Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 11


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 11



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Kali ini umpama kata kakak menang,"

   Pikir In Loei kemudian.

   "ia pasti akan jadi sangat lelah, sedang menurut aturan pertandingan, dia mesti melayani terus lawan-lawan baru hingga dua pertandingan, baharu ia boleh beristirahat. Jikalau tandingan kakak yang kedua ada sebangsa Liok Thian Peng kosennya, pasti lenyaplah gelaran Boe tjonggoan1. Sekarang masih belum ada kepastiannya....."

   Pertempuran berjalan untuk banyak jurus, kedua pihak masih sama imbangannya, kejadian itu membuatnya kedua pihak tegang sendirinya.

   In Tiong berkemauan keras untuk menang, ia berani melakukan penyerangan- penyerangan yang berbahaya sekalipun untuk dirinya sendiri, setiap kalinya, pukulannya bertambah berat.

   Untuk ini ia berlaku lambat dan sebat dengan tiba- tiba.

   Ia mainkan siasat, ia mencari lowongan, sekalipun dengan memancing.

   Liok Thian Peng lebih berpengalaman, dia tidak membiarkan dirinya dipancing, dia berlaku tenang, matanya pun dipasang dengan tajam.

   Selagi pertandingan berjalan, tiba-tiba tubuh In Tiong terhuyung, lalu lolos di antara cambuk, ia menyerang dengan kedua tangannya, golok di tangan kanan, kepalan di sebelah kiri.

   "Bagus!"

   Seru Liok Thian Peng atas serangan tiba-tiba itu.

   Ia berkelit dari kepalan dan menangkis golok, sesudah mana, ia pun membalas, yaitu ia membarengi, meneruskan gerakan cambuknya, yang ia pakai menyerang membalas.

   Hampir In Loei keluarkan seruan karena menyaksikan saat yang sangat berbahaya itu, atau segera ia dengar jeritan "aduh!"

   Dari Liok Thian Peng.

   Ia pun belum melihat nyata atau ia saksikan Thian Peng rubuh, cambuknya terlempar, tubuhnya terguling di atas panggung.

   Dengan tibanya serangan membalas itu, tiba-tiba Thian Peng merasakan lengannya tertusuk jarum yang sakit rasanya.

   Tentu saja ia menjadi sangat kaget, apapula pada saat itu, serangan In Tiong datang menyusul.

   Tak ada jalan lain, sambil melepaskan cambuknya, ia buang dirinya ke panggung, guna berkelit dari serangan Kimkong tjioe yang dahsyat.

   Selagi bergulingan, di dalam hatinya, ia kata.

   "Hm! Kiranya di tangan bocah ini masih ada senjata rahasianya! Kecewa aku terpedaya!"

   Tapi ia bungkam.

   Di dalam pieboe itu tidak disebutkan larangan menggunakan senjata rahasia.

   Tentu saja, ia pun tidak ketahui, penyerang dengan jarum rahasia itu bukannya In Tiong.

   Di bawah panggung, In Loei heran.

   Di atas panggung, In Tiong tidak kurang herannya kenapa lawannya itu rubuh sedang serangannya belum lagi mengenal sasarannya.

   Dengan begitu, selesailah sudah pertempuran itu, maka kembalilah kiepaykhoa dengan tugasnya, memperdengarkan suaranya seperti biasa.

   "Kiedjin ke lima belas, Thio Tan Hong, naik ke panggung! Penanggungnya Thio Hong Hoe, Tjongkauwtauw dari Gielim koen merangkap Tjiehoei dari Kimie wie!"

   In Loei mendengar nyata, ia menjadi kaget hingga semangatnya bagaikan terbang pergi.

   Ia berdiri menjublak.

   Ia heran bukan main.

   Kenapa Thio Tan Hong juga turut dalam ujian? Kenapa Thio Tan Hong hendak perebutkan gelar Boe tjonggoan dengan kakaknya itu? -ooo00dw00ooo- Bab XVI Thio Tan Hong lompat naik ke atas panggung dengan sikap yang tenang dan wajah berseri-seri.

   Seperti biasanya, dia dandan dengan pakaian putih, pun ikat kepalanya putih juga.

   Sepatunya adalah sepatu yang enteng.

   Indah gerakannya ketika tubuhnya mencelat ke atas panggung Ioeitay, bagaikan "pohon kemala ditiup angin"

   Atau "bunga lay beterbangan antara salju."

   Dia pun muda dan cakap romannya, halus gerak-geriknya. Para kiedjin bersorak, waktu mereka menyaksikan munculnya saingan ini.

   "Sungguh satu pemuda yang cakap!"

   Raja memuji setelah menyaksikan kiedjin No. 15 ini. Hingga ia berkata kepada Kong Tiauw Hay.

   "Orang ini sepantasnya turut dalam ujian Boen tjonggoan....."

   "Ya,"

   Sahut Kong Tiauw Hay, acuh tak acuh, sebab kedua matanya sedang menatap Thio Tan Hong. Terang nampaknya, dia heran atau curiga....."

   Sesampainya di atas panggung, Tan Hong tidak segera tantang In Tiong, dia hanya memandang sekelebatan, menyapu dari kaisar sampai kepada yang lainnya.

   Terkejut Kaisar Kie Tin ketika sinar matanya bentrok dengan sinar mata Tan Hong, tanpa merasa, ia bergidik sendirinya.

   Kaisar ini heran sekali, orang ada demikian lemah lembut, kenapa matanya tajam sekali, pada sinarnya seperti berbayang "hawa pembunuhan."

   Tentu sekali raja ini tidak tahu, leluhur Thio Tan Hong adalah musuh besar dari leluhurnya sendiri - musuh dalam perebutan negara.

   Munculnya Tan Hong tidak hanya mengejutkan In Loei seorang.

   Ie Kiam dan In Tiong juga tak menyangkanya sama sekali.

   Ie Kokioo berpikir.

   "Tan Hong adalah seorang luar biasa, telah berulang kali aku menganjurkan dia bekerja untuk pemerintah, untuk itu bersedia aku menanggung dia dengan rumah tanggaku, dengan jiwaku, dia senantiasa menampiknya, kenapa sekarang dia muncul di sini hendak memperebutkan segala gelar Boe tjonggoan?"

   In Tiong sebaliknya berpikir.

   "Binatang ini adalah pengchianat yang bekerja untuk bangsa Watzu, kenapa dia datang untuk perebutkan gelaran Boe tjonggoan denganku? Apa tidak baik jikalau aku beber saja rahasianya? Tapi dia ditanggung oleh Thio Hong Hoe, pemimpinku, bagaimana?"

   Karena ini, terpaksa ia bungkam, ia cuma telan sendiri kemendeluannya. Tak berayal lagi, Thio Tan Hong menghadap In Tiong. Ia bersenyum lebar dengan tangannya di gagang pedang. Dengan dalam ia menjura, terus ia berkata dengan hormat.

   "Saudara In, aku mohon belas kasihanmu....."

   In Tiong gusar bukan kepalang, kedua matanya sampai bersinar bagaikan api menyala, akan tetapi dia berada di atas panggung, dia mesti kendalikan dirinya, dia harus mengindahkan adat istiadat, maka itu, dia pun membalas menghormat sambil menjura, cuma waktu dia buka suara, walaupun perlahan, dia kata.

   "Hari ini jikalau bukannya kau yang mati, aku yang mampus!"

   Akan tetapi Tan Hong tertawa.

   "Itulah tak usah!....."

   Katanya, sabar. Belum orang menutup mulutnya, In Tiong sudah mulai menyerang. Setelah mereka satu pada lain memberi hormat, tak perlu lagi mereka main hormat-hormatan terlebih jauh. Gerakkannya adalah "Kwahouw tengsan,"

   Atau "Menunggang harimau mendaki gunung."

   In Loei telah menyaksikan itu, tanpa merasa, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Ia berkuatir tak terkira. Di atas panggung, Tan Hong telah perdengarkan seruannya.

   "Bagus!"

   Lalu tubuhnya bergerak, mengegos dari bacokan In Tiong, atas mana, In Tiong, menyusul dengan bacokan lagi dari samping.

   Ia jadi penasaran karena bacokannya yang pertama itu dengan mudah dapat dielakkan lawan.

   Kali ini Tan Hong mencoba tenaga orang, ketika ia melewatkan bacokan itu, ia bentur lengan pemuda she In itu, hingga terjadilah satu peraduan tangan yang keras.

   Ia pakai tangan kanan, In Tiong tangan kiri.

   "Nyata Taylek Kimkong Tjioe dari Toasoepee bukan nama belaka!"

   Kata Tan Hong dalam hatinya setelah benturan itu, terus saja ia balas menikam.

   "Bagus!"

   Seru In Tiong tanpa disengaja ketika ia berhasil mengelakan diri dari tikaman yang berbahaya itu.

   Ia juga kagumi liehaynya lawan ini.

   Kedua pihak bertempur dengan hati-hati, apa-pula In Tiong, yang tahu pedang lawan adalah pedang mustika dan goloknya, walaupun tajam, tak akan sanggup melawan pedang itu.

   Ia tidak membiarkan goloknya dipapas, sedang ia sendiri, ia selalu menahas pedang lawan dari samping.

   Kedua pihak, berlaku hati-hati, tapi kedua pihak pun saling menyerang secara hebat.

   Sesudah pertempuran berjalan sekian lama, tiba-tiba Tan Hong merubah gerak- geriknya.

   Satu kali ia berseru panjang, lalu tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan, ke kiri dan kanan, hingga In Tiong seperti dikurung musuh-musuh diempat penjuru.

   Menghadapi musuh demikian gesit, In Tiong pernahkan diri di tengah-tengah.

   Ia berputar ke mana lawan berkelebat, ia menangkis sambil membalas membacok.

   Ia telah mencoba, akan menahas kutung pedang lawan, tapi belum pernah ia berhasil.

   Ia berlaku sangat cepat, tapi lawan lebih cepat pula.

   Bagaikan capung menyambar air, demikian samberan Tan Hong dan lewatlah tubuhnya pesat sekali.

   Sepasang alis kaisar bangun ketika menyaksikan pertempuran setelah tujuh puluh jurus.

   "Bagus! Bagus!"

   Pujinya berulang-ulang.

   In Loei kagum, tetapi kekuatirannya menjadi lebih besar.

   Ia takut kalau-kalau Tan Hong melukai In Tiong, ia kuatir saudaranya nanti melukai mahasiswa itu.....

   Di mata banyak penonton, kedua pemuda itu setanding, tetapi di mata In Loei, keadaan ada sebaliknya.

   In Tiong gagah tetapi ia tetap kalah gesit, kalah mantap daripada Tan Hong.

   Tubuh si mahasiswa, juga pedangnya, bergerak dengan terlebih bebas.

   In Loei sering bertempur melawan musuh bersama Tan Hong, ia tahu baik tentang liehaynya pemuda ini.

   Adalah kemudian, lega juga hati si nona.

   Ia merasa bahwa Tan Hong mempunyai belas kasihan terhadap kakaknya itu.....

   Ie Kiam pun berkuatir, hingga membuka mulutnya.

   Ia seperti berbicara sendiri, seperti mengatakan pada In Loei.

   Katanya.

   "Kalau dua ekor harimau berkelahi salah satu mesti terluka..... Apakah perlunya itu? Apakah perlunya itu?....."

   Tapi pertandingan ini resmi, siapa juga tidak berhak untuk menghentikannya.

   In Tiong telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tapi ia hanya dapat bertanding seri terhadap lawan itu, dengan sendirinya, hatinya menjadi tegang.

   Ia pun baru saja berkutat mati-matian dengan Liok Thian Peng, hingga ia merasa letih bukan main.

   Maka pada akhirnya, ia menjadi lelah sendirinya.

   Aneh sikap Tan Hong terlebih jauh.

   Satu kali agaknya ia peroleh lowongan, lalu ia lepaskan itu, ia sebaliknya bagaikan terancam golok In Tiong.

   Beberapa kali hal ini terjadi, In Tiong lantas menduga, bahwa Tan Hong tidak berniat mengalahkannya.

   Tapi hal ini membuatnya ia menjadi panas hati, ia tidak puas.....

   Bertempur lebih jauh, In Tiong berlaku telengas.

   Goloknya, di tangan kanan, dan kepalan kirinya mendesak terus hingga tiga kali beruntun.

   Ia mendesak begitu rupa , hingga Tan Hong mesti mundur.

   Kemudian, sambil lompat mutar, ia mundur teratur, agaknya desakan itu tidak memberi hasil.

   Tan Hong tertawa di dalam hatinya.

   "Kau hendak gunakan akal, siapa sudi terkena tipumu?"

   Kata mahasiswa ini.

   Ia segera gunakan akal untuk melawan akal.

   Ialah ia maju, untuk menyusul.

   Justeru itu, mendadak In Tiong lompat mutar pula, tangan kirinya turut bergerak, melemparkan tujuh butir senjata rahasia Thielian tjie, semacam biji teratai besi, yang semuanya menuju keberbagai anggota berbahaya dari si pemuda she Thio.

   Itulah senjata rahasia Hian Kee Itsoe.

   Itulah serangan sangat berbahaya, para penonton menjadi terkejut.

   Menyusul serangan teratai besi itu, terdengar suara bentrokan nyaring, lalu sirap, hingga orang menjadi heran, cuma In Tiong yang hatinya gentar, sebab ia tahu, serangan itu telah digagalkan lawan.

   Malah ia menduga juga, senjata rahasia yang dipakai menentanginya adalah sebangsa jarum, yang kecil sekali, hingga heranlah ia, kenapa senjata halus itu dapat melemahkan bijih-bijih besi yang jauh terlebih berat.

   Lain dari itu, senjata Tan Hong ini membuatnya In Tiong ingat kejadian tadi sewaktu ia bertanding dengan Liok Thian Peng.

   Tadi ketika berhadapan dengan Thian Peng, In Tiong tahu benar mereka berdua sudah menghadapi jalan buntu, ia mesti celaka, demikian juga Thian Peng, akan tetapi pada saat terakhir, Thian Peng rubuh tanpa sesuatu sebab.

   Tidak mengerti In Tiong, kenapa lawannya itu kalah tanpa alasan apa-apa.

   Tapi sekarang, melihat senjata rahasia Tan Hong, segera ia mengerti, ia sadar.

   Teranglah sudah, tadi Tan Hong telah menyerang Thian Peng secara diam-diam.

   Maka bingunglah ia kenapa "musuhnya" - "musuh besar" - telah membantu ia secara diam-diam itu.

   Pada saat itu, In Tiong jadi merasa malu berbareng bersyukur.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Malu karena serangannya itu gagal, bersyukur sebab "musuh"

   Telah membantu padanya, telah menolong ia dari ancaman bahaya besar. Sebaliknya, ia juga mendongkol, karena musuh itu sangat tanggu dan tak dapat dirubuhkan. Selagi In Tiong diliputi pelbagai perasaan itu, tiba-tiba terdengar suara Tan Hong.

   "Lihat pedang!"

   Seru pemuda she Thio itu sambil tertawa, lalu pedangnya berkelebat, bersinar di muka orang she In itu.

   In Tiong masih sadar akan dirinya, maka dengan sebat ia tangkis tikaman itu, setelah mana, ia melakukan pembalasan.

   Ia terpaksa membalas, sebab setelah tikaman itu, Tan Hong mengulanginya, hingga dia mesti dilayani terus.

   In Tiong berpikir, baik atau tidak ia serahkan saja gelar Boe tjonggoan kepada Tan Hong, karena pertempuran mereka ini luar biasa dahsyatnya.

