Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 12


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 12



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   It-cu-king-thian berkeplok senang, katanya.

   "Khuloenghiong adalah salah satu cianpwe yang lama sudah kukagumi, sayang sudah lebih tiga puluhan tahun dia menghilangkan jejaknya dari percaturan dunia persilatan. Kiranya dia masih hidup sehat walafiat. Tapi aku masih juga tidak mengerti, apa sangkut pautnya kau bertemu dengan Khu-loenghiong dengan kejadian hari ini?"

   "Kepadaku Khu-loenghiong pernah menyinggung cita-cita Lui Tayhiap dulu yang pernah dinyatakan terhadap Lo-kim-to Cecu,"

   Demikian Ciok-sing menjelaskan. Sampai disini baru It-cu-king-thian mengerti, katanya.

   "O, jadi ilmu pedangmu ini, adalah ilmu pedang ciptaan Thio Tanhong yang diwariskan kepadamu?"

   Tan Ciok-sing manggut, katanya.

   "Beruntung wanpwe mendapatkan berkah, Thio Tayhiap sudi menerimaku sebagai murid penutupnya,"

   Lalu dia melanjutkan.

   "Setelah Khu- Iocianpwe tahu akan keinginan Lui Tayhiap ini, dia bilang dahulu dia ingin membantu Lui Tayhiap supaya terlaksana cita-citamu, sayang sekali belakangan dia sendiri mengalami suatu musibah, sehingga dipaksa untuk mengasingkan diri, selama tiga puluh tahun ini bantuannya jadi tertunda dan belum tercapai."

   "Oleh karena itu dia minta kepadamu untuk membantu aku mencapai keinginanku itu?"

   It-cu-king-thian meneruskan.

   "Tidak berani. Akan tetapi mumpung ada kesempatan, terpaksa Wanpwe mohon pengajaran langsung dari Lui Tayhiap saja."

   "Dengan Khu-locianpwe kami hanya saling kenal nama saja, tak nyana dia begitu simpatik, ingin membatu aku mencapai cita-cita, sungguh aku amat kagum, terima kasih haru akan ketulusan hatinya,"

   Dia tahu hadirin pasti merasa bingung, maka segera dia memberi penjelasan.

   "Cita-citaku itu adalah ingin memohon pelajaran ilmu pedang kepada Thio Tayhiap Thio Tan-hong. Sejak tiga puluh tahun yang lalu Thio Tayhiap sudah tidak karuan parannya, kukira keinginanku itu jelas takkan bisa tercapai lagi, tak nyana cucu sahabat baikku, atau murid Thio Tayhiap sendiri hari ini menyampaikan citacitaku dahulu."

   Maka setelah Tan Ciok-sing menjelaskan hal ihwalnya, hadirin menjadi gempar sana sini berbisik, semua ingin tahu berita terakhir dari Thio Tayhiap Thio Tan-hong.

   Tan Ciok-sing jadi serba susah, apa yang ingin diketahui orangorang itu, semuanya adalah persoalan yang sulit untuk diceritakan, terpaksa akhirnya dia berkata.

   "Suhu sudah almarhum, beliau wafat di hari menerima aku sebagai murid penutupnya."

   Tam Pa-kun berkata.

   "Semasa masih hidup Thio Tayhiap tidak suka diganggu orang, maka dia memilih suatu tempat untuk pengasingan dirinya, memperdalam ilmu pedang dan berhasil menciptakan Kungfu tingkat tinggi. Maka tak perlu kita tahu di tempat mana terakhir beliau semayam,"

   Hadirin semua adalah kaum persilatan.

   Umumnya dalam kalangan Kangouw ada pantangan yang sudah mereka ketahui dan patuhi bersama, tadi karena merasa girang dan lega karena mendengar berita Thio Tan-hong maka tak kuasa mereka menahan gelora hati untuk menanyakan pendekar besar pujaan mereka ini.

   Setelah mendengar penjelasan Tam Pa-kun, barulah suasana menjadi reda.

   Baru sekarang Tam Pa-kun ada kesempatan maju berkenalan dengan Tan Ciok-sing, katanya.

   "Waktu di Taytong malam itu, aku masih belum tahu akan dirimu. Kalau tidak pasti aku sudah memberi penjelasan kepadamu, tentang persoalan Lui Tayhiap itu. Tapi juga untung aku tidak sempat menjelaskan kepadamu. Jikalau aku turut campur, maka kau takkan punya alasan untuk bertanding dengan Lui Tayhiap, maka kita semuapun takkan memperoleh kesempatan sebaik ini untuk menyaksikan pertandingan sehebat tadi,"

   Maka hadirin gemuruh dalam susana gelak tawa dan tepuk tangan. It-cu-king-thian serahkan kembali golok emas itu kepada Tam Pa-kun, katanya.

   "Terima kasih kau telah meminjamkan golok emasmu ini kalau mengandal sepasang tangan kosongku saja, jelas aku bukan tandingan Tan-siauhiap yang mahir memakai pedang."

   Setelah menerima goloknya Tam Pa-kun berkata lebih lanjut.

   "Lui Toako, ada sebuah persoalan lagi yang ingin kusampaikan kepadamu yakin kau akan amat senang."

   "Persoalan apa?"

   Tanya It-cu-king-thian. Tam Pa-kun menarik In San ke depan, katanya tertawa.

   "Thio Tan-hong dan In Jong adalah dua pendekar besar dari kaum cianpwe yang kau kagumi. Putra In Jong, In Hou adalah sahabat yang sejak lama ingin kau kenal, betul tidak?"

   "Ya, memangnya kenapa?"

   Tanya It-cu-king-thian.

   "Biar kuberitahu kepadamu, nona ini adalah putri tunggal dari In Hou In Tayhiap."

   Baru sekarang hadirin memperhatikan In San, dan tahu pula bahwa dia adalah seorang gadis belia yang menyamar jadi laki-laki, semua mereka heran dan bingung. Dengan rawan In San berkata.

   "Sayang ayah sudah meninggal dicelakai musuh, beberapa hari yang lalu baru sempat aku sembahyang di depan pusara beliau. Tapi aku harus berterima kasih kepada Lui Tayhiap yang telah merawat dan membangun kembali pusaranya itu."

   Lekas It-cu-king-thian membalas hormat, katanya.

   "Sebetulnya ayahmu sudah berjanji dengan Tam Tayhiap untuk berkunjung ke rumahku, sayang aku tahu setelah terlambat, bukan saja tak mampu bertidak selaku tuan rumah akupun tak bisa berbuat banyak setelah dia dicelakai oleh musuh. Walau aku tidak membunuhnya tapi secara tidak langsung, kematiannya karena kelalaianku juga. Sungguh aku merasa menyesal dan mohon maaf kepada nona, aku merasa malu pula untuk berhadapan dengan orang-orang gagah di dunia ini."

   In San membasut air matanya katanya.

   "Urusan duka cita ini biarlah berlalu dan tak perlu kita pikirkan lagi. Hari ini adalah hari bahagia kita semua, dimana orang-orang gagah dari segala penjuru kumpul disini adalah pantas kalau kita harus bersuka ria bersama."

   Dalam pada itu Kek Lam-wi menggandeng gadis jelita itu tampil ke depan memperkenalkan diri, akhirnya In San tahu bahwa gadis jelita teman Kek Lam-wi bernama Toh So-so, adik seperguruan Kek Lam-wi.

   Mereka adalah penduduk Kanglam juga, mereka adalah teman baik dari Kanglam Sianghiap.

   Kwik Ing-yang dan Ciang Bin-siu.

   Mendengar kalau Kanglam Sianghiap kini berada di markas Kim-to Cecu, bukan main rasa senang mereka, kata So-so.

   "Tak heran waktu aku melihat kuda kalian hari itu seperti sudah kukenal, ternyata memang betul milik Kanglam Sianghiap. Aku sudah kangen pada mereka."

   "Kabarnya kalian juga hendak pergi ke markas Kim-to Cecu?"

   Tanya In San.

   "Betul, bukan kami saja, semua yang hadir disini hendak kesana,"

   Ujar Toh So-so.

   "Kalau begitu, berapa bulan lagi kau akan bertemu lagi dengan mereka."

   Kata In San. Di sebelah sana Tan Ciok-singpun sedang berbicara oengan Kek Lam-wi, keduanya sama riang, kata Kek Lam-wi.

   "Hobiku selama hidup ini adalah musik, yang kedua baru belajar kungfu. Dalam musik terutama adalah harpa, Sayang aku tak berhasil belajar harpa, belajar ilmu pedang juga gagal. Sebaliknya Tan-heng ilmu harpa dan ilmu pedangmu sama mencapai top, untuk selanjutnya aku harap Tan-heng suka memberi petunjuk kepadaku."

   "Kek-heng terlalu sungkan, aku tahu Kek-heng mahir meniup seruling, akupun ingin mohon petunjuk dari Kekheng."

   Dari samping It-cu-king-thian menyeletuk.

   "Kalian besok masih ada tempo untuk mengadu harpa dan seruling Ciok-sing Hiantit, masih ada omongan yang ingin kubicarakan dengan engkau."

   Waktu itu sudah menjelang kentongan ke empat, Nyo Houhu tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Setelah menyaksikan dua babak tontonan yang bagus tadi semalam suntuk kita semua tiada yang tidur, kini tiba saatnya kita pulang beristirahat."

   Tahu bahwa It-cu-king-thian hendak mengajak Tan Cioksing bicara, maka Kek Lam-wi segera mohon diri, bersama Toh So-so mereka berangkat pulang lebih dulu, tapi dia mengundang Tan Ciok-sing untuk bertamasya naik perahu.

   It-cu-king-thian, Tam Pa-kun, Tan Ciok-sing dan In San berempat berangkat paling akhir, mereka turun gunung bersama, baru sekarang sambil jalan mereka sempat bicara secara panjang lebar tentang peristiwa selama empat tahun akhir ini.

   Maka It-cu-king-thian lantas menjelaskan kepada Tan Cioksing.

   "Peristiwa malam itu yang menimpa kakekmu begini. Waktu dia datang ke rumah dia memberitahu bahwa In Tayhiap sedang merawat luka-lukanya di rumahnya. Seharusnya aku segera datang ke rumahmu memberi pertolongan, tapi waktu itu ada sesuatu yang amat kukuatirkan, sehingga bukan saja tidak bisa segera memberi pertolongan, malah Kakekmu pun kusuruh segera pulang. Tahukah kenapa sebabnya? Karena di rumah aku juga kedatangan tiga tamu yang tak kuundang, tamu yang tidak kusenangi. Ketiga tamu itu adalah Le Khong-thian murid Kiau Pak-bing, gembong iblis besar yang puluhan tahun lalu pernah sejajar dengan Thio Tan-hong Thio Tayhiap, seorang lagi adalah Siang Po-san, satu-satunya murid keturunan dari Bi-babun, orang ketiga adalah Tok-liong-pang Pangcu Thio Ou."

   "Ketiga orang inilah yang mencelakai In Tayhiap,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   "Mereka datang sebelum kakekmu tiba waktu itu akupun belum tahu kalau In Tayhiap sudah celaka di tangan mereka. Mungkin mereka belum tahu bagaimana keadaan luka In Tayhiap, mereka menyebar anak buahnya untuk mencari tahu dimana kira-kira jejak In Tayhiap."

   "Mereka memang kurang ajar dan petingkah datang lantas secara lantang menyerukan gabungan kekuatan untuk membunuh In Tayhiap. Diharap aku ikut bergabung dalam komplotan mereka, pertama bantu mencari tahu dimana kirakira sekarang In Tayhiap berada, atau kalau tidak mau menerima uluran tangan, diminta supaya aku tidak menghalangi aksi mereka."

   "Kalau ketiga orang ini bergabung, waktu itu jelas aku bukan tandingan mereka, oleh karena itu terpaksa aku bersikap kendor dan mencari akal cara bagaimana untuk mencegah usaha mereka secara diam-diam."

   "Tapi sebelum aku memperoleh akal untuk menghadapi mereka, kakekmupun datang, aku mohon diri sebentar, kutinggal ketiga tamu itu di ruang tamu, lalu kutemui kakekmu di kamar rahasia, waktu itu kakekmu belum terluka."

   "Setelah mendapat keterangan kakekmu baru aku tahu akan berita positip keadaan In Tayhiap, konon dia punya harapan untuk sembuh dari lukanya yang parah, maka legalah hatiku, lekas aku suruh kakekmu lekas pulang, supaya tidak kepergok oleh ketiga gembong iblis yang kini menjadi tamuku."

   "Waktu itu memang aku sudah tahu bahwa ketiga gembong iblis itu adalah biang keladi yang melukai In Tayhiap, akan tetapi aku masih belum bisa membalas sakit hati In Tayhiap seorang diri. Terpaksa aku layani mereka secara ala kadarnya, akhirnya aku antar mereka pergi, kupikir setelah Tam Tayhiap datang nanti, dengan kekuatan kami berdua, yakin kami akan dapat menuntut balas sakit hati In Tayhiap."

   "Tak nyana belum jauh setelah kekekmu pergi, beliau dibokong dan disergap oleh orang Tok-liong-pang hingga terluka, tapi hal ini baru kuketahui belakangan setelah ketiga tamu dari gembong-gembong iblis itu pergi."

   "Waktu itu pikiranku hanya mencari akal untuk memberi bantuan dan menyelamatkan In Tayhiap, supaya dia dapat merawat lukanya di rumah keluarga Tan dengan tentram tanpa diganggu siapapun. Siapa nyana bukan saja In Tayhiap akhirnya mengalami nasibnya yang mengenaskan, malah kakek Tan Ciok-sing juga harus ikut berkorban. Sungguh bukan kepalang rasa menyesalku, kalau siang-siang aku tahu bakal terjadi peristiwa ini, pasti malam itu aku berlaku nekad mengadu jiwa dan melabrak ketiga gembong iblis itu, Cioksing Hian-tit, nona In, memang pantas kalian menyalahkan aku karena kelalaianku bertindak waktu itu."

   Lekas Tan Ciok-sing dan In San berkata bersama.

   "Lui Tayhiap harap jangan menyalahkan diri sendiri, bicara soal situasi waktu itu umpama kau nekad dan melabrak mereka, urusanpun takkan banyak berubah dan membawa manfaat, Lui Tayhiap jiwa pendekarmu dan rasa setia kawananmu memang patut kita kagumi dan harus menjadi teladan kita semua, untuk ini kami amat berterima kasih kepadamu."

   Berkata It-cu-king-thian lebih lanjut.

   "Hari kedua aku datang ke rumah kakekmu, In Tayhiap, dan kakekmu sudah sama meninggal, seharusnya itu waktu aku memberi penjelasan kepada kau Ciok-sing, tapi..."

   "Semua lantaran kecorobohan dan kebodohanku,"

   Demikian ucap Tan Ciok-sing.

   "Waktu itu kuanggap umpama bukan kau yang langsung mencelakai kakekku, paling tidak kau tersangkut didalam perkara ini, begitu melihatmu, sikapku lantas tegas memandangmu sebagai musuh besar. Ternyata aku seceroboh ini, akupun pantas mati saja."

   "Kau tidak bisa disalahkan juga, kakekmu terluka parah setelah pulang dari rumahku, memang siapapun pasti akan mencurigai diriku. Tapi, bahwa waktu itu aku tak mau memberi penjelasan kepadamu, memang didalam hal ini masih ada sebab musababnya."

   "Lui Tayhiap, tak perlu kau jelaskan lagi, hanya akulah yang harus disalahkan karena kebodohanku, kini urusan sudah jeias, memangnya aku masih tidak percaya padamu?"

