Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 6


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 6



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   Si nenek sangat terkejut, tetapi Boh Wan-lian sudah mendahului di depannya, ia memeriksa nadi orang tua itu.

   "Pekbo,"

   Katanya kemudian.

   "Ia segera akan siuman kembali, kalian tak usah kuatir, ia hanya terlalu girang, maka sementara telah pingsan."

   Gadis yang menghunus pedang tadi sementara telah menyimpan kembali senjatanya, ia menarik-narik tangan Boh Wan-lian dan menghaturkan terima kasih.

   "Cici, masih ingatkah padaku? Terima kasih, sudah dua kali kau membantu dan menolong kami,"

   Katanya.

   "Harap jangan sungkan lagi,"

   Sahut Wan-lian.

   "Agaknya Lopek (paman) sakit pian-sui (mati separuh badan) dan tadi telah bertempur seru dengan musuh, bukan?"

   "Tidak begitu seru,"

   Kata si gadis sambil menuding tubuh yang menggeletak itu.

   "Bangsat ini telah menubruk ayah, tetapi tertahan sedikit oleh cagak-cagak kayu itu, segera dengan sebelah sikunya menahan tubuh, sekonyong-konyong ayah mengayun kaki hingga tiga cagak kayu kena disapu putus, penjahat itupun terjungkal dan segera mampus."

   "Ilmu serangan bagian bawah orang tua ini sungguh hebat sekali, tak heran kalau dahulu Kui Thian-lan terluka oleh kakinya yang lihai ini!"

   Demikian pikir Bwe-hong diam-diam.

   Tak lama kemudian betul juga si orang tua itu pelahanlahan telah sadar kembali, ia merangkul dan mengamat-amati si pemuda baju kuning.

   Orang-orang dalam rumah sama menahan napas saking terharunya, mata Wan-lian ikut mengembeng basah.

   "Ayah, dapatkah kau menceritakan asal-usulku!"

   Kata pemuda baju kuning dengan suara rendah sesudah agak lama. Wajah si orang tua berubah pucat demi mendengar permintaan itu.

   "Mintalah ibumu yang menceritakannya dahulu, mana yang kurang biarlah nanti aku yang menambahkan,"

   Sahutnya kemudian. Maka dengan suara tak lancar dan tangan sedikit gemetar, si nenek memegang tubuh pemuda itu dan bercerita.

   "Namamu ialah Ciok Tiong-bing"

   "Tidak, harus dipanggil Kui Tiong-bing,"

   Potong si kakek tiba-tiba. Karena kata-kata itu, mendadak si nenek melototkan matanya.

   "Aku hanya ingin dia ingat baik-baik pada ayah angkatnya,"

   Kata si kakek mencoba menerangkan. Nenek itu menghela napas, ia mencoba menenangkan diri, setelah itu barulah ia menyambung ceritanya.

   "Dan ayahmu bernama Ciok Thian-sing, dia dan Kui Thian-lan murid dari Eng-kong-luar-mu,"

   Demikian si nenek meneruskan.

   "Kui Thian-lan adalah Suheng dan ia adalah Sutenya. Pada lima puluh tahun yang lalu Engkong-luar-mu itu terkenal dengan nama Cwan-tiong Tay-hiap Jap Hun-sun dan aku adalah puteri tunggalnya. Engkongmu tak mempunyai anak laki-laki, maka kakak-beradik seperguruan ini dianggap seperti anaknya. Aku belajar silat bersama mereka, maka soal adat istiadat laki-laki perempuan tak banyak diperhatikan. Hubungan kakak-adik seperguruan mereka sangat rapat dan akur sekali, hanya saja Thian-sing berwatak keras dan berangasan, sebaliknya Thianlan sabar dan tenang. Aku dan mereka seperti saudara sekandung saja, tetapi meski Thian-sing berwatak keras, aku malahan bisa lebih cocok. Sesudah kami mulai dewasa, pada suatu hari Engkongmu secara diam-diam telah bertanya padaku, bahwa sudah waktunya aku berumah, tangga, maka perlu mengatakan terus terang, siapa di antara meTeka berdua yang kupenujui?"

   Karena cerita ini, si kakek paras merah itu ternganga.

   "Bagian cerita ini belum pernah kudengar darimu!"

   Katanya kepada si nenek.

   "Waktu Engkongmu bertanya padaku, aku baru sebesar nona Wan-lian, coba pikir, seorang gadis bagaimana berani menjawab,"

   Demikian si nenek melanjutkan.

   "Tetapi Engkongmu menggumam dan berkata sendiri, 'Thian-lan orangnya tulus!' Dan karena perkataannya itu tak tahan lagi aku menyeletuk, 'Ya, sebab terlalu tulus, maka dalam usia masih muda sudah mirip seorang kakek-kakek.' Engkongmu berkata pula, 'Sebaliknya Thian-sing berwatak keras.' Dan kataku, 'Hanya ini saja yang kurang baik!' Maka tertawalah Engkongmu terbahak-bahak, katanya, 'Mereka kakak-adik seperguruan, berturut-turut justru dalam beberapa hari ini sama-sama mengajukan lamaran padaku. Aku sedang susah mengambil keputusan, tetapi kini sudah terang, kau sendiri telah mengatakannya.' Keruan saja aku menjadi malu dan segera berlari pergi. Besoknya Engkongmu lantas menerima lamaran Thian-sing."

   Mendengar sampai di sini si kakek itu tertawa lebar, tampaknya sangat gembira. Tetapi si nenek sebaliknya berwajah muram, dengan menghela napas ia melanjutkan pula.

   "Tidak seberapa lama, aku lantas menikah dengan ayahmu, dan tahun kedua lahirlah kau dan diberi nama Tiong-bing. Sang waktu lewat dengan cepat dan selama itu kami hidup rukun dan bahagia. Dalam sekejap saja enam tahun sudah berlalu, waktu itu usia Thianlan sudah lebih tiga puluh tahun, tetapi ia masih tetap membujang. Kami semua tinggal serumah di tempat Engkongmu dan masih tetap akur seperti saudara. Pernah ayahmu bertanya padanya mengapa masih belum mau menikah, ia tidak menjawab. Tetapi aku bisa menerka pikirannya, namun tidak enak untuk diutarakan, tak pernah aku mengucapkan sepatah katapun perkataan yang menusuk perasaannya sebaliknya ia pun tidak merasa benci dan dendam padaku."

   "Ketika kami menikah, pasukan Boan-jing sudah lama masuk ke pedalaman, tetapi karena kami terpencil di Su-cwan, sedang propinsi ini menjadi bumi Thio Hian-tiong, kami tidak banyak mengetahui kejadian di luar. Kemudian sesudah Thio Hian-tiong tewas, bawahan Sun Ko-bong dan Li Ting-kok masih tetap menduduki Su-cwan, pasukan Boan masih repot mengamankan daerah tengah, maka tidak sempat menggempur ke selatan. Kami seperti tinggal di suatu dunia luar yang tidak mengetahui apa-apa. Baru pada waktu kau berumur lima tahun, pemerintah Boan mulai menyerang Sucwan, asal leluhur ayahmu berada di daerah selatan Su-cwan, maka ayahmu hendak pulang menjemput familinya mengungsi ke daerah utara. Waktu itu aku sudah mengandung pula dua bulan, dengan sendirinya tak bisa mengiringinya. Sebelum berangkat ia berpesan pada Thian-lan Toako agar suka menjaga kami, baru setelah itu ia berangkat dengan lega."

   "Tak terduga, belum ada setengah bulan sejak ia berangkat, pasukan Boan-jing sudah membanjiri Su-cwan, hubungan terputus, rakyat mengungsi jauh. Engkongmu sudah berusia lanjut, karena kejadian yang sangat luar biasa itu, belum sampai pasukan Boan tiba, ia sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Tetapi sebelum mangkat ia masih berpesan kepada Thian-lan untuk melindungi kami pergi mengungsi.

   "Dalam masa pelarian itu, penghidupan dalam pengungsian sungguh sangat menyedihkan, kelaparan dan kehausan sudah biasa, tempat tinggal lebih-lebih susah, kadang orang banyak berjubel di suatu tempat, tempo-tempo bermalam di tempat terbuka di hutan sunyi. Thian-lan ingin menghindarkan omongan iseng, dan aku justru sedang hamil sehingga tak bisa berpisah dengan dia, penderitaan lahir batin itu sungguh susah dilukiskan. Adik perempuanmu justru dilahirkan di hutan bambu yang sunyi, maka diberi nama Tiok-kun."

   "Setelah pasukan Boan memasuki Su-cwan, beruntun beberapa tahun tergenang dalam kancah peperangan, sudah dua tahun kami dalam pengungsian, tubuh kami sudah kurus kering, dirnana-mana kami mencari ayahmu, tetapi sedikitpun tak berhasil. Belakangan, dari kawan-kawan dunia persilatan diperoleh kabar bahwa ayahmu sudah tewas dalam suasana huru-hara itu. Tetapi kami hanya setengah percaya saja."

   "Penghidupan dalam pengungsian makin lama makin sulit, dengan membawa kalian berdua saudara jalan bersama. Thian-lan pun sangat tidak leluasa. Waktu itu Thian-lan bersama beberapa ratus petani yang masih agak sehat berkumpul dan berunding untuk pergi menggabungkan diri dengan Li Ting-kok, tetapi Thian-lan menguatirkan aku dan kalian berdua. Ada beberapa kawan pengungsi lantas memberitahu padanya, bahwa di tempat Li Ting-kok dibentak 'batalion wanita' dan dapat menampung keluarga para pejuang, tetapi hanya terbatas keluarga lurus pejuang saja. Kata mereka, dalam pengungsian kenapa banyak pakai adat istiadat lagi, tidaklah kamu berdua menikah saja?"

   Bercerita sampai di sini, nenek itu memandang sekejap ke arah kakek paras merah.

   "Teruskanlah ceritamu, kini aku sudah tahu bahwa itu bukan salahmu,"

   Kata si kakek.

   "Usia kita sudah lanjut, soal apa yang pantang diomongkan? Biarlah di hadapan anak-anak kuterangkan sekalian,"

   Kata si nenek sambil menghela napas. Setelah itu ia melanjutkan pula ceritanya.

   "Malam itu juga Thian-lan bertanya padaku, bagaimana dengan pikiranmu, aku berpikir agak lama, kemudian baru aku menjawabnya, kabar berita Thian-sing sedikitpun tiada, anak-anak pun masih kecilkecil, dalam pengungsian selalu kelaparan dan kehausan, negara pun sudah hancur, penghidupan seperti ini betul-betul sengsara sekali, selain menggabungkan diri pada Li Ting-kok, agaknya memang tiada jalan lain lagi. Kemudian Thian-lan berkata pula, sebenarnya kupandang kau dan Thian-sing seperti saudara sendiri. Waktu kita masih belajar bersama, terus terang memang aku menaruh hati padamu. Tetapi sejak kau menikah, sudah lama aku matikan pikiranku itu. Untuk menghindarkan salah paham Thian -sing, aku selalu menjaga agar tiada sesuatu yang dapat menimbulkan kecurigaannya, tetapi kini kita dipaksa dan mau tidak mau harus menjadi satu. Kita adalah kaum Kangouw, kau tidak perlu kukuh soal kesucian, aku pun tidak pandang janda atau bukan, soal peradatan ini sama-sama tidak kita perhatikan, maka, adikku, biarlah kita gunakan tanah sebagai dupa dan berdoa agar Thian-sing Hiantit bisa memaafkan kita!"

   "Dan karena keadaan sudah memaksa, aku dan Thian-lan rela mengikat diri dalam pengungsian. Namun begitu kami pun ingin sekedar merayakannya, maka besoknya kami lantas memberitahu kawan-kawan seperjalanan, mereka semua ikut girang, mereka mencari dan mengumpulkan banyak rumput dan kulit pepohonan, bahkan beruntung dapat memburu dua ekor babi hutan, di suatu kota pedusunan yang sudah ditinggalkan penduduknya, kami menemukan satu ruangan untuk dijadikan kamar pengantin, malahan ada kawan yang menuliskan beberapa baris huruf besar sebagai tanda kebahagiaan di atas pintu. Kata mereka, 'Selama ini kita hanya dirundung awan sedih dan kabut malang, biarlah hari ini kita bergembira, nanti sesudah Thian-lan menikah, biarlah ia memimpin kita pergi pada Li Ting-kok!' Tak terduga, urusan memang kadang-kadang sangat kebetulan, justru pada malam itu juga, belum kami menutup pintu kamar, ayahmu sudah kembali!"

   "Kalau tidak begitu kebetulan, tentu tidak membawa kejadian belakangan ini yang menyedihkan,"

   Demikian si kakek menyambung cerita si nenek. Setelah mengangguk-angguk ia melanjutkan kembali.

   "Sesudah aku berpisah dengan ibumu dan pergi menjemput familiku, tak tahunya di tengah jalan telah bertemu dengan pasukan Boan, sepanjang jalan aku hanya kebat-kebit kuatir, aku selalu memilih jalan kecil saja, tak disangka sesampainya di kampung halamanku, rumahku sudah menjadi puing, familiku pun telah terbunuh semua, dalam kesedihan dan kegusaran itu, aku berniat menggabungkan diri dengan pasukan sukarela, tetapi aku merindukan anak istri pula, maka aku lantas terbatik mencarinya. Tatkala itu semua tempat tertimpa malapetaka yang sama, aku ikut mengungsi dengan orang banyak, kian kemari aku mencari makan sambil berusaha mencari kalian.

   "Sudan dua tahun terlunta-lunta masih belum juga diperoleh suatu kabar kalian. Pada sore hari itu, rombongan kami pun tiba sampai di dusun dimana kalian berada. Kami menjadi heran melihat sekelompok pengungsi yang sedang bergembira, menyanyi sambil menari, kami heran dan bertanya apa yang terjadi, seseorang lantas menceritakan, katanya Toako mereka Kui Thian-lan menikah dalam pengungsian itu. Segera aku bertanya siapa pengantin perempuannya, orang itu bilang seorang janda yang sudah mempunyai dua anak, malahan kabarnya puteri Cwan-tiong Tay-hiap Jap Hun-sun!"

   "Mendengar itu seketika darahku mendidih, hatiku terbakar, aku membalikkan tubuh lantas berlari pergi. Waktu itu aku sungguh luar biasa sedihnya karena kehilangan keluarga, pula berulang-ulang mengalami hal-hal yang tak enak, watakku yang sudah keras bertambah berangasan, aku tidak bisa memikirkan kesulitan orang lain lagi. Pikirku dengan gemas, 'Aku menghormati Thian-lan sebagai saudara sedarah sedaging, dan mempercayakan istri dan menitipkan anak, siapa, tahu ia malahan menggunakan kesempatan pada waktu istriku dalam kesusahan untuk memaksa menikahinya, jahanam yang berhati binatang ini betul-betul tidak bisa diampuni!' Oleh karena kasih sayang kami suami-istri yang memang baik sekali, maka waktu mendengar kejadian itu, segera aku menguruk segala kesalahan atas diri Thian-lan. Namun setelah berpikir pula, aku ragu-ragu apakah istriku juga sudah berubah. Maka malam itu tanpa berpikir lagi segera aku menyelidiki kamar pengantin mereka "

   "Ya, aku masih ingat dengan baik malam yang seram itu,"

   Lanjut si kakek setelah berhenti sejenak.