   Kalau ia mengalah, bahaya sudah tidak ada.

   Tapi ia didesak, ia jadi berpikir lain.

   Semuanya terjadi dalam sekejap itu.

   Tidak banyak waktu untuk berpikir lama-lama.

   Maka, setelah satu tangkisan tangan kiri disusul dengan bacokan tangan kanan, dengan goloknya, ia memikir untuk menggunakan serangan "Pengin liatsek"

   Atau "Awan buyar, batu gempur."

   "Jangan!"

   Tiba-tiba terdengar suaranya Tan Hong, perlahan.

   "Lekas gunakan Samyang kaytay....."

   Tanpa merasa, In Tiong ubah serangannya, lalu tiga kali beruntun ia memberikan bacokan.

   Benar saja, ia telah menggunakan tipu silat yang disebutkan pemuda she Thio itu.

   Tan Hong menutup dirinya dengan tipu silat "Pathong hongie" - "Hujan angin di delapan penjuru,"

   Tetapi percuma saja, pembelaannya dapat dipecahkan, hingga ia jadi terdesak, kalau tadi ia menjadi penyerang, sekarang ia berbalik menjadi orang yang diserang, karenanya, ia perdengarkan jeritan terancam bahaya.

   In Tiong lanjutkan desakannya, ia membuat Tan Hong mundur terus, sampai di pinggir panggung di mana sudah tak terdapat tempat lagi untuk mundur lebih jauh, di saat itu tiba-tiba pemuda she Thio itu mencelat tinggi, ia apungkan dirinya, berjumpalitan, hingga di lain saat, ia telah berada di bawah panggung! Tubuhnya itu telah melayang bagaikan layangan putus.....

   Bergemuruhlah suara di bawah panggung, sebab pieboe telah berakhir untuk kekalahannya Thio Tan Hong dan kemenangannya In Tiong.

   Semua orang puji In Tiong dengan jurusnya yang terakhir itu.

   "Samyang kaytay," - "Selamat tahun baru"

   Di antara semua penonton, cuma In Loei yang bernapas lega, yang ketahui kemenangan In Tiong itu, sebab Thio Tan Hong bukannya kalah, hanya mengalah.

   Adalah maksud Tan Hong turut dalam pieboe, bukan untuk merebut kemenangan, bukan untuk menjadi Boe tjonggoan, hanya guna membantu In Tiong, supaya In Tiong dapat menjadi tjonggoan militer, supaya In Tiong berhasil dengan angan-angannya mencari kedudukan tinggi guna nanti mencapai cita-citanya.

   Tan Hong mengetahui, dua saudara seperguruan dari Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay turut dalam ujian militer itu.

   Inilah berbahaya untuk In Tiong sekalipun ia ketahui kepandaian In Tiong dibanding dengan dua saudara seperguruan dari Tiauw Hay itu berimbang.

   Bahayanya ialah kalau In Tiong mesti bergantian melayani dua musuh tanggu itu, sedang di lain pihak, masih ada beberapa calon lainnya yang tak kurang berbahayanya.

   Maka ia paksa pernahkan dirinya dalam keadaan berbahaya itu, guna secara diam-diam membantui In Tiong, agar orang she In ini dapat memastikan kemenangannya.

   Untuk ini, Tan Hong dapat bantuannya Thio Hong Hoe, yang menjadi orang penanggungnya.

   Bahwa In Tiong sampai sebegitu jauh tidak ketahui Tan Hong turut dalam ujian itulah karena, dalam ujian-ujian pertama, mereka dipisahkan rombongannya, hingga baharulah di babak ini mereka diberikan ketika untuk berhadapan satu pada lain.

   Kemarinnya, dalam ujian pertama, Tan Hong telah merubuhkan tiga calon yang liehay, yaitu pertama satu soeheng lainnya dari Kong Tiauw Hay, kedua ahli silat Kimkauw Gouwhong, dan ketiga pahlawan istana Lou Liang.

   Ini pun membantu meringankan In Tiong untuk memasuki babak terakhir.

   Pada akhirnya, Tan Hong membantu ia merubuhkan Liok Thian Peng, sesudah mana, ia maju sendiri, ia berpura-pura kalah sesudah mengajari In Tiong bagaimana ia harus mendesak padanya.....

   Begitu rupa Tan Hong telah bertindak, sehingga Thio Hong Hoe dan Ie Kiam tidak mengetahui maksud yang disembunyikan itu.

   Tetapi ini tidak berarti Tan Hong tidak menghadapi ancaman malapetaka.

   In Tiong melengak atas kemenangannya itu.

   Ia berpikir keras karena kemenangan yang tidak wajar itu, walaupun tidak ada satu orang jua yang mengetahuinya.

   Tengah ia berdiri diam, gemuruhlah seluruh tanah lapang itu.

   Lalu, di saat ia masih belum ingat untuk mengundurkan diri, guna beristirahat, ia dengar satu teriakan dari panggung muka.

   "Lekas tangkap pemberontak! Lekas tangkap pemberontak!"

   In Loei kaget mendengar suara itu, In Tiong pun tak terkecuali, hingga ia jadi sadar.

   Di panggung muka itu, ialah panggung untuk kaisar menyaksikan pieboe, Kong Tiauw Hay perdengarkan suara nyaring berulang-ulang.

   Dia berteriak-teriak menitahkan pasukan raja menangkap Thio Tan Hong.

   Ketika dua soesiok, atau paman guru, dari Kong Tiauw Hay dikalahkan Tan Hong dan In Loei di selat Tjengliong Kiap, maka kedua orang itu - ialah Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe - sudah lari pulang ke kota raja.

   Mereka ini telah bertemu dengan Kong Tiauw Hay, lalu mereka tuturkan tentang Tan Hong dan In Loei, terutama mereka lukiskan tegas roman Tan Hong.

   Tiauw Hay sangat perhatikan keterangan kedua guru itu, maka sekarang melihat Tan Hong, ia segera dapat mengetahui tidak peduli kedua paman gurunya tak turut menyaksikan pieboe itu.

   Sekian lama ia telah mengawasi Tan Hong, selama itu ia telah mengambil keputusannya.

   "lebih baik keliru menangkap orang daripada meloloskannya,"

   Maka juga, habis pieboe, ia maju kemuka panggung dan berikan titahnya itu.

   Semua orang menjadi heran, gemuruh pun lenyaplah.

   Barisan Gielim koen tidak kurang herannya.

   Dalam kesunyian setelah teriakan-teriakan Kong Tiauw Hay itu, menyusullan suara tertawa yang tajam dar nyaring, lalu tampaklah Thin Tan Hong lari ke muka - ke panggung muka - panggung kaisar, di atas mana Tiauw Hay tengah menuding kepada pemberontak yang ia titahkan menawannya.

   Tayiwee Tjongkoan itu tak dapat berteriak lebih jauh, begitu lekas Thio Tan Hong lari sampai di muka panggung, dia pun menjerit keras, tubuhnya terus terguling, jatuh ke bawah panggung.

   Karena Tan Hong tidak mau membiarkan orang pentang terus bacotnya, dia telah menghadiahkan hoeitjiam, senjata rahasia jarum yang liehay.

   Kembali orang kaget, mereka menjadi gempar.

   Semua pahlawan lantas lari maju, untuk memburu.

   Sekarang mereka tahu pasti, siapa yang dimaksudkan sebagai si pemberontak yang mesti ditawan itu.

   Tengah orang berlari-lari, di antara suasana kacau itu, Thio Tan Hong segera perdengarkan suitan mulut yang panjang, menyusul mana, dari satu jurusan datanglah kuda Tjiauwya saytjoe ma yang larinya sangat pesat, menuju ke arah majikannya.

   Thio Tan Hong lantas perdengarkan tertawa berkakakan.

   Dengan satu enjotan, tubuhnya sudah mencelat naik di bebokong kudanya, sesudah mana, ia mainkan pedangnya secara liehay.

   Sebab waktu itu, kecuali serdadu-serdadu yang memburu, anak-anak panah juga sudah datang saling sambar, maka anak panah itu mesti ditangkis, disampok jatuh, supaya tidak mengenai sasarannya.

   Tjiauwya saytjoe ma lari pesat sekali keluar lapangan tanpa ada yang bisa mencegah! Ong Tjin jadi sangat mendongkol, hingga tubuhnya gemetar.

   "Celaka betul!"

   Teriaknya.

   "Lekas tawan si penanggung jawab, Thio Hong Hoe!"

   Demikian ia berikan titahnya.

   "Tunggu dulu!"

   Tiba-tiba terdengar raja mencegah.

   "Coba tanya dulu Kong Tiauw Hay, bagaimana duduknya perkara!"

   Raja memang tidak mengetahui duduknya perkara itu.

   Kong Tiauw Hay adalah seorang gagah, akan tetapi sekarang dia seperti tak berdaya.

   Saking sakitnya, dia rubuh dari atas panggung.

   Hoeitjiam tidak meminta jiwanya, akan tetapi jarum itu yang membuat jalan darahnya terganggu dan beberapa uratnya terluka.

   Untuk menolong dirinya, terlebih dahulu harus dicabut jarum rahasianya dengan kekuatan besi berani.

   Tapi ia tanggu, dan jatuhnya pun tidak membikin ia terluka parah, maka ia berbangkit, lalu dengan timpang ia bertindak mendaki panggung, untuk menghampiri raja.

   "Kau kenapa?"

   Tanya kaisar. Tidak berani Kong Tiauw Hay bicara terus terang, ia malu, ia mesti lindungi nama baiknya.

   "Oleh karena kesusu hendak menawan pemberontak, budakmu telah terjeblos jatuh di pinggir panggung....."

   Demikian ia menjawab junjungannya itu.

   Kong Tiauw Hay adalah Tayiwee Tjongkoan, dengan diam-diam ia bersaingan dengan Thio Hong Hoe, kepala Gielim koen, komandan Kimie wie.

   Ia ingin rebut nama sebagai orang kosen nomor satu untuk kota raja.

   Tentu saja ia akan merasa malu kalau orang mengetahui ia rubuh di tangan orang sebawahannya Thio Hong Hoe itu.

   Bukankah Tan Hong pun tak dikenal? Mendengar jawaban tjongkoan itu, kaisar tertawa.

   "Apakah Thio Tan Hong itu benar-benar pemberontak?"

   Tanya pula junjungan ini.

   "Benar,"

   Sahut tjongkoan itu.

   "Dia pernah melukai Taytongnia Thio Hong Hoe dari Gielim koen, dia pernah merampas persakitan utama dari tangan Thio Hong Hoe, yaitu putera pengkhianat pemberontak Tjioe Kian! Bukankah Thio Hong Hoe pernah melaporkannya semua kejadian itu? Si perampas persakitan utama itu adalah Thio Tan Hong!"

   Tanpa pikir panjang lagi, mengikuti kemendongkolannya, Kong Tiauw Hay telah mengucapkan kata-katanya itu.

   Dengan begitu juga hendak ia lindungi nama baik kedua paman gurunya yang telah dipecundangkan Tan Hong.

   Dengan begitu ia tumpahkan kesalahan atas diri Hong Hoe.

   Mendengar jawaban itu, raja tertawa berkakakan.

   "Aykeng, kau telah membuat kekeliruan!"

   Kata raja ini. Ia memanggil "aykeng" - "hambaku yang disayang"

   Kepada tjongkoan-nya itu.

   "Jikalau Thio Tan Hong itu pernah melukai Thio Hong Hoe, cara bagaimana sekarang Thio Hong Hoe kesudian menjadi penanggung atas dirinya? Aku lihat Thio Tan Hong itu meski benar dia kena dikalahkan In Tongnia, tidak lemah ilmu silatnya. Dia mempunyai roman yang baik, tenaganya juga dapat dipakai. Sayang kau menyebabkan dia menyingkirkan diri. Sekarang pergilah kau cari dia, untuk mengajak dia pulang, jangan kau membuat dia ketakutan terus menerus!"

   Kaisar Kie Tin ini, walaupun setiap hari dia dipengaruhi Ong Tjin, belum dapat dikatakan dia kaisar dungu, malah dia sebenarnya gemar juga memperlihatkan kecerdasannya.

   Demikian kali ini, dia anggap pandangannya jauh terlebih sadar daripada Kong Tiauw Hay, maka dia bergurau dengan hambanya itu, habis mana, dia menjadi puas sekali, dia anggap Kong Tiauw Hay tolol, telah mencari kepusingan sendiri.

   Thio Hong Hoe telah mendengar semua, dia keluarkan keringat dingin.

   Dia girang sekali yang raja tidak memperpanjang kejadian itu, kalau tidak, bisa sulit kedudukannya.

   Habis kekacauan itu, pieboe dilanjutkan pula.

   In Tiong telah menangkan dua kali, dia dapat hak untuk masuk dalam babak terakhir, karenanya, dia boleh beristirahat.

   Dengan majunya Tan Hong sebagai calon ke lima belas, masih ada sembilan calon lagi.

   Sudah diterangkan, cuma ada dua puluh empat calon yang berhak pieboe di atas ioeitay.

   Pertandingan dilanjutkan antara sembilan calon itu, kesudahannya ada satu orang, yang beruntung menang dua kali beruntun.

   Dia adalah Hoan Tjoen, salah satu dari tiga jago di kota raja Kengsoe samtoa kotjioe.

   Dialah adik kandung dari Hoan Tiong, itu Gietjian siewie, kepandaiannya Hoan Tiong yang mengajarkan.

   Dibanding dengan In Tiong, dia masih beda jauh, maka itu, sebelum pertandingan berakhir, belum sampai tiga puluh jurus, dia telah dirubuhkan In Tiong.

   Kembali terdengar suara gemuruh diseluruh lapangan.

   Sebagai penghormatan, In Tiong dikerebongi mantel sendiri oleh kaisar, yang mengumumkan dia adalah Boe tjonggoan.

   In Loei girang tak terhingga.

   Begitu pulang ke gedung Ie Kiam, dia nanti- nantikan In Tiong peroleh sesuatu jabatan, untuk In Tiong pindah keluar dari istana.

   Waktu itu dia berpikir akan minta bantuannya Thio Hong Hoe, supaya mereka dua saudara, kakak dan adik, diperkenalkan, dipertemukan satu dengan lain.

   Tapi, beberapa hari telah berselang, kabar yang ditunggu-tunggu itu tidak juga kunjung tiba, hingga, selainnya In Loei, Ie Kiam juga turut merasa heran.

   Menurut kebiasaan, siapa sudah diangkat jadi boe tjonggoan, sedikitnya dia akan diangkat menjadi tjiangkoen, jenderal, dia akan diberikan satu gedung tersendiri untuknya, jadi tidak usah dia berasrama lagi di dalam istana.

   Maka kali ini, sia-sia saja orang menantikan pengumuman dari kaisar tentang pengangkatan boe tjonggoan itu.

   Inilah kejadian yang langka.

   Ie Kiam menjadi bingung juga meski benar ia ada satu menteri, di dalam hal pemberian pangkat atau gelar atau hadiah, dia tidak punya hak untuk mencampurinya.

   In Tiong sendiri, setelah kemenangannya itu, terus terbenam dalam keragu-raguan, hingga ketika ramai orang memberi selamat, sama sekali ia tidak pernah tertawa.

   Ia kembali ke asrama, tetap ia menjadi pahlawan, kalau malam, masih ia bertugas meronda keraton.

   Di dalam istana terdapat batas di antara istana dan keraton.

