Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 13


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 13



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Hua-ciau coba menenangkan diri, lalu ia memberi hormat menghadap ke dalam goa, sambil berkata.

   "Wanpwe secara sembrono telah terobosan ke sini hingga mengejutkan Locianpwe, harap suka memaafkan!"

   Manusia aneh mirip tengkorak itu masih tetap duduk bersila dengan mata meram tanpa berkata-kata. Tiong-bing menjadi jeri, tapi agak mendongkol juga melihat sikap orang.

   "Mari kita pergi saja!"

   Ajaknya kemudian pada Hua-ciau. Sekonyong-konyong manusia aneh itu membuka kedua matanya hingga sinar tajam menyorot pada mereka, Hua-ciau urung melangkah pergi.

   "Bila kamu dua orang bocah ini sudah mengaku salah, boteh kubiarkan kalian pergi, tetapi kalian harus meninggalkan sedikit 'barang',"

   Terdengar manusia aneh itu berkata.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Tiong-bing gusar.

   "Tinggalkan pedangmu,"

   Kata manusia aneh itu.

   Habis itu, tiba-tiba ia bersiul aneh, tanpa kelihatan cara bagaimana ia bergerak tahu-tahu orangnya sudah melayang maju, dan sekali tangannya mencengkeram, kelima jarinya yang bagaikan cakar elang segera hendak meremas kepala Tiongbing.

   Terkejut sekali Kui Tiong-bing, lekas ia berkelit ke samping sembari pedangnya menangkis ke atas.

   Namun gerak orang itu memang aneh sekali, di goa sesempit itu ia masih sanggup bergerak sesukanya.

   Ketika pedang Tiong-bing baru diangkat, pemuda ini sudah merasa pergelangan tangannya sakit pedas hingga hampir senjatanya terlepas dari pegangan.

   Saking terkejutnya Tiong-bing menggeram keras dan berbareng telapak tangan lain pun memukul.

   Tapi manusia aneh itu sebat luar biasa, sedikit melesat tiba-tiba orangnya menyelinap lewat di samping Kui Tiong-bing, menyusul segera terdengar suara teriakan Thio Hua-ciau, kemudian tubuh pemuda ini tahu-tahu terjerumus ke dalam semak bunga.

   Ternyata tadi waktu Tiong-bing akan dicengkeram manusia aneh itu, kuatir sang kawan dicelakai orang, cepat Hua-ciau maju membantu terus menusuk dari samping dengan tipu 'Sin-liong-jip-hay' atau naga sakti masuk lautan.

   Dan karena rintangan ini, manusia aneh yang sebenarnya hampir dapat merebut pedang pusaka Kui Tiong-bing menjadi gagal dan terpaksa mengelakkan diri terus melesat ke belakang Hua-ciau hingga pemuda ini didorong masuk ke dalam semak, kemudian manusia aneh itu kembali hendak merampas pedang pusaka lagi.

   Tetapi sementara itu Tiong-bing, sudah melompat keluar melewati semak bunga tadi.

   Sudah tentu manusia aneh ini tak mau berhenti begitu saja, segera ia memburu juga.

   Namun sekali ini Tiong-bing sudah berpengalaman, ia memutar pedangnya dengan Ngo-kim-kiam-hoat yang lihai, ia menjaga dirinya rapat-rapat hingga meski orang itu menerobos ke sana kemari tetap tak mampu menembus garis sinar pedang Tiong-bing.

   Sebaliknya Tiong-bing merasakan juga angin pukulan lawan yang menyambar kuat dan makin Lama makin aneh, beberapa kali ia harus menghadapi bahaya, sungguh ilmu pukulan orang yang aneh itu tak diketahuinya dari aliran mana*? Dalam pada itu, Thio Hua-ciau yang didorong jatuh ke dalam semak bunga tadi, tiba-tiba ia mencium wangi yang segar menawan kalbu hingga semangatnya seketikapun menjadi nyaman, waktu ia memandang, ternyata bunga merah raksasa tadi kebetulan berada di ujung hidungnya, pantas ia mencium bau wangi yang begitu sedap.

   Lekas saja ia memetik bunga itu terus dimasukkan ke dalam bajunya Waktu ia melompat keluar dari semak bunga itu, ia Lihat sinar pedang gemilapan diseling angin pukulan yang menyambar santar, nyata Kui Tiong-bing sedang menempur manusia aneh itu dengan serunya Sampai suatu saat, mendadak orang aneh itu main tendang dengan kedua kakinya bergantian dan cepat sekali beruntun.

   Karena itu Tiong-bing terdesak harus mundur terus.

   "Hai, darimana kaupelajari ' Wan-yang-lian-hoan-tui * ini?"

   Bentak Tiong-bing segera dengan heran. Tapi orang itu tidak lantas menjawab, sebaliknya ia hendak mencengkeram lagi, terpaksa Tiong-bing mengegos pergi.

   "Kau bocah ini pernah apa dengan Ciok Thian-sing, ha?"

   Tanya orang itu tiba-tiba sambil tertawa ngikik aneh.

   "Apakah Cianpwe bukan sesama perguruan dengan ayahku?"

   Sahut Tiong-bing cepat sambil pedang tetap siap terhunus.

   "Eh, kiranya kau anak Thian-sing,"

   Kata orang itu berhenti merangsek.

   "Ya, tidak keliru dugaanmu, memang ayahmu adalah Suheugku."

   Karena itu lekas Tiong-bing memberi hormat.

   "Kalau begitu, kau tentunya Susiok?"

   Ujarnya kemudian.

   "Dan mohon tanya nama Susiok yang mulia"

   Siapa tahu mendadak orang itu malah memukul cepat "Haha, jika kau mengaku Susiok padaku, maka pedangmu itu lekas serahkan dulu biar Susiokrnu memakainya,"

   Katanya dengan tertawa. Tentu saja mendongkol sekali Tiong-bing melihat orang yang tak kenal aturan ini. Lekas ia melompat mundur menghindarkan serangan orang dan menjawab.

   "Meski tingkatanmu lebih tua, tapi kalau mau main rebut itulah jangan kauharap!"

   Habis itu, segera ia pun memutar pedangnya lagi melayani setiap serangan orang dengan sengit.

   Seperti diketahui, ayah Tiong-bing, Ciok Thian-sing, 20 tahun yang lalu pernah pergi ke Thian-san hendak berguru pada Hui-bing Siansu, namun Hui-bing tak mau menerimanya meski Thian-sing sampai tiga kali naik Thian-san mencarinya.

   Akhirnya melihat kesujudan Thian-sing, Hui-bing telah memeranta-rakan seorang sahabatnya, yakni Toh it-hang sebagai guru Thian-sing.

   It-hang adalah tokoh terkemuka dari Bu-tong-pay, maka Thian-sing dapat mempelajari dua macam ilmu silat lihai darinya, yaitu 'Kiu-ldong-sin-hing-kun' dan 'Wan-yang-lian-hoan-tui', ilmu pukulan sakti dan tendangan secara berantai.

   Meski Tiong-bing sendiri tak bisa ilmu silat ayahnya itu, tapi cara memainkan ilmu silat itu cukup dikenalnya, Maka ketika dilihatnya lagi ilmu pukulan 'Kiu-kiong-sm-hing-kun' berlainan dengan ilmu pukulan manusia aneh ini, ia menjadi ragu juga apa betul orang ini adalah Susioknya? Di samping lain, demi nampak orang aneh ini begini kasar tak kenal aturan, diam-diam Hua-ciau ikut gusar, ia lihat Tiong-bing sedang terdesak, maka tanpa pikir lagi ia pun menubruk maju, pedangnya menusuk cepat bersama Tiongbing mereka mengeroyok manusia aneh itu.

   Tak terduga orang aneh itu bisa berputar cepat sekali, kedua tangannya tiba-tiba diulur hendak mencekal senjata Hua-ciau yang menyerang itu.

   Lekas Hua-ciau memuntir pedangnya terus ditarik kembali dengan cepat untuk menjaga diri.

   Manusia aneh itu heran juga melihat Hua-ciau bisa mengelakkan tangkapannya.

   Karena itu tak berani lagi ia gegabah, ia berputar pergi lagi menghindarkan serangan Tiong-bing yang sementara itu telah datang lagi.

   Hua-ciau adalah anak murid Bu-kek-pay, dengan sendirinya ilmu pedang Bu-kek-kiam-hoat juga tidak lemah, cuma tadi karena tak menduga akan diserang orang, maka ia kena didorong jatuh oleh orang aneh itu.

   Kini setelah berlaku waspada, walaupun pedangnya belum bisa mengenai sasarannya, namun besar bantuannya, bagi Kui Tiong-bing, dengan demikian manusia aneh itupun tak berdaya menghadapi keroyokan kedua pemuda ini.

   Namun ilmu pukulan manusia aneh ini luar biasa hebatnya, ia masih terus melontarkan pukulan bertubi-tubi yang berbahaya hingga lama-lama Tiong-bing dan Hua-ciau mulai kewalahan dan tak sanggup balas menyerang lagi, bila terus berlarut-larut akhirnya pasti mereka kecundang.

   Ketika mereka sudah merasa payah, tiba-tiba manusia aneh itu bersiul panjang berulang-ulang, pukulannya pun semakin lihai dan gencar.

   "Keponakanku yang baik, Susiokmu tak tega mencelakaimu, maka lebih baik kauserahkan pedangmu saja!"

   Demikian ia berseru.

   Tetapi mana Tiong-bing mau menurut, ia justru tambah gusar oleh kata-kata orang yang tak kenal aturan itu, tiba-tiba ia melontarkan serangan dengan tipu 'Eng-kik-tiang-kong' atau elang terbang menyerang di udara.

   Siapa tahu tusukan ini justru terjebak oleh keinginan manusia aneh itu.

   Karena Tiong-bing tak sabar dan menyerang maka kesempatan ini digunakan orang aneh itu untuk menubruk maju malah, disertai menggertak segera orang itu hendak mencengkeram lambung Tiong-bing.

   Serangan lihai ini kalau kena tempatnya, maka pasti tulang iga Tiong-bing akan patah.

   Baiknya Tiong-bing cukup sigap dan gesit, cepat ia melompat mundur menghindarkan tangan orang.

   Tak nyana orang aneh itupun amat cepat dan gesitnya, sekali serangannya tak kena, menyusul orangnya lantas melayang maju memburu, dan selagi Tiong-bing mengayun pedang hendak memapaki musuh, tiba-tiba ia merasa pundaknya dipegang orang dari belakang, cepat juga ia menyikut ke belakang, namun luput, sebaliknya tahu-tahu tubuhnya ditarik orang ke samping.

   Sementara itu manusia aneh tadi ternyata tak jadi melontarkan serangannya melainkan berhenti terheran-heran.

   "Eh, jadi kau masih banyak pembantu?"

   Demikian teriaknya. Dan sesaat kemudian barulah Tiong-bing bisa melihat jelas bahwa orang yang menariknya dari belakang ternyata adalah Leng Bwe-hong adanya Waktu ia menoleh, dilihatnya Boh Wan-lian juga sudah berdiri di sebelahnya.

   "Apakah yang sudah terjadi?"

   Tanya Bwe-hong segera.

   "Orang ini mengaku sebagai Susiokku, tapi pedangku ini juga hendak direbutnya,"

   Tutur Tiong-bing.

   "Halia, aneh,"

   Tertawa Bwe-hong.

   "Orang tua tidak memberi hadiah perkenalan, sebaliknya malah minta barang dari yang muda?"

   Kata Bwe-hong tertawa sambil menuding manusia aneh itu.

   "Siapa kau? Berani kau membela dia?"

   Sahut orang itu menjengek. Habis ini, tanpa berkata lagi kembali ia menyerang dan mencengkeram pula dengan lihainya Namun semua serangan dapat dihindarkan Bwe-hong dengan gampang.

   "Ha, di atas Thian-san ini mana boleh terdapat manusia liar seperti kau ini?"

   Serunya.

   Berbareng ia pun balas menghantam.

   Tapi orang aneh itu sedikit menunduk dan tiba-tiba menyelinap lewat di bawah telapak tangan Bwe-hong, malahan tiga jarinya diulur terus hendak memegang urat nadi pergelangan tangannya Melihat serangan aneh lawan ini, Bwe-hong tidak menjadi gugup, cepat ia menekan ke bawah untuk kemudian terus mengangkat ke atas lagi, mengelakkan sambil memukul pula Sekonyong-konyong tubuh orang aneh itu menggeser, kedua orang sama-sama terpisah cepat lalu saling menubruk maju lagi, tapi hanya sekejap itu saja Leng Bwe-hong sudah menarik tangan ganti serangan, dengan gerak tipu 'Pay-san un-cio"

   Atau mengayun tangan menggeser gunung, tubuh lawan dihantamnya kuat-kuat.

   "Hebat!"

   Seru orang aneh itu, ia mengenal betapa hebat pukulan itu, maka ia tak berani memaksakan diri menangkisnya.

   Tiba-tiba ia mementang tangan, dengan gerakan 'Hong-gociong- siau' atau burung kuning terbang ke langit, mendadak orang aneh itu mencelat ke atas setombak lebih tingginya terus turun kembali ke sudut barat.

   Nampak gerakan tubuh secepat dan begitu bagus, diamdiam Leng Bwe-hong merasa heran sekali.

   Meski baru dua-tiga gebrakan kedua orang itu bertempur, namun kedua belah pihak sudah sama tahu menemukan lawan berilmu tinggi.

   Tiong-bing s*mJjri ikut terkesima - menyaksikan pertarungan hebat itu, diam-diam ia mengagumi Leng Bwe-hong yang bisa berlaku tenang dan mematahkan setiap serangan lawan.

   Bwe-hong sendiri nun heran oleh ilmu pukulan dan gerak tubuh orang yang beLum pernah dilihatnya ini, dari aliran manakah manusia aneh ini? Terutama kalau diingat bahwa di atas Thian-san ini di puncak utara ada gurunya, Hui-bing Siansu, sedang di puncak selatan ada Pek-hoat Mo-li, kedua orang tua ini ilmu silatnya tiada bandingan lagi di jagad ini, jika manusia aneh ini tiada sesuatu hubungan dengan mereka, mana berani ia berdiam di atas puncak Onta di lereng Thiansan ini? Dan kalau dia mengaku Susiok Tiong-bing, maka tentunya ia anak murid Cwan-tiong Tayhiap Yap Hun-sun.

   Tetapi pendekar she Yap ini selamanya tiada hubungan dengan guruku.

   Lalu apa dia anak murid Pek-hoat Mo-li.

   Karena pikiran itu, maka Bwe-hong malah berani sembarangan melontarkan serangan.

   "Kau pernah apa dengan Pekhoat Mo-li?"

   Bentaknya bertanya.."Pek-hoat Mo-li apa segala? Lihat pukulan ini!"

   Balas bentak orang itu gusar.

   Habis itu, tiba-tiba gerak tubuhnya sempoyongan dan kakitangan bergerak serabutan seperti orang mabuk terus menghantam serampangan.

   Tampaknya seperti serampangan tak teratur, padahal setiap gerak tipunya membawa perubahan lain yang aneh dan sangat ruwet.

   Lekas Bwe-hong mengumpulkan semangat dan menyambut serangan orang, maka sekejap saja mereka sudah saling labrak belasan jurus lagi.

   Tiba-tiba tergerak pikiran Bwe-hong, ia menjadi jelas duduknya perkara.

