Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 17


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 17



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   "menuruti tanda-tanda itu, aku dapat ketemui In Loei, dari dia tahulah aku ke mana kau telah pergi, hingga aku ketahui juga kau sedang tertahan di sini. Sekarang tidak dapat kita berayal pula, mari lekas kau turut aku!"

   "Sebenarnya, asal aku menghendaki, sejak tadi sudah dapat aku berlalu dari sini,"

   Tan Hong bilang, agaknya ia ragu-ragu.

   "Habis, apakah yang kau pikir?"

   Gurunya tanya.

   "Apakah soesoesiok sudah datang?"

   Murid itu balik menanya. Dengan "soesoesiok,"

   Paman guru yang ke empat, ia maksudkan Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng.

   "Dia sudah datang, sekarang dia ada di rumah penginapan tengah menemani In Loei,"

   Thian Hoa jawab.

   "Dan djiesoepee?"

   Tan Hong tanya pula. Thian Hoa menghela napas.

   "Aku tak dapat bertemu dengannya,"

   Ia beri-tahu. Agaknya ia hendak bicara banyak akan tetapi tak dapat ia mengutarakannya itu.

   "Sekarang telah aku dapatkan akal untuk meloloskan diri,"

   Berkata Tan Hong kemudian.

   "besok pasti aku akan keluar dari sini. Maka besok saja kita bicara pula. Sekarang ini harap soehoe tidak berlambat lagi, akan bersama Yap Soesiok segera berangkat ke istana raja!"

   Tiba-tiba saja nampaknya pemuda ini menjadi gelisah. Thian Hoa tidak mengerti.

   "Untuk apakah?"

   Dia tanya.

   Tan Hong segera berbisik di kupingnya guru itu, setelah mana, dengan cepat Thian Hoa angkat kaki.

   Seberlalunya guru itu, baharu Tan Hong merasa hatinya lega, demikianlah ketika ia rebahkan diri, dapat ia tidur nyenyak.

   Ia tidak tahu berapa lama ia sudah tidur, hanya tahu-tahu ia terbangun dengan terkejut disebabkan satu suara nyaring.

   Ketika ia buka matanya, ia tampak Yasian telah berada di dalam kamarnya itu.

   Maka lekas-lekas ia berbangkit, untuk berduduk.

   Ia lihat sinar matahari, yang molos di jendela, maka tahulah ia, itulah di pagi keesokannya...

   "Thaysoe bangun pagi-pagi sekali!"

   Ia bilang.

   "Ya, selamat pagi!"

   Sahut perdana menteri itu.

   "Apakah telah lenyap mabukmu?"

   "Tadi malam aku berlaku kurang hormat, harap Thaysoe memaafkannya,"

   Tan Hong minta. Dengan itu ia telah berikan jawabannya. Perdana menteri itu perdengarkan suara di hidung.

   "Apakah kau telah dapat memikir?"

   Ia bertanya.

   "Apakah kamu, ayah dan anak, sudah bersedia untuk bekerja sama dengan aku menyingkirkan Atzu, untuk sama-sama kita hidup bahagia?"

   "Aku telah dapat memikir,"

   Sahut Tan Hong.

   "Aku justeru hendak bicara kepada Thaysoe."

   Tan Hong lihat wajahnya perdana menteri itu, yang sepasang alisnya dikerutkan, romannya tawar bagaikan membeku.

   Diam-diam ia tertawa di dalam hatinya, karena ia bisa duga apa yang tengah dipikirkan perdana menteri ini.

   Tadi malam Tjeng Kok Hoatsoe dan Ma I Tjan, seperti biasanya, seperti ditugaskan Yasian, sudah pergi melakukan pengawasan di istana.

   Kira jam tiga, tengah mereka berjaga-jaga, mereka lihat berkelebatnya dua bayangan orang, yang mencelat keluar dari dalam istana.

   Dengan lantas mereka keluar dari tempat sembunyinya akan mencegat dan merintangi dua bayangan itu, guna ketahui siapa adanya kedua bayangan itu.

   Kesudahannya adalah di luar dugaan mereka.

   Dua bayangan itu sebat sekali, sebat kaki tangannya, kalau tadi mereka bisa berlari dan berlompat dengan pesat, kali ini, gerakan tangan mereka bagaikan kilat menyambar.

   Sebelum Ma I Tjan tahu apa-apa, kepalanya telah kena ditabas kutung! Tjeng Kok Hoatsoe ada terlebih liehay daripada kawannya ini, akan tetap baharu dia bertempur dua jurus, kupingnya telah kena dipapas kutung! Bayangan itu, atau lebih benar lawannya, sambil tertawa terus berkata padanya.

   "Suka aku memberi ampun kepada jiwamu! Sekarang pergilah kau melaporkan kepada Yasian! Katakan padanya, jikalau dia hendak menjadi raja Watzu, kami tidak menghiraukannya, tetapi jikalau setelah berhasil merampas tahta dia hendak menyerang Tionggoan, maka tak dapat kami beri ampun kepadanya!"

   Dari perkataannya bayangan itu, terang sudah bahwa mereka adalah orang-orang Han.

   Sehabis berkata begitu, keduanya segera menghilang.

   Ketika Yasian telah diberitahukan kejadian itu, ia kaget dan gusar sekali, di akhirnya, ia jadi sangat masgul.

   Bagaimana ia tidak menjadi kaget karena ia tahu liehaynya Tjeng Kok Hoatsoe, seorang Ihama dari Agama Merah yang kenamaan? Bagaimana ia tidak jadi kaget akan dengar kebinasaannya Ma I Tjan, sebab pahlawan ini tak kurang liehaynya, cuma berada di bawahan Ngochito? Kalau kedua pahlawan itu bisa secara demikian gampang dirubuhkan musuh, yang tidak dikenal, umpama musuh itu datang satroni ia di sianghoe, siapa sanggup rintangi mereka itu? Dengan perbuatannya itu, terang sudah mereka itu secara diam-diam tengah melindungi raja Watzu.

   Karena ini, ia jadi berduka.

   Kelihatan nyata, untuk ia mewujudkan niatnya merampas kerajaan, ia pasti akan menghadapi kesulitan.

   Tentu saja ia jadi mendongkol, ia jadi gusar.

   Tan Hong awasi perdana menteri itu, ia tertawa.

   "Thaysoe,"

   Katanya.

   "kau adalah seorang peperangan yang berpengalaman, kau seharusnya mengarti baik ilmu perang..."

   "Habis kenapa?"

   Tanya Yasian heran.

   "Sebab ilmu perang ada membilang,"

   Sahut Tan Hong.

   "Bersiap terlalu banyak, menjadi terbagi, tenaga kurang, mestinya kalah. Yang paling dipantang ialah berperang berbareng di beberapa garis perang. Lihat saja di jaman peperangan Tjoen Tjioe di Tionggoan dahulu hari, sesuatu jago, sesuatu negeri, semua memperebuti negara kawan, untuk bersekutu, semua memikir mendapatkan kawan berbareng mengurangi musuh. Inilah sarinya ilmu perang itu."

   "Mustahil aku tidak mengerti tentang itu?"

   Berkata Yasian, yang tidak mau kalah.

   "Itu juga sebabnya kenapa aku memikir untuk bergandengan tangan denganmu. Aku pikir, paling dulu harus aku persatukan Watzu, setelah itu baharu kita bicara pula."

   Tan Hong tertawa.

   "Tetapi Thaysoe harus mengerti, tenaganya aku ayah dan anak ada sangat berbatas, sebaliknya kekuatannya Tionggoan tiada batas habisnya!"

   Ia kata. Yasian bungkam.

   "Aku telah menyusup masuk ke Tionggoan, di sana aku telah melihat tegas,"

   Berkata pula Tan Hong, melanjutkan.

   "Melihat Tionggoan, aku jadi sangat tertarik hatiku. Tionggoan itu luas sangat tanah daerahnya, banyak sekali rakyatnya. Maka jikalau Tionggoan itu dapat digunai dengan tepat, jangankan baharu satu, walaupun sepuluh negara Watzu sekalipun tidak nanti mampu menggoncangkan dia!"

   Yasian awasi anak muda itu.

   "Apakah kau bicara untuk Tionggoan?"

   Dia tanya. Kembali Tan Hong tertawa.

   "Apakah Thaysoe masih belum ketahui tentang diriku?"

   Ia balik tanya.

   "Bagaimana aku dapat bicara untuk Tionggoan? Jikalau aku sebagai wakilnya Tionggoan, jikalau aku hendak bicara untuk Tionggoan, pasti aku akan bicara juga untuk Watzu, tentu akulah yang terlebih dahulu membuka pembicaraan dengan Thaysoe1."

   Agaknya Perdana Menteri itu kena terdesak.

   "Baiklah,"

   Katanya kemudian.

   "Kau bicaralah!"

   "Sekarang ini Ie Kiam memegang kekuasaan di Tionggoan, dia telah atur kuat angkatan perangnya,"

   Berkata Tan Hong.

   "Pertama kali Thaysoe menyerbu ke Tionggoan, Thaysoe masih dapat menyerang sampai di Pakkhia, akan tetapi kalau satu kali lagi Thaysoe menyerbu pula, mungkin untuk dapat sampai ditapal batas sajapun sukar. Itu masih belum semua. Umpama Tionggoan mendapat tahu Thaysoe berniat merampas tahta kerajaan, untuk menjadi jago, ada kemungkinan dia nanti majukan tenteranya ke Utara, untuk berserikat dengan Pangeran Atzu, untuk sama-sama menumpas pemberontakan di Watzu. Kalau itu sampai terjadi, Thaysoe hendak berbuat apakah?"

   Hatinya Yasian bercekat.

   Apabila Tan Hong bicara begini pada setengah tahun yang sudah lewat, pasti dia akan mentertawainya tak hentinya.

   Itu waktu Yasian beranggapan dapat ia memastikan sembarang waktu untuk menakluki Tionggoan, ia sangat tidak memandang mata terhadap angkatan perang Kerajaan Beng.

   Adalah sesudah berperang di Pakkhia, baharu ia insyaf bahwa Tionggoan tak gampang untuk ditelannya.

   Dan paling belakang ini, sesudah perlawanannya Ie Kiam yang dapat mengatur tenteranya, yang juga mengandalkan peta bumi dari Pheng Hoosiang, setelah beberapa kali bertempur, ia kena dipukul mundur, hingga ia mundur pulang ke dalam negerinya, baharu ia terkejut.

   Sekarang ia insyaf, memang benar tentera Tionggoan dapat berbalik mempengaruhi padanya.

   Dan sekarang mendengar perkataannya Tan Hong itu, pada wajahnya ia tidak menunjukkan perubahan, seperti juga ia tidak mempedulikannya, namun di hati ia kaget dan jeri.

   Tan Hong biarkan orang berdiam, ia melanjutkan.

   "Setelah aku masuk dalam ke Tionggoan, dapat aku menyaksikan semangat rakyat yang terbangun, hingga mereka tak lagi dapat dipandang enteng. Raja mereka itu telah tertawan di Touwbokpo, kejadian itu membuatnya mereka, yang di atas dan di bawah, merasa bahwa itulah suatu hinaan besar, yang membuatnya mereka merasa sangat malu. Aku kuatir, Thaysoe, belum lagi kau sempat memimpin angkatan perang untuk berangkat ke Selatan, mereka sendiri akan mendahului maju ke Utara, guna menuntut balas. Memang benar Thaysoe ada punya angkatan perang yang tangguh tetapi aku sangsikan kau akan sanggup menangkis serbuan tentera Tionggoan itu, karena selain penyerbuan dari luar itu, di dalampun ada perlawanan dari Pangeran Atzu..."

   Dua kali Yasian batuk-batuk, kali ini wajahnya berubah sedikit. Tapi, masih ia mencoba akan besarkan kepala.

   "Aku masih punyakan tentera sepuluh laksa jiwa dan ribuan panglima perang!"

   Demikian katanya.

   "Umpama benar Tionggoan dan Atzu menyerang berbareng dari luar dan dalam, akibatnya paling sedikitnya batu kemala dan batu koral akan musnah bersama! Satu laki-laki, jikalau dia tidak dapat menjadi satu jago, jikalau dia terbinasa, sedikitnya dia mesti terbinasa sebagai setan jagoan! Maka itu, ada apa yang harus dibuat takut?"

   Tan Hong tertawa gelak-gelak.

   "Jikalau belum lagi orang keluar perang, lalu dia terbinasa tidak keruan, apa jadinya?"

   Ia tanya.

   "Bahwa orang berhasil dan menjadi raja, orang gagal dan menjadi berandal, itulah sudah umum. Mengenai kau, Thaysoe, kau anggap dirimu sebagai satu enghiong, tetapi orang lain, belum tentu dia mau mengakuinya kau sebagai Tjo Beng Tek..."

   Yasian kena terdesak.

   "Apakah benar kerajaan Beng ada demikian membenci aku hingga dia akan mengirim algojonya untuk membunuh aku?"

   Dia tanya.

   "Menurut apa yang aku ketahui, pemerintah Beng memang benar ada kirim utusannya yang berupa kiamkek,"

   Sahut Tan Hong.

   "hanya halnya kiamkek itu bisa atau tidak membunuh kau, itulah bergantung daripada tindak tandukmu sendiri, Thaysoe..."

   "Kiamkek"

   Adalah jago yang bersenjatakan pedang. Yasian lantas ingat kejadian tadi malam, tanpa merasa, bulu romanya pada bangun berdiri. Tetapi ia masih tidak sudi tunjuk kelemahannya, ia paksakan diri untuk tertawa wajar.

   "Pemerintah Beng ada punya kiamkek yang liehay, apakah kau sangka aku tidak punya orang kosen yang sanggup membunuh ular naga dan menakluki harimau?"

   Begitu katanya. Kembali Tan Hong tertawa bergelak-gelak.

   "Orang kosenmu itu, Thaysoe, adalah bangsa gentong arak dan kantong nasi!"

   Ia bilang dengan berani.

   "Aku kuatir, jikalau dia berhadapan dengan orang gagah sejati, dalam satu jurus saja, dia akan dibikin terbang batok kepalanya!"

   Yasian berjingkrak saking kagetnya.

   "Eh! Apakah kau ketahui kejadian semalam?"

   Tanyanya kaget.

   "Kejadian apakah itu?"

   Tanya Tan Hong, tenang.

   "Aku cuma bicara saja. Apakah benar-benar pahlawan Thaysoe telah orang binasakan dalam satu jurus saja?"

   Yasian masih ingat kejadian semalam itu, ia bergidik sendirinya.

   "Tadi malam dia mabuk arak dan rebah bagaikan mayat, tidak pernah dia keluar dari kamarnya ini, tidak setindakpun jua,"

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia berpikir.

   "mungkin benar dia cuma bicara saja... Tetapi, apa yang dia katakan itu benar adanya..."

   "Pahlawan yang mana itu yang telah kena dibinasakan?"

   Tan Hong tanya sambil tertawa.

   "Ah tidak..."

   Kata perdana menteri itu, separuh menghibur dirinya.

   "Tadi malam ada datang orang jahat, tapi dia telah dapat diusir pergi. Dipihak kita cuma satu dua orang terluka..."

   Tan Hong tertawa pula.

   "Itulah untung kamu yang bagus!"

   Katanya pula.

   Ia tertawa sebab apa yang tadi malam terjadi di sianghoe, gedung perdana menteri, adalah menurut rencananya.

   Kebinasaannya Ma I Tjan dan hilangnya kuping Tjeng Kok Hoatsoe adalah perbuatannya Tjia Thian Hoa berdua Yap Eng Eng.

   Di mulutnya, Yasian bicara makin lama makin keras, tanda bahwa ia bernyali besar, akan tetapi, di dalam hatinya ia justeru makin jeri.