   Keraton adalah istana bahagian dalam.

   Dan bahagian In Tiong adalah keraton, yang disebut iweeteng, perdalaman.

   Ketika ia kembali ke asramanya, dia lantas keram diri di dalam kamarnya, beberapa rekannya telah datang untuk memberi selamat, tetapi ia tidak mau menemuinya.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena sikapnya ini, ada rekannya yang menganggap dia jadi angkuh dan kepala besar, tapi ada juga yang mengerti dan percaya bahwa dia sangat letih hingga dia perlu beristirahat.

   Hanya anehnya, sejak hari kemenangan itu, In Tiong lantas saja menjadi seorang yang pendiam, tidak lagi dia bergembira seperti biasa, malah dia nampaknya tak tenang.

   Ini pun sebabnya kenapa dia keram diri di dalam kamar.

   Cuma In Tiong sendiri yang ketahui kenapa ia bawa sikap yang luar biasa ini.

   Ia tahu, Boe tjonggoan itu ia dapatkan bukan karena kepandaiannya, ia hanya seperti dihadiahkan Thio Tan Hong, yang telah mengalah terhadapnya, hal ini membuatnya ia merasa malu sendiri.

   Tidakkah ia diberi hadiah oleh "musuh?"

   Tapi, gelar itu telah ia dapatkan, mustahil kalau ia kembalikan kepada Kaisar.

   Karena ini, ia jadi berpikir keras, makin ia berpikir, makin ruwet pikirannya.

   Demikian dalam keadaan bimbang dan berduka itu, tiba-tiba satu thaykam kecil datang padanya, mengetok pintu kamarnya, sambil berkata bahwa kaisar memanggil ia.

   In Tiong terkejut berbareng girang.

   Dengan lekas ia salin pakaian, terus ia ikut thaykam itu, melintasi lorong yang panjang, sampai di pendopo Boenhoa thian di mana terdapat giesie pong, kantor kaisar.

   Dalam kantor itu, yang apinya dipasang terang-terang tampak raja duduk seorang diri.

   Melihat datangnya Boe tjonggoan, raja memberi tanda kepada thaykam untuk mengundurkan diri sambil menutup pintu kamar.

   "Liehay keng punya ilmu silat, keng telah menjagoi di kolong langit ini, maka keng harus bergembira, seharusnya keng diberi selamat!"

   Kata raja sambil tertawa. Dan ia beri selamatnya. Muka In Tiong menjadi merah.

   "Terima kasih untuk pujian Sri Baginda,"

   Kata ia, dengan likat.

   "Untuk budi Sri Baginda ini, walaupun hancur lebur tubuh sin, tidak dapat sin membalasnya."

   Dengan kata "sin,"

   In Tiong membahasakan dirinya "hambamu."

   Kaisar awasi tjonggoan baru ini.

   "Sebenarnya keng asai mana?"

   Ia tanya. ("Keng"

   Adalah kata hormat seperti "kau"

   Atau "kamu"

   Untuk menteri.) In Tiong bersangsi ketika ia menyahuti.

   "Leluhur sin berasal dari Kayhong dipropinsi Hoolam."

   Mata kaisar bagaikan terbalik, ia menatap pula.

   "Kalau begitu,"

   Kata raja dengan sekonyong-konyong.

   "keng berasal dari satu kampung dan satu she dengan menteri In Tjeng dari pemerintah yang terdahulu. Pernah apakah keng dengan In Tjeng itu?"

   Terharu In Tiong, hingga lantas saja ia bertekuk lutut. 'In Kimsoe adalah sin empunya kakek,"

   Sahut ia. Ia menyebutnya "kimsoe" - "utusan kaisar" - terhadap engkong-nya itu. Sekian lama In Tiong sembunyikan diri sebagai turunan dari In Tjeng, yang dipandang sebagai "menteri yang berdosa,"

   Tidak berani ia memberitahukan itu kepada siapa juga, tetapi sekarang, ditanya raja, tidak berani ia mendusta. Raja pun terkejut, wajahnya sampai berubah.

   "In Tjonggoan, adakah keng mengandung rasa benci terhadap tim?"

   Dia tanya. ("Tim"

   Adalah istilah raja membahasakan dirinya sendiri selagi bicara dengan menterinya.) In Tiong merasa hatinya sakit bagaikan disayat-sayat.

   "Kakek sin itu sangat setia terhadap negaranya, maka itu sin mohon semoga Baginda suka mencuci bersih noda atas namanya itu,"

   Ia mohon. Setelah mengucap demikian, air matanya segera bercucuran. Raja tidak mengeluarkan air mata akan tetapi ia berpura-pura menyusut matanya.

   "Kakekmu itu setia, inilah tim ketahui,"

   Ia kata.

   "Dalam hal tim menghadiahkan ia kematian, itulah sebenarnya bukan kehendak tim sendiri....."

   In Tiong heran, ia angkat kepalanya akan mengawasi kaisar.

   "Hanya,"

   Kaisar lantas menambahkan.

   "untuk tim mencuci noda kakekmu itu, guna memulihkan kehormatannya, haruslah ditunggu lain hari....."

   Benar-benar, kaisar ini bukan kaisar tolol, dia tidak berdaya karena sejak kecil dia selalu dikekang Ong Tjin, hingga dia tak dapat berdiri sendiri.

   Pernah dia memikirnya, berulangkah, untuk merampas kembali kekuasaan, haknya sebagai kepala pemerintahan, tetapi pengaruh Ong Tjin besar sekali, hingga dia merasa sulit.

   Maka tidak ada lain jalan daripada bertindak dengan perlahan-lahan, untuk ini, dia juga perlu mengumpulkan tenaga-tenaga pembantu, akan mengimbangi kekuatan kawannya si dorna kebiri.

   Sekarang dia lihat In Tiong setia, dan In Tiong kebetulan bermusuh dengan Ong Tjin, orang semacam In Tiong inilah yang sedang dicari.

   In Tiong sementara itu sedang menangis tersedu-sedu mengetahui kakeknya telah menjadi korbannya Ong Tjin, tidak peduli dihadapan raja tidak dapat ia kuatkan hati lagi.

   Sekarang telah berubah pandangannya, maka ia mengambil keputusan akan bekerja untuk raja ini, supaya ia dapat membantu menyingkirkan dorna.

   Raja mengawasi Boe tjonggoan itu, ia tunggu sampai orang menyeka kering air matanya, lalu ia bersenyum dan berkata.

   "Keng, janganlah kau terburu napsu, kau mesti bersabar, sekarang ini belum sampai ketikanya hingga tak dapat kita menggeprak rumput membikin ular kaget....."

   "Jikalau diperkenankan Sri Baginda,"

   In Tiong lantas minta.

   "sin mohon diberikan tugas di tapal batas, untuk sin memimpin suatu pasukan, supaya bila dikemudian hari tiba saatnya untuk berperang, sin nanti bisa mengumpulkan pasukan-pasukan yang bersetia kepada Sri Baginda. Bila sin mempunyai kekuasaan ketentaraan, sesudahnya memukul mundur angkatan perang Watzu, sin akan segera pulang ke dalam negeri untuk menyapu bersih kawanan dorna!"

   Raja bersenyum pula.

   "Tindakan itu pun harus dilakukan dengan sabar,"

   Kata dia. Mendengar ini, In Tiong menjadi lesu. Ketika ia pandang kaisar, raja itu sedang mengawasi dia. Kaisar sudah lantas tertawa.

   "Bukankah boe kiedjin yang tadi bertanding dengan kau bernama Thio Tan Hong?"

   Raja ini tanya.

   "Tim lihat ilmu silatnya tak dapat dicela!"

   In Tiong merasakan mukanya panas, hatinya pun berdebar. Ia kertek giginya, untuk dapat menguasai diri.

   "Harap Sri Baginda mengetahui,"

   Dia berkata.

   "ilmu silat Thio Tan Hong itu sebenarnya berada di atasan sin. Gelar Soe tjonggoan ini pun aku peroleh karena dia mengalah dan memberikannya kepada sin."

   Kalau tadinya ia merasa tidak tenang, setelah mengucapkan kata-katanya yang terachir ini, hati In Tiong menjadi lega. Wajah raja sedikit berubah setelah mendengarkan perkataan tjonggoan itu. Tiba- tiba dia tertawa pula sambil terus mengatakan.

   "Keng benar jujur! Sebenarnya, tanpa kau mengatakannya, itu sudah dapat dilihat....."

   In Tiong terperanjat, ia heran.

   "Raja tinggal di dalam istana, dia tentunya tidak mengerti ilmu silat, ia sekarang ketahui Tan Hong mengalah, inilah aneh,"

   Pikirnya.

   "Sekalipun ahli-ahli silat di sekitar Ioeitay tidak ada yang sadar akan peranan Tan Hong itu....."

   Benar-benar boe tjonggoan itu tak mengerti.

   "Tahukan kau, orang macam apa Thio Tan Hong itu?"

   Tanya pula raja kemudian.

   "Tentang ini justeru sin hendak menuturkan kepada Sri Baginda,"

   Jawab In Tiong.

   "Thio Tan Hong adalah puteranya Thio Tjong Tjioe, menteri muda dari negara Watzu. Dia sekarang melusup masuk ke dalam negeri kita, sin kuatir dia mengandung maksud yang tidak baik....."

   Raja agaknya heran.

   "Apa, dia puteranya Thio Tjong Tjioe?"

   Dia ulangi.

   "Ya,"

   In Tiong pastikan.

   "Mengenai dia, mungkin Thio Hong Hoe belum tahu jelas, cuma karena melihat dia pandai silat, maka Hong Hoe berikan pertanggungannya. Thio Tongnia setia, sin mohon dia tidak dicurigai."

   "Siapa tidak bersalah, dia tidak dapat dipersalahkan,"

   Kata raja.

   "Tentang kecurigaan, ah, sebenarnya tim tidak mencurigai Thio Hong Hoe....."

   In Tiong terperanjat, wajahnya sampai pucat.

   "Thio Tan Hong mengalah, dia serahkan gelar Boe tjonggoan kepada sin, tidaklah mengherankan jikalau Baginda merasa curiga ia lekas berkata.

   "Harap Baginda ketahui, Thio Tan Hong itu adalah musuh keluarga sin\"

   Untuk membuktikan perkataan ini, In Tiong terus tuturkan duduknya permusuhan itu dan akhirnya ia perlihatkan surat wasiat dari kakeknya. Setelah mendengar dan menyaksikan itu, raja tertawa.

   "Aku pun tidak curigai kau,"

   Katanya kemudian.

   "Sepak terjang Thio Tan Hong itu, menurut penglihatan tim, adalah untuk melepas budi atas dirimu, supaya kau melupakan permusuhan kekeluargaan itu, dan juga tentang sakit hati negara. Tim lihat, kau tentunya tidak akan terpedayakan dia....."

   In Tiong setujui pendapat raja itu.

   "Sekarang kemari kau,"

   Kata pula raja, kemudian. Tim hendak perlihatkan keng sehelai gambar lukisan."

   Raja menghampiri lemari bukunya, lalu membuka pintunya, akan mengambil gambar yang ia maksudkan itu. Di situ terlukis satu orang yang memakai mahkota, jubanya bersulamkan naga-nagaan, romannya keren.

   "Coba keng lihat, miripkah Thio Tan Hong dengan orang dalam gambar ini?"

   Tanya raja setelah ia menunjukkan gambar itu. In Tiong awasi gambar itu, ia terperanjat. Ia tampak potongan muka dan tubuh yang sama, kecuali orang dalam gambar ini ada terlebih kasar, kalah halus dan tenang dengan Thio Tan Hong.

   "Mungkinkah Thio Tan Hong seorang anggauta keluarga raja?"

   Ia menduga-duga dalam hatinya.

   "Tidakkah mereka agak mirip?"

   Raja menegaskan.

   "Ya, mirip,"

   Sahut In Tiong, suaranya tak tegas. Sekonyong-konyong wajah raja berubah, secara tiba-tiba dia tuding gambar itu sambil mengatakan dengan keras.

   "Kau telah mati tetapi kau tidak meramkan mata, kau masih menugaskan anak cucumu untuk merampas negaraku?"

   In Tiong kaget, ia heran bukan main.

   "Dia..... dia siapakah?"

   Ia tanya. Raja menyahut sambil tertawa tawar.

   "Raja bangsat di dalam gambar ini adalah Thio Soe Seng, kaisar dari kerajaan Tjioe yang palsu!"

   Dia jawab.

   "Thio Tjong Tjioe dan Thio Tan Hong adalah anak cucunya! Hm! Dia pakai nama Tjong Tjioe, bukankah dengan itu dia bermaksud meminjam tenaga bangsa asing untuk membangunkan pula kerajaan Tjioe itu, untuk memusnakan kerajaanku?"

   Inilah untuk pertama kali yang In Tiong ketahui Thio Tan Hong adalah turunan Thio Soe Seng. Inilah di luar dugaannya. Maka itu, ia jadi menjublek saja, tak dapat ia mengatakan suatu apa. Tapi, dalam hatinya, ia berpikir.

   "Pantas mereka ayah dan anak sangat membenci kerajaan Beng. Hanya heran, cara bagaimana Sri Baginda ketahui ini? Raja sudah ketahui Tan Hong siapa, kenapa ia tidak titahkan menawan Tan Hong selagi pieboe berlangsung?"

   Raja seperti tidak mempedulikan orang terheran, ia berikan keterangannya terlebih jauh. Ia kata.

   "Ketika dahulu Thio Soe Seng perebutkan negara dengan leluhurku, mereka telah melakukan pertempuran yang memutuskan disungai Tiangkang. Dia kalah, dia pun terbinasa. Menurut ceritera, pada saat menghadapi ajalnya yang terakhir, Thio Soe Seng sudah pendam kekayaannya, yang berupa emas dan, perak dan permata mulia, di suatu tempat di daerah Souwtjioe. Di situ terpendam tidak hanya harta besar itu, juga sehelai peta bumi negara, di mana terlukis jelas tempat-tempat yang penting untuk pergerakan tentara. Kalau peta itu tetap masih ada, itulah berbahaya sekali untuk keamanan negara, karena itu, leluhurku telah meninggalkan pesan agar turunan keluarga Thio itu dibasmi habis, supaya harta dan peta itu dicari, agar dengan secara demikian, amanlah kerajaan Beng. Thio Tan Hong sudah lolos, mestinya dia terus meninggalkan kota raja, tim duga dia pasti menuju langsung ke Souwtjioe, untuk mencari tempat menyimpan harta dan peta itu. Sekarang tim berikan keng seekor kuda, dengan itu keng mesti segera pergi ke Souwtjioe, untuk menyusul Thio Tan Hong. Tugas keng adalah, selama Thio Tan Hong belum berhasil membongkar harta dan peta itu jangan keng turun tangan atas dirinya, adalah setelah ia berhasil mendapatkan harta dan peta itu, baharu keng bunuh padanya, keng rampas harta dan peta itu, untuk dibawa pulang, untuk diperlihatkan kepada tim."

   In Tiong bergidik seorang diri, ia sampai tidak menyahuti raja. Raja pun melanjutkan perkataannya. Ia bicara sambil tertawa.

   "Akan tim titahkan tujuh pahlawan untuk turut kau, guna membantu padamu,"

   Katanya.

   "Kamu nanti bertemu di Souwtjioe saja. Jangan kau kuatir."

   In Tiong terima tugas ini.

   Ia pikir, meskipun Tan Hong lebih gagah daripadanya tapi dengan mendapat bantuan dari tujuh pahlawan pilihan, pasti dia akan dapat kemenangan.

