Pedang Inti Es 3
Pedang Inti Es Karya Okt Bagian 3
Pedang Inti Es Karya dari Okt
Katanya.
"lebih baik kita berdiam bersama di Puncak Bidadari ini selama tiga tahun untuk bersama-sama meyakinkan dan menciptakan satu ilmu pedang yang luarbiasa istimewa, untuk kemudian menamakannya itu ilmu silat pedang Peng-coan Kiam-hoat. Wajah si nona menjadi merah-dadu, ia berdiam. Ia menunduk mengawasi sungai es. Ia menjumput beberapa potong kepingan es, ia menghancurkan itu. Ia pun memungut selembar bunga yang mengambang di atas es itu, ia memecahkannya, ia melepaskannya hingga hancurannya terbang terbawa angin. Habis itu ia menghela napas dan berkata perlahan.
"Bunga terbang melayang sendirinya, es mengalir sendirinya pula, melainkan sinarnya es dan bayangannya es berdua yang berduka sendirinya "
Habis mengucap begitu, tubuh si nona mencelat, melompati sebuah sungai es, akan menaruh kaki di lain tepinya, di mana ia berdiri diam, matanya memandang ke udara di mana mega bergumpal, melayang-layang, ketika kemudian ia memandang ke bawah, tanpa merasa sinar matanya beradu sama sinar mata Koei Hoa Seng, yang mengawasi padanya.
Anak muda itu lantas saja merasa dirinya terbenam sendirinya, ia lantas bersenandung.
"Ah,"
Mengatakan si nona. Hoa Seng berdiam, ia berdiri menjublak, sampai kemudian jauh di atas gunung sana, ia mendengar suara seruling, halus tetapi terang. Mendengar itu, si nona tertawa sedih.
"Ah, di sana budak pelayanku memanggil aku pulang,"
Katanya.
"Hendak aku pergi sekarang!"
Hoa Seng terkejut.
"Kau hendak pergi ke mana?"
Tanyanya.
"Dari mana aku datang, ke mana aku pergi,"
Sahutnya.
"Mustahil secara begini saja kita berpisahan?"
Menanya pula si pemuda.
"Habis di belakang hari? "
"Urusan di belakang hari, nanti saja di belakang hari kita membicarakannya ......"
Menyahut pula si pemudi.
Ia lantas mengeluarkan tangannya yang putih-halus, ia menggeraki itu seperti menekan tiga kali, ia membalikinya dengan jerijinya terbuka, terus ia menunjuk ke arah dadanya di mana ada tergantung satu kaca rasa dari kumala yang menjadi barang perhiasannya, terus ia bersenandung dengan suaranya yang terang nyata.
"Jikalau nanti kita bertemu pula janganlah menanya lagi, masing-masing mengikuti saja jodohnya hingga di ujung pangkalnya langit!"
Kata-kata ini ditutup sama lompatan tubuhnya, yang terus berlari-lari keras dengan ilmunya ringan tubuh 08.
Masuk Ke Istana Potala Hoa Seng berdiri menjublak, lama, lama sekali, hingga tahutahu ia mendapatkan si Puteri Malam mulai muncul di arah timur, sedang puncak es memperlihatkan sinar berkilau bagaikan kaca.
Ia kehilangan kawan, ia menjadi merasa sangat sunyi, sunyi sekali.
Lalu teringatlah pengalamannya selama beberapa hari ini.
Ia merasa bahwa ia baru saja habis bermimpi.
Sayang sekali, ia telah terlalu lekas mendusin .......
Dengan lenyap kegembiraannya pemuda ini jalan turun gunung, sembari berjalan ia berpikir.
Apakah artinya gerakan tangan si nona tadi menekan tiga kali, lalu menunjuk kaca kumala di dadanya? Apakah artinya senandungnya itu? Bukankah itu berarti bahwa bakal datang saatnya yang mereka akan bertemu pula kelak di belakang hari? Di manakah tempatnya bertemu pula itu? Dan kapankah waktunya itu? Ia memikir dengan sia-sia, bahkan ia jadi seperti kelelap dalam.
Sungguh sebuah teka-teki yang tidak dapat dipecahkan, sukar sekali .
Tiba di kaki gunung, Hoa Seng memandang jauh ke Kota Iblis.
Di sana ia melihat stupa putih yang dibangun oleh putera raja Nepal.
Lantas ia ingat akan pesan Maskanan.
Maka berpikirlah ia.
"Itu sekalian boesoe Nepal telah diusir si nona baju putih, tetapi putera raja Nepal itu masih berada dengan cita-citanya yang besar, cita-cita itu belum dapat ditumpas. Maskanan meminta aku pergi ke Lhasa untuk menghadap Buddha Hidup, untuk aku menyampaikan amanat hoat-ong dari agama Putih, kenapa aku melupakan itu?"
Setelah ingat begitu, pemuda ini lantas membuka tindakannya ke arah Lhasa.
Ketika itu sudah mulai permulaan musim semi, es dan salju yang menutupi gunung-gunung sudah mulai lumer, jalanan jauh lebih menyenangkan untuk dilewati, maka itu berjalan hampir satu bulan, ia telah tiba di ibukota Tibet.
Hari sudah sore ketika Hoa Seng memasuki kota Lhasa.
Ia menampak rumah-rumah yang wuwungannya rata bercampur baur sama tenda-tenda, pemandangan mana sungguh beda sama pemandangan di Tionggoan.
Di tengah jalan ada banyak orang yang mundar mandir.
Dari setiap tenda ada mengepul keluar asap dupa, ada sinar lilinnya yang menggenclang, bahkan di depan sejumlah tenda ada orang-orang Tibet yang membakar dupa dan menjalankan kehormatan, yang bersembahyang.
"Adakah hari ini hari besar?"
Ia menanya seorang tua yang di sampingnya, tangan siapa ia tarik.
"Bukan hari ini, hanya besok,"
Menyahut orang tua itu. Dia lantas menunjuk pada sang Puteri Malam yang terangbenderang, dia menanya.
"Tuan, kau datang dari mana? Bukankah kau penganut Sang Buddha yang maha suci? Mengapa sampaikan hari ulang tahunnya Sang Buddha kau melupakannya?"
Hoa Seng dongak melihat ke langit, ia mendapatkan rembulan tengah bundar dan besar. Ia menjadi heran.
"Bukankah ulang tahunnya Sang Buddha pada tanggal delapan bulan empat?"
Tanya ia. Orang tua itu tercengang, lalu ia tertawa.
"Tuan, kau seorang Han, ada yang kau tidak tahu,"
Ia berkata.
"Syukur aku mengerti penanggalan orang Tionghoa, jikalau tidak, aku tentunya heran sekali untuk pertanyaanmu ini. Besok ialah tanggal delapan bulan empat!"
Hoa Seng memandang pula sang rembulan.
"Rembulan toh sedang bundarnya ."
Katanya. Orang tua itu tertawa pula.
"Kami menggunai penanggalan Tibet dan kamu orang Tionghoa menggunai imlek,"
Ia menerangkan.
"Untuk kamu bulan purnama ialah di tanggal limabelas, akan tetapi bagi kami tidaklah demikian, untuk kami ada kalanya di permulaan tanggal, ada kalanya juga di akhir bulan. Menurut hitungan Imlek, hari ini ialah tanggal empat belas bulan tiga dan besok tanggal limabelas. Oleh karena tahun ini hari ulang Sang Buddha kebetulan bulan purnama, ramainya perayaan menjadi luar biasa. Semenjak kemarin kami sudah mulai mandi bersih dan pantang dan membakar dupa untuk menghormati Buddha kami."
Hoa Seng ingat suatu apa.
"Bulan tiga tanggal lima.... bulan tiga tanggal limabelas .."
Katanya perlahan.
Mendadak saja ia sadar.
Bukankah si nona baju putih menekan tangannya tiga kali? Bukankah itu berarti tiga kali lima menjadi limabelas? Bukankah itu berarti tanggal limabelas bulan tiga? Dan tangannya menunjuk kepada kacanya dari kumala, bukankah dengan itu diartikan sang rembulan purnama? "Tuan, kau sungguh beruntung,"
Berkata pula si orang tua, yang ternyata suka berbicara.
"Tahun ini Buddha Hidup Dalai bakal mengepalai sendiri upacara, besok. Ia akan muncul di antara kami. Tiga buah pendopo besar di depan Istana Potala pun besok akan dibuka, untuk mengijinkan semua pria dan wanita yang sujud, bersujud di undakan tangga pendopo besar itu. Dalam seumur hidup kami, belum tentu kami dapat memandang wajahnya Buddha Hidup sekalipun hanya satu kali, tetapi kau, begitu kau datang, kau menemui saatnya yang baik. Kalau besok kau berkumpul di antara orang banyak, akan melihatnya wajah Buddha Hidup kami itu. Itulah sungguh suatu keberuntungan yang maha besar!"
Hoa Seng girang bukan main, ia lantas menghaturkan terima kasih kepada orang tua itu, kemudian ia pergi mencari sebuah tenda yang biasa menerima menumpangnya tetamu. Akan tetapi malam itu ia tidak dapat tidur pulas, hatinya banyak berpikir.
"Kiranya adik Giok menjanjikan aku bertemu besok tengah malam di Istana Potala ini?"
Demikian pikirnya.
"Hanya, dengan cara bagaimana ia dapat memasukinya istana? Mungkinkah di waktu malam pun istana dibuka untuk umum seperti di siang hari dan orang dibiarkannya pesiar sesukanya?"
Oleh karena ia tidak dapat tidur, Hoa Seng berbangkit untuk mencari pemilik tenda, guna meminta keterangan, dan ia memperoleh keterangan sama seperti dituturkan si orang tua tadi, hanya tuan rumah ini menjelaskan juga, pendopo yang besok bakal dibuka ialah tiga-tiganya, pembukaan dilakukan di siang hari, begitu tiba magrib, semua orang harus meninggalkan pendopo itu.
Kata pula tuan rumah ini.
"Buddha Hidup sangat mulia dan agung, mana dapat sembarang orang memasuki perdalaman istananya? Bahwa kami telah diperkenankan menghunjuk hormat di undakan tangga saja sudah suatu keberuntungan yang bukan main besarnya!"
Di waktu mengucap demikian, tuan rumah itu bersikap sangat bersujud. Hoa Seng menjadi masgul, pikirannya menjadi bertambah ruwet.
"Apakah aku salah mentafsirkan pertanda si nona baju putih?"
Ia menanya dirinya sendiri.
"Tapi, kalau bukan demikian dugaanku, bagaimana mestinya? Maka ia jadi semakin merasa aneh untuk hal ikhwalnya si nona baju putih itu.
"Biarlah sang besok lekas datang!"
Akhirnya ia kata dalam hatinya.
Malam itu ia tak pulas semalam suntuk.
Begitu sang fajar di hari kedua muncul, ia lantas berbangkit untuk menemui tuan rumah kepada siapa ia minta pinjam seperangkat pakaian orang Tibet.
Ia hendak menyamar supaya di waktu berkumpul sama banyak orang tidaklah ia menyebabkan tertariknya perhatian orang banyak itu.
Halnya Dalai Lama membuka Istana Potala untuk umum dan ia sendiri bakal mengepalai upacara ulang tahun Sang Buddha telah menggemparkan seluruh Lhasa, bahkan ada penduduk dari lain tempat yang memerlukan datang berkunjung.
Hoa Seng menganggap ia bangun pagi-pagi sekali, siapa tahu sekeluarnya ia dari tempatnya mondok, ia melihat jalan-jalan umum telah penuh dengan orang banyak.
Ia menyelip di antara mereka itu, ia turut mereka menuju ke istana.
Perlahan-lahan jalannya semua orang itu.
Istana Potala dibangun di luar kota Lhasa, di atas gunung Anggur.
Orang Tibet menamakannya gunung itu Potala, maka nama istana diambil namanya gunung itu.
Tingginya istana ada tigabelas tingkat.
Menurut cerita maka raja Tibet yaitu Srontsan Gampo telah menikah sama Puteri Wen Cheng dari Kaisar Lie Sie Bin dari ahala Tang (tahun 611) dan puteri inilah yang meminta dibangunnya istana Setelah perbaikan tahun ketemu tahun, istana itu menjadi bertambah indah.
Batu yang dipakai membangun itu pun ada potongan-potongan batu ukuran persegi yang digali dari tengah gunung.
Di atas istana ada tiga buah wuwungan besar dari emas serta delapan stupa emas dari tubuhnya Buddha Hidup.
Buddha Hidup Tibet, ialah seluruhnya dibungkus dengan lembaran-lembaran daun emas yang tengahnya ditabur mutiara, yang dilihat dari jauh, nampak bersinar gemerlapan, indahnya bukan buatan.
Hoa Seng mengikuti terus orang banyak itu.
Mendekati tengah hari, barulah ia tiba di jalanan gunung di bawah Istana Potala.
Ia melihatnya jalanan yang menuju ke pintu istana merupakan tangga batu yang berliku-liku.
Di sebelah depan terdapat dua baris lhama dengan jubah kuning menjadi penunjuk jalan.
Pintu dari tiga pendopo besar sudah dipentang lebar-lebar, maka semua pria dan wanita yang bersujud itu mengikuti kedua barisan lama itu memasuki pintu-pintu besar itu.
Ketika Hoa Seng sampai di tangga batu pendopo, orang telah penuh padat, hingga umpama kata tidak ada tempat untuk sepotong jarum, hingga mereka yang datang belakangan harus bersujud dari luar pintu.
Dengan mementang matanya Hoa Seng memandang kelilingan.
Ia hendak mencari si nona baju putih, nona yang ia panggilnya adik Giok.
Ia merasakan ia seperti mencari sepotong jarum di dalam lautan besar.
Nona itu tak ada bayangannya.
Ia penasaran, ia mendesak maju, untuk ini ia mengerahkan tenaga dalamnya.
Maka setiap orang di dekatnya merasa tubuhnya tertolak suatu tenaga besar, hingga dengan sendirinya mereka masing-masing membuka jalan untuk ia maju lebih jauh.
Tidak ada orang yang menaruh curiga, mereka itu menyangka itulah desakan biasa saja dari mereka, dari orang-orang yang berada di sebelah belakang ........
Hoa Seng seperti menjelajah semua tangga batu dari ketiga pendopo besar itu, tangga yang terdiri dari beberapa ribu undakan, ia telah menggunai tempo satu jam, masih ia tidak mendapat si nona baju putih.
Ketika itu arus orang banyak menuju ke lorong di luar pendopo, maka ia pun mendesak ke sana.
Ia ketahui, upacara bakal dilakukan di pendopo besar yang tengah.
Segera ia melihat empat patung emas yang merupakan muka manusia bertubuh burung, yang digantungi kelenengan yang terukir halus dan indah.
Pemuda ini telah melakukan perjalanan satu bulan lebih, ia senantiasa berada di tempat belukar, yang berhawa dingin sekali, sering ia berada di tanah datar dari Tibet itu di mana dalam beberapa puluh lie tidak ada manusia atau asap, tetapi sekarang berada di Istana Potala, ia seperti tengah menempati diri didalam impian yang indah dan manis .
Segala apa indah di pendopo, tiang dan penglari dari emas, atau yang terukir indah atau gambar-gambar.
Melihat semua itu, anak muda ini kagum bukan main.
"Di luar saja sudah begini indah, entah di sebelah dalam,"
Pikirnya.
Ia tidak tahu, untuk membangun istana itu, berapa banyak tenaga manusia dan berapa banyak uang sudah dipergunakan.
Di empat penjuru tembok, di luar dan di dalam, ada gambargambar, yang kebanyakan melukiskan pelbagai lelakon yang terdapat dalam kitab-kitab Buddha, yang umumnya aneh atau luar biasa, yang semua nampaknya hidup.
Gambar itu adalah sutera putih ditempel di tembok, lalu sutera itu dilukis dengan cat minyak, maka gambar semacam itu awet, tahan lama mengkilapnya.
Selama beberapa ratus tahun, entah ada berapa banyak pelukis yang datang dari Tionggoan, yang datang dari India, dari Nepal dan juga dari Bhutan, yang membuat karyanya di tembok itu.
Maka itu dapatlah dikatakan pusaka seni.
Selagi Hoa Seng terdesak orang banyak menikmati gambargambar indah itu, tiba-tiba ia merasakan ada dorongan keras dari sebelah belakang, lalu ia merasakan pinggangnya sesemutan, seperti ada orang yang menotok jalan darah joanmoa- hiat.
Ia menjadi kaget sekali.
Syukur ia getap, segera ia mengerahkan tenaga dalamnya, untuk melindungi diri.
Berbareng dengan itu ia membuang tangannya ke belakang, untuk menangkap tangan yang menotoknya itu.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gerakannya ini disusul sama jeritan beberapa orang, yang tubuhnya roboh, ketika ia berpaling, ia mendapat kenyataan yang ia kena cekal ialah tangannya seorang wanita gemuk, yang matanya melotot kepadanya seraya terus menanyakan.
"He, kau bikin apakah?"
Lekas-lekas Hoa Seng melepaskan pegangannya, karena begitu mencekal, ia mengetahui nyonya gemuk itu tidak bertenaga.
"Maaf,"
Ia lekas berkata.
"Barusan aku merasa ada orang menolak tubuhku dan merabaraba, aku menyangka kepada tukang copet, aku tidak sangka aku kena menangkap tangan kau. Nyonya, harap kau tidak menjadi gusar."
Di antara orang Tibet, antara pria dan wanita tak ada aturan kesopanan yang keras dan kukuh seperti di antara orang Tionghoa, karena orang percaya perkataan pemuda ini, dari gusar nyonya teromok itu menjadi tertawa. Ia kata.
"Di dalam Istana Potala, di tempat bersemayamnya Buddha Hidup, siapa berani mencopet? Mungkinkah kau orang Han yang belum lama di sini?"
Hoa Seng mengangguk.
"Benar,"
Sahutnya, berlaku terus-terang.
Nyonya itu masih hendak berkata-kata pula tatkala dari pendopo terdengar suara tambur dan genta, diikuti oleh dua baris lhama jubah kuning jalan mengitari istana sambil senantiasa menciprati air suci.
Itulah tanda sudah dimulainya upacara besar itu.
Maka sekarang, di luar dan di dalam pendopo, sunyi segala apa, bahkan semua orang lantas menunduki kepala untuk menghunjuki hormatnya.
Selagi orang bersujud itu, Hoa Seng berpikir.
"Pembokong itu liehay dan cerdik, aku bergerak cukup sebat tetapi dia dapat juga meloloskan dirinya. Mereka yang roboh itu tentulah dia sengaja merobohkannya, supaya dia dapat menyingkir selagi keadaan kacau, agar aku tak mengetahuinya. Siapakah dia? Mengapa dia menyerang aku secara gelap itu?"
Percuma anak muda ini menerka-nerka, ia tidak mendapat jawabannya yang tepat.
Ketika itu suara tambur dan genta sudah berbunyi tiga kali, lantas dua orang lhama mengangkat kepalanya membaca doa.
Lewat sesaat habis itu, di antara suara genta dan kata-kata bahasa Sangsekerta, nampak Buddha Hidup muncul dengan perlahan-lahan antara iringan pengikut-pengikutnya.
Semua hadirin lantas mengasi dengar pujaan, semua bertekuk lutut dan menjura dalam, tidak ada yang berani mengangkat kepala untuk melihat orang yang dianggap suci itu.
Tentu sekali Hoa Seng mesti menelad orang banyak itu, hanya diam-diam saja ia mencoba mencuri lihat wajah Dalai Lama sang Buddha Hidup itu, yang usianya ditaksir lebih kurang empat puluh tahun, tubuhnya sedikit gemuk, sikapnya agung, tetapi pada itu tidak ada lainnya yang luar biasa.
Di itu waktu, yang menarik perhatiannya Hoa Seng bukan si Buddha Hidup hanya seorang lain .
Di belakang Dalai Lama itu ada kedapatan beberapa orang pendeta yang roman dan dandanannya istimewa, dengan satu kali melihat saja teranglah sudah mereka ada tetamu-tetamu beribadat yang datangnya dari lain negara, mungkin dari India, Nepal, Bhutan dan Sikkim.
Di antara mereka ada seorang pendeta asing, yang jubahnya merah dan gerombongan, ialah si pendeta asing dengan siapa Hoa Seng pernah bertempur.
"Eh, mengapa dia pun datang ke mari?"
Anak muda ini menanya dirinya sendiri.
Ia lantas bercuriga dan menduga mesti pendeta itu muncul dengan minatnya yang luar biasa.
Tempo yang digunai oleh Buddha Hidup untuk memimpin upacara singkat sekali.
Paling dulu ia mencipratkan air suci kepada, patung Sang Buddha, untuk itu ia, menggunai cabang yang-lioe.
Setelah itu ia mempersembahkan "hada"
Ialah saputangan yang terbuat dari sutera.
Ini ada persembahan yang menyatakan dari kesujudan.
Paling akhir hormat yang sangat, tanda dari kesujudan.
Paling akhir ialah membakar dupa.
Semua-mua tempo yang dipakai itu ada hanya sepasangan sebatang hio.
Sampai di situ, selesailah upacara yang hikmat itu.
Lalu murid Buddha Hidup yang bertugas maju mengumumkan kepada semua hadirin yang mereka diharuskan meninggalkan istana sebelumnya magrib.
Hoa Seng pulang ke pondokannya selagi tuan rumahnya belum kembali.
Ia lantas beristirahat.
Setelah ia bersantap sore, barulah tuan rumah pulang.
Dengan gembira sekali tuan rumah ini membicarakan urusan upacara tadi siang.
Dia pun memujikan keselamatannya Hoa Seng, siapa membalasnya memujikan juga.
Kemudian tuan rumah ini memberitahukan bahwa sebentar malam di Istana Potala akan diadakan upacara memasang lentera untuk menghormati Sang Buddha, maka akan banyak pria dan wanita yang bersujud yang akan berdiam di bawah Gunung Anggur untuk menyaksikan keramaian itu, untuk itu mereka tidak pulang lagi untuk dahar.
"Sayang aku sudah berusia lanjut dan kesehatanku sudah lemah,"
Kemudian berkata tuan rumah dengan menghela napas.
"kalau tidak, aku pun akan turut menyaksikan buat mana aku rela kelaparan satu malaman. Tetamuku yang baik, inilah ada ketikamu yang baik sekali, yang sukar dicarinya, karena itu kau haruslah tidak melewatkannya!"
"Benar, benar!"
Berkata Hoa Seng, yang terus saja pamitan dari tuan rumahnya itu.
Istana Potala di waktu malam benar-benar sangat mentakjubkan.
Wuwungan emas bergilang-gemilang karena tojohannya sinar gunung salju, cahayanya kekuning-kuningan dan sangat indah.
Di setiap pojok genteng atau pajon ada digantungi lentera kaca yang terhias.
Di sana cahaya rembulan, sinar salju, sinar lampu, saling tojoh menjadi satu.
Sesungguhnya, pemandangan itu menciptakan sesuatu yang mengesankan, yang mempengaruhi.
Cuma Hoa Seng seorang, yang pendapatnya lain.
Sebab di antara lain, ia memikirkan hanya si nona baju putih.
Dari bawah gunung, Hoa Seng memandang ke atas, ke istana yang bertingkat-tingkat itu, yang terpecah warnanya dalam empat rupa ialah putih, merah, kuning dan merah tua.
Dari tingkat ketujuh hingga ke tingkat dua belas, semua itu adalah tempat kediaman sekalian lhama.
Setelah memandangi sekian lama, Hoa Seng terbenam dalam kesangsian.
"Istana Potala begini luas,"
Pikirnya.
"taruh kata adik Giok benar ada di dalamnya, cara bagaimana aku mencarinya? Api pun terang-berderang begini macam, bagaimana aku mesti mencurinya masuk?"
Maka itu, dengan berkisarnya sang rembulan, makin lama makin dojong ke barat, Hoa Seng menjadi sibuk sendirinya.
Ia tahu, kalau sang fajar datang, tidak ada ketika lagi untuk mencari si nona.
Maka itu di akhirnya ia mengambil putusan, mesti ia memasuki juga istana itu.
Selagi orang banyak berkerumun di kaki gunung, Hoa Seng diam-diam jalan mengitar ke belakang gunung itu.
Kalau perlu, ia jalan merayap.
Senantiasa ia menyembunyikan diri di tedeng-aling pepohonan atau batu karang.
Secara begini perlahan-lahan ia mendekati Istana Potala di bagian belakang.
Ia memang telah membekal seperangkat pakaian lhama, maka itu di situ ia lantas menyalin dandanan.
Ia menanti lagi sekian lama sebelum ia bertindak terlebih jauh.
Justeru angin menghembus keras, Hoa Seng menjumput beberapa biji batu, dengan itu ia menyambit pecah tiga buah lentera di atas pintu sebelah barat.
Kejadian itu membikin kaget lhama yang menjaga di situ.
"Kenapa angin malam ini hebat sekali?"
Katanya seorang diri.
Lekas-lekas ia mengambil lampu yang baru, dengan naik di tangga, ia menukar yang pecah itu.
Ketika inilah yang ditunggu Hoa Seng.
Selagi orang bekerja, ia berlompat dengan ilmunya enteng tubuh, masuk di pintu besar.
Si lhama, yang lagi berada di atas tangga panjang, tidak melihat orang melesat masuk.
Setibanya di dalam, Hoa Seng bertindak secara wajar.
Ia jalan sambil tunduk, tangannya ditakepi ke depan, diangkat sedikit tinggi, hingga separuh mukanya kena teraling.
Di dalam istana itu ada banyak lhama lainnya, mereka tidak memperhatikan satu sama lain, maka itu Hoa Seng dapat melalui beberapa pendopo.
Selama itu ia kagum sekali.
Di sebelah dalam, semua gambar di tembok melebihkan apa yang di luar.
Lentera, alat-alat dari kumala, kursi meja kuno, meja abu dan perapian kuno, semua terukir indah.
"Keadaan di istana kaisar pasti tak melebihkan ini,"
Pikirnya, Maka ia menyesal, ia bukannya lagi pesiar hanya lagi mempunyai urusan penting.
Ketika terdengar tanda jam tiga, Hoa Seng sudah memasuki istana tingkat kedua di mana ada kamar tidur Buddha Hidup.
Sebenarnya ia tidak tahu kamar siapa itu.
Mendadak dua lhama terlihat mendatangi.
Lekas-lekas ia bersembunyi, di belakang patung Buddha.
"Sampai begini malam Buddha Hidup masih menerima tetamu, sungguh ia lelah,"
Berkata satu lhama.
"Kau tidak tahu, yang datang hari ini semua orang kenamaan,"
Kata yang lain.
"Sampaipun lie-hoehoat yang membawa daun bodhi suci turut datang juga. Aku percaya Buddha Hidup akan menemui nona itu."
"Memang. Untuk dia, Buddha Hidup telah menyediakan satu kamar menyendiri dan dua puteri diwajibkan menemani dia. Katanya semasa Dalai Lhama generasi kedua, Istana Potala ini pernah menyambut seorang puteri dari India yang pun mempunyai daun bodhi suci itu, yang diijinkan bermalam di sini satu malam lamanya. Sudah banyak tahun, belum pernah ada wanita yang diijinkan masuk ke mari, maka kali ini, sungguh luar biasa."
Mendengar itu, Hoa Seng berpikir, ia menduga-duga, liehoehoat siapa itu yang mengunjungi Istana Potala ini, yang diperlakukan demikian hormat.
Untuk mendapat tahu lebih jauh diam-diam ia menguntit dua lhama itu sampai di tingkat ke tiga.
Ia menanti sampai mereka itu masuk dan keluar lagi, dengan berhati-hati ia menghampirkan jendela.
Dari situ ia melihat cahaya api terang-terang di dalam kamar di mana dua bayangan orang berpeta.
Ia lantas mengenali, yang satu ialah Buddha Hidup, yang lain si pendeta Merah dari Nepal.
09.
Pertemuan Dengan Buddha Hidup Segera terdengar suaranya si pendeta asing jubah Merah.
"Sang Buddha Hidup dengan kepandaiannya yang luar biasa telah menyebar agamanya, dengan begitu negara-negara tetangga yang kecil, semua sama mendapat berkahnya. Putera raja kami sebetulnya hendak menghadap sendiri, sayang karena banyaknya urusan negara, tidak dapat ia datang ke mari, dari itu sengaja ia mengutusnya siauwceng untuk menyampaikan hormatnya sekalian untuk mendengar pengajaran."
Pendeta itu menyebutnya "siauw-ceng,"
Atau pendeta kecil, untuk merendahkan diri. Maka berkatalah Dalai Lama.
"Negerimu adalah tempat kelahirannya Sang Buddha, semenjak dulu kala hingga sekarang ini, negaramu itu tetap menjadi Negara Sang Buddha, sementara rajanya, turun-temurun, semua memerintah menuruti ajarannya, maka itu dengan perlindungannya Sang Buddha, mesti negaramu hidup makmur. Putera rajamu telah menghadiahkan menara emas, tindakan itu tepat dan mendapat rasa syukur kami, maka itu tolonglah kau menyampaikan ucapan terima kasih kami."
"Masih ada sesuatu yang putera raja kami, hendak menyampaikannya kepada Buddha Hidup,"
Berkata pula sang pendeta asing jubah Merah itu.
"Silahkan utarakanlah,"
Buddha Hidup menitah.
"Hal itu ialah begini,"
Menjawab si pendeta asing, menjelaskan.
"Raja agama dari Agama Putih telah mengirim utusan ke negara kami, dia mengajukan permintaan supaya negara kami suka membantunya pulang kembali ke Tibet. Putera raja kami mengetahui baik sekali, bahwa agama yang sejati adalah Agama Kuning, bahwa dua Dalai Lama dan Panchen Lama adalah Buddha-Buddha Hidup, dari itu, ia telah tolak permintaan itu. Putera rajaku membilang, hal itu haruslah dilaporkan kepada Buddha Hidup."
Mendengar keterangan itu, Koei Hoa Seng mencaci di dalam hatinya.
Terang-terang adalah putera raja Nepal itu yang mengojok-ojok, menganjurkan raja Agama Putih menyerang ke Tibet, sekarang dia membilang sebaliknya.
Bukankah itu tindakan menimbulkan yang tidak-tidak? Bukankah itu perbuatan sengaja belaka supaya di Tibet terbit perang saudara, agar Nepal bisa menangkap ikan di air keruh, untuk mendapatkan keuntungan? Dalam sengitnya, Hoa Seng mau lompat keluar dari tempatnya sembunyi, guna membeber kepalsuan pihak putera raja Nepal itu, atau mendadak ia merasakan samberan angin di arah belakangnya.
Tentu saja ia menjadi kaget.
Untuk menolong diri, ia menyerang ke belakang, untuk menangkis.
Segera ia mendengar orang membentak dalam Bahasa Tibet.
"Orang jahat bernyali besar, cara bagaimana kau berani lancang memasuki istana suci ini?"
Dan teguran itu disusul lagi dengan sambaran angin yang dahsyat, menyerang ke arah punggung.
Hoa Seng segera menoleh.
Nyata ia tidak dapat menghalau penyerang gelap itu, ialah dua pendeta, yang satu mengenakan jubah hitam, yang lain kuning.
Kepala mereka digubat sabuk putih, hingga roman mereka mirip malaikat Hian Tan Kong.
Teranglah mereka dua pendeta bangsa India, pendeta-pendeta mengembara.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendeta yang berada paling dekat padanya, si jubah hitam, tengah menyerang dengan senjatanya yang berupa tongkat bambu, sangat sebat serangannya itu, sejenak saja sudah tujuh jurus, semua serangan mengarah jalan darah.
Si jubah kuning cuma mengawasi saja.
Ia mencekal sebuah mangkok tembaga, mangkok peranti bangsa pendeta meminta amal.
Nampaknya segera bakal turun tangan akan membantui kawannya.
Hati Hoa Seng bercekat juga, Ia heran untuk si pendeta jubah hitam itu, yang ilmu totoknya liehay tak kalah dengan akhli silat kelas satu dari Tiongkok.
Ia pun heran untuk penyerangan mereka secara membokong itu.
Tapi ia cukup sabar, ia memikir untuk minta keterangan.
Atau ia didului si pendeta jubah kuning.
"Bekuk saja padanya!"
Demikian pendeta jubah kuning ini menyerukan kawannya.
"Kita jangan membuatnya Buddha Hidup menjadi kaget!"
Ia berteriak begitu, ia pun lantas bergerak.
Senjatanya yang istimewa itu lantas diputar balik, dipakai menyerang dari atas ke bawah, hingga mangkok itu mirip gunung Tay San yang dipakai menungkrap batok kepala! Karena ia tidak dapat ketika untuk minta keterangan atau memberi penjelasan, terpaksa Hoa Seng menghunus pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam si "Ular Naga Naik."
Dengan itu ia menangkis serangan dari atas itu.
Suara keras lantas terdengar akibat tusukan pedang pada mangkok peranti minta amal itu.
Atas itu, si pendeta memutar mangkoknya, maka di lain saat, seperti ada tenaga yang menarik, pedang itu tak dapat lantas ditarik pulang oleh pemiliknya.
Mau atau tidak, Hoa Seng terperanjat.
Itulah aneh.
Ia kagum untuk kepandaiannya si pendeta bangsa India itu.
Dalam saat si anak muda terancam bahaya, pendeta jubah hitam maju menyerang, tongkat bambunya menotok ke jalan soan-kie-hiat di dada, lalu itu diulangi ke jalan darah Ciangboen- hiat di iga, dan kemudian ke hong-hoe-hiat di belakang kepala.
Penyerangan berantai tiga kali itu dilakukan, karena beruntun Hoa Seng berhasil mengelakkan dirinya.
Koei Hoa Seng adalah turunan Thian San Cit Kiam, jago-jago pedang dari Thian San Pay, kepandaiannya dalam ilmu silat pedang Tat-mo Kiam-hoat pun adalah yang asli, maka itu, walaupun ia didesak hebat, ia tidak menjadi bingung.
Di saat ujung tongkat menyambar ke batok kepalanya, berbareng ia berseru nyaring sekali, suaranya bagaikan guntur.
Si pendeta jubah hitam kaget, karena mana, arah serangannya menjadi kacau.
Ketika ini diambil Hoa Seng, yang menjambret ujung tongkat bambu itu, untuk segera dibentak keras, lalu diteruskan ditolakkan sama hebatnya.
Tanpa ampun lagi, si jubah hitam roboh terjengkang, kedua kakinya naik ke atas.
Seruannya Hoa Seng ialah seruan yang dinamakan "Deruman Singa,"
Biasanya kalau orang biasa mendengarnya, jantungnya bisa tergerak terluka, tetapi dua pendeta ini liehay tenaga dalamnya, mereka dapat bertahan, si jubah hitam cuma roboh.
Si jubah kuning, yang terlebih liehay lagi, cuma kaget dan mundur dua tindak.
Hoa Seng berlaku cerdik sekali, menggunai saat yang baik itu, ia geraki pedangnya yang tadi seperti tertarik mangkoknya si jubah kuning, bukannya menarik pulang, ia justeru menikam terus.
Maka dengan satu suara keras, mangkok itu kena ditublas bolong! Sesudah ini barulah ia menariknya pulang.
Si pendeta jubah kuning tercengang bahna heran dan kagetnya.
Kedua pendeta India itu telah bersepakat untuk tidak menerbitkan suara berisik, guna mencegah Buddha Hidup menjadi kaget dan terganggu karenanya.
Tapi seruan Hoa Seng justeru sebaliknya.
Dalai Lama mendengar seruan itu, yang membuatnya kaget dan heran, maka itu ia sudah lantas pergi ke luar.
"Buddha Hidup, sukalah dengar ."
Berkata Hoa Seng, atau mendadak katanya itu terganggu, sebab si jubah kuning, begitu lenyap herannya, sudah lantas menyerang, mangkoknya yang liehay itu, dengan bergemerlap kekuning-kuningan, turun pula dari atas ke bawah, kembali hendak menungkrap kepala lawannya.
Anginnya pun mendesir keras sekali.
Hanya kali ini serangan bukan dilakukan seperti bermula tadi, hanya dalam rupa timpukan.
Hoa Seng heran bukan main.
Tidak ia menyangka, mangkok itu juga dapat dipakai sebagai senjata rahasia.
Terpaksa ia tidak langsung menangkis, hanya ia menyingkir dengan berkelit, dengan jurusnya "Naga melingkar menggeser kaki,"
Sambil berbuat begitu barulah ia menyambut dengan pedangnya.
"Traang!"
Demikian kedua senjata itu beradu.
Kena terhajar pedang, mangkok itu mental balik.
Justeru itu, tongkatnya si jubah hitam pun tiba.
Si pendeta Merah dari Nepal, yang turut Buddha Hidup keluar, telah menyaksikan pertempuran itu, ia maju seraya menegur.
"Manusia gila yang bernyali besar, cara bagaimana kau berani lancang masuk ke istana nabi dan mengotorkan-menghina Buddha Hidup? Sungguh kau harus mampus berlaksa kali! Buddha Hidup, silahkan kembali ke dalam, nanti siauwceng yang mewakilkanmu membikin beres manusia kurang ajar ini!"
Pendeta ini segera maju dengan menggeraki jubahnya, yang bagaikan segumpal api merah marong, berbareng dengan mana si pendeta jubah kuning pun sudah mengulangi serangannya dengan mangkoknya yang terbang menyambar.
Dengan bersendirian, dengan sebatang pedangnya, Koei Hoa Seng melayani tiga pendeta yang liehay itu, dengan begitu.
dalam repotnya itu, tidak sempat lagi ia berbicara kepada Buddha Hidup, guna memberikan keterangannya.
Dalai Lama tidak mengundurkan diri sebagaimana diminta oleh si lhama jubah merah, ia mengawasi kepada itu anak muda hingga ia mendapat lihat di leher orang ada tergantung sebuah patung Buddha dari emas.
Itulah tanda mata dari Maskanan kepada Hoa Seng, dan itulah benda yang Buddha Hidup ini mengenalinya dengan baik.
Patung emas itu ada satu di antara tujuh rupa barang kepercayaan dari raja agama dari Lama Putih.
Menampak itu, ia menjadi heran, hingga maulah ia menyangka, Hoa Seng adalah orangnya raja agama Putih untuk melakukan pembunuhan secara menggelap terhadap dirinya.
Hanya sejenak saja, ia lalu mendapat pikiran lain.
Ia mau percaya tidak nanti raja agama Putih mau berbuat sehina itu, membunuh ia secara menggelap.
Raja agama Putih tak ada semulia dirinya sendiri, akan tetapi dia tetap adalah raja agama, dialah satu Buddha Hidup pula.
(Di dalam agama Lama, Dalai adalah paling termulia, Buddha Hidup yang paling agung).
Karena ini ia mau menduga juga Hoa Seng sebagai utusannya pihak Agama Putih.
Oleh karena kesangsiannya ini, ia tidak mau mengundurkan diri dengan masuk ke perdalaman, hanya ia berdiri menonton dengan dilindungi oleh dua lhama sebagai pahlawannya.
Di saat mangkok suci itu menungkrap kepalanya, Hoa Seng menangkis dengan gerakan dari Taylek Kim-kong-cioe, berbareng dengan itu pedangnya menyontek jubahnya si pendeta berjubah merah, kemudian dengan satu puteran tubuh, satu kelitan, ia menyingkir dari totokan tongkat bambu dari si jubah hitam.
Dalai Lama tidak mengerti ilmu silat akan tetapi ia ketahui dengan baik, dua pendeta asing itu adalah dua pendeta India dari kelas satu, sedang si pendeta jubah Merah adalah koksoe atau guru negara dari negara Nepal, jadi dialah bukan seorang yang lemah.
Maka itu, menyaksikan Hoa Seng demikian kosen, gerak-geriknya demikian lincah, diam-diam ia memberikan pujiannya.
Sebenarnya Hoa Seng, dalam pertempurannya ini, menampak kesulitan.
Coba mereka bertempur satu lawan satu, tidak ada seorang musuhnya juga yang dapat menandingi ia, akan tetapi ia dikerojok bertiga, ia repot juga.
Terutama ia mesti berjagajaga dari itu mangkok yang liehay, yang dapat diterbangkan sebagai senjata rahasia.
Ketiga pendeta itu pun berkelahi dengan hebat sekali, agaknya mereka dapat memernahkan diri, maka itu, dapat mereka merangsak, hingga makin lama Hoa Seng makin terdesak walaupun pemuda ini telah mencoba sebisanya akan mempertahankan diri.
Selagi kalangannya menjadi semakin ciut, ia dengan sendirinya mulai menghadapi ancaman bencana.
Dengan sekonyong-konyong si pendeta jubah kuning berlompat tinggi, mangkoknya diangkat bersama, untuk terus dikasih turun dengan kaget.
Buat kesekian kalinya, ia menungkrap pula dengan gerakannya "Gunung Tay San menindih batok kepala."
Hoa Seng menginsyafi bahaya, ia angkat sebelah tangannya guna menahan serangan yang berbahaya itu, ia tidak memperdulikan yang tangannya itu nanti dapat disedot mangkok yang liehay itu.
Berbareng dengan itu si pendeta jubah Hitam membawakan ujung tongkatnya ke dada orang, untuk menotok.
Guna menghindarkan bahaya, Hoa Seng menggeraki pedangnya, untuk menangkis.
Atau mendadak si lama jubah Merah menyambar ia dengan jubahnya, guna membungkus pedangnya itu! Tanpa ampun lagi, karena tidak ada rintangan sama sekali, ujung tongkat si pendeta jubah hitam mengenai sasarannya, tepat pada jalan darah tan-tiong-hiat.
Serangan telak ini tapinya tidak menerbitkan suara.
Justeru di dalam saat yang sangat mengancam itu, tiba-tiba semua orang mendengar suara ting tang dari gelang beradu diberikuti dengan bau harum semerbak yang seperti memenuhi kalangan pertempuran itu dan sekitarnya, lalu dua lhama jubah kuning naik ke lauw-teng sambil berseru.
"Lie-hoehoat menghadap Buddha Hidup!"
Mendengar itu, Dalai Lama sudah lantas menyahuti.
"Persilahkan!"
Hoa Seng girang mendengar suara itu.
Di saat itu ia kebetulan menggunai kepandaiannya yang istimewa untuk melawan tongkatnya si pendeta jubah hitam itu.
Ia membikin dadanya melesak hingga tak dapat ditotok, meski juga totokan itu tepat kepada sasarannya.
Sembari berbuat begitu, ia menggunai ketika untuk melirik.
Segera terlihat munculnya seorang wanita muda di tangga lauwteng, hingga meluaplah kegirangannya.
Sebab yang datang ini bukanlah lain dari sinona dengan pakaian putih yang ia harapkan, yang ia buat pikiran siang dan malam.
Dengan munculnya si nona serba putih itu, dengan sendirinya berhentilah pertempuran yang seru itu.
"Kau tidak mau pulang, kau bikin apa di sini?"
Menegur si nona seraya menunjuk kepada si pendeta jubah merah, yang ia awasi dengan tajam.
Air mukanya pendeta itu berubah, lekas-lekas ia menarik pulang jubahnya, setelah itu ia menoleh kepada Buddha Hidup untuk merangkap kedua tangannya akan memberikan hormatnya.
"Lie-hoehoat menitahkan kau pulang, tidak dapat aku membiarkan kau berdiam lebih lama pula di sini,"
Berkata Dalai Lama.
Pendeta itu mengucapkan beberapa kata-kata dalam bahasa Nepal, habis itu ia memutar tubuhnya untuk terus berlalu dari istana Potala itu.
Pedangnya Hoa Seng tengah dilibat jubahnya si pendeta jubah merah itu, dengan jubah orang ditarik pulang, bebaslah pedang itu, hanya selagi ia menarik pulang, pedang membabat mangkoknya di pendeta jubah kuning, hingga mangkok itu menjadi sempoak! Adalah di ketika itu, si nona pakaian putih berbicara dengan Dalai Lama, habis mana Buddha Hidup, dengan memberi tanda dengan kibasan tangannya, berkata kepada kedua pendeta yang masing-masing berjubah kuning dan jubah hitam itu.
"Kiesoe yang datang dari Tionggoan ini bukan saja bukannya pembunuh gelap bahkan dia berjasa terhadap agama kita, maka itu tuan-tuan, aku minta sukalah kamu menghentikan pertempuran ini."
Kedua pendeta itu mengunjuk roman yang bergelisah.
Sebenarnya, dengan berlalunya si pendeta jubah merah, hati mereka sudah ciut.
Bertiga mereka tidak sanggup merobohkan Hoa Seng, apapula sekarang mereka tinggal berdua.
Mereka lega mendengar suaranya Buddha Hidup, sedang serangannya Hoa Seng pun terhenti sesudah pedangnya menghajar mangkok istimewa itu.
Napas mereka pun sengal-sengal, suatu tanda mereka sudah letih sekali.
Dengan cepat mereka berlutut kepada Buddha Hidup seraya mengangguk, kemudian mereka memberi hormat juga kepada si nona sambil mereka menekuk sebelah kakinya.
Dari mulut mereka keluar kata-kata yang perlahan.
Hoa Seng tidak mengerti bahasa mereka itu tetapi dapat ia menduga bahwa orang tengah memohon maaf.
Habis memberi hormat kepada si nona, mereka itu pun berlalu dari situ dengan terus turun dari lauwteng.
Sebenarnya Hoa Seng heran bukan main, hingga ia merasakan bagaikan ia tengah bermimpi.
Keanehan ini ada melebihkan saat ketika untuk pertama kali ia bertemu si nona di Kota Iblis.
Ia tidak menyangka nona itu adalah lie-hoehoat, atau pelindung bagi agama Buddha, hingga sekalipun Dalai Lama, Buddha Hidup yang sangat dijunjung, pun menaruh hormat demikian rupa terhadapnya.
Sampai di situ pemuda ini menghampirkan Dalai Lama, untuk memberikan hormatnya, setelah mana ia pun mengunjuk hormat kepada si nona.
Nona itu bersenyum manis.
"Engko,"
Katanya.
"mengapa kau berlaku begini sungkan terhadapku?"
Halus dan merdu terdengarnya suara nona ini. Dalai Lama tak menghiraukan pembicaraan orang.
"Adakah kau utusan dari raja agama Putih?"
Ia bertanya.
"Menurut katanya lie-hoehoat, selama di Kota Iblis kau telah melakukan sesuatu yang menguntungkan Tibet."
"Aku justeru hendak menyampaikan sesuatu kepada Buddha Hidup,"
Menyahut Hoa Seng. Belum lagi Dalai Lama berkata pula, untuk menanya tegas, si nona sudah berkata kepadanya.
"Inilah engko yang aku kenal selama di Tionggoan,"
Demikian katanya.
"Buddha Hidup, harus kau mempercayai perkataannya. Sudah lama aku datang ke Tibet ini, telah aku menghadap Buddha Hidup, maka itu sudah selayaknya yang sekarang aku meminta diri. Jikalau ada jodohnya, biarlah lain kali aku datang menghadap pula."
Setelah mengucap begitu, si nona menjura, terus ia memutar tubuh, akan turun dari lauwteng.
Dalai Lama merangkap kedua tangannya, tanda ia mengantar orang berlalu.
Heran Hoa Seng menyaksikan kelakuan si nona.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia bergirang berbareng sedih.
Baru ia bertemu pula nona itu, atau segera mereka berpisah lagi.
Ia menyesal yang ia tidak dapat berlompat untuk membetot bajunya nona itu, untuk menahannya, buat mengajak bicara.
Ia dapat menguasai dirinya.
Di situ ada Buddha Hidup dan ia pun tidak dapat berlaku kurang ajar.
Maka itu ia cuma dapat mengawasi nona itu bertindak pergi, di dalam hatinya ia menyesal dan berduka sekali.
"Kiesoe, silahkan duduk di kamar samedhi."
Dalai Lama mengundang tetamunya.
"Di sana silahkan kiesoe memberi penjelasan kepadaku."
Koei Hoa Seng menerima baik undangan itu, setelah mana ia memberikan penuturannya dari pengalamannya di Kota Iblis, bagaimana ia dapat mempergoki gerak-geriknya putera raja Nepal, sampai ia menerima pesan Maskanan untuk ia menyampaikan amanat dari raja agama Putih.
Mendengar semua itu, Dalai Lama menghela napas.
"Peribahasa bangsa Tibet mengatakan, 'Musuh yang jujur memenangkan sahabat, manusia hina penjilat mesti ada permintaannya,' inilah tepat sekali,"
Katanya. Ia lantas menghaturkan terima kasih, kemudian ia menitahkan seorang lhama mengajak tetamunya ini ke kamar tetamu seraya memesan bahwa tetamunya harus dilayani sebagai tetamu yang agung.
"Apakah kedudukannya lie-hoehoat itu?"
Tanya Hoa Seng kepada lhama yang melayani ia. Paling dulu ia menanyakan halnya si nona baju putih itu. Lhama itu merangkap kedua tangannya, sikapnya sangat menghormat.
"Siapa yang berjasa besar terhadap agama Buddha, dia barulah dapat dikurniakan kedudukan sebagai hoehoat, ialah pelindung agama kami,"
Sahutnya.
"Demikian dengan lie-hoehoat tadi."
"Siapakah itu yang mengurniakannya?"
Hoa Seng menanya pula.
"Ialah kepala dari kuil Nalanto di India. Untuk India, kedudukan kepala itu sama dengan kedudukannya Buddha Hidup, Kuil Nalanto itu mempunyai dua lembar surat jimat daun peiyeh, katanya di jaman dahulu, tempo Sang Buddha berceramah di bawah pohon bodhi, dia memetiknya daun itu dan dihadiahkan kepada muridnya yang bernama Kayap. Di kuil Nalanto itu, setiap seidaran tahun diadakan rapat besar agama Buddha, di sana daun suci itu dihadiahkan kepada orang-orang yang berjasa terhadap agama Buddha, yang pun dikurniakan menjadi hoehoat atau pelindung agama. Rapat diadakan setiap enampuluh tahun sekali tetapi dalam enampuluh tahun itu, belum dapat dipastikan ada orang yang sangat berjasa yang berhak mendapatkan kurnia itu. Maka itu, sudah kurnia pelindung itu sukar didapat, lebih sukar lagi didapatkannya oleh seorang wanita."
Keterangan ini membuatnya Hoa Seng kagum dan girang sekali lagi heran.
Walaupun begitu, tetap ia belum mengetahui jelas tentang dirinya si nona baju putih itu.
Kenapa dia diangkat menjadi hoehoat? Dan asalnya, siapakah dia? Pendeta lama itu sebaliknya tidak suka omong banyak tentang itu nona pakaian putih, yang dia sebutkan hoehoat wanita.
Sampai di lain harinya, Hoa Seng masih belum berhasil mengetahui hal ikhwal si nona.
Ia menjadi masgul, hingga ia berniat berangkat pergi saja.
Ketika si lhama pelayan diberitahukan niat orang untuk berlalu, dia berkata.
"Menurut pesan Buddha Hidup, jikalau kiesoe menyukainya, kiesoe disilahkan tinggal lebih lama di istana ini."
Hati Hoa Seng sudah tawar, hendak ia menampik kebaikan budi tuan rumah itu, atau si lhama pelayannya sudah berkata pula.
"Ketika kemarin ini lie-hoehoat hendak berlalu, dia meninggalkan pesan, dan Buddha Hidup membilang bahwa pesan itu harus disampaikan kepada kiesoe."
"Apakah pesan itu?"
Tanya Hoa Seng. Sejenak itu datanglah kegembiraannya.
"Lie-hoehoat memesan mengundang kiesoe melakukan perjalanan ke Nepal,"
Menerangkan si lhama.
"Jikalau ada jodohnya, mungkin kiesoe akan bertemu pula dengannya, katanya."
"Memang aku berniat pergi ke Nepal,"
Berkata Hoa Seng.
"Dalam istana kami ini ada orang yang mengerti bahasa Nepal,"
Kata pula si lama.
"Sebelum kiesoe berangkat ke sana, apakah kiesoe hendak mempelajari dulu bahasa Nepal itu?"
Hoa Seng setujui usul ini. Memang, karena ia tidak bisa bahasa itu, lebih baik ia belajar dulu di sini sebab kalau ia pergi dulu dan baru belajar di sana, itu mestinya sulit.
"Baiklah,"
Jawabnya seraya mengucap terima kasih.
Maka dengan manis budinya Buddha Hidup, ia berdiam terus di istana Potala itu.
Ia belajar rajin setiap hari, siang dan malam, dari itu selang dua bulan, mengertilah ia sudah bahasa omongan setiap hari, kasar-kasar bolehlah itu dipakai.
Karenanya, segera datang harinya yang ia tetapkan untuk keberangkatannya.
Pagi-pagi sekali Hoa Seng minta diajak menghadap Buddha Hidup, untuk menghaturkan terima kasihnya, guna meminta diri.
Lhama pelayannya itu mengantarkan ia sampai di ruang istana undak ke-tigabelas.
Di sana ada sebuah taman, di dalam taman itu Dalai Lama tengah berjalan-jalan.
Karena taman berada di tempat tinggi sekali, dari situ dapat orang memandang panorama seluruh Lhasa, ibukota Tibet.
Bahkan dengan melihat jauh, tertampak pula gunung Himalaya dengan saljunya yang putih berkilauan.
Di situ Hoa Seng bertemu sama Buddha Hidup kepada siapa ia mengutarakan niatnya untuk berangkat ke Nepal.
Buddha Hidup sangat ramah tamah, ia memujikan keselamatan tetamunya ini.
Ia pun memesan, sesampainya di Nepal, apabila Hoa Seng menemui sesuatu kesulitan, dia dianjurkan menghadap raja Nepal untuk memohon bantuan.
Untuk ini Buddha Hidup membekali sepucuk surat yang mana dapat diserahkan kepada raja itu setiap waktu datangnya keperluan.
Lebih jauh Buddha Hidup memberitahukannya bahwa ia sudah mengirim utusan pada hoat-ong agama Putih guna melakukan pembicaraan, dalam hal mana hoat-ong itu sudah bersedia mengirim muridnya yang berkedudukan sebagai hoehoat pergi ke Nepal, guna mengambil pulang tongkat suci.
Katanya, murid itu mungkin Maskanan adanya.
"Apakah kiesoe memikir untuk menantikan Maskanan, untuk pergi bersama dengan dia?"
Buddha Hidup menanya, mengajukan pikiran. Hoa Sang berkeinginan keras lekas-lekas menemui si nona baju putih, ia tidak dapat bersabar lebih lama lagi, dari itu sambil mengucap terima kasih ia mengatakan hendak berangkat seorang diri saja.
"Kalau begitu, terserah kepada kiesoe,"
Berkata Dalai Lama.
Lagi sekali Hoa Seng menghaturkan terima kasihnya, kemudian ia memberi hormat untuk pamitan, terus ia mengundurkan diri, untuk berangkat.
Satu bulan lamanya Koei Hoa Seng berada di dalam perjalanan, ia melintasi gurun kuning, ia berjalan di padang rumput datar, akhirnya tibalah ia di kaki gunung Himalaya di perbatasan Nepal dan India.
Ia menyaksikan puncak yang tinggi-rendah tak ketentuan, ia mendapatkan puncak yang bersalju hingga mirip dengan tiang langit saking tingginya.
Kalah Thian San, Koen Loen dan Ngo Bie kalau dibandingkannya.
Tanpa merasa Hoa Seng memuji gunung itu gunung kenamaan nomor satu di kolong langit ini.
Sebenarnya Hoa Seng dapat jalan mengitari gunung itu, atau mendadak ia mendapat suatu pikiran luar biasa, ialah walaupun ia ketahui, tak dapat ia mendaki puncak, ingin ia mencobanya, untuk melihat puncak itu.
Ia bersedia sampai sesampaisampainya, untuk itu ia bersedia juga menggunai temponya beberapa hari, asal ia memperoleh kepuasan.
Ketika itu ada di pertengahan musim panas, kalau di Kanglam, itulah saatnya keindahan bunga delima, tetapi di gunung Himalaya ini, yang tampak adalah kembang salju putih meletak yang berterbangan, banyak puncak yang putih melulu, bagaikan dunia dari kristal.
Empat hari sudah Hoa Seng mendaki, ia baru tiba di tengahtengah.
Di sini hawa udara, makin lama makin dingin, sebaliknya pemandangan yang langka, makin lama makin banyak, bahkan ada binatang liar yang tidak terdapat di lainlain tempat.
Ada anak-anak beruang, yang berlompatan di atas salju bagaikan bocah binal, sedang gagak gunung paruh kuning berterbangan di atas kepala orang sambil mengasi dengar suara gegaokannya.
Sapi yang besar luar biasa pun nampak seperti perahu di atas es.
Sejumlah anak kambing gunung berlari-lari pesat umpama kata bagaikan angin.
Yang aneh semua binatang itu, karena belum pernah melihat manusia, tidak pada lari menyingkir.
Di hari ke empat itu Hoa Seng jalan seantrero hari, magribnya ia merasa letih juga, maka ia memikir buat mencari guha untuk mondok.
Ia melintasi sebuah sungai es, diatas es itu terbentang sinar lajung yang indah yang berwarna tujuh rupa.
Ia gembira sekali hingga ia lupa letihnya.
Kemudian ia melihat lagi lain pemandangan yang sangat mengagumkan.
Di samping sungai es itu ada sumber air, yang airnya mancur, yang airnya panas, air mana tertiup buyar sang angin.
Ditujuh sinar lajung, pemandangannya jadi indah luar biasa.
Di samping sumber ini, di mana ada tumbuh pepohonan, ada pohon bunga yang tak ketahuan apa namanya.
Di Tibet, di pelbagai tempat, ada kedapatan sumber-sumber air panas, sekalipun sumber itu diketemukan di atas gunung yang bersalju, itu masih tidak aneh, hanya yang membuat Hoa Seng heran sekali adalah, di antara pepohonan bunga di samping sumber air itu kedapatan seorang bocah wanita tengah bermain-main dengan gembira! Maka mau atau tidak, ia terbengong mengawasinya.
Bocah itu berumur belum lewat lima tahun, mukanya potongan telor yang merah segar sungguh manis sekali.
Dia tengah memetik bunga, yang dia jadikan semacam buket.
Tumplak perhatian bocah itu kepada bunganya, sampai dia tidak merasa bagaimana Hoa Seng datang mendekati padanya.
Di puncak bersalju dari Himalaya ada orang berumah tangga sudah heran, maka itu lebih heran lagi akan mendapatkan penghuni seorang bocah.
Siapa orangtua seorang ini? Bagaimana dia sanggup melawan hawa dingin di atas gunung? Semua ini merupakan pertanyaan bagi Hoa Seng.
Maka dengan perlahan ia menghampirkan bocah itu dengan niat mengajak bicara.
Justeru di saat itu, terjadilah hal yang lebih aneh pula.
Di belakang sumber itu ada sebuah es batu yang besar, dari belakang itu mendadak lompat muncul dua orang yang romannya aneh, sebab mata mereka celong, hidung mereka, mancung, jidat mereka lebar rambut mereka kuning, di jidat itu ada gubatan cita putih yang tebal.
Hoa Seng lantas menduga kepada dua orang Arab.
Selama dua bulan ia berdiam di istana Potala, selagi mempelajari bahasa Nepal, ia pun melihat kumpulan buku-bukunya Dalai Lama, yang menyimpan banyak macam kitab, maka ia mendapatkan gambar dari orang pelbagai bangsa, seperti bangsa Arab dan Eropah di samping bangsa Nepal.
Maka sekarang ia bisa segera menduga.
Tapi yang membuatnya ia kaget, semunculnya itu, dua orang Arab itu berlompat kepada si bocah wanita untuk mencekuk dia dengan empat tangan mereka yang besar dan kasar! Bocah itu kaget hingga dia menjerit-jerit.
"Kenapa kamu mengganggu bocah cilik?"
Hoa Seng menegur.
Ia gusar.
Ia menggunai bahasa Tibet.
Dua orang itu agaknya tak mengerti perkataannya Hoa Seng, tetapi yang di tempat demikian mereka menemukan seorang asing, rupanya itu membuat mereka heran dan kaget, hingga keheranannya Hoa Seng sendiri.
Nona cilik itu melihat ada orang yang membelai dia, dia hilang kagetnya.
"Kamu berani menggoda aku!"
Katanya nyaring.
"Nanti aku minta ayah menghajar mampus pada kamu!"
Dan dia bicara dalam bahasa Tionghoa yang lancar! Dua orang luar biasa itu seperti tidak mengerti perkataan orang, tapi mereka dapat menduga yang mereka lagi ditegur, maka yang satu maju terus kepada nona cilik itu, sedang kawannya menghampirkan Hoa Seng.
Dia ini mengasi lihat wajah menyeringainya, agaknya dia hendak menerjang, seperti kambratnya hendak mencekuk si nona cilik.
Hoa Seng tahu apa yang ia mesti lakukan.
Menolong si bocah adalah tindakan yang utama.
Maka ia menjejak tanah, tentu ia berlompat, lewat di atas kepala orang yang mau menyerang kepadanya.
Ia sampai tepat selagi tangan orang itu diulur kepada bocah itu.
Orang itu terperanjat, ia tinggalkan si nona, ia balik tubuhnya, untuk terus menyerang orang yang ia tidak kenal ini.
Hoa Seng berlompat dengan tipusilat Ngo Kim Ciang-hoat, suatu tipu dari dalam kitab rahasia "Tat-mo Pit-kip,"
Karena ia tengah berlompat, lagi berlompat turun cocok sekali ia mengerahkan tenaganya.
Begitulah ketika tangannya bentrok sama tangan si orang asing, tidak ampun lagi dia ini roboh jumpalitan! Segera setelah itu, tibalah si orang asing yang ke dua.
Hoa Seng melihat datangnya orang itu.
Tanpa bersangsi lagi, ia memapaki untuk menerjang terlebih dulu.
Ia melonjorkan duadua tangannya, akan menyerang dengan jurus "Siang liong coet hay"
Atau "Sepasang naga keluar dari dalam laut."
Orang itu ternyata tangguh, di waktu menangkis, walaupun benar ia tidak terguling seperti kawannya, ia toh terhujung mundur.
"Aku mau lihat apa kamu masih berani menghina seorang bocah?"
Hoa Seng menegur.
Dua orang itu berdiam.
Sekarang mereka sudah menghadapi Hoa Seng dengan berdiri berendeng.
Bahkan berbareng keempat tangan mereka bergerak, untuk menyerang.
Hoa Seng tidak takuti itu.
Bukankah barusan hanya dengan segebrakan ia dapat menggempur mereka? Maka ia pikir, walaupun mereka mengepung, paling lama dalam lima jurus ia akan dapat merobohkan pula mereka itu.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi dugaannya ini meleset.
Ketika ia menangkis keempat tangan itu, ia kena tertolak keras, ia terpelanting, hampir ia jatuh terguling! 10.
Orang Luar Biasa di Kaki Gunung Hoa Seng menahan tubuhnya dengan memberati diri dengan kuda-kuda "Jatuh seribu kati."
Ia mengeluarkan jari tangannya dengan jurus "Pembagian im dan yang,"
Menurut ilmu silat Tiat Cie Sin-kang, atau Jeriji Besi.
Ia menggurat tangannya kedua orang luar biasa itu.
Ilmu silat Tiat Cie Sin-kang ini Hoa Seng memperolehnya dari Tat-mo Pit Kip, yaitu Kitab rahasia Tat-mo Couwsoe.
Itulah kepandaian menggunai jeriji tangan yang mirip dengan It Cie Sian-kang dari Boe Tong Pay.
Siapa kena tergores, sebagai diris, otot-otot nadinya tentulah putus.
Dua orang tengah menerjang, Hoa Seng menyambuti.
Ia percaya ia bakal berhasil.
Di luar sangkaannya, dua manusia aneh itu liehay sekali.
Begitu melihat orang memperkuat diri, mereka batal mendekati, sebaliknya mereka pun memasang kuda-kuda, tangan mereka didorongkan dengan perlahan-lahan.
"Heran,"
Pikir Hoa Seng.
"Ilmu apakah ini? Inilah rada sesat? Baik aku mencoba pula."
Maka mendadak ia mengubah serangannya. Ia menyerang dengan pukulan "Lima paku membuka gunung,"
Suatu pukulan dari tenaga raksasa Taylek Kim-kong Ciang-hoat.
Kesudahannya ini membuatnya terkejut.
Kedua tangan lawan itu digeraki ke kiri dan ke kanan, maka bebaslah mereka dari serangan.
Yang membikin Hoa Seng kaget yaitu tubuhnya sendiri, ia lantas seperti kena ditarik hingga berputar beberapa putaran.
Hoa Seng tidak ketahui dua orang itu ialah murid-muridnya Timotato, Bapak Daud, jago nomor satu dari Arabia.
Timotato pandai ilmu mengolah tenaga, ia mengerti segala cara untuk menghadap lawan, untuk melayani dengan cara sebalikannya.
Itulah yang dinamakan tenaga im-yang.
Liehaynya Timotato ialah, seorang diri ia dapat mengerahkan tenaga dua orang, cuma murid-muridnya ini, mereka mesti berada berdua untuk dapat menggunai ilmu silat itu.
Setelah mencoba beberapa kali, perlahan-lahan Hoa Seng dapat membade ilmu silat dua orang aneh ini, maka lantas ia memikirkan daya untuk menentangnya.
Ia menggunai ilmu pukulan Tay Kek Twie-cioe.
Ia mengikuti tenaga menarik itu, dengan begitu ia dapat memecahkan serangan, kemudian ia membalas.
Untuk mengundurkan lawan, hingga mereka tidak dapat merapatkan diri, beberapa kali ia menotok jalan darah mereka itu, sampai mereka tidak berani mendesak.
Demikian mereka jadi berkutat.
Menyaksikan demikian, si bocah wanita lantas berseru.
"Paman, jangan kuatir! Nanti aku panggil ayah untuk membantumu!"
"Bagus!"
Menyahut Hoa Seng sambil tertawa. Ia justeru ingin menemui ayah dan ibunya bocah itu.
"Aku bakal tidak sanggup melayani dua orang jahat ini, lekas kau panggil ayahmu!"
Bocah itu memetik sehelai daun, ia masuki itu ke dalam mulut, atau di lain saat terdengarlah suara tiupannya.
Suara itu nyaring.
Hanya sekira lamanya semakanan teh, di situ lantas muncul seorang lelaki dengan tubuh jangkung kurus, yang berusia lima puluh lebih.
Dia datang sambil berlari-lari sambil dia menegur.
"Kamu dua orang busuk, kamu tidak tahu malu, kamu menghina anak kecil?"
Tapi ketika ia melihat Hoa Seng, dan Hoa Seng pun melihat dia, keduanya heran.
"Poei Loocianpwee, kau di sana?"
Mengambil kesempatan Hoa Seng menanya.
"Hai, Hoa Seng Laotee, kenapa kau datang ke mari?"
Orang tua itu balik menanya.
Ia memanggil si pemuda dengan panggilan adik.
Ia sebenarnya bernama Poei Kin Beng (Poei Keng Beng).
Di jamannya Kaisar Kong Hie, dialah seorang kosen yang kesohor, gelarannya pun Sin Koen Boe-tek, Kepalan Tak Lawan.
Tempo belasan putera kaisar itu berebut kekuasaan, ia ditarik oleh Capsie-hongcoe In Tee, putera ke-empatbelas.
Kemudian ia kena diambil oleh Soe-hongcoe In Ceng, putera raja yang ke empat, yang kemudian menjadi Kaisar Yong Ceng, sedang In Tee terbinasakan saudaranya itu setelah si saudara menjadi kaisar.
Setelah itu Kim Beng mendengar nasihatnya Tayhiap Tong Siauw Lan, maka sejak itu ia tidak membantu lagi pemerintah Boan.
Ia mengenal Hoa Seng tempo Hoa Seng berumur sepuluh tahun lebih, tetapi sekarang selewatnya beberapa puluh tahun, mereka masih saling mengenali.
Belum lagi ia datang dekat, Poei Kin Beng sudah menyerang dua lawannya Hoa Seng itu.
Mereka itu lantas saja terhuyung, karena mereka tidak roboh.
Mereka lantas mencaci, dalam bahasanya sendiri.
Antaranya terdengar kata-kata "Timotato".
Hoa Seng pernah mendengar dari si nona baju putih tentang orang liehay, ia ingat itu nama Timotato, maka itu, ia lantas serukan si orang tua.
Katanya.
"Poei Loocianpwee, tak usahlah turun tangan! Lihat nanti aku bereskan mereka!"
Dua orang aneh itu berdiri berendeng, lagi-lagi mereka menggunai ilmu silatnya yang luar biasa itu, tenaganya im dan yang, atau positip dan negatip.
Menyaksikan serangan Hu, Hoa Seng berseru keras, ia menyambut dengan Taylek Kim-kong-cioe, dengan keras juga.
Dua orang itu nampaknya girang.
Rupanya inilah sambutan yang diharap mereka.
Maka mereka lantas bergerak, untuk menyerang pula.
Tapi tiba-tiba lenyaplah tenaga melawan dari Taylek Kim-kong, mereka mendorong tempat kosong, hingga tubuh mereka terjerunuk ke depan.
Hoa Seng ternyata telah mencelat ke samping, selagi orang mau jatuh, ia berjingkrak untuk terus menendang dengan kedua kakinya berbareng kepada kempolan mereka itu, maka tidak ampun lagi, keduanya roboh terguling.
Yang satu lebih liehay dari kawannya, dengan gerakan "Ikan gabus meletik,"
Dia berlompat bangun, agaknya mau dia membuat pembalasan.
Hoa Seng menduga aksi orang itu, ia mendahului, dengan kesebatannya, ia mengulur tangannya, menyambak tulang piepee di pundak, lalu dia membalingkannya dengan tenaga Toa-soet Pay-cioe dari Siauw Lim Pay.
Maka hebatlah kesudahannya orang aneh itu.
Bukan saja dia telah robek bajunya, tulang piepeenya pun pecah-hancur, tubuhnya terpelanting roboh.
Dia tak bergerak lagi.
Nyatalah Hoa Seng, setelah mengetahui tenaga besar dan ulet dari lawan, ia menggunai tipu.
Mulanya ia lawan keras dengan keras, lalu mendadak ia menarik pulang tenaganya itu, tubuhnya mencelat ke samping, maka di saat orang nyelonong ke depan, ia mendupak mereka.
Si nona bersorak seraya menepuk tangan.
"Bagus, bagus!"
Demikian pujiannya.
"Mereka dihajar dan berkaok-kaok!"
Poei Kin Beng pun memuji.
"Hebat, Laotee, hajaranmu ini keras bercampur lunak. Aku dinamakan Sin Koen tetapi aku harus mengagumi kau. Baiklah aku bilangi kau, aku juga sudah beberapa kali bertempur sama mereka, mereka tidak pernah dapat kemenangan, aku pun belum dapat mengalahkan mereka."
Hoa Seng merendahkan diri.
"Siapa sebenarnya mereka?"
Ia tanya.
"Nanti aku menjelaskan,"
Menyahut Kin Beng.
"Aku berdiam menyendiri di sini, dengan tahun ini adalah tahun yang ke sepuluh. Selama sepuluh tahun itu, belum pernah ada orang datang ke mari. Kira lima atau enam hari yang lalu, setahu dari mana datangnya, tiba-tiba muncul dua orang ini. Mereka datang ke rumahku, mereka minta makan dan minta minum. Itulah tidak apa. Celakanya, kemudian mereka hendak mengusir aku pergi, mereka hendak merampas rumahku ini! Belum pernah aku menemui orang demikian tidak tahu aturan. Maka itu, sejak itu hampir setiap hari aku bertempur sama mereka. Anak ini besar nyalinya, sebenarnya aku kurung dia di rumah, aku larang dia keluar, siapa tahu selagi aku menyiram bunga di kebunku, dia keluar dengan diam-diam .."
Nona itu menjebi.
"Beberapa hari aku tidak keluar rumah, pikiranku pepat!"
Katanya. Nyata dia manja.
"Sekalipun banteng aku tidak takuti, apa pula baru ini dua makhluk aneh!"
Hoa Seng heran.
"Sebetulnya mau apa mereka datang ke mari?"
Ia menanya.
"Sayang tidak mengerti bahasa mereka, mereka jadi tidak dapat dikompes."
Lantas Hoa Seng menghampirkan musuh yang terbinasa itu, yang ia robek bajunya, untuk menggeledah padanya.
Di situ ada dua lembar papan persegi tiga, setiap satunya panjang lima atau enam dim dan dipasangi dua palangan besi sebagai kaki.
Masih ada lagi beberapa helai gambar, gambar dari papanpapan itu.
Hoa Seng dan Kin Beng tidak mengerti maksudnya gambar dan papan itu, mereka terpaksa tidak mencari tahu lebih jauh.
Tentu sekali mereka ini tidak ketahui niatnya Timotato.
Sebenarnya Timotato berminat mendaki puncak gunung paling tinggi di kolong langit ini, lebih dulu dia mengirim dua muridnya untuk membuat pengukuran.
Papan-papan itu ialah alat-alatnya.
Tidak dinyana, dua murid ini bertemu sama Hoa Seng dan jadi bertempur.
Celaka sekali, mereka terlemparkan ke bawah gunung.
Yang terluka pundaknya itu mati lantas.
Yang lainnya luka bercacad, dia kabur selang sepuluh tahun kemudian dia pulang ke Eropah, di sepanjang jalan dia mengemis.
Adalah di kemudian hari Timotato akan mencoba mewujudkan cita-citanya itu.
Sampai di situ, Kin Beng undang Hoa Seng datang ke rumahnya.
Mereka baru bertemu pula, tetapi bertemunya di gunung Himalaya ini, mereka jadi girang sekali, mereka lantas saja bergaul dengan erat.
Dari sumber air mancur itu ke rumahnya Kin Beng cuma beberapa lie, tidak lama sampailah mereka.
Itulah rumah dengan tiga ruang, yang dikurung dengan tembok batu.
Rumah itu jelek tetapi mengambil model rumah-rumah di Kanglam.
Maka itu sejak tiba di Tibet, baru kali ini ia melihat rumah model Kanglam itu.
Ia gembira, sekali.
Ia mau percaya, bukan tanpa banyak tempo dan tenaga yang Kin Beng dapat membangun rumahnya ini di tanah pegunungan itu.
Kemudian Hoa Seng ingat pertemuannya sama Hoa Giok, si nona baju putih, di Puncak Bidadari, di mana mereka telah bergurau, katanya si nona, nanti ia hendak membikin lengkiong, yaitu istana dingin, di atas Thian Ouw, Tengri Nor, di puncak salju.
Tentu saja, ia menguatirkan itu hanya khayal belaka.
Tapi toh ia membayangi, kalau dapat ia tinggal bersama nona itu, biar mereka tinggal di rumah seburuk rumah Kin Beng ini, ia akan puas sekali.
Hanya, kapan ia pikirkan, kapan nanti datangnya itu hari, bulan dan tahun, ia berdiam Di samping rumah Kin Beng itu ada sebuah taman kecil, tuan rumah mengajak tetamunya pergi ke kebun bunga itu di mana ia mendapatkan banyak macam bunga, justeru bunganya sedang pada mekar.
"Sayang aku tidak bisa mendapatkan bunga-bunga dari Tiongkok,"
Kata Kin Beng tertawa.
"Karena dekat sama sumber air panas, hawa di sini rada hangat, tak perduli keletakan tempat di atas gunung yang hawanya dingin."
"Loocianpwee,"
Tanya Hoa Seng kemudian.
"kenapa kau datang ke mari dan tinggal menyendiri di sini? Sukakah kau menuturkan sebabnya?"
Poei Kin Beng tertawa.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak lebih tak kurang karena aku jeri,"
Sahutnya terus-terang.
"Dulu hari itu aku membantu Capsie-hongcoe berebutan takhta kerajaan sama Yong Ceng, selagi aku membenci Yong Ceng, Yong Ceng pun tentu benci sangat padaku. Yong Ceng ada punyai banyak sekali pahlawan, begitu juga ia mempunyai Lian Keng Giauw sebagai panglima perangnya yang sangat kejam, mana dapat aku menaruh kaki di Tiong-goan? Terpaksa aku menyingkir ke mari"
"Yong Ceng dan Lian Keng Giauw sudah mati, yang memerintah sekarang puteranya Yong Ceng,"
Hoa Seng memberitahu.
"ialah kaisar Kian Liong."
Kin Beng agaknya girang.
"Bagaimana matinya Yong Ceng dan Keng Giauw itu?"
Ia menanya.
"Lian Keng Giauw telah besar jasanya, Yong Ceng turunkan pangkatnya delapan belas tingkat dan membuang padanya ke kota Hangcioe di mana dia ditugaskan menjaga pintu kota,"
Menerangkan Hoa Seng.
"Dia terhina sangat, sudah begitu kemudian dia tak terluput daripada kebinasaan. Yong Ceng sendiri mati terbunuh Lu Soe Nio di dalam keratonnya!"
Kin Beng tertawa melenggak, ia puas sekali, ia berseru menyatakan kepuasannya itu.
"Musuh-musuhku itu sudah terbinasa,"
Katanya kemudian.
"tapi aku sudah jadi biasa tinggal di sini, aku tidak niat turun gunung lagi."
Atas sikap tuan rumah ini, Hoa Seng tidak membilang suatu apa.
Masih sekian lama mereka berdiam di taman itu, baru Kin Beng ajak tetamunya masuk ke dalam.
Kin Beng datang ke Tibet seorang diri, ia menikah sama seorang nona Tibet.
Kebetulan isteri itu pun pernah belajar ilmu silat kalangan Agama Merah dan tubuhnya kuat.
Inilah untuk pertama kali dia melayani tetamu suaminya, dia girang sekali, dia melayani dengan telaten.
Dia menggorengi daging harimau dan menyuguhkan juga susu.
Hoa Seng dahar dengan bernapsu, ia menenggak susunya.
Memang selama di Tibet ini, ia seperti kekurangan makan, sebab selalu menangsal perut dengan rangsum kering.
Malamnya tuan rumah dan tetamu duduk pasang omong.
Kin Beng menanyakan keadaan kaum Rimba Persilatan selama sepuluh tahun ia menyingkir dari Tiong-goan.
Hoa Seng menuturkan apa yang ia tahu, ia membuatnya tuan rumahnya gembira sekali.
Kemudian Hoa Seng memberitahukan bahwa di Tibet ini ia bertemu sama puteranya Lian Keng Giauw, bahwa putera itu pintar tak kalah dari pada ayahnya.
Kin Beng menghela napas, ia kata.
"Mudah-mudahan dia jangan menelad sifat ayahnya itu....."
"Loocianpwee,"
Tanya Hoa Seng kemudian.
"Cholmo Lungma adalah gunung paling tinggi di kolong langit ini, kau telah tinggal di sini sepuluh tahun, pernahkah kau mendakinya?"
Tuan rumah tertawa.
"Kalau gunung itu gampang dipanjatnya, cara bagaimana dia dapat disebut gunung paling tinggi di dalam dunia?"
Dia membaliki.
"Untuk mendaki dari sini, bukan saja esnya bersusun tak habisnya, pun sukar sekali orang bernapas, makin lama makin sesak rasanya. Sekalipun orang yang tenagadalamnya sempurna, dia tidak kuat bertahan. Kabarnya juga Leng Bwee Hong dari Thian San Pay, dia gagal, dia turun kembali dengan sia-sia ."
Mendengar itu, Hoa Seng menginsafi sulitnya mendaki puncak gunung itu. Besoknya, Hoa Seng berniat pamitan, tetapi tuan rumah menahan, ia diajak mendaki dua puncak es dari mana mereka bisa memandang jauh ke Cholmo Lungma.
"Ilmu silat juga sama seperti mendaki gunung,"
Pikir Hoa Seng selagi matanya mengawasi gunung itu, yang puncaknya masuk ke dalam mega.
"naik sebuah puncak, ada lagi puncak lainnya. Di dalam halnya ilmu silat, siapa dapat mempelajari demikian liehay hingga dia tak dapat terkalahkan, seumpama tingginya puncak ini?"
Karena ini, di waktu berjalan pulang, pemuda ini kurang gembira. Kin Beng seperti dapat membade hatinya tetamunya.
"Laotee, tak usah kau jadi kecil hati,"
Katanya tertawa.
"Mendaki puncak memang sulit, tetapi kau telah berhasil sampai di sini, seharusnya kau sudah merasa puas."
Hoa Seng tidak memikir demikian, ia ingin mendaki sebuah puncak, lalu mendakinya lagi yang lain, akan tetapi memandangi Coe Hong atau Puncak Mutiara itu, ia merasa dirinya kecil juga.
Tanpa banyak bicara, ia ikut Kin Beng pulang.
Baru mereka sampai di air mancur, di sana mereka mendapat dengar suara suitan daun, mendengar mana, Kin Beng jadi gusar.
"Kurang ajar!"
Katanya sengit.
"Sepuluh tahun sudah aku tinggal di gunung ini, biasanya aman dan tenteram, maka aku tidak menyangka, selama beberapa hari ini aku saban-saban mendapat gangguan dari manusia-manusia kasar!"
Hoa Seng pun heran.
"Baru kemarin kita merobohkan dua orang aneh itu, kenapa ada datang yang lainnya?"
Katanya.
"Kenapa di kaki Puncak Mutiara ini ada begini banyak manusia aneh?"
Keduanya lantas lari pulang.
Begitu mereka sampai dan membuka pintu kebun bunga, di sana mereka menampak seorang muda yang mukanya hitam dan rambut terlepas sedang berkata-kata seperti ngoceh, tangan dan kakinya pun digeraki berulang-ulang, dia tertawa-tawa terhadap Nona Poei.
Melihat ayahnya pulang, nona itu mengadu sambil menjerit.
"Ini si hitam-legam mengacau kebun bunga kita, dia main petik bunganya! Dia juga menghina aku!"
Kin Beng menjadi gusar sekali, dengan satu lompatan, ia menerajang pemuda hitam itu.
Si pemuda lagi bicara ketika ia merasakan sambaran angin.
Dapat dimengerti jurus Pek-pou Sin Koen, koentauw Seratus Tindak, dari Kin Beng, liehay sekali.
Ia berkelit, tubuhnya dua kali.
Atas itu datanglah serangan yang ke dua.
Tentu saja serangan ini dari dekat dan hebatnya dapat dikira-kirakan.
Menampak itu, Hoa Seng terkejut.
Ia pun melihat, walaupun dia hitam, wajah pemuda itu hitam-manis, agaknya dia tidak beroman jahat, dia beda daripada si dua manusia kemarinnya.
Dia ini malah rada agung.
Ia menduga, pukulan itu akan membikin tulangnya patah.
Tidak ada tempo untuk si pemuda mencegah, maka telaklah serangan Kin Beng mengenai pundak anak muda muka hitam itu.
Tapi anehnya, si anak muda tidak roboh, dia tidak menjerit, hanya tubuhnya itu seperti tertolak, lalu melejit, sedang tangannya si anak muda berbalik menyambar kepalan penyerangnya! Hoa Seng terperanjat.
Selama di dalam Istana Potala ia pernah membaca sebuah kitab ilmu silat India, sekarang ia ingat itu disebabkan gerak-gerik anak muda hitam-manis ini.
"Ah, bukankah ia bersilat dengan ilmu yoga?"
Pikirnya.
Menurut ilmu yoga itu, tubuh dapat dibikin lemas sesuka kita, bahkan siapa telah meyakinkan itu sampai di puncak kemahiran, dia dapat bertahan atas serangan api atau pukulan martil, dan selama tujuh hari dapat menahan napas dan tidak mati karenanya.
Ilmu itu sama dengan ilmu tenaga dalam Tionghoa.
"Ah, mestinya dia mempunyai kepandaian yang tidak disebawahanku .."
Dua orang itu masih berkutat, mereka berontak dan bertalian.
Lekas juga si anak muda bermandikan keringat, tetapi cekalannya tidak mau dilepaskan dan Kin Beng tidak dapat meronta melepaskan diri, ia sukar bertindak.
Maka itu, keduanya saling bertahan.
Mereka sampai tidak berani membuka mulut untuk berbicara.
Juga Kin Beng, tidak lama kemudian, dia mengeluarkan keringat pada kepalanya.
"Paman, cobalah kau bantu ayah!"
Kemudian si nona meminta kepada Hoa Seng.
Hoa Seng pun menginsafi, kedua orang itu sama liehaynya, kalau mereka diantap berkutat terus, dua-dua bakal terluka di dalam.
Maka ingin ia bertindak.
Dengan lantas pemuda ini mengerahkan tenaganya di tangannya, lantas ia berlompat maju, dengan satu gerakan "Kuda liar membuka suri,"
Ia mengajukan kedua tangannya untuk segera dipentang.
Begitu tangannya membentur tangan dua orang itu, ia merasakan tolakan tenaga yang keras, tetapi ia sudah bersedia, ia dapat bersiaga.
Ia mementang terus tangannya sambil ia berlompat ke samping, hingga ia membentur patah sebuah pohon kembang.
Di lain pihak, dua orang yang berkutat itu telah terpisah.
Kin Beng masih gusar, hendak ia menerjang pula, ketika si anak muda muka hitam itu membuka mulutnya dalam bahasa Tibet.
"Aku tidak bermaksud jahat, harap tuan tidak salah paham."
"Tetapi kau telah merusak pohon bungaku, kau mesti mengganti!"
Teriak si nona, yang cuma ingat kembangnya. Anak muda itu menjura kepada Kin Beng, lalu ia berpaling kepada nona kecil itu.
"Aku mengganti dengan ini untukmu, nona,"
Katanya. Ia mengeluarkan dan sakunya sebuah teropong, alat peranti melihat jauh.
"Kau pakailah, lalu kau lihatlah!"
Ia lantas mengajari bagaimana harus mengeker.
Nona kecil itu memasang keker itu, ia melihat ke arah puncak.
Ia melihat jauh dan tegas, bukan seperti hari-hari yang sudahsudah, bahkan ia menampak sebaris kambing gunung lagi berlerot.
Tanpa merasa ia jadi tertawa, lenyap kedukaannya.
"Terima kasih, paman!"
Ia mengucap. Kin Beng tidak suka puterinya menerima hadiah dari seorang asing, akan tetapi melihat kegirangannya anak itu, ia tidak mencegah. Sementara itu Hoa Seng telah meluruskan pernapasannya, ia menghampirkan si anak muda.
"Kau liehay, tuan!"
Ia memuji sehabis mereka saling memberi hormat. Anak muda itu mengawasi karena orang ini tidak terluka di dalam badan. Ia berkata.
"Aku pernah mendengar dari seorang pendeta berilmu di dalam negeriku halnya ilmu silat Tionghoa asal dari Siauw Lim Pay, bahwa ilmu silat Siauw Lim Pay itu sebenarnya berasal lebih jauh dari ajaran Bodhidarma dari negaraku, sekarang aku menyaksikannya, ilmu silat kamu luar biasa hebat. Ini dia yang dibilang, hijau itu asalnya biru! Aku percaya sekarang, ilmu silat negaramu telah memenangi ilmu silat negaraku!"
Sekarang pasti sudah Hoa Seng mengetahui bahwa orang datang dari India.
"Saudara memuji terlalu tinggi,"
Bilangnya.
"Aku mendengar kabar Liong Yap Taysoe dari negara tuan telah memahamkan ilmu silat sampai di puncaknya kemahiran, sayang aku belum pernah bertemu sendiri dengan Taysoe itu, tidak ada jodohku untuk memberi hormat kepadanya."
"Liong Yap Taysoe itu justerulah guruku,"
Berkata si anak muda.
"Sayang aku bodoh, aku belum dapat mewariskan tiga bagian saja dari kepandaiannya guruku itu ."
Sembari berkata, anak muda ini mengawasi Hoa Seng tajam.
Ia rupanya heran kenapa orang kenal gurunya.
Sampai di situ, bertiga mereka saling belajar kenal.
Pemuda itu adalah Jatsingh dari Rajaghra, India.
Nama kota Rajaghra itu tak asing bagi Hoa Seng.
Karena dalam riwayat agama Buddha ada disebut nama tempat itu di mana Hsuan Tshang pernah berkhotbah.
"Untuk apa saudara mendaki Gunung Salju?"
Hoa Seng tanya pemuda itu. Jatsingh menunjuk roman likat.
"Bicara sebenarnya, aku hendak mencari teratai salju,"
Sahutnya.
"Teratai salju"
Ialah soat-lian.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mencari teratai salju?"
Tanya Hoa Seng heran.
"Benar. Aku mendengar kabar di gunung es di Tiongkok ada bunga teratai yang tumbuh di salju, bahwa katanya teratai itu dapat memunahkan seratus macam racun atau bisa. Entah benarkah itu atau tidak "
"Yang tumbuh di atas gunung es, bukan selamanya teratai salju,"
Berkata Hoa Seng.
"Menurut apa pang aku ketahui di gunung Thian San, di puncak yang tinggi di barat daya, kadang-kadang bisa didapatkan teratai salju itu. Bahwa di gunung Himalaya ini ada teratai salju itu atau tidak, kita harus menanyakan kepada Poei Loocianpwee."
"Aku telah tinggal hampir sepuluh tahun di sini, belum pernah aku melihat teratai salju,"
Berkata Kin Beng. Pemuda India itu nampaknya putus asa. Hoa Seng berpikir .
"Ia itu menempuh bahaya datang ke mari mencari teratai salju itu, mestinya itu sangat dibutuhkan."
Maka ia bersenyum dan berkata pada pemuda itu.
"Aku justeru ada mempunyai tiga kuntum dari bunga itu, baiklah aku memberikan kau satu kuntum."
Ia pun lantas mengeluarkan soat-liannya itu, yang terus saja menyiarkan bau harum. Jatsingh terperanjat hingga dia berjingkrak.
"Inilah mustika!"
Serunya.
"Kau hadiahkan ini padaku, mana berani aku menerimanya? Aku ada membawa barang permata, aku ."
Hoa Seng memegat kata-kata orang.
"Kau telah memberikan adik kecil ini teropong, aku memberikan kau sekuntum soat-lian,"
Katanya tertawa.
"Menurut cara kita orang Tionghoa, itulah yang dibilang melemparkan buah tho untuk membalas buah lie. Maka janganlah saudara sungkan."
Hoa Seng mengatakan demikian meski sebenarnya dibanding sama teropong, soat-lian lebih berharga beribu berlaksa lipat ganda.
Mengetahui orang demikian dermawan, Jatsingh melongoh.
Kin Beng sebaliknya girang sekali, karena berhargalah ia mendapatkan kekernya orang India itu.
Jatsingh menyambuti soat lian, untuk disimpan dengan berhatihati.
"Aku telah menerima budimu yang besar ini, tidak dapat aku membalasnya,"
Katanya dengan sangat bersyukur. kalau nanti saudara mendapat kesempatan mendatangi negaraku, pastilah aku akan melakukan apa yang aku bisa untuk menyambut kau."
Hoa Seng bersenyum. Ia merasakan orang India ini sangat tergesa-gesa. Pikirnya.
"Dia mengatakan datang ke Himalaya ini untuk mencari soat-lian, nampaknya dia tidak mendusta."
Kin Beng lalu berkata.
"Saudara Koei ini juga hendak turun gunung, maka itu kenapa kamu berdua tidak mau tinggal lagi beberapa hari sama kami di sini? Nanti kamu berdua dapat turun gunung bersama-sama, menjadi ada kawan seperjalanan."
Jatsingh memperlihatkan roman girang.
"Aku menyangka saudara Koei juga tinggal di gunung ini,"
Ia berkata.
"kiranya saudara pun hendak turun gunung. Aku menumpang bertanya, saudara hendak pergi ke mana?"
"Aku memikir untuk pergi ke Nepal,"
Sahut Hoa Seng terusterang. Mendengar itu, agaknya Jatsingh heran.
"Apakah saudara Koei hendak pergi ke Nepal untuk turut juga dalam ujian?"
Ia bertanya pula tanpa ia menghendakinya. Sekarang adalah Hoa Seng yang keheranan.
