Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 14


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 14



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Bwe-hong menggigil melihat keadaan orang yang lain daripada yang lain itu.

   Sebaliknya Thio Hua-ciau lantas berteriak.

   "Sungguh Lan-cu sudah pergi?"

   "Ya, kau telah menangkan dia,"

   Sahut Hui-ang-kin.

   "Ia tak mau mendampingiku lagi di pegunungan sunyi ini, tapi ia ingin pergi mencari kalian, maka diam-diam ia telah pergi, ya, diamdiam telah pergi!"

   Lalu ia menunjuk pada dinding di sebelah kanan dan berkata.

   "Lihatlah!"

   Ternyata di atas.

   dinding itu terukir beberapa* baris tulisan, dengan pedang.

   Waktu Hua-ciau membacanya tulisan itu berbunyi .

   ' 'Budi dan benci belum berakhir, tekanan hati susah dihilangkan, hendaklah ibu menjaga diri baik-baik, tidak-lah lema untuk berjumpa pula.

   "

   "O, ia benar-benar sudah pergi!"

   Seru Hua-ciau setengah meratap sehabis membaca tulisan itu. Sementara Hui-ang-kin telah memejamkan matanya lagi, ia mengayun tangannya memberi tanda dan berkata.

   "Nah, kalian bolehlah pergi saja siapa pun jangan mengurusku lagi P Dengan penuh perhatian Leng Bwe-hong memandang Huiang- kin, perasaannya ikut menderita sekali. Mendadak ia berseru padanya "Hui-ang-kin, lihatlah, apakah ini?"

   Karena itu tanpa terasa Hui-ang-kin membuka matanya, dan cepat juga Leng Bwe-hong menyambar tongkat buatannya dari tangan Thio Hua-ciau dan disodorkan ke hadapan Hui-ang-kin.

   "Nah, Hui-ang-kin, rasanya kau memerlukan tongkat. Nah, inilah untukmu!"

   Demikian teriaknya pula. Tentu saja Hui-ang-kin tercengang.

   "Apa kau bilang?"

   Tanyanya bingung.

   "Ya Hui-ang-kin, bukankah kau sudah tak berguna lagi?"

   Kata Bwe-hong bergelak tawa.

   "Tanpa tongkat, kau sudah tak sanggup berjalan pula!"

   Keruan luar biasa gusar Hui-ang-kin, seketika itu juga ia meloncat bangun dari tempat duduk.

   "Leng Bwe-hong,"

   Dampratnya sengit sambil menuding.

   "Betapa tinggi kepandaianmu, berani kau menghinaku? Hayo, coba katakan, mari kita bertempur 300 jurus, kita lihat nanti siapa yang sanggup berjalan dan siapa yang tidak?"

   Karena kejadian itu, Hua-ciau dan kawan-kawan terkejut dan bingung, sebaliknya sikap Leng Bwe-hong tenang biasa saja.

   "Jangan kau gusar dulu, Hui-ang-kin,"

   Demikian kata Bwehong kemudian.

   "Cobalah kau pikir dulu apakah aku salah mengatakan padamu? Sebab apa semangatmu menjadi lesu? Tiada lain justru karena kau sudah kehilangan tongkatmu!"

   "Ngaco-belo, apa kau gila?"

   Bentak Hui-ang-kin dengan mata melotot.

   "Tidak, aku tak gila, tapi kaulah sendiri yang gila"

   Sahut Bwe-hong.

   "Kau hendak menggunakan le Lan-cu sebagai tongkat sandaran mu. tanpa dia untuk berjalan saja kau tak sanggup lagi! Sungguh aku menjadi merasa malu bagimu, kau seorang pahlawan wanita dari padang rumput, ternyata harus bersandar-kan pada seorang gadis sebagai tongkatmu! Apa kau menjadi begitu lemah, begitu loyo, sampai keberanian buat hidup terus sudah tiada lagi? Akan tetapi Ie Lan-cu bukan sebatang kayu, ia berjiwa, ia bisa berpikir, ia berperasaan, ia tak bisa menjadi tongkatmu, kau paham tidak? Hui-ang-kin, cobalah kau pun harus berusaha berdiri sendiri, jalan tanpa mengandalkan tongkat."

   Karena kecaman tajam Leng Bwe-hong yang menusuk itu, wajah Hui-ang-kin yang pucat lesu tiba-tiba berubah merah, dari merah menjadi kehijauan, lalu kembali merah lagi. Di samping sana diam-diam Boh Wan-lian menjadi amat kagum.

   "Leng Bwe-hong sungguh hebat, kalau bukan katakatanya yang tajam bagai jarum menusuk lubuk hatinya susah juga hendak menyembuhkan penyakit batin Hui-ang-kin,"

   Demikian pikirnya.

   Dan betul juga semangat pahlawan 20 tahun yang lalu tibatiba telah kembali atas dirinya darah Hui-ang-kin bergolak bagai mendidih seakan hendak memecah raganya.

   Ya, memang sejak Hui-ang-kin kehilangan Njo Hun-cong, ia benar-benar merasakan hidup hampa luar biasa, ia seperti kehilangan sandaran hidup.

   Kalau ilmu silatnya makin dilatih makin tinggi, sebaliknya tenaga dan semangatnya makin lama makin lemah, semangat pahlawan yang tadinya menyala-nyala dalam perjuangan yang tak kenal lelah itu tiba-tiba lenyap, lalu ia pun mengurung diri di atas puncak Thian-to-hong itu menahan godokan derita perasaan.

   Sampai saat ia tak bisa menahan derita lagi, lalu ia merebut diri Ie Lan-cu, Ie Lan-cu hendak digunakannya mengisi tempat Njo Hun-cong dalam lubuk hatinya agar memberi keberanian hidup baginya.

   Segala apa tak dipedulikannya, yang dia pikir asal Ie Lan-cu bisa mendampinginya dan memperkuat morilnya "Ya, memang benar aku telah memandang Larf-cu sebagai tongkat sauiaaranku!'' tergoncang juga jiwa Hui-ang-kin, suara hatinya lagi mencerca padanya.

   "Ya Leng Bwe-hong, tepat peikataanmu!"

   Tiba-tiba ia berteriak.

   "Tapi Hui-ang-kin yang memerlukan sandaran tongkat itu sudah mati, Hui-ang-kin yang berdiri di hadapanmu sekarang ini adalah Hui-ang-kin yang tak memerlukan tongkat. Marilah, aku ikut bersama kalian turun gunung, aku akan mencari kembali Lan-cu bagi kalian! Aku akan pergi ke tengah suku bangsaku, agar mereka tahu Huiang- kin 20 tahun yang lampau itu kini telah hidup kembali!"

   Girang sekali Leng Bwe-hong melihat usaha menghidupkan jiwa pahlawan wanita itu berhasil, ia lemparkan kembali tongkat tadi pada Thio Hua-ciau, lalu bertepuk tangan bersorak gembira.

   Sementara itu Hua-ciau telah mengeluarkan dua kuntum bunga sakti itu dan dipersembahkan ke hadapan Hui-ang-kin.

   "Kedua bunga ini adalah peninggalan Toh-locianpwe kepada gurumu, tapi gurumu tak mau dan menyuruhku menyerahkannya padamu."

   Dan demi mencium bau wangi sedap bunga itu, semangat Hui-ang-kin menjadi tambah segar.

   "Bunga apakah ini?"

   Tanyanya tertawa.

   "Ini adalah bunga sakti, menurut cerita bisa membikin rambut putih berubah hitam kembali, khasiatnya melebihi segala macam obat-obatan lain,"

   Tutur Bwe-hong.

   "Ah, tidak, aku tak memerlukannya"

   Sahut Hui-ang-kin dengan menggeleng kepala "Asal hatiku selalu muda, buat apa harus merubah rambut putihku menjadi hitam kembali? Aku justru ingin memelihara rambut ubanan ini untuk peringatan.

   Rambut putih ini akan mengingatkanku bahwa aku pernah loyo, pernah menjadi seorang wanita lemah yang memerlukan sandaran tongkat."

   Habis itu ia pun tertawa tertawa riang sekali.

   Semua tekanan jiwa yang pernah dirasakannya kini telah lenyap bersih, hatinya sudah lapang kembali, tenang dan bersih bagai sungai es di Thian-san.

   Mengenai diri Ie Lan-cu, pada hari itu sesudah Leng Bwehong dan Thio Hua-ciau diusir pergi, pikirannya menjadi kacau tak tenteram, semalam suntuk gulang-guling tak bisa pulas.

   Cinta kasih Thio Hua-ciau terhadapnya memang membikin goncang perasaannya, tetapi serentetan perkataan Leng Bwehong yang menasehati dia melanjutkan cita-cita ayahnya yang belum terlaksana itu, lebih-lebih merupakan satu kemplangan di atas kepalanya Ia memeras otak sampai hampir pagi, ia pikir bolak-balik, ia mengerti Hui-ang-kin harus dikasihani, tetapi ia sendiri masih muda belia dan harus mendampinginya melewatkan detikdetik dan hari-hari yang sunyi hampa di pegunungan, paling banyak hanya dua manusia yang harus dikasihani yang berkumpul di suatu tempat.

   "Aku masih muda belia apa aku mesti membiarkan jiwaku seperti api lilin tersirap dengan sendirinya di pegunungan sunyi ini?"

   Demikian timbul pertentangan dalam jiwanya.

   "Tidak, aku tidak sudi!"

   Tiba-tiba timbul teriakan dalam hatinya pikiran ruwet bagai benang kusut selama beberapa bulan ini mendadak terbuka, dengan cepat ia mengambil keputus-an, ia harus meninggalkan Hui-ang-kin dan pergi mencari Leng Bwe-hong dan Thio Hua-ciau.

   Maka diam-diam ia menggores beberapa baris huruf di tembok dengan pedang, kemudian pergi turun gunung.

   Lan-cu dibesarkan di Thian-san, dengan sendirinya ia hafal jalanan di situ, ia mengambil jalan melalui Tat-pan-sia dan menyusur tepi sungai Pek-yang terus menuju ke Sinkiang selatan.

   Sesudah berjalan lebih 20 hari, tiba-tiba dirasakan hawa udara makin lama makin panas, padang pasir yang luas telah menghadang di depannya, ia mengerti kalau maju lagi ke depan ialah Turfan, 'Benua berapi' yang terkenal di Sinkiang.

   Hwe-yam-san dalam cerita Se-yu, tidak lain ialah tempat ini.

   Ie Lan-cu coba mengambil jalan memutar, ia membelok ke sebelah barat Turfan.

   Pada suatu hari tengah dalam perjalanan, sekonyongkonyong angin menderu membawa suhu panas, dalam sekejap pasir kekuningan bergulung-gulung bagai kabut asap, dan gurun pasir itu mendadak seperti tertutup sebuah tirai beludru kuning raksasa yang menutupi langit dan bumi.

   Lekas Ie Lan-cu menyembunyikan diri dan berlindung di belakang suatu bukit pasir dan bernapas pelahan, tempotempo ia harus menyisihkan timbunan pasir yang menimpa dirinya karena terbawa angin puyuh itu.

   Sesudah agak lama, angin puyuh yang membawa pasir itu baru reda.

   Dan baru saja Lan-cu menongolkan kepala, tibatiba dilihatnya di sebelah bukit pasir sana berdiri empat orang laki-laki kekar tegap, seluruh tubuh mereka penuh debu pasir, agaknya payah sekali karena serangan angin tadi.

   "Tong-lok, kini kita telah kesasar! Apakah kau masih bisa mengenali jalan lagi?"

   Terdengar seorang di antaranya yang berperawakan kurus kecil sedang bertanya kawannya. Orang yang dipanggil "Tong-lok"

   Itu memakai kerudung kepala yang menutupi kedua belah telinganya dan separah mukanya. Waktu ditanya, ia mengangkat kepalanya dan memandang sekelilingnya.

   "Wah, celaka!"

   Teriaknya kemudian.

   "Angin puyuh gurun pasir tadi telah merubah semua bentuk peta bumi, kini aku sendiri juga tak bisa mengenali jalan lagi. Beruntung kantong air kita tidak hilang, terpaksa kita harus berjalan menuju ke tempat yang paling panas, kalau bisa sampai di Turfan, aku akan mengenal pula jalannya."

   "Cuaca setan seperti ini, sebentar dingin sebentar panas, kalau panas terik bagai digarang, air kita yang tinggal sedikit ini mungkin belum dua hari sudah terminum habis, bagaimana bisa melintasi Hwe-yam-san?"

   Terdengar seorang lainnya ikut berkata.

   Mendengar percakapan mereka itu, Lan-cu menjadi teringat akan dirinya sendiri, waktu ia meraba kantong airnya sendiri yang terisi penuh dengan air es Thian-san, ternyata kantong air dari kulit itu sudah kempes entah sejak kapan telah berlubang terkena batu kerikil tajam hingga semua air sudah bocor habis.

   Lan-cu menjadi gugup mengetahui bekal airnya telah kering tanpa terasa, segera ia melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

   "Hai, kakak-kakak yang lewat, kalian hendak kemana? Aku kenal jalanan di sini!"

   Demikian serunya cepat.

   Sungguhpun seluruh tubuh Ie Lan-cu juga penuh debu pasir, akan tetapi semua itu tak bisa menutupi wajahnya yang cantik rnanis.

   Ketika keempat laki-laki itu dengan tiba-tiba nampak seorang gadis cantik muncul di tengah gurun pasir, mata mereka terbeliak terkesima.

   "Siapa kau, mengapa seorang diri berjalan di gurun pasir luas ini?"

   Gertak laki-laki kurus kecil tadi. Dalam hati Lan-cu rada mendongkol melihat orang begitu kasar.

   "Peduli apa denganmu,"

   Sahurnya aseran.

   "Aku hanya hendak menjadi petunjuk jalan bagimu dan sebaliknya kalian membagi sedikit air padaku, kita sama-sama tidak saling merugikan, jika kamu tak mau boleh katakan terus terang, aku sendiri bisa pergi mencari air dan kamu boleh jalan menurut arahmu."

   "Ya, betul itu, kurang apalagi kalau bisa berteman denganmu, si nona manis ini?"

   Teriak seorang di antaranya yang gemuk gede.

   "Nona, apa kau sudah haus? Mari sini, airku ini boleh kau minum!"

   Lan-cu coba melirik mereka.

   "Hm, keempat orang ini tentu bukan manusia baik-baik,"

   Pikirnya. Akan tetapi ia berkepandaian tinggi, ia tidak takut pada mereka.

   "Kita hanya bantu-membantu dalam keadaan sama-sama menghadapi kesukaran, jangan kau ngaco-belo!"

   Dampratnya kemudian lantang. Habis itu tanpa sungkan juga ia lantas menerima kantong air yang diangsurkan si gemuk tadi terus diminum dua cegukan, kemudian ia mengangkat tangannya memberi tanda.

   "Sudahlah, hayo sekarang berangkat!"

   Ajaknya segera.

   Kiranya keempat orang ini adalah jago kerajaan.

   Yang kecil kurus itu bukan lain ialah Thi-pa-boan-koan atau si jaksa potlot baja, Seng Thian-ting.

   Dan yang memakai kerudung kepala itu adalah Khu Tong-lok.

   Karena kedua daun kuping Khu Tong-lok kena diiris Leng Bwe-hong, ia takut ditertawai orang, maka selamanya memakai kerudung yang menutupi kedua samping telinganya.