   Demikian kata Tan Ciok-sing.

   "Meski kau tidak menaruh curiga pula kepadaku, tapi aku masih ingin menjelaskan hal ini?"

   Demikiau lt-cu-king-thian menyatakan.

   "In Tayhiap sudah gugur, tapi kawanan penjahaf'itu belum tahu, sebelum mereka mendapatkan golok pusaka dan buku pelajaran silat milik In Tayhiap jelas takkan mau berhenti sampai disini. Waktu kakekmu pulang dari rumahku malam itu, di tengah jalan jejaknya konangan oleh orang-orang Tokliong- pang, kakekmu dilukai namun dia berhasil lolos. Betapa senang hati mereka setelah memperoleh sumber penyelidikan ini, maka mereka terus mengejar dan menyelidik."

   Tan Ciok-sing paham, katanya.

   "Lui Tayhiap, secara suka rela kau memanggul nama buruk sehingga mereka menyangka In Tayhiap sudah terjatuh ke tanganmu, sudah tentu barang peninggalannya juga terjatuh ke tanganmu. Maka kalau mereka ingin mendapatkan barang-barang itu, terpaksa harus berhadapan dengan kau, selanjutnya tidak akan mencari perkara terhadap kami kakek dan cucu. Ya, tak heran malam itu dengan leluasa aku dapat lolos dari cengkeraman iblis kiranya kaulah yang membantu secara diam-diam. Ai, Lui Tayhiap, kenapa kau harus bertindak sejauh ini, sebetulnya kau bisa berusaha supaya aku tahu..."

   It-cu-king-thian tersenyum, katanya.

   "Aku memang sengaja supaya kaupun menaruh curiga kepadaku, sehingga orang lainpun lebih curiga lagi. Oleh karena itu, sepulang dari rumahmu, malam itu juga aku membakar rumah. Aku berbuat demikian, pertama lantaran seorang diri tak akan mampu menempur beberapa gembong iblis itu, kedua maksudku ingin memancing mereka pergi, supaya mereka menyangka setelah aku memperoleh barang-barang yang mereka incar terus merat ke tempat jauh, dan kau akan selamat dan tidak akan direcoki mereka."

   Haru dan sedih hati Tan Ciok-sing, tanpa terasa air mata berkaca-kaca di kelopak matanya, katanya.

   "Lui Tayhiap, karena aku kau rela memikul segala resiko buruk itu, demi aku pula kau mengorbankan rumah dan harta benda, tapi aku justeru menuduh dan menyalahkan kau, budi kebaikanmu ini, selama hidup sukar aku membalasnya."

   Tam Pa-kun menghela napas, katanya.

   "Aku pun harus disalahkan karena terlambat datang empat hari waktu yang dijanjikan. Sampai detik ini aku masih belum mengerti, entah bagaimana perjanjianku dengan In Tayhiap bisa bocor. Di tengah jalan aku kepergok Huwan bersaudara, dua hari lamanya aku dilibat dan dikeroyok mereka, akhirnya dua di antaranya dapat kulukai dan membobol kepungan dari barisan golok mereka. Siang dan malam aku menempuh perjalanan, alangkah sayangnya tenagaku sudah hampir habis. Lebih tak terpikir lagi setelah aku terlambat empat hari tiba di Cit-singgiam, orang-orang Tok-liong-pang masih menunggu aku dan mengatur jebakan sehingga aku terperangkap, begitu tiba aku lantas terbokong dan terluka parah. Untung Lui Toako bertindak tepat pada saatnya kalau tidak jiwaku takkan hidup sampai sekarang."

   "Rahasia ini dicuri dengar oleh Liong Seng-bu bangsat kurcaci itu."

   Demikian Tan Ciok-sing menjelaskan.

   "lalu pamannya yang bernama Liong Bun-kong mengatur tipu daya sehingga In Tayhiap celaka dan kita semua mengalami musibah ini,"

   Lalu dia menceritakan pula apa yang dia ketahui dari penuturan In-hujin.

   Baru sekarang Tam Pa-kun tahu duduknya perkara.

   Dalam pada itu mereka sudah tiba di bawah gunung, rumah keluarga Nyo.

   sudah tampak di kejauhan sana, haripun sudah mendekati fajar.

   Teringat sesuatu Tan Ciok-sing lantas berkata.

   "Aku hendak menemui seorang teman, kira-kira memerlukan waktu setengah jam. Adik San, kau boleh ikut Tam Tayhiap dan Lui Tayhiap menunggu di rumah keluarga Nyo saja."

   "Dimana temanmu berada?"

   Tanya It-cu-king-thian.

   "Berada di bawah Bik-lian-hong, di tepi sungai,"

   Sahut Tan Ciok-sing.

   "Kau datang bersamanya kemarin malam?"

   Tanya It-cuking- thian pula.

   "Ya, dialah yang mengantarku kemari dengan perahunya."

   "Kalau dia temanmu, kenapa tidak kau ajak ke rumah keluarga Nyo saja, supaya kita semua bisa kumpul."

   "Dia bukan kaum persilatan, dia seorang nelayan cilik yang waktu kecil menjadi teman baikku. Aku tidak ingin dia ikut terjun kedalam pusaran pertikaian kaum persilatan."

   Waktu Tan Ciok-sing buru-buru menyusul ke tepi sunyai, tampak perahu Siau-cu-cu masih ditambat di pinggir sungai, ternyata dia masih menunggu disana. Siau-cu-cu amat girang, katanya.

   "Memangnya aku lagi kuatir, syukurlah kau kembali dengan selamat. Semalam apa yang terjadi? Mana nona In, kenapa tidak pulang bersamamu?"

   Tan Ciok-sing tertegun, katanya tertawa.

   "Ternyata kau sudah tahu kalau dia menyaru laki-laki. Jangan kuatir, dia tidak apa-apa, Dia ketemu dua orang sahabat ayahnya, kini seperjalanan menuju ke rumah keluarga Nyo."

   "Kalau begitu marilah kau pulang naik perahu kecilku ini? Hari ini angin menghembus kencang, kembalinya pasti lebih laju."

   "Memang aku kemari hendak memberitahu kepadamu, aku akan tinggal dua hari lagi disini kuharap kau pulang lebih dulu."

   Siau-cu-cu tersentak, katanya tersenyum.

   "Ya memang aku yang goblok. Kalau nona In belum pulang, sepantasnya kaupun tetap berada disini."

   Merah muka Tan Ciok-sing, katanya.

   "Baru saja aku berkenalan dengan seorang teman she Kek, yaitu teman yang kuceritakan padamu mengundangku kesini."

   "Adakah urusan lain yang perlu kau pesan padaku?"

   Tanya Siau-cu-cu.

   "Tidak ada, cuma tolong kau rawat kedua ekor kudaku itu."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bicara soal kedua ekor kuda itu, ada sebuah hal perlu kuberitahu padamu."

   Melihat sikapnya agak ganjil Tan Ciok-sing bertanya.

   "Hal apa?"

   "Tadi pagi sebelum fajar menyingsing, kudengar ada orang yang memperbincangkan kedua ekor kuda putihmu itu."

   Tan Ciok-sing kaget, tanyanya.

   "Siapa mereka?"

   "Entah siapa, mereka lewat di pinggir kali, perahuku ini berada di tengah lebatnya daun-daun welingi, sehingga mereka tidak melihatnya."

   "Apa yang mereka bicarakan?"

   Seorang berkata.

   "Aneh, bocah itu dan temannya menunggang kuda putih milik Kanglam Sianghiap, bila mereka muncul di tengah jalan, orang-orang pihak kita pasti dapat mengenalinya. Tapi tiada seorangpun yang melihat kuda putih itu, tahu-tahu bocah itu sudah berada disini."

   Seorang lagi berkata.

   "Memangnya kau kira dia tidak bisa datang naik perahu?"

   Yang duluan berkata pula.

   "Hal itu sudah kupikir, sayang sekarang tinggal kita berdua, apa masih ada orang lain yang berhasil lolos belum diketahui.. Keadaan kita sekarang masih cukup berbahaya, syukur kalau Liong-tayjin ada mengutus orang untuk membantu kita." -"Sampai disini pembicaraan mereka, selanjutnya apa pula yang dibicarakan aku tidak mendengar dengan jelas. Dari nada pembicaraan mereka, agaknya mereka adalah tawanan yang berhasil meloloskan diri."

   Setelah Tan Ciok-sing tiba di rumah keluarga Nyo, langsung dia bicarakan hal ini kepada Nyo Hou-hu, setelah diperiksa, memang, ada tiga orang yang berhasil lolos dari orang-orang jahat yang terdaftar.

   Itu berarti kecuali dua orang yang ditemui Siau-cu-cu, masih ada seorang lain pula yang lolos.

   Tapi ketiga orang ini hanya kaum kroco yang tidak begitu penting peranannya, semuanya sudah ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan oleh Nyo Hou-hu.

   Ternyata Tan Ciok-sing amat cocok dengan Kek Lam-wi, maka dua pasangan kekasih bertamasya bersama, satu memetik harpa yang lain meniup seruling, kedua pemudinya bernyanyi, berdendang dan menari, suasana sungguh amat riang dan menggembirakan.

   Sehari itu mereka menjelajah seluruh obyek-obyek turis di Kwan-san tanpa merasakan lelah, maklum setiap kali berada di suatu tempat yang indah pemandangannya, maka alunan harpa dan seruling pasti berkumandang di antara alam pegunungan nan permai, dipadu pula dengan kicauan burung yang merdu, sungguh indah dan mengasyikan sekali.

   Akhir kali dari paduan suara harpa dan seruling, dimana gema suaranya masih berkumandang di antara lembah dan sungai, tiba-tiba terdengar sebuah suitan panjang, malah sayup-sayup seperti terdengar seorang memuji.

   "Bagus."

   Kek Lam-wi melongo sejenak, katanya kaget dan senang.

   "Agaknya orang ini punya hobi jugatialam bidang musik, mungkin dia ingin berkenalan dengan kita."

   Suitan itu berkumandang dari atas puncak sana, kalau bukan seorang yang memiliki lwekang tinggi, suaranya tak mungkin bisa terdengar sejauh ini. Teringat sesuatu Tan Ciok-sing berkata.

   "Bukan saja orang ini sehobi dengan kita, kemungkinan dia memang punya maksud tertentu, agaknya dia sengaja hendak menarik perkenalan, kali ini aku pasti tidak salah dengar."

   Kek Lam-wi heran, katanya.

   "Soal apa yang kau katakan? Apakah orang itu pernah muncul?"

   "Waktu aku datang, di atas perahu pernah juga kupetik harpaku untuk teman tukang perahuku, waktu itu sayup-sayup pernah juga kudengar suara suitan. Tapi hanya suaranya saja tanpa kelihatan bayangannya, kuduga orangnya pasti sama."

   "Kemungkinan orang ini masih ada di atas gunung, mari kita cari dia,"

   Demikian ajak Kek Lam-wi. Tak nyana setiba mereka di puncak Kwa-san, bayangan seorangpun tiada yang terlihat. Kek Lam-wi menghela napas, katanya.

   "Agaknya orang kosen ini tak sudi bertemu dengan kita semua."

   "Aneh, kenapa dua kali dia sengaja bersuit?"

   Ujar In San. Tan Ciok-sing juga tidak habis mengerti katanya.

   "Kukira dia sengaja, hendak menarik perhatian kami, ternyata salah dugaanku."

   "Tapi aku yakin orang itu tidak ' punya maksud jahat terhadap kita,"

   Timbrung In San.

   "Sudah tentu, kalau dia seorang musikus, seorang seniman, yakin dia bukan orang jahat."

   Tapi Tan Ciok-sing tidak sependapat, batinnya.

   "Liong Seng-bu juga seorang pelajar pandai main musik pula, kelihatannya lemah lembut, kenyataannya dia lebih ganas dari serigala,"

   Namun dia tidak ingin berdebat dengan teman baru ini, maka dia simpan pikirannya dalam hati. Sepulang ke rumah keluarga Nyo hari sudah petang, Nyo Hou-hu berkata.

   "Aku dan Lui Tayhiap sedang menunggu kalian pulang."

   "Apa ada urusan?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Hayo masuk dulu, bicara didalam saja,"

   Ucap Nyo Hou-hu. Nyo Hou-hu membawa mereka kedalam kamar bukunya, Itcu- king-thian sudah menunggu mereka. Melihat mereka datang, dia tertawa, katanya.

   "Hari ini kalian tentu amat riang?"

   "Hari ini bertamasya dengan Kek-heng, sungguh merupakan hari yang paling menyenangkan selama hidupku ini. Tapi..."

   "Tapi apa?"

   Tanya It-cu-king-thian.

   "Entah Nyo Cengcu ada persoalan apa yang hendak dibicarakan dengan kami, silakan bicarakan lebih dulu."

   "Ada satu urusan yang perlu kusampaikan kepada Kekheng, tapi bukan soal penting, silakan kalian dulu yang bicara."

   "Kami juga tiada urusan apa, cuma ingin kami tanya seseorang kepada Nyo Cengcu."

   "Siapa- yang kalian maksud?"

   "Seorang yang belum kami ketahui nama dan wajahnya,"

   Kata Tan Ciok-sing, lalu dia tuturkan kejadian yang mereka alami di Kwa-san. Nyo Hou-hu tampak keheranan, katanya.

   "Penduduk di sekitar Kwa-san boleh dikata amat kukenal, tapi tiada orang kosen seperti kalian katakan itu. Kukira dia orang luar yang datang kesana."

   "Kalau dia orang luar sepantasnya juga kemari memberi selamat kepada Nyo Cengcu. Kalau tidak untuk apa pula dia berada di sekitar sini?"

   Demikian kata Kek Lam-wi. Nyo Hou-hu berkata.

   "Kalian terlalu memberi muka kepadaku, kalau dia seorang kosen, masakah berani aku menerima ucapan selamatnya? Tapi secara kebetulan, tadi memang ada seorang kemari mencari tahu tentang dirimu."

   "Siapa?"

   Tanya Kek Lam-wi.

   "Kek-heng, bukankah kau punya seorang Susiok yang bernama Ti Nio tinggal di kota Khong-gwan di daerah Jwansay?"

   Tanya Hou-hu.

   "Benar,"

   Sahut Kek Lam-wi.

   "tapi belum pernah aku bertemu dengan Ti-susiok."

   "Dia mengutus seorang muridnya she Kok kemari, dia mengharap kedatanganmu ke Khong-gwan tanggal lima belas bulan depan untuk menemuinya."

   "Sebetulnya aku ingin kumpul beberapa hari lagi disini dengan Tan-heng, karena hal ini terpaksa besok juga aku harus berangkat,"

   Demikian ucap Kek Lam-wi.

   "Baiklah, karena kau ada urusan, aku tidak akan menahanmu lebih lama lagi. Tolong sampaikan salamku kepada Susiokmu."

   "Kek-heng besok menuju ke Kwi-lin lebih dulu?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Betul, kupikir akan menempuh perjalanan darat saja dengan nona Toh, sepanjang jalan bisa menikmati pemandangan alam, petangnya kebetulan tiba di Kwi-lin."

   "Kalau begitu besok kita bisa seperjalanan,"

   Kata Tan Cioksing.

   "Lho, kau juga mau pergi? Apa kau tidak menunggu Lui Tayhiap?"

   Tanya Nyo Hou-hu.

   "Temanku tukang perahu itu tiada pengalaman Kangouw sama sekali, aku menguatirkan keselamatannya,"

   Demikian kata Tan Ciok-sing.

   "kalau dia kena perkara lantaran aku, bagaimana hatiku bisa tentram."

