Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 21


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 21



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Berkata Wotjaha selagi si nona umbar kedukaannya.

   "Jikalau kau tetap tidak hendak undurkan diri, aku akan berlaku tak sungkan- sungkan lagi! Mari lekas ikut aku pulang!"

   Hebat kedukaannya Topuhua, lantas ia tak dapat menangis pula.

   Dengan tangan bajunya ia seka air matanya, tapi ia tak geser tubuhnya dari mulut meriam itu.

   Mukanya telah menjadi pucat, lenyap wajahnya yang cantik manis, sekarang romannya menjadi seram menakuti...

   "Ma I Tjan, kau tarik dia, singkirkan padanya!"

   Menitah Ngochito, yang cuma taat kepada titah, hingga hilang rasa peri kemanusiaannya. Ia tak ingat lagi kepada puteri majikannya itu. Ma I Tjan ini adalah pahlawan yang tubuhnya telah dicacahkan huruf "bangsat"

   Oleh Tan Hong, ia memang tak dapat jalan untuk melampiaskan penasarannya itu, sekarang ia saksikan kelakuannya si puteri, ia menjadi sengit.

   Ia memang ingin sangat memusnahkan Tan Hong serumah tangga.

   Tentu saja ia menjadi tidak senang dan gusar ada orang menghalangi kebinasaannya musuhnya itu! Maka itu, justeru ada titahnya Thaysoe Yasian, ia menjadi besar nyalinya.

   Ia terus maju menghampirkan Topuhua, untuk sambar tangan bajunya guna ditarik! "Foei!"

   Si nona berludah.

   Maka tubuhnya Ma I Tjan menjadi kotor.

   Pahlawan itu melengak sebentar, lalu ia gerakkan tangannya untuk mencekuk bahu nona itu.

   Ia berhasil, hingga kedua tangan Topuhua kena di telikung ke belakang sebelum nona itu sempat berdaya.

   Ma I Tjan gagah melebihi nona itu, gerakannya pun sangat liehay, tidak heran kalau dia berhasil dengan aksinya itu.

   Topuhua juga tidak sangka orang ada demikian berani, ia menjadi tidak berdaya.

   Akan tetapi kemurkaannya telah meluap-luap, ia menjadi nekat.

   Justeru tubuhnya dibetot, ia sekalian tubrukkan diri kepada tubuh Ma I Tjan.

   Ketika ini ia gunai untuk menggigit pundaknya pahlawan itu! Ma I Tjan kaget bukan kepalang, sakitnya pun bukan buatan! Inilah hal yang tidak pernah disangka pahlawan ini.

   Memang orang bangsa Mongol tidak keras adat istiadatnya sebagai bangsa Han yang melarang wanita dan pria sembarang "berjabat tangan"

   Atau menempelkan anggauta tubuh satu dengan lain, tetapi biar bagaimana, Ma I Tjan tahu, ia tetap ada di antara majikan dan hamba dengan tuan puteri ini. Saking kaget dan sakit, ia terpaksa lepaskan cekalannya.

   "Jangan pantang-pantang lagi! Hajar dia sampai pingsan!"

   Wotjaha memerintahkan sambil berseru. Ma I Tjan lantas sadar, ia turut titah. Ia lantas lompat maju kepada si nona. Tiba-tiba! "Ser! Ser!"

   Demikian suatu suara menyambar.

   Topuhua membekal panah tangan, barusan kedua tangannya tertelikung, dia tidak berdaya, sekarang setelah merdeka, justeru Ma I Tjan maju, dia lantas saja menyerang.

   Panah itu adalah panah beracun, yang biasa dipakai di waktu berburu binatang alas.

   Sekarang panah itu digunakan dari jarak yang dekat sekali.

   Maka tanpa ampun lagi Ma I Tjan kena terpanah, masing-masing di bahagian kedua hatinya.

   Akan tetapi Topuhua juga telah kena terpukul sampai rubuh.

   Wotjaha kaget, dia lompat maju.

   Topuhua berlompat bangun sebelum wakilnya Yasian itu sampai kepadanya, dia berteriak.

   "Thio Toako, bukannya aku tidak hendak menolongi kau tetapi aku tidak berdaya dengan setakar tenagaku!"

   Lalu dengan goloknya ia tikam dadanya sendiri, di waktu tubuhnya terhuyung-huyung hendak jatuh, ia jambret meriam dengan kedua tangannya, hingga ia dapat peluki mulut meriam itu! Tan Hong berada di atas tembok pekarangannya, dia menyaksikan kejadian itu dengan tegas sekali, ia menjadi tercengang.

   Sungguh ia tidak sangka si nona menyintai dia demikian rupa, hingga sekarang nona itu berkurban untuknya.

   Tentu saja, ia menjadi sangat berduka, lenyap kesannya yang tak manis terhadap puteri Yasian itu.

   Tadinya ia menyangka si nona centil.

   Mendadak ia menangis.

   "Oh, adik Topuhua..."

   Ia mengeluh.

   "Aku terima cintamu!..."

   Akan tetapi Topuhua telah binasa, dia tidak dapat mendengar suara kekasihnya itu yang memanggil dia adik...

   Topuhua tidak terbinasa sendirian, Ma I Tjan pun melayang jiwanya bersama ia.

   Parah lukanya pahlawan itu disebabkan sepasang panah beracun, jiwanya putus seketika itu juga, hingga tubuhnya tidak berkutik lagi.

   Ma I Tjan terbinasa, Topuhua juga bunuh diri, inilah di luar dugaannya Wotjaha beramai.

   Mereka itu semua tergugu, tidak ada yang membuka suara.

   Baharu kemudian, Wotjaha yang pecahkan kesunyian.

   "Singkirkan tubuhnya itu! Tembak!"

   Demikian titahnya pula.

   Ngochito maju, dia kerahkan tenaganya akan tarik kedua tangannya si nona, supaya pelukannya nona itu kepada meriam terlepas.

   Nona itu mengucurkan banyak darah yang membasahi meriam.

   Menampak demikian, Ngochito memalingkan mukanya, tidak berani ia mengawasi wajah bengis dari puteri itu, yang mati tak puas.

   Dengan hanya satu gerakan tangan, ia bikin tubuh si nona jatuh di sisi meriam.

   Setelah itu, ia gantikan si serdadu tukang tembak, ia nyalakan sumbu, ia sulut meriamnya, lantas ia lompat jauh ke samping! Tan Hong juga tidak dapat menonton lagi.

   Dia lompat turun untuk dengan tangannya yang kiri menarik ayahnya dan dengan tangan kanan membetot Tantai Mie Ming.

   Sembari tertawa, tertawa sedih, ia kata.

   "Ayah! Tantai Tjiangkoen1. Hari ini mari kita pergi bersama!..."

   Tantai Mie Ming tidak lihat apa yang terjadi di luar tembok itu akan tetapi ia telah dengar titahnya Ngochito, ia tidak memikir hidup lebih lama pula, lantas saja ia angkat gaetannya...

   Sementara itu In Tiong, dengan hati tidak keruan, telah pergi kepada Kie Tin, untuk menghadap junjungannya.

   Kie Tin di tempatkan di sebuah gedung di samping kanan istana raja Watzu, ke sana In Tiong menuju dengan ditemani tiga pahlawan.

   Kapan pintu istana telah dibuka, orang melalui sebuah lorong yang berliku-liku.

   Di akhirnya, sampai juga orang di istana samping itu.

   Pengawal pintu segera masuk ke dalam untuk memberi laporan kepada Kie Tin perihal tibanya sang utusan.

   Tidak lama, pengawal itu muncul kembali.

   "In Thaydjin diminta suka menanti di sini sampai ada panggilan,"

   Demikian katanya. In Tiong heran. Ia memang tegang terus perasaannya, ia bergelisah.

   "Sri Baginda memanggil aku untuk segera menghadap, mengapa sekarang aku mesti menunggu?"

   Dia tanya.

   "Sri Baginda sedang dahar yan-o, dia belum dahar cukup,"

   Sahut pengawal itu, satu pahlawan.

   In Tiong bergelisah terus, ia pun mendongkol sekali.

