Pendekar Pemetik Harpa 32
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 32
Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen
"Tok-ing-ji milikmu ini pernah digigit siapa?"
In San baru tahu bahwa orang memeriksa nadinya karena menyangka dirinya keracunan, padahal keadaan In San normal saja, maka dia tanya demikian. In San tersirap, teriaknya melengking.
"Apa, apa katamu? Ini bukan Ho-siu-oh? Jadi, jadi..."
"Inilah Tok-ing-ji (orok beracun)."
Kata orang itu.
"bentuknya memang hampir mirip Ho-siu-oh, tapi kadar obatnya justru berlawanan, kalau Ho-siu-oh dapat menyembuhkan orang yang sudah hampir mati, sebaliknya Tok-ing-ji adalah benda beracun yang paling jahat di dunia ini."
Ternyata Buyung Ka memang sudah berintrik dengan Yuhian- ong untuk melukai jiwa Tan Ciok-sing.
Ho-siu-oh yang asli mereka tukar dengan Tok-ing-ji yang beracun, sehingga Tan Ciok-sing benar-benar keracunan.
Orang yang memberi laporan gelap di tempat kediaman Yuhian- ong yang dicuri dengar oleh puteranya memang bukan lain adalah Buyung Ka.
Dalam rencana, Yu-hian-ong menganjurkan Buyung Ka menjadi orang baik untuk menarik simpati dan kepercayaan Tan Ciok-sing, di belakang rencana ini Yu-hian-ong sendiri memang punya perhitungan jangka panjang.
Waktu mengatur tipu daya ini sebetulnya Yu-hian-ong dan Buyung Ka tidak yakin muslihatnya bakal berhasil membunuh Tan Ciok-sing.
Tapi kalau menggunakan cara yang satu ini, jiwa Ciok-sing jelas takkan bisa diselamatkan lagi.
Dia mati di tengah jalan, Jendral Abu dan anaknya tidak akan tahu, malah harus berterima kasih kepada Buyung Ka yang telah menolong sahabat mereka.
Rencana mereka memang sempurna, jangan kata Tan Cioksing, ln San yang semula mencurigai Buyung Ka pun akhirnya kena dikelabui.
Sayang In San tahu setelah terlambat.
Tak tertahan air matanya bercucuran, tanyanya kepada orang itu.
"Apakah Tok-ing-ji ada penawarnya?"
Orang itu geleng-geleng kepala, sahutnya.
"Tiada obat penawarnya."
Gelap pandangan In San, tubuhnya sempoyongan. Lekas orang itu memapahnya, tanyanya.
"Siapa yang makan racun ini? Lekas kau pulang..."
Melihat keadaan In San, dia duga yang minum racun tentu sanak familinya.
Maksudnya suruh dia lekas pulang mengurus penguburannya, cuma tidak tega dia mengucapkannya! Dengan air mata berlinang tiba-tiba In San menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
Lekas orang itu memapahnya, katanya.
"Nona, apa yang kau lakukan, lekas bangun, lekas bangun."
Sudah tentu orang itu tidak mampu menarik bangun ln San, beruntun In San menyembah tiga kali, katanya.
"Mohon kau orang tua suka menolong jiwa engkohku, dia terluka parah, karena tidak tahu, Tok-ing-ji ini dia makan dua keping."
Karena tidak mampu menarik In San, orang itu kaget, tiba tiba timbul rasa curiganya, katanya.
"Darimana kau tahu kalau aku bisa mengobati, siapa suruh kau kemari?"
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar ringkik kuda dan derap kuda yang ramai mendatangi. Orang itu beringas, bentaknya.
"Siapa yang kau bawa kemari, apakah mau menangkap aku?"
"Tidak, tidak, bukan aku yang membawa mereka. Aku tidak tahu..."
Terdengar langkah orang berlari-lari menuju kesini, seorang terdengar berkata.
"Disana seperti ada orang bicara, kita periksa kesana."
In San merendahkan suara.
"Kedua orang ini mungkin yang mencari jejak kami kakak beradik."
Dari langkah mereka dia tahu bahwa kedua orang ini pandai silat. Orang itu mendengus, jengeknya.
"Kau mau menipu aku."
Waktu mendesak In San tidak sempat menjelaskan, terpaksa dia berbisik.
"Kalau kau takut mereka akan berbuat jahat kepadamu, lekas kau sembunyi, biar kuhadapi mereka."
"Aku tidak akan sembunyi."
Ucap orang itu.
"kalau kau tidak sekomplotan dengan mereka, baiklah kau saja yang sembunyi."
Maklum dia tinggal di gunung ini, bila jejaknya sudah diketahui orang, mau sembunyi juga tidak akan bisa menyingkir, apalagi terhadap In San dia belum percaya sepenuhnya, maka dia berani nekat.
Apa boleh buat, terpaksa In San menerima anjuran orang, dia sembunyi ke belakang pohon.
Lekas sekali kedua orang itu sudah berlari datang, kiranya dua Busu yang membawa busur.
Seorang Busu bertanya.
"Kalian melihat dua orang Han tidak, seorang laki seorang perempuan, usianya kira-kira likuran tahun."
Orang tua itu geleng-geleng, katanya.
"Tidak pernah lihat, kalian ini..."
"Kami adalah Busu kelas satu Yu-hian-ong, atas perintah Ongya hendak menangkap pembunuh gelap. Pembunuhnya adalah sepasang muda mudi bangsa Han itu, karena gagal mereka lari ke gunung ini. Maka kau harus bicara jujur di hadapanku..."
"Dua orang Han yang kalian katakan betul-betul tidak pernah kulihat, mana berani aku bohong terhadap kalian."
"Kau penduduk setempat tentu hapal seluk beluk pegunungan ini, hayo kau bantu kami mencarinya."
"Bukan aku tidak mau membantu, tapi, tapi..."
"Tapi apa?"
"Gunung sebesar dan seluas ini, usiaku sudah lanjut, kakiku tidak leluasa berjalan. Kalau aku temani kalian mencari mungkin bakal menghabiskan waktu. Kukira lebih baik kalian cari sendiri, supaya mereka tidak melarikan diri. Alasannya memang masuk akal, maka kedua Busu itu mau pergi, tiba-tiba temannya itu mendorong si bocah, teriaknya.
"He coba lihat, apa, apa ini?"
Ternyata si orang tua membuang Tok-ing ji ke semak-semak rumput, tadi kebetulan semaksemak itu teraling oleh tubuh si bocah, sayang tubuhnya kecil sehingga Tok-ing-ji masih kelihatan oleh salah satu Busu.
Bergegas si Busu memburu serta menjemput kedua Toking- ji, sejenak dia memeriksa, lalu bersorak kegirangan.
"Kita mendapatkan mustika. Hahaha, coba lihat bukankah ini Hosiu- oh yang telah mencapai usia ribuan tahun?"
Demikian teriak Busu itu. Orang tua itu gugup, serunya.
"Jangan kalian ambil barang-barang itu."
Busu itu mendelik, bentaknya.
"Kau tidak mau bantu mencari pembunuh, barang sepele begini juga larang kami mengambilnya?"
"Ini, ini bukan Ho-siu-oh..."
Seru si orang tua. Busu itu mencabut golok dan membentak.
"Berani kau menipu aku, kau larang aku ambil, kubunuh kau."
Setelah membawa Ho-siu-oh kedua Busu itu tidak banyak bicara lagi terus tinggal pergi, tak lama kemudian, mendadak terdengar dua jeritan menyayat hati, ternyata kedua Busu di tengah perjalanan telah mengigit masing-masing secuil, ternyata racun bekerja jiwapun melayang.
In San segera melompat keluar, katanya.
"Lo-siansing, siapa aku tak usah kujelaskan tentu kau sudah tahu?"
Akhirnya mereka saling berkenalan, orang tua ini memang benar tabib liehay yang mengasingkan diri di atas gunung, namanya Kokulon, cucunya bernama Komido.
Sambil jalan Kokulon tanya pengalamannya.
In San ceritakan maksud perjalanannya ke Holin, bagaimana mereka kenal Jendral Abu dan puteranya, membuat geger Onghu dan akhirnya Tan Ciok-sing keracunan karena salah makan Toking- ji.
"Terus terang, Yu-hian-ong manusia yang paling kubenci,"
Demikian kata Kokulon.
"Jendral Abu adalah orang yang paling kuhormati dan kusegani. Ternyata kalian adalah teman baik Jendral Abu, jikalau sejak mula kau menjelaskan, aku tidak akan curiga kepadamu."
"Jadi kau mau menolong jiwa engkohku?"
"Bukan aku tidak mau, sayang tenagaku tidak mampu menolongnya."
Tiba-tiba Komido berjingkrak, serunya.
"Kakek, kau dengar tidak?"
"Mendengar apa?"
"Aku seperti mendengar seseorang menghela napas perlahan."
Kokulon celingukan, katanya.
"Disini mana ada orang lain, pasti kau salah dengar."
Komido bergidik ngeri, katanya memeluk sang kakek.
"Mungkin setan kedua orang itu gentayangan."
Pikiran butek, perasaan gundah sehingga In San tidak mendengar helaan napas itu, mungkin desau angin lalu, demikian pikirnya.
Diluar tahunya Tan Ciok-sing telah berhasil menghimpun tiga bagian tenaganya, mendengar bagian sini ada suara orang, diam-diam dia datang memeriksa.
Maka percakapan Kokulon dengan In San diapun mendengar jelas.
Waktu In San bawa Kokulon tiba di tempat semula, tampak Tan Ciok-sing masih bersamadi, uap putih masih mengepul dari kepalanya.
Kokulon heran, katanya.
"Jangan ganggu dia, nanti sebentar baru akan kuperiksa."
Lalu dia berkata kepada In San.
"Sementara kalian boleh tinggal di rumahku, aku akan berusaha sekuat tenaga."
Timbul setitik harapan dalam benak In San, katanya.
"Terima kasih paman."
Tiba-tiba Komido berkata.
"Ayam salju di rumah sudah kami makan, dengan apa kau hendak menjamu para tamu?"
In San tertawa, katanya.
"Menangkap ayam salju adalah keahlianku, biar nanti kutemani kau menangkap ayam salju."
Setelah In San pergi, tiba-tiba Tan Ciok-sing membuka mata, katanya.
"Paman Kokulon, aku mohon sesuatu kepadamu."
"Nanti dulu, biar kuperiksa nadimu dulu."
Dia kira Tan Cioksing akan minta dia menolong jiwanya, maka setelah memeriksa dia berkata.
"Jangan kau banyak tanya, aku akan berusaha sekuat tenagaku menyembuhkan penyakitmu. Kau adalah pasienku satu-satunya yang mempunyai daya tahan luar biasa di antara pasien-pasienku selama aku jadi tabib."
Tan Ciok-sing berkata.
"Aku tidak minta kau berusaha menolong jiwaku, aku sudah tahu penyakit ini tidak mungkin disembuhkan lagi. Manusia mana tidak akan mati, soalnya hanya waktu saja, aku sih tidak perduli."
Kokulon kaget, tanyanya.
"Darimana kau tahu?"
"Paman Kokulon, pembicaraanmu dengan adikku, aku mendengarnya semua."
Kokulon terbeliak, dia insyaf bahwa persoalan tidak bisa mengelabui Ciok-sing lagi, sesaat lamanya dia melenggong tak mampu bicara. Diam sebentar, akhirnya Tan Ciok-sing berkata.
"Aku hanya mohon kau suka menolong jiwa adikku. Kau tidak tahu bahwa kami sudah sumpah setia, sehidup semati..."
"Aku tahu."
Tiba-tiba Kokulon menukas.
"Tunggu sebentar, biar aku berpikir sejenak."
Setelah berpikir beberapa kejap lamanya, Kokulon berkata.
"Bahwa kau sudah tahu penyakitmu takkan bisa sembuh, maka aku harus bicara blak-blakan dengan kau. Tapi aku harus tanya kau dulu, dengan cara apa kau menghimpun kadar racun didalam pusarmu?"
"Inilah sejenis Lwekang ciptaan guruku, namanya Tay-ciuthian- to-nah. Sayang latihnya belum sempurna."
"Bisakah kau mengerahkan Lwekang sehingga kadar racun sedikit demi sedikit dibikin buyar?"
"Aku tidak mampu. Berlatih sepuluh tahun lagi juga belum bisa mencapai taraf setinggi itu."
"Baiklah aku bicara jujur, dengan bekal Lwekangmu sekarang, bila kau tidak menghimpun kadar racun itu, paling lama kau bisa hidup setahun. Tapi selama setahun ini kau tidak akan mampu bergerak. Kini kau gunakan caramu itu, meski Kungfu sementara masih utuh, tapi bila racunnya kumat, racunnya lebih hebat dan jiwa melayang seketika."
"Ya, aku tahu. Bila racun kumat, jiwaku pasti melayang. Tapi aku harus pergi ke Thian-san menunaikan pesan guruku, terpaksa aku menempuh jalan pendek. Entah berapa lama aku bisa bertahan hidup? Paman, harap kau bicara sejujurnya."
"Kurang lebih tiga bulan, tapi juga bisa lebih cepat atau mundur beberapa hari, itu tergantung kau sendiri..."
"Mohon paman memberi petunjuk."
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menuju jalan kehidupan, terutama mementingkan ketenangan jiwa, girang senang atau duka lara dapat mengurangi umur orang. Di samping itu sedapat mungkin kau harus berusaha tidak berkelahi dengan orang, tidak boleh terlalu menguras tenaga."
Diam-diam Tan Ciok-sing membatin.
"Tubuh sekokoh pohon Bodhi, batin harus sejernih permukaan kaca. Untuk mencapai taraf ketenangan hidup seperti ini, jarang bisa dilakoni oleh manusia biasa. Tapi kalau hanya menghindari rasa senang, duka dan segala keinginan sih kurasa mampu kulakukan. Tapi ke Thian-san merupakan perjalanan jauh, kejadian diluar dugaan apa yang bakal menimpa kami, susah diramalkan sebelumnya, maka untuk menghindari pertempuran jelas tidak mungkin."
Kokulon seperti dapat meraba jalan pikirannya, katanya.
"Kalau lawan kelas rendah cukup tiga empat jurus telah beres, akibatnya tidak fatal. Yang dikuatirkan ialah bila berhadapan dengan musuh setangguh dirimu, begitu tenaga murni terkuras, luka dalam pasti kambuh. Oleh karena itu kecuali terpaksa, kuanjurkan kau harus berani dihina dan dicemooh orang."
"Terima kasih akan petunjuk paman, Wanpwe akan patuh pada petunjukmu."
"Kalau kau bisa mematuhi kedua petunjuk tadi, mungkin jiwamu bisa diperpanjang setengah bulan. Kalau tidak mampu kau lakukan, kemungkinan elmaut kematian sembarang waktu bisa merenggut jiwamu. Apakah sudah besar tekadmu untuk pergi ke Thian-san?"
"Aku sudah menerima pesan guru, semoga sebelum aku ajal, aku sudah menunaikan tugas terakhir."
Kokulon berkata.
"Tekadmu besar, aku tidak akan mencegahmu. Boleh kau teruskan cara Tay-ciu-thian-to-nah, sementara kadar racun masih dapat kau kendalikan. Cara yang kau tempuh ini jauh lebih berguna dari ramuan obatku, maaf bila aku tak bisa membantumu lebih jauh."
"Tapi aku kuatir akan keselamatan adikku, dia ingin sehidup semati denganku..."
"Maksudmu bagaimana aku harus membantumu?"
"Dapatkah kau berusaha menahannya disini?"
"Aku pernah bicarakan soal itu kepadanya, tapi dia bertekad dan bersumpah takkan mau berpisah dengan kau sampai mati."
"Gunakan sejenis obat, umpamanya obat bius sehingga dia kehilangan tenaga, tapi tidak membawa efek buruk bagi kesehatannya, maka dia tidak akan bisa ikut menempuh perjalanan yang kutempuh. Setahun sebagai angka waktunya, tahun depan boleh kau berikan obat penawarnya. Dalam jangka setahun ini, pasti aku sudah ajal entah dimana. Bila dia tidak memperoleh berita kematianku, maka dia akan mencariku dan tak sempat mencari jalan pendek lagi."
Kokulon geleng-geleng, katanya.
"Itu hanya dapat mengelabuinya sementara, akhirnya pasti konangan juga. Dan lagi aku tidak punya dan tak pernah membuat obat macam itu."
"Paman bagaimana juga harap kau suka berusaha, aku harus mepertahankan jiwanya, jangan lantaran aku dia ikut menjadi korban."
Kokulon berpikir sejenak, tiba-tiba bertanya.
"Kau she Tan dia she In, wajah kalian juga tidak sama. Walau aku tidak paham adat istiadat bangsa Han kalian, kalau tidak salah sesama saudara sepupu biasanya punya marga sama bukan? Lalu kalian ini saudara angkat?"
"Ya, kami saudara angkat lain marga. Tapi hubungan kami amat mendalam melebihi saudara sepupu sendiri."
"Bagus, kau harus bicara jujur kepadaku, bukankah kalian sudah jatuh cinta dan bersumpah setia sehidup semati?"
"Betul, kami sudah janji setia akan hidup sampai tua, meski dilahirkan tidak pada tahun bulan dan hari yang sama, diharapkan akan mati di hari bulan dan tahun yang sama. Hidup rukun sampai tua agaknya tidak mungkin lagi, maka kudoakan supaya dia tidak ikut mati di saat ajalku sudah tiba."
Sebelum Kokulon bicara Ciok-sing memohon pula.
"Paman, pengalaman hidupmu jauh lebih matang dari aku, bagaimana juga kumohon kau sudi berusaha untuk menolong jiwanya."
Tiba-tiba Kokulon berkata.
"Ada satu cara boleh dicoba, tapi hidupmu mungkin harus diperpendek lagi satu bulan. Itu berarti dihitung hari ini, paling lama kau hanya bisa hidup dua bulan lagi, kau mau tidak?"
"Sudah tentu mau, asal dapat menyelamatkan jiwanya, sekarang juga aku mati juga tidak jadi soal, aku suka rela."
"Tapi waktu dua bulan mungkin tidak cukup untuk perjalananmu ke Thian-san."
"Menunaikan pesan guru sudah tentu merupakan tugas utama yang tidak boleh diabaikan. Tapi kalau dibanding, usaha menyelamatkan jiwa adik San adalah lebih penting lagi. Tolong tanya paman, cara apa yang kau gunakan?"
"Sekarang belum boleh menjelaskan, bila cara ini kuberitahu kepada kau, mungkin tidak akan manjur, cukup asal kau percaya kepadaku saja."
Walau agak bimbang, tapi Ciok-sing sudah percaya kepada tabib pengasingan ini. Katanya.
"Kalau demikian, baiklah aku tidak akan banyak tanya lagi."
"Bagus, sekarang kau membantu aku melakukan sesuatu."
"Silahkan memberi petunjuk."
"Ikutlah aku membersihkan kamar obatku. Tak takut kau tertawakan, terus terang rumahku reyot, kotor dan jorok lagi, kamar tidak ada. Hanya ada sebuah bilik obat yang bisa dibersihkan untuk tempat tidurmu."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya.
"Paman kenapa sungkan, asal ada tempat berteduh sudah lebih dari cukup untukku."
Bilik itu memang banyak menyimpan berbagai jenis obatobat mujarab yang sukar dicari, tapi lekas sekali bilik itu sudah dibersihkan dan ditata rapi.
Tak lama kemudian In San dan anak itu sudah masuk kembali.
Begitu masuk rumah Komido berjingkrak dan mengoceh dengan riang.
"Kepandaian cici In memang hebat, coba lihat tiga ekor ayam salju, semuanya gemuk-gemuk."
In San tertawa, katanya.
"Kepandaianmu juga patut dipuji, tidak sedikit telur akar yang berhasil kau keduk."' Kokulon tertawa tergelak-gelak, katanya.
"Bagus, nanti kita bisa bersantap malam dengan hidangan sedap, ubi bakar dengan ayam bakar memang mencocoki seleraku."
Dua ekor ayam panggang, seekor dimasak kuah, sementara ubi dibakar, selesai mereka menyiapkan hidangan malam, sinar rembulanpun sudah menyorot masuk lewat jendela.
Angin menghembus kencang diluar, kabut tebal menyelimuti alam semesta, hawa mulai dingin.
Tapi suasana hangat meliputi gubuk kecil mungil itu, perasaan mereka sehangat nyala api yang masih membara, dimana ayam yang sudah diberi bumbu sedang dipanggang, baunya aduhai, lezat sekali.
Dari kamarnya Kokulon mengeluarkan sebuah buli-buli besar warna merah, katanya.
"Inilah arak obat buatanku sendiri, khasiatnya dapat menambah semangat melancarkan aliran darah, kalian bersaudara patut minum beberapa cangkir."
In San berkata.
"Aku tidak biasa minum arak, biarlah Koko wakili aku minum bagianku."
"Arak obat ini jelas berguna bagi kesehatan engkohmu, bagi kau sendiri juga tidak sedikit manfaatnya. Bila kalian sama-sama minum, manfaatnya pasti lebih kentara."
"Ah, aku tidak percaya, kenapa kalau sama-sama minum, khasiatnya bisa lebih kentara?"
"Kau tidak tahu, arak obatku ini memang punya kadar yang luar biasa."
"Apanya yang istimewa?"
"Bila tutup dibuka dan arak tercium angin, bila didalam jangka satu jam tidak segera diminum, khasiat obatnya akan pudar tidak berguna lagi. Tapi terlalu banyak juga tidak boleh, maka engkohmu hanya boleh minum dua pertiga, dan kau harus bantu dia minum satu pertiga."
"Kalau demikian, kau saja yang bantu dia minum bagian satu pertiga ini."
Kokulon tertawa, katanya.
"Arak obat ini dapat menambah semangat dan tenaga, besar manfaatnya untuk kalian bila naik gunung. Aku tidak pernah meyakinkan Lwekang arak obat ini tiada berguna bagi diriku. Aku tidak sakit apa-apa, buat apa harus minum obat. Apalagi aku tidak akan menempuh perjalanan jauh, bukankah terlalu sayang menghabiskan arak sebagus ini? Maklum aku tinggal di pengasingan yang jauh dari keramaian kota, maka tiada hidangan apa-apa yang patut kusuguhkan untuk para tamuku, jikalau kau masih sungkan, berarti anggap aku ini orang luar. Maka akupun tidak akan berusaha menyembuhkan penyakit engkohmu."
Melihat sikap bicara Kokulon amat serius, In San berkata.
"Paman, kau harus mengobati penyakit engkohku, jangan kau menakuti aku, baiklah aku minum, akan kuhabiskan jatahku."
Tan Ciok-sing juga tertawa, katanya.
"Maksud baik tuan rumah, lebih baik kita terima saja kehendaknya. Adik San, terpaksa kau harus berani tahan uji, mari temani aku minum sampai habis."
Karena didesak dan dibujuk terpaksa In San menemani Tan Ciok-sing minum arak, baru seteguk diminumnya, terasa bau harum menyegarkan dada seketika In San tertawa, katanya.
"Ternyata arak ini enak rasanya."
Belum ada satu jam, seekor ayam telah habis diganyang masuk perut, arak sebuli itu pun telah habis disikat mereka berdua.
"Nona In, tubuh engkohmu kelihatan memang masih segar, betapapun dia adalah orang sakit, maka dia perlu selalu dijaga dan dirawat. Kau tahu maksudku?"
Tanya Kokulon. In San tertawa, ujarnya.
"Kenapa aku tidak maklum, setiap saat aku akan mendampinginya."
"Gubukku reyot dan jorok, hanya ada bilik obat itu yang bisa kusediakan tempat bermalam kalian. Untung kaliankan saudara, tentu tidak perlu berpisah tidur. Waktu sudah larut, kalian habis menempuh perjalanan jauh, silahkan istirahat lebih dini."
In San rasa hal itu sudah logis.
Sebelum ini sepanjang perjalanan dengan Ciok-sing bila tidak menemukan kota atau rumah penduduk, sering mereka tidur didalam hutan tapi tidur sekamar selama ini baru pertama kali, mau tidak mau In San agak malu-malu kucing.
Setelah ln San papah Tan Ciok-sing masuk kamar, Kokulon segera menutup pintu kamar, katanya.
"Bila kalian merasa panas, tidak usah gelisah, itulah reaksi setelah kalian minum arak obatku itu. Meski gerahnya luar biasa, sekali-kali kularang kalian keluar, nanti masuk angin."
"Aku sudah tahu,"
Ucap In San.
"paman tidak usah kuatir."
In San tidak berani membuka jendela, tapi angin menghembus dari celah-celah papan ynag bolong, hawa menjadi agak sejuk dan segar. In San berkata.
"Setelah minum arak tadi, rasanya segar dan nyaman sekali. Aku hanya merasa sejuk, bukan kedinginan. Apalagi perasaan gerah, sedikitpun tidak. Toako, apa kaupun merasa sejuk ?"
"Memangnya, segar dan sejuk sekali, sejuk sekali. Eh, kenapa aku jadi seperti mengambang di tengah mega."
"Ah, apa benar? Hahaha, aku juga merasa mengambang, terombang ambing. Sungguh aneh perasaanku ini."
Tak lama kemudian mereka sama-sama seperti mabuk tidak mabuk, didalam kamar hanya dipasang sebuah dian, angin dingin yang menghembus dari celah-celah pintu membikin nyala api bergoyang-goyang, demikian pula perasaan-mereka seperti dibuai asmara nan nikmat.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing seperti berada di Kanglam di musim semi, berkuntum-kuntum kembang berbagai jenis seperti menghambur di sekelilingnya, Tan Ciok-sing berkata.
"Adik San, kau masih ingat waktu aku ajak kau tamasya di Jit-singgiam dulu?"
"Kenapa tidak ingat, panorama dalam goa itu sungguh indah mempesona. Eh..."
"Kau kenapa?"
"Membicarakan Jit-sing-giam, sekarang aku seperti kembali disana. Ah, tidak panorama di depan mataku jauh lebih indah dari pemandangan dalam goa itu, aneka ragam dan warna warni, berobah dan berganti..."
"Akupun punya perasaan yang sama."
"He, kurang ajar, kenapa segulung hawa panas timbul dari pusarku."
In San tertawa, katanya.
"Kau melupakan penjelasan paman tadi, perasaan hangat itu lantaran kita minum arak obatnya tadi."
"Bukan hangat yang menjadikan badan gerah, tapi kehangatan jenis lain..."
Rasa hangat yang menghinggapi perasaannya ini memang sukar dilukiskan dengan kata-kata tapi tak usah dijelaskan, In San sendiri mulai merasakan kehangatan yang sama. Badannya menjadi lemas lunglai, setelah menggeliat, dia berkata.
"Toako, peluklah aku."
Tan Ciok-sing masih sedikit sadar, katanya tertawa.
"Ah, anak segede ini masih minta dipeluk segala"?"
"Aku tidak ingin dipeluk orang lain, tapi kaulah yang harus memelukku. Nah kau berpikir yang tidak-tidak, aku hanya ingin tidur pulas dalam pelukanmu."
Mulutnya bilang jangan berpikiran yang tidak-tidak, padahal dia sendiri sudah tidak kuasa kendalikan diri sendiri. Tiba-tiba dia cekikikan, katanya.
"Malam pertama di kamar pengantin! Ah, Toako keadaan kita sekarang bukankah mirip malam pertama di kamar pengantin?"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya.
"Dalam kamar hanya diterangi sebuah dian, mana mirip kamar pengantin yang dipasangi sepasang lilin merah? Kini sedang musim dingin, dari mana datangnya kembang segar?"
"Siapa bilang tidak ada? Di depanku sekarang tersebar bermacam jenis kembang yang sedang mekar, eh kembangnya berputar-putar, ada seruni, mawar, sedap malam, eh sekali, aku jadi bingung untuk menyebut satu persatu, apa kau tidak melihatnya? Dian itu berubah menjadi lilin, berubah sepasang lilin?"
"Jangan mengigau aku, aku..."
In San sudah jatuh dalam pelukannya. Perasaan Ciok-sing seperti hambar, kosong, katanya sambil mendorong perlahan.
"Jangan begitu adik San. Biar aku buka jendela, supaya kau lebih merasa segar."
Mulut bicara, pada hal niat bangkit sudah tiada karena badan sudah ogah bergerak.
"Eeh, kenapa lupa, paman tadi berpesan tidak boleh membuka jendela."
Kedua tangan Ciok-sing kebetulan memegang tubuh In San yang bulat kenyal, lembut tapi juga mengencang.
Bukan lagi mendorong, sekarang Ciok-sing malah memeluk kencang dan jari jemarinya mulai meremas dan merambat naik turun.
Di kala Ciok-sing membalik tubuh balas menindih In San, tiba-tiba sebuah kotak emas kecil jatuh dari kantong baju Ciok-sing, kotak yang terbuka ternyata berisi kacang merah, In San menjemput kotak emas itu lalu menuang satu butir kacang merah di telapak tangannya.
Kacang merah ini mereka petik bersama di pinggir sungai dalam kota Kwi-lin, salah satu hasil bumi yang terkenal di Kwi-lin adalah kacang merah ini, dinamakan juga kacang rindu.
In San juga keluarkan kacang merah punyanya sendiri, sepasang kacang rindu berada di telapak tangannya, dengan berbisik dia berkata di pinggir telinga Tan Ciok-sing.
"Toako kau masih ingat sumpah setia kita dulu? Kacang rindu ini sebagai bukti, bumi dan langit sebagai saksi, selama hidup cinta kita takkan luntur."
Keluhan halus disusul deru napas yang memburu sebagai jawaban, sepasang kacang merah itu jatuh di lantai.
Sinar dian yang sudah guram kehabisan minyak kebetulan terhembus padam oleh angin yang meniup masuk lewat celahcelah pintu.
Didalam kegelapan, di alam sorga mereka nan indah, jiwa dan batin mereka berpadu, berpadu memperoleh sumber jiwa nan abadi, dua jiwa yang manunggal.
Rasa resah telah lenyap, pikiran pun telah jernih kembali.
Sinar pagi pun telah menerobos jendela.
Begitu siuman Tan Ciok-sing teramat menyesal dan mendelu, tak berani dia melirik In San.
Katanya perlahan.
"Adik San, aku telah membuatmu celaka."
In San mengenakan pakaian, lalu duduk menggelendot dalam pelukannya, katanya dengan mendongak menatap wajah sang kekasih.
"Toako, jangan kau bilang demikian, sedikitpun aku tidak menyesal, kita sudah sumpah setia, apa pula salahnya kita lebih mempererat ikatan. Kenapa kau sesalkan dirimu malah?"
Seperti diiris perasaan Ciok-sing, pikirnya.
"Kau tidak tahu, sayang aku tidak akan hidup berdampingan dengan kau sampai hari tua."
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena tidak ingin membuat In San sedih, maka dia tidak berani utarakan isi hatinya.
Tanpa terasa, setelah asyik masyuk di atas ranjang, tahutahu hari sudah terang tanah, waktu mereka buka pintu keluar kamar, Kokulon sudah menunggu di ruang tengah, seperti tertawa tidak tertawa dia mengawasi mereka, katanya.
"Semalam kalian bisa tidur nyenyak?!"
Merah jengah muka In San, plegak-pleguk tak bisa bicara. Tan Ciok-sing berkata.
"Aku sudah lebih sehat, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan."
In San masih membujuk supaya dia istirahat beberapa hari, tanpa bersuara Tan Ciok-sing angkat telapak tangannya terus menggablok, sebatang balok yang sedianya untuk dibakar digabloknya pecah berantakan katanya tertawa.
"Coba periksa, tenagaku sudah pulih setengah lebih bukan?"
In San kira ini berkat arak obat semalam katanya.
"Baiklah, terserah kehendakmu."
Setiba di bawah gunung, terbayang akan kejadian semalam, In San dipeluknya kencang, mukanya merah sampai ke telinga, katanya.
"Adik San, memang akulah yang salah. Jangan kau menyalahkan paman Kokulon."
In San tertawa cekikikan, katanya.
"Sedikitpun aku tidak menyesal, jangan kau salahkan dirimu sendiri, akupun tidak menyalahkan paman Kokulon. Aku tidak tahu cara pengobatan, mungkin harus demikian, sehingga begitu sikapku terhadapmu dan membawa manfaat pula bagi kau. Paman sengaja merangkap perjodohan kita lebih nyata, maksudnya juga baik."
Lekas Tan Ciok-sing bicarakan persoalan lain.
"Marilah lekas jalan, untuk mencapai Thian-san bukan perjalanan yang gampang."
"Sepanjang jalan ini ada banyak peternakan, nanti kita bisa beli kuda yang baik."
Tak nyana setiba di bawah gunung setelah beberapa hari perjalanan, tak pernah mereka bertemu dengan manusia.
Meski akhirnya bertemu dengan orang, mereka juga menempuh perjalanan dengan jalan kaki, jarang yang naik kuda.
Yang naik kuda juga untuk kebutuhan sendiri, mana mau mereka menjualnya.
Negeri Watsu banyak terdapat padang rumput, rakyatnya banyak yang hidup dari hasil peternakan.
Jadi peternakan tersebar dimana-mana.
Tapi karena mereka harus menghindari pengejaran, maka jalan yang ditempuh harus jalan-jalan pegunungan yang sepi, apalagi tujuan mereka ke arah barat yang semakin sepi dan belukar, semakin jauh meninggalkan Holin kehidupan manusia semakin jarang.
Selama tiga hari itu mereka sibuk menempuh perjalanan sehingga tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tanpa terasa mereka sudah sepuluh hari menempuh perjalanan, sepanjang jalan mereka makan buah-buahan, adakalanya berburu binatang atau burung, hari ke sebelas mereka sudah keluar dari wilayah Watsu dan memasuki propinsi Sinkiang.
Hari itu mereka sedang melanglang di padang rumput, tibatiba tampak seekor kuda dilarikan kencang bagai terbang, penunggangnya adalah seorang bocah berusia tiga belasan tahun.
Di belakangnya ada orang mengejar seraya berteriak.
"Siauwya tarik kendalinya, jangan lari sekencang ini."
Penduduk Sinkiang yang dekat perbatasan masih menggunakan bahasa Mongol, maka Tan dan In tahu maksud perkataannya.
Dari cara lari kuda itu Tan Ciok-sing tahu kuda yang ditunggangi bocah itu masih liar, meski padang rumput adalah tanah datar, tapi ada juga batu-batu atau tanah lekukkan yang bisa membuat kuda tersandung, bila kuda liar mengumbar adatnya, seorang pawang liehay pun jangan harap bisa menundukkan dia, apalagi seorang bocah sekecil itu.
Ternyata bocah ini adalah putra seorang pemilik peternakan di daerah ini, sejak kecil dibesarkan di punggung kuda, sifatnya suka menang dan sombong, meski tahu kuda ini masih liar, tapi dasar bersifat angkuh, dia merengek ingin mencobanya.
Orang yang mengejar di belakang itu adalah salah satu pawang kuda yang bekerja di peternakan ayahnya.
Di punggung kuda si bocah seperti terapung di atas mega saja, lama kelamaan hatinya menjadi takut, karena takut dia jadi gugup, teriaknya.
"Aku tak berhasil menguasainya, lekas kau bantu aku."
Dasar bocah kalau pawang kuda itu bisa mengejarnya, buat apa suruh dia menarik kendali dan berhatihati.
Begitu kencang dan liar cara lari kuda itu sehingga kakinya menendang sebuah batu cukup besar, kuda itu melonjak ke atas, empat kaki meninggalkan bumi.
Jelas si bocah pasti terlempar jatuh dari punggung kuda.
Untung Tan Ciok-cing datang tepat pada waktunya, begitu kuda anjlok menyentuh bumi, tali kekang sudah terpegang oleh tangan kiri, sementara tangan kanan dia tekan kepalanya.
Secara kekerasan kuda itu telah ditahannya hingga tidak bisa berkutik, kepala tak kuat diangkat semula kakinya masih mencak-mencak, tapi akhirnya dia hanya meringkikringkik saja.
Dalam pada itu In San telah membopong bocah itu turun.
Saking takut dan kaget pawang kuda itu sudah pucat dan sengal-sengal melihat majikan mudanya selamat tidak kurang suatu baru lega hatinya, lekas dia memburu tiba serta menghaturkan terima kasih.
Tiba-tiba tampak seorang laki-laki suku Uighor menunggang kuda mendatangi, langsung dia disongsong oleh bocah laki-laki itu, dengan kaget dan senang dia berteriak.
"Liang-ji, besar betul nyalimu, berani kau menunggang kuda galak dan masih liar itu, kau tidak jatuh?"
Orang ini adalah pemilik peternakan di daerah ini, bernama Tuli-bun, bocah yang menunggang kuda liar itu adalah putra tunggalnya bernama Tuli-liang. Menghampiri ayahnya Tuli-liang berseru.
"Ayah, kuda liar ini sudah tunduk, tapi bukan jasaku."
Lalu mulutnya nyerocos kilikuluk entah apa yang dikatakan, begitu cepat ungkapan perkataannya, sehingga Tan Ciok-sing dan In San tidak bisa menangkap artinya, tapi mereka menduga si bocah sedang menceritakan kejadian yang dialaminya kepada sang ayah.
Maka Tuli-bun mengeluarkan selembar sapu tangan besar, dengan kedua tangannya dia persembahkan kepada Tan Cioksing.
Tan Ciok-sing tahu inilah salah satu adat orang-orang Mongol untuk menyatakan terima kasih dan kehormatan kepada tamunya, yaitu memberikan 'hata' sebagai tanda tali persahabatan pula.
Tuli-bun bukan bangsa Mongol, tapi karena dia hidup di perbatasan yang dekat dengan perbatasan Watsu, maka adat istiadat itupun sering dipakainya, lekas Tan Ciok-sing menerima hata itu dengan kedua tangan lalu membalas hormat dengan membungkuk tubuh, katanya.
"Jongcu (pemilik peternakan), harap jangan terlalu banyak peradatan."
"Kapan aku bisa kedatangan tamu dari jauh, berkat pertolonganmu pula hingga jiwa putraku selamat, tiada yang kubawa bisa kuhaturkan sebagai pernyataan terima kasih, bagaimana kalau kalian mampir ke rumahku menginap beberapa hari."
"Terima kasih Jongcu, kami tidak tahu sungkan, tawaranmu kami terima dengan senang hati, biarlah malam ini bikin repot kalian saja. Tapi kami masih ada urusan, hanya menginap semalam saja, besok juga harus terus berangkat."
"Lho, kenapa hanya semalam, menurut kebiasaan kami disini, menyambut kehadiran tamu dari jauh, apapun tidak bisa hanya menginap sehari semalam. Apalagi kau adalah penolong jiwa putraku?"
"Sebetulnya ada urusan penting yang harus kami selesaikan, perjalanan kami masih jauh, maaf waktu tidak boleh ditunda-tunda."
Ternyata Tuli-bun seorang yang lapang dada, dengan tertawa dia berkata.
"Baiklah, urusan besok biar dibicarakan besok, mari silakan masuk, malam ini aku akan menjamu kalian sebagai tuan rumah menyambut tamu-tamunya."
Setiba di peternakan, perjamuan ternyata sudah mulai dipersiapkan.
Setelah membersihkan badan Tan Ciok-sing berdua dipersilahkan duduk dalam sebuah kemah yang mewah dengan alas kulit bulu.
Hidangannya adalah kambing utuh yang sedang dipanggang di atas api unggun, ada arak susu kuda.
Beberapa hari ini Tan Ciok-sing dan In San hanya makan buah-buahan dan daging burung atau kelinci, tuan rumah begitu ramah lagi, maka merekapun tidak sungkan lagi, hidangan yang tersedia dimakannya dengan lahap.
Setelah menghabiskan tiga cangkir arak, Tuli-bun berkata.
"Kalian bangsa Han bukan, datang dari mana mau kemana?"
"Ya, kami orang Han datang dari kota raja Pakkhia,"
Sahut Tan Ciok-sing. Tuli-bun tertawa, katanya.
"Apa benar? Wah betul-betul tamu agung. Terus terang, sudah belasan tahun di tempat kita ini jarang didatangi tamu bangsa Han, sungguh tak nyana dalam beberapa hari ini, beruntun kami kedatangan empat tamu bangsa Han."
In San melengak, katanya.
"Beberapa hari yang lalu, tempat kalian juga kedatangan tamu orang Han?"
"Iya. Kedua tamuku itu seperti juga kalian, muda-mudi, usianya kira-kira sebaya dengan kalian. Aku ingin tanya kalian..."
Untuk mendengar dan bicara bahasa Morgol, Tan Ciok-sing tidak sefasih In San dia sedang mendengarkan dengan seksama, kuatir mendengar tidak lengkap. Tapi sebelum Tulibun habis bertanya, putranya Tuli-liang telah merebut tanya.
"Toako orang Han, apa kau pandai meniup seruling?"
Tan Ciok-sing kaget, katanya.
"Aku hanya mahir memetik harpa, sayang tidak bisa meniup seruling, Kenapa kau tanya aku pandai tidak meniup seruling?"
Tuli-liang berkata.
"Orang Han yang datang dua hari yang lalu pernah membawakan sebuah lagu dengan alat musik sebatang bambu, begitu merdu tiupan lagunya, waktu kutanya, dia menjelaskan bahwa yang dibuat tiupan itu bernama 'seruling'. Aku senang memainkan alat musik seperti itu, kukira setiap orang Han pasti pandai meniup seruling. Harpa itu juga sebuah alat musik bukan, mirip tidak alat gesek kepala kuda milik kita, kapan kau memetik harpamu itu?"
Mendengar orang Han yang bertamu dua hari yang lalu pandai meniup seruling, saking senang Tan Ciok-sing sampai menjublek. Sehingga perkataan akhir dari si bocah tidak diperhatikan. Tuli-bun mengomel.
"Orang tua sedang bicara, anak-anak tidak boleh menimbrung. Sampai dimana aku tadi bicara?"
In San berkata.
"Kau ada sesuatu yang ingin tanya kepada kami?"
"Betul. Memang aku ingin tanya, bukankah kalian ingin pergi ke Thian-san?"
"Jongcu,"
Ucap In San heran.
"darimana kau tahu?"
"Kedua tamu Han yang datang duluan itupun hendak pergi ke Thian-san."
"Pernahkah mereka bercerita apa-apa?"
Tanya Ciok-sing.
"Agaknya kalian kenal baik dengan mereka? Jadi orang yang mereka cari pasti kalian. Mereka tanya apakah aku pernah melihat sepasang muda mudi bangsa Han yang sebaya mereka."
"Betul. Mereka memang sahabatku. Tapi aku tidak nyana mereka bisa berada disini."
Maklum orang Han yang pandai meniup seruling dan mencari mereka jelas adalah kenalan baik, lalu siapa lagi kalau bukan Kek Lam-wi. In San berkata.
"Gadis yang mendampingi Kek-toako jelas adalah Toh So-so cici, Jongcu, mereka menyebutkan namanya tidak?"
"Nama bangsa Han kalian aku susah mengingatnya, bahasa Mongol mereka tidak sefasih kalian, hingga aku tidak jelas tentang nama mereka. Tapi dalam rumahku ada orang yang pandai bicara bahasa Han, hari itu diapun hadir, sebagian besar pembicaraan mereka orangku itu yang menterjemahkan. Bila kalian ingin tahu lebih banyak, boleh kusuruh memanggil orangku itu."
Tan Ciok-sing sudah yakin bahwa mereka adalah Kek Lamwi dan Toh So-so, karena diluar dugaan mendengar kabar tentang sahabat karibnya, sudah jamak kalau mereka ingin tahu lebih banyak tentang mereka. Katanya.
"Kalau tidak menyulitkan Jongcu, tolong panggilkan orangmu itu supaya aku bicara langsung dengan dia."
Tuli-bun segera suruh orang memanggil orangnya yang pandai bahasa Han, katanya.
"Jarang ada orang Han yang datang ke tempat kami ini. Sepanjang jalan ini kalian bisa mencari tahu jejak mereka, pasti dapat menyusulnya. Akan kupilihkan dua ekor kuda paling bagus untuk kendaraan perjalanan kalian, meski sudah terlambat dua hari, yakin kalian akan dapat menyusul mereka. Sekarang kuhaturkan selamat kepada kalian, mari silahkan habiskan secangkir ini."
In San menenggak habis secangkir penuh, katanya.
"Kami ingin secepatnya dapat menyusul mereka, banyak terima kasih akan penyambutan Jongcu, terima kasih pula akan pemberian dua ekor kuda. Besok pagi-pagi, kami akan berangkat sesuai rencana."
"Baiklah,"
Ujar Tuli-bun.
"aku tidak akan menggondeli kalian. Nona In, agaknya kau senang minum arak susu kuda buatan kami, silahkan habiskan secangkir lagi."
Tan Ciok-sing heran, pikirnya.
"Biasanya adik San tidak suka makan atau minum makanan kecut, jarang minum arak. Arak susu kuda ini agak kecut meski tidak begitu keras, tapi aku tak kuat minum lebih banyak lagi, kalau tidak sungkan karena desakan tuan rumah, rasanya aku sudah ingin muntah saja Kenapa adik In justru senang minum arak susu kuda ini?"
Tuli-bun amat senang, katanya tertawa.
"Kapan kau bisa minum arak susu kuda kami, kalau kau suka, mari minum lagi secangkir, kutanggung tidak akan mabuk."
Tak lama belum dia bicara habis, mendadak In San berdiri meninggalkan tempat duduknya terus berlari keluar kemah.
Tan Ciok-sing keheranan, lekas dia memburu keluar.
Tuli-bun jadi gugup, lekas diapun membuntuti Tan Ciok-sing.
Begitu keluar kemah, In San sudah tidak tahan lagi, dengan membungkuk tubuh dia muntah sebanyak-banyaknya, makanan dan minuman yang masuk perutnya dituang kembali, cukup lama In San muntah-muntah sampai air matanya bercucuran.
Setelah reda dengan muka merah In San berkata.
"Bikin kotor tempat kalian, sungguh tidak enak."
Tuli-bun juga kikuk, katanya.
"Memang aku yang salah, kenapa aku lupa kalian bangsa Han biasanya tidak suka makan barang berasam dan berminyak, seharusnya aku menyuguh secangkir teh lebih dulu."
Tan Ciok-sing sedikit tahu tentang ilmu pengobatan, segera dia pegang urat nadi In San, terasa denyut nadinya agak berlainan, tapi bukan gejala badan tidak enak atau ada penyakit. Tanyanya.
"Adik San, kau merasa badan kurang enak?"
"Sukar kukatakan, mungkin minum arak terlalu banyak, kepalaku berdenyut-denyut, dada agak mual, selalu ingin muntah."
Tuli-bun risih, katanya kikuk.
"Karena badan adikmu kurang enak, lebih baik lekas istirahat saja"
Lalu dia tepuk-tepuk tangan mengundang dua pelayan suruh membimbing In San masuk ke kemah yang telah disediakan. Sudah tentu tuan rumah dan pihak tamu tiada selera lagi minum arak, sementara Tuli-bun berpesan kepada pawang kudanya.
"Cepat sediakan kudaku, aku akan keluar sebentar."
Tuli-liang heran, tanyanya.
"Ayah, hari sudah malam, kau mau kemana?"
"Kau temani tamu kita, aku akan mengundang Jalakun."
Lalu dia memberi penjelasan kepada Tan Ciok-sing.
"Jalakun adalah orangku yang pandai berbahasa Han tadi, dia pernah ke tempat orang Han, bukan saja pandai bahasa Han, diapun pandai mengobati."
Tan Ciok-sing menjadi rikuh, katanya.
"Biasanya badan adikku amat sehat, mungkin di jalan kena angin, kukira kesehatannya tidak akan terganggu, jangan Jongcu repotrepot."
"Tidak apa-apa, kaukan ingin bertemu dengan dia, akan kupanggil dia lekas datang, tiada urusan juga tidak jadi soal, apa salahnya berjaga-jaga. Tapi tabiatnya agak aneh, aku kuatir bila suruh orang, dia tidak mau datang."
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tan Ciok-sing menunggu dengan perasaan tidak tenteram, karena terlalu iseng akhirnya dia terima permintaan Siaujongcu memetik harpa. Tiba-tiba didengarnya seseorang memuji.
"Bagus sekali petikannya. Belum pernah aku mendengar petikan lagu harpa semerdu ini."
Logat orang ini agak mendekati penduduk perbatasan diluar Gan-bun-koan, meski logatnya agak pelo tapi bahasa Hannya masih dapat didengar oleh Tan Ciok-sing, Waktu Tan Ciok-sing menoleh.
Tampak yang masuk kemah adalah seorang laki-laki kurus bersih, tiga jalur jenggot kambing menghiasi dagunya, pakaiannya juga jubah panjang seperti pakaian orang-orang Han umumnya, tapi dari tampangnya jelas bahwa dia orang Uighor.
Tan Ciok-sing berkata.
"Terima kasih akan pujian tuan. Mohon petunjuk..."
"Jalakun, kau sudah datang,"
Teriak Tuli-liang.
"mana ayah? Engkoh orang Han, inilah orangnya yang bisa berbahasa Han."
Jalakun berkata.
"Ayahmu serahkan kuda api sembraninya kepadaku, dia menunggang kudaku, maka dia kutinggal di belakang."
Maklum kuda tunggangan pemilik peternakan, ini adalah kuda pilihan yang tiada bandingannya di daerah itu. Jalakun memberinya nama Hwe-liong-ki atau Kuda Naga Api. Lekas Tuli-liang lari keluar menyambut kedatangan sang ayah. Jalakun berkata.
"Kabarnya adikmu setelah minum arak susu kuda badannya kurang enak bagaimana keadaannya sekarang? Ilmu pengobatanku meski belum mahir, kalau bukan penyakit aneh, yakin aku bisa mengobatinya, perlukah aku memeriksa adikmu?"
"Dia sudah pergi tidur, sampai sekarang belum ada orang keluar melaporkan keadaannya, kukira keadaannya baik-baik saja."
Sahut Tan Ciok-sing. Setelah mendengar sekedar penjelasan Tan Ciok-sing, Jalakun berpikir sejenak, katanya kemudian.
"Kukira adikmu tidak sakit, tapi aku perlu memeriksanya langsung."
Mendengar perkataan orang gerambyang, sukar dipastikan, Ciok-sing agak bimbang, katanya.
"Lalu dia terserang penyakit, penyakit..."
"Sekarang belum positip. Biarlah tunggu dia siuman, akan kuperiksa urat nadinya."
Rikuh Tan Ciok-sing bertanya pula. Terpaksa dia alihkan persoalan.
"Kabarnya dua hari yang lalu ada dua orang Han lewat sini, entah apakah mereka menyebut nama mereka?"
"Ya, mereka memperkenalkan diri. Yang laki bernama Kek Lam-wi, yang perempuan bernama Toh So-so. Sekarang aku tahu orang yang mereka cari adalah engkau."
Sesuai dugaan Tan Ciok-sing, tapi dia pun merasa diluar dugaan.
"Kenapa Kek-toako mau menyebut nama sendiri dan arah tujuannya kepada seorang yang tak dikenal?"
Jalakun seperti dapat meraba isi hatinya, katanya.
"Walau aku belum pernah bertemu dengan mereka, kalau dikatakan sebetulnya juga tidak asing lagi. Aku sudah tahu bahwa mereka adalah Jit-te dan Pat-moay dari Bulim-pat-sian."
Tan Ciok-sing heran, katanya.
"Darimana kau tahu?"
"Aku pernah melihat Wi-cui-hi-kiau dari Pat-sian,"
Demikian tutur Jalakun.
"syukur mereka sudi memandangku sebagai teman, hingga aku bersahabat dengan mereka, tapi itu terjadi beberapa tahun yang lalu, Kek Lam-wi dan Toh So-so belum keluar kandang, nama Bulim-pat-sian juga belum muncul di Bulim. Lim Ih-su Lim Tayhiap pernah bilang bahwa dia punya dua adik laki perempuan yang masih kecil, karena gemar musik, diapun menjelaskan bahwa adik ke tujuh lelaki itu hobbynya meniup seruling. Tan Ciok-sing baru jelas persoalannya, katanya.
"Agaknya kau telah mendengar tiupan seruling Kek Lam-wi, irama serulingnya memang berbeda dari seruling umumnya, maka sekali dengar kau lantas menebaknya dengan jitu?"
"Betul."
Ucap Jalakun.
"maka aku bicarakan Wi-cui-hi-kiau sama dia, sekali bicara lantas seperti teman lama. Ternyata dia juga tahu tentang persahabatan Toako dan Jikonya dengan aku belasan tahun yang lalu."
"Kenapa mereka mau pergi ke Thian-san, apa kau tahu?"
"Katanya menghindar diri dari musuh besar yang menguber jejak mereka. Aku tanya musuh besar macam apa, apakah liehay sampai Kanglam-pat-sian tidak mampu menghadapinya? Kek Lam-wi bilang, bukan mereka takut menghadapinya, soalnya dia tidak mau memperpanjang urusan, katanya musuhnya itu bukan manusia jahat, jikalau Wi-cui-hi-kiau diundang untuk menghadapi mereka, rasanya terlalu membesar-besarkan urusan. Sudah lama mereka dengar nama besar dan keliehayan Thian-san-kiam-pay, kau adalah sahabat mereka, sekarang menuju ke Thian-san lagi, maka mereka lantas menyusulnya kemari. Sekedar bertamasya."
Sampai disini Tan Ciok-sing lantas maklum, pikirnya.
"Musuh besar mereka jelas adalah ayah . bunda Liu Yau-hong yang cabul itu. Wajah Liu Yau-hong dirusak oleh Toh So-so, di hadapan ibunya pasti dia mengadu biru dan merengek-rengek kepada ibunya supaya menuntutkan balas sakit hatinya bersama sang ayah."
Jalakun berkata.
"Menurut cerita Kek Lam-wi, kedua musuhnya itu juga telah mengejar keluar perbatasan, maka disini mereka hanya menginap semalam, hari kedua buru-buru berangkat."
Sampai disini pembicaraan mereka, tampak seorang pelayan berjalan masuk. Salah seorang pelayan yang tadi memapah In San masuk ke perkemahan yang disediakan untuknya. Langsung pelayan itu berkata kepada Jalakun.
"Tay-hu (tabib), tolong kau periksa nona Han itu."
Jalakun adalah tamu majikan mereka yang sering datang, orang-orang Tuli-bun semua mengenalnya baik.
"Kenapa si nona Han itu?"
Tanya Jalakun.
"Baru saja dia siuman, mendadak mengeluh perut sakit dan napas sesak, kami memberinya minum kuah Jin-som, tapi semangkok kuah dia muntahkan seluruhnya."
"Baiklah, sekarang juga akan kuperiksa."
Ucap Jalakun sambil mengajak Tan Ciok-sing masuk. Melihat Tan Ciok-sing masuk, In San lantas berkata.
"Toako, sungguh tak nyana badanku jadi tak berguna begini, kali ini pemberangkatanmu mungkin terpaksa ditunda sementara."
"Jangan kuatir, Jongcu telah mengundang tabib pandai untuk memeriksa keadaanmu, penyakitmu pasti lekas sembuh dan besok juga kita sudah bisa melanjutkan perjalanan."
Setelah memeriksa urat nadi In San, wajah Jalakun - menunjukkan mimik lucu, seperti tertawa tidak tertawa. In San bertanya.
"Tay-hu, aku kena penyakit apa?"
Jalakun berpikir sebentar, katanya tertawa.
"Tidak apa-apa, mungkin kau tidak cocok dengan iklim disini. Cukup makan dua resep obatku, besok juga kau sudah sembuh."
In San girang, katanya.
"Jadi lusa kami sudah bisa melanjutkan perjalanan?"
"Betul, kalian cukup menunda perjalanan sehari saja."
Ujar Jalakun. Lalu dia membuat resep dan langsung pergi ke gudang obat Tuli-bun meracik obat dan suruh pelayan memasaknya langsung diminumkan kepada In San dua kali. Jalakun tertawa, katanya.
"Untung kalian berada di rumah Tuli-bun, dengan biaya besar tak segan-segan dia membeli bahan obat-obatan yang mahal dan mujarab ini dari orangorang Tionghoa di Holin apa lagi hanya obat-obatan biasa begini; setahunpun cukup kau pakai."
Setelah berada diluar perkemahan, secara berbisik Tan Ciok-sing tanya kepada Jalakun.
"Apa betul adikku itu karena tidak cocok dengan iklim disini?"
"Aku ingin tanya kepadamu. Kalian bukan kakak beradik sepupu bukan?"
Tan Ciok-sing menduga Kek Lam-wi sudah menjelaskan asal-usul dirinya dan hubungannya dengan In San, maka diapun tidak mau mengelabui, dengan muka merah dia berkata perlahan.
"Betul, kami sebagai kakak adik yang sudah mengikat jodoh."
Jalakun tertawa lebar, katanya.
"Kalau begitu patut kuberi selamat kepadamu, nona In tidak sakit, tapi dia sudah mengandung."
Tan Ciok-sing terbeliak, matanya memancarkan sinar kegirangan, mukanya merah tapi juga malu, kepalanya tertunduk tak berani bersuara. Setelah In San minum obat pertama, baru Tuli-bun pemilik peternakan tiba di rumah.
"Bagaimana keadaan adikmu?"
Begitu masuk langsung dia tanya.
"Tidak apa-apa."
Sahut Tan Ciok-sing.
"tabib bilang lantaran tidak cocok dengan iklim di daerah sini, setelah minum obat, besok juga pasti baik."
Hari kedua In San makan dua obat lagi, semangatnya ternyata pulih dengan cepat, makan minum seperti sedia kala, juga tidak muntah-muntah lagi.
Tapi dia lebih senang makan barang-barang asam.
Hari ketiga, Tan Ciok-sing dan In San berpamitan kepada Tuli-bun.
Tuli-bun berkata.
"Harap tunggu sebentar."
Tak lama kemudian tampak Tuli-liang bersama pawang kuda masingmasing menunggang seekor kuda mendatangi. Tuli-liang berkata.
"Kuda ini milik ayah, namanya Hweliong- ki, kuda yang satu lagi adalah kuda liar yang hari itu berhasil aku tundukkan. Inilah sumbangan ayah dan aku untuk kalian."
Tan Ciok-sing berkata.
"Kuda milik Jongcu mana berani kami terima? Kuda yang satu ini juga kesukaan Siau-jongcu, aku, kami..."
Tuli-liang berjingkrak, serunya.
"Tidak, kalian harus terima pemberianku ini. Tan-toako, kau sudah bilang mau menerima, kenapa sekarang mungkir? Barang yang diberikan kepada tamu memang adalah barang kesayangan sendiri baru besar artinya, mana ada orang memberikan barang yang dibencinya kepada orang lain?"
Tuli-bun tertawa, katanya.
"Orang Han kalian biasanya ada pepatah yang bilang, perkataan seorang Kuncu laksana kuda dipecut sekali, betul tidak? Kedua ekor kuda ini sudah menjadi milik kalian, jikalau kalian sudi memandangku sebagai sahabat, maka jangan kau tolak pemberian kami ini."
Melihat orang tulus dan iklas, Tan Ciok-sing jadi sungkan, terpaksa dia terima dua ekor kuda itu serta mengucapkan terima kasih. Tuli-bun berkata lebih lanjut.
"Sekantong arak susu kuda ini dan sekantong ransum kering ini untuk bekal kalian di tengah jalan, terimalah sebagai pernyataan sanubariku."
Baru saja mereka hendak naik ke punggung kuda, tiba-tiba Jalakun tarik tangan Tan Ciok-sing ke pinggir, diam-diam dia memberi sebotol pil obat, berbisik memberi pesan entah apaapa.
Sudah tentu tingkah lakunya ini menarik perhatian In San, diam-diam dia merasa heran.
Setelah jauh meninggalkan peternakan, In San bertanya.
"Sebetulnya aku terkena penyakit apa? Tabib itu sudah menjelaskan kepadamu?"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya.
"Adik San, biar kujelaskan sejujurnya kepadamu. Tabib bilang kau sudah mengandung. Sebotol obat ini adalah An-tay-yok, obat penguat kandungan."
In San melenggong, katanya.
"Apa betul aku, aku sudah hamil? Kau tidak ngapusi aku?"
"Kau belum pernah hamil, tapi perempuan hamil tentunya kau pernah melihatnya, bukankah mereka senang makan yang kecut-kecut?"
Merah selebar muka In San dengan malu-malu dia menunduk, tapi hatinya senang bukan main.
"Adik San,"
Kata Tan Ciok-sing.
"aku yang bikin kau sengsara, kau, kau tidak marah kepadaku bukan?"
In San angkat kepala, katanya tertawa.
"Siapa bilang aku tidak senang, aku justru kuatir kau yang tidak senang."
Tan Ciok-sing melongo, tanyanya.
"Kenapa aku tidak senang?"
In San tertawa.
"Kelak aku jauh menyayangi anak kita dari pada menyayangi kau, apa kau tidak iri?"
"Memang begitulah yang kuharapkan."
"Aku, aku sedang pikir..."
"Apa yang kau pikir?"
Semekar kembang senyuman ln Sanj katanya perlahan.
"Dari cerita orang aku sering dengar, perempuan yang baru hamil empat lima bulan masih boleh bergerak bebas. Dengan menunggang kuda-kuda jempolan pemberian Tuli-bun, dalam jangka dua bulan pasti kita bisa mencapai Thian-san, kurasa aku tidak akan mengalami sesuatu. Toh Thian-tok Ciangbunjin Thian san-pay adalah suhengmu, setiba di Thian-san, boleh kau mohon kepadanya untuk menjadi wali pernikahan kita. Sayang mungkin aku tidak bisa menemani pulang ke markas Kim-to Cecu."
"Kau menunggu kelahiran di Thian-san, disana ada orang yang akan merawat dan menjagamu, akupun bisa lega meninggalkan kau disana."
"Aku pun berpikir demikian, Setelah anak kita lahir, biar dia angkat guru kepada Suhengmu. Setelah dia berusia dua belasan tahun, baru akan kuajak pulang ke Tionggoan. Tapi jangan kau biarkan aku menunggu selama itu, kuharap tahun depan atau paling lama dua tahun sudah harus menengokku ke Thian-san.
"Kitakan belum sampai di Thian-san, kenapa kau bicarakan soal kedatangan kedua kalinya?"
"Tidak, toako, aku minta sekarang juga kau berjanji akan menepati permintaanku."
"Kau kira aku tega meninggalkan kalian ibu dan anak, sudah tentu selekasnya aku akan menengok kalian."
Manis mesra hati In San, katanya.
"Baiklah, ucapan seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk, kuharap kau tidak lupa akan janji kita ini. Sing-ko, jangan ngapusi aku." 'Ucapan seorang kuncu laksana kuda sekali cambuk' adalah kata yang sering digunakan Tan Ciok-sing, kini In San meniru logat Ciok-sing mengikat janjinya, karuan bergolak rongga dada Tan Ciok-sing, sesaat lamanya dia hanya menyengir tak mampu bersuara. In San teringat sesuatu, tanyanya.
"Oh, ya, hampir lupa aku tanya kau, bukankah Jalakun membicarakan perihal Kektoako dan Toh-cici?"
"Jalakun ternyata adalah sahabat baik Wi-cui-hi-kiau, maka sekali ketemu Kek-toako seperti kenalan lama dengan dia. Kek-toako bilang kedatangannya kemari untuk menghindari tuntutan balas orang terhadap mereka."
"Kuda kita lari cepat, yakin suatu ketika pasti dapat menyusul mereka."
"Benar, bila ada Toh So-so di dampingmu, banyak pekerjaan yang kurang leluasa kulakukan, dapat dia membantu kau."
Sudah tentu In San tahu apa yang dimaksud Tan Ciok-sing, seketika merah mukanya, katanya.
"Aku sudah cukup istirahat, mari kita lanjutkan perjalanan. Bukan mustahil Kektoako dan Toh-cici sedang menunggu kita di sebelah depan."
Tapi sehari sudah lewat, dua hari sudah berselang, ...sampai hari kelima, mereka tetap tidak berhasil menyusul Kek dan Toh atau menemukan jejak mereka.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hari itu mereka tengah mencongklang kuda, tiba-tiba didengarnya seekor kuda dibedal kencang memburu dari belakang begitu kencang laksana angin lesus yang mengamuk.
Suara seorang yang sudah dikenal berkata.
"Tan-siauhiap, kau takkan menduga aku bakal menyusulmu bukan? Teman lama sudah menyusul, kenapa tidak berhenti dan turun dari kuda, memangnya kau tidak hiraukan persahahatan lagi?"
Tan Ciok-sing menoleh, dilihatnya yang menyusul adalah Buyung Ka.
"Buyung Ka,"
Damprat Tan Ciok-sing gusar.
"tidak malu kau berani menemui aku?"
Buyung Ka tertawa, katanya.
"Tan-siauhiap, kenapa kau bilang demikian, tahukah kau, Ho-siu-oh ribuan tahun yang diberikan Timanor kepadamu itu sebetulnya milikku."
Menggelora amarah Tan Ciok-sing, bentaknya.
"Ho-siu-oh apa, beruntung aku tidak mati, karena Tok-ing-ji milikmu itu."
"Betul, memang Tok-ing-ji,"
Ujar Buyung Ka tertawa.
"aku kuatir, kau takkan menempuh perjalanan sampai di Thian-san, bila mampus di tengah jalan, siapa yang akan mengubur mayatmu, maka kususul kau supaya nona In ada yang merawatnya..."
Saking murka Tan Ciok-sing meraung sambil menubruk. Kuatir kekasihnya teledor lekas In San menariknya, katanya.
"Membunuh manusia durjana macam begini buat apa mematuhi aturan Kangouw."
Buyung Ka tertawa tergelak-gelak katanya.
"Kalian tidak akan mematuhi aturan Kangouw jadi mau mengeroyok aku. Boleh saja, silahkan maju. Kitapun tidak perlu mematuhi aturan Kangouw."
Tampak dari dalam hutan menerjang keluar tiga orang penunggang kuda, lekas sekali mereka sudah jajar di kanan kiri Buyung Ka. Tiga orang membentak bersama.
"Tan Cioksing. Kau melukai guru kami, kami menuntut balas sakit hati guru, maaf sesuai perkataanmu kami tidak akan mematuhi aturan Kangouw."
Tiga orang ini adalah murid Milo Hoatsu, dua padri Lama, seorang bersenjata gada adalah murid tertua adalah Toa-kiat, murid kedua bersenjata toya bernama Toa-siu.
Seorang lagi bersenjata kipas lempit, yaitu murid penutup yang paling dibanggakan, yaitu Tiangsun Pwelek, Tiangsun Co.
Kuatir Tan Ciok-sing tidak mati keracunan, sengaja mereka menyusul datang dan mencegat serta akan membunuhnya.
Ketiga orang ini turun bersatu! dari punggung kuda.
Sementara itu Tan Ciok-sing sudah melabrak Buyung Ka.
Bahwasanya Buyung Ka memang tangan Yu-hian-ong yang sengaja ditanam di dekat Jenderal Abu sebagai agen rahasia untuk membunuhnya kuatir rahasianya terbongkar, sehari Tan Ciok-sing tidak mati, sehari dia tidak akan hidup tentram.
Maka dia bertekad membunuh Tan Ciok-sing untuk menutup mulutnya.
Keduanya sama-sama sengit dan bertekad merobohkan lawannya, maka serangan mereka merupakan jurus tipu ganas dan mematikan.
Buyung Ka menyerang dengan Tay-cui-pi-jiu, Tan Ciok-sing malah mendesak maju balas menyerang dengan jurus Li Khong memanah batu, pedangnya menusuk leher.
Di tengah berkelebatnya sinar pedang, terdengar "Cret"
Tahu-tahu separo gelungan rambut Buyung Ka terbang berhamburan tertiup angin, tapi Tan Ciok-sing tampak sempoyongan seperti api lilin yang bergoyang-goyang hampir padam tertiup angin, setelah mundur beberapa langkah, baru berdiri tegak pula.
Untung Buyumg Ka berkelit cepat, dia gunakan Hong-tiamthau menghindar, walau lehernya tidak tertusuk pedang, namun rambutnya terpapas dan kepalanya botak.
Ujung pedang Tan Ciok-sing menyerempet kulit kepalanya, rasanya silir dingin.
Hanya segebrak, Buyung Ka hampir saja terenggut nyawanya, karuan rasa kejutnya bukan kepalang, namun setelah lenyap rasa kagetnya, lekas sekali dia berseru girang.
"Memang tidak lepas dugaanku, Lwekang bocah ini tidak setangguh dulu, lekas kalian kemari."
Tiangsun Co mendahului melompat maju, dendamnya terhadap Tan Ciok-sing lebih besar, dengan sengit dia melabrak maju. Sebelum Tan Ciok-sing berdiri tegak. Tiangsun Co telah menubruk ke depannya, jengeknya menyeringai.
"Anak keparat rasakan pembalasanku."
Sembari bicara tangannya bergerak, kipas lempit yang di pinggirnya tajam tiba-tiba terkembang, dengan gerakan Ngo-hing-kiam dia menyerang gencar, suatu ketika memapas ke tulang pundak Ciok-sing.
Kedatangan In San tepat pada waktunya, hampir bersamaan Tiangsun Co, dia menerobos ke samping Tan Ciok-sing.
"Tiangsun Co, luka-luka di bokongmu, karena pukulan empat puluh kali itu sudah sembuh belum? Jangan karena sudah sembuh lupa akan rasa sakitnya, tempo hari kami mengampuni jiwamu, pernah kuperingatkan kepadamu, masa begini cepat sudah lupa,"
Demikian ejek In San dengan tawa dingin, di tengah ejekannya itu.
"Sret", beruntun tiga kali pedangnya menusuk, menyungkil dan menabas. Bahwa In San mengorek boroknya, karuan Tiangsun Co mengumpat caci tidak karuan. Maklum sebagai murid tersayang dari jago nomor satu di negeri Watsu, Milo Hoatsu, kalau dinilai kepandaiannya Tiangsun Co tidak kalah dibanding In San, tapi karena diburu hawa amarah, permainannya menjadi kacau dan didesak mencak-mencak di bawah angin oleh In San. Kembali In San mencecar dengan tiga kali serangan pedang kilat, kipas lempit di tangan Tiangsun Co berputar dengan jurus Hu-ih-hoan-ih dia berusaha memutar balik tenaga serangan lawan, gerakan ini memang keahliannya yang selama ini paling dia banggakan, tapi usahanya hanya dapat memunahkan dua jurus terdahulu serangan ln San, jurus terakhir "Ting"
Kembang api berpijar, ternyata kipas lempitnya tertusuk bolong.
Ceng-bing-kiam yang dipegang In San adalah pedang mustika milik isteri Thio Tan-hong di masa hidupnya.
Dalam pada itu Toa-kiat dan Toa-siu juga telah menubruk tiba, setelah lenyap rasa kagetnya Buyung Ka kembali menerjang maju.
Toa-siu menggerung keras toya besinya diayun dengan jurus Thay-san-ap-ting terus mengepruk.
Bertepatan saat itu In San berputar tubuh, maka sepasang pedang bergerak serasi.
"Tang"
Toya kena ditangkis pergi.
Kungfu Tan Ciok-sing memang belum pulih, tapi Siang-kiam-hap-pik memang luar biasa kekuatannya.
Tan Ciok-sing gentayangan dua kali baru berdiri tegak pula, sementara Buyung Ka dan Tiangsun Co juga telah mendesak maju pula, empat musuh merabu dari empat penjuru.
Tan Ciok-sing berkata.
"Adik San, selama gunung tetap menghijau, jangan kuatir kehabisan kayu bakar. Ada seorang yang masih perlu kau jaga dan rawat, jangan kau hanya memikirkan aku, lekas kau berangkat lebih dulu."
Teringat orok yang masih dalam kandungannya, serasa diiris-iris perasaan In San.
"tapi tegakah dia tinggal pergi, membiarkan Tan Ciok-sing dalam kondisi selemah itu menghadapi ke empat musuhnya? Tiangsun Co tidak tahu bahwa ibu In San telah mati, maka dia kira "orang yang perlu dijaga dan dirawat"
Oleh In San seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, dengan gelak tawa dia berkata.
"Tan Ciok-sing, jangan kuatir. Bila kau mati, nona In aku yang akan menjaganya, bila dia sudah menjadi biniku, sudah tentu ibunya adalah ibu mertuaku pula. Hehe, setiap keluarganya adalah jamak kalau aku ikut merawatnya."
Di tengah gelak tawanya, sengaja dia mengebas kipas di depan muka In San, sementara sebelah tangan diulur hendak mencengkram.
"Kunyuk kurang ajar."
Mendadak Tan Ciok-sing menghardik, selicin belut tiba-tiba dia mengegos maju, menerobos lewat di antara toya dan gada Toa-siu dan Toakiat yang merangsak tiba.
"Sret"
Tahu-tahu pedangnya telah mengancam muka Tiangsun Co. Lekas Tiangsun Co menekan dan mengebas kipasnya.
"Cret"
Kembali kipasnya bolong tertusuk pedang, kalau Tiangsun Co tidak cepat menarik tangan, jari-jarinya tentu sudah terpapas kutung.
Untung dari samping lekas Buyung Ka memukul sehingga Tiangsun Co didorong mencelat ke samping.
Serangan Tan Ciok-sing masih belum habis tenaganya, maka tanpa merobah gerakan ujung pedangnya terus menyelonong ke lingkaran pertahanan Buyung Ka.
Padahal Buyung Ka sudah kerahkan sembilan bagian tenaganya, tapi tusukan pedang lawan tetap tak kuasa dibendungnya, mau tidak mau kaget juga hatinya.
"Kenapa bocah ini kelihatan menjadi makin kuat malah, apakah tadi dia sengaja pura-pura untuk menipu aku?"
Melihat In San terancam bahaya, saking gugupnya, tenaga simpanannya tanpa sadar timbul secara reflek.
Demikian pula orang biasa, di kala menghadapi bahaya sering bisa melakukan sesuatu keajaiban yang dalam keadaan biasa mustahil bisa dilakukan, apalagi sekarang Ciok-sing sudah pulih tujuh bagian Lwekangnya.
Bahwa Lwekang Ciok-sing lebih kuat inipun dirasakan oleh In San, segera dia berteriak.
"Betul. Di mata ada musuh, dalam hati tiada musuh."
Tan Ciok-sing seketika sadar, segala keruwetan dan kekhawatiran hatinya segera dia buang jauh-jauh, lekas sekali ketenangan dan kejernihan pikiran telah menjamin kemantapan batinnya.
Apakah jiwanya bakal segera tamat? Dapatkah sebelum dirinya ajal mampu membantu kesulitan teman baik (Kek dan Toh)? Demikian pula apakah In San dan bayi dalam kandungannya bisakah selamat? Semua persoalan yang tadi berkecamuk dalam benaknya, sekarang telah disapunya bersih sementara.
Bila hati tenang, pikiran jernih dan batinpun bening, tanpa terasa Lwekangnya bertambah lipat, lekas sekali pulih delapan bagian.
Karena itu gerakan Siang-kiam-hap-pik semakin manunggal, cukup kuat untuk menandingi ke empat pengeroyoknya dalam beberapa lama.
Tapi keadaan juga hanya seri alias setanding, dalam waktu dekat tidak mungkin bisa mencapai kemenangan.
Sebaliknya melihat kekuatan kedua muda mudi ini makin kuat, pihak Buyung Ka kebat-kebit, meski gencar serangan mereka, tapi hati sudah mulai was-was.
Pertempuran telah berjalan setengah jam tenaga kedua pihak sudah terkuras, kekuatan mereka sudah lemah.
Terutama Toa-kiat dan Toa-siu yang bersenjata berat, keringat gemerobyos, napas tersengal-sengal.
Suatu ketika Tan Ciok-sing melihat titik kelemahan lawan, sekonyong-konyong dengan jurus Pek-ho-liang-ci, gaya pedangnya menyelonong miring, dengan enteng dia menutulkan pedang di ujung gada Toa-kiat.
Dalam gebrak permulaan tadi.
Ciok-sing pernah gunakan jurus ini untuk menuntun gada Toa-kiat, tapi tidak berhasil, tapi kali ini terlaksana keinginannya.
"Trang"
Keras sekali, gada emas Toa-kiat membentur toya besi Toa-siu.
Tenaga kedua orang kira-kira sebanding, bobot senjata mereka juga kira-kira sama, sehingga benturan keras yang menimbulkan daya pantul itu tak kuasa dikendalikan lagi, gada Toa-kiat mengepruk remuk kepala Toa-siu, sementara toya Toa-siu mengemplang pecah batok kepala Toa-kiat.
Sepasang saudara seperguruan ini menjerit keras terus roboh binasa.
Sudah tentu kejut Buyung Ka bukan kepalang, serasa arwahnya lolos dari raganya, tanpa banyak bicara segera dia putar tubuh terus ngacir.
Tan Ciok-sing gerakan pedang dan pukulan telapak tangan, pedangnya menabas kulit daging di pundak orang, sementara telapak tangannya telak menggaplok punggungnya.
Luka pedang agak ringan, celaka adalah pukulan telapak tangan yang telak mengenai punggung.
"Huuuaah". Darah segar tumpah dari mulutnya. Tapi Kungfu Buyung Ka memang hebat, meski sudah terluka parah, dalam detik-detik menghadapi mati hidup ini, ternyata dia masih mampu lari secepat terbang, sayang tenaga Tan Ciok-sing sudah bertolak kembali, tusukan pedangnya yang kedua tidak mengenai sasaran, sebelum sempat menyerang lagi, lawan sudah cemplak ke punggung kuda. Kuda itu pemberian Yu-hian-ong, kuda pilihan dari negeri Turfan yang mahal harganya, kecepatan larinya tidak kalah dibanding Hwe-liong-ki milik Tan Ciok-sing, padahal kuda mereka jauh di belakang sana, untuk mengejar jelas tidak sempat lagi, terpaksa musuh dibiarkan lari. Taraf kepandaian Tiangsun Co tidak setinggi Buyung Ka, larinya agak terlambat. Tapi kudanya itupun pilihan dari Turfan yang sudah terlatih baik, sekali bersiul kuda itu sudah lari mendatangi, lekas Tiangsun Co memburu maju, saat mana kakinya sudah masuk pedal dan hendak naik ke punggung kudanya. In San amat benci akan ocehannya yang tidak genah tadi, alisnya tegak, bentaknya.
"Bangsat, terlalu menghina kau, masih mau lari?"
Menggunakan sisa tenaganya dia ayun lengannya terus menimpuk, Ceng-bing-kiam laksana sejalur samberan kilat meluncur ke depan.
Baru saja Tiangsun Co duduk di punggung kuda, seketika dia melolong panjang mengerikan.
Pedang mustika tembus dari punggung ke depan dadanya, kontan dia terjungkal roboh dan terpantek di atas tanah.
Kuda itu tergores luka oleh ujung pedang waktu Tiangsun Co terjungkal, karena kesakitan lari sipat kuping dan tak kelihatan lagi.
"Sayang Buyung Ka keparat itu bisa lolos,"
Demikian ujar In San.
"Sing-ko, tolong kau cabut pedangku itu."
Waktu bicara tiba-tiba dia sempoyongan hampir jatuh, ternyata waktu menimpuk pedangnya tadi, dia kerahkan seluruh kekuatannya, untuk jalan sudah tidak mampu lagi. Tan Ciok-sing kaget, katanya.
"Adik San, kenapa kau?"
Lekas dia berlari datang memapahnya. Dia pikir pedang tertunda tercabut sebentar juga tidak jadi soal, sebaliknya kalau In San terluka perlu segera ditolong dan diobati.
"Tidak apa-apa,"
Kata In San.
"hanya kehabisan tenaga saja, istirahat sebentar juga sudah baik."
Lega hati Tan Ciok-sing, dia genggam tangannya, katanya.
"Coba kuperiksa urat nadimu."
In San kaget, serunya.
"He, kenapa telapak tanganmu sedingin ini? Aku tidak apa-apa, sebaliknya kau..."
Belum habis dia bicara Tan Ciok-sing sudah lepas pegangan, tampak dia sempoyongan terus jatuh duduk di tanah.
Ternyata setelah memeriksa urat nadi In San, dan terbukti kesehatannya tidak kurang suatu apa, legalah hatinya, maka ketahanannyapun luluh dan tak kuat berdiri lagi.
In San buru-buru menariknya, tapi tenaganya sendiri juga lemah, sehingga mereka sama-sama jatuh terguling berpelukan.
Lekas Tan Ciok-sing duduk dan berkata.
"Jangan kuatir, duduk istirahat sebentar nanti juga baik."
Perasaan In San tidak karuan, pikirnya.
"Mungkin sisa racun dalam tubuhnya belum tuntas, tapi diam-diam mengelabui aku."
Tak lama kemudian tampak uap putih mulai mengepul di atas kepalanya, rona mukanya juga makin merah, pelan-pelan terbuka matanya dan berkata perlahan.
"Tenagamu sudah agak pulih bukan. Tolong kau tuntun kuda kita kemari, kita harus lekas menempuh perjalanan."
In San juga cukup ahli dalam ilmu silat, dia tahu Ciok-sing sedang kerahkan Lwekang menyembuhkan sendiri luka-luka dalamnya, taraf pertama sudah selesai, maka dia berkata.
"Menolong teman memang cukup penting, tapi bila Kungfumu sendiri menjadi tekor, ada niat tenagapun takkan sampai."
Alasan yang dikemukakan ln San memang beralasan, terpaksa Ciok-sing membuang segala pikiran, kembali dia meneruskan samadinya. Setengah jam kemudian, tiba-tiba dia melompat bangun, katanya.
"Sudah selesai."
In San ragu-ragu, katanya.
"Apa betul kau sudah baik?"
Tan Ciok-sing membalikkan tangan, sebatang pohon sebesar paha bayi kena ditabasnya putus, katanya.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kapan aku pernah bohong kepada kau?"
Ternyata Kek Lam-wi dan Toh So-so juga sedang ngacir, keadaan mereka lebih runyam lagi.
Baru mereka memasuki wilayah Sinkiang mereka lantas menemukan jejak musuh yang mengejar.
Hari itu mereka sudah memasuki daerah bersalju, hari ke sembilan sejak mereka mulai pelarian.
Mendongak mengawasi puncak gunung besar di depan, lega hati Kek Lam-wi, katanya senang.
"Tak terasa kita sudah sampai di Thian-san."
Toh So-so juga kegirangan, seruaya.
"Apa betul? Waktu kita menginap di perkemahan suku Wana, bila membicarakan Thian-san, seolah-olah gunung itu jauh di ujung langit, tak nyana tahu-tahu sudah di depan mata?"
"Ini hanya cabang gunung Thian-san, namanya Liam-cengtang- ku-la-san."
Ujar Lam-wi.
"O, jadi kau menggodaku supaya senang."
Omel Toh So-so.
"Meski bukan puncak Thian-san, tapi terhitung kita sudah berada di kaki Thian-san. Entah berapa hari lagi kita harus menempuh perjalanan, tapi apapun setelah kita tiba disini, Thian-san tidak jauh di ujung langit pula, kini kita sudah didalam haribaannya."
"Betul, makin dekat Thian-san, semakin jauh kita meninggalkan bahaya. Meski kedua tua bangka itu punya nyali setinggi langit, juga tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap kita di Thian-san."
"Bisa bebas dari kejaran mereka memang syukur, tapi yang lebih menyenangkan hatiku ialah,'sehari kita makin mendekati Thiansan..
"
"Sehari kau bisa lebih cepat bertemu dengan Tan Ciok-sing dan ln San. Em, setiap saat kau merindukan mereka, untung Ciok-sing seorang laki-laki, kalau perempuan tentu aku sudah jelus."
Entah dari mana rasa riang Toh So-so meski lelah setelah menempuh perjalanan jauh dan susah.
"Lam-ko, aku kepingin mendengar tiupan lagu serulingmu. Sudah sekian hari kita hidup dalam pelarian yang menegangkan, sekarang tiba saatnya menghibur diri."
Tak nyana belum habis dia bicara, tiba-tiba terdengar sebuah lengking suara yang menusuk telinga.
"Budak busuk, coba buktikan, dapatkah kau lari dari cengkramanku."
Orangnya belum kelihatan, tapi suaranya sudah bikin pekak telinga Toh So-so.
Toh So-so tahu siapa yang memekik keras itu, saking kaget dia menjerit ketakutan.
Kek Lam-wi kembangkan Ginkang berlari ke atas seperti terbang.
Tampak dari depan "mendatangi dua orang, seorang kakek dan seorang nenek, mereka bukan lain adalah ayah bunda Kangouw Longcu Liu Yau-hong yaitu Thian-liong-kiamkhek Liu Jiu-ceng dan isterinya Yam-lo-sat Bing Lan-kun.
"Liu-locianpwe,"
Teriak Kek Lam-wi.
"kau adalah seorang Cianpwe yang punya nama dan kedudukan tinggi di kalangan Bulim, kau harus berpegang keadilan dan kebenaran, putramu itu..."
Yang benar Liu Jiu-ceng memang ternama, tapi 'kedudukan' tinggi hakikatnya tiada. Sebelum Kek Lam-wi bicara habis, Bing Lan-kun sudah membentak.
"Orang she Kek urusan tidak menyangkut dirimu. Aku hanya ingin mendapat jawaban budak busuk itu... Ada dua jalan boleh kau pilih salah satu, kalau mau boleh menjadi menantuku, kalau tidak biar kugores mukamu beberapa jalur, seperti kau melukai putraku itu."
Meski jeri tak urung membara amarah Toh So-so, serunya.
"Nenek peyot galak, tahukah kau putra kesayanganmu itu..."
"Budak busuk,"
Sentak Bing Lan-kun.
"kau sudah melukai putraku, berani memakiku."
Tar, pecutnya kontan terayun. Lekas Kek Lam-wi mencegat ke depan, teriaknya.
"Liulocianpwe, kau orang ternama, urusan harus dibicarakan dulu supaya gamblang bukan?"
Membesi muka Liu Jiu-ceng, katanya.
"Aku tidak memukul kau. Keluarga Liu kita mau memungutnya menjadi menantu, memangnya merendahkan derajatnya?"
Toh So-so jelas bukan tandingan Bing Lan-kun, beberapa kali dia diancam bahaya, terpaksa Kek Lam-wi mendampinginya melawan musuh. Bing Lan-kun mengembangkan Wi-hong-sau-yap, ilmu cambuknya yang paling dibanggakan.
"Sret, sret"
Angin menderu menimbulkan gulungan angin yang kencang, seolaholah mendadak timbul pusaran angin lesus menggulung ke arah Kek dan Toh berdua.
Cambuk lemas panjang itu berputar menjadi beberapa lingkaran, tegak miring datar, besar sedang dan kecil, didalam lingkaran ada lingkaran.
Begitu hebat dan menakjubkan juga permainan cambuk Bing Lan-kun.
Kek Lam-wi dipaksa untuk mendemontrasikan King-sin-siau-hoat yang baru dipelajarinya atas petunjuk Ti Nio, namun demikian, tak berhasil dia memunahkan lingkaran-lingkaran besar kecil itu.
Tak lama kemudian gerak-gerik mereka sudah terbelenggu didalam lingkaran cambuk lawan.
Di tengah kesibukannya itu mendadak Kek Lam-wi bersiul sekali lalu bersenandung membawakan dua bait syair.
Bing Lan-kun menjengek dingin.
"Kematian di depan mata masih bersenandung segala."
Padahal dalam hati merasa heran, dalam detik-detik yang gawat begini, ternyata lawan masih sesantai itu berdeklamasi segala.
Tampak permainan seruling Kek Lam-wi, tiba-tiba berobah.
Serulingnya tegak dahulu, mendadak terayun berputar laksana angin lesus, empat penjuru suhu hawa menjadi dingin.
Perbawanya sungguh mirip gunung bersusun dan berlapis sesuai arti syair yang dia senandungkan tadi.
Herannya rangsakan cambuk Bing Lan-kun terbendung diluar garis.
Ternyata King-sin-siau-hoat merupakan cangkokan dari King-sin-pit-hoat yang mengutamakan sumber syair kaya pujangga di dynasti Tang dahulu, dua jurus yang dilancarkan deklamasinya membawakan dua bait syair pula, serulingnya bergerak dari atas ke bawah terus membabat dan menyapu.
Bing Lan-kun sudah kembangkan Wi-hong-sau-yap dari ilmu cambuknya yang paling liehay, tapi cambuk lemasnya tetap tak mampu menjebol garis pertahanan lawan.
Habis senandung, mumpung lawan terdesak dan merobah gerakan, tiba-tiba Kek Lam-wi angkat serulingnya ke dekat mulut lalu ditiupnya sekali.
"Suuiiiit"
Bing Lan-kun memaki.
"Setan, apa yang kau lakukan?"
Mendadak serumpun angin panas menerjang muka, karuan kagetnya bukan main, dia kira lawan menggunakan senjata rahasia khusus yang ditiup keluar dari serulingnya, lekas dia tarik dan putar cambuknya untuk melindungi badan.
Yang benar yang menerpa mukanya bukan senjata rahasia tapi serumpun hawa hangat dari tiupan serulingnya yang panas.
Seperti diketahui, seruling Kek Lamwi itu adalah mustika dunia persilatan, bukan saja kerasnya melebihi besi atau emas, malah hawa hangat yang keluar dari seruling pualam itu dapat menyerang musuh dan menundukkan serangan Khikang lawan yang negatif.
Sudah tentu untuk melancarkan tiupan seruling ini harus dilandasi kekuatan Lwekang yang cukup tangguh juga.
Lwekang Bing Lan-kun lebih tinggi dari Kek Lam-wi, maka dia tidak terluka oleh tiupan hawa murni.
Tapi muka kesampuk hawa hangat itu menjadi pedas dan perih.
"Tua bangka,"
Teriak Bing Lan-kun.
"anak itu bukan milikku sendiri, kau biarkan orang menghinaku."
Liu Jiu-ceng takut bini seperti berhadapan dengan harimau, terpaksa dia menampilkan diri.
Begitu dia terjun ke arena, situasi segera berobah.
Hanya beberapa jurus Kek Lam-wi telah terdesak di bawah angin, tenaga sebesar gunung menindihnya, bukan saja gerakan seruling terasa berat dan susah dimainkan secara wajar, gerak geriknyapun menjadi kurang leluasa.
Tengah mereka menghadapi bahaya, tiba-tiba terdengar irama petikan harpa sayup-sayup sampai terbawa angin lalu.
Mendengar petikan senar-senar harpa yang merdu itu, diam-diam Liu Jiu-ceng melengak kaget.
"Siapa memiliki Lwekang setangguh ini, apakah Toh Thian-tok Ciangbunjin Thian-san-pay telah datang?"
Maklum pertama irama kecapi itu terdengar, suaranya mengalun lembut sayup-sayup sampai seperti berada di tempat yang amat jauh, tapi dalam sekejap tahu-tahu sudah berkumandang jelas dan lebih dekat, Ginkang pendatang jelas sudah teramat tinggi.
Orang yang bisa memanjat pegunungan setinggi ini, jelas bukan orang sembarangan, apalagi Ginkang pendatang itu begitu tinggi, petikan senar kecapinya begitu indah dan merdu lagi, sehingga siapa yang mendengar merasa susah diraba dan dirasakan, logis kalau Liu Jiu-ceng curiga yang datang adalah Ciangbunjin Thian-san-pay.
Pertarungan jago kelas wahid mana boleh terpecah perhatiannya, hanya sekejab itu, Liu Jiu-ceng melancarkan serangan pedang yang dikombinasikan pukulan telapak tangan.
"Biang"
Kek Lam-wi kena dipukulnya mencelat dengan Bik-khong-ciang.
Liu Jiu-ceng juga tertiup angin hangat dari seruling Kek Lam-wi, tepat mengenai Hian-khi-hiat di dadanya.
Lwekang Liu Jiu-ceng lebih tangguh dari Kek Lam-wi, cukup tiga kali dia mengatur pernapasan, cepat sekali dia sudah segar bugar.
Tapi dalam sekejap itu diapun tidak bisa memburu Kek Lam-wi untuk membekuknya.
Di sebelah sana Yam-lo-sat Bing Lan-kun telah menyandak Toh So-so.
Toh So-so menjejak kaki sekuatnya, meloncat berusaha menghindar, sayang gerakannya kurang cepat serambut.
"Brett"
Pakaiannya tercomot robek oleh cakar setan lawan. Tapi pada detik-detik berbahaya itu pula, Kek dan Toh memperoleh pertolongan yang tak pernah mereka duga, Toh So-so sudah terpeleset jatuh. Bing Lan-kun menyeringai.
"Budak busuk, kau mau menjadi menantu atau suka menjadi setan burik? Lekas katakan, kuhitung tiga kali, kalau kau tidak menjawab, terpaksa akan kucacah wajahmu dengan pedangku ini.
"Satu, dua..."
Toh So-so merangkak mundur, belum mampu dia berdiri, sementara sambil menghitung Bing Lan-kun mendesak maju sambil ulur cakar jarinya, tapi sebelum dia sempat menghitung 'tiga'.
Sekonyong-konyong selarik sinar kemilau laksana kilat menyambar, bersama kilat pedangnya menyambar penyerang inipun menubruk maju laksana seekor burung besar menubruk ke arah Bing Lan-kun.
Bing Lan-kun amat kaget, lekas dia mencelat minggir ke samping sambil mengibas lengan baju.
Maka terdengar suara robek yang panjang, ternyata kebasannya itu bukan saja tidak mampu menangkis pedang lawan, malah lengan bajunya terpapas sebagian.
Untung Bing Lan-kun mengeluarkan cambuknya pula, dengan jurus Wi-hong-hud-liu, baru dia berhasil mematahkan dua jurus serangan ilmu pedang lawan.
"Perempuan siluman, berani kau menyakiti Toh-cici, biar aku adu jiwa dengan kau."
Baru sekarang Bing Lan-kun melihat jelas penyerang dirinya adalah seorang gadis belia, dia bukan lain adalah In San.
Bahwa In San sudah tiba, sudah tentu Tan Ciok-sing juga sudah datang.
Kedatangannya juga tepat pada waktunya, kebetulan dia tangkap tubuh Kek Lam-wi yang terpukul mencelat dan hampir terjerumus ke dasar jurang.
Untung waktu melancarkan Bik-khong-ciang, Liu Jiu-ceng kurang konsentrasi, maka tenaga pukulannya tidak sepenuhnya.
Beruntung pula Kek Lam-wi tidak terpukul telak, meski pukulan Bikkhong-ciang cukup keras namun Kek Lamwi tidak terluka sama sekali.
Tapi bila Kek Lam-wi menginjak bumi, seketika dia merasa napasnya sesak, sekujur badan lemah lunglai.
Melihat orang tidak terluka, legalah hati Tan Ciok-sing, segera dia tampil ke depan, katanya lantang sambil menjura.
"Liu-locianpwe, kejadian luka-luka atas putramu itu, kesalahan tidak boleh ditumplekkan kepada Toh Lihiap saja. Waktu kejadian Wanpwe kebetulan juga hadir. Sudilah kau mendengar dulu penjelasanku, supaya pertikaian kalian bisa kudamaikan."
Sebetulnya tak usah dijelaskan oleh Tan Ciok-sing, Liu Jiuceng sudah tahu bahwa kesalahan memang di pihak putranya.
Tapi karena dia terlalu sayang dan memanjakan putranya, di samping didesak dan diomeli istrinya yang bawel dan galak itu, meski tahu di pihak sendiri yang salah, terpaksa dia berusaha menuntut balas bagi sakit hati anaknya.
Yang dia takuti adalah Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok, melihat yang datang adalah pemuda tanggung usia belum genap dua puluh tahun, legalah hatinya.
Dengan menyeringai dingin Liu Jiu-ceng membentak.
"Bocah dari mana kau, setimpal kau jadi juru damai? Lekas menyembah tiga kali dan menggelinding turun gunung kalau tidak, hm, hm, segera kupunahkan ilmu silatmu."
Melihat kawan baiknya dihina, sudah tentu Tan Ciok-sing amat marah, bentaknya.
"Kalau mampu boleh silahkan kau punahkan ilmu silatku."
Pedang tercabut terus diputar balik.
"Tang"
Kembang api berpijar, dua pedang mustika bentrok keras, tiada yang cidera. Lwekang Liu Jiu-ceng jelas lebih tinggi, maka pedang mustika Tan Ciok-sing tertolak pergi, tubuhnyapun gentayangan dua langkah.
"Kena."
Tiba-tiba Liu Jiu-ceng menghardik, dengan jurus Li Khong memanah batu, ujung pedangnya menusuk ulu hati dari arah punggung Tan Ciok-sing.
Di luar tahunya Bu-bing-kiam-hoat Tan Ciok-sing sekarang sudah diyakinkan sempurna, permainan sudah selaras dengan pikirannya, reaksinya juga cekatan, tiba-tiba dia gunakan Ihsing- hoan-wi, menghindar sambil balas menyerang, langkahnya gentayangan seperti orang mabuk, tapi pada hal merupakan gerak perpaduan dengan ilmu pedangnya yang mengandung isi kosong susah diraba.
Seperti orang mabuk menggerakkan pedang saja, gerakan pedang seenaknya itu tahu-tahu sudah menusuk dari arah dan posisi yang tak terduga oleh Liu Jiu-ceng.
Kalau yang diserang seorang yang berkepandaian agak rendah, tubuhnya pasti dihiasi tusukan pedang Tan Ciok-sing, tapi Liu Jiu-ceng mengerahkan Thian-liong-kang sekali tusukannya, arena seluas beberapa tombak seperti terbelenggu didalam kekuatan dalamnya sekokoh tanggul dan sekeras damparan ombak mengamuk, terpaut setengah inci tusukan pedang Tan Ciok-sing, ujung pedangnya tergetar pergi oleh kekuatan Lwekang lawan.
Tapi, Tan Ciok-sing berhasil memanfaatkan kesempatan baik ini, mencelat kesana bergabung dengan In San.
Ternyata In San sedang didesak mundur oleh rangsakan Bing Lan-kun yang gencar dan ganas.
Siang-kiam-hap-pik kekuatannya berlipat ganda, Liu Jiuceng yang memburu datang dengan serangan pedangnya kena ditangkis cerai berai.
Demikian pula cambuk panjang Bing Lan-kun seperti terkunci didalam lingkaran sinar pedang, buru-buru dibetotnya keluar.
Padahal cukup tangkas reaksinya, tapi terdengar "Cras"
Sekali, ujung cambuknya terpapas putus. Saking kaget Bing Lan-kun melompat ke dekat suaminya. Maka kedua pihak sudah sama-sama gabung dengan kawannya sendiri. Tan Ciok-sing menghentikan aksinya, katanya.
"Liulocianpwc, berlakulah murah hati, dimana boleh diampuni, berilah pengampunan..."
Dia masih berusaha melerai.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bocah keparat."
Hardik Liu Jiu-ceng dengan gusar.
"kau kira aku takut menghadapi Siang-kiam-hap-pik kalian?"
Dimana pedangnya membelah, angin kencang menderu sekeras badai, sinar pedang yang tercerai berai tiba-tiba melingkup pula, laksana mata rantai saja tahu-tahu menyapu miring terus melintir-lintir.
Jurus ini merupakan serangan hebat dari setaker tenaganya, Thian-liong-kang dia salurkan ke ujung pedang, Siang-kiam-hap-pik yang dilancarkan Tan Ciok-sing dan In San juga hanya mampu bertahan dan menahan saja.
Pertempuran seru berulang, ujung pedang Liu Jiu-ceng seperti diganduli barang berat, menuding ke timur menusuk ke barat, gerakannya seperti amat parah, tapi dimana ujung pedangnya menuding, kekuatannya ternyata besar luar biasa, sayup-sayup seperti terdengar gemuruh gcluduk.
Kalau dalam keadaan biasa, dengan gabungan Tan Ciok-sing dan I n San, Liu Jiu-ceng tentu sudah dikalahkan sejak tadi.
Tapi keadaan Tan Ciok-sing sekarang agak payah.
Lwekangnya belum pulih.
luka dalam, keracunan lagi, demikian pula In San sedang hamil, hingga gerak geriknya harus dibatasi, maka sekuatnya mereka masih kuat bertahan.
Kek Lam-wi dan Toh So-so menyaksikan pertempuran diluar gelanggang, tampak sinar pedang dan bayangan cambuk samber menyamber, daun pohon pun berhamburan, kembang sama rontok bertaburan, dalam sekejap saja, daundaun dan kembang-kembang di atas pohon sekitar gelanggang telah rontok menjadi gundul kelimis, tinggal dahan-dahannya saja.
Kek Lam-wi geleng-geleng sambil menghela napas panjang, bukan saja takjub diapun kagum dan kaget pula, rasa gegetun merasuk sanubarinya karena dirinya tidak mampu membantu.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar sebuah siulan panjang, bagai pekik naga mengalun tinggi menembus angkasa menggetar bumi.
Tan Ciok-sing anggap tidak mendengar siulan itu, perhatiannya tertuju kepada musuh di depan mata.
Sebaliknya Liu Jiu-ceng amat kaget, pikirnya.
"Entah orang itu kawan atau lawan, Lwekangnya jauh lebih tangguh dari Tan Ciok-sing keparat ini."
Tan Ciok-sing sedang mengembangkan kekuatan Bu-bingkiam- hoat pada puncaknya, sayang tenaganya tidak memadai, sebetulnya mereka sudah tidak kuat bertahan lagi, apa lagi kedatangan lawan yang Kungfunya lebih tangguh dari Tan Ciok-sing? Karena kaget dan perasaan tergetar, betapapun hebat ketenangannya, tak urung permainan pedangnya menjadi kacau.
Kalau permainannya menurun, sebaliknya cahaya pedang Tan Ciok-sing mendadak tambah cemerlang, maka terdengarlah rangkaian benturan keras dan bunyi nyaring sederas bunyi ledakan mercon, cambuk panjang Bing Lan-kun terputus-putus menjadi delapan potong.
Pedang Liu Jiu-ceng memang tidak kurang suatu apa, tapi bahaya yang mengancam dirinya jauh lebih besar, topinya tertusuk bolong oleh pedang Tan Ciok-sing kulit kepalanya menjadi silir.
Memutar tubuh Liu Jiu-ceng terus melarikan diri.
Baru sekarang Tan Ciok-sing sempat dengar seorang yang suaranya asing memuji.
"Ilmu pedang bagus."
Sekenanya orang itu meraih sekeping es terus tangan terayun, bentaknya.
"Kalian berani bertingkah di Thian-san, lantas mau lari begini saja? Tinggalkan sedikit tanda mata."
Begitu ditimpukkan, kepingan es itu lantas pecah menjadi dua dan meluncur ke arah dua sasaran.
Bing Lan-kun lari di depan sementara Liu Jiu-ceng di belakangnya, tapi kedua orang terkena timpukan es itu berbareng.
Kontan Bing Lan-kun menjerit terus menggelinding ke bawah lereng, Liu Jiu-ceng juga merasakan hawa dingin meresap kedalam tubuh, kaki tangan dan pori-pori seluruh tubuh seperti melepuh dan hampir meledak.
Ternyata ilmu silat Bing Lan-kun telah punah, demikian juga Liu Jiu-ceng kehilangan Lwekang sepuluh tahun latihan.
Untung Liu Jiuceng masih mampu mengembangkan Gin-kang, Bing Lan-kun yang menggelundung di tanah bersalju juga tidak terluka parah, tanpa berhenti Liu Jiu-ceng gendong isterinya terus lari turun gunung tanpa pamitan lagi.
Melihat orang itu mendemonstrasikan ilmu silat yang hebat luar biasa, Tan Ciok-sing sudah tahu siapa yang datang, serunya.
"Apakah Toh-suheng yang datang? Siaute adalah..."
Saking kegirangan, tiba-tiba terasa hawa murninya buyar, pandangan seketika berkunang-kunang, seperti lidah api ditiup angin kencang, tubuhnya terombang-ambing.
"Ciok-sing Sute,"
Seru Toh Thian-tok.
"Aku sudah tahu kau adalah murid penutup Suhu. Eh, Sute kau kenapa?"
Tan Ciok-sing sudah tidak tahan, akhirnya meloso duduk di tanah, tapi dia tidak melupakan satu hal yang amat penting.
"Suheng, ada sebuah hal penting perlu aku memberi tahu kepadamu, di hari tuanya Suhu telah mencipta Bu-bing-kiamhoat, sayang aku tidak sempat menjelaskan kepadamu panjang lebar."
"Sute,"
Ujar Toh Thian-tok.
"jangan kau kuatirkan soal ini setelah menyaksikan ilmu pedangmu, aku sudah tahu pedangnya..."
Sebagai maha guru silat nomor satu di jaman ini, begitu dia tekan punggung Tan Ciok-sing lantas dia tahu, ajal Tan Ciok-sing sudah tak bisa ditunda lagi, ternyata Toking- ji di tubuh Tan Ciok-sing telah kumat sehingga hawa murninya buyar seketika.
Tan Ciok-sing turunkan harpa, katanya.
"Kek-toako, sudah lama kau ingin mendengar lagu Khong-ling-san, belum pernah ada kesempatan aku memetik lagu itu untuk kau dengar, sekarang biarlah aku penuhi keinginanmu."
Sebelum Kek Lamwi sempat mencegah jari-jarinya sudah mulai memetik senarsenar harpa.
Seperti sepasang kekasih yang sedang asyik memadu cinta, seperti sesama kawan intim yang melepas rindu.
Seperti pula berada di Kanglam di saat musim kembang mekar, laksana berdiri di puncak gunung nan tinggi dimana hembusan angin laksana siulan merdu...
tanpa terasa In San tenggelam dalam alunan musik sehingga pikirannya melayang jauh ke belakang, akan kejadian-kejadian masa lalu di saat-saat dirinya memadu cinta bersama Tan Ciok-sing.
Mendadak bunyi harpa berobah, seperti pekik lutung di selat sungai, laksana isak tangis seorang gadis yang ditinggal kekasih, Ciok-sing telah curahkan seluruh batinnya untuk mencurahkan isi hati dan makna suci dari Khong-ling-san di saat-saat jiwanya tinggal menuju ajal.
Berpisah dengan teman, berpisah dengan isteri...
mendadak "Creng"
Senar harpa putus.
Senar putus jiwapun melayang.
Lama In San mematung seperti linglung, akhirnya dia tersedu sedan sambil memeluk jenazah Tan Ciok-sing.
TAMAT Ikuti kisah-kisah serial Thiansan sebelum ini.
1.
Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika) Kisah masa muda Hian Kie Itsoe (Tan Hian Kie), Siangkoan Thian Ya dan Siauw Oen Lan.
Lika-liku kisah kasih di antara mereka, dan pertentangan di antara mereka.
Dalam cerita ini dapat diikuti kisah hilangnya ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat Boetong pay.
2) Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan) Kisah masa muda Thio Tan Hong dan In Loei.
Kisah cinta kasih di antara mereka, yang dilatar belakangi dendam turunan keluarga.
Selain permusuhan dengan keluarga In Loei, keluarga Thio Tan Hong juga merupakan musuh turunan dari kaisar yang berkuasa saat itu.
Apa yang terjadi, bila permusuhan dua keluarga bercampur dengan urusan negara? 3) San Hoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga) Kisah Ie Sin Tjoe, murid Thio Tan Hong.
Dua enghiong yang berbeda sifat mencintai satu liehiap, mana yang dipilih si Pendekar Wanita Penyebar Bunga? Perseteruan keluarga kerajaan dengan keluarga Thio Tan Hong sudah selesai, ganti keluarga Pit yang juga merasa berhak atas tahta kerajaan yang melakukan pemberontakan.
4) Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu) Setelah menjadi pendekar besar, Thio Tan Hong akhirnya bertemu dengan musuh terberatnya.
Cerita ilmu Sioelo Imsat Kang dari Kiauw Pak Beng akan muncul kembali dalam cerita Perjodohan Busur Kumala, bersama dengan turunan Le Kong Thian.
.dan menangkap kembali kuda yang terlepas, Tan Cioksing mendengar salah seorang petugas menggerutu.
"Malam ini sungguh sebal, baru saja mengantar ongya keluar, baru saja mapan tidur, terjadi keributan ini, entah apa yang telah terjadi, celakanya aku telah tidur nyenyak."
Belum habis dia menggerutu tiba-tiba Tan Ciok-sing muncul merenggut kuduknya, dua orang lagi telah ditutuk Hiat-tonya oleh In San. Yang dibekuk kuduknya berteriak kesakitan.
"Kau, kau siapa?"
Tan Ciok-sing berpakaian busu Mongol, petugas itu kira orang sedang berkelakar dengan dirinya. Dengan bahasa Mongol Tan Ciok-sing menjawab.
"Aku adalah pembunuh."
Karuan petugas itu ketakutan, ratapnya.
"Aku hanya bekerja mengurus kuda, Hohan jangan kau bunuh aku."
"Kalau kau bicara jujur, aku boleh mengampuni kau, kalau tidak... coba lihat."
Begitu dia layangkan kakinya, enam batang balok-balok kayu yang tertancap jajar di depan istal kena disapunya runtuh patah enam batang.
"Hohan, kau, kau ingin tahu apa? Hamba akan menerangkan setahuku."
"Adik San, kau saja yang tanya."
Ujar Tan Ciok-sing, bahasa Mongolnya tidak sefasih In San, maka dia minta In San yang mengompres keterangan.
"Dengan siapa Ongya keluar?"
"Orang itu aku tidak kenal."
"Orang Mongol atau orang Han?"
"Agaknya orang Han."
"Satu di antaranya apakah usianya sudah lanjut?"
"Ada seorang yang sudah beruban rambut dan jenggotnya, pada hal usianya kira-kira baru enam puluhan."
"Kapan mereka meninggalkan istana?"
"Kentongan pertama."
"Kapan kembali?"
"Entahlah hamba tidak tahu, Ongya tidak memberitahu."
"Cukuplah, orang itu jelas adalah bangsat tua she Liong."
"Baiklah, kau boleh tidur nyenyak."
In San tutuk Hiat-to penidur petugas istal, katanya.
"Toako lekas kau pilih dua ekor kuda."
Mencemplak kuda mereka lolos dari pintu belakang, meski disini dijaga beberapa Wisu, mana mereka mampu merintangi Tan dan In, kecuali dua tiga orang yang cerdik melihat gelagat, siang-siang telah menyembunyikan diri, sisa Wisu yang lain semua ketimpuk batu sambitan Tan Ciok-sing dan tertutuk Hiat-tonya.
Di tengah kegelapan mereka menempuh perjalanan, kini cuaca lebih mending, bintang utara tampak kelap kelip, berpedoman pada bintang utara itulah mereka terus maju ke depan.
In San berkata.
"Entah sudah kentongan ketiga belum?"
Dalam hal melihat cuaca Tan Ciok-sing lebih berpengalaman, katanya.
"Bintang utara sudah berputar doyong ke barat, kentongan ketiga mungkin sudah lewat."
Tengah mereka mencongklang kuda, tiba-tiba terdengar derap kuda dan roda kereta menggelinding, sebuah kereta ditarik empat kuda muncul dari lereng sebelah sana.
Di depan kereta digantung sebuah lentera angin, kelihatan kereta itu cukup mewah dan besar, jelas bukan kereta milik keluarga biasa.
In San kegirangan, katanya pelan-pelan.
"Pasti itulah kereta Yu-hian-ong, entah bangsat she Liong itu ada tidak dalam kereta itu. Mari kita cegat mereka."
"Jangan gegabah, kita tetap menyaru pesuruh keluarga raja, bertindak menurut gelagat."
Demikian Tan Ciok-sing menganjurkan. Kuda mereka berhenti di tengah jalan, kereta besar itupun dihentikan. Dengan mengecilkan suara In San berkata.
"Pesuruh ong-hu datang memberi lapor kepada Ongya."
Kerai kereta tersingkap, kepala Yu-hian-ong muncul, katanya "Siapa namamu, terjadi apa di istana?"
Dirasakan suara In Sun masih asing baginya, jelas bukan anak buah kepercayaannya, tapi dalam istananya terlalu banyak orang, tidak mungkin setiap orang dia kenal, maka dia tanya dulu nama In San.
Ciok-Sing dan In San turun dari kuda serta menghampiri ke depan kereta, dalam jarak sepuluh langkah berhenti serta membungkuk memberi hormait kepada Yu-hian-ong, sengaja In San pura-pura sengal-sengal.
katanya tergagap.
"Ada pembunuh membuat onar harap Ongya jangan pulang dulu, aku, aku adalah.
"
Suaranya makin serak dan lirih sehingga Yu-hian-ong tidak dengar apa yang dia katakan lagi. Yu-hian-ong tertawa tergelak-gelak, katanya.
"Sudah kuduga pembunuh bakal meluruk ke istanaku, memangnya mereka bisa meloloskan diri, sekarang aku akan pulang mengompres mereka, le, siapa namamu, katakan yang jelas..."
Belum habis dia bicara mendadak Tan Ciok-sing dengan gerakan kilat telah menubruk ma|u mencengkram ke arah Yuhian- ong.
Mimpipun Yu-hian-ong tidak menduga bahwa budak keluarganya bakal menyergap dirinya, baru saja dia menjerit sekali, tahu-tahu dadanya sudah direnggut Tan-Giok-sing.
Yang duduk di sebelah Yu-hian-ong adalah seorang padri asing yang berperawakan kekar besar berkasa merah, gerakannyapun tidak kalah cepat, hampir bersamaan.
"wut"
Tiba-tiba dia memukul batok kepala Tan Ciok-sing. Merasakan samberan angin kencang, Ciok-sing tahu penyerang berkepandaian lebih tinggi. Cepat dia gunakan Hong-tiam-thau, berbareng tubuh Yu-hian-ong dia angkat ke atas, bentaknya.
"Kalau berani, boleh pukul,"
Ciok-sing kira Yu-hian-ong berada di tangannya, betapapun padri asing ini tidak akan mencelakai jiwanya. Tak nyana tanpa ayal sambil mendengus dia membentak.
"Kenapa tidak berani."
"Blang"
Telapak tangannya dengan telak menggaplok punggung Yu-hian-ong.
Begitu padri asing ini bersuara Ciok-sing lantas kenal, dia bukan lain adalah jago kosen nomor satu di Watsu, Milo Hoatsu adanya.
Kejadian aneh sekali, pukulan Milo Hoatsu mengenai punggung Yu-hian-ong tapi yang kena pukul ternyata seperti tidak merasa apa-apa, celakanya Tan Ciok-sing justru seperti diterjang arus badai, dadanya seketika sesak seperti dipukul godam raksasa.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Milo Hoatsu menggunakan Kek-but-thoan-kang, bila jenis ilmu seperti ini diyakinkan pada puncaknya, sekeping tahu yang ditaruh di atas batu, sekali pukul, tahunya tetap utuh tapi batu di bawahnya hancur luluh.
Meski Kek-but-thoan-kang Milo Hoatsu belum setaraf itu, tapi liehaynya bukan main.
Begitu dada seperti digodam, reaksi Tan Ciok-sing ternyata cukup tangkas juga kontan dia bersalto ke belakang, jarinya masih mencengkram Yu-hian-ong.
Milo Hoatsu kira sekali pukulan tadi pasti membuat lawan tak sempat melukai Yu-hian-ong dan terluka parah oleh tenaga Liong-siang-kang, bila lawan terluka dengan sendirinya Yu-hian-ong dapat meloloskan diri dengan mudah.
Tak nyana Tan Ciok-sing masih kuat memegang tawanannya serta menyeretnya turun dari kereta, hal ini betul-betul diluar dugaannya.
In San juga lompat turun, pedang di tangannya lantas terayun, dua kaki depan kuda-kuda penarik kereta itu dia babat kutung, kuda roboh keretapun serong dan akhirnya roboh terjungkir, lentera angin itupun padam, keadaan menjadi gelap, dalam keributan ini Tan dan In masih perhatikan sekelilingnya, tapi orang yang diharapkan tidak kelihatan.
Begitu menginjak bumi Ciok-sing kerahkan hawa murninya, sehingga rasa sesak dadanya sirna seketika.
Bentaknya.
"Yuhian- ong, kau ingin hidup tidak?"
Saking ketakutan Yu-hian-ong menjublek tak mampu bicara. Begitu melompat turun Milo Hoatsu menjemput batu menimpuk mampus kuda tunggangan Tan Ciok-sing. Bentaknya.
"Berani kalian melukai Ongya, coba saja apakah kalian mampu meloloskan diri."
"Siapa bilang kami mau lari?"
Jengek Tan Ciok-sing. Dari sebuah kereta lain yang baru tiba turun orang mendekati mereka, katanya tergelak-gelak.
"Tidak lepas dari dugaan, kau bocah she Tan dan budak she In pula yang membuat keributan. Syukurlah kalau tidak ingin lari, mari kita tentukan siapa jantan siapa betina."
Orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong Sugong Go, Tan dan In sudah menduga bahwa Yu-hian-ong pasti dikawal, tapi mereka tidak menduga yang mengawal adalah Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong, dalam hati Ciok-sing membatin.
"Syukur Yu-hian-ong sudah kuringkus lebih dulu, kalau tidak sulit kita menghadapi kenyataan ini."
Dengan tertawa dia berkata.
"Sekarang kami tiada tempo melayani kau berkelahi, kalau mau bertanding boleh setelah urusanku beres, boleh kau tentukan waktu dan tempatnya."
Jantung Yu-hian-ong masih berdebar, katanya.
"Apa kehendak kalian?"
"Serahkan jiwa Liong Bun-kong, kalau kau masih ingin hidup, barter dengan jiwa bangsat tua itu."
Selama ini Yu-hian-ong tidak mendengar suara atau melihat bayangan Liong Bun-kong, dalam hati dia mengumpat.
"Keparat tua, enak-enak sembunyi dalam kereta."
"Betul, dia memang masuk istana bersama aku, melihat kesehatannya yang terganggu, Khan telah menahannya di istana,"
Demikian Yu-hian-ong berbohong.
Pada hal dia tahu bualannya ini tidak akan dipercaya lawan tapi tujuannya memang hendak mengulur waktu, dengan kepandaian Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong yang tinggi bukan mustahil mereka dapat membantunya meloloskan diri.
Tan Ciok-sing setengah percaya setengah curiga, pikirnya.
"Liong Bun-kong menjual negara dan bangsa, memang bukan mustahil untuk merangkulnya Khan Agung sengaja menahannya di istana. Aku sudah janji terhadap Siau-ongya untuk tidak melukai ayahnya, bagaimana baiknya?"
Tengah hatinya menerawang, ujung matanya tiba-tiba menangkap gerakan Tang-hay-Iiong-ong yang diam-diam mendekati In San.
"Awas adik San."
Teriaknya memperingati. Sebat sekali In San menyelinap ke belakang Yu-hian-ong, pedangnya mengancam batok kepala Yu-hiang-ong. bentaknya.
"Siapa berani bergerak, jiwa Ongya kalian segera kuhabisi lebih dulu."
Maksud Tang-hay-liong-ong, hendak membekuk In San sebagai sandera, untung Tan Ciok-sing memperingatkan, terpaksa Tang-hay-Iiong-ong mundur kembali ke tempat semula. Pedang In San kini mengancam tenggorokan Yu-hian-ong, jengeknya dingin.
"Jangan kira obrolanmu dapat menipu kami. Kuhitung tiga kali, kalau dia tidak kau serahkan jangan menyesal bila kepalamu kupenggal lebih dulu."
Kulit leher Yu-hian-ong sudah terasa perih dingin, nyalinya serasa hampir pecah, mana dia bisa meresapi ancaman In San dengan pikiran jernih, lekas dia berteriak.
"Baik, baiklah akan kukatakan, singkirkan dulu pedangmu..."
Belum habis dia bicara, Liong Bun-kong yang sembunyi di belakang batu besar segera cemplak ke punggung seekor kuda terus dibedal pergi. Yu-hian-ong berteriak kalap.
"Liong Bun-kong, kura-kura kurcaci, jiwaku teracam lantaran kau, hayo kembali, kembali."
Sudah tentu Liong Bun-kong tidak mau kembali, teriaknya dianggap tidak dengar, beberapa kali dia lecut kudanya supaya berlari lebih kencang lagi. In San segera berkeputusan, katanya.
"Toako, biar aku mengejarnya, kau tahan tawanan kita."
Tan Ciok-sing cengkeram tulang pundak Yu-hian-ong, sementara telapak tangan menempel punggung, serunya lantang.
"Sebelum nona In kembali, siapapun kularang bergerak, kalau tidak terpaksa aku tidak sungkan lagi menamatkan jiwa Ongya."
"Kalau nona In tidak kembali bagaimana? Memangnya kau akan menyandera Ongya selamanya?"
Jengek Milo Hoatsu "Paling lama satu jam, peduli dia pulang atau tidak, asal kalian tidak bergerak, aku akan bebaskan dia."
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pisau Terbang Li -- Gu Long Dendam Asmara -- Okt