   Sesaat berpikir akhirnya It-cu-king-thian berkata.

   "Ucapanmu betul, hati-hati memang lebih baik. Kedua ekor ikan yang lolos itu tidak perlu dibuat kuatir, tapi kalau orang aneh itu sengaja hendak mencari perkara kepadamu, di Kwilin aku sudah menyebar beberapa orang, kuatirnya merekapun tak kuasa menghadapinya."

   "Kalau demikian, akupun takkan menahanmu, kelak kita bertemu saja di markas Kim-to Cecu,"

   Kata Nyo Hou-hu. Kata It-cu-king-thian lebih lanjut.

   "Muridku yang ketiga bernama In Ih, dia kenal kau dan Kek-siheng, besok setiba kalian di Kwi-lin, boleh menginap di rumahnya demikian pula temanmu itu bila menghadapi sesuatu persoalan boleh minta bantuan kepadanya. Temanmu itu walau dari kaum lemah namun punya jiwa ksatria, bila dia suka belajar silat, boleh aku suruh In Ih menerimanya sebagai murid."

   Setelah segala sesuatunya diatur baik, hari kedua, Tan Ciok-sing, In San, Kek Lam-wi dan Toh So-so berempat mohon diri, lalu menempuh perjalanan bersama.

   Dari Yang-siok ke Kwi-lin sejauh seratus dua puluh li, sehari perjalanan supaya tidak terlambat, terpaksa mereka hanya menikmati pemandangan sepanjang jalan sambil lalu belaka.

   Di tengah jalan mereka kehujanan dan harus berteduh selama satu jam, karena jalanan becek, waktu mereka memasuki kota Kwi-lin, hari sudah gelap.

   "Seharusnya aku ikut pergi ke rumah keluarga In, tapi kuatir terlalu malam, tidak leluasa mencari temanku itu. Tolong sampaikan saja salamku kepada In Ih."

   Kek Lam-wi mengiakan katanya.

   "Tapi, apa kau tidak makan malam dulu? Marilah, kita makan dulu."

   Perut Tan Ciok-sing memang sudah lapar, dari pada bikin susah Siau-cucu, dia pikir lebih baik mampir ke warung dulu baru ke rumahnya. Maka katanya.

   "Baiklah, besok aku tak bisa mengiringi perjalanan kalian lebih jauh, biar kali ini aku yang traktir, kalian ingin makan apa boleh pesan saja,"

   "Supaya tidak membuang waktu, kita makan di warung saja. Aku hanya ingin menikmati satu macam makanan saja."

   "Masakan apa?"

   Tanya Tan Ciok-sing.

   "Nasi tim daging kuda."

   Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Kau memang pandai mencari makan, nasi tim daging kuda dari Kwi-lin memang lain dari yang lain, di lain tempat takkan bisa kau nikmati. Di jalan Yong-im ada sebuah warung tua yang paling baik, mari kuajak kesana. Tapi jangan kau pandang warung itu sudah reyot dan kotor."

   Warung tua ini memang kecil, kotor lagi, dinding rumahnya sudah hitam hangus oleh asap, agaknya sudah sekian tahun tidak pernah dibersihkan.

   Toh So-so dari keluarga besar yang kaya raya, sudah tentu tak biasa berada di warung sekotor ini, dia masuk dan duduk sambil menutup hidung.

   Melihat ada tamu, pelayan segera menyilakan duduk, tanpa dipesan segera dia lari kesana mulai mengiris daging kuda.

   Secara bisik-bisik In San berkata.

   "Kenapa tidak kau pesan beberapa mangkok lebih dulu?"

   "Tidak usah pesan,"

   Kata Tan Ciok-sing.

   "apalagi orangorang yang kemari makan nasi tim daging kuda tiada yang tahu pasti berapa banyak dia menghabiskan."

   "Eh, memangnya takeran makan sendiri tidak tahu?"

   Tanya In San bingung.

   "Orang yang takeran makannya besar sekaligus bisa menghabiskan tiga puluh sampai empat puluh mangkok, bagi yang takeran kecil sedikitnya juga belasan atau dua puluhan mangkok. Makan banyak atau sedikit kan tidak menjadi persoalan."

   "Apa?"

   Teriak In San.

   "seorang bisa menghabiskan empat puluh mangkok? Mangkok apa itu?"

   "Nanti setelah disuguhkan kau akan tahu sendiri,"

   Sahut Tan Ciok-sing. Tak lama kemudian pelayan sudah membawa nampan menyuguhkan nasi tim daging kuda. Ternyata mangkok yang berisi nasi daging kuda hanya sebesar cangkir teh. Seketika In San tertawa, katanya.

   "O, kiranya sekali gares dapat melalap satu mangkok, tak heran yang doyan makan bisa menghabiskan empat puluh mangkok."

   "Nasinya juga amat harum,"

   Kata Toh So-so.

   Setelah dicicipi ternyata daging kudanya empuk wangi dan manis, nasinyapun lembut dan segar, memang lezat dan nikmat.

   Semula dia makan sambil menutup hidung, akhirnya semakin lahap semakin riang dan berseri tawa.

   Sudah menjadi aturan umum, bila sang tamu tidak suruh berhenti, pelayan masih terus menyuguhkan tanpa berhenti.

   Tan Ciok-sing minta Sam-hoa-ciu, dengan Kek Lam-wi dia makan sambil minum arak.

   Sebentar saja mangkok kosong sudah bersusun memenuhi meja.

   In San berkata.

   "Aneh, semakin makan semakin enak."

   "Itupun merupakan peraturan untuk yang suka makan nasi tim daging kuda. Beberapa mangkok permulaan daging yang disuguhkan adalah daging kuda biasa, kira-kira setelah lima mangkok, baru kau akan betul-betul merasakan daging kuda yang paling lezat, bila kau sudah merasakan bagian dalamnya, tanggung kau takkan merasa kenyang."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Waktu pelayan menghitung rekening, mereka berempat seluruhnya menghabiskan sembilan puluh delapan mangkok. Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Kurang dua genap seratus mangkok, takeran makan kita ternyata biasa saja."

   Di tengah jalan mereka berpisah, Tan Ciok-sing dan In San menuju ke pintu timur, waktu mendongak ternyata rembulan sudah bercokol di tengah langit, Tan Ciok-sing kaget, katanya.

   "Begitu lama kita makan nasi tim daging kuda, sekarang mungkin sudah menjelang kentongan ketiga."

   "Salahmu minum arak segala, kalau sudah terlambat mau apa lagi, paling mengganggu tidur Siau-cu-cu, kukira dia tidak akan salahkan kau,"

   Demikian kata In San.

   Berendeng mereka beranjak di Hoa-kio terus menuju ke Cit-sing-giam, rumah Siau-cu-cu berada di belakang Cit-singgiam, mereka masih harus menempuh perjalanan cukup jauh.

   Pada saat itulah di atas lereng sana kedengaran ada suara orang.

   Lekas Tan Ciok-sing tarik tangan In San sambil memberi tanda supaya dia berhenti.

   In San melengak, lekas diapun mendengar suara orang di atas.

   Suara yang terbawa angin lalu kedengaran jelas, ternyata pembicaraan dua orang yang sudah mereka kenal suaranya.

   Seorang adalah Siang Po-san, seorang lagi adalah Phoa Lathong.

   Terdengar Phoa Lat-hong sedang berkata.

   "Sungguh sial, tak nyana tak berhasil mencuri ayam malah kehilangan segenggam beras. Entah siapa kedua keparat itu?"

   "Kalah menang sudah biasa, suatu ketika gagal juga sudah sering terjadi, untung kita sudah tahu dimana sembunyinya Tan Ciok-sing bocah keparat itu, besok mungkin dia akan kembali dari Yang-siok, asal dia tidak bersama It-cu-kingthian, kita masih bisa mengerjai dia."

   Phoa Lat-hong berkata.

   "Kuatirnya kedua keparat itu adalah komplotannya, kita kuntit diam-diam, ternyata mereka juga mengawasi kita.

   "Kukira bukan, kalau kedua orang itu temannya, mana bisa mereka melakukan perbuatan seperti kita?"

   Sampai disini Tan Ciok-sing tidak tahan lagi, segera dia kembangkan Pat-pou-kan-sian terus melompat keluar memburu ke atas lereng, bentaknya.

   "Tak usah tunggu sampai besok bagaimana kalian hendak menjebakku, sekarang saja,"

   Belum habis dia bicara pedang pusakanya sudah terlolos, tubuh dan pedangnya bagai selarik lembayung menukik turun terus menggulung tiba.

   "Trang"

   Pedangnya membentur keras dengan gitar besi Siang Po-san.

   Sebagai murid tunggal Bi-ba-bun kungfu Siang Po-san memang cukup tinggi, dalam sekejap itu dia sudah bergebrak tiga jurus dengan Tan Ciok-sing, namun tiada yang dirugikan.

   Samentara itu In San terlambat bertindak, maka dia belum menyusul tiba.

   Setelah mendesak Tan Ciok-sing mundur dua langkah tibatiba Siang Po-san berteriak.

   "Angin kencang."

   Begitu gitar ditekan.

   "Ting, ting"

   Tiba-tiba dua batang paku penembus tulang melesat kesana menyerang ke arah In San yang memburu tiba.

   Tan Ciok-sing tahu betapa liehay paku orang, kuatir In San tak kuasa menangkisnya, lekas dia membalik tubuh sambil menyambit dua batang piau besi, sehingga paku penembus tulang itu dirontokkan di tengah jalan.

   Siang dan Phoa berdua pernah merasakan betapa liehaynya Siang-kiam-hap-pik dari Tan Ciok-sing dan In San, begitu melihat In San memburu tiba, kontan mereka ngacir mencawat ekor.

   Sementara Tan Ciok-sing menguatirkan keselamatan Siau-cu-cu, maka dia tidak mengejar.

   "Dari pembicaraan mereka tadi dapat disimpulkan, bahwa mereka berada disini hendak melakukan kerja tanpa modal. Tapi di kala mereka hendak bertindak, ternyata kebentur lawan tangguh yang bertujuan sama,"

   Demikian In San mengutarakan pendapatnya.

   "Syukur kalau orang yang bentrok dengan mereka adalah orang-orang utusan Lui Tayhiap."

   "Mungkin hanya tinggal harapanmu belaka, kan belum tentu kedua orang itu orang baik."

   "Betul, agaknya kedua orang itu juga melakukan perbuatan yang sama, jelas perbuatan mereka terhitung jahat pula. Entah perbuatan jahat apa yang mereka lakukan?"

   Setiba di depan rumah Siau-cu-cu, tampak sinar api masih menyorot keluar dari jendela. Waktu itu sudah lewat kentongan ketiga, jantung Tan Ciok-sing jadi berdebar, batinnya.

   "Sampai malam begini ternyata Siau-cu-cu belum tidur, jangan-jangan memang terjadi apa-apa pada dirinya,"

   Tengah berpikir dia beranjak lebih dekat, maka didengarnya Siau-cu-cu sedang berbicara dengan ibunya didalam rumah. Ayah Siau-cu-cu sudah lama wafat, sejak kecil mereka anak dan ibu hidup berdampingan.

   "Aduh, dadamu menghitam begini, mungkin lukanya tidak ringan, tengah malam buta rata begini, bagaimana bisa masuk kota mengundang tabib kemari, bagaimana baiknya?"

   "Bu, tak usah kau kuatir, aku sudah jauh lebih baik. Sekarang tidak terlalu sakit lagi."

   "Ah, masa iya, kau ditendang roboh dan jatuh pingsan oleh rampok bengis itu, baru saja siuman, mana mungkin bisa sembuh secepat ini? Em, ya orang itu memberi sebotol pil obat ini untukmu, baiklah dicoba saja,"

   Mendengar Siau-cu-cu terluka, karuan Tan Ciok-sing gugup dan gelisah, lekas dia menggedor pintu. Siau-cu-cu kira kawanan rampok putar balik lagi, serunya murka.

   "Bu, lekas kau sembunyi, biar aku adu jiwa dengan kawanan anjing itu,"

   Entah dari mana datangnya tenaga, tiba-tiba dia berjingkrak berdiri.

   "Siau-cu-cu, tak usah takut, inilah aku,"

   Lekas Tan Ciok-sing berteriak keluar. Sudah tentu Siau-cu-cu kaget dan girang, tapi dia tak percaya akan pendengaran sendiri, tanyanya.

   "Apa betul kau Siau-ciok-cu?"

   "Coba dengarkan dengan cermat, memangnya kau tidak mengenal suaraku lagi? Aku pulang bersama nona In."

   Lekas Siau-cu-cu membuka daun pintu, tanpa terasa air mata berkaca-kaca, katanya.

   "Siau- ciok-cu, aku malu berhadapan dengan kau,"

   Tubuhnya limbung, hampir saja dia tersungkur jatuh. Lekas Tan Ciok-sing membimbingnya ke atas pembaringan, katanya.

   "Peduli apa yang telah terjadi, aku tidak salahkan engkau. Sembuhkan dulu luka-lukamu lebih penting."

   Tapi Sian-cu-cu berkata.

   "Kedua ekor kudamu itu dicuri orang."

   Hal ini sudah diduga oleh Tan Ciok-sing, lekas dia menghibur.

   "Memang sayang kalau kuda itu direbut kawanan rampok, apapun yang terjadi, jiwa dan keselamatan lebih penting. Jangan kau ambil dalam hati peristiwa ini mari biar kuperiksa lukamu."

   "Kau pernah bilang kuda itu kau pinjam dari orang lain, mereka bisa menempuh ribuan li sehari, kuda sebagus itu tapi aku tak mampu melindunginya."

   "Memangnya kuda yang dapat lari ribuan li sehari lebih tebal dari persahabatanmu terhadapku, tak usah kau pikirkan hal ini, kalau tidak mendengar nasehatku, aku bisa marah lho."

   Tengah mereka bicara ibu Siau-cu-cu sudah melepas pakaian atas putranya, katanya lembut.

   "Siau-ciok-cu, tolong kau periksa, apakah lukanya parah?"

   Tampak rona hitam menghiasi dada Siau-cu-cu, selintas pandang memang menakutkan, Tan Ciok-sing tahu luka-luka ini memang cukup parah, tapi kini sudah jauh lebih mending.

   Kulit yang membengkak hitam itu semula cukup lebar dan luas, kini rona hitamnya sudah agak luntur.

   Begitu pakaian Siau-cu-cu dibuka hidung Tan Ciok-sing mengendus bau Kimjong- yok.

   Tanyanya.

   "Kau pernah memoles obat pada lukamu ini? Lho kenapa diusap lagi?"

   "Kawanan rampok itulah yang membubuhi obat ini, aku tak percaya ada rampok sebaik itu, maka aku mengusapnya bersih."

   "Rampok itu memang aneh, kenapa setelah melukai kau membubuhi obat lagi? Tapi inilah Kim-jong-yok tulen dari kwalitet paling baik."

   "Tapi mereka adalah dua rampok yang lain, bukan dua rampok yang duluan,"

   Demikian ibu Siau cu-cu menerangkan. Tiba-tiba In San menyeletuk.

   "Rampok yang memberi salep kepadamu itu bukankah juga memberi sebotol pil obat, coba keluarkan supaya kuperiksa."

   Lekas ibu Siau-cu-cu angsurkan botol obat itu kepada In San, katanya.

   "Lekas nona periksa apakah pil obat inipun tulen?"

   Setelah melihat pil obat itu seketika In San keheranan, katanya.