   "Haha, kau tak punya malu, kau mencuri kitab Han Ci-pang dan kini berani unjuk diri di sini! Hayo, biar aku tangkap kau si pencuri kitab ini!"

   Demikian bentaknya mendadak.

   Kiranya Bwe-hong menjadi teringat pada ceritanya Han Cipang tenpo hari tentang bilangnya kitab pusaka yang didapatnya di goa Hunkang itu.

   Kiranya sesudah Ci-pang sampai di Tibet, pada suatu hari ia bersama beberapa Larnma pesiar ke Shigece dan bermalam di kuil Capulun yang tersohor di Tibet itu.

   Pada tengah malam waktu Ci-pang berlatih ilmu pukulan yang dipelajarinya dari goa Hunkang itu, setelah selesai dimainkan, tiba-tiba didengarnya ada orang tertawa di samping.

   "Ilmu pukulanmu ini sangat bagus, cuma, sayang belum lengkap dipelajari,"

   Demikian didengarnya pula orang itu berkata.

   Dengan terkejut Ci-pang menoleh, dilihatnya seorang tua kurus kecil entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya.

   Seperti diketahui waktu mempelajari ilmu pukulan menurut ukiran di goa Hunkang itu, karena banyak ukiran yang sudah rusak dan rontok, di antara 108 macam hanya dipelajarinya 36 macam, malah yang 6 gaya semadi untuk memupuk dasar tak dipahaminya, maka selama ini ia selalu merasa sayang dan ingin bisa mempelajarinya lebih lengkap.

   Kini mendadak mendengar kata-kata orang tua ini, keruan saja ia kegirangan, tanpa pikir dan tanya lagi asal usul orang, segera ia berkata.

   "Jika begitu, tentunya Cianpwe sangat paham tentang ilmu pukulan ini, kalau tidak menolak, Tecu (anak) bersedia menjadi murid."

   "Buat apa kauminta pelajaran dariku?"

   Sahut orang tua itu tertawa.

   "Bukankah dalam bajumu masih ada se

   Jilid kitab aneh? Dan sisa pelajaran ilmu pukulan dan ilmu pedang yang belum kaupelajari kesemuanya tertulis sangat jelas di situ, apakah kau buta huruf?"

   Ci-pang semakin heran oleh kata-kata orang.

   "Darimana kau tahu aku mempunyai kitab ini?"

   Tanyanya pula.

   "Tidak saja aku tahu kau mempunyai kitab itu, bahkan aku tahu kitab itu adalah peninggalan Bu-cu Siansu dari dinasti Tong, betul tidak?"

   Kata orang tua itu. Ci-pang masih ingat beberapa catatan dengan huruf-huruf Han di lembaran terakhir kitab itu, maka ia mengangguk membenarkan.

   "Terus terang saja kukatakan padamu,"

   Demikian orang tua itu menyambung.

   "Akulah ahli-waris ke-42 aliran Bu-cu Siansu itu."

   Lekas Ci-pang menyembah orang.

   "Teeu belum lengkap mempelajari kepandaian, maka mohon dengan sangat Cianpwe suka memberi petunjuk!"

   Pintanya pula "Aku tiada tempo begitu banyak, tapi aku boleh mengajarkan kau berlatih menurut cara-cara yang tertulis di dalam kitab itu,"

   Sahut orang tua itu.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Namun huruf-huruf dalam kitab itu aneh luar biasa, Tecu sama sekali tak paham, cara bagaimana melatihnya?"

   Ujar Cipang.

   "Coba kau keluarkan kitabmu, biar kuajarkan kau saja!"

   Kata si orang tua Ci-pang adalah seorang jujur tulus, mana diduganya orang hendak menipunya, maka kitab itupun dikeluarkannya. Siapa tahu setelah orang tua itu membalik beberapa halaman kitab itu, tiba-tiba kedua matanya berkilat.

   "Ha, betul memang, betul ini!"

   Demikian serunya girang.

   Habis ini tiba-tiba ia tertawa dingin sekali, ketika tangannya mengulur, tahu-tahu iga Ci-pang telah ditotok di tempat 'Moa-hian-hiat' yang membikin kaku tak berkutik, lalu orang tua itupun bersiul panjang dan kabur pergi menggondol kitab itu.

   Belakangan Ci-pang ditolong Lamma yang melepaskan totokannya, waktu ia bertanya tentang diri orang tua tadi, namun tiada yang kenal, hanya diketahui bahwa orang tua itu adalah seorang pengunjung biasa yang datang kemarinnya Dan orang tua itu bukan lain adalah manusia aneh yang kini saling labrak dengan Leng Bwe-hong ini, ia bilang dirinya adalah ahli-waris ke-42 dari Bu-cu Siansu sebenarnya tidaklah salah.

   Kiranya ia bernama Sin Liong-cu dan adalah anak murid Toh It-hang, itu tokoh Bu-tong-pay kawan baik Hui-bing Siansu.

   Sin Liong-cu lebih dulu berguru pada Toh It-hang daripada ayah Tiong-bing, Ciok Thian-sing.

   Tapi Thian-sing saat berguru sudah mempunyai dasar ilmu silat, pula usianya lebih tua, maka It-hang mengharuskan Sin Liong-cu menyebut Suheng atau kakak seperguruan pada Thian-sing.

   Bu-tong-pay adalah pecahan dari Siau-lim-pay.

   Cikal-bakal Siau-lim-pay adalah padri berilmu Tamo (atau Tat Mo) Siansu asal India di zaman dinasti Lam-pak-tiau.

   Kitab yang ditemukan Ci-pang tanpa sengaja itu bukan lain adalah kitab asli 'Tat-mo-kun-keng' atau kitab ilmu pukulan ajaran Tat-mo Siansu yang terkenal di dunia persilatan yang seluruhnya meliputi 108 jurus.

   Kitab ini pada akhir ahala (dinasti) Goan tiba-tiba menghilang hingga anak murid Bu-tong dan Siau-lim kelabakan mencarinya kemana-mana tak bisa menemukannya, maka turun temurun kedua aliran persilatan itu lantas meninggalkan pesan agar anak murid angkatan berikutnya ikut mencarinya.

   Berbareng itu meski kitab pelajaran 108 jurus ilmu pukulan hilang, namun tokoh-tokoh Siau-lim dan Bu-tong dari cabang utara dan selatan karena dapat pelajaran dari angkatan tua, maka lapat-lapat beberapa jurus di antaranya masih bisa diingat.

   Diurut mulai dari Tat-mo Siansu, Toh It-hang terhitung ahliwaris turunan ke-41.

   Waktu Thian-sing berguru padanya karena buru-buru hendak menuntut balas, maka hanya dua macam kepandaian yang dipelajari, yakni 'Kiu-kiong-sin-hingkun' dan 'Wan-yang-lian-goan-tui', lalu ia pulang ke Sucwan.

   Karena itu meski Sin Liong-cu adalah murid kedua, tapi ia malah ahli-waris langsung dari Toh It-hang, maka ia pun tahu akan asal-usul kitab pusaka itu.

   Tahun itu baru saja Sin Liong-cu datang di Tibet dari Sinkiang, ia menyamar sebagai pengunjung yang hendak sembahyang ke kelenteng Capulun.

   Memang ia mendengar bahwa Lamma besar dari kuil itu mahir Thian-liong-cio-hoat dari Tibet, yang gerak permainannya sangat aneh, maka ia bermaksud mengintipnya ingin tahu apa ada hubungan dengan Tat-mo-cio-hoat perguruan sendiri atau tidak.

   Tak terduga di tengah malam ia memergoki Ci-pang lagi berlatih ilmu pukulan dan dua-tiga jurus di antaranya dapat dikenali persis Tat-mo-cio-hoat yang ditinggalkan gurunya, Toh ithang.

   Ia masih ingat cerita gurunya sebelum wafat bahwa 108 jurus ilmu pukulan Tat-mo yang masih diketahui oleh Bu-tongpay cabang utara hanya lima jurus saja meski beberapa jurus ini satu sama lain tak bisa digunakan secara sambungmenyambung, tapi ia diharuskan juga giat melatihnya Sebab itulah, begitu dilihatnya ilmu pukulan yang sedang dilatih Han Ci-pang, segera ia menerka itu adalah' ajaran asli Tat-mo-cio-hoat yang hilang selama ini, maka dengan tipu akalnya secepat kilat kitab itu dapat diapiisinya dari Ci-pang.

   Kembali tadi, karena sekaligus kena dibongkar rahasia asalusul Tat-mo-cio-hoat oleh Leng Bwe-hong, seketika Sin Siongcu tercengang juga.

   Tapi segera ia pun marah dan berkata.

   "Kau bocah ini tahu apa? Kitab itu memang milik kami yang hilang, mana boleh dimiliki oleh orang luar?"

   Habis berkata, susul-menyusul beberapa serangan aneh lantas dilontarkannya, ia menggablok, menghantam, memotong dan menotok, tempo-tempo kepalan, kadang pakai telapak, tiba-tiba membelah, tahu-tahu berubah menjojoh, cara memukul dan menotok yang gayanya berlainan bercampur-aduk tak keruan, tampaknya tak keruan, tapi justru susah dilawan.

   Baiknya Lwekang Bwe-hong sudah sangat mendalam, ia tutup seluruh Hiat-to atau jalan darah seluruh tubuhnya dan menggunakan 'Si-mi-cio-hoat' yang ulet dari Thian-san untuk menjaga diri diselingi balas menyerang, maka kembali 20-30 jurus dapat ditahannya, cuma sedikitpun masih belum menguntungkannya.

   Karena itu diam-diam Bwe-hong heran, ilmu pukulan dan ilmu pedang Thian-san adalah ciptaan gurunya yang menghimpun berbagai sari aliran silat yang lain, sekalipun ilmu pukulan orang ini sangat aneh, tapi sedikitnya dapat juga dilihat dimana letak perubahannya yang susah dipatahkan itu.

   Setelah berpikir lagi, tiba-tiba ia menabah cara bersilatnya, permainan cio-hoatnya menjadi lambat, ia hanya mengutamakan menjaga diri dan tidak balas menyerang.

   Sin Liong-cu menjadi girang malah, ia sempoyongan seperti orang mabuk dan bagai keranjingan terus menyerang serabutan.

   Namun meski ilmu pukulan Bwe-hong lambat, tapi setiap gerak tipunya selalu penuh tenaga, dimana telapak tangannya menyambar segera seperti senjata tajam mengiris.

   Beberapa kali Sin Liong-cu terbentur olehnya, dan selalu kedua pihak sama tergoncang pergi oleh tenaga pukulan masing-masing, walau tidak sampai terluka, namun keduanya sama-sama terkejut dan heran juga.

   Sin Liong-cu memiliki latihan lebih 30 tahun, keuletannya ternyata seimbang dengan Leng Bwe-hong.

   Tapi pertarungan di antara dua jago yang berkepandaian sembabat, tenaga yang dikeluarkan pihak penyerang lebih besar dari pihak penjaga Kini Leng Bwe-hong hanya menjaga diri tanpa menyerang, dalam hal tenaga tanpa terasa sudah menguntungkannya.

   Karena lama masih belum bisa mengalahkan lawan, akhirnya Sin Liong-cu menjadi nekad, 108 jurus Tat-mo-ciohoat segera dimainkan seluruhnya tipu serangannya susul menyusul tak terputus bagai gelombang ombak yang gulunggemulung.

   Namun sama sekali Leng Bwe-hong tidak menjadi gugup, ia tetap melayani orang dengan tenang.

   Setelah saling labrak lebih 50 jurus, akhirnya Bwe-hong kena tertotok juga dua kali oleh Sin Liong-cu, untung sebelumnya semua urat nadi tubuhnya yang penting sudah ditutup rapat hingga tak sampai terluka.

   Tetapi bagi Kui Tiong-bing yang menyaksikan di samping menjadi sangat kuatir, cepat sekali Theng-kau-pokiam sudah bergerak dan orangnya lantas hendak merangsek maju kalau tidak keburu dibentak Leng Bwe-hong.

   "Tiong-bing, tak perlu kau maju, ia bukan tandinganku!"

   Demikian teriak Bwe-hong.

   Berbareng itu permainan pukulannya semakin lambat lagi, namun penjagaannya justru bertambah rapat.

   Berulang-ulang Sin Liong-cu tertawa dingin mendengar Bwe hong bilang ia bukan tandingannya.

   Di antara cio-hoatnya yang aneh itu segera ia selingi dengan gaya serangan senjata tajam sebangsa pedang dan golok, namun 108 jurus Tat-mocio- hoat sudah hampir selesai dimainkan toh masih belum bisa merobohkan Leng Bwe-hong.

   Cuma dilihatnya gerak-gerik lawannya ini makin menjadi lambat dan berat, diam-diam Sin Liong-cu bergirang, pikirnya.

   "Sekali aku tak bisa merobohkanmu, bila aku ulangi sekali lagi, masakah kau sanggup bertahan?"

   Dan karena itulah ilmu pukulannya semakin keranjingan dan tanpa terasa 108 jurus sudah selesai dimainkan. Selagi ia hendak mengulanginya lagi dari mula, tak terduga Leng Bwehong tak mau memberi hati lagi padanya.

   "Nih, sekarang lihatlah punyaku!"

   Demikian seru Bwehong.

   Berbareng itu secepat kilat kedua telapak tangannya bergerak ke sana kemari segesit kera dan setangkas singa, ia balas rnerangsek secara bengis, dirnana tangan atau kakinya sampai senantiasa membawa sambaran angin keras.

   Karena serangan balasan inilah Sin Liong-cu yang hendak mengulangi ilmu pukulannya itu terpaksa urung dan main mundur terus, ia terkejut bercampur heran.

   Tapi segera ia pun mengeluarkan gerak tubuhnya yang aneh pada waktu Leng Bwe-hong melontarkan serangan balasan, ia rnerangsek kembali tempat luangnya.

   Teorinya ini adalah apa yang disebut dalam ilmu silat 'Musuh tak bergerak, kita diam, musuh bergerak, kita mendahului menyerang', yang diutamakan teori ini ialah rahasia mengatasi musuh lebih dulu, sebab begitu musuh bergerak, tentu ia menyerang ke suatu tempat kita dan seluruh perhatiannya tentu dicurahkan ke situ.

   Dalam keadaan demikian bila gerak tangan kita bisa lebih cepat dari lawan, sambil menghindarkan tempat yang hendak diserang, segera kita dapat memasuki tempat luang musuh yang lemah yang susah dijaga.

   Dan intisari seluruh 108 jurus Tat-mo-cio-hoat itu justru mengajarkan orang cara bagaimana menggunakan gerak serangan yang aneh dan ruwet untuk menggempur kelemahan musuh yang menjadi bingung tak tahu cara bagaimana harus menangkis.

   Makanya seperti Han Ci-pang yang tidak tinggi kepandaiannya juga mampu mencabut secomot jenggot Ce Cin-kun yang sial itu.

   Sebab itu juga ketika Sin Liong-cu melihat Leng Bwe-hong berebut menyerang lebih dulu, meski terkejut, namun segera ia pun bisa menenangkan diri dan berpikir.

   "Kebetulan, karena kau menyerang, dengan sendirinya tempatmu yang luang tak terjaga lantas kelihatan, mana bisa lagi kau menahan ilmu pukulanku yang aneh?"

   Sama sekali di luar dugaannya, tidak saja Leng Bwe-hong bisa menahan setiap tipu serangannya yang aneh, bahkan setiap kali Sin Liong-cu melontarkan pukulannya, selalu merasa dirinya terkekang dan tidak sebebas seperti tadinya.