   Ia hanya tidak tahu, kenapa raja ketahui asal-usul Thio Tan Hong.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sebenarnya, duduknya hal, ada sederhana saja.

   Thio Tan Hong turut dalam ujian setelah ia memikir masak-masak, ia sudah mengatur rencana.

   Ia telah siap sedia bila ada orang hendak turun tangan terhadap dirinya.

   Karena ini, sesudah bertanding dengan In Tiong, dan Kong Tiauw Hay memberi titah untuk membekuk padanya, dia mendahului turun tangan.

   Begitu lekas dia telah menghadiahkan jarum rahasia kepada Kong Tiauw Hay, begitu juga ia lemparkan segumpal kertas ke arah raja.

   Itulah kertas yang ia tulis dan sediakan siang-siang.

   Ia memang mempunyai kepandaian luar biasa dalam hal melepaskan senjata rahasia.

   Bukan saja oran lain, raja sendiri tidak merasa yang orang telah menimpuki dengan segumpal kertas kecil itu, yang tepat masuk ke dalam sakunya.

   Adalah sekembalinya ke keraton, selagi hendak beristirahat, raja dapatkan gumpalan kertas itu.

   Di dalamnya lebih dahulu Tan Hong membeber rahasia bangsa Watzu akan menyerbu Tionggoan, lantas ia beri nasihat supaya raja membedakan menteri-menteri setia dari dorna supaya raja bersiap sedia menghalau serbuan dari luar.

   Tan Hong juga memberi bukti dari hal persekongkolan antara Ong Tjin dan raja Watzu dan dimintanya raja bersiap-siap juga.

   Habis itu baharu Tan Hong tuturkan yang ia, ialah keluarganya, bermusuhan dengan keluarga raja.

   Meski begitu, ia jelaskan dalam suratnya itu, jikalau raja bersungguh-sungguh hendak melawan musuh, ia bersedia untuk membasmi permusuhan di antara mereka.

   Akhirnya, Tan Hong beri nasihat supaya raja jangan lagi mencelakai menteri- menteri setia, kalau tidak, hendak ia ambil kepala raja itu.

   Ia kata, untuk mengambil kepala raja, kerjaannya sama gampangnya seperti orang membalikkan telapak tangan.

   Terang dan jelas bunyi surat itu, halus dan keras sifatnya.

   Tan Hong ambil sikap demikian karena ia masih menyintai negaranya, tidak peduli negara itu sedang diperintah oleh musuhnya.

   Ia hanya tidak sangka, bagaimana nanti kesan raja setelah raja membaca suratnya itu.

   Mulanya raja terperanjat, kemudian ia berpikir.

   "Kenapa di dalam dunia ada manusia tolol semacam dia?"

   Demikian pikir raja ini mengenai Tan Hong.

   "Jikalau dia tidak siang-siang disingkirkan, bukankah jiwaku terancam di dalam tangannya?"

   Lantas raja menduga, mestinya Tan Hong ada turunan Thio Soe Seng.

   Bukankah Tan Hong menyebut-nyebut permusuhan keluarga? Untuk dapat kepastian, ia keluarkan gambar Thio Soe Seng, yang disimpan di dalam keraton.

   Melihat tampang Thio Soe Seng, raja kaget.

   Tampang itu mirip dengan tampang Tan Hong.

   Maka ia percaya, tak salah lagi dugaannya itu.

   Karena ini, ia tak mengambil mumat lagi atas kebaikan Tan Hong, yang sudah membeber rahasia dorna dan memberikan ia nasihat, sebaliknya, ingin ia membinasakan Tan Hong.

   Begitulah ia berikan tugasnya kepada In Tiong.

   Thio Tan Hong, dalam tindakannya menulis surat kepada kaisar, untuk membuka rahasia dorna dan memberi nasehat, ada seumpama orang memainkan tabuhan kim terhadap seekor kerbau, hasilnya tak usah diharap.

   Hanya, ada juga sedikit kebaikannya, yaitu yang mengenai Thio Hong Hoe.

   Yaitu, sebelum Tan Hong tertawan, raja tidak berani mengambil tindakan apa-apa terhadap pemimpin Gielim koen dan Kimie wie itu.

   Demikian, karena tugasnya ini, In Tiong seperti telah menghilang dari kota raja.

   Pada hari kedua, dia sudah lantas berangkat secara diam-diam.

   Dia mendapat kuda istana, kuda itu tidak dapat menandingi Tjiauwya saytjoe ma, kuda Tan Hong, akan tetapi perbedaannya tidak seberapa, cuma enam atau tujuh hari.

   Setelah melewati dua propinsi Hoopak dan Shoatang, dia menuju ke propinsi Kangsouw, pada suatu hari tibalah ia di kecamatan Gouwkoan, yang bertetangga dengan kota Souwtjioe, maka itu, dia mulai memperlambat kudanya.

   Jarak kedua kota itu cuma setengah hari perjalanan.

   Kanglam adalah satu daerah yang indah, yang kesohor, In Tiong dapat kesempatan untuk melihat-lihat.

   Pernah ia menyaksikan gurun pasir, yang gundul, yang berhawa panas, sekarang ia menyaksikan Kanglam, sungguh suatu perbedaan besar.

   Ia merasa seolah-olah hatinya terbuka.

   Malah ia insaf juga, sebenarnya hidup bergulat, untuk memperebutkan nama, tidak ada artinya....."

   Setelah berjalan sekian lama, In Tiong singgah di depan sebuah telaga.

   Ia turun dari kudanya, ia rebahkan diri di tepi telaga itu, yang airnya jernih dan indah.

   Langit waktu itu bersinar kebiru-biruan.

   Dekat tempat In Tiong berbaring terdapat sebuah kuburan tua, selagi berpaling ke arah kuburan itu, matanya terpaku pada batu bongpay atau nisan, yang ada huruf- hurufnya.

   Ia lantas mengawasi, hingga dapat ia baca huruf-huruf ukiran itu.

   Ia menjadi heran sekali.

   Bongpay itu berbunyi.

   "Kuburan Tantai Mie Ming."

   "Tantai Mie Ming menjadi jenderal bangsa Watzu,"

   Ia berpikir.

   "bulan yang lalu dia masih ada di Pakkhia, kenapa sekarang di sini terdapat kuburannya. Kenapa kuburan ini beda daripada yang lainnya? Teranglah ini bukan kuburan baru....."

   Keras In Tiong berpikir, ketika tiba-tiba datang satu bocah angon, di tanduk kerbaunya tergantung sejilit buku. Dengan perlahan bocah itu berjalan di tepi telaga.

   "Engko kecil, numpang tanya, tempat ini tempat apa?"

   In Tiong tegur bocah itu.

   "Dan kuburan ini kuburan siapa?"

   Bocah itu memandang orang yang menanya dia, dia tertawa.

   "Tuan tentu orang yang datang dari tempat jauh,"

   Ia menyahut.

   "Desa ini dipanggil Tamtay Tjoen, dan telaga ini dinamakan Tamtay Ouw. Dan kuburan ini, inilah kuburan leluhur keluarga kami."

   In Tiong menjadi tambah heran.

   "Apa?"

   Dia tanya pula.

   "Kuburan kaum keluargamu?"

   Bocah itu tertawa pula.

   "Tuan, aku lihat kau tidak mirip dengan orang yang tidak bersekolah,"

   Dia kata.

   "Mustahil sampaipun Tamtay Biat Beng macam apa kau tidak tahu?"

   In Tiong melengak.

   "Tahukah kau akan pepatah yang berbunyi.

   "Melihat orang dari romannya saja, orang akan keliru mengenali Tjoe Ie?"

   Bocah itu kembali menanya. Ditanya begitu, In Tiong menjadi kurang senang.

   "Ah, engko kecil, kau menguji aku!"

   Dia kata.

   "Pepatah itu adalah kata-katanya Khong Hoe Tjoe. Tjoe Ie adalah muridnya Khong Hoe Tjoe, dia pandai, cuma dia beroman jelek. Maka itu Khong Hoe Tjoe mengatakannya demikian. Artinya ialah supaya melihat orang tidak dari romannya saja."

   "Ya, benarlah begitu,"

   Kata bocah itu.

   "Leluhur kami, Tamtay Biat Beng, adalah salah satu dari ke tujuh puluh dua murid Khong Hoe Tjoe, alias Tjoe Ie. Siapa saja, yang telah membaca kitab Soe Sie, pasti mengetahui tentang ini. Telaga ini mulanya adalah tempat kedudukannya rumah keluarga kami, kemudian karena suatu perubahan alam, tanah ini melesak ke dalam, lalu berubah menjadi telaga, maka itu, namanya dipanggil Tamtay Ouw. Tentang ini, dalam buku riwayat kecamatan kami, ada catatannya."

   Penyahutan bocah itu membuatnya In Tiong melengak.

   Guru In Tiong, yaitu Tang Gak, adalah seorang boenboe tjoantjay, yang paham ilmu surat dan ilmu silat berbareng, maka itu selama In Tiong ikuti gurunya, ia juga sekalian belajar surat, hingga pernah ia membaca buku klassik.

   Memang, di antara murid-murid Khong Hoe Tjoe, ada yang bernama Tamtay Biat Beng itu.

   Ia ingat sekarang bagaimana pada waktu bermula ia dengari nama Tantai Mie Ming, panglima bangsa Watzu itu, ia merasa lucu, hingga ia tertawa dalam hatinya, sebab seorang militer, malah seorang asing, memakai nama seorang yang terpelajar dalam ilmu surat pada jaman dahulu.

   Ia mengira.

   "Tantai"

   Itu she bangsa Mongolia, begitupun nama "Mie Ming"

   Itu.

   Tapi sekarang ia dapat kenyataan, Tamtay Biat Beng itu benar-benar ada, malah kuburannya masih ada dikecamatan Gouwkouw ini, Kangsouw.

   Tapi ia percaya, kuburan ini mungkin pernah diperbaiki oleh turunannya, meskipun bentuk kuburan, bentuk bongpay dan huruf-hurufnya sedikit mirip dengan jaman setelah kerajaan Tjin atau Han, jadi bukan kuburan buatan jaman Tjoen Tjioe.

   Perbedaannya ialah dalam cara membacanya, antara Tantai M i e Ming dan Tamtay Biat Beng.

   Bocah itu tertawa, ia kata.

   "Melihat orang dari romannya saja, orang akan keliru mengenali Tjoe Ie, maka sekarang terbuktilah kata-katanya nabi!"

   Lalu, habis mengucap demikian, ia bawa serulingnya ke mulutnya, untuk meniup lagu, sedang kerbaunya ia jalankan perlahan-lahan....."

   In Tiong awasi orang berlalu, sambil memikirkan pepatah itu, yang benar-benar tepat. Ia jadi berpikir keras.

   "Kalau begitu, aneh Tantai Mie Ming itu. Itulah nama orang Han. Kenapa dia memakainya sebagai she dan namanya sendiri? Sengajakah dia memakai nama sasterawan jaman dahulu itu? Tantai Mie Ming beroman keren dan jelek, ia dapat disamakan dengan Tamtay Biat Beng, tetapi tentang kepintaran dan penghidupannya tidak. Dia telah pergi dan tinggal di negara asing dengan memakai nama asing juga! Adakah ia mengandung sesuatu maksud? Yaitu ia ingin orang jangan hanya memandang ia dari romannya saja? Atau mungkinkah nama Mie Ming itu ia pakai justeru untuk diartikan sebagai kenyataannya, yaitu untuk membikin musnah kerajaan Beng? Mungkinkah Tantai Mie Ming bercita-cita demikian besar?"

   Setelah beristirahat cukup, In Tiong berbangkit, untuk melanjutkan perjalanannya.

   Ia memasuki dusun Tamtay Tjoen itu.

   Karena ia telah peroleh kesan, masih ia pikirkan halnya Tantai Mie Ming.

   Ia ingat ketika malam itu ia serang si pangeran asing di Tjengteng.

   Tantai Mie Ming benar-benar kosen, tapi Mie Ming tidak menurunkan tangan jahat terhadap dirinya.

   Ia ingat juga kepada pieboe di dalam rumah Thio Hong Hoe, waktu itu secara diam-diam Tantai Mie Ming telah menghalau musuh.

   Ia jadi seperti dibikin pusing.

   "Ah, sudahlah!"

   Katanya kemudian seorang diri.

   "Kenapa aku mesti pusingkan kepala bahwa dia Tantai Mie Ming atau Tamtay Biat Beng?"

   Ia tertawa seorang diri, ia jalan terus.

   Hari waktu itu sangat panas, In Tiong merasa sangat berdahaga, tenggorokannya kering.

   Ia hanya merasa aneh, kenapa tempat itu tidak seperti kebanyakan tempat di Kanglam - umpamanya Souwtjioe dan Hangtjioe - di mana banyak kedapatan warung teh atau arak.

   Sekarang, dia telah melintasi dua petak sawah di kiri dan kanannya, tapi tak tampak olehnya orang membajak sawah, di situ tidak ada warung teh atau arak.

   "Mungkinkah Tamtay Tjoen ini tidak ada penduduknya?"

   Akhirnya In Tiong tanya dirinya sendiri.

   Ia menengok kesana kesini, ia jalankan kudanya terus.

   Ia rasakan lehernya semakin kering.

   Syukur baginya, akhirnya ia tampak juga sebuah warung teh model paseban dan penjualnya adalah seorang wanita tua.

   Baharu sekarang ia bisa tertawa.

   "Begitu jauh aku berjalan, baharu sekarang aku dapatkan tempat untuk minum teh,"

   Kata dia seorang diri.

   "Syukur tidak semua tempat di daerah ini ada semacam dusun ini, kalau tidak, boleh aku anggap bahwa aku tengah membuat perjalanan di padang pasir....."

   In Tiong tambat kudannya, ia memasuki paseban.

   "Ada tamu! Anak Beng, tuangkan teh!"

   Kata si nyonya tua, yang dengan manis menyambut tetamunya.

   Dari ruang dalam lantas muncul satu bocah wanita umur kira-kira empat atau lima belas tahun, ia membawa tehkoan serta cangkirnya, terus ia tuangkan teh hijau ke dalam cangkir itu, yang disuguhkan kepada tetamunya itu.

   Anak dara itu berpakaian kain kasar akan tetapi dia mempunyai kulit halus.

   "Memang Kanglam indah tanahnya, sekalipun penduduk desanya tak sembarang,"

   Pikir In Tiong. Oleh karena iseng, In Tiong ajak si nyonya tua bicara, ia tanyakan she-nya.

   "Kami di sini satu desa, semua penduduknya she Tamtay,"

   Sahut orang tua itu.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Untuk aku, cukup kau memanggilnya Tamtay Toanio."

   Selagi dua orang ini bicara, satu penunggang kuda lewat di depan paseban itu. Orang ini beroman kasar. Tanpa turun dari kudanya, dia bertanya dengan suaranya yang kaku.

   "Eh, orang tua, ingin aku bertanya, adakah kemarin seorang mahasiswa yang menunggang kuda putih lewat di sini atau tidak?"

   "Mahasiswa berkuda putih!"

   Pikir In Tiong, yang menjadi kaget sendirinya. Tidak salah, orang mesti maksudkan Thio Tan Hong. Nyonya tua itu membuka kedua matanya lebar-lebar.

   "Aku tidak dengar nyata!"

   Dia sahuti. Penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya.

   "Aku tanya kau, adakah kau lihat seorang anak sekolah yang naik seekor kuda putih?"