   "Thaysoe, rencanamu sekarang ini bukannya suatu rencana yang baik,"

   Kata Tan Hong kemudian. Dengan berani anak muda ini berikan pengutaraannya itu.

   "Apakah kau mempunyai daya yang bagus?"

   Perdana menteri itu tanya. Tan Hong hendak buka mulutnya tatkala ia dengar suara berisik di luar gedung. Yasian, dengan alis dikerutkan, perdengarkan suaranya, memanggil orang masuk.

   "Ada kejadian apakah?"

   Ia tanya.

   "Ada beberapa pengemis mencoba memaksa masuk ke dalam gedung untuk meminta amal,"

   Sahut pengawal yang masuk atas panggilannya majikan itu.

   "Mereka itu sangat menjemukan!"

   Kembali Yasian kerutkan alisnya.

   "Mereka toh boleh diberikan saja sedikit uang atau diusir,"

   Katanya.

   "perlu apa sampai mesti menerbitkan keributan?"

   Dan ia kibaskan tangannya, akan beri tanda supaya hambanya itu undurkan diri. Tan Hong segera ingat sesuatu, ia lantas saja berpikir.

   "Thio Sieheng, kau ada punya daya apa yang baik?"

   Yasian mengulangi pertanyaannya selagi anak muda itu berdiam. Tan Hong bersenyum, ia bawa sikap dengan tenang sekali.

   "Thaysoe,"

   Katanya.

   "jikalau Thaysoe hendak mengamankan pihak dalam maka sudah selayaknya terlebih dahulu Thaysoe membuat perdamaian dengan pihak luar. Secara demikian baharulah Thaysoe akan terluput dari gencetan pihak luar dan dalam. Tionggoan luas tanah daerahnya dan subur hasil buminya, jikalau Watzu tidak terlebih dahulu serbu dia, tak mungkin dia akan datang menyerang kemari. Maka itu, menurut pendapatku, baiklah Thaysoe antar rajanya pulang ke negerinya, lalu Thaysoe membuat perjanjian persahabatan dengannya. Inilah daya yang paling utama."

   Yasian bungkam, ia berpikir. Tan Hong mengawasi, ia tertawa pula.

   "Ketika baharu ini Thaysoe tawan raja Beng itu di Touwbokpo,"

   Katanya.

   "tak lain tak bukan, Thaysoe hanya ingin bikin raja itu menjadi orang tawanan, supaya dia bisa dijadikan perkakas untuk menuruti kehendak Thaysoe, supaya cita-cita Thaysoe dapat terwujud. Demikian Thaysoe telah gunai segala macam tipu daya. Tetapi sekarang adalah lain. Ie Kiam sudah angkat raja yang baru, dengan begitu tidak ada gunanya lagi akan menahan terlebih lama kepada raja tawanan itu, malah sebaliknya, itu justeru meninggalkan bencana di belakang hari bagi kedudukan Thaysoe..."

   Yasian pikir kata-katanya pemuda ini benar.

   "Telah beratus kali aku bertempur dengan pemerintah Beng, pertempuran besar dan kecil, selamanya aku lebih banyak menang, sedikit kalahnya,"

   Berkata dia.

   "Mungkinkah aku mengantarkan kaisar Beng itu ke negerinya sambil aku harus memohon perdamaian dari Ie Kiam?"

   Lagi-lagi Tan Hong tertawa. Perkataannya perdana menteri itu berarti dia telah menyetujuinya perdamaian, tapi untuk muka terangnya, dia masih membawa lagak.

   "Jikalau kedua negara membuat perdamaian, keduanya harus berhubungan sebagai saudara di antara saudara,"

   Ia kata.

   "karena itu, ada apakah yang harus dibuat malu? Jikalau Thaysoe tidak hendak memulai mengusulkan perdamaian itu, baiklah Thaysoe minta supaya Tionggoan yang terlebih dahulu mengirimkan utusannya datang kemari untuk membicarakan urusan itu. Ini toh boleh, bukan?"

   Yasian menatap orang sambil biji matanya berputar.

   "Sebenarnya siapa kau ini?"

   Dia bertanya.

   "Kenapa kau agaknya berani mewakilkan Ie Kiam merundingkan soal perdamaian ini?"

   Tan Hong balik mengawasi, ia tertawa.

   "Biarlah aku omong terus terang saja,"

   Ia menyahut.

   "Sebenarnya, sebelum aku pulang ke Watzu ini, lebih dahulu aku telah bertemu Ie Kiam. Apa yang aku katakan barusan adalah karena aku percaya aku tidak bakal bertentangan dengan pendapat Ie Kiam itu."

   Yasian jatuhkan diri di kursi, ia nampaknya sangat lesu. Sekian lama ia berdiam saja. Baharu kemudian ia angkat kepalanya, akan menatap si anak muda.

   "Apakah benar kau telah lupa akan sakit hatimu yang turun temurun itu dan sekarang hendak jual tenagamu terhadap keluarga Tjoe kaisar dari ahala Beng itu?"

   Dia tegaskan. Untuk kesekian lamanya, Tan Hong tertawa. Ia tertawa besar.

   "Aku tidak jual tenagaku kepada siapa juga!"

   Ia jawab, nyaring.

   "Aku hanya bekerja untuk Tionggoan dan Watzu! Ingin aku tanya Thaysoe, umpama kata perdamaian dapat dicapai, apakah itu bukan berarti keselamatannya kedua negara?"

   Kembali Yasian bungkam. Ia mesti berpikir keras.

   "Seandainya perdamaian telah dapat diwujudkan, kelak kau akan berdiam di mana?"

   Ia tanya kemudian. Rupanya perdana menteri ini memikir jauh dan ingin ia peroleh kepastian.

   "Aku adalah orang Han, sudah tentu aku pulang ke Tionggoan,"

   Sahut Tan Hong dengan terus terang.

   "Bukankah itu berarti kau hendak menjadi satruku?"

   Yasian menegaskan pula.

   "Jikalau Thaysoe tidak pimpin angkatan perangmu menyerbu Tionggoan, tak mungkin aku akan menjadi satrumu!"

   Jawab si anak muda.

   "Bagaimana dengan ayahmu?"

   Masih perdana menteri itu tanya.

   "Pasti aku akan bujuk ayah untuk pulang ke negerinya, untuk lewatkan hari-hari selanjutnya,"

   Sahut pula si anak muda.

   "Apakah kamu ayah dan anak tidak kuatir nanti dibunuh kaisar Beng?"

   Tan Hong tertawa.

   "Jikalau itu sampai terjadi, ikhlas hatiku!"

   Ia jawab.

   "Tentang itu tidak usahlah Thaysoe memusingkan kepala!"

   Yasian jalan mundar-mandir, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Ia berpikir terlebih keras pula.

   Ia merasa bahwa benarlah apa yang dikatakan Tan Hong itu.

   Memang, jikalau ia hendak kangkangi Watzu untuk dipersatukan, tidak selayaknya ia memusuhi Tionggoan.

   "Thio Tjong Tjioe ayah dan anak ini pintar dan gagah,"

   Ia berpikir terlebih jauh.

   Sekarang ia ingat Tjong Tjioe dan anaknya ini.

   Jikalau mereka tinggal di Watzu, percuma saja, mereka tak dapat aku gunai tenaganya untukku, bahkan sebaliknya, mereka bisa menjadi penambah tenaga bagi pihak musuh.

   Oleh karena itu, lebih baik aku biarkan mereka pulang ke negerinya, supaya di sana mereka hidup tenang dan senang.

   Di kemudian hari, apabila aku berhasil mempersatukan betul-betul negara Watzu ini serta sudah mempunyai angkatan perang yang kuat serta rangsum cukup, perjanjian persahabatan itu boleh aku langgar sembarang waktu, itu waktu aku ada merdeka untuk menyerbu pula Tionggoan.

   Sampai itu waktu, perlu apa aku jeri lagi Thio Tan Hong menjadi musuhku? Hanya bagaimana dengan jodohnya anakku?"

   Tan Hong lihat orang terus berpikir, ia memotong.

   "Satu laki-laki harus dapat dengan sepatah katanya mengambil keputusan, karena itu masih ada apa lagi yang Thaysoe ragu-ragukan?"

   Ia mendesak. Kedua matanya Yasian menjadi bersinar, rupanya ia telah dapat mengambil keputusan.

   "Baik, akan aku turut perkataanmu!"

   Katanya, nyaring.

   "Aku Yasian, aku bukannya orang yang dapat diperhina sembarang orang! Kalau pemerintah Beng kirim orangnya untuk membokong mati kepadaku, akan aku segera kerahkan seluruh kekuatanku, akan aku titahkan angkatan perangku meluruk ke Selatan, supaya, tak peduli kemala atau batu biasa, biar semuanya musnah bersama!"

   Tan Hong bersenyum. Tahulah ia, Yasian tetap kuatirkan keselamatan dirinya.

   "Orang Tionggoan paling hargakan kehormatannya,"

   Dia berkata.

   "maka kalau Thaysoe hendak berdamai dan bersahabat dengan sesungguh hati, tak mungkin Tionggoan akan kirim orangnya untuk membunuh Thaysoe1."

   "Baiklah,"

   Kata Yasian akhirnya.

   "Dengan ini kita mengambil ketetapan. Akan aku tunggu tibanya utusan dari kerajaan Beng, itu waktu aku nanti membuat perjanjian perdamaian. Sekarang, coba bentangkan padaku, daya apa kau punya untuk menindas Pangeran Atzu?"

   "Kami ayah dan anak sudah berketetapan untuk pulang ke negeri kami,"

   Jawab Tan Hong.

   "oleh karena itu, mengenai urusan di dalam negeri Watzu, kami tidak hendak campur tangan pula."

   "Baik!"

   Yasian mengatakan pula.

   "Asal kamu pernahkan diri di luar kami, aku juga tidak hendak mengganggu pula pada kamu. Sekarang pergilah kau pulang, boleh kau anjurkan ayahmu untuk besok menghadap di istana, untuk dia sendiri yang majukan permohonannya meletakkan jabatan."

   Tan Hong girang sekali. Sekian lama ia memutar otak, baharu sekarang ia berhasil "menundukkan"

   Perdana menteri itu. Karena itu, ia berlaku hormat, ia undurkan diri sebagai seorang yang usianya terlebih muda. Ia baharu melangkah di pintu tempo ia ingat suatu apa, ia lantas merandek.

   "Apakah kau masih hendak mohon sesuatu?"

   Tanya Yasian, yang lihat sikap orang itu.

   "Apakah itu?"

   "Jikalau Thaysoe sudi memperkenankannya, aku ingin sekali ini saja menemui raja Beng,"

   Ia jawab. Yasian berpikir sebelum ia berikan ijinnya.

   "Baik,"

   Demikian sahutnya.

   "Kau boleh sekalian bicara kepadanya, untuk beritahu sikapmu, supaya ia mengetahui maksud baik dari aku."

   Perdana menteri ini sudah lantas panggil dua pahlawannya kelas satu, ia hendak titahkan mereka antarkan anak muda ini, akan tetapi mendadak ia ubah pikirannya itu.

   "Lebih baik kita pergi bersama!"

   Ia bilang.

   Kedua pahlawan itu heran atas sikapnya perdana menteri ini tetapi mereka tidak berani bilang suatu apa.

   Tan Hong sendiri tak berkeberatan akan pergi bersama.

   Kaisar Beng yang menjadi tawanan Yasian itu, yaitu Kaisar Eng Tjong yang bernama Kie Tin, telah ditahan di dalam sebuah pagoda batu di dalam gedung perdana menteri, pagoda mana diperuntukkan memuja Sang Buddha.

   Tangga dari pagoda itu terdiri dari tiga undak, setiap undak terjaga oleh pahlawannya perdana menteri.

   Bahwa tempat tahanan itu ada sangat dirahasiakan, sekalipun raja Watzu sendiri tak mengetahuinya.

   Tiga bulan sudah sejak Kie Tin dikurung di dalam pagoda, dapat dibayangkan penderitaannya itu.

   Ia adalah satu junjungan dari satu negara besar tetapi sekarang ia kehilangan kemerdekaannya, ia hidup terkurung dan di bawah pengawasan keras.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hari itu, kaisar ini tengah berduka sekali.

   Ia dengar menderunya hebat angin Utara, ia lihat burung-burung belibis dari Utara terbang ke Selatan, sambil terbang mereka itu perdengarkan suaranya yang mengharukan hati, maka itu, ia pun bersedih sendirinya.

   Memandang dirinya sendiri, sakit hatinya Kie Tin, bajunya telah robek, sedang hawa udara di Utara itu dingin sekali.

   Ia kedinginan akan tetapi Yasian tidak berikan ia baju baharu untuk salin.

   Maka ingatlah ia akan jaman jayanya, di dalam keraton ia ada punya enam selir, hidupnya sangat mewah.

   Selagi kaisar ini menungkuli diri, tiba-tiba ia dengar pintu dibuka, lantas ia lihat Yasian bertindak masuk bersama Thio Tan Hong, keduanya jalan berendeng.

   Ia menjadi sangat terperanjat.

   "Kenalkah kau pada dia ini?"

   Yasian lantas menanya sambil menunjuk Tan Hong. Kaisar Beng ini tidak tahu maksud kedatangan Tan Hong, ia ragu-ragu, iapun belum hilang kagetnya, maka itu, ketika ia menyahut, suaranya tidak tegas. Yasian mengawasi sambil tertawa.

   "Dia ini adalah musuhmu, dia juga tuan penolongmu!"

   Berkata perdana menteri ini.

   "Tahukah kau?"

   Tidak tunggu sampai kaisar menjawab, Tan Hong kata pada perdana menteri itu.

   "Aku mohon Thaysoe ijinkan aku bicara berduaan dengannya, sebentar saja."

   "Baik, bicaralah,"

   Sahut Yasian.

   "Kamu orang-orang Tionghoa, apa yang kamu lakukan, tak dapat aku menerkanya. Kamu berdua keluarga telah perebutkan dunia tetapi sekarang kamu berdua hendak pasang omong!..."

   Lantas perdana menteri ini undurkan diri pergi keluar, buat bicara dengan pahlawan-pahlawannya.

   Kie Tin dibiarkan di dalam kamarnya itu bersama si anak muda she Thio itu.

   Tidak tenang hatinya kaisar Beng itu berada berdua Tan Hong.

   Ia telah saksikan bagaimana dengan sinar mata yang tajam, anak muda itu pandang ia pulang pergi.

   Ia ditatap.

   Kemudian dengan tiba-tiba saja, Tan Hong tertawa.

   "Kau biasa menjadi kaisar, kau belum pernah merasakan kegetiran hidupnya seorang rakyat jelata!"

   Kata Tan Hong kemudian.

   "Maka itu, baiklah yang kau satu kali merasakannya!"

   Mendengar itu, raja ini menjadi gusar.

   "Jadinya dahulu hari itu kau berpura-pura saja berbaik hati!"

   Dia menegur.

   "Aku memang tahu, permusuhan di antara rakyat jelata mudah dibereskan tetapi pertentangan di antara raja sukar didamaikan! Karena kau adalah orang kepercayaannya Yasian, tidak lain, aku cuma mau minta supaya aku diberikan mayat lengkap dan utuh! Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah lekas! Kau harus insyaf, raja tak dapat diperhina!"

   Tan Hong mengawasi dengan air mukanya tertawa bukan tertawa, ia tidak gubris permintaan itu.

   "Kau telah menderita begini rupa, maka di belakang hari, sebagai raja, layak kau ketahui keharusanmu!"

   Ia kata pula.

   "Kalau nanti kau kembali ke istanamu, jangan sekali kau lupakan kesengsaraanmu hari ini!"

   Kie Tin melengak.

   "Apa kau bilang?"

   Ia tanya. Mendadak saja ia lompat mencelat.

   "Paling lama tak beberapa bulan lagi, kau akan dapat pulang ke negerimu!"

