Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemetik Harpa 18


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 18



Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tiba-tiba timbul akalnya, mendadak sengaja dia menggertak dengan serangan pura-pura, sementara langkahnya menerobos beberapa tindak.

   Memangnya Milo Hoatsu sudah merasa kepayahan menghadapi rangsakan lawan, melihat lawan mundur tanpa sebab, dia tidak tahu muslihat apa yang dilakukan lawan, kuatir tertipu dia tidak berani mengejar.

   Tapi kedua roda dipegang kencang sambil menatapnya lekat-lekat menunggu reaksinya lebih lanjut.

   Liok Kun-lun menanggalkan buli-buli besar di punggungnya, katanya.

   "Tunggu sebentar biar pengemis tua habiskan arakku, nanti kita lanjutkan lagi,"

   Lalu dia buka tutup buli-buli serta membuka mulut menuang arak kedalam perutnya hanya sekejap arak sebuli-buli telah ditenggaknya habis. Milo Hoatsu sudah angkat sepasang rodanya siap menyambut tabrakannya.

   "Nanti dulu,"

   Tiba-tiba Liok Kun-lun berseru.

   "Kenapa kau tidak berani melanjutkan?"

   "Bertempur sekian lamanya, kau belum lagi minum, apa kau tidak dahaga?"

   Milo Hoatsu melengak, bentaknya.

   "Tiada tempo aku mendengar ocehanmu, kalau mau berkelahi hayo maju."

   Liok Kun-lun tertawa katanya.

   "Diberi makan anjing malah menggigit, tidak tahu kebaikan manusia. Ketahuilah, pengemis tua ingin menyuguh arak kepadamu."

   Milo Hoatsu gusar, bentaknya.

   "Siapa sudi minum arakmu,"

   Dia sudah siap turun tangan, tapi melihat sikap Liok Kun-lun acuh tak acuh, dia jadi merandek tak berani turun tangan lebih dulu. Liok Kun-lun nyekakak, katanya.

   "Mau atau tidak kau harus meminumnya. Arak suguhan tidak mau biar kuberi arak hukuman,"

   Akhir katanya mendadak dia pentang mulut menyemburkan sekumur arak.

   Kontan Milo Hoatsu rasakan kabut gelap seperti menutupi pandangan mata, kuatir terbokong musuh lekas dia pejam mata seraya memutar sepasang rodanya.

   Hujan arak sama mengenai tubuhnya, meski tidak mampu melukainya, namun tubuhnya merasa pedas kesakitan juga.

   Kuatir matanya tersemprot buta, lekas dia putar badan membelakangi lawan serta mundur tujuh langkah lebih jauh.

   Liok Kun-lun tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Arak suguhan tidak mau kau lebih suka arak hukuman, bagaimana rasanya? Hehehe hahaha, kenyataan kau tidak berani melawanku lagi, biar pengemis tua pergi saja."

   Waktu Milo Hoatsu membuka mata menunduk, tampak kasa merah yang dipakainya sudah berlobang kecil seperti sarang tawon.

   Untung lwekangnya tangguh, bila orang lain terkena semburan arak tadi tentu tubuhnya bolong-bolong, kalau tidak mati juga pasti luka parah.

   Melihat Kasanya bolong-bolong, Milo Hoatsu merasa kaget dan jeri pula.

   Sementara itu Tan Ciok-sing berdua telah menggempur mundur Toa-kiat dan Toa-siu dengan gabungan ilmu pedang mereka, Liok Kun-lun menerjang kedalam barisan kawanan busu serta melabraknya kocar kacir, tidak sedikit kawanan busu yang dilukainya, Poyang Gun-ngo sebagai kepala jagojago kosen dari kawanan busu Watsu pun hanya mampu melawan tiga jurus, mau tidak mau dia dipukul mundur memberi jalan Setelah tenang hatinya Milo Hoatsu menghardik gusar.

   "Pengemis tua, pakai muslihat kau berusaha meloloskan diri, kalau berani kemarilah melawanku lagi."

   Liok Kun-lun tertawa serunya.

   "Siapa menang dan kalah sudah ditentukan, buat apa aku menghadapimu? Kalau berani kemarilah kau kejar aku."

   Milo Hoatsu menerawang kekuatan sendiri dibanding lawannya, dia yakin kekuatan pihak sendiri masih lebih unggul, maka dia mengulap tangan memberi tanda serta memberi perintah untuk mengejar.

   Meski tiada busu yang berani membangkang, namun semangat tempur mereka sudah luluh mana berani merintangi musuh? Tujuh di antara sepuluh orang hanya berkaok, serta berlari maju tanpa ada maksud menggasak musuh lagi, mereka hanya mengejar dari kejauhan, jadi seperti mengantar lawan pergi malah.

   Lekas sekali murid-murid Kaypang itu sudah lari ke ujung pekarangan, mereka terpencar dalam beberapa rombongan kecil menyelinap di antara semak pohon atau rumpun kembang.

   Dengan memejam mata In San juga bisa berlalu lalang didalam pekarangan ini tanpa kesasar, dia"

   Tuntun tangan Tan Ciok-sing putar kayun menghindar orang banyak, belok kiri putar kanan, sebentar saja mereka sudah kembali ke Bu-linggoan.

   Sekitar Bu-ling-goan ternyata sepi-sepi saja tiada bayangan wisu seorangpun.

   Ternyata seluruh wisu keluarga Liong dikerahkan untuk menghadapi musuh yang menyerbu datang.

   Bu-ling-goan terletak di suatu pojokan, disini tiada jejak musuh maka tiada wisu yang ditugaskan menjaga disini.

   Setelah melewati air terjun di mulut gua, dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang, perlahan Tan Ciok-sing berseru kedalam.

   "Aku adalah Tan Ciok-sing. Toan-toako, bagaimana keadaanmu dengan Sia-cin Taysu?"

   Kuatir orang didalam salah paham, sebelum masuk dia bersuara lebih dulu.

   Tak nyana ditunggu sekian saat tidak memperoleh jawaban Toan Kiam-ping.

   Pada hal didalam gelap gulita entah ada atau tidak penghuninya? Tan Ciok-sing kaget, katanya lirih kepada In San.

   "Hatihatilah, mari kita masuk bersama,"

   Keduanya melolos pedang lalu menggeremet maju setapak demi setapak.

   Tiba-tiba didengarnya seperti ada dengus pernapasan, waktu Ciok-sing angkat pedangnya ke depan, kemilau cahaya di ujung pedangnya seperti menerangi bayangan dua orang.

   Keduanya duduk bersila seperti orang bersemedi.

   "Apakah Toan-toako?"

   Tanya In San. Tetap tiada reaksi, kedua orang itu sedikitpun tidak bergerak. Kejut Tan Ciok-sing bukan main.

   "Mungkin mereka sudah mati bersama,"

   Lekas dia keluarkan geretan api, serta maju mendekat, setelah jelas barulah lega hati mereka.

   Kedua orang ini memang bukan lain Toan Kiam-ping dan Sia-cin Hwesio, mereka bersimpuh di tanah memejam mata, telapak tangan mereka saling genggam mirip padri tua yang samadi, begitu tenang dan asyiknya sampai kejadian di sekelilingnya seperti tidak diketahui lagi.

   Uap putih tampak mengepul di atas kepala Toan Kiam-ping, keringat sebesar kacang tampak bertetesan dari jidat Sia-cin Hwesio, dengus napasnyapun berat.

   Sebagai ahli silat sekali pandang Tan Ciok-sing lantas tahu bahwa Toan Kiam-ping tengah membantu Sia-cin Hwesio menyalurkan hawa murni dengan bantuan tenaga murninya yang disalurkan ke tubuh orang.

   Bila darah mengental dalam tubuh sudah mencair, luka Sia-cin Hwesio akan jauh lebih ringan.

   Kini mengerahkan lwekang mereka sudah mencapai taraf yang tergenting, sudah tentu mereka tidak bisa menjawab seruan Tan Ciok-sing.

   Di samping senang "Ciok-sing merasa kaget pula.

   Senang karena kedua orang ini masih hidup.

   Kaget karena setelah mengalami pertempuran sengit berulang kali, Toan Kiam-ping masih mampu menolong Sia-cin Hwesio, keadaannya sendiri jelas juga sudah letih dan lemah.

   Bila hawa murninya sampai terkuras, meki dia berhasil menghidupkan Sia-cin Hwesio dia sendiri pasti akan jatuh sakit berat.

   Lekas Ciok-sing tekan telapak tangannya di punggung Sia-cin Hwesio, dengan ajaran lwekang yang dipelajarinya dari ciptaan Thio Tan-hong, dia salurkan segulung hawa hangat ke tubuh orang melalui Honghu- hiat di punggung.

   Ajaran lwekang ciptaan Thio Tan-hong memang hebat dan mujarab hanya sekejap tampak Sia-cin Hwesio sudah membuka mata, mukanya yang pucat mulai bersemu merah.

   Tan Ciok-sing berkata.

   "Jiwa Sia-cin Taysu tidak perlu dikuatirkan lagi. Toan-toako, kau boleh istirahat,"

   Toan Kiamping tahu akan kemampuannya, maka diapun hentikan usahanya. Tan Ciok-sing masih melanjutkan bantuannya mendorong darah melancarkan pernapasan Sia-cin Hwesio. Sesaat lagi Sia Cin Hwesio mengerang.

   "Sudah, sudah cukup. Tenagaku sudah pulih sedikit. Biar kucoba, mungkin aku sudah bisa berjalan sendiri."

   Tan Ciok-sing menekannya, katanya.

   "Jangan terburu nafsu, nanti sebentar lagi kubantu kau menerjang keluar."

   Sia-cin Hwesio bertanya.

   "Bagaimana keadaan diluar, kau harus terus terang."

   Toan Kiam-ping juga tanya.

   "Kalian melihat Han Cin tidak?"

   "Nona Han aku belum melihatnya, tapi aku tahu dia bersama Ti Tayhiap sudah menerjang kepungan lebih dulu, bantuan dari luar juga telah datang, yakin mereka tidak akan mengalami bahaya,"

   Lalu Ciok-sing tuturkan keadaan diluar sepintas lalu. Sia-cin Hwesio menjadi gugup pula, katanya.

   "Kalau demikian orang kita masih berada dalam kepungan musuh, saatnya memerlukan teraga, lekas kalian keluar bantu mereka."

   "Melihat orang gelisah dan tidak tenang, terpaksa Toan Kiam-ping berkata.

   "Baiklah kugendong kau."

   Sia-cin sudah merangkak dan memungut tongkatnya, katanya.

   "Jangan urus aku, aku bisa jalan sendiri,"

   Setelah berdiri dia coba gunakan tongkatnya apa mampu jalan sendiri. Mendadak Tan Ciok-sing mendesis, katanya lirih.

   "Diam, ada orang datang, kau sembunyi dulu,"

   Tak lama kemudian betul juga ada suara orang melangkah ke arah gua. Tan dan Toan amat kaget, yang datang sambil bicara adalah Lenghou Yong, jago nomor satu dari pengawal keluarga Liong. Seorang lagi berkata.

   "Meski sudah mati, aku juga ingin menemukan mayatnya,"

   Orang ini adalah Liong Seng-bu.

   Agaknya Liong Seng-bu tidak tahu kalau Tan Ciok-sing dan In San sudah lari ke penginapan untuk tamu-tamu Watsu disana, karena tidak menemukan In San, dia lantas menduga mungkin In San terbawa arus deras didalam penjara air.

   Bu-ling-goan punya terowongan yang tembus ke penjara air, maka dia minta Lenghou Yong mengikuti dia masuk ke gua untuk memeriksa."

   In San genggam pedang pusakanya sembunyi di tempat gelap, matanya menatap ke depan dengan perasaan tegang dan girang pula.

   "kebetulan keparat ini antar jiwanya!"

   In San menahan napas, dilihatnya Liong Seng-bu sudah dekat dari tempat persembunyiannya tak nyana tiba-tiba Lenghou Yong menariknya. Liong Seng-bu melengak, tanyanya.

   "Ada apa?"

   "Kongcu,"

   Ujar Lenghou Yong tertawa.

   "dugaanmu memang tidak keliru, ada orang sembunyi disini. Tapi entah dia pujaanmu bukan,"

   Lalu dia menyalakan api serta membentak.

   "Siapa sembunyi didalam, hayo lekas menggelinding keluar."

   Ternyata napas Sia-cin Hwesio agak berat setelah terluka parah, Lenghou Yong ada meyakinkan lwekang tingkat tinggi, maka pendengarannya lebih tajam dari Liong Seng-bu, begitu menginjak mulut gua lantas dia tahu ada orang didalam.

   Berdiri di samping Sia Cin Hwesio sambil menghunus pedang Toan Kiam-ping membentak.

   "Lenghou Yong, kau ini terhitung jago kosen yang ternama, mengancam orang yang sudah terluka terhitung orang gagah macam apa, hayo keluar lawan aku seorang diri."

   Lenghou Yong melirik, katanya tertawa besar.

   "O, ternyata Toan-siauongya. Hehe, kau juga terluka. Tapi mengingat keberanianmu ini, akupun takkan melabrakmu, sekarang aku berlaku sopan saja, silakan kau tuntun Hwesio itu ikut aku."

   "Kentutmu busuk,"

   Maki Sia-cin Hwesio.

   "Meski bapakmu terluka juga, aku akan adu jiwa dengan kau."

   Mengkerut alis Lenghou Yong, katanya.

   "Kalian tidak mau diperlakukan secara sopan, memangnya suka dijinjing keluar?"

   Biasaaya dia amat pandang gengsi sendiri, betapapun dia tidak mau merendahkan derajat melabrak dua orang yang sudah terluka. Liong Seng-bu juga sudah tahu kalau Toan Kiam-ping terluka, pikirnya.

   "Lenghou Yong jual mahal tahan gengsi segala, memangnya aku peduli amat,"

   Maka dia berkata.

   "Kalian sudah jadi tawananku, aku tidak peduli kau terluka atau tidak, kalian tidak mau keluar biarlah aku seret saja."

   "Kunyuk busuk, kalau berani mari masuk,"

   Maki Sia-cin Hwesio. Liong Seng-bu gusar, dampratnya.

   "Keparat umpama kau ini seekor harimau, cakarmu juga sudah protol, memangnya aku takut padamu?"

   Baru saja dia melangkah, mendadak Lenghou Yong menghardik.

   "Awas Kongcu..."

   Dalam sekejap itu Tan Ciok-sing dan In San sudah muncul dan menubruk maju dengan sepasang pedang menuding ke arah Liong Seng-bu. Karuan kaget Liong Seng-bu serasa arwahnya copot dari badan kasarnya, teriaknya, dengan suara kelu.

   "To... tolong...

   "

   Sungguh lucu, tujuannya kemari adalah ingin mencari In San kini setelah orang yang dicarinya mendadak muncul disini, dia justeru kaget dan ketakutan sampai tak mampu bersuara.

   Tidak malu Lenghou Yong sebagai jago kosen yang berpengalaman, meski menghadapi sergapan mendadak dia tetap tidak gopoh, reaksinya ternyata juga cukup tangkas.

   Baru saja Liong Seng-bu mengeluarkan perkataan "tolong", mendadak terasa segulung tenaga lunak mendorong ke arahnya, berbareng pandangannya menjadi gelap.

   Sebelum dia tahu apa yang telah terjadi, tahu-tahu tubuhnya sudah dijinjing Lenghou Yong ke samping.

   Lenghou Yong sodorkan obor di tangannya ke arah muka In San, berbareng jarinya menjentik "Creng", ujung pedang orang diselentik pergi.

