Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 10


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 10



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tibatiba Pek-hong-kiam menuding ke timur menusuk ke barat, sekaligus dia melancarkan tujuh jurus serangan mematikan.

   Begitu mengembangkan Siang-kiam-hap-pik hati In San dan Tan Ciok-sing bersatu padu, pikiran sejalan gerakanpun serasi.

   Begitu Tan Ciok-sing mempergencar serangan, serta merta In Sanpun segera mengimbangi.

   Dalam sekejap mata lingkaran pertahanan Ciang Thi-hu ditekan sedemikian rupa menjadi semakin menciut.

   Dalam keadaan terdesak ini Ciang Thi-hu sudah maklum, sebelum jago silat tangguh dari pengawal Liong Bun-kong datang tubuhnya pasti sudah dihiasi tusukan pedang kedua musuhnya ini.

   Seperti serigala yang mengamuk dalam kepungan, bola mata Ciang Thi-hu sudah melotot membara, napasnya mendengus saperti banteng mengamuk, bentaknya.

   "Bocah bagus, kau ingin membunuhku, memangnya segampang keinginanmu. Hem, rasakan keliehayan Gun-goan-it-cu-kang,"

   Berbareng kedua telapak tangannya menari turun naik, membalik ke kiri memutar ke kanan.

   Sekonyong-konyong segulung tenaga dahsyat terlontar keluar dari kibasan kedua telapak tangannya sedahsyat gugur gunung.

   Perbawa Siang-kiam-hap-pik memang aneh, semakin dahsyat menghadapi serangan semakin hebat pula daya tahan dan perlawanannya, di kala menghadapi rangsangan hebat dari serangan Gun-goan-it-cu-kang Ciang Thi-hu ini, Siangkiam- hap-pik pun memperlihatkan perbawanya yang paling dahsyat.

   Maka terdengarlah rentetan suara keras dan memekak, tampak sepasang lengan baju Ciang Thi-hu koyakkoyak beterbangan seperti kupu-kupu yang menari di tengah udara, sehingga kedua lengannya yang kurus legam kelihatan telanjang.

   Pedang yang tajam memang tidak mampu melukai tubuhnya, tapi hawa pedang yang simpang siur menggencet dan mengoyak hancur lengan bajunya.

   Dalam gebrak ini kedua pihak sama-sama mengerahkan puncak kekuatannya, bahwa keadaan Ciang Thi-hu kelihatan , serba mengenaskan, tapi In San sendiripun sedikit menderita oleh getaran angin pukulan lawan sehingga langkahnya sempoyongan.

   Kebetulan ada beberapa busu berlari tiba, melihat kesempatan yang menguntungkan ini, mereka hendak menyerang In San dari belakang.

   Tak nyana belum lagi In San turun tangan beberapa busu itu sudah sama roboh gedebukan sambil mengeluh kesakitan.

   Ternyata pada gebrak terakhir ini Ciang Thi-hu sudah kerahkan sepuluh bagian kekuatan Gun-goan-it-cu-kang, perbawa Siang-kiam-hap-pik memang masih mampu menahannya.

   Tapi beberapa busu yang masih rendah Kungfunya ini mana kuat menahan getaran dahsyat ini? Seperti diketahui Gun-goan-ii-cu-kang yang diyakinkan Ciang Thi-hu baru saja berhasil dilatihnya sempurna, jikalau sekaligus sekarang dia harus kerahkan setaker kemampuannya, akibatnya pasti menguras habis hawa murni dan itu berarti luka dalam yang cukup parah.

   Oleh karena inilah, dalam pertempuran tadi dia hanya menambah kekuatan setahap demi setahap, tak berani sekaligus mengerahkan kekuatannya sampai sembilan bagian tenaga sendiri.

   Kini terpaksa Ciang Thi-hu lontarkan serangan sepenuh tenaga meski berhasil meloloskan diri dari kepungan cahaya pedang lawan, tapi dia sendiri juga sudah lemas lunglai kehabisan tenaga.

   Lekas dia memutar tubuh membelakangi musuh.

   "Huuuaaah"

   Tanpa kuasa dia menyemburkan sekumur darah segar, tapi dia tidak berani memperlihatkan kepada Tan Cioksing bahwa dirinya sudah terluka.

   Situasi semakin tidak menguntungkan, Tan Ciok-sing juga tak berani bertempur terlalu lama di sarang musuh, lekas dia memburu ke samping In San, katanya.

   "Adik San, bagaimana kau?"

   Sebelum dia memapahnya In San sudah dapat berdiri tegak pula, katanya lirih.

   "Tidak apa-apa, sayang gelagat agaknya tidak bisa mengijinkan hari ini kita menuntut balas."

   "Syukurlah kalau tidak apa-apa,"

   Ujar Tan Ciok-sing.

   "seorang laki-laki menuntut balas sepuluh tahun belum terlambat. Hayolah kita pergi."

   Meski banyak jumlah busu dari keluarga Liong, mana mampu menahan atau merintangi mereka? Apalagi beberapa busu sudah roboh dan menjadi contoh, mana mereka berani berkorban pula.

   Pada hal mereka tidak tahu bahwa kawankawannya itu roboh karena Gun-goan-it-cu-kang yang dilancarkan Ciang Thi-hu, mereka menyangka kedua penyatron ini memiliki kepandaian tinggi semacam Can-ih-cappwe- tiat yang aneh, serta menakjubkan.

   Di tengah teriakan para busu yang hanya berkaok-kaok tanpa bertindak ini, dengan leluasa Tan dan In berdua melesat terbang ke atas wuwungan terus lari meninggalkan gedung keluarga Liong.

   Setelah jauh berada diluar, Tan Ciok-sing menoleh ke belakang, melihat musuh tidak mengejar baru legalah hatinya, katanya.

   "Nona In mimpipun aku tidak menduga bahwa kau bisa berada disini."

   In San menghela napas, katanya.

   "Tan-toako aku justru yang tidak menyangka, di saat kritis, di waktu jiwaku terancam bahaya, mendadak kau muncul dari atas langit."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Mana aku bisa membiarkan kau masuk ke sarang harimau seorang diri? Kalau kau sudah kemari, memangnya aku harus berpeluk tangan? "Semalam aku pernah mampir ke hotel dimana kau nginap untuk mencari kau, pemilik hotel mengatakan tiada tamu macam kau ini, ternyata dia ngapusi aku."

   "Jangan kau salahkan dia, akulah yang suruh dia begitu, aku tidak tahu kalau kau bakal datang. Menurut perhitunganku semula, ingin menghilangkan jejak supaya orang-orang keluarga Liong tidak tahu akan kedatanganku."

   "Aku tidak menyalahkan dia, tapi aku menyalahkan kau malah. Kalau kau tahu aku sudah datang, kenapa kau tidak mau menemui aku? Tahukah kau aku sengaja hendak mencarimu?"

   "Justru karena itu, mimpi juga aku tidak sangka kalau kau yang datang."

   "Ibu sudah tiada. Aku tahu kau pulang ke Kwi-lin hendak menuntut balas, musuhmu adalah musuhku juga, memangnya aku boleh berpeluk tangan membiarkan kau menempuh bahaya."

   "Terima kasih akan perhatianmu, tapi aku tetap tidak duga kau bakal menyusulku."

   "Kenapa tetap tidak menduga? Nasib kita sudah terjerat menjadi satu. Kau kira aku bisa berpeluk tangan menyaksikan usaha penuntutan balasanmu dan mengharap kau yang menuntut balas bagiku?"

   "Bukan, bukan begitu maksudku..."

   "Lalu apa maksudmu? Katakan."

   Ruwet pikiran Tan Ciok-sing, tak tahu dengan alasan apa dia harus menjelaskan. Sementara itu mereka sudah mulai memasuki kota kecil.

   "Mari kita ambil kuda kita dan segera meninggalkan kota ini. Nanti bicara saja di tengah jalan,"

   Demikian kata Tan Ciok-sing.

   "Baik. Nanti kita bertemu di perjalanan. Tempatnya di gardu pinggir jalan diluar kota sana, siapa tiba lebih dulu dia harus menunggu. Tapi watakku kau sudah tahu, kau tadi berjanji hendak memberi penjelasan, jangan kira setelah kau mengulur waktu lantas anggap persoalan ini tiada begitu saja."

   Fajar sudah hampir menyingsing, di ufuk timur cahaya mentari sudah mulai menongol dengan secercah cahayanya yang remang-remang, namun toko-toko dalam kota belum ada yang buka.

   Setelah mengambil kudanya Tan Ciok-sing terus mengepraknya kencang, baru saja terang tanah dia sudah tiba di gardu diluar kota.

   Ternyata In San sudah menunggunya disana.

   "Nah katakan, kenapa kau bilang tidak menduga kalau aku sengaja mencarimu kemari?"

   In San betul-betul menuruti adatnya, begitu bertemu lantas mengajukan pertanyaan ulang. Apa boleh buat, terpaksa Tan Ciok-sing melontarkan isi hatinya.

   "Kukira kau pergi ke Tayli lebih dulu."

   "Untuk apa aku ke Tayli?"

   In San tahu maksud orang, tapi sengaja dia bertanya. Karena didesak sedemikian rupa, tak mungkin Tan Cioksing menghindar lagi, katanya kemudian.

   "Bukankan Siauongya dari keluarga Toan dari Tayli menginginkan kau mengungsi kesana. Ibumu sudah meninggal, kukira..."

   "O, kau kira setelah aku yatim piatu, tiada orang yang menjadi tulang punggungku, tidak punya rumah lagi, adalah pantas kalau aku mencari pelindung di rumah keluarga Toan begitu?"

   "Bukan begitu maksudku. Keluarga kalian sudah turun temurun punya ikatan yang intim, Toan-toako juga sudah kangen padamu."

   Tegak alis In San, katanya.

   "Jadi dalam pandanganmu, aku ini perempuan yang tidak bisa melihat gelagat dan tidak punya martabat?"

   "O, tidak, nona In, kau adalah pahlawan gagah kaum wanita, mana berani aku memandang rendah dirimu?"

   "Kenapa kau punya kesan seburuk itu padaku? Memang Toan-toako baik terhadapku, kalau aku tidak punya kerja, setelah peperangan ini berakhir mungkin aku bisa kesana menengoknya. Tapi sekarang, jangan kata aku harus menuntut balas kematian ayah bunda, umpama tidak, aku juga takkan sudi pergi ke Tayli. Bukankah tenagaku lebih bermanfaat di markas besar Ciu-pepek yang memerlukan bantuan dan tenaga kaum muda seperti kita?"

   Lama Tan Ciok-sing bungkam seribu basa, akhirnya dia tertawa menyengir.

   "Aku memang lugu, mungkin aku salah omong, harap maaf dan jangan kau berkecil hati."

   Tiba-tiba In San berkata'dengan suara lirih.

   "Toan-toako baik terhadapku, tapi kau lebih baik lagi terhadapku. Aku menghargai Toan-toako, aku lebih menghormatimu. Jangan karena asal-usul kelahiranmu sebagai rakyat biasa lantas kau merasa rendah diri, memang Toan-toako, keturunan bangsawan, tapi ketahuilah didalam sanubariku, martabatmu kuanggap lebih tinggi dan lebih agung dari dia, kau tidak akan asor dibanding dia."

   Pertama kali ini In San mencurahkan sikap dan isi hatinya, meskipun belum boleh dianggap sikap dan penuangan rasa cintanya, tapi hal ini sudah cukup membuat jantung Tan Cioksing berdetak dan jengah mukanya, tapi hatinya juga senang luar biasa.

   Lama sekali baru Tan Ciok-sing angkat kepala dan berbicara.

   "Nona In, terima kasih akan penghargaanmu terhadapku."

   In San tersenyum, katanya.

   "Tan-toako, kita senasib sepenanggungan, aku sudah memanggilmu Toako, kenapa kau masih begitu sungkan kepadaku? Anggaplah aku sebagai adikmu?"

   "Adik San, semalam aku mencuri dengar diluar, tidak jelas kudengar seluruhnya, kalau tidak salah Liong Bun-kong pernah menyinggung Tam Pa-kun dengan Ciang Thi-hu?"

   "Betul, Liong bangsat itu sudah tahu bahwa Tam Pa-kun pergi ke Kwi-Iin, dia menyuruh Ciang Thi-hu kesana untuk membekuknya."

   "Adakah dia juga menyinggung It-cu-king-thian?"

   "Agaknya tidak. Tapi, ya, ada suatu hal sekarang kuingat, sayang aku terburu nafsu turun tangan."

   "Soal apa?"

   "Liong bangsat itu menyerahkan secarik daar kepada Ciang Thi-hu, didalam daftar itu tercantum nama-nama kawan dan lawan mereka yang ada di Kwi-lin."

   "O, daftar itu amat berguna bagi kita. Kawan mereka adalah musuh kita, bila kita bisa merebut daftar itu, kita bisa berhati-hati dan sikat mereka satu persatu."

   In San berkata.

   "It-cu-king-thian adalah tokoh kenamaan di Kwi-lin, kukira nama It-cu-king-thian Lui Tin-gak pasti tercantum didalam daftar itu. Waktu itu Ciang Thi-hu sedang memeriksa daftar itu, sayang aku buru-buru turun tangan, kalau tidak mungkin dia bisa menyinggung It-cu-king-thian."

   "Kalau Ciang Thi-hu sudah menerima tugas itu dari Liong bangsat, cepat atau lambat pasti akan mengikuti jejak kita mengejar ke Kwi-lin, semoga daftar itu tidak dibuang, kelak bila ketemu dia, masih ada kesempatan kita merebutnya,"

   Demikian kata Tan Ciok-sing.

   "Setelah melontarkan serangannya terakhir semalam, agaknya Ciang Thi-hu kehabisan tenaga dan luka cukup parah, kalau dia berani datang ke Kwi-lin juga, dia pasti bukan tandinganmu."

   Sunguh-sungguh sikap Tan Ciok-sing, katanya.

   "Gun-koanit- cu-kang yang diyakinkan Ciang-Thi-hu tidak boleh diremehkan. Dengan taraf latihannya sekarang, meski lwekangnya menurun tiga bagian, aku tetap belum pasti dapat mengalahkan dia. Tapi bila kita tetap Siang-kiam-hap-pik, kurasa lain pula persoalannya."

   Lirih suara In San.

   "Lalu apa pula yang kau kualirkan, aku tidak akan berpisah dengan kau. Kapan saja, dimana saja Siang-kiam-hap-pik tetap boleh kita kembangkan."

   Bukan kepalang rasa senang dan terhibur hati Tan Cioksing, tanpa merasa mulutnya menyeletuk.

   "Setelah berhasil menuntut balas, apakah kau juga takkan berpisah denganku?"

   Jengah muka In San, sahutnya.

   "Ilmu pedangku masih kuharap petujukmu, kalau kau tidak mengusirku, aku akan tetap ikut padamu."

   Kuda tunggangan mereka adalah kuda yang dapat menempuh ratusan li sehari, kira-kira 10 hari kemudian, mereka sudah mulai memasuki perbatasan Ouw-lan dan Khong-say, setelah berada di karisidenan Hing-an, berarti mereka sudah berada di propinsi Khong-say.

   Tampak aliran sungai besar disini mulai bercabang dua, pemandangan nan permai dengan hawa nan sejuk.

   Setelah menempuh perjalanan sekian hari, maka mereka turun di pinggir sungai, membiarkan kuda minum air dan makan rumput sepuasnya.

   Tan Ciok-sing dan In San juga duduk di tanah berumput melepas lelah.

   Dua hari lagi Tan Ciok-sing akan tiba di tempat kelahiran entah bagaimana perasaannya sekarang, senang, duka tapi juga lega, kalau dulu dia seorang diri meninggalkan kampung halaman, sekarang kembali berduaan, maka untuk melepas rasa rindu akan kampung halaman dan melimpahkan perasaan hati nan suka dan duka ini, dia memetik harpanya.

   In San asyik mendengarkan sambil menunduk kepala, wajahnya tampak merah dan malu.

   "Petikan harpa yang bagus,"

   Tiba-tiba terdengar seorang memuji.

   Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, dilihatnya dua ekor kuda dicongklang pesat di jalan raya ke arah sini.

   Kedua penunggang kuda ini adalah Hwesio dan Tosu.

   Hwesio itu yang berseru memuji.

   In San bersuara heran, katanya lirih.

   "Hwesio ini dapat menikmati keindahan petikan harpamu, kiranya dia juga seorang seniman."

   Jarak masih cukup jauh, begitu mendengar irama harpa Tan Ciok-sing, kedua orang ini segera mengeprak kuda lebih pesat untuk mendengar lebih jelas dari jarak dekat. Terdengar Hwesio itu berseru pula.

   "Anak muda, petikan harpamu amat bagus, coba petiklah sebuah lagu lagi."

   Tapi si Tosu malah mengerutkan kening, katanya.

   "Kita harus menempuh perjalanan. Kukira cukup kau menikmati sebuah lagu ini untuk dijadikan kenangan. Bukankah lebih baik?"

   Hwesio itu tertawa, katanya.

   "Kata-katamu ini mirip filsafat saja, Betul, anak muda ini belum tentu sudi memetikkan sebuah lagu lagi, hayolah lanjutkan perjalanan."

   Sambil mencongklang kudanya si Hwesio agaknya masih menikmati irama harpa dengan asyiknya, malah di punggung kuda kaki tangannya menari berjingkrak-jingkrak.

   Pada hal kuda itu sedang lari pesat di jalan pegunungan yang naik turun.

   Mendadak tubuhnya itu mencelat mumbul seperti dilempar ke atas.

   Karuan In San menjerit kaget, teriaknya.

   "Aduh, celaka."

   Dengan gaya burung dara jumpalitan si Hwesio dengan enteng meluncur turun dan duduk pula di punggung kuda. Katanya tertawa.

   "Terima kasih akan perhatianmu nona, Toa Hwesio takkan bisa jatuh."

   Tan Ciok-sing berdua berada di pinggir sungai, sementara mereka mencongklang kuda di jalan raya jarak di antara mereka ada satu li, tapi gelak tawa dan perkataan si Hwesio dapat didengar In San sejelas orang bicara berhadapan, malah terasa pekak telinganya, karuan In San kaget, pikirnya.

   "Latihan lwekang Hwesio ini, mungkin tidak lebih asor dari Kim-to Cecu."

   Tan Ciok-sing juga tertawa, katanya.

   "Pandangan si Hwesio juga tajam, dia hanya lewat sambil lalu di jalan raya, ternyata selintas pandang lantas tahu kalau kau perempuan menyamar laki-laki."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sayup-sayup mereka masih sempat mendengar si Tosu berkata dengan tertawa.

   "Memangnya kau ini orang beribadat macam apa, orang beribadat macammu ini seharusnya lepas dari segala urusan duniawi, tapi kau justru terbius oleh irama harpa, bermulut besar menganggulkan diri takkan bisa jatuh lagi?"

   Hwesio itu tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Memangnya aku ini Hwesio sontoloyo, doyan arak suka daging, siapa bilang aku ini Hwesio agung yang tulen?"

   Lekas sekali bayangan merekapun sudah tidak kelihatan lagi. Tan Ciok-sing berkata.

   "Hwesio dan Tosu ini agaknya tokoh-tokoh yang punya bobot, kalau Hwesio itu mau menunggu beberapa lama, aku sih sudi memetikkan sebuah lagu untuk dia."

   In San berkata.

   "Bukankah kau dengar mereka harus memburu waktu untuk menyelesaikan urusan penting? Sudah cukup kita beristirahat, sudah saatnya kita berangkat."

   Setelah berada di punggung kuda lambat-lambat mereka congklang kudanya ke arah depan, belum jauh mereka menempuh perjalanan, tiba-tiba dilihatnya dua ekor kuda dicongklang cepat mendatangi dari depan.

   Kedua penunggangnya gendut kurus, yang gendut tinggi lima kaki, perawakannya tambun seperti semangka.

   Yang kurus, tingginya ada tujuh kaki lebih, kepala kecil leher panjang, tubuhnya mirip genter.

   Melihat pasangan manusia yang lucu dan menggelikan ini tanpa terasa mereka tertawa geli.

   Si gendut segera berkata.

   "Apa yang kau tawakan, geli karena aku segendut ini?"

   "Karena geli aku tertawa, tiada sangkut pautnya dengan kau,"

   Sahut In San.

   "Hm. kau bohong."

   "Kak gendut, hayolah tak usah cari perkara,"

   Tukas si kurus. Si gendut tiba-tiba berkata.

   "Kuda mereka jauh lebih baik dari tunggangan kita, waduh, kuda yang begitu jempol, belum pernah aku melihat kuda sebagus ini."

   Cepat sekali kedua kuda itu mendatangi dan kedua pihak sudah saling berhadapan, diam-diam Tan Ciok-sing bersiaga, betul juga begitu jarak kedua pihak semakin dekat, di kala kedua penunggang kuda itu hampir melewati mereka, si gendut mendadak mengulur tangan hendak merintangi lari kuda Tan Ciok-sing.

   Begitu kepala kuda tunggangan Tan Cioksing tertekan, seketika dia meringkik dan berdiri dengan kaki belakangnya, Namun dengan sigap Tan Ciok-sing sudah memukul dengan daya dorongan yang kuat, serunya.

   "Apa kehendakmu?"

   "Tidak apa-apa,"

   Seru si gendut tertawa tergelak-gelak.

   "ingin aku mencoba kekuatan daya terjangan kudamu,"

   Di tengah gelak tawanya, kudanya itu sudah mencongklang pergi. Si kurus tetap berada di sampingnya, omelnya.

   "Kak gendut, kenapa selalu kau mengumbar tabiatmu yang jelek ini, suka mencari gara-gara. Memangnya kau lupa kita sedang menunaikan tugas penting."

   Si gendut tertawa, katanya.

   "Tenaga pukulan bocah itu memang hebat, sayang kita sedang bertugas, kalau tidak ingin aku berkenalan dan bersahabat dengan mereka,"

   Lekas sekali merekapun telah pergi jauh. Diam-diam In San melelet lidah, katanya.

   "Besar sekali tenaga orang itu, dengan sekali tekanan di punggung kuda, dia mampu menahan daya lari seekor kuda. Tan-toako, kau tidak apa-apa bukan?"

   Telapak tangan Tan Ciok-sing masih kesemutan dan linu, katanya.

   "Tidak apa. Tapi kalau mengadu tenaga pukulan, jelas aku bukan tandingannya. Tapi permainan tenaga dalam orang ini ternyata sudah terkendali baik sekali, bisa bekerja sesuai keinginan hati."

   "Darimana kau bisa tahu, kulihat tubuhnya juga tergeliat di punggung kuda."

   "Telapak tangannya menekan kuda, sehingga kuda yang lagi lari berhasil ditekannya berhenti, tapi kudaku ini sedikitpun tidak terluka, kepandaian semacam ini jelas tidak mampu kulakukan."

   In San sekarang juga cukup berpengalaman, diam-diam diapun kaget, katanya.

   "Sungguh aneh dan janggal, dalam jangka waktu belum ada sejam, beruntun kita bersua empat jagoan silat kosen."

   Dengan rasa ragu dan curiga mereka terus melanjutkan perjalanan ke depan.

   Beberapa kejap lagi, terdengar ringkik kuda di kejauhan sana, tampak dua ekor kuda lari mendatangi pula penunggang kudanya juga orang-orang aneh yang menimbulkan rasa heran dan kaget.

   Dikatakan "aneh"

   Bukan lantaran tampang kedua orang ini terlalu istimewa, tapi adalah dandanan mereka.

   Kedua orang ini mengenakan pakaian rombeng, seorang memanggul kampak, seorang lagi membawa kepis yang terikat di pinggang, tangannya memegang joran, joran di tangannya sering digunakan sebagai pecut.

   Kalau kedua orang ini tidak menunggang kuda umumnya orang akan mengira mereka adalah tukang kayu dan pencari ikan yang pulang dari gunung dan sungai.

   Selintas pandang orang juga akan tahu bahwa kuda tunggangan mereka pilihan, malah pelananya tampak mewah dan tersulam indah sekali, jelas penebang kayu dan pengail ikan biasa takkan mungkin memilikinya.

   Bahwa tukang penebang kayu dan seorang pengail menaiki kuda jempolan lagi, bukankah ini agak janggal dan aneh.

   Setelah agak dekat dan melihat jelas mereka, pengail ikan itu bersuara heran dan kaget, katanya.

   "kuda yang bagus dan gagah, penunggangnyapun lebih tampan lagi,"

   Serta merta matanya melirik ke arah In San, kembali mulutnya bersuara aneh, katanya seperti untuk didengar sendiri.

   "Kulihat bocah ini agak janggal,"

   Agaknya dia juga melihat penyamaran In San, tahu bahwa dia adalah anak perempuan. Diam-diam In San menggerutu dan mengumpat dalam hati.

   "Memangnya kau sendiri yang janggal,"

   Baru saja dia pernah merasakan pelajaran dari pengalaman yang terdahulu, maka kali ini dia tidak berani banyak usil. Tapi jawaban penebang kayu justru merupakan jawaban dalam hati In San juga.

   "Dalam pandangan orang lain, kau dan aku justru dipandangnya sebagai mahluk aneh. Kenapa kau peduli mereka itu gagah, tampan atau buruk rupa, hayolah."

   "Kau tidak usah kuatir,"

   Ucap pengail.

   "aku tidak akan seperti Bui samko (kak gendut ketiga) yang suka mencari perkara itu."

   Diam-diam Tan Ciok-sing membatin.

   "Kiranya mereka serombongan dengan kedua orang gendut dan kurus yang jalan duluan tadi,"

   Walau pengail ini sudah berkata tidak akan mencari gara-gara tapi Tan Ciok-sing berlaku waspada.

   Cepat sekali kedua pihak sudah mendatangi semakin dekat, celakanya Tan dan In berdua kebetulan tiba di jalan pegunungan yang sempit, hanya cukup tiba untuk jalan seekor kuda.

   Baru saja Tan Ciok-sing hendak menyingkir ke gundukan tanah yang lebih tinggi, kedua penunggang kuda ini sudah mencongklang datang lebih dulu.

   Agaknya mereka juga punya maksud yang sama, kuatir saling bertumbukan dengan Tan Ciok-sing berdua.

   Tan Ciok-sing menghela napas lega, tapi waktu dia memandang ke depan, diam-diam dia merasa kuatir bagi kedua orang itu.

   Di lereng bukit di sepanjang jalan sempit itu tumbuh deretan pohon pendek yang rimbun dan dahannya bercabang simpang siur, seakan-akan banyak lengan orang sengaja diulur keluar untuk merintangi jalan orang, jelas peluang untuk lewat amat sempit.

   Dalam keadaan seperti ini, jalan kaki masih leluasa lewat, tapi menunggang kuda salah-salah bisa terjungkel jatuh karena kesabet dahan, paling ringan muka cecel dowel, celaka kalau leher putus atau kepala bocor, maka cara yang paling baik adalah turun dari punggung kuda, menyibak dahan-dahan pohon serta menuntun kuda, Tapi kedua penunggang kuda ini bukan saja mencongklang kudanya, merekapun tidak mau turun.

   Di kala Tan Ciok-sing merasa kuatir, tiba-tiba dilihatnya penebang kayu mengayun kampak yang dipanggulnya, angin menderu kampak bekerja laksana baling-baling, sementara sang kuda masih terus membedal kencang.

   Dahan-dahan pohon yang melintang jalan tampak protol beterbangan, setelah kudanya mencongklang lewat baru dahan-dahan yang terbabat beterbangan itu berhamburan jatuh, karuan Tan Ciok-sing melongo menyaksikan pertunjukan yang menakjubkan ini.

   Kalau penebang kayu membuka jalan dengan caranya yang lucu secara kekerasan ini, adalah pengail ikan juga menggunakan caranya pula yang aneh.

   Terdengar mulutnya mengeluh terus berteriak.

   "Aku berada di belakangmu, kutungan dahan yang berhamburan ini, memangnya sengaja kau ingin kepalaku bocor?"

   Mendadak tubuhnya melejit jumpalitan di atas punggung kuda, joran di tangannya yang panjang itu mendempel sebatang pohon setinggi beberapa tombak, tubuhnya segera terayun seperti pemain akrobatik bermain ayunan, secara beruntun dia berjumpalitan turun naik ke depan, lekas sekali tubuhnya sudah melesat ke depan melampaui daerah yang berbahaya ini, sementara kudanya tetap mencongklang ke depan.

   Begitu dia menarik jorannya, di tengah udara dia jumpalitan sekali lagi lalu melayang turun dan duduk tegak pula di punggung kudanya.

   In San berkata lirih.

   "Joran itu adalah senjatanya yang ternama, benang pancingnya itu entah terbuat dari apa, punya daya tahan sekuat itu."

   "Kau tahu siapa mereka?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Entah,"

   Sahut In San.

   "tapi waktu kecil pernah aku mendengar cerita ayah. Di pinggir sungai Wi-cui terdapat seorang pengail dan penebang kayu, mereka adalah tokoh pengasingan dari bulim, ayah juga tidak tahu siapa nama mereka, mungkin kedua orang inilah."

   "Wi-cui berada di Kam-siok yang mengalir masuk ke Siamsay. Kalau mereka tinggal di pinggir Wi-cui, kalau penduduk Kam-siok pasti kelahiran Siam-say. Untuk apa mereka berada di tempat nan jauh ini?"

   In San tertawa, katanya.

   "Mana aku bisa tahu Tapi satu hal dapat kuduga."

   "Hal apa?"

   "Kira kira sebelum dua jam lagi, di tengah jalan nanti kita bakal ketemu dua orang kosen pula?"

   "Lho, dari mana kau bisa tahu?"

   "Kena tidak tebakanku, biarlah sebentar lagi kita buktikan, tunggu saja."

   Tan Ciok-sing setengah percaya, tapi hatinya masih raguragu, mereka terus melanjutkan perjalanan ke depan.

   Betul juga belum ada setengah jam, dari depan tampak mendatangi pula dua penunggang kuda.

   Penunggangnya adalah laki perempuan, usianya masih muda baru dua puluhan.

   Pakaian perlente kudapun jempolan, yang laki-laki gagah dan tampan, yang perempuan ayu jelita.

   Diam-diam Tan Ciok-sing memuji dalam hati.

   Kalau Tan Ciok-sing memperhatikan mereka, merekapun memperha-tikan Tan Ciok-sing.

   Waktu itu mereka sama berjalan di jalan raya, kuda kedua pihak juga dilarikan sesuka hati.

   Setelah jarak semakin dekat, kedua muda mudi tampak memperlambat lari kudanya, setelah lewat di samping mereka ternyata tidak menunjukkan aksi apa-apa.

   Kira-kira dalam jarak sepanahan kemudian, terdengar lakilaki itu berkata lirih.

   "Harpa yang dipanggul pemuda itu kemungkinan adalah barang antik."

   Tergerak hati Tan Ciok-sing, lekas dia tarik kendali memperlambat jalan kudanya, diam-diam dia pasang kuping mendengarkan percakapan mereka.

   Setelah meyakinkan lwekang ajaran Thio tan hong pendengaran kupingnya tajam luar biasa, dalam jarak seratus tangkah, meski orang bicara bisik-bisik juga sayup-sayup dapat didengarnya.

   Pada hal jarak kedua pihak sekarang belum ada seratus langkah.

   "Darimana kau tahu?"

   Tanya yang perempuan. Yang lelaki berkata.

   "Kotak itu terbuat dari kayu cendana yang sudah berusia ribuan tahun, warnanya memang sudah butut dan luntur, bagi yang tidak tahu mungkin disangka kayu busuk, bagi pecinta seni baru akan tahu bahwa kotak itu betul-betul antik dan tak ternilai harganya. Coba kau pikir, kalau kotaknya saja sebagus itu maka harpa di dalamnya pasti lebih antik lagi. Jikalau rekaanku tidak meleset, kemungkinan yang berada didalam kotak itu adalah Kiau-bwe-khim peninggalan Coa Pah di jaman dynasti Tang-han dulu."

   Harpa warisan keluarga Tan Ciok-sing ini memang Kiaubwe- khim, demikian pula kotak itu memang terbuat dari kayu cendana yang sudah ribuan tahun.

   "Pemuda ini ternyata pandai menilai barang, seorang ahli barang-barang antik,"

   Diam-diam Tan Ciok-sing membatin. Perempuan itu tertawa, katanya.

   "Aku tahu maksudmu, bukankah kau ingin mendengar suara petikan harpa antik ini? Sayang kita harus menempuh perjalanan."

   "Memang,"

   Ujar si pemuda.

   "orang yang bisa memiliki harpa sebagus itu, pasti dia bukan orang sembarangan, sayang kita sedang bertugas, tiada kesempatan berkenalan dengan dia."

   Sampai disini jarak mereka sudah lebih dari seratus langkah, pembicaraan selanjutnya sudah tidak terdengar lagi.

   Maka terdengarlah alunan tiupan suara seruling dari kejauhan, suaranya yang melengking tajam laksana pekik bangau di angkasa raya, lembut dan jernih laksana bergema di udara.

   Bayangan kedua orang itu sudah tidak kelihatan, tapi mereka masih mendengar alunan seruling nan merdu.

   Dapatlah diduga, karena mereka bicara soal harpa antik, maka timbul hasrat si pemuda meniup serulingnya, mungkin juga karena atas permintaan gadis seperjalanan itu.

   "Tiupan seruling pemuda itu bagus bukan?"

   Ucap In San.

   "Bagus sekali. Pengetahuannya mengenai harpa, kurasa belum pernah kutemui seorang ahli seperti dia."

   "Belajar harpa lebih sukar dari seruling, mungkin dia tidak berhasil belajar harpa lalu belajar meniup seruling. Sayang masing-masing pihak punya urusan sendiri, kalau tidak harpa dan seruling kalian dapat berpadu."

   "Pengetahuan pemuda itu mengenai harpa cukup mengejutkanku, tapi kaupun mengejutkan aku pula. Adik San dari mana kau pernah belajar meramal?"

   "Kedua orang itu terhitung jago kosen tidak?"

   Tanya ln San.

   "Jago kosen itu luas artinya, beragam pula macamnya, walau aku tidak tahu berapa tinggi rendah Kungfu kedua orang ini, tapi aku yakin mereka memiliki kepandaian yang cukup baik. Tapi lepas dari soal Kungfu, bahwa pemuda itu selayang pandang saja lantas mengenali Kiau-bwe-khim milikku ini dia sudah termasuk kosen dalam bidang ini. Adik San, kenapa setengah jam sebelumnya tadi kau sudah lantas dapat menduga bahwa kita bakal bertemu lagi dengan kedua orang kosen ini?"

   "Apakah kau tahu adanya peradatan yang dinamakan Patsian- ing-khek?"

   "Maaf pengetahuanku tentang peradatan terlalu cetek, apa itu Pat-sian-ing-khek?"

   "Itulah suatu upacara besar yang agung dan terhormat bagi penyambutan seorang tamu yang sering terjadi di kalangan Kangouw. Tuan rumahnya kalau bukan Ketua dari suatu Pay, Pang atau Hwe, pasti seorang angkatan tua yang tersohor dan mulia. Tapi pamor sang tamu yang diundang adalah lebih terhormat dan kedudukannya lebih tinggi dari tuan rumah sendiri. Peradatan seperti ini kadang kala dinamakan Pat-sian-sau-ing sam-pek-li (delapan dewa menyambut tamu tiga ratus li)."

   Tan Ciok-sing manggut, katanya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "O, jadi delapan jago kosen yang pernah kita pergoki tadi kiranya adalah delapan dewa yang diartikan dalam peradatan Pat-sian-ing-khek ini? Entah mereka mewakili tokoh besar mana untuk menyambut tamu agung ini?"

   "Betul, delapan orang ini adalah petugas yang. menyambut tamu agung itu. Menurut peraturan mereka terbagi empat pasang dari tempat jauh untuk menyambut tamu. Kita sudah bertemu enam orang, kuduga masih ada dua lagi di belakang."

   Diam-diam Tan Ciok-sing kaget, katanya.

   "Delapan orang ini semua adalah jago-jago kosen, lalu siapakah tuan rumahnya, begini banyak jago kosen yang rela menjadi pembantunya?"

   "Kau salah. Delapan orang ini belum tentu pasti anak buah sang tuan rumah itu, apalagi kau artikan ditugaskan, itu tidak benar."

   "Memangnya apa hubungan mereka dengan si tuan rumah?"

   "Kemungkinan merekapun para tamu yang datang, demi menunjukkan rasa hormat dan mau memberi muka kepada si tuan rumah dan tamu yang harus disambut itu, maka mereka suka rela menampilkan diri sebagai penyambut tamu."

   "Adik San, banyak juga urusan yang kau ketahui,"

   Puji Tan Ciok-sing.

   "Bukan aku yang tahu banyak, semua ini kudengar dari cerita ayah. Dulu waktu aku berusia tiga tahun, di rumahku pernah juga terjadi keramaian adanya peradatan Pat-sian-ingkhek (delapan dewa menyambut tamu) ini. Tahun itu kakek merayakan ulang tahunnya yang ke 61, murid tertua Thio Tayhiap Thio Tan-hong yaitu cikal bakal Thian-san-pay Toh Thian-tok juga datang, Kim-to Cecu juga pernah mewakili ayah menjadi salah satu dari delapan dewa itu menyambut kedatangannya. Sayang, waktu itu aku masih kecil, tahunya hanya suka melihat keramaian. Lika liku sebenarnya dari tata cara itu baru kuketahui dari cerita ayah setelah aku menanjak dewasa,"

   Sampai disini mendadak dia cekikikan. Tan Ciok-sing melongo, tanyanya.

   "Adik San, apa yang kau tertawakan?"

   "Thio Tayhiap adalah famili yang lebih tua dua angkatan dari aku, kau adalah muridnya, jadi kau lebih tinggi seangkatan dari aku. Ciangbunjin Thian-san-pay Toh Thian-tok adalah Suhengmu. Kalau dahulu untuk menyambut kedatangan Toh Thian-tok, keluargaku menggunakan upacara Pat-sian-ing-khek, pada hal kau adalah Sutenya, kedudukan setingkat, sayang sekali waktu kau datang ke rumahku, waktunya tidak tepat, bukan saja tiada yang menyambutmu, malah hampir saja kau dihajar habis-habisan."

   Tan Ciok-sing tertawa geli, katanya.

   "Masa aku dibanding Toh-suheng? Aku adalah murid penutup Suhu, jauh sebelum aku berguru Toh-suheng sudah menjadi cikal bakal dari suatu perguruan besar."

   "Untung peraturan Kangouw memang cukup bebas dan menurut kondisi masing-masing, kalau tidak..."

   "Kalau tidak kenapa?"

   Merah muka.In San, tapi dia tidak mau bicara lagi. Ternyata dia berpikir begini.

   "Kalau harus menurut adat dan perbedaan angkatan, selanjutnya aku takkan boleh bergaul lagi dengan kau."

   Tan Ciok-sing juga tidak mendesak lebih lanjut, dia diam saja sambil menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang dipikirkan.

   "Eh, apa yang sedang kau pikirkan?"

   Tanya In San.

   "Tadi kau bilang delapan dewa menyambut tamu tiga ratus li? Dari Kwi-lin sampai Ling-kik kira-kira dua ratus li, bila diteruskan memasuki daerah Ouw-lam, kira-kira memang mencapai tiga ratusan li."

   "O, jadi maksudmu mau bilang bahwa si tuan rumah itu kemungkinan bertempat tinggal di Kwi-lin?"

   "Aku hanya menduga saja. Tapi tokoh besar di Kwi-lin yang setimpal menggunakan peradatan Pat-sian-ing-khek hanya Itcu- king-thian Lui Ting-gak saja."

   "Aku tahu maksudmu. Dahulu Lui Tin-gak membakar rumah lalu tinggal pergi, pasti ada sebabnya. Kini berita tersebar luas bahwa dia akan kembali, tapi kuduga kedatangannya kembali ke rumah ini pasti tidak ingin disiarkan. Kalau tidak buat apa dahulu dia harus menghilang secara misterius?"

   "Maka itu, mau tidak mau aku jadi curiga siapakah si tuan rumah ini, sungguh aku tidak habis mengerti."

   "Besok juga kita tiba di Kwi-lin, teka teki ini pasti terjawab disana."

   Dirundung berbagai pertanyaan itu kedua orang ini melanjutkan perjalanan, memang setelah kejadian Pat-sian ini, selanjutnya mereka tidak pernah bertemu dengan "jago kosen"

   Lagi. Kuda mereka lari kencang, kira-kira menjelang lohor hari kedua, kota Kwi-lin yang megah dan paling tersohor di bilangan selatan ini sudah kelihatan di kejauhan. Sebelum matahari terbenam mereka sudah tiba di Kwi-lin. Kata Tan Ciok-sing.

   "Kita cari penginapan diluar pintu timur bagaimana? Rumahku dulu terletak di bawah Cit-sing-giam diluar pintu timur itu."

   "Kau tidak usah tanya aku, kembali ke kota kelahiranmu, kau adalah tuan rumah, segalanya terserah kau yang mengatur."

   Tan Ciok-sing menemukan sebuah hotel kecil yang terletak di samping Hoa-kio diluar pintu timur, empat tahun yang lalu, setiap hari Tan Ciok-sing pasti lewat di depan hotel ini memanggul kepis, dia masih kenal baik pemilik hotel ini, tapi dia sudah tidak mengenalnya lagi, maklum dulu dia hanyalah bocah kampung yang kecil dan berpakaian rombeng, sudah tentu pemilik hotel ini tak pernah memperhatikan dirinya.

   Dengan berseri tawa pemilik hotel ini menyambut kedatangan mereka, In San minta dua kamar yang berdampingan.

   Setelah makan malam, haripun sudah petang.

   Tan Cioksing ajak In San jalan-jalan ke Hoa-kio (jembatan kembang) terus menuju ke Po-tho-san.

   Cit-sing-giam terletak di kaki Potho- san.

   Sementara rumah tinggalnya dulu berada di bawah Cit-sing-giam.

   Setiba di letak rumahnya dulu, tampak puing-puing rumahnya sudah tak karuan, rumput liar menjadikan halaman rumahnya semak-semak belukar.

   Menghadapi puing-puing rumahnya, terbayang dahulu kakeknya mengajarkan memetik harpa, tanpa terasa hati duka nestapa, tanpa kuasa air mata bercucuran.

   Dengan pilu In San berkata lirih.

   "Rumahmu hancur, rumahkupun berantakan. Tapi kita masih bisa membangun lagi sebuah rumah, aku amat suka tempat ini, kelak kita bisa mendirikan pula sebuah rumah di tempat yang lama ini."

   Berdebur jantung Tan Ciok-sing, katanya.

   "Apa betul kau punya keinginan itu?"

   In San manggut-manggut.

   "Baiklah kalau begitu,"

   Teriak Tan Ciok-sing tertawa.

   "Adik San, banyak terima kasih padamu?"

   "Terima kasih apa?"

   "Terima kasih bahwa kau sudi membangun sebuah rumah pula bersamaku."

   Merah muka In San selanjutnya dia bungkam.

   "Patah tumbuh hilang berganti, yang lama rusak baru akan diganti yang baru, tak perlu kita terlalu berkeluh kesah di tempat ini."

   Baru saja dia hendak ajak pergi, tiba-tiba In San berkata.

   "Eh, tempat aku berdiri ini, kenapa tanahnya terasa lunak."

   Waktu Tan Ciok-sing menyingkirkan pecahan genteng dan sisa kayu terbakar, tampak disitu, ada bekas-bekas galian. Setelah diperiksa dengan teliti, bekas-bekas galian itu ternyata ada beberapa tempat. Sejenak Tan Ciok-sing menepekur, katanya.

   "Agaknya dalam dua tiga hari yang lalu, ada orang pernah datang kemari."

   Waktu In San membongkar tanah bekas galian, di dalamnya ternyata memang berlobang, agaknya setelah menggali tanah orang itu hanya menguruknya dengan pecahan genteng dan sisa-sisa tanah di sekitarnya, supaya kelihatan tertutup saja, hatinya heran, katanya.

   "Orang itu menggali tanah di bekas puing-puing ini apa sih kerjanya?"

   Sesaat pula Tan Ciok-sing berpikir, katanya kemudian.

   "Jelas dia sedang mencari kotak milik ayahmu itu, didalam kotak itu tersimpan ajaran ilmu goloknya dan Kiam-boh karya Suhuku."

   "Buku pelajaran ilmu golok itukan sudah kau kembalikan kepadaku."

   "Tapi orang itu tidak tahu."

   "Kalau begitu dia bukan utusan bangsat she Liong itu? keponakan keparat she Liong itu pernah merebut kotak itu, dia kan tahu akan hal ini."

   "Betul, kemungkinan rombongan orang lain. Kemungkinan mereka tidak tahu bahwa rumah ini aku sendiri yang membakarnya. Mereka kira aku ikut mati terbakar didalam rumah."

   "Kalau demikian, aku yakin mereka pasti akan datang pula. Karena mereka hanya menggali beberapa tempat ini, belum lagi membongkar puing-puing didalam rumah itu."

   "Marilah kita pergi ke pusara ayahmu dan kakekku, setelah kita memindahkan tulang belulang beliau, nanti kentongan ketiga kita kemari lagi."

   Tan Ciok-sing sudah siapkan dua guci ukuran sedang untuk tempat abu.

   "Betul, setelah selesai mengerjakan urusan ini, kembali dulu ke hotel. Kentongan ketiga nanti diam-diam kita kemari dan menunggu disini. Aku ingin tahu siapa mereka."

   Hari sudah semakin gelap.

   Tan Ciok-sing mempercepat langkah membawa In San ke belakang gunung, di suatu tempat yang sepi dan sembunyi, sekelilingnya adalah batu karang yang berserakan, kebetulan di tengah-tengah lingkaran batu-batu karang ini terdapat sebidang tanah datar dan kosong, hanya Ciok-sing saja yang tahu akan tempat ini.

   Kata Tan Ciok-sing.

   "Malam itu secara tergesa-gesa aku mengebumikan kakek dan ayahmu di tempat ini, tak lama kemudian lantas kudengar Tam Tayhiap dikejar oleh kawanan berandal."

   Hati sedih air matapun bercucuran, In San berkata.

   "Kematian ayah terlalu mengenaskan, tapi aku tidak tahu. Baru sekarang aku dapat kemari bersembahyang. Tan-toako, banyak terima kasih padamu. Lebih menyedihkan lagi kakekmu ikut ajal karenanya."

   "Jenazah mereka kukebumikan di satu tempat, tapi aku ada memberi tanda, takkan bisa keliru, lalu dia memasuki sela-sela batu, lompat sana putar sini turun naik sekian lamanya, sembari jalan dia memberi petunjuk kepada In San, tak lama kemudian merekapun tiba di tempat tujuan. Begitu tiba di tanah lapang, pandangan kedua orang seketika sama terkesima. Hari memang sudah petang, tapi mentari yang terbenam masih memancarkan sisa cahayanya, maka jelas sekali kelihatan di tanah lapang ini terdapat dua gundukan tanah sebagai kuburan. Tan Ciok-sing hampir tidak percaya pada apa yang disaksikan ini, lekas dia memburu maju serta melihat lebih jelas, ternyata betul kedua kuburan ini memang adalah pusara kakeknya dan ayah In San. Kedua pusara ini dibangun dan dipelihara baik sekali, di depannya malah dipasang batu nisan lagi, batu nisan di sebelah kiri bertuliskan "Pusara pendekar besar In Hou"

   Sementara batu nisan sebelah kanan berukir huruf-huruf "Pusara ahli harpa Tan Hou-lu."

   Malam itu Tan Ciok-sing mengebumikan jenazah kedua orang secara sederhana tanpa layon pula, karena tergesagesa dia hanya memberi tanda tertentu saja terus melarikan diri.

   Tanda yang dibuat dulu sudah tiada, tapi kuburan disini telah dibangun sebaik ini.

   "Siapakah yang berhati sebaik ini, sudi membangun pusara ini? Memangnya aku sedang mimpi?"

   Waktu dia gigit jari rasanya sakit, jelas ini bukan mimpi. In San bertanya dengan suara lirih.

   "Nama Tan Hou-lu yang terukir di atas nisan itu, apakah kakekmu?"

   "Ya, kakek menamakan dirinya Khim-ang (Ki Harpa), tapi orang lain memanggilnya Sian-khim (Dewa Harpa) tapi nama aslinya adalah Hou-lu. Nama ini dipakai di waktu masih muda, jarang yang tahu akan nama ini. Akupun tidak diberi tahu. Suatu hari aku membalik buku pelajaran memetik harpa karya kakek, kulihat di atas buku ada tertera cap namanya, setelah kutanyakan baru aku tahu itulah nama aslinya yang sudah lama tak terpakai."

   "Kalau demikian, orang yang membangun pusara ini pasti adalah kawan dekat kakekmu."

   "Betul, kalau tidak bisa tahu nama asli kakekku."

   "Lalu siapa gerangan orang itu menurut rekaanmu?"

   "Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kakek punya seorang kenalan lama bernama Khu Ti. Khu Thi ini dulu pernah sekolega bersama kakekmu didalam pasukan Gi-Iim-kun."

   "Aku juga tahu akan orang ini, ayah pernah bicara tentang dia kepadaku. Tapi dia sudah lama menghilang dari kalangan Kangouw."

   Tan Ciok-sing lantas ceritakan pertemuannya dengan Khu Ti di kedai minum serta pertolongan orang akan dirinya waktu dikeroyok Huwan bersaudara.

   Sebetulnya dalam benaknya sudah membayangkan seseorang, tapi orang ini sejauh ini masih merupakan tanda tanya bagi sanubarinya, entah dia kawan atau lawan, karena itu hal ini tidak ingin dia bicarakan dengan In San.

   In San berkata.

   "Semula aku sudah ingin memindah tulang belulang ayah kembali ke kampung halaman, tapi rumahku di Tay-tong terbakar habis, syukur ada orang yang baik hati membangunkan pusara ini, biarlah beliau selanjutnya beristirahat selamanya disini saja. Tan-toako, bagaimana menurut pendapatmu?"

   "Semasa -hidup kakek senang tinggal di tempat ini, aku kembali hanya ingin memperbaiki pusaranya ini dan sembahyang saja. Lebih baik kalau kita tidak usah bcrsusah payah lagi."

   "Sayang kita tidak tahu siapa orang itu, sukar kita menyampaikan terima kasih padanya, hal ini biar kita tunda dulu untuk membalas kebaikannya,"

   Teringat ayah bunda sudah tiada, tanpa kuasa In San berlutut dan menyembah di depan pusara ayahnya serta menangis gerung-gerung.

   "Ayah, ada satu hal perlu kuberitahu kepadamu, ibu sudah insaf dan mengakui kesalahannya dan kembali ke rumah keluarga In kita. Dia meninggal dalam pelukan putrimu, sayang jaraknya jauh, maka penguburan bersama kemari biar kutunda untuk beberapa lama lagi. Tapi ayah, inilah kejadian yang menimbulkan penyesalan paling besar di masa hidupmu, kini segalanya sudah kujelaskan, semoga di alam baka hatimu terhibur dan tentram,"

   Begitulah sambil terisak-isak In San memanjatkan doa kepada ayahnya. Tan Ciok-sing tidak menangis, tapi rasa duka takkan terlampias meski dia menangis gerung-gerung. Dia berlutut di depan pusara kakeknya lalu harpa warisan dia keluarkan katanya.

   "Kek, sebelum mangkat, engkau mengajarkan Khong-ling-san kepadaku, sekarang biarlah kupetik lagu itu untuk kau dengar."

   Waktu itu hari sudah betul-betul petang, kaum pelancongan jelas sudah sama-sama pulang tak mungkin ada orang masih berada di sekitar situ.

   Maka Tan Ciok-sing tidak perlu kuatir bila petikan harpanya didengar orang, setelah menyetem senarnya, mulailah dia memetik lagu Khong-lingsan.

   Lagu bagian depan dari Khong-ling-san adalah irama yang riang gembira, perasaan Tan Ciok-sing diliputi rasa kenangan di masa kecilnya yang hidup senang, maka pantulan irama harpanya seperti menggambarkan makna kebahagiaan keluarga, seolah-olah sekeluarga berkumpul menari menyanyi dengan suka ria sambil bertepuk dan bersorak.

   In San yang masih sesenggukan tanpa terasa menyeka air mata serta mendengarkan dengan seksama.

   Di kala dia mendengarkan dengan penuh perhatian, di kala irama Khong-ling-san hampir berganti nada, mendadak terdengar suara "Crang creng"

   Dari petikan senar gitar yang menusuk pendengaran, sehingga ritme-ritme Khong-ling-san yang dibawakan oleh petikan harpa Tan Ciok-sing menjadi kacau.

   Keruan Tan Ciok-sing kaget, segera dia menghentikan mainannya.

   Terdengar suara seorang yang seperti dikenalnya berkata.

   "Eh mungkin Tan Khim-ang belum mati. Kecuali Ki Harpa itu siapa pula yang bisa memetik harpa sebagus ini?"

   Seorang lagi berkata.

   "Para saudara Tok-liong-pang ada yang menyaksikan sendiri kematian Khim-ang, hal ini jelas takkan salah,"

   Suara orang ini juga seperti pernah didengarnya entah dimana. Orang ketiga malah membentak.

   "Siapa memetik harpa disini, hayo lekas keluar,"

   Suaranya juga seperti sudah dikenal.

   Ternyata dihadapan mereka hanya tampak batu-batu gunung yang berserakan serta berlapis-lapis, hakikatnya mereka tidak tahu bila di antara sela-sela batu yang berserakan itu ada jalanan yang bisa tembus kedalam, sudah tentu tak terbayang juga oleh mereka kalau di tengah batu berserakan itu berbeda pula keadaannya.

   Orang keempat terdengar berkata.

   "Kau bilang kuburan Tan Khim-ang dan In Hou ada disini, kenapa tidak kelihatan?"

   Orang kelima menjawab.

   "Aku dengar dari mulut seorang sanak keluarga Lui, tapi dia juga tidak tahu letaknya yang tepat, dia hanya tahu berada di sekitar daerah ini."

   Suara kedua orang masih asing bagi pendengaran Tan Ciok-sing. Orang yang bicara pertama tadi berkata pula.

   "Suara harpa kumandang dari arah sini maka pemetik harpa itu pasti ada di sekitar sini, hayo kita geledah."

   Seketika Tan Ciok-sing teringat akan suara orang ini, serta merta matanya mencorong membayangkan nafsu membunuh.

   "Siapakah mereka?"

   Tanya In San lirih. Tan Ciok-sing berbisik di pinggir telinganya.

   "Musuh-musuh kita. Dua orang terakhir aku tidak tahu siapa dia. Yang bicara pertama tadi adalah Thi-bi-pa Siang Po-san, bersama Le Khong-thian, hari itu mereka menjebak dan membokong ayahmu di Cit-sing-giam. Tiga tahun lalu Le Khong-thian sudah mati di tangan Suhu. Orang kedua adalah Thi-ciang Siansu, murid murtad dari Siau-lim, gelarnya yang semula adalah Ciau-khong. Orang ketiga adalah kepala brandal yang pernah kulabrak di Ang-wa-poh, bernama Phoa Lat-hong, Kuda putih milik Kanglam Lihiap Ciong Bin-siu dulu pernah dibegal olehnya, belakangan berhasil kurebut kembali."

   Terdengar orang keempat tadi membentak.

   "Kusuruh kau menunjuk jalan, kenapa masih berdiri saja?"

   Dengan suara gemetar dan tergagap orang kelima menjawab.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Thi pangcu, kau, ada yang tidak kau ketahui..."

   Yang dipanggil Thi-pangcu berkata.

   "Apa yang tidak kuketahui?"

   "Menurut cerita orang tua dari keluarga Lui itu, It-cu-kingthian pernah mengeluarkan perintah larangan, siapa berani merusak atau membongkar kuburan In Hou dan Tan Khimang, dia bersumpah akan membunuhnya. Siapa saja sebelum memperoleh izinnya dilarang berada di sekitar sini, kalau sampai diketahui kedua kaki orang itu akan dipatahkan. Jangan kata aku memang tidak tahu dimana letak kuburan itu, umpama tahu, aku, aku..."

   Thi-pangcu itu menjengek.

   "Kau tidak berani menunjukan tempatnya kepada kami, begitu?"

   Orang kelima itu menjawab takut-takut.

   "Kau orang tua tahu, kepandaianku macam cakar ayam ini betapa berani mencari perkara kepada It-cu-king-thian. Aku hanya bisa membawa kalian sampai disini, kalau mau menggeledah dan mencari silakan cari sendiri. Aku belum menginjak lingkaran kuburan itu, berarti aku belum melanggar larangan It-cu-kingthian."

   "Gentong nasi,"

   Damprat Thi-pangcu itu.

   "Baiklah, kau tidak berani cari perkara pada It- cu-king-thian, lekas kau kembali saja, tak perlu kau bantu kami. Aku justru ingin cari gara-gara pada It-cu-king-thian. Hm, It-cu-king-thian dan Tam Pa-kun telah membunuh Engkohku, dendam sakit hati ini aku bersumpah akan membalasnya."

   Mendengar sampai disini Tan Ciok-sing lantas paham, katanya lirih.

   "Orang keempat ini adalah pejabat Pangcu baru dari Tok-liong-pang. Pangcu yang lama bernama Thi Ou. Waktu Tam Tayhiap datang terlambat dalam perjanjiannya dengan ayahmu, dia terjebak dan dibokong oleh kawanan Tok-liong-pang di Cit-sing-giam, waktu itu It-cu-king-thian bersama mereka. Kejadian lebih lanjut waktu itu tidak kusaksikan, tapi dari nada Thi-pangcu yang satu ini, agaknya Thi Ou malah dibunuh oleh It-cu-king-thian dan menolong Tam Tayhiap."

   "It-cu-king-thian adalah pendekar besar yang dipercaya oleh ayah bundaku, kini kau dengar sendiri pembicaraan mereka, tentunya rasa curigaku terhadapnya tidak beralasan lagi?"

   Lalu dia menambahkan pula.

   "Jadi orang kelimapun sudah dapat diterka, dia penduduk setempat yang kebetulan kenal dengan seorang tua dulu membantu kerja di rumah keluarga Lui."

   "Agaknya mereka mulai bergerak ke arah sini,"

   Demikian bisik In San.

   "Batu-batu gunung berserakan disini berlapis dan bersusun, tak ubahnya Pat-tin-toh ciptaan Cukat Liang yang tersohor di jaman Sam Kok dulu tanpa seorang petunjuk jalan yang tahu seluk beluk daerah ini, untuk menemukan tempat ini kukira memakan waktu cukup lama, tapi kita tetap harus berjagajaga."

   Terdengar Thi-pangcu itu berkata pula.

   "Tan Khim-ang jelas takkan hidup kembali dari liang kuburnya, tapi pemetik harpa pasti punya sangkut paut yang erat dengan Tan Khimang itu, kalau tidak salah terkaanku, tadi dia sedang memetik harpa di depan pusara Tan Khim-ang."

   "Konon It-cu-king-thian sudah pulang ke Kwi-lin secara diam-diam, aku terima kabar dari rumah keluarga Liong, yakin kabar ini tidak akan salah,"

   Demikian timbrung Thi-ciang Siansu. Phoa Lat-hong ikut menyeletuk.

   "Kalau orang itu memetik harpa di depan kuburan Tan Khim-ang, dia bisa menemukan letak kuburan itu, maka dia pasti tahu dimana sekarang It-cuking- thian menyembunyikan diri?"

   "Betul,"

   Ucap Thi-pangcu.

   "maka itu kita harus bekuk dulu bocah itu."

   "Sayang tadi kita keburu nafsu, sekarang bocah itu tak berani memetik harpanya lagi,"

   Demikian kata Thi-ciang Siansu.

   "Aku punya akal untuk memancingnya keluar,"

   Demikian timbrung Siang Po-san.

   Kembali dia petik senar gitarnya.

   Suara gitar ini menusuk telinga dan tidak enak didengar, kontan In San merasa hati tidak karuan rasanya seakan-akan sukmanya hendak tersedot keluar dari raganya.

   Karuan dia kaget, lekas mengerahkan lwekang serta menghimpun semangat, katanya.

   "Kenapa petikan gitar orang ini begini jelek."

   Karena Tan Ciok-sing meyakinkan lwekang ajaran Thio Tan-hong maka dia tidak merasa apa-apa, katanya.

   "Inilah ilmu tunggal dari Gitar Besi, waktu berhadapan dengan musuh, dengan petikan gitarnya itu dia berusaha menggoyahkan pikiran dan meruntuhkan semangat lawan. Tapi kepandaian dari aliran sesat ini, asal kau sendiri menenangkan hati dan pikiran, anggap saja tidak mendengarnya, dia tidak akan mempengaruhi dirimu."

   "Walau demikian, amat menyebalkan juga,"

   Kata In San.

   "Memang tidak boleh dibiarkan,"

   Demikian kata Tan Cioksing.

   "beruntung musuh datang sendiri, memangnya kita harus biarkan mereka lari? Marilah kau ikut aku, kita berputar dari arah lain mencegat jalan mundur mereka, lalu disergap sebelum mereka siaga,"

   Mereka lalu menggeremet keluar dari arah belakang melalui semak dan sela batu terus berputar satu lingkaran, kini keempat gembong iblis ini sudah berada di depan mereka, walau kepala mereka celingukan kian kemari, tapi masih belum juga menemukan jejak mereka.

   Adalah laki-laki penunjuk jalan tadi masih ragu-ragu berdiri di tempatnya, mundur maju susah dia mengambil keputusan.

   Dia tahu Thi-pangcu sudah marah, tapi dia juga tidak berani melanggar larangan It-cu-king-thian, terpaksa dia tetap berdiri saja di kejauhan, maka waktu Tan dan In berdua muncul, dia lantas melihatnya lebih dulu? Karuan laki-laki ini amat kaget, tanpa sadar mendadak dia menjerit.

   In San lebih cermat, segera dia pikir hendak menawan lakilaki ini untuk dimintai keterangannya, lekas dia menjentikan jari menimpuk sekeping uang.

   Kepandaian orang ini jelas amat rendah, mana dia mampu menghindar dari serangan senjata gelap In San? Belum lagi mulutnya terkatup, hiat-tonya telah tersambit telak, kontan dia jatuh terus menggelundung ke bawah sana.

   Tapi jeritannya tadi telah mengundang perhatian keempat gembong iblis itu, serempak mereka menoleh dengan kaget.

   Phoa Lat-hong kepala berandal itu segera mengenali Tan Cioksing bentaknya.

   "Bagus sekali, kiranya kau bocah ini."

   Tan Ciok-sing kenal Siang Posan tapi sebaliknya dia tidak kenal Ciok-sing, tanyanya kepada Phoa Lat-hong.

   "Siapa bocah ini?"

   "Bocah yang merebut kuda putihku di Ang wa-poh itu,"

   Sahut Phoa Lat-hong. Agaknya peristiwa itu sudah diceritakan kepada teman-temannya ini. Diam-diam Siang Po-san kaget, tapi mulutnya bergelak tawa, katanya.

   "Tapi kebetulan malah dia kemari, sekarang dia tidak membawa kuda, jangan harap dia bisa lolos dari tangan kita."

   In San tertawa dingin, katanya.

   "Apa betul kuda putih itu milikmu? Tidak tahu malu. Hihi, kau takut kami melarikan diri, sebaliknya kami yang kuatir kau melarikan diri."

   Ternyata Thi-ciang Siansu juga sudah mengenali Tan Cioksing, tiga tahun yang lalu perjalanan Tan Ciok-sing menuju ke Ciok-lin, pernah dia kebentur Raja Golok Ie Cun-hong yang membentuk barisan golok mengepung Hek-pek-moko seperti diketahui Thi-ciang Siansu ini adalah pembantu Ie Cun-hong yang paling diandalkan, tapi kejadian sudah tiga tahun yang lampau, kini Tan Ciok-sing sudah dewasa, pakaiannyapun tidak sebutut dulu, tapi dia memperhatikan harpa antik yang digendong Tan Ciok-sing, maka segera dia mengenalnya.

   Begitu mengenali dia, Thi-ciang Siansu seperti ketiban rejeki nomplok, serunya tertawa riang.

   "Tuhan memang Maha pemurah, agaknya kita bakal diberi hadiah barang pusaka."

   Thi-pangcu bertanya.

   "Masakah bocah ini membawa pusaka apa?"

   "Dia membawa golok In Hou, bukan mustahil buku pelajaran ilmu goloknya itu juga berada padanya. Dan lagi harpa kuno yang digendongnya itu, menurut apa yang kuketahui, dulu Hek-pek-moko juga pernah mengincarnya. Benda yang dapat menarik perhatian Hek-pek-moko, dapatlah dibayangkan pasti barang pusaka yang berharga."

   Siang Po-san berpikir sejenak, katanya kemudian.

   "Tan Khim-ang memang punya seorang cucu, setelah Tan Khim-ang mati, jejaknya menghilang entah kemana. Kalau kuburan Tan Khim-ang ada disini, bocah ini membawa harpanya pula, kebetulan tadi memetik lagu pula di depan kuburannya, mungkin dia inilah cucunya itu."

   "Lalu apa pula yang kita tunggu,"

   Seru Thi-pangcu.

   "hayo bekuk bocah ini,"

   Lalu beramai mereka memburu ke bawah, jarak mereka semakin dekat. Thi-ciang Siansu berlari paling depan, tongkat besinya sebesar mulut mangkok itu lantas diayunnya sambil menghardik.

   "Anak bagus, lekas serahkan golok pusaka milik In Hou, nanti jiwamu kuampuni,"

   Tongkatnya itu segera menjojoh ke dada Tan Ciok-sing.

   "Jangan kau salah mencari orang,"

   Tukas In San tertawa.

   "golok In Tayhiap berada padaku. Tapi, aku tak boleh serahkan padamu."

   In San masih berpakaian laki-laki, dasar goblok dan kasar Thi-ciang Siansu masih belum dapat membedakan dirinya, bentaknya.

   "Siapa kau? Hm, hm, peduli siapa kau, golok berada di tanganmu, lekas serahkan, kalau tidak kusikat nyawamu."

   "Bicara memang gampang, coba saja kalau mampu,"

   Tantang In San tertawa.

   Thi-ciang Siansu memang Hwesio buas yang suka membunuh korbannya, karuan dia berjingkrak gusar, segera dia menubruk maju seraya mengayun tongkat terus mengemplang ke batok kepala In San.

   Siang Po-san lebih hati-hati, lekas dia berteriak.

   "Thi-ciang Suheng, jangan kau membunuhnya, kulihat anak perempuan ini punya asal-usul,"

   Kiranya dia sudah tahu akan samaran In San. Belum habis dia bicara mendadak dilihatnya dua larik cahaya pelangi melambung bersama. Ternyata kuatir In San kecundang tanpa berjanji Tan Ciok-sing berebut maju hendak bantu menangkis lawan. Bentaknya.

   "Kalian maju bersama saja, berapa jumlah kalian, kita tetap akan bersatu padu,"

   Karena dia harus bergabung dengan In San, maka dia memberi suara dulu supaya tidak melanggar aturan Kangouw. Thi-pangcu tertawa besar, katanya.

   "Dua bocah yang masih berbau bawang juga berani ugal-ugalan di hadapanku,"

   Dia kira tongkat baja Thi-ciang Siansu seberat enam puluhan kati itu sudah lebih dari cukup untuk menghancur leburkan kedua bocah ingusan ini? Tak nyana akibatnya justru jauh berada diluar perhitungannya.

   Dalam sekejap itu sebelum perkataan Thi-pangcu lenyap suaranya, terdengar dering nyaring benturan senjata keras, kembang apipun berpijar.

   Terdengar In San berkata dengan tertawa.

   "Golok pusaka tidak akan kuberikan, biarlah kau rasakan dulu keliehayan pedang pusaka ini, asal kau mampu boleh kau mengambilnya dari tanganku."

   Walau Thi-ciang Siansu jago kosen yang memperoleh ajaran mumi dari Siau-lim, betapapun dia takkan kuat menghadapi perbawa gabungan permainan sepasang pedang.

   Di tengah pijaran kembang api, tampak dia tergetar mundur beberapa langkah, waktu menunduk dilihatnya tongkatnya tergores dan gumpil sedikit.

   Kalau Thi-ciang Siansu gusar, kaget dan malu, Tan dan In juga sama-sama terkejut.

   Maklum pedang pusaka mereka mampu mengiris besi seperti merajang sayur, kalau tenaga dalam Thi-ciang Siansu tidak lebih unggul dari mereka, tongkatnya itu pasti sudah kutung.

   Telapak tangan In San kesemutan dan linu, pikirnya.

   "Masih ada tiga gembong iblis belum lagi terjun ke arena, mungkin aku takkan kuat melawan secara kekerasan."

   Thi-pangcu berada di belakang Thi-ciang Siansu, melihat kesudahan gebrak pertama ini diapun terkejut, sekali timpuk dia lepaskan tiga batang Tok-liong-cui.

   Sebagai adik kandung Thi Ou, Pangcu terdahulu dan pendiri Tok-liong-pang, dia bernama Thi Khong, tapi kepandaiannya ternyata jauh lebih tinggi dari sang Engkoh.

   Tiga batang Tok-liong-cui yang meluncur datang ini ternyata membawa kesiur angin yang berbau amis memualkan.

   Tan Ciok-sing gusar, serunya.

   "Senjata rahasia yang ganas, kami tidak mau, nih kukembalikan,"

   Begitu Siang-kiam-happik, jalan pikiran dan maksud hati mereka cocok satu sama yang lain, serempak mereka sama mengembangkan jurus Hing-hun-toan-hong, di bawah libatan dua larik pelangi yang menggulung dan menolak, ketiga batang Tok-liong-cui itu seketika patah jadi enam potong, celaka adalah ke enam potongan senjata rahasia ini diritul kembali ke arah pemiliknya.

   Karuan kejut Thi Khong bukan main, lekas dia menjatuhkan diri sambil menggelundung kesana beberapa tombak.

   Meski keadaannya amat lucu dan mengenaskan, tapi masih untung karena tidak terluka oleh senjata rahasia sendiri.

   Permainan pedang Tan Ciok-sing memang amat menakjubkan, tenaga yang dikerahkan juga diperhitungkan, begitu tiga senjata yang diritul balik itu jatuh di tanah, sisa lagi kutungan yang lain tiba-tiba terbang membelok di tengah udara, mendadak melesat ke muka Thi-ciang Siansu.

   Lekas Thi-ciang Siansu menyembunyikan kepala sambil mengkeret leher seperti bulus, berbareng tongkat dia angkat tegak berdiri.

   "Tring, tring, iring"

   Ketiga kutungan senjata rahasia itu beruntun dapat ditangkisnya jatuh.

   Tak urung hidungnya mengendus bau amis, hampir saja dia tumpah-tumpah, keringat dingin membasahi jubahnya.

   Sesuai dengan namanya Tok-liong-pang ternyata pandai menggunakan racun, sebagai Pangcu maka senjata rahasia yang dipergunakan Thi Khong ternyata dilumur racun jahat, Tok-liong-cuinya ini malah dilumuri tujuh jenis racun yang jahat.

   Baru saja pertempuran di mulai, Siang Po-san yang cukup cerdik tak mau terjun langsung ke arena, diluar kalangan segera dia memetik gitarnya, suaranya yang jelek dan menusuk perasaan ini memang maksudnya hendak mengaburkan pertahanan lawan.

   Lwekang Ciok-sing tinggi, dia mahir teori musik menguasai permainan, keadaannya masih baik, tapi lain dengan In San, dia sudah hampir tidak kuat lagi, hatinya menjadi kalut.

   Sehingga permainan Siang-kiam-happik terganggu dan kurang serasi, menunjukkan beberapa titik kelemahan, kembali senjata rahasia Thi Khong menyusul masuk kedalam lingkaran, kali ini dia menimpuk dengan tiga batang paku penembus tulang.

   Dengan jurus Khong-ciok-kay-ping Pek-hong-kiam menggaris ke tengah udara, ketiga paku beracun itu seketika hancur berhamburan di tengah pelintiran cahaya pedang.

   Tapi permainannya ini hanya membantu In San menangkis senjata rahasia, sehingga gerakan pedang In San tak bisa kerja sama dengan baik.

   Kesempatan baik ini dimanfaatkan oleh Siang Po-san, lekas gitarnya diayun membelah ke tengah sehingga kedua orang ini dipisahkan.

   Serempak Thi-ciang Siansu dan Phoa Lat-hong menyergap maju dari kiri kanan, yang dicecar adalah In San.

   "Sret"

   Pedang Tan Ciok-sing menusuk kesana, tapi pedangnya tertangkis oleh gitar Siang Po-san.

   Karena terganggu oleh suara gitar sehingga pikiran kacau permainan In San pun ikut terganggu.

   Untung Tan Ciok-sing cukup siaga dan bertindak tepat, mendadak dia melancarkan dua jurus permainan pedang dari ajaran Bu-bing-kiam-hoat untuk menambal lobang kelemahan yang diperlihatkan In San.

   "Adik San, jangan hiraukan suara gitarnya,"

   Tan Ciok-sing memperingatkan.

   Tapi In San sendiri memang belum punya ketenangan itu, tak mungkin tak mendengarnya, meski dia sudah berusaha, tapi suara senar gitar yang jelek itu justru menyusup ke telinganya.

   Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, Ciok-sing membatin.

   "Sayang aku tidak bisa memetik harpa di waktu melayani musuh, kalau tidak tentu bisa kupecahkan irama petikan gitar gembong iblis ini."

   Bu-bing-kiam-hoat memang hebat, tapi perbawanya jelas tidak sehebat Siang-kiam-hap-pik.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena pikiran In San tak terpusatkan, dalam gebrak sepuluh jurus, ada dua tiga jurus permainan mereka pasti tidak serasi, itu berarti seperti mereka bertempur secara individu.

   Untuk sementara mungkin tidak jadi soal bagi Tan Ciok-sing, malah sering membantu In San, tapi kalau pertempuran ini berkepanjangan, jelas pihaknya pasti akan kecundang.

   Manusia umumnya timbul akalnya di kala kepepet atau di saat gugup, mendadak tergerak pikiran Tan Ciok-sing.

   "Aku tidak bisa memetik harpa, tapi kan bisa juga mengganggu nada dan not permainan gitar orang,"

   Segera dia mulai bersiul, siulan yang dilandasi tenaga dalam ini ternyata bisa berbunyi panjang dan naik turun sesuai lagu yang dia bawakan.

   Usahanya memang berhasil, petikan gitar Siang Po-san menjadi kacau, karuan dia kaget.

   Tapi In San justru terbangkit semangatnya, perbawa Siang-kiam-hap-pik seketika berlipat ganda pula, bukan saja pulih seperti semula malah jauh melebihi sebelumnya.

   Seperti diketahui permainan Siang-kiam-hap-pik ini hakikatnya tidak menggunakan gerak permainan yang ada tata laksananya, tapi disesuaikan gaya pedang, bergerak secara wajar dan serasi sehingga kedua pedang cocok dan ketat tanpa lobang sedikitpun.

   Dasar otaknya encer Tan Cioksing lebih berbakat lagi, permainannya lebih berkembang dan penuh variasi, bergerak sesuai kebutuhan dan dapat berubah mengikuti situasi, sehingga intisari Bu-bing-kiam-hoat dapat dia kembangkan dengan sempurna.

   Sementara (n San tetap menggunakan ilmu pedang yang pernah dia pelajari, menurut teori ilmu pedang maju mundur secara teratur.

   Tidak lama kemudian cahaya pedang seperti meledak semakin besar dan luas arena lingkungannya, dari pihak yang diserang kini berbalik dan musuh dicecarnya di bawah angin.

   Tiga lawan tangguh ini lama-kelamaan didesak mundur.

   Tongkat besar di tangan Thi-ciang Siansu berdiri tegak terus jempalitan badan, dengan jurus Naga hitam melilit pohon, ujung tongkatnya mendadak menggulung balik, tujuannya menyapu kedua kaki In San.

   Mendadak In San melejit mumbul setinggi satu tombak lebih, dimana sinar pedang berkelebat, tahu-tahu pundak kiri Thi-ciang Siansu sudah terluka, jubah Hwesionya yang memang merah semakin merah dan basah oleh darah yang merembes keluar.

   Tapi tusukan pedang yang melukai pundaknya ini bukan serangan In San.

   Di kala tubuh In San melambung ke udara, gerak pedang Ciok-sing yang belakangan tapi tibanya lebih dulu, mendadak dari posisi yang tak terduga menusuk tiba.

   Perhatian Thi-ciang ditujukan kepada In San yang menukik dari atas, sungguh tak pernah diduganya bahwa Tan Ciok-sing mendadak menyerang tiba pula, untung gitar Siang Po-san segera mengepruk tiba sehingga gerakan pedang itu sedikit terhalang, kalau tidak tulang pundaknya pasti sudah tertusuk patah, betapapun tinggi ilmu silatnya akan punah seketika.

   Di tengah udara In San menggunakan gerakan Burung Dara Jumpalitan.

   Phoa Lat-hong yang berada di samping Thiciang Siansu belum lagi sempat menyingkir, tusukan pedang In San dengan jurus naga kik-ting-hong tahu-tahu sudah menuding tenggorokannya.

   Ternyata secara reflek mereka telah berganti posisi dan merobah kedudukan untuk menyerang musuh yang berbeda, inilah salah satu jurus liehay dan manunggal dari Siang-kiam-hap-pik itu.

   Pada detik-detik antara hidup dan mati, di kala elmaut sudah mengancam ini, jelas Phoa Lat-hong takkan mampu berkelit lagi, terpaksa dia nekat dan tidak hiraukan keselamatan lagi melancarkan ilmu Tay-cui-pit, dengan tangan kosong dia menangkis pedang secara keras.

   "Cras"

   Dua jari Phoa Lat-hong tertabas buntung. Tapi In San sendiri juga tergentak mundur dua langkah. Untung perlawanan Phoa Lat

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   hong yang nekat secara keras ini sehingga kedua tangannya tidak putus tertabas pedang.

   Lwekang Phoa Lat-hong cukup tangguh, tapi dia tak kuat juga menahan rasa kesakitan karena dua jari kutung, kontan dia menjerit sekeras-kerasnya terus putar tubuh melarikan diri.

   Bahwa tulang pundaknya nyaris tertusuk patah, karuan keringat dingin gemerobyos, sudah tentu Thi-ciang Siansu menjadi keder dan tak berani bertempur lebih lama.

   "Mau lari kemana,"

   Bentak Tan Ciok-sing, sinar pedangnya bagai selarik lembayung terus menusuk kesana.

   Lekas Siang Po-san angkat gitarnya menangkis, tapi Ceng-bing-kiam In San juga menusuk tiba, begitu Siangkiam berpadu, perbawanya berlipat ganda.

   Gitar Siang Po-san dibuat dari besi baja yang mengandung sembrani, tapi terserang sepasang pedang pusaka ini mana kuat menahannya, di tengah suara gaduh yang memekak telinga, perut gitar yang gelembung kosong itu tahu-tahu sudah tergores lobang panjang.

   Baru saja Tan Ciok-sing hendak menambahi dengan serangan mematikan, tak nyana di tengah dering beradunya benda keras terdengar pula selingan suara mencepret, mendadak bintik sinar bintang gemerdep, seperti diketahui dalam perut gitar Siang Po-san yang kosong ini di dalamnya ada dipasang alat-alat rahasia untuk menyimpan senjata rahasia, bila menghadapi bahaya sekali dia tekan tombol, senjata rahasia didalam perut gitar akan segera menyambar keluar.

   Demikian pula sekarang ini, Siang Po-san menggunakan serumpun Bwe-hoa-ciam selembut bulu kerbau, disusul tujuh batang To-kut-ting yang dilumuri racun.

   Karuan Tan Ciok-sing kaget, teriaknya.

   "Celaka,"

   Lekas dia menolak ke depan menggunakan tenaga lunak mendorong pergi In San.

   Untung Tan Ciok-sing memperoleh ajaran lwekang Thio Tan-hong, ilmu pedang juga memperoleh ajaran murni, meski latihannya baru tiga tahun tapi taraf latihannya sudah cukup hebat, reaksinya cekatan lagi, dalam sedetik itu.

   sebelah tangan mendorong In San, lengan bajunya sekaligus mengebut pula menggulung jarum-jarum lembut yang menyerang datang.

   Pek-hong-kiam di tangan kanan dengan jurus Hing-hun-toan-hong merontokan lima paku penebus tulang, lalu jari tangan kiri menjentik.

   "Creng"

   Paku ke empat ditutulnya kembali.

   Pada hal Tan Ciok-sing sudah kerahkan segala kemampuannya, tak urung paku ke tujuh masih lolos juga.dari penjagaannya, untung dia lekas menunduk sehingga paku beracun itu meluncur lewat hampir menyerempet jidatnya.

   Dengan gusar Ciok-sing kebutkan pula lengan bajunya, jarum-jarum yang dijaringnya ini dia persembahkan kembali kepada pemiliknya.

   Pada hal Siang Po-san melesat beberapa tombak jauhnya, jarum-jarum lembut itu terang tak mampu melukainya lagi, celaka adalah Tok-liong-pang Pangcu yang sejak tadi membantu dari luar kalangan dengan serangan senjata rahasia beracun tiba-tiba menjerit kesakitan.

   Ternyata paku ke enam yang dijentik balik oleh Tan Cioksing sasarannya adalah Tok-liong pangcu yang main licik membokong dengan senjata rahasia beracun.

   Paku beracun itu sebenarnya melesat balik mengincar Thay-yang-hiat di pelipisnya.

   Perubahan yang tak pernah diduga ini, karuan membikin Thi Khong berjingkrak kaget seperti disengat kala, pada hal dia cukup tangguh dalam permainan senjata rahasia, tapi toh tak kuasa berkelit lagi, untung karena berjingkrak kaget ini sasaran Thay-yang-hiat tidak terkena telak, tapi paku beracun itu tak urung amblas kedalam pundaknya.

   Thi Khong adalah ahli pengguna racun, karena terluka oleh paku beracun ini, bukan saja sakit tapi arwah serasa terbang ke awan-awan, lekas dia berkaok minta obat pemunah kepada Siang Po-san, Siang Po-san membentak.

   "Lekas lari. Nanti kuberi obat di bawah gunung."

   Tan Ciok-sing tidak mengejar, lekas dia memburu ke samping In San, dilihatnya In San pucat pasi wajahnya, tanyanya gugup dan kuatir.

   "Apa kau tidak terluka?"

   "Sungguh kebetulan, paku itu meruntuhkan tusuk kondaiku, untung tidak sampai luka. Sayang aku kurang cekatan, hingga musuh lari semuanya."

   "Untung sebelumnya kau sudah membekuk seorang tawanan. Sekarang kita bisa mengompres tawanan itu,"

   Demikian kata Tan Ciok-sing.

   Tak nyana, tawanan yang tertutuk hiat-tonya oleh timpukan mata uang In San sudah lenyap Setelah tertimpuk mata uang tadi orang itu jatuh menggelundung ke bawah lereng sana, semak rumput tampak tertindih dan awutawutan, ceceran darah juga tampak di antara daun-daun pohon kecil yang tumbuh di sekitar situ, mungkin waktu tubuhnya menggelundung ke bawah badannya terluka oleh benturan batu-batu gunung yang runcing sehingga mengeluarkan darah.

   Ciok-sing berdua mengikuti jejak ceceran darah menginjak semak belukar, tapi bayangan orang itu tetap tidak kelihatan, tapi mereka belum putus asa, daerah sekitarnya mereka obrak-abrik hingga ke bawah gunung, bayangan tawanan itu tetap tidak kelihatan.

   "Aneh, jelas hiat-to pelemasnya tadi tertutuk oleh timpukan mata uangku. Ilmu tutuk jalan darah tunggalku ini, baru akan bebas setelah dua belas jam berselang. Dalam waktu sesingkat ini, jelas dia takkan bisa bergerak."

   "Orang itu hanya menunjuk jalan ke empat gembong iblis itu, kepandaiannya rendah, jelas tak mungkin mampu membebaskan sendiri tutukan hiat-tonya itu."

   "Umpama ada yang menolongnya, orang itu pasti mahir menggunakan ilmu tutuk dari keluargaku. Kalau tidak kecuali dia jago silat kosen dari bulim, lwekangnya sudah mencapai taraf tinggi, dengan tenaga murni dia bisa bantu menjebol tutukan hiat-to itu. Em, aneh sekali."

   Sembari bicara mereka berjalan balik ke kota, tanpa terasa mereka sudah tiba di Hoa-kio, tampak sinar pelita sudah terpasang di empat penjuru kota, bulan sabit tampak bergantung di cakrawala.

   Setiba mereka di hotel, pemilik hotel segera memburu maju menyambut mereka dengan seri tawa lebar, katanya.

   "Aku memang sedang mengharap Siangkong berdua lekas pulang."

   "Temanku ingin melihat pemandangan Po-tho-san nan permai, maka aku menemaninya, sayang hari sudah petang, kita tak sempat melancong ke Cit-sing-giam, terpaksa besok saja* Maaf bikin kau lama menunggu kami."

   Pemilik hotel tidak hiraukan keterangan ini, katanya.

   "Sayang kalian terlambat pulang, baru saja ada dua orang teman kalian kemari."

   Ciok-sing kaget, pikirnya.

   "Baru saja aku tiba di Kwi-lin, dari mana datangnya orang bisa mencariku? Siapa yang punya berita secepat ini?"

   "Siapakah kedua orang itu? Begitu masuk kota aku lantas menginap disini, tiada teman yang kuberitahu, dari mana mereka bisa tahu aku menginap disini? Apa tidak keliru mereka mencari orang?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Tidak mungkin salah,"

   Sahut pemilik hotel.

   "mereka menggambarkan wajah, usia dan kuda tunggangan kalian, demikian kotak panjang yang dibawa Tan Kongcu, setiap hal dapat dilukiskan dengan jelas, yakin dia pasti teman kalian. Tentang dari mana mereka bisa tahu kalian tinggal disini, wah aku tidak bisa menjelaskan."

   "Sudah panjang lebar kau bicara, kenapa tidak kau sebut siapa nama mereka?"

   "Sudah kutanya mereka, mereka bilang bila Siangkong berdua kembali, asal kau katakan kedatangan kami, dia akan tahu siapa kami,"

   Berarti kedua orang itu tidak mau menyebut atau meninggalkan namanya.

   "Baiklah, coba kau terangkan, berapa usia mereka, bagaimana pula tampangnya?"

   Tanya In San.

   "Yang datang pemuda dan pemudi, usianya kira-kira sebaya dengan kalian. Pakaiannya cukup perlente, agaknya keturunan dari orang berada,"

   Ternyata pemuda yang berpakaian perlente ini ringan tangan untuk mencari tahu diri Tan Ciok-sing berdua dia sudah menyogok 10 tahil perak kepada pemilik hotel ini. Tiba-tiba Tan Ciok-sing ingat sesuatu tanyanya.

   "Apakah pemuda itu ada membawa sebatang seruling?"

   "Betul,"

   Sahut pemilik hotel.

   "selama ini belum pernah kulihat seruling sebagus itu. Waktu bicara dia memang memegang dan mengelus serulingnya itu. Jadi sudah jelas, bahwa kedua orang itu adalah teman kalian bukan?"

   "Belum lama berselang kami memang pernah melihatnya, tapi belum menjadi kawan karib. Mereka tidak menyebut nama, apakah meninggalkan alamat? Supaya kami pergi menyambangi mereka?"

   "Tadi bicaraku belum selesai, karena kalian belum kembali, mereka tampak agak kecewa. Pemuda itu pinjam pinsil dan minta kertas kepadaku, dia ada meninggalkan sepucuk surat. Aku tidak berani membukanya, mungkin dalam suratnya ada meninggalkan pesan."

   Setelah menerima sampul surat Tan Ciok-sing berkata.

   "Baiklah, terima kasih akan bantuanmu melayani temanku. Kupikir besok saja aku balas menyambangi mereka, malam ini kami ingin tidur sepuasnya, jikalau ada orang mencari kami, jangan katakan bahwa aku ada disini,"

   Lalu dia persen sekeping uang perak nilainya kurang lebih 10 tahil. Sekembali dalam kamar Tan Ciok-sing berkata.

   "Kedua orang itu, kemungkinan adalah dua orang terakhir dari delapan Pat-sian yang bertemu kita di tengah jalan kemarin."

   In San mengangguk, katanya.

   "Betul, kedua orang itu pemuda pemudi, sang pemuda membawa seruling. Mungkin karena ingin menikmati petikan harpamu maka dia ingin berkenalan dengan kau, apa kau ingin menyambangi mereka?"

   "Coba periksa dulu apa yang dia tulis dalam surat ini,"

   Demikian kata Tan Ciok-sing.

   Waktu dia buka surat itu, di dalamnya menyatakan kekagumannya terhadap Tan Ciok-sing berdua serta mohon berkenalan, dan dijanjikan supaya tiga hari yang akan datang bertemu di Lian-hoa-hong bersama-sama menikmati matahari terbit.

   Surat ini tertanda nama Kek Lam-wi.

   Di bagian bawahnya ditambahkan pula pesan yang berbunyi.

   "Orang yang ingin saudara temui, di puncak Lian-hoa-hong akan anda temukan pula. Harap dimaklumi,"

   Setelah membaca tulisan tambahan ini, seketika Tan Ciok-sing melenggong.

   "Lho, kenapa kau melongo malah?"

   Tanya In San. Segera Tan Ciok-sing menyerahkan surat itu padanya, katanya.

   "Lihatlah sendiri, bukankah amat aneh?"

   "Em, gaya tulisannya memang bagus. Betul tidak, dia ingin bersahabat dengan kau."

   "Aku sih tidak perhatikan tulisannya, yang kuherankan adalah dari mana dia bisa tahu siapa yang- akan kucari? Apa kau pernah mendengar nama Kek Lam-wi itu?"

   In San geleng-geleng, katanya.

   "Waktu ayah masih hidup, banyak juga tokoh-tokoh silat yang pernah dia sebutkan padaku, tapi orang she Kek ini usianya kira-kira sebaya dengan kita, ayah pasti tak pernah memberi tahu, bagaimana aku tahu asal-usulnya. Tapi dari nada surat ini dapat disimpulkan bahwa dia sudah tahu siapa kau adanya, diapun tahu siapa orang yang hendak kau temui. Tapi aku duga yang dimaksud kalau bukan It-cu-king-thian Lui Tin-gak, pasti Tam Pa-kun. Apakah Lian-hoa-hong jauh dari sini?"

   Lian-hoa-hong adalah gunung yang kenamaan di daerah Yang-siok, tak ubahnya Tok-siu-tong yang kenamaan di daerah Kwi-lin. Yang-siok tiada seratus li dari Kwi-lin, kuda lari cepat dapat ditempuh satu hari pulang pergi."

   "Dari surat ini dapat kusimpulkan bahwa Lui Tayhiap dan Tam-siok-siok mungkin berada dan bertemu di Lian-hoa-hong, jadi bukan mengadakan pertemuan di Kwi-lin."

   "Menurut pendapatmu, apakah suratnya ini dapat dipercaya?"

   "'Kek Lam-wi adalah salah satu dari Pat-sian yang kemarin kita temukan di tengah jalan itu, hal ini sudah dapat dipastikan. Bahwa dia mengundangmu ke Lian-hoa-hong, mungkin akan ada pertemuan besar di Lian-hoa-hong. Jadi bolehlah diduga kalau It-cu-king-thian Lui Tayhiap dan Kim-tothi- ciang Tam Pa-kun pasti hadir dalam pertemuan besar ini."

   "Betul, Pat-sian yang kita temui di tengah jalan itu semuanya adalah jago-jago silat yang jarang kita temui di Kangouw, maka dapatlah dibayangkan bahwa tuan rumahnya pasti adalah tokoh besar yang tersohor pula. Hanya tokoh besar yang mampu mengerahkan peradatan Pat-sian-ing-khek baru setimpal mengundang kehadiran Tam Tayhiap dan Lui Tayhiap dalam pertemuan besar yang akan datang itu."

   "Bukan mustahil Lui Tayhiap adalah tuan rumahnya."

   "Baiklah, undangan ini akan kuterima dan aku pasti hadir dalam pertemuan itu. Untung Yang-siok tidak jauh dari sini, hari terakhir baru kita berangkat juga belum terlambat. Malam ini kita tetap bekerja sesuai rencana semula, menyelidiki siapakah yang membongkar puing-puing rumahku dulu. Mumpung masih ada sisa waktu dua jam, marilah kita menghimpun semangat dan tenaga,"

   In San segera kembali ke kamarnya.

   Tan Ciok-sing duduk bersimpuh, memejam mata memusatkan pikiran menghimpun hawa murni, mulailah dia bersamadi, kira-kira menjelang kentongan ketiga dengan lirih dia menjentik ke arah dinding, kamar mereka berdampingan, segera In San mempersiapkan diri lalu membuka jendela melompat keluar.

   Mereka memiliki ginkang tinggi tanpa diketahui siapapun cepat sekali mereka sudah meninggalkan hotel.

   Kira-kira setengah jam kemudian mereka sudah tiba di puing-puing rumah Tan Ciok-sing dulu, cuaca masih gelap suasana sunyi senyap yang terdengar hanya suara jangkrik.

   "Agaknya tiada orang pernah kemari,"

   Bisik In San.

   "Memangnya kita umpama menjaga lobang menunggu kelinci, belum tentu kelinci liar itu bakal datang malam ini, walau harapan nihil umpamanya kita tetap menunggu dengan sabar."

   "Ya, marilah kita cari tempat untuk sembunyi."

   Untung banyak batu besar dimana-mana, kebetulan tidak jauh dari puing-puing rumah Tan Ciok-sing terdapat dua batu besar seperti pasangan orang yang lagi berpelukan, di tengah kedua batu ini ada celah-celah yang kebetulan cukup untuk sembunyi.

   Menunggu sesaat lamanya, In San berbisik di pinggir telinga.

   "Aih, agaknya ada orang datang."

   "Jangan berisik, saksikan saja siapa yang kemari."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tak lama kemudian muncul sesosok bayangan orang di tengah puing-puing sana.

   Cahaya bulan sabit remang-remang sehingga dari kejauhan sukar dibedakan bentuk dan tampangnya, tapi orang ini sudah cukup dikenal oleh Tan Ciok-sing, waktu dia menegas segera dia kenal siapa orang itu.

   Setelah tahu siapa orang yang datang ini, tanpa merasa dia melengak heran dan kaget.

   "Siapa?"

   Tanya In San berbisik. Agaknya dia merasakan sikap dan mimik Tan Ciok-sing yang agak aneh, seperti sudah tahu siapa orang datang ini. Tan Ciok-sing menjawab dengan bisikan pula.

   "It-cu-kingthian Lui Tin-gak."

   Bahwa yang datang adalah It-cu-king-thian Lui Tin-gak, bukan saja Tan Ciok-sing tak habis mengerti, In San sendiri juga tidak pernah menduganya. Tanyanya lirih.

   "Apakah perlu menemuinya?"

   "Jangan terburu nafsu. Lihat dulu apa kerjanya disini?"

   Sebetulnya rasa curiga Tan Ciok-sing terhadap It-cu-kingthian sudah tawar, tapi dia tidak menduga yang datang kali ini adalah dia, sesaat dia jadi ragu-ragu curiganya timbul lagi dan malah lebih tebal.

   "Khu Ti pernah bilang, bahwa It-cu-king-thian gemar belajar silat, saking getolnya umpama orang gila saja layaknya. Semasa mudanya dia punya keinginan mengangkat guru kepada Thio Tayhiap. Jelas dia tidak tahu kalau buku pelajaran ilmu golok milik In Tayhiap dan Kiam-boh Thio Tayhiap itu sudah diserahkan kepadaku..."

   Tengah dia menduga-duga, dilihatnya Lui Tin-gak sudah memegang sebuah sekop dan sedang menggali tanah di tengah puing-puing rumahnya. Diam-diam Tan Ciok-sing membatin.

   "Nah, konangan sekarang. It-cu-king-thian memang laki-laki munafik, pendekar palsu, manusia rendah. Apakah benar dia sekongkol dengan Siang Po-san mencelakai kakek belum dapat kubuktikan tapi bahwa dia mengincar ilmu golok dan Kiam-boh itu kini sudah menjadi kenyataan, bukankah perbuatannya ini terlalu hina dan rendah. Kalau dia betul manusia yang bermartabat rendah, bukan mustahil bahwa dia pula yang mencelakai kakek,"

   Tapi sebelum dia berkeputusan tindakan apa yang harus dia lakukan, tiba-tiba dilihatnya It-cu-king-thian sudah menghentikan kerjanya.

   Di keremangan cahaya rembulan, tampak It-cu-king-thian sedang berjongkok seperti mengeduk tanah atau mengorekngorek dengan tangannya.

   In San berbisik di pinggir telinga Ciok-sing.

   "Tempat itu tadi pernah kita gali, mungkin dia sudah tahu bila kita sudah pernah kemari. Aneh kelakuannya malam ini..."

   "Apa sulitnya menduga perbuatan ini. Jelas hendak mencari buku pelajaran ilmu golok dan Kiam-boh itu."

   "Umpama benar, kukira di belakang persoalan pasti ada sebab musababnya. Aku yakin It-cu-king-thian Lui Tin-gak pasti takkan sudi mengincar barang orang lain."

   "Apa, kau masih percaya kalau dia orang baik?"

   "Tak usah kita main teka teki sendiri. Saksikan saja apa yang akan dia lakukan lebih lanjut?"

   Tampak It-cu-king-thian sudah berdiri lagi, mulutnya seperti menggumam.

   "Memangnya aku kuatir kalian tidak akan datang,"

   Lalu dia menengadah seperti pasang kuping mendengarkan sesuatu suara. Tan Ciok-sing kaget, batinnya.

   "Siapa yang dia maksud dengan 'kalian'? Apakah dia sudah tahu kalau aku bersama adik San berada di Kwi-lin. Atau dia sudah menemukan jejak dan percakapan kami?"

   Mendadak It-cu-king-thian Lui Tin-gak berlari keluar dari lingkungan puing-puing Tan Ciok-sing kaget, dia kira jejaknya sudah diketahui orang cepat dia bersiaga memegang gagang pedang. Tapi In San berbisik.

   "Jangan sembrono."

   Ternyata sekali berkelebat It-cu-king-thian menyelinap kesana sembunyi di belakang sebuah batu besar, letak batu besar ini tidak jauh dari puing-puing rumah, jaraknya hanya beberapa tombak dari tempat persembunyian Tan dan In.

   Sesaat lagi baru Tan Ciok-sing mendengar suara langkah orang, yang datang adalah dua orang berpakaian hitam, tangan masing-masing menjinjing sebuah pacul dan sekop.

   Baru sekaraug Tan Ciok-sing mengerti, ternyata It-cu-kingthian mendengar kedatangan kedua orang ini, jadi "kalian"

   Yang dikatakan tadi yang dimaksud adalah kedua orang ini. Tak urung Ciok-sing merasa heran dan menyesal pula.

   "Setelah kedua orang ini dekat baru aku tahu kedatangan mereka, jelas kepandaian dalam hal ini aku masih kalah jauh dibanding It-cu-king-thian. Entah siapa gerangan kedua orang ini? Dari gelagatnya, dia bukan komplotan It-cu-king-thian."

   Di saat dia membatin, dilihatnya kedua orang baju hitam itu sudah melangkah ke arah puing-puing tanpa berjanji keduanya sama bersuara kaget dan heran.

   "Dilihat keadaan ini agaknya barusan ada orang sudah datang,"

   Kata seorang.

   "Kita harus hati-hati, entah kenapa, beberapa hari ini jagojago silat kosen dari berbagai tempat berbondong-bondong datang ke Kwi-lin. Di antaranya ada Wi-cui-hi-kiau, Siangkang- siang-hiap, Sek-in-jin-tok dan Ui-yap Tojin, malah ada juga yang bilang It-cu-king-thian juga datang,"

   Demikian kata orang yang lain.

   "Wah, jadi jago-jago kosen dari aliran sesat dan golongan lurus sama tumplek kemari."

   "Maka itu, kita harus hati-hati. Peduli yang mana diantara mereka, semua lebih hebat dari pada kita."

   "Justru karena itu pula kita harus bekerja cepat menemukan pusaka itu. Kalau sampai orang lain tahu akan tempat ini, celakalah kita."

   Kedua orang ini segera mengerjakan pacul dan sekop mulai menggali tanah di dua tempat, sembari kerja mulut mereka masih terus mengoceh seperti berunding entah apa.

   Mendadak It-cu-king-thian melompat keluar dan anjlok di depan mereka.

   Karuan kedua orang itu berjingkrak kaget sambil menyusut mundur.

   "Siapa, siapa kau?"

   Pacul dan sekop sudah diangkat tapi tidak berani turun tangan.

   "Aku Lui Tin-gak, Tan Khim-ang adalah teman baikku, untuk apa kalian gali tanah dan membongkar puing-puing disini? Lekas katakan,"

   Demikian bentak Lui Tin-gak.

   "Hah, kiranya kau orang tua adalah It-cu-king-thian Lui Tayhiap, sungguh kami kurang hormat. Kami dari Hek-houpang (serikat macan hitam), dengan pihak Tok-liong-pang kami ada sedikit hubungan."

   "Aku tidak peduli kalian dari Hek-hou-pang atau Tok-liong-pang, tiada tempo aku ngobrol dengan kalian, Lekas jawab pertanyaanku."

   "Lui Tayhiap, bolehkah kami tanya untuk apa kau kemari? Bukan mustahil tujuan kita..."

   It-cu-king-thian mendengus.

   "kalian barang macam apa, berani mengurus aku? Sekarang aku yang tanya kalian, lekas kalian jawab, barang apa yang kalian gali? Siapa pula yang menjadi tulang punggung kalian?"

   "Baik, baik, biar kujelaskan seluruhnya Lui Tayhiap, harap kau bersabar mendengar laporan kami,"

   Kedua orang ini bersikap munduk-munduk supaya It cu-king-thian tidak bersiaga.

   Mendadak keduanya angkat pacul dan sekop masing-masing terus mengepruk ke batok kepala lt-cu-kingthian.

   Bukan lantaran mereka tidak takut terhadap It-cu-kingthian, tapi sebaliknya bila mereka bicara sejujurnya, jiwa mereka malah celaka di tangan It-cu-king-thian, maka mereka nekat bertindak secara membokong, syukur berhasil membunuh It-cu-king-thian, nama mereka akan lekas tersiar dan diagulkan di dunia persilatan.

   Maka terdengarlah suara "Trang"

   Yang keras sekali It-cu-king-thian menggentak kedua tangan, pacul dan sekop itu seketika tertangkis terbang ke udara.

   Gentakan keras kedua lengan It-cu-king-thian ternyata bukan hanya menyebabkan pacul dan sekop itu terbang ke udara, tapi kedua laki-laki itupun seperti digenjot dengan martil dada masing-masing, darah kontan menyembur dari mulutnya dengan menjerit mereka bergulingan di tanah.

   Berdebar jantung Tan Ciok-sing menyaksikan dari tempat sembunyinya, pikirnya.

   "It-cu-king-thian tidak bernama kosong. Entah dia kawan atau lawan?"

   Dia tahu meski dirinya sudah berhasil meyakinkan Bu-bing-kiam-hoat, dirinya mungkin masih belum mampu mengalahkan dia.

   Pada saat itulah, mendadak tampak pula sesosok bayangan orang laksana seekor burung besar melejit turun ke tengah puing-puing, gerakan tubuhnya gesit dan tangkas, dibanding It-cu-king-thian tadi mungkin lebih dari pada kurang.

   Kedua laki-laki dari Hek-hou-pang seperti mendapat bintang penolong, lekas mereka merangkak bangun terus memburu kearah orang itu seraya berteriak bersama.

   "Ciangsuhu, tolong."

   Pendatang ini bukan lain adalah jago nomor dua dalam kalangan Gi-lim-kun, sekarang terima menjadi Cong-kiau-thau di rumah keluarga Liong yaitu Ciang Thi-hu adanya.

   Agaknya It-cu-king-thian tidak mengenalnya, tanpa berhenti dia melangkah maju sambil ulur tangan hendak mencengkram kedua laki-laki itu, bentaknya.

   "Orang lain minggir saja, kalau tidak jangan salahkan kalau aku bertindak kasar."

   Ciang Thi-hu terloroh-loroh, katanya.

   "Kau hendak membunuh menutup mulut mereka?"

   Di tengah loroh tawanya kedua telapak tangan terbalik terus menghantam, empat telapak tangan beradu menimbulkan benturan keras laksana guntur menggelegar, Tan Ciok-sing berdua yang sembunyi puluhan langkah di sanapun merasa pekak telinganya.

   Agaknya kekuatan kedua pihak setanding, badan It-cuking- thian tampak limbung dua kali.

   Sementara Ciang Thi-hu terdorong mundur tiga langkah baru bisa berdiri tegak.

   "Toako,"

   Kata In San.

   "apa pula yang masih kau ragukan? Kita harus keluar membantu It-cu-king-thian."

   Tan Ciok-sing masih bimbang, katanya lirih.

   "It-cu-kingthian tidak akan kalah, kita saksikan saja nanti bertindak menurut gelagat,"

   Tak nyana dalam sekejap itu situasi di depan mata ternyata mendadak berubah.

   Kedua orang tadi sembunyi di belakang Ciang Thi-hu, pikirnya ada tameng untuk sembunyi, tak kira Ciang Thi-hu mendadak mengayun tangan ke belakang, kedua laki-laki itu dikepruknya mati dengan kepala pecah.

   Jeritan yang menyayat hati menjelang ajal kedua orang ini membuat In San merinding dan mengkirik.

   "Bagus,"

   Bentak It-cu-king-thian.

   "kiranya kau hendak menutup mulut mereka. Siapa kau?"

   "Lui Tayhiap, aku bukan turun tangan membantu kau,"

   Ucap Siang Thi-hu.

   "yang terang kedua orang ini sudah terluka dalam oleh getaran tenaga dalammu, jiwanya takkan tertolong lagi. Kenapa kau biarkan mereka tersiksa lebih lama?"

   "Keji juga caramu ini,"

   Jengek It-cu-king-thian.

   "orang she Lui masih ingin menjajalmu,"

   Di tengah deru angin pukulannya, debu dan pasir beterbangan.

   Dalam sekejap kedua pihak telah mengadu tiga kali pukulan, tapi akhir pukulan tidak bentrok secara keras karena Ciang Thi-hu menghindar sambil miringkan tubuh, sehingga dua gelombang pukulan berbareng menyapu ke satu arah.

   "Biang"

   Batu besar di sebelah kanan sana terpukul remuk. Baru saja In San buka mulut mau mendesak Tan Ciok-sing keluar membantu, ternyata pertempuran tiba-tiba berhenti. Ciang Thi-hu tampak melompat jauh kesana sambil tertawa tergelak-gelak.

   "Apa yang kau tawakan-'' hardik It-cu-king-thian.

   "Sudah lama kudengai kebesaran nama It-cu-king-thian yang mahir main golok dan ilmu pukulan telapak tangan, beruntung hari ini bersua disini, kenyataan memang tidak bernama kosong. Tapi kalau kau ingin mengadu pukulan dengan aku, kukira kau kurang pandai memilih lawan."

   It-cu-king-thian mendengus.

   "kau kira aku tidak mampu mengalahkan kau?"

   "Bukan begitu maksudku. Kita sudah mengadu empat pukulan, kukira kau sudah tahu siapa diriku bukan? Kalau pertandingan dilanjutkan, mungkin aku bukan tandinganmu. tapi untuk mengalahkan aku, sedikitnya memakan tiga ratusan jurus. Bukankah dua hari lagi kau hadir dalam pertemuan besar di Lian-hoa-hong. Dalam pertemuan itu mungkin ada kejadian yang akan mempersulit dirimu. Tapi terhadapmu aku tidak bermaksud jahat, kenapa kau harus menguras tenagamu kepadaku?"

   Sekilas It-cu-king-thian melengak, katanya.

   "Gun-goan-itcu- kang yang tuan yakinkan memang jarang kusaksikan, kau terlalu sungkan, bila bertempur tiga ratus jurus mungkin aku yang kau kalahkan malah. Pada jaman ini orang yang memiliki Gun-goan-it-cu-kang sehebat ini hanya ada seorang, jadi kau inilah Ciang Thi-hu salah satu jagoan kosen dari Gi-lim-kun yang sejajar dengan Khu Ti pada dua puluh tahun yang lalu."

   "Terima kasih akan pujian Lui Tayhiap, sebetulnya tak berani aku menerimanya. Sekarang boleh kita bicara secara santai bukan? Terus terang saja, dua puluh tahun yang lalu, aku sudah ingin berkenalan dengan kau, sayang tiada kesempatan."

   "Terima kasih akan penghargaanmu, soal apa yang ingin kau bicarakan dengan aku?"

   In San heran katanya.

   "Kenapa Lui Tayhiap kelihatan semakin sungkan?"

   "Tayhiap apa, kukira mereka memangnya sekomplotan,"

   Demikian jengek Tan Ciok-sing. In San geleng-geleng, agaknya dia masih tidak percaya bahwa It-cu-king-thian sekomplotan dengan Ciang Thi-hu, tapi kenyataan di depan mata ini sukar pula untuk dijelaskan. Didengarnya Ciang Thi-hu berkata.

   "Kau pasti curiga untuk apa aku datang kemari?"

   "Betul,"

   Ucap It-cu-king-thian.

   "aku memang ingin tanya kepadamu?"

   "Lui Tayhiap, kau sendiri apa pula kerja disini?"

   "Kau sudah tahu sengaja tanya?"

   "Jadi Lui Tayhiap mengaku akan maksud kemari, setujuan dengan kedua orang Hek-hou-pang ini?"

   "Kaupun punya maksud yang sama bukan?"

   "Kau keliru Lui Tayhiap,"

   Ujar Ciang Thi-hu tertawa tergelak-gelak.

   "Agaknya kau belum tahu."

   "Tahu apa?"

   Tanya It-cu-king-thian tertegun.

   "Ilmu pedang Thio Tan-hong sudah ada pemiliknya, tapi kau masih main gali disini, umpama setiap jengkal tanah disini kau keduk juga tiada gunanya."

   "Siapa yang memilikinya?"

   Tanya It-cu-king-thian kaget.

   "Seorang pemuda berusia likuran tahun."

   "Pemuda berusia likuran tahun. Apakah dia she Tan?"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku yakin kau sudah tahu siapa dia. Tapi akupun baru dua hari yang lalu tahu bahwa dia adalah cucu dari sahabatmu."

   "Darimana kau tahu kalau dia yang memilikinya?"

   "Kira-kira belasan hari yang lalu, aku pernah bergebrak dengan dia."

   "O, jadi kedatanganmu ke Kwi-lin kali ini, tujuannya hendak mencari anak itu?"

   "Bukan seluruhnya lantaran dia,"

   "O ya, kabarnya kau memperoleh banyak keuntungan dari Liong-tayjin."

   Ciang Thi-hu tertawa tergelak-gelak, tawa yang puas dan bangga, tapi dia tidak menjawab pertanyaan It-cu-king-thian, katanya sesaat kemudian.

   "Lui Tayhiap, kau denganku bukan kawan dari segolongan, tapi ada sebuah urusan, bila kita bisa kerja sama secara jujur, pasti menguntungkan untuk kedua pihak. Apa kau sudi membicarakan soal itu denganku?"

   "Baik, silakan menjelaskan."

   "Sudah lama aku dengar betapa nikmatnya Sam-hoa-cui buatan Kwi-lin, sudikah kau mentraktirku "O ya, disini bukan tempat bicara. Kau datang ke Kwi-lin sebagai tuan rumah adalah pantas aku menjamumu, boleh silahkan kau ajak teman-temanmu datang ke tempatku."

   "Lui Tayhiap, kau memang cerdik, sekali tebak lantas tahu bahwa persoalan ini memang masih perlu minta bantuan teman yang lain. Baiklah, mari sekarang kita berangkat."

   Setelah bayangan mereka tidak kelihatan baru Tan Cioksing menghela napas, katanya.

   "Tahu orangnya tahu mukanya tidak tahu hatinya, pepatah ini memang betul. Adik San, coba katakan apa salah aku mencurigai It-cu-king-thian!"

   "Ya, aku masih tidak percaya bahwa Lui Tayhiap sebobrok itu, mustahil ada maksud-maksud tertentu yang tidak kita ketahui."

   "Maksud apa?"

   "Aku tak bisa menjelaskan. Tapi dari nada pembicaraan Ciang Thi-hu tadi sudah terbukti bahwa Lui Tayhiap hakikatnya belum pernah janji atau sekongkol dengan keluarga Liong. Bukankah dia bilang dia dan Lui Tayhiap, bukan kawan dari segolongan?"

   "Tapi mereka hendak berintrik untuk mencelakai aku."

   "Lho, merekakan tidak bicara begitu?"

   "Urusan dagang apa yang Memangnya masih ada persoalan lain?"

   "Walau aku saksikan sendiri dan mendengar percakapan mereka, kulihat mereka pergi bersama pula, tapi aku tak mau percaya bahwa It-cu-king-thian sudi berkomplot dengan Ciang Thi-hu untuk mencelakai kita. Untung masih ada waktu tiga hari, urusan ini bakal dibereskan."

   "Maksudmu pertemuan di Lian-hoa-hong yang akan diadakan tiga hari lagi itu?"

   "Keng Lam-wi bilang, kau akan bertemu dengan orang yang ingin kau temui di Lian-hoa-hong, aku yakin orang yang dimaksud adalah It-cu-king-thian, mungkin paman Tam juga disana. Boleh nanti kau langsung tanya padanya."

   Tan Ciok-sing menghela napas, katanya.

   "Ya, bagaimana juga baik dan bajik hati kita, apa salahnya kalau kita waspada dan siaga terhadap siapapun."

   Sebetulnya In San mempercayai It-cu-king-thian, soalnya dia sendiri juga tidak bisa memberi penjelasan dan memecahkan kejadian yang baru saja disaksikan, apa lagi Tan Ciok-sing teramat kukuh akan pendapatnya, mau tidak mau keyakinannya menjadi goyah.

   Sesaat kemudian baru dia bersuara.

   "Lalu apakah kita harus menghadiri pertemuan Lianhoa- hong itu?"

   "Hadir sih harus. Tapi kita harus lebih hati-hati. Bagaimana Kek Lam-wi sebetulnya, orang macam apa dia sebetulnya, hakikatnya masih terlalu asing bagi kita. Walau sepak terjangnya kelihatan lebih mendekati kaum pendekar."

   In San termenung beberapa saat lamanya, katanya kemudian.

   "Kau kuatir bila Kek Lam-wi kemungkinan sekomplotan dengan It-cu-king-thian?"

   "Semoga tidak demikian."

   "Bila betul mereka sekomplotan, bukankah kedatangan kita kesana berarti masuk perangkapnya?"

   "Memang aku sedang berpikir dan mencari akal cara bagaimana kita harus memecahkan persoalan rumit ini."

   In San tidak berani mengganggunya lagi, setelah menempuh perjalanan beberapa lamanya, tanpa terasa mereka sudah tiba di Hoa-kio, tak lama lagi mereka sudah akan tiba di hotel, baru In San bertanya.

   "Sudah kau temukan caranya."

   "Besok saja kujelaskan kepadamu,"

   Sahut Tan Ciok-sing tertawa. Kontan In San merengut, dengusnya.

   "Em, jual mahal segala?"

   "Bukan jual mahal, apa akalku dapat terlaksana, harus kutunggu sampai besok pagi baru bisa kuketahui."

   Tanpa diketahui siapapun mereka kembali ke kamar masing-masing, saat mana sudah menjelang kentongan kelima.

   In San langsung tidur, tapi rasanya hanya sekejap saja, tahu-tahu dia waktu siuman mentari sudah menyorot masuk lewat jendela.

   Setelah membersihkan badan dan berdandan In San lalu keluar dan mengetok pintu kamar Tan Ciok-sing, tapi tiada penyahutan.

   Lekas pemilik hotel sudah lari mendatangi, katanya dengan tertawa.

   "Sejak pagi-pagi tadi Tan-siangkong sudah keluar, katanya sebentar dia akan kembali. Dia bilang suruh kau sarapan pagi lebih dulu."

   Setelah makan In San masuk kamar dan menunggu dengan sabar, kira-kira setengah jam kemudian baru Tan Ciok-sing kembali.

   "Heh, kemana kau?"

   Tanya In San.

   "Aku pergi menyewa perahu, sebentar kita berangkat ke Yang-siok, rekening hotel sudah kulunasi seluruhnya. Lekas kau bereskan buntalanmu."

   "Segera berangkat? Kenapa tidak lewat jalan darat?"

   Tanya In San heran. Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Dari Kwi-lin ke Yang-siok, perahu berlaju mengikuti arus air, sepanjang perjalanan kau dapat menikmati pemandangan alam nan permai sepuas hatimu. Kalau naik kuda lewat jalan darat, bukan saja kecapaian, tak mungkin kau menikmati kehidupan tentram sepanjang jalan."

   "Jangan kau kira aku ini anak dogol yang ceroboh, aku tahu maksudmu,"

   Demikian ucap In San.

   "Kek Lam-wi mengundangmu bertemu di Lian-hoa-hong tiga hari lagi, kalau kita lewat jalan darat, kemungkinan jejak kita dikuntit kaki tangannya. Kau kuatir akan hal ini bukan?"

   "Otakmu memang encer, sekali tebak kena sasaran. Kalau kita naik perahu lebih dini, mungkin mereka tidak akan menduga. Apalagi perahu bisa langsung tiba di bawah Lianhoa- hong. Waktunya sudah kuperhitungkan, kira-kira hari ketiga malam kita akan tiba di tempat tujuan. Kita bisa naik ke gunung tanpa diketahui siapapun."

   "Kuda kita bagaimana?"

   Tanya In San.

   "Tinggalkan saja di Kwi-lin."

   "Titipkan kepada pemilik hotel? Berani kau mempercayainya?"

   Lirih suara Tan Ciok-sing.

   "Pemilik perahu adalah teman karibku sejak kecil, waktu anak-anak dulu sering kami bermain di sungai menangkap ikan,"

   Lalu dengan tertawa dia menambahkan.

   "waktu melihatku tadi semula dia masih raguragu tapi rasanya seperti sudah kenal, akhirnya setelah aku memanggil dengan nama kecilnya, baru dia berjingkrak girang. Temanku ini seratus persen dapat dipercaya."

   "Jadi kedua ekor kuda kita hendak kau titipkan ke rumahnya? Kuda itu kita pinjam dari Kanglam Sianghiap, jikalau hilang bagaimana?"

   "Kita harus berani bertaruh. Bicara terjadi sesuatu, umpama kita ke Yang-siok naik kuda, bukan mustahil persoalan yang akan kita hadapi di tengah jalan mungkin lebih banyak dan ruwet,"

   Akhirnya In San setuju saja, maka Tan Ciok-sing lantas mengajaknya keluar.

   Setiba di bawah Hoa-kio, temannya tukang perahu itu memang sudah menunggu mereka.

   Melihat In San berpakaian sebagus dan berwajah setampan ini, tukang perahu kelihatan heran dan kesima, tapi dia cukup cerdik, apalagi tadi Tan Ciok-sing sudah jelaskan padanya, maka dia tidak banyak tanya, sikapnya wajar, sewajar dia melayani tamu-tamu yang lain.

   Tan Ciok-sing serahkan kedua ekor kudanya kepada sanak keluarga tukang perahu untuk dibawa pulang, segera mereka naik ke perahu terus berangkat.

   Setelah perahu berlaju di tengah sungai si tukang perahu baru bersuara dengan tertawa.

   "Tan-toako, sudah beberapa tahun kita berpisah, kini kau sudah kaya, selama beberapa tahun ini kemana dan apa saja usahamu? Baru hari ini kau pulang ke kampung halaman?"

   "Usaha apa? Pulang dengan kaya segala? Selama beberapa tahun ini aku hanya mengandal harpaku untuk mencari sesuap nasi di Kangouw. Siau-cu-cu, terus terang, aku amat kagum dan kepingin hidup setenang dan setentram kau. Kau memiliki perahu sendiri, kerja tak usah diperintah orang dan tidak perlu jengkel dan malu dimarahi orang, mencari sesuap nasi secara halal berdasar cucuran keringat sendiri. Berkecimpung di Kangouw, siksa deritanya luar biasa."

   "Betul juga omonganmu, aku sih mengandal gunung dan air disini untuk mencari sesuap nasi. Ada saja ikan atau udang yang dapat kutangkap di sungai, meski agak sengsara, namun kita tetap hidup sederhana dan bersahaja, Siau-ciok-cu, tahun itu waktu rumahmu habis terbakar, kabarnya kakekmu meninggal, kucari kau kemana-mana, aku tidak tahu akan mati hidupmu, betapa sedih hatiku. Syukurlah hari ini mendadak kau muncul, legalah hatiku. Siau-ciok-cu, peduli kau berduit atau kantongmu kempes, sikapku terhadapmu tetap seperti dahulu. Kembalilah keharibaan kampung halaman, kita bersaudara tetap bisa hidup berdampingan menangkap ikan di sungai, mencari kayu bakar di gunung, bukankah lebih baik? Akupun ingin belajar memetik harpa padamu,"

   Katanya diucapkan dengan tulus, tanpa terasa berkaca-kaca kelopak mata Tan Ciok-sing haru.

   "Bukankah sekarang aku sudah kembali? Kelak aku memang hendak membangun pula rumahku itu, seperti kakek untuk selamanya aku akan hidup di bawah Cit-sing-giam. Bukan aku saja yang akan menetap seumur hidup disini, temanku ini pun akan menemaniku tinggal disini selamanya."

   "Apa betul? Em, siapakah nama besar temanmu ini, kenapa tidak kau perkenalkan padaku?"

   Ujar tukang perahu. In San segera menyebut sebuah nama palsu katanya.

   "Sudah lama aku kepingin menikmati panorama nan indah dan molek di desamu ini. Aku memang ingin menetap di Kwi-lin saja. Untuk itu aku harus pulang dulu ke desa baru akan kemari lagi."

   Tukang perahu tertawa, katanya.

   


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Duri Bunga Ju -- Gu Long Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung

Cari Blog Ini