   Kata Tan Hong, tawar. Kie Tin seperti juga tidak mempercayai kupingnya sendiri.

   "Apa kau bilang?"

   Ia tegaskan.

   "Adakah itu benar? Apakah Yasian sendiri yang mengatakannya itu padamu? Benarkah dia hendak membiarkan aku pulang ke negeriku, untuk aku naik pula atas tahtaku? Ha! Naik pula di atas tahta!..."

   "Bukannya Yasian yang menginginkan kau kembali ke negerimu,"

   Tan Hong terangkan, tetap dengan sikapnya yang tawar.

   "Adalah Kokloo Ie Kiam yang akan sambut kau pulang!"

   Kembali Kie Tin menjadi heran. Kalau tadi ia dapat bersenyum, sekarang lenyap pula kegembiraannya. Ia seperti diguyur air dingin. Setelah itu, di antara roman lesu dari putus asa, ia nampaknya jadi gusar sekali. Terus ia tuding anak muda di depannya.

   "Walaupun aku terkurung, tetap aku adalah satu raja!"

   Ia berseru.

   "Beranikah kau berulangkah mempermainkan aku?"

   Tan Hong awasi raja itu. Ia mendongkol berbareng merasa lucu dan kasihan.

   "Jikalau kau mengharap musuh nanti merdeka-kanmu dan membiarkannya kau pulang ke negerimu, seumur hidupmu, janganlah kau harap itu!"

   Katanya, tegas-tegas.

   "Hanya bila rakyat Tionggoan yang menghendaki kau pulang, baharulah ada ketikanya untuk kau hidup terus! Apakah kau menyangka cuma Yasian seorang yang mempunyai kekuasaan untuk hidup atau matimu? Mari aku katakan terus terang padamu! Sekarang ini jiwamu berada di dalam genggamannya Kokloo Ie Kiam! Asalkan Ie Kokloo bilang kau bisa pulang, lantas kau dapat pulang!"

   Kie Tin awasi anak muda itu, sinar mata mereka bentrok satu pada lain. Lantas ia dapat perasaan bahwa Tan Hong itu dapat dipercaya, bahwa perkataannya si anak muda tak dapat disangsikan pula. Tanpa merasa, ia jadi kalah pengaruh.

   "Sebenarnya, apakah artinya ini?"

   Dia tanya akhirnya, suaranya tak tegas.

   "Itulah sebab kau, jelek atau bagus, kau tetap raja dari satu negara!"

   Berkata Tan Hong dalam jawabannya.

   "Sebab kau ada satu raja, jikalau kau tetap berada di tangan musuh, itu artinya satu kehinaan untuk Tionggoan! Itupun sebabnya kenapa sekarang kami menghendaki kau pulang ke negeri sendiri! Dengan ada Tionggoan yang menjadi tulang punggungmu, cara bagaimana Yasian berani tidak melepaskan kau pulang?"

   Kie Tin heran, ia tetap mengawasi. Ia ingin sangat satu penjelasan. Sampai di situ, Tan Hong tuturkan raja ini tentang duduknya urusan. Kie Tin menjadi girang berbareng heran.

   "Jikalau aku bisa pulang dan naik pula di atas tahta kerajaan, akan aku anugerahkan kau pangkat yang besar!"

   Ia berkata. Hampir tanpa merasa, ia berikan janji hadiahnya itu.

   "Katakanlah, kau ingin pangkat apa? Pangkat tongnia dari Gielim koen atau Kioeboen Teetok? Atau pangkat Menteri Perang? Pasti sekali aku akan membuat kau merasa puas, supaya tercapai segala cita-citamu!"

   Tan Hong bawa sikap tenang.

   "Jikalau nanti kau sudah pulang ke dalam negeri,"

   Ia berkata, tawar.

   "kau bisa atau tidak tetap menjadi raja pula, itulah tergantung kepada suasana di dalam istanamu dan urusan keluargamu sendiri, mengenai itu aku bersama Ie Kiam tidak akan campur tahu! Aku sendiri tidak mengharapkan pangkat dari kau!"

   Kie Tin menjadi putus asa, hingga ia jadi seperti menggerutu.

   "Bisa pulang, itulah baik! Bisa pulang, itulah baik..."

   Demikian ia ngoce sendiri, suaranya tidak tegas. Lalu ia ingat sesuatu, hingga ia nampaknya jadi bersemangat. Maka berkatalah ia seorang diri dengan lebih keras.

   "Di dalam istana, kebanyakan menteri boen dan boe adalah orang-orang kepercayaanku, tidak nanti Kie Giok dapat rampas tahtaku! Kalau nanti aku telah pulang, dia akan mengalah dan membiarkan aku menjadi yang dipertuan pula! Kau tidak hendak pangku pangkat, tidak apa, aku bersedia akan iringi segala kehendakmu, akan aku memberikan hadiah kepadamu!"

   Tan Hong menjadi sangat sebal.

   "Apa juga aku tidak menghendakinya!"

   Katanya dengan dingin.

   "Aku hanya hendak minta satu hal!"

   "Apakah itu?"

   Kie Tin tanya.

   "Semuanya akan aku meluluskannya!"

   "Setelah nanti kau pulang, bilamana kau tetap menjadi raja, bagaimana sikapmu terhadap Ie Kiam?"

   Tan Hong tanya. Inilah pertanyaan yang Kie Tin tak sangka-sangka.

   "Aku..."

   Katanya, lalu terhenti, karena Tan Hong memotongnya.

   "Setelah kau kena ditawan musuh, Ie Kiam telah angkat raja baru,"

   Tan Hong menerangkan.

   "Kau tentunya sangat benci dia karena perbuatannya itu! Benarkah itu?"

   "Tidak, tidak!"

   Sahut raja.

   "Begitu lekas aku pulang, akan aku naikkan pangkatnya tiga tingkat!"

   Dalam keadaan seperti itu, tengah terdesak, raja ini bicara tanpa berpikir pula.

   Ie Kiam adalah Lweekok Haksoe, karena mana ia dipanggil Kokloo, kedudukannya itu sudah mirip dengan perdana menteri, di samping itu, ia merangkap menjadi Pengpou Siangsie, Menteri Perang, ia jadinya berada di tingkat tertinggi, dari itu, pada dasarnya, ia tak dapat dinaikkan pula pangkatnya apapula sampai tiga tingkat.

   Maka itu, mendengar kata-kata raja ini, Tan Hong mendongkol berbareng merasa lucu.

   "Ie Kokloo bukanlah satu orang yang temaha akan pangkat tinggi atau keagungan,"

   Berkata anak muda ini.

   "Aku hanya menginginkan bila nanti kau sudah pulang, kau berlaku murah hati terhadapnya, kau beri dia ampun dari kematian..."

   "Itulah pasti, itulah pasti!"

   Kata Kie Tin berulang-ulang. Kembali ia tidak memikir-mikir lagi.

   "Adakah ini benar?"

   Tanya Tan Hong. Mendadak saja ia keraskan suaranya, hingga ia bentak raja itu. Kie Tin melengak. Inilah ia tidak sangka.

   "Satu raja tidak bicara main-main!"

   Ia jawab kemudian.

   Iapun segera menjawab begitu lekas ia sadar.

   Tan Hong bersenyum.

   Tadinya ia hendak bicara pula tapi ia membatalkannya.

   Tiba- tiba terdengar suara berisik dari luar, suaranya pengemis yang menyanyikan lagu "Lian Hoa Lok" = "Bunga Bwee Rontok."

   Tentu saja ia menjadi bercekat.

   "Setangkai, secabang bunga teratai,"

   Demikian ia dengar nyanyian itu.

   "Raja pun pernah dipanggilnya pengemis. Raja itu bergantian jadinya, maka juga lain tahun ada gilirannya keluargaku. Di sini ada disimpan mustika yang indah, maka itu hendak aku memohonnya!"

   Nyanyian itu disusul oleh suara berisik, seperti juga orang tengah mengusir pengemis yang bernyanyi-nyanyi itu. Menyusuli suara berisik itu, lalu terdengar teriakan.

   "Ada orang jahat!"

   Lalu menyusul pula suara nyaring dari rubuhnya tubuh manusia. Satu pahlawan, yang lompat keluar jendela, belum sempat dia berlompat terus naik ke atas payon, sudah kena dihajar rubuh! Tan Hong terkejut.

   "Sungguh liehay pengemis itu!"

   Pikirnya.

   Tapi iapun tak sempat berpikir lama- lama.

   Dengan cepat telah terdengar pula satu suara keras dan nyaring, ternyata daun jendela kamar kurungan kaisar Beng itu terhajar terpentang, disusul dengan lompat masuknya satu pengemis, tangan kanannya memegang tongkat, dengan tangan kirinya segera dia sambar Kie Tin.

   "Aduh!"

   Teriak raja itu yang kagetnya tidak terkira. Tan Hong tidak sempat cabut pedangnya, dengan tangannya ia membacok tangannya si pengemis.

   "Kau, Thio Tan Hong?"

   Berseru pengemis itu, agaknya ia terkejut.

   Ia sudah lantas tarik pulang tangan kirinya itu, tubuhnya pun berkelit ke samping.

   Tapi ia tidak berhenti sampai di situ, dengan cepat ia ayun sebelah kakinya, menjejak ke arah dengkulnya kaisar Beng.

   Tan Hong pun kaget.

   "Ah, kiranya Pit Lootjianpwee]"

   Ia berseru ketika segera dapat mengenali pengemis itu, terutama dari suaranya.

   Tapi kaisar berada dalam bahaya, tidak dapat ia diam saja, dari itu dengan terpaksa ia angsurkan tangannya, untuk menekan dengan perlahan kakinya jago tua yang jejakannya hebat itu.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam gerakannya ini, Tan Hong gunai tenaga Taylek Kimkong Tjioe.

   Pit To Hoan lompat mundur, hingga ia menyender pada tembok, napasnyapun memburu keras.

   "Thio Tan Hong, menyingkir kau!"

   Ia berseru.

   "Lootjianpwee, marilah kita bicara secara baik-baik,"

   Tan Hong berkata, dengan sabar.

   "Aku harap kau tidak membuatnya kaget pada raja yang tengah bersengsara ini..."

   "Bagaimana hei?"

   Bentak To Hoan.

   "Apakah kau menjadi anjing penjaga pintunya Yasian?"

   Kali ini jago tua itu menyerang dengan genggaman ditangannya.

   Tan Hong tahu tak sempat ia berbicara banyak, terpaksa ia hunus pedangnya - pedang Pekin kiam - untuk menangkis.

   Ia telah gunai belakangnya pedang.

   Maka kedua senjata bentrok dengan keras, sampai muncratlah lelatu apinya.

   Bentrokan itu membuatnya kedua pihak kesemutan tangannya.

   "Lootjianpwee, mohon kau berlalu dulu dari sini!"

   Tan Hong berkata pula.

   "Kau boleh sebutkan satu tempat, nanti aku kunjungi padamu untuk menerima pengajaran darimu!"

   Pit To Hoan tapinya seperti orang kalap, tanpa menjawab, ia menyerang pula beruntun tiga kali, untuk mendesak anak muda itu, lalu setelah itu kembali dengan tangan kirinya menyambar pula Kie Tin.

   Teranglah ia ingin sangat dapat menyengkeram raja Beng itu.

   Di luar, di bawah pagoda, ketika itu pun telah terdengar suara berisik sekali, suara yang bercampurkan beradunya pelbagai alat senjata, hingga kuping rasanya menjadi ketulian.

   Dari luar kamar juga terdengar teriakannya Yasian, akan tetapi apa katanya itu, Tan Hong tidak dapat mendengar nyata.

   Lalu, menyusuli itu, pintu kamar segera terpentang, dari mana terlihat masuknya dua pahlawan dengan golok di tangan masing-masing.

   Meninggalkan Tan Hong atau kaisar, Pit To Hoan papaki dua pahlawan itu.

   Ia maju dengan gerakan "Poanliong djiauwpou" = "Naga mendekam menggerakkan kakinya melingkar,"

   Sedang tangannya, ialah senjatanya, ia mainkan dari kiri ke kanan, atas mana goloknya kedua pahlawan itu lantas saja kena dibikin terlepas dan terbang! "Yang menyingkir selamat! Yang menghalang celaka!"

   To Hoan kemudian berteriak dengan bengis, sepasang matanya lebar, terputar. Ia bergelar "Tjinsamkay" = "Menggetarkan Tiga Dunia,"

   Tidak heran kalau bentakannya itu dahsyat sekali.

   Dengan terpaksa kedua pahlawan itu undurkan diri, karena senjata mereka pun sudah hilang.

   Dari luar masih terdengar suara berisik, kali ini dari tindakan kaki yang berat dan kekar, disusuli bersama jeritan teraduh-aduh, dari bentroknya alat senjata.

   Teranglah itu ada tanda dari orang yang dari bawah mendaki tangga pagoda sambil menyerang naik.

   Pit To Hoan sudah mundurkan kedua musuhnya, kembali ia menghampirkan Kie Tin.

   Ia dihalangi-halangi Tan Hong, karenanya, ia mencoba akan paksa melewati anak muda itu.

   "Untuk apakah kau hendak menawan dia?"

   Tan Hong tanya.

   "Apakah kau telah lupa akan sakit hatinya leluhurmu?"

   To Hoan membaliki.

   "Jahanam ini tidak surup untuk menjadi raja! Untuk apa kau melindungi padanya? Kita harus bekuk dia, untuk dibawa pulang ke Tionggoan, nanti di sana kita bangunkan suatu pemerintah baru!"

   Mendengar itu, Tan Hong melengak.

   Dengan begitu orang tua ini masih ada punya semangat untuk mendirikan suatu pemerintah.

   Ia hendak berkata pula ketika kembali terdengar satu suara keras, ialah dari terbukanya dengan paksa pintu dari pagoda undakan ketiga.

   Dan suara itu disusul dengan munculnya satu orang, yang segera pentang mulutnya yang lebar, akan perdengarkan suaranya yang nyaring.

   "Ha, bagus benar! Kau juga ada di sini? Marilah rasai tiga ratus tongkatku!"

   Untuk herannya Tan Hong, ia kenali Tiauw Im Hweeshio, sang soepee yang gurunya dan Yap Eng Eng telah sia-sia saja mencarinya.

   Sementara itu ia masih sempat melirik ke arah Yasian, yang umpetkan diri di satu pojok dari mana perdana menteri itu sedang berikan titahnya kepada pahlawan-pahlawannya untuk mencegat jalan mundur orang.

   "Inilah hebat..."

   Pikir Tan Hong, yang menjadi berkuatir.

   "Djiesoepee sembrono, urusan akan menjadi kacau kalau ia sampai kemplang mampus pada Yasian. Perdana menteri ini ada punya putera dan perwira sebawahannya, ia masih punyakan beberapa puluh laksa serdadu, kalau karena kejadian di sini jadi terbit perang di antara kedua negara, itulah hebat, pasti akan terjadi darah tumpah mengalir di daerah luasnya ribuan lie..."

   Anak muda ini menjadi masgul.

   Hendak ia menerjang keluar, tapi ia dihalang- halangi Pit To Hoan dengan ruyung panjangnya - Hangliong pang.

   Sekarang meski ia jauh terlebih gagah daripada jago tua itu, akan tetapi ia sungkan melawannya, ia juga tidak hendak melukai orang.

   Dalam keadaan sangat tegang itu, mendadak ia berseru dengan tegurannya.

   "Tjinsamkay, kau masih punya kehormatan kangouw atau tidak?"

   Heran jago tua itu, hingga ia tercengang.

   "Apa kau bilang?"

   Ia berbalik menanya.

   "Untuk merampas dunia, itulah bukannya tugasmu. Kau tidak tepat!"

   Berkata anak muda itu dengan jawabannya.

