Pendekar Pemetik Harpa 33
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 33
Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen
Bayangan In San sudah tidak kelihatan, derap lari kuda juga tidak terdengar, perasaan Tan Ciok-sing seperti diganduli barang berat, dia kuatir Ginkang In San tidak kuasa mengejar cepatnya lari kuda.
Di kala jantungnya berdebar-debar itu, angin lalu menghembus agak kencang, Lwekang Tan Ciok-sing amat tangguh, pendengarannya amat tajam, sayup-sayup dia seperti mendengar jeritan menyayat hati yang terbawa angin.
Tersirap darah Tan Ciok-sing lekas dia berteriak.
"Adik San, bagaimana kau?"
Dia menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang, dia perkirakan umpama In San berada dalam tiga atau lima li pasti mendengar teriakannya.
In San mengudak ke atas gunung, jikalau dihitung jarak dalam tanah datar, dia pergi kira-kira setengah jam lamanya, jarak yang ditempuhnya kira-kira sejauh itu.
Dengan seksama dia pasang kuping menunggu jawaban In San.
Sedikit seperti setahun, berapa risau hatinya, sungguh umpama menunggu sedetik seperti setahun.
Alam semesta hening lelap, tidak terdengar reaksi In San.
Bagaimanakah pengalaman In San? Apa yang dialaminya? Kuda-kuda penarik kereta Yu-hian-ong rata-rata adalah kuda kilat yang dapat lari seribu li sehari, kalau di siang hari, betapapun tinggi Ginkang In San jangan harap bisa mengejar.
Untung sekarang malam, baru saja turun hujan.
Jalanan gunung licin dan becek, tidak rata lagi.
Walau kuda ini kuda perang yang sudah dilatih sedemikian rupa, namun lari di malam gelap, dia masih bisa menghindari bahaya, langkahnya pun teramat hati-hati.
Karena itu daya kecepatannya menjadi agak berkurang bila dibandingkan berlari di tanah datar.
In San mengembangkan Pat-pou-kan-sian Ginkang delapan langkah mengejar tonggeret, makin lama jarak kedua pihak makin dekat, tiba-tiba dia bersuit panjang sembari melolos golok peninggalan ayahnya, katanya.
"Mohon ayah melindungi di alam baka, semoga anak dapat menuntut balas dengan golok pusakamu ini."
Serasa terbang arwah Liong Bun-kong saking ketakutan, serunya gemetar.
"Nona In, mohon kau suka pandang muka ibumu."
In San lebih gusar, semprotnya.
"Berani kau mengungkat ibuku, akan kutambah sepuluh bacokan di atas badanmu."
Karuan nyali Liong Bun-kong serasa pecah, kuda dilecut berulang kali sekeras tangannya mengayun cambuk, tapi jalanan memang terlalu licin, betapapun kuda tak berani menancap gas lari sekencang biasanya di siang hari.
Dalam pada itu dari arah berlawanan yang jauh sama terdengar serombongan kuda dari tentara Watsu sedang dicongklang ke arah sini, lekas sekali Liong Bun-kong sudah mendengar derap gegap gempita dari kuda-kuda banyak itu.
In San juga sudah mendengar, lekas dia meraih sebutir batu terus ditimpukkan ke depan, jarak sudah agak dekat, tapi timpukan batunya tidak mencapai sasaran.
Tiba-tiba Liong Bun-kong berteriak sekeras-kerasnya.
"Lekas, lekas kemari, tolong, tolong, lekas tolong aku."
Tibatiba teriakannya berganti jeritan kaget yang mengerikan, ternyata kaki depan kudanya terpeleset, tubuhnya terpelanting ke atas terus ambruk dengan keras, menggelundung turun ke bawah lereng.
Ternyata karena dihujani cambuk kuda itupun menjadi sengit dan kumat sifat liarnya, maklum kuda yang sudah terlatih baik paling tidak suka dicambuk atau banyak diperintah, padahal Liong Bun-kong tidak pandai menunggang kuda lagi, mana dia bisa pegang kendali.
Waktu kuda melompati sebarisan batu-batu tonggak, Liong Bun-kong lantas dilempar dari punggungnya.
In San membentak.
"Lari kemana."
Beberapa kali lompatan jarak jauh dia mengudak ke arah suara berisik, dimana Liong Bun-kong terguling-guling hampir jatuh ke dasar lembah.
Kala itu habis hujan, cuaca cerah, langit membiru, sang putri malam menongol pula memancarkan sinar peraknya, meminjam sinar rembulan In San menemukan Liong Bun-kong rebah di atas tanah, untung tubuhnya tersanggah di atas sebuah batu sehingga tubuhnya tidak menggelinding lebih ke bawah lagi.
"Bangun."
Bentak In San sambil menendang, ternyata Liong Bun-kong tidak bergerak, lekas In San menyulut api, tampak sekujur tubuh Liong Bun-kong cecel dowel penuh luka-luka, darah memenuhi sekujur tubuhnya, waktu dia meraba pernapasannya, ternyata jiwanya sudah melayang.
Sebetulnya kalau hanya terjatuh bergulingan di lereng gunung, jiwanya masih belum mati.
Tapi lantaran dia ketakutan, gugup lagi, setelah jatuh jantungnya pecah dan jiwanya melayang.
Melihat kematian orang yang mengenaskan, In San jadi tidak tega menambahi sekali bacokan.
Golok dia sarungkan kembali, katanya.
"Inilah ganjaran perbuatan jahatmu, tak usah aku membunuhmu pula."
Akhirnya Tan Ciok-sing memperoleh jawaban In San.
"Sakit hati sudah terbalas, lekas kau kemari."
Dengan mengangkat tinggi Yu-hian-ong di atas kepalanya, Tan Ciok-sing angkat langkah seribu, katanya.
"Biarlah Ongya kalian mengantarku dalam jarak tertentu."
Milo Hoatsu gusar, bentaknya.
"Ucapan seorang kuncu laksana kuda dipecut, kau sudah berjanji, kenapa, kenapa ingkar..."
Tang-hay-liong-ong juga gusar, dampratnya.
"Jangan banyak bicara, kalau dia tidak membebaskan Ongya, hayo kita labrak dia bersama."
Tan Ciok-sing sudah mendahului lari puluhan langkah, di belakang Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong mengudak kencang. Tan Ciok-sing sudah pikirkan akal, tiba-tiba dia tertawa tergelak-gelak katanya lantang.
"Janji yang sudah kuucapkan pasti kutepati, biarlah Ongya kuserahkan kepada kalian, nah terimalah."
Di tengah gelak tawanya dia menggentak kedua lengan, tubuh Yu-hian-ong dia lempar jauh ke samping sana.
Tersipu-sipu Milo memburu kesana menangkap tubuh Yuhian- ong.
Tampak tubuh Yu-hian-ong lemas lunglai, tidak bisa bersuara, tapi napasnya masih ada.
Karuan Milo Hoatsu kaget, saking gugup dia tidak pikir apakah Ongya telah dikerjai, bentaknya.
"Kau, kau apakan Ongya?"
"Jangan kuatir,"
Kata Ciok-sing.
"aku hanya menutuk Hiattonya dengan Jong-jiu-hoat, bukan Hiat-tonya yang mematikan."
Milo Hoatsu seorang ahli silat juga, kini dia sudah tahu Yuhian- ong hanya tersumbat Hiat-tonya, tapi belum tahu Hiat-to mana yang tertutuk. Tan Ciok-sing berkata.
"Aku menutuk Hiat-to yang tersembunyi, silakan kalian cari sendiri. Dengan Lwekang kalian, untuk membebaskan tutukan itu pasti bisa tercapai. Tapi perlu aku beritahu, untuk membebaskan Hiat-tonya-harus segera, walau dia tidak akan mati, kalau terlambat mungkin bisa cacat."
Tan Ciok-sing sengaja bermain muslihat pula, maklum kalau Yu-hian-ong dia bebaskan begitu saja, Milo Hoatsu dan Tang-hay-liong-ong jelas tidak akan membiarkan dirinya pergi begitu saja.
Untuk selekasnya membebaskan Hiat-to yang tertutuk, kedua orang ini harus kerja sama membebaskan Hiat-to Yu hian-ong dengan saluran hawa murni menembus Ki-keng-pat-meh, jadi tidak usah satu persatu membebaskan Hiat-to yang tertutuk.
Yang benar, walau Ciok-sing menutuk dengan Jong-jiuhoat, tapi tutukan Hiat-to di tempat sembunyi itu sendiri tidak akan membawa pengaruh apa-apa terhadap Yu-hian-ong, umpama Hiat-tonya tidak dibebaskan, dalam jangka dua belas jam juga akan bebas sendiri, jadi tidak akan menjadi cacat seperti yang dikatakan Ciok-sing, perkataan Ciok-sing tadi hanya untuk menggertak musuh belaka.
Bagi Milo Hoatsu dia harus percaya daripada mengabaikan keselamatan jiwa Yu-hian-ong.
Kuatir Tang-hay-liong-ong terburu ingin menuntut balas, lekas dia menarik lengannya katanya.
"Marilah kita bebaskan dulu Hiat-to Ongya."
Sembari bekerja menembus Ki-keng-pat-meh, Tang-hay- Iiong-ong menyatakan isi hatinya.
"Setiba di negerimu ini, sepantasnya aku setia kepada Khan Agung dan Ongya. Jangan kuatir bocah keparat itu tidak akan lari jauh, nanti kita bisa membuat perhitungan lagi."
Setelah menyarungkan goloknya, In San tendang jenazah Liong Bun-kong sehingga menggelundung ke dasar lembah, serunya berdoa.
"Ayah, sakit hatimu sudah terbalas malam ini, semoga di alam baka kau bisa tentram."
Baru dia putar badan hendak bertemu dengan Ciok-sing, tiba-tiba didengarnya seorang membentak.
"Budak bangsat, mau lari kemana kau?"
Lenyap suaranya orangnyapun menubruk tiba.
"sret"
Senjatanya menusuk Hong-hu-hiat di punggung In San.
Mendengar senjata membelah angin, In San tahu penyerang ini seorang tangguh.
Lawannya ini bukan lain adalah Poyang Gun-ngo.
Mendengar jeritan Liong Bun-kong lekas dia mendahului menyusul datang, barisan besar masih jauh ketinggalan di belakang.
Dengan gerakan Hong-biau loh-hoa-sin-hoat sambil berkelit In San balas menyerang tanpa menoleh.
"sret"
Pedangnyapun menusuk.
Tusukan pedang Poyang Gun-ngo mengenai tempat kosong, tahu-tahu ujung pedang In San sudah mengancam Hian-ki-hiat di dadanya.
Lekas Poyang Gun-ngo menahan napas menarik dada, gerak pedangnya menyimpang dirobah babatan ke bawah menyerampang kedua kaki In San.
Dalam gebrak pertemuan ini, kedua pihak sudah serang menyerang, sama-sama menyerang sekaligus memunahkan serangan lawan.
In San cabut golok peninggalan ayahnya, golok di tangan kiri pedang di tangan kanan, bentaknya.
"Biar aku adu jiwa dengan kau."
Permainan goloknya diselingi gerakan pedang, demikian pula sebaliknya, serangan pedangnya diselingi rangsakan golok, gerakannya aneh liehay dan mendadak pula sehingga Poyang Gun-ngo kena didesak mundur. Lekas Poyang Gun-ngo berteriak.
"Hayo kalian lekas kemari."
Pada saat itulah, suitan nyaring Tan Ciok-sing di puncak gunung sudah terdengar mereka disini.
Tan Ciok-sing menggunakan ilmu Joan-im-jip-bit, mendengar suitan itu, Poyang Gun-ngo amat kaget, genderang kupingnya seperti tergetar pecah, dia kira Tan Ciok-sing tak jauh di sekitar sini.
Pertarungan jago kosen mana boleh perhatian terpencar, apalagi gugup dan gelisah? Sekuat tenaga Poyang Gun-ngo merangsak tiga serangan, maksudnya mendesak lawan mundur supaya awak ada kesempatan melarikan diri.
Tak nyana pedangnya tidak mampu menusuk lawan karena serangan sudah kebacut.
"sret"
Pedang ln San tiba-tiba menyelonong tiba menusuk dari arah yang tidak terduga, dada Poyang Gun-ngo tertusuk telak, kembali In San mengetuk dengan punggung goloknya, kontan Poyang Gun-ngo kena dirobohkan menggelinding ke bawah lereng mengejar arwah Liong Bun-kong.
Terdengar kawanan Wisu di bawah lereng berteriak kaget dan takut.
"Haya, itulah Poyang Ciangkun yang menggelinding jatuh."
"Waduh celaka, Poyang Tayjin terluka, lekas, lekas keluarkan obat."
"Ha tidak, celaka, tidak berguna lagi. Poyang Tayjin sudah mati."
Kawanan Wisu menjadi geger. Tan Ciok-sing tengah gelisah, tiba-tiba didengarnya In San berteriak.
"Toako, maaf bikin kau menunggu."
Dari suaranya Tan Ciok-sing merasakan hawa murninya kurang kuat, tanyanya kaget.
"Adik San, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa aku sudah menuntut balas sakit orang tua, Poyang Gun-ngo juga kubunuh."
Secepat angin lesus dia lari ke hadapan Tan Ciok-sing, entah karena terlalu lelah, atau karena kegirangan, langkahnya tiba-tiba sempoyongan dan jatuh kedalam pelukan Tan Ciok-sing. Pada saat itulah seorang mendadak membentak beringas.
"Kalian telah membunuh Liong-tayjin masih mau lari?"
Seorang membentak dengan bahasa Mongol.
"Kalian berani mengganas di Holin, Lolap tidak akan memberi ampun kepada kalian."
Suaranya keras berisi dan memekak telinga, jelas kedua orang ini bukan lain adalah Tang-hay-liong-ong dan Milo Hoatsu yang telah menyusul datang setelah menolong Yuhian- ong.
"Jangan gugup adik San,' biar kita adu jiwa dengan mereka."
Bujuk Tan Ciok-sing menentramkan perasaan In San. In San genggam tangannya, katanya tandas.
"Aku sudah menuntut balas, asal berada bersama kau, mati atau hidup sudah tidak peduli lagi, hatiku tetap riang."
Lahirnya saja Tan Ciok-jinj menghibur In San, pada hal hatinya sudah putus asa.
Maklum meski Lwekangnya belakangan maju pesat, tapi masih bukan tandingan Tanghay- Iiong-ong, apalagi lawan ditambah Milo Hoatsu yang setaraf dengan Tang-hay-Iiong-ong.
Di kala menghadapi mati atau hidup, timbullah cinta sejati.
In San malah tidak menghiburnya, tekadnya sudah besar untuk gugur bersama, beberapa patah perkataannya tadi sudah merupakan pernyataan tegas melebihi rangkaian katakata mutiara yang tiada artinya.
Memperoleh dukungan batin, meski menghadapi lautan api juga Tan Ciok-sing berani menantangnya.
Diapun genggam tangan In San, katanya perlahan.
"Adik San, kau benar, bila kita bersama, entah mati atau hidup, hatikupun amat senang."
Tang-hay-Iiong-ong sudah muncul di hadapan mereka sambil menenteng sepasang senjatanya yang berat.
Sementara Milo Hoatsu memilih kedudukan yang lebih menguntungkan, dia mengawasi dari samping, sikapnya santai, yang terang dia sudah mencegat jalan mundur Tan Ciok-sing berdua.