   "Inilah Wi-yang-tan buatan keluargaku dari resep tunggal warisan leluhur khusus mengobati luka-luka dalam, menurut ayah Wi-yang-tan dari keluarga kita ini kira-kira sejajar mujarabnya dengan Siau-hoan-tan buatan Siau-lim-si. Aku juga punya resep rahasia ini, tapi aku sendiri belum pernah membuatnya."

   Mau tak mau Tan Ciok-sing ikut heran, katanya.

   "Apa betul?"

   "Coba kau buktikan, aku sekarang juga membawa Wi-yangtan."

   In San keluarkan sebuah botol porselin kecil diangsurkan kepada Tan Ciok-sing, bentuk dan warnanya memang sama demikian pula baunya yang harum juga tak berbeda. Kata In San.

   "Lauw Toako, luka-luka yang kau derita ini sebutir sudah lebih dari cukup untuk menyembuhkannya. Tapi rampok itu sekaligus memberi tiga butir padamu, dia benarbenar seorang rampok yang baik hati."

   "Masakah rampok ada yang berhati baik, wah merupakan berita jadinya. Tapi aku tetap tak percaya."

   "Kim-jong-yok itu jelas tulen, maka pil inipun pasti bukan palsu,"

   Ucap Ciok-sing.

   "Kalau kau tak percaya obat pemberian rampok ini, biarlah kutukar saja dengan Wi-yang-tan milikku ini,"

   Demikian kata In San. Siau-cu-cu segera telan sebutir Wi-yang-tan tak lama kemudian terasa hawa hangat timbul dalam pusarnya, seketika semangatnya berkobar dan badan lebih segar. Waktu Siau-cu-cu makan obat Tan Ciok-sing bertanya kepada In San.

   "Apakah Wi-yang-tan ayahmu sering disumbangkan kepada teman-temannya?"

   Cukup lama In San berpikir, katanya kemudian.

   "Aku tidak mengerti. Walau ayah takkan mungkin memberikan obat-obat ini kepada teman-temannya, tapi kawan-kawan dari kaum ksatria memerlukan ayah akan memberikan dengan sukarela. Teman-temannya yang paling akrab hanya yakin tahu Tam

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   pepek dan Kim-to Cecu,"

   Sebetulnya dalam hati dia sudah curiga, tapi sekarang dia tidak leluasa memberitahu kepada Tan Ciok-sing.

   "Dengan kepandaian ayahmu, orang lain tak mungkin bisa mencuri Wi-yang-tan dari tangannya,"

   Demikian kata Cioksing, aneh juga mungkinkah kawanan rampok ini dari kalangan ksatria?"

   Kesehatan Siau-cu-cu sudah juga lebih baik, tak tahan dia berteriak.

   "Kaum ksatria apa? Kau tahu rampok yang memberi obat inilah yang merebut kudamu. Ai, sayang kedatanganmu terlambat satu jam, kalau kau bisa datang lebih pagi, kalian akan bentrok dengan kawanan rampok itu."

   "Kawanan rampok? Jadi bukan hanya dua orang saja yang kemari?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Semua empat orang, tapi mereka tidak datang bersama. Dua orang datang lebih dulu lalu datang pula dua yang lain."

   "Dua orang yang datang duluan apakah berwajah begini begitu? Satu di antaranya membawa gitar?"

   Lalu dia lukiskan bentuk tampang Siang Po San dan Phoa Lat-hong.

   "Sedikitpun tidak salah, dari mana kau bisa tahu?"

   Tanya Siau-cu-cu terbeliak.

   "Aku sudah ketemu mereka di tengah jalan,"

   Ujar Ciok-sing tertawa, lalu dia ceritakan bahwa kedua gembong iblis itu sudah digebahnya lari mencawat ekor. Keruan Siau-cu-cu amat senang, katanya.

   "Sayang kau tidak merebut balik kuda itu, tapi terlampias juga rasa penasaranku."

   "Kuda kami itu dirampas oleh kedua rampok yang datang belakangan bukan?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Ya, betul,"

   Sahut Siaucu- cu.

   "Bagaimana pula tampang perampok yang datang belakangan?"

   "Rampok yang datang duluan sebetulnya sudah hendak membunuh aku. Pada detik-detik genting di kala jiwaku sudah hampir menghadap Giam-lo-ong itu, tiba-tiba muncul dua sosok bayangan orang, secepat angin lesus tahu-tahu menubruk tiba. Rampok yang bersenjata gitar segera berteriak. 'Jangan hiraukan bocah itu, kita sudah berhasil, lekas pergi saja.' Aku melihat mereka sudah mencemplak ke punggung kuda, tapi kejadian selanjutnya bagaimana aku tidak tahu. Dadaku kena ditendang sekali sakitnya bukan main, kontan aku jatuh semaput."

   Maka tiba giliran ibu Siau-cu-cu bercerita.

   "Aku mengintip dari belakang daun pintu, melihat Siau-cu-cu ditendang roboh, saking kaget aku gemetar dan tak mampu berdiri lagi, ingin keluar menolongnya tapi kedua kakiku terasa lunglai tak bertenaga. Kudengar suara gaduh dan gedebukan yang ramai diluar kiranya kawanan rampok itu saling pukul dan genjotgenjotan dengan seru. Ternyata dua rampok yang datang duluan bukan tandingan dua rampok datang belakangan, mereka akhirnya lari."

   "Apa kau melihat wajah kedua rampok yang datang belakangan?"

   Tanya In San. Ibu Siau-cu-cu menutur.

   "Saking kaget aku jadi kebingungan, aku hanya bisa mengintip dari sela-sela pintu, mana bisa kulihat jelas? Tapi satu di antaranya kelihatan masih muda, mirip anak sekolahan, setelah memukul lari kedua orang itu, dia berdiri di depan pintu dan berkata.

   "Lomama (ibu tua) kau tak usah takut, kami tidak akan mencelakai putramu. Tapi kedua ekor kuda ini akan kami ambil. Disini kutinggalkan seratus tahil perak, nanti, boleh keluar mengambilnya. Lekas kau tolong putramu."

   Maka Siau-cu-cu menyambung.

   "Entah berapa lama aku semaput, tiba-tiba terasa sekujur badan dingin nyaman, seketika aku siuman, samar-samar sempat kulihat ada dua bayangan orang berdiri di depanku, aku hanya mendengar perkataannya."

   "Apa yang dia katakan kepadamu?"

   Tanya In San.

   "Dia membisiki aku. 'Kau tak usah kuatir, aku sudah memoles obat di dadamu, kutinggalkan pil obat pula, yakin setelah kau menelan pil obat ini kesehatanmu akan lebih kuat dan fit.' Sebelum pergi perampok ini ternyata masih berpurapura baik di hadapanku, katanya pula.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Malam ini bikin kau menderita sungguh harus disesalkan. Aku mohon maaf padamu, rawatlah luka-lukamu dengan baik,' lalu dia naik ke punggung kuda tinggal pergi temannya."

   Tan Ciok-sing masih ragu-ragu katanya.

   "Orang itu memang tidak ngapusi, dia memberi obat paling mujarab untuk kau."

   Ibu Siau-cu-cu bercerita pula.

   "Waktu aku membuka pintu dan keluar, betul juga kulihat sebungkus uang perak, Siau-cucu suruh aku kembalikan kepada orang itu, tapi orang itu sudah keburu pergi."

   Siau-cu-cu berkata.

   "Aku justeru tidak percaya ada rampok sebaik itu maka aku bersihkan salep yang dipoleskan di dadaku. Siapa kira ternyata dia betul menolong jiwaku. Tapi kenapa dia merebut kudamu?"

   "Akupun tak tahu sebab musababnya. Tapi rampok memang beraneka ragam, pelajar yang kau temui ini umpama betul adalah rampok, dia boleh terhitung rampok yang baik hati."

   "Betul, kalau dia seorang rampok yang baik hati, karena Siau-cu-cu terluka dia merasa menyesal, maka memberinya uang dan obat, kalau demikian sepantasnya dia memberi tahu apa tujuannya merampas kuda itu. Siau-cu-cu coba kau pikir lagi lebih cermat, mungkin masih ada kata-kata yang kau lupakan?"

   Agaknya Siau-cu-cu menjadi kikuk dan kuatir pula, katanya.

   "Sebelum rampok itu pergi, dia memang ada berpesan kepadaku, tapi aku, aku kuatir kau tertipu oleh rampok itu, maka tak berani aku menyampaikan pesannya itu."

   "Aku takkan gampang ditipu orang,"

   Bujuk Tan Ciok-sing.

   "apa pesannya lekas kau beritahu kepadaku."

   "Dia bilang. 'Temanmu mungkin besok pulang, beritahu kepadanya, kalau dia ingin tahu kenapa aku merebut kuda tunggangannya, boleh suruh dia pergi ke panggung batu di atas Cit-sing-giam menemui aku besok malam setelah kentongan ketiga.'"

   "Syukurlah kalau begitu,"

   Ucap Tan Ciok-sing.

   "besok malam aku akan tahu siapa dia sebenarnya."

   "Tapi dia menekankan, besok malam hanya kau seorang saja yang boleh kesana. Kalau ada orang lain lagi, dia tidak akan menemui kau,"

   Demikian Siau-cu-cu menambahkan.

   Hari kedua Tan Ciok-sing bawa Siau-cu-cu dan ibunya bertandang ke rumah keluarga In, kemarin In Ih sudah bertemu dengan Kek Lam-wi diapun sudah tahu akan pesan gurunya bahwa gurunya bakal menerima seorang murid baru lagi maka dia terima Siau-cu-cu dan ibunya tinggal di rumahnya.

   Setelah makan siang Tan Ciok-sing segera memohon diri.

   Kalau orang itu berjanji akan menemui pada kentongan ketiga, tapi kentongan kedua dia sudah datang lebih dini ke Cit-sing-giam.

   Panggung yang ditunjuk terletak di belakang karang Citsing- giam, didalam gua karang Cit-sing-giam terdapat sebuah mulut gua, dari sini bisa langsung menuju ke panggung batu itu.

   Tapi penduduk setempatpun jarang yang tahu akan rahasia ini.

   Sejak kecil Tan Ciok-sing sering bermain di Citsing- giam, dengan memejam matapun dia tidak akan kesasar jalan.

   Lorong gelap ini dahulu sering dia bermain petak dengan Siau-cu-cu dan secara kebetulan mereka temukan jalan tembus rahasia ini.

   Walau dia yakin orang itu tidak akan mencelakai dirinya, tapi waspada tiada ruginya, maka untuk menjaga segala kemungkinan dia berkeputusan untuk mencari suatu tempat sembunyi, sekaligus untuk mengamati gerak gerik orang.

   Dia naik tidak dari arah depan, karena jejaknya mungkin bisa konangan, maka dia putar ke belakang, dari sini diam-diam dia berbalik dapat memeriksa keadaan sekelilingnya, apakah orang ada mengatur perangkap.

   Baru saja kentongan kedua lewat, dia kira orang itu belum datang.

   Tapi rekaannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, di waktu dia menongol keluar dari mulut lobang, lapat-Iapat sudah dilihatnya dua bayangan orang berada di atas panggung batu itu, dua orang ini sedang bicara.

   Ciok-sing sembunyi di belakang batu didengar seorang berkata.

   "Siauya sungguh aku tak mengerti kenapa kau berbuat demikian?"

   Suaranya seperti sudah dikenal, baru saja Tan Ciok-sing melenggong, orang yang dipanggil Siauya itu menghela napas, katanya.

   "Tan Ciok-sing adalah orang baik, walau baru sekali aku bertemu dan bersahabat dengan dia, dalam lubuk hatiku aku sudah anggap dia sebagai teman karibku."

   Suara orang ini lebih dikenal lagi, keruan Ciok-sing kaget, batinnya.

   "Kenapa dia?"

   Segera dia mengamati lebih tajam, memang tidak salah orang yang berdiri di atas panggung dan kebetulan menghadap kemari itu, bukan lain adalah Siauongya dari keluarga Toan di Tayli.

   Yang berdiri di sampingnya adalah kacungnya.

   Waktu mampir ke Tayli tempo hari.

   Tan Ciok-sing pernah melihatnya juga.

   Agaknya kacung cilik ini uring-uringan, katanya dengan meninggikan suaranya.

   "Siauya, maafkan kalau aku bicara blak-blakan umpama betul kalian bersahabat baik, apakah pantas kau menyerahkan nona pujaan hatimu kepadanya begitu saja."

   Siau-ongya Toan Kiam-ping menghela napas, katanya.

   "Kau tidak tahu, hubungan Tan Ciok-sing dengan keluarga In bukan sembarangan, didalam pandangan nona In, sudah tentu dia lebih dekat dan mesra dari aku."

   "Aku tidak percaya keluarga Toan dan keluarga In juga sudah berhubungan turun menurun, sejak kecil Siauya juga dibesarkan bersama nona In, hubungan kalian lebih intim dari saudara sepupu. Bagaimana tidak sebanding dengan bocah she Tan itu."

   "Jangan kau kurang ajar terhadap Tan-siangkong. Kau tidak tahu, jangan sembarang ngomong."

   "Memang aku tidak tahu, tolong kau jelaskan kepadaku."

   "Hal itu juga baru akhir-akhir ini kuketahui, memang keluarga Toan kita punya hubungan intim sejak kakek moyang dengan keluarga In, tapi Tan Ciok-sing adalah tuan penolong keluarga In."

   "Umpama betul tuan penolong, Siauya kau bisa wakilkan nona In membalas budi kebaikannya itu, tapi kenapa mentahmentah kau serahkan nona In kepada bocah she Tan itu, memangnya kau tidak menyukai nona In lagi? Siauya, kau bisa mengelabui orang lain, tapi jangan kau ngapusi aku, aku tahu selama beberapa tahun yang kau tunggu hanyalah nona In seorang."

   Toan Kiam-ping menghela napas, ujarnya.

   "Yang disukai nona In justeru adalah Tan Ciok-sing."

   "Dari mana tahu? Setiba disana, kau kan belum bertemu nona In."

   "Aku pernah melihatnya, kemarin waktu di Kwan-san aku sudah melihat mereka. Aku tahu dia amat menyukainya."

   "Apakah nona In sendiri yang mengatakan kepadamu?"

   "Kenapa harus dia memberitahu kepadamu, memangnya aku tidak bisa melihatnya."

   "Kalau begitu, itu hanya rekaanmu saja Siauya, yang benar malam ini seharusnya kaupun undang nona In kemari, tiga orang berhadapan bukankah lebih baik dari pada main teka teki? Siauya, kalau kau tidak berani tanya kepada nona In biar aku yang tanya dia."

   "Banyak urusan, memangnya kau sedikitpun tidak tahu akan penderitaanku."

   "Siapa bilang aku tidak tahu? Aku tahu kau ingin berbuat baik terhadap teman, aku tahu kau ingin merangkap perjodohan mereka, aku juga tahu kau kepingin bertemu dengan nona In tapi juga takut berhadapan dengan nona In."

   Mendengar sampai disini tanpa terasa Tan Ciok-sing menjublek di tempatnya, pikirnya.

   "Jika orang yang sembunyi di Kwan-san itu kiranya memang dia. Kedatangannya ke Kwilin tentu ingin menengok In San, tapi lantaran kehadiranku disini, dia lebih rela berkorban. Ai, bagaimana baiknya aku bertindak?"

   "Siauya,"

   Terdengar kacung itu berkata pula.

   "Ada satu hal mungkin masih belum kau ketahui."

   "Hal apa?"

