Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 9


Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bagian 9



Tusuk Kondai Pusaka Karya dari S D. Liong

   

   "Peraturan hotel ini ialah, asal membayar saja siapapun boleh menginap. Dan kita tak berhak untuk menanyai keterangan tentang pekerjaan dari tiap-tiap tetamu. Pertanyaanmu tadi, maaf, aku tak dapat mengetahui.

   "sahut Ciang-kui.

   "Masakan nama mereka saja kau tak tahu?"

   Tanya sihidung besar.

   "Nona itu Yang mencatatkan nama padaku, tapi sipemuda tak turut datang,"

   Kata ciangkui.

   "Tu diai, justeru Yang kutanyakan memang lama nona itu. Sipemuda tak begitu perlu bagiku/'ujar sihidung besar.

   "Karena aku berasal dari daerah Se-ik. mungkin kau tak begitu d jelas tentang adat istiadat didaerah Tiong-tho (Tiongkok) sin.. Apabila seorang nona tak lebih dulu mengatakan namanya, kita tak leluasa bertanya padanya."

   Sihidung besar kerutkan dahi, tiba-tiba ia merogoh keluar sebuah pundi uang, ujarnya. ."Cukup kauketahui she sinona itu saja, uang ini akan menjadi milikmu."

   Pundi uang tak kurang dari sepuluh tail beratnya. Seketika berkilatlah mata siciangkui. Ia garukgaruk kepala, tiba-tiba berkata.

   "Ah, teringat aku sekarang. Kudengar pemuda itu memanggil sinona, ah, apa itu ......... oh, ja, nona Su."

   Sithouto berteriak, matanya dipentang lebar-lebar, kerut wajahnya menampil kaget-kaget girang. Buru-buru sihidung besar menyikutnya.

   "Bagus, uang ini untukmulah!"

   Katanya dengan tertawa.

   Setelah memberikan uang pada ciangkui, ia lantas ajak suhengnya masuk kembali kekamarnya.

   Melihat sihidung besar menjogok uang kepada ciang-kui untuk menanyakan tenteng she dari sinona tadi, heranlah In-nio dibuatnya.

   Tapi ia tak mempunyai dugaan lebih panjang .

   Berbeda dengan Yak-bwe, Yang selain terperanjat pun terlintas dalam pikirannya akan peristiwa diwarung arak tempo hari dimana si iman mengoceh tentang diri Khik-sia.

   "Ah sungguh kebetulan sekali. Nona itu orang she Su dan tempo hari imam itu mengatakan kalau Khik-sia mempunyai kawan akrab seorang nona. Apakah bukan nona itu Yang dimaksudkan? Tapi imam itu mengatakan kalau Khik-sia tak senang kepada sahabatnya wanita itu, tetapi mengapa sekarang ia tinggal sekamar dengan nona itu? "Damikian Yak-bwe menimang-nimang dalam hati. Makin memikir makin melantur tak keruan. Ia tak dapat menemukan jawabam Yang positip. Waktu In-nio pesan kamar, ciangkui menjadi gugup dibuatnya. Karena melihat In-nio dan Yak-bwe mengenakan pakaian opsir, ciangkui itu ketakutan. Buru-buru ia memberi hormat dan menerangkan bahwa hanya tinggal dua buah kamar Yang masih kosong, entah in-nio suka menempatinya tidak.

   "Sungguh kebenaran, memang kita menghendaki dua buah kamar. Asal bersih, sudahlah. Kami bukan seperti paderi dari Se-ik itu, kalau tidak kamar kelas satu tidak mau,"

   Sahut In-nio.

   Belum pernah ciangkui itu berjumpa dengan seorang pembesar militer Yang seramah itu.

   Girangnya bukan main.

   Tersipu-sipu ia mengantar In-no dan Yak-bwe masuk.

   In-nio dan Yak-bwe satu kamar, sedang Bik-hu satu kamar.

   Lagi-lagi terjadi hal Yang kebetulan.

   Kamar mereka hanya terpisah satu kamar dengan sinona dan pemuda tadi.

   Setelah ciang-kui pergi, maka Bik-hu menghampiri ketempat In-nio, katanya.

   "Gerak gerik kedua orang Se-ik itu aneh sekali. Malam ini kita harus waspada."

   "Ja, memang kulihat mereka itu bukan orang baik. Tapi kita dalam penyaruan setega. opsir tentara, rasanya mereka tentu tak berani mengganggu kita."

   Bik-hu mengiakan.

   Setelah omong-omong beberapa saat, ia lantas kembali kedalam kamarnya sendiri Rupanya Yak-bwe mempunyai banyak pertanyaan, dalam hati.

   Setelah makan malam, hampir jam satu tengah malam tetap ia tak dapat tidur dan berdiri bersandar dimuka jendela.

   Beberapa kali In-nio mengeceknya tidur, namun Yek-bwe tetap membisu tak mau menyahut.

   "Ai, siapa lagi Yang kaupikirkan?"

   Tanya In-nio.

   Yak-bwe seperti tenggelam dalam lamunannya Tampaknya ia tak mengacuhkan pertanyaan In-nio itu.

   Saat itu diluar halaman turun hujan rintik-rintik.

   Angin malam berembus membawa hawa dingin.

   Dihalaman terdapat sebatang pohon gotong (sejenis jambu).

   Daun-daunnya sedang berguguran memenuhi halaman.

   Awan gelap menutup rembulan, melain pekat pukau, sang angin mengantar hujan gerimis.

   Yak-bwe merasa rawan hatinya.

   Tiba-tiba kedengaran ia merintih.

   "Ah, laut nan bebas lepas, ujung langit bagai bertetangga."

   Meskipun nadanya pelahan sekali, tapi karena diantar dengan basadalam, dendang rintihan kalbu Yak-bwe itu kedengarannya nyaring tajam bagai dering kelinting. In-nio tertawa dan mengguncang-guncang tubuhnya, serunya.

   "Oho, kiranya kau sedang melepas rindu disini. Sayang Khik-sia tak berada ddsebelah sini hingga mensia-siakan kiriman suara hatimu. Sudahlah, jangan melamun yang tidak-tidak, apakah tak kuatir mengganggu orang tidur?"

   Sudah tentu In-nio tak tahu bahwa sebenarnya memang Yak-bwe itu sengaja hendak mengganggu orang, tidur.

   Ia berharap Khik-sia mendengarkan suaranya.

   Tapi dalam batin Yak-bwe timbul kontradiksi (pertentangan) sendiri.

   Sebentar ia mengharap Khik-sia bisa mendengar dan datang.

   Tapi sebentar ia harap orang didalam kamar sebelah itu bukan Khik-sia saja dan mudah-mudan Khik-sia itu tidak berada dihotel situ.

   "Laut merupakan kesatuan ujung langit saling bertetangga. Hebat benar dua baris syair Yang dirangkai oleh Ong Pok itu. Karena hatimu sudah bersatu dengan Khik-sia, walaupun orangnya berada diujung langit, niamun seperti dekat dihati, itu kan tak perlu gelisah lagi. Ayoh, tidur sajalah."

   Ia menarik tubuh Yak-bwe untuk disuruh masuk. Tapi ketika Yak-bwe berputar menghadapinya, temyata ujung mata nona itu mengembang dua titik air mata. In-nio merasa kasihan tapipun geli juga.

   "Kau memang mencamaskan hal Yang tak perlu dicemaskan. Kaku terus-terusan begitu, kukuatir kau akan menjadi senewen nanti,"

   Ujar In-nio. In-nio hanya bermaksud berolok-olok saja, siapa tahu kata-katanya itu menyentuh perastean Yakbwe sehingga menambah kedukaannya. Yak-bwe mengheki napas, katanya dengan sayu.

   "Ci In, mana kau tahu. Dalam keadaan seperti malam ini, dua baris syair tadi harus ditafsirkan sebaliknya, baru benar. Jika dia beruar berada didekat sini, dia bukan orang yang menjadi tambatan hatiku."

   Tak tahu In-nio kerena tujuan kata-kata Yak-bwe itu. Ujarnya;

   "Apakah kau sakit? Kedua baris sajak tadi hanya tamsil perumpamaan saja, mengapa pikiranmu kacau balau dan mengira kalau Khik-sia betul berada didekat sini?"

   Yak-bwe menggigit bibirnya.

   "Ci In, aku bukan mengigau tak keruan, tapi jangan-jangan memang Khik-sia berada disini."

   In-nio tersentak kaget, serunya.

   "Apa katamu? Mengapa dia berada disini? Ucapan ln-nio itu telah diputus dengan dering suara dua batang pedang beradu. Menjusul terdengar Bik-hu berseru.

   "Mau apa kau, hai, bangsat kecil!"

   Mendengar itu pucatlah wayah Yak-hwe, In-nio dengan sebat mencabut pedang, mendorong jendela terus loncat keluar.

   Terpisah sebuah rumah, tampak ada dua sosok bayangan sedang bertempur diatas genting.

   yang menghadap kearah sini, terang adalah Pui Bik-hu.

   Sedang lawannya karena berdiri membelakangi, tak jelas siapa orangnya tapi rasanya In-no seperti sudah pernah tahu.

   Tring, tring.

   sinar pedang berkelebatan dan Bik-hu kena didesak mundur oleh lawannya.

   Karena habis hujan, gentingpun licin dan hampir saja Bik-hu tcrgelincir.

   Tapt lawannya itu bukannya mendesak, melainkan hentikan serangannya, berputar tubuh terus melesat pergi.

   Waktu melihat jurus serangan yang dilontarkan orang itu.

   In-nio terkesiap kaget.

   Siapa lagi dia kalau bukan Toan Khik-sia? Membayangkan hal itu, In-nio tegak terpaku.

   Mengapa Khik-sia dapat bertempur dengan Bik-hu.

   Hal itu ternyata terjadi secara kebetulan.

   Kamar yang ditempati Khik-sia Itu termasuk kamar besar, dibagian tengahnya terdapat sebuah pintu.

   Khiksia tahu juga kalau kedua orang Se-ik tadi bukan orang baik.

   Meskipun sudah memarahi Tiau-ing, tapi ia sendiri tetap berjaga-jaga.

   Sampai tengah malam ia tak tidur melainkan duduk bersemadhi diatas ranjangnya.

   Lewat tengah malam, tiba-tiba ia mendengar dendang suara Yak-bwe.

   Terperanjat ia, terus loncat keluar memburu arah suara itu.

   Disana Bik-hupun juga menaruh kecurigaan terhadap kedua orang Se-ik tadi.

   Untuk menjagai sesuatu kemungkinan, siang-siang ia sudah mendekam diatas wuwungan.

   Begitu tampak Khik-sia loncat keluar dengan gerakan yang sebat sekali!, kuatir kalau tak dapat mengatasi, Bik-hu segera turun tangan lebih dulu.

   Begitu Khik-sia tiba didekatnya, ia segera menerjangnya dengan sebuah tabasan.

   Karena ilmu pedang Bik-hu itu berasal dari dua aliran, maka hebatnya bukan terkata.

   Hampir saja Khik-sia termakan.

   Terpaksa iapun segera mencabut pedang dan melayaninya.

   Begitu bertempur, keduanya sama tersentak kaget.

   Masing-masing sama mengagumi kepandaian lawan.

   Tapi Khik-sia ternyata lebih unggul setingkat.

   Dalam jurus yang ketujuh ia herhasil mendesak Bikhu yang terpaksa mundur dan hampir saja tergelincir tadi.

   Karena gerak geriknya diketahui orang, Khik-sia menjadi tak enak.

   Pikirnya.

   "Kalau sampai ramairamai, tak baik dilihat orang. Dengan dilihat orang. Sekalipun bertemu dengan Yak-bwe, tapi tak leluasa untuk bicara. Dan masih belum dapat dipastikan, apakah yang bersenanjung tadi Yak-bwe atau bukan. Ah, lebih baik kukembali kedalam kamar dulu, besok pagi biar kutemui mereka lagi."

   Tapi lain Khik-sia lain Bik-hu.

   Kalau yang tersebut duluan hendak menyingkir, Yang tersebut belakangan itu sebailiknya malah ngotot.

   Sejak keluar dari perguruan, baru pertama kali itu Bik-hu menderita kekalahan.

   Hal itulah Yang membuatnya penasaran.

   Apalagi saat itu In-niopun tampak keluar melihat.

   Dihadapan sang suci itu, lebih-lebih ia tak mau kehilangan muka.

   Maka segera ia membentak karas.

   "Hai bangsat kecil, apa maksudmu mengintip kemari? Kalau tak mau bilang terus terang, jangan harap ngacir pergi!"

   Sekali enjot kakinya, ia terus loncat menerjang dengan gerak eng-ki-tiang-gong atau burung garuda melayang diudara.

   selagi masih melayang diudara ujung pedangnya sudah menusuk.

   Seragan itu telah membuat Khik-sia marah.

   Ia tak kenal siapa Bik-hu itu dan apa hubungannya dengan Yak-bwe.

   Sudah tentu ia segan memberitahukan tentang keluarnya dari kamar tadi.

   Seketika ia menegur.

   "Ah, rupanya saudara suka usilan. Karena saudara keliwat mendesak, apa boleh buat aku terpaksa melayani!"

   Lintangkan pedang, ia tangkis serangan Bik-hu.

   Kali ini ia gunakan 8-9 bagian tenaga iwekangnya.

   Tubuh Bik-hu hanya tergetar tapi tak sampai jatuh.

   Cepat pemuda itu (Bik-hu) menjusul.

   dengan jurus serangan kedua yakni hi-siang-cian-te ? atau ikan menyelundup kedasar.

   Memang dalam hal lwekang, ia kalah dengan Khik-sia Tapi ilmu pedang yang dimainkan Ialah ilmu pedang istimewa warisan diri Biau Hui sin-ni.

   Ilmu pedang itu mengutamakan pokok dengan kelemasan menundukkan kekerasan, meminjam tenaga pukulan lawan untuk memukul lawan.

   Dengan kekalahannya yang tadi, kini Bik-hu makin berhati-hati.

   Saat itu mereka berdua bertempur diatas wuwungan rumah yang tak begitu licin seperti diatas genting atap..

   Dengan begitu dapatlah ia mengatur keseimbangan kakinya lebih stabil.

   Tapi setelah berlangsung tiga jurus, kembali Bik-hu kalah angin.

   Hanya saja tidak serancu tadi, kini keadaan lebih baikan, dapat bertahan dapat pula menjerang.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pui sute, berhentilah, itu orang sendiri"

   Tiba-tiba In-nio berseru.

   Bik-hu tertegun, cepat ia menghindar kesamping.

   Khik-sia merasa kenal dengan nada suara itu, tapi pikirannya tak sampai pada dugaan kalau In-nio.

   Selagi ia hendak bertanya, sekonyong-konyong terdengar letusan.

   Dari kamar sebelah sana terpantiar sinar api.

   Dalam pancaran api itu tampak Su Tiau-ing loncat keatas genting dan bertempur dengan si thau-to.

   Gerakan thau-to itu gesit sekali, tapi kena diuga ia kecipratan dengan letikan api hingga ada beberapa bagian kulitnya yang terbakar.

   ......Siluman perempuanyang tak kenal selatan.

   Disuruh minum arak manis tidak mau minta arak kecut, bahkan kurang ajar berani membakar hud-ya!"

   Dengan marah-marah sitiau-to berseru seraya mencabut golok dan menahas Su Tiau-ing.

   Kiranya memang paderi itu hendak menculik Su Tiau-ing.

   Kebetulan saat itu Khik-sia sedang keluar hendak mencari Yak-bwe, jadi.

   dengan leluasa dapatlah thau-to itu menghampiri kamar Su Tiau-ing.

   Ia lak mau membikin kaget orang, maka dilubanginya kertas jendela, kemudian meniupkan dupa hius ke-bing-ngo-ko-hom-hun-hiang kedalam kamar.

   Tapi ternyata Su Tiau-ing itu juga tangkas sekali.

   Begitu mencium bau yang mencurigakan, ia segera bertindak.

   Kim-ciam-liat-yan-tin atau jarum emas peluru api.

   segera ditimpukkan.

   Kim-cian liat-yan-tan itu btrbentiik oval (bujur lonjong) dplamnya terisi obat pelsdak dan beberapa batang diarum bwe-hoa-ciam Yang hahiis.

   Untung tahu-to itu memiliki ilmu lindung kim-ciong-toh.

   Cukup melindungi bagian mukanya saja, diarum-arum hwe-hoa-ciam itu tak dapat menembus bagian tubuhnya.

   Tapi sekalipun begitu, bahan peledaknya meletus dan membakar juga kulitnya.

   Dari dering adu senjata.

   tadi, dengan kepandaiannya yang tajam dapatkah Khik-sia mengetahui bahwa Su Tiau-ing kalah unggul Sewaktu api muncrat tadi, Su Tiau- ingpun segera dapat melihat Khik-sia.

   Cepat ia meneriakinya.

   Khik-siia, lekas kemarilah!"

   Dalam saat seperti itu, Khik-sia tak sempat untuk mengamati siapa In-nio itu, karena ia harus menolong Su Tiau-ing lebih dahulu.

   Tapi selagi Khik,-siia loncat ketempat Su Tiau-ing, hidungnya tiba-tiba tersampok dengan angin yang berbau amis.

   Temjata sihidung besar, yakni kawan dari sithauto, sejak tadi sudah bersembunyi ditempat gelap.

   Begitu Khik-sia hendak membantu Su Tiaiing, iapun cepat menerjang keluar dengan sebuah hantaman.

   Dari angin yang amis itu, tahulah Khik-siai kalau sepasang tangan orang itu beracun.

   Marahlah ia dibuatnya.

   Ia ambil putusan hendak memberinya pengajaran.

   Setelah menutup jalan darah.

   Khik-sia kerahkan Iwekangnya dan menangkis pukulan beracun orang itu.

   Tar ....

   dua buah tinju saling beradu keras.

   Racun yang terdapat ditelapak tangan sihidung besar itu tak dapat menembus tubuh Khik-sia, sebaliknya malah kena dipentalkan kembali.

   Hidung besar itu coba gunakan ilmu Cian-kin-lui untuk menahan tubuhnya, namun tetiap terhuyung-huyung hendak rubuh.

   Tiba-tiba saat itu Su Tiau-ing menjerit "aduh", seperti orang yang terluka.Khik-siapun tak mau terlibat dengan sihidung besar itu lebih lama lagi.

   Cepat ia dorongkan tangannya kemuka hingga sihidung besar itu sempoyongan tersurut mundur Sampai keujung pahon.

   Untung kakinya dapat mengait tiang rusuk, hingga tak sampai terpelanting jatuh.

   Jeritan Su Tiau-ing tadi ternyata dapat menolong jiwa sihidung besar yang sudah diambang pintu ahirat.

   Karena jeritan itu maka Khik-sia lantas tinggalkan sihidung, besar untuk menghampiri ketempat Su Tiau-ing.

   Coba tidak begitu, tentu ia sudah memberi hajaran lagi pada hidung besair itu.

   Memang kepandaian hidung besar itu tetap kalah dengan Khik-sia.

   Racun yang sudah dikerahkan ditelapak tangannya tadi kena ditampar balik oleh pukulan Khik-sia.

   Itu masih untung kalau hanya begitu saja, coba racun itu mengalir balik kedalam tubuh terus menyerang jantungnya, dia pasti akan melayang jiwanya.

   Khik-sia telah menghantam sekuat-kuatnya tadi, tapi ternyata tak dapat menggulingkan si hidung besar.

   Hal ini membuatnya heran juga.

   Ternyata walaupun si thau-to itu pernah suheng, tapi kepandaiannya kalah dengan sutenya si hidung besar itu.

   Saat itu si thau-to rasakan belakang batok kepalanya tersambar angin, buru-buru ia hantamkan goloknya ke belakang.

   Tapi Khik-sia sudah mengisar, dengan jurus Kwan-ping-hong-in atau Kwan Ping mempersembahkan cap.

   Tangan kiri dibuat menyanggah siku orang, sedang tangan kanan dibuat mencengkeram pundaknya.

   Tapi pada saat-saat yang berbahaya bagi si thau-to itu, untung si hidung besr keburu datang.

   Secepat kilat orang itu segera menghantam punggung Khik-sia.

   Karena gangguan itu, Khik-sia terpaksa alihkan tangan kanannya untuk menyambut serangan si hidung besar.

   Terlepas dari ancaman, si thauto berputar-putar beberapa kali, baru ia berdiri tegak.

   Sebaliknya dalam adu pukulan dengan si hidung besar itu, Khik-sia menderita sedikit kekalahan dan terpaksa mundur tiga langkah.

   Perangai thau-to itu amat berangasan sekali.

   Selama mengembara, baru malam itu ia menderita kekalahan di tangan Khik-sia.

   Saking marahnya, ia sampai berkaok-kaok seperti babi hendak disembelih.

   Dan tanpa memperhitungkan bahwa tadi baru saja lolos dari lubang jarum, segera ia maju menyerang lagi.

   "Tiau-ing, apakah kau terluka?"

   Tanya Khik-sia.

   "Tak mengapalah. Tapi hinaan itu, sukar ditebus. Khik-sia, hajarlah mereka!"

   Kuatir Khik-sia tak mau meluluskan, Su Tiau-ing kembali menguatkan alasannya.

   "Mereka yang hendak mengganggu aku, bukan aku yang mencari perkara."

   "Baik, kembalilah ke dalam kamar. Aku dapat mengurus mereka, tak perlu kau turut campur urusan di sini,"

   Sahut Khik-sia.

   Khik-sia berganti siasat bertempurnya.

   Seketika delapan penjuru penuh dengan bayangannya.

   Kedua lawannya itu segera merasa seperti didera oleh angin yang menampar ke mukanya.

   Kiranya Khik-sia telah mengombinasikan ilmu gin-kang dengan pukulan yang penuh dengan variasi perubahan.

   Ia mengurung mereka rapat-rapat, begitu ada kesempatan terus hendak menangkapnya hidup-hidup.

   Sebetulnya jika kedua orang Se-ik itu bersatu menghadapi Khik-sia, rasanya kekuatan mereka tak di bawah lawan.

   Tapi dikarenakan Khik-sia menggunakan ilmu gin-kang yang luar biasa pesatnya, ditambah dengan cuaca malam yang gelap dan genting yang licin karena habis tersiram hujan, mereka menjadi panik dan tak dapat mengembangkan cara bertempur secara bersama.

   Dikocok pergi datang oleh arus serangan Khik-sia yang bertubi-tubi datangnya dari empat penjuru, dalam beberapa saat saja, mereka berdua sudah kepayahan sampai matanya berkunang-kunang dan beberapa kali hampir saja menghantam kawan sendiri.

   Sewaktu Khik-sia menegur Bik-hu tadi, In-nio tak ragu lagi.

   Tanpa terasa ia berseru.

   "Hai, kiranya benar Toan Khik-sia! Yak-bwe, Yak-bwe, kemarilah lekas!"

   "Toan Khik-sia? Ha, mengapa tadi-tadi kau tak mengatakan?"

   Bik-hu menanggapi dengan terperanjat. Sebaliknya Yak-bwe hanya tertawa dingin.

   "Ci In, tak peduli dia itu siapa, tapi orang macam begitu aku tak sudi menghiraukan lagi!"

   Kiranya sejak tadi Yak-bwe pun diam-diam pun sudah datang ke tempat ramai-ramai situ.

   Jelas didengarnya pembicaraan Khik-sia dengan Su Tiau-ing yang penuh dengan kemesraan itu.

   Rasa cemburu telah melahirkan kemarahan yang menyala-nyala di hati Yak-bwe.

   Pada saat itu Khik-sia tengah melancarkan jurus suan-kian-coan-gun atau berputar-putar mengelilingi dunia.

   Ia menyusup dan siakkan kedua tangannya ke arah kedua lawannya itu.

   Tangan kiri menampar muka si hidung besar, begitu sang kaki mengisar, tangan kanannya segera menyambar tulang pi-peh di bahu si thau-to.

   Kalau serangan tangan kiri tadi hanya menggunakan tiga bagian tenaganya, adalah serangan tangan kanannya itu menggunakan tujuh bagian tenaganya.

   Maksudnya tak lain tak bukan ialah hendak mematahkan musuh yang lebih lebih lemah, yakni si thau-to.

   Sebenarnya rencana itu sudah mendekati berhasil atau tiba-tiba ia mendengar suara Yak-bwe yang menyahut seruan In-nio tadi.

   Dalam hari-hari yang terakhir ini, siang malam Khik-sia selalu memikirkan Yak-bwe saja.

   Bahwa pada saat itu ternyata Yak-bwe berada di tempat situ dan mengeluarkan kata-kata yang begitu sinis, telah membuat Khik-sia tergetar hatinya.

   Pikirannya buyar dan kuda-kuda kakinya pun menjadi kacau.

   Kembali kemenangan yang sudah di depan mata itu menjadi buyar.

   Sebaliknya bagi si hidung besar itulah suatu kesempatan yang sebagus-bagusnya.

   Baru mulut Khik-sia berseru memanggil 'Adik Yak-bwe .....', si hidung besar cepat mengirim sebuah tutukan berat ke arah jalan darah ji-khihiat di pinggang Khik-sia.

   Khik-sia menggerung keras dan terus menghantam.

   Tapi ketika ia hendak mengejar si hidung besar ternyata gerak langkahnya sudah tak tetap lagi.

   Malah pada lain saat tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang.

   Sekali sang kaki menginjkan tempat yang kosong, iapun segera terguling jatuh ke bawah.

   Si thau-to cepat mengeluarkan sebuah hui-jui (besi bandringan).

   Tapi baru ia hendak menimpukkan ke punggung Khik-sia, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang membentaknya.

   "Bangsat, jangan kurang ajar!" -- Aum senjata menyambar belakang batok kepalanya. Si thau-to cepat tangkiskan goloknya ke belakang. Tangkisannya itu tepat membentur pedang dari penyerangnya. Dan penyerangnya itu bukan lain adalah Yak-bwe. Ternyata walaupun marah, tapi dalam batinnya Yak-bwe tetap mencintai Khik-sia. Dan karena cintanya itu maka setiap kali ia sampai salah paham. Begitu melihat Khik-sia kena sodokan si hidung besar, ia tahu kalau anak pemuda itu bakal celaka. Buru-buru ia maju hendak menolongi tapi ternyata tetap terlambat. Khiksia sudah terguling rubuh dan tak sempat melihat Yak-bwe. Tapi pertolongan Yak-bwe itu juga tak sia-sia. Karena harus menangkis ke belakang, timpukkan si thau-to menjadi mencong. Hui-juinya tak mengenai Khik-sia melainkan jatuh ke tanah. Thau-to dari Se-ik itu bertenaga besar. Dalam adu senjata tadi, Yak-bwe rasakan tangannya kesemutan. Tapi demi mengingat keselamatan Khik-sia, Yak-bwe tak menghiraukan kesakitannya itu. Dengan tahankan sakit, ia cepat kembangkan permainan pedang Hui-hoat-cui-tiap atau kembang beterbangan mengejar kupu-kupu. Menusuk ke kiri, menabas ke kanan. Serangan yang satu belum selesai sudah disusul dengan serangan yang berikutnya, sehinggai thau-to itu menjadi keripuhan. Karena terus dicecer dengan serangan gencar, akhirnya marah jugalah thau-to itu, bentaknya.

   "Jangan mengandalkan sebagai pembesar lantas mau mengganggu orang agama. Sekalipun raja, kami pun tak peduli!"

   Dengan gencarnya, thau-to itu segera mengirim beberapa bacokan.

   Selagi Yak-bwe tak kuat bertahan, In-nio pun datang.

   Kepandaian In-nio lebih tinggi setingkat dari Yak-bwe.

   Dengan mendapat bantuan In-nio, berhasillah kedua nona itu untuk mengatasi kegarangan si thau-to.

   Di partai sana si hidung besar sedang menghampiri Su Tiau-ing.

   Dengan cengar-cengir, ia tertawa.

   "Nona Su, tak nanti kau mampu lolos. Apakah kau sungguh-sungguh menampik arak wangi dan minta arak kecut? Ah, lebih baik kau serta merta ikut padaku saja."

   Marahlah Bik-hu mendengar kekurang-ajaran orang itu, dampratnya.

   "Kau mengandalkan apa berani menghina nona Su? Masih ada aku di sisi yang akan memberantasmu!"

   Si hidung besar itu masih terpisah agak jauh dengan Su Tiau-ing.

   Bahwa di tengah jalan ia dihadang dan dimaki Bik-hu, hal ini membuatnya marah bukan kepalang.

   Tanpa berkata apa-apa, ia segera mengirim tabasan pedang.

   Mengapa Bik-hu hendak membela Su Tiau-ing? Ah, ternyata ia sudah salah paham.

   Dikiranya si hidung besar menyebut 'nona Su' itu adalah Yak-bwe yang dimaksudkan.

   Bik-hu tahu kalau Yakbwe adalah calon isteri dari Khik-sia.

   Bahwa tadi ia telah kesalahan berkelahi dengan Khik-sia itu, sudah membuatnya menyesal.

   Maka kali ini waktu si hidung besar hendak menangkap 'nona su', ia timbul pikirannya hendak menebus dosa.

   Pikirnya.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tadi Khik-sia hendak menjenguk bakal isterinya dan aku gegabah menyerangnya. Sungguh tak pantas tindakanku tadi. Sekarang aku harus melindungi Su sumoay dari gangguan orang. Orang hidung besar inilah yang melukai Khiksia, jika aku dapat membalaskan kelak aku tentu ada muka berjumpa dengan Khik-sia."

   Dengan keputusan 'mendirikan jasa untuk menebus dosa' itu, pula untuk unjuk kegagahan di hadapan In-nio, maka ia segera menerjang si hidung besar itu dengan serangan pedang yang gencar.

   Dalam penilaian, kepandaian si hidung besar itu lebih unggul setingkat dari Bik-hu.

   Tapi tadi ia habis adu pukulan dengan Khik-sia dan ketika ia memberi tutukan pada Khik-sia telah kena digetarkan oleh tenaga sin-kang dari tubuh Khik-sia sehingga tenaga dalamnya terluka sedikit.

   Maka dalam pertempuran dengan Bik-hu itu, ia hanya dapat bertahan saja atau berarti kalah angin dengan Bik-hu.

   Mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua tokoh yang kenamaan, permainan Bik-hu memang cukup mematahkan nyali lawan.

   Ia kembangkan permainannya sedemikian rupa, sebentar gunakan jurus-jurus yang keras, sebentar mainkan jurus-jurus yang mengutamakan kelemasan.

   Dua corak permainan pedang dikombinasikan silih berganti dalam jurus-jurus yang penuh dengan perubahan yang sukar diduga, telah membuat si hidung besar kelabakan setengah mati.

   Sekalipun ia menyakinkan sepasang pukulan tangan beracun, tapi tak berdaya dilancarkan sehingga tak berguna sama sekali.

   "Kau pernah apa dengan budak perempuan itu? Mengapa kau begitu membelanya mati-matian? Hm, kau tahu aku ini siapa?"

   "Tak peduli kau ini siapa, tapi jangan coba menghina pada kami!"

   Bentak Bik-hu.

   "Pernahkah kau mendengar kebesaran nama Leng Ciu siang-jin? Tahukah kau akan kelihayan partai Leng-sian-pay?"

   Kembali si hidung besar tertawa mengejek. Bik-hu hanya mendengus tak acuh, sahutnya.

   "Kutahu partaimu Leng-sian-pay itu mempunyai pengikut banyak dan pengaruh besar. Dengan mengandalkan perlindungan dari Leng Ciu siang-jin, kalian lantas malang melintang melakukan kejahatan. Hm, sampai di mana kepandaian dari anak buah Leng-sian-pay itu, dulu ketika di Gui-pok aku sudah pernah mengujinya!"

   Memang sejak tadi Bik-hu sudah menduga kalau kedua orang itu tentu anak buah Leng-san-pay. Ternyata dugaannya itu benar. Hal ini menyebabkan ia tak berani ayal. Dengan menggunakan posisinya yang menguntungkan itu, ia menyerang lebih hebat. Pikirnya.

   "Ya, memang kaum Leng san-pay itu tak boleh dimusuhi. Tapi sekali sudah terlanjur bentrok, satu-satunya jalan ialah harus bertempur mati-matian."

   Karena gelap, si hidung besar itu tak dapat melihat wajah Bik-hu. Tapi demi mendengar mulut Bik-hu mendengus, iapun membentaknya.

   "Apa katamu?"

   Bik-hu sudah terlanjur kerangsokan setan, iapun balas menghardiknya.

   "Aku sedang menantikan sampai dimana kelihayanmu tahu!"

   Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan pedangnya dengan hebat.

   Si hidung besar makin kelabakan sampai napasnya tersengal-sengal dan tak dapat membuka mulut untuk bicara lagi.

   Sementara di sana, In-nio dan Yak-bwe pun telah berhasil menindas si thauto.

   Menghadapi serangan pedang dari kedua nona yang datangnya bertubi-tubi itu, si thau-to hanya dapat membela diri tak mampu balas menyerang lagi.

   Dalam suatu kesempatan, Yak-bwe melirik ke arah tempat Khik-sia.

   Ternyata tunangannya lenyap dan ketika memandang ke sekeliling penjuru ternyata si nona tadipun tak kelihatan bayangannya lagi.

   Tentu nona itu diam-diam telah ngacir pergi.

   Yak-bwe makin meluap marahnya, pikirnya.

   "Aku menghadang musuhmu, tapi kau diam-diam mengurusi kecintaanmu."

   Yang dimaksud dengan 'kau', ialah Su Tiau-ing.

   Berbareng pada saat itu, terdengarlah suara kuda meringkik.

   Suaranya ngeri, seperti kuda yang dipersakiti.

   Mendengar itu, si thau-to melonjak dan menggembor keras.

   Yak-bwe gunakan kesempatan itu untuk mengirimkan tusukan dan berhasil melukai bahunya.

   Darah segera mengucur dari bahu thau-to itu.

   Masih untung tusukan Yak-bwe itu agak mencong sedikit sehingga masih terpisah setengah dim dengan tulang pundak korbanya.

   Tapi suara ringkikan kuda itupun menggelisahkan hati Yak-bwe juga.

   Rupanya In-nio tahu isi hati Yak-bwe, tertawalah ia.

   "Yak-bwe, lekas tengok Khik-sia sana!"

   Melihat si thau-to sudah terluka, Yak-bwe percaya kalau In-nio dapat mengatasi, maka setelah menghaturkan terima kasih pada cicinya itu, ia segera loncat keluar dari gelanggang, terus melayang turun.

   Ketika tiba di lapangan yang berada di muka pintu hotel, dilihatnya nona tadi tengah memeluk Khik-sia hendak naik ke atas kuda, yaitu kuda putih kepunyaan kedua orang Se-ik tadi.

   "Tunggu!"

   Cepat Yak-bwe meneriaki.

   Tapi belum seruannya habis, nona itu tampak ayunkan tangannya menimpuk ke arah Yak-bwe.

   Yak-bwe tahu bahaya.

   Sembari putar pedang untuk melindungi tubuhnya, ia menghindar ke samping.

   Kembang api itu tak sampai mengenainya dan beberapa batang jarum bwe-hoa-ciam pun kena dipukul jatuh.

   Tapi dengan gangguan itu, Yak-bwe tak berdaya untuk mencegah Su Tiau-ing yang saat itu sudah melarikan kuda putih dengan menggondol Khik-sia.

   Yak-bwe marah sekali.

   Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya.

   "Kedua ekor kuda orang Se-ik itu kuda pilihan semua. Setelah dibawa lari seekor, masih ada seekor lagi. Benar kuda putih itu lebih hebat, tapi dengan membawa dua orang, tentu dapat kususul."

   Setelah mengambil ketetapan Yak-bwe terus menghampiri istal kuda dan hendak melepaskan tali ikatan kuda itu.

   Tiba-tiba kuda bulu merah itu meringis kesakitan.

   Suaranya makin lama makin lemah.

   Melihat Yak-bwe datang, binatang itu lantas menyepak-nyepakkan kakinya, tapi tampaknya lemah tak bertenaga.

   Sebelum dapat menyepak Yak-bwe, kuda itu sudah rubuh sendiri.

   Yak-bwe cepat menyulut korek api.

   Astaga, ternyata kelopak mata kuda itu complong tak berbiji mata lagi.

   Malah darahnya masih bercucuran keluar.

   Kiranya biji mata kuda itu telah dikorek orang, paha kakinya juga luka tergurat-gurat senjata tajam sehingga sampai kelihatan tulangnya.

   Yak-bwe kaget dan gusar.

   "Hm, siluman perempuan yang ganas sekali. Mengapa Khiksia bersama dengan ia?"

   Kata Yak-bwe dengan geram.

   Apa boleh buat Yak-bwe tak dapat mengejar.

   Ia kembali ke kamarnya.

   Ternyata kamar yang ditempai Khik-sia itu terdapat dua buah ruangan.

   Salah sebuah ruangan, masih belum padam lampunya.

   Ketika melihat di situ, Yak-bwe tertarik hatinya.

   Segera ia masuk ke dalam.

   Di situ barulah ia mengetahui kalau kamar besar itu dipisah dengan sebuah pintu tengah.

   Di bawah jendela yang terdapat pelitanya tadi, terdapat sebuah meja yang letaknya persis di muka ranjang.

   Di atas merja itu dilihatnya ada beberapa tulisan huruf 'Bwe' dengan air teh.

   Dahulu ketika di kamar Tian Seng-su, ia pernah melihat tulisan Khik-sia pada surat ancaman yang ditujukan pada ciat-to-su itu.

   Maka sekali lihat, tahulah ia bahwa tulisan air teh pada meja itu adalah buah tangan Khik-sia.

   Ia duga ketika Khik-sia coret-coret di meja itu tentulah si nona kawannya itu (Su Tiau-ing) tak berada di situ.

   Kalau tidak, masakan Khik-sia sampai lupa diri (melamun) begitu rupa.

   Seketika timbullah pertanyaan dalam hati Yak-bwe.

   "Ah, ia selalu mengenangkan diriku sedemikian rupa, tapi mengapa bergaul begitu akrab dengan nona itu? Apakah terdapat apa-apa di dalamnya?"

   Memikir sampai pada hal itu, redalah amarah.

   Adalah ketika Yak-bwe sedang menimangnimang dalam kamar, di atas rumah pertempuran telah mencapai klimaks yang menentukan.

   Dengan gunakan seluruh tenaganya, si hidung besar lontarkan sebuah pukulan sehingga sekektika itu timbullah desus angin yang berbau amis.

   Bik-hu merasa mau muntah, karena kuatir kena pukulan beracun, buru-buru ia sedikit mengisar sehingga gerakan pedangnya pun agak kendor.

   Si hidung besar mendapat kesempatan bernapas lalu buru-buru bertanya.

   "Apa katamu tadi? Kau pernah bertempur dengan anak murid Leng-san-pay di Gui-pok?"

   "Ya, apa kau hendak menuntut balas bagi mereka? Yang melukai mereka adalah aku, bukan nona Su."

   "Kau keliru, berhentilah!"

   Teriak si hidung besar.

   Bik-hu berada di tempat gelap.

   Kuatir kalau orang hendak membokongnya dengan pukulan beracun, ia tak berani hentikan serangannya.

   Tapi ia merasa bersangsi juga dengan kata-kata si hidung besar itu.

   Maka ia hanya batasi serangannya dngan bertahan diri saja dan tak menyerang untuk memberi kesempatan bicara pada orang.

   Berkata si hidung besar.

   "Suteku itu juga keliru, ia hanya hendak menangkap budak perempuan she Su itu saja."

   "Huh, beberapa kali kalian selalu hendak menyusahkan nona Su, mengapa mengatakan aku keliru?"

   Bik-hu mendampratnya.

   Sret, kembali ia lancarkan serangan.

   Karena si hidung besar itu sudah kehabisan tenaga, tak dapat ia menangkis.

   Lengan kirinya termakan ujung pedang sampai terluka panjang.

   Cepat-cepat si hidung besar itu loncat keluar beberapa langkah.

   Sebenarnya ia marah sekali dengan Bik-hu, tapi karena tenaganya sudah habis dan kuatir kalau Bik-hu menyerang lagi, terpaksa ia telan kemarahannya dan segera berseru.

   "Ya, kami yang salah. Aku sudah tahu sekarang. Bukankah kawanmu perempuan yang menyaru lelaki itu juga orang she Su?"

   Sambil bolang-balingkan pedangnya, Bik-hu maju menghampiri dan membentaknya.

   "Bagaimana? Apakah dengan menyaru lelaki itu ia menyalahi kau?"

   Dengan menelan kemarahan, si hidung besar menyahut.

   "Kawanmu perempuan itu bukan budak she Su yang kami maukan, jelaskah kau? Kami salah paham, kaupun salah wessel!"

   Bik-hu tertegun, pikirnya.

   "Kalau begitu benar-benar salah paham." -- Baru ia berpikir begitu, si hidung besar menggunakan kesempatan itu untuk loncat dua tombak jauhnya dengan gerak kimli- joan-bo atau ikan lehi menyusup ombak. Setelah terlolos dari lingkaran ancaman pedang Bik-hu, ia berada di sebelah In-nio. Sekonyong-konyong ia menghantam In-nio. Walaupun tenaga si hidung besar itu sudah berkurang sampai separuh tapi serangan mendadak itu tak diduga sama sekali oleh In-nio. Hampir saja In-nio celaka dengan pukulan beracun. Tapi untung gin-kang atau ilmu meringankan tubuh dari In-nio itu hebat. Begitu membau angin amis, segera ia loncat ke samping. Tapi sekalipun begitu, tak urung kepalanya terasa pusing, mata berkunang-kunang dan tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh. Melihat itu, buru-buru Bik-hu menghampiri, sebaliknya si hidung besarpun sudah lantas loncat turun dan melarikan diri. Bik-hu tak sempat mengejarnya karena perlu menolong In-nio, ia tanya.

   "Suci, bagaimana keadaanmu?"

   In-nio menghembus napas, sahutnya.

   "Tak apa, tidak kena racun."

   Saat itu dari kejauhan terdengar suara si thau-to berseru.

   "Bagus, budak kecil, kau berani cari perkara dengan Leng-san-pay, lihat saja nanti!"

   In-nio tertawa getir, ujarnya.

   "Ah, tak nyana secara sembrono kita telah mengikat permusuhan dengan orang Leng-san-pay."

   "Tapi bukan kita yang bersalah. Jikalau sudah dianggap bermusuhan terserahlah pada mereka,"

   Bantah Bik-hu. In-nio tertawa.

   "Kesalahan ini terjadi secara kebetulan sekali. Ayo, kita tengok apakah Su sumoay kita itu sudah dapat mencari si nona Su itu."

   Ketika loncat turun, In-nio melihat penerangan di kamar kelas satu yang ditempati Khik-sia tadi masih belum padam.

   Dari kertas jendela tampak bayangan seorang gadis.

   Tahu kalau gadis itu tentu Yak-bwe, In-nio mengira kalau Khik-sia tentu dibawa Yak-bwe ke dalam kamarnya, pikirnya.

   "Bagus, sekarang kita sudah berkumpul lagi, tetapi mana si nona she Su itu?"

   In-nio tak mau mengganggu Yak-bwe, tapi baru ia hendak menyingkir ternyata Yak-bwe sudah mengetahui dan memanggilnya masuk. Bik-hu pun hendak ikut masuk tapi dicegah oleh Yak-bwe.

   "Pui suheng, tolong kau jaga di luar dulu, barangkali masih ada musuh yang akan datang."

   Bik-hu tertegun, pikirnya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, aku ini benar-benar tolol. Toh Khik-sia sudah di dalam, mengapa aku terburu-buru hendak menjumpainya."

   Kiranya Bik-hupun berpendapat bahwa Khik-sia telah ditolong dan dibawa masuk ke kamar oleh Yak-bwe, maka tadi ia buru-buru hendak menjumpainya dan menghaturkan maaf atas perbuatannya tadi.

   Siapa tahu ternyata Yak-bwe hendak bicara empat mata dengan In-nio maka ia cegah Bik-hu turut masuk.

   "Mana Khik-sia?"

   Demikian kata-kata pertama meluncur dari mulut In-nio ketika ia masuk ke dalam kamar dan tak melihat anak muda itu. Yak-bwe kerutkan alis dan berkata dengan geram.

   "Nona siluman itu telah melarikannya!"

   In-nio tersentak kaget, serunya.

   "Ai, celaka, mengapa kau mendekam di dalam kamar saja?"

   Setelah mendengar derap kaki Bik-hu sudah jauh, barulah Yak-bwe membisiki In-nio supaya datang dekat kepadanya. Ketika In-nio lihat tulisan 'bwe' dengan air teh di atas meja, ia tertawalah.

   "Ha, jangan kuatir, hatinya hanya terisi kau, nona siluman itu tak nanti dapat merampasnya!"

   Wajah Yak-bwe menjadi merah dadu. Ia hapus tulisan air teh itu, katanya.

   "Tak mengerti aku, kalau toh hatinya tetap padaku, mengapa ia bergaul rapat dengan nona siluman itu? Ya, kawan seperjalanan dan tinggal sekamar?"

   In-nio tertawa.

   "Kau sendiri toh juga menginap beberapa malam di rumah keluarga Tok-ko?"

   Dari merah dadu wajah Yak-bwe menjadi merah bara, serunya dengan sengit.

   "Kemana tujuan kata-katamu itu? Aku berbuat secara terang-terangan, ya, batang pohon yang lurus tak takut mempunyai bayangan yang doyong!"

   "Jika ada orang yang mencurigai kau, kau marah tidak?"

   Tanya In-nio.

   "Jika ada orang semacam itu, dia adalah orang yang bermentalitet rendah, tapi coba-coba hendak menilai orang lain,"

   Sahut Yak-bwe dengan murka.

   "Itulah! Jika lain orang mencurigaimu, kau katakan dia itu orang yang rendah mentaliteitnya, tapi mengapa kau seenaknya sendiri menuduh Khik-sia yang bukan-bukan?"

   Kini tersadarlah Yak-bwe, katanya.

   "Oh, kiranya kau mengukur diriku untuk menilai dia."

   "Bukankah kedua perbandingan itu tak berbeda?"

   Tanya In-nio. Setelah merenung sejenak, berkuranglah cemburu Yak-bwe, namun tetap ia membantah.

   "Masalahnya memang sama, tapi orangnya berlainan. Tok-ko U seorang kun-cu, seperti langit dengan bumi bedanya dengan siluman perempuan kawan Khik-sia itu. Ia mengangkat Khik-sia dinaikkan kuda, kusuruh berhenti, bukannya menurut malah melepaskan senjata rahasia padaku!" -- Ia lalu menceritakan kejadian tadi.

   "Bukankah Khik-sia masih tak ingat diri?"

   Tanya In-nio.

   "Tampaknya begitulah,"

   Kata Yak-bwe.

   "Kalau begitu si nona siluman itu yang salah, bukan Khik-sia,"

   Kata In-nio. Katanya lebih jauh.

   "Ucapanmu tadi memang tepat, 'batang pohon yang lurus tak takut mempunyai bayangan yang condong'. Asalkan Khik-sia itu seorang kun-cu sejati, itu sudah cukup. Memang urusan di dunia itu sering-sering di luar dugaan dan sukar dimengerti orang. Misalnya kau beristirahat merawat lukamu di rumah Tok-ko U itu, adalah salah sebuah contoh. Masakan kau tahu hal-hal yang sebenarnya dalam hubungan Khik-sia dengan nona siluman itu? Turut pendapatku, Khik-sia hanya mencurahkan hatinya kepadamu, maka seharusnya kau pun harus menaruh kepercayaan padanya."

   Setelah mendapat penjelasan dari In-nio, walaupun masih menaruh sedikit keraguan, namun kemarahan Yak-bwe sudah reda. Sebagai gantinya, kini ia malah menaruh kekuatiran akan keselamatan Khik-sia.

   "Entah bagaimana lukanya itu, berat atau tidak, ya? Di dalam tangan siluman perempuan itu, aku sungguh tak tega. Ah, mengapa ia bergaul dengan bangsa perempuan siluman begitu?"

   Katanya. In-nio tertawa.

   "Jika tak tega, satu-satunya jalan hanyalah kalau kau lekas-lekas mengejarnya ke Tiang-an. Temui Khik-sia dan tanyalah padanya dengan jelas. Karena mereka menginap di hotel ini, tentulah tujuan mereka akan ke Tiang-an untuk hadir dalam pertemuan Eng-hiong-tay-hwe. Lwekang Khik-sia cukup tinggi, rasanya dengan hanya sedikit luka itu tentu takkan sampai membahayakan jiwanya."

   "Tapi aku tetap merasa heran. Jelas kulihat habis terpukul oleh si hidung besar, ia masih punya tenaga untuk balas memukul. Tapi anehnya, ketika dipondong oleh siluman perempuan itu, ia hanya terpaut sepeminum teh lamanya, tapi ia malah dalam keadaan pingsan,"

   Kata Yak-bwe.

   "Oh, itu mudah saja. Ketika Khik-sia terluka, si nona siluman lantas menutuk jalan darahnya sekali,"

   Sahut In-nio.

   "Ganas benar siluman perempuan itu. Entah apakah ia hendak mencelakai Khik-sia?"

   In-nio tertawa lagi.

   "Jangan kuatir, nona siluman itu takut kau nanti merampas Khik-sia dan sebaliknya kau kuatir ia akan teledor merawat Khik-sia."

   Yak-bwe sedih sekali hatinya. Ia kuatir jangan-jangan Khik-sia akan jatuh dalam buaian si nona siluman tapi sebaliknya iapun berharap semoga nona siluman itu merawat Khik-sia dengan baik.

   "Siapa? Lekas unjukkan diri!"

   Tiba-tiba In-nio dan Yak-bwe dikejutkan oleh teriakan Bik-hu yang berada di luar kamar. Dengan sebat kedua nona itu melesat keluar. Dilihatnya Bik-hu itu sudah meringkus seseorang. Orang itu meratap minta ampun.

   "Akulah. Tay-ong ampunilah jiwaku!"

   In-nio tertawa cekikikan sebaliknya Yak-bwe lantas menegur.

   "Pui suheng, mengapa kau ringkus pengurus hotel?"

   Kiranya ramai-ramai di atas rumah tadi telah membangunkan para tetamu yang menginap di hotel situ.

   Mereka kira kalau kedatangan kawanan perampok, maka mereka sangat ketakutan dan sama bersembunyi dan tak berani bersuara.

   Sebenarnya ciang-kui itu juga ketakutan, tapi sebagai pemilik dari hotel itu, setelah suara ribut-ribut tadi berhenti, ia beranikan diri keluar melihat-lihat.

   Tahu-tahu ia diringkus Bik-hu.

   Setelah mengetahui kekeliruannya, Bik-hupun geli juga, segera dilepaskannya ciang-kui itu, katanya.

   "Aku bukan perampok, perampoknya sudah kuhajar lari."

   "Tetamu yang menempati kamar kelas satu ini mengejar penjahat. Mereka adalah kedua orang Se-ik itu. Karena mungkin tetamu di kamar kelas satu itu tak kembali lagi, maka bagaimana dengan uang rekening mereka, apakah sudah dibayar?"

   Nyeletuk Yak-bwe. Rasa takut si ciang-kui menjadi berkurang, ujarnya.

   "Memang kedua orang Se-ik itu buas sikapnya, telah kuketahui mereka bukan orang baik, dan ternyata benar bangsa perampok. Banyak terima kasih atas bantuan tay-jin sekalian yang telah melindungi hotel ini. Tetamu di kamar kelas satu ini, sungguh baik sekali. Rekeningnya sudah dibayar oleh si nona, malah kembalinya masih belum kuberikan padanya."

   Ciang-kui itu menyulur korek. Dilihatnya atap rumah terdapat beberapa lubang. Ia mengeluh panjang pendek.

   "Yak-bwe, simpanan uangmu bolehlah digunakan,"

   Kata In-nio. Yak-bwe menerangkan bahwa kim-tau (emas perongkol) yang dibekalnya, tinggal tak seberapa jumlahnya karena sebagian besar sudah ditukarkan dengan perak. Ia mengambil dua biji kim-tau dan seuntai perak yang beratnya 10 tahil, katanya.

   "Ini emas murni, jangan takut. Selain ini kutambahi pula dengan seuntai perak, nah, cukup tidak untuk membikin betul kerusakan atap rumahmu ini?"

   Yak-bwe tak tahu nilai uang, sekali ambil dikeluarkannya emas dan perak.

   Hal itu membuat ciang-kui melonjak kaget.

   Tetapi sebagai pengusaha hotel yang terletak di kota yang menuju ke kota raja, hotelnya itu tergolong hotel kelas satu, banyak kaum saudagar dan orang hartawan yang menginap di situ.

   Oleh karena itu, pengalamannya luas.

   Sekali lihat, tahulah ia kalau kim-tau itu memang emas murni.

   Pikirnya.

   "Untuk membikin betul kerusakan atap yang rusak itu, seuntai perak itu sudah cukup banyak, apalagi ditambah dengan dua biji emas, ah, aku benar-benar ketimpa rejeki besar dari langit!"

   Dengan berseri-seri girang, disambutinya pemberian Yak-bwe itu dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga.

   Saat itu sudah hampir terang tanah.

   In-nio segera ajak Yak-bwe lekas berangkat.

   Yak-bwe amat bersyukur sekali terhadap cici In-nio nya yang selalu memikirkan kepentingannya itu.

   Demikian mereka segera tinggalkan hotel itu.

   Selama dalam perjalanan menuju ke Tiang-an, Yak-bwe tampak bermuram durja.

   Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Khik-sia.

   Memang apa yang diduga In-nio itu tak meleset.

   Ketika Khik-sia jatuh dari atas genteng, Su Tiau-ing segera menolongnya.

   Dalam kesempatan itu, Tiau-ing menutuk jalan darah Khik-sia supaya pingsan.

   Setelah itu ia segera mencuri kuda putih milik si thau-to untuk melarikan Khik-sia.

   Kuda putih itu memang bukan sembarang kuda.

   Dalam beberapa kejap saja, binatang itu sudah lari sampai empat-lima puluh li.

   Saat itupun baru terang tanah.

   Pikir Tiau-ing.

   "Rasanya tak mungkin budak perempuan itu mampu mengejar lagi. Hm, dengan kubawa Khik-sia, budak perempuan itu tentu kelabakan."

   Di sebelah muka tampak sebuah hutan.

   Di situlah Tiau-ing menurunkan Khik-sia dan dibawa masuk ke dalam hutan, lalu dibukan jalan darahnya yang tertutuk.

   Begitu membuka mata, dalam keadaan yang masih limbung, Khik-sia segera menarik tangan Tiau-ing, serunya.

   "Adik Bwe, adik Bwe!"

   Tiau-ing melengking tertawa, serunya.

   "Maafkan, aku bukan adik Bwe-mu itu. Lihatlah aku ini siapa?"

   Khik-sia tenang semangatnya, barulah ia ketahui kalau yang dihadapannya itu Su Tiau-ing. Dengan tersipu-sipu merah mukanya, ia segera lepaskan cekalannya.

   "Mengapa aku berada di sini? Apakah di sini hanya ada kau sendiri?"

   "Dengan siapa lagi, huh? Kau kira adik Bwe itu akan ikut kemari?"

   Sahut Tiau-ing.

   "Tadi karena mendengar suaranya, hatiku tergetar maka sampai jatuh ke bawah. Saat itu kulihat ia lari menghampiri kepadaku. Mengapa, apakah kau tak melihat dia?"

   "Dia, dia, apakah si 'dia' yang kau maksudkan itu adalah orang banci yang kau sebut 'adik Bwe' itu?"

   Teriak Tiau-ing. Karena kepingin tahu bagaimana keadaan Yak-bwe, terpaksa Khik-sia sabarkan diri, ujarnya.

   "Ya, benar. Dia adalah nona Su yang pernah kukatakan padamu. Dan yang satu adalah taci misannya, nona Sip. Mereka berdua sering berkelana di dunia persilatan dan gemar menyaru menjadi orang lelaki. Ketika aku terluka, bagaimana dengan mereka? Mengapa dalam saat-saat yang genting itu, kau tutuk jalan darahku?"

   Tertawalah Su Tiau-ing.

   "Kau benar-benar tak mau berpikir. Setelah menderita luka beracun, apakah pikiranmu masih sadar? Apalagi ketika itu musuh segera memburu, kecuali membawamu lari bagaimana aku harus bertindak? Kututuk jalan darahmu supaya kau dapat tidur jangan merasakan kesakitan lagi. Hm, tak kira sebaliknya kau malah menyesali aku."

   Khik-sia seorang ahli silat.

   Saat itu diam-diam ia salurkan darahnya.

   Didapatinya Su Tiau-ing telah gunakan ilmu tutuk yang lihay untuk mencegah menjalarnya racun, yaitu dengan menutuk jalan darah di bagian dada.

   Cara tutukan itu memang dapat mencegah mengalirnya racun ke bagian jantung, tapi orang yang ditutuk tak sampai menderita akibat apa-apa.

   Khik-sia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing, namun dalam hatinya tetap timbul pertanyaan.

   "Oh, kiranya ilmu silat Tiau-ing itu jauh dari apa yang kuduga. Ternyata ia mahir juga dalam ilmu tutuk."

   "Kalau begitu apakah nona Su dan nona Sip itu sudah bertempur dengan musuh kita? Dia, ya, apakah dia tak mengejarnya?"

   Tanya Khik-sia. Dari pertanyaan itu teranglah kalau Khik-sia menaruh perhatian khusus terhadap Yak-bwe. Tiba-tiba Tiau-ing menghela napas, ujarnya.

   "Sayang, kasihmu yang kau tumpahkan secara mati-matian kepadanya itu, telah dianggap sepi olehnya. Dia telah memakimu, tahu tidak kau?"

   "Ya, kudengar juga. Tapi pada saat aku terluka, jelas kulihat ia lari menghampiri ke tempatku,"

   Sahut Khik-sia. Tiau-ing tertawa ejek.

   "Benar, ia memang menghampiri, tapi tahukah kau apa tujuannya?"

   "Apa tujuannya itu?"

   Tanya Khik-sia dengan serentak.

   "Ia datang karena hendak menimpukkan sebatang bwe-hoa-ciam padamu!"

   Khik-sia terhentak kaget.

   "Benarkah itu?"

   "Apakah aku pernah berbohong padamu?"

   Sahut Tiau-ing dengan yakin. Lalu melanjutkan ceritanya pula.

   "Untung saat itu aku sudah mengangkatmu ke atas kuda, ya, kuda milik si thau-to yang kucuri. Dengan begitu bwe-hoa-ciam tak kena dan iapun tak dapat mengejar kita."

   Khik-sia tergoyah pikirannya, namunia masih kurang percaya, pikirnya.

   "Apakah ia masih mendendam padaku?" -- Pikirannya segera melayang kembali ke gedung keluarga Tok-ko. Ya, ketika itu Yak-bwe dan kakak beradik Tok-ko telah mengerubuti dirinya. Renungan itu telah menambah besar kesangsian Khik-sia terhadap Yak-bwe. Kembali Tiau-ing menghela napas dalam, ujarnya.

   "Ah, aku sungguh turut prihatin padamu. Coba pikirkan, ia bersikap begitu kepadamu, apa katamu jika kelak kau berjumpa padanya?"

   Sebenarnya Khik-sia sudah gundah hatinya dengan keterangan itu.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan ditambahi bumbu yang begitu 'sedap' sekali, makin tersedulah hati Khik-sia dalam lautan kepiluan.

   Demi melihat Khik-sia tertegun seperti patung dan pucat lesi, terkejutlah Tiau-ing.

   Buru-buru ia menghiburnya.

   "Khik-sia, jangan berduka, lapangkanlah hatimu."

   Tadi karena kuatir Khik-sia masih terkenang akan Yak-bwe, maka ia telah merangkai cerita untuk meretakkan perhubungan antara pemuda itu dengan Yak-bwe.

   Tapi demi melihat Khik-sia seperti orang yang kehilangan semangat diam-diam Tiau-ing menyesal, pikirnya.

   "Celaka, sungguh tak kira kalau sedemikian besar kasihnya kepada nona Su itu. Omonganku malah sebaliknya telah membikin sedih hatinya. Saat ini ia masih menderita luka, jangan sampai perasaannya tergoncang."

   Terbit pertentangan dalam batin Tiau-ing.

   Sebenarnya dia hendak menceritakan saja kejadian yang sebenarnya, tapi lain perasaannya lagi menguasai batinnya, jangan-jangan setelah Khik-sia mengerti duduk perkara yang sebenarnya lalu tak mau memperdulikan dia (Tiau-ing) lagi.

   Hatinya bimbang tak dapat mengambil putusan.

   Sebenarnya searuh bagian yang terakhir dari cerita Tiau-ing tadi, Khik-sia tak menaruh perhatian karena saat itu pikirannya melayang-layang.

   "Ya, benarlah, memang Yak-bwe masih mendendam padaku. Apalagi kini ia telah punya pilihan lain, apabila kelak bertemu padanya, apakah yang akan kukatakan lagi?"

   Huak, tiba-tiba ia menguak dan muntah darah. Luapan kesedihannya telah menggelorakan darahnya. Tiau-ing menjadi sibuk sekali, pikirnya dengan keraskan hati.

   "Lebih baik ia benci padaku, asal jiwanya tertolong. Karena keadaan menjadi begini rupa, lebih baik kukatakan padanya sajalah."

   Ia menghampiri perlahan-lahan menarik tangan Khik-sia. Dengan suara lembut yang gemetar, ia berkata.

   "Khik-sia, janganlah berduka. Dengarkanlah keteranganku ...."

   Tiba-tiba Khik-sia mengangkat kepalanya dan menukas.

   "Benar, kata-katamu itu memang benar, tak usah kau menasehati lagi aku sudah dapat mengerti sendiri. Kuharap semoga ia berbahagia, agar hatikupun menjadi tenteram. Sejak saat ini, tak mau aku cari kesusahan lagi. Baiklah, anggap saja aku tak pernah berkenalan dengannya."

   Setelah muntahkan darah, perasaan hati Khik-sia terasa longgar. Apalagi setelah pikiranna dibulatkan, pikirannyapun menjadi tenteram. Sudah tentu Su Tiau-ing menjadi girang tak terhingga, pikirnya.

   "Untung aku belum terlanjur menceritakan hal yang sebenarnya."

   "Ya, jangan putus asa. Dunia bukan sedaun kelor, bukan hanya ada seorang nona Su itu saja. Karena ia tak cinta padamu, mengapa kau menyiksa dirimu sendiri? Kesehatan badanmu, adalah yang terpenting. Nanti setelah lukamu sembuh, kita bicarakan lagi. Aku mempunyai obat penawar racun, tapi entah dapat digunakan atau tidak,"

   Kata Su Tiau-ing.

   Tapi Khik-sia menolak dengan mengatakan bahwa lukanya keracunan itu tak berat jadi tak perlu obat penawar.

   Segera ia duduk bersila untuk menyalurkan lwekang.

   Racun itu berasal dari luka yang terdapat pada jalan darah lau-kiong-hiat di telapak tangannya.

   Tapi setelah ditutuk oleh Tiauing, racun itu hanya sampai di siku lengannya saja.

   Begitu jalan darahnya dibuka, racun itupun menjalar naik lagi, tapi untung belum mencapai ke bagian bahu.

   Dengan ilmu lwekangnya yang tinggi, dalam beberapa saat saja yang setelah ubun-ubun kepala Khik-sia mengeluarkan asap, dapat mengalirkan racun itu ke bawah lagi.

   Lewat sepenyulut dupa, racun itu dapat dihalau sampai ke telapak tangan pula.

   Kala itu sudah fajar.

   Mataharipun mulai pancarkan sinarnya di antara lebatan daun pohon yang rindang.

   Hawa pagi sejuk nyaman dan perasaan hati Tiau-ing pun menjadi riang gembira.

   Pikirnya.

   "Ya, sebentar lagi, racun tentu sudah dapat diusirnya. Setelah lukanya sembuh baru nanti dengan pelahan-lahan akan kuhibur luka hatinya."

   Tiba-tiba kegirangannya itu dipecahkan oleh derap kaki kuda yang gemuruh suaranya. Rupanya ada belasan ekor kuda yang berlarian datang. Ah, lagi-lagi datang gangguan ..... Su Tiau-ing terkejut, pikirnya.

   "Khik-sia sedang berkutetan menyelesaikan penyaluran lwekangnya. Kalau yang datang itu musuh, bagaimana nanti?"

   Tepat pada pikirannya membayangkan hal itu, sekelompok orang menyusup masuk ke dalam hutan dan mengepung Khik-sia dan Tiau-ing.

   Ketika mengawasi, Tiau-ing dapatkan pengepungpengepungnya itu tak kurang dari tiga belas orang banyaknya.

   Dan astaga, si thau-to si hidung besar juga ada.

   Kiranya kedua orang itu telah mengajak kambrat-kambratnya untuk mengejar Tiauing.

   Seorang paderi yang memakai jubah warna merah kedengaran berkata.

   "Apakah nona itu adik perempuan dari Su Tiau-gi? Apa kau tak keliru?"

   "Kali ini pasti tak keliru!"

   Sahut si hidung besar.

   "Siapa anak muda itu?"

   Tanya paderi itu pula.

   "Entahlah, tapi ia lihay sekali. Untung telah kuberinya sebuah hantaman hingga ia tak dapat berlari lagi,"

   Sahut si hidung besar dengan bangga. Si paderi hanya mendengus, ujarnya.

   "Hm, sekali keluar kalian sudah mencemarkan kewibawaan partai Leng-san-pay, tapi masih berani buka mulut."

   Dampratan itu telah membuat si hidung besar dan si thau-to menjadi merah padam dan tak berani bercuwit lagi.

   "Kutahu siapa anak muda itu. Dia bernama Toan Khik-sia, sute dari Gong-gong-ji,"

   Kata salah seorang rombongan pendatang itu, yakni seorang hweshio yang berdaun telinga besar.

   Hweshio inilah yang ketika di warung arak di Gui-pok telah keliru menyangka Su Yak-bwe sebagai Su Tiauing.

   Leng-san-pay telah mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengejar jejak Su Tiau-ing.

   Dan kebetulanlah mereka berjumpa di tempat situ.

   Setelah mendapat hajaran, si hidung besar dan si thau-to melarikan diri.

   Di tengah jalan mereka berpapasan dengan rombongan gerombolannya.

   Si hidung besar dan si thau-to segera diajak untuk mengejar Tiau-ing.

   Demi mendengar keterangan tentang diri Khik-sia, si paderi itu tampak tertegun, ujarnya.

   "Oh, kiranya sute dari Gong-gong-ji. Baiklah, jangan hiraukan dia, cukup asal meringkus budak perempuan itu saja."

   Dari kata-katanya itu teranglah kalau paderi jubah merah itu menaruh perindahan terhadap Gong-gong-ji.

   "Tapi bagaimana dengan kedua budak perempuan yang menyaru jadi opsir di hotel itu?"

   Tanya si hweshio telinga besar. Kembali si paderi jubah merah mendengus.

   "Karena membikin ribut-ribut di Gui-pok, kau tentu mendapat pil pahit dari kedua nona itu, bukan?"

   Hweshio telinga besar itu menyahut dengan berbisik.

   "Ji-suheng, memang telah kuakui bahwa aku telah keliru menyangka orang. Tapi tadi jit-suheng mengatakan bahwa kemungkinan kedua anak perempuan itu adalah kawan dari budak perempuan ini. Apalagi apabila sampai teruwar bahwa anak buah Leng-san-pay dihajar oleh dua anak perempuan, bukankah memalukan?"

   Dikili begitu, akhirnya si paderi jubah merah itu mau juga meluluskan.

   "Baiklah, kau kembali untuk mencegat mereka. Hm, jika bukan memandang nama baik partai kita, masakan aku sudi mengurusi urusanmu yang tak berguna itu?"

   Rupanya rombongan pengepung-pengepung dari Leng-san-pay itu, menganggap Khik-sia dan Tiau-ing sebagai ikan yang sudah masuk ke dalam jaring.

   Mereka tak mau buru-buru turun tangan.

   Paderi jubah merah itu adalah murid kedua dari Leng Ciu siangjin.

   Karena toa-suhengnya tak mau keluar, maka terpaksalah ia sebagai suheng yang kedua, memimpin rombongan.

   Setelah cukup memberi dampratan pada sute-sutenya, barulah ia mulai mengurusi Su Tiau-ing.

   "Nona Su, aku telah menerima perintah dari kakakmu dan raja suku Ki untuk mengantarkan kau pulang. Harap nona suka menurut saja. Kalau sampai kita didesak turun tangan, ah, sungguh tak menyedapkan pandangan,"

   Katanya. Sejak mengetahui siapa pengepung-pengepungnya itu, diam-diam Su Tiau-ing sudah merancang siasat untuk menghadapi mereka. Tiba-tiba ia tertawa.

   "Oh, kiranya kalian adalah anak murid Leng-san-pay? Kalau begitu, kita ini bukan orang luar. Suhuku Shin Ci-koh dan Leng Ciu siangjin adalah sahabat."

   Ucapan itu telah membuat anak murid Leng-san-pay gelagapan. Ada beberapa orang yang saling berbisik mengatakan kalau Tiau-ing itu tak boleh dibuat main-main. Gerak-gerik mereka itu tak luput dari pengawasan Tiau-ing. Pikirnya.

   "Dengan Gong-gong-ji saja kalian tak berani, apalagi dengan suhuku, masakan kalian tak lekas ngacir."

   Di luar dugaan si paderi jubah merah tadi mengerut gelap, katanya.

   "Memang telah kuketahui siapa suhumu itu, tapi jangan harap dapat menakuti aku!"

   Jawaban itu telah membuat Tiau-ing terbeliak kaget. Tapi ia teguhkan nyalinya dan tertawa dingin.

   "Baiklah, siapa yang berani turun tangan silahkan maju! Tapi asal suhuku mengetahui, jangan harap kalian ada yang bisa hidup lagi!"

   Masih Tiau-ing coba menggunakan nama suhunya untuk menggertak mereka. Dan memang ada beberapa anggota rombongan yang ketakutan. Tapi si paderi jubah merah itu cepat memberantas ketakutan sute-sutenya.

   "Urusan itu seluruhnya menjadi pertanggungan jawab toa-suheng kita. Ayo, jangan takut meringkusnya!"

   Karena tadi di hotel si hidung besar dan si thau-to telah mendapat hinaan dari Khik-sia dan Tiau-ing, kemudian mendapat dampratan dari ji-suhengnya pula, maka mereka hendak unjuk pahala untuk menebus dosa.

   Serempak kedua orang itu loncat maju menerjang Tiau-ing.

   Tiau-ing cepat mencabut pedang Khik-sia dan menghadang di muka anak muda itu.

   "Nona Su, tadi dengan tak sengaja kami telah melukai kekasihmu itu. Janganlah nona coba melindunginya lagi tapi ikutlah pulang dengan kami,"

   Kata si hidung besar.

   Dari jarak tiga meteran, si hidung besar itu telah dorongkan kedua tangannya ke arah Tiau-ing.

   Seketika Tiau-ing seperti terdampar oleh angin kuat hingga tubuhnya terhuyung-huyung menyurut mundur dua langkah dan berada di belakang Khik-sia.

   Tertawalah si hidung besar dengan ejeknya.

   "Tak nanti kau dapat melindunginya, pun dia tak nanti dapat melindungimu."

   Memutar ke samping Khik-sia, ia lantas menyambar Tiau-ing.

   Berbareng pada saat itu, si thautopun ikut nimbrung menerjangnya.

   Tapi dia itu seorang yang berangasan.

   Walaupun ji-suhengnya sudah memerintahkan supaya hanya meringkus Tiau-ing saja, tapi karena tadi ia mendapat hajaran dari Khik-sia, maka sekarangpun ia hendak membalasnya.

   "Hai, budak kecil, enyahlah kau!"

   Serunya sembari mengirim sebuah tendangan pada Khik-sia.

   Tetapi untuk itu sebaliknya ia harus membayar mahal.

   Seperti telah diterangkan, saat itu Khiksia sedang memusatkan seluruh lwekangnya untuk mengeluarkan racun yang mengeram di telapak tangannya.

   Tendang thau-to itu seperti mengenai sebuah bola karet saja yang mempunyai tenaga mementalkan.

   Karena tendangan itu dilakukan keras, maka makin keras juga reaksi pentalannya.

   Thau-to itu menjerit keras dan laksana sebuah satelit, tubuhnya terpelanting ke udara dan meluncur melalui atas kepala Khik-sia.

   Justru pada saat itu si hidung besar sedang ulurkan tangannya menyambar Tiau-ing.

   Tubuh si thau-to melayang dan tepat menubruk badan si hidung besar.

   Blek, kedua-duanya sama terjungkal jatuh dan bergelundungan beberapa meter.

   Kejadian itu telah mengejutkan rombongan anak murid Leng-san-pay.

   "Bagus, budak kecil, kita tak mau mengurusi kau, tapi sebaliknya kau berani cari perkara pada kami. Ayo, ringkus juga budak itu!"

   Teriak si paderi jubah merah. Ia mempelopori dengan sebuah terjangan dan pukulan biat-gong-cian kepada Khik-sia. Tubuh Khik-sia bergoyang, tapi tetap bersila. Pikirnya.

   "Paderi ini lebih lihay dari si hidung besar. Pukulannya saja sudah sedemikian hebat."

   Ia empos lagi semangatnya untuk mengusir racun yang sudah terdesak di ujung jari tengahnya.

   Dalam lain kejab saja racun itu tentu sudah dapat disalurkan keluar, tapi jika sampai berkelahi tentu akan menggagalkan usahnya mengusir racun.

   Sekalipun tak kepalang kejut si paderi demi melihat pukulan biat-gong-ciangnya tak dapat mengapa-apakan Khik-sia, pikirnya.

   "Karena toa-suheng yang menanggung urusan ini, aku tak peduli jika sampai mengikat permusuhan dengan Gong-gong-ji."

   Karena ia berkepandaian tinggi maka dapatlah ia mengetahui usaha Khik-sia menyalurkan lwekang menghalau racun itu sudah mencapai saat-saat yang menentukan dan karenanya tak dapat menggerakkan tubuh. Seketika timbullah pikirannya.

   "Ayo, hujani ia dengan bacokan!"

   Serunya kepada para sutenya. Sudah tentu kawanan sute itu tak berani membangkang. Secepat menghunus golok mereka segera menerjang Khik-sia. Tapi ketika tubuh Khik-sia terancam hujan golok, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan.

   "Ayo, siapa yang berani turun tangan!" Nadanya melengking nyaring tapi cukup lantang dan menandakan dari seorang wanita. Aneh untuk dikata, suara seruan itu bagaikan jarum yang menusuk anak telinga orang, hingga orang-orang sama tergetar hatinya. Otomatis mereka hentikan langkahnya. Ternyata di samping Su Tiau-ing telah muncul seorang wanita kira-kira berumur 30-an tahun. Rambutnya diikat dengan gelang emas, alisnya panjang dan bahunya menyanggul sebatang hud-tim (kebut pertapaan). Dandanan wanita itu terang bukan orang biasa tapipun bukan bangsa nikoh (rahib). Wajahnya cantik tapi sinar matanya memancarkan sorot dingin yang menyebabkan orang tak berani memandangnya. Ya, aneh benar wanita itu hingga sukar orang menduga keadaan dirinya. Setelah sapukan matanya sejenak, berserulah wanita cantik itu dengan dingin.

   "Ah, kiranya serombongan anak emas dari Leng Ciu lo-koay. Hm, apakah hanya ini saja? Mana toa-suhengmu Ceng-bing-cu?"

   Bermula anak murid Leng-san-pay itu kesima melihat kecantikan wanita itu, maka untuk beberapa saat mereka tak mempunyai rasa permusuhan. Tapi demi membuka mulut si wanita cantik itu lantas menghina suhu mereka sebagai "lokoay"

   Atau makhluk tua aneh, maka marahlah rombongan murid Leng-san-pay itu.

   Tapi ketika mereka hendak bertindak, kembali mereka dikejutkan oleh kata-kata terakhir dari wanita cantik itu.

   Kiranya Ceng-bing-cu itu adalah murid paling disayang oleh Leng Ciu siangjin.

   Ceng-bing-cu telah mendapatkan tujuh bagian dari kepandaian suhunya.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam beberapa tahun yang terakhir ini, Leng Ciu siangjin sudah mengundurkan diri.

   Segala urusan partai Leng-san-pay diwakili oleh Ceng-bing-cu.

   Karena itu maka sekalian anak murid Leng-san-pay jeri dan mengindahkan sekali terhadap toa-suhengnya itu.

   Berserulah si paderi jubah merah.

   "Siapa kau ini? Apakah kenal dengan toa-suheng kami? Kami diperintah toa-suheng untuk mengambil budak perempuan ini."

   Dalam pada ji-suheng (si paderi jubah merah) mereka berkata itu, para anak murid Leng-sanpay itu saling berkata kasak-kusuk sendiri.

   Ada yang bilang kalau wanita aneh itu dari golongan jahat.

   Ada pula yang mengatakan jangan-jangan wanita itu adalah kekasih dari toa-suheng mereka.

   Mendengar itu ada yang lantas memperingatkan supaya jangan ngerasani (mengatakan di belakang orangnya) toa-suhengnya.

   Kiranya toa-suheng mereka itu gemar dengan paras cantik.

   Banyaklah sahabat-sahabat wanitanya dari golongan jahat.

   Hal itu diketahui oleh para sutenya.

   Walaupun rombongan anak murid Leng-san-pay itu kasak-kusuk dengan suara pelahan namun rupanya tajam sekali pendengaran wanita cantik itu.

   Segera wajah wanita itu berubah gelap.

   Pada saat itu Tiau-ing sudah hilang kejutnya dan berkatalah ia.

   "Suhu, dengan mengandalkan pengaruh Leng Ciu lokoay, bukan saja mereka menghina padaku pun tak memandang mata juga kepada suhu! Telah kukatakan nama suhu kepada mereka, tapi apa kata mereka? Mereka mengatakan suhu sebagai wanita siluman dan menantang suhu tentu tak berani mencabut selembar bulu dari anak murid Leng-san-pay!"

   Kata-kata Tiau-ing itu telah mengejutkan kawanan anak murid Leng-san-pay.

   Kini baru tahulah mereka kalau wanita cantik itu kiranya Shin Ci-koh, iblis wanita yang namanya setenar Leng Ciu siangjin di daerah utara.

   Gerak-gerik Shin Ci-koh itu amat misterius, muncul lenyapnya sukar diduga-duga.

   Barang siapa berani menyalahinya, jangan harap bisa hidup.

   Oleh karena itu walaupun tak terhitung jumlah korban yang dibunuhnya sehingga namanya cukup memecahkan nyali setiap orang persilatan, namun tak seorangpun yang dapat menerangkan bagaimana wajah wanita iblis itu.

   Shin Ci-koh tak punya barang seorang sahabatpun jua.

   Setiap orang yang menjadi musuhnya tentu sudah dilenyapkan.

   Karena keganasannya itu, timbullah cerita di kalangan kaum persilatan, bahwa wanita iblis itu tentu berwajah seperti burung kukukbeluk yang menyeramkan.

   Maka sungguh di luar dugaan rombongan anak murid Leng-san-pay bahwa ternyata iblis wanita itu ternyata seorang wanita cantik yang masih tak begitu tua usianya.

   "Ayo, semua maju!"

   Teriak si paderi jubah merah memberi komando kepada sute-sutenya.

   Ia tahu Shin Ci-koh itu ganas sekali, tak nanti ia dapat lolos dengan selamat.

   Maka daripada mati konyol lebih baik adu jiwa saja.

   Ia memperhitungkan betapapun lihay Shin Ci-koh itu tapi kalau dikeroyok sekian banyak orang tentulah dapat dihalau juga.

   Plak, tiba-tiba terdengar suara tamparan.

   Ternyata salah seorang murid Leng-san-pay sudah ditampar pipinya oleh Shin Ci-koh.

   Tamparan itu cepat dan tak terduga-duga datangnya hingga orang yang ditampar itu tak dapat berbuat apa-apa.

   Yang dilihat hanya sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pipinya sudah panas kesakitan.

   Matanya gelap, mulutnya mengerang tertahan dan berbareng dengan muncratnya darah rubuhlah ia tak bernyawa lagi.

   Orang yang menjadi korban itu bukan lain ialah orang yang mengatakan bahwa Shin Cik-koh itu adalah gula-gula dari toasuhengnya (Ceng-bing-cu).

   Menyusul cepat sekali Shin Ci-koh sudah ayunkan pula hud-timnya.

   Plak, kembali seorang anak murid Leng-san-pay hancur batok kepalanya.

   Si hidung besar maju dan lancarkan pukulan beracun.

   "Pukulanmu yang beracun ini telah mencelakai banyak orang, nah, sekarang biar kau nikmati sendiri betapa rasanya racun itu!"

   Segera Shin Ci-koh kebutkan hud-timnya, tahu-tahu si hidung besr rasakan ujung siku lengannya seperti tertusuk jarum.

   Tanpa dapat ditahan lagi, tangannya membengkok dan plak, ia memukul dirinya sendiri.

   Seketika itu juga rubuhlah ia.

   Shin Ci-koh tarikan hud-timnya.

   Ditingkah dengan ketawanya yang bernada dingin, beberapa murid Leng-san-pay silih berganti rubuh ke tanah.

   Lemah gemulai tampaknya gerakan hud-tim itu, tapi dengan saluran lwekang tinggi, hud-tim itu dapat berubah menjadi keras dan lunak.

   Sesaat kencang menjadi pangkal untai, sesaat buyar seperti tebaran ijuk.

   Apabila kencang (kempal), merupakan seperti thiat-pit (pit besi) yang dapat ditutukkan ke batok kepala, sedang apabila lepas bertebaran dapat digunakan sebagai jarum-jarum yang menusuk jalan darah.

   Maka orang-orang yang menjadi korbannya itu kalau tidak batok kepalanya pecah berhamburan tentulah jalan darahnya yang tertusuk.

   Jika batok kepalanya hancur, tentu seketika binasa.

   Tapi jikalau jalan darahnya tertusuk, tentu akan menderita siksaan yang ngeri, mati tidak hidup tidak.

   Satu-satunya yang dapat dilakukan oleh korban itu, hanyalah mengerang-erang kesakitan dengan rintihan yang mengenaskan.

   Kawanan anak murid Leng-san-pay itu biasa merajalela dengan segala kecongkakannya.

   Tapi sekali berjumpa dengan seorang iblis wanita macam Shin Ci-koh, keganasan mereka itu ternyata masih kalah jauh.

   Dalam pertempuran maut itu, bergelimpangan tubuh-tubuh kawanan anak murid Leng-san-pay itu, ada yang tewas, ada yang terluka dan ada yang berusaha untuk melarikan diri.

   Sebagai murid kedua dari Leng Ciu siangjin, si paderi jubah merah itu tak tega melihat para sutenya didera begitu hebat.

   Dengan besarkan nyali, terpaksa ia maju menyerang.

   Kalau dibandingkan dengan kawanan sutenya itu, sudah tentu kepandaiannya jauh lebih tinggi.

   Setelah lepaskan jubahnya, ia segera gunakan jubah itu untuk menghantam Shin Ci-koh.

   Wut.

   Wut, terdengarlah suara benda menderu dan tahu-tahu sebelum ia sempat mengetahui jubahnya itu terasa berat sekali dan tertekan ke bawah.

   Buru-buru ia kerahkan tenaganya untuk mengangkat ke atas.

   Bluk, bluk, terdengarlah dua sosok tubuh berjatuhan dari lipatan jubahnya itu.

   Dan berbareng itu terdengarlah dua buah jeritan ngeri.

   Kiranya Shin Ci-koh menyambar dua orang anak murid Leng-san-pay terus dilemparkan ke arah si paderi.

   Diayun-gontaikan oleh permainan jubahnya, sudah tentu kedua sutenya itu tak bernyawa lagi.

   "Kau punya mata tapi tak ada gundunya, perlu apa?"

   Shin Ci-koh tertawa mengejek.

   Baru si paderi jubah merah berhasil mengibarkan jubahnya ke atas, sebelum ia sempat berjagajaga, tahu-tahu kedua matanya terasa seperti disusupi jarum, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati.

   Seketika itu benda di sekelilingnya menjadi gelap gulita.

   Ternyata ia sudah buta.

   Buru-buru bolang-balingkan jubahnya terus melarikan diri sekencang-kencangnya.

   Shin Ci-koh mengejar.

   Sekali kebutkan hud-tim, belasan lembar bulu kebut itu melayang menyusup ke punggung empat lima anak murid yang melarikan diri bersama si paderi.

   Segera mereka bergulingan di tanah dan menjerit ngeri.

   Tapi si paderi yang sudah buta matanya itu, tak mendapat persen bulu kebut lagi.

   Tertawalah Shin Ci-koh.

   "Hari ini aku melanggar peraturan, sengaja mengampuni jiwamu agar kau dapat pulang memberi kabar. Katakan pada Leng Ciu lokoay, lekas serahkan Ceng-bing-cu padaku. Kalau tidak aku akan datang sendiri mengorek biji mata Ceng-bing-cu kemudian membeset kulitnya."

   Mengapa Shin Ci-koh sangat membenci Ceng-bing-cu? Kiranya disitu terdapat persoalannya.

   Sebenarnya Shin Ci-koh itu sudah berumur 40-an tahun, tapi dasar orang cantik, tampaknya seperti masih belum mencapai umur 30 tahun.

   Apabila orang baru mengenalnya tentu tak mengira kalau ia adalah seorang iblis wanita yang termasyhur ganas.

   Pada suatu hari berpapasanlah Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh di tengah jalan.

   Dasar orang bermata keranjang dan belum kenal siapa Shin Ci-koh itu, maka Ceng-bing-cu sudah coba untuk menggodanya.

   Dalam marahnya Shin Ci-koh lantas menghajarnya.

   Untung karena memandang muka Leng Ciu siangjin, maka Shin Ci-koh memberinya ampun.

   Sudah tentu Ceng-bing-cu tak dapat melupakan hinaan itu.

   Tapi ia tak berani menceritakan kepada suhunya.

   Setelah merawat lukanya dan pulang ke gunung ia tetap menyimpan rahasia itu untuk menunggu kesempatan menuntut balas.

   Beberapa tahun kemudian, barulah kesempatan itu tiba.

   Kesempatan itu ada hubungannya dengan diri Su Tiau-ing.

   Seperti telah diketahui, setelah kalah perang, Su Tiau-gi dan adiknya menggabungkan diri pada raja pribumi suku Ki.

   Raja itu hanya mempunyai seorang putera, ialah Chomulun yang pernah dipecundangi oleh Khik-sia tempo hari.

   Chomulun jatuh hati pada Su Tiauing.

   Beberapa kali ia ajukan lamaran, tapi selalu ditolak oleh Tiau-ing.

   Sampai akhirnya terjadilah peristiwa dimana Tiau-ing telah membelakangi engkohnya dan melarikan diri dengan Khik-sia.

   Kejadian itu telah menggoncangkan hati Chomulun.

   Pertama, kecongkakkannya telah dihancurkan oleh Khik-sia.

   Kedua kali gadis yang dirinduinya dilarikan oleh Khik-sia.

   Sudah tentu ia kelabakan seperti kebakaran jenggot.

   Dengan murkanya ia mendesak Tiau-gi supaya mencari adiknya sampai dapat, kalau tidak ia akan mengusir Tiau-gi.

   Su Tiau-gi menjadi sibuk juga.

   Pikir punya pikir, tetap ia tak berdaya.

   Akhirnya ia minta advis kepada Ceng-ceng-ji.

   Ternyata Ceng-ceng-ji juga jeri berhadapan dengan Khik-sia.

   Tapi ia teringat kepada Ceng-bing-cu yang gemar paras cantik itu.

   Diusulkannya kepada Su Tiau-gi untuk minta bantuan pada Ceng-bing-cu.

   Su Tiau-gi menerima baik dan atas nama ia dengan raja suku Ki, ia mengirim utusan untuk minta bantuan pada Leng-san-pay dengan membawa sejumlah bingkisan berharga.

   Setelah mendapat keterangan bahwa Su Tiau-ing itu adalah murid kesayangan dari Shin Ci-koh, timbullah suatu rencana pada Ceng-bing-cu.

   Dengan menggunakan kesempatan itu ia hendak mengadu domba suhunya dengan Shin Ci-koh.

   Waktu ia memberitahukan kepada suhunya tak disinggung-singgungkan bahwa Su Tiau-ing itu adalah murid dari Shin Ci-koh.

   Ia hanya mengatakan bahwa Su Tiau-gi dan raja suku Ki minta bantuan supaya menangkapkan seseorang.

   Ceng-bing-cu tahu bahwa Leng Ciu siangjin itu mempunyai ambisi (hasrat) untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan.

   Ini menjadi bahan untuk mengobarkan hati suhunya.

   Dikatakannya bahwa Su Tiau-gi itu kelak tentu akan berhasil dalam usahanya besar.

   Apabila Leng-san-pay membantunya, kelak apa bila Su Tiau-gi berhasil menjadi raja, Leng-san-pay tentu akan diberi prioritas untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan.

   Karena usianya yang sudah lanjut, pikiran Leng Ciu siangjin itu sudah tak terang lagi.

   Segala apa ia hanya menurut apa yang direncanakan oleh murid kepala itu.

   Akhirnya ia memutuskan supaya mengatur pengejaran.

   Sebenarnya Ceng-bing-cu sudah memperhitungkan bahwa nantinya Shin Ci-koh tentu akan tampil campur tangan.

   Tapi justru memang itulah yang dikehendakinya agar iblis wanita itu bentrok dengan Leng Ciu siangjin.

   Tentang kematian dari belasan anak murid Leng-san-pay itu, sama sekali tak dihiraukan oleh Ceng-bing-cu.

   Malah hal itu merupakan umpan.

   Apabila Shin Cikoh membunuh anak murid Leng-san-pay, kala itu sekalipun tahu bahwa pembunuhnya adalah Shin Ci-koh, namun Leng Ciu siangjin tentu pantang mundur dan tentu akan menggempur Shin Ci-koh.

   Pengerahan anak buah Leng-san-pay secara besar-besaran untuk mencari jejak Su Tiau-ing, telah menggerakkan hati Shin Ci-koh.

   Dan seperti yang sudah diperhitungkan Ceng-bing-cu, benar juga iblis wanita itu muncul dan membasmi sekawanan anak murid Leng-san-pay.

   Dalam pertempuran itu selain si paderi jubah merah yang buta matanya, dua belas orang anak murid Lengsan- pay telah binasa di tangan Shin Ci-koh.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berselang beberapa jenak, suasana hutan yang menjadi gelanggang pertumpahan darah itu kembali menjadi tenang.

   Beberapa korban yang tadi masih merintih-rintih kesakitan, kini sudah putus jiwanya.

   Mayat bergelimpangan di sana-sini, hawa busuk bertebaran dibawa angin.

   Pemandangan pada saat itu, sungguh mengerikan.

   Sampaipun Khik-sia yang menganggap kematian kawanan anak murid Leng-san-pay itu memang sudah selayaknya, namun hatinya tetap tergetar dengan apa yang disaksikan itu.

   Pikirnya.

   "Suhu dari Su Tiau-ing ini memang sakti sekali, tapi kelewat ganas. Sungguh tak kira, seorang wanita yang sedemikian cantiknya, ternyata seorang iblis yang suka menghirup darah manusia."

   Tiba-tiba ia teringat akan peristiwa ketika Su Tiau-ing menggebah pergi toa-suhengnya (Gonggong- ji). Cukup dengan menyebutkan nama suhunya, Su Tiau-ing telah membikin Gong-gong-ji lari ketakutan. Diam-diam ia merasa heran dan bertanya dalam hati.

   "Benar kepandaian suhu Tiauing itu jarang terdapat di dunia persilatan, tapi rasanya juga tak melebihi toa-suheng. Tapi mengapa toa-suheng begitu ketakutan mendengar namanya saja? Dan toa-suheng itu biasanya berhati tinggi tak takut pada siapapun juga. Heran, mengapa ia jeri terhadap iblis wanita ini?"

   Saat itu Khik-sia dengan gunakan lwekang yang tinggi telah dapat melokalisir (mengumpulkan) racun di tubuhnya dan disalurkan ke ujung jari tengah.

   Sekali jari tengahnya digetarkan, racun yang sudah kental menjadi sebesar biji kedele mengucur keluar dari lubang lukanya.

   Tepat pada saat itu, Shin Ci-koh pun berpaling.

   Melihat perbuatan Khik-sia, diam-diam ia merasa kagum juga.

   Su Tiau-ing cepat mengeluarkan sapu tangan.

   Tapi ketika hendak membalut luka Khik-sia, anak muda itu sudah menolaknya dan terus angkat kaki.

   "Hai, hendak kemana kau?"

   Teriak Tiau-ing. Sahut Khik-sia dengan tawar.

   "Suhumu sudah datang, tak perlu kutemani kau lagi. Tentang urusan Kay-pang, kelak apabila aku sudah tiba di Tiang-an tentu kukabarkan padamu."

   "Hai, kau ini bicara sungguh-sungguh atau main-main?"

   Seru Tiau-ing dengan sibuknya. Sekali tubuh Khik-sia bergerak, ia sudah melesat beberapa tombak jauhnya. Baru ia hendak menyahut, tiba-tiba terdengar sambaran angin. Ternyata Shin Ci-koh menyerang punggunnya dan mendamprat.

   "Budak kecil yang tak tahu adat. Telah kutolong menghalaukan musuh, sepatahpun kau tak mengucapkan terima kasih."

   Bret, dalam pada ia berkata-kata itu, tangannya sudah menyentuh bahu Khik-sia.

   Tapi Khik-sia sudah meluncur pergi, yang kena disambar hanyalah bajunya saja hingga robek.

   Ia berpaling ke belakang dan dilihatnya Tiau-ing berseru kepada suhunya dengan cemas.

   "Suhu, dia adalah Gong ...."

   "Aku sudah tahu kalau dia sute dari Gong-gong-ji. Ilmu gin-kangnya juga hampir menyamai suhengnya itu,"

   Tukas Shin Ci-koh.

   Sebenarnya jika Khik-sia keluarkan seluruh ilmu gin-kangnya, dalam jarak sepuluh li, mungkin Shin Ci-koh masih dapat mengejarnya, tapi selewatnya jarak itu tentu tak mampu menyusulnya lagi.

   Khik-sia tahu juga akan hal itu.

   Sebenarnya ia bisa menyingkir saja tapi setelah mendengar dampratan Shin Ci-koh tadi, ia merasa dirinya memang kurang pantas.

   Walaupun tak senang kepada iblis wanita itu, tapi terpaksa ia berhenti juga dan memberi hormat.

   "Baiklah, dengan ini aku menghaturkan terima kasih padamu."

   "Jangan buru-buru pergi dulu,"

   Kata Shin Ci-koh. Kemudian ia bertanya kepada Su Tiau-ing.

   "Pernah janji apa dia kepadamu?"

   "Ia pernah meluluskan mengawani aku ke Tiang-an,"

   Sahut Tiau-ing yang kemudian menuturkan tentang urusan Kay-pang. Berkata Shin ci-koh tawar-tawar kepada Khik-sia.

   "Dalam hal ini kaulah yang salah. Kaum persilatan paling menjunjung janji, mengapa kau lantas mau pergi seenakmu sendiri saja? Hm, kau kira aku tak dapat menghadangmu? Hm, mengapa kau dengan suhengmu itu setali tiga uang? Tanpa menyerahkan tanggung jawab lantas mau ngacir pergi?"

   Khik-sia memang mempunyai sifat ksatria. Bukan karena takut dengan gertakan Shin Ci-koh yang menggunakan alasan kuat itu. Terutama ketika wanita itu menyebut-nyebut nama toasuhengnya, tertariklah hati Khik-sia.

   "Benar, memang aku telah berjanji bersama kau ke Tiang-an, tapi dari sini ke kota itu hanya dua hari perjalanan saja. Kamu berdua suhu dan murid saling berjumpa, tentunya mempunyai banyak hal yang akan dibicarakan. Aku hanya orang luar, jika mengikuti perjalananmu, bukankah hanya akan menimbulkan kejemuanmu saja? Itulah makanya aku akan pergi ke Tiang-an lebih dulu dan menunggu kalian di sana. Tentang pertentanganmu dengan kaum Kay-pang, setelah aku tiba di Tiang-an tentulah aku akan berusaha untuk mencari penyelesaiannya. Ini bukan berarti aku hendak mengingkari janji,"

   Bantah Khik-sia. Shin Ci-koh tertawa, tegurnya.

   "Ing-ji, apakah kau benci kepadanya?"

   Wajah Tiau-ing kemerah-merahan.

   "Suhu, kau, kau tentu sudah mengerti sendiri. Aku, aku tak mau mengatakan."

   Kembali Shin Ci-koh tertawa.

   "Benar, jika kau benci padanya, tak nanti kau suruh dia mengantarmu ke Tiang-an. Hanya saja, aku tak suka dengan budak itu."

   Tiau-ing terbeliak, tapi ia tak berani bersuara, melainkan mencuri lihat ke arah suhunya. Dilihatnya wajah sang suhu tak menampilkan kemarahan, maka bingung ia memikirkan apakah suhunya itu berkata sungguh-sungguh atau hanya bergurau saja.

   "Baik, tapi mengapa kau tahan aku?"

   Demikian Khik-sia hendak mengejek Shin Ci-koh. Tapi belum sempat ia mengutarakan, Shin Ci-koh sudah mendahuluinya.

   "Aku benci padanya karena dia sute dari Gong-gong-ji. Kubenci padanya karena ia serupa dengan suhengnya itu. Tapi karena bukan aku yang minta ditemani, asal kau tak benci padanya, tak apalah."

   "Oh, bukankah suhu juga akan pergi ke Tiang-an?"

   Tanya Su Tiau-ing.

   "Apa itu Eng-hiong-tay-hwe dari Cin Siang, masih belum masuk hitunganku. Aku tak berminat melihatnya,"

   Sahut Shin Ci-koh tawar-tawar. Tiau-ing menjunjung suhunya.

   "Ya, benar, memang siapakah yang berani bertepuk dada di hadapan suhu?"

   "Bukan begitu, soalnya memang selama ini aku belum pernah berjumpa dengan seorang gagah sejati. Misalnya, Gong-gong-ji itu, bermula kuanggap ia sebagai seorang ksatria, siapa nyana nyalinya kecil sekali. Oh, berbicara tentang Gong-gong-ji, aku memang masih akan mencarinya untuk melampiaskan kemarahanku."

   Khik-sia senantiasa mengindahkan sekali kepada toa-suhengnya. Maka marahlah ia ketika mendengar Shin Ci-koh menghina toa-suhengnya itu.

   "Apa buktinya kalau toa-suhengku bernyali kecil. Apakah kau mempunyai dendam kepadanya?"

   Sebenarnya Khik-sia masih mempunyai beberapa patah kata yang hendak dikatakan kepada Shin Ci-koh, ialah.

   "Tentang dendammu kepada suhengku itu, jika kau tak dapat mencarinya, akulah yang akan mewakilinya." Tapi ia pikir, ucapan itu berarti menantang pada Shin Ci-koh. Meskipun Khik-sia tak takut kepada wanita iblis itu, tapi mengingat bahwa tadi ia telah memberi pertolongan, maka sungkanlah ia untuk menentangnya. Ia hendak pertimbangkan hal itu apabila sudah mendapat jawaban dari wanita itu. Melihat Khik-sia bicara begitu getas, diam-diam cemaslah Tiau-ing. Tapi di luar dugaan, dari marah sebaliknya suhunya itu malah menghela nafas, ujarnya.

   "Meskipun kau sutenya, tapi urusannya tak dapat kau wakili, pun tak boleh kau turut campur. Kalau bukannya bernyali kecil, mengapa suhengmu selalu menghindari aku saja? Tapi bagaimanapun juga tak nanti seumur hidup ia dapat menghindarkan diri, dalam hal itu tak usah kau menguatirkan aku!"

   Pikir Khik-sia.

   "Uh, kalau kau tak mampu mencari suhengku, itulah urusanmu sendiri, perlu apa aku menguatirkan kau?" Ia rasa ucapan Shin Ci-koh itu agak aneh, tapi yang nyata nadanya tak mengandung permusuhan terhadap Gong-gong-ji. Tiba-tiba wajah Shin ci-koh mengerut, ujarnya.

   "Tak usah membicarakan suhengmu lagi dan sekarang tentang urusanmu saja. Kau telah mendengar jelas, pertama aku tak berniat ke Tiang-an maka aku pun segera berpisah dengan Tiau-ing lagi. Dan aku pun tak ada omongan apa-apa dengannya. Kedua. aku benci padamu, tapi Tiau-ing tidak. Ia masih menghendaki kau menemaninya ke Tiang-an. Kau sudah meluluskan, sekarang apa kau menyesal?"

   Khik-sia tak dapat berbuat apa-apa lagi, sahutnya.

   "Karena kau tak menuju ke Tiang-an, biarlah aku yang mengantarkan nona Su kesana."

   Di udara terdengar suara berkaok-kaok. Ternyata beberapa burung elang karena melihat beberapa sosok mayat di tanah, lantas mau melayang turun.

   "Kurang ajar!"

   Seru Shin Ci-koh seraya kibaskan hud-tim ke atas. Beberapa lembar bulu hudtim bertebaran di udara. Beberapa ekor burung elang itu sama berhamburan jatuh ke bumi. Kemudian menatap Khik-sia dengan sikap mengancam, berkatalah wanita iblis itu.

   "Eh, budak kecil, kau harus memperlakukan muridku baik-baik. Jika kau berani menghinanya, sekalipun kau punya sepasang sayap, tapi jangan harap dapat lolos dari tanganku." Habis berkata, wanita itu lantas angkat kaki. Perut Khik-sia menjadi keras karena menahan kemarahan, pikirnya.

   "Kepandaian wanita ini juga bukan yang nomor satu, tapi garangnya tiada bandingannya. Mungkin suhengku itu jeri akan kegarangannya, hanya karena ia seorang wanita maka suheng segan cari perkara padanya."

   "Ayo, jalan!"

   Karena kemengkalannya belum reda, maka Khik-sia secara dingin segera menyuruh Tiau-ing diajak berangkat. Sambil putar tubuh, dengan nada yang tak kurang dinginnya Tiau-ing menyahut.

   "Jalanlah sendiri!"

   "Eh, aneh. Bukankah tadi kau mendamprat aku karena tak mau menemanimu, mengapa sekarang suruh aku pergi?"

   Tegur Khik-sia. Mata Tiau-ing menjadi merah.

   "Khik-sia, sekarang barulah aku tahu. Ternyata kau tak suka padaku!"

   Khik-sia kerutkan alis.

   "Mengapa kau katakan begitu?"

   Tiau-ing tertawa.

   "Jika bukan benci padaku, mengapa kau selalu hendak kau tinggalkan aku? Benar memang kita bukan sanak bukan kadang, tapi rasanya setelah bergaul beberapa hari ini, apakah tak pantas disebut sebagai sahabat?"

   

   Jilid 10

   "Anggaplah aku bukan sahabatmu, tapi sekurang-kurangnya tadi aku telah menolong jiwamu. Mengingat itu saja, pantaskah kau bersikap sedingin itu kepadaku? Kutahu kau memang tak suka menemani aku, baiklah, silahkan kau pergi sendiri!"

   Kata Tiau-ing pula.

   Teringat akan kebaikan Tiau-ing, lemaslah hati Khik-sia.

   Ia anggap apa yang dikatakan Tiauing itu memang benar.

   Dari marah kini ia malah kuatir jangan-jangan Tiau-ing akan marah.

   Maka iapun segera minta maaf kepada nona itu.

   Kini tertawalah Tiau-ing.

   "Baiklah, karena kau menyatakan suka menemani aku, naiklah ke atas kuda."

   Khik-sia tertegun, serunya.

   "Kau saja yang naik, biar aku berjalan."

   "Kutahu kau memang bisa berjalan, tapi rasanya tak leluasa di perjalanan menggunakan ginkang. Bukankah tadi kita juga naik kuda berdua? Apalagi kau bukan bangsa pemuda desa mengapa sekarang main malu-maluan?"

   Ketika tampak Khik-sia masih ragu-ragu. Tiau-ing lanjutkan kata-katanya.

   "Tidakkah kau ingin lekas-lekas tiba di Tiang-an? Sesampainya di sana segera kau dapat tinggalkan aku, bukankah ini yang kau harap-harapkan? Masih ada satu hal lagi, segera setelah tiba di Tiang-an, kaupun lantas dapat mencari adikmu Bwe itu!"

   Khik-sia kemerah-merahan dibuatnya, sahutnya.

   "Telah kukatakan, sejak saat ini kuanggap aku tak kenal padanya, mengapa kau masih mengungkat hal itu pula? Baik, ayo, naik!"

   Sebenarnya walaupun mulutnya mengatakan begitu tapi dalam hatinya Khik-sia ingin lekaslekas tiba di Tiang-an.

   Meskipun tak dapat berjumpa dengan Yak-bwe tapi paling tidak ia tentu dapat menyirapi kabarnya.

   Setitikpun ia tak mengira adanya Tiau-ing mendesaknya supaya boncengan naik kuda itu,maksudnya tak lain hanya supaya dapat menghindari pengejaran Yak-bwe.

   Pada waktu keduanya boncengan, Khik-sia segera membaui bau yang harum sehingga semangatnya melayang-layang.

   Diam-diam ia mengeluh.

   "Urusan di dunia ini memang sukar diduga-duga. Su Tiau-ing ini tidak punya hubungan apa-apa dengan aku, pun seorang dari golongan jahat, tapi bergaul begini rapat padaku. Sebaliknya sejak lahir aku dengan Yak-bwe itu sudah dipasangkan menjadi suami isteri, sekarang malah memusuhi aku."

   Terlintas pula dalam pikirannya.

   "Perangaiku kasar sehingga sering menimbulkan kesalahan paham yang menyakiti hatinya. Kalau ia sampai tinggalkan aku itulah sudah selayaknya. Ah, sekarang ia sudah punya pilihan, kelak hubungan kita hanya terbatas seperti orang yang tak kenalmengenal."

   "Ai, kau melamun apa lagi?"

   Tiba-tiba Su Tiau-ing menepuk bahu Khik-sia.

   "Lekas pegang erat-erat kendali. Kuda ini terlampau pesat larinya, dapat tinggi loncatnya, hampir saja aku dilemparkan!"

   Khik-sia tenangkan pikirannya, namun pikirannya tetap mengenangkan Yak-bwe saja.

   "Meskipun aku dengan Yak-bwe tak dapat menjadi kawan hidup, tapi dalam kalbuku hanya ada dia seorang. Meskipun Tiau-ing itu baik sekali kepadaku, tapi aku tak dapat menerima hatinya."

   Kemudian ia teringat akan saat-saat Yak-bwe berteriak. Saat itu ia dalam keadaan hampir pingsan. Masih terngiang dalam telinganya kalau Yak-bwe berteriak kaget dan lari menghampirinya seraya memanggil namanya.

   "Ya, jika ia sudah melupakan aku, mengapa ia berbuat begitu? Ah, bila Tiau-ing tak menutuk jalan darahku dan cepat-cepat membawa aku lari, aku tentu dapat berbicara dengan Yak-bwe. Tapi hal itupun tak dapat mempersalahkan Tiau-ing. Ia kan tak tahu bagaimana hubunganku dengan Yak-bwe. Tindakan Tiau-ing itu semata-mata karena hendak menyelamatkan jiwaku,"

   Pikirnya lebih lanjut.

   Ah, sungguh kasihan Khik-sia.

   Ia sudah menelan mentah-mentah cerita yang dikarang Tiau-ing.

   Padahal yang nyata, Yak-bwe ketika itu hendak menolong Khik-sia tapi ditabur bwe-hoa-ciam oleh Tiau-ing.

   Anak buah Leng-san-pay itu datang dari perbatasan Tibet, oleh karena itu kuda mereka adalah kuda istimewa jenis keturunan Tong-ki.

   Kuda putih yang dicuri Tiau-ing itu merupakan kuda pilihan yang istimewa.

   Larinya secepat angin hingga penunggangnya serasa terbang melalui tebaran awan.

   "Toa-suheng masih dapat mengejar lari kuda ini tapi kurasa aku tak mampu,"

   Khik-sia menilainilai ilmu gin-kangnya.

   Satu keuntungan lagi bagi Khik-sia adalah, meskipun lari kuda putih itu secepat angin, tapi melalui jalan besar yang penuh dengan orang-orang berjalan selama itu, kuda tersebut dapat menyelinap dengan tangkasnya hingga tak sampai menubruk mereka.

   Memang orang-orang yang berada di jalananan itu sama terbeliak kaget tapi perasaan mereka hanya terbatas dari rasa heran dan kagum atas kecepatan lari binatang itu.

   Bahwa penunggangnya ternyata sepasang muda-mudi yang boncengan, mereka tak sempat memperhatikan lagi.

   
Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena itu, maka selama dalam perjalanan, Khik-sia tak mengalami gangguan suatu apa.

   Dalam buaian lamunan yang tak keruan itu, tahu-tahu Khik-sia sudah tiba di kaki gunung Lusan.

   Setelah melalui gunung itu, kira-kira duapuluh li lagi akan tibalah sudah mereka di kota raja.

   Kala itu sudah lohor, dua jam kemudian baru petang hari tiba.

   "Malam nanti kita akan makan di rumah makan ternama di Tiang-an. Betapalah girangnya!""

   Tiau-ing membuka pembicaraan dengan tertawa.

   "Kau toh bukan anak kecil, mengapa begitu rakus hanya memikirkan makan enak saja?"

   Sahut Khik-sia dengan tertawa juga.

   Sudah tentu Khik-sia tak tahu bahwa kegirangan Tiau-ing itu bukan disebabkan karena hendak makan enak melainkan karena dapat terlepas dari kejaran Yak-bwe.

   Ketika hampir tiba di Tiang-an, Khik-sia juga girang sekali hatinya.

   Baru ia hendak bergurau dengan Tiau-ing, tiba-tiba nona itu membentaknya keras.

   "Lekas putar kuda balik kembali!"

   Khik-sia terkejut melihat sikap Tiau-ing yang kelihatan gugup sekali itu.

   Pesat sekali lari kuda putih itu, untuk segera menghentikan dan memutar haluan tak mungkin dilakukan secara serentak.

   Kira-kira sepuluhan tombak jauhnya lagi, barulah Khik-sia terkesiap kaget.

   Kiranya di sebelah depan sana tampak menghadang sebuah barisan pengemis.

   Mereka terdiri dari empat orang.

   Yang berdiri di tengah, Khik-sia lantas mengenalnya sebagai Hong-kay Wi Gwat.

   Sebelah kirinya yakni pengemis yang agak muda adalah ketua Kay-pang yang baru Ciok Ceng Yang.

   Sedang yang di sebelah kanan Wi Gwat adalah Ji tianglo.

   Tapi di sebelahnya lagi terdapat seorang pengemis tua yang Khik-sia tak mengenalnya.

   "Wi lo-cianpwe, aku justru hendak mencarimu. Tak nyana kita dapat berjumpa di sini,"

   Teriak Khik-sia dengan kegirangan.

   Berbareng itu kuda Khik-sia pun tiba di hadapan kelompok jago-jago dari Kay-pang.

   Tiba-tiba Wi Gwat ngangakan mulutnya.

   Serangkum arak menyembur keluar.

   Rupanya kuda putih itu tajam sekali perasaannya.

   Cepat ia meramkan matanya.

   Tapi sekalipun begitu, mukanya kena juga oleh semburan arak yang panas sekali.

   Kuda itu meringkik keras dan melonjak-lonjak seperti kuda binal.

   Seketika itu juga Tiau-ing terlempar ke tanah.

   Khik-sia terkejut sekali, cepat iapun segera loncat turun dan lari menghampiri Wi Gwat, serunya.

   "Wi lo-cianpwe, harap jangan turun tangan. Aku hendak menyampaikan berita padamu."

   Wi Gwat menyambar lengan Khik-sia dan seenaknya saja ia berkata.

   "Siau Toan, jangan gugup, ayo minum arak dulu" Ia membuka sumbat buli-buli araknya dan berkata pula.

   "Ini adalah arak simpanan dua puluh tahun yang lalu, cobalah cium betapa wanginya. Hanya sayang buli-buliku merah tempo hari dirusakkan Ceng-ceng-ji. Buli-buli yang ini kwalitetnya masih kalah, coba bulibuliku merah itu masih, arak ini tentu lebih hebat lagi rasanya."

   Khik-sia gugup dibuatnya.

   "Nanti saja minum arak masih tak terlambat ...."

   Pada saat itu Ciok Ceng-yang dan Ji tianglo sudah mengepung Tiau-ing dari muka belakang. Wajah nona itu menjadi pucat. Ia memandang pada Khik-sia tapi tak berani buka suara.

   "Tahan dulu, jangan turun tangan. Wi lo-cianpwe, berita ini penting sekali, harap kau suka mendengarkan penuturanku lebih dulu."

   Wi Gwat si Pengemis Gila itu mengeliat lalu meneguk araknya. Kemudian tenang-tenang ia berkata.

   "Berita apa, ha? Penting sekalikah? Baiklah, kau boleh katakan!"

   Khik-sia cepat-cepat memberi keterangan.

   "Aku sudah tahu akan tempat beradanya Ciu pangcu. Ia belum binasa tapi ditahan di sebuah tempat suku Ki. Hanya nona Su ini yang tahu akan letak tempat itu. Meskipun dahulu nona Su ini berbuat sesuatu yang kurang baik terhadap Ciu pangcu, tapi kali ini ia bersungguh hati hendak berunding dengan Kay-pang. Ia bersedia untuk melepaskan Ciu pangcu, harap lo-cianpwe sekalian jangan membikin susah dulu padanya."

   Kelopak mata Wi Gwat berbeliak, ujarnya.

   "Mau berunding apa lagi?"

   "Apa yang hendak ia rundingkan padamu, aku tak tahu. Silahkan tanya sendiri padanya. Wi locianpwe, Ciok pangcu, hanya ia satu-satunya orang yang tahu tempat tahanan Ciu pangcu itu, harap jangan turun tangan dulu."

   Khik-sia perlu menegaskan hal itu sekali lagi karena dilihatnya saat itu Ciok Ceng-yang makin mendekati Tiau-ing. Sikapnya sudah menandakan hendak menyerang.

   "Siau Toan, ai, rupanya kau belum berkenalan dengan sutitku ini, nah, biar kuperkenalkan,"

   Wi Gwat tertawa. Menunjuk pada pengemis tua yang berada di sisinya, berkatalah Wi Gwat.

   "Inilah sutit-ku yang bernama Ciu Ko dan inilah sute dari Gong-gong-ji yang bernama Toan Khik-sia!"

   Ciu Ko tertawa.

   "Sudah lama kudengar namamu. Selama aku tak berada, Ciok sute memberitahukan padaku kalau kau banyak sekali membantu pada partai kami."

   Khik-sia tertegun. Diam-diam hatinya mengulangi nama Ciu Ko sampai beberapa kali. Sekonyong-konyong ia menjerit.

   "Astaga! Kau ini Ciu pangcu? Jadi kau sudah bebas?!"

   Ciu Ko tertawa.

   "Benar, Ciu Ko memang aku ini dan aku adalah Ciu Ko. Terima kasih atas kebaikanmu hendak menolong aku."

   Khik-sia tercengang-cengang melongo.

   Kini barulah ia mengerti mengapa tadi Tiau-ing begitu gugup sekali suruh ia lekas-lekas putar haluan kudanya.

   Kiranya Ciu Ko sudah bebas, itu berarti bahwa modal Tiau-ing untuk berunding dengan kaum Kay-pang sudah lenyap.

   Atau lebih bagus lagi, dengan kesamplokan pada tokoh-tokoh Kay-pang saat itu, berarti Tiau-ing seperti ular cari pentung.

   Setelah mengucapkan terima kasihnya kepada Khik-sia, wajah Ciu Ko berubah serius.

   Beralih memandang kepada Tiau-ing, berserulah ketua Kay-pang dengan geramnya.

   "Siluman perempuan, kau telah memikat muridku sehingga binasa. Selembar jiwaku yang tua ini, pun hampir melayang di tanganmu. Hari ini kau berhadapan dengan aku, apakah kau masih mengharap bisa lolos? Ciok sute, lekas ringkus dia! Aku hendak mengadakan upacara sembahyangan untuk menyajikan dagingnya kepada arwah Uh-bun Jui!"

   Mengapa Ciu Ko tiba-tiba sudah bebas dan berada di situ? Marilah kita mundur sejenak.

   Kiranya sewaktu Tiau-ing memberi perintah kepada budak kepercayaannya untuk memindahkan tempat tahanan Ciu Ko, Uh-bun Jui masih berada di tempat Su Tiau-gi.

   Uh-bun Jui seorang pemuda yang cerdas.

   Melihat Tiau-ing melarikan diri dengan Khik-sia secara begitu tergesa-gesa, ia duga nona itu tentu belum sempat membawa lari suhunya (Ciu Ko).

   Ia lantas gunakan akal, purapura menempel budak kepercayaan Tiau-ing itu.

   Dengan lagak lagunya yang merayu-rayu dapatlah ia memikat hati budak perempuan itu.

   Dasar Uh-bun Jui seorang pemuda cakap dan ganteng apalagi menjadi ketua Kay-pang, maka dalam waktu yang singkat saja dapatlah ia menjatuhkan hati budak itu dengan sebuah sumpah paduan kasih.

   Dalam keadaan begitu, tak ada alasan lagi bagi budak itu untuk tidak memberitahukan segala rahasia kepada Uh-bun Jui.

   Setelah mengetahui tempat tahanan suhunya dan mendapatkan obat penawar racun dari budak itu maka pada suatu malam ia diam-diam menyelundup masuk ke dalam gua tahanan.

   Setelah membunuh beberapa penjaganya, akhirnya dapatlah ia membebaskan Ciu Ko.

   Karena rayuan ular cantik Su Tiau-ing, Uh-bun Jui menjadi sesat pikiran.

   Akibatnya ia telah mencelakai suhunya dan dirinya sendiri juga kehilangan segala-galanya.

   Kedudukan pangcu gagal sebaliknya ia malah diusir dari Kay-pang.

   Kesudahannya, karena sudah tak berharga lagi, Tiau-ing telah membuangnya mentah-mentah.

   Nama hancur, badan binasa.

   Adakah dalam keadaan seperti itu ia masih ada muka melihat matahari lagi? Maka ia telah mengambil keputusan, setelah menolong suhunya ia segera akan membunuh diri.

   Dan Uh-bun Jui telah melaksanakan hal itu dengan konsekuen.

   Seperti diketahui pengaruh Kay-pang itu amat besar.

   Anak buahnya tersebar luas di manamana.

   Perjalanan Khik-sia dengan Tiau-ing itu, siang-siang sudah dapat diketahui oleh anak buah Kay-pang.

   Mereka gunakan burung dara pos untuk memberi tahu pada pos-pos yang lain.

   Dengan secara beranting, dapatlah berita itu disampaikan pada Wi Gwat di Tiang-an.

   Kebetulan pada saat itu Ciu Ko pun sudah bebas dan tiba di Tiang-an.

   Begitulah mereka segera siap menunggu kedatangan Khik-sia di situ.

   Uh-bun Jui adalah murid kesayangan Ciu Ko.

   Bahwa muridnya telah menderita kecemaran begitu hina, sudah tentu Ciu Ko dendam sekali kepada Tiau-ing.

   Tapi dikarenakan luka beracun dalam tubuhnya masih belum sembuh sama sekali, maka ia minta sutenya yaitu Ciok Ceng-yang yang turun tangan.

   Sedang Hong-kay Wi Gwat mengingat tingkat kedudukannya yang lebih tinggi, tak mau turut meringkus Tiau-ing.

   Adalah ketika Khik-sia masih terlongong-longong tak tahu apa yang harus dilakukan, di sana Ciok Ceng-yang sudah bertempur dengan Tiau-ing.

   Pedang pusaka milik Khik-sia masih di tangan Tiau-ing.

   Karena terdesak, Tiau-ing keluarkan jurus-jurus yang ganas.

   Meskipun bagi Khik-sia ilmu permainan pedang Tiau-ing itu masih belum tinggi sekali, namun apa yang disaksikan pada saat itu, sungguh di luar dugaan Khik-sia.

   Ia tak mengira kalau ilmu kepandaian nona itu hebat, kini barulah ia tahu kalau dulu Tiau-ing ternyata belum mau mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

   Melihat permainan pedang Tiau-ing lihay sekali, ketambahan pula menggunakan po-kiam, maka dalam dua tiga puluh jurus, Ciok Ceng-yang belum dapat mengatasi.

   Malah Hong-kay Wi Gwat sendiri diam-diam merasa kagum dengan ilmu pedang nona itu.

   Tapi bagaimanapun Ciok Ceng-yang itu adalah jago utama dari murid Kay-pang angkatan kedua.

   Kepandaiannya hanya kalah setingkat dengan Wi Gwat yang menjadi paman gurunya itu.

   Tapi dengan suhengnya yakni Ciu Ko, ia tetap menang unggul.

   Menurut penilaian, sebenarnya kepandaian jago Kay-pang itu tak hanya setingkat lebih atas dari Tiau-ing.

   Lewat tiga puluh jurus kemudian, dapatlah sudah Ciok Ceng-yang mempelajari gerak permainan lawannya.

   Segera permainan tongkatnya dirubah dari bertahan kini menjadi penyerang.

   Hang-liong-tiang-hwat atau ilmu tongkat menundukkan naga, adalah ilmu kebanggaan partai Kay-pang yang sakti.

   Apabila sudah dikembangkan, empat penjuru delapan angin diliputi oleh bayangan tongkat.

   Isi tidaknya serangannya sukar diduga-duga.

   Tampaknya menyerang dari sebelah timur, tiba-tiba datangnya serangan itu dari sebelah barat.

   Dan yang lebih mengagumkan, setiap pantulan ujung tongkat itu selalu mengarah jalan darah yang berbahaya.

   Ya, hanya dalam beberapa kejab saja, situasinya sudah terbalik.

   Kalau tadi Tiau-ing dapat menyerang dengan ganasnya, kini ia hanya dapat bertahan diri.

   Bahkan bertahan saja rupanya makin susah karena permainannya makin kendor.

   Khik-sia tetap melongo tak tahu apa yang harus diperbuat.

   Tiba-tiba kedengaran Tiau-ing menjerit aduh.

   Jalan darah kian-keng-hiat di bahunya kena ditutuk ujung tongkat.

   Tubuh Tiau-ing hanya bergetar dua kali tapi tak sampai rubuh.

   Melihat itu Ciok Ceng-yang agak terkejut.

   "Hm, kiranya budak siluman ini mengenal ilmu menutuk jalan darah. Nyata tak boleh dipandang ringan,"

   Diam-diam Ciok Ceng-yang membatin.

   Iapun segera mengganti cara permainannya dengan ilmu tongkat ciong-chiu-hwat atau tutukan dengan tenaga berat.

   Tari tongkatnya segera menimbulkan angin menderu-deru.

   Di tangan jago Kay-pang, tongkat bambu berubah menjadi lebih dahsyat dari tongkat besi atau baja.

   Ketika mendengar teriakan mengaduh dari Tiau-ing tadi, hati Khik-sia serasa seperti ditutuk oleh tongkat bambu Ciok Ceng-yang.

   Tanpa dapat dikendalikan lagi, ia segera hendak memburu untuk mencegah Ciok Ceng-yang.

   Tapi baru saja keinginannya itu timbul, dan belum lagi sang kaki sempat bergerak, tahu-tahu Wi Gwat sudah menariknya erat-erat.

   Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Siau Toan, kau bagaimana ini? Mengapa kau tak mau minum arak yang kuberikan?"

   Dengan tertawa meringis Pengemis Gila Wi Gwat menegurnya. Khik-sia seperti semut di atas kuali panas, sahutnya.

   "Wi lo-cianpwe, nona Su ini, nona Su ini ....."

   "Nona Su ini akrab sekali dengan kau, bukan?"

   Wi Gwat tertawa menukasnya. Merah padam Khik-sia dibuatnya. Tapi pada saat-saat seperti itu, ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengakui dengan bersikap diam. Tiba-tiba Wi Gwat berubah keren (serius).

   "Toan hiantit, kau seharusnya mengingat bahwa ayahmu itu seorang pendekar perwira. Budak siluman itu adalah anak perempuan dari Su Su-bing dan adik perempuan dari Su Tiau-gi. Sepak terjang mereka tidak baik, mengapa kau galang gulung dengan dia? Budak siluman itu telah mengadu-dombakan partai Kay-pang sehingga timbul perpecahan di kalangan kaum kami dan mencelakai Uh-bun Jui sampai binasa. Coba bilang, layak tidak kami menghukumnya?"

   Pikir punya pikir, Khik-sia memang merasa Tiau-ing yang bersalah. Sukar baginya untuk membela nona itu. Tiba-tiba Wi Gwat tertawa lagi.

   "Di dunia ini banyak sekali gadis yang cantik dan pintar. Kau suka yang mana, aku sanggup menjadi perantaranya. Tapi asal gadis pilihanmu itu golongan bulim, ayahnya tentu mau memandang mukaku si pengemis tua ini."

   Benar Khik-sia dibuatnya meringis. Kedua telinganya menjadi merah dan ia paksakan juga untuk berkata.

   "Wi lo-cianpwe, aku bukannya mempunyai hubungan pribadi dengan nona Su ini ...."

   Wi Gwat tertawa gelak-gelak.

   "Apalagi tidak punya hubungan apa-apa, itu lebih baik. Duduklah dan minum arak, sebaiknya tak usah kau melihatinya."

   Sudah tentu Khik-sia tak dapat minum arak dengan tenteram.

   Walaupun ia anggap Su Tiau-ing yang salah, tapi setelah bergaul beberapa hari dengan nona itu, sedikit banyak ia mempunyai hubungan batin juga.

   Bagaimana ia disuruh berpeluk tangan melihat Su Tiau-ing diringkus dan dibuat sesaji sembahyangan? Pada saat itu Ciok Ceng-yang sudah dapat memberi tekanan.

   Tongkatnya makin lama makin gencar bagaikan petir menyambar-nyambar dan badai menderu-deru.

   Permainan pedang Tiau-ing sudah dibikin kocar-kacir, namun nona itu masih bertahan matimatian pantang menyerah.

   Menurut gelagat, dalam beberapa jurus lagi, kalau tidak binasa di bawah hujan tongkat, sekurang-kurangnya nona itu tentu akan terluka.

   Melihat itu Khik-sia makin gugup, serunya.

   "Wi lo-cianpwe, aku bersedia kau caci maki tapi kuminta kau suka mengampuni jiwanya!"

   "Siau Toan, katamu kau tak punya hubungan pribadi dengannya, tapi mengapa kau mintakan ampun padanya ....?"

   Kegelisahan Khik-sia telah membuat kepalanya mandi keringat, urat-uratnya berkerenyotan. Tanpa menunggu Wi Gwat selesai bicara, ia segera menukasnya.

   "Lepaskan ia dululah, untuk saat ini aku tak dapat menjelaskan. Aku lebih suka mewakilinya menerima hukuman, maukah?"

   


Sang Ratu Tawon -- Khulung Gelang Perasa -- Gu Long Hong Lui Bun -- Khu Lung

Cari Blog Ini