Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 17


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 17



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Sesudah Bing Lok minggat dari bangsanya, semula Manlis tidak menceritakan kejadian itu pada Fuad, tetapi semalam itu ia tak dapat tidur nyenyak, dalam hati kecilnya rasanya seperti dipagut ular berbisa hingga tak tenteram.

   "Tidak, aku tidak harus mendustainya, mengapa aku harus mendustai orang yang kucintai? Jika aku memberitahu padanya dan ia bisa mendapatkan kembali ayahku, bukankah hal itupun sangat menggembirakan?"

   Begitulah pikir Manlis sadar dari kekeliruannya.

   Besok paginya, segera ia memberitahukan hal minggatnya sang ayah kepada Fuad, segera juga Fuad membawa orangorangnya mencari ke seluruh pelosok, waktu mereka memasuki pegunungan Mustak, tiba-tiba tertampak mayat serdadu Boan bergelimpangan di sana-sini tak terhitung banyaknya, mereka menjadi terkejut.

   Selagi mereka hendak memeriksa lebih jelas, tiba-tiba terdengar suara bentakan anak gadis yang nyaring.

   "Hai, siapa kau? Apakah kalian kafilah yang lewat di sini?"

   Menyusul itu, dari lembah sana terlihat seorang gadis berbaju merah dengan mendukung seorang, pelahan tetapi gesit, sedang naik ke atas. Keadaan tiba-tiba itu membikin Fuad dan Manlis tercengang.

   "Nona, kami adalah pejuang bangsa Kazak, dan siapakah kau?"

   Sahut Manlis dan memapaknya.

   "Serdadu Boan telah mati begini banyak, siapakah yang telah membunuhnya?"

   Mendengar Manlis menyebut pejuang bangsa Kazak, anak gadis itu berjingkrak kegirangan. Mendengar Manlis menyebut pejuang bangsa Kazak, anak gadis itu berjingkrak kegirangan.

   "He, pejuang bangsa Kazak?"

   Katanya kemudian.

   "Kalau begitu tentu kalian kenal Leng Bwe-hong, bukan?"

   "Leng-tayhiap? Sudah tentu kenal,"

   Sahut Fuad.

   "la adalah tuan penolong bangsaku! Maafkan, dapatkah Lihiap memberitahu, apakah Lihiap mengenal juga Leng-tayhiap?"

   "Ya, kami adalah sahabat baik Leng-tayhiap,"

   Gadis itu menerangkan.

   "Aku bernama Bu Ging-yao, dan yang kudukung ini bernama Lauw Yu-hong "

   Bu Ging-yao bertabiat nakal, ia melihat sikap Fuad dan Bing Manlis begitu rapat, maka dengan tertawa ia meneruskan pula perkataannya.

   "Ia dan Leng Bwe-hong sama seperti hubungan kalian berdua yang baik."

   Wajah Manlis menjadi kemerahan karena godaan orang tetapi Fuad hanya menganggap sepi saja, kemudian ia bertanya keadaan luka Lauw Yu-hong.

   Luka Yu-hong memang tidak enteng, ia tergelincir masuk ke jurang oleh desakan Coh Ciau-lam dengan jago pengawal kerajaan, sebenarnya susah untuk menyelamatkan jiwanya, beruntung di tangannya membawa senjata rahasia yang tunggal, 'Kim-hun-tau', yang terpentang di angkasa dan terombang-ambing, karena itu telah mengurangi kecepatannya terjerumus ke bawah, justru 'Kim-hun-tau' itu baru saja kena dirusak oleh timpukan batu kerikil Coh Ciaulam, hingga kaitan kawat yang ada pada jala Kim-hun-tau itu semrawut, waktu sampai di tengah-tengah, tiba-tiba kailan itu dapat menyangkut pada sebuah pohon Siong yang tua, seketika juga menghentikan daya menggelincir ke bawah, namun sementara itu ia sudah dalam keadaan tak sadar.

   Dan Bu Ging-yao yang ikut terjun ke bawah, mengunjuk ilmu mengentengkan tubuh ajaran Pek-hoat Mo-li yang lihai, lebih dulu ia mengincar baik-baik suatu tempat, setelah tubuhnya menurun hingga sedalam belasan tombak, ia rnenutul ujung kakinya ke tempat itu untuk kemudian berganti gaya melompat turun pula dengan cara yang sama, dengan demikian kelihatannya menjadi seperti terbang dari atas udara.

   Pada waktu Lauw Yu-hong masih terapung turun, dengan jelas Bu Ging-yao masih bisa melihatnya, maka ia menyusul cepat dan akhirnya berhasillah ia menolong jiwa Lauw Yuhong.

   Begitulah, lalu Bu Ging-yao menceritakan pertempuran sengit yang terjadi itu kepada Fuad.

   Kepala suku Kazak yang masih muda ini ternyata sangat simpati, di samping memerintahkan orang-orangnya mendaki ke atas gunung untuk mencari Leng Bwe-hong, ia mengajak pula Bu Ging-yao tinggal di perkemahannya, agar bisa mengobati luka Lauw Yu-hong.

   Dengan sendirinya hal itu diterima baik oleh Bu Ging-yao.

   Kembali bercerita mengenai Hui-ang-kin dan Pho Jing-cu dan kawan-kawan.

   Sejak Leng Bwe-hong dan Sin Liong-cu berangkat, dalam hati mereka terus tak tenteram, tetapi situasi medan peperangan makin hari makin menjadi genting, tiba-tiba pasukan Boan maju serentak, pasukan induk musuh itu bagai gelombang badai dan topan menyapu lewat padang rumput.

   Hui-ang-kin memegang teguh siasat yang telah ditentukan, ia memencarkan pasukannya menjadi kelompok kecil tersebar ke seluruh padang rumput yang luas tak berbatas itu.

   Waktu pasukan induk Boan lewat, Pho Jing-cu dan Hui-angkin memandangnya dari atas sebuah puncak gunung tinggi, mereka menyaksikan bendera pasukan musuh berkibar dengan megahnya, puluhan ribu kuda berlari.

   cepat, semangat prajurit tampak berapi-api.

   "Di dalam pasukan Boan itu tentu terdapat jenderal yang pintar, kali ini pasti lain daripada di bawah pimpinan To Tok dulu,"

   Ujar Pho Jing-cu mengkerut kening setelah menyaksikan keadaan pasukan musuh.

   "Kita. pun 1ak kalah dari mereka,"

   Ujar Hui-ang-kin tertawa sambil mengayun pecutnya yang panjang.

   "Mari kita potong dulu ekor ular yang panjang ini!"

   Ia menanti setelah pasukan musuh sudah lewat tujuh atau delapan bagian, mendadak ia menghimpun kekuatan pasukannya terus memotong putus barisan musuh, dengan cara begitu, ia memperoleh kemenangan yang gilanggemilang.

   Akan tetapi pasukan Boan itu juga gagah sekali, walaupun sudah kalah masih tidak kalut, begitu berhadapan dengan pasukan Hui-ang-kin, segera mereka bertahan dan menghantam dengan mati-matian, beberapa hari kemudian Hui-ang-kin sudah berhasil membasmi sebagian besar serdadu musuh, tetapi bala-bantuan musuh telah datang, terpaksa mereka mengundurkan diri lagi.

   Setelah pasukan induk musuh lewat, kabar berita yang lainpun menyusui datang bahwa pasukan Boan mendadak telah dibagi dua jurusan, satu jurusan masuk Mongol dan yang lain masuk ke Tibet.

   Yang masuk Tibet ini bahkan dipimpin sendiri oleh Pangeran In Te.

   "Kita telah menang besar, tapi kali ini mereka memperoleh kemenangan yang lebih besar,"

   Kata Jing-cu pada Hui-ang kin dengan menghela napas.

   "Dengan jelas sebenarnya mereka tahu bahwa di sinilah pusat berkumpulnya suku bangsa di Lamkiang, tetapi waktu lewat sengaja mereka tidak menggubris, sengaja mereka membiarkan ekor pasukan yang panjang dipotong dan hanya bertahan mati-matian, sebaliknya kepala pasukannya secepat kilat maju terus ke depan."

   Hui-ang-kin berpikir, maka ia pun insyaf juga telah kena dipedayai musuh, karena itu ia agak menyesal.

   "Sekalipun mereka pandai bersiasat, tetapi kalau melihat keseluruhannya, mereka tak akan bisa menolong nasib kebangkrutan mereka,"

   Ujar Pho Jing-cu kemudian dengan tertawa. Hui-ang-kin dapat memahami apa yang dimaksudkan, ia mengangguk membenarkan.

   "Ya, pasukan tanpa dukungan rakyat, cepat atau lambat pasti akan ambruk dengan sendirinya, aku paham perkataanmu,"

   Katanya. Ketika mereka berdua bercakap-cakap, tiba-tiba Boh Wan Han dan Kui Tiong-bing terlihat mendatangi dengan kuda mereka.

   "Pho-pepek, Pho-pepek,"

   Demikian seru gadis itu dari jauh.

   "Coba kau terka, siapakah jenderal yang memimpin pasukan Boan kali ini?"

   "Dari mana aku bisa tahu?"

   Kata Jing-cu heran.

   "Ah, jika demikian, kau setan cilik ini tentu sudah dapat kabar apaapa!"

   Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian berdua telah diperintahkan Hui-ang-kin untuk menyelidiki kedudukan pasukan musuh, oleh karena itu dengan cepat Hui-ang-kin pun bertanya.

   "Apa yang telah kalian temukan di tempat bekas perkemahan musuh?"

   Boh Wan-lian tidak lantas menjawab, ia menarik diri Huiang- kin dan lantas diajak pergi.

   "Pho-pepek, harap kau juga ikut, coba lihat nanti apakah tebakanku betul atau tidak?"

   Katanya pula pada Pho Jing-cu.

   Lalu mereka berempat segera melarikan kuda dan mendaki gunung untuk memeriksa tempat yang pernah didirikan perkemahan oleh pasukan Boan, setelah memeriksa sejenak, mereka mendapat kesan bahwa pasukan musuh teratur baik dan berdisiplin keras.

   "Melihat caranya ini, pimpinan pasukan musuh ini boleh dikata berbakat jenderal sungguh-sungguh,"

   Jing-cu memuji.

   "Mungkin pemimpin pasukan ini tidak hanya terbatas jenderal saja!"

   Ujar Boh Wan-lian.

   Lalu ia menuding ke tembok batu yang ada di depannya.

   Dan waktu Pho Jing-cu dan kawan-kawan mendekati dan memeriksanya terlihat di atasnya terukir beberapa baris huruf besar, agaknya seperti diukir setelah huruf-huruf ditulis dulu di atasnya.

   Huruf-huruf itu ditulis dengan gaya yang kuat dan indah sekali.

   Pho Jing-cu sendiri adalah seorang sastrawan, oleh karena itu, mau tak mau ia harus memuji tulisan itu.

   Boh Wan-lian coba membaca tulisan itu yang ternyata adalah sebuah syair.

   "Pho-pepek, menurut pandanganmu, bukankah syair itu bergaya Nilan Yong-yo?"

   Tanya Wan-lian sehabis membaca syair itu.

   "Ya, syair yang mengandung perasaan duka dan berbudi luhur ini, di zaman ini hanya Nilan Yong-yo saja yang mampu menulisnya"

   Kata Jing-cu setuju dengan pendapat Boh Wanlian.

   "Apalagi perasaan yang timbul waktu berada di perbatasan ini, ikut di dalam pasukan yang bertempur, di dalamnya samar-samar mengandung pula perasaan benci pada peperangan, kalau bukan Nilan Yong-yo, siapa lagi yang berani menulis syair ini?"

   Demikian Wan-lian menambahkan.

   "Memang kau sangat cerdik,"

   Kata Jing-cu memuji sambil bertepuk tangan.

   "Pimpinan pasukan musuh ini memang bukan jenderal, tetapi ialah Kaisar sendiri!"

   "Kalian bicara tentang syair dan omong soal sajak, aku sedikitpun tak paham akan hal itu, bagaimana kalian dapat menarik kesimpulan dari syair ini, bahwa yang memimpin tentara ialah Kaisar?"

   Tanya Hui-ang-kin merasa heran.

   "Nilan Yong-yo ialah putera Perdana Menteri, juga teman pribadi Kaisar pula kalau bukan Khong-hi sendiri yang memimpin pasukannya, bagaimana ia bisa sampai di tempat terpencil ini mengikuti pasukan tentara!"

   Jing-cu menegaskan.

   "Biar Hongte sendiri yang datang, kita juga tidak takut,"

   Hui-ang-kin menjengek.

   "Takut? Sudah tentu kita tidak takut,"

   Ujar Jing-cu.

   "Tetapi Khong-hi memimpin pasukan tentara sendiri, suatu tanda betapa perhatiannya terhadap daerah tapal batas ini kalau kita harus bertempur melawan dari depan, hal itu tentu tidak menguntungkan."

   Tiong-bing serupa juga.

   dengan Hui-ang-kin, ia pun tidak paham tentang syair atau sajak, kini nampak Boh Wan-lian merenung menghadap tembok batu, tiba-tiba ia teringat dulu Nilan Yong-yo pernah menggandeng tangan si gadis, oleh karena itu dalam hatinya agak kurang senang.

   Tengah mereka berbicara, sekonyong-konyong dari kejauhan mendatangi dua penunggang kuda yang sedang kejar- mengejar dengan kencang, dan bila kedua kuda itu sudah berdekatan, yang di depan lantas berbal ik menempur mati-matian.

   Lewat sejenak pula, dapatlah terlihat lebih jelas, bahwa penunggang kuda di belakang yang mengejar itu ialah searang gadis berhaji) merah, sinar pedangnya gemerlapan tidak pernah meninggalkan panggung penunggang kuda yang di depan itu, kedua orang sama-sama membentak dan berteriak, agaknya seperti saling damprat.

   Tidak lama kemudian, tiba-tiba keduanya turun dari kuda, dan segera bertempur sengit lagi di atas padang rumput luas itu.

   Ilmu pedang gadis itu tampak lihai sekali, cepat dan gesit sekali ia rnerangsek habis-habisan lawannya.

   Penunggang kuda yang dikejar itu ialah seorang laki-laki setengah umur, ilmu pedangnya sangat aneh, gerak langkahnya pun sempoyongan tak tetap seperti orang mabuk keranjingan, gerakannya ternyata menyerupai gerak Sin Liong-cu yang aneh itu.

   Setelah dapat mengenali siapa adanya mereka itu, dengan berteriak Hui-ang-kin mengeprak kudanya menerjang turun gunung sambil memanggil.

   "Sumoay, berhenti! Orang sendiri semua."

   "Han-toako, berhenti! Kita berada di sini semua!"

   Pho Jingcu ikut berseru juga menyusul Hui-ang-kin.

   Kedua orang yang saling gebrak itu memang bukan lain daripada Bu Ging-yao dan Han Ci-pang.

   Pada waktu Bu Ging-yao bertemu dengan rombongan Fuad, kemudian mereka bersama-sama mencari ke seluruh gunung, tetapi mereka hanya mendapatkan mayat yang bergelimpangan termasuk pula jenazah Ciok Thian-sing dan Sin Liong-cu, tak tertahan mereka sangat berduka, lalu mereka mengubur jenazah kedua kawan itu, bersama Fuad mereka kembali ke pangkalannya di padang rumput Garsin.

   Dalam pada itu, lambat laun Lauw Yu-hong sudah sadar kembali, dengan air mata berlinang, ucapannya yang pertama ialah menanyakan keselamatan Leng Bwe-hong.

   Dan ketika Ging-yao memberitahu bahwa mereka tidak menemukan mayat Leng Bwe-hong, barulah ia merasa agak lega, tetapi kemudian bila mendengar bahwa Ciok Thian-sing dan Sin Liong-cu telah menjadi korban, ia merasa sedih pula.

   Ging-yao menghibur sebisanya, melihat lukanya walaupun tampak parah dari luar, tetapi masih tidak membahayakan jiwanya, maka lantas ia memohon bantuan Fuad dan Manlis untuk merawatnya baik-baik, sedang ia sendiri lantas berpamitan untuk berangkat kembali.

   Pertama ia hendak melaporkan kabar itu pada Hui-ang-kin, kedua ialah minta Pho Jing-cu datang lagi bersama dia untuk menolong mengobati Lauw Yu-hong.

   Ketika itu, Han Ci-pang yang melalui jalan lain sudah lebih dulu berada di depan, tetapi karena ilmu menunggang kudanya tidak sepandai Bu Ging-yao, lagi pula perjalanan di situ tidak sehafal Bu Ging-yao, di tengah jalan ia harus juga menyingkirkan tentara Boan dan harus menyusur jalanan kecil yang sepi, hingga banyak tempo yang ia buang percuma.

   Oleh karena itu, pada waktu hampir dekat tempat pangkalan Huiang- kin, ia keburu disusul oleh Bu Ging-yao.

   Manakala Ging-yao nampak di tangan Han Ci-pang mencekal pokiam yang ia kenali adalah senjata yang Leng Bwe-hong berikan kepada Sin Liong-cu, ia jadi sangat curiga dan sangsi, ia menyangka Han Ci-pang adalah jagoan kerajaan yang berhasil lolos dan membunuh Sin Liong-cu.

   Segera ia maju menegur dengan membentak, justru juga Han Ci-pang tidak pandai bicara, dalam tanya-jawab itu agaknya kurang memuaskan Bu Ging-yao, ditambah pula memang watak Bu Ging-yao yang be-rangasan, karena satu-dua perkataan yang tak cocok, maka tak dapat lagi dihindarkan, pertempuran segera terjadi.

   Ci-pang baru saja memperoleh pelajaran ilmu pukulan yang aneh, tapi karena belum masak betul latihannya, maka ia tak dapat menandingi kiam-hoat Ging-yao yang lihai.

   Karena itu, sambil berhantam ia pun melarikan kudanya dengan cepat, akhirnya beruntung bisa berpapasan dengan Hui-ang-kin.

   Bila tidak, hampir saja ia dilukai Bu Ging-yao.

   Kemudian Ging-yao dan Ci-pang menceritakan kejadian dan pengalaman masing-masing.

   Mendapat kabar jelek itu tak bisa tidak Hui-ang-kin dan Pho Jing-cu mengucurkan air mata kesedihan, lebih-lebih Kui Tiong-bing menangis menggerung atas kemalangan ayahnya.

   Tak lama kemudian Ciok-toanio pun telah diberi kabar buruk itu, teringat olehnya pengalaman selama hidupnya ini yang penuh suka-duka, suami-isteri yang cinta-mencintai berpisah selama dua puluh tahun, dengan pahit getir akhirnya bisa bersua kembali serta lenyaplah semua kesalah-pahaman, tapi kini harus berpisah pula untuk selamanya, maka dukanya itu dapatlah dibayangkan.

   Ia hendak menangis, tapi air matanya sealah sudah kering, ia hanya memandang tempat jauh.

   Lama dan lama sekali, baru ia menghela napas sambil mengelus pedangnya.

   "Kematiannya ini masih berharga juga! Jika Suhengnya dapat mengetahui di alam baka tentu ia dapat memaafkan segala dosanya!"

   Katanya kemudian pelahan. Habis itu, Han Ci-pang menceritakan pula tentang pesan terakhir Ciok Thian-sing kepada Sin Liong-cu itu.

   "Ilmu silatku jauh di bawah Kui-hiante, tapi karena Sin Liong-cu sudah berpesan wanti-wanti padaku, maka biarlah aku mewakilkan dia menerimamu sebagai murid untuk saling mempelajari ilmu mujizat dari Tat-mo,"

   Demikian Ci-pang menegaskan.

   "Sedang mengenai abu tulang Ciok-locianpwe, kelak Kui-hiante boleh membawanya ke Kiam-kok untuk dikubur setempat dengan Kui-locianpwe sesuai pesannya"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kemudian setelah Pho Jing-cu mengatur seperlunya, lalu bersama dengan Han Ci-pang, Ie Lan-cu, Kui Tiong-bing, Boh Wan-lian dan Ciok-toanio, rombongan enam orang itu segera berangkat.

   Tinggal Li Jiak-sim, Bu Ging-yao, Njo It-wi, Hua Ci san, Thio Hua-ciau dan yang lain untuk membantu Hui-angkin.

   Dengan cepat tanpa berhenti dalam perjalanan, rombongan Pho Jing-cu tiba di padang rumput Garsin.

   Sementara itu Lauw Yu-hong yang sudah beristirahat beberapa hari, lukanya sudah agak baikan, Pho Jing-cu telah mengobatinya pula sudah tentu beberapa hari kemudian luka Yu-hong sudah sembuh seluruhnya, namun sebaliknya luka dalam hatinya malahan bertambah berat.

   Soalnya karena kabar berita Leng Bwe-hong sedikitpun masih belum diketahui.

   Oleh sebab hal yang sama juga Ie Lan-cu pun tersiksa sekali, perasaannya masgul, tetapi ia lihat Lauw Yu-hong begitu berduka, ia malah menahan penderitaan batin sendiri untuk menghibur orang.

   "Leng-sioksiok memiliki ilmu silat yang tiada taranya aku yakin tidak akan mengalami bahaya dan paling banyak hanya menguatirkan saja,"

   Demikian katanya menghibur.

   "Ya, tapi kuatirnya, jumlah musuh yang terlalu besar itu betul-betul telah dapat mencelakainya,"

   Ujar Yu-hong sedih.

   "Dan bila memang ia belum meninggal, mengapa hingga kini masih belum kembali?"

   Tapi dengan berbagai akal lain, Ie Lan-cu terus menghiburnya, akan tetapi Lauw Yu-hong masih tetap bersedih. Adalah pada waktu itu Boh Wan-lian sendiri sedang termenung berpikir, sinar matanya berkilat suatu tanda ada sesuatu yang telah ia dapatkan.

   "He, kenapa kita tidak mencari Nilan-kongcu dan bertanya tentang kabar Leng-tayhiap?"

   Katanya tiba-tiba.

   "Bila Lengtayhiap memang tertawan oleh pasukan Boan, tentu ia mengetahuinya."

   "Dalam pasukan musuh sebesar itu, bagaimana kau bisa bertemu dengannya?"

   Ujar Hui-ang-kin.

   "Lagipula ia adalah abdi kesayangan Kaisar, mana mau ia memberitahukan padamu?"

   "Tentu mau, biar aku menyamar sebagai gadis gembala dan Pho-pepek sukalah mengiringi aku,"

   Sahut Wan-lian.

   "Ya, Nilan-kongcu tidak dapat dipersamakan orang lain kalau bisa menemuinya mungkin bisa memperoleh sedikit kabar,"

   Jing-cu menyetujui usul si gadis.

   Hanya Kui Tiong-bing yang merasa tak senang, tapi kemudian bila ia teringat bahwa tindakan itu adalah untuk kepentingan Leng Bwe-hong, mau tak mau ia harus tinggal diam saja.

   Ilmu pertabiban Pho Jing-cu memang sangat tinggi, ia sendiri menciptakan semacam obat merias muka yang disebut 'Ih-yong-tan' atau obat merubah muka yakni sebenarnya hanya semacam keahlian bersolek saja tetapi di zaman dulu hal ini sudah cukup mengagumkan.

   Setelah Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian menyemir muka mereka dengan 'Ih-yong-tan', air muka mereka menjadi susah dikenali kecuali orang yang sudah kenal betul, namun gaya asli mereka masih tetap tampak.

   Dengan penuh rasa terima kasih Yu-hong menggenggam tangan Wan-lian, saking terharunya sampai ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

   Sebaliknya Han Ci-pang yang menyaksikan semua itu, dalam hati ia pun merasa tersinggung.

   Mengenai Nilan Yong-yo yang ikut pasukan tentara menjajah ke tempat jauh ini, memangnya juga bukan atas kcmauan n y a sendiri.

   Dalam beberapa tahun paling akhir ini, ia memusatkan perhatiannya untuk mempelajari Di-king dan kitab-kitab sastra sesudah dinasti Tong, ia juga sedang mempersiapkan sebuah kitab besar yang ia beri nama 'Thong-ci-tong-king-kay' dengan tujuan sebagai modal mengembangkan namanya supaya lebih tenar, tak tahunya kemudian Kaisar Khong-hi membawanya ke daerah perbatasan yang terpencil ini untuk menghantam golongan minoritas atau suku bangsa kecil.

   Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan, dimana pasukan tentara kerajaan lewat, di situlah lantas tertimpa bencana, peternakan yang tak terhitung banyaknya dirampas tidak semena-mena dan menambah mala-petaka yang tak habis-habisnya bagi rakyat penggembala di padang rumput.

   Dalam hati ia sendiri tidak tega menyaksikan penderitaan rakyat itu, tetapi ia adalah bangsawan kerajaan, ia tak bisa berkhianat secara terus terang, oleh karena itu juga, jiwanya sangat tertekan dan selalu masgul.

   Pada hari itu, bersama pasukan besar ia sampai di suatu tempat tak jauh lagi dengan perbatasan Tibet, di atas kudanya ia berdiri di suatu dataran tinggi, memandang jauh dan tertampak bunga salju beterbangan memenuhi angkasa, bumi seperti penuh tumpukan batu permata karena timbunan salju yang menimbulkan rasa sunyi.

   Ia terkenang pada mendiang isterinya yang tercinta dan seakan tiada manusia lagi yang dapat memahami dirinya.

   Oleh karena itu ia hendak menghabiskan waktunya dalam soal sastra, tak tahunya masih dipaksa mengikuti pasukan tentara yang menjajah ke tempat jauh ini.

   Berulang-ulang Yong-yo menghela napas panjang, lalu ia kembali ke dalam kemah dan memegang alat tulisnya pula untuk melampiaskan perasaan masgulnya di atas kertas.

   Habis menyelesaikan syairnya, ia menambahi kalimat syairnya dan kemudian membubuhi pula catatan di bawahnya "Saysiang-yong-swat-hoa' yang berarti menyanyikan kembang salju di daerah perbatasan.

   'Ya, aku mirip kembang salju saja di daerah perbatasan ini, suka akan kesunyian dan jemu pada keramaian,"

   Demikian pikirnya.

   "Tetapi walaupun aku punya bibit lain, justru tumbuhnya bagai bunga di keluarga jaya, sungguh nasib telah mempermainkan manusia."

   Selesai ia bersyair, ia ingin mencari orang buat sama-sama menikmati keindahan syairnya itu, namun bila ia memandang sekelilingnya, ia jadi merasa sunyi lagi.

   "Sesudah isteriku yang tercinta dan bibi meninggal, rasanya mencari orang buat pasang omong saja sulit,"

   Ia menghela napas pula.

   Tiba-tiba ia jadi teringat pada Boh Wan-lian, entah gadis aneh pengelana yang paham seni suara dan mahir bersyair ini kini berada dimana? Teringat akan itu, tak terasa ia mengangkat pimya pula, ia menyairkan lagi untuk mengenang pertemuannya dengan Boh Wan-lian dulu yang menarik dan mengesankan itu.

   Selesai ia menulis, ia melemparkan pirnya dan menghela napas pula.

   Bila terkenang pada waktu sama-sama menikmati bunga teratai dengan Boh Wan-lian tahun yang lalu, ia jadi termenung lagi.

   Dan pada saat itulah, tiba-tiba terdengar di luar perkemahan ada suara ribut-ribut.

   Nilan Yong-yo coba melongok keluar, ia lihat beberapa prajurit sedang ribut-ribut mengerumuni seorang tua dan seorang gadis, rombongan domba sedang berlari bersebaran di kejauhan perkemahan.

   Orang tua dan gadis itu berdandan bangsa Kazak, yang tua berjenggot pendek kaku, sikapnya gagah dan keren, tetapi kalau dilihat lebih teliti, di antara kekerenannya tersembunyi pula sifat halus.

   Sedang gadis itu bermuka potongan daun sirih, alisnya panjang lentik bagai dilukis dan matanya jeli, lebih mirip gadis di daerah selatan.

   Sementara itu para prajurit itu sedang menggoda si gadis.

   Nilan Yong-yo maju menghentikan tingkah laku serdaduserdadu yang tengik itu, ia bertanya sebabnya terjadi ributribut.

   "Rombongan domba kami terpencar oleh karena diterjang S kuda serdadu Tuan, belum lagi kami minta ganti kerugian mereka, sebaliknya mereka malah menyeret kami ke sini,"

   Demikian tutur si gadis penuh penasaran.

   Nilan Yong-yo mengkerut kening, ia dapat menduga tentu karena paras si gadis yang cantik, maka serdadu itu sengaja hendak menggodanya.

   Soal perampasan peternakan oleh tentara Boan dan menindas rakyat jelata sudah soal biasa saja apalagi hanya menerjang rombongan domba.

   Terhadap disiplin tentara Boan yang jelek itu, Nilan Yong-yo sendiripun merasa pedih dan jengkel, semula ia berpikir hendak mendamprat serdadu yang mengganggu itu, tetapi kemudian dilihatnya si gadis berani bicara tanpa canggung, ia jadi curiga pula.

   Kaum wanita di padang rumput, biasanya bila berhadapan dengan tentara Boan bagai domba bertemu srigala, untuk menghindarkan diri saja kuatir terlambat, tidak nanti berani bicara seperti gadis ini, demikian pikirnya.

   "Kau orang dari mana?"

   Tanyanya kemudian pada gadis itu.

   "Tempat pendudukan pasukan tentara ini,, mana boleh kau menggembala domba sesukanya?"

   "Aneh, padang rumput demikian luas, kami tak boleh menggembala domba lalu apa suruh kami makan angin?"

   Jawab gadis tadi berani. Tercengang juga Nilan Yong-yo atas jawaban orang, tetapi segera ia mengunjuk rasa kurang senang.

   "Gadisku ini tidak pintar bicara, harap Ciangkun (jenderal) suka memaafkan,"

   Cepat penggembala tua tadi menyela.

   "Domba tak kami inginkan lagi, yang kami harap ialah sudilah melepaskan kami!" 'Tidak, tidak boleh, harus didenda dulu!"

   Kata Yong-yo sengaja.

   Nampak Nilan-kongcu tidak mendamprat mereka, bahkan malah melindungi mereka sudah tentu para serdadu tadi menjadi girang, tetapi mereka juga merasa sayang kalau Nilan-kongcu betul-betul menghukum si gadis, maka beramai mereka pun berteriak.

   "Ya, ya hukum dia meniup suling saja permainan sulingnya bagus sekali dan enak didengar!"

   "Apa betul?"

   Kata Nilan Yong-yo tersenyum waktu melihat di tangan si gadis betul-betul memegang sebuah suling pendek.

   "Tadi kami menyaksikan di samping menggembala ia sembari menyuling juga!"

   Seru serdadu itu beramai. Tiba-tiba Nilan yong-yo bermuka keren dan berlagak seperti sungguh-sungguh.

   "Baiklah,"

   Katanya kemudian.

   "Kau dihukum entengan, ialah kau harus menyulingkan satu lagu."

   Mulut gadis menjengkit berlagak seperti tak sudi.

   "Nak, baiknya kau lantas meniup saja!"

   Si orang tua coba membujuk. Seakan terpaksa, si gadis mengangkat sulingnya sambil mengunjuk rasa dongkol.

   "Baiklah, biar aku meniupnya"

   Katanya kemudian.

   Segera jarinya bekerja ia menyuling dengan nada yang penuh mengandung perasaan, sedang si orang tua menyanyikan suatu lagu mengiringinya.

   Mendengar lagu yang dinyanyikannya itu, tiba-tiba Nilan Yong-yo terkejut.

   Yang dinyanyikannya itu ternyata bukan lain daripada syair yang pernah ia tulis di atas dinding batu beberapa hari berselang, bagaimana dapat dibaca oleh gadis ini? Seumpama telah dilihatnya syair itu, namun bagaimana begitu cepat sudah sampai di sini? Apakah orang sengaja datang hendak mencari padanya? Begitulah penuh tanda tanya hati Nilan Yong-yo.

   Karena itu sengaja ia menjajalnya lagi.

   "Lagu tadi kurang merdu, sekarang hukum lagi kau menyanyikan sendiri suatu lagu lainnya,"

   Perintahnya kemudian pada si gadis.

   Segera juga para serdadu bersorak menyatakan akur.

   Terpaksa secara ogah-ogahan, si gadis tarik suaranya.

   Dan belum habis lagu itu dinyanyikannya, Nilan Yong-yo telah dibikin lebih heran lagi.

   Syair lagu yang dinyanyikannya itu ternyata adalah ayair ciptaannya mengenangkan isterinya, yakni syair yang pernah ia suruh nyanyikan seorang penyanyi sewaktu untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Boh Wan-lian di taman istana Perdana Menteri, tatkala itu Boh Wan-lian menyamar sebagai jejaka, dan sehabis mendengarkan nyanyian dimana kemudian mereka saling mempersoalkan sajak dan sama-sama menikmati bunga teratai yang indah di empang.

   Hati Nilan Ybng-yo jadi tergoncang, ia coba mengamatamati pula si gadis ini, kalau melihat potongannya memang mirip Boh Wan-lian, tetapi paras mukanya ternyata berlainan, ketika ia merasa heran dan sangsi, tiba-tiba sepasang matabola si gadis itu mengerling ke jurusannya.

   Mendadak Nilan Yong-yo ingat pada sepasang mata Boh Wan-lian yang bersinar jernih, hatinya tergerak.

   Waktu ia menegasi lagi, ia merasa potongan tubuh si gadis ini memang begitu dikenalnya samar-samar memang persis lenggaklenggok Boh Wan-lian.

   Tetapi wajah mukanya tetap berlainan, ia merasa aneh sekali, lantas ia membentak membubarkan serdadu yang berkerumun dan kemudian membawa 'ayah dan gadis' itu masuk ke dalam perkemahannya.

   Sedikitpun Boh Wan-lian tidak menunjuk rasa takut, ia mengikuti Niian Yong-yo masuk ke dalam tenda di tengah markas tentara Boan.

   Nilan Yong-yo seorang diri menempati sebuah tenda besar, walaupun di tengah perjalanan pasukan, namun pajangan dalam kemah masih tampak teratur dan rajin sekali.

   Lalu ia menyuruh pelayannya menyingkir semua dan kemudian menyilakan Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian duduk.

   "Di gurun luas dan tempat terpencil ini, susah mencari kawan sepaham, hari ini bisa bertemu kalian, sungguh hal yang menggembirakan sekali,"

   Demikian dengan tersenyum Nilan Yong-yo berkata.

   "Tetapi syairku yang jelek dan cetek, tiada harganya dilagukan dan dinyanyikan, maka harap nona suka menyanyikan pula satu lagu lainnya saja."

   "Mengapa Kongcu lebih dulu congkak dan menghormat di belakang?"

   Kata Wan-lian dengan senyum manis.

   Akan tetapi tak urung ia penuhi juga permintaan orang, ia mengangsurkan sulingnya pada Pho Jing-cu agar mengiringinya dan kemudian ia menggerakkan bibirnya yang mungil menyanyi pula.

   Yang dinyanyikan kali ini adalah sebuah lagu yang disebut 'Kim-lio-kiok', lagu gubahan salah seorang sahabat Nilan Yongyo yang bernama Koh Liang-fun, di dalam lagu ini mengandung sebuah cerita yang menarik.

   Pada permulaan Kaisar Khong-hi bertakhta, salah seorang sahabat Nilan Yong-yo yang lain, Go Han-cah terkena perkara dan dibuang ke Ling-koh-tah, suatu tempat terpencil di perbatasan timur-laut.

   Koh Liang-fun adalah sahabatnya juga maka khusus ia menulis dua syair 'Kim-lio-kiok' dan mengirimkannya pada Nilan Yong-yo dengan harapan meminta pertolongannya.

   Dan karena kedua syair yang penuh rasa suka-duka itu, maka Nilan Yong-yo sangat tertarik, lalu ia memintakan pengampunan pada ayahnya dan berhasil menolong Go Hancah kembali.

   Lagu yang dinyanyikan Boh Wan-lian tadi adalah satu di antara dua syair itu.

   Maka dengan sendirinya mengandung arti yang dalam sekali.

   Nilan Yong-yo memang cerdik, tentu saja segera ia dapat menangkap maksud nyanyian itu.

   "Apakah nona ada hubungan sanak- famili dengan yang ditangkap tanpa berdosa?"

   Tanyanya.

   "Sukakah Kongcu menolong?"

   Wan-lian berbalik bertanya.

   "Lihat dulu siapa orangnya?"

   Ujar Yong-yo.

   "Jika orang nya seperti Go Han-cah yang terkenal itu, dengan sendirinya aku suka menolongnya."

   "Go Han-cah hanya kaum terpelajar yang tinggi hati, tetapi kawanku itu ialah seorang pendekar kosen di zaman ini,"

   Sahut Wan-lian.

   "Siapa dia?"

   Tanya Nilan Yong-yo tertarik.

   "Leng Bwe-hong yang pernah membikin Kaisar sekarang ini tak enak makan dan tak enak tidur!"

   Dengan tertawa Boh Wan-lian menerangkan. Keruan saja Nilan Yong-yo terperanjat, ia coba menenangkan diri, ia mengawasi Boh Wan-lian dan Pho Jingcu lagi dengan mata tak berkedip.

   "Apa Kongcu tak kenal lagi pada sahabat lama?"

   Sapa Wanlian pula dengan tertawa. Girang luar biasa bercampur terkejut, sungguh Yong-yo tak menyangka akan bertemu dengan Boh Wan-lian di sini, tanpa terasa ia menggenggam kencang kedua tangan anak dara itu.

   "Ah, nona Wan-lian kiranya?"

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanyanya cepat dengan suara terputus-putus tak percaya atas penglihatannya sendiri.

   "Tetapi mengapa wajahmu telah berubah? Dan dia ini siapa?"

   "Ia adalah tabib tersohor di zaman ini, Ph"

   Jing-cu,"

   Wanlian memperkenalkannya.

   Segera Nilan Yong-yo melepaskan tangan Boh Wan-lian untuk kemudian menggenggam kencang tangan Pho Jing-cu, berulang ia mengutarakan rasa kagumnya pada orang tua ini.

   Pho Jing-cu selain tinggi ilmu silat dan ilmu tabibnya, ia pun tersohor dengan seni lukis dan seni sastranya, kalau dihitung masih tergolong tingkatan lebih tua daripada Nilan Yong-yo.

   "Sudah lama aku mengagumi Pho-losiansing, di dalam kerajaan aku pun pernah melihat gambar Cianpwe, tetapi maafkan aku bertanya, mengapa parasnya berlainan dengan gambar yang pernah kulihat itu?"

   Tanya Nilan Yong-yo setelah agak lama mengamat-amati orang.

   "Bagaimana di dalam kerajaan bisa terdapat gambar Phopepek?"

   Sela Wan-lian heran.

   "Malah juga terdapat gambarmu!"

   Kata Yong-yo tertawa.

   "Sesudah malam itu kalian membikin onar di Jing-liang-si, dengan segera Hongsiang telah memerintahkan pelukis melukiskan wajah kalian sebagai bahan untuk menangkap kalian, apakah kau masih belum mengetahui?"

   "Ya, oleh karena sudah menduga akan hal itu, maka dengan sedikit kepandaianku, aku telah merubah wajah asli kami,"

   Kata Pho Jing-cu tertawa. Nilan Yong-yo bertambah kagum pula mengetahui orang masih mempunyai kepintaran menyamar.

   "Ilmu pertabiban Losiansing sungguh hebat sekali,"

   Ia memuji.

   "Kalau begitu, paras nona Boh tentu juga buatan Losiansing."

   "Ya,"

   Wan-lian membenarkan.

   "Kalau ingin kembali ke wajah yang sebenarnya, cukup asal ada sepanci air dingin saja."

   "Lebih baik tak usah saja,"

   Ujar Yong-yo sambil menggoyang tangannya. Wan-lian bertanya pula tentang diri Leng Bwe-hong, ternyata Nilan Yong-yo sendiri belum mendapat kabar beritanya.

   "Aku sendiripun tidak tahu,"

   Kata Yong-yo.

   "Biarlah nanti kalau aku bertemu dengan Hongsiang, aku akan menyelidiki untukmu."Tetapi aku pun hendak menasehatimu, harap jangan membikin ribut lebih jauh di Sinkiang lagi. Sama seperti kalian, aku pun jemu peperangan, aku sangat menyesalkan perampasan yang telah dilakukan tentara kerajaan, tapi rupanya sudah takdir, kecil tak bisa melawan yang besar, apa gunanya lagi berkorban dengan sia-sia?"

   "Aku tidak setuju dengan pendapat Kongcu,"

   Bantah Wanlian.

   "Kongcu orang pandai dan banyak membaca tentu mengetahui peribahasa yang mengatakan bahwa 'lebih baik menjadi Giok yang retak daripada menjadi genteng yang utuh', tanpa sesuatu alasan pasukan kerajaan telah menjajah, kenapa rakyat penggembala di padang rumput tidak boleh bangkit melawannya?"

   Nilan Yong-yo terdiam atas debatan orang, lama dan lama sekali baru ia buka suara pula.

   "Sudahlah, hari ini kita hanya berbicara tentang persahabatan saja dan jangan mempersoalkan urusan negara, maukah?"

   Dalam hati kecilnya ia menderita sekali oleh perasaan yang bertentangan itu.

   Kalau ia menaruh rasa simpati kepada pihak Boh Wan-lian, maka di samping itu ia pun tidak boleh mengkhianati keluarga kerajaan.

   Oleh karena itu, lebih baik ia menghindari dan tidak membicarakan soal politik.

   Tengah mereka bicara, tiba-tiba terdengar di kejauhan di luar perkemahan itu ada suara bentakan yang meminta jalan.

   "Celaka, Hongsiang telah datang!"

   Kata Nilan Yong-yo dengan kuatir.

   "Lalu, apakah kami harus menyingkir untuk sementara atau tidak?"

   Tanya Jing-cu cepat.

   "Tak usah, Hongsiang takkan mengenali kalian,"

   Kata Yongyo akhirnya setelah memandang mereka lagi.

   Kemudian layar tenda disingkap, maka masuklah Khong-hi pelahan dengan membawa beberapa pengawal.

   Oleh karena terpaksa, Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian harus ikut menjura juga seperti Nilan Yong-yo.

   S .

   Ketika mereka melirik, ternyata seorang di antara pengawal itu ialah Thio Sing-pin, wakil pemimpin pasukan pengawal 'Kim-wi-kun', yaitu orang yang dulu pernah mengepung Bukeh- ceng di Ngo-tai-san.

   Khong-hi sendiripun merasa heran waktu mengetahui di dalam tenda itu terdapat pula dua orang asing.

   "Karena terlalu iseng, maka aku telah mengundang seorang nona gembala buat menyanyikan lagu-lagu daerah mereka,"

   Lekas Nilan Yong-yo melapor untuk menghindarkan kecurigaan Khong-hi. Ketika Khong-hi menampak Boh Wan-lian berparas cantik manis, maka ia pun mempunyai dugaan sendiri, ia hanya tersenyum saja dan kemudian menuding Pho Jing-cu pula.

   "Dan siapa yang ini?"

   Tanyanya tiba-tiba.

   "Ayah nona ini,"

   Jawab Yong-yo.

   "Ia biasa menjalankan pertabiban di padang rumput, banyak mengetahui penyakit aneh di daerah perbatasan ini."

   "Kau memang selalu suka bergaul dengan orang-orang aneh dari kaum pengembara semacam ini,"

   Ujar Khong-hi.

   "Tetapi baiklah, jika kau suka, maka aku boleh mengizinkanmu menahan mereka tinggal di dalam pasukanmu."

   Nilan Yong-yo menyatakan terima kasihnya atas perkenan itu.

   "Kalau orang ini paham ilmu pertabiban, aku ingin menyuruhnya coba mengobati Sam-pwelik dan yang lain,"

   Terdengar Khong-hi berkata pula.

   "Mereka berdua telah terkena penyakit bisul beku hebat sekali. Hai, apakah kau bisa mengobati penyakit itu?"

   "Itu hanya penyakit kecil yang biasa terjadi di padang rumput,"

   Sahut Jing-cu.

   "Cukup asal diobati semacam rumput yang tumbuh di sini, tak usah tiga hari pasti akan sembuh."

   "Bagus, kalau begitu kau boleh lantas pergi mengobatinya!"

   Kata Khong-hi. Lantas ia memerintahkan pula seorang pengawal mengiringi Pho Jing-cu pergi.

   "Coba lihat, bukankah aku sangat baik hati padamu?"

   Bisik Khong-hi di pinggir telinga Nilan Yong-yo.

   Nyata dikiranya Nilan Yong-yo telah menyukai nona gembala ini, maka dengan sengaja ia menjauhkan ayahnya agar Yong-yo bisa berada sendirian dengan nona gembala itu.

   Yong-yo mengerti maksud perkataan Sri Baginda itu, keruan mukanya merah jengah, tapi sedikitpun ia tak bisa berbuat apa-apa.

   "Aku memimpin pasukan sendiri menyapu bersih negeri lawan dan mengeluruk sampai di tanah perbatasan ini, membuka daerah baru dan merintis perluasan negeri, kejayaan negara ter-mashur hingga jauh,"

   Demikian Khong-hi mengoceh dengan bergelak tertawa.

   "Kau banyak membaca kitab kuno, coba katakanlah, kepala negara yang pintar selama beberapa dinasti berturut-turut ini, dapatkah aku termasuk seorang di antaranya?"

   "Baginda punya kekuatan begini besar, dibanding dengan Cin-si-ong, Han-bu-te, Tong-thay-cong dan Song-thay-co tentu tidak kalah,"

   Ujar Yong-yo.

   "Jika di antara kebesaran itu dapat ditambah pula dengan pemerintahan yang baik dan bermanfaat bagi rakyat, pasti akan lebih meninggalkan nama harum dalam sejarah."

   "Ah, bagaimanapun memang pandangan Susing (kaum sekolahan) saja"

   Kata Khong-hi bergelak tertawa pula.

   "Kita masuk ke pedalaman belum ada tiga puiuh tahun, sudah seharusnya keras dulu dan halus belakangan, jika tidak mengunjukkan kewibawaan tentara kita, bagaimana bisa menduduki empat penjuru negeri asing?"

   Setelah temberang sebentar, dari mula sampai akhir ternyata Khong-hi tidak menyinggung soal Leng Bwe-hong.

   Di luar tenda angin malam sudah mulai menderu, di kejauhan suara Ohka (semacam alat tiup suku bangsa di daerah utara) memperdengarkan lagu-lagu yang memilukan, cuaca ternyata sudah magrib.

   Dan sesudah Khong-hi minta beberapa syair gubahan baru dari Nilan Yong-yo, tak lama kemudian ia pun berlalu.

   "Sukalah Hongsiang meninggalkan Thio Sing-pin di sini, hamba ingin minta pelajaran beberapa jurus ilmu silat dari dia,"

   Pinta Nilan Yong-yo sebelum Khong-hi melangkah pergi.

   Nilan Yong-yo memiliki kepandaian 'Bun-bu-cwan-cay', kepandaian baik silat maupun surat, kecuali bersekolah, soal menunggang kuda, memanah dan sebagainya ia pun bisa "Hari ini kau menjadi begitu iseng?"

   Kata Khong-hi tertawa Dan sudah tentu ia memenuhi permintaan orang.

   Setelah mana dengan iringan pengawal lainnya segera ia berlalu dari tenda Nilan Yong-yo.

   Sebenarnya Yong-yo tidak bermaksud belajar silat sebagaimana dikatakannya tadi, yang benar ialah hendak mencari kabar Leng Bwe-hong.

   ia mengetahui di antara Thio Sing-pin dan Coh Ciau-lam ada sedikit selisih paham, maka dengan sengaja ia minta Thio Sing-pin ditinggalkan.

   "Sudah lebih 20 tahun kau berada dalam kerajaan bukan?"

   Tanya Yong-yo pada Thio Sing-pin sesudah Khong-hi pergi.

   "Ya, sudah 27-28 tahun,"

   Sahut Thio Sing-pin.

   "Belum ada tiga tahun Kaisar yang dulu naik takhta, hamba sudah ada di sana."

   "Hingga kini kau masih tetap menjabat Huthongling (wakil komandan) dari Kim-wi-kun?"

   Tanya Nilan Yong-yo pula.

   "Ya, hamba menjabat Huthongling juga hampir sepuluh tahun,"

   Jawab Thio Sing-pin.

   "Coh Ciau-lam malahan cepat sekali naik pangkatnya,"

   Ujar Yong-yo seperti tidak sengaja.

   "Itu sudah seharusnya"

   Kata Sing-pin.

   "la mempunyai ilmu silat tinggi, berulang-ulang menberikan pahala pula, kami orang-orang lama tak bisa dibandingkan dia lagi."

   Walaupun berkata demikian, tapi dari sikapnya tampak ada rasa penasaran.

   "Betulkah begitu?"

   Kata Nilan Yong-yo tersenyum.

   "Mengapa ia tidak kelihatan paling belakangan ini?"

   "Sesudah ia menjabat Thongling, banyak sekali saudara kita yang gugur,"

   Kata Thio Sing-pin pula, ternyata menyimpang dari pertanyaan orang.

   "Tetapi kalau yang seorang berhasil dan yang lain harus berkorban, itupun tidak menjadi soal."

   "Coh Ciau-lam terlalu suka berebut jasa aku tidak suka padanya,"

   Ujar Yong-yo.

   "Sebenarnya, sebagai pemimpin orangnya harus sedikit berbudi. Dalam hal ini, nyata kau lebih unggul daripada dia."

   Thio Sing-pin merasa senang dipuji, segera ia berlutut dan berkata.

   "Untuk selanjurnya masih mengharap bantuan dari Kongcu."

   Nilan Yong-yo segera membangunkannya.

   "Belum lama berselang, dengan Seng Thian-ting ia bertugas pergi dengan belasan orang pengawal kelas satu,"

   Tutur Thio Sing-pin kemudian.

   "Tetapi kecuali mereka berdua, yang lain ternyata terbinasa semua dan hanya dapat menangkap seorang musuh saja"

   "Ha! Kalau begitu musuh tentu sangat lihai sekali,"

   Seru Nilan Yong-yo.

   "Dan siapakah yang tertangkap itu?"

   "Leng Bwe-hong, orang yang pernah membikin ribut di penjara istana dulu itu,"

   Sahut Thio Sing-pin menerangkan.

   Habis berkata, ia memandang sekejap pada Boh Wan lian.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi Wan-lian sengaja menundukkan kepala dan pura-pura bermain dengan menggulung-gulung sapu tangannya "Nona gembala ini takkan tahu urusanmu yang tetek bengek, tiada halangannya kau bercerita terus,"

   Kata Yong-yo dengan tersenyum.

   "Meski sudah rugi begitu banyak orang, namun Hongsiang masih memuji padanya,"

   Demikian Thio Sing-pin melanjutkan.

   "Mengapa aku tidak mendengar Hongsiang bercerita tentang hal ini, apakah Leng Bwe-hong itu sudah dibunuh?"

   Tanya Yong-yo.

   "Beberapa hari ini Hongsiang sedang repot menggerakkan tentaranya untuk menyerbu ke Mongol dan Tibet, baru hari ini ada sedikit tempo luang, mungkin melihat Kongcu ada tamu, maka tidak ia ceritakan,"

   Ujar Thio Sing-pin.

   "Sedang Leng Bwe-hong sudah dibunuh atau belum, hamba sendiripun tidak mengetahui. Kabarnya Hongsiang telah menyerahkan pada Coh Ciau-lam untuk diputuskannya sendiri, dan kabarnya pula Coh Ciau-lam masih sayang untuk membunuhnya"

   "Aneh, apakah mereka memang sahabat baik?"

   Tanya Nilan Yong-yo heran.

   "Lebih dari itu. Malahan mereka masih terhitung Suhengte (kakak beradik seperguruan),"

   Thio Sing-pin menjelaskan.

   "Kabarnya oleh sebab itu juga, maka Coh Ciau-lam hendak memaksa agar Leng Bwe-hong menyerahkan kitab pelajaran ilmu silat peninggalan guru mereka"

   "Mengapa Coh Ciau-lam tidak menggiringnya ke sini?"

   Tanya N ilan Yongtyo pula.

   "Hongsiang memerintahkannya pergi membantu Sampwelik,"

   Thio Sing-pin menerangkan.

   Tanya-jawab sampai di sini, kemudian Nilan Yong-yo bertanya lagi beberapa soal ilmu silat, lalu menyuruh Thio Sing-pin pergi.

   Sesudah Thio Sing-pin berlalu, hari sudah gelap.

   Tiba-tiba Hongsiang menyuruh orang mengantarkan 'Liong-yan-hiang' keluaran Tibet dan pakaian Kiongli (dayang wanita kerajaan).

   Nampak barang-barang itu, Nilan Yong-yo menjadi jengah dan serba salah, dengan muka merah ia menghadapi Boh Wan-lian.

   Dengan mengirim barang itu, terang kaisar Khong-hi menganggap Boh Wan-lian sebagai selir baru dari Nilan Yongyo.

   'Liong-yan-hiang' konon adalah semacam dupa wangi yang terbuat dari sesuatu bagian tubuh binatang yang khasiatnya membikin kuat tubuh.

   Jika Nilan Yong-yo merasa jengah, adalah Boh Wan-lian bersikap biasa saja, ia pura-pura tidak tahu maksud barang itu, sesudah pesuruh pergi, ia berkata dengan tersenyum manis.

   "Sahabat lama bertemu kembali, sambil membakar dupa mengobrol di malam hari, termasuk juga suatu kesenangan hidup manusia."

   Melihat Boh Wan-lian berkata tanpa ragu dan berterus terang. Nilan Yong-yo menyesalkan diri sendiri berpikir yang tidak-tidak dan menyeleweng.

   "Bila nona tidak tidur, maka baiklah aku pun takkan tidur,"

   Kata Yong-yo akhirnya dengan tersenyum. Dengan api lilin yang menyala terang sambil membakar dupa wangi dan menghadapi air teh, mereka bercakap di malam hari.

   "Nona benar-benar memandang berat sekali tentang persahabatan hingga rela menghadapi bahaya besar untuk Leng Bwe-hong,"

   Kata Nilan Yong-yo.

   "Dan semua itu masih mengharapkan bantuan Kongcu,"

   Sahut Wan-lian.

   "Coh Ciau-lam diperintahkan membantu Sam-pwelik In Te, kalau begitu kini ia tentu berada di Tibet,"

   Ujar Yong yo.

   "Di bawahan In Te terdapat banyak sekali jagoan mungkin tidak gampang untuk menolongnya." 'Pwelik* berarti Pangeran dalam bahasa Boan, Sam- pwe-lik artinya Pangeran ketiga "Asal sudah berusaha sekuat tenaga, berhasil atau tidak, itulah terserah takdir,"

   Ujar Wan-lian.

   "Sayang aku tidak bisa membantu kalian,"

   Kata Yong-yo kemudian.

   "Kau telah membantu dan berhasil mendapat kabarnya, kami sudah sangat berterima kasih,"

   Sahut si gadis.

   Habis itu, lalu pembicaraan mereka beralih ke soal syair dan sastra.

   Asyik dan cocok sekali pandangan mereka dalam hal itu.

   Di luar kemah angin malam menderu, sebaliknya di dalam kemah suasana hangat seperti di musim semi.

   Setelah mendengarkan Boh Wan-lian menceritakan nasib keluarganya dan pengalaman hidupnya, Nilan Yong-yo merasa terharu dan ikut menyesal, tidak terkecuali pula merasa kagum.

   "Tatkala itu, ayahmu meninggal dan ibu berpisah meski masih hidup, ketinggalan kau yang piatu mengembara ke seluruh pelosok, sungguh sulit juga keadaanmu,"

   Katanya kemudian menghela napas.

   "Ya, tapi kalau sudah biasa lantas tidak terasa,"

   Ujar Wanlian.

   "Sebenarnya aku pun tidak merasa kesunyian, aku punya Pho-pepek dan banyak pula kawan baik lain yang selalu berada bersamaku."

   "Sebab itu juga, aku bilang kau lebih beruntung daripadaku,"

   Kata Nilan Yong-yo.

   Lalu ia pun terkenang pada mendiang isterinya yang tercinta itu, ia memandang gadis jelita yang berada di depannya, tak urung hatinya tergoncang juga.

   Tiba-tiba ia jadi teringat pada 'kawan baik' yang disebut Boh Wan-lian tadi, tentunya termasuk juga 'anak tolol' itu.

   Tak tertahan lantas ia bertanya.

   "Itu itu,ah, aku lupa namanya, apa tidak datang ke sini bersamamu?"

   "Ia bernama Kui Tiong-bing,"

   Dengan tersenyum manis Boh Wan-lian menerangkan.

   "Ia terlalu bodoh, aku kuatir, maka tidak menyuruh dia ikut."

   Namun terasa sekali pada lagu suara si gadis itu penuh mengandung rasa kasih sayang yang tak terbatas, seketika Nilan Yong-yo merasa dirinya seperti disiram air dingin.

   "Kalau Kui-heng tahu perhatianmu kepadanya, entah betapa ia akan berterima kasih padamu,"

   Katanya kemudian dengan tertawa paksa.

   "Kalau dua hati sudah menjadi satu, sudah tiada soal terima kasih lagi,"

   Sahut Wan-lian.

   "Betul, sungguh bodoh aku ini,"

   Kata Nilan Yong-yo pula dengan tertawa sambil mengetok jidat sendiri.

   "Perkataanku itu sama seperti tulisan jelek di dalam syair yang tak dapat mengutarakan perasaan sejati."

   "Bertambah seorang yang dapat memahami isi hati masingmasing lantas banyak berkurang rasa kesunyian, maka baiknya kau lekas menyambung jodohmu lagi,"

   Tiba-tiba Boh Wan-lian menasihati.

   "Sudah terlalu banyak mengalami pahit getir, mungkin susah bagi hati tergerak pula,"

   Ujar Nilan Yong-yo.

   "Meskipun aku belum menikah, tetapi menurut pendapatku di antara suami-isteri, yang diharap apabila bisa cocok, itu sudah merupakan perjodohan bahagia"

   Kata Wan-lian pula dengan tertawa.

   "Maka jangan terlalu mengharapkan harus segalanya cocok. Misalnya aku dan Kui Tiong-bing, kami sama-sama putera-puteri dari kalangan Kangouw, aku suka pada ketulusan dan kejujurannya walaupun ia tidak paham tentang syair atau sajak, aku pun tidak menyesal. Dengan kedudukan dirimu, kau bisa leluasa mencari gadis yang berwatak halus dan berbudi, mengapa harus terlalu pilih-pilih."

   "Terima kasih atas perhatian nona"

   Kata Nilan Yong-yo mengangguk-angguk dengan kikuk. Hari makin jauh malam dan pembicaraan mereka pun makin asyik. Nilan Yong-yo merasakan bau dupa yang harum meresap memabukkan, membikin pikirannya melayang jauh.

   "Tahun yang lalu kita bersama-sama menikmati keindahan bunga teratai di kota-raja,"

   Katanya tiba-tiba.

   "Habis itu senantiasa aku merasa bau harum itu tidak bisa dinikmati lagi selama hidup ini. Siapa kira masih ada pula pertemuan malam ini."

   Boh Wan-lian cukup ceTdik, ia mengerti kemana arah perkataan orang hendak menuju, biji matanya berputar lantas ia menyimpangkan pokok pembicaraan orang.

   "Kongcu adalah pujangga di zaman ini, aku beruntung bisa bicara lama dengan Kongcu, kalau tidak minta pelajaran sajak, apakah tidak sia-sia pertemuan malam ini?"

   Katanya kemudian. Nilan Yong-yo sangat gembira mendengar orang berbicara mengenai sajak.

   "Nona sendiri cerdik pintar, gubahan sajakmu tentu bagus sekali,"

   Katanya sambil bertepuk tangan.

   "Uraikanlah biar aku yang menulis,"

   Kata Yong-yo pula sambi! mengambil pit dan menyediakan kertas. Tanpa ragu Boh Wan-lian pun mulailah bersajak, ia mengutarakan semua isi hatinya dalam sajaknya itu. Sembari menulis, dalam hati Nilan Yong-yo pim berdebar.

   "Sajak ini ternyata sengaja kautujukan padaku?"

   Tanyanya dengan tersenyum getir sehabis sajak itu selesai ditulisnya. Boh Wan-lian mani anggut tanda tidak bersalah.

   "Terima kasih atas kebaikanmu!"

   Kata Yong-yo dengan suara rendah, lalu ia menggulung kertas yang berisikan syair itu.

   Dengan syairnya itu, ternyata Boh Wan-lian telah mengutarakan seluruh rasa persahabatannya, tetapi di samping itupun mengandung arti yang dalam dan luas sekali.

   Pertama-tama ia mengutarakan perasaannya yang membenci peperangan, tetapi karena persoalan mengenai tanah air, tak dapat tidak harus memanggul kewajiban sebagai putera-puteri ibu pertiwi untuk melawan musuh, dalam bagian tengah ia menyesalkan persahabatan mereka terpaksa hasus diikat di antara dua orang yang berkedudukan lain dan berada dalam pihak yang berlawanan, untuk bisa merapatkan persahabatan tanpa terhalang, terkecuali kalau pasukan Boan ditarik kembali ke tanah asalnya.

   Tetapi kini hal itu sudah tentu tidak mungkin lagi.

   Betapapun memang peperanganlah yang menjadi rintangan, sungguh merupakan penyesalan terbesar bagi kehidupan manusia Akan tetapi soal penyesalan ini, ada berapa gelintir manusia yang bisa merasakan? Dan di bagian akhir, seakan ia telah langsung menjawab perkataan Nilan Yong-yo tadi.

   Tadi Nilan Yong-yo mengutarakan kenangannya pada waktu mereka menikmati pemandangan di kota-raja.

   Kini Wan-lian menjawabnya bahwa impian itu susah disambung lagi, lihatlah apa yang terjadi di depan mata sekarang ini, tentara Boan menjelajah sampai di padang rumput darah yang membeku di atas rumput dan pasir saja belum lenyap.

   Dengan adanya pertempuran ini, impian muluk itu bagaimana bisa dilanjutkan pula? Persahabatan kita ini hendaklah kau anggap sudah 'berlalu terbawa angin'.

   Sedang mengenai diriku, aku masih tidak begitu lemah sebagaimana kaubayangkan.

   Malahan mengenai dirimu, sebaliknya kuharap kau menjaga diri baik-baik, kau hidup di keluarga kerajaan yang biasa hidup terpencil, mungkin tak tahan oleh angin dingin di sini.

   Aku mengharap kau dapat memegang teguh bahtera hidupmu, seperti perahu yang laju di samudra raya, walaupun tiada orang membantumu, namun kau dapat memegang kencang kemudinya.

   Arti syair itu penuh rasa persahabatan yang tulus bersih, jauh di atas hubungan persahabatan yang biasa.

   Tak tertahan kedua mata Nilan Yong-yo basah berkaca, tetapi dalam hatinya menjadi terang, ia merasa telah menodai perasaan Boh Wan-lian yang agung.

   "Subuh sudah hampir tiba, aku antar kau berangkat saja!"

   Kata Yong-yo akhirnya pelahan, ia menggenggam kencang kedua tangan Wan-lian di antara sinar lilin yang kebat-kebit tertiup angin.

   "Sudah dekat pagi, kau juga harus mengaso,"

   Begitulah dikatakan Han Ci-pang terhadap Kui Tiong-bing pada saat itu juga.

   Kalau Boh Wan-lian bercakap sepanjang malam dengan Nilan Yong-yo, maka di lain pihak Kui Tiong-bing juga tidak tidur semalam suntuk.

   Dalam beberapa hari ini, karena pesan terakhir Sin Liongcu, Han Ci-pang dan Kui Tiong-bing saling belajar menurut turunan kitab '108 jurus ilmu pukulan ajaran Tat-mo' yang diterima dari Sin Liong-cu itu.

   Kui Tiong-bing sudah punya dasar yang kuat terhadap ilmu silat itu ia pun cepat memahami jauh melebihi orang biasa.

   Maka tiada berapa hari ia sudah melampaui Han Ci-pang malah.

   Malam itu, ia melatih tiap gerak tipu dari ilmu silat Tat-mo yang hebat itu, ia pelajari berulang-ulang, pelahan ia sudah dapat mempersatukan ilmu silat itu sesuai kehendak hatinya, Han Ci-pang menasihati agar pemuda itu pergi tidur, tetapi Tiong-bing tidak menurut, sebentar-sebentar ia duduk termenung, di lain saat ia melompat bangun lagi sambil kaki bergerak-gerak dan tangan menari-nari, seperti orang gendeng yang kesetanan.

   Meskipun Ci-pang tidak begitu tinggi ilmu silatnya, tetap ia pun tahu bahwa latihan Tiong-bing telah sampai tingkat yang penting dan sedang memperdalam untuk memperoleh rahasia intisari ilmu silat Tat-mo itu.

   Maka ia tak berani mengganggunya lagi, dengan tercengang ia menyaksikan di samping.

   Pelahan Han Ci-pang tak tahan juga oleh hawa dingin yang menusuk di padang rumput itu, tiba-tiba suara ayam jago berkokok terdengar pula di kejauhan, fajar telah menyingsing.

   Waktu Ci-pang memandang Kui Tiong-bing lagi, terlihat pemuda ini sedang berduduk lagi dengan sikap seperti Hwesio tua yang lagi bersemadi, sedikitpun tidak bergerak.

   Han Ci-pang hendak memanggilnya, sekonyong-konyong terdengar Kui Tiong-bing berteriak keras.

   "Ya, ya, sudah dapat sudah dapat!"

   Setelah itu mendadak orangnya melompat bangun dan melolos pedang Theng-kau-pokiam, dengan menurut ajaran Tat-mo-kiam-hoat, segera pemuda itu bergerak cepat beterbangan hingga hanya tertampak sinar perak berkilauan membungkus tubuhnya.

   Meskipun Han Ci-pang paham juga ilmu silat Tat-mo itu, tetapi pandangannya kabur juga karena sinar pedang yang gemerlapan itu.

   Di kala Kui Tiong-bing memutar pedangnya hingga begitu cepat, kemudian mendadak merandek, lalu lambat lagi, kelihatan menusuk ke barat dan ke timur, seperti tidak bertenaga dan tidak sungguh-sungguh, tetapi buat kaum ahli, justru gerakan itu sudah sampai pada puncak ilmu kepandaian yang bisa mempersatukan pedang dengan kehendak hatinya, ia bisa bergerak semaunya menurut keinginannya Han Ci-pang menjadi kagum sekali nampak kemajuan pemuda itu.

   "Soal ilmu silat, memang harus ada jodoh,"

   Demikian ia menghela napas tak tahan. Dan belum lenyap suara perkataannya, mendadak terdengar ada orang menyambung dan memuji.

   "Kiam-hoat bagus!"

   Karena suara orang itu, cepat Tiong-bing memutar tubuh dan mendadak menarik pedang dan menghentikan permainannya.

   "Lan-cu, pagi sekali kau!"

   Sapanya segera. Lan-cu mengangguk dengan tersenyum. Tiba-tiba ia pun mencabut pedangnya "Kui-toako, marilah kita coba berlatih,"

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ajaknya tiba-tiba.

   Tentu saja Kui Tiong-bing tercengang dan ragu, teringat olehnya dulu pernah saling gebrak dengan Ie Lan-cu pada waktu mereka bertemu untuk pertama kalinya di taman Perdana Menteri Nilan, kala mana ia agak unggul, kini setelah ia mendapatkan pula sari pelajaran Tat-mo-kiam-hoat, ilmu silatnya entah bertambah berapa kali lipat daripada dahulu.

   Tetapi justru karena ia baru saja dapat menyelami intisari ilmu silat yang hebat itu, ia kuatir dirinya masih belum dapat menguasai seluruhnya, lagipu-la Tat-mo-kiam-hoat sangat ganas, jika seketika keliru tangan hingga melukai Lan-cu, hal ini tentu sangat tidak mengenakkan.

   Oleh karena itu ia ragu dan tak lantas menjawab ajakan orang.

   Di pihak lain Ie Lan-cu seperti telah mengetahui apa yang kawannya pikirkan, ia menggerakkan pedangnya dan lantas berkata pula.

   "Tiada halangannya kau bergebrak dulu dengan Ngo-kim-kiam-hoat, nanti jika kau merasa aku sudah lebih maju daripada dahulu, barulah kau keluarkan rahasia ilmu silat dari dunia persilatan yang baru kaupelajari itu!"

   Karena tak mungkin menolak lagi, terpaksa Tiong-bing menuruti ajakan orang. Selagi ia mengucapkan.

   "Silakan menyerang!"

   Tiba-tiba.

   Ie Lan-cu sudah mendahului dengan sebuah serangan menuju ke dadanya.

   Lekas Tiong-bing menangkis ke samping dengan pedangnya, dalam pada itu beruntun Lan-cu sudah menyusulkan pula tiga kali tusukan, Tiong-bing menarik pedangnya untuk menjaga diri sambil dalam hati merasa heran akan kecepatan dan kehebatan rangsekan kawannya itu.

   Setelah saling gebrak hampir lima puluh jurus, Kui Tiongbing ternyata harus menahan dengan berat sekali, ia merasa seperti lebih berat daripada berhadapan dengan Coh Ciau-lam.

   Segera ia pura-pura memberi sebuah serangan, setelah itu cara bersilatnya ia ubah, ia memainkan Tat-mo-kiam-hoat yang baru saja berhasil dipahaminya dalam sekejap saja serangannya yang aneh membanjir dengan perubahan yang tiada batasnya tak terputus-putus.

   "Bagus!"

   Seru Ie Lan-cu.

   Pedang pendeknya berkelebat pula dengan hati-hati ia melayani kawannya yang sangat lihai ini, ia menerobos kian-kemari di antara sinar pedang lawan.

   Makin lama pertempuran kedua orang makin cepat.

   Pada saat sudah cepat, pedang Kui Tiong-bing dapat digerakkan sesuka hatinya, tiap gerakannya terasa angin menyambar dan sinar pedang berkelebat.

   Namun le Lan-cu pun tidak kalah tangkasnya ia dapat berputar menurut gaya serangan lawan, bagaimanapun lihai dan aneh gerak serangan Tiong-bing, selalu ia dapat menghindarkan diri tepat pada waktu dan tempatnya.

   Dengan cepat dan tak terasa, permainan Tat-mo-kiam-hoat Kui Tiong-bing sudah hampir selesai dimainkan, tetapi keadaan masih sama kuatnya.

   Sementara itu tiba-tiba Ie Lan-cu membentak nyaring, pedangnya mengayun cepat, ia ganti merangsek dengan kencang, tubuhnya dengan gesit berlompatan dan pedangnya mendesak terus tak pernah kendor.

   Tiong-bing terkejut sekali, tak pernah ia menyangka Ie Lancu bisa maju begitu cepat ilmu pedangnya hatinya tergerak segera ia keluarkan seluruh intisari pelajaran Tat-mo yang dipahaminya semalam, ia tidak mengurutkan cara Tat-mokiam- hoat yang ia mainkan tadi, tapi ia pisahkan sekehendak hatinya ditambah pula gerak serangan yang paling lihai dari Ngo-kim-kiam-hoat, ia telah menciptakan satu cabang Kiamhoat tersendiri yang tiada bandingannya, menyerang sambil bertahan, ia dapat membendung rangsekan Ie Lan-cu yang bertubi-tubi.

   Karena itu, keadaan tetap setengah kati delapan tail alias sama kuat.

   Satu pedang panjang dan yang lain pedang pendek, bagaikan dua naga yang beterbangan bertarung di udara dengan hebatnya.

   Han Ci-pang yang menyaksikan di samping hanya nampak beribu titik perak yang berhamburan dari kedua pedang yang menari-nari itu dan sama pula beribu daun bunga rontok menyebar dari udara menghambur ke tubuhnya, tak bisa lagi ia membedakan siapa Kui Tiong-bing atau Ie Lan-cu.

   Karena serunya pertempuran itu, timbunan salju di atas rumput saja tergetar hingga terbang bertebaran, hingga Han Ci-pang sendiri ternganga terpesona oleh pertarungan yang hebat itu.

   Saking kagumnya ia berteriak.

   "Bagus!"

   Tetapi sesaat kemudian segera terdengar suara "trang, trang"

   Dua kali, tanda beradunya senjata dibarengi dengan letikan api, tibatiba dua sinar putih dengan cepat menyambar dari depannya, waktu Han Ci-pang mengkeretkan tubuh dan menegasi lagi, tapi keadaan sudah kembali sepi seperti bermula.

   Kui Tiongbing dan Ie Lan-cu masing-masing dengan pedang masih terhunus sudah berdiri di depannya.

   "Maafkan kami, saking asyiknya kami bergebrak, sampai mengejutkan Han-sioksiok,"

   Kata kedua muda-mudi itu dengan tertawa.

   Cara bagaimanakah ilmu pedang Ie Lan-cu bisa mendadak bertambah begitu hebat dan aneh? Hal ini memang bukan tiada sebabnya.

   Kiranya pada waktu Kui Tiong-bing asyik mempelajari Tatmo- kiam-hoat, gadis itupun sedang melatih dan mempelajari intisari Thian-san-kiam-hoat dengan giat.

   Pada waktu Leng Bwe-hong hendak berpisah dengannya tempo hari, ia menyerahkan kitab pelajaran dari Hui-bing Siansu untuk disimpan baik-baik oleh Ie Lan-cu.

   Karena merasa dirinya masih belum mencapai taraf masak betul, maka sebenarnya Lan-cu berpikir bila Leng Bwe-hong sudah kembali dan ada tempo luang, ia akan minta pelajaran intisari Thian-san-kiam-hoat itu, tak terduga Leng Bwe hong telah mengalami nasib malang tertawan musuh di tepi sungai es.

   Diam-diam Ie Lan-cu berjanji pada diri sendiri akan menolong Leng Bwe-hong, maka dengan segala keuletan serta kecerdasannya, dengan susah payah ia meyakinkan ilmu pedangnya, dalam belasan hari paling belakang ini, Thio Huaciau saja tidak ditetnuinya.

   Dan karena kemauannya yang sungguh-sungguh itu, setelah lewat beberapa malam tanpa tidur nyenyak, ternyata intisari Thian-san-kiam-hoat sudah dapat dipahaminya walaupun dengan meraba-raba sendiri, nyata ia telah menjadi lebih pintar tanpa guru, ditambah pula Kiam-hoat tunggal ajaran Pek-hoat Mo-li, ia kombinasikan menjadi satu, kemudian ia pun terang segalanya, semua persoalan sulit dari ilmu silat yang dulu tak dipahaminya, kini telah dapat dipecahkannya.

   Dalam kitab pelajaran ilmu pedang dan ilmu pukulan peninggalan Hui-bing Siansu itu, Leng Bwe-hong telah menambahkan lagi sekumpulan buah pendapatnya yang khusus mempersoalkan cara melayani Tat-mo-kiam-hoat.

   Oleh karena itu, dalam pertandingan Ie Lan-cu dengan Kui Tiongbing ini, bukan saja sedikitpun ia tidak merasa kewalahan malahan dalam soal Kiam-hoat ia berada di atas angin.

   Hanya kalau soal kekuatan, keuletan, Lan-cu memang masih agak kalah setingkat daripada Tiong-bing.

   Oleh sebab itu, pertandingan tadi diakhiri dengan sama kuat dan setanding saja.

   Sehabis pertandingan itu, rasanya Kui Tiong-bing agak masgul, ia merasa dirinya yang susah payah mempelajari ilmu dan sudah dapat memahami seluruh Tat-mo-kiam-hoat tak tahunya masih tetap begini saja, tak sanggup melebihi orang lain.

   Tak ia duga, habis itu Ie Lan-cu lantas memuji padanya.

   Katanya.

   "Kui-toako, kini kau sudah boleh menjadi bapak dari suatu cabang silat."

   "Lan-cu, mengapa kau malah mengolok-olokku,"

   Ujar Kui Tiong-bing dengan kecewa.

   "Tidak, bukan maksudku mengolok-olokmu, tapi aku bersungguh-sungguh,"

   Kata Lan-cu.

   "Walaupun usiaku masih muda dan pengalamanku masih cetek, tetapi sejak kecil aku sudah mengikuti Leng-sioksiok, maka terhadap Kiam-hoat dari berbagai cabang aku cukup kenal. Kini tampaknya, yang bisa menandingi Thian-san-kiam-hoat kelak hanya Kiam-hoat yang kauciptakan tadi. Terus terang saja, dalam beberapa hari ini, terhadap ilrnu pedang cabang sendiri, aku juga telah mempelajarinya secara mendalam dan aku yakin diriku sendiri sudah jauh lebih maju, tak terduga begitu bertanding denganmu, tetap masih belum bisa memperoleh, keunggulan."

   Setelah mendapat penjelasan itu, baru Kui Tiong-bing dari masgul menjadi girang.

   "Kalau enci Wan-lian dapat menyaksikan pertandingan kita tadi, tentu ia akan senang sekali,"

   Katanya kelepasan mulut saking girangnya.

   "Ya, tentu, kalau ia tahu kemajuan yang telah kaucapai, tentu ia akan memujimu,"

   Segera Lan-cu menggoda dengan tertawa. Wajah Kui Tiong-bing menjadi merah kemalu-maluan. Sementara itu, dari jauh terdengar suara Thio Hua-ciau sedang memanggil.

   "Lan-cu, Lan-cu!"

   "Kini bolehlah aku menemuinya"

   Kata Lan-cu tersenyum. Dan kemudian ia membalik tubuh mendekati kekasihnya itu.

   "Han-sioksiok, harap kau jangan menertawai aku,"

   Demikian kemudian dengan tertawa ketolol-tololan Tiong-bing berkata pada Han Ci-pang.

   "Aku senantiasa merasa tidak sembabat menimpali enci Wan-lian, oleh karena itu dalam soal Kiam-hoat aku selalu berlatih lebih giat."

   Mengetahui dua-sejoli muda-mudi itu begitu cinta-mencintai, tak tertahan Ci-pang sendiri merasa getir.

   Han Ci-pang sudah belasan tahun mencintai Lauw Yu-hong, belakangan setelah mengetahui bahwa hati Lauw Yu-hong sudah terisi orang lain, kehancuran hatinya itu pelahan baru tenang dan sembuh kembali setelah lewat agak lama.

   Ia menjunjung dan menghormati Leng Bwe-hong, malahan diam-diam dalam hatinya ia berdoa bagi Leng Bwe-hong dan Lauw Yu-hong berdua.

   Ini bukan berarti ia tidak mencintai Lauw Yu-hong lagi, malahan rasa cintanya jauh lebih mendalam daripada dulu, hanya cintanya kini sudah bukan cinta yang bersifat 'monopoli', melainkan cinta yang mengharapkan kebahagiaan bagi orang yang dicintainya itu.

   Maka setelah ia meninggalkan Kui Tiong-bing, dengan perasaan seperti kehilangan ia pergi mengetok pintu kamar Lauw Yu-hong.

   "Bagaimana? Apakah sudah ada kabar Leng Bwe- hong?"

   Tanya Yu-hong dengan suara terputus-putus setelah membuka pintu.

   Dalam beberapa hari ini, Lauw Yu-hong memang mengurung diri dalam kamar, semua orang tahu betapa sedih penderitaan batinnya tapi tiada seorangpun yang dapat menghiburnya.

   Kini demi nampak wajannya yang putih pucat itu dengan terharu tanpa berkata Han Ci-pang mengulurkan tangannya.

   "Kalau menghitung hari perjalanan Pho Jing-cu dan yang lain selekasnya sudah bisa kembali "

   Kata Yu-hong pula dengan suara rendah.

   "Lauw-toaci, aku tidak pandai bicara,'' ujar Ci-pang.

   "Tetapi begitu aku memperoleh kabar Leng-tayhiap, aku bersumpah, pasti aku akan membawanya kembali ke sampingmu."

   Lauw Yu-hong mengulurkan tangannya dan membiarkan dipegang orang.

   "Ci-pang, kau selamanya adalah sahabat dalam penderitaan,"

   Katanya kemudian.

   Dan pada saat yang sama itulah, Leng Bwe-hong juga sedang mengenang Lauw Yu-hong, ia dapat berkenalan juga dengan kawan-kawan bara dalam penderitaan.

   Waktu itu ia dikurung di dalam istana Potala di Lhasa, ibukota Tibet.

   Istana Potala sebenarnya adalah tempat kedudukan tertinggi Dalai Lamma, tetapi kini sudah berubah menjadi markas besar tentara penjajahan In Te.

   Pangeran In Te menjalankan politik licin menurut perintah Khong-hi dengan baik, kecuali mengangkat Dalai yang baru, semua Lamma yang lain Tetap tinggal di tempat semula.

   Tetapi dalam pada itu, jago-jago kerajaan Boan juga sudah penuh mengisi istana itu.

   Jalan-jalan dalam istana Potala memang dibikin melingkarlingkar dan ruwet, setelah In Te datang, ia memerintahkan menambahi pula banyak pintu dan merubah di sana-sini hingga menambah keruwetan keadaan dalam istana itu.

   Di antara pintu-pintu dan jalan keluar dalam istana semua terjaga oleh jago-jago terpilih dari pasukan Boan.

   Dan Leng Bwe-hong dikurung dalam sebuah kamar rahasia di tengah istana yang hebat itu.

   Di situlah Leng Bwe-hong mengalami pembahan jiwa yang hebat, sebuah kejadian aneh yang susah dipercaya orang telah terjadi.

   Walaupun jari jempolnya telah terkurung dan mukanya penuh codet bekas luka pula, tetapi justru manusia yang berwajah jelek demikian inilah, seluruh badannya penuh daya tarik.

   Pengawal yang menjaganya semua telah tertarik oleh daya penariknya yang aneh itu.

   Cerita kepahlawanan Leng Bwe-hong memang seperti dongeng, sudah lama telah berkesan dalam pikiran para jago pengawal itu.

   Kini Leng Bwe-hong ternyata tinggal bersama di antara mereka tiap hari, sudah tentu hal ini sangat menggemparkan mereka.

   Semula mereka mendekati Leng Bwe-hong dengan perasaan heran saja, tetapi lama-lama tanpa terasa mereka telah 'terpelet' oleh jiwa kepahlawanan dan gerak-gerik kejantanannya.

   Lebih-lebih pengawal yang muda rasa hormat mereka pada Leng Bwe-hong sungguh timbul dari lubuk hati mereka yang murni.

   Di antara pengawal-pengawal muda itu, terdapat dua orang yang paling dekat dengan Leng Bwe-hong, seorang bernama Ciu Jing, dan yang lain bernama Be Hong.

   Ciu Jing adalah jago pengawal atau bayangkara keturunan.

   Kakeknya sudah mengabdi sebagai pengawal pada permulaan Kaisar Sun-ti masuk pedalaman, yakni di bawah Liap-cing-ong atau 'mangkubumi' Torkun, belakangan atas perintah atasannya ini ia melakukan sebuah tugas rahasia dan sehabis tugas itu terlaksana Liap-cing-ong telah membunuhnya dengan racun untuk melenyapkan saksi.

   Sedang Be Hong adalah bangsa Hwe yang tadinya bergelandangan di Kangouw tiada tempat tinggal yang tetap, belakangan ia ditemukan oleh Sian Hun-ting, ketua gerombolan Tiat-sian-pang di daerah Sinkiang, dan lalu dipindahkan ke bawahan Coh Ciau-lam.

   Leng Bwe-hong telah berhasil memperoleh keterangan tentang kematian kakek Ciu Jing dari pengawal lainnya juga ia dapat menyelidiki asal-usul Be Hong.

   Maka tak lama kemudian, ia sudah dapat bersahabat karib sekali dengan mereka.

   Pada suatu malam Ciu Jing dinas jaga, Leng Bwe hong bercerita padanya kisah tentang tindak-tanduk golongan Kangouw-Hohan atau orang-orang gagah dari pengembaraan, Ciu Jing tertarik sekali oleh cerita yang masih segar baginya itu.

   Seperti sengaja atau tidak sengaja kemudian Leng Bwehong telah menyinggung kakek Ciu Jing, tiba-tiba ia berkata.

   "Dalam dunia persilatan, yang diutamakan ialah kejujuran dan kesetiaan, berani berkorban untuk kawan tetapi pasti tidak saling bunuh di antara orang sendiri. Sebaliknya banting tulang untuk si tua bangka Hongte (Kaisar) walaupun berpangkat besar dan hidup jaya tapi harus juga kebat-kebit tiap hari, sudah takut dianiaya Hongte, takut pula diselomoti kawan sendiri. Laki-laki yang berdarah jantan tentu takkan terus melakukannya. Seperti halnya Engkongmu yang begitu gagah, akhirnya tidak terluput juga dari mati penasaran."

   Mengenai Engkong atau kakeknya itu, samar-samar memang Ciu Jing juga sudah pernah mendengar, kini didengarnya pula langsung dari mulut Leng Bwe-hong, keruan ia berjingkrak.

   "Darimana kau tahu? Dapatkah ceritamu ini dipercaya?"

   Tanyanya cepat. Lalu Leng Bwe-hong bercerita pula terus terang. Maka tak ragu-ragu lagi Ciu Jing.

   "Ya, peristiwa mengenai Engkongku ini aku pun pernah mendengar desas-desusnya, cuma sejak kecil aku sudah calon jago pengawal, selamanya setia kepada Hongsiang, adalah kewajiban yang sudah ditakdirkan bagi kaum 'hamba', tapi setelah kedatanganmu di sini, aku menjadi banyak bertambah pengalaman, ternyata di kalangan Kangouw terdapat hubungan antara manusia dan manusia secara begitu adil dan akrab,"

   Demikian kata Ciu Jing pula.

   Habis ini dengan semangat menyala-nyala segera ia hendak membantu Leng Bwe-hong melarikan diri.

   Tapi Bwe-hong bisa mencegahnya agar bersabar dahulu menantikan saat baik.

   Pada suatu malam pula, yang dinas jaga adalah Be Hong.

   Kepadanya Leng Bwe-hong bercerita tentang penderitaan bangsa Hwe atau Hwe-hwe, suku bangsa Muslim di Tiongkok dan menceritakan juga kelakuan Sian Hun-ting dan Hek Huihong yang tak bisa diampuni orang Kangouw.

   Karena itu wajah Be Hong menjadi merah, ia malu dirinya telah tersesat, cepat ia menjadi sadar dan sejak itu ia pun menjadi orang kepercayaan Leng Bwe-hong dalam tawanan.

   Sementara itu sesudah Coh Ciau-lam mengurung Leng Bwe-hong di dalam kamar rahasia di dalam istana Petala ini, se-ringkali ia datang memaksa Bwe-hong agar menyerahkan Kun-keng dan Kiam-hoat (rahasia ilmu pukulan dan ilmu pedang).

   Kemudian ketika diketahuinya benar-benar kitab yang dikehendakinya itu memang tiada pada Leng Bwe-hong, Ciau-lam lantas main paksa agar Bwe-hong mengulangi menulis kitab itu.

   Akan tetapi lidah Bwe-hong terlalu lihai, setiap kali Coh Ciau-lam datang selalu didampratnya habis-habisan.

   Pula Leng Bwe-hong tidak mendamprat secara ngawur, tapi ia mengupas kebusukan orang satu per satu, dari mulai Ciau-lam mendurhakai perguruan dan mempedayai Suheng, diam-diam membunuh kawan sendiri dan lain-lain perbuatan kotor, semuanya dicuci bersih tanpa ketinggalan sedikitpun.

   Tentu saja kesemuanya itu membikin hati jago pengawal yang menjaga tergoncang.

   Tentu saja Coh Ciau-lam luar biasa gusar dan dongkol pula, ia ingin memaksa orang menuliskan kitab pelajaran ilmu silat, tapi takut dicaci maki pula.

   Sampai akhirnya sudah terang sulit harapannya terkabul, pelahan timbul napsu membunuhnya.

   Syukur pada saat Coh Ciau-lam timbul napsu membunuhnya itu, ada sepasukan kecil orang melintasi padang rumput dan masuk ke Tibet dan bisa menyelundup ke dalam kota Lhasa untuk menantikan waktu yang baik buat menolong Leng Bwe-hong.

   Kiranya pada hari ketujuh sehabis Kui Tiong-bing bertanding pedang melawan Ie Lan-cu, Boh Wan-lian dan Pho Jing-cu yang pergi mencari Nilan Yong-yo itu telah kembali dengan membawa berita keadaan Leng Bwe-hong, tentu saja semua orang tergirang mendengar pendekar besar itu masih hidup baik-baik.

   Cuma bila mendengar Leng Bwe-hong dikurung di dalam istana Potala dan sekitarnya dijaga rapat oleh pasukan In Te yang tak terhitung banyaknya, lalu semua orang pun berkuatir pula.

   Mereka kuatir akan lebih sulit daripada mengobrak-abrik penjara kerajaan dahulu itu.

   "Tapi betapapun sulitnya, kita akan pergi menolongnya juga,"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Ie Lan-cu kemudian.

   "Ya, sudah tentu,"

   Sahut Fuad, kepala suku bangsa Kazak yang masih muda.

   "Leng-tayhiap adalah tuan penolong bangsaku, untuk dia, ke lautan api ataupun masuk air mendidih tidak nanti kami menolak. Cuma sedikitnya harus kita perhitungkan juga suatu rencana yang rapi. Kalau hanya beberapa orang yang pergi mungkin tiada berguna bagi usaha kita."

   "Jika begitu, baiklah minta kau suka memilih tiga ratus orang yang berani berjibaku tapi perkasa, biar ikut pergi bersama kami,"

   Kata Pho Jing-cu tiba-tiba sambil tertawa.

   "Terlalu banyak orang lebih mudah diketahui musuh, cara bagaimana kita bisa menerobos kepungan pasukan Boan yang berada di perbatasan Tibet itu?"

   Ujar Lauw Yu-hong.

   "Jika dalam sepuluh hari kita bisa sampai di perbatasan Tibet, mungkin masih ada jalan buat lewat,"

   Kata Jing-cu.

   "Tapi kalau telat aku pun tak berani tanggung."

   Tentu saja semua orang heran, segera mereka bertanya apa sebabnya? "Sebab aku sudah menduga bakal terjadi sesuatu, maka aku sudah mengerjakan sesuatu lebih dulu,"

   Sahut Jing-cu tertawa.

   Kiranya tempo hari waktu Pho Jing-cu berada dalam pasukan Boan dan disuruh Khong-hi pergi mengobati sakit bisul beku seorang Pangeran, dan penderita sakit itu ternyata segera-pun sembuh.

   Keruan Khong-hi sangat senang, ia minta Jing-cu memberi resep.

   Permintaan itu telah dipenuhi Pho Jing-cu dengan baik, bahkan ia mengumpulkan pula banyak rumput obat dan diracik menjadi beberapa ratus bungkus obat bubuk untuk persediaan prajurit yang sakitnya serupa.

   Resep pengobatan sakit bisul beku yang diberi Jing-cu itu memang tulen, cuma dalam racikan obat bubuk itu telah ditambahi olehnya semacam rumput obat lain yang sangat lihai, bila obat bubuk itu dipoleskan di tempat luka tiada sesuatu tanda mencurigakan, malahan mula-mula akan terasa nyaman sekali, tapi beberapa hari kemudian sakit bisul beku itu akan kumat lagi, kalikan lebih, hebat daripada tadinya.

   Maka Pho Jing-cu sudah memperhitungkan baik-baik, ia menaksir dalam sepuluh hari harus sudah sampai di perbatasan Tibet, dan pada saat itulah sakit bisul beku para prajurit yang memakai obatnya itu akan kumat sehebathebatnya Kembali tentang Nilan Yong-yo, sehabis Wan-lian pergi, ia termangu-mangu pula seorang diri mengenang si gadis itu.

   Suatu hari, tiba-tiba didengarnya di luar perkemahan di kejauhan terdengar suara genderang perang yang riuh.

   Tak lama kemudian kelihatan Kaisar Khong-hi masuk ke kemahnya dengan wajah marah.

   "Yong-yo, kedua orang ayah dan anak yang datang tempo hari adalah mata-mata musuh,"

   Demikian Khong-hi segera menegur. Yong-yo pura-pura meloncat kaget.

   "Darimana kau tahu?"

   Tanyanya cepat.

   "Barusan komandan perintis jalan melaporkan padaku bahwa ada sepasukan begal kuda hendak menerobos garis kepungan melintasi padang rumput,"

   Kata Khong-hi.

   "Segera beberapa ribu prajurit telah dikerahkan untuk menangkapnya, tak terduga 9 dari 10 prajurit telah sakit bisul beku semua, bahkan hebat sekali kumatnya meski jumlah ribuan prajurit, tapi setelah bertempur sengit ternyata tak mampu menahan lawan yang berjumlah sedikit hingga perlu minta bala bantuan."

   "Ai,"

   Teriak Yong-yo pura-pura kuatir.

   "Bila begitu, nyata hamba yang berdosa hingga kena dikelabui mata-mata musuh, maka mohon Sri Baginda memberi hukuman."

   "Yang tidak tahu tidak berdosa aku pun tidak menyalahkanmu,"

   Kata Khong-hi.

   "Cuma setelah pengalaman ini, hendaklah selanjurnya jangan suka bergaul dengan orang yang tak terang asal-usulnya."

   Yong-yo mengiakan berulang-ulang.

   "Tapi baiknya perawatan batalion gerak cepat kujaga baikbaik, hakikatnya tidak menggunakan obat bubuk pemberian orang tua itu, maka kini sudah dapat dikirim ke sana,"

   Tiba-tiba Khong-hi berkata pula senang.

   "Agaknya gerombolan begal kuda itu tidak nanti bisa lolos dari tangan batalion gerak cepat yang sudah kulatih itu. Dan aku justru ingin melihat, apakah gerombolan begal kuda ini mempunyai hati harimau dan nyali macan tutul, masakah begini berani menerjang pasukan kita ini?"

   Mendengar cerita itu, dalam hati Yong-yo sangat terkejut, ia kenal 'batalion gerak cepat' yang disebut itu adalah pasukan terlatih paling bagus di antara pasukan komando kota-raja dan langsung di bawah pimpinan Kaisar, memang tak bisa dipandang enteng Karena itu, setelah berpikir, segera Yong-yo mendapatkan akal, lantas katanya.

   "Sampai batalion gerak cepat dikerahkan, tentu saja tidak susah menawan semua musuh itu, dan bila Hongsiang ada hasrat hendak pergi melihat, marilah hamba mengiringi pergi menonton pertempuran itu?"

   Dan karena tertarik juga segera Khong-hi menyatakan baik, mereka memilih dua kuda bagus dan di bawah iringan sepasukan pengawal, segera mereka menuju ke perbatasan.

   Batalion gerak cepat itu memang benar-benar cepat, dari markas besar mereka menuju ke garis depan, dalam jarak belasan li itu ditempuhnya hanya dalam waktu kurang setengah jam.

   Tatkala itu Pho Jing-cu dan kawan-kawan sedang menerjang mati-matian buat membobol kepungan musuh, tapi ketika batalion gerak cepat itu membanjir tiba dan menyebar luas hingga seakan-akan di padang rumput itu sudah terpasang sebuah jaring dan pelahan mengkeretkan jarak kepungan itu ke tengah hingga Pho Jing-cu dan kawan-kawan bersama tiga ratus prajuritnya terkepung rapat.

   Waktu Khong-hi dan Nilan Yong-yo tiba sampai di tempat itu, mereka mendengar suara pertempuran itu gegap gempita dan sinar senjata berkilauan, nyata pertempuran itu sem luar biasa.

   Sambil berdiri di atas suatu tempat tinggi, Khong-hi menunjuk ke sini ke sana menyaksikan pertarungan itu bersama Nilan Yong-yo.

   Tapi sejenak kemudian tiba-tiba wajahnya berubah.

   "He, ini bukan begal kuda sembarangan!"

   Katanya cepat.

   Tatkala itu tiga ribu prajurit batalion gerak cepat di bawah pimpinan beberapa perwira yang tinggi ilmu silatnya meski bisa mengepung rapat musuh di tengah, tapi gerombolan 'begal kuda' itu kemana menerjang, di situ segera seperti arus air yang bersimpang jalan terpecah belah.

   Hanya sekejap saja Khong-hi sudah menyaksikan beberapa perwiranya tewas di bawah senjata musuh.

   Tak lama kemudian, kembali Khong-hi bersuara heran, sambil menuding ia berkata pada Nilan Yong-yo.

   "Lihatlah orang tua itu!"

   Ketika Yong-yo mamandang menurut arah yang ditunjuk, maka dilihatnya Pho Jing-cu dengan kudanya di garis paling depan, pedangnya diputar kencang, hanya sekejap saja beberapa musuhnya sudah digulingkan.

   "Bukankah orang tua ini adalah si tabib tempo hari itu?"

   Kata Khong-hi pula. Waktu Yong-yo menegasi lagi, dilihatnya Boh Wan-lian juga berada dalam pertempuran itu. Tiba-tiba ia mengkerut kening dan berkata pada Khong-hi.

   "Eh, kiranya gadis itu pun begal kuda juga."

   Dalam pada itu Khong-hi sudah dapat melihat Boh Wan-lian juga. Dan ketika ia hendak menyahut, mendadak dilihatnya Nilan Yong-yo mengeprak kuda membedal ke depan sambil berteriak.

   "Kurangajar! Kalau aku tidak menangkap begal ini hidup-hidup, aku bersumpah takkan jadi manusia!"

   "Eh, eh, jangan, jangan, lekas kembali!"

   Teriak Khong-hi cepat dan kuatir.

   Akan tetapi dengan cepat kuda Nilan Yong-yo sudah berlari jauh dan menerjang masuk ke medan pertempuran sengit itu.

   Ketika para perwira dan prajurit batalion gerak cepat itu melihat Nilan-kongcu menerjang datang, mereka menjadi bingung dan heran.

   Tatkala itu Thio Hua-ciau berdampingan dengan Ie Lan-cu lagi melabrak musuh hingga pikirannya butek, maka waktu mendadak Nilan Yong-yo menerjang datang, tanpa berkata lagi Hua-c iau membacok orang.

   Sekuat tenaga Yong-yo menangkis, tapi hampir saja ia terjatuh dari kudanya.

   Lekas Lan-cu menyikut Hua-ciau hingga pemuda ini tergontok ke samping, dan kemudian barulah Huaciau melihat jelas siapa adanya Nilan Yong-yo, keruan ia beseru terkejut.

   Di lain pihak cepat Boh Wan-lian mengeprak kuda mendatangi juga, segera Yong-yo menyambut orang dengan sekali bacokan, ketika si gadis berkelit enteng, dengan suara rendah segera Yong-yo membisikinya.

   "Lekas tangkap aku!"

   Berbareng itu goloknya terus membabat lagi.

   Tentu saja Tiong-bing tidak tinggal diam, dengan menggeram segera ia memburu datang.

   Sementara itu Wanlian sudah mengulur tangan memegang pergelangan tangan Nilan Yong-yo terus diseret ke bawah dan dikempit.

   "Tolol, lekas mundur!"

   Kata Wan-lian sambil melotot pada Tiong-bing ketika dilihatnya pemuda ini memburu datang secara gegabah. Waktu itu Tiong-bing sudah dapat mengenali Nilan Yongyo, maka segera ia mendamprat.

   "Ha, tadinya kami sangka kau orang baik-baik, tak tahunya kau juga suka berkorban jiwa untuk tua bangka Kaisarmu itu!"

   Mendongkol bercampur geli juga Boh Wan-lian oleh pikiran Tiong-bing yang ketololan itu, lekas ia membentak dengan suara tertahan.

   "Lekas kau pergi memanggil Pho-pepek ke sini!"

   Sementara itu para prajurit musuh demi nampak Nilankongcu hanya sekali gebrak saja sudah tertawan, keruan saja luar biasa terkejut mereka, beramai-ramai segera mereka membanjir maju hendak menolong, namun pedang Ie Lan-cu sudah diputar kencang dan beberapa orang segera terguling.

   Waktu Pho Jing-cu kemudian memburu datang, dari tangan Boh Wan-lian segera ia mengambil alih Nilan Yong-yo yang sengaja ditawan itu, dengan pedang melintang di leher o-rang sambil mengancam dengan suara bengis terhadap para prajurit Boan itu.

   "Lekas berhenti, bila tidak, segera orang ini aku binasakan dulu!"

   Para prajurit itu cukup tahu bahwa Nilan-kongcu adalah orang kesayangan atau 'anak-emas' Kaisar Khong-hi, sudah tentu mereka tak berani sembarangan bergerak lagi.

   "Ada apa-apa katakanlah, jangan turun tangan dulu!"

   Teriak komandan batalion gerak cepat ini yang ternyata Thio Sing-pin adanya, itu wakil komandan pasukan pengawal dengan jabatan rangkap.

   "Haba, kiranya Thio-thongling adanya, baik-baikkah selarna ini?"

   Jing-cu menyapa dengan tertawa. Trio Sing-pin tercengang mendengar orang menyapa, padahal tak dikenalnya siapa orang tua ini.

   "Apakah peristiwa Bu-keh-ceng di kaki gunung Ngo-tai-san sudah dilupakan Thio-thongling?"

   Segera Jing-cu mengingatkan orang.

   "Dan aku adalah Kanglam Pho Jing-cu."

   Semula Sing-pin rada ragu melihat wajah Pho Jing-cu yang sudah jauh berlainan, tapi demi mengingat orang pandai ilmu tabib, segera ia pun mau percaya.

   "Dan kini adakah sesuatu petunjuk Pho-losiansing?"

   Sahutnya segera sambil menjura.

   Dahulu Thio Sing-pin juga orang yang berkecimpung di kalangan Kangouw, tindak-tanduknya cukup tenang dan bisa berpikir daripada Coh Ciau-lam.

   Maka dulu waktu di Bu-kehceng, ia masih menemui Bu-Goan-ing secara peraturan.

   Kini melihat Nilan Yong-yo sudah ditawan orang, ia pikir pasti musuh ada sesuatu yang hendak dipaksakan, maka tanpa panjang lebar segera ia bertanya dan menunggu pihak lawan 'membuka kartu'.

   Tentu saja Pho Jing-cu mengerti akan maksud orang, segera ia mengunjuk jempolnya memuji.

   "Thio-tayjin sungguh jagoan Kangouw, maka kami pun tidak banyak permintaan, hanya ingin Nilan-kongcu mengantar kami sepanjang 300 li saja."

   "Hal ini aku tak bisa memutusnya,"

   Sahut Sing-pin.

   "Maka kalian sukalah menunggu sejenak, biar kulaporkan saja kepada Hongsiang?"

   Habis itu ia pun meninggalkan medan peperangan itu dan melaporkan pada Khong-hi tentang syarat Pho Jing-cu itu. Khong-hi mengerut kening mendengar laporan itu.

   "Suruh dia melepaskan Yong-yo dan kita biarkan mereka lewat,"

   Demikian katanya kemudian. Dengan cepat segera Thio Sing-pin meneruskan jawaban itu kepada Pho Jing-cu. Tapi Jing-cu ternyata tidak gampang diselomoti.

   "Hm, jika Thio-tayjin sendiri bisa memutuskan persoalannya, tentu tanpa ragu akan kami serahkan orangnya dan lewat begitu saja"

   Satori Jing-cu menjengek.

   "Tapi sekali ini adalah Hongsiang yang memutuskan. Terus terang saja kami tidak dapat mempercayai Hongsiang. Coba jawab, jika sekarang Nilan-kongcu kami bebaskan, tapi nanti Hongsiang menitahkan kau memimpin pasukan mengejar kami, lalu kau akan turut perintah itu atau berani membangkang perintahnya?"

   Karena itu Thio Sing-pin tak berani menjawab, segera ia menyampaikan lagi kepada Khong-hi. Sungguh tidak kepalang mendongkolnya Khong-hi, tapi apa daya, Nilan Yong-yo sudah berada di bawah cengkeraman orang. Terpaksa ia berkata pula.

   "Baiklah, bila tiada apa-apa atas diri Yong-yo, hitung-hitung mereka yang untung. Tapi kalau Yong-yo sudah dibawa pergi dan akhirnya tak dilepaskan kembali, lalu bagaimana?"

   Lekas Thio Sing-pin menjura dan melapor.

   "Orang tua itu bernama Pho Jing-cu."

   "O, Pho Jing-cu?"

   Sela Khong-hi tiba-tiba.

   "Ya, kenal aku akan nama itu. Tapi wajahnya tidak mirip!"

   "Ia pandai menyamar dan berganti rupa,"

   Sahut Sing-pin, lalu ia merandek.* "Apa yang hendak kaukatakan, kenapa pakai sembunyisembunyi segala?"

   Damprat Khong-hi kurang senang.

   "Orang ini rada tersohor di kalangan Kangouw,"

   Kata Singpin kemudian.

   "Bila ia bilang satu pasti tidak dua, tidak nanti ia memungkiri janji."

   Seketika wajah Khong-hi berubah oleh penuturan itu, ia menjengek sekali dan berpikir;

   "Hm, mereka tidak bisa percaya padaku, sebaliknya kau malah mau percaya pada mereka."

   Waktu itu Thio Sing-pin masih menjura di atas tanah, maka wajah Khong-hi tak dilihatnya, kembali ia melapor lagi.

   "Bila perlu biar hamba ikut pergi bersama Kongcu untuk kemudian mengawalnya kembali."

   Karena tiada jalan lain, terpaksa Khong-hi menerima syarat itu, cuma di samping itu ia menambahi pula empat jago bayangkara lain ikut pergi bersama Thio Sing-pin, dan hal mana dapat diterima juga oleh Pho Jing-cu.

   Dan setelah kejadian ini, Khong-hi menjadi kurang senang pada Thio Sing-pin, maka di kemudian hari setelah kembali ke ibu-kota dengan alasan yang dicari-cari Thio Sing-pin dibunuhnya.

   Begitulah, maka semua prajurit batalion gerak cepat yang mengepung itu.

   lantas ditarik kembali, Thio Sing-pin bersama empat jago pengawal ikut pergi dengan Nilan Yong-yo sebagai jaminan.

   Cuma mereka mengintil jauh di belakang, sebaliknya Nilan Yong-yo telah berganti kuda dan menunggang sendiri jalan berendeng bersama Pho Jing-cu dan kawan-kawan.

   "Haba, dulu kami pernah menjadi tukang kebunmu, tapi kini kau menjadi tawanan kami, haha, sama-sama, seri!"

   Kata Tiong-bing tiba-tiba dengan tertawa ketololan. Tapi cepat Pho Jing-cu menarik pemuda itu dan membisikinya.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apa kau kira Nilan-kongcu benar-benar dapat kita tawan? Tadi ia sengaja ikut dengan kita karena ingin menolong kita, tahu!"

   Dalam pada itu Boh Wan-lian juga telah mengetok jidat pemuda ini sambil mengomel.

   "Kau ini, bilakah baru kau akan pintar?"

   Sesaat Tiong-bing masih bingung, tapi'kemudian ia pun mengertilah, segera tangan Nilan Yong-yo dipegangnya kencang.

   "Ya, ya, kau benar-benar seorang baik!"

   Katanya tertawa. Melihat watak orang yang polos dan kekanakan, diam-diam Nilan Yong-yo ikut bergirang untuk Wan-lian. Setelah berjalan dua hari, 300 li yang dijanjikan itu sudah cukup ditempuh, dengan perasaan berat lantas Nilan Yong-yo berkata.

   "Jauh-jauh mengantar tuan, akhirnya harus berpisah juga. Harap saja persahabatan kita selalu terkenang di dalam hati, dan hendaklah jaga diri baik-baik."

   Segera Pho Jing-cu menyuruh semua orang turun dari kuda dan duduk di atas tanah, arak dikeluarkan dengan dendeng sebagai lauk untuk perpisahan dengan Nilan Yong-yo.

   Pada saat itu tiba-tiba timbul keinginan Kui Tiong-bing hendak memamerkan ilmu pedangnya yang baru dipahaminya itu di hadapan sang kekasih, karena sejak kembali, Boh Wanlian masih belum ada kesempatan melihatnya, maka pedang pusaka 'Theng-kau-pokiam' segera ia lolos, dengan tertawa ia berkata pada Nilan Yong-yo.

   "Biarlah aku memainkan sejurus ilmu pedang untuk menghibur Kongcu minum arak!"

   Habis itu, pedangnya diputar sekali lingkaran sebagai pembukaan, lalu ia pun memainkan 'Tat-mo-kiam-hoat' yang sudah lama menghilang di dunia persilatan itu.

   Di antara rombongan mereka, kecuali Han Ci-pang dan le Lan-cu, belum ada yang melihat ilmu pedang yang hebat ini, maka mereka menjadi amat kagum.

   Sedang asyik ilmu pedang itu dimainkan, tiba-tiba dari depan sana ada tiga orang penunggang kuda secepat kilat telah mendatangi.

   Setelah dekat, mendadak mereka menahan kuda menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Kui Tiongbing itu.

   Jing-cu rada heran melihat sikap ketiga orang itu.

   Ketiga orang ini yang seorang adalah wanita cantik setengah umur, sedang kedua orang lainnya adalah laki-laki, seorang berusia lebih setengah abad dengan jenggot pendek kaku, sedang yang lain adalah seorang Tosu atau Imam tua berjenggot putih melambai.

   Dari wajah ketiga orang yang aneh dan sinar mata mereka yang berkilat, Pho Jing-cu menduga pasti orang memiliki ilmu silat yang tinggi.

   Dan selagi hendak menyapa mereka, setelah melihat sejenak, tiba-tiba ketiga orang itu saling memberi tanda, Imam tua itu bersama laki-laki yang lain terus menerjang Kui Tiong-bing berbareng, sebaliknya wanita setengah umur itu gerak tubuhnya lebih gesit pula, mendadak sekali lompat, tahu-tahu pedangnya terus menikam ke arah Nilan Yong-yo.

   Karena tak menyangka, tanpa pikir lagi Pho Jing-cu mengayun lengan bajunya terus melibat pergelangan tangan orang dengan ilmu kepandaiannya yang tunggal 'Liu-in-hui-siu' atau awan meluncur lengan baju beterbangan, berbareng telapak tangan kanan terus menghantam pula dari bawah lengan baju itu.

   Namun wanita cantik setengah umur itu tiba-tiba berjumpalitan di udara terus membalik turun ke belakang Pho Jing-cu dan menyusul pedangnya menusuk pula tanpa berhenti.

   Dalam pada itu pedang Pho Jing-cu sudah dilolos juga, ketika tangannya membalik ke belakang, segera senjata musuh kena ditempelnya terus ditarik ke samping.

   Namun sekalian wanita itu menyurung pergi gaya menempel itu, lalu pedangnya mengarah ke bawah sekalian buat membabat.

   Diam-diam Pho Jing-cu heran luar biasa, tapi ia tidak lantas bertanya, melainkan mengangkat pedang menempur orang lagi.

   Setelah sejurus lagi, tiba-tiba wanita cantik itu bersuara heran dan berkata.

   "Ha, kau adalah jago Bu-kek-pay, kenapa terima menjadi orang rendah!"

   Berulang-ulang Jing-cu mematahkan tiga kali serangan orang, lalu sambil tersenyum ia menjawab.

   "Dan kau adalah jago Bu-tong-pay, kenapa berbicara secara begini kasar?"

   Wanita itu menjadi gusar.

   "Kau memakai sandang bangsa Han, tapi melindungi musuh malah, sungguh tak kenal malu!"

   Demikian dampratnya dan secepat kilat beberapa tusukan dilontarkannya lagi.

   Di sebelah sana pertarungan seru antara Kui Tiong-bing dan kedua orang tadipun sudah terjadi.

   Imam tua itu ternyata ulet luar biasa, dimana ujung pedang Tiong-bing sampai, di situ segera terasa suatu kekuatan maha besar menghantam balik ke arahnya.

   Sedang ilmu pedang laki-laki brewok itupun hebat dan bagus sekali.

   Baiknya Tiongbing sudah melatih Tat-mo-kiam-hoat yang aneh dan lihai itu, ditambah pedangnya adalah pedang wasiat, maka masih dapat ia melawan keroyokan kedua orang dan sama kuatnya.

   Kedudukan kedua orang itu sangat tinggi, tapi kini menempur seorang pemuda hanya sama kuatnya saja, mereka menjadi terkejut dan mendongkol.

   Tiba-tiba kedua pedang mereka merangsek dari kanan-kiri dan mendesak makin kencang.

   Akhirnya karena dikerubut dua orang, Tiong-bing merasa keuletan mereka agaknya tidak di bawah Ce Cin-kun, maka setelah bertahan sejurus lagi, jidatnya mulai tampak berkeringat.

   Melihat setiap musuh berilmu silat sangat tinggi, dengan satu lawan satu Pho Jing-cu bisa lebih unggul, tapi Kui Tiongbing satu harus lawan dua, tampak sekali sudah bakal kalah, maka tanpa pikir lagi Lan-cu melolos pedangnya terus menubruk maju dan menikam ke arah Imam tua itu.

   Ketika Imam itu mengangkat pedangnya menangkis, namun luput, Lan-cu sudah menarik kembali senjatanya dan menyusul serangannya dilontarkan pula bagai ombak yang gulung-gemulung tak berhenti.

   Maka sekejap saja beberapa puluh jurus sudah berlangsung hingga Imam tua itu terdesak mundur terus.

   Dan selagi Lan-cu hendak merangsek lebih kencang, mendadak Imam itu menangkis sekuatnya dan menggunakan tenaga dalamnya membikin Ie Lan-cu tergoncang mundur, lalu dengan suara keras ia berteriak.

   "He, kau anak dara ini pernah apanya Pek-hoat Mo-li?"

   Karena itu, sekali lengan bajunya menyabet, segera Pho Jing-cu mendesak wanita cantik itu meloncat mundur juga habis itu baru ia menyambung pertanyaan Imam tadi.

   "Kalian bertiga jagoan dari Bu-tong-pay ini pernah ada hubungan apa dengan Toh-tayhiap?"

   Melihat ketangkasan Pho Jing-cu, Imam berjenggot putih itu tak berani ayal, segera ia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan dan menjawab.

   "Toh-tayhiap adalah Suheng kami, mohon tanya siapakah nama tuan yang terhormat?"

   Segera Pho Jing-cu memperkenalkan namanya.

   Ketiga orang itu terkejut semua, mereka menjadi heran pula mengapa tabib sakti Pho Jing-cu, seorang jagoan terkemuka dari suatu aliran silat tersendiri, bisa minum arak bersama dengan pembesar bangsawan Boanciu? "Dan dia adalah anak murid tak langsung Hui-bing Siansu,"

   Kata Jing-cu pula sambil menuding Ie Lan-cu.

   "Ia pun terhitung anak angkat pahlawan wanita Hui-ang-kin, maka ia memperoleh juga ajaran ilmu pedang tunggal Pek-hoat Mo-li."

   "O, pantas ihnu pedangnya begitu lihai,"

   Puji Imam tua itu.

   "Sayang aku tiada kesempatan berkenalan dengan Hui-bing Siansu, tapi kini bisa menyaksikan ilmu pedang ciptaannya, boleh dikata banyak menambah pengalamanku juga."

   Kiranya ketiga orang ini datang dari Ohpak.

   Imam tua itu bergelar Hian-cin, ialah anak murid Wi-yap Tojin, paman guru Toh It-hang, dan kini menjabat Ciangbun (ketua) Bu-tong-pay, sedang wanita cantik setengah umur itu bernama Ho Lok-hua, ialah anak perempuan paman guru Toh It-hang yang lain pada waktu belum menjadi Imam, yaitu Pek-ciok Tojin.

   Dan laki-laki brewok itu adalah suaminya.

   Tapi karena.

   Ho Lok-hua pintar bersolek, maka meski sudah setengah umur, tapi gayanya masih cantik menarik.

   Beberapa puluh tahun yang lalu Toh It-hang adalah ketua Bu-tong-pay, umurnya selisih tidak banyak dengan para paman gurunya, tapi jauh lebih tua daripada adik seperguruan yang lain.

   Dan sejak It-hang meninggalkan kedudukan sebagai ketua Bu-tong-pay dan tirakat ke Thian-san, anak murid Butong masih mengharapkan ia kembali.

   Lebih 20 tahun lalu ketika Njo Hun-cong masih di Sinkiang, pernah seorang diri Ho Lok-hua mencari Toh It-hang ke Thian-san dan sebab itu makin menambah salah paham antara Toh It-hang dengan Pek-hoat Mo-li.

   Dan sesudah It-hang lama wafat, baru kabar itu didengar anak murid Bu-tong-pay.

   Belakangan dapat didengar pula kabar yang tersiar oleh Lamma dari Tibet bahwa ilmu rahasia Tat-mo yang menghilang selama ini telah muncul kembali di jagad ini.

   Ilmu silat Tat-mo itu adalah ilmu kepandaian pusaka Bu-tong-pay mereka yang menghilang sekian lamanya, siapa saja asal anak murid Bu-tong semua mendapat pesan untuk ikut menemukannya kembali.

   Sebab itulah ketua Bu-tong-pay sekarang, Hian-cin, membawa sendiri Sute dan Sumoaynya ini jauh-jauh datang ke Tibet untuk menyelidiki kebenaran berita itu, dan bila sudah terang jejaknya, kemudian mereka bermaksud naik ke Thian-san untuk memindahkan tulang Toh It-hang kembali ke Bu-tong-san.

   Tak terduga tidak lama mereka masuk Tibet, kebetulan sekali pasukan Boan secara besar-besaran menyerbu datang juga hingga istana Potala diduduki In Te sebagai markas besar.

   Dan karena tidak tahu kalau tapal batas sudah terkurung rapat, maka dengan lesu mereka hendak pulang ke selatan lagi, dan secara kebetulan di tengah jalan mereka melihat Kui Tiong-bing lagi bermain pedang.

   Terhadap Tat-mo-kiam-hoat meski mereka tak paham, tapi dari perguruan mereka yang turun temurun ada lima-enam gerak tipu dari ilmu pedang itu dapat mereka kenali, pula dilihatnya Nilan Yong-yo bersama beberapa jago pengawal berada di situ juga, maka tanpa bertanya lagi segera mereka turun tangan melabrak orang.

   Di lain pihak Hian-cin memang sengaja juga hendak menjajal betapa hebat Tat-mo-kiam-hoat itu.

   Kini setelah Hian-cin mendengar nama Pho Jing-cu yang dikenalnya sebagai seorang tokoh terkemuka yang tidak nanti omong kosong, meski mengenai kedudukan Nilan Yong-yo tak diterangkannya, tapi dengan melindunginya begitu sungguhsungguh, diam-diam Hian-cin berpikir pasti ada alasannya maka ia pun tak enak buat mengusut lebih jauh.

   Mengetahui ketiga orang itu hendak pergi ke Thian-san, dengan tersenyum Nilan Yong-yo berkata.

   "Di tapal batas sana penuh dijaga tentara, meski Kiam-hoat Totiang (tuan Imam) tinggi, mungkin susah juga hingga menembusinya!"

   "Sekalipun darah kami bertiga harus membasahi gurun pasir, tapi paling sedikit masih bisa membunuh juga berpuluh atau beratus anjing asing,"

   Sahut Hian-cin gusar dengan mata melotot. Tentu saja Thio Sing-pin dan kawan-kawan berubah hebat wajah mereka, tapi Nilan Yong-yo malah menganggap sepi caci-maki orang, tetap dengan tertawa ia berkata lagi.

   "Dan kedua pihak sama-sama rugi, buat apa dilakukan? Jika Totiang tidak menolak, biarlah kembali kami membawa serta kalian melewati garis penjagaan. Kalian mengaku sebagai Imam pengembara, mungkin takkan terjadi apa-apa."

   Sementara itu diam-diam Pho Jing-cu membisiki Hian-cin juga.

   "Ini adalah sahabat baik kita, kukira ada lebih baik kau terima maksud baiknya saja."

   Mendengar Jing-cu mengaku sahabat pada seorang asing yang menjadi musuh bangsa Hian-cin terkejut dan heran luar biasa.

   Tapi bila dilihatnya sikap Yong-yo yang ganteng bersemangat, sifatnya lain dari yang lain, tanpa terasa perasaan antipati Hian-cin menjadi banyak berkurang.

   Lalu ia pun tidak banyak bicara lagi.

   Dan ketika Pho Jing-cu hendak memberi salam perpisahan, tiba-tiba Hian-cin menunjuk Tiong-bing dan berkata.

   "Engko cilik ini biarkan sementara tinggal saja."

   "Apa kau bilang? Berdasar apa kau menahan aku?"

   Sahut Tiong-bing menjadi gusar. Tapi cepat Boh Wan-lian telah membisiki pemuda itu.

   "Jangan sembrono, ketahuilah mereka adalah paman gurumu!"

   Karena itu Tiong-bing tertegun dan serba salah. Dan barulah ia teringat setelah dirinya mempelajari ilmu silat Tatmo itu, otomatis dia sudah menjadi anak murid Bu-tong. Maka terpaksa ia lantas maju dansoja sambil memanggil.

   "Susiok!"

   "Eli, apa kau murid penutup Toh It-hang?"

   Tanya Hian-cm heran.

   "Bukan,"

   Sahut Tiong-bing menggeleng kepala. Tapi segera ia pun merasa tidak tepat jawabannya itu, maka kembali ia mengangguk dan berkata pula.

   "Tapi boleh juga dikata betul!"

   


Pedang Dan Kitab Suci -- Khu Lung Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung

Cari Blog Ini