Setahun ini Tang-hay-Iiong-ong sudah memikirkan cara untuk memecahkan gabungan sepasang pedang mereka, kini dia yakin dirinya sudah mampu mencapai kemenangan, pikirnya.
"Sejak mereka menerjang keluar dari Onghu, In San budak ini baru saja mengalami pertempuran, tenaganya jelas banyak terkuras. Titik kelemahan inilah yang akan kucecar, memangnya tak mampu mengalahkan mereka?"
Memang muluk rencananya jikalau tanpa bantuan Milo Hoatsu dia berhasil menangkap kedua pembunuh ini dan diserahkan kepada Khan besar, bukankah namanya akan lebih disegani.
Ternyata Milo Hoatsu juga punya perhitungannya sendiri, di Pakkhia, dua kali dia pernah bentrok dengan Tan dan In, dia tahu benar betapa hebat permainan sepasang pedang mereka, kali ini dia terima berdiri di samping menjadi penonton saja, biar Tang-hay-Iiong-ong terjun pada babak pertama, bila tenaga kedua pihak sudah terkuras, dengan mudah dirinya akan menyerap keuntungan.
Diluar tahu Tang-hay-Iiong-ong, ternyata perhitungannya meleset, benar setahun ini ilmu silatnya maju pesat, tapi Tan dan In juga tidak ketinggalan, kemajuan Tan Ciok-sing malah jauh lebih hebat.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Permainan sepasang pedang mereka kini semakin serasi, hidup dan senyawa, meski masing-masing bersilat sendiri-sendiri, namun permainan mereka menuruti rel sehingga kerja sama mereka teramat rapat dan tiada titik kelemahannya.
Sepasang gaman berat Tang-hay-Iiong-ong memang mempunyai perbawa hebat, sedahsyat gemuruh guntur, sehebat tindihan gugur gunung, sinar pedang seperti menyala benderang, bianglala laksana kilat menyamber.
Terdengar "Tring"
Sekali, kembang apipun berpijar, pedang mustika Tan Ciok-sing telah membentur gaman di tangan kiri Tang-hay- Iiong-ong, ujung pedang mendadak membal balik bergabung dengan gaya pedang In San membentuk satu lingkaran besar sehingga Tang-hay-Iiong-ong seperti terbungkus didalam sinar pedang.
Begitu senjata beradu, sebetulnya Tang-hay-Iiong-ong hendak menindih pedang Tan Ciok-sing, tak nyana daya membalnya begitu cepat dan keras sehingga tusukan gaman kanannya ke arah In San mengenai tempat kosong, karuan kejutnya bukan main, pikirnya.
"Bukan saja Kiam-hoat bocah ini makin liehay, Lwekangnya ternyata juga maju pesat."
Mendadak Tang-hay-Iiong-ong menghardik, sepasang senjatanya bekerja sekaligus menusuk ke arah In San, denggn enteng In San berkelebat melayang kesana, dia kembangkan Joan-hoa-yau-jiu-sin-hoat, sebat sekali dirinya sudah berkisar pada posisi lain.
Dalam waktu yang sama, pedang Tan Cioksing laksana pelangi tahu-tahu dari sela-sela sepasang gaman lawan menusuk dada.
"Serangan bagus."
Hardik Tang-hay-Iiong-ong, tusukan dia robah menjadi menangkis.
Sepasang gamannya melintang dengan gerakan Heng-hun-toan-hong, secara kekerasan dia hendak menggempur hancur pedang lawan.
Tapi pada detik itu, In San telah menerjang maju pula, ujung pedangnya memancarkan bintik sinar gemerlap menusuk Hong-hu-hiat di punggung Tang-hay-Iiong-ong.
Mata dan kuping Tang-hay-Iiong-ong dipasang sejeli radar, sudah tentu dia tidak gampang dilukai.
Kungfunya memang sudah mencapai taraf dapat dilancarkan dapat pula ditarik kembali, begitu merasa punggungnya diserang, secara reflek gaman di tangan kiri berputar balik dengan jurus Wi-seng-jianjin, tapi karena itu sepasang gamannya terpaksa dipencar, tekanan yang menindih pedang Tan Ciok-sing dengan sendirinya berkurang, pedang mustika itu mengikis naik terus menusuk, sementara In San melayang lewat, kembali berkisar ke arah lain menyergap pula dari posisi yang berbeda.
Kalau Tang-hay-Iiong-ong tidak gesit dan tangkas melayani perobahan, jari jemarinya hampir terpapas kutung oleh pedang Tan Ciok-sing.
Setelah berlangsung sepuluh jurus Tan Ciok-sing insyaf Lvvekang lawan setingkat lebih tinggi, sepasang senjata lawanpun tidak boleh dipandang ringan, terpaksa dia harus kembangkan ilmu pinjam tenaga menggunakan tenaga tingkat tinggi yang akhir-akhir ini berhasil dipahami, gerak gerik pedangnya lincah dan enteng, dengan mantap dia masih mampu memunahkan seluruh rangsakan lawan.
In San bisa mengikuti permainannya dengan cukup baik, berputar menyergap dan melabrak lawan secara bergerilya, di kala Tang-hay-liong-ong kerepotan menghadapi rangsakan mereka, jurus-jurus pedang permainan mereka sering menyerang dari arah yang tidak terduga mengincar posisi yang tidak mungkin dicapai oleh pesilat umumnya.
Tan dan In merubah permainan pedangnya pula, pedang dan batin bersatu, gerak tubuh bergerak mengikuti gaya pedang, semakin bertempur gerak-gerik mereka semakin lincah, wajar dan mantap.
Dalam beberapa gebrak sekejap itu, beruntun Tang-hay-liong-ong telah mengalami bahaya, kalau lawan tidak kuatir akan sepasang gamannya yang berat, mungkin dia sudah terluka oleh sepasang pedang lawan.
Mau tidak mau terkejut hati Tang-hay-liong-ong, baru sekarang dia sadar, dalam setahun ini, usahanya mencipta suatu cara untuk memecah gabungan pedang lawan ternyata masih belum mampu menandingi kemajuan lawan pula.
Semula Milo Hoatsu berpeluk tangan, pikirnya setelah kedua pihak kehabisan tenaga, baru dia akan terjun ke arena, kini melihat gelagatnya agak buruk, dalam hati dia pikir.
"Jikalau aku tidak turun tangan, Tang-hay-liong-ong tidak akan kuat bertahan seratus jurus, akhirnya pasti Tang-hayliong- ong saja yang terluka parah, jadi bukan gugur bersama."
Betapapun dia adalah seorang guru silat kenamaan, malu kalau main sergap, maka dengan tertawa dia berkata.
"Sugong-heng, aku tahu sepasang senjatamu cukup mampu menandingi sepasang pedangnya, jadi aku tidak usah membantu. Tapi waktu tidak boleh berlarut, menangkap pembunuh adalah penting untuk segera diserahkan kepada Khan besar. Mereka berani membuat keributan di negeriku, jadi aku menjalankan tugas bukan karena dendam pribadi, maka tidak usah kita mematuhi aturan Kangouw segala bukan?"
Dia mencari alasan supaya tidak malu terjun ke arena, sekaligus memberi muka kepada Tang-hay liong-ong pula.
Sayang Tang-hay-liong-ong sedang kececar oleh sepasang pedang lawan, pertempuran sedang mencapai puncaknya, hakikatnya tidak mampu menyambut pernyataannya.
Tan Ciok-sing malah yang menjengek dingin.
"Tadi sudah kutantang kalian maju bersama, berani maju silakan, buat apa cari alasan. Omong kosong melulu."
Milo Hoatsu gusar, bentaknya.
"Bocah sombong, biar kau tahu keliehayanku."
Dari nadanya orang pasti menyangka dia akan melabrak Tan Ciok-sing, tak tahunya dia justru bersuara di timur menggempur ke barat, mendadak jarinya mencengkram ke arah In San.
Dengan harapan sekali labrak tujuan berhasil.
Tak nyana perhitungan yang muluk-muluk ternyata gagal.
Lahir batin Tan dan In sekarang sudah terjalin, gerak pedang merekapun sudah senyawa, di kala menghadapi detik-detik bahaya, semakin memperlihatkan kehebatan dan keliehayan gabungan pedang.
Begitu jarinya luput mencengkram, kesiur angin dingin disertai sinar gemerdep tahu-tahu merangsak ke arah dirinya malah, dari kiri kanan pedang Ciok-sing dan In San mengincar Ih-khi-hiat di ketiak kanan kirinya.
Agak gugup Milo Hoatsu menjentik jari tapi pedang In San tidak berhasil diselentik, namun In San merasa pergelangan tangannya seperti digigit semut, di samping panas ternyata agak linu.
Hanya sedikit pengaruh saja, gerakan pedang mereka sudah tidak serapat dan setangguh semula.
Milo Hoatsu dapat memanfaatkan kesempatan ini, mendadak dia menyelinap maju terus menjejak mundur, berhasil lolos dari libatan sinar pedang lawan.
Cepat sekali gaya pedang Tan dan In berputar arah, dilancarkan belakangan tapi sasaran lain ternyata dirangsak lebih dulu, secara kebetulan mereka menyambut serangan gaman Tang-hay-liong-ong, kecepatan gerak pedang mereka susah dilukiskan dengan kata-kata.
Rangsakan Tang-hayliong- ong, tahu-tahu telah dibendung di tengah jalan.
"Sret, sret"
Dua kali serangan pedang Tan Ciok-sing bantu In San memunahkan sejurus serangan Tang-hay-liong-ong, dengan perlahan dia berkata.
"Di mata ada musuh di hati tiada lawan."
Itulah ajaran inti yang diwariskan Thio Tanhong, maksudnya di waktu menghadapi, meski musuh teramat tangguh, jangan ambil dalam hati, lahir batin harus dipusatkan dan dikonsentrasikan sehingga mencapai taraf lupa akan anlaia musuh dan diri sendiri.
Tapi setiap gerak serangan lawan harus diperhatikan dengan seksama.
Kalau diartikan secara modern pada jaman ini, yaitu di medan laga musuh dipandang ringan, namun dalam strategi perang musuh harus dihargai.
Lekas sekali In San sudah memadukan lahir dan batin, dengan Tan Ciok-sing dia mulai memulihkan posisinya semula, bahkan lebih meyakinkan dan serasi, Siang-kiam-hap-pik dikembangkan mencapai puncaknya.
Tidak memburu menang atau kalah, tidak hiraukan mati dan hidup, tidak peduli nama dan gengsi, segala pikiran dan kekuatiran semua tersingkap dari benaknya.
Karena itu gerak pedang mereka semakin santai, rapat dan lembut laksana air mengalir halus.
Keadaan yang semula terdesak kini telah pulih pada posisi yang lebih mantap.
Pertandingan semakin seru dan seimbang.
Di tengah pertempuran sengit itu mendadak Tang-hay- Iiong-ong merasa Kik-ti-hiat di lengan kanannya sakit seperti ditusuk jarum, sakitnya meresap ke tulang sumsum.
Kiranya Tan Ciok-sing menggunakan cara mengumpul tenaga pada satu titian, menyerang satu titik kelemahan lawan dari ajaran Hian-kang-yau-kek warisan Thio Tan-hong, begitu ujung pedang menyentuh senjata lawan, seumpama ilmu Kek-butthoan- kang.
Walau Tang-hay-Iiong-ong tidak mengalami lukaluka, tapi di saat mengalami sergapan tidak terduga ini, di kala dia mengembangkan tenaga dalamnya sehingga kekuatannya banyak terpengaruh.
Jurus yang seharusnya menyerang In San itu menjadi lemas lengannya, sehingga senjatanya berhasil ditangkis pergi oleh In San.
Tapi cara Ciok-sing ini hanya khusus menghadapi Tanghay- Iiong-ong, maklum gaman Tang-hay-Iiong-ong yang terbuat dari hian-tiat itu paling mudah mengalami tekanan tenaga.
Sebaliknya Milo Hoatsu menggunakan kasa yang lunak, Lwekangnya pun diperuntukkan menandingi tenaga kekerasan, latihannya lebih matang dan murni dari Tang-hay- Iiong-ong.
Tan Ciok-sing tahu kekuatan sendiri, diapun sudah mengukur kemampuan musuh, diduga kalau dia mampu punahkan serangan lawan, maka dia tidak perlu menggunakan caranya itu.
Diam-diam Tang-hay-Iiong-ong mengeluh, batinnya.
"Kalau begini dilanjutkan, setiap mengalami sergapan tenaga dalamku selalu dikorting, akhirnya pasti bakal gugur bersama Tan Ciok-sing, sementara Milo Hoatsu yang memungut keuntungannya."
Meski akibat dari pertempuran ini pihak mereka juga yang mencapai kemenangan, tapi mana mau dia sendiri yang dirugikan?"
Pedang Tan Ciok-sing teramat cepat, dengan gerakan kilat dia menyergap Tang-hay-liong-ong, lalu bergabung pula dengan In San, dengan kerja sama yang semakin manunggal, dengan mudah rangsakan Milo Hoatsu mereka patahkan pula.
Dalam pertempuran sengit itu, hakikatnya Tang-hay-liongong tidak berani pecah perhatian untuk bicara, terpaksa hanya mengerutkan alis atau mengedip mata memberi isyarat kepada Milo Hoatsu.
Mendadak Milo Hoatsu membentak dengan bahasa Mongol.
"Kerahkan setaker tenagamu menghadapi budak ini, jangan hiraukan anak keparat ini."
Tang-hay-liong-ong bimbang, ya berani ya takut, semestinya dia tidak akan berani menyerempet bahaya, tapi kenyataan sekarang dia sudah tidak mampu menghadapi serangan Tan Ciok-sing yang selalu menguras tenaganya, dari pada akhirnya gugur bersama, lebih baik menerima anjuran Milo Hoatsu, dia yakin Milo Hoatsu tidak akan menjebak dirinya sehingga mengalami kerugian yang fatal.
Mungkin dia sudah mempunyai akal yang meyakinkan untuk merobohkan kedua musuh ini."
Demikian batinnya.
Segera Tang-hay-liongong bertindak, dia menubruk ke arah In San, gabungan pedang lawan yang sudah manunggal hakikatnya tidak dihiraukan lagi.
Tan Ciok-sing boleh tidak pikirkan keselamatan jiwa raga sendiri, tapi keselamatan In San tetap menjadi perhatiannya juga.
Dalam saat-saat genting ini, secara langsung kembali dia kerahkan tenaganya pada satu titik menyerang ke satu sasaran di tubuh lawan pula.
Cepat sekali, dalam waktu yang sama Milo Hoatsu pun sudah melontarkan Toa-jiu-in menggablok punggung Tan Ciok-sing.
Kalau Tan Ciok-sing mau menghindar, sebenarnya dia masih sempat meluputkan diri.
Tapi dia lebih mementingkan keselamatan In San, mana hiraukan mati hidup sendiri? "Ting"
Ujung pedang kembali menutul gaman lawan yang berat itu, Tan Ciok-siiig kontan melancarkan serangan mematikan dengan jurus Lam-to-jit-sing, secepat kilat pedangnya menciptakan tujuh kuntum sinar kembang, kebetulan bergabung dengan gaya pedang In San pada puncaknya.