   Di waktu Tan Hong pertama kali masuk ke Tionggoan, ia ada bawa warisan leluhurnya - ialah peta dari tempat disimpannya harta pendaman leluhurnya itu di Souwtjioe.

   Ketika itu, dalam pertandingan dengan Pit To Hoan, keduanya telah membuat perjanjian, kalau Pit To Hoan kalah, untuk selanjutnya suka ia dengar segala perkataannya si anak muda.

   Janji itu ada mengandung maksud, jikalau di kemudian hari Thio Tan Hong hendak rampas negara dari tangan kerajaan Beng, Pit To Hoan cuma harus membantu, tidak dapat ia menentanginya.

   Karena itulah maka sekarang dalam keadaan sangat terpaksa itu, Tan Hong menagih janji.

   Mendengar itu, walaupun sangat bertentangan dengan hatinya, Hangliong pang dari Pit To Hoan menjadi bergerak dengan perlahan, lalu di akhirnya, sambil menghela napas, ia berkata.

   "Baiklah, aku mengalah terhadapmu!..."

   Setelah mengucap begitu, dengan gesit sekali ia lompat keluar jendela! Kie Tin takut bukan main, mukanya pucat pasi hingga seperti tidak ada darahnya.

   Ia mendekam di suatu pojok, napasnya memburu.

   Tan Hong tidak sempat perhatikan lagi raja itu, dia lompat keluar kamar, hingga dia dapatkan Tiauw Im Hweeshio, paman guru yang kedua itu, tengah kerahkan tenaganya, mengamuk hebat dengan tongkatnya, yang menjadi lawannya adalah Ngochito serta dua pahlawan lainnya Ngochito bukannya seorang yang lemah akan tetapi menghadapi pendeta itu, walaupun ia dibantu dua pahlawan, ia kewalahan juga.

   Tiauw Im liehay dengan gwakang-nya, ilmu bahagian luar, liehay juga ilmu tongkatnya, Hokmo Thunghoat, yang terdiri dari seratus delapan jurus, dengan ilmu tongkat ini dia desak tiga lawannya itu.

   Di akhirnya, Ngochito cuma bisa bela diri, tak sanggup balas menyerang.

   Beruntung bagi Tiauw Im Hweeshio, Yasian telah kehilangan dua pahlawannya yang ia paling andalkan, ialah Tjeng Kok Hoatsoe dan Ma I Tjan, yang kepandaiannya tidak ada di bawahannya pendeta ini, yang tadi malam telah rubuh di tangannya Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng yang liehay dengan cara bertempurnya siangkiam happek, hingga yang satu terluka, yang lainnya binasa, bila tidak demikian, pasti sekali Pit To Hoan dan Tiauw Im tak akan dapat bergerak dengan leluasa seperti ini.

   Yasian lihat munculnya Tan Hong, segera ia perdengarkan suaranya yang dingin.

   "Hm, bagus ya! Kamu orang-orang Han, kamu tidak punya kehormatan!"

   Tan Hong dengar ejek-ejekan itu, ia tidak mempedulikannya, hanya terus ia lompat kepada Tiauw Im, dengan ulur sebelah tangannya, ia sambar tongkatnya djiesoepee itu, si paman guru yang kedua.

   Tiauw Im lihat keponakan murid itu, ia jadi sangat gusar, hingga ia berteriak .

   "Ya kamu berdua guru dan murid semua bukannya manusia benar!"

   Justeru itu ia tengah menyerang Ngochito secara hebat sekali, sampai pahlawannya Yasian itu putus asa.

   Maka beruntung bagi pahlawan ini, Tan Hong muncul di waktu yang tepat, selagi si pendeta egoskan tongkatnya dari tangan si anak muda, ia lantas lompat keluar kalangan, perbuatan ini ditelad dua kawannya.

   "Tan Hong, kau berani lawan yang tuaan!"

   Membentak Tiauw Im dalam murkanya.

   "Lagi sekali kau merintangi aku! Lihat kalau-kalau aku tidak kemplang mampus padamu dengan tongkatku ini!"

   Tan Hong tapinya telah tetap dengan putusannya.

   "Sekalipun kau bunuh aku, aku tetap menghendaki kau mundur dari sini!"

   Demikian jawabannya.

   Dalam kalapnya, Tiauw Im segera serang keponakan murid itu.

   Tan Hong tidak berani layani paman guru ini terus dengan tangan kosong, terpaksa ia cabut pedangnya, maka itu keduanya bertarung dalam ruang itu.

   Pada waktu pertama kali Tan Hong masuk ke Tionggoan, kepandaiannya Tan Hong berimbang dengan paman gurunya, akan tetapi setelah mempelajari Hiankang Yauwkoat, ia telah peroleh kemajuan pesat sekali, maka sekarang ia sudah dapat lampaui paman gurunya itu.

   Belasan kali sudah Tiauw Im mendesak dengan tongkatnya yang liehay, yang tadi membuatnya Ngochito bertiga kewalahan, tapi kali ini, tidak mampu ia membuat keponakan muridnya itu mundur setindak juga, malah sebaliknya, setiap kali si anak muda menggerakkan pedangnya, ia seperti tak sanggup gerakkan tongkatnya yang liehay itu! Bukan kepalang mendongkolnya pendeta ini, hingga matanya jadi mendelik.

   "Tan Hong, apakah masih ada orang yang tertua di depan matamu?"

   Ia menegur sambil berteriak sekeras-kerasnya. Ditegur begitu, anak muda ini cuma bersenyum.

   "Maaf, soepee. Walau bagaimanapun, sekarang aku minta soepee mundur dulu dari sini! Untuk bicara, nanti lain kali saja, sekalian aku haturkan maafku!"

   Perkataannya Tan Hong ini membuatnya semua pahlawan kaget dan heran.

   "Ha, kiranya mereka adalah paman guru dan keponakan murid!..."

   Seru mereka sambil tertawa.

   "Hahaha, sungguh lucu! Di sini ada soepee yang tidak sanggup lawan keponakan muridnya! Benar-benar tidak punya guna, sampai pengaruh si tua dipakai untuk menindih si muda! Sungguh tidak tahu malu!"

   Ejekan itu ditambahkan pula oleh tertawa dingin yang riuh. Mukanya Tiauw Im menjadi merah padam, lalu pucat pias, Kegusarannya tak terkirakan.

   "Binatang cilik, lain kali akan aku membuat perhitungan terhadapmu!"

   Ia berteriak, lalu dengan menyeret tongkatnya, ia lompat keluar kalangan, untuk angkat kaki dari pagoda itu.

   Maka celakalah beberapa pahlawan yang berada diundakan tangga, mereka telah dilabrak oleh pendeta yang sedang mungsang- mangsing itu! Tan Hong lompat ke jendela, untuk melongok keluar.

   Ia tampak Pit To Hoan, dengan memimpin tiga pengemis, tengah menerobos kepungan.

   Liehay tiga pengemis itu, beberapa puluh pahlawan masih tidak sanggup merintangi mereka.

   Tiauw Im sudah lantas gabungkan diri pada empat orang itu, berlima mereka membuka jalan untuk menjauhkan diri.

   "Beberapa pengemis itu liehay,"

   Pikir Tan Hong.

   "Entah bagaimana caranya mereka bekerja, sehingga mereka mendapat tahu raja dikurung di sini..."

   Ketika itu, Yasian pun menghampirkan jendela, sambil menyender, ia melongok keluar. Sekarang dapat ia bernapas lega. Ketika kemudian ia menoleh, ia lantas dengar suaranya Tan Hong.

   "Aku minta Thaysoe suka memberi maaf padaku,"

   Demikian anak muda itu.

   "Soepee-ku itu menyangka aku sedang terkurung di sini, maka itu telah terbit salah paham. Akan aku cari dia, untuk memberi penjelasan. Aku berani tanggung dia tidak akan datang pula mengacau kemari!"

   Yasian dapat kesan baik terhadap anak muda ini. Ia telah saksikan sendiri bagaimana hebatnya orang tahan desakannya si pendeta serta kawan-kawannya itu, hingga ia jadi terbebas dari ancaman marah bahaya.

   "Sudahlah!"

   Katanya sambil tertawa.

   "Sekarang mari kita bekerja seperti apa yang kita sudah damaikan tadi. Kau tidak usah kuatirkan apa-apa."

   "Terima kasih,"

   Tan Hong ucapkan.

   "Nah silakan masuk pula, untuk tengok rajamu,"

   Yasian berkata pula.

   Meskipun ia mengatakan demikian, perdana menteri ini tapinya jalan berendeng dengan pemuda itu masuk ke kamarnya Kie Tin.

   Kaisar Beng terpucat-pucat mukanya, ia menyender di tembok, tubuhnya menggigil keras.

   Nyata ia sangat ketakutan.

   Yasian bersenyum melihat keadaannya raja musuh itu.

   "Biarlah dia pulang untuk jadi raja pula, dia mungkin akan memberi kebaikan terhadapku..."

   Demikian ia pikir. Lantas ia tertawa dan kata.

   "Kau tentunya dapat kekagetan! Inilah ada baiknya untukmu, sebab ini berarti, habis pahit, datang manis! Kau tunggu saja, kalau nanti telah tiba utusan negaramu, kau boleh ikut pulang ke negerimu untuk hidup senang pula seperti biasa. Mudah- mudahan kau tidak akan lupakan kebaikanku!..."

   Hati Kie Tin lega, hingga ingin ia menghaturkan terima kasih kepada perdana menteri Watzu itu.

   Tetapi Tan Hong telah mengedipkan mata padanya, atas mana segera ia insyaf akan dirinya.

   Bukankah ia seorang raja dari suatu negara besar dan Yasian tak lebih tak kurang sebagai perdana menteri dari Watzu? Jikalau ia haturkan maafnya, ia jadi menghina diri sendiri.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka ia lantas angkat dada.

   "Tidak usah kau menyebutnya, budi kebaikanmu ini telah aku ingat!"

   Demikian ia berikan jawabannya.

   "Thaysoe, masih hendak aku memohon sesuatu darimu,"

   Tan Hong berkata. Ia seperti tidak menghiraukan pembicaraannya kedua orang itu.

   "Apakah itu? Silakan sebutkan,"

   Yasian jawab. Tan Hong loloskan mantel kulit di pundaknya - itulah mantel kulit rase yang halus dan enteng - sambil berbuat begitu, ia berkata.

   "Aku mohon Thaysoe ijinkan aku kasihkan mantelku ini kepadanya."

   Dengan "padanya"

   Itu, pemuda ini maksudkan raja Beng. Yasian segera perlihatkan roman terperanjat.

   "Ah, saking repot, aku sampai melayaninya kurang sempurna!"

   Katanya.

   "Orang-orangku pun alpa! Kami sampai lupa untuk menyiapkan pakaian baharu untuk junjungan kamu! - Mana orang?"

   Perdana menteri ini menjadi repot agaknya, ia perintah orangnya ukur tubuhnya Kie Tin, untuk segera dibuatkan pakaian baru, pakaian dari kulit.

   Ia juga pesan, barang hidangan harus dibikin lebihan, supaya sekalian dapat dihidangkan kepada raja tawanan itu.

   Setelah itu, ia bertindak keluar.

   Tan Hong mengikuti perdana menteri itu, tetapi mantel kulitnya ia tinggalkan di situ.

   Selagi bertindak, ia melirik kepada raja, ia tampak matanya raja itu mengembeng air.

   "Agaknya hatinya telah tergerak juga,"

   Pikir anak muda ini.

   "Semoga ia nanti ingat pengalamannya yang pahit di sini, supaya nanti sepulangnya ke negerinya, ia nanti tidak mendatangkan kesulitan bagi Ie Kokloo..."

   Tan Hong lantas ingat Topuhoa, ia kuatir digerembengi pula oleh si nona, maka itu, begitu keluar dari menara batu itu, ia lantas pamitan dari Yasian.

   Ia segera menuju ke tempat penginapannya In Loei.

   Akan tetapi di sana ia tidak dapat menemui si nona.

   In Loei cuma meninggalkan sehelai surat untuknya.

   Ringkas saja suratnya In Loei itu.

   Ia pesan, kalau nanti Tan Hong sudah selesaikan segala urusannya, anak muda itu harus segera pergi kebukit Peklo San di luar pintu timur, untuk mereka bertemu di sana.

   -ooo00dw00ooo- Bab XXVI Peklo San adalah bukit kenamaan, letaknya dekat dengan kota raja.

   Di atas bukit, yang indah pemandangannya, ada berdiri beberapa rumah penduduk.

   Tan Hong ketahui itu, makanya ia menjadi heran akan bunyinya surat kawannya itu.

   "In Loei belum pernah datang ke kota raja bangsa Watzu ini, dia masih asing di kota ini, kenapa dia dapat mendaki bukit Peklo San?"

   Demikian ia berpikir.

   Ia juga merasa pusing sedikit.

   Ia dipesan mencari ke atas bukit tetapi di dalam surat tidak dituliskan alamat yang terang.

   Ke mana ia harus mencari? Tidakkah itu sulit? Berbareng iapun menjadi berkuatir juga.

   In Loei pindah, agaknya dengan cara kesusuh, apakah itu bukan disebabkan si nona hendak menyingkir dari matanya Yasian? Oleh karena ia tidak dapat menemui si nona, terpaksa Tan Hong pulang dulu ke rumahnya.

   Kali ini ia dapat kenyataan pahlawan-pahlawannya Yasian, yang ditugaskan mengawasi rumahnya itu, sudah ditarik pulang.

   Adalah Tantai Mie Ming, yang muncul membukakan pintu.

   Maka itu, girang keduanya akan pertemuan ini.

   Mie Ming berkata.

   "Beberapa hari yang lalu kami telah dikurung di dalam gedung, aku sebal sekali. Kalau menuruti adatku, pasti aku sudah menerjang keluar! Tjoekong telah membujuki aku untuk jangan gunai kekerasan."

   "Memang ada terlebih baik jangan menerjang keluar,"

   Kata Tan Hong sambil tertawa.

   "Mana ayahku?"

   "Tjoekong ada di kamar tulis,"

   Sahut Tantai Mie Ming.

   "Selama ini, hati tjoekong pepat, bagus kau telah pulang."

   Tan Hong lantas pergi ke kamar tulis. Perlahan tindakan kakinya. Ia tampak ayahnya tengah berduduk diam seorang diri sambil bertopang dagu. Ayah itu seperti sedang memikiri sesuatu.

   "Ayah!"

   Ia memanggil, dengan perlahan.

   "Oh, kau telah kembali!"

   Menyahut ayah itu. Ia menoleh.

   "Aku tadinya menyangka bahwa kita sukar untuk dapat bertemu pula satu dengan lain..."

   Air matanya orang tua itu lantas saja menetes turun.

   "Anakmu yang poethauw pulang untuk memohon ampun,"

   Kata Tan Hong. Ayah itu tidak pedulikan akan kebaktian anaknya itu.

   "Aku dengar dari Tantai Tjiangkoen, benarkah kau telah tiba di Souwtjioe?"

   Tanyanya.

   "Justeru untuk itulah anakmu memohon ampun,"

   Jawab Tan Hong.

   "Harta pendaman dan peta bumi simpanan leluhur kita sudah aku gali, semua itu aku telah berikan kepada Ie Kiam dari kerajaan Beng, untuk digunakan membantu kaisar dari Keluarga Tjoe memukul mundur angkatan perang Watzu..."

   "Tentang sepak terjangmu itu, dari mulut Tantai Tjiangkoen telah aku dengar sedikit,"

   Berkata sang ayah.

   "Dengan tindakanmu ini, terhadap Tionggoan kau telah unjukkan jasamu, tetapi karena itu, kita kaum keluarga Thio, untuk selama- lamanya akan tidak punya lagi ketika yang baik untuk memperebutkan dunia..."