   Dia ulangi pertanyaannya, suaranya keras, seolah-olah menggetarkan genteng. Nyonya itu membuka matanya dan mulutnya ternganga, tetapi ia bungkam. Gusar penunggang kuda itu.

   "Taruh kata kau tuli, tapi seharusnya kau dapat melihat!"

   Dia berteriak.

   Dia bertindak masuk ke dalam paseban, agaknya dia hendak menjambret si nyonya tua.

   In Tiong heran.

   Tidak dapat ia biarkan kejadian kurang ajar itu di hadapannya, maka itu, sebelum tangan kasar si penunggang kuda mengenai si nyonya tua, ia mendahului melonjorkan tangannya sendiri, untuk mencegah.

   Ia kerahkan tenaga dalam Taylek Kimkong Tjioe, karena mana, hampir saja penunggang kuda itu terpelanting.

   Dia jadi kaget, dia mengawasi dengan tidak berani bertindak kasar terlebih jauh.

   In Tiong pandang orang itu, ia tertawa.

   "Kalau mau bicara, bicaralah dengan baik-baik, untuk apa kau bergusar?"

   Katanya.

   "Nyonya tua ini kupingnya kurang sempurna....."

   Sebenarnya nyonya itu tidak tuli, tadi pun ia dapat bicara seperti biasa dengan In Tiong. Si anak muda mengatakan demikian hanya untuk meredakan suasana. Si nyonya tua tertawa mendengar perkataan orang itu.

   "Kupingku ini aneh,"

   Kata dia.

   "Kalau suara terlalu keras, aku tidak dapat dengar, begitupun suara terlalu perlahan, aku tidak dapat dengar juga, hanya suara yang tidak keras dan tidak perlahan, baharu aku dapat dengar nyata. Tadi kau menanyakan apa? Coba kau ulangi."

   Penunggang kuda itu kendalikan hawa amarahnya.

   "Aku ingin menanya tentang seorang mahasiswa yang menunggang kuda putih,"

   Demikian ia ulangi pertanyaannya.

   "apakah dia telah lewat di sini?"

   "Oh, mahasiswa penunggang kuda putih?"

   Kata si orang tua.

   "Ya, benar! Kemarin ada seorang mahasiswa menunggang kuda putih, tepat pada waktu seperti ini telah lewat di sini. Dia malah telah meninggalkan pesan kepadaku, yaitu kalau ada orang yang menanyakan tentang dia, dia minta disampaikan undangannya pada orang itu untuk besok tengah hari pergi ke Souwtjioe guna membuat pertemuan di Koaywa Lim, dia akan mengundang minum arak."

   Begitu dengar jawaban itu, tanpa berkata suatu apa lagi, si penunggang kuda lari kepada kudanya, lalu lompat naik ke bebokongnya, untuk segera dikaburkan. Si nyonya tua mengawasi sambil tertawa dingin.

   "Anak Beng, kau catat!"

   Dia berkata. Nona muda tadi, yang duduk di satu pojok sambil menyulam, menyahuti.

   "Sudah dicatat!"

   Terus dia balik sulamannya, maka di situ terlihat sulaman dari tujuh tangkai bunga merah, ada yang benar, ada yang kecil. Ia pun menambahkan.

   "Inilah yang ke tujuh!"

   In Tiong berdiam, ia merasa heran.

   Ia duga nyonya tua dan si nona muda itu bukan sembarang orang.

   Tapi ia tidak takut, ia percaya akan kepandaiannya sendiri.

   Maka itu, ia pun tidak ambil mumat pantangan kaum kangouw untuk jangan lancang mencampuri utusan lain orang.

   "Siapakah mahasiswa penunggang kuda putih itu?"

   Demikian ia tanya.

   "Dan di manakah letak Koaywa Lim?"

   Nyonya tua itu pandang tetamunya, ia tertawa.

   "Tuan, kau seorang baik, aku suka memberi keterangan padamu,"

   Ia jawab.

   Koaywa Lim letaknya di dalam kota Souwtjioe, itu adalah tempat untuk menghamburkan uang.

   Katanya dahulu, pada masa Thio Soe Seng menjadi kaisar di Souwtjioe, di sana ia telah membangun satu istana peristirahatan.

   Kemudian, ketika Thio Soe Seng terbinasa dalam peperangan, Koaywa Lim disita pembesar negeri, sebab dipandang sebagai milik pemberontak, lalu dijual.

   Sekarang ini pemilik dari Koaywa Lim itu adalah Kioetauw Saytjoe In Thian Sek si Singa Berkepala Sembilan, dia membuatnya menjadi taman yang besar, menjadi tempat pelesir dan judi, hingga dia mendapat untung besar terdiri dari uang tak halal, uang itu terus dipakai membeli sawah dan tanah, sampai dia membelinya ke-kecamatan Gouwkoan ini.

   Begitulah, tanah di dusun Tamtay Tjoen ini, dalam sepuluh bahagian, tujuh atau delapan bahagian telah menjadi kepunyaannya."

   "Jikalau begitu, Kioetauw Saytjoe itu adalah okpa besar!"

   Kata In Tiong. Dia menyebutnya "okpa," - "hartawan jagoan."

   "Bagaimana mengenai si mahasiswa berkuda putih? Apakah hubungannya dengan dia itu?"

   "Nanti aku jelaskan,"

   Sahut si nyonya tua, yang suka berbicara dengan anak muda ini.

   "Tempat di mana pasebanku ini berdiri adalah tanah miliknya Kioetauw Saytjoe, setiap bulannya dia pungut sewa sebanyak tiga tail enam tjhie. Mengenai sewa tanah itu, kami sudah berhutang tiga bulan. Kemarin Kioetauw Saytjoe mengirimkan dua guru silatnya, mereka ini memaksa hendak membawa anak Beng untuk dijadikan budak, katanya sebagai tanggungan dari hutang kami itu. Kebetulan tengah kita berbicara, si mahasiswa penunggang kuda putih itu lewat di sini, dia singgah, begitu dia ketahui duduknya perkara,dia lantas tolongi kami membayar hutang itu. Itu belum semua, dia juga telah menghajar kedua guru silat itu hingga mereka sungsang sumbel."

   Si nona muda tiba-tiba campur bicara.

   "Tetapi, ibu, si mahasiswa itu tidak memukul orang itu! Sebaliknya kedua guru silat itu yang memukul padanya! Ah, sungguh menarik hati! Baharu saja kepalannya kedua guru silat itu mengenai tubuh si mahasiswa, lantas mereka menjerit kesakitan, sama sekali tidak terlihat si mahasiswa membalas menyerang, tahu-tahu kedua guru silat itu rubuh terguling- guling. Ketika kemudian mereka dapat merayap bangun, aku lihat kepalan mereka menjadi bengkak matang biru, sebesar mangkok! Tuan, kau tentu banyak pengalaman, luas pengetahuanmu, tahukah kau ilmu silat apa yang digunakan si mahasiswa itu?"

   "Aku tidak tahu,"

   Jawab In Tiong, sekalipun ia tahu betul, si anak muda pasti telah menggunakan tipu silat Tjiamie sippattiat atau sebangsanya yang liehay.

   "Kedua guru silat itu tidak berdaya, cuma mulutnya yang besar,"

   Kata si nyonya tua.

   "Begitulah terhadap si mahasiswa berkuda putih itu, mereka menantang, katanya. Jikalau kau benar laki-laki, pergilah ke Koaywa Lim untuk menemui Kioetauw Saytjoe kami. Atas itu, si mahasiswa tertawa besar, sambil tertawa melenggak, dia jawab. Lagi dua hari, akan aku pergi menemui dia! Hendak aku lihat, bagaimana galaknya Kioetauw Saytjoe itu!"

   In Tiong heran. Ia jadi berpikir.

   "Thio Tan Hong pergi ke Souwtjioe terang- terang untuk mencari harta benda leluhurnya, kenapa sekarang dia mencampuri urusan ini? Dia telah bertentangan dengan satu okpa besar, apa dia tidak kuatir rahasianya nanti terbuka? Jikalau dia hendak berbuat baik, sudah cukup bila dia menghajar kedua guru silat itu dan menolong melunaskan hutang sewa tanah nyonya tua ini dan anaknya. Di kolong langit ini, bangsa okpa sangat banyak dan tak akan habis dengan dihajar saja..... Bukankah dia mempunyai urusan sangat penting, cara bagaimana dia dapat dengan gampang berlaku usilan?"

   Berpikir sampai di situ, In Tiong tetap tidak mengerti.

   Ia ingat, Thio Tan Hong itu cerdik sekali, tindak tanduknya senantiasa secara rahasia, yang mengandung maksud dalam dan sukar diduga-duga.

   Si nyonya tua belum bercerita habis, maka itu dia menambahkan.

   "Mahasiswa penunggang kuda putih itu, setelah menghajar kedua guru silat hingga mereka itu kabur pergi, sudah lantas berkata kepadaku. pergi kau beritahukan semua orang lelaki di desamu ini, titahkan mereka untuk pergi ke Koaywa Lim guna menyaksikan keramaian, di sana aku mempunyai uang untuk dibagi-bagikan kepada mereka. Tuan, kau tentu tidak menghendaki uangnya itu, sebaliknya, kau tentu sudi menonton keramaian, bukan?"

   In Tiong manggut.

   "Sudah lama aku dengar perihal keindahan taman-taman di Souwtjioe,"

   Ia menyahut.

   "kebetulan akan ada keramaian, sudah pasti aku suka pergi ke sana!"

   Habis berkata, ia membayar tehnya sambil melirik kepada si nona muda, maka terlihatlah olehnya, nona itu sudah menyulam bunga merah yang ke delapan! In Tiong kaburkan kudanya, yang dapat lari keras, sebelum matahari terbenam, dia sudah sampai di Souwtjioe.

   Yang pertama ia lihat adalah jalan besar yang lantainya berbatu besar kecil dan berwarna belang, yang teratur rata dan rapih, sedang rumah-rumah nampaknya indah, umumnya berbeda daripada yang biasa terlihat di lain-lain kota.

   Juga terdapat banyak pohon-pohonan, umpamanya pohon-pohon gouwtong dan yanglioe, yang muncul keluar dari tembok-tembok pekarangan.

   Rumahnya di mana-mana terdapat taman.

   Jadi Souwtjioe beda jauh sekali daripada gurun pasir.

   Diam-diam ia menghela napas dan berkata dalam hatinya.

   "Benarlah perkataan, Sang Yoe Thian Tong, Hee Yoe Souw Hang!....."

   "Siang Yoe Thian Tong, Hee Yoe Souw Hang"

   Berarti.

   "Di atas langit ada sorga, di muka bumi ada kota-kota Souwtjioe dan Hangtjioe."

   Berhubung dengan tugasnya, In Tiong lantas pergi ke kantor soenboe.

   Ia minta keterangan tentang tujuh pahlawan dari kota raja, yang diperbantukan kepadanya.

   Ia dapat kenyataan, belum satu dari ke tujuh orang itu yang tiba.

   Tapi ia mesti menjalankan tugas, tanpa pembantu, ia suka lantas bekerja.

   Bukankah ia telah mendengar halnya Thio Tan Hong, ke mana tujuan si mahasiswa berkuda putih itu? Begitulah, malam itu ia beristirahat, lalu besok paginya, dengan dandan sebagai rakyat jelata, ia menuju ke Koaywa Lim, taman penglipur.

   Koaywa Lim terletak di luar kota Souwtjioe sebelah utara.

   Itu adalah satu taman yang luas.

   Begitu sampai di pintu, orang dapatkan lorong yang panjang, yang banyak tikungannya, sedang di kedua belah temboknya, terdapat banyak sekali tulisan-tulisan jaman dulu.

   Rupanya pemilik taman tak tahu cara melindungi huruf-huruf itu, waktu itu banyak huruf yang telah gugur dan tampaknya tak tegas lagi.

   In Tiong tidak mengenal tulisan-tulisan bagus itu tetapi ia menyayangi, ia menghela napas.

   Setelah melewati lorong, di kiri dan kanan lantas tampak pelbagai macam pohon, pohon kayu dan bunga, bambu dan tumpukan-tumpukan batu, yang merupakan gunung buatan, ada selatnya, empang teratai dan pasebannya, yang semuanya indah.

   Yang disayangi ialah di mana-mana dalam taman itu terdapat tempat-tempat perjudian, ada banyak pelancongnya, hingga di situ berisik dengan teriakan-teriakan mereka itu.

   Tentu saja, suasana itu tak tepat dengan keindahan taman.

   Diam-diam In Tiong memasang mata.

   Dengan lantas ia dapat kenyataan, di mana-mana terdapat orang-orang sebagai si tukang pukul, yaitu gundal-gundal.

   Rupa-rupanya Kioetauw Saytjoe sudah bersedia-sedia untuk menyambut tantangan si mahasiswa berkuda putih, karenanya dia telah menyiapkan orang-orangnya itu.

   Dengan sikapnya sebagai pelancong biasa, In Tiong cari satu tempat di mana ia dapat memperhatikan sesuatu sambil duduk beristirahat, akan tetapi, sampai lewat tengah hari, ia masih belum tampak Thio Tan Hong muncul.

   Mungkinkah, karena sesuatu hal, Tan Hong mengadakan perubahan dengan mendadak, hingga ia tak datang hari ini?"

   Ia menerka-nerka.

   Justeru ia tengah menduga-duga, apa yang menjadi sebab hingga Tan Hong gagal menetapi janji, tiba-tiba kelihatan serombongan orang mendatangi dengan suara yang berisik.

   Yang menjadi kepala adalah seorang berumur lima puluh tahun, yang mukanya berewokan.

   "Kioetauw Saytjoe, hari ini aku datang untuk bertaruh denganmu, untuk main, guna melewatkan waktu yang terluang!"

   Begitu terdengar suaranya yang besar dan nyaring. Sejenak saja, taman menjadi sunyi, semua orang berhenti berjudi. In Tiong lantas dengar beberapa orang bicara berbisik. Antaranya ia dengar nyata.

   "Liong pangtjoe dari Hay liong Pay telah tiba. Teranglah dia mempunyai maksud untuk merubuhkan panggung Kioetauw Saytjoe. Maka lantas juga kita akan menyaksikan keramaian!....."

   In Tiong menjadi heran.

   Inilah di luar dugaannya.

   Dia muncul di situ untuk menantikan Thio Tan Hong, siapa tahu sekarang telah datang Liong Pangtjoe, Ketua Liong atau Naga, dari Hayliong Pang atau Kawanan Naga Laut.

   Dari pendengaran terlebih jauh, ia percaya Hayliong Pang Pangtjoe itu mesti ada salah satu okpa dari kota Souwtjioe.

   Dari sebelah depan, menghadapi rombongan Hayliong Pang itu, dari antara rombongan orang banyak, yang lantas membuka jalan, kelihatan muncul satu orang yang tubuhnya kasar, alisnya tebal, matanya besar.

   Dia mengenakan thungsha, baju panjang, yang dilapis dengan makwa, semacam rompi, atau baju pendek tanpa tangan.

   Dia unjuk sikap sebagai satu anak sekolah, yang lemah lembut, tetapi dandanannya tak tepat dengan romannya dan lagaknya.

   Ia pun diiringi tujuh atau delapan boesoe, guru silat.

   Ia maju menghampiri Liong Pangtjoe, terus dia angkat kedua tangannya, lalu dirangkapkan, untuk memberi hormat.

   "Liong Pangtjoe, hari ini angin apa telah meniup kau sampai di sini?"

   Dia tanya. Dia mencoba bersikap ramah tamah.

   "Silakan duduk, silakan duduk! Mari kita minum teh! - Eh, anak-anak, lekas kamu perintahkan supaya lekas disajikan beberapa rupa kuwe!"

   Orang telah bersikap manis tetapi si Liong Pangtjoe, dengan roman keren, membawa sikap dingin.

   "Kioetauw Saytjoe, hari ini aku ketagihan,"

   Demikian jawabnya.

   "maka itu sengaja aku datang kemari, untuk bertaruh denganmu! Untuk minum teh, jangan kau kesusu, marilah kita bertaruh dahulu!" ' Nampaknya Kioetauw Saytjoe In Thian Sek agak jeri terhadap Ketua dari Hayliong Pang itu, dia diperlakukan demikian kasar dan dingin, masih dia bisa tertawa manis.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kita berdua bersahabat, untuk apa kita membuat renggang persahabatan itu?"

   Berkata ia, dengan sabar.

   "Kau hendak menitahkan apa? Titahkanlah asal saja yang adikmu sanggup kerjakan!"

   Ketua Hayliong Pang itu kembali tertawa dingin.

   "Lao In, siapa yang membuka rumah makan, mustahil dia jeri terhadap perut besar dari tetamu-tetamunya?"

   Begitu dia menjawab.

   "Kau telah membuka rumah judi, mana dapat kau tolak aku yang telah datang untuk turut adu peruntungan? Apakah kau kuatirkan aku tidak punya uang? Kau tanyakan padaku, apa yang aku hendak titahkan padamu! Nah, aku menghendaki kau berjudi dengan aku! Kau sanggup melakukan ini, bukan?"

   Habislah kesabaran dari In Thian Sek, mukanya menjadi pucat. Maka berkatalah ia.

   "Setiap orang ada mukanya, setiap pohon ada kulitnya, karena kau telah mendesak aku di muka orang ramai ini, tidak ada jalan lain, terpaksa aku temani kau! Baiklah! Kau hendak bertaruh apa?"

   "Main dadu paling menyenangkan!"

   Sahut Liong Pangtjoe.

   "Kita lempar dadu! - Eh, Lao Kwee, tanganmu dingin, mari kau wakilkan aku melemparnya! - Dan kau, Lao In, apakah kau hendak melemparkan sendiri atau diwakilkan oleh guru besarmu?"

   Setelah mengucap demikian, dari rombongan Hayliong Pang muncul satu orang tua kurus kering yang romannya tak luar biasa, sambil membuka kopiah kulitnya, dia berkata kepada In Thian Sek.

   "Aku Kwee Hong, toako, terimalah hormatku!"

   Selama dia belum membuka kopiahnya, orang tua itu memang beroman biasa, akan tetapi setelah kepalanya tak bertutup lagi, dia membuatnya semua orang heran.

   Nyata dia mempunyai rambut yang semuanya berwarna merah, rambut itu kusut seperti awan, numpuk di batok kepalanya.

   In Tiong malah terkejut, karena ia kenali orang tua itu.

   "Ah, kiranya dia adalah Anghoat Vauwliong Kwee Hong!"

   Kata dia dalam hatinya. Dia pun heran.

   "Kenapa dia datang kemari?"

   Kwee Hong adalah pahlawan dorna kebiri Ong Tjin, dalam seluruh tahun, dia keram diri di dalam gedung Soelee Thaykam she Ong itu, karena tugasnya adalah melindungi diri si thaykam.

   Jarang sekali dia pergi ke mana-mana, maka itu jangan kata orang kangouw jarang mengetahui dia, malah pahlawan atau guru-guru silat di kota raja sendiri, tak banyak yang pernah melihat dia.

   Keistimewaannya adalah rambutnya yang merah itu.

   In Tiong juga belum pernah melihat Kwee Hong, ia hanya pernah mendengar dari Thio Hong Hoe, baharu sekarang, ia melihat untuk pertama kalinya, sesudah orang perkenalkan diri sambil membuka kopiahnya.

   Oleh karena rambutnya juga, Kwee Hong telah memakai julukan itu, Anghoat Yauwliong, si Naga Siluman Rambut Merah.

   "Inilah aneh,"

   In Tiong berpikir pula.

   "Ong Tjin telah menjadi hartawan, kenapa dia utus pahlawannya datang kemari untuk dengan satu okpa merebut sebuah taman? Dan Kwee Hong sendiri, karena kedudukannya sebagai pahlawan dorna, tidak sepantasnya dia menjadi kawan atau pembantu seorang pangtjoe. Benar-benar aneh!"

   Sementara itu, Kioetauw Saytjoe In Thian Sek telah menjawab Liong Pangtjoe.

   "Oh, Kwee Soehoe yang mewakilkan kau?"

   Katanya.

   "Baiklah, aku tidak akan memakai wakil, aku akan turun tangan sendiri."

   Liong Pangtjoe itu lantas saja tertawa terbahak-bahak.

   "Bagus!"

   Serunya. Di sini ada cek seharga sepuluh laksa tail, inilah cek dari bank besar. Kau lihat biar tegas! Dengan satu dadu, aku bertaruh sepuluh laksa tail perak!"

   "Ditanganku tidak ada uang demikian banyak,"

   Berkata In Thian Sek. Liong Pangtjoe tertawa pula, sampai dia melenggakkan kepalanya.

   "Apakah kau sangka aku tidak tahu tentang kekayaanmu?"

   Dia kata.

   "Sawah, kebun dan toko-tokomu berharga empat puluh laksa tail, dan taman Koaywa Lim ini juga berharga empat puluh laksa tail, jadi dengan begitu, kau mempunyai pokok berjudi delapan puluh laksa tail! Maka itu, janganlah kau kuatirkan suatu apa....."

   In Thian Sek menjadi mendongkol. Tapi ia tertawa bergelak.

   "Oh, kiranya kau memikir untuk memiliki Koaywa Lim ini?"

   Dia kata.

   "Ah, jangan kau mengatakan demikian. Apa benar, sebelumnya kalah, kau sudah jeri?"

   Tanya Liong Pangtjoe.

   "Aku kuatir kau tak akan berhasil dengan maksudmu,"

   In Thian Sek baliki.

   "Baiklah! Silakan periksa dulu dadunya."

   Kwee Hong lantas periksa dadu itu.

   "Kwee Toako, dadu itu tidak palsu bukan?"

   Liong Pangtjoe tanya kawannya. Kwee Hong tidak menyahuti, dia hanya angsurkan dadu kepada In Thian Sek.

   "Kioetauw Saytjoe, kau adalah tuan rumah, silakan kau yang mulai!"

   Kata ia. In Thian Sek sambuti biji-biji dadu itu, segera saja ia lemparkan sambil berseru.

   "Satu"

   Lantas enam biji dadu itu berputaran di dalam mangkok yang besar dan cekung. Dan menyusul itu, seorang membuka suaranya.

   "Dua, enam! satu, empat! Enam belas! Toa"

   Dalam perjudian dadu itu, angka terbesar adalah delapan belas, maka itu, untuk mendapatkan biji enam belas pun sukar, meski demikian, In Thian Sek telah menyeka keringat dingin ketika ia kata kepada lawannya.

   "Nah, orang she Kwee, kau susullah aku!"

   Orang tua berambut merah itu bersenyum, dengan sikap sangat tenang, dia raup semua biji dadu itu, kemudian dengan lekas dia gerakkan jeriji-jeriji tangannya, lalu dilemparkan. Segera tukang tunggu biji pun berseru.

   "Dua, enam! satu, lima! Tujuh belas! Toa\"

   Dengan mengatakan "Toa,"

   Bandar maksudkan angka besar. Paras Kioetauw Saytjoe menjadi pucat.

   "Ha, ada saitannya!"

   Dia berseru.

   "Mari, lagi satu kali!"

   "Baik!"

   Sambut si orang tua rambut merah.

   "Kali ini kita bertaruh dua puluh laksa tail!"

   Tangan Thian Sek berkeringatan, suaranyapun agak gemetar ketika ia berteriak.

   "It sek"

   Berbareng dengan itu, biji-biji dadu pun telah dilemparkan. Bandar lantas perdengarkan suaranya seperti biasa.

   "Dua, enam, satu lima! Bagus! Kembali tujuh belas!"

   Mendapat angka tujuh belas berarti kemenangan hampir pasti, maka itu kali ini In Thian Sek tampak bersenyum.

   Seperti lagaknya tadi, si orang tua tidak mengatakan sesuatu, dengan tenang ia raup gambar biji-biji dadu itu, untuk segera dilemparkan, nampaknya ia seperti acuh tak acuh.

   Para hadirin segera berubah parasnya.

   Bandar pun berteriak.

   "Tiga merah, empat! Itsek"

   Itsek itu, satu warna, apapula warna merah, adalah angka paling besar. Si orang tua berambut merah tertawa, dia kata dengan sabar.

   "Kau memanggilnya, dia tidak datang! Aku tidak memanggil, dia justeru datang! Nah, mari kita main terus! Kali ini tarohannya empat puluh laksa tail!"

   In Thian Sek menyeringai, tapi ia terima tantangan itu. Merah urat-urat di dahinya.

   "Sekarang, kau yang melempar lebih dulu!"

   Dia kata.

   "Baik!"

   Sahut si orang tua muka merah itu.

   "Akan aku melempar lebih dahulu!"

   Kali ini Kwee Hong raup biji-biji itu untuk digenggam dengan kedua tangannya, ketika hendak dilemparkan, tangannya digoyang-goyangkan dulu.

   Begitu lekas biji-biji itu berhenti berputaran di dalam mangkok, suasana di sekitarnya menjadi sunyi senyap.

   Parasnya In Thian Sek pun menjadi pucat.

   Hanya berselang sejenak, bandar perdengarkan suaranya.

   "Tiga kali enam! Delapan belas, merangkap itsek!. Thongsat!."

   Kalau itsek hanya serupa warna saja, untuk berbagai macam angka, adalah itsek dengan angka delapan belas, merupakan batas tertinggi, dengan begitu permainan tak dapat dilanjutkan, karena angka itu tidak dapat disusul lagi.

   "Toa"

   Adalah besar, tetapi "thongsat"

   Adalah terbesar, habis semua. Setelah kesunyian, lalu timbul kegemparan, suara orang ramai menjadi berisik. Semua orang menjadi heran dan kagum terhadap si orang tua rambut merah itu. Kenapa tangannya orang tua ini demikian "soen,"

   Begitu mujur! Adalah In Tiong seorang, yang melihat gerakan tangannya Kwee Hong yang mengetahui sebab-sebabnya kemenangan Anghoat Yauwliong.

   Kalau dalam melepaskan senjata rahasia seorang ahli dapat merdeka mengarah ke mana dia suka, begitu juga dalam hal melemparkan biji-biji dadu.

   Kwee Hong rupanya seorang ahli, maka ia dapat menguasai biji-biji itu.

   In Thian Sok tak dapat melihat rahasia kepandaian Kwee Hong itu, karena ia adalah seorang kangouw kenamaan, ia terima kekalahan itu, maka, dengan hati seperti disayat-sayat, dengan meringis, dia kata kepada lawannya.

   "Baiklah, orang she Liong, Koaywa Lim ini menjadi milikmu!....."

   "Pokokmu sama sekali delapan puluh laksa tail,"

   Berkata Liong Pangtjoe.

   "sekarang kau kalah tujuh puluh, masih ada kelebihannya sepuluh laksa, dengan begitu kau masih dapat kembali sepuluh laksa tail itu, katakanlah, kau kehendaki sawah, kebun atau uang kontan? Orang she In, dengan punyakan sepuluh laksa tail, kau masih terhitung orang hartawan juga. Kau lihat, aku tidak berlaku kejam, masih aku pandang padamu!"

   "Sudahlah, jangan bicara terlalu banyak!"

   Si orang tua berambut merah menyelak.

   "Sekarang aku berikan ketika, yaitu sebelumnya matahari terbenam, kamu sudah mesti pindah dari Koaywa Lim ini!"

   Kembali muka Thian Sek menjadi pucat. Nyata sudah bahwa ia telah diusir. Akan tetapi, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar satu suara tertawa tegas, disusul dengan kata-katanya orang yang barusan tertawa itu.

   "Tunggu dulu. Aku juga hendak turut bertaruh!"

   In Tiong segera menoleh, lalu di depan matanya berkelebat Thio Tan Hong dengan pakaian serba putih.

   Tan Hong itu segera muncul dari antara rombongan orang banyak.

   Dengan sendirinya In Tiong menyesal karena ia lupa, saking tertarik pada permainan dadu, ia sampai lengah memperhatikan pemuda yang ia mesti cari itu.

   Entah sejak kapan pemuda itu telah berada di antara mereka.

   Kioetauw Saytjoe In Thian Sek membuka dengan lebar kedua matanya ketika ia menoleh kepada anak muda itu, karena dari orang-orangnya ia dapat melukiskan roman orang dan potongannya, maka tahulah ia, dia ini adalah si mahasiswa berkuda putih yang telah perhina kedua guru silatnya.

   Tapi ia baharu saja kalah berjudi, sekarang pemuda ini hendak menggantikan tempatnya, ia mencoba menguasai dirinya.

   Ingin ia ketahui, apa yang orang akan perbuat.

   Maka itu ia berdiri diam di tempatnya, untuk jadi penonton saja.

   Thio Tan Hong dandan dengan perlente, lagaknya sebagai satu pemuda hartawan atau anak orang agung, begitu ia sampai di Souwtjioe, segera ia menjadi perhatiannya kawanan Hayliong Pang, segera juga beberapa orang Hayliong Pang itu menguntit ia hingga di hotel.

   Karena liehaynya, Tan Hong tahu bahwa ia telah dikuntit orang, ia lalu sengaja bersikap berpura-pura tak mengetahuinya, sengaja ia keluarkan barang-barang permata yang ia bekal, ia seperti pertontonkan itu.

   Beberapa orang Hayliong Pang itu terdiri dari orang-orang berpengalaman, mereka jadi curiga, karenanya, tidak berani mereka lancang turun tangan, mereka lantas kembali untuk memberi laporan kepada ketua mereka.

   Pada waktu itu, Liong Pangtjoe telah ber-keputusan akan memiliki Koaaywa Lim, untuk bertindak, ia tunda dulu hal si anak muda asing ini, yang ia ingin ketahui jelas asal-usulnya, maka tidak ia sangka, baharu ia selesai berurusan dengan In Thian Sek, si anak muda justeru muncul di antara mereka, malah dia ditantang bertaruh.

   Anghoat Yauwliong lirik anak muda ini.

   "Kau hendak bertaruh berapa banyak?"

   Dia tanya. Dia tidak tunggu lagi putusan ketuanya.

   "Kau sendiri, mempunyai pokok berapa?"

   Tan Hong balik tanya. Ia menanya sambil tertawa, sikapnya wajar, tenang. Liong Pangtjoe mendahului orang memberikan jawaban.

   "Pokokku adalah benda miliknya Tuan In ini!"

   Ia jawab sambil tertawa dingin.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Oh, kalau begitu!"

   Kata Tan Hong sabar.

   "berikut uang kontanmu sepuluh laksa tail, semua cuma terdiri dari sembilan puluh laksa! Baiklah, untuk iseng-iseng, guna melewatkan waktu senggang, suka aku bertaruh dengan kau!"

   "Untuk permulaan, berapa kau hendak bertaruh?"

   Tanya si orang tua rambut merah.