Lwekang Tang-hay-liong ong sudah terkuras sedikit demi sedikit, saat mana seluruh perhatian dan tenaganya dia pusatkan untuk menghadapi In San, mana dia mampu melawan dan menghindar dari tujuh serangan pedang yang mematikan ini.
Terdengar mulutnya menjerit ngeri, didalam sekejap sinar pedang menyamber itu, tubuh Tang-hay-liongong dihiasi tujuh luka-luka pedang.
Dua tempat telak mengenai Hiat-tonya yang mematikan, meski dia memiliki Lwekang ampuh, juga jiwanya susah diselamatkan lagi.
Di tengah jeritan itu badan Tang-hay-Iiong-ong tumbang sekaku balok terus menggelinding ke bawah lembah.
Tapi di waktu Ciok-sing berhasil melukai Tang-hay-Iiongong, punggungnyapun menerima gablokan keras Milo Hoatsu.
Toa-jiu-in Milo Hoatsu khusus untuk menggetar isi perut dan memutus Ki-keng-pat-meh.
Ternyata Milo Hoatsu sengaja mengorbankan Tang-hay-Iiong-ong untuk menyergap lawan merebut kemenangan.
"Huuuaaah". Tan Ciok-sing tumpah darah sebanyakbanyaknya. Bentaknya.
"Biar aku adu jiwa dengan kau."
Membalik tubuh seraya menyerang kalap seganas singa liar. Kaget In San bukan kepalang, teriaknya.
"Toako, kenapa kau?"
Tan Ciok-sing menarik napas panjang, sekuatnya dia bersikap wajar untuk mengelabui musuh bahwa luka-luka dalamnya hakikatnya teramat parah, katanya sambil kertak gigi.
"Tidak apa-apa, lekas lancarkan serangan, ingat di mata ada musuh, dalam hati tiada lawan."
Kejut Milo Hoatsu lebih besar dari In San, baru sekarang dia sadar bahwa Lwekang Tan Ciok-sing bukan saja tangguh juga murni, jauh melebihi dugaannya.
In San singkirkan segala pikiran, menghimpun semangat mengkonsentrasikan pikiran, tanpa terasa gerakan pedang mereka manunggal pula, perbawanya kembali bertambah.
Kalau dulu setiap melancarkan gabungan pedang, Tan Cioksing selalu menjadi poros utama sebagai soko kekuatan manunggal itu, kini sebaliknya kedudukan berganti pada In San.
Keadaan Tan Ciok-sing sudah umpama ada hati memeluk gunung, apa daya tenaga tidak sampai, hakikatnya sudah tidak mungkin lagi kerja sama sebaik tadi, tapi disini dan kali ini dalam menghadapi ujian berat, In San membuktikan kemampuannya yang luar biasa, ditunjukan bahwa dirinya sebenarnyapun mampu berdikari di samping membantu rekannya malah, seluruh kelemahan gerak pedang Tan Cioksing berhasil ditambalnya.
Mau tidak mau Milo Hoatsu terkejut.
"Makin tempur kenapa budak ini makin gagah malah."
Sayang bekal Lwekang In San betapapun terpaut jauh dibanding lawan, di samping menghadapi lawan harus berusaha melindungi kekasih pula, meski dia berusaha mengembangkan kekuatan ilmu pedangnya, sukar untuk memukul mundur musuh.
Tapi karena dia nekat dan merangsak dengan gagah berani, untuk menangkapnya hiduphidup Milo Hoatsu memerlukan waktu dan kesabaran, dalam waktu singkat jelas tidak mungkin.
Tan Ciok-sing masih payah, deru napasnya makin berat dan tersengal.
Di saat genting dan tegang itu, terdengar suara ribut-ribut orang dan kuda mendatangi, ternyata Yu-hian-ong memimpin sebarisan pasukan berkuda menyerbu tiba.
Di bawah lembah Yu-hian-ong menemukan jenazah Tanghay- Iiong-ong, kagetnya bukan main, bentaknya.
"Tan Cioksing anak keparat itu terlalu menghinaku, kalau tidak mencacah tubuhnya menaburkan abunya, sungguh tidak terlampias penasaranku. Koksu silahkan mundur."
Dia kuatir Milo Hoatsu tidak unggul menghadapi keroyokan, maka dia berniat suruh anak buahnya menghujani anak panah untuk membunuh Tan Ciok-sing berdua.
Harapan In San ialah dapai gugur bersama di pelukan Tan Ciok-sing, maka menghadapi kematian sedikitpun dia tidak takut.
Meski tidak takut mati, namun dia kuatir bila dirinya terjatuh di tangan musuh, Kungfu Milo Hoatsu teramat tangguh, kuatirnya dengan sisa tenaganya bila dia membunuh diri, lawan sudah berhasil membekuknya tanpa daya, maka dia nekat, pikirnya.
"Untuk menyelamatkan diri jelas tidak mungkin. Lebih baik biar aku berangkat lebih dulu, akan kutunggu Sing-ko dalam perjalanan ke sorga."
Karena putus asa diam-diam dia sudah kerahkan Lwekang hendak menggetar putus urat nadi hingga mati. Untunglah di saat-saat pikirannya bekerja itu, tiba-tiba didengarnya seorang membentak dari atas puncak.
"Yu-hian-ong, kau menginginkan putramu tidak? Berani kau mengusik seujung rambut Tan Ciok-sing, biar kubanting putra kesayanganmu ini ke bawah jurang."
Bentaknya sekeras guntur, karuan Yu-hianonij kaget dan ketakutan, teriaknya.
"Koksu harap berhenti sebentar "
Waktu orang banyak menengadah, tampak di puncak atas berdiri satu orang sambil mengangkat tinggi di atas kepalanya seseorang, orang yang diangkat itu bukan lain adalah putra tunggal Yu-hian-ong. Siau-ongya berkaok-kaok.
"Ayah, bebaskan mereka. Mereka pernah menolong jiwaku, aku tidak boleh membalas budi kebaikan dengan kejahatan, aku ingin hidup, aku tidak mau mati bersama tuan penolongku."
Perobahan yang tidak terduga ini, bukan saja Milo Hoatsu amat kaget, Tan Ciok-sing juga heran, kaget sampai tidak percaya akan pandangan mata sendiri. Ternyata orang yang menyandera Siau-ongya bukan lain adalah Buyung Ka.
"Apakah orang yang memberi laporan rahasia kepada Yuhian- ong bukan dia?"
Demikian batin Tan Ciok-sing. Semula mereka kira Buyung Ka adalah pelapor gelap itu, tapi dari kejadian di depan mata ini, curiganya terpaksa harus tumbang. Yu-hian-ong seperti tidak kenal Buyung Ka, bentaknya.
"Siapa kau? Ada salah apa aku terhadapmu, kenapa kau mencelakai putraku?"
Mendengar seruan Yu-hian-ong, In San pun ikut bimbang, bingung seperti jatuh kedalam kabut tebal. Pikirnya.
"Mungkin kami salah menduga, Buyung Ka bukan orang jahat?"
"Ongya,"
Seru Buyung Ka tertawa tergelak-gelak.
"kau suruh orang membunuh putra Jendral Abu, aku hanya membekuk putramu sebagai sandera saja."
Yu-hian-ong gusar, bentaknya.
"Omong kosong, mana ada kejadian itu."
Siau-ongya tiba-tiba berteriak.
"Ayah, urusan sudah sejauh ini, terpaksa aku bicara sejujurnya. Kau suruh Jik Thian-tek menyergap dan membunuh putra Abu, aku sendiri mendengarnya. Hari itu secara diam-diam aku menguntit Jik Thian-tek yang membawa tiga orang pernah menyergap A Kian, putera Abu. Perlu aku beritahu padamu, karena aku menguntit mereka di tengah jalan aku kepergok seekor badak bercula, untung kedua orang Han itu yang telah menolongku serta membunuh badak itu."
Buyung Ka tertawa tergelak-gelak, katanya.
"Ongya, puteramu sendiri yang membeber rahasia ini, masih berani kau mungkir?"
Sudah tentu pasukan yang hadir di sekitarnya amat kaget mendengar 'pengakuan' Siau-ongya.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka adalah anak buah kepercayaan Yu-hian-ong, bukan kaget lantaran pemimpin mereka berusaha membunuh Jendral Abu ayah dan anak, tapi mereka menguatirkan keselamatan Yu-hian-ong karena kejahatannya terbongkar.
Serta merta dalam hati mereka membatin.
"Entah Jendral Abu tahu tidak akan hal ini, jikalau dia berhasil meringkus salah satu pembunuh itu dan menyeretnya ke hadapan Khan sebagai saksi akan kejahatannya, urusan bisa berlarut menjadi besar dan menggemparkan."
Apa yang dipikirkan orang banyak sudah tentu juga terpikir oleh Yu-hian-ong, katanya.
"Baiklah, anggaplah aku mengaku kalah hari ini, apa kehendakmu katakan saja?"
"Soal apa yang perlu dirundingkan? Taripku tidak boleh ditawar, jiwa puteramu sebagai barter jiwa mereka berdua, jikalau kau tidak setuju, aku tidak akan membunuh puteramu, cuma asal kuserahkan dia kepada Jendral Abu, lalu kuseret dia menghadap dan mengadukan persoalan ini kepada Khan Agung."
"Baik, aku setuju untuk menukar mereka dengan puteraku, kau bebaskan dulu puteraku."
"Kita bebaskan bersama, aku tak takut kau main licik, kau tak usah kuatir aku bakal mencelakai puteramu. Orangmu sebanyak ini, jadi sepantasnya akulah yang berhati-hati terhadap kalian."
"Baik, satu, dua, tiga. Kita bebaskan bersama."
Tan Ciok-sing menarik napas menahan sakit terus lari ke atas puncak, walau terluka parah, kecepatan larinya masih lebih cepat dari Siau-ongya.
Yu-hian-ong memang tidak suruh anak buahnya membidik dengan anak panah.
Di tengah jalan Ciok-sing bertemu dengan Siau-ongya, katanya lirih.
"Siau-ongya kau memang setia kawan, terima kasih."
Lalu dia ulur tangan ajak berjabat tangan.
"Apa yang kau lakukan?"
Bentak Yu-hian-ong. Tan Ciok-sing sudah lepaskan tangan Siau-ongya, dengan cepat Siau-ongya lari ke bawah gunung katanya.
"Dia adalah tuan penolongku, aku berjabat tangan perpisahan, ayah jangan kau terlalu curiga."
Siau-ongya kembali di samping ayahnya, sementara Tan Ciok-sing dan In San sudah bergabung dengan Buyung Ka di atas puncak.
"Tan-toako, beratkah lukamu,"
Tanya Buyung Ka.
"Tidak apa-apa, aku bisa lari."
Ujar Tan Ciok-sing "Baiklah, jangan banyak bicara, kalian ikut aku saja."
Ujar Buyung Ka.
Tan dan In ikut masuk kedalam hutan, pengurus rumah tangga Abu ternyata sudah menunggu.
Baru sekarang Buyung Ka sempat bercerita cara bagaimana dia berusaha menolong mereka.
Ternyata atas perintah Jendral Abu mereka datang kemari untuk membantu.
Melihat mereka terkepung, timbullah akalnya, segera dia lari ke Onghu.
"Aku membekuk Siau-ongya, ternyata Siau-ongya mau kerja sama, tanpa banyak bicara dia serahkan diri supaya aku membelenggunya. Malah dia membantuku mencuri sebatang panah perintah ayahnya."
Tan Ciok-sing berkata.
"Di Onghu kami pun pernah mendapat bantuannya, Siau-ongya memang setia kawan."
"Hutang budi tahu membalas. Adalah pantas kalau dia balas menolongmu setelah jiwanya pernah kau selamatkan."
Haru hati Tan Ciok-sing, katanya setelah menghela napas.
"Buyung-heng, budi pertolonganmu, entah kapan aku bisa membalasnya."
"Sekarang bukan saatnya basa-basi ambillah panah perintah ini dan lekas berangkat. Em, ada sebuah hadiah lagi, Jendral Abu suruh aku menyerahkan kepada kau."
Dia keluarkan sebatang Ho-siu-oh yang sudah membentuk seperti manusia, mirip orok yang baru lahir, Ho-siu-oh adalah obat mujarab yang tak ternilai harganya, apalagi obat sebesar ini, jelas sudah ribuan tahun lamanya. Tan Ciok-sing kaget, katanya.
"Obat mujarab yang jarang ada, mana berani aku menerimanya."
Timanor pembantu Jendral Abu berkata.
"Tan-toako, bicara terus terang, Ciangkun sebelumnya memang sudah menguatirkan bila dirimu terluka, maka sengaja suruh aku mengantar Ho-siu-oh ini. Aku tahu kau terluka cukup parah, Ho-siu-oh cukup untuk menyembuhkan luka-luka itu, kau pernah menolong jiwa majikan muda, kalau tidak mau terima obat ini, mana hatinya bisa tenteram?"
"Toako,"
Ujar In San.
"setulus hati Ciangkun memberi obat ini kepadamu, boleh kau terima saja."
Apa boleh buat, setelah dibujuk akhirnya Tan Ciok-sing terima Ho-siu-oh itu.
Waktu itu fajar hampir menyingsing, terpaksa mereka berpisah dengan Buyung Ka dan Timanor.
Panah perintah Yu-hian-ong ternyata besar manfaatnya, tiga pos gelap diluar Holin ternyata dapat mereka tembus setelah para penjaganya melihat panah perintah itu, padahal mereka orang Han, tapi tidak banyak diminta keterangan.
Tiga puluh li setelah meninggalkan Holin, sepanjang jalan ini sudah tiada pos penjagaan lagi.
Lega hati ln San, katanya.
"Toako, bagaimana luka-lukamu? Mumpung tidak ada orang, lekas kau makan Ho-siu-oh ini."
"Kita capai dulu gunung itu baru istirahat, aku masih kuat bertahan, tak usah segera makan obat."
In San seperti juga Timanor, walau tahu Ciok-siong terluka parah, namun mereka tidak tahu luka-lukanya sudah teramat kronis. Maka dia pikir minum obat perlu istirahat dan setelah perasaan lega baru khasiat obat akan bekerja lebih nyata.
"Baiklah,"
Katanya kemudian.
Tak jauh mereka berjalan, dari depan mendatangi serombongan orang berkendaraan unta.
Melihat mereka orang-orang Han, orang-orang itu mengawasi dengan pandangan heran dan penuh tanda tanya, tapi tiada yang mencegat atau menegur.
Agaknya mereka juga dirundung banyak persoalan, maka tidak mau mencampuri urusan orang lain.
In San lewat dari samping mereka, didengarnya seorang berkata.
"Kupernah dengar, di atas gunung di depan itu ada seorang tabib liehay yang kenamaan, tapi penghasilannya bukan dari mengobati orang, karena tidak praktek orang sukar menemukan dia."
Seorang lagi berkata.
"Kabar angin belum bisa dipercaya, aku lebih percaya tabib kenamaan di Holin. Kalau betul belum bisa sembuh, baru kita kemari mencarinya."
Jarak makin jauh maka pembicaran selanjutnya tidak terdengar lagi. Karena mereka membicarakan tabib, maka In San pasang kuping, pikirnya.
"Untung kami sudah punya Hosiu- oh, jadi tidak perlu cari tabib segala."
Tak lama kemudian mereka sudah tiba di bawah gunung.