   Sebaliknya ketika gerak tubuh Leng Bwe-hong dipercepat maju dan mundur, tiba-tiba menyerang dan mendadak menjaga sesuka hatinya, kalau berdiam bagai gunung antengnya, kalau bergerak seperti arus air kerasnya.

   Sin Liong-cu hendak mencari tempat luangnya yang lemah, siapa tahu belum sampai telapak tangannya, tahu-tahu orang sudah memapaknya malah, seperti sudah apal akal tipu serangannya yang aneh itu hingga dapat mengetahui sebelumnya kemana orang hendak memukul.

   Sebab apakah mendadak Leng Bwe-hong dari lemah bisa berubah menjadi kuat dan mengubah kedudukannya yang tercecar tadi? Kiranya tadi ia terus menjaga diri dengan rapat, tujuannya justru buat mempelajari seluruh tipu serangan Sin Liong-cu yang aneh itu, dan sesudah diselami dengan teliti, segera dapat diketahuinya dasar ilmu pukulan Sin Liong-cu itu adalah aliran Bu-tong-pay, lalu dapat dipahami pula tipu aneh itu meski sangat lihai, tapi kelihatan masih belum terlatih masak, pada tempat tertentu perubahannya masih sangat kaku.

   Maka Bwe-hong menduga sesudah kitab Ci-pang dapat dicurinya, selama lebih setahun ini ilmu pukulannya baru saja dipelajarinya, tapi gerak-geriknya masih belum masak betul hingga setiap kali hendak melontarkan serangan selalu mengunjuk tanda tertentu kemana orang hendak menuju.

   Memang Leng Bwe-hong adalah ahlinya, maka setelah dapat meraba permainan silat orang segera ia bisa mengatasi musuh dan malah mendahuluinya.

   Padahal masih ada sesuatu kelemahan Sin Liong-cu yang tak diketahui Leng Bwe-hong.

   Kiranya 108 jurus Tat-mo-cio-hoat itu cara melatih dasarnya ialah enam gambar bersemadi yang pernah dilihat Han Ci-pang di goa batu Hunkang itu.

   Enam gambar ukiran paling depan yang sedang bersemadi tatkala itu tak dipelajari Han Ci-pang, sebaliknya kini Sin Liong-cu tak berdaya mempelajari.

   Sebab dalam kitab pelajaran hanya diterangkan teorinya dan tiada contoh gambarnya.

   Justru ilmu memupuk dasar itu adalah semacam kepandaian yang paling halus dan memerlukan ketelitian, susah untuk bisa dipahami begitu saja.

   Sebab inilah meski 108 jurus Tat-mo-cio-hoat berhasil dilatihnya, tapi masih kurang sedikit kesabarannya, kalau menemukan tokoh silat yang sangat tinggi seperti Leag Bwehong, segera kelemahan itu lantas ko-nangan.

   Dan setelak kedua orang itu saling gebrak ratusan jurus lagi dengan serunya, bagi yang menonton di samping mata seakan-akan kabur, kedua orang itu tampaknya rapat lalu berpisah pula dengan cepat, di waktu cepat keduanya bagai dua sosok bayangan putih, bila lambat kelihatan serupa saja dua saudara seperguruan yang sedang berlatih, sampai Kui Tiong-bing yang ilmu kepandaiannya sudah begitu tinggi tak tahu juga bahwa sesungguhnya Leng Bwe-hong sudah sedikit unggul.

   Mendadak terdengar Bwe-hong menggertak keras sekali, lalu tubuh Sin Liong-cu melayang pergi cepat sembari berseru, 'Halia, sekali pukulan bertukar dua kali totokan, masingmasing tak rugi! Gunung selalu menghijau dan sungai senantiasa mengalir, kelak kita masih akan bertemu, sekarang maafkan saja!"

   Dan segera tubuhnya mencelat naik lagi bagai burung melayang lewat di atas gerombolan semak bunga putih itu, tiba-tiba Leng Bwe-hong membentak pula dan senjata rahasianya 'Thian-san-sin-bong' secepat kilat telah menyambar.

   Di atas udara itu Sin Liong-cu sempat berjumpalitan sekali, lalu tubuhnya bagai batu meteor meluncur terus jatuh ke bawah gunung.

   Cepat juga Bwe-hong menyusul melayang maju terus memetik setangkai bunga putih raksasa sebesar mangkok itu dan diserahkan pada Thio Hua-ciau.

   "Bunga ini kausimpan saja baik-baik, mungkin akan banyak gunanya bagimu kelak,"

   Demikian katanya. Waktu Hua-ciau mengeluarkan bunga merah besar yang dipetiknya tadi dan dijajarkan dengan bunga putih ini, sepasang bunga merah-putih, yang merah membara dan yang putih melebihi salju, bau wangi meresap menghilangkan rasa kesal.

   "Ha, kedua bunga ini menarik sekali, cuma entah, apa ada gunanya lagi, mohon Leng-tayhiap suka memberi petunjuk,"

   Kata Hua-ciau kemudian tertawa.

   "Kini masih susah dijelaskan,"

   Sahut Bwe-hong.

   "Nanti saja sehabis bertemu Suhuku boleh kau tanya lagi, kini aku pun belum yakin apakah betul kedua bunga ini?"

   Mendengar kata-kata Leng Bwe-hong yang mengandung maksud tersembunyi itu, Hua-ciau menjadi ragu, tapi orang belum mau menjelaskan, ia pun tak enak buat bertanya lagi. Hanya dalam hati ia berpikir.

   "Biarlah apa ada gunanya atau tidak, asal aku menunjukan pada Lan-cu, pasti dia akan sangat girang."

   Sementara itu seorang diri Kui Tiong-bing masih memandang terkesima ke bawah gunung, tapi Sin Liong-cu sudah tak kelihatan bayangannya.

   "Leng-tayhiap, jangan-jangan dia memang benar adalah Susiokku?"

   Kata pemuda itu tiba-tiba.

   "Siapa bilang bukan?"

   Sahut Bwe-hong.

   "Lalu, sebenarnya dia orang baik atau orang jahat?"

   Tanya Tiong-bing lagi.

   "Darimana aku bisa tahu?"

   Kata Bwe-hong tertawa.

   "Jika begitu, kenapa pada waktu ia hendak kabur, kau masih menimpuknya dengan Sin-bong?"

   Tanya Tiong-bing.

   "Karena aku kuatir ia akan memetik bunga putih ini,"

   Bwehong menjelaskan. Dan setelah berhenti sejenak, kemudian Bwe-hong berkata pula.

   "Tak perlu kau kuatirkan dia, ilmu silatnya sangat tinggi, tidak nanti ia mati tergelincir. Senjataku Sin-bong juga tidak mengenainya, hanya membikin takut dia saja! Pertandingan sekali ini beruntung karena ilmu pukulan curiannya itu belum masak dilatihnya, bila tidak, pasti aku pun susah melawannya."

   "Dan apa artinya ia bilang 'sekali pukulan bertukar dua kali totokan' tadi?"

   Wan-lian ikut bertanya.

   "Ya, sebab aku kena tertotok dua tempat olehnya, sebaliknya ia pun merasakan sekali gebukanku, masakah kalian tak melihatnya?"

   Ujar Bwe-hong tertawa.

   "Sekali ini boleh dikata seri, tapi kalau lain kali berkelahi lagi, pasti aku tak akan memberi murah lagi padanya!"

   Begitulah sembari bercakap-cakap rombongan mereka pun melanjutkan perjalanan melintasi puncak Onta itu.

   Sampai hari ketiga, puncak utara sudah berdiri megah di hadapan mereka.

   Terlihat puncak tinggi itu berdiri bagai tonggak lempengnya menjulang masuk ke lautan awan.

   Gumpalan awan yang terpotong-potong itu terapung mengelilingi puncak gunung bagai rombongan domba yang sedang makan rumput di padang rumput.

   Di waktu senja hari, rombongan mereka akhirnya sudah mendaki sampai puncak teratas.

   Di atas gunung yang tinggi mencit itu pemandangan ternyata lapang penuh tumbuhan aneh sebangsa bunga dan rumput.

   "Sungguh tak nyana bahwa di atas Thian-san ini masih terdapat tetumbuhan rumput dan bunga,"

   Kata Wan-lian heran.

   "Ya tetumbuhan ini sudah biasa menahan hawa dingin salju, di kala bulan kelima dan keenam, dari dalam salju malah tumbuh pula bunga teratai,"

   Tutur Bwe-hong.

   "Dan tahu tidak kalian sebab apakah di puncak Thian-san setinggi ini bunga dan rumput malah mudah tumbuhnya?"

   Sembari berkata ia pun menuding ke bawah. Ternyata di bagian lebih bawah sedikit di puncak gunung utara itu terdapat sebuah danau kecil yang berpemandangan indah di sekitarnya.

   "Itulah yang disebut Thian-ti (danau Tien) yang tersohor,"

   Demikian sambungnya lagi.

   "Menurut cerita Suhu, asal danau itu adalah gugusan gunung berapi. Gunung berapi itu sudah mati, lalu kawahnya berubah menjadi sebuah danau kecil, maka tanahnya menjadi hangat, tumbuhan itu terdapat di tepi kawah, pula ada air danau, dengan sendirinya lantas mudah tumbuh."

   Sembari bicara mereka pun berjalan terus, tiba-tiba Bwehong menunjuk pula ke depan.

   "Rumah batu itulah tempat kediaman guruku."

   Mendengar sudah sampai tempat tujuan, segera Tiong-bing dan Hua-ciau berdiri tegak sopan.

   "Nanti dulu, biar aku masuk memberitahukan tentang kedatangan kalian pada Suhu,"

   Kata Bwe-hong pula. Lalu ia pun maju mengetok pintu rumah batu itu. Waktu kemudian pintu dibuka, seorang padri kelihatan keluar. Dan demi melihat Bwe-hong, padri itu kegirangan.

   "He, Bwe-hong, kiranya kau telah kembali!"

   Demikian serunya.

   "Ya baikkah kau Ngo-seng Suheng, dan apa Suhu juga baik-baik saja?"

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahut Bwe-hong segera.

   Ngo-seng adalah padri pelayan Hui-bing Siansu dan bukan murid angkatan, cuma lebih dulu naik gunung daripada Leng Bwe-hong, maka Bwe-hong memanggilnya Suheng.

   Siapa tahu Ngo-seng hanya geleng-geleng kepala saja tak menjawab.

   Tentu saja Bwe-hong heran dan ragu.

   "Apakah Suhu pergi mengembara?"

   Tanyanya pula cepat.

   "Tidak, tapi Suhu lagi bersemadi,"

   Sahut Ngo-seng akhirnya.

   Harus diketahui bahwa usia Hui-bing Siansu waktu itu sudah 112 tahun.

   Setelah umurnya melebihi seabad, seringkah padri berilmu ini melakukan semadi yang memakan waktu lama, dan bila sedang bersemadi, maka segala apa yang terjadi di sekitarnya tidak diambil peduli lagi, dan dengan sendirinya pula tak bisa menemui siapa pun.

   Dan karena keterangan Ngo-seng inilah, baru Bwe-hong merasa lega.

   "Sudah berapa lama Suhu bersemadi'?"

   Tanyanya kemudian.

   "Sudah ada dua hari,"

   Kata Ngo-seng.

   "Jika begitu, biarlah aku menyembahnya dari jauh di ruangan dalam, sedang beberapa sobat ini harap kau mewakilkan aku melayaninya,"

   Kata Bwe-hong pula.

   Lalu ia pun masuk ke belakang.

   Tapi belum ia memasuki kamar dimana gurunya bersemadi, sekonyong-konyong pandangannya tertarik pada apa yang berada di situ, ternyata pintu kamar sang guru terpentang lebar, Suhunya tampak duduk bersila di atas suatu kasuran dengan kepala menunduk dan mata meram, wajahnya yang welas-asih sedikitpun masih belum berubah.

   Di depan sang guru ini ada seorang gadis berbaju merah yang sedang berlutut sambil kemak-kemik seperti sedang melaporkan sesuatu dengan suara pelahan.

   Sungguh Bwe-hong heran oleh apa yang dilihatnya ini.

   Dalam pada itu, tiba-tiba si gadis itu telah menoleh ke belakang, sekilas Bwe-hong merasa wajah orang sudah pernah dikenalnya, hanya seketika lupa entah dimana pernah bertemu? Sementara itu dilihatnya pula pada tangan si gadis seperti menggenggam sesuatu.

   Tiba-tiba Bwe-hong teringat pada pencurian kitab pusaka yang dilakukan Sin Liong-cu atas diri Han Ci-pang.

   Ia menjadi curiga, jangan-jangan pada waktu Suhu gedang bersemadi dan orang sengaja datang hendak mencuri 'Kui-keng-ldam-koat' (kitab pelajaran ilmu pukulan dan rahasia JIJIU pedang) pusaka mereka, demikian pikirnya.

   Sebab itu, dengan mata tak berkedip ia terus mengawasi gjujk dara itu untuk mengetahui apa yang akan dilakukannya.

   Sebaliknya ketika nampak Bwe-hong datang, si gadis itu tersenyum manis tanpa berkata.

   Lalu ia pun bangkit dan berjalan Tentu saja Leng Bwe-hong makin curiga, tapi ia kuatir jnengejutkan sang guru, maka ia mundur keluar beberapa tindak dengari maksud mencegat jalan si gadis tadi.

   Dalam pada itu si gadis sudah dekat di hadapannya "Lengtayhiap, harap kau memberi jalan,"

   Demikian katanya pada Bwe-hong- Kembali Leng Bwe-hong tercengang, ia semakin ragu jarimana orang kenal namanya? Dan pada saat itu juga, tiba-tiba tubuh si gadis itu melesat, sama sekali tak kelihatan cara bagaimana ia bergerak, tahutahu tubuhnya sudah melayang keluar pagar tembok seenteng daun.

   Ilmu mengentengkan tubuh yang diunjukkan ini sungguh tidak di bawah dirinya.

   Keruan saja Leng Bwe-hong terkejut pula.

   Dalam pada itu didengarnya Hui-bing Siansu telah memanggil.

   "Marilah masuk, muridku!"

   Ternyata tidak hanya Leng Bwe-hong yang tak kenal siapa gerangan si gadis berbaju merah ini, bahkan Ngo-seng juga tidak tahu sejak kapan diam-diam orang masuk ke kemar guru mereka.

   Tatkala itu Ngo-seng sudah keluar rumah batu itu buat bertemu dengan Kui Tiong-bing dan kawan-kawan sambil menanti kembalinya Bwe-hong setelah menyembah sang guru.

   Waktu itu hari sudah petang, sang surya sudah terbenam, di puncak Thian-san tertinggi ini menjadi dingin luar biasa hingga Boh Wan-lian rada tak tahan.

   "Kenapa masih belum keluar?"

   Kata Tiong-bing setelah lama Bwe-hong masih belum muncul. Tapi tiba-tiba ia pun bersuara heran dan bertanya pada Ngo-seng.

   "Apakah Huibing Siansu ada menerima murid perempuan?"

   "Apa kau bilang?"

   Ngo-seng menegasi. Dan pada saat itu juga sesosok bayangan wanita berbaju merah tahu-tahu melayang lewat di sampingnya. Keruan saja ia berteriak.

   "Celaka!"

   Mendengar orang berteriak, Tiong-bing menjadi heran juga.