   "Sret", cepat sekali pedang Tan Cioksing sudah mengincar Jian-kin-hiat. Di tengah kegelapan Lenghou Yong mendengarkan suara membedakan arah, sebat sekali kakinya pindah posisi seraya melontarkan sebuah pukulan, serangannya tetap ditujukan ke arah In San. Siang-kiam-hap-pik sebetulnya amat besar perbawanya, sayang mereka belum biasa bertempur berdampingan didalam gelap, meski hanya terpaut serambut saja, kekuatan sepasang pedang inipun dikorting banyak sekali, dengan cara suara di timur menggempur di barat, beruntun tiga jurus Lenghou Yong mencecar In San untuk membatasi serangan Tan Cioksing terhadap dirinya. Pertarungan adu jiwa, mau tidak mau dalam hati masingmasing agak gugup juga. Mendadak Lenghou Yong tersentak sadar, di samping masih ada seorang pembantu, maka dia berteriak.

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kongcu, hayo lekas."

   Rasa kaget Liong Seng-bu belum lenyap, dasar otaknya encer mendengar seruan Lenghou Yong segera dia tahu maksudnya.

   Jelas dia tidak bisa ikut menggempur Tan dan In, dia juga tahu dalam waktu lama Lenghou Yong jelas bukan tandingan Tan dan In, apalagi bergebrak di gua yang gelap, sembarang waktu jiwa Lenghou Yong terancam, umpama dia bisa lari keluar minta bantuan, mungkin tidak sempat lagi.

   Lenghou Yong menyuruhnya lekas, yakin bukan menyuruhnya lari, kalau disuruh lari tentu dia bilang lekas keluar.

   "Ya, kenapa aku lupa ada dua orang yang sudah terluka disini,"

   Liong Seng-bu berpikir.

   "menghadapi dua orang yang telah payah masa aku tidak mampu, hehehe, asal satu telah kuringkus, dapat aku mengancam bocah keparat itu supaya tunduk padaku. Setelah keluar dari gua ini, In San budak busuk itupun akan tergenggam dalam telapak tanganku."

   Batu berserakan didalam gua, setelah berkeputusan Liong Seng-bu lantas mendekam serta merunduk maju.

   Dia tahu Sia-cin sudah terluka parah, maka dia bertujuan membokong Sia-cin lebih dulu.

   Tak tahunya meski terluka parah dan Kungfunya sudah hampir lenyap, tapi Sia-cin cukup berpengalaman.

   Sejak tadi dia sudah siap dan berjaga bila ada orang membokong dirinya, sengaja dia pura-pura tidak tahu setelah Liong Sengbu merandek ke dekatnya, barulah mendadak dia angkat tongkatnya menggebuk seraya membentak.

   "Dari mana datangnya anjing buduk hendak menggigit orang."

   Mau membokong malah terbokong Liong Seng-bu sama sekali tidak menduga, karena tidak siaga tongkat orang mengenai tubuhnya dengan telak.

   Sayang Sia-cin terluka parah, tenaganya lemah, meski gebukan tongkatnya itu sudah kerahkan setaker tenaga, Liong Seng-bu memang kesakitan luar biasa, tapi dia tidak terluka berat.

   Malah karena dia terlalu bernafsu, begitu tongkatnya terayun dia sendiripun terjerembab.

   Begitu meletik bangun Liong Seng-bu berjingkrak gusar, makinya.

   "Bangsat gundul, kematian di depan mata masih berani mengganas,"

   Pedang dihunus terus menusuk.

   "Trang"

   Toan Kiam-ping ulur pedangnya menangkis. Bentaknya.

   "Berani kau melukai Sia-cin Hwesio kurenggut dulu nyawamu."

   Liong Seng-bu tahu dari benturan pedang barusan bahwa tenaga Toan Kiam-ping juga bukan tandingannya, segera dia tertawa jumawa, katanya.

   "Jiwamu sendiri belum tentu kau bisa selamatkan masih berani bermulut besar?"

   "Sret"

   Sebelum dia bicara habis Toan Kiam-ping sudah menusuknya dari arah yang tidak terduga, terdengar suara robek lengan baju Liong Seng-bu kena ditabasnya kutung.

   Diam-diam Toan Kiam-ping gegetun, sayang tenaganya lemah sehingga tusukan pedangnya ini kurang cepat dan terpaut setengah dim pasti lengan lawan ditabasnya kutung.

   Kepandaian silat Liong Seng-bu sekarang juga sudah mencapai taraf tertentu, setelah rasa kagetnya hilang, segera dia sadar.

   "Tenaganya lebih payah dari tadi, jelas keadaaanya seperti dian yang sudah kehabisan minyak. Hm, kenapa aku gentar terhadapnya?"

   Setelah mundur Liong Seng-bu mendesak maju, jengeknya.

   "Diberi tidak membalas tidak hormat, kau kira tuan mudamu takut kepada kau sambut seranganku"

   "Sret, sret, sret"

   Beruntun tiga kali pedangnya menggempur, gaya pedangya enteng dan lincah, ternyata kemahirannya sudah berbeda dari dulu.

   Toan Kiam-ping harus kerahkan seluruh tenaga dan kemahirannya baru berhasil punahkan tiga rangkai serangan pedang, dalam hati dia terheran-heran.

   "Dari mana ilmu pedang keparat ini mendadak begini liehay?"

   Seperti diketahui tiga tahun yang lalu dari tangan Tan Cioksing, pernah Liong Seng-bu merebut se

   Jilid kitab ilmu pedang ciptaan Thio Tan-hong, buku ilmu pedang itu sebetulnya dititipkan kepada In Hou oleh Thio Tan-tong supaya diserahkan kepada muridnya Toh Thian-tok di Thian-san.

   Menjelang ajalnya In Hou serahkan buku itu kepada Tan Cioksing, waktu itu Liong Seng-bu merangkul Tan Ciok-sing, suatu kesempatan sebelum Ciok-sing sempat menyampaikan buku itu telah direbutnya.

   Akhirnya buku itu memang berhasil direbut kembali oleh Ciok-sing, namun Liong Seng-bu sudah sempat mempelajarinya beberapa jurus.

   Setelah layani permainan pedang beberapa jurus, terasa oleh Toan Kiam-ping permainan ilmu pedang lawan tingkat tinggi, tapi bolak-balik hanya beberapa jurus itu juga, sayang tenaga sendiri sudah teramat lemah, sehingga tidak mampu dia mematahkan permainan lawan, mau tidak mau dia mengeluh dalam hati.

   "Keadaanku sekarang tak ubahnya seekor naga yang sudah payah dipermainkan seekor udang di sungai yang dangkal. Harimau kesasar di kampung digonggong anjing,"

   Di samping tenaga semakin lemah dia harus perhatikan pula keselamatan Sia-cin Hwesio, karuan pikirannya semakin kacau. Saking senang Liong Seng-bu membentak.

   "Menyerah saja." "Sret"

   Pedangnya menusuk Hong-hu-hiat di punggung Toan Kiam-ping.

   Tak tahunya, ibarat cengcorang hendak menangkap tonggeret, tidak tahu burung gereja berada di belakangnya.

   Sebelum ujung pedangnya menyentuh kulit punggung Toan Kiam-ping, tahu-tahu terasa punggung sendiri terasa dingin, ternyata pedang In San sudah mengancam Hong-hu-hiat di punggung sendiri.

   Ternyata Tan Ciok-sing menempuh bahaya melancarkan serangan maut menandingi rangsakan Lenghou Yong, sehingga In San sempat mundur untuk membekuk Liong Seng-bu.

   Setelah meringkus musuh besarnya In San tertawa ejek.

   "Bangsat kecil sekarang kau tahu keliehayan kita?"

   Liong Seng-bu bergidik, katanya gemetar.

   "Adik San, keluargaku menganggapmu sebaik itu, mohon kau mengingat hubungan dahulu..."

   Saking murka berdiri alis In San, dampratnya.

   "Mending kau tidak menyinggung hubungan masa lalu, sekali kau angkat pula urusan lama, kugorok putus lehermu."

   "Ya, ya, tidak berani."

   Liong Seng-bu munduk-munduk.

   "apa kehendakmu pasti kulakukan."

   "Suruhlah Lenghou Yong menggelinding keluar,"

   Bentak In San. Terpaksa Liong Seng-bu menurut perintah, serunya.

   "Lenghou-siansing, sukalah kau pandang mukaku, keluarlah lebih dulu."

   Pada hal Lenghou Yong sudah berada di atas angin, tapi apa boleh buat terpaksa dia menghentikan pertempuran, bentaknya.

   "Berani kau menganiaya Kongcu, jangan harap kalian bisa keluar dari kebon ini."

   "Coba buktikan saja nanti,"

   Jengek Tan Ciok-sing, In San serahkan Liong Seng-bu kepada Tan Ciok-sing, lalu dia membalik bantu Toan Kiam-ping memapah Sia-cin Hwesio. Sia-cin Hwesio tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Jangan takut, tak usah kuatir, aku takkan mati disini. Sungguh menyenangkan, keparat ini hendak menawanku sebagai sandera, kini sebaliknya dia jadi sandera kita."

   Dia tidak mau dipapah, menggunakan tongkatnya dia ikuti In San keluar dari gua.

   Tidak bisa berbuat apa-apa, terpaksa Lenghou Yong lari memberi laporan kepada junjungannya.

   Setelah berada diluar gua, terdengar suara pertempuran masih berlangsung dengan gaduhnya agaknya pertempuran berjalan semakin sengit.

   In San tahu siapa yang paling diperhatikan Toan Kiam-ping, maka dia berkata.

   "Toan-toako, mari kita cari dulu Han-cici."

   Tapi dimana-mana ada pertempuran, entah dimana Ti Nio dan Han Cin lagi berhantam? Di tengah kegaduhan pertempuran yang memenuhi seluruh pelosok taman besar ini, tiba-tiba terdengar bunyi seruling yang merdu menusuk pendengaran, Tan Ciok-sing girang, katanya.

   "'Kek Lam-wi ada disana, dia sedang mencari Susioknya, nona Han berada bersama Susioknya kemungkinan mereka ada disana juga. Mari kita serbu kesana."

   Dugaannya memang tidak meleset, Kek Law-wi memang ingin kontak dengan sang Susiok melalui suara serulingnya.

   Pada saat itu pula, beberapa jalur kembang api berwarna biru benderang sama menjulang ke angkasa, kaget dan senang hati Tan Ciok-sing, pikirnya.

   "Sekaligus kembang api berpijar di angkasa, pasti ada bantuan dari teman-teman yang baru datang telah tiba,"

   Dari kejauhan Tan Ciok-sing belum melihat jelas, tapi Kek Lam-wi sudah melihat Susioknya.

   Di bawah penerangan kembang api yang menyala di angkasa itu, Kek Lam-wi melihat Susioknya sedang berhantam melawan Milo Hoatsu.

   Sementara Han Cin berada tak jauh di samping Ti Nio.

   Ternyata Milo Hoatsu pimpin sisa busu yang ada bergabung dengan anak buah Liong Bun-kong, kekuatan mereka dibagi rata untuk membendung musuh yang menyerbu datang, maka terjadilah pertempuran terbuka yang lebih keras dan ramai.

   Kalau pihak Pat-sian mendapat bantuan, pihak Liong Bunkong juga kedatangan bantuan yang lebih kuat.

   Menekuk pinggang bergaya seperti petani bercocok tanam di ladang sebat sekali tiba-tiba Ti Nio membresot ke samping, telapak tangannya menabas melintang setajam golok tubuhnya berkelebat dari bawah roda rembulan musuh, tangannya membacok ke lutut Milo Hoatsu.

   Serangan ini memaksa lawan membebaskan diri dari ancaman bahaya, terpaksa Milo Hoatsu tarik roda mataharinya yang menyerang keluar.

   Kepandaiannya sudah mencapai taraf sesuka hati menggunakan senjata, pada hal gempuran roda matahari sekeras itu, tapi secara mentah-mentah dia kuasa menariknya mundur, hal ini sungguh diluar dugaan Ti Nio.

   "Bret"

   Lengan baju Ti Nio tergores sobek oleh ujung roda yang tajam.

   Tapi tidak mundur Ti Nio malah mendesak maju, telapak tangannya membelah dada lawan, inilah cara bertempur gugur bersama.

   Kuatir roda rembulan saja tidak kuasa melawan gempuran musuh, terpaksa Milo Hoatsu tarik roda matahari untuk melindungi badan.

   Dengan merangsak Ti Nio membela diri, yakin Milo Hoatsu tidak berani adu jiwa dan gugur bersama, sehingga orang memunahkan serangan berbahaya ini, dalam hati padahal diapun bersyukur.

   Walau Milo Hoatsu seurat lebih unggul, mau tidak mau dia merasa kagum juga.

   "Sungguh tak nyana ada pula seorang yang mampu melawan sepasang rodaku dengan bertangan kosong. Pengemis tua itu adalah Kaypang Pangcu, dia memiliki Kungfu setinggi itu meski berada diluar perhitunganku, namun tidak perlu dibuat heran. Entah siapa laki-laki tua ini? Ai, agaknya tidak sedikit orang pandai di Tionggoan."

   Secepat kilat kedua pihak saling berhantam dengan melancarkan serangan maut, namun tiada salah satu yang tersentuh luka.

   Tapi Ti Nio melawan dengan tangan kosong, bagaimanapun dia di pihak yang dirugikan.

   Dia tahu dalam tiga puluhaan jurus, dirinya masih kuat menandinginya, tapi selewat tiga puluh jurus sukar diramalkan.

   Melihat sang Susiok menghadapi bahaya, lekas Kek Lam-wi memburu tiba, langsung dia timpukkan serulingnya sembari berteriak.

   "Susiok, serulingku ini tak bisa rusak, gunakanlah."

   Ti Nio tahu Loan-giok-siau ini adalah seruling pusaka, dengan seruling berada di tangan, semangat tempurnya membara, dari bertahan lekas dia menyerbu dengan sengit.

   Seruling beradu dengan roda menerbitkan rentetan suara nyaring, meski tajam gigi roda lawan, tapi seruling ternyata utuh tidak kurang sedikitpun.

   Tapi ini lantaran Iwekang Ti Nio setanding dengan lawan, kalau Kek Lam-wi sendiri yang menggunakan, seruling itu pasti tergetar lepas dari cekalannya.

   Setelah masing-masing memakai senjata pertempuran setanding dan sama kuat.

   Ti Nio kembangkan ilmu tutuk tingkat tinggi, seruling digunakan sebagai potlot sekaligus dia menggebu dan puluhan jurus tanpa ganti napas.

   Tapi setapakpun Milo Hoatsu tak mau mundur, kedua"

   Rodanya berputar dengan kencang dan serasi, membela diri juga balas menyerang, rangsakan Ti Nio dilawannya dengan gagah dan berani.

   Menghadapi musuh tangguh yang baru pertama kali ini dihadapi selama hidup, sudah tentu Ti Nio tak sempat hiraukan persoalan lain, dilihatnya busu Watsu datang berbondong, lekas dia berteriak.

   "Kek-hiantit nona Han kuserahkan kepadamu, lekas kau bawa dia lari, jangan hiraukan aku."

   Kek Lam-wi cerdik dan pandai bertindak, ini diketahui oleh Ti Nio, dalam keadaan segenting ini dia titip Han Cin supaya dilindungi, adalah suatu hal yang jamak dan sepantasnya, hal ini sebetulnya tidak perlu dibuat heran, tapi anehnya nada perkataannya seolah-olah menganggap Han Cin sebagai putri kandungnya sendiri.