Setelah menempuh perjalanan sejauh ini, dengan bekal lukalukanya yang parah lagi, mau tidak mau keadaan Tan Cioksing agak payah juga, Mereka langsung masuk hutan, setelah istirahat lalu makan rangsum.
Bekal itupun pemberian Buyung Ka.
Setelah makan, agak pulih semangat Tan Ciok-sing, katanya.
"Aku jadi sayang untuk makan Ho-siu-oh ini."
"Toako, meski Lwekangmu tangguh, tapi keadaanmu tak bisa terus bertahan dengan Lwekang melulu, jangan lupa kita masih harus pergi ke Thian-san."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya.
"Aku tidak mengatakan tidak mau makan,. Buyung Ka bermaksud baik, kalau tidak kumakan berani mengabaikan maksud baiknya Aku hanya merasa sayang bila setangkai Ho-siu-oh ini harus kumakan."
Sambil berkata dengan pedang dia mengiris kecil-kecil beberapa keping terus ditelannya "Hanya sedikit saja, mana bisa membawa kasiat nyata?"
"Kau tidak tahu, Ho-siu-oh yang sudah terbentuk kasiatnya dapal menghidupkan orang yang tampil mati, aku punya dasar lwekang sedikit juga sudah berkelebihan. Sisanya yang lebih besar ini disimpan untuk keperluan kelak saja."
"Coba kau makan lagi seiris saja."
Pinta In San. Segan menolak maksud baik In San, terpaksa Ciok-sing makan satu iris lagi. Sisanya dia serahkan kepada In San untuk disimpan. In San menghela napas, katanya.
"Sungguh tak nyana di Watsu kita bisa berkenalan dengan banyak teman, Buyung Ka betul-betul orang baik diluar dugaanku."
Tiba-tiba dilihatnya alis Tan Ciok-sing berkerut, seperti menahan sesuatu penderitaan, In San kaget, katanya.
"Toako, kenapa?"
"Tidak apa-apa."
Ujar Tan Ciok-sing, lekas dia kerahkan hawa murni lalu menarik napas panjang, katanya.
"Kurasa agak aneh."
"Apanya yang aneh?"
Tanya In San gelisah.
"Ho-siu-oh biasanya pahit, tapi yang satu ini kenapa rasanya manis?"
"Mungkin Ho-siu-oh yang sudah jadi rasanya beda dengan yang setengah matang."
Obat mujarab pahit menguntungkan si penderita.
Terasa oleh Ciok-sing bahwa rasa obat agak ganjil, semula dia sudah curiga, tapi dia tidak ingin memberitahu kepada In San, supaya orang tidak kuatir.
Tapi sekarang dia sudah tidak tahan lagi, terpaksa bicara sejujurnya.
"Rasanya seperti habis minum arak saja, aku mabuk."
In San tidak tahu mungkinkah obatnya sudah mulai bekerja, katanya.
"Bagaimana bisa demikian? Coba kau pusatkan hawa murni kedalam pusar."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba dilihatnya wajah Ciok-sing berobah hebat, ternyata isi perutnya mendadak sakit bukan kepalang seperti diiris, ditusuk dan entah diapakan lagi, yang terang dia menjungkir sambil menahan sakit.
Sudah tentu kejut In San bukan main, lekas dia pegang kedua lengannya terus bantu menyalurkan hawa murni ke tubuhnya.
Untung Tan Ciok-sing telah meyakinkan Lwekang ajaran Thio Tan-hong, sesaat kemudian rasa sakitnya mulai mereda.
"Kurasa Ho-siu-oh itu bukan barang tulen, kau buang saja."
Desis Tan Ciok-sing dengan keringat dingin membasahi jidat.
"Maksudmu Ho-siu-oh ini beracun?"
Teriak ln San tersirap.
"Obat ini pemberian Jenderal Abu, semestinya tidak beracun. Tapi setelah kumakan, keadaanku semakin parah malah, aku tidak habis mengerti apa sebabnya. Lebih baik kita hati-hati, buang saja dari pada mencelakai orang lain."
"Sementara akan kusimpan, bila betul ada racunnya, bisa kujadikan barang bukti. Tapi aku yakin Ciangkun tidak akan mencelakaimu, kukira urusan agak ganjil dan perlu diperhatikan, kita pasti dapat membongkar kejadian ini. Toako, bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Sementara mungkin aku tidak bisa berangkat, entah tiga hari atau lima hari, kita tidak perlu pikirkan perjalanan yang tertunda ini."
In San memapahnya masuk kedalam hutan, terasa langkah Tan Ciok-sing amat berat dan kakinya susah bergerak, meski dia berusaha berbuat sebaik mungkin, tapi In San tahu racun yang bersemayam dalam tubuhnya teramat parah.
Seorang jago kosen yang memiliki Lwekang tinggi sudah sempurna lagi, tidak mungkin tidak mampu berjalan meski dalam keadaan luka parah atau terkena racun.
Sambil memapahnya, setiap langkah perasaan In San semakin berat.
Akhirnya Tan Ciok-sing duduk bersimpuh, tak lama kemudian asap putih mengepul di atas kepalanya Melihat dia masih mampu mengerahkan Lwekang, sedikit lega hati In San.
Selesai samadi, pakaian Ciok-sing dan In San sudah basah kuyup.
Teramat besar perhatian In San, sehingga dia selalu mencucurkan keringat dingin.
"Aku agak dahaga, carikan minum,"
Kata Tan Ciok-sing.
"Baiklah, akan kucarikan air. Bila menghadapi bahaya, kau lepas panah berasap."
Panah itu bisa memancarkan sinar biru berasap putih, setelah meledak memancarkan kembang api yang indah warnanya.
"Jangan kuatir, musim dingin, binatang liar jarang keluar, ada Pek-hong-kiam untuk membela diri, binatang kecil masih bisa aku melayani."
Setelah In San pergi, Ciok-sing mulai bersamadi pula.
Makin lama makin terasa adanya gejala-gejala yang tidak beres.
Bukan karena pengerahan Lwekang tiada manfaatnya, tapi setahap dia lebih mendalami bahwa racun yang mengeram dalam tubuhnya jauh lebih hebat dan keadaannya lebih parah dari dugaannya semula.
Sesuai ajaran Lwekang Thio Tan-hong dia menghimpun hawa murni kedalam pusar tiba-tiba jantungnya melonjak keras sekali, seperti denyut kaget karena ditusuk benda tajam, sehingga hawa murni yang dihimpunnya susah payah buyar seperti tanggul yang jebol sehingga air bah melanda keluar.
Terpaksa diulang dari permulaan, syukur tenaga dapat dihimpun dua bagian, tak lama kemudian denyut kaget pada jantungnya terulang lagi.
Demikian berulang kali, belum penuh sudah bobol, hawa murni yang dikumpulkan selalu tidak berhasil, sehingga dia tidak mampu bantu menyembuhkan luka-luka sendiri melalui penyaluran Lwekang murninya.
Dengan tangan kiri dia periksa denyut nadi tangan kanan sendiri, terasa denyut nadinya berbeda dengan biasanya, kadang-kadang kasar cepat, tiba-tiba lembut perlahan, cepat dan lambat terus bergantian, jadi boleh dikata kacau balau, tidak karuan.
Dari sini dapatlah dia menyimpulkan bahwa kadar racun telah meresap ke jantung dan paru-paru, bukan saja aliran darah, racun sudah masuk ke tulang pula.
Mengkirik sendiri Tan Ciok-sing membayangkan keadaan dirinya, pikirnya.
"Aku mati tidak jadi soal, pesan guru harus kulaksanakan."
Seperti diketahui sebelum ajal Thio Tan-hong ada memberi pesan kepadanya, supaya ilmu ciptaannya di hari tua diserahkan kepada muridnya yang terbesar yaitu Toh Thian-tok Ciangbunjin Thian-san-pay yang sekarang.
Keadaan Tan Ciok-sing separah ini, untuk berjalan saja tidak bisa, bagaimana dia bisa pergi ke Thian-san? Satu hal lagi yang menguatirkan, In San sudah berjanji sehidup semati dengan dirinya bila dirinya akhirnya meninggal, meski semasa masih hidup dia memberi pesan, melarang In San memburu jejaknya ke alam baka, mungkin In San tidak mau menurut.
Tiba-tiba dia teringat didalam ajaran Hian-kang-yau-kek ciptaan gurunya itu ada sejenis ilmu yang dinamakan Tay-ciuthian- to-nah, dengan ilmu ini orang dapat menghimpun dan mengumpulkan kadar racun di tubuh manusia di satu tempat yang terisolir, untuk sementara racun tidak akan bekerja, kelak masih ada kesempatan untuk berusaha menawarkannya.
Tapi menempuh cara ini harus, menyerempet bahaya.
Karena kadar racun yang terkumpul di suatu tempat kadarnya akan bertambah besar dan ganas, bukan saja waktu bekerjanya bisa lebih cepat, kumatnya juga sukar diduga, malah begitu kumat jiwa pasti melayang seketika.
Diam-diam Tan Ciok-sing menepekur, apakah perlu dia menggunakan Tay-ciu-thian-to-nah, dengan bekal Lwekang yang dimilikinya sekarang, kira-kira dia masih kuat bertahan setahun lamanya, sebaliknya bila menggunakan ajaran Lwekang itu, dia belum mampu menyalurkan kadar racun pada suatu tempat yang terisolir, maka sembarang waktu kadar racun bakal meledak, itu berarti jiwa akan segera melayang.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi ada baiknya, karena untuk sementara kekuatannya akan pulih sebagian.
"asal aku bisa hidup sebulan saja, aku sudah bisa mencapai Thian-san."
Demikian pikir Tan Ciok-sing.
"Terpaksa aku harus mengelabui adik San, supaya dia tidak ikut kuatir akan keselamatanku. Cepat atau lambat juga pasti mati. Budi guru setinggi gunung, bila aku berhasil menunaikan tugas peninggalan guru, matipun aku bisa meram."
Akhirnya Tan Ciok-sing ambil keputusan mencoba cara menghimpun racun pada tempat yang terisolir dengan menentang bahaya.
Diluar tahu Tan Ciok-sing, saat mana In San pun punya pendirian dan pikiran yang serupa.
Nasib ln San yang mencari air ternyata cukup mujur, tidak jauh menuju ke arah utara, tiba-tiba didengarnya gemericik air.
Lekas dia berlari ke arah selokan gunung.
Tiba-tiba didengarnya teriakan bocah kecil.
"Kakek, lekas kemari, aku berhasil mengeduk mustika."
Bahasa Mongol yang dipelajari In San jauh lebih banyak dibanding Tan Ciok-sing, maka dia bisa menangkap arti pembicaraan orang Mongol. Tampak seorang berperawakan besar berlari-lari mendatangi, tanyanya dengan tertawa.
"Gembar gembor, kau menemukan mustika apa?"
Anak itu berkata.
"Kek, coba lihat. Akar ini mirip orok kecil. Kek, aku masih ingat kau pernah bilang Jin-som dan Ho-siu-oh bentuknya mirip orok kecil, coba kau periksa ini Jin-som atau Ho-siu-oh?"
Umpama bukan, pasti sejenis obat mujarab?"
Agaknya bocah itu sering ikut kakeknya naik gunung mencari obat, sekarang mereka sedang cari obat dalam hutan ini. Kaget dan senang hati In San, katanya.
"Mungkin orang inilah tabib yang dikata mengasingkan diri di gunung ini? Bahan obat yang ditemukan bocah itu entah mirip tidak dengan Ho-siu-oh dalam kantongku?"
Baru saja In San hendak mengunjuk diri, tiba-tiba didengarnya orang tua itu berteriak gugup.
"He, lekas buang, ini bukan obat mujarab atau barang mustika, inilah racun jahat yang bisa mencelakai jiwa orang."
Kaget In San bukan main, lekas dia memburu ke arah mereka. Sementara itu si bocah sedang mencuci Ho-siu-oh itu didalam selokan, walau kakeknya bilang benda itu beracun, tapi dia masih merasa sayang untuk membuangnya. Orang itu kaget, tanyanya.
"Nona muda, dari mana kau datang?"
Maklum sudah lama dia semayam di atas pegunungan, orang Mongol pun jarang dijumpai, apalagi In San adalah gadis belia bangsa Han? Agaknya dia melihat In San adalah orang Han, maka hatinya makin heran.
Tak nyana In San jauh lebih kaget dari dia, tanpa hiraukan pertanyaan, langsung dia berkata kepada si bocah.
"Engkoh kecil, coba kau berikan Ho-siu-oh itu kepadaku."
Mendengar In San menyebut Ho-siu-oh, si bocah jadi bingung, dia tidak tahu perkataannya yang benar atau perintah ayahnya yang keliru, segera dia sembunyikan Ho-siuoh itu di belakang tubuhnya, serunya.
"Kau mau menipu, memangnya aku mudah kau tipu. Aku yang menemukan mustika ini, kenapa harus kuberikan padamu."
Demikian kata si bocah dengan mendelik.
"Aku tidak akan merebut mustikamu, coba lihat aku juga punya setangkai, akan kucocokkan apakah mirip mustikamu itu."
Demikian kata In San. Segera dia merogoh saku keluarkan Ho-siu-oh itu diacungkan ke depan si bocah, melihat Ho-siu-oh di tangan In San lebih gede, baru si bocah mau menyerahkan, katanya.
"Aneh, ternyata mirip. Mungkin milikmu ini lebih tua, punyaku masih muda."
Ternyata Ho-siuoh di tangan In San sepanjang satu kaki sementara yang dipegang si bocah kira-kira delapan dim. Baru saja si bocah ulur tangan mau terima Ho-siu-oh dari tangan In San, tiba-tiba orang tua itu menyela.
"Berikan kepadaku,"
Hanya sekilas dia periksa Ho-siu-oh yang diterima dari In San, mendadak dia pegang pergelangan tangan In San. In San kaget, teriaknya.
"Kau mau apa?"
Tapi dia lantas tahu bahwa orang ini tidak bisa silat, dilihatnya pula maksud orang tidak jahat, maka dia tidak kerahkan tenaga meronta. Orang tua itu menghela napas lega, katanya melepas tangan In San.
"Tok-ing-ji milikmu ini pernah digigit siapa?"
In San baru tahu bahwa orang memeriksa nadinya karena menyangka dirinya keracunan, padahal keadaan In San normal saja, maka dia tanya demikian. In San tersirap, teriaknya melengking.
"Apa, apa katamu? Ini bukan Ho-siu-oh? Jadi, jadi..."
"Inilah Tok-ing-ji (orok beracun)."
Kata orang itu.
"bentuknya memang hampir mirip Ho-siu-oh, tapi kadar obatnya justru berlawanan, kalau Ho-siu-oh dapat menyembuhkan orang yang sudah hampir mati, sebaliknya Tok-ing-ji adalah benda beracun yang paling jahat di dunia ini."
Ternyata Buyung Ka memang sudah berintrik dengan Yuhian- ong untuk melukai jiwa Tan Ciok-sing.
Ho-siu-oh yang asli mereka tukar dengan Tok-ing-ji yang beracun, sehingga Tan Ciok-sing benar-benar keracunan.
Orang yang memberi laporan gelap di tempat kediaman Yuhian- ong yang dicuri dengar oleh puteranya memang bukan lain adalah Buyung Ka.