"Ujian apakah itu?"
Ia tanya. Di dalam hatinya sendiri, ia kata.
"Mungkinkah di Nepal pun ada semacam ujian? Tapi aku ada seorang asing, apakah aku dapat turut mengambil bagian?"
Jatsingh mengasi lihat roman tidak wajar. Nyata ia telah keterlepasan omong, ia menyesal.
"Kiranya kau tidak ketahui hal itu, saudara Koei,"
Katanya kemudian.
"Kalau begitu lebih baik kita tidak membicarakannya."
Hoa Seng menjadi heran sekali. Tetapi ia tertawa.
"Apakah halangannya, untuk menyebutkan itu?"
Ia kata manis.
Jatsingh bersangsi, tetapi ia lantas mengingat budi orang yang memberikan ia soat-lian yang demikian berharga sedang mereka tidak kenal satu pada lain dan baru saja bertemu dan berkenalan pada detik ini, ia merasa malu hati.
Ia pun tidak dapat mendusta.
"Memang di sana bakal diadakan ujian tetapi di Nepal ujian tak sama dengan ujian conggoan di Tiongkok,"
Ia berkata, memberikan keterangannya.
"Sebenarnya itulah ujian dari puteri Nepal yang hendak memilih bakal suaminya."
Hoa Seng ketarik. Bukankah itu suatu kebiasaan aneh? "Bagaimana caranya pemilihan itu?"
Ia menanya.
"Aku dengar kabar puteri Nepal itu cantik luar biasa dan pintar dan gagah sekali,"
Menyahut Jatsingh.
"maka itu pemudapemuda bangsawan bangsa Nepal, semuanya menginginkan memperolehnya sebagai isteri mereka, akan tetapi sebaliknya, di mata si puteri, tidak ada seorang juga yang cocok baginya. Hal itu membuatnya raja Nepal bergelisah, sebab ia tidak dapat sendirinya memilihkan, ia kuatir pilihan itu ditolak oleh puterinya. Di akhirnya tuan puteri sendiri yang mengajukan usul untuk mengadakan pemilihan dengan jalan ujian itu. Pertama-tama orang akan diuji dalam ilmu surat, habis itu baru dalam ilmu silat. Aku mendengar kabar juga ada pemudapemuda lain bangsa yang datang untuk mencoba peruntungan mereka .."
Hoa Seng tertawa.
"Mari kita bicara dari hal ujian yang pertama itu, ialah ilmu surat,"
Katanya.
"Bagaimana caranya ujian itu? Tidakkah di sini ada soal bahasa?"
"Tetapi itu ada soal gampang,"
Menyahut Jatsingh.
"Puteri Nepal itu pintar luar biasa, ia bukan melainkan pandai bahasanya sendiri, ia mengerti juga bahasa asing seperti bahasa Tionghoa, Sangsekerta dan Arab. Pemuda-pemuda asing itu pun bukan lain dari pada pemuda-pemuda Tionghoa, India dan Arab. Maka kalau orang asing yang diuji itu, dia diuji dalam bahasanya sendiri. Hanya, biar bagaimana juga, sudah selayaknya saja dia mengerti sedikit-sedikit bahasa Nepal."
"Dan bagaimana caranya menguji ilmu silat?"
Hoa Seng menanya pula.
"Untuk ujian ilmu silat, orang harus melewati beberapa 'kota penting' yang sangat sulit,"
Jatsingh menerangkan Lebih jauh.
"Sesudah itu, orang mesti dapat menempur dayangdayang istana. Kalau orang lulus dari semua ujian itu, di akhirnya dia bakal diuji si puteri sendiri."
"Begitu caranya puteri itu memilih suami, dia benarlah seorang wanita kesatria!"
Hoa Seng memuji.
"Memang!"
Berkata Jatsingh.
"Hanya aku mendengar kabar, sejak dimulai tahun yang sudah, pemilihan telah sampai sekarang ini tetapi belum juga ada orang yang tepat yang terpilih."
Hati Hoa Seng tergerak tiba-tiba. Ia ingat si nona baju putih. Ia bersenyum.
"Ah, tidak nanti itulah dianya,"
Ia berpikir.
"Jikalau benar dia, mana dia dapat keluar seorang diri dari dalam istananya? Mustahil dia dapat muncul di Kota Iblis itu? Bahkan dia memperlihatkan diri di Istana Potala? Laginya, dia cuma satu puteri, kenapa putera raja Nepal demikian takut kepadanya?"
Mengingat ini, Hoa Seng mau memastikan si nona baju putih bukannya si puteri Nepal, walaupun demikian, ia tetap heran, ia menjadi menduga-duga. Ia berpikir pula.
"Kenapa di Nepal ada wanita demikian pintar dan gagah? Kalau nanti aku sampai di negara itu, ingin aku melihat tuan puteri itu, untuk mendapat kepastian dia dapatkah atau tidak dibanding sama adikku si Giok .."
Jatsingh sendiri, habis memberi keterangan, dia tertawa.
"Orang dengan kepandaian sebagai kau, saudara Koei,"
Katanya.
"jikalau kau pergi ke sana dan mencoba turut dalam ujian itu, mungkin kau mempunyai harapan. Apakah saudara mempunyai niat itu?"
Hoa Seng tertawa bergelak.
"Aku gemar merantau, aku merdeka sebagai burung hoo hutan!"
Katanya.
"Jangan kata tidak ada harapan, sekalipun ada, tidak nanti aku membiarkan diriku masuk sendiri ke dalam jaring! Bukankah dengan begitu aku bakal jadi mengikat diriku sendiri? Laginya, aku tidak mengerti bahasa Nepal, mana bisa aku turut mengambil bagian?"
Hoa Seng mengatakan demikian sedang hatinya terus memikirkan si nona baju putih, meskipun seorang bidadari tidak nanti dapat menarik hatinya itu.
Hanya, karena si puteri Nepal ini demikian luar biasa, ia toh ketarik juga oleh keluarbiasaan itu Mendengar Hoa Seng tidak berniat turut mengambil bagian dalam pemilihan calon suami puteri Nepal itu, perlahan-lahan wajahnya Jatsingh kembali wajar.
"Saudara,"
Ia menanya.
"telah dengan susah-payah saudara mendaki gunung ini, saudara hendak tinggal di sini untuk berapa hari lagi?"
Hoa Seng menatap orang, ia bersenyum. Ia seperti dapat membade hati pemuda itu.
"Jikalau saudara mempunyai urusan sangat penting, tidak berani aku menahan kau,"
Katanya.
"Karena tujuan kita sama, mungkin di Nepal nanti kita dapat bertemu pula. Di sini aku hendak berdiam lagi satu atau dua hari."
"Kalau begitu, ijinkanlah aku berangkat lebih dulu, sekarang juga,"
Berkata Jatsingh, yang terus berbangkit. Lagi sekali ia menghaturkan terima kasih pada Hoa Seng, kemudian ia memberi hormatnya kepada itu anak muda, kepada tuan rumah dan puterinya juga. Ia turun gunung dengan lekas".
"Orang itu aneh!"
Berkata Kin Beng.
"Ketika tadi ia mendengar kau mau turun gunung, ia gembira sekali, agaknya ia senang sekali untuk berjalan sama-sama, akan tetapi sekejap kemudian, wajahnya berubah, agaknya ia menjadi takut untuk berjalan sama-sama kau, saudara Koei .."
"Dia kuatir aku nanti merampas puterinya!"
Berkata Hoa Seng terus-terang.
"Sebenarnya mana ada minatku semacam itu?"
Dan ia tertawa lebar.
Kin Beng mengerti, ia pun tertawa.
Kemudian mereka bicara dari lain-lain hal.
Masih dua hari Hoa Seng menumpang sama Kin Beng.
Selama ini ia menggunai temponya juga untuk mendengari kebiasaan bangsa Nepal dari isterinya Kin Beng.
Isteri Kin Beng, anaknya seorang penggembala Tibet, kebetulan pernah pergi ke Nepal dan dia mengetahui beberapa adat kebiasaan bangsa Nepal.
Di harian ia mau berangkat, selagi berpisahan, Kin Beng membekali abon serta bebuahan kering, maka itu ia sangat berterima kasih, Kin Beng dan isteri dan anaknya pun mengantari sampai di kaki gunung dimana agaknya mereka berat sekali untuk berpisahan.
Sebab meski belum lama pergaulan mereka, mereka kedua pihak sangat cocok satu dengan lain.
Hoa Seng mulai perjalanannya dari kaki gunung di utara memutar ke kaki gunung sebelah selatan, dari situ ia mulai memasuki wilayah Nepal.
Waktu itu sudah pertengahan musim panas, di mana-mana terdengar ocehan burung-burung dan terlihat bunga-bunga mekar serta baunya yang harum.
Bagaikan bedanya dua dunia kalau suasana Nepal ini dibandingkan dengan tanah pegunungan es dan salju.
Nepal pun ada negara pegunungan, dari itu orang menyebutnya Zwitserland dari Timur, dan maka itu, orang dapat menduga keindahannya.
Di negeri itu terdapat banyak telaga dan puncak-puncak gunung nampak putih semua.
Air solokan gunung atau air tumpah, semua jatuh ke bawah masuk ke dalam telaga-telaga itu di mana pun tertampak ikan-ikan kecil.
Di antara pepohonan kedapatanlah bunga-bunganya.
Nepal ada sebuah Negara agama Buddha, bahkan Sang Buddha sendiri, Shakyamuni, terlahir di taman Lumbini, di bawah pohon Sala, di Behar, selatan Nepal.
Maka itu di sepanjang jalan terlihat orang-orang yang datang dari pelbagai ternpat untuk bersujud.
Menampak itu, Hoa Seng ingat pembilangannya si nona baju putih bahwa lain tahun di Nepal bakal dibikin upacara keagamaan yang besar, bahwa di saat pembukaan tentulah bakal datang banyak pendeta dari lain-lain negara.
Ada lagi suatu pemandangan yang menarik perhatian Hoa Seng di negara Nepal ini.
Ialah adanya menara suci, di atas menara itu, di empat penjuru, ada dilukiskan empat pasang mata.
Pedang Inti Es Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mata itu, menurut penganut Sang Buddha di Nepal, ialah yang dinamakan "mata kecerdasan,"
Diumpamakan kecerdasan dan kemurahan hati Sang Buddha.
Tapi pun di dalam Kota Iblis, Hoa Seng pernah melihat menara semacam itu.
Itulah yang pertama kali ia melihatnya, hingga ia merasa aneh.
Sekarang melihatnya pula di Nepal, dan melihat banyak, ia menjadi biasa.
Melainkan ia mendapat kenyataan, mata itu dilukis bagus dan hidup sekali, seperti ada tenaga menariknya.
Sepuluh hari Hoa Seng melakukan perjalanan, tibalah ia di ibukota Nepal, ialah Khatmandu, kota yang duduknya di dalam lembah gunung, maka dia menjadi seperti dikitarkan gunung, jadilah dia sebuah kota wajar.
Khatmandu diambil dari katakata "Khat"
Artinya "kaju"
Dan "mandu"
Artinya "biara,"
Dari itu taklah heran, semasuknya ke dalam kota, Hoa Seng mendapatkan banyak biara kecil dan besar, yang semua terbuat dari kayu, sedang di biara-biara besar, panglari dan tiangnya berukirkan, mirip dengan bangunan dalam istana-istana di Tiongkok.
Maka itu, dengan sendirinya Hoa Seng menjadi menyukai kota ini.
11.
Tabib Sakti Papo Sesudah melalui beberapa jalan besar, Hoa Seng merasa perutnya lapar.
Lantas ia memasuki sebuah rumah makan di mana ia memilih meja yang menghadapi jendela.
Ia memesan beberapa rupa barang hidangan berikut arak Nepal.
Dari jendela itu kebetulan ia menghadapi sebuah gunung yang di waktu matahari turun, memberikan pemandangan yang indah.
Itulah gunung di sebelah barat ibukota, di atas gunung ada sebuah menara tujuh tingkat, yang sebagian, bahagian atasnya terbuat dari kuningan dengan wuwungannya terlapiskan emas, maka di sinar matahari lohor itu, cahayanya berkilau-kilau.
Bangsa Nepal ada suatu bangsa yang terkenal ramah tamah terhadap orang asing, maka itu pelayan yang melayani Hoa Seng, mengetahui tetamunya datang dari Tiongkok, perlayanannya luar biasa manis.
Ia menanyakan ini dan itu, umpama masakannya cocok atau tidak dengan lidah tetamunya, Katanya sembari tertawa.
"Ada tetamu yang tidak doyan, tetapi pun ada yang ketagihan hingga bilangnya dia ingin tinggal berumah tangga di sini!"
"Mungkin aku pun akan tinggal tetap di sini!"
Hoa Seng bilang.
Selagi mereka bicara, ke dalam rumah makan itu ada masuk seorang tua umur lima puluh tahun lebih, punggungnya ada menggendol satu kantung kain hijau, pakaiannya sangat sederhana.
Menampak dia, pelayan serta tetamu-tetamu yang lagi bersantap pada bangun berdiri, untuk memberi hormat.
Menyaksikan itu, Hoa Seng dapat menduga-duga kedudukan orang tua itu.
Segera terdengar suaranya pemilik rumah makan itu kepada si orang tua.
"Tuan dokter Papo, hari ini siapakah yang sakit yang kau hendak menengoknya?"
Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long