   Tergerak hati Han Cin, tapi mengingat Ti Nio adalah sahabat baik ayahnya, keadaanpun sedemikian tegang, tiada waktu dia menelaah perkataan Ti Nio.

   Pada waktu itulah kebetulan dia mendengar suitan panjang Tan Ciok-sing, teriaknya girang.

   "Agaknya Tan toako telah datang."

   Kek Lam-wi pasang kuping mendengarkan, katanya.

   "Betul itulah suitan Tan-toako. Nona Han, mari ikut aku,"

   Ternyata suitan Tan Ciok-sing mengalun turun naik mengikuti irama lagu, Han Cin dan Kek Lam-wi paham ajaran musik maka sekali dengar lantas mengenalinya. Han Cin sudah lari ke depan Kek Lam-wi, waktu Kek Lamwi menoleh dia berseru heran teriaknya.

   "Adik So, untuk apa kau masih berdiri disitu, lekas kemari."

   Toh So-so tersentak sadar, katanya.

   "Perhatikan Han-cici dan lindungi dia, segera aku datang,"

   Agaknya waktu mendengar pesan Ti Nio kepada Kek Lam-wi yang menitipkan Han Cin, perasaan Toh So-so jadi tidak karuan.

   "Apa maksud Ti-locianpwe dengan pesannya itu?"

   Demikian dalam hati dia bertanya-taya. Lekas sekali Poyang Gun-ngo sudah memburu datang, lebih dulu dia mencegat Kek Lam-wi serta membentak.

   "Anak bagus, tadi kau beruntung dapat lolos, kini jangan harap bisa lari? Kalau berani hayo lawan aku,"

   Dengan jurus Pek-hongkoan- jit pedangnya itu sungguh mirip bianglala, dalam sekejap, Kek Lam-wi dan Han Cin sudah terkurung dalam cahaya pedangnya.

   Seruling Kek Lam-wi sudah diberikan kepada Ti Nio, kini dia tidak bersenjata, dengan bertangan kosong, mana dia mampu melawan Poyang Gun-ngo? Hanya beberapa gebrak saja keadaannya sudah terdesak di bawah angin, pernah sejurus serangan lawan hampir memapas kutung jari-jarinya.

   Han Cin mainkan cambuknya bantu menghalau serangan lawan, tapi tenaganya lemah, bantuannya tidak berarti bagi Kek Lam-wi.

   Melihat sang pujaan menghadapi bahaya, Toh So-so tidak pikirkan lagi soal jelus segala, lekas dia memburu kemari, Ceng-kong-kiam dia berikan kepada Kek Lam-wi, dia sendiri menggunakan golok melawan musuh.

   Pedang ada di tangan seperti harimau tumbuh sayap, beruntun Kek Lam-wi lancarkan tiga jurus serangan, ujung pedangnya mengincar hiat-to mematikan di tubuh Poyang Gun-ngo, kini situasi agak mending karena dia mampu melawan dengan mantap.

   Walau pedang panjang ini tidak seampuh serulingnya, dengan kekuatan tiga orang sekuatnya masih bertahan beberapa kejap lagi.

   Tapi kalau Kek Lam-wi dibantu dua nona, Poyang Gun-ngo juga kedatangan bantuan.

   Hanya menonton sekejap Toa-kiat lantas tahu kedua nona ini sudah lemah tenaganya, meski berkepandaian lumayan, yakin mereka bukan tandingan dirinya.

   Maka dia suruh kawanan busu lainnya melingkari arena supaya"

   Lawan tidak melarikan diri dan untuk menjaga bila lawan kedatangan bantuan, seorang diri dengan tongkat besarnya dia masuk ke arena. Toa-kiat bergelak tawa, serunya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dua nona secantik ini mengantar kematian, sungguh harus dibuat sayang. Hehe, aku orang beribadah mengutamakan kebajikan, biarlah aku yang membacakan doa mengantar arwah kalian."

   Tongkatnya dikeprukan di tengah-tengah pertempuran, sehingga Toh dan Han dipisahkan dengan Kek Lam-wi.

   Betapa pun mereka melabrak dengan nekat sudah tidak mampu lagi bergabung dengan Kek Lam-wi.

   Seorang diri Kek Lam-wi tetap bertahan, namun sepuluh jurus kemudian dia sudah terdesak di bawah angin.

   Toh dan Han berdua melawan Toa-kiat lambat laun merekapun kepayahan.

   Han Cin amat gelisah, pikirnya.

   "Tadi jelas kudengar suitan Tan-toako, kenapa belum juga dia kemari bersama ln-cici."

   Mana dia tahu Tan Ciok-sing mendatangi sambil menggusur Liong Seng-bu.

   Karena dia menelikung tuan muda keluarga Liong, sudah tentu kawanan wisu itu tiada yang berani menghadangnya, semua minggir memberi jalan, namun berjalan menggusur tawanan tidak bisa mengembangkan ginkang.

   Semburan kembang api masih terus berledakan di atas udara taman besar itu, mendadak di ujung taman sana tampak jago merah berkobar semakin besar.

   "Celaka, kawanan rampok membakar rumah."

   "Aduh celaka, kelihatannya Bing-cu-khek yang terjilat api,"

   Para wisu keluarga Liong berteriak-teriak dan semuanya memburu kesana dengan rasa ketakutan.

   Maklum Bing-cukhek adalah tempat kediaman Liong Bun-kong.

   Tan Ciok-sing sudah mendatangi sambil menggusur Liong Seng-bu, karena tangan ditelikung kesakitan Liong Seng-bu gembar-gembor.

   "Maknya dirodok, Tan Ciok-sing, mana boleh kau gunakan cara ini atas diriku? Tahukah kau bila aku mati, kalian jangan harap bisa hidup."

   Mendengar makian kotor dan Liong Seng-bu mogok jalan terpaksa Tan Ciok-sing menutuk hiat-tonya dan mengempitnya di bawah ketiak. Tan Ciok-sing tertawa, katanya.

   "Tuan muda besar, sudah cukup kau hidup foya-foya, tiba saatnya kaupun harus mencicipi apa yang dinamakan menderita dan tersiksa. Hanya tersiksa seringan ini kau tidak akan mampus."

   Di tengah cahaya kobaran api tampak dua laki-laki baju hitam berlari kencang mendatangi. Melihat Tan Ciok-sing mengempit seseorang, mereka tampak senang dan kaget, tanpa janji mereka berseru.

   "Yang kau bekuk apakah Liong Seng-bu si bangsat kecil itu?"

   "Betul,"

   Sahut Tan Ciok-sing.

   "siapa kalian,"

   Mulut menjawab kaki terus memburu kesana membantu Kek Lam-wi yang terdesak.

   Pedang Poyang Gun-ngo sedang menusuk ke ulu hati Kek Lam-wi, gerakan fdan gaya serangannya amat berbobot dan keras.

   Tan Ciok-sing segera ayun tubuh Liong Seng-bu sebagai tameng disodorkan ke ujung pedang musuh, bentaknya.

   "Kalau berani, tolong kau bunuh keponakan Liong Bun-kong ini."

   Perlu diketahui Liong Bun-kong tidak punya anak, keponakan satu-satunya ini sudah dipandangnya seperti anak kandung sendiri, sudah lama dia ingin mewariskan segala miliknya kepada sang keponakan tersayang ini.

   Padahal Poyang Gun-ngo adalah seorang tamu asing, tapi pihak Watsu masih memerlukan bantuan Liong Bun-kong untuk mencapai cita-cita, mana berani Poyang Gun-ngo melukai keponakan Liong Bun-kong? Lekas dia tarik dan urungkan tusukan pedangnya.

   Untung permainan pedangnya sudah amat tinggi dan dikuasainya dengan baik, dalam waktu singkat dan mendadak lagi, syukur ujung pedangnya hanya menusuk bolong dan merobek pakaian Liong Seng-bu saja.

   Gebrakan ini berlangsung sangat cepat.

   Setelah membebaskan bahaya yang mengancam Kek Lam-wi, barulah dia mendengar jawaban kedua laki-laki baju hitam atas pertanyaannya tadi.

   "Kami adalah anak buah Kim-to Cecu."

   Han Cin pernah tinggal di markas Kim-to Cecu, kedua lakilaki itu mengenal dia, sembari menjawab pertanyaan Tan Ciok-sing mereka memburu ke arah Han Cin.

   "Trang"

   Tongkat Toa-siu tahu-tahu kena ditahan oleh golok dan pedang lakilaki itu, telapak tangan tergetar cekalan hampir terlepas, lekas dia mencelat jumpalitan.

   Meski sebat dia mengundurkan diri, tak urung pedang Toh So-so menggurat luka panjang di lengan kirinya.

   Sementara itu In San juga sudah memburu tiba.

   Senang dan kejut hati In San, serunya.

   "Sim-toako, Ciutoako, kiranya kalian juga datang, sungguh menyenangkan."

   Kedua laki-laki bernama Sim Lan dan Ciu Hok, mereka adalah dua Toa-thaubak dari anak buah Kim-to Cecu yang berkedudukan paling tinggi.

   Atas perintah Kim-to Cecu mereka disuruh menyusul ke kota raja dengan tugas membujuk Wicui- hi-kiau supaya membatalkan rencananya yang terlalu berbahaya.

   Sayang sudah beberapa hari lamanya mereka tak berhasil mengadakan kontak.

   Tapi ada juga orang pihak mereka yang diselundupkan kedalam keluarga Liong, selain memperhatikan gerak-gerik keluarga Liong.

   Kegaduhan yang terjadi dalam gedung keluarga Liong dari jauh bisa terdengar, maka mereka lantas tahu bahwa Pat-sian sudah angkat senjata melabrak orang-orang keluarga Liong.

   Karena gagal untuk membujuk terpaksa mereka melaksanakan rencana kedua, yaitu mengumpulkan orang-orang mereka yang ada di kota raja untuk membantu dan menyambut dari luar.

   Kebakaran yang terjadi di Bing-cu-khek adalah perbuatan mereka yang menyulut api.

   Di saat rombongan orang-orang gagah mulai bergabung dan siap menerjang keluar kepungan mendadak dari luar terdengar suara sorak sorai yang gegap gempita.

   Di atas sebuah gunungan tampak Ciok Khong-goan mengangkat sebatang obor, dengan suara lantang dia berteriak.

   "Kalian tidak usah gelisah, Gi-lim-kun sudah dikerahkan kemari untuk membekuk kawanan rampok lekas kalian kembali ke posisi masing-masing, sebagian lekas menolong kebakaran."

   Sebetulnya untuk mengerahkan pasukan Gi-lim-kun harus minta izin dari raja, tapi Liong Bun-kong adalah sekretaris militer, Kiu-bun-te-tok yang berkuasa lagi, kedudukannya amat disegani, diketahui pula Duta Watsu sedang bertamu di rumahnya, hal ini diketahui oleh komandan Gi-Iim-kun, maka begitu dia mendengar kabar, segera dia kerahkan seribu pasukan Gi-lim-kun mengepung rumah keluarga Liong hendak menangkap perampok, prosedur boleh diurus belakangan, pokoknya musuh harus diringkus dulu.

   Tapi komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat adalah laki-laki yang berpendirian teguh dan kukuh melihat api berkobar dalam taman, dia menduga pertempuran didalam pasti acak-acakan.

   Meski luas taman kembang Keluarga Liong, kalau seribu pasukan Gi-lim-kun juga dikerahkan kedalam bukan mustahil orang sendiri bisa saling bunuh dan terinjak-injak.

   Sebagai komandan dia pandai memimpin pasukan, sebelum situasi jelas, terpaksa dia bersikap tenang dan siap bertindak bila perlu.

   Maka dia susun barisan diluar gedung keluarga Liong, bila kawanan brandal keluar satu persatu akan dipanah mati atau ditusuk mampus.

   Sudah tentu diapun menyerukan supaya kawanan brandal meletakkan senjata, menyerah tanpa syarat.

   Ciok Khong-goan meniup terompet yang menyampaikan perintah, serunya di atas gunungan.

   "Kalian dengarkan pasukan Gi-lim-kun sudah kepung taman ini, kalian jelas takkan bisa melarikan diri. Bok-jongling ada perintah, lekas kalian letakkan senjata dan menyerah, jiwanya akan diampuni dan dihukum ringan."

   Kaypang Pangcu Liok Kun-lun segera melompat ke atas sebuah gunungan lain, serunya lebih lantang.

   "Kentutmu busuk, kaupun dengarkan, majikan muda kalian sudah berada di tangan kita, kalau kami tidak diberi jalan keluar, biar kugorok dulu lehernya. Baru kita akan adu jiwa, membelek Liong Bun-kong dan membunuh apa itu Duta Watsu segala."

   Lwekangnya amat tangguh suaranya disiarkan dengan ilmu mengirim suara gelombang panjang sehingga suaranya tersiar sampai jauh bukan saja menelan suara keributan dalam taman demikian pula Liong Bun-kong yang buru-buru menyelamatkan diri dari Bing-cu-khek juga mendengar suaranya.

   Kebat kebit hati Liong Bun-kong, pikirnya.

   "Kawanan brandal itu tidak tahu aturan berani melawan hukum, bila nekad dan adu jiwa, perbuatan apa saja yang tidak berani mereka lakukan, jelas aku takkan bisa tidur tenteram."

   Waktu di Bing-cu-khek hampir saja dia tertusuk oleh In San rasa kejut dan takutnya belum lenyap, maka lekas dia suruh Lenghou Yong menyampaikan maksud hatinya. Ternyata Lenghou Yong tampil sebagai penengah, serunya.

   "Persoalan bisa dirundingkan, apa kehendak kalian, aku bisa wakilkan kalian menyampaikan kepada Liong-tayjin."

   Liok Kun-lun berkata.

   "Kupinjam majikan muda kalian untuk antar kami keluar kota. Gi-lim-kun dilarang menguntit, setiba diluar kota, kita akan bebaskan dia."

   Berkerut alis Lenghou Yong, katanya.

   "Kalau kalian ingkar janji, bukankah pihak kita yang dirugikan?"

   "Kentutmu busuk,"

   Damprat Liok Kun-lun.

   "memangnya kau kira kita ini manusia rendah budi macam kalian yang punya pangkat?"

   Kuatir sang paman menolak syarat mereka, itu berarti jiwa sendiri bakal terancam lekas Liong Seng-bu berseru.

   "Lenghou-siansing, aku tahu mereka adalah orang-orang gagah aku membenci mereka, tapi aku boleh percaya perkataan mereka. Tolong sampaikan kepada paman, percayalah kepada mereka."

   "Aku percaya kalian pasti menepati janji, tapi urusan besar dan sepenting ini, aku tidak berani ambil putusan sendiri. Begini saja, kalian mengutus dua orang ikut aku berunding langsung dengan Liong-tayjin."

   Liok Kun-lun undang orang banyak diajak berunding, Coh Ceng-hun berkata.

   "Mungkin hanya muslihat mereka, kita harus waspada, jangan kena tipu."

   "Hal itu jelas harus dibuat pikiran. Tapi keponakan bangsat tua berada di tangan kita, yakin dia takkan berani berbuat senekat itu. Menurut pendapatku, dikuatirkan pihak Gi-lim-kun campur tangan, dia minta berunding dari tiga pihak."

   "Keparat ini kuringkus bersama Tan-toako,"

   Demikian timbrung In San.

   "biar kami berdua yang berunding dengan mereka. Memang kami bertujuan menuntut balas kepada bangsat tua she Liong, kalau perundingan berjalan lancar ya sudah, kalau gagal bersama Tan-toako kami pasti akan melabraknya, bila perlu biar gugur bersama."