Dalam rencana, Yu-hian-ong menganjurkan Buyung Ka menjadi orang baik untuk menarik simpati dan kepercayaan Tan Ciok-sing, di belakang rencana ini Yu-hian-ong sendiri memang punya perhitungan jangka panjang.
Waktu mengatur tipu daya ini sebetulnya Yu-hian-ong dan Buyung Ka tidak yakin muslihatnya bakal berhasil membunuh Tan Ciok-sing.
Tapi kalau menggunakan cara yang satu ini, jiwa Ciok-sing jelas takkan bisa diselamatkan lagi.
Dia mati di tengah jalan, Jendral Abu dan anaknya tidak akan tahu, malah harus berterima kasih kepada Buyung Ka yang telah menolong sahabat mereka.
Rencana mereka memang sempurna, jangan kata Tan Cioksing, ln San yang semula mencurigai Buyung Ka pun akhirnya kena dikelabui.
Sayang In San tahu setelah terlambat.
Tak tertahan air matanya bercucuran, tanyanya kepada orang itu.
"Apakah Tok-ing-ji ada penawarnya?"
Orang itu geleng-geleng kepala, sahutnya.
"Tiada obat penawarnya."
Gelap pandangan In San, tubuhnya sempoyongan. Lekas orang itu memapahnya, tanyanya.
"Siapa yang makan racun ini? Lekas kau pulang..."
Melihat keadaan In San, dia duga yang minum racun tentu sanak familinya.
Maksudnya suruh dia lekas pulang mengurus penguburannya, cuma tidak tega dia mengucapkannya! Dengan air mata berlinang tiba-tiba In San menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
Lekas orang itu memapahnya, katanya.
"Nona, apa yang kau lakukan, lekas bangun, lekas bangun."
Sudah tentu orang itu tidak mampu menarik bangun ln San, beruntun In San menyembah tiga kali, katanya.
"Mohon kau orang tua suka menolong jiwa engkohku, dia terluka parah, karena tidak tahu, Tok-ing-ji ini dia makan dua keping."
Karena tidak mampu menarik In San, orang itu kaget, tiba tiba timbul rasa curiganya, katanya.
"Darimana kau tahu kalau aku bisa mengobati, siapa suruh kau kemari?"
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar ringkik kuda dan derap kuda yang ramai mendatangi. Orang itu beringas, bentaknya.
"Siapa yang kau bawa kemari, apakah mau menangkap aku?"
"Tidak, tidak, bukan aku yang membawa mereka. Aku tidak tahu..."
Terdengar langkah orang berlari-lari menuju kesini, seorang terdengar berkata.
"Disana seperti ada orang bicara, kita periksa kesana."
In San merendahkan suara.
"Kedua orang ini mungkin yang mencari jejak kami kakak beradik."
Dari langkah mereka dia tahu bahwa kedua orang ini pandai silat. Orang itu mendengus, jengeknya.
"Kau mau menipu aku."
Waktu mendesak In San tidak sempat menjelaskan, terpaksa dia berbisik.
"Kalau kau takut mereka akan berbuat jahat kepadamu, lekas kau sembunyi, biar kuhadapi mereka."
"Aku tidak akan sembunyi."
Ucap orang itu.
"kalau kau tidak sekomplotan dengan mereka, baiklah kau saja yang sembunyi."
Maklum dia tinggal di gunung ini, bila jejaknya sudah diketahui orang, mau sembunyi juga tidak akan bisa menyingkir, apalagi terhadap In San dia belum percaya sepenuhnya, maka dia berani nekat.
Apa boleh buat, terpaksa In San menerima anjuran orang, dia sembunyi ke belakang pohon.
Lekas sekali kedua orang itu sudah berlari datang, kiranya dua Busu yang membawa busur.
Seorang Busu bertanya.
"Kalian melihat dua orang Han tidak, seorang laki seorang perempuan, usianya kira-kira likuran tahun."
Orang tua itu geleng-geleng, katanya.
"Tidak pernah lihat, kalian ini..."
"Kami adalah Busu kelas satu Yu-hian-ong, atas perintah Ongya hendak menangkap pembunuh gelap. Pembunuhnya adalah sepasang muda mudi bangsa Han itu, karena gagal mereka lari ke gunung ini. Maka kau harus bicara jujur di hadapanku..."
"Dua orang Han yang kalian katakan betul-betul tidak pernah kulihat, mana berani aku bohong terhadap kalian."
"Kau penduduk setempat tentu hapal seluk beluk pegunungan ini, hayo kau bantu kami mencarinya."
"Bukan aku tidak mau membantu, tapi, tapi..."
"Tapi apa?"
"Gunung sebesar dan seluas ini, usiaku sudah lanjut, kakiku tidak leluasa berjalan. Kalau aku temani kalian mencari mungkin bakal menghabiskan waktu. Kukira lebih baik kalian cari sendiri, supaya mereka tidak melarikan diri. Alasannya memang masuk akal, maka kedua Busu itu mau pergi, tiba-tiba temannya itu mendorong si bocah, teriaknya.
"He coba lihat, apa, apa ini?"
Ternyata si orang tua membuang Tok-ing ji ke semak-semak rumput, tadi kebetulan semaksemak itu teraling oleh tubuh si bocah, sayang tubuhnya kecil sehingga Tok-ing-ji masih kelihatan oleh salah satu Busu.
Bergegas si Busu memburu serta menjemput kedua Toking- ji, sejenak dia memeriksa, lalu bersorak kegirangan.
"Kita mendapatkan mustika. Hahaha, coba lihat bukankah ini Hosiu- oh yang telah mencapai usia ribuan tahun?"
Demikian teriak Busu itu. Orang tua itu gugup, serunya.
"Jangan kalian ambil barang-barang itu."
Busu itu mendelik, bentaknya.
"Kau tidak mau bantu mencari pembunuh, barang sepele begini juga larang kami mengambilnya?"
"Ini, ini bukan Ho-siu-oh..."
Seru si orang tua. Busu itu mencabut golok dan membentak.
"Berani kau menipu aku, kau larang aku ambil, kubunuh kau."
Setelah membawa Ho-siu-oh kedua Busu itu tidak banyak bicara lagi terus tinggal pergi, tak lama kemudian, mendadak terdengar dua jeritan menyayat hati, ternyata kedua Busu di tengah perjalanan telah mengigit masing-masing secuil, ternyata racun bekerja jiwapun melayang.
In San segera melompat keluar, katanya.
"Lo-siansing, siapa aku tak usah kujelaskan tentu kau sudah tahu?"
Akhirnya mereka saling berkenalan, orang tua ini memang benar tabib liehay yang mengasingkan diri di atas gunung, namanya Kokulon, cucunya bernama Komido.
Sambil jalan Kokulon tanya pengalamannya.
In San ceritakan maksud perjalanannya ke Holin, bagaimana mereka kenal Jendral Abu dan puteranya, membuat geger Onghu dan akhirnya Tan Ciok-sing keracunan karena salah makan Toking- ji.
"Terus terang, Yu-hian-ong manusia yang paling kubenci,"
Demikian kata Kokulon.
"Jendral Abu adalah orang yang paling kuhormati dan kusegani. Ternyata kalian adalah teman baik Jendral Abu, jikalau sejak mula kau menjelaskan, aku tidak akan curiga kepadamu."
"Jadi kau mau menolong jiwa engkohku?"
"Bukan aku tidak mau, sayang tenagaku tidak mampu menolongnya."
Tiba-tiba Komido berjingkrak, serunya.
"Kakek, kau dengar tidak?"
"Mendengar apa?"
"Aku seperti mendengar seseorang menghela napas perlahan."
Kokulon celingukan, katanya.
"Disini mana ada orang lain, pasti kau salah dengar."
Komido bergidik ngeri, katanya memeluk sang kakek.
"Mungkin setan kedua orang itu gentayangan."
Pikiran butek, perasaan gundah sehingga In San tidak mendengar helaan napas itu, mungkin desau angin lalu, demikian pikirnya.
Diluar tahunya Tan Ciok-sing telah berhasil menghimpun tiga bagian tenaganya, mendengar bagian sini ada suara orang, diam-diam dia datang memeriksa.
Maka percakapan Kokulon dengan In San diapun mendengar jelas.
Waktu In San bawa Kokulon tiba di tempat semula, tampak Tan Ciok-sing masih bersamadi, uap putih masih mengepul dari kepalanya.
Kokulon heran, katanya.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan ganggu dia, nanti sebentar baru akan kuperiksa."
Lalu dia berkata kepada In San.
"Sementara kalian boleh tinggal di rumahku, aku akan berusaha sekuat tenaga."
Timbul setitik harapan dalam benak In San, katanya.
"Terima kasih paman."
Tiba-tiba Komido berkata.
"Ayam salju di rumah sudah kami makan, dengan apa kau hendak menjamu para tamu?"
In San tertawa, katanya.
"Menangkap ayam salju adalah keahlianku, biar nanti kutemani kau menangkap ayam salju."
Setelah In San pergi, tiba-tiba Tan Ciok-sing membuka mata, katanya.
"Paman Kokulon, aku mohon sesuatu kepadamu."
"Nanti dulu, biar kuperiksa nadimu dulu."
Dia kira Tan Cioksing akan minta dia menolong jiwanya, maka setelah memeriksa dia berkata.
"Jangan kau banyak tanya, aku akan berusaha sekuat tenagaku menyembuhkan penyakitmu. Kau adalah pasienku satu-satunya yang mempunyai daya tahan luar biasa di antara pasien-pasienku selama aku jadi tabib."
Tan Ciok-sing berkata.
"Aku tidak minta kau berusaha menolong jiwaku, aku sudah tahu penyakit ini tidak mungkin disembuhkan lagi. Manusia mana tidak akan mati, soalnya hanya waktu saja, aku sih tidak perduli."
Kokulon kaget, tanyanya.
"Darimana kau tahu?"
"Paman Kokulon, pembicaraanmu dengan adikku, aku mendengarnya semua."
Kokulon terbeliak, dia insyaf bahwa persoalan tidak bisa mengelabui Ciok-sing lagi, sesaat lamanya dia melenggong tak mampu bicara. Diam sebentar, akhirnya Tan Ciok-sing berkata.
"Aku hanya mohon kau suka menolong jiwa adikku. Kau tidak tahu bahwa kami sudah sumpah setia, sehidup semati..."
"Aku tahu."
Tiba-tiba Kokulon menukas.
"Tunggu sebentar, biar aku berpikir sejenak."
Setelah berpikir beberapa kejap lamanya, Kokulon berkata.
"Bahwa kau sudah tahu penyakitmu takkan bisa sembuh, maka aku harus bicara blak-blakan dengan kau. Tapi aku harus tanya kau dulu, dengan cara apa kau menghimpun kadar racun didalam pusarmu?"
"Inilah sejenis Lwekang ciptaan guruku, namanya Tay-ciuthian- to-nah. Sayang latihnya belum sempurna."
"Bisakah kau mengerahkan Lwekang sehingga kadar racun sedikit demi sedikit dibikin buyar?"
"Aku tidak mampu. Berlatih sepuluh tahun lagi juga belum bisa mencapai taraf setinggi itu."
"Baiklah aku bicara jujur, dengan bekal Lwekangmu sekarang, bila kau tidak menghimpun kadar racun itu, paling lama kau bisa hidup setahun. Tapi selama setahun ini kau tidak akan mampu bergerak. Kini kau gunakan caramu itu, meski Kungfu sementara masih utuh, tapi bila racunnya kumat, racunnya lebih hebat dan jiwa melayang seketika."
"Ya, aku tahu. Bila racun kumat, jiwaku pasti melayang. Tapi aku harus pergi ke Thian-san menunaikan pesan guruku, terpaksa aku menempuh jalan pendek. Entah berapa lama aku bisa bertahan hidup? Paman, harap kau bicara sejujurnya."
"Kurang lebih tiga bulan, tapi juga bisa lebih cepat atau mundur beberapa hari, itu tergantung kau sendiri..."
"Mohon paman memberi petunjuk."
"Menuju jalan kehidupan, terutama mementingkan ketenangan jiwa, girang senang atau duka lara dapat mengurangi umur orang. Di samping itu sedapat mungkin kau harus berusaha tidak berkelahi dengan orang, tidak boleh terlalu menguras tenaga."
Diam-diam Tan Ciok-sing membatin.
"Tubuh sekokoh pohon Bodhi, batin harus sejernih permukaan kaca. Untuk mencapai taraf ketenangan hidup seperti ini, jarang bisa dilakoni oleh manusia biasa. Tapi kalau hanya menghindari rasa senang, duka dan segala keinginan sih kurasa mampu kulakukan. Tapi ke Thian-san merupakan perjalanan jauh, kejadian diluar dugaan apa yang bakal menimpa kami, susah diramalkan sebelumnya, maka untuk menghindari pertempuran jelas tidak mungkin."
Kokulon seperti dapat meraba jalan pikirannya, katanya.
"Kalau lawan kelas rendah cukup tiga empat jurus telah beres, akibatnya tidak fatal. Yang dikuatirkan ialah bila berhadapan dengan musuh setangguh dirimu, begitu tenaga murni terkuras, luka dalam pasti kambuh. Oleh karena itu kecuali terpaksa, kuanjurkan kau harus berani dihina dan dicemooh orang."
"Terima kasih akan petunjuk paman, Wanpwe akan patuh pada petunjukmu."
"Kalau kau bisa mematuhi kedua petunjuk tadi, mungkin jiwamu bisa diperpanjang setengah bulan. Kalau tidak mampu kau lakukan, kemungkinan elmaut kematian sembarang waktu bisa merenggut jiwamu. Apakah sudah besar tekadmu untuk pergi ke Thian-san?"
"Aku sudah menerima pesan guru, semoga sebelum aku ajal, aku sudah menunaikan tugas terakhir."
Kokulon berkata.
"Tekadmu besar, aku tidak akan mencegahmu. Boleh kau teruskan cara Tay-ciu-thian-to-nah, sementara kadar racun masih dapat kau kendalikan. Cara yang kau tempuh ini jauh lebih berguna dari ramuan obatku, maaf bila aku tak bisa membantumu lebih jauh."
"Tapi aku kuatir akan keselamatan adikku, dia ingin sehidup semati denganku..."
"Maksudmu bagaimana aku harus membantumu?"
"Dapatkah kau berusaha menahannya disini?"
"Aku pernah bicarakan soal itu kepadanya, tapi dia bertekad dan bersumpah takkan mau berpisah dengan kau sampai mati."
"Gunakan sejenis obat, umpamanya obat bius sehingga dia kehilangan tenaga, tapi tidak membawa efek buruk bagi kesehatannya, maka dia tidak akan bisa ikut menempuh perjalanan yang kutempuh. Setahun sebagai angka waktunya, tahun depan boleh kau berikan obat penawarnya. Dalam jangka setahun ini, pasti aku sudah ajal entah dimana. Bila dia tidak memperoleh berita kematianku, maka dia akan mencariku dan tak sempat mencari jalan pendek lagi."
Kokulon geleng-geleng, katanya.
"Itu hanya dapat mengelabuinya sementara, akhirnya pasti konangan juga. Dan lagi aku tidak punya dan tak pernah membuat obat macam itu."
"Paman bagaimana juga harap kau suka berusaha, aku harus mepertahankan jiwanya, jangan lantaran aku dia ikut menjadi korban."
Kokulon berpikir sejenak, tiba-tiba bertanya.
