aku,"

   Batin Khik-sia. Tapi melihat keadaan Tiau-ing saat itu, ia merasa kasihan dan terpaksa menghiburnya.

   "Jika aku bisa keluar dengan tak kurang suatu apa, aku tentu dapat memberi penjelasan padanya. Meskipun ia seorang nona yang keras perangainya tapi suka memberi maaf orang."

   Tiau-ing memandang Khik-sia sejenak, seperti ada sesuatu yang direnungkan. Sampai beberapa saat ia tak bicara.

   "Nyonya Bo, jika kau tak ada lain-lain hal yang hendak dibicarakan, aku hendak memohon sebuah hal padamu."

   Tiba-tiba Tiau-ing dongakkan kepala dan bertanya.

   "Apa yang terjadi di luar itu? Aku seperti mendengar suara orang bertempur!" - Setengah jam setelah melahirkan, kini semangat Tiau-ing berangsur-angsur pulih. Pendengarannya mulai tajam.

   "Ceng-ceng-ji dan beberapa jago lihay menyerbu ke biara ini. Dia hendak menangkap kau dan aku. Hoan Biat hong-tiang, Hoan Gong hwatsu dan lain-lain tengah bertempur dengan mereka. Untuk hal itulah maka aku datang kemari ...."

   "Disini merupakan tempat rahasia. Hong-tiang telah berjanji takkan membocorkan tempat ini. Tak mungkin kunyuk tua itu dapat mencari kemari, jangan kuatir,"

   Tiau-ing tenang-tenang saja.

   "Ah, mengapa kau hanya memikirkan kepentingan dirimu saja? Mereka lihay sekali, kukuatir hong-tiang bukan tandingannya. Berikanlah obat penawar padaku, aku hendak membantu tuan rumah. Kalau tidak, jika biara ini sampai hancur, toh kita juga akan jatuh ke tangan musuh,"

   Khiksia agak jengkel. Tiau-ing tertawa tawar.

   "Kau memaki aku dengan tepat. Memang aku terlalu memikirkan keuntungan diriku saja. Bahkan saat inipun aku masih memerlukan bantuanmu untuk kepentinganku. Tetapi permintaanku ini mungkin yang terakhir. Maukah kau mendengar omonganku dengan sabar? Takkan makan banyak waktu!"

   Saat itu suara pertempuran sudah tak kedengaran lagi. Khik-sia makin cemas.

   "Apakah pihak Ogemi sudah kalah? Hoan Biat dan kawan-kawan sudah ditawan musuh?"

   Pikirnya. Namun tanpa obat penawar, ia tak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia terpaksa minta Tiau-ing supaya mengatakan permintaannya itu. Lebih dulu Tiau-ing menghela napas, baru berkata.

   "Kutahu bahwa selama ini aku selalu mencelakaimu. Tetapi kini aku sudah sebatang kara. Kau anggap aku sebagai musuh atau sahabat, aku tetap menganggapmu sebagai kawan."

   "Apa yang kau kehendaki supaya kukerjakan? Silahkan, bilang. Tentu akan kukerjakan sedapat mungkin,"

   Kata Khik-sia. Tiau-ing menatap dengan bola matanya.

   "Jadi kau memaafkan diriku?"

   Supaya orang lekas bilang dan juga karena kasihan, Khik-sia mengangguk.

   "Aku bukan orang yang suka mendendam. Ya, kumaafkan kau."

   Wajah Tiau-ing berseri tawa.

   "Baik, kalau begitu kuminta kelak kau supaya merawat anakku itu. Maukah?"

   Sayup-sayup Khik-sia seperti mendapat firasat yang tak baik, ujarnya.

   "Nyonya Bo, mengapa kau ucapkan perkataan itu? Benar aku pernah mempunyai ganjalan dengan kalian suami isteri, tetapi kini Se-kiat sudah meninggal. Segala dendam kesumat itu pun gugur sudah. Anakmu adalah seperti keponakanku sendiri. Atas kepercayaanmu yang begitu besar, sudah tentu akan kurawat anak itu. Harap kau mengaso untuk merawat kesehatanmu dengan tenang."