   "Kenapa? Apakah ia orang jahat?"

   Tanyanya cepat Watak Ngo-seng juga rada mirip Kui Tiong-bing yang dogol tapi jujur, sama sekali tak terpikir olehnya ada orang begitu besar nyalinya berani masuk rumah di waktu Hui-bing Siansu lagi bersemadi, dan sama sekali ia tidak mengetahuinya, maka dapat dipastikan ia akan didamprat habis-habisan karena kurang awas penjagaannya.

   Sebab itu, atas pertanyaan Tiongbing tadi, tanpa berpikir ia lantas mengangguk.

   Begitu pula tanpa pikir segera Tiong-bing mengayun tangannya, seketika tiga buah senjata rahasia Kim-goan menyambar ke depan mengarah jalan darah di rubuh si gadis baju merah itu.

   Gadis itu sedang turun ke bawah secepat terbang, ketika mendadak di dengarnya dari belakang ada angin menyambar datang, tangannya meraup ke belakang terus melompat juga ke samping, habis itu tanpa berhenti orangnya masih terus meluncur ke bawah.

   Nyata dengan gerakannya itu tiga anting emas Kui Tiong-bing itu sudah dihindarkan dua buah dan ditangkap sebuah.

   "Ai, kenapa begini royal, emas murni semahal ini diberikan orang begini saja! Baiklah, enci Boh, harap-wakilkan aku menghaturkan terima kasih!"

   Demikian gadis itu berseru dan tawa nyaringnya terbawa angin pegunungan yang semilir.

   Tentu saja Wan-lian ikut heran, ia pun tak ingat siapa gadis itu.

   Dan ketika ia hendak bertanya, gadis baju merah itupun sudah sampai di lambung gunung hanya tinggal setitik merah belaka dan sejenak kemudian titik merah itupun lenyap.

   "Sungguh aneh, darimana ia mengenalku?"

   Demikian Wanlian tak habis mengarti.

   "Sungguh aneh, darimana ia mengenalku?"

   Demikian pula yang sedang dipikir Leng Bwe-hong. Waktu itu ia sudah masuk ke kamar gurunya dan secara ringkas telah melaporkan segala pengalamannya selama turun gunung.

   "Ehm, bagus, kau tidak mengecewakan ajaranku!"

   Kata Hui-bing sambil mengelus jenggotnya yang memutih perak dan mengangguk puas.

   "Selanjutnya masih mengharap petunjuk Suhu,'"'kata Bwehong pula.

   "Kau sudah melihat si gadis baju merah tadi?"

   Tanya Huibing tiba-tiba. Bwe-hong menyahut sekali membenarkan.

   "Ia adalah murid penutup Pek-hoat Mo-Ii,"

   Ujar Hui-bing.

   'Termasuk dia, seangkatan denganmu seluruhnya ada tujuh orang, kecuali Ciok Thian-sing sendiri tidak belajar ilmu pedang, selebihnya enam orang ditambah lagi Ie Lan-cu, kalian bertujuh dapat juga disebut 'Thian-san Cit-kiam'.

   Cuma sayang Suhengmu meninggal terlalu cepat, sampai tulangnya tidak diangkut kembali ke sini!" 'Thian-san Cit-kiani1 atau tujuh pendekar dari Thian-san.

   Istilah ini baru pertama kali ini didengar Leng Bwe-hong dari sang guru.

   Dan selagi ia menekuk-nekuk jari menghitung, didengarnya Hui-bing telah berkata pula "Aku dan Pek-hoat Mo-li masingmasing mendiami puncak utara dan selatan, sedang Toh Ithang sebaliknya terus berkelana di sekitar Thian-san saja tiada tempat yang tetap.

   'Thian-san Cit-kiam' yang kami bertiga turunkan ini, kecuali kau yang bisa melihatnya semua, yang lain tiada rejeki lagi sebaik kau ini."

   Waktu Bwe-hong menghitung, ia mempunyai dua orang Suheng, yakni Njo Hun-cong dan Coh Ciau-lam, ditambah lagi le Lan-cu yang diajarkannya ilmu silat mewakili sang guru, seluruhnya sesama perguruan mereka ada empat orang.

   Sedang Pek-hoat Mo-li menurunkan dua murid, ialah Hui-angkin dan si gadis baju merah tadi.

   Toh It-hang juga mempunyai dua anak murid, yaitu Ciok Thian-sing dan si orang aneh yang dikete-mukannya di puncak Onta itu.

   Gabungan delapan orang ini, kecuali Thian-sing, memang betul tinggal tujuh orang.

   Tapi segera ia pun menjadi heran.

   Tentang pertemuannya dengan Ciok Thian-sing, dalam penuturannya tadi sudah disinggung sekedarnya.

   Tapi mengenai murid kedua Toh Ithang ini, darimana Suhu bisa tahu bahwa dirinya sudah pernah melihatnya? Dan sebelum ia bertanya Hui-bing sudah tertawa dan berkata lebih dulu.

   "Mencium bau wangi di tubuhmu, aku duga kau sudah mendatangi Lok-to-hong (puncak Onta). Tabiat Sin Liong-cu juga sangat aneh, tentunya kalian sudah saling gebrak, bukan?"

   Baru sekarang Leng Bwe-hong tahu manusia aneh itu bernama Sin Liong-cu, maka ia menyahut sekali dan bilang.

   "Ya semula murid tak tahu ia adalah murid Toh-susiok. Meski ke mudian dapat juga menduganya; tapi keadaan sudah telanjur "

   "Kau mampu melayani tipu pukulannya yang aneh?"

   Tanya Hui-bing memotong.

   "Ya, beruntung bisa menandinginya sama kuat,"

   Sahut Bwe-hong. Hui-bing berpikir sejenak, lalu katanya pula.

   "Di antara Citkiam itu, ada yang lurus ada yang serong. Suhengmu tertua paling kusukai, cuma sayang mati terlalu cepat. Sedang Suhengmu kedua berubah pikiran setengah jalan, kelak hanya bisa mengharapkan kau bikin bersih perguruan kita. Sin Liongcu berada antara yang lurus dan serong, aku sendiri sudah lama menutup pintu dan menanggalkan pedang, Pek-hoat Moli juga tak sudi mengurusnya maka tiada lain lagi juga mengharapkan . kau yang akan menundukkan dia kelak."

   Diam-diam Bwe-hong heran oleh cerita gurunya itu, pikirnya "Pek-hoat Mo-li biasanya sangat benci kejahatan, orangnya juga suka unggul, sampai Suhu juga dua kali ditantangnya bertanding, kini kenapa bisa membiarkan Sin Liong-cu berkeliaran sesukanya di Thian-san?"

   Tetapi ia pun tahu di. antara gurunya dan Pek-hoat Mo-li rada tak cocok, maka ia tak berani bertanya lebih jauh.

   "Kau bisa meneruskan cita-cita perjuangan Suhengmu, sungguh dapat dikata tidak memalukan perguruanmu,"

   Demikian Hui-bing berkata lagi terharu.

   "Perkembangan Thiansan- kiam-hoat kita selanjutnya rasanya harus terserah kau untuk mengusahakan seluruhnya!"

   Dengan tegak dan tangan lurus Bwe-hong berdiam mendengarkan petuah sang guru. Dalam pada itu Hui-bing Siansu telah menyambung pula.

   "Meski Pek-hoat Mo-li ada cedera denganku, tapi aku sangat menghargai ilmu silatnya. Kali ini ia sengaja mengirim muridnya terkecil menemuiku ke sini, rasanya percederaan selama ini sudah dapat dihapuskan."

   "O, kiranya gadis baju merah itu suruhannya, tapi entah darimana ia bisa mengenal nama murid?"

   Ujar Bwe-hong.

   "Itupun aku sendiri tak tahu,"

   Kata Hui-bing. Dan setelah menghela napas sekali, kembali ia menyambung lagi dengan istilah Buddha.

   "Soal cinta dan khalwat (mengasingkan diri) memang sungguh susah dipecahkan. Aku sendiri juga tak menduga bahwa usia Pek-hoat Mo-li sudah dekat seabad, tapi masih bisa terkenang pada percintaannya di masa muda. Ia menyuruh muridnya ke sini justru menanyakan surat peninggalan Toh-su-siokmu."

   "Inilah aneh,"

   Pikir Bwe-hong.

   "Apakah memang Pek-hoat Mo-li dan Toh-susiok tadinya adalah sepasang kekasih?"

   "Tabiat Toh-susiokmu juga sangat aneh,"

   Demikian Huibing berkata lagi.

   "Ada beberapa puluh tahun ia tinggal di Thian-san ini, tapi selamanya tak pernah bercerita tentang kejadian di masa mudanya. Hanya pada waktu sebelum meninggal, ia menyerahkan sebuah kotak bersulam padaku dan berpesan, 'Jika ada orang yang bisa memetik dua tangkai bunga sakti di atas puncak Onta dan datang menemuimu, maka kotak sulam ini boleh diserahkan padanya untuk pergi menemui Pek-hoat Mo-li'."

   Pikiran Bwe-hong tergerak oleh penuturan terakhir gurunya, ini.

   "Apakah kedua bunga itu adalah merah-putih dan sebesar mangkok? Konon tiap 60 tahun baru mekar sekali dan khasiatnya bisa mengubah rambut ubanan kembali hitam, dari tua menjadi muda lagi?"

   Tanyanya segera.

   "Memang ada. cerita seperti itu, cuma belum pasti bisa begitu mustajab atau tidak, mungkin saja semacam bahan obat mestika yang lebih mahal dari 'Ho-siu-oh' (semacam bahan obat Tionghoa),"

   Sahut Hui-bing.

   "Bunga itu memang 60 tahun baru mekar sekali, maka siapa yang begitu sabar menunggunya? Pula bukannya semacam obat dewa, sekalipun ada orang aneh yang suka pada hal itu, tentunya tak sudi membuang tempo begitu panjang untuk menantikan benda yang hasilnya belum pasti itu."

   "Tapi Tecu (murid) ada seorang sobat yang kebetulan ada jodoh telah dapat memetiknya,"

   Tutur Bwe-hong. Lantas ia menceritakan pemetikan bunga sakti di puncak Onta oleh Thio Hua-ciau itu, dan memohon juga bagi pemuda itu untuk bertemu gurunya. Untuk beberapa saat Hui-bing Siansu berpikir, habis itu baru ia menjawab.

   "Baiklah. Sebenarnya aku sudah menutup pintu selama 60 tahun dan tak ingin menemui orang luar lagi. Cuma sekali ini mungkin adalah pertemuan kita yang terakhir, tiada jeleknya juga melihat angkatan muda kalian. Nah, bolehlah kau suruh mereka masuk!"

   Waktu Hui-bing keluar ruangan sembahyang, sementara itu Bwe-hong sudah membawa masuk Kui Tiong-bing dan kawankawan.

   Dapat belajar kenal dengan guru besar ahli pedang dari suatu zaman, tentu saja Tiong-bing dan teman-teman sangat girang dan merendah diri.

   Sebaliknya Hui-bing juga sangat senang terhadap kaum muda yang berbakat, ia menyuruh mereka jangan sungkan dan agar masing-masing memainkan sejurus ilmu pedang.

   Terpaksa Tiong-bing mengunjukkan Ngo-kim-kiam-hoat dan Thio Hua-ciau serta Boh Wan-lian memainkan Bu-kek-kiam-hoat mereka.

   "Di antara angkatan muda, ilmu pedang kalian sudah boleh dikata susah dicari bandingan lagi,"

   Ujar Hui-bing kemudian tertawa.

   "Ngo-kim-kiam-hoat mengutamakan keras dan kuat, sebaliknya Bu-kek-kiam-hoat menang dalam hal kehalusan dan lemas, masing-masing ada segi keunggulannya sendiri. Dan kalau keras dan lemas bisa saling gabung, dalam perubahan ditambah lagi yang lebih bagus, tentunya akan menjadi makin baik."

   Habis itu ia pun memberi petunjuk beberapa rahasia yang penting, keruan Tiong-bing dan kawankawan sangat berterima kasih. Tiba-tiba Hui-bing mengambil pedang pusaka Tiong-bing dan menyentilnya beberapa kali.

   "Tak mengira bahwa hari ini aku masih bisa melihat pedang ini!"

   Demikian katanya, terharu. Lalu ia menyambung lagi terhadap Leng Bwe-hong.

   "Di waktu muda aku pernah menjadi staf pimpinan HLrn-kengliat (Hini Ting-kiong), ketika ia mengumpulkan sari baja dari Hekliong- kang buat menggembleng pedang ini, saat mana aku pun berada di situ."

   Habis itu, kembali ia mengajarkan beberapa jurus ilmu pedang lagi pada Kui Tiong-bing.

   "Pedang ini hampir saja kena direbut Susioknya itu,"

   Kata Bwe-hong tiba-tiba.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa betul?"

   Tanya Hui-bing.

   "Ya begitu melihat segera ia hendak merebut pedangku ini,"

   Sahut Tiong-bing.

   "Kemudian meski ia sudah tahu aku adalah Sutitnya (keponakan perguruan), toh ia masih ingin merebut juga entah apakah maksud tujuannya yang sesungguhnya?'"

   "Sin Liong-cu ini memang terlalu dimanjakan Toh-susiokmu. cuma semangat dan kemauannya belajar giat harus dipuji juga,"

   Kata Hui-bing menghela napas.

   "Meski ilmu pukulan Tat-mo 108 jurus itu belum pernah kulihat, tapi menurut cerita kuno, di dalamnya terdapat ilmu pukulan dan ilmu memainkan senjata lain yang hebat, lebih-lebih mengenai ilmu pedangnya yang katanya cuma ada 33 gerak tipu, tapi bisa dimainkan bolak-balik sambung-menyambung dengan aneka macam perubahan yang aneh. Agaknya Sin Liong-cu sudah berhasil melatih Tat-mo-kiam-hoat itu, tapi belum mempunyai pedang pusakanya maka pedang sang Sutit saja hendak direbutnya."

   Petangnya setelah Tiong-bing dan kawan-kawan sudah bersantap malam dan mengobrol sejenak dengan Hui-bing, sementara itu sang dewi malam sudah bergeser sampai di tengah cakrawala.

   Tiba-tiba Hui-bing menarik tangan Leng Bwe-hong dan membawa semua orang keluar.

   Pemandangan bulan purnama di atas Thian-san termasuk salah satu keindahan alam yang aneh, untuk ini penyair tersohor Li Pek dari ahala Tong pernah melukiskan seakanakan rembulan muncul dari Thian-san dan terselip di antara lautan mega Kini dari jauh mereka memandangi puncak di sekeliling Thian-san itu tertutup oleh kabut dan awan, kena tersorot sinar rembulan yang terang hingga seperti disiram selapis es, rembulan itu bundar lagi besar seperti menggantung tepat di atas kepala saja seakan mengulur tangan sudah dapat menggapainya.

   Ketika semua orang terpesona dan tenggelam oleh keindahan alam yang tiada, taranya itu, tiba-tiba Leng Bwehong merasa tangan sang guru yang menggandengnya itu rada gemetar.

   Keruan saja ia terkejut.

   Dalam pada itu didengarnya Hui-bing bersabda dalam istilah Buddha.

   "Orang hidup seabad, cepat bagai letikan api, memang hampa belaka apa yang perlu dipikir? Kemana pergi di situlah tempatnya berlaku yang benar, dengan sendirinya baik. Jika batinmu terdapat aku, tak perlu jauh-jauh ke sini."