   "Ling Suhu pernah memberitahu kepadaku. Waktu kalian masih kecil, suatu ketika In Tayhiap bertandang ke rumah kau, waktu bicara dengan Lo-ongya dia bilang dia hanya punya seorang putri, harapannya kelak putrinya bisa hidup tentram dan bahagia, jangan seperti dirinya yang hidup kelana di Kangouw, selalu harus menempuh dan menyerempet bahaya. Waktu itu Ling Suhu ada di samping, setengah kelakar dia menyeletuk. Kalau demikian lebih baik kalau putrimu kelak dinikahkan dengan Siau-ongya kita ternyata In Tayhiap dan Lo-ongya punya maksud yang sama. Tapi lantaran waktu itu usia kalian masih terlalu kecil, maka soal jodoh ini tidak seketika diputuskan secara resmi."

   "Lain dulu lain sekarang, Umpama betul dulu In Tayhiap punya maksud itu, bukan mustahil belakangan dia merubah niatnya. Apalagi soal jodoh ini belum resmi?"

   Tiba-tiba kacung itu bertanya.

   "Siauya, kenapa malam ini kau tidak minta Ling Suhu menemani kau?"

   "Aku suka kau yang menemaniku, apa kau tidak sudi?"

   "Sudah tentu aku senang hati, tapi coba biar kutcbak isi hatimu, malam ini kau tidak berani mengajak Ling Suhu lantaran kau takut Ling Suhu mencegah perbuatan bodohmu. Bukan mustahil begitu berhadapan dengan Tan Ciok-sing, dia bakal memaki dan menistanya sebagai pemuda mata keranjang yang tidak tahu diri seperti kodok buduk yang ingin mencaplok daging bangau saja"

   Toan Kiam-ping marah serunya.

   "Mana boleh kau mengundal obrolan tidak genah begini, merendahkan martabat Tan-siangkong saja memangnya kau sudah lupa akan pesanku? Berani sembarang omong lagi awas kugampar mulutmu."

   Sejauh ini pembicaraan mereka, maka persoalanpun sudah gamblang, ternyata dari mulut Kanglam Lihiap Ciong Bin-siu, Toan Kiam-ping tahu jejak mereka, maka sengaja dia menyusul ke Kwi-lin.

   "Maka rampok baik hati semalam merampas kuda putih di rumah Siau-cu-cu kini sudah jelas adalah perbuatan Siau-ongya ini, sementara seorang temannya lagi adalah Cong-kau-thau dari rumah keluarga Toan, yaitu Ling Suhu, bukan heran kedua gembong iblis itu bukan tandingan mereka,"

   Demikian batin Tan Ciok-sing.

   Setelah tahu duduknya persoalan, hati Ciok-sing jadi risau, resah dan ruwet, darah seperti bergolak dalam tubuhnya "Kacung itu memaki aku sebagai kodok buduk, ai, tak bisa disalahkan kalau dia memakiku demikian, kalau aku dibanding Siau-ongya memang tidak setimpal menjadi pasangan putri In Tayhiap."

   Syukur hembusan angin malam pegunungan yang sepoisepoi dingin menyegarkan otak Tan Ciok-sing, kembali dia membatin.

   "Toan Kiam-ping memandangku sebagai sahabat karib, suka rela berkorban dan menyerahkan nona pujaannya kepadaku, begitu luhur budinya, sungguh aku patut menyesal dan malu diri, bagaimana aku harus bertindak?"

   Didengarnya kacung itu sedang berkata pula.

   "Siauya, bukan aku suka ceriwis, kau begini baik terhadap Tan Cioksing, tapi dia justru berbuat salah kepadamu."

   "Omong kosong, dalam hal apa dia berbuat salah terhadapku?"

   Semprot Toan Kiam-ping.

   "Kau suruh dia mengirim kabar kepada nona In, berarti kau mempercayainya, tapi dia justeru merebut kekasihmu."

   "Dia menolong nona In sebelum aku minta dia mengirim suratku itu."

   "Memang, kau menganggapnya teman yang dapat dipercaya, tapi dia justeru menyembunyikan hubungan akrabmu dengan keluarga In,.dapatkah ini dikatakan dia menganggap kau sebagai temannya? Hm, yang jelas dia tahu bahwa kau diam-diam mencintai nona In."

   Berkerut alis Toan Kiam-ping, katanya.

   "Kularang kau rasani Tan-siangkong."

   "Begini tidak boleh, begitu juga dilarang, baiklah terpaksa mulutku biar bungkam saja. Ai, Siauya, kalau kau rela berbuat sebodoh ini, ya akupun apa boleh buat."

   Toan Kiam-ping menengadah, tampak rembulan sudah meninggi di tengah angkasa, katanya.

   "Sudah mendekati kentongan ketiga, turunlah kau menjaga di bawah."

   Kini tinggal Toan Kiam-ping seorang yang berdiri di atas panggung batu, kini rembulan sudah tepat di tengah angkasa, tepat tiba kentongan ketiga.

   Tan Ciok-sing masih bimbang apakah dia perlu keluar menemui Toan Kiam-ping.

   Persoalan kuda putih sudah jelas.

   Isi hati Toan Kiam-ping sudah dia ketahui.

   Perlukah dia keluar menemuinya pula? Agaknya Toan Kiam-ping sudah tidak sabar dan tampak gelisah, dia celingukan kian kemari sambil mondar mandir menggendong tangan, mulutnya terdengar menggumam.

   "Kenapa belum datang juga? Apakah dia curiga dan kuatir musuh mengatur perangkap hendak mencelakai jiwanya? Atau di tengah jalan dia mengalami sesuatu?"

   Tan Ciok-sing tetap mendekam di semak belukar di belakang batu, dia tetap tak kuasa mengambil keputusan.

   Mendadak muncul sesosok bayangan dari lamping gunung sana, berlari kencang, tujuannya adalah panggung batu di atas Cit-sing-giam, dilihat gerak geriknya ternyata ginkangnya tidak lemah.

   Terdengar Toan Kiam-ping menghela napas lega, katanya.

   "Nah, akhirnya datang juga."

   Sudah tentu Tan Ciok-sing keheranan.

   "Siapakah yang datang?"

   Cepat sekali orang ini sudah melejit ke atas panggung batu, begitu melihat yang datang ini bukan Tan Ciok-sing, sesaat Toan Kiam-ping jadi menjublek, bentaknya.

   "Siapa kau."

   Orang itu menjawab.

   "Aku mengantarkan surat Tan Cioksing. Siapa kau?"

   "Akulah Toan Kiam-ping dari Tayli, kau, kau ini..."

   "Hah, kiranya Siau-ongya dari Tayli. Kalau Tan-siangkong tahu akan dirimu, tak usah dia suruh aku kemari."

   "Jadi kau, adalah teman Tan-siangkong, tolong tanya siapa she dan namamu?"

   "Aku adalah murid tertua dari It-cu-king-thian, namaku In Ih..."

   "Jadi kau ini In Ih?"

   Toan Kiam-ping menegas heran, walau dia belum pernah ketemu In Ih, tapi dia tahu kalau In Ih baru berusia tiga puluhan tapi laki-laki ini berusia empat puluhan lebih.

   "Aku pesuruh dari keluarga In. Tan-siangkong tinggal di rumah kami, kejadian hari ini sudah dia sampaikan kepada majikan kami. Maka majikan kami membujuknya supaya tidak usah datang, maka Tan-siangkong menulis sepucuk surat suruh aku mengantar kemari, tapi aku bukan teman Tansiangkong lho."

   Sebetulnya Tan Ciok-sing sudah hendak menerobos keluar membongkar omongan bohong orang ini, tapi setelah mendengar kata-kata orang terakhir, dia jadi ragu-ragu dan merandek. Batinnya.

   "Mungkin Siau-cu-cu kuatir aku menghadapi bahaya, tanpa memperdulikan pesanku dia memberitahu In Ih meminjam namaku menyuruh pembantunya kemari mengirim surat itu?"

   Toan Kiam-ping memang sudah tahu bahwa Tan Ciok-sing, In San, Siau-cu-cu dan ibunya siang tadi sudah pindah kerumah keluarga In, bahwa belakangan Tan Ciok-sing sudah keluar dari rumah kediaman keluarga In ternyata belum diketahui olehnya.

   Orang ini mengaku pesuruh keluarga In, ternyata dia kena ditipu begitu saja.

   Dengan rasa kecewa Toan Kiam-ping berkata.

   "Ternyata begitu. Baiklah kau serahkan surat itu kepadaku,"

   Waktu Toan Kiam-ping membuka sampul surat dan membeber kertas putih didalam sampul, ternyata melulu kertas putih belaka tanpa tulisan sehurufpun. Karuan Toan Kiam-ping melongo, tanyanya.

   "Apa maksudnya ini?"

   Mendadak dirasakan jari

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   jarinya linu dan pati rasa, sekejap saja telapak tangannya juga gatal-gatal rasanya tidak karuan.

   Pada saat dia kaget dan melongo inilah orang itu mendadak tertawa tergelak-gelak, tiba-tiba tangannya terayun.

   Begitu mendengar gelak tawa orang, seketika Tan Ciok-sing merinding dibuatnya, saking kaget seketika dia berjingkrak berdiri.

   Tadi orang itu mengaku sebagai pesuruh keluarga In, Tan Ciok-sing masih belum berani memastikan palsu atau tulen, setelah mendengar gelak tawa orang, segera dia tahu akan kepalsuannya malah seketika pula dia tahu siapa sebenarnya orang ini.

   Kiranya di kala menghadapi sesuatu yang memuaskan dirinya, orang ini bergolak tawa tanpa menggunakan suara palsu lagi, sehingga keasliannya terunjuk diluar sadarnya.

   Siapakah laki laki ini? Dia bukan lain adalah Tok-liongpangcu Thi Khong.

   Thi Khong memang mahir menggunakan senjata rahasia beracun dan mahir menyamar lagi, In Ih sudah berulang kali berpesan wanti-wanti supaya Tan Cioksing berhati-hati bila menghadapinya.

   Tak duga bukan Tan Ciok-sing yang kena bokong, tapi Toan Kiam-ping lah yang kecundang oleh kelicikan orang.

   Begitu tahu bahwa orang yang memalsu pesuruh dari rumah keluarga In ini adalah Thi Khong, sudah tentu secara reflek Tan Ciok-sing lantas teringat akan permainan keji dan jahat orang yang suka membokong dengan senjata beracun.

   Begitu orang itu mengayun tangan, Tan Ciok-sing segera berteriak.

   "Awas Toan-heng senjata rahasia,"

   Berbareng diapun mengayun tangan, menimpuk sebutir batu dengan kekuatan Sianci-sin-thong.

   Begitu orang itu mengayun tangan, tujuh bintik sinar bintang seketika melesat keluar.

   Senjata rahasia yang dia timpukan ini adalah Bwe-hoa-ciam yang sudah dilumuri racun jahat.

   Untung Tan Ciok-sing sempat memberi peringatan, dalam detik-detik yang gawat itu Toan Kiam-ping lekas membalik tubuh sambil mengebas lengan baju.

   Maka terdengarlah suara mendesis ramai, enam dari tujuh batang jarum itu kena disampuk jatuh berhamburan, tapi ada sebatang lagi yang mengenai tubuhnya.

   Ternyata kertas surat yang blanko itu juga sudah dibubuhi racun, jari tangan Toan Kiam- ping sudah berlumuran racun, maka dalam sekejap lengannyapun sudah linu pegal dan tak mampu bergerak lagi.

   Sudah tentu tenaganya menjadi banyak berkurang, sehingga jarum terakhir susah untuknya meluputkan diri.

   Sekilas menarik napas, mendadak Toan Kiam-ping putar balik seraya membentak.

   "Ternyata kau adalah Thi Khong, hm, kepandaian kroco yang rendah dan hina dari Tok-liongpang seperti ini memangnya dapat berbuat apa terhadap diriku."

   Jentikan batu Tan Ciok-sing diselentikan dari jarak seratusan langkah, daya luncurnya ternyata mengandung deru kencang.

   Tersipu-sipu Thi Khong melompat menyingkir namun batu itu menyerempet pundaknya, rasanya pedas dan sakit, untung tidak tersambit telak.

   Tapi walau dia terhindar dari samberan batu dari jarak ratusan langkah ini, tak luput dia termakan oleh tamparan telapak tangan Toan Kiam-ping yang berdiri di depannya.

   Seperti diketahui ilmu silat keluarga Toan di Tayli telah turun, temurun sejak beberapa ratus tahun diwariskan secara murni, sejak ratusan tahun yang lalu jago-jago silat dari keluarga Toan di Tayli cukup menonjol dan tinggi pamornya, Toan Kiam-ping tidak ketinggalan memperoleh warisan ilmu silat leluhurnya, maka bekal kepandaiannya sekarang sesungguhnya tidak rendah.

   Meski dia sudah terkena racun, namun tamparan telapak tangannya ini ternyata membikin kulit muka Thi Kong pecah dan terluka serta membengkak besar, darah tercampur dengan ingus bertetesan, kulit mukanya membengkak hijau dan biru.

   Diam-diam Toan Kiam-ping sendiri mencelos hatinya, pikiraya.

   "Ternyata aku sudah tak becus lagi, tamparanku tadi ternyata tak mampu merobohkan keparat keji ini."

   Sudah tentu Thi Khong sudah angkat langkah seribu, mulutnya masih sempat bersiul, agaknya dia mengirim tanda kontak dengan kamrat-kamratnya.

   Secepat terbang Tan Ciok-sing memburu tiba di samping Toan Kiam-ping, kebetulan Toan Kiam-ping limbung hampir jatuh lekas dia memapahnya, tanyanya gugup.

   "Bagaimana keadaanmu Toan-heng?"

   "Tidak apa-apa Thi Khong pasti membawa begundalnya, tolong lekas kau gebah mereka, jangan sampai kacungku di bawah sana dicelakai mereka,"

   Maklum sejak kecil kacung itu sudah meladeni dirinya, bukan saja rajin bekerja diapun amat setia, maka selama ini dia melindunginya seperti adik kandung sendiri.

   Pada saat itu didengarnya kacungnya berteriak minta tolong dan menjerit kaget.

   Ternyata kacungnya itu memang kepergok oleh kawanan penjahat.

   Tak sempat bicara lagi lekas Tan Ciok-sing jejalkan sebutir pil penawar racun ke mulut orang, katanya.

   "Baik, segera aku menolongnya."

   Baru saja kacung cilik itu berteriak maka dilihatnya seorang Hwesio gendut menubruk ke arah dirinya, Hwesio gendut ini bukan lain adalah murid murtad Siau-lim-si yang bergelar Hoat-khong, di kalangan Kangouw orang memanggilnya Thiciang Siansu.

   Kedatangan-nya hendak membantu Thi Khong, sebetulnya dia tidak perlu hiraukan seorang kacung cilik, tapi karena kacung itu berteriak, kebetulan mencegat jalan majunya pula, maka sambil lalu dia ayun tongkat besinya hendak membunuh kacung cilik ini.

   Tak nyana tongkat besinya ternyata menyambar angin, kembali dia ulur tangan mencengkram ternyata gagal pula.

   Maklum sejak kecil kacung ini ikut Toan Kiam-ping latihan silat, pertama ginkang yang dia yakinkan ternyata lebih menonjol dari pelajaran silat lain yang pernah dia pelajari.

   Beruntun dua kali dia berhasil mengegos dari serangan Hwesio gendut, tapi serangan ketiga jelas tak mungkin lolos lagi.

   Baru saja dia melompat berdiri, tumit kakinya tahu-tahu sudah tercengkram oleh Thi-ciang Siansu.

   Pada saat itulah mendadak Thi-ciang Siansu merasakan datangnya sambaran angin tajam dari arah belakang, sebagai ahli silat, kupingnya cukup tajam pula, dia tahu sebilah pedang tahu-tahu sudah menuding tiba di punggungnya.

   Di kala jiwa sendiri terancam bahaya, sudah tentu dia tidak hiraukan jiwa kacung cilik lagi, sekenanya dia melempar tubuh orang lalu setangkas kera dia melompat maju setombak lebih seraya memutar tongkat menyapu ke belakang dengan jurus bertempur di empat penjuru angin.

   "Trang"

   Benturan keras menimbulkan percikan kembang api, pedang lawan hakikatnya tidak terbentur jatuh oleh tongkatnya yang besar dan berat, malah mengikis turun menabas jari-jarinya yang memegang tongkat.

   Siapa gerangan yang memiliki ilmu pedang setinggi dan seliehay ini? Sudah tentu Thi-ciang Siansu amat kaget, lekas dia tekan tongkat serta menggiringnya ke pinggir, sementara kakinya melompat pula tiga kaki ke samping, baru dia menoleh dan melihat musuhnya, ternyata pemuda yang pernah dilihatnya di tempat kuburan In Hou dan Tan Khimang belasan hari yang lalu.

   Malam itu dia bersama Thi Khong, Siang Po-san, Phoa Lat-hong berempat menempur Siangkiam- hap-pik dari Tan Ciok-sing dan In San, akhirnya mereka dikalahkan dan ngacir.

   Kini meski hanya Tan Ciok-sing seorang saja, tapi diapun hanya sendirian, betapa pun besar nyalinya, bagaimana juga dia tidak berani melabrak Tan Ciok-sing, tanpa banyak pikir lekas dia putar badan terus lari turun gunung.

   Waktu Tan Ciok-sing lari balik menengok keadaan kacung cilik itu, tampak kacung cilik ini terlempar tinggi ke udara, tapi di tengah badan terapung itu dia mampu jumpalitan seperti burung dara, gerakan ini sekaligus memunahkan daya lemparan keras lawan, sehingga tubuhnya melayang turun lebih lambat dan enteng, waktu kedua kakinya hinggap di bumi ternyata dia mampu berdiri tegak tanpa kurang suatu apa.

   Walau tidak terluka tapi telapak kakinya terasa pedas dan sakit, waktu dia menunduk pergelangan kakinya ternyata berjalur lima jari warna hitam seperti dicap saja, tanpa merasa dia merinding dan mencucurkan keringat dingin.

   "Adik cilik,"

   KataTan Ciok-sing, jangan takut, mari kuberi obat,'.' Teringat akan kata-katanya yang memburukkan orang, tak terasa kacung cilik ini menjadi malu dan haru, katanya menyesal.

   "Tan-siangkong, banyak terima kasih akan pertolonganmu, aku, aku tadi justru melakukan perbuatan tercela atas dirimu."

   Ciok-sing tersenyum.

   "Istrirahatlah sebentar, aku akan ke atas memeriksa Siauongya."

   Dilihatnya Thi-ciang Siansu sudah menyusul Thi Khong dan sama-sama lari sampai di lamping gunung, sekitarnya tiada musuh yang lain, maka dengan lega hati lekas dia kembangkan ginkang berlari ke atas panggung batu pula Dilihatnya Toan Kiam-ping sedang duduk bersimpuh, uap putih tampak mengepul di atas kepalanya.

   "Oh, kau sudah kembali,"

   Kuping Toan Kiam-ping ternyata amat tajam, begitu Tan Ciok-sing tiba di atas panggung segera dia membuka mata.

   "Jangan bicara dulu,"

   Kata Tan Ciok-sing, dia tahu orang sedang mengerahkan Iwekang untuk mendesak racun keluar dari dalam badannya lewat uap dan keringat, sehingga mengeluarkan bau bacin.

   Lekas Tan Ciok-sing tekan telapak tangan punggung orang, dengan hawa murni sendiri dia salurkan ke tubuh orang membantunya melancarkan jalan darahnya.

   Pil obat yang diberikan Ciok-"sing tadi memang berkasiat untuk menawar racun, tapi untuk memunahkan racun jahat buatan Tok-liong-pangcu ini ternyata tidak membawa banyak manfaat, paling hanya menahan sementara sehingga bekerjanya racun tertunda untuk beberapa waktu lamanya.

   Untung Toan Kiam-ping memiliki dasar Iwekang ajaran leluhurnya, mendapat bantuan Ciok-sing lagi, hawa racun lambat laun menguap keluar badan, Ciok-sing sedikit mahir ilmu pengobatan, setelah dia memeriksa urat nadinya, terasa jiwanya sudah tidak terancam lagi, maka legalah hatinya.

   Tapi denyut nadi Toan Kiam ping masih lemah, darahnyapun belum normal.

   Dalam hati Ciok-sing membatin.

   "Racun dalam tubuhnya amat liehay, untuk memunahkan seluruhnya tanpa obat penawarnya yang tulen, sedikitnya memerlukan perawatan tekun dan hati-hati selama tiga bulan, maka dia perlu mendapat penjagaan dan tempat yang aman. Em, seharusnya aku harus membantunya, tapi dalam keadaan seperti ini, aku jadi kurang cocok untuk tugas ini."

   Tengah dia melamun, Toan Kiam-ping sudah membuka mata, katanya.

   "Sudah lebih baik, Tan-heng, banyak terima kasih akan pertolonganmu, sungguh aku tidak tahu bagaimana aku harus membalas kebaikanmu."

   "Kau berkata demikian, berarti kau tidak menganggapku sebagai sahabat karib lagi. Jangan banyak bicara, setelah kesehatanmu pulih, kita masih banyak waktu untuk ngobrol."

   "Tidak, satu hal harus kuberitahu padamu. Kuda kalian akulah yang mengambilnya sebelum sempat memberitahu padamu. Kukira kau dan nona In tidak akan kembali ke Tayli, maka aku wakilkan Kanglam Sianghiap mengambilnya supaya kau tidak usah putar balik pula,"

   Demikianlah kata Toan Kiamping tanpa hiraukan nasehat Ciok-sing.

   Sebelum bersua kembali dengan In San, memang Ciok-sing tidak ingin pergi ke Tayli, tapi selama ini tak pernah terpikir olehnya untuk melarang In San pergi ke Tayli menemui Toan Kiam-ping.

   Mendengar perkataan orang tanpa merasa dia tertawa getir, katanya.

   "Hal itu sudah kuketahui. Tapi, yang betul kau harus bertemu dengan nona In."

   "Terus terang, aku memang amat memperhatikan In San, terhadapnya aku seperti kakak kandung yang memperhatikan adik sendiri,"

   Demikian kata Toan Kiam-ping lebih lanjut.

   "Ada kau yang mendampingi dia, aku sudah amat lega dan bersyukur. Bahwa malam ini aku mengundangmu kemari adalah supaya kau tahu isi hatiku, kuharap selanjutnya kau lebih baik terhadapnya,"

   Lalu dengan nada mencemooh awak sendiri dia menambahkan.

   "sebetulnya, sudah tentu aku harus tahu bahwa kau pasti baik terhadapnya, memangnya perlu aku berpesan kepadamu?"

   Ruwet pikiran Ciok-sing, katanya.

   "Bicara soal nona In, aku memang ingin berunding dengan kau."

   Kini giliran Toan Kiam-ping yang mencegah dia bicara.

   "Tan-heng, aku tahu apa yang ingin kau kemukakan, tak usah kau jelaskan lagi. Setulus hati dan sejujurnya aku memberi selamat kepada kalian, semoga kalian hidup senang dan bahagia sampai di hari tua."

   Bahwa pikiran Ciok-sing ruwet, demikian pula hati Toan Kiam-ping kalut dan risau.

   Di kala Toan Kiam-ping bicara, terasa oleh Ciok-sing denyut nadinya berdetak keras, hati Ciok-sing menjadi rawan dan penasaran tidak tentram.

   Angin gunung menghembus lewat, seketika Tan Ciok-sing merasa dingin dan merinding, bukan lantaran dia tidak tahan dihembus angin lalu, tapi karena mendadak dia mendapat suatu akal, selama ini tak pernah dia berpikir untuk berbuat demikian, tapi sekarang dia terpaksa harus melakukan.

   Mendadak dia menutuk hiat-to tidur Toan Kiam-ping.

   Setelah menurunkan Toan Kiam-ping dan merebahkan di atas panggung, dia berdiri, dilihatnya kacung kecil itu sedang naik ke atas dengan langkah terseyot-seyot.

   "Kenapakah Siauya?"

   Tanyanya begitu melihat Toan Kiamping rebah di atas panggung tanpa bergerak.

   "Racun di tubuhnya amat liehay, tapi kau tidak perlu kuatir, masa bahaya sudah silam, jiwanya tidak terancam lagi. Kebetulan kau datang, mari bantu aku."

   "Silakan Siangkong memberi petunjuk."

   "Kalian tinggal dimana? Apakah Ling Suhu ada disana?"

   "Kami menyewa sebuah kamar dari rumah penduduk kampung diluar pintu barat, Ling Suhu sudah disuruh pulang. Siauya yang suruh dia pulang menunggang kuda putih."

   "Luar kota pintu barat terlalu jauh. Ling Suhu sudah pulang lagi, kalau Siauyamu merawat sakitnya disini kurasa kurang leluasa."

   "Akupun kuatir akan hal ini."

   "Apa kau percaya padaku?"

   Tiba-tiba Tan Ciok-sing bertanya Kacung itu melongo, katanya.

   "Jiwaku dan Siauya bisa selamat berkat pertolongan Tan-siangkong, bagaimana aku tidak bisa percaya padamu?"

   "Baiklah, akan kucari suatu tempat, dan akan kutitipkan seorang teman untuk merawatnya. Temanku itu bernama In Ih, murid It-cu-king-thian yang termashur itu. Dia akan mengundang tabib ternama dan terpandai di Kwi-lin untuk mengobati penyakit Siauyamu."

   "Baiklah kalau begitu. Marilah sekarang kita berangkat. Biar aku gendong Siauya."

   "Jangan kau membuang tenaga, biar aku yang menggendongnya."

   "Tan-siangkong,"

   Kata si kacung rikuh.

   "bantuanmu teramat besar terhadap kami, mana boleh kau memanggul Siauya lagi?"

   Tugas ini sepantasnya serahkan padaku. Kakiku sudah tidak sakit lagi."

   "Kalau kau ingin membantu juga boleh, nah kau bantu memanggul harpaku saja."

   Ciok-sing turunkan harpanya tapi tidak langsung diserahkan, seperti ada sesuatu yang dipikirkan, mendadak dia membuka kotak harpa serta diletakkan di atas panggung batu, mulailah dia memetik senarsenar harpanya.

   Sudah tentu si kacung berdiri bingung, batinnya.

   "Eh, ada juga seleranya memetik harpa dalam suasana seperti ini?"

   Tan Ciok-sing seperti tahu isi hatinya, katanya.

   "Tuan mudamu sedang tidur nyenyak, lukanya tidak akan memburuk. Mungkin untuk terakhir kali inilah aku bisa memetik harpa ini."

   Si kacung kaget, tanyanya.

   "Kenapa?"

   "Tak lama lagi kau akan tahu."

   Melihat rona muka orang yang kelam, si kacung tak berani tanya lagi, segera dia terima kotak harpa yang diangsurkan kepadanya Lalu dia mengintil di belakang Tan Ciok-sing yang memanggul Toan Kiam-ping.

   Setiba di ujung jalan dimana terletak rumah keluarga In, hari sudah menjelang fajar.

   Tiba-tiba Tan Ciok-sing turunkan Toan Kiam-ping, katanya "Rumah besar dengan pintu merah di tengah jalan itu adalah rumah keluarga In, lekas kau bawa Siauyamu masuk kesana."

   "Dan kau?"

   Tanya si kacung kaget dan heran.

   "Ada orang dalam rumah itu yang kenal tuan mudamu. Aku masih ada urusan ke lain tempat, aku tidak usah masuk ke rumah,"

   "Sudah tiba diambang pintu, kenapa tidak masuk dulu?"

   "Kau tidak tahu, begitu aku masuk, mereka tidak akan membiarkan aku pergi,"

   Melihat si kacung ragu-ragu segera dia menambahkan.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau tidak percaya padaku, kau kira aku mencelakai tuan mudamu?"

   "Maaf, Tan-siangkong, tak pernah aku berpikir demikian."

   "Nah, lekas kau panggul tuan mudamu dan pergilah ketuk pintu? Tak lama lagi, penduduk kota sudah banyak yang akan keluar pintu."

   Meski curiga dan tidak habis mengerti tapi si kacung terpaksa menuruti kehendak Tan Ciok-sing. Setelah dia terima tuan mudanya serta dipanggul, Tan Ciok-sing segera putar badan terus berlalu.

   "Hai, Tan-siangkong,"

   Panggil si kacung.

   "harpamu ini..."

   "Nanti kalau tuan mudamu siuman, beritahu kepadanya, harpa ini kuserahkan sebagai kado sumbanganku,"

   Tiba-tiba langkahnya dipercepat, dalam sekejap saja dia sudah pergi dan lenyap di tikungan jalan sana.

   Terpaksa si kacung panggul majikannya, dengan langkah tertatih-tatih dia beranjak kesana, akhirnya dia tiba di depan pintu besar cat merah itu serta ulur tangan mengetuk gelang tembaga di atas daun pintu sebanyak tiga kali.

   Cepat sekali daun pintu sudah terpentang, yang keluar ternyata seorang gadis jelita yang berwajah lesu dan lusuh.

   Kaget dan girang si kacung, seketika dia menjerit girang, teriaknya.

   "Nona In, kiranya kau ada disini,"

   Dalam hati diapun membatin.

   "Tak heran tadi Tan-siangkong bilang ada orang yang kukenal ada disini."

   Semalam suntuk In San tidak pernah memejam mata barang sekejap, hatinya gelisah, risau dan gugup pula menunggu kedatangan Tan Ciok-sing. Lekas In San bertanya.

   "Apakah yang terjadi?"

   "Siauya terluka oleh senjata rahasia beracun Tok-liongpang Pangcu, untung Tan-siangkong menolongnya, kini dia sedang tidur nyenyak. Tan-siangkong bilang, jiwanya tidak berbahaya lagi."

   Sedikit lega hati In San, tanyanya.

   "Mana Tan-siangkong?"

   Diam-diam dia perhatikan kotak harpa yang dijinjing si kacung.

   "Dia sudah pergi,"

   Sahut si kacung cilik. In San kaget, serunya.

   "Dia akan kembali pula? Harpanya ini..." dia tahu harpa ini adalah warisan keluarganya, maka dalam hati dia menghibur diri sendiri.

   "Harpanya masih ada disini, yakin dia pasti kembali lagi."

   Tak tahunya jawaban si kacung justru menjadikan setitik harapannya sirna tanpa bekas.

   "Tan-siangkong bilang, dia hendak pergi ke tempat lain, tidak akan ke mari lagi. Harpa ini dia minta kepadaku supaya menyerahkan kepada tuan muda."

   Seketika In San menjublek di tempatnya, Tan Ciok-sing sudah pergi, yang ada di hadapannya sekarang adalah Toan Kiam-ping yang terluka parah, apa yang harus dia lakukan? Dalam pada itu In Ih sudah mendengar percakapan diluar terus beranjak keluar, kebetulan dia mendengar si kacung berteriak.

   "Nona, kenapa kau?"

   Sudah tentu In Ih ikut terkejut, tanyanya.

   "Siapakah orang ini nona In? Kau tidak apa-apa bukan?"

   Seketika In San tersentak, katanya.