   Mendengar ucapan Khik-sia yang dibawakan dengan nada bersungguh, wajah Tiau-ing menggambarkan kelegaan. Ujarnya.

   "Terima kasih atas kelapangan hatimu menghapuskan kesalahan lama. Aku sungguh merasa lega sekali."

   Ia mengambil sebuah kotak emas dari bajunya dan berkata.

   "Obat penawar di dalam kotak ini, ambillah sendiri. Minumlah dengan air, sejemput saja sudah cukup."

   Girang sekali Khik-sia waktu menyambuti kotak itu. Waktu hendak meminumnya, Tiau-ing kembali berkata.

   "Pokiam-mu juga harus kukembalikan."

   Seperti diketahui, pedang pusaka Khik-sia itu telah dirampas Tiau-ing sejak pertama kali pemuda itu ditawannya dahulu. Sewaktu Khik-sia hendak berputar tubuh menyambuti, tiba-tiba terdengar suara "ces". Tiau-ing telah menusukkan ke dadanya sendiri.

   "Ada kau yang merawat anakku, aku tak merasa kuatir lagi dengan nasib anak itu!"

   Katanya dengan sayu. Kejut Khik-sia tak terhingga.

   "Nyonya Bo, mengapa kau perlu berbuat begitu?"

   Ia menjerit dan maju hendak mencegahnya tapi sudah kasip. Ketika Khik-sia menjamah tubuh Tiau-ing, ternyata pedang pusaka itu sudah masuk separuh ke dadanya. Tiau-ing sukar ditolong jiwanya lagi ......

   "Se-kiat, telah kukatakan aku tentu akan menyusul kau. Sekarang aku akan berjumpa padamu. Kau tentu memaafkan diriku, bukan? Tidakkah kau mendengar Khik-sia memanggil aku Nyonya Bo? Memang, aku tetap isterimu!"

   Kalau pedang itu dicabut, Tiau-ing tentu mati seketika.

   Khik-sia tak berani melakukannya.

   Ia hanya memapah tubuhnya, tak tahu apa yang harus dilakukan.

   Suara Tiau-ing makin lama makin lemah.

   Tiba-tiba terdengar derap orang berlari mendatangi.

   Dan pecahlah dua buah teriakan.

   "Khik-sia! Ing-ji!"

   Yang pertama nada suara Yak-bwe, yang belakangan suara Shin Ci-koh.

   Adalah Shin Ci-koh yang menduga Khik-sia tentu berada di kamar Tiau-ing.

   Dan setelah mendapat keterangan dari Hoan Biat, ia bersama In-nio dan Yak-bwe segera menuju ke sana.

   Gong-gong-ji dan Bik-hu karena tak leluasa ikut, hanya menunggu di luar.

   Sayang kedatangan mereka itu terlambat setindak.

   Sepasang mata Tiau-ing sudah mengatup.

   Tapi demi mendengar suara suhunya, semangatnya menyala dan membuka mata lagi.

   Ujarnya.

   "Khik-sia, berjanjilah padaku bahwa kau harus lekaslekas menikah dengan nona Su. Hm, sekarang aku telah menyatakan terima kasihku dengan kematian. Hanya masih ada suatu hal yang telah menjadi penyesalanku. Yakni tanggung jawabku terhadap suhuku. Suhu, apakah pada detik-detik kematianku ini kau sudi menerima diriku kembali ke dalam haribaanmu?"

   Tepat pada saat ia mengucapkan kata-katanya itu, Shin Ci-koh melangkah masuk, menjerit dan memeluk muridnya itu.

   "Suhu, sudikah kau memaafkan muridmu ini?"

   Kata Tiau-ing. Dengan berlinang-linang Shin Ci-koh menjawab.

   "Sebagai suhu akupun bersalah juga. Ing-ji, kau legakanlah hatimu. Anakmu akan kuwakili merawatnya. Kelak kalau sudah besar akan kusuruh ikut Khik-sia agar dia jangan sampai terjerumus ke jalan yang sesat."