"Kau she Tan dia she In, wajah kalian juga tidak sama. Walau aku tidak paham adat istiadat bangsa Han kalian, kalau tidak salah sesama saudara sepupu biasanya punya marga sama bukan? Lalu kalian ini saudara angkat?"
"Ya, kami saudara angkat lain marga. Tapi hubungan kami amat mendalam melebihi saudara sepupu sendiri."
"Bagus, kau harus bicara jujur kepadaku, bukankah kalian sudah jatuh cinta dan bersumpah setia sehidup semati?"
"Betul, kami sudah janji setia akan hidup sampai tua, meski dilahirkan tidak pada tahun bulan dan hari yang sama, diharapkan akan mati di hari bulan dan tahun yang sama. Hidup rukun sampai tua agaknya tidak mungkin lagi, maka kudoakan supaya dia tidak ikut mati di saat ajalku sudah tiba."
Sebelum Kokulon bicara Ciok-sing memohon pula.
"Paman, pengalaman hidupmu jauh lebih matang dari aku, bagaimana juga kumohon kau sudi berusaha untuk menolong jiwanya."
Tiba-tiba Kokulon berkata.
"Ada satu cara boleh dicoba, tapi hidupmu mungkin harus diperpendek lagi satu bulan. Itu berarti dihitung hari ini, paling lama kau hanya bisa hidup dua bulan lagi, kau mau tidak?"
"Sudah tentu mau, asal dapat menyelamatkan jiwanya, sekarang juga aku mati juga tidak jadi soal, aku suka rela."
"Tapi waktu dua bulan mungkin tidak cukup untuk perjalananmu ke Thian-san."
"Menunaikan pesan guru sudah tentu merupakan tugas utama yang tidak boleh diabaikan. Tapi kalau dibanding, usaha menyelamatkan jiwa adik San adalah lebih penting lagi. Tolong tanya paman, cara apa yang kau gunakan?"
"Sekarang belum boleh menjelaskan, bila cara ini kuberitahu kepada kau, mungkin tidak akan manjur, cukup asal kau percaya kepadaku saja."
Walau agak bimbang, tapi Ciok-sing sudah percaya kepada tabib pengasingan ini. Katanya.
"Kalau demikian, baiklah aku tidak akan banyak tanya lagi."
"Bagus, sekarang kau membantu aku melakukan sesuatu."
"Silahkan memberi petunjuk."
"Ikutlah aku membersihkan kamar obatku. Tak takut kau tertawakan, terus terang rumahku reyot, kotor dan jorok lagi, kamar tidak ada. Hanya ada sebuah bilik obat yang bisa dibersihkan untuk tempat tidurmu."
Tan Ciok-sing tertawa, katanya.
"Paman kenapa sungkan, asal ada tempat berteduh sudah lebih dari cukup untukku."
Bilik itu memang banyak menyimpan berbagai jenis obatobat mujarab yang sukar dicari, tapi lekas sekali bilik itu sudah dibersihkan dan ditata rapi.
Tak lama kemudian In San dan anak itu sudah masuk kembali.
Begitu masuk rumah Komido berjingkrak dan mengoceh dengan riang.
"Kepandaian cici In memang hebat, coba lihat tiga ekor ayam salju, semuanya gemuk-gemuk."
In San tertawa, katanya.
"Kepandaianmu juga patut dipuji, tidak sedikit telur akar yang berhasil kau keduk."' Kokulon tertawa tergelak-gelak, katanya.
"Bagus, nanti kita bisa bersantap malam dengan hidangan sedap, ubi bakar dengan ayam bakar memang mencocoki seleraku."
Dua ekor ayam panggang, seekor dimasak kuah, sementara ubi dibakar, selesai mereka menyiapkan hidangan malam, sinar rembulanpun sudah menyorot masuk lewat jendela.
Angin menghembus kencang diluar, kabut tebal menyelimuti alam semesta, hawa mulai dingin.
Tapi suasana hangat meliputi gubuk kecil mungil itu, perasaan mereka sehangat nyala api yang masih membara, dimana ayam yang sudah diberi bumbu sedang dipanggang, baunya aduhai, lezat sekali.
Dari kamarnya Kokulon mengeluarkan sebuah buli-buli besar warna merah, katanya.
"Inilah arak obat buatanku sendiri, khasiatnya dapat menambah semangat melancarkan aliran darah, kalian bersaudara patut minum beberapa cangkir."
In San berkata.
"Aku tidak biasa minum arak, biarlah Koko wakili aku minum bagianku."
"Arak obat ini jelas berguna bagi kesehatan engkohmu, bagi kau sendiri juga tidak sedikit manfaatnya. Bila kalian sama-sama minum, manfaatnya pasti lebih kentara."
"Ah, aku tidak percaya, kenapa kalau sama-sama minum, khasiatnya bisa lebih kentara?"
"Kau tidak tahu, arak obatku ini memang punya kadar yang luar biasa."
"Apanya yang istimewa?"
"Bila tutup dibuka dan arak tercium angin, bila didalam jangka satu jam tidak segera diminum, khasiat obatnya akan pudar tidak berguna lagi. Tapi terlalu banyak juga tidak boleh, maka engkohmu hanya boleh minum dua pertiga, dan kau harus bantu dia minum satu pertiga."
"Kalau demikian, kau saja yang bantu dia minum bagian satu pertiga ini."
Kokulon tertawa, katanya.
"Arak obat ini dapat menambah semangat dan tenaga, besar manfaatnya untuk kalian bila naik gunung. Aku tidak pernah meyakinkan Lwekang arak obat ini tiada berguna bagi diriku. Aku tidak sakit apa-apa, buat apa harus minum obat. Apalagi aku tidak akan menempuh perjalanan jauh, bukankah terlalu sayang menghabiskan arak sebagus ini? Maklum aku tinggal di pengasingan yang jauh dari keramaian kota, maka tiada hidangan apa-apa yang patut kusuguhkan untuk para tamuku, jikalau kau masih sungkan, berarti anggap aku ini orang luar. Maka akupun tidak akan berusaha menyembuhkan penyakit engkohmu."
Melihat sikap bicara Kokulon amat serius, In San berkata.
"Paman, kau harus mengobati penyakit engkohku, jangan kau menakuti aku, baiklah aku minum, akan kuhabiskan jatahku."
Tan Ciok-sing juga tertawa, katanya.
"Maksud baik tuan rumah, lebih baik kita terima saja kehendaknya. Adik San, terpaksa kau harus berani tahan uji, mari temani aku minum sampai habis."
Karena didesak dan dibujuk terpaksa In San menemani Tan Ciok-sing minum arak, baru seteguk diminumnya, terasa bau harum menyegarkan dada seketika In San tertawa, katanya.
"Ternyata arak ini enak rasanya."
Belum ada satu jam, seekor ayam telah habis diganyang masuk perut, arak sebuli itu pun telah habis disikat mereka berdua.
"Nona In, tubuh engkohmu kelihatan memang masih segar, betapapun dia adalah orang sakit, maka dia perlu selalu dijaga dan dirawat. Kau tahu maksudku?"
Tanya Kokulon. In San tertawa, ujarnya.
"Kenapa aku tidak maklum, setiap saat aku akan mendampinginya."
"Gubukku reyot dan jorok, hanya ada bilik obat itu yang bisa kusediakan tempat bermalam kalian. Untung kaliankan saudara, tentu tidak perlu berpisah tidur. Waktu sudah larut, kalian habis menempuh perjalanan jauh, silahkan istirahat lebih dini."
In San rasa hal itu sudah logis.
Sebelum ini sepanjang perjalanan dengan Ciok-sing bila tidak menemukan kota atau rumah penduduk, sering mereka tidur didalam hutan tapi tidur sekamar selama ini baru pertama kali, mau tidak mau In San agak malu-malu kucing.
Setelah ln San papah Tan Ciok-sing masuk kamar, Kokulon segera menutup pintu kamar, katanya.
"Bila kalian merasa panas, tidak usah gelisah, itulah reaksi setelah kalian minum arak obatku itu. Meski gerahnya luar biasa, sekali-kali kularang kalian keluar, nanti masuk angin."
"Aku sudah tahu,"
Ucap In San.
"paman tidak usah kuatir."
In San tidak berani membuka jendela, tapi angin menghembus dari celah-celah papan ynag bolong, hawa menjadi agak sejuk dan segar. In San berkata.
"Setelah minum arak tadi, rasanya segar dan nyaman sekali. Aku hanya merasa sejuk, bukan kedinginan. Apalagi perasaan gerah, sedikitpun tidak. Toako, apa kaupun merasa sejuk ?"
"Memangnya, segar dan sejuk sekali, sejuk sekali. Eh, kenapa aku jadi seperti mengambang di tengah mega."
"Ah, apa benar? Hahaha, aku juga merasa mengambang, terombang ambing. Sungguh aneh perasaanku ini."
Tak lama kemudian mereka sama-sama seperti mabuk tidak mabuk, didalam kamar hanya dipasang sebuah dian, angin dingin yang menghembus dari celah-celah pintu membikin nyala api bergoyang-goyang, demikian pula perasaan-mereka seperti dibuai asmara nan nikmat.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing seperti berada di Kanglam di musim semi, berkuntum-kuntum kembang berbagai jenis seperti menghambur di sekelilingnya, Tan Ciok-sing berkata.
"Adik San, kau masih ingat waktu aku ajak kau tamasya di Jit-singgiam dulu?"
"Kenapa tidak ingat, panorama dalam goa itu sungguh indah mempesona. Eh..."
"Kau kenapa?"
"Membicarakan Jit-sing-giam, sekarang aku seperti kembali disana. Ah, tidak panorama di depan mataku jauh lebih indah dari pemandangan dalam goa itu, aneka ragam dan warna warni, berobah dan berganti..."
"Akupun punya perasaan yang sama."
"He, kurang ajar, kenapa segulung hawa panas timbul dari pusarku."
In San tertawa, katanya.
"Kau melupakan penjelasan paman tadi, perasaan hangat itu lantaran kita minum arak obatnya tadi."
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan hangat yang menjadikan badan gerah, tapi kehangatan jenis lain..."
Rasa hangat yang menghinggapi perasaannya ini memang sukar dilukiskan dengan kata-kata tapi tak usah dijelaskan, In San sendiri mulai merasakan kehangatan yang sama. Badannya menjadi lemas lunglai, setelah menggeliat, dia berkata.
"Toako, peluklah aku."
Tan Ciok-sing masih sedikit sadar, katanya tertawa.
"Ah, anak segede ini masih minta dipeluk segala"?"
"Aku tidak ingin dipeluk orang lain, tapi kaulah yang harus memelukku. Nah kau berpikir yang tidak-tidak, aku hanya ingin tidur pulas dalam pelukanmu."
Mulutnya bilang jangan berpikiran yang tidak-tidak, padahal dia sendiri sudah tidak kuasa kendalikan diri sendiri. Tiba-tiba dia cekikikan, katanya.
"Malam pertama di kamar pengantin! Ah, Toako keadaan kita sekarang bukankah mirip malam pertama di kamar pengantin?"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya.
"Dalam kamar hanya diterangi sebuah dian, mana mirip kamar pengantin yang dipasangi sepasang lilin merah? Kini sedang musim dingin, dari mana datangnya kembang segar?"
"Siapa bilang tidak ada? Di depanku sekarang tersebar bermacam jenis kembang yang sedang mekar, eh kembangnya berputar-putar, ada seruni, mawar, sedap malam, eh sekali, aku jadi bingung untuk menyebut satu persatu, apa kau tidak melihatnya? Dian itu berubah menjadi lilin, berubah sepasang lilin?"
"Jangan mengigau aku, aku..."
In San sudah jatuh dalam pelukannya. Perasaan Ciok-sing seperti hambar, kosong, katanya sambil mendorong perlahan.
"Jangan begitu adik San. Biar aku buka jendela, supaya kau lebih merasa segar."
Mulut bicara, pada hal niat bangkit sudah tiada karena badan sudah ogah bergerak.
"Eeh, kenapa lupa, paman tadi berpesan tidak boleh membuka jendela."
Kedua tangan Ciok-sing kebetulan memegang tubuh In San yang bulat kenyal, lembut tapi juga mengencang.
Bukan lagi mendorong, sekarang Ciok-sing malah memeluk kencang dan jari jemarinya mulai meremas dan merambat naik turun.
Di kala Ciok-sing membalik tubuh balas menindih In San, tiba-tiba sebuah kotak emas kecil jatuh dari kantong baju Ciok-sing, kotak yang terbuka ternyata berisi kacang merah, In San menjemput kotak emas itu lalu menuang satu butir kacang merah di telapak tangannya.
Kacang merah ini mereka petik bersama di pinggir sungai dalam kota Kwi-lin, salah satu hasil bumi yang terkenal di Kwi-lin adalah kacang merah ini, dinamakan juga kacang rindu.
In San juga keluarkan kacang merah punyanya sendiri, sepasang kacang rindu berada di telapak tangannya, dengan berbisik dia berkata di pinggir telinga Tan Ciok-sing.
"Toako kau masih ingat sumpah setia kita dulu? Kacang rindu ini sebagai bukti, bumi dan langit sebagai saksi, selama hidup cinta kita takkan luntur."
Keluhan halus disusul deru napas yang memburu sebagai jawaban, sepasang kacang merah itu jatuh di lantai.
Sinar dian yang sudah guram kehabisan minyak kebetulan terhembus padam oleh angin yang meniup masuk lewat celahcelah pintu.
Didalam kegelapan, di alam sorga mereka nan indah, jiwa dan batin mereka berpadu, berpadu memperoleh sumber jiwa nan abadi, dua jiwa yang manunggal.
Rasa resah telah lenyap, pikiran pun telah jernih kembali.
Sinar pagi pun telah menerobos jendela.
Begitu siuman Tan Ciok-sing teramat menyesal dan mendelu, tak berani dia melirik In San.
Katanya perlahan.
"Adik San, aku telah membuatmu celaka."
In San mengenakan pakaian, lalu duduk menggelendot dalam pelukannya, katanya dengan mendongak menatap wajah sang kekasih.
"Toako, jangan kau bilang demikian, sedikitpun aku tidak menyesal, kita sudah sumpah setia, apa pula salahnya kita lebih mempererat ikatan. Kenapa kau sesalkan dirimu malah?"
Seperti diiris perasaan Ciok-sing, pikirnya.
"Kau tidak tahu, sayang aku tidak akan hidup berdampingan dengan kau sampai hari tua."
Karena tidak ingin membuat In San sedih, maka dia tidak berani utarakan isi hatinya.
Tanpa terasa, setelah asyik masyuk di atas ranjang, tahutahu hari sudah terang tanah, waktu mereka buka pintu keluar kamar, Kokulon sudah menunggu di ruang tengah, seperti tertawa tidak tertawa dia mengawasi mereka, katanya.
"Semalam kalian bisa tidur nyenyak?!"
Merah jengah muka In San, plegak-pleguk tak bisa bicara. Tan Ciok-sing berkata.
"Aku sudah lebih sehat, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan."
In San masih membujuk supaya dia istirahat beberapa hari, tanpa bersuara Tan Ciok-sing angkat telapak tangannya terus menggablok, sebatang balok yang sedianya untuk dibakar digabloknya pecah berantakan katanya tertawa.
"Coba periksa, tenagaku sudah pulih setengah lebih bukan?"
In San kira ini berkat arak obat semalam katanya.
"Baiklah, terserah kehendakmu."
Setiba di bawah gunung, terbayang akan kejadian semalam, In San dipeluknya kencang, mukanya merah sampai ke telinga, katanya.
"Adik San, memang akulah yang salah. Jangan kau menyalahkan paman Kokulon."
In San tertawa cekikikan, katanya.
"Sedikitpun aku tidak menyesal, jangan kau salahkan dirimu sendiri, akupun tidak menyalahkan paman Kokulon. Aku tidak tahu cara pengobatan, mungkin harus demikian, sehingga begitu sikapku terhadapmu dan membawa manfaat pula bagi kau. Paman sengaja merangkap perjodohan kita lebih nyata, maksudnya juga baik."
Lekas Tan Ciok-sing bicarakan persoalan lain.
"Marilah lekas jalan, untuk mencapai Thian-san bukan perjalanan yang gampang."
"Sepanjang jalan ini ada banyak peternakan, nanti kita bisa beli kuda yang baik."
Tak nyana setiba di bawah gunung setelah beberapa hari perjalanan, tak pernah mereka bertemu dengan manusia.
Meski akhirnya bertemu dengan orang, mereka juga menempuh perjalanan dengan jalan kaki, jarang yang naik kuda.
Yang naik kuda juga untuk kebutuhan sendiri, mana mau mereka menjualnya.
Negeri Watsu banyak terdapat padang rumput, rakyatnya banyak yang hidup dari hasil peternakan.
Jadi peternakan tersebar dimana-mana.
Tapi karena mereka harus menghindari pengejaran, maka jalan yang ditempuh harus jalan-jalan pegunungan yang sepi, apalagi tujuan mereka ke arah barat yang semakin sepi dan belukar, semakin jauh meninggalkan Holin kehidupan manusia semakin jarang.
Selama tiga hari itu mereka sibuk menempuh perjalanan sehingga tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tanpa terasa mereka sudah sepuluh hari menempuh perjalanan, sepanjang jalan mereka makan buah-buahan, adakalanya berburu binatang atau burung, hari ke sebelas mereka sudah keluar dari wilayah Watsu dan memasuki propinsi Sinkiang.
Hari itu mereka sedang melanglang di padang rumput, tibatiba tampak seekor kuda dilarikan kencang bagai terbang, penunggangnya adalah seorang bocah berusia tiga belasan tahun.
Di belakangnya ada orang mengejar seraya berteriak.
"Siauwya tarik kendalinya, jangan lari sekencang ini."
Penduduk Sinkiang yang dekat perbatasan masih menggunakan bahasa Mongol, maka Tan dan In tahu maksud perkataannya.
Dari cara lari kuda itu Tan Ciok-sing tahu kuda yang ditunggangi bocah itu masih liar, meski padang rumput adalah tanah datar, tapi ada juga batu-batu atau tanah lekukkan yang bisa membuat kuda tersandung, bila kuda liar mengumbar adatnya, seorang pawang liehay pun jangan harap bisa menundukkan dia, apalagi seorang bocah sekecil itu.
Ternyata bocah ini adalah putra seorang pemilik peternakan di daerah ini, sejak kecil dibesarkan di punggung kuda, sifatnya suka menang dan sombong, meski tahu kuda ini masih liar, tapi dasar bersifat angkuh, dia merengek ingin mencobanya.
Orang yang mengejar di belakang itu adalah salah satu pawang kuda yang bekerja di peternakan ayahnya.
Di punggung kuda si bocah seperti terapung di atas mega saja, lama kelamaan hatinya menjadi takut, karena takut dia jadi gugup, teriaknya.
"Aku tak berhasil menguasainya, lekas kau bantu aku."
Dasar bocah kalau pawang kuda itu bisa mengejarnya, buat apa suruh dia menarik kendali dan berhatihati.
Begitu kencang dan liar cara lari kuda itu sehingga kakinya menendang sebuah batu cukup besar, kuda itu melonjak ke atas, empat kaki meninggalkan bumi.
Jelas si bocah pasti terlempar jatuh dari punggung kuda.
Untung Tan Ciok-cing datang tepat pada waktunya, begitu kuda anjlok menyentuh bumi, tali kekang sudah terpegang oleh tangan kiri, sementara tangan kanan dia tekan kepalanya.
Secara kekerasan kuda itu telah ditahannya hingga tidak bisa berkutik, kepala tak kuat diangkat semula kakinya masih mencak-mencak, tapi akhirnya dia hanya meringkikringkik saja.
Dalam pada itu In San telah membopong bocah itu turun.
Saking takut dan kaget pawang kuda itu sudah pucat dan sengal-sengal melihat majikan mudanya selamat tidak kurang suatu baru lega hatinya, lekas dia memburu tiba serta menghaturkan terima kasih.
Tiba-tiba tampak seorang laki-laki suku Uighor menunggang kuda mendatangi, langsung dia disongsong oleh bocah laki-laki itu, dengan kaget dan senang dia berteriak.
"Liang-ji, besar betul nyalimu, berani kau menunggang kuda galak dan masih liar itu, kau tidak jatuh?"
Orang ini adalah pemilik peternakan di daerah ini, bernama Tuli-bun, bocah yang menunggang kuda liar itu adalah putra tunggalnya bernama Tuli-liang. Menghampiri ayahnya Tuli-liang berseru.
"Ayah, kuda liar ini sudah tunduk, tapi bukan jasaku."
Lalu mulutnya nyerocos kilikuluk entah apa yang dikatakan, begitu cepat ungkapan perkataannya, sehingga Tan Ciok-sing dan In San tidak bisa menangkap artinya, tapi mereka menduga si bocah sedang menceritakan kejadian yang dialaminya kepada sang ayah.
Maka Tuli-bun mengeluarkan selembar sapu tangan besar, dengan kedua tangannya dia persembahkan kepada Tan Cioksing.
Tan Ciok-sing tahu inilah salah satu adat orang-orang Mongol untuk menyatakan terima kasih dan kehormatan kepada tamunya, yaitu memberikan 'hata' sebagai tanda tali persahabatan pula.
Tuli-bun bukan bangsa Mongol, tapi karena dia hidup di perbatasan yang dekat dengan perbatasan Watsu, maka adat istiadat itupun sering dipakainya, lekas Tan Ciok-sing menerima hata itu dengan kedua tangan lalu membalas hormat dengan membungkuk tubuh, katanya.
"Jongcu (pemilik peternakan), harap jangan terlalu banyak peradatan."
"Kapan aku bisa kedatangan tamu dari jauh, berkat pertolonganmu pula hingga jiwa putraku selamat, tiada yang kubawa bisa kuhaturkan sebagai pernyataan terima kasih, bagaimana kalau kalian mampir ke rumahku menginap beberapa hari."
"Terima kasih Jongcu, kami tidak tahu sungkan, tawaranmu kami terima dengan senang hati, biarlah malam ini bikin repot kalian saja. Tapi kami masih ada urusan, hanya menginap semalam saja, besok juga harus terus berangkat."
"Lho, kenapa hanya semalam, menurut kebiasaan kami disini, menyambut kehadiran tamu dari jauh, apapun tidak bisa hanya menginap sehari semalam. Apalagi kau adalah penolong jiwa putraku?"
"Sebetulnya ada urusan penting yang harus kami selesaikan, perjalanan kami masih jauh, maaf waktu tidak boleh ditunda-tunda."
Ternyata Tuli-bun seorang yang lapang dada, dengan tertawa dia berkata.
"Baiklah, urusan besok biar dibicarakan besok, mari silakan masuk, malam ini aku akan menjamu kalian sebagai tuan rumah menyambut tamu-tamunya."
Setiba di peternakan, perjamuan ternyata sudah mulai dipersiapkan.
Setelah membersihkan badan Tan Ciok-sing berdua dipersilahkan duduk dalam sebuah kemah yang mewah dengan alas kulit bulu.
Hidangannya adalah kambing utuh yang sedang dipanggang di atas api unggun, ada arak susu kuda.
Beberapa hari ini Tan Ciok-sing dan In San hanya makan buah-buahan dan daging burung atau kelinci, tuan rumah begitu ramah lagi, maka merekapun tidak sungkan lagi, hidangan yang tersedia dimakannya dengan lahap.
Setelah menghabiskan tiga cangkir arak, Tuli-bun berkata.
"Kalian bangsa Han bukan, datang dari mana mau kemana?"
"Ya, kami orang Han datang dari kota raja Pakkhia,"
Sahut Tan Ciok-sing. Tuli-bun tertawa, katanya.
"Apa benar? Wah betul-betul tamu agung. Terus terang, sudah belasan tahun di tempat kita ini jarang didatangi tamu bangsa Han, sungguh tak nyana dalam beberapa hari ini, beruntun kami kedatangan empat tamu bangsa Han."
In San melengak, katanya.
"Beberapa hari yang lalu, tempat kalian juga kedatangan tamu orang Han?"
"Iya. Kedua tamuku itu seperti juga kalian, muda-mudi, usianya kira-kira sebaya dengan kalian. Aku ingin tanya kalian..."
Untuk mendengar dan bicara bahasa Morgol, Tan Ciok-sing tidak sefasih In San dia sedang mendengarkan dengan seksama, kuatir mendengar tidak lengkap. Tapi sebelum Tulibun habis bertanya, putranya Tuli-liang telah merebut tanya.
"Toako orang Han, apa kau pandai meniup seruling?"
Tan Ciok-sing kaget, katanya.
"Aku hanya mahir memetik harpa, sayang tidak bisa meniup seruling, Kenapa kau tanya aku pandai tidak meniup seruling?"
Tuli-liang berkata.
"Orang Han yang datang dua hari yang lalu pernah membawakan sebuah lagu dengan alat musik sebatang bambu, begitu merdu tiupan lagunya, waktu kutanya, dia menjelaskan bahwa yang dibuat tiupan itu bernama 'seruling'. Aku senang memainkan alat musik seperti itu, kukira setiap orang Han pasti pandai meniup seruling. Harpa itu juga sebuah alat musik bukan, mirip tidak alat gesek kepala kuda milik kita, kapan kau memetik harpamu itu?"
Mendengar orang Han yang bertamu dua hari yang lalu pandai meniup seruling, saking senang Tan Ciok-sing sampai menjublek. Sehingga perkataan akhir dari si bocah tidak diperhatikan. Tuli-bun mengomel.
"Orang tua sedang bicara, anak-anak tidak boleh menimbrung. Sampai dimana aku tadi bicara?"
In San berkata.
"Kau ada sesuatu yang ingin tanya kepada kami?"
"Betul. Memang aku ingin tanya, bukankah kalian ingin pergi ke Thian-san?"
"Jongcu,"
Ucap In San heran.
"darimana kau tahu?"
"Kedua tamu Han yang datang duluan itupun hendak pergi ke Thian-san."
"Pernahkah mereka bercerita apa-apa?"
Tanya Ciok-sing.
"Agaknya kalian kenal baik dengan mereka? Jadi orang yang mereka cari pasti kalian. Mereka tanya apakah aku pernah melihat sepasang muda mudi bangsa Han yang sebaya mereka."
"Betul. Mereka memang sahabatku. Tapi aku tidak nyana mereka bisa berada disini."
Maklum orang Han yang pandai meniup seruling dan mencari mereka jelas adalah kenalan baik, lalu siapa lagi kalau bukan Kek Lam-wi. In San berkata.
"Gadis yang mendampingi Kek-toako jelas adalah Toh So-so cici, Jongcu, mereka menyebutkan namanya tidak?"
"Nama bangsa Han kalian aku susah mengingatnya, bahasa Mongol mereka tidak sefasih kalian, hingga aku tidak jelas tentang nama mereka. Tapi dalam rumahku ada orang yang pandai bicara bahasa Han, hari itu diapun hadir, sebagian besar pembicaraan mereka orangku itu yang menterjemahkan. Bila kalian ingin tahu lebih banyak, boleh kusuruh memanggil orangku itu."
Tan Ciok-sing sudah yakin bahwa mereka adalah Kek Lamwi dan Toh So-so, karena diluar dugaan mendengar kabar tentang sahabat karibnya, sudah jamak kalau mereka ingin tahu lebih banyak tentang mereka. Katanya.
"Kalau tidak menyulitkan Jongcu, tolong panggilkan orangmu itu supaya aku bicara langsung dengan dia."
Tuli-bun segera suruh orang memanggil orangnya yang pandai bahasa Han, katanya.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jarang ada orang Han yang datang ke tempat kami ini. Sepanjang jalan ini kalian bisa mencari tahu jejak mereka, pasti dapat menyusulnya. Akan kupilihkan dua ekor kuda paling bagus untuk kendaraan perjalanan kalian, meski sudah terlambat dua hari, yakin kalian akan dapat menyusul mereka. Sekarang kuhaturkan selamat kepada kalian, mari silahkan habiskan secangkir ini."
In San menenggak habis secangkir penuh, katanya.
"Kami ingin secepatnya dapat menyusul mereka, banyak terima kasih akan penyambutan Jongcu, terima kasih pula akan pemberian dua ekor kuda. Besok pagi-pagi, kami akan berangkat sesuai rencana."
"Baiklah,"
Ujar Tuli-bun.
"aku tidak akan menggondeli kalian. Nona In, agaknya kau senang minum arak susu kuda buatan kami, silahkan habiskan secangkir lagi."
Tan Ciok-sing heran, pikirnya.
"Biasanya adik San tidak suka makan atau minum makanan kecut, jarang minum arak. Arak susu kuda ini agak kecut meski tidak begitu keras, tapi aku tak kuat minum lebih banyak lagi, kalau tidak sungkan karena desakan tuan rumah, rasanya aku sudah ingin muntah saja Kenapa adik In justru senang minum arak susu kuda ini?"
Tuli-bun amat senang, katanya tertawa.
"Kapan kau bisa minum arak susu kuda kami, kalau kau suka, mari minum lagi secangkir, kutanggung tidak akan mabuk."
Tak lama belum dia bicara habis, mendadak In San berdiri meninggalkan tempat duduknya terus berlari keluar kemah.
Tan Ciok-sing keheranan, lekas dia memburu keluar.
Tuli-bun jadi gugup, lekas diapun membuntuti Tan Ciok-sing.
Begitu keluar kemah, In San sudah tidak tahan lagi, dengan membungkuk tubuh dia muntah sebanyak-banyaknya, makanan dan minuman yang masuk perutnya dituang kembali, cukup lama In San muntah-muntah sampai air matanya bercucuran.
Setelah reda dengan muka merah In San berkata.
"Bikin kotor tempat kalian, sungguh tidak enak."
Tuli-bun juga kikuk, katanya.
"Memang aku yang salah, kenapa aku lupa kalian bangsa Han biasanya tidak suka makan barang berasam dan berminyak, seharusnya aku menyuguh secangkir teh lebih dulu."
Tan Ciok-sing sedikit tahu tentang ilmu pengobatan, segera dia pegang urat nadi In San, terasa denyut nadinya agak berlainan, tapi bukan gejala badan tidak enak atau ada penyakit. Tanyanya.
"Adik San, kau merasa badan kurang enak?"
"Sukar kukatakan, mungkin minum arak terlalu banyak, kepalaku berdenyut-denyut, dada agak mual, selalu ingin muntah."
Tuli-bun risih, katanya kikuk.