   "Aku poles dulu mukaku dengan hangus dan pergi ke tempat mereka, aku kuatir kalau dikenalinya. Pikirku, aku harus melihat dulu bagaimanakah sebenarnya hubungan mereka? Apabila istriku menikah karena dipaksa oleh Thian-lan, aku segera akan membunuh manusia berhati binatang itu, tetapi kalau terjadi karena suka sama suka, segera aku membunuh mereka berdua. Sebenarnya aku hendak berangkat sesudah lewat tengah malam, tetapi hatiku yang panas tak tertahankan lagi. Dari jauh aku melihat para tetamu yang datang memberi selamat sudah pulang, segera aku menggunakan ilmu berjalan malam menuju ke sana, aku mendengarkan di luar kamar pengantin apa yang sedang mereka percakapkan?"

   "Tetapi karena pengintipan itu, aku dibuat lebih gusar lagi hingga dadaku hampir meledak. Istriku ternyata sudah berpesan pada anak-anak, 'Ingat, mulai besok kalian harus memanggil Kui-pepek sebagai ayah!' Suaranya begitu wajar, biasa saja, tiada tanda-tanda sedih atau menderita. Dan selagi aku hendak turun tangan, mendadak Thian-lan telah berteriak, 'Ada penjahat!' Dalam gusarku, segera aku menimpukkan beberapa anak panah, tetapi istriku pun mengangkat tangannya menimpukkan beberapa buah anting-anting, itu adalah senjata rahasianya yang tunggal dan sudah dilatihnya sejak kecil!"

   "Waktu itu mimpi pun kami tidak menyangka bahwa orang itu adalah kau,"

   Kata si nenek menyambung.

   "Selama dua tahun itu penderitaan apa saja yang sudah kaurasakan, seumpama air mata akan mengalir pun sudah tak bisa lagi karena sudah kering. Waktu itu kami menduga kau sudah meninggal, andaikan tidak juga sulit untuk bertemu. Thian-lan sangat baik sekali terhadapku, setelah aku bersedia menikahinya, dengan sendirinya aku menyuruh anak-anak memanggil ayah padanya. Tak disangka-sangka mendadak kau telah datang, bahkan tanpa bertanya segera menimpukkan senjata rahasia. Kami menyangka kedatangan orang jahat, maka aku telah menimpukmu dengan Kim-goan."

   "Tak usah kauterangkan lagi, kini segalanya aku sudah tahu, itu adalah salahku,"

   Kata si kakek dengan senyum sedih.

   "Tetapi waktu itu karena amarahku sedang memuncak, pikiran sehatku sudah hilang, maka aku tak menghiraukan apa-apa lagi. Begitu Thian-lan meloncat keluar, segera aku memberi beberapa kali serangan yang berbahaya. Tak terduga kepandaian Thian-lan jauh melebihiku, hanya beberapa gebrakan segera aku tahu bukan tandingannya. Sementara itu kau pun sudah datang hendak membantunya sehingga makin menambah kegemasanku. Pikirku.

   "Bagus sekali kalian berdua telah bersatu, malam ini biarlah kuterima hinaan dan lari, nanti aku akan mencari guru lain dan belajar lagi, setelah meyakinkan kepandaian tinggi, akan kucari kalian berdua.'. Bagaimanapun juga aku harus membalas sakit bati tentang dia merebut anak-istriku ini."

   "Dalam pada itu, sesudah Thian-lan menghindarkan beberapa seranganku tadi, mungkin ia sudah dapat melihat pukulan-pukulan yang segolongan dengan dia, maka ia lantas berseru, 'Siapa kati? Lekas katakan agar tidak mencelakai orang sendiri!' Pada waktu ia berseru sebuah anting-antingmu telah menyambar lagi dan mengenai 'Sam-li-hiat'-ku, tamutamu yang masih ada di situ pun berbareng bantu menyerang dengan bermacam senjata rahasia. Aku diam saja tak menjawab, aku mencopot baju kuning yang kupakai, baju itu adalah buatanmu sendiri sesudah kita menikah, biasanya aku sayang memakainya, tetapi malam itu sengaja kupakai dengan maksud hendak membikin gusar kau, sayang kau tak mengenali aku. Setelah kutanggalkan baju kuning itu, dengan ilmu 'Tiat-poh-san' aku menyambut serangan senjata rahasia itu, tapi karena harus menghindari serangan Kim-goanmu, aku terlambat sedikit hingga terluka oleh dua panah dan darah membasahi baju kuning itu. Tiba-tiba aku menggunakan baju itu untuk menutup ke atas kepala Thian-lan sambil berteriak, 'Kalau berani bunuhlah aku?' Sekonyong-konyong ia jatuh terperosok ke bawah, aku membalikkan tubuh dan segera berlari, lalu apa yang terjadi lagi aku tidak mengetahui."

   "Waktu itu memang aku sudah mengenali suaramu, aku menjadi tercengang, ketika aku mendusin kembali, mana bisa tampak bayanganmu lagi, terpaksa aku menolong Thian-lan,"

   Kata si nenek. Sampai di sini hati semua orang ikut merasa berat, suasana sunyi membeku.

   "Semua ini disebabkan oleh orang!"

   Kata Wan-lian tiba-tiba sambil menghela napas.

   "Ya, siapa pun tak bersalah, yang salah ialah perang,"

   Kata si nenek bergumam.

   "Peperangan menghancurkan rumah tangga, menceraikan keluarga, menimbulkan salah paham dan membikin lelakon sedih. Perhitungan ini harus dicatat atas keparat bangsa Boan-ciu!"

   "Dan setelah Thian-lan sadar kembali, air matanya bercucuran,"

   Kata pula si nenek melanjutkan.

   "Sesudah lama baru ia berkata padaku, 'Moaymoay, kalau Thian-sing ternyata masih hidup, bagaimanapun kita harus menemukannya dan supaya kalian berkumpul kembali.' Tentu saja aku pun berpikir demikian, tetapi watak Thian-sing yang keras berangasan aku cukup kenal, kukuatir urusan ini sampai mati pun ia tak akan memaafkan kami."

   "Setelah kami tenang kembali, kami lalu berunding lagi secara mendalam. Kata Thian-lan, 'Karena sudah telanjur, terpaksa harus membikin susah padamu, biarlah kita tetap menjadi suami-isteri atas nama saja. Dunia terlalu luas, dalam sekejap Thian-sing susah dicari juga, penghidupan dalam pengungsian pun tak bisa diderita terus, pula kau masih dibebani dua orang anak, tiada jalan kecuali ke tempat Li Ting-kok untuk menentukan nasib selanjutnya!' Dan begitulah kami membawa rombongan pengungsi itu menuju ke pasukan Li Ting-kok berada, di depan umum kami mengaku sebagai suami-isteri, tetapi sebenarnya hanya berhubungan secara kakak dan adik. Kinipun aku tak pantang buat bilang terus terang, dalam beberapa puluh tahun ini, aku dan Thian-lan boleh dikata putih bersih, tiada sesuatu apa yang di luar garis!"

   "Moaymoay, itu sudah lama aku mengetahuinya!"

   Kata si kakek sambil menyeka air matanya. Si nenek memandang sekejap padanya, dan selagi ia hendak bertanya, si kakek telah melanjutkan lagi.

   "Tetapi waktu itu aku sudah terlalu gemas atas diri kalian, karena aku sebatangkara, maka tidak banyak berpikir lagi, aku lalu mengembara ke seluruh penjuru dunia. Belakangan aku telah sampai di Sinkiang, di selatan Thian-san aku bertemu Toh It-hang, seorang yang sengaja menyingkir jauh ke tempat terpencil di padang pasir, seorang tokoh Bu-tong-pay ternama. Aku telah belajar padanya dan mendapatkan dua macam kepandaian, yakni Kiu-kiong-sin-hing-cio dan Wan-yang-lianhwan- tui. Karena ke-bencianku pada kalian, aku bersumpah tidak hendak menggunakan ilmu silat golongan kita, aku memang tinggi hati dan angkali, pikirku, kalau hendak membalas dendam harus jangan menggunakan kepandaian yang diperoleh dari ayahmu. Aku pun tahu, kalau soal kepandaian dari golongan kita sendiri, kau dan Thian-lan masih jauh di atasku."

   "Waktu aku masih kecil, aku pun pernah bertemu Toh Ithang, ia adalah sahabat karib guruku Hui-bing Siansu,"

   Sela Leng Bwe-hong.

   "Sayangnya tidak lama setelah aku tiba di Thian-san, ia lantas meninggal."

   "He, kiranya kau adalah murid penutup Hui-bing Siansu,"

   Kata si nenek heran.

   "Pada waktu aku berkelana sampai di Sinkiang, aku pun mendengar nama Hui-bing Siansu yang tersohor, aku bermaksud belajar ilmu pedang padanya, tetapi tiga kali aku naik ke Thian-san dan selalu ia tidak mau menerimaku. Belakangan karena rongronganku itu, baru ia menyuruhku mencari guru ternama lainnya dan ia menunjuk Toh It-hang. Usia orang tua itu kini mungkin sudah dekat seabad,"

   Sambung si kakek.

   "Ya, pantas kau punya Kiam-hoat begitu lihai?"

   Kata si nenek kepada Leng Bwe-hong sambil mengangguk-angguk.

   "Kalau dihitung, kau si orang muda ini ternyata masih setingkatan dengan kami berdua."

   Leng Bwe-hong tersenyum mendengar perkataan orang, ia merendah dan berkata.

   "Ah, mana berani aku!"

   "Toh It-hang adalah sahabat karib Hui-bing Siansu, sudah tentu ilmu silatnya termasuk tingkatan atas,"

   Demikian si kakek melanjutkan.

   "Dan setelah tujuh tahun aku belajar padanya, ku-yakin sudah mewariskan kedua macam kepandaiannya tadi, maka buru-buru aku kembali ke Su-cwan mencari balas pada kalian. Tatkala itu sudah lama Su-cwan ditaklukkan pemerintah Boan, hanya sisa-sisa pengikut Li Cusing yang masih bercokol di perbatasan Hun-lam dan Sucwan, karena mala-petaka peperangan itu, keadaan sudah banyak berubah maka sobat handai sudah banyak yang mendahului ke alam baka, aku tak mendapatkan kabar berita kalian, apalagi hendak menemukannya. Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya tanpa sengaja aku mendengar dari jago-jago Bu-lim bahwa di puncak Kiam-kok bersembunyi seorang tokoh silat, aku menduga tentu Thian-lan adanya, maka dua kali aku mengeluruk ke sana hendak menuntut balas."

   "Tak lama sesudah kami menggabungkan diri pada Li Tingkok, kami lantas mendapat kepercayaannya,"

   Ganti si nenek bercerita.

   "Thian-lan sangat disayang Li Ting-kok dan aku pun membantu 'batalion wanita' mereka. Sebenarnya perwira atasan diperbolehkan tinggal campur dengan keluarga, tetapi atas kemauan kami sendiri, kami tinggal terpisah. Pada suatu ketika pernah Li Ting-kok bertanya tentang keganjilan itu, maka Thian-lan telah berterus terang, dengan spontan Li Tingkok menyanggupi membantu mencari Thian-sing agar kami bertiga bisa akur kembali. Rasa setia kawan Li Ting-kok harus dipuji, dalam kesibukannya memimpin pasukannya itu ia perintahkan juga orang-orangnya ikut mencari jejak Thiansing, siapa tahu Thian-sing sudah jauh pergi ke Sinkiang."

   "Baju kuning itu adalah buah tanganku sendiri yang kuberikan pada Thian-sing sewaktu kami menikah. Selama ini selalu kusimpan baik-baik, di atas baju masih terdapat beberapa tetes noda darah, maka sengaja kusimpan untuk Tiong-bing, malahan sejak kecil baju untuk Tiong-bing selalu kubuatkan dalam warna kuning sehingga dalam pasukan Li Ting-kok anak ini dipanggil Wi-sah-ji (anak berbaju kuning). Ada yang heran dan bertanya hal itu padaku, tetapi aku hanya tersenyum getir dan tak menjawab. Karena itulah, belum pernah aku menceritakan apa yang sudah terjadi pada Tiongbing, aku telah bersumpah menunggu mereka ayah dan anak bertemu kembali baru akan menceritakannya. Dan kini Thian betul-betul pemurah, mereka ayah dan anak telah berkumpul kembali!"

   Sampai di sini, saking terharu oleh cerita itu, air mata si pemuda baju kuning telah bercucuran.

   "O, Ibu!"

   Ratapnya dengan suara rendah. Si nenek mengelus-elus rambut sang putera dan kemudian ia melanjutkan ceritanya pula.

   "Waktu mula-mula Li Ting-kok menduduki daerah Su-cwan dan Ku-ciu, kekuatannya waktu itu cukup besar untuk melawan pasukan Boan. Tetapi sayang, meski sinar sang surya di waktu senja sangat indah, namun sudah dekat magrib. Setelah pemerintah Boan mengamankan daerah tengah, kekuatan pasukan induknya telah dikerahkan menghadapi Li Ting-kok dari tiga jurusan. Dan justru pengkhianat-pengkhianat semacam Go Sam-kui dan Ang Singtoh yang menjadi perintis mereka. Dalam pada itu bawahan Thio"

   Hian-tiong yang lain, Sun Ko-bong, tiba-tiba menyerah pada musuh di garis depan.

   Karena pukulan-pukulan itu, terpaksa Li Ting-kok mundur terus dan dikejar sampai Birma dan akhirnya tewas muntah darah di negeri asing itu.

   Sebelum ia meninggal, ia malah menyerahkan sepucuk surat pada Thian-lan dan berkata, 'Suatu ketika pasti kau akan bertemu kembali dengan Thian-sing, maka serahkan suratku ini padanya.

   Ia adalah murid tokoh silat terkemuka dari Bu-lim sungguhpun ia tak mempercayaimu, seharusnya percaya padaku.' Sungguh seorang pemimpin bijaksana dan setia kawan seperti Li Ting-kok harus dipuji, meski sudah dekat ajalnya ia masih belum lupa akan urusan pribadiku dengan Thian-lan."

   "Setelan Li Ting-kok wafat, dari Birma kami kembali ke tanah air, tatkala itu laskar rakyat di Su-cwan sudah dihancurkan oleh musuh. Thian-lan mengajakku mengasingkan diri ke Kiam-kok. Ia bilang beberapa kali pernah diperintah Li Ting-kok datang ke situ, di sana tanaman subur dan banyak terdapat binatang-binatang, maka soal makanan tak menjadi masalah, sedang mengenai untuk apa dulu ia diperintahkan ke Kiam-kok ia tidak menjelaskan dan aku pun tidak bertanya."

   "Ya, maka sesudah kutahu mereka tinggal di sana, segera aku mencari mereka,"

   Sambung si kakek muka merah.

   "Waktu itu aku sudah mempunyai seorang murid, namanya Ih-tiong, kepandaiannya lumayan juga, maka kubawa serta dia ke sana, aku menyuruh dia menunggu di lembah gunung. Hal ini sengaja kuatur untuk berjaga-jaga bila aku terbinasa dalam pertarunganku melawan Thian-lan agar ada orang yang mengurus mayatku."

   "Kedatanganku di tengah malam buta itu sungguh di luar dugaan Thian-lan, ia bermaksud menjelaskan duduk perkaranya padaku, tetapi siksaan lahir-batin yang kutahan selama belasan tahun ini sudah terlalu mendalam, tak nanti aku mau mendengar lagi ocehannya, begitu berhadapan segera aku melontarkan tipu-tipu pukulan berbahaya dari Kiukiong- sin-hing-cio, hingga terpaksa ia harus menangkis. Mulanya aku menyangka setelah dapat belajar ilmu silat hebat itu tentu akan dapat memenangkan lawan dengan cepat, siapa tahu Thian-lan tak menelantarkan latihannya, bukan saja Tay-lik-eng-jiau-kang dari perguruan sendiri ia latih sampai puncaknya, bahkan semacam ilmu 'Mi-cio' telah dapat dilatihnya, ini jarang diketemukan dalam dunia persilatan dan jauh lebih lihai daripada Kiu-kiong-sin-hing-cio."

   "Waktu mulai bergebrak, ia main mundur terus, aku malah menyangka dia jeri padaku, maka makin gencar aku menyerang. Memang aku sudah siap untuk gugur bersamanya. Makin lama makin seru pertarungan kami, ia mundur terus dan aku juga mendesak terus, sekejap saja ia sudah terdesak sampai di tepi jurang, pada saat itulah tibatiba aku mendengar namaku dipanggil orang, aku merandek dan berpaling, kulihat isteriku sedang mendatangi bersama seorang pemuda berbaju kuning. Aku menduga pemuda ini tentu puteraku sendiri yang berpisah sejak kecil, kuingin sekali bisa melihatnya, aku terkesima sejenak, segera pula aku memapaknya."

   "Siapa duga mendadak ia mengayun tangannya, tiga biji 'Kim-goan' telah ditimpukkannya padaku, ilmu menimpuk amgi ibunya ternyata sudah diwarisinya, bahkan tenaganya lebih besar. Dalam pada itu tiba-tiba Thian-lan melompat maju dan menyampuk jatuh sebuah senjata rahasia itu, seketika itu aku terkesima hingga tak sempat mengelakkan diri, maka dua biji Kim-goan lainnya dengan tepat mengenai tubuhku, walau semua jalan darah sudah kututup sebelumnya, namun terasa kesakitan juga. Sungguh remuk rendam hatiku saat itu, pikirku, isteri tak anggap suami dan anak tak mengaku bapa, bahkan bersatu-padu buat mengeroyokku, untuk apalagi aku berada di sini? Maka aku membalik tubuh, tanpa pikir aku terjun ke dalam jurang! Masih kudengar suara jeritan dan tangisan anak-isteriku di atas sana."

   Sampai di sini si kakek berhenti sejenak sambil menghela napas pelahan. Sementara itu muridnya, Ih-tiong telah membawakan senampan buah-buahan, ia menuang pula dua cangkir teh untuk menyuguh tamu.

   "Makanlah sedikit, Suhu!"

   Kata sang murid kemudian.

   "Sungguh murid yang baik,"

   Puji sang guru.

   "Suhu merasa beruntung mempunyai murid sepertimu. Marilah bersamasama makan sedikit."

   Lalu Ih-tiong mewakilkan menyambung cerita sang guru tadi.

   "Aku disuruh. Suhu menunggu di bawah, sebelumnya Suhu tak memberitahu apa yang hendak dilakukannya, aku hanya mendapat tahu bahwa Suhu mencari seorang musuh terbesarnya, hanya suara bentakan Suhu di atas yang kudengar, hatiku ikut berdebar-debar. Tak lama kemudian, tiba-tiba aku lihat Suhu menggelundung dari atas, buru-buru aku maju menyangganya, syukur Suhu tidak terluka berat, begitu berbangkit segera aku diajaknya pergi. Waktu aku tanya, Suhu tak mau menceritakan, ia cuma berpesan agar aku belajar baik-baik supaya kelak berkepandaian tinggi."

   Dan setelah si nenek meneguk tehnya, lalu ia melanjutkan cerita orang.

   "Malam itu aku tidur bersama Tiok-kun, tengah malam tiba-tiba aku terjaga oleh suara seperti orang bertempur di luar. Lekas aku melompat keluar, sementara itu aku lihat Tiong-bing sudah memburu keluar dan belum sempat aku memberitahukan apa-apa padanya, tahu-tahu ia sudah mengayun tangannya menimpukkan senjata rahasia. Hendaklah jangan kausesalkan aku, Thian-sing, semula aku mengambil ketetapan memberitahukan anak-anak urusan kita bila sudah dekat ajalku karena aku tak ingin jiwa anak-anak yang masih murni bersih itu ikut tertutup bayangan gelap, maka mereka tak tahu kalau kaulah ayah mereka yang sebenarnya. Dan begitu ia mengayun tangannya, segera Thian-lan berteriak, 'Jangan, dia ayahmu!' Akan tetapi, sudah terlambat!"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ya, memang selama itu aku pun heran dengan kelakuan ayah dan ibu,"

   Kata Kui Tiong-bing, si pemuda baju kuning.

   "Meski mereka sangat rukun, tetapi di malam hari aku tidur bersama ayah dan adik bersama ibu, malahan dalam hubungan sehari-hari mereka pun sangat ramah-tamah satu sama lain, jauh berbeda sekali dengan para paman dan bibi yang pernah kulihat dalam pasukan. Tetap tak pernah terpikir olehku bahwa di dalamnya tersangkut hal-hal yang begitu ruwet."

   "Malam peristiwa itu, dengan air mata berlinang ayahangkat dan ibu membeberkan duduk perkaranya padaku, mendadak aku seperti disambar petir di siang bolong, mencelos hatiku, tak tahu aku harus benci pada siapa, aku hanya benci pada diri sendiri! Dalam keadaan lapat-lapat, sadar tak sadar aku berlari turun gunung seperti keranjingan setan dengan pedang terhunus, ayah-angkat hanya menghela napas melihat perubahanku, ia pun tidak menahan diriku!"

   "Setelah turun gunung, aku tak tahu kemana harus mencari ayahku yang sebenarnya. Hanya terasa olehku siang dan malam, bahkan setiap saat setiap detik seakan-akan ada suatu bisikan di telingaku yang berkata, 'Kau telah membunuh ayahmu sendiri!' Batinku tersiksa sekali, semalam suntuk aku berlari di hutan sunyi, aku menyiksa diriku sendiri. Kejadian selanjutnya adalah pada suatu malam hari di musim dingin di kala salju turun dengan lebarnya, aku roboh dan pingsan di hutan sunyi itu"

   Sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara keresekan pelahan di luar, segera si nenek memberi tanda dan sebelum ia membuka suara, Leng Bwe-hong sudah melompat keluar dengan cepat.

   "Suara ini belum tentu adalah manusia, tetapi ada baiknya berjaga-jaga,"

   Ujar si nenek.

   "Kini ada Leng-tayhiap meronda di luar, kita boleh tak kuatir lagi diganggu segala manusia celurut."

   "dan entah berapa lama sudah aku rebah di tanah salju itu, ketika kemudian aku ditolong oleh kawanan berandal Ngoliong- pang,"

   Demikian si pemuda menyambung.

   "Setelah itu aku lantas hilang ingatan, sampai asal-usul diriku sendiri terlupa semua."

   "Dan kejadian selanjutnya biarlah aku yang menceritakan,"

   Kata Boh Wan-lian. Lalu ia pun menuturkan pengalamannya, dimulai sejak bertemu si pemuda baju kuning sampai berhasil menyembuhkan penyakit hilang ingatannya.

   "Sungguh kami tak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu, nona Wan-lian,"

   Kata si nenek terharu sambil memegang tangan si gadis. Tiba-tiba si kakek mengamati-amati Boh Wan-lian, ia teguk air tehnya.

   "Nona, kini aku pun ingat akan kau,"

   Demikian katanya kemudian.

   "Kau adalah orang yang ikut menyaksikan pertarungan seru di Kiam-kok tempo hari itu. Menurut cerita Tiok-kun, kau malah membantu kami, bukan? Pada malam itu kau juga berada di Kiam-kok, itu adalah untuk kedua kalinya aku datang membikin perhitungan dengan Thian-lan Suheng. Urusan memang kadang-kadang sangat kebetulan, tatkala itu Tiok-kun sudah dewasa, seperti kakaknya, ia pun melukaiku dengan am-gi, sebaliknya untuk menolongnya aku telah merangkul seoTang jago pengawal kerajaan terkemuka, asalnya seorang kepala bandit yang di kalangan Kangouw terkenal dengan nama 'Pat-pi Lo Cia' Jiau Pa, dan bersamasama terjerumus ke dalam jurang. Meski akhirnya dapat kubunuh, namun aku sendiri pun cacat dibuatnya."

   "Ya, malam itu karena hatiku terpukul, aku telah ikut terjun ke dalam jurang,"

   Sambung Tiok-kun sambil sebelah tangannya membetulkan rambutnya dan tangan lain memegang lengan Boh Wan-lian.

   "Beruntung aku dibesarkan di tanah pegunungan, ilmu mengentengkan tubuhku meski tak bisa dikatakan tinggi, namun gerak tubuhku masih cukup gesit, aku terguling-guling ke bawah, akhirnya aku mendapatkan ayah telah tertolong oleh Ih-suheng, segera pula aku maju menemuinya. Meski ayah terluka, tetapi amat girang demi nampak diriku, ia memegang tanganku dan bertanya ini dan itu. Aku telah memberitahu padanya selama ini aku selalu tidur bersama ibu yang sangat kasih sayang padaku itu. Tahu akan hal ini, ayah menggumam sendiri, 'Jika begitu, apa hanya namanya saja suami-isteri?' Aku pun tak paham apa maksud perkataannya itu."

   "Pantas tadi ia bilang sudah lama mengetahuinya,"

   Demikian diam-diam si nenek membatin.

   "Karena lukaku cukup parah, maka terpaksa Ih-tiong dan Tiok-hun merawat diriku di lembah sunyi ini,"

   Demikian si kakek menyambung sambil tertawa.

   "Dan beberapa hari kemudian-setelah ibu Tiong-bing menemukan kami, barulah dengan bergotong-royong kami mendirikan rumah batu ini. Suami-isteri bisa berkumpul kembali, sungguh rasanya hidup di dunia lain. Ia menceritakan seluruhnya padaku dengan air mata berlinang-linang, maka pahamlah aku semuanya, hawa amarahku telah lenyap seluruhnya. Paling akhir ia masih kuatir aku tak percaya, lalu dikeluarkannya surat peninggalan Li Ting-kok dan diangsurkan kepadaku. Isi surat itu ternyata sangat jelas, dengan kehormatannya sebagai seorang pemimpin besar ia menjamin bahwa Thian-lan bukan manusia rendah sebagaimana yang kuduga, dan bahwa hidup mereka sebagai suami-isteri hanya dalam nama saja!"

   Si kakek berhenti sejenak, ia mengelus-elus kepala si pemuda, lalu ia melanjutkan pula.

   "Sungguh kalau bukan ingin bersua kembali denganmu, tatkala itu aku sudah berpikir akan menghabisi nyawaku sendiri. Betapa tidak, Thian-lan Suheng begitu berbudi dan setia kawan, tapi aku sebaliknya begitu gila hingga mengakibatkan kematiannya, sungguh aku ini lebih mirip binatang!"

   "O, nak, sejak kini kuingin kau she Kui untuk membalas budinya, kelak kalau kau menikah dan mendapatkan anak lakilaki, yang pertama harus menjadi bagian dari Thian-lan Suheng untuk menyambung abu keturunan keluarga Kui, dan yang kedua baru terhitung cucuku sendiri buat menyambung keturunan she Ciok. O, nak, hendaklah selama hidupmu ini kau selalu ingat akan budi kebaikan ayah-angkatmu itu!"

   Begitulah, suka-duka, benci dan budi antara si kakek muka merah, Ciok Thian-sing, dan Kui Thian-lan menjadi terang, saking terharunya semua orang ikut menghela napas panjang oleh kisah kedua orang tua itu.

   Tiba-tiba si nenek mengambil buntalan di belakang sang putera, ia membuka buntalan itu dan terlihatlah isinya beberapa potong baju kuning.

   "O, anakku, meski kau telah menderita selama beberapa tahun, namun jerih-payah ibumu ternyata masih dapat kaurasa-kan, walau kau telah hilang ingatan, tapi pakaianmu warna kuning tidak pernah kautinggalkan,"

   Demikian kata si kakek terharu. Si nenek termangu, tiba-tiba ia memilih satu baju kuning itu dan disodorkan pada si kakek.

   "Lihatlah, Thian-sing,"

   Katanya.

   "Bukankah baju ini adalah pemberianku waktu kita menikah dahulu, di atas baju ini masih ada sedikit noda tetesan darahmu!"

   Si kakek menerima baju itu dan memeriksanya, kembali ia meneteskan air mata terharu lagi.

   "Baju ini kami simpan terus,"

   Kata si nenek pula.

   "Pada waktu Tiong-bing genap delapan belas tahun, barulah aku menyerahkan padanya, kukatakan baju ini adalah pusaka warisan, kelak dengan bukti baju ini dapat ketemukan seorang keluarga sendiri yang hilang. Tatkala itu ia terheran-heran, pernah juga ia bertanya, kubilang belum waktunya ia mengetahui hal-hal itu, dan betul juga baju ini ia simpan baikbaik. Coba lihat, meski terlunta-lunta sekian tahun, bukankah baju ini masih disimpannya baik-baik?"

   Si kakek membentang baju kuning itu, kejadian-kejadian selama tiga puluh tahun ini seakan-akan terbayang olehnya, pedih rasanya bagai disayat-sayat.

   Baju kuning ini sudah tua dan rombeng, tetapi dalam pandangannya masih baru seperti waktu diterimanya dari sang isteri dahulu.

   Sekonyong-konyong si kakek menyuruh si pemuda mengambilkan api.

   Di hutan sunyi ini tentunya tiada lampu, maka dalam rumah itu hanya mengandalkan sinar obor dari kayu-kayu kering, maka sepotong kayu berapi diambil si pemuda.

   Tiba-tiba kakek tua itu menutup baju yang dibentangnya ke atas obor itu hingga sekejap saja sudah terbakar.

   "Hari ini kita sudah berkumpul kembali, baju ini tidak membawa lambang baik, biarlah kita musnahkan saja,"

   Demikian kata orang tua itu. Menyaksikan terbakarnya baju kuning itu, perasaan semua orang ikut terharu.