   Bwe-hong rada bingung, maka lekas ia menyahut.

   "Murid terlalu bodoh, tak bisa memahami arti sabda Buddha diharap Suhu suka menjelaskan."

   Tapi Hui-bing hanya berkata lagi.

   "Sekali bicara sudah, tiada artinya lagi."

   Di samping itu tiba-tiba hati Wan-lian tergetar, bila ia menyelami sabda Buddha yang diucapkan Hui-bing itu, agaknya orang sedang mengucapkan kata-kata perpisahan terakhir untuk menyadarkan pikiran bodoh.

   Maka gadis ini lekas.

   merangkap telapak tangan dan menyambung.

   "Buddha berkata, aku tidak masuk neraka, siapa yang masuk neraka? Gangguan iblis hidup manusia belum lenyap, mana tega mencari kesenangan sendiri?"

   "Siancay, siancay (sabda Buddha, kira-kira sama dengan amin)!"

   Hui-bing menyebut lagi.

   "Nona Boh pandai memahami sabda Buddha, Lo-lak (aku yang tua, sebutan diri sendiri bagi padri) harus berterima kasih. Cuma Buddha telah menjelma dalam beribu tubuh lain untuk menolong sesamanya, sebaliknya Lo-lak pergi-datang begitu saja walaupun tiada jasa, tapi beruntung masih ada beberapa murid."

   Lekas Wan-lian berlutut menyembah tanpa menjawab lagi.

   Kui Tiong-bing sedikitpun tak paham apa yang sedang mereka percakapkan, matanya terbelalak lebar memandangi Wan-lian.

   Sedang Leng Bwe-hong dan Thio Hua-ciau lantas ikut berlutut, sebaliknya Tiong-bing masih bingung rak tahu apa yang harus dilakukan.

   Kiranya sesudah Wan-lian menyelami sabda Hui-bing tadi, ia menduga tidak lama.

   lagi agaknya orang akan wafat dengan, tenang.

   Oleh sebab itu ia bilang "Gangguan iblis belum lenyap dari kehidupan manusia", maka mengharap Huibing bisa hidup beberapa tahun lagi untuk membasmi kejahatan dan mengembangkan kebajikan bagi hidup manusia.

   Sebaliknya Hui-bing telah menjawabnya dengan "Buddha telah menjelma dalam beribu tubuh untuk menolong sesamanya", artinya sekalipun Buddha yang begitu pandai dan sempurna toh akhirnya wafat juga, dan hanya menggunakan kebenaran kitab Buddha menyebar luas ke seluruh dunia yang sama dengan beribu tubuh penjelmaannya untuk menolong sesamanya.

   Aku sendiri sudah lewat umur seabad, manusia tiada yang tak mati, murid yang kutinggalkan asal bisa meneruskan seperti apa yang kuinginkan, itupun sama dengan tidak sedikit tubuh penjelmaanku.

   Sebab itulah, kemudian Bwe-hong dapat juga memahami sabda Hui-bing itu, ia menjadi gugup dan kuatir.

   Tapi Hui-bing telah membangunkan mereka yang berlutut, lalu dikatakannya lagi pada Leng Bwe-hong.

   "Di puncak Thiansan ini terlalu dingin menderita, kelak kau suka atau tidak tinggal di sini boleh sesukamu, cuma kitab di kamar perpustakaan itu ada catatanku, lalu ada pula se

   Jilid Kun-keng (ilmu pukulan) dan se

   Jilid Kiam-koat (kitab rahasia pedang), kesemuanya itu harus kausimpan baik-baik. Kini malam sudah larut, kalian masuk mengaso saja."

   Dan semalaman itu semua orang tiada yang bisa tidur enak.

   Bwe-hong berpikir keadaan sang guru masih seperti biasa, meski orang tua itu sudah meninggalkan pesan terakhir, mungkin hanya kebiasaan orang tua saja, belum pasti dalam waktu singkat lantas bisa wafat.

   Tak terduga, pagi esok harinya Ngo-seng berlari-lari melaporkan padanya.

   "Celaka, Bwe-hong, Suhu sudah meninggal!"

   Lekas Bwe-hong menuju ke kamar sang guru, maka dilihatnya Hui-bing duduk tenang di atas kasurannya dengan kepala menunduk dan mata meram tiada ubahnya seperti biasanya kalau sedang bersemadi. Nampak itu, tak tahan lagi Bwe-hong menangis sedih.

   "Di samping kasuran terdapat dua

   Jilid kitab dan sebuah kotak sulam, mungkin sengaja Suhu keluarkan untukmu, lekas kau menyembah menerimanya,"

   Kata Ngo-seng dari samping. Waktu Bwe-hong mengambil kedua kitab itu, ia lihat yang se

   Jilid tertulis 'Thian-san-kiam-koat' (rahasia ilmu pedang Thian-san) dan yang lain tertulis 'Hui-bing Kun-keng' (ilmu pukulan Hui-bing), ia tahu dalam kitab-kitab inilah terhimpun jerih-payah sang guru selama seratus tahun ini, maka cepat saja ia menyembah menghaturkan terima kasih pula.

   Ketika kotak itu diambilnya dan diperiksa, ternyata di atasnya tertulis.

   "Bunga sakti merah-putih, bersama kotak ini pergi ke puncak selatan."

   Di samping itu ada catatan pula sebaris huruf kecil.

   "Siapa yang melaksanakan pesanku ini adalah muridku sesudah aku meninggal, maka boleh bertanya pada Sin Liongcu dan mintakan Kun-keng-kiam-hoat milikku padanya dan Sin Liong-cu harus mewakilkan sang guru memberi pelajaran.

   "

   Toh It-hang Setelah membaca itu, tahulah Bwe-hong itulah barang peninggalan Toh It-hang yang meminta orang yang mendapatkan kedua bunga sakti merah-putih itu sambil membawa kotak itu pergi menemui Pek-hoat Mo-li di puncak selatan. Pikirnya.

   "Kotak ini aku tak bisa membawanya, melainkan harus dilakukan Thio Hua-ciau."

   Dan selagi ia hendak menyuruh Ngo-seng pergi mengundang pemuda itu, ketika ia menoleh dilihatnya Hua ciau dan Tiong-bing sudah berada di luar kamar dan sedang berlutut menyembah. Lekas Bwe-hong membalas hormat menurut adat.

   "Losiansu berusia lebih seabad, kini wafat dengan tenang memenuhi panggilan Buddha, hendaklah Leng-tayhiap jangan terlalu bersedih,"

   Demikian Wan-lian coba menghibur.

   Lalu Bwe-hong pun berhenti menangis dan bersama Ngoseng membereskan jenazah guru mereka, siang hari itu juga di puncak teratas Thian-san mereka membangun kuburan Huibing Siansu.

   Setelah urusan selesai, Bwe-hong menyerahkan kotak terbungkus sulam itu pada Hua-ciau dan berkata padanya.

   "Dan ini adalah urusanmu sekarang, kotak ini dan kedua bunga sakti itu kauserakkan pada Pek-hoat Mo-li, lalu bisa meminta kembali Lan-cu dari Hua-ang-kin. Setelah semua itu beres, tatkala itu bila kau suka belajar ilmu silat Bu-tong-pay, maka boleh kau pergi mencari Sin Liong-cu sesuai pesan Toh It-hang itu. Ada pesan gurunya itu, tak nanti Sin Liong-cu berani menolakmu."

   "Harapanku asal bisa bertemu kembali dengan Lan-cu sudah cukup, sedikitpun aku tidak pingin segala kepandaian Sin Liong-cu itu,"

   Sahut Hua-ciau.

   "Ah, ya, tidak jelek juga belajar sedikit tipu aneh itu,"

   Goda Wan-lian tertawa.

   Tiba-tiba Bwe-hong tergerak juga pikirannya Kitab itu adalah pusaka Bu-tong-pay dan Siau-lim-pay, bukannya tiada alasan bila Sin Liong-cu mendapatkannya kembali, cuma tidak patut kalau ia mesti mengakali Han Ci-pang dengan tipu muslihat, kelak kalau bertemu lagi biar kubalaskan bagi Hantoako, demikian ia membatin.

   Dan setelah tiga hari Bwe-hong menjaga makam gurunya menurut kewajiban sebagai murid, ia pun melatihnya sekali lagi ilmu pukulan dan rahasia ilmu pedang yang ditinggalkan Hui-bing itu.

   Esok hari keempat ia pun minta diri pada Ngoseng untuk berangkat.

   "Tabiat Pek-hoat Mo-li sangat aneh, hendaklah kalian hatihati,"

   Pesan Ngo-seng.

   Lalu ia pun menceritakan bahwa Hui-ang-kin tidak tinggal bersama dengan gurunya, melainkan tinggal di puncak Thianto- hong di samping bawah puncak selatan tertinggi itu.

   Sebelum menemui Pek-hoat Mo-li bisa menemui Hui-ang-kin lebih dulu dan bisa juga langsung naik ke puncak selatan tertinggi itu tanpa melalui Thian-to-hong tempat kediaman Hui-ang-kin.

   Bwe-hong menghaturkan terima kasih atas petunjuk Ngoseng itu, lalu rombongan mereka berempat berangkat ke arah selatan.

   Jarak antara puncak Thian-san utara dan selatan ada ribuan li, sepanjang jalan dikelilingi rimba lebat dan sungai es malang melintang, perubahan hawa pun sangat berlainan, di suatu tempat bisa sangat panas, tapi pada tempat lain lantas berubah menjadi dingin luar biasa.

   Dan setelah 7-8 hari mereka tempuh, tibalah mereka di suatu lereng gunung yang penuh tertimbun salju, sungai es terdapat di sana-sini menyusur di antara lembah pegunungan salju sambil berkelip bagai bintang menyorotkan sinarnya keempat penjuru.

   "Nah, itulah Thian-to-hong yang kita tuju, Hui-ang-kin dan Ie Lan-cu tinggal di situ,"

   Kata Bwe-hong sambil menunjuk pada suatu puncak gunung sebelah timur.

   "Marilah kita mendaki Thian-to-hong dulu?"

   Ajak Hua-ciau. Bwe-hong sedang berpikir dan belum menjawab, Kui Tiongbing sudah lantas menyahut.

   "Betul itu, mari kita mencari enci Lan-cu dulu, kemudian baru mengantarkan bunga pada Pekhoat Mo-li, bukankah sama saja?"

   Dan karena kasihan pada hati rindu Hua-ciau yang sudah merana sekian lamanya, maka dengan ikhlas Bwe-hong menerimanya.

   Puncak Thian-to-hong itu lebih rendah daripada puncak selatan tertinggi Thian-san, walaupun begitu rimba lebat yang tumbuh di situ sudah merupakan tempat yang tak pernah diinjak manusia.

   Dan setelah berusaha 3-4 hari, aldiirnya barulah mereka berempat bisa mendaki sampai di atas, di atas sana kadang terlihat elang buas terbang rendah dan kambing salju berlari bagai berlomba lari, tapi semua hewan ini tidak menjadi takut melihat manusia.

   "Halia, mungkin melihat kita, mereka pun merasa sangat heran dan tertarik,"

   Ujar Wan-lian tertawa.

   Ketika mereka sampai puncak, tahu-tahu mereka dihadang oleh tembok es yang tingginya berpuluh tombak bagai bangunan raksasa di Tibet yang terang dan mengkilap.

   Dan ketika mereka terpesona oleh pemandangan aneh itu, mendadak terdengar suara tindakan orang yang berkumandang dari tempat dekat "Tak tak tak "

   T Waktu Tiong-bing dan kawan-kawan memeriksa sekitarnya, tiada sesuatu tanda yang didapatkan, ketika mereka melangkah maju lagi, kembali suara tindakan itu berbunyi pula.

   "Sudahlah, kalian tak perlu mencari lagi, mana ada orangnya?"

   Ujar Bwe-hong tertawa.

   Belum lenyap suara perkataannya suara "lak tak tak.tadi bergema lagi, bahkan kedengarannya seperti timbul di samping mereka saja dan sangat keras bunyinya Tentu saja mereka sangat heran, lebih-lebih Kui Tiong-bing yang mementang mata lebar-lebar penuh curiga.

   "Menurut kalian, suara itu datangnya darimana?"

   Tanya Bwe-hong.

   "Ya aneh, kenapa suara itu justru seperti timbul dari bawah batu dimana kha injak ini?"

   Ujar Wan-lian heran. Ketika Tiong-bing mencoba menempelkan telinga ke sela batu, ia mendengar suara air menggerujuk di bawah berdetikdetik dan berdentum bagai musik saja, di antara suara itu kadang tersalang-selingpula suara "tak-tak-tak"

   Tadi.

   "Waktu mula-mula aku datang ke sini, aku pun dibikin curiga oleh suara ini, belakangan b; , aku tahu bahwa di pegunungan Thian-san ini ada banyak gunung es raksasa. Akibat gempa bumi, gunung yang lebih tinggi telah runtuh menumpahi gunung es di depannya. Dan karena gunung es itu lambat-laun melumer, batu-batu cadas di bawahnya setiap hari pun berlubang makin besar, dan dari lubang itulah r. engalir sungai es hingga menimbulkan suara yang mirip tindakan orang berjalan."

   "O, kiranya begitu, sungguh aku hampir mati terkejut tadi,"

   Ujar Wan-lian tertawa.

   "Terutama kami yang datang dari daerah Kanglam, salju saja jarang melihat, mana bisa menduga lagi bahwa di bawah gunung sebesar ini masih terpendam pula gunung es purbakala."

   "Ya, makanya kau harus hati-hati, di bawah kita berpijak sekarang justru adalah gunung es raksasa, asal batu cadas di bawah sedikit menggeliat, maka jangan harap lagi kita bisa pulang hidup-hidup,"

   Kata Bwe-hong tertawa. Namun begitu, hanya Thio Hua-ciau saja seorang yang masih terus mendengarkan dengan terkesima.

   "Tidak, aku tak percaya kenapa bukan suara orang?"

   Katanya tiba-tiba. Habis itu sekali ia menutul kaki, bagai anak panah terlepas dari busurnya cepat sekali ia lari ke depan, dan setelah membelok di suatu tebing, pemuda ini lantas mendaki suatu puncak seorang diri terus menghilang ke dalam rimba.

   "Ia menjadi gendeng saking rindunya biarkan dia pergi melihatnya sendiri,"

   Kata Bwe-hong geli.

   Sungguhpun demikian, tidak urung ia pun memimpin yang lain dan mengintil Hua-ciau dari belakang.

   Dan sekali ini ternyata jitu juga sangkaan Hua-ciau.

   Di atas sana memang benar terdapat suara tindakan orang.

   Waktu ia mendaki sampai di atas, tiba-tiba dalam rimba itu berkumandang suara nyanyian orang yang nyaring merdu dan dikenalnya sebagai lagu rakyat yang sedang populer di sekitar Pakkhia, waktu Ie Lan-cu tinggal di rumah Ciok Cin-hui juga pernah mempelajarinya dan Hua-ciau sendiri pun pernah mendengar gadis itu menyanyikannya.

   Kini demi mendengar suara nyanyian itu, bagai menemukan mestika saja segera Hua-ciau berteriak.

   "Lan-cu, Lan-cu!"

   Cepat sekali dilihatnya dalam rimba berkelebat bayangan orang, lekas Hua-ciau memburu maju, masih dapat dilihatnya seorang gadis sedang berlari menghindarinya sambil menyelinap ke sana dan mengumpet ke sini.

   "Lan-cu, Lan-cu! Janganlah kau begitu tega!"

   Teriak Huaciau pula dengan perasaan cemas. Tak terduga, dari belakang sebatang pohon di samping sana tiba-tiba muncul seorang terus mendampratnya "Anak muda, tempat apakah ini, tak boleh kau gembar-gembor sesukamu!"

   Orang itu berwajah cantik molek, sebaliknya rambutnya sudah ubanan semua. Mengenali orang, kembali Hua-ciau berseru lagi.

   "Hui-ang-kin, kau melarangku menemuinya maka lebih baik kau bunuh aku saja!"

   Habis berkata sekuat tenaga Hua-ciau melompat maju pula hendak menyusul Ie Lan-cu, namun mendadak seluruh tubuhnya terasa lemas kesemutan terus roboh tak berkutik.

   Dalam pada itu tubuh Hui-ang-kin telah melesat juga dan sekejap saja lantas menghilang.

   Sedang suara nyanyian si gadis tadi masih menggema di angkasa hutan belantara purbakala itu.

   Tak lama kemudian Leng Bwe-hong dan kawan-kawan menyusul tiba, tentu saja ia kaget dan lekas memunahkan Hiat-to atau jalan darah Hua-ciau yangtertotok tadi.

   "Aku telah melihat dia, tapi Hui-ang-kin melarangku mendekati dan bicara padanya,"

   Kata Hua-ciau pula dengan lemas. Setelah Bwe-hong bertanya jelas apa yang sudah terjadi, dengan menghela napas ia pun berkata.

   "Ya, dimana ada kesungguhan, emas pun terbelah karenanya. Kau bisa mendengar apa yang kami tak bisa dengar, pasti juga kau bisa lakukan apa yang kami tak bisa lakukan. Kami tak bisa menggerakkan pikiran Hui-ang-kin, kau pasti bisa."

   Dan setelah mereka menyusur rimba itu, akhirnya terlihat ada sebuah rumah batu, segera Leng Bwe-hong maju mengetok pintu sambil berteriak.

   "Wanpwe Leng Bwe-hong mohon bertemu!"

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi sampai lama sekali pintu masih belum dibuka.

   Kiranya hari itu sesudah mati-matian Hui-ang-kin rnerangsek mundur Coh Ciau-lam dan berhasil menggondol pergi Ie Lan-cu, ia membawa gadis ini kembali ke Thian-tohong dan merawat lukanya penuh teliti.

   Selama dipenjarakan beberapa bulan, baik rohani maupun jasmaniah Lan-cu sudah tersiksa tak terkatakan, tapi Hui-angkin merawatnya bagai kasih sayang seorang ibu, maka tak lama kemudian lukanya dapat disembuhkan semuanya.

   Suatu malam Hui-ang-kin memberitahukan Lan-cu bahwa ibunya, Onghui, sudah meninggal.

   Mendengar berita buruk itu, seketika Lan-cu terkesima pucat tak bisa bersuara, luka batinnya yang baru sembuh kembali kambuh pula.

   Tapi Huiang- kin merangkulnya erat-erat dengan air mata berlinang.

   "O, Lan-cu, dahulu aku sangat membenci ibumu, tapi kali ini waktu dekat ajalnya, barulah aku insyaf dahulu aku telah salah membenci padanya,"

   Demikian kata Hui-ang-kin menangis sedih.

   "Sesungguhnya ibumu adalah seorang wanita berhati baik, dendam kami selama ini pada sebelum ajalnya telah terhapus dalam sekejap mata dan kami telah menjadi kakak-beradik, dan dengan sendirinya puterinya adalah puteriku juga."

   Terharu sekali Ie Lan-cu oleh penuturan itu, ia pun jatuh ke dalam pelukan Hui-ang-kin dan memanggilnya pelahan.

   "O, ibu, bila kau tak menolak, biarlah aku lantas menjadi anakmu!"

   Mendengar panggilan "ibu"

   Itu, seketika Hui-ang-kin merasakan seakan ada semacam hawa hangat mengalir masuk ke lubuk hatinya, Lan-cu dipeluknya lebih kencang.

   "Lan-cu,"

   Bisiknya di telinga si gadis.

   "Aku dan mendiang ayahmu dahulu adalah sahabat sangat karib, apakah kau mengetahui?"

   "Ehm, bila begitu, melihatmu aku pun seperti melihat ayah- bundaku!"

   Sahut Lan-cu lirih.

   Terharu bercampur pedih pula hati Hui-ang-kin, tiba-tiba kenangan masa mudanya bagai ular berbisa menggigit lubuk hatinya.

   20 tahun yang lampau ia adalah Bengcu atau ketua serikat suku bangsa di daerah Sinkiang selatan dan memimpin suku bangsanya melawan penjajahan pasukan Boanjing.

   Rakyat gembala bahkan menggubah sebuah lagu yang menyanyikan dirinya, antara lain beberapa kalimat berbunyi.

   "Pahlawan kita Ha-maya (nama Hui-ang-kin asii), namanya tersohor di padang rumput."

   Akan tetapi pahlawan wanita yang terpuja di padang rumput ini berulang-ulang harus menderita siksaan batin, ia sangat cocok dengan Njo Hun-cong, sebenarnya mereka bisa menjadi kekasih yang sangat sesuai.

   Siapa duga pada suatu pertempuran besar dimana mereka terpencar, ketika saling bertemu lagi, tatkala itu Njo Hun-cong sudah mengikat janji dengan Nilan Ming-hui dan susah dipisahkan lagi.

   Kekasih pertama Hui-ang-kin sendiri adalah seorang seniman, tapi karena kekasih itu bersekongkol dengan musuh, Hui-ang-kin dengan tangannya sendiri telah membunuhnya, setelah bertemu Njo Hun-cong, ia pun mencintainya dengan sepenuh jiwa raganya, siapa tahu Hun-cong justru sudah mencintai puteri panglima musuh.

   Tapi Hun-cong sama sekali lain daripada si seniman kekasih pertamanya itu, ia tak bisa membunuhnya, juga tak tahan tak mencintainya.

   Belakangan ia mendengar Nilan Ming-hui menikah dengan To Tok, segera ia pun pergi mencari Njo Hun-cong lagi, tapi berita kematian pemuda itu lantas diterimanya juga, dan karena semua siksaan itulah, dalam semalam saja telah membikin rambutnya menjadi ubanan.

   f Dan setelah suku bangsa di Sinkiang selatan gagal melawan pasukan Boanjing, lalu Hui-ang-kin tirakat di atas Thian-to-hong selama 20 tahun, dalam masa yang sunyi dan hampa ini, kenangan terhadap Njo Hun-cong pun semakin mendalam, asal sesuatu benda bekas milik Hun-cong, pasti akan menimbulkan perasaannya yang mendalam.

   Kini apalagi sudah mendapatkan puteri Njo Hun-cong, tentu saja ia tidak mau kehilangan dia lagi.

   Maka ia menceritakan pada Ie Lan-cu tentang hikayat ayahnya, menceritakan kisah perjuangan mereka berdua di masa mudanya yang berjajar melawan musuh, ia pun menceritakan betapa rasa pedih hatinya dan betapa sunyi jiwanya "O, anakku, makanya aku tak mau kehilanganmu lagi, maukah kau berjanji akan mendampingiku untuk selamanya siapa pun yang memanggilmu takkan kau meninggalkan daku?"

   Demikian katanya terharu pada akhirnya.

   Ie Lan-cu habis terbebas dari malapetaka, hatinya waktu itu hampa belaka, meski bayangan Thio Hua-ciau pernah juga terlintas dalam pikirannya, tapi menghadapi air mata Hui-angkin yang berkilauan, bayangan itu cepat juga lantas lenyap, ia tak tahan lagi, erat sekali ia memeluk Hui-ang-kin.

   "Ya ibu, aku berjanji selamanya takkan meninggalkanmu!"

   Ratapnya terharu.

   Di lain pihak sudah tentu Hua-ciau tidak tahu Hui-ang-kin telah dapat mengatasi jiwa Ie Lan-cu dengan perasaan, ia sedang mengikuti Leng Bwe-hong menggedor pintu di luar.

   Dan karena sudah lama pintu masih belum dibuka, saking tak sabarnya ia pun menjadi gusar.

   "Apakah maksud Hui-ang-kin sebenarnya kenapa begini tak tahu aturan? Kalau pintu tak dibuka, segera juga aku mendobraknya masuk!"

   Omelnya sengit. Tapi baru saja selesai ia berkata mendadak pintu telah dibuka, tahu-tahu Hui-ang-kin sudah muncul.

   "Apa kau bilang?"

   Tanyanya dingin.

   "Kami sengaja datang mengunjungi Cianpwe,"

   Sahut Bwehong cepat.

   "Hm, mana berani aku dikunjungi orang, rasanya orang yang hendak kalian kunjungi bukanlah aku!"

   Kata Hui-ang-kin ntenjengek.

   "Ya, jika kau sudah tahu, kenapa melarang enci Lan-cu keluar?1' sela Tiong-bing aseran. Karena itu, lekas Wan-lian menarik pemuda itu.

   "Siapa dia? Kenapa tak kenal aturan?"

   Tanya Hui-ang-kin pada Leng Bwe-hong dengan angkuh. Dan selagi Kui Tiong-bing hendak menjawab, Wan-lian keburu mencegahnya.

   "Hubungan enci Lan-cu dengan kami laksana saudara kandung, dari jauh kami datang kemari, tiada lain hanya mohon Cianpwe memperkenankan kami menemuinya"

   Ujar Wan-lian kemudian dengan lemah lembut. Tapi Hui-ang-kin tidak menggubris kata-kata Wan-lian itu, sebaliknya ia berpaling ke arah Leng Bwe-hong dan berkata padanya.

   "Kau masih ingat tidak apa yang pernah kaujanjikan?"

   Bwe-hong menjadi bingung oleh pertanyaan orang.

   "Aku pernah janji apa?"

   Tanyanya kemudian.

   "Bukankah kita sudah berjanji baik-baik ketika di kota-raja, bahwa bila aku berhasil menolong keluar Lan-cu, kau tak boleh mengurusnya lagi, pernah kau berjanji tidak?"

   Tanya Hui-ang-kin pula.

   Dan karena itulah baru Leng Bwe-hong ingat percakapan tempo hari waktu mengatur siasat menolong Lan-cu bersama Han Ci-pang dan Hui-ang-kin bertiga.

   Sungguh tak pernah diduganya orang bisa menganggap kata-kata bergurau itu sebagai janji sungguhan.

   "Hm, tak malu, apa kau seorang diri yang menolongnya tempo hari?"

   Mendadak Tiong-bing mengolok-olok.

   "Berdasarkan apa kau hendak mengangkangi dia? la toh bukan anakmu."

   "Ia justru adalah anakku!"

   Sahut Hui-ang-kin tiba-tiba dengan bangga. Dalam pada itu Leng Bwe-hong telah memelototi Tiongbing sekali dengan maksud agar pemuda ini jangan banyak ikut campur bicara. Di sebelah lain Hua-ciau tak tahan lagi.

   "Sekalipun ia adalah anakmu, pasti juga aku ingin menjumpainya, ada yang ingin kukatakan padanya"

   Serunya segera membantah.

   "Kau pernah apanya.""

   Bentak Hui-ang-kiii) "Kalau aJcu bilang tak boleh kau menemuinya, tetap tak boleh!"

   Melihat kebandelan Hui-ang-kin, Leng Bwe-hong pun tak tahan juga, tiba-tiba ia melangkah maju, dengan suara berat se-geTa ia bertanya.

   "Lan-cu sejak kecil adalah aku yang membesarkannya, meski aku tak berani mengaku sebagai ayahnya, tetapi hubungan kami sesungguhnya bagai ayah dan anak, lalu kau perbolehkan aku menemuinya tidak?"

   Hui-ang-kin tertegun agaknya, betapa bandel akhirnya tergoncang juga perasaannya.

   "Baiklah,"

   Katanya kemudian pelahan.

   "Kalian masing-masing mundur dulu sepuluh langkah, aku nanti menyuruh Lan-cu keluar menemui kalian dan biarkan dia sendiri yang menentukan apakah dia rela tinggal di sini atau ingin ikut pergi bersama kalian."

   Terpaksa Leng Bwe-hong dan ketiga kawannya menurut mundur sepuluh langkah ke belakang. Dan setelah Hui-ang-kin bertepuk tangan tiga kali, dengan pe lahan seorang gadis jelita muncul di depan pintu.

   "Lan-cu, Lan-cu! Akulah di sini!"

   Seru Hua-ciau tak tahan. Namun cepat Hui-ang-kin telah melorot pecutnya.

   "Tak boleh kau maju!"

   Bentaknya menuding pemuda itu. Sementara itu muka Ie Lan-cu kelihatan pucat, sinar matanya guram.

   "Leng-sioksiok!"

   Terdengar ia menyapa Leng Bwe-hong dan air matanya tak tertahan lagi berlinang.

   "Mereka datang hendak memapakmu pergi, kau mau tidak?"

   Tanya Hui-ang-kin cepat sambil menarik si gadis.

   "Aku ingin mendampingimu di sini!"

   Sahut Lan-cu lirih.

   "Cukuplah kalau begitu, masuklah kau dan pergi mengaso saja, wajahmu tampaknya sangat letih!"

   Kata Hui-ang-kin pula sambil mendorong masuk orang. Maka tanpa berkata lagi, seperti terkena guna-guna, Lan-cu membalik tubuh dan masuk ke dalam.

   "Lan-cu, Lan-cu! Jangan kau kembali!"

   Teriak Hua-ciau keras.

   "Ya, Lan-cu,"

   Bwe-hong ikut menggembor juga.

   "Ayahbundamu sudah mati semua, tapi cita-cita ayahmu masih belum kaulaksanakan! Kau adalah puteri ayahmu! Hanya To Tok yang kaubunuh belum bisa dianggap telah membalaskan sakit hati ayahmu!"

   Akan tetapi dengan keras Hui-ang-kin telah menggabrukkan daun pintunya rapat-rapat sehingga Ie Lan-cu tertutup di dalamnya, sebaliknya ia sendiri masih berdiri di atas tembok pagar.

   "Nah, Leng Bwe-hong, sekarang bolehlah kalian pergi!"

   Serunya kemudian.

   Tidak tahan lagi Kui Tiong-bing menguasai amarahnya, ketika tangan kanan mengayun, cepat sekali tiga buah anting emasnya telah disambitkan ke arah tiga urat nadi berbahaya di tubuh Hui-ang-kin dengan maksud merobohkan orang dan menerjang masuk dengan paksa.

   Tak terduga hanya sedikit Hui-ang-kin memutar pecutnya, tahu-tahu tiga buah anting emas itu sudah kena digulung pergi semua.

   "Hm, mengingat kau adalah angkatan muda, aku tak mengurusmu lagi, tetapi bila kau berani kurangajar lagi, segera kuberikan rasa padamu!"

   Katanya kemudian tertawa dingin.

   Dalam pada itu lekas juga Boh Wan-lian telah menarik Tiong-bing.

   Sedang Leng Bwe-hong lantas melangkah maju hendak berdebat dengan Hui-ang-kin.

   Dan ketika keadaan susah diredakan, tiba-tiba suatu suara orang tua berjangkit di samping mereka.

   "Siapa berani mentang-mentang di atas Thian-san sini?"

   Demikian bentak suara itu.

   Keruan saja Leng Bwe-hong terkejut.

   Waktu ia menegasi, ternyata adalah seorang nenek berambut ubanan seluruhnya, entah sejak kapan tahu-tahu sudah berada di antara mereka.

   Tapi segera Bwe-hong tahu juga dengan siapa ia berhadapan, lekas ia memberi hormat dan menutur.

   "Tecu Leng Bwe-hong diperintah Suhu datang menghadap Peklothaypoh (si nenek tua she Pek)."

   Nyata nenek ini memang Pek-hoat Mo-li adanya. Maka ia pun menjawab singkat saja.

   "Ya, baikkah gurumu?"

   "Suhu beberapa hari berselang baru saja wafat, maka sengaja datang memberitahu,"

   Sahut Bwe-hong pilu. Seketika itu juga Pek-hoat Mo-li merasa berat perasaan.

   "Ai, sejak kini tak dapat lagi aku mencari lawan untuk mempelajari Kiam-hoat,"

   Katanya kemudian menghela napa. Bwe-hong tak berani ikut bersuara. Selang sejenak, didengarnya Pek-hoat Mo-li bertanya lagi.

   "Apa betul kalian sengaja datang menemuiku?"

   "Ya"

   Jawab Bwe-hong.

   "Malahan kami membawa juga kotak terbungkus sulam peninggalan Toh-susiok untuk dipersembahkan pada kau orang tua."

   Mendengar nama Toh It-hang disinggung, seketika wajah Pek-hoat Mo-li berubah hebat.

   "Berani kau mengaco-belo di hadapanku,"

   Dampratnya mendadak.

   "Aku tinggal di puncak selatan, toh kau bukannya tidak tahu, lalu untuk apa kau datang ke Thian-to-hong ini? Bila Toh It-hang ada sesuatu untukku juga tak nanti menyuruh kalian membawa kemari. Hm, berani kau main gila denganku?"

   Dan ketika Leng Bwe-hong hendak memberi penjelasan, di lain pihak Hui-ang-kin telah menyela.

   "Suhu, mereka justru datang hendak mengeroyokku dan ingin merebut muridku yang baru kuterima."

   Tiba-tiba Pek-hoat Mo-li tertawa dingin sekali, seketika juga Leng Bwe-hong, Kui Tiong-bing, Thio Hua-ciau dan Boh Wanlian berempat merasa pandangan mereka menjadi kabur, sekilas terasa seperti ada bayangan orang menyambar lewat di samping mereka cepat Bwe-hong mengkeretkan tubuh sedikit mengegos, sayup-sayup masih didengarnya ada seman orang yang berkata.

   "Bagus!"

   Sekejap kemudian keadaanpun tenang kembali dan Pek-hoat Mo-li sudah kelihatan berdiri di tengah-tengah.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Leng Bwe-hong,"

   Kata Pek-hoat Mo-li, di tangannya ternyata sudah bertambah dengan tiga batang pedang.

   "Senjata-senjata kawanmu ini sudah kurampas semua mengingat kau adalah murid Hui-bing Siansu, aku tidak menghukum kau lagi. Nah, sekarang kalian lekas enyah semua dari sini!"

   Habis itu Hui-ang-kin digandengnya masuk ke dalam serta berkata.

   "Tak usah menggubris mereka lagi."

   Dan pintu kembali digabrukkan pula rapat-rapat.

   Sungguh tidak kepalang rasa terkejut Leng Bwe-hong tadi, hanya dalam sekejap itu saja ternyata Pek-hoat Mo-li sudah berhasil menggerayangi mereka berempat, kecuali ia sendiri, senjata Kui Tiong-bing bertiga sudah kena dilucuti semua, sungguh ilmu kepandaian yang maha hebat itu jarang diketemukan di dunia persilatan, pantas kalau wanita kosen ini berani dua kali mengeluruk mengajak bertanding Hui-bing Siansu, gurunya.

   Leng Bwe-hong cukup kenal watak Pek-hoat Mo-li, maka ia tak berani tinggal lebih lama lagi di situ, lekas ia membawa ketiga kawannya turun dari puncak Thian-to-hong itu.

   "Terbentur iblis wanita tua ini, mungkin Lan-cu susah dijumpai lagi,"

   Demikian katanya menghela napas sambil duduk di kaki puncak gunung itu.

   Hua-ciau sendiri bersemangat lesu dan termenung seperti orang gendeng.

   Kui Tiong-bing terlalu sakit karena kehilangan pedang pusaka, ia pun tak mampu buka suara.

   Setelah tepekur sejenak, kemudian Boh Wan-lian bertepuk tangan dan berkata.

   "Jangan putus asa Leng-tayhiap, senjata kita dan diri adik Lan-cu masih bisa kita peroleh kembali, asal dalam hal ini Thio-toako berani ambil resiko sedikit."

   "Aku mampu apa?"

   Sahut Hua-ciau lemas.

   "Berkelahi dengan orang tidak unggulan, pakai memohon, mereka pun tak menggubris."

   "Masakah aku menyuruhmu harus berkelahi dengan Pekhoat Mo-li?"

   Kata Wan-lian tertawa.

   "Cukup asal kau tetap membawa kotak berbungkus sulam bersama kedua tangkai bunga sakti itu, anggap saja seperti tak pernah terjadi apa apa, tiga langkah lalu menyembah sekali terus kau mendaki lagi ke puncak tertinggi di selatan itu. Aku tanggung nanti Pek-hoat Mo-li akan menyuruh Hui-ang-kin membebaskan Ie Lan-cu untukmu."

   "Kau betul-betul yakin?"

   Tanya Hua-ciau masih ragu-ragu.

   "Untuk apa kupermainkan kau?"

   Sahut Wan-lian.

   "Pula kecuali jalan ini, cara lainpun tiada lagi."

   Setelah berpikir, segera Bwe-hong dapat juga memahami maksud gadis itu, maka ia mengangguk dan berkata.

   "Ya, memang kau lebih cerdas, tadi kita terlalu kasar semua."

   Tentu saja rasanya yang paling bingung ialah Kui Tiongbing, ia pandang Wan-lian terus tak mengerti. Geli Wan-lian melihat pemuda itu, ia tertawa sambil meirotul jidat orang, lalu ia berbisik ke telinga Tiong-bing.

   "Tolol, umpamanya lila. alu ada kata-kata sedap ingin kubicarakan padamu, dapatkah fcukatakan di hadapan orang lain?"

   Nyata Bol Wan-lian memang sangat cerdas, perasaan Pekhoat Mo-li dengan jitu telah diterkanya.

   Memangnya Pek-hoat Mo-li dan Toh It-hang tadinya adalah sepasang kekasih, belakangan karena sesuatu hal telah cedera, dan di antara mereka ada suatu perjanjian rahasia, maka ketika Pek-hoat Mo-li mendengar ada barang peninggalan Toh It-hang yang hendak disampaikan padanya, seketika wajahnya berubah hebat.

   Tapi bila teringat pada janji rahasia mereka itu, ia pikir tidak nanti Toh It-hang sekaligus mengirim beberapa orang datang padanya, maka ia menyangka juga Leng Bwe-hong sengaja hendak main gila padanya.

   Begitulah, maka rombongan Leng Bwe-hong berempat lalu meninggalkan Thian-to-hong menuju ke puncak tertinggi di selatan itu.

   Setiba di tengah gunung, lantas Wan-lian berkata pada Thio Hua-ciau.

   "Nah, sekarang seorang diri kau naiklah ke atas, biar kami menunggumu di sini, bila kau turun boleh memberi tanda dengan panah bersuara saja."

   "Mungkin Pek-hoat Mo-li sendiri belum kembali di sini,"

   Kata Hua-ciau.

   "Tak usah kau urus dia sudah kembali atau belum, asal kau naik saja mencarinya ke sana tentu ada manfaatnya,"

   Ujar Wan-lian.

   Maka sendirian lantas Hua-ciau mendaki puncak gunung itu dengan susah payah, bahkan setiap tiga langkah harus pula menyembah sekali menurut saran Boh Wan-lian tadi, tentu saja dirasakan menderita sekali.

   Keadaan di puncak selatan Thian-san inipun berlainan dengan puncak utara, di atas gunung banyak terdapat sungai es (glacier ice).

   Selama dua hari Hua-ciau mendaki ke atas dan sudah dekat dengan sungai es purbakala, dari jauh sungai es tertampak seperti ombak samudera yang membuih putih mengalir tertuang di antara lereng gunung, tapi sesudah dekat barulah kelihatan jelas bahwa pangkal dari 'ombak' itu semuanya adalah tiang es beku yang sungsang timbul dan rata-rata tingginya 5-6 tombak, ada yang berbentuk pagoda yang putih bening tembus pandang, ada pula yang mirip telapak tangan raksasa dan aneka macam ragam lain lagi.

   Sebenarnya suhu di puncak gunung selatan ini dinginnya luar biasa, beruntung Hua-ciau sudah diberi 'Pik-ling-tan' oleh Leng Bwe-hong, pula selama beberapa hari menjelajah Thiansan, hawa dingin pegunungan sudah rada biasa dirasakannya, maka ia masih sanggup bertahan.

   Dan setelah mendaki terus menyusur sungai es dan melintasi sebuah undak-undakan es beku yang mirip bekas air terjun, tiba-tiba di atas menjadi lapang sepanjang beberapa ratus tombak luasnya, di ujung lapangan es itu dengan megahnya berdiri tegak sebuah puncak es setinggi ratusan tombak dan mencit di atas puncak-puncak yang lain, di samping puncak es itu terdapat sebuah rumah yang terbuat dari es kristal hingga menyorotkan sinar yang menakjubkan, di dalam rumah itu lapat-lapat seperti ada bayangan orang.

   Nyata tatkala itu Hua-ciau sudah berada di atas puncak selatan yang dia tuju.

   Puncak es itu terbentuk karena timbunan salju yang bertumpuk-tumpuk di atas gunung itu.

   Hua-ciau menduga rumah es ini tentulah Pek-hoat Mo-li yang mendirikannya.

   Maka ia lantas berlutut menjalankan penghormatan, sementara itu didengarnya suara orang tua yang parau berkata.

   "Ya, aku ampuni kau, masuklah ke sini!"

   "Pek-hoat Mo-li betul-betul makhluk aneh, tempat tinggalnya saja begini rupa,"

   Diam-diam Hua-ciau membatin.

   Lalu ia pun masuk ke dalam rumah, ia lihat di dalam tersulut lilin yang tak terhitung banyaknya, sinar lilin menyorot ke dinding es hingga menimbulkan sinar membalik yang menyilaukan mata.

   Dan seorang wanita tua yang duduk di tengah ternyata memang Pek-.

   hoat Mo-li adanya.

   Hua-ciau hendak menyembah, tiba-tiba terasa olehnya ada suatu kekuatan yang maha besar telah mengangkat dirinya, kiranya Pek-hoat Mo-li yang telah menahan dirinya agar tak perlu menghormat lagi.

   "Betulkah kedatanganmu ini atas suruhan Toh It-hang?"

   Tanya Pek-hoat Mo-li kemudian.

   Hua-ciau tak menjawab, tapi ia mengeluarkan kotak sulam yang dibawanya itu, nada Uli sutera kotak itu terikal dua kuntum bunga raksasa meran-putih diselubungi pula kain sutera di sekitarnya, namun baunya masih semerbak mewangi.

   Melihat kedua bunga itu, sinar mata Pek-hoat Mo-I i tibatiba berkilat.

   "Kedua bunga ini apakah kau yang memetiknya?"

   Tanyanya cepat.

   "Ya Tecu sendiri yang memetiknya"

   Sahut Hua-ciau penuh hormat.

   "Dan atas pesan Toh-locianpwe sengaja dipersembahkan pada kau orang tua."

   Pek-hoat Mo-li mengambil kedua kuntum bunga itu, cuma masih tetap membiarkannya dalam selubung kain dan tak dikeluarkan.

   "Tak dinyana kata-kata bergurau di masa 70 tahun lampau ia masih terus mengingatnya begitu jelas,"

   Katanya menghela napas.

   "Hari ini tepat aku genap berumur seabad, maka untuk apalagi aku menghendaki bunga sakti ini?"

   Mata Hua-ciau terbelalak tak bisa bersuara mendengar kata-kata orang, ia lihat dalam rumah itu terang benderang oleh sinar lilin, diam-diam ia berpikir.

   "O, kiranya hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-100."

   Dan selagi ia hendak mencari kata-kata terbaik untuk memberi selamat, dilihatnya Pek-hoat Mo-li telah memejamkan mata duduk hening dan wajahnya guram, maka ia tak berani menyela.

   Kiranya Pek-hoat Mo-li menjadi termenung mengenang kejadian di masa lalu yang bagai mimpi belaka.

   Kejadian selama 80 tahun lampau rasanya terbayang semua olehnya 80 tahun yang lalu, tatkala itu Pek-hoat Mo-li baru seorang gadis remaja 20-an tahun, tapi namanya sudah tersohor dan menggetarkan kalangan Kangouw sebagai seorang begal tunggal di daerah barat-laut.

   Sebaliknya Toh It-hang adalah seorang pu-tera bangsawan, kakeknya adalah pensiunan gebernur dan ayahnya seorang pembesar tinggi di kota-raja.

   Sebenarnya di antara mereka berdua tiada sesuatu persoalan, tapi karena Toh It-hang mahir baik ilmu silat maupun ilmu surat (sastra), pula orangnya berbudi suka menolong kaum lemah, maka di kalangan Kangouw namanya pun cukup terkenal.

   Mereka berdua sama-sama orang Siamsay pula.

   Pada akhir ahala Beng, daerah propinsi itu kacau-balau, Ong Kah-in (pemimpin laskar rakyat tani yang lebih tua dua angkatan dari Li Cu-sing) angkat senjata memberontak di barat Siamsay.

   Waktu itu Pek-hoat Mo-li bersama beberapa ratus barisan 'Srikandi'nya juga mengerek bendera menjagoi di timur propinsi itu.

   Kebetulan waktu itu Toh It-hang suka bergaul dengan kawan dari kalangan Lok-lim hingga tertangkap dan dipenjarakan, Pek-hoat Mo-li justru memimpin bawahannya lewat di kota dimana It-hang dibui dan lantas menolongnya keluar, sekali bertemu ternyata hatinya lantas tertambat.

   Tetapi betapapun Toh It-hang adalah keturunan bangsawan, terhadap cinta Pek-hoat Mo-li ia pura-pura tidak tahu, lebih-lebih tak nanti ia sudi masuk menjadi anggota 'begal'.

   Dan karena gusarnya itu, terus saja Pek-hoat Mo-li tinggal pergi.

   Selang beberapa tahun kemudian, Ko Ging-siang, itu pemimpin laskar rakyat tani yang terkenal, paman Li Cu-sing, telah memimpin pasukannya bertempur sengit melawan pasukan Bing hingga suasana Siamsay semakin menjadi kacau.

   Oleh karena masih rindu pada Toh It-hang, Pek-hoat Mo-li mendapat berita waktu itu bahwa It-hang akan meninggalkan daerah Siamsay menuju ke kota-raja, maka di tengah jalan ia lantas mencegat pemuda itu dan diculiknya ke atas gunung serta secara terus terang mengutarakan rasa cintanya.

   Tatkala itu It-hang sebenarnya juga mulai menaruh cinta padanya tapi ia tidak rela kalau soal jodoh itu harus dilakukan dengan cara menculik dan seakan dipaksa, maka diam-diam tengah malam buta ia melarikan diri dari tempat Pek-hoat Mo-li itu.

   Belasan tahun pula Toh It-hang memegang pimpinan Butong- pay sebagai Ciangbun atau Ketua, usianya sudah dekat 40 tahun juga, tapi karena Lwekangnya yang dalam, orangnya masih tetap gagah ganteng.

   Dan untuk ketiga kalinya Pekhoat Mo-li pergi mencarinya lagi, kedua orang bisa mengesampingkan segala cedera yang dulu dan bersedia mengikat janji untuk selanjurnya.

   Tak terduga rupanya sudah nasib, oleh karena perbedaan paham tentang aliran dan perguruan, beberapa angkatan tua dan Susiok It-hang diam-diam cekcok dan mengusir Pek-hoat Mo-li, dasar watak Pek-hoat Mo-li keras bagai api, begitu saling gebrak, seorang Susiok H-hang telal dilukainya, sejfhg ia sendiri pun terbuka ringan dalam pengeroyokan itu dan dapat meloloskan diri.

   Setelah mengalami peristiwa bebat itu, pula melihat persoalan tak dapat diperbaiki lagi, Miang menjadi hampa, ia menyerahkan kedudukan Ketua pada seorang adik seperguruannya, dan mendengar bahwa Pek-hoat Mo-li telah lari ke Sinkiang, maka ia pun menyusul ke Sinkiang hendak mencarinya.

   Walaupun mengalami pukulan hebat, namun wajah It-hang masih tetap tak berubah, berlainan sekali dengan Pek-hoat Mo-li, sejak malam saling gebrak.dengan jago Bu-tong-pay, para Susiok It-hang, karena merasa putus asa, hanya semalam saja rambutnya telah berubah ubanan seluruhnya, mukanya pun mulai berkeriput.

   Pek-hoat Mo-li adalah seorang wanita yang sangat sayang pada wajah sendiri yang cantik, tapi semenjak rambutnya berubah putih, rasa dukanya bukan buatan, segera ia pun pergi mengasingkan diri ke Thian-san di daerah Sin-kiang.

   Namun untuk memutuskan tali asmara, kalau benda boleh diibaratkan memotong air dengan golok, begitu golok diangkat, air mengalir lebih santar malah, hendak memotong tak mungkin bisa memutuskannya.

   Maka demi mendengar Toh It-hang juga sudah menyusul datang ke Sinkiang, diam-diam ia pun pergi mengintipnya.

   Dan urusan kadang memang sangat kebetulan, saat itu justru It-hang lagi berada bersama puteri seorang Susioknya yang baru datang dari pedalaman, sikap mereka pun kelihatan sangat mesra.

   Puteri Susioknya itu secantik bunga, It-hang sendiri juga masih ganteng, sesaat Pek-hoat Mo-li merasa dirinya sudah jelek hingga timbul rasa cemburu dan benci, segera ia hendak mengusir kedua orang itu keluar daerah Sinkiang.

   It-hang minta bantuan seorang sahabat untuk menyelesaikan kesalah-pahaman itu, namun nasib yang pecah-belah itu rupanya tak dapat dirapatkan kembali.

   Dan begitulah salah paham mereka pun makin bertambah hingga belakangan meski mereka berdua sama-sama tinggal di Thian-san selama beberapa puluh tahun, selalu mereka saling menghindari tak ingin bertemu.

   Waktu perpisahan paling akhir pernah juga Toh It-hang berkata pada Pek-hoat Mo-li.

   "Kau ubanan sebab diriku, maka pasti aku akan berusaha sepenuh tenaga buat mencarikan obat mujarab agar bisa mengembalikan wajahmu yang cantik."

   It-hang tahu Pek-hoat Mo-li paling sayang kecantikan sendiri, jauh pada waktu pertama kalinya mereka berjumpa, Pek-hoat Mo-li sudah pernah bilang 'wajah cantik gampang tua', tatkala itu It-hang lantas berkelakar bahwa bersedia mencarikan obat mujizat yang bisa membikin rambutnya tak pernah putih, siapa duga kata-kata itu ternyata terwujud, kini Pek-hoat Mo-li belum tua rambutnya sudah ubanan semua, maka pada perpisahan terakhir, kembali It-hang mengulangi janjinya yang dulu.

   Dan siapa pun tak menduga bahwa janji itu justru merupakan cita-cita It-hang satu-satunya yang belum terlaksana selama berpuluh tahun ini.

   Kini Pek-hoat Mo-li menghadapi kedua bunga sakti itu sambil termenung, kisah cinta 80 tahun lampau sekilas bagai le-tikan api berkelebat lagi di lubuk hatinya, sungguh sama sekali tak terpikir olehnya bahwa cinta It-hang ternyata begitu mendalam padanya, janji yang lebih mirip bergurau di masa hidupnya dulu sesudah orangnya mati ternyata masih bisa terlaksana.

   Dan setelah termenung sejenak, kemudian ia membuka matanya sambil menghela napas dan berkata.

   "Kedua tangkai bunga ini lebih baik kaubawa kembali saja!"

   Sembari berkata ia membuka juga kotak berkain sulam itu dan mengeluarkan secarik surat, ia lihat di atas surat itu tertulis sebuah syair.

   Syair itu adalah buah kalam Toh It-hang yang dikirim kepadanya ketika mereka bercedera.

   Waktu itu api amarahnya justru lagi berkobar, maka isi syair itu tak bisa dirasakannya, tapi kini bisa membacanya kembali, barulah ia merasa syair itu penuh perasaan halus dan manisnya madu yang menunjukkan betapa cinta It-hang padanya.

   Kiranya syair itu berbunyi bahwa sesudah mereka terpisah tiada memberi kabar, ia sudah menduga tentu banyak timbul berita bohong.

   Namun ia menekankan asal keduanya samasama cinta, asal masing-masing masih hidup di dunia ini, maka meski orangnya jauh di mata, tapi tetap dekat di hati.

   Lalu It-hang f menunjukkan cintanya yang tak pernah padam, dikatakannya meski mengalami- kesukaran apapun, makin banyak rintangan yang dihadapi, rasa cinta murni semakin tertampak juga.

   Dan akhirnya ia bilang walaupun bagai angin musim rontok yang telah mematahkan beribu tangkai bunga cinta, tetapi bunga cintaku pasti akan tetap menguarkan semerbak wangi yang abadi.

   Apa yang dikatakan dalam syair itu tentu saja dahulu tak terasa apa-apa oleh Pek-hoat Mo-li, kini beberapa puluh tahun sudah berlalu, Toh It-hang sudah meninggal, ia pun genap berusia seabad, dan syair It-hang itu justru menjadi saksi berlalunya sang waktu yang membuktikan selama berpuluh tahun ini hati It-hang memang tepat seperti bunyi bait terakhir syairnya itu, se-dikitpun tidak berubah.

   Pe lahan Pek-hoat Mo-li melipat kembali kertas syair itu dan dimasukkan ke bajunya, sambil duduk termenung di tengah rumah es itu, ia memandang jauh keluar, memandang lautan mega yang bergumpal mengelilingi Thian-san.

   Lama dan lama sekali tiada juga sepatah kata pun diucapkannya.

   "Pek-locianpwe apakah masih ada pesan lain?"

   Akhirnya Hua-c iau yang membuka suara Dan barulah Pek-hoat Mo-li seperti sadar dari impiannya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata "Ya tentu membuatmu letih juga nah, katakanlah adakah sesuatu urusanmu yang perlu kulakukan untukmu? Asal aku bisa melakukannya pasti kukerjakan untukmu."

   "Lain tidak, aku hanya mohon bantuan Locianpwe menyuruh Hui-ang-kin agar suka melepaskan adik Lan-cu,"

   Sahut Hua-ciau.

   "Adik Lan-cu yang mana?", tanya Pek-hoat Mo-li.

   "Ah, ya, tentunya anak dara itu, bukan?"

   "Ya,"

   Hua-ciau mengangguk.

   "Kami sudah mengikat janji sehidup semati!"

   Pek-hoat Mo-li menjadi terharu bila teringat pada kisah cintanya sendiri.

   "Kesalahan yang pernah dilakukan kami yang lebih tua, seharusnya jangan diulangi lagi oleh kalian yang muda,"

   Katanya kemudian menghela napas.

   "Jika Hui-ang-kin ingin menerima murid, di jagad ini tidak kurang gadis pandai, tidak seharusnya ia merebut kau punya adik Lan-cu."

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Habis ini ia pun tertawa sendiri, lalu dari atas kepalanya ia mengambil sebuah tusuk kondai terbuat dari batu Giok dan diberikan pada Hua-ciau.

   "Dalam beberapa hari ini aku tidak ingin turun gunung lagi, maka boleh kaubawa tusuk kondai ini pergi menemui Hui-angkin dan bilang saja aku yang menyuruhnya membebaskan anak dara itu,"

   Kata Pek-hoat Mo-li pula Tentu saja Hua-ciau sangat girang dan menghaturkan terima kasih. Dan sehabis menyerahkan kembali tiga pedang yang dirampasnya tempo hari dari Hua-ciau bertiga, kemudian Pekhoat Mo-li berkata lagi.

   "Jauh-jauh kau datang ke sini, masih belum kuberi sesuatu hadiah padamu. Biarlah kuturunkan sejurus ilmu mengentengkan tubuh padamu."

   Habis mana ketika tangannya menarik Hua-ciau, maka terasalah oleh pemuda ini seakan terbang di atas awang-awang saja, tahutahu telah kena dibawa keluar rumah oleh Pek-hoat Mo-li, begitu cepat dan enteng sampai cara bagaimana orang bergerak tak jelas dilihatnya.

   Keruan saja Hua-ciau kegirangan, lekas ia mengucapkan terima kasih pula.

   Lalu Pek-hoat Mo-li memainkan sejurus Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh ciptaannya sendiri, ia melambatkan gerakannya agar bisa diikuti Hua-ciau dengan jelas, kemudian ia mengajarkan pula rahasia cara berlatih, kesemuanya itu diperhatikan Hua-ciau baik-baik dan ikut berlatih setengah hari.

   "Nah, cukuplah sudah, kelak kau boleh melatihnya sendiri,"

   Kata Pek-hoat Mo-li kemudian. Sejenak pula Pek-hoat Mo-li berkata lagi.

   "Kedua tangkai bunga ini tiada gunanya buatku, lebih baik kaubawa pergi dan persembahkan pada Hui-ang-kin saja"

   Hua-ciau menjadi ingat bahwa rambut Hui-ang-kin juga.

   ubanan semua, kedua bunga ini memang tepat digunakan dia.

   Maka esok paginya, Hua-ciau lantas mohon diri pada Pekhoat Mo-li.

   Setelah dua hari dan turun sampai di tengah gunung, segera ia membunyikan panah bersuara seperti apa yang sudah dijanjikan, selang tak lama, maka tertampaklah Leng Bwe-hong bersama Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian muncul dari belokan j alan pegunungan sana "Nak, bagaimana hasilnya, aku tidak mendustaimu bukan?"

   Segera Wan-lian berteriak begitu melihat Hua-ciau.

   Maka dengan girang Hua-ciau pun menceritakan pengalamannya itu hingga semua orang ikut bergirang.

   Sementara itu tangan Leng Bwe-hong memegang sebatang tongkat hitam mulus sedang mengetok batu cadas, katanya dengan tertawa.

   "Nah, sekarang kita pergi lagi mencari Huiang- kin, coba dia berani menghalangi lagi atau tidak?"

   Dan barulah Hua-ciau memperhatikan tongkat yang dipegang Leng Bwe-hong.

   "Tongkatmu ini sungguh bagus dan menarik sekali, apakah dari kayu?"

   Tanyanya tertarik.

   "Kau bilang menarik, nah, biar kuberikan padamu,"

   Kata Bwe-hong.

   "Memang keras tongkat ini tak kalah dari besi baja. Selama beberapa hari ini aku banyak mengumpulkan Thiansan- sin-bong dan sekalian memotong sebatang kayu 'Hangliong- bok' (kayu penakluk naga) yang khusus tumbuh di Thian-san saja, lalu aku bikin menjadi tongkat seperti ini."

   "Tapi aku hanya belajar Kiam-hoat, sebaliknya tak pernah belajar Koay-hoat (ilmu permainan tongkat),"

   Ujar Hui Ciau.

   "Asal kau mainkan menurut Bu-kek-kiam-hoat saja sudah cukup, boleh jadi ia akan lebih bagus daripada pedang di tanganmu itu,"

   Kata Bwe-hong.

   "Biarlah untuk itu kuajarkan kau pula beberapa jurus ilmu menotok dengan tongkat."

   Dalam dua-tiga hari ini nasib Hua-ciau benar-benar lagi mujur, ia sudah mendapatkan pelajaran Ginkang tunggal ciptaan Pek-hoat Mo-li, kini mendapatkan 'Hang-liong-po-tiang' (ilmu tongkat penakluk naga) pula, tentu saja ia sangat gembira.

   Kemudian mereka berempat menuju kembali Thian-to-hong buat menemui Hui-ang-kin.

   Setibanya di sana segera Leng Bwe- hong maju mengetok pintu, tapi sampai lama sekali masih tiada sahutan.

   Tentu saja diam-diam Leng Bwe-hong mendongkol.

   "Kenapa Hui-ang-kin begini tak kenal adat, tak urus dan tak menggubris kami,"

   Demikian pikirnya.

   "Aku membawa tusuk kondai giok dari gurunya, marilah kita menerjang masuk saja menemuinya,"

   Ajak Hua-ciau tak sabar. Kembali Bwe-hong berteriak beberapa kali lagi dan masih tetap tiada jawaban, keruan ia pun bertambah dongkol.

   "Baiklah, terpaksa menerobos masuk saja!"

   Katanya memberi tanda. Memangnya Tiong-bing lagi mengharap Leng Bwe-hong berkata demikian, keruan tanpa menunggu perintah kedua kalinya sekali kedua telapak tangannya mendorong ke depan dengan kuat, seketika pintu batu itu terdorong dan terpentang.

   "Kui-hiante jangan sembrono, meski kita masuk mendobrak pintu, tapi kita harus mohon bertemu secara aturan,"

   Kata Bwe-hong.

   Lalu ia pun memimpin kawan-kawannya masuk ke dalam.

   Maka terlihatlah oleh mereka Hui-ang-kin lagi duduk semadi dengan bersila di atas sebuah kasuran bundar tanpa bergerak sedikitpun, mirip sebuah patung purbakala.

   Terhadap segala kerusuhan yang sudah terjadi seakan dipandang tapi tak terlihat, mendengar tapi tak mau tahu.

   Pelahan Leng Bwe-hong mendekati tempat orang, lalu dengan lirih ia menyapa.

   "Hui-ang-kin, kami diperintah gurumu datang menjengukmu."

   Tapi sejenak masih hening, lama dan lama sekali baru Huiang- kin membuka matanya pelahan.

   "Kalian telah datang?"

   Katanya kemudian.

   "Tapi Lan-cu sudah pergi! Hidup bagai mimpi, segalanya hampa belaka, apa lagi yang kalian kehendaki?"

   Nyata pahlawan wanita yang namanya pernah menggetarkan seluruh padang rumput itu kini mirip seperti seorang sakit payah saja, matanya guram, suaranya lemah tak bertenaga, rambutnya yang putih bergerak-gerak dan tubuhnya rada gemetar.

   


Golok Kumala Hijau -- Gu Long Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long

Cari Blog Ini