   Tampaknya si Naga Siluman Rambut Merah tidak sabaran.

   Tan Hong bersenyum, dari sakunya ia keluarkan serenceng mutiara, bentuk mutiara itu bundar-bundar dan besar-besar, semuanya bercahaya, maka teranglah sudah, semua mutiara itu tulen dan indah, mahal harganya.

   Pada renceng itu pun dibandulkan sebuah permata lain, yang sinarnya hijau mengkilap dan membuatnya silau siapa yang memandangnya.

   "Uang tarohanku adalah mutiara dan permata ini,"

   Kata Tan Hong sambil tunjukkan barang berharga itu.

   "Coba kamu taksir sendiri harganya ini!"

   Liong Pangtjoe sambuti rencengan mutiara berikut batu permata itu, ia memeriksanya dengan teliti.

   "Kita di sini biasa bertaruh secara pantas,"

   Ia berkata kemudian.

   "Mutiaramu ini ada seratus biji, setiap bijinya sama besarnya, tidak ada cacatnya, inilah mutiara yang sukar dicari timpalannya. Menurut taksiran, setiap biji mutiara ini berharga seribu lima ratus tail perak, tetapi karena ada seratus biji, harganya mesti dinaikkan sedikit. Aku hitung untuk dua puluh laksa tail!"

   "Ah, kau tahu juga harga barang!"

   Kata Tan Hong.

   "Bagaimana dengan batu permatanya?"

   "Batu hijau ini jarang didapatkan,"

   Sahut Liong Pangtjoe.

   "tentang permata ini, tidak dapat aku menaksirnya. Bagaimana kalau sepuluh laksa tail?"

   "Sebenarnya buat sepuluh laksa tail masih kurang sedikit,"

   Kata Tan Hong.

   "Akan tetapi kita hendak bertaruh, baiklah, aku tidak hendak memberi harga terlalu tinggi. Kau hitung semua tiga puluh laksa tail, akur! Mari dengan tiga puluh laksa tail kita bertaruh untuk satu kali lempar!"

   Kecocokan telah didapat, maka orang hendak lantas mulai. Bandar sudah lantas keluarkan dadu yang baru. Tan Hong menangkan undian.

   "Kalau aku yang melempar terlebih dahulu, lantas aku dapat itsek atau angka delapan belas, kau lantas tidak punya ketika untuk melempar lagi,"

   Berkata Tan Hong.

   "Tidak ingin aku menang secara begitu rupa, sebab kalau kau kalah, kau jadi tidak puas, kau penasaran. Nah, kau boleh melempar lebih dahulu!"

   In Tiong telah memasang kupingnya, ia menjadi heran.

   "Ilmu melepas senjata rahasia dari Tan Hong sukar tandingannya di dalam dunia ini,"

   Ia berpikir.

   "kalau dia yang melempar lebih dulu, sudah pasti dia yang bakal menang. Sekarang dia suka mengalah dari Anghoat Yauwliong, ada kemungkinan dia nanti kalah....."

   Si orang tua rambut merah tidak berlaku sungkan, dia terima baik usul itu.

   Dia pun lantas raup biji-biji dadu itu.

   Dia rasakan biji-biji itu terlebih enteng, tetapi dia tidak pedulikan itu.

   Dia raup dengan kedua tangannya, terus saja dia lemparkan.

   Cepat sekali dalam mangkok terlihat tiga biji berhenti bergerak, ketiga-tiganya menunjukkan angka enam dan tiga biji lainnya masih berputaran.

   Dengan kedua matanya si orang tua rambut merah mengawasi tajam kepada ketiga biji itu.

   Sebentar kemudian, dua biji pun tak berputaran lagi.

   Juga kedua biji ini menunjukkan, angka enam! Pada paras si orang tua lantas tersungging senyuman.

   Hebat biji yang ke enam itu, yang membuat hati semua orang tegang.

   Dialah yang berputar paling lama.

   Pada saat dia hendak berhenti, dia perlihatkan angka enam, tetapi tiba-tiba, dia berputar satu kali lagi dan berhenti menjadi angka lima! "Dua enam, satu lima !"

   Teriak bandar.

   "Tujuh belas. Toal"

   Adalah keinginan si orang tua rambut merah akan mendapatkan semua biji angka enam, supaya itsek, serupa warnanya, tetapi angka tujuh belas pun sukar didapat, ia terpaksa mesti merasa puas.

   "Tujuh belas ya tujuh belas, tidak apa,"

   Kata dia, menghibur diri.

   "Sekarang kau susullah!"

   Ia tambahkan kepada lawannya. Thio Tan Hong raup biji dadu itu.

   "Tujuh belas sukar untuk disusul!"

   Kata dia. Ia angkat kepalanya, akan memandang ke langit. Ia tidak lantas mulai. Suasana menjadi sunyi, sebab semua perhatian tertarik padanya.

   "Sekarang aku mulai!"

   Kata dia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa perhatian, dia lempar biji ke dalam mangkok.

   Semua orang menjadi tegang, tak terkecuali si orang tua berambut merah.

   Dia malah pentang lebar kedua matanya! Begitu lekas biji-biji dadu itu berhenti berputaran dan terletak diam, segera terdengar suara si bandar.

   "Sepasang empat! Dua lima! Lagi sepasang enam! Sie Gouw Lak Tjoansat."

   Sie gouw lak - dua empat, dua lima dan dua enam - itu artinya "tjoansat" - "kemenangan penuh."

   Semua orang heran, kecuali In Tiong. Orang heran, sudah si orang tua rambut merah demikian mujur, sekarang ada Tan Hong yang sangat beruntung. Kwee Hong mendelong, ia heran bukan main. Ia mempunyai ilmu Tokliong tjiang, yaitu "Tangan Naga Beracun,"

   Dirangkap dengan kepandaian Tokliong teng, ilmu melepaskan senjata rahasia "Paku Naga Beracun."

   Itulah kepandaian yang membuatnya ia peroleh julukan Anghoat Yauwliong si Naga Siluman Rambut Merah.

   Itu juga kepandaian yang membikin ia dapat permainkan biji-biji dadu sesukanya, hingga ia peroleh kemenangan atas In Thian Sek, hingga Hayliong Pang dapat menduduki Koaywa Lim.

   Tapi kali ini, ia rubuh ditangannya Thio Tan Hong, orang yang ia tidak kenal.

   Tentu saja ia tidak ketahui, selagi Tan Hong raup semua biji, biji- biji itu sudah lantas digenggam begitu rupa.

   Atas kemenangan itu, Tan Hong perlihatkan roman biasa saja.

   Dengan tenang, dia kata.

   "Berikut kemenangan ini, pokokku sekarang berjumlah enam puluh laksa tail. Nah, semua itu aku pakai untuk bertaruh pula!"

   Si orang tua berambut merah cuma bersangsi sebentar, atau lantas ia berikan penyahutannya.

   "Baik, akan aku lawan kau satu kali lagi! Sekarang kaulah yang melempar terlebih dahulu!"

   Mendengar sambutan itu, In Tong menjadi heran.

   Ia herankan si orang tua.

   Ia pikir, setelah kekalahannya itu, apa benar orang tua ini tak menginsiafi sebabnya? Kalau dia insiaf artinya dia tahu, kenapa sekarang dia berani melawan pula dengan suruh Tan Hong yang melemparkannya lebih dulu? Tan Hong tertawa yang dia disuruh melempar lebih dahulu.

   "Kau suruh aku yang melemparkan lebih dahulu, baik!"

   Ia kata.

   "Aku harap kau tidak menyesal di belakang!"

   Ia lantas raup ke enam biji dadu itu, lalu dilemparkan pula seperti tadi, tanpa aksi, tanpa memperhatikan pula. Lantas ke enam biji itu berputaran. Si orang tua rambut merah mengawasi semua biji itu, tiba-tiba ia berseru.

   "Satu"

   Hampir pada waktu yang sama, ke enam biji itu berhenti berputar. Bandar pun segera berseru.

   "Sepasang dua, satu satu! lima!"

   Si orang tua lantas tertawa.

   "Kiranya lima yang bau!"

   Kata dia.

   Untuk permainan dadu itu, angka terbesar adalah delapan belas, yang terkecil ialah empat, sekarang Tan Hong dapat angka lima, itu sudah berarti kekalahan pasti.

   Tetapi In Tiong ketahui sebab-musababnya angka itu.

   Kwee Hong telah menggunakan ilmu hembusan napasnya "Toanseng tjinboet,"

   Yaitu "Dengan suara menggempur barang."

   "Ah, kali ini Tan Hong mesti kalah,"

   Kata ia dalam hatinya.

   Ia tidak bisa campur mulut kendati ia tahu orang main curang.

   Di tempat main dadu, orang tidak dilarang untuk berseru-seru.

   Sekarang datang giliran si orang tua rambut merah.

   Tampaknya ia sangat gembira.

   Dengan sebat ia raup biji dadu itu, terus ia lemparkan, hingga mangkok itu perdengarkan suara nyaring.

   Selagi biji berputaran, Tan Hong mengawasi sambil tertawa berkakakan.

   Bandar pun segera menyebutkan angka-angkanya.

   "Sepasang satu, satu dua! Empat! Empat!"

   Ketika ia ulangi "Empat"

   Itu, suaranya gemetar, suatu tanda ia kaget sekali. Tan Hong kembali tertawa besar.

   "Ha, kiranya empat busuk!"

   Dia berkata. Muka si orang tua menjadi putih bagaikan lilin, kekalahannya ini berarti ia pun kalah dalam hal ilmu melepaskan senjata rahasia. Tan Hong jetrikan dua jari tangannya, dia tertawa.

   "Seluruh kekalahanmu berjumlah sembilan puluh laksa tail!"

   Dia kata.

   "Kau telah menghabiskan pokokmu, cek, tanah milik, berikut Koaywa Lim ini, sekarang menjadi kepunyaanku si orang she Thio!"

   Dengan sekonyong-konyong saja Kioetauw Saytjoe In Thian Sek lompat bangun, sebelah tangannya menyambar, menjambak ke arah pundak Tan Hong.

   "Hrn! Kau penipu! Kau berani merampas aku punya Koaywa Lim?"

   Dia berteriak. Tapi dia baharu berteriak atau segera dia menjerit "Aduh!"

   Disusul dengan rubuhnya tubuh, menggeletak di tanah. Thio Tan Hong tertawa sambil berseru.

   "Hai, kuku singa patah!"

   Orang semua mengawasi In Thian Sek, mereka lihat ke lima jarinya si Singa Kepala Sembilan telah patah dan berdarah-darah, orangnya pun pingsan. Menampak demikian, semua gundalnya Thian Sek lantas maju menyerang.

   "Foei! Tidak tahu malu!"

   Teriak Tan Hong.

   "Siapa suka berjudi, dia mesti terima kekalahan! Aku pun menangkan Koaywa Lim ini bukan dari tangannya si orang she In ini!"

   Mulut Tan Hong bersuara, tubuhnya pun bergerak, diturut dengan gerakan kaki dan tangannya, yang lincah dan sebat, hingga di lain saat, semua gundal Kioetauw Saytjoe telah rubuh terguling.

   Si orang tua berambut merah keluarkan sebelah tangannya secara tiba-tiba.

   "Kioetauw Saytjoe, jangan kau bikin malu kaum kangouw1."

   Dia berseru.

   Teriakan itu terang ada bantuan untuk Tan Hong menegur Thian Sek, tapi di mulut lain, ditangan lain, tangan jahat Anghoat Yauwliong justeru bergerak ke arah si pemuda berpakaian putih.

   Tan Hong sangat celi matanya, sangat cepat gerakannya, melihat tangan orang bergerak ke arahnya, ia mengibas dengan tangan bajunya, hingga tangan jahat itu, tangan Naga Beracun, nyasar dari sasarannya.

   "Nah, itulah baharu kata-katanya satu laki-laki!"

   Kata Tan Hong sambil tertawa.

   Ia tetap bawa sikap seperti tak tahu bahwa orang telah menyerang ia secara curang.

   Kemudian ia ambil air teh dingin, yang terus diirup, untuk disemburkan ke mukanya In Thian Sek, hingga di lain saat, orang she In itu telah sadar dari pingsannya.

   Liong Pangtjoe lantas saja berkata.

   "Kioetauw Saytjoe, kali ini kita harus mengaku kalah! Baiklah kau pergi ke Hayliong Pang, untuk menjadi hiotjoe1. Kita lihat saja nanti, berapa lama dia dapat kuasai Koaywa Lim ini!"

   Ketua dari Hayliong Pang ini juga satu ahli silat, mendapatkan Kwee Hong bukan tandingan orang, ia sengaja bawa sikap sebagai seorang kangouw sejati, yang akui kekalahan setelah kena dipecundangkan orang.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tan Hong tidak pedulikan lagak orang, dia hanya kata kepada In Thian Sek.

   "Kioetauw Saytjoe sekarang kau keluarkan surat-surat tanah serta uang kontanmu!"

   In Thian Sek tengah mengobati jari-jari tangannya, dia sedang nunduk.

   "Akan aku turut perintahmu,"

   Ia menjawab.

   "Kau harus bersikap hormat,"

   Thio Tan Hong peringatkan.

   "Aku tahu berapa banyak tanahmu dan bandamu, maka jikalau kau main gila, meskipun kau mempunyai sepuluh kepala, semua kepala itu akan aku tebas kutung! Eh, siapakah di antara kamu yang suka mengangkut barang-barang?"

   Dalam sekejap saja serombongan orang telah memajukan diri sambil bersurak.

   Mereka nyata sebagian adalah penduduk Tamtay Tjoen, sebagian penduduk melarat dari kota Souwtjioe.

   Memang sejak siang-siang Tan Hong telah pesan mereka berkumpul di taman Koaywa Lim itu.

   Tan Hong bertindak tegas.

   Ia bakar hangus semua surat-surat tanah Kioetauw Saytjoe, untuk menghabiskan semua hak si okpa, sedang uang kontan okpa itu, ia bagi-bagikan di antara semua penduduk itu.

   Sampai lohor baharulah ia selesai dengan pembagiannya itu.

   Selama itu Kioetauw Saytjoe, Liong Pangtjoe dan Anghoat Yauwliong, berikut orang-orangnya, karena malu, sudah ngeloyor pergi dengan diam-diam.

   Habis mempesta pora harta orang, Thio Tan Hong tertawa berkakakan.

   Tiba-tiba ia membungkuk, akan petik setangkai bunga teratai dari dalam empang, terus ia bersenanjung.

   "Telah dikembalikan asal tanahku, maka hari ini bunga teratai muncul dari dalam lumpur!..... Lalu, kalau tadi ia tertawa terbahak-bahak, sekarang mendadak ia mengucurkan air mata. In Tiong mengawasi terus kelakuan orang, di dalam hatinya, ia kata.

   "Dia tentu telah menyaksikan yang usaha leluhurnya telah diilas-ilas orang, maka sekarang ia menjadi sangat terharu....."

   Ketika itu oran g telah mulai bubar, maka In Tiong, yang kuatir dikenali Tan Hong, lekas-lekas juga angkat kaki.

   Ia kembali ke kantor soenboe.

   Kali ini ia dapatkan, dari tujuh pahlawan istana, dua baharu saja sampai.

   Mereka ternyata adalah kedua paman guru dari Taywee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, yaitu Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe.

   Selama pieboe, In Tiong telah merubuhkan Liok Thian Peng, keponakan murid dari dua pahlawan ini, karenanya, di antara kedua pihak terdapat ganjalan, akan tetapi sekarang mereka sama-sama ditugaskan kaisar, terpaksa mereka tidak berani timbulkan ganjalan itu.

   In Tiong tuturkan apa yang barusan ia saksikan di Koaywa Lim.

   Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe adalah orang-orang kangouw berpengalaman, setelah mendengar penuturan In Tiong, keduanya saling memandang, lantas mereka kerutkan alis.

   "Urusan nampaknya aneh,"

   Kata Liong Tjin Hong kemudian.

   Anghoat Yauwliong adalah tangan kanan Ong Tjin, kenapa dia bantui Hayliong Pang memperebutkan Koaywa Lim? Thio Tan Hong pandang emas bagaikan tanah, dia juga tak ketentuan tempat kediamannya, kenapa sekarang dia justeru menghendaki taman Koaywa Lim itu? Menurut keterangan kau, Koaywa Lim adalah bekas istana peristirahatan dari Thio Soe Seng, siapa tahu kalau harta dan peta Thio Soe Seng itu berada di dalam Koaywa Lim?"

   In Tiong anggap dugaan itu masuk di akal.

   Pembicaraan mereka ini ditunda setelah diambil persetujuan untuk sebentar malam mencoba pergi ke Koaywa Lim, lantas mereka bersantap malam, habis bersantap, mereka beristirahat.

   Di saat genta di loteng kota berbunyi tiga kali, mereka bertiga berdandan, mengenakan yaheng ie, pakaian untuk keluar malam, setelah mana, tanpa ayal lagi, mereka keluar dari kamar mereka, untuk segera menuju ke Koaywa Lim.

   Setelah berpindah tangan, taman penglipur lara itu telah berubah rupa.

   Lenyaplah segala keramaian, gantinya adalah kesunyian.

   Memandang gunung-gunung dan lain- lainnya, perasaan orang seolah-olah dibawa kepada ketenteraman, keindahan alam.

   In Tiong, Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe sempurna ilmu enteng tubuhnya, dengan merdeka mereka dapat melompati tembok pekarangan, untuk masuk ke dalam taman secara diam-diam.

   Di saat mereka hendak memecah diri, untuk membuat penyelidikan, tiba-tiba mereka dengar suara orang yang datangnya dari arah timur.

   Mereka memberi tanda satu dengan lain, lantas dengan berindap-indap, mereka menuju ke timur.

   Setelah datang dekat kepada suara itu, mereka lantas sembunyikan diri di belakang batu gunung-gunungan.

   Masih suara itu terdengar.

   "Mungkin Thio Tan Hong, si bocah, jeri terhadap kita,"

   Kata seorang di antaranya.

   "Dia baharu dengar kabar, lantas dia singkirkan diri!"

   "Apakah mungkin dia telah peroleh hasil?"

   Tanya yang lain. Lalu terdengar suara yang ketiga.

   "Tepat dugaan Ong kongkong, maka syukur kita telah datang tidak terlambat."

   Yang belakangan ini adalah suara Anghoat Yauwliong Kwee Hong. In Tiong terkejut.

   "Benar saja mereka adalah orang-orangnya si dorna kebiri Ong Tjin,"

   Kata ia di dalam hati.

   "Thio Tan Hong datang ke Souwtjioe untuk mencari harta dan peta pendaman, kenapa wartanya telah tersiar di mana- mana?"

   Sebentar saja In Tiong menduga demikian, lantas ia ingat sesuatu.

   "Ong Tjin banyak kaki tangannya, dia bermata awas dan berkuping tajam, tentunya dia dapat ketahui yang aku telah di kirim raja kesini,"

   Demikian pikirnya pula.

   "Menurut petunjuk gambar, tempat itu mesti di sini,"

   Terdengar pula suara Kwee Hong.

   Coba lihat, di sini ada bekas-bekas bongkaran, cuma batunya belum terbongkar.

   Mungkin karena bocah itu bersendirian saja, dia belum keburu membongkar hartanya, begitu dia dengar suara kita, lekas-lekas dia angkat kaki....."

   Menyusul kata-kata itu terdengarlah suara pacul dipakai menggali tanah dan suara besi membentur batu. In Tiong gerakkan tubuhnya. Baharu pundaknya bergerak, atau ia telah ditekan Samhoa Kiam.

   "Jangan kesusu,"

   Samhoa Kiam berbisik.

   "Kita tunggu sampai mereka sudah selesai menggali, nanti kita datang tinggal mendahar saja!"

   In Tiong masih mencoba mengintai di antara sela-sela batu.

   Di depan sebuah batu Thayouw tjio yang besar bagaikan harimau nongkrong, ia lihat kira-kira sepuluh orang tengah berdegingan membongkar batu.

   Tidak lama, lantas terdengar satu di antara orang-orang itu berseru.

   "Ini dia, ini dia! Lihat lobang ini! Ah, masih ada menghalang sepotong batu pekgiok pay!"

   Seorang yang lain mengangkat linggisnya, dia membongkar. Menyusul itu terdengar satu suara nyaring, banyak lelatu api meletik.

   "Lekas minggir!"

   Kwee Hong berteriak. Dari dalam liang menyambar keluar sejumlah panah api, lantas enam atau tujuh orang rubuh, muka mereka bermandikan darah hitam.

   "Panah beracun yang liehay sekali!"

   Kwee Hong berseru pula. Ia berdiam. Ia tunggu sampai anak-anak panah melesat habis. Masih ia kuatir, maka ia ambil tameng, sambil menggunakan itu, untuk melindungi diri, ia maju kemuka liang. Ia melakukan pemeriksaan. Tiba-tiba ia berseru.

   "Kita ditipu si bocah!"

   Demikian seruannya.

   "Hm!"

   Ia mundur beberapa tindak, melepaskan tamengnya, ia ganti itu dengan pacul.

   Keras ia memacul ke arah pekgiok pay, hingga batu penghalang itu dapat disingkirkan.

   Tapi ia kecele.

   Liang itu kosong.

   Rombongan orang itu lantas mengutuk, dengan menggendol kawan-kawannya yang terluka, mereka lantas berlalu dari situ.

   Maka sebentar saja, tempat itu bersih dari mereka.

   "Mari kita lihat!"

   Tiatpie Kimwan mengajak.

   In Tiong dan Hian Leng Tjoe akur, mereka keluar dari tempat sembunyi, akan menghampiri liang bekas galian itu.

   In Tiong berlaku sangat hati-hati.

   Mendekati batu bekas bongkaran Kwee Hong itu, yang telah terbelah, mereka lihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi.

   "Manusia mati karena harta, burung mampus karena barang makanan! Tuan-tuan datang kemari, silakan tuan-tuan rasakan lezadnya panah beracun!"

   Di bawahnya ditambah lagi, bunyinya.

   "Pay batu ini didirikan oieh Kaisar kerajaan Tjioe, Thio Soe Seng."

   In Tiong terkejut.

   "Sungguh hebat!"

   Pikirnya.

   "Thio Soe Seng telah menduga dari siang-siang bahwa ada orang yang akan membongkar harta simpanannya, maka itu ia telah memasang jebakan panah beracun ini."

   Anehnya, liang itu dangkal, sedang menurut kabar yang tersiar, jumlah simpanan harta Thio Soe Seng itu banyak sekali, bertumpuk bagaikan bukit. Kalau benar, mana bisa harta itu disimpan dalam lobang seperti ini? Ketiga orang itu saling memandang.

   "Aku percaya Thio Tan Hong masih belum berhasil mendapatkan harta pendaman itu,"

   Samhoa Kiam utarakan dugaannya.

   "Bagaimana kau dapat menduga demikian?"

   Tanya In Tiong.

   "Pertama-tama lobang itu tidak mirip tempat menyimpan harta,"

   Samhoa Kiam terangkan.

   "Thio Tan Hong pun berada di bawah pengawasan Kwee Hong dan Hayliong Pang, meski dia luar biasa, tidak nanti dia sanggup angkut harta itu.

   "

   "Kata-katamu beralasan, soetee,"

   Kata Liong Tjin Hong.

   "hanya, kalau benar dia belum berhasil membongkar harta itu, kenapa dia tinggalkan Koaywa Lim ini? Mungkinkah harta sebenarnya tidak dipendam di sini?"

   Selagi kedua orang itu bilang In Tiong mengawasi ke arah pay. Mendadak ia lihat sehelai kertas kecil melekat di samping batu itu, suratnya pun halus. Ia baca dengan cepat.

   "Seperti yang satu cegluk, yang satu lagi patok, demikian kerajaan keluarga Tjioe, bukan ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk apa bercape hati diperebutkan? Saudara In Tiong, angkat kaki adalah yang paling sempurna. - Dari adikmu, Thio Tan Hong."

   "Celaka!"

   Berseru In Tiong dengan gusar. Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe heran.

   "Ada apakah?"

   Mereka tanya.

   "Lihat ini!"

   Sahut kawan itu.

   Membaca surat itu, kedua saudara seperguruan itu melongo, mereka bungkam.

   Sementara itu sang ayam sudah mulai berkokok.....

   -ooo0dw0ooo- Bab XVII Dengan duduk di atas sebuah perahu kecil yang enteng, seorang diri Thio Tan Hong tengah mengayuh dipermukaan telaga Thayouw, tangan kanannya menyekal dayung, tangan kirinya menggenggam sebuah anak kunci dari emas yang bercahaya berkilau- kilauan.

   Dia pentang kedua matanya, memandang telaga yang luas itu.

   Dengan riang gembira, dia buka mulutnya dan bersenanjung dengan nada tinggi.

   "Telaga Thayouw yang luasnya tiga puluh enam ribu bahu, airnya masih tak dapat mencuci kedukaan orang-orang gagah dari jaman dahulu hingga sekarang!"

   Keras dan nyaring suara itu hingga burung-burung di telaga itu beterbangan karena kagetnya.

   Itulah anak kunci emas yang Thio Tan Hong dapatkan dari liang di dalam Koaywa Lim.

   Dengan mengikuti petunjuk gambar itu, tahulah Tan Hong, bahwa harta besar simpanan leluhurnya itu dipendam di dalam taman penglipur itu.

   Itulah sebabnya ia telah pergi ke Koaywa Lim, untuk turut dalam perjudian dadu yang menggemparkan itu.

   Sementara itu ia telah ketahui, dari pesan leluhurnya, tempat menyimpan harta itu dipersiapkan dengan panah-panah beracun, maka itu, sebelum menggali, ia sudah membuat penjagaan diri, ini juga sebabnya kenapa ia berhasil membongkar tanpa menemui halangan.

   Hanya, setelah ia berhasil membongkar pekgiok pay, di situ ia tidak dapatkan barang lainnya kecuali anak kunci emas itu.

   Cuma, di atas anak kunci itu, ia lipat dua baris ukiran huruf-huruf halus yang berbunyi.

   "Di telaga Thayouw, dibukit Tongteng San Barat, Dengan anak kunci ini, harta simpanan dapat dicari."

   Pada waktu ia hendak pendam harta besarnya itu, Thio Soe Seng berpikir keras, ia memikirkan tempat di mana ia dapat menyimpan dengan aman.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia berkedudukan di Souwtjioe, kalau ia simpan di kota itu juga, pasti Tjoe Goan Tjiang dapat menerkanya.

   Sebaliknya, jikalau ia menyembunyikan di tempat jauh, sulit pengangkutannya dan itu pun mudah membuat rahasia bocor.

   Maka akhirnya ia mengambil keputusan untuk menyimpan harta itu di Say Tongteng San, yaitu gunung Tongteng San Barat, di telaga Thayouw.

   Dari kota Souwtjioe ke gunung itu, perjalanan hanya sehari satu malam.

   Demikian ia membuat persiapannya dan bekerja.

   Tentang lukisan yang menunjukkan Koaywa Lim adalah tempat harta, itulah sebagian hanya akal belaka.

   Di sini cuma dititipkan anak kunci emas itu, yang dilindungi panah api beracun.

   Setelah selesai segala apa, gambar lukisan itu diserahkan kepada "raja yang muda,"

   Yaitu putera Thio Soe Seng serta boesoe-nya, pahlawan kepercayaan, yang setia, ialah leluhurnya Tjio Eng.

   Pada putera dan pahlawan itu, telah diberitahukan bahwa di dalam liang diatur panah beracun itu serta caranya untuk membongkar pekgiok pay, supaya orang luput dari ancaman anak panah.

   Perihal anak kunci emas dan tempat yang benar di mana harta terpendam, serta lain rahasia itu, bukan cuma si putera malah si pahlawan juga tidak mengetahuinya suatu apa.

   Itu artinya selanjutnya si putera atau siapa pun, harus berikhtiar dan mencarinya sendiri.

   Sewajarnya saja, Thio Tan Hong telah berlaku cerdik.

   Setelah dia dapatkan anak kunci emas itu, dia tutup dan uruk pula liang itu sebagaimana adanya, kecuali tanah bekas bongkaran sebelah atas, yang tak dapat dia tutup rapi sebagaimana asalnya.

   Habis itu, sebelumnya rombongan Kwee Hong tiba, dia sudah angkat kaki dari Koaywa Lim.

   Untuk dapat pergi ke Say Tongteng San, Tan Hong menitipkan dahulu kuda putihnya kepada satu sahabatnya, lalu dengan sebuah perahu kecil dan enteng, yang telah disiapkan sejak siang-siang oleh sahabatnya, dia berangkat memasuki telaga Thayouw.

   Tempat permulaan berangkat adalah di jembatan Banlian Kio di kota Souwtjioe itu.

   Ia berangkat tengah malam, maka dengan lekas ia telah keluar dari Siekauw, hingga ia sudah lantas berada di permukaan telaga yang luas dan di lingkungi bukit.

   Tentu saja, dalam keadaan seperti itu, tidak ada kegembiraan Tan Hong akan menyaksikan keindahan alam di telaga itu, hanya sambil mengayuh, ia keluarkan anak kunci emas itu dan dibulak-balikkan untuk diperiksa.

   "Huruf-huruf yang terdapat pada anak kunci ini berbunyi. dengan punyakan anak kunci ini, harta simpanan akan dapat dicari,"

   Demikian ia berpikir.

   "akan tetapi, bagaimana aku harus mencarinya? Gunung Say Tongteng San besarnya seratus kali lipat daripada Koaywa Lim, tidakkah aku bagaikan mencari sepotong jarum di laut yang besar? Tentang hartanya sendiri, itu adalah satu soal lain, tidak demikian dengan peta buminya - peta bumi itu berhubungan dengan nasib negara!"

   Tan Hong memandang ke muka air di sekitarnya. Air, melulu air! Pemandangan tenang tetapi indah, terbuka juga hati Tan Hong. Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya.

   "Dengan perahu di tengah gelombang, tenanglah hati,"

   Pikir dia. Di tempat permai ini, di saat begini tenteram, perlu apakah aku berduka tidak keruan? Tidakkah aku tolol?"

   Ia lantas simpan anak kunci itu, lalu mengayuh pula.

   Oleh karena perahu itu kecil dan enteng, dia dapat bergerak dengan laju, seperti dibantu oleh layar.

   Telaga Thayouw mempunyai tujuh puluh dua puncak, di atas itu meganya indah, puas hati memandangnya.

   Sekarang Tan Hong telah membuktikan benarnya perkataan bahwa Thayouw ini, dengan keindahannya itu, dapat menangkan Tong Gouw.

   


Merpati Pedang Purba -- Kauw Tan Seng Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung Harimau Kemala Putih -- Khu Lung

Cari Blog Ini