   "He, apakah itu?"

   Seru Boh Wan-lian tiba-tiba sambil menunjuk ke arah baju yang terbakar itu.

   Waktu semua orang memandang ke arah yang ditunjuk, ternyata baju kuning yang terbakar itu tiba-tiba timbul sebuah lukisan di atas kain yang sudah hangus itu.

   Gambar itu melukiskan sebuah air terjun bagai kerai mutiara yang menutupi sebuah goa di belakangnya dengan pintu tertutup rapat.

   Di atas kain hangus itu timbul juga sebaris tulisan dengan huruf-huruf besar yang berbunyi .

   'Co-sam-yu-si, Tiong-capji', artinya kiri tiga, kanan empat dan tengah dua belas.

   Semua oranj* imm melihat tulisan itu yang tak dipahami apa maksudnya.

   Semenluiii itu dengan cepat sekali baju kuning tadi sudah terbakar habis menjadi abu.

   Wan-lian mencoba mengingat dan menghapalkan baik-baik bunyi tulisan tadi, ia pikir mungkin lukisan tadi akan berguna di kemudian hari.

   "Kenapa di atas baju ada gambar tersembunyi, cara bagaimanakah membikinnya?"

   Kata si kakek heran.

   "Pernah aku mendengar dari Pho-pepek,"

   Tutur Wan-lian.

   "Bahwa ada semacam rumput kalau dibakar dan abunya dicampur air untuk tinta tulis, bekas tulisannya tidak kelihatan, tapi kalau dibakar barulah tulisan itu timbul. Cara ini banyak digunakan perkumpulan komplotan rahasia di kalangan Kangouw untuk surat-surat rahasia yang penting. Cuma rumput semacam ini sangat sukar didapatkan, cara memakainya juga sangat sedikit yang tahu."

   "Tulisan tadi kukenali sebagai tulisan tangan Thian-lan Suheng,"

   Kata si kakek.

   "Tapi apakah arti tulisan itu?"

   "Aku pun tak pernah tahu hal ini,"

   Ujar si nenek.

   "Sejak ia mengasingkan diri ke Kiam-kok sini, tabiatnya lantas berubah pendiam, kadang-kadang dalam sehari tak mengucapkan sepatah kata pun juga. Kapan ia menulis di atas baju kuning itu sama sekali aku tak tahu."

   Kalau orang-orang dalam rumah ini tengah mempersoalkan tulisan di atas baju kuning itu, adalah saat itu juga Leng Bwehong yang diminta meronda di luar lagi merasa kesepian, dengan pedang terhunus ia meronda mengelilingi rumah.

   Sunyi senyap malam di lembah pegunungan itu, kunangkunang memancarkan cahaya berkelap-kelip, timbul dan lenyap.

   Bwe-hong terkenang pada lelakon sedih orang-orang di dalam rumah itu, ia pun terbayang pengalaman diri sendiri yang penuh derita, tanpa tertahan ia menjadi berduka.

   Tengah ia termenung, tiba-tiba dilihatnya dari jauh ada dua sosok bayangan orang yang lagi mendatangi dengan cepat.

   "Tentunya kedua orang ini adalah penyatron yang dimaksudkan si nenek itu, biarlah aku mengikuti jejak mereka,"

   Demikian Bwehong membatin. Segera ia menyelusup ke dalam semak alang-alang yang lebat Gerakan kedua orang itu ternyata cepat sekali, hanya sekejap saja mereka sudah berada di depan Leng Bwe-hong.

   "Kabarnya tua bangka she Kui itu mengasingkan diri di sini, tapi kenapa tak kelihatan batang hidungnya dan yang terlihat hanya sebuah gubuk saja?"

   Demikian terdengar seorang di antaranya berkata.

   "Kita tunggu Han-toako dulu, tentu ia punya akal, kuatirnya kalau dia tidak datang,"

   Sahut yang lain.

   Tatkala itu jarak mereka dengan tempat persembunyian Leng Bwe-hong hanya empat sampai lima tombak saja jauhnya.

   Diam-diam Bwe-hong menjemput secomot tanah kering, lalu ia menyentil dengan jarinya dan tepat mengenai pundak orang yang berdiri di belakang itu.

   Keruan saja orang itu kaget, ia menoleh dan celingukan, tapi tak ada sesuatu yang ia lihat.

   Dalam pada itu kebetulan angin meniup keras, beberapa daun kering tertiup jatuh dari atas pohon.

   Tampaknya orang itupun bukan golongan lemah, tadi disangka pundaknya terkena debu pasir yang jatuh dari atas pohon, tetapi ia berpikir lagi, ia menjadi curiga, masakah kotoran yang jatuh dari atas pohon bisa membikin pundaknya panas pedas.

   "Baiknya kita berdiri sejajar saja, agaknya ada kawan segolongan di sini!"

   Demikian katanya pada sang kawan.

   "Ah, To-toako, ada apakah yang kaulihat?"

   Sahut orang yang di depan itu sambil menoleh.

   Tapi orang yang dipanggil To-toako itu tak menjawab, ia ikat kencang bajunya, terus melompat ke atas pohon, dan selagi ia hendak memeriksa sekitarnya, tahu-tahu dahan pohon yang ia injak patah, beruntung ilmu mengentengkan tubuhnya tidak jelek, dengan gerakan 'Sa-hing-to-huan' atau berjumpalitan di tanah pasir, dengan enteng sekali ia bisa menancapkan kaki ke bawah terus celingukan pula ke sana kemari.

   Melihat kelakuan orang, Leng Bwe-hong tak dapat menahan lagi rasa gelinya, ia tertawa terkakak-kakak.

   "Kawan darirnanakah ini? Silakan unjuk muka dan belajar kenal beberapa gebrak, kenapa main sembunyi? Macam orang gagah apakah ini?"

   Demikian orang itu mendamprat.

   "Sejak tadi aku sudah di sini, salahmu sendiri yang tak melihat,"

   Sahut Bwe-hong sambil menampakkan diri.

   Salah seorang dari mereka bernama Thio Goan-cing berjuluk 'Oh-soa-sin' (si malaikat maut hitam), keduanya adalah benggolan bandit terkenal dari Siam-say, kalau soal ilmu silat mereka memang tidak rendah, tetapi Ginkang dan am-gi mereka masih jauh dibanding Leng Bwe-hong.

   Maka kena dipermainkan tadi, mereka menjadi gusar, dari kanan dan kiri segera mereka merangsek berbareng.

   Namun Bwe-hong sudah siap, sudah berdiri tenang, ketika Thio Goan-cing mulai memukul dari kanan, mendadak ia mengangkat telapak tangan memotong, Goan-cing terkejut, lekas dengan tipu 'Jiu-hun-pi-pe' atau tangan menyentil pipa, ia menghindarkan serangan Bwe-hong itu.

   Di samping lain secepat kilat To Hong telah menotok juga dengan jarinya yang bagai belati, ia mengincar 'Yong-coanhiat' di pinggang Leng Bwe-hong, tetapi ia telah keburu menyingkir, malahan kontan ia membalas menotok 'Soan-gihiat' orang sambil mengejek.

   "Ha, kiranya kau pun bisa menotok!"

   Serangan balasan ini amat cepatnya hingga To Hong terpaksa membungkuk dan menarik perut, sungguhpun totokan itu luput, namun bajunya sudah kesrempel hingga robek.

   "Siapa kau?"

   Bentak To Hong kaget sambil melompat pergi"Dan kau siapa?"

   Balas Bwe-hong. Sementara itu Thio Goan-cing sudah bisa melihat jelas wajah Leng Bwe-hong dengan guratan bekas luka, ia terperanjat.

   "Apakah kau bukan Thian-san-sin-bong Leng Bwe-hong?"

   Tanyanya cepat.

   "Ha, kau juga kenal namaku?"

   Sahut Bwe-hong angkuh.

   "Kau hidup bebas di daerah barat-laut, buat apa ikut datang mengaduk di air keruh?"

   Kata Goan-cing pula.

   "Mengaduk di air keruh"

   Inilah yang tak dimengerti Bwehong. Karena itu, segera ia membentak.

   "Air keruh apa maksudm"? Kau berani datang ke sini merecoki seorang tua yang cacad, itulah aku tak bisa tinggal diam!"

   Mendengar itu, cepat To Hong memberi hormat.

   "Lengtayhiap,"

   Demikian ia menyapa.

   "Apa kaumaksudkan Kui Thian-lan sudah cacad? Kami bukan musuhnya, ia berada dimana? Sukalah kaubawakami menemuinya!"

   Dan sebelum Bwe-hong menjawab, dari jauh tiba-tiba mendatangi pula tiga orang secepat terbang.

   Waktu Bwe-hong meneaasi.

   ternvata ketiga orang pendatang ini berusia lanjut semua.

   Di lain pihak Thio Goan-cing dan To Hong segera memberi hormat sesudah berhadapan dengan ketiga orang itu.

   "Lo-tongkeh, Tat-tusi dan Loh-thocu, kalian telah datang semua, kita adalah kawan-kawan sesama golongan, maka sete-guk air hendaklah diminum bersama!"

   Demikian mereka menyapa.

   Leng Bwe-hong paham istilah-istilah dan peraturan Lok-lim atau kaum bandit bila bertemu sasaran yang hendak mereka rampas, lalu kebetulan kesamplok kelompok begal lain yang juga sedang mengincar, maka ada dua jalan untuk menentukan, yakni secara halus atau secara kekerasan.

   Dengan kekerasan maka kedua belah pihak harus saling labrak mati-matian, dan kalau memakai cara halus, maka siapa yang melihat mendapatkan bagian sama rata.

   'Air seteguk diminum bersama' istilah yang disebut maksudnya mengajak kompromi untuk membagi bersama sasaran mereka itu.

   Karena itulah Bwe-hong menjadi heran, ia tidak tahu 'jualbeli' dagangan apakah yang hendak dilakukan orang-orang itu di lembah sunyi ini? "Inilah dia pendekar besar dari daerah barat-laut, Thiansan- sin-bong Leng Bwe-hong,"

   Demikian Goan-cing memperkenalkan Bwe-hong pada ketiga orang yang datang belakangan itu. Tapi mereka seperti tidak ambil pusing akan nama besar Leng Bwe-hong, mereka hanya mengangguk-angguk saja.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dan ini Lo-tongkeh dari Cwan-pak, Lo Thay, yang ini Tusi' dari Ciok-te, Tat Sam-kong dan yang ini ialah Thocu dari Jingyang- pang, Loh-taylingcu,"

   Demikian satu persatu Goan-cing memperkenalkan mereka juga pada Leng Bwe-hong.

   'Tusi' adalah semacam gelar kebesaran keturunan suku banesa Bui di daerah Hun-lam.

   Bwe-hong kenal nama ketiga orang itu sebagai tokoh-tokoh terkemuka dan disegani di daerah Su-cwan, ia sendiri hanya terkenal di daerah barat-laut, namun selamanya tak pernah berkunjung ke Su-cwan, tidak heran kalau mereka menganggap sepi dirinya.

   Tapi ia pun heran mengapa dalam semalam ini sekaligus bisa datang begitu banyak jago cabang atas, bahkan di antara mereka terdapat Tat-tusi yang terkenal ilmu Gwakangnya yang hebat bagai otot kawat tulang besi.

   "Leng-tayhiap adalah sahabat si tua she Kui,"

   Demikian Goan-cing berkata pula.

   "Tadi ia bilang bahwa orang she Kui itu sudah cacad dan kami sedang minta dia suka membawa kita pergi menemuinya."

   Karena itu ketiga orang belakangan ini lantas membenarkan dan menyatakan setuju. Maksud Leng Bwe-hong hendak memberitahu kepada mereka tentang tewasnya Kui Thian-lan, tetapi setelah dipikir, ia mengurungkan maksudnya itu.

   "Mereka mengaku sahabat Kui Thian-lan, biarlah aku membawa mereka pergi menemui Ciok-lothaythay dulu,"

   Demikian pikirnya.

   Dalam pada itu si nenek, kakek muka merah, si pemuda baju kuning dan Boh Wan-lian lagi asyik mempersoalkan lukisan Kui Thian-lan yang ditinggalkan di atas baju kuning secara rahasia itu.

   Tiba-tiba mereka dikejutkan suara riuh ramai datangnya orang banyak di luar.

   "Apa mungkin kedatangan musuh tangguh hingga Leng Bwe-hong tak bisa menahannya?"

   Kata si nenek terkejut sembari mencabut pedang terus melompat keluar. Dilihatnya Bwe-hong berjalan paling depan di antara orang-orang itu.

   "Ciok-lothaythay,"

   Seru Bwe-hong segera demi nampak keluarnya si nenek.

   "Beberapa sobat ini ingin bertemu, kata mereka kenalan baik dari Kui-locianpwe."

   Mendengar Bwe-hong memanggil nenek tua itu 'Cioklothaythay' atau nyonya tua keluarga Ciok, Thio Goan-cing dan Tat-tusi menjadi terheran-heran.

   "Enso Kui, apakah masih ingat kami?"

   Demikian mereka menyapa berbareng sambil memberi hormat.

   "Apakah Thianlan Hengtiaag(saudara) juga berada di sini?"

   Wajah si nenek berubah hebat oleh pertanyaan orang.

   "Thian-lan sudah menjadi korban di tangan jago pengawal kerajaan, kedatangan kalian sudah terlambat,"

   Sahutnya kemudian.

   "Tapi suamiku Ciok Thian-sing malahan berada di sini, cuma saia ia nun cacad. maka kami tak berani mengundang sobat lama masuk ke dalam."

   Habis berkata, dengan pedang melintang di depan dada, ia berdiri di ambang pintu dengan kereng penuh waspada.

   Thio Goan-cing dan Tat-tusi adalah kenalan Kui Thian-lan pada waktu mereka berada dalam pasukan Li Ting-kok, Thio Goan-cing berasal seorang kepala berandal, kala itu pun di bawah perintah Li Ting-kok.

   Tat-tusi pernah sekali memberi jalan pada pasukan Li Ting-kok tatkala lewat wilayahnya, waktu itu yang diutus pergi berunding dengannya ialah Kui Thian-lan, sedang si nenek resminya dikenal isteri Kui Thianlan, maka tak heran kalau mereka begitu bertemu lalu memanggilnya 'Kui-lothaythay' atau nyonya keluarga Kui.

   Begitu mendengar cerita si nenek, serentak Thio Goan-cing dan Tat-tusi menjadi kememek! Hakikatnya mereka tidak tahu si nenek masih mempunyai seorang suami yang lain, mereka sangsi apakah orang tidak berbohong, tetapi waktu melihat si nenek melintangkan pedang di depan dada berjaga di ambang pintu, mereka pun tidak berani sembarangan bergebrak dengannya.

   Di masa silam, si nenek pun terkenal sebagai seorang pendekar wanita di tengah-tengah pasukan Li Ting-kok, ia mempunyai Ngo-khim-kiam-hoat tersohor di seluruh daerah Su-cwan.