   Bukankah ia telah dipanggil berulangkah, dengan kimpay dan firman? Kenapa sekarang raja ada tenang-tenang saja? Apa artinya panggilan kilat itu? Setelah berselang sekian lama baharu muncul seorang kebiri bangsa Mongol, yang dipinjamkan kepada Kaisar Kie Tin itu.

   Hamba ini mengucapkan kata-kata "mempersilakan."

   In Tiong segera masuk ke dalam, bukannya dengan bertindak hanya dengan berlompat, dua tiga tindak menjadi satu.

   Setibanya di dalam ia tampak raja sedang duduk dengan tenang di kursi malas, empat orang kebiri tanggung yang raja Watzu kirim kepadanya tengah menumbuki bebokongnya dengan pelahan-lahan! Juga wajah raja ini sangat tenang, tidak menunjukkan ketegangan hati.

   Dengan merasakan perutnya hampir meledak, In Tiong memberi hormat sambil berlutut.

   Tiga kali ia mengucapkan "BansweeV (Sri baginda panjang umur) "Menteriku, kau bangun dan duduklah!"

   Berkata raja itu, juga dengan sangat tenang. In Tiong merayap bangun tetapi ia tidak berduduk.

   "Ada urusan penting apa maka Sri Baginda memanggil hambamu?"

   Dia bertanya. Kie Tin batuk-batuk.

   "Ya, ya, ada urusan penting sekali,"

   Dia menyahut kemudian.

   "Dengan mendadak saja aku ingat suatu hal. Besok kita akan berangkat pulang, tetapi sementara itu selama aku berada di negeri ini, aku toh telah menerima perlayanannya Raja Watzu. Dia adalah tuan rumah, aku adalah tetamu, dia menghormati aku, maka itu tak dapat aku tidak membalas hormatnya itu. Raja Watzu sendiri hendak mengantar aku berangkat, dia hendak mengantarnya sampai di luar kota. Kalau aku terima penghormatannya tanpa membalasnya, aku merasa itulah kurang tepat. Maka itu aku telah memikirnya, baiklah kau yang menyambut aku keluar dari istana ini, untuk terus keluar kota. Untuk pamitan dari raja Watzu, aku akan kirimkan surat kehormatan. Umpama kata raja Watzu tetap hendak mengantarnya, maka kita boleh tunggui ia di luar kota di mana aku sambut dia. Ini baharu namanya kehormatan saling membalas..."

   Demikianlah adanya "urusan penting sekali"

   Yang dinamakan raja itu.

   Hampir saja perutnya In Tiong meledak bahna mendelunya.

   Sekarang sebaliknya dia menjadi bungkam, cuma wajahnya yang menjadi pucat pasi.

   Kie Tin telah dibawa ke negeri Watzu di mana ia ditawan.

   Perlakuan bagaimana macam ia dapat sebagai raja tawanan? Mana kemerdekaannya? Tentang ini In Tiong telah mendengarnya dari Tan Hong.

   Tapi sekarang, raja ini melupakan derajatnya sebagai raja, raja dari Kerajaan Beng yang terbesar! Dia hendak mengirim surat mohon pamitan! Katanya dia hendak membalas penghormatan dengan penghormatan! Selagi bungkam, In Tiong melirik kepada ke empat orang kebiri, ia dapat kenyataan mereka itu pada bersenyum.

   Lantas saja hatinya bercekat.

   "Adakah ini pikiran Sri Baginda sendiri?"

   Tiba-tiba ia tanya. Ditanya begitu, raja nampaknya terkejut. Segera wajahnya berubah.

   "In Tiong, insyafkah kau akan kesalahan bicaramu?"

   Dia menegur.

   "Tentu saja ini adalah pikiranku sendiri!"

   Raja ini telah mendusta.

   Sebenarnya dia telah dijadikan perkakasnya Yasian.

   Perdana Menteri Watzu itu menduga pasti, setelah minggatnya Topuhua, mungkin puterinya itu akan minta bantuannya In Tiong, maka itu di satu pihak ia mencoba untuk menghalang-halanginya, ialah dengan kirim Wotjaha kepada Ngochito, supaya ancaman kepada Thio Tjong Tjioe tetap diwujudkan, di lain pihak ia kirim utusan ke istana, untuk menemui Kie Tin, guna pedayai kaisar Beng itu sambil diancam dengan gertakan.

   Ia ajarkan Kie Tin bagaimana harus memanggil In Tiong datang menghadap.

   Inipun suatu akal bagus untuk cegah si utusan dapat pergi menolongi Tjong Tjioe.

   Bahagian istana di mana Kie Tin ditahan berada di bawah pengaruhnya Yasian, tidak heran kalau di sini orangnya Perdana Menteri itu bisa keluar masuk dengan merdeka.

   Untung bagi Perdana Menteri ini, Kie Tin kecil hatinya - raja ini takut dia tak diijinkan Perdana Menteri itu pulang ke negerinya, maka dia telah kena dibujuk dan digertak.

   Begitulah dia pikir.

   "Janganlah karena urusan kecil ini nanti terjadi sesuatu perubahan..."

   Demikian dia paksa In Tiong datang menghadap, sesudah mana, dia mencoba pakai pengaruhnya sebagai raja untuk tindih utusan itu. Sehabis menegur, Kie Tin ubah pula sikapnya.

   "Mengingat dengan tugasmu ini kau telah peroleh jasa, aku tidak akan menghukum padamu,"

   Dia berkata pula.

   "Sekarang aku hendak mengirim surat pamitan kepada raja Watzu dan kau menantikan di sini, setelah sebentar aku sudah menghadiahkan semua pegawai istana di sini, setelah terang tanah, kita akan berangkat bersama."

   In Tiong tidak berdiam saja atas sikap rajanya itu.

   "Sri Baginda,"

   Katanya.

   "tak usah Sri Baginda mengirim surat pula, aku sendiri sudah memberitahukannya kepada raja Watzu! Besok kita batal berangkat!"

   Kaisar itu terkejut, hingga air mukanya berubah pula.

   "Kau, kau bagaimana berani melancangi aku?"

   Dia membentak.

   "Oleh karena hambamu hendak melakukan kunjungan kepada Thio Tan Hong."

   In Tiong beritahu terus terang. Kie Tin menjadi heran. Dia lantas tepuk meja.

   "Kenapa kau hendak kunjungi Thio Tan Hong?"

   Dia menegur.

   "Apakah kau tidak tahu bahwa dia ada turunannya pemberontak Thio Soe Seng? Bahwa aku telah tidak ringkus dia untuk dibawa pulang bersama dan dihukumnya, itu telah menandakan kemurahan hatiku! Bagaimana kau justeru hendak mengunjungi mereka? Hm, hm! Mana ada itu aturan?"

   In Tiong tidak jadi gentar hatinya karena teguran itu.

   "Sri Baginda, tahukah Sri Baginda akan duduknya perkara?"

   Dia menanya.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tahukah Sri Baginda sebab-sebabnya telah terdapat perdamaian di antara kedua negara dan Sri Baginda hendak disambut pulang? Ini memang benar ada kehendaknya Ie Kokioo, tetapi lebih benar bahwa semua ini adalah hasil usahanya Thio Tan Hong! Apabila tidak Thio Tan Hong yang ketahui betul keadaan di dalam negara Watzu dan ia memberitahukannya kepada Ie Kokioo, pihak kita belum tentu berani bersikap keras seperti sekarang terhadap negara Watzu ini!"

   Mukanya Kie Tin menjadi pucat.

   "Hm!"

   Terdengar suaranya. Lalu dia bilang.

   "Jadinya, menurut kau ini, Thio Tan Hong itu adalah satu menteri yang setia dan berjasa?"

   "Benar!"

   Jawab In Tiong.

   "Dia bersetia untuk negara!"

   "Kau berbicara untuk pemberontak, kebaikan apa kau dapat?"

   Raja tanya.

   In Tiong sangat mendongkol atas pertanyaan ini hingga hampir tak dapat ia bicara, tetapi ia menjadi kaget sekali ketika ia dengar lonceng istana berbunyi lima kali.