   Tan Hong bungkam. Ia dapat merasai kedukaannya ayah itu. Ketika ia memikir, untuk menghibur ayahnya, ia dengar ayah itu menghela napas seraya terus berkata.

   "Hidup tak ingin menjadi tihang negara, mati tak sudi menjadi Raja Akherat. Sekalipun Raja Akherat, selagi ia memutuskan orang menjadi setan, hatinya sering tak tega, sedang menjadi tihang negara, yang mencintai rakyatnya, kewajibannya menjadi bertambah-tambah banyak... Setelah perubahan besar ini, dengan perlahan- lahan habis sudah tergosok semangatku yang besar. Menjadi perdana menteri aku tidak menghendaki lagi, apapula untuk menjadi raja yang pasti memusingkan kepala. Oleh karena kau sendiri sudah tak ingin menjadi raja yang memulai membangun negara, aku juga ingin mengakhiri hidupku di negara asing ini. Semua yang kau telah lakukan, tidak aku buat menyesal, tidak aku persalahkan kau!"

   "Ayah,"

   Berkata putera itu.

   "Daun itu rontok jatuh ke akarnya, dari itu, aku masih mengharap kau nanti pulang ke negeri kita..."

   Thio Tjong Tjioe menghela napas, ia hempaskan tangannya.

   "Selama ini kau banyak letih, pergilah kau beristirahat dulu,"

   Katanya.

   "Sebentar malam nanti kita bicara pula."

   Tan Hong tidak berani mendesak, ia lantas undurkan diri.

   Sorenya, sehabis bersantap malam, anak ini bersama ayahnya jalan-jalan di dalam taman.

   Di bawah sinarnya si Puteri Malam, pohon-pohon bunga menciptakan bayangan-bayangan.

   Menarik hati memandang loneng-loneng yang terukir.

   Di dalam keindahan sang malam itu, ayah dan anak berhadapan berdiri sambil mereka menyenderkan tubuh di loneng.

   Sampai lama, mereka tak bicara satu pada lain.

   Akhirnya, Tan Hong petik setangkai bunga bwee.

   "Kali ini bunga bwee mekar terlebih indah daripada tahun yang lalu,"

   Kata dia. Ia mulai pecahkan kesunyian.

   "Benarkah itu?"

   Tanya ayahnya.

   "Kau telah sampai di istana lama di Souwtjioe, bagaimana kau lihat keadaan di sana?"

   "Istana itu telah dijual oleh negara, telah dijadikan tamannya satu okpa,"

   Sahut si anak.

   "Ukiran huruf-huruf di tembok pun sudah pada runtuh..."

   Tjong Tjioe tidak bilang suata apa, ia cuma menghela napas.

   "Tetapi ayah jangan berduka,"

   Tan Hong menghibur.

   "Tempat kita itu telah anakmu menangkan kembali."

   Tjong Tjioe heran.

   "Apa katamu?"

   Ia tanya.

   Tan Hong segera beri keterangan halnya itu hari ia menangkan pertaruhan dengan Kioetauw Saytjoe hingga ia dapat pulang Koaywa Lim, tamannya itu, dan hal apa yang ia telah lakukan terlebih jauh mengenai taman itu.

   Ayah itu tengah berduka tetapi mendengar penuturan puteranya, ia tertawa berkakakan.

   Itulah tanda ia setujui sikap anaknya itu.

   "Anakmu poethauw, ayah,"

   Tan Hong berkata pula.

   "Sekarang ini anakmu mengharap ayah suka pulang, supaya di taman sendiri ayah bisa tinggal dengan damai dan tenang..."

   Tjong Tjioe kembali tidak menyahuti, ia cuma menghela napas. Kelihatannya ia sangat lesu.

   "Ayah, justeru adalah paling baik kau gunai ketika ini untuk keluar dari segala keruwetan,"

   Tan Hong membujuk pula. Lalu ia tuturkan apa yang ia bicarakan tadi pagi dengan Yasian. Ia tambahkan.

   "Telah aku melancangi ayah menerima baik sarannya Yasian itu, maka itu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu untuk meletakkan jabatan, supaya ayah tak usah lagi menjadi menterinya Watzu yang memusingkan diri ini."

   "Untuk undurkan diri, itulah memang cocok sama cita-citaku,"

   Berkata ayah itu.

   "Sudah dua puluh tahun lebih aku menjadi menteri, aku telah merasa letih sekali. Dahulu juga aku tidak punya niatan untuk menjadi menteri."

   "Memang, ayah, mega itu tak ada niatnya untuk muncul dari antara puncak-puncak, dan burung, setelah letih beterbangan, tahu akan pulang ke sarangnya,"

   Kata Tan Hong.

   "Maka, ayah, untuk kita adalah terlebih baik jikalau kita pulang ke kampung halaman kita."

   Tjong Tjioe menghela napas.

   "Memang, mega itu tak ada niatnya untuk muncul dari antara puncak-puncak, dan burung setelah letih beterbangan tahu akan pulang ke sarangnya,"

   Ia ulangi kata-kata puteranya.

   "Itulah dua runtunan kata-kata yang tepat sekali dari To Van Beng. Pulang, pergi, kembali! Ya, sekarang adalah waktunya untuk pergi pulang..."

   Tan Hong menjadi sangat girang.

   "Kalau begitu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu meletakkan jabatan,"

   Ia kata.

   "Sesudah itu kita menanti saja tibanya utusan kerajaan Beng, setelah perdamaian beres selesai, kita lantas pulang ke negeri kita."

   Tapi Tjong Tjioe menggeleng-geleng kepalanya.

   "Apa yang aku katakan dengan pergi pulang itu bukanlah seperti yang kau maksudkan pulang ke negeri kita sendiri!"

   Katanya, dengan suaranya yang dalam. Tan Hong heran, hingga ia tercengang.

   "Bagaimana, ayah ?"

   Ia tanya.

   "Arak habis, perjamuan bubar, orang pergi pulang,"

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut ayah itu.

   "Demikian kemuliaan, kementerengan, itulah impian kosong belaka. Di dalam dunia ini aku telah hidup enam puluh tahun, dari itu sudah seharusnya aku pergi pulang..."

   Kali ini suaranya itu lain daripada biasanya. Nyata dengan "pergi pulang"

   Itu ia maksudkan pergi pulang ke alam baka. Karena ini, ketika sang anak berkata pula, suaranya rada-rada menggetar.

   "Ayah semakin sehat, masih jauh ayah ke usia seratus tahun, kenapa ayah mengucapkan kata-kata yang tak beralamat baik ini?"

   Ia tanya. Tjong Tjioe tertawa meringis.

   "Bukankah di dalam dunia ini tidak ada pesta yang tidak bubar?"

   Ia balik tanya.

   "Kanglam itu indah, itulah justeru tempat untuk ayah beristirahat!"

   Kata Tan Hong, gugup. Tapi sang ayah jawab.

   "Apakah aku masih ada muka untuk kembali ke Kanglam? Dahulu hari Tjouw Pa Ong sungkan melintasi sungai Ouw Kang, itu artinya dia tak ingin menjumpai pula penduduk Kangtong!"

   Tan Hong menjadi sangat berduka, ia berkuatir.

   "Ah, mengapakah ayah membuat bandingan ini?"

   Ia kata. Ia masih berniat membujuk, tetapi ayahnya telah menggoyangkan tangannya.

   "Putusanku sudah tetap, tak usah kau banyak omong lagi!"

   Kata orang tua itu.

   "Boleh aku letakkan jabatanku sebagai menteri akan tetapi tanah daerah leluhurku tak sudi aku menginjaknya pula!"

   "Kalau begitu, ayah,"

   Tanya Tan Hong.

   "apakah ayah anggap keliru tentang perjalananku ke Tionggoan ini?"

   Tjong Tjioe berdongak memandang langit. Dari kejauhan, dengan lapat-lapat, terdengar suaranya terompet huchia. Sekian lama ia membisu, baharu ia bersuara pula.

   "Jikalau usiaku muda empat puluh tahun, aku juga dapat melakukan seperti apa yang kau telah perbuat,"

   Ia berkata.

   "Mengandalkan orang untuk melakukan sesuatu adalah sangat tak boleh diharap, sekarang insaflah aku bahwa pikiran akan pinjam tenaga bangsa Watzu untuk membangunkan pula Kerajaan Tjioe kita yang besar adalah suatu pikiran yang keliru."

   Mendengar ini, Tan Hong girang berbareng berduka.

   "Ayah..."

   Katanya pula.

   "Tak usah kau omong banyak lagi!"

   Sang ayah memotong.

   "Hanya ingin aku menyadarkan kau. Yasian itu adalah seorang yang sangat licik, terhadapnya kau mesti waspada kalau-kalau dia berbalik berpikir. Dengan sesungguhnya aku mengharap-harap lekas tibanya utusan dari pemerintah Beng! Bilamana aku menutup mata di negara Watzu ini, tidak nanti aku melupakan Tionggoan... Turut katamu itu, Ie Kiam adalah seorang menteri bijaksana yang sukar dicari keduanya selama seratus tahun ini. Mudah-mudahan, sejak saat ini, Tionggoan kelak akan menjadi makmur dan kuat. Aku merasa senang juga apabila aku dapat melihat utusannya."

   Luar biasa perasaannya Tan Hong sesaat itu.

   Mereka berada dekat tapi mereka seperti terpisah jauh satu dari lain...

   Tan Hong seperti merasakan bahwa jantung ayahnya berdenyut keras, berdenyut dengan tak dapat diartikan maksudnya...

   Karena ini, pikirannyapun menjadi kacau.

   Sekonyong-konyong di antara kelompok pohon di depan mereka, satu bayangan orang tampak berkelebat, berbareng dengan itu terdengar bentakannya Tantai Mie Ming.

   "Siapa bernyali begini besar berani menyusup masuk ke dalam sianghoe?"

   Bentakan itu disusul dengan serangan sebelah tangan, lalu menyusul satu suara berisik dari rubuhnya sebuah pohon kembang, disusul pula dengan lompat keluarnya satu orang mengenakan pakaian warna abu-abu.

   Tantai Mie Ming sendiri terlihat terhuyung beberapa tindak, baharu dapat ia pertahankan tubuhnya.

   Tan Hong kaget sekali.

   Siapa orang itu, yang demikian kosen sanggup membuat Tantai Mie Ming terhuyung? Mendadak ia dengar tertawa yang nyaring diiringi pertanyaan.

   "Ah, Tan Hong, kau telah kembali?"

   Baharu sekarang Tan Hong melihat tegas, orang itu adalah toasoepee-nya, Tang Gak. Maka itu, ia jadi girang luar biasa. Ia lantas memberi hormat pada paman gurunya yang paling tua itu, siapa ia segera ajar kenal dengan ayahnya.

   "Mari kita duduk di dalam,"

   Kemudian ia mengajak. Demikianlah mereka pergi ke ruang tamu. Tang Gak irup air teh yang disuguhkan, terus ia tertawa.

   "Tantai Tjiangkoen, kepandaian Tiat Piepee-mu telah menjadi terlebih liehay daripada dulu-dulu!"

   Ia memuji. Tantai Mie Ming pun tertawa.

   "Dan Taylek Kimkong Tjioe darimu pun sukar sekali untuk dilayani!"

   Ia balik memuji. Tjong Tjioe menghaturkan terima kasih pada tetamunya yang tidak diundang itu.

   "Anakku telah dapat perlindunganmu, aku sangat berterima kasih,"

   Kata ia pada paman guru puteranya itu.

   "Dan akupun bersyukur kepada kau yang selama sepuluh tahun sudah melindungi soetee-ku,"

   Tang Gak pun berkata, ia maksudkan Thian Hoa. Kemudian, sambil tertawa pula, ia menambahkan.

   "Sinsiang, baharu sekarang aku tahu hatimu! Nyata tidaklah salah apa yang dikatakan soetee-ku itu! Aku merasa bersyukur yang aku tidak sampai berlaku sembrono..."

   Tan Hong pun dengan diam-diam bersyukur juga.

   "Baiknya ia dapat dengar pembicaraan ayahku barusan,"

   Katanya di dalam hati.

   "Kalau dia sebagai djiesoepee, entah apa yang akan terjadi... Apakah soepee telah ketemu guruku?"

   Ia terus tanya toasoepee itu.

   "Ya, telah aku ketemu padanya,"

   Sahut Tang Gak.

   "Tjia Sianseng sudah pergi untuk banyak hari,"

   Tjong Tjioe turut bicara.

   "Mulanya aku tidak tahu apa yang dia niat lakukan, aku berkuatir. Dia telah kembali, mengapa dia tidak turut bersama datang kemari?"

   Tang Gak irup pula tehnya, ia tidak lantas menjawab.

   "Pahlawan-pahlawannya Yasian sudah dibubarkan, meski demikian sukar dijamin bahwa ia tidak akan mengirim orang lagi untuk memata-matai kita,"

   Berkata Tantai Mie Ming.

   "Nanti aku pergi ke depan untuk melihat-lihat."

   Tan Hong tertawa atas kepergiannya jenderal itu.

   "Tantai Tjiangkoen telah memikir terlalu banyak,"

   Katanya.

   "Dia kuatir di antara kita mungkin hendak membicarakan sesuatu yang tak dapat dilakukan di depannya, maka itu ia berlalu..."

   "Ia benar,"

   Tang Gak bilang.

   "Apa yang hendak aku bicarakan justeru adalah urusan gurunya."

   Gurunya Tantai Mie Ming ialah Siangkoan Thian Ya, justeru adalah lawan dari Hian Kee Itsoe. Maka mendengar soepee ini, Tan Hong menjadi heran.

   "Apa?"

   Tanyanya "Bukankah Siangkoan Thian Ya Si kepala iblis tua itu sudah lama mengumpetkan diri? Mungkinkah sekarang dia muncul pula?"

   "Dia tidak keluar dari gunungnya akan tetapi kita hendak pergi mengunjungi padanya!"

   Kata Tang Gak.

   "Bagaimana sebenarnya soepee?"

   Tanya pula Tan Hong, heran.

   "Tak tahu bagaimana jalannya, iblis kepala yang tua itu telah mendengar yang kami beberapa saudara telah datangi negara Watzu ini,"

   Tang Gak beri keterangan.

   "dan ia segera kirim orang untuk memberitahukan kami supaya kami pergi ke gunungnya untuk menghadap padanya."

   "Apakah maksudnya?"

   Tan Hong tanya pula.

   "Aku juga tidak tahu. Mungkin dia hendak uji kepandaian kami. Dia adalah satu lootjianpwee, dia telah berikan titahnya, tidak dapat kami tidak turut titahnya itu."

   "Apakah Tantai Tjiangkoen tidak ketahui urusan ini?"

   Tan Hong tanya. Ia jadi berpikir keras.

   "Jikalau dia tidak mengatakan apa-apa, jangan kau timbulkan urusan ini kepadanya,"

   Tang Gak pesan.

   Ia tidak jawab keponakan murid itu, ia bicara secara sungguh-sungguh.

   Di dalam kalangan kaum Rimba Persilatan ada aturan yang harus dihormati, yaitu jikalau pada kedua pihak kaum tertua ada perselisihan, maka murid-murid mereka itu meskipun mereka bersahabat satu pada lain, harus si murid saling menjauhkan diri.

   Tan Hong tahu aturan itu, ia sebenarnya kurang memperhatikannya, tetapi sebab ia lihat soepee ini bicara demikian rupa terpaksa ia tidak berani banyak omong.

   Tang Gak melanjutkan kata-katanya.