   Liok Kun-lun tahu hubungan ln San dengan Liong Bunkong, diapun sudah saksikan wibawa gabungan ilmu pedang sepasang muda mudi ini, maka dia terima usul mereka.

   Lenghou Yong bawa mereka memasuki sebuah ruangan, tampak Liong Bun-kong bersama Milo Hoatsu sudah menunggu didalam.

   Ruang ini amat besar, tapi pajangan amat sederhana, di tengah hanya terdapat sebuah meja panjang.

   Liong Bun-kong duduk di ujung meja yang satu, sementara Milo Hoatsu dan Lenghou Yong duduk di kanan kirinya, di belakangnya adalah pintu angin yang dipasangi alat rahasia.

   Sementara Tan dan In duduk di tempat yang sudah mereka tentukan di ujung meja yang lain.

   Agaknya dia takut berhadapan dengan Tan Ciok-sing berdua maka perundingan telah diatur sedemikian rupa, meski dilindungi dua jagoan kosen tapi hatinya belum lega.

   Berhadapan dengan musuh semasa berkobar sorot mata In San.

   Beradu pandang dengan sorot matanya lekas Liong Bunkong melengos dengan hati bercekat, dengan tawa dipaksakan dia berkata.

   "Anak San, kau sudah tumbuh setinggi ini, kau tahu selamanya aku pandang kau sebagai putriku sendiri kuharap kau tidak terlalu mencari kesulitan padaku."

   Dingin suara In San.

   "Ayahku adalah pendekar besar yang kenamaan di kolong langit umpama aku tidak kenal bakti, memangnya sudi aku mengangkat bangsat sebagai ayah. Tapi kedatanganku sekarang bukan untuk membicarakan soal pribadi, dendam lama biarlah dikesampingkan dulu. Hm, tapi kalau kau ingin membicarakan soal dahulu, biar kubunuh dulu keponakanmu, baru kubuat perhitungan lama dengan kau."

   Di samping takut Liong Bun-kong jadi serba runyam, terpaksa dia alihkan pandangannya, katanya kepada Tan Cioksing.

   "Baik, baik, kita hanya membicarakan urusan dinas. Kabarnya kau adalah cucu Tan Khim-ang, usiamu semuda ini, tapi nyalimu begitu besar."

   "Liong-tayjin terlalu sungkan. Bicara soal nyali masa aku dapat dibandingkan dengan engkau."

   Liong Bun-kong melcngak, dia tidak paham apa maksud perkataannya, tapi mendengar orang memanggil "Liongtayjin"

   Padanya, memuji dirinya bernyali besar pula, hatinya agak senang dan terhibur, dalam hati dia berpikir, kiranya pemuda ini juga kenal sopan santun. Diluar dugaan Tan Ciok-sing melanjutkan perkataannya.

   "Berintrik dengan musuh menjual negara dan bangsa, pasti akan dicaci maki oleh jutaan manusia, betapa besar nyali Liong-tayjin kau berani menjual negara dan bangsa, jangan kata aku tidak berani dibandingkan, yakin di kolong langit tiada orang yang berani menandingi Liong-tayjin."

   Merah padam muka Liong Bun-kong, tapi kuatir perundingan ini gagal, tak berani dia mengumbar amarah. Setelah batuk-batuk kering dia berkata.

   "Betapa jerih payah Lohu bekerja demi kepentingan negara, meski kujelaskan yakin kalian tidak akan mengerti. Tapi sekarang bukan saatnya perang mulut, bagaimana tujuan dan maksud kalian, marilah kita bicarakan bersama."

   "Nanti dulu,"

   Tiba-tiba Milo Hoatsu goyang tangan, lalu mulutnya nyerocos berbahasa Watsu bicara dengan Liong Bun-kong.

   Ternyata Milo Hoatsu memberitahu kepada Liong Bun-kong bahwa surat perdamaian itu telah terjatuh ke tangan lawan.

   Kali ini Liong Bun-kong benar-benar berjingkrak kaget, sesaat lamanya dia melongo, tak tahu bagaimana harus ambil putusan.

   Lenghou Yong memberi tanda kedipan mata lalu dengan bahasa Watsu dia bicara dengan Milo Hoatsu.

   In San bisa mendengar sedikit bahasa Watsu, didengarnya mereka membicarakan tokoh-tokoh penting dari Pat-sian serta dikatakan bahwa surat perdamaian itu jelas sukar direbut kembali.

   Seperti diketahui Wi-cui-hi-kiau telah meloloskan diri dari gedung keluarga Liong.

   Kedatangan Milo Hoatsu kemari bertujuan mencegah Liong Bun-kong menyerah kepada musuh terpaksa tidak bisa bertindak apa-apa lagi.

   "Kalian sudah habis berunding belum, aku tiada tempo menunggu lama-lama,"

   Desak Tan Ciok-sing. Setelah mendapat persetujuan Milo Hoatsu, Liong Bun-kong berkata.

   "Baiklah, apa syaratmu coba terangkan."

   Tan Ciok-sing mengulang tuntutannya serta menjelaskan pelaksanaannya. Liong Bun-kong mengerutkan kening, katanya.

   "Syarat yang kalian ajukan itu, aku harus mohon persetujuan komandan Gi-lim-kun yaitu Bok-tayjin,"

   Lalu dia suruh bawahannya pergi memanggil komandan Gi-lim-kun Bok Sukiat.

   Sejak tadi Bok Su-kiat sudah masuk ke rumah keluarga Liong, kini dia sedang menunggu di kamar sebelah, lekas sekali dia sudah memasuki ruang perundingan.

   Sekarang dia sudah jelas siapa saja orang-orang yang dipandang sebagai kawanan brandal yang menyerbu ke rumah keluarga Liong ini, diapun tahu Liong Seng-bu sudah menjadi tawanan musuh.

   Kawanan brandal ini hakikatnya bukan kaum gelandangan yang acak-acakan dan tidak terpimpin, mereka adalah pentolan silat yang punya nama dan kedudukan di kalangan Kangouw.

   Tapi berhadapan dengan Tan Ciok-sing yang masih begini muda, dia menganggapnya sebelah mata.

   Begitu memasuki ruang sidang, matanya menjelajah seluruh hadirin, dia purapura tidak tahu siapa Tan dan In berdua, katanya.

   "Siapakah Siocia ini..."

   Lenghou Yong memperkenalkan.

   "In-lihiap ini adalah cucu almarhum In-conggoan In Jong."

   Bok Su-kiat tertawa tergelak-gelak, katanya.

   "Kalau demikian, bukan terhitung orang luar. Nona In, kakekmu dulu juga pernah menjabat komandan Gi-lim-kun seperti aku sekarang, hitung-hitung masih terhitung angkatan tuaku. Dulu akupun sekolega dengan ayahmu."

   "Sayang jalan yang ditempuh Bok-tayjin tidak sehaluan dengan ayah, maaf aku tidak berani,"

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah basa-basi ala kadarnya dengan In San, Bok Su-kiat berpaling kearah Tan Ciok-sing, katanya.

   "Pemuda gagah ini adalah..."

   Kembali Lenghou Yong menerangkan serta memberitahu kedudukannya sekarang dalam perundingan ini, dijelaskan pula bahwa Tan Ciok-sing adalah murid penutup pendekar besar Thio Tan-hong. Barulah sikap jumawa Bok Su-kiat agak berubah, katanya.

   "Jadi engkoh cilik ini adalah murid Thio Tayhiap, aku kurang hormat jadinya."

   Sengaja dia ulur tangan ajak berjabat tangan. Tahu orang sengaja hendak menjajal dirinya, namun Tan Ciok-sing tidak gentar, diapun ulur tangan sambil berkata tawar.

   "Tayjin terlalu mengagulkan diriku, terus terang dalam perguruan aku baru masuk satu hari."

   Begitu tangan saling genggam kontan Tan Ciok-sing rasakan segulung tenaga lunak yang kuat menerjang Siauyang- king-meh di tangannya, karuan hatinya bercekat.

   "Keparat ini memang memiliki kepandaian yang boleh dibanggakan, tak heran dia bisa menjabat komandan Gi-limkun. Tapi dengan bekal ilmunya ini, jangan harap kau dapat melukai Ki-king-pat-meh dalam tubuhku."

   Saling jajak ilmu secara diam-diam ini, meski Tan Ciok-sing merasa kaget.

   Bok Su-kiat ternyata lebih kaget pula.

   Ilmu yang diyakinkan Bok Su-kiat adalah Jit-sat-ciang dengan kekuatan lunak Lwekangnya dia dapat melukai urat nadi musuh diluar tahu orang yang dilukai, bila kekuatan dikerahkan, dahsyatnya bagai air bah yang melanda, meski tidak bersuara dan tidak memperlihatkan tanda-tanda namun perbawa kekuatannya kira-kira setanding dan dapat menandingi Tay-Iik-kim-kong-ciang ajaran murni Siau-lim pay, atau Hong-lui-pi-lik-ciang dari Bu-tong-pay.

   Tak nyana begitu telapak tangan saling genggam, tenaga lunak yang ganas dan jahat itu ternyata seperti tenggelam kedalam lautan, sirna tanpa bekas.

   Sikap Tan Ciok-sing tetap wajar dan tenang-tenang seperti tidak terjadi apa-apa, seolaholah tidak tahu kalau tenaga lunaknya yang dahsyat itu telah menerjang kedalam tubuhnya, meski percobaan dilakukan berulang kali, namun betapa tinggi atau rendah lwekang Tan Ciok-sing tetap tak berhasil dia selami.

   Logis kalau dia kaget dan jeri.

   "Anak ini masih begini muda, baru belajar sehari di bawah petunjuk Thio Tan-hong namun Iwekangnya ternyata sudah mencapai taraf sehebat ini?"

   Demikian batin Bok Su-kiat, di samping kaget diapun keheranan, kuatir Tan Ciok-sing balas menggempurnya, lekas dia lepaskan pegangannya, katanya dengan mimik kikuk.

   "Memang tidak malu Tan-heng sebagai murid pandai Thio Tayhiap kagum, mengagumkan."

   Yang jelas bukan lwekang lebih unggul dibanding latihan Bok Su-kiat, tapi dia gunakan gaya lengket dan tarik dari ajaran lwekang tingkat tinggi ciptaan Thio Tan-hong, gempuran dahsyat tenaga lunak lawan kena dilengketnya sampai sirna tanpa bekas tapi bila serangan diteruskan berulang kali dan temponya berkepanjangan, mungkin Tan Ciok-sing takkan kuat memunahkannya terus menerus.

   Diam-diam Tan Ciok-sing geli.

   "Syukur keparat ini tidak dapat mengukur tinggi rendah bekal kepandaianku. Dengan sikap tenang dan wajar dia berkata tawar.

   "Terima kasih akan pujianmu. Nah sekarang boleh kita lanjutkan perundingan tadi."

   "Bagus ingin aku mendengar dulu usul apa yang dikemukakan Tan-siauhiap,"

   Ujar Bok Su-kiat.

   "Tadi sudah kukemukakan kepada Liong-tayjin, boleh kau tanya kepadanya."

   Pertama memanggil "engkoh cilik"

   Sekarang Bok Su-kiat ganti panggilan "Siauhiap"

   Walau Liong Bun-kong orang awam yang yang tidak bisa main silat, tapi dia bisa meraba dalam adu kekuatan barusan, jelas Bok Su-kiat di pihak yang dirugikan.

   Nyalinya lebih kecil lagi bila perundingan ini gagal jelas pihaknya akan di pihak yang dirugikan, maka dia jelaskan tuntutan Tan Ciok-sing tadi kepada Bok Su-kiat, lalu menambahkan.

   "Menurut pendapatku lebih baik damai saja, untuk ini harap Jong-ling suka membantu."

   Bok Su-kiat menepekur sesaat lamanya, katanya.

   "Liongtayjin, bukan aku tidak mau membantu kau, soal ini kukira kurang leluasa."

   "Jong-ling menghadapi kesulitan apa, boleh coba dijelaskan."

   "Terus terang, karena memandang muka Liong-tayjin, maka aku memberanikan diri mengerahkan pasukan Gi-limkun kemari. Itu aku telah menyalahi prosedur yang semestinya, melanggar hukum yang berlaku. Celaka adalah kau sebagai Sekretaris militer justru melanggar hukum yang harus kau tegakkan, sebaliknya bagi aku baru pertama kali ini aku melanggar kebiasaan."

   Liong Bun-kong tertawa dipaksakan, katanya.

   "Terima kasih akan peringatan Tayjin, tapi kalau Tayjin sudi menyusulkan laporan, yakin Baginda Raja tidak akan menyalahkan engkau."

   "Sudah tentu, Liong-tayjin adalah pembesar kesayangan dan kepercayaan Baginda, Baginda pasti tidak akan menyalahkan aku untuk menolong kesulitanmu. Tapi justru disinilah letak kesulitannya, coba pikir, kalau Baginda sudah tahu peristiwa ini, tapi seorang penjahatpun tak berhasil kubekuk, bagaimana aku harus memberi pertanggungan jawab kepada Baginda?"

   Sampai disini dia berpaling ke arah Tan Ciok-sing, katanya dengan unjuk tawa.

   "Tan-siauhiap, harap kau tidak berkecil hati. Aku tahu kalian bukan penjahat, tapi terhadap Baginda tidak bisa tidak aku harus bilang demikian. Entah Tan-siauhiap tahu akan maksudnya?"

   "Aku tidak mengerti,"

   Sahut Tan Ciok-sing menarik muka. Bok Su-kiat berkata.

   "Bila kalian mau memberikan beberapa orang supaya aku dapat memberi laporan ala kadarnya urusan tentu lebih mudah dibereskan. Aku boleh memberi pertanggungan jawabku kepadamu, terhadap temantemanmu pasti akan dijatuhkan hukuman seringan mungkin."

   Tan Ciok-sing menjengek dingin.

   "Jadi maksudmu hendak tukar menukar sandera?"

   "Jangan kau gunakan istilah "sandera"

   Dalam persoalan ini. Aku memandang kalian sebagai sahabat baikku."

   "Kami tidak setimpal jadi temanmu, sandera adalah sandera, kenapa harus ditutup-tutupi."

   "Baiklah, terserah kau senang mengunakan istilah apa. Lalu bagaimana maksudmu?"

   "Mau tukar menukar sandera juga boleh, akulah sanderanya dan ikut kau, terserah kau mau bunuh atau di penjara dua puluh tahun juga boleh. Tapi apapun kualami, pasti akan dialami juga oleh Liong-kongcu."

   Liong Bun-kong kaget, pikirnya.

   "Kalau menggunakan cara itu, entah kapan keponakanku bakal pulang dengan selamat?"

   Tan Ciok-sing seperti tahu jalan pikirannya katanya dingin.

   "Itulah yang dinamakan barter secara adil. Jangan kau kira harga diriku tidak sebanding dengan keponakan kesayanganmu itu?"

   Terpaksa Liong Bun-kong menyerah, katanya.

   "Tansiauhiap jangan berkelakar, kita tetap ingin menyelesaikan secara damai."

   "Damai cara bagaimana?"

   Desak Tan Ciok-sing.

   "Baiklah laksanakan menurut tuntutanmu tadi."

   "Lalu bagaimana aku harus memberi laporan kepada Baginda?"

   "Akulah yang akan bertanggung jawab."

   "Bukan aku tidak percaya kepada Liong-tayjin, tapi atas kemauanku sendiri aku kerahkan pasukan Gi-lim-kun, tidak kecil kesalahanku, walau kau berjanji mohon keringanan bagiku, betapapun aku masih tidak lega."