   Selama menghadapi junjungannya ini, ia sampai melupakan sang waktu.

   Segera ia berkata.

   "Sekarang ini Yasian justeru hendak menembak keluarga Thio itu! Hambamu benar bermusuh sangat hebat dengan keluarga Thio itu, akan tetapi dengan hambamu bersedia menerima hukuman dari Sri Baginda, hendak hamba menolongi keluarga itu! Tentang kebaikan yang diterima, itulah tidak mengenai hambamu! Justeru Sri Bagindalah yang terima kebaikan dari Thio Tan Hong itu! Hanya sayang Sri Baginda masih belum mengetahuinya! Ie Kokioo telah mengumpulkan tentera suka rela dari seluruh negeri, dia dapat mengalahkan Yasian! Tahukah Sri Baginda dari mana datangnya belanja atau rangsum untuk angkatan perang suka rela itu? Sebagian besar dari itu adalah Thio Tan Hong yang membelanjainya!"

   Kedua matanya Kie Tin bagaikan terbalik, matanya itu mendelik.

   "Apa? Apa kau bilang?"

   Serunya berulang-ulang.

   "Apa... apakah kau menteri yang telah makan gaji dari kerajaan Beng yang besar berani bicara demikian? Kau berani belai padanya? Apakah benar kau berani lawan rajamu?"

   Matanya In Tiong mengembeng air. Ketika ia melihat ke atas, ia dapatkan cuaca sudah mulai terang. Sedetik itu ia lantas ambil putusannya.

   "Hambamu tahu, melawan raja berarti hukuman mati!"

   Ia berkata.

   "Tapi sekarang juga hambamu hendak pergi ke rumah keluarga Thio itu! Nanti setelah itu, untuk balas budi Sri Baginda, hambamu bersedia untuk kurbankan dirinya! Sesudah hambamu mati baiklah Sri Baginda minta Ie Kokioo nanti mengirim utusan yang kedua untuk menyambut Sri Baginda pulang!..."

   Mendengar perkataannya menteri itu, Kie Tin kaget tidak terkira.

   Apa yang dia harapkan siang dan malam adalah supaya dia dapat pulang ke negerinya, sekarang pengharapannya itu sudah tercapai, dia akan pulang besok untuk menjadi raja pula, maka bagaimana itu dapat dihalangi karena urusan In Tiong ini? - ya, urusan keluarga Thio itu? Kalau benar In Tiong buktikan perkataannya itu, yaitu dia ditinggal pergi, mana dapat dia pulang seorang diri? Sampai kapankah datangnya utusan yang kedua? Dan utusan yang kedua itu tentu tidak secakap In Tiong ini...

   Apakah karena itu mesti hancur lebur impiannya setiap malam untuk berkuasa pula sebagai raja? Baharu sekarang ia merasa jeri.

   "Menteriku, marilah bicara secara baik-baik,"

   Akhirnya ia minta.

   "Yasian itu jahat, terhadap Sri Baginda dia tidak mengandung maksud baik,"

   In Tiong jawab junjungannya itu.

   "Bahwa dia telah sudi membuat perdamaian dengan negara kita, itulah karena terpaksa, tak dapat dia tidak membuat demikian. Sri Baginda, daripada mempercayai Yasian, lebih baik menaruh kepercayaan kepada Thio Tan Hong! Sekarang hendak hambamu pergi!"

   Kie Tin menjadi bergelisah sekali.

   "Menteriku, tunggu dulu!..."

   Ia menahan. In Tiong sangat bergelisah tetapi karena rajanya memanggil, tidak dapat ia tidak menoleh.

   "Sri Baginda hendak menitah apa?"

   Dia tanya.

   "Aku hendak pergi bersama kau..."

   Kata raja, suaranya menggetar.

   Raja ini mengucap demikian karena ia telah lihat, tidak dapat ia menahan lagi utusan itu.

   Sebenarnya ia jeri untuk berdiam lebih lama pula di dalam istana itu, ia kuatir Yasian nanti mencelakai padanya.

   Sama sekali ia tidak tahu hatinya perdana menteri Watzu itu.

   Yasian tidak nanti berani mencelakai ia, ia cuma digertak.

   Tapi ia sangat takut, ia tidak dapat memikir, maka ia anggap ikut In Tiong adalah paling selamat...

   Permintaan itu adalah di luar dugaan utusan she In itu.

   Ia memandang kaisar itu, ia tampak muka yang pucat dan sikap kuncup, bagaikan kelinci yang jeri terhadap seorang pemburu.

   Jauh sangat bedanya si junjungan dengan sikapnya yang sangat galak tadi.

   Maka kepadanya datang dua rupa kesan.

   jemu berbareng kasihan.

   Nyatalah raja yang derajatnya berada di atas "laksaan rakyat,"

   Sekarang menjadi demikian hina kelakuannya. Tapi walaupun begitu, ia memberi hormat sambil menekuk separuh dengkulnya, untuk terima baik "perintah"

   Raja itu... Ketika itu cuaca telah menjadi semakin terang sebagai tanda sang pagi telah datang secara mendesak.

   "Tunggu sebentar, aku hendak ambil bajuku,"

   Kata Kie Tin pula.

   Terus ia masuk ke dalam di mana dengan cepat ia buka lemari pakaian.

   Segera matanya bentrok dengan sepotong baju mantel dari kulit rase warna putih, yang bercampuran dengan lain- lain jubanya.

   Itulah baju ketika Kie Tin masih dalam tawanan di dalam menara batu yang Tan Hong telah berikan padanya, baju yang Tan Hong loloskan dari tubuhnya.

   Maka, menampak itu, ingatlah kaisar ini kepada hari yang tak terlupakan itu.

   Hatinya goncang dengan tiba-tiba.

   Tak tahu ia, ia mesti menyesal atau mendongkol...

   Dalam kesangsian, Kie Tin tidak samber mantel itu.

   Ia memilih yang lain-lainnya akan tetapi pilihannya tak tepat.

   Ia tidak dapatkan juba yang ia anggap cocok dengan hatinya...

   Akan tetapi sang waktu berjalan terus, tak bersangsi seperti raja ini.

   Sinar matahari mulai menembusi jendela.

   In Tiong di luar habis kesabarannya.

   "Sri Baginda, harap maafkan hambamu, hamba tak dapat menunggu lebih lama pula!"

   Demikian utusan itu perdengarkan suaranya, suara nyaring tetapi tak tenang lagi.

   Suara menteri itu membikin Kie Tin tersadar dengan kaget, dengan tangan tidak tetap, dengan pikiran kusut, ia sambar sembarangan saja sepotong juba, terus ia keredongi tubuhnya.

   Ia pun menyahuti.

   "Aku akan segera keluar!"

   Dan ia lari keluar, akan susul In Tiong.

   Maka itu, dengan bersama-sama mereka keluar dari istana tempat tahanan.

   Setibanya di luar istana, baharulah Kie Tin terkejut.

   Ia dapat kenyataan, tubuhnya telah berkerodongkan justeru mantelnya Tan Hong! Tapi sekarang ia tidak dapat menghiraukannya pula, ia mesti ikuti utusannya dengan hati gelisah! Pengiring-pengiring In Tiong masih terus dirintangi di tengah jalan, baharu setibanya utusan ini sendiri bersama Kaisar Kie Tin, mereka diberi ijin oleh si thaywie bangsa Mongol untuk lewati tempat jagaan.

   Ketika itu, langit sudah jadi terang.

   In Tiong menunggang kuda, ia kaburkan binatang tunggangannya itu.

   Ia seperti dengar suara tertawanya Tan Hong yang manis, anak muda itu sebagai terbayang tengah menggape-gape terhadapnya.

   Di saat itu, apa yang dinamakan surat wasiat kulit kambing yang berlumuran darah, segala permusuhan hebat, semua itu bagaikan diusir lenyap oleh bayangannya pemuda she Thio itu! Cuma satu pikiran yang berpeta diotaknya utusan ini.

   Ia mesti lekas sampai di rumah keluarga Thio untuk menolongi Tan Hong dari tangannya malaikat! "Bukankan aku telah terlambat? Cuaca sudah terang, matahari sudah naik!"

   Demikian pikirannya bekerja selagi ia kaburkan terus kudanya.

   Ia sangat menyesal yang ia tidak bisa jambret sang waktu, untuk menahannya...

   Syukur sampai itu waktu, masih belum terdengar suara meriam...

   Tapi In Tiong menjadi semakin tegang hatinya, ia menjadi semakin gelisah, jantungnya memukul keras sekali.

   Ia merasakan dirinya seperti seorang hukuman mati, yang saat kematiannya telah tiba akan tetapi kampaknya si algojo belum juga dikampakkan turun! Menanti waktu satu detik bagaikan menanti waktu satu jam...

   Kapankah sang peluru meriam bakal melesat keluar? Mungkinkah kelambatan setengah tindak akan mendatangkan kemenyesalan seumur hidup? Bagaikan kalap, In Tiong cambuki kudanya.

   Hingga ia membuat raja ketinggalan jauh di belakangnya, ia menahan napas ketika kudanya kabur! Akhirnya, tibalah juga ia di depan gedungnya keluarga Thio.

   Ia tampak satu serdadu Mongol sedang rebah tengkurap di samping meriam yang mulutnya menghadapi gedung dan tengah mengeluarkan asap.

   Ia lantas saja berteriak sekuat-kuatnya, iapun mencambuki kudanya hebat sekali, hingga binatang itu berjingkrak lompat, kabur ke arah meriam besar itu! Di belakang utusan kerajaan Beng ini, delapan belas pengiringnya pun berteriak- teriak.

   "Utusannya Kerajaan Beng tiba!"

   Tan Hong tengah menantikan kematiannya tatkala kupingnya dengar suara sangat berisik itu di luar gedung.

   Mendadak saja, timbullah harapannya, hingga ia menjadi sangat girang.

   Ia berlompat, terus ia rampas gaetannya Tantai Mie Ming di saat jenderal ini hendak habiskan jiwanya sendiri.

   "Kau dengarlah!"

   Serunya.

   "In Tiong telah tiba!"

   Lalu dengan pesat ia lompat naik ke atas tembok. Thio Tjong Tjioe telah tutup rapat kedua matanya tetapi sekarang dengan pelahan-lahan ia buka matanya itu.

   "Siapakah yang datang?"

   Ia tanya. Tak tegas ia dengar suara puteranya.

   "Dasar kita tidak bakal hilang jiwa!"

   Sahut Tantai Mie Ming.

   "Itulah utusan Kerajaan Beng yang datang mengunjungi tjoekong."

   Di saat itu, Tjong Tjioe sendiri pun sudah lantas mendengarnya dengan nyata.

   Hal ini membuat ia heran.

   Inilah di luar dugaannya.

   Ia bersenyum tetapi sebentar saja, atau lantas ia tunduk, untuk mengeluarkan napas panjang.

   Tan Hong di atas tembok melihat kudanya In Tiong lari mendatangi keras sekali.

   Tapi pun ia saksikan meriam besar, yang mulutnya diarahkan ke gedungnya, tengah mengepulkan asap putih.

   Mendadak saja matanya menjadi gelap, harapannya yang baharu timbul tadi telah lenyap seketika! Hampir ia tak sanggup pertahankan tubuhnya...

   Tantai Mie Ming lihat tubuh orang bergoyang seperti hendak jatuh.

   "Hai, kau kenapa?"

   Ia berseru dengan tegurannya. Tan Hong dengar teguran itu tapi ia tidak menjawabnya. Ia segera dapat atasi dirinya sendiri. Ia lantas berteriak ke arah luar tembok.

   "Saudara In, lekas menyingkir! Jangan kau antarkan jiwa!"

   Di saat terakhir dari kematiannya ini, Tan Hong masih tunjukkan persahabatannya.

   Riuhlah suara di waktu itu.

   Suara yang satu dari kaburnya kuda, suara yang lain dari teriakan cegahannya Tan Hong.

   Adalah di saat itu, dengan tiba-tiba terdengar satu suara keras.

   Asap putih mengepul buyar, peluru pun melesat menyambar! In Tiong menjerit hebat, hatinya bagaikan tertindih gunung gempa, hingga putuslah harapannya yang terakhir.

   Tetapi ia dengar nyata bahwa suara meriam bukan seperti meledaknya merian di medan perang.

   Segera ia pentang lebar kedua matanya, mengawasi ke arah meriam itu, ke arah peluru yang melesat keluar mengikuti hembusannya asap putih.

   Peluru itu tidak menggempur gedung menteri muda hanya jatuh di tanah sesudah menyembur jauhnya kira-kira tiga tombak! Peluru itu jatuh ke tanah untuk terus bergelindingan beberapa kali, lain tercebur ke dalam selokan, hingga dia tidak menyebabkan perledakan dahsyat! Meriam besar itu sudah gagal dengan tugasnya.

   Sumbu telah disulut tepat akan tetapi perledakannya tidak sebagaimana yang diharapkan.

   Sebab dari itu adalah karena darahnya Topuhua, puterinya Yasian, perdana menteri Watzu itu.

   Nona itu telah peluki meriam dengan darahnya masih mengucur, tanpa diketahui darah telah meresap ke sumbu, membasahi obat pasangnya.

   Demikianlah, sisa obat pasang yang tersulut itu tidak cukup kekuatannya, suara ledakannya berkurang, tenaga melesatnya pun hampir lenyap, demikian terjadilah seperti di atas tadi.

   In Tiong girang tak kepalang.

   Dari atas kudanya dia lompat turun untuk lari ke pintu gedung, untuk menggedornya dengan kuat, sekuat-kuatnya! Ketika itu, utusan itu pun diikuti terus oleh delapan belas pengiringnya.

   Di dalam keadaan seperti itu, walau Ngochito bernyali sangat besar, tidak berani ia mengisi pula meriamnya, untuk menembak buat kedua kalinya.

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tan Hong lompat turun dari tembok pekarangan, ia lari ke pintu yang segera ia buka.

   Begitu daun pintu terpentang, ia papaki In Tiong, hingga keduanya saling tubruk, saling rangkul! Dan kedua-duanya, air matanya mengembeng.

   Sekian lama mereka saling mengawasi, tidak ada satu yang dapat membuka mulutnya.

   Sekonyong-konyong Tan Hong memanggil.

   "Ayah!..."

   In Tiong menoleh dengan segera.

   Thio Tjong Tjioe dengan tindakan agak limbung, tengah mendatangi ke arah mereka.

   Dengan tiba-tiba saja, hatinya sang utusan seperti berhenti berdenyut...

   Dia ayahnya Thio Tan Hong.

   Inilah orang, yang sejak ia dilahirkan, mulai saat ia mengerti urusan, yang tak ada satu hari ia tidak membencinya! Inilah musuh besarnya turun temurun! Dan sekarang, orang ini sedang mendatangi ke arahnya...

   Ia lihat mulut orang yang bergerak, yang dibuka sedikit...

   Orang seperti ada punya ribuan kata-kata yang hendak diucapkan, akan tetapi kata-kata yang tak dapat dikeluarkannya.

   Ia tampak juga kulit muka orang yang kisut berkerut-kerut, wajah yang mendatangkan kesan baik.

   Wajah yang bagaikan berdahaga untuk sesuatu yang telah berlarut lama...

   Itulah seperti wajahnya satu ayah yang telah menanti-nanti puteranya yang telah lama tak pernah pulang-pulang.

   Itu juga roman, yang In Tiong untuk selamanya akan tak dapat melupakannya...

   "Ah..."

   Akhirnya ia mengeluh seorang diri. Orang tua yang telah "kering"

   Ini, yang rambutnya telah putih semua, sedikitpun tiada beroman seorang jahanam yang licin dan kejam.

   Apakah In Tiong cukup kuat hati untuk membunuh orang tua yang tinggal menantikan saat dari hari tuanya itu? Thio Tjong Tjioe mendekati terus, satu tindak demi satu tindak.

   Mendadak ingat pula In Tiong kepada surat wasiat kulit kambing yang berlumur darah, ia awasi orang tua itu dengan sorot matanya yang bengis! Tetapi cuma sekejap, segera ia melengos, berbareng dengar mana, ia pun gerakkan kedua tangannya, untuk melepaskan diri dari rangkulannya Tan Hong.

   Tjong Tjioe merasakan hatinya sakit seperti disayat-sayat.

   Ia telah menatap mata orang - mata yang mengandung kebencian hebat.

   Itulah mata yang sorotnya sama dengan matanya In Tjeng pada tiga puluh tahun yang lampau...

   Orang tua ini sadar, ia menginsafi benar-benar.

   Tiba-tiba ia jatuhkan dirinya hingga berduduk di tanah, romannya sangat lesu.

   In Tiong telah lantas membalik tubuhnya.

   "Urusan telah, selesai, kita pergi!"

   Ia berkata.

   Tan Hong berdiri menjublak, matanya mengawasi ayahnya, lalu berpaling mengawasi orang she In itu.

   Tak dapat ia mengatakan sesuatu...

   Tamtay Keng Beng berbicara dengan kakaknya ketika ia dengar suaranya In Tiong itu, maka ia segera tinggalkan kakaknya untuk menghampirkan si utusan.

   "Apa? Baharu sampai sudah hendak pergi pula?"

   Katanya.

   Biasanya, kalau Nona Keng Beng mengucapkan sesuatu, In Tiong tak pernah tak mengiringinya, akan tetapi kali ini ia bagaikan kehilangan semangat, ia seperti tidak mendengarnya, ia berjalan terus, lempang ke arah pintu pekarangan.

   Berbareng dengan itu, dari luar terdengar suara berisik dari kaki-kaki kuda, yang baharu saja tiba di muka pintu, menyusul itu terdengar suara nyaring dari beberapa orang, yang menyerukan kata-kata yang sama.

   "Kaisar dari Ahala Beng datang mengunjungi keluarga Thio!"

   Itulah Kaisar Kie Tin, yang baharu saja sampai, sehab ia telah ketinggalan jauh oleh In Tiong.

   Ia adalah kaisar yang berada di dalam tawanan, baharu saja ia merdeka, ia lantas tak ubah kebiasaannya, ia tak hendak melupakan bahwa dirinya seorang raja.

   Maka itu, pengiring-pengiring perdengarkan seruan itu.

   Di dalam pekarangan gedung menteri muda, tidak ada orang yang usil kaisar ini.

   Thio Tjong Tjioe masih duduk numprah, tubuhnya tidak bergeming.

   Tantai Mie Ming mengawasi raja itu, dengan roman yang bengis, dengan sinar matanya yang tajam, tetapi sebentar saja, ia lantas pelengoskan mukanya untuk melanjutkan bicara dengan adiknya.

   Cuma In Tiong beserta pengiring-pengiringnya, yang mesti menunda tindakan kakinya...

   Kie Tin menjadi kecele, tak enak hatinya.

   Bukankah ia seorang kaisar? Kenapa tidak ada orang yang ambil perhatian kepadanya? "Siapa Thio Tjong Tjioe?"

   Ia tanya sambil membentak.

   "Kenapa dia tidak menyambut raja?"

   Tjong Tjioe angkat kepalanya, untuk dongak melihat langit! Ia seperti juga tak melihat adanya satu Kie Tin di hadapannya itu! Kaisar tidak kenal Thio Tjong Tjioe tetapi dia kenali Thio Tan Hong. Maka itu ia segera menoleh kepada si anak muda.

   "Mana ayahmu?"

   Dia tanya, suaranya membentak.

   "Kamu ayah dan anak adalah turunan pemberontak tetapi sekarang dengan kemurahan hati aku tidak hendak tarik panjang perkaramu itu! Apakah kamu masih tidak hendak sambut junjunganmu?"

   Selama raja ini bicara, Tan Hong tidak menjawab, dia cuma tertawa dingin.

   Kie Tin yang menampak sikap orang itu, seperti merasa bahwa matanya si anak muda menatap dengan tajam kepada mantel di tubuhnya! Dengan sendirinya mukanya menjadi berubah merah, dengan sendirinya ia likat dan merasa tak enak hati.

   Maka itu, kalau pada mulanya suaranya keras, lambat laun suara itu menjadi pelahan, lalu beberapa kata-kata yang terakhir cuma ia sendiri yang mendengarnya...

   Sehabis tertawa dingin, Thio Tan Hong merogo ke dalam sakunya.

   Dengan satu gentakan ia tarik keluar tangannya itu yang menggenggam satu bungkusan.

   Ia lantas lemparkan itu ke tanah! "Dua rupa barang ini kau harus simpan baik-baik, jangan kau membuatnya hilang kembali!"

   Dia kata, suaranya dingin tetapi keren.

   Satu pahlawan segera jemput bungkusan itu, untuk dibawa ke hadapan rajanya.

   Dia pun segera membukanya.

   Di dalam bungkusan itu terdapat dua rupa barang, melihat mana Kie Tin jadi tercengang.

   Barang yang satu adalah yang berukiran huruf-huruf "Tjeng Tong Hongtee Tjie In"

   Yang berarti "Cap dari Kaisar Tjeng Tong."

   Itu adalah capnya raja ini! Barang yang kedua adalah tusuk konde kumala yang Honghouw atau permaisuri persembahkan kepada Kie Tin sendiri! Itulah dua rupa barang berharga yang selama pertempuran kalut di Touwbokpo sudah dicuri dan dibawa lari oleh Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, yang Tan Hong dapatkan dari tangannya tjongkoan itu ketika si tjongkoan dipermainkan Hek Pek Moko.

   Baharu sekarang ada ketikanya untuk Tan Hong bayar pulang cap dan tusuk konde itu kepada kaisar Beng ini.

   Sehabis tercengang, Kie Tin kemudian menjadi sangat murka.

   Kemana keagungannya seorang kaisar? Di mana ia mesti taruh mukanya? Akan tetapi ia boleh bergusar, hatinya justeru ciut.

   Ia hendak umbar kemurkaannya, ia tak dapat lakukan itu.

   Kekuasaan apa ia ada punya untuk pengaruhi Tan Hong itu.

   Maka di akhirnya, ia memikir untuk melampiaskan segala-galanya kepada In Tiong...

   Hampir di itu waktu, tiga orang datang berlari-lari bagaikan terbang ke arah mereka.

   Dua orang yang lari di muka sama potongan tubuhnya, hanya yang satu mukanya putih, yang lain hitam.

   Kedua orang ini berlari-lari berjingkrakan, tangannya pun dibulang-balingkan serta mulutnya perdengarkan seruan-seruan.

   Di mata mereka itu, di situ seperti juga tidak ada orang lainnya lagi...

   Ketiga orang itu adalah Hongthianloei Tjio Eng bersama Hek Pek Moko, kedua Hantu Putih dan Hitam.

   Mereka menyerang tentera Mongol sampai tentera itu buyar sendirinya, maka untuk maju terus mereka repot menyingkirkan besi-besi cagak tiga yang diampar di tanah, yang menjadi perintang baginya.

   Setelah itu dengan tidak berlambat lagi mereka lari terus menuju ke gedungnya Keluarga Thio.

   Mereka tiba di saat Kie Tin tak tahu ke mana ia mesti buang mukanya...

   "Hai, orang-orang gila dari mana berani datang kemari membuat Sri Baginda kaget?"

   Membentak pengiringnya kaisar itu.

   Mereka ini tidak kenal tiga orang itu, mereka lantas maju untuk mencegat.

   Tjio Eng melirik kepada Kie Tin, lalu ia gerakkan kedua tangannya untuk menyambut dua pengiring yang maju paling depan.

   Dengan tepat ia cekuk batang lehernya mereka itu, maka satu kali ia himpaskan kedua tangannya, kedua pengiring itu terlempar terpelanting! Hek Pek Moko tertawa melihat perbuatannya kawannya itu, mereka juga lantas meneladnya, tetapi mereka menggunakan masing-masing tongkatnya, hingga dua pengiring lain rubuh terjungkal, kepala di bawah, kaki di atas! Kie Tin kaget hingga ia mundur sendirinya.

   Setelah itu, tidak ada lagi lain perintang bagi tiga orang itu, maka Hek Pek Moko lompat kepada Tan Hong, yang tangannya disambar dan ditarik, mulut mereka berkaok-kaok kegirangan! Tjio Eng sebaliknya lari kepada Thio Tjong Tjioe, akan bertekuk lutut di hadapan tjoekong atau junjungan yang tidak bermahkota itu.

   Cepat-cepat Tjong Tjioe pimpin bangun hamba yang setia itu, ketika ia berbangkit, tubuhnya limbung terhuyung, seperti juga tidak kuat berdiri, dari itu, ia lantas saja berduduk pula.

   Sakit hatinya Tjio Eng menyaksikan junjungannya itu, air matanya lantas melele keluar.

   "Tjoekong...."

   Ia memanggil dengan pelahan.

   "Tjio Tjiangkoen, untuk beberapa puluh tahun telah aku membikin kau kecele..."

   Berkata tjoekong itu. Leluhurnya Tjio Eng adalah Liong Kie Thayoet dari Thio Soe Seng, maka itu, Tjong Tjioe memanggil dia tjiangkoen (jenderal ).

   "Pusaka negara telah kembali di tangan siauw-tjoe, sayang negara tetap bukan negara dari Kerajaan Tjioe yang besar..."

   Berkata Tjio Eng dengan masgul. Dengan "pusaka negara"

   Ia maksudkan peta bumi. Tjong Tjioe menggoyangkan tangan, ia tertawa sedih.

   "Aku telah ketahui semua,"

   Katanya.

   "tak usah kau menyebut lagi. Manusia itu cukup asal dia tidak membuat malu terhadap dirinya, tentang usaha merebut kerajaan, itulah terserah kepada Yang Berkuasa..."

   Kie Tin dengar itu, tak enak hatinya. Ia segera tunjuk In Tiong.

   "Dengan orang-orang kasar tak dapat kita berdiam bersama,"

   Ia berkata.

   "maka In Tjonggoan, lekas kau iringi junjunganmu untuk berangkat pulang!"

   Kaisar ini kembali hendak tunjukkan pengaruhnya, akan tetapi In Tiong tidak pedulikan padanya, Tjonggoan ini masih berdiri diam seperti semangatnya telah hilang lenyap. Kaisar menjadi sangat gusar.

   "Hai, apakah kamu telah gila semua?"

   Dia berseru.

   In Tiong seperti tersadar mendengar suara keras itu, ia lantas bertindak ke samping memimpin rombongan pengiring, untuk berdiri di kedua tepi, guna iringi raja.

   Selama itu, ia tidak perdengarkan suara apa-apa.

   Baharu raja dan hamba-hambanya keluar di pintu pekarangan, tiba-tiba In Tiong merandak, mukanya pun berubah menjadi sangat pucat.

   Dari luar bertindak masuk dua orang, yang satu adalah satu nona yang cantik bagaikan bunga indah.

   Nona itu memajang seorang tua yang rambutnya telah ubanan, yang romannya layu serta mukanya ada tanda-tanda luka.

   Dan ia berjalan dengan dingkluk-dingkluk.

   Kapan Kie Tin lihat orang tua itu, ia terkejut, ia bergidik.

   Segera juga terdengar suara seruannya In Tiong.

   "Ayah!"

   Dan ia lari kepada orang tua itu, untuk ditubruk dan dirangkul! In Teng seperti tidak pedulikan puteranya itu, malah dengan sebelah tangannya ia tolak sang putera ke samping.

   Dengan kedua matanya yang tajam, ia tatap Thio Tjong Tjioe, dengan tindakan tidak tetap ia maju kepada turunan kaisar Tjioe itu.

   Ia telah perlihatkan roman yang bengis.

   Mau atau tidak, Tjioe Eng geser tubuhnya ke samping.

   Sekarang ia bisa lihat di belakangnya In Teng itu ada anaknya perempuan serta baba mantunya, ialah Tjoei Hong dan San Bin.

   Maka ia lantas bertindak ke arah puterinya itu.

   Tjoei Hong dan San Bin tidak berani buka suara, roman mereka tegang.

   Karena kakinya yang telah pincang itu, sukar In Teng dapat berjalan dengan leluasa.

   Itulah sebabnya maka baharu hari ini ia tiba di kota raja Watzu.

   Segera ia dapat keterangan yang In Tiong telah pergi ke rumah Keluarga Thio.

   Ia menjadi kaget dan gusar sekali, tidak buang tempo lagi ia segera ajak gadisnya menyusul.

   Ia girang dapat bertemu puteranya, tetapi kegirangan itu tertutup kebencian terhadap musuhnya...

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di saat itu, Tan Hong kaget bagaikan orang disambar petir, mukanya jadi sangat pucat pasi.

   Ia telah lihat adik kecilnya tetapi In Loei, berpaling pun tidak terhadapnya.

   Cuma sorot matanya In Teng yang bengis mengawasi kepadanya...

   "Ah!..."

   Ia berseru tertahan.

   Ia yang gagah perkasa, sekarang ia tidak dapat berbuat suatu apa.

   Sikapnya In Teng sekarang lebih hebat daripada ketika dia memaksa puterinya pisahkan diri daripadanya.

   Masih In Teng bertindak menghampiri Tjong Tjioe.

   Ketika Tjong Tjioe angkat kepalanya, ia tampak In Teng berdiri dihadapannya.

   Ia lihat mata orang yang tajam, muka yang dingin.

   Ia dapatkan In Teng seperti hantu pembalasan yang terbuat daripada batu marmer...

   Hampir berbareng, Tan Hong dan In Loei berseru, mereka segera lari menghampirkan ayah mereka masing-masing.

   In Teng tidak menoleh tetapi sebelah tangannya menyambar ke belakang, menggaplok puteranya! In Tiong jatuhkan diri di tanah, ia berlutut.

   "Ayah, mari kita berlalu dari sini!"

   Ia memohon, suaranya sedih.

   "Mari kita pergi dari sini!..."

   Tan Hong di lain pihak hampirkan ayahnya, yang ia pegang pundaknya.

   "Ayah, baiklah ayah pergi beristirahat..."

   Ia berkata.

   Tjong Tjioe tidak menoleh, dengan tangannya ia menolak tangan anaknya itu.

   In Teng dan Tjong Tjioe tetap berdiri berhadapan, keduanya sama bungkam.

   Pada akhirnya, In Loei tidak kuat lagi menahan hatinya.

   Ia lantas menangis, ia tutupi mukanya.

   "Ayah..."

   Katanya dengan pelahan.

   In Teng seperti tidak dengar suara anaknya itu, yang bagaikan meratap.

   Di matanya, di dalam dunia ini, cuma ada satu Thio Tjong Tjioe.

   Dengan bengis ia terus mengawasi orang she Thio itu.

   Pada sinar matanya itu terbenam sorot kebencian yang sebegitu jauh manusia mempunyainya.

   Berselang sekian lama Tjong Tjioe tertawa dengan tiba-tiba.

   "Memang telah aku duga pada suatu waktu akan datang hari sebagai ini,"

   Ia berkata.

   "Sekarang aku akan pergi cari ayahmu, Thaydjin In Tjeng, untuk menghaturkan maaf sendiri kepadanya. Secara begini permusuhan di antara kita kedua keluarga baharulah dapat dibikin habis!"

   Suaranya orang tua ini makin lama makin lemah, ketika ia ucapkan perkataannya yang terakhir, tiba-tiba tubuhnya rubuh, dari kuping dan hidungnya mengalir keluar darah, terus saja tubuhnya tidak berkutik lagi.

   Karena ia telah berpulang ke lain dunia...

   Di luar tahunya siapa juga, Tjong Tjioe sudah ambil keputusan pendek, maka itu, setelah melihat In Teng, diam-diam ia telah telan racun yang ia telah bekal.

   Itulah racun bubuk yang paling liehay, ialah semacam racun yang dahulu hari dipakai oleh dorna Ong Tjin untuk meracuni In Tjeng, yang dipanggil pulang dengan firman palsu.

   Maka racun itu tak dapat ditolong walaupun dengan obat dewa...

   Kematiannya Thio Tjong Tjioe itu tak diduga siapapun yang hadir di situ.

   Mukanya Tan Hong menjadi pucat bagaikan mayat, biji matanya seperti menonjol keluar.

   Tak dapat ia menangis...

   In Loei menjerit dan terus saja ia rubuh! In Teng sendiri, bagaikan bola kempes mendadak, telah terjatuh duduk...

   "Tjoekong."

   Berteriak Tantai Mie Ming dan Tjio Eng berbareng, sedang In Tiong berlompat dengan niat pegangi Tan Hong yang tubuhnya limbung.

   Sekonyong-konyong Tan Hong lompat, untuk pergi lari.

   Dia tutupi mukanya, dia lari bagaikan kalap.

   Dengan satu kali lompat saja, tubuhnya telah berada di bebokongnya kuda Tjiauwya saytjoe ma yang sejak tadi berdiam memakani rumput di pekarangan gedung itu.

   Begitu majikannya naik, begitu juga kuda itu meringkik keras, lalu dia kabur membawa sang majikan, kabur keluar gedung, hingga sesaat kemudian mereka - kuda dan manusia - tak tertampak pula dari pandangan mata! Maka sunyi senyaplah gedung itu, kecuali tangisan sedih dari In Loei...

   -000dw000- Dua bulan telah berselang...

   Itulah dipermulaan musim panas di Kanglam, selagi pemandangan alam di tengah- tengah keindahannya.

   Ketika itu di luar kota Souwtjioe ada satu anak muda yang sedang menunggang seekor kuda putih - penunggang kuda tunggal.

   Dialah Thio Tan Hong...

   Tempo dua bulan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi selama itu, suasana telah berubah.

   In Tiong telah pulang ke kota raja, ia bawa Kie Tin bersamanya.

   Di kota raja telah ada kaisar yang baharu, ialah Kie Giok atau Beng Tay Tjong.

   Inilah kaisar angkatannya Kokioo Ie Kiam.

   Kie Giok adalah adik Kie Tin.

   Ia telah menjadi raja, ia tidak suka mengalah terhadap kakaknya.

   Maka itu Kie Tin pulang dengan ludas pengharapannya untuk duduk pula di singgasana kerajaan.

   Ia telah di tempatkan di Lamkiong, Istana Selatan.

   Ia diperlakukan sebagai raja kurungan.

   Cuma namanya saja ia menjadi Thaysianghong, kaisar tua yang dihormati, sebenarnya ia adalah kaisar tahanan.

   Oleh karena sepak terjangnya Kie Giok, impiannya Ie Kiam untuk memperbaiki negara turut buyar juga.

   Lenyaplah pengharapannya, Kie Giok tidak lagi membutuhkan bantuannya Kokioo itu, menteri tua yang berjasa ini.

   Malah setelah merampas kekuasaan atas angkatan perang, Ie Kokioo diangkat menjadi Pengpouw Siangsie - Menteri Perang, namanya saja, karena selanjutnya ia dilarang mencampuri urusan pemerintahan.

   Rombongan dorna Ong Tjin sudah runtuh, akan tetapi dengan lekas merayap muncul satu rombongan yang baharu.

   Maka raja dan menteri lantas mengicipi suasana perdamaian, untuk bersenang-senang hingga lupa kepada Peristiwa Touwbokpo, bahwa negara pernah satu kali diilas-ilas musuh! Tan Hong gagal dalam percintaan, ia gagal juga dalam urusan keluarganya, ditambah pula ia berduka juga untuk urusan negara.

   Maka sesudah ia pergi dan berdiam dengan diam-diam beberapa hari di kota raja, Pakkhia, di mana ia perhatikan suasana, tanpa menemui Ie Kiam lagi, ia berangkat ke Selatan Kanglam.

   Wilayah Kanglam sangat indah permai tetapi itu tak dapat melenyapkan kedukaannya anak muda ini.

   Demikianlah itu hari seorang diri, dengan menunggang kuda kesayangannya, ia pergi ke luar kota Souwtjioe yang kesohor itu.

   Ia melihat ke sekitarnya, ia memandangnya.

   Benar-benar permai wilayah Kanglam ini.

   Akan tetapi kedukaannya tetap tak dapat dilenyapkan.

   Ia kasih kudanya jalan pelahan-lahan, sampai tiba-tiba ia bersenanjung.

   "Alam tak kekal abadi, urusan manusia berubah-ubah... Negara telah mengalami perkosaan, dia meninggalkan kedukaan baru..."

   Dari sakunya Tan Hong tarik keluar sepucuk surat yang telah bertanda bekas-bekas air mata.

   Bunyinya surat itu ia telah baca untuk beberapa ratus kali, maka dengan tak usah melihatnya lagi, dapat ia membacanya di luar kepala.

   Itulah surat peninggalan dari ayahnya, yang pada malam sebelumnya ayah itu menutup mata, dengan diam-diam si ayah telah masukkan ke dalam saku bajunya.

   Jadi sebelumnya peristiwa, tak tahu ia atas adanya surat itu.

   Surat itu, atau lebih benar ayahnya, menulis sbb.

   "Dahulu hari aku telah berbuat suatu kekeliruan, ialah aku keliru sudah pergi kepada negeri Watzu. Dengan demikian terjadilah aku membuat permusuhan dengan Keluarga In. Demikianpun telah terjadi. Walaupun aku tidak membunuh Pek Djin akan tetapi dia binasa disebabkan olehku. Maka itu jikalau In Tjeng serta anak dan cucunya sangat membenci aku, itulah wajar. Oleh karena itu sekarang aku telah mengambil putusan untuk menebus dosa dengan kematianku. Inilah bukan melulu disebabkan urusan dengan Keluarga In itu saja juga bukan karena aku tiada punya muka untuk pulang ke negeri sendiri. Di hari- hari lanjut dari usiaku, aku dapat melihat utusan bangsa Han yang agung yang telah unjuk pengaruhnya di negara asing, aku mati dengan tak penyesalan. Kau, anakku, kau menang seratus lipat daripada aku, dengan aku punyakan anak sebagai kau, puas aku meninggalkan dunia yang fana ini! Anak, jikalau nanti aku telah "pergi", kau harus segera pulang ke negeri, dengan Keluarga In kau mesti mencari keakuran, untuk menanam persahahatan, untuk dengan jalan itu kau turut menebus dosaku. Kau dengan cucu perempuannya In Tjeng ada saling menyinta, hal itu telah aku ketahui jelas dari Tantai Tjiangkoen. Jikalau perjodohan itu dapat diwujudkan, aku senang sekali."

   Bayangannya ayah itu berpeta di hatinya Tan Hong.

   Ayah itu telah pernah berbuat keliru, tapi juga pernah melakukan kebaikan.

   Benar ayah itu telah membantu membangun negara Watzu menjadi kuat, tetapi iapun secara diam-diam telah membantu memberikan hajaran kepada Yasian.

   Tadinya Tan Hong tidak dapat mengerti ayahnya itu, sekarang ia mengerti jelas semuanya, ia menginsafinya.

   Tidak heran kalau ayah itu angkuh - angkuh yang membuatnya mengambil jalan keliru.

   Ia sendiri juga beradat angkuh sebagai ayahnya itu, tetapi keangkuhannya itu karena di dalam dirinya mengalir darah Han.

   Demikian di dalam hatinya, Tan Hong mengulangi membaca surat ayahnya itu.

   Lalu di lain saat segera berbayang lain bayangan.

   Kali ini adalah bayangannya In Loei, dengan siapa ayahnya mengharapkan ia dapat menggabungkan diri sebagai suami isteri.

   Akan tetapi peristiwa yang menyedihkan sudah terjadi.

   Karenanya ia beranggapan selama hidupnya ini, tidak nanti ada lagi pengharapan yang mereka berdua bakal dapat bertemu pula satu dengan lain...

   Dengan demikian tak mungkin dibicarakan tentang urusan pernikahan itu.

   Selama dua bulan ini, ususnya Tan Hong bagaikan telah terputus.

   Ia terus terbenam dalam kedukaan, hingga ia hampir saja tak sadar pula akan dirinya.

   Hampir saja ia menjadi terganggu urat sarafnya.

   Kali ini Tan Hong pulang ke Kanglam, maksudnya untuk mencari hiburan di antara keindahan wilayah Selatan ini, guna singkirkan kedukaannya itu, siapa tahu, begitu ia tiba di Kanglam, begitu ia ingat pula In Loei...

   Dahulu hari itu ia ada bersama si nona, kuda mereka dikasih jalan berendeng.

   Di kala itupun sama musim seperti sekarang ini di kala buah bwee mulai menguning, di saat bunga delima mulai mekar.

   Di sepanjang jalan, mereka telah tinggalkan suara tertawa mereka, juga air mata mereka, tetapi sekarang, dia menjadi terlebih bersusah hati lagi.

   Benar seperti katanya Lie Tjeng Tjiauw.

   "benda menjadi yang tidak-tidak, segala peristiwa habis sudah, tak dapat bicara, akan tetapi air mata mengucur keluar terlebih dahulu..."

   Memang.

   "Satu kali usus telah putus, tak dapat putus lagi... Air mata sudah kering, tak dapat mengucur pula..."

   Kota indah yang bagaikan gambar lukisan, pemandangannya tetap sebagaimana tahun- tahun dahulu itu, demikian juga bayangannya In Loei, pada bayangan itu seperti berbekas tertawanya yang halus merdu.

   Semua itu bagaikan berpeta, bergerak-gerak di depan mata si anak muda.

   Akhirnya, tak dapat Tan Hong menahan hati.

   Ia menghela napas.

   "Adik kecil, segala apa sudah terlambat..."

   Keluhnya, pelahan. Menyusuli keluhannya ini, tiba-tiba Tan Hong dengar suara tertawa yang nyaring tetapi empuk, yang sedap bagi telinganya. Lalu menyusul suara tertawa itu, ia seperti dengar suaranya In Loei yang bagikan di samping kupingnya.

   "Siapa yang bilang sudah terlambat? Eh, kenapa kau tidak tunggui aku?..."

   Tan Hong menoleh dengan segera.

   Segera ia tampak seekor kuda bulu merah, di atas mana bercokol In Loei, yang wajahnya bersenyum berseri-seri, tetap manis seperti tahun dulu itu...

   Adakah ini impian? Adakah ini kejadian yang sebenarnya? Tan Hong terbenam dalam keragu-raguan.

   Tentu saja ia kaget berbareng sangat girang.

   Maka ia terus mengawasi kepada penunggang kuda itu, yang telah datang dekat kepadanya.

   In Loei terus bersenyum berseri-seri, lalu ia tertawa dan berkata.

   "Ah, kakak yang tolol!"

   Serunya, masih sambil tertawa.

   "Apakah kau telah tidak kenali aku?"

   Ah, inilah bukannya impian belaka. Maka kalaplah Tan Hong bahna kegirangannya yang meluap-luap! "Hai, adik kecil!"

   Serunya.

   "Benarkah kau yang datang? Benar-benarkah masih belum terlambat?"

   "Ah, apa katamu? Apakah itu terlambat atau tidak terlambat?"

   Si nona menyahuti.

   "Bukankah kau sendiri yang pernah mengatakan bahwa, walaupun perjalanan ada sangat jauh orang toh akhirnya akan dapat menyusul? Kau lihat! Bukan melainkan aku yang dapat menyusul kau, juga mereka itu! Lihat!"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   In Loei berpaling ke belakang, tangannya menunjuk.

   Tan Hong mengawasi ke arah yang ditunjuk di mana ia tampak In Teng, ayahnya In Loei, yang bercokol di atas kuda tengah berseri-seri mengawasi mereka, selagi kudanya lari mendatangi ke arah mereka berdua.

   Pada mukanya In Teng tetap ada tanda-tanda bekas luka, akan tetapi sekarang romannya tidak lagi bengis tetapi sangat manis budi, tidak lagi ada sinar kebenciannya yang sangat.

   Dan begitu lekas dia sudah datang dekat, segera dia lompat turun dari kudanya itu, gerakannya sangat gesit.

   Dia sudah tidak pincang dingkluk-dingkluk lagi.

   Sebab dia telah diobati In Tiong, putera mana mengobatinya menurut cara pengajarannya Tan Hong.

   Sejak peristiwa yang hebat itu selagi di pihak yang satu Tantai Mie Ming bersama Tjio Eng beramai repot mengurus jenazah Tjong Tjioe, di pihak lain, In Teng, telah buyar semua kebenciannya.

   Karena ia telah dengar penuturan jelas dari In Loei, puterinya, tentang kejadian yang sebenarnya, bagaimana dalam kesengsaraan Tjong Tjioe, yang sebenarnya ada turunan sah dari Kerajaan Tjioe, telah sia-sia berdaya untuk membangun pula kerajaannya itu, karena tindakannya yang keliru sudah mengandalkan bantuannya negeri Watzu, bahwa Tan Hong tak tahu menahu mengenai sepak terjang ayahnya itu, sebaliknya Tan Hong telah berjasa menolong negara dari bahaya keambrukan, bahwa In Teng telah peroleh bantuan sangat berharga dari Tan Hong itu, dan sehingga yang paling belakang ini ia pun sembuh dari pincangnya berkat pertolongan tidak langsung dari pemuda she Thio itu.

   Urusan leluhur telah diselesaikan, maka itu, tak ada alasan bahwa permusuhan itu diwariskan kepada anak cucu.

   Sebaliknya dengan duduknya hal telah menjadi jelas dan Tan Hong pun sudah melepas budi, sudah selayaknya apabila persahabatan dan perhubungan dipererat! Di belakang In Teng ini masih menyusul satu rombongan penunggang kuda lainnya.

   Yang pertama tertampak nyata adalah In Tiong bersama ibunya.

   Lalu Tantai Mie Ming bersama adiknya - Tantai Keng Beng.

   Mereka itu mengawasi ke arah mereka bertiga, wajah mereka tersungging senyuman.

   Semua beriang gembira.

   Nona Keng Beng majukan kudanya, hingga dia jadi jalan berendeng bersama In Tiong.

   Dengan gembira ia ayun cambuk kudanya.

   Ia tertawa.

   "Tan Hong, Koaywa Lim telah diperbaharui!"

   Ia berseru.

   "Taman itu telah menjadi semakin indah! Apakah kau masih tak hendak kembali ke dalam kota?"

   Sejak tadi Tan Hong mengawasi saja kepada mereka itu. Ia masih seperti orang yang baharu sadar dari mimpinya.

   "Adik kecil, apakah kau pun akan turut kembali ke dalam kota?"

   Ia berbisik kepada In Loei.

   Si Nona In cuma menyahuti dengan tertawanya yang manis! Dengan tertawa ini, habis sudah permusuhan dan kebencian, semua itu terlebur ke dalam asmara yang manis bagaikan madu...

   TAMAT Serial Thian San 1.

   Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika) 2.

   Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan) 3.

   San Hoa Lie Hiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga) Ikuti kisah selanjutnya.

   San Hoa Liehiap Pendekar Wanita Penyebar Bunga Apa yang terjadi setelah kaisar Kie Tin kembali naik tahta? Dalam cerita ini Thiansan Pay muncul untuk pertama kalinya, siapakah pendirinya? Apa hubungannya dengan Thio Tan Hong? Setelah 10 tahun tertawannya kaisar Kie Tin, Kie Tin dan Thio Tan Hong bertemu lagi! Pheng Hweshio mempunyai tiga orang murid, Tjoe Goan Tjiang, Thio Soe Seng dan Pit Leng Hie.

   Dalam cerita ini, giliran keturunan keluarga Pit yang ingin berebut tahta dengan keturunan Tjoe Goan Tjiang.

   ikuti juga kisah murid-murid Thio Tan Hong, yang merupakan anak-anak Ie Kiam dan Thio Hong Hoe.

   --ooo0dw0ooo---

   

   

   

   

Pedang Hati Suci -- Jin Yong Rahasia Mo-kau Kaucu -- Khu Lung Dendam Asmara -- Okt

Cari Blog Ini