   "Begitulah pada kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, guru kami bersama Siangkoan Thian ya itu telah melakukan pertempuran di atas gunung Ngobie San, sampai tiga hari tiga malam lamanya, mereka tidak menang dan tidak kalah. Pertempuran itu telah disudahi dengan mereka saling berjanji, bahwa lagi tiga puluh tahun kemudian mereka bertemu pula. Tidak lama sehabisnya itu, keduanya menjauhkan diri dari muka umum, mereka menyembunyikan diri, yang satu di Tionggoan, yang lain di tapal batas Mongolia. Sejak itu, keduanya tidak pernah berhubungan lagi satu sama lain. Aku telah anggap urusan akan sudah habis sampai di situ. Tak disangkanya pada tahun ini di permulaan musin semi, aku dengar omongannya seorang sahabat kaum Rimba Persilatan, bahwa katanya Siangkoan Thian Ya hendak mewujudkan janji dahulu hari itu. Oleh karena ini, lekas-lekas aku berangkat untuk menyampaikan kabar kepada soetjouw-mu. Soetjouw-mu itu tidak mengatakan, suka atau tidak ia menyambut Siangkoan Thian ya itu, ia hanya titahkan kami pergi terlebih dahulu ke Watzu. Sampai sekarang ini aku tetap belum tahu soetjouw-mu itu hendak datang atau tidak..."

   "Turut apa yang aku dengar dari soehoe,"

   Berkata Tan Hong.

   "jurus silat pedang siangkiam happek ciptaan soehoe adalah diperuntukkan melawan iblis tua itu. Mungkin, karena itulah soetjouw tidak niat turun tangan sendiri."

   "Tentang liehaynya siangkiam happek itu belum pernah aku saksikan,"

   Kata Tang Gak.

   "Samsoetee dan soemoay memang cerdas sekali, mereka jauh lebih menang daripada aku, akan tetapi jikalau mereka hendak diajukan untuk melayani iblis tua itu, rasanya bedanya masih terlalu jauh..."

   Tan Hong tahu liehaynya siangkiam happek, tak percaya ia akan kata-katanya paman guru yang tertua itu, akan tetapi terhadap toasoepee ini ia tidak berani sembarang omong, ia juga tidak hendak pertontonkan ilmu silat pedang gabungan itu, maka ia membungkam.

   "Eh, Tan Hong, mana sahabatmu yang muda?"

   Tiba-tiba Tang Gak tanya.

   Baharu sekarang ia ingat In Loei.

   Hatinya Tan Hong bercekat.

   Tentang In Loei, ia belum omong kepada ayahnya, ia anggap belum tiba saatnya, tapi sekarang toasoepee itu menimbulkannya, hatinya menjadi kebat-kebit.

   Lekas-lekas ia mengedipkan mata kepada paman guru itu.

   "Apakah kau tidak memikiri dia?"

   Tanya pula toasoepee itu, dia agaknya tak mengerti tanda kedipan mata dari keponakan murid itu.

   "Anak Hong,"

   Berkata Tjong Tjioe, setelah ia dengar perkataannya Tang Gak itu.

   "kau datang bersama sahabatmu itu, ajaklah dia menemui aku."

   "Ia ada urusan, ayah, dia telah pergi terlebih dahulu,"

   Tan Hong terpaksa mendusta.

   "Bukankah dia hendak pergi ke lembah selatan dari gunung Tangkula untuk cari ibunya?"

   Tanya lagi Tang Gak. Dengan "dia", paman guru ini maksudkan "dia"

   Wanita. Kembali Tan Hong bercekat.

   "Ha, toasoepee ini!"

   Katanya dalam hati kecilnya.

   "Rupanya toasoepee telah ketemu In Loei, jikalau tidak, tidak nanti ia ketahui In Loei hendak cari ibunya itu..."

   Di samping itu, girang juga Tan Hong, hingga sinar matanya menjadi bercahaya. Ia ada seorang cerdas, tahulah ia bahwa Tang Gak tentunya campur dalam halnya In Loei pergi mencari ibunya itu. Tjong Tjioe sementara itu nampaknya heran.

   "Sahabat macam apa dia itu?"

   Ia tanya.

   "Satu sahabat yang jujur."

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahut Tan Hong.

   "Kalau begitu, lain hari mesti kau ajak dia ke rumah kita,"

   Kata ayah itu.

   "Baik, ayah,"

   Sahut si anak. Di dalam hatinya, ia ada sangat berduka. Bukankah In Loei telah menyatakan tak ingin menemui ayahnya itu? Sampai di situ, Tang Gak berbicara pula.

   "Si iblis Siangkoan itu berdiamnya di puncak tertinggi dari gunung Tangkula sebelah utara,"

   Demikian katanya.

   "Jikalau dari lembah sebelah selatan, di mana ada bertinggal suku bangsa Ngolo, kita pergi kesebelah utara, lalu mendaki puncak utara yang tinggi itu, perjalanan ada sekira lamanya tiga hari. Tadi Thio Thaydjin menanyakan halnya Thian Hoa, dia sebenarnya sudah pergi terlebih dahulu kesana."

   "Kapan Siangkoan Thian Ya menyuruh soepee beramai pergi mengunjungi padanya?"

   Tan Hong tanya.

   "Harinya masih belum ditetapkan,"

   Sahut Tang Gak.

   "Sebelumnya Tjengbeng, Thian Hoa sudah berangkat. Akulah yang menyuruh dia pergi, sebab ia mesti sambangi dulu satu sahabat Rimba Persilatan. Adalah kehendakku, di saat yang perlu, sahabat itu harus muncul untuk menjadi si juru pemisah. Di mana djiesoepee-mu? Aku dengar dia telah tiba juga. Bersama Thian Hoa, aku belum menemui dia."

   "Djiesoepee ada bersama Tjinsamkay Pit To Hoan", Tan Hong beritahukan. Dan ia tuturkan kejadian tadi malam. Mendengar itu, Tang Gak tertawa.

   "Tabeatnya Tiauw Im masih tetap saja aseran seperti dulu-dulu,"

   Kata dia.

   "Baiklah, akan aku berdiam di sini beberapa hari, untuk mencari dia, setelah bertemu dengannya, baharu kita bicara pula."

   "Kalau begitu, besok aku mesti berangkat?"

   Berkata Tan Hong kemudian. Tjong Tjioe terperanjat.

   "Eh, anak Hong!"

   Katanya.

   "Kau baharu pulang, bagaimana kau sudah hendak berangkat pula?"

   "Inilah perlu, ayah,"

   Anak itu jawab.

   "Di sini ada mengenai urusan penting dari guruku, sebagai murid, layak aku berbuat sesuatu untuk soehoe. Kalau soehoe pergi menghadapi bencana, layakkah aku tidak menyusulnya?"

   Tjong Tjioe berdiam. Ia dapat membenarkan perkataan anaknya ini. Bukankah Tan Hong telah dididik sempurna oleh Thian Hoa, gurunya itu? Maka tak dapat ia mencegahnya.

   "Mana kudamu, Tjiauwya saytjoe ma?"

   Kemudian ia tanya.

   "Kuda itu dibawa oleh sahabatku yang disebutkan tadi,"

   Sahut Tan Hong.

   "Ah!..."

   Tjong Tjioe berseru perlahan. Di dalam hatinya, ia kata.

   "Pasti persahabatannya anak ini dengan sahabatnya itu bukan persahabatan biasa saja..."

   Oleh karena ini semakin keraslah niatnya untuk bertemu dengan orang yang dimaksud itu. Keesokan paginya, Tan Hong pamitan dari ayahnya, juga kepada Tang Gak, toasoepee itu.

   "Mari aku antar kau keluar,"

   Berkata Tjong Tjioe, yang terus pegang tangan anaknya. Mereka berjalan dengan perlahan-lahan. Tantai Mie Ming ada bersama, ia menemani Tang Gak. Berdua mereka telah mendahului tiba di pintu depan.

   "Ayah, kau masuklah,"

   Tan Hong minta.

   "Ayah masih harus pergi ke istana."

   "Surat perletakan jabatan telah aku tulis selesai tadi malam, karenanya tak usah aku kesusuh,"

   Sahut sang ayah.

   "Sejak sekarang ini, dengan tidak memangku pangkat, aku jadi merdeka. Aku hanya harapkan kau lekas kembali."

   "Jangan ayah pikirkan aku. Bersama-sama soehoe pasti aku akan kembali."

   "Hanya aku kuatir, setelah kembali, kamu nanti pergi pula,"

   Menyatakan pula ayah itu akan kesangsiannya.

   "Kalau nanti kau pulang, mungkin utusan kerajaan Beng pun telah tiba."

   "Kenapa ayah tidak hendak bersama-sama pulang ke Tionggoan?"

   Tan Hong tanya pula. Ia mengulangi.

   "Semalam telah kita bicarakan urusan itu, maka sekarang tak usah banyak dibicarakan pula!"

   Kata ayah itu, ringkas. Tan Hong menurut, tetapi tiba-tiba ia tanyakan lainnya hal.

   "Ayah,"

   Demikian katanya.

   "apakah ayah masih ingat In Tjeng, itu utusan kerajaan Beng yang dahulu hari?"

   Tjong Tjioe melengak. Tan Hong rasakan telapak tangan ayahnya basah tiba-tiba dengan keringat, tangan itu gemetar. Selang sesaat baharulah Tjong Tjioe seperti sadar, terus ia menghela napas.

   "Ya, sudah tiga puluh tahun..."

   Katanya, seperti kepada dirinya sendiri.

   "Urusan dari tiga puluh tahun seperti terbayang di depan mata... Utusan In itu adalah satu laki-laki yang seumurku baharu pernah menemuinya! Bagaimana aku tidak ingat kepadanya? Kalau tidak salah, sejak dia pulang ke negerinya, sepuluh tahun sudah berselang..."

   "Hanya nasibnya harus disayangkan,"

   Tan Hong tambahkan.

   "Dia pulang ke negerinya, baharu saja dia tiba di pintu negeri, dia sudah dianiaya hingga binasa oleh Ong Tjin yang telah menggunakan firman palsu!"

   Tjong Tjioe agaknya terkejut.

   "Kejadian itu pernah aku mendengarnya,"

   Ia bilang.

   "Ah, itulah disebabkan kesalahanku. Ketika itu aku masih bersemangat muda, aku sangat benci raja Beng, karenanya, aku benci juga semua orang yang bersetia kepada kerajaan Beng itu. Karena itu juga maka In Tjeng telah aku kirim ke tepi telaga yang seperti berlangitkan es dan berbumikan salju, hingga lamanya dua puluh tahun dia mesti mengembala kuda. Selama dua puluh tahun dia minum es dan mengemu salju, toh selama itu tetap dia bersetia kepada kaisar dari Keluarga Tjoe itu. Dia adalah musuhku tetapi aku sangat kagum terhadapnya. Selama tahun-tahun yang belakangan ini, apabila aku ingat padanya, aku jadi bersusah hati. Inilah kesalahanku, ya kedosaanku yang pertama-tama selama hidupku... Aku harap utusan kerajaan Beng yang akan datang itu nanti ada sebagai In Tjeng jantannya!"

   "Ayah tahu tidak,"

   Kata Tan Hong pula.

   "kabarnya In Tjeng itu ada punya dua cucu, yang satu pria, yang lain wanita, keduanya usianya tak berjauhan dengan usiaku."

   "Benarkah itu?"

   Tanya Tjong Tjioe.

   "Aku harap yang aku bisa dapat bertemu dengan mereka itu."

   "Ayah, umpama ada sesuatu yang mereka hendak mohon darimu, sudikah kau menerimanya?"

   Tan Hong berkata pula.

   "Kau adalah mustikaku,"

   Sahut orang tua itu.

   "kalau untuk mereka itu, meski aku kehilangan kau, aku ikhlas sekali!"

   Tiba-tiba ia menghela napas. Ia menambahkan.

   "Jikalau mereka itu masih hidup dan telah menjadi dewasa, pasti sekali mereka ketahui peristiwa engkong-nya itu, pasti sekali mereka akan pandang aku sebagai musuhnya. Oleh karena itu, cara bagaimana mereka hendak meminta sesuatu dari aku?"

   Lega hatinya Tan Hong akan dengar kata-kata ayahnya ini. Ia tahu, itulah kata- kata yang keluar dari hati yang putih murni.

   "Bagaimana caranya maka kau ketahui tentang dua anak itu?"

   Kemudian Tjong Tjioe tanya pula. Sebenarnya ingin Tan Hong tuturkan pergaulannya dengan In Loei, atau mendadak ia pikir baiklah ia bersabar dulu.

   "Aku dapat mendengar pembicaraan di antara sahabat-sahabat kaum kangouw,"

   Demikian ia jawab.

   "Kabarnya mereka itu sudah ikuti satu guru silat yang terkenal dari siapa mereka telah pelajari kepandaian. Cucu lelaki dari In Tjeng itu mungkin bekerja pada pemerintah."

   "Kalau benar begitu, senang hatiku,"

   Berkata Tjong Tjioe.

   "Aku harap saja, utusan Beng yang akan di kirim kemari itu adalah cucunya In Tjeng itu."

   Tan Hong lihat ayahnya benar-benar bergembira. Sementara itu, mereka sudah sampai di samping pintu.

   "Ayah baik-baiklah di rumah,"

   Tan Hong bilang. Lalu, bersama Tang Gak ia keluar dari pintu belakang. Tjong Tjioe senderkan tubuh di pintu, ia masih mengawasi, sinar matanya suram.

   "Sungguh soetee Thian Hoa sabar dan jauh pandangannya,"

   Berkata Tang Gak.

   "Sekarang mengertilah aku kenapa dia sudi tinggal di rumahmu sampai sepuluh tahun. Oleh karena ayahmu suka membantu Tionggoan, nampaknya Yasian tidak akan mampu terbitkan sesuatu gelombang."

   Atas ucapannya soepee itu, Tan Hong hanya angguk-anggukkan kepala.

   "Sekarang kita menuju ke mana?"

   Ia tanya.

   "Tentu saja ke Peklo San!"

   Sahut paman guru itu.

   "Adik kecilmu tengah memikirkanmu..."

   "Oh, jadinya soepee adalah yang menitahkan dia pergi ke Peklo San?"

   "Di atas Peklo San itu ada satu sahabatku,"

   Jawab Tang Gak.

   "In Loei tinggal di rumah penginapan, itulah tidak sempurna, maka itu aku suruh dia pergi menumpang di rumah sahabatku itu."

   Keduanya berjalan dengan cepat, maka tidak lama sampailah mereka di kaki gunung Peklo San itu.

   Hawa ada sangat dingin, daun-daun kuning seperti mengampari bukit itu.

   Tan Hong sangat bergembira, pemandangan itu baginya adalah seperti pemandangan di musim semi...

   Di tengah gunung ada sebuah rumah, temboknya dari tanah liat.

   Kelihatan rumah itu terawat baik.

   Di pintu depan, sambil menyender, ada satu nona.

   Dialah In Loei.

   "Adik kecil! Adik kecil!"

   Tan Hong segera memanggil.

   "Adik kecil, aku sudah kembali!"

   In Loei menyahuti dengan tawar, ia nampaknya lesu. Tang Gak lihat sikap orang itu, ia menggeleng kepala, ia kata dengan perlahan.

   "Kamu berdua adalah sepasang musuh..."

   "Telah aku bicara dengan ayah perihal peristiwa dulu-dulu, ia sangat menyesal,"

   Kata Tan Hong. Ia ingin beritahukan In Loei perihal ayahnya mengharap sangat bertemu dengan dia dan kakaknya, tapi In Loei dengan dingin mengatakannya lebih dahulu.

   "Aku pun menyesal..."

   "Menyesal? Apa yang kau sesahnya?"

   "Kakekku dahulu mengembala kambing,"

   Jawab si nona.

   "Kalau nanti aku bersama kau pergi melihat ibuku, tidak tahu apa yang harus aku katakan..."

   Tan Hong menghela napas. Pantas kalau In Loei menyesal untuk ibunya itu - ibu yang telah terlunta, sangat menderita. Mengawasi sepasang anak muda itu, Tang Gak tertawa.

   "Kamu anak-anak muda, kamu bertemu untuk saling menghela napas, kamu membuatnya aku si tua bangka jadi sangat tidak mengerti!"

   Katanya, Jenaka.

   "Kalau ada omongan, mari masuk ke dalam, di sana kita membicarakannya."

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Masih Tan Hong menghela napas.

   "Untukku, walaupun harus menginjak api, akan aku turut kau mencari ibumu itu,"

   Ia kata pada In Loei.

   "Kalau nanti kita sudah bertemu, apa juga kata ibumu, bagaimanapun ia tegur aku, akan aku terima saja..."

   Tiba-tiba saja In Loei tertawa geli.

   "Untuk apa ibuku tegur kau?"

   Tanya dia.

   "Ibuku itu, seumurnya belum pernah menegur orang!"

   Satu kali si nona tertawa, maka sang awan gelap seperti juga lantas tersapu sinarnya Batara Surya! Maka dengan hati lega, mereka masuk ke dalam rumah.

   Sahabatnya Tang Gak itu adalah seorang ahli silat suku bangsa Hui yang tinggal di Mongolia ini, seorang yang ramah tamah sekali.

   Begitu ia sambut tetamunya, lantas ia pergi ke belakang, untuk mencuci dan mensesel dagingnya seekor kambing hutan yang kemarinnya ia dapat dari memburu, untuk di matangi, dengan apa ia jamu tetamunya itu.

   Tak lupa ia menyediakan araknya.

   "Samsoepee dan soehoe telah lewat di sini kemarin,"

   Kata In Loei selagi mereka duduk bersama.

   "Tentang itu telah aku beritahukan Tan Hong,"

   Kata Tang Gak.

   "Sekarang aku masih hendak berdiam beberapa hari di sini, untuk cari djiesoepee-mu serta Pit To Hoan, setelah, menemukan mereka baharu aku akan langsung kepuncak selatan dari gunung Tangkula, untuk menghadiri pertemuan. Kau, In Loei, setelah kau dapat cari ibumu, harus kau lekas bersama Tan Hong menyusul ke sana. Mungkin sekali kita, orang-orang tua dan muda dari dua tingkat turunan, akan bersama-sama menempur iblis tua bangka itu!"

   "Apakah benar si tua bangka iblis itu ada demikian liehay?"

   In Loei tanya.

   "Sekalipun kita kepung padanya, aku sangsikan kemenangan ada di pihak kita!"

   Sahut Tang Gak.

   "Kalau begitu, bukankah dia jadi ada terlebih liehay daripada si wanita tua dari hutan bambu?"

   Tanya pula si nona. Tang Gak heran, ia melengak.

   "Wanita tua siapakah yang kau maksudkan itu?"

   Ia menegaskan. In Loei pun segera ingat perkataannya Thian Hoa bahwa kecuali cuma toasoepee ini yang ketahui hal ihwalnya si wanita tua, maka itu ia lantas menjelaskannya.

   "Dia adalah seorang tua yang tak sudi memberitahukan she dan namanya,"

   Demikian penyahutannya. Dia pandai menggunai senjata rahasia yang berupa daun bambu. Toasoepee, tahukah siapa dia itu?"

   Nona ini lalu menjelaskan pertemuan di hutan bambu itu.

   "Ah, aku tidak sangka lootjianpwee itu masih ada di dalam dunia ini"

   Berkata si paman guru setelah ia dengar semua.

   "Nyata dia masih tak melupai segala kejadian dahulu hari itu. Oleh karena dia muncul, di belakang hari mungkin dia campur tangan, dan itu artinya urusan bisa menjadi bertambah sulit..."

   "Sebenarnya siapakah dia?"

   In Loei tanya pula.

   "Dia itu bersama soetjouw-mu serta si tua bangka iblis ada punya suatu urusan, hanya kita yang menjadi anak muda, tak tepat untuk kita membicarakan urusan mereka itu. Di belakang hari kau akan ketahui sendiri."

   Demikian jawaban Tang Gak.

   In Loei tidak berani mendesak untuk menanyakannya terlebih jauh.

   Tentu saja, sendirinya ia jadi masgul.

   Sehabis bersantap, sang waktu sudah tengah hari.

   Keras sekali niatnya In Loei untuk mencari ibunya, maka ia desak Tan Hong untuk segera berangkat.

   Karena itu, sebentar kemudian keduanya sudah pamitan dari tuan rumah serta toasoepee mereka, untuk berangkat terlebih dahulu.

   Sudah sekian lama Tjiauwya saytjoe ma dibawa In Loei ke gunung Tangkula ini, dan sekarang kuda itu melihat Tan Hong, lantas saja ia angkat kepalanya dan meringkik keras dan panjang.

   Tan Hong usap-usap lehernya binatang tunggangannya itu.

   "Sekarang aku membutuhkan kau pula!"

   Katanya sambil tertawa.

   Kedua pemuda pemudi naik atas masing-masing kudanya.

   Lantas mereka mulai dengan perjalanannya.

   Orang berada di dalam musim dingin yang dekat berakhir, merekapun membuat perjalanan ke Utara, maka itu, mereka menghadapi angin Utara yang hebat.

   Jalan penuh dengan salju, hingga jagat menjadi putih anteronya.

   Di tengah jalan juga sedikit sekali orang yang berlalu lintas.

   Namun dalam keadaan seperti itu, Tan Hong melakukan perjalanannya dengan hati terbuka, di atas kudanya ia mainkan cambuknya, dengan nada tinggi ia perdengarkan suaranya.

   "Cuma terdengar denyutan dua hati, yang putih bagaikan salju, yang tak sedikit jua dibiarkan dikotori debu!..."

   "Hai, sioetjay tolol!"

   Berkata In Loei sambil bersenyum.

   "Kau menyebut-nyebut salju, kalau sebentar sang angin membawa datang salju itu, baharulah kau tahu rasanya hawa dingin! Nanti kau sukar berjalan..."

   Tan Hong bersenyum, ia tidak sahuti nona itu.

   Manjur mulutnya In Loei, belum lama atau sang angin mulai meniup-niup, membawa benda halus yang dingin rasanya itu.

   Beterbanganlah bunga salju, yang terbawa angin yang meniupnya lantas menjadi menderu-deru.

   Tan Hong tidak hiraukan gangguan salju itu, ia larikan kudanya yang diikuti In Loei.

   Maka itu, basah kuyup tangan baju mereka, penuh saljulah pelana mereka.

   Benar-benar Tan Hong tidak takut hawa dingin, ia pentang bajunya menyambut hawa yang dingin itu dengan dadanya.

   Ia buat main cambuknya, berulang kali ia berseru kegembiraan! Ia baharu berhenti ketika ia dengar suara nona kawannya.

   "Eh, kau dengar!"

   Demikian In Loei, yang rendengkan kuda mereka.

   "Kau dengar! Itu suara angin atau suara siulan?..."

   Tan Hong segera pasang kupingnya. Segera ia menjadi keheranan.

   "Itulah suara siulan yang bercampuran suara angin...."

   Katanya kemudian.

   "Eh, ada juga suara kaki kuda yang berlari-lari seperti saling kejar... Orang yang bersiul itu mestinya orang yang liehay ilmu dalamnya... Mari kita lihat!"

   Dan ia segera kaburkan kudanya.

   In Loei mengikuti dibelakangnya.

   Lari belum lama, jauh di depan mereka, di antara tanah datar bersalju, mereka tampak dua orang tengah bertarung seru, keduanya bertubuh besar.

   Di samping mereka, di pinggiran, ada tiga ekor kuda yang bagus, penungganganya adalah dua wanita serta seorang pria yang tubuhnya besar dan kekar juga.

   "Rasanya mereka adalah orang-orang yang kukenal..."

   Kata Tan Hong, yang terus bedal kudanya, maka di lain saat, tibalah mereka di tempat pertempuran itu, hingga ia melihat dengan tegas, benarlah terkaannya, mereka adalah orang-orang yang dikenal olehnya, ialah Hek Pek Moko dengan isteri-isterinya bangsa Iran.

   Dan yang sedang berkelahi itu adalah Hek Moko.

   Hanya, untuk keheranannya, ia kenali juga lawannya Hek Moko itu, yang bukan lain daripada Kong Tiauw Hay, bekas tjongkoan dari istana kaisar Beng, dari Kaisar Kie Tin! Kong Tiauw Hay itu dandan sebagai seorang Mongolia, akan tetapi sekarang bajunya telah compang-camping, romannyapun sudah tidak keruan macam, dia nampak lebih perok.

   Dia memang kalah tenaga dari Hek Moko, maka itu setibanya Tan Hong belum lama, ia telah kena dibikin terjungkal oleh lawannya! Tan Hong pun heran, kenapa mereka itu berkelahi.

   Tengah keheranannya itu ia lihat Kong Tiauw Hay, setelah berbangkit bangun telah menghunus sebatang golok, yang dinamakan golok kuda - matoo, dengan bengisnya ia membacok musuhnya.

   "Hai, begal jahat, kau berani turun tangan terhadap datomu !"

   Demikian bekas tjongkoan itu perdengarkan suaranya yang keras.

   "Bagaimana kau berani curi barangku? Lekas kau kembalikan barangku, perkara ini aku akan bikin habis!"

   Hek Moko tapinya tidak takut, dia malah tertawa gelak-gelak. Dengan sebat dia keluarkan senjatanya, ruyung Lekgiok thung, dengan itu ia menangkis.

   "Traang!"

   Demikian satu suara nyaring, lelatu api pun berhamburan. Dan goloknya Tiauw Hay kentop! "Belum pernah aku ketemu dato!"

   Hek Moko kata sambil tertawa pula.

   "Kau bicaralah dengan aku secara baik-baik, kita mungkin masih dapat berdamai. Jikalau kau tetap hendak berlagak kosen - hm! hm! - kau lihatlah, kau dapat bacok aku mampus atau ruyungku akan mengemplang remuk paha anjingmu!"

   Hek Moko bergurau tetapi ia pun berkelahi dengan hebat, sebab Tiauw Hay serang ia bertubi-tubi, halmana menandakan bekas tjongkoan ini gusar bukan main. Tan Hong kembali menjadi heran. Hek Pek Moko adalah "saudagar-saudagar besar,"

   Tak sudi mereka bekerja kecil, maka anehlah kenapa mereka mau curi barangnya Kong Tiauw Hay.

   Masih ada lagi satu keanehan, yaitu meski Hek Moko bertempur hebat, nampak nyata dia tidak niat menurunkan tangan jahat terhadap lawannya itu...

   Ini disebabkan Tiauw Hay bukanlah satu tandingan yang tepat.

   Tan Hong lantas berpikir.

   "Kong Tiauw Hay ini memang satu manusia rendah, meski demikian ia pernah aku kenal. Entah apa sebabnya yang utama maka kedua orang ini jadi berkelahi... Baik aku memisahkannya."

   Pikiran ini segera diwujudkan.

   Tan Hong majukan kudanya, untuk menyelak di antara mereka.

   Justeru itu, Kong Tiauw Hay berteriak keras, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak.

   Sementara itu Pek Moko, yang sejak tadi menonton saja, telah lihat Tan Hong yang ia kenali, ia menjadi girang luar biasa.

   "Toako. Thio Kongtjoe datang!"

   Ia serukan kakaknya.

   "Bagus Thio Kongtjoe datang!"

   Hek Moko pun berseru. Lalu ia teruskan pada Tiauw Hay.

   "Coba kau kasih lihat beberapa mustikamu itu padanya, dia dapat mengenali atau tidak!"

   "Mustika apakah itu?"

   Tanya Tan Hong, yang menjadi tertarik hati. Menampak kedatangannya Tan Hong, Kong Tiauw Hay menjadi terkejut, tapi, berbareng iapun mengharap anak muda itu nanti suka bantu ia. Ia lantas berseru.

   "Dua penjahat ini telah curi mustikaku! Tan Hong, tolong kau berikan pertimbanganmu yang adil!"

   "Kau ada punya mustika apa?"

   Tanya Tan Hong, sambil ia lompat turun dari kudanya. Ia jadi semakin tertarik hati, hingga ia ingin sekali ketahui duduknya hal. Sekonyong-konyong, Hek Moko tertawa.

   "Benar, kau ada punya mustika apa?"

   Katanya dengan keras. Pertanyaannya Tan Hong membuat ia dapat pikiran.

   "Kemarin kau berkeras mengatakan bahwa kau tidak punya mustika apa-apa, kenapa sekarang kau akui mempunyainya?"

   Tiauw Hay melengak, tapi ia sadar lekas.

   "Tan Hong, itu memang mustikaku!"

   Ia berseru.

   "Dari mana kau dapatkan mustika itu?"

   Tan Hong tanya pula. Belum sempat bekas tjongkoan itu memberikan penyahutannya, Pek Moko telah keluarkan satu bungkusan kuning, yang disodorkan kepada si anak muda.

   "Kau lihat, semuanya ada di dalam bungkusan ini!"

   Dia bilang.

   "Aku sangsikan asal usulnya beberapa mustika ini! Mungkin jahanam ini dapat dari curian! Coba kau periksa, kongtjoe, mungkin kau bisa memberikan keterangan kepada kami."

   Hatinya Tan Hong tergerak.

   Pernah ia lihat bungkusan kuning itu.

   Ia lantas saja ingat.

   Selama peperangan di Touwbokpo, selagi tentera Beng dikurung musuh, Kong Tiauw Hay melarikan diri, Tiauw Hay menumpang bermalam di rumah seorang tani, di situ dia ketemu Tan Hong dan In Loei.

   Ketika itu Tiauw Hay menggendol bungkusan kuning itu di bebokongnya, bungkusan itu berisi uang goanpo emas.

   Pernah Tan Hong lemparkan bungkusan itu, tapi Tiauw Hay memungutnya, terus dibawa kabur.

   Maka berpikirlah Tan Hong.

   "Mustahil Hek Pek Moko kepincuk beberapa potong goanpo itu?"

   Karena ini, ia lantas buka bungkusan itu, atau segera matanya menjadi silau.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di dalam bungkusan itu, kecuali belasan potong goanpo emas, ada lagi beberapa barang berharga lainnya! Ialah pekgiok sanhoe, yang sangat bercahaya, yang tak ada cacatnya.

   Batu itu jauh terlebih bagus daripada sanhoe yang In Loei berikan kepada Tjio Tjoei Hong sebagai pesalin.

   Yang satu lagi adalah sebatang tusuk konde dengan dua batu permata yang dinamakan "mata kucing"

   Yang emasnya berukirkan empat huruf "Hauw Kim Honghouw,"

   Artinya "Permaisuri Hauw Kim."

   Yang lainnya lagi adalah sebuah permata singa-singaan, yang terbungkus kertas. Tapi yang paling berharga adalah sebuah cap terbuat dari batu kumala, yang berukirkan enam huruf "Tjeng Tong Hong Tee Tjie In,"

   Atau artinya "Cap Kaisar Tjeng Tong."

   Itulah cap yang hanya sebawahan sedikit dari gioksie, cap kerajaan.

   Lagi beberapa yang lainnya adalah barang kuno dari jaman Siang serta serenceng rantai mutiara, yang harganya tak ternilai, sebab semua itu adalah permata-permata dari dalam istana.

   Mau atau tidak, Tan Hong menjadi tertawa tawar.

   "Dari mana kau dapatkan semua ini?"

   Akhirnya ia tanya bekas tjongkoan itu.

   "Semua itu adalah hadiah bertahun-tahun dari Sri Baginda terhadapku,"

   Sahut Tiauw Hay.

   "Ya, sampaipun cap pribadi kaisar dan tusuk konde permaisuri juga dihadiahkan padamu!"

   Katanya si anak muda, yang tertawa mengejek.

   Sekarang telah ia dapat menduga, ketika Kong Tiauw Hay kabur dari Touwbokpo, dia tentunya kabur sambil curi barang-barang berharga dari kaisar, berikut cap pribadi raja itu serta tusuk konde permaisuri yang dikasihkan kepada kaisar selaku tanda mata.

   Rupanya, di waktu dia ketemu si anak muda di rumah si orang tani, cap dan tusuk konde itu belum berani ia bungkus jadi satu dalam bungkusan uang, karenanya Tan Hong tidak lihat itu.

   Terkaan Tan Hong ini tidak keliru.

   Tapi Tiauw Hay bukan mencuri untuk mendapatkan uang saja, iapun ada kandung satu maksud lain.

   Tiauw Hay duga Tionggoan pasti bakal dirampas bangsa Watzu, bahwa negara tentu akan jadi kalut, maka dia memikir untuk mencuri semua permata itu, supaya dia bisa lari dan umpetkan diri, untuk hidup sebagai hartawan.

   Nyata sangkaannya negara akan musnah itu meleset adanya.

   Yasian kalah dan mundur dan raja baharu telah dinobatkan.

   Karena ini, hatinya jadi ciut.

   Justeru itu, kedua paman gurunya, yaitu Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam dapat ditakluki Thio Tan Hong, mereka bekerja kepada Ie Kiam, dia menjadi terlebih kuatir pula.

   Dia takut nanti kedua paman guru cari padanya, dia bisa dipersalahkan merat dari medan perang.

   Kekuatiran yang lain adalah kalau-kalau raja yang baru nanti tarik panjang mustika-mustika kaisar Tjeng Tong yang dia curi itu.

   Maka, nekatlah dia.

   Dia kabur ke Mongolia.

   Dia bercita-cita membeli tanah di Mongolia, untuk membangun suatu usaha peternakan, untuk hidup mewah dan aman.

   Tentu saja sulit untuk dia mengeluarkan cap pribadi raja dan tusuk konde permaisuri, maka dia memikir hendak menghadiahkannya kepada Yasian, supaya Yasian suka berikan dia suatu pangkat.

   Banyak macam cita-citanya itu yang belum dapat dia wujudkan, maka dia berada dalam keragu-raguan.

   Malang baginya, di tengah jalan dia berpapasan dengan Hek Pek Moko, dua saudara saudagar yang matanya sangat liehay, yang telah berpengalaman selama beberapa puluh tahun.

   Dua saudara Moko itu menjadi curiga.

   Mulanya mereka niat membeli permata itu tetapi Tiauw Hay menyangkal keras bahwa dia mempunyai barang permata, Hek Pek Moko penasaran dan mendongkol, maka malamnya mereka satroni bekas tjongkoan itu dan curi bungkusannya.

   Tiauw Hay kelabakan, tapi dia pun liehay, dia menduga jelek pada Hek Pek Moko, yang dia terus cari, hingga kesudahannya kedua pihak ketemu di tengah jalan itu dan jadi bertempur.

   Bungkam Tiauw Hay ditegur Tan Hong.

   "Kecewa kau menjadi taylwee tjongkoan1."

   Tan Hong tegur.

   "Raja perlakukan baik padamu, di saat raja dalam bahaya terkurung musuh, bukannya kau membela mati- matian, kau justeru meninggalkannya lari sambil curi juga barang-barang berharganya. Kedosaanmu karena kabur saja, bahagianmu adalah bahagian mati, itu ditambah pula dengan pencurian!"

   Hek Moko menjadi tertawa bergelak-gelak.

   "Benar-benar kau perolehnya dari mencuri!"

   Dia berkata, dia mengejek.

   "Oh, kau kiranya juga satu taylwee tjongkoan1. Baik, mari rasai ruyungku ini!"

   Kata-kata itu ditutup dengan satu serangan.

   Dengan terpaksa Kong Tiauw Hay melakukan perlawanan pula.

   Thianmo Thunghoat dari Hek Moko liehay sekali, dan sekarang ia menyerang dengan sungguh-sungguh, tidak separuh memain seperti tadi, maka itu, baharu lima jurus, Tiauw Hay sudah kewalahan, walaupun dia telah keluarkan antero kepandaiannya.

   Tepat pada jurus ke enam, goloknya bekas tjongkoan itu kena disampok terlepas dan terpental, menyusul mana, Lekgiok thung turun terus untuk meminta jiwa! Tan Hong terkejut, hatinya tak tega.

   "Ampuni dia!"

   Ia berseru.

   "Rusakkan saja ilmu silatnya!"

   Ruyungnya Hek Moko turun terus, tepat mengenai pundaknya Tiauw Hay meskipun dia telah mencoba mengegos tubuhnya.

   Dia menjerit keras dan rubuh, tulang piepee-nya telah patah remuk, habis musnalah kepandaiannya Kimtjiong tiauw, ilmu kebal itu, turut musnah juga semua kepandaian silatnya, hingga selanjutnya dia jadi seorang biasa yang bercacat.

   "Djin wie tjay soe, niauw wie sit bong, itulah bagianmu!"

   Tan Hong berkata.

   "Hari ini kau tidak sampai binasa, inilah untungmu! Maka selanjutnya baiklah kau mencoba untuk menjadi orang baik-baik!..."

   Tiauw Hay merasakan tepatnya teguran Tan Hong itu.

   Memang - djin wie tjay soe, niauw wie sit bong = manusia mati karena harta, burung mampus sebab makan.

   Maka dengan paksakan melawan rasa sakitnya, ia bangun berdiri untuk terus lari terbirit-birit.

   Dari seorang "berharta besar,"

   Ia menjadi seorang rudin dan bercacat juga, untuk hidupnya selanjutnya ia manda menjadi kuli di sebuah perusahaan pengembalaan, di mana pun, saking berduka, ia kemudian mati mereras...

   Sekaburnya Kong Tiauw Hay, Hek Pek Moko membuat pertemuan dengan Tan Hong.

   Mereka saling unjuk hormat, lalu kedua pihak sama-sama tertawa riuh.

   "Kamu datang dari mana?"

   Kemudian Tan Hong tanya.

   "Kami baharu pulang dari India di mana kami berusaha, baharu kemarin dulu kami tiba di gunung Tangkula,"

   Sahut Hek Moko.

   "Bukankah itu wilayahnya suku bangsa Ngolo?"

   Kata Tan Hong, yang tiba-tiba ingat sesuatu.

   "Apakah kau bertemu kepala suku Ngolo itu?"

   Pek Moko tertawa.

   "Kami adalah kaum saudagar, tak sempat kami menghadap kepala suku itu."

   Dia menyahuti.

   "Ada juga lain rombongan orang besar yang pergi berkunjung kepada kepala suku bangsa itu! Selama beberapa hari ini, dia sedang sangat repot..."

   "Siapakah yang mengunjungi kepala suku itu?"

   Tan Hong tanya.

   "Kabarnya utusannya Yasian."

   "Oh!"

   Seru anak muda itu, tertahan.

   "Utusannya Yasian?"

   "Kabarnya Yasian hendak beli suku itu, untuk diajak sama-sama menentang Pangeran Atzu,"

   Kata Pek Moko.

   "Aku dengar hal ini di tengah jalan, dari satu sahabat. Nampaknya di dalam negeri Watzu bakal terbit kekalutan. Kawanku kuatir terhalang perjalanannya, mereka siap sedia untuk pergi ke Selatan. Eh, ya, ayahmu adalah menteri muda dari Watzu, apakah kau tidak dengar kabar halnya Yasian itu?"

   "Aku dapat dengar, hanya sedikit,"

   Tan Hong jawab. Lalu mendadak ia ingat sesuatu. Maka terus ia berkata kepada dua saudara itu.

   "Maukah kau kasihkan dua rupa barang itu padaku, yaitu cap pribadi kaisar dan tusuk kondenya permaisuri? Ayahku ada punya milik di ibu kota Watzu, biarlah aku tukar itu dengan dua rupa barang ini."

   Hek Moko tertawa.

   "Oh, tidak, tidak hendak aku jual!"

   Ia kata. Dua barang itu, yang satu adalah mustika negara, yang lain perhiasannya permaisuri, Tan Hong hendak beli itu, untuk nanti dikembalikan kepada Kaisar Tjeng Tong, tetapi Hek Moko menolak, ia menjadi tidak gembira. Kembali Hek Moko tertawa.

   "Barang itu memang tidak hendak aku jual, tetapi suka aku menghadiahkannya kepadamu!"

   Ia berkata pula.

   "Bukankah benda ini kami dapat pungut di tengah jalan? Tidak hanya itu dua barang, juga semua bungkusan ini, semua hendak aku hadiahkan kepadamu!"

   Tan Hong heran.

   "Apa katamu?"

   Dia tanya. Lagi-lagi Hek Moko tertawa.

   "Apakah di kolong langit ini hanya kau seorang yang diperkenankan untuk berlaku murah hati?"

   Dia tanya.

   "Apakah hanya kau yang boleh mengamal? Dahulu hari kau telah pulangkan barang-barang pendaman yang aku kalah bertaruh denganmu, dari itu, apa artinya beberapa rupa barang ini? Karena barang ini dapat kau pergunakan, kau ambillah semua!"

   Matanya Tan Hong memain, ia tertawa.

   "Baiklah,"

   Katanya.

   "Kamu baik hati sekali, djiewie, aku tidak sungkan-sungkan lagi. Sekarang aku hendak minta djiewie tolong aku dalam satu urusan..."

   Hek Pek Moko biasanya tidak sungkan terhadap siapa juga, tetapi terhadap Tan Hong mereka kagum dan takluk, maka itu, dengan lekas mereka berikan jawabannya.

   "Katakanlah, apakah itu?"

   Berkata Hek Moko.

   "Walau urusan itu ada sebesar langit, kami berdua saudara sanggup melakukannya!"

   Tan Hong bersenyum.

   "Itulah bukan urusan sebesar langit!"

   Katanya.

   "Aku cuma hendak minta kamu antarkan sepucuk suratku. Surat itu harus disampaikan sambil lalu."

   "Kepada siapakah surat itu mesti diterimakan-nya?"

   Hek Moko tanya.

   "Bukankah dalam perjalananmu ini kamu akan melalui wilayah barat dari Atzu Tiewan?"

   Tan Hong menegaskan.

   "Memang. Jadi kau hendak kirim surat pada Pangeran Atzu?"

   Pek Moko pun menegaskan.

   "Benar."

   "Baiklah! Mana suratmu itu?"

   Di tengah jalan itu tidak ada kertas dan alat tulisnya, maka tidak ada lain jalan, Tan Hong ambil sepotong kulit kambing di atas mana ia "menulis"

   Dengan ujung pedangnya. Setelah selesai, surat istimewa itu ia serahkan pada Hek Moko berikut dua rupa batu permata.

   "Aku minta surat ini berikut dua rupa mustika ini kau serahkan pada Atzu,"

   Ia bilang. Hek Moko menyambuti, ia simpan surat dan permata itu.

   "Nah, sampai kita ketemu pula!"

   Kata dia kemudian, yang bersama adiknya terus pamitan dari si anak muda.

   "Sampai ketemu pula!"

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Balas Tan Hong. Maka di situ mereka berpisahan.

   "Toako, kau tulis surat apa itu?"

   Tanya In Loei sesudah mereka berada berdua saja. Sejak tadi ia cuma jadi penonton.

   "Aku mewakilkan bangsa Ngolo membuat perserikatan kepada Pangeran Atzu,"

   Sahut Tan Hong. In Loei heran.

   "Kenapa kau ketahui suku Ngolo itu hendak berserikat kepada Pangeran Atzu?"

   Ia tegaskan. Tan Hong tertawa.

   "Hal itu aku tahu pasti,"

   Ia jawab.

   "Memang hal itu telah aku rencanakan. Lagi tiga hari, kau akan ketahui semua!"

   In Loei masih tidak mengerti tetapi ia tidak menanyakan lebih jauh.

   Ia hanya kasih lari kudanya, berendeng dengan kudanya si anak muda.

   Kuda mereka bisa lari tiga sampai empat ratus lie setiap hari meskipun jalanan bersalju dan licin, angin meniup-niup, maka itu, tiga hari kemudian, tibalah mereka di selatannya gunung Tangkula.

   Di sini, selagi memasuki lembah, baharulah mereka jalankan kudanya perlahan-lahan.

   In Loei umbar matanya.

   Inilah tempatnya semasa ia kecil.

   Samar-samar ia masih ingat segala apa.

   Demikian ia tunjukkan ini dan itu kepada Tan Hong.

   "Di sana di bawah pohon besar itu, aku biasa main petak bersama anak-anak tetanggaku,"

   Demikian katanya.

   "Dan di tepinya batu besar itu, suka aku berebahan diri."

   Akan tetapi sehabisnya kata-kata itu, mata nona ini mengembeng air mata. Ingat masa kecilnya, ia jadi gembira berbareng duka.

   "Segera bakal kau menemui ibumu, untuk apa kau menangis?"

   Kata Tan Hong. In Loei susuti air matanya.

   "Aku terlalu gembira!"

   Ia jawab.

   "Bagaimana pendapatmu, baik atau tidak kalau aku ajak kau bersama menemui ibuku?"

   "Kenapa tidak baik?"

   Sahut Tan Hong.

   "Apakah kau kuatir ditertawakan ibumu?"

   "Bukan! Aku hanya kuatir ibu ketahui kau adalah musuh keluarga kami!"

   Likat In Loei ketika ia mengatakan itu. Iapun berduka.

   "Asal kau tidak pandang aku sebagai musuh, ibumu tentu akan anggap aku sebagai keponakannya."

   In Loei ingat ibunya adalah seorang halus budi pekertinya, jikalau ia tuturkan jelas tentang Tan Hong, mungkin ibu itu tidak gusar, bila ibu itu menerima baik, maka tak kuatir ia akan tentangan dari kakaknya. Mengingat ini, ia jadi bersenyum.

   "Kau tertawakan apakah?"

   Si anak muda tanya.

   "Segera aku akan bertemu ibuku, bagaimana aku tidak bergirang?"

   Si nona kata.

   Tapi sejenak saja, lenyap wajah gembiranya.

   Di detik itu ia ingat ibunya ada di rumah kepala suku, bekerja sebagai bujang, sebagai perawat kuda...

   Bukankah pekerjaan itu rendah dan hidup ibunya bersengsara? Maka ia jadi berduka dengan tiba-tiba, kedua alisnya mengkerut...

   Tan Hong mengawasi, ia perlihatkan roman Jenaka.

   "Apa artinya sebentar ketawa, sebentar menangis?"

   Ia menggoda.

   "Dari mana datangnya kesusahan hati?"

   In Loei terpaksa bersenyum.

   "Kau juga pernah bertingkah laku demikian!"

   Katanya.

   "Nyatalah makin lama kita jadi makin mirip satu pada lain!"

   Kata si anak muda. Mukanya In Loei jadi bersemu dadu.

   "Bisa jadi!"

   Kata dia.

   "Sudahlah, aku tidak hendak tertawa lagi kepadamu! Mari kita lekas pergi menemui kepala suku!"

   Tan Hong tertawa, ia larikan kudanya.

   Belum sepasang pemuda pemudi ini tiba di rumah kepala suku, kepala suku itu telah lebih dahulu terima warta perihal mereka.

   Inilah disebabkan mereka asing dan kuda merekapun luar biasa, hingga dengan sendirinya mereka menarik perhatian penduduk di situ.

   Demikian setibanya mereka, sebelum mereka minta pengawal pintu mewartakan kedatangan mereka, tuan rumah, ialah kepala suku, sudah memberi titah untuk pimpin mereka masuk, untuk mengadakan pertemuan.

   


Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Pendekar Pendekar Negeri Tayli -- Jin Yong Kisah Si Rase Terbang -- Chin Yung

Cari Blog Ini