   "Inilah Siau-ongya dari keluarga Toan di Tayli, teman baik Ciok-sing. Paman In, tolong kau bantu aku merawat dia, aku hendak keluar sebentar."

   "Kau hendak kemana?"

   Tanya In Ih.

   "Aku akan mencari Ciok-sing,"

   Sebelum In Ih sempat bertanya apa sebetulnya yang telah terjadi, In San sudah berlari pergi.

   Karuan In Ih dan si kacung sama berdiri melongo saling pandang.

   Akhirnya si kacung paham duduk persoalannya.

   Dia maklum apa yang dikatakan majikannya memang tidak salah.

   "Agaknya nona In memang mencintai Tan-siangkong,"

   Sekaligus diapun mengerti apa sebabnya Tan Ciok-sing tidak mau ikut dia masuk ke rumah keluarga In pula.

   "Tan-. siangkong ternyata begini baik, ai, semalam aku memakinya kodok buduk, agaknya akulah yang kurang ajar dan tidak genah."

   Tanpa terasa hatinya menjadi hambar dan masgul, entah apakah dia mengharap In San berhasil menemukan Tan Ciok-sing- dan mengajak kembali atau lebih baik gagal saja.

   Sudah tentu In San takkan bisa menemukan Tan Ciok-sing, kalau Tan Ciok-sing sengaja menyembunyikan diri, bagaimana mungkin dia bisa menyandak atau menemukan jejaknya? Jalan raya dalam kota masih sepi lengang, belum ada penduduk kota yang keluar pintu, hakikatnya dia tidak tahu ke arah mana Ciok-sing pergi? Kepada siapa pula dia harus tanya kemana juntrungan Ciok-sing? 000OOO000 Di kala In San mencari Ciok-sing ubek-ubekan ke segala pelosok kota, sementara itu Tan Ciok-sing sudah jauh meninggalkan kota Kwi-lin.

   Dengan hati yang tidak karuan rasanya dia menempuh perjalanan seorang diri.

   Harpa kuno itu dia serahkan kepada Toan Kiam-ping demi menepati janjinya sendiri, walaupun soal janji sendiri ini tidak atau belum pernah dia utarakan langsung kepada Toan Kiam-ping.

   Sepanjang jalan semula dia tidak punya tujuan tertentu, tapi akhirnya dia mendapat suatu ilham.

   "Dalam dunia ini kini hanya Khu Locianpwe saja adalah sahabat karib kakek dan ayah yang masih hidup, dia begitu sayang dan prihatin akan diriku, kenapa aku tidak mencari dia saja? Sekaligus aku bisa memberi laporan akan keinginannya membantu It-cu-kingthian itu sudah kulaksanakan dengan baik."

   Seperti diketahui warung minum Khu Ti ditutup.

   Tapi dia ada memberitahu kepada Ciok-sing dimana dirinya bisa ditemukan, malah pernah dia berpesan bila urusannya di Kwilin selesai dan kebetulau lewat diharap dia mampir ke tempat kediamannya.

   Di Ong-ju-san jarak lebih dekat sekaligus lebih leluasa mencari tahu tentang berita yang terjadi di Gan bun-koan.

   Markas besar Kim-to Cecu didirikan diluar Gan-bun-koan kedudukannya di tengah antara Tiongkok dan Watsu yang tak tercapai oleh kekuatan militer kedua negara ini.

   Bila In San tidak jadi pergi ke markas Kim-to Cecu sesuai rencana semula dia akan membantu Kim-to Cecu, kalau sebaliknya meski selanjutnya dia tidak akan unjuk diri, dia bertekad akan selalu membantu gerakan laskar rakyat.

   Setelah mengambil keputusan, Tan Ciok-sing langsung menuju ke Ong-ju-san.

   Sepanjang jalan tiada terjadi apa-apa, selama dua bulan perjalanan, akhirnya dia tiba di bawah Ong-ju-san yang terletak di perbatasan Ho-lam Shoa-say.

   Warung milik Khu Ti dulu sudah ambruk dan rata dengan tanah, mungkin digrebek tentara dan dibakar habis.

   Khu Ti pernah memberi tahu padanya, bahwa tempat pengasingannya di Ong-ju-san terletak di puncak Jwi-whihong di belakang ngarai, dengan pemandangan yang mempersona.

   Malam itu Ciok-sing bermalam didalam hutan, semalam suntuk dia hampir tidak bisa tidur diganggu oleh pekik dan suara ribut orang-orang hutan, untung dirinya tidak diganggu.

   Hari kedua setelah mentari terbit baru dia beranjak lebih lanjut memanjat Jwi-whi-hong puncak tertinggi dari Ongju- san.

   Setiba di belakang ngarai betul juga ditemukan sebuah gubuk bambu, di depan gubuk tumbuh sebatang pohon cemara, demikian pula di belakang rumah juga terdapat sebuah pohon cemara, tempatnya cocok dengan apa yang pernah dilukiskan oleh Khu Ti tempo hari.

   Girang Tan Cioksing, bergegas dia maju mengetuk pintu.

   Lama dia tidak mendapat jawaban, dalam rumah tiada reaksi lagi, akhirnya Tan Ciok-sing berteriak.

   "Khu locianpwe, aku adalah Tan Ciok-sing sengaja aku bertandang kemari."

   Setelah dia menyebut nama dan menyatakan maksud kedatangannya, suasana tetap sepi tiada penyahutan tiada reaksi apapun. Keruan timbul rasa curiga Ciok-sing, mungkinkah aku kesasar rumah ini tempat tinggal orang lain?"

   Akhirnya dia membesarkan hati, tanpa peduli apakah dalam rumah ada penghuninya, setelah mohon permisi segera dia dorong daun pintu terus melangkah masuk. Rumah ini kosong melompong, di tengah rumah terdapat meja kursi dan sebuah dipan, beberapa

   Jilid buku gambar tampak berserakan di atas dipan, di dinding tergantung sebuah pigura dengan hiasan tulisan gaya kuno hasil karya Khu Ti sendiri.

   Tan Ciok-sing masih kenal betul gaya tulisan Khu Ti, maka dia lebih yakin bahwa gubuk ini memang tempat tinggalnya dalam pengasingan.

   Tapi gentong beras ternyata kosong, dalam rumah tiada rangsum lain pula, buku yang berserakan itupun dilapisi debu, jelas sudah beberapa hari lamanya Khu Ti meninggalkan rumah ini.

   Tan Ciok-sing menjadi kecewa, tapi dia masih menyimpan setitik harapan, semoga Khu Ti masih tetap di bilangan pegunungan tinggi ini.

   "Mungkin hidupnya selalu was-was oleh gebrakan pasukan pemerintah, maka sementara dia sembunyi entah di goa mana? Atau dia sedang keluar mencari daun obat, beberapa hari baru pulang."

   Dengan perasaan yang tidak keruan Ciok-sing keluar pintu lalu berdiri di pucuk sebuah batu besar, tiba-tiba dia bersuit panjang dan nyaring, setelah itu dengan suara lantang diapun bersenandung melimpahkan perasaan hatinya.

   Ciok-sing kerahkan Iwekangnya untuk bersenandung, semula suaranya kedengaran lembut dan jelas, tapi lama kelamaan gema suaranya mengalun keras dan meninggi seperti lambaian kain sutra yang tertiup angin diangkasa, seperti putus tapi terus menyambung, tiba-tiba rendah mendadak tinggi, suaranya laksana kumandang dari sorga bergema di atas pegunungan nan luas.

   Cukup lama setelah dia berhenti senandung, gema suaranya masih tetap mengalun diangkasa raya dan tersiar jauh sekali.

   Dia yakin bila Khu Ti ada digunung ini meski dalam jarak 10 li orang pasti mendengar suaranya.

   Betul juga kira-kira sesulutan dupa kemudian dia mendengar derap langkah orang.

   Setelah semakin dekat dia tahu yang datang ternyata bukan seorang saja.

   Keruan Ciok-sing kaget, pikirnya.

   "Kenapa yang datang ada lima orang?"

   Cepat sekali ke lima orang itu sudah muncul di hadapannya.

   Memang betul lima orang, tapi Khu Ti tiada di antara mereka.

   Empat di antara ke lima orang ini malah sudah dia kenal, mereka bukan lain adalah Huwan bersaudara.

   Seorang lagi adalah laki-laki kurus tinggi tampangnya aneh dan lucu, mukanya panjang seperti tampang kuda, kulit mukanya kuning seperti malam, mirip orang penyakitan.

   Tapi kedua Thay-yang-hiat di pelipisnya menonjol besar, selintas pandang siapapun akan tahu bahwa dia seorang jago kosen yang berilmu tinggi dari aliran sesat.

   Bahwa Tan Ciok-sing berada disini Huwan bersaudara juga kaget.

   Losam Huwan Pau segera mendekati laki kurus tinggi dan berkata padanya.

   "Bocah inilah yang bernama Tan Cioksing yang berulang kali mencari setori dengan kita. Dia sekomplotan dengan Khu Ti. Laki-laki kurus itu mendengus hidung katanya.

   "Kalian bilang dia amat liehay, kiranya cuma bocah yang masih ingusan? Eh, memangnya kalian ingin aku turun tangan sendiri?"

   Lagaknya amat-amat angkuh seolah-olah dia tidak sudi bergebrak dengan Tan Ciok-sing. Merah muka Huwan Liong, segera dia maju membentak. '"Mana budak she In itu?"

   "Ada hubungan apa nona In dengan aku, memangnya aku harus memberi laporan kepadamu. Kalau kalian cari perkara, nah urusan saja dengan aku,"

   Tantang Ciok-sing. Legalah hati Huwan bersaudara bahwa In San tidak ikut datang, agaknya mereka sudah jeri menghadapi Siang-kiamhap- pik. Huwan Liong tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Bocah angkuh, kau kira kami takut padamu. Hari ini tiada orang membantumu, jangan lari lho, tapi kau pasti takkan lolos lagi,"

   Lalu dia berpaling berkata kepada laki kurus itu.

   "Lenghousiansing, membunuh ayam mana perlu pakai golok, silahkan kau orang tua saksikan saja, tolong perhatikan bila bocah ini masih ada kamrat-kamratnya yang sembunyi di sekitar sini. Biar kami bekuk bocah ini, dan kupersembahkan kepada kau orang tua."

   Laki-laki kurus tinggi she Lenghou tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Umpama Khu Ti sendiri yang muncul aku juga tidak gentar. Boleh silahkan kalian labrak dia dan tidak usah kuatir."

   Huwan Liong memberi aba-aba, empat bersaudara serentak mencabut pedang, masing-masing berpencar menduduki posisi sendiri, Ciok-sing terkepung di tengah kalangan.

   Empat pedang serempak menuding ke arah Tan Ciok-sing, namun mereka tidak segera menyerang tapi menungggu reaksi lawan muda ini.

   Tan Ciok-sing tahu mereka sudah membentuk barisan pedang, dengan strategis yang menguntungkan, namun Ciok-sing sedikitpun tidak jeri.

   Jengeknya.

   "Bagus sekali, coba saja buktikan undangan Giam-lo-ong diserahkan aku atau dikirim kepada kalian?"

   Belum rampung dia bicara, keempat musuhnya serempak bergerak, empat batang pedang membentuk sebuah jaringan sinar pedang mengurung dirinya di tengah.

   Kalau satu lawan satu ke empat orang ini jelas bukan tandingan Ciok-sing.

   Tapi mereka memang sudah meyakinkan ilmu barisan pedang kalau sekaligus dimainkan empat orang kekuatannya sungguh amat besar.

   Mencelos juga hati Tan Ciok-sing, dalam menghadapi kesulitan ini, pikirannya serta merta teringat kepada In San.

   "Sayang In San tak berada disini, dengan cara apa aku harus memecahkan barisan pedang mereka."

   Laki-laki setengah umur kurus tinggi itu berdiri diluar gelanggang sambil menggendong tangan, sikapnya seperti tertawa tidak tertawa, lagaknya seperti tuan yang lagi menyaksikan jagonya berhantam di arena.

   Di samping senang dia merasa was-was, dasar licik dia berpikir.

   "Barisan pedang Huwan bersaudara ternyata memang cukup lihay, agaknya aku tidak perlu turun tangan,"

   Sebetulnya dia mengharap ke empat orang ini kalah, baru dirinya akan jadi lakon mengalahkan dan membekuk Ciok-sing yang sudah kehabisan tenaga, bukan saja dia bakal unjuk gengsi sekaligus dia hendak menekan dan menundukkan orang-orang sekoleganya.

   Di samping rasa was-wasnya diapun merasa bersyukur pula.

   "Ilmu pedang bocah ini ternyata amat liehay pula, bila permulaan gebrak aku lantas harus menghadapinya, umpama akhirnya berhasil membekuk dia mungkin aku sendiri juga bisa menderita. Kali ini kesempatan merebut pahala memang tak bisa kuraih, namun mending juga dari pada aku menderita."

   Perlu diketahui laki-laki kurus tinggi ini bernama Lenghou Yong, salah satu jago tangguh undangan Liong Bun-kong yang disogoknya, dengan harta dan pangkat untuk menjadi anak buahnya, Lenghou Yong menggantikan jabatan Ciang Thi-hu yang sudah mampus di tangan It-cu-king-thian.

   "Toako,"

   Teriak Huwan Pau.

   "Bocah ini tak kan kuat bertahan lagi, ayo pergencar serangan tak usah takut menghadapinya."

   Tak kira belum lenyap suaranya mendadak "Trang", pedang Huwan Pau hampir terlepas dari cekalannya karena benturan keras dari senjata Tan Ciok-sing.

   Dalam sekejap ini beruntung Ciok-sing gunakan Jong-jiu-hoat secara kilat dia balas mendesak, demikian pula telapak tangan Huwan Kiau dan Huwan Hou terasa linu pedas.

   Keringat seketika gemerobyos membasahi dahi, jelas kelihatan mereka sudah kerahkan setaker tenaga tapi apa daya tenaga tak sampai untuk menghadapi kekuatan lawan.

   Karena tak berhasil menjebol barisan pedang lawan, terbayang oleh Ciok-sing berbagai cara untuk memecah dan membobol kepungan musuh.

   Waktu bertanding dengan It-cuking- thian di Lian-hoa-hong tempo hari, memang It-cu-kingthian banyak memetik manfaatnya dari pertarungan sengit itu, tapi Tan Ciok-sing sendiri juga tidak sedikit menyelami inti sari ilmu golok tingkat tinggi.

   Permainan golok It-cu-king-thian keras dan deras, tapi itu bukan berarti permainannya selalu kencang dan berat, cara yang dia anut adalah memilih kesempatan baik baru akan memberikan pukulan telak kepada lawan, kesempatan itu akan lahir di kala lawan merangsak dan tipu yang dilancarkan sudah mendapat titik terakhir, di kala tenaga yang digunakan sudah hampir habis dan akan diganti dengan jurus susulan dan tenaga akan terkerahkan pula itu, kesempatan yang terpaut sekejap inilah yang dikejarnya untuk memberikan serangan balasan yang telak, yakin usahanya umpama meleset, sedikitnya lima puluh persen pasti tercapai.

   Sebetulnya akal ini biasa saja, tapi untuk melaksanakan secara tepat itulah yang sukar.

   Untung tiga tahun lamanya Ciok-sing menggembleng diri didalam Ciok-lin, Hian-kang-yau-hiap dan Bu-bing-kiam-hoat warisan Thio Tan-hong berhasil dia selami dan pelajari dengan nilai yang amat memuaskan, memangnya teori ilmu silat tingkat tinggi umumnya sama, oleh karena itu begitu dia sudah hafal yang satu, maka pengetahuannya menjadi luas lagi dan mudah untuk menyelami pelajaran yang lain, apalagi dalam praktek, sehingga permainannya sekarang boleh dikata cukup wajar dan lancar.

   Sayang dia harus menyimpan separo tenaganya siap untuk menempur laki-laki kurus yang kosen itu, kalau tidak barisan pedang Huwan bersaudara ini sejak tadi tentu sudah porak poranda.

   Lenghou Yong mengerutkan kening, akhirnya dia bersuara.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kalian mundur, biar aku menghadapinya."

   Detik-detik sebelum pertempuran usai tiba-tiba Tan Cioksing memutar tubuh, maka terdengarlah suara berdering nyaring yang susul menyusul, pedang panjang Huwan Pau dan Huwan Kiau tahu-tahu terpental terbang ke udara, sementara Huwan Liong tergentak mundur tubuhnya meliuk-liuk dan berputar beberapa kali, namun tak kuasa kendalikan tubuh sendiri, akhirnya terjerembab.

   Pedang Huwan Huo memang tidak terlepas jatuh, tapi mulutnya terpentang menyemburkan darah sebanyak-banyaknya.

   Lenghou Yong mengejek.

   "Sudah kusuruh kalian mundur, masih ndablek, untung ada aku disini. Minggirlah kalian dan istirahatlah, saksikan bagaimana aku membekuk bocah ini."

   Begitu berhasil mengalahkan musuh Tan Ciok-sing segera melintang pedang di depan dada dengan penuh perhatian dia awasi gerak gerik musuh yang satu ini.

   Semula Lenghou Yong memang bermaksud menyergap, namun setelah melihat orang sudah siaga, maka dia tidak berani bertindak semberono.

   Seperti dua ayam jago yang berhadapan didalam gelanggang, keduanya menatap siapapun tak berani sembarang bertindak.

   Maklum pertarungan jago kosen, kalah menang hanya terebut dalam segaris belaka, jikalau tidak punya keyakinan yang tebal, menyerang secara serampangan titik kosong atau kelemahan sendiri justru merupakan incaran utama pihak musuh.

   Beberapa kejap lagi akhirnya Tan Ciok-sing memecah kesunyian, jengeknya.

   "Usiamu sudah selanjut ini, kenapa hanya pandai membual belaka, hayolah kenapa tidak bergerak?"

   Lenghou Yong menyeringai, sikapnya seperti tak acuh, katanya.

   "Kau bocah yang masih minum tetek ini, bahwa aku sudi melawanmu sudah terhitung memberi muka kepadamu, kau masih ingin aku turun tangan lebih dulu."

   Semprotannya ini sebetulnya cukup pedas, seolah-olah dia ingin supaya Tan Ciok-sing berlaku hormat dan mohon petunjuk kepadanya, lalu mulai bergerak dengan sopan. Huwan Pau yang suka cerewet itu mendadak menyeletuk.

   "Bocah ini memang tidak tahu sopan santun, mana mungkin kau orang tua dapat memaksa dia menganggapmu sebagai locianpwe. Lekaslah beri balasan setimpal saja, yakin dia akan tunduk kepadamu. Kami akan menunggu dan saksikan membekuk bocah keparat ini."

   Bahwa orang pihak sendiri juga mengundal omongan, sudah tentu pamor Lenghou Yong menjadi ludes kalau tidak segera bertindak, maka sambil menggosok kejiua telapak tangan dia berkata.

   "Baiklah, kalian saksikan saja."

   Tak nyana Tan Ciok-sing saat mana juga sudah tertawa dingin, katanya.

   "Baiklah biar aku mohon petunjuk dari locianpwe."

   "Sret"

   Tiba-tiba dia menyerang.

   Bagai kelinci meloncat elang menerkam, betapa kuat sayap elang dan paruhnya.

   Jarak kedua orang diluar belasan langkah, hampir bersamaan keduanya melancarkan serangan malah sedikit Lenghou Yong mendahului bergerak namun gerakan pedang Ciok-sing laksana kilat, bergerak belakangan tapi mengancam sasarannya lebih dulu.

   "Plok", ujung pedang Ciok-sing seperti menusuk tembus sebuah bola layaknya, namun bukan menusuk luka di tubuh Lenghou Yong, tahu-tahu ujung pedangnya tergeser ke samping. Ternyata karena mendapat tekanan tenaga pukulan tangan lawan, sehingga dua tenaga yang cukup keras. Tenaga Tan Ciok-sing terpusatkan pada ujung pedangnya, walau berhasil menembus tekanan tenaga lawan yang tidak kelihatan, namun masih terpaut serambut saja ujung pedangnya tak kuasa melukai lawan. Diam-diam dia mengeluh "sayang"

   Dalam hati.

   Sebat sekali gerakan Linghou Yong, di tengah deru angin pukulannya yang dahsyat, tahu-tahu telapak tangannya bagai sebuah cap yang membara telah menyelonong kepada Tan Ciok-sing dengan serangan Toa-jiu-in.

   Jari tengah tangan kiri Tan Ciok-sing yang bergerak mengimbangi gerak pedangnya tiba-tiba terjulur keluar menutuk Lau-kiong-hiat di tengah telapak tangan lawan.

   Inilah jurus tipu yang dilancarkan secara berbahaya untuk balik mendesak lawan yang mengancam awak sendiri, reflek dia telah menggunakan permainan Bu-bing-kiam-hoat yang liehay Dalam sekejap ini Linghou Yong sendiri juga mencelos hatinya, pikirnya.

   "Entah bagaimana asal-usul bocah ini. Kungfunya kok begini aneh dan liehay?"

   Meski dia berpengalaman luas, sudah tentu takkan tahu akan ilmu pedang ciptaan guru besar ilmu silat Thio Tan-hong? Dalam pada itu Huwan bersaudara sama berdiri di depan gubuk menonton pertandingan seru ini, luka-luka dalam Huwan Hou agak berat, tapi tidak sampai membahayakan jiwanya.

   Huwan Liong sudah mengurut dan memberi obat padanya, meski jiwanya tidak terancam, tapi pertempuran sengit di hadapan mereka betul-betul membikin mereka kebatkebit dan tegang.

   Huwan Kiau yang cerewet tiba-tiba berteriak.

   "Kenapa kau orang tua mundur saja? Kenapa tidak lekas ganyang bocah ini?"

   Sebetulnya dia masih ingin menyindir lagi, tapi Huwan Liong sang kakak telah mendelik kepadanya, katanya lirih.

   "Jangan gembar gembor memecah perhatian Linghou Yong. Jikalau dia kalah, kita juga bisa celaka."

   Huwan Pau baru sadar, walau dia tidak terluka, untuk lari kini diapun tidak mampu lagi.

   Kini disaksikannya Linghou Yong masih terus mundur, karuan hatinya menjadi was-was dan kuatir.

   Sejenak kemudian baru didengarnya Huwan Liong menarik napas panjang serta berkata.

   "Nah syukurlah sekarang."

   "Apanya yang syukur,"

   Tanya Huwan Pau tidak mengerti.

   "Jahe tua memang lebih pedas, kini Linghou cianpwe yakin pasti dapat memperoleh kemenangan, dalam seratus jurus kukira dia sudah dapat mengalahkan bocah itu,"

   Demikian kata Huwan Liong.

   Dengan mata terbelalak Huwan Pau saksikan pertempuran ini, tapi sejauh ini dia tak tahu dimana letak kunci dari kalah menang pertempuran ini.

   Namun biasanya dia percaya akan obrolan sang kakak, meski mata sendiri belum yakin akan apa yang dilihatnya, hati sudah merasa lega juga.

   Penilaian Huwan Liong agaknya memang tidak meleset, di tengah percakapan mereka itulah, tiba-tiba tampak perubahan di tengah arena, kini Linghou Yong tampak balas menyerang dari pada bertahan.

   Dengan bertahan tadi tujuan Linghou Yong hendak menguras tenaga Tan Ciok-sing.

   Pada hal kakinya melangkah dan bergerak sesuai posisi Ngo-hing-pat-kwa, walau kakinya terus mundur, tapi pertahanannya mantap dan rapat, setiap langkah kakinya berarti memunahkan sebagian tenaga Tan Ciok-sing.

   Setelah mencapai suatu babak tertentu, kedua telapak tangan Linghou Yong bergesek sekali terus bergerak menyamping kedua telapak tangan melontarkan dua tenaga yang beda arah, kiri menyeret kanan menuntun, tanpa kuasa Tan Cioksing berputar, dan ini memberi peluang bagi Linghou Yong untuk merubah posisi dan berinisiatif menyerang secara terbuka.

   "Anak bagus,"

   Bentak Linghou Yong.

   "kinilah saatnya kau rasakan keliehayanku."

   Ilmu yang dia yakinkan ternyata Kungfu dari aliran sesat yang bernama Im-yang-ciang, satu negatif yang lain positip, yang ini keras yang itu lunak saling isi dan sama tambal.

   Bagi yang lwekangnya rendah, menghadapi tenaga Im-yang-ciang ini, tak ubahnya seperti sebuah sampan yang terseret didalam pusaran gelombang air dahsyat.

   Akan tetapi penilaian Huwan Liong hanya betul separo, memang kenyataan Linghou Yong kini berinisiatif menyerang, kelihatannya dia berada di atas angin.

   Tapi pertahanan Tan Ciok-sing ternyata sedemikian kokoh kuat dan tidak gampang dikalahkan seperti yang diduganya.

   Latihan berat selama tiga tahun didalam Ciok-lin bagi Tan Ciok-sing ternyata memang tidak sia-sia, pada saat-saat yang gawat dan berbahaya ini, tampak betapa besar dan menakjubkan hasil gemblengan dirinya itu.

   Semakin kencang dan deras Linghou Yong menarikan sepasang telapak tangannya, beberapa kali terjadi seakan-akan dia sudah takkan mampu berkelit, tak nyana keadaannya memang persis sebuah sampan kecil yang terombang-ambing mengikuti gerak alunan gelombang badai, timbul tenggelam, namun tak pernah dia ditelan oleh badai yang mengamuk dahsyat ini.

   Maklum setelah memperoleh lwekang murni ajaran Thio Tanhong, walau latihannya belum matang atau sempurna, namun dalam praktek dia sudah mampu menguasai ilmunya itu sesuka keinginan hatinya.

   Taraf lwekangnya mungkin belum setingkat kepandaian Linghou Yong, namun lwekang yang diyakinkan dari aliran murni yang lurus, ini jelas lebih baik dan matang dari apa yang pernah diyakinkan Linghou Yong.

   Maka keuletan dan ketahanannya yang kokoh dan lama sungguh diluar dugaan Linghou Yong.

   Apalagi Bu-bing-kiam-hoat memang peranti menghadapi segala serangan perubahan serta melayaninya sesuai situasi dan kondisi, pedangnya itu ternyata mampu membendung segala serangan Linghou Yong dan dalam waktu dekat jelas lawan takkan mampu menundukkan dia.

   Tanpa terasa pertempuran sudah mencapai seratus jurus.

   Diam-diam Linghou Yong amat kaget.

   "Kalau begini terus salah-salah bisa mencapai tiga ratusan jurus. Umpama aku dapat mengalahkan dia, aku sendiri pasti bakal jatuh sakit cukup parah."

   Dengan suara lirih Huwan Pau berkata.

   "Naga-naganya keadaan tidak menguntungkan, bagaimana baiknya? Lari atau melabraknya?"

   Memang dalam situasi seperti sekarang ini, hanya ada satu pilihan dari dua keadaan yang harus mereka tempuh. Huwan Liong bertanya sambil mendekati Huwan Hou.

   "Jite, bagaimana luka-lukamu?"

   "Jauh lebih baik, mungkin belum mampu mengembangkan ginkang,"

   Sahut Huwan Hou. Tahu maksud engkohnya dia menambahkan.

   "Kalian boleh tak usah hiraukan aku, Toako, aku hanya ingin tahu, apakah kita punya kemampuan untuk membantu Linghou Yong? Umpama Linghou Yong bukan tandingan bocah itu, kukira juga takkan terpaut terlalu jauh,"

   Karena tadi dia kecundang dan dilukai Tan Ciok-sing, maka dia lebih condong untuk membantu Linghou Yong secara beramairamai. Huwan Liong ragu-ragu, katanya kemudian.

   "Sulit dikatakan. Lari atau ikut melabraknya sukar ditentukan, kita bertaruh saja dengan nasib."

   Meski perlahan percakapan mereka, tapi Linghou Yong dan Tan Ciok-sing mendengar omongan mereka. Diam-diam Tan Ciok-sing terkesiap, batinnya.

   "Jika mereka berempat ikut mengeroyokku, mungkin sulit aku meloloskan diri."

   Sebaliknya Linghou Yong kaget dan marah pula, bahwasanya dia sudah berada di atas angin, namun Huwan Liong tidak tahu.

   "Mungkin dia sudah tahu, tapi sengaja hendak memojokkan diriku supaya bertempur mati-matian dan akhirnya gugur bersama bocah ini,"

   Demikian batin Linghou Yong.

   Perlu diketahui, bila Huwan bersaudara saat itu terjun ke tengah gelanggang, sudah pasti Tan Ciok-sing pasti dapat dikalahkan dengan mudah.

   Kalau tidak umpama betul dia berhasil membunuh Tan Ciok-sing, dia sendiri juga perlu memulihkan tenaganya tiga bulan lamanya.

   Tapi wataknya memang angkuh dan tinggi hati, suka gengsi lagi, betapapun dia tidak sudi menebalkan muka untuk memberi penjelasan dan minta bantuan Huwan bersaudara.

   Tiba-tiba Huwan Pau berkata.

   "Aku ingin masuk menggeledahnya,"

   Saat mana mereka berada di muka pintu rumah Khu Ti, tadi seisi rumah sudah mereka obrak-abrik.

   "Apa pula yang hendak kau cari?"

   Tanya Huwan Liong.

   "Aku pingin minum arak, arak buatan Khu-lothau tempo hari tidak jadi kunikmati, kalau dibayangkan sampai sekarang aku masih ngiler. Mungkin dia masih menyimpannya seguci dan diletakkan di pojokan yang tidak terlihat kita tadi. Cukup setengah guci saja, sudah akan menambah banyak tenagaku."

   Huwan Liong marah, semprotnya.

   "Kau memang setan arak, dalam keadaan seperti ini, masih juga kau gila air katakata (arak)."

   Huwan Pau tertawa, katanya.

   "Memangnya kau sendiri belum berkepastian, mau tarung atau lari, mumpung ada kesempatan lebih baik aku cari arak, setelah minum tenaga pulih dan bertambah kuat, nanti aku bantu kalian berhantam."

   Baru saja usai percakapan mereka, tiba-tiba didengarnya dari dalam rumah ada orang batuk-batuk, disusul sebuah suara dingin berkata.

   "Kalian kawanan kurcaci memang sontoloyo, baru saja aku selesai minum dan mau tidur, kalian sudah bikin ribut di depan rumahku sehingga impian bagus sirna tak karuan. Hm, kalian masih ingin minum arak bukan,"

   Ternyata itulah suara perkataan Khu Ti.

   Karuan kejut Huwan bersaudara seperti disengat kala.

   Pada hal tadi mereka sudah menggeledah seluruh pelosok, rumah dan mengobrak-abrik isinya, menurut keadaannya agaknya Khu Ti sudah meninggalkan rumah itu, entah bagaimana sekarang tahutahu sudah berada dalam rumah pula? Pelan- pelan daun pintu terbuka dan muncullah Khu Ti.

   


Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung

Cari Blog Ini