   "Apa maksud Jong-ling?"

   "Bicara hanya omong kosong tanpa bukti, maka aku minta tanda bukti hitam di atas putih. Tolong kau buatkan dua carik tanda buktinya kepadaku."

   "O, kau minta dua carik tulisan di atas kertas?"

   "Pertama kau harus melaporkan kepada Baginda, bahwa kaulah yang memberi putusan melepas kawanan penjahat itu malam ini."

   "Dan yang kedua?"

   "Sekarang cuaca masih gelap pintu kota belum dibuka. Tolong dengan cap kebesaranmu sebagai Kiu-bun-te-tok, tekenlah sebuah surat perintah supaya penjaga pintu membuka lebar pintu kota."

   Sebetulnya sebagai komandan Gi-lim-kun diapun punya hak mengeluarkan surat perintah ini.

   Bahwa dia minta Liong Bunkong yang menulis, tujuannya adalah untuk melimpahkan tanggung jawab dan kesalahan pada orang lain.

   Apa boleh buat terpaksa Liong Bun-kong setujui juga permintaannya.

   Liong Bun-kong suruh anak buahnya mengaduk tinta dan membeber kertas, pensil sudah di tangan, tapi sekian lamanya dia masih bimbang untuk menulis.

   Surat perintah itu gampang ditulis, namun surat laporan kepada Baginda itulah yang menyulitkan posisinya, kalau dia mengakui membebaskan kawanan penjahat, bagaimana selanjutnya dia harus menghadapi raja? Apa pula akalnya? Sudah tentu hal ini memerlukan pemikiran yang matang.

   "Liong-tayjin,"

   Jengek Tan Ciok-sing.

   "kalau sekarang belum bisa ambil putusan, baiklah kami mohon diri saja,"

   Beberapa patah kata ini diucapkan dengan tegas dan kereng, secara langsung memperingatkan kepada Liong Bun-kong, kalau dia masih ragu-ragu, tidak segera menulis apa yang diminta, biarlah perundingan dianggap berakhir sampai disini.

   "Baik, baik, segera akan kutulis, segera kutulis,"

   Cepat Liong Bun-kong menjawab, di mulut mengatakan "segera"

   Pada hal pensil yang sudah dibubuhi tinta belum juga dicoretkan di atas kertas.

   Tiba-tiba Bok Su-kiat meniup panjang sekali kertas laporan yang sudah siap hendak ditulis oleh Liong Bun-kong tiba-tiba tertiup terbang, terasa oleh Tan Ciok-sing kesiur angin menerpa ke arahnya, kertas putih itu tahu-tahu sudah melayang ke arah mukanya.

   Ternyata karena tidak berhasil menjajaki ilmu silat Tan Ciok-sing.

   Bok Su-kiat masih penasaran, maka kali ini mumpung ada kesempatan dia ingin sekedar pamer keliehayan dirinya untuk membuat jeri lawan.

   Dia ada meyakinkan Gun-goan-it-cu-kang, jangan kira hanya sekali tiupan mulut, namun selembar kertas itu ternyata ditiupnya melesat terbang sekencang pisau tajam.

   Umpama tak dapat melukai Tan Ciok-sing, sedikitnya dapat membuatnya kaget.

   Tapi maksud mendemonstrasikan ilmu yang diyakinkan ini bukan melulu ingin membuat keder lawan.

   Tujuan yang utama adalah hendak mengacau, mengulur waktu supaya Liong Bunkong punya banyak kesempatan menunda kekalahannya.

   Tapi tak pernah terbayang olehnya bahwa lawan justru memiliki kepandaian yang lebih mengejutkan lagi.

   Di kala kertas itu tertiup terbang lurus ke arah Tan Ciok-sing, sekonyong-konyong tampak sinar kemilau berkelebat sekali, kertas itu tahu-tahu terbagi jadi tiga, tiga jadi enam dan enam jadi dua belas, dua belas kertas persegi kecil-kecil yang melayang jatuh berjajar di atas meja.

   Dalam waktu sekejap itu ternyata Tan Ciok-sing dan In San telah mengayun sepasang pedang mereka, melancarkan sejuru ilmu pedang tunggal yang tiada taranya, sejurus tiga gerakan.

   Demonstrasi yang menakjubkan dari suatu ilmu pedang puncak tinggi betul-betul menciutkan nyali komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat, wajahnya berubah pucat lalu menghijau akhirnya semu merah saking malu.

   Maklum dengan kecepatan gerak pedang untuk membabat suatu, benda keras bukan suatu yang sulit, selembar kertas tipis yang enteng sedang melayang lagi, didalam sekejap waktu itu harus memapasnya menjadi dua belas persegi yang berbentuk sama adalah karya yang tidak mudah dilakukan.

   Bukan saja dalam ilmu pedang harus memiliki kemahiran yang luar biasa gerak tangannyapun harus mantap dan dilandasi kekuatan yang terkendali secara pas, dan yang digunakan harus pedang pusaka yang tajamnya luar biasa.

   Milo Hoatsu dan Lenghou Yong pernah merasakan sendiri betapa hebatnya Siang-kiam-hap-pik Tan dan In berdua, maka mereka tidak begitu heran dan takjub, tapi Bok Su-kiat baru pertama kali ini menyaksikan ilmu pedang yang begini aneh dan mendekati magic, mau tidak mau hatinya amat terkejut.

   "Bagaimana lwekang bocah ini aku belum tahu, tapi bila dia bergabung dengan budak ayu ini melawanku, jelas aku bukan lawannya,"

   Bok Su-kiat bukan saja tidak berhasil menggertak dan membuat malu orang, malah dia sendiri yang dibuat malu dan jeri pula.

   Gerak pedang Tan Ciok-sing memang melebihi sinar kilat berkelebat, bila Milo Hoatsu dan Lenghou Yong melompat maju mengadang di depan Liong Bun-kong, sinar pedangpun sudah berkelebat dan pedang sudah kembali kedalam sarungnya.

   "Liong-tayjin, agaknya kau tidak mau menggunakan alat tulismu, baiklah, agaknya persoalan hari ini harus diselesaikan dengan senjata,"

   Demikian ancam Tan Ciok-sing. Pucat pias saking takut dan kaget Liong Bun-kong, diamdiam dia membatin.

   "Bila pedangnya tadi menusuk ke arahku, meski Milo Hoatsu dan Lenghou Yong melindungiku dari samping, jiwaku juga belum tentu bisa selamat."

   Dalam keadaan seperti ini, mana dia berani beragu lagi, lekas dia gerakkan alat tulisnya.

   Saking gugup dia tidak pikirkan lagi merangkai kata-kata yang indah untuk menutupi kesalahan sendiri, akhirnya surat laporan dan surat perintah itupun telah ditulisnya rampung.

   Bok Su-kiat juga tidak merintangi, seterima surat itu, langsung dia keluar menyampaikan perintahnya kepada pasukan Gi-lim-kun.

   Memegang surat perintah membuka pintu, Tan Ciok-sing berkata.

   "Liong-tayjin, mohon kau suka suruh orang menyiapkan belasan ekor kuda,"

   Putusan sudah jadi, persoalan kecil inipun sudah tidak jadi pikiran lagi bagi Liong Bun-kong, segera dia perintahkan anak buahnya menyiapkan apa yang diminta.

   Sukses dengan tugas beratnya Tan Ciok-sing kembali ke tempat semula memberi laporan kepada Kaypang Pangcu beserta Thong Jian-hong dan lain-lain.

   Cepat merekapun berembuk dan memutuskan untuk memberi prioritas bagi kawan-kawan yang terluka supaya diangkut dengan kereta dan kuda, rombongan terakhir menggusur Liong Seng-bu keluar kota.

   Ternyata pasukan Gi-lim-kun memenuhi janji, sepanjang jalan mereka tidak merintangi dan mengikuti.

   Dengan surat perintah Liong Bun-kong sudah tentu dengan leluasa mereka membuka pintu kota terus keluar kota.

   Lenghou Yong mengikuti tak jauh di belakang, sesuai perlanjian, dia diizinkan ikut untuk membawa pulang majikan mudanya.

   Lenghou Yong berhenti diluar pintu kota, katanya.

   'Sekarang boleh kalian bebaskan Liong-kongcu bukan?"

   "Kenapa gugup, janji pasti kita tepati,"

   Jengek Tan Cioksing. Lalu dia jinjing Liong Seng-bu dan diturunkan ke tanah, katanya pula.

   "kau juga yang beruntung, bila masih kau main kayu dan juga berusaha mencelakai orang-orang kita, bila terjatuh ke tanganku lagi, awas jiwa anjingmu."

   Rombongan besar kaum pendekar telah keluar kota dengan selamat, sepanjang jalan mereka berbincang-bincang tentang pengalaman tadi semua sama mengelus dada lega dan bersyukur bahwa Thian memang maha adil dan memberi jalan hidup bagi mereka.

   Rumah Coh Ceng-hun berada diluar kota, pada suatu desa yang terletak di bawah Say-san yang jauh dari keramaian.

   Markas besar Kaypang cabang Pakkhia kebetulan juga ada di Say-san.

   Setelah semua orang keluar pintu, mereka sebelumnya sudah berunding, para korban akan dirawat dan diurus oleh murid-murid Kaypang di markas besar mereka.

   Sementara teman-teman Kim-to Cecu kecuali Sim Lan dan Ciu Hok merekapun menetap di markas Kaypang.

   Malah Kaypang Pangcu Liok Kun-lun dan orang-orang gagah lainnya tinggal di rumah Coh Ceng-hun.

   Dalam gerakan besar dan berhasil kali ini yang gugur dari tokoh-tokoh penting mereka hanya To It-kiau seorang, sementara Loh Im-hu terluka parah, Sia-cin Hwesio dan Toan Kiam-ping sudah sedikit pulih kesehatannya, sementara tidak sedikit murid Kaypang dan kawan-kawan seperjuangan undangan Sim dan Ciu yang terluka ringan.

   Setelah kemenangan tercapai, perasaan semua orangpun tertekan, namun betapapun hati mereka terhibur juga karena surat perdamaian itu berhasil direbutnya pula, tapi bagaimana harus memanfaatkan surat perdamaian ini, mereka masih harus berunding dengan seksama.

   Sudah tentu tugas utama yang sekarang harus mereka laksanakan adalah merawat dan mengobati para korban.

   Tari Ciok-sing, In San dan Han Cin berada di kamar sakit Toan Kiam-ping, Toan Kiam-ping sudah tidur napasnya enteng teratur meski masih agak lemah.

   Han Cin pasang kuping mendengarkan denyut jantungnya, hatinya amat risau dan kuatir, meski sekuatnya dia menahan air mata tak urung matanya sudah merah berkaca-kaca.

   Waktu Tan dan In membujuk dan menghiburnya, Ti Nio beranjak masuk, katanya.

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Toan-kongcu meyakinkan lwekang murni yang punya dasar kuat, sementara jiwanya tidak perlu dibuat kuatir. Biarlah dia tidur secukupnya. Nona Han, marilah kau keluar ikut aku ada yang ingin kubicarakan dengan kau."

   Han Cin sudah tahu bahwa Ti Nio adalah sahabat lama ayahnya yang paling karib, memang banyak tanda tanya yang mengganjel sanubarinya selama ini, dia harap Ti Nio bisa membuka tabir jawabannya.

   Tapi hatinya kini masih menguatirkan keadaan sang pujaan, meski Toan Kiam-ping sudah tidur nyenyak, dan dia harus pergi meninggalkannya dalam waktu singkat.

   Siapa tahu bisa penyakitnya mendadak memburuk, umpama mendadak dia siuman, tapi dirinya tiada di sampingnya, bukankah akan menjadi kekecewaannya? In San seperti tahu perasaannya, katanya lembut.

   "Hancici, legakan hatimu. Kalau dia bangun, aku bisa bantu kau merawat dan menjaganya."

   Han Cin masih ragu-ragu, mendadak Ti Nio julurkan jari tengah tangan kiri terus menutuk enteng di Tan-dian-hiat Toan Kiam-ping.

   Sudah tentu Han Cin tahu bahwa Ti Nio tidak bakal mencelakai Toan Kiam-ping, tapi perbuatan Ti Nio yang mendadak dan tak terduga ini, mau tidak mau membuatnya kaget juga.

   Ti Nio tertawa, katanya.

   "Aku menutuk Tan-dian-hiatnya, tapi ilmu tutuk tunggal perguruanku ini berbeda dengan ilmu tutuk umumnya. Ilmu tutukku ini kecuali dapat bantu mengumpulkan hawa murni, sekaligus membuatnya tidur pulas sehingga semangat dan tenaganya lekas pulih. Jelas akan membawa manfaat bukan merugikan,"

   Maka legalah hati Han Cin, dia keluar mengikuti ajakan Ti Nio. Setelah mereka pergi In San berkata kepada Tan Ciok-sing sambil tersenyum.

   "Apa kau tidak menaruh perhatian sikap Tilocianpwe kepada Han-cici?"

   Tergerak hati Tan Ciok-sing, tanyanya.

   "Bagaimana menurut pendapatmu?"

   "Kulihat sikap Ti-locianpwe terlalu baik kepada Han-cici."

   "Kukira jamak kalau Ti-locianpwe menaruh kasihan dan sayang terhadap putri teman baiknya, kenapa harus dibuat heran?"

   "Tidak, kulihat sikap dan mimik serta tutur kata Tilocianpwe sedemikian rupa baiknya, tidak mirip perasaan kasih sayang dan memperhatikan keponakan."

   "Lalu perasaan macam apa menurut pendapatmu?"

   "Menurut hematku dia seperti mengganggap Han-cici seperti anak kandungnya sendiri,"

   Sedang mereka berbincang, seorang tua datang dan berkata.

   "Tan-siangkong, In-siocia. Liok-pangcu mengundang kalian untuk berunding."

   Tan Ciok-sing tahu Toan Kiam-ping baru akan sadar setelah tidur nyenyak selama beberapa jam lagi, maka tanpa kuatir sedikitpun dia tinggalkan kamar tidur ini.

   Bila mereka memasuki suatu kamar rahasia, tampak beberapa orang telah menanti kedatangannya.

   Mereka adalah Liok-pangcu, salah satu Wi-cui-hi-kiau Lim lh-su, kedua orang utusan Kim-to Cecu, Sim Lan dan Ciu Hok, demikian pula Coh Ceng-hun sebagai tuan rumah.

   Kecuali tuan rumah, beberapa orang itu mewakili tiga pihak, mereka adalah orang-orang penting yang berkompeten dalam persoalan rahasia yang akan mereka rundingkan.

   Melihat kehadiran orang-orang penting ini Ciok-sing lantas tahu yang bakal dibicarakan tentu urusan besar.

   Betul juga begitu buka mulut Liok Kun-lun lantas berkata.

   "Tan-siauhiap, nona In, semalam telah bikin kalian capai, tapi aku tetap tidak akan memberi kesempatan untuk kalian istirahat karena urusan besar masih perlu kita rundingkan dengan kalian."

   "Liok-pangcu terlalu mengagulkan diriku. Entah urusan besar apa yang akan dibicarakan?"

   Tanya Ciok-sing.

   "Surat perdamaian itu sudah berada di tangan kita, yang harus kita rundingkan adalah cara bagaimana kita memanfaatkan surat perdamaian itu?"

   Kata Liok Kun-lun.

   "Urusan memang genting. Wanpwe belum sempat memikirkan jalan keluarnya, maka tak berani aku sembarang mengajukan usul,"

   Demikian ucap Tan Ciok-sing.