   Tiau-ing tersenyum rawan.

   "Kini legalah hatiku. Ai, kalian memperlakukan aku dengan baik. Sayang, sayang, aku yang tak dapat menjalankan kebaikan ....."

   Berkata sampai disini, suara Tiau-ing makin hilang.

   "Ing-ji!"

   Shin Ci-koh menjerit.

   Tetapi tubuh muridnya itu mulai dingin.

   Ketika dirabah hidungnya, ternyata nafasnya sudah berhenti.

   Shin Ci-koh mencabut pedang di dada Tiau-ing.

   Setelah menghapus bekas darahnya lalu diserahkan pada Khik-sia.

   Kemudian ia menutupi tubuh Tiau-ing dengan selimut lalu menurunkan kain kelambu.

   Rupanya bayi itu merasa akan apa yang telah menimpa sang ibu.

   Ia menangis.

   Shin Ci-koh mengemponya sambil menimang-nimang.

   "Jangan nangis, buyung. Kelak kalau besar janganlah seperti ayah bundamu. Kau harus menjadi seorang lelaki yang jantan perwira. Khik-sia, kelak kalau dia sudah besar akan kuserahkan padamu, kau setuju tidak?"

   Khik-sia yang bermula kuatir tak dapat merawat bayi, girang sekali ketika Shin Ci-koh bersedia menggantikannya.

   Sudah tentu ia setuju dengan pernyataan bakal susohnya itu.

   Sewaktu Shin Ci-koh keluar dengan mengempo bayi, didapatinya Gong-gong-ji dan para paderi biara Ogemi masih bercakap-cakap di ruangan besar.

   Ketika mendengar penuturan tentang tindakan Tiau-ing, sekalian orang sama menaruh simpati karena Tiau-ing telah berlaku ksatria.

   Menebus kesalahan dengan kematiannya.

   Begitulah, setelah urusan selesai, Gong-gong-ji dan rombongannya segera minta diri.

   Atas nama Biara Ogemi, sekali lagi Hoan Biat menghaturkan terima kasihnya.

   Dalam perjalanan Gong-gong-ji menyatakan hendak bersama Shin Ci-koh pulang ke gunung.

   Ia hendak menyerahkan Ceng-ceng-ji kepada su-nio (isteri suhunya) dan menyerahkan bayi itu.

   "Nanti kita bertemu lagi di tempat Thiat-mo-lek. Khik-sia, kukira aku tentu masih keburu minum arak kebahagiaanmu."

   Khik-sia menyatakan yang tepat suhengnya itulah yang harus menikah dulu baru sutenya. Gong-gong-ji mengambil pedang yang dipakai Ceng-ceng-ji untuk diberikan kepada Khik-sia.

   "Pedang pusaka ini sebenarnya, milik keluarga Coh. Adalah karena kenakalanku sewaktu muda maka kucuri pedang ini. Aku merasa bersalah pada keluarga Coh karena telah memberikan pedang ini kepada Ceng-ceng-ji. Ping-gwan berusaha dengan susah payah untuk mendapatkan kembali pedangnya ini. Kudengar ia sedang merawat lukanya di In-ge-sau-meng. Kembalikanlah pedang itu kepadanya!"

   Yak-bwe membenarkan tentang beradanya Ping-gwan di daerah itu.

   Dan ia agak menyalahkan Khik-sia karena dianggap menjadi gara-garanya.

   Sudah tentu Khik-sia tercengang dan buru-buru minta penjelasan.

   Setelah mendengar cerita Yak-bwe, Khik-sia menyatakan.

   "Adalah karena diriku maka sampai membikin repot sekian banyak saudara. Dan Coh toako sampai terluka berat. Aku merasa tak enak hati dan harus lekas-lekas menjenguk keadaannya."

   Karena He Leng-song tak kenal dengan Ping-gwan maka ia menyatakan tak ikut tetapi akan kembali ke tempat Thiat-mo-lek saja.

   Begitulah rombongan mereka terpecah.

   Keempat anak muda yakni Khik-sia, Yak-bwe, In-nio dan Bik-hu meneruskan perjalanan mereka ke daerah In-ge-saumeng.

   Selama dalam perjalanan mereka tak mau cari perkara dan sebulan kemudian barulah tiba di negeri itu.

   Beberapa militasi kenal pada Bik-hu dan In-nio.

   Buru-buru mereka melapor pada Popa ongkong.

   Popa ong-kong dan Yangpe Keke memerlukan keluar untuk menyambut.

   Begitu masuk ke dalam kemah Khik-sia lantas menanyakan tentang keadaan Ping-gwan.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Luka Coh tayhiap sudah sembuh tapi sekarang dia tak berada di sini,"

   Kata Popa ong-kong.

   "Apa sudah pergi?"

   Khik-sia terkejut.

   "Bukannya pergi. Kemarin penyelidik kami melaporkan pasukan berkuda Hwe-ki melanggar tapal batas. Coh tayhiap bersama beberapa pejuang kami menyerang mereka. Mungkin besok pagi tentu sudah kembali,"

   Kata raja itu. Khik-sia menyatakan kalau ia hendak menyusul untuk memberi bantuan. Tapi ong-kong mencegahnya.

   "Sekarang posisi pemerintah Hwe-ki tidak baik. Menurut penyelidik itu, jumlah pasukan berkuda Hwe-ki itu tak berapa banyak. Mungkin hanya untuk menyelidiki keadaan daerah kami saja. Paling-paling hanya menimbulkan insiden kecil-kecilan saja. Pemuda-pemuda kami yang gagah berani sudah siap-siap di tapal batas apalagi mendapat bantuan Coh tayhiap, tentu dapat mengundurkan musuh. Kurasa tak perlu merepotkan kalian."

   Karena orang begitu yakin terpaksa Khik-sia menurut. Dalam pada itu In-nio meminta keterangan tentang ucapan Popa yang menyatakan bahwa posisi Hwe-ki sekarang buruk sekali.

   "Sekarang Tho-ko-hun sudah berperang dengan Hwe-ki. Tentara yang dipergunakan Hwe-ki untuk menduduki Tiang-an pun kini sudah berontak. Mereka mengusir tentara Hwe-ki yang menduduki Su-tho. Beberapa negeri di Se-gak pun sudah mengadakan persekutuan. Meskipun belum memerangi tapi sudah tak mau taat pada perintah Hwe-ki lagi,"

   Menerangkan Popa ongkong.

   "Oh, kalau begitu rencana nona U-bun sudah dilaksanakan,"

   Kata In-nio.

   "Kesemuanya itu berkat bantuan kalian yang telah dapat menawan si pangeran dan anak raja Hwe-ki,"

   Sahut Yangpe.

   "Eh, kami hanya membantu sedikit tenaga. Yang utama ialah karena jasa Coh tayhiap menyusun rencana itu,"

   In-nio merendah.

   Malamnya Popa ong-kong telah mengadakan perjamuan untuk menghormat para tetamunya.

   Selagi perjamuan masih berlangsung, pengawal melaporkan tentang datangnya Coh Ping-gwan dan Lu ciangkun.

   Popa ong-kong dan sekalian hadirin beramai-ramai keluar menyambut.

   Ternyata yang dipanggil Lu ciangkun itu bukan lain ialah Luse, jago gumul nomor dua dari In-ge-sau-meng.

   Yang paling terkejut adalah Ping-gwan ketika mendapatkan Khik-sia bersama Yak-bwe berada di situ.

   "Tentang urusanku nanti saja, sekarang harap tuturkan pengalamanmu dulu,"

   Kata Khik-sia. Pun Popa ong-kong juga meminta Ping-gwan.

   "Ya, benar. Mengapa selekas ini kalian pulang? Kukira kembali besok pagi. Apakah memperoleh kemenangan?"

   "Memangnya tak berperang karena kedatangan pasukan Hwe-ki itu hendak mengantarkan barang hadiah padamu!"

   Jawab Ping-gwan.

   "Hadiah? Sungguh aneh,"

   Pemimpin In-gesau-meng itu tercengang.

   "Memang benar, hadiah selaku permintaan maaf kepada kita. Tiga puluh ekor kuda tegar, sungguh bukan hadiah yang kecil. Karena kuatir kita marah karena perbuatan anak raja Hwe-ki tempo hari sehingga kita bersepakat dengan Su-tho untuk menyerang mereka maka raja Hwe-ki itu perlukan memberi barang antaran itu. Ha, ha, mereka yang biasanya malang melintang melakukan keganasan, sekarang harus mengambil hati kita,"

   Kata Luse. Popa ong-kong tertawa gelak-gelak.

   "Memang demikianlah watak bangsa Hwe-ki yang menginjak pada yang lemah tapi takut terhadap yang melawannya. Dulu kita takut, mereka selalu menghina kita. Setelah kini kita unjuk kekerasan, dia terus menyatakan maaf. Di mana orang mereka itu?"

   "Sedang dikawal oleh Pasan ciangkun. Karena kuatir ong-kong mengharap-harap kami lebih dulu pulang memberi kabar,"

   Kata Luse.

   Pasan adalah si jago gumul nomor satu dari In-ge san-meng.

   Dialah yang memimpin pemudapemuda negerinya untuk mempersiapkan perlawanan pada Hwe-ki.

   Setelah urusan Hwe-ki selesai dibicarakan, barulah Khik-sia sempat berbicara dengan Pinggwan.

   Mereka saling berterima kasih atas pengorbanan-pengorbanan yang mereka saling berikan.

   Tali persaudaraan mereka terasa makin erat.

   Atas pertanyaan Khik-sia, Ping-gwan menyatakan mau ikut pulang karena lukanya sudah sembuh dan keadaan negara In-ge-sau-meng tak perlu dikuatirkan lagi.

   Waktu Khik-sia menyatakan bahwa besok pagi akan kembali, Popa ong-kong mencegahnya.

   "Oh, ong-kong tak tahu. Saudaraku ini akan melangsungkan perkawinan, maka ia harus buruburu pulang,"

   Demikian Ping-gwan berolok-olok.

   "Ai, kiranya begitu. Sudah tentu aku tak berani menahannya lagi,"

   Popa tertawa gembira.

   "Coh-tayhiap, apakah kau tak mau menunggu berita Hong-ni di sini? Kau ingin minum arak temanten sahabatmu, akupun juga ingin minum arakmu."

   "Soal itu baik besok saja dibicarakan. Sekarang peperangan antara Hwe-ki dan Tho-ko-hun belum selesai, negeri kecil di daerah Se-gak menderita akibatnya juga. Kelak kalau sudah aman saja, barulah aku datang lagi berkunjung kemari. Aku sudah kelewat lama berpisah dengan sahabatsahabatku di selatan, aku kepingin menyambangi mereka."

   Karena Ping-gwan bersungguh-sungguh, Popa ong-kong pun tak berani menghalangi.

   Perjamuan berlangsung dengan gembira.

   Yangpe Keke mengajak hadirin minum arak guna memujikan keberuntungan Khik-sia dan Yak-bwe.

   Setelah bubaran, Popa ong-kong mengatur tempat untuk para tetamunya bermalam.

   Ping-gwan dan Khik-sia tidur dalam satu kemah.

   Dalam kesempatan itu Ping-gwan mengajak Khik-sia berjalan-jalan keluar.

   "Langit nan biru, alam nan raya. Angin berhembus, rumput membungkuk diendus kambing. Hanya di tempat seperti padang rumput begini, baru kita dapat merasakan kebesaran jagad raya. Coh toako, kalau aku menjadi kau, aku tentu tak mau pulang,"

   Kata Khik-sia.

   "Aku sebaliknya ingin pulang. Tapi sungguh menyesal, mungkin aku tak keburu datang minum arak pengantinmu,"

   Jawab Ping-gwan.

   "Ai, bukankah besok pagi kau ikut kami pulang?"

   Khik-sia heran.

   "Urusan ini tak ingin diketahui orang banyak. Terus terang saja, sebenarnya aku ingin pergi ke Su-tho. Besok pagi setelah tinggalkan lembah ini, akupun hendak memisahkan diri dengan rombonganmu,"

   Sahut Ping-gwan.

   "Ho, kiranya kau hendak menemui Siau-nimu itu? Takut diketahui orang? Sungguh lucu benar. Justeru kami ingin menghaturkan selamat padamu,"

   Khik-sia mengolok.

   "Bukannya aku hendak menjumpainya. Hanya kemarin ia mengutus orang untuk menyampaikan surat padaku. Dalam surat ia mengatakan hendak bertemu padaku. Tetapi tak boleh bilang pada lain orang, sekalipun Popa ong-kong. Hal ini memang aneh, tapi aku tak dapat tidak pergi. Toan-hengte, jika aku sampai tak dapat menghadiri pesta perkawinanmu, haraplah memaafkan."

   "Aku juga meminta maaf karena tak dapat minum arak kebahagiaanmu, Coh toako. Apanya yang aneh jika ia ingin bertemu padamu, apalagi kalau bukan menunggu kau meminangnya?"

   "Tetapi dia sudah seperti saudara dengan Yangpe keke. Jika begitu kehendaknya kan dia mestinya bisa minta tolong pada keke. Tetapi justeru sekarang ia minta jangan memberitahukan keke,"

   Bantah Ping-gwan.

   "Bagaimana ia tak malu minta tolong pada Yangpe keke? Tapi sebenarnya keke juga sudah mengetahui isi hatinya. Tidakkah kau memperhatikan ucapan keke tadi?"

   Kata Khik-sia.

   Rupanya setelah mengalami gelombang pasang surut dalam love-affair dengan Yak-bwe, kini Khik-sia sudah mempunyai pengalaman tentang perangai anak gadis.

   Sebaliknya Ping-gwan tetap tak percaya.

   Namun karena toh sudah mengambil keputusan memenuhi undangan si nona, ia tak mau banyak pikiran lagi.

   Keesokan harinya rombongan anak muda itu meminta diri pada Popa ong-kong.

   Setelah keluar dari lembah, seperti yang direncanakan semalam, Ping-gwan pun memisah diri menuju Su-tho.

   Singkatnya saja, Khik-sia dan kawan-kawan telah tiba dengan selamat di gunung Hok-gu-san.

   Thiat-mo-lek beramai-ramai menyambut keluar.

   Diantaranya terdapat He Leng-soang, Gong-gongji, Shin Ci-koh dan lain-lain.

   Setelah memberi hormat, Khik-sia tertawa.

   "Suheng, cepat sekali kau sudah datang."

   "Suheng dan susohmu itu bergegas-gegas datang untuk menghadiri pernikahanmu. Mereka sudah tiba tiga hari yang lalu. Tetapi mereka tak mau memberikan arak kebahagiaannya kepadamu. Sekarang aku hendak denda mereka supaya membayar kerugianmu itu,"

   Thiat-mo-lek tertawa.

   "Oh, jadi suheng sudah, sudah menikah?"

   Khik-sia terkejut girang. Seorang tokoh ugal-ugalan seperti Gong-gong-ji saat itu tampaknya kemalu-maluan juga. Buru-buru ia memberi penjelasan.

   "Ibu guru sudah berusia lanjut. Beliau tak ingin turun gunung. Untuk menyenangkan hati beliau, terpaksa kulangsungkan pernikahan di gunung. Tak seorangpun yang kuundang."

   Sebenarnya si jejaka tua Gong-gong-ji yang sudah berumur 40-an tahun itu, lebih pemaluan dari anakmuda.

   Kuatir kalau pernikahannya dilangsungkan bersama-sama dengan Khik-sia, ia tentu bakal digoda dan diolok-olok oleh para tetamu, maka setelah mendapat persetujuan Shin Ci-koh, ia lalu melangsungkan pernikahan dengan secara diam-diam.

   "Apakah ibu guru dalam keadaan sehat?"

   Tanya Khik-sia.

   "Sehat tak kurang suatu apa. Berhubung karena pernikahanku itu beliau agak reda kemarahannya terhadap Ceng-ceng-ji. Coba tidak, Ceng-ceng-ji tentu sudah habis riwayatnya,"

   Kata Gong-gong-ji.

   "Lalu Ceng-ceng-ji mendapat hukuman apa?"

   Tanya Khik-sia.

   "Ia dibikin hilang kepandaiannya dan tiap hari harus memikul air. Sunio tahu juga bahwa kau akan menikah. Beliau pesan supaya kau ajak mempelaimu menghadap padanya."

   Khik-sia mengiakan. Diantara mereka hanya Bik-hu seorang yang kesepian karena tak punya sanak famili. Tiba-tiba terdengar suara orang tua tertawa gelak-gelak.

   "In-niio, Bik-hu, kalian tentu tak mengira aku juga datang kemari?"

   Girang In-nio bukan kepalang.

   "Yah, mengapa kau berada di sini?"

   Teriaknya. Kiranya orang tua itu bukan lain ialah Sip Hong.

   "Kerajaan menganggap aku tak berdaya menghadapi kawanan penyamun. Tapi mengingat jasajasaku sewaktu menumpas pemberontak Su Tiau-gi, maka baginda hanya membebaskan tugasku saja. Ini sesuai dengan keinginanku untuk pulang ke kampung halaman,"

   Kata Sip Hong.

   "Kalau tidak begitu, mana ayahmu berani datang berkunjung ke sarang penyamun sini?"

   Thiatmo- lek tertawa. Sip Hong menghela napas.

   "Semasa muda aku bercita-cita menjadi pendekar kelana. Sayang aku kesasar jalan, ikut pada Sik Ko mengabdi kerajaan. Sekian banyak tahun menjadi panglima, walaupun merasa bersyukur kepalaku tak sampai dihukum penggal, tapi kedosaanku juga tak sedikit. Kuharap kalian dapat memperbaiki kesalahanku itu. In-nio, kupikir setelah menghadiri pernikahan Toan hiantit aku segera akan mengajakmu pulang. Pernikahanmu dengan Bik-hu juga harus segera dilaksanakan."

   In-nio dan Bik-hu merah mukanya. Mereka tundukkan kepala tapi diam-diam bergirang.

   "Ah, mengapa harus dilangsungkan di dua tempat. Toh lebih baik sekalian dirayakan di sini saja?"

   Tanya Gong-gong-ji.

   "Handai taulanku berada di kampung semua. Aku hanya mempunyai seorang anak perempuan ini. Rasanya biarlah mereka melangsungkan pernikahan di kampung halamannya saja. Kelak kalau mereka hendak berkelana di dunia persilatan, terserah saja."

   Thiat-mo-lek menengahi dengan mengatakan bahwa kalau memang begitu yang dikehendaki Sip Hong, tak baik kalau dirubah lagi.

   Thiat-mo-lek lebih tajam perasaannya dan lebih luas pengalamannya dari Gong-gong-ji.

   Ia tahu Sip Hong itu bekas seorang jenderal ternama.

   Kalau puterinya sampai merayakan perkawinan di sarang penyamun, tentu akan merosotkan nama baiknya.

   Berita pernikahan Khik-sia dengan Yak-bwe itu telah menggemparkan dunia persilatan.

   Orang gagah dari 4 penjuru negeri, baik yang kenal maupun tidak kenal, bahkan yang tak menerima surat undanganpun, berbondong-bondong datang memberi selamat.

   Mo Kia lojin (suhu Thiat-mo-lek), Biau Hui sin-ni (suhu Yak-bwe), Hong-git Wi Gwat dan beberapa lo-cianpwe yang jarang turun gunung, sama hadir dalam perayaan itu.

   Gunung Hong-gu-san seolah-olah sedang menyelenggarakan sebuah rapat Eng-hiong-tay-hwe lagi.

   Setelah melakukan upacara sembahyangan pada langit dan bumi, Khik-sia memimpin isterinya untuk mengunjuk hormat pada bibi He Leng-soang, kemudian pada Gong-gong-ji dan Thiat-molek.

   Tokoh-tokoh inilah yang menerima pesan dari mendiang Toan Kui-ciang (ayah Khik-sia).

   Kini setelah Khik-sia dan Yak-bwe terangkap jadi suami isteri, mereka merasa telah menunaikan tugasnya.

   Rasa haru telah membuat mereka berlinang-linang.

   Setelah upacara selesai, tiba-tiba seorang thaubak melapor paa Thiat-mo-lek tentang kedatangan seorang paderi.

   Ketika diundang masuk ternyata Hoan Gong hwatsu dari biara Ogemi.

   Hwatsu itu disambut dengan penuh kehormatan dan kegirangan oleh kedua mempelai.

   Menjawab pertanyaan tentang keadaan peperangan di negeri Tho-ko-hun, kepala biara Ogemi itu menerangkan.

   "Karena beberapa negeri kecil di daerah Se-gak sama bersekutu menentang Hweki, Hwe-ki pun tak berani gegabah melakukan serangan pada Tho-ko-hun. Mereka telah dikalahkan oleh pasukan negeri kami. Kedatanganku kemari ini pertama untuk memberi selamat. Kedua, pun hendak menyampaikan sebuah berita girang."

   Khik-sia masih terkenang akan sahabatnya, Coh Ping-gwan. Ia menanyakan bagaimana keadaan negeri Su-tho pada Hoan Gong.

   "Yang kuketahui sekarang, Su-tho sudah berdiri merdeka lagi dan mengangkat seorang ratu,"

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Hoan Gong. Memang di beberapa negeri di daerah Se-gak, anak laki dan perempuan dipandang sama derajat. Penobatan seorang raja perempuan, bukanlah hal yang mengherankan.

   "Ratu itu tentu U-bun Hong-ni. Coh-toako tentu juga menikmati perkawinan yang bahagia di negeri Su-tho,"

   Pikir Khik-sia. Perjamuan berlangsung dengan meriah dan gembira sekali. Malamnya, setelah mengalami godaan dan olok-olok dari para tamu, akhirnya bertemulah sepasang temanten itu di kamarnya. Khik-sia mengleuarkan tusuk kundai Liong dan tertawa.

   "Ayahanda kita telah menetapkan pernikahan kita sebelum kita dilahirkan. Sungguh menggembirakan sekali setelah mengalami berbagai liku-liku kesalahan paham, akhirnya baru hari ini sepasang tusuk kundai pusaka ini dapat bertemu."

   Yak-bwe merah pipinya. Ia girang dan sedih. Ujarnya.

   "Sayang, sejak lahir aku sudah tak punya ayah lagi."

   "Nama kita berdua ini adalah ayahmu yang memberi. Beliau menghendaki aku menjadi pendekar keadilan dan kebenaran untuk membasmi kejahatan dan kemunafikan. Beliau menghendaki kau menjadi pendekar wanita yang tak gentar menghadapi badai salju serta lebih cantik dari bunga Bwe. Jika kita tak dapat melaksanakan harapan mereka, bukankah kita berdosa terhadap arwah-arwah beliau di alam baka?"

   "Ya, sejak saat ini aku akan mengikuti kau berkelana di dunia persilatan menjalankan dharma kebaikan agar dapat meneruskan cita-cita mendiang ayahmu!"

   Yak-bwe memberi pernyataan. Sepasang tusuk kundai pusaka Liong dan Hong saling bertemu di bawah pandangan mesra dari empat mata, diiringi senyum tawa dan doa, muda-mudi sejoli yang menyanjung kebahagiaan ..... T A M A T

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/

   

   

   

   

Anggrek Tengah Malam -- Khu Lung Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini