Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 8


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Bagian 8



Dua Musuh Turunan Karya dari Liang Ie Shen

   

   Yaitu "Memisah bunga, mengebut yanglioe".

   Halus mulanya, keras akibatnya.

   Dengan cara ini, ia menyerang sambil membela diri.

   Serangan juga disusul dengan tertawa nyaring dan panjang.

   In Loei gerakkan tangannya, maka menyambarlah Tjengbeng kiam, diikuti berbareng dengan pedangnya Tan Hong, hingga kedua pedang kembali berangkap jadi satu dengan apa golok lawan dapat ditutup! Kali ini baharulah Thio Hong Hoe terkejut, hatinya bercekat.

   Lekas-lekas ia tarik goloknya, untuk dipakai melindungi diri.

   Ia telah kerahkan tenaganya, karena goloknya itu terjepit keras.

   Ia berhasil juga menarik goloknya akan tetapi ia mesti mundur dengan limbung, napasnya pun memburu.

   "Bagus, tak kecewa ia menjadi orang kosen nomor satu di kota raja,"

   Tan Hong memuji di dalam hatinya. Sementara itu ia telah memasang mata tajam. Hong Hoe telah memasang kuda-kuda "Poetteng poetpat,"

   Goloknya melintang di depan dadanya, kedua matanya dibuka lebar-lebar, sinar matanya masih menunjukkan kagetnya tadi. Tan Hong kerutkan alisnya. Ia berpikir.

   "Orang ini luas pengalamannya, sekarang ia ambil sikap membela diri, dengan lagi satu jurus, belum tentu dia dapat dikalahkan....."

   Setelah memasang kuda-kudanya itu, tenang hatinya Thio Hong Hoe.

   "Aku telah menyerang tiga kali, masih ada satu kali lagi!"

   Ia berseru dengan nyaring.

   "Habis itu, akan aku biarkan kamu berlalu terlebih dahulu! - Kamu sudah siap? Bagus! Sambutlah!"

   Thio Tan Hong melirik pada In Loei, kali ini ia tampak kedua matanya bersinar tajam.

   Itulah sinar mata yang wajar, nyata keadaan si nona telah pulih kembali.

   Dengan sinar mata demikian, In Loei tengah mengawasi musuh.

   Menampak demikian, Tan Hong dapat harapan.

   Tiba-tiba saja ia berseru, terus ia maju menyerang.

   Perbuatan ini dengan serentak diturut In Loei, hingga mereka jadi maju berbareng, kedua pedang berkelebatan, ujungnya menikam.

   Thio Hong Hoe mendak, goloknya dilintangkan, dipakai menangkis kedua pedang lawan.

   Habis itu, ia putar tubuhnya, goloknya tergerak pula, disusul dengan mencelatnya tubuhnya.

   Tan Hong tak sangka orang ada demikian sebat, di dalam hatinya, ia mengeluh.

   "Celaka..... kalau ini gagal, dia lolos, dengan begitu lewatlah jurus ke empat, kita mesti mengaku kalah....."

   Maka itu, hendak ia lanjutkan serangan- nya.

   Untuk itu hendak ia menangkis dulu, baharu ia menikam.

   Selagi Tan Hong memikir demikian, In Loei telah bekerja.

   Sekonyong-konyong Hong Hoe menjerit, disusul, dengan rubuhnya tubuhnya.

   In Loei telah berlaku sangat sebat, selagi pedang Tan Hong melayani golok lawan, ia menyambar kaki orang, tepat ujung pedang itu mengenai sasarannya, maka bahna kaget dan sakit, jago dari kota raja itu tak dapat injak tanah lagi.

   Tan Hong terkejut karena herannya.

   Ia menduga, dengan mencelatnya Hong Hoe, pedang In Loei akan menemui tempat kosong seperti pedangnya sendiri.

   Dengan lompatan "Lehie tateng"

   Atau "Ikan gabus meletik,"

   Hong Hoe mencelat bangun, terus ia pandang kedua lawannya dengan menyeringai. Ia mengibaskan sebelah tangannya, lalu ia berkata.

   "Benar liehay sepasang pedang kamu! Sekarang kamu boleh pergi!"

   Khoan Tiong sudah mendampingi kawannya ini.

   "Toako, secara demikian mudah kau membebaskan mereka?"

   Ia menegur.

   "Ya,"

   Jawab Hong Hoe.

   "Koentjoe itgan, koayma itpian! Biarkan mereka pergi!"

   Khoan Tiong seperti menggerutu "Koentjoe itgan, koayma itpian" - "Gentleman dengan sepatah kata, kuda jempolan dengan satu cambukan,"

   Tapi ia berdiam tidak berani ia mengucapkan kata-kata.

   "Mereka bukannya orang-orang Jalan Hitam!"

   Kata Hong Hoe pula.

   "Dengan melepaskan mereka, kita tidak mendapat salah. Kenapa kita mesti serakahkan jasa semacam ini?"

   Merah wajahnya Khoan Tiong.

   "Oleh karena kau yang menanggung jawab, toako, kita tidak dapat berkata apa apa lagi"

   Katanya. Hong Hoe segera berikan titahnya untuk memberi jalan kepada kedua anak muda itu. Thio Tan Hong menghormat pada komandan Kimie wie itu.

   "Dua kali kita telah bertempur, masih belum tahu aku she dan namamu,"

   Berkata Hong Hoe.

   "Sebenarnya kau datang dari mana?"

   Tan Hong bersikap lesu, ia menguap.

   "Kau orang she Thio, aku juga orang she Thio,"

   Sahutnya.

   "Thio kau tidak sama dengan Thio aku, akan tetapi pada lima ratus tahun yang lalu, kita berasal dari satu keluarga. Maka itu, baiklah aku panggil kau toako.

   "Toako,"

   Ia tambahkan.

   "adikmu telah lelah sekali, di sini pun banyak orang dan berisik, tidak dapat aku tidur di sini, karenanya, maafkan aku, tak dapat kami temani kau lebih lama pula....."

   Wajah Khoan Tiong berubah pula menjadi merah, tidak demikian dengan Thio Hong Hoe, dengan sikap wajar dia malah tertawa.

   "Kau jumawa, kau juga gagah, tidak kecewa aku mendapatkan saudara satu she sebagai kau!"

   Ia kata.

   "Baiklah saudara, kau boleh pergi!"

   Tan Hong segera bersenanjung.

   "Jikalau masih ada sifat orang kangouw, orang menjadi jenderal pun tidak kecewa..... Air biru, gunung hijau, di belakang hari nanti kita bertemu pula, saudara, aku pergi!"

   Ia tambahkan.

   Terus ia tuntun tangan In Loei untuk diajak turun gunung di mana tidak ada satu serdadu juga yang merintangi mereka.

   Di sepanjang jalan, In Loei terus bungkam.

   Setelah melalui kira-kira tujuh lie, mereka tinggalkan tentera negeri jauh sekali di belakang mereka.

   Di depan mereka terdapat jalan simpang tiga, di situ Tan Hong menguap.

   "Adik kecil, mari kita cari tempat untuk beristirahat dulu,"

   Ia kata pada kawannya.

   "Jalan yang di tengah ini untuk ke kota Tjengteng, yang di kiri untuk ke kota Loanshin. Aku pikir, baik kita menuju ke Tjengteng saja."

   In Loei kebutkan bajunya.

   "Kau ambil jalanmu, aku ambil jalanku!"

   Ia menyahut dengan dingin. Tan Hong melengak.

   "Demikian rupa kau benci aku?"

   Dia tanya. In Loei menyingkir dari pandangan orang, ia kerutkan alis.

   "Aku haturkan terima kasih yang kau telah menolong aku,"

   Si nona berkata pula.

   "akan tetapi permusuhan kita kedua keluarga, tidak ada jalan untuk memecahkannya!..... Ah, siapa suruh engkong menutup mata siang-siang, coba ia masih hidup, mungkin aku dapat menasehati supaya dia mengubah pikirannya..... Sekarang sudah tidak dapat lagi..... Pesan dari leluhur, cara bagaimana turunannya dapat menentangnya?..... Ah, ini dia takdir....."

   "Aku tidak percaya takdir!"

   Kata Tan Hong, tegas.

   "Kalau kau tidak percaya, habis kau mau apa?"

   Si nona tanya.

   "Baiklah, kau boleh pergi! Jikalau kau menuju ke timur, nanti aku menuju ke barat!"

   Wajah Tan Hong tampaknya muram.

   "Jikalau sudah pasti kau hendak menuntut balas, kenapa kau tidak lakukan itu sekarang saja?"

   Dia tanya.

   Ia lesu sekali.

   Merah mata In Loei, kakinya terus menindak.

   Ia berjalan dengan sangat cepat, tidak ia menoleh.....

   -ooo0dw0ooo- BAB XI Walaupun ia berlari-lari, In Loei toh dengar helaan napas panjang di belakangnya, helaan mana disusul dengan kata-kata.

   "Melihat kau menyebabkan kau berduka, tidak melihat kau maka akulah yang bersusah hati..... Ah, daripada kau yang berduka, baiklah aku saja..... Adik kecil, baik-baiklah kau jaga dirimu. Kau pergi adik, kau pergi!....."

   Nona ini keras hati meskipun ia rasakan hatinya itu sakit. Ia masih dapat kuatkan hati, untuk tidak menoleh. Akan tetapi air matanya, tak dapat ditahan. Dengan terbawa angin, In Loei masih dengar kata-kata orang.

   "Saling melihat tetap tidak seperti saling melihat, merasa cinta toh tidak merasa cinta....."

   Dalam usianya tujuh belas tahun, belum pernah In Loei memikir halnya kasih sayang antara pemudi dan pemuda, mendengar itu, merah mukanya. Di dalam hatinya, ia jadi memikir.

   "Apakah benar aku telah terjerumus ke dalam jala cinta?"

   Lantas hatinya menjadi bimbang, mukanya merah sampai ke kupingnya.

   Ia lari terus, setelah beberapa puluh tombak, baharu ia berani berpaling ke belakang.

   Sekarang ini ia tidak lihat sekalipun bayangan Thio Tan Hong! Akhir-akhirnya tibalah In Loei di kota Tjengteng, sebelum matahari terbenam.

   Ia langsung mencari sebuah hotel besar di mana, dengan mengunci pintu rapat-rapat, ia segera rebahkan diri di atas pembaringan.

   Tak tahu nona ini, berapa lama ia telah pulas, waktu ia sadar, ia dengar suara gembreng diiringi dengan kata-kata nyaring, seperti orang tengah membentak bentak, suara mana disusul lagi dengan suara jongos hotel, yang mengetuk pintu setiap kamar untuk memberitahukan.

   "Hotelku telah disewa seluruhnya oleh pembesar negeri, menyesal sekali aku mesti minta tuan meninggalkan hotelku ini untuk mencari lain rumah penginapan. Tentang uang sewa, itu akan aku kembalikan. Inilah terpaksa, harap tuan sudi memaafkannya....."

   Seperti sudah menjadi kebiasaan, satu kali sebuah hotel diborong oleh pembesar negeri, penumpang-penumpang itu puas atau tidak mereka harus pindah.

   Demikianlah tindakan terpaksa dari pemilik hotel.

   Kamar In Loei diketok paling belakang, ia sudah dandan, sudah siap sedia, begitu ia membuka pintu, ia katakan pada jongos yang mengetoknya.

   "Kau tidak usah menjelaskan lagi, aku sudah tahu, sekarang aku pergi!"

   "Maaf,"

   Kata jongos itu, yang terus mengawasi tetamunya, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. In Loei heran atas sikap orang.

   "Apakah yang kau awasi?"

   Dia tanya.

   "Aku lihat tuan bukan penduduk sini,"

   Sahut jongos itu.

   "maka itu, dalam keadaan begini mungkin sulit bagi kau mencari lain rumah penginapan."

   In Loei makin heran.

   "Apa?"

   Dia tegaskan.

   "Kenapa jadi sulit?"

   Jongos itu menutup pintu.

   "Apakah tuan tahu kenapa pembesar negeri hendak pakai hotel kami ini?"

   Kata dia dengan perlahan sekali. In Loei menggelengkan kepala.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Suara tadi sangat berisik, aku tidak dapat dengar nyata,"

   Ia kata.

   "Apa yang aku ketahui, inilah persiapan untuk melayani utusan dari Mongolia,"

   Terangkan jongos itu, suaranya tetap perlahan.

   "Sampai Sri Baginda menugaskan pasukan Gielim koen guna mengiringi utusan itu. Berhubung dengan itu, semua hotel di Tjengteng, tengah hari telah mendapat pemberitahuan bahwa kalau dihotelnya menumpang tetamu atau tetamu-tetamu yang dapat menimbulkan kecurigaan, dia atau mereka itu mesti dilaporkan pada polisi. Maka itu aku kuatir, dengan pindah ke lain hotel, tuan bisa menemui kesulitan yang memusingkan kepala....."

   Mendengar itu, In Loei tertawa.

   "Habis, cara bagaimana kau berani membiarkan aku tetap menumpang di sini?"

   Katanya.

   "Apakah aku tidak mendatangkan kecurigaan itu?"

   Jongos itu berdiam, tiba-tiba ia ingat suatu apa.

   "Bukankah tuan she In?"

   Tanyanya. In Loei bercekat. Waktu mendaftarkan nama, ia memakai she dan nama palsu. Ia heran kenapa jongos itu ketahui she-nya. Maka segera ia sambar tangan orang, yang nadinya terus ia pegangi.

   "Kau siapa?"

   Dia tanya dengan bengis.

   "Jangan kuatir, tuan,"

   Sahut jongos itu, agaknya ia tidak takut.

   "Kita ada orang sendiri. Jikalau tuan tidak percaya padaku, aku mempunyai suatu barang yang tuan telah tinggalkan di sini, kalau tuan melihat itu, tuan akan segera ketahui duduknya hal"

   In Loei tidak takut.

   Ia pikir, kalau toh mesti menggunakan kekerasan, jongos ini tidak akan lolos dari tangannya.

   Karena itu ia lepaskan cekalannya, ia biarkan jongos itu pergi mengambil barang yang dia sebutkan itu.

   Jongos itu ngeloyor pergi, tidak lama kemudian kembalilah ia bersama kuasa hotel, siapa memegang satu bungkusan kecil yang terbungkus oleh kain sutera, terus ia berikan kepada tetamunya.

   "In Siangkong, inilah barang yang tetamuku tinggalkan untukmu,"

   Ia kata.

   In Loei terima bungkusan itu, dengan hati-hati ia membukanya.

   Ia lantas lihat sepotong sanhoe biru hijau, yang mempunyai sembilan tangkai.

   Ia menjadi tercengang.

   Karena itulah sanhoe kepunyaannya sendiri yang ia berikan kepada Tjio Tjoei Hong selaku tanda mata.

   "Apakah dia juga datang kemari?"

   Tanyanya. Dengan "dia"

   Ia maksudkan "dia"

   Wanita.

   "Apakah dia juga berdiam di sini?"

   "Nona Tjio sampai di sini kemarin,"

   Jawab kuasa hotel itu.

   "Dia telah melukiskan jelas padaku tentang roman dan potongan In Siangkong, dia minta kami memperhatikannya. Sungguh kebetulan, benar-benar In Siangkong dating ke hotel kami!"

   In Loei berdiam. Ia segera ingat cintanya Tjoei Hong terhadapnya, yang nona itu tidak dapat lupakan. Karena ini, ia jadi mengeluh sendirinya.

   "Baiklah aku menjelaskan, tuan,"

   Si kuasa hotel berkata pula.

   "Hotel kami ini adalah miliknya partai Hayyang Pang, dan usaha kita adalah dengan cara diam-diam melayani keperluannya orang kangouw yang menjadi kaum kita. Hongthianloei Tjio Lootjianpwee itu adalah kenalan baik dari kami, dan Nona Tjio datang kesusu kemarin malam, terus dia titipkan barangnya ini. Nona itu juga memesan supaya kau besok pergi ke Tjengliong kiap, untuk menantikan dia. Si nona pesan, bila siangkong sampai di sana nanti ada orang yang menyambut padamu untuk diantarkan."

   In Loei manggut.

   "Habis, sekarang aku harus bermalam di mana?"

   Dia tanya.

   "Oleh karena siangkong ada orang kita sendiri,"

   Sahut si kuasa hotel.

   "aku minta siangkong suka serahkan kamar itu, untuk kami menggantinya dengan kamar kerjaku sendiri. Aku harap siangkong suka memaafkan sikap kami ini."

   Tetapi In Loei menunjukkan kegirangannya.

   "Bagus, bagus!"

   Katanya.

   "Sekalian aku hendak tengok macamnya utusan dari Mongolia itu, bagaimana keangkerannya hingga ia mesti dilayani secara begini!"

   Maka malam itu, habis bersantap, In Loei berpura-pura tidur.

   Dengan begitu, ia jadi dapat beristirahat.

   Segera juga terdengar tindakannya kaki-kaki kuda dan suara bengernya, pun suara manusia terdengar riuh menjadi satu.

   Dan hamba-hamba hotel lantas berlari-lari keluar untuk mengadakan penyambutan.

   In Loei tidak berani munculkan diri, maka itu ia cuma mengintai dari selasela pintu.

   Segera juga tampak empat perwira mengantarkan delapan orang Mongolia memasuki hotel, yang berjalan di tengah, diiring dikedua sampingnya.

   Dengan segera In Loei kenali orang yang jalan di tengah-tengah, yang istimewa menarik perhatiannya.

   Dia adalah si pangeran asing yang pernah bertempur dengannya ketika terjadi penyerbuan kepada Tjioe Kian.

   Hotel itu adalah yang terbesar di kota Tjengteng, banyak kamarnya, ke empat perwira Gielim koen memeriksai semua kamar, habis itu mereka Tanya kuasa hotel.

   "Apakah di sini tak ada orang lainnya lagi?"

   "Paduka tuan telah sudi pakai hotel kita, mana kita berani menerima lain penumpang,"

   Kuasa itu menjawab dengan hormat. Tadinya masih hendak dilakukan pemeriksaan ke dalam, tempat keluarga kuasa hotel dan orang-orangnya, tetapi si pangeran asing mencegah.

   "Tak usah tongnia demikian teliti,"

   Katanya sambil tertawa.

   "Walaupun Tionggoan besar, mungkin belum ada orang yang berani menjadi lawan kami! Atau andaikata ada juga yang berani, dia tentunya ingin mencari mampusnya sendiri, untuk itu tak usah tongnia beramai turun tangan, cukup asal kamu bertanggung jawab atas penguburan mereka itu!....."

   "Benar, benar!"

   Memuji ke empat perwira Gielim koen itu.

   "Memang orang-orang gagah dari negeri Tuan, semua tak ada tandingannya di kolong langit ini. Adalah kami yang terlalu berhati-hati....."

   Mendongkol In Loei mendengar perkataan orang itu.

   "Sebentar akan aku berikan kamu pengertian apa yang dinamakan liehay!"

   Pikirnya.

   Ia anggap orang menghina diri sendiri, sedang di sini ada soal kebangsaan.

   Sebentar kemudian, selesai sudah utusan itu mengambil kamar, lalu dua orang Mongolia serta dua perwira Gielim koen ditugaskan bergantian berjaga malam.

   In Loei tunggu saatnya, untuk salin yaheng ie, pakaian untuk keluar malam, begitu lekas ia dengar suara kentongan tiga kali, dengan hati-hati ia keluar dari kamarnya, untuk mendekam dulu di ujung payon.

   Tapi ia siap sedia dengan senjata rahasianya, Bweehoa Ouwtiap piauw - "Kupu-kupu yang bermain di antara bunga-bunga bwee."

   Ia tunggu waktu, bila kedua cinteng Mongolia itu membalik belakang terhadapnya, hendak ia serang mereka itu.

   Tiba-tiba di atas wuwungan berkelebat satu bayangan putih.

   In Loei lihat itu, ia terkejut.

   Sekejap saja ia lihat berkelebatnya satu tubuh manusia, orang itu memakai topeng, bajunya putih dan panjang, maka di dalam gelap tampak tegas warna putih dari pakaiannya itu.

   Segera juga hati In Loei berdenyut.

   Sekelebatan ia ingat kejadian pada malam itu, waktu Thio Tan Hong nyelundup masuk ke Tjiokee tjhoeng.

   Karena ini, ia lantas goyangkan tangannya, untuk memberi tanda.

   Orang bertopeng itu membalikkan tubuhnya, ia rupanya lihat tanda yang diberikan, malah ia membalas menggerakkan kedua tangannya, menunjuk ke arah luar, maksudnya menyuruh si nona lekas berlalu.

   Belum sempat In Loei berpikir, untuk mengambil keputusan, ia tampak orang itu sudah lompat turun, menyusul mana ia dengar dua jeritan dari kesakitan.

   Sebab dengan kesehatannya, orang bertopeng itu sudah menyerang dan membinasakan kedua pahlawan Mongolia itu.

   "Itulah serangan Kimkong tjioe yang liehay!"

   Memuji In Loei, kagum.

   "Belum pernah aku tampak Tan Hong menggunakan semacam pukulan. Apakah dia adanya atau lain orang?"

   Tengah si nona berpikir, dari dalam telah lompat keluar kedua cinteng Gielim koen, tetapi kembali dengan kesehatannya, bukan ia menyingkir, si orang bertopeng justeru menerjang, ketika kedua tangannya bergerak, tidak ampun lagi ia menotok urat lemah dipinggangnya.

   Itulah perwira Gielim koen yang di sebelah kiri, tetapi yang di sebelah kanan, kepandaiannya tidak selemah kawannya, dengan gerakan "Tjioehoei piepee,"

   Atau "Tangan mementil piepee,"

   Dapat ia egoskan diri dari bahaya. Si orang bertopeng segera berseru.

   "Kenapa anak cucunya Oey Tee mesti jual jiwa untuk bangsa Tartar?"

   Suara itu perlahan, In Loei tidak dapat mendengar dengan nyata.

   Ia hanya heran kenapa dari pukulan kematian, orang itu mengubahnya dengan totokan jalan darah, hingga orang Gielim koen itu tidak dibinasakan.

   Tidak lama mereka itu bertempur, lantas perwira Gielim koen itu mundur, atas mana si orang bertopeng lompat ke dalam, ke arah kamar dari si pangeran asing.

   Belum sampai orang itu di muka pintu, dengan tiba-tiba daun pintu terpentang lebar, disusul dengan suara tertawa yang nyaring, dan munculnya satu bayangan, gerakan tubuh bayangan itu mendatangkan siuran angin.

   Mau atau tidak, si orang bertopeng mundur tiga tindak.

   In Loei tidak pergi ketika diberi tanda oleh si orang bertopeng, ia diam di tempatnya mendekam, dari situ ia dapat lihat siapa adanya orang yang keluar dari dalam kamar itu, ialah Tantai Mie Ming.

   Jago Mongolia itu telah memasuki Tionggoan, entah dengan cara bagaimana, sekarang ia menemani si pangeran asing yang menjadi utusan itu.

   Segera In Loei lihat, setetah mundur, si orang bertopeng maju pula, dia menyerang.

   Tantai Mie Ming gerakkan tangannya berikut tubuhnya, atas mana si orang bertopeng rubuh terjungkal, jumpalitan, tapi sekejap saja, ia sudah berdiri pula.

   Kaget sekali In Loei, hingga ia berteriak.

   "Lekas menyingkir!"

   Sedang tiga batang senjata rahasianya dengan saling susul ditimpukkan kepada Tantai Mie Ming.

   Ia tujukan ke atas, ke tengah dan ke bawah, untuk membuatnya orang repot.

   Tantai Mie Ming kibaskan kedua tangannya, belum lagi senjata rahasia tiba pada tubuhnya, tiga-tiganya sudah jatuh kelantai! Selagi jago asing itu menangkis piauw, si orang bertopeng sudah maju pula dengan serangan kedua tangannya.

   Masih sempat Tantai Mie Ming menangkis, juga dengan kedua tangannya, maka itu ke empat tangan jadi beradu dengan keras hingga terbit suara nyaring.

   Sebagai akibatnya, si orang bertopeng mundur dengan tubuh limbung, tapi tidak sampai rubuh.

   "Bagus!"

   Sera Tantai Mie Ming.

   "Siapa sanggup lawan tanganku, dia terhitung satu hoohan juga!"

   Setelah kegagalannya ini, si orang bertopeng lari keluar, berniat lompat naik ke atas genteng.

   Perwira Gielim koen yang tadi menyaksikan jalannya pertempuran, ketika ia lihat orang hendak lari, dengan mendadak ia membokong dengan djoanpiannya, cambuk yang lemas.

   In Loei saksikan perbuatan orang itu, ia menjadi gusar, serta merta tangannya terayun, sebatang piauw-nya terbang menyambar.

   Perwira itu tidak sepandai Tantai Mie Ming, lengannya terkena piauw, tak ampun lagi, ia rubuh dengan tak sadarkan diri, cambuknya turut jatuh.

   Pada saat itu si orang bertopeng pun sudah naik ke atas tembok dari mana ia lompat terus ke atas genteng.

   "Terima kasih!"

   Ia mengucap dengan perlahan kepada nona kita, ia tidak berhenti lari atau menghampiri, ia berlalu terus dengan cepat sekali.

   Karena In Loei tercengang menyaksikan kelakuan orang itu, ia hanya melihat bahagian belakangnya saja.

   Ia jadi berpikir.

   Mendengar suaranya dan melihat bebokongnya, seolah-olah ia pernah kenal orang itu, orang itu tak mirip dengan Thio Tan Hong.....

   Sedang ia diam berpikir, beberapa pahlawan Mongolia serta anggautaanggauta Gielim koen tampak mendatangi, malah Tantai Mie Ming menjurus ke arah tempatnya sembunyi, hingga ia menjadi terkejut.

   Lebih-lebih ketika Mie Ming, sambil memandang ke arahnya, perdengarkan tertawanya.

   "Mana si orang jahat?"

   Pahlawan-pahlawan itu saling menanya. Sekonyong-konyong Tantai Mie Ming putar tubuhnya dan ia melepaskan panah ke lain arah daripada In Loei, habis mana ia kata.

   "Orang-orang jahat banyak jumlahnya, di antara kamu, dua orang melindungi ongya, yang lainnya semua turut aku!"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Inilah di luar sangkaan In Loei maka ia menjadi heran atas sikap Tantai Mie Ming.

   Bukankah Mie Ming telah dapat mencari ia? Kenapa dia justeru mengajak rombongannya pergi ke lain jurusan? Sungguh ia tidak mengerti.

   Setelah orang-orang pergi, In Loei turun dari tempatnya sembunyi, dengan matanya yang awas ia segera tampak jongos hotel, yang menyembunyikan diri dipojok yang gelap, melambaikan tangannya.

   Ia lantas menghampiri.

   "Mari turut aku!"

   Kata jongos itu.

   "Selagi keadaan kalut, kita mesti menyingkir."

   In Loei ikut dengan tidak banyak omong. Ia percaya jongos itu. Untung bagi mereka, mereka tidak menemui siapa juga. Ketika itu pintu kota masih belum ditutup, si jongos mengajak tetamunya sampai di suatu tanjakan di luar kota.

   "Sebentar jam lima, ada orang yang akan menjemput siangkong,"

   Kata jongos itu lega. In Loei keluarkan napas.

   "Sungguh berbahaya!"

   Ia kata. Dalam cahaya rembulan dan bintang-bintang yang samar-samar, si nona tampak wajah si jongos berseri-seri. Dia pun berkata.

   "Nona Tjio memesan supaya siangkong ingat untuk membawa sanhoe. Apakah siangkong telah sediakan itu?"

   In Loei menjadi masgul, ruwet pikirannya. Baharu tenang satu gelombang, sudah datang gelombang yang lain.

   "Aku tahu sudah,"

   Katanya, dengan terpaksa. Menampak wajah si "pemuda"

   Berubah, jongos itu tidak berani tertawa lagi.

   Berselang kira-kira setengah jam, dua ekor kuda tampak mendatangi, yang satu ada penunggangnya, yang lain kosong.

   Setelah penunggang kuda itu dating dekat, ia kenali orang itu adalah Tjek Po Tjiang.

   Hweesin tan Tjek Po Tjiang itu sangat membenci Thio Tan Hong, terhadap In Loei juga ia tidak berkesan terlalu baik, akan tetapi bertemu kali ini, ia girang juga, maka sambil memberi hormat, ia kata.

   "Kau juga dapat lolos? Bagaimana dengan si bangsat berkuda putih itu? Bukankah itu hari dialah yang dating membawa pasukan negeri?"

   Orang she Tjek ini tetap menyangka Tan Hong mencelakai mereka. In Loei menyahut dengan dingin sekali.

   "Dia justeru mengorbankan segala apa untuk menolongi Pit loo enghiong. Apakah Pit loo enghiong tidak menceritakannya padamu?"

   "Adakah itu benar?"

   Ia menegaskan.

   "Aku belum bertemu dengan Pit loo enghiong. Cuma Nona Tjio yang menyuruh aku menyambut kau, supaya dengan menunggang kuda kita mencari dia."

   Tanpa menjawab kata-kata orang, In Loei menanya.

   "Di mana adanya Pit iooenghiong sekarang?"

   Demikian pertanyaannya.

   "Menurut nona Tjio, setelah Pit iooenghiong lolos dari bahaya, dia bernaung di tempatnya Na Thian Sek di Imma tjoan. Tempat itu terpisah dari sini kirakira sepuluh lie. Ah, cahaya terang sudah mendatangi, kita mesti lekas berangkat!"

   Po Tjiang lantas serahkan kuda yang kosong, ia silakan In Loei menaikinya, sesudah mana ia jalan di sebelah depan sebagai pengantar. Mereka kaburkan kuda mereka dan pada waktu fajar sampailah mereka di sebuah lembah.

   "Inilah selat Tjengliong kiap,"

   Tjek Po Tjiang memberitahukan. Terus ia bersuit tiga kali beruntun. Dengan lantas suitan itu mendapat sambutan.

   "Itulah nona Tjio sedang mendatangi,"

   Kata Po Tjiang.

   "Pergi kau masuk kelembah untuk papaki dia. Aku sendiri masih hendak pergi kepada Pit Iooenghiong,"

   In Loei menurut, ia turun dari kudanya, ia lantas bertindak ke dalam lembah.

   Belum jauh ia jalan atau dari satu tikungan ia tampak munculnya satu orang, ialah Tjio Tjoei Hong.

   Nona itu mendatangi sambil berlari-lari, air matanya bercucuran, begitu datang dekat In Loei, ia lompat menubruk, ia merangkul dengan keras.

   "Ah, akhirnya kita bertemu pula!....."

   Serunya. In Loei pegangi orang, untuk diajak duduk.

   "Kau telah janjikan aku untuk bertemu dengan kau,"

   Katanya tertawa.

   "tentunya itu bukan untuk bicara tentang cinta....."

   Tjoei Hong cemberut, matanya melotot, tapi ia seka air matanya.

   "Thian telah melindungi hingga kita telah bertemu pula,"

   Katanya dengan perasaan bersukur.

   "akan tetapi engko Tjioe.....engko Tjioe....."

   In Loei terkejut.

   "Engko Tjioe kenapa?"

   Dia tanya.

   "Aku berkesan keliru terhadap kakak angkatmu itu, dia sebenarnya orang baik hati....."

   Tjoei Hong jawab.

   "Katakan lekas, engko Tjioe kenapa?"

   Tegaskan In Loei tanpa pedulikan pengutaraan orang.

   "Ketika itu hari kau rubuh dari kuda hingga kau kena terkurung,"

   Sahut Tjoei Hong dengan ceritanya.

   "kami telah kembali dengan niat menolongi kau. Tapi kami telah dipotong musuh. Belakangan muncul Thio Hong Hoe. Dia gagal mengejar Pit iooenghiong, dia rintangi aku dan Tjioe Toako. Kami berdua bukan tandingan dari Hong Hoe, baharu belasan jurus, aku telah kena tersampok belakang goloknya hingga aku rubuh dari kudaku, pada saat itu hampir aku kena dibekuk musuh, Tjioe Toako telah berlaku mati-matian menolongi aku. Ia lompat turun dari kudanya, dengan menerjang bahaya terinjak-injak kaki kuda, ia sambar paha Thio Hong Hoe, ia gigit. Karena ini, Thio Hong Hoe mengemplang dengan goloknya, hingga ia pingsan, habis itu, dia naik ke kudanya untuk lari pergi, mungkin untuk mengobati lukanya, hingga aku tidak dikejarnya terlebih jauh."

   Di antara In Loei dan Tjioe San Bin ada perasaan yang tak menyenangkan mereka, akan tetapi meskipun demikian, mereka menyayangi satu pada lain bagaikan saudara sendiri, maka itu, mendengar keadaan San Bin itu, In Loei kaget dan kuatir.

   "Kalau begitu, perlu kita lekas pergi menolongi,"

   Katanya.

   "Aku minta kau datang kemari justeru untuk mencari daya buat menolongi dia,"

   Kata Tjoei Hong.

   "Dengar dulu perkataanku. Masih ada satu hal yang aneh sekali. Setelah hari itu aku lolos dari bahaya, lalu kemarin dulu aku bermalam di kecamatan Keekoan. Di situ, pada waktu tengah malam, aku dibikin sadar karena kaget oleh seorang yang bertopeng, yang memancing aku pergi keluar kota. Turut penglihatanku, ilmu silat dia itu ada terlebih liehay daripada aku, tetapi dia tidak mencelakai aku. Setibanya di luar kota, dia lantas tinggalkan aku pergi. Perbuatannya itu membuat aku jadi heran dan berpikir. Baharu besok siang, aku mengerti perbuatannya si orang bertopeng itu. Kiranya malam itu, polisi di kota Keekoan telah dikerahkan tenaganya untuk melakukan penggeledahan umum. Hotel hotel diperiksa teliti, mereka yang berlalu lintas juga ditanyai melit-melit. Menurut kabar, tindakan itu diambil untuk persiapan menyambut seorang besar, untuk menjaga keamanan. Terang sudah, si orang bertopeng itu memancing aku keluar kota karena ia telah mengetahuinya terlebih dahulu tentang akan dilakukannya penggeledahan itu. Dan tentu sekali, dia bermaksud baik."

   In Loei menjadi heran sekali.

   "Orang bertopeng..... orang bertopeng?....."

   Katanya tak tegas.

   "Bagaimana tentang potongan tubuhnya, dia mirip atau tidak dengan orang yang telah nyelusup masuk ke rumahmu dahulu - yaitu si mahasiswa berkuda putih?"

   "Di waktu malam gelap seperti itu, aku tidak dapat melihat dengan nyata,"

   Sahut Tjoei Hong.

   "Lain dari itu, aku juga tidak memikir tentang mahasiswa berkuda putih itu. Karenanya, tak dapat aku berkata suatu apa."

   Dengan sendirinya, wajah In Loei menjadi ber-semu dadu.

   "Aku tahu siapa si orang besar yang hendak disambut di Keekoan itu,"

   Ia beritahu.

   "Mereka adalah utusan bangsa Mongolia serta sekalian pengiringnya. Oleh karena Keekoan ada sebuah kota besar, rupanya dipandang perlu untuk melakukan penggeledahan umum itu."

   Tjoei Hong heran.

   "Bagaimana kau ketahui itu?"

   Tanyanya.

   "Tadi malam aku juga telah melihat orang bertopeng itu,"

   Jawab In Loei.

   "Tentang ini, belakangan saja kita perbincangkan pula. Baiklah kau bicara terlebih dahulu, tentang kau."

   Tjoei Hong menurut.

   "Kemarin malam aku telah bertemu dengan satu sahabat dari ayahku,"

   Ia berceritera.

   "Dari sahabat itu, aku dapat tahu Pit Iooenghiong sudah lolos dari ancaman marah bahaya. Lantas aku cari Pit iooenghiong itu. Tidak tahunya, Pit iooenghiong juga telah bertemu dengan si orang bertopeng dan si orang bertopeng itu telah menitipkan sepucuk surat padanya. Pit Iooenghiong berkata, si orang bertopeng itu mirip seperti Thio Tan Hong yang kedua. Kemudian Pit iooenghiong tiba di rumah keluarga Na, di sana pun si orang bertopeng telah meninggalkan suratnya. Oleh karena ia baharu saja terlepas dari bahaya, Pit iooenghiong tidak berniat untuk mencari tahu tentang orang bertopeng itu."

   "Bagaimana bunyi surat si orang bertopeng itu?"

   Tanya In Loei.

   "Surat itu mengatakan bahwa si orang bertopeng ketahui rombongan utusan bangsa Watzu itu pergi ke Pakkhia, yang menjadi pemimpin adalah satu pangeran. Dia menduga bangsa Watzu hendak mengajukan suatu permintaan. Benar perhubungan antara Kerajaan Beng dan negara Watzu telah jadi buruk, tetapi kaisar Beng berniat memperbaiki itu, maka juga terhadap utusan Watzu itu, ia menyambutnya dengan gembira, dalam hal tindakan memberi perlindungan. Ia sangat berhati-hati. Surat itu juga mengatakan, si orang bertopeng ketahui Tjioe Toako berada di tangan tentera negeri. Untuk menolongi Tjioe Toako, dia usulkan supaya kita berkumpul, supaya kita cegat rombongan utusan bangsa Watzu itu, untuk menawan si pangeran juga. Dengan tindakan kita ini, jikalau kita berhasil, kesatu kita dapat menolongi Tjioe Toako, dan kedua, pemerintah juga tak usah dengan tundukkan kepala memohon perdamaian dari bangsa asing itu. Lebih jauh surat itu menunjuk, selat Tjengliong Kiap bagus letaknya, berbahaya, maka ia anggap, di sini dapat kita umpetkan diri, untuk mencegat rombongan utusan itu. Si orang bertopeng berjanji, pada saat pencegatan mungkin dia bisa datang untuk memberikan bantuannya."

   "Bagaimana pikiran Pit Iooenghiong?"

   In Loei tanya pula.

   "Ketika Pit iooenghiong ketahui Tjioe Toako tertawan musuh, ia kaget dan kuatir bukan main. Ia tahu, tidak ada waktu lagi untuk mengirim panah loklim tjian, sebab air yang jauh tidak dapat dipakai menolong kebakaran yang dekat. Maka itu ia setuju akan daya yang disarankan si orang bertopeng, tidak peduli tindakan ini sangat berbahaya. Baiklah kita mencobanya. Karena itu Pit iooenghiong minta kita bergantian memasang mata di sini, untuk menunggu ia datang bersama kawan kawannya."

   In Loei berpikir, hingga tak dapat ia bicara. Ia tahu Tantai Mie Ming gagah luar biasa, sungguh sulit merampas orang di bawah perlindungan dia itu. Selagi ia masih berpikir, si nona tegur padanya.

   "Apakah jongos hotel telah menyerahkan sanhoe padamu?"

   Demikian tanyanya.

   "Ya, sudah,"

   Jawab In Loei.

   "Justeru sekarang masih ada tempo, ingin aku tanya kau suatu hal,"

   Kata pula Nona Tjio.

   "Apakah itu?"

   In Loei balik menanya. Tjoei Hong mengawasi.

   "Sepanjang jalan ini, bagaimana sikapmu terhadapku, kau tahu sendiri,"

   Ia kata.

   "Meskipun kita ada suami isteri, yang benar adalah tak pernah kau perlakukan aku sebagai isterimu, bukan?"

   "Ah, mengapa di waktu begini kau menanyakan urusan itu?"

   Tanya In Loei, romannya tidak wajar, agaknya dia bingung.

   "Sudah sekian hari hatiku pepat,"

   Tjoei Hong akui.

   "Aku adalah seorang dengan perangai terburu napsu, maka urusan ini tidak bisa aku tidak menanyakannya dengan jelas."

   In Loei kewalahan.

   Ketika itu matahari sudah mulai muncul, maka dapat dipercaya, perutusan Watzu akan segera tiba di selat.

   Karena ini, In Loei jadi bertambah tidak bernapsu akan bicara tentang perhubungan mereka sebagai suami isteri.

   Tibatiba ia tertawa, kedua biji matanya pun berputar.

   "Entjie Hong!"

   Katanya, riang gembira.

   "aku mengerti maksudmu. Kau suruh si jongos menyampaikan sanhoe padaku ialah agar....."

   Ia berhenti, agaknya ia tengah berpikir. Tjoei Hong memotong.

   "Ialah untuk menanyakan pikiranmu. Umpama kata kau tidak suka padaku, sanhoe itu kau simpan, untuk diserahkan pada lain orang. Seandainya kau....."

   In Loei pun memotong.

   "Entjie Hong, sanhoe ini adalah kepunyaanku untuk kau, selaku pesalin, cara bagaimana itu dapat diserahkan kepada lain orang? Sekarang, dengan tanganku sendiri, aku serahkan pula padamu."

   Tjoei Hong terhibur, ia terima batu permata itu. Tiba-tiba saja, In Loei berkata secara sembarangan.

   "Ah, Tjioe Toako benar-benar seorang yang baik..... Bukankah aku tidak mendustai kau?"

   Tjoei Hong tercengang, lekas ia tunduk, hingga ia tampak pada sanhoe itu, dilembaran bunga yang ketiga, ukiran huruf "Tjioe".

   Lantas saja wajahnya berubah.

   Tadinya nona Tjio ini hendak bicara, segera ia tercegah oleh berisiknya suara serombongan kuda dan orang yang mendatangi di luar selat, yang terus memasuki selat itu.

   Dengan lantas In Loei dan Tjoei Hong sembunyikan diri di antara batu besar yang berdiri tegak bagaikan rebung, dari situ mereka tampak serombongan kecil barisan serdadu sebagai pembuka jalan.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di sana terlihat si pangeran Mongolia berjalan dengan merendengkan kudanya bersama Tantai Mie Ming.

   "Celaka, mereka telah tiba!"

   Berbisik Tjoei Hong pada In Loei, agaknya ia terkejut.

   "Pit To Hoan sendiri masih belum datang....."

   Si pangeran mainkan cambuknya, di atas kudanya itu, ia tampak bangga atas dirinya sendiri.

   Selagi rombongan itu berjalan terus, tiba-tiba terdengar orang menyanyikan satu lagu rakyat Mongolia - si penyanyi tengah mendatangi dari arah depan, memapaki rombongan itu.

   "Aku adalah garuda dari tanah datar berumput, Sayapku terbuka membiak angin dan mega..... Di waktu pagi, aku terbang kesungai Onan, Di waktu malam, aku menginap di kota Karim. Tiga bulan telah aku terbang, Tak dapat aku bebas dari tangan Khan Terbesar!"

   Itulah nyanyian rakyat Mongolia yang memuji Khan mereka yang terbesar yaitu Genghis Khan.

   Mendengar itu, si pangeran jadi gembira bukan main.

   Tidak ia sangka, di tempat asing ini, dapat ia menemui bangsanya sendiri dan mendengar nyanyian yang paling dibanggakan.

   Maka segera ia tahan kudanya, ia lompat turun.

   "Untuk membangun pula kebesaran Khan Terbesar, itu harus dilihat dari kita!"

   Kata ia pada Tantai Mie Ming. Kemudian ia berikan titahnya.

   "Coba panggil orang Mongolia itu."

   Masih orang tadi bernyanyi pula.

   "Tangan Khan Terbesar menungkrap bumi, Di masa hidupnya dia sangat kenamaan, Tetapi dia toh mati dan kembali ke tanah, Luas tanahnya tak lebih daripada satu kuburan....."

   Lagu ini dinyanyikan dalam bahasa Mongolia, akan tetapi itu bukannya nyanyian rakyat Mongolia seperti yang pertama itu. Inilah lagu karya si penyanyi sendiri. Mendengar itu, pucat muka si pangeran. Sementara itu si penyanyi telah datang dekat.

   "Apakah kau datang dari Mongolia?"

   Tanya pangeran ini.

   "Lagumu yang belakangan itu belum pernah aku mendengarnya. Dari mana kau dapat nyanyian itu?"

   Penyanyi itu memakai karpus Mongolia, yang pinggirannya terbuat dari kulit kambing hingga menutupi mukanya dan yang tampak hanya sepasang matanya yang tajam.

   Pakaiannya pun pakaian rakyat Mongolia, hanya dipakainya di tanah daerah Tionggoan hingga nampaknya asing dan, menyolok mata sekali.

   Tapi ditanya demikian, dia menjura.

   "Itulah lagu yang istimewa kubuat untuk kau mendengarnya,"

   Demikian jawabannya.

   Lalu habis berkata begitu, sebelah tangannya bergerak bagaikan kilat, menyambar lengan bawah dari si pangeran, bahagian nadinya! Tantai Mie Ming telah siap sedia untuk segala kejadian, dia sangat teliti dan cerdik, dia mempunyai mata yang tajam sekali, begitu ia tampak orang bergerak, begitu dia bergerak juga dengan sikutnya.

   Si penyanyi itu rubuh sambil menarik si pangeran, demikian keras cekalannya, sampai setelah jatuh bersama, masih ia tidak hendak melepaskannya.

   Tantai Mie Ming bergerak pula, pesat bagaikan angin kakinya menendang, tangan kanannya menyambar.

   Si penyanyi menggulingkan tubuhnya, untuk mengegoskan diri dari dua serangan berbareng, akan tetapi dia kalah sebat, tangan Mie Ming telah menyambar lehernya.

   Si pangeran sendiri juga liehay, dengan gunakan ketika yang baik itu, ia menyerang dengan tangan kirinya yang bebas dari cekalan, sedang dengkulnya dipakai mendengkul perut orang.

   Diserang secara demikian, terpaksa si penyanyi lepaskan cekalannya, dia lompat, justeru untuk menyambut kepalan Mie Ming, yang telah menyerang pula padanya.

   Ia berhasil meloloskan lehernya dari jambakan.

   Waktu lompat dan menginjak tanah, tubuhnya limbung, akan tetapi atas desakan, ia melawan terus hingga dua tiga gebrak.

   Nyata ia pandai ilmu silat Mongolia, ilmu Taylek Kimkong Tjioe! In Loei kaget dan heran tidak terkira.

   "Dialah si orang bertopeng!"

   Serunya.

   Ia tidak lihat tegas roman orang tapi ia seperti mengenalnya, cuma tak ingat ia, siapa orang itu dan di mana mereka pernah bertemu.

   Tantai Mie Ming bergerak lincah bagaikan kera, kepalannya menyambarnyambar bagaikan tubrukan harimau, dengan cara itu dia membuat si penyanyi tidak dikenal itu mesti senantiasa mundur dengan terpaksa.

   Cuma kepalannya perdengarkan suara angin tak kalah hebatnya, tak kalah berbahayanya, walaupun ia main mundur ilmu silatnya tidak menjadi kacau.

   In Loei menjadi gelisah memikirkan orang yang tak dikenal ini.

   "Dia tak mirip dengan Thio Tan Hong....."

   Katanya dalam hatinya.

   "Dia dapat melayani Tantai Mie Ming secara begini gigih, kepandaiannya tidak ada di bawahan Tan Hong....."

   "Juga aneh,"

   Si nona berpikir terlebih jauh.

   "Bukankah kemarin malam Tantai Mie Ming seperti memberi ketika untuk dia menyingkirkan diri tapi kenapa sekarang Mie Ming membela mati-matian pangeran Mongolia itu? Sungguh aneh....."

   Setelah dia menang di atas angin, Tantai Mie Ming lanjutkan terus desakannya.

   Pahlawan-pahlawan Mongolia ketahui baik lihay-nya Mie Ming dan sifatnya juga, yaitu di waktu bertempur, tak sudi Mie Ming dihantui, maka itu, mereka tonton pertempuran itu.

   Tidak demikian dengan dua anggauta Gielim koen, mereka ini hendak mencari muka, dengan lantas mereka maju dari kiri dan kanan, untuk menyerang secara curang.

   Dengan sekonyong-konyong Tantai Mie Ming berhenti menyerang.

   "Minggir!"

   Dia berseru.

   Akan tetapi selagi jago Mongolia ini membentak, si penyanyi dengan tidak menyia- nyiakan sedetik juga ketikanya yang baik itu, sudah bergerak pula dengan ilmu silat Thaylek Kimkong Tjioe.

   Maka sekejap saja, kedua serdadu Gielimkoen itu kena disambar, untuk terus dilemparkan ke lembah! Habis itu, tak menunda pula, penyanyi ini kembali maju, untuk tempur Tantai Mie Ming.

   Ia tidak menjadi jeri walaupun tadi ia kena didesak hebat lawannya yang tangguh itu.

   Setelah beberapa jurus, Tantai Mie Ming beseru dengan nyaring sekali, seruan itu dibarengi dengan gerakan tangannya.

   Dengan telak si penyanyi kena dihajar pundaknya, atas itu, dia rubuh terguling, mental sampai sejauh satu tombak, ketika ia lompat bangun pula, tubuhnya limbung dan terhuyung.

   Tantai Mie Ming tidak maju pula untuk meneruskan serangannya, dia Cuma tertawa riang.

   Adalah beberapa pahlawan Mongolia lainnya, yang maju dengan berbareng untuk mencekuk si penyanyi itu.

   Adalah di saat itu, mendadak terdengar suara sangat riuh, dari muncul dan merangsaknya, serombongan orang, hingga pasukan depan si pangeran menjadi kacau dengan lantas.

   Itulah rombongannya Pit To Hoan, yang telah dating dengan tepat dan membuat tentera negeri tak dapat merintangi mereka.

   Tantai Mie Ming lompat maju, segera ia cegat Pit To Hoan, hingga mereka jadi bertempur satu sama satu.

   Dengan tipu silat "Mega melintang, memotong puncak gunung,"

   Jago Mongolia ini menurunkan tangan jahat.

   Pit To Hoan yang bersenjatakan tongkat Hang-liong koen, membebaskan diri, habis mana, ia pun membalas, dengan menotok jalan darah tjiangboen hiat, mengarah kedua mata lawannya.

   Gelaran Tjinsamkay tersohor selama beberapa puluh tahun karena liehay ilmu silat tongkatnya.

   "Bagus!"

   Berseru Tantai Mie Ming. Dengan gerakan tubuhnya, ia membuatnya tongkat To Hoan kehilangan sasarannya. Malah sebaliknya, hampir Tjinsamkay kena dijambret, syukur dia keburu tancap kaki dengan ilmunya "Tjinkin twie" - "Berat seribu kati,"

   Berbareng dengan mana, tongkatnya menyambar pula! Mau atau tidak, Mie Ming terkejut juga.

   Selagi keadaan kacau itu, si penyanyi dapat melabrak pengepungnya, hingga beberapa orang kena dirubuhkan, hingga ia mendapat ketika untuk lolos dari kepungan.

   In Loei kerutkan alis, ia sangat tidak mengerti.

   Penyanyi itu demikian bernyali besar, seorang diri dia serang si pangeran, tapi sekarang, justeru datang bala bantuan, mengapa dia singkirkan diri.

   Dan kaburnya pun sangat cepat seperti angina menuju ke arah ia! In Loei tak dapat menahan lagi hatinya, dia lompat keluar dari tempatnya sembunyi.

   "Kau siapa?"

   Ia menegur selagi ia papaki penyanyi itu. Orang itu tidak membuka mulutnya, ia justeru menyahuti dengan satu kepalannya. Dalam herannya, In Loei berkelit, sesudah mana, ia hunus pedangnya.

   "Tidak membantu kawan, itulah perbuatan tidak bejik!"

   Kata In Loei.

   "Mari kita maju untuk membasmi musuh!"

   Melihat In Loei menghunus Tjengbeng kiam yang tajam luar biasa, si penyanyi juga cabut goloknya, dengan sepasang mata mencorong, ia terus saja membacok.

   Kembali In Loei menjadi heran, akan tetapi ia menangkis.

   Habis menyerang, si penyanyi memutar tubuhnya, untuk lari.

   Tjoei Hong juga lompat keluar.

   "Sungguh seorang aneh!"

   Katanya. In Loei memandang kekalangan pertempuran.

   "Baik kita jangan memperhatikan dia,"

   Kata nona In.

   "Mari kita bantui Pit Iooenghiong1."

   Waktu itu Tantai Mie Ming dan Pit To Hoan bertarung seru selama beberapa puluh jurus, bedanya adalah Mie Ming bertangan kosong, To Hoan bersenjatakan toya.

   "Bagus!"

   Seru Mie Ming selagi mereka bertempur terus.

   "Sejak aku menginjak tanah daerah Tionggoan, kau adalah hohan yang pertama-tama aku menemuinya. Sekarang hendak aku menggunakan senjata!"

   Dan segera ia cabut sepasang gaetannya dengan apa ia tangkis toya Pit To Hoan hingga terpental, setelah itu, ia balas menyerang, terus ia mendesak. Nampaknya To Hoan repot, hingga, melihat itu, In Loei berseru.

   "Celaka!"

   Lantas ia maju menerjang.

   Apa mau ia telah dicegat beberapa musuh, benar ia dapat menahas golok musuh, tapi ia toh kena dilihat oleh dua pahlawan Mongolia, hingga ia mesti melayani dulu mereka itu, yang dua-duanya bersenjatakan gegaman berat yang sulit untuk ditabasnya kutung.

   Na Thian Sek, Tjek Po Tjiang dan Tjio Tjoei Hong beramai juga menemui tandingannya masing-masing, mereka telah dikurung hingga tak dapat mereka rapatkan diri, untuk berkumpul menjadi satu.

   Pit To Hoan telah mengeluarkan seantero kepandaiannya, masih ia tidak mampu undurkan Tantai Mie Ming, siangkauw-nya, sepasang gaetan, bergerak-gerak cepat bagaikan ular naga keluar dari laut atau burung garuda mengejar mega.....

   Beberapa kali Hangliong pang hampir saja kena digaet terlepas.

   "Aku tidak sangka aku akan terbinasa ditangan orang Ouw ini....."

   Kata To Hoan dalam hatinya, saking berduka.

   Dalam saat sangat tegang itu bagi pihak penyerbu, mendadak serdadu-serdadu pengiring pangeran berteriak-teriak, semua lari berserabutan, di antara itu terdengar suara menggelugur berulang-ulang, yang menggetarkan selat.

   Ketika In Loei memandang ke atas bukit, ia tampak perbuatan luar biasa dari si penyanyi yang dandan sebagai orang Mongolia itu, siapa dengan tenaganya yang kuat, satu demi satu batu-batu yang besar dia tolak hingga menggelinding jatuh kebawah bukit hingga melanggar para tentara pengiring, yang menyebabkan mereka berlarian menyingkirkan diri.

   Selat Tjengliong Kiap terletak di antara kedua bukit yang tinggi, selatnya sempit, dengan bergeluntungan batu-batu besar, maka bahaya itu sangat mengancam, siapa kena dilanggar, tak dapat di kira-kirakan bencana yang dia dapatkan, maka musuh semua buyar, lari berserabutan.

   Juga pahlawan-pahlawan Mongolia jadi kaget dan ketakutan.

   In Loei gunakan ketikanya, ia rubuhkan satu di antara dua lawannya, setelah yang kedua mundur, ia lari ke arah Tantai Mie Ming, siapa terus ia serang, malah dengan cara mendesak.

   "Ha, kembali kau, nona cilik!"

   Seru Mie Ming, yang dengan gaetan kirinya mencoba menempel Tjengbeng kiam.

   "Mari kita mundur!"

   Kata Pit To Hoan pada In Loei.

   Sambil mengucap begitu, ia tangkis serangannya Mie Ming, lalu ia mundur dengan cepat, sedang In Loei dapat ketika untuk mundur bersama.

   Tantai Mie Ming lompat untuk mengejar, tapi baharu ia lari dua tindak, di sebelah depannya, sebuah batu besar menggelinding turun, tepat menjurus padanya.

   Dalam keadaan seperti itu, ia pasang kuda-kudanya, ketika batu sampai, ia menahan dengan kedua tangannya, lalu dengan mengerahkan tenaganya ia tolak batu itu, hingga batu itu terpental, menimpa batu lainnya yang menerbitkan suara gemuruh, hancurannya terbang ke segala penjuru.

   Ketika ini digunakan oleh Pit To Hoan beramai akan singkirkan diri ke atas bukit.

   Tantai Mie Ming masih hendak mengejar, ia dicegah si pangeran.

   "Tantai Tjiangkoen, sudahlah, jangan kejar mereka!"

   Kata pangeran ini, yang hatinya ciut. Ia juga kuatirkan musuhnya mengatur barisan sembunyi. Pit To Hoan beramai telah lari terus mendaki bukit.

   "Hoohan, tunggu!"

   Ia teriaki penolongnya.

   Si orang tidak dikenal yang dandan sebagai orang Mongolia itu telah menantikan sampai To Hoan semua tiba di tengah bukit, tiba-tiba ia perdengarkan suitan panjang, habis mana, ia lari turun ke belakang bukit.

   Maka ketika To Hoan sampai di atas, orang aneh itu sudah tak nampak sekalipun bayangannya.

   "Sungguh aneh!"

   Kata Tjinsamkay.

   Karena terpaksa, ia ajak kawan-kawannya turun gunung, akan kembali ke rumah keluarga Na di mana mereka bicarakan hal si orang luar biasa itu.

   Mereka menduga-duga.

   Cuma dalam satu hal mereka sependapat, bahwa orang aneh itu adalah si orang bertopeng.....

   "Bukan cuma dia yang aneh, juga si orang Ouw,"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata To Hoan kemudian.

   "Ketika kita mulai lari, Tjek Laotee sudah lari lebih dahulu, apabila batu gunung itu jatuhnya ke belakang sedikit, sudah pasti Tjek Laotee terancam bahaya besar."

   "Mungkin, untuk menghindarkan tentera negeri bercelaka maka dia berbuat demikian,"

   Kata Tjek Po Tjiang. Mendengar semua pembicaraan itu, In Loei tertawa.

   "Dia bukannya orang Ouw, dia adalah Tantai Mie Ming!"

   Ia beritahu.

   "Dia adalah orang Han yang menjadi besar di Mongolia."

   Pit To Hoan kerutkan alis.

   "Walaupun aku benci sangat turunannya Tjoe Goan Tjiang,"

   Berkata jago tua ini.

   "akan tetapi siapa membantu bangsa Ouw, apapula dia bernama Mie Ming, dia sungguh menyebalkan! - Aku benci padanya!"

   "Mie Ming"

   Itu, atau "Biat Beng,"

   Artinya.

   "Memusnakan ahala Ming (Beng)."

   In Loei juga tuturkan halnya Tantai Mie Ming yang sengaja membiarkan dia dapat loloskan diri. Kembali orang ramai bicarakan sikapnya Mie Ming itu.

   "Tentang si orang aneh, lain kali saja kita selidiki asal usulnya,"

   Kata To Hoan kemudian.

   "Tentang sikap Tantai Mie Ming, kita juga baik tunda dulu. Sekarang ini yang paling perlu adalah dengan cara bagaimana kita dapat menolongi San Bin."

   Mereka itu bungkam, tidak ada yang mendapat pikiran baik.

   "Oleh karena kita tidak peroleh daya, terpaksa kita mesti gunakan kekerasan!"

   Kata In Loei akhirnya. Kita merampas kereta persakitan di tengah jalan!"

   "Jumlah tentera pengiring sangat besar,"

   Tjek Po Tjiang peringatan.

   "juga terdapat tiga pahlawan nomor satu dari kota raja, aku kuatir bukan saja kita tidak akan berhasil, mungkin kita akan nampak kerugian....."

   "Sekarang baiklah kita selidiki dahulu,"

   To Hoan usulkan kemudian.

   Demikianlah mereka bekerja.

   Pada waktu magrib, penyelidik telah kembali dengan warta yang diperolehnya.

   Thio Hong Hoe telah menugaskan Khoan Tiong mengepalai sebagian besar serdadu-serdadu Gielim koen serta anggauta Kimie wie, untuk membantu menyapu pelbagai pasanggrahan, sedang dia sendiri bersama Hoan Tiong, dengan mengajak kira-kira tujuh puluh serdadu Gielim koen, sudah berangkat mengiringi orang-orang tawanan pulang ke kota raja.

   "Besok mereka akan lewat di sini,"

   Demikian mata-mata itu mengakhiri laporannya.

   "Bagus!"

   Seru To Hoan dengan girang.

   "Biarlah besok kita ambil sikap keras terhadap mereka itu!" -ooo0dw0ooo- BAB XII Malam itu In Loei merasa gelisah, tak dapat ia tidur pules. Ia sangat berduka mengingat San Bin berada dalam tangan musuh.

   "Besok, sekalipun masti mengadu jiwa, aku mesti tolongi dia!"

   Ia berpikir. Segera ia bayangkan bagaimana San Bin menghendakinya supaya mereka berdua bersikap sebagai kakak beradik satu dengan lain. Ia pun merasa tidak tenteram mengenai kesan San Bin terhadap dirinya.

   "Untukku berkorban guna menolongi dia, ada urusan gampang,"

   Ia berpikir lebih jauh.

   "akan tetapi untuk aku terima cintanya, itulah tak dapat....."

   Waktu itu ia dengar suara batuk-batuk dari Tjoei Hong, yang tidur di kamar sebelah.

   Ia duga, nona Tjio juga sedang berpikir keras maka nona itu masih belum tidur pules.

   Tertawalah In Loei seorang diri ketika ia ingat tingkah lakunya Tjoei Hong yang sangat menyintai ia, yang "tergila-gila"

   Terhadapnya. Karena ini, terbayanglah Tjoei Hong dan San Bin di depan matanya. Maka ia tertawa dalam hatinya dan berkata.

   "Baik, begini harus aku bekerja! Mereka itu mesti dipadukan satu pada lain, dengan begitu terhindarlah aku dari segala kesulitan!....."

   Baharu lenyap bayangan San Bin dan Tjoei Hong, atau sekarang berpetalah bayangan dari Thio Tan Hong, si mahasiswa berkuda putih.

   Ini bukan lagi satu kesulitan, ini adalah "hal yang sangat hebat".....

   Bimbang hati In Loei, sampai ia tak dapat memikir suatu apa, ia rasakan otaknya seperti kosong.

   Tidak mau ia memikirkannya terlebih jauh, tidak berani ia mengingat-ingat pula si anak muda.....

   Di hari kedua pagi-pagi, Pit To Hoan sudah siap sedia.

   Ketika In Loei muncul di thia, ruang luar, di sana telah berkumpul kawan-kawan mereka.

   "Kami telah mendapat keterangan jelas,"

   Berkata To Hoan.

   "Thio Hong Hoe bersama Hoan Tiong telah pimpin lima puluh serdadu Gielim koen, mereka mengiring enam buah kereta persakitan, di antaranya ada sebuah yang besar istimewa, selama dalam perjalanan, Hong Hoe di atas kudanya tak pernah berpisah jauh dari kiri kanannya kereta istimewa itu, keras sekali penjagaannya. Maka itu aku duga, tawanan dalam kereta itu mestinya keponakan San Bin. Mengenai usaha kita ini, tak keburu kita mengirim pula berita loklim tjian. Jumlah orang-orangnya saudara Na serta saudara-saudara yang berada di dekat sini ada lebih daripada empat puluh jiwa, aku anggap jumlah ini sudah cukup. Thio Hong Hoe memang liehay, tetapi aku rasa, dengan aku berdua In Siangkong yang melayani padanya, mungkin kita dapat mempertahankan diri. Tjengliong Kiap ada selat berbahaya, maka kita pun dapat menggunakan akalnya si orang aneh yang kemarin menggelindingkan batu-batu dari atas bukit".

   "Jika kita menyerang dengan batu besar, apa tak kuatir kita nanti mengenai kereta-kereta persakitan?"

   Tanya Na Thian Sek.

   "Jangan kita pakai batu yang besar-besar,"

   To Hoan beritahu.

   "Kita pakai batu- batu koral sebesar telur ayam, dengan itu kita melempari kalang-kabutan pada tentera negeri. Maksud kita adalah untuk membuat mereka kalut, supaya perhatiannya menjadi kacau balau. Na Tjeetjoe, nona Tjio, silakan kamu pimpin belasan saudara, untuk mendaki bukit, guna mengacau musuh itu. Barangkali tentera negeri itu akan sampai di lembah pada waktu tengah hari, maka sekarang juga kita boleh bersiap sedia. Mari kita berangkat!"

   Segera rombongan itu keluar dari thia, akan naiki kudanya masing-masing dan mulai berangkat. In Loei larikan kudanya berdampingan dengan Tjinsamkay Pit To Hoan.

   "Pit Lootjianpwee, kenapa kau tidak pakai kuda putih"

   Tanya nona ini. Memang To Hoan tidak pakai kuda putih itu. Ia tertawa.

   "Telah aku kembalikan kuda itu pada pemiliknya!"

   Ia jawab sambil tertawa.

   "Apa? Kapan Thio Tan Hong bertemu pula dengan iootjianpwee?"

   Tanya In Loei heran.

   "Tjiauwya saytjoe ma benar-benar kuda yang sangat luar biasa,"

   Jawab To Hoan.

   "Sifatnya cerdas sekali. Hari itu dia dititahkan majikannya untuk membawa aku kabur, dia telah meloloskan aku dari bahaya, habis itu dia berbenger tidak hentinya, tak mau dia tunduk lagi terhadap aku. Tahulah aku, dia ingat pada majikannya, maka aku lepaskan dia pergi sendirian."

   "Bagaimana iootjianpwee bisa ketahui dia pasti akan dapat mencari majikannya?"

   In Loei tanya pula.

   "Apakah tidak sayang umpama kata dia dicegat orang jahat di tengah jalan?"

   To Hoan kembali tertawa.

   "Adalah biasanya kuda perang yang baik dapat mencari majikannya sendiri,"

   Ia kata.

   "apapula Tjiauwya saytjoe ma ada seekor kuda yang luar biasa sekali. Lagi pula, siapa yang tidak liehay luar biasa, tidak nanti dia sanggup mencegat kuda jempolan itu!"

   In Loei memang ketahui kecerdikan kuda itu, akan tetapi karena ia pikirkan sangat Tan Hong, ia jadi berkuatir juga. Habis berbicara, To Hoan tertawa pula.

   "In Siangkong,"

   Kata dia, kalau nona Tjio tidak memberitahukannya kepadaku, sungguh aku tidak ketahui Thio Tan Hong itu adalah musuh besarmu turun temurun....."

   Muka In Loei merah.

   Ia tidak menjawab.

   Untuk menyingkir dari To Hoan, ia bunyikan cambuknya hingga kudanya lompat kabur.

   Heran To Hoan menyaksikan kelakuan orang itu.

   Ia lantas menduga pada sesuatu hal.

   Karena ini, ia tidak menanyakan terlebih jauh.

   Tidak lama berselang, sampailah mereka di selat, lantas mereka masuk ke dalam lembah.

   Seperti telah direncanakan, To Hoan lantas atur rombongan yang mesti sembunyikan diri, habis mana mereka terus menantikan sang waktu.

   Tepat selagi matahari mulai condong kebarat, dari arah depan datang warta pemberitahuan dari juru pengintai.

   "Sudah datang! Sudah datang!"

   Semua orang segera menyiapkan senjatanya masing-masing, tegang hati mereka selagi mereka memasang mata, menanti-nanti.

   Mereka tidak usah menunggu lama atau mereka lantas nampak lerotan dari enam buah kereta persakitan serta barisan serdadu pengiringnya.

   Perlahan bergeraknya lerotan itu.

   "Itulah kereta yang di tengah!"

   To Hoan kata pada In Loei sambil menunjuk. In Loei mengawasi dengan tajam. Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring dari Thio Hong Hoe, sambil berkata dengan keras.

   "Untuk merampas persakitan, inilah saatnya!"

   To Hoan dan In Loei jadi terperanjat.

   Nyata, dengan begitu, komandan Kimie wie itu telah menduga maksud mereka dan telah bersedia-sedia untuk menyerbu tukang cegat.

   Tapi anak panah telah dipasang dibusurnya, tak dapat jikalau tidak terus dipanahkan.

   Maka To Hoan memberikan isyaratnya.

   Segera rombongan-rombongan yang bersembunyi munculkan diri.

   Thio Hong Hoe dengan sebat mengatur barisannya, untuk melindungi kereta-kereta, guna menyambut serangan.

   Dengan berani To Hoan maju di muka rombongannya, untuk menyerbu.

   Barisan Gielim koen adalah barisan yang terpilih, mereka sudah terdidik, maka itu rapi perlawanan mereka, tidak peduli rombongan dari Na keetjhoeng ada tangguh, mereka tidak dapat segera digempur hancur, mereka dapat membuat perlawanan yang gigih.

   Kembali terdengar tertawa nyaring dari Thio Hong Hoe.

   "Tjinsamkay, orang tua she Pit!"

   Demikian suaranya itu, yang berupa ejekan.

   "Kemarin ini aku telah membiarkan kau lolos, kenapa sekarang kau berani antarkan diri masuk ke dalam jaring?"

   Pit To Hoan tahan kudanya. Ia pun bersikap dingin.

   "Lihat saja siapa yang masuk ke dalam jaring!"

   Sahutnya.

   Lalu dengan mendadak ia perdengarkan suitan nyaring, yang berkumandang di dalam lembah sampai umpama kata burung-burung kaget dan pada terbang.....

   Itulah tanda rahasia untuk rombongan tersembunyi di atas bukit, tanda untuk mereka itu mulai turun tangan.

   Menyambut tanda rahasia itu, Na Poo Tjiang segera perlihatkan diri, di belakangnya ada rombongannya.

   Belum lagi Poo Tjiang bergerak, atau sekonyong-konyong terdengar suara dari sambar-menyambarnya pelbagai senjata rahasia, hingga ia jadi kaget sekali.

   "Celaka!"

   Serunya.

   Juga banyak batu-batu ditimpukkan ke arah rombongan Na keetjhoeng ini.

   Nyata pihak penyerang dipimpin Hoan Tiong, Gietjian siewie yang menjadi salah satu dari tiga jago nomor satu dari kota raja.

   Dia mempunyai senjata rahasia "bor terbang" - hoeitjoei.

   Tjek Poo Tjiang adalah ahli senjata rahasia, walaupun demikian, tidak dapat ia tidak berlaku hati-hati untuk melayani musuh, sedang orang-orangnya menjadi repot, karena mereka kalah desak.

   Pertempuran dilakukan terutama dengan main saling timpuk batu.

   Oleh karena serangan di luar dugaan itu, barisan bersembunyi ini jadi tidak mampu membantu kawannya di dalam lembah, untuk membokong tentera negeri.

   Thio Hong Hoe merasa sangat puas, hingga ia tertawa berkakakan.

   "Satu panglima, mana boleh tak memeriksa keletakan tempat!"

   Katanya, jumawa.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Satu panglima mesti senantiasa berjaga-jaga! Tjinsamkay, dalam ilmu silat kau liehay tetapi kau kurang membaca kitab perang!"

   Pit To Hoan jadi sangat mendongkol, ia seperti ngamuk dengan toya Hangliong pang-nya, setelah menyampok beberapa senjata musuh, sambil maju, tangan kirinya menyambar satu musuh yang ia cekuk, habis mana bagaikan entengnya rumput, tubuh itu dilemparkan jauh.

   In Loei di lain pihak juga sudah menerjang hebat, dengan dua bacokan, ia rusakkan seragam besi orang, hingga musuh-musuh yang berada di depannya terpaksa harus mundur.

   Dengan begitu, dapat ia merangsak seperti Pit To Hoan.

   Thio Hong Hoe memimpin dengan tabah, dengan memberikan isyaratnya, barisannya terpecah dua, membiarkan To Hoan dan In Loei menyerbu di antara mereka.

   Satu pasukan lainnya mencegat majunya rombongan perampas persakitan itu.

   (bersambung

   Jilid 2) CATATAN 1) halaman 129--Tjio Eng adalah keturunan dari Tjio Thian Tok (perwira bawahan Thio Soe Seng, leluhur Thio Tan Hong), sedangkan lukisan yang berada di rumah Tjio Eng lalu diambil Thio Tan Hong adalah peta harta peninggalan Thio Soe Seng.

   Lukisan itu sebelumnya berada di rumah In Boe Yang, lalu oleh istri In Boe Yang diserahkan kepada Tjioe Eng, kejadian ini diceritakan di Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika).

   Lukisan itu adalah lukisan yang dilihat In Loei dan Tjio Tjoei Hong sewaktu dipanggil Tjioe Eng naik ke atas loteng.

   2) halaman 142--"Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa menanyakan tentang sumber asalnya?"

   Thio Tan Hong adalah turunan dari Thio Soe Seng, pada waktu Thio Soe Seng kalah perang dan terbunuh, perwira bawahannya, Tjio Thian Tok (ayah Hongthianloei Tjio Eng) berhasil melarikan anak Thio Soe Seng ke luar perbatasan (Mongolia), anak itu adalah kakek Thio Tan Hong.

   Baca Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika) 3) halaman 252 - Ternyata urusan peta bumi ini kembali muncul di cerita berikutnya, Sanhoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga), kali ini turunan keluarga Pit yang tidak mau kalah dengan keluarga Tjoe dan Thio untuk menjadi kaisar.

   Sebab dari tiga murid Pheng Hweeshio, Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng sudah mencicipi tahta kerajaan, hanya keluarga Pit yang belum.

   Turunan keluarga Pit itu juga merasa lebih berhak atas peta tsb, karena leluhurnya ikut membuat.

   -ooo00dw00ooo- Seri ke 2 Thiansan Karya .

   Liang Ie Shen Saduran .

   OKT Ebook oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com

   atau
http.//dewikz.byethost22.com

   

   Jilid 2 Bab XII (lanjutan) Dengan membelakangi kereta persakitan, Hong Hoe menuding To Hoan dengan golok Biantoo-nya, sambil tertawa, ia kata.

   "Tjinsamkay mari kita bertempur pula tiga ratus jurus!"

   Kemudian ia melirik pada In Loei sambil menambahkan.

   "Bagus, bagus, kau pun datang bersama. Baiklah kamu boleh maju berbareng! Aku sendiri, aku tidak membutuhkan lain pembantu!"

   To Hoan rasakan mukanya menjadi panas sekali, ia gusar tak kepalang.

   "Hari ini kita bertempur untuk kawan masing-masing!"

   Ia kata dengan sengit.

   "Tidak peduli jumlah kamu jauh terlebih besar, hendak aku adu jiwaku!"

   Lalu dengan jurus "Honghouw inliong' "Harimau di antara angin dan naga di dalam mega,"

   Ia menyerang hebat sekali dengan toya-nya, anginnya pun menyambar keras.

   Dengan tubuh tidak bergerak dari tempatnya berdiri, Thio Hong Hoe tangkis serangan toya Tjinsamkay, begitu pula ketika In Loei menikam, ia halau ujung pedang Tjengbeng kiam itu, sesudah mana dengan kegesitannya, ia balas menyerang, beruntun tiga kali.

   Diam-diam Tjinsamkay mengeluh dalam hatinya.

   Serangan dahsyatnya telah gagal.

   Siapa tahu, musuh ada terlebih hebat daripadanya, tak peduli ia berdua.

   Terpaksa ia ubah caranya bersilat, satu kali ia menyampok sambil memutar tubuhnya.

   In Loei di lain pihak memperlihatkan kepesatan-nya bergerak, ia menyerang seperti kawannya, sama sekali tak sudi ia kalah desak.

   Hong Hoe tangguh, dibanding dengan To Hoan, ia menang satu tingkat, maka itu dengan tambah lawan dalam dirinya nona In, berselang tiga puluh jurus, repot juga ia, hingga ia terdesak mundur.

   In Loei cerdik sekali, menggunakan ketikanya yang baik, dengan kegesitannya, ia tinggalkan lawannya, yang ia biarkan dilayani To Hoan, ia sendiri lompat melesat ke kereta persakitan.

   Tegang hati si nona.

   Tidak ia sangka, Hong Hoe dapat dilewatkan secara demikian mudah.

   Ia merasa curiga juga.

   Apakah benar Hong Hoe demikian alpa? Akan tetapi, dalam keadaan itu, tak sempat In Loei berpikir lama.

   Maka juga, dengan cepat ia singkap penutup kereta persakitan itu! Di dalam kereta terdapat satu tubuh orang yang merengket, karena kereta ditutupi kain penutup, maka orang tak dapat melihat dengan jelas.

   Walaupun begitu, In Loei menjadi sangat girang.

   "Tjioe Toako."

   Ia berseru. Dan ia pindahkan pedangnya dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu dengan tangan itu ia menyambar tubuhnya San Bin. Tiba-tiba tubuh yang merengket itu perdengarkan tertawa iblis "Hm! Hm!"

   Tubuh itu pun berbangkit, sebelah tangannya menyambar, menyekal keras lengannya In Loei di bahagian nadi. Tidak terkira kagetnya si nona. Sungguh ia tidak menyangka.

   "Silakan masuk!"

   Terdengar tubuh merengket itu bersuara sambil terus menarik dengan keras.

   Tanpa ia berkuasa, tubuh In Loei tertarik masuk ke dalam kerangkeng.

   Ketika ia terbetot pedangnya di tangan kiri itu menyambar tenda hingga tenda itu robek dan mendatangkan cahaya terang.

   "Ah, kiranya kau?"

   Seru orang yang merengket itu, agaknya ia terkejut.

   In Loei cerdik, ia tidak menjadi gugup, selagi orang tercengang, pedangnya digerakkan, menikam tangan orang.

   Orang itu kaget, ia lepaskan cekalannya, terus ia lompat keluar dari kerangkeng.

   Atas itu, In Loei lompat keluar juga.

   Sekarang, di udara terbuka In Loei dapat melihat dengan tegas orang yang tubuhnya merengket itu yang memakai kopiah menutupi mukanya, hingga tampak hanya sepasang matanya yang jelilatan tajam.

   Nyata dia adalah si gembala bangsa Mongolia yang kemarin ini - ialah orang yang menyerang si pangeran asing.

   Tak berjauhan jaraknya ia berdiri berhadapan dengan orang itu, masih nona In mengawasi dengan tajam.

   Ia melihat tegas sekali.

   Maka tidak salah, orang ini, yang tubuhnya kurus, adalah si orang bertopeng juga! Ia menjadi girang berbareng heran.

   "Tahukah kau dikereta mana adanya Tjioe Toako?"

   Ia tanya.

   Ia pikir, orang ini mesti ada kawannya sendiri.

   Dia toh yang mengusulkan tipu kepada To Hoan untuk mencegat si pangeran, untuk membekuk pangeran itu.

   Dia pun secara diam-diam sudah membantu padanya.

   Tapi, jawaban yang ia peroleh ada di luar sangkaannya.

   "Siapa tahu tentang Tjioe Toako kamu itu?"

   Demikian jawaban itu, tawar, ditambah dengan tertawa dingin.

   Lalu, dengan sebat luar biasa, dengan gerakan Taylek Kimkong Tjioe - "Tangan Arhat yang kuat", ia sambar pedangnya si nona, untuk dirampas.

   In Loei terkejut, inilah tidak disangka, hingga ia tak berjaga-jaga.

   Di saat tangan orang itu hampir menyambar pedang, mendadak matanya bersorot tajam, tangannya seperti ditunda.

   Justeru itu, In Loei sadar, untuk mengirim bacokannya.

   Orang itu pun terkejut, ketika pedang datang, ia putar tangannya, sambil menyambuti, ia sentil belakang pedang, hingga terbit suara nyaring.

   Nona In menjadi sangat kaget, sentilan itu membuatnya tangannya sakit, hampir saja pedangnya terlepas dari cekalan.

   Insaflah ia bahwa latihan Taylek Kimkong Tjioe orang ini mahir sekali.

   Pada saat itu, di pihak sana terdengar pula tertawanya Thio Hong Hoe, tertawa bergelak-gelak, disusul dengan kata-katanya yang mengandung ejekan.

   "Orang tua she Pit, kau lihat! Siapakah yang mengantarkan diri ke dalam jebakan?"

   "Trang!"

   Demikian suara yang menyusuli ejekan itu.

   In Loei menduga, saking mendongkol, To Hoan menghajar dengan keras, dan tak kurang kerasnya Hong Hoe menangkis, hingga kedua senjata bentrok hebat, sampai telinga bagaikan tuli.

   Sementara itu, lolos serangannya yang pertama, In Loei telah mengulangi untuk kedua kalinya.

   Kembali ia gagal.

   Sangat gesit gerakan si kurus itu, keras sekali sampokannya setiap kali ia menangkis, sampai pedang si nona setiap kali mental.

   In Loei jadi sangat penasaran, ia menyerang terus.

   Ia perlihatkan ilmu pedang "Pekpian Hian Kee Kiamhoat"

   Yang beraneka warna gerakan dan perubahannya.

   Pedang itu membacok ke atas delapan kali, kebawah delapan kali, juga masing-masing delapan kali menikam ke kiri dan kanan, semuanya silih ganti.

   Orang bertopeng itu liehay, akan tetapi atas desakan itu, ia repot juga.

   Untung baginya, walaupun ia didesak hebat, pada saat yang berbahaya, In Loei meneruskannya setengah hati, sebab si nona masih ingat, ia seperti kenal orang ini.

   Entah kapan, entah di mana, pernah rasanya ia menemui si kurus.

   Ia berkesan baik terhadap orang asing ini, karenanya iapun ragu-ragu.....

   Setelah serangannya tak hentinya selama tiga puluh dua jurus, baharulah gerakan In Loei menjadi kendor.

   Dan lawannya yang sejak tadi melawan dengan tangan kosong, telah menghunus goloknya yang tersoreng di pinggangnya, untuk melakukan penyerangan membalas, ia berbalik mendesak, makin lama makin sebat, sinar goloknya bergemerlapan.

   Kalau tadi ia menyerang, kini In Loei membela diri saja, pedangnya dibuat tidak berdaya, beberapa kali pedang itu kena dibikin terpental, syukur tak sampai lepas dari cekalannya.

   Nyata sekali golok si penyerang tidak dapat berbuat banyak, adalah tangan kirinya, yang tiap-tiap kali menyampok dengan hebat.

   In Loei telah terdesak, beberapa kali ia mengalami saat-saat yang berbahaya, akan tetapi sampai pada saat itu, ia bebas sendirinya, golok dan tangan kosong dari lawannya tidak mengenai sasarannya.

   Entah itu disengaja atu tidak, kejadiannya sama seperti In Loei tadi - tadi In Loei seperti tidak hendak melukai lawannya itu.....

   Dalam keadaan terdesak sebagai itu, In Loei empos semangatnya, untuk membuat perlawanan dengan gigih, kalau tidak, segera ia akan dirubuhkan.

   Sementara itu, ia lihat mata orang yang bersinar tajam, yang terus dipakai menatap mukanya, seolah-olah orang itu sangat memperhatikan padanya.

   Sikap lawan itu membuatnya ia tertarik.

   Tiba-tiba saja ia menangkis, untuk menahan golok yang dipakai membacok padanya.

   "Kau siapa?"

   Ia tanya. Orang itu membalas menangkis.

   "Kau siapa?"

   Diapun tanya. Dibaliki secara begitu, si nona melengak.

   "Kau sebutkan lebih dulu!"

   Ia bentak.

   "Kau dulu!"

   Orang itu mengulangi, sementara air mukanya sedikit berubah. In Loei bersangsi.

   "Mana dapat aku perkenalkan diri padamu?"

   Ia berpikir. Tapi keras niatnya untuk mengetahui orang itu. Lagi-lagi ia menangkis, sampai tiga kali.

   "Kau bicara lebih dulu!"

   Katanya pula.

   "Tidak, kau dulu!"

   Orang itu membandel.

   Dia mirip dengan satu bocah kepala batu, kedua matanya berputar, wajahnya berubah pula.

   Menyaksikan sikap orang itu, In Loei membayangkan satu sahabatnya semasa mereka masih kecil.

   Ia mencoba mengingat-ingat dengan terus tak henti-hentinya bersilat.

   Lawan itu juga melakukan perlawanan, hanya sekarang ia berlaku tak sesehat tadi.

   Masih ia senantiasa tatap wajah lawannya.

   Dalam penasarannya, In Loei mendesak, dua kali ia menikam.

   Kedua-duanya ditangkis oleh lawannya.

   "Kau bicara lebih dulu!"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Katanya pula.

   Selagi kedua orang itu berkutat, membentak satu pada lain, supaya pihak sana yang membuka mulut lebih dahulu, tiba-tiba terdengar seruannya Pit To Hoan, yang memberi peringatan kepada kawan-kawannya bahwa keadaan bahaya mengancam pihaknya.

   Mendengar suara itu, In Loei melirik kepada jago tua itu.

   Ia dapat kenyataan, kawan itu telah terdesak, golok Thio Hong Hoe seperti mengurung dia, hingga keadaannya jadi sangat berbahaya, sedang kawan-kawan yang menjadi bala bantuan, kena dirintangi tentera negeri, tak dapat mereka menerjang masuk.

   Menampak demikian, In Loei menjadi tegang sendirinya.

   Ia berkuatir untuk pihaknya itu.

   Maka ia mencoba melakukan perlawanan pula dengan keras sekali, ingin ia menoblos musuhnya.

   Pihak lawan itu, yang tidak sudi perkenalkan diri, tetapi menghendaki lain orang berbicara terlebih dahulu, juga segera perkeras perlawanannya, bagaikan tembok tanggu, dia menghalang di depan si "anak muda."

   Hingga tak berhasil In Loei dengan dayanya itu.

   "Maukah kau bicara atau tidak?"

   Lawan itu masih menanya.

   In Loei mendongkol, tidak sudi ia menyahuti, dalam sengitnya, ia menyerang dengan terlebih hebat pula.

   Lima puluh jurus telah lewat, keduanya tetap dalam keadaan seri.

   In Loei kalah tenaga, ia cuma menang gesit, tapi sekarang ia berkuatir untuk Pit To Hoan, pemusatan pikirannya jadi terganggu, maka itu, lagi beberapa jurus, ia kena didesak hingga ia mesti main mundur.

   Dalam keadaan yang segenting itu, sekonyong-konyong terlihat debu mengepul di luar selat.

   Thio Hong Hoe lihat itu.

   "Siapa berani menyerbu masuk?"

   Katanya nyaring.

   Pertanyaan itu dijawab dengan suara tertawa aneh yang seperti menggetarkan lembah, lalu tampaklah orang-orang yang menerbitkan debu itu, ialah delapan penunggang kuda yang tengah mendatangi dengan pesat sekali, sedang dua penunggang yang jalan paling depan, - agaknya mereka itu menjadi pemimpin, - berpakaian secara aneh.

   Mereka itu yang satu putih mulus, yang lain hitam legam.

   Ketika In Loei melihat tegas kedua orang itu, tanpa merasa ia perdengarkan seruan.

   Ia agaknya kaget dan heran.

   Karena ia kenali, kedua orang itu adalah Hek Pek Moko.

   Empat orang lainnya adalah si empat saudagar permata, yang pernah datang ke Tjio keetjhoeng.

   Sedang kedua penunggang kuda lainnya, yang berada di belakang, adalah isteri-isteri bangsa Persia dari Hek Moko dan Pek Moko itu.

   Berdelapan mereka itu maju pesat, tanpa menghiraukan pertempuran yang kalut dan dahsyat itu.

   Hek Moko adalah yang datang paling dekat.

   "Kau menggelinding dari, kudamu!"

   Bentak Thio Hong Hoe yang menjadi sangat murka.

   Dan dengan satu lompatan, ia segera mendahului membacok.

   Hek Moko perdengarkan tertawanya yang aneh, ia angkat tongkat Lekgiok thung-nya, untuk menangkis bacokan, berbareng dengan itu, ujung tongkatnya meluncur terus ke arah uluhati si penyerang yang bersenjatakan golok itu.

   Hong Hoe kaget dan heran.

   Tidak ia sangka orang ada demikian liehay.

   Ia halau tusukan tongkat itu, habis mana, ia membalas, dengan tak kurang hebatnya.

   Untuk dua jurus, ia mendesak hebat.

   Hek Moko juga terkejut melihat ketangguan lawan, ia tidak sangka di antara hamba negeri terdapat pahlawan demikian kosen.

   Ia penasaran, kembali ia menusuk dada orang.

   Hong Hoe kembali menangkis, ia tidak mau menyerah kalah.

   Dalam penasarannya, Hek Moko menerjang berulang-ulang, yang sama dahsyatnya.

   Thio Hong Hoe tangkis serangan berbahaya itu, sambil menangkis, ia angkat tubuhnya dari bebokong kuda, dengan sebelah kaki, ia injak injakan kakinya, berbareng dengan mana, dengan sebelah tangannya, ia sambar lawannya itu.

   Dengan jurus Kimna tjioe ia gunakan tangan kirinya untuk mencekuk tangan musuh.

   Ia berhasil, hingga ia menjadi sangat girang.

   Sekarang tinggal mengerahkan tenaganya, untuk membetot lawannya itu.

   Tapi tiba-tiba ia menjadi kaget, karena tangan yang dicekal itu licin bagaikan lindung, yang terus dibalikkan untuk dipakai menampar mukanya! Dalam kagetnya, Thio Hong Hoe masih sempat berkelit, ialah sambil berseru, sebelah kakinya menjejak, hingga tubuhnya mencelat meninggalkan kudanya dan jatuh ke tanah sejauh satu tombak lebih.

   Hek Moko menjadi heran dan kagum, ia merasa pasti bahwa ia akan dapat menghajar lawannya itu, siapa sangka, lawan itu pun ada licin sekali.

   Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia heran, terutama karena ia tidak kenal siapa si hitam ini yang seperti membantu padanya.

   "Sahabat siapa di sana?"

   Ia tanya.

   "Di sini Pit To Hoan menghaturkan hormatnya."

   Ia kesohor dengan gelarannya, Tjinsamkay, ia percaya, dengan menyebut namanya, setiap orang kangouw pasti akan mengenal padanya. Tapi kali ini dugaannya meleset. Hek Moko tertawa pula, dengan suaranya yang aneh itu.

   "Buka jalan! Buka jalan!"

   Dia berseru-seru.

   "Menggelinding pergi!"

   To Hoan tidak mundur, dia malah menghalang di tengah jalan, dengan lonjorkan toya-nya, ia mencegat.

   Hek Moko biarkan kudanya lompat kabur, dengan tongkatnya ia halau toya Tjinsamkay.

   Kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring.

   Pit To Hoan miring tubuhnya karena bentrokan itu, sedang si hitam hampir terguling dari kudanya.

   "Bagus!"

   Berseru si hitam ini.

   "Kau pun ada satu hoohanl Kau minggir!"

   Sekarang tidak lagi ia mengusir dengan kata-kata.

   "Menggelinding pergi"

   Hanya "minggir!"

   Ini menyatakan bahwa ia telah menghargai lawannya.

   Tapi Pit To Hoan tidak minggir, dalam keadaan seperti itu, tak dapat ia menahan toya-nya, serangannya yang kedua telah menyusul, kali ini ia mengarah kudanya.

   Hek Moko menjadi gusar sekali, ia segera tekan keras toya lawannya itu.

   Pit To Hoan terperanjat, apapula ketika ia dilepaskan dari tekanan, tubuhnya terjerunuk, hampir ia kena terinjak kudanya si orang hitam itu.

   Dengan kegesitannya, ia lompat nyamping.

   Dan kuda lawan dengan pesat luar biasa, sudah lompat di atasan kepalanya! Selagi Hek Moko dilayani Thio Hong Hoe dan Pit To Hoan bergantian, Pek Moko pun telah tiba, ia hanya menyerbu kepada In Loei dan si orang aneh.

   In Loei segera lihat si putih ini, ia terperanjat, ia heran atas kedatangan orang secara tiba-tiba.

   Ia ingat bagaimana ia bersama-sama Thio Tan Hong telah menundukkan kedua Moko itu.

   Maka kalau sekarang Pek Moko ingat sakit hatinya dan dia mencari balas, celakalah ia.

   Untuk melayani si orang aneh saja, ia sudah repot.....

   Ketika Pek Moko melihat In Loei, tiba-tiba ia tertawa - tertawa aneh seperti Hek Moko.

   Kembali ia keprak kudanya, untuk menerjang si orang aneh.

   Gusar orang aneh itu, ia menyambut dengan kepalannya ke paha kuda.

   Tepat sambutan itu, hingga kuda itu menekukkan kaki depannya.

   Menyusul ini, si orang aneh membacok dengan goloknya.

   Pek Moko menangkis dengan tongkat Pekgiok thung-nya.

   Itulah tongkat terbuat dari baja tulen.

   Orang aneh itu tidak ketahui ini, ia baharu terkejut apabila dua senjata telah beradu keras.

   Terpental golok itu karena bentrokan keras itu, tetapi si orang aneh tangguh, dengan belakang golok yang terayun, ia menyerang pula.

   Tapi juga Pek Moko tidak kurang liehaynya, masih sempat ia menangkis pula, hingga untuk kedua kalinya, tongkat dan golok bentrok, terus golok terlempar ke udara! "Jika kau sanggup melayani tongkatku, aku suka memberi ampun padamu!"

   Berseru Pek Moko.

   "Minggir!"

   Setelah berkata begitu, ia menuding kepada In Loei.

   "Kau bukannya tandingan orang ini! Kenapa kau tidak hendak lekas menyingkir?"

   Meskipun ia mengucap demikian, ia jepit perut kudanya, hingga kuda itu lompat kabur.

   Sebenarnya Hek Pek Moko telah tawar hatinya setelah mereka dikalahkan In Loei berdua Tan Hong, karena kalah bertaruh, harta di dalam kuburan bukan lagi miliknya, maka juga ia titahkan ke empat saudagar menutup buku dan berlalu.

   Adalah niat mereka untuk pulang ke kampung halaman mereka di Barat.

   Di luar dugaan mereka, Tan Hong telah berlaku baik budi, harta mereka telah dikembalikan.

   Kejadian ini membuat mereka sangat bersyukur.

   Dengan modal itu, mereka lantas berdagang pula.

   Kali ini mereka dalam perjalanan dari selatan ke utara, ke delapan kuda mereka menggendol banyak barang permata mulia, niat mereka adalah melintasi gunung Himalaya, untuk memasuki India, guna menjual permata itu kepada pangeran-pangeran bangsa India.

   Adalah di luar dugaan mereka, di situ mereka menghadapi kedua pihak tengah bertempur, malah pihak yang satu adalah In Loei, yang mereka kenal baik.

   Hek Pek Moko tidak gubris orang dari Jalan Putih atau Jalan Hitam, mereka bekerja dengan ambil jalan sendiri, karena ini, bertemu dengan tentera negeri, mereka kuatir nanti dicegat dan dirampas hartanya, maka ingin mereka nerobos pergi.

   Ketika, mereka kenali In Loei, ingin mereka membalas budi kebaikannya Tan Hong, dari itu mereka segera berikan bantuan mereka itu.

   Tidak hanya Hek Moko dan Pek Moko yang liehay, juga isteri-isteri mereka dan ke empat saudagar itu bukannya orang-orang sembarangan, maka itu ketika mereka berdelapan menyerbu dengan kuda mereka, tentera negeri menjadi kalut, lekas-lekas mereka menyingkir.

   Pihak Pit To Hoan juga tidak terkecuali, hanya To Hoan tidak mau mensia-siakan ketikanya yang baik, dengan memberikan satu tanda, ia ajak rombongannya lari mendaki bukit.

   Hek Moko tertawa berkakakan melihat "musuh"

   Buyar dan lari kalang kabutan, meski demikian, mereka tidak lantas angkat kaki, masih mereka mondar-mandir di dalam lembah itu, untuk mencegah In Loei beramai dikepung pula tentera negeri itu, adalah setelah In Loei semua sudah tiba di tengah bukit, baharu mereka kabur, untuk melanjutkan perjalanan mereka.....

   Thio Hong Hoe mendongkol bukan main, ia lantas kumpulkan tenteranya, ia ingin kejar musuh, akan tetapi ia tidak mempunyai ketika lagi.

   Dari kejauhan, Hek Pek Moko berpaling ke arah bukit.

   "Hai, babah kecil!"

   Teriak mereka berbareng terhadap In Loei.

   "babah besar yang menjadi sahabatmu itu tengah menantikan kau di sebelah depan sana! Kenapa kau tidak berada bersama dia?"

   Tahulah In Loei, dengan "babah kecil"

   Dimaksudkan ia, dan dengan "babah besar"

   Dimaksudkan Thio Tan Hong, karenanya, hatinya bercekat. Jadi Tan Hong berada di sebelah depan. Sebenarnya ingin ia menanyakan Hek Pek Moko, atau.

   "Siapa kedua orang itu?"

   Pit To Hoan tanya dia.

   "Mereka adalah Hek Moko dan Pek Moko dari Tanah Barat,"

   In Loei jawab. To Hoan terperanjat.

   "Jadi mereka adalah kedua iblis itu!"

   Serunya.

   "Memang, sudah lama aku dengar nama mereka, baharu kali ini aku melihat mereka itu. Tidak aku sangka, kita dapat lolos dari bahaya karena bantuan mereka. Bagaimana sekarang? San Bin masih belum dapat ditolong....."

   "Orang she Pit ini jadi sangat masgul. Tapi, dalam keadaan seperti itu, ia tidak boleh membuang-buang waktu, lantas ia bantu Tjek Poo Tjiang memukul mundur pasukan tersembunyi dari musuh, habis mana mereka mundur dari belakang bukit, untuk pulang ke Na keetjhoeng. Hari sudah magrib ketika mereka tiba di rumah, semuanya lesu, lelah dan masgul, karena sia-sia saja usaha mereka. Waktu mereka asyik berbicara, mereka membicarakan halnya si orang tak dikenal itu, yang menyamar sebagai pengembala bangsa Mongolia, yang kali ini bersembunyi di dalam kereta persakitan tanpa diketahui apa maksudnya. Mereka menduga-duga tanpa ada pemecahannya.

   "Malam ini pasti Thio Hong Hoe bermalam di dalam kota."

   Kata Pit To Hoan seraya mendongak untuk melihat cuaca.

   "Aku pikir, lebih baik kita pergi ke kota, untuk mengadakan penyelidikan. Mesti kita ketahui bagaimana nasibnya keponakan San Bin, supaya kita berdaya upaya menolongnya pula. Thio Hong Hoe sangat licin, dia telah memperdayakan kita, maka itu, sulit bagi kita untuk mengetahui, San Bin berada di dalam kerangkeng atau tidak....."

   Semua orang berdiam ketika mereka ingat akan keliehayannya Thio Hong Hoe, yang gagah dan cerdik sekali.

   "Di antara kita, In Siangkong, kaulah yang paling sempurna ilmu entengkan tubuh,"

   Berkata pula To Hoan.

   "Di samping itu, di dalam kota, adalah rumah penginapan kita yang paling besar....."

   Mendengar ini, In Loei yang cerdik, segera mengerti maksud orang.

   
Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memang!"

   Katanya.

   "Pada siang hari kita gagal menggunakan golok dan tombak, tapi pada malam hari kita pasti dapat membuatnya mereka kalut dan repot! Atau sedikitnya, kita mungkin dapat mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya..... Thio Hong Hoe gagah perkasa, aku sangsi dia pandai ilmu enteng tubuh, maka andai kata aku gagal, dapat aku menyingkir daripadanya, belum pasti dia dapat mengejar aku dan menyandaknya....."

   Maka diambillah keputusan, malam itu In Loei akan pergi membuat penyelidikan dan Pit To Hoan turut sebagai kawan yang mengintai di luar hotel.

   Demikian sekira jam dua, kedua orang itu telah masuk secara diam-diam ke dalam kota di mana mereka segera disambut oleh pihaknya.

   Benar saja, Thio Hong Hoe beramai telah mengambil tempat di hotel kaumnya Tjinsamkay, dari itu In Loei, dengan mengandal jongos hotel, dapat masuk ke dalam hotel dengan mengambil jalan dari pintu belakang.

   Ia minta keterangan, kamar mana yang Hong Hoe pakai, habis itu, ia beristirahat sebentar.

   Kira-kira jam tiga, nona In sudah lantas salin pakaian, untuk memakai yaheng ie, pakaian untuk bekerja malam, tetapi ketika hendak lompat naik ke atas genteng, kupingnya mendengar tindakan kaki kuda, yang dengan cepat sekali telah tiba di muka hotel.

   Dari dalam rumah penginapan pun sudah lantas keluar serdadu Gielim koen, yang menyambut orang yang baharu tiba itu.

   "In Siangkong, harap tunggu sebentar,"

   Pesan jongos yang melayaninya. Dengan bawa tahang air dan makanan kuda, jongos ini terus pergi keluar. Sampai sekian lama, setelah suara di luar sunyi, baharu ia kembali.

   "Rupanya itu adalah kabar kilat,"

   Ia beritahu In Loei.

   "Entah urusan apa yang demikian penting."

   Di jaman itu, surat-surat di kirim dan dibawa bergantian oleh pelbagai pesuruh, yang mempunyai pos-pos sendiri, untuk saling menolong, secara demikian surat- surat dapat disampaikan kepada alamatnya secara cepat sekali.

   Itulah cara yang dinamakan "Pat pek lie koay ma kee kin"

   Atau "Larinya kuda cepat delapan ratus lie."

   Dalam satu hari orang dapat mencapai sepuluh pos dan menukar sepuluh ekor kuda, kudanya adalah kuda pilihan, penunggang kudanya jempolan.

   Maka dalam tempo dua belas jam, kuda itu dapat menempuh jarak sejauh tujuh atau delapan ratus lie.

   In Loei heran.

   "Cara bagaimana kau ketahui itu?"

   Ia tanya.

   "Sebab, kuda pembawa surat itu telah lelah hingga rubuh,"

   Sahut si jongos.

   "dengan pertolongan dua orang, baharu kepala kuda itu dapat diangkat untuk diberi air minum....."

   In Loei berpikir.

   "Baiklah,"

   Katanya.

   "Sekarang ingin aku ketahui, kabar penting apakah yang dibawa itu."

   Kamar Thio Hong Hoe berada di sebelah selatan, kamar itu besar.

   Ke sana In Loei nelusup, terus saja ia gelantungkan diri di payon kamar, untuk mengintai ke dalam.

   Di dalam kamar itu tampak duduk seorang pesuruh, Hong Hoe sendiri tengah menyekal sepucuk surat.

   "Penjahat yang hari ini kami dapat tawan, satu pun belum sempat kami periksa,"

   Berkata Hong Hoe.

   "karena itu, belum diketahui apa di antaranya ada orang yang dimaksudkan, tetapi umpama kata benar ada, pasti sekali akan aku turuti kehendak Kong Tjongkoan. Kau tentunya letih sekali, pergi kau beristirahat, supaya besok kau dapat segera kembali ke kota raja. Salinan surat dinas ini nanti aku titahkan orang menyampaikannya kepada Khoan Tiong."

   "Terima kasih, thaydjin1."

   Mengucap pesuruh itu, yang terus meminta diri untuk pergi. Hong Hoe sudah lantas jalan mondar-mandir, kedua alisnya dikerutkan. Terang ia tengah menghadapi urusan sangat penting.

   "Mana orang!"

   Tiba-tiba ia memanggil.

   Segera setelah itu, satu serdadu yang menjaga di pintu luar bertindak masuk.

   Dia ini diberi titah dengan suara hampir berbisik, atas mana, dia keluar pula.

   Masih Hong Hoe nampak tak tenang, ia garuk-garuk belakang kupingnya.

   Ia beber kertas di tangannya itu, untuk diawasi.

   Dari tempatnya mengintai, In Loei dapat lihat kertas itu.

   Itulah bukan surat dinas, itu adalah lukisan satu orang.

   Melihat gambar itu, hampir In Loei tak tahan untuk tidak perdengarkan jeritan.

   Itu adalah gambarnya Tjioe San Bin, yang ia hendak tolongi.

   Hong Hoe berkata seorang diri, suaranya tak tegas.

   "Lebih dulu tusuk tulang piepee-nya, lalu kedua matanya dikorek keluar, setelah itu dia masih hendak dipakai sebagai umpan untuk menagih kepada Kim Too Tjeetjoe..... Ah, inilah sungguh kejam!"

   In Loei terkejut.

   "Jikalau benar mereka berbuat demikian macam terhadap saudara San Bin, malam ini aku mesti adu jiwaku!"

   Dia berpikir.

   "Biarlah kita semua bersama binasa!....."

   Dan ia genggam Bweehoa Ouwtiap-nya. Hatinya tegang, tubuhnya sampai bermandikan keringat dingin. Tidak lama kemudian terdengar tindakan dari beberapa kaki.

   "Inilah tentu saudara San Bin yang diiring,"

   In Loei menduga-duga.

   Ia lantas memasang mata, hatinya jadi bertambah tegang.

   Tapi, ketika ia lihat dengan nyata, ia jadi melengak, hampir saja ia keluarkan seruan tertahan.

   Yang datang itu adalah satu perwira muda, dialah orang dengan siapa tadi In Loei bertempur, dia juga si orang aneh yang malam itu membokong si pangeran asing! "Saudara Tjian-lie, urusan ini sangat sulit untuk diputuskan,"

   Berkata Thio Hong Hoe kepada anak muda itu.

   "Apakah itu, Thio Thaydjin?"

   Tanya si anak muda. Hong Hoe tidak segera menjawab, ia hanya maju dua tindak, hingga ia berdiri berhadapan dengan si anak muda. Ia bersenyum.

   "Kau meninggalkan kota raja pada tanggal tujuh belas, kenapa baru kemarin malam kau tiba di sini?"

   Dia tanya. Anak muda itu nampak kemalu-maluan, ia alihkan pandangan matanya. Habis itu ia paksakan bersenyum.

   "Di tengah jalan aku diganggu hujan, kudaku tak dapat jalan,"

   Ia kata.

   "Karenanya aku terlambat."

   Thio Hong Hoe tertawa.

   "Benarkah itu?"

   Dia tanya pula. Wajah pemuda itu berubah, ia mundur satu tindak, tangannya menekan meja.

   "Apakah Thaydjin curigai aku?"

   Dia tanya. Thio Hong Hoe tertawa pula, bergelak.

   "Mustahil aku curigai kau....."

   Sahutnya. Lalu, dengan suara dalam, dia tambahkan.

   "Walaupun kau memakai seragam Kimie wie belum cukup satu bulan, tapi aku rasa kita dapat bicara dari hati ke hati bukan?"

   Dengan bajunya, perwira muda itu menyeka keringat di jidatnya.

   "Thaydjin setia dan jujur, aku kagum terhadapmu.

   "

   Ia kata. Thio Hong Hoe maju satu tindak.

   "Jikalau kau tidak ingin dicurigai, hendaknya kau bicara terus terang,"

   Ia kata.

   "Ketika kemarin ini di Tjengliong kiap terjadi penyerangan kepada utusan bangsa Mongolia, bukankah kau telah mengambil bagianmu?"

   Perwira itu berdiri tegak.

   "Baiklah thaydjin ketahui aku bukan cuma turut dalam sebagian, aku malah orang yang memegang peranan!"

   Sahutnya.

   "Tahukah kau bahwa dia adalah utusan terhormat dari pemerintah kita?"

   Hong Hoe tanya.

   "Tahukah kau, apabila terjadi sesuatu atas diri utusan itu, di antara kedua negeri dapat terjadi peperangan?"

   Anak muda itu tidak terdesak.

   "Thio Thaydjin, tahukah kau, apa maksud kedatangan utusan itu?"

   Ia balik menanya.

   "Tahukah thaydjin bahwa utusan itu hendak meminta supaya pemerintah kita menyerahkan tanah daerah untuk mengganti kerugian? Daripada bertekuk lutut terhina, lebih baik kita berperang mati-matian!"

   "Walaupun demikian,"

   Kata Hong Hoe.

   "kau adalah satu hamba negeri, sebagai hamba negeri, kau serang utusan negara asing, dosamu bukannya kecil!"

   "Sehebat-hebatnya tidak melebihi hukum picis!"

   Kata si anak muda.

   "Thio Thaydjin, adakah ini urusan yang membuatnya kau sulit? Siapa berani berbuat, dia mesti berani bertanggung jawab, maka itu, tidak nanti aku bikin kau susah. Thio Thaydjin sekarang juga aku bersedia ditawan, kau boleh legakan hatimu!"

   Sekonyong-konyong Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak.

   "Saudara Tjian-lie, tak usah kau pancing ke-murkaanku!"

   Katanya.

   "Kesulitanku itu tidak ada sangkutannya dengan kau!"

   Mendengar ini, tercengang si anak muda. Inilah di luar dugaannya.

   "Habis, urusan apakah itu?"

   Tanyanya. Dengan sabar Hong Hoe beber kertasnya tadi, dia tunjukkan gambar yang terlukis di atas itu.

   "Tahukah kau, siapa orang yang tertera di sini?"

   Ia tanya. Wajah si anak muda kembali berubah.

   "Bukankah ia salah satu penjahat yang thaydjin telah tawan?"

   Tanyanya.

   "Aku hanya ingin bertanya, kenalkah kau padanya atau tidak?"

   Kata komandan Kimie wie itu.

   "Tahukah kau tentang diri dia ini?"

   Si anak muda bersangsi sebentar, lalu ia menghela napas.

   "Dia adalah putera Kimtoo Tjeetjoe yang sangat disayang dari Ganboenkwan,"

   Ia berikan penyahutan.

   "Aku dengar pada sepuluh tahun yang lampau, Tjioe Kian telah berontak dan kabur keluar perbatasan, dia ditangkap serumah tangganya dan dihukum mati semua, kecuali puteranya ini yang berhasil meloloskan diri....."

   Thio Hong Hoe melirik.

   "Kau masih berusia sangat muda, tapi bukan sedikit hal yang kau ketahui!"

   Dia kata. Tiba-tiba si anak muda berlinangkan air mata.

   "Thio Thaydjin....."

   Katanya perlahan, tertahan. Hong Hoe memotong.

   "Sejak saat ini, kita ada seperti kakak dan adik. Mulai sekarang aku minta kau panggil saja namaku!"

   "Thio Toako,"

   Segera si anak muda berkata terus terang.

   "Kimtoo Tjioe Kian itu adalah tuan penolongku yang besar. Hanya, bagaimana duduknya hingga aku berhutang budi daripadanya, maaf, tak dapat aku menjelaskannya."

   "Aku pun dapat melihat kesukaranmu hingga kau tak dapat bicara,"

   Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Hong Hoe.

   "Baiklah, jangan kita bicarakan pula soal itu. Puteranya Tjioe Kian telah kita tawan. Coba katakan, dengan cara bagaimana dapat kita merdekakan dia?"

   "Urusan ini sangat besar, tidak berani aku campur bicara,"

   Jawab si anak muda.

   "Memang benar Kimtoo Tjeetjoe telah berontak terhadap pemerintah, akan tetapi selama berdiam di Ganboenkwan, berulangkah dia melabrak bangsa Ouw yang datang menerjang daerah kita, jadi dengan sendirinya dia telah berjasa kepada negara! Dia mempunyai hanya satu putera, jikalau putera itu dibawa ke kota raja dan diperiksa, aku kuatir ia tak akan dapat lolos dari hukuman mati. Apabila itu sampai terjadi, sungguh hebat!....."

   Pemuda ini berkata, ia tidak berani campur bicara tetapi ia telah mengutarakan rasa hatinya itu! Dengan itu, ia hendak menggerakkan hatinya Hong Hoe, supaya komandan itu suka membebaskan San Bin..... Thio Hong Hoe mengerti maksud orang, ia bersenyum.

   "Tidak usah dia dibawa ke kota raja, tidak usah dia diperiksa lagi,"

   Katanya.

   "Kong Tjongkoan telah ketahui hal ihwalnya putera Tjioe Kian itu tetapi dia mungkin tak usah menemui ajalnya....."

   "Jadi warta kilat tadi ada mengenai urusan ini?"

   Tanya si perwira muda.

   "Benar!"

   Jawab Hong Hoe.

   "Itulah hal yang aku katakan sulit. Sungguh lihay mata dan kuping Kong Tjongkoan, dia telah ketahui puteranya Tjioe Kian sudah nelusup masuk ke Tionggoan, dia pun ketahui bahwa kita telah membekuk banyak orang Rimba Hijau kenamaan. Untungnya dia masih belum ketahui, apakah putera Tjioe Kian itu ada di antara orang-orang tawanan kita atau tidak. Maka itu dia telah mengirim warta kilatnya, untuk kita perdatakan putera Tjioe Kian itu. Dia menitahkan, apabila kita berhasil menawan putera pemberontak itu, supaya kita lantas mengalungi tulang piepee-nya, mengorek matanya, untuk melenyapkan kegagahannya, hingga orang tak dapat membawa dia minggat. Setelah itu Kong Tjongkoan hendak menggunakan putera orang itu sebagai barang berharga, sebagai tanggungan, guna memaksa Kimtoo Tjeetjoe, supaya dia tidak menentangi lagi tentara negeri....."

   "Sungguh daya yang kejam sekali!"

   Seru si anak muda tanpa merasa.

   "Kita sama-sama makan gaji negara,"

   Kata Hong Hoe.

   "terhadap penjahat biasa, bila dia kena ditawan, itu berarti pahala untuk kita, dapat kita bertindak dengan hati adem. Akan tetapi Tjioe Kian dan puteranya bukan penjahat biasa, tanpa mereka itu, sudah sejak siang-siang pasukan perang Watzu menyerbu ke tanah daerah kita....."

   Pemuda itu membuka dengan lebar kedua matanya, yang bersinar terang.

   "Thio Thaydjin,"

   Katanya.

   "eh, bukan, Thio Toako, baik kau merdekakan saja dia! Coba siang-siang aku ketahui kau mempunyai maksud begini....."

   Thio Hong Hoe tertawa, dia memotong.

   ".....kau sekarang tidak usah menempuh bahaya dengan menyerang si pangeran asing, bukan? Saudara Tjian-lie, siang-siang aku telah menduga, untuk menyerang si pangeran, kau menggunakan akal dengan sebuah batu mendapatkan dua ekor burung. Kau tidak ingin secara terang-terangan menentang aku, tak ingin kau memerdekakan orang di bawah perlindunganku, maka kau pinjam tangannya rombongan Pit To Hoan. Kau ingin bekuk si pangeran asing, untuk dipakai menukar orang. Bukankah begitu?"

   "Toako, apa yang kau katakan itu semua benar,"

   Jawab si perwira muda. Ia berlaku terus terang. Dengan tiba-tiba saja, Hong Hoe berhenti bersenyum.

   "Bagaimana gampang untuk memerdekakan orang itu!"

   Katanya.

   "Apakah kau tidak menginsyafi berbahayanya Kong Tjongkoan? Sudah pasti jabatan komandan Kimie wie ini tak akan aku pangku terlebih lama pula, juga kau sendiri, jangan kau mengharap untuk menjadi boe tjonggoan tahun ini....."

   Si anak muda bungkam. Sampai sekian lama, baharu ia buka mulutnya. Ia mendongkol sekali.

   "Biarlah, tak apa aku tak turut ujian boe tjonggoan1."

   Katanya, sengit.

   "Tapi aku tak ingin kau mengorbankan pangkatmu!"

   "Dengan perbuatanku itu,"

   Kata Thio Hong Hoe.

   "tidak saja pangkatku yang akan hilang, juga jiwaku terancam keselamatannya....."

   Perwira muda itu nampaknya menjadi sangat lesu.

   "Sekarang ada titah apalagi dari Thaydjin?"

   Dia tanya dengan tawar.

   "Kau pergi meronda di luar,"

   Kata Hong Hoe.

   "Kecuali Hoan Tiong, yang lainnya siapa pun tak boleh keluar masuk di sini. Juga kau, aku larang kau bertindak secara sembrono!"

   "Di bawah perintah kau, toako, - oh, thaydjin,"

   Kata si anak muda.

   "umpama kata aku berani bertindak sembrono, aku toh tidak akan lolos dari golok Biantoo-mu. Thaydjin, legakanlah hatimu, jangan kuatir!"

   Thio Hong Hoe tertawa, ia kibaskan tangannya.

   In Loei lihat tegas, anak muda itu mengundurkan diri dengan lesu dan uring- uringan.

   Seberlalunya si anak muda, Hong Hoe panggil pengawal kepercayaannya yang ia bisiki pesannya, setelah mana, orang itu mengundurkan diri, tetapi tidak lama kemudian ia sudah kembali bersama satu orang.

   Itulah Hoan Tiong, Gietjian siewie.

   Kepada pahlawan istana ini, Hong Hoe perlihatkan surat dinas, melihat mana, kedua matanya si orang she Hoan terbelalak, sepasang alisnya berdiri.

   "Toako."

   Katanya dengan nyaring.

   "apakah kau masih ingat sumpah kita baru-baru ini?"

   "Sang waktu telah lewat lama sekali, aku sudah lupa....."

   Jawab Hong Hoe. Hoan Tiong nampak sangat gusar, ia gebrak meja.

   "Apakah benar toako telah melupakannya?"

   Dia tegaskan.

   "Hiantee, cobalah kau katakan....."

   Hong Hoe minta, sikapnya sabar.

   "Dengan darah kita yang panas, hendak kita membela negara!"

   Kata Hoan Tiong, keras.

   "Kita juga tak sudi terima penghinaan dari musuh! Itulah sebabnya kenapa kita masuk tentera! Sama sekali kita tidak mengharapkan anak isteri berbahagia karena kemaruk akan jasa atau pangkat!"

   Ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan.

   "Adalah maksud hatiku untuk pergi keperbatasan guna dengan golok dan tombakku, mengadu jiwa dengan bangsa Ouw, tetapi Sri Baginda justeru menghendaki aku menjadi pahlawan di dalam istana! Maka dalam beberapa tahun ini, aku merasa seperti tak dapat bernafas....."

   Masih ia menambahkan setelah berhenti sebentar.

   "Sudah tak dapat kita pergi keperbatasan untuk bertempur dengan bangsa asing, guna membela negara, kita sebaliknya telah mencelakai Kimtoo Tjeetjoe serta puteranya yang justeru telah mengeluarkan tenaganya menentang bangsa Ouw itu! Apakah artinya ini? Tidakkah ini memalukan?"

   "Apa lagi sumpah kita itu?"

   Hong Hoe tanya pula.

   "Kita mesti beruntung hidup bersama, celaka sama binasa"

   Sahut Hoan Tiong.

   "Bagus!"

   Seru tjiehoei itu.

   "Sekarang ada satu bencana besar yang mengancam kita, yang aku ingin kita menentangnya bersama! Mari dekatkan kupingmu!"

   Hoan Tiong mendekati, ia pasang kupingnya. Hong Hoe segera berbisik, habis mana, orang she Hoan itu menjura dalam.

   "Toako, maafkan aku untuk kesembronoanku tadi!"

   Ia mohon.

   "Tindakanmu ini tidak keliru!"

   Setelah itu, ia putar tubuhnya untuk berlalu. Thio Hong Hoe mengawasi, ia menghela napas.

   "Aku hanya kuatirkan djieko-mu tak sama pikirannya....."

   Ia kata.

   "Tak usah kita memikir sampai begitu jauh!"

   Hoan Tiong masih berkata. Tanpa menoleh lagi, ia berjalan terus, ia buka tindakan lebar. Menyaksikan semua itu, In Loei berpikir.

   "Tidak kusangka mereka ini ada orang-orang gagah sejati,"

   Katanya dalam hati. Lantas ia dapat pikiran untuk menyusul Hoan Tiong, guna melihat apa yang dia hendak lakukan. Atau tiba-tiba Hong Hoe yang berpaling ke arahnya, sambil bersenyum lantas melambaikan tangannya dan berkata.

   "Silakan turun kemari! Sekian lama kau bergelantungan di payon, apakah kau tidak letih?"

   In Loei berani, ia pun bersenyum. Ia lompat melayang turun, akan hampirkan komandan Kimie wie itu. Segera ia angkat kedua tangannya, memberi hormat.

   "Thio Thaydjin, kita adalah sahabat-sahabat satu dengan lain!"

   Katanya tenang.

   "Kau datang untuk menolongi San Bin, bukan?"

   Tanya Hong Hoe.

   "Tidak salah,"

   In Loei akui terus terang.

   "Semua pembicaraanmu telah aku dengar tegas. Sekarang ini aku minta sukalah kau serahkan San Bin padaku."

   Dengan langsung nona ini mengajukan permintaannya itu. Hong Hoe tertawa.

   "Dengan serahkan ia untuk dibawa pergi, tidakkah itu akan menerbitkan kegemparan?"

   Tanya komandan ini.

   "Bagaimana kalau kau gagal? Apakah kau tidak memikir kepentingan di pihak kami?"

   In Loei melengak. Ia lantas berpikir. Memang itu bukanlah cara yang tepat. Tak seharusnya Hong Hoe dibikin repot atau pusing. Ia jadi malu sendirinya. Hong Hoe pandang muka orang, ia bersenyum.

   "Kini Hoan Tiong telah bawa pergi Tjioe Toako-mu itu dengan diam-diam,"

   Ia beritahu.

   "Aku titahkan mereka untuk tunggui kau di luar pintu kota utara."

   In Loei ada demikian girang, hingga - sret! - lantas saja ia lompat naik ke atas payon.

   "Tunggu!"

   Tiba-tiba Hong Hoe mencegah.

   "Ada apa lagi?"

   Tanya si nona sambil berpaling.

   "Mana sahabatmu yang menunggang kuda putih itu?"

   Hong Hoe tanya. Goncang hatinya si nona.

   "Dia ambil jalannya sendiri, aku juga ambil jalanku sendiri,"

   Ia jawab.

   "Aku tak tahu dia di mana."

   Hong Hoe menjadi heran sekali.

   "Kamu berdua merangkap sepasang pedang, kamu menjagoi, mana dapat kamu hidup berpencaran?"

   Dia bilang.

   "Sahabatmu itu agung sekali, sekali saja orang lihat padanya, orang akan jatuh hati. Kalau nanti kau bertemu pula dengan dia, tolong sampaikan hormatku kepadanya."

   "Belum tentu aku dapat bertemu pula dengannya,"

   Sahut In Loei.

   "Baiklah, akan aku ingat pesanmu ini. Aku pergi!"

   Ia hendak ambil langkahnya, atau.

   


Pendekar Setia Karya Gan KL Neraka Hitam -- Khu Lung Pedang Ular Emas -- Yin Yong

Cari Blog Ini