   "Kalau demikian silahkan Lim Tayhiap utarakan maksud hatinya?"

   Pinta Liok Kun-lun. Lim Ih-su berkata.

   "Liong Bun-kong keparat itu berintrik dengan bangsa asing hendak menjual negara dan bangsa, dosanya tidak terampunkan, surat perdamaian hasil tulisan tangannya ini merupakan bukti yang mematikan. Mumpung kita memperoleh kesempatan, marilah kita beber dosanya di hadapan umum, sekaligus kita serukan kepada khalayak ramai untuk angkat senjata dan membangkitkan semangat juang mereka untuk melawan penjajah."

   Ciu Hok bicara.

   "Gerakan seperti itu memang cukup menyenangkan, tapi masih harus diselidiki siapa sebetulnya biang keladinya, mungkin bukan bangsat tua she Liong."

   Lim Ih-su sadar, katanya.

   "Maksudmu, biang keladinya adalah Baginda Raja sendiri."

   "Betul,"

   Ujar Ciu Hok.

   "jikalau tanpa memperoleh persetujuan Baginda Raja yang berkuasa memangnya pembesar anjing itu berani terang-terangan mengundang Data Watsu mengadakan perundingan damai serta menginap di rumahnya pula. Coba pikir pasukan Gi-lim-kun pun telah dikerahkan, seluruh pembesar sipil maupun militer kerajaan memang siapa lagi yang tidak tahu bahwa bangsat tua she Liong telah melayani Duta-duta Watsu itu di penginapan di rumahnya."

   "Kalau demikian sekalian kita berontak saja kepada Baginda Raja,"

   Demikian usul Lim Ih-su.

   "pihak kerajaan memang sudah anggap Kim-to Cecu kalian sebagai pemberontak, kenapa kalian masih ragu-ragu untuk angkat senjata menumpasnya?"

   "Bukan kita takut memberontak,"

   Sela Sim Lan.

   "tapi yang penting kita harus dapat menguasai situasi, bila pemberontakan lebih banyak membawa sengsara bagi rakyat jelata, lebih baik kita tunda saja gerakan besar ini."

   Liok Kun-lun manggut-manggut, katanya.

   "Betul, urusan harus dibedakan yang penting dan yang ringan. Bicara soal situasi yang sekarang kita hadapi, musuh kita yang utama adalah penguasa yang berkuasa sekarang di Watsu, jadi bukan Baginda Raja dynasti Bing yang berkuasa di kerajaan kita."

   "Lalu bagaimana menurut pendapat Sim-thauling?"

   Tanya Lim lh-su.

   "Ini bukan maksudku seorang, tapi aku membawa suara Kim-to Cecu dan kawan-kawan seperjuangan yang lain. Yang penting adalah kita harus berusaha supaya pasukan negeri tidak menggempur kita, justru sebaliknya kita harus berusaha supaya pasukan kerajaan bergabung dengan laskar rakyat kita menghadapi serbuan musuh. Kalau kita harus memberontak juga melawan serbuan Watsu, itu berarti melemahkan kekuatan kita sendiri, pihak Watsulah yang akan memungut keuntungan,"

   Demikian Sim Lan memberikan uraiannya. Lim Ih-su geleng-geleng katanya.

   "Pandangan bagus, tapi seperti yang tadi kau katakan bahwa Baginda Raja mungkin adalah biang keladi dari semua kejadian ini, lalu apakah dia mau bergabung dengan kita melawan penjajah? Bukankah ini suatu pemikiran yang terlalu muluk?"

   Ciu Hok berkata.

   "Baginda Raja jelas tidak akan mau, oleh karena itulah kita justeru harus memanfaatkan kesempatan ini, memaksanya sehingga dia mau bergabung dengan kita."

   "Kalau Baginda Raja boleh tunduk dan mau dengar perkataan setiap orang, dia tidak akan jadi Raja. Justru sebaliknya rakyat harus tunduk akan perintahnya, lalu dengan cara apa kau dapat membuatnya tunduk akan omonganmu?"

   Demikian debat Lim Ih-su. Sim Lan berkata.

   "Kukira meski Baginda adalah biang keladinya, kukira rahasia ini pantang diketahui oleh siapapun, betul tidak?"

   "Betul,"

   Seru Liok Kun-lun.

   "sebagai pihak yang berkuasa raja boleh melakukan perbuatan apa saja, tapi perbuatan hina dina seperti takluk dan mohon damai dengan bangsa asing, jelas akan dia rahasiakan, karena dia pikirkan juga gerakan rakyat yang tidak kecil artinya. Kalau tidak perlu dia suruh Liong Bun-kong wakili dia melaksanakan kehendaknya itu secara rahasia."

   Lim Ih-su tertawa dingin, katanya.

   "Yang benar hal itupun hanya sekedar menutupi tabir belaka. Sudah setengah bulan Duta rahasia bangsa Watsu itu berada di kota raja, pembesar sipil maupun militer kerajaan siapa yang tidak tahu?"

   "Itu persoalan lain,"

   Bantah Liok Kun-lun.

   "meski pembesar sipil maupun militer sama tahu, paling mereka hanya berani kasak-kusuk saja, siapa berani bicara secara blak-blakan di depan umum? Baginda Raja duduk tinggi di atas singgasana, asal kasak-kusuk para pembesar itu tidak masuk kupingnya, dia boleh tidak usah ambil pusing dan anggap tidak tahu."

   "Kalau demikian lalu bagaimana?"

   Desak Lim Ih-su.

   "Kalau Baginda tidak ingin orang lain tahu, maka kita harus cari upaya supaya Baginda tahu bahwa kita telah tahu,"

   Timbrung Coh Ceng-hun.

   "Dengan cara apa?"

   Lim Ih-su bertanya pula.

   "Aku punya seorang paman, kini menjabat pembantu pencatat sejarah di istana, orangnya jujur dan dapat dipercaya, selama hidupnya cinta bangsa dan negara, biasanya teramat tinggi memandang dirinya sebagai pembesar setia. Biar aku mencarinya dan memperlihatkan surat damai ini kepadanya, mohon pula bantuannya supaya berusaha mengadukan Liong Bun-kong. Supaya dirinya tidak terlibat, yakin Baginda pasti mengorbankan pembesar dorna ini. Bagaimana menurut pendapat kalian akan akalku ini?"

   Perlu diketahui Coh Ceng-hun adalah keturunan pembesar tinggi sejak beberapa generasi, sampai sekarang beberapa pamannya masih juga punya jabatan penting dalam pemerintahan. Sim Lan berpikir sebentar, lalu katanya.

   "Cara itu memang baik, tapi terdapat suatu lobang kelemahan yang amat fatal."

   "Kelemahan bagaimana?"

   Tanya Coh Ceng-hun.

   "Kalau Liong Bun-kong balas bertanya, dari mana kau memperoleh surat perdamaian ini? Bagaimana dia harus menjawab? Aku kuatir usaha kita bukan saja tidak akan berhasil, celaka adalah pamanmu dan keluarganya akan ketimpa bencana dengan tuduhan sekongkol dengan pemberontak. Coba pikir sebagai pembesar tinggi yang terkenal setia pada negara, mana dia mau memikul dosa seberat itu? Dan lagi Liong Bunkong bisa memungkiri tuduhan itu, berbalik dia putar persoalan memfitnahnya mau berontak, atau menyiarkan berita bohong serta mencari gara-gara selalu."

   Coh Ceng-hun geleng-geleng, katanya gegetun.

   "Akal ini kurang sempurna, usul itu tidak diterima, ada cara baik apa pula yang harus kita rundingkan?"

   Sim Lan berkata.

   "Coh-heng jangan patah semangat, usulmu itu memang amat bagus, cuma orangnya yang melaksanakan harus diganti orang lain."

   "Diganti siapa?"

   Tanya Coh Ceng-hun.

   "Kukira tidak perlu memakai prosedur kerajaan, ganti saja salah satu di antara kita sendiri,"

   Sim Lan berusul. Lim Ih-su kaget, selanya.

   "Orang kita serdiri yang melaksanakan, apakah mungkin?"

   Tegas suara Sim Lan.

   "Asal dapat berhadapan dengan Raja, maka Raja harus tunduk dan dengar keinginan kita."

   "Kenapa?"

   Lim Ih-su masih bingung.

   "Cara kita yaitu menggunakan caranya sendiri untuk membalasnya,"

   Sim Lan berkata.

   "Aku masih tidak paham, tolong kau jelaskan lebih terperinci,"

   Pinta Lim Ih-su.

   "Raja menguasai para pembesar bawahannya, bukaukah cara ini dapat kita gunakan untuk mengancam dan membujuknya?"

   Sim Lan menjelaskan.

   "O, jadi dengan mengancam dan membujuknya sekaligus menekan sang raja?"

   Seru Lim lh-su, seolah-olah dia anggap cara ini terlalu muluk. Sim Lan seperti tahu jalan pikirannya, katanya kalem.

   "Ini bukan akal yang muluk atau berkelebihan. Bagi seorang Raja apa yang paling penting kecuali dapat menduduki singgasananya dengan anteng dan abadi, mempertahankan kedudukan rajanya. Tujuannya minta damai kepada Watsu bukan lain juga supaya dia dapat mempertahankan maksudnya ini, coba katakan betul tidak?"

   Tanpa merasa Lim Ih-su mengangguk sambil mengiakan. Sim Lan bicara lebih lanjut.

   "Kita bisa mengultimatum kepadanya, bila dia tidak mau bergabung dengan kita melawan serbuan penjajah, akan kita umumkan tentang surat perdamaian itu ke seluruh negeri, biar rakyat banyak tahu, bahwa Baginda Raja ingin menyerah dan minta damai, maka jangan harapkan kerajaan dapat melindungi kehidupan mereka. Di samping itu kitapun harus bangkitkan semangat kepahlahwanan bangsa kita untuk menggempur musuh supaya rakyat tidak tertindas dan menderita karena peperangan."

   Liok Kun-lun tertawa, katanya.

   "Cara ini memang dapat membuat kaget Baginda, memangnya dia sudah jeri pada Kim-to Cecu kalian, bila kita betul-betul bertindak seperti akalmu itu, Kim-to Cecu akan mendapat junjungan rakyat serta mendukungnya, bila pasukan besar telah angkat senjata memangnya kedudukannya masih bisa tenang?"

   Sim Lan berkata lagi.

   "Bila dia setuju bergabung dengan kita melawan serbuan musuh kita harus berjanji untuk mendukung dia jadi Raja abadi, kita bina bersama kedamaian tanah air kita nan jaya. Tentang permohonan damainya kepada pihak Watsu harus tetap kita rahasiakan. Setelah mempertimbangkan untung ruginya, adalah logis bila dia dapat kita kuasai, kemana dia harus menentukan arah yakin dia memilih sendiri."

   Lim Ih-su masih merengkel, katanya.

   "Tapi cara itu pun merupakan paksaan, bukan mustahil dia bisa ingkar."

   Sim Lan berkata tandas.

   "Asal pasukan kerajaan tidak berani kerja sama dengan Watsu untuk menggempur kita, itu sudah merupakan peluang baik untuk kita menahan serbuan penjajah. Yang terang ancaman agresi musuh sudah di ambang pintu, tentara kerajaan juga berasal dari rakyat jelata, sembilan di antara sepuluh tentu senang melawan agresi musuh. Umpama sang Raja ingkar janji juga kita tidak perlu kuatir lagi."

   Akhirnya hadirin menyetujui cara ini, lalu mereka merundingkan siapa calon yang diutus untuk menunaikan tugas penting dan rahasia ini. Lim Ih-su berkata.

   "Orang ini harus punya pengetahuan luas keberanian yang luar biasa pula. Dia harus memiliki ginkang yang tinggi, Kungfu yang hebat juga, kalau tidak bagaimana mungkin dia menyelundup ke istana raja? Dikuatirkan sebelum bertemu dengan Baginda, jejaknya sudah konangan oleh kawanan wisu istana."

   Di antara hadirin yang datang, terhitung lwekang Liok Kunlun paling tangguh, Lim Ih-su paling tinggi ginkangnya.

   Tapi mereka adalah tokoh-tokoh penting sebagai pimpinan lagi bagi rombongan masing-masing dan harus pegang kuasa dan situasi.

   Pertempuran semalam Lim Ih-su menderita luka dalam yang cukup berat, hawa murninya sudah jauh berkurang, untuk memulihkan kesehatannya sedikitnya memerlukan waktu sepuluh hari, baru ginkangnyapun akan pulih seperti sedia kala.

   Akhitnya Tan Ciok-sing mengajukan dirinya, katanya.

   "Bila hadirin tidak anggap usiaku terlalu muda dan cetek pengalaman, berkepandaian rendah lagi, dengan senang hati aku rela memikul tugas berat ini."

   "Tan-siauhiap terlalu sungkan,"

   Ucap Liok Kun-lun.

   "Menilai bakat dan ilmu silatmu, kau memang calon tunggal yang tiada bandingannya, tapi kau hanya seorang diri..."

   Belum habis dia bicara In San sudah cepat menyela.

   "Liokpangcu, mohon persetujuan kau orang tua supaya aku pergi bersama Tan-toako."

   
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kepandaian gabungan sepasang pedang mereka hadirin sudah menyaksikan, ginkang In San juga cukup tinggi, bila kedua orang ini menunaikan tugas itu umpama usahanya gagal, untuk meloloskan diri yakin tidak menjadi soal.

   Maka Liok Kun-lun orang pertama yang menyatakan persetujuannya, Lim Ih-su masih bimbang, dia kuatir In San seorang gadis mungkin kurang setimpal menjalankan tugas ini.

   In San berkata lebih lanjut.

   "Bila aku bertemu dengan sang raja, sekaligus ada keuntungannya, bila aku menyebut nama Kakek, yakin sang Raja masih mengingatnya,"

   Seperti diketahui kakek In San yaitu In Jong dahulu pernah merebut Bu-conggoan di kala Bing-ing-cong masih berkuasa, sebagai komandan Gi-lim-kun, beliau pernah mendirikan jasa dan pahala besar untuk negara dan bangsa.

   Raja yang berkuasa sekarang Cu Kian-sin adalah putra sulung Bi-ing-cong, di waktu dia masih pangeran, pernah dia bermain-main ke rumah keluarga In, jadi hubungannya dengan sang kakek dan ayahnya amat akrab.

   "Betul,"

   Ujar Liok Kun-lun.

   "bila kau bertemu dengan raja boleh kau singgung nama kakek dan ayahmu, bukan mustahil dia lebih percaya dan mau menerima keteranganmu,"

   Maka hadirin sepakat mencalonkan Tan Ciok-sing dan In San berdua untuk menunaikan tugas. In San berkata.

   "Menyerempet bahaya aku tidak takut, tapi ada satu kesulitan yang perlu dibereskan."

   "Kesulitan apa?"

   Tanya Lim ih-su "Dulu aku pernah tinggal di rumah keluarga Liong, tapi hampir tidak berhasil aku menemukan tempat persembunyiannya.

   Istana raja jauh lebih besar dan ruwet dari gedung bangsat tua itu, aku belum pernah masuk istana, kalau hanya mengadu nasib melulu, mungkin takkan bisa kebetulan."

   Liok Kun-lun memeras otak, katanya kemudian.

   "Soal ini boleh serahkan padaku. Murid Kaypang ada yang di taman, di istana dan kenal baik dengan para thaykam, dengan sogokan uang yang cukup banyak jumlahnya, yakin thaykam itu dapat diminta bantuannya untuk menggambar sebuah peta tentang seluk beluk istana. Sudah tentu juga masih memerlukan nasib mujur, tapi cara ini kukira lebih baik ditempuh dari pada main untung-untungan."

   Setelah segala sesuatunya dirundingkan dan diputuskan secara aklamasi, karena memikirkan kesehatan Toan Kiamping, Tan Ciok-sing bersama ln San mohon diri pulang ke kamar Toan Kiam-ping masih tidur nyenyak, Ti Nio dan Han Cin juga belum kembali.

   000OOO000 Ti Nio ajak Han Cin ke hutan cemara di belakang rumah, sepanjang jalan saling membisu, seakan ada urusan yang mengganjel hati dan mengganggu pikiran.

   Diam-diam Han Cin mulai curiga.

   "Apakah yang hendak dia bicarakan dengan aku? Kenapa tidak bicara didalam rumah saja?"

   Setiba didalam hutan yang agak jauh dan sunyi baru Ti Nio menghentikan langkah, tapi dia tetap membungkam sekian lamanya.

   Lama dia mengawasi Han Cin, sikapnya amat aneh dan ganjil, seperti amat senang, tapi juga amat sedih.

   Dengan rasa was-was akhirnya Han Cin memberanikan diri bertanya.

   "Ti-locianpwe, kenapakah kau?"

   Sebelum buka suara Ti Nio menghela napas dulu, katanya kemudian.

   "Wajahmu mirip ibumu."

   "Apa iya? Ayah juga bilang demikian."

   Ti Nio melenggong, katanya.

   "Apa mirip wajahmu dengan ibumu, masa kau tidak tahu, sampai ayahmu yang harus memberitahu kepadamu?"

   "Waktu ibu meninggal, aku belum genap satu tahun."

   Tak tertahan bercucuran air mata Ti Nio, katanya.

   "Ibumu meninggal di waktu mengungsi?"

   "Ya, waktu itu kami belum memperoleh tempat berteduh yang tetap."

   Sungguh tak terperikan sedih Ti Nio, lama sekali baru dia menahan air matanya, katanya pula.

   "Semua itu adalah karena dosaku aku tidak mampu membantu kesulitan ayah bundamu. Ai, Ibumu memang amat menderita."

   Sudah tentu Han Cin pun amat sedih, tapi rasa curiganya lebih besar.

   Pikirnya karena perang sehingga ayah bunda harus mengungsi dan mengalami siksa derita selama di rantau, kematian ibu memang termasuk suatu kecelakaan, namun itu jamak dan sering terjadi dalam keadaan huru hara yang tidak aman, mana bisa menyalahkan seseorang.

   Walaupun Ti Nio wajib membantu dan melindungi sahabat baiknya, tapi seperti apa yang dia katakan masing-masing pihak menuju ke arah jalannya sendiri, suami istripun bukan mustahil mengalami kejadian seperti itu, apa lagi hanya sahabat? Umpama dia tidak sempat dan tidak mampu membantu temannya, tidak perlu dia begitu sedih seperti menyesali kesalahan sendiri.

   "Ti-pepek, kemarin aku ada titip karya peninggalan ayah kepada pesuruh keluarga Coh, entah kau orang tua sudah menerimanya?"

   Demikian tanya Han Cin. Ti Nio menyeka air mata, katanya.

   "Banyak terima kasih akan kesudian ayahmu mewariskan karya peninggalannya kepadaku, hatipun bisa tentram kini. Kau tidak tahu, selama bertahun-tahun ini, aku paling kuatir bahwa ayahmu tidak sudi memaafkan aku. Sekarang legalah aku, agaknya ayahmu sudah mau memaafkan diriku."

   Han Cin berkata.

   "Ti-pepek, dalam hal apa ayah harus memaafkan engkau? Selama ini aku berprasangka, justru kaulah yang harus memaafkan ayahku."

   "Oh, apa yang dikatakan ayahmu?"

   "Dia bilang pernah melakukan suatu kesalahan terhadap seorang teman baiknya, tapi dia tidak perlu menyesal,"

   Sulit Han Cin menelaah perkataan ayahnya ini, pada hal sifat ayahnya lurus dan jujur, kenapa setelah melakukan kesalahan sedikitpun tidak menyesal? Tatapan matanya mengandung tanda tanya, dia harap Ti Nio bisa memberikan jawabannya.

   Ti Nio menghela napas panjang, katanya.

   "Yang betul akulah yang salah terhadap ayahmu, akulah yang harus menyesal."

   "Ti-pepek, sebetulnya apakah yang pernah terjadi, boleh kau menceritakan kepadaku?"

   Ti Nio tidak segera menjawab, dengan suara lirih mulutnya menggumam seperti senandung syair yang memilukan.

   Suaranya serak dan tersendat bagai kelu lidahnya, senandungnyapun tidak dilanjutkan.

   Han Cin tahu syair yang disenandungkan Ti Nio adalah ciptaan ayahnya, mendengar berapa sedih dan pilu suara senandungnya, Han Cin sendiri tak tertahanpun mencucurkan air mata.

   Bukan saja hatinya ikut sedih, makna syair itupun membuatnya tidak habis mengerti.

   Ti Nio juga tidak melanjutkan senandungnya setelah menarik napas panjang dia berkata.

   "Dulu waktu aku bersama ayahmu, dia belajar meniup seruling kepadaku, aku belajar membuat syair kepadanya. Setiap syair yang habis kubuat pasti kuserahkan kepadanya untuk dikoreksi. Tapi hanya syair inilah yang kubuat untuk diriku sendiri, belum pernah kuperlihatkan kepadanya, sekarang biar kudeklamasikan untuk kau."

   Hambar rasa Han Cin mendengar syair ciptaan Ti Nio, setelah Ti Nio habis mendeklamasikan karyanya sendiri. Han Cin lantas bertanya.

   "Ti-pepek, maaf akan kelancanganku, bukankah makna syairmu ini seperti mengenang seorang gadis pujaanmu? Apakah gadis itu sekarang sudah meninggal?"

   "Betul, dia sudah meninggal. Tapi setelah beberapa tahun kemudian baru kuketahui."

   Bergetar hati Han Cin, katanya.

   "Waktu kau menulis syair ini apakah ayah masih berada bersamamu?"

   "Waktu itu kita memang sudah berpisah, tapi dia belum mengungsi, kalau mau aku masih bisa mencarinya."

   "Kenapa kau tidak mencarinya?"

   "Karena aku ragu dia tidak mau menemui aku, setelah aku membuat syairku ini sebetulnya ingin aku menyerahkan kepadanya, tapi akhirnya aku membatalkan niatku, biarlah untuk kenangan saja."

   "Kenapa?"

   Tanya Han Cin.

   "Apakah ayahmu sayang kepadamu?"

   Tanya Ti Nio tiba-tiba tanpa menjawab pertanyaan Han Cin, hal ini kembali diluar dugaan Han Cin. Setelah melenggong Han Cin berkata.

   "Ti-pepek, pertanyaanmu agak aneh, ayahku sudah tentu sayang kepadaku, teramat sayang sekali. Setelah ibu wafat kami ayah beranak terus hidup berdampingan. Bila ada makanan enak pasti dia berikan dulu kepadaku, kalau membeli kain pasti aku dibikinkan pakaian baru. Kami memang miskin, tapi hidup sederhana dan bahagia."

   "Ya, tidak pantas aku tanya hal ini kepadamu. Ayahmu memang orang baik, orang paling baik di dunia ini, hal ini sudah lama kutahu. Kenapa aku curiga bahwa dia tidak menyayangi kau?"

   Kalau dia tidak curiga adalah Han Cin semakin tebal rasa curiganya.

   CWiga kenapa dia mempunyai jalan pikiran yang tidak pantas mencurigai sesuatu yang dicurigai? "Aku tidak tahu apakah pantas aku memberitahu kepadamu, tapi kini setelah kupikir kalau ayahmu tidak memberitahu kepada kau, lebih baik kalau kau tidak tahu saja."

   "Tidak, ayah sebetulnya ingin memberitahu kepadaku sebelum ajalnya. Sayang waktu sudah amat mendesak dan tidak sempat lagi, dia hanya bisa bilang sepatah kata."

   "Apa yang dikatakan?"

   "Beliau bilang. 'Ada sesuatu rahasia perlu kuberitahu kepadamu,' sikapnya seperti bertekad hendak memberitahu hal itu kepadaku, tapi setelah maksudnya diutarakan, dia jadi seperti bimbang dan ragu-ragu, akhirnya hanya itu saja yang dikatakan lantas putus napasnya. Rahasia yang sudah dia janjikan hendak diberitahukan kepadaku tetap tidak jadi dikatakan. Ti-pepek, kau harus memberitahu aku kalau tidak hidupku ini selamanya tidak akan bisa tentram."

   "Selama hidupku takkan bisa tentram". kata-kata ini seberat bandulan yang menindih sanubari Ti Nio, sekujur badan seperti gemetar dan keringat dinginpun gemerobios. Sebetulnya dia tidak ingin membeber duduk persoalan yang sebenarnya, tapi apakah dia tega membiarkan Han Cin hidup tertekan lahir batin? Lama mereka berhadapan saling pandang, akhirnya Ti Nio seperti berhasil menyingkirkan benda berat yang menindih sanubarinya, dengan lekat dia pandang Han Cin, dengan nada pahit dia berkata.

   "Baiklah akan kukisahkan sebuah cerita, cerita tentang diriku."

   "Keluarga Ti kami adalah keluarga turun temurun di Kimling, ayahku adalah seorang cikal bakal suatu aliran persilatan, kenyang belajar dan membaca buku, serba mahir surat dan sastra, memetik harpa main catur, tulis menulis dan seni lukis semua adalah keahliannya. Tapi keluarga kami ternyata tidak banyak, kecuali beberapa pelayan dan kacung, kami hanya empat orang, kecuali ayah bundaku bersama aku bertiga, masih ada seorang Piaumoay yang sejak kecil diasuh sampai tumbuh dewasa di rumahku.

   "Piaumoay adalah putri tunggal adik ibuku, sejak kecil ditinggal mati ayah bundanya. Mengingat hubungan dekat kakak beradik, ibupun memandangnya seperti anak kandung sendiri, sejak kecil diasuh, dididik sampai besar."

   "Sejak kecil kami tumbuh besar bersama, seperti saudara kandung sendiri tapi tabiatnya agak berbeda dengan aku, hobinya sastra dan tidak suka belajar silat, namun sedapat mungkin dia pernah belajar silat padaku, begitu kembali ke kamar tidak pernah dia melepas buku yang senang dibacanya."

   "Entah karena ayah bundanya sudah wafat sejak dia masih kecil, sehingga dia suka menyendiri, sering kali setengah hari dia tidak pernah bicara sepatah kata kepadaku. Sering aku mencari kesempatan untuk membuatnya senang dengan berbagai cara yang kubuat-buat, apa keinginannya selalu kuturuti, namun jarang aku bisa menyaksikan senyum tawanya."

   "Untuk memperoleh jasa simpatiknya, terpaksa aku berusaha memenuhi segala kesenangannya. Dalam bidang sastra, entah itu memetik harpa, menggambar, membuat syair atau main catur jelas aku bukan tandingannya. Tapi hanya satu, mungkin karena bakatku lebih mendekati kebutuhan, aku belajar meniup seruling, ternyata pelajaran yang kucapai cukup dibanggakan. Kebetulan leluhurku ada meninggalkan sebatang seruling batu pualam, suara yang kutiup dari seruling pualam ini ternyata amat empuk dan enak didengar."

   "Seruling pualam itu adalah sebuah pusaka konon dibuat dari pualam dingin yang tumbuh ribuan tahun di dasar laut, kekuatannya dapat menahan bacokan golok dan pedang. Kepada ayah aku minta seruling itu, dengan seruling itu pula ayah mengajarkan ilmu tutuk kepadaku. Dan dengan seruling itulah aku sering membawakan lagu untuk didengarkan Piaumoay. Hanya di kala dia mendengar lagu tiupan serulingku baru kulihat dia mengulum senyum dan tawa. maka latihanku meniup serulingpun lebih giat dan rajin."

   "Karena itu pernah aku dimaki oleh ayah karena latihan silat terbengkalai, beliau bilang Piaumoay adalah anak perempuan tidak pandai silat tidak jadi soal, kalau dia tidak suka juga tidak perlu dipaksa. Tapi lain dengan kau, kau adalah anak tunggalku, kelak bakal mewarisi seluruh kepandaianku. Sudah tentu besar harapanku kau pandai sastra dan silat, tapi aku kuatir kau gagal di bidang sastra, mengecewakan pula ilmu silatmu. Dari pada keduanya setengah jalan, maka aku lebih cenderung supaya kau lebih menekuni pelajaran silat."

   "Tapi meski ayah memberi wejangan kepadaku, secara diam-diam sering pula aku ajak Piaumoay keluar bermainmain. Di Cong-san kutiup seruling untuk dia dengar."

   Sampai disini cerita orang, dalam hati Han Cia diam-diam berpikir.

   "Jadi sejak kecil Ti-pepek sudah begitu besar cintanya kepada sang Piaumoay, namun dari nada ceritanya ini, cintanya agaknya bertepuk sebelah tangan, entah siapa pula Piaumoaynya itu, akhirnya menikah dengan siapa?"

   Lapat-lapat dia sudah merasakan suatu keganjilan, timbul rasa dingin dalam sanubarinya lekas dia pusatkan perhatiannya tak berani pikir lebih jauh. Ti Nio seperti tahu jalan pikiran Han Cin, katanya lebih lanjut setelah menghela napas.

   "Memang sejak kecil aku amat mencintai Piaumoay, selama hidupku ini hanya dia saja yang pernah kucintai. Sudah tentu waktu kecil aku tidak tahu arti cinta, namun setelah keduanya tumbuh dewasa, aku semakin menyadari bahwa aku tidak boleh meninggalkan dan berpisah dengan dia."

   "Tapi aku yakin dia tidak akan meninggalkan aku, bukan lantaran janji yang diucapkan di waktu kecil, adalah karena didalam pandangan ayah bundaku, mereka sudah pandang kami sebagai sepasang suami isteri yang setimpal. Urusan jodoh jelas tidak perlu dirisaukan lagi, hakikatnya tidak pernah terpikir dalam benak ayah bundaku untuk minta persetujuannya, bila kami sudah sama dewasa, boleh tentukan waktu dan langsung nikah. Aku tahu maksud ayah bundaku, dia juga tahu. Jalan pikiranku sama dengan maksud orang tuaku, kukira dia takkan mengetahui, maka hatiku amat lega dan tentram."

   "Tahun demi tahun berlalu, tanpa terasa kami sudah sama dewasa. Aku meyakinkan Thong-cu-kang, kalau menikah terlalu pagi akan mengganggu latihan lwekangku. Ayahku sudah membuat rencana, setelah aku berusia likuran baru akan melangsungkan pernikahanku dengan Piaumoay. Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa perjodohanku ini jelas takkan mengalami perubahan apapun, maka akupun turuti saja kehendak orang tua, tidak perlu buru-buru menikah."

   "Tapi peristiwa yang tak pernah terduga akhirnya terjadi juga."

   "Tahun itu aku berusia sembilan belas, Piaumoay tujuh belas. Tahun itu mendadak ayah keluar pintu menyelesaikan suatu urusan, pulangnya dia membawa seorang pemuda menetap di rumah kita."

   "Pemuda ini adalah putra seorang guru sekolah yang kenamaan di Hang-ciu, waktu kecil ayah pernah menjadi muridnya, maka ayah amat patuh dan menghormatinya seperti orang tua sendiri. Sebetulnya ada maksud ayah mengajak guru sastra ini menetap di rumah kita, tapi tabiat guru tua ini memang kaku, beberapa kali ayah utarakan maksud baiknya, tapi selalu ditolaknya."

   "Kepergian ayah kali itu karena dia mendapat kabar bahwa guru tua sekolah itu menderita sakit parah, sengaja dia pergi ke Hang-ciu menengoknya, sayang sekali, setiba ayah di rumah guru sekolah itu, penyakit guru tua itupun kebetulan kumat dan tidak terobati lagi, sebelum ajalnya dia masih sempat bertemu muka dan bicara beberapa patah kata."

   "Guru sekolah ini hidupnya serba kekurangan, menjelang setengah umur baru menikah dalam usia lanjut baru mendapat anak, putranya kebetulan seusia dengan aku. Sebelum ajalnya dia titip anaknya yang sebatangkara kepada ayah, sudah tentu ayah berjanji dan dengan senang hati menerimanya."

   "Guru sekolah itu berpesan. 'Jangan kau kukuh akan tingkatan, dulu kau belajar membaca padaku, kini biar anakku belajar silat padamu, aku tahu seusianya belajar silat memang sudah terlambat, tapi tujuanku hanya supaya badannya sehat. Dia sudah menyembah padaku sebagai pengangkatan guru, kuharap kau tidak menolaknya.'"

   "Ayah tahu maksud sang guru, putranya sebaya dengan aku, maka dia mengaturnya demikian, kecuali untuk melicinkan jalan supaya putranya leluasa belajar silat di rumah gurunya, diharapkan pula didalam hal panggilan satu sama lain tidak menjadi kikuk. Ini hanya soal kecil, maka ayah menerimanya. Setelah sang guru memberikan pesannya, maka beliaupun meram dengan tentram."

   "Setelah guru meninggal, ayah mengurus penguburannya, setelah lewat masa berkabungnya ayah bawa putranya itu pulang yaitu murid yang baru diterimanya, atau pemuda yang kusebut tadi."

   Mendengar cerita sampai disini, dalam hati Han Cin sudah dapat menerka beberapa bagian. Sejauh ini, Ti Nio tidak menyebut nama pemuda itu, maka diapun tak berani tanya. Perasaannya berat dan tertekan. Ti Nio melanjutkan.

   "Putra guru ayah sebaya dengan aku, tapi dia lebih muda beberapa bulan, setelah dia angkat ayah sebagai guru maka panggilanpun berubah, dia jadi Suteku."

   "Tabiat Suteku ini ternyata mirip Piaumoay, pendiam dan jarang bicara, tidak suka latihan silat. Maklum usianya sudah dewasa tidak mudah mempelajari ilmu tingkat tinggi, apalagi ayahnya juga berpesan supaya dia latihan silat hanya untuk menyehatkan badan, maka ayahku tidak memaksanya latihan silat. Kebetulan tahun itu latihan silatku mencapai saat-saat peralihan, ilmu tutuk perguruan kita teramat sukar untuk diyakinkan, sehingga seluruh tenaga dan pikiran dan waktuku disita untuk memperdalam pelajaran ilmu tutuk itu, pengawasan ayah terhadap latihankupun semakin ketat."

   "Tak lama kemudian kusaksikan suatu kejadian, entah karena belakangan ini aku jarang mendekati Piaumoay serta menemaninya bermain, atau karena tabiat yang sama, hubungan mereka ternyata semakin intim dan dekat."

   Ti Nio menyambung.

   "Sisa waktu latihan silatku tetap tidak bisa dibuang percuma, ayah tidak ingin aku mengabaikan pelajaran sastra, maka Sute selalu ditunjuk untuk memberi petunjuk kepadaku, membuat syair, menggambar atau main catur, sudah tentu akupun ditugaskan mengajarkan dasar pelajaran lwekang untuk menyehatkan badan Sute."

   "Kalau Sute mengajar sastra padaku, aku mengajar silat padanya. Tak lama kemudian Sute minta ditambah satu mata pelajaran, dia lebih tekun, lebih rajin mempelajarinya. Coba kau terka pelajaran apa yang diminta?"

   Tergerak hati Han Cin, sepontan dia menjawab.

   "Dia minta kau mengajarkan meniup seruling."

   "Betul, dia minta aku mengajar meniup seruling Pada hal ayahku bisa meniup seruling juga ayahnya yang mengajar."

   "Bukan dia tidak bisa soalnya dia merasa tiupan serulingku lebih baik dari padanya, maka dia ingin belajar lebih baik."

   "Waktu itu aku memang terlalu bodoh, kukira dia hanya ketarik oleh seruling saja, tidak pernah terpikir olehku kenapa dia begitu tekun belajar meniup seruling."

   Tanpa merasa Han Cin berkata pula.

   "Oh, dia belajar seruling untuk diperdengarkan pada Piaumoaymu."

   Ti Nio menunduk diam sesaat, katanya kemudian.

   "Sebetulnya umpama dia tidak pandai meniup seruling, Piaumoayku juga tetap mencintainya. Dia justeru belajar seruling, tujuannya tak lain untuk lebih memikat hati Piaumoay saja."

   Setelah menghela napas, Ti Nio berkata lebih lanjut.

   "Suatu ketika habis latihan silat, sengaja aku mencari Piaumoay, kemana-mana tidak kutemukan dia. Akhirnya kucari dia ke danau dimana dulu sering aku mengajaknya main, barulah disana kutemukan dia."

   "Disana dia tidak seorang diri, di dampingnya ada seorang pemuda yang menemaninya jalan-jalan. Kukira tidak usah kujelaskan tentu kau sudah tahu, pemuda itu sudah jelas adalah Suteku."

   "Dulu sering aku di tepi danau di bawah pohon meniup seruling untuk didengar Piaumoay, tapi hari itu kedudukanku diganti oleh Sute. Lagu yang dibawakan adalah lagu cinta untuk sang pujaan hati. Piaumoay begitu kesengsem, mendengar dengan senyum mekar dan asyik sekali, pandangannya begitu hangat dan mesra."

   "Ai, selama kita bersama, belum pernah Piaumoay tertawa seriang itu kepadaku, bila dia mau memandangku dengan tatapan seperti itu, meski usiaku harus diperpendek beberapa tahun juga rela."

   "Apapun yang terjadi sekarang aku sudah paham, secara diam-diam aku mengundurkan diri, dengan perasaan yang hancur dan hati yang kecewa aku pulang.ke rumah."

   Han Cin tidak berpendapat bahwa sang Piaumoay harus mencintainya, tapi mendengar kisah yang mengharukan ini, tak urung dia ikut sedih juga. Pikirnya.

   "Ai, siapa yang salah? Siapapun tiada yang salah!"

   "Malam itu aku melakukan perbuatan salah selama hidupku."

   Ti Nio melanjutkan ceritanya.

   "Tengah malam aku membangunkan Sute, aku bilang, bukankah kau ingin belajar meniup seruling, mari ikut aku ke suatu tempat."

   "Malam itu terang bulan, cuaca cerah, dia kira malam nan indah ini menimbulkan seleraku untuk mengajar seruling padanya, meski hati rada heran, tapi dia ikut kepadaku. Aku membawanya ke tepi danau, di bawah pohon dimana siang tadi dia meniup seruling untuk Piaumoay. Aku keluarkan seruling pemberian ayah."

   Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Waktu itu agaknya dia sudah tahu maksudku, aku tidak banyak bicara, diapun tidak tanya, dia hanya berdiri mematung mendengarkan irama serulingku. Aku tuangkan seluruh perasaan hatiku melalui irama seruling, kulimpahkan betapa derita batinku selama aku merindukan cinta sang pujaan."

   "Aku yakin tiupan serulingku waktu itu merupakan tiupan yang pafing mengharukan dan mengetuk hati orang selama hidupku, habis satu lagu air matapun berlinang. Sute tetap tidak bicara barang sekecap, tapi aku lihat air matapun berkaca-kaca di kelopak matanya.

   "Lama dan lama sekali baru aku berkata. 'Sebetulnya bukan maksudku meniup seruling ini untuk kau dengar tapi kutiup untuk seorang lain, sayang dia sudah tidak suka mendengar tiupan serulingku lagi, dia hanya suka mendengar tiupan serulingmu.'"

   "Sute menyeka air mata, katanya. 'Suheng, kau tak perlu kuatir. Aku tahu siapa yang kau maksud, untuk selanjutnya aku berjanji tidak akan meniup seruling pula di hadapannya."' "Dua hari kemudian, mendadak ayah tanya kepadaku, tahukah kau kenapa Sutemu mendadak minta diri hendak meninggalkan kita?"

   "Ayah memberitahu padaku Sute bilang karena dirinya tidak berbakat belajar silat maka dia ingin pulang ke kampung halaman untuk bercocok tanam saja, hidup berdikari. Sudah tentu ayah menampik alasannya, pesan ayahnya dulu tetap dijadikan pedoman untuk menahannya tinggal di rumahku. Syukur ayah berhasil membatalkan niatnya. Tapi ayah kira tabiatnya itu mewarisi watak ayahnya yang suka menyendiri dan kaku, malu makan gratis di rumah perguruan sehingga timbul niatnya pulang ke kampung halaman. Ayah malah kuatir tutur kataku setiap hari mungkin menyinggung perasaannya, maka aku dipesan wanti-wanti supaya tidak berlaku kasar padanya. Sudah tentu aku tahu sebab musababnya, sudah tentu aku tidak berani untuk memberitahu kepada ayah. Semalam suntuk aku tidak bisa tidur, otakku bekerja keras, timbul tanda tanya apakah aku mengharapkan dia meninggalkan perguruan?"

   "Terbayang betapa cerah dan manis senyum mekar Piaumoay kepadanya, serta tatapan matanya yang begitu birahi, ingin rasanya dia lekas pergi meninggalkanku. Tapi terpikir pula pergaulan belum genap setahun ini, hubunganku dengan dia sudah seperti saudara sekandung, bila dia meninggalkan aku selama hidupku ini mungkin sukar aku memperoleh teman sebaik itu, aku jadi berat ditinggal pergi."

   "Ai, bila aku sudah tahu peristiwa yang terjadi belakangan..."

   Mimik Ti Nio sekarang melambangkan kenangan lama yang serba salah, serba dosa dan sukar untuk disesalkan, rasa malu, hambar, sedih serta pilu bercampur aduk.

   Berbagai perasaan gado-gado ini terlimpahkan dalam suaranya yang bergetar terunjuk dalam sorot matanya pula.

   Han Cin juga tak kuasa menahan gejolak perasaannya, tanyanya.

   "Belakangan apa yang terjadi?"

   Ti Nio menghela napas panjang.

   "Sejak hari itu tak pernah kulihat mereka bersama, tapi sejak itu pula Piaumoay tidak ambil peduli kepadaku."

   "Aku duduk tidak tenang, tidur tidak nyenyak, hasratku latihanpun pudar, pada hal ayah sering memaki aku, latihan yang sebetulnya makan satu jam, aku hanya setengah jam. Begitu mengakhiri latihan, aku selalu mencari berbagai alasan untuk mencarinya."

   "Tapi dia selalu juga menggunakan berbagai alasan, selalu menolak ajakanku, kalau bukan hendak belajar, katanya mau menjahit, pernah juga bilang badan kurang enak, hari ini tidak ada minat bermain dan alasan lain. Terakhir dia malah mengunci diri dalam kamar tidak mau menemui aku."

   "Kesehatannya ternyata semakin menurun, mukanya pucat badan kurus, entah dia kena sakit, keadaannya memang mirip orang sakit benar-benar."

   Dalam hati Han Cin menghela napas, batinnya.

   "Memang Ti-pepek sendiri yang salah, tidak bisa menyelami perasaan seorang gadis. Bibit cinta yang baru bersemi dalam hati seorang gadis justru kau cabut mentah-mentah, tidaklah heran kalau dia merasa keki kepadamu?"

   "Setelah berbagai peristiwa itu, sebodoh-bodohnya aku juga akhirnya paham akan isi hatinya,"

   Demikian Ti Nio melanjutkan ceritanya.

   "Sekarang aku paham, yang betulbetul dicintainya adalah Sute bukan aku."

   Maka Han Cin berkata.

   "Hubungan cinta laki perempuan memang teramat ganjil, cinta hanya boleh dikejar secara wajar, tidak boleh dipaksakan. Ti-pepek, kejadian sudah lama berselang, kenapa pula sekarang kau harus menyiksa diri,"

   Usianya patut menjadi putri Ti Nio, tapi apa yang dia ucapkan ini, seolah-olah ditujukan kepada seorang yang sebaya usianya dengan dia.

   Namun Ti Nio tidak menjadi runyam atau risi dan kikuk, dengan sorot penuh haru dan terima kasih dia menatap Han Cin, dengan manggut-manggut dia berkata.

   "Ucapanmu memang betul, sayang sekali waktu itu tiada orang yang bicara seperti kau sekarang kepadaku."

   "Akan tetapi umpama waktu itu ada orang berkata demikian mungkin aku tetap takkan mau mendengar nasehatnya. Sejak Piaumoay mulai berjalan dan belajar bicara aku sudah hidup bersama dia. Selama dua puluh tahun ini hanya dia seorang yang terukir dalam sanubariku, bila dia riang aku ikut riang, bila dia sedih aku jadi sedih."

   "Kini setelah kutahu dalam kalbunya telah terisi orang lain, dan karena orang itulah sehingga kehadiranku telah dicampakkan dari relung hatinya, coba kau pikir bagaimanaperasaanku waktu itu? Aku dibakar rasa cemburu, aku jelus, hampir aku gila karena cemburu, lama kelamaan badankupun kurus dan pucat."

   Semakin dengar hati Han Cin semakin takut dan kaget serta tidak tentram, pikirnya.

   "Dalam keadaan seperti itu, entah apa saja yang bakal dilakukan Ti-pepek?"

   Lapat-lapat terasa olehnya, bahwa kejadian itu pasti ada sangkut pautnya dengan dirinya, namun dia tidak berani tanya, maka dia hanya menanti, menunggu Ti Nio sendiri yang akan menceritakan. Setelah istirahat Ti Nio meneruskan.

   "Setelah aku paham isi hati Piaumoay, isi hatiku dan perubahanku juga telah diketahui oleh ayah bunda."

   "Suatu hari ibu memanggilku dan ajak aku bicara seorang diri, dia tanya kepadaku, ayah bilang belakangan ini kau seperti tiada semangat latihan, kenapa? Aku tidak berani mungkir, tapi akupun tidak berani menjelaskan sebab musababnya."

   "Ibu bilang, kau tidak usah mencari alasan untuk ngapusi aku, kau adalah anak kandungku apa yang terpikir dalam benakku, memangnya aku tidak bisa ikut merasakan?"

   "Maka diapun bertanya pula. Belakangan ini agaknya kau menjauhi Piaumoay, hubunganmu seperti renggang, apa pula yang terjadi?"

   "Aku tetap menjawab. 'Aku tidak tahu. Tapi tak tahan aku tambahi sepatah kata. 'Bu kalau kau ingin tahu boleh kau tanya kepada Piaumoay saja.'"

   "Seperti tertawa tidak tertawa ibu mengawasiku, katanya, kau takut dia sudah besar, sudah tumbuh sayap dan bisa terbang sendiri?"

   "Aku diam saja, tapi tak tahan aku menghela napas."

   


Telapak Emas Beracun -- Gu Long Anak Berandalan -- Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long

Cari Blog Ini