"Karena badan adikmu kurang enak, lebih baik lekas istirahat saja"
Lalu dia tepuk-tepuk tangan mengundang dua pelayan suruh membimbing In San masuk ke kemah yang telah disediakan. Sudah tentu tuan rumah dan pihak tamu tiada selera lagi minum arak, sementara Tuli-bun berpesan kepada pawang kudanya.
"Cepat sediakan kudaku, aku akan keluar sebentar."
Tuli-liang heran, tanyanya.
"Ayah, hari sudah malam, kau mau kemana?"
"Kau temani tamu kita, aku akan mengundang Jalakun."
Lalu dia memberi penjelasan kepada Tan Ciok-sing.
"Jalakun adalah orangku yang pandai berbahasa Han tadi, dia pernah ke tempat orang Han, bukan saja pandai bahasa Han, diapun pandai mengobati."
Tan Ciok-sing menjadi rikuh, katanya.
"Biasanya badan adikku amat sehat, mungkin di jalan kena angin, kukira kesehatannya tidak akan terganggu, jangan Jongcu repotrepot."
"Tidak apa-apa, kaukan ingin bertemu dengan dia, akan kupanggil dia lekas datang, tiada urusan juga tidak jadi soal, apa salahnya berjaga-jaga. Tapi tabiatnya agak aneh, aku kuatir bila suruh orang, dia tidak mau datang."
Tan Ciok-sing menunggu dengan perasaan tidak tenteram, karena terlalu iseng akhirnya dia terima permintaan Siaujongcu memetik harpa. Tiba-tiba didengarnya seseorang memuji.
"Bagus sekali petikannya. Belum pernah aku mendengar petikan lagu harpa semerdu ini."
Logat orang ini agak mendekati penduduk perbatasan diluar Gan-bun-koan, meski logatnya agak pelo tapi bahasa Hannya masih dapat didengar oleh Tan Ciok-sing, Waktu Tan Ciok-sing menoleh.
Tampak yang masuk kemah adalah seorang laki-laki kurus bersih, tiga jalur jenggot kambing menghiasi dagunya, pakaiannya juga jubah panjang seperti pakaian orang-orang Han umumnya, tapi dari tampangnya jelas bahwa dia orang Uighor.
Tan Ciok-sing berkata.
"Terima kasih akan pujian tuan. Mohon petunjuk..."
"Jalakun, kau sudah datang,"
Teriak Tuli-liang.
"mana ayah? Engkoh orang Han, inilah orangnya yang bisa berbahasa Han."
Jalakun berkata.
"Ayahmu serahkan kuda api sembraninya kepadaku, dia menunggang kudaku, maka dia kutinggal di belakang."
Maklum kuda tunggangan pemilik peternakan, ini adalah kuda pilihan yang tiada bandingannya di daerah itu. Jalakun memberinya nama Hwe-liong-ki atau Kuda Naga Api. Lekas Tuli-liang lari keluar menyambut kedatangan sang ayah. Jalakun berkata.
"Kabarnya adikmu setelah minum arak susu kuda badannya kurang enak bagaimana keadaannya sekarang? Ilmu pengobatanku meski belum mahir, kalau bukan penyakit aneh, yakin aku bisa mengobatinya, perlukah aku memeriksa adikmu?"
"Dia sudah pergi tidur, sampai sekarang belum ada orang keluar melaporkan keadaannya, kukira keadaannya baik-baik saja."
Sahut Tan Ciok-sing. Setelah mendengar sekedar penjelasan Tan Ciok-sing, Jalakun berpikir sejenak, katanya kemudian.
"Kukira adikmu tidak sakit, tapi aku perlu memeriksanya langsung."
Mendengar perkataan orang gerambyang, sukar dipastikan, Ciok-sing agak bimbang, katanya.
"Lalu dia terserang penyakit, penyakit..."
"Sekarang belum positip. Biarlah tunggu dia siuman, akan kuperiksa urat nadinya."
Rikuh Tan Ciok-sing bertanya pula. Terpaksa dia alihkan persoalan.
"Kabarnya dua hari yang lalu ada dua orang Han lewat sini, entah apakah mereka menyebut nama mereka?"
"Ya, mereka memperkenalkan diri. Yang laki bernama Kek Lam-wi, yang perempuan bernama Toh So-so. Sekarang aku tahu orang yang mereka cari adalah engkau."
Sesuai dugaan Tan Ciok-sing, tapi dia pun merasa diluar dugaan.
"Kenapa Kek-toako mau menyebut nama sendiri dan arah tujuannya kepada seorang yang tak dikenal?"
Jalakun seperti dapat meraba isi hatinya, katanya.
"Walau aku belum pernah bertemu dengan mereka, kalau dikatakan sebetulnya juga tidak asing lagi. Aku sudah tahu bahwa mereka adalah Jit-te dan Pat-moay dari Bulim-pat-sian."
Tan Ciok-sing heran, katanya.
"Darimana kau tahu?"
"Aku pernah melihat Wi-cui-hi-kiau dari Pat-sian,"
Demikian tutur Jalakun.
"syukur mereka sudi memandangku sebagai teman, hingga aku bersahabat dengan mereka, tapi itu terjadi beberapa tahun yang lalu, Kek Lam-wi dan Toh So-so belum keluar kandang, nama Bulim-pat-sian juga belum muncul di Bulim. Lim Ih-su Lim Tayhiap pernah bilang bahwa dia punya dua adik laki perempuan yang masih kecil, karena gemar musik, diapun menjelaskan bahwa adik ke tujuh lelaki itu hobbynya meniup seruling. Tan Ciok-sing baru jelas persoalannya, katanya.
"Agaknya kau telah mendengar tiupan seruling Kek Lam-wi, irama serulingnya memang berbeda dari seruling umumnya, maka sekali dengar kau lantas menebaknya dengan jitu?"
"Betul."
Ucap Jalakun.
"maka aku bicarakan Wi-cui-hi-kiau sama dia, sekali bicara lantas seperti teman lama. Ternyata dia juga tahu tentang persahabatan Toako dan Jikonya dengan aku belasan tahun yang lalu."
"Kenapa mereka mau pergi ke Thian-san, apa kau tahu?"
"Katanya menghindar diri dari musuh besar yang menguber jejak mereka. Aku tanya musuh besar macam apa, apakah liehay sampai Kanglam-pat-sian tidak mampu menghadapinya? Kek Lam-wi bilang, bukan mereka takut menghadapinya, soalnya dia tidak mau memperpanjang urusan, katanya musuhnya itu bukan manusia jahat, jikalau Wi-cui-hi-kiau diundang untuk menghadapi mereka, rasanya terlalu membesar-besarkan urusan. Sudah lama mereka dengar nama besar dan keliehayan Thian-san-kiam-pay, kau adalah sahabat mereka, sekarang menuju ke Thian-san lagi, maka mereka lantas menyusulnya kemari. Sekedar bertamasya."
Sampai disini Tan Ciok-sing lantas maklum, pikirnya.
"Musuh besar mereka jelas adalah ayah . bunda Liu Yau-hong yang cabul itu. Wajah Liu Yau-hong dirusak oleh Toh So-so, di hadapan ibunya pasti dia mengadu biru dan merengek-rengek kepada ibunya supaya menuntutkan balas sakit hatinya bersama sang ayah."
Jalakun berkata.
"Menurut cerita Kek Lam-wi, kedua musuhnya itu juga telah mengejar keluar perbatasan, maka disini mereka hanya menginap semalam, hari kedua buru-buru berangkat."
Sampai disini pembicaraan mereka, tampak seorang pelayan berjalan masuk. Salah seorang pelayan yang tadi memapah In San masuk ke perkemahan yang disediakan untuknya. Langsung pelayan itu berkata kepada Jalakun.
"Tay-hu (tabib), tolong kau periksa nona Han itu."
Jalakun adalah tamu majikan mereka yang sering datang, orang-orang Tuli-bun semua mengenalnya baik.
"Kenapa si nona Han itu?"
Tanya Jalakun.
"Baru saja dia siuman, mendadak mengeluh perut sakit dan napas sesak, kami memberinya minum kuah Jin-som, tapi semangkok kuah dia muntahkan seluruhnya."
"Baiklah, sekarang juga akan kuperiksa."
Ucap Jalakun sambil mengajak Tan Ciok-sing masuk. Melihat Tan Ciok-sing masuk, In San lantas berkata.
"Toako, sungguh tak nyana badanku jadi tak berguna begini, kali ini pemberangkatanmu mungkin terpaksa ditunda sementara."
"Jangan kuatir, Jongcu telah mengundang tabib pandai untuk memeriksa keadaanmu, penyakitmu pasti lekas sembuh dan besok juga kita sudah bisa melanjutkan perjalanan."
Setelah memeriksa urat nadi In San, wajah Jalakun - menunjukkan mimik lucu, seperti tertawa tidak tertawa. In San bertanya.
"Tay-hu, aku kena penyakit apa?"
Jalakun berpikir sebentar, katanya tertawa.
"Tidak apa-apa, mungkin kau tidak cocok dengan iklim disini. Cukup makan dua resep obatku, besok juga kau sudah sembuh."
In San girang, katanya.
"Jadi lusa kami sudah bisa melanjutkan perjalanan?"
"Betul, kalian cukup menunda perjalanan sehari saja."
Ujar Jalakun. Lalu dia membuat resep dan langsung pergi ke gudang obat Tuli-bun meracik obat dan suruh pelayan memasaknya langsung diminumkan kepada In San dua kali. Jalakun tertawa, katanya.
"Untung kalian berada di rumah Tuli-bun, dengan biaya besar tak segan-segan dia membeli bahan obat-obatan yang mahal dan mujarab ini dari orangorang Tionghoa di Holin apa lagi hanya obat-obatan biasa begini; setahunpun cukup kau pakai."
Setelah berada diluar perkemahan, secara berbisik Tan Ciok-sing tanya kepada Jalakun.
"Apa betul adikku itu karena tidak cocok dengan iklim disini?"
"Aku ingin tanya kepadamu. Kalian bukan kakak beradik sepupu bukan?"
Tan Ciok-sing menduga Kek Lam-wi sudah menjelaskan asal-usul dirinya dan hubungannya dengan In San, maka diapun tidak mau mengelabui, dengan muka merah dia berkata perlahan.
"Betul, kami sebagai kakak adik yang sudah mengikat jodoh."
Jalakun tertawa lebar, katanya.
"Kalau begitu patut kuberi selamat kepadamu, nona In tidak sakit, tapi dia sudah mengandung."
Tan Ciok-sing terbeliak, matanya memancarkan sinar kegirangan, mukanya merah tapi juga malu, kepalanya tertunduk tak berani bersuara. Setelah In San minum obat pertama, baru Tuli-bun pemilik peternakan tiba di rumah.
"Bagaimana keadaan adikmu?"
Begitu masuk langsung dia tanya.
"Tidak apa-apa."
Sahut Tan Ciok-sing.
"tabib bilang lantaran tidak cocok dengan iklim di daerah sini, setelah minum obat, besok juga pasti baik."
Hari kedua In San makan dua obat lagi, semangatnya ternyata pulih dengan cepat, makan minum seperti sedia kala, juga tidak muntah-muntah lagi.
Tapi dia lebih senang makan barang-barang asam.
Hari ketiga, Tan Ciok-sing dan In San berpamitan kepada Tuli-bun.
Tuli-bun berkata.
"Harap tunggu sebentar."
Tak lama kemudian tampak Tuli-liang bersama pawang kuda masingmasing menunggang seekor kuda mendatangi. Tuli-liang berkata.
"Kuda ini milik ayah, namanya Hweliong- ki, kuda yang satu lagi adalah kuda liar yang hari itu berhasil aku tundukkan. Inilah sumbangan ayah dan aku untuk kalian."
Tan Ciok-sing berkata.
"Kuda milik Jongcu mana berani kami terima? Kuda yang satu ini juga kesukaan Siau-jongcu, aku, kami..."
Tuli-liang berjingkrak, serunya.
"Tidak, kalian harus terima pemberianku ini. Tan-toako, kau sudah bilang mau menerima, kenapa sekarang mungkir? Barang yang diberikan kepada tamu memang adalah barang kesayangan sendiri baru besar artinya, mana ada orang memberikan barang yang dibencinya kepada orang lain?"
Tuli-bun tertawa, katanya.
"Orang Han kalian biasanya ada pepatah yang bilang, perkataan seorang Kuncu laksana kuda dipecut sekali, betul tidak? Kedua ekor kuda ini sudah menjadi milik kalian, jikalau kalian sudi memandangku sebagai sahabat, maka jangan kau tolak pemberian kami ini."
Melihat orang tulus dan iklas, Tan Ciok-sing jadi sungkan, terpaksa dia terima dua ekor kuda itu serta mengucapkan terima kasih. Tuli-bun berkata lebih lanjut.
"Sekantong arak susu kuda ini dan sekantong ransum kering ini untuk bekal kalian di tengah jalan, terimalah sebagai pernyataan sanubariku."
Baru saja mereka hendak naik ke punggung kuda, tiba-tiba Jalakun tarik tangan Tan Ciok-sing ke pinggir, diam-diam dia memberi sebotol pil obat, berbisik memberi pesan entah apaapa.
Sudah tentu tingkah lakunya ini menarik perhatian In San, diam-diam dia merasa heran.
Setelah jauh meninggalkan peternakan, In San bertanya.
"Sebetulnya aku terkena penyakit apa? Tabib itu sudah menjelaskan kepadamu?"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tan Ciok-sing tertawa, katanya.
"Adik San, biar kujelaskan sejujurnya kepadamu. Tabib bilang kau sudah mengandung. Sebotol obat ini adalah An-tay-yok, obat penguat kandungan."
In San melenggong, katanya.
"Apa betul aku, aku sudah hamil? Kau tidak ngapusi aku?"
"Kau belum pernah hamil, tapi perempuan hamil tentunya kau pernah melihatnya, bukankah mereka senang makan yang kecut-kecut?"
Merah selebar muka In San dengan malu-malu dia menunduk, tapi hatinya senang bukan main.
"Adik San,"
Kata Tan Ciok-sing.
"aku yang bikin kau sengsara, kau, kau tidak marah kepadaku bukan?"
In San angkat kepala, katanya tertawa.
"Siapa bilang aku tidak senang, aku justru kuatir kau yang tidak senang."
Tan Ciok-sing melongo, tanyanya.
"Kenapa aku tidak senang?"
In San tertawa.
"Kelak aku jauh menyayangi anak kita dari pada menyayangi kau, apa kau tidak iri?"
"Memang begitulah yang kuharapkan."
"Aku, aku sedang pikir..."
"Apa yang kau pikir?"
Semekar kembang senyuman ln Sanj katanya perlahan.
"Dari cerita orang aku sering dengar, perempuan yang baru hamil empat lima bulan masih boleh bergerak bebas. Dengan menunggang kuda-kuda jempolan pemberian Tuli-bun, dalam jangka dua bulan pasti kita bisa mencapai Thian-san, kurasa aku tidak akan mengalami sesuatu. Toh Thian-tok Ciangbunjin Thian san-pay adalah suhengmu, setiba di Thian-san, boleh kau mohon kepadanya untuk menjadi wali pernikahan kita. Sayang mungkin aku tidak bisa menemani pulang ke markas Kim-to Cecu."
Bandit Penyulam -- Khu Lung Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung