Tusuk Kondai Pusaka 5
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 5
Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong
Kemarahan In-nio sudah reda. Kini ia merasa suka dengan nona itu. Ujarnya.
"Karena aku bersama adik Bwe menyaru jadi lelaki datang kemari, apalagi mengingat adik Bwe itu adalah puteri dari seorang Ciat-to-su maka sudah selayaknya menimbulkan kecurigaan kalian tadi."
"Ho, kiranya yang kabur tadi adalah puteri dari Sik Ko! Apakah ia sudah mengetahui asal-usul dirinya?"
Menyelutuk Thiat-mo-lek.
"Benar, memang siang-siang ia sudah berganti lagi dengan namanya yang asli .... Su Yak-bwe!"
Sahut In-nio.
"Khik-sia, ketika ayah-bundamu gugur untuk negara, itu waktu aku tak berada di situ. Tapi kutahu mereka mempunyai pesan terakhir. Sewaktu mereka menutup mata, pesan itu telah diberikan kepada Bibi Lam (He Leng-sian) agar supaya apabila kau sudah dewasa, supaya disampaikan padamu. Apakah Bibi Lam belum memberitahu padamu?"
Tanya Thiat-mo-lek. Khik-sia tundukkan kepala, jawabnya.
"Bibi He sudah memberitahu padaku."
"Kalau begitu ceritakanlah padaku,"
Kata Thiat-mo-lek pula.
"Aku diharap menjadi seorang lelaki yang berguna untuk nusa dan bangsa,"
Sahut Khik-sia.
"Selain itu?"
Thiat-mo-lek menegas. Selebar wajah Khik-sia berwarna merah, kemudian baru ia berkata dengan suara rendah.
"Minta aku supaya dengan membawa tusuk kondai berukir Liong ini, mencari anak perempuan Su pehpeh!"
"Untuk apa?"
Desak Thiat-mo-lek.
"Dengan tusuk kondai itu sebagai barang pertandaan, mengambil nona Su sebagai isteri."
Memang sengaja Thiat-mo-lek maukan supaya Khik-sia mengatakan hal itu dengan mulutnya sendiri. Setelah itu barulah ia berkata dengan nada keras.
"Tepatlah! Kiranya kau tak lupa akan pesan ayah-bundamu, tetapi mengapa kau tak mau mengakui nona Su sebagai bakal isterimu?"
Didesak begitu, Khik-sia memberi reaksi juga, serunya.
"Dia adalah puteri dari seorang Ciattosu, diriku tidak sepadan!"
"Jangan kau bicara keras di hadapanku. Sebaliknya, karena ia hanya puteri dari seorang Ciat-tosu maka tak sepadan menjadi isterimu seorang hohan (jantan) yang termasyhur, bukan?"
Ujar Thiatmo- lek.
"Aku bukannya memandang rendah padanya, tetapi dia bukan segolongan dengan aku,"
Bantah Khik-sia.
"Kau keliru, Sik Ko itu hanya ayah angkatnya saja. Ayah bundanya yang asli adalah manusia utama, setia kepada negara luhur budi pekertinya. Siapa orangnya yang tak taruh perindahan pada mereka? Jika orang tuanya manusia yang begitu macam, masakan anaknya akan menyeleweng ke lain jurusan? Bilang saja sekarang ini tidak segolongan, tapi jika sudah menikah apakah takkan ikut pada suaminya? Tapi celakalah, rupanya siang-siang kau sudah takut akan bayanganmu sendiri!"
Thiat-mo-lek menindas bantahan anak muda itu. Khik-sia diam tak dapat menyahut.
"Apalagi walaupun ia menjadi puteri angkat dari Sik Ko, tapi sejak kecil dipelihara oleh ibu kandungnya sendiri. Aku pernah tinggal di rumah keluarga Sip. Kutahu ibu kandungnya itu menjadi inang pengasuh dalam keluarga Sik. Tiap hari ibunya itu mengajarkan ilmu sastera padanya. Sejak kecil nona itu sudah lain perangainya dengan Sik Ko. Turut penilaianku, nona itu seorang gadis yang mencocoki idaman seleraku. Jangan kuatirlah!"
Kata Thiat-mo-lek pula. Khik-sia masih tundukkan kepala berdiam diri. Thiat-mo-lek agak marah. Dengan kerutkan wajah ia berkata lagi.
"Bukankah kau bercita-cita hendak menjadi lelaki jantang yang termasyhur? Tidak menurut pesan orang tua, tidak memegang janji suami isteri, tidak mengingat tali persaudaraan, itulah yang dibilang tidak berbakti, tidak berbakti dan tidak berbudi! Pantaskah seorang hohan berbuat begitu? Ayah bundamu sudah menutup mata, urusanmu aku tak dapat tinggal diam saja. Katakanlah, apa alasanmu hendak merobek janji perkawinanmu itu?"
Ayah angkat dari Thiat-mo-lek adalah kakak dari ibu Khik-sia.
Dengan begitu Thiat-mo-lek masih terhitung kakak misan (piauko) dengan Khik-sia.
Khik-sia sudah sebatang kara, ia tak mempunyai sanak famili lagi kecuali kakak misannya itu.
Maka kakak misannya (Thiat-mo-lek) itu ia anggap sebagai engkoh kandungnya sendiri.
Dalam hubungan itulah maka Thiat-mo-lek berani mengata-ngatai keras kepadanya.
Karena didamprat habis-habisan oleh Thiat-mo-lek, Khik-sia menjadi bingung tak keruan.
Semestinya ia masih mempunyai rahasia yang sungkan dikatakan.
Tapi kini apa boleh buat ia terpaksa menerangkan juga.
Dengan suara terkait-kait berkatalah ia.
"Toako, kau tak tahu. Sewaktu di gedung Tian Seng-su, dengan mata kepala sendiri, kulihat nona Su itu, ia, ia, ....."
"Dia mengapa?"
Tanya Thiat-mo-lek.
"Dia dengan anak lelaki Tian Seng-su sangat mesra ....."
Thiat-mo-lek belalakkan sepasang matanya yang bundar dan menegas.
"Benarkah itu?"
"Hai, bilang yang jelas sedikit! Bagaimana yang kau anggap mesra itu?"
In-nio menyela.
"Kelihatannya mereka itu bergandengan tangan!"
Sahut Khik-sia.
"Kelihatannya? Jadi nyata kau tak melihat jelas dan hanya kelihatannya saja, bukan? Berada dimanakah kau pada waktu itu?"
Tanya In-nio.
"Aku berada di dalam kebun keluarga Tian tengah bertempur mati-matian dengan Yo Bok-lo. Dibawah sorak-sorai dan lindungan dari kawanan bu-su, nona Su dan putera Tian Seng-su saling bergandengan tangan berjalan keluar dari ruangan. Ya, mataku tak salah lihat lagi. Nona In, cobalah kau pikirkan. Belum lagi keluarga Tian menyambutnya, ia sudah lari ke rumah mempelai lelaki. Mengapa? Tentulah karena ia sudah mengetahui bahwa aku bakal mengganggu pada keluarga Tian, maka sebelum dijemput ia sudah datang ke rumah bakal mertuanya untuk memberi kabar. Timbanglah saja, ia begitu setia kepada keluarga Tian, apakah aku harus disuruh mengakunya sebagai isteri lagi?"
Khik-sia memberi penjelasan panjang lebar. In-nio mendongkol tapi pun geli juga. Ujarnya.
"Ho, mengapa kau menilai begitu rendah pada nona Su? Untung waktu itu aku juga berada disitu hingga semua kejadian itu dapat kusaksikan dengan jelas. Jika tidak, hm, nona Su tentu akan hancur hatinya karena kau bikin penasaran!"
"Terang kulihat sendiri, masakan bisa keliru?"
Bantak Khik-sia.
"Ya, memang tak salah, malam itu ia berjalan keluar bersama putera Tian Seng-su. Tetapi mereka bukan bergandengan tangan, melainkan nona Su menyembunyikan sebilah pisau belati di lengan bajunya dan belati itu dilekatkannya pada punggung anak lelaki Tian Seng-su. Nona Su bermaksud hendak menolongmu, sebaliknya kau anggap kebaikannya itu sebagai suatu kenistaan, cis, kurang ajar betul!"
Mendengar itu Khik-sia tertegun diam seperti terpaku. Berkata pula In-nio.
"Tahukah kau apa sebabnya malam itu ia pergi ke rumah keluarga Tian? Kepergiannya itu tak lain tak bukan karena hendak membatalkan perkawinan itu!"
Ia lalu menuturkan tentang riwayat Yak-bwe sejak tinggalkan rumah Sik-ko lalu pergi ke gedung Tian seng-su, mengambil kotak emas ciat-to-su itu hingga dia (Tiang Seng-su) tak berani mengganggu daerah Lo-ciu lagi dan terpaksa membatalkan pernikahan puterinya dengan Yak-bwe.
Kesemuanya itu satu persatu diuraikan dengan jelas oleh In-nio.
Karena In-nio dapat menuturkan kejadian malam pertempuran di gedung Tian Seng-su dengan lancar, mau tak mau Khik-sia harus percaya semuanya.
"Bagus, nona su itu ternyata seorang gadis idaman setiap pria. Ia berani dan cerdik, setia serta berbudi! Khik-sia, apa katamu lagi sekarang?"
Seru Thiat-mo-lek. Khik-sia malu dan menyesal. Sejenak kemudian barulah ia dapat membuka mulut.
"Aku merasa salah, aku berdosa terhadap nona Su."
"Cukupkah kesalahanmu itu kau tebus dengan sepatah kata pengakuan saja?"
Tanya Thiat-molek. Jawab Khik-sia.
"Aku akan mencarinya sampai ketemu dan menghaturkan maaf padanya. Hanya saja ...."
Thiat-mo-lek tahu apa yang dikandung Khik-sia. Serentak ia mengerat omongan anak muda itu.
"Urusan disini tak usah kau pikirkan. Patah tumbuh hilang berganti.. Kim-ke-nia hilang, kita masih mempunyai lain pangkalan lagi. Gi-lim-kun takkan lama tinggal disini. Ada Bo bengcu dan sekalian saudara-saudara disini, masakan tentara negeri dapat mencelakai kita? Lekas cari nona Su dan bawalah ia pulang kemari, nanti akulah yang meresmikan perjodohan kalian."
Selebar wajah Khik-sia merah padam. Katanya.
"Usia siaute masih muda, urusan perkawinan boleh ditunda dulu. Tetapi, perintah toako tadi tentu akan kulaksanakan. Nona Su tentu akan kuajak pulang."
Bagaikan awan tersapu angin, kini segala kesalahan paham sudah terang. Sekalian orang merasa girang, hanya seorang yang agak merasa masygul yakni Lu Hong-jiu.
"Kedatanganku ke pertemuan orang gagah kali ini, tiada dengan setahu engkohku. Mungkin ia sedang sibuk mencari aku maka aku terpaksa hendak minta diri pulang. Harap bengcu suka maafkan,"
Akhirnya ia menemukan jalan keluar.
"Ah, harap nona jangan kelewat sungkan. Tolong sampaikan hormatku kepada engkoh nona,"
Sahut Se-kiat. Karena sewaktu menundukkan lima jagoan Hong-ho-ngo-pah pernah mendapat bantuan nona itu, maka Khik-sia pun segera tampil kemuka dan menghaturkan terima kasih kepada Hong-jiu.
"Ah, masak aku membantumu? Malah aku merasa membikin sukar kau saja, asal kau tak menyalahkan aku, itu sudah cukup baik,"
Sahut Hong-jiu.
"Aku sendiri yang limbung, taci tak ada sangkut pautnya. Taci, kau berdua dengan engkohmu, mempunyai pergaulan luas di dunia persilatan. Aku hendak mohon bantuanmu untuk suatu urusan,"
Kata Khik-sia.
"Tak usah kau katakan, aku sudah mengerti. Begitu ada kabar tentang diri nona Su, tentu akan segera kusuruh orang menyampaikan padamu. Kau hendak minta tolong tentang urusan itu, bukan?"
Tanya Hong-jiu.
Khik-sia hanya ganda tertawa saja selaku mengiakan.
Sebaliknya Hong-jiu mengalum kepahitan.
Kiranya ia hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Khik-sia.
Selama dalam perjalanan dengan anak muda itu, ia memang mulai menaruh hati.
Untung ia seorang nona persilatan yang berjiwa lapang.
Setitik bayangan dalam hatinya itu, dapatlah segera ia hapus dengan tanpa meninggalkan luka apa-apa.
"Ah, akupun hendak pulang juga karena sudah lama keluar. Bo toako, terima kasih atas kebaikanmu membawa kami ke pertemuan besar ini. Kelak bilah toako lewat di kotaku, ijinkanlah aku menjamumu,"
In-nio juga menyatakan maksudnya akan pulang. Se-kiat tertawa.
"Ah, kini aku benar-benar menjadi kepala penyamun. Jika keluargamu tak takut kedatangan tetamu penyamun, tentu aku senang sekali datang berkunjung."
Hati In-nio terasa getar, wajahnya tampak rawan namun ia paksakan menghias senyum.
"Ayahku gemar sekali bersahabat dengan kaum enghiong. Dan beliau pun amat sayang kepadaku. Silahkan kalian datang, kutanggung beliau takkan mencelakai kalian."
Walaupun mulut mengucap begitu, namun bukan tak tahu In-nio bahwa kini ayahnya itu sudah menjadi punggawa kerajaan.
Orang atasannya ialah Tian Seng-su, tokoh yang paling dibenci dan membenci kawanan penyamun.
Se-kiat kini menjadi kepala penyamun.
Betapa ayahnya itu mencintai dirinya, namun paling banyak ia tentu hanya akan berusaha supaya jangan sampai bentrok dengan Se-kiat itu saja.
Jika melangkah ke soal pernikahan, ayahnya itu tentu takkan mengijinkan ia menikah dengan seorang kepala penyamun.
"Khik-sia, antarkanlah nona In dan nona Lu. Setelah itu kau harus segera mencari nona Su. Jangan bertemu aku jika belum membawa nona Su pulang!"
Kata Thiat-mo-lek. Setelah tiba di selat lembah, Hong-jiu segera minta diri menuju ke barat. Sementara Khik-sia dan In-nio masih meneruskan lagi perjalanannya.
"Bagaimana rencanamu hendak mencari adik Bwe?"
Tanya In-nio. Dengan masygul Khik-sia menyahut.
"Entahlah. Dalam dunia yang begini luas, kemana hendak kucarinya? Kupasrahkan saja pada nasib."
"Ia tiada sanak keluarga, pun belum pernah berkelana keluar. Jika sementara waktu kau tak berhasil mendapatkannya, datanglah ke rumahku untuk menanyakan kabar. Hubunganku dengan Yak-bwe sudah seperti saudara kandung. Jika tak pergi ke lain tempat, kebanyakan ia tentu ke rumahku,"
Kata In-nio pula. Khik-sia haturkan terima kasih.
"Tetapi sayang ia tak tahu bilamana aku pulang. Apalagi ia sedang marah, mungkin ia akan pergi mengembara menurutkan ayun kakinya. Ah, yang kukuatirkan kalau ia sampai membikin onar di luaran. Ia belum punya pengalaman sama sekali dalam dunia persilatan. Kebanyakan ia tentu berjalan di sepanjang jalan raya lama,"
Kembali In-nio berkata.
Sewaktu berpisah dengan In-nio, Khik-sia membawa hati, yang gundah kalana.
Ia mencemaskan nasib calon isterinya itu.
Terpaksa ia menuruti petunjuk In-nio untuk mengambil jalan raya saja.
Dan memang apa yang diduga In-nio tepat.
Setelah congklangkan kudanya keluar dari selat lembah, Yak-bwe menimang dalam hati.
"Karena mereka menuduh aku sebagai cumi-cumi (kaki tangan musuh), maka akupun tak sudi ketemu lagi pada mereka."
Padahal ia hanya tak sudi berjumpa lagi dengan Khik-sia.
Namun karena dirangsang oleh kemarahannya, segalah yang menyangkut dengan anak muda itu, ia lempat ke samping semua.
Nama Khik-sia, sahabat-sahabatnya sampaipun orang-orang yang berhubungan dengan anak muda itu, ia tak mau bertemu lagi.
Ia tahu kawanan penyamun itu tentu tak mau kesamplokan dengan tentara negeri.
Mereka tentu mengambil jalan yang sunyi.
Itulah sebabnya maka ia lantas mengambil jalan besar saja.
Saat itu Yak-bwe masih menyaru sebagai seorang pria.
Dandanannya menyerupai anak orang hartawan.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apalagi kuda yang dinaiki itu, seekor kuda tegar yang jarang terdapat.
Maka orang tentu bakal tak menduga bahwa ia itu seorang pelarian dari sarang penyamun gunung Kim-ke-nia.
Tapi rakyat di sekitar Kim-ke-nia itu masih kolot.
Dandanannya semacam itu, telah menimbulkan perhatian di kalangan mereka.
Tetapi karena sedang dilanda kemarahan, ia tak mengacuhkan mereka.
Ia keprak kudanya kencang-kencang.
Pun ia berusaha untuk menghapuskan kenangannya terhadap Khik-sia.
Tapi ah, makin keras ia coba menekan sang hati, makin jelas bayang-bayang anak muda itu dalam pikirannya.
"Sejak ini aku laksana seekor burung yang bebas di udara. Tetapi walaupun jagad ini amat luas, kemanakah aku akan menempatkan diri?"
Pikirnya. Teringat akan sang nasib, ia merasa pedih sekali. Beberapa butir air mata bercucuran membasahi sepasang pipinya. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar seseorang berseru.
"Hai, alangkah eloknya kuda itu! Eh, aneh sekali budak itu. Coba dengarkan, apakah ia bukan lagi menangis?"
Nada orang itu tak begitu keras.
Tapi karena sejak kecil Yak-bwe sudah biasa berlatih ilmu senjata rahasia, maka pendengarannya menjadi tajam sekali.
Ia dapat menangkap kata-kata orang itu dengan jelas.
Cepat-cepat Yak-bwe usap air matanya dan ketika berpaling kebelakang, dilihatnya kira-kira pada jarak setengah li di sebelah sana, ada dua orang lelaki bermuka bengis tengah mencongklangkan kudanya.
"Cis, sungguh memuakkan. Aku menangis sendiri, mengapa kalian ngerasani (membicarakan) aku,"
Ia mendamprat orang itu dalam hati.
Ia cepat keprak kudanya supaya lari lebih pesat.
Sekejap saja, ia sudah tinggalkan kedua orang itu jauh di belakang.
Memang ia masih kurang pengalaman.
Ia sama sekali tak memikir, kalau pada jarak setengah li jauhnya orang dapat mendengar suara tangisnya, orang itu tentu bangsa kaum persilatan yang berilmu tinggi.
Paling tidak mereka itu, seperti dirinya sendiri, tentu pernah berlatih ilmu senjata rahasia.
Bagaimanapun juga Yak-bwe itu diasuh dalam kalangan keluarga seorang pembesar tinggi.
Ia biasa hidup sebagai seorang puteri Ciat-to-su yang manja.
Benar ia memiliki ilmu silat yang tinggi dan mahir juga dalam ilmu naik kuda.
Tapi sebegitu jauh ia masih belum mempunyai pengalaman praktek.
Berselang tak berapa lama dilarikan oleh sang kuda, lebih-lebih ketika menyusur jalan di daerah selat pegunungan yang naik turun, mau tak mau ia menjadi meringis juga karena tak tahan digoncang-gontaikan di atas pelana.
Tulang-tulangnya terasa kaku kesakitan.
Ia berpaling lagi ke belakang.
Karena kedua lelaki tadi sudah tak kelihatan, barulah ia tahan les kudanya dan mulai berkuda pelahan-lahan.
Kini pikirannya mulai bekerja lagi.
"Pulang ke rumah keluarga Sik terang aku tak mau. Baiklah, mulai saat ini aku / / bikin terpental oleh kipas si pelajar. Sedangkan golok satunya telah disedot melekat oleh kipas untuk ditarik ke samping. Memang dalam dunia Kangouw sebenarnya terdapat apa yang disebut senjata that-thiat-san atau kipas pelengket besi melain dari bambu biasa. Hanya saja kipas itu dibuat oleh tukang pandai dan diberi ukir-ukiran gambar yang indah sekali. Memang pada masa itu, sebagian besar kaum bun-su (sasterawan) yang berada, suka menggunakan kipas semacam itu. Itu untuk mewujudkan daya perbawanya. Maka kipas bambu itu sebenarnya hanya dipakai sebagai perhiasan bukan senjata. Sepasang golok dari Hau Pheng itu terbuat daripada bahan baja murni, tajamnya bukan kepalang. Dia yakin bahwa dengan sekali tebas tentu dapat menghancurkan kipas lawan. Siapa tahu gerakan si pelajar itu bukan buatan lihaynya. Tahu-tahu kipas sudah melekat di punggung golok. Waktu si pemuda memutar kipasnya, golok Hau Pheng pun ikut berputar. Hampir saja golok itu terlepas dari tangan karena seperti dipelintir. Walaupun tengah bertempur, tapi Cin-gi dapat melihat dengan jelas gerakan si pelajar itu. Ia insyaf pemuda pelajar itu seorang tokoh silat yang berilmu tinggi. Ia ambil putusan harus lekaslekas merubuhkan Yak-bwe dulu. Maka tanpa menghiraukan pantangan memilih jalan darah apa, ia segera merangsang maju dengan jurus sian-sing-kia-hwe atau sepasang bintang kebetulan berjumpa. Ke atas menutuk jalan darah hoa-kay di ubun kepala, ke bawah menutuk jalan darah tiang-jiang di pantat. Hoa-kay-hiat adalah salah sebuah jalan darah utama dari tubuh manusia. Jika kena tertutuk, kalau tidak binasa tentu akan menjadi invalid. Yak-bwe buru-buru gunakan jurus ki-hwe-liau-thian atau angkat api membakar langit. Ia angkat pedang ke atas, seluruh perhatiannya ditumpahkan untuk menolak poan-koan-pit yang menyerang kepalanya. Siapa tahu, justru itulah yang dikehendaki Cin-gi. Secepat kilat, poan-koan-pit di tangan kirinya mengincar tiang-jiang-hiat di bawah. Meski "Tiang-jiang-hiat"
Bukan merupakan jalan darah maut atau pemingsan, tapi jika sampai tertutuk, kaki orang pasti akan lumpuh atau pincang karena urat-uratnya menyurut.
"Kalau kubikin pincang sebelah kaki nona ini, rasanya takkan membikin marah Lo Hau. Ya, aku terpaksa harus berbuat begitu karena pemuda itu lihay sekali. Lo Hau pasti takkan cari alasan untuk membatalkan perjanjiannya tadi,"
Demikian pikir Hong Cin-gi. Pada saat ia berpikir begitu, ujung poan-koan-pitnya sudah menyentuh ujung baju Yak-bwe. Tapi berbareng itu iapun merasa disambar oleh serangkum angin keras.
"Celaka!"
Demikian ia mengeluh seraya gelincirkan sang kaki untuk menghindar, namun sudah terlambat sedikit.
"Plak,"
Bahunya kena ditampar oleh si pemuda pelajar.
Ternyata pemuda pelajar itu telah berhasil menolong Yak-bwe dalam saat-saat yang berbahaya.
Tapi dengan berbuat begitu, berarti si pemuda pelajar memberi kelonggaran bagi Hau Pheng.
Tapi yang tersebut belakangan ini rupanya tak tahu diri.
Begitu longgar ia segera mengajak kawannya.
"Hong-toako, ayo kita beresi bocah kurang ajar ini!"
"Ha, bagus, bagus! Memang aku kepingin tahu bagaimana kalian hendak memberesi diriku ini!"
Si pemuda pelajar tertawa mengejek. Ia tebarkan kipasnya sehingga sepasang golok Hau Pheng tersiak. Setelah itu secepat kilat ia katupkan pula kipasnya untuk dipakai menutuk seperti poan-koan-pit.
"Kau, adalah seorang ahli tutuk, nah, aku hendak unjukkan sedikit permainan itu, tolong kauberi petunjuk!"
Dalam pada berkata-kata itu si pemuda sudah meluncurkan tiga kali serangan yang ditujukan ke arah jalan darah yo-kiong-hiat, thiat-cu-hiat, tiang-jiang-hiat, ih-gi-hiat dan suan-kihiat di tubuh Hong Cin-gi.
Sudah tentu Cin-gi menjadi kelabakan setengah mati.
Mati-matian ia berusaha untuk menghalau serangan-serangan itu sehingga sampai mandi keringat.
Ia terperanjat sekali.
Nyata ilmu kepandaian menutuk dari pemuda pelajar itu jauh lebih lihay dari dirinya.
Sebatang kipasnya jauh lebih berbahaya dari sepasang poan-koan-pit orang she Hong.
Yak-bwe benci setengah mati pada Hau Pheng.
Setelah Hong Cin-gi dapat dicegat oleh si pemuda pelajar, kini ia mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya.
Cepat ia cabut pedangnya dan lari menerjang Hau Pheng.
"Jika tak melukaimu, jiwaku sendiri yang terancam. Ya, apa boleh buat, seorang jelita pincang ada lebih baik daripada tidak ada sama sekali,"
Demikian pikir Hau Pheng sambil gigit giginya eraterat seraya mainkan sepasang goloknya untuk menahan serangan Yak-bwe.
Yang atas untuk menangkis dan yang bawah untuk memapas lutut Yak-bwe.
Jurus yang dimainkan itu adalah jurus yang paling diandalkan kelihayannya.
Telah dikatakan di bagian muka, bahwa Yak-bwe adalah murid dari Biau Hui Sin-ni.
Ia telah mewarisi ilmu pedang dari rahib sakti itu.
Jika dinilai dari mutunya, sebenarnya kepandaian Yakbwe itu lebih tinggi dari Hau Pheng.
Benar dua buah serangan golok dari orang she Hau itu cukup berbahaya, tetapi jika Yak-bwe dapat berlaku tenang, ia pasti dapat menghadapinya.
Tapi disebabkan karena ia kurang pengalaman dan kehabisan tenaga setelah bertempur hampir setengah harian itu, maka hampir saja ia tercelaka.
Seharusnya, sewaktu lawan tengah pentang kedua goloknya ke atas dan ke bawah itu, ia segera menusuk ke dada lawan saja karena bagian itu terbuka.
Dengan berbuat begitu, berarti ia menghalau serangan dengan serangan, kemungkinan besar malah dapat menang.
Tapi ternyata ia tidak bertindak begitu.
Melihat lawan menghantam dengan ganas, Yak-bwe menjadi marah sekali.
Ia pun mengimbangi untuk memapas sekuat-kuatnya.
Ini suatu kesalahan besar, karena dalam hal kekuatan ia kalah dengan lawan.
"Trang", pedangnya dapat ditahan oleh salah sebuah golok Hau Pheng, sementara golok yang satu dapat langsung menabas lutut dengan lancarnya. Untung Yak-bwe masih dapat menyelamatkan diri. Dengan gunakan gin-kang ih-song-hoan-wi, ia berloncatan sampai tiga kali untuk menghindari serangan berantai dari Hau Pheng. Hau Pheng cerdik sekali. Ia biarkan saja si nona berlincahan kian kemari, namun goloknya yang sebelah atas tetap menekan erat-erat pedang nona itu supaya jangan sempat ditarik pulang. Ia terus bolangbalingkan goloknya membabat kaki. Untuk menghindar terpaksa Yak-bwe berloncatan terus dan karena terus-menerus berloncatan itu, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya mandi keringat.
Jilid 5 Melihat itu, si pemuda pelajar mengerut kening, pikirnya.
"Anak muda itu memiliki ilmu pedang yang bermutu tinggi, sayang ia masih belum sempurna latihannya, jadi tak mampu menggunakan dengan selayaknya."
Ia ambil putusan menolongnya lagi.
Cepat ia lancarkan tiga kali serangan.
Setelah Cin-gi dapat didesak dengan menggelap.
Lebih dulu ia berseru supaya Hau Pheng siap menerima serangannya.
Tapi hal itu cukup membuat Hau Pheng terkejut setengah mati.
Buru-buru ia kebaskan goloknya yang di bawah itu untuk membacok si pemuda.
Tapi lagi-lagi pemuda pelajar itu unjukkan kepandaian yang mengagumkan.
Ia songsong golok Hau Pheng itu dengan kipasnya.
"Crek,"
Begitu berbentur, golok itu seperti melekat saja pada kipas. Dan begitu si pemuda pelajar memutarmutar kipasnya, mau tak mau Hau Pheng dipaksa harus melepaskan goloknya.
"Lo Hau, aku tak mau emasmu lagi, kaupakai sendiri sajalah!"
Tiba-tiba kedengaran Hong Cingi berseru.
Kiranya ia dapat mengenal gelagat.
Demi mengetahui pemuda pelajar itu kelewat tangguh.
Begitu ada kesempatan ia lantas angkat kaki panjang alias kabur.
Hau Pheng serasa terbang semangatnya.
Karena semangatnya hilang, nyalinyapun pecah.
Sudah tentu ia tak dapat menahan pedang Yak-bwe lagi.
"Trang,"
Goloknya pun segera jatuh karena didorong Yak-bwe.
"No, no ....,"
Demikian sebenarnya ia hendak meratap.
"Nona, ampunilah jiwaku". Tapi baru mulutnya berseru "No .", ujung pedang Yak-bwe sudah bersarang ke ulu hatinya hingga tembus ke punggung. Teriakan "No"
Itu sudah tentu tidak terdengar jelas artinya sehingga si pemuda pelajarpun hanya menganggapnya sebagai teriakan orang yang sudah hampir mati.
Setitikpun tidak terkilas dalam pikiran pemuda itu bahwa kata no itu sebenarnya potongan dari kata nona.
Yak-bwe haturkan terima kasih kepada pemuda pelajar itu.
"Aku mempunyai she dobel Tok-ko dengan nama tunggal U. Dan siapakah nama saudara yang mulia ini? Mengapa bermusuhan dengan kedua bangsat itu?"
Kata pelajar itu. Sembarangan saja Yak-bwe memakai sebuah nama samaran, ujarnya.
"Aku sendiripun tak mengetahui mengapa mereka memusuhi padaku. Mungkin karena hendak merampas harta bendaku."
"Apakah Su-heng tak pernah berkelana di dunia Kangouw? Apakah Su-heng membawa sebuah benda pusaka?"
Tanya Tok-ko U pula. Orang bertanya dengan tiada maksud tertentu, sebaliknya Yak-bwe malah tertegun. Pikirnya.
"Hm, apakah pemuda ini juga hendak menyelidiki diriku?"
Tapi ia dapatkan sikap pemuda itu amat sopan, sedikitpun tak ada tanda-tanda seorang penjahat. Karena kurang pengalaman, maka menyahutlah Yak-bwe dengan sejujurnya.
"Aku hanya membawa segenggam kim-tau saja. Ini, semua berada di sini."
Dengan ucapan itu terang Yak-bwe mengira kalau pemuda pelajar itu hendak minta upah.
Tapi karena melihat pemuda itu tampaknya bukan orang sembarangan, ia kuatir jangan-jangan dugaannya itu meleset, salah-salah bisa ditertawai orang.
Lebih berbahaya lagi jika orang sampai menganggap perbuatannya itu (memberi persen) tak ubah seperti tingkah laku kaum wanita.
Maka akhirnya ia menemukan akal.
Diambilnya keluar emasnya, tapi tak mau ia mengatakan apa-apa.
Ia hendak menunggu sampai orang membuka mulut dulu.
Sudah tentu rencana Yak-bwe itu gagal, karena si pemuda pelajar itu sama sekali bukan macam orang seperti yang diduga Yak-bwe.
Tampak pemuda itu tertawa kecil, ujarnya.
"Ha, kalau begitu, kedua penjahat tadi sudah salah mata!"
"Apa?"
Seru Yak-bwe dengan terkesiap.
"Mungkin Su-heng tak tahu akan asal-usul kedua penjahat itu. Kemarin waktu baru tiba di rumah penginapan, memang aku sendiri belum mengetahui. Sekarang baru kuketahui. Apakah tadi kau tak memperhatikan bagaimana mereka saling menyebut Hau-toako dan Hong-toako? Coba kau pikirkan, penjahat-penjahat she Hau dan she Hong yang terkenal ganas di dunia Lok-lim, siapa lagi kalau bukan mereka?"
Kata pemuda itu. Wajah Yak-bwe bersemu merah. Sahutnya.
"Ya, terus terang saja, aku baru pertama kali ini mengembara keluar. Bagaimana seluk-beluk urusan Lok-lim sedikitpun aku tak tahu. Harap saudara suka memberi petunjuk-petunjuk."
Kata Tok-ko U.
"Kedua penjahat tadi, kupastikan sembilan puluh sembilan persen tentulah Hau Pheng dan Hong Cin-gi!"
"Siapakah sebenarnya mereka itu?"
Tanya Yak-bwe.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hau Pheng adalah penjahat yang termasyhur tukang petik bunga, sedang Hong Cin-gi adalah seorang benggolan perampok yang bekerja seorang diri. Di kalangan Lok-lim, kepandaian mereka berdua itu juga termasuk golongan kelas satu. Selain gemar merampas wanita-wanita muda yang cantik, Hau Pheng itupun juga suka merampas harta benda. Tapi ia selalu memilih, jika bukan dagangan besar, ia tak mau turun tangan. Hong Cin-gi lebih-lebih lagi. Ia selalu mengincar pada kaum hartawan besar. Terhadap yang hanya punya belasan tahil emas saja, ia tak memandang sebelah mata."
Berkata sampai di sini, pemuda pelajar itu berhenti sejenak. Kemudian, dengan tersenyum ia melanjutkan pula berkata.
"Harap Su-heng simpan lagi kim-tau itu. Memang kim-tau Su-heng itu tidak sedikit jumlahnya, tapi paling banyak hanya berjumlah sepuluh sampai dua puluh tahil emas, bukan? Maka tadi telah kukatakan bahwa kedua penjahat itu sudah salah mata. Sekalipun begitu, ada baiknya juga selanjutnya Su-heng berhati-hati sedikit. Emas dan uang jangan sampai diperlihatkan orang agar jangan menimbulkan akibat-akibat yang tak menyenangkan. Misalnya, tindakan Su-heng yang begitu royal semalam itu, tak mengherankan kalau dapat menarik perhatian kedua penjahat itu. Kukira mereka tentu menduga bahwa Su-heng masih mempunyai barangbarang berharga lainnya. Ha, ha, akhirnya yang satu mati dan yang lain terluka. Sudah sepantasnya mereka mendapat ganjaran itu."
Mengetahui bahwa Hau Pheng itu seorang penjahat tukang petik bunga, wajah Yak-bwe makin merah. Ditendangnya pula mayat Hau Pheng itu, serunya dengan geram.
"Kiranya seorang penjahat jahanam. Aku kepingin menusukmu lagi!"
"Dengan membunuh penjahat itu, berarti Su-heng telah melenyapkan sebuah bisul dalam dunia kangouw, sungguh pantas diberi selamat,"
Puji Tok-ko U. Ia masih mengira bahwa Yak-bwe itu seorang pemuda yang benci akan kejahatan. Sedikitpun ia tak mimpi bahwa pemuda di hadapannya itu ternyata seorang nona.
"Ah, kesemuanya tadi berkat bantuan saudara, masakan aku berhak mengangkangi pahala,"
Sahut Yak-bwe merendah. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanyalah.
"Semalam ada orang bersembunyi di atas pohon halaman hotel, kemudian ada lain orang yang menghalaunya pergi dengan timpukan batu. Apakah itu perbuatan saudara sendiri?"
Tok-ko U tertawa.
"Benar, memang aku. Yang bersembunyi di atas pohon itu ialah Hau Pheng ini."
Tiba-tiba kuda Yak-bwe meringkik kesakitan. Tok-ko U melirik dan mengerut heran.
"Suheng, kudamu telah dikerjai orang."
"Oh, makanya ia tak mau jalan, kukira binatang ini sakit. Tapi entah bagian apanya yang terluka?"
Tanya Yak-bwe. Tok-ko U menyatakan hendak memeriksanya. Kaki depan binatang itu terangkat ke atas, tak berani ditapakkan di tanah. Setelah melihat sebentar, berkatalah Tok-ko U.
"Benarlah, dia terkena jarum bwe-hoa-ciam."
Dikeluarkanlah sebuah batu semberani, lalu ditepuknya kuda itu pelahan-lahan.
"Jangan takut, nanti kuobati lukamu. Su-heng, tolong kau pegangi dia dan pinjamkan pedangmu."
Dengan ujung pedang Tok-ko U menyukil sedikit daging kaki binatang itu yang sudah busuk, kemudian ditempeli dengan batu semberani tadi.
Benar juga dari dua buah kuku kaki kuda itu keluar sebatang jarum perak yang berkilat-kilat.
Habis itu lalu dilumuri dengan obat.
"Selesailah. Kuda ini amat tegar, setelah beristirahat sebentar tentu sudah bisa jalan lagi. Hanya saja belum dapat berlari cepat, mungkin besok pagi baru dapat sembuh seperti sedia kala,"
Katanya. Girang Yak-bwe bukan kepalang. Kembali ia haturkan terima kasih. Diam-diam ia membatin.
"Ah, orang ini amat baik sekali. Tapi entah dari golongan apa? Usianya lebih tua sedikit dari aku, tapi segala apa ia tahu dan membekal macam-macam obat."
"Sudah jamak bagi kaum kelana itu untuk saling tolong. Sedikit bantuanku yang tak berarti itu mana berharga untuk menerima ucapan terima kasih Su-heng? Sebaliknya aku malah merasa menyesal,"
Kata Tok-ko U.
"Menyesal apa?"
Tanya Yak-bwe.
"Ah, tak perlu bertanya tentu juga sudah mengerti sendiri. Ya, apa lagi kalau bukan tentang perbuatan si Hau Pheng itu. Semalam sudah kuketahui bahwa dia mengandung maksud jelek terhadap Su-heng dan untuk itu aku hanya mengawasi gerak-geriknya saja, sama sekali tak menduga bahwa mereka bakal mencelakai kudamu juga. Bukankah ini pantas disesalkan?"
"Ah, memang tipu muslihat orang di dunia persilatan itu sukar diduga,"
Yak-bwe coba menghiburnya. Kalau Yak-bwe mempunyai rasa curiga terhadap diri Tok-ko U, pun pemuda pelajar itu juga mempunyai rasa demikian terhadap Yak-bwe. Selesai mengobati kuda, bertanyalah pemuda itu.
"Rupanya kuda ini sejenis kuda dari luar daerah, benarkah?"
"Mungkin,"
Sahut Yak-bwe.
"Karena aku sendiri bukan seorang ahli kuda."
"Dimanakah Su-heng membelinya? Kuda sejenis ini, jarang terdapat di daerah Tiong-goan sini,"
Kata Tok-ko U.
"Pemberian seorang sahabat,"
Sahut Yak-bwe dengan agak gelagapan. Karena tak biasa berbohong, jadi kata-kata Yak-bwe itu tidak wajar. Pikir Tok-ko U.
"Ah, seorang yang rela menyerahkan seekor kuda macam begini, tentu sorang sahabat yang karib sekali. Seharusnya orang itu menceritakan juga tentang asal-usul dan keistimewaan binatang ini. Aneh, mengapa jenis kuda yang berasal dari luar daerah saja, ia tak tahu."
Tapi karena baru berkenalan, jadi Tok-ko U tak leluasa untuk bertanya dengan melilit.
Hanya dalam hati saja ia tetap mempunyai rasa curiga.
Dia sudah banyak pengalaman dalam dunia Kangouw, sepintas pandang tahulah bahwa Yak-bwe itu masih hijau, sekali-kali bukan pemuda jahat.
"Menilik bagaimana tadi ia serta merta mengeluarkan bekal kim-taunya, hal ini membuktikan bahwa dia seorang pemuda jujur. Jika ia tak mau menceritakan urusannya, mengapa aku harus mendesaknya?"
Akhirnya Tok-ko U tiba pada kesimpulan begitu.
"Terima kasih atas budi bantuan saudara, kelak aku tentu membalasnya,"
Kata Yak-bwe sembari memberi hormat perpisahan.
"Su-heng hendak menuju kemana?"
Tanya Tok-ko U.
"Aku, aku tak mempunyai tujuan tetap,"
Sahut Yak-bwe.
"Apakah Su-heng mempunyai urusan penting?"
Tanya pemuda itu pula.
"Juga tidak,"
Jawab Yak-bwe.
"Jika begitu, pondokku tak berapa jauh dari sini, dengan berkuda kira-kira hanya makan waktu setengah hari saja. Entah apakah Su-heng sudi memberi muka padaku untuk menjamu Su-heng selama beberapa hari saja?"
Yak-bwe terkesiap. Sahutnya dengan terputus-putus.
"Ini, ini .... maaf aku tak dapat menerima budi kehormatan saudara, namun aku berterima kasih sekali."
"Apakah Su-heng menganggap aku keliwat lancang?"
Tanya Tok-ko U dengan kurang senang.
"Bukan, bukan! Tadi aku lupa bahwa aku masih mempunyai sedikit urusan lain. Ya, meskipun bukan urusan penting, tapi harus kulakukan juga. Budi kebaikan Tok-ko-heng tadi, lain hari tentu kubalas. Harap sudi memaafkan, aku terpaksa tak dapat lama-lama menemani Tok-ko-heng,"
Kata Yak-bwe. Melihat tingkah orang yang kikuk-kikuk itu, tahulah Tok-ko U bahwa Yak-bwe menolak undangannya. Sudah tentu ia merasa kurang puas, pikirnya.
"Ah, orang ini aneh sekali perangainya. Setempo terus terang tanpa tedeng aling-aling, setempo kemalu-maluan seperti anak perawan."
Memang renungan Tok-ko U itu tepat sekali. Sayang ia tak mengetahui bahwa pemuda di hadapannya itu ternyata memang seorang gadis.
"ah, karena Su-heng ada urusan lain, akupun tak berani memaksa. Ke jurusan mana Su-heng hendak mengambil jalan?"
Tanyanya.
"Dimanakah letak kediaman Tok-ko-heng itu?"
Yak-bwe balas bertanya.
"Aku tinggal di Pek-ciok-kong sebelah timur dari kota Hun-tay-tin,"
Sahut Tok-ko U.
"Kalau begitu tentu mengambil jalanan yang menjurus ke timur ini?"
Tanya Yak-bwe. Tok-ko U mengiakan. Baru ia hendak menanyakan apakah orang juga akan mengambil jalan yang sama, Yak-bwe sudah mendahului.
"Sungguh sayang, aku hendak menuju ke jurusan barat. Lain hari bila ada jodoh untuk bertemu lagi, tentu akan kuperlukan berkunjung ke tempat Tok-koheng."
Dengan tergesa-gesa seolah-olah kuatir kalau Tok-ko U sampai menahannya lagi, ia segera memberi hormat perpisahan. Tok-ko U makin kurang senang, batinnya.
"Ah, orang ini benar-benar tak punya rasa persahabatan. Benar ia tak kenal padaku, tapi aku telah menolongnya dari kesukaran. Hm, rupanya ia tidak seperti orang kangouw, tapi anehnya kata-katanya begitu cemerlang, ilmu pedangnya bukan olah-olah dan memiliki kuda bagus dari benua barat. Ah, orang apakah ia itu, sungguh membuat orang tak mengerti!"
Makin merenung, makin besar kecurigaannya.
Setelah berjalan beberapa saat, diam-diam ia memotong jalan singkat berganti arah ke sebelah barat ....
Sekarang mari kita ikuti Yak-bwe yang berjalan seorang diri menuju ke sebelah barat itu.
Memangnya ia tak mempunyai arah tujuan yang tertentu.
Kemanapun ia bebas lepas.
Hanya karena tadi Tok-ko U mengatakan hendak mengambil jalan sebelah timur, ia lantas sengaja mengambil arah barat.
Jalanan yang menjurus ke barat itu ternyata adalah sebuah jalan kecil yang menjurus ke jalan raya kota Ping-lu.
Dari kota Ping-lu terus menuju ke barat, dapat tiba di kota Tiang-an.
Baru mencongklang kudanya tak berapa lama, dari belakang tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang riuh.
Malah berbareng itu terdengar ada seseorang berteriak.
"Hai, bangsat kecil, hendak kemana kau?"
Yak-bwe marah.
Ia kira tentu konco-konco Hau Pheng yang mengejarnya.
Tapi alangkah kejutnya ketika ia berpaling ke belakang.
Ternyata yang mengejar itu serombongan tentara Gi-limkun yang berjumlah tak kurang dari lima belas orang.
Mereka adalah rombongan depan atau semacam perintis dari suatu pasukan Gi-lim-kun yang besar.
Setiap tiba di daerah atau kabupaten, mereka minta diadakan penyambutan.
Maka lebih dahulu dikirimlah sebuah regu anak buah Gilim- kun untuk memberi warta pada pembesar setempat agar mereka mempersiapkan penyambutan.
Adanya Yak-bwe mengambil jalan besar, adalah karena hendak menyingkir dari gangguan bangsa penyamun.
Siapa tahu kini ia berpapasan dengan rombongan tentara negeri.
Ini berarti lebih besar bahayanya.
Sebenarnya pakaian yang dikenakan Yak-bwe itu cukup mewah, memadai bangsa putera pembesar negeri.
Hal itu takkan menimbulkan kecurigaan tentara Gi-lim-kun itu.
Tetapi kuda yang dinaikinya itu adalah kuda tegar yang dipersembahkan oleh raja daerah Ceng-hay kepada kerajaan Tong.
Jika bersua dengan tentara negeri biasa, tentu takkan ketahuan.
Tapi celakanya Yak-bwe telah kesamplokan dengan pasukan Gi-lim-kun.
Pasukan istimewa yang bertugas khusus untuk menjaga keselamatan istana, mempunyai perlengkapan yang paling sempurna dan kuda-kuda ternama dari luar daerah.
Walaupun dari jauh, tapi sepintas pandang saja regu Gi-lim-kun itu sudah dapat mengenali kuda Yak-bwe.
Pemimpin regu Gi-lim-kun itu seorang opsir yang bernama An Ting-wan.
Pangkatnya sebagai Hou-ya-to-wi.
Di dalam hirarki (urut-urutan pangkat) tentara Gi-lim-kun, yang tertinggi adalah opsir yang berpangkat Liong-ki-to-wi, nomor dua barulah Hou-ya-to-wi.
An Ting-wan adalah kochiu (jago kosen) nomor lima dalam Gi-lim-kun.
Yang nomor satu adalah Cin Siang, lalu Ut-ti Pak (berpangkat Liong-ki-to-wi), Ut-ti Lam (berpangkat Hou-ya-wi) dan seorang Hou-ya-to-wi lain yang bernama Gong Pan.
An Ting-wan adalah seorang opsir yang gagah dan mahir berperang.
Kaget sekali ketika An Ting-wan melihat kuda yang dinaiki Yak-bwe itu, serunya.
"Itu dia penjahat Kim-ke-nia yang lolos!" - Dengan acungkan tombak, ia segera pimpin anak buahnya mengejar. Kuda An Ting-wan pesat sekali, ialah yang lebih dulu tiba. Bentaknya dengan keras.
"Bangsat bernyali besar, berani naik kuda rampasan di jalan besar? Ha, sungguh hebat! Ayo, lekas turun serahkan diri atau tidak?"
Seruan itu ditutup dengan sebuah tusukan ke ulu panggung dalam jurus 'tok-liong-jut-tong' (naga keluar dari gua).
Yak-bwe balikkan pedangnya untuk menangkis.
Tetapi ia tak biasa bertempur di atas kuda, tenaganyapun kalah dengan lawan.
Begitu berbenturan, tubuh Yak-bwe tergetar, hampir saja ia terjungkal dari kudanya.
Dan berbareng itu terdengarlah suara menderu.
Seorang anak buah Gi-lim-kun yang mahir dalam ilmu laso, setelah sejenak memutar-mutar tali terus dilontarkan ke arah Yak-bwe.
Yak-bwe terjepit, ia harus pilih menyelamatkan diri atau menolong kudanya.
Cret, kepala kuda itu tepat kena terlaso, keempat kakinya segera menjulai ke bawah.
Berbareng itupun An Ting-wan menusuk pula.
"Jika menghendaki kuda ini, ambillah! Mengapa berlaku begini kurang ajar!"
Teriak Yak-bwe dengan gusar. Ujung kakinya sekali menginjak pelan, tubuhnya Yak-bwe segera melayang ke udara. An Ting-wan memburu maju dengan sebuah tusukan. Yak-bwe berteriak dengan marahnya.
"Ayo, kaupun harus turun juga!"
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi belum lagi sebelah kaki Yak-bwe menginjk tanah, An Ting-wan sudah menusuk ke arah dadanya.
Yak-bwe tak mau menangkis, melainkan lengkungkan pinggangnya.
Begitu terhindar dari tusukan, ia membabat sebuah kaki kuda An Ting-wan.
Opsir itu menggerung keras dan terpaksa loncat turun.
"Hai, mengapa kau berkeras menuduh aku seorang penjahat?"
Bentak Yak-bwe. An Ting-wan tertawa dingin.
"Kalau bukan penjahat, dari mana kau peroleh kuda bagus itu?"
"Sahabatku yang memberi, aku tak tahu kalau kuda ini milik pemerintah,"
Sahut Yak-bwe.
"Siapa yang memberimu itu?"
Tanya An Ting-wan pula. Yak-bwe gelagapan, ia hanya dapat menyahut.
"Pendek kata, aku ini bukan penjahat atau penyamun, percaya tidak terserahlah!"
"Kalau bukan bangsa penyamun, habis siapakah kau ini?"
An Ting-wan menegas. Sudah tentu Yak-bwe tak mau menerangkan dirinya itu 'puteri Ciat-to-su dari Luciu'. Ia tak dapat menyahut melainkan deliki mata saja. Kembali An Ting-wan tertawa dingin.
"Kukira kawanan penjahat Kim-ke-nia itu semuanya jantan-jantan yang kepala batu, kiranya juga ada orang punya 'tulang lemas' seperti kau. Sudah berani menjadi penyamun tapi tak berani mengaku. Thiat-mo-lek dan Shin Thian-hiong sungguh harus malu mempunyai anak buah semacam kau!"
Sebenarnya An Ting-wan itu tak punya hubungan baik dengan Thiat-mo-lek dan Shin Thianhiong.
Tetapi terhadap kedua orang gagah itu, ia menaruh perindahan juga.
Itulah sebabnya ia mengeluarkan kata-kata tadi.
Memang Yak-bwe itu tak ingin bertempur dengan tentara negeri.
Tetapi karena selama dalam gedung Ciat-to-su, ia selalu disanjung hormat orang, jadi sifat-sifatnya sebagai Siocia (puteri pembesar) masih tebal.
Sudah tentu ia tak kuat menerima hinaan si opsir semacam itu.
Pada saat An Ting-wan mengacungkan tombaknya ke arah Yak-bwe sebagai isyarat agar anak buahnya segera meringkus nona itu, tiba-tiba terdengar suara berdering.
Yak-bwe sudah mencabut pedangnya dan berkata dengan dingin.
"Jika pembesar negeri menindas, tentu rakyat memberontak. Baik, karena kau berkeras mengatakan aku seorang penyamun, aku sekarang benar-benar menjadi penyamun. Nah, lihat pedangku!"
Giok-li-tho-soh atau bidadari lemparkan tali adalah jurus yang segera digunakan Yak-bwe untuk menusuk si opsir. An Ting-wan mendengus pelahan, pikirnya.
"Kukira seorang penjahat keroco yang takut mati, ternyata ilmu pedangnya boleh juga."
Tapi ia bukannya jeri, melainkan hanya terkejut saja.
Sembari berseru 'bagus', ia segera getarkan ujung tombaknya.
Begitu ujung tombak itu berkembang menjadi lingkaran sinar, terus ditusukkan ke dada Yak-bwe dalam gaya 'tiong-ping-jiang'.
Yak-bwe tahu kalau lawan bertenaga besar.
Ia ambil putusan tak mau adu senjata.
Pedangnya segera memutar, tubuhnya pun ikut maju dengan sang pedang.
Dengan begitu ia menghindari muka berhadapan muka.
Sekonyong-konyong ujung pedangnya disusupkan, menyusul tubuhnya pun ikut menyelinap masuk ke dalam lingkaran sinar tombak.
Setelah itu ia gunakan gerak "hong-hong-canki" (burung hong pentang sayap), begitu ujung pedang melekat pada batang tombak, ia segera membentak.
"Lepas!" -- Pedang itu digelincirkan untuk memapas jari An Ting-wan. An Ting-wan adalah seorang perwira yang sudah kenyang pengalaman perang. Dalam keadaan yang bagaimana bahayanyapun ia tak menjadi gugup. Begitu ujung pedang hampir tiba di tangan tiba-tiba tombak diputarnya sehingga pedang Yak-bwe terpental ke samping. Berbareng ia pun membentak.
"Lepas!"
Tombak digunakan sebagai toya, terus disapukan ke pinggang Yak-bwe.
Dengan gerak wan-yau-ja-liu atau lengkungkan pinggang menancap pohon liu.
Hanya terpisah seujung rambut saja, dapatlah ia menghindar dari serangan maut itu.
Kemudian dengan gerakan Hong-hong-tim-thau atau burung hong mengangguk kepala, ia menghindar dari ujung tombak lawan yang masih mengubernya.
Dengan begitu kedua pihak sama-sama tak terluka dan sama-sama tak lepas senjatanya.
"Siapa kau? Lekas kasih tahu namamu!"
Bentak An Ting-wan.
"Aku hanya seorang keroco yang tak bernama, lihat pedang!"
An Ting-wan diam-diam merasa heran, pikirnya.
"Kepandaiannya lihay, terang dia bukan keroco. Tetapi Cin to-wi tak pernah mengatakan bahwa di kalangan penyamun Kim-ke-nia terdapat tokoh semacam dia."
Memang Cin Siang itu kenal baik dengan pemimpin-pemimpin gunung Kim-ke-nia, seperti Thiat-mo-lek, Shin Thian-hiong, To Peh-ing dan lain-lain.
Sebelum menyerbu, orang she Cin itu sudah menerangkan jelas kepada An Ting-wan, suruh yang tersebut belakangan itu berhati-hati terhadap mereka.
Jika dapat bertahan boleh bertahan.
Jika sekiranya kewalahan, harus lekas-lekas mundur.
Dengan berbuat begitu, Cin Siang berbuat dua macam kebaikan.
Melindungi anak buahnya (An Ting-wan), dan sekaligus juga membantu pada Thiat-mo-lek.
Waktu Yak-bwe tak mau mengatakan namanya itu, diam-diam An Ting-wan menduga kalau Yak-bwe itu tentu seorang thaubak baru yang menduduki tempat penting dalam kalangan Kim-kenia.
Dengan anggapan itu, An Ting-wan ambil putusan tak mau memberi ampun lagi.
Begitulah ia segera mainkan tombaknya dengan gencar.
Pertempuran telah berjalan dengan seru.
Melihat bahwa An Ting-wan sebagai jenderal hanya bertempur melawan seorang penyamun kecil, anak buah Gi-lim-kun itu tak mau membantu.
Mereka hanya berjajar-jajar melingkari gelanggang.
An Ting-wan menggunakan senjata tombak yang panjangnya hampir satu tombak (lebih kurang 3 meter).
Di atas kuda memang amat dahsyat sekali perbawanya.
Tapi serta bertempur di tanah, pedang Yak-bwe lebih tangkas geraknya.
Dengan mengandalkan kelincahannya, Yak-bwe kembangkan permainan pedang dengan penuh semangat hingga akhirnya ia sedikit lebih menang angin.
Berulang-ulang An Ting-wan menyerang dengan hebat, namun ujung baju lawan saja ia tak mampu menyentuhnya.
Akhirnya ia berganti siasat, dari menyerang menjadi bertahan.
Karena tombaknya itu merupakan senjata berat, maka waktu dimainkan senjata itu menerbitkan angin yang menderu-deru, gencarnya sampai airpun tak dapat menetes masuk.
Yak-bwe tak berani adu kekerasan.
Ia gunakan siasat berlincahan kian kemari, sewaktu-waktu mencuri kesempatan untuk menusuk.
Tapi bagaimanapun ia kalah tenaga dengan lawan.
Apalagi ia baru saja habis bertempur.
Bermula memang menang angin, tapi setelah lewat 30-an jurus, pelahan-lahan tenaganya mulai berkurang, keringatnya mengucur deras.
Tetapi untungnya pasukan Gi-lim-kun itu tak mengetahui tentang perubahan situasi itu.
Sebaliknya mereka malah merasa kagum heran.
An Ting-wan adalah ko-chiu nomor lima dari pasukan Gi-lim-kun.
Bermula anak buah Gi-lim-kun itu menduga, dalam 2-3 jurus saja An Tingwan tentu sudah dapat membekuk lawan itu.
Maka betapalah heran dan kaget mereka demi sampai puluhan jurus keroco itu masih tetap dapat balas menyerang.
"An to-wi, kita masih harus lekas-lekas mencari penginapan. Tak usah harus menangkapnya hidup-hidup,"
Teriak seorang opsir. An Ting-wan mendongak. Dilihatnya hari sudah tengah hari. Diam-diam ia berpikir.
"Sebentar lagi ia tentu sudah kehabisan tenaga dan mudah untuk menawannya hidup-hidupan. Tapi paling sedikit masih harus menggunakan waktu setengah jam ini, tentu membikin kapiran lain-lain urusan."
Opsir yang berteriak tadi adalah seorang sin-cian-chiu atau ahli panah dalam pasukan Gi-limkun.
Dengan seruannya tadi sebenarnya ia secara diam-diam hendak bertanya, apakah An Ting-wan memerlukan tenaganya untuk melepas panah atau tidak? An Ting-wan mengerti juga isyarat itu.
Cepat ia putar tombaknya untuk mengurung Yak-bwe, lalu berseru.
"Baiklah, tapi sedapat mungkin bidik saja bagian tubuhnya yang tak berbahaya. Tapi kalau sampai terpanah mati, ya biarlah."
Yak-bwe tetap berlincahan kian kemari dengan tangkasnya, jadi tak mungkin orang akan dapat memanahnya dengan memilih bagian-bagian yang tak berbahaya.
Tapi karena sang jenderal sudah menghendaki supaya dapat menangkap hidup-hidupan, maka opsir itupun sengaja hendak mempamerkan kepandaiannya di hadapan sang atasan.
Akhirnya ia mendapat akal bagus.
Wut, ia lepaskan sebatang anak panah di sisi kanan Yak-bwe.
Menyusul ia lepaskan lagi sebatang di sisi kirinya.
Kedua batang itu sengaja dilayangkan hanya beberapa dim dari sisi tubuh Yak-bwe.
Kemudian ia lepaskan lagi anak panah yang ketiga, tapi hanya pura-pura saja karena tali busur saja yang ditarik tapi tak ada anak panahnya.
Yak-bwe mahir juga dalam ilmu melepas senjata rahasia lian-cu-cian-hwat.
Biasanya ilmu liancu- cian-hwat itu dilepaskan tiga kali beruntun-runtun, yakni diarahkan di sisi kanan, kiri dan tengah.
Tadi karena ia bergeliatan menghindari anak panah yang pertama dan kedua, posisi tubuhnya berada di tempat yang sudah diduga oleh musuh.
Waktu didengarnya lawan menggetarkan tali busur, ia yakin tentu akan mengarah bagian tengah.
Dan untuk itu, ia harus menghindari dengan meloncat ke udara.
Tapi dengan cerdiknya si opsir sudah mendahului lepaskan panahnya setinggi satu meter ke udara.
Dengan begitu gerak loncatan dari Yak-bwe tadi berarti 'anjing cari gebuk'.
Cret, lengannya termakan panah, darah mengucur deras.
"Menilik kau juga seorang jantan, aku tak mau mengambil jiwamu. Lekas buang senjatamu dan menyerah saja!"
Buru-buru An Ting-wan menyerukan. Yak-bwe kertek gigi dan menyahut getas.
"Jantan dari Kim-ke-nia tak kenal kata-kata menyerah!"
Karena gusar mendapat hinaan tadi, Yak-bwe nekad hendak mengadu jiwa.
Ia kuatkan diri menangkis tombak An Ting-wan.
Tapi setelah terluka itu, tenaganya makin lemah, sudah tentu ia tak dapat menangkis dengan jitu.
Segera ia rasakan lengannya linu, mata berkunang-kunang dan kakinya lemas.
Hampir saja ia tak mampu menahan lepasnya sang pedang.
Dalam keadaan begitu, asal An Ting-wan memberi tekanan lagi, pedang Yak-bwe pasti terlepas jatuh.
Dalam saat-saat yang berbahaya itu, sekonyong-konyong terdengar suara benda mendesing.
Sebatang passer melayang, bukan ke arah Yak-bwe melainkan menuju ke An Ting-wan.
An Tingwan terbeliak kaget, pikirnya.
"Ha, mengapa anak panah dari Hwe poh-hu bisa nyasar?"
Baru ia menghindar, panah yang kedua dan ketiga susul menyusul menyambarnya.
Apa boleh buat, terpaksa An Ting-wan lepaskan Yak-bwe.
Ia putar tombaknya untuk menangkis passer liancu- cian itu.
Setelah itu barulah ia mengetahui bahwa yang melepas lian-cu-cian itu ternyata bukan si opsir tadi melainkan lain orang lagi.
Tiba-tiba dari hutan pohon siong yang terletak di tepi jalan, menerobos keluar seekor kuda tegar.
Penunggangnya mengenakan kerudung muka.
Begitu keluar ia timpukkan dua buah lian-cu-cian.
Walaupun hanya dengan tangan, tapi panah itu tak kalah dahsyatnya daripada dilepaskan dari busur.
Pun selain keras timpukannya, juga arahnya amat jitu.
Untuk melindungi diri, An Ting-wan putar tombaknya gencar sekali.
Namun sekalipun begitu, tak urung ia tetap terkena sebatang panah.
Kebetulan sekali mengenai lengannya juga, darahnya mengucur deras, Yak-bwe mempunyai kawan sependeritaan.
Setelah mengetahui An Ting-wan terluka, orang berkerudung itu tak mau mencecernya lagi.
Kini ia beralih sasaran.
Tujuh delapan batang anak panah ditimpukkan ke arah pasukan berkuda Gi-lim-kun.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setiap batang tentu membawa korban seekor kuda.
Karena terluka, kuda pasukan Ginlim- kun itu menjadi binal dan mencongklang lari.
Yak-bwe menjadi terlepas dari kepungan anak buah Gi-lim-kun.
Pemimpin regu panah dari Gi-lim-kun menjadi murka, serunya.
"Bangsat, jangan kurang ajar! Terimalah panahku!"
Tapi baru ia bidikkan sebuah anak panah, lawan pun melepaskan sebuah passer untuk membenturnya.
Ternyata orang berkerudung muka itu lebih tangkas dari opsir pemimpin regu panah.
Si opsir coba akan mengembangkan ilmu bidikan yang disebut lian-cu-cian-hwat.
Tapi baru ia menarik busurnya, terdengarlah bunyi berkertakan.
Sebuah passer dari seorang berkerudung dengan tepat sekali telah menghantam bagian tengah dari busur sampai patah.
Dan lebih celaka lagi, si orang berkerudung sudah susuli passernya yang kedua yang dengan jitu telah mengenai paha si opsir.
Kontan si opsir itu terjungkal.
"Su-heng, lekas lari!"
Teriak orang berkerudung itu.
Melihat kejadian itu, marah An Ting-wan bukan kepalang.
Begitu tombak dipindah ke tangan kiri, ia lantas menerjang.
Tapi dengan tahan rasa sakit, Yak-bwe sudah loncat ke punggung kuda si opsir.
Karena anak buah Gi-lim-kun yang masih belum terluka hanya 6-7 orang saja, sudah tentu tak mampu menahan Yak-bwe.
Sekejap saja Yak-bwe sudah larikan kudanya ikut si orang berkerudung masuk ke dalam hutan.
Karena jeri akan kesaktian ilmu permainan passer dari si muka berkerudung dan kuatir kalau di dalam hutan bersembunyi barisan musuh, terpaksa An Ting-wan menggigit jari saja.
Setelah mengumpulkan sisa anak buahnya, iapun lantas meneruskan perjalanan lagi.
Selama membawa Yak-bwe menyusup hutan dan kemudian berjalan di sebuah jalan terpencil, orang berkerudung itu tak mengatakan sepatahpun jua.
Waktu menengok ke belakang legalah perasaan Yak-bwe karena musuh tak mengejar.
Tapi berbareng saat itu, luka di lengannya terasa sakit sekali sampai ia mengucurkan keringat dingin.
Hampir-hampir saja ia tak kuat bertahan diri duduk di atas pelana kuda.
Ia tahan sakit dan hendak mencabut panah yang tertancap di lengannya itu, tapi keburu dicegah oleh si muka berkerudung.
"Jangan, jangan!"
Mereka hentikan kudanya dan tiba-tiba orang itu tertawa gelak-gelak.
"Su-heng, sungguh tak nyana kita bakal berjumpa lagi." -- Bret, terus dicabutnya kain kerudung yang menutupi mukanya itu.
"Hai, kiranya kau!"
Teriak Yak-bwe dengan kaget. Kiranya si orang berkerudung itu bukan lain ialah pemuda pelajar yang belum lama berpisah dengan Yak-bwe, yaitu Tok-ko U.
"Aku tak tahu sama sekali kalau Su-heng ini juga salah seorang ksatria Kim-ke-nia. Maaf, tadi aku telah berlaku tak menghormat,"
Kata Tok-ko U. Dengan gunakan bahasa kangouw yang baru dipelajari bertanyalah Yak-bwe.
"Dari golongan manakah saudara ini?"
Tok-ko U tertawa gelak-gelak, sahutnya.
"Aku sebenarnya bukan orang loklim, tetapi aku gemar bersahabat dengan kaum enghiong ho-kiat. Siapakah orangnya yang tak kenal akan Thiatmo- lek, pemimpin Kim-ke-nia itu? Sungguh sayang sekali, sampai sekarang aku belum mempunyai rejeki untuk berjumpa. Kabarnya tentara negeri telah mengadakan serbuan besarbesaran ke gunung Kim-ke-nia, bagaimanakah dengan Thiat-mo-lek?"
Karena dirinya dianggap sebagai hohan (orang gagah) dari Kim-ke-nia, Yak-bwe membiarkannya saja. Ia menyahut.
"Thiat cecu siang-siang sudah dapat meloloskan diri. Karena kepandaianku rendah maka aku tak mampu mengikuti jejak Thiat cecu sehingga aku tercecer dari barisan."
"Jangan kuatir, Su-heng. Jika sekiranya tak menampik, sukalah kiranya Su-heng untuk sementara menetap di pondokku,"
Kata Tok-ko U.
"Terima kasih, tapi nanti merembet saudara,"
Sahut Yak-bwe.
"Dulu, kita belum kenal satu sama lain. Tapi sekarang jika Su-heng tetap menolak, berarti menghina diriku,"
Ujar Tok-ko U. Yak-bwe bimbang hatinya. Sesaat ia tak dapat mengambil putusan. Pikirnya.
"Rupanya orang ini seorang gagah budiman. Tetapi aku seorang gadis, bagaimana bisa tinggal di tempat seorang pemuda yang belum kukenal?"
Maka dengan ragu-ragu ia menjawab.
"Kurasa, lukaku ini tak apa-apa."
Baru ia berkata begitu, lukanya itu sudah mengucur darah pula. Tok-ko U cepat turun dari kudanya.
"Nih, aku membawa obat kim-jong-yok. Obatilah dulu lukamu itu, baru kita nanti sambung bicara lagi,"
Katanya sembari menghampiri terus hendak memondong Yak-bwe turun dari kuda.
Sudah tentu Yak-bwe terperanjat sekali.
Dengan menahan sakit, ia mendahului loncat sendiri.
Hampir saja ia terjerembab jatuh.
Tok-ko U hendak ulurkan tangan menahannya, tapi Yak-bwe cepat-cepat menghindar, serunya.
"Tak apa, tak apa. Tolong berikan obatmu itu padaku, aku dapat mengobati sendiri."
Diam-diam Tok-ko U heran melihat sikap Yak-bwe.
Masakan seorang hohan dari loklim begitu pemaluan sikapnya.
Tapi ia segera dikejutkan dengan gerak-gerik Yak-bwe.
Karena sudah hampir setengah jam lengannya tertancap panah, kucuran darah telah membasahi bajunya.
Dengan tahan sakit Yak-bwe merobek bajunya itu dan terus hendak mencabut anak panah.
"Jangan, Su-heng! Harus dicuci bersih dengan air dulu, dilumuri obat dan dibungkus kain pembalut. Paling sedikit lewat satu malam, setelah nanti darahnya berhenti mengucur baru boleh panah itu dicabut. Jika sekarang dicabut, darah tentu mengalir tak berhenti. Dikuatirkan darah itu mengandung racun. Obatku kim-jong-yok ini pasti tak dapat menolong apa-apa. Di rumah aku mempunyai persediaan obat-obatan yang lengkap. Besok pagi dicabut, rasanyapun masih belum terlambat,"
Buru-buru Tok-ko U mencegah.
Yak-bwe menghaturkan terima kasih lalu melumurkan kim-jong-yok pada lukanya.
Tapi ia tak mempunyai pengalaman sama sekali.
Jari-jarinya bergemetaran.
Ketika melumurkan obat dan kena pada tulang, saking sakitnya hampir saja ia menjerit.
Keringat dingin mengucur deras.
Tok-ko U makin heran.
Pikirnya.
"Pekerjaannya selalu berhubungan dengan golok dan darah, tetapi mengapa mengobati luka saja ia tak mengerti. Sudah diperingatkan satu kali supaya jangan mencabut panah, ia masih bermaksud mencabut. Dan sampai pun cara untuk melumuri obat juga tak tahu. Sungguh mengherankan bahwa di dunia loklim terdapat seorang hohan seperti dia."
Tetapi ketika melihat Yak-bwe menahan kesakitan hebat, Tok-ko U tak tega melihat saja.
Dan lagi-lagi ia bermaksud hendak membantunya melumuri obat.
Yak-bwe tengah asyik melumurkan obat sambil tundukkan kepala.
Ia tak mengetahui kalau Tok-ko U sudah menghampiri ke sampingnya.
Pun terdorong oleh rasa kasihan, tanpa bilang lebih dulu, Tok-ko U terus ulurkan tangan untuk memapahnya.
Waktu tubuhnya serasa dijamah tangan orang, kejut Yak-bwe bukan kepalang.
Serentak timbul juga reaksinya sebagai seorang gadis.
Cepat ia mendorong dan berteriak.
"Mau apa kau?" -- Karena gerakan itu, bungkusan obat yang dipegangnya pun turut jatuh ke tanah. Tok-ko U terbeliak kaget.
"Su-heng, aku mau membantumu, kau ini bagaimana sih?"
Waktu tampak yang datang itu Tok-ko U, tahulah Yak-bwe akan maksudnya. Wajahnya segera berubah kemerah-merahan. Ia paksakan tertawa.
"Aku sudah melumurinya, terima kasih."
"Mana, biar kubantu balutkan,"
Kata Tok-ko U.
"Tak usah, tak usah, aku sendiri bisa,"
Yak-bwe goyangkan tangannya. Keheranan Tok-ko U makin bertambah besar, batinnya.
"Aneh benar orang ini. Dia lebih pemaluan dari seorang toa-siocia."
Yak-bwe merobek secarik kain bajunya lalu membalut lengan kirinya yang terluka itu.
Tapi ia tak mengerti caranya membalut luka.
Ia malang melintangkan balutnya, hingga tak keruan bentuknya.
Tok-ko U kerutkan alis.
Beberapa kali ia bermaksud hendak ulurkan bantuan, tapi selalu 'mundur teratur' karena sikap Yak-bwe yang janggal itu.
Pada jaman kerajaan Tong masa itu, masyarakat tak terlalu terkekang dengan adat istiadat pergaulan.
Pergaulan antara wanita dan pria agak bebas.
Adalah karena Yak-bwe itu dibesarkan sebagai siocia (nona) keluarga pembesar, ibu kandungnya sendiripun berasal dari keluarga terhormat, maka watak perangainyapun berbeda dengan gadis kebanyakan.
Terhadap pria yang belum dikenalnya, ia tak berani bergaul terlalu rapat.
Justru karena sifat-sifatnya yang berbeda dengan kaum gadis umumnya, Tok-ko U tak bercuriga kalau ia itu seorang gadis.
Pada umumnya kaum wanita, terutama wanita kangouw, sewaktu mendapat luka tentu tak menolak mendapat bantuan kaum pria.
Tok-ko U anggap Yak-bwe itu seorang pemuda yang berwatak aneh saja.
Diam-diam ia kurang senang tapi sungkan untuk mengatakannya.
Setelah dibalut dan beristirahat beberapa saat, tenaga Yak-bwe mulai timbul sedikit.
Ia paksakan diri untuk naik ke atas pelana kudanya.
"Su-heng, kau perlu beristirahat baik-baik. Harap jangan sungkan lagi, beristirahatlah untuk sementara hari di rumahku,"
Kata Tok-ko U pula. Sudah tiga kali ini, ia menawarkan jasa baiknya. Waktu Yak-bwe masih meragu, Tok-ko sudah berkata lagi.
"Sejak dari perjalanan di sini, seterusnya di mana-mana tentu terdapat tentara negeri. Taruh kata kau mempunyai urusan penting yang harus dikerjakan, namun kiranya tak leluasa untuk melanjutkan perjalanan. Kau seorang diri dan dalam keadaan terluka pula. Jangankan anak tentara negeri, sedangkan setiap orangpun tentu akan mencurigai dirimu."
Yak-bwe mengakui kebenaran ucapan itu, namun ia tak dapat mengambil keputusan dengan segera. Pikirnya.
"Pemuda ini rupanya seorang bangsa hiapgi (orang gagah budiman). Dalam keadaan seperti sekarang, apa boleh buat aku terpaksa harus memenuhi ajakannya. Rasanya orang ini tentu takkan berbuat jahat terhadap diriku.
"Karena Tok-ko-heng begitu sungguh hati mengundang, biarlah kutebalkan muka untuk menerimanya. Ah, sungguh bikin repot kau saja dan kemungkinan juga akan merepotkan dirimu,"
Akhirnya Yak-bwe menerima juga. Jawab Tok-ko U.
"Harap Su-heng jangan cemas. Desa kediamanku itu terpencil di tempat pegunungan sunyi. Orang luar pasti tak menaruh perhatian. Hanya saja aku sedikit menguatirkan ...."
"Apa yang kau kuatirkan?"
Tukas Yak-bwe.
"Karena menderita luka, mungkin Su-heng akan susah naik kuda. Lebih baik kita boncengan saja, naiklah di kuda sini,"
Kata Tok-ko U. Jantung Yak-bwe mendebur lagi, pikirnya.
"Mungkinkah ia sudah mengetahui diriku lalu mengandung maksud buruk?"
Tapi demi menilik sikap pemuda itu amat sopan dan bersungguh-sungguh, ia membantah dugaannya yang tidak-tidak itu sendiri. Ia merenung sejenak lalu menyahut.
"Walaupun lenganku terluka, tapi kalau kau bukan kesatria dari Kim-ke-nia, tak nanti aku mau gubris padamu."
Sekalipun ia coba membikin gagah ucapannya, namun sikapnya tetap tak wajar. Tok-ko u menggerutu dalam hatinya.
"Coba kalau kau bukan ksatria Kim-ke-nia tak nanti aku mau gubris padamu."
Kuatir kalau kesamplokan dengan tentara negeri.
Tok-ko U mengambil sebuah jalanan kecil di tepi gunung.
Jalan disitu berlekuk-lekuk, orang naik kuda sekalipun juga akan peringisan.
Dengan tahan rasa sakit.
Yak-bwe tetap mempertahankan diri naik kuda sendiri.
Untung kediaman Tok-ko U itu hanya terpisah jarak 40-an li.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak berapa lama, tibalah sudah mereka di desa kediaman Tok ko U.
Kediaman Tok-ko U itu terletak di bawah puncak Pek-ho-nia, depan rumah ada sebuah empang teratai dan keduanya tepinya dikelilingi oleh pohon-pohon liu.
Atap rumah merah yang menonjol di antara hutan berwarna hijau itu, sungguh seperti pemandangan dalam sebuah lukisan.
"Alangkah indahnya tempat ini, seperti sebuah taman firdaus di luar dunia,"
Yak-bwe memuji.
"Ah, Su-heng itu tak mirip seorang loklim tapi lebih mendekati seorang seniman.
"
Tok-ko U tertawa.
"Pujian Su-heng itu lebih menggirangkan hatiku sebagai tuan rumah. Aku tentu akan minta Su-heng untuk tinggal lebih lama di sini."
Tengah mereka bicara itu, muncullah seorang dara berlari-lari keluar. Masih jauh dara itu sudah berteriak.
"Koko, kau sudah pulanglah!"
Tapi serta melihat Tok-ko U membawa seorang pemuda yang terluka lengannya, dara itu terkesiap. Tok-ko U tertawa menerangkan bahwa ia membawa seorang sahabat. Kemudian ia memperkenalkan.
"Ini adalah Su Ceng-to (nama samaran yang dipakai Yak-bwe). Dan ini adalah adik perempuanku Tok-ko Ing. Su-toako ini sunggguh seorang tetamu yang jarang kita jumpai. Ing-moay, tolong kau melayaninya baik-baik."
"Hai, Su-toako, mengapa kau terluka itu?"
Tanya Tok-ko Ing. Tiba-tiba Tok-ko U berkata.
"Moaymoay, tentu kau akan gembira ...."
"Huh, mengapa kau malah senang melihat orang lain terluka?"
Tok-ko Ing mengomelinya.
"Bukan itu yang kumaksudkan, melainkan aku hendak menuturkan tentang riwayat Su toako. Harap kau jangan mencampur-adukkan. Ing-moay, bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau hanya kagum kepada tiga tokoh dalam jaman ini?"
Kata Tok-ko U.
"Ya, benar. Yang satu Thiat-mo-lek, yang kedua Bo Se-kiat dan yang ketiga Toan Khik-sia,"
Kata Tok-ko Ing.
"Nah, begitulah, Su toako ini adalah sahabat baik dari ketiga tokoh itu. Ia adalah salah seorang hohan dari Kim-ke-nia,"
Ujar Tok-ko U.
Memang hubungan Se-kiat dan Khik-sia dengan Thiat-mo-lek itu sudah diketahui oleh kaum Bu-lim.
Oleh karena itu walaupun Yak-bwe tak mengatakan kalau ia kenal dengan kedua pemuda itu, namun dengan spontan (serentak)Tok-ko U yakin Yak-bwe tentu mengenalnya.
Dan ini terang mengangkat diri yak-bwe di mata Tok-ko Ing.
Tertawalah Yak-bwe menyahut.
"Aku hanya seorang keroco dari Kim-ke-nia, mana dapat digolongkan sebagai sahabat dari ketiga tokoh itu?"
"Oh, mengertilah aku. Kabarnya beberapa hari yang lalu tentara negeri telah mengadakan sergapan ke Kim-ke-nia. Bukankah kau terluka kena panah mereka?"
Tanya Tok-ko Ing.
"Ah, ia barusan saja terluka itu,"
Sahut Tok-ko U. Ia lantas menceritakan tentang pertemuannya dengan Yak-bwe sewaktu sedang bertempur dengan pasukan Gi-lim-kun.
"Hai, koko, kau ini memang keterlaluan juga. Orang menderita luka sebaliknya kau hanya enak-enak mengobrol saja. Ayo, lekas sediakan tempat untuk Su toako,"
Tiba-tiba Tok-ko Ing menyeletuk.
Memang kala itu Yak-bwe amat lelah sekali.
Kedua kakinya serasa mati rasa, seolah-olah seperti bukan kakinya sendiri.
Ternyata gedung kediaman keluarga Tok-ko itu agak terletak di atas, jadi mereka harus melalui sebuah lamping gunung yang menanjak.
Ketika melihat Yak-bwe turun dari kuda dan berjalan dengan susah payah yaitu setiap berjalan selangkah tentu harus berhenti sejenak, Tok-ko Ing serentak menghampiri hendak menolong memapahnya.
Sedang mulut dara itu tetap mengomel sang engkoh.
"Kau sendiri tadi yang minta supaya aku melayani tetamu baik-baik, masakan kau sendiri tak mengerti bagaimana harus melayani orang?"
Walaupun dalam hati Yak-bwe benci kepada Khik-sia, tapi entah bagaimana, kepada orang yang memuji sang tunangan itu, ia merasa senang sekali.
Apalagi Tok-ko Ing itu seorang dara.
Seketika lupalah yak-bwe bahwa dirinya pada saat itu sedang menjadi seorang 'pria'.
Bukan hanya membiarkan saja Tok-ko Ing menggandeng tangannya, pun karena letihnya ia lantas menggelondoti tubuh sang dara.
Tersentuh dengan hangatnya tubuh Yak-bwe dan membaui harum dari napas dan rambut Yakbwe, seketika mendeburlah darah Tok-ko Ing.
Tapi ia seorang dara yang lapang dada.
Didiamkannya perbuatan 'pemuda' itu, dengan wajah tenang ia tetap menggandeng tangan Yak-bwe untuk diajak masuk ke dalam rumah.
Semula Tok-ko U kuatir kalau-kalau adiknya bakal mendapat 'kopi pahit' (sikap getas) dari Yakbwe.
Siapa tahu ternyata pemuda gadungan itu telah mengunjukkan sikap yang di luar dugaannya.
Pikirnya.
"Kukira ia itu seorang yang amat pemaluan. Siapa tahu ia begitu mesra kepada Ing-moay. Aneh benar ini. Aku yang sekaum dengannya tapi ia sudah begitu enggan berdekatan. Sebaliknya dengan seorang yang berlainan jenis ia malah begitu mesranya. Hm, jika semalam aku belum mengetahui jelas bagaimana peribadinya tentu kusangka ia seorang pemuda hidung belang."
Ketika mendengar napas Yak-bwe tersengal-sengal, Tok-ko Ing merasa kasihan, ujarnya.
"Su toako, kau benar-benar seorang pemuda gagah. Meskipun terluka parah, tapi masih dapat naik kuda mendaki gunung. Koko, mari kita rawat luka Su toako ini lebih dulu, kemudian biar ia mengaso di kamarmu, ya?"
Yak-bwe terkejut, buru-buru ia berkata.
"Ah, jangan sampai merepot! Tok-ko-heng, aku memang mempunyai adat aneh, yakni tak suka tidur sekamar dengan orang, melainkan senang tidur seorang diri di sebuah kamar yang sunyi."
"Ah, benar-benar ia seorang yang terus terang. Biasanya seorang tetamu itu tentu menurut peraturan tuan rumah, sebaliknya ia tak sungkan mengajukan permintaan. Ah, rupanya ia tak mau membikin repot tuan rumah,"
Pikir Tok-ko Ing.
"Aku mempunyai sebuah kamar buku yang lumayan bersihnya. Entah mencocoki tidak selera Su toako?"
Katanya sembari memapah Yak-bwe menuju ke sebuah kamar buku.
Ternyata kamar buku itu indah dan rajin.
Di atas dinding dari rak buku digantungi lukisan.
Sementara pada tepi jendela di mana sebuah meja tulis, pun dijajar vaas-vaas bunga.
Dupa wangi di perapian masih mengepulkan hawa yang harum.
Berhadapan dengan lemari buku, terdapat sebuah dipan yang tak berkasur, melainkan sebuah bantal saja.
Rupanya dipan itu dibuat tempat Tok-ko Ing berbaring di kala ia membaca.
"Su toako, jika kau senang dengan kamar ini, biarlah kusiapkan kasur,"
Kata dara itu.
"Ya, ya, bagus benar! Sungguh tak kira nona ini juga seorang penggemar buku. Di kamar sini terdapat sekian banyak buku. Huruf pada lukisan itu, sungguh kuat sekali ekspresinya. Aha, kiranya syair gubahan Tu Fu!"
Demikian Yak-bwe memuji.
Tu Fu dan Li Pai adalah dua dewa penyair yang disanjung pada jaman itu.
Setiap buah karya mereka keluar, tentu segera menjadi buah deklamasi pada setiap mulut orang.
Tetapi buah sajak yang ditulis oleh tangan kedua penyair termasyhur itu, jarang sekali dapat diperoleh.
Syair yang tergantung di dinding kamar buku Tok-ko Ing itu ternyata buah tulisan dari penyair Tu Fu.
Yak-bwe pernah melihatnya dan seketika timbullah gelora hatinya untuk mendeklamasikan sajak itu.
Kiranya sajak itu digubah oleh Tu Fu ketika ia di kota Lim-pin melihat anak murid dari Kong-sun toa-nio yang bernama Li Sip-ji-nio memainkan pedang.
Tertarik oleh permainan pedang si nona yang sedemikian indahnya, penyair itu telah menarikan pit, mempersembahkan sebuah sajak pujian.....
"Syair indah, syair indah! Datangnya bagaikan halilintar mengumbar kemarahan, gemuruh laksana ombak laut memancar sinar mengkilap. Ah, ilmu pedang yang telah mencapai tingkatan semacam itu, sungguh tak dapat dibayangkan oleh pikiran,"
Yak-bwe memuji. Tapi dalam pada itu ia merasa heran juga dan bertanya.
"Syair ini digubah oleh Tu Fu untuk dipersembahkan kepada Li Sip-ji Nio. Mengapa bisa berada di tempat nona sini?"
Tok-ko U tertawa menyahut.
"Adikku itu adalah sumoay dari Li Sip-ji Nio. Kami kakak beradik berlainan suhu."
Yak-bwe terbeliak kaget, tegasnya.
"Apakah Kong-sun toanio masih hidup? Bukankah beliau sudah hampir berusia ratusan tahun?"
"Beberapa tahun yang lalu suhuku sudah menutup mata. Benar Li Sip-ji Nio itu toa-suciku, tapi kepandaianku itu adalah toa-suci yang mengajarkannya. Toa-suci amat memanjakan sekali kepadaku. Ketika tahun yang lalu toa-suci lewat di sini, karena tahu aku gemar akan syair Tu Fu, maka serangkai syair gubahan Tu Fu itu diberikan kepadaku,"
Kata Tok-ko Ing. Sebaliknya kini Tok-ko U yang balas bertanya dengan heran.
"Menilik Su-heng begitu gemar akan syair, rasanya tentu seorang keturunan sasterawan. Tetapi mengapa ceburkan diri dalam kalangan loklim?"
Sahut Yak-bwe.
"Ya, begitulah kalau mau dikata, memang aku pernah membaca sedikit sajak. Tok-ko-heng tanya kepadaku mengapa terjerumus dalam kalangan loklim, ah, hal itu lebih baik tak kukatakan saja."
Sebenarnya Yak-bwe hendak merangkai suatu cerita, tapi dikarenakan ia tak biasa berbohong, dalam saat-saat yang mendesak ia sudah tak dapat mengatur ceritanya.
Sebaliknya Tok-ko U mengira kalau tetamu itu mempunyai hal-hal yang sukar dikatakan.
Ia pun tak mau mendesak lebih jauh.
Buru-buru ia alihkan pembicaraan.
"Su-heng seorang yang pandai ilmu sastera dan mahir ilmu silat, sungguh patut dikagumi. Di dalam negeri yang kacau ini, pahlawan-pahlawan bermunculan dari kalangan loklim. Mengapa Suheng mengatakan terjerumus?"
Habis berkata kembali Tok-ko U membatin.
"Ah, kiranya ia seorang pendatang baru di dunia loklim, makanya ia begitu hijau sekali. Sedikitpun tak menyerupai seorang penjahat, tetapi lebih mirip dengan seorang sasterawan."
Dalam pada itu, datanglah seorang pelayan membawa kasur. Setelah mengatur tempat tidur bagi sang tamu, lalu berkatalah Tok-ko Ing.
"Sudahlah, jangan tarik lidah lebih lanjut. Ayo, kira rawat luka Su toako." -- Setelah itu ia minta Yak-bwe supaya berbaring di atas pembaringan darurat itu.
"Dalam hal kerjaan, seorang anak perempuan itu tentu lebih teliti. Ing-moay, untuk mengobati luka Su-toako, aku terpaksa harus minta bantuanmu,"
Kata Tok-ko U. Hati Tok-ko Ing tergetar. Ia tundukkan kepala tapi tiba-tiba mulutnya pecah tertawa.
"Huh, koko, rupanya kau cerdik juga karena tahu diri. Akupun tak mau mempersalahkanmu. Tuh, lihatlah, apa-apaan caramu membalut luka orang begitu macam? Malang melintang tak keruan, sampai lengan Su toako menjadi seperti buah semangka saja!"
Merahlah wajah Yak-bwe mendengar itu, katanya.
"Aku sendirilah yang membalutnya."
Tok-ko Ing sudah terlanjur mengata-ngatai, walaupun likat tapi terpaksa ia tertawa juga.
"Memang anak lelaki itu kebanyakan tak dapat mengurus diri sendiri. Su toako, tidurlah, biar kulumuri obat pada lukamu."
Darah dari luka Yak-bwe itu sudah mengental dan melekat pada pakaiannya. Tok-ko Ing menanyakan kalau-kalau Yak-bwe membawa ganti pakaian.
"Dalam buntalanku itu terdapat dua stel pakaian yang baru kemarin kubeli, entah cocok tidak ukurannya,"
Kata Yak-bwe.
"Kau tak tahu bahwa Su-toako itu royal sekali. Kedua stel pakaiannya itu dibelinya dengan memakai biji emas."
Tok-ko U tertawa. Ia menuturkan peristiwa semalam yang terjadi di rumah penginapan.
"Su toako, kau balikkan tubuhmulah, biar kulepas bajumu. Koko, tolong ambilkan semangkuk air hangat,"
Kata Tok-ko Ing. Nyata dara itu hendak mencuci luka Yak-bwe dengan air hangat, baru kemudian dilumur obat dan dibalut. Sebaliknya wajah Yak-bwe menjadi merah. Katanya dengan berbisik.
"Ah, tak usah begitu repot-repot. Apakah kau punya gunting?"
"Gunting? Mau buat apa?"
Sudah tentu Tok-ko Ing menjadi heran.
"Cukup gunting saja lengan baju di dekat luka itu, kan dengan begitu boleh lantas dicuci dan dilumuri obat,"
Jawab Yak-bwe. Diam-diam Tok-ko Ing menggerutu dalam hati.
"Katanya seorang hohan dari loklim, tapi ternyata lebih pemaluan dari seorang gadis pingitan. Aku bersikap bebas, sebaliknya ia sungkan akan pergaulan wanita dan pria."
Tapi ia pun terpaksa mengambilkan gunting dan melakukan permintaan Yak-bwe tadi. Setelah mencuci bersih, barulah ia melumuri luka itu dengan obat lagi. Tok-ko U datang dengan membawa poci teh-som, katanya.
"Kau sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, tentu merasa haus. Poci yang berisi teh-som ini, akan dapat menghentikan hausmu. Besok pagi jika lapar, barulah kau makan hidangan ini."
Yak-bwe tergerak hatinya dengan kebaikan tuan rumah. Ia menghaturkan terima kasih dan mempersilahkan supaya kedua saudara Tok-ko itu juga beristirahat.
"Aku tidur di sebelah depan sana. Jika tengah malam memerlukan apa-apa, panggil saja, jangan sungkan-sungkan,"
Kata Tok-ko U.
Kembali Yak-bwe menghaturkan terima kasihnya.
Setelah kedua saudara itu tinggalkan kamar situ, timbullah kekuatiran pada hati Yak-bwe jangan-jangan nanti tengah malam Tok-ko U benarbenar berkunjung ke situ lagi.
Ia menggeliat bangun untuk menutup jendela.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah itu barulah ia leluasa ganti pakaian lalu masuk tidur.
Bermula hatinya memang masih kebat-kebit, tapi karena letihnya, tak lama kemudian ia sudah jatuh pulas.
Entah sudah berapa lama ia kelelap dalam impiannya di pulau kapuk itu, hanya ketika ia sadar segera ia dikejutkan dengan suara ketukan pintu.
Buru-buru ia bangun.
"Tok-ko-heng, aku tak memerlukan apa-apa, silakan tidur kembali,"
Buru-buru ia berseru. Di luar kamar terdengar suara ketawa mengikik.
"Akulah, Su toako. Hari sudah terang, ini kubawakan santapan pagi untukmu."
Kiranya yang mengetuk pintu itu ialah Tok-ko Ing. Waktu Yak-bwe membukakan pintu, dara itu tertawa.
"Mengapa jendelanya juga kau tutup rapat-rapat? Apakah tidak kepanasan hawanya?" - - Dara itu segera buka jendela agar dapat hawa dan sinar matahari pagi.
"Di waktu kecil aku takut pada setan, maka sudah menjadi kebiasaanku untuk menutup jendela kamar rapat-rapat. Harap kau jangan menertawakannya,"
Dengan pintarnya Yak-bwe mencari jawaban. Sebetulnya Tok-ko Ing tak tertawa, tapi demi mendengar penjelasan itu ia menjadi geli juga, ujarnya.
"Kurasa hanya anak perempuan yang takut pada setan, siapa tahu kalian kaum gagah dari loklim juga jeri. Baiklah, sekarang sudah terang hari, tak usah takut setan lagi dan lekaslah makan santapan pagi."
Tok-ko Ing menghidangkan makanan yang dibawanya itu di atas meja. Isinya terdiri dari empat macam masakan lezat dan semangkuk besar bubur. Nikmat sekali tampaknya Yak-bwe makan.
"Masakan ini kumasak sendiri, kukuatir jangan-jangan kau tidak doyan,"
Kata Tok-ko Ing. Yak-bwe tertawa dan berkata.
"Nona Tok-ko benar-benar serba pandai. Pandai sastera, mahir ilmu silat dan ahli masak. Entah siapakah di kemudian hari yang beruntung ...."
Wajah Tok-ko Ing merah jengah lalu cepat-cepat menyelanya.
"Su toako, apa katamu?!"
Kini barulah Yak-bwe gelagapan dan sadar bahwa dirinya sedang menjalankan rol sebagai seorang pemuda.
Buru-buru ia telan kembali separuh ucapannya yang sedianya berbunyi menyunting dara jelita yang cerdik cendekia itu.
Cepat ia tertawa meringis dan mengalihkan haluannya.
"Mungkin usiamu tak terpaut banyak dari aku, tapi segala apa kau dapat mengerjakan, sebaliknya aku tak mengerti apa-apa. Terus terang kukatakan, aku sungguh ingin seperti dirimu!"
Katanya. Yak-bwe katakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sebagai seorang gadis. Sebaliknya Tok-ko Ing telah menerimanya lain. Wajah dara itu menjadi lebih merah lagi.
"Celaka! Aku salah omong lagi,"
Yak-bwe mengeluh dalam hati.
"menyaru jadi anak lelaki, kiranya bukan hal yang mudah."
Buru-buru ia tundukkan kepala dan menghirupi bubur untuk menutupi perubahan kerut wajahnya.
Selama beberapa saat kemudian, barulah ia mendongak lagi.
Demi melihat sorot mata Tok-ko Ing yang ditujukan kepadanya itu tak mengandung kemarahan, legalah perasaan Yak-bwe.
"Su toako, kau masih terlalu merendah diri. Kaulah yang pantas disebut seorang bun-bu-coancay (pandai sastera dan ilmu silat),"
Tiba-tiba Tok-ko Ing berkata dengan tersenyum. Kesempatan itu telah digunakan Yak-bwe untuk mengalihkan persoalan, katanya.
"Dulu hanyalah Li Pai itu saja yang kuketahui suka bergaul dengan kaum hiap-su (orang gagah) dan mengerti ilmu pedang. Kini setelah melihat Tu Fu mempersembahkan syairnya kepada suci-mu, barulah terbuka mataku bahwa beliau (Tu Fu) itu seorang ahli pedang juga yang jempol."
"Bagaimana kau ketahui ia seorang ahli?"
Tanya Tok-ko Ing.
"Kalau tidak masakan ia dapat melukiskan permainan pedang suci-mu itu sedemikian indahnya?"
Balas Yak-bwe. Tok-ko Ing tertawa.
"Menurut pendapatku, Tu Fu tak mengerti ilmu pedang tapi tahu menikmatinya. Ya, memang begitulah."
"Tahu menikmati, itulah juga seorang ahli,"
Sahut Yak-bwe.
"Su-toako, kenal baik aku dengan Toan Khik-sia?"
Tiba-tiba Tok-ko Ing mengajukan pertanyaan. Jantung Yak-bwe berdetak keras dan tanpa terasa wajahnya bersemu merah. Sahutnya.
"Tak begitu akrab. Mengapa kau tanyakan hal itu?"
"Tadi ketika kau katakan bahwa Li Pai itu gemar bergaul dengan kaum hiap-su, teringatlah aku. Li Pai dengan Toan Kui-ciang tayhiap itu mempunyai hubungan yang karib sekali. Rasanya kau tentu sudah mengetahui hal itu. Sayang Toan tayhiap itu siang-siang sudah menutup mata hingga kita dari angkatan muda ini tak sempat lagi untuk menjumpainya. Entah sampai dimanakah kesaktian ilmu pedang dari tokoh yang pernah disanjung oleh penyair Li Pai itu?"
Belum Yak-bwe menyahut, Tok-ko Ing sudah melanjutkan kata-katanya pula.
"Kabarnya ilmu pedang dari Toan Khik-sia itu lebih lihay lagi dari ayahnya. Pernahkah kau menyaksikannya?"
Mendengar Toan Khik-sia dipuji-puji, diam-diam Yak-bwe girang dalam hatinya. Tapi purapura ia bersikap dingin dalam memberi jawaban.
"Mungkin begitulah, tapi aku belum pernah menyaksikannya."
Diam-diam heran Tok-ko Ing dibuatnya, pikirnya.
"Menilik gelagatnya, mungkin pergaulannya dengan Toan Khik-sia itu hanya biasa saja. Ini aneh juga, biasanya peribahasa mengatakan 'warna itu tentu mencari warna'. Tapi rupanya hal itu tak berlaku baginya. Ia tinggal di satu markas dengan Toan Khik-sia, tapi mengapa tak mau mencari kesempatan untuk bergaul rapat?"
Dalam menimang begitu, dilihatnya pintu kamar dari engkohnya (Tok-ko U) yang berada di sebelah muka sudah terbuka. Dan masuklah Tok-ko U dengan tertawa-tawa.
"Moaymoay, kiranya kau sudah lebih pagi datang kemari."
"Siapa yang mau meniru kemalasanmu? Hari sudah begini siang kau masih dekam di pembaringan. Sikap begitu berarti tak mempedulikan tetamu,"
Tok-ko Ing jebikan bibirnya.
"Mempunyai seorang adik rajin seperti kau, masakan aku masih perlu membanting tulang?"
Tok-ko U membantah disertai tertawa. Mendengar dalam nada ketawa engkohnya itu mengandung sesuatu yang dalam artinya, tanpa terasa berdebarlah hati Tok-ko Ing.
"Bagaimana Su toako, apa sudah baikan?"
Tanya Tok-ko U. Yak-bwe mengiakan.
"Ya, sudah banyak baik. Lihat, aku sudah makan begini banyak."
"Ya, sekarang bolehlah anak panah itu dicabut. Ing-moay, kau cermat dan tangkas. Mencabut panah di lengan Su toako nanti lagi-lagi mesti minta tolong padamu,"
Kata Tok-ko U. Tok-ko Ing tahu bahwa sang engkoh memang sengaja supaya ia bergaul rapat dengan 'pemuda cakap' itu. Iapun sungkan menolaknya.
"Koko, kau memang cari enak saja, segala apa suruh aku yang mengerjakan. Baiklah, tapi kaupun harus bekerja sedikit. Harap kau sediakan obat-obat yang akan dipakai."
"Siang-siang aku sudah menyediakannya,"
Sahut Tok-ko U. Yak-bwe merasa tak enak hatinya.
"Nona Tok-ko, aku sungguh banyak merepoti kau saja."
Tok-ko Ing tertawa.
"Su toako, aku hanya bergurau dengan koko, harap kau jangan menaruh di hati. Kau adalah sahabat baik dari koko, kau terluka dan sudah seharusnya aku merawati."
"Ing-moay, kau seharusnya berterima kasih juga kepadaku,"
Tok-ko U menggoda.
"Terima kasih? Jangan ngaco!"
Teriak Tok-ko Ing.
"Ya, terima kasih karena kubawa Su toako kemari. Kau belajar pedang pada suci-mu, tetapi selama ini tak ada lain orang yang mengujimu. Su-toako adalah seorang ahli pedang yang jempol, nanti kau boleh banyak belajar padanya,"
Kata Tok-ko U. Bermula Tok-ko Ing kuatir kalau sang koko akan menggodanya lebih lanjut, tapi mendengar keterangan itu, ia bergirang hati. Dengan hal itu dapatlah ia lebih banyak mendekati Yak-bwe.
"Ya, benar, memang akupun mempunyai hasrat begitu. Mudah-mudahan Su-toako lekas sembuh,"
Sahut Tok-ko Ing.
"Kau adalah murid kesayangan Kong-sun toanio, akulah yang selayaknya mengangkat guru padamu. Mengapa kau begitu sungkan padaku?"
Kata Yak-bwe.
"Ai, janganlah kalian berdua saling sungkan. Begitu nanti Su-toako sudah sembuh, kalian boleh saling uji kepandaian, agar aku pun dapat menikmati,"
Tok-ko U menengahi. Walaupun kurang pengalaman, namun Yak-bwe tahu juga akan gelagat, sikap dan ucapan orang. Diam-diam ia geli dalam hati.
"Agaknya nona ini ada maksud kepadaku. Engkohnyapun setuju, malah mendorong. Tapi sayang, mereka salah alamat."
Yak-bwe kuatir kalau sampai rahasianya ketahuan oleh kedua kakak beradik itu.
Tapi setelah mendengar pembicaraan kedua saudara itu, ia merasa lega.
Walaupun geli, tapi ia merasa terhibur juga.
Begitulah dengan hati-hati sekali Tok-ko Ing mulai mencabut panah yang mengeram di lengan Yak-bwe.
Karena kepalanya menunduk, rambut si dara pun terurai jatuh ke muka Yak-bwe.
Begitu dekat sehingga keduanya sama mendengarkan denyut napas masing-masing.
Pipi si dara makin merah dan berbisiklah ia.
"Sakitkah, Su-toako?"
"Tidak, terima kasih,"
Sahut Yak-bwe.
Tok-ko Ing merasa bahagia.
Ia mempunyai perasaan yang sukar dilukiskan.
Padahal pujian Yak-bwe itu bukan karena sungkan, melainkan benar-benar Tok-ko Ing itu seorang dara yang cekatan.
Setelah mencabut panah lantas melumuri obat.
Yak-bwe tak merasa sakit dan amat berterima kasih kepada dara itu.
Sejak itu, berhari-hari boleh dikata Tok-ko Ing tak pernah berpisah dengan Yak-bwe.
Sebaliknya Tok-ko U jarang kelihatan.
Hubungan Yak-bwe dengan Tok-ko Ing makin akrab.
Luka Yak-bwe itu sebenarnya memang tak berat.
Mendapat perawatan istimewa dari Tok-ko Ing, sembuhnya amat cepat.
Pada suatu hari ketika bangun, Yak-bwe coba gerak-gerakan lengannya.
Ternyata sudah pulih seperti sediakala.
Tok-ko Ing merasa girang, serunya.
"Su toako, dalam beberapa hari ini tentu kau merasa kegerahan. Mari, kuantar jalan-jalan ke kebun bunga. Ya, Su-toako, nanti kau boleh memberi petunjuk tentang ilmu pedang padaku."
Kala itu adalah pada permulaan musim semi.
Ketika Yak-bwe ikut Tok-ko Ing ke dalam kebun bunga, dilihatnya bunga-bunga sama mekar.
Taman di situ tak seberapa besar, tapi diatur indah sekali.
Di sana sini tampak batu-batu berjajar, pagoda tempat peristirahatan dan jalanan-jalanan yang melingkar-lingkar.
Setiap kuntum bunga, setiap batang pohon dan setiap gunduk baru diatur dengan sangat serasi.
Pabila orang berjalan-jalan di dalam taman tampaknya mirip dengan orang di dalam lukisan.
Sudah beberapa hari Yak-bwe terkurung di dalam kamar.
Berada di dalam taman yang seindah itu, seketika longgarlah perasaannya, semangatnya nyaman segar.
Dasar Yak-bwe itu seorang nona rupawan, dalam keadaan riang gembira, ia kelihatan makin cantik lagi.
Ketika keduanya lewat di empang teratai, permukaan empang itu muncul sepasang muda mudi yang cakap.
Tok-ko Ing mengawasi 'lukisan' yang terpantul dalam permukaan air itu, lalu berpaling memandang 'pemuda' cakap yang berada di dampingnya itu.
Pikirannya melayang-layang.
"Ia benar-benar seorang pemuda yang serba cakap. Tak nyana bahwa dalam dunia loklim terdapat seorang tokoh semacam dia. Poa An yang disanjung orang sebagai tokoh Arjuna, rasanya belum tentu lebih tampan seperti dia."
"Nona Tok-ko, apakah yang sedang kaupikirkan?"
Tiba-tiba Yak-bwe menegur sambil tertawa. Tok-ko Ing tersentak kaget dan buru-buru menyahut.
"Aku menimbang-nimbang akan minta kau mengajarkan ilmu pedang, entah maukah kau?"
"Mana aku berani unjuk kepandaian jelek. Lebih baik nona yang bermain dulu,"
Kata Yak-bwe.
"Baiklah, karena kau baru sembuh, bolehlah beristirahat dulu, biar aku yang memulai,"
Tok-ko Ing mengiakan.
Setelah mencabut pedang, nona itu memutar tubuh.
Sinar pedangnya tampak mengembang seperti untaian tali.
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selanjutnya waktu pedang tergentak, mirip dengan gerak burung kuntul yang tersentak kaget, lincahnya seperti naga bermain.
Gerakannya menimbulkan angin dingin yang menderu-deru hingga bunga-bunga sama bertaburan jatuh terbawanya.
Benar-benar hebat, indah dan mempesonakan.
Yak-bwe bertepuk tangan memujinya dan mulutnya segera mendeklamasikan syair Tu Fu yang menyanjung puji keindahan ilmu pedang Li Sip-ji Nio itu ....
Tok-ko Ing menghentikan permainannya.
Dengan setengah girang setengah aleman, ia berseru.
"Ilmu pedang suci-ku mungkin dapat disejajarkan dengan syair pujian itu. Tetapi aku, mana bisa memadai!"
"Aku belum pernah melihat permainan pedang suci-mu. Tapi menyaksikan permainanmu tadi saja, mataku sudah berkunang-kunang dan semangatku serasa terbang!"
Yak-bwe tertawa.
"Mulutmu itu hanya pandai merangkai kata-kata untuk menyenangkan hati orang saja. Koko mengatakan, permainan pedangmu itulah baru tepat disebut sakti. Aku sudah mengunjuk permainan jelek, masakah kau masih tak mau memberi pelajaran?"
Tok-ko Ing mengomel. Yak-bwe juga terpikat semangatnya. Sebenarnya iapun ingin mengunjukkan kepandaiannya. Katanya.
"Sebenarnya tak ingin aku mengunjukkan diri, tapi kuatir mulutmu yang lancip itu akan berhamburan, maka terpaksa aku akan menuruti juga. Nona Tok-ko, biar kuberi jurus umpan padamu, tapi harap kau menaruh kasihan."
"Aku mempunyai cara bermain yang baru. Kita masing-masing berdiri tiga tombak jauhnya, kemudian saling melontarkan serangan. Dengan begitu kita dapat menghindari salah melukai. Kita boleh keluarkan seluruh kepandaian masing-masing. Nah, bagaimana?"
Kata Tok-ko Ing. Yak-bwe tahu kalau nona itu masih menguatirkan dirinya yang baru saja sembuh. Diam-diam Yak-bwe berterima kasih akan nona yang bijaksana itu.
"Ya, silahkan memulai lebih dulu,"
Katanya. Sebagai tuan rumah, Tok-ko Ing tak mau sungkan lagi. Segera ia lancarkan jurus giok-li-thosoh atau bidadari lemparkan tali. Untuk itu Yak-bwe menyambut dengan jurus tho-thau-po-li atau lemparkan buah tho membalas buah peer.
"Ah, Su-toako, kau terlalu banyak peradatan. Jangan sungkan-sungkanlah,"
Seru Tok-ko Ing tertawa.
Memang jurus tho-thau-po-li itu, mengandung maksud menghaturkan terima kasih atas kebaikan tuan rumah dan menyatakan hendak membalas budi.
Kini Tok-ko Ing kisarkan langkah dan menderu-derulah pedangnya.
Sikapnya itu mirip seperti orang yang bertempur secara merapat dan jurus yang dilancarkan itu adalah jurus serangan yang lihay untuk melukai musuh.
"Ganas betul!"
Seru Yak-bwe dengan tertawa. Ia pun mengisar ke samping dan bolangbalingkan pedangnya. Sekali sang ujung kaki berputar, ia kembali ke tempatnya yang semula.
"Bagus, indah benar tangkisanmu itu!"
Tok-ko Ing berteriak memuji.
Keduanya dengan tetap terpisah pada jarak tiga tombak, saling menyerang.
Keduanya sama mengeluarkan jurus-jurus permainan pedang yang istimewa.
Sekalipun terpisah jauh, tapi mereka sama bermain dengan sungguh-sungguh, seperti orang yang bertempur mati-matian.
Dan justeru karena terpisah itu, keindahan gerak permainan mereka dapat kelihatan dengan jelas.
Dalam sekejap saja mereka sudah bertempur sampai 30-an jurus.
Yak-bwe merasa heran demi melihat wajah Tok-ko Ing seperti orang melamun.
Pikirnya.
"Saat ini sudah menginjak detik-detik yang meruncing. Mengapa ia tak pusatkan perhatian dan seperti orang melamun?"
"Awas serangan ini!"
Cepat ia membentak.
Pedang ceng-kong-kiam diguratkan ke udara.
Begitu ujungnya tergetar, sinar pedang segera berubah menjadi berkuntum-kuntum rangkaian bunga.
Jurus itu disebut hud-kong-boh-ciau (sinar Budha memancar luas).
Jurus ini merupakan jurus yang paling lihay dari ajaran ilmu pedang Bian Hui sin-ni.
Tok-ko Ing tersentak kaget.
Ia mundur sampai tiga langkah.
Tiba-tiba ia berseru.
"Hati-hati, serangan ini!"
Tubuhnya melambung ke udara, pedangnya berkembang menjadi sebuah lingkaran untuk mengurung tubuh Yak-bwe.
"Ilmu pedang yang indah!"
Mulut Yak-bwe meluncur pujian, tubuhnya pun berdiri tegak.
Ia ganti permainannya dengan jurus ciau-thian-it-cut-hiang atau menghadap ke langit dengan sebatang dupa.