   Tat-tusi masih tak apa, tetapi Thio Goan-cing sudah jeri dulu.

   Ketika mereka ragu-ragu, dari jauh tiba-tiba tampak pula segerombolan bayangan orang.

   Waktu semua orang menegasi ke sana, terdengarlah Lohtaylingcu berkata.

   "O, kiranya Ciok-toaso. Aku bernama Lohtaylingcu, dulu pernah menerima budi ayahmu, juga pernah menghadiri perjamuan pernikahanmu, kalau Cioktoako berada di sini, perkenankanlah Siaute masuk menjumpainya."

   Loh-taylingcu adalah anak murid golongan Go-bi-pay, pada masa mudanya suka berkelahi dan pemabukan sehingga pernah cekcok dengan dua orang tokoh lihai dari kalangan Kangouw, beruntung mendapat pertolongan ayah Ciok-toanio, Cwan-tiong Tayhiap Jap Hun-sun, barulah urusan menjadi selesai.

   Karena pengalamannya itu, kelakuannya lalu banyak berubah, dan karena itu juga terhadap Jap Hun-sun ia merasa berhutang budi.

   Belakangan waktu Ciok Thian-sing menikah, ia pun datang memberi selamat.

   Sejak perjamuan nikah itu, tiga puluh tahun sudah lalu, urusan Ciok-toanio dan Kui Thianlan dengan sendirinya ia tidak tahu.

   Dan karena itu, si nenek mencoba mengamat-amati orang dengan pedang tetap terhunus.

   "Terima kasih atas maksud baik sobat ini,"

   Katanya pada Loh-taylingcu.

   "Tetapi suamiku sudah cacad karena pengawal kerajaan, tadi malam mereka masih mencari ke seluruh lembah sunyi dan telah melukai puteriku, kini suamiku sedang menantikan kedatangan anjing dan alap-alap itu oula. ia tidak ingin menyangkutkan urusan itu nada para sahabat."

   "Bisa terjadi peristiwa seperti itu?"

   Tanya Loh-taylingcu gusar. Dan ketika sedang berbicara, gerombolan orang dari jauh tadi kini telah sampai di depan rumah batu itu.

   "Coba lihat! Apakah ini bukan tuan-tuan besar pengawal kerajaan itu!"

   Kata si nenek tertawa dingin. Loh-taylingcu berpaling, betul saja ia lihat lima orang dengan pakaian seragam pengawal kerajaan, mereka telah berpencar dan mengambil kedudukan mengepung.

   "Biar kubereskan mereka!"

   Kata Loh-taylingcu. Tapi sebelum ia bertindak, segera ia ditarik Lo Thay.

   "Loh-toako, jangan dulu, kita jangan ikut keciprat air keruh ini!"

   Kata Lo Thay.

   Tiga di antara lima pengawal itu adalah jagoan kelas satu dari istana raja, yang memimpin bernama Ong Kang, pernah menggetarkan kilangan silat karena ilmu pukulannya 'Kim-koksan- jiu', dan kedua orang yang lain bernama Sin Thian-hou dan Sin Thian-pa, mereka adalah saudara, telah menjagoi Kangouw dengan 'Go-kau-kiam-hoat' dari keluarga Ang di Jong-ciu.

   Sedang dua orang yang lain lagi adalah pengawal gubernur Siarn-say, yang seorang bernama Ang Tiu dan yang lain Ciau Tit, dutunya juga bekas orang Lok-lim (bandit), belakangan kena dibeli oleh Congtok atau gubernur Siam-say, kini mereka datang hanya sebagai penunjuk jalan saja.

   Ang Tiu dan Ciau Tit sudah kenal Lo Thay, Tat-tusi dan Thio Goan-cing serta tahu kalau ilmu silat mereka tidak rendah, maka segera mereka memberitahu Ong Kang.

   "Kami mendapat perintah menangkap Ciok Thian-sing, orang lain yang tidak bersangkutan tidak akan diganggu. Sobat-sobat, maka berilah kami keleluasaan!"

   Kata Ong Kang segera pada orang-orang yang berada di situ.

   "Tidak boleh jadi!"

   Bentak Loh-taylingcu tiba-tiba.

   "Toako, orang lain yang menjadi titik tujuan mereka masih belum buka mulut, buat apa kauribut?"

   Kata Lo Thay sebaliknya.

   Lo Thay, Thio Goan-cing, To Hong dan Tat-tusi meski terhitung tokoh Lok-lim dan menjagoi daerahnya masingmasing, tetapi mereka hanya orang-orang Lok-lim biasa saja dan tak bisa dibandingkan dengan Li Cu-sing serta Thio Hiantiong, mereka hanya bergerombol bercokol di rimba dan gunung, yang diminta asal bisa menancapkan kaki dengan aman, maka dengan pasukan pemerintah biasanya tidak saling ganggu, bahkan kadang-kadang malahan saling memberi 'kang-thau' atau rejeki untuk cari selamat bersama.

   Dengan sendirinya menyuruh mereka melawan pengawal kerajaan dan melindungi orang yang hendak ditangkap atas titah raja, itulah betul-betul tidak mereka inginkan, apalagi dengan Kui Thianlan dan Ciok Thian-sing, mereka pun tiada ikatan persahabatan sehidup-semati.

   Dalam pada itu si nenek sudah mengangkat pedangnya di depan dada, ia memberi hormat pada Loh-taylingcu.

   "Banyak terima kasih kepada sobat yang berhati mulia ini,"

   Demikian katanya.

   "Hanya saja aku si nenek tua tak berani membikin susah kawan, walaupun aku sudah berumur, baiknya masih belum pikun, biarlah aku yang menerimanya! Kawan, silakan menyingkir! Aku akan mencoba cakar alap-alap dan anjing Kaisar keparat ini!"

   La menggerakkan pedangnya dan segera hendak maju, namun Leng Bwe-hong telah mendahuluinya menghadang ke depan.

   "Ciok-toanio,"

   Kata Bwe-hong.

   "Beberapa ekor kelinci ini biarlah serahkan padaku, sudah lama aku tidak merasakan daging kelinci, jika tangan Toanio pun merasa gatal, nanti aku tinggalkan dua ekor untukmu!"

   Habis berkata, ia mengenjotkan kaki bagaikan garuda terbang, tiba-tiba ia melayang melintasi kepala semua orang untuk kemudian menancapkan kakinya di depan kelima pengawal kerajaan itu.

   "Baiklah, aku yang tua mengalah, kalau kau ada selera, boleh kaucaplok seluruhnya!"

   Kata si nenek bergelak tertawa.

   "Nah, urusan oleh tuan rumah telah diserahkan padaku, kini kalian boleh maju semua!"

   Kata Bwe-hong dengan sorot mata tajam.

   "Kau toh bukan sasaran kami, buat apa kau hendak mewakilkan orang memikul resiko ini,"

   Teriak Ang Tiu.

   "Hai kawan, air sungai tak menggenangi air sumur, aturlah urusan diri sendiri. Gunung selalu hijau, air terus mengalir, dimana kita tidak ingin mengikat permusuhan, maka biarlah kami menganggapmu sebagai kawan, bagaimana?"

   Dengan kata-kata Leng Bwe-hong tadi yang sangat bersifat menantang, mengapa Ang Tiu berbalik bisa begitu sungkan padanya? Kiranya karena teriakan Loh-taylingcu tadi.

   Ang Tiu mengenal Lo Thay dan Tat-tusi adalah lawan tangguh, ia kuatir bila begitu Leng Bwe-hong bergebrak, orang-orang itu bisa membelanya.

   Orang-orang itu semuanya ia kenal sebagai jagoan cabang atas kalangan Lok-lim, walaupun Bwe-hong tak dikenalnya, namun melihat gerak tubuh yang ditunjukannya tadi, sudah tentu bukan orang sembarangan.

   Di pihaknya ada lima orang, kalau untuk melayani suami-isteri Ciok Thian-sing ditambah putri dan muridnya, kekuatan mereka masih berlebihan.

   Tetapi kalau orang-orang gagah ini ikut campur, jelas tidak akan menguntungkan pihaknya.

   Maka terpaksa dengan menahan dongkol ia pakai kata-kata halus dan mengajak bersahabat.

   Nyata ia mengira Leng Bwe-hong juga seperti Lo Thay dan kawan-kawannya dari kalangan Lok-lim, dan dapat ditarik ke pihaknya untuk diperalat.

   Siapa duga karena perkataannya tadi malahan menimbulkan kegusaran Leng Bwe-hong.

   "Ngaco-balo, siapa kawanmu?"

   Bentak Bwe-hong.

   "Hayo, majulah semua kepadaku seorang saja!"

   Habis itu ia berpaling dan berkata juga kepada Lo Thay dan kawan-kawannya.

   "Kawan-kawan, kalau kalian menghargaiku, harap jangan ikut membantu, agar mereka tidak berkata kita menang dengan mengeroyok."

   Tatkala itu, cuaca sudah berubah, malam yang gelap kini sudah remang-remang mendekati fajar. Ong Kang yang menjadi pemimpin mereka sudah dapat melihat jelas muka Leng Bwe-hong, ia lalu maju ke depan.

   "Apakah kau Leng Bwe-hong?"

   Tanyanya dingin.

   "Kalau ya. mau apa?"

   Jawab Bwe-hong angkuh.

   "Nah, lihatlah yang jelas kawan-kawan, inilah Thian-sansin- bong Leng Bwe-hong yang tersohor malam-malam mengacau Ngo-tai-san dan merampas 'Sik-li-ci', semua ada bagiannya,"

   Kata Ong Kang tertawa aneh sambil menggerakkan tangannya memberi tanda pada kawankawannya.

   "Bwe-hong, orang lain boleh takut padamu, tak nanti kau bisa menakut-nakuti kami, baiknya kau ikut dengan kami saja!"

   Kiranya sesudah Coh Ciau-lam lolos di Hun-kang, ia telah kembali dan melaporkan, segera pemerintah Boan-jing menyebar gambar Bwe-hong ke seluruh penjuru dan menganggapnya sebagai penjahat kelas satu, kalau dibandingkan tentu saja lebih berharga daripada suami-isteri Ciok Thian-sing.

   Dan tanpa sengaja Ong Kang dan kawankawan telah memergoki Bwe-hong, mereka terkejut bercampur girang.

   Ong Kang mengandalkan kepandaian 'Kim-kong-san-jiu' yang selama hidupnya belum ketemukan tandingan sebenarnya dan bermaksud mencari lubang buat menduduki jabatan Thong-ling atau komandan pengawal, siapa tahu sesudah Coh Ciau-lam kembali ke ibu-kota, kedudukan itu oleh Khong-hi telah diberikan pada Ciau-lam, bahkan Thio Sing-pin yang menjabat wakil Thongling saja tak bisa meraih kedudukan itu.

   Karenanya Ong Kang sangat penasaran, sudah lama ia mencari kesempatan agar bisa bertanding dengan Leng Bwe-hong, dengan begitu secara tak langsung ia hendak menurunkan pamor Coh Ciau-lam.

   Karena kata-kata Ong Kang tadi, Leng Bwe-hong hanya tertawa dingin saja, segera pedangnya dilolos, dan selagi ia hendak buka suara sekonyong-konyong terdengar suara bentakan dari belakangnya.

   "Leng-toako, beri bagian padaku!"

   Kata suara itu.

   Berbareng itu dari dalam rumah, melompat keluar seorang dengan tangan menghunus sepasang pedang, orang itu bukan lain adalah si pemuda baju kuning, Kui Tiong-bing.

   Secara acuh tak acuh Leng Bwe-hong melemparkan pedangnya ke atas untuk kemudian disambut kembali.

   "Ia adalah putra Ciok-locianpwe, juga salah seorang yang kamu cari. Karena kedatangannya ini dengan sendirinya aku tak bisa mencaplok semuanya,"

   Katanya tertawa. Ong Kang menarik muka.

   "Kalau kau ingin mewakili si tua bangka she Ciok, baiklah coba kita buat aturannya, bila kalian berdua kalah, bagaimana?"

   Katanya dingin.

   "Kalau aku kalah, biar kami sekeluarga kautangkap semua,"

   Sahut Tiong-bing.

   "Termasuk juga aku,"

   Sambung Bwe-hong.

   "Itu tidak adil,"

   Sela Loh-taylingcu tiba-tiba.

   "Mereka sendiri belum mengatakan bagaimana syaratnya jika mereka yang kalah!"

   "Itu tak usah, toh mereka tak akan bisa lolos,"

   Kata Bwehong temberang.

   "Kurangajar, betapa tinggi kepandaianmu, berani kau pandang sebelah mata orang lain?"

   Kata Ong Kang gusar.

   "Kami tak biasa adu mulut, marilah kita putuskan di tempat luas!"

   "Nanti dulu,"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Ang Tiu menahan.

   "Meski kita sudah menyatakan menangkap buronan pemerintah, tetapi kita semua adalah orang Bu-Iim (kalangan persilatan), aku hendak minta Loh-toako suka menjadi saksi, peraturan tadi adalah mereka sendiri yang menetapkan maka janganlah kalian mengatakan kami menang dengan jamlah lebih banyak."

   Ternyata Ang Tiu masih tetap menguatirkan Tat-tusi dan kawan-kawan membantu Leng Bwe-hong, maka dengan perkataannya itu ia hendak mengikat mereka.

   Kalau mereka diminta menjadi saksi, dengan sendirinya mereka tidak bisa ikut campur tangan.

   Loh-taylingcu menjengek, tetapi Lo Thay mendahului.

   "Itu sudah tentu, kami pun ingin menambah pengalaman!" 'Terima kasih kalian suka menghargai diriku dan tidak membantu pihak manapun, itu bagus sekali!"

   Kata Bwe-hong sambil merangkap tangannya memberi hormat.

   "Ciok-toanio, kau pun tak usah ikut datang,"

   Katanya pula. Sejak tadi si nenek masih berjaga di ambang pintu dengan pedang terhunus.

   "Untuk apa aku ikut?"

   Demikian sahutnya.

   "Aku si nenek tua kalau tidak mempercayaimu, dapatkah kami menyerahkan nasib sekeluarga padamu? Kalian hendak berkelahi, nah, lekas berkelahi, pergilah jauh sedikit, suamiku sedang sakit, jangan kalian berisik di sini!"

   "Tuh, kamu dengar, Toanio tidak mengijinkan kita bertempur di sini, di lembah gunung sana cukup luas, marilah kita pergi ke sana,"

   Kata Bwe-hong tertawa lebar. Dan waktu Ong Kang menggerakkan tangannya, segera kelima pengawal itu berlari menuju suatu tanah datar di lembah sana.

   "Apakah mereka tidak buron, beranikah mereka menyusul ke sini?"

   Tanya Sia Thian-hou diam-diam.

   "Itu tidak mungkin?"

   Kata Ong Kang tertawa.

   "Belum tentu, Ong-toako, sampai kini mereka belum lagi berangkat!"

   Kata Sin Thian-pa sambil menoleh.

   Maka kedua saudara Sin itu memperlambat langkah mereka, dan selagi mereka hendak menyindir musuh yang masih belum menyusul, tiba-tiba mereka melihat dua bayangan hitam bagaikan kilat telah melayang datang, dan belum sempat mereka melihat jelas, dua sosok bayangan itu sudah melayang lewat di depan mereka dengan membawa kesiumya angin.

   Sekonyong-konyong Ong Kang pun mengenjot tubuh, bagai burung terbang ia memburu ke depan, kedua saudara Sin mendadak pun sadar, mereka pun mengejar dengan cepat.

   Tapi baru saja kedua saudara Sin sampai di tanah datar itu sesudah mengitari suatu lereng gunung, mereka lihat kedua bayangan tadi sudah berdiri tegak di tengah-tengah tanah datar itu.

   Mereka ialah Leng Bwe-hong dan Kui Tiong-bing yang masing-masing sudah menghunus pedang menantikan musuh.

   "Tuan-tuan besar pengawal, perjalanan yang hanya beberapa langkah saja, mengapa kalian begitu lama!"

   Demikian Tiong-bing menyindir. Karena perkataan itu, kedua saudara Sin tertegun dan mendongkol, mereka baru mengerti bahwa dengan cara begitu musuh tadi telah sengaja mengukur tenaga mereka.

   "Hm, jangan kausombong dulu, termasuk hitungan apa ilmu mengentengkan tubuh? Coba nanti kau berkenalan dulu dengan 'Go-kau-kiam-hoat' kami baru kautahu rasa,"

   Damprat mereka dalam hati.

   Tak lama kemudian, rombongan Lo Thay pun sudah datang semuanya, di antara mereka malah telah bertambah seorang gadis berbaju merah, dengan sepasang matanya yang jeli sedang memandang Kui Tiong-bing.

   Gadis berbaju merah ini adalah Boh Wan-lian, dengan pedang tergantung di pinggangnya, tangannya menggenggam pula 'Toat-beng-sin-soa', pasir sakti pencabut nyawa.

   Sebenarnya maksud kedatangannya membantu, tetapi begitu ia melangkah keluar pintu, oleh si nenek ia dipesan kalau bukan tiba saat yang membahayakan hendaklah jangan sekalikali ikut campur tangan, supaya tidak menurunkan dan merusak nama baik Leng Bwe-hong, sebab itu, ia hanya mencampurkan diri di antara orang banyak dan dengan tak berkedip memandang Kui Tiong-bing.

   Ketika nampak di antara orang banyak itu telah bertambah dengan seorang gadis berbaju merah yang bersikap aneh, tanpa terasa Ong Kang pun memandangnya beberapa kali.

   "Hayo, katakan, perkelahian cara apa yang kamu inginkan?"

   Bentak Bwe-hong memulai.

   "Kamu hendak maju lpna orang berbareng atau satu persatu bergiliran?"

   "Kami banyak dan kalian sedikit, biarlah kau yang mengatasinya "

   Balas Ong Kang tak mau unjuk kelemahan di depan orang, banyak.

   "Kalau lima orang maju sekaligus, itu tidak adil,"

   Sambung Loh-taylingcu.

   "Baiknya begini, masing-masing paling banyak maju dua orang. Pihak Leng-tayhiap hanya ada dua orang, maka boleh dua orang maju berbareng atau boleh juga satu orang maju sendirian."

   Karena itu, ketika Ong Kang bermaksud menyuruh kedua saudara Sin maju dulu, tiba-tiba sudah didahului oleh dua pengawal gubernur, Ciau Tit dan Ang Tiu.

   "Sudah lama kami mendengar Ciok-locianpwe mempunyai ilmu silat yang tinggi, maka kami ingin belajar kenal beberapa gebrakan dengan putranya, kalau Leng-tayhiap hendak maju sekalian juga boleh,"

   Demikian seru mereka.

   Kedua orang ini memang licin, mereka tahu kalau ilmu silat mereka di bawah pengawal kerajaan, tetapi kuatir juga dipandang hina, maka begitu maju segera mereka menunjuk hendak melawan si pemuda baju kuning dan dengan perkataan mereka tadi untuk mengikat Leng Bwe-hong, meski mereka berkata.

   "Leng-tayhiap hendak maju sekalian juga boleh", namun mereka mengerti dengan nama Leng Bwe-hong yang tersohor, tak nanti mau maju melawan mereka berbareng. Sedang terhadap si pemuda baju kuning memang mereka tidak memandang berat. Betul juga dugaan mereka, dengan tertawa dingin Leng Bwe-hong diam saja. Sebaliknya Kui Tiong-bing, si pemuda baju kuning telah tertawa terbahak-bahak, tanpa pikir lagi ia melompat maju seperti lawan-lawannya ini tiada artinya baginya.

   "Hayo, majulah sekarang! Kamu berdua mana ada harganya sampai Leng-toako turun tangan sendiri!"

   Demikian ia pun berseru.

   Ciau Tit memakai sepasang 'Hong-thian-khik' yang mempunyai ujung tajam berbentuk mulut bebek, di kalangan pengawal gubernur ilmu silatnya tergolong nomor satu.

   Waktu melihat Kui Tiong-bing secara malas-malasan berkata tanpa memasang kuda-kuda, tiba-tiba ia menyerang, ia sodok bahu kiri Kui Tiong-bing.

   Sedang Ang Tiu yang menggunakan golok 'Ci-kim-to', ia memutar ke belakang Tiong-bing dan cepat memotong pinggang orang, kedua orang menyerang sekaligus dari muka dan belakang dengan maksud segera membinasakan Kui Tiong-bing.

   Akan tetapi dengan sekali bentakan yang menggelegar, tiba-tiba Kui Tiong-bing mengangkat pedangnya ke atas, maka terdengarlah suara putusnya benda keras, ujung tajam senjata Ciau Tit sudah terkuning, tanpa berpaling lagi, berbareng tangan kiri Kui Tiong-bing menyampuk ke belakang untuk menyambut serangan golok Ang Tiu dibarengi mendorong pergi, Ang Tiu merasakan suatu kekuatan yang maha besar menindih datang, goloknya yang beratnya lebih tiga puluh kati itu hampir terlepas dari tangan, lekas ia mundur beberapa tindak ke belakang.

   Ciau Tit sudah berpuluh tahun berlatih senjata ini, siapa sangka baru saja bergebrak sekali sudah kena dikuningi ujung senjatanya ia menjadi gusar dan juga jeri.

   Sementara itu beberapa jurus sudah lewat, ia lihat ilmu pedang Kui Tiong-bing tidak saja sangat hebat dan aneh, bahkan bertenaga besar, betul-betul susah dilawan olehnya baiknya ia mempunyai banyak pengalaman, segera ia mengeluarkan kepandaiannya yang licin 'Ngo-kui-toan-hunkhik', ia menusuk, menikam, menyungkit dan menekan, purapura menyerang tetapi sebenarnya untuk menghindari bahaya serangan lawan, ia mengitari tubuh Kui Tiong-bing, sedang Ang Tiu dengan goloknya selalu menyerang dari samping, maju dan merangsek berbareng, dengan cara begitu baru mereka bisa bertahan.

   Ini adalah pertempuran untuk pertama kali sejak Kui Tiongbing pulih kejernihan pikirannya.

   Waktu dilihatnya Boh Wanlian menyandarkan diri pada satu batu dan sedang memandang padanya dengan tersenyum, semangatnya segera bertambah, kedua pedangnya dimainkan sedemikian rupa, hingga hanya tampak sinar pedang yang gemerlapan, tak lama kemudian Ciau Tit dan Ang Tiu sudah terkurung rapat di antara sinar pedangnya.

   Lo Thay dan lain-lainnya menyaksikan pertempuran itu dengan terheran-heran, sungguh tak pernah mereka duga bahwa putra Ciok Thian-sing pun mempunyai ilmu silat yang begitu lihai.

   Setelah pertempuran berjalan lagi, Tiong-bing sudah dapat meraba permainan senjata Ciau Tit hanya serangan kembangan saja, tapi tak berani beradu sungguh-sungguh, ia tertawa geli, ia mengincar baik-baik suatu gerakan musuh, segera ia gunakan tipu 'Giau-li-joan-ciam' atau gadis genit menyusup jarum, bagai kilat ia menusuk cepat.

   Terpaksa Ciau Tit melangkah mundur, senjata Khik yang kiri ia tangkiskan ke atas dengan tipu 'Ki-hwe-liau-thian' atau mengangkat api menerangi langit, berbareng senjata kanan dari atas menghantam ke bawah dengan tipu 'Pek-ho-sit' atau bangau putih pentang sayap.

   Serangan senjata kanan itu hanya purapura saja sambil menjaga diri, sedang senjata kiri yang betulbetul menyerang dengan tipu berbahaya.

   Tak ia duga, serangan Tiong-bing juga hanya serangan pura-pura saja, begitu senjata kiri Ciau Tit diangkat, segera ia menarik pedangnya dengan cepat dan merubah serangan dengan tipu 'Guan-kau-ti-ko' atau monyet memetik buah, ia menyerang dari sebelah kanan, menusuk terus menjugil, sinar pedang berkelebat, tahu-tahu sudah di depan musuh.

   Ciau Tit berteriak kaget, lekas kedua senjata Khiknya hendak menangkis, tapi Tiong-bing telah membentak, pedang kirinya menyampuk, sebelah senjata Khik musuh segera terkutung menjadi dua, berbareng kakinya menendang dan membuat terbang pula Khik yang lain.

   Dalam pada itu pedang kanannya tidak ayal juga, dan tipu 'Guan-kau-ti-ko' tadi ia ubah menjadi 'Swan-hong-sau-hio' atau angin puyuh menyapu daun, dibarengi suara jeritan ngeri, sebelah tangan Ciau Tit sudah berpisah dengan tuannya, waktu kaki Tiong-bing melayang pula, tubuh Ciau Tit yang besar laksana kerbau kena disapu dan tepat menumbuk satu batu besar hingga mampus.

   Beberapa serangan tadi begitu cepat bagai kilat dan letikan api, waktu Ang Tiu dapat melihat jelas dan ia hendak mundur, namun sudah terlambat, dengan sekali lompat bagai burung garuda, Tiong-bing sudah menyambar dari atas, lekas Ang Tiu mengangkat golok Ci-kim-to buat menangkis, akan tetapi susah ditahan pula maka terdengarlah suara "erat", pergelangan tangan Ang Tiu sudah tertebas lebih dulu, menyusul tubuhnya pun terbelah menjadi dua.

   Tipu serangan Kui Tiong-bing tadi disebut 'Jong-eng-boktou' atau burung garuda menyambar kelinci.

   "Nyata pemuda ini sudah mewariskan seluruh kemahiran ibunya,"

   Demikian diam-diam Leng Bwe-hong memuji setelah menyaksikan pertempuran kawannya ini dan dapat membinasakan dua musuh dalam waktu singkat saja.

   Ketiga jagoan kerajaan walau memandang rendah kedua kawan pengawal mereka dari gubermiran itu, namun mereka pun tak menduga bahwa hanya dalam sekejap saja kedua orang itu sudah terbinasa dengan ngeri di bawah pedang pemuda berbaju kuning itu.

   Sedang lawan utama, Leng Bwehong masih belum turun tangan! Karena itu, Ong Kang mengkerutkan kening, dan selagi ia hendak turun kalangan sendiri menghadapi sepasang pedang Kui Tiong-bing dengan ilmu silatnya "Kim-kong-san-jiu' (ilmu pukulan baja), namun kedua saudara Sin sudah mendahului maju berbareng.

   "Kui-hiante, kau sudah kembali pokok malah sudah ada untung, yang dua ini tinggalkan buatku saja!"

   Seru Bwe-hong dari samping sambil melesat, bagaikan angin cepatnya ia maju menggantikan Kui Tiong-bing.

   Go-kau-kiam-hoat kedua saudara Sin itu adalah ajaran Ang Si-pek, caranya ialah dimainkan dua orang berbareng dengan senjata berlainan, waktu yang seorang menggunakan 'Kau' atau gaetan dan yang lain dengan 'Kiam' atau pedang.

   Sin Thian-hou menggunakan sepasang gaetan peranti menggaet senjata musuh, menyerang dan menabas, sedang pedang dimainkan Sin Thian-pa mengutamakan serangan yang berbahaya.

   Tersohornya kombinasi 'Go-kau-kiam-hoat' dalam kalangan silat ialah karena mereka bisa menyerang dan bertahan dengan kerja-sama yang rapat dan tepat sekali, biasanya yang memakai pedang meski juga mengutamakan serangan, tetapi bila bertemu musuh yang tangguh dan berbalik menyerang, maka mau tak mau harus menarik pedang buat menjaga diri.

   Sebaliknya dua saudara Sin dengan kombinasi gaet dan pedang sedi-kitpun tak perlu menjaga, oleh karena itu, dalam tiga puluhan tahun ini dua bersaudara Sin selamanya tak pernah dipecundangi orang.

   Pada waktu berada di ibu-kota.

   Coh Ciau-lam pernah mencoba mengadakan pertandingan persahabatan dengan mereka, setelah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, akhirnya hanya seimbang saja.

   Leng Bwe-hong sudah lama berkelana dan banyak berpengalaman di kalangan Kangouw, ia cukup mengetahui lihainya Go-kau-kiam-hoat, maka begitu nampak senjata kedua bersaudara Sin, segera ia mengenal mereka adalah Ang-bun Tecu atau anak murid dari keluarga Ang.

   Walaupun si pemuda berbaju kuning, Kui Tiong-bing, mempunyai kepandaian yang tinggi, tetapi ia kuatir orang masih hijau, cetek pengalamannya dan tidak paham cara melayani serangan musuh yang berlainan senjata itu, maka cepat Bwe-hong maju menggantikannya.

   "Awas!"

   Bentak Thian-pa yang segera mengirim satu tusukan ke dada Leng Bwe-hong, setelah mereka mengambil tempatnya masing-masing.

   Bwe-hong tahu cara mereka, satu menyerang dan yang lain menjaga untuk mencari kelemahan lawan, ia hanya tersenyum, ia berdiri tenang menanti ujung pedang Thian-pa hampir menempel dadanya, baru tubuhnya mendadak bergerak, pedangnya menangkis cepat, menyusul tanpa berpaling pedangnya terus menyampuk ke belakang, tepat sekali sepasang gaetan Thian-hou yang menyerang dari jurusan lain kena ditangkis juga.

   Saking cepat gerakan serta tangkisan itu hingga kedua bersaudara Sin terkejut.

   Ketiga orang begitu bentrok masingmasing lantas mundur beberapa tindak ke belakang, kemudian saling melotot bagai ayam jago aduan.

   Mereka berdiri secara segitiga, dengan penuh perhatian saling mengawasi pihak lawan dan tidak berani sembarangan bergerak.

   Tiga puluh tahun yang lalu pernah Tat-tusi menyaksikan Go-kau-kiam-hoat dari Ang Si-pek, maka ia tahu pertandingan yang mendebarkan ini.

   "Kalau ketemukan tandingan tangguh, barulah bisa seperti keadaan ini,"

   Katanya bisik-bisik pada Loh-taylingcu.

   "Kedua saudara Sin hendak menunggu Leng Bwe-hong menyerang lebih dulu, kemudian baru mencari kelemahannya buat merangsek. Tampaknya Thian-san-sin-bong ini memang betulbetul hebat."

   Dan belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar bentakan Leng Bwe-hong, berbareng pedangnya membabat dari samping dengan cepat, lekas TTiian-pa memutar pedangnya, sedangkan Thian-hou melompat ke samping sambil gaetannya menyerang dengan tipu 'Tay-ping-tian-sit' atau burung rajawali mementang sayap, gaetannya langsung mengait leher Leng Bwe-hong.

   Tipu serangan Leng Bwe-hong tadi disebut 'Liong-bun-samkik- liong' atau memukul arus tiga kali di gerbang naga, sekali menyerang beruntun tiga macam gerakan, ujung pedangnya cepat mencari sasaran.

   Tetapi belum habis gerakannya, tibatiba ia mendengar dari belakang ada sambaran angin, lekas ia mengegos, kemudian secepat kilat melompat maju pula, tibatiba Sin Thian-pa merasa silau oleh sinar gemerlap yang menyerang mukanya, lekas ia mundur, tetapi sudah terlambat, ia merasakan lengan kirinya kesakitan, ternyata ia telah kena dilukai oleh Leng Bwe-hong.

   Sementara itu, Thian-hou pun telah menggerakkan gaetan kirinya menyerang cepat dengan tipu 'Kim-kau-sui-tio' atau menurunkan kaitan emas untuk memancing, ia bermaksud menangkap tangan kanan Leng Bwe-hong, namun sekelebatan Bwe-hong telah memutar tubuh, pedangnya ikut berputar dengan gerak 'Bou-te-khim' atau menggelar permadani di lantai, dengan cepat pedangnya beradu dengan gaetan musuh, Sin Thian-hou merasa seperti ada tenaga besar yang menempel, gaetannya ternyata kena ditarik pergi, ia kaget sekali.

   Senjata gaetannya khusus dibuat untuk merebut senjata musuh, siapa duga malahan kena ditarik pergi oleh kekuatan Lwekang Leng Bwe-hong.

   Lekas ia menggerakkan gaetan kanan untuk menolong, dalam pada itu Thian-pa yang hanya ter-luka ringan kinipun menyerang pula.

   Waktu Bwe-hong menarik pedangnya dengan berputar, belum sempat ia mengambil kedudukan yang menguntungkan, senjata musuh, gaetan dan pedang, beruntun sudah menyerang datang, cepat ia mengayun pedang untuk menghalau semua serangan lawan itu sambil dalam hati diam-diam memuji kedua bersaudara yang bisa bekerja-sama dengan rapat sekali itu.

   Sudah ia gunakan tipu serangan paling lihai, namun mereka masih bisa melakukan serangan balasan yang makin lama makin hebat.

   Nampak kedua saudara Sin itu bertempur dengan matimatian, Leng Bwe-hong tak berani ayal, segera ia mengeluarkan ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat yang paling hebat bagai seekor ular naga yang menari di angkasa, berbareng jarinya yang seperti belati di tengah sinar pedang yang gemerlapan selalu mencari jalan darah musuh.

   Bagaikan putaran roda, ketiga orang itu mengitar kian kemari, sampai orang-orang yang menyaksikan di samping, matanya berkunang-kunang.

   Sesudah ratusan jurus, kedua bersaudara Sin mulai tampak mengeluarkan keringat di jidat, sebaliknya Leng Bwe-hong masih tetap gagah seperti tak merasa apa-apa.

   Orang yang menyaksikan masih belum bisa nampak sesuatu, tetapi Ong Kang sudah mengetahui gelagat jelek, kedua tangannya bergerak, ia siap-siap hendak maju.

   "Kedua saudara harap mundur dulu, biar aku yang minta sedikit ajaran kiam-hoat dari Leng-tayhiap,"

   Demikian teriaknya. Mendengar itu, kedua bersaudara Sin secara sengit memberi beberapa kali serangan kilat dengan maksud hendak mundur. Tetapi tiba-tiba Leng Bwe-hong tertawa panjang.

   "Ha, tak mungkin lagi meski mengaku kalah,"

   Bentaknya kemudian. Serangannya segera berubah, pedangnya naik turun cepat, kedua bersaudara Sin itu merasakan hawa dingin tajam mengitari diri mereka, sekelilingnya hanya tampak bayangan Leng Bwe-hong, tiada jalan untuk mereka meloloskan diri.

   "Leng Bwe-hong yang keji, baiklah kita mengadu jiwa,"

   Teriak mereka sambil mengertak gigi.

   Pedang dan gaetan mereka bekerja lebih rapat lagi, mereka keluarkan seluruh kepandaian untuk melayani Leng Bwe-hong.

   Ong Kang sudah maju hendak menggantikan kawannya, tetapi dilihatnya ketiga orang itu masih terus bertempur dengan mati-matian, sinar pedang berkelebat cepat hingga tiada jalan untuk menerobos masuk.

   Kedua belah pihak sudah berjanji di muka, bahwa tidak boleh maju lebih dari dua orang, kini pihak mereka dua orang mengerubuti seorang, hal ini sudah menurunkan pamor, kalau dia ikut terjun masuk, sekalipun bisa menang toh bakal dibuat buah tertawaan jago-jago dunia persilatan.

   Apalagi Ong Kang adalah benggolan ternama dengan K.im-Iceng-san-jni yang tersohor selama tiga puluhan tahun, di depan jagoan begini banyak lebih-lebih ia tidak ingin ditertawai.

   Dan selagi Ong Kang ragu ragu, tiba-tiba dilihatnya si pemuda baju kuning Kui Tiong-bing di pihak lawan telah maju pelarian.

   "Leng-toako tidak sempat melayanimu, biar aku menerima beberapa gebrakan,"

   Seru pemuda itu. Memang Ong Kang sedang serba-salah, keruan majunya Tiong-bing menjadikannya girang.

   "Kalau begitu, hayolah lolos pedangmu!"

   Katanya segera.

   "Siauya (tuan muda) selamanya tidak pernah melolos senjata lebih dulu. Dan mana senjatamu?"

   Sahut Tiong-bing.

   "Kau ingin satu lawan satu? Baik, aku membiarkan kau menyerang dulu tiga kali."

   Mendengar itu, Ong Kang tertawa lebar dan merasa geli.

   "Pemuda ini tentunya ayam cilik yang baru menetas, dengan ilmu silat Kim-kong-san-jiu aku telah menggetarkan dunia persilatan dan selamanya tidak pernah memakai senjata, sebaliknya ia malahan menyuruhku mengeluarkan senjata, sungguh tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit,"

   Demikian ia berpikir.

   "Kau boleh tanya paman-paman dan mamak-mamak yang ada di sini, kapan pernah mendengar aku, Ong Kang, menggunakan senjata?"

   Katanya kemudian sambil tertawa terpingkal-pingkal.

   "Seranglah dengan sepasang pedangmu sebisanya, boleh coba apakah aku bisa menerimanya?"

   Melihat lagak orang, Tiong-bing menjadi mendongkol.

   "Terlalu pagi untukmu tertawa, nanti kalau sudah terang siapa yang kalah atau menang, waktu itu bila kau masih bisa tertawa, itulah kau betul-betul orang gagah,"

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Katanya menyindir.

   "Baik kalau kau tidak memakai senjata, Siauya pun melayanimu dengan tangan kosong."

   Habis berkata, ia lolos sepasang pedangnya dan ia timpukkan ke tembok gunung, segera pecahan batu bercipratan, kedua pedang itu ternyata amblas masuk sampai dekat gagangnya.

   "Nah, kini aku pun tidak bersenjata, kau tak perlu kuatir lagi bukan?"

   Kata Tiong-bing pula.

   "He, kenapa kau masih belum mau menyerang? Kau mau berkelahi atau tidak?"

   Melihat Kui Tiong-bing menunjukkan tenaga menimpuk pedang tadi, orang-orang yang menyaksikan menjadi terkejut.

   Walaupun mereka sudah menyaksikan caranya menempur Ciau Tit dan Ang Tui tadi, tetapi mereka lebih-lebih tahu betapa lihainya Ong Kang.

   Mereka pikir sekalipun Kui Tiongbing melawannya dengan senjata masih belum tentu bisa mengunggulinya, kenapa ia berani begitu sombong dan jumawa, dengan usianya yang masih begitu muda, malahan berani menempur tokoh ternama dari dunia persilatan dengan tangan kosong? Boh Wan-lian juga menyaksikan di antara orang-orang itu, ia lihat semua orang pada bisik-bisik dengan wajah mengunjuk rasa kuatir, sedang tadi waktu Ong Kang maju ke depan, lagaknya begitu angkuh.

   Ia tahu tentu orang ini adalah pemimpin mereka, tentu memiliki ilmu silat yang luar biasa.

   Karena itu, tanpa terasa ia telah maju beberapa tindak ke depan.

   "Lekas panggil kembali kakakmu itu,"

   Kata Loh-tayling-cu pada Boh Wan-lian karena disangkanya ia adalah puteri Ciok Thian-sing.

   "Orang ini mempunyai Gwakang sudah sampai puncaknya, Kim-kong-san-jiu miliknya itu tiada tandingannya di kolong langit. Biar Leng-tayhiap saja yang melayaninya mungkin masih bisa mengimbanginya."

   Mendengar kata-kata Loh-taylingcu, mula-mula Wan-lian agak terkejut, tetapi sehabis penuturannya, barulah ia merasa lega. Pikirnya.

   "Ilmu silat Tiong-bing terpaut tidak banyak dengan Leng Bwe-hong, orang ini bilang Leng Bwe-hong dapat menandinginya, kalau begitu, sekalipun Tiong-bing bakal kalah, sedikitnya bisa bertahan untuk beberapa saat, tatkala itu, Leng Bwe-hong tentu sudah bisa membereskan kedua lawannya."

   Walaupun demikian, dalam hati ia masih berdebar-debar.

   Karena kasih sayangnya, ia menjadi begitu memperhatikan nasib pemuda itu, tanpa terasa setindak demi setindak ia maju mendekati kalangan pertempuran.

   Waktu itu semua orang tengah memperhatikan cara bagaimana Kui Tiong-bing menempur lawannya hingga tiada yang memperhatikan Boh Wan-lian.

   Walaupun Loh-taylingcu mengetahui, tetapi La melihat tangan kanan Wan-lian menggenggam kencang seperti menyembunyikan senjata rahasia.

   Ia pikir, biar dia maju, kalau keadaan memaksa dan harus memberi bantuan juga tidak jelek.

   Apalagi di pihak sana tiga jago sudah maju semua, andaikan ia maju membantu si pemuda baju kuning, dengan tiga lawan tiga juga belum melanggar janji tadi.

   Sementara itu demi mendengar Tiong-bing bilang hendak memberi serangan tiga kali lebih dulu, Ong Kang tak tahan amarahnya.

   "Dengan sekali pukulanku, kalau kau tak terpukul hancur lebur, itulah baru mukjijat,"

   Demikian pikirnya.

   "Eh, kenapa masih belum turun tangan? Apa kau hendak meninggalkan pesanmu yang terakhir?"

   Ejek Tiong-bing lagi.

   Gusar sekali Ong Kang, ia menubruk maju sambil menggeram, ia pentang tangannya yang lebar bagai kipas dan membawa angin tajam segera memukul pelipis Tiong-bing.

   Tapi sedikit mengegos Tiong-bing sudah bisa menghindarkan serangan itu.

   Cepat Ong Kang menyerang pula hingga beruntun Tiong-bing mundur tiga tindak, ia masih bisa mengelakkan semua serangan musuh.

   Karena serangannya tak berhasil, tiba-tiba Ong Kang melompat maju, kedua telapak tangannya berubah menjadi kepalan terus menghantam, berbareng dengan tipu 'Ji-kuipak- mui' atau dua setan menggedor pintu, ia menonjok kedua belah pipi Kui Tiong-bing.

   Serangan itu begitu cepat laksana kilat, sampai Loh-taylingcu berseru kaget, hati Boh Wan-lian ikut berdebar-debar pula, ia memejamkan mata tak berani memandang lagi.

   Waktu itu, semua orang yang menyaksikan pertempuran itu menduga Kui Tiong-bing tentu akan celaka, tak tahunya gerakan Tiong-bing begitu cepat dan aneh, dengan licin sekali pada saat yang paling berbahaya mendadak ia menundukkan kepala dan menerobos pergi di bawah tangan Ong Kang.

   "Aku sudah bilang memberi kau kesempatan memukul dulu tiga kali, nah, bukankah itu tadi sudah terjadi?"

   Teriak pemuda itu.

   Tiong-bing berlatih 'Tay-lik-eng-jiau-kang' sejak kecil pada ayah-angkatnya, Kui Thian-lan.

   'Tay-lik-eng-jiau-kang' dengan 'Kim-kong-san-jiu' sifatnya serupa, ia pernah mendengar cerita ayah-angkatnya bahwa ilmu silat 'Nge-kang' itu mengutamakan serangan-serangan secara beruntun sekaligus, yang di-kuatirkan ialah kalau serangan itu belum bisa menundukkan musuh, maka itu berarti menurunkan semangat.

   Lebih jauh Kui Tiong-bing mengandalkan dirinya sejak kecil hidup di antara lereng gunung dan berkawan kera-kera, bakat ilmu mengentengkan tubuhnya sudah sampai puncaknya, maka dengan sengaja ia mengeluarkan kata-kata tadi untuk membuat gusar lawannya, beruntun ia berkelit tiga kali untuk menurunkan lagak sombong musuh.

   Sekalipun begitu, pundaknya masih kena tersapu oleh angin pukulan Ong Kang hingga terasa panas pedas.

   Kui Tiong-bing sudah matang meyakinkan ilmu silat luar-dalam, kalau guru silat biasa mengetoknya dengan palu tidak akan membuat sakit padanya.

   Maka rasa panas pedas tadipun membuatnya terperanjat, barulah ia percaya ilmu silat Ong Kang memang lain daripada yang lain.

   Sebaliknya Ong Kang tidak tahu bahwa Kui Tiong-bing telah merasakan lihainya pukulan tadi, ia lihat orang betul-betul bisa mengelakkan tiga kali serangannya, betul juga perbawanya banyak berkurang, ia tak berani gegabah lagi.

   ia terkejut dan juga gusar, dengan tangan kiri melindungi dada, tangan kanan segera memukul lagi ke dada Kui Tiong-bing, ia menggunakan pukulan yang paling hebat dari Kim-kong-san-jiu.

   Merasakan ada tenaga yang luar biasa besarnya menyerang dada, di sinilah Tiong-bing mengunjukkan keperkasaannya, ia meloncat naik, dengan Tay-lik-eng-jiaukang, tangannya mencakar Ong Kang.

   Waktu itu kedua tangan Ong Kang justru sedang memukul berbareng, keruan saja mereka kebentur, dengan sekali gertak, sepuluh jari Kui Tiong-bing seperti gaetan besi telah mencengkeram pergelangan tangan Ong Kang.

   Lekas Ong Kang membalikkan telapak tangannya, ia gunakan gaya membanting dari Kimkong- san-jiu, tangannya diangkat ke atas, tahu-tahu tubuh Tiong-bing terangkat naik.

   Dalam keadaan demikian soal tenaga, ia sudah kalah lebih dulu karena badannya terapung, akan tetapi untuk kedua kalinya ia mengeluarkan serangan yang aneh, dengan gerakan paling hebat dan membawa resiko tibatiba ia rmendoyong ke belakang, segera kaki kiri memancal dada Ong Kang.

   Karena gerakan Kui Tiong-bing yang luar biasa ini Ong Kang mengangkat tubuh OTang sekuat tenaganya, sekonyong-konyong Tiong-bing mengendorkan cekalannya, dengan sekali jumpalitan ia melompat pergi hingga beberapa tombak jauhnya.

   Pada waktu Tiong-bing menyerang secara aneh tadi, Ong Kang terpaksa menekuk tubuhnya ke bawah untuk berkelit, walaupun dadanya luput dari tendangan, tidak urung pahanya kena didepak hingga ia terguling pergi jauh.

   Setelah menancapkan kakinya kembali, Tiong-bing melihat tangannya yang kena dipegang Ong Kang tadi luka lecet dan berdarah.

   Sebaliknya sesudah Ong Kang bangkit kembali dan melihat tangannya gosong seperti terbakar dan ada bekas sepuluh garis merah.

   Kedua orang sama-sama terkejut, masing-masing tidak menyangka kekuatan lawan begitu hebat.

   Walaupun sama-sama merasakan lihainya lawan, tetapi bagi pihak penonton, Kui Tiong-bing telah berhasil menghindarkan serangan bahaya tadi dengan ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi, sebaliknya Ong Kang harus berguling ke tanah, terang Ong Kang sudah kalah satu jurus.

   Keruan semua orang tercengang heran.

   Tadinya mereka memandang rendah Kui Tiong-bing, tetapi kini mereka menjadi kagum.

   Sejak namanya 'terdaftar' di antara orang-orang gagah, belum pemah Ong Kang menemukan tandingan yang begitu kuat seperti Tiong-bing, sama sekali tak diduganya bisa terjungkal di tangan seorang 'bocah cilik' yang belum terkenal.

   Kini ia tak berani memburu kemenangan lagi, ia mengambil tempat yang baik, ia mengumpulkan tenaga dalam Kim-kongsan- jiu yang lihai, ia menyerang sambil berjaga untuk melayani Tay-lik-eng-jiau-kang milik Kui Tiong-bing.

   Dengan begitu, maka keadaan lantas berubah.

   Kekuatan masing-masing memang terpaut tak banyak, Ong Kang sudah malang melintang di kalangan Kangouw lebih tiga puluh tahun, entah sudah berapa banyak orang kosen yang ia hadapi, kekayaan pengalamannya tentu Kui Tiong-bing tak bisa menandinginya.

   Maka sesudah ia ganti siasat dengan berlaku tenang, ia menunggu kesempatan hingga Kui Tiong bing dipaksa di pihak terserang, mereka bergebrak dengan cepat dan begitu memukul segera ditarik kembali, sama-sama tak berani lengah sedikitpun.

   Menurut penglihatan jago-jago yang menonton, meski tubuh mereka tidak kebentur, tetapi dibanding pukulanpukulan berbahaya tadi kini lebih mendebarkan hati.

   Sesudah lama, pelahan-lahan Tiong-bing mulai merasa payah, mendadak ia membentak, ia mengincar datangnya kedua tangan lawan, sekonyong-konyong kedua telapak tangannya pun diulur berbareng, empat tangan beradu lagi dan masing-masing terpental mundur beberapa tindak.

   Kesempatan itu digunakan Tiong-bing untuk merubah cara bertempur.

   Waktu Ong Kang menubruk maju lagi, tiba-tiba gerakan Tiong-bing sudah lain, angin pukulannya tidak sekeras tadi, tetapi tiap gerakannya tersembunyi kekuatan besar yang tak kelihatan, sedikit Ong Kang kena senggol segera dirasakan tangan lawan begitu lemas bagai kapas, namun membawa tenaga sangat besar yang balik menyerang.

   Keruan ia sangat terkejut, lekas ia mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk melayani Kui Tiong-bing.

   Pukulan Kui Tiong-bing ini ialah kekuatan dalam dari 'Mi-cio' ditambah kekuatan luar dari 'Eng-jiau-kang'.

   Ayah-angkat Kui Thian-lan selain paham ilmu 'Eng-jiau-kang' dari perguruan sendiri juga telah meyakinkan 'Mi-cio' atau tangan kapas selama dua puluh tahun lebih dari kaum Lwekeh.

   Di dunia persilatan, orang yang meyakinkan ilmu luar-dalam hanya dia seorang.

   Dan nyata Kui Tiong-bing kini sudah mewarisinya.

   Dengan 'Mi-cio' Kui Tiong-bing bisa meremas batu menjadi tepung, ditambah 'Tay-lik-eng-jiau-kang' untuk menempur 'Kim-kong-san-jiu' milik Ong Kang sebenarnya mudah baginya untuk memperoleh kemenangan.

   Tetapi keuletan dan pengalaman Ong Kang sudah sampai puncaknya, 'Kim-kongsan- jiu' Ong Kang dapat dimainkan sesuka hatinya, sebaliknya meski Tiong-bing memiliki ilmu silat yang paling wahid, namun kalah dalam hal pengalaman, maka dengan kombinasi dua rupa pukulan hanya sekedar bisa berimbang saja.

   Pertarungan Leng Bwe-hong melawan kedua bersaudara Sin pun sudah sampai puncaknya, pedang Bwe-hong makin lama makin cepat, kedua bersaudara Sin didesak sampai basah keringat, tetapi mereka pun.

   mengeluarkan seluruh kemahirannya, dengan serangan-serangan paling lihai dari 'Go-kau-kiam-hoat', kerj a-saraa mereka begitu rapat tak tembus angin.

   Walaupun begitu toh mereka masih kewalahan, ilmu pedang Leng Bwe-hong adalah warisan ahli pedang paling wahid, setiap gerak-geriknya selalu di luar dugaan orang.

   Pertempuran Thian-san-kiam-hoat Leng Bwe-hong melawan Go-kau-kiam-hoat yang terkenal dari kedua bersaudara Sin sebenarnya adalah pertandingan yang jarang diketemukan di dunia persilatan, akan tetapi tampil kemukanya Kui Tiong-bing telah membikin hilang perhatian para penonton.

   "Pertandingan pedang semacam ini sungguh susah diketemukan selama hidup!"

   Kata Loh-taylingcu kagum.

   "Cuma sayang pertunjukan baik hari ini terlalu banyak, pertandingan Cio-hoat di sebelah sana lebih-lebih adalah pertunjukan yang jarang dalam dunia persilatan, sungguh sayang aku tidak tumbuh sepasang mata lebih banyak."

   Begitulah ia pandang Leng Bwe-hong, tak tertahan pula ia melihat Kui Tiong-bing.

   Tetapi akhirnya seluruh perhatiannya ditumplekkan pada pihak Kui Tiong-bing yang sedang menempur Ong Kang.

   Jago-jago yang berada di situ agaknya sama penasaran.

   Ini bukan tanda bahwa Cio-hoat Kui Tiong-bing lebih mengagumkan daripada Kiam-hoat Leng Bwe-hong, tapi disebabkan karena Kui Tiong-bing adalah 'bocah' yang baru muncul, sedang yang dihadapi sebaliknya adalah jagoan yang sudah ternama, malahan menurut pandangan para jago itu, walaupun tampaknya berimbang tetapi ilmu silat Kui Tiongbing lebih tinggi.

   Mengenai Leng Bwe-hong melawan kedua bersaudara Sin, sungguhpun mereka bertahan dengan Go-kau-kiam-hoat secara luar biasa, tetapi mereka pun kenal Leng Bwe-hong yang tersohor di daerah barat-laut, mereka tak berani memastikan pihak mana yang bakal menang, tapi seumpama Leng Bwe-hong yang menang masih kurang menarik dan mengherankan bagi mereka daripada Kui Tiong-bing.

   Begitulah tengah para jagoan itu penuh perhatian menyaksikan pertempuran seru antara Kui Tiong-bing dan Ong Kang, di sebelah sana Leng Bwe-hong melawan kedua bersaudara Sin juga sudah sampai saat yang menentukan.

   Waktu itu Sin Thian-pa sedang menyerang dengan tipu 'Hing-kang-cat-tau' atau memotong dari samping, ia memotong pinggang orang, bermaksud membendung serangan Leng Bwe-hong yang bertubi-tubi.

   Tetapi Bwe-hong tidak gampang kecun-dang, sedikit mengegos ia sudah meluputkan diri dari serangan itu, berbareng pedang di tangan tidak menjadi kendor, tiba-tiba Thian-pa nampak pedang Leng Bwe-hong menyambar ke lehernya secepat kilat, sungguh bukan main kejut Thian-pa, lekas ia menjatuhkan diri ke bawah, berbareng ia hendak menyerang pula dengan 'Tiangcoa- jiau-jiu' atau ular panjang membelit pohon, ia hendak memotong kedua kaki Bwe-hong, siapa tahu baru ia bergerak, tahu-tahu dengan cepat sekali Bwe-hong sudah mendahului menendang dengan tipu 'Swan-hong-sau-hio' atau angin puyuh menyapu daun, tanpa ampun lagi kedua tulang kakinya kena disapu patah.

   Dalam pada itu sepasang gaetan Sin Thian-hou telah menyerang dari belakang, Leng Bwe-hong tertawa dingin, tubuhnya mengegos cepat terus memutar, ia bisa menghindarkan serangan membokong itu, tidak berhenti sampai di situ, begitu membalik ia barengi dengan memukul.

   Karena luput serangannya dan belum sempat Thian-hou ganti haluan, tahu-tahu dadanya sudah terpukul oleh Leng Bwehong, ia terhuyung-huyung mundur, mendadak pedang Bwehong sudah sampai di mukanya pula, dalam keadaan jiwanya terancam itu tanpa pikir lagi ia mengangkat tangan buat menangkis, maka terdengarlah suara "krak", lima jari tangannya sudah jatuh tertabas, ia menjerit ngeri, gaetannya pun jatuh, sementara Leng Bwe-hong tidak me-ngendorkan pedangnya, ia menikam kuat, segera Sin Thian-hou tertusuk tembus.

   Waktu para jagoan berpaling dan mengetahui Leng Bwehong dengan cepat sudah membereskan kedua lawannya, mereka menjadi saling pandang terkejut.

   Tetapi yang paling terkejut dan menjadi gugup adalah Ong Kang.

   Waktu itu Kui Tiong-bing makin lama makin perkasa.

   Ong Kang tak berani mengulur waktu lagi, tiba-tiba timbul muslihat jahatnya, ia pura-pura menyerang.

   Tiong-bing terpaksa menangkis cepat, tetapi mendadak Ong Kang maju ke depan, ia papaki pukulan itu dengan pundak kirinya, hingga tepat kena dipukul oleh Kui Tiong-bing, tetapi pada kesempatan itu juga ia sudah melompat maju, kelima jarinya bagaikan cakram menyengkal pergelangan tangan Kui Tiong-bing terus dibetot sekuat tenaganya.

   Nyata dengan spekulasi kena gebukan itu, Ong Kang menggunakan Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara menawan dan memegang hendak menawan Kui Tiong-bing.

   la telah menyaksikan kedua bersaudara Sin sekaligus dibinasakan Leng Bwe-hong, ia insyaf bukan tandingan orang, maka Tiong-bing hendak ditawannya sebagai barang jaminan.

   Tak terduga olehnya meski pengalaman Tiong-bing masih cetek hingga terjebak, namun berkat ilmu silatnya yang hebat, dalam keadaan bahaya itu ia bisa berlaku tenang, tangan yang kena dipegang Ong Kang tadi ia tarik hingga sekeras besi, sungguhpun belum bisa lepas dari cekalan orang, tetapi Ong Kang tak sanggup membetotnya.

   Sementara tangan kiri Tiong-bing tak menganggur, ia menjotos cepat.

   "Plak', dagu Ong Kang tepat kena ditoyor hingga darah menciprat, kedua baris gigi depannya ikut copot dan sakitnya meresap tulang. Ong Kang melepas tangan terus melompat mundur. Dalam pada itu saking memperhatikan Kui Tiong-bing, sejak tadi Boh Wah-lian telah bergeser ke depan, dan ketika dilihatnya Tiong-bing terancam maut, tanpa pikir ia memburu maju, dan saat itulah kebetulan Ong Kang melompat mundur dan berpapasan dengan Boh Wan-lian. Keruan Ong Kang amat girang, mendadak ia menubruk si gadis, lekas Wan-lian sambut serangan itu dengan 'Toat-bengsin- soa' atau pasir sakti pencabut nyawa yang sudah disiapkannya sejak tadi. Namun sama sekali Ong Kang tak berkelit hingga semua pasir beracun itu masuk dagingnya, ia masih terus menubruk maju, dan karena tak menduga akan keberanian musuh, Wan-lian tertegun dan pergelangan tangannya kena dipegang dan dipencet Ong Kang terus tubuhnya diangkat serta dipakai sebagai senjata sambil diayun-ayunkan, sebenarnya Kui Tiong-bing sudah menggenggam senjata rahasia Kim-goan, terpaksa ia urung menimpuknya.

   "Lepaskan dia, aku akan mengampuni jiwamu!"

   Seru Tiong-bing sambil mengudak di belakang Ong Kang yang telah melarikan diri sambil menggondol Boh Wan-lian itu.

   Tapi Ong Kang tak menghiraukan teriakan itu, ia tertawa sinis dan masih berlari terus dengan cepat.

   Terpaksa Tiong-bing mengejar lebih kencang setelah menyambar sepasang pedangnya yang menancap di batu tadi.

   Segera Leng Bwe-hong pun menyusul dan diikuti semua orang yang ingin tahu bagaimana kejadian selanjurnya.

   Tapi karena Boh Wan-lian jatuh dalam cengkeraman Ong Kang, maka tiada seorang pun yang berani memakai kekerasan senjata.

   Maka sekejap saja kejar mengejar itu sudah melintasi dua lereng gunung, tiba-tiba di depan mereka terbentang kolam yang lebar, terdengar suara gemericiknya air, air terjun menggerujuk dengan kerasnya dan di bawahnya berwujud satu kolam yang lebar, di pinggir kolam itu ada sebuah goa, air yang menggerujuk itu bercipratan terkena batu-batu padas di bawahnya hingga berwujud sebuah tirai air yang mengalingi goa itu.

   


Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Kereta Berdarah -- Khu Lung /Tjan Id

Cari Blog Ini