   Sedang dua orang yang lain ialah pembantu Seng Thiantirig, yang seorang bernama The Tay-kun dan yang lain Ni Sam-hou.

   Kaisar Khong-hi pada masa itu adalah orang yang suka kemenangan, sesudah berhasil menumpas gerakan Go Samkui dan Li Lay-hing, segera ia berniat meluaskan pengaruhnya ke perbatasan dan mempersatukan Mongolia serta Tibet ke dalam kekuasaannya.

   Ia mendapat laporan pula bahwa sekalipun Li Lay-hing sudah tewas, tetapi saudaranya, Li Jiak-sim, ternyata lolos dan hilang tak diketahui jejaknya, dan ada kemungkinan lari masuk ke daerah Sinkiang.

   Oleh karena itu juga, napsunya untuk mencaplok Sinkiang, Mongol dan Tibet menjadi bertambah terburu-buru.

   Seng Thian-ting berempat tidak lain ialah jago-jago yang sengaja ia perintahkan masuk ke Sinkiang dengan tugas menyelidiki keadaan di daerah ini sambil mencari jejak Li Jiaksim.

   Ie Lan-cu tidak mengetahui asal-usul mereka sedikitpun, maka tanpa sesuatu rasa curiga ia membikin perjalanan dengan mereka.

   Sepanjang jalan Khu Tong-lok terus-menerus mengamati diri Ie Lan-cu, sikapnya agak mengherankan dan aneh.

   Nampak sikap kawannya yang aneh itu, si gemuk tadi, The Tay-kun namanya, tiba-tiba tertawa menggodanya.

   "Eh, Khutoako, bukankah biasanya kau tak suka akan paras elok? Kenapa hari ini kau menjadi tertambat oleh si rase cilik ini!"

   Lan-cu menjadi gusar mendengar dirinya dibuat sasaran mereka, selagi ia hendak bertindak, sekonyong-konyong dari depan tertampak debu mengepul tebal, menyusul dua orang penunggang kuda mendatangi.

   "He, ilmu menunggang kuda kedua orang ini mengapa begini hebat?"

   Ujar Seng Thian-ting heran.

   Belum lenyap suara perkataannya, kedua penunggang kuda tadi sudah sampai di depan mereka.

   Dengan sekali loncat, tahu-tahu kedua penunggang itu sudah melompat turun dari kuda mereka.

   Ternyata mereka adalah sepasang pemuda dan pemudi, si pemuda berpakaian putih bersih dan berdandan sebagai pelajar, sedang si pemudi mengenakan pakaian merah, hingga perpaduan warna merah putih menyolok sekali tampaknya.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam pada itu, demi melihatnya, Lan-cu menjadi girang bercampur terkejut.

   Si gadis baju merah itu ternyata bukan lain ialah Bu Gingyao, murid Pek-hoat Mo-li.

   Gadis berbaju merah yang dilihat Leng Bwe-hong, Kui Tiong-bing dan kawan-kawan di Thian san pada waktu sebelum mereka menghadap Hui-bing Siansu, bukan lain juga dia.

   Bu Ging-yao adalah puteri kesayangan Bu Goan-ing, seorang tokoh ternama dari aliran' Cong-lam-pay.

   Waktu Leng Bwe-hong, Lauw Yu-hong dan kawan-kawan membikin geger di Ngo-tai-san, mereka bermarkas di rumah Goan-ing.

   Oleh karena itu Bu Ging-yao mengenal Leng Bwe-hong dan Boh Wan-lian, sebaliknya Leng Bwe-hong dan Boh Wan-lian tidak pernah menyangka bahwa Ging-yao juga bisa berada di Thiansan, hingga sesaat itu mereka tidak mengenali bahwa gadis baju merah itu adalah Bu Ging-yao.

   Hari itu, sesudah membikin huru-hara di Ngo-tai-san, para pahlawan lalu berpencar, Bu Goan-ing sekeluarga tadinya tinggal di Soasay, belakangan berhubung keadaan makin genting bagi keselamatan mereka, lalu ia pun pindah ke Sinkiang.

   Bu Goan-ing membawa Ging-yao naik ke Thian-san untuk menjumpai Hui-bing Siansu, tak terduga baru sampai di tengah gunung mereka bertemu dengan Pek-hoat Mo-li.

   Begitu melihat Ging-yao, Pek-hoat Mo-li lantas sangat menyukainya, segera ia minta Bu Goan-ing menyerahkan puterinya untuk menjadi muridnya.

   Bu Goan-ing ragu-ragu karena tak mengenal siapa gerangan yang dihadapinya itu.

   Tetapi Pek-hoat Mo-li tersenyum saja, tiba-tiba ia meraup sepotong batu terus diremas, waktu ia membuka tangannya, batu itu sudah menjadi bubuk.

   Habis itu dengan tertawa Pek-hoat Mo-li baru berkata.

   "Cong-lam-pay dan Bu-tong-pay cukup rapat hubungannya, apakah nama Pek-hoat Mo-li tak pernah kaudengar?"

   Mendengar itu Bu Goan-ing baru.

   tahu siapakah gerangan si nenek yang dihadapinya kala itu, bukan lain daripada Pekhoat Mo-li yang pernah berselisih paham dengan Toh It-hang, Ciang-bun atau ketua Bu-tong-pay dari angkatan yang lebih tua.

   Ia pernah mendengar cerita dari gurunya bahwa karena urusan Toh It-hang, Pek-hoat Mo-li pernah seorang diri menempur jago-jago Bu-tong-pay dan beruntun mengalahkan Bu-tong-pat-hiap atau delapan pendekar dari Bu-tong, bahkan salah seorang Susiok atau paman guru Toh It-hang juga kena dilukai olehnya, suatu tanda betapa tinggi ilmu silatnya sudah tiada taranya di kolong langit.

   Hanya kalau dihitung, sedikitnya ia sudah menginjak umur seabad, sungguh Bu Goan-ing tidak menyangka bahwa ia masih hidup segar bugar di dunia ini.

   Sehari-hari Ging-yao juga pernah mendengar cerita tentang diri Pek-hoat Mo-li, kini mendengar bahwa wanita yang tiada bandingannya itu hendak mengambil murid padanya, ia menjadi kegirangan dan menghaturkan terima kasih, belum ayahnya menjawab ia sendiri sudah menyatakan kesediaannya.

   Namun Bu Goan-ing masih ragu-ragu tak tega berpisah dengan puteri-nya.

   "Aku hanya menghendaki ia belajar padaku tiga tahun saja"

   Kata Pek-hoat Mo-li akhirnya.

   "Caraku mengajar murid berlainan dengan orang lain, aku mengajarkan tiga tahun dapat memadai orang lain mengajarkan sepuluh tahun! Sesudah tiga tahun, aku tentu akan mengantarnya kembali padamu."

   Pek-hoat Mo-li menerima murid lagi pada usianya yang sudah lanjut, sedang Bu Ging-yao memangnya berotak tajam dan juga lincah, pintar mengambil hati gurunya.

   Oleh karena itu, Pek-hoat Mo-li sangat memanjakan Ging-yao dan sayang sekali padanya.

   Ia menurunkan Kiam-hoat atau ilmu pedangnya yang tunggal dengan cermat, lebih jauh ia menambah tenaga anak dara itu dengan berbagai obatobatan, dan betul saja hanya dalam tiga tahun, ia sudah menjadikan Ging-yao lain daripada yang lain, kecuali keuletan latihannya yang agak kurang, soal Kiam-hoat ia sudah tidak di bawah Hui-ang-kin, kakak seperguruannya Dalam pada itu, Ging-yao juga sering datang ke Thian-tohong dan bermain dengan Hui-ang-kin, oleh sebab itu juga ia mengenal Ie Lan-cu.

   Sedang si pemuda sastrawan bermuka putih bersih yang datang bersama dia itu bukan lain adalah Li Jiak-sim.

   Pada waktu Jiak-sim digrebeg pasukan Boanjing, dengan mati-matian ia berhasil menerjang keluar dari kepungan.

   Ph(c) Jing-cu, Lauw Yu-hong, Ciok Thian-sing-suami isteri, Han Hing dan kawan-kawan berkat ilmu silat mereka yang tinggi, kesemuanya dapat meloloskan diri.

   Hanya saudara angkat Han Hing, Cu Thian-bok dan Njo Cing-po tak beruntung telah tewas dalam penggrebegan itu.

   Li Jiak-sim, Pho Jing-cu dan kawan-kawan belasan o-rang dari Sucwan kemudian menuju ke barat dengan kuda mereka dan memasuki daerah Sinkiang.

   Pada hari yang sama tiba-tiba mereka bertemu angin puyuh di gurun pasir itu, kuda tunggangan Li Jiak-sim adalah seekor kuda kuning yang tak pernah menjelajah gurun pasir, karena kaget oleh serangan angin puyuh yang membawa pasir kerikil, kuda itu berlari kesetanan sambil meringkik ketakutan dan meninggalkan rombongan.

   Walaupun Jiak-sim berilmu silat tinggi, tetapi ia tak berpengalaman cara bagaimana harus menghadapi serangan angin di gurun pasir.

   Ketika ia gugup, mendadak dari arah lain seorang penunggang kuda menerjang datang, penunggangnya adalah seorang gadis berbaju merah, gadis itu menyerempet lewat di sampingnya sambil menarik lengan baju Li Jiak-sim dan berteriak.

   "Lekas balik tubuh dan sembunyi di bawah perut kuda dan larikan menurut arah angin!"

   Li Jiak-sim memang lagi merasakan tajamnya angin pasir yang seakan-akan mengiris mukanya kedua matanya susah dibuka, tenaganya pelahan pun hampir habis, karena teriakan si gadis, segera ia membalik dan menggelantung di bawah perut kuda terus dilarikannya cepat sejajar dengan gadis itu.

   Sesudah agak lama angin ribut itu baru reda kembali, kedua orang itu lalu balik kembali ke atas punggung kuda segera Jiak-sim mengucapkan terima kasihnya.

   "Sukalah nona mem-beritahu nama perguruan nona?"

   Demikian tanyanya kemudian. Gadis baju merah itu tertawa genit.

   "Perguruan apa sedikitpun aku tak paham maksudmu?"

   Jawabnya dengan lagak tak mengerti.

   "Ilmu menunggang kuda nona bagus sekali, tentu paham ilmu silat,'* ujar Jiak-sim. Gadis baju merah itu tertawa pula, katanya.

   "Kami yang hidup di padang rumput, kalau tak bisa menunggang kuda apa jadinya? Soal ilmu silat apa segala aku tak mengerti!"

   Gadis baju merah itu berperawakan kecil lincah dan menarik, tanpa terasa Li Jiak-sim jadi mabuk sendiri, ia sungguh mengira bahwa gadis ini adalah puteri rakyat penggembala di padang rumput, dan sama sekali tak mengetahui bahwa pada diri gadis itu memiliki kepandaian yang tinggi.

   "Kongcu bertanya tentang ilmu silat, tentunya Kongcu sendiri mahir sekali ilmu silat bukan?"

   Tanya si gadis malah.

   "Ah, tidak, hanya pernah belajar beberapa jurus kasaran saja,"

   Jawab Jiak-sim.

   "Aku hendak ke Yarkhan, dekat Turfan, jika Kongcu paham ilmu silat, itulah baik sekali, dapatkah mengantarku dalam perjalanan? Aku sungguh takut sekali!"

   Kata pula si gadis.

   "Takut apa? Apakah di padang rumput ada begal?"

   Tanya Jiak-sim heran.

   "Begal sih tidak ada,"

   Ujar si gadis.

   "Hanya paling belakang ini ada banyak sekali jagoan Boamjiu yang suka berkeliaran di padang rumput sini, mereka sangat jahat dan sewenangwenang, jauh lebih ganas daripada begal!"

   "Kujangajar, kalau bertemu denganku, pasti kupatahkan kaki anjing mereka!"

   Kata Jiak-sim gusar.

   "Mereka sangat lihai, apakah Kongcu sanggup?"

   Tanya si gadis tiba-tiba.

   "Jagoan semacam mereka, kalau cuma delapan atau sepuluh orang saja aku masih sanggup melayani,"

   Sahut Jiaksim.

   "Nona tak usah takut, aku bersama kawanku memang hendak ke Sahjia di selatan sana dan harus melewati Yarkhan, biar sekalian aku mengantar nona ke sana."

   Nyata Li Jiak-sim tak tahu bahwa jago-jago Boanjing yang diperintahkan ke Sinkiang ini semua terdiri dari jago-jago kelas tinggi, ia mengira hanya terdiri dari jagoan biasa saja, oleh karena itu sedikitpun ia tidak menaruh pikiran apa-apa.

   Dan si gadis baju merah itu yang bukan lain adalah Bu Ging-yao.

   Sepanjang jalan ia sudah menemukan jejak rombongan Seng Thian-ting, diam-diam ia sudah menguntit, tetapi ia tahu kepandaian mereka agak tinggi, maka ia tak berani bertindak sendirian secara gegabah.

   Kini setelah mendengar perkataan Li Jiak-sim tadi, ia jadi tersenyum.

   Sesudah turun gunung, Ging-yao sudah pulang menemui ayahnya, kali ini justru mendapat perintah dari ayahnya agar pergi menyongsong kedatangan Li Jiak-sim, Pho Jing-cu dan kawan-kawan.

   Walaupun ia tak mengenal Jiak-sim, tetapi waktu berangkat ia sudah minta keterangan tentang roman muka serta perawakannya Karena itu, begitu berjumpa ia sudah menduga bahwa orang yang didampinginya ini pasti adalah Li Jiak-sim.

   Pikirnya, di kalangan persilatan Li-kongcu terpuji karena 'Bun-bu-cwan-cay' atau pandai ilmu silat maupun surat, dan kini justru aku akan coba menggodanya.

   Maka sepanjang jalan Ging-yao telah menggodanya dengan berbagai pertanyaan yang kekanak-kanakan, malah ia bertanya lagi.

   "Di sekitar Thian-san sini dulu pernah ada seorang yang bernama Njo Hun-cong Tayhiap yang membantu kami melawan penindasan pemerintah Boan, apakah Kongcu tahu?"

   "Ya, Njo-tayhiap sudah lama meninggal, aku kenal Sute-nya Leng Bwe-hong,"

   Sahut Jiak-sim.

   "Ilmu silat Kongcu bagaimana kalau dibandingkan mereka itu?"

   Ging-yao menggoda pula "Leng Bwe-hong punya kiam-hoat yang tunggal tiada taranya, mana aku bisa dibandingkan dia?"

   Ujar Jiak-sim tertawa.

   "Nona, soal ini terlalu dalam dan hebat sekali, aku sendiripun tak bisa menerangkan."

   Begitulah dengan sengaja Bu Ging-yao mengajukan pertanyaan yang bersifat kekanakan untuk menggoda dan memancing agar Li Jiak-sim bercerita tentang ilmu silat dan betul juga Jiak-sim menganggapnya sebagai gadis yang masih hijau dan mengobrol dengan riangnya.

   Dan tanpa terasa mereka berdua telah berjalan jauh dan kemudian bertemu dengan Khu Tong-lok dan kawan-kawan di padang pasir secara kebetulan.

   Karena tiba-tiba bertemu dengan Bu Ging-yao, Ie Lan-cu menjadi girang bercampur heran, dan selagi ia hendak menyapa, mendadak.

   Ging-yao telah mendahului membuka suara, dengan tertawa nyaring gadis itu berkata.

   "A i, rupanya ada bidadari telah tunui di gurun pasir! Siapakah namamu? Sungguh kau sangat cantik sekali!"

   Sembari berkata ia pun mendekati le Lan-cu dan menarik tangannya.

   Lan-cu juga cukup cerdik, walaupun tak dimengerti apa yang dikehendaki kawannya itu, tapi ia bisa menangkap maksudnya ia tidak ingin dikenalnya di depan orang-orang asing.

   Oleh karena itu ia pura-pura menarik tangan Ging-yao dan dengan tertawa balas berkata.

   "Ai, nona membikin mataku menjadi terbeliak lebar, baiknya di sini tidak lagi bikin pertemuan 'domba nakal', bila tidak, tentu pemuda-pemuda akan menunggang kuda mengejar padamu."

   Yang dimaksud 'domba nakal' adalah semacam permainan tradisionil di antara suku bangsa di Sinkiang, dimana pemuda dan pemudi saling kejar-mengejar untuk mencari pasangan.

   Dan oleh karena Bu Ging-yao dan Li Jiak-sim menunggang kuda berendeng, mirip seperti kejar-mengejar dalam permainan 'domba nakal' itu, maka dengan sengaja Ie Lan-cu menggodanya.

   Jikalau Bu Ging-yao tidak merasa apa-apa karena perkataan Ie Lan-cu tadi, adalah Li Jiak-sim yang mukanya lantas berubah merah jengah.

   Sudah beberapa lama ia datang di Sinkiang, ia sudah mengerti apakah artinya permainan 'domba nakal' itu.

   "He, mengapa anak gadis di padang rumput sini begini tak kenal aturan, sembarangan saja menggoda orang,"

   Pikirnya dalam hati.

   Li Jiak-sim adalah seorang Enghiong atau ksatria yang suci murni, selamanya ia tak memikirkan tentang soal laki-laki perempuan, tapi aneh, terhadap Bu Ging-yao diam-diam bibit asmaranya bersemi tanpa terasa.

   Karena itu dengan sendirinya perasaannya lantas lebih perasa daripada biasanya Mengenai diri Khu Tong-lok, dulu waktu berada di tepi telaga Bu-sian-oh di Hunlam, ia pernah bertemu muka dengan Li Jiak-sim, daun kupingnya yang sebelah kiri hilang diiris oleh Leng Bwe-hong tatkala itu.

   Kini sesudah lewat tiga tahun, wajah Li Jiak-sim tidak banyak berubah, tapi kedua daun kuping Khu Tong-lok sudah teriris semuanya, mukanya juga kena digores dua kali oleh Leng Bwe-hong, oleh karena itu ia selamanya memakai kerudung kepala yang membungkus hingga ke leher, maka seketika Li Jiak-sim tak mengenalinya.

   Dan demi mengenali Li Jiak-sim, Tong-lok menjadi girang bercampur heran.

   Diam-diam ia berpikir.

   "Aha, susah-susah dicari, tak dicari gampang ketemu! Ternyata betul ia buron ke Sinkiang sini dan justru kepergok pula olehku, rupanya memang Thian memberkahi supaya aku bisa berjasa besar."

   Namun ia pun tahu bahwa ilmu silat Li Jiak-sim tidak lemah, bertempur satu lawan satu ia masih tidak jeri, tetapi kalau sudah bergebrak, tentu bertempur mati-matian mengadu jiwa kalau hendak menangkapnya hidup-hidup sebaliknya tidaklah gampang.

   Maka segera ia memberitahu Seng Thian-ting dan kawankawan dengan kata-kata rahasia bahwa pemuda beroman putih ini bukan lain adalah Li Jiak-sim agar mereka bersiap dan waspada, bila ada isyarat segera menangkapnya hiduphidup.

   Mendengar mereka berbicara dalam istilah rahasia Bu Gingyao hanya tertawa ngikik saja.

   Sebaliknya Khu Tong-lok terus mengincar Li Jiak-sim saja.

   Lan-cu menjadi heran.

   Pikirnya orang ini sungguh aneh, mengapa memandang orang secara begitu tak sopan? Dan karena itu, ia pun membuka mata lebar-lebar mengawasinya Tiba-tiba sinar mata Khu Tong-lok tertumbuk dengan sinar matanya mendadak Tong-lok ingat seseorang.

   Segera ia berseru menegur.

   "He, kau pernah apa dengan Njo Huncong?"

   "Peduli apa denganmu?"

   Sahut Lan-cu tak mau kalah kerasnya. Dan waktu itulah mendadak Li Jiak-sim melompat maju sambil membentak.

   "Orang ini dapat lolos di bawah pedang Leng Bwe-hong, kini masih berani berlagak di sini?"

   Ternyata Jiak-sim yang berotak tajam dan mempunyai ingatan baik, meski Khu Tong-lok berkerudung kepala dan wajahnya telah berubah hingga susah dikenali, tetapi bila mendengar suaranya, segera ia ingat diri orang itu.

   Sebab pada waktu Khu Tong-lok menantang Leng Bwe-hong di tepi Bu-sian-oh, kata-katanya diucapkan secara menyolok sekali, tatkala itu Li Jiak-sim juga mendengar di samping mereka, oleh karenanya terhadap suara orang berkesan cukup dalam.

   Dan belum Tong-lok menjawab bentakan Li Jiak-sim tadi, cepat sekali Seng Thian-ting sudah mendahului mencabut sepasang potlot bajanya dan menghadang ke hadapan Li Jiaksim.

   "Aba, selamat bertemu, Li-Kongcu!"

   Katanya dengan gelak tertawa.

   "Pasukan Kongcu yang beratus ribu telah kocar-kacir, kini jauh-jauh buron ke padang pasir sunyi ini, untuk apakah susah payah begini! Tidakkah lebih baik ikut kami kembali ke kota-raja dan mengabdi padakerajaan yang sekarang, Hongsiang tentu akan mengampuni dan memberi barang sesuatu pangkat."

   Wajah Li Jiak-sim berubah seketika, cepat juga ia melepas kedua bandulan dari ikat pinggangnya, jika menuruti wataknya yang keras, sebenarnya ia sudah tak sabar mendengar ucapan Seng Thian-ting, tetapi ia kuatir Bu Ging-yao yang 'tidak paham ilmu silat' yang berada di sampingnya itu kalau terjadi pertempuran sengit nanti si gadis bisa ikut ferluka tanpa berdosa.

   Karenanya lalu ia berkata dengan suara lantang.

   "Kalian hanya menginginkan aku sendiri saja bukan?"

   "Ya, memang tidak salah, Li-kongcu,"

   Sahut Seng Thianting tertawa sinis.

   "Jika begitu, nah, tak usah banyak bacot lagi, majulah,"

   Tantang Jiak-sim segera dengan lagak jumawa.

   "Tapi kita sudah berjanji, dua nona ini bukan komplotanku, kamu hanya boleh menerjang padaku seorang dan tak boleh membikin susah mereka, kalau aku kalah, segera kuserahkan diriku untuk diringkus sesukamu!"

   "Bagus, Li-kongcu memang orang yang suka berterus terang, baik kita putuskan seperti itu,"

   Seru Seng Thian-ting sambil mengunjuk jempolnya.

   "Dan aku sendiri saja yang akan menerima pengajaran 'Liu-sing-tui' milik Li-kongcu, apabila Kongcu akhirnya suka mengalah barang satu-dua gebrakan, maka terpaksa harus mempersilakan Kongcu ikut kami ke kota-raja dan tak boleh menyesal!"

   Lalu ia pun berpaling dan meneriaki Khu Tong-lok.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hei, apakah yang sedang kau percakapkan dengan nona itu sampai begitu asyik? Ke sinilah untuk menjadi saksi!"

   Nyata ia melihat entah apa yang dikatakan Khu Tong-lok tadi, mendadak terdengar Ie Lan-cu mendamprat dengan gusar.

   "Kau berani mencaci ayahku!"

   Menyusul mana pedang si gadis mendadak dilolos' dan menusuk cepat, lekas Tong-lok melompat berkelit sambil berseru.

   "Thian-ting-heng, kami di sini ada perselisihan sendiri, ia adalah puteri musuhku!"

   Dalam pada itu Lan-cu telah berteriak juga.

   "Hai, Toako yang memakai 'Liu-sing-tui', aku berterima kasih atas kebaikanmu, tapi biarlah kau bertempur menurut caramu dan aku berkelahi sesukaku!"

   Nampak gerak tusukan pedang le Lan-cu secepat kilat tadi, Seng Thian-ting menjadi heran. Maka segera dari jauh ia pun meneriaki Bu Ging-yao.

   "He, dan kau apakah juga akan ikut berkelahi? Kalian ada tiga orang, maka boleh juga kami maju tiga orang saja!"

   Tak terduga Ging-yao hanya geleng-geleng kepala.

   "Ah, tidak, aku tidak tahu cara bagaimana harus berkelahi,"

   Katanya lucu.

   "Kau lekas pergi saja, sampai bertemu pula!"

   Seru pula Li Jiak-sim. Tetapi Bu Ging-yao masih berganda tertawa saja, ia justru tidak mau pergi seperti apa yang dikehendaki orang.

   "Aku tidak bisa berkelahi, tetapi sebaliknya aku suka menonton orang berkelahi. Ada golok, ada pedang dan ada Liu-sing-tui pula, wah, tentunya ramai sekali!"

   Ujarnya tertawa genit. Habis berkata malahan ia terus duduk seenaknya di samping untuk menonton sambil bertopang dagu.

   "Biar, siapa yang berani menggangguku, nanti akan kucakar mukanya!"

   Demikian tambahnya malah.

   "Gadis bodoh,"

   Omel Li Jiak-sim dalam hati. Akan tetapi keadaan sudah genting dan ia harus bertempur mati-matian mengadu jiwa, ia tak bisa mengurus si gadis lagi.

   "Kongcu, silakan menyerang!"

   Sementara terdengar Seng Thian-ting sedang berseru sambil mengacungkan sepasang 'Boan koan-pit'nya.

   Habis mana, tahu-tahu ia yang mendahului, potlot bajanya yang kiri mengayun ke samping dan yang kanan lantas menotok ke depan, sekaligus ia hendak menotok tempat yang mematikan di tubuh Jiak-sim.

   Tentu saja Li Jiak-sim terkejut, ia tak menduga bisa bertemu jago kelas satu dari kerajaan di gurun pasir luas ini.

   Di sebelah sana le Lan-cu dan Khu Tong-lok juga sudah saling gebrak dan sama-sama terkejut juga.

   Khu Tong-lok memainkan golok dan pedang berbareng, gaya serangannya ruwet dan aneh, dalam sekejap saja ia sudah merangsek lawannya belasan j urus.

   "Hm, tak nyana kaki-anjing kerajaan ini bisa memiliki sedikit kepandaian juga,"

   Demikian Lan-cu membatin. Tapi pedang pusaka 'Toan-giok-kiam' di tangannya tidak menjadi kendor, waktu sinar pedang berkelebat, mendadak ia menyerang, menyusul itu terdengarlah suara "traang"

   Yang nyaring, ujung golok Khu Tong-lok telah tertabas kutung.

   Maka tahulah Tong-lok telah terbentur Pokiam.

   segera ia berlaku hati-hati, ia mundur beberapa tindak, tiba-tiba dibarengi suara tertawa dingin goloknya berputar, ujung pedang lantas menusuk dari samping, serangannya susulmenyusul bertubi-tubi, Hong-lui-to-kiam ternyata sangat lihai dan keji sekali.

   Namun Lan-cu tidak gentar, ia memutar pedang dan memainkan Thian-san-kiam-hoat yang hebat itu, sinar pedangnya gemerlapan bagai kilat menyambar di antara rangsekan golok dan pedang musuh, ia menjaga diri sambil menyerang juga walaupun pedangnya pendek, tapi tiap serangannya tidak pernah meninggalkan tempat musuh yang berbahaya Sungguhpun usia le Lan-cu masih muda, tetapi ia sudah memperoleh pelajaran intisari dari semua Thian-san-kiamhoat, lebih-lebih ditambah pula ajaran kiam-hoat tunggal dari Pek-hoat Mo-li, di antara iThian-san-cit-kiam' atau tujuh pendekar dari Thian-san, hanya dia yang merangkap dan memiliki kepandaian dari dua cabang silat.

   Cuma sayang latihannya masih belum sempurna betul, bila tidak, sekalipun dua orang Khu Tong-lok juga bukan tandingannya..Bu Ging-yao yang menonton di samping diam-diam pun mengangguk kagum.

   Usia Lan-cu selisih tidak banyak dengan dirinya kalau dihitung keturunan malah setingkat lebih rendah dari dia, tetapi kemahiran ilmu pedangnya ternyata lain daripada yang lain.

   Sudah dapat dilihatnya dengan dua senjata yang berlainan dan tipu-tipu serangannya yang aneh, ditambah pula pengalamannya yang sudah kawakan, Khu Tong-lok untuk sementara masih bisa bertahan, tetapi sudah jelas Lan-cu pasti akan menang.

   Adalah di pihak Li Jiak-sim sana keadaan berlainan, ilmu silat Seng Thian-ting tidak di bawah Coh Ciau-lam, sepasang 'boan-koan-pit'nya secara hebat sekali selalu menotok ke-36 urat nadi jalan darah musuh, kadang dengan cepat dirubah pula sebagai pedang.

   Ia bisa menotok, menghantam, memotong dan menikam dengan perubahan yang bergantian, sungguhpun ilmu silat Li Jiak-sim tidak lemah juga namun kalau dibandingkan terang kalah kuat Beruntung ia dapat memainkan senjata 'Liu-sing-tui' dengan baik sekali laksana hidup, bagus untuk menyerang dari tempat jauh, baik pula untuk menahan dari dekat, pergidatang diayunkan dengan cepat sekali laksana senjata rahasia yang hidup hingga mau tak mau Seng Thian-ting agak jeri juga.

   Begitulah masing-masing menggunakan senjata yang jarang dipakai orang dan bertempur secara sengit dan hebat sekali, tak seberapa lama mereka sudah bergebrak lebih ratusan jurus, sampai akhirnya Seng Thian-ting menjadi tak sabar lagi, sepasang potlot bajanya beterbangan menyambar, Li Jiak-sim kena didesak hingga terpaksa menarik tali senjatanya ia harus meru-bah menyerang dari jauh menjadi bertahan dari dekat.

   Nampak keadaan genting itu, Bu Ging-yao agak kuatir, ia berniat maju membantu, tapi dari mulai masing-masing sudah berjanji tak akan mengeroyok, apalagi Li Jiak-sim adalah seorang tokoh ternama jika ia maju mengeroyok, mungkin pemuda itu akan merasa tak senang.

   Sementara itu kedua pembantu Seng Thian-ting yang lain melihat Thian-ting sudah mulai unggul, mereka sangat senang.

   Sebaliknya mereka tak tahu bahwa Khu Tong-lok malah berada di bawah angin, mereka mengira pertempuran ini tak diragukan lagi pasti akan dimenangkan pihak mereka.

   Dan bila mereka melihat Ging-yao tampaknya mengunjuk rasa kuatir, mereka lantas menggoda dan menertawakannya.

   The Tay-kun dan Ni Sam-hou memang adalah sebangsa manusia rendah, oleh karenanya mereka lantas ngoceh tidak keruan.

   Kata yang seorang.

   "Hai, nona baju merah, apakah ia kekasihmu? Kekasihmu ini tidak becus, lebih baik pilih satu lagi yang lain!"

   "Eh, jangan kau mengacau, kau ini sungguh tak mengerti hati orang perempuan. Tahulah kau, hatinya sedang murung, mengerti!"

   Kata yang lain. Lalu ia pun berkata pada Ging-yao.

   "Nona cilik, marilah biar aku menghiburmu"

   Setelah itu, tanpa insyaf bahaya apa yang bakal menimpa dirinya Ni Sam-hou lantas mendekati Ging-yao hendak main gila. Tak terduga tiba-tiba Ging-yao tertawa dingin.

   "Aku sudah bilang tadi, siapa berani menggangguku menonton orang berkelahi, segera aku cakar mukanya!"

   Demikian katanya.

   "Dan bila kau berani maju lagi setindak, nanti boleh kau coba tahu rasanya!"

   "Ah, masa kau begitu galak,"

   Ujar Ni Sam-hou cengarcengir sembari maju lagi selangkah.

   Siapa duga belum lenyap suara perkataannya, mendadak ia merasakan angin tajam telah menyambar mukanya Belum sempat ia bisa melihat jelas, kedua biji matanya tahu-tahu sudah kena dicolok buta Gerak tangan Bu Ging-yao begitu cepat, hanya sekali cakar saja dua biji mata sasarannya sudah berada di tangannya, menyusul itu ia mengangkat tangannya, ia timpukkan biji mata Ni Sam-hou ke arah musuh lain sebagai 'thi-lian-ci' atau biji teratai besi.

   Ketika nampak kawannya sekonyong-konyong kena dicelakai musuh, The Tay-kun berteriak terkejut hingga mulutnya ternganga dan belum sempat dirapatkan kembali itu tiba-tiba dua biji mata telah menyelonong masuk ke dalam mulutnya segera ia merasakan bau anyir yang memuakkan.

   Dalam pada itu, cepat sekali tahu-tahu Bu Ging-yao telah sampai di depannya pula Lekas The Tay-kun membaliki tangan menghantam, akan tetapi tangan Bu Ging-yao yang mencakar sudah sampai di mukanya pula, lekas ia menundukkan kepala dan mengegos, beruntung ia dapat menyelamatkan biji matanya tak sampai mengalami nasib sama seperti sang kawan, namun kulit mukanya toh tetap kena digaruk hingga berdarah.

   Pukulannya tadi luar biasa kuatnya karena dilontarkan sepenuh tenaga, siapa tahu musuh tidak kena, sebaliknya ia sendiri yang dicakar, dan dengan sendirinya tenaga tangannya banyak berkurang, ketika Ging-yao mencakar dengan tangan kiri, tangan kanan dengan tepat saling bentur dengan pukulan lawan, maka terdengarlah suara "bluk,"

   The Tay-kun terlempar pergi 2-3 tombak jauhnya.

   Beruntung keuletannya jauh lebih tinggi daripada Ni Sam-hou, dengan gerakan 'Le-hipak- ting' atau ikan lele meletik tubuh, cepat ia berbangkit kembali, menyusul mana senjatanya yang aneh 'Ca-liong-pian' ruyung naga terus dilolos, sambil menahan sakit bagai kerbau gila ia terus menubruk me-nempur Ging-yao lagi.

   Tapi betapa sigapnya gadis itu, ketika The Tay-kun bisa bangun kembali, cepat luar biasa ia pun menyelinap ke tengah-tengah antara Li Jiak-sim dan Seng Thian-ting, waktu pedangnya menyambar, dengan gerak tipu 'Sing-liong-inhong' atau menunggang naga memancing burung hong, dengan tepat senjata potlot baja Seng Thian-ting kena ditangkis pergi hingga dapat menghindarkan Li Jiak-sim dari ancaman bahaya.

   "Huh, aku sudah bilang kalian jangan ganggu aku menonton orang berkelahi, tapi pembantumu itu sengaja tak mau taat, meski aku tak paham berkelahi, terpaksa kini harus berkelahi juga denganmu,"

   Demikian kata Ging-yao kemudian tertawa ngi-kik.

   "Nah, Li-kongcu hendaklah kau mewakilkan aku membereskan si gendut itu, biar setan madat ini kautinggalkan untukku, tenagaku kecil, kebetulan biar aku hajar dia!"

   Kiranya bentuk tubuh The Tay-kun gede gemuk, sebaliknya perawakan Seng Thian-ting kurus kecil, tapi ilmu silat Thianting entah berapa kali lebih tinggi dari The Tay-kun.

   Ging-yao sengaja menyuruh Li Jiak-sim pergi membereskan The Taykun, tujuannya agar pemuda itu menjadi ada alasan buatniengiiriJiirkan diri.

   Sudah tentu Seng Thian-ting yang dikatai 'setan madat* oleh Bu Ging-ya"

   Menjadi amat mendongkol tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, kedua potlot bajanya mendadak menjojoh ke perut si gadis sambil memaki.

   "Budak hina, berapa tinggi kepan-daianmu? Nih, biar kau kenal betapa lihai setan madat yang kau maksudkan!"

   Melihat serangan musuh cepat lagi hebat, waktu pedangnya menangkis terasa panas pedas tergetar juga, lekas Ging-yao menutul kaki dan mendadak mencelat ke atas, berbareng pedangnya berkelebat, segera ia menikam dari atas.

   Seng Thian-ting berkelit dengan gerakan 'Hong-hong-tiamtau atau burung hong mengangguk kepala ia menarik tubuh dan mengkeret ke samping, menyusul sedikit berputar secepat kilat kembali ia menyerang pula dengan tipu 'Ki-hwe-liau-thian' atau mengangkat obor menerangi langit, kedua potlotnya terus memotong ke depan.

   Namun tidak malu sebagai murid Pek-hoat Mo-li, beruntun Ging-yao mengayun pedangnya ke sana-sini menusuk, sinar pedangnya menyilaukan, serangan Thian-ting tadi tidak mengenai sasaran, sebaliknya ia malah terdesak mundur dan berkelit terus.

   "Ai, ai, kiranya kau juga tidak pandai berkelahi!"

   Tiba-tiba Ging-yao tertawa nyaring mengejek.

   Sungguh tidak kepalang dongkol Thian-ting hingga tak sanggup bicara.

   Tapi musuh terlalu tangguh, tak berani ia gegabah, terpaksa ia sabarkan diri, sembari menjaga rapat dirinya, ia menanti kesempatan untuk melakukan serangan balasan.

   Seng Thian-ting adalah jago nomor 1-2 di antara bayangkara kerajaan, meski Ginkangnya tak menimpali Bu Ging-yao, tapi kekuatan sesungguhnya masih setingkat lebih tinggi dari si gadis itu, sepasang potlot bajanya juga dimainkan begitu ganas dan kuat, untuk keras lawan keras sesungguhnya Bu Ging-yao juga tak berani.

   Gadis ini hanya mengandalkan ilmu pedang ajaran Pek-hoat Mo-li yang tunggal itu dengan aneka macam perubahan yang susah diraba musuh, tujuannya melulu untuk mematahkan tenaga Seng Thian-ting saja Begitulah pertarungan sengit kedua orang itu menjadi luar biasa ramainya.

   Yang seorang setangkas singa, yang lain segesit kucing, masing-masing mempunyai kepandaian tunggal sendiri dan sama-sama susah dikalahkan.

   Lama-lama mau tak mau Seng Thian-ting sangat terkejut, sungguh tak tersangka olehnya gadis semuda ini bisa memiliki kiam-hoat yang begitu lihai.

   Di sebelah sana ketika Ie Lan-cu melihat Ging-yao sudah turun tangan, ia menjadi bertambah semangat, memangnya ia sudah di atas angin, ketika tipu serangannya bertambah gencar, lebih susah dibendung pula.

   Di antara sinar pedangnya yang berkilat dan hawa dingin menyambar itu, mendadak Khu Tong-lok menjerit kaget, ternyata kerudung kepalanya telah tersingkap pedang musuh.

   Sementara itu sambil menempur Seng Thian-ting, mata Ging-yao tak pernah meninggalkan perhatiannya pada Li Jiaksim dan le Lan-cu berdua Ketika mendadak dilihatnya kerudung kepala Khu Tong-lok terlepas jatuh, segera ia bergelak tertawa sambil mengolok-olok.

   "Hahaha, lihatlah, ada siluman jelek tak bertelinga!"

   Malu bercampur gusar Khu Tong-lok, tapi apa daya ia sendiri sedang merasa payah. Mendadak ia pura-pura menyerang sekali, lalu segera ia putar tubuh hendak lari.

   "Hm, hendak lari kemana?"

   Jengek le Lan-cu.

   Gadis ini sudah pernah mendengar dari Leng Bwe-hong tentang keganasan Khu Tong-lok, maka tidak sungkan lagi baginya, ketika ia memburu maju, sekali pedangnya berkelebat, tahutahu ujung pedangnya sudah menyambar sampai di punggung orang.

   Dalam kaburnya itu Khu Tong-lok masih coba menyam-puk ke belakang dengan goloknya, tapi luput, sebaliknya kelima jarinya dengan tepat malah tertabas kutung.

   Ketika pedang Lan-cu membarengi didorong ke depan terus memotong ke bawah, kembali kaki kanan Tong-lok terkurung lagi.

   Kedua gerak serangan Lan-cu itu secepat kilat, gadis ini sendiri tidak menduga bahwa ilmu pedang ajaran Pek-hoat Mo-li itu bisa begitu ganas tak kenal ampun, maka sesudah berhasil merobohkan musuh dan melihat Tong-lok kelejetan di tanah, ia menjadi tak tega, lekas ia menambahi sekali tusuk menghabisi nyawa orang.

   "Ya, dahulu waktu aku masih bayi, kau sudah hendak membunuhku, syukur ada Leng-sioksiok yang melindungi aku, dan karena itu ia hampir kena kaubunuh. Kini kau pun merasakan senjataku, hal ini tak dapat kau sesalkan aku,"

   Demikian kata Lan-cu.

   Habis itu, sekali depak, ia tendang mayat musuh, itu ke samping, lalu dengan menjinjing pedangnya terus maju ke kalangan pertempuran tadi.

   Sementara itu bayangkara gendut itu, The Tay-kun, meski terhitung jago pilihan juga dari kerajaan, tapi ia pun tak tahan oleh rangsekan sepasang 'Liu-sing-tui' Li Jiak-sim, ketika didengarnya suara jeritan ngeri Khu Tong-lok, ia menjadi tambah gugup dan takut, mendadak dengan gerak tipu 'Gioktai- jiau-yo' atau tali sabuk melilit pinggang, ruyungnya cepat menyabet kaki Li Jiak-sim, dengan menyerang sebenarnya tujuannya hendak angkat langkah seribu alias kabur.

   Tapi Jiak-sim dapat meraba maksud musuh, ia tidak berkelit, sebaliknya sebelah bandulannya ia ayun memapak ruyung orang, dan tak terhindarkan lagi benturan kedua senjata itu, tali baja Liu-sing-tui membelit kencang ruyung musuh beberapa gu-bstan.

   "Naik!"

   Gertak Jiak-sim mendadak, berbareng itu sekuat tenaga ia mengayun tali senjatanya itu hingga The Tay-kun terlempar ke udara, waktu jatuh ke bawah, segera ia dipapak Ie Lan-cu yang menambahi sekali tusuk, dan tamatlah riwayatnya.

   Dalam pada itu Seng Thian-ting yang masih menempur Bu Ging-yao dengan sengit, keadaan masih belum dapat dipastikan siapa bakal unggul atau asor.

   Waktu melihat kawannya sudah melayang jiwanya, pula Li Jiak-sim dan le Lan-cu telah merubung maju, tiba-tiba Thianting tertawa dingin sambil berteriak.

   "Hayolah, kalian boleh maju saja sekalian! Biar matipun aku berharga sebagai ksatria."

   "Fui!"

   Damprat Ging-yao tertawa.

   "Menempur aku saja kau tak unggulan, masih berani menepuk dada apa?"

   Menyusul itu, bertubi-tubi ia melontarkan tiga kali serangan pula membabat pinggang, menikam iga dan menusuk dada, serangannya lihai luar biasa.

   Tapi Seng Thian-ting bisa melayani lawan dengan penuh perhatian, sepasang potlot bajanya diputar sedemikian rapatnya tanpa lubang sedikitpun.

   Menyaksikan itu, mau tak mau Li Jiak-sim terpesona, ia sudah belajar kenal dengan kepandaian Seng Thian-ting tadi, maka ia harus kagum terhadap ilmu silat Bu Ging-yao, sungguh sama sekali tak diduganya si nona kecil ini memiliki kiam-hoat yang begini bagus.

   Setelah pertempuran berlangsung lagi, melihat Li Jiak-sim dan Ie Lan-cu tidak ikut mengembut, barulah Thian-ting rada lega.

   Waktu kedua potlotnya menyambar dari samping, dengan tipu 'Tay-peng-tian-ih' atau burung garuda pentang sayap, mendadak ia menutul ke kanan dan kiri.

   Namun Ging-yao sudah berjaga, ia tidak menyingkir sebaliknya ia melangkah maju terus menusuk ke tengah malah.

   Tak tahunya Seng Thian-ting memang sudah jago kawakan, serangan tadi hanya pancingan belaka, ketika kedua potlotnya sudah diulur ke depan, mendadak dari kanan dan kiri terus memutar kembali ke tengah.

   Maka terdengarlah suara "trang"

   Yang nyaring dibarengi letikan lelatu api. Dan ketika Ging-yao hendak menarik pedang ganti serangan, tahutahu Seng Thian-ting sudah melompat keluar kalangan dan mendadak menubruk ke arah Li Jiak-sim.

   "Lari kemana?"

   Bentak Ging-yao gusar terus memburu maju.

   Pada saat itu juga le Lan-cu juga memotong dari samping hingga Seng Thian-ting tergencet.

   Tapi serangan Thian-ting itu ternyata mengincar titik kelemahan pihak lawan, Li Jiak-sim sama sekali tak berjaga, maka ketika diterjang Seng Thian-ting, ia menjadi kelabakan, waktu senjata Liu-sing-tui ditimpukkan, tahu-tahu potlot musuh sudah sampai di depan dadanya.

   Dalam keadaan maha berbahaya itu, secepat kilat Li Jiaksim masih keburu menggeliatkan tubuh ke kanan, namun sekejap itu juga Seng Thian-ting sudah menyerobot sampai di sebelan kanannya, ketika ia mendorong sekuatnya dengan tepat sambil membentak.

   "Pergi!"

   Maka terpentallah Li Jiaksim ke atas bagai melayang di awang-awang dan persis menuju ke arah Bu Ging-yao.

   Dengan tersipu-sipu Ging-yao melepaskan pedangnya, ke tanah lalu kedua tangannya dipakai menyangga orang.

   Ketika mendadak Jiak-sim merasa dirinya kena dirangkul orang dan dadanya menyentuh tempat yang lunak empuk malah sayup-sayup berbau wangi pula, ia menjadi jengah tercampur gugup, lekas ia meronta melepaskan diri.

   Dan kesempatan itu digunakan Seng Thian-ting untuk melarikan diri.

   "Sayang, sayang, sungguh sayang!"

   Demikian kata Lan-cu gegetun. Sementara itu dengan muka merah jengah Li Jiak-sim meminta maaf pada Bu Ging-yao. Katanya.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Maafkan nona, ke-pandaianku tak becus hingga malah membikin susah nona!"

   "Ah, Li-kongcu suka merendah saja,"

   Sahut Ging-yao tertawa. Jiak-sim bertambah malu bila teringat percakapan yang pernah dilakukannya dalam perjalanan itu.

   "Sungguh aku benar-benar buta melek, tak menduga bahwa nona memiliki kepandaian begini tinggi!"

   Demikian katanya lagi kikuk. Namun Ging-yao tetap tersenyum saja.

   "Bikin perjalanan bersama setengah harian, tapi namamu masih belum kuketahui,"

   Ujarnya. Menyaksikan gadis ini membinasakan bayangkara kerajaan, Jiak-sim menduga tentu orang golongan sendiri, maka ia pun tidak perlu berbohong lagi dan memberitahukan nama aslinya.

   "Ah, kiranya Li-kongcu adanya, sering Leng-sioksiok menyebutmu!"

   Seru Lan-cu cepat.

   "Ya, melihat permainan kiam-hoat nona tadi serupa dengan kiam-boat Leng-tayhiap, entah pernah apa nona dengan dia?"

   Tanya Jiak-sim.

   "Ia adalah Sute ayahku,"

   Sahut Lan-cu.

   "O, kiranya puteri Njo-tayhiap,"

   Kata Jiak-sim girang bercampur heran.

   "Ayahmu adalah orang yang paling kukagumi selama hidup, waktu aku mendapat laporan kilat dari Thio Jing-guan di Sucwan dan mengetahui nona tertawan musuh dan dipenjarakan, aku pun sangat kuatir. Dan kini selamatlah nona sudah terbebas dari bahaya, entah Lengtayhiap apakah juga berada di sekitar sini?' Karena pertanyaan terakhir ini, tiba-tiba wajah Lan-cu menjadi guram.

   "Aku sendiri juga lagi mencari dia,"

   Sahutnya kemudian.

   "Li-kongcu,"

   Kata Ging-yao tiba-tiba tertawa sambil bertepuk tangan.

   "Memangnya sejak tadi aku sudah menduga kau adanya. Ayanku menyuruh menyambut kau di sini, nyatanya sekali bertemu sudah benar orangnya."

   "Eh, kiranya ayahmu adalah 'Wi-tin-sam-pian' Bu Goan-ing, Bu-cengcu?"

   Seru Jiak-sim cepat.

   "Ya, betul dugaanmu,"

   Kata Ging-yao.

   Bu Goan-ing adalah sahabat kental Pho Jing-cu, maka ketika Jing-cu bersama Jiak-sim akan masuk daerah Sinkiang, lebih dulu sudah mengirim orang menghubunginya dan minta Bu Goan-ing mengumpulkan para saudara anggota Thian-tehwe di daerah barat-daya agar Li Jiak-sim punya tempat pangkalan untuk membangun kembali pergerakannya.

   Li Jiak-sim sendiri juga sudah mendengar nama Bu Goaning yang berbudi, sudah lama ia ingin sekali bisa bertemu.

   "Dan kenapa Pho-pepek belum tampak datang?"

   Tanya Ging-yao kemudian.

   Ketika Jiak-sim memandang dari tempat yang agak tinggi, tiba-tiba dilihatnya arah darimana ia datang tadi lapat-lapat ada asap mengepul.

   Ia heran dan ragu, tiba-tiba dilihatnya pula ada beberapa sinar api biru yang lemah menjulang ke angkasa, dan hanya sekejap saja sudah lenyap.

   "Celaka, tentunya mereka sedang dikepung musuh!"

   Lekas Jiak-sim berseru.

   "Api biru itu adalah api 'Coa-yam-ci (panah berapi panjang) milik Lauw Yu-hong!"

   Karena itu, cepat Bu Ging-yao memilih seekor kuda tinggalan kawanan bayangkara tadi untuk Ie Lan-cu lalu mereka bertiga lantas berangkat ke tempat asap mengepul itu.

   Mengenai Pho Jing-cu dan Lauw Yu-hong, sesudah a-ngin puyuh gurun pasir itu reda, namun Li Jiak-sim telah lenyap, keruan mereka sangat kuatir.

   "Beberapa tahun pernah aku tinggal di Sinkiang, maka aku masih bisa mengenal jalan di sini,"

   Demikian kata Ciok Thiansing yang ikut dalam rombongan mereka itu.

   "Di depan sana adalah kota Yanci, marilah kita ke sana dulu untuk menunggu Li-kongcw. Kalau masih belum kembali, biar kita terus menuju ke tempat Bu Goan-ing dan suruh dia mengirim orangnya bantu mencari, dengan begitu rasanya tidak nanti terpencar."

   Begitulah, maka rombongan mereka yang berjumlah beksan orang itu lantas melanjutkan perjalanan dengan Ciok Thian-sing sebagai penunjuk jalan. Tak jauh mereka berjalan, tiba-tiba di belakang mereka terlihat debu mengepul tinggi.

   "Aneh, hari sudah petang, masih ada orang melintasi gurun hendak berburu?"

   Ujar Thian-sing heran.

   Meruang rakyat penggembala di padang rumput seringkali keluar berkelompok untuk berburu binatang atau mencari iadang rumput untuk menggembala kuda, maka Thian-sing menduga begitu.

   Siapa tahu, ketika Pho Jing-cu menegas ke belakang dari jauh, tiba-tiba ia berteriak kaget.

   "He, tampaknya seperti pasukan Boan! Lekas kita lari, lekas!"

   Tapi belum sempat mereka k?' , jauh, beberapa perintis jalan pasukan itu sudah m mbr . datang secepat terbang, dan yang menjadi pemimpin ternyata Coh fjiau-lam adanya. Tentu saja Pho Jinp-cu sangat terkejut, cepat juga pedangnya sudah diloios.

   "Kau rebut pedangnya!"

   Kata Ciau-lam tiba-tiba sambil menuding Lauw Yu-hong. Habis itu, seorang tua kurus kecil berbaju belacu yang besar lebar, macamnya sanga". lucu dan aneh, tak kelihatan orangnya bergerak, tapi tahu-tah"

   Dsngan enteng dan cepat sekali orang tua itu sudah sampai $ depan Lauw Yu-hong, lalu kedua tangannya terus mencengkeram.

   Sudah tentu Pho Jing-cu tidak tinggal diam, ia membentak sambil menusuk, serangan jitu lagi cepat ini ternyata mengenai tempat kosong, sebaliknya orang aneh itu sudah memutar sampai di belakang Lauw Yu-hong.

   Waktu untuk kedua kalinya pedang Pho Jing-cu menyambar, namun kena ditangkis Coh Ciau-lam.

   Dan pada saat itulah lantas terdengar teriakan Lauw Yu-hong bersama manusia aneh itu berbareng.

   "Besar sekali nyalimu, Sin Liong-cu!"

   Dalam pada itu terdengar Ciok Thian-sing membentak.

   Di lain pihak ketika mendengar jeritan Yu-hong tadi, mendadak Pho Jing-cu meninggalkan Coh Ciau-lam, lalu lengan bajunya yang lebar itu terus menyabet ke muka orang aneh itu, sedang pedangnya secepat kilat menusuk juga menerobos dari bawah lengan bajunya.

   Ini adalah tipu serangan 'Hui-in-siu-te-kiam' atau tusukan pedang di bawah lengan baju secepat awan meluncur.

   Baik lengan baju maupun pedang semuanya digunakan menyerang sekaligus.

   Namun berkat ilmu silat dan gerak tubuhnya yang aneh, manusia kosen itu bisa membungkuk dan menyelusup lewat di bawah lengan baju Pho Jing-cu.

   Tapi pada saat itu juga Ciok Thian-sing dan Ciok-toanio berbareng sudah menubruk datang, kedua kaki Thian-sing melayang susul-menyusul, menendang secara berantai, begitu pula Ciok-toanio dengan ilmu pedangnya Ngo-kim-kiam-hoat terus memotong ke atas kepala orang.

   Tak terduga manusia aneh itu masih dapat mengelakkan diri sambil melompat mundur, namun segera ia pun merasakan pergelangan tangannya sakit jarem, kiranya lengan baju Pho Jing-cu yang panjang hidup cepat sekali sudah menyabet lagi, ketika ia menghindari serangan suami-isteri Ciok Thian-sing itu.

   Dalam keadaan begitu, meski ilmu silat orang aneh itu sangat tinggi, susah juga sekaligus hendak mengelakkan serangan tiga jago terkemuka maka pergelangan tangannya tergubet oleh ujung lengan baju Pho Jing-cu hingga Pokiam atau pedang pusaka yang dapat direbutnya dari Lauw Yu-hong tadi tahu-tahu terpental dari cekalannya.

   Melihat ada kesempatan, Coh Ciau-lam tak menyia-nyia-kan lagi, mendadak ia melompat ke atas terus menyambar pedang pusaka itu.

   Nyata pedang 'Yu-liong-pokiam' yang tadinya dirampas Leng Bwe-hong dan oleh Bwe-hong diserahkan pada Lauw Yu-hong itu, kini telah 'balik kandang' jatuh kembali ke tangan Coh Ciau-lam sendiri.

   Segera Ciok-toanio memapak orang dengan sekali tusukan ketika Ciau-lam masih terapung di udara, namun C iau- lam bukanlah jagoan kalau ia gampang diarah.

   sambil berjumpalitan di atas, dengan enteng saja orangnya sudah turun ke samping dengan tertawa terbahak.

   Dan waktu ia memberi tanda, rombongan penunggang kuda yang dipimpinnya itu lantas membanjir maju mengembut Manusia aneh itu memang betul adalah Sute Ciok Thiansing, yaitu ahli-waris Toh It-hang, Sin Liong-cu adanya.

   Sesudah Sin Liong-cu memperoleh ajaran asli '108 jurus ilmu pukulan Tat-rmo', ia menjadi ingin sekali mempunyai pedang pusaka.

   Tatkala itu kebetulan Coh Ciau-lam dititahkan Kaisar ikut dalam pasukaa panglima besar Futunuk yang menjajah ke Sinkiang.

   Waktu masih berada di Thian-san, Ciau-lam adalah sahabat karib Sin Liong-cu, maka sengaja Sin Liong-cu datang mencarinya minta ikut dicarikan sebatang pedang bagus.

   Tiba-tiba pikiran Ciau-lam tergerak oleh keinginan orang itu.

   Katanya segera.

   "Pedangku 'Yu-iiong-kiam' itu sebenarnya adalah pusaka guruku Hui-bing Siansu yang merupakan satu dari dua pedang Thian-san, tentu kau sudah pernah melihatnya. Tapi boleh kuberikan padamu, assl kau mampu mengambilnya dengan kepandaianrnu sendiri."

   "Coh Ciau-lam,"

   Teriak Sisi Liong-cu mendadak dengan mata melotot.

   "Apa kau ingin mengujiku? Yu-liong-kiam adalah barang kesayanganmu, toh aku tidak minta padamu, hendak merebut aku pun melulu mencari milik orang lain, apakah kaukira aku mengincar barangmu? Bagas, jika kau berani menghinaku, marilah aku jadi benar-benar ingin menjajalmu, mari kita coba kupunya kepandaian sanggup untuk merebut pedangmu atau tidak?"

   Akan tetapi Ciau-lam lekas menerangkan atas kesalah-pahaman Sin Liong-cu sambil tertawa.

   "Sin-toako, agaknya kau belum tahu persoalannya, maka jangan gusar dulu. Pedangku itu sudah kena direbut orang, maka bila kau sanggup merebutnya kembali, dengan sendirinya aku akan memberikan padamu dengan suka hati."

   "Ha? Pedangmu direbut orang?"

   Seru Sin Liong-cu heran "Siapa orangnya yang berani merebut pedangmu itu?" ,cLengBwe-hong!"

   Sahut Ciau-lam singkat..

   Wajah Sin Liong-cu menjadi guram demi mendengar nama Leng Bwe-hong disebut, ia terdiam tak berkata.

   Ya, ilmu silat Leng Bwe-hong sudah pernah dikenalnya, ia sendiri cukup tahu tak mampu merebut pedang dari tangan Leng Bwe-hong.

   "Tapi jangan kuatir, Sin-toako,"

   Kata Ciau-lam pula tertawa.

   "Aku sudah menyelidiki dengan terang bahwa pedang itu oleh Leng Bwe-hong telah dihadiahkan lagi kepada seorang wanita, dan wanita itu bukan lain ialah pemimpin bandit di daerah selatan dahulu yang bernama Lauw Yu-hong."

   "Belum pernah aku mendengar nama itu,"

   Ujar Sin Liong-cu geleng kepala.

   "Tinggi tidak ilmu silatnya?"

   "Ya, tentu saja kau tak kenal nama itu, sudah ada 30-an tahun kau tak pernah masuk pedalaman,"

   Kata Ciau-lam pula.

   "Ilmu silat Lauw Yu-hong meski tak lemah, tapi ia masih bukan tandingan kita."

   "Jika begitu, kenapa tak kau sendiri yang merebutnya kembali?"

   Tanya Sin Liong-cu.

   "Memang aku sedang mencarinya,"

   Sahut Ciau-lam.

   "Aku sudah menyelidiki dengan jelas bahwa Lauw Yu-hong bersama kawannya telah masuk Sinkiang dari Sucwan, dan sekarang aku membawa orang-orangku lagi hendak mencegat mereka. Dan di antara rombongan mereka itu ada terdapat beberapa jago pilihan."

   "Ha, meski ada 30-an tahun aku tak masuk pedalaman, tapi aku tak percaya di jagad ini masih terdapat seorang Leng Bwe-hong kedua!"

   Ujar Sin Liong-cu tertawa.

   "Biar mereka ada berapa banyak jago pilihan, rasanya kita berdua pasti tak akan gentar bukan? Nah, baiklah, sekali kata kita tetapkan janji, asal pedang pusaka sudah kurebut, segera aku pun pergi mencari Leng Bwe-hong untuk menentukan siapa unggul dan asor."

   Nyata sejak hari Sin Liong-cu menempur sama kuat di atas Thian-san melawan Bwe-hong, ia mengerti ilmu pukulannya tak mampu menangkan orang, maka ia berkeras ingin berlatih baik-baik Tat-mo-kiam-hoat atau ilmu pedang ajaran Tat-mo, untuk kemudian mengukur kepandaian lagi dengan Leng Bwehong.

   Dan setelah menggunakan pedang pusaka sebagai umpan hingga Sin Liong-cu dapat diambil hatinya untuk diperalat, suatu hari Ciau-lam mendapat laporan bahwa rombongan Li Jiak-sim lagi menuju ke Turfan, segera ia memilih seribu serdadunya dan beberapa jago bayangkara.

   Sin Liong-cu lalu diajaknya pula untuk mencegat musuh di tengah jalan.

   Dan kebetulan telah bertemu angin puyuh hingga kedua belah pihak saling tepergok, barulah Pho Jing-cu dan kawan-kawan mengetahui, maka pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi.

   Gerak tubuh Sin Liong-cu memang cepat luar biasa, begini turun tangan segera Pokiam yang dipegang Lauw Yu-hong hendak direbutnya Tapi Yu-hong adalah tokoh Bu-kek-pay, ilmu silatnya juga tidak lemah, sebenarnya tak nanti dalam dua-tiga gebrakan senjatanya sudah kena dilucuti orang, namun tadi ketika ia menghantam tidak mengenai sasaran dan Ciok Thian-sing keburu mengenali sang Sute dan berteriak kaget, karena itulah Yu-hong sedikit tertegun hingga sekejap itu pula pedangnya sudah berpindah ke tangan musuh.

   Kembali tadi, ketika Coh Ciaw !am mengerahkan pasukan pilihannya terus menerjang maju, segera Pho Jing-cu memberi tanda juga pada kawannya terus berusaha kabur ke depan.

   Dalam pada itu Sin Liong-cu ternyata berdiri terpaku saja di tempatnya tak mengejar.

   "He, bukankah di antara mereka masih ada pokiam, hayolah, rebut lagi sebuah!"

   Segera Ciau-lam meneriakinya. Sementara itu watak Thian-siag yang keras berangasan, sambil kabur di atas kudanya ia masih menoleh tenis mendamprat sang Sute.

   "Sin Liong-cu, apakah kau hendak mengkhianati perguruan dan menjual kawan? Apakah larangan Bu-tong-pay kita sudah kaulupakan seluruhnya?"

   Sesama saudara perguruan, Sin Liong-cu lebih dulu masuk piatu, cuma usia Thian-sing saja yang lebih tua, pak berguru dalam keadaan sudah mahir silat, maka Toh It-hang tiiak menurut urutan siapa masuk perguruan dulu, melainkan menurut u-mur, dan Sin Liong-cu diharuskan memanggil Thian-sing sebagai Suheng.

   Namun hakikatnya Sin Liong-cu sama sekali tak memandang sebelah mata pada Suhengnya ini, pula Thian-sing hanya beberapa tahun saja di perguruan Toh It-hang, dan yang dipelajari hanya dua macam kepandaian, yaitu 'Kiu-kiong-sin-heng-cLo' dan 'Wan-yang lian-goan-tui', sebaliknya Sin Liong-cu lebih 30 tahun berguru pada Toh It-hang dan memperoleh seluruh kepandaiannya Apalagi paling akhir ini dapat dipelajari pula 108 jurus ilmu pukulan Tat-mo, tidak saja ia menganggap dirinya sendiri sebagai ahli-waris Toh It-hang, bahkan ia sudah berlaku sebagai Ciangbunjin atau Ketua Bu-tong-pay, malahan bermimpi hendak menjadi ahli pedang nomor satu di jagad ini, sudah tentu tak nanti ia mau menuruti 'ajaran' Thian-sing tadi.

   Masih baik bila Thian-sing tidak buka suara, tapi karena kata-katanya tadi, segera Sin Liong-cu melayang maju malah, ketika kedua matanya melotot, dengan tertawa aneh segera ia berkata "Ha dari Suhu kau hanya dapat mempelajari dua macam kepandaian lantas berani kau main gagah-gagahan? Sejak kau keluar pintu perguruan, selama lebih 20-an tahun tak pernah kau injak Thian-san lagi, siapakah yang mendampingi hingga saat terakhir Suhu? Dan sudah tak tahu, masih berani kau menonjolkan nama Suhu untuk menggertak padaku?"

   Sembari berkata, kedua tangannya ternyata tidak pernah lambat juga secara bertubi-tubi ia terus mencecar Thian-sing dengan pukulan berbahaya.

   Tentu saja Thian-sing menjadi gusar, mendadak ia melompat turun dari kudanya terus menubruk ke arah orang, tangan kanan ia ayun ke samping, tangan kiri tahu-tahu menjotos ke dagu orang.

   Bergelak tertawa Sin Liong-cu oleh pukulan itu, sedikit tubuhnya menggeliat, tiba-tiba kedua jarinya malah menotok ke iga Thian-sing dengan tujuan merobohkan sang Suheng biar ditertawai orang.

   Melihat suaminya terancam bahaya Ciok-toanio menjadi gugup, tanpa pikir lagi ia pun melayang turun dari kudanya dengan tipu 'Liong-bun-ko-long' atau bermain ombak di gerbang naga pedangnya secepat kilat menusuk punggung Sin Liong-cu.

   Ciok-toanio adalah puteri kesayangan pendekar besar Yap Hun-sun, selama puluhan tahun ini terus meyakinkan ilmu pe iang Ngo-lam-kiam-hoat warisan ayahnya yang hebat dan masih jauh di atas Ciok Thian-sing, dengan sendirinya serangannya tadi tidak dapat dipandang enteng.

   Tapi demi mendengar sambaran angin dari belakang, segera Sin Liong-cu tahu serangan hebat mendatangi, tibatiba ia menekuk tubuh melompat ke depan.

   Saat itu juga senjata rahasia Lauw Yu-hong yang tunggal 'Kim-hun-tau', jaring berkait, cepat juga menimpuk ke atas kepalanya.

   Tapi sekali pukul ke samping, dengan angin pukulannya Sin Liongcu dapat membikin jaring kawat itu tergoncang pergi, dan karena sedikit me-lengnya itulah, terdengarlah segera suara "bret,"

   Tahu-tahu lengan bajunya sudah sobek tertembus pedang Ciok-toanio. Lekas Sin Liong-cu menggeser pergi sambil mengumpat habis-habisan. Masih Ciok-toanio hendak rnerangsek maju, namun orang-orang Coh Ciau-lam segera merubung datang juga.

   "Lekas mundur!"

   Teriak Pho Jing-cu, berbareng pedangnya berputar, beberapa serdadu musuh kena dibinasakan, ia memimpin kawan-kawannya menerjang ke tempat luang itu.

   Kedua pihak sama-sama berkuda dan kuat, kejar-mengejar di padang pasir luas itu segera terj di.

   Pho Jing-cu, Ciok Thian-sing suami-isteri, Han Ring dan kawan-kawan semuanya adalah jago kelas satu, sembari meny^mpuk senjata rahasia musuh, kadang mereka pun balas menimpukkan senjata rahasia ke belakang.

   Udak-udakan di gurun luas ini terus berlangsung lama.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tiba-tiba Thian-sing menunjuk ke depan dan berkata pada Pho Jing-cu.

   "Di sana ada sebuah 'Honghwe- tay' (mercu api), mari kita bertahan ke dalam sana, sesidth kita kumpulkan tenaga, malamnya kita menerjang keluar lagi."

   Sehabis serangan angin topan itu, mereka sesungguhnya sudah sangat lelah, kini harus melawan seribu serdadu musuh, sudah tentu tidak kuat, melulu lari dikejar saja pada akhirnya pasti akan disusul juga.

   "Baiklah, tiada jalan lain!"

   Terpaksa Pho Jing-cu setuju.

   Maka bersama kawan-kawan itu, beramai mereka lantas menyerbu ke dalam mercu itu.

   'Hong-hwe-tay' atau mercu api, bentuknya lancip mirip piramid, asarnya dibangun untuk keperluan militer, bila ada perlu, penjaga mercu menyalakan api untuk memberi tanda.

   Dan mercu itu hanya dijaga 7-8 serdadu, tentu saja tidak susah, mereka kena dilempar keluar oleh Pho Jing-cu, segera mereka menutup rapat pintu kubu rampasan ini dan menjaga di tingkat atas.

   Waktu Coh Ciau-lam memburu datang bersama pasukannya, namun mercu itu tingginya 5-6 tombak, kalau ilmu mengentengkan tubuh tidak bagus, tidak mudah untuk melompat ke atas.

   Ciau-lam dan Sin Liong-cu sudah tentu sanggup, tapi di atas sana ada Pho Jing-cu, Ciok Thiansing dan Han Hing yang merupakan jagoan kelas satu, hanya mereka berdua yang naik ke atas pasti tak sanggup melawan.

   Karena itu, untuk sementara kedua pihak menjadi saling bertahan.

    "Ha, asal kita mengepung tiga hari tiga malam, tidak mati lelah, pasti mereka akan mati kelaparan juga,"

   Ujar Ciau-lam tertawa.

   Lalu ia bagi pasukannya menjadi tiga kelompok dan menjaga bergiliran, ia sendiri lantas memasang kemah dan pergi mengaso.

   Tapi baru Ciau-lam masuk perkemahannya, segera Sin Liong-cu sudah menyusul datang hendak minta pedang padanya.

   "Bukankah kita sudah berjanji baik-baik, jika kau bisa merebutnya sendiri, barulah menjadi milikmu, bukan?"

   Kata Ciau-lam tertawa.

   "Bukan aku yang merebutnya, maksudmu? Lalu, apa kau sendiri yang merebutnya?"

   Sahut Sin Liong-cu penasaran.

   "Betul kau yang merebutnya dari tangan Lauw Yu-hong, tapi musuh berhasil pula merampas dari tanganmu,"

   Demikian ujar Ciau-lam.

   "Kalau bukan aku menggunakan ilmu mengentengkan tubuh dan mendahului menyambarnya, bukankah akan jatuh ke tangan musuh pula? Ah, sudahlah, Sin-toako, betapapun pedang ini adalah pemberian guruku, kita adalah sobat lama, sejak kecil kita sudah teman bermain di Thian-san, anggaplah aku menerima kebaikanmu, biarlah kuterima kembali pedangku ini. Bila kau menginginkan pedang, aku tanggung, sebab aku tahu masih ada banyak pedang pusaka, kelak pasti aku membantumu merebutnya."

   Karena tak berdaya, terpaksa Sin Liong-cu menyanggupi.

   Kembali mengenai Li Jiak-sim, Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao bertiga, setelah mereka melarikan kuda dengan cepat ke tempat asap mengepul, kira-kira sejam kemudian, tibalah mereka sampai di luar mercu api itu.

   Tapi demi nampak kubu itu terkepung rapat oleh pasukan musuh, mau tak mau mereka mengeluh.

   "Bagaimana jika kita menerjang ke sana untuk menolong keluar mereka?"

   Ging-yao mengusulkan. Namun Jiak-sim berpikir.

   "Jika Pho Jing-cu dan kawankawan mau menerjang keluar, hanya pasukan musuh ini saja tak nanti bisa merintanginya,"

   Demikian katanya kemudian.

   "Dan kini mereka bisa terkurung di dalam sana agaknya dalam pasukan musuh terdapat jago berilmu tinggi."

   Dan belum bisa mereka mengambil keputusan, pasukan patroli musuh sudah memergoki mereka, berpuluh serdadu musuh segera menerjang datang.

   Cepat Ging-yao menghamburkan senjata rahasia 'Cat-hun-ting' atau paku pencabut nyawa, dan 5-6 orang kena dirobohkan, pedang Lan-cu juga berhasil membinasakan beberapa serdadu lain, namun pasukan musuh itu makin lama makin membanjir hingga akhirnya mereka bertiga terkepung di suatu bukit pasir.

   Dengan begitu, bila serdadu musuh berani mendekat, segera Jiak-sim mengayun bandulannya menghantam kepala orang.

   Senjata rahasia paku Bu Ging-yao juga sangat lihai, cuma sayang tak bisa mencapai jauh.

   Namun pasukan musuh terus mengepung dari jarak belasan tombak dan menghujani mereka dengan panah, lekas Jiak-sim dan Ging-yao memutar senjata buat menyampuk panah-panah yang menghambur datang, sedang Lan-cu menggunakan pedangnya menggali sebuah parit dan mereka pun bisa berlindung di dalamnya dengan demikian kadang mereka bisa menggunakan panah rampasan untuk membalas musuh.

   Melihat ketiga orang ini begini lihai, sembari terus mengepung, segera serdadu musuh ada yang kembali melapor.

   Sang surya di padang rumput sudah terbenam, dewi malam melengkung sabit baru saja muncul di ujung langit.

   "Celaka, dalam pasukan musuh benar-benar ada jago berilmu tinggi!"

   Teriak Ging-yao kaget mendadak.

   Waktu Jiak-sim melongok ke depan, betul juga dilihatnya ada seorang kakek yang berjalan sempoyongan dan terhuyung-huyung bagai orang mabuk arak sedang berlari mendatangi.

   Terkejut juga, Li Jiak-sim, ia tak mengerti gerak tubuh musuh yang datang ini.

   Dan sekejap saja orang tua itu sudah menerjang naik ke bukit dimana mereka bersembunyi.

   Cepat Ging-yao menyambut dengan tiga buah pakunya yang lihai, tapi sekali orang itu mengebas lengan bajunya terdengarlah suara gemerincing beberapa kali, tiga paku itu kena tersampuk jatuh saling bentur.

   Dalam pada itu Liu-singtui Li Jiak-sim sudah ditumpukkan juga.

   Tapi sedikit orang tua aneh itu mengegos, berbareng kedua jarinya mengulur terus menjepit, disusul dengan suara tertawanya yang terbahakbahak, tahu-tahu Jiak-sim merasa pegangan tangannya menjadi enteng, ternyata tali senjatanya yang terbuat dari baja itu sudah terjepit putus.

   Orang tua itu memang bukan lain daripada Sin Liong-cu.

   Dengan setengah Liu-sing-tui yang dijepitnya dari Li Jiak-sim itu, tiba-tiba ia menggunakan senjata itu terus menyabet ke depan.

   Lan-cu menjadi gusar, sekali ia membentak, pedang pusakanya berbareng menangkis hingga tali Liu-sing-tui itu lagi-lagi terputus dan pangkal bandulnya jatuh ke tanah.

   Menyusul mana Lan-cu terus menubruk maju pula dengan gerak tipu Tn-liong-sam-hian' atau naga sakti muncul di awan tiga kali, sekali serang tiga macam gaya sinar pedangnya gemerlapan secepat kilat menyambar ke muka musuh.

   "Bagus!"

   Seru Sin Liong-cu, tubuhnya berbareng mencelat setinggi setombak lebih dan turun ke sudut samping.

   Tentu saja Ging-yao tidak tinggal diam, segera ia menusuk, siapa duga ketika ujung pedangnya hampir mengenai sasarannya tahu-tahu orangnya sudah menghilang.

   Namun Ging-yao tidak menjadi gugup, ia memutar cepat hingga pedangnya menerbitkan sebuah lingkaran sinar.

   Karena itu, Sin Liong-cu dipaksa mundur ke belakang, sedang pedang Ie Lan-cu sementara itu telah menyerang pula dari samping lain.

   "Haha, kembali menemukan Pokiam lagi!"

   Tiba-tiba Sin Liong-cu bergolak tertawa.

   Berbareng itu, orangnya lantas menubruk maju malah, di bawah sinar pedang musuh yang menyambar itu, mendadak ia menghantam kepala Lan-cu.

   Terpaksa gadis itu melompat mundur sambil memutar tubuh, dengan tipu 'Pek-ho-keng-ih' atau bangau putih menyisik bulu, tiba-tiba ia juga balas memotong pergelangan tangan musuh.

   Keras lawan keras, serang dibalas menyerang, sesungguhnya sangat berbahaya.

   Karena itulah Sin Liong-cu bersuara heran, tiba-tiba ia menggeliatkan tubuh dan diam-diam menggeser langkah, waktu mendadak ia melompat, tahu-tahu orangnya menyelinap sampai ke belakang Ie Lan-cu, lalu kedua kepalan berbareng memukul dengan tipu 'Lian-goan-chit-sing-tui' atau pukulan martil bintang tujuh berantai, suatu tipu paling ganas dari ilmu pukulan Tat-mo, punggung gadis itu hendak dihantamnya keras-keras.

   Syukur pada saat yang berbahaya itu, pedang Bu Ging-yao bagai elang menubruk dari udara, tahu-tahu menyambar datang.

   Terpaksa Sin Liong-cu berkelit cepat dan kembali kedua tangannya terpentang terus memukul pula ke depan hingga senjata Ging-yao tergoncang pergi oleh angin pukulannya.

   Kesempatan itu digunakan Sin Liong-cu untuk menerobos pergi sambil membentak.

   "Hai, darimana kau dapat mencuri belajar ilmu pedang Pek-hoat Mo-li?"

   Kiranya Sin Liong-cu sama sekali tak kenal Bu Ging-yao yang hanya belajar tiga tahun saja pada Pek-hoat Mo-li, sebab waktu itu ia sedang duduk semadi di Lok-to-hong menunggui mekarnya bunga sakti.

   Waktu Sin Liong-cu masuk perguruan, tatkala itu juga Toh It-hang lagi diuber-uber Pek-hoat Mo-li hendak diusirnya keluar Sinkiang.

   Sin Liong-cu paling berbakti pada gurunya, maka ia menjadi sangat benci juga pada Pekhoat Mo-li.

   Dan ketika Toh It-hang wafat, barulah diketahuinya sang guru sebenarnya adalah sahabat baik Pek-hoat Mo-li, namun dalam hati ia tetap penasaran mengapa orang berani mengusir gurunya.

   Sebenarnya bila Tat-mo-kiam-hoat sudah dilatihnya masak-masak dan sudah memetik bunga sakti itu, ia hendak pergi menjumpai Pek-hoat Mo-li seperti pesan gurunya, sekaligus ia bermaksud menantang adu pedang untuk melampiaskan rasa dongkol mendiang gurunya.

   Siapa duga di Lok-to-hong ia telah dikalahkan Leng Bwe-hong hingga hatinya menjadi dingin.

   "Hm, peduli apa kau!"

   Demikian Ging-yao menjawab bentakan orang tadi.

   Berbareng itu beruntun tiga serangan kilat ia lontarkan pula hingga Sin Liong-cu terpaksa berputar cepat menuruti gaya serangan si gadis, namun tetap ujung bajunya tak dapat disenggol pedang Bu Ging-yao.

   Sebaliknya melihat tipu serangan Bu Ging-yao begitu hebat, diam-diam Sin Liong-cu terkejut juga, ia pun tak berani sembarangan pula.

   Di lain pihak ketika Ie Lan-cu melayang lewat, kembali pedangnya menyambar pula, tapi sedikit menekuk pinggang Sin Liong-cu bisa berkelit cepat.

   Tiba-tiba Lan-cu membaliki pedangnya dengan tipu 'Sin-liong-tiau-bwe' atau naga sakti memutar ekor, lagi-lagi ia menusuk ke belakang kepala musuh.

   Sin Liong-cu dapat menghindarkan diri pula, tahu-tahu kedua pedang Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao yang bisa bekerja sama telah menyerang datang lagi hingga Sin Liong-cu terdesak masuk ke parit.

   Tapi justru di dalam parit yang sempit inilah Sin Liong-cu telah mengunjuk gerak tubuhnya yang hebat dan aneh yang jarang diketemukan di dunia persilatan, yaitu ilmu pelajaran silat Tat-mo yang sudah lenyap selama ratusan tahun itu, ia bisa berkelit dan berputar bebas di tempat sempit itu, meski kedua pedang anak dara itu terus menggempur hebat, namun masih tetap tak bisa mengenainya.

   Sebaliknya beberapa kali Sin Liong-cu bermaksud balas rnerangsek melompat keluar parit juga tak berhasil.

   Ilmu pedang kedua gadis itu, yang seorang memperoleh ajaran asli dari Pek-hoat Mo-li dan yang lain mewariskan intisari Thian-san-kiam-hoat dari Hui-bing Siansu, kecuali masih kurang ulet, dalam hal kebagusan ilmu pedang sudah tiada taranya, maka Sin Liong-cu hanya sanggup berkelit saja tak berdaya balas menggempur.

   Karena itu, mau tak mau ia harus berperasaan dingin juga, pikirnya.

   "Jika kedua dara ini saja aku tak sanggup menang, mana berani aku pergi menantang Pek-hoat Mo-li?"

   Dalam pada itu serdadu musuh telah menggunakan kesempatan itu untuk menyerbu ke atas bukit hingga seorang diri Li Jiak-sim rada repot membendung pasukan musuh.

   Melihat pemuda itu rada kelabakan, lekas Ging-yao membalik tubuh dan membabat dua kali dengan cepat hingga dua serdadu musuh yang berani coba mendekat kena dilukai, sedang Li Jiak-sim telah berhasil juga merampas sebatang tombak panjang untuk menusuk dan menghantam musuh.

   Tapi justru pada saat Bu Ging-yao membalik tubuh melayani serdadu musuh tadi, cepat sekali Sin Liong-cu telah melompat ke atas parit, susul menyusul ia melontarkan pukulan lihai pula hingga membawa angin keras dan tak dapat ditahan oleh Ie Lan-cu seorang diri.

   Kembali pada Pho Jing-cu dan kawan-kawan yang terkurung di mercu kuno tadi, setelah lewat tengah malam dan pulih semangatnya segera didahului Ciok Thian-sing, mereka terus menerjang keluar.

   Karena pasukan Boan itu berjaga secara bergiliran, maka keluarnya mereka segera diketahui dan beramai-ramai segera mereka dihujani anak panah hingga terpaksa terdesak mundur lagi.

   Tapi segera Pho Jing-cu memberi tanda pada Han Hirig, bersama-sama mereka lantas menanggalkan baju luar dan kain baju diputar naik turun cepat bagai dua perisai yang ampuh hingga anak panah musuh tergoncang pergi bertebaran.

   Berbareng itu Ciok-toanio lantas melayang maju sambil pedangnya menyambar cepat ke dalam pasukan musuh, maka terdengarlah suara jeritan ngeri yang riuh, siapa yang berhadapan segera kena dibina-sakannya.

   Namun pasukan musuh itu memangnya adalah pilihan, mereka tidak menjadi kacau, sementara itu beberapa jago bayangkara segerapun datang mencegat, dalam pertarungan sengit dan gaduh itu, para pahlawan berhasil merangsek mundur pasukan musuh, tapi masih tetap terkurung rapat tak dapat menerjang keluar.

   Thian-sing menjadi nekad akhirnya begitu telapak tangannya bekerja cepat, seorang jago bayangkara seketika kena dihantam mencelat, bila ia menjambret pula seorang serdadu musuh kena dipegangnya terus dibuat menyapu dan menghantam.

   Keruan saja serdadu musuh menjadi gugup.

   Sedang Pho Jing-cu dan Ciok-toanio dari kanan-kiri segera juga menerjang maju hingga berhasil membobol suatu jalan darah.

   Ketika pertarungan memuncak sengitnya dengan suara teriakan gegap-gempita, tiba-tiba Coh Ciau-lam menerjang datang.

   Ciok-toanio menjadi gusar, kontan ia memapaki orang dengan sekali tusukan.

   Namun Coh Ciau-lam dapat menangkisnya dalam sekejap saja kembali Ciok-toanio melontarkan tiga kali serangan hebat.

   Diam-diam Ciau-lam terkejut dan heran, sungguh tak diduganya kiam-hoat nenek ini bisa begitu lihai.

   Lekas dengan gerakan 'Liau-kik-jiau-poh"

   Atau menekuk lutut menggeser langkah, cepat ia memutar ke belakang Ciok Thian-sing, sekali pedangnya menyambar, dengan tipu 'Giok-li-coan-ciam' atau si gadis ayu menyusup jarum, mendadak ia menotok 'Honghu- hiat' di pundak orang.

   Cuma Thian-sing sempat membungkuk ke depan terus memutar ke samping menyusul kedua kakinya beruntun melayang hendak menendang.

   Namun sekali serangan tak kena, secepat kilat Ciau-lam sudah menyelinap lewat di samping Thian-sing, menyusul mendadak ia menyerang pula tapi giliran Han Hing yang dia arah.

   Dengan sekuatnya Han Hing mengangkat tongkatnya menangkis, didahului suara "trang"

   Yang keras, tahu-tahu ujung tongkatnya sudah tertabas sebagian, sebaliknya tangan Ciau-lam pun terasa panas pedas. Hanya sekejap saja beruntun Coh Ciau-lam telah menyerang tiga lawan tangguh, Pho Jing-cu menjadi murka oleh lagak orang.

   "Pantek dia saja!"

   Bentaknya mendadak.

   Habis itu ia memutar pedangnya terus menubruk maju, segera Ciok-toanio dan Han Hing ikut mengepung dari kedua sayap.

   Keruan Ciau-lam terperanjat, lekas ia mundur.

   Dan karena serdadu Boan harus melindungi pemimpin mereka terpaksa mereka pun ikut mundur ke belakang.

   Sebaliknya para pahlawan itu berpedoman 'tangkap penjahat harus pegang benggolannya dulu', maka mereka terus mengincar Coh Ciaulam seorang saja hingga berhasil juga mereka membobol suatu jalan darah.

   Sembari bertempur Pho Jing-cu dan kawan-kawan berlari, ketika mendadak didengarnya pula di dekatnya ada suara teriakan orang bertempur, waktu ia memandang, uba-tiba terdengar orang berteriak nyaring memanggilnya.

   "Pho-pepek, lekas ke sini, lekas!"

   Nyata suara itu dapat dikenali sebagai puteri kesayangan sobat kentalnya, Bu Goan-ing, yaitu Bu Ging-yao.

   Ketika ia menegasi pula, maka dapat dilihatnya Li Jiak-sim dan Ie Lan-cu juga berada di situ, ia menjadi girang bercampur terkejut, mati-matian ia coba menerjang ke sana.

   Dengan sendirinya Coh Ciau-lam tidak tinggal diam, segera ia memburu kembali buat mencegat, beberapa jago bayangkara cepat juga membanjir datang buat membantu.

   Dan karena itu, keadaan segera berubah menjadi ramai, Bu Ging-yao bertiga terkurung di bukit itu oleh Sin Liong-cu dan serdadu Boan, kedudukan mereka sangat buruk.

   Dalam pertempuran sengit dan gaduh itu, tiba-tiba Han Hing tak menghiraukan diri sendiri lagi, tongkat bajanya yang berujung kepala naga ia putar kencang hingga menerbitkan angin menderu-deru, mati-matian ia coba rnerangsek Coh Ciau-lam.

   Sejak Han Hing menggabungkan diri dengan pasukan Li Lay-hing, oleh karena orang tua ini adalah bekas kawan pergerakan Li Ting-kok, maka Li Lay-hing dan Li Jiak-sim memandang orang sebagai angkatan tua dan sangat menghormat padanya.

   Bila Han Hing ingat dirinya hampir tersesat ke jalan yang salah, ia menjadi malu dan berterima kasih pada kedua saudara Li itu.

   Kini melihat Li Jiak-sim terjeblos dalam kepungan musuh, ia pikir usia sendiri sudah lanjut, ada lebih baik mati-matian mengadu jiwa dengan musuh dan betapapun juga Li Jiak-sim harus ditolong keluar.

   Karena itulah tongkatnya ia putar begitu hebat, setiap ilmu tongkatnya 'Thian-liong-tiang-hoat' adalah tipu serangan yang mematikan semua.

   Dua jago bayangkara mencoba maju hendak merintanginya, tapi sama sekali Han Hing tak memikirkan diri sendiri, ia biarkan pundaknya kena dibacok orang sekali dan dadanya terkena sebuah panah, tapi begitu tongkatnya menotok, seorang bayangkara segera kena dirobohkan, menyusul sebelah tangannya menggablok, kembali batok kepala bayangkara yang lain pecah berantakan.

   Begitulah bagai banteng ketaton Han Hing menerjang maju dengan bermandi darah.

   Ciau-lam menjadi gusar, segera ia pun maju memapak, pedang pusakanya menyambar gemerlapan hebat, namun sama sekali Han Hing tak gentar, di tengah sinar pedang orang mendadak tongkatnya terus menyodok.

   Maka terdengarlah suara ge-merantang yang keras, tongkatnya terkurung menjadi beberapa bagian, iganya juga luka tergores pedang musuh.

   Sebaliknya Coh Ciau-lam juga kena dihantam telapak tangannya sekali hingga menjerit kesakitan.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Melihat Han Hing begitu nekad, para pahlawan yang lain beramai-ramai menerjang maju juga mati-matian.

   Sementara itu sekali Ciau-lam menarik diri, secepat kitiran ia memutar pedangnya, dengan tipu mematikan dari Thiansan- kiam-hoat mendadak ia membabat dari samping sambil membentak.

   "Kau cari mampus!"

   Tak terduga, lagi-lagi Han Hing sama sekali tak berkelit dan menghindarkan diri, bahkan ia malah memapak maju.

   Maka tanpa ampun lagi pedang Coh Ciau-lam menembus masuk ke dada Han Hing, sebaliknya kurungan tongkat Han Hing juga kena memukul lambung Coh Ciau-lam.

   Dengan cepat Ciau-lam masih sempat menjatuhkan diri terus menggelinding pergi.

   Di lain pihak darah segar bagai mata air mancur dari dada Han Hing, orangnya pun menggeletak ke tanah.

   "Lekas kalian pergi menolong Li-kongcu lebih dulu!"

   Teriak Han Hing waktu Pho Jing-cu hendak membangunkannya.

   Habis itu, ia pun menghembuskan napas penghabisan.

   Tak tahan air mata Pho Jing-cu bercucuran, ia menjadi kalap, pedangnya diputar lihai luar biasa.

   Coh Ciau-lam telah merasakan dua kali serangan Han Hing tadi, tenaganya sudah banyak berkurang dan lagi mengatur pernapasannya, maka tak berani ia mencegat musuh pula.

   Karena itu, dengan cepat para pahlawan itu lantas bisa menerjang ke atas bukit dimana Bu Ging-yao dan kawankawan terkepung.

   Melihat kedatangan musuh, kontan Sin Liong-cu menyambut orang dengan sekali cengkeraman ke muka Pho Jing-cu.

   Namun gesit sekali Jing-cu menggeser pergi ke samping terus balas memotong dengan pedangnya, sedang Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao berbareng juga mengeroyok dari kanan-kiri, juga Ciok-toanio tak mau ketinggalan, dengan tipu 'Eng-kiktiang- kong' atau burung elang menyerang di angkasa dengan kecepatan luar biasa ia melompat terus menikam dari atas, menyerang belakangan, tapi datangnya paling dulu.

   Waktu itu baru saja tubuh Sin Liong-cu hendak berputar, tiba-tiba ia menjerit keras, mendadak orangnya pun mencelat pergi bagai burung terbang cepatnya lewat di atas kepala Ie Lan-cu.

   Melihat musuh sudah lari, Jing-cu dan kawan-kawan tak mengejar dan menggabungkan diri dengan Li Jiak-sim, setelah nampak mereka bertiga tidak kurang suatu apapun, barulah merasa lega.

   "Ilmu silat orang ini sungguh belum pernah kulihat selama hidup ini,"

   Kata Ciok-toanio kemudian menghela napas atas kepandaian Sin Liong-cu.

   "Pundaknya tadi telah kena tersambar pedangku, tapi ia masih sanggup mencelat pergi, sungguh seorang lawan kuat luar biasa. Cuma sayang ia tersesat ke jalan yang salah."

   Diam-diam Thian-sing juga heran, meski ia sendiri belum memperoleh ajaran asli perguruannya, tapi melihat gerak tubuh Sin Liong-cu tadi ternyata sama sekali berlainan daripada apa yang dipelajarinya dari sang guru, semua orang juga tak tahu dari aliran manakah ilmu silatnya itu.

   Sementara itu Pho Jing-cu telah meletakkan mayat Han Hing ke dalam parit dan menguburnya di situ.

   Dengan sangat hormat lalu Li Jiak-sim menjura tiga kali, kemudian tombak rampasannya tadi ia angkat terus mengajak pula "Mari, kita terjang keluar!"

   Namun sebelum mereka bertindak, tiba-tiba terlihat pasukan musuh terbelah minggir ke samping, kembali ada seregu tentara musuh sedang mendatangi.

   Yang memimpin adalah seorang tua dengan jenggot dan alis putih bagai salju, tangannya membawa sepasang pedang, gerak tubuhnya gesit cepat, meski Seng Thian-ting rapat mengintil di belakang, tapi selalu berada dalam jarak 7-8 langkah tertinggal.

   Keruan Jing-cu terkejut.

   "Siapakah orang ini? Tampaknya ilmu silatnya masih di atas Coh Ciau-lam,"

   Katanya heran.

   Dan belum lenyap suaranya, cepat sekali orang tua tadi sudah menerjang tiba sekali kedua pedangnya menggunting, seketika pedang Pho Jing-cu hampir terpental dari tangan.

   Namun Pho Jing-cu adalah tokoh terkemuka dari satu aliran tersendiri, ilmu pedangnya dengan sendirinya tidak sembarang-an, dengan enteng ia mendorong gaya menggunting orang ke samping untuk melepaskan serangan lawan, menyusul itu cepat sekali ia pun balas menusuk.

   Kiranya orang tua ini adalah cikal-bakal Tiang-pek-san-pay, Hong-lui-kiam Ce Cin-kun.

   Setelah tiga gebrakan tadi, segera Pho Jing-cu merasa keuletan lawan hebat sekali, pikirannya tiba-tiba tergerak, mendadak ia menggunakan tipu 'Ginghong- sau-liu' atau menyapu dahan pohon menurut arah angin, dengan pedangnya ia menempel pedang kanan Ce Cin-kun, berbareng itu lengan bajunya terus mengebas dengan ilmu silatnya yang tunggal 'Liu-hun-hui-siu' atau awan meluncur lengan baju beterbangan, tahu-tahu pedang kiri Ce Cin-kun kena di-belitnya pula.

   Kesempatan baik itu telah digunakan Ciok-toanio buat menusuk ke muka musuh, namun masih bisa Ce Cin-kun menekan pedangnya ke bawah sambil menunduk-hingga tusukan Ciok-toanio dapat di elakkan nya, menyusul pedangnya segera ditarik kembali.

   Tak terduga ilmu pedang Ciok-toanio bisa luar biasa cepatnya, ia menusuk ke kanan dan ke kiri hingga Ce Cin-kun dipaksa berputar menghindarkan diri, bila kemudian ia sempat mengangkat pedang buat menangkis, saat itu Ciok-toanio sudah melontarkan 7-8 serangan lebih dulu.

   Lekas dari sana Seng Thian-ting memburu datang buat membantu, tepat ia disambut sekali tusukan oleh Pho Jing-cu.

   Namun dengan tipu 'Hing-ke-kim-nio' atau belandar emas malang melintang, kedua potlot bajanya lantas menangkis, maka terdengarlah suara nyaring keras disertai letikan api, kedua po-t lotnya tergoncang pergi, tapi orangnya sama sekali tak tergetar sedikitpun.

   "Hebat,"

   Diam-diam Jing-cu memuji atas keuletan lawan.

   Segera ia menggunakan tenaga dalam, pedangnya sedikit memutar terus, membabat lagi lambat-lambat, namun penuh tenaga.

   Maka terasalah oleh Seng Thian-ting suatu kekuatan maha besar menindih ke arahnya, tak sanggup lagi ia menancapkan kaki di tempatnya dan terpaksa melangkah mundur, tapi kedua potlotnya masih terus melontarkan serangan, meski kalah, tapi tidak gugup.

   Di sebelah sana sesudah Ce Cin-kun bisa menenangkan diri, kedua pedangnya telah diputar pula begitu hebat hingga lapat-lapat membawa suara gemuruh, tipu serangannya juga berubah tak dapat diduga sebelumnya.

   Betapapun juga keuletan Ciok-toanio memang masih kalah setingkat, meski ilmu pedang Ngo-kim-kiam-hoat luar biasa cepatnya, namun seperti membentur tembok baja saja tak mampu menembus garis pertahanan lawan.

   Sebaliknya Ce Cin-kun harus menggunakan sepenuh tenaga barulah mampu menahan rangsekan Ciok-toanio.

   Keruan saja diam-diam ia terkejut dan heran pula, sungguh tak terduga olehnya sesudah kecundang oleh Leng Bwe-hong, kini bertemu pula dengan dua jago kelas wahid.

   Tak lama pula, berulang kali Ciok-toanio harus menghadapi serangan berbahaya musuh, ia insyaf bukan tandingan Ce Cinkun, tapi saat itu serdadu Boan kembali merubung datang pula, malahan di antaranya ada banyak orang Uigor.

   Sementara itu Ciok Thian-sing, Ie Lan-cu dan kawan-kawan masih terus mempertahankan diri di atas bukit tadi dengan mati-matian.

   Ketika melihat Ciok-toanio tercecar musuh, lekas Ging-yao memutar pedangnya membantu, mendadak dengan tipu keji ajaran Pek-hoat Mo-li yang disebut 'Peng-choan-tosia' atau sungai es menuang santar, dari atas segera ia menikam ke bawah sambil sedikit senjatanya ia sendai, maka tertampaklah sinar perak berbintik-bintik membawa hawa dingin menghambur musuh.

   Cepat juga Ce Cin-kun menangkis dengan kedua pedangnya, tapi karena itu ia pun terdesak kembali buat menjaga diri.

   Di lain pihak betapa cepat ilmu pedang Cioktoanio, kesempatan itu telah digunakan untuk menusuk hingga secepat kilat pedangnya menyambar lewat di atas pundak Ce Cin-kun.

   Oleh karena serangan Bu Ging-yao tadi, sekuat tenaga Ce Cin-kun menangkis, dan balikan pedangnya terus digunakannya untuk menyampuk senjata Ciok-toanio, hingga nyonya tua ini berganti kena didesak mundur.

   Dan begitulah terus menerus dan silih berganti Bu Ging-yao dan Ciok-toanio rnerangsek musuh hingga Ce Cin-kun terkurung di dalam sinar pedang mereka.

   Bercerita mengenai Leng Bwe-hong, Hui-ang-kin dan kawan-kawan.

   Setelah mereka turun gunung untuk mencari Ie Lan-cu, karena banyak rakyat penggembala yang mereka kenal, pada hari itu mereka mendapat tahu bahwa ada seorang gadis jelita sedang menuju ke Turfan.

   Waktu meTeka bertanya wajah si gadis itu, maka yakinlah mereka pasti Lancu adanya.

   Keruan yang paling girang rasanya adalah Thio Hua-ciau, berulang kali ia mengucapkan terima kasih kepada Hui-ang-kin.

   "Sudahlah, kini aku tak akan merintangi kau lagi, maka seharusnya kau banyak berterima kasih pada kau punya Lengsioksiok,"

   Demikian kata Hui-ang-kin menggoda.

   Maka tertawalah mereka beramai-ramai, segera mereka mempercepat perjalanan dan menuju ke arah Turfan.

   Tak lama kemudian, mereka pun mengalami serangan angin badai di gurun pasir itu.

   Hui-ang-kin dibesarkan di padang rumput, dengan sendirinya ia kenal lihainya angin itu, ketika ia mencari tempat berlindung, tiba-tiba dilihatnya di tempat tak jauh dari tempatnya sekarang ada sebuah tenda besar, cepat saja Hui-ang-kin membawa kawan-kawannya memasuki tenda itu, di dalam tenda itu tersulut sebuah lilin besar, di atas tanah menggeletak seorang laki-laki setengah umur, di sampingnya terdapat pula seorang laki-laki lain dan seorang perempuan.

   Setelah mengamat-amati mereka sejenak, tiba-tiba Hui-ang kin berteriak.

   "He, kalian berdua bukankah Malina dan Mokhidi?"

   Rupanya wanita itu tercengang sejurus, lalu ia pun berteriak.

   "He, dan kau Hui-ang-kin bukan? Kenapa kau sudah berubah begini?"

   Girang bercampur terharu pertemuan di antara kawan lama, meTeka bertiga saling rangkul dan mengalirkan air mata. Tiba-tiba lelaki yang rebah di tanah itu mementang matanya dan dengan suara parau berkata.

   "Kau Hui-ang-kin yang telah datang'? Hendaklah kau membalaskan sakit hatiku!"

   "Eh, Asta, kau juga di sini?"

   Seru Hui-ang-kin meloncat demi mengenali orang. Lekas Hui-ang-kin memanggil juga Leng Bwe-hong, katanya.

   "Inilah kedua saudara angkat Suhengmu Njo Huncong, dahulu mereka bertiga pernah bersama-sama melintasi gurun Taklamakan dari utara ke selatan Sinkiang."

   "O, kau inikah Leng Bwe-hong, Sute dari Njo-tayhiap?"

   Tanya Mokhidi cepat.

   "Ya"

   Sahut Bwe-hong mengangguk.

   "Kalian dan Njo-suheng adalah saudara angkat, dengan sendirinya juga adalah saudaraku."

   Habis berkata ia pun memberi hormat pada mereka. Lekas Mokhidi membalas hormatnya, sedang Asta tiba-tiba meronta hendak bangun sambil menahan tubuh dengan sikunya, lalu dengan suara terputus-putus ia berkata.

   "Leng Leng Bwe-hong, su sudah lama ak aku ingin menjumpaimu, dan barulah kini bisa ber bertemu, ta tapi sayang su sudah terlambat. Di di sini aku ada sebilah Pokiam, pem pemberian Suhengmu da dahulu, dan ki kini aku tak memerlukan la lagi, bolehlah kau kau ambil buat buat membalaskan sakit batiku."

   Selesai berkata, matanya membalik dan sejak itu mangkatlah Asta untuk selamanya.

   Kiranya Njo Hun-cong, Hui-ang-kin, Mokhidi dan Asta dahulu adalah sahabat sehidup semati dalam perjuangan.

   Mokhidi dan Asta adalah pahlawan perkasa terkenal di antara suku bangsa Kazak.

   Setelah Njo Hun-cong tewas dan Hui-angkin mengasingkan diri, lalu Mokhidi dan Asta terlunta-lunta di pa-dang rumput luas.

   Malina adalah seorang nona penggembala dan teman bermain Mokhidi sejak kecil, kemudian mereka pun menikah.

   Bersama Asta mereka bertiga selalu berada bersama, (kisah tersebut bisa dibaca dalam Chau Guan Eng Hiong) "Sungguh aku harus malu diri telah meninggalkan kalian selama 20-an tahun ini,"

   Demikian kata Hui-ang-kin kemudian sambil menahan air mata.

   "Tapi dengan kembalimu ini sudah sangat membesarkan semangat kami, Hui-ang-kin,"

   Ujar Mokhidi.

   "Ya, berada bersama kawan-kawan banyak, segala penderitaan pasti akan sanggup menahan,"

   Kata Hui-ang-kin.

   "Kini Asta telah meninggal, aku berjanji akan menginjak tanah dimana darahnya pernah menyiram untuk menuntut balas baginya."

   Sementara itu angin puyuh di luar kemah masih bertiup dengan kerasnya dengan suara berat kemudian Mokhidi menceritakan awal kematian Asta itu. Hui-ang-kin, tentu kau masih ingat si Bing Lok, itu kepala suku Tagar, bukan?"

   Kata Mokhidi.

   "Dahulu karena puteri Nilan Si u-kiat. ia pernah memfitnah Njo-tayhiap sebagai mata-mata musuh, siapa duga dia sendirilah yang benar mata-mata musuh. Paling akhir ini pemerintah Boanjing telah mengirim orang menghubunginya dan menyuruh menghasut suku bangsa di Sinkiang selatan agar menyerah pada pemerintah. Hal itu tadinya tak kami ketahui, ketika kami berkelana sampai di pa-dang rumput Garsin di daerah selatan, kami masih tetap bertamu ke tempatnya. Kebetulan ia sedang kedatangan seorang utusan pemerintah Boanjing, utusan itu adalah seorang kakek yang jenggot dan alisnya sudah putih semua konon adalah cikal-bakal apa yang disebut Tiang-pek-san-pay. Maka Bing Lok mengumpulkan para bawahannya yang meliputi 3 kepala suku dan 12 pemimpin kelompok suku bangsa lainnya buat berunding. Tak terduga di antaranya ada 7 pemimpin kelompok suku tidak sudi takluk pada musuh. Lebih-lebih Asta tak bisa menahan amarahnya dengan berani ia mendamprat Bing Lok, karena itu ada lagi dua kelompok suku lain yang meninggalkan Bing Lok. Segera 9 kepala kelompok suku bangsa itu meninggalkan tempat berunding bersama orang-orang mereka. Asta masih berusaha hendak menginsyafkan Bing Lok, tapi dari malu mendadak Bing Lok menjadi murka dan Asta kena dibacok sekali olehnya kami berdua mati-matian menolongnya keluar dari tempat berbahaya itu, tapi karena kuatir menerbitkan amarah umum, rupanya Bing Lok tak berani juga mengejar kami. Dan setelah Asta dapat kami tolong keluar, tak terduga di sini telah bertemu serangan angin, sungguh tak nyana Asta yang gagah perwira dan banyak menghadapi pertempuran besar, tidak tewas di tangan musuh, tapi akhirnya malah tewas di tangan 'orang sendiri'!"

   Dengan mengheningkan cipta Leng Bwe-hong memberi penghormatan terakhir pada Asta, lalu dengan pedang pusaka yang dia terima dari orang tadi, ia menggali sebuah liang dan mengubur Asta.

   "Pedang itu dahulu Njo-tayhiap dapatkan dengan merebut dari padri Thian-liong-pay di Tibet. Thian-bong Siansu dari Thian-liong-pay telah memimpin 18 anak muridnya mengembut Njo-tayhiap, tapi 19 bilah senjata mereka telah kena dilucuti semua oleh Njo-tayhiap dan di antaranya terdapat pedang ini,"

   Demikian tutur Mokhidi.

   Bwe-hong melihat pedang itu mengkilap bersinar menyilaukan, tampaknya tidak kalah dengan Yu-liong-kiam milik Coh Ciau-lam, sebenarnya ia hendak memberikan pada Mokhidi saja, tapi tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, maka ia mengurungkan maksudnya itu.

   Dalam pada itu angin puyuh sudah reda.

   "Angin sudah berhenti, marilah kita melanjutkan perjalanan,"

   


Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id

Cari Blog Ini