Untuk itu tubuhnyapun turut berputar-putar.
Tok-ko Ing melayang ke tanah lagi.
Kini keduanya tegak berhadapan.
Pedang masing-masing saling ditudingkan tapi tidak melanjutkan serangannya lagi.
Kiranya sampai pada babak itu, apabila dalam pertempuran sesungguhnya, pedang mereka tentu saling menempel dan di situlah pertandingan adu lwekang dimulai.
Barang siapa yang lwekangnya lebih unggul, dialah yang menang.
Sebaliknya barang siapa yang coba berusaha merubah gerakannya, ia tentu akan menderita.
"Ilmu pedang Kong-sun toanio, benar-benar tak bernama kosong. Aku sungguh kagum dan rela menyerah kalah,"
Kata Yak-bwe.
"Mana bisa. Kau seorang lelaki, dalam hal tenaga tentu lebih kuat dari aku. Jika dalam pertempuran sesungguhnya, kalau sudah mencapai babak seperti ini, akulah yang seharusnya kalah,"
Sahut Tok-ko Ing. Keduanya segera sama menyimpan pedangnya. Tiba-tiba Tok-ko Ing bertanya.
"Su toako, siapakah suhumu itu?"
Yak-bwe terkesiap, sahutnya.
"Pelajaranku tak becus, malu aku untuk mengatakan nama suhuku."
"Su toako, ada sesuatu hal yang menjadi keherananku,"
Kata Tok-ko Ing.
"Dalam hal apa?"
Tanya Yak-bwe.
"Konon kabarnya Biau Hui sin-ni itu tak mau menerima murid lelaki, mengapa beliau mau melanggar pantangan itu?"
Kata Tok-ko Ing. Diam-diam Yak-bwe terperanjat sekali. Kini baru ia insyaf bahwa Tok-ko Ing telah mengetahui aliran sumber perguruannya. Diam-diam ia menyesali dirinya sendiri.
"Ah, benera-benar limbung aku ini. Ia adalah anak murid Kong-sun toanio, sudah tentu ahli dalam ilmu pedang. Mengapa tadi aku sampai terlepas menggunakan permainan pedang sehingga ia dapat mengetahui?"
Setelah memutar otak sebentar, dengan tertawa meringis, ia berkata.
"Nona Tok-ko, matamu itu sungguh jeli sekali. Kalau begitu, mungkin sekali permainan pedangku tadi adalah berasal dari ajaran Biau Hui sin-ni."
Keheranan Tok-ko Ing makin menjadi-jadi. Tanyanya.
"Aneh sekali ucapanmu itu. Masakan kau tak tahu sendiri ilmu pedang apa yang kau mainkan tadi?"
Yak-bwe tetap tertawa.
"Ya, terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa ilmu pedangku itu kuperoleh dari seorang wanita, tetapi bukan Biau Hui sin-ni."
"Siapakah wanita itu?"
Desak si dara.
"Taci misanku yang bernama Sip In-nio,"
Jawab Yak-bwe.
Dalam hal ini ia memang tak berdusta seratus persen.
In-nio lebih tua dua tahun darinya dan lebih dahulu yang belajar pada Biau Hui sin-ni.
Ilmu pedang Yak-bwe sebagian besar memang In-nio yang mengajarkan.
Karena In-nio sering berkelana di dunia kangouw maka meskipun belum pernah berjumpa tapi Tok-ko Ing mendengar juga akan namanya.
Tahu ia pula bahwa In-nio itu adalah anak murid Biau Hui sin-ni.
"Oh, kiranya kau ini adik misan dari Sip In-nio. Ah, tak heran kiranya,"
Kata dara itu dengan tiba-tiba nadanya berubah rawan, hatinya kecewa dan sikapnya berubah tak wajar.
"Aku adik misannya yang jauh urut-urutannya. Sejak masih kecil ayah bundaku meninggal, maka aku lantas tinggal pada keluarganya belajar ilmu surat. Setempo piau-ci (taci misan) itu mengajak aku berlatih ilmu pedang. Aku menyaksikan dari samping saja, tapi lama kelamaan akupun bisa juga. Pernah piauci mengatakan bahwa pelajarannya ilmu pedang itu didapatnya dari seorang rahib tua. Tetapi aku tak tahu kalau rahib tua itu ternyata Biau Hui sin-ni adanya,"
Yakbwe memberi penjelasan. Dingin-dingin si dara berkata.
"Baik benar piauci-mu itu kepadamu. Ia sampai berani mengajarkan ilmu pedang padamu di luar tahu suhunya. Kabarnya piauci-mu itu adalah puteri dari seorang ciangkun. Tentunya kau enak tinggal di tempat kediamannya, mengapa tega meninggalkannya?"
"Aku tak ingin selama hidupku menjadi benalu (mengandalkan orang). Itulah makanya aku pergi dari rumah keluarga Sip dan berkelana. Tak berapa lama aku berkenalan dengan thaubak dari Kim-ke-nia. Kutahu bahwa pemimpin Kim-ke-nia ialah Thiat-mo-lek itu bukan penyamun biasa. Lalu aku masuk ke dalam perserikatan mereka,"
Kata Yak-bwe. Masih dengan nada tawar, Tok-ko Ing mengoloknya.
"Kau mempunyai cita-cita tinggi, tapi tidakkah dengan berbuat begitu berarti kau telah mengabaikan kebaikan piauci-mu?"
Sebenarnya Yak-bwe hendak menggodanya lebih lanjut yaitu akan mengatakan sekali bahwa ia sudah bertunangan dengan In-nio tapi demi melihat mata si dara mulai mengembeng air mata, ya, tinggal tunggu saatnya saja tentu akan "hujan" (menangis), ia merasa tak sampai hati.
Pikirnya.
"Biarlah nanti kalau diam-diam kupergi dari sini, kutinggalkan surat untuk menjelaskan diriku yang asli. Tapi kalau sekarang keuberitahukan siapa diriku ini, rasanya tak leluasa bagiku."
"Ah, harap nona jangan memperolok diriku. Aku dengan piauci adalah ibarat loyang dengan mas. Aku hanya seorang kacung, ia seorang puteri ciangkun. Mana aku layak dituduh 'mengabaikan kebaikannya'?"
Katanya. Dengan bantahan itu, hati si dara agak longgar, katanya.
"Sewaktu masih hidup, suhuku itu baik sekali hubungannya dengan Biau Hui sin-ni. Dua jurus paling akhir yang kau mainkan tadi, adalah jurus-jurus yang dikeluarkan ketika mereka berdua saling menguji kepandaian. Hal itu kudengar dari cerita suci-ku. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Biau Hui sin-ni."
"Oh, makanya tadi ia tampak melamun, kiranya aku dengan suhunya masih ada sedikit ikatan,"
Demikian pikir Yak-bwe. Tok-ko Ing berkata pula.
"Su toako, jika kelak ada kesempatan, ingin benar aku berkenalan dengan piauci-mu itu. Ah, betapakah senangnya melihat seorang jelita yang memiliki ilmu pedang sakti!"
Dalam berkata-kata itu nada si dara terdengar risau, beberapa butir air mata menetes turun.
Yakbwe tahu bahwa dara itu mengandung hati cemburu.
Diam-diam ia merasa geli sendiri.
Tiba-tiba seorang bujang perempuan datang.
Setelah memberi hormat kepada Tok-ko Ing dan Yak-bwe, lalu melapor.
"Ada seorang tetamu datang. Kongcu minta siocia dan Su siangkong suka keluar menyambutnya."
Diam-diam Yak-bwe merasa heran. Dan Tok-ko Ing lantas menanyakan siapakah tetamu itu.
"Seorang lelaki yang bertubuh tegar. Kongcu memanggilnya Lu tayhiap,"
Sahut si bujang.
"Ai, tak peduli siapa, asal orang Kangouw tentu disebut tayhiap atau siauhiap,"
Tok-ko Ing tertawa.
"Su-toako, mari kita melihat-lihat 'tayhiap' itu bagaimana orangnya."
"Kalau ia (Tok-ko U) suruh adiknya turut menyambut tetamunya, itu sih tak mengapa. Tapi mengapa juga minta aku ikut menyambutnya. Rasanya aku tak kenal dengan orang she Lu itu,"
Pikir Yak-bwe. Rupanya Tok-ko Ing tahu apa yang dipikirkan Yak-bwe. Ujarnya.
"Koko itu seorang yang cermat. Kalau ia minta kau keluar menemui tetamu itu, rasanya tentu tak apa-apa."
Bermula Yak-bwe enggan pergi, tapi mendengar penjelasan si dara itu, ia merasa kalau tak ikut tentu bisa menimbulkan kecurigaan tuan rumah.
Apa boleh buat terpaksa diapun segera ikut.
Di ruangan tetamu tampak Tok-ko U sedang menemani seorang lelaki pertengahan umur.
Begitu tampak Tok-ko Ing dan Yak-bwe datang, buru-buru ia berbangkit.
"Ini adalah tokoh termasyhur di dunia kangouw, Sin-cian-chiu Lu Hong-jan tayhiap. Dan ini adalah Su Ceng-to toako dan adikku Tok-ko Ing,"
Kata Tok-ko U memperkenalkan mereka satu sama lain.
"Ing-moay, pendekar wanita Lu Hong-chiu yang kau kagumi itu, ialah adik perempuan dari Lu tayhiap ini,"
Kata Tok-ko U lebih lanjut.
"Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian setinggi itu. Kalau berdua kakak beradik barulah pantas disebut sepasang pendekar yang dikagumi orang,"
Buru-buru Lu Hong-jun merendah.
"Oh, kiranya Sin-cian-chiu Lu Hong-jun, pantaslah kalau mendapat kehormatan disebut "hiap" (pendekar). Hanya saja sorot matanya itu sungguh memuakkan orang,"
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam-diam Tok-ko Ing membatin.
Ya, memang tak salah si dara mengatakan sang tetamu tidak sopan.
Tapi siapakah orangnya yang tak terkesiap melihat kecantikan dara itu? Pun tak terkecuali dengan Sin-cian-chiu Lu Hongjun.
Sampai dua kali ia memandang lekat-lekat pada Tok-ko Ing.
Waktu si dara melirik kepadanya, buru-buru ia membetulkan tempat duduk lagi.
Lain Tok-ko Ing, lain penerimaan Yak-bwe.
Kalau si dara tak senang dengan sikap si tetamu, adalah Yak-bwe terperanjat melihat siapa yang datang itu.
Pikirnya.
"Ah, kiranya dia itu engkoh dari Lu Hong-chiu. Celaka, aku pernah berkelahi dengan adiknya, entah apakah engkohnya ini sudah mengetahui jejakku, lalu suruh Tok-ko U minta aku supaya keluar menemuinya?"
"Mengapa leng-moay (adikmu) tak ikut serta?"
Tanya Tok-ko Ing pada tetamunya. Memang biasanya kakak beradik she Lu itu selalu bersama barang kemana perginya. Itulah sebabnya maka Tok-ko Ing menanyakannya.
"Justeru kepergianku kali ini ialah karena hendak mencari adikku itu,"
Jawab Lu Hong-jun. Mendengar jawaban itu, legalah hati Yak-bwe. Nyata Hong-jun itu belum bertemu dengan adiknya.
"Sayang, tak bisa berjumpa dengan cici Hong-chiu,"
Kata Tok-ko Ing.
"Bulan yang lalu ia hadir dalam pertemuan orang gagah di gunung Kim-ke-nia. Kabarnya pada waktu itu tentara negeri mengadakan serangan besar-besaran. Itulah sebabnya aku menjadi kuatir,"
Menerangkan Hong-jun.
"Ha, kebenaran sekali Su-toako ini seorang hohan dari Kim-ke-nia juga,"
Seru Tok-ko U.
"Oh, kiranya ia ingin mencari keterangan tentang adiknya kepadaku,"
Pikir Yak-bwe. Buruburu ia berkata.
"Aku hanya seorang keroco Kim-ke-nia. Lu-lihiap seorang tetamu terhormat, mana aku berharga untuk melayaninya. Yang dapat kusaksikan hanyalah nona Lu itu sering bersamasama dengan Toan Khik-sia."
"Ya, benar. Ia berjumpa dengan Toan-siauhiap di kota Tong-Kwan. Karena ia membantu sedikit kerepotan Toan siauhiap, maka Toan siauhiap telah mengajaknya pergi ke Kim-ke-nia,"
Sahut Hong-jun.
"Turut keterangan Su toako tadi, Thiat-mo-lek, Shin Thian-hiong, Toan Khik-sia dan beberapa pemimpin Kim-ke-nia telah berhasil meloloskan diri. Menilik hal itu rasanya enci Hong-chiu tentu juga sudah lolos,"
Kata Tok-ko Ing. Tapi kesimpulan dara itu telah disambut dengan buah tertawa dari sang engkoh.
"Salahkah omonganku tadi?"
Sudah tentu Tok-ko Ing heran dan bertanya.
"Ha, ha, Lu toako bukan hendak mencari keterangan, sebaliknya ia malah hendak memberi kabar pada kita,"
Kata Tok-ko U.
"Ai, kabar apa?"
Tanya Tok-ko Ing.
"Dia telah bertemu dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat,"
Sahut Tok-ko U. Kejut Yak-bwe bukan kepalang.
"Kalau ia sudah bertemu dengan mereka, berarti tentu sudah mengetahui rahasiaku. Apakah kedua orang itu minta tolong padanya untuk mencari aku?"
Pikirnya. Tapi ia sekarang sudah terlanjur menyaru jadi anak buah Kim-ke-nia. Maka terpaksa ia kuatkan urat syarafnya dan berkata.
"Oh, bagus. Aku yang tertinggal dari barisan ini, ingin sekali mengetahui tempat tinggal Thiat cecu, agar lekas-lekas dapat menggabungkan diri. Apakah Thiat cecu memberitahukan pada Lu tayhiap?"
"Benar aku bersahabat baik dengan Thiat-mo-lek, tapi aku ini bukan orang loklim. Kemana pergi mereka, tak leluasa bagiku menanyakannya,"
Katanya. Dalam pada itu itu timbul kecurigaannya terhadap Yak-bwe.
"Aneh, dia seorang thau-bak dari Kim-ke-nia, mengapa tak mengerti sama sekali akan pantangan kaum loklim?"
Tapi segera ia melanjutkan ceritanya.
"Setelah berjumpa dengan mereka, barulah kuketahui, bahwa adikku tak kurang suatu apa. Itu sudah cukup melegakan hatiku. Tentang lain-lain urusan, aku tak punya banyak waktu untuk menanyakan. Tetapi ada sebuah berita yang boleh kusampaikan pada Su toako, bahwa sekalipun markas Kim-ke-nia pecah, namun kerugian jiwa anak buahnya tak seberapa besar."
"Pernahkah Lu toako bertemu dengan Khik-sia,"
Tiba-tiba Tok-ko U mengajukan pertanyaan.
Memang walaupun belum lama muncul di dunia kangouw, tapi nama Toan Khik-sia itu sudah cukup tenar, ya, boleh dikata menjadi buah bibir tiap orang lok-lim.
Dalam hubungan itulah maka Tok-ko U mengajukan pertanyaannya.
"Belum pernah. Konon kabarnya ia sedang mencari bakal isterinya,"
Sahut Hong-jun.
"Siapakah calon isterinya itu?"
Tanya Tok-ko Ing.
"Memang rasanya kalian tentu tak bakal menduga bahwa bakal isterinyaitu adalah puteri dari Sik-ko, ciat-to-su dari Lo-cu,"
Jawab Hong-jun dengan tertawa.
"Ya, memang di luar dugaan. Toan Khik-sia adalah seorang lok-lim, mengapa bisa tersangkut dalam perkawinan semacam itu?"
Kata Tok-ko Ing dengan heran.
Kabarnya nona itu bukan anak sesungguhnya dari Sik-ko.
Dahulu ayah bunda nona itu bersahabat baik dengan orang tua Toan Khik-sia, maka mereka lalu menetapkan perjodohan anakanak mereka.
Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Misteri Kapal Layar Pancawarna -- Gu Long Golok Kumala Hijau -- Gu Long